Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006 - 2011: Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Oktober 2011
MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh, Seraya memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, saya menyambut baik dan menyampaikan apresiasi serta mengucapkan selamat atas upaya simpatik dan kerja keras Tim Penyusun untuk mengumpulkan data dan laporan program serta kegiatan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional selama kurun waktu 2006-2011 dan menuangkannya dalam bentuk Laporan Lima Tahun pelaksanaan Perpres 75 Tahun 2006 - Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011, dengan isi yang sangat komprehensif. Laporan ini adalah pertanggung jawaban Komisi Penanggulangan AIDS Nasional kepada Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Selain itu, Laporan ini juga merupakan bentuk keterbukaan informasi kepada rakyat Indonesia, mitra kerjasama internasional, serta yang terpenting adalah rakyat Indonesia yang hidup serta terdampak HIV dan AIDS. Keberadaan Laporan ini akan memberi manfaat bagi para pembaca, khususnya bagi Anggota Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Sekretariat, masyarakat sipil, mitra kerjasama internasional, serta orang yang hidup dan terdampak HIV dan AIDS. Laporan ini akan berguna sebagai referensi kemajuan program HIV dan AIDS yang telah dicapai bangsa Indonesia. Beberapa kemajuan penting telah dilaksanakan dalam kurun lima tahun antara lain, pertama peningkatan peran kementerian selaku anggota KPAN, pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta dukungan dan kerjasama masyarakat sipil dalam upaya penanggulangan AIDS di Indonesia. Kedua, peningkatan i
capaian program di seluruh provinsi di Indonesia, misalnya efektifitas program pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik, pencegahan transmisi seksual, layanan konseling dan tes HIV, serta dukungan perawatan dan pengobatan pada orang dengan HIV dan AIDS. Dan ketiga, dukungan pendanaan yang menunjukkan sumber dana dalam negeri yang terus meningkat. Kami berharap, dengan mengetahui serta memahami kemajuan program HIV dan AIDS selama kurun waktu lima tahun ini, akan semakin banyak pihak yang menghargai serta berpartisipasi dalam memperluas cakupan, meningkatkan kualitas, serta menjamin keberlanjutan program HIV dan AIDS di Indonesia. Saya percaya dengan kerjasama serta koordinasi yang efektif, kita akan mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari epidemi HIV. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua anggota Tim Penyusun yang telah sukses menyelesaikan tugas dengan baik. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin. Sekian dan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
H.R. Agung Laksono
ii
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN RI
Dalam dua dasa warsa terakhir ini upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia makin meningkat. Baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat – termasuk oleh masyarakat madani, swasta, serta orang dengan HIV dan AIDS. Dalam upaya pencegahan dilakukan promosi terus menerus, sedangkan untuk layanan konseling dan testing tersedia lebih banyak layanan, di Puskesmas, Rumah Sakit dan Klinik Swasta. Upaya-upaya ini harus terus ditingkatkan mutu layanannya dan diperluas cakupannya. Saya menyambut baik terbitnya buku upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011, Laporan Lima Tahun Pelaksanaan Perpres 75 Tahun 2006. Laporan ini mendokumentasikan kemajuan yang dicapai dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia selama periode lima tahun tersebut. Salah satu hal penting dalam periode 2006-2011 adalah perkembangan di bidang dukungan perawatan dan pengobatan. Pemerintah telah menyediakan layanan terapi dengan obat antiretroviral secara cuma-cuma dan meningkatkan jumlah dan kapasitas tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, bidan, maupun petugas konselor. Dukungan perawatan dan pengobatan telah menjangkau 77.0% dari orang yg hidup dengan HIV dan AIDS di Indonesia yang membutuhkan pengobatan ARV, sesuai estimasi yang tercantum dalam INPRES Nomor 3 Tahun 2010. Meskipun demikian, masih ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan, diperbaiki dan disempurnakan. Antara lain, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang HIV dan AIDS, kesinambungan ketersediaan obat antiretroviral, serta distribusi tenaga kesehatan yang terlatih dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Untuk maksud tersebut, upaya kesehatan berbasis masyarakat dan pelayanan
iii
kesehatan dasar harus diperkuat, Puskesmas dan Poskesdes harus mampu menjadi ujung tombak upaya pencegahan infeksi HIV dan pengobatan AIDS, dan layanan untuk dukungan serta perawatan HIV dan AIDS harus berfungsi maksimal. Guna pelaksanaan dan keberhasilan langkah-langkah ini diperlukan peran serta seluruh jajaran pemerintah dan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Saya yakin dan percaya bahwa dengan kerja keras dan kerja cerdas, kita mampu melakukan pencegahan infeksi HIV secara efektif bagi seluruh lapisan masyarakat dan menjangkau lebih banyak lagi orang dengan HIV dan AIDS untuk memperoleh dukungan perawatan dan pengobatan. Semoga laporan ini bermanfaat bagi tercapainya keberhasilan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dan peningkatan kesejahteraan rakyat kita.
MENTERI KESEHATAN RI SELAKU WAKIL KETUA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL
Dr. ENDANG RAHAYU SEDYANINGSIH, MPH, Dr.PH
iv
KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI
Assalamu’alaikum, wr. Wb, Salam sejahtera bagi kita semua, Upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan tanggung jawab semua pihak, sehingga mutlak memerlukan kerja sama antara Pemerintah, LSM, dunia usaha dan masyarakat. Semua pihak harus saling bergandengan tangan dan tidak berjalan sendiri-sendiri dalam menghadapi epidemi ini. Pemerintah termasuk Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sampai Pemerintah Desa/Kelurahan memegang peran penting untuk memimpin upaya ini. Oleh karenannya Kementerian Dalam Negeri tetap akan menggerakkan pemerintah daerah di setiap tingkatan dan jajarannya dalam mengambil peran kepemimpinan terkait dengan penanggulangan HIV dan AIDS serta terusmenerus memberdayakan masyarakat. Untuk itu, saya sangat mendukung serta memberikan apresiasi yang tinggi atas terbitnya laporan ini, dimana telah ditunjukkan sinergitas dari semua pihak dalam upaya penanggulangan AIDS yang komprehensif, kepemimpinan pemerintah serta peran aktif masyarakat yang bahu-membahu bekerja melindungi anak bangsa dari penularan HIV. Kementerian Dalam Negeri telah dan akan terus mendorong upaya penanggulangan AIDS yang lebih terkoordinasi dengan menguatkan Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu v
Kementerian Dalam Negeri juga terus mengajak para pimpinan daerah untuk menunjukkan komitmennya dalam upaya ini, dengan menyediakan anggaran guna membiayai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang komprehensif, sinergis dan berkesinambungan sebagai wujud dari tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumunya, dan rakyat di daerah pada khususnya. Sebagai Wakil Ketua dan Anggota Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah bekerja keras untuk menyelamatkan keluarga-keluarga dan anak-anak kita dari bencana epidemi HIV dan AIDS selama 5 tahun sejak Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007, hingga terbitnya laporan ini. Semoga Allah SWT, meridoi upaya kita dalam menyelamatkan bangsa Indonesia dari Epidemi ganda HIV dan narkoba.
Menteri Dalam Negeri Selaku Wakil Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
Gamawan Fauzi
vi
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Kata Pengantar Sekretaris KPA Nasional
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh, Lima tahun yang lalu, kita amat prihatin karena makin cepatnya peningkatan HIV dan AIDS yang tersebar hampir merata di seluruh Indonesia. Yang lebih memprihatinkan adalah makin meningkatnya HIV dan AIDS di kalangan ibu rumah tangga dan bayi yang tak berdosa. Kita bersyukur, karena melihat situasi tersebut Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, agar upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS segera ditingkatkan secara lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dibentuk untuk memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan upaya penanggulangan AIDS secara multi-sektoral dan komprehensif dengan pendekatan yang dikenal sebagai “Total Football”. Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bertanggung jawab untuk menggerakkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan instruksi Presiden tersebut. Laporan ini merupakan pertanggung jawaban Komisi Penanggulangan AIDS Nasional kepada Presiden, dan merupakan bentuk keterbukaan informasi kepada rakyat Indonesia, termasuk rakyat Indonesia yang hidup dengan dan terdampak HIV. Dalam laporan ini digambarkan upaya penanggulangan AIDS yang luas dan beragam yang merupakan upaya bersama banyak orang dan lembaga, baik dari dalam maupun luar negeri. Selama lima tahun terakhir, telah terjadi berbagai perubahan mendasar baik dalam upaya pengendalian epidemi HIV secara langsung, maupun dalam pengembangan dan penguatan sistem manajemen dan program di sektor pemerintah dan masyarakat yang sangat dibutuhkan untuk upaya penanggulangan AIDS yang berkelanjutan. Sebagai Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, perkenankan saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan saya atas upaya bersama yang kita laksanakan, termasuk program, pendanaan, kebijakan publik dan peran aktif masyarakat yang telah membawa perubahan positif bagi orang yang terinfeksi dan terdampak HIV vii
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
dan AIDS maupun masyarakat umum. Kita lihat ada kemajuan dan kita berbangga atas hasil kerja keras kita bersama. Kita akui dan sadari sepenuhnya, bahwa perjalanan masih panjang dan masih banyak tantangan yang dihadapi. Masih terlalu banyak orang Indonesia, laki-laki, perempuan, anak-anak, yang belum terjangkau informasi, layanan, dukungan dan pengobatan yang dibutuhkannya. Peran aktif dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk mengambil bagian dalam upaya kita bersama menanggulangi epidemi HIV dan AIDS ke depan. Laporan ini terdiri dari lima bagian sebagai berikut: Rangkuman Eksekutif Bab 1 Latar Belakang Peraturan Presiden No.75/2006 dan laporan ini Bab 2 Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan tahun 2006 dan 2011 Bab 3 Mengelola Perubahan: Membangun sistem dan memfungsikannya Bab 4 Melihat ke Depan Komisi Penanggulangan AIDS di tingkat nasional dan daerah, dengan penuh tanggung jawab serta semangat perjuangan yang tinggi, bersedia menghadapi tantangan lima tahun ke depan. Kami percaya, bahwa dengan meningkatkan kerjasama dan kemitraan yang telah terjalin baik dengan semua pihak, masyarakat sipil, orang-orang yang terinfeksi dan terdampak HIV, pemerintah di semua tingkat, komunitas lintas agama, media massa, lembaga penelitian dan akademisi, sektor swasta, kelompok profesi serta penyedia layanan kesehatan di seluruh Indonesia, Insya Allah masyarakat Indonesia akan mampu mengendalikan epidemi HIV dan AIDS di seluruh tanah air tercinta. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkati upaya kita bersama. Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional,
Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH.
viii
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Catatan untuk Pembaca
Terkait data tersaji: Tahun pelaporan: Rentang waktu laporan ini adalah sampai dengan bulan Juni tahun 2011 jika data pendukung tersedia; paling tidak, sampai dengan Desember 2010 atau data terkini yang sudah dapat digunakan. Informasi mengenai masyarakat sipil (“civil society”): Ruang lingkup laporan ini, khususnya informasi tentang peran masyarakat sipil dalam penanggulangan AIDS selama tahun 2006-2011 dirasakan belum memadai untuk menunjukkan peran positif masyarakat sipil yang sangat penting dan makin meningkat dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Karena itu, laporan mengenai peran masyarakat sipil dalam penanggulangan HIV dan AIDS disiapkan secara khusus. Sumber informasi: Keseluruhannya tertulis dalam daftar rujukan. Sedapat mungkin digunakan sumber data Pemerintah Indonesia. Terkait anggaran, pembiayaan/belanja (“expenditures”) dan pendanaan: Informasi disajikan baik dalam bentuk anggaran maupun pengeluaran aktual; yang pertama menggambarkan komitmen dan yang kedua adalah realisasi pengeluaran/ belanja. Keduanya dibedakan dengan jelas mana yang anggaran dan mana yang sudah menjadi pengeluaran/ biaya riil. Informasi mengenai pengeluaran diperoleh dari laporan Indonesian National AIDS Spending Assessment (NASA) yang dikembangkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengikuti pedoman yang dikeluarkan UNAIDS untuk seluruh dunia. Laporan NASA periode 2006-2008 telah dipublikasikan. Laporan NASA periode 2009 - 2010 masih dalam proses penyelesaian dan diharapkan akan dipublikasikan dalam tahun 2011.
ix
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Namun demikian, beberapa hasil sementara laporan NASA periode 2009-2010 ini telah masuk dalam Laporan ini.
Jika anggaran ataupun pengeluaran dilaporkan dalam bentuk Dolar Amerika dan Rupiah sesuai data aslinya, maka untuk nilai tukar mata uang digunakan US $ 1 = Rp 8.500.
Data epidemi: Sebagian besar data epidemi bersumber dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia baik berupa “Laporan Triwulan Situasi HIV dan AIDS di Indonesia”, Estimasi Jumlah Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dan Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV (2006 dan 2009), informasi surveilans tahunan, dan lain-lain. Sebagian lagi seperti Survei Cepat Perilaku (SCP) bersumber dari Sekretariat KPAN. Sumber semua data tercatat. Keterbatasan data: Dalam persiapan laporan ini telah diupayakan untuk mengumpul kan informasi terkini dan yang paling relevan, melibatkan berbagai pihak termasuk sumber data potensial. Namun demikian, tentu saja ada kegiatan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, maupun komunitas dimana tim penulis laporan maupun Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional tidak memiliki data yang lengkap. Oleh sebab itu laporan ini bukanlah laporan yang mencakup keseluruhan gerakan ataupun upaya penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia.
x
Ada pula beberapa data penting yang belum tersedia selama masa pengem bangan laporan ini: (1) Survei Terpadu Biologis Perilaku (STBP), 2011, (2) Estimasi Jumlah Orang Dewasa yang Rentan Tertular HIV, 2011 (3) Laporan National AIDS Spending Assessment Tahun 2009-2010, dan (4) Data laporan infeksi HIV Baru yang terpilah berdasarkan jenis kelamin, cara penularan, serta umur.
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Daftar Isi
Sambutan - Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional............................................................ i - Menteri Kesehatan selaku Wakil Ketua I Komisi Penanggulangan AIDS Nasional............................................... iii - Menteri Dalam Negeri selaku Wakil Ketua II Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.............................................. v Kata Pengantar - Sekretaris KPA Nasional................................................................................................. vii Catatan untuk Pembaca..................................................................................................... Daftar Isi............................................................................................................................... Singkatan . ........................................................................................................................... Istilah ...................................................................................................................................
ix xi xvi xix
Rangkuman Eksekutif ........................................................................................................
1
BAB 1 Latar Belakang Peraturan Presiden No. 75/2006 dan Laporan Ini ........................... 25 BAB 2 Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011................................................................ 33 A. Infeksi HIV, AIDS, dan pengobatannya......................................................................... 34 1. Apakah infeksi baru cenderung stabil atau menurun? ......................................... 36 2. Perubahan cara penularan HIV . ............................................................................ 36
xi
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
3. Meningkatnya jumlah ODHA perempuan . ........................................................... 4. Berapa banyak orang yang mengetahui status HIV-nya? .................................... 5. Perluasan layanan konseling dan testing sukarela (KTS) atau voluntary counseling and testing (VCT) ................................................................ 6. Pengobatan dengan antiretroviral (ARV)................................................................ 7. Layanan terkait pengurangan dampak buruk (harm reduction) ......................... 8. Layanan untuk Pencegahan melalui transmisi seksual .......................................... B. Pendanaan Upaya Penanggulangan............................................................................. C. Pengelolaan Penanggulangan...................................................................................... D. Para Pelaku Upaya Penanggulangan............................................................................ E. Jangkauan dan Efektivitas.............................................................................................
