EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : AHMAD ZAELANI NIM : 104045101542
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429H/2008M
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : AHMAD ZAELANI NIM : 104045101542
Di Bawah Bimbingan: Pembimbing I
Pembimbing II
Asmawi, M.Ag
Dedy Nursmasi, SH. M.Hum
NIP : 150 282 394
NIP : 150 264 4001
KONSENTRASI PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429H/2008M
KATA PENGANTAR
اا ا Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang senantiasa selalu memberikan petunjuk dan hidayah serta selalu melimpahkan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas junjungan kita sang revolusioner yakni Baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan kita sebagai pengikutnya. Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi dan menambah khazanah keilmuan serta melengkapi syarat yang menjadi ketetapan dalam menyelenggarakan studi program S1 (Strata Satu) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul “EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM” Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh penulis. Tanpa bantuan dan dorongan dari semua pihak, mungkin skripsi ini tidak akan selesai, pada kesempatan ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Asmawi, M.Ag., Ketua Jurusan Jinayah Syiasah serta Ibu Sri Hidayati. M.Ag, Sekretaris Jurusan Jinayah Syiasah, yang telah memberikan dorongan dan Administrasi kepada penulis. 4. Bapak Asmawi, M.Ag dan Bapak Dedy Nursamsi S.H, M.Hum dosen pembimbing, yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan, dorongan dan membantu penulis dalam menyelesikan skripsi ini. 5. Pimpinan perpustakaan UIN beserta seluruh staf, yang telah membantu meminjamkan buku-buku yang diperlukan oleh penulis. 6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 7. Yang tercinta Ayahanda Komarudin dan Ibunda Juriah yang tidak hentihentinya memberikan kasih sayang serta dorongannya dalam bentuk materi dengan tulus ikhlas dan selalu mendoakan penulis. Serta kepada kakaku tersyang Kokom Herawati, Neneng Puspitasari dan adikku Nurmalasari yang selalu memberikan motivasi dan kasih sayangnya kepada penulis. 8. Keluarga besar Jinayah Syiasah khususnya Program Studi Pidana Islam angkatan 2004 (Unay, Nandes, Va’i, Cepi, Komson dan yang lainnya) yang telah bersama-sama berjuang dalam suka dan duka.
9. Kawan-kawan HMI Komfaksy dan LKBHMI (Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam) yang telah memberikan motivasi kepada penulis. 10. Kawan-kawan di Z_2.net ( Bang Zarzis, SE, Andri, Irhasy dan yang lainnya) merekalah yang telah menemani penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini sampai selesai. Semoga bantuan mereka dinilai sebagai amal shaleh dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Doa yang tulus dan ikhlas penulis memohonkan kepada Ayahanda serta Ibunda yang telah menanamkan semangat dan memberi motivasi untuk meraih kesuksesan ini. Dengan harapan Doa semoga Allah yang Maha Arif dan Bijak juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberi limpahan ampunan, rahmat dan karunia-Nya kepada kita bersama. Akhirnya skripsi ini penulis persembahkan kepada almamater dan masyarakat akademik demi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis. Amien.
Jakarta, 03 Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................i DAFTAR ISI .......................................................................................................iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..............................................7 C. Tujuan dan Pemanfaatan Penelitian ................................................8 D. Metode Penelitian ..........................................................................9 E. Sistematika Penulisan .....................................................................10
BAB II
TINJAUAN UMUM HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM A. Pengertian Hak Hidup.....................................................................13 B. Hak Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia ..........................................16 C. Hak Hidup Dalam Konsepsi Hukum Islam......................................18
BAB III
FENOMENA EUTHANASIA DAN PANDANGAN ILMU KEDOKTERAN A. Pengertian Euthanasia.....................................................................25 B. Klasifikasi Euthanasia.....................................................................30 C. Motif-Motif Dilakukannya Euthanasia ............................................34 D. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran.................................................36
BAB IV
HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM
ISLAM DAN KAITANNYA DENGAN EUTHANASIA A.
Hak Hidup dalam Hak Asasi Manusia dan kaitannya dengan Euthanasia ......................................................................................41
B.
Hak Hidup Dalam Hukum Islam dan Kaitannya Dengan Euthanasia ......................................................................................48
C.
Perbandingan Hukum Euthanasia Menurut Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia .........................................................................55
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan.....................................................................................64 B. Saran ..............................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................68
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kejahatan akan senantiasa selalu ada selama masih ada manusia yang hidup di muka bumi ini. Kehendak untuk melakukan tindakan kejahatan merupakan sebab internal dalam kehidupan manusia, padahal pada sisi lain manusia menginginkan kehidupan yang damai, tentram, dan berkeadilan, dengan kata lain kehidupan manusia tidak ingin diganggu oleh perbuatan-perbuatan kriminal atau kejahatan. Upaya-upaya untuk menekan tingkat kuantitas dan kualitas kejahatan melanggar hukum telah lama dilakukan oleh manusia, baik yang berifat preventif, represif, dan edukatif. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Maksud negara berdasarkan atas hukum adalah bahwa negara dalam tata kehidupan masyarakat berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang dibuat dan ditetapkan dengan maksud untuk melindungi dan menyelesaikan perkara yang terjadi dalam kehidupan mayarakat, karena baik disadari maupaun
tidak disadari, manusia sebagai anggota masyarakat selalu melakukan perbuatan melanggar hukum dan hubungan hukum. Sebagai negara berdasarkan hukum, Indonesia sangat menghormati dan menjunjung tinggi eksistensi hak asasi manusia. Dalam sila kedua Pancasila, dijelaskan bahwa negara Indonesia mengakui dan
menghormati sikap
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dengan demikian secara nyata dan filosofis, Indonesia memiliki cita-cita kuat untuk menegakkan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan hukum baik hak asasi individu maupun kelompok.1 Islam sangat menjamin seluruh hak-hak asasi manusia dan menghormati hak-hak tersebut, baik yang menyangkut hak-hak yang beragama, hak-hak sipil, maupun hak-hak politik yang menyangkut hak hidup, hak menjaga harta, hak menjaga keselamatan dan harga diri, serta hak mendapatkan perlindungan dan kemerdekaan yang kesemuanya itu sering dikenal dengan istilah hak-hak asasi manusia. Hak yang paling utama dan paling perlu mendapat perhatian adalah hak hidup, karena hak hidup ini merupakan hak yang paling suci dan Ilahiyah, serta tidak dibenarkan secara hukum dilanggar kemulyaannya dan tidak boleh dianggap remeh eksistensinya.2 Oleh karena itu, segala macam yang melanggar hak hidup seseorang seperti membunuh, menganiaya dan melukai orang lain sangat dilarang 1
http://blog.kenz.or.id/2006/06/01/45-butir-pengamalan-pancasila.html diakses pada tanggal 13 Maret 2008 pukul 15:30 WIB 2
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut; Daar al-Tsakofah al-Islamiyyah, 1998), h.14
oleh hukum Islam, sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur`an Surat Al-Isyra` ayat 33:
ًَُْ ِ َِِ َََْ ََْ ًَُْ َُِ ََُ إِ"! َِْ و$ْ*َ ا!ِ) (َ'!مَ ا+!َُُْا ا,َ"َو (٣٣ :١٧ /6'ا27ُرًا ) ا.َ َْ'ِفْ ِ) اَِْْ إِ! ُ آَن2َُی4َ Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa yang dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesunguhnya ia adalah yang mendapat pertolongan”. (Q.S. Al-Isra’/ 17 : 33) Ayat ini memberikan petunjuk tentang makna kehidupan bagi manusia sebagai hak yang diberikan Allah, perbuatan membunuh jiwa manusia sangat diharamkan, demikian juga dengan pembunuhan tidak boleh dilakukan dengan semena-mena terhadap jiwa manusia yang boleh dibunuh. Ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar dalam proses pembunuhan, antara lain dalam hukuman mati untuk pelaku tindak pidana pembunuhan. Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain, karena alasan dendam atau untuk menebarkan kerusakan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang berwenang. Selama berlangsung peperangan, dimuka pengadilan perbuatan itu hanya dapat diadili oleh pemerintah yang sah. Dalam setiap peristiwa itu, tidak ada satu individupun yang memiliki hak untuk mengadili secara main hakim sendiri. Dengan demikian, pembunuhan boleh saja dilaksanakan kepada manusia asalkan dengan alasan demi menegakkan keadilan seperti penjatuhan hukuman mati kepada seorang residivis.
Dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah yang populer dengan sebutan euthanasia dan telah menjadi topik pembicaraan yang diperdebatkan, tidak saja bagi kalangan ahli medis, tetapi juga para pakar hukum Islam. Euthanasia menurut pemikir Islam Yusuf Al-Qardawi adalah tindakan ahli medis untuk mengakhiri hidup seseorang dan mempercepat kematiannya melalui injeks kematian, kejutan listrik, senjata tajam dan cara yang lainnya. 3 Istilah euthanasia memang masih asing di Indonesia, karena peristiwa tersebut sangat jarang terjadi. Akan tetapi di negara-negara maju, seperti Amerika, Austria, Belanda dan negara Eropa lainnya, masalah euthanasia telah lama dikenal dan bahkan telah ada undang-undang yang melegalisasikannya. Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi para dokter atau pihak lain untuk melakukan euthanasia. Dalam prakteknya, euthanasia dilakukan apabila seseorang pasien yang menderita penyakit itu belum diketemukan obatnya, serta membuat si pasien menderita karena penyakit yang di deritanya (secara fisik). Sebab lainnya, apabila keluarga si pasien membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk perawatan dirinya, sedangkan keadaan keluarganya sudah tidak sanggup membiayai pengobatan si penderita (secara materi), maka si pasien meminta dengan sungguhsungguh kepada pihak rumah sakit untuk mengakhiri hidupnya dan keluarga si pasien mengijinkannya (menyetujuinya). Pihak rumah sakit kemudian melakukan
3
Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, (Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h. 22
euthanasia (mengakhiri hidup si pasien) baik dilakukan dengan euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Masalah euthanasia menjadi bahan pembahasan cendekiawan, terutama apabila ditinjau dari segi hukum dan dihubungkan dengan hak seseorang untuk menentukan keadaan dirinya sendiri. Asas legalitas hukum yang menerangkan tentang praktek euthanasia dapat dilihat dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Yaitu: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”4
Menurut S.R. Sianturi ia menjelaskan bahwa pasl 344 KUHP mewajibkan setiap orang untuk menghormati jiwa orang lain, inti pasal 344 KUHP adalah permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan, tidak hanya sekedar permintaan saja perbuatan ini sering disebut dengan euthanasia.5 Kematian dalam pasal tersebut adalah kematian belas kasih yaitu dengan permintaan pasien yang dalam keadaan sekarat bukan membiarkan seorang mati dan pembunuhan sengaja. Cendekiawan
muslim
atau
ulama
melakukan
peninjauan
atas
permasalahan euthanasia ini dalam perspektif hukum Islam, Masjfuk Zuhdi
4
5
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta; Rineka Cipta, 2005), h. 135
S.R Sianturi,., S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta; Alumni AHAEM-PATEHAEN, 1989), h. 496
mengatakan bahwa Islam tetap tidak memperbolehkan si penderita menghabisi nyawanya, baik dengan tenaganya sendiri (bunuh diri) dengan minum racun atau menggantung dirinya dan sebagainya, maupun dengan bantuan orang lain, sekalipun itu dokter dengan cara memberikan suntikan mematikan atau obat yang dapat mempercepat kematian (euthanasia aktif) atau dengan cara menghentikan segala macam pertolongan bagi si penderita, termasuk kelanjutan proses pengobatannya (euthanasia pasif). 6 Melihat dari pendapat di atas tentang boleh tidaknya euthanasia, dalam kasus ini terjadi kontroversi pendapat. Tidak sedikit masyarakat pada beberapa negara, seperti Amerika maupun negara-negara maju lain yang membenarkan dan telah mempraktekan secara terang-terangan. Mereka sangat menghargai pilihan bagi diri si pasien dan keluarganya untuk memilih dan menentukan jalan kematiannya sendiri. Para pendukung euthanasia beranggapan bahwa memaksa seseorang untuk melanjutkan kehidupannya yang penuh dengan penderitaan dan siksaan penyakit, baik fisik maupun materi adalah merupakan tindakan irasional dan tidak menghargai hak asasi manusia, di mana seseorang memiliki hak terhadap dirinya sendiri untuk menentukan sikap dan keputusan atas kelanjutan hidupnya. Hal ini perlu dihormati dan dihargai.7
6
7
Prof. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, ( Jakarta; PT Gunung Agung, 1996), h. 157
Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fikih Kontemporer, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1998) h. 179
Akan tetapi bagi golongan yang kontra terhadap praktek euthanasia mereka menggunakan argumentasi yuridis dan sikap dokter yang terlalu pasrah dan menyerah. Secara agama, hidup dan matinya seseorang itu berada di tangan Allah SWT dan tugas dokter hanya berusaha semaksimal mungkin serta mengerahkan segala kemampuannya untuk dapat memberikan pertolongan kepada si pasien. Terlepas dari tanggapan yang setuju dan yang tidak setuju terhadap permasalahan euthanasia ini, perlu ditelusuri bagaimana pandangan hukum Islam terhadap euthanasia dan dihubungkan dengan hak asasi manusia, karena euthanasia adalah masalah pembunuhan atas kerelaan si korban sedangkan nota bene si korban adalah manusia yang memiliki hak hidup atas dirinya. Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan euthanasia menarik sebagai bahan penelitian penulis dan akan dijadikan bahan penyusunan karya ilmiah berupa skripsi. Untuk itu, penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini berjudul: “EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas penelitian ini akan menjelaskan apa sebetulnya euthanasia dan relevansinya dengan hak asasi manusia dan hukum Islam serta sanksinya menurut hukum Islam dan hukum Indonesia.
