Integrasi Upaya
Penanggulangan
HIV dan AIDS Ke DALAM Sistem Kesehatan
Integrasi Upaya
Penanggulangan
HIV dan AIDS Ke DALAM Sistem Kesehatan
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Ke Dalam Sistem Kesehatan © PKMK FK UGM Penyusun Tim PKMK FK UGM: M. Suharni, MA; Hersumpana, MA; Chrysant Lily K, MA; dr. Ita Perwira, MPH; Iko Safika, PhD; Ignatius Praptoraharjo, PhD; dr. Satiti R.P, Sp.KK(K); Swasti Sempulur, S.Sos; Eviana Hapsari Dewi, MPH Tim Universitas: Universitas Sumatera Utara: Lita Sri Andayani, SKM, M.Kes; dr. Julianda Harahap MA Universitas Udayana: dr. Luh Lila Putu Wulandari, MPH; dr. Nyoman Sutarsa, MPH Universitas Hasanuddin: Shanti Riskiyani, SKM, Mkes; Sudirman Natsir, PhD Universitas Airlangga: drg. Arief Hargono, M.Kes; DR.dr.Windu Purnomo, MS Universitas Cenderawasih: Melkior Tappy, SKM, MPH; Yane Tambing, SKM, MPH Universitas Negeri Papua: Afia Tahoba, SP, MSi Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan/ M. Suharni, MA; Hersumpana MA; Chrysant Lily, MA; dr. Ita Perwita, MPH; Iko Safika, PhD; Ignatius Praptoraharjo, PhD; dr. Satiti R. P, SpKK(K); Swasti Sempulur, S.Sos; & Eviana Hapsari Dewi, MPH. Yogyakarta: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. xxiv+122 halaman/17 x 25 cm Cetakan pertama, Oktober 2015 ISBN: 978-602-0857-10-7 1. Integrasi 2. HIV-AIDS 3. Sistem Kesehatan I. JUDUL Afiliasi penerbitan dengan: INSISTPress Jl. Raya Kaliurang Km. 18 Dukuh Sempu, Sambirejo, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia Telp/SMS: +62851 0259 4224 | Telp/Fax: +62274 896 403 Email:
[email protected] Disusun dengan dukungan Pemerintah Australia melalui Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) melalui PKMK FK UGM. Laporan ini bisa dikutip, disalin, dan digandakan dengan menyebutkan sumbernya dan dipergunakan untuk kepentingan pendidikan masyarakat, bukan untuk kepentingan komersial. Sitasi yang disarankan: Suharni, M dan Hersumpana. 2015. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional. Yogyakarta: PKMK FK UGM
PENGANTAR DFAT
PEMERINTAH Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for HIV (AIPH) mendukung tujuan nasional pemerintah Indonesia untuk mencegah dan menurunkan tingkat penyebaran HIV dan AIDS, meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan mengurangi dampak sosial ekonomi akibat epidemi HIV/AIDS. Penelitian mengenai integrasi kebijakan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan nasional yang dilakukan melalui kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada ini, mengkaji bagaimana program HIV/AIDS yang biasanya dikelola secara terpusat, sebagian besar dengan dana dari donor, serta dilaksanakan secara paralel dengan sistem kesehatan yang telah ada, sesungguhnya dapat diintegrasikan ke dalam sistem agar menjadi lebih berkelanjutan. Penelitian ini menelaah tataran integrasi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, di delapan provinsi (Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Papua Barat, Papua, dan NTT). Penelitian ini mendukung gagasan bahwa integrasi merupakan kerangka organisasi yang secara strategis dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi dan keberlanjutan suatu program. Namun demikian, upaya untuk mencapai tingkat integrasi yang diharapkan sangat tergantung pada berbagai konteks di mana upaya penanggulangan HIV/AIDS serta sistem kesehatan tersebut dilaksanakan. Komitmen politik dari para pemimpin lokal, perekonomian setempat, hukum dan peraturan yang tidak selalu mendukung upaya penanggulangan HIV/AIDS, serta interaksi di antara para pemangku kepentingan di dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV/AIDS, menentukan capaian integrasi di lokasi penelitian. Pemerintah Australia, dalam lingkup kemitraannya dengan Pemerintah Indonesia, sangat mendukung kebijakan berbasis bukti. Karena itu, besar harapan Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
•v
bahwa penelitian ini dapat membantu Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan pengintegrasian program HIV/AIDS ke dalam sistem kesehatan nasional dan dalam rangka untuk mengembangkan strategi yang berkelanjutan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
James Gilling Minister, Development Cooperation Australian Ambassador for HIV/AIDS, Malaria and Tuberculosis Australian Embassy Jakarta
vi • PKMK FK UGM
Pengantar kemkes ri
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• vii
viii • PKMK FK UGM
Daftar Isi
pengantar DFAT.................................................................................. v Pengantar kemkes ri........................................................................ vii dAFTAR ISI ............................................................................................ ix Daftar Akronim dan Singkatan................................................. xiii Ringkasan Eksekutif........................................................................ xvii I. PENDAHULUAN................................................................................. A. Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS................................................... B. Sistem Kesehatan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.......................... C. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian............................................................ a. Pertanyaan Penelitian......................................................................... b. Tujuan Penelitian................................................................................ D. Kerangka Konseptual................................................................................ E. Metode Penelitian..................................................................................... a. Desain dan Prosedur Penelitian.......................................................... b. Lokasi Penelitian................................................................................. c. Informan............................................................................................. d. Instrumen........................................................................................... e. Manajemen Data................................................................................ f. Analisis Data...................................................................................... g. Struktur Laporan................................................................................
1 1 3 6 6 7 8 9 10 11 11 12 13 13 16
II. KONTEKS............................................................................................. A. Konteks Kebijakan dan Program Penanggulangan HIV dan AIDS pada Tingkat Pusat dan Daerah............................................................... a. Komitmen Politik................................................................................ b. Hukum dan Peraturan........................................................................ c. Ekonomi.............................................................................................. d. Permasalahan Kesehatan....................................................................
19
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• ix
19 19 21 22 23
B. Situasi Epidemi dan Perilaku Berisiko di Daerah Penelitian.................... 24 C. Respons Daerah terhadap HIV dan AIDS............................................... 26 III. Analisis Pemangku Kepentingan Kunci dalam Penanggulangan HIV dan AIDS.............................. A. Pengantar.................................................................................................. B. Peran dan Interaksi Pemangku Kepentingan dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah......................................................................... 1. Posisi Pemangku Kepentingan............................................................ 2. Interaksi Antar-Pemangku Kepentingan............................................ IV. POLA INTEGRASI............................................................................... A. Pengantar.................................................................................................. B. Gambaran Dimensi Fungsi Sistem Kesehatan.......................................... 1) Manajemen dan Regulasi................................................................... 2) Pembiayaan . ...................................................................................... 3) Sumber Daya Manusia....................................................................... 4) Pengelolaan informasi strategis.......................................................... 5) Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan................................ 6) Partisipasi Masyarakat........................................................................ 7) Penyediaan Layanan........................................................................... C. Tingkat Integrasi Berdasarkan Dimensi Fungsi Sistem Kesehatan........... D. Tingkat Intregasi Berdasarkan Jenis Intervensi........................................ 1. Tingkat Integrasi untuk Program Pencegahan................................... 2. Tingkat Integrasi untuk Program PDP............................................... 3. Tingkat Integrasi untuk Program Mitigasi Dampak........................... E. Tingkat Integrasi Berdasarkan Wilayah Penelitian................................... F. Faktor-faktor yang Memengaruhi Integrasi di Daerah............................. G. Hubungan antara Integrasi dan Efektivitas Program Penanggulangan HIV dan AIDS..............................................................
29 29 30 31 48 51 51 52 52 56 61 67 70 73 76 83 86 87 89 90 91 92 95
V. Kesimpulan dan Rekomendasi................................................ 99 A. Kesimpulan................................................................................................ 99 B. Rekomendasi............................................................................................. 102 Daftar Pustaka......................................................................................... 105 Lampiran 1 . .......................................................................................................... 110 Lampiran 2 . .......................................................................................................... 116
x • PKMK FK UGM
Daftar TABEL
Tabel 1. Fungsi dan Dimensi Sistem Kesehatan.................................................
15
Tabel 2. Bentuk Bantuan Mitra Pembangunan Internasional dan Lokasinya......
33
Tabel 3. RSUD dan Layanan HIV dan AIDS di Lokasi Penelitian...................
39
Tabel 4. Peran SKPD Non-Dinkes dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Lokasi Penelitian...............................................................................
46
Tabel 5. Perbedaan Nomenklatur Tenaga Kesehatan Umum dengan Tenaga HIV dan AIDS.........................................................................
63
Tabel 6. Layanan HIV dan AIDS di Daerah Penelitian....................................
77
Tabel 7. Tingkat Integrasi berdasarkan Dimensi Fungsi Sistem Kesehatan.......
83
Tabel 8. Tingkat Integrasi Program HIV dan AIDS berdasarkan Jenis Intervensi.....................................................................................
87
Tabel 9. Tingkat Integrasi Menurut Daerah Penelitian.....................................
91
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• xi
xii • PKMK FK UGM
Daftar diagram
Diagram 1. Prevalensi HIV per 100.000 Penduduk ........................................................ 24 Diagram 2. Faktor Resiko penularan HIV dan AIDS...................................................... 25 Diagram 3. Cascade Perawatan HIV dan AIDS.............................................................. 28 Diagram 4. Kepentingan dan Kekuasaan Pemangku Kepentingan Penanggulangan HIV dan AIDS di Lokasi Penelitian.............................................................. 30 Diagram 5. Proporsi Dana Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sidoarjo...... 57 Diagram 6. Hubungan Integrasi dengan Efektivitas: Cakupan Keterpaparan Program dan Perubahan Perilaku dibandingkan Tingkat Integrasi............... 97 Diagram 7. Hubungan Integrasi dan Jumlah ODHA On Treatment (ARV).................. 98
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• xiii
xiv • PKMK FK UGM
Daftar gambar
Gambar 1 Kerangka Konseptual.....................................................................................
9
Gambar 2. Posisi Pemangku Kepentingan di Daerah...................................................... 31
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• xv
xvi • PKMK FK UGM
Daftar Akronim & Singkatan
AIDS ARV ART APBN/D AusAid Bappeda Bappeko BKD CHAI CSR DFAT Dinkes Disdikpora Disnakertrans Dinsos Dinsosnaker DKI DKT/FGD DPRD Fasyankes FK GF HCPI HIV
Acquired Immunodeficiency Syndrome Antiretroviral Drugs Antiretroviral Therapy Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional/Daerah Australian Agency for International Development Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunak Kota Badan Kepegawaian Daerah Clinton Health Access Initiative Corporate Social Responsibility Department of Foreign Affairs and Trade, Government of Australia Dinas Kesehatan Dinas Pendidikan dan Olah Raga Dinas Tenaga Kerja dan Transportasi Dinas Sosial Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Daerah Khusus Ibukota Diskusi Kelompok Terarah/Focus Group Discussion Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Global Fund HIV Cooperation Program for Indonesia Human Immunodeficiency Virus Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• xvii
IMS IO IOMS JKN Jamkesmas Jamkesda KDS Kemenkes KIA KIE Kominfo KPAN/P/K KTS/VCT LASS LKB LP2EM LSL LSM MOU MPI Musrenbang Napza ODHA OMS OBM Ormas Otsus PAD PDP/CST Pemda Penasun Pergub Perda Permendagri Perwal PITC PKM xviii • PKMK FK UGM
Infeksi Menular Seksual Infeksi Oportunistik Inventory Order Management System Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan Masyarakat Jaminan Kesehatan Daerah Kelompok Dukungan Sebaya Kementerian Kesehatan Kesehatan Ibu dan Anak Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Komunikasi dan Informatika Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/Provinsi/Kota/Kabupaten Konseling dan Tes Sukarela/Voluntary Counselling and Testing Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril Layanan Komprehensif Berkesinambungan Lembaga Pengkajian Dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lelaki Berhubungan Seks dengan Lelaki Lembaga Swadaya Masyarakat Memorandum of Understanding Mitra Pembangunan Internasional Musyawaran Perencanaan Pembangunan Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif Orang Dengan HIV dan AIDS Organisasi Masyarakat Sipil Organisasi Berbasis Masyarakat Organisasi Kemasyarakatan Otonomi Khusus Pendapatan Asli Daerah Perawatan, Dukungan dan Pengobatan/Care, Support and Treatment Pemerintah Daerah Pengguna Napza Suntik Peraturan Gubernur Peraturan Daerah Peraturan Kementrian Dalam Negeri Peraturan Walikota Provider-Initiated Testing and Counselling Pusat Kesehatan Masyarakat
PKMK PKR PMTS Pokdisus Pokja Polrestabes Posyansus PPH/ARC PPIA PTRM Puskesmas Renstra R&R RI Risti Rutan RS RSUD RPJM RPJMD SCP SDM SK SKN SKPD SIHA SINU SIPKBI SIKNAS/DA SOP SRAN STBP/IBBS SUFA SUM SSR TB
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Pusat Kesehatan Reproduksi Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual Kelompok Studi Khusus Kelompok Kerja Kepolisian Resor Kota Besar Pos Pelayanan Khusus Pusat Penelitian HIV dan AIDS/HIV and AIDS Research Center Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak Program Terapi Rumatan Metadon Pusat Kesehatan Masyarakat Rencana Strategis Recording & Reporting Republik Indonesia Risiko Tinggi Rumah Tahanan Rumah Sakit Rumah Sakit Umum Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Survei Cepat Perilaku Sumber Daya Manusia Surat Keputusan Sistem Kesehatan Nasional Satuan Kerja Pemda Sistem Informasi HIV/AIDS Sistem Informasi Nahdlatul Ulama Sistem Informasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Sistem Informasi Kesehatan Nasional/Daerah Standard Operation & Procedure Strategi dan Rencana Aksi Nasional Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku/Integrated Biological and Behavior Survey Strategic Use of ARV Scaling Up For Most-At-Risk Populations Sub Sub Recipient Tuberkulosis Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• xix
TRM/MMT Tupoksi WM WPA WPS WPSL WPSTL WHO Unair UGM UNAIDS UNFPA UNICEF Uncen Unhas Unika USU UU Unud Unipa USAID
xx • PKMK FK UGM
Terapi Rumatan Metadon/Metadhone Maintenance Treatment Tugas Pokok dan Fungsi Wawancara Mendalam Warga Peduli AIDS Wanita Pekerja Seks Wanita Pekerja Seks Langsung Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung World Health Organization Universitas Airlangga Universitas Gadjah Mada Joint United Nations Programme on HIV/AIDS United Nations Population Fund United Nations Children’s Fund Universitas Cendrawasih Universitas Hasanuddin Universitas Katolik Atmajaya Universitas Sumatera Utara Undang Undang Universitas Udayana Universitas Papua United States Agency for International Development
Ringkasan Eksekutif
Upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sangat dipengaruhi oleh inisiatif kesehatan global. Seiring dengan semakin menurunnya dukungan inisiatif global, upaya mengintegrasikan program HIV dan AIDS ke dalam kerangka sistem kesehatan nasional menjadi satu tantangan sekaligus harapan untuk mencapai efektivitas dan keberlanjutan program. Integrasi sebagai sebuah konsep diyakini menawarkan potensi terjadinya sinkronisasi sistem kesehatan yang terpadu untuk meningkatkan efisiensi sumber daya dan pembiayaan sehingga bisa meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan tingkat integrasi program penang gulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di Indonesia serta untuk meng hasilkan rekomendasi perbaikan sistem dan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan basis temuan Tim Peneliti Universitas di sebelas kabupaten/kota di Indonesia. Metode ini mengacu pada pendekatan yang dikembangkan oleh Atun et al. (2010) yang melakukan analisis sistematis berbasis hasil penelitian lainnya untuk menarik kesimpulan. Hasil analisis penelitian ini menemukan bahwa integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan masih lemah. Secara umum, fungsi regulasi dan formulasi kebijakan mengindikasikan adanya integrasi, tetapi terdapat kelemahan pada fungsi akuntabilitas dan daya tanggap karena daerah tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang strategis dengan melibatkan masyarakat secara bermakna dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi program. Temuan ini mempertegas bahwa permasalahan yang dihadapi bukan pada kemampuan menyusun kebijakan, tetapi pada kapasitas dalam mengimplementasikannya. Oleh Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• xxi
karena itu, hambatan-hambatan dalam penerapan kebijakan membutuhkan strategi untuk meminimalkan faktor-faktor penghambat dan mendorong daya ungkit daerah dalam mengembangkan program penanggulangan HIV dan AIDS. Fungsi penyediaan layanan (service delivery) paling potensial untuk diintegrasikan dan cenderung sudah mencerminkan penyediaan layanan terpadu (continuum of care) mulai dari intervensi pencegahan; perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); dan mitigasi dampak (MD). Ini terjadi karena kesiapan mekanisme penyedia layananan di layanan umum. Ia bisa mengadopsi layanan HIV dan AIDS mulai dari infrastruktur, sumber daya, dan standar layanan yang sudah berjalan. Sedangkan fungsi-fungsi lain seperti pembiayaan, sumber daya kesehatan, informasi strategis, dan partisipasi masyarakat yang sangat bervariasi belum teringrasi. Tingginya variasi pada fungsi-fungsi sistem kesehatan yang belum terintegrasi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor dari berbagai aspek. Dari aspek politik, misalnya, tingkat komitmen politik daerah terhadap penanggulangan HIV dan AIDS masih rendah sehingga tidak menjadikannya prioritas pembangungan kesehatan di daerah. Indikatornya, pemda cenderung enggan untuk mengalokasikan pembiayaan yang memadai bagi program penanggulangan HIV dan AIDS. Pembiayaan yang minimal ini juga dipengaruhi oleh konteks ekonomi di mana pemda masih bergantung pada dukungan donor (mitra pembangunan internasional/MPI) dan belum mampu mengoptimalkan potensi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Sementara dari aspek hukum, masih berlaku regulasi-regulasi yang menghambat akses atas layanan. Kapasitas daerah juga masih lemah dalam menentukan status epidemi daerah, sehingga upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih mengandalkan program dan pembiayaan dari pusat. Integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan ditentukan juga oleh produktivitas interaksi antar-pemangku kepentingan kunci yang memiliki kekuasaan dan kepentingan. Penelitian ini menemukan bahwa pemangku kepentingan dengan kekuasaan tinggi memiliki kepentingan rendah dalam upaya penenggulangan HIV dan AIDS. Dengan situasi seperti ini, tantangannya ialah meningkatkan sensitivitas pemangku kepentingan kunci yang memiliki posi si strategis dan kekuasaan besar seperti kepala daerah, DPRD, dan Bappeda agar memiliki pemahaman dan kapasitas yang memadai dalam menyusun dan menerap kan berbagai kebijakan strategis mengenai HIV dan AIDS. Dengan begitu, maka rasa tanggung jawab (akuntabilitas) dan kepemilikan mereka terhadap program terkait HIV dan AIDS juga terpenuhi. Interaksi aktif dan produktif di antara para pemangku kepentingan kunci dapat menciptakan lingkungan yang kondusif (enabling environment) untuk mengoptimalkan intervensi program pencegahan, PDP, dan MD xxii • PKMK FK UGM
yang di sebagaian besar daerah menghadapi problem stigma dan diskriminasi dari aspek sosial, kultural, dan politik. Interelasi antara tingkat integrasi, interaksi antar-pemangku kepentingan kun ci, dan faktor-faktor yang memengaruhi integrasi belum mengindikasikan adanya pengaruh terhadap efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS. Di atas semua itu, kuat atau lemahnya sistem kesehatan di tingkat daerah itu sendiri juga turut memengaruhi integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Secara umum maka, temuan penelitian tentang integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan ini belum bisa dijadikan dasar pengukuran tingkat efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS secara keseluruhan. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, penelitian ini merekomendasikan bahwa integrasi sebagai sebuah tujuan ideal untuk menjamin efektivitas dan keberlanjutan program HIV dan AIDS bisa diwujudkan jika secara bersamaan juga diikuti upaya untuk memperkuat sistem kesehatan itu sendiri dengan: 1) Adanya sinergi pemangku kepentingan strategis (Bappeda/Bappeko, Bupati/Walikota, DPRD, dan SKPD) dalam menyikapi isu-isu HIV dan AIDS sebagai isu kesehatan daerah; 2) Penguatan fungsi regulasi melalui pengembangan kebijakan operasional di tingkat kabupaten/ kota terkait dengan peraturan daerah dan peraturan pusat; 3) Adanya kewenangan daerah yang lebih besar untuk mengelola data program dan data epidemiologis sebagai dasar untuk mengembangkan kewenangan administratif (perencanaan dan penganggaran) dalam memperkuat penyediaan layanan pencegahan, PDP, dan MD di daerah; 4) Adanya kesediaan pusat (pemerintah dan MPI) untuk menyerahkan sebagian besar kewenangan administratif dalam penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan kapasitas daerah; 5) Adanya komitmen pemda untuk mengambil peran lebih besar dalam pencegahan melalui pendanaan kepada sektor komunitas yang selama ini didanai oleh MPI; 6) Adanya replikasi dari keberhasilan-keberhasilan dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan nasional; 7) Dukungan teknis dan finansial pemerintah pusat dan MPI bagi daerah perlu diarahkan secara langsung dalam penyusunan roadmap integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di tingkat implementasi secara bersama; 8) Pelibatan yang lebih besar dari perguruan tinggi di daerah untuk menyediakan bukti (evidences) sebagai basis informasi pengembangan kebijakan daerah.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• xxiii
xxiv • PKMK FK UGM
PENDAHULUAN
I
A. Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Pada tahun-tahun awal sejak dikonfirmasinya kasus AIDS pada hampir tiga dekade lalu (1987), upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia masih terbatas dan berfokus pada sektor kesehatan. Saat itu peningkatan jumlah infeksi terbilang masih lambat. Peningkatan tajam mulai mengemuka pada pertengahan 1990-an. Pada saat yang sama, mulai terbentuk konsensus di tingkat global bahwa HIV dan AIDS merupakan suatu masalah pembangunan yang mendesak dan membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Para donor internasional pun mulai menginvestasikan bantuan dalam jumlah yang signifikan untuk mendukung upaya responsif terhadap epidemi HIV dan AIDS. Sementara berbagai tekanan terhadap pemerintah semakin mengemuka di berbagai negara untuk mendorong terselenggaranya respons terhadap epidemi HIV dan AIDS yang tidak terbatas pada sektor kesehatan saja tetapi juga perlunya melibatkan kerjasama antar-berbagai sektor, termasuk dengan lembaga non-pemerintahan (KPAN, 2014). Pemerintah Indonesia merespons perkembangan situasi dan tekanan-tekanan tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36/1994 untuk membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) sebagai badan lintassektor yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Tidak lama setelah KPAN dibentuk, Menteri Koor dinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) mengeluarkan keputusan ten tang Strategi Nasional (Stranas) Penanggulangan AIDS di Indonesia pertama Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
•1
yang mencakup periode lima tahun (1995–2000). Namun, perencanaan ini tidak didukung dengan sumber daya dalam bentuk alokasi pendanaan dari pemerintah. Sebagai gantinya, insiatif kesehatan global dari berbagai lembaga donor internasional (USAID, AusAID, World Bank, dan lembaga multilateral seperti beberapa badan PBB) menyumbangkan hampir US$ 60 juta selama periode Stranas pertama ini. Sedangkan anggaran pemerintah Indonesia sendiri saat itu hanya sekitar US$ 20 juta (KPAN, 2014). Pola seperti ini kemudian berimplikasi pada ketergantungan pemerintah Indonesia terhadap bantuan donor internasional. Penerapan sistem pemerintahan desentralisasi atau otonomi daerah pada awal 2000-an menjadi momentum penting yang memengaruhi respons terhadap HIV dan AIDS. Pemindahan sebagian otoritas dari pusat ke daerah turut memperumit relasi otoritatif baik perencanaan maupun pendanaan dalam membangun respons terhadap epidemi HIV dan AIDS. Pada saat yang sama, dalam periode ini semakin banyak sumber pendanaan dari berbagai donor internasional. Sejak 2003, Global Fund (GF) menjadi salah satu pemain penting dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia dengan memberikan dukungan pendanaan dan program di lima provinsi (GF Round 1) dan berlanjut menjadi 19 provinsi antara 2005 dan 2010 (GF Round 4). Melalui kesepakatan bilateral, dalam periode ini pemerintah Amerika dan Australia juga memberikan dukungan pendanaan dalam jumlah yang signifikan yaitu masing-masing mencapai total sekitar US$ 10 juta (KPAN, 2011). Secara programatik, kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan akses universal, di mana pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif terkait dengan HIV dan AIDS minimal bisa dimanfaatkan oleh 80% dari populasi terdampak. Upaya promosi dan pencegahan (PP) diarahkan untuk mengubah perilaku berisiko dari kelompok populasi kunci, yaitu dengan meningkatkan penggunaan jarum suntik steril, penggunaan kondom, pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS), serta konseling dan tes HIV melalui serangkaian kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KPAN, 2011). Sementara itu, upaya PDP diarahkan untuk menghilangkan berbagai hambatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam mengakses layanan kesehatan, termasuk mengeliminasi stigma dan diskriminasi. Hasil akhir yang diharapkan dari berbagai kebijakan ini ialah prevalensi HIV dan AIDS bisa ditekan hingga kurang dari 0,5% pada tahun 2015 (KPAN, 2011). Untuk mencapai target-target tersebut, KPAN melalui Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan AIDS 2010–2015 menetapkan 137 kabu paten/kota di 33 provinsi sebagai wilayah prioritas program dan diharapkan 80% populasi kunci yang berada di berbagai wilayah tersebut dapat dijangkau serta 2 • PKMK FK UGM
mengakses layanan HIV dan AIDS yang tersedia. Berbagai intervensi tersebut juga didukung oleh berbagai kebijakan dalam penguatan koordinasi dalam perencanaan, penerapan, serta pengawasan dan evaluasi (monitoring and evaluation); pelibatan masyarakat sipil; memastikan komitmen dan dukungan pendanaan dari pemerintah pusat, pemda, dan lembaga mitra internasional; serta penguatan kelembagaan KPA di daerah. Kajian eksternal WHO pada tahun 2012 menilai bahwa pengembangan kebijakan dan program selama ini telah memberikan kemajuan dan perluasan inter vensi yang signifikan tetapi belum merata secara kewilayahan dan jenis intervensinya (WHO, 2012). Kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS saat ini dan di masa depan tetap menghadapai tantangan yang besar untuk menurunkan tingkat penularan sekaligus meningkatkan kualitas hidup ODHA. Selain menuntut upaya lebih efektif untuk mencegah penularan HIV dan AIDS baik pada populasi kunci maupun pada populasi yang berisiko rendah, penanggulangan HIV dan AIDS ke depan juga menghadapi tantangan untuk menyediakan perawatan bagi ODHA dalam jangka panjang mengingat efektivitas pengobatan Antiretroviral (ARV) dalam menekan angka kematian ODHA. Dua tantangan yang berkelanjutan ini membu tuhkan upaya yang berkesinambungan dan terpadu pada tingkat hulu dan hilir dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Pada tingkat hulu, diperlukan integrasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Sementara di tingkat hilir, perlu pengembangan model penyediaan layanan kesehatan dan sistem operasional yang melibatkan multisektor dan multiprogram untuk memastikan layanan berkualitas tinggi sejalan dengan rentang perawatan (continuum of care) penanggulangan HIV dan AIDS. B. Sistem Kesehatan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Peran inisiatif kesehatan global di Indonesia sejak awal permasalahan AIDS di Indonesia telah meningkatkan pendanaan program sehingga mampu meningkatkan cakupan layanan HIV dan AIDS. Meskipun pembiayaan dari inisiatif global ini cenderung menurun dari tahun ke tahun, saat ini pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS, khususnya untuk pencegahan, masih tetap bergantung pada hibah bilateral maupun multilateral. Penganggaran dari dana pemerintah masih berkisar 40% dari total pembiayaan (Nadjib, 2013). Peran bantuan lembaga donor yang sedemikian besar di negara-negara berkembang telah memunculkan berbagai konsekuensi baik positif maupun negatif terhadap sistem kesehatan (Atun et al., 2010a; b; Conseil et al., 2013; Desai et al., 2010; Dongbao et al., 2008; Kawonga et al., 2012; Shakarishvili et al., 2010). Sistem kesehatan yang dimaksud adalah berbagai pihak baik individu, Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
•3
organisasi, atau sumber daya yang dikelola secara bersama berdasarkan serangkaian kebijakan dengan tujuan untuk melindungi dampak atas gangguan kesehatan sesuai dengan harapan masyarakat (WHO, 2000). Beberapa konsekuensi negatif yang telah teridentifikasi oleh penelitian-pene litian terdahulu tersebut antara lain: 1) Berkembangnya sistem ganda, yaitu sistem penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan pada umumnya; 2) Lemahnya insentif dari sistem kesehatan untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS; 3) Terbatasnya integrasi layanan HIV dan AIDS dengan layanan kesehatan yang lain; 4) Pengembangan sistem perencanaan, koordinasi, dan pengawasan yang terpisah dari upaya kesehatan lain; (5) Kekhawatiran bahwa situasi ini dapat memperburuk sistem kesehatan karena akan menggerus sumber daya yang tersedia untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Adanya pengelolaan program HIV dan AIDS di luar sistem atau paralel dengan sistem kesehatan tersebut telah mendorong inisiatif untuk mengintegrasikan program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan sebagai salah satu upaya untuk memperkuat sistem kesehatan yang ada sekaligus memastikan keberlanjutan program tersebut di masa depan seiring dengan menurunnya dukungan dana dan teknis dari inisiatif kesehatan global (Atun et al., 2010; Coker et al., 2010; Kawonga, 2012). Integrasi secara umum merupakan kerangka organisasional dan manajerial untuk mengadopsi dan melakukan asimilasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam fungsi-fungsi pokok sistem kesehatan. Bentuk integrasi pada tingkat penyediaan layanan misalnya tampak pada penggabungan layanan khusus HIV dan AIDS ke dalam layanan kesehatan umum, penyatuan sistem pembiayaan penang gulangannya ke dalam pembiayaan kesehatan umum, dsb. Sebuah kajian tentang integrasi program HIV/AIDS dan Tuberculosis (TB) di Indonesia menunjukkan bahwa kedua program tersebut cenderung belum terintegrasi dengan fungsi sistem kesehatan secara umum. Tata kelola; sistem pengawasan dan evaluasi; perencanaan; pembiayaan; serta penyediaan layanan dalam kedua program tersebut dikembangkan berbeda dari sistem yang selama ini dipakai dalam pengendalian penyakit menular umumnya (Desai et al., 2010; Coker et al., 2010). Sementara itu, sebuah kajian dokumen tentang kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia tahun 1987–2013 yang dilakukan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa pengelolaan program HIV dan AIDS di Indonesia cende rung terpisah dari sistem kesehatan yang ada. Beberapa kecenderungan ini bisa dilihat dari situasi-situasi sebagai berikut: (1) Upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan kebijakan bersifat vertikal yang diinisiasi dan dikembangkan 4 • PKMK FK UGM
oleh pemerintah pusat dengan dukungan penuh dari lembaga kesehatan global; (2) Dalam era desentralisasi ini, pemda belum memiliki komitmen politik dan peran yang signifikan dalam pengembangan kebijakan dan program penanggulangann HIV dan AIDS baik pencegahan, PDP, maupun MD; (3) Pemerintah pusat dan lembaga MPI cenderung menempatkan pemda sebagai pelaksana program sehingga daerah tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk perencanaan, penganggaran, dan tata kelola program; dan (4) Program penanggulangan HIV dan AIDS mengembangkan struktur dan sistem pengelolaan yang berbeda dari pengendalian penyakit menular pada umumnya. Integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dengan memaksimalkan sumber daya dan infrastruktur yang tersedia tidak mudah dilaksana kan karena melibatkan banyak pemain dengan masing-masing kepentingan pragma tisnya, kelembagaan, dan kebijakan (Dudley dan Garner, 2011; Atun et al., 2010). Upaya untuk mengintegrasikan pendekatan integratif dan vertikal menjadi berisiko karena hasil-hasil yang telah dicapai melalui pendekatan vertikal mungkin bisa kurang tampak atau bahkan hilang karena berbagai inovasi yang telah dihasilkan tidak bisa diakomodasi dalam sistem kesehatan. Sistem kesehatan yang belum kuat juga berisiko pada adanya keengganan mengadopsi inovasi (Godwin dan Dickinson, 2012). Meskipun demikian, sejauh ini belum ada kesimpulan yang jelas tentang penga ruh integrasi intervensi khusus ke dalam sistem kesehatan terhadap status kesehatan masyarakat karena masih terbatasnya studi tentang isu ini sekaligus belum tersedianya metodologi yang dinilai memadai (Kawonga, 2012; Coker et al., 2010). Oleh karena itu, isu yang lebih mendasar bukan pada memilih bahwa integrasi lebih baik daripada pendekatan vertikal, tetapi seberapa jauh kombinasi atau komposisi antara kedua komponen pendekatan tersebut bisa memberikan dampak yang lebih baik bagi upaya untuk meningkatkan status kesehatan dengan mempertimbangkan kompleksitas penyediaan layanan kesehatan dan berdasarkan perencanaan, koordinasi, dan ma najemen yang efektif (Dudley dan Garner, 2011; Atun et al., 2010). Mengetahui komposisi dan kombinasi komponen dari dua pendekatan ini merupakan tantangan terbesar dan memerlukan penilaian yang sangat hati-hati. Dengan demikian, permasalahan kebijakan yang perlu diperhatikan dalam melihat keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kese hatan di Indonesia antara lain: (1) Sejauh mana kebijakan dan program penang gulangan HIV dan AIDS di Indonesia terintegrasi dengan sistem kesehatan yang berlaku? (2) Dalam komposisi dan bentuk bagaimana pendekatan vertikal dan pendekatan terintegrasi bisa dikombinasikan agar mampu meningkatkan efektivitas Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
•5
dan keberlanjutannya dengan memperhatikan fungsi-fungsi sistem kesehatan, karak teristik para aktor yang terlibat di dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV/ AIDS, serta konteks eksternal di mana interaksi tersebut terjadi baik dari aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Untuk bisa menjawab dua isu kebijakan di atas, maka PKMK FK UGM, dengan bantuan pemerintah Australia melalui Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) bekerjasama dengan sembilan universitas di delapan provinsi di Indonesia, melakukan penelitian tentang Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Ke Dalam Sistem Kesehatan. Penelitian ini dimaksudkan untuk memetakan berbagai kekuatan dan kelemahan sistem kesehatan di Indonesia dalam mendukung atau merespons permasalahan HIV dan AIDS sehingga diharapkan bisa mengidentifikasi berbagai potensi dan peluang untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. C.
Pertanyaan dan Tujuan Penelitian
a.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan: Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di Indonesia? Pertanyaan penelitian tersebut diturunkan ke dalam beberapa pertanyaan khu sus sebagai berikut: 1. Bagaimana konteks, proses, dan substansi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS pada tingkat pusat dalam sistem kesehatan yang berlaku? 2. Seberapa jauh sinergi fungsi dan peran KPA, Dinas Kesehatan (Dinkes), lintassektoral, dan LSM dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat pusat dan daerah? 3. Seberapa jauh konsistensi antara regulasi tentang HIV dan AIDS di tingkat pusat dan daerah? 4. Seberapa besar proporsi, kesesuaian, distribusi, dan keberlanjutan pendanaan (donor asing, Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional/Daerah [APBN/D] dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat pusat dan daerah? 5. Bagaimana hubungan kerja, ketenagaan, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) khusus sektor HIV dan AIDS non-pemerintah dengan SDM kesehatan di tingkat pusat dan daerah?
6 • PKMK FK UGM
6. Seberapa jauh integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis di tingkat daerah dan pusat serta pemanfatan bukti-bukti (evidences) untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program? 7. Bagaimana pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan, diagnostik, dan terapi di tingkat daerah dan pusat dalam konteks kebijakan jaminan kesehatan nasional (JKN)? 8. Seberapa jauh partisipasi aktif masyarakat terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS? 9. Bagaimana keterkaitan antara keberadaan universitas dengan kebutuhan pe nanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan pusat dalam penyediaan sumber pengetahuan dan SDM? b. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di Indonesia sehingga dapat dikembangkan rekomendasi perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka mene ngah. Secara khusus tujuan tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Menganalisis konteks, proses, serta substansi kebijakan dan program penang gulangan HIV dan AIDS pada tingkat pusat dan daerah dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku; 2. Mengidentifikasi dan mengukur sinergi fungsi dan peran KPA, Dinkes, lintassektoral, dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat pusat dan daerah; 3. Mengukur konsistensi antara regulasi HIV dan AIDS di tingkat pusat dan daerah; 4. Mengukur proporsi, kesesuaian, distribusi, dan keberlanjutan pendanaan yang ada (Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat pusat dan daerah; 5. Mengidentifikasi hubungan kerja, ketenagaan, dan pengembangan kapasitas SDM khusus sektor HIV dan AIDS non-pemerintah dengan SDM kesehatan di tingkat pusat dan daerah; 6. Mengukur integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis di tingkat daerah dan pusat serta pemanfatan fakta-fakta/bukti-bukti (evidences) untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program; 7. Mengukur pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan, diagnostik dan terapi di tingkat daerah dan pusat dalam konteks kebijakan JKN; 8. Mengukur partisipasi aktif masyarakat terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS;
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
•7
9. Mengukur keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan pusat dalam penyediaan sumber penge tahuan dan SDM. D. Kerangka Konseptual Penelitian ini berupaya untuk mengukur seberapa jauh integrasi upaya penang gulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Untuk itu penelitian ini memodifikasi kerangka analisis yang dikembangkan oleh Atun et al., (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur integrasi sebuah intervensi yang dikembangkan untuk merespons permasalahan kesehatan tertentu ke dalam sistem kesehatan seba gai model konseptual yang akan digunakan untuk mengarahkan pengumpulan dan analisis data (lihat Gambar 1). Sejalan dengan Atun et al. (2010), integrasi dalam model konseptual ini didefinisikan sebagai tingkat adopsi dan asimilasi intervensi kesehatan khusus ke dalam berbagai fungsi pokok sistem kesehatan. Konsep adopsi atau asimilisasi digunakan sebagai indikator tingkat integrasi yang didasarkan pada asumsi bahwa sebuah intervensi kesehatan spesifik (termasuk penanggulangan HIV dan AIDS) merupakan sebuah inovasi dalam upaya kesehatan yang berupa perspektif, praktik, atau pengaturan kelembagaan yang dinilai berbeda dengan upaya kesehatan yang lain. Dilihat dari sisi sistem kesehatan, integrasi menunjukkan seberapa jauh berba gai fungsi pokok sistem kesehatan didayagunakan secara bersama-sama untuk mendukung inovasi dalam penyelesaian permasalahan kesehatan tertentu dengan cara membangun komitmen antaraktor dalam sektor kesehatan serta memanfaatkan teknologi dan sumber daya yang tersedia (WHO, 2007). Dalam konteks Indonesia, berbagai fungsi pokok sistem kesehatan tersebut mencakup manajemen dan regulasi kesehatan; pembiayaan; SDM; informasi strategis; penyediaan layanan; dan pember dayaan masyarakat sebagaimana ditentukan Perpres Nomor 72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Sebagaimana digambarkan dalam kerangka konseptual, seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dipengaruhi oleh: (1) Karakteristik permasalahan HIV/AIDS serta kebijakan dan program penang gulangannya dalam upaya pencegahan, PDP, dan MD; (2) Interaksi berbagai aktor yang berkepentingan di dalam sistem kesehatan di dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS; (3) Pelaksanaan fungsi-fungsi pokok dalam sistem kesehatan; dan (4) Konteks politik, ekonomi, hukum, dan regulasi tentang permasalahan kesehatan di mana penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan. Dengan demikian, penelitian ini berfokus pada eksplorasi pelaksanaan fungsi-fungsi pokok sistem kesehatan di 8 • PKMK FK UGM
dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang berupa manajemen dan regulasi, pembiayaan, pengelolaan SDM, penyediaan kebutuhan farmasi dan alat kesehatan, pengelolaan informasi strategis, mobilisasi partisipasi masyarakat, dan interaksi antarfungsi tersebut.
