Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifītas Hak Asasi Manusia Ikhwan Matondang IAIN Imam Bonjol Padang
[email protected]
Abstract: In terms of basic idea, religious freedom rights are absolute and universal. However, in terms of concept and implementation, there are diversity and distinctiveness. The right of religious freedom should not be restricted to the context of the freedom to be, but be limited in the context of the freedom to act Keyword: religious freedom., disparity, non-derogatbale right, freedom to be, frredom to act Abstrak: Pada tataran ide dasar, hak kebebasan beragama bersifat mutlak dan universal. Namun pada tataran konsep dan pelaksanaan, terdapat keragaman dan kekhasan. Hak kebebasan beragama tidak boleh dibatasi pada konteks freedom to be, tapi menjadi terbatas dalam konteks freedom to act. Katakunci: kebebasan beragama, disparitas, non-derogatable right, freedom to be, freedom to act
menampilkan sisi relatifītas hak kebebasan
Pendahuluan Agama
atau
keyakinan
memiliki
beragama di samping sisi universalitasnya.
kedudukan dan fungsi yang sangat vital bagi
Tulisan ini mencoba memaparkan secara
kehidupan manusia. Agama atau keyakinan
singkat tentang universalitas hak kebebasan
menjadi pedoman dasar bagi manusia dalam
beragama tersebut dalam ibngkai relatifītas
menata hidupnya sehingga cita-cita, sikap,
pemahaman dan penerapannya.
dan tingkah lakunya sangat dipengaruhi oleh agama
atau
keyakinan
yang
dianutnya.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Kebebasan memeluk agama atau keyakinan
Kata hak asasi sebenarnya berasal dari
merupakan hal yang prinsipil dan mesti
bahasa Arab, gabungan dari dua kata, yakni
dimiliki setiap manusia sehingga hak tersebut
kata hak ( ّ ) حقdan kata asas ( ) أساس. Asas
harus dilindungi oleh dan untuk siapa pun dan
berarti dasar atau pondasi sesuatu. Kata hak
kapan pun. Oleh sebab itu, hak kebebasan
bermakna ketetapan; kewajiban; yakin; yang
beragama menjadi hak universal yang diakui
patut; dan yang benar.1 Secara terminologis,
dan dihormati oleh setiap bangsa, negara, dan
hak berarti suatu kekhususan yang ditetapkan
budaya di dunia.
oleh syara„ dalam bentuk kekuasaan atau
Namun sesuatu yang tidak dipungkiri pula bahwa terdapat perbedaan-perbedaan dalam
memahami,
mendefīnisikan,
dan
menetapkan pembatasan dalam kebebasan 1
beragama
tersebut.
Disparitas
Jalāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Kairo: Dār al-Miṣriyyah li alTa‟līf wa al-Tarjamah, t.t.), Juz 11, 332-43.
tersebut 345
346
Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015
tanggung jawab.2 Dengan demikian, kata hak
manusia dimaksudkan untuk menekankan
tidak hanya bermakna sesuatu yang bisa
pentingnya fungsi hak-hak tersebut bagi hidup
diambil, tetapi juga mengandung arti sesuatu
dan kehidupan manusia. Namun istilah hak
yang harus diberikan. Oleh sebab itu,
„asasi‟ manusia bisa menimbulkan kerancuan
sebagian ahli memberikan defīnisi hak asasi
pengertian karena dapat mengindikasikan
manusia mencakup hak dan kewajiban asasi
pembagian hak manusia kepada hak yang
manusia.
bersifat mendasar dan hak yang tidak bersifat
Dari kandungan makna kata-kata yang
mendasar.
membentuknya, hak asasi manusia dapat
Para ahli memberikan defīnisi yang
diartikan sebagai kekuasaan atau kewenangan
berbeda-beda tentang hak asasi manusia.
bersifat mendasar dan pokok yang dimiliki
Namun demikian, ada yang dapat diterima
manusia
untuk
banyak pihak, seperti defīnisi oleh PBB dalam
mengekspresikan dirinya sebagai manusia
ABC, Teaching Human Rights, “Human
seutuhnya berdasarkan landasan hak yang
Rights could be generally defīned as those
benar. Kekuasaan atau kewenangan tersebut
rights which are inherent in our nature and
terkait erat dengan hakekat, derajat, dan
without which we can not live as human
martabat manusia, dalam arti manusia tidak
being”3 (Hak asasi manusia secara umum
bisa menjadi manusia yang sempurna tanpa
dapat didefīnisikan sebagai hak-hak yang
memiliki
secara alamiah telah melekat pada diri
dan
kekuasaan
dibutuhkan
atau
kewenangan
tersebut.
manusia dan tanpa hak-hak tersebut manusia
Istilah hak asasi manusia sebenarnya
tidak
dapat
hidup
sebagai
manusia.)
adalah istilah khas yang berkembang di dalam
Burhanuddin Lopa menyetujui defīnisi ini,
ranah keilmuan Indonesia. Di dunia Barat,
tetapi
dikenal istilah human rights yang secara
jawab‟ pada ujung defīnisi sehingga menjadi:
harfīah berarti hak-hak manusia, bukan hak
“…sebagai
asasi manusia. Di dalam khasanah keilmuan
jawab.”
Islam, yang ditemukan juga istilah ḥuqūq al-
jawab‟ karena di samping memiliki hak,
insān, hak-hak manusia, bukan hak asasi
manusia juga memiliki tanggung jawab.4
manusia.
Pemakaian
istilah
hak
menambahkan
„bertanggung
manusia
yang
bertanggung
Penambahan
kata
„bertanggung
„asasi‟
3
2
kata
Muṣṭafā Aḥmad al-Zarqā‟, Al-Madkhal alFiqhī al-’Ām: Al-Fiqh al-Islāmī fī Tsawbih al-Jadīd (Damsyik: Dār al-Fikr, t.t.), Jilid III, 10.
United Nations, ABC Teaching Human Rights,5. 4 Burhanuddin Lopa, Al-Qur’ān dan Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), cet. ke-2, 1.
Ikhwan Matondang, Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia (HAM)
Defīnisi
Lopa
Tuhan.” Dengan demikian, dalam hal ini, hak
sejalan dengan makna kata ḥaqq (hak) pada
asasi manusia juga merupakan bagian integral
bahasa Arab. Peraturan perundang-undangan
dari kepercayaan Islam. Semua Muslim dan
Indonesia juga menganut keseimbangan hak
penguasa Muslim harus menerima, mengakui,
dan
dan melaksanakannya.5
tanggung
yang dikemukakan
347
jawab
(kewajiban)
asasi
manusia. Pasal 1 UU No.39 Tahun 1999
Pada
pandangan
yang
bersifat
tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan
teosentris, seperti diwakili al-Mawdūdī, hak
secara eksplisit hak dan kewajiban asasi
asasi manusia adalah pemberian Tuhan
manusia.
diartikan
kepada manusia sebagai khalifahNya di muka
sebagai seperangkat hak yang melekat pada
bumi. Dengan berbekal hak asasi tersebut,
hakekat dan keberadaan manusia sebagai
manusia
makhluk
aktifītas ibadah dan memakmurkan kehidupan
Hak
Tuhan
merupakan
Asasi
Manusia
Yang
Maha
anugerahNya
Esa
yang
dan wajib
di
bumi.
