KEBENARAN ITU MEMERDEKAKAN
R E F O R M E D
Vol. 4, Maret 2011 Tahun II
C E N T E R
F O R
R E L I G I O N
&
S O C I E T Y
HAK SIPIL KEBEBASAN BERAGAMA
DAFTAR ISI
1 SALAM REDAKSI 2 ANALISIS 4 6 8 10 12
Hak Sipil Kebebasan Beragama ULASAN SEMINAR Truth, Pluralism and Public Life LIPUTAN KHUSUS GKI Yasmin, Jalan Panjang Mencari Keadilan ARTIKEL Peraturan Bersama (Perber) Kontraproduktif LIPUTAN PELUNCURAN BUKU PUBLIKASI DAN KEGIATAN REDAKSI
Dewan Redaksi Benyamin F. Intan Nimrod Sitorus Tandean Rustandy Murniaty Santoso Joko Prabowo Jani Hermawan Redaktur Binsar A. Hutabarat Dini Y. Rachman R. Graal Taliawo Adhya Kumara Alamat Jl. Raya Boulevard Barat Plaza Pasifik B4, 73-75 Kelapa Gading Jakarta Utara 14240 Telepon: 021-45842220 Faks: 021-45854062 E-mail:
[email protected] CIMB Niaga STEMI - Pusat Pengkajian 430.01.00201.005
Narasumber Seminar RCRS “Truth, Pluralism and Public Life”, 26 Februari 2011: Os Guinness, D.Phil., Pdt. Dr. Benyamin F. Intan (moderator), Pdt. Dr. Stephen Tong, dan Dr. M.A.S. Hikam.
SALAM REDAKSI
G
lobalisasi telah membuat dunia semakin heterogen, setiap negara kini memiliki perbedaan yang jauh lebih beragam dibanding zaman manapun. Tidak heran, dalam 25 tahun belakangan ini konflik agama merebak di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Intoleransi dan kekerasan agama menjadi persoalan serius di negeri ini, khususnya setelah era reformasi. Menurut Setara Institute, sebagian besar pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi akhir-akhir ini melibatkan para penyelenggara negara. Dari 286 tindakan pelanggaran kebebasan beragama, 103 diantaranya melibatkan negara, mulai dari pejabat publik yang memberikan pernyataan provokatif sampai kepada pembiaran terhadap kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kondisi yang memprihatinkan tersebut mendorong Reformed Center For Religion and Society (RCRS) menggelar seminar, “Truth, Pluralism and Public Life” Sabtu, 26 Februari 2011, di Jakarta, dengan narasumber Os Guinness, D.Phil. (Brookings Institution dan Woodrow Wilson Center), Dr. Muhammad A.S. Hikam (Tokoh Islam dan mantan Menristek), dan Dr. Stephen Tong (Pendiri RCRS), dipandu Dr. Benyamin F. Intan, Direktur
Eksekutif RCRS. Veritas Dei kali ini mengambil tema “Hak Sipil Kebebasan Beragama”, menyajikan pemikiranpemikiran cerdas dan bijak bagaimana supaya kehadiran agama dalam ruang publik membawa manfaat, semata-mata memberikan kontribusi positifnya saja. Setelah artikel analisis Dr. Stephen Tong “Hak Sipil Kebebasan Beragama,” Redaksi menyajikan rangkuman seminar “Truth, Pluralism and Public Life.” Laporan kekerasan agama dengan liputan “GKI Yasmin, Jalan Panjang Mencari Keadilan” akan memberikan gambaran mengenai potret buram kebebasan beragama yang terus terjadi di negeri ini. Artikel Dr. Benyamin F. Intan “Peraturan Bersama (Perber) Kontra Produktif ” sangat membantu di dalam mencari solusi permasalahan kebebasan beragama di tanah air. Diakhiri dengan laporan peluncuran Buku “Mari Benahi Perekonomian Bangsa” karya Tandean Rustandy, M.B.A., anggota Dewan Eksekutif RCRS, kami percaya kehadiran Veritas Dei kali ini kembali akan menjadi berkat bagi para pembaca sekalian. Selamat membaca!
www.reformed-crs.org
Redaksi
Analisis HAK SIPIL KEBEBASAN BERAGAMA
J
Pdt. Dr. Stephen Tong
Itulah sebabnya orang berkultur harus bicara tentang moral, demikian juga dengan orang beragama. Maka, moral menjadi common ground kedua wilayah ini. Secara bersamaan itu juga menjelaskan bahwa manusia tak mungkin tidak beragama. Orang yang ateis pun tidak mungkin lepas daripada fungsi beragama. Mao Zhe Dong tidak percaya Allah karena dia sendiri sudah jadi “allah palsu.” Jadi itu adalah agama. Religere tidak mungkin tidak ada.