Gambar 1 Kerangka Konseptual
Berpijak dari pemahaman tersebut, interaksi dinamis dari keempat komponen tersebut akan menentukan tingkat integrasi dalam penyediaan layanan kesehatan (pencegahan, PDP, dan MD) yang terkait dengan perjalanan penyakit. Oleh karena itu, seberapa jauh integrasi tersebut berkontribusi pada efektivitas program akan diukur dari kinerja penyediaan layanan penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu: (1) Apakah layanan-layanan mampu dimanfaatkan oleh masyarakat (cakupan/ coverage); (2) Apakah masyarakat bisa dengan mudah mengakses layanan-layanan yang disediakan (aksesibilitas); (3) Apakah layanan yang disediakan oleh program penanggulangan HIV dan AIDS mampu berkontribusi pada pengurangan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS sekaligus meningkatkan kepatuhan ODHA dalam mengikuti terapi (on treatment). E. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat multi-center di mana penelitian dilakukan di beberapa tempat oleh tim yang berbeda tetapi menggunakan metodologi dan waktu penelitian yang sama. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
•9
Sulawesi Selatan, Papua, dan Papua Barat. Di setiap provinsi kecuali di Papua Barat, telah dipilih dua kabupaten/kota sebagai fokus penelitian. Masing-masing tim peneliti telah menghasilkan laporan penelitian daerah tentang gambaran tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di masingmasing kabupaten/kota. Laporan daerah ini kemudian digunakan untuk mengem bangkan laporan gabungan yang bertujuan untuk menggambarkan variasi tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di enam provinsi, mengidentifikasi berbagai faktor yang memengaruhi tingkat integrasi, dan mengidentifikasi implikasi tingkat integrasi terhadap efektivitas penanggulangan HIV dan AIDS secara umum. a.
Desain dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dan menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini menggunakan tahapan sebagaimana disarankan oleh Creswell (2003) yang mencakup tahap-tahap sebagai berikut: 1. Tahap pertama, Tim Peneliti Universitas melakukan pengumpulan data utama (primer) dan data tambahan (sekunder). Pengumpulan data primer menggunakan metode diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam (in-depth) dengan instrumen yang terstandarisasi. 2. Tahap kedua, Tim Peneliti Universitas melakukan kategorisasi data berdasarkan empat tema utama seperti digambarkan dalam kerangka konseptual, yaitu (a) Konteks penanggulangan HIV dan AIDS; (b) Peran aktor penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di daerah; (c) Pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; serta (d) Kinerja pelayanan kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Keempat tema utama ini dikembangkan ke dalam subtema yang lebih rinci untuk memahami lebih data yang telah terkumpul secara lebih mendalam. 3. Tahap ketiga, Tim Peneliti Universitas melakukan triangulasi dari matriks yang telah dihasilkan dengan menggunakan data sekunder dan hasil wawancara dengan informan-informan yang relevan. 4. Tahap keempat, Tim Peneliti Universitas menilai tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan berdasarkan sistem scoring yang sudah dilakukan oleh penelitian serupa sebelumnya (Conseil et al., 2010; Desai et al., 2010). 5. Tahap kelima, Tim Peneliti Universitas menuliskan laporan berdasarkan analisis dari keempat tema utama sehingga diperoleh gambaran tentang tingkat integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di masingmasing daerah. Tahap ini menghasilkan susunan enam laporan penelitian yang 10 • PKMK FK UGM
mewakili masing-masing tingkat integrasi di daerah penelitian. 6. Tahap keenam, keenam laporan daerah tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut oleh tim peneliti inti1 untuk disusun menjadi laporan gabungan. Analisis lanjutan ini juga didukung dengan data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan oleh peneliti daerah guna memastikan konsistensi analisis. Laporan gabungan bukan dimaksudkan sebagai laporan kompilasi hasil penelitian daerah, tetapi sebagai sintesis atas temuan-temuan tentang tingkat integrasi. Selain itu, laporan gabungan juga mencakup identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah serta implikasinya terhadap efektivitas program di tingkat daerah. b.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini mencakup enam provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Papua, dan Papua Barat. Berdasarkan rencana awal, Provinsi DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur juga ditetapkan sebagai lokasi penelitian, tetapi karena data yang dikumpulkan tidak dapat dibandingkan dengan enam provinsi lainnya maka hasil penelitian di dua provinsi tersebut tidak diikutsertakan dalam analisis untuk laporan ini. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan beberapa kriteria, antara lain: 1) Memiliki variasi tingkat epidemiologi HIV dan AIDS (terkonsentrasi dan generalisata); 2) Terdapat program penanggulangan HIV dan AIDS yang telah berjalan; dan 3) Terdapat lembaga penelitian universitas dengan kualitas peneliti yang memadai. Penelitian dilakukan oleh peneliti dari universitas di masing-masing lokasi penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Universitas yang dimaksud berdasarkan daerahnya yakni Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Udayana (Unud), Universitas Hasanudin (Unhas), Universitas Cenderawasih (Uncen), dan Universitas Papua. Di masing-masing provinsi, dua kabupaten/kota dipilih berdasarkan daftar 137 Kabupaten/Kota prioritas menurut KPAN (KPAN, 2010). Untuk Papua Barat hanya dipilih satu kabupaten. Secara total, penelitian ini dilakukan di enam provinsi dan sebelas kabupaten/kota di Indonesia. c. Informan Jenis informan penelitian di sebelas kabupaten/kota terpilih ialah semua pihak yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Jumlah informan untuk masingmasing daerah bervariasi sesuai dengan jenis program yang ada di daerah dan jumlah lembaga/institusi yang terlibat dalam pelaksanaan program. Informan tersebut antara lain: 1
Tim Peneliti Inti di sini terdiri atas peneliti PKMK FK UGM dan PPH Universitas Atma Jaya.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 11
1. Anggota KPA Daerah/Provinsi; 2. Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang tugas pokok dan fungsinya bersinggungan dengan penanggulangan HIV dan AIDS; 3. Organisasi masyarakat sipil (OMS) seperti Kelompok Dukungan Sebaya, dan organisasi populasi kunci lainnya; dan 4. Perwakilan populasi kunci, yakni pengguna napza suntik (penasun), wanita pekerka seks langsung/tak langsung (WPSL/WPSTL), laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), dan waria, yang telah dijangkau oleh OMS. d. Instrumen Sesuai dengan kerangka konseptual yang digunakan, pengumpulan data difo kuskan pada aspek-aspek berikut ini: a) Konteks penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup topik tentang kepen tingan dan komitmen politik daerah, hukum dan regulasi terkait dengan pelaksa naan program HIV dan AIDS, situasi ekonomi dan permasalahan kesehatan umum di daerah. b) Peran para aktor dalam penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di daerah yang mencakup pemda, KPA di daerah, MPI, OMS, serta pemangku kepentingan strategis lain dalam pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. c) Pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup pelaksanaan fungsi manajemen dan regulasi, pembiayaan, penge lolaan SDM, penyediaan kefarmasian dan alat kesehatan, pengelolaan infor masi strategis, mobilisasi partisipasi masyarakat, dan penyediaan layanan kese hatan. Setiap fungsi sistem kesehatan ini kemudian dikelompokkan berdasarkan dimensi-dimensi dari pelaksanaan fungsi sistem kesehatan. Secara keseluruhan ketujuh fungsi sistem kesehatan tersebut mencakup 18 dimensi/subtema. d) Kinerja pelayanan kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang meliputi cakupan, aksesibilitas, kualitas, dan keberlanjutan layanan. Instrumen tersebut dikembangkan dan diadaptasi dari instrumen penilaian kinerja sistem kesehatan yang telah dilakukan oleh USAID tahun 2012 dalam Health System Assessment Approach: How-To Manual2 dan SYSRA Toolkit (Mounier-Jack et al, 2008) yang ditujukan untuk menilai tingkat integrasi intervensi spesifik ke dalam sistem kesehatan. Instrumen ini pernah diujicobakan di beberapa negara termasuk di Indonesia untuk melihat intervensi spesifik terkait dengan Millenium Development Goals (MDGs) seperti Kesehatan Ibu dan Aanak (KIA), AIDS, TB dan Malaria pada 2
Diunduh dari http://www.healthsystemassessment.com/health-system-assessment-approach-a-how-to-manual/.
12 • PKMK FK UGM
tahun-tahun sebelumnya. Instrumen tersebut sudah mencakup instrumen pengum pulan data primer dan sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian. Instrumen pengumpulan data bisa dilihat pada Lampiran 1. e. Manajemen Data Manajemen data dalam penelitian ini dilakukan pada dua level, yaitu di level peneliti daerah dan di level tim peneliti inti. Di level tim peneliti daerah, setiap wawancara dan diskusi kelompok terarah direkam dan hasilnya diserahkan kepada manajer data yang bertugas untuk mengoordinasikan penyimpanan dan distribusi hasil rekaman kepada penulis transkripsi. Setiap rekaman disalin secara verbatim, kemudian setiap salinan dikodekan (coding) berdasarkan kategori-kategori tema yang relevan dengan penelitian ini. Hasil penyusunan kategori ini dimasukkan ke dalam matriks guna memudahkan para peneliti untuk melihat variasi atas berbagai topik yang diajukan dalam diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam. Data primer ini divalidasikan melalui pertemuan validasi dengan para informan yang terlibat dalam pengumpulan data. Peneliti daerah juga mengelola data sekunder dengan mengelompokkannya sesuai dengan kategori. Data sekunder digunakan untuk mengumpulkan data tambahan serta untuk melakukan validasi atas informasi yang diperoleh dalam wawancara dan diskusi terarah. Di level peneliti inti, data yang dikelola adalah data dari peneliti daerah yang hasilnya berupa laporan penelitian tingkat daerah. ini. Laporan dari masing-masing daerah digabungkan berdasarkan kategorinya, yaitu hasil analisis stakeholder serta deskripsi di masing-masing subsistem kesehatan. Hasil gabungan deskripsi per kate gori ini kemudian diringkas ke dalam matriks-hasil yang dibagi berdasarkan dimensi dari subsistem kesehatan untuk dianalisis lebih lanjut. Pengelolaan data sekunder dilakukan oleh peneliti inti dengan tujuan untuk memvalidasi laporan peneliti daerah. Selain itu, data sekunder juga dikumpulkan untuk menilai kinerja program penanggulangan HIV dan AIDS, baik dari segi cakupan, perubahan perilaku, dan kepatuhan dilihat dari jumlah ODHA on treatment. f.
Analisis Data
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tahapan penelitian, analisis data dimulai dengan kategorisasi berdasarkan tema-tema utama dan subtema di masing-masing dimensi. Proses kategori dan klasifikasi data terus-menerus dilakukan selama proses analisis berlangsung hingga diperoleh gambaran yang rinci dari tema-tema utama yang telah ditentukan. Kredibilitas data dikendalikan melalui triangulasi informasi dan triangulasi subjek. Secara khusus di bawah ini digambarkan tahapan analisis stakeholder dan analisis tingkat integrasi. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 13
1. Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder) dilakukan melalui tahapan berikut ini: a) Peneliti daerah mengidentifikasi peran dan fungsi pemangku kepentingan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah (unsur pemda, KPAD, OMS, organisasi berbasis komunitas, MPI, dan tokoh masyarakat). b) Peneliti daerah mendeskripsikan peran dan fungsi masing-masing pemangku kepentingan berdasarkan kepentingan dan kekuasaan yang dimiliki dalam pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerah tersebut. Kepentingan dilihat dari peran yang dilakukan atau diharapkan dalam pengembangan dan pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, sementara kekuasaan dilihat dari sumber daya yang dimiliki oleh pemangku kepentingan tersebut dalam menentukan atau memengaruhi pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerah tersebut. Deskripsi ini juga mencakup gambaran interaksi satu pemangku kepentingan dengan pemangku kepentingan lainnya. c) Berdasarkan deskripsi tersebut, peneliti daerah melakukan kategorisasi pemangku kepentingan berdasarkan kepentingan dan kekuasaan dengan menggunakan matriks sehingga bisa diketahui pemangku kepentingan mana saja yang memiliki kekuasaan yang tinggi dan kepentingan yang tinggi, kekuasaan yang tinggi dan kepentingan yang rendah, kekuasaan yang rendah dan kepentingan yang tinggi, dan kekuasaan yang rendah dan kepentingan yang rendah. Berdasarkan matriks tersebut, peneliti daerah mengidentifikasi implikasinya terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tersebut. d) Berdasarkan hasil analisis pemangku kepentingan dan pemetaan posisi di tingkat daerah, peneliti inti melakukan analisis lanjutan untuk memetakan pemangku kepentingan yang memiliki posisi yang paling strategis di dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Penentuan pemangku kepen tingan yang paling strategis ini dilakukan dengan mengidentifikasi pemangku kepentingan yang paling banyak disebut di sebelas kabupaten/kota. Demikian posisi masing-masing pemangku kepentingan dapat diidentifikasi dalam bentuk matriks. Hasil penilaian tentang fungsi dan peran pemangku kepen tingan di sebelas daerah ini disajikan dalam laporan gabungan ini. 2. Analisis Tingkat Integrasi dilakukan melalui metode yang disarankan dalam SYSRA (Mounier-Jack et al, 2008) dan penelitian integrasi sebelumnya (Conseil et al., 2010; Desai et al., 2010). Tahapan untuk menentukan tingkat integrasi ialah sebagai berikut: a) Mendiskripsikan pelaksanaan ketujuh fungsi sistem kesehatan berdasarkan 14 • PKMK FK UGM
dimensi-dimensi untuk masing-masing fungsinya. Deskripsi diharapkan bisa memberikan gambaran bagaimana pelaksanaan masing-masing fungsi sistem kesehatan di masing-masing kabupaten/kota secara rinci sesuai dengan tiga jenis intervensi penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup PP, PDP, dan mitigasi dampak (MD) seperti tampak dalam tabel di bawah ini: Tabel 1. Fungsi dan Dimensi Sistem Kesehatan Fungsi Sistem Kesehatan
Dimensi
1. Manajemen dan Regulasi
1. Regulasi 2. Formulasi Kebijakan 3. Akuntabilitas dan daya tanggap
2. Pembiayaan
4. Pengelolaan Sumber Pembiayaan 5. Penganggaran, proporsi, distribusi, dan pengeluaran 6. Mekanisme pembayaran layanan
3. Sumber Daya Manusia
7. Kebijakan dan sistem manajemen 8. Pembiayaan 9. Kompetensi
4. Penyediaan Obat dan Perlengkapan Medis
10. Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi 11. Sumber daya
5. Sistem Informasi
12. Sinkronisasi sistem informasi 13. Diseminasi dan pemafaatan
6. Pemberdayaan Masyarakat
14. Partisipasi masyarakat 15. Akses dan pemanfaatan layanan
7. Penyediaan layanan
16. Ketersediaan layanan 17. Koordinasi dan rujukan 18. Jaminan kualitas layanan
b) Berdasarkan deskripsi pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS, peneliti melakukan penilaian subjektif (subjective scoring) guna menentukan tingkat integrasi pada masing-masing dimensi untuk setiap jenis intervensi (PP, PDP dan MD). Sebuah panduan penilaian telah dikembangkan untuk memberikan pedoman bagi peneliti dalam menentukan skor masing-masing dimensi (lihat Lampiran 3). Definisi tingkat integrasi yang digunakan ialah sebagai berikut: i. Terintegrasi Penuh: pelaksanaan dimensi fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tersebut mengacu atau konsis Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 15
ten dengan pelaksanaan fungsi sistem kesehatan untuk pengendalian penyakit menular pada umumnya. ii. Terintegrasi Sebagian: pelaksanaan dimensi fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tersebut sebagian mengacu atau konsisten dan sebagian lainnya berbeda dengan pelaksanaan fungsi sistem kesehatan untuk pengendalian penyakit menular di daerah terse but. iii. Tidak Terintegrasi: pelaksanaan dimensi fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tersebut berbeda sepenuhnya dengan pelaksanaan fungsi sistem kesehatan untuk pengendalian penya kit menular pada umumnya. iv. Tidak Tersedia Data (NA): Tidak ada data untuk menentukan penilaian integrasi pelaksanaan fungsi sistem kesehatan penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem pengendalian penyakit yang berlaku. c) Untuk menentukan tingkat integrasi pada masing-masing fungsi sistem kesehatan, hasil penilaian dimensi-dimensi yang relevan dengan masingmasing fungsi sistem kesehatan untuk setiap intervensi digabungkan dan diinterpretasikan tingkat integrasinya berdasarkan argumentasi yang diba ngun oleh peneliti. Demikian pula untuk menilai gambaran integrasi setiap dimensi untuk intervensi penanggulangan HIV dan AIDS secara keseluruhan (PP, PDP dan MD) dilakukan dengan cara yang sama. d) Hasil penilaian tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dari sebelas kabupaten/kota yang telah dihasilkan oleh peneliti daerah dianalisis lebih lanjut oleh peneliti inti untuk memperoleh gambaran tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan secara agregatif. Hasil penilaian agregatis ini disajikan dalam lapor an ini. Dengan menggunakan metode Delphi, peneliti inti menilai tingkat integrasi untuk masing-masing dimensi fungsi sistem kesehatan tersebut berdasarkan deskripsi dalam laporan masing-masing daerah. g. Struktur Laporan Laporan gabungan ini terdiri dari lima bab. Bab 1 berisi tentang latar belakang dan metodologi penelitian yang digunakan. Bab 2 membahas berbagai konteks yang memungkinkan atau menghambat penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, seperti komitmen politik pemda, situasi ekonomi, permasalahan kesehatan secara umum, serta situasi epidemi HIV dan AIDS di daerah tersebut. Bab 3 menyajikan analisis tentang peran dan fungsi para pemangku kepentingan lokal dalam penanggulangan 16 • PKMK FK UGM
HIV dan AIDS di daerah serta bagaimana mereka saling berinteraksi dalam menyu sun atau memengaruhi kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerah tersebut. Bab 4 menguraikan gambaran pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Deskripsi di Bab 4 inilah yang kemudian menjadi dasar untuk penilaian tingkat integrasi baik dari segi fungsi sistem kesehatan itu sendiri, jenis intervensinya, maupun berdasarkan daerah penelitian. Penilaian ting kat integrasi, faktor-faktor yang memengaruhi tingkat integrasi tersebut, serta impli kasi tingkat integrasi terhadap efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah disajikan di bagian akhir Bab 4. Laporan ini ditutup dengan Bab 5 yang mengintisarikan temuan-temuan pokok dalam penelitian ini dan implikasinya dalam pengembangan kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia khususnya di tingkat daerah dalam bentuk kesimpulan dan rekomendasi.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 17
18 • PKMK FK UGM
KONTEKS
II
A. Konteks Kebijakan dan Program Penanggulangan HIV dan AIDS pada Tingkat Pusat dan Daerah Konteks di sini dimaknai sebagai faktor eksternal yang memengaruhi jalannya suatu program penanggulangan penyakit menular. Konteks biasanya terdiri dari beberapa aspek kunci seperti politik, hukum dan peraturan, ekonomi maupun masalah kesehatan (Cooker et al., 2010). Dalam penelitian ini, konteks kebijakan menggambarkan variasi proses desentralisasi di daerah penelitian, yang meliputi faktor komitmen politik, hukum dan peraturan, ekonomi, dikaitkan dengan perma salahan kesehatan. Bagian ini menjelaskan bagaimana konteks, proses, dan substansi kebijakan serta program penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat pusat dan daerah dalam sistem kesehatan yang berlaku dan berpengaruh terhadap integrasi dan efektivitas program. a. Komitmen Politik Permasalahan HIV dan AIDS merupakan isu kompleks yang penanganannya membutuhkan keterlibatan berbagai pihak yang bersifat multisektoral. Untuk meng gerakkan respons multisektor tersebut, diperlukan komitmen politik yang tinggi dari para pemimpin daerah. Penelitian ini menemukan bahwa di sebagian besar daerah penelitian, komitmen politik pemda masih lemah. Meskipun secara normatif pemda sudah menunjukkan komitmen awalnya dengan menghasilkan kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah melalui Peraturan Daerah (Perda), Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 19
pada kenyataannya HIV dan AIDS tetap belum menjadi prioritas daerah. Ini bisa dilihat dari keengganan pemda untuk mengalokasikan penganggaran yang memadai bagi penanggulangan HIV dan AIDS. Di sebagian besar daerah penelitian, pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS yang bersumber dari APBD melalui SKPD terkait masih terbatas. Komitmen penganggaran masih sekedar memenuhi kewajiban dari amanat Perda sehingga jumlah dana yang dialokasikan tidak memadai. Contohnya bisa dilihat antara lain di Sulawesi Selatan. “Seperti tahun 2014 ini, dari APBD kami hanya dapat 46 juta (rupiah). Kita mau apa dengan dana yang hanya 46 juta itu?... Jadi memang masih sangat tergantung pada Global Fund.” (DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014) Sedangkan di Surabaya, komitmen pendanaan sudah diwujudkan meskipun belum memenuhi kebutuhan yang direncanakan. Tim peneliti Unair (2014) menemu kan bahwa dari perencanaan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS yang diajukan oleh Dinkes Kota Surabaya sebesar Rp 10 miliar, hanya Rp 3 miliar yang disetujui oleh DPRD. Pemangkasan jumlah anggaran yang signifikan ini mempertegas bahwa daerah belum memprioritaskan program penanggulangan HIV dan AIDS. Pada tahun 2013 jumlah dana yang diterima oleh KPA Kota Surabaya dari APBD mengalami penurunan, sementara dana yang diberikan oleh Global Fund relatif mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar Rp80.860.000 menjadi Rp84.203.000. Pada tahun yang sama, RS Bhakti Dharma Husada memperoleh dana dari Global Fund sebesar Rp20.475.000. (Tim Peneliti Unair, 2014) Selain pemangkasan jumlah anggaran, pemahaman bahwa isu HIV dan AIDS membutuhkan respons multisektor masih belum dimiliki oleh banyak pemda. Penang gulangan HIV dan AIDS lebih dilihat sebagai persoalan medis semata yang menjadi tanggung jawab Dinkes dan unit-unit pelayanan kesehatan, sehingga keterlibatan dari SKPD atau instansi pemda non-kesehatan menjadi minimal atau bahkan di beberapa daerah absen. Indikasi ini terlihat dari dua hal, pertama ialah tidak adanya atau minimnya alokasi APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS bagi SKPD non-kesehatan, dan kedua ialah ketakaktifan SKPD dalam KPAD walaupun secara struktur merupakan bagian dari KPAD. Permasalahan ini semakin rumit dengan posisi KPAD yang dalam politik daerah tidak memiliki struktur dan kewenangan yang jelas. KPAD dipimpin oleh pejabat daerah yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang tinggi sehingga berpotensi untuk mendorong respons HIV dan AIDS sebagai prioritas daerah. Namun, ditemukan bahwa keberadaan pejabat daerah dalam struktur KPAD belum mampu mendorong 20 • PKMK FK UGM
pemda untuk berkomitmen dan menyediakan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS secara memadai. Dalam beberapa kasus, faktor yang lebih menentukan sejauh mana daerah memprioritaskan masalah HIV dan AIDS ialah perhatian pribadi dari pejabat KPAD, seperti ditemukan di Makassar. “Regulasi-regulasi itu penting, namun yang paling penting sebenarnya adalah membuat program HIV ini menjadi prioritas walikota atau bupati... Jadi kemampuan kita meyakinkan mereka sangat penting. Jadi bagaimana cara meyakinkan mereka bahwa ini sesuatu yang berbahaya atau tidak... Di tingkat praktis, komitmen walikota itu seringkali sebenarnya lebih penting dibanding regulasi-regulasi.” (WM, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Kota Makassar, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014). Konsekuensi dari kurangnya dukungan instansi pemda yang bersifat multisektor yakni tanggung jawab dari KPAD dan sektor kesehatan menjadi sangat besar. Padahal, sebagaimana dipaparkan tadi, struktur dan kewenangan KPAD dalam politik pemda tidak jelas, sehingga membuat kemampuannya untuk mengoordinasikan dan meme ngaruhi kebijakan pemda dalam penanggulangan HIV dan AIDS menjadi sangat terbatas. Dengan konteks politik daerah seperti ini, HIV dan AIDS sulit menjadi isu yang diprioritaskan oleh daerah. b.
Hukum dan Peraturan
Di tingkat daerah masih ditemukan berbagai peraturan yang belum mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS serta cenderung membatasi akses populasi kunci untuk memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkan. Ini misalnya bisa dilihat pada berbagai bentuk perda yang terkait dengan kesusilaan dan ketertiban seperti anti-prostitusi, penyakit masyarakat, penutupan lokalisasi, dan kriminalisasi pekerja seks. Keberadaan perda tersebut misalnya di Kota Surabaya (Perda Nomor 7/1999) berdampak pada hilangnya kontrol terhadap para pekerja seks yang menjadi sasaran program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS) yang berbasis lokasi. Adanya kebijakan tentang kesusilaan tersebut membuat para pekerja seks menyebar ke berbagai tempat sehingga sulit untuk dijangkau oleh petugas kesehatan. Akibatnya, program PMTS menjadi tidak efektif. Tim peneliti Udayana mensinyalir bahwa kebijakan penutupan lokalisasi di Surabaya mengakibatkan berpindahnya pekerja seks dari Surabaya ke Bali. Akibatnya, pekerja seks kesulitan mengakses layanan kesehatan melalui JKN. Mereka bermasalah dengan kartu identitas pendu duk (KTP) yang berbeda dengan tempat di mana mereka bermigrasi karena untuk mengakses JKN diperlukan kartu identitas yang sama dengan domisili. Demikian juga Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) yang di satu sisi tujuannya melindungi masyarakat Papua melalui jaminan bagi penduduk Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 21
asli Papua agar memperoleh layanan kesehatan yang lebih baik, serta merupakan upaya aksi afirmatif (affirmative action) untuk masyarakat Papua dalam mendapatkan kesempatan bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Namun, di sisi lain, kebijakan ini berpotensi menjadi diskriminatif karena membatasi akses penduduk non-Papua untuk memperoleh jaminan layanan kesehatan. Selain masalah akses, hambatan terkait hukum lainnya muncul karena tidak adanya sanksi terhadap pengabaian kewajiban yang dilakukan oleh SKPD sebagai penanggung jawab upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Di banyak daerah, perda tentang penanggulangan HIV dan AIDS hanya mengatur pemberian sanksi kepada petugas kesehatan, penyedia fasilitas kesehatan, dan pengelola atau pemilik tempat hiburan. Tidak ada insentif dan disinsentif bagi SKPD untuk melakukan kewajibannya dalam penanggulangan HIV dan AIDS. c.
Ekonomi
Kasus penularan HIV dan AIDS pada dasarnya bisa ditemukan lebih banyak pada kota-kota yang menjadi pusat ekonomi bagi wilayah-wilayah di sekitarnya, seperti Medan, Surabaya, Makassar dan Jayapura yang merupakan kota-kota pusat perdagangan dan industri dengan jumlah kasus HIV dan AIDS yang tergolong tinggi. Pada kenyataannya, besarnya kasus HIV dan AIDS di daerah-daerah tersebut tidak direspons secara memadai oleh pemda sehingga mendorong MPI untuk menginisiasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tersebut. Keberadaan MPI di daerah telah mampu mendorong pengembangan program dan layanan HIV dan AIDS secara lebih lengkap dan meningkatkan cakupan pemanfaatan layanan yang tersedia. Tetapi, di sisi yang lain, situasi ini telah mengakibatkan keengganan pemda untuk mengalokasikan anggaran daerah bagi penanggulangan HIV dan AIDS. Keter gantungan daerah terhadap MPI telah berakibat pada menurunnya secara signifikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah begitu MPI memutuskan untuk tidak bekerja di wilayah tersebut, seperti terjadi di Sulawesi Selatan dan Papua. “Kita masih sangat tergantung pada donor. Kira-kira proporsinya 80-an persen masih dari donor. Seperti tahun 2014 ini, dari APBD kami hanya dapat 46 juta (rupiah). Kita mau apa dengan dana yang hanya 46 juta itu?... Jadi memang masih sangat tergantung pada Global Fund. Tapi itupun saya harus mengakali dana-dana GF itu yang juga masih kurang mencukupi. Misalnya untuk supervisi-supervisi yang harusnya saya ke kabupaten A... kadang saya akali dengan memindahkan ke kabupaten lain yang lebih prioritas demi pengembangan.” (DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014) Selain itu, di daerah-daerah yang menjadi pusat ekonomi, sektor swasta belum terlibat secara aktif dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Sebagaimana dilaporkan 22 • PKMK FK UGM
Tim Peneliti Unair, Sidoarjo sebagai kota industri memiliki potensi untuk memobilisasi peran sektor swasta agar berpartisipasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui skema pembiayaan. Di daerah yang sudah ada pendanaan dari sektor swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR) pun, pengelolaannya masih dilakukan oleh sektor swasta secara sendiri-sendiri dan hanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pencegahan dalam bentuk sosialisasi dengan mengundang narasumber dari Dinkes atau KPA. Di Kota Makassar, beberapa perusahaan seperti PT Angkasa Pura, Pabrik Semen Bosowa, BNI, BRI dan PT Vale di Kabupaten Luwu Timur sudah mengalokasikan dana CSR untuk kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS. Tetapi, pengelolaan pendanaan terbatas pada kegiatan yang sifatnya insidental dan belum dijadikan bagian dari upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang strategis dan berkelanjutan. d.
Permasalahan Kesehatan
Dalam konteks pembangunan sektor kesehatan, ditemukan bahwa pemda belum memprioritaskan HIV dan AIDS sebagai isu strategis pembangunan kesehatan daerah. Ini bisa dilihat dari masih terbatasnya kapasitas daerah dalam menyusun perencanaan dan mengembangkan kebijakan berdasarkan bukti-bukti situasi kese hatan masyarakat di wilayahnya. Di satu sisi daerah belum mampu memproduksi data kesehatan daerah yang akurat, sementara di sisi lain data yang tersedia dan bermanfaat bagi perencanaan pembangunan kesehatan seperti survei demografi dan survei kesehatan tingkat populasi tidak dimiliki oleh pemda. Untuk data strategis seperti Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), misalnya, walaupun pemda melalui Dinkes terlibat dalam pengumpulan data surveinya, tetapi kepemilikan data ini tetap ada pada pemerintah pusat. Akibatnya, pemda tidak bisa sepenuhnya menggunakannya untuk mengembangkan perencanaan di wilayahnya. Ada beberapa akibat lebih jauh dari situasi tersebut. Pertama, karena tidak mengetahui besaran dan sebaran masalah yang ada di wilayahnya, inisiatif daerah untuk mengembangkan respons dalam bentuk program maupun kebijakan menjadi kurang. Daerah cenderung menjadi pelaksana dari program-program yang direnca nakan oleh pemerintah pusat (Kemenkes) maupun oleh lembaga donor. Program penanggulangan HIV dan AIDS lantas dipahami sebagai program pemerintah pusat yang bersifat vertikal. Target-target pun ditentukan di tingkat pusat, padahal dalam desentralisasi sesungguhnya kekuasaan untuk menentukan target sesuai dengan kondisi daerah dimiliki oleh daerah itu sendiri. Kedua, perencanaan yang lemah secara langsung juga berdampak pada lemah nya penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS di daerah yang bersumber dari Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 23
APBD. Memang ditemukan adanya daerah yang memiliki kapasitas untuk mengem bangkan data lokal serta menyediakan dana sektor kesehatan yang mencukupi seperti Provinsi Bali. Namun, di banyak daerah lainnya, termasuk Makassar dan Sidoarjo, ketiadaan dokumen perencanaan seperti Strategi dan Rencana Aksi Daerah (SRAD) Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai dasar penganggaran lintas-instansi pemerintah mengakibatkan pengajuan anggaran dari sektor non-kesehatan sering kali ditolak oleh Bappeda yang menilai bukan sebagai tupoksinya. Padahal, alokasi anggaran untuk sektor kesehatan sendiri pun masih belum mencapai 10% dari APBD di luar gaji sebagaimana diamanatkan oleh UU Kesehatan Nomor 36/2009 (Pasal 171 ayat 2). B. Situasi Epidemi dan Perilaku Berisiko di Daerah Penelitian Diagram 1. Prevalensi HIV per 100.000 Penduduk
Sumber: Kemenkes 2014
Situasi epidemi di setiap daerah semestinya memengaruhi variasi respons yang perlu dilaksanakan oleh daerah dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS. Situasi epidemi di lokasi penelitian pada dasarnya bervariasi dalam artian besaran dan sebaran kasus HIV dan AIDS. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kemenkes pada bulan September 2014, terlihat bahwa Papua merupakan daerah dengan prevalensi tertinggi (566,50 kasus per 100.000 penduduk), disusul Papua Barat (356,91 kasus per 100.000 penduduk). Sementara dari penelitian daerah, terungkap bahwa Jawa Timur merupakan daerah dengan prevalensi terendah, yaitu sebesar 51,36 per 100.000 penduduk.
24 • PKMK FK UGM
Kasus-kasus HIV dan AIDS di Papua dan Papua Barat lebih banyak ditemukan pada populasi umum (generalisata). Sedangkan di daerah lain, kasus HIV dan AIDS lebih terkonsentrasi pada populasi kunci seperti WPS, waria, LSL, penasun, dan pelanggan WPS. Diagram 2. Faktor Risiko penularan HIV dan AIDS
Sumber: STBP 2011 dan STBP 2013
Faktor perilaku berisiko penularan HIV dan AIDS juga bervariasi seperti tergambar pada Diagram 2, dengan rincian sebagai berikut: • Faktor perilaku berisiko kelompok penasun paling tinggi berada di Surabaya (48,6%), kemudian Medan (39,2%), dan yang paling rendah Sidoarjo (6%). Data ini menunjukkan bahwa perkembangan perilaku berisiko secara signifikan terjadi di daerah yang menjadi pusat perkembangan ekonomi dan modernisasi. • Faktor perilaku berisiko pada kelompok WPSTL tertinggi di Denpasar (8,8 %), kemudian Jayapura dan Medan (3,2 %), dan terendah Makassar dan Surabaya (2 %). Perkembangan perilaku berisiko WPSTL terjadi pada daerah perkotaan yang menjadi pusat berkembangnya tempat-tempat hiburan seperti bar, karaoke, panti pijat dan spa, serta diskotek (Tim Peneliti Undana, 2014). Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 25
• Faktor perilaku berisiko pada WPSL tertinggi berada di Denpasar dan Jayapura (16%), diikuti Makassar (13%), Surabaya (10,4 %), Sidoarjo (10 %), dan Deli Serdang (3,6%). Secara umum, faktor perilaku berisiko tinggi pada WPSL terjadi pada hampir semua daerah yang memiliki kawasan hotspot pusat transaksi seks antara WPS dan pelanggannya yang melakukan seks takaman. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa situasi epidemi dan faktor perilaku berisiko di masing-masing daerah penelitian memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga perlu direspons secara proporsional, baik dari segi model intervensi maupun target populasinya. C.