diperintahkan
Sedangkan
untuk
dalam
melakukan
pandangan
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
antroposentris, seperti yang dianut oleh dunia
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
Barat pada umumnya, hak asasi sudah
orang demi kehormatan serta perlindungan
melekat secara alamiah sejak keberadaan
harkat dan martabat manusia. Sedangkan
manusia.
kewajiban dasar manusia adalah seperangkat
dikuatkan dan dilegitimasi oleh peraturan-
kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan
peraturan yang dibentuk oleh badan-badan
tidak memungkinkan terlaksana dan tegak hak
yang berwenang. Hak-hak asasi tersebut
asasi manusia.
mengabdi
Para ulama Islam telah berupaya memberikan
defīnisi
tentang
hak
asasi
Kemudian
kepada
hak
asasi
kepentingan
manusia
manusia
berdasarkan ukuran-ukuran dan nilai-nilai yang diciptakan oleh manusia sendiri.
manusia. Abū A„lā al-Mawdūdī menyebutkan
Perbedaan persepsi dan visi tentang
bahwa hak asasi manusia adalah “Hak-hak
manusia merupakan salah satu sebab yang
pokok yang diberikan Tuhan kepada setiap
memicu konflik pemikiran antara dunia Barat
manusia tanpa melihat perbedaan-perbedaan
dan Timur (Islam.) Hak asasi manusia yang
yang ada di antara sesama manusia, di mana
berkembang di Barat menempatkan manusia
hak tersebut tidak dapat dicabut oleh siapa
pada setting yang terpisah dari Tuhan
pun atau lembaga apapun. Semua manusia memiliki hak asasi semata-mata karena kemanusiaannya.
Kerena
hak-hak
ini
merupakan pemberian Tuhan, maka tidak ada yang berhak untuk mencabutnya selain
5
Abū A„lā al-Mawdūdī, “Human Rights, the West and Islam,” dalam Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic Law (New Delhi: Institute of Objective Studies, 1993), 2-4.
348
Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015
(devided God.) Dengan demikian, corak
kepercayaan,
sekularisme sebagai salah satu produk utama
menyatakan agama atau kepercayaannya
kebudayaan Barat sangat mewarnai pemikiran
dalam bentuk beribadat dan menepatinya,
dan implementasi hak asasi manusia di Barat.
baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama
Sementara menurut pandangan umum dunia
dengan orang lain, baik di tempat umum
Timur
maupun
dan
merupakan
Islam, anugerah
hak
asasi
Tuhan
manusia
dan
setiap
dan
kebebasan
tersendiri.”
Terlihat
untuk
jelas
hak
kebebasan beragama di sini meliputi memilih,
individu harus bertanggung jawab kepada
menganut,
Tuhan. Hal ini mewarnai pemikiran dan
menjalankan suatu agama atau kepercayaan.
implementasi hak asasi manusia di dunia Islam dan Timur pada umumnya. Defīnisi
Hak kebebasan beragama juga diatur dalam
Konstitusi
Negara
R.I.
Indonesia yang termuat pada pasal 1 angka 1
“Setiap orang bebas memeluk agama dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 lebih
beribadat
menurut
dekat kepada pandangan yang bercorak
pendidikan
dan
teologis. Hal ini sejalan dengan landasan
pekerjaan,
memilih
ideologis
Indonesia,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
Ketuhan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pancasila,
yang
manusia
dan
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyebutkan:
falsafī
asasi
menaati,
di
dan
hak
mengganti,
bangsa
mencantumkan
agamanya,
memilih
pengajaran,
memilih
kewarganegaraan,
Pasal 28E ayat (2) menyebutkan: “Setiap
Yang Maha Esa pada sila pertama.
orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, Kebebasan Beragama sebagai Hak Asasi
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
Manusia
hati
nuraninya.”
Pasal
28I
ayat
(1)
Kebebasan beragama merupakan salah
menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk
satu hak utama dalam konsep hak asasi
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
manusia. Pelbagai dokumen dan peraturan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
perundang-undangan
ketentuan
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
tentang kebebasan beragama sebagai salah
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
satu hak mendasar bagi kehidupan manusia.
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
(DUHAM) Tahun 1948 mengatur masalah
dikurangi dalam keadaan apapun.” Pasal 29
hak kebebasan beragama pada pasal 18 yang
ayat (2) menyebutkan: “Negara menjamin
berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bebas
kemerdekaan
berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini
memeluk agamanya masing-masing dan untuk
memuat
meliputi kebebasan berganti agama atau
tiap-tiap
penduduk
untuk
349
Ikhwan Matondang, Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia (HAM)
beribadat
menurut
agamanya
dan
kepercayaannya itu.”
secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan
Di samping pada pasal-pasal UUD
dari
manusia,
yang
harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
1945 di atas, hak kebebasan beragama juga
peningkatan
diatur di dalam pasal 22 UU No. 39 Tahun
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 22
serta keadilan.
ayat (1) menyatakan: “Setiap orang bebas memeluk
masing-masing
kemanusiaan,
Hak kebebasan beragama diakui dan
dan
dilindungi oleh ajaran agama-agama. Di
dan
dalam ajaran Katolik Roma, Konsili Vatikan
kepercayaannya itu.” Pasal 22 ayat (2)
menyatakan bahwa pribadi manusia berhak
menyatakan: “Negara menjamin kemerdekan
atas kebebasan beragama. Kebebasan itu
setiap orang memeluk agamanya masing-
berarti bahwa semua orang harus kebal
masing dan beribadat menurut agama dan
terhadap paksaan dari pihak orang-orang per
kepercayaannya
dari
orangan maupun kelompok-kelompok sosial
berbagai aturan yang dikemukakan tersebut
atau kuasa manusiawi mana pun juga,
menjelaskan bahwa hak beragama diakui dan
sedemikian
dihormati oleh peraturan perundang-undangan
keagamaan tak seorang pun boleh dipaksa
Indonesia dan cakupannya meliputi hak
untuk bertindak melawan suara hatinya atau
kebebasan meyakini agama dan kepercayaan
dihalang-halangi untuk dalam batas-batas
serta menjalankan agama dan kepercayaannya
yang wajar bertindak menurut suara hatinya,
tersebut.
baik sebagai per orangan maupun di muka
beribadat
agamanya
martabat
menurut
itu.”
agama
Pasal-pasal
Hak asasi manusia, termasuk hak
rupa,
sehingga
dalam
hal
umum, baik sendiri maupun bersama dengan
kebebasan beragama dengan segala hak
orang-orang
lain.
turunannya, harus benar-benar dihormati,
menyatakan
bahwa
dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu
kebebasan beragama sungguh didasarkan
pemerintah, aparatur negara, dan pejabat
pada martabat pribadi manusia, sebagaimana
publik lainnya memunyai kewajiban dan
dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan
tanggung
dan dengan akal-budi.6 Dengan demikian hak
menjamin
terselenggara
Selain hak
itu
Konsili
menyatakan
penghornatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia. Pasal 2 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang
6
YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963), 260-1; PIUS XII, Amanat radio, 24 Desember 1942: AAS 35 (1943), 19; PIUS XI, Ensiklik Mit brennender Sorge, 14 Maret 1937: AAS 29 (1937), 160; LEO XIII, Ensiklik
350
Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015
pribadi manusia atas kebebasan beragama
Dan Islam juga menyuruh umatnya agar
harus diakui dalam tata hukum masyarakat
mendakwahi manusia yakin kepada ajaran
sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil.