40 41 42 43 44 46 46 48 49 55
BAB 3 Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya............ 65 A. Memobilisasi sumber daya............................................................................................ 70 1. Meningkatkan sumber dana dalam negeri: ke arah keberlanjutan . ................... 71 2. Sumber dana luar negeri......................................................................................... 77 B. Program........................................................................................................................... 81 1. Pengurangan dampak buruk pada komunitas: . ................................................... 82 2. Pencegahan penularan melalui seksual . ............................................................... 87 3. Teknis layanan kesehatan terkait HIV ..................................................................... 91 C. Mengelola Penanggulangan: ....................................................................................... 103 1. Membangun sistem.................................................................................................. 103 2. Perencanaan dan pemantauan penanggulangan serta dampaknya................... 105 3. Pengembangan sistem............................................................................................ 109 4. Pengelolaan Keuangan ........................................................................................... 110 5. Pengembangan kapasitas untuk meningkatkan jumlah orang Indonesia yang terlatih untuk pengelolaan dan pengembangan program HIV................... 112 6. Mempromosikan lingkungan yang mendukung.................................................... 117 D. Membangun Penanggulangan Nasional melalui Kemitraan: ................................... 124 1. Kemitraan dalam negeri ......................................................................................... 124 2. Kerjasama internasional dan kemitraan.................................................................. 129 BAB 4 Melihat ke Depan................................................................................................................ 139 Penutup ................................................................................................................................ 145 Referensi . ............................................................................................................................ 146
xii
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Lampiran 1. Komitmen Sentani.......................................................................................................... 152 2. Estimasi Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV. 2006 dan 2009................................ 153 3. Rangkuman Dukungan Dana Global Fund for AIDS TB and Malaria......................... 154 4. 72 Kabupaten/ Kota Mandiri Tahun 2010 & 2011....................................................... 155 5. Keanggotaan KPAN........................................................................................................ 157 6A. Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV/AIDS (KepMenKes 2004)................. 158 6B. Pelayanan aktif - Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan, 2011............................... 159 7. Definisi Indikator Kelembagaan.................................................................................... 167 8. Daerah yang sudah memiliki PERDA tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.................................................................................... 168 9. Daftar Terbitan KPAN Tahun 2006 - 2011...................................................................... 170 10. SK Tim Penulis Laporan kepada Presiden Republik Indonesia ................................. 175
Tabel 1. Jumlah HIV dan AIDS kumulatif yang dilaporkan pada akhir tahun 2003 dan 2004................................................................................................................. 2. HIV dan AIDS baru dan kumulatif tahun 2006 - 2011.................................................. 3. Persentase populasi kunci usia 15 – 24 tahun.............................................................. 4. Perkiraan jumlah orang muda di antara populasi kunci.............................................. 5. Perubahan proporsi laki-laki dan perempuan pada laporan kasus AIDS baru. Juni 2006 dan Juni 2011................................................................................................. 6 . Peningkatan ketersediaan Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Terapi Rumatan Metadon (TRM). 2005 - 2011.............................................................. 7. Peningkatan jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang menganggarkan dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS................................................................ 8. Perluasan jaringan KPA tahun 2006 - 2011................................................................... 9. Jaringan nasional populasi kunci.................................................................................. 10. Program dana hibah DKIA/IPF. Dukungan tahun 2008 - 2011.................................... 11. Populasi kunci yang terjangkau 2006, 2009, dan 2010................................................ 12. Anggaran AIDS tahun 2006 dan 2011 bersumber dari APBN kementerian dan lembaga anggota KPA Nasional (dalam juta Rupiah).................................................. 13. Pembelanjaan (expenditure) per tahun untuk AIDS tahun 2006 - 2010 menurut sumber dana (dalam atau luar negeri) ......................................................... 14. Dukungan dana luar negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. 2006 - 2008 (US$)..................................................................................... 15. Dukungan Global Fund untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia........... 16. Kemitraan dalam dukungan pelaksanaan PMTS. Juli 2009 - Juni 2011..................... 17. Jumlah orang yang dilatih konseling dan testing sukarela, menurut lembaga pengirim (2004-2010)......................................................................
28 35 39 40 40 45 47 49 51 53 57 76 77 78 80 91 93
xiii
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
18. Jumlah lokasi KTS, kunjungan, tes HIV, orang yang HIV positif, dan % HIV Positif. (2006 – June 2011).................................................................................. 93 19. Petugas kesehatan yang telah dilatih PICT.................................................................. 95 20. Pasien baru yang menerima ARV di Indonesia. 2006 - 2011....................................... 95 21. Pengaruh aktivitas dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) terhadap mutu hidup ODHA (evaluasi diri).................................................................. 98 22. Pengaruh sistem dukungan sebaya terhadap mutu hidup ODHA............................ 99 23. Pertumbuhan sistem penanggulangan AIDS (2007 and 2011)................................... 109 24. Dukungan untuk staf dan pengeluaran operasional KPA oleh DKIA 2006 - 2010..... 110 25. Audit keuangan yang dikelola Sekretariat KPA Nasional dan hasilnya, . .................. 111 26. Jumlah orang yang dilatih dengan dukungan dana GFATM Juli 2009 – Mei 2011.... 115 27. Contoh – peningkatan kapasitas terkait pengurangan dampak buruk, 2009-2011 ....................................................................................................................... 116 28. Ketua, penanggungjawab pelaksanaan peringatan Hari AIDS Sedunia................... 123 29. Belanja untuk HIV dan AIDS. Dukungan dana mitra luar negeri, 2006 - 2010........... 132
Grafik 1. Persentase kasus AIDS baru Juni 2006 dan Juni 2011 menurut cara penularan....... 37 2. Persentasi orang yang mengetahui status HIV positifnya tahun 2006 dan 2011 (30 Juni)....................................................................................... 42 3. Pembelanjaan (expenditure) yang dikeluarkan untuk AIDS tahun 2006 – 2010 (dalam juta US $, menurut sumber).............................................. 47 4. Cakupan populasi kunci dari tahun 2006 sampai 2011 serta target tahun 2014....... 56 5. Persentase penasun yang tidak berbagi alat suntik pada penyuntikan terakhir dan selama satu minggu terakhir, tahun 2004, 2007, and 2010.................................. 60 6. Akses program dan perilaku menyuntik pada Penasun ............................................. 61 7. Penggunaan kondom yang dilaporkan wanita pekerja seks, 2010............................ 64 8. Pertumbuhan pengeluaran untuk AIDS pada tingkat provinsi, kabupaten/kota. 2006-2010 (dalam miliar rupiah)...................................................... 73 9. Pertambahan layanan pengurangan dampak buruk di Indonesia. 2002 - 2011........ 86 10. Ketersediaan layanan terapi rumatan metadon (TRM)................................................ 86 11. Perempuan yang dilaporkan AIDS tahun 2006 dan 2010 menurut pekerjaannya..... 102 12. Pendanaan yang dikelola oleh sekretariat KPA Nasional, 2006 - 2011...................... 112 13. Pemodelan Dampak 3 skenario merespon epidemi di Indonesia............................. 141 14. Pemodelan jalur penularan epidemi HIV ke depan tahun 1995-2025........................ 142
Box 1. Peraturan Presiden No.75/2006 tentang pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS. .................................................................................. 71
xiv
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Proses perkembangan peraturan perundangan untuk pengurangan dampak buruk................................................................................................................. 85 Kemitraan dalam perluasan penanggulangan AIDS paripurna melalui PMTS tahun 2009 - 2015............................................................................................................ 90 Tugas Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Peraturan Presiden 75/ 2006.......... 104 Peningkatan partisipasi lokal perencanaan, penetapan lokasi dan kebutuhan program ...................................................................................................... 107 Beberapa hal penting dalam pengembangan kerangka kebijakan multi-sektor..... 120 Kemitraan........................................................................................................................ 125
Peta 1. Penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia berdasarkan estimasi jumlah ODHA tahun 2009 . ................................................................................................................... 36 2. Peta Epidemi dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, 2011..................... 181
xv
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Singkatan*
AIDS
Acquired Immuno Deficiency Syndrome
APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ART
Antiretroviral Therapy = pengobatan dengan ARV
ARV
Antiretroviral. Obat-obat yang ditujukan pada virus tertentu, termasuk virus HIV.
ASA
Aksi Stop AIDS. Program HIV dan AIDS di Indonesia yang didukung oleh USAID. ASA II dalam laporan ini adalah yang aktif selama periode 2005 - 2008
AusAID
Australian Agency for International Development
BAPPENAS
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BKKBN
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BNN
Badan Narkotika Nasional
BPK
Badan Pemeriksa Keuangan.
BPKP
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
CST
Care, Support, Pengobatan
DFID
Department for International Development. Lembaga Pemerintah Inggeris (UK) yang bertanggung jawab untuk dukungan pembangunan internasional (international development assistance).
DKT
Darmendra Kumar Tiagi. Indonesia
DKIA
Dana Kemitraan Indonesia untuk HIV dan AIDS
DPR RI
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
*
xvi
and
Treatment
-
Perawatan,
Dukungan
dan
Agen Condom Social Marketing di
Sumber: KPAN. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014. Mid Term Review (2010). UNAIDS. Terminology Guidelines (January 2011). WHO. Website. Kemkes RI. Terminologi
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
EU
European Union. Terdiri dari 27 negara anggota di regional Eropa
FHI
Family Health International - kontraktor luar negeri yang bekerja di bidang HIV di Indonesia dengan kantor pusat di Amerika
GFATM
Global Fund to Fight AIDS, TB, and Malaria
GWL-INA
Gaya Warna Lentera Indonesia = Jaringan Nasional Gay, Waria dan Laki-laki yang Seks dengan Laki-laki lainnya di Indonesia
HIV
Human Immunodeficiency Virus
IBBS
Integrated Bio Behavioral Surveillance
IBCA
Indonesian Business Coalition on AIDS
ICAAP
International Congress on AIDS in Asia and the Pacific. Pertemuan Regional AIDS untuk Asia dan negara2 Pasifik, diselenggarakan 2 tahun sekali. Indonesia jadi tuan rumah/ penyelenggara ICAAP 9 tahun 2009
IMS
Infeksi Menular Seksual
IO
Infeksi Oportunistik
IPF
Indonesian Partnership Fund for HIV and AIDS. Indonesia untuk HIV dan AIDS = DKIA
IPPI
Ikatan Perempuan Positif Indonesia
JOTHI
Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia
KDS
Kelompok Dukungan Sebaya
Komunitas
masyarakat orang yang terinfeksi dan terdampak HIV
KPAN
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
KPA
Komisi Penanggulangan AIDS
KTS
Konseling dan Testing Sukarela
Dana Kemitraan
Lapas/Rutan Lembaga Pemasyarakatan/ Rumah Tahanan. LJASS
Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril. Dalam laporan ini disebut LASS.
MDG
Millennium Development Goals disepakati dalam Pertemuan Tingkat Tinggi PBB tahun 2000 dengan “goals” dan target-target untuk dicapai pada tahun 2015. Fokus Goal 6 adalah HIV and AIDS.
Menko Kesra Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat/ Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Napza
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
NASA
National AIDS Spending Assessment. Laporan tentang dana penggu naan untuk HIV dan AIDS mengikuti pedoman dari UNAIDS. Indonesia mengambil bagian dalam pengembangan dan ujicoba pedoman.
ODHA
Orang Dengan HIV dan/atau AIDS
xvii
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
OST
Oral Substitution Therapy - Terapi Substitusi Oral
Penasun
Pengguna napza suntik
PICT
Provider Initiated Counseling and Testing - Konseling dan Testing Inisiatif Petugas Kesehatan
Perpres
Peraturan Presiden
PKBI
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
PPK 100%
Program Penggunaan Kondom 100% adalah program untuk mencegah infeksi HIV pada pekerja seks perempuan, pelanggannya dan populasi umum dengan cara melibatkan pemilik usaha dan pengelola usaha hiburan “memaksa” penggunaan kondom pada setiap transaksi seksual
PR
Principle Recipient= Penerima Hibah Utama dana dukungan GFATM
SRAN
Strategi dan Rencana Aksi Penanggulangan AIDS Nasional 2010-2014
Surveilans
Pengambilan data secara periodik pada populasi khusus untuk men deteksi perkembangan perilaku atau epidemi penyakit dari satu waktu ke waktu lain
TB
Tuberkulosis
TRM
Terapi Rumatan Metadon
UNAIDS
Joint United Nations Programme on HIV and AIDS
UNODC
United Nations Office on Drugs and Crime
UNDP
United Nations Development Programme
UNFPA
United Nations Population Fund
UNGASS
United Nations General Assembly Special Session on HIV and AIDS (2001)
UNICEF
United Nations Children’s Fund
USAID
US Agency for International Development
VCT
Voluntary Counseling and Testing
WBP
Warga Binaan Pemasyarakatan
WHO
World Health Organization
WPS
Wanita Pekerja Seks
xviii
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Istilah
Estimasi: Dalam lima tahun terakhir, ada 2 laporan resmi perkiraan (estimasi) jumlah ODHA dan populasi kunci, yaitu laporan tahun 2006 dan tahun 2009. Kajian estimasi seperti ini dilakukan secara periodik oleh Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional serta mitramitra di 33 Provinsi. Estimasi jumlah ODHA tahun 2006 adalah sekitar 193.070 orang (kisaran: 169.230-216.820). Perkiraan jumlah ODHA pada tahun 2009 adalah 186.257 orang (kisaran: 132.089-287.357). Dalam laporan ini, estimasi jumlah ODHA tahun 2006 digunakan sebagai dasar perhitungan untuk perencanaan dan pemantauan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Estimasi tahun 2009, yang dipublikasikan pada tahun 2010, digunakan mulai tahun 2010. Fenomena gunung es: Suatu gunung es sebagian kecil puncaknya terlihat di atas permukaan air, tetapi lebih banyak bagian yang tidak terlihat karena berada di bawah permukaan air. Istilah “fenomena gunung es” terkait HIV dan AIDS berarti, bahwa orang terinfeksi HIV maupun kasus AIDS yang diketahui atau terlaporkan, hanyalah bagian kecil dari jumlah yang sebenarnya. Bagian yang lebih besar biasanya “tersembunyi” dan tidak diketahui jumlahnya. Intervensi struktural: Intervensi struktural adalah pendekatan komprehensif untuk mempengaruhi tatanan yang ada (sosial, pekerjaan, kepemerintahan), termasuk sistem, lembaga, kebijakan, struktur, serta peraturan perundangan dan bekerja sama dengan orang perorang maupun kelompok, untuk mengubah lingkungan mereka secara positif oleh mereka dan untuk mereka. Laki-laki Berisiko Tinggi (LBT): Yang dimaksud dengan “Laki-laki Berisiko Tinggi” dalam laporan ini, adalah jutaan laki-laki, pada umumnya usia muda/ usia xix
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
reproduktif yang bekerja terpisah dari keluarga maupun tempat dimana ia biasa bermasyarakat (bahkan sering berpindah-pindah), antara lain mereka yang bekerja di bidang pertambangan, pertanian dan perkebunan, perikanan, konstruksi (jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandar udara), kehutanan, dan transportasi jarak jauh (biasanya transportasi darat atau antar pulau), dll. Mereka pada umumnya cenderung melakukan “seks berisiko” maupun perilaku berisiko lain seperti mengkonsumsi miras, napza dll., sehingga berisiko tinggi untuk penularan HIV dan penyakit lainnya. Pengurangan dampak buruk (Harm Reduction): Komponen program pengurangan dampak buruk berubah pada tahun 2009. Sampai sebelum itu, ada 12 komponen yang diperkuat dengan Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat No. 2/2007 yang terdiri dari: (1) penjangkauan dan pendampingan; (2) komunikasi informasi dan edukasi; (3) pendidikan sebaya; (4) konseling perubahan perilaku; (5) konseling dan testing HIV sukarela (VCT); (6) program penyucihamaan; (7) layanan jarum dan alat suntik steril; (8) pemusnahan peralatan suntik bekas; (9) layanan terapi pemulihan ketergantungan narkoba; (10) program terapi rumatan metadon; (11) layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (CST), dan pelayanan kesehatan dasar. Pada tahun 2009, WHO, UNODC, dan UNAIDS mengeluarkan pedoman baru menjadi 9 komponen yaitu: (1) program layanan alat suntik steril; (2) terapi substitusi opiat dan layanan pemulihan adiksi lainnya; (3) konseling dan testing HIV; (4) terapi antiretroviral; (5) pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual (IMS); (6) program kondom untuk penasun dan pasangan seksualnya; (7) komunikasi informasi dan edukasi tersasar (targeted) untuk penasun dan pasangan seksualnya; (8) vaksinasi, diagnosis dan pengobatan hepatitis; (9) pencegahan, diagnosis dan pengobatan tuberkulosis. Populasi kunci: Kelompok populasi yang menentukan keberhasilan program pencegahan dan pengobatan, sehingga mereka perlu ikut aktif berperan dalam penanggulangan HIV dan AIDS, baik bagi dirinya maupun orang lain. Populasi ini adalah (1) Orang-orang berisiko tertular atau rawan tertular karena perilaku seksual berisiko yang tidak terlindung, bertukar alat suntik tidak steril; (2) Orang-orang yang rentan adalah orang yang karena pekerjaan, lingkungannya rentan terhadap penularan HIV, seperti buruh migran, pengungsi dan kalangan muda berisiko; dan (3) ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV. Terapi antiretroviral: ARV adalah obat-obat yang dapat menghambat perkembangan virus HIV dalam tubuh. Pengobatan dengan ARV tidak dibutuhkan oleh semua orang terinfeksi HIV. ARV hanya diberikan dalam keadaan dimana xx
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
CD4 seseorang turun sampai kadar tertentu (350/ml kubik darah), berarti kekebalannya sudah terganggu atau dengan perkataan lain, yang bersangkutan sudah masuk tahap AIDS. Karena ARV menghambat penggandaan virus HIV, maka pengrusakan kekebalan tubuhpun akan terhambat. Temuan ilmiah menunjukkan bahwa pemberian ARV lebih awal bisa menurunkan jumlah virus dalam darah, sehingga bisa menurunkan risiko penularan kepada orang lain. ARV tidak “membunuh” virus dalam darah dan jika pasien AIDS menghentikan minum ARV maka jumlah virus dalam darah akan meningkat lagi dengan cepat, sehingga mengakibatkan penyakit (AIDS) yang dideritanya akan jadi lebih parah. Tingkat epidemi: • Tingkat Rendah: Tingkat epidemi dimana prevalensi HIV secara konsisten tidak melebihi 1% pada populasi umum, tidak pula melebihi 5% pada salah satu kelompok populasi kunci. • Tingkat Terkonsentrasi: Tingkat epidemi dimana prevalensi HIV berada di atas 5% pada sub-populasi tertentu tetapi tetap di bawah 1% pada populasi umum . • Tingkat Tergeneralisasi: Epidemi HIV sudah menyebar dalam populasi umum, biasanya melalui penularan heteroseksual. Dalam epidemi yang tergeneralisir, prevalensi HIV pada ibu hamil sudah melebihi 1%.