Respons Daerah terhadap HIV dan AIDS
Walaupun situasi epidemi berbeda di masing-masing daerah, ada kecenderungan kesamaan pola dalam respons pencegahan HIV dan AIDS di daerah penelitian, khususnya terkait dengan model intervensi dan target standar penjangkauan dan pendampingan. Misalnya, di Papua dan Papua Barat, fokus pencegahan masih menya sar pada populasi kunci dengan besaran target yang sama, sementara model penjang kauanya juga sama dengan daerah lain. Belum ditemukan adanya model pendidikan masyarakat yang secara khusus mengantisipasi pola penularan pada populasi umum di Papua. Satu hal yang membedakan intervensi di Tanah Papua dari daerah lain ialah semakin kuatnya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) di berbagai Kabupaten/Kota Provinsi Papua dan Papua Barat. Jenis-jenis respons pencegahan yang ada di daerah antara lain tes dan konseling HIV, PPIA, PMTS dengan pendistribusian kondom, program LASS, dan terapi metadon untuk kelompok penasun, serta berbagai program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang menyasar kepada popolasi umum khususnya remaja, ibu-ibu rumah tangga, dan laki-laki berisiko rendah. Secara umum, LSM menjadi salah satu pemain penting dalam program-program pencegahan ini. Kegiatan yang dilakukan oleh LSM di daerah-daerah penelitian berdasarkan laporan Tim Universitas menca kup penjangkauan pada kelompok populasi kunci, pendampingan ODHA, pendi dikan masyarakat berupa penyuluhan HIV dan AIDS pada individu, kelompok dan masyarakat, dukungan sosial dan psikologis, serta advokasi kebijakan dan program. Sementara untuk program PDP, karena titik beratnya pada aspek medis dan kuratif, semua daerah penelitian menggunakan pola dan model serta target serupa. Contohnya terapi ARV, semua daerah memiliki mekanisme yang sama karena penga daan, penyediaan, dan distribusi ARV ditentukan secara vertikal dari pemerintah pusat dengan pendanaan APBN. Variasinya tampak pada kesiapan dari tenaga dan fasilitas kesehatan dalam memenuhi standar pelayanan ARV sesuai ketentuan 26 • PKMK FK UGM
Kemenkes. Aspek psikososial dari ODHA belum memperoleh perhatian karena keterbatasan kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan untuk menyediakan layanan sesuai standar. Padahal ketersediaan dukungan psikososial dalam perawatan ARV merupakan unsur penting kaitannya dengan tingkat drop out dan kepatuhan berobat. Berdasarkan data Kemenkes (2014), kasus drop out3 secara berurutan tertinggi di Provinsi Papua (33,1%), Sumatera Utara (27,06%), Bali (25,07%), Papua Barat (23,40%), Jawa Timur (27,77%), dan Sulawesi Selatan (15,66%). Sementara di enam provinsi lokasi penelitian ini, jumlah cakupan ODHA yang konsisten on treatment tertinggi berada di Jawa Timur (4885), Bali (3784), Papua (3528), Sumatera Utara (2336), Sulawesi (1329), dan Papua Barat (765).4 Sebagian daerah penelitian sudah menjalankan pendekatan Layanan Kompre hensif Berkesinambungan (LKB). Mereka mengembangkan integrasi layanan mulai dari koordinasi pemangku kepentingan kunci HIV dan AIDS lintas-sektor dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Pendekatan LKB cukup berkembang di beberapa lokasi seperti Surabaya, Sidoarjo, Denpasar, Badung, Makassar, dan Parepare. Ini merupakan upaya mengintegrasikan layanan HIV dan AIDS yang didelegasikan sampai ke tingkat layanan primer mulai dari diagnosis, tes HIV (Voluntary Counselling Test/VCT dan Provider-initiated Counselling and Testing/PICT), link to care, dan pendampingan kepatuhan bagi ODHA yang terapi ARV. Meskipun demikian, dalam praktiknya, jumlah layanan kesehatan primer yang dapat memberikan dan melan jutan terapi ARV masih sangat terbatas karena ketidaksiapan dari sumber daya kesehatan daerah. Di samping itu, beberapa daerah juga sudah menerapkan pendekatan Strategic Use of ARV (SUFA). Ini merupakan upaya untuk memastikan semakin banyaknya jumlah ODHA yang masuk ke perawatan HIV. Namun, seperti yang ditunjukkan Diagram 3, kesenjangan estimasi antara jumlah ODHA dan jumlah yang masuk ke perawatan HIV masih lebar. Ini disebabkan antara lain oleh tahap pra-pengobatan ARV yang membutuhkan proses dan prosedur panjang dengan biaya yang takmurah. Laporan dari penelitian daerah mengungkapkan bahwa mitigasi dampak merupakan respons paling minimal dalam penanggulangan HIV dan AIDS di berba gai daerah. Respons mitigasi dampak di seluruh daerah penelitian terindikasi belum berjalan dan tidak terkoordinasi. Ini mengindikasikan bahwa pemahaman SKPD anggota KPAD terkait continuum of care PDP ODHA masih terbatas—selain ketak jelasan peran SKPD sebagai anggota KPAD yang memiliki peran dan tanggung 3
Terdiri atas loss to follow up dan berhenti ART.
Dihitung dari proporsi jumlah yang masuk ART dikurangi jumlah meninggal, jumlah yang berhenti, loss to follow up, dan rujukan keluar. 4
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 27
jawab untuk ambil bagian dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Di samping itu, dukungan terhadap ODHA lebih banyak dilakukan oleh LSM dan tokoh masyarakat yang dalam praktiknya juga banyak tidak berkoordinasi dengan dinas terkait. Diagram 3. Cascade Perawatan HIV dan AIDS
Berbeda dengan daerah lain, mitigasi dampak di Papua cukup berjalan dengan adanya UU Otsus. Di Manokwari misalnya, upaya mitigasi dampak lebih berfokus pada kegiatan pendampingan dan konseling pada ODHA dan keluarganya, serta menyalurkan bantuan dana dan pemberian makanan tambahan bagi ODHA yang bersumber dari pendanaan Otsus. Sementara di Merauke, dukungan kepada ODHA berbentuk makanan tambahan dan gizi berasal dari inisiatif dan partisipasi masyarakat luas yang dikembangkan oleh aktivis, tokoh gereja, serta lembaga adat. Hal yang kurang lebih sama terjadi di Parepare dan Makassar di mana mitigasi dampak banyak dilakukan oleh LSM dengan dukungan donor dan pendanaan dari swasta lewat program CSR. Program mitigasi dampak juga berkembang di Bali, khususnya di Denpasar dan Badung, yang dilakukan oleh masyarakat sipil dengan mengembangkan pemberdayaan untuk WPS dan program rehabilitasi untuk penasun. Program mitigasi dampak tersebut telah dilakukan oleh banyak pemain yang berbeda dari berbagai kelompok, tetapi berjalan sendiri-sendiri dan belum menjadi program intervensi yang sistematis.
28 • PKMK FK UGM
Analisis Pemangku Kepentingan Kunci dalam Penanggulangan HIV dan AIDS
III
A. Pengantar Analisis pemangku kepentingan kunci (stakeholder analysis) adalah metode untuk memahami perilaku, kepentingan, interelasi antar-pemangku kepentingan, serta mengetahui bagaimana pengaruh pemangku kepentingan terhadap penyusunan dan pelaksanaan kebijakan (Varvasovszky dan Brugha, 2000). Dalam penelitian ini, stakeholder analysis digunakan untuk memetakan posisi pemangku kepentingan yang berpengaruh terhadap pengembangan dan implementasi program penanggulangan HIV dan AIDS. Pemangku kepentingan merupakan para aktor yang secara langsung berpengaruh atau dapat memengaruhi otoritas penentu kebijakan kunci serta memengaruhi implementasinya (Brinkerhoff dan Crosby, 2002; Varvasovszky dan Brugha, 2000). Secara umum, analisis pemangku kepentingan didasarkan pada dua elemen pokok, yakni kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang dimiliki oleh masing-masing pemangku kepentingan. Penelitian ini memaknai kekuasaan sebagai seberapa jauh pemangku kepen tingan memiliki sumber daya baik dari segi politik, ekonomi, sosial budaya, serta kemampuan memobilisasi sumber daya tersebut untuk memengaruhi kebijakan pihak lain. Untuk mengukur tinggi-rendahnya kekuasaan, penelitian ini melihat sumber daya dan otoritas yang dimiliki oleh pemangku kepentingan berdasarkan posisi formalnya dalam pengambilan kebijakan. Pemangku kepentingan dianggap memiliki kekuasaan tinggi apabila mereka memiliki sumber daya yang tinggi sekaligus mampu Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 29
memobilisasi sumber daya tersebut untuk menetapkan kebijakan dan penerapan program penanggulangan HIV dan AIDS. Kepentingan diartikan sebagai peran yang diinginkan atau diharapkan agar memberikan manfaat bagi pemangku kepentingan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Tinggi-rendahnya kepentingan dilihat dari latar belakang dan posisi pemangku kepentingan dalam penanggulangan HIV dan AIDS, baik dalam bentuk normatif maupun faktualnya. Pemangku kepentingan dengan kepentingan tinggi adalah pemangku kepentingan yang karena perannya saat ini memberikan manfaat signifikan terhadap kebijakan dan implementasi program penanggulangan HIV dan AIDS di lokasi penelitian. B. Peran dan Interaksi Pemangku Kepentingan dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah
Diagram 4. Kepentingan dan Kekuasaan Pemangku Kepentingan Penanggulangan HIV dan AIDS di Lokasi Penelitian
Dari pemetaan yang dilakukan oleh Tim Peneliti universitas didapat gambaran bahwa kepentingan KPAD, Dinkes, dan LSM terbilang tinggi di 11 kabupaten/kota lokasi penelitian; sementara kepentingan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Puskesmas dan Populasi Kunci terbilang tinggi di 10 lokasi penelitian. Sedangkan kepentingan DPRD, SKPD dan Bappeda terhitung rendah di 10 lokasi penelitian. Berdasarkan tingkat kekuasaannya, Dinkes terbilang tinggi di 11 lokasi penelitian dan Walikota/Bupati tinggi di 9 daerah. Kekuasaan MPI tergolong tinggi di lokasi 30 • PKMK FK UGM
penelitian (rerata 8,5). Sedangkan Puskesmas, LSM, Populasi Kunci, SKPD dan Lembaga Adat/Agama kekuasaannya rendah di semua lokasi penelitian. Diagram 4 menggambarkan rincian pemetaan tersebut. Lebih jauh lagi, hasil pemetaan pemangku kepentingan daerah yang berperan dan berfungsi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di 11 lokasi penelitian bisa dikategorikan ke dalam empat variasi interaksi atas kepemilikan kepentingan dan kekuasaannya. Keempat kategori tersebut ialah: (1) Kepentingan Tinggi dan Kekua saan Tinggi; (2) Kepentingan Tinggi dan Kekuasaan Rendah; (3) Kepentingan Ren dah dan Kekuasaan Tinggi; dan (4) Kepentingan Rendah dan Kekuasaan Rendah. Gambar 2 menunjukkan posisi pemangku kepentingan strategis dalam penanggu langan HIV dan AIDS di daerah berdasarkan pembagian kategori ini: Gambar 2. Posisi Pemangku Kepentingan di Daerah
Populasi Kunci PKM LSM
Kepentingan
Tinggi
Lembaga Adat SKPD Rendah
Dinkes
KPAD
2
MPI
RSUD
4
1
3 Kekuasaan
Walikota/ Bupati
DPRD Bappeda Tinggi
Posisi pemangku kepentingan berdasarkan kepentingan dan kekuasaan sebagai mana digambarkan tersebut menentukan bagaimana mereka berperan dan berinteraksi dalam memengaruhi penerimaan pemda terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Berikut ini pembahasan mengenai masing-masing pemangku kepentingan berdasarkan posisinya. 1. Posisi Pemangku Kepentingan a. Kepentingan Tinggi dan Kekuasaan Tinggi Pemangku kepentingan dengan kepentingan dan kekuasaan tinggi sangat berpengaruh dalam menentukan bagaimana penerimaan daerah terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa Bupati/ Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 31
Walikota, MPI, dan Dinkes merupakan aktor-aktor yang termasuk di dalam kategori ini. Namun, ditemukan pula adanya perbedaan antara kepentingan dan kekuasaan secara normatif dengan kepentingan dan kekuasaan secara faktual, seperti yang terlihat dalam pembahasan masing-masing pemangku kepentingan di kategori ini sebagai berikut. Bupati/Walikota Sesuai dengan prinsip desentralisasi, Bupati/Walikota secara normatif memiliki kepentingan dan kekuasaan yang tinggi dalam pengembangan kebijakan dan pro gram penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Sebagai pemimpin daerah, Bupati/ Walikota adalah ketua KPAD sehingga posisi mereka sangat strategis dalam pengam bilan kebijakan dan pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Peran normatif Bupati/Walikota telah diwujudkan dengan pembentukan perda tentang penanggulangan HIV dan AIDS sebagai bentuk komitmen formal pemda, misalnya Perwali AIDS di Surabaya, Perwali Jayapura Nomor 11/2012, dan Walikota Denpasar memasukkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJPMD) sehingga SKPD dapat membuat kegiatan yang berkaitan dengan HIV dan AIDS sesuai dengan tupoksi masingmasing. Meskipun demikian, secara politis kebijakan-kebijakan tersebut tidak sepenuhnya menjadi prioritas daerah sehingga sumber daya untuk untuk melaksanakan kebijakan tersebut tidak dialokasikan secara memadai. Misalnya, upaya untuk memberikan dukungan pembiayaan bagi anggota SKPD sebagai anggota KPAD agar dapat meng anggarkan pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS belum terlaksana. Dari sisi pengalokasian SDM, belum ada kebijakan operasional yang dikeluarkan pemda untuk memenuhi kebutuhan tenaga terkait upaya penanggulangan HIV dan AIDS, seperti tenaga penjangkauan. Bisa dibilang, dukungan pemda baru sebatas legal-formal dan belum diwujudkan dalam bentuk operasional. Konsekuensinya, implementasi kebijakan daerah tersebut relatif tidak berjalan. Mitra Pembangunan Internasional (MPI) Laporan Tim Peneliti universitas juga mengungkapkan bahwa MPI mempunyai kepentingan dan kekuasaan tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS. MPI bekerja dengan sumber daya teknis dan dana yang lebih besar sehingga menjadi pemangku kepentingan yang paling berpengaruh dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, termasuk dalam menentukan wilayah kerja, target populasi, dan pengalokasian dana. Penelitian ini menemukan bahwa MPI tidak saja memberikan bantuan dana, 32 • PKMK FK UGM
tetapi juga memberikan berbagai kegiatan pengembangan kapasitas sehingga sangat berpengaruh dalam menginisiasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS. Di wilayah penelitian, MPI yang memiliki kepentingan tinggi dan kekuasaan tinggi antara lain Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis, and Malaria (GFATM/ Global Fund), HIV Cooperation Program for Indonesia (HCPI), Scaling Up for Mostat-Risk Population (SUM), UNICEF, UNFPA dan Clinton Health Access Initiative (CHAI). MPI memberikan dukungan dana dan teknis di semua lokasi penelitian, yang secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Bentuk Bantuan Mitra Pembangunan Internasional dan Lokasinya MPI
Bentuk bantuan
Lokasi
Global Fund
Dana dan bantuan teknis
Medan, Denpasar, dan Badung
HCPI
Dana dan bantuan teknis
Badung dan Denpasar
SUM
Dana dan bantuan teknis
Medan
CHAI
Penguatan sistem, layanan dan pengembangan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan bagi tenaga dokter maupun perawat.
Jayapura, Manokuwari, dan Merauke
UNFPA
Dana
Merauke dan Manokwari
UNICEF
Dana program uji coba buku Merauke ‘Daku Papua’, di 17 Sekolah Menengah Umum (SMU) yang isinya pembelajaran tentang reproduksi remaja, termasuk HIV dan AIDS.
Sumber: Laporan Daerah Tim Peneliti Universitas (2014)
Posisi MPI tersebut berimplikasi terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Pertama, MPI menjadi pendorong bagi pemda untuk mengembangkan dan meningkatkan layanan terkait HIV dan AIDS sehingga jumlah dan jenis layanan bisa tersedia lebih banyak. Kedua, MPI memungkinkan peningkatan keterlibatan berbagai pihak seperti fasilitas layanan kesehatan (RSUD dan Puskesmas), LSM, dan tokoh agama dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui dukungan sumber daya. Ketiga, keberadaan MPI secara tidak langsung memengaruhi komitmen politik Walikota/ Bupati dan DPRD dalam penentuan kebijakan pendanaan maupun pengalokasian sumber daya dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Dengan adanya Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 33
pendanaan dari MPI, tekanan bagi pemda untuk mengalokasikan pendanaan yang lebih besar menjadi sangat lemah. Dinkes Kota/Kabupaten Secara normatif, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Dinkes merupakan pemegang otoritas tertinggi dalam bidang kesehatan di kabupaten, sebagaimana diatur juga dalam UU Nomor 23/2014 Lampiran B. Sebagai penanggung jawab utama bidang kesehatan, tugas pokok Dinkes ialah melaksanakan kewenangan daerah di bidang kesehatan serta melaksanakan tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi. Dinkes berfungsi merumuskan kebijakan teknis, menetapkan dan melaksanakan program, serta melakukan pembinaan di bidang kesehatan terma suk kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS. Perwujudan berbagai peran dan fungsi Dinkes dalam kebijakan penang gulangan HIV dan AIDS di lokasi penelitian seperti peran Dinkes Kota Denpasar dalam membuat rencana strategis Dinkes Kota Denpasar 2010– 2015 yang memasukkan isu HIV dan AIDS sebagai isu strategis dalam hal new emerging disease. Selain itu, Dinkes Kota Denpasar membuat dan melaksanakan program serta menganggarkan dana penanggulangan HIV dan AIDS. (Tim Peneliti Unud, 2014) Di lokasi lain seperti Kota Jayapura, Dinkes menyediakan layanan terkait HIV dan AIDS seperti klinik Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) sebagai program pencegahan sekaligus upaya penemuan kasus secara dini dan lebih efektif di kalangan populasi kunci (khususnya WPSL dan WPSTL) melalui kegiatan pemeriksaan secara rutin ke bar-bar dan panti pijat. Sementara itu, Dinkes Kota Surabaya berperan dalam penguatan surveilans epidemiologi HIV dan AIDS, pengembangan program pengendalian HIV dan AIDS, penyediaan program perawatan dan pengobatan yang dikoordinasikan dengan pihak rumah sakit dan puskesmas, penguatan dalam sistem layanan kesehatan di Kota Surabaya, serta mengelola program HIV dan AIDS dengan segala sumber daya yang tersedia. Sedangkan di Kabupaten Sidoarjo, Dinkes berperan mulai dari pencegahan, promosi, deteksi dini, dan pengobatan atau pemberian treatment dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Peran Dinkes Kabupaten Merauke dalam penanggulangan HIV dan AIDS ialah menerjemahkan Perda tentang HIV dan AIDS dalam bentuk program-program seperti IMS dan VCT oleh PKR, Puskesmas, serta instansi teknis lainnya. Jika ada hasil tes positif, maka ditindaklanjuti dengan pengobatan ARV lewat Pokja HIV dan AIDS di RSUD Kabupaten Merauke. Dinkes Kabupaten Manokwari menjalankan tiga kegiatan utama dalam program penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu PP, PDP, 34 • PKMK FK UGM
dan MD bagi ODHA. Dinkes Kota Medan dan Deli Serdang mengoordinasikan semua hal terkait penanggulangan HIV dan AIDS berupa program kegiatan dan pendanaan dan layanan kesehatan. Peran-peran di atas menunjukkan bahwa Dinkes memiliki kepentingan yang tinggi dan didukung dengan kekuasaan yang tinggi secara normatif. Meskipun demi kian, ditemukan bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS oleh Dinkes dila kukan atas dukungan sumber dana dan sumber daya dari MPI, terutama Global Fund. Bahkan dalam penelitian ini ditemukan bahwa program Global Fund lebih populer daripada program Dinkes sendiri. Dengan dukungan yang sedemikian besar dari MPI, secara operasional Dinkes tampak lebih berperan sebagai pelaksana program MPI bersama dengan LSM atau komunitas. Dinkes masih memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap dukungan MPI, sehingga berimplikasi pada kemampuan Dinkes untuk menjalankan perannya dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. b. Kepentingan Tinggi dan Kekuasaan Rendah Kategori ini meliputi pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan tinggi karena kapasitas teknisnya sangat terkait dengan penanggulangan HIV dan AIDS, tetapi kekuasaannya rendah karena sumber daya mereka tergantung pada pihak lain. Pemangku kepentingan yang termasuk dalam kelompok ini ialah KPAD, RSUD, Puskesmas, LSM, dan Populasi Kunci. KPAD Kabupaten/Kota KPAD5 memiliki kepentingan yang tinggi karena fungsinya sebagai lembaga yang mengoordinasikan semua upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilakukan oleh SKPD anggotanya. Selain itu, KPAD menjadi jembatan antara komunitas populasi kunci dengan para pemangku kepentingan lain yang memperjelas tanggung jawab masing-masing pihak dalam pelaksanaan program. Mekanisme koordinasi yang dija lankan oleh KPAD ialah pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program dengan melibatkan Dinkes, SKPD anggota, LSM, ODHA, dan Populasi Kunci. Contoh fasilitasi koordinasi KPAD yang berjalan dengan baik dalam penelitian ini ditemukan di Bali dan Kota Medan. “Selama ini mitra terdekat KPA adalah LSM untuk menjalankan berbagai program dan mereka selama ini sangat kooperatif dalam pelaksanaan pro gram.” (WM, KPA Provinsi Bali, dalam laporan Tim Peneliti Unud, 2014) 5 Pembentukan KPA Kota/Kabupaten adalah pelaksanaan Permendagri Nomor 20/2007 Pasal 2 dan Perpres Nomor 75/2006 Pasal 8. Permendagri Nomor 20/2007 menegaskan bahwa KPA Kabupaten/Kota memiliki sembilan tugas dan dua kewenangan. Dalam implementasinya, berbagi variasi ditemukan di lokasi penelitian.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 35
Interaksi antar-aktor dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Medan sudah berjalan baik atas koordinasi KPA Kota Medan. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran para wakil dari SKPD yang diundang pada pertemuan yang diadakan KPA Kota Medan. Dan interaksi tersebut juga dapat dilihat dari kerjasama antar-SKPD, misalnya Dinas Kesehatan dengan Dinas Sosial dalam menindaklanjuti bila ada pasien Mr. X di layanan, artinya bila ada pasien Mr. X maka akan menjadi tanggung jawab Dinas Sosial dalam hal pembiayaannya. (Tim Peneliti USU, 2014) Meskipun demikian, penelitian ini juga menemukan bahwa KPAD belum konsisten melaksanakan perannya sebagai koordinator upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah sebagaimana diamanatkan dalam regulasi. Di beberapa lokasi penelitian, KPAD menjalankan peran ganda yang tidak sesuai mandatnya, yakni menjadi pelaksana program untuk pendistribusian alat pencegahan dan melakukan pelatihan teknis layanan yang seharusnya menjadi tupoksi Dinkes, misalnya KPA Kabupaten Sidoarjo. Sementara KPA Kabupaten Merauke melakukan pengadaan dan menyalurkan logistik pencegahan seperti kondom. KPA kota Jayapura melakukan pelatihan tenaga konselor dan tenaga yang bekerja pada PKR. KPAD juga menjadi pelaksana program yang didanai MPI di beberapa wilayah penelitian, seperti Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kota Medan, dan Kota Surabaya. Keterlibatan KPAD dalam koordinasi maupun implementasi penanggulangan HIV dan AIDS di daerah menunjukkan tingkat kepentingan yang tinggi. Namun, kepentingan yang tinggi tersebut tidak disertai dengan kekuasaan yang tinggi pula karena pengaruh dari bentuk lembaganya. Dalam struktur pemerintahan, KPAD tidak masuk dalam struktur lembaga kepemerintahan di daerah karena KPAD merupakan lembaga ad hoc yang kepemimpinannya bersifat ex-officio. Akibatnya, KPAD sulit mendapat alokasi APBD sehingga sumber pendanaan yang dimilikinya tidak terjamin keberlanjutannya. Misalnya, KPA Kabupaten Merauke selama ini mendapatkan dukungan dana hibah dari pemerintah Kabupaten Merauke melalui APBD Otsus. Sumber dana KPA berasal dari APBD Otonomi Khusus (Otsus) melalui Dinas Sosial. Perencanaan dan anggaran yang diusulkan oleh KPA setiap tahunnya dimasukkan ke DPA Dinas Sosial. Pelaksanaan kegiatan atau realisasi anggaran dilakukan oleh KPA dan dipertanggung-jawabkan melalui Dinas Sosial. Besarnya dana APBD dari tahun ke tahun mengalami peningkatan terlebih pada tahun 2014 pertambahannya cukup besar. (Laporan Tim Peneliti Uncen, 2014). Posisi KPAD tersebut berimplikasi terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di daerah dalam beberapa hal. Pertama, koordinasi yang dilakukan oleh KPAD masih 36 • PKMK FK UGM
sebatas koordinasi program yang dijalankan, belum sampai pada koordinasi strategis untuk mendorong peran multisektor dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Peran KPAD untuk mendorong semua SKPD anggota KPAD selain Dinkes agar dapat mengakses pendanaan daerah serta membuat program yang relevan dengan tupoksi SKDP tersebut belum berjalan. Kedua, terjadi konflik kepentingan antara KPAD yang seharusnya menjadi koordinator upaya pengendalian HIV dan AIDS di daerah dengan anggotanya yang melaksanakan program. Ketiga, konsekuensi KPAD sebagai lembaga ad hoc ialah ketergantungannya terhadap aktor lain menjadi sangat tinggi, terutama dalam hal akses dana. Dengan situasi demikian, tuntutan terhadap sekretaris KPAD yang secara operasional bekerja untuk penanggulangan HIV dan AIDS menjadi sangat berat karena secara personal ia harus melakukan lobilobi atau advokasi terhadap SKPD anggota KPAD untuk memastikan pendanaan bagi sekretariat KPAD maupun program HIV dan AIDS di daerah. Lembaga Swadaya Masyarakat Sesuai dengan karakteristiknya, LSM merupakan bagian dari komunitas yang berada dalam posisi strategis untuk menjangkau, mendampingi, dan menerjemahkan kebutuhan populasi yang diwakilinya, serta menuntut pemenuhan hak-hak dan kebutuhan kesehatan populasi tersebut. Ini membuat LSM memiliki kepentingan yang tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di level pelaksanaan. LSM memiliki kemampuan khusus yang tidak bisa dilakukan oleh sektor lain, yaitu menjangkau populasi kunci seperti penasun, WPS, LSL, waria, serta populasi marjinal lainnya. Di semua lokasi penelitian, ditemukan banyak LSM yang bekerja dalam penanggulangan HIV dan AIDS terutama pada lingkup program pencegahan. Sumber daya LSM bervariasi, tetapi umumnya mereka mengandalkan dukungan dana dari MPI seperti GFATM, HCPI, SUM dan lain-lain (PKMK, 2015). Belum ada skema khusus agar LSM bisa mengakses pendanaan dari pemerintah (APBN dan APBD). Kalau pun ada, biasanya berupa dana hibah atau honor untuk personel LSM yang terlibat dalam acara atau kegiatan pemerintah sehingga skema pendanaan seperti ini tidak rutin dan tidak berkelanjutan. Peningkatan kapasitas SDM LSM masih sangat tergantung pada berbagai pelatihan yang diinisiasi oleh MPI. Kondisi inilah yang mengindikasikan bahwa LSM memiliki kekuasaan yang rendah. Dari semua daerah penelitian, hanya ada satu LSM di Kabupaten Badung yang dilaporkan memiliki kekuasaan tinggi. Tingginya kekuasaan LSM ini karena ia memiliki SDM berkualitas yang terdiri atas tim profesional seperti dokter, epidemiologis, ahli kesehatan masyarakat, antropolog, dan tenaga perawat terlatih. Dengan sumber daya seperti ini, LSM tersebut menjadi Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 37
model bagi organisasi sejenis dalam bidang kesehatan dan penelitian sehingga memiliki pengaruh cukup besar. Tetapi secara keseluruhan, sebagian besar LSM di lokasi penelitian tidak memiliki kekuasaan seperti ini. Ada beberapa implikasi dari posisi LSM yang demikian terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Pertama, dengan kepentingannya yang tinggi berdasarkan kemampuan teknisnya, LSM telah menjadi penyedia layanan terdepan dalam menjangkau populasi kunci sekaligus memobilisasi mereka beserta ODHA untuk mengakses layanan. Kedua, karena keterbatasan sumber daya khususnya pendanaan, LSM memiliki ketergantungan yang besar terhadap MPI sebagai sumber utama pendanaannya. Ketergantungan ini membuat LSM yang seharusnya sebagai pengge rak respons penanggulangan HIV dan AIDS di daerah cenderung bertindak hanya sebagai pelaksana program MPI. Dengan kesibukannya dalam mengejar target-target programatik yang diberikan kepadanya, LSM tidak bisa optimal dalam memerankan diri sebagai pihak yang memberikan masukan kritis terhadap kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerahnya. Populasi Kunci Populasi kunci seharusnya menjadi pusat dari semua kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Mereka mempunyai peran yang strategis, bukan hanya sebagai target group dan penerima manfaat saja, tetapi juga sebagai penentu kebutuhan dan tujuan program. Aspek-aspek ini membuat mereka memiliki kepentingan yang tinggi. Namun, di sisi lain, populasi kunci memiliki kekuasan yang rendah karena sumber daya yang mereka miliki terbatas. Lebih jauh lagi, tidak ada mekanisme yang mendukung mereka agar dapat mengakses sumber dana dan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan. Laporan Tim Peneliti Universitas menunjukkan bahwa layanan untuk populasi kunci direncanakan dan ditentukan oleh pemangku kepentingan lain. Contohnya, Dinkes Kota Jayapura membentuk unit pelaksana teknis berupa klinik PKR, dan klinik inilah yang menentukan apa yang dibutuhkan oleh populasi kunci di Jayapura. Selain itu, kegiatan-kegiatan yang melibatkan populasi kunci bentuknya masih insidental di mana mereka menjadi penerima manfaat pasif. Ini bisa dilihat di Merauke di mana Dinas Sosial memberikan pelatihan bagi WPS untuk meningkatkan keterampilan sebagai bekal jika hendak keluar dari pekerjaannya, sementara pelatihan yang diberikan belum tentu sesuai dengan kebutuhan WPS (Tim peneliti Uncen, 2014). Sebagai penerima manfaat dan target program, posisi tawar populasi kunci rendah sehingga tidak dapat memengaruhi pemangku kepentingan lainnya. Misalnya, 38 • PKMK FK UGM
populasi kunci yang tinggal di daerah yang belum ada layanan PDP-nya harus pergi ke pusat kota untuk mengakses layanan pengobatan. Populasi Kunci di Deli Serdang tidak bisa menuntut penyediaan layanan di Deli Serdang. Mereka selalu ke Medan untuk perawatan. Di Medan keterlibatan populasi kunci dalam forum-forum perencanaan kebanyakan karena ada dorongan dari donor kepada Pemda untuk melibatkan mereka. Posisi tawar lemah karena mereka sebagai penerima manfaat. (Tim Peneliti USU, 2014) Gambaran tersebut menunjukkan bahwa saat ini populasi kunci sebatas menjadi objek dan target capaian program. Peran populasi kunci masih bersifat instrumental dan belum menjadi subjek dari program penanggulangan HIV dan AIDS yang secara aktif terlibat dalam perencanaan serta menentukan nasib mereka sendiri. Ini mengindikasikan bahwa program-program yang ada belum mencerminkan kebutuhan populasi kunci. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) RSUD mempunyai kepentingan yang tinggi karena fungsi dan kemampuan teknisnya ialah memberikan layanan medis, asuhan keperawatan, rujukan, pendi dikan, pelaksanaan penelitian, dan pembiayaan. Dalam penanggulangan HIV dan AIDS, RSUD menjadi tempat rujukan puskesmas dan memberikan berbagai layanan, seperti yang ditunjukkan di Tabel 3. Tabel 3. RSUD dan Layanan HIV dan AIDS di Lokasi Penelitian Lokasi
Nama Rumah Sakit
Jenis Layanan HIV dan AIDS
Medan
RSDU Pringadi
VCT, PITC, ARV, IMS, PTRM
Deli Serdang
RSUD Deli Serdang
VCT, PITC, ARV, IMS
Makassar
RS Daya
VCT, PITC, PMTCT, IMS, ARV
Pare-pare
RS Andi Makassau
VCT, PITC, IMS, ARV
Surabaya
RS Mohammad Soewandi
VCT, PITC, PMTCT, ARV
Sidoarjo
RSUD Sidoarjo
VCT, PITC, ARV
Denpasar
RS Wangaya
VCT, PITC, PMTCT, ARV
Badung
RSUD Badung
VCT, PITC, ARV, HR
Merauke
RSUD Merauke
VCT, PITC, ARV
Manokwari
RSUD Manokwari
VCT, PITC, ARV
Jayapura
RSUD Dok II Jayapura RSUD Abepura
VCT, PITC, ARV VCT, PITC, ARV, CD4 test
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 39
Sebagai rujukan layanan ARV, RSUD mempunyai berbagai tugas yang telah ditentukan oleh Kemenkes dengan SK Kemenkes Nomer 451/Menkes/SK/XII/2012.6 Di lokasi penelitian, selain ditemukannya RSUD sebagai rujukan ARV, ditemukan juga variasi rujukan terkait dengan layanan HIV dan AIDS. Contohnya RS Daya di Makassar yang merupakan rujukan PPIA dari RSUD Andi Makassau di Parepare karena layanan tersebut belum tersedia di Parepare (Tim Peneliti Unhas, 2014). RSUD Merauke berfungsi sebagai rumah sakit rujukan yang memiliki Pokja HIV dan AIDS. Dengan ketentuan Pokja HIV dan AIDS, RSUD Merauke menerima rujukan dan melakukan perawatan kepada penderita, memberikan dukungan kepada penderita dan keluarga, serta memberikan pengobatan kepada seluruh pasien yang ditemukan positif IMS dan HIV di unit teknis lapangan (Tim Peneliti Uncen, 2014). Walaupun memiliki peran dan kepentingan yang tinggi, kekuasaan RSUD dalam penanggulangan HIV dan AIDS secara keseluruhan dikategorikan rendah. Alasannya, beberapa otoritas administratif RSUD masih sangat tergantung kepada pusat termasuk dalam hal perencanaan, pembiayaan, maupun pengadaan logistik seperti ARV dan reagen. Pembiayaan peningkatan kapasitas SDM terkait HIV dan AIDS juga masih tergantung pada donor terutama GFATM, seperti dilaporkan di Jayapura. ….[b]erkaitan dengan upaya peningkatan kapasitas melalui pelatihan tahuntahun sebelumnya saat Global Fund masih ada, selalu terlaksana, namun saat sekarang ini sudah tidak ada lagi walaupun selalu direncanakan dan diusulkan ke pihak manajemen rumah sakit, tetapi sampai saat ini belum terjawab. (Tim Peneliti Uncen, 2014) Kapasitas perencanaan dan pembiayaan RSUD yang terbatas menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, peran rumah sakit dalam penanggulanggan HIV dan AIDS menjadi terbatas pada penyedia layanan kesehatan konvensional yang bersifat pasif. Artinya, mereka cenderung menunggu adanya pasien HIV/AIDS yang datang atau dirujuk. Kedua, karena ketergantungan yang besar terhadap perencanaan dan pembiayaan dari pihak pusat atau donor, mereka menjadi sangat rentan terhadap berbagai perubahan secara politik di tingkat pemda atau perubahan secara teknis lainnya berdasarkan perubahan komposisi pendanaan dari MPI. Layanan yang sudah tersedia dengan jenis yang cukup lengkap dan bervariasi bisa saja berhenti setelah tidak tersedianya pendanaan dari lembaga donor. 6 Tugas RSUD sebagai rujukan ARV termasuk menyusun Standard Operasiting Procedure (SOP); menjamin kertersedian obat ARV dan obat Infeksi Oportunistik (IO) yang secara langsung didistribusikan oleh Kemenkes sesuai dengan prosedur khusus yang berlaku; menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai dengan pedoman; menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter spesialis, dokter/dokter gigi, perawat, apoteker, analis kesehatan, konselor dan manajer kasus; membentuk tim kelompok kerja khusus HIV dan AIDS yang terdiri dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang telah dilatih melalui pelatihan khusus HIV dan AIDS; dan melaporkan pelaksanaan pelayanan ODHA kepada Menteri melalui Dirjen Bina Upaya Kesehatan.