Islam dan mengamalkannya secara baik dan
Di dalam ajaran Islam, hak kebebasan
komprehensif. Meskipun demikian, tidak
beragama mendapat tempat yang penting dan
berarti ada hak untuk memaksakan ajaran
terhormat. Berbagai ayat al-Qur‟ān dan al-
Islam
Sunnah menjadi dasar yang kokoh bagi hak
disebarkan melalui cara-cara yang baik,
kebebasan beragama ini sebagaimana dalam
damai,
Q.s. al-Baqarah/2: 256
menerima dengan tangan terbuka siapa saja
kepada
seseorang.
persuasif,
dan
Islam
bijaksana.
harus
Islam
ْ ُِّيٍ قَ ْد حَ َبيٍََّ انس ِ ّالَإِ ْك َسا َِ فِي اند ِ شدُ ِيٍَ ْانغَ ّي َّ فَ ًَ ٍْ يَ ْكفُسْ ِب ُ بنطب َ َ ْ ْ َ َّ َسك ْ بَّلل فق ِد ا ِ غى َ ًْسخ ِ ث َويُؤ ِيٍ ِب ْ َّ ِب ْبنعُسْ َو ِة ْانىُ ثْقَى الَ اَ ِفصَب َو نَهَب َو ع ِهي ٌى َ س ًِي ٌع َ ُاَّلل
yang
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
kepada orang yang memenuhi seruan dakwah
Di
dalam
ayat
ini,
menerima
dakwah
Islam
serta
memberikan penghargaan dan janji kebaikan
Islam
tersebut.
Namun
Islam
juga
menghormati hak setiap orang yang menolak seruan Islam dan memilih jalan hidup yang lain. Prinsip ini dipertegas oleh fīrman Allah dalam Q.s. al-Kahf/18: 29, ٍْ َوقُ ِم ْان َحقُّ ِي ٍْ َز ِبّ ُك ْى فَ ًَ ٍْ شَب َء َف ْهي ُْؤ ِي .... َْو َي ٍْ شَب َء فَ ْهيَ ْكفُس
terkandung
memeluk suatu agama atau keyakinan. Tidak
Dan katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafīr) biarlah ia kafīr….”
seorang pun berhak memaksa orang lain
Selanjutnya
ketentuan tentang
penghormatan terhadap
hak dan kebebasan setiap orang untuk
Islam
memberikan
untuk memeluk suatu agama atau keyakinan,
kebebasan kepada setiap orang beragama
meskipun secara obyektif ataupun subyektif
untuk
agama yang dianut dan diajarkannya adalah
dalam bentuk melaksanakan ajaran agamanya
agama yang paling benar dan sempurna. Allah
masing-masing, termasuk ibadah, tanpa harus
memang telah menegaskan bahwa Islam
takut terhadap gangguan dan halangan dari
adalah agama yang sempurna dan diridaiNya.
pihak manapun. Adalah mustahil dan tidak
mengekspresikan
keberagamaannya
bermakna eksistensi kebebasan menganut agama tanpa disertai kebebasan yang sama Libertas praestantissnum, 20 Juni 1888: Acta Leonis XIII 8, 1888, 237-8. Dimuat antara lain di: http://www.ekaristi.org/vat_ii/Pernyataan_ttg_ Kebebasan_Beragama.php
untuk menjalankan kehidupan beragama. Untuk
itu,
Islam
menjamin
kebebasan
Ikhwan Matondang, Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia (HAM)
351
manusia untuk meyakini dan menyembah
perspektif ajaran Islam. Tidak ada seorang
Tuhan manapun
pun umat beragama lain yang rela unsur atau
konsekuensi
dan
dari
beribadah sebagai
keyakinannya
tersebut
simbol agamanya dihina sebagaimana umat
sebagaimana ditegaskan di dalam Q.s. al-
Islam juga tidak rela unsur dan simbol
Kāfīrūn/109: 1-6
agamanya dihina. Q.s. al-An„ām/6: 108
َقُ ْم َيبأَيُّهَب ْانكَب ِف ُسوٌ الَ أ َ ْعبُدُ َيب حَ ْعبُدُوٌَ َوال عبَ ْدح ُ ْى َ أ َ َْخ ُ ْى عَببِدُوٌَ َيب أ َ ْعبُدُ َوالَ أَََب عَببِدٌ َيب والَا أ َ َْخ ُ ْى عَببِدُوٌَ َيب أَ ْعبُدُ نَ ُك ْى دِيُُ ُك ْى َو ِن َي ٍِي ِ د
menyatakan َّ ٌو ُ َ َوالَ ح ِاَّلل ِ ُسبُّىا انَّ ِريٍَ يَ ْدعُىٌَ ِي ٍْ د ُ ْ َ َّ سبُّىا ع ْدوً ا ِبغَي ِْس ِعه ٍى َكر ِنكَ َشيََُّّب ِن ُك ِ ّم أ َّي ٍت َ َاَّلل ُ َفَي ع ًَهَ ُه ْى ث ُ َّى ِإنَى َز ِبّ ِه ْى َيسْ ِجعُ ُه ْى فَيَُُ ِّبئ ُ ُه ْى ِب ًَب كَبَُىا َ ُ ٌَيَ ْع ًَهى
Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafīr, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Hak untuk menganut suatu agama juga menimbulkan
hak
perlindungan
penghormatan
terhadap
dan
simbol-simbol
keagamaan. Setiap agama memiliki unsur dan simbol keagamaan yang sangat disucikan dan dimuliakan, seperti Tuhan, nabi, tempat ibadah, ritual ibadah, dan lainnya. Hak untuk beragama dan berkeyakinan tidak dapat terwujud dengan baik dan sempurna tanpa penghormatan dan perlindungan terhadap berbagai
unsur
atau
simbol
keagamaan
tersebut. Dalam rangka penghormatan dan perlindungan terhadap unsur atau simbol keagamaan membolehkan
tersebut, memaki
Islam atau
tidak menghina
sembahan umat agama lainnya, sekalipun sembahan tersebut dipandang sebagai simbol kejahiliyahan
dan
kemusyrikan
dalam
Atas dasar kesadaran demikian dapat dipahami kenapa umat Islam melakukan protes
dan
perlawanan
keras
terhadap
berbagai bentuk penodaan terhadap simbolsimbol keislaman, seperti pada kasus Salman Rushdie dan Kartun Nabi Muḥammad. Pada bulan September 1988, Salman Rushdie, seorang novelis Muslim India yang kemudian menjadi warga negara Inggris, menulis novel berjudul Satanic Verses. Pada berbagai bagian novelnya,
Rushdie
membuat
penisbatan-
penisbatan yang menghina Nabi Muḥammad, istri-istri Nabi, dan para sahabat utama. Novel itu langsung mendapat reaksi keras umat Islam di berbagai belahan dunia. Ribuan umat Islam berunjuk rasa, membakar dan menuntut larangan terhadap novel tersebut. Bahkan
352
Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015
Khomeini
(1902-1989),
pemimpin
besar
revolusi Islam Iran, mengeluarkan fatwa
integral dari hak asasi manusia, dihina dan dilecehkan.
hukuman mati kepada Salman Rushdie terkait
Aturan tentang kebebasan beragama
penerbitan novel Satanic Verses tersebut.7 Hal
juga terdapat dalam dokumen-dokumen hak
yang sama juga terjadi pada akhir tahun 2005
asasi manusia yang dihasilkan oleh komunitas
ketika harian Denmark Jyllands-Posten, yang
umat Islam. Di dalam Piagam Madinah, hak
kemudian diikuti beberapa media massa
kebebasan beragama dijamin sebagaimana
lainnya, memuat 12 buah kartun tentang Nabi
termaktub di dalam pasal 25-35 (edited).
