INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV &AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN di Provinsi Jakarta Laporan Hasil Penelitian Tim Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UGM
Laporan Penelitian Integrasi Upaya Pengendalian HIV dan AIDS Ke Dalam Sistem Kesehatan di Provinsi Jakarta
Penyusun: Anshari Saifuddin,dr. Kurniawan Rachmadi, SKM.M.Si. FitriHudayani, SGz, MKM
1
Daftar Istilah dan Singkatan AEM AIDS AIM AMHP ALT ART ARV AST APBN/D Bappeda Bappenas BMHP BPJS CSR CHAI DBK DFAT Dinkes Dinsos Dikbud Disnaker Dikcapil/KKB Dispora Dispenda Dishub Dinpar Depag DTPK Demproj FSW GWL-INA HCPI HEMI HIV HR IDU IMS IO JOTHI JKN Jamkesmas Jamkesda JCI KIE
Asian Epidemic Model Acquired Immunodefeciency Syndrome AIDS Impact Model Alat Medis Habis Pakai Alanine Transaminase Antiretroviral Therapy Antiretroviral Aspartate Transaminase Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional/Daerah Badan perencanaan pembangunan daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bahan Medis Habis Pakai Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Coorporate Social Responsibility Clinton Heatlh Access Initiative Daerah Bermasalah Kesehatan Department of Foreign Affairs and Trade, Australia Government Dinas Kesehatan Dinas Sosial Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dinas Tenaga Kerja Dinas Catatan Sipil/Kependudukan Dinas Pemuda dan Olahraga Dinas Pendapatan Daerah Dinas Perhubungan Dinas Pariwisata Departemen Agama Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan Demographic Projection Female Sex Worker/WPS Jaringan gay waria dan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain di Indonesia HIV Cooperation Program Indonesia HIV Epidemiological Modeling and Impact Human Immunodefeciency Virus Harm Reduction Injecting Drug User/Penasun Infeksi Menular Seksual Infeksi Oportunitis Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan Masyarakat Jaminan Kesehatan Daerah Join Commission International Komunikasi, Informasi, dan Edukasi 2
KPAN/P/K Kemenkes KMK PMK KPAN KTS LASS LSM LS MDG LSL MSM MSW NAC ODHA OPSI PDPAI PDUI Penasun PIAN PKBI PKNI PKVHI PMS PMTCT UPT HIVsus PPIA PPS PTRM RSCM SDKI STEP SUMl/FHI SUPAS UNAIDS UNODC UPT UI WHO WPS
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/Propinsi/Kota/Kabupaten Kementerian Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Komisi Penaggulangan AIDS Nasional Konseling Testing Sukarela Layanan Alat Suntik Steril Lembaga Swadaya Masyarakat Lintas Sektor Millenium Development Goals Laki-laki Seks dengan Laki-laki Men who have sex with men Male Sex Workers Nasional AIDS Comision Orang dengan HIV AIDS Organisasi Perubahan Sosial Indonesia Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia Perhimpunan Dokter Umum Indonesia Pengguna Napza Suntik Pusat Informasi AIDS Nasional Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Persaudaraan Korban Napza Indonesia Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia Penyakit Menular Seksual Prevention of mother-to-child HIV transmission/PPIA Kelompok Studi Khusus Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak Pria Pekerja Seks Program Terapi Rumatan Metadon Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku Scaling up at most-at-risk-population I/Family HealthInternational Survei Penduduk Antar Sensus The Joint United Nations Programme on HIVI AIDS United Nations Office on Drugs and Crime Unit Pelayanan Terpadu Universitas Indonesia World Health Organization Wanita Pekerja Seks
3
Daftar Isi DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
2
DAFTAR ISI
4
DAFTAR TABEL
6
DAFTAR GAMBAR
6
RINGKASAN EKSEKUTIF
8
BAB I. PENDAHULUAN A. SITUASI EPIDEMI DAN RESPON PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA B. UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DAN SISTEM KESEHATAN C. PERTANYAAN PENELITIAN D. TUJUAN
10 10 12 15 16
BAB II. METODE PENELITIAN A. KERANGKA KONSEPTUAL B. DESAIN DAN PROSEDUR PENELITIAN C. TEKNIK PENGUMPULAN DATA D. LOKASI DAN INFORMAN PENELITIAN E. JADWAL PENELITIAN
18 18 19 20 21 22
BAB III. HASIL PENELITIAN A. KONTEKS KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI TINGKAT NASIONAL B. EPIDEMI DAN PERILAKU BERISIKO DI TINGKAT NASIONAL C. GAMBARAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI TINGKAT NASIONAL D. SINERGI FUNGSI DAN PERAN STAKEHOLDER DI TINGKAT NASIONAL E. GAMBARAN POLA INTEGRASI BERDASARKAN SUBSISTEM KESEHATAN 1. MANAJEMEN DAN REGULASI 2. PEMBIAYAAN KESEHATAN 3. PENYEDIAAN LAYANAN KESEHATAN 4. SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN (SDM) 5. PENYEDIAAN MATERIAL PENCEGAHAN DAN DIAGNOSTIK DAN TERAPI 6. INFORMASI STRATEGIS 7. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT F. PENGUKURAN TINGKAT INTEGRASI
23 23 25 27 31 42 42 46 51 58 63 66 69 72
BAB IV. DISKUSI 82 A. IMPLIKASI HASIL PENELITIAN TERHADAP INTEGRASI HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN NASIONAL 82 B. IMPLIKASI HASIL PENELITIAN TERHADAP PENGEMBANGAN PENGETAHUAN KHUSUSNYA PADA PENGUATAN SISTEM KESEHATAN 89 C. KETERBATASAN/ KELEMAHAN PENELITIAN 90
4
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN B. REKOMENDASI
92 92 94
DAFTAR PUSTAKA
98
5
Daftar Tabel Tabel 1. Jumlah kumulatif HIV dan AIDS yang dilaporkan mulai tahun 2005 sdTW III tahun 2014 ...... 23 Tabel 2. Analisa Pemangku Kepentingan .............................................................................................. 41 Tabel 3. Kebutuhan Sumber Daya Manusia .......................................................................................... 59 Tabel 4. Kebutuhan Prasarana Pencegahan, Perawatan dan Pengobatan Tahun 2010 - 2014 ............ 64 Tabel 5. Organisasi Masyarakat Sipil dan Jaringan ODHA ..................................................................... 71 Tabel 6. Penilaian integrasi berdasarkan sub sistem kesehatan ........................................................... 73
Daftar Gambar Gambar 1. Model Kerangka Konseptual Penelitian .............................................................................. 19 Gambar 2. Jumlah Infeksi HIV yang Dilaporkan per Provinsi Tahun 1987 Sampai dengan September 2014 ....................................................................................................................................................... 24 Gambar 3. Jumlah Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko Tahun 2010 sd September 2014 ............................................................................................................................................................... 26 Gambar 4. Alur dan jumlah cakupan layanan ART di Indonesia ........................................................... 31 Gambar 5. Sumber Daya Pendanaan: Kenaikan Pendanaan Dalam Negeri .......................................... 48 Gambar 6. Layanan Paling Populer dan Tersering Digunakan .............................................................. 54 Gambar 7. Pengetahuan Mengenai Adanya Layanan untuk HIV .......................................................... 54 Gambar 8. Pemanfaatan Layanan Subsidi Pemerintah ......................................................................... 55 Gambar 9. Keluhan ODHA terhadap Akses Layanan Kesehatan ........................................................... 55 Gambar 10. Grafik Penurunan Angka Kematian Penderita HIV dengan Pengobatan ARV ................... 65
6
7
Ringkasan Eksekutif Kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS dalam 30 tahun terakhir ini diarahkan untuk mewujudkan akses universal, pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif terkait dengan HIV dan AIDS minimal bisa dimanfaatkan oleh 80% dari populasi kunci. Upaya promosi pencegahan HIV dan AIDS diarahkan pada upaya perubahan perilaku dari kelompok populasi kunci antara lain dengan meningkatkan penggunaan jarum suntik steril, penggunaan kondom dan pelicin, pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS), serta konseling dan tes sukarela (KTS) HIV pada komunitas tersebut melalui serangkaian kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi. Permasalahan kebijakan yang perlu memperoleh perhatian dalam melihat keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS serta sistem kesehatan di Indonesia antara lain: (1) bagaimana mengembangkan respon kesehatan masyarakat agar bisa mengakomodasi meningkatnya kompleksitas penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka panjang; dan (2) bagaimana mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang sudah ada untuk memastikan respon jangka panjang, meskipun sistem kesehatan yang berlaku saat ini belum optimal karena adanya berbagai hambatan baik politik, ekonomi dan sosial budaya. Melalui penelitian ini maka akan diketahuinya integrasi sistem yang menjadi kontribusi dalam pelaksanaan program ART secara Nasional serta dampak terhadap efektifitas program tersebut yang didalamnya dipengaruhi oleh karakteristik dari permasalahan HIV dan AIDS, kebijakan dan program, interaksi berbagai pemangku kepentingan, pelaksanaan fungsi – fungsi sistem kesehatan dan interaksinya serta konteks dimana sistem kesehatan dan program HIV dan AIDS ini berlangsung. Desain penelitian adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sebagai upaya untuk memahami lebih dalam hubungan antara integrasi dan efektifitas penanggulangan HIV dan AIDS. Penelitian dilakukan di tingkat Nasional dengan narasumber antara lain Bappenas, Kementrian Kesehatan, Rumah Sakit, Perguruan Tinggi, KPAN, LSM. Pada tataran nasional, kebijakan (konteks, proses dan substansi) yang dihasilkan khususnya dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS pemerintah telah turut mempertimbangkan aspek integrasi. Regulasi HIV dan AIDS di tingkat nasional sudah lebih konsisten, setidaknya hal ini dapat dilihat melalui Strategi Rencana Aksi Nasional. Sinergi fungsi dan peran para aktor (Kemkes, KPA, Bappenas, Lembaga Profesi, Universitas dan LSM Internasional) dalam 8
penanggulangan HIV dan AIDS para aktor di tingkat nasional sudah cukup baik. Proporsi pembiayaan penanggulangan HIV di Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih berasal dari lembaga donor, tetapi Pemerintah sendiri telah menyusun Pedoman Exit Strategi Dana Hibah secara resmi telah disusun sejak tahun 2012. Selain sektor pemerintah (pusat dan daerah) juga mulai dikembangkan keterlibatan sektor swasta. Pemerintah melalui Kemkes telah mensosialisasikan SIHA (Sistem Informasi HIV dan AIDS) yang dirancang untuk penyusunan pelaporan di tingkat daerah dan pusat. Pemanfatan ‘evidence’ dari pelaporan tersebut untuk pemetaan, pengembangan dan pelaksanaan kebijakan, program, dan penelitian masih belum terintegrasi dengan baik dalam sistem informasi strategis. Selain itu SIHA juga telah diintegrasikan dengan Sistem Informasi Kesehatan. Penyediaan obat ARV lini 1 sepenuhnya (100%) sudah dibiayai oleh pemerintah lewat APBN. Pengadaan kelengkapan sarana laboratorium juga sudah mulai disediakan, penyediaan alat CD4 sudah dibiayai oleh APBN. Partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS sudah cukup baik. Terkait pendidikan, sudah banyak Universitas di Indonesia yang telah memiliki fakultas terkait ilmu-ilmu kesehatan, baik kedokteran, kesehatan masyarakat, dan keperawatan dan sebagian dari mereka telah memasukkan materi tentang HIV dan AIDS dalam kurikulum mereka.
9
Bab I. Pendahuluan A.
Situasi Epidemi dan Respon Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia berdasarkan laporan dari UNAIDS termasuk yang paling berkembang di Asia Pasifik. Jumlah kasus baru yang dilaporkan di tahun 2012 sebanyak 76,000 kasus dengan total kasus sebanyak 610,000 (UNAIDS, 2012).Jika dilihat berdasarkan penyebaran kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan sejak pertama kali ditemukan di tahun 1987 sampai dengan tahun 2012, kasus HIV telah tersebar di 345 (69,4%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh 33 provinsi di Indonesia. Sedangkan jumlah kasus HIV dan AIDS terbanyak sampai dengan Juni 2013, dilaporkan di 10 propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, Sumatera Utara, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Selatan (Kemenkes, 2013). Berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2012 jumlah orang yang terinfeksi HIV dan AIDS sebanyak 591,000. Jumlah populasi kunci atau populasi yang berisiko tinggi tertular HIV adalah berkisar 8.7 juta orang yang terdiri dari pengguna jarum suntik (Penasun) 74,000 orang; wanita pekerja seks baik yang langsung maupun tidak langsung (WPSL dan WPSTL) berkisar 230,000 orang; waria berkisar 38,000 orang;dan Lelaki yang berhubungan seks dengan Lelaki (LSL) sebesar 1.1 juta orang. Sementara itu jumlah klien dari pekerja seks diperkirakan lebih dari 7.35 juta orang (Kemenkes, 2012a). Besarnya angka-angka ini mengindikasikan besarnya potensi penularan HIV dan sekaligus permasalahan perawatan jangka panjang bagi orang dengan HIV dan AIDS di masa mendatang. Kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS dalam 30 tahun terakhir ini diarahkan untuk mewujudkan akses universal, pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif terkait dengan HIV dan AIDS minimal bisa dimanfaatkan oleh 80% dari populasi kunci. Upaya promosi pencegahan HIV dan AIDS diarahkan pada upaya perubahan perilaku dari kelompok populasi kunci antara lain dengan meningkatkan penggunaan jarum suntik steril, penggunaan kondom dan pelicin, pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS), serta konseling dan tes sukarela (KTS) HIV pada komunitas tersebut melalui serangkaian kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KPAN, 2011). Sementara itu, upaya perawatan, dukungan dan pengobatan diarahkan untuk menghilangkan berbagai hambatan untuk memperoleh akses layanan kesehatan bagi orang dengan HIV dan AIDS, termasuk mengeliminasi stigma dan diskriminasi. Hasil akhir yang diharapkan dari berbagai kebijakan ini adalah penurunan 10
prevalensi HIV hingga 0,5% pada tahun 2015 (KPAN, 2011).Untuk itu KPAN telah menetapkan 137 kabupaten/kota di 33 provinsi sebagai wilayah prioritas dimana diharapkan 80% populasi kunci berada di berbagai wilayah tersebut dapat dijangkau dan mengakses layanan HIV dan AIDS yang tersedia. Selain itu, KPAN juga telah mengembangkan berbagai kebijakan untuk memperkuat penanggulangan HIV dan AIDS seperti penguatan koordinasi dalam perencanaan, implementasi dan monitoring dan evaluasi, pelibatan masyarakat sipil, memastikan komitmen dan dukungan pendanaan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lembaga mitra internasional, serta penguatan kelembagaan KPA di daerah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai leading sector di dalam penanggulangan HIV dan AIDS telah mengembangkan berbagai program dan layananan untuk mengatasi pandemi HIV. Bentuk respon pemerintah antara lain penyediaan Program Terapi Rumatan Metadon(PTRM) di 83 RS, PKM, Rutan/Lapas; Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril(LAJSS) di 194 PKM dan LSM; Layanan IMSdi 421 RS dan PKM; Layanan Konseling dan Tes HIV di 593 tempat baik RS, PKM, LSM, maupun Rutan/Lapas; Layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan(PDP) di378 RS Pengampu dan RS Satelit; dan Layanan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) di 113 RS dan PKM (Kemenkes, 2013). Selain itu, Kemenkes juga mengembangkan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kondisi kerja petugas kesehatan, efektifitas sistem rujukan dan sistem penyediaan perlengkapan pencegahandan pengobatan, sistem informasi strategis, mengembangkan rencana keuangan dan mekanisme hubungan yang dibutuhkan untuk memperkuat akses layanan HIV dan AIDS. Hasil kajian eksternal WHO pada tahun 2012 menunjukkan bahwa pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS selama ini dinilai memberikan kemajuan dan perluasan intervensi yang signifikan, tetapi perkembangan ini belum merata di berbagai wilayah dan jenis intervensi yang dilakukan (WHO, 2012). Upaya pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan tetap menjadi tantangan yang besar untuk menurunkan insiden penularan HIV dan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Hal ini misalnya dapat dilihat dari masih tingginya perilaku berisiko dan prevalensi HIV dikalangan populasi kunci. Berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011, prevalensi HIV pada kelompok populasi kunci dilaporkan masing-masing sebagai berikut: penasun 42%, WPSL 10%, WPSTL 3%, waria 22%, dan LSL 8%. Prevalensi ini tidak jauh berbeda dengan hasil STBP tahun 2007, bahkan ada kecenderungan meningkat dua hingga tiga kali lipat pada populasi LSL (Kemenkes, 2012). 11
Tingginya prevalensi HIV terutama pada kelompok waria dan LSL mengkhawatirkan karena sebagian besar (81%) dari waria dan hampir setengah (49%) LSL adalah pekerja seks (Kemenkes, 2012). Hingga September 2013, sebanyak 36,482 orang ODHA mengikuti terapi ARV dari 132,755 ODHA yang dilaporkan (Kemenkes, 2013). Permasalahan stigma dan diskriminasi juga masih dialami oleh ODHA baik di masyarakat maupun di layanan kesehatan (Butt et al., 2010; Jothi & BPS, 2010; Spiritia, 2005). Perluasan program HIV dan AIDS dalam beberapa dekade terakhir ini di Indonesia telah menyebabkan munculnya beberapa konsekuensi lebih lanjut dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Selain menuntut upaya yang lebih efektif untuk mencegah penularan HIV baik pada populasi kunci ke populasi yang mimiliki risiko yang lebih rendah, upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke depan juga menghadapi tantangan untuk menyediakan perawatan bagi orang dengan HIV dan AIDS dalam jangka panjang karena semakin efektivitasnya pengobatan ARV dalam menekan angka kematian ODHA. Dua tantangan yang berkelanjutan ini membutuhkan integrasi pada tingkat hulu dan hilir dalam upaya penanggulangan AIDS.Integrasi pada tingkat hulu terletak pada integrasi kebijakan dan program HIV ke dalam sistem kesehatan.Sementara itu, integrasi hilir diarahkan pada pengembangan model penyediaan layanan kesehatan dan sistem operasional yang melibatkan sektor dan program lain untuk memastikan layanan berkualitas tinggi sejalan dengan rentang perawatan (continuum of care) penanggulangan HIV dan AIDS.
B.
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dan Sistem Kesehatan
Upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari inisiatif kesehatan global yang sejak awal dilakukan melalui berbagai skema program dan pendanaan (e.g. Global Fund, bantuan pemerintah Amerika dan Australia melalui USAID dan DFAT, dll). Keberadaan inisitiaf kesehatan global di Indonesia terbukti mampu meningkatkan pendanaan program HIV dan AIDS serta mampu meningkatkan cakupan layanan. Meski pembiayaan dari inisiatif global saat ini cenderung menurun, namun pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS masih bergantung dari hibah bilateral maupun multilateral karena dana pemerintah masih berkisar 40% dari total pembiayaan (Nadjib, 2013). Seperti hasil kajian beberapa peneliti di negaranegara berkembang lainnya, peran inisiatif kesehatan global yang sedemikian besar dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesiajuga memunculkan berbagai konsekunsi baik positif maupun negatif terhadap sistem kesehatan (Atun et al., 2010a; b;Conseil et al., 2013; 12
Desai et al., 2010; Dongbao et al., 2008; Kawonga et al., 2012; Shakarishviliet al. 2010). Berbagai studi tersebut telah mendokumentasikan konsekuensi negatif terhadap sistem kesehatan seperti berkembangnya sistem ganda yaitu sistem penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan pada umumnya, lemahnya insentif dari sistem kesehatan untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan terbatasnya integrasi layanan HIV dan AIDS dengan layanan kesehatan yang lain. Demikian pula, koordinasi berbagai upaya kesehatan dengan mengembangkan sistem perencanaan, koordinasi dan monitoring yang terpisah dari upaya kesehatan lain. Selain itu ada kekhawatiran bahwa situasi ini akan memperburuk sistem kesehatan karena akan menggerus sumber daya yang tersedia untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Situasi ini telah memunculkan berbagai rekomendasi dan upaya untuk memperkuat sistem kesehatan melalui upaya untuk memaksimalkan integrasi penanggulangan HIV dan AIDS serta sistem kesehatan (Atun et al., 2010; Coker et al., 2010; Kawonga, 2012). Sebuah kajian tentang integrasi program AIDS dan TB di Indonesia, menunjukkan bahwa kedua program tersebut cenderung belum teritegrasi dengan fungsi sistem kesehatan secara umum (tata kelola, sistem M&E, perencanaan, pembiayaan, penyediaan layanan, menumbuhkan kebutuhan layanan) (Desai et al., 2010; Coker et al., 2010). Kajian dokumen tentang kebijakan dan program HIV dan AIDS di Indonesia dari tahun 1987 hingga 2013 yang dilakukan oleh Tim Pusat Kesehatan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa: (1) upaya penanggulangan AIDS merupakan kebijakan yang bersifat vertikal yang diinisiasi dan dikembangkan oleh pemerintah pusat dengan dukungan penuh dari lembaga kesehatan global tetapi lemah dalam integrasinya baik dengan sistem kesehatan yang ada karena dibangun berdasarkan sistem yang berbeda dengan sistem kesehatan nasional; (2) dalam era desentralisasi seperti saat ini, pemerintah daerah dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS belum memiliki peran yang signifikan dalam pengembangan kebijakan dan program baik pencegahan, perawatan dan pengobatan (PDP), dan dampak mitigasi. Dominasi pemerintah pusat dan lembaga mitra pembangunan internasional (MPI) cenderung menempatkan pemerintah daerah sebagai pelaksana program sehingga komitmen dan dukungan dana terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS cenderung minimal.
13
Integrasi secara umum dikaitkan dengan upaya untuk mengadopsi dan melakukan asimilasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam fungsi-fungsi pokok sistem kesehatan. Pada tingkat penyediaan layanan, integrasi ini misalnya bisa dilakukan dengan menggabungkan layanan khusus HIV dan AIDS ke dalam layanan kesehatan umum, pelibatan antar program dan sektor lain di dalam penanggulangan HIV dan AIDS, menyatukan sistem pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS dalam pembiayaan kesehatan umum dan lain-lain. Permasalahan integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan bukan merupakan hal yang mudah dilakukan karena melibatkan banyak pemain (dan kepentingan), infrastruktur, kebijakan dan sumber daya. Hal ini menuntut upaya untuk meningkatkan efektivitas dan aksesibilitas layanan HIV dan AIDS dengan memaksimalkan sumber daya dan infrastruktur yang tersedia (Dudley and Garner, 2011). Upaya untuk mengintegrasikan dua pendekatan ini sebenarnya berisiko karena hasil-hasil yang telah dicapai melalui pendekatan vertikal bisa tidak tampak atau bahkan hilang. Selain itu, kenyataan bahwa belum terbangunnya sistem kesehatan di tingkat daerah cenderung akan mendorong pengambil kebijakan untuk meneruskan pendekatan vertikal (Godwin and Dickinson, 2012). Meskipun demikian, sejauh ini belum ada kesimpulan yang jelas tentang pengaruh integrasi intervensi khusus ini ke dalam sistem kesehatan terhadap status kesehatan masyarakat umum karena masih terbatasnya studi tentang integrasi dan belum tersedianya metodologi yang dinilai memadai (lihat Kawonga et al., 2012 dan Coker at al., 2010). Oleh karena itu isu yang lebih mendasar bukan pada memilih satu pendekatan dari pada pendekatan yang lain atau integrasi kedua pendekatan tersebut karena variabilitas dari konteks kebijakan yang beragam, tetapi lebih melihat bahwa kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan yang saling melengkapi dan perlu diintegrasikan dalam porsi yang sesuai dengan kompleksitas penyediaan layanan kesehatan yang terintegrasi dan berkelanjutan berdasarkan perencanaan, koordinasi dan manajemen yang efektif (Dudley and Garner, 2011; Atun et al., 2010). Melakukan integrasi dengan komposisi yang tepat dan praktis merupakan tantangan terbesar dan memerlukan pertimbangan yang sangat hati-hati. Dengan demikian, permasalahan kebijakan yang perlu memperoleh perhatian dalam melihat keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS serta sistem kesehatan di Indonesia adalah: (1) bagaimana mengembangkan respon kesehatan masyarakat agar bisa mengakomodasi meningkatnya kompleksitas penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka 14
panjang; dan (2) bagaimana mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang sudah ada untuk memastikan respon jangka panjang, meskipun sistem kesehatan yang berlaku saat ini belum optimal karena adanya berbagai hambatan baik politik, ekonomi dan sosial budaya. Untuk bisa menjawab dua isu kebijakan di atas, maka PKMK FK UGM dengan dukungan dari pemerintah Australia melalui Departement of Foreign Affairs and Trade (DFAT) bekerjasama dengan sembilan Universitas di delapan provinsi di Indonesia melakukan penelitian tentang bagaimana integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasionaldi Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk memetakan berbagai kekuatan dan kelemahan sistem kesehatan di Indonesia dalam mendukung atau merespon permasalahan HIV dan AIDS sehingga diharapkan bisa mengidentifikasi
berbagai
potensi
dan
peluang
untuk
mengintegrasikan
upaya
penanggulangan HIV dan AIDS ini ke dalam sistem kesehatan yang ada.
C.
Pertanyaan Penelitian
Dari gambaran permasalahan yang dijelaskan diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan utama yaitu 'Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di Indonesia?' Sementara dari pertanyaan umum terkait integrasi tersebut, perlu digali lagi lebih dalam melalui penelitian ini juga, untuk dapat menjawab beberapa petanyaan khusus yaitu: 1. Bagaimana konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan AIDS pada tingkat nasionaldalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku? 2. Seberapa jauh konsistensi antara regulasi HIV dan AIDS di tingkat nasional? 3. Seberapa jauh sinergi fungsi dan peran KPAN,Dinkes, lintas sektoral, dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional? 4. Seberapa besar proporsi,kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada (e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional? 5. Seberapa jauh hubungan kerja, ketenagaandan pengembangan kapasitas antara Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non-pemerintah dengan SDM kesehatan di tingkat nasional?
15
6. Seberapa jauh integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis di tingkat nasional dan pemanfatan ‘evidence’ untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program? 7. Bagaimana pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan, diagnostik dan terapi di tingkat nasional dalam konteks kebijakan jaminan kesehatan nasional? 8. Seberapa jauh partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS? 9. Bagaimana keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya manusia?
D.
Tujuan
Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia sehingga dapat dikembangkan rekomendasi perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan AIDSkhususnya di tingkat nasional untukjangka menengah. Selain tujuan umum tersebut, beberapa tujuan khusus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan khusus diatas adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS pada tingkat nasionaldalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku; 2. Mengukur konsistensi antara regulasi HIV dan AIDS di tingkat nasional; 3. Mengidentifikasi dan mengukur sinergi fungsi dan peran KPA,Dinkes, lintas sektoral, dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional; 4. Mengukur proporsi,kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada (e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional; 5. Mengidentifikasi hubungan kerja, ketenagaandan pengembangan kapasitas antara Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non pemerintah dengan SDM kesehatan di tingkat nasional;
16
6. Mengukur integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis di tingkat nasional dan pemanfatan ‘evidence’ untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program; 7. Mengukur pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan, diagnostik dan terapi di tingkat nasional dalam kontek kebijakan jaminan kesehatan nasional; 8. Mengukur partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan 9. Mengukur keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya manusia.