Dari pembatasan masalah diatas rumusan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah deskripsi umum tentang euthanasia ? 2. Bagaimanakah pandangan Hukum Islam dan doktrin Hak Asasi Manusia terhadap euthanasia? 3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan hukum antara pandangan doktrin Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam terhadap euthanasia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui dan menjelaskan deskripsi euthanasia, 2. Mengetahui dan menjelaskan pandangan hukum Islam dan doktrin Hak Asasi Manusia terhadap euthanasia, 3. Mengetahui dan menjelaskan persamaan dan perbedaan pandangan doktrin hak asasi manusia dan hukum Islam terhadap euthanasia. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum yang berlandaskan Islam. Selain itu, diharapkan pula memberikan informasi kepada peneliti yang berkeinginan untuk melakukan kajian mendalam tentang apakah euthanasia sejalan dengan hukum Islam dan doktrin hak asasi manusia?. Selain itu hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya menjaga dan mempertahankan hak hidup
dalam melakukan tidakan euthanasia, lebih dari pada itu dapat memberikan masukan kepada kalangan dokter dalam melakukan tindakan euthanasia dan para kalangan hakim dalam melegalisasikan tindakan euthanasia yang nota bene bertentangan dengan doktrin hak asasi manusia dan hukum Islam. D. Metode Penelitian Agar penelitian ini memperoleh informasi dan data yang akurat, maka penyusun karya ilmiah ini akan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif, yakni memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.8 Penelitian
ini
merupakan
penelitian
deskriptif,
yakni
dengan
menggambarkan masalah, mengumpulkan, menyusun dan menyeleksi data lalu data-data yang terkumpul dianalisis dan diinterpretasikan. Penelitian ini juga menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan satu variabel, dengan menyajikannya apa adanya.
8
Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ( Bandung; Remaja Rosda Karya, 2005 ) cet ke- 21, h.6
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.9 2. Teknik Pengumpulan Data Untuk
mengumpulkan
data
yang
diperlukan,
penelitian
ini
menggunakan tekhnik studi dokumenter, yakni mengkaji materi-materi hukum yang terkandung dalam bahan-bahan hukum tertulis, seperti ; Undangundang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), At-Tasyri’ Al-Jinai’ Al-Islami, Euthanasia dan Ilmu Kedokteran dan dokumen hasil penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dalam masalah euthanasia. 3. Tekhnik Analisis Data Dalam menganalisis data, diterapkan teknik analisis isi secara kualitatif. Jadi, dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan data-data yang telah diperoleh dan disusun, kemudian melakukan interpretasi dan formulasi, dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan menganalisis isinya kemudian menginterpretasikannya menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak jelas rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti. E. Sistematika Penulisan
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2004 ), cet. Ke-8, h. 13
Untuk mencapai sasaran seperti yang diharapkan, maka sistematika pembahasan ini dibagi menjadi lima bab. Teknik Penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 200710. Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Dimaksudkan dengan pendahuluan, agar para pembaca sudah dapat mengetahui garis besar penelitian. Bab pertama ini adalah sebagai pengantar. Bab kedua, bab ini membahas tentang tinjauan umum hak hidup dalam hak asasi manusia dan hukum Islam yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu ; Pertama : Pengertian hak hidup, Kedua, : Hak hidup bagian dari hak asasi manusia, Ketiga : Hak hidup menurut konsep hukum Islam. Bab ketiga, membahas tentang fenomena euthanasia dan pandangan ilmu kedokteran yang terdiri dari empat sub bab, yaitu : Pertama : Pengertian Euthanasia, Kedua : Klaifikasi Euthanasia, Ketiga : motif-motif terjadinya Euthanasia, dan Keempat : Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran. Bab keempat, merupakan bagian isi. Disini akan membahas tentang hak hidup dalam hak asasi manusia dan hukum Islam dan kaitannya dengan 10
Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta, (Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007). H. 1-7.
euthanasia yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu ; Pertama ; Hak hidup dalam hak asasi manusia dan kaitannya dengan euthanasia, Kedua : Hak hidup dalam Hukum Islam dan kaitannya dengan euthanasia, Ketiga : perbandingan hukum euthanasia menurut hukum Islam dan hak asasi manusia. Bab kelima, adalah Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Bab ini, sebagai kesimpulan adalah konsekuensi dari metodologi. Pengambilan kesimpulan ini harus dilakukan untuk menemukan jawaban yang diajukan pada pada penelitian ini.
BAB II TINJAUN UMUM HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hak Hidup Hak hidup adalah hak untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Hak ini merupakan hak asasi yang paling esensial dari keseluruhan hak yang dimiliki oleh manusia. Termasuk dalam kategori ini adalah hak untuk menjalankan kehidupan yang layak di manapun dan kapanpun. 11 Hak ini berhubungan dengan kemerdekaan manusia untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan dari pihak manapun, termasuk di dalamnya perlindungan dari tindakan diskriminasi, rasialisme dan dehumanaisme. Perlindungan atas hak hidup menjadi tanggung jawab semua orang, karena tindakan yang menggangu hak hidup akan mengancam hak asasi manusia secara keseluruhan. Bila ini terjadi, maka kehidupan sosial dan peradaban manusia bisa terganggu. Kematian satu orang bisa berpengaruh terhadap tatanan kehidupan manusia, sekecil apapun peran yang ia mainkan, karena sebagai makhluk sosial manusia memiliki karakter saling bergantung. Mengingat pentingnya penghormatan terhadap hak hidup manusia, Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, memuat ketetapan bahwa setiap manusia 11
Maulana Abul A’la Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, ( Jakarta; Bumi Aksara, 1995 ), h. 21.
memiliki hak untuk hidup dan meneruskan kehidupannya dengan keturunannya serta mempertahankan kehidupannya secara wajar dan bebas. 12 ketetapan mengandung makna bahwa penghargaan dan penghormatan terhadap setiap individu manusia untuk melakukan berbagai usaha, baik secara individual maupun
kolektif,
mempertahankan
hidup,
melakukan
sosialisasi
dan
meningkatkan kualitas kehidupannya, sehingga bisa menjadi manusia yang beradab dan bermartabat. Namun demikian, hak hidup seseorang tidak berarti mengabaikan hak orang lain, sehingga ada aturan –aturan yang membatasi penggunaan hak hidup. Kewenanagan dan kekuasaan hukum dan undang-undang yang direalisasikan dalam institusi pengadilan, merupakaan pembatas dalam penggunaan hak hidup. Jika penggunaan hak hidup sudah menggangu hak orang lain atau melanggar ketentuan hukum, maka berlaku ketetapan hukum sesuai dengan jenis dan tingkat kesalahan yang dibuat, serta berlaku sanksi hukum berdasarkan keputusan pengadilan. Konstitusi dan hukum Indonesia memberikan jaminan penuh terhadap hak hidup manusia yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 dan UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam kedua sumber hukum ini, hak hidup dinyatakan sebagai sebuah hak yang melekat pada setiap warga negara Indonesia. Sanksi hukum akan berlaku jika hak tersebut dilanggar, 12
Drs. Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, ( Jakarta; PT. Al-Husna Zikra, 1995 ), h. 35
sesuai dengan kreteria tindakan melanggar hukum yang ditetapkan dalam sumber hukum materil tersebut. Pada penjelasan pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dianaut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang belum lahir, dengan adanya larangan abortus. Bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum tentang hak asasi manusia, maka seseorang atau pihak-pihak yang merasa terganggu hak hidupnya dapat mengajukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kedua lembaga ini merupakan sebuah kemauan politik dan hukum pemerintah Indonesia dalam menegakkan hak asasi manusia dalam tatanan konstitusi, sosisal dan politik di Indonesia. Dengan landasan konstitusi dan hukum hak asasi manusia, pengadilan memiliki wewenang untuk menindak pelaku pelanggaran hak asasi manusia, sehingga bila terbukti bersalah, maka pihak pengadilan wajib mengadili sesuai dengan ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Proses peradilan HAM dilakukan dengan melakukan proses penyidikan dan penyelidikan berdasarkan hukum acara yang berlaku.
B. Hak Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia Piagam PBB mengenai Hak Asasi Manusia menempatkan hak hidup sebagai bagian utama hak asasi manusia sebelum hak-hak lainya. Sebagai hak utama, maka perlindungan dan jaminan atas hak ini menjadi bagian dari konstitusi pada banyak negara yang meratifikasi Piagam HAM PBB. Materi Piagam Hak Asai Manusia PBB dan konstitusi negara-negara di dunia menempatkan hak hidup sebagai bagian integral dari hak asasi manusia. Sebagai bagian utama, hak hidup menjadi titik awal penghormatan terhadap hak manusia yang lainnya. Jika hak ini dilanggar, maka hak-hak lain juga ikut dilanggar secara otomatis, karena pelanggaran hak hidup akan menutup jalan pelaksanaan hak-hak lainnya. Sebagai salah satu negara anggota PBB, Indonesia ikut meratifikasi Piagam Hak Asasi Manusia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, selanjutnya Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan sebuah keputusan tentang
hak
asasi
manusia
yang
diputuskan dalam TAP
MPR
N0.
XVII/MPR/1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional, dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dengan dua sumber ini maka kedudukan HAM dalam konstitusi Indonesia semakin kuat, sehingga kehendak untuk menegakkan HAM di Indonesia mendapat legalitas formal. Setelah pemberlakuan HAM ini, hak hidup memiliki jaminan penuh dan dilindungi oleh konstitusi.13
13
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan ( Civic Educatian ) “Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ( Jakarta; Prenada Media, 2003) h. 225.
Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia, hak hidup termasuk dalam kebebasan dasar manusia. Pasal 9 ayat (1), menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.14 Dalam undang-undang ini, hak hidup tidak hanya mencakup persoalan kebebasan untuk bernafas dan menjalani kehidupan, tetapi di dalamnya juga mencakup hak untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang layak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Sedangkan dalam Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi Manusia pasal 3, dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan keselamatan pribadinya.15 Jaminan akan hak hidup manusia akan berimbas kepada realisasi hak lain yang dimiliki manusia, antara lain kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Hak-hak asasi manusia lainnya akan berjalan apabila hak hidup telah bisa direalisasikan. Jaminan konstitusi dan perundang-undangan ini menunjukan komitmen bangsa Indonesia untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, Indonesia menempatkan hak asasi manusia sebagai bagian dari tatanan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, sehingga pelaksanaan hak asasi manusia mendapat jaminan penuh. Sementara dalam tata kehidupan keseharian, kehidupan masyarakat Indonesia telah 14
http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/hrlaw/19 diakses pada tanggal 4 Agustus 2008 pukul 19:42 WIB 15
Adnan Buyung Nasution dan Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, ( Jakarta; Yayasan Obor, 2000 ), h. 88
merealisasikan hak asasi manusia dalam kehidupan keseharian, jauh sebelum ditetapkan Undang-undang HAM pada tahun 1999, sikap toleransi, gotong royong dan saling menghormati antar anggota kelompok masyarakat merupakan indikasi yang secara nyata ditunjukkan bangsa Indonesia. Walaupun ada berbagai kejadian yang disangkutkan dengan isu pelanggaran HAM, namun peristiwaperistiwa itu seringkali dilakukan sebagai rekayasa politik dengan memanfaatkan isu suku, ras, dan agama, yang melibatkan pemerintah sebagai target kelompok yang memiliki kepentingan politik dan kekuasaan atas Negara. C. Hak Hidup Dalam Konsepsi Hukum Islam Fiqh merupakan produk pemikiran manusia sebagai hasil dari pemahaman dan interpretasi terhadp Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dua sumber hukum utama,16 sedangkan fiqh jinayah merupakan hukum yang berisi larangan atas perbuatan manusia dalam mengambil kehendak Allah dan hak-hak hidup manusia.17 Adapun yang dimaksud dengan perbuatan mengambil hak Allah ialah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengingkari segala kewajiban atau perintah Allah, termasuk yang berkaitan dengan kehidupan seseorang. Fiqh jinayah memiliki tujuan untuk memberikan jaminan pelindungan terhadap keselamatan jiwa manusia yang tertuang dalam tujuan dasar hukum
16
17
Dr. M. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003 ), h. 16
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menaggulangi Kejahatan Dalam Islam, ( Jakarta P.T. Grafindo Persada, 1997 ) h. 55
Islam (maqashid as-syari’ah). Ide keadilan yang tercantum dalam hukum jinayah bersumber pada ajaran Islam yang mengandung ajaran Ilahiyah dan insaniyah. Penerapan hukum Islam secara tepat dan benar akan menjamin rasa keadilan yang dibutuhkan dalam proses hukum. Keadilan ini tidak hanya berlaku untuk umat Islam, tetapi juga untuk seluruh umat manusia, karena Islam ditujukan untuk keselamtan umat manuasia (rahmatan lil alamin). Ini berbeda dengan pandangan dangkal yang beredar tentang seputar hukum Islam sebagai sebuah hukum yang keji dan tidak berkeprimanusiaan. Fiqh jinayah, yang berkaitan dengan pembunuhan merupakan sebuah perlindungan Allah terhadap hak hidup manusia. Bentuk hukuman mati yang diberikan kepada pelanggaran hak hidup pada hakekatnya melindungi nyawa manusia lain, karena dengan pemberlakuan hukuman hudud, maka akan banyak nyawa atau kehidupan manusia yang akan terlindungi dan terselamatkan. Hukum qishash yang dipandang sebagai salah satu hukuman yang keji, bila dilaksanakan dengan benar sesuai dengan sumber hukum peradilan Islam, akan membantu manusia untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan atas hak hidup yang diberikan Allah kepada manusia dan seluruh mahluk di muka bumi.18 Perlindungan hukum Islam tidak hanya berlaku bagi pembunuhan yang dilakukan oleh orang lain secara sengaja dengan maksud menghilangkan nyawa manusia. Imam Abu Hanifah berpendapat jika seseorang meminta untuk
18
Drs. Makhrus Munajat, M.Hum, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, ( Jogjakarta; Logung Pustaka, 2004 ), h. 130
dihilangkan nyawanya, kemudian ia dibunuh maka hukuman diyat bukan qishash berlaku bagi pelaku pembunuhan tersebut.19 Ahmad Hanafi mengungkapkan bahwa hukuman untuk pembunuhan pada umumnya berlaku hukum qishash, diyat dan ta’zir.20 Ketiga jenis hukuman pidana ini berlaku berdasarkan kategori pembunuhan yang dilakukan sebagai balasan kepada pelaku. Qishash berlaku untuk pembunuhan disengaja dengan menggunakan benda tajam yang bisa menembus daging. Qishash dalam hukum Islam menjadi alat untuk melindungi nyawa manusia, karena dengan pemberlakuan qishash bisa mencegah gangguan terhadap hak hidup seseorang, walaupun qishash mengancam jiwa manusia. Namun demikian, qishash tidak dapat berlaku bila ada pemaapan dari pihak keluarga atau pihak lain yang menghendaki perbuatan pelaku untuk dimaapkan. Sebagai pengganti, hukum Islam menetapkan hukuman pengganti berupa diyat atau ta’zir sebagai pengganti. Pelaksanaan hukuman qishash diberikan kepada negara atau pemerintah, karena arti hidup sangat penting. Pemberian hak kepada pemerintah bertujuan untuk menjamin pelaksanaan hukum (law enforcement), sehingga tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atas pembebasaan atau penjatuhan hukuman kepada pelaku. Selain itu, pemerintah diharapkan mampu menjamin
19
Abd Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, Jilid II, ( Beiru; Al-Muassasah, tanpa tahun), h.441 20
208.
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, cet. VI, Jakarta, 2005 , h.
keadilan bagi dalam proses peradilan, sehingga mampu memberikan keadilan dan benar-benar menghukum pelaku yang memang terbukti bersalah secara hukum. Dalam pandangan Islam, hidup manusia itu suci dan tidak boleh disakiti, sehingga segala usaha harus dilakukan untuk melindunginya. Tidak seorangpun diperbolehkan untuk menyakiti seseorang kecuali berdasarkan hukum, seperti qishash dalam tindak pidana pembunuhan.21 Secara sepintas hukum qishash tampak mengancam nyawa manusia, tetapi jika dikaji lebih mendalam, sesungguhnya melalui qishash inilah akan banyak nyawa manusia terselamatkan. Sifat dualisme ini juga tanpak dalam hukum pidana mati non-Islam, karena dalam hukum mati terdapat ancaman terhadap nyawa manusia. Fiqh jinayah memandang hak hidup manusia sebagai hak yang diberikan Alllah kepada manusia tanpa gangguan dari pihak lain, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Berbagai ketentuan dalam fiqh jinayah ditetapkan dalam rangka melindungi hak hidup terutama dalam aturan mengenai jarimah pembunuhan, dengan sanksi hukum untuk masing-masing pelanggaran hukum. Fiqh jinayah sebagai jaminan perlindungan hak hidup memberikan ketentuanketentuan tegas terhadap tindak kejahatan yang mengancam nyawa manusia. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178, Allah berfirman;
!" # 21
Dalizar Putra, Hak Asasi ……………, h. 44
+"-.' ( )* $%&%' ( 3401 2*5 /01 2 6789: ( <=.>?@A 7;9: (*5 )FG BC9☺.E < <=.>?@A*5 ⌦=⌧P JKFLI BC HI. ;Q 8RS.E F0:9☺ (*5 J !.(*' Q9KI 9;(V.W (C TBJ*U*5 7*"5[+ CZ X!Y ]9 B \C9☺.E X9☺BJ+ HI..E 9;(V.W 9: 5 (١٧٨ : ٢ / ` ) ا?'ةaK(I ^_⌧! “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. ( Q.S. Al-Baqarah / 2 : 178)
Dalam surat al-Baqarah ayat 179, Allah berfirman;
%&%' ( )* 7.( )de XR<K9J 7f89:.( % 8 (-A ( ١٧٩ / ٢ / ) ا?'ةgf'h.S “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (Q.S. Al- Baqarah / 2 : 179) Kedua ayat di atas menunjukkkan bahwa hukum pidana Islam menjamin sepenuhnya hak hidup manusia. Qisahsh yang disebut dalam ayat di atas
merupakan perlindungan hukum yang diberikan kepada manusia, karena dengan pemberlakuan qishash akan mencegah gangguan terhadap hak hidup seseorang, walupun qishash mengancam jiwa manusia. Akan tetapi, qishash tidak dapat berlaku bila ada pemaapan dari pihak keluarga atau pihak lain yang menghendaki perbuatan pelaku untuk dimaapkan. Pembunuhan yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyawa orang lain sebagai bentuk pelanggaran atas hak Allah, karena kematian hanya milik Allah. Dengan kata lain, hanya Allah yang memiliki hak untuk menentukan kematian manusia dan segala makhluknya di muka bumi. Tindakan manusia yang mengambil hak Allah akan diberikan sanksi dan hukuman, setinggi-tingginya hukuman mati.22 Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain karena alasan dendam dapat diputus oleh pengadilan yang berwenang. Selama berlangsunya peperangan, perbuatan itu hanya dapat diadili oleh pemerintah yang sah. Dan dalam segala hal, tidak ada satu individu yang memiliki hak untuk mengadili orang lain dengan cara main hakim sendiri. Proses penjatuhan hukuman yang membatasi hak hidup manusia harus dilakukan melalui sebuah proses yang menjamin tidak terjadinya sebuah tindakan pembunuhan. Hukum Islam yang ditakuti oleh orang-orang non-muslim tidaklah menghendaki tindakan sewenang-wenang dari para pelaku hukum, terutama dari pemerintah dan pengadilan. Penerapan hukuman dari hukum Islam dilakukan
22
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, ( Bandung; Pustaka Setia, 2000 ), h. 114
secara hati-hati, sehingga hukuman tersebut hanya berlaku bagi orang yang melanggar hukum. Pemberlakuan hukum qishash hanya berlaku bagi orang-orang yang terbukti membunuh. Pihak keluarga sebagai ahli waris tidak boleh memberikan hukuman yang semena-mena, tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan. Dengan alasan kemanusiaan ini, maka hukuman ini bisa terhapus jika pihak keluarga memaapkan pelaku, walaupun pelaku tetap mendapat hukuman pengganti dari hukaman pokok23. Dengan demikian tidak ada perbuatan melanggar hukum yang tidak mendapat hukuman. Tidak ada pembunuhan kecuali sebagai sebuah hukuman atas pembunuhan juga bisa dihapus bila dilakukan dalam keadaan membela dirinya sendiri dari ancaman pembunuhan dari orang lain. Dengan demikian tidak semua pembunuh dalam hukum Islam dihukum dengan hukuman qishash.
23
Audah, Attasyri Al-Jinaiy………………., h. 38
BAB III FENOMENA EUTHANASIA DAN PANDANGAN ILMU KEDOKTERAN
A. Pengertian Euthanasia Euthanasia secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu ; “ue” yang berarti normal atau baik, dan “thanatos” yang artinya mati.24 Berdasarkan penggalan katanya euthanasia berarti kematian secara baik atau mudah tanpa penderitaan. Secara bahasa kata euthanasia kemudian dikenal dalam dunia kedeokteran dan hukum, karena pada perkembangannya, istilah ini banyak digunakan dalam istilah-istilah hukum, terutama pada hukum pidana yang menyangkut delik pembunuhan. Dalam kamus kedokteran dinyatakan bahwa euthanasia mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian atau menghilangkan nyawa secara tenang dan mudah untuk menamatkan penderitaan. 25 Pengertian ini memandang bahwa euthanasia merupakan tindakan pencegahan atas penderitaan yang lebih parah dari seseorang mengalami musibah atau terjangkit suatu penyakit. Jalan ini diambil, mengingat tidak ada cara lain yang bisa menolong seseorang untuk terlepas dari penderitaan yang luar biasa.
24
Waluyadi, S.H, M.H, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Jakarta; Djambatan, 2005) cet ke-2 h.