xxi
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
xxii
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Rangkuman Eksekutif
1987-2005: Awal perkembangan epidemi HIV di Indonesia dan upaya penanggulangannya 1. Awal epidemi HIV dan AIDS di Indonesia (1987): Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan 24 tahun yang lalu (1987). Antara tahun 1987 dan 1997, peningkatan infeksi tampak lambat, upaya penanggulangan pun sangat terbatas dan terutama terfokus di sektor kesehatan. Pada bulan Mei 1994 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang pertama di Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden 36/19941, yang kemudian disusul dengan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS yang pertama (bulan Juni 1994).2 2. Epidemi makin berkembang dan upaya penanggulangannya (1994 – 2004): Pada pertengahan tahun 1990an, tampak peningkatan yang tajam dalam penularan di kalangan pengguna napza suntik (penasun). Lingkungan sosial dan legal yang mengkriminalisasi penasun, menyebabkan sebagian besar menyuntik secara sembunyi-sembunyi dengan berbagi alat suntik. Hal ini berdampak negatif pada semua orang yang terlibat maupun pada penyebaran infeksi HIV. Pada tahun 1993 di kalangan penasun hanya 1 orang yang ditemukan HIV positif (di Jakarta), pada bulan Maret 2002 sudah dilaporkan 116 kasus AIDS karena penggunaan napza suntik di 6 provinsi. Pada akhir tahun 2004 dilaporkan 2.682 orang dengan AIDS dari 25 provinsi (kumulatif), diantaranya: 1844 adalah ODHA baru: 649 orang stadium HIV dan 1.195 AIDS baru. Sebanyak 824 orang (68,95% dari AIDS yang baru dilaporkan)3 adalah akibat penggunaan napza suntik.4 Pada tahun yang sama, selain di kalangan penasun, data surveilans di kalangan orang yang berisiko terinfeksi HIV akibat gaya hidup atau pekerjaannya : pekerja seks perempuan, laki-laki dan waria, laki-laki yang seks dengan laki-laki (LSL), dan pasangan masing-masing – semua juga menunjukkan peningkatan HIV secara signifikan. Antara tahun 2003 dan 2004 jumlah infeksi baru HIV dan kasus AIDS yang dilaporkan 1
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
meningkat hampir 4 kali lipat (3,81 kali) antara lain karena meningkatnya sarana testing dan konseling, kemampuan mendiagnosa dan pelaporan yang lebih baik, terutama di Jawa, Bali dan beberapa provinsi lain di luar Jawa. Epidemi HIV di Indonesia “beralih” dari klasifikasi “epidemi tingkat rendah” menjadi “epidemi terkonsentrasi” – dimana prevalensi HIV di kalangan penduduk risiko tinggi sudah mencapai > 5%. (lihat Tabel 1) Epidemi HIV di provinsi Papua5 menunjukkan perkembangan yang berbeda dengan provinsi lain. Walaupun penduduknya hanya 1% dari penduduk Indonesia, namun dalam bulan Desember 2004 HIV kumulatif yang dilaporkan di Papua berjumlah 19,1% dari seluruh infeksi baru di Indonesia.6 Selain itu, penularan utama HIV secara nasional disebabkan oleh penggunaan napza suntik, namun lebih dari 90% infeksi HIV di Papua disebabkan karena hubungan seks berisiko. Tantangan yang sangat besar untuk penanggulangan AIDS di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat adalah masalah komunikasi, transportasi serta infrastruktur kesehatan dan masyarakat yang sangat terbatas. 3. Komitmen Sentani – suatu upaya baru (2004): Tanggal 19 Januari 2004, Menko Kesra/ Ketua KPA Nasional M. Jusuf Kalla, memimpin rapat konsultasi KPA Nasional di Sentani, Provinsi Papua bersama para gubernur dari 6 provinsi dengan prevalensi HIV yang tertinggi,* 6 Menteri/ Kepala Lembaga yang merupakan pimpinan KPA Nasional7 serta Ketua Komisi VII DPR RI – untuk mengkaji secara serius situasi epidemi, dan bersama menandatangani suatu komitmen untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di 6 provinsi tersebut dengan pendekatan komprehensif disertai target yang jelas dan rencana pemantauan dan evaluasi bersama setiap 3 bulan. Komitmen ini dikenal sebagai Komitmen Sentani. (lihat Lampiran 1: Komitmen Sentani) Komitmen Sentani merupakan upaya untuk mempercepat penanggulangan HIV dan AIDS melalui pendekatan “total football” yang multisektoral, terdiri dari: upaya pencegahan penularan melalui transmisi seksual dan napza suntik; peningkatan layanan kesehatan; penguatan kelembagaan KPA semua tingkat; penguatan peraturan perundangan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif; dan penyediaan anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Evaluasi 1 tahun Komitmen Sentani (Februari 1995) menunjukkan hasil yang sangat positif di sebagian besar provinsi Komitmen Sentani tersebut, terutama dimana ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Namun demikian, jelas bahwa keberhasilan yang terjadi di beberapa daerah tersebut, jangkauan maupun efektivitasnya belumlah cukup untuk mengendalikan epidemi secara nasional. * Provinsi Papua, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Riau yang sebelum akhir tahun sudah mekar dan ada provinsi baru yang mengikuti Komitmen Sentani yaitu provinsi Kepulauan Riau.
2
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
2006-2011: Menuju upaya penanggulangan AIDS secara nasional mengacu pada Peraturan Presiden 75/2006 4. Perpres 75/2006 tahap baru dalam upaya penanggulangan AIDS nasional: Dalam bulan Desember 2005, setelah mendengar penjelasan dari Wakil Ketua Pokja Komitmen Sentani dan staf sekretariat KPA Nasional, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat yang baru, Ir Aburizal Bakrie berkesimpulan, bahwa AIDS bukan merupakan persoalan lokal, tetapi merupakan ancaman serius terhadap pembangunan bangsa Indonesia secara nasional; dengan perkataan lain, upaya penanggulangan yang terpencar-pencar, terbatas dan tak terkoordinasi tidak akan mampu mengendalikan epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Atas dasar analisa tersebut, beliau berkesimpulan bahwa perlu ada perubahan dalam status, keanggotaan maupun tata kerja dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Enam bulan kemudian pada tanggal 13 Juli 2006, ditetapkanlah Peraturan Presiden no 75/ 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. KPAN yang baru ditugaskan untuk “meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi” (Ps 1). KPAN berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden (Ps 2) – dengan demikian meningkatkan posisi KPAN sebagai bagian dari aparat pembangunan bangsa yang mempunyai tanggung jawab secara nasional. Berbeda dengan KPAN sebelumnya, KPAN dalam Perpres 75/2006 lebih inklusif dengan penambahan anggota selain dari sektor pemerintah sipil dan militer, juga dari organisasi ODHA nasional, perwakilan dari komunitas LSM AIDS, dan organisasi profesi dan sektor swasta. Dr Nafsiah Mboi, salah seorang anggota KPAN ditetapkan sebagai sekretaris penuh waktu merangkap sebagai Kepala Sekretariat KPAN dan Ketua Tim Pelaksana KPAN. Permenkokesra no. 5/ 2007 menetapkan masa jabatan sekretaris KPAN selama 5 tahun (2006 – 2011) dan hanya bisa diperpanjang selama maksimum 1 masa bakti (5 tahun) lagi. 5. Pertimbangan-pertimbangan dasar dalam penanggulangan AIDS nasional: Sejak terbitnya Perpres 75/2006, pertimbangan-pertimbangan yang mendasari upaya dan kegiatan-kegiatan KPA Nasional adalah untuk mencapai : a) jangkauan/ cakupan seluas-luasnya agar sebanyak mungkin populasi kunci yang paling rentan terinfeksi HIV (populasi kunci, atau masyarakat yang terdampak, yaitu: pengguna napza suntik (penasun), pekerja seks (laki-laki, perempuan, waria), laki-laki yang seks dengan laki-laki (LSL), orang terinfeksi HIV (ODHA) dan pasangan masing-masing, mempunyai akses terhadap informasi, layanan pencegahan maupun dukungan serta pengobatan. b) efektivitas/mutu kegiatan yang mampu mengurangi infeksi baru serta meningkatkan mutu hidup orang yang sudah terinfeksi, dan c) keberlanjutan upaya penanggulangan yang mandiri secara pribadi (tanggung jawab pribadi dan kelompok) maupun secara nasional (tidak tergantung dukungan dana luar negeri). 3
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Disamping itu, semangat pelaksanaan maupun evaluasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional senantiasa mengacu pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia untuk menciptakan upaya penanggulangan yang inklusif, etis dan manusiawi yaitu: • Menghilangkan stigma, diskriminasi dan hambatan-hambatan yang disebabkan oleh ketimpangan dan ketidak setaraan jender • Pengembangan lingkungan, sistem dan kegiatan yang kondusif / mendukung orang-orang maupun upaya penanggulangan secara hakiki. 6. Keragaman epidemi HIV di Indonesia dan keragaman upaya penanggulangannya: Hasil-hasil kajian, survailans dan data epidemiologis HIV dan AIDS di Indonesia menunjukkan adanya keragaman dan perbedaan-perbedaan dalam situasi epidemi tergantung antara lain pada: siapa yang berisiko terinfeksi, pilihan orang dalam menghadapi situasi, kesempatan maupun tanggung jawab yang dipunyainya. Oleh karena itu dibutuhkan upaya penanggulangan yang beragam. Dalam tahun 2006, variasi dalam intensitas epidemi ini sudah jelas tampak antara lain dalam perbedaan yang besar antara epidemi di Indonesia pada umumnya dan situasi khusus di Tanah Papua. Terjadinya perubahan dalam perkembangan epidemi tampak antara lain dari cara penularan: bulan Juni 2006 dilaporkan oleh Kemenkes, bahwa 54,4% dari kasus AIDS yang baru terjadi di kalangan penasun karena penularan melalui alat suntik, sedangkan bulan Juni 2011 angka tersebut sudah turun jadi 16,3%. Sebaliknya, dalam kurun waktu yang sama, penularan heteroseksual meningkat dari 38,5% menjadi 76,3%. Akibat dari makin meningkatnya penularan melalui hubungan seks berbeda jenis (heteroseksual) ini adalah: makin meningkatnya jumlah perempuan dan bayi yang dilaporkan sebagai kasus AIDS yang baru: Juni 2006 persentase kasus AIDS baru pada perempuan adalah 16,9%, tahun 2011 menjadi 35,1% (lihat Tabel 5), sedangkan penularan perinatal (dari ibu ke bayi) meningkat dari 2,16% menjadi 4,7 % .8 (lihat Grafik 1) Keragaman ini membutuhkan pendekatan dan pengembangan program yang fleksibel, dan tepat tanggap, didukung oleh pengumpulan data, analisa dan pemantauan yang berkelanjutan untuk menjamin bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah maupun secara nasional memenuhi kaidah-kaidah epidemiologis. Demikian pula, untuk menjamin akseptabilitas dan penggunaan layanan yang memadai, dibutuhkan kemitraan dan masukan dari orang-orang yang terinfeksi, dan terdampak, serta yang paling berisiko, dalam situasi dan kondisi yang ber-beda-beda antara lain: populasi kunci dari seluruh Indonesia, orang muda, buruh migran, Laki-laki Berisiko Tinggi (LBT - high risk men), populasi umum di Tanah Papua (terutama mereka di daerah-daerah terpencil dan kurang terlayani). Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) 2007 – 2010 dilanjutkan dengan SRAN 2010-2014 memberikan kerangka kerja sama, tujuan umum dan tujuan khusus untuk 4
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
penanggulangan yang komprehensif, namun memberikan peluang untuk penyusunan rencana aksi daerah dan mobilisasi sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Indonesia memilih pendekatan yang komprehensif dan paripurna – pendekatan “total football” – termasuk kemitraan, kebijakan dan program yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok penduduk yang terdampak (populasi kunci), mulai dari pencegahan, dukungan, rawatan dan pengobatan serta mitigasi dampak sosial ekonomi dari epidemi HIV. Inilah yang merupakan kunci utama untuk memutus rantai penularan dan merubah jalannya epidemi. Pada saat yang sama, penting sekali upaya peningkatan pengetahuan masyarakat secara umum tentang pengetahuan dasar HIV dan AIDS, cara-cara penularan serta cara-cara pencegahan penularannya, prinsip-prinsip non diskriminasi dan Hak Asasi Manusia dalam konteks epidemi maupun pesan-pesan praktis tentang abstinensia, saling setia dan peningkatan nilai-nilai keagamaan. Dalam kaitan dengan orang yang sudah terinfeksi HIV (ODHA) serta populasi kunci lainnya, sangat penting fokus pada peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan kegiatan yang mendukung kemandirian, tanggung jawab pribadi dan kelompok – mencegah penularan kepada orang lain dan ketaatan minum obat – serta menjalani hidup yang penuh dan bermakna. Dalam pendekatan “total football”, setiap orang dan kelompok yaitu yang terinfeksi dan terdampak umum maupun orang hidup dengan HIV mempunyai peran positif dalam upaya penanggulangan nasional. 7. Langkah awal KPA Nasional: Langkah awal KPA Nasional yang baru terdiri dari: (1) pengorganisasian sekretariat KPA yang professional dan penuh waktu melalui rekrutmen terbuka, (2) pengembangan strategi nasional yang baru dilengkapi dengan rencana aksi nasional dengan tujuan, sasaran (target) dan rencana anggaran yang jelas, (3) mobilisasi sumber daya. Rencana Aksi Nasional (RAN) terdiri dari kerangka kerja nasional yang komprehensif, yang didasari oleh a) estimasi jumlah dan pemetaan populasi kunci serta peta penularan tahun 2006, (lihat Lampiran 2 : rincian populasi kunci 2006 dan 2009) dan b) pendekatan dengan menggunakan program yang terbukti efektif di dunia maupun di Indonesia. SRAN menjadi acuan kerja sama antara semua mitra dalam penanggulangan HIV dan AIDS – pemerintah, masyarakat sipil termasuk populasi kunci/ masyarakat yang terdampak, LSM/ organisasi non pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan, pelayanan dan advokasi, serta organisasi/ kelompok-kelompok agama, media, organisasi profesi dalam layanan kesehatan, sektor swasta maupun berbagai mitra internasional antara lain: United Kingdom, Australia, Amerika Serikat, badan-badan PBB/UN, badan-badan multilateral lainnya dan LSM internasional.