17
Bab II. Metode Penelitian A.
Kerangka Konseptual
Penelitian ini akan mengukur seberapa jauh integrasi penganggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dengan memberikan fokus pada fungsi – fungsi dalam setiap sistem kesehatan nasional. Penelitian ini menggunakan model konseptual dan kerangka analitik yang dikembangkan oleh Atun et al (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur integrasi sebuah intervensi yang dikembangkan untuk merespon permasalahan kesehatan tertentu ke dalam sistem kesehatan.Kerangka konsep ini bentuk intervensi kesehatan secara khusus masuk ke dalam berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan yang secara khusus di dalamnya adalah intervensi dalam system penanggulangan HIV dan AIDS. Konteks secara keseluruhan terbadi kedalam sistem kesehatan nasional yang di dalamnya terdapat fungsi tatakelola, pembiayaan, SDM, logistik, informasi strategis dan pemberdayaan masyarakat yang kesemuanya berperan dalam penanggulangan HIV dan AIDS dalam bentuk penyediaan layanan HIV dan AIDS. Sistem yang dibentuk untuk menanggulangi HIV dan AIDS juga melibatkan peran para aktor dalam menjalankan perannya masing – masing dan dibutuhkan integrasi satu sama lain untuk mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. Masalah HIV dan AIDS di Indonesia menjadi dasar perumusan terbentuknya sebuah sistem integrasi penanggulangannya dimana harus ditangani oleh para aktor yang berkepentingan di dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV dan AIDS itu sendiri. Interaksi antar aktor yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik dan budaya akan menghasilkan sebuah inovasi dalam upaya kesehatan khususnya dalam penaggulangan HIV dan AIDS. Melalui pemahaman mengenai sistem integrasi di atas, maka kerangka konseptual pada penelitian ini dibentuk, model konseptual bisa dilihat pada gambar 1 di bawah ini:
18
Gambar 1. Model Kerangka Konseptual Penelitian
Sumber: Diadaptasi dari kerangka konseptual yang dikembangkan Atun et al. (2010a) dan Coker et al. (2010)
Model konseptual di atas menggambarkan cakupan hubungan antara sistem kesehatan nasional, yang dibagi atas subsistem tatakelola, pembiayaan, SDM, logistik, informasi strategis dan pemberdayaan masyarakat untuk kemudian dicari hubungan dan integrasinya dengan program penanggulangan HIV dan AIDS yang dilakukan pemerintah. Pencarian integrasi dan hubungan program penanggulangan tersebut dengan sistem kesehatan nasional kemudian dicari dampaknya terhadap penyediaan layanan HIV dan AIDS, berupa promosi dan pencegahan (PP);perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); dan mitigasi dampak (MD). Selain itu, seberapa besar peran aktor-aktor dalam integrasi tersebut juga diteliti. Dari model konseptual di atas akan dapat diperoleh masalah-masalah holistik yang berhubungan dengan integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS dengan sistem kesehatan nasional.
B.
Desain dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif danmenggunakan pendekatankualitatif. Persetujuan etik telah diperoleh melalui Komisi Etik FK UGM.Sementara untuk prosedur penelitian melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Pengumpulan data akan dilakukan melalui dua cara yaitu: (a) Pengumpulan data primer yang dilakukan dengan melakukan interview mendalam dengan pemangku kepentingan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sebagai informan kunci dan melalui focus group discussion(FGD); (b) Pengumpulan data sekunder 19
dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai instansi pemerintah dan organisasi non pemerintah serta pemberi layanan kesehatan di Indonesia. Masingmasing instansi yang menjadi informan penelitianini diminta beberapa dokumen terkait dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan layanan kesehatan tingkat nasional. 2. Data yang diperoleh dari narasumber baik yang melalui wawancara maupun FGD direkam. Hasil rekaman kemudian diterjemahkan dalam bentuk verbatim yang kemudian diedit dan dipilah untuk dimasukkan ke dalam tabel analisis data primer dan sekunder. 3. Data tersebut di kategorisasi berdasarkan topik yang akan dianalisis yaitu mengenai konteks kebijakan program penanggulangan HIV dan AIDS; pemetaan dan analisisstakeholder; kemudian pola integrasi penanggulang HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dilihat per dimensi pada masing-masing subsistem. 4. Selanjutnya data yang sudah di kategorisasikanserta dianalisahubungannya dalam analisis data untuk kemudian diambil intisari dari masing-masing topik. Selain itu juga dilakukan triangulasi untuk memastikan bahwa data yang terkumpul adalah valid. Desain penelitian ini memiliki beberapa kekuatan, antara lain masalah yang didapat diteliti secara detail dan mendalam, wawancara tidak terbatas dalam pertanyaan yang sempit dan dapat diarahkan oleh peneliti. Data yang diperoleh berdasarkan pengalaman individu yang terkadang memiliki kekuatan yang lebih baik daripada data kuantitatif.
C.
Teknik Pengumpulan Data
Seperti yang dijelaskan pada sub bab diatas, bahwa penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Dimana data yang dikumpulkan tersebut ada yang berupa data kuantitatif maupun data sekunder. Teknik yang dilakukan dalammengumpulkan data adalah sebagai berikut: 1) Data Primer a. Wawancara mendalam (in-depth interview) adalah salah satu cara untuk mendapatkan data dari sumber utama untuk mendapatkan hasil yang optimal dari individu dengan menggunakan panduan pertanyaan tidak terstruktur kepada informan.
20
b. Focus group discussion (FGD) juga menjadi salah satu cara untuk mendapatkan informasi yang akurat dilapangan melalui diskusi terarah pada kelompok yang memiliki kepentingan yang sama. 2) Data Sekunder a. Sumber tertulis adalah kegiatan mencari data dari sumber tertulis berupa laporan, buku-buku dan dokumen yang relevan dengan permasalahan penelitian, baik itu berupa majalah-majalah ilmiah, arsip atau dokumen resmi, dan hasil-hasil penelitian atau laporan penelitian. Hal ini dilakukan untuk membantu memahami fenomena, membantu membuat interpretasi, membantu menyusun teori, serta untuk membantu validasi data. b. Data sekunderlainnya dapat berupadata statistik, laporan kebijakan, undang-undang, dan sebagainya dari berbagai institusi nasional yang telah tersedia terutama oleh lembaga resmi negara yang terkait diantaranya adalah BAPENAS, Kementrian Kesehatan, UPT, Anggota Organisasi Profesi, PDPAI, Universitas Indonesia, NGO, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Kementerian lembaga terkait, dll.
D.
Lokasi dan Informan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta dengan mempertimbangkan bahwa stakeholder tingkat nasional semuanya berbasis di DKI Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia. Untuk data primer yang dikumpulkan dari wawancara mendalam, informan yang berpartisipasi adalah sebagai berikut: 1. Dr. Arum Atmawikarta (MDG’s Bappenas) 2. dr. Atiek, bagian Senior Policy Development sebagai perwakilan dari LSM Internasional CHAI (Clinton Health Access Initiative), 3. Halik Sidik, Asisten Deputi Penguatan Kelembagaan (KPAN) 4. dr. Endang Budi Hastuti (Bagian Standarisasi Subdit AIDS dan PMS Direktorat P2ML, Ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan). 5. dr. Teguh H Karjadi, SpPD.KAI ( Kepala Unit Pelayanan Terpadu HIV RSCM) 6. Prof. Samsuridjal Djauzi. SpPD,KAI, Ketua Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia 7. Prof. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, Guru Besar FK-UI
21
Pengumpulan data primer melalui FGD dilakukan sebanyak satu kali, yaitu FGD untuk profesi (bidan, perawat, dokter, ahli gizi dan konselor). Dimana peserta yang hadir berjumlah 5 orang yaitu Ikatan Profesi (Perawat, Bidan, Dokter, Konselor, Tenaga Gizi), Nurul BM (perawat), Veri (PKVHI DKI), Dyah (konselor gizi), Hendi Muslim (konselor UPT HIV), Indra Supradewi (Ikatan Bidan Indonesia).
E.
Jadwal Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Desember 2014, dengan detail agenda sebagai berikut: Keterangan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Penyusunan dan finalisasi protokol penelitian Pelatihan metode penelitian Pengajuan etik Pengumpulan data lapangan di daerah Pertemuan analisis data Pelaporan Diseminasi dan publikasi hasil penelitian
22
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
Bab III. Hasil Penelitian
A.
Konteks Kebijakan dan Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Tingkat Nasional
Data kumulatif kasus AIDS sampai dengan September 2014 adalah 55.799 kasus dan untuk kasus HIV adalah 150.285 kasus. Sementara dalam triwulan III tahun 2014 dilaporkan jumlah penambahan infeksi HIV baru sebanyak 7.335 kasus dan AIDS sebanyak 175 orang. Sedangkan data yang didapatkandari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI dari Januari 2014 sampai Juni 2014 terdapat 15.534 penderita HIV yang dilaporkan serta 1.700 penderita AIDS. Tabel 1. Jumlah kumulatif HIV dan AIDS yang dilaporkan mulai tahun 2005 sdTW III tahun 2014
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah Kumulatif HIV 859 7.159 6.048 10.362 19.793 21.591 21.031 21.511 29.037 22.869
Jumlah Kumulatif AIDS 5.184 3.665 4.655 5.114 6.073 6.907 7.312 8.747 6.266 1.876
Sumber : Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014
Permasalahan HIV dan AIDS ini telah tersebar di 381 (76%) dari 498 kabupaten dan ota di seluruh provinsi Indonesia. Jumlah infeksi HIV tetinggi pada tahun 2014 tertinggi yaitu di DKI Jakarta sebanyak 32.782 kasus, Jawa timur sebanyak 19.249 kasus Jawa Barat 13.507 kasus dan Bali 9.637 kasus. Berdasarkan laporan provinsi, jumlah (kumulatif) kasus infeksi HIV yang dilaporkan sejak tahun 1987 sampai September 2014 yang terbanyak adalah Provinsi DKI Jakarta yaitu 32.782 kasus. Gambaran jumlah infeksi HIV yang dilaporkan per provinsi sampai dengan TW III 2014 adalah sebagai berikut :
23
Gambar 2. Jumlah Infeksi HIV yang Dilaporkan per Provinsi Tahun 1987 Sampai dengan September 2014
Sumber : Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014
Papua menjadi provinsi dengan prevalensi HIV AIDS terbesar mencapai 359,43 per 100.000 penduduk. Secara umum dibandingkan dengan data 2009, terdapat peningkatan yang cukup signifikan dalam jumlah kumulatif kasus HIV AIDS pada tahun 2014. Salah satu dampak jangka panjang dari endemi HIV yang telah meluas seperti yang telah terjadi di Papua adalah pada indikator demografi. Karena tingginya proporsi kelompok umur yang lebih muda terkena penyakit yang membahayakan ini, dapat diperkirakan nantinya akan menurunkan angka harapan hidup. Karena semakin banyak orang yang diperkirakan hidup dalam jangka waktu yang lebih pendek, kontribusi yang diharapkan dari mereka pada ekonomi nasional dan perkembangan sosial menjadi semakin kecil dan kurang dapat diandalkan. Hal ini menjadi masalah yang penting karena hilangnya individu yang terlatih dalam jumlah besar tidak akan mudah digantikan. Pada tingkat makro, biaya yang berhubungan dengan kehilangan seperti itu, misalnya meningkatnya pekerja yang tidak hadir, meningkatnya biaya pelatihan, pendapatan yang berkurang, dan sumber daya yang seharusnya dipakai untuk aktivitas produktif terpaksa dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit, dan lainnya,juga akan meningkat. Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun berarti bahwa semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan.Perkembangan 24
penyakit yang lamban dari infeksi HIV menyebabkan pasien sedikit demi sedikit menjadi lebih sakit dalam jangka waktu yang panjang dan membutuhkan semakin banyak perawatan kesehatan.Biaya baik langsung maupun tidak langsung dari perawatan kesehatan tersebut semakin lama akanmenjadi semakin besar. Selain itu, waktu yang dihabiskan oleh anggota keluarga untuk merawat pasien, dan tidak dapat melakukan aktivitas yang produktif juga perlu diperhitungkan. Permasalahan lain terkait penanggulangan HIV dan AIDS adalah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.Walaupun sudah banyak berkurang dalam 5 tahun terakhir namun masih tetap merupakan tantangan yang bila tidak teratasi, potensial untuk menjadi penghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS terutama di daerah-daerah. Diskriminasi yang dialami ODHA baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan keluarga maupun di masyarakat umum haruslah tetap menjadi prioritas upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
B.
Epidemi dan Perilaku Berisiko di Tingkat Nasional
Kasus pertama HIV dan AIDS di Indonesia ditemukan 24 tahun yang lalu (1987). Selanjutnya antara tahun 1987 dan 1997 peningkatan infeksi tampak lambat.Upaya penanggulangan pun sangat terbatas dan terutama terfokus di sektor kesehatan. Pada bulan Mei 1994 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) pertama kali dibentuk disusul dengan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS (SRAN) yang pertama. Kemudian sampai 2004 tampak peningkatan yang tajam dalam penularan terutama di kalangan penasun. Perkembangan kasus pada penasun dimulai pada tahun 1993, ada 1 orang dari kelompok yang ditemukan HIV positif (di Jakarta).Kemudian pada bulan Maret 2002 sudah dilaporkan 116 kasus AIDS pada penasun di 6 provinsi. Pada akhir tahun 2004 dilaporkan 2.682 orang dengan AIDS dari 25 provinsi (kumulatif), diantaranya: 1844 adalah ODHA baru, 649 orang stadium HIV dan 1.195AIDS baru. Sebanyak 824 orang (68,95% dari AIDS yang baru dilaporkan) adalah akibatpenggunaan napza suntik. Epidemi HIV di Provinsi Papua memperlihatkan perkembangan berbeda dibandingkan dengan provinsi lain. Dengan penduduknya hanya 1% dari penduduk Indonesia, dalam bulan Desember 2004 jumlah kumulatif kasus HIV di Papua adalah 19,1%dari seluruh infeksi baru di Indonesia. Meskipun penularan HIV secara nasionalterutama disebabkan oleh penggunaan napza suntik, namun lebih dari 90% infeksi HIV di Papuadisebabkan karena hubungan seks 25
berisiko. Tantangan yang sangat besar untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terutama karena masalah komunikasi, transportasi serta infrastruktur kesehatan dan masyarakat sayang masih sangat terbatas. Hasil kajian data epidemiologis dan surveilans HIVdan AIDS di Indonesia memperlihatkan keragaman dan perbedaansituasi epidemi tergantung pada pilihan orang dalam menghadapi situasi, siapa yang berisiko terinfeksi, kesempatan maupun tanggung jawab yang dipunyai. Oleh sebab itu diperlukan upaya penanggulangan yang beragam dan disesuaikan dengan situasi epidemi daerah. Situasi masalah HIV pada triwulan III tahun 2014 adalah sebagai berikut; padabulan Juli sd September jumlah infeksi HIV yang baru dilaporkan sebanyak 7.335 kasus dengan presentase infeksi HIV tetinggi dilaporkan pada kelompok umur 25 – 49 tahun (69,1%), diikuti kelompok umur 20 – 24 tahun (17,2%) dan kelompok umur ≥ 50 tahun (5,5%); rasio HIV anatar laki – laki dan perempuan adalah 1:1; presentase faktir risiko HIV adalah hubungan sekes berisiko pada heteroseksual (57%), LSL (Lelaki Suka Lelaki) (15%) dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (4%).Pola penularan HIV berdasarkan faktor risiko tidak mengalami perubahan dalam 5 tahun terakhir. Berdasarkan faktor risiko, infeksi HIV dominan terjadi pada heteroseksual, diikuti kelompok lainnya, pengguna napza suntik (penasun) dan kelompok LSL. Gambaran ini dapat dilihat pada grafik berikut : Gambar 3. Jumlah Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko Tahun 2010 sd September 2014
Sumber : Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014
26
Sedangkan untuk situasi masalah AIDS pada triwulan III tahun 2014 adalah sebagai berikut; jumlah kasus baru bulan Juli sd September 2014 sebanyak 176 orang, presentase AIDS terttinggi pada kelompok 30 – 39 tahun (42%), diikuti kelompok umur 20 – 29 tahun (36,9%) dan kelompok umur 40 – 49 tahun (13,1%), rasio AIDS antara laki – laki dan perempuan adalah 2:1, presentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (67%), LSLS (6%), penggunaan jarum suntik idak steril pada penasuk (6%) dan ibu positif HIV ke anak (4%).
C.
Gambaran Program HIV dan AIDS di Tingkat Nasional
Penemuan kasus pertama HIV dan AIDS di setiap daerah di Indonesia ditemukan pada waktu yang berbeda-beda. Prof. dr. Zubairi Djoerban, SpPD.KHOM, di RS Islam Jakarta menemukan perama kali kasus HIV. Di Sumatera Utara, kasus HIV ditemukan pertama kali pada tahun 1992 di RS Pringadi Medan pada WPS (Wanita Pekerja Seks) dan kemudian kasus AIDS ditemukan pada ABK (Anak Buah Kapal) pada tahun 1994. Di Propinsi Jawa Timur pada tahun 1989, kasus AIDS pertama kali dilaporkan dengan 2 kasus AIDS di RS Dokter Soetomo. Pada tahun 1990 tidak ada laporan kasus AIDS tambahan namun pada tahun 1991 ada tambahan 1 kasus. Kasus HIV pertama kali di Indonesia ditemukan di Bali pada tahun 1987 di Rumah Sakit Sanglah Denpasar Bali.Pasien tersebut merupakan homoseksual yang berasal dari Belanda dan tinggal di Candi Dasa.Kasus HIV dan AIDS pertama yang menjadi perhatian masyarakat Sulawesi Selatan terjadi pada tahun 1996.Pada saat itu muncul pemberitaan di media masa bahwa ada tiga pasangan calon pengantin yang berstatus HIV positif. Kasus HIV dan AIDS di Papua, pertama kali dilaporkan di Kabupaten Merauke pada tahun 1992, namun pencatatan jumlah kasus HIV dan AIDS untuk Provinsi Papua baru dimulai pada tahun 1995. Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan seperti yang tercantum dalam Permenkes No.21 tahun 2013 bahwa kegiatan penanggulangan HIV AIDS terdiri dari promosi kesehatan, pencegahan penularan HIV, pemeriksaan diagnosis HIV, pengobatan, perawatan dan dukungan serta rehabilitasi. Bentuk respon yang menyeluruh terhadap HIV dan AIDS di Indonesia antara lain layanan komunikasi, informasidan edukasi (KIE), layanan pencegahan yang komprehensif, sarana testing danpengobatan ARV untuk yang memerlukan, serta peningkatan kemampuandan pengembangan layanan kesehatan secara berkesinambungan untuk mencapai efektivitas jangkauan dan keberlanjutan yang dibutuhkan untuk 27
pengendalian epidemi HIV. Contoh layanan komprehensif tersebut antara lain adanya peningkatan dan perluasan yang terus-menerus dalam pelatihan dan pendidikan tenaga kesehatan, pengembangankemampuan penelitian sosial dan perilaku terkait HIV, pendidikan masyarakat yang luasmelalui berbagai media, pendidikan formal, non-formal dan informal untuk anak usia sekolah dan lain-lain. Demikian pula sistem manajemen, peraturan lokal serta logistik terus-menerus disempurnakan. Peningkatan dan pengembangan kapasitas (antara lain dalamperencanaan, keuangan, pengelolaan program, dan advokasi) terutama dalam lingkungan KPAbaik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota telah memberi sumbanganterciptanya
upaya
penanggulangan
yang
komprehensif
sekaligus
mendapatkankeuntungan dari semakin komprehensifnya upaya penanggulangan AIDS.Dari Permenkes 21 di pasal 40 juga didapatkan upaya untuk mitigasi dampak kepada penderita HIV dan
AIDS,
seperti
memberi
jaminan
kesehatan,
menghilangkan
diskriminasi,
menyelenggarakan program-program bantuan untuk meningkatkan pendapatan keluarga, dan juga mengikutsertakan ODHA dan keluarganya dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai sarana pemberdayaan ekonomi dan sosial ODHA. Pada tahun 2006, diputuskan untuk memprioritaskan pencegahan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Prioritas tersebut tercermin dalam desain, advokasi maupun pelatihan program. Dari tahun ke tahun, sesuai perubahan epidemi, terjadi perubahan dalamkombinasi kegiatan pencegahan. Sebagai contoh, mula-mula, melihat tingginya infeksiHIV
di
kalangan
penasun
upaya
pencegahan
terutama
ditujukan
untuk
mengembangkan, meningkatkan dan memperluas upaya pengurangan dampak buruk (Harm Reduction) penggunaan napza suntik. Namun berdasarkan hasil kajian paruh waktu oleh KPAN danpengalaman lapangan tahun 2009, maka dikembangkan pendekatan baru yang disebut PMTS yaitu Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual, suatu pendekatan komprehensif dengan intervensi struktural yang kini sedang diperluas untuk mencapai jangkauan secara nasional. Pada bulan Juli 2009 pendekatan intervensi struktural mulai menunjukkan hasil dalampencegahan penularan melalui transmisi seksual baik pada WPSL maupun WPSTL. Perluasan jangkauan dilaksanakan dengan dukungan GFATM.Laporan pada bulan Juni 2011 menunjukkan bahwa telah terjangkau sebanyak 82.384 perempuanpekerja seks langsung (78% dari estimasi), 58.244 pekerja seks tidak langsung (54%),23.269 pekerja seks waria (73%), 28
dan 54.836 LSL (8%). Dampak nyata intervensi struktural PMTS adalah meningkatnya penggunaankondom. Jumlah kondom gratis yang didistribusikan ke lebih dari 4000 outlet kondom antaraJuli 2009 sampai dengan Juni 2011 secara kumulatif berjumlah 13.830.854 kondom laki-laki dan 548.175 kondom perempuan. Sedangkan penjualan kondom komersial makinmeningkat dari 69.587.608 di tahun 2006 menjadi 116.701.048 di tahun 2010. Namundemikian, peningkatan ini masih jauh dari cukup.Untuk mengendalikan epidemi HIV dan AIDS, dibutuhkan jangkauan yang lebih luas dan lebih efektif sertaperubahan perilaku yang konsisten. Pelaksanaan Konseling Tes Sukarela (KTS) atau Voluntary Counseling and Testing (VCT) meningkat dari tahun ke tahun. Perluasan KTS ini tampak dalam jumlah pelatih (trainer) nasional sektor antara tahun2004 – 2011, yang mencakup calon konselor dan manajer kasus meliputi 1.053 lembagatermasuk rumah sakit, puskesmas, klinik paru-paru, LSM, perusahaan swasta dan lain-lain. Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa pada tahun 2006 hanya ada 100 tempatyang memberikan layanan KTS, namunpada bulan Juni 2011 sudah terdapat 388tempat layanan di RS, puskesmas, dan lembaga pemasyarakatan (lapas) yang melaporsecara teratur kepada Kemenkes.Sebanyak 658.401 orang dilaporkan telah menjalani pemeriksaan dan 66.693 diantaranya dinyatakan positif HIV. Bagian yang sangat penting dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesiaadalah pengintegrasian layanan kesehatan terkait HIV dan AIDSkedalam sistemkesehatan yang ada, sesuai dengan peningkatan kemampuan dan kebutuhan di daerah.“Continuum of care (CoC)” adalah bentuk usaha pengintegrasian yang pada dasarnya terdiri dari suatu rangkaian kegiatan dan layanan yang terdiri dari konseling dan testing, diagnosa dan pengobatan IMS, pengobataninfeksi oportunistik (IO), serta diagnosa dini dan pengobatan AIDS dengan antiretroviral (ARV) yang tepat. Didalamnya juga termasuk upayauntuk pencegahan penularan HIV dari Ibu hamil kepada bayinya melalui integrasi layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dengan pemeriksaan HIV salah satunya melalui pemberianARV profilaksis bagi Ibu hamil yang HIV positif yang dikenal dengan nama program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA).Saat ini pelaksanaan layanan PPIA telah terintegrasi ke dalam sistem kesehatan masyarakat di79 lokasi, dan direncanakan diperluas baik jumlah maupun mutunya. Selain itu, mengingat tingginya kasus ko-infeksi antaraHIV dan Tuberkulosis (TB), maka telah dikembangkan pula program khusus TB-HIV baikdalam masyarakat maupun dalam lapas. 29
Demikian pula perhatian terus ditingkatkanterkait ko-infeksi hepatitis B dan C di kalangan penasun. Pada bulan Juni 2011, sebanyak 218 rumah sakit dan 68 fasilitas satelit telah secara teratur melaporkan layanan PDP yang terintegrasi di 32 provinsi. Dalam upayauntuk meningkatkan cakupan KTS sebagaimana yang dibutuhkan, konseling dan tes atas inisiatif tenaga kesehatan ataudisebut dengan Provider Initiated Counselingand Testing(PICT) telah diintegrasikan secara cepat di banyak fasilitas layanan HIV dan AIDS, khususnya di rumah sakit danpuskesmas. Kegiatan ini didukung oleh pelatihan serta buku pedoman bagi petugas kesehatan. Pada tahun 2004 dalam sebuah pertemuan di Sentani yang diselenggarakan oleh kantor Menkokesra, lima Departemen yaitu; Departemen Kesehatan, Sosial, Agama, Pendidikan Nasional, Dalam Negeri, dan Kantor Menkokesra, Ketua Komisi VII DPR-RI, Kepala BKKBN dan para gubernur dari enam daerah yang terkena pengaruh HIV dan AIDS paling parah (Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, dan Papua), sebuah komitmen bersama berhasil dicapai. Dari pertemuan ini didapatkan komitmen untuk bersama guna meningkatkan efektifitas dan cakupan respons Indonesia terhadap epidemi terutama di enam propinsi yang diprioritaskan. Komitmen mengandung program aksi, yang terdiri dari tujuh hal, bertujuan mendorong sebuah penanggulangan yang komprehensif dan terintegrasi terhadap epidemi tersebut. Salah satunya adalah mengupayakan pengobatan HIV dan AIDS dan pengobatan ARV kepada minimum 5000 ODHA pada tahun 2004. Kesepakatan tersebut di laksanakan melalui realisasi anggaran pemerintah pada tahun 2003 – 2004 sebesar 30% dari total jumlah dana yang digunakan untuk program HIV dan AIDS nasional, 70% dari kebutuhan biaya disediakan oleh donor luar negri. Sampai dengan bulan September 2014 adalah sebanayak 45.631 orang telah menerima ARV.Berikut adalah gambaran upaya perawatan HIV dan terapi ARV sampai dengan September 2014 :
30
Gambar 4. Alur dan jumlah cakupan layanan ART di Indonesia
Sumber : Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014
D.