135 25
J.Gunawandi, S.H, Hukum Medik (medical Law), (Jakarta; Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia, 2007, h. 246
Pengertian euthanasia secara bahasa menunjukan bahwa inti dari euthanasia adalah tindakan yang menimbulkan kematian secara mudah dan baik dalam pandangan medis. Motif utama euthanasia adalah menolong penderita untuk mengakhiri penderitaan atau memotong jalan penyebaran penyakit. Dengan kata lain euthanasia merupakan penentuan kematian seseorang, yakni penentuan untuk kelangsungan hidup seseorang setelah mengalami gangguan penderitaan yang berat dan diperkirakan tidak bisa diatasi. Euthanasia biasanya berhubungan kematian sukarela yang dilakukan untuk mengakhiri penderitaan seseorang akibat penyakit yang tidak bisa disembunyikan.26 Tindakan ini dilakukan dalam bentuk menyerupai bunuh diri, walaupun dilakukan dengan bantuan orang lain. Keputusan ini diambil untuk mengurangi beban penderitaan seseorang akibat penyakit yang sulit disembuhkan. Pelaksanaan euthanasia harus dilakukan atas seijin pengadilan, karena pada hakikatnya dalam praktek ini telah terjadi pelanggaran hukum, yakni menghilangkan nyawa manusia. Menurut hukum Islam bahw pengadilan sekalipun tidak berhak untuk menentukan hak hidup seseorang kecuali untuk hukuman yang telah ditentukan oleh nash, karena hak hidup seseorang hanya milik Allah swt semata dan hanya dia yang berhak untuk mengambinya kembali tanpa terkecuali bahkan pengadialn sekalipun.
26
WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15
Euthanasia merupakan pilihan untuk mati secara sukarela dengan bantuan pihak lain atas dasar kasihan atau niat menolong penderita suatu penyakit, antar lain dari pihak rumah sakit , dokter atau pengadilan. 27 Pilihan menghilangkan nyawa orang lain ini diambil mengingat beban penderitaan pasien maupun keluarga baik secara moril maupun material. Melalui euthanasia, diharapkan bisa menghilangkan penderitaan pasien dan beban biaya perawatan dan penyembuhan dapat dihilangkan. Perkembangan euthanasia mulai muncul sejak abad ke- 19 dibeberapa negara Eropa dan Amerika. Di Amerika Serikat euthanasia baru dikenal tahun 1960, hingga mendapat legalisasi hukum. Namun di Swiss, euthanasia dilarang berdasarkan undang-undang federal tahun 1960, dengan asumsi bahwa euthanasia melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan menodai hak manusia untuk terus memiliki harapan hidup dan melanjutkan kehidupannya. Di Inggris sempat muncul gerakan yang menamakan dirinya masyarakt euthanasia (euthanasia society). Gerakan ini berjuang untuk mendapatkan legalitas euthanasia secara hukum, sehingga tindakan ini bisa dilakukan tanpa pengajuan ke pengadilan, namun usaha gerakan ini digagalkan, terutama oleh kalangan agamawan Kristen.28
27
Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fiqh Kontemporer, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1998) h. 178 28
Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta; EGC, 2007), h. 180
Dalam literatur kedokteran dan hukum terdapat pemahaman yang berbeda tentang hakekat euthanasia, apakah ia merupakan bunuh diri (suicide) atau pembunuhan (murder).29 Kesulitan ini terjadi, karena euthanasia dilakukan secara sukarela atas permintaaan orang yang bersangkutan, atau atas permintaan pihak-pihak yang memiliki alasan kuat untuk melakukan euthanasia. Sementara untuk memandang kematianpun menjadi kabur akibat perkembangan
teknologi
kedokteran.
Sebelumnya,
definisi
kematian
diindifikasikan oleh jantung dan hati yang sudah tidak berfungsi lagi. Dalam perkembangan selanjutnya, kematian harus didiagnosa secara intensif melalui peralatan kedokteran, karena indikasi kematian semakin bertambah, yakni dengan menyertakan asumsi kematian pada jantung, hati, serta tidak berfungsinya otak dan tidak adanya zat yang menimbulkan aliran listrik. Penambahan indikator kematian ini pada akhirnya semakin mempersulit tindakan euthanasia, terutama berkaitan dengan keputusan tentang harapan hidup pasien. 30 Berdasarkan pandangan di atas, pemahaman terhadap legalitas euthanasia seharusnya dilakukan secara hati-hati, walaupun sifatnya sukarela. Euthanasia tetap berindikasi sebagai sebuah pembunuhan terencana yang dilakukan atas dasar keinginan dari seseorang atau dari pihak-pihak tertentu yang menginginkannya. Euthanasia kemudian harus dipandang dalam konteks
29
Ibid, h. 181 M. Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, ( Jakarta; EGC, 1999 ), h. 105 30
kemanusiaan, tidak hanya pada sisi medis, hal ini layak dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban akibat keputusan medis yang tergesa-gesa. Sementara itu, para pendukung euthanasia memandang bahwa tindakan ini merupakan penghargaan atas pilihan seseorang untuk mengakhiri penderitaan hidupnya yang tiada akhir. Selain itu, memaksa orang lain untuk melanjutkan hidupnya yang penuh penderitaan fisik dan kerugian material merupakan tindakan tidak masuk akal dan tidak menghargai hak untuk menentukan hidup manusia. Secara sosial euthanasia
memerlukan
pemikiran kritis dengan
mempertimbangkan perasaan masyarakat sebagaimana tindakan aborsi, karena euthanasia akan berhadapan dengan nilai kemanusiaan dan peradaban. Kalangan agamawan memandang bahwa sikap dokter yang merekomendasikan atau melakukan tindakan euthanasia merupakan sikap menentang takdir Tuhan. Berdasarkan sudut pandang medis, euthanasia yang dilakukan sembarangan melanggar kode etik kedokteran untuk menyembuhkan pasien yang telah menjadi tanggung jawab mereka. Hak pasien untuk mendapatkan perawatan semaksimal mungkin, bahwa jika ada suatu kesalahan dalam perawatan medis, pasien bisa menuntut dokter maupun pihak rumah sakit ke pengadilan atas kelalain mereka.31 Berdasarkan pemaparan tersebut, maka inti dari euthanasia adalah menghilangkan hak hidup seseorang dengan alasan untuk menghindari kerugian 31
http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15 WIB
pada pihak lain, termasuk pasien lain yang masih memiliki harapan hidup. Kematian secara sukarela (mercy death) ini dilakukan sebagai sebuah usaha untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar dengan mengorbankan satu orang. B. Klasifikasi Euthanasia Pada umumnya euthanasia diklasifikasikan dalam dua jenis, yakni euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Namun demikian, beberapa pakar dan penulis memberikan penjelasn yang berbeda mengenai dua jenis euthanasia tersebut. Masing-masing perbedaan terletak dalam mendefinisikan terminology euthanasia pasif. Sebagaian memberikan pengertian bahwa euthanasia pasif merupakan euthanasia yang dilakukan dengan cara membiarkan pasien tanpa perawatan, sementara yang lainnya mengemukakan bahwa pasien mengalami penghentian proses perawatan dengan alasan kekurangan tenaga teknik dan alat medis yang sesuai dengan penyakit pasien. Prof. Suparovic mengungkapkan kalsifikasi euthanasia sebagai berikut :32 1. Euthanasia pasif, yakni mempercepat kematian dengan cara menolak memberikan pertolongan medis, atau menghentikan proses perawatan medis yang sedang berlangsung, misalnya dengan memberikan antibiotik pada penderita radang paru-paru berat (pneumonia) pemberian obat-obatan (drugs)
32
Crisdiono, Dinamika Etika ……., h. 184-185
dengan dosis tinggi dilakukan untuk mempercepat proses penghentian fungsi anatomi tubuh yang mendukung kehidupan manusia. 2. Euthanasia aktif yakni mempercepat kematian dengan mengambil tindakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kematian, misalnya dengan memberikan tablet sianida atau menyuntikan zat-zat yang mematiakan kepada tubuh pasien. Tindakan ini langsung ditujukan untuk membunuh pasien, seperti halnya pada hukuman suntik mati, tindakan ini terkesan memperlakukan pasien sebagai pelaku tindak kriminal. 3. Euthanasia sukarela yakni mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Adakalanya permintaan tersebut tidak perlu dibuktikan dengan bukti secara tertulis, selama ada saksi sebagai bukti lain. 4. Euthanasia tidak sukarela (involuntary) yakni mempercepat kematian tanpa persetujuan atau permintaan pasien. Bahkan bisa jadi bertentangan dengan kehendak pasien. 5. Euthanasia nonvoluntary yakni mempercepat kematian atas sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan melalui pihak ketiga, misalnya keluarga, atau atas keputusan pemerintah. Biasanya terjadi pada kasus penderita penyakit menular. Demi untuk memusnahkan endemik penyakit atau membatasi virus, maka seseorang berpenyakit menular harus dibunuh, sehingga orang-orang di sekitarnya tidak tertular penyakit yang diderita pasien. Secara medis tindakan ini menjadi sah tanpa memperhatikan sisi
kemanusiaan, karena pandangan bahwa endemik penyakit bisa muncul pada setiap tubuh makhluk hidup. Frans Magnis Suseno menggolongkan euthanasia ke dalam tiga kelompok, yaitu :33 1. Euthanasia pasif yaitu mempercepat kematian dengan alasan tidak semua tekhnik kedokteran bisa memperpanjang kehidupan manusia. 2. Euthanasia tidak langsung, yakni usaha memperingan kematian dengan efek samping bahwa pasien barangkali bisa meninggal lebih cepat, termasuk dengan memberikan narkotika dan obat-obatan terlarang, hipnotika dan analgetika, walaupun dilakukan dengan tidak sengaja. 3. Euthanasia aktif, yakni proses kematian dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung tindakan menghilangkan nyawa. Sementara itu, Lumerton J.P mengklasifikasikan euthanasia dalam beberapa bagian yang pada intinya adalah pembunuhan dan pernyataan kematian, yaitu ;34 1. Membiarkan seorang mati, yakni membiarkan terjadinya kematian karena pasien tidak lagi memerlukan perawatan lebih lanjut, karena tidak berharap bisa sembuh.