ean-Jacques Rousseau, bapak filsafat Revolusi Perancis pernah melontarkan perkataan yang melawan arus pada zamannya, “kemajuan pendidikan dan kebudayaan tidak mengakibatkan perbaikan moral di dalam masyarakat modern.” Meski manusia sudah mendapat pendidikan lebih baik, sudah mempunyai pengetahuan lebih tinggi, masyarakat modern tetap tidak mampu menahan kemerosotan dan kerusakan moral. Kemerosotan moral sesungguhnya hanya bisa dijawab oleh agama. Kemudian, dalam bukunya yang terkenal “Social Contract”, Rousseau menulis, “dari permulaan manusia dilahirkan dengan sama rata, tetapi karena sistim masyarakat dan hal-hal di dalam tradisi, manusia kemudian diperlakukan secara tidak rata.” Di akhir buku itu dia menuliskan katakata yang penting terkait kebebasan beragama, “Siapapun tidak berhak untuk mengekang manusia yang lain. Siapapun tidak berhak untuk menguasai hak manusia yang lain, kecuali disetujui oleh orang itu.” Pada waktu itulah pertama kali dalam sejarah, orang mulai melihat mengapa begitu banyak orang dirampas kebebasannya. Pemikiran Rousseau itu kemudian menjadi api yang mencetuskan Revolusi Perancis pada tahun 1789. Dan pada waktu revolusi Perancis, ada kalimat yang amat menggetarkan umat beragama “Begitu banyak dosa dilakukan di belakang jubah kependetaan.” Agama ternyata bukan hanya menghadirkan kontribusi positif saja, tetapi juga wajah kekerasan. Kebebasan Beragama Agama, dalam bahasa latin “religere” 2
artinya “hubungan.” Berarti, hubungan antara manusia dengan Yang Tidak Kelihatan atau Sang Pencipta. Hubungan antara manusia dengan manusia yang lain. Hubungan antara manusia dengan dunia rohani yang tidak kelihatan, termasuk setan, atau malaikat. Singkatnya, agama adalah hubungan antara manusia dengan materi yang dari dalamnya kita mendapatkan dukungan yang paling fundamental untuk menjalankan hidup jasmani kita. Dan semua hubungan tersebut apabila memiliki integrasi, keharmonisan, akan menghadirkan agama yang beres. Sayangnya tidak selalu demikian, agama ternyata bisa menjadi salah satu hal yang paling baik sekaligus paling jahat. Di semua agama ada “orang baik”, karena agama dan kebudayaan merupakan respons manusia kepada wahyu umum daripada Tuhan Allah. Religion is the internal reaction to the general revelation of God. Sedangkan, culture is the external response to the general revelation of God. Agama dan kebudayaan sama-sama mencari nilai. Konsep nilai agama dan kebudayaan overlap di dalam hal moral.
Manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah. Karena itu manusia berdaulat pada hal-hal tertentu yang mewakili Tuhan. Namun manusia tetap berbeda dengan Allah, “We are created, we are limited, we are polluted.” Karena dicipta (created), manusia tidak boleh berperan sebagai Tuhan Allah. Karena terbatas (limited), manusia tidak boleh sombong. Karena sudah jatuh dalam dosa (polluted), manusia tidak akan pernah mungkin sempurna. Manusia harus kembali kepada Tuhan dengan penuh perasaan takut kepada Allah, jujur kepada kebenaran, dan cinta kepada sesama. Ini adalah dasar bahagia daripada satu negara, satu masyarakat. Dan dari sinilah berdiri satu kekuatan di dalam diri manusia untuk tidak bersikap semaunya terhadap orang lain. Karena kebebasan yang melebihi batas yang seharusnya bukanlah kebebasan, melainkan kebuasan. Jadi, kebebasan beragama bukan karunia pemerintah, tetapi bersumber dari Tuhan. Dan, mereka yang beragama atau berkebudayaan sepatutnya mempunyai moralitas sebagai manusia yang dicipta menurut peta dan teladan Allah. Jikalau agama betul-betul meningkatkan moral, kesucian, kejujuran, Vol. 4, Tahun II, Maret 2011
kesungguhan, kasih, kebajikan, dan keadilan, agama akan menjadi hal yang paling indah dalam kebudayaan manusia. Sebaliknya, jikalau agama menjadi alat untuk mendukung egoisme, kejahatan, keserakahan, dan menjadi alat untuk memenuhi ambisi pribadi, maka agama akan menjadi alat yang paling jahat di dunia. Kita harus menghargai adanya hak kebebasan beragama karena ini adalah pemberian Tuhan. Sebagai peta dan teladan Allah, manusia diberikan kebebasan. Allah tidak menciptakan suatu tempat yang menjadikan paksaan. Allah memberikan kebebasan kepada manusia, mau menyeleweng, mau murtad, mau tidak mengakui Dia? Terserah! Tetapi hukuman itu pasti ada. Hak Sipil Kita tidak mungkin menyetujui semua agama. Orang Islam tidak setuju agama lain, orang Kristen tidak setuju agama lain, itu adalah keyakinan masing-masing. Tetapi kita harus setuju bahwa manusia mempunyai kebebasan beragama menurut keyakinan mereka.
Bolehkah orang Islam menjadi orang Kristen? Silahkan. Kalau orang Kristen akhirnya mau menjadi orang Islam bagaimana? Silahkan. Meskipun semua pemimpin agama tidak suka anggota gereja atau anggota agama mereka pindah agama, tetapi jikalau keyakinan mereka sudah sampai tahap tertentu tidak bisa dibendung dan tidak bisa diatur lagi, biarlah setiap manusia bertanggung jawab terhadap apa yang dia tahu tentang agamanya. Dan kita harus saling menghormati. Meskipun semua umat beragama berhak mempropagandakan agama masing-masing sesuai konstitusi Indonesia, tetapi, itu tidak boleh mengganggu kebebasan umat beragama lain. Hak memilih agama sesuai keyakinan setiap orang, harus dilindungi. Hak kebebasan beragama adalah hak yang sangat hakiki yang tidak boleh dirampas oleh siapapun, dan sepatutnya menjadi hak sipil setiap warga negara. Kemutlakan itu menjadi sesuatu yang paling penting dalam iman beragama. Itulah sebabnya semua orang yang beragama berusaha untuk menangkap yang paling mutlak, kemudian meya-
BUKU Title: “Public Religion” and the PancasilaBased State of Indonesia: An Ethical and Sociological Analysis Author: Benyamin Fleming Intan. (M.A. in Theological Studies, Reformed Theological Seminary, USA; M.A. in Religion, Yale University, USA; Ph.D. in Social Ethics, Boston College, USA) Publisher: Peter Lang, New York, 2006 Hardcover: 292 pages ISBN: 978-0820476032 Price: Rp600.000 (RCRS Secretariat) US$67.95 (Amazon.com) Vol. 4, Tahun II, Maret 2011
kininya, dan mempraktekkannya di dalam hidup mereka. Bahayanya, kemutlakan kalau sudah diyakini secara tuntas, biasanya menjadi eksklusivisme, dan melahirkan konflik. Itulah sebabnya orang yang membela agamanya berani membunuh orang lain, mereka menganggap mempunyai alasan yang cukup, karena telah menemukan kemutlakan, dan mutlak taat kepada kemutlakan itu. “Maka ‘saya mutlak’ harus membenci orang yang tidak percaya kepada kemutlakan saya.” Ini adalah kesulitan yang tidak pernah mungkin akan diselesaikan sepanjang sejarah masih berlangsung, dan selama matahari masih terbit. Dengan demikian jelaslah, jangan harap ada satu hari “Indonesia bisa damai dan tidak ada konflik lagi.” Perdamaian antar agama adalah perjuangan setiap saat, setiap detik, setiap jam, setiap hari, harus digumuli dan dikerjakan. Perjuangan itu juga membutuhkan tampilnya pemimpinpemimpin yang bersedia mengorbankan dirinya, dan tidak berkompromi. (Ulasan Pdt. Dr. Stephen Tong,
dalam Seminar “Truth, Pluralism and Public Life” dan Seminar “HAM dan Kebebasan Beragama”)
DVD
Seminar HAM dan Kebebasan Beragama Pdt. Dr. Stephen Tong Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A. Prof. Drs. Dawam Rahardjo Pdt. Benyamin F. Intan, Ph.D. Harga: Rp60.000 3
Ulasan Seminar TRUTH, PLURALISM AND PUBLIC LIFE
“T
sekuler tersebut—Amerika Serikat dan Perancis—berada di bawah tekanan dengan banyaknya pertemuan agama-agama dalam kehidupan publik.