Sinergi Fungsi dan Peran Stakeholder di Tingkat Nasional
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat Nasional digerakkan oleh para pemangku kepentingan yang menjalankan peran dan fungsi masing-masing khususnya lembaga/institusi yang menjadi bagian dari anggota KPAN. Berikut adalah gambaran peran dan fungsi dari pemangku kepentingan kunci HIV dan AIDS yang dikaji dalam penelitian ini. a. Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merupakan lembaga tinggi negara yang mengkoordinasikan perencanaan dan strategi pembangunan nasional. Secara berkala, Bappenas menyelenggarakan pertemuan konsultatif dengan sekretaris daerah dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Peran Bappenas cukup strategis memastikan semua program pembangunan mendapatkan alokasi pendanaan yang memadai sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing institusi. Bappenas memiliki kewenangan konsultatif untuk mengkritisi rencana anggaran sesuai dengan rencana strategis masing-masing kementerian. Bappenas sebagai lembaga negara memiliki kewenangan penting dalam pengambilan keputusan terkait penyusunan prioritas dan strategi pencapaian program pembangunan berdasarkan RPJMN yang sudah disusun. 31
Peran Bappenas dalam penyusunan rencana berjangka telah menyusun strategis dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan antara lain sektor pemerintah, masyakarakat sipil serta mitra pembangunan nasional. b. MPI Mitra Pembangunan Internasional (MPI) sebagai lembaga kemitraan berperan sebagai pendukung implementasi berbagai kegiatan program pada level nasional maupun daerah(provinsi maupun kabupaten/kota). Dukungan MPI ini telah menunjukkan kontribusi dalam meningkatkan jumlah tes HIV hingga 10%. Kerjasama dan kemitraan dengan MPI ini juga mendukung pengembangan dari kementerian seperti program Supply Chain Management (SCM) yang dilakukan oleh Clinton Heatlh Access Initiative (CHAI) untuk Kemenkes. Kemitraan melalui Program SCM di Kementerian Kesehatan beberapa daerah saat ini sudah kelihatan pengaruhnya dengan kemampuan pengelolaan stock obat ARV untuk menjaga keberlanjutan program ARV. CHAI sebagai lembaga yang fokus kegiatannya berada di Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki tantangan dan hambatangeografis yang tinggi. Keberhasilan CHAI dalam memberikan dukungan pembangunan kesehatan di dua daerah tersebut dapat menjadi model pengembangan program daerah lainnya. Sebagai lembaga Non Pemerintah CHAI bekerjasama dengan berbagai lembaga donor lain dalam menjalankan program seperti kerjasama pembiayaan dari GF untuk program-program yag dikembangkannya. Sumber daya CHAI cukup tinggi sehingga sebagai lembaga non pemerintah bersama dengan Kemenkes memberikan dukungan teknis dan pembiayaan bagi peningkatan kapasitas sumber daya kesehatan di daerah. Kemampuan sumber daya yang dimiliki menjadikan CHAI sebagai lembaga yang punya kekuatan dalam mengimplementasikan program di Papua dan Papua Barat. c. KPAN Koisi penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) memiliki mandat sebagai lembaga yang diberi kewengangan untuk mengkoordinasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat Nasional dengan berbagai kementrian yang menjadi anggota KPA (23 Anggota) melalui Peraturan Pemerintah Nomor. 75 Tahun 2006 untuk menekan laju pertumbuhan 32
epidemi di Indonesia. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS, KPA bekerjasama dengan semua pihak baik kementerian terkait maupunlembaga non pemerintah dan komunitas populasi kunci menyusun perencanaan aksi strategis nasional (STRANAS) sebagai dokumen yang diacu secara nasional bagi upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara komprehensif oleh KPAP/D. KPAN dalam prakiknya belum mengoptimalkan perannya strategisnya sebagai koordinator dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang bersifat multisektoral. Disamping memainkan peran dan fungsi sebagai lembaga koordinatif, KPAlebih banyak memainkan peran dalam implementasi contohnya melakukan pendistribusian kondom. Peran ini menjadi tumpang tindih dengan peran yang semestinya menjadi wilayah dari Kemenkes. KPAN juga memainkan fungsi sebagai lembaga yang melakukan monitoring dan evaluasi program dengan mengembangkan survei cepat perilaku (SCP) untuk menilai perubahan-perubahan pada sasaran program seperti populasi kunci. KPAN melaksanakan perannya mendapatkan pembiayaan dari sumber APBN serta dukungan dari MPI. Pembiayaan untuk upaya penanggulangan HIV dan AIDS banyak menggantungkan pada dukungan pendanaan dari MPI meskipun dalam perkembangannya dikatakan bahwa pembiayaan dari pemerintah untuk HIV dan AIDS semakin meningkat, sudah mencapai hampir 42% pada tahun 2012. Berdasarkan hal tersebut, KPAN memiliki kekuatan yang tinggi sebagai lembaga yang memiliki mandat dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, meskipun dalam praktik belum optimal memainkan perannya sebagai lembaga strategis yang dapat menggerakkan berbagai sumber daya untuk penanggulangan HIV dan AIDS secara multi sektor. d. Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai lembaga penanggung jawab utama sektor kesehatan memiliki peran signifikan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Sebagian besar peran strategis dari Kemenkes ini dilakukan dalam fungsi dan perannya sebagai pengambil kebijakan dengan melakukan penerbitan kebijakan terkait HIV dan AIDS yang kemudian digunakan sebagai pedoman dalam merespon epidemi HIV.
33
Kemenkes dalam implementasi program penanggulangan HIV dan AIDS di lapangan bersama
dengan
unit-unit
layanan
dibawahnya
seperti
Dinas
Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota memainkan peran dalam mengkoordinasikan
upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Program HIV dan AIDS berdasarkan data yang dihimpun Kemenkes telah dapat menurunkan angka kematian signifikan. Gambarannya ODHA yang mendapatkan akses pengobatan ARV sudah mencapai 85% dari angka yang dilaporkan. Sementara jika dibandingkan dengan angka estimasi ODHA yang mendapatkan pengobatan baru 10% dari total. Keberhasilan dalam penurunan angka kematian dan penekanan laju perkembangan virus HIV menjadi indikator keberhasilan kinerja kementrian kesehatan. Sehingga penanggulangan HIV dan AIDS menjadi tanggungjawab dari Kemenkes dalam upaya pembangunan kesehatan masyarakat. Dalam menjalankan program penanggulangan HIV dan AIDS, Kemenkes banyak mendapatkan dukungan dari pendanaan multilateral dari Global Fund dalam bentuk pendanaan, sekaligus juga dukungan teknis. Seperti halnya KPAN, Kemenkes menjalankan fungsi koordinasi terkait dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah sebagai dampak dari kebijakan desentralisasi. Kemenkes melakukan fungsi kontrol dan koordinasi dengan unit-unit di bawahnya dalam implementasi program penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional. e. Ikatan Profesi (Perawat, Bidan, Dokter, Konselor, Tenaga gizi) Perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan berbasis profesi menjadi bagian dari partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS baik pada aspek pencegahan, pengobatan dan mitigasi dampak. Peranan asosiasi tenaga kesehatan ini adalah sebagai pelaksana di lapangan baik sebagai tenaga medis maupun non medis. Kompetensi spesifik yang dimiliki menjadikan perkumpulan berbasis profesi kesehatan ini menjadi sumber informasi dan layanan yang dipercaya.Contohnya seperti yang terjadi di Papua dan Papua Barat,bahwa berkat keberadaan dan peran asosiasi profesi membantu meningkatkan temuan kasus meningkat 10 %. PDPAI merupakan lembaga profesi dokter yang memiliki kepedulian untuk AIDS yang melakukan pendidikan layanan HIV dan AIDS sehingga semakin banyak jumlah dokter yang mampu dalam melakukan tatalaksana pengobatan HIV dan AIDS. PDPAI 34
menargetkan kemampuan ini bukan hanya dimiliki oleh dokter spesialis akan tetapi sudah seharusnya dimiliki dokter umum. Selama ini PDPAI telah melakukan pelatihan di berbagai daerah (Banten, Batam, Palembang, Kendari, Purwokerto, Medan, Lampung, juga Manado) dan mendirikan cabang-cabang organisasi PDPAI daerah. Pelatihan yang dilakukan selain melibatkan RS pemerintah, peserta latihan PDPAI ada juga dari kalangan RS Swasta. Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Insonesia (PDPAI) menjadi lembaga penyedia resource untuk tata laksana pelayanan HIV dan AIDS berbagai Rumah Sakit. Melalui Program Strategic Use for Anti Retroviral (SUFA), pemerintah akan semakin membutuhkan banyak tenaga yang memiliki kapasitas untuk melakukan perawatan dan pengobatan HIV dan AIDS.
Dengan demikian, keberadaan PDPAI memiliki peran
meningkatkan pentumbuhan jumlah dokter yang dapat melakukan pemberian ARV harus segera dilakukan. Selain melalui pelatihan-pelatihan, peningkatan pengetahuan dan keahlian dapat juga dilakukan pertemuan rutin seperti pertemuan dua tahunan PDPAI. Sementara sebagai lembaga profesi PDPAI mampu memperluas keanggotaan dan meningkatkan keahlian serta pengetahuan, sebagian besar mereka anggotanya masih berada di wilayah perkotaan. Walaupun tidak banyak, ada juga dokter anggota PDPAI yang ditinggal di daerah terpincil dan mampu melaksanakan kasus HIV dan AIDS. Sebagai contoh misalnya dokter di daerah terpencil seperti Kepulauan Tanjung Balai Karimun (Provinsi Riau Kepulauan) dan di daerah Sangata (Provinsi Kalimantan Timur), bahkan juga di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Di sisi lain lembaga ini telah mampu mengadvokasi pemerintah dalam hal ini Kemkes selaku pembuat kebijakan. Kepentingan dari para profesional tenaga kesehatan ini tinggi karena para profesional ini yang menjadi panutan untuk memberikan layanan kesehatan secara umum, termasuk layanan HIV dan AIDS. Meskipun demikian, sumber daya untuk penanggulangan HIV dan AIDS belum mencukupi, karena memang secara keseluruhan tenaga kesehatan di Indonesia jumlahnya masih kurang dari jumlah yang dibutuhkan. Sebagai lembaga profesi kesehatan, Ikatan profesi memiliki kekuatan dalam menentukan standar kompetensi layanan kesehatan. Disamping itu, ikatan profesi 35
kesehatan juga berfungsi sebagai lembaga yang mengatur kode etik organisasi profesi yang dapat memberikan sanksi bagi yang melanggar maupun advokasi yang terkena kasus hukum sebagai dampak dalam menjalankan profesinya. f. Rumah Sakit Layanan ARV telah dilakukan oleh rumah sakit yang merupakan UPT Kemenkessebagai bagaian dari usaha penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia melalui program PDP. Rumah sakit memiliki peranan sebagai pusat rujukan layanan kesehatan dan menjadi pusat rujukan LKB yang merupakan tempat perawatan dan pengobatan HIV, IMS dan penyakit lainnya terkait HIV dan AIDS. Untuk kebutuhan SDM secara internal, RS dapat melakukan berbagai pelatihan dan in house training untuk staf-stafnya sesuai kebutuhan. Selain itu RS juga memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur dan memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam rumah sakit sehingga kekuasaan yang dimiliki semakin besar untuk melakukan perencanaan sesuai kebutuhannya sendiri termasuk obat IO, IMS dan reagen VCT. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS menyebutkan bahwa salah satu trategi yang digunakan dalam melakukan penanggulangan HIV dan AIDS salah satunya adalah dengan meningkatkan ketersediaan dan keterjangkuan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS dimana hal tersebut dilakukan oleh rumah sakit pemberi layanan. Secara nasional terdapat 448 layanan PDP yang aktif melakukan pengobatan ARV yang terdiri dari 328 RS rujukan PDP (induk) dan 120 satelit.Salah satu rumah sakit pusat tingkat nasional adalah RSUPN Dr. Cipto Mangukusumo, dan disana terdapat pusat layanan HIV dan AIDS. Peran Unit Pelayanan Terpadu (UPT) HIV RSCM adalah sebagai unit layanan dari rumah sakit pendidikan FKUI. Dimana sejak November 1999 lembaga ini sudah memulai program akses diagnostik dan terapi ARV. Sebagai rumah sakit pemberi layanan ARV pertama kali di Indonesia saat ini menjadi UPT HIV RSCM sejak tahun 2004 dan telah menjadi rujukan nasional bagi RS lainnya di Indonesia. Hingga saat ini jumlah ODHA yang telah dilayani di UPT HIV RSCM sudah mencapai 7000 ODHA.
36
Disamping itu sejak 13 Maret 1986 oleh Dekan FKUI telah didirikan Kelopok Studi Khusus (UPT HIVsus) AIDS FKUI. Awalnya hanya melakukan beberapa kajian literatur dan penatalaksaan PDP yang terbatas. Hal ini dikarenakan obat ARV yang sudah ada sejak tahun 1996, harganya masih sangat mahal. Obat ARV saat itu untuk satu bulan pengobatan dengan 3 kombinasi obat berharga $1000. Namun terjadi titik balik pada tahun 2001, UPT HIVsus AIDS berhasil mengakses obat ARV generik dari India. Sejak saat itu semakin banyak teman ODHA yang dapat ditolong, semakin banyak tenaga kesehatan (dokter, perawat, bahkan konselor) yang trampil dalam menatalaksana HIV. Program PDP semakin terstandarisasi dengan baik. Sebagai lembaga dibawah universitas, UPT HIVsus merupakan salahsatu wujud dari tridarma perguruan tinggi, dimana pemberian layanan di UPT HIV RSCM merupakan perwujudan dari pengabdian masyarakat.Di samping itu dengan adanya konsep layanan terpadu, unit ini menjadi tempat bagipara tenaga kesehatan agar dapat meningkatkan keahlian dan pengetahuan yang di miliki. Selain itu hasil-hasil penelitian yang dilakukan dapat digunakan sebagai landasan bukti dalam pengambilan kebijakan. UPT HIVRSCM sebagai RS rujukan nasional dan RS pendidikan memiliki sumber daya
cukup
sehinggaUPT ini dapat memberikan layanan PDP yang komprehensif dan berkesinambungan, ditunjang dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang diperlukan baik jumlah dan kualitasnya serta pembiayaannya sudah tercukupi. g. Kementerian Sosial Kementerian sosial (Kemensos) merupakan lembaga pemerintah yang memiliki peran dan fungsi memberikan jaminan masyarakat yang miskin dan terlantar melalui berbagai program pemberdayaan seperti peningkatan kapasitas dan bantuan sosial untuk meringankan (mereduksi) penderitaan. Pada konteks layanan kepada ODHA, Kemensos memberikan dukungan jaminan berupa rekomendasi dan rujukan kepada RS untuk mendapatkan layanan kesehatan gratis melalui mekanisme Jamkesos yang dapat diakses oleh kelompok populasi kunci. Kemensos melalui dinas sosial di daerah aktif memberikan dukungan untuk pemberdayaan ekonomi bagi kelompok populasi kunci seperti bantuan sosial untuk mengembangkan usaha kecil, atau dukungan berupa jatah hidup untuk ODHA dan 37
keluarganya. Akan tetapi, Kemensos dalam beberapa hal melakukan kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap para pekerja seks dengan mendorong penutupan lokalisasi di berbagai tempat. Akibatnya, program pencegahan seperti PMTS yang berbasis lokasi menghadapi tantangan untuk dengan kebijakan tersebut. Sumber daya kemensos untuk memberdayakan ODHA cukup besar karena memang lembaga ini yang mendapatkan anggaran secara khusus dari pemerintah dalam memberikan bantuan untuk orang-orang yang terlantar. Kebijakan Kemensos dalam memberikan dukungan kepada ODHA dan kelompok marginal lain masih menggunakan paradigma yang melihat kelompok ini sebagai penyandang masalah sosial kemasyarakatan. h. Jaringan Populasi Kunci Komunitas populasi kunci secara nasional mengembangkan berbagai jaringan seperti IPPI, JOTHI, PKNI dan lainnya yang menjadi wadah bagi pengembangan gerakan komunitas populasi kunci memperjuangkan kepentingan mereka dalam mendapatkan perlindungan hukum, akses layanan kesehatan dan peningkatan kualitas hidup populasi kunci. Keterlibatan Jaringan Populasi kunci dalam pengembangan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS menjadi strategis sebagai tujuan kebijakan tersebut. Melalui jaringan yang dibentuk populasi kunci mengembangkan gerakan penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional. Partisipasi jaringan populasi kunci menjadi pelaksana dari berbagai program yang dikembangkan secara nasional dari Pusat Pembangunan Nasional.
oleh pemerintah maupun Mitra
Jaringan Populasi kunci juga menjadi bagian sebagai
pendamping sebaya untuk ODHA dalam memperoleh layanan kesehatan. Bersama dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat
jaringan populasi kunci
terlibat dalam advokasi kebijakan strategis upaya penanggulangan AIDS di tingkat nasional dan daerah melalui berbagai forum yang ada. Meskipun demikian, Jaringan populasi kunci menghadapi banyak tantangan dalam deskriminasi baik dari penyedia layanan sendiri maupun dari masyarakat secara luas untuk terlibat secara lebih strategis dalam pengembangan perencanaan program penanggulangan HIV dan AIDS melalui
38
mekanisme yang ada seperti musrenbang di tingkat pedsaan hingga musrenbang di SKPD. i. IBCA (Indonesian Business Coalition on AIDS) IBCA merupakan koalisi dari berbagai perusahaan sebagai forum yang mewakili dunia usaha sebagai anggota KPAN. IBCA mengembangkan program di lingkungan perusahaan untuk paparan pengetahuan HIV dan AIDS untuk para pekerja.
IBCA juga
mengembangkan program VCT di tempat kerja sebagai berkerjasama dengan ILO dan UNAIDS sebagai bentuk dukungan pada kementerian ketenagakerjaan dan Transmigrasi dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja. IBCA juga berperan sebagai forum yang mewakili dunia kerja yang memberikan sertifikasi kepada perusahaan yang terbukti berhasil mengembangkan programprogram penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan pekerjanya. IBCA memiliki posisi yang cukup strategis sebagai forum perusahaan untuk mengembangkan programprogram kepedulian melalui CSR yang bisa dioptimalkan untuk penanggulangan HIV dan AIDS. IBCA juga mewakili jaringan mitra koalisi dunia usaha di tingkat ASEAN. j. Perguruan Tinggi Perguruan tinggi mempunyai peran yang strategis dalam penanggulangan masalah HIV dan AIDS di tingkat nasional dimana perguruan tinggi dapat sebagai penunjang yang berperan penting misalnya dalam bidang penelitian dan pengembangan dibidang epidemiologi, humaniora kesehatan, manajemen perawatan dan pengobatan, obat, biomedik, dampak sosial ekonomi, teknologi dasar dan terapan serta bidang lain. Hasil dari penelitian tersebut dapat diadopsi dan diterapkan untuk perbaikan pelayanan HIV dan AIDS. Sehingga dalam hal ini perguruan tinggi memiliki kepentingan tinggi, karena ada banyak penelitian klinis HIV dan AIDS yang akan dan telah terus dihasilkan oleh para mahasiswa dan tenaga pengajar. Dalam pasal 20 ayat 2 UU no 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dan dalam PP 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dinyatakan bahwa perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Penelitian merupakan kegiatan telaah taat kaidah dalam upaya untuk menemukan kebenaran dan/atau menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi. 39
Dalam hal pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat. Sehingga perguruan tinggi sebagai organisasi pendidikan merupakan salah satu saluran perubahan sosial dan kebudayaan. Dalam penanggulangan HIV dan AIDS perguruan tinggi berperan selaku agen perubahan yag melalukan berbagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap masyarakat, dimana perguruan tinggi dapat berperan sebagai konseptor, inovator, evaluator, fasilitator dan fungsi advokasi. Salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang memilki komitmen terhadap penanggulangan HIV dan AIDS adalah Universitas Indonesia (UI). UI sebagai pelopor dalam program PDP FKUI memiliki kewajiban moral untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keahlian peserta didiknya para mahasiswa, dokter dan dokter spesialis. Pada tataran praktis, peran dari Universitas Indonesia untuk penanggulangan AIDS cukup aktif karena secara teratur FKUI telah meluluskan 200-300 dokter yang mampu menatalaksana kasus-kasus klinis HIV dan AIDS. Lebih dari itu penelitian HIV dan AIDS dari tahun ketahun jumlahnya terus bertambah, apakah itu penelitian klinis maupun non klinis sudah banyak dilakukan. Universitas memiliki kepentingan tinggi, karena ada banyak penelitian klinis HIV dan AIDS yang akan dan telah terus dihasilkan oleh para mahasiswa dan dokter. Tenaga dokter yang dihasilkan juga akan terus bertambah. Demikian juga, Universitas memiliki dumber daya tinggi, karena berdasarkan pengalaman dan tingginya jam terbangdan bertambahnya jumlah para ahli maka peningkatan kualitastenaga kesehatan dan penelitian-penelitian yang dihasilkan jumlahnya akan terus bertambah tanpa harus khawatir tidak adanya bantuan dari donor. Meskipun demikian Universitas memiliki kekuatan yang sedang sebab walaupun sudah banyak terdapat penelitian klinis dan non klinis yang dilakukan, namun kebanyakan hasil dari penelitian tersebut belum dipergunakan sebagai landasan ilmiah dalam penyusunan kebijakan kesehatan khususnya dalam program penanggulangan HIV DAN AIDS. Berdasarkan gambaran peran dan fungsi para pemangku kepentingan kunci HIV dan AIDS tersebut dilakukan analisis lebih lanjut untuk melihat tingkat kepentingan, sumber daya dan 40
kekuatan yang dimiliki. Penilaian dilakukan dengan mendasarkan pada kriteria : Tinggi, Rendah dan Sedang untuk pada kategori kepentingan, sumber daya dan kekuatan dari masing-masing pemangku kepentingan berdasarkan deskripsi peran dan fungsi
secara
normatif dan implementasinya di lapangan dari hasil wawancara mendalam, FGD, data sekunder dan pengamatan.Adapun hasil dari penilaian yang dilakukan terhadap tingkat kepentingan, sumber daya dan kekuatan para pemangku kepentingan kunci di tingkat Nasional seperti dalam tabel berikut: Tabel 2. Analisa Pemangku Kepentingan
Aktor Bappenas CHAI (NGO Int’l) KPAN Kementerian Kesehatan Profesi (Perawat, Bidan, Dokter, Konselor, Tenaga Gizi) Rumah Sakit PDPAI Perguruan tinggi Kemensos IBCA Jaringan Populasi Kunci
Kepentingan Sumber daya T S T S T S
Kekuatan T S S
T
S
S
S
S
S
T T T T T
T T T T T
T S S T T
T
R
R
Keterangan: T: Tinggi, S: Sedang R: Rendah
Hasil penilaian menunjukkan adanya variasi tingkat kepentingan, sumber daya dan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing pemangku kepentingan kunci. Secara singkat, dapat ditarik simpulan
fungsi dan peran pemangku kepentingan ini berbasis pengkategorian tersebut
sebagai berikut: 1. Kelompok pemangku kepentingan yang dinilai Tinggi untuk Kepentingan, Sumber daya dan Kekuatannya yakni Rumah Sakit. 2. Kelompok pemangku kepentingan yang dinilai Tinggi pada kepentingan dan sumber dayanya, sedangkan kekuatan sedang (Universitas, dan PDPAI) dan Bappenas dengan kepentingan Tinggi pada sumber daya dan kekuatan, sedang sumber daya sedang. 41
3. Kelompok pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan tinggi, dengan sumber daya dan kepentingan yang sedang (CHAI, KPAN, dan Kementrian Kesehatan) 4. Kelompok pemangku kepentingan dengan penilaian sedang untuk penilaian kepentingan,sumber daya dan kekuatannya, yakni Ikatan Profesi (perawat, bidan, dokter, konselor dan tenaga gizi). Hasil penilaian peran dan fungsi pemangku kepentingan kunci HIV dan AIDS di tingkat nasional ini juga menunjukkan bahwa hampir semua pemangku kepentingan kunci memiliki kepentingan yang tinggi, akan tetapi tidak semua memiliki sumber daya dan kekuatan yang tinggi. Sedangkan kekuatan yang Tinggi dinilai dimiliki oleh Bappenas dan UPT HIV RSCM. Sementara untuk sumberdaya sebagian besar pemangku kepentingan dinilai sedang. Dengan demikian, secara nasional peran dan fungsi
pemangku kepentingan kunci
tersebut
menunjukkan bahwa perhatian terhadap HIV dan AIDS sudah ada pada sebagian pemangku kepentingan kunci dengan sumber daya dan kekuatan yang belum berimbang sebagai penunjang untuk implementasinya.
E.
Gambaran Pola Integrasi Berdasarkan Subsistem Kesehatan
Pola integrasi dalam sistem kesehatan merupakan bagian penting dalam implementasi dari perencanaan yang disusun membentuk sebuah pola yang saling berkaitan dari setiap subsistem kesehatan, keterkaitan dari masing – maisng subsistem kesehatan dapat dilihat pada uraian di bawah ini : 1.