33
Waluyadi, Ilmu Kedokteran…….., h. 136-139 Soerjono Sukanto, Segi-Segi Hukum dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum Kesehatan, Mandar Maju, Bandung, 1990, h. 45-47 34
2. Kematian belas kasihan (mercy death), yakni pembunuhan yang dilakukan karena pasien meminta untuk menghentikan kehidupannya. 3. Pembunuhan belas kasihan (mercy killing), yakni tindakan pembunuhan melalui keputusan medis untuk mengakhiri kehidupan pasien, dengan atau tanpa persetujuan dari pihak pasien maupun pihak lain secara sukarela. 4. Kematian otak (brain death), yakni pernyatan kematian secara medis akibat otak tidak berfungsi lagi untuk mengatur denyut kehidupan manusia. Hasil diagnosa terhadap fungsi otak ini merupakan keputusan final dengan asumsi bahwa tidak ada indikasi lain yang lebih meyakinkan, selain otak yang tidak berfungsi. Berdasarkan klasifikasi di atas, klasifikasi euthanasia pada intinya mengacu pada dua jenis tindakan dengan masing-masing ciri dan asumsi berbeda yaitu ; Pertama ; Euthanasia pasif, yakni euthanasia yang dilakukan dengan cara membiarkan seseorang yang dalam kondisi terkena penyakit, tidak mendapatkan perawatan sebagaimana pasien seharusnya dirawat. Perlakuan ini dilakuklan secara sengaja untuk mempercepat terjadinya kematian, misalnya untuk penderita kanker akut yang sudah dianggap sudah tidak bisa disembuhkan. Tindakan inipun dilakukan melalui prosedur pemeriksaan dan diagnosa kedokteran. Jika secara medis pasien dipandang tidak memiliki harapan sembuh, maka tindakan
euthanasia dilakukan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan dari pengadilan. Kedua ; Euthanasia aktif, yaitu tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyawa seseorang secara langsung tertuju pada kematian, melalui suntikan atau pemberian obat-obatan yang mematikan. Tindakan ini jelas-jelas bertujuan untuk membunuh pasien secara langsung, tanpa proses yang lama. Tujuan lain dari tindakan ini adalah mempercepat proses penghentian penderitaaan, dengan asumsi bahwa kematian merupakan jalan terakhir
untuk mengakhiri
penderitaan dan penyebaran penyakit. C. Motif-motif Terjadinya Euthanasia Tindakan euthanasia dilakukan, karena penderitaan akibat penyakit yang sulit disembuhkan. Pilihan untuk melakukan euthanasia diambil, setelah hasil perawatan
pasien
tidak
menunjukan
jalan
lain
untuk
menghilangkan
penderitaanya, tindakan itu sendiri tidak dilakukan serta merta atau secara sembarangan, melainkan sebagai akibat dari beberapa sebab sebagai berikut : 1. Kondisi pasien Kondisi ini dapat diklasifikasikan pada beberapa kondisi yakni :35
35
As-Syaukani, Politik, HAM, …………………, h. 179
a. Ketidakmampuan pasien untuk bertahan terhadap penderitaan, yakni ketidakmampuan untuk mengatasi rasa sakit akibat penyakit berat, rasa sakit yang luar biasa dan ketakutan terhadap cacat. b. Kekhawatiran pasien terhadap beban ekonomi yang tinggi dari biaya pengobatan karena untuk penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan biaya pengobatannya sangat tinggi, bahkan tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat bawah. Bila perawatan terus dibiarkan, maka biaya semakin berat ditanggung oleh pihak keluarga, sementara harapan untuk sembuh atau hidup pasien sangat tipis, bahkan tidak ada. c. Ketakutan pasien terhadap derita menjelang kematian, karena beban derita fisik dan psikologis sangat berat, sehingga ada kesan bahwa proses menuju mati akan sangat sulit dan menyakitkan. Bila ini dibiarkan, maka diasumsikan bisa terjadi gangguan jiwa pasien. 2. Situasi tenaga medis Terjadinya tindakan euthanasia bisa juga didasari oleh situasi tenaga medis yaitu36 ; a. Tenaga medis memandang proses pengobatan sudah tidak efektif, yakni sudah melalui proses pengobatan dalam jangka waktu lama, tetapi kondisi pasien belum menunjukan perubahan. Hal ini dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari mal praktek yang bisa dituduhkan kepada tenaga medis. 36
Crisdiono, Dinamika Etika ……., h. 188
b. Perasaan kasihan terhadap penderitaan pasien, biasanya muncul dari pihak keluarga, mengingat kondisi pasien yang sulit diobati, kondisinya akan sangat menyedihkan dan mengingat pula penderitaan luar biasa yang akan dialami oleh pasien dalam jangka waktu yang panjang. c. Tenaga medis mengabulkan permintaan pasien atau keluarga untuk menghentikan pengobatan, penghentian ini dilakukan karena tenaga medis memiliki pandangan bahwa pihak keluarga sudah tidak bisa lagi bersabar atas waktu pengobatan yang lama. Berdasarkan sebab-sebab yang diuraikan diatas, kematian yang bersifat sukarela ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus benar-benar sebagai sebuah alternative final dan mendapat legalitas hukum yang ditempuh melalui jalur peradilan. Bila pengadilan yang mengijinkan tindakan euthanasia, maka tindakan pembunuhan ini menjadi legal dan mendapat legalitas secara hukum. Namun perlu juga diteliti tentang latar belakang pengajuan permohonan, bisa jadi ada motif kejahatan di balik permohonan euthanasia, misalnya sengketa warisan, dengan maksud melancarkan maksud pemohon. D. Euthanasia Dalam Ilmu Kedokteran Euthanasia dalam dunia kedokteran merupakan usaha sebuah medis yang dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran penyakit, setelah usaha-usaha penyembuhan secara medis gagal menyelamatkan pasien. Tindakan euthanasia dilakukan kepada pasien yang tidak memiliki harapan untuk sembuh secara medis, sehingga kemungkinan bisa bertahan hidup sangat kecil, bahkan tidak ada
sama sekali. Selain itu, euthanasia juga dilakukan untuk menghilangkan penderitaan yang panjang akibat penyakit yang tidak bisa diobati. Dalam prakteknya tindakan euthanasia dilakukan kepada pasien-pasien penderita penyakit akut dan menular. Usaha ini dilakukan dengan memberikan suntikan mematikan, seperti halnya
yang dilakukan dalam hukuman mati.
Pemberian suntik mati dilakukan setelah diagnosa dokter dan pemeriksaan medis intensif menunjukan keharusan untuk menghilangkan nyawa pasien. Keputusan melakukan euthanasia dilakukan untuk menghilangkan penyakit dan penderitaan pasien, disamping untuk menghindari penyebaran penyakit yang akan menular kepada banyak orang. Selain itu, euthanasia dilakukan dengan alasan bahwa harapan untuk sembuh secara medis dan tidak ada lagi, sehingga biaya untuk pengobatan terbuang dengan percuma. Beberapa penyakit berat seperti kanker maupun leukemia merupakan beberapa penyakit yang sulit diobati, sehingga sangat berpotensi menjadi alasan tindakan euthanasia. Alasan juga berhubungan dengan pemberian perhatian kepada pasien yang masih memiliki harapan disembuhkan, sehingga banyak pasien lain yang bisa diselamatkan dan tidak terganggu oleh pasien yang menderita penyakit berat. Pelaksanaan euthanasia itu sendiri mengacu pada hasil diagnosa kedokteran dan izin dari pengadilan, dengan menunjukan bukti-bukti yang bisa melegalisasi tindakan euthanasia.37
37
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Eutanasia.html diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:41WIB
Dalam kode etik kedokteran di Indonesia, setiap dokter memiliki kewajiban untuk terus berusaha melindungi dan mempertahankan hidup makhluk insani (pasien). Dalam kondisi apapun nyawa dan kehidupan manusia tetap harus dipertahankan dengan menerapkan berbagai perawatan dan perlakuan medis kepada pasien hingga pada titik akhir menjelang kematian. Dengan demikian hak pasien untuk mendapat perawatan medis hingga tuntas, sampai pada akhirnya meninggal secara alamiah.38 Berdasarkan kode etik kedokteran di atas, maka seorang dokter tidak bisa melakukan tindakan euthanasia dalam kondisi apapun. Ia berkewajiban untuk terus melakukan tindakan medis hingga akhirnya pasien mati secara wajar, bukan dengan tindakan kesengajaan menghilangkan nyawa manusia. Pembunuhan untuk alasan menghilangkan penderitaan pasien dan penyebaran penyakit merupakan tindakan yang melanggar kode etik kedokteran. Euthanasia dalam pandangn kode etik kedokteran tersebut hanyalah sebuah tindakan lepas tangan atas tanggung jawab medis dan kemanusiaan untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Selain itu euthanasia yang dilakukan melalui diagnosa medis semata bisa membuka jalan bunuh diri. Bisa jadi, dengan mengacu pada suatu kasus euthanasia, pihak-pihak yang berkepentingan akan kematian seseorang akan dengan mudah melaksanakan niatnya.
38
Yusuf, Etika Kedokteran …….., h. 13
Sesuai dengan kode etik kedokteran, maka seorang dokter harus mempertahankan nyawa manusia dari tindakan bunuh diri, karena penghormatan terhadap hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam kondisi ini, dokter mimiliki kesempatan dan kewenangan untuk memberikan harapan hidup kepada pasien dengan melakukan perawatan yang intensif, sungguh-sungguh dan ikhlas, sehingga pasien kembali menemukan semangat untuk bertahan hidup. Kesetabilan mental pasien menjadi salah satu bagian dari terapi psikologis dalam dunia kedokteran untuk normalisasi fungsi saraf. 39 Sedangkan keputusan dokter untuk mengabulkan permintaan pasien merupakan tindakan yang membuka peluang pembunuhan, karena dengan ijin tersebut, maka pembunuhan akan terjadi melalui euthanasia. Euthanasia tanpa seijin pengadilan bisa dikategorikan dalam sebuah pembunuhan, mengingat tindakan ini akan menghilanghakan nyawa pasien yang kemungkinan masih bisa bertahan hidup dengan perawatan dalam jangka waktu yang masih lama. Harapan hidup yang masih tersisa ini menjadi terbuang sia-sia, akibat keputusan yang tergesa-gesa sehubungan dengan status medis pasien. Berkaitan dengan kode etik kedokteran, secara moral dokter dan tenaga medis lainnya memiliki tugas dan kewajiban untuk bersikap professional dalam melakukan perawatan terhadap pasien, bersikap tulus ikhlas dalam melayani
39
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/09/22/brk,20040922-24,id.html diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15 WIB
pasien serta berkonsultasi dengan dokterlain dalam penanganan pasien. 40 Selain itu, dokter juga perlu memberikan kesempatan kepada pasien untuk berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadah. Konsultasi dengan dokter lain dilakukan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan lain berhubungan dengan harapan kesembuhan dan harapan hidup yang mungkin tidak bisa ditemukan oleh dokter yang bersangkutan. Bila hasil konsultasi antar dokter tetap sama, maka tindakan apapun bisa dilakukan, dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara konsultasi dengan keluarga dan penasehat merupakan dukungan moral bagi pasien untuk bertahan dalam kondisi terancam oleh penyakit. Euthanasia melalui diagnosa dokter bisa berdampak negatif, yakni membuka peluang bagi pelanggaran hukum. Bukti medis bisa dijadikan alat bukti bagi pengadilan untuk mengabulkan permohonan euthanasia, karena dokter merupakan saksi ahli dalam proses pengadilan. Dengan bukti dan kesaksian ahli, pihak yang menghendaki kematian pasien dengan sangat mudah memperoleh ijin pengadilan, sehingga nyawa manusia tidak lagi berharga. Kemudahan dalam pengmbilan tindakan euthanasia akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi medis, rumah sakit maupun dunia kedokteran secara umum. Lembaga
40
h. 12
kesehatan
yang
diharapkan
bisa
menjadi
benteng
untuk
Dr. Wila Chandra Wila Supriyadi, S.H, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001,
mempertahankan kehidupan manusia tidak lagi dipercaya, karena justru di lembaga ini, hak hidup tidak dihormati.
BAB IV HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM SERTA KAITANNYA DENGAN EUTHANASIA
A. Hak Hidup Menurut Hak Asasi Manusia dan Kaitannya Dengan Euthanasia. Menurut hak asasi manusia hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dimiliki manusia untuk melakukan proses kehidupan. Perlindungan atas hak ini diberikan dalam segala aspek yang berkaitan dengan usaha manusia untuk membangun kehidupan, mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan di lingkungan sekitarnya. Sebagai karunia Allah, hak hidup diberikan kepada semua umat manusia, bahkan seluruh makhluk Allah.41 Seluruh konstitusi dan hukum negara-negara di dunia memberikan jaminan perlindungan atas hak hidup, walaupun dalam penerapannya seringkali terkesan membatasi bahkan menghilangkan hak hidup manusia itu sendiri. Akan tetapi tindakan-tindakan itu tidak terjadi setiap saat dan bisa dijeneralisir sebagai sebuah kondisi untuk menjustifikasi ketidakadaan perlindungan atas hak hidup. Deklarasi PBB untuk hak asasi manusia, setelah melaui proses panjang, pada akhirnya berhasil menyusun seperangkat aturan yang menjamin sepenuhnya hak bagi setiap orang untuk menjalankan dan mempertahankan kehidupan. Hidup sebagai kodrat asasi manusia menjadi inti dari keseluruhan hak asasi manusia 41
Maulana Abul A’la Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, ( Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h. 12
yang diakui oleh seluruh bangsa di dunia. Seluruh Negara yang meratifikasi Piagam Hak Asasi Manusia menjamin sepenuhnya hak hidup bagi setiap warganya dengan menetapkan berbagai aturan hukum yang melindungi mereka dari tindakan yang menggangu hak tersebut.42 Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan alat hukum untuk mengatasi kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak hidup. Selain itu pemberlakuan Undang-undang No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merupakan sebuah acuan bagi Komnas HAM dan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menindak para pelaku pelanggar hak asasi manusia. Kedua perangkat hukum ini bisa digunakan untuk menjamin hak hidup warga negara Indonesia. 43 Jaminan terhadap hak hidup sejak bayi yang belum lahir menjadi bagian dari kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia. Aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tertentu demi hukum masih dapat diijinkan, sehingga tidak berlaku sanksi hukum atas para pelakunya, karena hanya pada hal tersebut itulah hak hidup dibatasi. Pembatasan secara hukum ini dilakukan melalui proses formal penyidikan dan penyelidikan, hingga akhirnya diputuskan dalam sidang pengadilan pidana.
42
Drs. Dalizar Putra, Hak asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, ( Jakarta; PT. Al-Husna Zikra, 1995), h. 33 43
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan ( Civic Educatian ) “Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ( Jakarta; Prenada Media, 2003) h. 230.