40 • PKMK FK UGM
Puskesmas Puskesmas mempunyai kepentingan tinggi karena merupakan salah satu fasilitas kesehatan primer yang dimiliki masyarakat sekaligus penyedia layanan kesehatan terdepan terkait HIV dan AIDS. Selain itu, puskesmas berkewajiban memastikan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya, termasuk dalam penanggulangan HIV dan AIDS (Tim Peneliti Unair, 2014). Terkait penanggulangan HIV dan AIDS ini, terdapat variasi dari kegiatan yang dilakukan puskesmas di masing-masing daerah. Di Parepare, Puskesmas Mario Madising memberikan layanan pencegahan dan PDP, sementara Puskesmas di Medan melakukan kegiatan pencegahan dalam bentuk VCT dan LASS (Tim Peneliti Unhas, USU, 2014). Program yang dilakukan Puskesmas Kota Raja ialah preventif dan promotif di luar gedung melalui VCT dan PPIA yang diintegrasikan ke dalam kegiatan penyuluhan rutin (3 kali dalam setahun) ke masya rakat umum, tempat-tempat berisiko, sekolah-sekolah, dan tempat ibadah di setiap kelurahan (Tim Peneliti Uncen, 2014). Kekuasaan puskesmas dalam penanggulangan HIV dan AIDS rendah, karena sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinkes puskesmas tidak memiliki otoritas untuk menentukan jumlah SDM, pembiayaan, dan pengadaan logistik. Posisi ini menegas kan bahwa puskesmas sebagai sektor terdepan (frontline) tidak memiliki akses untuk berkontribusi secara lebih signifikan dalam menyusun kebijakan yang relevan dengan kebutuhan daerah. Beberapa alasan yang diidentifiksi Tim Peneliti Universitas ter kait dengan rendahnya kekuasaan puskesmas yaitu kekurangan SDM terlatih dan pendanaan. Sumber dana Puskesmas Kotaraja awalnya berasal dari Global Fund, namun saat sekarang ini sudah tidak ada dana yang dialokasikan dari Dinas Kesehatan Provinsi, sedangkan Dinas Kesehatan Kota hanya memberikan dana Rp2.550.000 untuk 3 orang dalam setahun yang dibagi untuk 9 orang petugas program HIV dan AIDS. Petugas yang menangani program HIV dan AIDS berjumlah 7 orang, yang terdiri dari dokter terlatih 1 orang, perawat terlatih 2 orang, laboratorium terlatih 2 orang, bidan terlatih 1 orang dan farmasi yang belum terlatih 1 orang. (Tim Peneliti Uncen, 2014) Implikasi dari posisi puskesmas dengan posisi tersebut antara lain: 1) Layanan HIV dan AIDS terkait pencegahan dan PDP di puskesmas telah mendekatkan layanan ke pemanfaat program, tetapi belum bisa maksimal karena keterbatasan sumber daya dan fasilitas; 2) Layanan terkait HIV dan AIDS di puskesmas belum bisa berjalan secara mandiri karena adanya keterbatasan otoritas puskesmas dalam mengakses dana dan memenuhi kebutuhan SDM-nya; 3) Keberlanjutan layanan HIV dan AIDS di puskesmas sangat tergantung pada kemampuan untuk mengintegrasikan layananIntegrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 41
layanan yang ada ke sistem kesehatan daerah dengan skema pembiayaan bersumber dari APBD. Kapasitas puskesmas dalam mengembangkan perencanaan rutin yang melibatkan pemangku kepentingan lain melalui mekanisme seperti minilokakarya menjadi sangat penting. c. Kekuasan Tinggi dan Kepentingan Rendah Pemangku kepentingan yang termasuk kategori ini ialah mereka yang secara normatif memiliki kekuasaan yang tinggi khususnya dalam perencanaan dan penganggaran daerah tetapi memiliki kepentingan yang rendah. Pemangku kepen tingan yang termasuk kategori ini antara lain DPRD Kabupaten/Kota dan Bappeda. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota Peran dan fungsi DPRD terkait dengan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah berkaitan dengan legislasi dan penganggaran. Dalam penelitian ini, kepentingan DPRD tergolong rendah karena DPRD tidak melihat HIV dan AIDS sebagai bagian dari kepentingan politik yang menguntungkan sekaligus memandangnya sebagai masalah yang tidak populis dan sensitif. Namun, di sisi lain kekuasaan DPRD tinggi karena secara normatif DPRD memiliki kekuasaan politik untuk menyetujui atau mengesahkan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya, usulan pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah sering tidak didukung oleh DPRD. Pendanaan program-program HIV dan AIDS di SKPD-SKPD di luar SKPD kesehatan juga sering kali terhambat khususnya di Bappeda dan DPRD karena HIV dan AIDS sering kali dianggap bukan bagian dari tupoksi mereka. (Tim peneliti Unhas, 2014) Implikasinya, penanggulangan AIDS susah menjadi isu yang diprioritaskan daerah. Pengecualian ditemukan dalam penyusunan perda terkait HIV dan AIDS, namun keterlibatan ini pun bisa dimungkinkan karena adanya dorongan aktor lain dalam bentuk dana dan SDM dari pusat (donor dan APBN). Karena DPRD sering kali menolak usulan-usulan tentang pembiayaan HIV dan AIDS di daerah, maka daerah memiliki ketergantungan yang besar terhadap pembiayaan dari donor. Dengan kondisi ini, pengaruh dan kekuasaan MPI menjadi besar—padahal seharusnya MPI justru bisa dikontrol dengan kebijakan yang jelas dari DPRD. Kepentingan DPRD yang rendah bisa didorong menjadi lebih besar jika ada upaya advokasi yang memadai dari KPAD dan pemangku kepentingan lainnya untuk meyakinkan DPRD dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Sayangnya, kapasitas KPAD dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengupayakannya cenderung sangat terbatas. 42 • PKMK FK UGM
Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda/Bappeko) Fungsi dan peran Bappeda sebagai lembaga teknis daerah yang bertanggung jawab terhadap perencanaan pembangunan seharusnya mempunyai kepentingan tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Namun, semua daerah penelitian kecuali Parepare dilaporkan bahwa kepentingan Bappeda/Bappeko rendah terhadap penanggulangan HIV dan AIDS. Rendahnya kepentingan Bappeda ini karena penanggulangan HIV dan AIDS bukan merupakan tupoksi langsung Bappeda. Tupoksi mereka yang tidak terkait langsung dengan kesehatan dan HIV dan AIDS membuat kepentingan mereka tidak sebesar lembaga-lembaga atau SKPD kesehatan. Sementara itu, akses mereka yang lebih sedikit pada pelatihan (teknis maupun manajemen) terkait HIV dan AIDS membuat sumber daya mereka rata-rata lebih rendah dibandingkan lembaga-lembaga atau SKPD kesehatan. (Tim Peneliti Unhas, 2014) Meskipun demikian, ada contoh di mana Bappeda mendukung penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Ini ditemukan di Jayapura, di mana Bappeda sudah sejak lama mendukung program penanggulangan HIV dan AIDS melalui pengalokasian dana untuk KPAD, Dinkes, dan SKPD lainnya sesuai dengan perencanaan yang diusulkan (Tim Peneliti Uncen, 2014). Walaupun kepentingannya rendah, di semua lokasi penelitian kecuali Kabupaten Sidoarjo dilaporkan bahwa kekuasaan Bappeda tinggi. Tingginya kekuasaan Bappeda/ Bappeko ini karena merekalah yang menyetujui usul dari Dinas dan meneruskannya ke DPRD, seperti di Surabaya. Bappeko menampung usulan-usulan dari SKPD terkait rencana program penanggulangan HIV dan AIDS serta memiliki kewenangan dalam memasukkan usulan tersebut atau tidak ke dalam rencana program pembangunan Kota Surabaya setiap tahunnya (Tim Peneliti Unair, 2014). Di Denpasar juga dilaporkan bahwa kekuasaan Bappeda kuat karena merekalah yang berperan dalam perencanaan anggaran, memastikan agar penganggaran tidak tumpang tindih dan akuntabel, serta melakukan eveluasi perencanaan anggaran dari SKPD (Tim Peneliti Unud, 2014). Posisi Bappeda/Bappeko yang tergambar di atas berimplikasi pada penanggulangan HIV dan AIDS di daerah dalam hal pengalokasian pendanaan program. Usulan pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS dari SKPD bisa diusulkan ke DPRD jika sudah disetujui Bappeda/Bappeko sebagai badan koordinasi perencanaan pembangunan daerah. Akan tetapi karena kepentingannya yang rendah, seringkali Bappeda/Bappeko tidak meluluskan usulan anggaran HIV dan AIDS dari SKPD di luar Dinkes. Akibatnya, selain jumlahnya terbatas, anggaran penanggulangan HIV dan AIDS daerah juga hanya tersedia untuk Dinkes sehingga Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 43
respons yang diberikan tidak bisa bersifat multisektor. Selain itu, Bappeda/Bappeko tidak melakukan peran perencanaan penganggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS, melainkan secara pasif menerima pendanaan dari pihak MPI berapapun jumlahnya. d. Kekuasan Rendah dan Kepentingan Rendah Pemangku kepentingan dalam kategori ini memiliki kekuasaan yang rendah karena tidak memiliki sumber daya yang besar maupun posisi politik yang dominan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Kepentingan mereka pun rendah karena pada kenyataannya tidak menunjukkan kepedulian yang besar terhadap isu HIV dan AIDS meskipun secara normatif mereka seharusnya memiliki tanggung jawab dan kepentingan yang tinggi. Pemangku kepentingan yang termasuk dalam kategori ini ialah lembaga/tokoh adat dan agama serta SKPD di luar Dinkes. Lembaga/Tokoh Adat dan Agama Secara normatif, lembaga/tokoh adat dan agama seharusnya memiliki kepen tingan dan kekuasaan yang tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Mereka berkepentingan untuk memastikan kesejahteraan warga atau umatnya, serta memiliki kekuasaan dalam bentuk pengaruh serta kapasitas untuk memberikan arah an karena posisi mereka yang didengar atau dihormati masyarakat. Namun, pada kenyataannya, semua lokasi penelitian melaporkan bahwa kekuasaan lembaga/tokoh adat dan agama terbilang rendah. Hanya di Denpasar, Badung, dan Papua yang menyebutkan bahwa mereka memiliki kepentingan yang cukup tinggi dalam penang gulangan HIV dan AIDS. Di Denpasar dan Badung, tokoh adat menjadi aktor pemberdayaan masyarakat yang bisa memengaruhi opini masyarakat. Di Merauke juga ditemukan tokoh agama dan tokoh masyarakat lainnya yang berperan dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Ada 4 orang tenaga di kantor agama yang berasal dari tenaga penyuluh, tokoh pemuda, tokoh agama untuk mengikuti sosialisasi HIV dan AIDS di Jayapura dengan harapan sekembalinya mereka, juga dapat mensosialisasikan ke tokoh agama dan pemuda di kabupaten Merauke. (Tim Peneliti Universitas Cenderawasih, 2014) Promosi dan Pencegahan melalui hari-hari besar misalnya Hari AIDS Sedunia melalui berbagai kegiatan, mendorong LSM, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Perempuan, Tokoh Pemuda/Remaja dan lembaga lainnya melalui pertemuan koordinasi dan dukungan dana khususnya program pencegahan dan mitigasi dampak berupa pemberian nutrisi bagi ODHA di klinik perawatan atau rumah singgah. Wujud kegiatan lainnya adalah 44 • PKMK FK UGM
mendorong para ilmuwan untuk menulis buku-buku yang berkaitan dengan program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS antara lain [salah satu tokoh agama] menulis buku dengan judul Sirkumsisi, Alkitab dan HIV/ AIDS, [salah satu tokoh agama lainnya menulis buku] dengan judul HIV-AIDS dan Sirkumsisi (Sunat) dalam pandangan Alkitab, kemudian Memikirkan Ulang Sunat (Sirkumsisi) Bagi Kesehatan Umat [yang ditulis] oleh [salah satu tokoh agama lainnya]. (Tim Peneliti Uncen, 2014). Dengan menggunakan pembahasan berperspektif agama, para tokoh agama memiliki posisi yang strategis untuk menanggulangi masalah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, juga menciptakan keterbukaan terhadap populasi marjinal. Mereka juga memiliki posisi kunci dalam mengurangi resistensi masyarakat terhadap upaya pencegahan yang sifatnya masih kontroversial, seperti kampanye penggunaan kondom untuk PMTS. Namun, karena kepentingan lembaga/tokoh agama dan tokoh adat terhadap HIV dan AIDS masih rendah, potensi-potensi ini masih belum tergali. Secara umum peran mereka masih bersifat pasif di mana keterlibatan mereka dalam pencegahan masih tergantung dengan pemangku kepentingan yang mempunyai kekuasaan tinggi seperti MPI, Bupati/Walikota, Dinkes, dan Bappeda/Bappeko. Implikasi dari situasi tersebut ialah belum terciptanya lingkungan yang kondusif dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Di sejumlah daerah, masih banyak program-program penanggulangan HIV dan AIDS yang terhambat karena kurangnya dukungan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Stigma dan diskriminasi terhadap populasi kunci maupun terhadap penyakit itu sendiri masih sulit untuk dihapuskan. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Secara normatif, perda menyebutkan bahwa SKPD mempunyai tanggung jawab yang besar dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Sebagai bagian dari KPAD, seharusnya SKPD memiliki tingkat kepentingan yang tinggi. Namun, dari seluruh lokasi penelitian dilaporkan bahwa secara umum kepentingan dan kekua saan SKPD rendah, meskipun terdapat variasi yang mana beberapa SKPD sudah menunjukkan keterlibatannya dengan menganggarkan dan melaksanakan program HIV dan AIDS. Contohnya Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, Dinas Sosial, dan Dinas Perhubungan. Mayoritas peran dari SKPD dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah penelitian ialah pencegahan dengan variasi kegiatan mulai dari penyuluhan ke kelompok masyarakat tertentu sampai dengan sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS pada masyarakat umum. Tabel 4 menunjukkan peran SKPD non-Dinkes yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan AIDS di lokasi penelitian.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 45
Tabel 4. Peran SKPD Non-Dinkes dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Lokasi Penelitian SKPD/Badan
Peran
Badan Pengelola Lembaga teknis dalam Keuangan dan Aset Kota pengelolaan anggaran
Kota/Kabupaten Makassar, Parepare
Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan/ Perlindungan Anak
Pencegahan AIDS di kalangan remaja, perempuan dan ibu-ibu rumah tangga
Parepare, Jayapura, Denpasar, Badung, Merauke, Manokwari, Deli Serdang
Dinas Sosial/ Dinsosnaker/ Disnakertrans
Mitigasi dampak dan Rehabilitasi Sosial
Parepare, Sidoarjo, Denpasar, Badung, Jayapura, Merauke, Manokwari, Medan
Dinas Pendidikan/ Disdikpora
Pencegahan di Sekolah
Parepare, Surabaya, Sidoarjo, Denpasar, Badung, Merauke, Manokwari, Medan, Deli Serdang
Dinas Tenaga Kerja
Pencegahan di tempat kerja
Parepare, Surabaya, Merauke
Dinas Pariwisata/ Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Pencegahan ditempat hiburan
Surabaya, Denpasar, Badung, Jayapura, Medan, Deli Serdang,
Polrestabes
Pencegahan melalui screening HIV pada anggota Polri
Surabaya
Dinas Perhubungan
Pencegahan di sektor perhubungan
Surabaya, Deli Serdang
Dinas Kominfo
Penyediaan Materi KIE
Surabaya
Kantor Kementerian Agama
Penyusunan Kebijakan dibidang keagamaan Pencegahan di Sekolah dibawah Kemenag
Surabaya, Jayapura, Merauke, Medan
Satpol PP
Penegakkan pelanggaran, pengamanan guna menciptakan lingkungan yang kondusif dalam pengendalian HIV dan AIDS
Surabaya
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Penertiban administrasi kependudukan di lokasi berisiko
Jayapura
46 • PKMK FK UGM
SKPD/Badan Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik
Peran Pencegahan dengan program peningkatan wawasan kebangsaan dan ketahanan masyarakat yang sasarannya adalah pemuda dan masyarakat
Kota/Kabupaten Merauke
Sumber: Laporan Daerah oleh Tim Universitas di Lokasi Penelitian (2014)
Di Papua, advokasi yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dengan mendorong pemda membuat Perwali untuk pengarusutamaan HIV dan AIDS dalam pendidikan cukup berhasil. Upaya penggalangan dana oleh Bappeda selain sumbernya dari APBD Otsus, juga diupayakan dari pihak donor international (misalnya Unicef) yang telah mendukung program HIV dan AIDS di sekolah-sekolah melalui advokasi ke Dinas Pendidikan dan pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah Kota Jayapura dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 26 tahun 2010 dan Peraturan Walikota Jayapura Nomor 11 tahun 2012 tentang pengarusutamaan HIV dan AIDS melalui pendidikan. (Tim Peneliti Uncen, 2014) Terlepas dari keterlibatan SKPD di luar Dinkes yang sudah mulai terlihat, secara umum kepentingan dan kekuasaan SKPD dinilai masih rendah karena sumber daya dan sumber dana yang disediakan tidak memadai. Salah satu penyebabnya ialah sistem yang belum mengakomodasi peran dan kebutuhan SKPD sebagai pemangku kepentingan yang dominan dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Contohnya, pengganggaran penanggulangan HIV dan AIDS di SKPD sulit diakomodasi karena tidak adanya nomenklatur dalam mata anggaran seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan berikut ini. Meskipun memang Dinkes yang memiliki tupoksi khusus untuk kegiatankegiatan HIV dan AIDS, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada organisasi SKPD lain yang juga harus terlibat. Jadi tinggal pintar-pintarnya SKPD memformulasikan program dan kegiatannya tapi tidak menunjukkan bahwa itu secara nomenklatur nama kegiatan itu kegiatan HIV dan AIDS, tetapi “dibungkus” dalam tupoksi mereka. Jadi tinggal bagaimana dalam pelaksanaan kegiatannya mencantumkan hal yang berkaitan dengan HIV dan AIDS. Misalnya target yang ingin dicapai bahwa pemahaman berkaitan dengan HIV dan AIDS untuk kesehatan dan keselamatan kerja. (WM, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Kota Makassar, 14 Agustus 2014 – Tim Peneliti Unhas, 2014)
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 47
Implikasi dari posisi SKPD yang kepentingan dan kekuasaannya rendah dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ialah belum berjalannya respons multisektor yang berkesinambungan terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Peran mulitisektor yang ada masih bersifat insidental, bukan respons yang berkelanjutan dan terpadu dengan sektor lain. 2. Interaksi Antar-Pemangku Kepentingan Para pemangku kepentingan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah berinter aksi dalam berbagai forum, baik secara formal ataupun informal. Interaksi inilah yang memungkinkan mereka untuk saling memengaruhi satu sama lain berdasarkan kepentingan dan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam penelitian ini, teridentifikasi empat mekanisme di mana para pemangku kepentingan saling berinteraksi, yaitu sebagai berikut: 1. Mekanisme koordinasi untuk perencanaan yang difasilitasi Bappeda/Bappeko melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang melibatkan SKPD. Dalam forum ini, peran Bappeda/Bappeko ialah menyinkronkan peren canaan dan penganggaran program pembangunan di SKPD termasuk Dinkes. Ditemukan bahwa dengan kekuasaannya yang tinggi, Bappeda sering kali dapat menolak usulan pembiayaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di SKPD karena berbagai alasan, antara lain pandangan bahwa penanggulangan HIV dan AIDS bukan merupakan tupoksi SKPD di luar Dinkes. SKPD-SKPD sendiri karena kepentingannya yang rendah tidak melakukan upaya advokasi secara serius terhadap Bappeda untuk mendapatkan anggaran yang layak dalam merespons HIV dan AIDS. Akibatnya, para pemangku kepentingan yang berkepentingan tinggi seperti KPAD, RSUD, LSM, dan populasi kunci harus melalukan advokasi kepada Bappeda untuk lebih memiliki kepentingan yang tinggi. 2. Mekanisme koordinasi yang difasilitasi oleh KPAD melalui pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program. Semua pemangku kepen tingan yang terlibat dalam kegiatan ini berkepentingan tinggi, seperti Dinkes, LSM, ODHA, dan populasi kunci. Seharusnya sesuai mandatnya untuk mengoordinasikan peran multisektor, KPAD dapat menggunakan forum-forum pertemuannya untuk mengoordinasikan SKPD anggotanya agar dapat membuat rencana strategis program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah dengan melibatkan para pemangku kepentingan lain seperti LSM, ODHA, dan populasi kunci. Namun, pada pelaksanaannya KPAD lebih banyak menggunakan forum koordinasi untuk membahas pelaksanaan program dan pencapaian target dari 48 • PKMK FK UGM
pusat yang melibatkan para pemangku kepentingan yang berkepentingan tinggi. Mekanisme koordinasi di KPAD ini belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan kepentingan SKPD anggotanya dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. 3. Mekanisme koordinasi yang diinisiasi oleh MPI melalui pertemuan koordinatif dan teknis, seperti saat memulai program yang didanai MPI, pertemuan pertengah an pelaksananan program (mid-term meeting), dan pertemuan akhir program. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pertemuan-pertemuan ini akan sesuai dengan kebutuhan program yang didanai MPI, seperti KPAD, Dinkes, LSM, dan populasi kunci. Umumnya para aktor yang berkepentingan tinggi ini dilibatkan sebagai pelaksana program MPI. MPI juga berinteraksi dengan pemangku kepen tingan yang memiliki kekuasaan tinggi seperti Walikota/Bupati, DPRD, dan Bappeda/Bappeko melalui lobi-lobi dan audiensi khusus. Dengan sumber daya yang dimiliki, peran MPI menjadi relatif dominan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS mulai dari inisiatif program sampai dukungan pembiayaan untuk implementasinya. Karena para pemangku kepentingan yang berkekuasaan tinggi tidak memiliki kepentingan yang tinggi, inisiatif MPI dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tidak diadopsi oleh pemda. Sebaliknya, keterlibatan MPI malah membuat pemda seolah tak merasa perlu lagi untuk menunjukkan komitmen yang lebih tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. 4. Mekanisme interaksi antar-pemangku kepentingan lainnya. Pemangku kepen tingan yang sama-sama berkepentingan tinggi biasanya saling terlibat dalam pelaksanaan program bersama. Contohnya, LSM yang memiliki kemampuan penjangkauan berinteraksi dengan RSUD dan Puskesmas dalam bentuk rujukan layanan. Sementara bentuk interaksi antara aktor-aktor yang berkepentingan tinggi dengan aktor-aktor yang berkekuasaan tinggi bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ada interaksi dalam konteks relasi antara penerima dan pemberi manfaat dalam bentuk program, dana atau bantuan teknis lainnya, seperti interaksi antara LSM, populasi kunci, KPAD, dan Dinke dengan MPI ataupun relasi memberimenerima antara LSM dan RSUD/Puskesmas dengan populasi kunci. Kedua, ada interaksi dalam bentuk advokasi terhadap mereka yang berkekuasaan tinggi agar lebih menunjukkan komitmen terhadap penanggulangan HIV dan AIDS. Bentuk interaksi ini bisa terlihat antara mereka yang berkepentingan tinggi seperti LSM dengan mereka yang berkekuasaan tinggi seperti Bappeda, Bupati/Walikota, dan DPRD.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 49
Peran Perguruan Tinggi dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah Perguruan tinggi merupakan institusi yang memiliki peran dalam memproduksi pengetahuan dan mengembangkan sumber daya kesehatan. Sebagai lembaga yang memiliki kekuatan untuk menemukan dan menggali permasalahan kesehatan secara sistematis dan terukur, perguruan tinggi memainkan peran penting dalam meng hasilkan pengetahuan sebagai basis pengambilan keputusan dan perencanaan. Di daerah penelitian seperti di Medan, Sidoarjo, Surabaya, Bali, Jayapura, dan Merauke, ditemukan bahwa perguruan tinggi melakukan pengumpulan, analisis, dan produksi informasi terkait HIV dan AIDS melalui riset-riset yang dilakukan. Peran strategis perguruan tinggi lainnya ialah sebagai pusat pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya melalui pendidikan secara formal. Perguruan tinggi mendidik dan menghasilkan tenaga kesehatan seperti dokter, dokter spesialis, perawat, tenaga kesehatan masyarakat, dan tenaga kefarmasian. Perguruan tinggi juga memiliki peran dalam melakukan pemberdayaan masyakarat melalui pengembangan sistem informasi seperti di Parepare. “Kami juga telah membentuk PIK-KRR Remaja (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja) yang fokus pada pencegahan narkoba, HIV dan AIDS serta seks bebas. Ini yang tersebar di SMP, SMA, dan sekolah-sekolah tinggi di sini. Remaja dilatih untuk konseling di mana remaja ini didampingi konselor sebaya dan pendidik sebaya yang seumuran remaja.” (DKT, Staf BKBPP Parepare, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014) Peran-peran pengabdian masyarakat yang dikembangkan oleh perkumpulan Mahasiswa yang melakukan riset terkait HIV dan AIDS, dan pengembangan kegiatan kepedulian untuk HIV dan AIDS dengan melakukan pendidikan HIV dan AIDS pada mahasiswa bekerjasama dengan KPA seperti di Sidoarjo. (Tim Peneliti Unair, 2015) Namun, terlepas dari berbagai peran strategis perguruan tinggi tersebut, ditemu kan bahwa perguruan tinggi masih belum terlibat secara optimal dalam penang gulangan HIV dan AIDS di daerah. Pertama, perguruan tinggi sering kali belum dili batkan secara formal dalam penyusunan perencanaan program maupun evaluasinya, seperti yang diungkapkan oleh informan di Kota Jayapura berikut. “Kami belum pernah melibatkan perguruan tinggi dalam penyusunan perencanaan program HIV dan AIDS... [k]ami belum ada kerjasama selama ini.” (WM, Dinkes Kota Jayapura, dalam laporan Tim Peneliti Uncen, 2014) Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi sendiri sering kali lebih dalam bentuk komitmen di tingkat individu daripada di tingkat lembaga. Akibatnya, peran serta perguruan tinggi cenderung fluktuatif tergantung dari banyak-sedikitnya personel yang memiliki perhatian terhadap isu HIV dan AIDS di wilayahnya. 50 • PKMK FK UGM
POLA INTEGRASI
IV
A. Pengantar Integrasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tingkat adopsi dan asimilasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan dalam pengendalian penyakit menular (Atun et al., 2010). Fungsi-fungsi upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilihat integrasinya ke dalam sistem kesehatan meliputi Manajemen Regulasi, Pembiayaan, Sumber Daya Manusia, Pengelolaan Informasi Strategis, Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, Partisipasi Masyarakat, dan Penyediaan Layanan Kesehatan. Penelitian ini juga menjelaskan berbagai faktor yang memungkinkan terjadi atau tidaknya integrasi dalam sistem kesehatan. Faktor-faktor tersebut berupa komponen-komponen yang ada dalam sistem kesehatan atau di luar sistem kesehatan sendiri, yakni konteks, aktor, institusi, dan sumber daya. Bagian ini akan menguraikan tiga hal, yaitu 1) Gambaran tingkat integrasi program HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dan penilaian tingkat integrasi berdasarkan dimensi fungsi sistem kesehatan, jenis intervensi, dan wilayah; 2) Faktor-faktor yang memengaruhi integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan; dan 3) Keterkaitan antara integrasi dengan efektivitas program HIV dan AIDS. Tingkat integrasi upaya penangulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dinilai dalam bentuk integrasi penuh, integrasi sebagian, dan tidak terintegrasi. Analisis tingkat integrasi dijelaskan pada bagian analisis data dalam laporan ini. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 51
B. Gambaran Dimensi Fungsi Sistem Kesehatan Tingkat integrasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan diukur melalui 18 dimensi dari 7 subsistem dalam fungsifungsi sistem kesehatan. Sebelum melakukan penilaian tingkat integrasi di bagian akhir, terlebih dahulu akan disajikan deskripsi tentang masing-masing dimensi tersebut. 1) Manajemen dan Regulasi Manajemen dan regulasi adalah pengelolaan yang menghimpun berbagai upaya kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, pengaturan hukum kesehatan, serta pengelolaan data dan informasi kesehatan untuk menjamin adanya kerangka kebijakan strategis yang dikombinasikan dengan pengawasan, pengembangan kemi traan, akuntabilitas, peraturan, insentif dan kesesuaian dengan disain sistem kese hatan yang ada. Subsistem ini terdiri atas tiga dimensi, yakni 1) Regulasi, berupa peraturan daerah pemda kabupaten/kota terkait penanggulangan HIV dan AIDS, seperti Perda HIV dan AIDS, Peraturan Bupati/Walikota, Renstra/SRAD tentang HIV dan AIDS; 2) Formulasi Kebijakan, berupa proses pengembangan kebijakan (perencanaan, penganggaran, alokasi dana, dan pertanggungjawaban) untuk pro gram HIV dan AIDS dengan mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di pemda penelitian; dan 3) Akuntabilitas dan Daya Tanggap, berupa akses masyarakat untuk mengetahui program dan kebijakan HIV dan AIDS di daerahnya serta apakah program dan kebijakan tersebut menggunakan prinsip pelayanan publik yang baik. a. Regulasi Regulasi tentang penanggulangan HIV dan AIDS mengatur pemangku kepen tingan yang bertanggung jawab dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, sumber daya yang digunakannya, serta sanksi jika tidak dilaksanakannya ketetapan sebagai mekanisme kontrol terhadap berjalannya aturan. Ditemukan bahwa semua daerah memiliki regulasi penanggulangan HIV dan AIDS dalam bentuk Perda, Surat Keputusan (SK) Bupati, Renstra dan kebijakan teknis dari dinas. Kebijakan ini mengatur upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup PP, PDP, dan MD; mengatur pemangku kepentingan yang bertanggungjawab untuk melaksanakannya serta sumber daya yang diperlukan. Perda tentang penanggulangan HIV dan AIDS terdapat di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kota Surabaya, Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kota Jayapura, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Manokwari. Sementara ada pula kota dan kabupaten yang mengacu pada perda provinsi, seperti di Kota Makassar dan Kabupaten Parepare. Selain perda, regulasi yang dijadikan acuan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ialah Renstra Penanggulangan HIV 52 • PKMK FK UGM
dan AIDS di Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan, Denpasar, Badung, Manokwari, dan Jayapura. Penerapan regulasi yang ada belum dilaksanakan dengan baik, sebagaimana terungkap dalam salah satu kutipan dari Makasar berikut. “Kalau berbicara soal regulasi terkait HIV, ada cukup banyak sebenarnya. Mulai dari SRAN, Permen (Peraturan Menteri) dari berbagai kementerian sampai perda. Masalahnya, apakah regulasi itu dibaca dan diketahui oleh mereka (SKPD-SKPD)? Pengalaman saya selaku sekretaris KPA Provinsi, regulasi-regulasi ini sering kali tidak banyak diketahui. Akibatnya, tidak mudah mendapatkan pendanaan dari pemda. Adalah tidak mudah bekerja secara terpadu dengan semua lintas-sektor. Kan lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan HIV ini banyak. HIV kan seharusnya bukan hanya urusan SKPD kesehatan seperti Dinkes.” (DKT, KPAP Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014) Banyak faktor yang menyebabkannya, antara lain kurangnya sosialisasi regulasi yang sudah ada, lebih berpengaruhnya komitmen dan kemauan politik kepala daerah (walikota, bupati, maupun gubernur) daripada regulasi yang ada, serta rendahnya komitmen pemda untuk memprioritaskan masalah HIV dan AIDS di daerah. Selain itu, dalam perda tidak secara tegas disebutkan siapa yang akan menjadi penanggung jawab utama penanggulangan HIV dan AIDS, baik di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. Ini berdampak pada tumpang-tindihnya kegiatan dan program di level pelaksana khususnya di SKPD terkait (Tim Peneliti Udayana, 2014). Selain itu, keberadaan regulasi penanggulangan HIV dan AIDS di daerah belum diikuti dengan petunjuk pelaksanaannya sehingga belum bisa diimplementasikan sepenuhnya. Misalnya di Denpasar dan Badung telah ada regulasi untuk pencegahan di kalangan penasun, tetapi ketiadaan petunjuk teknis membuat terjadinya ketidak jelasan dalam penganggaran logistik LASS. ...[k]arena tidak tersedianya petunjuk teknis implementasi, responden juga menyebutkan bahwa posisi penanggulangan HIV dalam perda masih belum dirumuskan dengan eksplisit. Secara lebih spesifik, dalam Perda HIV komponen terkait dengan pengadaan logistik dan material untuk program NSP masih belum diatur secara jelas. Akibatnya adalah sampai saat ini program NSP tidak mendapat penganggaran dana dari APBD (Tim Peneliti Unud, 2014). Terlepas dari tantangan-tantangan di level implementasi ini, upaya penang gulangan HIV dan AIDS telah sesuai dengan regulasi upaya penanggulangan penyakit menular lainnya. Artinya, telah ada aturan yang menjadi landasan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, dan telah ada pengaturan dan peruntukkan sumber Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 53
dayanya mulai dari PP, PDP, dan MD. Ini menunjukkan bahwa secara formal regulasi untuk program HIV dan AIDS sudah mengacu pada regulasi yang berlaku di sektor kesehatan guna memobilisasi pemangku kepentingan dan sumber daya daerah dalam penanggulangan HIV dan AIDS. b. Formulasi Kebijakan Proses pengembangan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS menggunakan mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di pemda dengan melibatkan pemangku kepentingan atau tokoh kunci, termasuk Dinkes, KPAD, SKPD anggota KPA, LSM, perwakilan populasi kunci, penerima manfaat, serta MPI. Di Badung dan Denpasar proses pengembangan kebijakan mulai dari perencanaan hingga pertang gungjawaban untuk skema APBD mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di daerah, sedangkan pendanaan program yang bersumber dari donor asing tetap mengikuti mekanisme yang dikeluarkan oleh donor (Tim Peneliti Unud, 2015). Di Sulawesi Selatan, proses pengembangan kebijakan melibatkan banyak pihak, tetapi penyelesaian akhir perda lebih banyak melibatkan lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan permasalahan HIV dan AIDS seperti Dinkes, KPAD, serta individu-individu yang sudah terlibat lama dalam program penanggulangan HIV dan AIDS. “Pada tahap-tahap awal penyusunan perda itu kita tentu mengundang banyak pihak untuk berdiskusi. Pertemuan-pertemuan besar membahas mengapa perda itu penting, apa-apa saja yang harus dimasukkan dalam Perda dan seterusnya, namun kan ada tenggat waktu kapan perda itu harus jadi sehingga kita harus membuat tim-tim inti. Anggota tim-tim inti ya orang-orang yang banyak tahu tentang teknis pencegahan dan penanggulangan HIV. Tentu teman-teman dari Dinkes, KPAD, Unhas dan juga kawan-kawan LSM. Mereka-mereka yang memang sudah lama di dunia HIV... Prosesnya seperti itu. Namun seperti sudah dikatakan tadi, kelemahan utamanya regulasi ini adalah di sosialisasinya. Yang cukup paham mengenai perda ini saya kira hanya diketahui kalangan-kalangan yang saya sebut tadi.” (DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014). Mekanisme penyusunan kebijakan HIV dan AIDS mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan yang ada di daerah, seperti rapat koordinasi penyusunan kebijakan dan pro gram serta pertemuan rutin KPA dan laporan rutin dinkes. Contohnya di Surabaya, pengambilan keputusan untuk kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dilaku kan dengan koordinasi antar-SKPD terkait melalui Bappeko guna menentukan program apa yang akan dilaksanakan (Tim Peneliti Unair, 2014). Di Deli Serdang, perencanaan kegiatan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS dikembangkan berdasarkan laporan pertemuan rutin KPAD dan laporan rutin dinkes yang bersumber 54 • PKMK FK UGM
dari laporan rutin layanan rumah sakit, puskesmas, dan LSM pendamping. Sampai saat ini kebijakan yang disusun masih berdasarkan pada bukti-bukti kecenderungan epidemiologis atau evaluasi atas kegiatan pada masa sebelumnya (Tim Peneliti USU, 2014). Penyusunan kebijakan HIV dan AIDS menggunakan data epidemi daerah dari berbagai sumber data yang dikumpulkan melalui assessment, survei, STBP, dan Survei Cepat. Contohnya di Sidoarjo, hasil assessment menjadi dasar dalam penentuan lokasi untuk penambahan klinik VCT dan LASS (Tim Peneliti Unair, 2015). Di Denpasar dan Badung proses perencanaan dan pengembangan layanan termasuk untuk advokasi alokasi anggaran telah menggunakan data epidemi dari STBP, estimasi dari Kemenkes, data passive surveillance dan zero survey (Tim Peneliti Unud, 2015). Sementara di Medan dan Deli Serdang telah ada pemetaan populasi kunci dengan pendanaan APBD, yang hasilnya kemudian digunakan dalam penyusunan kebijakan. Dalam menyusun formulasi dibutuhkan banyak data sebagai dasar. Data tersebut dapat diperoleh dengan segala metode terutama penelitian dan assessment. Sampai saat ini, penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah pemetaan populasi kunci yang didanai hibah APBD 2014. Selain itu penelitian lainnya adalah STBP yang didanai Kemenkes RI (Tim Peneliti USU, 2014). Gambaran di atas menunjukkan bahwa formulasi kebijakan HIV dan AIDS di lokasi penelitian telah mengadopsi proses formulasi kebijakan sistem kesehatan yang ada. Proses penyusunannya telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait kesehatan, menggunakan data epidemi yang tersedia, serta mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan daerah. c. Akuntabilitas dan Daya Tanggap Secara normatif program HIV dan AIDS menerapkan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik, sehingga masyarakat mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan layanan HIV dan AIDS serta masyarakat dapat mengevaluasi kebijakan dan program. Di 11 lokasi penelitian, ada mekanisme yang memungkinkan publik dapat mengakses informasi program HIV dan AIDS, yakni melalui media promosi kesehatan, media elektronik radio, situs, media cetak, dan kegiatan penyuluhan kesehatan oleh dinkes, KPAD, LSM, dan penyedia layanan. Guna mendukung akses publik terhadap informasi mengenai program HIV dan AIDS, masyarakat bisa mengetahui program HIV dan AIDS melalui media promosi kesehatan di layanan kesehatan, penyuluhan dan sosialisasi di masyarakat dalam kegiatan Community Health Nursing, Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 55
melalui media internet pemerintah kota (situs), media elektronik (radio) maupun melalui buletin dan surat kabar. Untuk populasi kunci, informasi mengenai pengembangan program dan layanan bisa diperoleh melalui LSM dan penjangkau lapangan. Sebagai Leading Sector, Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan KPA Kota Surabaya memiliki peran dalam akses publik terhadap informasi mengenai program HIV dan AIDS (Tim Peneliti Unair, 2014). Agar masyarakat selalu mendapatkan informasi terbaru maka sosialisasi HIV dan AIDS selalu dilakukan melalui media RRI, selebaran, spanduk, billboard dan sosialisasi pada hari-hari besar misalnya Hari AIDS Sedunia yang dilaksanakan oleh KPA dan Dinas Kesehatan melalui seksi promosi kesehatan bekerjasama dengan LSM dan lembaga donor (Tim Peneliti Uncen, 2014). Dari sisi daya tanggap, pemda kurang melibatkan masyarakat dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan rencana strategis program penanggulangan HIV dan AIDS. Penelitian ini tidak menemukan adanya mekanisme yang dibuat agar masyarakat bisa mengevaluasi implementasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah penelitian. Sistem monitoring dan evaluasi sudah ada, tetapi sifatnya internal. Pengawasan dan evaluasi dilakukan oleh pelaksana program saja seperti Dinkes dan KPAD. Hasil pengawasan dan evaluasi hanya untuk kebutuhan internal pelaksana program. Selain itu, tidak ditemukan forumforum yang melibatkan masyarakat atau populasi kunci di daerah penelitian untuk melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan program HIV dan AIDS. 2) Pembiayaan Pembiayaan dalam penelitian ini dimaknai sebagai pengelolaan berbagai upaya penggalian, alokasi, dan belanja dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Komponen pembiayaan terdiri atas 1) Pengelolaan sumber-sumber pembiayaan dalam artian sejauh mana pemda mengoordinasikan, mengumpulkan, dan mengelola berbagai sumber pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS seperti APBN, APBD dan donor; 2) Penganggaran, proporsi, dan distribusi pengeluaran pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu bagaimana pemda menganggarkan penanggulangan HIV dan AIDS dengan proporsi dan distribusi yang sesuai; 3) Mekanisme pembayaran layanan, yaitu bagaimana membiayai pelayanan kesehatan dalam kaitannya dengan pembiayaan kesehatan melalui sistem JKN. Pendanaan program penanggulangan HIV dan AIDS dalam penelitian ini difokuskan pada area program PP, PDP, dan MD. 56 • PKMK FK UGM