Manajemen dan Regulasi
a. Regulasi Regulasi sudah diatur secara nasional seperti yang tercantum dalam Permenkes no.21 tahun 2013 dan juga instruksi dalam negeri dari Kementerian Dalam Negeri No.3 tahun 2013.Hal ini membuktikan bahwa sudah cukup banyak peraturan yang dikeluarkan secara nasional. Namun, regulasi di beberapa daerah belum sejalan dengan regulasi nasional salah satunya disebabkan karena HIV dan AIDS belum masuk ke SPM layaknya TB. NGO Clinton Heatlh Access Initiative menyatakan sebagai berikut: “Standar pelayanan minimal berbeda dengan TB, TB sudah masuk standar pelayanan minimal, KIA sudah masuk ke standar pelayanan minimal artinya 42
pemerintah daerah kalau sudah masuk standar layanan wajib mengalokasikan budget untuk penyakit tersebut, HIV ini belum sehingga menjadi sulit mendapat support di daerah untuk dukungan alokasi dana” (CHAI) Hal ini menyebabkan pembiayaanuntuk penatalaksanaan HIV dan AIDS di daerah berkurang dan berdampak terhadap outcomenya, antara lain pemeriksaan diagnosis HIV, terapi ARV dan layanan konseling. Regulasi yang diatur dalam Permenkes no.21 tahun 2013 tersebut antara lain mengenai tugas dan tanggung jawab pemerintah, kegiatan penanggulangan dan surveilans. “Belum diatur, tergantung daerahnya dimana, seperti di Papua, kenapa sebagian besar HIV AIDS tidak masuk di dalam regulasi daerah karena HIV [dan] AIDS tidak masuk ke SPM/Standar Pelayanan Minimal”(CHAI) Perwakilan CHAI juga menyatakan bahwa jika Kepala Daerah memiliki kesadaran dan memiliki pemahaman yang komprehensif tentang HIV dan AIDS, maka pengaturan regulasi akan menjadi lebih mudah. Akan tetapi karena tidak semua Kepala Daerah memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama akan HIV dan AIDS, maka tidak mudah untuk mengatur regulasi berkait HIV dan AIDSdi daerah. Rencana strategis sudah dikerjakan dengan cukup baik. Seperti UPT HIV yang bekerja sama dengan RSCM dan fakultas untuk membuat arah kebijakan kedepan. Penyusunan renstra ini juga melibatkan cukup banyak pihak, seperti yang dilakukan KPAN dimana dalam penyusunan Renstra dilakukan melalui rapat yang melibatkan berbagai perwakilan kementerian, LSM dan institusi lainnya, termasuk lembaga donor. KPAN menyatakan bahwa proses ini berlangsung melalui acara lokakarya untuk membahas RAN tahun 2014-2019, yang diharapkan tahun ini dapat dicetak. b. Formulasi Kebijakan Sumber informasi data epidemi sudah disusun secara nasional.Sumber informasi yang dimaksud antara lain seperti hasil data epidemi yang dikeluarkan laporan yang dikeluarkan KPAN, Kementerian Kesehatan ataupun organisasi LSM Nasional (Spiritia, dsb). Interval waktu laporan yang dikeluarkan bergantung dari institusi masing-masing, dapat setahun atau lima tahun sekali. Selain itu beberapa provinsi juga mengeluarkan data sendiri seperti DKI Jakarta.Data epidemi yang disusun oleh Bappenas sudah disajikan dalam bentuk visual, sehingga menarik dan diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah tingkat provinsi untuk 43
membuat ukuran-ukuran berkait penyusunan dan penetapan kebijakan, dinyatakan oleh salah satu staf Bappenas berikut ini: “…dan kita sajikan dalam bentuk visualisasi, data itu dalam bentuk yang menarik, sehingga kita pas menyajikan ini ke provinsi dia bisa mengukur dirinya sendiri. Itu yang kedua saya lakukan. Yang ketiga saya menyusun laporan MDGs secara nasional setiap tahun. Selama saya bertugas disini sudah menyusun laporan MDGs 2011 dan sudah di submit ke PBB dan juga ke seluruh stakeholder disini ke kementrian ke pusat, daerah kemudian mitra internasional menyusun dalam dua versi, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sekarang yang dilaporkan 2013. Sudah selesai tinggal launching saja…”(Bappenas) Intervensi yang dilakukan berdasarkan data yang didapatkan.Seperti pada tahun 2010 dimana pasien HIV dari populasi penasun meningkat sehingga intervensi terhadap penasun juga ditingkatkan(Evaluasi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011 oleh KPAN). Lalu pada data yang baru terdapat kecenderungan peningkatan penularan seksual sehingga intervensi akhirnya diarahkan kesana.Pedoman terbaru dari WHO untuk penatalaksanaan HIV juga akan diterapkan perlahan-lahan sesuai kondisi di Indonesia.Hal ini ditegaskan oleh staf Kementrian Kesehatan dalam kutipan berikut ini: “Jadi ada beberapa nara sumber dasar untuk dijadikan untuk penyusunannya, betul evidence base, berdasarkan situasi epidemic yang ada, kalau kita lihat sebelum 2005, Ada perbedaaan tahun 2010 penularan meningkat pada penasun pada saat itu kita banyak melakukan intervensi pada penasun. Sekarang sudah menurun, dan ternyata yang penularan seksual itu meningkat kita udah mulai, Kita rubah2 kita sesuaikan dengan yang ada. Evidence base kita ambil kemudian berdasarkan komitmen dunia dan juga dari WHO dia punya kebijakan apa? Guidelines kita juga ambil. Seperti WHO sudah mulai mencanangkan dibawah 500. Kita masih 250. Mungkin kita belum sampai kesitulah, kita bikin 250 pun masuk masih dibawah 200, Mulai terapi juga disesuaikan / diadaptasi dengan situasi di Indonesia.selain evidenbase, gak kalah penting juga masalah finansial seperti apa situasinya.”(Kemkes) Data epidemi yang diperoleh (misal: data UPT HIVsus RSCM) dipakai sebagai dasar untuk penyusunan kebijakan penatalaksanaan HIV di tingkat nasional. Data tersebut juga dipakai dalam penyusunan laporan evaluasi penanggulangan di tingkat provinsi misalnya propinsi DKI Jakarta. Selain data, para pakar HIV dari institusi pendidikan (FKUI) tidak jarang diminta pendapatnya dan ikut dalam penyusan kebijakan penanggulangan HIV baik di tingkat nasional ataupun daerah.
44
Untuk di tingkat fasilitas layanan kesehatan regulasi dibuat dalam bentuk SPO salah satunya adalah untuk aturan obat spesifik sudah ada dan jelas instruksinya mudah diikuti, untuk masing-masing jenis pasien juga sudah dibeda-bedakan; ibu hamil, anak, dewasa dan bayi. Hal ini dinyatakan oleh pihak UPT HIV RSCM sebagai berikut; “Apakah ada aturan tentang obat yang spesifik, maksudnya untuk ARV pediatrik atau TB HIV dan lainnya seperti hepatitis dan ibu hamil? Apakah ada aturan pemakaian obat di UPT HIV untuk kasus-kasus itu? Kalau ada hepatitis regimennya seperti apa, SOP ada dan sudah jelas dan mudah diikuti. Demikian pula untuk anak, dan untuk bayi baru lahir, sudah dibuat dan ngambil ARV-nya memang di UPT HIV, tapi polikliniknya tidak tergabung disini tetapi di bagian anak (UPT HIV-RSCM)” Tetapi tidak terdapat SOP untuk mengeluarkan, mendistribusikan, dan memberikan kepada unit pelayanan kesehatan lain baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Maka semua dana kebutuhan alat, berasal dari RSCM. Berkait dengan jaminan kualitasnya, sudah diatur dalam SOP tersendiri, misalnya kapan kadaluwarsanya, dan seterusnya.
Namun pada
permasalahan yang berkait dengan penyediaan, distribusi, dan kualitas obat dan reagen, UPT HIV tergantung pada Departemen Kesehatan, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan berikut; “Masalah khusus terkait penyediaan, distribusi dan kualitas dari obat dan reagen di UPT HIV? Untuk obat UPT HIV sangat tergantung dari Depkes, kesulitan besar belum terjadi tetapi kesulitan kecil sering, misalnya obat suka telat datangnya. Tapi tidak sampai membuat pelayanan menjadi terhenti. Demikian pula lab dan reagen sering kira minta 20-an tapi yang datang 16 Itu yang masalah biasa didapatkan (UPT HIV-RSCM). c.
Akuntabilitas dan Daya Tanggap
Regulasi dari Kemenkes terkadang tersampaikan dalam waktu cukup lama seperti di Papua.Juga sosialisasi hasil penentuan program tatalaksana HIV di beberapa daerah belum berjalan efektif.Kebijakan pemerintah daerah dalam hal HIV dan AIDS agak terkendala karena sistem informasi dan penyebarluasan informasi yang masih berlum terintegrasi, sehingga beberapa daerah agak lambat dalam pembaruan kebijakannya.Musrenbang misalnya di Papua mengundang berbagai institusi terkait di daerah, namun masih banyak masalah di profesionalitas pihak-pihak terkait sehingga sosialisasi ke masyarakat juga masih kurang. Pihak CHAI menyatakan dalam kutipan berikut ini; “Di Papua, musrembang itu mulai dari desa. Musrembang mengatur pembangunan daerah dari desa dari sana ke kecamatan, kota kabupaten dan kota 45
provinsi dan semua SKPD diundang untuk hadir. Namun, profesionalitasnya masih kurang sehingga sering sosialisasi kurang sehingga pelaksanaan di lapangan juga tidak efektif” (CHAI) Hasil-hasil kebijakan nasional, termasuk Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Pelatihan, pedoman teknis, telah disimpan di situs web MDG Indonesia, antara lain oleh KPAN dan Bappenas, dan ditampilkan di situs web, sertadapat diunduhsecara bebas. Pernyataan ini ditegaskan oleh pihak Bappenas dalam kutipan berikut; “…jadi Juklak dan Juklat pedoman teknis itu yang selalu kami jaga dan selalu kami simpan di website, di MDGs Indonesia. Termasuk keputusan-keputusan mendagri. Jadi keputusan mendagri itu contoh kongkritnya ada satu surat SKb 2 menteri yaitu menteri perencanaan dan menteri dalam negeri di tujukan ke gubernur yang isinya bahwa tolong alokasikan uang untuk mdgs dalam perencanaan tahunan. Ini indikatornya kami lampirkan, MDGs itu ini, Karena kalau misalnya kita tidak jelas juga MDGs itu apa, di daerah juga tidak tahu.” (Bappenas) Hasil penelitian juga di disebarluaskan di banyak forum-forum provinsi sampai nasional.Media KIE juga disebarkan untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat, dibantu oleh LSM.Pokja penelitian juga menyelenggarakan seminar untuk para peneliti di tingkat provinsi maupun nasional.Masyarakat mengakses informasi melalui internet ataupun selebaran yang dibagikan oleh institusi-institusi terkait dengan berbagai program penanggulangan HIV dan juga edukasi oleh dokter/konselor/perawat terutama untuk populasi khusus di lokasi-lokasi pelayanan kesehatan. Dana APBD tersedia untuk daerah, namun tergantung daerahnya. Jika pemerintah daerahnya pedulidan Dinas Kesehatan kuat dalam memberikanpengaruh ke DPRD atau ke kepala daerah, maka akan membantu dalam proses penganggaran. Alokasi dana untuk tatalaksana HIV tidak ditanggung semua oleh nasional dan dibagi ke pemerintah daerah (provinsi/kabupaten) masing-masing.Data mengenai APBD dapat dilihat dari laporan daerah masing-masing, seperti DKI Jakarta dapat dilihat dari Evaluasi Renstra Program HIV dan AIDS tahun 2008-2012. 2.
Pembiayaan Kesehatan
a. Pengelolaan Sumber Pembiayaan Dari sisi kelembagaan, KPA sudah ada di 33 provinsi, serta 171 KPA di kabupaten/kota prioritas. Pada tingkat provinsi seluruh KPA sudah mempunyai Surat Keputusan Gubernur, 26 di antaranya
sudah mempunyai kantor sendiri, dan 29 KPA provinsi mempunyai
pertemuan rutin untuk koordinasi lintas sektor.Dari aspek anggaran, meskipun 46
masih
terdapat kesenjangan dalam ketersediaan dana untuk penyelenggaraan program pada tahun 2007-2009, namun terdapat kecenderungan ketersediaan dana domestik yang cukup meningkat. Sebagai lembaga koordinatif penanggulangan HIV dan AIDS, KPA tidak melakukan koordinasi dan pengelolaan sumber pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS. APBN tidak menanggung secara penuh biaya pengobatan HIV.Sebagian lagi ditanggung oleh provinsi dan kabupaten (seperti di Papua Barat,50% anggaran dari daerah).Anggaran APBN juga terbantu dengan adanya anggaran dari donor seperti GF dan IPPF. Program HIV dan AIDS sudah masuk dalam sistem perencanaan dan penganggaran baik dari pusat sampai ke kabupaten walaupun bervariasi di setiap daerah.Pengarahan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk penyusunan APBD dimana komponen HIV dan AIDS menjadi salah satu yang diperhitungkan menjadi faktor yang sangat membantu, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan berikut ini; “Walaupun besarannya masih bervariasi antar daerah tapi bahwa HIV itu sudah merupakan mainstreaming dalam system perencanaan dan penganggaran baik pusat, profinsi maupun kabupaten, menurut pendapat saya itu sudah lumayan dan itu harus dipelihara dan di maintain, dengan cara itu tadi yang paling efektif adalah guidence dari kementrian dalam negeri untuk memberikan petunjuk pengarahan tentang penyusunan APBD dimana dalam komponennya harus ada komponen HIV itu. Setiap tahun harus itu, dananya setiap tahun dan itu harus terpelihara. Makanya, setiap tahun saya selalu minta tolong ke sekjen kementerian dalam negeri dalam penyusunan APBD tahun depan tolong HIV itu di masukkan. Termasuk untuk MDGs juga dari Mendagri itu untuk membuat surat edaran itu Alhamdulillah sekarang APBD masing-masing profinsi kabupaten sudah teralokasi dana untuk itu.” (Bappenas). Sumber pendanaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia berasal dari dana domestik, bantuan bilateral (USAID, AusAID), GF dan MPI lainnya. Untuk dana domestik, anggaran dialokasikan melalui APBN sektor di tingkat nasional, APBD provinsi maupun kabupaten/kota. Di tingkat nasional 12 kementerian dan lembaga pemerintah telah mengalokasikan dan menggunakan dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Proporsi pendanaan domestik dibandingkan dengan dana bantuan luar negeri secara berangsur telah meningkat seperti terlihat dalam gambar berikut:
47
Gambar 5. Sumber Daya Pendanaan: Kenaikan Pendanaan Dalam Negeri
2004
2006
2007
2008
Sumber : KPAN 2010
Pada gambar di atas, diperlihatkan peningkatan proporsi pendanaan penanggulangan HIV antara domestik dan bantuan luar negeri antara tahun 2004-2008 yaitu dari 22% menjadi 39%. Pada tahun 2004, alokasi anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS adalah sebesar 87 milyar rupiah, sedangkan pada tahun 2008 mencapai 198 milyar rupiah. Mengenai proporsi dana pemerintah dan asing, donor asing memiliki peran yang penting dalam program HIV nasional. Seperti GF membiayai mayoritas kegiatan operasional dari berbagai program HIV dan AIDS dibanding dengan APBN. Untuk ARV, APBN telah membiayai sampai 100%. Proporsi APBD sendiri sudah mulai ditingkatkan untuk anggaran program HIV dan AIDS. Umumnya daerah sudah mempunyai anggaran untuk HIV dan AIDS namun masih banyak juga yang belum cukup. Dari data NASA 2011-2012 didapatkan dana yang dikeluarkan pemerintah melalui APBN mencapai 28.199.758 USD pada tahun 2012. Sedangkan dana APBD (tahun 2012) paling besar dikeluarkan oleh provinsi DKI Jakarta dan Papua, masing-masing sebesar 1.527.629 USD dan 2.993.379 USD. Total APBD yang dikeluarkan dari seluruh provinsi sebesar 8.652.159 USD. Bila dibandingkan dengan total dana yang didapatkan dari bantuan internasional, jumlah total dana dalam negeri masih lebih rendah. Jumlah dana yang didapatkan dari bantuan internasional pada tahun 2012 mencapai 50.150.779 USD dengan penyumbang terbesar berasal dari GF sebesar 24.858.113 USD (49,57%) dari keseluruhan dana internasional dan pemerintah Australia sebesar 16.496.612 USD (32,89%). b. Penganggaran, Proporsi, Distribusi dan Pengeluaran Saat ini, transparansi sumber dana jika untuk penatalaksanaan program HIV dan AIDS sudah cukup baik. Hal ini akan menjadi lebih baik bila ada kerjasama dengan LSM. Penyusunan anggaran telah dilakukan lewat mekanisme renstra pembangunan daerah yang memperhatikan situasi dan kondisi daerah saat itu. Kerjasama dengan swasta nasional dan 48
internasional dalam melaksanakan program CSR untuk penanggulangan HIV DAN AIDS juga harus ditingkatkan. Untuk KPA anggarannya sudah 30-40% dipakai dari APBD dan rencananya akan terus ditingkatkan sehingga ketergantungan terhadap donor luar akan dapat dikurangi perlahan-lahan. Pembagian anggaran APBN dan APBD di daerah sudah ada dengan proporsi yang bervariasi tergantung daerahnya. Anggaran daerah juga dibagi lagi antara proporsi dana untuk provinsi dengan kabupaten. Seperti di Papua ada pembagian dana 40:60 atau 30:70 antara propinsi dengan kabupaten. Untuk RS pusat (RSCM) sumber dana untuk tatalaksana keseluruhannya dari pemerintah dan belum menerima sumber dana dari pihak lainnya. Lembaga donor hanya memberikan dana untuk bantuan susu (PPIA) dan penelitian. Dari laporan National Spending Assesment (NASA) tahun 2011-2012 didapatkan bahwa total dana yang dikeluarkan melalui APBN untuk penatalaksanaan HIV DAN AIDS adalah sebesar 22.206.430 USD pada tahun 2011 dan meningkat menjadi 28.199.758 pada tahun 2012. Kemenkes menjadi sumber terbesar, dimana pada tahun 2011 anggaran yang dikeluarkan mencapai 16.812.659 (75,71% dari total anggaran APBN untuk HIV AIDS) dan sekitar 23.300.197 USD (82,63%) pada tahun 2012. Mayoritas dana digunakan untuk pengobatan, mencapai 89% temasuk 11% untuk pengobatan infeksi oportunistik dan 6% digunakan untuk program pencegahan. Sebagian daerah telahmengalokasikanAPBD untuk program HIV dan AIDS sudah mencapai 30% dari dana yang dibutuhkan untuk program HIV dan AIDS dan selebihnya 70% didapatkan dari dana bantuan. Surat edaran Dirjen P2PL sudah disebarkan untuk mensosialisasikan masalah proporsi APBD yang harus disediakan oleh daerah.Diharapkan dengan inidapat menjadi mekanisme persiapan sebagai jalan keluar dari berbagai bantuan donor, dilain sisi dari kondisi ini akan berakibat jika donor sudah menghentikan berbagai bantuannya, APBN dan APBD sudah harus siap untuk menggantikanagar program penanggulangan HIV dan AIDS dapat terus berjalan.Asuransi sektor swasta umumnya masih belum bersedia untuk membiayai pengobatan HIV dan AIDS.Pemerintah perlu untuk mendorong agar sektor asuransi swasta dapat ikut bergerak dalam menanggulangi HIV dan AIDSserta menghilangkan stigma dan diskriminasi pada ODHA.
49
c.
Mekanisme Pembayaran Layanan
Mekanisme pembayaran layanan bagi populasi kunci sudah ada di dalam layanan JKN yang disediakan oleh pemerintah, termasuk untuk pengobatan dan perawatan diluar ARV, Viral Load, dan CD4. Demikian dinyatakan oleh perwakilan dari organisasi Indonesian AlDS Coalition(IAC) dalam diskusi terarah: “JKN untuk ODHA ada. Pengobatan dan perawatan. Diluar ARV, Viral Load dan CD4. Persoalannya adalah sosialisasinya belum baik. Didalam peraturannya JKN itu untuk semua orang. Tapi kenyataannya teman-teman WPS sulit mengakses karena masalah identitas. Lalu untuk penasun ada kesulitan untuk mengakses jika karena penyalahgunaan obat. IMS juga dicover. Jika viral load, CD4 diintegrasikan ke JKN akan lebih baik.” (IAC) Persoalan yang kemudian menjadi kendala bagi populasi kunci untuk mengakses layanan JKN adalah permasalahan identitas diri karena mayoritas tidak sesuai dengan identitas yang tertera di KTP pun karena populasi kunci enggan untuk diketahui identitas administratifnya. Lain hal dengan penasun, jika situasinya disebabkan oleh penyalahgunaan obat, maka pasien tersebut juga akan kesulitan untuk mengakses layanan karena penyalahgunaan obat tidak termasuk dalam hal yang ditanggungkan oleh program layanan JKN. Pembayaran formal atau informal untuk pelayanan kesehatan juga menjadi persoalan tersendiri bagi populasi kunci. Beberapa klinik yang menyediakan layanan VCT telah diberi bantuan. Kalangan komunitas gay yang tertutup, lebih memilih untuk memeriksakan diri di klinik swasta. Mayoritas gay berasal dari golongan kelas menengah yang sudah mapan secara keuangan, sehingga pembiayaan pemeriksaan dan pengobatan tidak menjadi kendala berarti. Hal ini dipertegas oleh perwakilan dari organisasi Gay Waria Lesbian Indonesia (GWL-INA) sebagai berikut ini; “Klinik VCT sekarang banyak yang disupport lagi. Banyak yang bayar Rp. 50.000,-. Komunitas gay itu tertutup, jadi khwatir jika diperiksa di klinik pemerintah jadi banyak yang periksa di klinik swasta. Ada wilayah yang disupport GF, ada yang tidak. Jadi ada yang bayar. Atau untuk pemeriksaan pergi ke wilayah yang disupport GF. Tetapi masalah ke administrasi, misalnya KTP.Kalo untuk gay biaya cukup karena sebagian mapan tapi banyak yang malu untuk memperlihatkan ktpnya khawatir ketahuan.”(GWL - INA) Alternatif lain layanan pembiayaan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah adalah melalui BPJS. Tetapi populasi kunci juga menemui permasalahan yang sama dengan pembiayaan kesehatan melalui JKN, yaitu identitas. BPJS harus menyertakan kartu identitas 50
untuk mendapatkan pelayanan melalui koridor BPJS. Belum ada mekanisme yang disepakati dan jelas untuk golongan populasi kunci. Hal ini dinyatakan oleh IAC dalam kutipan berikut; “Untuk BPJS harus pake kartu identitas, sedangkan untuk WPS sulit untuk mendapatkan KTP. Ada yang dibantu kementrian sosial, misalnya pada orang terlantar yang tidak punya identitas. Tapi ternyata belum bisa karena sudah dikatakan jadi koridor BPJS. Jadi belum ada mekanisme yang jelas untuk orangorang ini. (IAC)” Perwakilan dari GWL-INA juga bercerita tentang hal yang mirip dengan yang diceritakan oleh IAC mengenai permasalahan identitas waria. Namun di beberapa daerah, misalnya di Yogyakarta, GWL Indonesia melakukan advokasi ke tingkat RT, sehingga ada beberapa waria yang mendapatkan layanan BPJS; “Sebagian waria lemah untuk mengakses online. Masalah kartu identitas lagi. Sudah dicoba untuk dipahamkan ke RT setempat (advokasi). Di Jogja ada yang lumayan dapat banyak BPJS. Caranya dengan menggunakan nama samaran (nama malam).” (GWL-INA) Sementara di keanggotaan IAC, dinyatakan bahwa belum ada data yang jelas tentang berapa banyak anggota yang berhasil ikut BPJS. Dalam hal akses ARV, ada beberapa klinik yang telah menyediakan dengan menarik biaya administrasi sebesar RP. 20.000,- yang masih terasa berat bagi populasi kunci. Karenanya tidak semua populasi kunci bersedia memanfaatkan layanan pemerintah, tetapi memilih untuk berobat ke klinik swasta meskipun perbedaan biaya pengobatan cukup signifikan misalnya; viral load dengan subsidi Global Fundadalah Rp. 500.000,- di klinik swasta menjadi Rp. 1.400.000,-; untuk CD4 dengan subsidi Rp. 50.000,- di klinik swasta menjadi Rp. 150.000,- sampai Rp. 200.000,-. Pihak KPAN menegaskan bahwa semua ODHA yang mengakses layanan HIV dan AIDS, bisa mendapatkan jaminan BPJS selama ia memiliki kartu BPJS. Tetapi yang ditanggungkan oleh BPJS adalah diluar ARV, karena ARV merupakan obat program, sehingga tidak dapat diklaim oleh RS karena ARV telah disediakan oleh program. 3.