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hak hidup berlaku sejak manusia dalam kandungan hingga akhir hayat.44 Tindakan –tindakan diskriminasi dan menghilangkan hak hidup hanya bisa terjadi, jika seseorang menggangu hak hidup orang lain yang diputuskan
berdasarkan
keputusan
hukum.
Tindakan-tindakan
yang
mengakibatkan tertanggunya hak hidup, bahkan hingga kehilangan nyawa akan mendapatkan bebagai sanksi dan hukuman, sesuai dengan jenis dan tingkatan tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Jenis dan kreteria hukuman bergantung pada aturan hukum dan ketetapan hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Hak hidup adalah hak untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Hak ini merupakan hak asasi paling esensial dari keseluruhan hak yang dimiliki oleh manusia. Termasuk dalam kategori ini adalah hak untuk menjalani kehidupan yang layak di manapun dan kapanpun. Hak ini berhubungan dengan kemerdekaan manusia untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan dari pihak manapun, termasuk didalamnya tindakan diskriminasi, rasialisme dan dehumanisme. Perlindungan atas hak hidup menjadi tanggung jawab semua orang, karena tindakan gangguan terhadap hak hidup akan mengancam hak asasi manusia secara keseluruhan. 45
44
http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/HumanRight/uud39.htm diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB 45
Maududi , Hak Asasi …………., h. 21-23.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan meneruskan kehidupannya dengan keturunannya serta mempertahankan kehidupannya secara wajar dan bebas. Dalam hak ini terkandung makna hak bagi setiap individu manusia untuk melakukan berbagai usaha, baik secara individual maupun kolektif untuk mempertahankan hidup, melakukan sosialisasi dan meningkatkan kualitas kehidupannya, sehingga bisa menjadi manusia yang beradab dan bermartabat. Hak individu ini kemudian bersentuhan dengan kewajiban untuk menghormati hak orang lain yang memiliki hak yang sama.46 Namun demikian, hak hidup seseorang tidak berarti mengabaikan hak orang lain, sehingga ada aturan-aturan yang membatasi penggunaan hak hidup. Kewenangan dan kekuasaan hukum pengadilan merupakan pembatas dalam penggunaan hak hidup. Jika penggunaan hak hidup sudah menggangu orang lain atau melanggar ketentuan hukum, maka berlaku ketetapan hukum sesuai dengan jenis dan tingkat kesalahan yang dibuat. Sebagi sebuah negara hukum, konstitusi dan hukum Indonesia memberikan jaminan penuh terhadap hak hidup manusia sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam sumber hukum ini, hak hidup mutlak harus dihormati sebagai sebuah hak yang melekat pada
46
Putra, Hak Asasi …………, h. 35
setiap warga negara Indonesia. Sanksi hukum akan berlaku jika hak tersebut dirampas melalui kriteria tindakan melanggar hukum yang ditetapkan. Bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum hak asasi manusia, maka seseorang atau pihak-pihak yang merasa terganggu hak hidupnya dapat mengajukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau Pengadilan Hak Asasi Manusia. Bila terbukti bersalah maka pihak pengadilan wajib mengadili sesuai dengan ketentuan undang-undang hak asasi manusia.47 Hak asasi manusia memiliki tempat sebagai bagian utama hak asasi manusia sebelum hak-hak lainnya. Sebagai hak utama, maka perlindungan dan jaminan atas hak ini menjadi bagian dari konstitusi pada banyak negara yang meratifikasi piagam ham PBB, termasuk Indonesia, yakni pada Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. jaminan konstitusi dan perundang-unangan ini menunjukan komitmen bangsa Indonesia untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.48 Setiap orang memiliki hak untuk hidup, mempertahankan diri dan meningkatkan taraf kehidupannya. Dalam undang-undang ini, hak hidup tidak hanya mencangkup persoalan kebebasan untuk bernafas dan menjalani kehidupan, tetapi di dalamnya juga mencakup hak untuk menungkatkan kualitas kehidupan yang layak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Deklarasi internasional
47
http://www.komnasham.go.id/home/index.php?/15 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:22 WIB 48
ICCE, Pendidikan Kewarganegaraan ............., h. 222
tentang hak asasi manusia, menyatakan bahwa bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan keselamatan. Jaminan akan hak hidup manusia akan berdampak pada realisasi hak lain yang dimiliki oleh manusia, karena inti dari hak manusia adalah hidup. Hak-hak asasi manusia lainnya akan berjalan apabila hak hidup telah bisa direalisasikan.49 Hak kehidupan ini pada gilirannya akan melahirkan beberapa kewajiban, baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluk. Kewajiban tersebut adalah memberikan jaminan atas kehidupan manusia dari penganiayaan, diskriminasi dan pembunuhan. Negara sebagai kekuatan hukum memiliki kewajiban memberikan jaminan kepada setiap warganya atas hak hidup tersebut. Melalui undang-undang dan lembaga peradilan, Negara memiliki kekusaan untuk mencegah perbutan-perbuatan yang menganggu hak hidup, baik oleh diri orang yang bersangkutan maupun pihak-pihak lain. Euthanasia, baik aktif maupun pasif, dalam persfektif Hak Asasi Manusia merupakan sebuah usaha untuk menghilangkan hak hidup manusia. Asumsi ini didasari oleh hakikat euthanasia itu sendiri yang menghilangkan nyawa manusia dengan alasan akan merugikan orang lain, terutama keluarga. Dalam hal ini tidak ada jaminan atas perlindungan hak
49
hidup
seseorang, sehingga usaha
Hendardi, Hak Hidup dan Hukuman Mati, dalam http://www.imparsial.org/publication/index.php?year=2006&month=4&action=READ&lang=id8859&id=publication444c81d0786b2 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:03 WIB
menghilangkan nyawanya menjadi tidak benar. Sementara naluri manusiawi setiap orang adalah mempertahankan kehidupan dengan berbagai cara.50 Secara moral dokter dan tenaga medis lainnya memiliki tugas dan kewajiban untuk bersikap profesional dalam melakukan perbuatan terhadap pasien, bersikap tulus ikhlas dalam melayani pasien serta berkonsultasi dengan dokter lain dalam penanganan pasien. Selain itu, dokter juga perlu memberikan kesempatan kepada pasien untuk berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadah. Institusi kesehatan memiliki tugas mulia sebagai lembaga yang berusaha untuk menghilangkan penyakit dan penderitaan pasien, disamping untuk menghindari penyebaran penyakit yang akan menular kepada banyak orang. Pelaksanaan euthanasia dilakukan melalui proses yang bisa melegalisasi tindakan euthanasia.51 Selain itu seorang dokter maupun tenaga medis lainnya memiliki tugas untuk memberikan pengobatan intensif sehingga penderita tidak kehilangan harapan untuk sembuh secara medis. Berkenaan dengan biaya pengobatan, dengan bantuan dokter, bisa mengusulkan kepada pihak-pihak yang memilki kewenangan untuk memberikan bantuan. Hal ini berlaku untuk beberapa penyakit
50
Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 21:15 WIB 51
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=612&Itemid=2 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 19:17 WIB
yang sulit diobati, seperti kanker atau leukemia, sehingga tidak ada potensi kearah tindakan euthanasia. Pengambilan keputusan atas permohonan euthanasia perlu dilakukan dengan hati-hati, mengingat kemungkinan ada motif lain dibalik permohonan tersebut. Motif ini tidak menutup kemungkinan bertentangan dengan hukum. Bila keputusan diambil secara gegabah, bisa jadi keputusan tersebut akan menghilangkan nyawa manusia tidak berdosa. Dalam prakteknya, tindakan euthanasia dilakukan dengan memberikan suntikan mematikan, seperti halnya yang dilakukan dalam hukuman mati. Pemberian suntikan mati ini dilakukan setelah diagnosa dokter dan pemeriksaan medis intensif menunjukan keharusan untuk menghilangkan nyawa pasien. Sebagai penghormatan kepada hak asasi manusia yag dilindungi undangundang,
pihak
pengadilan sepantasnya
memberikan rekomendasi untuk
melanjutkan perawatan pasien dengan bantuan negara. Keputusan ini memiliki dasar hukum konstitusi dan undang-undang, yakni bahwa setiap warga negara berhak untuk memiliki hak hidup dan mempertahankan kehidupannya. Di samping itu, negara juga memiliki kewajibann untuk melindungi warga negara yang tidak berdaya dari ancaman gangguan terhadap hak hidupnya, dalam hal ini dari tindakan euthanasia. B. Hak Hidup Menurut Hukum Islam dan Kaitannya Dengan Euthanasia. Menurut ajaran Islam, hidup dan mati manusia ada di tangan Tuhan yang Dia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan.
Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada dalam rahim ibunya.52 Dalam al-qur'an menerangkan tentang terjadinya kehidupan manusia dimulai dari ditiupkannya ruh kedalam diri manusia dan mulai dari situlah kehidupan manusia dimulai. Oleh karenanya hak hidup telah melekat padanya sebagimana firman Allah swt ;
H1J1-[9i .W*U.E =\l+ C JKE fjk⌧Y ? /'CD ) ا%m 9i H1J.( :.'.E ( ٢٩ :١E " Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud ". ( Q.S. Al-Hijr / 17 : 29 )
\C n ?: PTRo 69/0( pq: \9/0( )*"r+ 30 I BC %aE: ( LCZ a1-sSeI ( ٨E : ١٧ / ⌧@ ) ا" 'اءK*. tu*' " Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". ( Q.S. Al-Isra' / 17 : 85 ) Hak untuk hidup merupakan salah satu hak yang sangat dilindungi dalam ajaran Islam. Berbagai ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunah menegaskan dukungan dan jaminan atas hak hidup manusia, termasuk didalamnya hukum-hukum yang mengatur tentang larangan bagi sesama manusia
52
Putra, Hak Asasi ………….., h. 33.