Muḥammad dalam gambaran negatif dan
Deklarasi Universal Islam tentang Hak Asasi
menghina. Pemuatan kartun tersebut lansung
Manusia oleh Dewan Islam Eropa (The
memantik reaksi keras umat Islam yang
Islamic Council of Europe), yang telah
diwujudkan dalam bentuk demonstrasi besar-
diterima (adopted, disahkan) pada tanggal 19
besaran, boikot produk Denmark, pemutusan
September 1981, juga mengatur tentang
8
kebebasan beragama. Sementara Deklarasi
Reaksi keras umat Islam dalam dua kasus
Hak Asasi Manusia dalam Islam (The Cairo
tersebut disebabkan ketersinggungan dan
Declaration on Human Rights in Islam)
kekecewaan yang mendalam ketika simbol-
diproklamirkan di Kairo Mesir, 5 Agustus
simbol keagamaan, yang merupakan bagian
1990
hubungan
diplomatik,
dan
sebagainya.
M/14
Muharram
1411
pertemuan
negara-negara
Konferensi
Islam
memuat
H
hasil
Organisasi larangan
pemaksaan dan eksploitasi kemiskinan untuk 7
Fatwa hukuman mati Khomeini terhadap Salman Rushdie sempat menimbulkan polemik luas. Dari satu sudut pandang, fatwa tersebut memiliki legitimasi dan argumentasi mengingat beberapa hal. Pertama, telah terjadi penodaan dan pelecehan terhadap agama (simbol-simbol keagamaan) yang merupakan bagian penting dari hak asasi manusia. Kedua, penodaan Rushdie terhadap Nabi dan simbol fundamental agama Islam lainnya dapat dikategorikan sebagai tindakan murtad yang disertai pengkhianatan. Perbuatan tersebut, menurut sebagian ulama, dapat dijatuhi hukuman mati. Dasar hukum yang dipakai adalah Ḥadīts riwayat al-Bukhārī, al-Tirmīdzī, Ibn Mājjah, dan Aḥmad: “man baddala dīnahu faqtulūhu” (Barangsiapa menukar agamanya, maka bunuhlah.) Tentang hukuman murtad, lebih lanjut dibahas pada perlindungan hukum hak keagamaan. 8 Lih. antara lain “Jyllands-Posten dikabarkan Minta Maaf,” Indopos (Jakarta), 31 Januari 2006; “Sekjen PBB: Terimalah Maafnya,” Indopos (Jakarta), 5 Februari 2006, dan “Kemarahan Dunia, Publikasi Terus,” Indopos (Jakarta), 14 Februari 2006.
mengubah agama dan keyakinan seseorang (Pasal 10.) Dari bukti dan keterangan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa hak kebebasan beragama merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diakui, dihormati, dan dilindungi oleh agama-agama, norma-norma internasional,
dan
peraturan
perundang-
undangan di Indonesia. Hal ini menunjukkan sisi
universalitas
dari
nilai
kebebasan
beragama sehingga semua norma dalam berbagai tingkatan mengaturnya secara baik.
Ikhwan Matondang, Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia (HAM)
Materi pokok pada undang-undang ini adalah
Pembatasan Kebebasan Beragama Meskipun
semua
353
dan
larangan kepada setiap orang dengan sengaja
peraturan perundangan-undangan tentang hak
di muka umum menceritakan, menganjurkan,
telah
atau mengusahakan dukungan umum, untuk
sepakat
penghormatan, kebebasan
dokumen
terhadap dan
pengakuan,
perlindungan
beragama,
namun
hak
melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
terdapat
yang dianut di Indonesia atau melakukan
perdebatan dan perbedaan pendapat dalam
kegiatan-kegiatan
penerapan hak tersebut, terutama ketika
menyerupai
berbenturan
atau
dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana
kemaslahatan umum dan orang lain. Problem
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
ini bisa disederhanakan dengan pertanyaan
itu.
apakah kebebasan beragama memberikan hak
tersebut diberi perintah dan peringatan keras
kepada
memberikan
untuk menghentikan perbuatannya itu di
penafsiran sedemikian rupa terhadap ajaran
dalam suatu keputusan bersama Menteri
agama yang dianutnya meskipun penafsiran
Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
itu dinilai bertentangan dengan fundamental
Dalam Negeri. Apabila pelanggaran tersebut
ajaran agama atau mainstreem yang ada.
dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran
Pertanyaan lain yang bisa diajukan adalah
kepercayaan,
apakah kebebasan beragama juga mencakup
Indonesia dapat membubarkan organisasi itu
kebebasan untuk meninggalkan keyakinan
dan
terhadap suatu agama atau kepercayaan dan
tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang,
berganti dengan keyakinan kepada agama
satu dan lain setelah Presiden mendapat
atau kepercayaan lainnya.
pertimbangan
dengan
seseorang
hak
untuk
dan
keagamaan
kegiatan-kegiatan
Barang
siapa
menyatakan
keagamaan
melanggar
maka
Presiden
organisasi
dari
yang
ketentuan
Republik
atau
Menteri
aliran
Agama,
Pertanyaan-pertanyaan di atas ternyata
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam
mendapatkan respon yang berbeda-berbeda
Negeri. Apabila setelah dilakukan tindakan
bahkan bertentangan antara satu dengan
sanksi
lainnya. Ini menunjukkan sisi lain dari hak
anggota
asasi manusia, yakni sisi relatifītasnya di
bersangkutan dari aliran itu masih terus
samping sisi universalitas seperti yang sudah
melanggar, maka dipidana dengan pidana
dijelaskan sebelumnya. Contoh konkrit dari
penjara selama-lamanya lima tahun.
tahap
pertama,
dan/atau
orang,
pengurus
penganut, organisasi
hal ini terlihat pada masalah isu penodaan
Sebagian pejuang hak asasi manusia
agama sebagaimana diatur di dalam Undang-
memandang materi undang-undang tentang
Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
penodaan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
dengan hak kebebasan beragama. Padahal
agama
tersebut
bertentangan
354
Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015
kebebasan beragama bagian dari hak asasi
berpandangan
manusia yang mesti diakui, dihormati, dan
Undang-Undang
dilindungi sebagaimana amanat Undang-
MUI, PHDI, MATAKIN, PB NU, dan
Undang Dasar 1945.
Muḥammadiyah.