Penyediaan Layanan Kesehatan
a. Ketersediaan Layanan Layanan HIV dan AIDS di layanan kesehatan dasar seperti fasilitas kesehatan primer (Puskesmas) secara umum sudah tersedia meskipun belum semuanya lengkap.Layanan 51
tersebut antara lain berupa pengobatan ARV, kondom, konseling dan testing sukarela, PPIA, rumatan metadon dan juga penukaran jarum suntik steril.Puskesmas sebagai layanan kesehatan primer dengan akses yang dianggap paling mudah, secara perlahan-lahan sudah mulai memasukkan layanan HIV dan AIDS sebagai salah satu layanannya. Di Papua, puluhan Puskesmas sudah melayani pemeriksaan dan terapi HIV. RS, jika dibandingkan dulu (10-15 tahun lalu) juga sudah semakin banyak yang memberikan layanan HIV (dulu 240-an RS sekarang mencapai 400-an). Hingga saat ini di seluruh Indonesia telah ditunjuk 400 rumah sakit rujukan untuk pemberian layanan obat ARV.Meskipun kemampuan dari 400 rumah sakit itu berbeda-beda, tenaga dokter dan perawat umumnya telah tersedia.Persoalan yang muncul adalah bagaimana dengan tenaga konselor?Apakah di seluruh rumah sakit rujukan tersebut telah memilikinya?Jika dilihat dari kebutuhan dan ketersediaan maka tenaga kesehatan yang mampu memberi layanan pengobatan ARV di puskesmas di Papua dan Papua Barat harus segera disiapkan.Selain itu penting juga meningkatkan kualitas layanan kesehatan di lapas.Oleh karena itu peran organisasi profesi tenaga kesehatan menjadi sangat penting.Kedepan kelengkapan alat untuk monitoring kemajuan hasil pengobatan (tes VL dan CD4) ketersediaannya sangat diperlukan.Beruntung saat ini BPJS untuk pasien ODHA (rawat inap) sudah bisa membiayai kedua pemeriksaan tersebut. Menjamin akses dan kelangsungan pemberian obat ARV adalah hal yang sangat penting dalam pelayanan kepada ODHA. Ketersediaan layanan sudah mencakup semua populasi kunci dan area geografi.Target cakupan dan pencapaian program penanggulangan HIV dan AIDSjuga sudah dimasukkan ke dalam program kesehatan Dinkes. Kedepannya, penggunaan teknologi (smartphone,
telemedicine,
dll)
untuk
tatalaksana
HIV
dan
AIDS
harus
dipertimbangkan.Masalah sosialisasi sistem rujukan juga harus ditingkatkan karena masih banyak tenaga kesehatan yang belum mengetahui. Dokter dan perawat sudah lengkap namun belum semua tempat yang dirujuk tersebut memiliki konselor. Pengembangan program terus dilakukan dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia, mulai dari inovasi pencegahan penularan dari jarum suntik yang disebut Harm Reduction pada tahun 2006; pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) mulai tahun 2010; penguatan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) pada tahun 2011; serta 52
pengembangan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di tingkat Puskesmas pada tahun 2012. Selain itu Kementerian Kesehatan RI telah meluncurkan program inisiatif penggunaan Antiretroviral (ARV) untuk Pengobatan dan Pencegahan atau dikenal dengan Strategic Use of ARV (SUFA) pada pertengahan tahun 2013, yang bertujuan meningkatkan cakupan tes HIV, meningkatkan cakupan ART serta meningkatkan retensi terhadap ARV. SUFA telah dilaksanakan di 13 Kabupaten/Kota dan akan diperluas secara bertahap pada tahun 2014 menjadi total 75 Kabupaten/Kota. Pada pelaksanaannya, SUFA menekankan pada mekanisme TOP yang merupakan kepanjangan dari Temukan, Obati, dan Pertahankan.T maksudnya adalah temukan yang positif memiliki arti menawarkan tes HIV kepada semua orang yang memiliki perilaku berisiko, penawaran tes HIV rutin kepada ibu hamil, pasien TB, Hepatitis, IMS, dan juga pasangan ODHA. Untuk populasi kunci yang status HIV-nya masih negatif, dilakukan tes secara berkala minimal setiap 6 bulan.Selanjutnya O, maksudnya adalah Obati yang ditemukan, yaitu memberikan pengobatan bagi mereka yang sudah memenuhi kriteria yaitu: memulai pengobatan Antiretroviral (ARV) secara dini bila jumlah CD4 350 atau memulai pengobatan ARV tanpa melihat jumlah CD4-nya pada ODHA dengan stadium klinis AIDS 3 atau 4, ibu hamil, pasien TB, pasien Hepatitis dan populasi kunci yang HIV (+). Obat ARV dapat berupa kombinasi beberapa obat atau obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT)atau Fixed Dose Combination(FDC).Yang terakhir P, maksudnya adalah Pertahankan yang diobati artinya, memastikan pasien patuh minum obat seumur hidup dengan memberikan konseling sebelum minum obat dan pendampingan terutama pada awal pengobatan, serta memberikan dukungan yang tepat dari keluarga, komunitas, kelompok dukungan sebaya dan layanan kesehatan. Oleh karena itu pelaksanaan program LKB perannya menjadi sangatpenting. Kemenkes telah mengeluarkan surat edaran nomor 129 tahun 2013 yang berisi antara lain himbauan untuk seluruh puskesmas dan rumah sakit agar memasukkan layanan HIV dan AIDS ke dalam salah satu layanan pokoknya sebagai bagian dari standar pelayanan. Lalu keputusan untuk inisiasi dini terapi anti retroviral tanpa melihat nilai CD4 pada penderita HIV positif tertentu, misalnya: ibu hamil, pasien koinfeksi TB, lelaki seks dengan lelaki, pengguna narkoba suntik, wanita pekerja seks, ODHA yang pasangan tetapnya memiliki status HIV negatif dan yang tidak menggunakan kondom secara konsisten. Dari data Kemenkes sampai dengan Maret 2014, layanan HIV dan AIDS yang aktif melaporkan data layanannya sebagai berikut: 1.061 KTS 53
dan TIPK; 427 layanan PDP yang meliputi 284 RS Rujukan ARV dan 134 Puskesmas satelit; 87 layanan PTRM; 801 layanan IMS; 116 layanan PPIA; 223 layanan TB-HIV. Dari penelitian yang dilakukan KPAN tahun 2007 terhadap 270 respondens terkait keadaan pelayanan untuk ODHA di Indonesia didapatkan data-data yang cukup menarik. Responden berasal dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Gambar dibawah menunjukkan lima layanan paling populer dan digunakan adalah KTS, pemeriksaan dan perawatan medis, pemeriksaan CD4, pemberian ARV, dan dukungan sebaya. Gambar 6. Layanan Paling Populer dan Tersering Digunakan
Sumber : KPA 2014
Gambar dibawah menunjukkan cukup banyak responden yang tidak mengetahui adanya layanan pengobatan alternatif, substitusi oral, layanan keluarga miskin/surat keterangan tidak mampu (GAKIN/SKTM).Mungkin saja layanan tersebut memang tidak tersedia di wilayah bersangkutan. Gambar 7. Pengetahuan Mengenai Adanya Layanan untuk HIV
Sumber : KPA 2014
54
Gambar dibawah menunjukkan bahwa responden telah memanfaatkan layanan yang disubsidi pemerintah atau diberikan oleh LSM dengan gratis seperti VCT,pemberian ARV, pemeriksaan CD4, konseling adiksi, layanan dan perawatanmedis dan substitusi oral. Gambar 8. Pemanfaatan Layanan Subsidi Pemerintah
Sumber : KPA 2014
Data dibawah menunjukkan hambatan-hambatan yang dikeluhkan oleh ODHAdalam mengakses layanan kesehatan. Gambar 9. Keluhan ODHA terhadap Akses Layanan Kesehatan
Sumber : KPA 2014
Ada banyak hal yang dapat mempengaruhi cakupan sebuah layanan kesehatan.Salah satunya adalah layanan ARV yang saat ini sudah dapat diakses diberbagai daerah bahkan menurut laporan Bappenas cakupan akses obat ARV mendapat indikator yang baik (85%).Masalah dilapangan adalah masih sering ditemukan kasus HIV pada stadium 3 dan 4, sehingga menjadi tidak mudah untuk membantuODHA pada situasi tersebut.Belum lagi hambatan geografi, rumah yang jauh dari puskesmas.Mendekatkan jarak layanan kesehatan dengan masyarakat 55
menjadi isu penting.Di Papua menggunakan alternatif pendekatan model posyandu untuk memberikan layanan testing HIV.Hasilnya temuan kasus HIV dilapangan meningkat sebanyak 10%.Mengembangkan strategi yang sesuai dengan situasi geografi menjadi sangat penting, terkait dengan desentralisasi sistem pemerintahan dan distribusi obat-obatan ARV. b. Koordinasi dan Rujukan Dari data primer UPT HIV RSCM menunjukkan bahwa terdapat komunikasi antar pemangku kepentingan dalam bentuk pertemuan ilmiah berkala yang melibatkan ahli dari RSCM, beberapa RS yang kemudian diajak bekerja sama, meskipun masih secara informal. “Untuk komunikasi pembuat kebijakan dengan pelaksana dilapangan semacam pertemuan berkala, UPT HIV mengadakan pertemuan berkala tapi pertemuan ilmiah. Melibatkan ahli dari RSCM maupun beberapa rumah sakit lain secara non formal UPT HIV mengajak kerjasama dalam arti, tidak seperti membina formal (UPT HIV/RSCM)” Selain kerja sama dengan beberapa RS, UPT HIV juga membangun jaringan dengan swasta dan LSM, dalam bentuk sosialisasi dan advokasi berkait dengan isu HIV, kemudian menindaklanjuti dengan pelaksanaan tes dan pemberian penyuluhan. Bahkan pelaksanaannya sampai di pusat pembelanjaan. UPT HIV RSCM menyatakan dalam dua kutipan berikut ini; “Kerjasama antara UPT HIV dengan jaringan swasta atau LSM ada, kerjasama dalam artian upaya menjelaskan atau menerangkan mengenai penyakit HIV secara luas kemudian mengeluarkan tes-tes atau penyaringan di masyarakat (UPT HIV/RSCM)” “Bersama temanteman.org (institusi dari Thailand) UPT HIV melakukan tes dan melakukan penyuluhan awam di pusat-pusat pembelanjaan (UPT HIV/RSCM)” Dari pernyataan berikut ini, tampak bahwa pengelolaan kerja sama banyak didominasi oleh LSM, terutama kerja sama dengan populasi kunci, pihak LSM yang turun secara langsung dan berinteraksi dengan populasi kunci. LSM juga yang memfasilitasi populasi kunci untuk berobat ke UPT HIV. “Kemitraan dengan populasi kunci, itu dilakukan oleh LSM, UPT HIV kerjasama dan LSM lah yang mengelola semuanya. UPT HIV terbuka untuk kerjasama ini tapi populasi kunci yang terkait dan kerjasama langsung rasanya tidak. UPT HIV hanya kerjasama dengan LSM yang turun ke orang-orang itu. Kemudian membuat program-program berbagai hal dan banyaknya mereka memfasilitasi berobat ke UPT HIV, mereka mendorong untuk berobat dan mereka membawanya ke UPT HIV langsung, itulah bentuk kerjasamanya dan UPT HIV kelola dan LSM juga 56
membantu bagaimana agar adherens selalu baik, jadi kita tidak langsung ke lapangan (UPT HIV/RSCM)” Ada kerja sama juga antara ikatan profesi dan LSM yang berinteraksi dengan populasi kunci, dalam bentuk pendampingan; “Ikatan profesi juga bekerjasama dengan LSM populasi, berupa pendampingan (FGD profesi)”. Begitu juga dengan pertemuan rutin ikatan profesi dengan institusi pelayanan kesehatan pemerintah, misalnya Puskesmas. Berkait dengan pemahaman tentang pemangku kepentingan dalam program penanggulangan HIV dan AIDS, pihak universitas menyatakan bahwa ada pemahaman bahwa masyarakat, keluarga pasien dan pasien sendiri turut berperan besar dalam proses perencanaan implementasi dan evaluasi program penanggulangan HIV dan AIDS. Di dalam peta peran pemangku kepentingan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, secara nasional, LSM berperan sebagai pionir pelaksana program sejak tahun 1980an. Setelahnya, baru pemerintah kemudian membuat program penanggulangan HIV dan AIDS dan mulai memainkan peran koordinatif. Hal ini dinyatakan dalam diskusi terarah profesi oleh PDPAI Profesi; “Kalau LSM kan sebenarnya harus kita akui sebelum pemerintah punya program melalui strategi penanggulangan hiv nasional LSM sudah mulai, banyak sekali LSM yang sudah mulai tahun-tahun 86 mulai banyak bisa saya sebut misalnya Pelita ilmu, kemudian Yayasan Kusuma Buana, kemudian banyak lagi yang lain di Bali Citra Husada dan lain sebagainya. Mereka sudah jauh sebelum pemerintah ada, dan merekalah yang mengadvokasi dan mendorong supaya pemerintah segera punya program, nah setelah pemerintah punya program, pemerintah yg punya berkewajiban untuk berkoordinasi, dan kita lihat dalam koordinasi pemerintah LSM juga masih merupakan stakeholder yang penting dan berkontribusi sampai sekarang ini bahkan saya rasa masalah stigma, LSM masih punya peran amat penting (PDPAI profesi).” c.
Jaminan Kualitas Layanan
Jaminan kualitas layanan sudah ada tetapi belum dapat menilai efektifitas layanan yang diberikan karena dari informasi terkait kualitas diperoleh dari masyarakat karena tidak ada sistem assessmen yang baik.Monitoring dan evaluasi untuk kepuasan layanan di Puskesmas tidak ditanyakan meskipun telah ada standar tinggi minimal untuk PKM sebagi contoh di DKI sudah 50%, selain itu juga terdapat standar jaminan mutu dari ISO untuk Puskesmas dan Rumah Sakit. Supervisi dilakukan juga oleh masing – masing sudin dandinkes untuk setiap dearah pemerintahan. Terkait dengan kepuasan konsumen diketahui dari bincang-bincang dengan pasien yang mengakses tetapi ini masih dirasakan sangat subjektif tetapi sejauh ini 57
jaminan layanan di LSM cukup dan sudah ada supervisi baik secara internal maupun dari pemerintah yang dapat dijadikan parameter dari kualitas layanan yang diberikan. “…UPT HIV tidak mengadopsi konsep wilayah penanggulangan. Konsep wilayah penanggulangan menjadi tugas dari dinas kesehatan sampai ke bawah puskesmas , jadi itu wilayah tanggung jawab mereka, dan UPT HIV hanya kuratif sifatnya, tidak menyusun sistem kesehatan maupun pencegahan HIV…” (UPT HIV/rscm) Untuk di tingkat rumah sakit terutama yang telah menjalani standarisasi akreditasi nasional maupun internasional misalnya RSCM, penilaian kepuasan pasien secara berkala dilakukan beberapa bulan sekali untuk mengetahui sejauh mana kepuasan penerima layanan dapat dicapai. Terakhir UPT HIV mendapatkan kepuasan 70% (UPT HIV SCM).Penilaian kepuasan pelanggan ada tapi saya kira permasalahan JCI dan akreditasi rumah sakit oleh kementerian kesehatan itu menjadi standar jadi mau tidak mau harus buat dan secara nasional juga ada namanya. Ada guideline standar layanan. Dari kemenkes sendiri ada standar layanan. Mengenai rumah sakit rujukan itu ada di akreditasi rumah sakit yang kemenkes buat. 4.
Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDM)
a. Kebijakan dan Sistem Manajemen Kebutuhan SDM yang dihitung adalah untuk mencapai setidaknya 80% target program layanan komprehensif. Dasar perhitungan kebutuhan SDM mencakup jumlah, jenis program dan layanan, jumlah dan jenis ketenagaan berdasarkan standar kebutuhan minimal. Selain perhitungan untuk kebutuhan menjalankan program-program di lapangan, juga untuk kebutuhan tenaga manajemen KPAP/D.Penentuan kebutuhan SDM dimulai dari penghitungan target masing-masing program per tahun, seperti target program HR-LASS dan PTRM. Dari target yang ditetapkan tersebut dihitung kebutuhan layanan per tahun, umpamanya untuk program HR, dihitung jumlah layanan untuk LASS dan PTRM. Selanjutnya, dengan memperhatikan standar kebutuhan minimal tenaga yang dibutuhkan untuk satu jenis layanan, maka diperoleh angka kebutuhan per jenis tenaga, per jenis layanan dan per tahun. Perhitungan menunjukkan bahwa kebutuhan SDM untuk menyelenggarakan program-program setiap tahunnya akan semakin meningkat.Estimasi jumlah kebutuhan tenaga untuk lapangan, layanan dan manajemen dapat dilihat pada tabel di bawah. Tabel di bawah adalah ringkasan kebutuhan sumber daya manusia di 137 kabupaten/kota prioritas terpilih untuk implementasiSRAN 2010 - 2014. 58
Tabel 3. Kebutuhan Sumber Daya Manusia
Jenis Kebutuhan Tenaga A. Tingkat Lapangan Peereducator Petugas penjangkau Supervisor program lapangan B.
C.
2010
2011
2012
2013
2014
26.780 5.360 1.070
44.130 8.830 1.770
57.180 11.440 2.290
67.610 13.520 2.700
79.800 15.960 3.190
Manajer program ditingkat lapangan
137
137
137
137
137
Tingkat Layanan Petugas Konselor Dokter Spesialis Dokter Umum untuk CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM Petugas laboratorium untuk berbagai unit layanan Perawat untuk berbagai unit layanan Petugas administrasi untuk pencatatan dan pelaporan
7.900 1.670 2.540 4.190 2.230 2.890
13.050 2.850 3.990 6.760 3.530 4.500
16.500 3.680 4.920 8.500 4.430 5.460
19.410 4.380 5.690 9.960 5.170 6.270
22.900 5.210 6.620 11.710 6.040 7.270
1.690 20 3.340
2.930 80 5.700
3.780 100 7.360
4.490 110 8.760
5.330 120 10.420
137 274 274 137
137 274 274 137
137 274 274 137
137 274 274 137
137 274 274 137
berbagai layanan Ahli gizi Bidan Manajer kasus Manajemen di Tingkat Kabupaten Pengelola program Monev dan surveilans Keuangan dan administrasi Sekretaris/Manajer
Sumber : KPA 2010
Perhitungan kebutuhan tenaga yang terdapat pada tabel di atas dihitung berdasarkan kebutuhan Tenaga Lapangan dengan perbandingan setiap 80 sasaran populasi kunci akan didampingi 1 orang peer educator, setiap lima (5) orang peer educator akan didampingi oleh 1 orang petugas penjangkau dan setiap lima (5) orang petugas penjangkau akan didampingi 1 orang supervisor lapangan. Sedangkan untuk ketersediaan tenaga, jumlah jam kerja dan efektifitas layanan yang akan dilakukan, maka diasumsikan setiap unit layanan kesehatan memiliki keterbatasan jumlah sasaran setiap tahunnya yaitu setiap layanan VCT, IMS dan CST memiliki kemampuan kapasitas melayani: 720 orang per tahun, setiap layanan PMTCT memiliki kemampuan kapasitas melayani: 360 orang per tahun, setiap unit LASS memiliki kemampuan kapasitas melayani: 300 orang per tahun dan setiap unit PTRM memiliki kemampuan kapasitas melayani: 100 orang per tahun. Perhitungan kebutuhan sumber daya manusia ini berdasarkan rekomendasi dari Asia AIDS Commission. Perhitungan kebutuhan ini adalah sebagai pedoman bagi seluruh sektor dan masyarakat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota baik untuk merencanakan dan mengalokasikan sumber daya.Perencanaan sumber daya, perlu disesuaikan dengan 59
kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah.Desentralisasi juga berdampak dalam masalah SDM di daerah (bukan hanya SDM kesehatan). Pengelolaan SDM di daerah, lembaga Badan Kepegawaian Daerah (BKD) memiliki otoritas yang sangat penting dalam melakukan rotasi kepegawaian. Sesuai dengan yang dimaksud pada Pasal 3 Keppres No 159 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pembentukan BKD dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu perencanaan dan pengembangan kepegawaian daerah dan juga penyiapan dan pelaksanaan pengangkatan, kenaikan pangkat, pemindahan, dan pemberhentian PNS Daerah sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu laporan di lapangan dari berbagai daerah, Puskesmas (sebagai lembaga pemberi layanan kesehatan terdepan) sering ditemukan tidak ada tenaga dokter. Sehingga untuk keberlangsungan program mungkin diperlukan juga untuk pengadaan tenaga kontrak atau swasta. Merespon keadaan tersebut pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan PMK No. 7 tahun 2013 Tentang Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan PTT. Beberapa kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyelesaikan SDM kesehatan ini adalah: PMK No. 9 tahun 2013 Tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan, lalu ada PMK no.54 tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Tugas Belajar SDM Kesehatan, dan juga KMK no.81 tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan SDM Kesehatan. b. Pembiayaan Pentingnya anggaran untuk pembiayaan SDM baik untuk tenaga kesehatan maupun nonkesehatan telah mendapatkan perhatian dari berbagai lembaga. Ada beberapa sumber pendanaan untuk tenaga kesehatan dan non-kesehatan berasal dari berbagai sumber: APBN, GF, IPPF, USAID dan AUSAID. Untuk tenaga penjangkau di lapangan misalnya, mereka semua hingga saat ini masih dibiayai oleh GF. Sedangkan untuk tenaga program Supply Change Management (SCM) yang diperbantukan oleh CHAI di P2PL Kementerian Kesehatan pembiayaannya sebenarnya juga berasal dari GF. Sementara itu pada tahun 2016 rencananya bantuan dari GF akan berakhir. Meskipun sebagian lainnya terutama tenaga kesehatan dan non-kesehatan yang dibiayai oleh APBN dapat terus melakukan kegiatan tanpa gangguan. Berikut ini merupakan kutipan langsung dari Kementrian Kesehatan:
60
“CHAI itu kalau gak salah 2016. Karena dia beda.. oh enggak CHAI kalau yang untuk Supply Change Medicine (SCM) itu pendanaan dari GF juga sebenarnya. Karena kan SR jadi punya dua sumber pengobatan dari USAIDS dan AUSAIDS dan dari GF. Yang dari GF itu untuk SCM ini. Jadi ini ikut nanti begitu GF nya selesai 2016 stop.(Kemkes)” Menurut sumber dari UPT HIV-RSCM, terdapat anggaran untuk pengembangan keilmuan dan untuk non dokter. Pengembangan keilmuan dokter masih biaya sendiri, tetapi ke depannya, akan bisa dimintakan ke pihak RSCM melalui proses seleksi. Terdapat perbedaan pelulusan permohonan anggaran dan pengadaan, jika untuk tenaga non-medik, disediakan anggaran dan lebih mudah untuk mendapatkan persetujuan. Pada prinsipnya, jika pengembangan ditujukan untuk memperbaiki layanan, maka akan lebih besar kemungkinan untuk disetujui pengajuan anggarannya. SDM di KPA daerah, untuk posisi sekretaris, mayoritas adalah Pegawai Negeri Sipil, dan posisi ini akan terus begitu. Sementara untuk pengelola program dan pengelola administrasi, KPAN sedang mengupayakan agar bisa dibiayai oleh APBD – yang untuk sementara ini sudah berlangsung demikian; honor, gaji bulanan dibiayai oleh APBD. Sebagian besar daerah sudah menganggarkan, kurang lebih 30%-40% KPA sudah didanai oleh APBD dan masih 60% lagi yang sedang menuju, yang merupakan tantangan di tahun 2015.Untuk menghadapi situasi berkurangnya dukungan anggaran dari donor tersebut, pemerintah sebaiknya perlu untuk memikirkan dan menyiapkan strategi sebagai jalan keluarnya, ‘Management Exit AIDS’. Sebab bila tidak dikhawatirkan cakupan dan keberlangsungan program penanggulangan HIV dan AIDS akan terganggu. c.
Kompetensi
Standarisasi SDM melalui pendidikan dan pelatihan SDM kesehatan memang diatur oleh organisasi profesi. Ada 2 cara untuk menjamin kualitas tenaga kesehatan, yaitu: pertama lembaga pendidikannya diakreditasi dan kedua, kepada lulusannya dilakukan uji kompetensi. Mutu tenaga kesehatan terjaga kualitasnya.HIV dan AIDS sendiri saat ini sudah masuk menjadi mata kuliah yang diajarkan didalam kurikulumFakultas Kedokteran. “Kita punya sistem dua, 1) Di hulunya itu institusi pendidikannya di akreditasi. 2) lulusannya diuji kompetensi. Walaupun protes sangat luar biasa kan. Tapi gak apaapa ini kan best practices international. Bahwa sekolah itu harus diakreditasi. (Bappenas)” 61
Sementara itu untuk menjamin kualitas SDM kesehatan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi antara lain: UU No.20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran, UU No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan PMK No.1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Organisasi seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan
Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) misalnya, sudah lama
melakukan uji
kompetensi.Bappenas menyatakan bahwa beberapa tahun terakhir, pertumbuhan institusi yang mendidik calon dokter dan tenaga medik, mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan berikut ini: “Sekarang pertumbuhan Fakultas Kedokteran itu luar biasa yang tadinya hanya sekitar 30, sekarang jadinya 76 swasta dan pemerintah itu, cuman pertanyaanya sekarang apakah betul fakultas-fakultas itu standarise? Misalnya apakah mengikuti akreditasi yang jelas itu belum, banyak keputusan untuk mendirikan fakultas itu keputusan-keputusan politis bukan keputusan berdasarkan real, kesiapan. Jadi katakanlah data kedokteran di papua, di NTT betul dari segi keperluannya iya, tapi kalau ditanya tentang kesiapannya, saya pernah berkunjung ke Fakultas itu, itu bertumpuk, jadi untuk tenaga dan lahan prakteknya, Misalnya rumah sakit di NTT misalnya yohanes gak layak menjadi rumah sakit pendidikan itu, dosen-dosennya juga belum cukup apakah itu akan dibiarkan begitu? Tidak. (Bappenas)” Masalah klasik lainnya dari isu SDM kesehatan adalah terbatasnya jumlah orang yang mampu untuk melaksanakan tugas dan cepatnya mutasi dari orang-orang yang telah dilatih.Ketersediaan tenaga kesehatan di pusat sendiri masih menjadi masalah, apalagi di daerah terpencil dan daerah tertinggal masih sangat kurang jumlahnya.Mungkin perlu dilakukan pendataan dan pemetaan jumlah anggota lembaga profesi, misalnya anggota dari Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI) saat ini ada sekitar 500 orang di seluruh Indonesia.Cukup banyak dokter di daerah terpencil yang bekerja di fasilitas kesehatan pemerintah masih kesulitan untuk mendapatkan gaji tetap dan nilainya juga kecil, sehingga para dokter masih enggan untuk bekerja di sektor publik dan lebih memilih untuk bekerja di sektor privat ataupun di daerah yang lebih maju. Hal ini perlu diperhatikan sebab jika dibiarkan juga akan sangat mempengaruhi layanan HIV dan AIDS terutama di daerah terpencil. Pelatihan-pelatihan yang diberikan ada baiknya semakin disebarluaskan, tidak hanya di kotakota besar, seperti Sorong. Tetapi pelatihan harus dilaksanakan secara pelan-pelan, waktu pelatihan bisa sampai lima hari. Peserta pelatihan banyak yang aktif jika penyampaian materi dikemas lebih menarik dan tidak membosankan. Demikian disarikan dari pernyataan pihak 62
CHAI. Masih menurut pihak CHAI, pelatihan internal rutin dapat menjadi alternatif peningkatan kualitas SDM di Rumah Sakit maupun Puskesmas. Dengan ragam materi tentang HIV dan AIDS yang dapat diberikan dalam kurun waktu pelatihan tiga bulan – berikut ini adalah kutipan langsung dari CHAI; “Coba dilakukan kualitas training dengan in house training, di layanan rumah sakit maupun puskesmas, dan hanya 2 jam setiap hari tapi rutin. Materi mengenai IMS dan HIV. Materi bisa diberikan selama 3 bulan. Untuk RS sering tidak bisa rutin karena jumlah SDM (terutama dokter) sedikit, masalah kesibukan dengan pasien yang banyak. (CHAI)” IAC memberikan masukan tentang kompetensi SDM penyedia layanan kesehatan berkait dengan pendekatan Hak Asasi Manusia terhadap populasi kunci. Pelatihan ini penting dan kritis diperlukan agar para pekerja penyedia layanan kesehatan memiliki kesadaran terhadap populasi kunci dan bersedia menghargai populasi kunci dengan memberikan layanan yang sama baik dengan pasien yang lain. 5.
Penyediaan Material Pencegahan dan Diagnostik dan Terapi
a. Regulasi Penyediaan, Penyimpanan, Diagnostik dan Terapi Dalam merencanakan setiap program, baik kebutuhan sarana dan prasarana harus dihitung secara cermat dengan mengacu pada jumlah dan kebutuhan sasaran serta manajemen logistik yang dirumuskan terlebih dahulu.Kebutuhan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan rencana aksi meliputi penyediaan untuk program pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan, juga mitigasi dampak. Manajemen meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penggunaan, pengawasan yang harus dipahami, dipedomani dan diamalkan oleh para pemangku kepentingan.Sistem manajemen logistik yang handal harus menjamin bahwa materi yang dibutuhkan harus sampai kepada penerima tepat waktu, cukup dan dengan kualitas yang terjaga.Manajemen logistik dilaksanakan dengan prinsip tata kelola yang baik (good governance). Memperhitungkan target yang akan dicapai dari rencana aksi nasional pada 2010-2014, maka dapat diperkirakan kebutuhan prasarana untuk implementasi program pencegahan, perawatandan pengobatan yaitu sebagai berikut:
63
Tabel 4. Kebutuhan Prasarana Pencegahan, Perawatan dan Pengobatan Tahun 2010 - 2014
Jenis KebutuhanPrasarana Outletkondom LayananVCT LayananIMS LayananCST LayananPMTCT LayananLASS LayananPTRM
2010
2011
10.710 17.650 1.670 2850 540 600 250 300 416 748 350 510 310 460 Sumber : KPA 2010
2012 22.870 3680 650 500 1.080 540 490
2013
2014
27.040 4380 680 600 1.412 580 520
31.920 5210 710 700 1.740 650 580
Berdasarkan kebutuhan sasaran setiap tahun, tabel di atas menggambarkan ringkasan kebutuhan dari layanan kesehatan dan infrastruktur lainnya untuk implementasi program SRAN pada tahun 2010-2014. Asumsi setiap 1 outlet kondom akan digunakan untuk 200 orang populasi kunci, maka pada tahun 2010 jika ditargetkan,terdapat sekitar 2 juta orang akan mendapatkan akses kondom diperlukan sekitar 10.710 outlet kondom di 137 kabupaten/kota terpilih. Standar pencegahan sebenarnya bukan hanya untuk HIV dan AIDS saja akan tetapi juga untuk yang lainnya. Di UPT HIV RSCM standar pencegahan universal sudah baik dan lengkap. Logistik yang sering menjadi masalah di Puskesmas daerah terutama adalah bahan medis habis pakai (BMHP), seperti: masker, sarung tangan, kapas, dan jarum suntik. Untuk pengadaan obat ARV di UPT HIV RSCM mendapat supply dari Kemenkes. Sebagai rumah sakit rujukan nasional RSCM mendistribusikan ARV kepada rumah sakit satelit, baik itu RS swasta maupun RS pemerintah lainnya. Sejak pertama kali ARV generik diproduksi, pemerintah Indonesiapada tahun 2004 telah memberikan kepada seluruh ODHA secara cuma-cuma.Pengadaan ARV sejak awal pembiayaannya dibiayai penuh oleh APBN. Besar pembiayaan ARV pada APBN tahun 2011 sebesar 85,6M, sedangkan pada tahun 2012 sebesar 119M dan tahun 2013 sebesar 260M (kenaikan signifikan karena di regimen stavudin digantikan dengan tenofovir). Data Kementerian Kesehatan memperlihatkan bahwa obat ARV terbukti sangat bermanfaat, sejak tahun 2000 sampai 2013 telah menurunkan angka kematian secara bermakna.