ruth, Pluralism and Public Life,” demikian tema seminar Reformed Center for Religion and Society (RCRS), Sabtu, 26 Februari 2011, di Jakarta, dengan narasumber Os Guinness, D.Phil. (Brookings Institution dan Woodrow Wilson Center), Dr. Muhammad A.S. Hikam (Tokoh Islam dan Mantan Menristek RI), Dr. Stephen Tong (Pendiri RCRS), dipandu Dr. Benyamin F. Intan, Direktur Eksekutif RCRS. Seminar yang dihadiri sekitar seribu orang peserta itu diselenggarakan untuk mencari solusi bagaimana supaya kehadiran agama di kehidupan publik (public life) semata-mata hanya menghadirkan kontribusi positifnya saja. Seminar tersebut juga membahas mengapa kekerasan (violence) yang mengatasnamakan agama tak pernah sepi di Indonesia, khususnya di era reformasi. Kemudian bagaimanakah konsolidasi agama-agama yang beragam dan berbeda itu bisa menghadirkan nilai-nilai bersama yang dapat menjadi dasar moralitas bersama dalam sebuah komunitas yang majemuk, khususnya di tengah intoleransi dan kekerasan agama di negeri ini yang terus mengalami peningkatan baik dari segi jumlah maupun kualitas. Konflik agama dalam 25 tahun terakhir ini menurut Os Guinness makin memprihatinkan. Pembunuhan karena agama di banyak negara meneguhkan apa yang disebut dengan perang budaya. Globalisasi telah membuat dunia semakin heterogen, setiap negara kini memiliki perbedaan yang jauh lebih beragam dibanding zaman manapun. Globalisasi secara bersamaan juga 4
Os Guinness, D.Phil. (Brookings Institution dan Woodrow Wilson Center, USA.)
memunculkan tempat publik global. Ruang publik, yakni tempat di mana warga negara datang untuk memperdebatkan dan menyelesaikan masalah publik, bukan saja tempat fisik seperti rumah parlemen, tetapi juga di halaman-halaman koran, atau di tempat manapun di mana kemudian orang memperdebatkan masalah publik. Selanjutnya Guinness mengungkapkan, Revolusi Perancis 1789, bukan hanya ingin menumbangkan pemerintahan yang otoriter, tetapi juga mengenyahkan agama dari ruang publik: “marilah kita mencekik leher raja terakhir dengan usus imam terakhir.” Perancis melakukan pemisahan yang tegas antara agama dan kehidupan publik, langkah ini diikuti Turki, dan juga diikuti oleh seluruh rezim komunis. Di Amerika Serikat juga terjadi pemisahan agama dari negara, bedanya, agama bersifat sukarela, fase yang menentukan adalah lahirnya Bill of Rights (1771). Tetapi, kedua negara
Bagi Guinness, menyingkirkan agama dari ruang publik adalah suatu kesalahan, karena kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang begitu penting dalam setiap masyarakat. Kebebasan hati nurani adalah dasar bagi kebebasan berbicara (freedom of speech) dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly). Singkatnya, kebebasan hati nurani adalah kunci harmoni sosial karena dengannya kita bisa bermasyarakat yang kuat. Sayangnya kebebasan beragama itu terus saja mengalami penyerangan. Memang pemisahan agama dan negara di Perancis relatif moderat, sedangkan di China yang totalitarian pemisahan itu sangat menekan. Tetapi tetap saja semuanya itu melawan kebebasan. Jika kita tidak bisa menyampaikan apa yang kita imani di ruang publik itu berarti pengabaian hak kita sebagai manusia. Upaya negara-negara Timur Tengah yang mendesak PBB untuk mengeluarkan hukum tentang kesesatan dalam agama juga merupakan bentuk penyerangan terhadap kebebasan beragama. Guinness berpendapat, setiap orang dengan kepercayaannya mestinya boleh masuk ke dalam kehidupan publik (civil public square). Tapi dengan syarat, hak dan kewajiban suatu kepercayaan harus dapat menjamin seluruh kepercayaan-kepercayaan lainnya. Dengan kata lain, hak setiap orang harus sama. Guinness menolak tempat publik yang telanjang (naked public square) yang menghilangkan semua agama, dan tempat publik Vol. 4, Tahun II, Maret 2011
yang sakral (sacred public square) yang hanya memilih satu agama, lainnya tidak punya hak. Keduanya ini, menurut Guinness, anti kebebasan dan anti demokrasi. Agar kebebasan beragama dapat dimiliki setiap insan dan terciptanya kehidupan publik yang sehat, Guinness menekankan pentingnya kepemimpinan yang teguh dan berani. Untuk mematahkan kejahatan diperlukan pemimpin yang berani dan mau berkorban, membayar harga. Selain itu, menurut Guinness, diperlukan visi moral yang kuat serta pendidikan sipil (civil education). Mengawali pemaparannya, Muhammad A.S. Hikam mengungkapkan masyarakat Indonesia patut bersyukur terhadap founding fathers yang secara luar biasa telah mampu menggagas civil public square. Tuhan diakui keberadaannya di dalam dasar negara kita, tetapi juga mengakui kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai fondasi negara Indonesia, dengan hak beragama (right of conscience) merupakan hak asasi utama. Soekarno dan Hatta, 65 tahun yang lampau telah menunjukkan kreatifitasnya dalam meletakkan konsep filosofis negara Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan, tetapi harus juga berkeadaban, civility. Berkeadaban artinya berdasarkan hak-hak asasi manusia, bertoleransi, termasuk melindungi perbedaan-perbedaan yang ada. Hikam berujar, setelah 65 tahun merdeka, problem of civility masih menjadi masalah besar. Padahal civility merupakan salah satu landasan bagi eksistensi bangsa yang identitasnya pluralis. Jadi mustahil suatu masyarakat yang majemuk didirikan tanpa ada civility, tanpa ada keadaban, keadaban yang didasari pada penghormatan HAM. Ironisnya, paska reformasi kita melihat ada sesuatu yang Vol. 4, Tahun II, Maret 2011