Oleh karena itu,
pentingnya
memertahankan
No.1/PNPS/1965
adalah
diajukan permohonan pembatalan undang-
Hal yang sama juga terjadi dalam
undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK)
masalah isu kebebasan berganti agama. Di
dengan alasan bertentangan dengan UUD
dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak
1945. Di antara pihak yang mengajukan
Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948,
permohonan tersebut adalah pribadi dan
secara tegas diatur hak untuk berganti agama
lembaga yang dikenal memiliki kepedulian
karena agama adalah suatu keyakinan yang
tinggi terhadap isu-isu hak asasi manusia,
jika sudah beralih tidak bisa dipaksakan tetap
seperti Imparsial, Elsam, PBHI, YLBHI,
seperti semula. Seseorang tidak boleh dipaksa
Abdurrahman
Wahid,
dan
lain-lain.9
untuk
tetap
menganut
agama
atau
Sementara itu, sebagian besar organisasi
kepercayaan lamanya sementara ia sendiri
keagamaan dan per orangan yang juga
tidak
pejuang
justru
keyakinan yang baru. Pemaksaan seperti itu
berpandangan UU No.1/PNPS/1965 tidak
jelas bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi
bertentangan dengan hak kebebasan beragama
manusia. Sementara itu, sumber aturan hak
dan subtansi undang-undang tersebut penting
asasi
dipertahankan justru untuk menjaga kesucian
berdasarkan kepada agama-agama umumnya
agama
kehidupan
menentang hak berganti agama. Setiap agama
beragama. Jika penafsiran ajaran agama yang
secara subyektif hanya mengakui kebenaran
melenceng jauh ditolerir, maka akan terjadi
ajarannya sehingga berganti agama identik
kekaburan, kekacauan, dan kehancuran suatu
dengan
ajaran agama. Padahal menjaga ajaran agama
merupakan suatu yang mesti dihindari demi
dan kehidupan beragama yang harmonis
keselamatan hidup dunia dan akhirat.
hak
dan
asasi
manusia
keharmonisan
meyakininya
manusia
keluar
dan
lainnya,
dari
telah
memiliki
terutama
kebenaran
yang
dan
itu
merupakan bagian penting dari jaminan
Salah satu agama yang memiliki
terhadap perwujudan hak-hak keagamaan
ajaran tentang larangan berganti agama adalah
pribadi dan masyarakat. Di antara yang
Islam. Hukum Islam memandang pindah agama sebagai suatu tindak pidana yang menodai
agama
sehingga
pelaku
murtad/riddah dapat dijatuhi hukuman pidana 9
http://anbti.org/2010/02/mengapa-uu-no-1pnps-tahun-1965-dimintakan-pembatalan/
tertentu sebagaimana bunyi teks beberapa Ḥadīts,
seperti
“man
baddala
dīnahu
Ikhwan Matondang, Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia (HAM)
faqtulūhu”
(barangsiapa
355
ُ ُْ َّبض َفقَب َل نَىْ ُك َّ ج أَََب نَ ْى أُحْ ِس ْق ُه ْى ِنَُ ْهي ِ َزسُى ِل َ ٍ عب ِاَّلل ّ ْ َّ َ َّ ة َّ صهَّى اَّللِ َونَقَخَهخ ُ ُه ْى َ اَّلل َ َ عهَ ْي ِّ َو ِ سه َى الَ حُعَ ِربُىا بِ َعرا َُُّسهَّ َى َي ٍْ َبدَّ َل دِي َّ صهَّى َّ ِنقَىْ ِل َزسُى ِل َ اَّلل َ ِاَّلل َ عهَ ْي ِّ َو ْ ُ َ ُِ فبقخُهى
mengganti
agamanya, maka bunuhlah dia.) Larangan dan kriminalisasi perpindahan agama tersebut,
dipenjara atau hukuman lainnya. Di samping
Ḥadīts dari Abū Nu„mān Muḥammad ibn al-Faḍl dari Ḥammād ibn Zayd dari Ayyūb dari „Ikrimah yang menyatakan bahwa „Alī menyerang kaum zindiq dan membakar mereka. Peristiwa tersebut diketahui oleh Ibn „Abbās, lalu dia berkata (kepada „Alī), “Jika seandainya anda adalah saya, saya tidak akan membakar mereka karena hal itu dilarang oleh Rasulullah dengan sabdanya: „Janganlah kamu mengadzab dengan adzab Allah.‟” Ibn „Abbās selanjutnya berkata, “Saya pasti akan membunuh mereka karena Rasulullah telah bersabda, „Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia!‟” (Ḥ.R. al-Bukhārī, al-Tirmīdzī, Abū Dāwud, Ibn Mājjah, Aḥmad, dan Ibn Ḥibbān menurut redaksi riwayat alBukhārī.) 11
itu, dapat pula diterapkan hukuman tambahan,
Ḥadīts ini secara jelas menerangkan
seperti putus hubungan perkawinan dengan
hukuman mati sebagai hukuman terhadap
pasangan yang beragama Islam secara fasakh,
pelaku murtad. Penerapan hukuman pokok
terhalang mewarisi harta warisan dari pewaris
tidak bisa dilakukan sembarangan, tetapi
Muslim, dan gugur hak sebagai wali bagi
mesti melalui mekanisme dan prosedur
secara
eksplisit,
bertentangan
dengan
ketentuan pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan agama yang di dalamnya termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan. Mayoritas ulama Islam sepakat bahwa sanksi pidana pokok bagi pelaku riddah adalah hukuman mati, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan menurut Imam Abū Ḥanīfah,
jika
hukumannya
anak-anaknya.
wanita
bukan
yang
dibunuh,
murtad melainkan
10
tertentu.
Menurut
kesepakatan
ulama,
Hukuman pokok berupa hukuman
sebelum hukuman mati sebagai hukuman
mati bagi pelaku riddah didasarkan kepada
pokok dijatuhkan, pelaku riddah terlebih
antara lain Ḥadīts berikut.
dahulu diajak dan diberi kesempatan bertobat.
ْ َبٌ ُي َح ًَّدُ ب ٍُْ ْانف ض ِم َحدَّثََُب ِ ًَ َحدَّثََُب أَبُى انُُّ ْع ع ِه ٌّي َ ُّىة ع ٍَْ ِع ْك ِس َيتَ قَب َل أُحِ َي َ َحًَّبدُ ب ٍُْ َش ْي ٍد ع ٍَْ أَي َ َ َ َ َ َ ٍَْع ُُّْ بِ َصََب ِدق ٍت فأحْ َسق ُه ْى فبَهَ َغ ذ ِنكَ اب َّ َز ِضي َ ُاَّلل
Jika
yang
bersangkutan
mau
bertobat,
hukuman pokok gugur dan dapat diganti dengan hukuman ta‘zīr, seperti penjara,
10
Aḥmad Fatḥī Bahnasī, Al-Mas’ūliyyah alJinā’iyyah fī al-Fiqh al-Islāmī: Dirāsah Fiqhiyyah Muqāranah (Beirut: Dār al-Syurūq, 1404 H./1984 M.), 115-28; al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1403 H./1983 M.), cet. ke-4, Jilid II, 386.