64
Gambar 10. Grafik Penurunan Angka Kematian Penderita HIV dengan Pengobatan ARV
Sumber : Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014
Kerjasama antara stakeholder dalam menjamin ketersedian dan keberlanjutan obat ARV anak misalnya, perlu kerjasama antara berbagai lembaga seperti POM, Kemenkes, RS, Dinas Kesehatan, bea cukai dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dalam pemberian layanan ARV di propinsi Papua dan Papua barat, saat ini sudah bisa memberikan layanan ARV di puskesmas. Sekarang sudah ada sekitar 40-an di Provinsi Papua dan 30-an puskesmas di Papua Barat. Puskesmas sudah menjadi satelit ARV-nya rumah sakit, terutama untuk menangani stadium satu dan dua, jadi layanannya sudah ada di puskesmas.Namun, pembagian peran antara Kemenkes dan KPAN terkadang masih belum jelas, misalnya untuk kasus jarum suntik steril. b. Sumber Daya Sumber daya untuk pengadaan kebutuhan pada daftar tersebut sebagian besar masih bergantung dari Kementerian Kesehatan.Ada rumah sakit yang sudah ditunjuk sebagai RS rujukan ARV tapi ternyata belum melaksanakan karena belum dilatih. Sebaliknya ada yang sudah dilatih tapi ternyata sudah jalan kemudian berhenti karena dokternya pindah. Terdapat juga layanan atau rumah sakit yang sudah melaksanakan tetapi belum ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan ARV.Sementara itu ada isu yang menarik dilapangan, yaitu pemberian makanan tambahan terkait gizi HIV pada ODHA. Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan nomor 21 tahun 2013 mengenai penanggulangan HIV dan AIDS menyebutkan bahwa setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib mmberikan pelayanan kesehatan pada ODHA sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan primer wajib mampu melakukan upaya promotif, preventif, konseling, deteksi dini dan merujuk kasus yang memerlukan rujukan. Dalam melaksanakan pelayanan 65
tersebut maka diperlukan sumber daya manusia dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. Bagi tenaga kesehatan harus memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan. Sedangkan untuk tenaga non kesehatan akan berperan di bidang kebijakan, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan sosial, budaya yang mencakup segenap permasalahan HIV dan AIDS secara holistik. Menurut IAC, sumber daya masih terbatas, apalagi yang berasal dari pemerintah, terutama di daerah. Beberapa kali mendapati ARV yang habis – yang sebenarnya tidak habis, hanya karena pihak Rumah Sakit tidak melaporkan permintaan ke Dinas Kesehatan wilayahnya, sehingga pasokan stok ARV terhambat. Sementara berkait dengan pengembangan SDM, juga tidak sesuai – menurut pihak Kemenkes, di daerah banyak konselor yang sudah dilatih, tetapi ternyata tidak ada. Persoalan ini termasuk ketersediaan dan kesadaran dokter yang memberikan pelayanan; banyak dokter yang masih lupa, serta sertifikasi konselor yang belum jelas sehingga menimbulkan masalah. 6.
Informasi Strategis
a. Sinkronisasi Sistem Informasi Pada tahun 2002, Menteri Kesehatan mengeluarkan 2 keputusan penting terkait dengan Sistem Informasi Kesehatan (SIK). Pertama, KMK No. 511/Menkes/ SK/V/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan SIK Nasional (SIKNAS) dan kedua, KMK no. 932/Menkes/SK/VIII/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengembangan Sistem Informasi Daerah (SIKDA). Setelah itu masih tentang kebijakan terkait dengan SIK, pemerintah mengeluarkan kebijakan turunan lainnya, yaitu KMK No 837/Menkes/SK/VII/2007 tentang Pengembangan SIKNAS Online. Menyadari akan pentingnya pelaksanaan SIKNAS Online, Kementerian Kesehatan mengeluarkan juga KMK No HK.00.SJ.SK.VI.1111 Tahun 2007 Tentang Penunjukan Petugas Pengelolaan SIKNAS Online. KMK NO 192/Menkes/SK/VI/2012 Tentang Roadmap Rencana Aksi Penguatan Sistem Informasi Kesehatan Indonesia. Pengembangan dan penguatan Sistem Informasi Kesehatan ini dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). 2. Keamanan dan kerahasiaan data.
66
3. Standarisasi. 4. Integrasi. 5. Kemudahan akses. 6. Keterwakilan. 7. Etika, integritas dan kualitas
Pemerintah saat ini telah memiliki kebijakan Sistem Informasi Kesehatan di pelayanan kesehatan primer.Terkait hal itu Kementerian Kesehatan juga telah mengeluarkan Pedoman Sistem Informasi Kesehatan (SIK).Dengan adanya pedoman ini daerah maupun nasional dapat mengembangkan SIK sesuai dengan kebutuhan masing-masing.Khusus untuk HIV dan AIDS, pemerintah telah mengeluarkan dokumen teknis operasional sistem informasi HIV dan AIDS (SIHA). Melalui mekanisme tersebut data yang telah diolah oleh Dirjen P2ML dipublikasikan secara berkala setiap 3 bulan sekali pada website Kementerian Kesehatan. Saat ini di Indonesia terdapat tiga model cara pengumpulan SIK: a. Pengelolaan SIK Manual, dimana pengelolaan informasi di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan secara manual atau paper based melalui proses pencatatan pada buku register, kartu, formulir-formulir khusus, mulai dari proses pendaftaran sampai dengan pembuatan laporan. Hal ini terjadi oleh karena adanya keterbatasan infrastruktur, dana, dan lokasi tempat pelayanan kesehatan itu berada. Pengelolaan secara manual selain tidak efisien juga menghambat dalam proses pengambilan keputusan manajemen dan proses pelaporan. b. Pengelolaan SIK Komputerisasi Offline, pada jenis ini pengelolaan informasi di pelayanan kesehatan sebagian besar/seluruhnya sudah dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer, baik itu dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Manajemen (SIM) maupun dengan aplikasi perkantoran elektronik biasa, namun masih belum didukung oleh jaringan internet online ke Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan provinsi/bank data kesehatan nasional. c. Pengelolaan SIK Komputerisasi Online, pada jenis ini pengelolaan informasi di pelayanan kesehatan sebagian besar/seluruhnya sudah dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer, dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Manajemen dan sudah terhubung secara online melalui jaringan internet ke Dinas Kesehatan
67
kabupaten/kota dan provinsi/bank data kesehatan nasional untuk memudahkan dalam komunikasi dan sinkronisasi data. Sementara itu, KPAN telah membuat program Pusat Informasi AIDS Nasional (PIAN). Melalui kegiatan ini berbagai hasil penelitian di berbagai universitas di dokumentasikan.Pada tahun 2009, KPAN telah mempublikasikan beberapa hasil penelitian HIV dan AIDS di Indonesia dalam sebuah buku yang memuat daftar beberapa penelitian yang telah dipublikasi sejak 19952009.Penelitian-penelitian tersebut banyak dilakukan oleh teman-teman di berbagai universitas di seluruh Indonesia.Selain dalam bentuk hardcopy, hasil-hasil penelitian tersebut juga tersimpan dalam bentuk digital dan dapat dilihat PIAN atau di website KPAN. b. Diseminasi dan Pemanfaatan Meskipun demikian data nasional yang ada saat ini didapat dari berbagai sumber, baik itu melalui penelitian atau survey cepat perilaku, juga melalui estimasi ahli atau laporan rutin dari rumah sakit.Sesudah itu dilakukan analisa data yang telah didapat dan telah dikumpulkan secara terkomputerisasi, dengan melibatkan banyak peneliti.Sebagai contoh UPT HIV RSCM misalnya, sebagai rujukan nasional dalam hal perawatan, dukungan, dan terapi (PDP) secara rutin telah melaporkan penggunaan obat ARV secara rutin dan teratur kepada Kemenkes.Bantuan teknik juga didapat oleh Kementerian Kesehatan untuk pencatatan dan pelaporan data didapat dari CHAI, pada tingkat nasional di P2ML Kemenkes, di tingkat propinsi dan kabupaten dengan Dinas Kesehatan. Jadi data yang telah diolah umumnya sudah dipublikasikan di website Kemenkesdan KPAN.LSM, institusi kesehatan, masyarakat awam maupun tenaga kesehatan dapat mengakses informasi tersebut.Penggunaan teknologi website di masa mendatang dalam menyimpan informasi data-data hasil penelitian perannya akansemakin penting. Teknologi informasi berbasis website ini kedepan juga bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan.Selain itu dapat juga dipergunakan untuk berdiskusi dan konsultasi kesehatan antar masyarakat, tenaga kesehatan dengan para pakar antar stakehoder (Kemenkes, KPAN, Universitas, NGO, populasi kunci dan profesi) juga jadi lebih mudah. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dimana data dibuat sangat mudah untuk diakses sehingga pemanfaatan datanya akan lebih mudah.
68
Berkait dengan pemanfaatan data, menurut pihak UPT HIV RSCM, data yang diperoleh akan mempengaruhi kebijakan UPT HIV karena penelitian sudah masuk dalam SOP untuk beberapa penyakit yang sesuai, meski dari pihak Rumah Sakit sendiri lebih menekankan pada penelitian yang berkaitan dengan layanan karena selain UPT HIV sudah banyak melakukan penelitian, diharapkan penelitian dapat meningkatkan layanan. Berikut ini merupakan kutipan langsungnya dari UPT HIV RSCM; “Hasil data-data ini mempengaruhi kebijakan di UPT HIV karena penelitan ini masuk dalam menjalankan SOP beberapa penyakit yang sesuai. Memang RSCM menekankan untuk penelitian-penelitian itu berkaitan dengan layanan sehingga dapat mengubah layanan. UPT HIV sudah banyak mengadakan penelitian (UPT HIV-RSCM).” Pihak Dinas Kesehatan dan institusi yang lain juga sudah mulai menggandeng pihak universitas sebagai ahli berkaitan dengan isu HIV dan AIDS, serta dalam hal pemanfaatan data untuk kajian pengambilan keputusan. Pada awal masa penerapan program penanggulangan HIV dan AIDS, birokrasi dalam hal ini masih sulit dan masih merujuk ke Kementrian Kesehatan sebagai satu-satunya pihak yang aktif mengurus permasalahan ini. 7.
Pemberdayaan Masyarakat
a. Partisipasi Masyarakat Program mitigasi dampak HIV dan AIDS di Indonesia menjadi salah satu isu penting.Isu pemberdayaan pada populasi kunci saat ini cukup gencar dimanapopulasi kunci selalu dilibatkan sebagai salah satu aktor yang dianggap penting.Seharusnya aktor yang memang menjadi salah satu aktor utama dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah ODHA, keluarga dan juga masyarakat punya peran besar tanpa melupakan aktor lainnya yang terlibat seperti kalangan bisnis, kelompok agama, lalu LSM yang bergerak dibidang perlindungan anak, dan perlindungan perempuan.Tahun 2013-2014 ini banyak terungkap kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada anak-anak di berbagai kota. LSM sejak dulu sampai sekarang merupakan stakeholder yang penting. Sebelum pemerintah melaksanakan program HIV dan AIDS (Kementerian Kesehatan), LSM lokal seperti Citra Husada di Bali, Yayasan Kusuma Buana, dan Yayasan Pelita Ilmu sudah mulai melaksanakan program HIV dan AIDS di berbagai komunitas masyarakat.
69
Inisiasi program HIV dan AIDS yang telah dilaksanakan LSM di masyarakat mendapatkan respon positif dari pemerintah. Berbagai kebijakan pemerintah untuk merespon mitigasi dampak HIV dan AIDS telah diterbitkan diantaranyaPermendagri No.20 tahun 2007, Tentang Pedoman Umum Pembentukan KPA dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah. Selain itu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengeluarkan Permeneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI no.9 tahun 2010, Tentang Pedoman Perencanaan Dan Penganggaran Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan HIV dan AIDS yang Responsif Gender.Kementerian Sosialjuga telah mengeluarkan kebijakan Kepmensos no.31/HUK/ 2012, Tentang Penunjukan Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NapzaSebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Bagi KorbanPenyalahgunaan Napza.Lembaga yang telah ditunjuk ini sudah di standarisasi dan terus dimonitoring kualitas layanannya. Selain itu lembaga-lembaga tersebut berhak mendapatkan dukungan berupa akses bantuan dana bagi penyandang masalah sosial dari Kementerian Sosial. Selain itu, telah diterbitkan juga Panduan Penguatan Institusi Lokal Dalam Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Berbasis Masyarakat – Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA, oleh Kementerian Sosial pada tahun 2013. Keluarnya Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara dan Kepala Badan Narkotika Nasional, Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi menunjukkan telah adanya kesamaan pandangan dan koordinasi antara 6 kementerian tersebut. Sedangkan untuk peningkatan pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS pada penduduk usia 15-24 tahun, pemerintah juga telah mengeluarkan surat kesepakatan bersama (SKB) dari 5 Kementerian (Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kemeterian Sosial) pada tahun 2012. Selain banyaknya kebijakan yang telah dikeluarkan terkait dengan pemberdayaan, KPAN pada tahun 2011 mengeluarkan data yang memperlihatkan sejumlah organisasi beserta aktivitas dan jumlah jangkauannya.
70
Tabel 5. Organisasi Masyarakat Sipil dan Jaringan ODHA
Nama organisasi Spiritia Foundation IPPI (Association of Positive orPLHIV Women) GWL (komunitas gay, waria, dan lesbian) JOTHI (PLHIV network) PKNI (Perhimpunan Korban Napza Indonesia) OPSI (Asosiasi Pekerja Seks)
Cakupan 12,000 ODHAdi 27 propinsi (2010) Menargetkan Perempuan Positif HIV 22 propinsi Mendukung 37 organisasi MSM and Waria tersebar di 19 propinsi Mendukung ODHA di 25 propinsi Bekerja dengan Korban Napza di 13 propinsi Bekerja dengan organisasi pekerja seks di 23 provinsi
Selain LSM lokal dan pemerintah, ada juga lembaga-lembaga Internasional yang turut berperan dalam mitigasi dampak HIV dan AIDS di Indonesia. Lembaga-lembaga Internasional tersebut antara lain CHAI dan Global Fund (GF). Untuk melaksanakan programnya di Indonesia, GF misalnya, diharuskan memiliki beberapa mekanisme.GF harus memiliki badan pertama Country Coordinating Mechanism(CCM), kedua Technical Working Group (TWG).Berdasarkan Country Report CCM-2 tahun 2012, forum telah melibatkan teman-teman ODHA dalam berbagai tahapan kegiatan.Selain itu juga ada Technical Working Group (TWG).Pada kedua lembaga tersebut teman-teman ODHA memiliki peran dan kedudukan penting. b. Akses dan Pemanfaatan Layanan Universitas, Dinkes dan LSM pada awalnya memang masih bekerja sendiri-sendiri namun dengan koordinasi dari Kemenkes dan KPAN saat ini kerjasamanya dalam membantu teman ODHAdalam menghadapi mitigasi dampak HIV dan AIDS.Pemerintah melalui Kementerian Kesejahteraan Sosial menyalurkandana bantuan sosial tunai yang diberikan kepada masyarakat. Bantuan tersebut disalurkan melalui LSM setelah itu baru disalurkan ke masyarakat.Tahun 2014 ini ada 200 teman ODHA yang mendapatkan bantuan pemodalan untuk kegiatan usaha sebesar Rp.5.000.000.Bantuan dari pemerintah daerah juga ada, salah satu contohnya adalah Walikota Solo yang memberikan pendanaan untuk kegiatan Warga Peduli AIDS (WPA). Selain itu, semua teman ODHA dapat mengakses layanan kesehatan pemerintah, selaku asuransi kesehatan Badan Penyelengara Jaminan Sosisal (BPJS) Kesehatan membayar seluruh kebutuhan ODHA. Oleh karena Kemenkes masih ada anggaran khusus untuk program HIV dan AIDS (ARV) maka masih perlu sinkronisasi pembiayaan. Salah satu prinsip penting dalam 71
penggunaan APBN adalah tidak boleh ada duplikasi pembiayaan. BPJS Kesehatan akan semakin berperan di masa mendatang oleh karena itu perlu diintegrasikan antara pembiayaan program HIV dan AIDS dengan BPJS. Masalah lain yang sering timbul adalah karena mobilitas yang tinggi ODHA pecandu sering memerlukan akses layanan kesehatan diluar wilayah mereka tinggal. Disisi yang lain masih menjadi pertanyaan, apakah kebijakan presiden terpilih tentang Kartu Indonesia Sehat (KIS) nantinya akan sama persis atau berbeda dengan BPJS. Menurut PDAI Profesi, untuk masa yang akan datang, BPJS harus diintegrasikan agar tidak menimbulkan permasalahan pada program. Tentu saja dengan mempertimbangkan bagaimana proses BPJS dalam satu hingga dua tahun ini berjalan. Sehingga semua ODHA dapat mengakses layanan HIV dan ditanggungkan oleh BPJS selama ia terdaftar menjadi anggota BPJS. Meskipun yang ditanggungkan oleh BPJS adalah perawatan di luar ARV karena ARV masih merupakan obat program sehingga tidak dapat diklaim oleh pihak Rumah Sakit. Hal ini ditegaskan oleh pihak Kementrian Kesehatan sebagaimana dalam kutipan berikut; “Jadi semua ODHA yang mengakses layanan HIV itu bisa ditanggung oleh BPJS selama dia punya, dia bisa mendapatkan layanan, cuman memang yang porsi lainlain yang bisa ditanggung oleh BPJS itu adalah diluar ARV, karena ARV itu obat program jadi tidak bisa diklaim oleh rumah sakit kalau memang dia ada pasien yang mendapatkan ARV karena sudah disediakan oleh program (Kemkes).” Sementara di Papua, menurut CHAI, Kartu Papua Sehat dapat digunakan oleh masyarakat lokal secara gratis,dan semua ditanggungkan oleh dana APBD. Penduduk yang memiliki KTP Papua akan mendapatkan pengonatan secara gratis ke seluruh Rumah Sakit dan Puskesmas di Papua, tetapi hal ini tidak berlaku bagi yang tidak memiliki KTP Papua.
F.
Pengukuran Tingkat Integrasi
Berdasarkan paparan hasil diatas, dilakukan penilaian tingkat integrasi pada masing-masing sub sistem kesehatan yang ada dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
Tidak Terintegrasi : Kebijakan/Program HIV dan AIDS secara struktural diorganisasikan dan berfungsi secara paralel dengan komponen sistem kesehatan lain.
Terintegrasi Sebagian: Ada keterkaitan antara struktur dan fungsi program HIV dan AIDS dengan struktur dan fungsi sistem kesehatan – pertukaran informasi, rujukan jika diperlukan, pertemuan-pertemuan yang sifatnya sementara. Selain itu juga ada kegiatan 72
yang disinkronkan dan dikoordinasi antara struktur dan fungsi program HIV dan AIDS dengan sistem kesehatan dalam rangka untuk mencapai tujuan memperkuat penyediaan pelayanan kesehatan tetapi struktur dan fungsi masing-masing tetap terpisah dalam pengorganisasiannya.
Integrasi Penuh: Adaperubahan-perubahan yang dilakukan di kedua struktur program sehingga menciptakan tata kelola, pengelolaan pembiayaan, penyediaan layanan atau sistem informasi yang satu atau menyatunya dua program disemua bidang-bidang fungsional meskipun secara struktur terpisah.
Tidak Ada Data: Dimensi tidak dapat dinilai karena tidak tersedia data untuk jenis intervensi yang dinilai (Pencegahan dan Promosi, Perawatan Dukungan dan Pengobatan, atau Mitigasi Dampak) Tabel 6. Penilaian integrasi berdasarkan sub sistem kesehatan
Pencegahan PDP
Mitigasi Dampak
Regulasi
Parsial
Parsial
Parsial
Formulasi Kebijakan
Penuh
Penuh
Parsial
Akuntabilitas
Penuh
Penuh
Penuh
Pengelolaan Sumber Pembiayaan
Parsial
Penuh
Parsial
Penganggaran, Proporsi, distribusi dan pengeluaran?