untuk merugikan salah satu pihak, termasuk didalamnya menghilangkan nyawa manusia.53 Berdasarkan pandangan di atas, pemahaman terhadap legalitas euthanasia seharusnya dilakukan secara hati-hati. Walaupun sifatnya sukarela, euthanasia tetap terindikasi sebagai sebuah pembunuhan terencana yang dilakukan atas dasar keinginan dari seseorang atau pihak-pihak tertentu yang menginginkannya. Euthanasia kemudian harus dipandang dalam konteks kemanusiaan, tidak hanya pada sisi medis. Hal ini layak dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban akibat keputusan medis yang tergesa-gesa. Alasan bagi kemaslahatan umat manusia lain tidak sertamerta menjadi alasan untuk tindakan pembunuhan, karena kehilangan nyawa seseorang akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia lain. Tindakan euthanasia ini sendiri harus dipahami oleh masyarakat, sebagai mana tindakan aborsi, karena euthanasia tetap dipandang sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Sikap dokter yang merekomendasikan atau melakukan tindakan euthanasia merupakan sikap putus asa. Dari sudut pandang medis, euthanasia yang dilakukan secara sembarangan melanggar kode etik kedokteran untuk menyembuhkan pasien yang telah jadi tanggung jawab mereka. Hak pasien untuk mendapatkan perawatan semaksimal mungkin, bahkan jika ada kesalahan dalam perawatan medis, pasien bisa
53
Dr. Syekh Syaukat Hussain, Hakasasi Manusia dalam Islam, ( Jakarta; Gema Insani Press, 1999), h.60
menuntut dokter maupun pihak rumah sakit ke pengadilan atas kelalaian mereka.54 Berdasarkan pemaparan tersebut, maka inti dari hak hidup adalah mempertahankan kehidupan seseorang. Euthanasia dengan alasan untuk menghindari kerugian pada pihak lain tetap tidak bisa menjadi pembenaran untuk melanggar hak hidup seseorang. Kematian sukarela (mercy death) dilakukan sebagai sebuah usaha untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar dengan mengorbankan satu orang, tetap menjadi tindakan yang tidak manusiawi. Islam menempatkan hak hidup manusia sebagai sebuah anugerah yang tidak boleh diganggu oleh sesama makhluk, kecuali oleh Allah swt sebagai Sang pencipta. Salah satu dari tujuan hukum Islam ( G'یH ) ﺹ اadalah memelihara jiwa kehidupan manusia ( *+ اJ+( ).55 Pemeliharaan jiwa sebagai bentuk hak hidup manusia merupakan hak paling mendasar dari tujuan pemberlakuan hukum Islam. Jinayah memberikan rambu-rambu hukum tentang aturan hak hidup yang harus diikuti oleh seluruh umat Islam yang akil baligh. Ketetapan hukum Islam sendiri hanya berlaku bagi seseorang atau masyarakat yang memahami dan menerima hukum Islam sebagai hukum yang mengatur tata kehidupan mereka. Hukum Islam memberikan perlindungan penuh kepada manusia untuk menjalankan kehidupan dan mempertahankan nyawa. Hak untuk menghilangkan 54
Dr. Wila Chandra Wila Supriyadi, S.H, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001,
h. 13 55
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam “Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam”, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002 cet ke-2, h. 135
kehidupan atau nyawa manusia merupakan milik Allah dan tidak ada seseorangpun yang memiliki hak untuk menghilangkan nyawa, termasuk dirinya sendiri. Berbagai ketentuan hukum dalam fiqh jinayah, yang berkaitan dengan pembunuhan memberikan berbagai ketetapan sebagai perlindungan Allah terhadap hak hidup manusia. Bentuk hukuman mati yang diberikan kepada pelanggaran hak hidup pada hakekatnya melindungi nyawa manusia lain, karena dengan pemberlakuan hukum pidana Islam, maka akan banyak nyawa atau kehidupan manusia yang akan terlindungi dan terselamatkan. Hukum qishash yang dilaksanakan dengan benar sesuai dengan sumber hukum peradilan Islam akan membantu manusia untuk mendapat perlindungan dan jaminan atas hak hidup yang diberikan Allah kepada manusia dan seluruh makhluk di muka bumi.56 Seseorang minta untuk dibunuh, kemudian ia dibunuh, maka berlaku hukuman untuk pelaku, karena ia melanggar hak hidup. Pembunuhan ini bisa dikategorikan
dengan
pembunuhan
sengaja,
karena
pelaku
melakukan
pembunuhan dalam keadaan sadar. Ini juga yang berlaku untuk pembunuhan pada kasus euthanasia, di mana korban secara sukarela meminta untuk dilakukan pembunuhan atas dirinya sendiri. Hukuman tentunya pantas diberikan kepada
56
Drs. Makhrus Munajat, M.Hum, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, ( Jogjakarta; Logung Pustaka, 2004 ), h. 131
orang yang meminta dan melaksanakan.57 Qishash yang disebut dalam al-qur’an merupakan perlindungan hukum yang diberikan kepada manusia, karena dengan pemberlakuan qishash akan mencegah pelanggaran terhadap hak hidup manusia, walaupun qishash mengancam jiwa manusia. Dalam hal mempertahankan hak hidup, Allah menetapkan berbagai aturan berkaitan dengan perlindungan terhadap hak ini sebagai hak yang diberikan Allah kepada manusia sehingga tidak dapat gangguan dari pihak lain, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Aturan dalam jarimah pembunuhan, dengan sanksi hukum untuk masing-masing pelanggaran hukum yang termasuk dalam lingkup fiqh jinayah memberikan perlindungan hukum dengan ketentuan-ketentuan tegas terhadap tindak kejahatan tersebut.58 Ancaman hukuman ini berlaku bagi semua orang tanpa terhalang oleh perbedaan fisik dan status. Siapapun bisa mendapat hukuman ini bila terbukti bersalah. Dalam surat Al-Isyra’ Allah menyatakan ;
v[ Yw( :1- '.S u tu*' z
y[09J =%x( }q-: C p{|9. (*5 E9:9 B.'.E ~:Bf }⌧.E ~ .E6i J4!(( pq-.' ( )* )30T1o
57
http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/eutanasia-hak-untuk-mati/ diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:13 WIB 58
A. Djazuli, Fiqh Jinayah “Upaya Menaggulangi Kejahatan”, ( Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 143
~ )ا" 'اء+& g⌧ H1J?*' (٣٣ : ١٧/ “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan´ (QS. AlIsara’/17 : 33) Maksud dengan alasan yang benar adalah hukuman mati berupa; qishash pada jarimah pembunuhan sengaja, rajam pada pezina muhsan, hukuman pelaku riddah, dan hukuman hirabah. Hukuman ini tidak bertentangan dengan konsep HAM, karena ketentuan pelanggaran hak hidup yang dianut oleh HAM adalah penghilanagn nyawa yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan hukuman di atas merupakan hukuman ketentuan Allah semata yang berarti bahwa nyawa manusia yang menentukan berakhirnya hanya Tuhan semata. Dan ini tidak sama sekali melanggar hak hidup yang dianut konsep HAM. Euthanasia sebagai kematian sukarela yang dilakukan untuk mengakhri penderitaan seseorang akibat penyakit tidak bisa disembuhkan harus dipahami sebagai pilihan paling akhir.59 Tindakan ini dilakukan dalam bentuk yang menyerupai bunuh diri, baik yang dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Keputusan ini harus diambil sebagi sebuah pilihan untuk mengurangi beban yang dialami oleh seseorang. Euthanasia sebagai sebuah usaha menghilangkan hak hidup manusia dengan sukarela merupakan sebuah perbuatan 59
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Eutanasia.html diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:41WIB
yang bisa masuk dalam kategori perbuatan melanggar ketentuan Allah mengenai kehidupan dan kematian yang nota bene hanya milik-Nya. C. Perbandingan Hukum Euthanasia Menurut Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam. Pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang maupun kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesain hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.60 Dengan definisi di atas pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijkannya. Pelanggaran hak asasi manusia dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu ;61 1. Pelanggaran hak asasi manusia berat meliputi kejahatan genoside dan kejahatan kemanusiaan, dan
60
ICCE, Pendidikan Kewarganegaraan ............., h. 227.
61
Ibid, h. 228
2. Pelanggaran hak asasi manusia ringan meliputi selain dari pelanggaran HAM berat. Yang dimaksud dengan kejahatan genosida sebagaimana tertuang dalam Statua Roma dan Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompk, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya, melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok, memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.62 Sedangkan kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
62
WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 19:21
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.63 Untuk melihat perbuatan adalah suatu pelanggaran hukum maka harus dilihat dari unsur perbuatan itu sendiri, dalam hukum pidana sebuah perbuatan dapat dikatakan melanggar hukum bila memenuhi tiga unsur yaitu ;64 1. Unsur formil yaitu adanya ketentuan yang mengatur perbuatn tersebut. 2. Unsur materil yaitu adanya perbuatan yang melanggar ketentuan atau undangundang, dan 3. Unsur moril yaitu pelaku perbuatan itu sendiri. Masalah euthanasia merupakan suatu pelanggaran dengan alasan menghilangkan atau melanggar hak hidup yang tertuang dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran ini termasuk dalam kategori pelanggaran ringan atau biasa, yaitu dengan ancaman hukuman yang tertuang dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dikarenakan pelanggaran ini bukan pelanggaran kejahatan kemanusiaan dan genosida yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.65
63
http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_kemanusiaan diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB 64
Pipin Syarifin, SH, Hukum Pidana di Indonesia, ( Bandung; CV Pustaka Setia, 2000 ), h.
51 65
http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Nomor_20_Tahun_2000 diakses pada tanggal 18 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB
Dalam kitab undang-undang hukum pidana masalh euthanasia terdapat pada pasal 344 dan 345 BAB XIX tentang kejahatan terhadap nyawa. Kedua pasal ini secara jelas menetapkan bahwa pembunuhan dalam segala bentuk tetap dilarang kecuali atas dasar hukum. Pasal 344 KUHP ”barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan penjara dua belas tahun”. Pasal 345 KHUP ” Barang siapa mendorong orang lain untuk bunuh diri menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan hukuman empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.66 Dikaitkan dengan euthanasia maka euthanasia termasuk dalam pasal ini, yaitu memenuhi unsur formil yaitu melanggar pasal 344 atau 345, unsur materil yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan permintaan pasien itu sendiri, unsur moril yaitu pelaku adalah tenaga medis. Tindakan euthanasia berdampak pada hilangnya nyawa manusia. Tindakan ini jelas melanggar hukum, sehingga kepada pelaku berlaku ketentuan hukuman. Penentuan jenis hukuman yang akan dikenakan pelaku tergantung kepada keputusan pengadilan setelah melalui proses peradilan dan mendengarkan keterangan dari saksi dan melihat bukti-bukti yang ditemukna dalam proses peradilan. Masjfuk Zuhdi mengungkapkan bahwa euthanasia tetap merupakan perbuatan melanggar hukum, walaupun dilakukan secara sadar oleh dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sementara untuk perbuatan yang dibantu oleh
66
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, ( Jakarta; Rieneka Cipta, 2005 ) h. 135
orang lain, maka sanksi hukum akan berlaku bagi orang yang terlibat dalam tindakan melanggar hukum tersebut. Dengan demikian, euthanasia dengan apaun alasannya dan bentuknya merupakan sebuah delik hukum pidana yang memiliki konsekuensi hukum.67 Hukuman untuk pembunuhan pada umumnya berlaku hukum qishash, diyat dan ta’zir. Ketiga jenis hukum pidana ini berlaku berdasarkan kategori pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku. 68 Qishash berlaku untuk pembunuhan disengaja menghilangkan nyawa manusia, qishash merupakan perlindungan hukum yang diberikan kepada manusia, karena dengan pemberlakuan qishash akan mencegah gangguan terhadap hak hidup seseorang, walaupun qishash mengancam jiwa manusia. Akan tetapi qishash tidak bisa berlaku jika ada pemaafan dari pihak keluarga atau pihak lain yang menghendaki perbuatan pelaku untuk dimaafkan. Hukuman pengganti yaitu berupa diyat atau ta’zir sebagai hukumannya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuhan atas dasar kerelaan korban tidak diperbolehkan, sanksi hukum untuk pembunuhan atas ijin korban adalah diyat bukan qishash. Dengan alasan bahwa dalam kasus pembunuhan ini ada unsur yang meringankan, yakni kerelaan korban.69
67
Prof. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, ( Jakarta; PT Gunung Agung, 1996) h. 164
68
Ahmad Hanafi, Asas - asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta; Bulan Bintang, 2005), h. 207
69
Abd Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, Jilid II( Beiru; Al-Muassasah, tanpa tahun), h.441
Pendapat yang berbeda diberikan oleh para ulama Syafi’iyah mengenai hukuman pembunuhan atas kerelaan korban yaitu tidak mendapat hukuman, karena unsur kerelaan korban merupakan unsur yang dapat menghilangkan hukuman. Pelaku pembunuhan terbebas dari hukaman qishahs tetapi dikenakan hukuman yang diberikan oleh ulul amri70, karena ia hanya melakukan apa yang diminta korban secara sukarela. Alasan ini dikemukakan dengan asumsi bahwa bisa jadi permintaan tersebut dilakukan secara paksa, sementara pelaku tidak ada maksud untuk membunuh korban. Pembunuhan atas ijin dari korban sama saja seperti bunuh diri. Bunuh diri dilarang dengan alasan apapun, misalnya seseorang penderita aids atau kanker tahap akhir yang sudah tak ada harapan sembuh secara medis dan sudah kehabisan harta untuk biaya pengobatannya, Islam tetap tidak memperbolehkan si penderita menghabisi nyawanya dengan tangannya sendiri ataupun dengan bantuan orang lain, sekalipun dokter dengan cara memberikan suntikan atau obat yang mempercepat kematiannya, atau dengan cara menghentikan segala pertolongan terhadap penderita termasuk pengobatannya. Sebab penderita yang menghabisi nyawanya sendiri atau dengan bantuan orang lain itu berarti ia mendahului atau melanggar kehendak dan wewenang Tuhan, padahal seharusnya ia bersikap sabar dan tawakal menghadapi musibah.71