11
Muḥammad ibn Ismā„īl Abū „Abdillāh alBukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ibn Katsîr, 1408/1987), Juz VI, cet. ke-3, 2537
356
Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015
celaan, dan lain-lain. Apabila ia menolak
murtad. Pertama, perbuatan murtad yang
bertobat, baru dapat dijatuhkan hukuman
disertai pengkhianatan, desersi, mengacau
mati. Penggantian hukuman pokok dengan
umat Islam, berpihak kepada musuh, dan
hukuman pengganti dapat juga dilakukan
mengajak orang lain murtad. Perbuatan
pada kasus yang mengandung ketidakjelasan
seperti itu sangat membahayakan aqidah,
hukum (syubhat), seperti kasus murtad wanita
identitas, dan keamanan umat Islam sehingga
atau anak-anak.12
pantas jika pelakunya mendapatkan hukuman
Walaupun
hukum
berat, yakni hukuman mati. Kedua, perbuatan
riddah di atas disepakati banyak ulama, tetapi
murtad yang dilakukan secara diam-diam,
mereka masih berbeda pendapat tentang status
tidak disertai pengkhianatan dan ajakan
hukuman tersebut sebagai sunnah Nabi dan
kepada orang lain untuk murtad. Murtad
persyaratan penerapannya. „Umar ibn Khaṭṭāb
dalam bentuk ini tidak terlalu membahayakan
menyatakan Ḥadīts “man baddala dīnahu”
agama dan umat Islam sehingga pelakunya
yang menjadi dasar penerapan hukuman mati
cukup diberi hukuman ta‘zīr atau penjara
lebih tepat dikategorikan sebagai keputusan
seperti pendapat „Umar ibn Khaṭṭāb, al-
Nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala
Nakhā‟ī, dan al-Tsawrī.14 Maḥmūd Syalṭūṭ
negara, bukan fatwa atau syari„at yang harus
juga memiliki pendapat yang kurang lebih
diikuti umat Islam dalam segala waktu,
sama. Menurut Syalṭūṭ, perbuatan murtad
tempat, dan keadaan. Hukuman mati boleh
tidak mesti dibalas dengan hukuman mati.
saja diganti dengan hukuman penjara sampai
Hukuman
pelaku
ditemukan
unsur
penyerangan
dan
kesalahannya. Ibrāhīm al-Nakha‟ī dan al-
permusuhan
kepada
umat
dan
Tsawrī termasuk ulama besar yang mengikuti
dipandang perlu untuk mencegah fitnah
pendapat „Umar tersebut.13
kepada agama dan negara. Jika unsur-unsur
murtad
Yusuf perbedaan
bentuk
bertobat
dan
al-Qaraḍawī pendapat
sanksi
menyadari
mengomentari
tersebut
dengan
menjelaskan dua macam keadaan orang
„Abd al-Qadīr „Awdah, Al-Tasyrî‘ al-Jinā’ī al-Islāmī: Muqāranah bi al-Qanūn al-Waḍ‘ī (Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, 1992), Juz II, 728. 13 Yūsuf al-Qaraḍawī, Jarīmah al-Riddah wa ‘Uqūbah al-Murtadd fī Ḍaw‘al-Qur’ān wa al-Sunnah, terj. Irfan Salim dan Abdul Hayyie al-Katani (Jakarta: Gema Insani, 1998), 56.
baru
diterapkan
Islam
jika
tersebut tidak ditemukan, dapat dijatuhkan hukuman lain.15 Dengan demikian, jika dipahami
14
12
mati
secara
mendalam
larangan
Yūsuf al-Qaraḍawī, Fiqh Prioritas: Sebuah Kajian Baru berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah (Fī Fiqh al-Awlawiyyāt: Dirāsah Jadīdah fī Ḍaw„ alQur‟ān wa al-Sunnah), terj. Bahruddin F. (Jakarta: Robbani Press, 1423 H./2002 M.), cet. ke-3, 188-190. 15 Maḥmūd Syalṭūṭ, Islām ‘Aqīdah wa Syarī‘ah (Kairo: Dār al-Qalam, 1996), cet. ke-3, 286; Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 381-93.
Ikhwan Matondang, Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia (HAM)
357
perpindahan agama di dalam Islam, termasuk
bertujuan merusak hak dan kebebasan yang
aspek historisnya, dapat diketahui bahwa
tercantum di dalam deklarasi ini.” Ketentuan
larangan riddah bukan untuk membatasi
ini dapat dipahami bahwa hak kebebasan,
kebebasan
termasuk kebebasan beragama, yang diatur
beragama,
melainkan
untuk
mengantisipasi tindakan penodaan agama dan
dalam
Deklarasi
Universal
Hak
Asasi
pengkhianatan melalui celah perpindahan
Manusia 1948 bersifat mutlak, tidak terbatas.
agama.16
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal terjadi
28I ayat (1) disebutkan: “Hak untuk hidup,
seputar
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
implementasi hak kebebasan beragama tidak
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
terlepas pemahaman dan penafsiran terhadap
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
ketentuan-ketentuan yang ada. Beberapa pasal
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
pada peraturan perundang-undangan tentang
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
hak asasi manusia memang bisa diberi makna
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
yang berbeda satu sama lain. Ada pasal-pasal
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
yang menunjukkan bahwa hak asasi manusia
Ketentuan ini juga menunjukkan kemutlakan
bersifat mutlak dan harus dihormati dalam
hak asasi manusia sehingga harus dihormati
keadaan apapun dan di mana pun. Sementara
dan dilindungi dalam keadaan bagaimanapun
itu, pada pasal-pasal yang lain terdapat
dan tanpa pembatasan apapun.
Perbedaan dalam
pendapat
menanggapi
yang
isu-isu
ketentuan yang meniscayakan pembatasan
Namun
di
samping
aturan
yang
hak asasi manusia untuk tujuan menghormati
bersifat mutlak tersebut, terdapat juga aturan-
hak asasi manusia itu sendiri.
aturan lain yang dapat dipahami sebagai
Di dalam Pasal 30 Deklarasi Universal
pembatasan
terhadap
hak
kebebasan
Hak Asasi Manusia 1948 disebutkan: “Tidak
beragama untuk menjaga kemaslahatan yang
satu pun dalam deklarasi ini boleh ditafsirkan
lebih besar dan umum. Di dalam penjelasan
sebagai pemberian hak kepada sesuatu negara,
umum Undang-Undang No.39 Tahun 1999
golongan, ataupun perorangan yang ikut
tentang Hak Asasi Manusia disebutkan:
campur
“Karena manusia merupakan makhluk sosial,
dalam
kegiatan
apapun
yang
maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah 16
Lih. Memorandum Kerajaan Saudi Arabia tentang Undang-Undang Hak Asasi Manusia dalam Islam serta Pelaksanaanya di Arab Saudi di dalam A. Rahman Zainuddin, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta: Media Dakwah, 1979), 49-50.
tanpa batas; Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapa pun dan dalam keadaan apapun; Setiap hak asasi manusia
358
Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015
mengandung kewajiban untuk menghormati
lain, dan wajib-wajibnya sendiri terhadap
hak asasi manusia orang lain, sehingga di
orang-orang
dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban
umum semua orang. Semua orang harus
dasar.”
diperlakukan
Ketentuan
ini
secara
terang
lain,
maupun
menurut
kesejahteraan
keadilan
dan
menjelaskan bahwa hak asasi manusia tidak
prikemanusiaan. Selain itu, karena masyarakat
tanpa batas. Hak asasi manusia dalam
sipil
penerapannya menemukan batasnya pada
penyalahgunaan yang dapat timbul atas dalih
perwujudan keseserasian dan harmonitas
kebebasan beragama, terutama pemerintahlah
dalam kehidupan bermasyarakat.
yang wajib memberi perlindungan itu. Tetapi
berhak
melindungi
diri
terhadap
Di dalam Pasal 22 Deklarasi Universal
itu harus terjadi bukan sewenang-wenang,
Islam tentang Hak Asasi Manusia di Kairo
atau dengan cara tidak adil memihak pada
1990 disebutkan bahwa kebebasan dalam hak
satu golongan, melainkan menurut kaidah-
asasi manusia dibatasi oleh syari„at, moral,
kaidah hukum yang sesuai dengan tata moral
kebenaran,
Hak
yang obyektif. Kaidah-kaidah itu diperlukan
mengekspresikan pendapat secara bebas asal
demi kehidupan mereka bersama secara
tidak bertentangan dengan syari„at; hak untuk
damai; diperlukan juga untuk menjalankan
membela apa yang dianggap baik dan
usaha-usaha secukupnya demi ketentraman
memerangi apa yang salah; hak atas informasi
umum yang sepantasnya, yakni kehidupan
dan larangan menyalahgunakan informasi
bersama dan teratur dalam keadilan yang
yang melanggar kesucian Rasul, merusak
sejati;
moral
memecah-belah,
kesusilaan umum sebagamana harusnya. Itu
melemahkan kesetiaan, menebar kebencian,
semua merupakan unsur dasar kesejahteraan
menghasut, dan hal lain yang merugikan
umum, dan termasuk tata-tertib umum.
masyarakat.