Parsial
Parsial
Parsial
Mekanisme pembayaran layanan
Parsial
Parsial
Parsial
Ketersediaan layanan
Parsial
Parsial
Tidak ada
Koordinasi dan rujukan
Tidak ada
Parsial
Parsial
Jaminan kualitas layanan
Parsial
Parsial
Parsial
Kebijakan dan sistem manajemen
Parsial
Parsial
Parsial
Pembiayaan
Penuh
Penuh
Parsial
Kompetensi
Parsial
Parsial
Parsial
Subsistem
Dimensi
Manajemen dan Regulasi
Integrasi Sub-Sistem:
Pembiayaan
Penyediaan layanan
SDM
Integrasi Sub-Sistem:
Integrasi Sub-Sistem:
Integrasi Sub-Sistem:
73
Pencegahan PDP
Mitigasi Dampak
Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi
Penuh
Penuh
Penuh
Sumber daya
Parsial
Parsial
Penuh
Sinkronisasi sistem informasi
Penuh
Penuh
Diseminasi dan pemafaatan
Parsial
Parsial
Partisipasi Masyarakat
Parsial
Parsial
Parsial
Akses dan pemanfaatan layanan
Parsial
Parsial
Parsial
Subsistem
Dimensi
Penyediaan Obat dan Perlengkapan Medik
Integrasi Sub-Sistem:
Sistem Informasi
Pemberdayaan Masyarakat
Integrasi Sub-Sistem: Tidak ada Tidak ada
Integrasi Sub-Sistem:
Penilaian Pengukuran Tingkat Integrasi 1. Regulasi Untuk sub sistem regulasi sudah terjadi integrasi parsial baik pada program promosi dan pencegahan, PDP serta mitigasi dampak. Regulasi terkait dengan pencegahan dapat dikatakan parsial karena untuk program pencegahan terutama KIE pada masyarakat umum dan komunitas khusus (populasi kunci) kebijakan belum ada yang menyebutkan fungsi dan peran secara khusus serta melindungi hak dan kewajiban petugas penjangkau dilapangan. Meskipun pada tingkat nasional sudah ada surat keputusan bersama antara enam kementerian, namun terkadang masih saja ada petugas penjangkau di’aman’kan saat melaksanakan tugasnya oleh petugas Pemda atau kepolisian. Artinya surat keputusan bersama yang telah ditandatangani keenam Kementerian belum dipahami sepenuhnya oleh para petugas mereka dilapangan. Saat ini implementasi program dilapangan petugas penjangkau sudah dapat bekerja lebih tenang, hal itu dapat terjadi dikarenakan keberhasilan advokasi program HIV dan AIDS yang baik. Hal ini ditunjukkan dari cukup banyaknya peraturan dan regulasipada ketida program tersebut namun masih ada kendala dalam pelaksanaan kebijakan pada masing-masing program. Hambatan pada implementasi kebijakan dan program salah satunya juga 74
disebabkan karenaketerbatasan tenaga baik tenaga kesehatan maupun non kesehatan, serta masih rendahnya pemahaman akan kebijakan terkait penanggulangan HIV dan AIDS yang ada baik di tingkat nasional maupun daerah. 2. Formulasi Kebijakan Dalam hal formulasi kebijakan untuk pencegahan dinilai penuh karena telah terdapat formulasi kebijakan terkait dengan pencegahan dapat dikatakan penuh karena sudah melibatkan masyarakat, sudah ditetapkan dan dilaksanakan.Untuk PDP juga dinilai Penuh karena dalam hal formulasi kebijakan terkait dengan PDP dapat telah disusun sejak lama bukan hanya terkait dengan HIV AIDS saja.Dalm hal Mitigasi Dampak dinilai Parsial karena formulasi kebijakan terkait dengan mitigasi dampak dapat dikatakan parsial karena masih ada kebijakan yang disusun hanya untuk memenuhi target saja. 3. Akuntabilitas Penilaian Penuh pada akuntabilitas terkait dengan pencegahan dapat dikatakan penuh karena sudah melibatkan komunitas dari sejak penyusunan dan juga dapat dilihat dari pelaksananaan program.Begitu juga dengan denganPDP dapat dikatakan penuh karena sudah melibatkan DPR secara nasional dan DPRD pada tingkat daerah. Dalam hal mitigasi dampak dinilai Penuh, terkait dengan mitigasi dampak dapat dikatakan penuh karena sudah melibatkan komunitas, LSM dan juga masyarakat umum 4. Pengelolaan Sumber Pembiayaan Penilaian Parsial dalam pencehagan dikarenakan pengelolaan sumber pembiayaan terkait dengan pencegahan dapat dikatakan parsial karena sebagian besar dana untuk penjangkauan masih berasal dari lembaga donor.Untuk PDP dinilai Penuh karena pengelolaan sumber pembiayaan terkait dengan PDP dapat dikatakan penuh karena kebutuhan pembiayaan lini 1 sudah dibiayai APBN. Dalam hal mitigasi Dampak dinilai Parsial dikarenakan pengelolaan sumber pembiayaan terkaitdenganmitigasi dampak karena pemerintah pusat sudah memiliki dana yang dialokasikan untuk mitigasi dampak, namun di daerah baru beberapa yang masuk APBD 5. Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran Penilaian parsial dalam mencehagan termasuk di dalamnya adalah penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran terkait dengan pencegahan dapat dikatakan parsial 75
karena KIE dari pemerintah dan donor. Untuk penjangkauan masih dari donor. Begitu juga degnan PDP dinilai masih Parsial karena penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran terkaitdenganPDP dapat dikatakan parsial karena selain ARV lini 1, pengadaan alat CD4 juga dibiayai oleh pemerintah. Untuk Mitigasi Dampak juga dinilai Parsial dalam hal ini terkait dengan mitigasi dampak dapat dikatakan parsial karena kebutuhan ODHA setiap daerah berbeda, di tingkat nasional sudah memiliki anggaran namun belum semua yang menyiapkan anggarannya. 6. Mekanisme pembayaran layanan Penilaian parsial dilihat dalam mekanisme pembayaran layanan terkait dengan pencegahan dapat dikatakan parsial karena belum semua kegiatan masuk dalam APBN.Untuk PDP dinilai parsial juga dikarenakan mekanisme pembayaran layanan terkait dengan PDP dapat dikatakan parsial karena tidak semua layanan terkait HIV sudah dibiayai BPJS.Untuk Mitigasi Dampak dinilai parsial, mekanisme pembayaran layanan terkait denganmitigasi dampak dapat dikatakan parsial karena mobilitas ODHA membuat sulit untuk dibiayai yang masih berdasarkan wilayah tinggal yang terkait dengan sistem administrasi kependudukan. 7. Ketersediaan layanan Dalam ketersediaan layanan untuk pencegahan terdapat perbedaan pendapat dari peneliti. Namun, disepakati ketersediaan layanan terkait dengan pencegahan dapat dikatakan parsial dikarenakan meskipun telah ada berbagai kebijakan berkenan dengan ketersediaan layanan di lapangan, layanan pencegahan sudah tersedia di semua provinsi (kondom, PMTCT, konseling, dsb). Ratusan fasilitas kesehatan di seluruh daerah di Indonesia
telah
ditunjuk
oleh
Kemenkes
untuk
memberikan
pelayanan
pencegahannamun belum semua sarana layanan kesehatan mampu menyediakan kelengkapan universal precautionseperti sarung tangan sekali pakai. Ketersediaan layanan terkait PDP dinilai tingkat integrasinya parsial, sebab ketersediaan layanan terkait dengan PDP dapat dikatakan parsial dikarenakan meskipun ARV sudah tersedia di seluruh Indonesia, layanan pengobatan HIV sudah melibatkan ratusan RS dan fasilitas kesehatan primer dan mencakup seluruh daerah di Indonesia,ketersediaan jenis dan bentuk layanan HIV dan AIDScukup lengkap, kelengkapan sarana, obat, dan BMHP 76
rumah sakit dan puskesmas disesuaikan dengan tipe rumah sakit namun belum semua memiliki layanan VCT. Sedangkan dalam mitigasi Dampak dinilaiTidak ada, sebab kebanyakan pelayanan di Indonesia tidak memasukkan program mitigasi dampak. 8. Koordinasi dan rujukan Tidak ada intergrasi dalam koordinasi dan rujukan dala pencegahan hal ini dikarenakan biasanya hanya dilokasi layanan awal saja. Sedangkan untuk PDP dinilai Parsial dikarenakan sudah dimulai dengan sistem BPJS masih berdasarkan syarat tertentu. Koordinasi dan rujukan antara fasilitas kesehatan masih perlu diperbaiki. Banyak tenaga kesehatan yang belum mekanisme rujukan sehingga perlu sosialisasi lebih gencar.Dalam Mitigasi Dampak dinilaiParsial, hal ini dikarenakan implementasinya masih belum jelas pelaksanaannya
walaupun sebenarnya telah diterbitkan juga Panduan Penguatan
Institusi Lokal Dalam Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Berbasis Masyarakat – Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA, oleh Kementerian Sosial pada tahun 2013. Keluarnya Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara dan Kepala Badan Narkotika Nasional menunjukkan telah adanya kesamaan pandangan dan koordinasi antara 6 kementerian tersebut. 9. Jaminan kualitas layanan Jaminan kualitas layanan terkait denganpencegahan dapat dikatakan parsial dikarenakan adanya supervisi dari Global Fund dan pemerintah. Begitu juga dengan PDP dapat dikatakan parsial dikarenakan ketersediaan bahan-bahan universal precaution, seperti sarung tangan, masker, dll masih kurang. Pada beberapa fasilitas kesehatan yang menangani PDP dilakukan penilaian jaminan kualitas layanan dalam jangka waktu tertentu dan dilaporkan ke kemenkes. Namun mayoritas fasilitas kesehatan belum melaksanakannya. Jaminan kualitas layanan terkait dengan mitigasi dapat dikatakan parsial dikarenakan belum semua memiliki layanan mitigasi dampak. 10. Kebijakan dan sistem manajemen Kebijakan dan sistem manajemen terkait dengan pencegahan dapat dikatakan parsial dikarenakan kebijakan dan sistem manajemen untuk SDM yang berperan (terutama dari LSM) di pencegahan masih belum terintegrasi baik dengan pemerintah dalam artian 77
masih banyakyang berjalan sendiri-sendiri. Distribusi SDM masih belum merata di setiap daerah walaupun regulasi untuk penempatan SDM di daerah telah diatur oleh pemerintah. Selain itu akibat dari desentralisasi, SDM juga terkena dampak.Tingkat integrasi untuk PDP parsial sebab SDM kesehatan sudah ada regulasinya dan dibiayai penuh oleh APBN dan APBD, namundistribusi SDM masih belum merata di setiap daerah. Manajemen mutasi belum dilaksanakan dengan baik dan mutasi SDM kadang terlalu cepat meski regulasi untuk penempatan SDM kesehatan di daerah dan estimasi jumlah SDM yang diperlukan telah dibuat oleh pemerintahmelalui SRAN 2010-2014.Kebijakan dan sistem manajemen terkait dengan mitigasi dampak dapat dikatakan parsial dikarenakankebijakan untuk program mitigasi dampak telah dikeluarkan oleh pemerintah melalui Permendagri, Kepmensos, dan sebagainya namun implementasinya di lapangan masih perlu untuk ditingkatkan. Tenaga lapangan juga belum dimasukkan ke dalam APDN dan APBD. 11. Pembiayaan SDM Kesehatan pada tingkat nasional secara keseluruhandi biayai APBN, meskipun demikian pembiayaan insentif untuk SDM yang berperan seperti LSM dan masyarakat masih bergantung oleh donor. PDP dan mitigasi dinilai parsial, sudah dibiayai penuh oleh APBN dan APBD, meskipun terkadang terdapatmengenai ketepatan waktu menerima dan nilai honor yang kecil. 12. Kompetensi Dalam hal kompetensi, pencegahan dinilaiparsial karena belum semua tenaga kesehatan dapat mengikuti uji kompetensi dan belum semua lembaganya terakreditasi. Kompetensi terkait dengan pencegahan dapat dikatakan parsial juga sebab individu yang bergerak di bidang pencegahan HIV, baik dari LSM, elemen masyarakat non-medis belum memiliki standar kompetensi yang jelas untuk penanganan HIV. Begitu juga dengan DPD dan mitigasi dampak yang dinilai parsial dikarenakanbelum semua tenaga kesehatan memiliki kompetensi yang sama. Selain itu, penilaian kompetensi tenaga ahli telah dipegang oleh masing-masing organisasi profesi (misalnya konsil kedokteran Indonesia untuk dokter), tetapi tidak semua tenaga kesehatan (terutama dokter) mengerti tentang HIV karena belum ada kurikulum kompetensi tertentu mengenai HIV yang khusus dan berfokus untuk diajarkan kepada tenaga kesehatan. Belum semua tenaga lapangan mendapatkan 78
pelatihan yang terstruktur dan terstandarisasi. Selain itu, pihak-pihak yang terkait dalam mitigasi dampak, baik dari LSM, elemen masyarakat non-medis belum memiliki standar kompetensi yang jelas. 13. Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik terkait dengan pencegahan dapat dikatakan penuh dikarenakan rumah sakit rujukan pada umumnya memiliki kelengkapan SOP penyediaan, penyimpanan,diagnostik dan terapi. Estimasi kebutuhan sarana pencegahan telah dibuat oleh pemerintah melalui SRAN. Penyediaan barang-barang untuk pencegahan seperti kondom, sudah diatur dalam peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Terkait dengan PDP dan mitigasi dampak dapat dikatakan penuh dikarenakan saranalaboratorium (reagen dan alat), obat, sarana farmasi tersedia lengkap beserta SOP dan tersedia di seluruh daerah di Indonesia. Hal lain yaitu bila ada efek samping yang tidak diinginkan sudah tersedia layanan IGD dan juga bank darah bila perlu transfusi darah. 14. Sumber daya Tingkat integrasi parsial karena sumber daya terkait dengan pencegahan dapat dikatakan penuh dikarenakan di pemberi layanan kesehatan tingkat nasional seluruh BMHP yang penting untuk pelaksanaan pencegahan universal tersedia, seperti sarung tangan, masker dan ditanggung oleh pemerintah namun pengadaan masih menjadi masalah karena terkadang penyediaan telat dan RS/puskesmas kehabisan. Sumber daya terkait dengan PDP dapat dikatakan parsial dikarenakan walaupun Obat ARV serta reagen untuk alat tes laboratorium selalu tersediadan ditanggung oleh pemerintah dan secara umum sudah tersedia di RS/puskesmas namun terkadang pengadaan mengalami keterlambatan. Sedangkan untuk mitigasi dampak dinilai penuh, sumber daya terkait dengan mitigasi dampak dapat dikatakan penuh dikarenakan adanya kerjasama dengan LSM dan lembaga lain. 15. Sinkronisasi sistem informasi Sinkronisasisistem informasi dengan pencegahan dapat dikatakan penuh dikarenakan Sistem Informasi HIV dan AIDS (SIHA) sudah terintegrasi penuh dengan Sistem Informasi Kesehatan (SIK). Pendataan untuk kelompok risiko tinggi sudah cukup baik. LSM dan pihak 79
lain saling berkoordinasi dengan pemerintah untuk pendataan.PDP:Penuh, sinkronisasi sistem informasi dengan PDP dapat dikatakan penuh dikarenakan dengan terintegrasinya SIHA di dalam SIK, maka informasi yang diperlukan untuk PDP juga ada. Sehingga untuk keberlanjutan tindakan yang diperlukan dapat melihat data yang sudah ada. Sinkronisasi sistem informasi mitigasi dampak dengan pencegahan dapat dikatakan tidak ada dikarenakan belum adanya data layanan mitigasi dampak di setiap pemberi layanan kesehatan. 16. Diseminasi dan pemanfaatan Pencegahan dikatakan parsial sebab seluruh informasi layanan sudah bisa diakses dengan begitu nantinya diharapkan berbagai kalangan masyarakat memanfaatkannya. Namun belum dimanfaatkan secara maksimal untuk keperluan penelitian. Diseminasi dan pemanfaatan terkait dengan PDP dapat dikatakan parsial dikarenakan walaupun dengan pemanfatan berbagai alat smartphone, website, dan juga layanan informasi bagi keluarga pasien yang dikembangkan di Jakarta data yang diperoleh dari pasien HIV belum seluruhnya diarsipkan dengan baik kecuali pada beberapa fasilitas kesehatan di pusat seperti UPT HIVsus sehingga pemanfaatan data pun masih belum maksimal. Dalam hal Mitigasi Dampak: Tidak ada, diseminasi dan pemanfaatan terkait dengan mitigasi dampak dapat dikatakan tidak dikarenakan belum memberi layanan informasi tentang adanya layanan mitigasi dampak di tempat mereka. Layanan kesehatan yang dapat memberi layanan mitigasi dampak belum terdata pada SIK danSIHA. 17. Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat terkait dengan pencegahan dapat dikatakan parsial dikarenakan pencegahan penularan saat ini tertinggi melalui kontak seksual namun penggunaan kondom sebagai alat pencegahan belum optimal dan kebijakan nasional mengenai kondom belum terintegrasi dengan kebijakan daerah (masih berbeda) akibatnya pada implementasinya dualisme kebijakan ini mengakibatkan belum terkoordinasi dengan baik. Sebagian masyararakat terutama melalui LSM sudah berpartisipasi dalam programprogram pencegahan HIV namun mayoritas masyarakat belum tergarap dengan maksimal.Partisipasi aktif masyarakat pada program pencegahan sudah memberikan kontribusi persoalan stigma dan diskriminasi. Permasalahan stigma dan diskriminasi saat ini masih ada, namun sudah banyak menurun. 80
Tingkat
integrasi
PDP
dinilai
parsial,
dikarenakan
belum
adanya
pelatihan
‘caregiver’(pemberi perawatan) bagi masyarakat. Walaupun ada dapat dikatakan tidak sesuai dengan standar keamanan kesehatan. Dalam menghadapi kasus overdosis narkoba misalnya, masyarakat masih sering memberikan minum sebagai pertolongan pertama padahal hal ini dapat membahayakan jiwa orang yang sedang mengalami overdosis tersebut. Air minum yang diberikan karena tersedak lalu masuk ke dalam paru-paru, akibatnya sesak nafas dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Walaupun seperti itu dari beberapa LSM menyediakan layanan untuk PDP. Partisipasi masyarakat terkait dengan mitigasi dampak dapat dikatakan parsial dikarenakan berbagai program terkait HIV dan AIDS berbasis masyarakat sebagian besar belum berjalan. Sehingga sampai saat ini LSM masih lebih banyak berperan. Masyarakat melalui LSM berperan dalam penanggulangan dampak HIV terhadap penderitanya melalui edukasi, memberikan bantuan pekerjaan. Padahal jumlah staf LSM juga terbatas, sementara jumlah layanan kesehatan yang dapat memberikan layanan HIV terus bertambah. Sehingga sering terjadi teman ODHA yang memerlukan layanan mitigasi dampak tidak mendapatkan layanan tersebut. 18. Akses dan pemanfaatan layanan Akses dan pemanfaatan layanan terkait dengan pencegahan dapat dikatakan parsial dikarenakan meskipun di berbagai tempat layanan kesehatan telah disediakan masker dan sarana untuk mencuci tangan, belum semua teman ODHA memanfaatkan dan menerapkan dengan benar akses untuk program pencegahan, terutama dari LSM cukup banyak, namun belum merata di seluruh Indonesia. Akses dan pemanfaatan layanan terkait dengan PDP dapat dikatakan parsial dikarenakanbelum semua mengerti cara mengakses layanan, terutama sekali bagi teman ODHA yang akan menggunakan layanan jaminan BPJS. Begitu juga dengan partisipasi masyarakat terkait dengan mitigasi dampak dapat dikatakan parsial dikarenakantidak setiap layanan memiliki kerjasama dengan LSM. Kalaupun ada kerjasama dengan LSM tidak setiap hari ada staff hadir di tempat layanan. Selain itu, layanan mitigasi dampak juga masih belum merata di seluruh daerah di Indonesia.
81
Bab IV. Diskusi A.
Implikasi Hasil Penelitian terhadap Integrasi HIV dan AIDS Ke Dalam Sistem Kesehatan Nasional
Implikasi dari dilakukannya penelitian ini memperlihatkan bahwa untuk mendapatkan 3 zero (nol kasus baru AIDS, nol angka kematian karena AIDS, dan nol stigmatisasi karena AIDS), perlu upaya menyeluruh dan berkesinambungan. Penelitian di tingkat nasional menemukan berbagai hal positif dan negatif dari kebijakan dan tatalaksana HIV dan AIDS yang diharapkan dapat menjadi masukan berharga untuk penguatan integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan nasional. Manajemen dan Regulasi Manajemen dan regulasi dari kebijakan yang selama ini dikeluarkan oleh pemerintah telah diupayakan untuk menjawab berbagai permasalahan dilapangan.Mulai dari ketersediaan tenaga kesehatan, pemerataan serta kualitasnya.Begitu juga berbagai jenjang kebijakan baik nasional, propinsi maupun kabupaten telah disusun berdasarkan tingkat kewenangan di wilayah kerja masing-masing.Selain itu juga telah diupayakan sinkronisasi kebijakan pada tiap tingkatan di daerah, seperti untuk teman-teman yang mengikuti program rumatan metadon dan penukaran jarum suntik tidak perlu takut lagi mengakses layanan tersebut di puskesmas.Renstra dan pengumpulan data epidemi dilakukan secara terstruktur. Perlu penguatan implementasi di lapangan dari banyaknya regulasi yang sudah dikeluarkan.Dari laporan-laporan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat, provinsi, ataupun LSM dapat diketahui bahwa masih terdapat kesenjangan antara regulasi, target yang harus dicapai dengan regulasi yang sudah dikeluarkan. Pihak pemerintah, khususnyapemerintah daerahharus meningkatkan perhatiannya kepada HIV dan AIDS sehingga implementasi regulasi dan juga penganggaran di lapangan dapat berjalan baik. Manajemen dan regulasi memang sudah seharusnya diformulasikan berdasarkan ‘evidence base’, dengan mempertimbangkan banyak hal termasuk budaya lokal.Kasus promosi penggunaan kondom sebagai alat pencegahan penularan virus HIV menjadi contoh.Meskipun kondom terbukti bermanfaat mencegah virus HIV, lalu regulasinya berhasil disahkan menjadi Perda namun pada implementasi bukanlah hal yang mudah.Persoalan ini dapat dikatakan hampir terjadi di setiap provinsi termasuk DKI Jakarta, Papua, dan Papua Barat.Sebuah 82
kebijakan memerlukan banyak hal dan melibatkan banyak pihak, baik itu tokoh masyarakat, tokoh agama, komunitas, LSM dan juga ODHA. Melibatkan mereka semua sejak fase formulasi kebijakan akan dapat menyusun regulasi yang diperlukan. Komunikasi yang intens dapat menumbuhkan kesepahaman sehingga saat implementasi nantinya diharapkan akan lebih mudah.Monitoring, evaluasi, akuntabilitas dan supervisi menjadi kata kunci dalam subsistem manajemen dan regulasi. Pembiayaan Pembiayaan dan anggaran yang diperlukan maka kontribusi dari donor masih lebih besar daripada nasional.Walaupun demikian jumlah anggaran yang berasal dari kontribusi nasional dari tahunke tahun kontribusinya terus bertambah.Pembagian dana APBD dan APBN untuk tatalaksana HIV dan AIDS di setiap provinsi sudah dibagi proporsinya, namun penyumbang terbesar masih berasal dari donor asing. Pada tahun 2012, 42,35% total biaya untuk penanggulangan HIV AIDS ditanggung pemerintah dan 49,53% ditanggung oleh donor asing (NASA 2011-2012).Pelaksana utama dari program HIV AIDS tahun 2011 dan 2012 adalah dari sektor publik.Pada tahun 2011 proporsi terbesar untuk pengeluaran program HIV AIDS ditujukan untuk pencegahan (28,05%) sedangkan tahun 2012 terdapat pergeseran, sebagian besar ditujukan untuk pengobatan (35,84%). Penerima terbanyak dari dana ini adalah penderita HIV (33,87%) disusul oleh kelompok risiko tinggi (27,23%). GF masih memainkan peranan penting dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Integrasi antara dana GF dengan program penanggulangan penyakit yang dibentuk pemerintah cukup tinggi. Dikhawatirkan jika GF menarik dananya, maka program penanggulangan HIV tidak dapat berjalan, sebab selain ketergantungan yang besar terhadap dana GF, pemerintah juga mulai mengalihkan sebagian dana penanggulangan HIV untuk program lain. Sebagai perbandingan di Thailand, pemerintah membiayai sekitar 85% program HIV dan AIDS. Global Fund membiayai penanggulangan HIV untuk non-Thai key affected population (KAP) dan juga para migran dan memiliki proporsi peran yang kecil dalam membiayai program penanggulangan HIV. Jika GF menghentikan bantuan dana, maka tidak akan berdampak besar terhadap program penanggulangan HIV di Thailand (Patcharnaru, 2013). Masalah pembiayaan lebih sering memfokuskan pembahasan pada ‘setting’ apabila terjadi kekurangan pembiayaanuntuk sebuah program, dalam hal ini penanggulangan HIV dan AIDS. Memang bila anggaran tidak mencukupi akandapat berdampak fatal, mulai dari berkurangnya 83
cakupan sampai berhentinya program. Berhentinya program penanggulangan HIV dan AIDS dapat berakibat meningkatnya infeksi kasus baru HIV.Oleh karenanya kemampuan advokasi agar anggaran yang diperlukan tersedia kecukupannya menjadi penting.Masalah lain terkait pembiayaan program yang juga penting didiskusikan adalah kelebihan anggaran.Pada kasus Papua dan Papua Barat misalnya, selain mendapatkan anggaran dari APBD mereka juga mendapatkan anggaran dari pusat (APBN) berupa dana OTSUS ada BOK. Papua secara keseluruhan penduduknya sebanyak 2.800.000 orang,mendapatkan anggaran sebesar Rp.30 trilliun.Sebuah puskesmas di Papua dianggarkan mendapatkan Rp. 250 juta setahun bahkan sekarang ditingkatkan menjadi Rp. 1 Miliar.Meskipun dana itu dilaporkan tidak pernah hilang (hanya jatuh ke kepala-kepala puskesmas) hal ini dikarenakan tidak ada sistem pengawasan.Dana yang dialokasikan bisa keluar tetapi akhirnya ini tergantung pada orang yang bertanggung jawab. Jika orang itu dipindah, dana hilang lagi seperti contoh di Papua Barat. Sementara itu anggaran untuk DKI tahun 2014 kurang lebih sebesar 72 trilliun.Ada banyak yang pelatihan yang telah dilakukan namun cakupan test dan treatnya masih saja rendah. Ini terjadi karena alokasi dana untuk ketersediaan logistiknya masih kurang.Jadi walaupun ketersediaan anggaran lebih dari mencukupi, namun terkadang tidak dapat dipergunakan dengan baik. Isu penting lain yang terkait dengan pembiayaan pada tahun depan adalah integrasi layanan HIV ke layanan umum. Pemerintahan yang baru telah menyatakan bahwa program Kartu Indonesia Sehat sejalan dengan pelaksanaan BPJS. Artinya program pembiayaan yang sudah berjalan dalam setahun belakangan ini, yaitu dengan sistem BPJS akan tetap dilanjutkan.Oleh karenanya agar layanan HIV mudah diakses, maka menjadi penting mengintegrasikan layanan HIV dangan layanan umum. Dalam fase transisi tersebut perlu disiapkan mekanisme peralihan agar tidak terjadi kebingungan pada petugas dilapangan dan duplikasi pembiayaan. Korupsi dan Anti Gratifikasiakan menjadi suatu keharusan sebagai satu isu yang di bahas dan penting mendapat perhatian khusus, mengingat pemerintahan yang baru mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meningkatkan kinerjanya. Diperlukan suatu pelatihan khusus tentang korupsi dan gratifikasi bagi para stakeholder yang terlibat dalam program penanggulangan HIV dan AIDS. Sehingga nantinya semua pembiayaan program penanggulangan HIV dan AIDS menjadi lebih transparan dan akansemakin baik akuntabilitasnya. Dan ini yang terpenting adalah tidak perlu ada pelaksana program 84
penanggulangan HIV dan AIDSyang menjadi tertuduh atau tersangka korupsi karena ketidaktahuan tentang korupsi dan anti gratifikasi. Sehubungan dengan rencana penghentian bantuan pada tahun 2016 dari GF, hal ini telah menjadi catatan penting bagi pemerintah. Pedoman exit Strategi dana hibah secara resmi telah disusun sejak tahun 2012 melalui Keputusan Dirjen P2PL No: HK.03.05/D/I.4/532/2012. Sementara itu melalui Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri telah diselenggarakan forum komunikasi rutin antara Sekretaris Daerah setiap tahunnya. Kedepannya diharapkan ketergantungan terhadap donor asing dapat semakin dikurangi dan pemerintah dapat menanggulangi HIV dan AIDS secara mandiri. Dengan demikian integrasi antara pembiayaan Pemerintah Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten) melalui APBN dan APBD sudah dilaksanakan. Namun demikian, pemerintah perlu solusi alternatif, antara lain meningkatkan kerjasama dengan sektor swasta atau organisasi donor lainnya. Penyediaan Layanan Peningkatan jumlah sarana dan prasana untuk penanggulangan HIV setiap tahunnya, seperti VCT, outlet kondom, program penukaran jarum suntik steril, program rumatan metadon, dan juga program pencegahan dari ibu ke anak. Sehingga berdampak juga pada jumlah pembiayaan dan sumber daya manusia dan logistik yang dibutuhkanpun semakin besar.Layanan pencegahan sudah tersedia di semua provinsi.Ratusan fasilitas kesehatan di seluruh daerah di Indonesia telah ditunjuk oleh Kemenkes untuk memberikan layanan pencegahan.Pengobatan ARV dan biaya rawat inap pasien ODHA dibiayai oleh pemerintah melalui BPJS.Ketersediaan layanan secara umum telah terintegrasi dengan baik terhadap sistem kesehatan.Tetapi, perlu diperhatikan untuk koordinasidan rujukan antara fasilitas kesehatan baik primer ataupun sekunder yang masih kurang terintegrasi dengan baik, diantaranya ditandai dengan masih banyaknya tenaga kesehatan yang belum memahami mekanisme rujukan sehingga perlu sosialisasi yang lebih luas.Beberapa fasilitas kesehatan pusat, seperti RSCM telah melakukan penilaian kualitas layanan HIV secara berkala dan dilaporkan ke Kemenkes.Untuk program mitigasi dampak telah dikoordinasikan melalui peraturan bersama antara ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Kapolri dan Kepala BNN penanggulangan dan rehabilitasi penyalahguna NAPZA.