5
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Perhatian khusus diberikan pada upaya pencegahan penularan HIV baik di kalangan penasun maupun transmisi seksual, layanan dukungan, rawatan dan pengobatan bagi ODHA, penguatan sistem kesehatan dan pemberdayaan masyarakat untuk layanan yang dibutuhkan ODHA. Sama pentingnya, sejalan dengan Peraturan Presiden 75/2006, adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri 20/2007 yang memberikan pedoman untuk pembentukan KPA di daerah serta pemberdayaan masyarakat dalam menanggulangi HIV dan AIDS.* Hal ini penting dan merupakan dasar yang sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem KPA di semua tingkatan untuk memimpin dan mengelola, serta mengkoordinasikan upaya penanggulangan. 8. Tantangan sumber daya untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional: Untuk melaksanakan rencana yang ambisius ini, sekretariat KPA Nasional perlu memobilisasi sumber daya – finansial, teknis, maupun sumber daya manusia – yang sangat besar. Sampai tahun 2006, investasi Indonesia untuk penanggulangan HIV dan AIDS baik di tingkat nasional maupun daerah, sangat terbatas secara finansial, dan sebagian besar hanya pada sektor kesehatan. Tahun-tahun awal epidemi sampai 2003, berbagai dukungan teknis dan upaya pencegahan dilaksanakan dengan bantuan lembaga-lembaga internasional, terutama dari USA dan Australia. Upaya penanggulangan di 11 provinsi didukung oleh kesepakatan bilateral dengan AusAID dan USAID.† Kegiatan-kegiatan ini terutama terfokus di tingkat operasional berupa dukungan teknis, pelatihan, dan dukungan dana kepada LSM lokal yang mendampingi masyarakat yang terdampak. Antara tahun 2005 – 2011 dukungan AusAID secara kumulatif berjumlah US$9,918,190 (Rp 84,3 miliar) sedangkan dukungan USAID untuk kegiatan LSM dalam kurun waktu yang sama secara kumulatif berjumlah US$ 10,899,258 atau Rp 92,6 miliar. Selain itu, AusAID juga mendukung pengembangan kapasitas KPA bekerja sama dengan sekretariat KPAN; sebaliknya, Family Health International (dukungan USAID) bekerja sama secara erat dengan Kementerian Kesehatan (Kemkes) untuk pengembangan panduan-panduan teknis dan operasional, serta panduan-panduan pelatihan untuk pengurangan risiko penularan HIV di kalangan penasun dan masyarakat terdampak lainnya, serta pengembangan layanan klinis. Mitra-mitra bilateral tersebut juga memberikan dukungan untuk penelitian dan kajian agar situasi epidemi dan upaya penanggulangannya makin dimengerti dan dimanfaatkan sebagai masukan untuk pengembangan kebijakan maupun penyusunan program.
* †
6
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang pedoman umum pembetukan Komisi Penanggulangan AIDS dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS di daerah Keduanya AusAID dan USAID : DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Papua Barat. AusAID: DI Yogyakarta, Banten, Bali. USAID: Kepulauan Riau, Sumatera Utara.
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Tahun 2003, dukungan GFATM Ronde 1 dimulai di 5 provinsi,* disusul Ronde 4 (2005-2010) di 19 provinsi.† GFATM Ronde 1 dan 4 mendukung kegiatan Kemkes terutama dalam pengembangan layanan konseling dan testing serta pengobatan yang dibutuhkan. (lihat Lampiran 3, Rangkuman dukungan dana Global Fund untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2003 - 2015 dan lokasi-lokasi) Sumber-sumber daya tersebut diatas maupun sumber daya dalam negeri pada tahun 2006 sama sekali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan perluasan, percepatan dan intensifikasi (scaling-up) program agar dapat mencapai target Rencana Aksi Nasional 2007-2010. Oleh karena itu, salah satu upaya yang sangat penting yang dilaksanakan oleh sekretariat KPAN yang baru adalah mobilisasi sumber daya dalam dan luar negeri yang cukup besar jumlahnya untuk dapat mengendalikan epidemi HIV dan AIDS sesuai amanat Perpres 75/2006. 9. Dana Kemitraan Indonesia / Indonesian Partnership Fund (DKIA/IPF): dukungan transisi ke program nasional yang komprehensif serta mobilisasi sumber-sumber daya yang lain: Pada akhir tahun 2005, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA Nasional menandatangani kesepakatan antara Pemerintah Inggeris/ DFID dan pemerintah Indonesia, membentuk Dana Kemitraan Indonesia untuk Penanggulangan AIDS (DKIA = Indonesian Partnership Fund for HIV and AIDS = IPF), dengan dana hibah sebesar GB £ 25 juta atau US$ 47 juta. Tujuan utamanya adalah untuk mendukung percepatan upaya penanggulangan AIDS di Indonesia selama 3 tahun ke depan (2005 – 2008). Sejalan dengan Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2003 - 2007 dan kesepakatan kerja kedua negera ini, sekretariat KPAN bertanggung jawab atas nama pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan dana hibah, dan Sekretaris KPAN ditunjuk menjadi Direktur Nasional dalam pengelolaan dana tersebut. UNDP ditetapkan sebagai fund manager/ pengelola dana hibah sampai sekretariat KPAN siap dan mampu melaksanakan tugas tersebut. Untuk tahun-tahun 2008-2010, dana hibah berasal dari Negara Inggris sebesar GB £ 3 juta (US$ 4,5 juta). Pada saat yang bersamaan, pemerintah Australia memberi bantuan melalui DKIA dengan komitmen senilai Aus$ 3 juta (US$ 2,6 juta) untuk 3 tahun. Pada tahun 2011 pemerintah Amerika Serikat turut mendukung dana melalui DKIA dengan komitmen per tahun senilai US$ 1 juta/tahun selama tiga tahun. Pada awalnya (2005-2008) sebagian besar dana dari DKIA/IPF (75%) dipakai untuk memperluas jangkauan serta meningkatkan efektivitas (mutu) program, dan sebagian (18%) untuk penguatan sistem manajemen/ pengelolaan – dalam hal ini * †
Riau, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Bali, Papua. Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Papua Barat, Papua
7
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
awal pengembangan sistem KPA untuk memimpin dan mengelola seluruh upaya penanggulangan AIDS di seluruh Indonesia. Antara tahun 2006-2007 DKIA antara lain membiayai staf dan operasional sekretariat KPAN serta 105 KPA Kabupaten/Kota di 22 provinsi, tahun 2008-2009 ditingkatkan menjadi 33 KPAP dan 170 KPA Kabupaten/Kota. Dukungan untuk staf penuh waktu dan biaya operasional tersebut, ternyata mempunyai daya ungkit yang cukup meyakinkan dengan peningkatan dukungan APBN dan APBD dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 2006-2011, dukungan dana DKIA/IPF kepada masyarakat sipil (civil society) berjumlah Rp 59.904.041.000,-.9 (lihat Tabel 24) Dana DKIA/IPF juga dipakai untuk mobilisasi sumber dana lain; seperti mendukung proses pengembangan proposal (2007 dan 2008) kepada GFATM Ronde 8 dan 9. Upaya ini berhasil mendapatkan komitmen dana sejumlah US$ 212 juta, mulai 1 Juli 2009 sampai dengan 30 Juni 2015. Dana ini secara bertahap akan mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang komprehensif (upaya pencegahan, pengobatan, mitigasi dampak, penguatan sistem kesehatan dan masyarakat) menuju akses universal pada tahun 2015. Tanggal 1 Juli 2009 dimulai di 12 provinsi (68 kabupaten/kota), tanggal 1 Juli 2010 menjadi 23 provinsi (103 kabupaten/kota), dan mulai Juli 2011 semua (33) provinsi dan 137 kabupaten/kota. Untuk mengelola dana GF ditetapkan 4 Penerima Hibah utama (“Principal Recipient” = PR) yaitu: Kemkes Dirjen P2PL, Sekretariat KPAN, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan LKN Nahdlatul Ulama (NU) (lihat Lampiran 3: rangkuman dukungan dana GFATM komponen AIDS). 10. Mobilisasi sumber dana dalam negeri: Dalam kurun waktu 2006-2011, tampak peningkatan yang cukup bermakna dalam mobilisasi sumber dana dalam negeri. Dana APBN untuk pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Kementerian /Lembaga (K/L) sektor pemerintah meningkat dari Rp 118,6 miliar untuk 11 K/L (tahun 2006)10 menjadi Rp 856,281 miliar untuk 19 K/L (tahun 2011)11 . (lihat Tabel 12) Dukungan dari APBD (Provinsi/Kabupaten/Kota) juga meningkat – tahun 2006 alokasi APBD hanya Rp 41.560.000 untuk kegiatan di 19 Provinsi dan 73 kabupaten/kota, pada tahun 2010 semua (33) Provinsi dan 166 kabupaten/kota telah menganggarkan APBD untuk penanggulangan AIDS di daerahnya masing-masing (lihat Tabel 8). Disamping itu, tahun 2011 ada 63 kabupaten/kota (di 24 provinsi)* dimana sekretariat KPA Kabupaten/Kota sepenuhnya dibiayai oleh APBD (lihat Lampiran 4: kabupaten/ kota mandiri).
*
8
2010 : Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat. Tambahan 2011 : NAD, Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo.
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Salah satu indikator kemajuan dalam dukungan dana dalam negeri adalah persentase dibandingkan dengan dukungan dana internasional: tahun 2006, 27% belanja untuk penanggulangan HIV adalah dana dalam negeri (US$ 15,038,057 = Rp 127.823.484.500). Pada tahun 2010, 42% dari anggaran keseluruhan merupakan dana dalam negeri (US$ 27,5 juta = Rp 234.016.106.100), sedangkan 58% bersumber dari dana luar negeri. Secara keseluruhan, belanja untuk penanggulangan HIV dan AIDS meningkat dari Rp 481.100.000.000 tahun 2006, menjadi Rp 557.181.205.000 pada akhir 2010.12 (lihat Tabel 13) 11. Upaya penanggulangan yang komprehensif: Tanggapan yang komprehensif terhadap HIV dan AIDS di Indonesia terdiri dari komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), layanan pencegahan yang komprehensif, sarana testing dan pengobatan termasuk ARV bagi yang membutuhkan, serta peningkatan kemampuan dan pengembangan sistem secara berkesinambungan untuk mencapai jangkauan, efektivitas dan keberlanjutan yang dibutuhkan untuk pengendalian epidemi HIV. Contoh tanggapan komprehensif tersebut antara lain adanya peningkatan dan perluasan yang terus menerus dalam pelatihan dan pendidikan tenaga kesehatan, pengembangan kemampuan penelitian sosial dan perilaku terkait HIV, pendidikan masyarakat yang luas melalui berbagai media, pendidikan formal, non formal dan informal untuk anak usia sekolah dan lain lain. Demikian pula sistem manajemen dan logistik terus menerus disempurnakan. Peningkatan dan pengembangan kapasitas (antara lain dalam perencanaan, keuangan, pengelolaan program, dan advokasi) dalam lingkungan KPA baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota telah memberi sumbangan terciptanya upaya penanggulangan yang komprehensif sekaligus mendapatkan keuntungan dari semakin komprehensifnya upaya penanggulangan AIDS. Kegiatan-kegiatan ini tersebar di seluruh Indonesia. Keberhasilan upaya penanggulangan yang komprehensif tidak hanya tergantung pada jumlah kegiatan terkait HIV, tetapi juga pada sinergi, saling mengisi dan kesesuaian antara kegiatan dengan situasi epidemi secara lokal. Mengelola, mengarahkan dan memimpin upaya-upaya tersebut merupakan tanggung jawab KPA pada tingkat pemerintahan masing-masing, bekerja sama dengan berbagai mitra. Singkatnya, tanggapan yang komprehensif di Indonesia tidak hanya pertimbangan tentang apa yang perlu dilakukan, tetapi juga bagaimana dan oleh siapa. Semua bekerja sama mengacu kepada Rencana Aksi Nasional. 12. Prioritas utama adalah pencegahan: Dalam tahun 2006, diputuskan untuk memprioritaskan pencegahan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Prioritas tersebut tercermin dalam seleksi, desain, advokasi maupun pelatihan program. 9
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Dari tahun ke tahun, sesuai perubahan dalam epidemi, terjadi perubahan dalam kombinasi kegiatan pencegahan. Sebagai contoh: mula mula, melihat tingginya infeksi HIV di kalangan penasun upaya pencegahan terutama ditujukan untuk mengembangkan meningkatkan dan memperluas upaya pengurangan dampak buruk (Harm Reduction) penggunaan napza suntik. Namun berdasarkan hasil kajian paruh waktu oleh KPAN dan pengalaman lapangan tahun 2009, maka dikembangkan pendekatan baru yang disebut PMTS yaitu Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual, suatu pendekatan komprehensif dengan intervensi struktural yang kini sedang diperluas untuk mencapai jangkauan secara nasional. (Pembahasan yang lebih dalam mengenai PMTS ada pada butir 14). Contoh lain dari perubahan dalam pencegahan adalah, apa yang terjadi di dua provinsi, Papua dan Papua Barat. Inisiatif yang sangat bermakna dilakukan untuk menanggulangi terus bertambahnya infeksi baru pada penduduk usia muda di sana dengan cara memasukkan pendidikan HIV dan AIDS melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Pendekatan ini dikembangkan di masing-masing provinsi dengan dukungan teknis dari UNICEF dan dukungan dana dari pemerintah Belanda. Adapun kepada masing-masing pihak di kedua provinsi ini disampaikan bahwa pendidikan HIV dan AIDS ini adalah sejalan dengan apa yang sudah ada sebelumnya: kebijakan, pedoman dan kurikulum-kurikulum sesuai dengan tingkatan pendidikan, dan materi pendukung serta pelatihan pendidik yang sudah direncanakan (termasuk guru-guru, tutor untuk kegiatan ekstra kurikuler, dan pelatihan olah raga, musik, dan kesenian, drama serta banyak hal lain yang dapat mendukung terjadinya proses pembelajaran). 13. Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik (harm reduction): Pada tahun 2006 sumber utama penularan HIV di Indonesia adalah penggunaan napza suntik yang dilakukan dengan cara berbagi alat suntik. Berbagai dampak buruk penggunaan napza suntik antara lain adalah: a) kematian karena overdosis, b) infeksi HIV, hepatitis B dan C, sifilis maupun beberapa penyakit lain yang ditularkan melalui darah; c) kelainan kepribadian dan sosial jangka panjang dengan kemungkinan perilaku kriminal akibat kecanduan yang tak terkendali dan dorongan untuk pemuasan kecanduan tersebut. Belajar dari pengalaman yang terbatas dengan aktivis harm reduction, LSM, RSKO, program AIDS yang didukung oleh AusAID dan USAID, WHO, beberapa KPA Provinsi/ Kabupaten/Kota, Kemkes dan Kementerian Hukum dan HAM, pada saat Komitmen Sentani dalam tahun 2004, sudah jelas bahwa upaya harm reduction yang komprehensif bisa berhasil di Indonesia. Namun demikian terdapat berbagai kendala sosial, legal, dan layanan, yang menghambat upaya perluasan yang sangat dibutuhkan untuk melindungi generasi muda Indonesia dari dampak penyuntikan narkoba yang tidak aman dan menghentikan penyebab utama infeksi HIV di Indonesia.