a. Pengelolaan Sumber Pembiayaan Program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah memiliki beragam sumber pendanaan, yakni dari MPI, pemerintah pusat, pemda, dan pihak lain yang tidak mengikat sebagaimana diamanatkan dalam regulasi penanggulangan HIV dan AIDS. Di semua daerah penelitian, sumber utama pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS adalah MPI. Sementara untuk APBD, di beberapa daerah telah ada kecenderungan peningkatan seperti di Denpasar dan Badung (Tim Peneliti Unud, 2014). Tetapi, di daerah lain seperti di Sidoarjo, terjadi fluktuasi persentase pendanaan yang bersumber dari APBD, demikian pula yang bersumber dari donor (Tim Peneliti Unair, 2014). Gambaran persentase pendanaan donor dan APBD di Kabupaten Sidoarjo dapat dilihat pada Diagram 5. Diagram 5. Proporsi Dana Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sidoarjo
Sumber: KPA Kabupaten Sidoarjo dalam Laporan Tim Peneliti Unair, 2014
Sejauh ini belum tampak berbagai sumber pendanaan tersebut dikelola dan dikoordinasikan dengan baik oleh KPAD atau Dinkes. Penelitan ini tidak menemukan adanya mekanisme pooling resources di mana pemda melakukan perkiraan kebutuhan pendanaan program HIV dan AIDS di daerah dan kemudian mengumpulkan berbagai sumber pendanaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bappeda/Bappeko belum berfungsi optimal dalam sinkronisasi dan koordinasi perencanaan dan penganggaran, dan hanya mengoordinasikan anggaran yang berasal dari APBD. Sedangkan dana dari pihak lain seperti MPI diberikan langsung ke pelaksana kegiatan seperti LSM atau fasilitas pelayanan. Masing-masing MPI mempunyai mekanisme perencanaan dan penganggaran sendiri termasuk peruntukannya. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 57
…[d]ana program-program HIV dan AIDS di bidang pencegahan dan PDP yang rutin dilakukan oleh LSM, Dinas Kesehatan Kota, Puskesmas Madising dan Rumah Sakit Andi Makkasau sebagian besar atas dukungan Global Fund. Dana APBD Kota Parepare yang dialokasikan kepada Dinas Kesehatan Kota umumnya dipakai untuk membiayai pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh staf, menunjang pembelian reagen dan juga untuk pengadaan obat-obat untuk IMS (Tim Peneliti Unhas, 2014). Hanya di Jayapura saja yang ditemukan adanya koordinasi berbagai sumber pendanaan, termasuk pendanaan dari MPI. Di Bappeko Jayapura terdapat bagian Kemitraan yang memainkan peran ini. Meskipun demikian, tidak semua pendanaan dikoordinasikan, seperti pendanaan dari donor yang jumlahnya tidak signifikan dan diberikan kepada penerima manfaat tanpa dikoordinasikan melalui Bappeko. Pendanaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang berasal dari berbagai sumber dikelola berbeda dengan pendanaan upaya penanggulangan penyakit menular lainnya. Artinya, belum ada mekanisme untuk mengoordinir berbagai sumber penda naan di daerah sehingga berimplikasi terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang berjalan sendiri-sendiri menurut kepentingan lembaga pendukung program. b. Pengalokasian Pendanaan Pendanaan penanggulangan HIV dan IDS sebagai penyakit yang kompleks dan ditangani oleh multisektor belum terakomodasi dalam skema penganggaran APBD. Anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS terbatas pada dinkes saja, dan usulan anggaran oleh SKPD anggota KPAD sering kali tidak disetujui oleh Bappeda karena dianggap tidak sesuai tupoksinya. Salah satu informan di Parepare mengung kapkan: “Orang-orang di Bappeda dan DPRD itu memakai kacamata kuda tupoksi. Kalau menyebut spesifik HIV, SKPD-SKPD seperti Dinsos atau Dikbud sering ditolak. Makanya kita di KPA selalu meminta mereka untuk menyiasatinya dengan mengintegrasikannya dalam tupoksi mereka. Sayangnya, masih banyak SKPD seperti itu mogok, kita di KPA imbau mereka berkali-kali tapi banyak yang belum jalan-jalan juga. Kelihatannya masih banyak SKPD yang tidak mau repot dan tidak percaya diri menghadapi Bappeda dan DPRD.” (DKT, staf KPA Kota Parepare, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014) Sementara di daerah lain seperti di Surabaya, Sidoarjo, dan Jayapura, usulan alokasi dana penanggulangan HIV dan AIDS sering tidak mendapat persetujuan DPRD jika tidak berkaitan langsung dengan kepentingan politik ekonomi DPRD. ….rencana awal anggaran penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Surabaya mencapai angka Rp10 miliar, namun dalam realisasinya dana yang disetujui oleh APBD tahun 2014 sebesar Rp3,9 miliar (Tim peneliti Unair, 2014). 58 • PKMK FK UGM
Dalam Renstra Kota Jayapura tahun 2011–2015, kebutuhan biaya dari tahun ke tahun berkisar antara Rp7–9 miliar. Jika kita bandingkan dengan realisasi alokasi dana APBD tahun 2011 yang hanya Rp1,7 miliar, maka dapat dikatakan bahwa alokasi dana tersebut sangat sedikit dibanding dengan dana yang direncanakan (Tim Peneliti Uncen, 2014). Untuk pendanaan yang sudah berhasil dianggarkan dalam APBD, terdapat alokasi untuk program PP, PDP, dan MD. Umumnya dinkes mendapatkan alokasi pen danaan untuk pencegahan dan pengobatan. Contohnya, dana APBD Kota Parepare yang dialokasikan untuk Dinkes Kota umumnya dikombinasikan dengan penda naan pencegahan dan penyediaan layanan dalam konteks pengobatan, termasuk membiayai pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh staf, menunjang pembelian reagen dan untuk pengadaan obat-obatan IMS. Sementara itu, SKPD di luar dinkes umumnya mendapatkan alokasi pendanaan untuk program PP dan MD. Misalnya di Surabaya, anggaran dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Dinas Pendidikan masuk dalam anggaran Unit Kesehatan Siswa (UKS), sementara anggaran dana pencegahan di Dinas Kominfo digunakan untuk pembuatan brosur (Tim Peneliti Unair, 2014). Tim Peneliti Unud (2014) juga menyebutkan bahwa Dinsos, Disnaker, Disdikpora, Dinas Pemberdayaan Perempuan, dan Dinas Pariwisata memiliki anggaran untuk PP dan MD. Namun, tidak semua SKPD di luar Dinkes mempunyai dana pencegahan HIV dan AIDS. Contohnya di Jayapura, walaupun di dalam Renstra tahun 2011–2015 telah ada rencana program dan alokasi anggaran bagi SKPD-SKPD, tetapi dalam pelaksanaannya sampai saat ini belum ada realisasi ketersediaan dana khusus untuk program HIV dan AIDS di SKPD selain Dinkes dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (Tim Peneliti Uncen, 2014). Selain itu, ada kesan bahwa pengalokasian pendanaan tidak sesuai dengan kebutuhan, baik dari segi proporsi maupun peruntukan. Misalnya untuk KPA Kabupaten Badung, proporsi anggaran untuk kebutuhan operasional dinilai masih terlalu besar dibandingkan dengan alokasi dana program. Dana untuk mitigasi dampak yang disediakan oleh Kemensos dan Dinsos juga dinilai oleh komunitas dan LSM sebagai program yang salah sasaran. Lebih jauh lagi, secara umum responden juga mengeluhkan masih lambatnya mekanisme pengajuan dan realisasi anggaran yang bersumber dari APBD ataupun APBN (Laporan Tim Peneliti Unud, 2014). Untuk peruntukkannya, dana yang berasal dari MPI dialokasikan sesuai dengan program yang direncanakan MPI. Kalaupun ada yang dialokasikan untuk Dinkes, KPA dan LSM, peruntukannya tetap tidak terlepas dari pelaksanaan program yang sudah ditentukan sesuai perencanaan MPI. Gambaran ini menunjukkan bahwa Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 59
alokasi pendanaan program HIV dan AIDS masih sporadis dan belum terkoordinasi dengan baik. Implikasinya, terjadi ketimpangan intervensi program karena proporsi anggaran yang tidak sesuai, sehingga akses layanan HIV dan AIDS tertentu menjadi terbatas. c. Mekanisme Pembayaran Layanan Pada aspek pembayaran pelayanan kesehatan, ODHA dan populasi kunci dapat mengakses JKN dengan ketentuan yang sama dengan masyarakat umum. Mereka dapat mengakses pembiayaan layanan melalui beberapa mekanisme, seperti sebagai anggota BPJS, sebagai warga tidak mampu dengan bukti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), atau mengurus kartu terlantar dari Dinsos. Tim Peneliti Unipa (2014) melaporkan bahwa di Manokwari tersedia Jamkesmas dan Jampersal untuk semua orang termasuk ODHA dan populasi kunci. Di daerah ini, total dana layanan kesehatan dasar yang diterima (terdiri dari Jamkesmas dan Jampersal) pada tahun 2012 mencaai Rp2.904.895.000 dan telah membiayai 245.640 pasien. Perawatan infeksi oportunistik terkait dengan HIV dan AIDS telah ditanggung oleh JKN. Tetapi, ada beberapa layanan yang dibutuhkan oleh populasi kunci atau ODHA yang tidak masuk dalam skema layanan JKN. Contohnya, pengobatan ARV tidak ditanggung oleh JKN karena masih ditanggung oleh program. Demikian pula dengan serangkaian tes yang perlu dilalui sebelum inisiasi ARV (pra-ARV), dan perawatan bagi pengguna narkoba yang mengalami kecanduan. Bagi yang tidak memiliki kepesertaan asuransi tersebut, mereka harus membayar sendiri biaya-biaya layanan. Mekanisme ini menunjukkan bahwa pembayaran layanan HIV dan AIDS masih berbeda dengan mekanisme pembayaran layanan kesehatan umum. Walaupun adanya JKN sering kali disebut-sebut sebagai hal yang positif bagi ODHA, namun sampai saat ini hanya komponen IO yang sudah masuk dalam skema pembiayaan JKN. Dalam JKN sayangnya skema untuk pengobatan HIV belum dimasukkan karena adanya argumen bahwa sampai saat ini obat ARV masih ditanggung pemerintah melalui bantuan lembaga asing. Selanjutnya dalam JKN, biaya untuk pemeriksaan pra-ARV juga belum dimasukkan sehingga biaya tersebut harus dibayar sendiri oleh klien atau ditanggung oleh LSM yang mendapat bantuan dari donor asing (Tim Peneliti Unud, 2014). Kondisi di atas mengakibatkan pemanfaat program sulit mengakses layanan terkait HIV dan AIDS melalui mekanisme JKN. Keadaan ini diperparah dengan persyaratan administratif seperti identitas untuk dapat mengakses layanan kesehatan, di mana ditentukan bahwa seseorang yang ingin mengakses JKN harus berdomisili sesuai KTP. Ini membuat populasi kunci yang memiliki mobilitas tinggi sulit untuk dapat mengakses layanan kesehatan dengan menggunakan JKN. 60 • PKMK FK UGM
3) Sumber Daya Manusia SDM di sini meliputi segala aspek ketersediaan dan kualitasnya untuk memas tikan bahwa SDM yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan AIDS responsif, efisien, kompeten, adil, terdistribusi merata sesuai dengan sumber daya yang tersedia dan situasi yang ada, serta mencukupi jumlahnya. Komponen SDM terdiri atas 1) Kebijakan dan sistem manajemen yang mengatur ketersediaan tenaga dari luar Dinkes yang dikontrak oleh Dinkes sebagai staf program penanggulangan HIV dan AIDS; 2) Pembiayaan yang mengelola sumber pembiayaan kesehatan untuk HIV dan AIDS dari sektor pemerintah maupun non-pemerintah; dan 3) Kompetensi sumber daya memastikan ketersediaan kebijakan yang mengatur standarisasi kompentensi tenaga penanggulangan HIV dan AIDS serta ketersediaan tenaga yang sudah dilatih dan tersertifikasi sesuai standar yang berlaku. a. Kebijakan dan Sistem Manajemen Kebijakan dan sistem manajemen mengenai fungsi pengelolaan sumber daya kesehatan bertujuan untuk mengatur ketersediaan SDM, baik yang berasal dari sektor kesehatan maupun non-kesehatan. Ditemukan bahwa ada beberapa masalah terkait kebijakan dan sistem manajemen. Pertama, telah berkembang sistem pengelo laan SDM di luar sistem kesehatan dan tidak adanya kebijakan untuk mengatur (merekrut, melatih, membiayai) tenaga-tenaga di luar tenaga kesehatan (selanjutnya akan disebut sebagai SDM HIV dan AIDS). Berkembangnya dua sistem pengelolaan SDM ini terjadi karena HIV dan AIDS merupakan masalah kesehatan yang erat kaitannya dengan masalah sosial, di mana populasi yang terdampak umumnya tersembunyi dan sulit dijangkau. Selain karena posisinya yang marjinal, stigma dan diskriminasi menjadi salah satu penghambat bagi populasi kunci untuk mengakses layanan. Oleh karena adanya hambatan-hambatan ini, layanan HIV dan AIDS membutuhkan pendekatan yang khusus dan berbeda dari layanan kesehatan yang konvensional di mana penyedia kesehatan lebih bersifat pasif melayani pasien yang datang saja serta terbatas pada layanan medis saja. Petugas kesehatan telah dilatih agar dapat memberikan layanan dari sisi medis di fasilitas kesehatan. Misalnya, mereka dilatih agar dapat memberikan konseling serta layanan-layanan HIV dan AIDS, seperti VCT/PITC, IMS, PMTCT, LASS dan lain sebagainya. Tetapi, pada saat yang sama, untuk mengatasi hambatan sosial yang telah dibahas sebelumnya, telah berkembang layanan yang disediakan oleh SDM HIV dan AIDS. Mereka telah menyediakan berbagai layanan yang sama pentingnya dengan layanan medis yang disediakan oleh petugas kesehatan, khususnya dalam memastikan populasi kunci dapat mengakses layanan dan adanya dukungan bagi Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 61
ODHA. Contoh fungsi yang dilakukan oleh SDM HIV dan AIDS termasuk dukungan sebaya (buddies), manajer kasus, dan konselor. Selama ini, fungsi-fungsi SDM HIV dan AIDS ini dilaksanakan oleh LSM dengan pendanaan dari MPI. Koordinasi peran dari LSM-LSM ini juga lebih dilakukan oleh KPA setempat daripada oleh Dinkes. Kondisi inilah yang mengakibatkan berkembangnya sistem pengelolaan SDM di luar sistem kesehatan. Di 11 lokasi penelitian, belum ada kebijakan yang mengatur tentang penge lolaan SDM HIV dan AIDS. Kebijakan yang diacu oleh pemda di sebagian besar daerah penelitian ialah kebijakan dari pusat seperti Permenkes Nomor 21/2013 yang mengatur tentang bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dengan instansi atau lembaga lain dalam penanggulangan HIV dan AIDS seperti LSM, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kesehatan lain (Pasal 49). Meskipun demikian, tetap terdapat pengelolaan SDM yang berjalan paralel dengan sistem kesehatan di mana sebagian besar mekanisme rekrutmen dan penggajian didukung oleh pembiayaan dari MPI. Pengecualian untuk Kota Surabaya yang pemerintahnya telah menganggarkan dalam APBD penggajian SDM HIV dan AIDS seperti konselor, manager kasus, dan penjangkau lapangan yang mengacu pada peraturan tersebut (Tim Peneliti Unair, Surabaya, 2014). Ketidakmampuan daerah dalam mengelola dua sistem manajemen SDM ini disebabkan oleh adanya perbedaan nomenklatur antara SDM kesehatan dengan SDM HIV dan AIDS, sebagaimana terlihat pada Tabel 5. Perbedaan nomenklatur ini mempertegas tidak adanya kebijakan yang mengatur kebutuhan SDM HIV dan AIDS seperti tenaga penjangkau, tenaga lapangan, manajer kasus, pendamping ODHA (buddies), termasuk dalam hal pendanaan serta standar kompetensi teknisnya. Masalah lain terkait kebijakan dan sistem manajemen SDM ialah soal beban kerja petugas kesehatan yang berhubungan dengan jumlah petugas. Di sebagian daerah penelitian (Surabaya, Jayapura, Makassar, Parepare, Medan, Deli Serdang, Merauke, dan Manokwari) berkembang pandangan bahwa penyediaan layanan HIV dan AIDS oleh tenaga kesehatan merupakan pekerjaan tambahan, bukan sebagai bagian dari tugas pokok seperti penanganan penyakit menular lain. Tenaga kesehatan yang melakukan layanan HIV dan AIDS dianggap melakukan rangkap tugas (double jobs).
62 • PKMK FK UGM
Tabel 5. Perbedaan Nomenklatur Tenaga Kesehatan Umum dengan Tenaga HIV dan AIDS Nomenklatur Kebutuhan Tenaga HIV dan AIDS (SRAN 2010–2014)
Nomenklatur Tenaga kesehatan (UU Nomor 36/2014) a. Tenaga Medis meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. b. Tenaga psikologi klinis. c. Tenaga keperawatan. d. Tenaga kebidanan. e. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. f. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog, tenaga promosi kesehatan dan ilmu prilaku, pembibingan kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga. g. Tenaga kesehatan lingkungan meliputi tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan. h. Tenaga gizi. i. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis, terapis wicara, dan akupuntur. j. Tenaga teknisi medis meliputi perekam medis dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien, teknisi gigi, penata anestisi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis. k. Teknik biomedika meliputi radiographer, elektromedis, ahli teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, radio trafis, ortotik prostetik. l. Tenaga kesehatan tradisional meliputi tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga tradisonal keterampilan. m. Tenaga kesehatan lain.
A.
Tenaga Lapangan Peer educator Petugas penjangkau Supervisor program lapangan Manajer program tingkat lapangan B. Tingkat Layanan Petugas konselor untuk berbagai layanan (CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM) Dokter spesialis (layanan CST) Dokter umum untuk berbagai layanan (CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM) Petugas laboratorium untuk berbagai layanan (CST, VCT, IMS, PMTCT) Perawat untuk berbagai layanan (CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM) Petugas administrasi untuk pencatatan dan pelaporan dari berbagai layanan (CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM) Ahli gizi Bidan Manajer kasus C. Manajemen di tingkat Kabupaten Pengelola program Pengawasan dan evaluasi, serta surveilans Keuangan dan administrasi Sekertaris atau manajer
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 63
“SDM kami itu masih batas minimal jumlahnya. Dan terkait dengan kualitas, kita harus sangat sangat sangat jarang bahkan ketinggalan dalam melakukan update pengetahuan, update knowledge, pelatihan-pelatihan kita tinggal. Nah, jadi bayangkan posyansus yang selalu berdiri klinik VCT pertama…, jumlah SDMnya sama dengan klinik yang baru berdiri yang pastinya sering saya istilahkan masih doremifasol. Sementara, kami masih 61 persen, artinya kami SDM masih kekurangan.” (DKT, Posyansus RS Adam Malik Medan, dalam laporan Tim Peneliti USU, 2014) “Petugas HIV dan AIDS pada rangkap semua, satu orang bertanggung jawab terhadap beberapa program...” (WM, Puskesmas Kotaraja Kota Jayapura, dalam laporan Tim Peneliti Uncen, 2014). Permasalahan kekurangan tenaga kesehatan yang memiliki kapasitas dalam layanan HIV dan AIDS ini semakin kompleks dengan adanya mekanisme mutasi. Di sebagian besar daerah penelitian termasuk Badung dan Denpasar dilaporkan bahwa tenaga kesehatan klinis seperti dokter, perawat, bidan, laborat, dan tenaga RR (Report and Recording) yang terlatih dan memiliki kecakapan yang bekerja untuk layanan HIV dan AIDS sering kali dimutasi oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) tanpa memperhatikan kebutuhan layanan. Ini sangat berdampak pada keberlanjutan layanan. b. Pembiayaan SDM Sumber pembiayaan SDM HIV dan AIDS untuk tenaga kesehatan dan nonkesehatan berasal dari pemerintah dan dana hibah MPI yang tidak mengikat. Ditemukan bahwa tenaga kesehatan di layanan kesehatan pemerintah dibiayai melalui anggaran daerah untuk sektor kesehatan, tetapi ketika mereka melakukan tugas untuk HIV dan AIDS maka mereka mendapatkan insentif tambahan dari pro gram yang didanai oleh MPI khususnya Global Fund. Ini berlaku di semua daerah penelitian kecuali Merauke dan Jayapura karena Global Fund sudah menarik diri dari Papua. Sedangkan sumber pembiayaan SDM HIV dan AIDS (tenaga nonkesehatan) sebagian besar berasal dari pendanaan MPI, khususnya di daerah yang menjadi bagian dari lingkup kerja Global Fund seperti Denpasar, Badung, Medan, Deli Serdang, Makassar, Parepare, Surabaya, Sidoarjo, dan Manokwari. Dilihat dari kategori program, pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan PP seba gian besar berasal dari MPI, bukan dari anggaran pemda. Kegiatan-kegiatan PP ini umumnya dilakukan oleh tenaga non-kesehatan seperti LSM, sehingga tidak dibiayai oleh pemerintah. Di Jayapura dan Merauke yang tidak lagi menjadi wilayah kerja Global Fund, program PP banyak diselenggarakan oleh tenaga-tenaga non-kesehatan dan masyarakat dengan sumber pembiayaan yang bersifat terbatas dari berbagai donor luar negeri. 64 • PKMK FK UGM
Peran LSM untuk menjangkau ODHA dan populasi kunci sangat besar, namun sejauh ini belum ada regulasi atau kebijakan yang mengatur pembiayaan SDM tenaga non-kesehatan penanggulangan AIDS (Tim Peneliti Unipa, 2014). Sementara untuk petugas yang sudah dilatih (pencegahan dan PDP) baik pemerintah atau dinas kesehatan maupun non-pemerintah berasal dari HCPI untuk puskesmas dan dinas kesehatan setempat, ….[s]alah satu pembiayaan bagi SDM kesehatan di puskesmas yaitu berasal dari dana BOK. Misalnya seperti honor untuk satgas kondom. Sedangkan LSM mendapatkan beberapa dukungan dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan Global Fund berupa tenaga penjangkau untuk VCT dan petugas lapangan (Tim Peneliti Unair, 2014). Sebagian besar pembiayaan untuk SDM kesehatan dalam program HIV di Kota Denpasar masih bersumber dari dana APBD (khususnya buat tenaga kesehatan dari sektor pemerintah), sedangkan SDM di LSM masih mengandalkan pembiayaan dari donor asing. Sektor pemerintah yang juga mendapatkan bantuan dari donor asing juga mendapatkan insentif berbasis kinerja (Tim Peneliti Udayana, Bali). Sementara untuk program yang terkait dengan perawatan dan pengobatan, karena umumnya dilakukan oleh tenaga kesehatan dari sektor kesehatan daerah, maka pembiayaannya berasal dari alokasi dana daerah. Ini ditemukan di Jayapura, Merauke, Surabaya, dan Sidoarjo. Di daerah-daerah ini tenaga kesehatan juga mendapatkan insentif pendanaan yang bersumber dari APBD. Sementara di daerahdaerah lainnya, tenaga kesehatan yang memberikan pengobatan dan perawatan di rumahsakit atau puskesmas mendapatkan insentif dari sumber pendanaan di luar APBD, yaitu dari Global Fund melalui mekanisme yang disebut insentif berbasis kinerja. Di sebagian besar daerah yang masih dalam skema Global Fund, proporsi pendanaan sudah semakin besar digantikan oleh APBD atau BOK dari APBN, meskipun dalam beberapa aspek ketergantungan pada donor masih kuat. SDM yang saat ini tersedia adalah SDM kesehatan secara umum yang tidak hanya bertanggung jawab menangani HIV dan AIDS tetapi juga program lainnya. RSUD DOK 2 saat ini mempunyai tenaga kontrak yang bekerja pada ruang kolaborasi ATM tetapi tenaga tersebut merupakan tenaga magang/sukarela yang bekerja membantu selama ini. Sumber penggajian dari dana APBD Provinsi Papua (Tim Peneliti Universitas Cenderawasih, Jayapura,2014). Dinas Kesehatan Kota Surabaya menyebutkan bahwa pembiayaan dokter umum untuk CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM serta manajer kasus dan pengelola program berasal dari dana APBD I dan APBD II dari Tahun Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 65
2011 sampai Tahun 2013. Pembiayaan yang digunakan untuk sumber daya manusia terdapat pengeluaran untuk sumber daya manusia sebagai proporsi pengeluaran pemerintah. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo pengeluaran sumber daya manusia sebagai proporsi pengeluaran pemerintah tahun 2011 sebanyak Rp15 juta. Pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp16 juta dan pada tahun 2013 menjadi Rp17 juta (Tim Peneliti Unair, Surabaya, 2014). Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa pembiayaan SDM HIV dan AIDS dari tenaga non-medis untuk pencegahan berbeda dengan sistem pembiayaan SDM kesehatan yang ada. Sedangkan SDM kesehatan yang melakukan kegiatankegiatan pengobatan dan perawatan sudah mengikuti sistem pembiayaan SDM kesehatan umum. c. Kompetensi SDM Semua tenaga kesehatan termasuk yang bekerja untuk layanan HIV dan AIDS perlu memiliki standar kompetensi tertentu. Misalnya, tenaga dokter, perawat, bidan, dan laborat secara khusus telah melalui sistem pendidikan kesehatan sehingga memi liki standar kompentensi tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Standar kompetensi diperoleh baik melalui jalur lembaga pendidikan kesehatan formal maupun pelatihan-pelatihan dari kemenkes dan lembaga kesehatan lainnya yang tersertifikasi. Secara umum untuk layanan pengobatan dan perawatan, sudah ada prasyarat standar kompetensi sumber daya kesehatan yang dapat menangani jenis-jenis penya kit menular seperti HIV dan AIDS. Selain itu, dalam penyediaan layanan sehari-hari sudah ada panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas kesehatan primer untuk menangani penyakit khusus, termasuk HIV dan AIDS (Permenkes Nomor 5/2014). Namun, untuk layanan PP dan MD yang dilakukan oleh ragam tenaga di luar tenaga kesehatan formal, belum ada standar kompetensi yang ditetapkan. Di semua daerah penelitian, SDM yang terlibat dalam PP dan MD terdiri atas tenaga-tenaga sukarela, LSM, dan komunitas, sebagaimana ditemukan oleh tim peneliti universitas di Badung, Denpasar, Merauke, Makassar, Parepare, Medan, dan Deli Serdang. Tenaga-tenaga non-kesehatan ini di semua daerah tersebut tidak memiliki kompe tensi standar yang diatur seperti pada tenaga kesehatan umum. Tidak adanya rujukan kompetensi yang diatur dalam sistem kesehatan ini terjadi karena kompetensi petugas penjangkau, pendamping, konselor, atau manajer kasus tidak dikenal dalam istilah SDM kesehatan yang berlaku. Karena ketiadaan standar kompetensi yang bisa dijadikan acuan, pelatihan untuk SDM non-kesehatan pada layanan PP dan MD dilakukan tidak dalam kerangka 66 • PKMK FK UGM
untuk memenuhi standar kompetensi, melainkan sebatas untuk meningkatkan kapa sitas dalam menjalankan kegiatan-kegiatan penyediaan layanan. Ketiadaan standar kompetensi juga membuat pelatihan terkait layanan PP dan MD bisa dilakukan oleh siapa saja. Tenaga yang memberikan pengembangan kapasitas juga belum tentu memiliki standar kompetensi yang berlaku. Umumnya pelatihan terkait program-program pencegahan maupun perawatan ODHA diberikan oleh MPI dengan melibatkan LSM dan Dinkes atau SKPD lainnya. “Kita-kita yang dari [SKPD] kesehatan sudah banyak mengikuti pelatihan. Itu sejak pertengahan tahun ‘90-an pada saat AusAID masih ada. Tahun ’90-an masih lebih banyak fokus pada pencegahan. Bersama teman-teman LSM waktu itu dalam setahun sangat sering kita mengikuti pelatihan di Makassar ini. Juga sebenarnya beberapa teman dari dinas-dinas lain seperti Dinas Sosial, tapi karena kita di kesehatan dan teman-teman LSM bisa dikatakan juga setiap hari mengurus HIV jadi dari segi kompetensi mungkin lebih baik. Seingat saya kira-kira akhir ’90-an itu mulai banyak pelatihan untuk CST [PDP] karena ODHA makin banyak. Jadi kita tidak bisa lagi hanya fokus pada pencegahan.” (DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014). Sebagaimana diungkapkan oleh informan tersebut, meskipun LSM dianggap memiliki kemampuan teknis yang baik dalam melakukan program-program pencegah an, tetapi kompetensi mereka tidak diakui secara formal atau diatur sebagaimana halnya untuk SDM kesehatan. Demikian pula dengan kesempatan-kesempatan pengembangan kapasitas, di mana dinkes hanya mengatur SDM kesehatannya, tetapi tidak untuk SDM HIV dan AIDS non-kesehatan. 4) Pengelolaan informasi strategis Informasi strategis didefinisikan sebagai sistem dalam produksi, analisis, dise minasi, dan penggunaan informasi yang terpercaya tentang determinan kesehatan, kinerja sistem kesehatan, dan status kesehatan yang dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dimensi-dimensi dalam informasi strategis meliputi: 1) Sinkronisasi dan koordinasi sistem informasi, yaitu terdiri atas infrastruktur, jenis sumber data, pengumpulan data, dan mekanisme pengolahan data—kesemuanya merupakan bagian dari sistem yang digunakan oleh pemerintah dalam pengelolaan informasi dari survei, pemantauan, dan evaluasinya mulai input, proses, dan output; dan 2) Diseminasi dan pemanfaatan terkait hasil pengolahan data sistem informasi program HIV dan AIDS yang ada saat ini digunakan untuk perencanaan dan pengembangan program HIV dan AIDS di daerah.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 67
a. Sinkronisasi sistem informasi Sinkronisasi sistem informasi HIV dan AIDS memungkinkan tersedianya data yang berguna bagi daerah dalam mengembangkan perencanaan dan desain program intervensi berbasis situasi epidemi dan kebutuhan daerah. Ketika bisa mengembangkan perencanaannya sendiri, daerah dapat memiliki posisi tawar yang lebih kuat saat berhadapan dengan donor atau pihak-pihak yang akan mengembangkan kerjasama dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu, kemampuan daerah untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengelola informasi HIV dan AIDS untuk pengembangan upaya penangggulangan HIV dan AIDS yang berbasis bukti menjadi sangat penting. Sayangnya, ditemukan bahwa daerah memiliki berbagai sumber data yang dikelola secara terpisah-pisah, sehingga sulit untuk disinkronisasikan dan dimanfaatkan. Dilihat dari infrastrukturnya, ada beragam variasi sistem informasi yang dite mukan. Pertama, ditemukan variasi dari metode pengumpulannya, di mana sebagian besar daerah sudah menggunakan teknologi informasi yang bersifat komputerisasi, tetapi ada pula daerah yang masih menggunakan pencatatan secara manual seperti ditemukan di Manokwari. Kedua, jenis sistem informasi yang bersifat online itu sendiri sangat bervariasi tergantung pihak pemangku kepentingan mana yang berkepentingan atas data tersebut. Untuk data program, pemerintah pusat (Kemenkes), KPAN, maupun MPI memiliki sistemnya masing-masing yang tidak sinkron antara satu sama lain. Ada pula sistem informasi kesehatan yang juga saling tidak sinkron. Di daerah ditemukan ada Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA), Sistem Informasi Puskesmas (SIMPUS), serta berbagai sistem informasi lainnya. Pada dasarnya mereka dikembangkan untuk menjawab kebutuhan spesifik direktorat atau unit tertentu dalam sektor kesehatan, sehingga tidak saling kompatibel. Data program HIV dan AIDS yang dikumpulkan oleh beberapa MPI juga saling tidak sinkron. Contohnya, sistem informasi terkait program yang ditemukan di daerah seperti Sistem Informasi HIV dan AIDS (SIHA), Recording and Reporting (R&R), dan Inventory Order Management System (IOMS). SIHA dikembangkan oleh Kemenkes dengan dukungan Global Fund untuk mendapatkan informasi terkait data cakupan layanan pencegahan VCT, PITC, IMS dan distribusi kondom yang dilakukan di tingkat layanan primer dan sekunder sesuai target. Penerapannya juga bisa berbeda: SIHA untuk VCT/PITC di tingkat puskesmas sementara sistem informasi obat di rumah sakit menggunakan IOMS. Ada pula sistem informasi milik lembaga tertentu seperti Sistem Informasi Napza (SINAPZA) milik Biro Napza di Sulawesi Selatan, atau sistem informasi yang dikembangkan oleh lembaga yang menjadi Principal Recipient (PR) Global 68 • PKMK FK UGM
Fund seperti NU dengan SINU (Sistem Informasi Nahdlatul Ulama) dan PKBI yang mengembangkan Sistem Informasi PKBI (SI-PKBI). “Di PKBI kita mengumpulkan informasi dan membuat laporan berdasarkan format Global Fund yang mendanai program kita. Jadi kita mengumpulkan data seperti berapa jumlah kondom, jumlah jarum suntik, jumlah KIE yang terdistribusi. Juga misalnya jumlah pecandu baru di wilayah kerja kita. Jadi bentuknya spesifik pada program yang kita lakukan. (DKT, Program Manager PKBI Sulawesi Selatan, 2 Juni 2014, Laporan Tim Unhas) Berbagai sistem informasi yang tidak sinkron baik untuk sistem informasi kese hatan daerah maupun sistem informasi program membawa beberapa akibat. Pertama, pengumpulan data oleh para petugas kesehatan tidak efisien. Di Medan, misalnya, ditemukan bahwa data satu pasien harus diisi di tiga format sistem informasi yang berbeda. Kedua, banyaknya jenis sistem informasi menuntut kemampuan yang berbeda-beda untuk penggunaannya. Tim Peneliti Unhas (2014) menunjukkan ada nya salah satu sistem informasi program yang tidak digunakan karena tidak ada pela tihan untuk petugasnya. Ketiga, terdapat variasi sumber data dan informasi mengenai keluaran program HIV dan AIDS dari berbagai segmen. Tidak sinkronnya berbagai sistem informasi ini menyulitkan proses analisis data, terlebih untuk digunakan sebagai bahan perencanaan dan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS yang berbasis bukti. Pada akhirnya, sebagaimana dinyatakan oleh Tim Peneliti Unud (2014), sis tem informasi masih sebatas untuk pengumpulan data dan belum ada analisisnya. Akibatnya, penggunaan data SIHA selama ini pun belum maksimal karena tidak ada pengolahan data dalam bentuk sheet yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pembuatan keputusan. b. Diseminasi dan Pemanfaatan Dalam situasi tidak sinkronnya sistem informasi sebagaimana dipaparkan, data yang digunakan untuk membuat kebijakan dan perencanaan program di daerah hanya berasal dari pusat seperti STBP yang dikembangkan oleh lembaga donor, Survei Cepat Perilaku dari KPAN, Sistem Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dikembangkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Riset Kesehatan Dasar yang dikembangkan BPS, serta survei-survei lainnya yang diselenggarakan oleh MPI. Masalahnya, data-data survei tersebut bersifat agregat dan sulit untuk diinter pretasikan di tingkat lokal. Selain itu, data survei yang dimiliki oleh pusat tersebut cenderung sulit untuk diakses oleh pemangku kepentingan di tingkat lokal. Ada juga kesulitan dalam memanfaatkan hasil survei karena masing-masing lembaga Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 69
penyelenggaranya memiliki mekanisme dan standar sendiri. Ini berdampak pada adanya variasi hasil dan kualitas informasi yang sulit digunakan sebagai basis penyusunan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS, terutama bagi daerah. Bentuk pemanfaatan data survei yang sudah terlihat di tingkat daerah baru sebatas untuk pengembangan kegiatan advokasi. Jenis sumber informasi lain ialah penelitian yang dikembangkan oleh universitas dan LSM. Temuan-temuan mereka kemudian dimanfaatkan sebagai informasi untuk pemangku kepentingan, bahan dialog dengan media, sosialisasi situasi epidemi dan strategi penanggulangannya, serta sebagai data untuk advokasi ke rumah sakit, seperti di Merauke (Tim Uncen, 2014). Tidak terintegrasinya diseminasi dan pemanfaatan informasi dalam penang gulangan HIV dan AIDS di daerah menyebabkan pengembangan intervensi program tidak bisa optimal. Pengembangan program lebih banyak mengandalkan desain dari pusat yang belum tentu mencerminkan situasi epidemi daerah. Pengembangan untuk diseminasi dan kampanye pendidikan masalah HIV dan AIDS juga terbatas. 5) Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dimaksudkan untuk melihat produk medis, teknologi yang dijamin kualitasnya, keamanan, efikasi, serta efektivitas pembiayaan (cost-effectiveness) dan penggunaannya. Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan meliputi: 1) Regulasi penyediaan, penyimpanan, dan distribusi diagnostik; terapi yang mengatur ketersediaan reagen obat ARV, mesin CD4, dan viral load, sebagai bagian dari mekanisme yang dianggrakan dalam anggaran Dinkes atau ditanggung oleh JKN; dan 2) Sumber daya yang mencakup sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan perlengkapan medik untuk HIV dan AIDS masuk dalam mekanisme anggaran Dinkes atau ditanggung oleh JKN. a.
Regulasi penyediaan, penyimpanan, dan distribusi diagnostik, serta terapi
Terdapat beberapa jenis regulasi mengenai penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan perlengkapan medik HIV dan AIDS yang bervariasi tingkat dan lingkup berlakunya. Kebanyakan daerah mengacu pada regulasi penyediaan obat di tingkat pusat berupa Keputusan Menkes tentang pengobatan HIV dan AIDS. Selain itu, ada pula regulasi dalam bentuk Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen PP dan PL tentang komposisi pembiayaan reagensia HIV, obat IO, dan IMS, serta alat medis habis pakai yang berlaku untuk semua wilayah. Ada juga beberapa wilayah 70 • PKMK FK UGM
yang memiliki regulasi di tingkat daerah terkait logistik, seperti di Sidoarjo ada Surat Keputusan Camat tentang pokja/tim distribusi kondom di Kecamatan Benowo dan Surat Keputusan Kepala Puskesmas Sememi tentang tim distribusi kondom. Sementara RSJ Menur di Surabaya memiliki SOP tentang pelayanan ARV untuk ODHA serta mekanisme pinjam-meminjam obat. Secara umum, regulasi untuk penyediaan, distribusi, dan penyimpanan alat kesehatan dan farmasi telah menyesuaikan dengan kebijakan yang berlaku secara umum di sektor kesehatan, khususnya untuk ARV dan obat IO yang pembiayaannya didanai oleh APBN atau APBD dengan dikoordinasikan oleh Dinkes. …[u]ntuk regulasi mengikuti yang ada dari pusat. Pengelolaan obat HIV dan AIDS sama dengan proses pengadaan obat lainnya. (Tim Peneliti Uncen, 2014) Dulu itu semua dari (pemerintah) pusat, tapi sekarang sejak edaran Menkes tahun 2013 ada pembagian logistik antara pusat dan daerah. Kalau ARV itu memang masih 100 persen dari pusat, tapi kalau yang lainnya beda. Kalau kondom, reagen HIV, dan obat-obat untuk IO dan IMS, 40 persen ditanggung pusat dan 60 persen ditanggung daerah. (Tim Peneliti Unhas, 2014) Demikian pula dengan penyimpanan dan distribusi obat, mekanismenya mengikuti kebijakan yang ada dalam sistem kesehatan daerah. Semua obat disimpan di tempat penyimpanan obat yang dimiliki oleh Provinsi, Dinkes Kota/Kabupaten, Rumah Sakit, dan Puskesmas. Mekanisme distribusi dari tempat penyimpanan obat masing-masing diatur oleh Dinkes Provinsi dan Kota/Kabupaten. Seperti di Surabaya, penyimpanan obat di Rumah Sakit berdasarkan standar penyimpanan dengan SOP khusus dan dikelola oleh petugas berkompeten (Tim Peneliti Unair, 2014). Dalam pengelolaan logistik obat, masalah yang paling sering ditemui ialah stock out, yaitu habisnya persediaan obat dari sediaan yang telah direncanakan. Sebagian besar daerah penelitian pernah mengalami stock out reagensia HIV, obat IO, dan obat IMS disebabkan oleh: 1) Ketidakmampuan daerah dalam melakukan peren canaan penyediaan obat secara tepat. Contohnya, Tim Peneliti Uncen (2014) di Merauke dan Tim Peneliti Unipa (2014) di Kabupaten Manokwari menemukan bahwa keterlambatan logistik obat dan alat medis disebabkan oleh ketidakmampuan daerah dalam melakukan perencanaan dengan baik, khususnya untuk beberapa jenis obat yang memerlukan sharing budget antara pemerintah provinsi dan kabupaten; 2) Acapkali rentang waktu keguaan obat dalam persediaan sangat pendek sehingga kadaluarsa sebelum didistribusikan dan dikonsumsi. Selain itu, kadaluarsanya obat itu dipengaruhi juga oleh belum adanya kontrol kualitas obat seperti ditemukan di Sidoarjo (Tim Peneliti Unair, 2014).