85
Penyediaan layanan dilakukan dengan memberikan layanan dasar yang eprlu dan dapat dikembangkan disetiap lokasi dengan melibatkan fasilitas layanan dan penyelenggara dalam jejaring dan sistem rujukan serta harus mempertimbangkan kebuutuhan yang dibutuhkan layanan dan rencana berikutnya. Tetapi dari sisi pemanfaatan layanan oleh masyarakat masih terkendala oleh biaya yang bagi ODHA sendiri menjadi penghalang utama untuk mengakses layanan komprehensif dan meupakan faktor utama yang dapat menghambat kelangsungan berobat pasien baik pra-ART maupun selama ART. Layanan perawatan dan pengobatan HIV gratis merupakan kebijakan yang terbaik. Sumber Daya Manusia Perkembangan fasilitas kesehatan yang menangani HIV berkembang pesat dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, hanya saja pada beberapa daerah, peningkatan fasilitas dan infrastuktur tidak sejalan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas SDM. Integrasi kebijakan dan sistem manajemen, pembiayaan dan kompetensi SDM dengan sistem kesehatan secara umum masih parsial.Kebutuhan SDM pada beberapa daerah masih kurang mencukupi, seperti di Papua, masih banyak puskesmas yang belum terisi dengan dokter.Sudah dikeluarkan berbagai regulasi untuk mengatasi ketimpangan SDM antar daerah, seperti regulasi mengenai dokter dan bidan PTT.Namun, distribusi SDM di daerah tetap masih belum merata.Kompetensi dari SDM diatur oleh organisasi profesi SDM yang bersangkutan, misalnya dokter, diatur oleh Konsil Kedokteran Indonesia.Kompetensi penyedia layanan tidak semua diatur, sebab tidak semua penyedia layanan memiliki badan yang mengatur kompetensinya, diantaranya para pekerja LSM.Sebagian pembiayaan honor SDM baik medis ataupun non medis berasal donor luar negeri (misal: GF) dan bantuan dana akan dihentikan/ dikurangi pada tahun 2016. Oleh karena itu pemerintah perlu berpikir bagaimana strategi untuk menjalankan fungsi SDM secara efektif saat bantuan dana dari luar dihentikan/dikurangi.Hubungan kerja antara SDM non pemerintah dengan SDM kesehatan bersifat informal.Belum ada keputusan dari Kemenkes ataupun undang-undang yang khusus yang mengatur kerjasama antara SDM non pemerintah dengan SDM pemerintah. SDM pemerintah (dokter spesialis, perawat, konselor, dsb) selama ini telah banyak berperan sebagai ‘narasumber’ untuk pengembangan kapasitas SDM non pemerintah dalam penanggulangan HIV AIDS. Untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi tenaga kesehatan dalam waktu singkat maka peran lembaga profesi dan RS pendidikan perlu ditingkatkan. Pelatihan Mentoring Klinik oleh PDPAI dan Magang di UPT HIV 86
RSCM contohnya, akan sangat membantu para dokter untuk selalu memperbaharui pengetahuan dan meningkatkan keahlian mereka. Penanggulangan HIV dan AIDS, peningkatan kapasitas SDM sangatlah penting dengan cara memberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan dari pengelolaan program pengendalian HIV yang lebih efektif bila dilaksanakan oleh tim pelatih yang terdiri dari para ahli di bidang terkait baik dilingkup lokal maupun nasional. Tidak hanya bagi petugas kesehatan yang membutuhkan peningkatan kapasitas, tetapi bagi petugas di komunitas juga dibutuhkan karena peran pentingnya sebagai ujung tombak dari layanan kesehatan dasar bagi ODHA dan populasi kunci yang akan menghbungkan ODHA dan fasilitas layanan. Penyediaan Obat dan Perlengkapan Medik Anggaran untuk pengadaan logistik termasuk ARV dari pemerintah meningkat setiap tahunnya.Penggunaan ARV yang semakin luas menurunkan jumlah kematian akibat HIV secara drastis selama 10 tahun ini.Namun, perlu ditingkatkan kolaborasi peran tupoksi antara Kementerian Kesehatan dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.Estimasi kebutuhan sarana pencegahan telah dibuat oleh pemerintah melalui SRAN.Penyediaan alat dan bahan pencegahan seperti kondom, telah diatur dalam peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Begitu pula dengan penyediaan obat ARV dan alat diagnostik telah diatur oleh peraturan pemerintah dan tersedia di seluruh pelayanan kesehatan seluruh provinsi di Indonesia. Hal yang menjadi masalah adalah ketersediaan bahan dan alat penanggulangan HIV tersebut secara konsisten, karena tidak jarang pengadaan logistik telat sehingga mengganggu proses pelayanan, terutama di daerah. Sehingga, walaupun secara regulasi dan kebijakan integrasi penyediaan logistik dengan sistem kesehatan sudah baik, namun konsistensi penyediaan masih perlu untuk ditingkatkan. Sistem Informasi Integrasi sistem informasi dengan sistem kesehatan secara umum baik. Sinkronisasi sistem informasi telah diatur melalui peraturan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan mengenai pedoman Sistem Informasi Kesehatan (SIK) yang terdiri atas SIK manual, terkomputerisasi offline dan online, dan hasil informasi dan data-data yang ada dari fasilitas kesehatan dilaporkan kepada Kemenkes dan Dinkes daerah bersangkutan. Informasi juga ditampilkan ke 87
masyarakat baik melalui website Kemenkes, KPAN, LSM dsb dan banyak digunakan sebagai bahan dalam penelitian.Namun tidak semua fasilitas kesehatan di Indonesia memiliki SIK yang baik (contohnya di Papua), yang masih memakai sistem manual dan tidak jarang laporannya tidak sampai ke pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyusun strategi agar SIK, terutama yang telah terkomputerisasi, terdistribusi dengan baik di seluruh provinsi di Indonesia.Selain itu, data yang telah didapat karena pada beberapa daerah belum diarsipkan dengan baik dan detail sehingga belum dimanfaatkan secara maksimal.RSCM sebagai RS pendidikan dan RS pusat rujukan nasional telah mengkomputerisasi pengumpulan data pasien secara detail.Mulai dari biodata, diagnosis, riwayat pemeriksaan penunjang dan terapi dicatat dengan baik dalam sistem komputerisasi yang baik.Sehingga, banyak hasil penelitian yang dihasilkan dari data-data yang diarsipkan dengan baik ini. Pemberdayaan Masyarakat LSM dalam negeri dan luar negeri berperan penting dalam penanganan mitigasi dampak di Indonesia.Bahkan sebelum pemerintah melaksanakan program penanggulangan HIV dan AIDS, LSM lokal sudah bergerak melaksanakan program HIV dan AIDS di berbagai komunitas masyarakat.LSM mendapatkan dukungan dari pemerintah Indonesia melalui berbagai regulasi, diantaranya melalui Permendagri No.20 tahun 2007 mengenai Pedoman Umum Pembentukan KPA dan Pemberdayaan Masyarakat.Namun, partisipasi masyarakat masih belum tergarap secara maksimal dan akses pelayanan LSM masih belum merata di seluruh daerah.Sehingga, integrasi pemberdayaan masyarakat dengan sistem kesehatan secara umum masih parsial.BPJS selaku asuransi kesehatan milik pemerintah berperan penting dalam penanggulangan HIV dan AIDS.Saat ini BPJS telah menanggung pembiayaan untuk pemeriksaan diagnosis HIV seperti CD4 dan viral load rawat inap. Kedepan, pemerintah merencanakan cakupan tanggungan pembiayaanakansemakin diperluas sehingga tatalaksana HIV dan AIDS untuk pasien semakin baik. Universitas berperan dalam hal akademis, berbagai penelitian mengenai HIV dan AIDS telah dilaksanakan baik dengan tema klinis (epidemiologi, pengobatan, dan sebagainya) ataupun non-klinis (kebijakan, dan sebagainya).Hasil penelitian yang dilakukan kemudian dipublikasikan baik ke jurnal internasional maupun nasional. Para ahli HIV dan AIDS dari universitas memiliki peran besar sebagai tim ahli jika Kementerian Kesehatan akan mengambil memutuskan regulasi baru terkait penanggulangan HIV. Kerjasama antara Universitas dengan 88
Pemda terkait program kesehatan sebaiknya untuk yang belum ada segera dilakukan. Hal ini bermanfaat bukan hanya bagi kedua belah pihak, akan tetapi masyarakat juga akan dapat menikmati hasil dari kerjasama tersebut. Upaya pemerintah Pusat dan DKI untuk meningkatkan kapasitas masyarakat ada dan cukup baik.Sebagai contoh untuk kerjasama bidang kesehatan antara Pemda DKI dengan FKUI telah ada. Melalui lembaga IBCA telah dilakukan berbagai program penanggulangan HIV dan AIDS sebagai bagian dari program CSR perusahaan. Jumlah perusahaan dan dana yang dialokasikan masih terbatas dan mekanismenya masih belum jelas betul. Jadi ada dana CSR dilapangan tetapi akhirnya yang dapat hanya yang tahu saja caranya. Jadi mungkin perlu sosialisasi bagi masyarakat luas, bagaimana mendapatkan CSR. Sehingga nantinya dan CSR natinya akan sampai ke tangan yang benar-benar memerlukan. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan kebijakan resmi melalui Instruksi Mendagri No. 444.24/2259/J. Tentang Penguatan Kelembagaan Dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan HIV dan AIDS Di Daerah.Salah satu daerah yang bisa dijadikan contoh pelaksanaan program pemberdayaan adalahWalikota Solo yang telah mengalokasikan dana cukup besar untuk pelaksanaan program Warga Peduli AIDS.
B.
Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pengembangan Pengetahuan Khususnya Pada Penguatan Sistem Kesehatan
Penelitian yang dilakukan di Vietnam mengenai integrasi sistem kesehatan dan prioritas intervensi kesehatan (Conseil, dkk 2010) memperlihatkan cakupan dan luas dari program integrasi dalam sistem kesehatan di negara tersebut.Integrasi bervariasi bergantung sistem kesehatan dan strata geografis.Hasil integrasi program HIV antara wilayah kabupaten, provinsi dan nasional di Vietnam bervariasi. Hal ini menyebabkan implikasi yang berbeda pula kepada para penderita HIV dalam hal efektivitas, efisiensi, dan besarnya dampak program penanggulangan HIV. Sedangkan dari hasil penelitian tim nasional di Indonesia, integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS dengan sistem kesehatan nasional yang disimpulkan melalui data primer dan data sekunder yang didapat, memperlihatkan adanya variasi pada setiap subsistem. Bagian yang terintegrasi tertinggi adalah bagian perawatan, dukungan dan pengobatan.Sedangkan bagian pencegahan dan mitigasi dampak secara umum terintegrasi secara parsial. 89
Beberapa penelitian yang dilakukan di negara-negara dengan pendapatan menengah, seperti di Rusia (Tkatchenko-Schmidt, dkk, 2010), ditemukan cukup banyak adanya kemiripan dengan masalah-masalah di Indonesia. Beberapa masalah di Rusia antara lain: kurangnya komitmen politik dan sumber dan pada tahap awal epidemi, fragmentasi sistem dan koordinasi yang kurang baik antara pelayanan kesehatan dengan sektor publik lain, insentif yang rendah untuk pekerja kesehatan dan akses yang masih kurang baik pada beberapa daerah serta masih kurangnya pendekatan pencegahan untuk kelompok risiko tinggi juga ditemukan di Indonesia. Faktor-faktor tidak menjadi hal yang khas untuk penanggulangan HIV dan AIDS sebab masalah-masalah ini sering pula ditemukan untuk penanggulangan penyakit lainnya.Untuk memperkuat upaya penanggulangan HIV maka diperlukan perbaikan pada sistem kesehatan secara luas, antara lain untuk advokasi pencegahan pada kelompok risiko tinggi, realokasi sumber daya dari pelayanan kuratif menuju preventif, membangun kapasitas untuk membuat keputusan sendiri pada level lokal, dan mengembangkan lingkungan kerja yang lebih baik dan kondusif untuk petugas kesehatan.
C.
Keterbatasan/ Kelemahan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dan dari metode ini dapat dieksplor berbagai macam masalah dan ide-ide peneliti dalam membahas suatu masalah menjadi lebih berkembang dibandingkan metode kuantitatif. Namun, karena metode ini pula aspek subjektivitas dalam penelitian ini cukup tinggi. Kualitas penelitian juga sangat bergantung dari kemampuan individu peneliti dan mudah dipengaruhi oleh bias pribadi dari peneliti. Subjektivitas tersebut dapat dibatasi dengan mencocokkan antara hasil yang didapat dari data primer dengan data sekunder. Dalam proses mencari data primer, sulit untuk mengumpulkan narasumber dalam satu waktu untuk focus group discussion (FGD), sehingga mayoritas data primer yang didapat melalui proses wawancara. Besarnya volume data yang diperoleh membuat analisis memakan waktu yang cukup lama. Pada penjelasan mengenai penanggulangan HIV di tingkat nasional, keadaan program penanggulangan HIV dan AIDS yang menonjol didapatkan adalah dari Provinsi DKI Jakarta dan Papua. Sehingga walaupun banyak data, baik primer maupun sekunder yang didapat, yang mewakili keadaan program penanggulangan HIV secara nasional, alangkah baiknya jika data
90
daerah yang didapat tidak hanya menonjol pada DKI Jakarta dan Papua sehingga data yang didapat benar-benar mewakili nasional.
91
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi A.
Kesimpulan
Berdasarkan termuan hasil penelitian yang telah dibahas sebelumnya, baik data primer maupun data sekunder yang telah di analisa melalui analisa stakeholder dan juga analisa intergrasi pada setiap subsistem kesehatan nasional maka dapat ditarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada tataran nasional, kebijakan (konteks, proses dan substansi) yang dihasilkan khususnya dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS pemerintah telah turut mempertimbangkan aspek keintegrasian kebijakan HIV dan AIDS yang dihasilkan dengan sistem kesehatan nasional. Meskipun bila dilihat dari hasil cakupan masih belum mencapai apa yang telah ditargetkan oleh SRAN. 2. Regulasi HIV dan AIDS di tingkat nasional sudah lebih konsisten, setidaknya hal ini dapat dilihat melalui Strategi Rencana Aksi Nasional.Potensi lokal yang mendukung kebijakan dalam strategi penanggulangan HIV dan AIDS telah mulai tumbuh. Potensi ini dapat dilihat dari banyaknya peraturan pemerintah mengenaiHIV dan AIDS yang telah dihasilkan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. 3. Sinergi fungsi dan peran para aktor (Kemkes, KPA, Bappenas, Lembaga Profesi, Universitas dan LSM Internasional) dalam penanggulangan HIV dan AIDS para aktor di tingkat nasional sudah cukup baik. Hal ini dapat dilihat banyaknya program dan regulasi yang melibatkan kerjasama banyak pihak. Selain itu, ini dapat terjadi karena para aktor telah lebih memahami peran dan fungsi masing-masing. 4. Proporsi pembiayaan penanggulangan HIV di Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih berasal dari lembaga donor. Namun perlahan pemerintah pusat dan daerah melalui Bappenas dan Bappeda telah mempersiapkan diri agar ketika bantuan luar negeri selesai/berkurang diharapkan pelaksanaan program dapat terus berlangsung. Pemerintah sendiri telah menyusun Pedoman Exit Strategi Dana Hibah secara resmi telah disusun sejak tahun 2012. Selain sektor pemerintah (pusat dan daerah) juga mulai dikembangkan keterlibatan sektor swasta. 5. Sumber daya manusia (SDM) pemerintah walaupun telah diatur tupoksinya dalam peraturan yang dikeluarkan pemerintah, namun masih terkendala dalam hal distribusi 92
dan kompetensi terutama ke daerah terpencil dan juga masalah pembiayaan honor.Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non-pemerintah dengan SDM kesehatan di tingkat pusat dan daerah masih ditemukan banyak kendala dalam hal hubungan kerja, ketenagaan dan pengembangan kapasitas. Walaupun memiliki peran penting dalam penanggulangan HIV dan AIDS, kompetensi SDM ini belum semua distandardisasi dan belum semua lembaga pendidikan terakreditasi. Hal lain adalah seringnya mutasi SDM yang sudah mendapatkan pelatihan, biasanya dikarenakan Badan Ketenagaan Daerah (BKD) memiliki otoritas sendiri dalam melakukan rotasi kepegawaian di wilayahnya. Sementara dalam melatih dan mengembangkan kapasitasnya SDM bukan merupakan hal mudah dan murah. 6. Pemerintah melalui Kemkes telah mensosialisasikan SIHA (Sistem Informasi HIV dan AIDS) yang dirancang untuk penyusunan pelaporan di tingkat daerah dan pusat. Pemanfatan ‘evidence’ dari pelaporan tersebut untuk pemetaan, pengembangan dan pelaksanaan kebijakan, program, dan penelitian masih belum terintegrasi dengan baik dalam sistem informasi strategis. Selain itu SIHA juga telah diintegrasikan dengan Sistem Informasi Kesehatan. 7. Penyediaan logistik, seperti obat ARV lini 1 sepenuhnya (100%) sudah dibiayai oleh pemerintah lewat APBN. Pengadaan kelengkapan sarana laboratorium juga sudah mulai disediakan, penyediaan alat CD4 sudah dibiayai oleh APBN. BPJS juga telah berperan dalam membiayai biaya pengobatan pasien HIV dan AIDS dan juga biaya jika pasien dirawat inap di RS. Stok kosong obat ARV masih ditemukan meskipun telah mendapatkan bantuan teknis untuk manajemen pengadaan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya pergeseran kebijakan pengelolaan obat yang terpusat menjadi sistim pengelolaan yang ter-desentralisasi di beberapa daerah. 8. Partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS sudah cukup baik.Hal ini dapat dilihat keterlibatan populasi kunci dan LSM sejak saat proses penyusunan dan pelaksanaan rencana aksi nasional dan rencana aksi daerah tiap tahunnya. Oleh karena sejak tahap formulasi kebijakan hingga pada proses evaluasi program telah melibatkan berbagai komunitas, universitas, LSM, dan juga profesi kesehatan maka akuntabilitas kebijakan yang dihasilkan cukup baik. Bahkan beberapa LSM telah lama berperan dalam layanan pencegahan, PDP dan mitigasi dampak kasus
93
HIV dan AIDS. Peran LSM paling besarterutama dirasakan pada program mitigasi dampak. 9. Ada banyak Universitas di Indonesia yang telah memiliki fakultas terkait ilmu-ilmu kesehatan, baik kedokteran, kesehatan masyarakat, dan keperawatan. Sekarang HIV dan AIDS sudah dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan mereka. Produk tenaga kesehatan yang dihasilkan sedikitnya memerlukan waktu 4 tahun dengan biaya yang tidak murah. Program penanggulangan AIDS di tingkat nasional sangat memerlukan Universitas sebagai penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya manusia. Universitas berperan penting dalam penelitian HIV dan AIDSbaik penelitian klinis maupun non-klinis (mis: kebijakan, prevalensi, dll). Selain itu,para pakar dari universitas berperan penting dalam memberikan masukkan berdasarkan ‘evidence base’ untuk memformulasikan kebijakan serta pengambilan keputusan dalam penerapan kebijakan oleh pemerintah.
B.
Rekomendasi
1. Kegiatan untuk monitoring, evaluasi, dan supervisi dilakukan oleh Kementrian Kesehatan untk tingkat Nasional dan Dinas Kesehatan untuk tingkat provinsi bekerja sama dengan lembaga terkait misalnya KPAN, LSM dan eprguruan tinggi akan menjadi penting ditingkatkan untuk mendiagnosa permasalahan yang ada. Apakah masalah yang muncul lebih masalah teknis belaka atau dikarenakan kebijakan yang ada dan telah ditetapkan. Sehingga kebijakan yang ada perlu dievaluasi dan direvisi. Untuk itu perlu suatu institusi yang dapat melaksanakan kegiatan tersebut pada setiap tingkat wilayah kerja (nasional, provinsi dan kabupaten) secara rutin dan teratur. 2. Potensi kemampuan lokal untuk memproduksi regulasi sudah ada dan sudah diintegrasikan dengan kebijakan nasional, yaitu melalui penyusunan SRAN dan SRAD. Namun mekanisme penyusunan kebijakan perlu waktu, proses, biaya yang mahal. Untuk mengintegrasikan dengan kebijakan nasional perlu mekanisme yang lebih sederhana. Mekanisme yang sederhana ini akan mempengaruhi kecepatan dalam menyesuaikan dengan kebijakannasional. Selain itu mekanisme yang sederhana juga diperlukan untuk mengatasi keterlambatan informasi tentang kebijakan nasional yang baru. Sehingga nantinya jangan ada lagi Perda yang baru ditetapkan disaat yang sama kebijakan nasional yang baru sudah ditetapkan. Sudah tentu semua itu dilakukan dengan tetap 94
menjaga transparansi dan akuntabilitas publik sebuah kebijakan yang dihasilkan Bappenas dengan implmentasi yang dijalankan oleh Kementrian Kesehatan. 3. Kementrian kesehatan melalui Dinas Kesehatan bekerja sama dengan lembaga lain misalnya KPAP dan LSM serta lembaga terkait lainnya melakukan pemetaan stakeholder, wilayah kerja, bentuk dan kebutuhan akan sebuah kebijakan pada program penanggulangan HIV dan AIDS menjadi amat sangat penting. Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki perlu dihindari duplikasi program dan pembiayaan di wilayah yang sama. Terkait dengan pelaksanaan Layanan Komprehensif Berkelanjutan diperlukan optimalisasi jaringan antara stakehoder dengan sebuah mekanisme rujukan yang mudah.Dengan melakukan pemetaan, estimasi dan perencanaan program yang baik akan dapat membantu efisiensi pembiayaan. Transparansi dan akuntabilitas pembiayaan program menjadi isu yang harus benar-benar diperhatikan. 4. Pelatihan khusus terkait korupsi dan anti gratifikasi untuk pemegang kebijakan dan pelaksana program penanggulangan HIV dan AIDS. 5. Diperlukan satu kebijakan untuk membuat suatu mekanisme standar agar hubungan kerja yang sudah ada selama ini dapat lebih ditingkatkan lagi. Perencanaan ketenagaan dan pengembangan kapasitas antara Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS nonpemerintah perlu disusun bersama berdasarkan kebutuhan lapangan dan disinergikan dengan SDM kesehatan di tingkat nasional. Untuk merespon cepatnya rotasi SDM di daerah, perlu advokasi kepada Badan Kepegawaian Daerah agar SDM yang telah mendapat pelatihan HIV dan AIDS tidak cepat-cepat dirotasi (misalkan minimal setidaknya 2 tahun). Bila memungkinkan dibuatkan semacam nota kesepahaman agar SDM antara BKD, Tenaga Kesehatan, dan KPAD. Selain itu diperlukan sistem pendukung agar apabila tenaga yang telah mendapatkan pelatihan dalam program penanggulangan HIV dan AIDS ‘terpaksa’ dipindahkan. Untuk meningkatkan kompetensi SDM kesehatan dan lembaga pendidikan bidang kesehatan yang terakreditasi, maka peran lembaga profesi perlu ditingkatkan.Meningkatkan peran lembaga profesi dan RS pendidikan dalam melaksanakan berbagai pelatihan singkat penatalaksanaan HIV dan AIDS agar SDM kesehatan dapat selalu memperbaharui pengetahuan dan meningkatkan keahliannya. 6. Sistem informasi strategis sudah seharusnya dapat dimanfaatkanuntuk berbagai hal, baik itu pemetaan, pengembangan dan pelaksanaan kebijakan, program, dan penelitian. 95
Laporan yang di dapat melalui SIHA perlu ditingkatkan integrasinya dengan Sistem Informasi Kesehatan. Terkait dengan isu desentralisasi, dimana dearah diperkenankan mengembangkan SIK daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Untuk itu diperlukan komunikasi yang intens antara Pusdatin dengan tim daerah dalam mengembangkan SIK daerah. Pelatihan untuk SDM dan kelengkapan logistik untuk itu perlu direncanakan dan dianggarkan dengan baik.Sehingga nantinya data yang dihasilkan memang berkualitas dan dapat dimanfatkan sebagai ‘evidence’dalam berbagai hal. 7. Kemampuan Supply Change Management setiap daerah harus terus ditingkatkan sebab setiap daerah kemampuan SCM-nya masih berbeda-beda. Kemampuan SCM ini penting dimiliki karena obat ARV harus dikonsumsi secara terus menerus. Besarnya kesenjangan antara angka estimasi jumlah ODHA dengan yang mendapatkan pengobatan, telah dijawab dengan pencanangan program SUFA oleh pemerintah. Ini dilakukan karena data Kemkes membuktikan bahwa ARV bermanfaat untuk menurunkan jumlah infeksi kasus baru pada bayi dan menurunkan angka kematian. Untuk itu perlu meningkatkan penemuan kasus baru dengan peningkatan jumlah tes HIV dan juga kelengkapan sarana lainnya (alat untuk tes CD4, reagen, dll). Oleh karenanya menjadi penting untuk melakukan advokasi pada semua stakeholderakan pentingnya keberlanjutan ketersediaan sarana penunjang yang harus terus-menerus dilakukan.Terkait dengan SCM isu lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah mitigasi bencana. Bila terjadi bencana bagaimana merespon situasi tersebut agar SCM dapat terus berjalan tanpa gangguan. Tantangan demografi lainnya adalah untuk wilayah kepulauan perlu meningkatkan peran puskesmas terapung. 8. Partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam program penanggulangan HIV dan AIDS harus terus ditingkatkan. Peran aktif masyarakat dan kontribusi yang telah mereka berikan perlu diberikan apresiasi yang lebih baik. Selama ini perannya cukup dirasakan pada program pencegahan dan mitigasi dampak. Kedepan perlu sekali memberikan pelatihan keterampilan dasar untuk PDP, agar masyarakat memiliki kemampuan dasar untuk memberikan pertolongan pertama pada situasi kegawatdaruratan, melakukan perawatan dan melakukan pendampingan yang lebih berkualitas lagi.Manfaat lain yang didapatkan mereka nantinya akan dapat menjadi jembatan komunitasi antara masyarakat umum dengan petugas kesehatan. 96
9. Perlu meningkatkan kerjasama yang telah ada antar Universitas dengan stakeholder lainnya baik pada tingkat nasional dan daerah. Penguatan-penguatan dapat dilakukan dengan melakukan kajian dan penelitian terhadap program penaggulangan AIDS yang telah dan sedang dilaksanakan di setiap tingkat dan wilayah kerja. Perlu forum khusus agar
Universitas
dan
para
stakeholder
dapat
terus
berkomunikasi
mensosialisasikan hasil pertemuan tersebut secara rutin dan teratur.
97
serta
Daftar Pustaka __________, Scaling up the Indonesian AIDS Response, Indonesian Partnership Fund Report 20052008, June 2008. Ali Ghufron Mukti, Perkembangan Upaya PersiapanPenyelenggaraan SJSN SektorKesehatan ,Lokakarya Pengembangan Profesi & Organisasi Profesi dalam SJSN Sektor Kesehatan, Karawaci, 20 November 2012
Atun R, Lazarus J, Van Damme W, Coker R. Interactions between critical health system functions and HIV and AIDS, tuberculosis and malaria programmes. Health Policy and Planning 2010;25:i1–i3. Bappenas, Report on the achievement of Millennium Development GoalsIn Indonesia, 2011 Bappenas, Bahan Paparan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, 2014 Charity Kerapeletswe et. Al. Managing Aid Exit and TransformationBotswana Country Case Study.May 2008
Coker R, et al. A conceptual and analytical approach to comparative analysis of country case studies:HIV and TB control programmes and health systems integration. Health Policy and Planning 2010;25:i21–i3 Conseil A, Mounier-Jack S, Coker R. Integration of health systems and priority health interventions: a case study of the integration of HIV and TB control programmes into the general health system in Vietnam. Health Policy and Planning 2010;25:i32–i36 Desai M, Rudge JW, Adisasmito W, Mounier-Jack S, Coker R. Critical interaction berween Global Fundsupported programmes and health system: a case study in Indonesia. Health Policy and Planning 2010;25:i43–i47 Hanvoravongchai P, Warakamin B, Coker R. Critical interaction between Global Fund-supported programmes and health systems: a case study in Thailand. Health Policy and Planning 2010;25:i53–i57. ICASO and ITPC, CCM2 Advocacy Report, March 2012 Jeremy Shiffman and Stephanie Smith, Generation of Political Priority for Global Health Initiatives: A Framework and Case Study of Maternal Mortality, The Lancet, Volume 370, October 13, 2007. John W. Creswell, Ph.D, Qualitative and Mixed Methods Research, University of Nebraska-Lincoln, presentation at UKZN, 15 October 2008 Kemenkes RI. Pedoman Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan, 2012 Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIVDari Ibu Ke Anak, 2012
98
Kemenkes RI. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa dan Remaja, 2012 Kemenkes RI. Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, 2012 Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan Gizi Bagi Odha, Gizi Masyarakat, 2010 Kemenkes RI. Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Di Tingkat Propinsi, Kabupaten/KotaSerta Rumah Sakit, 2004 Kemenkes RI. Pedoman Pengendalian IMS Komprehensif dan Terpadu, Dit Jend. P2PL, 2010. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Pengisian Form Manual Pencatatan Program Pengendalian HIV dan AIDS dan IMS, 2012 Kemenkes RI. Pedoman Exit Strategi Dana Hibah Global Fund AIDS, Tuberkulosis, Dan Malaria, 2012 Kemenkes RI. Estimasi dan Proyeksi HIV_AIDS di Indonesia, 2014 Kemenkes RI. Estimasi jumlah populasi kunci, 2014 Konsil Kedokteran Indonesia. Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran, 2006. Konsil Kedokteran Indonesia. Manual Rekam Medis-Konsil Kedokteran, 2006. KPAN, Rangkuman Eksekutif Upaya Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia 2006-2011. 2011. KPA Provinsi DKI Jakarta. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013-2017, 2013. KPAN. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010, 2007. Lu Ann Aday, Charles E. Begley, David R. Lairson, Rajesh Balkrishna.Evaluating The Healthcare System: Effectiveness, Efficiency, and Equity, Health Administration Press, Chicago, Illinois Academy Health, Washington, DC, 2004 Nadjib M, Megraini A, Ishardini L, Rosalina L. National AIDS Spending Assessment (NASA) Final Report 2011-2012.Submitted to UNAIDS, National AIDS Commission and Ministry of Health, December 2013.
Patcharanaru Walaiporn, Thammatacharee, Kittilokkul Suwat. Thailand’s HIV/AIDS program after weaning off the global fund’s support. BMC Public health 13(1):1008. October 2013. SamsuridjalDjauzi, KurniawanRachmadi, From Small Steps Towards A Giant Leap,UPT HIVsus AIDSFKUI and Indonesian Prespective Group, Jakarta, 2003 Teferi Michaelet. al, Managing Aid Exit and TransformationEritrea Country Case Study,May 2008
Tkatchenko-Schimidt E, Atun R, Wall M, Tobi P, Schmidt J, Renton A. Why do health systems matter? Exploring links between health systems and HIV response: a case study from Russia. Health Policy and Planning 2010;25:283–291
99
UNAIDS, Getting To Zero 2011–2015 Strategy, Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), 2010.
UNDP, Understanding and Acting on Critical Enablers and Development Synergies for Strategic Investments, New York, 2012. Utomo B, Nadjib M, Darmawan D. Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta, 20082012. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta, 2013. WHO report in partnership with UNICEF and UNAIDS, Global Update On HIV Treatment 2013: Results, Impact And Opportunities, June 2013
100
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Gedung IKM Baru Sayap Utara Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 5528 email:
[email protected] Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425
http://kebijakanaidsindonesia.net Kebijakan AIDS Indonesia @KebijakanAIDS