10
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Langkah pertama yang dilakukan oleh Sekretaris KPAN untuk mengurangi hambatanhambatan tersebut diatas, adalah konsultasi dengan bidang hukum dan program kesehatan berbagai sektor pemerintah sepert POLRI, Kemkes, Badan Narkotika Nasional, Kemsos, Kemdiknas dan lain-lain, untuk mempersiapkan peraturan perundangan yang lebih kondusif. Hasilnya adalah Peraturan Menkokesra no. 2 tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik. Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat dan bertujuan mencegah penyebaran HIV di kalangan penasun dan pasangannya, serta mencegah penyebaran HIV dari penasun dan pasangannya ke masyarakat luas. Sekretariat KPAN bekerjasama dengan para penasun, penegak hukum termasuk POLRI, Kemkes, BNN, dan Kementerian Sosial meluncurkan kampanye yang intensif dengan advokasi, pelatihan, kebijakan dan panduan untuk pengintegrasian Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Program Terapi Rumatan Methadon (PTRM) ke dalam sistem kesehatan masyarakat (puskesmas, klinik dan RS). Aspek kemanusiaan pun diperhatikan termasuk proses pemberdayaan penasun dan aktivis lainnya agar memberikan masukan untuk menjamin program dan layanan yang berhasil - dan berdaya-guna, baik dalam masyarakat maupun lingkungan lapas/rutan. Komitmen untuk perluasan dan peningkatan program pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang komprehensif jelas tercantum dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) tahun 2007-2010 dan tahun 2010-2014. Untuk pelaksanaannya mula-mula dipakai dana DKIA/IPF dan dukungan AusAID, kemudian (sejak Juli 2009) ditambah dengan dukungan dana Global Fund. Upaya pencegahan HIV di kalangan penasun secara bertahap menunjukkan kemajuan: dalam tahun 2005 hanya ada 17 LASS (di LSM dan puskesmas), pada bulan Juni 2011 jumlah LASS 194, diantaranya 160 sudah terintegrasi dalam layanan kesehatan masyarakat, sehingga lebih menjamin keberlanjutan jangka panjang dan akses pada layanan kesehatan yang lebih komprehensif termasuk pengobatan untuk AIDS, TB, hepatitis maupun layanan Ibu hamil bila dibutuhkan. (lihat Grafik 9) Namun demikian peran komunitas LSM (baik penasun maupun aktivis AIDS) tetap sangat penting, karena merekalah yang memberikan layanan pendampingan, pendidikan dan rujukan bagi penasun dan pasangannya. Pengobatan Substitusi Oral (Oral Substitution Therapy = OST) dengan metadon atau buprenorfin juga meningkat: pada tahun 2005 baru ada 3 tempat, pada tahun 2011 mencapai 65 klinik, 9 di lapas, 22 di RS dan 34 di puskesmas.16 (lihat Grafik 10) Salah satu komponen penting dalam pengurangan dampak buruk adalah pengobatan ketergantungan obat, sebuah program baru untuk memperluas jangkauan pengurangan
11
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
dampak buruk yang komprehensif. Komponen ini adalah Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM). Layanan PABM mulai tersedia di Indonesia pada tahun 2009. Pada bulan Juni 2011, sebanyak 675 penasun telah menyelesaikan program PABM selama 6 bulan (terdiri dari 1 - 2 bulan rawat inap dengan konseling yang sangat intensif, detoksifikasi jika dibutuhkan, dukungan psikososial, diikuti dengan periode yang lebih lama untuk rawat jalan ataupun untuk kegiatan lain), sampai dengan jumlah 2011, PABM dilakukan oleh 11 LSM di 7 provinsi. Memang sudah tampak adanya kemajuan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan penasun, namun muncul tantangan-tantangan baru antara lain peningkatan penggunaan ATS (amphetamine type stimulants) dan obat-obat “perangsang seks” lainnya dengan akibat peningkatan hubungan seks berisiko. 14. Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS): Dalam tahun 2006, program pencegahan penularan melalui transmisi seksual dikenal sebagai “Program Penggunaan Kondom 100%” (PPK 100%) yang mengikuti “model” yang sangat sukses di Thailand. Didorong oleh WHO dan dukungan teknis berbagai mitra, pendekatan ini dikembangkan secara serius di Indonesia. Namun hasil IBBS 2002 dan 2007 menunjukkan, bahwa Program Penggunaan Kondom 100% di Indonesia tidak berhasil. Data menunjukkan, bahwa penggunaan kondom tetap rendah, Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV tetap tinggi, bahkan makin meningkat di kalangan pekerja seks perempuan dan waria. Kegagalan tersebut disebabkan berbagai faktor yang sulit diatasi: pertama, keengganan para pelanggan untuk memakai kondom walaupun tersedia; kedua, ketersediaan kondom dan pelicin masih jauh dibawah kebutuhan; ketiga, pendapat masyarakat umum dan para pemimpin di sebagian daerah, seringkali negatif bahkan menentang pembahasan tentang penggunaan kondom apalagi terkait pelacuran. Disamping itu, pekerja seks yang diluar “lokalisasi” seperti pekerja seks jalanan (laki-laki, perempuan dan waria), pekerja seks yang bekerja di bar, karaoke, dan panti pijat, laki-laki yang seks dengan laki-laki – pada umumnya sulit mendapat informasi, kondom dan layanan kesehatan. Sadar bahwa tanpa perubahan dalam bidang ini, epidemi HIV tidak mungkin dikendalikan, Sekretaris KPAN menyelenggarakan pertemuan konsultasi dengan berbagai pihak: pekerja seks perempuan, laki-laki dan waria, mitra internasional, LSM, aktivis, perwakilan kementerian dan lembaga pemerintah - untuk mencari pendekatan yang lebih efektif. Pada bulan April 2009 dimulailah program percontohan di Jayapura, kemudian di berbagai kota di Sumatra dan Jawa. Hasil proyek percontohan di beberapa kota tersebut, ditambah dengan diskusi-diskusi selama ICAAP 9 di Bali, dikonsolidasikan menjadi program PMTS dengan pendekatan intervensi struktural yang terdiri dari 4 komponen yang saling terkait: 1) peningkatan peran positif para pemangku kepentingan; 2) komunikasi perubahan perilaku dengan penekanan pada
12
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
pemberdayaan pekerja seks (PS) agar mampu melindungi kesehatan mereka sendiri maupun klien/ pasangannya; 3) peningkatan ketersediaan kondom bermutu di setiap tempat transaksi seks; dan 4) peningkatan penata laksanaan penyakit menular seksual. Disamping itu pemantauan dan evaluasi secara teratur oleh para pengelola program dari tingkat lokal sampai nasional. (lihat Box 3) Pada bulan Juli 2009 pendekatan intervensi struktural tampak mulai ada hasil dalam pencegahan penularan melalui transmisi seksual baik pada pekerja seks langsung maupun tidak langsung. Perluasan jangkauan dilaksanakan dengan dukungan GFATM dan laporan Juni 2011 menunjukkan bahwa telah terjangkau sebanyak 82.384 perempuan pekerja seks langsung (78% dari estimasi), 58.244 pekerja seks tidak langsung (54%), 23.269 pekerja seks waria (73%), dan 54.836 LSL (8%).17 Antara bulan Maret dan Juni 2011 dilaksanakan 3 kali pelatihan pemberdayaan pekerja seks, yang mencapai 1.222 pekerja seks di 22 provinsi.18 Salah satu akibat nyata intervensi struktural PMTS, adalah meningkatnya penggunaan kondom. Jumlah kondom gratis yang didistribusikan ke > 4000 outlet kondom antara Juli 2009 dan Juni 2011 secara kumulatif berjumlah 13.830.854 kondom laki-laki dan 548.175 kondom perempuan.19 Sedangkan penjualan kondom komersialpun makin meningkat dari 69.587.608 di tahun 2006 menjadi 116.701.048 di tahun 2010.20 Namun demikian, peningkatan ini jelas masih jauh dari mencukupi. Untuk mengendalikan epidemi HIV dan AIDS, dibutuhkan jangkauan yang lebih luas dan lebih efektif serta perubahan perilaku yang konsisten. Mulai tahun 2011 upaya pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual (PMTS) makin ditingkatkan dan dilengkapi dengan penambahan fokus pada Laki-laki Berisiko Tinggi (LBT) menjadi PMTS “paripurna”. PMTS dengan pendekatan di lokasi “hotspots” dilengkapi dengan upaya komprehensif di lokasi daerah-daerah dimana terdapat sejumlah besar LBT bekerja, yang sebagian besar adalah pekerja migran yang berusia muda, yang mau mencari masa depan yang lebih baik. Mereka pada umumnya terpisah dari keluarga dan nilai-nilai hidup tradisional. Hidup dalam lingkungan “macho”, banyak dari laki-laki ini cenderung terdorong untuk berperilaku berisiko termasuk seks berisiko sebagai “rekreasi”. Upaya yang efektif untuk melindungi laki-laki dari infeksi HIV akan berdampak ganda, karena jika tidak terjadi infeksi, atau “zero” infeksi baru pada laki-laki, berarti “zero” infeksi baru pada perempuan pasangan seksnya (termasuk isterinya) dan “zero” infeksi baru pada bayi. Sebagai bagian dari “PMTS paripurna” tersebut juga dikembangkan pendekatan khusus pada laki-laki yang seks dengan sesama laki-laki (LSL), baik mereka yang berorientasi seksual “gay/ homoseks”, waria maupun mereka yang karena “sikon” melakukan hubungan seks berisiko antar sesama laki-laki seperti warga binaan di lapas, pelaut/ anak buah kapal yang berminggu-minggu berlayar di laut, penghuni asrama-
13
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
asrama laki-laki dan lain-lain. Sebuah proyek khusus multi-facet mulai dikembangkan pada tahun 2010, melalui proyek pilot di 10 kota di 10 provinsi*. Dalam proyek ini dilakukan upaya untuk memperkuat dan memperluas program khusus bagi LSL. Dimulai tahun 2011 dengan berbagai penelitian (antara lain tentang norma dan perilaku LSL, bagaimana remaja LSL dapat informasi/ edukasi tentang kesehatan seksual dll), pemetaan, pengembangan strategi komunikasi serta metode-metode spesifik yang mampu menjangkau kelompok masyarakat yang tersembunyi ini, pengembangan layanan pencegahan dan kesehatan yang bersahabat dan tidak menstigma. Dengan pendekatan khusus ini diharapkan peningkatan pengetahuan tentang kebutuhan khusus LSL, keterlibatan mereka dalam penyusunan kebijakan dan program maupun peningkatan dalam relevansi, jangkauan dan efektivitas kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS pada umumnya. 15. Konseling dan Testing Sukarela: KTS (voluntary counseling and testing = VCT) telah meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi yang makin luas dari sarana testing/ KTS ini tampak dalam jumlah pelatih nasional sektor kesehatan antara tahun 2004 – 2011, yang mencakup calon konselor dan manajer kasus dari 1.053 lembaga termasuk rumah sakit, puskesmas, klinik paru-paru, LSM, perusahaan swasta dan lain lain.13 Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa dalam tahun 2006 hanya ada 100 tempat yang memberikan layanan KTS, sedangkan pada bulan Juni 2011 sudah terdapat 388 tempat layanan di RS, puskesmas, dan lembaga pemasyarakatan (lapas) yang melapor secara teratur kepada Kemkes.14 Sebanyak 658.401 orang dilaporkan telah menjalani testing dan 66.693 diantaranya dinyatakan positif HIV.15 (lihat Tabel 18) Guna mengembangkan upaya penanggulangan yang merata, mandiri dan berkelan jutan, sejak tahun 2006, prioritas kegiatan ditujukan pada perluasan, peningkatan kemampuan dan integrasi layanan terkait HIV dan AIDS, termasuk KTS dalam sistem kesehatan yang ada, baik pemerintah maupun masyarakat – antara lain di sektor kesehatan, sosial, Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. 16. Dukungan, perawatan dan pengobatan: Bagian yang sangat penting dalam pendekatan komprehensif (“total football”) penanggulangan AIDS di Indonesia adalah pengintegrasian layanan kesehatan terkait HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan masyarakat yang ada, dengan peningkatan kemampuan sesuai kebutuhan. “Continuum of care” pada dasarnya terdiri dari suatu rangkaian kegiatan dan layanan yang terdiri dari: konseling dan testing, diagnosa dan pengobatan IMS, pengobatan infeksi oportunistik (IO), pencegahan pneumonia dengan cotrimoxasole profilaksis, *
14
Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
diagnosa dini dan pengobatan AIDS dengan antiretroviral (ARV) yang tepat. Upaya khusus untuk pencegahan penularan HIV dari Ibu hamil kepada bayinya dilakukan dengan mengintegrasikan upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dengan pemberian ARV profilaksis bagi Ibu hamil yang HIV positif. Mengingat tingginya ko-infeksi antara HIV dan Tuberkulosis (TB), maka telah dikembangkan pula program khusus TB-HIV baik dalam masyarakat maupun dalam lapas, demikian pula perhatian terus ditingkatkan terkait ko-infeksi hepatitis B dan C di kalangan penasun. Bulan Juni 2011 sebanyak 218 rumah sakit dan 68 puskesmas satelit secara teratur melaporkan dukungan perawatan dan pengobatan yang terintegrasi di 32 provinsi.21 Dalam upaya untuk mempercepat lebih banyak orang dites serta tersedianya layanan testing sebagaimana yang dibutuhkan, konseling dan test atas inisiatif tenaga kesehatan - atau disebut dengan provider initiated counseling and testing (PICT) telah diintegrasikan secara cepat di banyak falititas layanan HIV dan AIDS, termasuk rumah sakit dan puskesmas. Kegiatan ini didukung oleh pelatihan serta buku pedomannya. Pencegahan penularan dari ibu ke bayinya (PMTCT), program untuk pencegahan penularan vertikal dari seorang perempuan kepada bayi yang dikandungnya, adalah komponen lain yang juga sangat penting dalam menyediakan layanan AIDS yang lengkap. Pada saat penulisan ini layanan PMTCT telah terintegrasi ke dalam sistem kesehatan masyarakat di 79 lokasi, dan direncanakan akan makin diperluas dan ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya.22 Pengobatan dengan ARV untuk pasien AIDS di Indonesia dimulai tahun 2005, dengan dukungan Global Fund di 25 rumah sakit rujukan dan menjangkau 2.381 pasien. Pada bulan Juni 2011, sebanyak 21.347 orang secara teratur minum ARV. Sebanyak 70% dari ARV yang diberikan secara gratis kepada pasien dibeli dengan dana APBN. Walaupun ini menunjukkan kemajuan yang pesat, namun masih cukup banyak yang terlambat mendapat pengobatan ataupun putus obat sehingga membahayakan hidupnya. Menurut laporan Kemkes, 21.347 orang yang menerima ARV tersebut di atas, hanyalah 55,7% dari semua orang yang telah memulai dengan ART dan seyogyanya terus mengikuti pengobatannya.23 17. Kelompok dukungan sebaya oleh dan untuk Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA): Orang yang terinfeksi HIV (ODHA): Orang yang terinfeksi HIV (ODHA) sangat membutuhkan dukungan psikososial sepanjang perjalanan penyakitnya: ketika baru tahu status HIVnya, selama stadium tanpa/ belum ada gejala (asimptomatis), maupun dalam masa pengobatan ARV: agar membantu ODHA minum obat secara teratur, serta menjalani gaya dan perilaku hidup sehat, dan tidak men -“stigma” diri sendiri, tetapi berani mengakui secara terbuka bahwa dirinya terinfeksi HIV. Berbagai jaringan ODHA/ orang terinfeksi HIV berupaya memberikan layanan yang berkualitas untuk hidup mandiri dan bermartabat bagi anggotanya. Jaringan terbesar kelompok dukungan 15
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
sebaya (KDS) yang independen, bekerja sama dengan Spiritia, suatu LSM nasional dan anggota KPAN, yang didirikan pada tahun 1995, secara khusus untuk mendampingi ODHA dan keluarganya. Mereka pusatkan kegiatannya ke arah kemandirian, kesehatan, martabat dan “pencegahan positif” bagi ODHA. Sampai bulan Agustus 2011 Spiritia melaporkan bekerja sama dengan 200 KDS di 121 kabupaten/ kota (21 provinsi*). Secara kumulatif sudah ada kegiatan dukungan dengan dan untuk 23.589 ODHA. Laporan insidentil dan kajian lapangan tentang dukungan sebaya, secara konsisten menggarisbawahi pentingnya kelompok-kelompok ini dalam membantu ODHA menerima dirinya dengan status HIV+, berbagi informasi tentang pengobatan dan perawatan dan sering kali merupakan kesempatan mereka untuk berperan positif dalam kegiatan berbasis masyarakat. (lihat Tabel 21 dan Tabel 22) Jaringan orang terinfeksi HIV yang lain adalah JOTHI, didirikan tahun 2007, dengan cabang dan kegiatan di 25 provinsi. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), didirikan tahun 2006, dengan kegiatan di 22 provinsi. Dua organisasi ini mempunyai agenda yang luas, terutama tertuju pada advokasi, hak asasi manusia orang terinfeksi HIV, dan pemantauan upaya penanggulangan AIDS nasional, secara khusus ketersediaan ARV.24 18. Manajemen/pengelolaan upaya penanggulangan AIDS di Indonesia: Dalam waktu relatif singkat, upaya penanggulangan AIDS di Indonesia berkembang dari beberapa provinsi dan kabupaten/kota pada saat Komitmen Sentani tahun 2004, menjadi upaya penanggulangan AIDS di 33 provinsi dan 173 kabupaten/kota, yang secara konsepsional merupakan satu kesatuan, namun operasional terdesentralisasi, dimana kegiatan direncanakan dan dilaksanakan sesuai situasi epidemiologis masingmasing daerah. (lihat Peta 2 di halaman belakang buku) Pengembangan sistem dan kemampuan yang dibutuhkan di semua tingkat untuk menjamin efektifitas program secara lokal, pada saat yang sama mengikuti standar dan akuntabilitas nasional dan internasional dalam pemanfaatan sumber dana dan daya, merupakan tantangan yang tidak kecil. Efektivitas program secara lokal membutuhkan pengetahuan teknis dan kepekaan lokal untuk perencanaan berbasis data (“evidence based planning”), pelaksanaan dan pemantauan program. Akuntabilitas sumber dana dan daya secara nasional dan internasional membutuhkan pengetahuan dan pengelolaan dana dan administrasi yang handal. Untuk melaksanakan salah satu tanggung jawabnya sesuai Perpres 75/2006, yaitu memberikan arahan kepada KPA provinsi, kabupaten dan kota (Bab I, pasal 3, h), *
16
NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Lampung, Jambi, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Papua Barat.