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 71
Apabila ada masalah dalam penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan alat medis, penyelesaiannya dikoordinasikan oleh Dinkes. Misalnya, untuk mengatasi stock out, strategi yang digunakan ialah mengembangkan perencanaan dengan mekanisme buffer system untuk mencegah terjadinya kehabisan obat dalam jangka waktu 3–6 bulan. Besaran buffer system tersebut antara 10%–30%. Daerah yang mengembangkan buffer system antara lain Denpasar, Badung, dan Surabaya. Mekanisme buffer system ini terbukti dapat mengatasi masalah stock out obat. Selain itu, ada juga upaya peningkatan kapasitas pengembangan perencanaan penyediaan obat sesuai dengan proyeksi kebutuhan daerah berbasis pada jumlah kasus yang dilaporkan secara periodik ke Dinkes daerah. Di sisi lain, terdapat kebijakan yang berbeda untuk beberapa alat pencegahan seperti kondom dan alat suntik steril. Penyediaan, distribusi, dan penyimpanan bebe rapa alat pencegahan tersebut tidak dilakukan oleh sektor kesehatan, melainkan oleh KPA Nasional yang didistribusikan ke daerah melalui KPAD, bukan melalui dinkes. Ini berlaku di sebagian besar daerah penelitian. Di daerah-daerah yang memiliki program Harm Reduction seperti Medan, Makassar, Sidoarjo, dan Surabaya, kebijakan pengadaan LASS untuk pengendalian HIV pada penasun mengacu pada regulasi dan kebijakan donor. Pengecualian ditemukan di Denpasar dan Badung, di mana kebijakan pengadaan jarum suntik untuk program LASS diatur oleh pemdapemda. Pengecualian juga ditemukan di Manokwari, Merauke, dan Kota Jayapura yang kebijakan logistiknya sudah diintegrasikan ke dalam sektor kesehatan umum setelah Global Fund tidak lagi memberikan dukungan di Papua sejak akhir 2013. Di ketiga daerah ini, semua mekanisme pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat diatur oleh kebijakan daerah termasuk pembiayaan dengan mekanisme APBD. b. Sumber Daya Sumber daya untuk pengadaan, penyimpanan, dan distribusi logistik obat dan alat kesehatan meliputi pembiayaan yang berasal dari pemerintah pusat, pemda, dukungan MPI, dan masyarakat. Pembiayaan dari pemerintah pusat berupa dana program, dana alokasi khusus (DAK) yang bersumber dari APBN, dan dana hibah dari MPI., sedangkan dana daerah bersumber dari APBD. Pendanaan masyarakat berbentuk CSR dari swasta dan dukungan solidaritas masyarakat. Mekanisme keterlibatan pemda dalam mengalokasikan dana untuk obat telah didorong oleh pemerintah pusat dengan Surat Edaran Dirjen PP dan PL Kemenkes Ri Nomor HK.02.03/D/III.2/823/2013 tentang pembiayaan logistik obat dan alat medis untuk penanggulangan HIV/AIDS dan IMS dengan strategi sharing pembiayaan antara pemerintah pusat dan daerah. Komposisi sharing biaya untuk beberapa obat 72 • PKMK FK UGM
jenis obat seperti reagensia HIV dan CD4 ditanggung pemerintah pusat 45% dan 55% daerah, obat IO dan IMS ditanggung pemerintah pusat 40% dan 60% daerah, sementara regaen Sipilis (RPR) ditanggung 50% pusat dan 50% daerah, dan jenis obat GO dan habis pakai sepenuhnya ditanggung oleh daerah. Pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS yang bersumber dari pemerintah pusat dialokasikan untuk pengadaan obat ARV dan tercakup dalam program yang dibiayai APBN dengan melibatkan koordinasi langsung antara Dinkes dan pemerintah pusat. Selain ARV, pembiayaan untuk logistik obat metadon juga sepenuhnya ditang gung oleh pusat dengan dana nasional yang dianggarkan melalui Kemenkes. Sumber pembiayaan dari pusat ini berlaku di semua daerah dan diakses melalui rumah sakit rujukan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk memberikan layanan pengobatan ARV. Sementara itu, sumber pembiayaan yang berasal dari MPI untuk logistik obat terkait HIV dan AIDS meliputi pengadaan materi pencegahan dan alat medis seperti LASS, berbagai jenis obat ARV lini 2, kondom, pelicin, dan tes CD4 (secara terbatas). Pembiayaan yang mengandalkan pada dukungan MPI ini bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Untuk daerah yang tidak lagi mendapatkan dukungan Global Fund untuk penyediaan kondom gratis seperti di Papua, ada yang telah berhasil mengembangkan keterlibatan masyarakat dalam pengadaan kondom mandiri dengan mekanisme iuran seperti dikembangkan oleh komunitas pekerja seks dan mucikari di Merauke (Tim Peneliti Uncen, 2014). Sumber daya pembiayaan untuk jarum suntik belum diadopsi pemda kecuali di Denpasar dan Badung yang sudah menggunakan dana APBD. Pengadaan jarum suntik di Medan, Parepare, Surabaya, dan Sidoarjo masih bergantung pada pendanaan dari donor, sedangkan pemda belum mengambil-alih tanggung jawab pembiayaan pengadaannya. Pengadaan kondom di Kabupaten Deli Serdang juga tidak terintegrasi karena kondom bisa langsung diperoleh dari pusat melalui KPAN, kemudian didistribusikan melalui tiga jalur, yakni ke KPAK untuk disalurkan ke LSM-LSM non-Global Fund, PKBI, dan NU untuk selanjutnya disalurkan ke SSRnya masing-masing, serta melalui Dinkes untuk disalurkan ke puskesmas dengan pembiayaan langsung dari donor. 6) Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat didefinisikan sebagai pengelolaan penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan baik perorangan, kelompok maupun masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan. Tujuannya agar masyarakat mampu memanfaatkan berbagai layanan kesehatan yang dibutuhkan Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 73
secara mandiri guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Partisipasi masyarakat ini meliputi dua unsur: 1) Terselenggaranya pertemuan-perte muan koordinasi oleh pemangku kepentingan dan masyarakat (misalnya, perwakilan populasi kunci), adanya dana yang dialokasikan bagi masyarakat sipil dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, serta adanya pengembangan kapasitas (seperti pelatihan dan bantuan teknis) yang secara strategis diikuti sebagai bagian dari proses perencanaan, implementasi, dan evaluasinya; 2) Akses atas layanan (baik kesehatan umum maupun layanan HIV dan AIDS) yang menggambarkan proporsi populasi kunci, dan proposi populasi kunci yang dapat mengakses JKN atau Jamkesda. a. Dimensi Partisipasi Masyarakat Partisipasi dalam sektor kesehatan dikembangkan untuk menggerakkan pelibatan masyarakat secara lebih bermakna dalam proses perencanaan, implementasi, serta pengawasan dan evaluasi program. Kemampuan menggerakkan partisipasi masya rakat menjadi unsur penting dalam membangun mekanisme akuntabilitas sekaligus kesadaran kolektif untuk memerangi epidemi HIV dan AIDS bersama-sama. Jenis partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi: 1) Partisipasi aktif dalam pembentukan paguyuban di tingkat komunitas, seperti pem bentukan Warga Peduli AIDS ( WPA). WPA merupakan perwakilan masyarakat umum di sebagian besar daerah sebagai bentuk solidaritas dan perhatian dalam penanggulangan AIDS; 2) Partisipasi secara strategis dalam bentuk keterwakilan LSM, populasi kunci, kader masyarakat sebagai anggota KPAD agar secara aktif mengikuti proses pembuatan keputusan dan perencanaan program intervensi. Bentuk partisipasi lainnya ialah pelibatan dalam berbagai pertemuan rutin yang dikoor dinasikan oleh KPA, seperti ditemukan di Medan; 3) Partisipasi melalui pengem bangan kegiatan mandiri oleh masyarakat sebagai bagian dari kepedulian terhadap HIV dan AIDS. Misalnya, berbagai kegiatan penyuluhan dan sosialisasi tentang HIV dan AIDS dilakukan oleh kader-kader dari masyarakat umum. “Di 21 kecamatan ada semua, cuma kalau kita tanya keaktifannya ya... mungkin separuhnya yang aktif. Makanya ini kita coba masukkan ke Perwal yang sedang disusun. Jadi di Perwal itu nanti ada tentang pokja HIV Kecamatan, malah ada WPA. WPA itu nanti di tingkat kelurahan.” (KPA Kota Medan, dalam laporan Tim Peneliti USU, 2014). “Kita di Balla’ta mencoba memberdayakan teman-teman ODHA dan populasi kunci. Dari Biro Bina Napza kita dapat bantuan berupa rumah yang bisa kita tinggali [untuk] beraktivitas sekarang ini. Ini juga menjadi rumah singgah bagi teman-teman dari luar Makassar yang datang berobat atau mencari dukungan dari sesama ODHA. Dari Dinas Sosial juga ada 74 • PKMK FK UGM
beberapa kali bantuan untuk pemberdayaan ekonomi. Baru-baru ini kita diberi bantuan mesin cuci untuk usaha laundry. Ini kami syukuri. Tetapi kendalanya ketika pada saat implementasi sering kali kita diminta cepatcepat menyelesaikan program, akhirnya hasil yang kita harapkan itu tidak maksimal.” (DKT, LSM PKNM Kota Makassar, 16 Juli 2014, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014) Pada dasarnya praktik partisipasi masyarakat seperti ini cenderung lebih bermakna daripada model partisipasi masyarakat pada sektor kesehatan pada umum nya. Peran partisipasi masyarakat di sektor kesehatan hanya diarahkan sebatas untuk memanfaatkan layanan daripada pelibatan untuk pengembangan layanan seperti dalam pelibatan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Meskipun demikian, terdapat kritik bahwa walaupun partisipasi masyarakat dalam penanggu langan HIV dan AIDS lebih terlihat, partisipasi masyarakat tersebut masih bersifat simbolik. Artinya, tingkat partisipasi masyarakat lebih digunakan sebagai sarana legitimasi dari mekanisme proyek yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat luas, khususnya populasi kunci, sebagai penerima manfaat utama program (Tim Peneliti Udayana, 2014). Akibatnya, partisipasi masyarakat menjadi sebatas sebagai pelak sana program di tingkat lapangan, belum berada pada partisipasi strategis yang lebih bermakna dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program. b. Akses dan Pemanfaatan Layanan Akses dan pemanfaatan layanan kesehatan kelompok populasi kunci dan masyarakat marjinal terhadap jaminan kesehatan dalam skema JKN menjadi cara penting untuk pemenuhan hak kesehatan. Ada sebagian ODHA dan populasi kunci yang dapat memanfaatkan JKN sebagai jaminan pembiayaan dengan membayar premi. Namun, tidak sedikit yang mengalami kesulitan untuk membayar premi secara rutin karena faktor kerentanan ekonomi, seperti dialami sebagian komunitas ODHA di Bali, Makassar, dan Parepare. Meskipun sudah menjadi anggota JKN, tidak semua layanan dapat dijamin oleh JKN. Pembiayaan untuk serangkaian tes sebelum inisiasi ARV tidak ditanggung JKN, padahal ini memakan biaya tidak sedikit. Meskipun bisa didapat secara gratis, ARV tidak dijamin JKN karena sudah ditanggung oleh pembiayaan dari program. Selain itu, banyak pula ODHA dan populasi kunci yang tidak dapat meman faatkan pembiayaan layanan kesehatan lewat JKN karena tidak mempunyai kartu identitas yang menjadi syarat untuk akses JKN. Di Denpasar dan Badung misalnya, ODHA lebih memilih memanfaatkan layanan dengan jaminan dari daerah berupa Jamkesda karena prosesnya tidak serumit JKN.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 75
Sudah ada ODHA dan populasi kunci yang memanfaatkan JKN, tetapi masih terbatas tanggungannya untuk IO; ARV masih dari pusat CST dan beberapa komponen pra-ARV tidak ditanggung oleh JKN. Sebagian besar ODHA yang mengakses layanan kesehatan di RSUD Badung memanfaatkan JKBM (Jamkesda) dan hanya sedikit ODHA yang memanfaatkan JKN (Tim Peneliti Udayana, 2014). “Kemarin ada dua orang teman ODHA kita bantu uruskan BPJS. Kelengkapan administrasi penting sekali untuk mengurus BPJS. KPA Kota membantu kita untuk mengatasi masalah-masalah kelengkapan administrasi ini, lewat koordinasi dengan bagian Kesra. Di BPJS kami tidak menyebut B20 karena disebut otomatis akan ditolak. Kami hanya memasukkan infeksi penyertanya untuk mendapatkan akses BPJS mandiri. Kita sudah ada komunikasi dengan teman di Kesra, Dinkes dan di Rumah Sakit Andi Makkasau mengenai hal ini.” (DKT, staf LP2EM Kota Parepare, 3 Juni 2014) JKN juga lebih fokus pada pembiayaan untuk aspek kuratif (PDP) dengan memberikan jaminan pembiayaan pada obat untuk IO. Sementara untuk pencegahan seperti metadon ditanggung oleh pemerintah melalui dana program, sehingga tidak masuk dalam skema pembayaran yang ditanggung oleh JKN. Biaya-biaya untuk mitigasi dampak juga tidak ditanggung. Secara khusus, kota Manokwari, Jayapura, dan Merauke melalui Otsus memberikan dukungan mitigasi dampak dalam bentuk makan tambahan dan biaya transportasi kepada ODHA untuk mengakses layanan bagi yang berada di wilayah pedalaman atau jauh dari pusat akses layanan di daerahnya. 7) Penyediaan Layanan Penyediaan layanan adalah semua layanan atau intervensi kesehatan personal maupun masyarakat yang efektif, aman, dan berkualitas yang disediakan bagi mereka yang membutuhkan di tempat dan waktu tertentu. Komponen penyediaan layanan terdiri dari tiga unsur: 1) Layanan untuk HIV dan AIDS tersedia di fasilitas pelayanan primer dan sekunder di lokasi penelitian; 2) Koordinasi dan rujukan berupa layanan HIV dan AIDS yang dikoordinasikan Dinkes melalui KPA Kota/Kabupaten di lokasi penelitian; 3) Jaminan kualitas layanan dalam bentuk adanya mekanisme supervisi dan evaluasi untuk menjamin kualitas layanan penanggulangan HIV dan AIDS yang sama dengan jaminan kualitas layanan kesehatan lainnya. a. Ketersediaan Layanan Berbagai layanan HIV dan AIDS terdapat di daerah penelitian, yang bisa dikelompokkan menjadi layanan pencegahan, PDP, dan MD. Layanan-layanan ini disediakan oleh fasilitas layanan pemerintah maupun swasta, LSM, dan masyarakat. 76 • PKMK FK UGM
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 77
Denpasar
Sidoarjo
Surabaya
Deli Serdang
Medan
Lokasi
OR, PS, KSPAN
X
1 PKM
2 RS
11 PKM 1 RS
11 PKM 1 RS
1
2
X
5 2 PKM 8 PKM PKM 2 RS 7 RS 3 RS
OR, PS, 4 PKM PIKM 1 RS
OR, PS
3
OR PS
OR, PS
8 PKM, 5 5 RS, PKM 1 3 RS Klinik 1 KKP
3
2
6 PKM
3 PKM 3 LSM
PPIA PTRM LASS
VCT
KIE
Pencegahan
Tabel 6. Layanan HIV dan AIDS di Daerah Penelitian
1 RSUD
1
7 RS RS
1
5 RS
3 PKM
ARV
9 PKM 1 RS
2
18 PM
3
10 PKM
IMS
PDP
Jenis Layanan Keterangan
Dinsos dan BNK memiliki program rehabilitasi bagi populasi kunci dan Odha
2 satelit ARV di puskesmas; KSPAN Dinas Pendidikan
OR= Outreach oleh LSM; PS = Penyuluhan/ Sosialisasi oleh LSM, Dinkes, RS, Puskesmas, KPA dan SKPD anggota KPAD, dan LSM. Pemberian makan tambahan X= tidak ada layanan dari dana APBD Dinkes, PIKM = Pusat Pemberdayaan ODHA Informasi Kesehatan dengan dana Dinas sosial Masyarakat ; KPP= Klinik Kesehatan Bantuan gerobak dan mesin Pelabuhan tebu, bantuan hukum
Bantuan Modal untuk ODHA dari Kemensos, Pelatihan Manajemen ODHA dari KPA
Mitigasi Dampak
78 • PKMK FK UGM
OR, PS
Merauke
18 PKM
Sumber: Laporan Tim Peneliti Universitas, 2014
OR, PS
Jayapura
9
7
OR PS PIKR BKR
OR, PS
13
11 PKM dan RS
6 rs
2
X
6
1
X
X
X
1
4
2
X
X
X
1
2
1
PPIA PTRM LASS
Pencegahan
VCT
OR, PS
OR, PS, KSPAN
KIE
Manokwari
Parepare
Makassar
Badung
Lokasi
13
2 RSUD
PKR
9
1 RSUD
1 RSUD
1
13
8 PKM dan RS
IMS
1 RSUD
9
1 RSUD
ARV
PDP
Jenis Layanan
Dinas Sosial Kartu Sehat pekerja bar dan panti pijat
Menjahit, bengkel elektronik dan bantuan modal dari Dinsos
Dinsos dan BNK program rehabilitasi korban napza dan ODHA; pengadaan bibit sapi dan pemberian makanan tambahan.
Mitigasi Dampak
Layan PKR di PKM
Mobile VCT
32 PIK KRR di SMP dan SMA Bina Keluarga Remaja (BKR) di 22 kelurahan
1 satelit ARV di Bali Medica untuk LSL KSPAN Dinas Pendidikan
Keterangan
Secara ringkas gambaran program pencegahan di lokasi penelitian menunjukkan tersedianya jenis-jenis program yang sama kecuali beberapa program untuk penasun yang tidak ada di Merauke, Jayapura, dan Manokwari. Dari tabel di atas terlihat bahwa di darah penelitian layanan terkait HIV dan AIDS sudah tersedia di semua fasilitas layanan kesehatan primer dan sekunder yang dapat diakses populasi kunci, ODHA, dan masyarakat umum. Layanan yang dibe rikan oleh berbagai pihak ini telah memungkinkan terciptanya continuum of care, mulai dari layanan pencegahan, perawatan sampai mitigasi dampak. Berikut ini penjelasan masing-masing layanan berdasarkan tiga kategori ini. Pencegahan merupakan upaya terpadu untuk memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS yang merupakan tanggung jawab pemerintah, pemda, masyarakat, dan swasta. Program pencegahan di daerah penelitian dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi kesehatan umum melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang dilakukan oleh Dinkes, KPAD, SKPD anggota KPAD seperti Dinas Pendidikan dan Pariwisata di Denpasar dan Badung. Penyediaan layanan pencegahan berupa alat dan materi tes (VCT dan PITC); tersedianya material pencegahan seperti kondom, pelicin, dan alat suntik steril; dan terapi metadon di layanan kesehatan yang ada seperti rumahsakit, puskesmas, dan LSM. Peran petugas penjangkau dalam distribusi material pencegahan sangat penting karena mereka dapat secara langsung menjang kau dan mendampingi kelompok populasi kunci, seperti ditemukan di Makassar. Di bidang pencegahan HIV dan AIDS di Kota Makassar, kegiatan-kegiatan pencegahan rutin lebih banyak dilakukan oleh tenaga-tenaga penjangkau (outreach workers) dari LSM-LSM. Selain tenaga-tenaga penjangkau dari LSM, khususnya di wilayah-wilayah Puskesmas LKB (Layanan Komprehensif Berkelanjutan) terdapat community organizers yang berfungsi membentuk Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat (PIKM). PIKM memiliki kaderkader dari masyarakat dan dari populasi kunci yang sudah dilatih. PIKM ini menyediakan media-media komunikasi, informasi dan edukasi HIV dan AIDS yang disebarkan oleh kader-kader ke masyarakat dan populasi kunci (Tim Peneliti Unhas, 2014). Penyediaan layanan PDP di daerah penelitian dilakukan dengan pendekatan berbasis klinis, keluarga dan/atau masyarakat dan diadakan oleh fasilitas layanan primer dan sekunder. Di semua daerah penelitian tersedia layanan pengobatan ARV baik di RSUD maupun di puskesmas satelit ARV. Menariknya, ada pelibatan LSM dan klinik swasta dalam penyediaan layanan pengobatan untuk populasi kunci. Seperti ditemukan Tim Peneliti Unud (2014), beberapa layanan memiliki segmen populasi kunci yang khusus, misalnya Bali Medical Center terutama menyasar LSL, sedangkan YKP lebih dikenal sebagai penyedia layanan bagi WPS (walaupun YKP juga melayani Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 79
semua kelompok populasi kunci termasuk ibu hamil rujukan puskesmas). Selain itu, di salah satu puskesmas di Kota Denpasar, telah disiapkan penyediaan layanan bagi kelompok waria karena kedekatan lokasi dengan ‘pangkalan’ waria. Terkait dengan cakupan layanan PDP, ditemukan bahwa terdapat peningkatan jumlah cakupan seiring dengan bertambahnya jumlah penyedia layanan di Makassar, Pare-pare, Denpasar, Badung, Surabaya, dan Sidoarjo. Sebagaiaman dilaporkan Tim Peneliti Unud (2014), ada kecenderungan peningkatan cakupan VCT Kota Denpasar, yaitu dari 202 orang pada pertengahan 2011 menjadi 5.042 orang pada pertengahan 2013. Sementara di Kabupaten Badung, jumlahnya meningkat dari 48 orang pada Juli–September 2011 menjadi 2.539 orang pada pertengahan 2013. Begitu juga ditemukan untuk cakupan ARV, meningkat dari 87,4% tahun 2012 menjadi 90,9% pada tahun 2013 (Dinkes Provinsi Bali dalam Laporan Tim Peneliti Unud, 2014). Perawatan ODHA dilakukan dengan pendekatan klinis, agama, dan berbasis keluarga. Layanan perawatan klinis ada di fasilitas layanan primer dan sekunder, sementara layanan berbasis masyarakat atau keluarga biasanya dikelola oleh LSM. Contohnya di Medan, penyediaan layanan berbasis masyakarat/keluarga (home based care) disediakan oleh LSM Perempuan Peduli Pedila Medan, dan ada pula pemulihan adiksi berbasis masyarakat (PABM) yang dilakukan oleh LSM Caritas PSE dan Medan Plus (Tim Peneliti USU, 2014). Layanan mitigasi dampak bertujuan untuk mengurangi dampak HIV dan AIDS terutama dalam kehidupan sosial dan ekonomi ODHA. Sejauh ini ditemukan bahwa layanan ini lebih banyak dilakukan oleh SKPD anggota KPAD di luar Dinkes, dengan program dan pendanaan yang tersedia secara sporadis. Umumnya sumber pembiayaannya dari pemerintah pusat, seperti Kemensos dan BNN (di Denpasar dan Badung), atau dari Kemenkes berupa pemberian modal untuk ODHA (di Medan), walaupun ada juga pendanaan dari APBD lewat Dinkes dalam penyediaan makanan tambahan bagi ODHA (di Surabaya). Ini mengindikasikan bahwa layanan mitigasi dampak berjalan sendiri sesuai dengan perencanaan pemberi dana dan tidak dikoordinasikan oleh sektor kesehatan. Lebih jauh lagi, seperti ditemukan oleh Tim Peneliti Unhas (2014), sering kali program-program mitigasi dampak seperti ini berjalan tanpa persiapan matang, tanpa melalui proses penilaian kebutuhan yang mendalam, dan penyelesaiannya dilakukan secara terburu-buru sehingga keberlanjutannya tidak diprioritaskan. Penyediaan layanan terkait HIV dan AIDS untuk PP dan PDP sama dengan sistem layanan kesehatan umum sehingga ODHA dapat mengakses layanan pada fasilitas layanan kesehatan umum. Dengan demikian, ODHA bisa mendapatkan layanan kesehatan seperti masyarakat pada umumnya di fasilitas-fasilitas kesehatan 80 • PKMK FK UGM
primer maupun sekunder di daerah. Sedangkan penyediaan layanan MD tersedia secara insidental, yang umumnya tergantung ketersediaan dana dan program dari pusat. b. Koordinasi dan Rujukan Rujukan yang terkoordinasi dalam sistem kesehatan akan memudahkan ODHA untuk mendapatkan layanan yang dibutuhkan antar-fasilitas layanan primer dan sekunder. Rujukan terkoordinasi juga memungkinkan ODHA untuk mengakes layanan antar-wilayah. Sebaliknya, jika layanan HIV dan AIDS saja yang terkoor dinasi, layanan untuk ODHA menjadi eksklusif dan terpisah dari layanan umum sehingga bisa membatasi kesediaannya. Ditemukan bahwa koordinasi dan rujukan antar-layanan terdepan (frontline services) telah berjalan. Misalnya, tenaga penjangkau dari LSM akan merujuk pasien ke tenaga kesehatan di puskesmas. Apabila diperlukan layanan lanjutan, maka pasien tersebut akan dirujuk ke rumah sakit. Di Parepare dan Makassar, terselenggara koordinasi rutin antara tenaga penjangkau dan tenaga kesehatan di puskesmas atau rumah sakit. Di Deli Serdang dan Medan, Dinkes berkoordinasi lewat pertemuan tiga bulanan. KPA Kota/Kabupaten juga memfasilitasi pertemuan koordinasi seperti di Surabaya, Sidoarjo, Badung, dan Denpasar. Laporan Tim Peneliti Unhas (2014) menyatakan bahwa koordinasi dan rujukan lebih terlihat pada program PDP, di mana kerjasama dan keterpaduan antara LSM, dinkes, rumahsakit, puskesmas, dan KPA Kota lebih intensif dibanding program pencegahan. Ini salah satunya terlihat dalam program perawatan berbasis masyarakat terhadap ODHA seperti yang dilakukan YKPDS di Kota Makassar. “Kalau kita di Rumah Sakit Wahidin, kita sangat terbantu dengan kawankawan LSM. Mereka yang jadi jembatan kami ke teman-teman ODHA misalnya untuk konseling kepatuhan ARV. Mereka juga yang rutin dampingi kawan-kawan ODHA setelah kembali ke rumahnya, membantu supaya keluarga bisa lebih supportif ke teman-teman ODHA itu. Tenaga kita di Pokja Rumah Sakit ‘kan terbatas, jadi tidak mungkin kita bisa melakukan itu.” (WM, staf Pokja RS Wahidin Sudirohusodo Makassar, 25 Juli 2014, dalam Laporan Tim Peneliti Unhas, 2014) Koordinasi dan rujukan memang seharusnya menjadi lebih kuat lagi dengan strategi LKB, yang saat penelitian dilakukan mulai diluncurkan di daerah-daerah penelitian. Misalnya, di Kota Surabaya terdapat lima Puskesmas yang memiliki layanan komprehensif pencegahan HIV dan AIDS, lengkap dengan IMS, yang sifatnya berkesinambungan (Tim Peneliti Unair, 2014). Memang dalam implementasinya masih ditemukan kendala-kendala yang muncul dalam hal rujukan dan koordinasi Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 81
baik karena alasan personal, prosedur maupun pembiayaan. Untuk mengatasinya, diadakan pertemuan-pertemuan koordinasi antar-pemangku kepentingan yang terlibat. Sementara laporan Tim Peneliti USU (2014) menyebutkan bahwa dalam kerangka LKB, KPA Kota Medan sudah menyusun MoU antara Forum LSM Peduli AIDS, Dinkes dan RS Pirngadi Medan. Sistem koordinasi dan rujukan selalu dibahas dalam pertemuan rutin KPA Kota Medan bekerjasama dengan Dinkes Kota. “Jadi... [k]alau perencanaan pelayanan kita ada rapat koordinasi dengan Dinkes. Sebetulnya bukan cuma Dinkes, LSM itu setiap 3 bulan namanya rapat koordinasi. Itu memang ada dananya di KPA, jadi di situ kita sekaligus umpamanya menentukan titik-titik layanan apa aja yang mesti kita perkuat IMS-nya, mana yang mesti VCT-nya, kenapa mesti di situ. Medan itu ‘kan jadi salah satu pusat percontohannya ya untuk program LKB, jadi kita berusaha meningkatkan kemampuan Puskesmas yang terkait LKB... kemudian layanan kesehatannya. Makanya kemarin kita ada juga semacam MoU antara layanan, LSM dan KPA... Dinkes itu untuk bagaimana agar dijaring LKB ini berjalan sebaik-baiknya.” (Tim Peneliti USU, 2014) c. Jaminan Kualitas Layanan Jaminan kualitas layanan HIV dan AIDS di layanan kesehatan umum diperlukan untuk memastikan kenyamanan, keamanan, dan kerahasiaan bagi ODHA dan popu lasi kunci ketika mengakses layanan. Jaminan kualitasnya dapat dilihat dari sejauh mana SOP layanan diterapkan, ketaatan terhadap petunjuk pelaksanaan, akreditasi, maupun survei kepuasan klien. Mekanisme pengawasan dan evaluasi serta penyediaan bimbingan teknis dari Dinkes juga sangat menentukan kualitas layanan. Upaya untuk mewujudkan kualitas layanan HIV dan AIDS bervariasi antarlayanan di daerah-daerah penelitian. Ada yang terjadi di tingkat internal layanan, ada pula di tingkat Dinkes. Di Surabaya, jaminan kualitas layanan di tingkat rumah sakit dilakukan dengan supervisi terhadap program atau kasus terlapor, misalnya RSUD dr. Soetomo melakukan supervisi internal saban tiga bulan sekali dengan mengadakan rapat tim untuk membahas program dan perkembangan kasus. Untuk perkembangan yang lebih bersifat jangka pendek, rumah sakit melakukan pertemuan dan diskusi saban hari Selasa. Kegiatan pengendalian kualitas serupa juga ditemukan di RSUD Dr. Soewandhi, di mana supervisi dilakukan pada layanan VCT setiap tiga bulan sekali untuk membahas kasus-kasus yang memerlukan perhatian khusus. Upaya lain untuk menjamin kualitas layanan ialah dengan mengukur kepuasan pasien terhadap layanan melalui survei kepuasan klien. Di RSUD dr. Soetomo Surabaya survei untuk tujuan ini telah dilakukan, tetapi di daerah lain seperti Makassar dan Deli Serdang, praktik pengukuran kepuasan ini masih belum umum khususnya untuk layanan terkait HIV dan AIDS. 82 • PKMK FK UGM
Sementara itu, pengawasan dan evaluasi serta bimbingan teknis dilakukan oleh Dinkes. Di Surabaya, pengawasan ditujukan per program, misalnya untuk program HR, program Aku Bangga Aku Tahu (ABAT), program CST, dan program PMTS. Kegiatan pengawasan dan evaluasi dilakukan setiap tiga bulan sekali atau kondisional jika dibutuhkan. Di Manokwari, Jayapura, dan Merauke, Dinkes juga melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap fasilitas layanan IMS dan VCT secara reguler selama dua tahun terakhir. Sementara di Medan dan Deli Serdang, pengawasan kualitas layanan unit pelayanan sektor swasta, pemerintah, dan LSM dilakukan di dinkes kota bekerjasama dengan KPA kota. Mekanisme serupa juga ditemukan di Badung dan Denpasar, rapat koordinasi yang difasilitasi oleh Dinkes Provinsi dan Kota untuk perbaikan layanan. Namun, Tim Peneliti Unud (2014) melaporkan bahwa proses pengawasan dan evaluasi masih dilakukan secara paralel sesuai dengan kebutuhan penyandang dana, tidak dilakukan sebagai satu kesatuan proses yang dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di lokasi penelitian. Dari uraian di atas terlihat bahwa mekanisme penjaminan kualitas lebih mudah dilakukan untuk program-program yang terkait dengan perawatan dan pengobatan serta sebagian layanan pencegahan yang dilakukan oleh layanan kesehatan. Namun, untuk penyediaan layanan pencegahan dan mitigasi dampak yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar layanan kesehatan seperti LSM maupun SKPD anggota KPAD selain Dinkes, mekanisme penjaminan kualitas layanan berlangsung di luar tanggung jawab Dinkes. Untuk program-program pencegahan yang dilakukan oleh LSM, mekanisme pengawasan dan evaluasinya dilakukan oleh masing-masing lembaga donor, terpisah dari sistem kesehatan. C.
Tingkat Integrasi Berdasarkan Dimensi Fungsi Sistem Kesehatan
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan tingkat integrasi masing-masing dimensi fungsi sistem kesehatan sebagaimana dirinci Tabel 7. Di semua daerah penelitian telah dihasilkan berbagai produk kebijakan lokal dalam berbagai level seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan walikota/ bupati dan berbagai surat keputusan yang berhubungan dengan penanggulangan HIV dan AIDS. Berbagai kebijakan ini diformulasikan dengan mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di pemda, sehingga bisa disimpulkan bahwa dimensi regulasi dan dimensi formulasi kebijakan telah terintegrasi penuh dengan sistem kesehatan. Namun, dalam implementasinya, ditemukan masih ada berbagai kendala termasuk kurangnya informasi kepada publik bagaimana kebijakan dijalan
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 83
kan. Publik menjadi sangat terbatasi untuk mengontrol program-program yang dilaksanakan di daerah, sehingga akuntabilitas kebijakan-kebijakan tersebut sangat lemah dan tidak memiliki daya tanggap yang tinggi terhadap kebutuhan publik. Ini berbeda dengan kegiatan di sektor lain yang didanai oleh APBD yang bisa diketahui pencapaiannya, walaupun memang tidak selalu mudah. Dengan demikian, dimensi akuntabilitas dan daya tanggap tidak terintegrasi. Tabel 7. Tingkat Integrasi berdasarkan Dimensi Fungsi Sistem Kesehatan Fungsi Sistem Kesehatan 1. Manajemen dan Regulasi
Dimensi
P
PDP
MD
1. Regulasi
+++
+++
+++
2. Formulasi Kebijakan
+++
+++
+++
+
+
+
+
NA
3. Akuntabilitas dan Daya Tanggap 2. Pembiayaan
4. Pengelolaan Sumber Pembiayaan
+
5. Penganggaran, Proporsi, Distribusi dan pengeluaran
+
+
+
6. Mekanisme pembayaran layanan
+
+
+
7. Kebijakan dan sistem manajemen
+
+
NA
8. Pembiayaan
+
++
NA
9. Kompetensi
+
+++
NA
4. Penyediaan Obat dan Perlengkapan Medik
10. Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi
+
+++
NA
11. Sumber daya
+
+++
NA
1. Sistem Informasi
12. Sinkronisasi sistem informasi
+
+
+
13. Diseminasi dan pemafaatan
+
+
+
2. Partisipasi Masyarakat
14. Partisipasi Masyarakat
+
+
+
++
++
++
3. Penyediaan layanan
16. Ketersediaan layanan
+++
+++
+++
17. Koordinasi dan rujukan
+++ +++
+
18. Jaminan kualitas layanan
++
+
3. SDM
15. Akses dan Pemanfaatan layanan
++
Keterangan: +++ = terintegrasi penuh; ++ = terintegrasi sebagian; + = tidak terintegrasi P = Pencegahan; PDP = Pengobatan, Dukungan dan Perawatan; MD = Mitigasi Dampak
84 • PKMK FK UGM
Semua dimensi dalam subsistem pembiayaan tidak terintegrasi. Di dimensi pengelolaan sumber pembiayaan, tidak ditemukan adanya mekanisme koordinasi atas berbagai sumber pembiayaan yang ada. Tidak ada koordinasi sumber pendanaan dari pusat dan MPI, di mana dana dari pusat bisa secara langsung dialokasikan kepada pihak LSM, KPAD ataupun Dinkes. Bappeda/Bappeko juga tidak melakukan prakiraan kebutuhan pendanaan program HIV dan AIDS lalu kemudian mengumpulkan berbagai sumber pendanaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga besaran penganggaran sangat fluktuatif tergantung ketersediaannya. Sementara sinkronisasi pengalokasian dana berdasarkan kebutuhan juga tidak berjalan. Pada dimensi pembayaran layanan kesehatan, mekanisme pembayaran layanan HIV dan AIDS masih berbeda dengan mekanisme pembayaran layanan kesehatan umum. JKN tidak menanggung pengobatan ARV karena masih ditanggung oleh program. JKN juga tidak menanggung serangkaian tes yang perlu dilalui sebelum inisiasi ARV (praARV) dan perawatan bagi pecandu narkoba. Pengelolaan SDM tidak terintegrasi karena ada sistem pengelolaan SDM HIV dan AIDS yang berjalan paralel dengan pengelolaan SDM kesehatan. Di semua lokasi penelitian, belum ada kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan SDM HIV dan AIDS di luar SDM kesehatan, seperti tenaga penjangkau, tenaga lapangan, manajer kasus, pendamping ODHA (buddies) yang kebanyakan dari LSM. Terkait pembiayaan SDM, tenaga kesehatan di layanan kesehatan pemerintah yang melakukan tugastugas pengobatan dibiayai melalui anggaran daerah untuk sektor kesehatan. Namun, di daerah yang masih didanai oleh MPI, tenaga kesehatan ini mendapat insentif tambahan apabila melakukan tugas terkait HIV dan AIDS. Ini mengakibatkan HIV dan AIDS dipandang sebagai tugas tambahan oleh tenaga kesehatan, sehingga tidak bisa dikatakan terintegrasi penuh. Pengaturan standar kompetensi teknis hanya terintegrasi untuk tenaga kesehatan yang melakukan layanan pengobatan. Tetapi, untuk layanan PP dan MD yang dilakukan oleh lebih banyak tenaga di luar tenaga kesehatan formal, tidak ada standar kompetensi yang ditetapkan. Fungsi penyediaan farmasi dan alat kesehatan dalam intervensi PDP telah terintegrasi dengan fungsi yang sama dalam sistem kesehatan. Kebijakan penyediaan, distribusi, dan penyimpanan alat kesehatan dan farmasi sudah sesuai dengan yang berlaku secara umum di sektor kesehatan. Namun, untuk alat pencegahan seperti kondom dan alat suntik steril tidak terintegrasi karena dari pengadaan sampai distribusi dan penyimpanannya tidak dilakukan oleh sektor kesehatan. Pembiayaan pun menunjukkan hal serupa di mana pembiayaan alat pencegahan ditanggung oleh MPI sementara obat ARV dan obat IO disediakan oleh APBN atau APBD.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 85
Sistem informasi merupakan salah satu fungsi kesehatan yang paling sulit untuk diintegrasikan sebab memang tidak ada lembaga di daerah yang bertanggung jawab untuk mengelola sistem informasi yang berbeda-beda. Sistem informasi sektor kesehatan seperti SIKDA dan SIMPUS yang ada di daerah sendiri tidak terintegrasi, sehingga menjadi sulit untuk mengintegrasikan sistem informasi program HIV dan AIDS yang juga sama-sama tidak sinkron satu dengan yang lain seperti SIHA, SINU, SIPKBI dan sebagainya. Akibatnya, pengumpulan data menjadi tidak terkoordinasi, hasilnya bervariasi dan sulit untuk dimanfaatkan. Untuk mengembangkan program dan kebijakan, survei tingkat populasilah yang cenderung digunakan oleh daerah dan itu pun sulit karena kepemilikan data-data tersebut bukan di daerah melainkan di pusat. Fungsi partisipasi masyarakat juga tidak terintegrasi karena berbeda dari sektor kesehatan di mana masyarakat sekedar diarahkan untuk memanfaatkan layanan. Dalam penanggulangan HIV dan AIDS, partisipasi masyarakat diarahkan untuk pengembangan layanan dan pelibatan dalam respons bersama. Meskipun demikian, partisipasi masyarakat tersebut masih lebih bersifat simbolik dan terbatas pada pelaksanaan di tingkat lapangan, belum untuk partisipasi strategis yang lebih bermakna dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program. Akses dan pemanfaatan layanan untuk pencegahan juga tidak terintegrasi, karena meskipun ODHA dan populasi kunci yang memiliki identitas bisa mengakses JKN, komponen pembiayaan yang ditanggung JKN itu sendiri masih terbatas pada pengobatan IO. Obat maupun alat pencegahan yang masih ditanggung program tidak masuk dalam skema pembiayaan yang ditanggung oleh JKN. Terakhir, ketersediaan layanan cenderung sudah lengkap dan memenuhi rentang pelayanan mulai dari program pencegahan, PDP, dan MD. Layanan tersedia di fasilitas primer dan sekunder, serta sudah ada koordinasi dan rujukan yang berjalan dengan baik antara tenaga di dalam dan di luar sektor kesehatan, misalnya antara petugas penjangkau dengan petugas kesehatan di puskesmas. Dengan demikian, baik dimensi ketersediaan layanan maupun koordinasi dan rujukan sudah terintegrasi. Sementara untuk dimensi kualitas layanan, sektor kesehatan lebih mengontrol penjaminan kualitas yang terkait dengan perawatan dan pengobatan serta sebagian layanan pencegahan yang dilakukan oleh layanan kesehatan. Ini tidak berlaku untuk penyediaan layanan pencegahan dan mitigasi dampak yang dilakukan oleh pihakpihak di luar layanan kesehatan seperti LSM, sehingga dimensi ini hanya terintegrasi sebagian.