salah karena hilangnya suatu perekat, yaitu civility. Hikam juga menegaskan selain hak asasi, dasar lainnya dari civility adalah trust. Apabila suatu organisasi, baik itu rumah tangga atau organisasi apapun tanpa trust tidak mungkin berjalan dengan baik. Demikian juga dengan negara, kalau tidak ada trust antar warga negara, tidak mungkin negara tersebut bisa bertahan. Dialog antar umat beragama atau lintas agama, menurut Hikam, harus difokuskan bukan pada masalahmasalah yang dianggap sacred, yang tidak mungkin dicari rekonsiliasinya, karena agama-agama itu sesungguhnya berbeda, dan ultimate. Tetapi dialog agama bisa dipakai sebagai cara untuk saling mengerti, saling belajar di dalam mengenal satu sama lain. Sebagaimana dengan Guinness, Hikam juga setuju bahwa untuk mewujudkan semuanya itu diperlukan kepemimpinan yang tegas dan berani. Di negeri ini pembiaran negara telah mengakibatkan minoritas, mereka yang lemah menjadi korban altar fanatisme. Masyarakat Indonesia harus berjuang menyelesaikan persoalanpersoalan dasar negeri ini, agar apa yang diinginkan founding fathers menjadi sesuatu yang riil, dan itu membutuhkan kepemimpinan yang handal. Dalam seminar tersebut Stephen Tong secara bijaksana mengingatkan, masyarakat Indonesia yang majemuk mesti belajar “setuju untuk tidak setuju” (agree to disagree). Demi terciptanya keharmonisan hidup, Socrates menegaskan kebenaran tidak boleh sembarangan. Protagoras, berpendapat, “homo mensura,” man is the measurement of all things including truth. Dengan demikian jelaslah bahwa interpretasi itu sesuatu yang beragam, dan kita harus menghargai interpretasi atas kebenaran, di sini
Dr. Muhammad A.S. Hikam (Tokoh Islam, Mantan Menristek RI)
jelas diperlukan jalan damai. Menurut Tong, masyarakat Indonesia perlu mewaspadai dampak negatif dari pemahaman terhadap yang mutlak, meski tidak harus jatuh pada relativisme. Kemutlakan menjadi sesuatu yang paling penting dalam iman beragama. Itulah sebabnya semua orang yang beragama berusaha untuk menangkap yang paling mutlak, lalu meyakininya, dan mempraktekkannya di dalam hidup mereka. Bahayanya, kemutlakan kalau sudah diyakini secara tuntas, biasanya menjadi eksklusivisme, dan melahirkan konflik. Itulah sebabnya orang yang membela agamanya berani membunuh orang lain, mereka menganggap mempunyai alasan yang cukup karena telah menemukan kemutlakan, dan mutlak taat kepada kemutlakan itu. “Maka ‘saya mutlak’ harus membenci orang yang tidak percaya kepada kemutlakan saya.” Ini adalah kesulitan yang tidak pernah mungkin akan diselesaikan sepanjang sejarah masih berlangsung, dan selama matahari masih terbit. Dengan demikian, Tong mengingatkan, umat beragama mesti... bersambung ke halaman 11... 5
Liputan Khusus GKI YASMIN, JALAN PANJANG MENCARI KEADILAN
N
egeri ini mengakui, ”meskipun langit runtuh, hukum harus ditegakkan.” Itu berarti keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap wajib dihormati dan harus dilaksanakan. Ironisnya, hal itu tidak terjadi dalam perkara Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin (GKI Yasmin). Pengadilan terendah hingga tertinggi telah memenangkan GKI Yasmin, tapi sampai hari ini, mereka belum juga bisa beribadah dengan bebas di tempat mereka yang menurut hukum di negeri ini tidak bermasalah. Hingga saat ini, pemerintah daerah kota Bogor belum berkenan membuka segel gereja yang ditetapkan sejak tahun lalu. Minggu 20 Maret 2011, seperti minggu-minggu sebelumnya, jemaat GKI Yasmin terpaksa beribadah di pelataran jalan, tidak jauh dari gedung gereja mereka yang disegel pemerintah daerah. Meski tidak ada aktivitas ibadah, gedung GKI Yasmin dijaga ketat aparat kepolisian. Truktruk polisi diparkir di depan gedung tersebut, berjajar menutupi gedung yang belum selesai dibangun itu. Tindakan pemerintah daerah yang belum juga mentaati keputusan pengadilan untuk mencabut segel atas gereja tersebut, jelas menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah melecehkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum. Apalagi ketika Pemkot Bogor dengan arogannya kemudian mencabut izin gereja padahal menurut pengadilan izin tersebut tidak bermasalah. Pemkot Bogor bahkan menetapkan agar tempat ibadah tersebut ditutup permanen, dan selanjutnya dipindahkan ke tempat lain. Tindakan pemerintah daerah tersebut 6
Juru bicara GKI Taman Yasmin, Bonar Sigalingging, memperlihatkan fotocopy Surat Keputusan Mahkamah Agung yang menerangkan bahwa IMB GKI Yasmin secara hukum tidak bermasalah, dalam ibadah hari Minggu, 20 Maret 2011, yang dihadiri oleh Pdt. Gomar Gultom, M.Th (Sekretaris Umum PGI).