Memang dalam masyarakat pada umumnya
dan
dan
kemaslahatan.
etika,
Pembatasan hak kebebasan beragama
diperlukan
pula
untuk
menjaga
perlu dipertahankan kebebasan seutuhnya. Itu
juga ditemukan di dalam ajaran-ajaran Gereja.
berarti,
Pada
tentang
manusia sepenuh mungkin; dan kebebasan itu
kebebasan beragama dinyatakan hal sebagai
jangan dibatasi kecuali bila dan sejauh
pernyataan
berikut, kebebasan
“Dalam harus
Uskup
Paulus
penggunaan ditaati
azas
semua
bahwa
harus
diakui
kebebasan
memang perlu.”
moral
Menurut penulis, setiap hak, termasuk
tanggungjawab pribadi dan sosial: Dalam
hak asasi manusia tidak bisa dipandang
memakai hak-haknya setiap orang maupun
sebagai sesuatu yang mutlak, baik secara
kelompok sosial diwajibkan oleh hukum
teoritis
moral untuk memerhitungkan hak-hak orang
dibekali dengan hak untuk memenuhi dan
apalagi
praktis.
Setiap
manusia
359
Ikhwan Matondang, Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia (HAM)
melindungi
kebutuhannya
dan
menjaga dan membatasi diri agar sampai
mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri
menyinggung perasaan dan hak penganut
manusia
agama lain, terutama dalam hal di mana
terjadi
di
dalam
kehidupan
bermasyarakat di mana terjadi interaksi dan
terdapat
keyakinan
atau
ajaran
lalu lintas kepentingan aktualisasi diri dari
berbenturan dan bertentangan.
yang
berbagai individu dan kelompok yang tidak
Memang di dalam kategorisasi hak
hanya selalu sejalan, tetapi tidak jarang
asasi manusia, hak kebebasan beragama
berbenturan dan malah bertentangan. Jika
digolongkan ke dalam kategori hak asasi
masing-masing individu memandang haknya
dasar manusia yang bersifat mutlak dan
secara
berada di dalam forum internum yang
mutlak,
mementingkan
dan
memaksakan kebebasan pribadi berdasarkan
merupakan
keyakinan masing-masing, maka keteraturan
(kebebasan untuk menjadi/freedom to be.) Hal
hidup masyarakat terancam kacau. Oleh
ini menyangkut eksistensi dan aktualisasi
karena itu, kebebasan beragama secara mutlak
pribadi
hanya mungkin terjadi dalam kehidupan
sehingga hak ini tergolong sebagai hak yang
masyarakat yang homogen secara mutlak, dan
tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun
ini
Dalam
(non-derogatable.) Hak kebebasan beragama
kenyataannya, boleh dikatakan bahwa semua
secara spesifīk dinyatakan di dalam dokumen
masyarakat manusia, terutama pada masa
dan perjanjian hak asasi manusia sebagai hak
moderen,
heterogenitas
yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya
agama dan kepercayaan sehingga penerapan
oleh negara dalam situasi dan kondisi apapun,
kebebasan beragama secara mutlak dalam
termasuk selama dalam keadaan bahaya,
makna yang luas tidak mungkin dipraktiekkan
seperti perang sipil atau invasi militer. Hak
tanpa
jenis ini dipandang sebagai hak paling utama
mustahil
secara
terbentuk
teoritis.
dalam
menimbulkan
benturan
dan
pertentangan. Di
dari sini
kebebasan
wujud
manusia
hak
asasi
dari
yang
inner
paling
manusia
freedom
mendasar
yang
harus
individu
dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara
menemukan ujungnya, yaitu kepentingan
pihak dalam keadaan apapun dan dalam
bersama, keteraturan hidup bermasyarakat
situasi yang bagaimanapun.
(public order), dan hak asasi orang lain.
Namun hak non-derogatable dalam
Setiap orang dapat menjalankan kebebasan
kebebasan beragama tersebut hanya terbatas
beragama dalam bingkai kepentingan bersama
pada konteks freedom to be, tidak merambah
menjaga
ke wilayah freedom to act (kebebasan
kehidupan
masyarakat
yang
harmoni. Setiap orang dapat menjalankan
melakukan
kebebasan
pengaturan dan kebijakan sendiri. Kebebasan
beragama
dengan
kesadaran
sesuatu)
yang
memerlukan
360
Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015
beragama dalam bentuk kebebasan untuk
tradisi
mewujudkan,
atau
Semua bangsa dan tradisi memiliki sejarah
memanifestasikan agama atau keyakinan
dan sumbangan positif terhadap kelahiran ide
seseorang, seperti tindakan berdakwah atau
tentang hak asasi manusia dan tidak ada satu
menyebarkan agama atau keyakinan dan
bangsa atau tradisi bisa menglaim sebagai
mendirikan tempat ibadah digolongkan dalam
penggagas
kebebasan
bertindak
(freedom
act.)
manusia. Pada tingkatan dan sudut pandang
Kebebasan
beragama
dalam
ini
ini, hak asasi manusia merupakan sesuatu
diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa
universal. Namun ketika menukik kepada hal-
diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya.
hal lebih konkrit, teknis, dan aplikatif, muncul
Namun
keragaman
mengimplementasikan,
perlu dicatat
to bentuk
bahwa penundaan
pelaksanaan, pembatasan atau pengaturan itu
budaya,
termasuk
ataupun
dan
agama-agama.
kampiun
relatifītas
hak
konsepsi
asasi
dan
pemahaman tentang hak asasi manusia.
hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-
Pada perkembangan terakhir, realitas
undang. Adapun alasan yang dibenarkan
dan bukti tak terbantahkan tentang ada
untuk melakukan penundaan pelaksanaan,
keragaman pemikiran hak asasi manusia di
pembatasan, atau pengaturan itu adalah
antara berbagai bangsa dan tradisi yang hidup
semata-mata perlindungan atas lima hal, yaitu
di dunia, mendorong masyarakat internasional
public safety (keselamatan masyarakat secara
untuk lebih menerima pandangan tentang
umum), public order (keteraturan kehidupan
relatifītas hak asasi manusia. Pada Konferensi
bermasyarakat), public health (kesehatan
Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina
masyarakat
morals
tahun 1993, atas desakan negara-negara
dan
berkembang, disepakati ada kelonggoran-
protection of rights and freedom of others
kelonggaran tertentu yang diberikan PBB
(perlindungan hak dan kebebasan orang lain.)
dalam
Dengan demikian tujuan utama tindakan
Disebutkan
penundaan
atau
kekhususan nasional, regional, serta berbagai
pembatasan itu adalah untuk menangkal
latar sejarah, budaya, dan agama harus selalu
ancaman terhadap keselamatan manusia atau
dipertimbangkan tanpa mengurangi tugas
hak milik mereka.
semua negara untuk memajukan semua hak
umum),
(perlindungan
moral
pelaksanaan,
public masyarakat),
pengaturan
Perbedaan persepsi tentang HAM dapat pula dijelaskan dengan melihat aspek dan tataran pemahaman hak asasi manusia. Pada tataran ide dan gagasan, hak asasi manusia merupakan milik semua bangsa dan
pelaksanaan juga
hak
asasi
bahwa
manusia.
kekhususan-
361
Ikhwan Matondang, Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia (HAM)
asasi manusia (pasal 5 Deklarasi Wina 17
1993.)
dan keyakinan tersebut, kehidupan manusia tidak sempurna, bahkan terancam bahaya.