86 • PKMK FK UGM
D. Tingkat Intregasi Berdasarkan Jenis Intervensi Apabila dilihat berdasarkan jenis intervensinya, gambaran tingkat integrasi fungsi-fungsi sistem kesehatan bisa dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tingkat Integrasi Program HIV dan AIDS berdasarkan Jenis Intervensi No
Dimensi
Pencegahan
Pengobatan, Dukungan dan Perawatan
Mitigasi Dampak
1
Regulasi
+++
+++
+++
2
Formulasi Kebijakan
+++
+++
+++
3
Akuntabilitas
+
+
+
4
Pengelolaan Sumber Pembiayaan
+
+
NA
5
Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran
+
+
+
6
Mekanisme Pembayaran Layanan
+
+
+
7
Ketersediaan Layanan
+++
+++
+++
8
Koordinasi dan Rujukan
+++
+++
++
9
Jaminan Kualitas Layanan
++
++
+
10 Kebijakan dan Sistem Manajemen SDM
+
+
NA
11 Pembiayaan SDM
+
++
NA
12 Kompetensi SDM
+
+++
NA
13 Regulasi Penyediaan, Penyimpanan, diagnostik dan terapi
+
+++
NA
14 Sumber daya
+
+++
NA
15 Sinkronisasi Sistem Informasi
+
+
+
16 Diseminasi dan Pemanfaatan
+
+
+
17 Partisipasi Masyarakat
+
+
+
18 Pemanfaatan Layanan
++
++
++
Sumber: Laporan Tim Peneliti Universitas (2014)
Keterangan: +++ = Terintegrasi penuh; ++ = Terintegrasi sebagian; + = Tidak terintegrasi
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 87
1. Tingkat Integrasi untuk Program Pencegahan Tabel 8 menggambarkan bahwa program pencegahan secara umum tidak terintegrasi, di mana hanya ada 4 dari 18 dimensi yang memiliki integrasi penuh antara program dengan sistem kesehatan, 2 dimensi terintegrasi sebagian, dan 12 dimensi fungsi sistem kesehatan lainnya tidak terintegrasi. Dimensi regulasi dan formulasi kebijakan untuk intervensi pencegahan terin tegrasi penuh karena regulasi di tingkat daerah telah mengatur intervensi pence gahan, dan diformulasikan sesuai dengan proses penyusunan kebijakan daerah. Dimensi ketersediaan layanan juga sudah terintegrasi penuh karena layanan pence gahan sudah menjadi bagian dari sistem kesehatan umum yang didukung oleh sektor non-kesehatan seperti LSM, kelompok dukungan, kader kesehatan, dan tokoh masyarakat. Program pencegahan yang disediakan di fasilitas kesehatan seperti VCT, PITC, LASS, PTRM, dan PMTS telah menjadi bagian dari layanan fasilitas kesehatan primer. Demikian juga dimensi koordinasi dan rujukan terintegrasi penuh karena koordinasi dan rujukan menjadi unsur pokok dari pendekatan LKB yang telah dilaksanakan di sebagian besar daerah penelitian melalui mekanisme koordinasi rutin antar-pemangku kepentingan lintas-sektor yang terdiri atas KPA, Dinkes Kota, rumah sakit, fasilitas layanan primer, LSM, KDS, tokoh, dan kader kesehatan. Dimensi yang terintegrasi sebagian mencakup jaminan kualitas layanan dan pemanfaatan akses layanan. Secara umum sudah ada mekanisme jaminan kualitas layanan melalui sertifikasi dan berbagai pelatihan untuk tenaga kesehatan yang terli bat dalam program-program pencegahan. Misalnya, tenaga kesehatan yang mela kukan peran konseling mendapatkan pelatihan dan pendidikan dari Kemenkes. Selain pelatihan, ada pula berbagai panduan yang bertujuan untuk memastikan petugas kesehatan mampu melakukan tugasnya sesuai standar kompetensi yang ditetapkan. Meskipun demikian, sebagian besar tenaga non-kesehatan yang mayoritas melakukan program-program pencegahan tidak bersertifikasi. Secara umum, tenaga non-kese hatan yang bekerja dalam intervensi pencegahan melakukan tugasnya dengan basis keahlian yang diperoleh dari pengalaman lapangan serta melalui pelatihan yang diberikan oleh Dinkes dan MPI. Dimensi pemanfaatan layanan juga terintegrasi sebagian. Obat dan alat pence gahan memang sudah bisa diakses secara gratis oleh populasi kunci karena dibiayai oleh pemerintah melalui dana program, tetapi akses melalui JKN tidak dimungkinkan karena alat pencegahan seperti kondom dan jarum suntik serta metadon tidak masuk dalam skema pembiayaan yang ditanggung oleh JKN.
88 • PKMK FK UGM
Pembiayaan untuk pencegahan yang dianggarkan melalui banyak sektor di luar kesehatan menyebabkan pembiayaan tidak terintegrasi ke dalam sistem kesehatan. Sumber pendanaan yang berasal dari MPI sulit untuk dikoordinasikan. Alokasi pembiayaannya untuk program-program pencegahan yang dibuat berdasarkan peren canaan serta prioritas dari MPI, bukan perencanaaan dan prioritas sektor kesehatan. Program-program pencegahan yang dibiayai oleh MPI juga tidak ditanggung oleh JKN. Pengelolaan SDM-nya juga tidak terintegrasi karena untuk program-program pencegahan ada banyak penyedia layanan di luar tenaga kesehatan pemerintah yang terlibat, seperti LSM, KDS, dan kader masyarakat. Sektor kesehatan tidak melakukan koordinasi bagi SDM non-kesehatan ini, baik dari aspek regulasi, pembiayaan maupun standar kompetensi. Hal yang sama untuk fungsi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi baik dari dimensi regulasi dan sumber daya. Belum adanya regulasi untuk penga turan logistik pencegahan dan skema pembiayaannya menjadikan dimensi logistik pencegahan tidak menjadi bagian dari sistem kesehatan. Pembiayaan untuk penga daan logistik terkait pencegahan seperti metadon, kondom, pelicin dan alat suntik masih mengandalkan MPI. 2. Tingkat Integrasi untuk Program PDP Dibanding program pencegahan, PDP cenderung lebih terintegrasi ke dalam sistem kesehatan karena telah memanfaatkan infrastruktur dan sumber daya kese hatan umum. Selain itu, peran tradisional sektor kesehatan memang pada aspek kuratif sehingga intervensi yang mengarah pada kontrol medis cenderung lebih mudah untuk diintegrasikan. Dari 18 dimensi, ada 7 yang terintegrasi penuh, 3 terintegrasi sebagian, dan sisanya (8 dimensi) tidak terintegrasi. Sama seperti program pencegahan, dimensi regulasi dan formulasi kebijakan pada PDP terintegrasi penuh karena aspek regulasi dan formulasi kebijakan tentang PDP sudah menjadi bagian dari sistem penanggulangan penyakit menular lainnya. Di luar fungsi manajemen dan regulasi ini, semua dimensi yang terintegrasi ialah dimensi-dimensi yang berhubungan erat dengan kompetensi utama sektor kesehatan saat ini, yaitu dalam pengobatan. Pertama, fungsi penyediaan layanan PDP terinte grasi penuh karena disediakan di fasilitas kesehatan sekunder dengan prosedur pem berian layanan yang diperlakukan sebagaimana penyakit lainnya. Kedua, layanan pengobatan tersebut disediakan oleh SDM kesehatan yang standar kompetensinya diatur oleh sistem kesehatan. Ketiga, regulasi dan sumber daya yang digunakan untuk pengadaan, distribusi, dan penyimpanan obat serta alat kesehatan untuk layanan PDP telah menggunakan mekanisme dalam sistem kesehatan. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 89
Tiga dimensi dari PDP yang terintegrasi sebagian yaitu jaminan kualitas layanan, pembiayaan SDM, dan akses pemanfaatan layanan. Jaminan kualitas layan an untuk PDP relatif lebih terintegrasi daripada intervensi pencegahan karena melibatkan tenaga kesehatan saja sehingga lebih mudah dikoordinasikan dalam sistem kesehatan. Pembiayaan SDM untuk intervensi PDP juga terintegrasi sebagian, karena walaupun layanan sudah diberikan oleh SDM kesehatan tetapi di sebagian besar daerah mereka masih mendapatkan insentif tambahan untuk layanan PDP yang mereka lakukan. Akibatnya, timbul persepsi bahwa layanan HIV dan AIDS adalah “tugas tambahan”. Sedangkan untuk dimensi akses pemanfaatan layanan tidak terintegrasi penuh karena meskipun pengobatan ARV dapat diakses secara gratis dan JKN dapat digunakan untuk membiayai IO, tetapi ada komponen-komponen yang tidak ditanggung seperti serangkaian tes sebelum inisiasi ARV (pra-ARV). Ini turut memengaruhi pemanfaatan layanan oleh ODHA dan populasi kunci. 3.
Tingkat Integrasi untuk Program Mitigasi Dampak
Untuk program mitigasi dampak hanya sangat sedikit dimensi yang terintegrasi penuh, yakni dimensi regulasi dan formulasi kebijakan serta dimensi ketersediaan layanan. Dari segi regulasi, program mitigasi dampak sudah diatur sehingga terinte grasi, demikian pula dengan mekanisme formulasi kebijakan yang mengikuti meka nisme penyusunan kebijakan yang berlaku di pemda. Dimensi ketersediaan layanan juga terintegrasi sebab telah tersedia layanan-layanan mitigasi dampak meliputi kegiatan-kegiatan pengembangan ketrampilan bagi ODHA dan populasi kunci, pemberian bantuan makanan tambahan, dukungan pengembangan usaha ekonomi produktif, serta bentuk-bentuk jaminan sosial. Sebagaimana dibahas sebelumnya, program-program ini disediakan oleh instansi di luar Dinkes. Umumnya Dinas Sosial yang melakukan program-program mitigasi dampak. Beberapa di antaranya dilakukan oleh lembaga seperti BNN, ada pula program-program yang diselenggarakan oleh masyarakat langsung seperti kelompokkelompok gereja di Papua. Dinkes sendiri belum mengutamakan program-program di luar pengobatan dan perawatan, sehingga masih kurang melakukan kegiatankegiatan yang terkait dengan mitigasi dampak. Akibatnya, program mitigasi dampak berkembang di luar fungsi-fungsi sistem kesehatan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa banyak dimensi fungsi sistem kesehatan yang tidak terintegrasi. Dimensi penganggaran dan mekanisme pembayaran layanan, misalnya, tidak terintegrasi karena umumnya program-program di atas dikelola dan ditanggung pembiayaannya oleh Dinas Sosial. Demikian pula dengan dimensi jaminan kualitas layanan, tidak terintegrasi karena tidak ada pengawasan kualitas 90 • PKMK FK UGM
layanan yang dilakukan oleh sistem kesehatan terhadap program-program mitigasi dampak. Sama halnya dengan sistem informasi, di mana program-program tersebut tidak dilaporkan di dalam mekanisme pelaporan yang digunakan di dalam sistem kesehatan. E.
Tingkat Integrasi Berdasarkan Wilayah Penelitian
Tingkat integrasi juga bisa dilihat berdasarkan wilayah penelitian. Tabel 9 merinci gambaran tingkat integrasi untuk setiap daerah penelitian. Tabel 9. Tingkat Integrasi Menurut Daerah Penelitian Kabupaten/Kota
P
PDP
MD
Deli Serdang
+
++
+
Medan
+
+
+
Surabaya
+
++
+
Sidoarjo
+
++
+
Denpasar
+
++
+
Badung
+
++
+
Makassar
+
++
+
Pare-pare
+
++
+
Manokwari
++
++
+
Jayapura
++
++
+
Merauke
++
++
+
Catatan: ++ = Terintegrasi Sebagian + = Tidak terintegrasi
Tabel 9 menunjukkan pola integrasi berdasarkan wilayah. Ada 3 wilayah yang cenderung lebih terintegrasi dibanding 8 daerah lainnya, yakni Jayapura, Merauke, dan Manokwari. Ketiga wilayah ini terintegrasi sebagian untuk intervensi pence gahan maupun PDP, dengan jumlah dimensi yang terintegrasi berkisar antara 6–10 dimensi untuk kedua jenis intervensi tersebut. Dibanding daerah-daerah lainnya, ketiga daerah ini memiliki lebih banyak dimensi yang terintegrasi karena semenjak mundurnya Global Fund sebagai salah satu MPI yang paling dominan pada tahun 2013, pemda sudah lebih banyak melakukan perannya dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 91
Delapan wilayah di luar Papua yang cenderung kurang terintegrasi meliputi Medan, Deli Serdang, Surabaya, Sidoarjo, Denpasar, Badung, Makassar, dan Parepare. Di daerah-daerah ini, program pencegahan tidak terintegrasi karena selama ini masih menggantungkan pada dukungan Global Fund, seperti program LASS serta penyediaan kondom dan pelicin untuk kelompok penasun. Sedangkan untuk program PDP relatif lebih terintegrasi karena di semua wilayah telah memanfaatkan sumber-sumber pendanaan dari APBN untuk pengadaan obat ARV. Selain itu, mekanisme implementasi program PDP telah menggunakan infrastruktur sektor kesehatan yang ada termasuk menggunakan sumber daya kesehatan yang memiliki standar kompetensi kesehatan yang berlaku. Sementara di seluruh wilayah penelitian, intervensi mitigasi dampak tidak terintegrasi karena dilaporkan bahwa program mitigasi dampak di sebagian besar daerah penelitian lebih banyak dilakukan oleh Dinas Sosial. Program-program yang dilakukan termasuk pelatihan ketrampilan, pemberian bantuan makanan tambahan, dan dukungan pengembangan usaha dan jaminan sosial yang pada dasarnya dinilai bukan bagian dari kerjanya sektor kesehatan. Meskipun demikian, ada juga pemda (Provinsi Papua dan Papua Barat melalui dana Otsus) yang telah menganggarkan pembiayaan untuk rujukan khususnya biaya transportasi dan biaya menunggu bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil untuk mengakses layanan obat ARV di Rumah Sakit/Puskesmas Rujukan. Gambaran tingkat integrasi di tingkat daerah ini semakin meyakinkan bahwa PDP cenderung lebih memungkinkan untuk diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan di daerah daripada dua intervensi lainnya. Gambaran ini juga mempertegas bahwa PP dalam penanggulangan HIV dan AIDS kemungkinan dianggap sebagai ‘tambahan kerja’ dari peran-peran tradisional sektor kesehatan dalam upaya kuratif. Dalam skala sistem kesehatan, upaya PP sebenarnya masih menjadi isu tersendiri sehingga dalam RPJMN 2015–2019 ditekankan bahwa sektor kesehatan perlu memrioritaskan upaya-upaya tersebut di tingkat pelayanan kesehatan dasar. F.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Integrasi di Daerah
Penelitian ini menemukan bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS kurang terintegrasi ke dalam sistem kesehatan daerah. Tingkat integrasi program ke dalam sistem kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut analisis Atun et al. (2010) faktor yang memengaruhi termasuk konteks politik, ekonomi, sosial dan budaya serta karakteristik dari sistem kesehatan itu sendiri. Interaksi antar faktorfaktor tersebut bisa menciptakan kesempatan atau hambatan, dan akan terlihat pada bagaimana para pemangku kepentingan strategis di daerah saling berelasi satu sama 92 • PKMK FK UGM
lain. Para pemangku kepentingan ini termasuk penguasa politik daerah, aktor dalam sistem kesehatan, dan aktor dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Mengikuti kerangka tersebut, faktor-faktor yang berpotensi memengaruhi integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan bisa diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Kuat atau lemahnya sistem kesehatan di tingkat daerah akan memengaruhi inte grasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Dalam analisis tingkat integrasi tersebut, diidentifikasi bahwa sejumlah fungsi sistem kesehatan di tingkat daerah belum berjalan secara optimal, misalnya dalam fungsi pembiayaan kesehatan, SDM, dan pengelolaan informasi strategis. Ini misalnya sejalan dengan hasil tinjauan sektor kesehatan yang dilakukan pada tahun 2014 (AIPHSS, 2014). Ketika fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang belum kuat, justru kemungkinan hasil yang dicapai selama ini malah semakin memburuk. Oleh sebab itu, pilihan untuk melakukan integrasi atau tidak akan bergantung pada kesiapan dari sistem kesehatan itu sendiri. Jika fungsi kesehatan daerah tidak baik maka akan menjadi faktor penentu tingkat integrasi program HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang ada. Secara umum sistem kesehatan di Indonesia belum berfungsi secara baik seperti hasil tinjauan AIPHSS (2014). 2. Diterimanya upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai program daerah juga bergantung pada komitmen pemda. Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa sebagian besar pemda cenderung membangun komitmen politik yang bersifat normatif dalam bentuk peraturan atau kebijakan. Tetapi, seperti halnya gejala umum di negara-negara berkembang, persoalan pembangunan bukan terletak pada kapasitas menyusun kebijakan, melainkan pada kapasitas untuk meng implementasikannya (Pritchett, 2014). Oleh karena itu, hambatan-hambat an operasionalisasi kebijakan yang telah ditetapkan di tingkat daerah menjadi isu yang selalu berulang disampaikan oleh informan dalam penelitian ini dari berbagai daerah. Tentunya dengan situasi seperti ini menjadi sulit untuk meng harapkan adanya komitmen operasional yang tinggi guna mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di tingkat daerah. Situasi ini ditandai dengan rendahnya kapasitas KPAD untuk melakukan advokasi terhadap pelaksanaan komitmen politik tersebut karena kedudukannya bukan sebagai SKPD dan bersifat ad hoc. Tidak mengherankan jika pemain utama dalam perencanaan dan anggaran (Bappeda dan DPRD) tidak memberikan perhatian yang lebih besar kepada penanggulangan HIV dan AIDS di daerahnya.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 93
3. Adanya peraturan atau hukum di luar sektor kesehatan yang membatasi popu lasi kunci untuk mengakses pelayanan kesehatan seperti Perda Pekat, Anti Prostitusi atau Ketertiban Umum akan menjadi perdebatan di antara para pemangku kebijakan di tingkat daerah. Pada satu sisi, ada argumentasi bahwa perda-perda tersebut untuk melindungi masyarakat umum, tetapi pada sisi yang lain ada kebutuhan untuk mengontrol penyakit. Solusi yang dipilih tentunya yang lebih populis daripada perda penanggulangan HIV dan AIDS. Atau, jika penanggulangan HIV dan AIDS diakomodasi, kegiatan-kegiatannya harus disin kronisasikan dengan pembatasan-pembatasan yang diatur dalam perda ketertiban umum tersebut. 4. Fungsi dan peran pemangku kepentingan memengaruhi integrasi upaya penang gulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Komitmen politik para pemangku kepentingan kunci secara formal tanpa diikuti oleh komitmen operasional susah menjadikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai prioritas daerah. Selain itu, dominasi peran pemerintah pusat secara administratif dan teknis menjadikan program upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai penghambat integrasi dengan sistem kesehatan di daerah. Sikap pemerintah pusat yang masih menjadi perencana dan pemegang kendali pembiayaan menjadi penghambat penerimaan dan tingkat komitmen pemda terhadap upaya penang gulangan HIV dan AIDS. Akibatnya, upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih bersifat vertikal dan daerah cenderung menjadi pelaksana saja. 5. Dalam pemetaan pemangku kepentingan strategis di daerah teridentifikasi bahwa MPI merupakan aktor yang berkepentingan dan bersumber daya tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Di satu sisi ini sangat mendorong terlaksananya program-program di daerah. Tetapi, di sisi lain, programnya yang bersifat vertikal khususnya dalam aspek administrasi bisa menghambat upaya integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke sistem kesehatan di tingkat daerah karena terbatasnya kontrol dari dinas kesehatan atau KPAD atas perencanaan dan anggaran dari MPI di daerah. Penelitian ini telah mendokumentasikan bahwa berakhirnya MPI di suatu wilayah (Papua dan Papua Barat) telah menjadi sebuah kesempatan bagi pemda untuk lebih memperhatikan dan bertanggung jawab terhadap penanggulangan HIV dan AIDS dengan menggali berbagai sumber daya yang tersedia di wilayahnya, meskipun program yang dikembangkan tidak sebesar dan seluas yang dilakukan pada saat MPI masih bekerja di wilayah tersebut.
94 • PKMK FK UGM
6. Dalam analisis tingkat integrasi telah ditunjukkan bahwa intervensi PDP cenderung lebih terintegrasi di berbagai wilayah penelitian dibandingkan dengan intervensi pencegahan dan mitigasi dampak. Situasi ini menyiratkan bahwa integrasi akan lebih dimungkinkan bagi intervensi yang bersifat kuratif karena lebih sesuai dengan karakteristik peran sektor kesehatan selama ini. Kegiatan dalam PDP cenderung didominasi oleh hubungan tenaga kesehatan dan pasien untuk hal-hal yang bersifat medis di mana berbagai pedoman atau SOP perawatan dan pengobatan telah tersedia. Kompleksitas intervensi ini menjadi jauh lebih sederhana daripada intervensi pencegahan yang harus memperhatikan aspek sosial dan perilaku yang relatif sulit untuk diantisipasi serta melibatkan lintas-sektor. Oleh karena itu, penerimaan aktor di sektor kesehatan terhadap kompleksitas intervensi dalam penanggulangan HIV dan AIDS juga berpengaruh terhadap tingkat integrasi (bandingkan dengan kesimpulan Atun et al., 2010). G. Hubungan antara Integrasi dan Efektivitas Program Penanggulangan HIV dan AIDS Pada bagian sebelumnya telah dibahas bagaimana interaksi antara karakteristik permasalahan HIV dan AIDS, aktor-aktor di dalamnya, konteks, serta pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan sendiri menentukan tingkat integrasi penyediaan layanan kesehatan, baik dalam aspek pencegahan, perawatan dan pengobatan, dan mitigasi dampak. Integrasi sendiri bukan merupakan tujuan, melainkan sebuah cara untuk mencapai efektivitas penyediaan layanan kesehatan. Oleh sebab itu, untuk menilai apakah integrasi tersebut efektif atau tidak, diperlukan pengukuran kinerja pelayanan kesehatan. Untuk menjelaskan bagaimana tingkat integrasi berpengaruh pada efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS, dilakukan analisis dengan cara sebagai berikut: 1. Menggunakan tabel analisis tingkat integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di mana subsistem penyediaan layanan terinte grasi penuh untuk pencegahan dan PDP. 2. Dengan menggunakan kerangka konseptual dan hasil analisis integrasi, maka proxy untuk mengukur efektivitas menggunakan konteks, peran para pemangku kepentingan, dan tingkat integrasi. 3. Kinerja penyediaan layanan yang diukur efektivitasnya ialah output berupa cakupan dan outcome berupa perubahan perilaku berisiko. 4. Data cakupan menggunakan laporan Kemenkes Triwulan III tahun 2014; dan untuk perubahan perilaku populasi kunci di lokasi penelitian digunakan data STBP 2011. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 95
5. Untuk melihat bagaimana integrasi bisa memprediksi efektivitas maka dilakukan analisis kinerja program di daerah yang subsistemnya banyak terintegrasi. Efektifitas kinerja pelayanan kesehatan yang diukur di sini ada dua. Pertama, dari segi cakupan, yakni apakah layanan-layanan yang tersedia dimanfaatkan oleh kelompok sasaran guna memenuhi kebutuhan penerima manfaat. Persentase cakupan pencegahan tersebut dibandingkan dengan target nasional yang mencapai 80% untuk menilai apakah kegiatan yang dilakukan telah memenuhi target yang diharapkan atau belum. Kedua, dari segi perubahan perilaku, yakni apakah layananlayanan yang ada mampu membuat populasi kunci memiliki perilaku yang tidak membuat dirinya rentan terhadap penularan HIV dan AIDS, seperti memakai kondom secara konsisten setiap kali berhubungan seks. Selain itu, aspek PDP yang diukur ialah seberapa jauh layanan kesehatan yang ada mampu untuk meningkatkan jumlah ODHA on treatment untuk pengobatan ARV. Data STBP 2011 digunakan dengan pertimbangan bahwa ia menggambarkan kondisi per kota/kabupaten paling lengkap, walaupun tidak semua kota/kabupaten daerah penelitian tercakup di dalamnya. Data yang tersedia paling lengkap yakni pada populasi WPSL dan WPSTL, sementara di beberapa daerah data untuk LSL dan LBT tidak tersedia. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data WPS sebagai populasi kunci, dengan mengambil rerata cakupan antara WPSL dan WPSTL. Selain itu, terdapat beberapa indikator cakupan yang berbeda-beda di STBP untuk pengukuran cakupan7 sehingga untuk mengakomodir proses analisis, indikator-indikator ini dibuat reratanya dan disebut sebagai cakupan keterpaparan program. Berdasarkan data STBP 2011 didapat 48,5%, Jawa Timur 43,1%, Sumatera Utara 33,9%, dan Sulawesi Selatan 18,5%. Data ini menunjukkan bahwa cakupan penjangkauan WPS belum memenuhi target nasional, di mana hanya Bali yang mendekati target, yakni 72,9% dari 80% target nasional. Berdasarkan penilaian tingkat integrasi per dimensi ditemukan bahwa Deli Serdang, Medan, Surabaya, dan Denpasar memiliki 5 dimensi terintegrasi penuh dari 18 dimensi subsistem kesehatan, sedangkan Jayapura memiliki 7 dimensi terintegrasi penuh untuk program pencegahan. Untuk cakupan keterpaparan program, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Jayapura yang tingkat integrasinya 7, hasil cakupannya lebih tinggi daripada daerah lain yang integrasinya hanya 5. Namun, pada daerah-daerah yang tingkat integrasinya 5 sendiri variasi hasil cakupannya cukup besar, yaitu antara 28% sampai 67,1%. Dengan demikian, walaupun ada 7 Indikator ini meliputi data presensi pertemuan/diskusi, mengunjungi klinik untuk check up IMS selama sebulan terakhir, frekuensi dikontak PL, dll. Dari indikator yang berbeda-beda ini akan dipilih satu dengan capaian tertinggi yang akan digunakan sebagai indikator keterpaparan program yang dibandingkan dengan penjangkauan pada setiap populasi kunci.
96 • PKMK FK UGM
kecenderungan peningkatan efektivitas sesuai jumlah tingkat integrasi, hubungan tersebut masih belum kuat. Sedangkan untuk perubahan perilaku, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada pola yang linear antara peningkatan efektivitas dengan peningkatan jumlah dimensi yang terintegrasi. Di Medan, pada tingkat integrasi 5, perubahan perilakunya 51,5%, lebih tinggi daripada Jayapura yang perubahan perilakunya 48,8% padahal ada 7 dimensi yang terintegrasi. Diagram 6 mengga bungkan perbandingan antara tingkat integrasi dengan cakupan program pencegahan (keterpaparan program pada WPS) dan tingkat perubahan perillaku. Diagram 6. Hubungan Integrasi dengan Efektivitas: Cakupan Keterpaparan Program dan Perubahan Perilaku dibandingkan Tingkat Integrasi
Untuk mengukur pengaruh integrasi terhadap layanan PDP, penelitian ini melihat sejauh mana tingkat integrasi memengaruhi efektivitas PDP khususnya terkait dengan jumlah ODHA yang on treatment pengobatan ART. Data Kemenkes (2014) tidak merinci jumlah ODHA on treatment berdasarkan kota/kabupaten, sehingga data yang dipakai ialah data cakupan provinsi. Diagram 7 menunjukkan hasil analisis jumlah ODHA on treatment dibandingkan dengan tingkat integrasi. Dari diagram 7 terlihat bahwa persentase ODHA on treatment ART tidak berkorelasi dengan hasil pengukuran tingkat integrasi. Variasi tingkat integrasi dengan jumlah on treatment ini sangat besar dan tidak menunjukkan adanya pola Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 97
yang mengindikasikan bahwa tingkat integrasi di sebagian besar daerah penelitian berkorelasi dan berkontribusi pada tingkat efektivitas program. Diagram 7. Hubungan Integrasi dan Jumlah ODHA On Treatment (ARV)
Tidak konsistennya tingkat integrasi dengan perubahan cakupan serta perubahan perilaku dengan jumlah ODHA on treatment turut dipengaruhi oleh kinerja dari sistem kesehatan di tingkat daerah. Rendahnya tingkat integrasi terjadi karena berbagai faktor yang telah dijelaskan bagian sebelumnya, diantaranya belum adanya dukungan kebijakan operasional dan rendahnya peran pemangku kepentingan kunci untuk mendorong pemda memprioritaskan upaya pananggulangan HIV dan AIDS. Dalam kondisi begini, sulit bagi upaya program penanggulangan HIV dan AIDS untuk mencapai target capaian yang ditentukan. Misalnya, ketiadaan dukungan operasional untuk memenuhi kebutuhan SDM HIV dan AIDS non-kesehatan seperti tenaga penjangkau menjadi salah salah satu tantangan dalam meningkatkan cakupan penjangkauan untuk populasi kunci. Demikan juga halnya dengan tidak adanya kebijakan operasional pembiayaan, maka sulit untuk meningkatkan kinerja program HIV dan AIDS di daerah. Di sisi lain, integrasi diasumsikan bisa berkontribusi terhadap efektivitas program apabila program tersebut diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang juga efektif. Namun, ada indikasi bahwa sistem kesehatan sendiri belum mendukung terintegrasinya upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Akibatnya, integrasi yang terjadi pada sistem kesehatan yang ada saat ini belum mencukupi untuk menjelaskan secara memadai bagaimana kontribusinya dan mekanismenya dalam memperkuat efektifitas program HIV dan AIDS.
98 • PKMK FK UGM
Kesimpulan dan Rekomendasi
V
A. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk memetakan permasalahan kebijakan tentang keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia dengan melihat: (1) Sejauh mana kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia terintegrasi ke dalam sistem kesehatan yang berlaku; (2) Dalam komposisi dan bentuk seperti apa pendekatan vertikal bisa diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan agar mampu meningkatkan efektivitas dan keberlanjutannya dengan memperhatikan fungsi-fungsi sistem kesehatan, karakteristik para aktor yang terlibat dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV dan AIDS, serta konteks eksternal di mana interaksi tersebut terjadi baik dari aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Melalui serangkaian penelitian yang sudah dilakukan oleh Tim Peneliti Universitas, kesimpulan yang bisa ditarik mengacu pada permasalahan dan pertanyan-pertanyaan yang dikembangkan ialah sebagai berikut: 1. Pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerah dipengaruhi oleh konteks politik daerah, dukungan eksternal, dan situasi epidemi. Konteks politik daerah memengaruhi apakah isu HIV dan AIDS akan diprioritaskan atau tidak karena ia bukanlah isu populis. Semua daerah telah mengembangkan kebijakan dan melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, tetapi implementasinya belum optimal. Regulasi masih belum memiliki akuntabilitas dan daya tanggap, terbukti dengan belum adanya kebijakan operasional untuk pelaksanaan regulasi yang ada sehingga pembiayaan dan penyediaan SDM HIV dan AIDS oleh pemda masih minim. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 99
Penyusunan kebijakan dan inisiasi program HIV dan AIDS dilakukan oleh pemerintah pusat dengan dukungan MPI sehingga programnya bersifat vertikal. Situasi epidemi di daerah yang menjadi pusat perekonomian dengan ketersediaan infrastruktur layanan kesehatan yang baik menarik perhatian MPI untuk menyelenggarakan program HIV dan AIDS di sana. Namun, pemda belum memanfatkan peluang inisiasi MPI ini untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. 2. Pemangku kepentingan dengan kekuasaan dan kepentingan tinggi (Dinkes, MPI, dan Kepala Daerah) memengaruhi kepedulian terhadap permasalahan HIV dan AIDS di tingkat daerah. Kepala Daerah yang juga menjabat sebagai ketua KPAD menjadi penentu apakah upaya penanggulangan HIV dan AIDS menjadi prioritas daerah atau tidak. Peran Kepala Daerah di daerah penelitian antara lain membuat regulasi tentang HIV dan AIDS sebagai landasan hukum program penanggulangan. Namun, pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS di daerah belum menjadi perhatian kepala daerah karena dukungan pelaksanaannya belum optimal, seperti penyediaan pendanaan dan SDM HIV dan AIDS. Dinkes sebagai penanggung jawab sektor kesehatan mempunyai otoritas penuh untuk melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Otoritas ini akan optimal jika mendapat dukungan dari Kepala Daerah yang konsisten mengimplementasikan regulasi terkait HIV dan AIDS. Tetapi, saat ini sumber daya dan sumber dana HIV dan AIDS di Dinkes masih bergantung pada MPI. Akibatnya, peran MPI dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih dominan. Dominasi MPI dan pemerintah pusat mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan menyebabkan program penanggulangan HIV dan AIDS tidak terintegrasi ke dalam sistem kesehatan daerah. 3. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS cenderung belum terintegrasi karena bersifat sentralistik sehingga menyebabkan peran daerah menjadi minimal. a. Meski ada berbagai jenis regulasi di tingkat daerah tetapi implementasinya belum berjalan dengan optimal. Regulasi sebagai salah satu dimensi dalam subsistem kesehatan akan menjadi landasan formal untuk mendorong integrasi jika dilaksanakan dengan konsisten. Namun, implementasi regulasi HIV dan AIDS di daerah belum konsisten, seperti tampak dari kecilnya sumber dana dan sumber daya yang disediakan pemerintah untuk program HIV dan AIDS. Selain itu, pelaksanaan regulasi tergantung pada kemauan kepala daerah terhadap upaya penanggulangan AIDS.