jelas-jelas telah melanggar hak asasi manusia, khususnya hak kebebasan beribadah. Upaya relokasi bukannya menyelesaikan, malah membuat masalah semakin ruwet. Relokasi HKBP Ciketing, misalnya, ternyata tidak menyelesaikan masalah. Bona Sigalingging, juru bicara GKI Yasmin berujar, gereja yang sudah punya IMB saja dilarang, apalagi di lokasi baru yang harus mulai proses IMB dari awal. Menerima tawaran relokasi GKI Yasmin sama saja menambah panjangnya perjuangan menuntut hak kebebasan beribadah jemaat tersebut. Melihat lokasi gedung GKI Yasmin yang terletak di Jl. K.H. Abdullah bin Nuh No.31 Kota Bogor yang relatif jauh dari rumah penduduk, berjajar dengan Rumah Sakit Hermina dan pusat perbelanjaan Giant yang amat megah, dan di seberang jalan terdapat sederetan kedai makanan yang menyajikan beraneka menu. Timbul pertanyaan, masyarakat mana yang sesungguhnya terganggu dengan kehadiran GKI Yasmin tersebut, kalau pun ada, mengapa aparat kepolisian tidak lebih dahulu mendata siapa se-
sungguhnya sekelompok orang yang mengganggu ketenangan jemaat GKI Yasmin. Dalam kasus penutupan rumah ibadah di beberapa tempat ada indikasi kelompok-kelompok yang melakukannya bukanlah warga sekitar. Ini menjelaskan adanya kelompok-kelompok yang menjadi ancaman bagi kebebasan beragama di negeri ini. Herannya, pemerintah daerah tanpa dasar yang jelas malah menganggap kehadiran GKI Yasmin telah menodai kerukunan umat beragama di sekitar tempat tersebut. Padahal mereka adalah korban diskriminasi, karena hak kebebasan beribadah jemaat tersebut diberangus. GKI Yasmin telah mengantongi IMB gedung gereja di Kelurahan Curug Mekar, Bogor 13 Juni 2006 melalui SK Walikota Bogor No. 645.8-372. Setelah izin dikeluarkan pembangunan gedung gereja pun mulai dilakukan. Pada 14 Februari 2008 tiba-tiba izinnya dibekukan, pembangunan pun terhenti. Sekelompok orang yang menganggap pembangunan geVol. 4, Tahun II, Maret 2011
reja itu menyalahi aturan kemudian melakukan penyegelan pada tahun 2010. Pembiaran pemerintah terhadap tindakan sekelompok orang yang melakukan penyegelan terhadap GKI Yasmin jelas menunjukkan tidak adanya tanggung jawab perlindungan pemerintah daerah. Apabila pemerintah daerah bertanggung jawab, maka tindakan tegas harus dijatuhkan pada kelompokkelompok tersebut, bukannya malah merelokasi tempat ibadah tersebut. Pemerintah daerah ternyata kalah terhadap kelompok-kelompok yang selalu bergairah memaksakan kehendaknya. Ini berarti pemerintah daerah telah menyerahkan monopoli penegakkan hukum kepada kelompok tertentu. Sebuah perlawanan terhadap kebebasan beragama yang mestinya tidak boleh ada di dalam negeri yang memosisikan agama pada tempat terhormat, yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi kontribusi positif agama pada ruang publik demi hadirnya civil public square sebagaimana ditetapkan oleh founding fathers negeri ini. Pembiaran pemerintah tersebut jelas berdampak buruk karena terindikasi telah menciptakan sacred public
Seusai kebaktian hari Minggu, 20 Maret 2011, jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor, membagikan bunga sebagai simbol kasih kepada aparat keamanan (Polisi dan Satpol PP) yang berjaga.
square, yang mendasari pemerintahan pada satu agama tertentu. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi negeri ini yang memisahkan antara agama dan negara, tanpa perlu membelenggu agama untuk hanya ada pada ruang privat agama, demikian juga tidak mengijinkan hegemoni agama tertentu, karena Indonesia bukan negara teokrasi yang didasarkan pada agama tertentu. Jemaat GKI Yasmin yang merasa haknya dilecehkan memang tidak pernah putus asa memperjuangkan hak-hak mereka. Mereka terus berjuang mencari keadilan. Sikap
keras pemerintah daerah yang tidak menghormati hukum di negeri ini memaksa jemaat GKI Yasmin merencanakan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas pencabutan IMB GKI Yasmin tertanggal 11 Maret 2011. Ini semua membuktikan bahwa hak asasi manusia yang mestinya menjadi hak sipil, ternyata masih harus mengalami jalan panjang untuk pemenuhannya. Jika demikian, sampai kapankah negeri ini bisa memiliki ruang publik yang sehat yang mensyaratkan terpenuhinya hak-hak asasi setiap warganya? (Binsar A. Hutabarat, R. Graal Taliawo)
Peristiwa Kekerasan Agama
INTOLERANSI MASIH MENGANCAM
P
erayaan The World Interfaith Harmony Week di Istora Senayan, Jakarta, Minggu 6 Februari 2011, dinodai oleh peristiwa penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik, Pandeglang, Banten, di hari yang sama, dan aksi massa yang merusak tiga gereja dan satu sekolah Kristen di Temanggung, Jawa Tengah, Selasa 8 Pebruari 2011.
tewas—Karno, Mulyadi, dan Roni— dan lima orang luka parah. Selain merusak satu rumah milik Ahmadi— panggilan untuk penganut Ahmadiyah—penyerang membakar dua mobil dan merusak satu sepeda motor. Diperkirakan 1.500 orang melakukan penyerangan. Perkembangan terakhir, kepolisian telah menetapkan 12 tersangka, termasuk tiga polisi karena lalai menjalankan tugas.
nya di Temanggung, Jawa Tengah. Tidak puas dengan vonis hakim Pengadilan Negeri Temanggung terhadap terdakwa penistaan agama, Antonius Richmond Bawengan, ratusan massa merusak Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Pentakosta Temanggung, Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus, serta satu bangunan sekolah taman kanak-kanak (TK) yang berada di lingkungan GBI.
Serangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik memakan korban tiga
Berselang dua hari, kekerasan bernuansa agama kembali terjadi, tepat-
bersambung ke halaman 11...
Vol. 4, Tahun II, Maret 2011
7
Artikel PERATURAN BERSAMA (PERBER) KONTRAPRODUKTIF1 Pdt. Dr. Benyamin F. Intan
P
emberlakukan Perber (Peraturan Bersama) Menag dan Mendagri 2006 yang merupakan revisi dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag dan Mendagri No. 1/1969, menimbulkan permasalahan serius. Betapa tidak, sejak Perber diterapkan, gelombang penolakan terhadapnya terus meningkat. Alasan utamanya, peraturan tersebut cenderung mengekang kebebasan beragama. Sejak diberlakukan, Perber langsung menyasar gereja-gereja kecil yang belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Padahal, sebelumnya tempat-tempat ibadah tersebut banyak yang tidak pernah dipersoalkan kehadirannya oleh masyarakat sekitar. Lahirnya Perber memberikan legitimasi bagi penutupan banyak gereja yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana tertera dalam Perber, yakni memiliki persetujuan dari 60 orang warga sekitar, dan jumlah anggota jemaat minimal 90 orang dewasa yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dalam usianya yang terbilang muda itu, Perber kemudian juga menyasar gereja-gereja mainline, seperti yang dialami Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Kristen Indonesia (GKI) misalnya GKI Taman Yasmin, dan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB), antara lain GPIB Galaksi, demikian juga beberapa Gereja Katolik, seperti yang terjadi di Harapan Indah Bekasi dan Purwakarta.
Ketegangan dan kecurigaan hubungan Islam-Kristen dimulai tahun 1967, ketika itu disinyalir bahwa akibat G30S PKI, banyak Islam abangan yang berideologi komunis masuk Kristen. Untuk menghentikan proses pertumbuhan tersebut, atas desakan kelompok Islam, pemerintah meminta para wakil agama menandatangani pernyataan tidak akan membawa agama kepada orang yang telah beragama dalam Musyawarah Antar Umat Beragama tahun 1967. Namun wakil Kristen dan Katolik menolak menandatangani. Akibatnya musyawarah berakhir tanpa hasil. Sekretaris Jenderal Gereja HKBP Pdt. Ramlan Hutahaean, MTh. menyimpulkan, maraknya perusakan dan pelarangan berdirinya rumah ibadah di Indonesia adalah karena Perber tersebut memiliki celah bagi kaum mayoritas di suatu tempat untuk menghalangi berdirinya rumah ibadah kaum minoritas. Hal yang sama ditegaskan Yenny Zannuba Wahid, Direktur The Wahid Institute, bahwa semangat perlindungan minoritas absen dalam Perber (Sindo, 20/11/10). Diskriminatif Amat disayangkan, Perber 2 Menteri 2006 yang merupakan revisi dari SKB 2 Menteri 1969, tidak dapat melepaskan dirinya dari konteks politik yang mencetuskan SKB 1969 tersebut. Seperti diketahui, munculnya SKB 1969 tidak dapat dipisahkan dari konsesi politik yang diberikan pemerintah kepada Islam.
Sebagai konsesi kepada Islam, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No.1/1969 tentang pendirian tempat ibadah, targetnya jelas: membatasi tempat ibadah orang Kristen. Itu sebabnya mengapa bagi Gus Dur, SKB adalah akal-akalan untuk menghalangi pendirian gereja. Entah berapa banyak gereja yang tidak jadi didirikan gara-gara SKB. Entah berapa banyak gedung gereja yang ditutup dan dihancurkan hanya karena alasan SKB tersebut. Sangat ironis memang, ketika gereja begitu sulit dibangun, ia dengan begitu mudahnya ditutup dan dirusak. Itu sebabnya kita menyambut Perber 2006 yang merevisi SKB 1969. Tapi alangkah kecewanya kita, bagai pinang dibelah dua, Perber hampir tidak ada bedanya dengan SKB. Sama-sama bersifat diskriminatif. Perber yang mensyaratkan pendirian
1. Bentuk ringkas artikel ini pernah dimuat di kolom Opini harian Seputar Indonesia (Sindo), Selasa, 21 September 2010. 8
Vol. 4, Tahun II, Maret 2011
rumah ibadah melalui persetujuan 60 warga sekitar dan jemaat minimal 90 orang dewasa ber-KTP, dengan amat mudahnya dapat dipenuhi kelompok agama mayoritas pada suatu daerah.
menolak pendirian tempat ibadah. Mereka berupaya membeli tanahtanah dimana akan dibangun rumah ibadah agama lain untuk kemudian menghalanginya.
Tapi bagaimana dengan kaum minoritasnya? Mengumpulkan jemaat minimal 90 orang dewasa ber-KTP tidaklah mudah. Jika tingkat kelurahan tidak cukup, dinaikkan ke tingkat kecamatan. Jika masih juga tidak cukup harus ke tingkat perkotaan. Jika itu pun masih tidak cukup, harus gabungkan beberapa kota demi mendirikan sebuah rumah ibadah.
Sehingga masyarakat akan terbelah berdasarkan agama, yang kemudian melahirkan cluster-cluster berdasarkan agama. Hubungan interkomunal menjadi jauh lebih dominan dibandingkan kelompok intra agama. Hal ini akan memperlemah rasa kesatuan dan persatuan bangsa. Yang pada akhirnya, merupakan tindakan bunuh diri bagi negara.