Pada tingkat nasional, berbagai negara yang
memiliki
kemajemukan
Kebebasan beragama, pada tataran ide
dalam
dasar, merupakan hak asasi manusia yang
pemikiran hak asasi manusia, berupaya
berlaku secara universal dan komprehensif.
membuat
asasi
Namun pada tataran konsep dan aturan
manusia yang bisa diterima dan menjadi
pelaksanaan yang lebih konkrit, terdapat
konsensus berbagai pihak. Seperti Indonesia,
perbedaan perbedaan di antara negara-negara,
peraturan perundang-undangan tentang hak
agama, dan budaya yang hidup di dunia. Oleh
asasi manusia, sebagaimana telah dipaparkan
sebab
di
berusaha
menjalankan
keberagamaan
mengakomodasi berbagai pemikiran hak asasi
menghormati
dan
manusia, baik yang bersumber dari hukum
kekhasan-kekhasan yang ada pada setiap
internasional, maupun dari tradisi agama dan
negara, agama, dan budaya. Dalam lingkup
budaya yang hidup di Indonesia.
pribadi, setiap orang memiliki hak kebebasan
formulasi
muka,
rumusan
hak
tampaknya
itu,
beragama
implementasi
secara
beragama tetap
menyesuaikan
mutlak
pada
dan harus
dengan
tataran
identifīkasi dirinya sebagai penganut suatu
Penutup Kebebasan
merupakan
agama atau keyakinan, tetapi hak tersebut
bagian inti dari hak asasi manusia yang
menjadi terbatas pada tataran implementasi
melekat
ketika berhadapan dengan lalu lintas hak
pada
beragama
hakekat
dan
keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya. Kebebasan beragama wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi
oleh
negara,
hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi terwujud kehidupan yang sejahtera sesuai dengan harkat
dan
martabat
manusia.
Tanpa
perlindungan terhadap hak beragama dan berkeyakinan serta hak menjalankan agama
17
Mariam Budiardjo, “HAM dan Tap MPRS. No.XXV,” Forum Keadilan (Jakarta), Nomor 1, 9 April 2000, 43.
dalam kehidupan bermasyarakat.
362
Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015
Daftar Rujukan „Awdah, „Abd al-Qadīr, Al-Tasyrī‘ al-Jinā’ī al-Islāmī: Muqāranah bi al-Qanūn al-Waḍ‘ī. Beirut: Muassasah alRisālah, 1992. al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār Ibn Katsîr, 1408/1987, Juz VI, cet. ke-3. Bahnasī, Aḥmad Fatḥī, Al-Mas’ūliyyah al-Jinā’iyyah fī al-Fiqh al-Islāmī: Dirāsah Fiqhiyyah Muqāranah. Beirut: Dār al-Syurūq, 1404 H./1984 M. Budiardjo, Mariam, “HAM dan Tap MPRS. No.XXV,” Forum Keadilan (Jakarta), Nomor 1, 9 April 2000. Fatlâwî, Suhail Husain, 2001, Ḥuqūq al-Insān fī al-Islâm: Dirāsah Muqāranah fī Ḍaw‘ al-I‘lān al-‘Ālamî li Ḥuqūq alInsān. Beirut: Dār al-Fikr al-„Arabī, cet. ke-1. Fauzi, Ihsan Ali, “Hak Asasi Manusia,” dalam Taufīq Abdullah dkk. (eds.) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Gonggong, Anhar dkk, Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dam Kebudayaan R.I., 1995. Ibn Manẓūr, Jalāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim, Lisān al-‘Arab. Kairo: Dār al-Miṣriyyah li al-Ta‟līf wa al-Tarjamah, t.t. Kartika, Sandra dan Sapto Yunus (ed.), Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Panduan bagi Jurnalist. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2000. Khan, Majid Ali, “The Universal Declaration of Human Rights and Human Rights in Islam: A Comparative Study,” dalam Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic Law. New Delhi: Genuine Publications, ed. 1, 1993. LEO XIII, Ensiklik Libertas praestantissnum, 20 Juni 1888: Acta Leonis XIII 8, 1888 Lopa, Burhanuddin, Al-Quran dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1999. Lubis, Todung Mulya, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990, ed. Sarah Maxim. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Mawdūdī, Abū al-A„lā, “Human Rights, the West and Islam,” dalam Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic Law. New Delhi: Genuine Publications, ed. 1, 1993. Na„īm, „Abdullâh Aḥmad, “Syari„ah dan Isu-Isu HAM” dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi. Jakarta: Paramadina, cet.ke-2, 2003. -------, Naḥwu Taṭwīr al-Tasyrī‘ al-Islāmī. Kairo: Sīnā li al-Nasyr, 1994. -------, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law. New York: Syracuse University Press, 1990. PIUS XI, Ensiklik Mit brennender Sorge, 14 Maret 1937: AAS 29 (1937.) PIUS XII, Amanat radio, 24 Desember 1942: AAS 35 (1943.) Yūsuf al-Qaraḍawī, Jarīmah al-Riddah wa ‘Uqūbah al-Murtadd fī Ḍaw‘ al-Qur’ān wa al-Sunnah, terj. Irfan Salim dan Abdul Hayyie al-Katani. Jakarta: Gema Insani, 1998. -------, Fiqh Prioritas: Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran dan al-Sunnah, terj. Bahruddin F. Jakarta: Robbani Press, 1423 H./2002 M. Sābiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dār al-Fikr, 1403 H./1983 M., cet. ke-4, Jilid II. Syalṭūṭ, Maḥmūd, Islām ‘Aqīdah wa Syarî‘ah. Kairo: Dār al-Qalam, 1996, cet. ke-3. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963.) United Nations, ABC Teaching Human Rights. Zainuddin, A. Rahman, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Media Dakwah, 1979. Zarqā‟, Muṣṭafā Aḥmad, Al-Madkhal al-Fiqhī al-‘Ām: Al-Fiqh al-Islāmī fī Tsawbih al-Jadīd. Damsyik: Dār al-Fikr, t.t., Jilid III. Forum Keadilan (Jakarta), Nomor 1, 9 April 2000. Indopos (Jakarta), 31 Januari 2006; “Jyllands-Posten dikabarkan Minta Maaf” Indopos (Jakarta), 5 Februari 2006: “Sekjen PBB: Terimalah Maafnya” Indopos (Jakarta), 14 Februari 2006; “Kemarahan Dunia, Publikasi Terus” http://www.ekaristi.org/vat_ii/Pernyataan_ttg_ Kebebasan_Beragama.php http://anbti.org/2010/02/mengapa-uu-no-1-pnps-tahun-1965-dimintakan-pembatalan/