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Sekretariat KPA Nasional membentuk 4 tim pembina wilayah (Binwil), yang melakukan pembinaan, supervisi dan mentoring ke masing-masing wilayahnya. Setiap tim terdiri dari 3 orang yaitu pembina program, keuangan dan monev. Dengan memanfaatkan Dana Kemitraan Indonesia untuk AIDS (DKIA), GFATM dan APBN, sekretariat KPAN menyelenggarakan pelatihan-pelatihan untuk program dan manajemen secara sistematis, baik untuk staf KPA maupun mitra-mitra tingkat nasional, provinsi, kabupaten dan kota. Pelatihan-pelatihan dilaksanakan secara nasional, regional maupun sesuai topik/ issu tertentu. Sebagai contoh, untuk peluncuran program komprehensif, dengan dukungan dana dari APBN, GFATM dan DKIA, antara Juli 2009 sampai Mei 2011, telah dilatih 2.000 orang (1135 laki-laki, 804 perempuan dan 61 waria). Peningkatan kemampuan ini mencakup 22 topik manajemen dan program yang berbeda-beda tetapi saling terkait, sebanyak 64% dilaksanakan di tingkat provinsi atau kabupaten dan kota.25 Indikator program seperti jumlah orang yang mengikuti konseling dan testing sukarela (KTS), berkurangnya perilaku berisiko berbagi alat suntik di kalangan penasun, meningkatnya jumlah orang dari populasi kunci yang terjangkau informasi, layanan pencegahan dan pengobatan, jumlah pasien AIDS yang dilaporkan yang relatif stabil selama 3 tahun terakhir – semua menunjukkan tanda-tanda kemajuan dalam pencapaian program. Evaluasi dari audit pengelolaan dana selama 5 tahun, baik oleh lembaga nasional maupun internasional (BPK, BPKP, Price Waterhouse Cooper, DFID/ UK. AusAID, USAID maupun badan-badan UN), juga menunjukkan bahwa kapasitas fungsi manajemen makin efektif. Pelatihan dan peningkatan kapasitas pada tingkat yang lebih tinggi telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, terkait dengan pengembangan kebijakan, perencanaan, dan rancang program. Hasilnya adalah nahwa teknologi dan ketrampilan untuk analisa, pemodelan, proyeksi dan pemetaan program maupun riset operasional terkait HIV dan AIDS hampir semuanya sudah ada di Indonesia (baik dalam lingkungan pemerintahan, lembaga non pemerintah/masyarakat maupun perguruan tinggi), sehingga tidak perlu selalu tergantung pada konsultan asing seperti di masa yang lampau. 19. Kemitraan – dalam dan luar negeri : Kemitraan merupakan salah satu kunci penting dalam upaya penanggulangan AIDS di Indonesia. Sejak Perpres 75/2006, untuk pengembangan program, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dialog dan kerjasama dengan berbagai pihak: orang-orang/kelompok penduduk yang terdampak (populasi kunci), orang terinfeksi HIV, masyarakat sipil termasuk organisasi berbasis agama, sektor dan lembaga pemerintah, sektor swasta, media, mitra pembangunan internasional (“international development partners” – bi-lateral dan multi-lateral), merupakan cara kerja yang sangat penting untuk mengatasi tantangan dalam penanggulangan AIDS di 17
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Indonesia. Masing-masing mitra dan kelompoknya telah memberi kontribusinya berupa pengalaman, sumberdaya, kebutuhan maupun potensi masing-masing. Mengacu kepada Perpres 75/2006, tantangan bagi KPAN dan sekretariatnya, adalah bagaimana menggalang kemitraan, agar masing-masing tidak jalan sendiri-sendiri, tetapi bekerja sama menuju tercapainya tujuan Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2007-2010, dan kemudian tahun 2010-2014. Selama 5 tahun sejak Perpres 75/2006, ketrampilan, saling percaya dan mekanisme kerjasama makin lama makin meningkat sehingga kontribusi masing-masing mitra makin memperkuat upaya penanggulangan AIDS di Indonesia. 20. Memandang ke depan - tantangan untuk menjamin keberlanjutan upaya penanggulangan AIDS nasional yang efektif: Kemajuan yang telah dicapai selama 5 tahun yang lalu, perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan dalam 5 tahun ke depan, untuk mencapai MDG goal 6 bahkan lebih dari itu, terkendalinya epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Upaya-upaya ke depan tersebut telah tertuang dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014 lengkap dengan indikator, pembagian tugas, pentahapan dan pembiayaan yang dibutuhkan. Dalam rangka merangkum kajian pengalaman Indonesia menanggulangi HIV dan AIDS sejak terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 75/2006, maka berikut ini akan dibahas mengenai tantangan di masa yang akan datang serta rekomendasi tindakannya. Berdasarkan data pemantauan perkembangan epidemi, dampak pencapaian penang gulangan hingga saat ini, serta menggunakan pemodelan terhadap kemungkinan dampak keberhasilan pelaksanaan penanggulangan jika pelaksanaannya hingga akhir tahun 2014 sesuai dengan Strategi dan Rencana Aksi Nasional (2010-2014), maka ada dua hal yang perlu diperhatikan: Pertama, tampak adanya perlambatan dari perjalanan epidemi yang sejak sebelumnya masih meningkat. Hal ini disebabkan oleh upaya terpadu dari seluruh mitra dalam penanggulangan nasional. Dengan menggunakan Asian Epidemic Model untuk mendukung analisis dan pemahaman terhadap epidemi di masa yang akan datang, dapat dilihat bahwa: 1) Tanpa tindakan yang terorganisasi, infeksi akan mengikuti perjalanan epidemi, dimana terdapat 648.322 orang terinfeksi HIV pada tahun 2015.
18
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
2) Dengan perluasan (scale-up) serta bekerja sama erat dengan seluruh mitra pada 5 tahun terakhir, sektor pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, mitra pemba ngunan internasional – peningkatan epidemi telah menunjukkan perlambatan. Begitu pula, dasar-dasar penanggulangan telah cukup mantap, khususnya dalam penjangkauan dan efektivitas program dimana indikasi bahwa keduanya terus meningkat. Jika hal ini terus dilakukan dengan kecepatan 2006-2010, maka kecepatan penambahan infeksi sebagaimana yang terjadi di masa lalu akan diperlambat dibandingkan dengan kecepatan penambahan infeksi pada skenario tanpa tindakan. Namun demikian, tetap ada sejumlah 350.550 diproyeksikan orang terinfeksi HIV pada tahun 2015. 3) Di sisi yang lain, jika seluruh pendanaan dan tenaga, kebijakan dan program, pelatihan dan tindakan dikerahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014, maka tahun 2015 dapat menjadi tahun ketika arah perjalanan epidemi HIV di Indonesia mulai berubah, dan, walaupun infeksi baru akan tetap terjadi, namun akan mulai menurun. (lihat Grafik 13) Hal ini, tentu saja, tidak berarti bahwa HIV dan AIDS akan hilang dari Indonesia atau bahwa kerja penanggulangan AIDS nasional akan berakhir. Hanya saja, keseimbangan antara tindakan dan perhatian akan membutuhkan pemantauan yang terus menerus serta penyesuaian dalam perencanaan program, dan pemberian layanan kepada masyarakat. Sebagaimana dapat dilihat dalam pemodelan tentang penularan HIV ke depan, program yang berkelanjutan tetap dibutuhkan pada pengguna napza suntik. Namun demikian, yang terpenting adalah peningkatan upaya pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) paripurna, karena penularan melalu hubungan seksual tetap penting di tahun-tahun mendatang. Penularan HIV melalui seks terus terjadi pada laki-laik yang seks dengan laki-laki (di masyarakat maupun di lembaga pemasyarakatan), pasangan masing masing termasuk penularan dari penasun kepada pasangan seks-nya. (lihat Grafik 14) Walaupun penambahan infeksi diperkirakan akan mengalami perlambatan, tetapi jumlah orang (perempuan, laki-laki dan anak-anak) yang hidup dengan HIV akan tetap membutuhkan informasi, pengobatan, layanan dan jaringan dukungan. Begitu pula, upaya pencegahan dari yang negatif agar tetap berstatus negatif dalam HIV tetap menjadi program yang utama. Untuk mencapai tujuan ini – perubahan arah epidemi – dalam rencana periode ke depan akan membutuhkan kerja bersama, cakupan yang terus diperluas, efektivitas program yang berkesinambungan dan terus menerus diperbaiki, serta berkelanjutan. 19
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Untuk tujuan ini, maka usulan rekomendasi adalah sebagai berikut: • Kebijakan, sumber daya dan struktur kelembagaan untuk menjamin upaya penanggulangan yang efektif dan berkelanjutan: Dalam Perpres 75/2006 (Ps 15) dan Permendagri 20/2007 (Ps 13) tercantum bahwa “semua biaya untuk pelaksanaan tugas KPAN dibebankan kepada APBN” dan “semua biaya untuk pelaksanaan tugas KPA provinsi dan KPA kabupaten/kota dibebankan kepada APBD”. Untuk periode 2010-2014, secara nasional, perencanaan dan penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS terintegrasi dalam Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 maupun Inpres 3/2010. Hal ini mungkin dapat menjamin tersedianya APBN sampai tahun 2014. Namun demikian, jumlahnya sangat tidak mencukupi kebutuhan untuk membiayai upaya penanggulangan AIDS secara nasional, sehingga bila dukungan dana dari luar negeri (GFATM, AusAID, USAID dll) berhenti atau berkurang, maka upaya penanggulangan yang komprehensif dan efektif seperti sekarang akan terancam. Disamping itu, walaupun jumlah dana dalam negeri terutama APBD mulai meningkat, dan di beberapa daerah perencanaan dan penganggaran penanggulangan AIDS sudah terintegrasi dalam RPJMD, dan ada 24 KPA Provinsi yang telah memiliki setidaknya 1 kabupaten/kota yang mandiri - yaitu dana dibiayai APBD. Namun demikian, hal ini belum menjamin keberlanjutan program. Pada saat ini baru 16 Provinsi dan 34 kabupaten/kota yang telah memiliki perda penanggulangan HIV dan AIDS. Dengan demikian anggaran untuk penanggulangan AIDS di daerah sangat tergantung pada komitmen (pribadi) gubernur, bupati, walikota, maupun anggota DPRD (lihat Lampiran 8). Ini berarti kesinambungan dan keberlanjutan upaya penanggulangan AIDS di Indonesia sama sekali tidak terjamin. Karena itu, upaya mobilisasi sumber daya dan penguatan kelembagaan yang dibutuhkan harus terus menerus ditingkatkan selama 5 tahun ke depan.
Disamping itu, secepatnya dalam waktu dekat perlu ada pemikiran secara serius dan keputusan pemerintah, apakah upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS akan tetap dilaksanakan oleh lembaga pemerintah non-struktural seperti KPA (dengan jaminan sumber daya yang memadai secara berkelanjutan), ataukah akan diintegrasikan kedalam Kementerian Kesehatan atau Kementerian/Lembaga yang lain? Keputusan tersebut tidak dapat ditunda sampai tahun 2015.
• Pencegahan : Upaya pencegahan tetap akan ditingkatkan lima tahun ke-depan baik jangkauan, mutu/ efektivitas maupun keberlanjutannya. Sebagaimana dijelaskan di depan, upaya pencegahan di kalangan penasun cukup berhasil, namun masalah penggunaan napza tetap perlu mendapat perhatian antara lain: jangkauan dan mutu/ efektifitas semua komponen harm reduction, terutama LASS, PTRM, pengobatan adiksi serta rehabilitasi medis dan sosial maupun pengobatan adiksi berbasis masyarakat (PABM). Pencegahan dan pengobatan penyalah gunaan 20
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
ATS (amphetamine type stimulants) juga masih perlu ditingkatkan, bekerja sama dengan berbagai pihak: BNN, Kepolisian, Kemkes, Kemsos, dll.
Pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual (PMTS) dengan intervensi struktural, harus makin ditingkatkan jangkauan maupun mutunya dengan dikembangkannya PMTS Paripurna – yaitu: PMTS di lokasi-lokasi “hotspots” dimana terdapat “pekerja/penjaja seks yang melayani laki-laki pembeli seks (pelabuhan-pelabuhan, terminal-terminal, “lokalisasi”/ lokasi dll) terintegrasi dengan PMTS yang terfokus pada Laki-laki Berisiko Tinggi (LBT) melalui tempat kerja dan tempatnya rekreasi yaitu antara lain: buruh migran, para pelaut dan anak buah kapal, anggota POLRI/ TNI dengan penugasan jauh dari keluarga dalam waktu yang lama, laki-laki yang seks dengan sesama laki-laki (LSL) – singkatnya pencegahan penularan HIV melalui setiap seks berisiko, baik antara suami isteri maupun bukan, hetero, homo maupun bi-seksual. LBT juga dapat kita temui pada pekerja tambang, pekerja perkebunan maupun pekerja industri bangunan yang juga bekerja jauh dari keluarganya.
Pencegahan penularan HIV dari orang tua (melalui ibu) ke bayinya juga perlu makin ditingkatkan, dengan mengintegrasikan PMTCT ke dalam layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), agar sebanyak mungkin dicegah kelahiran bayi-bayi yang terinfeksi HIV.
Pencegahan penularan HIV pada kelompok-kelompok tertentu yang membu tuhkan pendekatan khusus, antara lain: warga binaan Lembaga Pemasyarakatan, remaja dan generasi muda berperilaku berisiko (“High Risk Youth”), masyarakat umum di provinsi Papua dan Papua Barat yang sudah termasuk “low level generalized epidemic”.
• Penguatan sistem kesehatan untuk Dukungan, Perawatan dan Pengobatan ODHA: Selama 5 tahun yang lalu Kemkes dan jajarannya sampai ke tingkat kabupa ten/kota secara bertahap telah meningkatkan jumlah dan mutu layanan Konseling dan Testing Sukarela (KTS=VCT), PICT (Provider initiated Counseling and Testing), serta kemampuan diagnosa dan pengobatan, dukungan dan perawatan medis bagi orang yang terinfeksi HIV, dilengkapi dengan berbagai peraturan, panduan, juklak dan juknis. Selama 5 tahun ke depan, penguatan sistem kesehatan secara komprehensif harus makin ditingkatkan agar mutu layanan bagi orang terinfeksi HIV termasuk pengobatan ARV dan penyakit-penyakit penyertanya. Disamping itu, upaya promosi kesehatan, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi terkait penggunaan napza dan infeksi HIV harus dapat dilaksanakan secara komprehensif dalam suatu sistem kesehatan yang bebas stigma dan diskriminasi, profesional dan bersahabat terhadap populasi kunci yang terdampak.
21
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Penguatan sistem kesehatan publik perlu dilengkapi pula dengan dukungan ODHA berbasis masyarakat yang makin meningkat jumlah dan mutunya dalam 5 tahun ke depan: baik dukungan oleh keluarga, kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS), organisasi orang yang terinfeksi HIV maupun masyarakat pada umumnya.
• Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat sipil (civil society): Meningkat sejak Perpres 75/2006 secara sangat bermakna, yaitu pada: 1) LSM/organisasi kemasyarakatan dalam bidang AIDS ada yang jadi anggota KPAN dan KPA di daerah (walaupun tidak semua provinsi/kabupaten/kota), 2) aktivis AIDS banyak yang menjadi anggota pokja KPA ataupun staf sekretariat KPAN/provinsi/kabupaten/kota; 3) antara tahun 2006-2009 terbentuk 5 jaringan nasional populasi kunci: IPPI, GWLIna, Jothi, PKNI dan OPSI – yang masing-masing mendapat dukungan dana operasional maupun kegiatan/ program dari Sekretariat KPA Nasional sampai sekarang; 4) selama 5 tahun Perpres – LSM AIDS/ jaringan populasi kunci termasuk ODHA selalu terlibat dalam setiap kegiatan KPA N seperti pemetaan, perencanaan, mobilisasi sumber daya, monev dll; 5) LSM/organisasi kemasyarakatan duduk dalam berbagai Badan Pengawas, Badan Penasehat lembaga-lembaga tertentu misalnya Country Coordinating Mechanism (CCM) GFATM, DKIA/IPF, dll. 6) dalam struktur pengelolaan dana dukungan GFATM LSM/organisasi kema syarakatan berperan sebagai PR, SR, SSR maupun mitra pelaksana. 7) dalam kurun waktu yang 2005 - 2011 dukungan dana ke LSM/organisasi kemasyarakatan yang diketahui/ dilaporkan ke Sekretariat KPAN berasal dari 8 sumber*, berjumlah total Rp, 251.678.843.635 (US$ 29,726,923). Secara singkat: peran masyarakat sipil (civil society) selama 5 tahun ini secara jelas merupakan mitra pemerintah dalam penanggulangan AIDS yang komprehensif, mulai dari tingkat lokal sampai nasional.