Dalam prakteknya, hal ini hampirhampir mustahil bisa dijalankan mengingat faktor jarak. Di Sumatera Utara, misalnya, ada daerah dimana satu kelurahan dengan kelurahan lain berjarak sangat jauh. Sehingga Perber menjadi kontraproduktif, kehadirannya bukannya mendorong tapi malah mengekang kebebasan beribadah. Perlu dicatat, Perber diskriminatif ini bukan persoalan umat kristiani semata. Mengekang hak-hak minoritas demi langgengnya kepentingan mayoritas, bisa terjadi kepada siapa saja, dimana saja, dan pada agama apa saja. Ia bisa menimpa umat Islam yang ingin mendirikan mesjid di Bali dengan mayoritas Hindu. Ia bisa pula terjadi pada umat Islam dan umat Hindu yang ingin mendirikan rumah ibadah di daerah yang mayoritas Kristen. Singkatnya, Perber adalah persoalan setiap kita, anak bangsa.
Agama dan Negara Persoalan utama di balik Perber dikarenakan negara mendominasi ranah privat agama. Dengan membatasi pendirian rumah ibadah dan mengekang hak kebebasan beribadah warganya, negara sudah bertindak di luar batas kewenangannya. Hak kebebasan beragama yang semestinya hanya ada pada Tuhan dan penganut agama, telah diambil oper oleh negara. Dengan demikian, wewenang negara pada agama sudah jauh menyimpang, bukan lagi pada tataran yang semestinya, “tataran batasan agama” (at the boundaries of religion), tapi sudah “melintasi tataran batasan agama” (across the boundaries of religion) dengan mencampuri urusan intern agama (Michael Walzer, Spheres of Justice, hal.15,282). Akibatnya, kelompok agama minoritas mengalami upaya pengerdilan agama (the trivialization of religion).
Cluster Agama Syarat mengantongi persetujuan 60 warga sekitar untuk berdirinya sebuah tempat ibadah pada suatu daerah merupakan syarat yang paling sulit. Karena itu tidak jarang demi meloloskan ijin pendirian rumah ibadah, tanah-tanah disekitar rumah ibadah jauh-jauh hari telah dibeli anggota kelompok agama tersebut. Demikian juga dilakukan oleh kelompok yang
Pengerdilan agama yang memasung kelompok agama minoritas dengan berpihak pada yang mayoritas memunculkan isu diskriminasi agama yang apabila dibiarkan berpotensi menyulut konflik horizontal. Singkatnya, “pengerdilan agama” bukannya produktif, malah menjadi bumerang bagi negara, penolakan terhadapnya, meminjam istilah David Hollenbach, adalah sebuah keniscayaan yang bersi-
Vol. 4, Tahun II, Maret 2011
fat “normatively objectionable” (The Global Face of Public Faith, hal.185). Amat disayangkan, munculnya pengerdilan agama bukan hanya karena penyimpangan wewenang negara, tetapi juga ada saham agama. Demi agendanya agama berselingkuh dengan kekuasaan negara, tidak sadar bahwa legitimasi relijius (religious legitimacy) yang dilimpahkan kepada negara untuk menekan kelompok agama minoritas dapat berdampak negatif padanya, kekuasaan yang mana dapat berbalik menjadi bumerang bagi agama bersangkutan secara kontraproduktif. Sejak awal penerapannya, Perber telah mendapat penolakan dari kelompokkelompok minoritas agama. Empat tahunan sudah kita menyaksikan sepak terjang Perber yang diskriminatif ini. Inilah waktunya yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasinya. (Penulis adalah Direktur Eksekutif RCRS)
DVD
Seminar Nasionalisme dan Pluralisme Global Pdt. Dr. Stephen Tong, K.H. Abdurrahman Wahid, Drs. Christianto Wibisono Harga: Rp75.000
9
Liputan Peluncuran Buku Bedah Buku “Mari BENAHI Perekonomian Bangsa”
Panelis Bedah Buku: Budyanto Totong, Prof. Dr. Irzan Tandjung, Prof. Dr. Alex Retraubun, dan Dr. Benyamin F. Intan (moderator).
B
edah buku “Mari Benahi Perekonomian Bangsa” karya Tandean Rustandy, M.B.A., Pendiri dan Direktur Utama PT Arwana Citramulia Tbk serta anggota Dewan Eksekutif Reformed Center for Religion and Society (RCRS), berlangsung Rabu 9 Maret 2011, di Jakarta, dengan narasumber Prof. Dr. Alex Retraubun, Wakil Menteri Perindustrian, dari segi pemerintah, Prof. Dr. Irzan Tandjung, anggota Dewan Ekonomi Nasional, segi pengamat, dan Budyanto Totong, Chairman dan CEO PT Catur Sentosa Adiprana Tbk dari segi pelaku bisnis, dengan moderator Dr. Benyamin F. Intan, Direktur Eksekutif RCRS. Menyelesaikan studinya di University of Colorado, Boulder (B.Sc.) dan di University of Chicago Booth School of Business (M.B.A.), Tandean Rustandy meraih penghargaan “Indonesia’s Young Enterpreneur” dari Ernst & Young (2002), dan tahun 2009 runner up “The Best CEO” dari Business Review. Ia juga dianugerahi “Honorary Citizen of Boulder, Colorado” dan terpilih menjadi anggota Global Advisory Board dari University of Chicago Booth School of Business. 10
Ajakan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam buku yang berupa kompilasi karya-karya Rustandy di berbagai media ini sarat dengan nilai-nilai nasionalisme dan semangat pantang menyerah seorang anak bangsa. Alex Retraubun mengungkapkan, inovasi menjadi kata kunci keberhasilan PT Arwana yang bergerak di bidang sektor riil ini, di samping hal yang tidak boleh diabaikan hadirnya pemimpin yang berintegritas dengan komitmen yang kuat di dalam menjunjung etika bisnis nirkorupsi, itulah yang menjadi roh dalam tulisan-tulisan Rustandy. Menurut Irzan Tandjung, “Mari Benahi Perekonomian Bangsa” merupakan refleksi, mewakili kepribadian dan pendirian sang penulis, seorang yang berpendirian luhur. Dalam jiwa dan otak Rustandy bersemayam bukan hanya persoalan bisnis (dunia), tetapi komitmen yang sungguh-sungguh terhadap agamanya. Karena itu, pandangannya utuh, dinamis, relevan, dan tidak mengambang. Penulis adalah pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-green. CSR-nya sangat baik.