70
Djazuli, Fiqh Jinyah ………….., h. 157
71
Zuhdi, Masail …………, h. 163
Nabi Muhammad Saw, bersabda ; ' أﺹ نQ تS اP أ(آS " ی: P وL $ اM ﺹ$ ل ر ل ا: لL $ اMN أ* رLو 72 ( L + ) M 'اT اةU) اذا آ, وM 'اT اةU آM( أPD ا: 4L " آن Dari Anas R.A. berkata : Rasulullah saw bersabda ” janganlah seseorang diantar kalian mengangan-angankan kematian karena musibah yang menimpanya, jikalah dia harus menginginkan, maka katakanlah : ” Ya Allah hidupkanlah aku jika kehidupan itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku” (Muttafaq ’Alaih) Pemikir Islam Tarikh al-Bishry menyatakan bahwa euthanasia dilarang oleh semua agama. Menurutnya, euthanasia adalah konsep baru dan tidak alami yang ditolak secara luas, berapa lama usia seseorang semata-mata ditentukan oleh tuhan dan tidak seorangpun boleh ikut campur tangan dalam proses kehidupan dan kematian.73 Ulama muslim Yusuf Qordawi menyatakan bahwa euthanasia positif (mercy killing) dilarang dalam ajaran agama Islam ketika ia juga meliputi tindakan positif sebagian ahli medis untuk mengakhiri hidup pasien dan mempercepat kematiannya melalui injeks kematian, senjata tajam atau dengan yang lainnya. Ini adalah pembunuhan dan pembunuhan adalah dosa besar dalam Islam, sebagai agama kasih sayang yang murni.74
72
Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarif An- Nawawi, Riyadus Shalihin, (Beirut; Muassasah Ulum al-Qur’an, 1990) h.53 73
Ismail, Tinjauan Islam Terhadap Euthanasia, ( Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h. 22
74
Ibid, h. 23
KH. AR Fachruddin menyatakan bahwa euthanasia untuk menolong pasien adalah ditolak dengan tegas, orang koma atau dalam keadaan kritis tidak merasa apa-apa, dan proses kematian secara ini sama saja dengan putus asa, sedangkan dalam Islam putus asa itu dilarang.75 Dalam al-Qur'an Allah melarang hambanya untuk berputus asa apa yang telah ia berikan kepada hambanya ;
9]K ;: 7q: )"S :EI C '.S }u 7*
FTfY?I wg*' < P [+ L_1? 0Y :{ H1J?*' < :!.{ / 'W ) اxJ[0( +fY ( ( E٣:٣٩ " Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". ( Q.S. Az-Zumar / 39 : 53 ) KH Bambang Al-Bar menyatakan bahwa proses kematian bukan mati, seorang koma lalu disuntik dan hilang nyawanya, maka euthanasia itu menjadi penentu kematian, menghilangkan nyawa, euthanasia bukan upaya penyembuhan tetapi pelenyapan kehidupan. Oleh karenanya euthanasia hukumnya haram. 76
75
Imron Halimi, Euthanasia; Cara Mati Terhormat Orang Modern, ( Semarang; Ramadhani, 1986), h. 118 76
Bambang al-Bahr; Fenomena Kedokteran Dimata Umat Islam, ( Jakarta; Graha Medika, 1980), h. 132
Tindakan
manusia
yang
mengambil
hak
Allah
akan
berakibat
diberikannya sanksi dan hukuman, bahkan hingga hukuman mati. Hukum Islam yang menghendaki tindakan hukum secara tegas kepada pelaku pembunuhan, sehingga kasus pembunuhan bisa dicegah dan diatasi secara hukum. Akan tetapi penerapan hukum Islam dilakukan secara hati-hati, sehingga hukuman hanya akan menimpa para pelanggar hukum. Dengan demikian tidak ada perbuatan melanggar hukum yang tidak mendapatkan hukuman, pembunuhan yang diijinkan hanyalah pembunuhan sebagai sebuah hukuman atas pembunuhan itu sendiri, bukan sengaja menghilangkan nyawa atau kehidupan orang lain yang menimbulkan mudharat. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dipertegas sanksi hukum terhadap pelaku euthanasia, agar pasien-pasien yang sulit disembuhkan tidak putus asa, sehingga pihak rumah sakit tidak akan membiarkan atau menunda proses perawatan. Alasan keselamatan jiwa dan kemanusiaan harus dijadikan alasan dalam penanganan pasien, usaha untuk merealisasikan hal itu memerlukan dukungan hukum yang bersifat memaksa.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai dikemukakan di bawah ini: Euthanasia adalah menghilangkan hak hidup seseorang dengan alasan untuk menghindari kerugian pada pihak lain, termasuk pasien lain yang masih memiliki harapan hidup. Kematian secar sukarela (mercy death) ini dilakukan sebagai sebuah usaha untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar dengan mengorbankan satu orang Euthanasia pasif, yakni euthanasia yang dilakukan dengan cara membiarkan seseorang yang dalam kondisi terkena penyakit, tidak mendapatkan perawatan sebagaimana pasien seharusnya dirawat. Perlakuan ini dilakuklan secara sengaja untuk mempercepat terjadinya kematian, misalnya untuk penderita kanker akut yang sudah dianggap sudah tidak bisa disembuhkan. Tindakan inipun dilakukan melaui prosedur pemeriksaan dan diagnosa kedokteran. Jika secara medis pasien dipandang tidak memiliki harapan sembuh, maka tindakan euthanasia dilakukan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan dari pengadilan. Euthanasia aktif, yaitu tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyawa seseorang secara langsung tertuju pada kematian,
melalui suntikan atau pemberian obat-obatan yang mematikan. Tindakan ini jelas-jelas bertujuan untuk membunuh pasien secara langsung, tanpa proses yang lama. Tujuan lain dari tindakan ini adalah mempercepat proses penghentian penderitaaan, dengan asumsi bahwa kematian merupakan jalan terakhir untuk mengakhiri penderitaan dan penyebaran penyakit. Euthanasia dalam pandangan hukum Islam merupakan sebuah perbuatan melanggar hukum dan masuk kedalam kategori pembunuhan. Islam melarang pembunuhan terhadap diri sendiri baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain, karena hak untuk menghidupkan dan mematikan hanyalah milik Allah. Euthanasia, baik aktif maupun pasif, dalam persfektif Hak Asasi Manusia merupakan sebuah usaha untuk menghilangkan hak hidup manusia. Asumsi ini didasari oleh hakikat euthanasia itu sendiri yang menghilangkan nyawa manusia dengan alasan akan merugikan orang lain, terutama keluarga. Dalam hal ini tidak ada jaminan atas perlindungan hak hidup seseorang, sehingga usaha menghilangkan nyawanya menjadi tidak benar. Sementara naluri manusiawi setiap orang adalah mempertahankan kehidupan dengan berbagai cara. Euthanasia dalam pandangan Hak Asasi Manusia termasuk dalam kategori pelanggaran HAM biasa dan dikenakan pasal 344 KUHP.
Persamaan hukum antara hukum Islam dan hak asasi manusia adalah euthanasia dipandang sebagai perbuatan melanggar hukum yaitu menghilangkan nyawa atau kehidupan manusia. Dan perbuatan ini dikenai hukuman yang telah ditentukan. Pebedaan hukum antara hukum Islam dan Hak Asasi Manusia adalah hukum Islam memandang euthanasia adalah pembunuhan dan dikenakan hukuman qishash, sedangkan dalam doktrin hak asasi manusia ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia biasa yang dikenakan pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diancam dengan hukuman penjara dua belas tahun.
B. Saran Berdasrkan kesimpulan diatas, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. Pelaksanaan euthanasia dapat dihindari atau ditolak, karena setiap manusia yang masih bernafas masih memiliki hak untuk hidup. 2. Euthanasia sebagai pelanggaran terhadap hukum Islam dengan harus dipahami sebagai sebuah perbuatan yang keji, karena di dalamnya mengandung sifat putus asa. 3. Pelaksanaan hukum euthanasia, harus ditegakkan secara konsisten dan dipublikasikan melalui sosialisasi kepada masyarakat, agar bisa dipahami dengan baik.
4. Pemerintah
memberikan pembebasan pembiayaan rumah sakit
bagi
masyarakat yang kurang mampu, sehingga tidak ada alasan untuk pemberhentian pengobatan. 5. Pendirian Baitul Mal dengaan artian bahwa Baitul Mal merupakan institusi yang dominan dalam perekonomian Islam. Institusi ini secara jelas merupakan entitas yang berbeda dengan penguasa atau pemimpin negara. Namun keterkaitannya sangatlah kuat, karena institusi Baitul Mal merupakan institusi yang menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dan sosial dari sebuah negara Islam. Pendirian isntitusi ini untuk menangani masalh ekonomi rakyat indonesia yang mayoritas beragama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat, Crisdiono M., Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, Jakarta; EGC, 2007 Audah, Abd Qadir, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, Jilid II, Beiru; Al-Muassasah, tanpa tahun Al-Bahr, Bambang; Fenomena Kedokteran Dimata Umat Islam, Jakarta; Graha Medika, 1980 Bakry, M. Nazar, Dr., Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003 Djazuli, A., Fiqh Jinayah “Upaya Menaggulangi Kejahatan”, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2000 Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta, Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007 Gunawandi, J., S.H, Hukum Medik (medical Law), Jakarta; Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia, 2007 Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2000 Halimi, Imron, Euthanasia; Cara Mati Terhormat Orang Modern, Semarang; Ramadhani, 1986 Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta; Rieneka Cipta, 2005 Hanafi, Ahmad, Asas - asas Hukum Pidana Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 2005 Hanafilah, M. Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta; EGC, 1999 Hendardi, Hak Hidup dan Hukuman Mati, dalam http://www.imparsial.org/publication/index.php?year=2006&month=4&acti on=READ&lang=id-8859&id=publication444c81d0786b2 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:03 WIB Hussain, Syekh Syaukat, Dr., Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta; Gema Insani Press, 1999
Ismail, Tinjauan Islam Terhadap Euthanasia, Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003 Maududi, Maulana Abul A’la , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta; Bumi Aksara, 1995 Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung; Remaja Rosda Karya, 2005 Munajat, Makhrus, Drs. M.Hum, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, Jogjakarta; Logung Pustaka, 2004 Nasution, Adnan Buyung dan Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta; Yayasan Obor, 2000 An- Nawawi, Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarif, Riyadus Shalihin, Beirut; Muassasah Ulum al-Qur’an, 1990 Parikesit, Arli Aditya, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematianbermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 21:15 WIB Putra, Dalizar, Drs Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, Jakarta; PT. Al-Husna Zikra, 1995 Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Beirut; Daar al-Tsakofah al-Islamiyyah, 1998 Sianturi, S.R, S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta; Alumni AHAEM-PATEHAEN, 1989 Soekanto, Soerjono, Segi-Segi Hukum dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum Kesehatan, Mandar Maju, Bandung, 1990 ____________, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2004, cet. Ke-8 Syarifin, Pipin, SH, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung; CV Pustaka Setia, 2000 As-Syaukani, Lutfi, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fikih Kontemporer, Bandung; Pustaka Hidayah, 1998
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan ( Civic Educatian ) “Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta; Prenada Media, 2003 Usman, Suparman, Prof. Dr. H. S.H, Hukum Islam “Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam”, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002 cet ke-2 Waluyadi, S.H, M.H, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta; Djambatan, 2005, cet ke2 Wila Supriyadi, Wila Chandra, Dr. S.H, Hukum Kedokteran, Bandung; Mandar Maju, 2001 Zuhdi, Masjfuk, Prof., Masail Fiqhiyah, Jakarta; PT Gunung Agung, 1996 http://blog.kenz.or.id/2006/06/01/45-butir-pengamalan-pancasila.html diakses pada tanggal 13 Maret 2008 pukul 15:30 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 19:21 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_kemanusiaan diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Nomor_20_Tahun_2000 diakses pada tanggal 18 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB
http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/hrlaw/19 diakses pada tanggal 4 Agustus 2008 pukul 19:42 WIB http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/eutanasia-hak-untuk-mati/ diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:13 WIB http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Eutanasia.html tanggal 10 September 2008 pukul 19:41WIB
diakses
pada
http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15 WIB
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=612&Itemi d=2 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 19:17 WIB http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/HumanRight/uud39.htm diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB http://www.komnasham.go.id/home/index.php?/15 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:22 WIB http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/09/22/brk,20040922-24,id.html diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15 WIB