100 • PKMK FK UGM
b. Pembiayaan sebagian besar masih bergantung pada pusat dengan kewenangan pengelolaan yang minimal dari daerah. Program HIV dan AIDS yang bersifat vertikal dengan dukungan dana pemerintah pusat dan MPI direspons oleh pemda dengan persepsi bahwa urusan HIV dan AIDS adalah urusan pusat dan MPI. Karena sudah ada dana pusat maka pemda tidak mengalokasikan lagi. Ini berkaitan dengan keterbatasan pemberian wewenang administratif pengelolaan sumber dana dan sumber daya yang berasal dari pemerintah pusat ke pemda. Artinya, wewenang perencanaan, pengelolaan, dan alokasi pendanaan dan penentuan target program masih dipegang pemerintah pusat dan MPI. c. Dualisme pengelolaan SDM antara tenaga HIV dan AIDS dan tenaga sektor kesehatan masih dominan pada intervensi PDP dan terlebih pada pence gahan. Belum ada kebijakan untuk menjamin ketersediaan SDM HIV dan AIDS non-medis di penyedia layanan yang dapat digunakan untuk mengatur mekanisme perekrutan, standar kompetensi, dan pembiayaannya. Akibatnya, pemenuhan SDM HIV dan AIDS non-medis berjalan sendiri dan tidak terintegrasi dengan mekanisme pengadaan SDM kesehatan. d. Sistem informasi strategis HIV dan AIDS belum menjadi bagian sistem pengawasan dan evaluasi program kesehatan daerah sehingga belum optimal dimanfaatkan untuk perencanaan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Sistem informasi strategis HIV dan AIDS dikembangkan oleh banyak pihak sesuai kebutuhan programnya. Dinkes belum memainkan perannya sebagai otoritas tertinggi sektor kesehatan di daerah untuk menyinkronisasikan semua informasi HIV dan AIDS ke dalam satu sistem strategis kesehatan daerah. Pengawasan dan evaluasi program HIV dan AIDS dilakukan oleh pemberi dana program dan hasilnya tidak dikoordinasikan ke Dinkes sehingga pemanfaatan hasilnya hanya digunakan oleh pemilik program. e. Kebijakan dan pola pengelolaan logistik farmasi dan alkes PDP telah sesuai dengan kebijakan sistem kesehatan, tetapi kebijakan untuk pencegahan berjalan paralel. Pengaturan pengelolaan logistik farmasi dan alkes PDP yang mengikuti sistem penyediaan logistik farmasi dan alkes kesehatan umum menjamin kepastian hukum pemerintah pusat dan pemda untuk mengalo kasikan pembiayaannya agar dapat memenuhi kebutuhan daerah. Banyaknya pihak dan ketidakjelasan regulasi untuk logistik farmasi dan alkes untuk pencegahan menjadi penghambat adopsi pemerintah dalam penyediaan dan distribusinya. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 101
f. Partisipasi masyarakat sebagai manifestasi akuntabilitas program masih tera baikan. Pelibatan masyarakat hanya pada level implementasi, belum pada perencanaan, sehingga daya tanggap program belum cukup kuat. Keterlibatan ODHA dan populasi kunci dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebatas sebagai pelaksana program yang dirancang dan didanai pemerintah pusat atau MPI. Partisipasi lain ialah dalam bentuk perwakilan ODHA dan populasi kunci di KPAD. Namun, belum ada mekanisme yang jelas bagaimana mereka dapat mengakses sumber pembiayaan dari APBD untuk menjalankan program yang mereka rencanakan sesuai kebutuhan mereka sendiri. 4. Perguruan Tinggi sebagai pusat pengembangan pengetahuan dan sumber daya belum berperan secara optimal. Berbagai hasil penelitian perguruan tinggi terkait dengan HIV dan AIDS didokumentasikan dalam bentuk karya ilmiah seperti tesis, disertasi, laporan penelitian, dan makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah. Tantangan terbesar bagi perguruan tinggi ialah bagaimana karya-karya akademik tersebut terakses dan bisa dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan kunci dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS. Perguruan tinggi juga bertugas dan bertanggung jawab untuk menyediakan SDM HIV dan AIDS yang berkualitas dan memenuhi standar yang berlaku. 5. Tingkat integrasi di daerah dipengaruhi oleh kekuatan sistem kesehatan di tingkat daerah itu sendiri, karakteristik intervensi penanggulangan HIV dan AIDS, konteks politik dan hukum, serta keberadaan MPI. 6. Efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah penelitian yang dilihat dari beberapa indikator kunci (cakupan, perubahan perilaku dan kepatuhan dalam ART –on treatment) belum bisa dijelaskan secara memadai oleh tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Masih rendahnya keterlibatan daerah, dominasi MPI dan pemerintah pusat dalam penanggulangan AIDS, segregasi yang tampak dalam pengelolaan SDM dan dinamika pendanaan program tampaknya menjadi kemungkinan alasan yang perlu diperdalam lebih lanjut dengan data yang lebih memadai. B. Rekomendasi Integrasi sebagai sebuah tujuan yang ideal untuk menjamin efektivitas dan keber lanjutan program HIV dan AIDS bisa diwujudkan jika secara bersamaan juga ada upaya untuk memperkuat sistem kesehatan itu sendiri dengan: 102 • PKMK FK UGM
1. Adanya sinergi pemangku kepentingan strategis (Bappeda, Kepala Daerah, DPRD, dan SKPD) terhadap isu-isu HIV dan AIDS untuk memprioritaskannya sebgai isu kesehatan daerah. Para pemangku kepentingan strategis penanggulangan HIV dan AIDS yang memiliki kewenangan untuk menyusun dan menetapkan kebijakan seperti Bappeda, Kepala Daerah, DPRD, dan SKPD perlu disinergikan untuk mendorong pelaksanaan regulasi yang ada sehingga upaya penanggulangan HIV dan AIDS dijadikan prioritas sektor kesehatan di daerah. 2. Penguatan fungsi regulasi melalui pengembangan kebijakan operasional di tingkat daerah terkait dengan peraturan daerah atau peraturan di tingkat pusat. Regulasi yang ada seperti perda perlu dibuatkan kebijakan operasionalnya agar dapat diimplementasikan, seperti kebijakan operasional penganggaran HIV dan AIDS di kabupaten/kota di masing-masing SKPD anggota KPAD. Penguatan regulasi perlu disertai juga dengan pembentukan mekanisme pengawasan dan evaluasi kebijakan dan program yang terintegrasi dengan mekanisme pengawasan dan evaluasi sektor kesehatan secara umum. 3. Adanya kewenangan yang lebih besar dari daerah untuk mengelola data pro gram dan data epidemiologis sebagai dasar pengembangan kewenangan adminis tratif (perencanaan dan penganggaran) untuk memperkuat penyediaan layanan pencegahan, PDP, dan MD di daerah. Surveilans penyakit di daerah yang sudah menjadi wewenang pemda perlu diaktifkan, dan surveilans penyakit perlu memasukan komponen HIV dan AIDS. Sinkronisasi perencanaan antara pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) perlu dilakukan sehingga masing-masing pihak mempunyai hak yang sama atas kepemilikan dan penggunaan data dalam perencanaan kesehatan daerah. 4. Adanya kesediaan pusat (pemerintah dan MPI) untuk menyerahkan sebagian besar kewenangan administratif (termasuk penyerahan sumber daya) dalam penanggulangan HIV dan AIDS kepada daerah sesuai dengan kapasitas daerah. Penyerahan kewenangan dimulai dari perencanaan program dan pembiayaan sehingga ada kepemilikan bersama antara pemerintah pusat dan pemda. Dasar perencanaan ini menjadi kebutuhan daerah berdasarkan bukti epidemi daerah. 5. Adanya komitmen pemda untuk mengambil peran yang lebih besar dalam pencegahan melalui pendanaan komunitas yang selama ini didanai oleh MPI. Komitmen pemerintah untuk mengambil peran lebih besar dalam program pencegahan ini misalnya dimulai dengan membuat kebijakan operasional dari perda yang menyebutkan adanya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 103
6. Adanya replikasi dari keberhasilan-keberhasilan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat lokal (kabupaten/kota atau desa) di tingkat provinsi dan nasional. Perlu adanya identifikasi keberhasilan dalam integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem yang berlaku di berbagai daerah untuk kemudian bisa dikembangkan di daerah lain. Contoh keberhasilan yang bisa dilihat dari hasil penelitian ini ialah berkembangnya mekanisme pembiayaan SDM HIV dan AIDS dari alokasi dana daerah seperti di Jayapura dan Merauke. Demikian pula keberhasilan inovasi dan inisiasi pemda dalam menyelenggarakan program penanggulangan HIV dan AIDS di Bali sampai pada level desa, dengan menggunakan alokasi dana desa. 7. Pelibatan yang lebih besar dari perguruan tinggi di daerah untuk menyediakan fakta-fakta atau bukti (evidences) sebagai informasi untuk pengembangan kebi jakan daerah. Sejalan dengan Tridarma Perguruan Tinggi—pendidikan, pene litian, dan pengabdian—penyediaan evidences oleh perguruan tinggi sebagai informasi untuk pengembangan kebijakan sudah harus dimulai di daerah. Dalam hal ini peran KPAD sebagai koordinator multisektor perlu berkoordinasi dengan perguruan tinggi setempat mulai dari perencanaan program hingga pengawasan dan evaluasi. Dari pihak perguruan tinggi perlu ada langkah nyata untuk menyampaikan berbagai hasil penelitiannya kepada pemangku kepentingan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, yang secara teknis bisa dijadikan agenda bersama.
104 • PKMK FK UGM
Daftar Pustaka
Atun, R. dan J. Bataringaya. 2011. “Building a durable response to HIV dan AIDS: Implications for health system.” Acquired Immuno Deficiency Syndrome, 57:S91-S95. Atun, R., T. de Jongh, F. Secci, K. Ohiri, O. Adeyi. 2010a. “Integration of targeted health interventions into health systems: A conceptual framework for analysis.” Health Policy and Planning, 25:104-111. Atun, R., J.V. Lazarus, W. Van Damme, R. Coker. 2010b. “Interactions between critical health system functions and HIV/AIDS, tuberculosis and malaria programmes.” Health Policy and Planning, 25:i1-i3. Atun, R., S. Pothapregada, J.S.K. Kwansah, D.L. Degbotse, V. Jeffrey. 2011. “Critical Interactions Between the Global Fund-Supported HIV Programs and the Health System in Ghana.” Journal of acquired immune deficiency syndromes, Volume 57 Suppl 2: S72-S76. AIPHSS. 2014. “Indonesia Health System Review.” Brinkerhoff, D.W. dan B.L. Crosby. 2002. Managing Policy Reform: Concepts and Tools for Decision-Makers in Developing and Transitioning Countries. Bloomfield, CT. Kumarian Press. Butt, L.J. Morin, G. Numbery, I. Peyon, A. Goo. 2010. “Stigma dan HIV/AIDS di Wilayah Pegunungan Papua.” Jayapura: Universitas Cendrawasih dan University of Victoria.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 105
BPS, JOTHI, dan UNDP. 2010. “Socioeconomic Impact of HIV at the Individual and Household Level in Indonesia: a seven-province study.” Jakarta: BPS. Brugha, R dan Z. Varvasovszky. 2000. “Stakeholder analysis: A Review.” Health Policy and Planning 15(3): 239–246. Calciolari S, Buccoliero L. 2010. “Information integration in health care organizations: The case of a European health system.” Health Care Manage Rev 35(3). Chevo, T. dan S. Bhatasara. 2012. “HIV and AIDS Programmes in Zimbabwe: Implication for Health System.” International Scholarly Research Network Immunology 11, article ID 609128, 11 pages. Coker, R. et al. 2010. “Conceptual and Analytical Approach to Comparative Analysis of Country Case Studies: HIV and TB Control Programmes and Health Systems Integration.” Health Policy and Planning. 2010:25:i21-i-31. Coker, R., J. Balen, S. Mounier-Jack, A. Shigayeva, J.V. Lazarus, J.W. Rudge, N. Naik, R. Atun. 2010. “A conceptual and analytical approach to comparative analysis of country case studies: HIV and TB control programmes and health systems integration.” Health Policy and Planning 25 (suppl 1): i21-i31. Conseil, A., S. Mounier-Jack, A. Coker. 2010. “Integration of health systems and priority health interventions: a case study of the integration of HIV and TB control programmes into the general health system in Vietnam.” Health Policy and Planning 25:i32-i36. Creswell, J.W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Desai, M., J.M. Rudge, W. Adisasmito, S. Mounier-Jack, R. Coker. 2010. “Critical interactions between global fund-supported programmes and health systems: a case study in Indonesia.” Health Policy and Planning, 25:i43-i47. Dongbao, Y., Y. Souteyrand, M.A. Banda, J. Kaufman, J.H. Perriëns. 2008. “Investment in HIV/AIDS programs: Does it help strengthen health systems in developing countries?.” Globalization and Health doi: 10.1186/17448603-4-8. Dudley, L. dan P. Garner. 2011. “Strategies for Integrating Primary Health Services in Low- and Middle-income Countries at the Point of Delivery (Review).” The Cochrane Collaboration 7. Gilson, L. dan N. Raphaely. 2008. “The terrain of health policy behaviour take us? Health Policy and Planning, analysis in low- and middle-income countries: a review of published literature 1994– 2007. Health Policy and Planning 23(5):294–307.
106 • PKMK FK UGM
Glaser, B.G. dan A.L. Strauss. 1967. The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research. Mill Valley, CA: Sociology Press. Godwin, P. dan C. Dickinson. 2012. “HIV in Asia–Transforming the agenda for 2012 and beyond: Report of a Joint Strategic Assessment in ten countries.” Canberra: AusAID Health Resource Facility. Hanvoravongchai, P., B. Warakamin, dan R. Coker. 2010. “Critical interactions between Global Fund-supported programmes and health systems: a case study in Thailand.” Health policy and planning.25 (Suppl 1): i53-i57. Kawonga, M., B. Blaauw, S. Fonn. 2012. “Aligning vertical interventions to health systems: a case study of the HIV monitoring and evaluation system in South Africa.” Health Research Policy and Systems 10(2). Kemenkes RI. 2014. “Estimasi Jumlah Populasi Kunci terdampak HIV tahun 2012.” __________, 2013. “Laporan kasus HIV dan AIDS Triwulan III tahun 2013.” Jakarta: Dirjen PP dan PL. __________, 2012a. “Estimasi Epidemi HIV dan AIDS Indonesia.” Jakarta: Dirjen PP dan PL. __________, 2012b. “Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011.” Jakarta: Dirjen PP dan PL. KPAN. 2010. “Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 –2014.” Jakarta: KPAN. __________, 2011. “Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006– 2011: Laporan 5 tahun pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.” Jakarta: KPAN. KPAN. 2014. “Indonesia HIV Control Program: An Institutional Analysis.” Jakarta: KPAN. Lush, L., J.W. Cleland, S.G. Mayhew. 1999. “Integrating reproductive health: Myth and ideology.” Bulletin of the World Health Organization 77(9): 771–777. Mahal, A. dan B. Rao. 2005. “HIV/AIDS epidemic in India: An economic perspective.” Indian J Med Res 121, April, Hlm. 582–600. Nadjib, M., A. Megraini, L. Ishardini, R. Rosalina. 2013. “National AIDS Spending Analysis 2011–2012.” Jakarta: UNAIDS-NAC. Onyeneho, N.G. 2009. “HIV/AIDS risk factors and economic empowerment needs of female sex workers in Enugu Urban, Nigeria.” Tanzania Journal of Health Research 11(3).
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 107
Rasschaert, F., M.P. Pirard, R. Atun, E. Wouters, Y. Assefa, B. Criel, J.E. Schouten, dan W. Van Damme. 2011. “Positive spill-over effects of ART scale up on wider health systems development: evidence from Ethiopia and Malawi.” Journal of the International AIDS Society 14 (Suppl 1): S3 PKMK. 2015. Tinjauan Respons Sektor Komunitas dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Akan terbit. Pritchett, L. dan M. Woolcock. 2004. “Solutions when the Solution is the Problem: Arraying the Dissarray in Development.” World Development 32: 191– 212. Pfeiffer, J.M., A.P. Baptista, J. Karagianis, M. Pugas, M. Micek, M. Johnson, W. Sherr, K. Gimbel, S. Baird, S. Lambdin, B. and Gloyd, S. 2010. Integration of HIV/AIDS services into African primary health care: Lessons learned for health system strengthening in Mozambique - A case study. Journal of the International AIDS Society. Vol. (13) (1). Shakarishvili G, Atun R, Berman P et al.. 2010. Converging health systems frameworks: towards a concepts-to-actions roadmap for health systems strengthening in low and middle income countries. Global Health Governance, Spring III: 2. Strauss, A. dan J. Corbin. 1998. Basics of qualitative research: Grounded theory procedures and techniques (2nd ed). Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Shigayeva A, Atun R, Mc Kee M, and Coker, R. 2010. Health Systems, Communicable Diseases and Integration. Health Policy and Planning, 25: i4-i20. Tim Peneliti Unair. 2014. “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional di Provinsi Jawa Timur.” Laporan Penelitian. Tim Peneliti Unud. 2014. “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional di Provinsi Bali.” Laporan Penelitian. Tim Peneliti Unhas. 2014. “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional di Provinsi Sulawesi Selatan.” Laporan Penelitian. Tim Peneliti Uncen. 2014. “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional di Provinsi Papua.” Laporan Penelitian. Tim Peneliti Unipa. 2014. “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional di Provinsi Papua Barat.” Laporan Penelitian.
108 • PKMK FK UGM
Tim Peneliti USU. 2014. “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional di Provinsi Sumatera Utara.” Laporan Penelitian. UNAIDS. 2012. “Laporan Epidemi AIDS di Indonesia, update.” Geneva: UNAIDS. Varvasovszky, Z. dan R. Brugha. 2000. “Stakeholder analysis: How to do (or not to do).” Health Policy and Planning 15(3): 338–345. Walt, G. et al. 2008. “‘Doing’ health policy analysis: methodological and conceptual reflections and challenges.” Health Policy and Planning 23(5): 308–317. WHO. 2007. “Everybody’s Business: Strengthening Health System to Improve Health Outcomes: WHO’s Framework for Action.” Geneva: WHO. Yayasan Spritia. 2005. “Dokumentasi tentang pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia.” Jakarta: Spiritia.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 109
Lampiran 1
Instrumen Penelitian: Pengumpulan Data Primer Instrumen penelitian data primer terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang mewa kili setiap subsistem dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS (pencegahan, PDP, dan MD). Masing-masing komponen dan subsistem membutuhkan penggalian men dalam agar bisa diperoleh isu-isu strategis setiap subsistem dan hubungannya dengan subsistem lain. Di bawah ini ialah instrumen yang akan digunakan berdasarkan tujuh (7) subsistem kesehatan. 1. Subsistem Manajemen, Informasi, dan Regulasi Kesehatan Penang gulangan HIV dan AIDS Subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan adalah pengelolaan yang menghim pun berbagai upaya kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, pengaturan hukum kesehatan, pengelolaan data dan informasi kesehatan untuk menjamin adanya kerangka kebijakan strategis yang dikombinasikan dengan pengawasan, pengembangan kemitraan, akuntabilitas, peraturan, insentif dan kesesuaian dengan disain sistem kesehatan yang ada.
(a) Berdasarkan regulasi yang ada (UU, PP, Permen, Perda), apakah peran dan tanggung jawab SKPD dan Organisasi Masyarakat Sipil dalam bidang penang gulangan HIV dan AIDS didefinisikan secara jelas? Apakah secara umum sumber daya yang disediakan untuk melaksanakan peran dan tanggung jawab tersebut sudah mencukupi? (b) Apakah ada rencana strategis untuk penanggulangan HIV dan AIDS? Jika ya, apakah rencana strategis ini merefleksikan rencana strategis sektor kesehatan? Apakah ada review secara berkala atas rencana strategis ini? Apakah rencana strategis ini digunakan untuk menentukan keputusan, alokasi sumber daya manusia, dan menentukan situasi epidemi di wilayah ini? (c) Apakah ada pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap kebijakan HIV dan AIDS di daerah ini? Jika ya, apa dampaknya bagi upaya penanggulangan AIDS di daerah ini? (d) Apakah ada rencana pemda dalam karangka pencapaian MDGs untuk penang gulangan HIV dan AIDS? (e) Apakah pernah ada assessment tentang situasi epidemi di kabupaten ini? 110 • PKMK FK UGM
(f) Bagaimana perencanaan kegiatan dan pelayanan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah ini dikembangkan? Seberapa jauh kebijakan ini didasarkan pada bukti-bukti kecenderungan epidemiologis atau evaluasi atas kegiatan pada masa sebelumnya? (g) Bagaimana masyarakat bisa mengetahui program HIV dan AIDS yang dilakukan di wilyah ini sehingga memudahkan untuk mengaksesnya? 2. Subsistem Pembiayaan Kesehatan Subsistem pembiayaan adalah pengelolaan berbagai upaya penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Unsur-unsur pembiayaan kesehatan terdiri atas dana, sumber daya, dan pengelolaan dana kesehatan.
(a) Apakah pernah dilakukan assessment tentang pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah ini? Jika ya, seberapa sering itu dilakukan? (b) Apakah ada perencanaan untuk meningkatkan besaran APBD di wilayah ini untuk penanggulangan HIV dan AIDS? Bagaimana perencanaan tersebut disusun? (c) Dari mana sumber utama pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS di kabupaten ini? (d) Apakah ada sumber dari pihak lain yang digunakan untuk membantu upaya penanggulangan HIV dan AIDS? Jika ya, apakah ada kesulitan di dalam menge lola sumber pembiayaan yang beragam ini? (e) Apakah ada jaminan kesehatan pemerintah (JKN atau Jamkesda) bagi kelompok populasi kunci? (f) Apakah kelompok populasi kunci selama ini membayar secara formal atau informal atas pelayanan kesehatan terkait dengan HIV dan AIDS yang mereka terima? Jika ya, seberapa besar mereka harus membayar? Apakah ini telah menye babkan hambatan bagi pasien untuk mengakses layanan tersebut? 3. Subsistem Sumber Daya Manusia Kesehatan Subsistem ini digunakan untuk memastikan bahwa sumber daya manusia yang terli bat dalam penanggulangan HIV dan AIDS responsif, efisien, kompeten, adil, dan terdistribusi merata sesuai dengan sumber daya yang tersedia dan situasi yang ada serta mencukupi jumlahnya. Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 111
(a) Bagaimana kebijakan SDM untuk penanggulangan HIV dan AIDS disusun? Bagaimana dengan pengembangan kapasitas dokter, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lannya? Apakah ada penguatan kapasitas secara berkelanjutan bagi mereka? (b) Apakah SDM yang dimiliki oleh penyedia layanan (pemerintah dan non-peme rintah) mencukupi untuk melaksanakan beban tugas rutin termasuk memenuhi kebutuhan populasi kunci? (c) Apakah ada kebijakan yang mengatur tenaga di luar dinas kesehatan dikontrak oleh dinas untuk melaksanakan penanggulangan HIV dan AIDS? Jika ya, sebut kan. (d) Jika kebutuhan SDM di kabupaten ini kurang mencukupi, apa langkah yang selama ini dilakukan untuk memenuhinya? (e) Apa mekanisme dukungan untuk mempertahankan SDM yang bekerja di penang gulangan HIV dan AIDS (pengembangan karier, supervisi, keamanan, mobilitas, kesejahteraan)? Apakah rotasi dan mutasi SDM dalam penanggulangan HIV dan AIDS menjadi isu penting bagi pelaksanaan program? (f) Apakah ada kebijakan yang menagtur tentang standardiasai kompetensi tenaga penanggulangan HIV dan AIDS? Jika ya, sebutkan. 4. Subsistem Informasi Strategis Subsistem informasi strategis berfungsi untuk memastikan bahwa produksi, analisis, dise minasi, dan penggunaan informasi yang reliable dan tepat waktu tentang determinan kesehatan, kinerja sistem kesehatan, dan status kesehatan dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan.
(a) Apakah di wilayah Anda pernah dilakukan penelitian tentang pencegahan HIV dan AIDS? (b) Apakah ada sistem informasi terkait dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang digunakan untuk membantu pengambilan keputusan? Jika ya, apa saja sumber informasinya (survei perilaku, laporan program dan evaluasi, Surveilans Terpadu Perilaku Dan Biologi (STBP))? (c) Bagaimana hasil informasi ini didiseminasikan? (d) Apakah ada data populasi kunci dan sasaran program penanggulangan HIV dan AIDS? Apa saja? 112 • PKMK FK UGM
(e) Apakah sistem informasi HIV dan AIDS sama dengan yang digunakan oleh sis tem kesehatan lainnya? 5. Subsistem Penyediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan Subsistem ini digunakan untuk melihat produk medis, teknologi yang dijamin kualitas, keamanan, efikasi, cost-effectiveness, dan penggunaannya.
(a) Apakah ada masalah khusus yang terkait dengan pengadaan atau kualitas obat, reagen, atau perlengkapan pencegahan? (Isu yang perlu digali: pengadaan, regu lasi, jaminan kualitas, akses, teknologi kesehatan, penyimpanan, dan makanan tambahan) (b) Dari mana sumber obat, reagen, perlengkapan pencegahan, alat medis habis pakai, bahan medis habis pakai, alat diagnostik, dan makanan tambahan? (c) Bagaimana regulasi obat, reagen, perlengkapan pencegahan, alat medis habis pakai (AMHP), bahan medis habis pakai (BMHP), alat diagnostik, dan makanan tambahan tersebut? (d) Bagaimana jaminan kualitas terhadapobat, reagen, perlengkapan pencegahan, alat medis habis pakai, bahan medis habis pakai, alat diagnostik dan makanan tambahan? (e) Bagaimana prosedur akses terhadap terketersediaan obat, reagen, perlengkapan pencegahan, alat medis habis pakai, bahan medis habis pakai, alat diagnostik, dan makanan tambahan? (f) Apakah ada kendala untuk proses akses tersebut? Apabila ada, apa saja kendala tersebut dan bagaimana penyelesaiannya? (g) Apakah ada sistem informasi manajemen logistik yang berjalan? Bagaimana ini dilakukan dan siapa yang bertanggung jawab? (h) Apakah ada aturan tentang obat yang spesifik (seperti ARV pediatrik, TB-HIV, Hepatitis, ibu hamil)? (i) Apakah ada Standard Operasional Procedure (SOP) untuk mengeluarkan, mendistribusikan, dan memberikan kepada unit pelayanan kesehatan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota? (j) Apakah ada SOP untuk meminjamkan obat kepada unit layanan lain di tingkat provinsi/kab/kota?
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 113
6. Subsistem Upaya Kesehatan Subsistem ini mencakup intervensi kesehatan personal maupun masyarakat yang efektif, aman, dan berkualitas yang disediakan bagi mereka yang membutuhkan di tempat dan waktu tertentu.
(a) Bagaimana sistem penyediaan layanan kesehatan untuk penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah ini diorganisasikan? (b) Jelaskan secara singkat apa tanggung jawab dari unit kesehatan dan apakah kapasitasnya sudah sesuai dengan tanggung jawab saat ini? (Check-list kemenkes nomor 296) (c) Apakah jenis layanan kesehatan yang disediakan mencakup layanan pencegahan, pengobatan, paliatif, dan rehabilitatif, promosi kesehatan, dan mitigasi dampak? (Check-list jenis layanan) (d) Adakah layanan untuk dukungan kepatuhan berobat? (e) Adakah dukungan layanan pada kesejahteraan sosial dan bantuan hukum bagi ODHA yang miskin dan terkucilkan? (f) Apakah layanan pencegahan, diagnostik maupun pengobatan tersedia bagi semua orang (seperti jarak, stigma, dan diskriminasi, informasi layanan, biaya)? (g) Apakah di seluruh layanan HIV dan AIDS telah menyediakan dukungan gizi? Kendala apa saja yang dihadapi? (h) Apakah di seluruh layanan telah mengupayakan menurunkan stigma dan diskriminasi bagi ODHA? Apa saja upaya yang sudah dilakukan untuk menu runkannya? (i) Apakah sudah tersedia fasilitas dan peralatan medis untuk menerapkan kewas padaan standar? (j) Bagaimana sistem jaminan kualitas unit pelayanan di sektor swasta, pemerintah, dan LSM? Apakah supervisi disediakan untuk semua program atau programprogram yang ada memiliki sistem supervisi yang berbeda? Apakah ada supervisi eksternal? (k) Apakah penilaian kepuasan penerima manfaat dilakukan secara berkala? Bagaimana hasil tersebut digunakan? (l) Bagaimana sektor swasta dan LSM bisa secara bersama-sama terlibat dalam membangun jejaring layanan kesehatan di wilayah ini? (m) Bagaimana perencanaan untuk penyediaan layanan bagi wilayah terpencil (DTPK, DBK)? Bagaimana model penjangkauan untuk masyarakat di wilayah tersebut? 114 • PKMK FK UGM
7. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat Subsistem ini mencakup peran aktif masyarakat terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilakukan pemerintah melalui bentuk-bentuk kerjasama. Masyarakat dapat berupa LSM, perguruan tinggi, organisasi profesi bidang kesehatan, komunitas populasi kunci, dan dunia usaha. Definisi pemberdayaan masyarakat berdasarkan Perpres Nomor :72/2012 tentang SKN adalah sebagai berikut: “Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah pengelolaan penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan, baik perorangan, kelompok, maupun masyarakat secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.”
(a) Bagaimana bentuk kemitraan yang dilakukan pemda dengan masyarakat (LSM, komunitas populasi kunci, organisasi profesi kesehatan, dll)? (b) Bentuk keterlibatannya seperti apa saja dalam penanggulangan HIV dan AIDS? (c) Apakah ada regulasi yang dikeluarkan pemda yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS? (d) Apakah pemda mengalokasikan dana untuk program-program yang melibatkan peran aktif masyarakat? Contohnya: pelatihan kader kesehatan yang berasal dari masyarakat. (e) Apakah di dalam kemitraan ini ada upaya pemda untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS? (f) Apakah kendala-kendala yang paling Anda rasakan selama bermitra dengan pemerintah? (g) Apakah peran perusahaan swasta dalam penanggulangan HIV dan AIDS (misalnya Corporate Social Responsibility). (h) Apakah ada perawatan berbasis masyarakat di wilayah ini? (i) Apakah populasi kunci dan masyakarat dilibatkan dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS? (j) Apakah ada komunikasi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana di lapangan? Apakah ada pertemuan konsultasi berkala? (k) Khusus untuk mitigasi, bagaimana pemanfaatan bantuan tunai bersyarat dari dinas sosial? (l) Apakah masyarakat turut serta mengurangi dampak stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV dan AIDS dan keluarganya, serta terhadap komunitas populasi kunci?
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 115
116 • PKMK FK UGM
Dimensi
• Akses publik terhadap infomasi Apakah masyarakat memiliki akses untuk mengetahui program program HIV dan AIDS di daerah HIV dan AIDS yang dilaksanakan di daerah ini dan terlibat dalam pengambilan keputusan? à apakah manajemen program HIV dan AIDS menggunakan prinsip pelayanan publik yang baik?
3. Akuntabilitas dan Daya Tanggap
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 5 dan 6 dari sub sistem ini.
Apakah proses pengembangan kebijakan (perencanaan, penganggaran, alokasi dana, dan pertanggungjawaban) untuk program HIV dan AIDS menggunakan mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku pada pemda tersebut? à seperti halnya upaya kesehatan yang lain – Kesehatan Keluarga, Lingkungan, Pemberantasan Penyakit Menular, dll.
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 2, 3, 4 dari subsistem ini.
Apakah tata kelola atau manajemen program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah diatur melalui regulasi pemda (Perda HIV, Renstra/SRAD, Sistem Kesehatan Daerah, Peraturan Bupati, dll)?
• Sumber informasi data epidemi (prevalensi HIV dan AIDS) • Pemanfaatan data epidemi dalam perencanaan tingkat daerah
SKD Perda AIDS Renstra Kesehatan SRAD APBD Peraturan Bupati
Leading Questions
2. Formulasi Kebijakan
• • • • • •
Kata Kunci
Subsistem, Dimensi dan Pertanyaan yang Mengarahkan untuk mengukur Integrasi
1. Manajemen dan 1. Regulasi Regulasi
Subsistem
Lampiran 2.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 117
• Sumber-sumber pembiayaan program HIV dan AIDS • Proporsi dana pemerintah dan dana asing • Pembiayaan HIV dan AIDS sudah dimasukan kedalam APBD • Jumlah dan komposisi anggaran dalam APBD per program • Laporan Penggunaan Anggaran APBD per program • Jumlah dana per program berdasarkan wilayah • Kesesuaian dana yang dikeluarkan untuk program, personil, dan lainnya • Penanggung jawab atas pembayaran untuk memperoleh layanan
4. Pengelolaan Sumber Pembiayaan
5. Penganggaran, Proporsi, distribusi dan pengeluaran
6. Mekanisme pembayaran layanan
2. Pembiayaan
Kata Kunci
Dimensi
Subsistem
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 4 & 5 dari subsistem ini.
Apakah JKN atau Jamkesda bisa digunakan oleh masyarakat untuk memanfaatkan layanan perawatan dan pengobatan HIV?
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 1 & 2 dari subsistem ini.
Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD? (dalam bentuk Anggaran di SKPD atau Bantuan Sosial)
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 1 & 3 dari sub sistem ini.
Apakah pemda mengoordinasikan dan mengelola sumber pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS yang berasal dari berbagai sumber?
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 7 dari subsistem ini. - Lihat pertanyaan FGD No. 9 & 10 dari Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
Leading Questions
118 • PKMK FK UGM
3. Penyediaan layanan
Subsistem
• Pertemuan koordinasi antar pemangku kepentingan • Target program HIV dan AIDS dari semua pemangku kepentingan di masukan ke dalam satu perencanaan
8. Koordinasi dan rujukan
9. Jaminan kualitas • Mekanisme pengawasan dan layanan evaluasi reguler • Bantuan bantuan teknis
• Layanan HIV dan AIDS ada di layanan dasar • Ketersediaan layanan mencangkup semua populasi kunci, layanan dan area geografi • Jadual pelayanan
Kata Kunci
7. Ketersediaan layanan
Dimensi
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 10 & 11 dari subsistem ini.
Apakah ada mekanisme supervisi dan evaluasi untuk menjamin kualitas layanan penanggulangan HIV dan AIDS seperti halnya mekanisme dalam pelayanan kesehatan lainnya? (penerapan SOP layanan, ketaatan terhadap petunjuk pelaksanaan, akreditasi, survei kepuasan klien, dll)
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 1 dari subsistem ini. - Lihat pertanyaan FGD No. 1, 2, 3 dari subsistem Pemberdayaan Masyarakat.
Apakah layanan HIV dan AIDS yang ada di daerah ini dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan melalui KPAD sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan termasuk penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini?
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 1, 2, 3 dari sub sistem ini.
Apakah tersedia layanan penanggulangan HIV dan AIDS di fasyankes primer dan sekunder di daerah ini?
Leading Questions
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 119
5. Penyediaan Obat dan Perlengkapan Medik
4. SDM
Subsistem
Apakah ada regulasi yang mengatur tentang SDM yang digunakan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini? (kompetensi, pengembangan kapasitas, penempatan/mutasi, hubungan kerja dengan non pemerintah)
• Ketersediaan kebijakan yang mengatur tenaga dari luar dinas kesehatan yang di kontrak oleh dinas utk melakukan program penanggulangan HIV dan AIDS • Ketersediaan tenaga-tenaga upaya penanggulangan HIV dan AIDS • Sumber pendanaan untuk tenaga penanggulangan AIDS kesehatan dan non kesehatan
• Tenaga kesehatan yang telah dilatih dan disertifikasi • Ketersediaan kebijakan yang mengatur standarisasi kompetensi tenaga penanggulangan AIDS • Proses pengadaan penyimpanan dan distribusi dari obat dan perlengkapan medik
10. Kebijakan dan sistem manajemen
11. Pembiayaan
12. Kompetensi
1. Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi.
Rujukan: Lihat pertanyaan FGD No. 1, 5, 8 dari subsistem ini.
Apakah regulasi penyediaan, penyimpanan material , diagnostik, dan terapi terkait HIV dan AIDS di daerah tersebut seperti untuk permasalahan kesehatan lain di daerah tersebut atau disediakan oleh JKN? (reagen, ARV, kondom, jarum suntik, mesin CD4 dan VL)
Rujukan: Lihat pertanyaan FGD No. 1 dan 6 dari subsistem ini.
Apakah standar kompetensi untuk SDM yang bekerja dalam program HIV dan AIDS mengacu dalam peraturan tentang SDM kesehatan yang berlaku?
Rujukan: - Lihat data sekunder untuk subsistem SDM: Pengeluaran untuk sumber daya manusia sebagai proporsi pengeluaran pemerintah
Apakah pembiayaan pengelolaan SDM penanggulangan HIV dan AIDS menggunakan pembiayaan di sektor kesehatan (pemerintah)?
Rujukan: - Lihat pertanyaan FGD No. 1, 3, dan 5 dari subsistem ini.
Leading Questions
Kata Kunci
Dimensi
120 • PKMK FK UGM
2. Sumber daya
Dimensi • Sumber biaya pengadaan dari daftar yang disebutkan di atas
Kata Kunci
7. Pemberdayaan Masyarakat
5. Partisipasi Masyarakat
4. Diseminasi dan pemafaatan
Rujukan: Lihat pertanyaan FGD No. 1, 2, 5 dari subsistem ini.
Apakah program HIV dan AIDS menggunakan sistem informasi yang digunakan oleh dinas kesehatan? (surveilans, survei, pengawasan dan evaluasi program berdasarkan input, proses, output)
Rujukan: Lihat pertanyaan FGD No. 2, 4, dan 6 dari subsistem ini.
Apakah sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, dan distribusi obat dan perlengkapan medik untuk HIV dan AIDS masuk di dalam anggaran dinas kesehatan atau ditanggung oleh JKN?
Leading Questions
• Pertemuan-pertemuan koordinasi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dan masyarakat (e.g. perwakilan populasi kunci) • Adanya dana yang dialokasikan bagi masyarakat sipil dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS • Adanya pengembangan kapasitas (misalnya pelatihan dan bantuan tehnis)
Rujukan: Lihat pertanyaan FGD No. 1, 2, 3, 9 dari subsistem ini.
Apakah dalam ada bentuk-bentuk kemitraan antara pemerintah dengan masayarakat sipil atau swasta dalam proses perencanaan hingga evaluasi program HIV dan AIDS di daerah itu?
Rujukan: Lihat pertanyaan FGD No. 3 dan 4 dari subsistem ini.
• Jenis dan frekuensi pelaporan per Apakah hasil pengolahan data sistem informasi program HIV program dan AIDS yang ada saat ini digunakan untuk perencanaan dan • Diseminasi dan Pemanfaatan Data pengembangan program HIV di daerah tersebut?
6. Sistem Informasi 3. Sinkronisasi • Infrastruktur sistem informasi • Jenis sumber data • Pengumpulan data • Mekanisme Pengolahan Data
Subsistem
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan
• 121
Subsistem
6. Akses dan Pemanfaatan layanan
Dimensi
Apakah ada upaya dari program HIV dan AIDS untuk mendorong masyarakat khususnya populasi kunci untuk memanfaatkan JKN atau bantuan sosial dalam mengakses layanan HIV dan AIDS yang tersedia di wilayah tersebut?
• Proporsi populasi kunci dan mengakses layanan HIV dan AIDS dari pemerintah • Proposi populasi kunci yang dapat mengakses JKN atau Jamkesda Rujukan: Lihat pertanyaan FGD No. 8, 12, 13, dari subsistem ini.
Leading Questions
Kata Kunci
122 • PKMK FK UGM