dibaca karena memberikan masukanmasukan untuk memperbaiki perekonomian Indonesia, bukan hanya agar Indonesia memiliki daya saing dengan harapan besar di masa depan, tetapi juga mempertimbangkan soalsoal seperti UMR, infrastruktur, dan mafia hukum (khususnya masalah pajak). Pengusaha harus jujur membayar pajak. Mengakhiri peluncuran buku, Benyamin Intan menyematkan kalimat penting yang mewakili diri Rustandy. Keberhasilan Rustandy untuk bisa survive bahkan mampu mengembangkan diri di tengah krisis ekonomi dan kompetisi yang semakin ketat tidak terlepas dari kerja keras, efisiensi bahan baku dan energi, proses quality control yang sangat cermat, serta pola sistem keuangan terbuka. Lepas dari semuanya ini, faktor utama keberhasilan Rustandy seperti ditulis di halaman pertama bukunya: “Semua ini bisa terlaksana hanya karena anugerah-Nya. Soli Deo Gloria.” (Binsar A. Hutabarat, Dini Y. Rachman)
Budyanto Totong yang mengenal baik Tandean Rustandy berkomentar bahwa buku karya Rustandy ini layak Vol. 4, Tahun II, Maret 2011
sambungan dari halaman 5 mewaspadai agar tidak mengusir Tuhan dari tahta. Menganggap diri mutlak benar, tanpa mau belajar dari yang lain, apalagi kemudian memosisikan diri sebagai hakim terhadap agamaagama, sama saja dengan mengusir Tuhan atau menjadikan diri Tuhan. Sikap ini merupakan penghalang dalam menciptakan suatu masyarakat yang damai dan rukun. Sama halnya dengan Hikam, Tong setuju bahwa Indonesia telah mesambungan dari halaman 7 Massa yang beringas menuntut terdakwa divonis mati. Sebelum merusak gereja, massa terlebih dahulu mengamuk dan merusak papan nama Pengadilan Negeri Temanggung, termasuk membakar satu truk pengendalian massa (dalmas) milik polisi. Tindakan beringas tersebut sempat mencekam Temanggung. Untuk kasus ini, Kepolisian Daerah Jawa Tengah telah membekuk SYB
nerima berkat Tuhan yang besar. Dicantumkannya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi dasar penting bagi pengakuan pentingnya kehadiran agama pada ruang publik. Kemudian, “bhinneka tunggal ika” menjadi kunci bagaimana konsolidasi agama pada ruang publik untuk dapat memberikan kontribusi positifnya. Sayangnya, selama 65 tahun Indonesia merdeka, konsolidasi agama-agama masih saja mengalami kesulitan, itu diteguhkan dengan meningkatnya intoleransi agama dan kekerasan agama di negeri ini. Namun itu bukan berarti Indoneyang diduga aktor intelektual penyerangan. Setelah dinyatakan lengkap berkas pemeriksaan, Polda Jateng pun menyerahkan 25 tersangka kasus kerusuhan Temanggung beserta barang bukti ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Kekerasan juga menimpa pengikut aliran Syiah di Pasuruan, Jawa Timur. Penyerangan dilakukan terhadap pesantren Yayasan Pondok Pesantren Islam (YAPI) di Desa Kenep, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur 15 Pebruari 2011. Pelaku penyerangan diperkirakan berjum-
sia tidak memiliki masa depan. Intoleran karena memutlakkan diri yang sebenarnya bukan mutlak, dan pada akhirnya berujung pada kekerasan. Semuanya ini dapat dihindari jika umat beragama memiliki rasa takut kepada Tuhan. Umat beragama harus menghargai dan mengasihi sesama manusia, itulah kunci untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik, pungkasnya. (Binsar A. Hutabarat, Dini Y. Rachman)
lah sekitar seratus orang, yang masuk kompleks YAPI secara tiba-tiba dan membabi buta menyerang para santri. Ini penyerangan kedua kalinya setelah tahun 2007. Akibat insiden tersebut empat santri mengalami luka serius pada bagian kepala, termasuk dua orang penjaga YAPI. Polisi berhasil menangkap enam tersangka. Mereka pun dijerat dengan pasal berlapis. (Binsar A. Hutabarat, R. Graal Taliawo)
Jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor, menerima berkat sebelum mengakhiri kebaktian hari Minggu, 20 Maret 2011.
Vol. 4, Tahun II, Maret 2011
11
Publikasi & Kegiatan DVD
Seminar Truth, Pluralism and Public Life Os Guinness, D.Phil. Pdt. Dr. Stephen Tong Dr. Muhammad A.S. Hikam
Seminar RCRS “Truth, Pluralism and Public Life”, 26 Februari 2011, dihadiri sekitar 1.000 peserta.
Harga: Rp100.000
BUKU
Pdt. Dr. Benyamin F. Intan, Drs. Christianto Wibisono, Os Guinness, D.Phil., Dr. M.A.S. Hikam, Pdt. Dr. Stephen Tong, dan Prof. Dr. Alex Retraubun berfoto bersama.
Judul: Mari Benahi Perekonomian Bangsa Penulis: Tandean Rustandy Penerbit: PT Arwana Citramulia Tbk Tebal: 182 halaman ISBN: 978-6029878400 Seminar RCRS “Integritas Kristen: Keniscayaan atau Ilusi?” Sabtu, 4 Desember 2010, pembicara: Pdt. Dr. Benyamin F. Intan, dihadiri oleh sekitar 850 peserta.