Ke depan, yang perlu dilakukan adalah yang disebut penguatan sistem masyarakat (“Community Systems Strengthening”) terkait penanggulangan HIV dan AIDS baik secara nasional maupun di daerah bersamaan dan selaras dengan penguatan *
22
APBN, AusAID, Global Fund, ICAAP, IPF, UNESCO, UNODC, dan USAID
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
sistem kesehatan (“Health System Strengthening”) untuk mencapai tujuan bersama mengacu kepada Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia. 21. Penutup: Ini merupakan Rangkuman Eksekutif dari laporan lengkap “Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006 - 2011: Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75 tahun 2006” yang disusun dengan melibatkan sektor pemerintah, masyarakat sipil, orang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS dan akademisi. Tim penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak, baik perorangan maupun lembaga yang terlibat dalam penyusunan Laporan 5 tahun Peraturan Presiden RI No. 75 tahun 2006 ini. Tim penyusun berupaya semaksimal mungkin mempersiapkan laporan ini, namun, pasti masih ada kekurangan. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan masukan dan perbaikan. Sebagai penutup, tim pengembangan laporan ini berharap bahwa kemajuanan dan tantangan di masa yang akan datang yang kita catat dapat memberi sumbangan untuk upaya nasional menekan laju epidemi dan mengendalikannya, serta memastikan yang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS mendapat dukungan dan kebebasan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi – tingginya serta mampu menjalani hidup secara penuh.
23
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
24
01
Latar Belakang Peraturan Presiden No. 75/2006 dan Laporan Ini
25
BAB 01 - Latar Belakang Peraturan Presiden No. 75/2006 dan Laporan Ini
Kasus AIDS di Indonesia yang didiagnosa pertama kali, adalah seorang turis asing di Bali, pada tahun 1987. Infeksi HIV dan kasus AIDS pada orang Indonesia ditemukan tak lama kemudian setelah itu. Pada saat itu, upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih sangat terbatas dan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja. Tahun-tahun berikutnya, khususnya pada awal tahun 1990-an, pemahaman mengenai penyebab penularan HIV serta dampak AIDS di dunia menjadi lebih baik, sehingga mereka yang peduli terhadap penyebaran penyakit ini menyadari bahwa untuk dapat memberi dampak yang bermakna pada pengendalian infeksi serta dukungan kepada mereka yang sudah terinfeksi, akan dibutuhkan upaya yang lebih luas dari pada hanya sekedar melalui pendekatan teknis kesehatan semata. Perhatian yang lebih tinggi juga harus diberikan pada kebijakan publik, nilai-nilai yang ada pada masyarakat, dukungan sosial, maupun sistem kemasyarakatan. Perkembangan epidemi HIV di Indonesia walaupun pada awalnya tampak pelan, tetapi sudah menjadi perhatian besar bagi dokter praktek yang merawat dan mengobati pasien AIDS. Begitu pula para penggiat bidang kesehatan masyarakat yang khawatir akan upaya penanggulangan AIDS di Indonesia yang masih terfokus hanya pada aspek kesehatan. “Fenomena gunung es” melekat dengan penyakit ini, dan dipercaya bahwa sesungguhnya epidemi HIV telah menyebar lebih luas dan lebih cepat dari pada angka yang dilaporkan. Kekhawatiran ini beralasan dimana fasilitas tes di Indonesia masih sangat sedikit, masih banyaknya stigma terhadap orang yang tertular maupun penyalah guna obat terlarang dan “perilaku seks menyimpang”, serta pemahaman yang terbatas mengenai HIV dan AIDS di dunia kesehatan. Begitu juga, pada saat itu, terdapat persaingan dengan masalah pembangunan lain yang lebih mudah dipahami. Indonesia mengambil langkah penting pada tahun 1994 untuk melakukan upaya penanggulangan AIDS yang lebih baik. Menindaklanjuti kunjungan studi banding di Thailand mengenai penanggulangan HIV dan AIDS pada tahun 1993, terjadi proses yang berkesinambungan, diskusi, advokasi, pengembangan draf serta perbaikan-perbaikan naskah hukum, yang titik puncaknya diraih pada bulan Mei 1994, yaitu ditetapkannya untuk pertama kalinya Komisi Penanggulangan AIDS Nasional26 dan pada bulan Juni disusul dengan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS yang pertama.27 Pada akhir tahun 1999 awal tahun 2000, tampak jelas bahwa infeksi HIV sudah ditemukan di berbagai tempat di Indonesia – walau tampak masih relatif sedikit tetapi bertambah dengan sangat cepat pada komunitas orang yang menggunakan napza suntik. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta melaporkan 18% pengguna napza suntik (penasun) yang HIV positif pada tahun 1999. Pada tahun 2001 angka tersebut melonjak menjadi 48%.28 Jumlah keseluruhan penasun memang relatif kecil. Namun demikian mereka adalah populasi yang penting dalam epidemi HIV di Indonesia. Pertama, karena 26
BAB 01 - Latar Belakang Peraturan Presiden No. 75/2006 dan Laporan Ini
mereka berusia muda, yaitu remaja dan usia dua puluh tahunan – penduduk Indonesia diharapkan mempunyai masa depan yang sehat dan produktif dan bukannya malah menghadapi perjuangan hebat untuk masalah kecanduan, penyakit dan kematian dini. Kedua, karena berdasarkan penelitian, ada keterkaitan antara penggunaan narkoba suntik dengan perilaku seks berisiko yang menyebabkan penyebaran HIV yang lebih luas. Terbukti, infeksi baru terus ditemukan pada pasangan penasun, suami atau istri yang bukan penasun. Komponen penting dalam setiap upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif adalah, sistem layanan konseling dan testing sukarela (KTS) yang bermutu dan terpercaya – untuk membantu seseorang mengambil keputusan apakah perlu tes, mempersiapkan pelaksanaan tes, memberinya hasil setelah tes, dan mendiskusikan makna hasil tes untuk kesehatan dan perilakunya di masa yang akan datang. Dalam rangka mengembangkan kapasitas untuk KTS, Indonesia (Kemkes) mengembangkan usulan (proposal) serta kemudian menerima dukungan dana dari Global Fund to Fight AIDS, TB, and Malaria29 (GF) untuk mengembangkan program pelatihan bagi penyedia layanan pengobatan serta memberikan pengobatan termasuk antiretroviral (ARV) secara gratis kepada orang yang memenuhi kriteria. Dana ini mendukung diluncurkannya program perluasan KTS serta pengobatan dengan antiretroviral (ARV) gratis di Indonesia. Tahun 2004 adalah saat yang penting dimana epidemi makin dipahami, begitu pula diketahui cara-cara penanggulangan yang lebih efektif dan terarah. Pada saat ini dicanangkan inisiatif baru untuk menggerakkan kepedulian dan tanggung jawab pemerintah dari 6 provinsi yang mengalami dampak terbesar dari epidemi ini. Inisiatif ini melibatkan pula beberapa kementerian kunci terkait serta Ketua Komisi VII DPR RI.* Komitmen Sentani, yang ditandatangani pada tanggal 19 Januari 2004, mencanangkan penggunaan kondom pada semua seks berisiko, pengurangan dampak buruk yang komprehensif pada penggunaan napza suntik, meningkatkan jangkauan pengobatan ARV, pengurangan stigma dan diskriminasi, membentuk dan merevitalisasi Komisi Penanggulangan AIDS di Provinsi dan Kabupaten/Kota, mempromosikan kebijakan dan peraturan yang mendukung serta meningkatkan anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS di daerah masing-masing (lihat Lampiran 1 : Teks Komitmen Sentani ) Sementara itu laporan kasus HIV dan AIDS yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2004, sepuluh tahun setelah KPA Nasional dan Strategi Penanggulangan AIDS Nasional ditetapkan, menunjukkan dengan jelas perkembangan yang mengkhawatirkan *
Para Gubernur dan Menteri, atau yang mewakili, penandatangan Komitmen Sentani adalah; Provinsi: Papua, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau, and Kepulauan Riau; Kementerian/Lembaga: Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional.
27
BAB 01 - Latar Belakang Peraturan Presiden No. 75/2006 dan Laporan Ini
yaitu peningkatan yang sangat cepat dari jumlah infeksi baru, terutama di kalangan penasun. Hal ini membutuhkan tindakan segera yaitu kajian lebih mendalam tentang efektivitas upaya penanggulangan yang sedang berjalan dan segera mencari upaya pencegahan yang paling efektif. Infeksi total yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2003 dan 2004 meningkat hampir 4 kali lipat, dan penggunaan napza suntik tercatat sebagai cara penularan yang paling banyak, yaitu 68,95% dari kasus AIDS.30 Tabel 1: Jumlah HIV dan AIDS kumulatif yang dilaporkan pada akhir tahun 2003 dan 2004 HIV
AIDS
Total
2003
168
316
484
2004
649
1,195
1,844
Sumber: Kementerian Kesehatan, Laporan Situasi Epidemi HIV dan AIDS, akhir tahun 2003 dan 2004.
Evaluasi pengalaman pelaksanaan Komitmen Sentani selama 1 tahun menunjukkan bahwa pendekatan baru Komitmen Sentani yaitu lebih proaktif, fokus lebih luas, menggerakkan keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah (nasional dan daerah) yang multi sektoral, kerjasama yang saling mengisi dengan masyarakat sipil, cukup berhasil – dan perlu dipertimbangkan untuk dilaksanakan di provinsi-provinsi lain juga.31 Pada bulan Desember 2005, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang baru ditunjuk, Ir Aburizal Bakrie meminta untuk diberikan penjelasan mengenai epidemi HIV dan upaya penanggulangan AIDS yang telah dilakukan Indonesia selama ini, dari Sekretariat KPA Nasional dan Wakil Ketua Pokja Komitmen Sentani yaitu Dr. Nafsiah Mboi, penanggung jawab pelaksanaan Komitmen Sentani sejak tahun 2004. Berdasarkan informasi tersebut, serta didukung data epidemi yang ada, Menko Kesra berkesimpulan bahwa perlu langkah-langkah penting untuk melaksanakan upaya penanggulangan AIDS yang lebih luas, cepat, sistematis dan profesional. Penyebaran dan peningkatan infeksi baru yang begitu cepat, mengancam jiwa manusia, khususnya generasi muda, sehingga mengancam terganggunya pembangunan nasional Indonesia.32 Beliau segera mengambil berbagai langkah penting – yang puncaknya adalah dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 75/2006 mengenai Komisi Penanggulangan AIDS Nasional pada tanggal 13 Juli 2006.
28
BAB 01 - Latar Belakang Peraturan Presiden No. 75/2006 dan Laporan Ini
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang baru ditetapkan ini diberi mandat penuh untuk melaksanakan “penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi” (Ps 1). Hal ini menggambarkan kesepakatan di tingkat tertinggi pemerintah, bahwa sebuah perubahan besar diperlukan untuk dapat mengendalikan penyebaran HIV, dan agar mereka yang telah tertular dapat turut memegang peran penting dalam penanggulangan serta mendapatkan pelayanan yang baik.
Penyebaran informasi di berbagai acara yang melibatkan penduduk muda seperti dalam acara Peringatan Hari AIDS Sedunia.
Kegiatan-kegiatan penanggulangan AIDS yang sudah berlangsung sekitar 19 tahun sejak kasus pertama AIDS ditemukan – yang memang belum terkoordinasikan dengan baik – adalah hasil kerja dari berbagai komponen masyarakat sipil, khususnya penggiat yang bekerja di tingkat lokal, banyak yang merupakan pemerhati kesehatan maupun praktisi pemberi layanan kesehatan baik dari pemerintah maupun non pemerintah, dan didukung hampir seluruhnya oleh dana internasional. Bagaimanapun juga, jelas bahwa, pendekatan yang lebih urgen, komprehensif dan sistematik sangat dibutuhkan. Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2006 telah menguatkan posisi dan tanggung jawab Komisi Penanggulangan AIDS. Keanggotaannya diperluas, dan membuka kesempatan kepada kaum profesional untuk menjadi staf penuh waktu dalam Komisi ini. Secara khusus, pasal 2 menyebutkan bahwa KPA Nasional bekerja “di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”. Komisi yang baru menyertakan kementerian dan lembaga terkait lainnya yang sebelumnya tidak termasuk dalam KPA Nasional, seperti TNI, POLRI, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan perwakilan masyarakat sipil, organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), serta Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA), dan sektor swasta, (lihat Lampiran 5 : Keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional). Keinginan Presiden untuk menjadikan sekretariat KPA Nasional lebih profesional tercantum secara jelas dalam Perpres No. 75/ 2006. Berbeda dengan peraturan yang 29
BAB 01 - Latar Belakang Peraturan Presiden No. 75/2006 dan Laporan Ini
pernah ada sebelumnya, seorang anggota KPA Nasional, Dr. Nafsiah Mboi, seorang dokter senior, mantan Direktur di WHO Pusat di Geneva, ditunjuk sebagai Sekretaris penuh waktu yang pertama. Beliau juga ditunjuk untuk memimpin Tim Pelaksana KPA Nasional dan kemudian ditugaskan oleh Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA Nasional untuk melakukan restrukturisasi dan selanjutnya memimpin Sekretariat KPA Nasional untuk lima tahun ke depan (Permenkokesra no 5/2007). Sudah lima tahun sejak Komisi Penanggulangan AIDS Nasional diberi tugas ini. Laporan ini disusun untuk memberi gambaran tentang situasi epidemi dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS selama masa lima tahun ini. Berdasarkan informasi ini, akan dikembangkan proyeksi ke depan dan rekomendasi. Dalam mengkaji situasi selama 5 tahun ini, tampak ada banyak kemajuan, ada pula yang masih membutuhkan peningkatan, dan untuk beberapa hal masih dihadapi berbagai tantangan yang serius untuk dapat dilakukan perbaikan. Laporan ini diharapkan dapat memberi landasan yang kuat untuk melakukan analisa, advokasi, serta menetapkan strategi serta langkahlangkah lanjut yang efektif untuk lima tahun mendatang. Setelah pendahuluan ini (Bab 01), akan ada tiga bagian pembahasan yaitu: Bab 02. Epidemi dan upaya penanggulangannya: perubahan-perubahan tahun 2006 dan 2011 Bab 03. Mengelola Perubahan: membangun sistem dan upaya memfungsikannya Bab 04. Melihat ke depan: tantangan dan rekomendasi. Selama 5 tahun ini, ada tiga hal utama yang menjadi pertimbangan dan dijadikan tolok ukur dalam melakukan analisis, perencanaan, pemantauan maupun evaluasi dari upaya penanggulangan AIDS di Indonesia: • Cakupan (coverage): Secara epidemiologis, untuk mampu mengendalikan epidemi HIV dan AIDS harus paling sedikit 80% dari populasi kunci, terjangkau oleh informasi, alat dan layanan pencegahan maupun pengobatan. Dibandingkan dengan perkiraan nasional jumlah populasi yang paling berisiko tahun 2006, cakupan pada tahun tersebut secara umum masih sangat rendah: yaitu 7% penasun, 24% wanita pekerja seks langsung, 16% wanita pekerja seks tidak langsung, 43% waria, hanya 2% laki-laki yang seks dengan laki-laki, 5% warga binaan pemasyarakatan, dan 8% laki-laki berisiko tinggi. Untuk menjangkau 80% populasi paling berisiko di Indonesia, dibutuhkan perluasan dan peningkatan program yang cepat (“scalingup”). Hal ini tidaklah mudah melihat luasnya wilayah, kondisi topografi Indonesia, maupun keterbatasan dana dan daya yang tersedia untuk mampu membantu mengendalikan epidemi HIV, saat ini.
30
BAB 01 - Latar Belakang Peraturan Presiden No. 75/2006 dan Laporan Ini
• Efektifitas: Hasil survei menunjukkan bahwa program pencegahan dan pengobatan belum dapat dikatakan efektif pada tahun 2006. Penggunaan kondom masih rendah (sekitar 10%), begitu pula perilaku berbagi alat suntik di antara penasun, masih sangat umum. Akses ke pengobatan masih sangat terbatas, orang yang AIDS sebagian besar datang ketika kondisi sudah parah, kepatuhan minum obat juga rendah, sehingga angka kematian karena penyakit-penyakit terkait AIDS tinggi. Agar masalah ini dapat diatasi, diperlukan langkah-langkah yang inovatif dan kreatif, untuk meningkatkan efektivitas program, belajar dari keberhasilan maupun kegagalan orang lain, baik di Indonesia, ataupun tempat lain, disertai sistem monitoring dan evaluasi yang baik. • Keberlangsungan/keberlanjutan (“sustainability”): Berdasarkan hasil observasi terhadap kinerja program yang dilaksanakan pada tahun 2006, ditemukan bahwa kegiatan yang dijalankan oleh LSM waktu itu, jarang sekali dapat berkelanjutan karena masih besarnya ketergantungan pada pendanaan dari luar negeri. Jika pendanaan berhenti, pada umumnya, program juga berhenti, walaupun kebutuhan akan layanan tetap ada.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah keberlangsungan, semakin terlihat jelas ketika berbagai upaya penanggulangan AIDS mengalami krisis di saat dukungan dana Global Fund dihentikan sementara selama 9 bulan pada tahun 2007. Penghentian ini dikaitkan dengan salah kelola dana. Pada periode penghentian dana tersebut, terjadi stock out di banyak tempat, ARV tidak tersedia di tempattempat yang sebelumnya sudah bisa secara rutin memberikan layanan ini.
Belajar dari pengalaman dalam hal pendanaan sampai dengan pertengahan tahun 2007 ini, Indonesia berketetapan untuk berusaha mendanai sendiri upaya penanggulangan HIV dan AIDS setidaknya sebanyak 70% pada tahun 2015. Namun demikian, keberlangsungan tidak hanya terkait dengan keberadaan program dan situasi pendanaan. Keberlangsungan juga mencakup meningkatnya pengetahuan serta kemampuan pada setiap orang yang harus mampu secara nyata melakukan upaya pencegahan infeksi HIV dimulai dari diri sendiri, tanpa menunggu bantuan orang lain. Keberlangsungan program akan dengan sendirinya tercapai ketika setiap orang sudah berdaya dan mampu mengandalkan dirinya sendiri untuk mencapai dan mempertahankan taraf kesehatan yang baik.
Cakupan, efektivitas, dan keberlangsungan adalah isu penting yang harus secara terus menerus menjadi rujukan penilaian kinerja program. Ketiganya tidak dapat dipisahkan, menjadi satu kesatuan yang memberi dasar pada upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang multi aspek – multi sektoral, berwawasan pembangunan, serta bersifat fleksibel.
31
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Bersamaan dengan tiga rujukan tersebut, spirit penanggulangan AIDS nasional, pelaksanaanya serta penilaiannya sejalan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia sebagai landasan upaya penanggulangan yang tidak membeda-bedakan, etis, dan berperi-kemanusiaan untuk mencapai: • penghapusan stigma, diskriminasi serta membatasi ketidak-adilan dan ketidaksetaraan gender, • lingkungan, sistem dan upaya yang mendukung para pelaku kegiatan serta kerjakerja penting dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Yang disajikan dalam laporan ini mencakup kerja-kerja dari penggiat AIDS sejak beberapa tahun sebelum diluncurkannya Peraturan Presiden no. 75/2006, serta menggambarkan upaya dari banyak orang dan institusi di seluruh negeri. Seluruh mitra penanggulangan sekarang bekerja dalam satu kerangka kerja yaitu Strategi dan Rencana Aksi Nasional periode 2010-2014 milik Indonesia yang paripurna, yaitu strategi yang kedua setelah Peraturan Presiden.33 Para pelaku utamanya, termasuk mereka yang berasal dari masyarakat sipil (jaringan populasi kunci dan ODHA, juga kelompok-kelompok yang memberikan pelayanan maupun advokasi di bidang AIDS, penggiat berbasis keagamaan dll), kementerian/lembaga pemerintah, serta Komisi Penanggulangan AIDS di semua tingkatan, lembaga pendidikan tinggi, tim rumah sakit, layanan kesehatan masyarakat, yang terkait satu dengan lainnya – dari Sabang sampai ke Merauke – dan yang terus berkembang, yaitu sektor swasta. Hasil kerja yang dilaporkan di sini juga menggambarkan dukungan teknis maupun keuangan dari mitra pembangunan internasional termasuk mitra-mitra bilateral,34 berbagai kelompok multi-lateral termasuk badan-badan PBB, Global Fund, dan LSM internasional. Banyak dari para pelaku ini memberikan sumbangan di bidang HIV dan AIDS di Indonesia sebelum Peraturan Presiden No.75/2006, tetapi keseluruhannya masuk dalam ruang lingkup dan terintegrasi dalam hasil kerja umum. Efektivitas kerjakerja tersebut telah tumbuh sebagai upaya nasional, berproses menjadi matang, dan terus menjadi semakin paripurna serta semakin jelas bentuk sumbangannya. Kondisi upaya penanggulangan epidemi HIV dan AIDS kini telah jauh lebih luas di seluruh Indonesia, multi-aspek, multi-sektor dan tidak ada satupun perorangan atau institusi yang dapat memberi gambaran sepenuhnya atas apa yang telah dicapai maupun dalam posisi mampu untuk menilai baik-buruknya pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS. Namun demikian, Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, dalam hal ini, mengusung tanggung jawab kebijakan, pengelolaan, koordinasi, pemantauan serta pelaporan upaya penanggulangan HIV dan AIDS memiliki gambaran yang relatif lebih lengkap. Apa yang dilaporkan merupakan hal-hal yang penting dari seluruh upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
32
02
Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
33
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Tantangan penanggulangan HIV dan AIDS di tahun-tahun mendatang tidak dapat dianggap ringan. Namun demikian, optimisme tetap ada, dengan berbagai bukti seperti semakin baiknya sistem dan komitmen, maupun kapasitas untuk mengendalikan epidemi ini. Hal ini dapat terlaksana jika fokus, kerjasama, dan momentum dari lima tahun terakhir bisa dipertahankan dan pada waktu yang bersamaan upaya pencegahan dan pengobatan serta pengembangan sistem secara strategis terus ditingkatkan. Gambaran situasi kondisi penanggulangan AIDS tahun 2006 dan 2011 menunjukkan kemajuan maupun tantangan yang dihadapi Indonesia di masa yang akan datang.
A. Infeksi HIV, AIDS, dan pengobatannya Antara tahun 2006 dan 2011 Kementerian Kesehatan RI telah mempublikasikan dua dokumen perkiraan (estimasi) jumlah orang dewasa Indonesia yang berisiko tertular HIV, pasangan seksualnya, dan jumlah orang yang terinfeksi HIV (ODHA). Kajian estimasi dalam kurun waktu 2006-2011, dilaksanakan sebanyak 2 kali, yaitu tahun 2006 dan 2009.* Kajian estimasi yang terbaru sedang berlangsung dan akan selesai tahun 2011. Hasil estimasi ini sangat penting sebagai rujukan dalam diskusi tentang status epidemi, perencanaan, serta monitoring dan evaluasi. Pada tahun 2006, diperkirakan ada 6.503.520 orang berisiko tertular HIV dengan 193.030 orang diperkirakan sudah terinfeksi HIV. Pada tahun 2009, perkiraan orang yang berisiko tertular HIV mencapai 6.396.187 orang, dengan 186.257 orang diperkirakan telah terinfeksi HIV. (lihat Lampiran 2: Jumlah estimasi populasi dewasa berisiko tertular HIV dan estimasi populasi orang dengan HIV dan AIDS Tahun 2006 dan 2009) Laporan-laporan Kemkes selama periode ini menunjukkan bahwa infeksi HIV kumulatif yang dilaporkan, dan jumlah kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan meningkat dengan sangat bermakna dari tahun 2006; jika dijumlahkan totalnya adalah pada 31 Juni 2006: 16.248 orang AIDS kumulatif, menjadi total 93.176 orang pada 31 Juni 2011, dengan perkataan lain, dalam 5 tahun dilaporkan 76.928 ODHA baru.
*
34
Total estimasi adalah penjumlahan dari seluruh provinsi, yang sudah termasuk di dalamnya: pengguna napza suntik dan pasangannya, wanita pekerja seks, pelanggan pekerja seks, pasangan intim pelanggan pekerja seks, waria dan pelanggannya, laki-laki yang seks dengan laki-laki; dan populasi warga binaan pemasyarakatan.
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Tabel 2: HIV dan AIDS baru dan kumulatif tahun 2006 - 2011 HIV
Baru
AIDS
Kumulatif
Baru
Kumulatif
2006
7.195
8.054
2.873
8.194
2007
6.048
14.102
2.947
11.141
2008
10.362
24.464
4.969
16.110
2009
9.793
34.257
3.863
19.973
2010
21.591
55.848
4.158
24.131
2011 (Juni)
10.845
66.693
2.352
26.483
Sumber: Kementerian Kesehatan. Laporan Situasi HIV dan AIDS, Juni 2011. Jumlah infeksi baru HIV diberikan oleh Kementerian Kesehatan pada tanggal 13 Juli 2011
Dari tabel di atas, tampak tanda-tanda yang menunjukkan tanda-tanda yang positif dalam pengendalian epidemi ini – sejak tahun 2010 tampaknya infeksi baru mulai stabil, baik yang masih dalam stadium HIV maupun yang ditemukan sudah pada stadium AIDS. Cepatnya peningkatan jumlah infeksi HIV yang dilaporkan, disebabkan antara lain, karena peningkatan ketersediaan dan penggunaan sarana konseling dan testing (KTS/VCT dan PICT), yang merupakan langkah penting dalam upaya penanggulangan HIV. Memilih untuk dites, adalah tindakan yang sangat mendukung upaya mengurangi infeksi baru dan meningkatkan mutu hidup orang dengan HIV. Karena itu, merupakan tanda yang baik, bila makin banyak orang terjangkau, khususnya populasi kunci yang paling terdampak, dan berhasil dimotivasi untuk mengikuti konseling dan tes. Hal ini juga menunjukkan bahwa stigma dan diskriminasi terkait dengan HIV dan AIDS mulai berkurang dibandingkan pada awal epidemi. Asumsi ini masih perlu diperkuat dengan bukti-bukti. Laporan dan data mengenai infeksi HIV masuk dalam sistem kesehatan, dan spesifik berdasarkan provinsi atau kabupaten/kota yang menyerahkannya, sehingga bisa dipelajari intensitas epidemi ini berdasarkan lokasi. Laporan pemetaan epidemi menunjukkan bahwa HIV dan AIDS tidak tersebar merata di seluruh Indonesia (lihat peta di bawah). Laporan kasus HIV dan AIDS telah dilaporkan oleh 300 kabupaten/kota dan 32 provinsi.*
*
Pada saat penulisan laporan ini, Indonesia terbagi dalam 33 provinsi dan berdasarkan informasi dari Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2011 ada 524 kabupaten/kota. Jumlah kabupaten/kota terus berubah pada tahuntahun terakhir. Contohnya, dalam Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS periode 2007-2010 jumlah kabupaten/kota adalah 440.
35
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Peta
Epidemi
HIV
di
Indonesia
Peta 1: Penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia berdasarkan estimasi jumlah ODHA tahun 2009
Perkiraan
Prevalensi
HIV
pada
penduduk:
Sumber:
Es7masi
Jumlah
ODHA:
Data Kemkes, Pemetaan KPA Nasional
1. Apakah infeksi baru cenderung stabil atau menurun? Walaupun laporan infeksi HIV baru naik dengan sangat cepat antara tahun 2009, 2010 dan juga awal tahun 2011, perlu dicatat bahwa pada saat yang bersamaan jumlah fasilitas konseling dan tes meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 156 di 27 provinsi pada tahun 200935 menjadi 388 lokasi KTS yang melaporkan kegiatannya, di 33 provinsi pada tahun 2011.36
Ini berarti, bahwa informasi dilaporkan juga dari daerah-daerah baru, suatu indikasi bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dalam 5 tahun telah meluas mencakup seluruh wilayah Indonesia (33 provinsi). Perlu dicatat pula, bahwa kasus AIDS baru yang dilaporkan relatif stabil selama tiga tahun terakhir, dan ini berarti lebih banyak orang didiagnosa dan bila perlu diobati lebih awal. Dengan mutu konseling yang makin baik, orang yang terinfeksi HIV dapat merubah gaya hidup yang berisiko menjadi tidak berisiko, dengan gaya hidup sehat, dia dapat memperlambat bahkan mencegah terjadinya tahap AIDS (berarti mengurangi biaya pengobatan), berarti juga meningkatkan mutu hidup ODHA yang bersangkutan dan Insya Allah mengurangi penularan kepada orang lain (“positive prevention”).
2. Perubahan cara penularan HIV: Dalam lima tahun sejak Peraturan Presiden no. 75/2006, menurut laporan kasus AIDS Kemkes RI, tampak ada perubahan dalam 36
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
cara penularan utama HIV. Terjadi penurunan dalam jumlah kasus AIDS yang berasal dari kalangan penasun. Dalam laporan AIDS baru bulan Juni 2006, lebih dari 50% proporsi penularan melalui alat suntik (54,4%) dan hanya 38,5% dilaporkan ditularkan melalui heteroseksual; pada bulan Juni 2011, situasinya sangat berbeda: dari kasus AIDS baru yang dilaporkan, 16,3% terjadi pada penasun, sementara 76% disebabkan hubungan heteroseksual.37 Penularan dari ibu HIV positif kepada bayinya (perinatal) meningkat lebih dari dua kali; dari 2,0% menjadi 4,7%, akibat langsung dari meningkatnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV (sebagian besar dari suaminya sendiri). Grafik 1: Persentase kasus AIDS baru Juni 2006 dan Juni 2011 menurut cara penularan 90 76.3
80
Juni 2006
% Kasus AIDS
70 60
Juni 2011
54.42
50
38.5
40 30 20
16.3
10
4.91 2.2
2.2 4.7
LSL
Perinatal
0 Penasun
Heteroseks
0.2 Transfusi
0.2 Tdk diketahui
Sumber: Kementerian Kesehatan. Laporan Situasi Epidemi HIV dan AIDS sampai dengan Juni 2006 dan Juni 2011
Dengan bukti makin meningkatnya penularan HIV melalui hubungan seksual, maka sekretariat KPAN melakukan penyesuaian dalam strategi maupun program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sejak tahun 2010, yaitu dengan cara meningkatkan cakupan dan menajamkan pendekatan-pendekatan baru, untuk menjangkau lebih banyak orang yang melakukan hubungan seks berisiko dengan intervensi yang lebih efektif, yang dikembangkan sebagai Pencegahan HIV melalui Transmisi Seksual (PMTS) paripurna. Secara khusus ada dua sasaran baru: • Laki-laki Berisiko Tinggi (LBT): Yang dimaksud adalah jutaan laki-laki muda, usia produktif, yang bekerja terpisah, kadang-kadang jauh dari keluarga/ 37
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
masyarakatnya, ada yang sering berpindah-pindah (mobilitas tinggi), memiliki uang (sering disebut mobile men with money), dan berada dalam lingkungan yang super-macho antara lain pekerja di bidang pertambangan, transportasi, pertanian/ perkebunan, kehutanan, perikanan, konstruksi/ pembangunan jalan, dan lain-lain (diperkirakan berjumlah 3.241.24438 - namun melihat situasi di lapangan, jelas perkiraan ini terlalu kecil). Mereka cenderung melakukan hubungan seksual risiko tinggi baik sebagai “rekreasi” maupun “kebutuhan alami”.
Diperkirakan ada jutaan laki-laki yang berisiko tertular dan menularkan HIV.
Bekerja sama dengan Kementerian/ Lembaga Pemerintah, Pimpinan Perusahaan, Pemerintah Daerah, KPA, Dinas Kesehatan, masyarakat sipil (civil society), jaringan populasi kunci dan masyarakat setempat, dilakukan upaya pencegahan secara intensif dengan berbagai cara, seperti pendidikan, termasuk pendidikan agama dan KIE terutama melalui tempat kerja (sedapat mungkin terintegrasi dalam K3 = Keselamatan dan Kesehatan Kerja), penyediaan tempat rekreasi yang sehat untuk mengisi waktu luang mereka dll. Program ini terintegrasi dengan PMTS di tempat “hotspots” yang dikunjungi LBT, untuk mencegah penularan IMS, HIV dan penyakit lain. Program LBT ini sangat penting dan strategis, karena: “zero” infeksi baru pada laki-laki, berarti “zero” infeksi baru pada perempuan (termasuk isterinya), serta “zero” infeksi baru pada bayi.
• Orang muda/ remaja (usia 15 - 24) yang karena pekerjaanya atau karena gaya hidup, telah menempatkan diri pada tingkat risiko yang tinggi tertular HIV: yaitu laki-laki dan perempuan muda dalam kerja seks atau yang sudah menggunakan 38
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
napza, khususnya napza yang disuntikkan. Sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 3 di bawah, kajian dengan memilah dan menganalisis hasil dari surveilans dan survei yang sudah dilakukan (data sekunder) dapat disimpulkan bahwa 9% dari penasun berusia 15 - 19 tahun dan sejumlah 29% lainnya berusia antara 20 dan 24. Situasi pada wanita pekerja seks tidak terlalu jauh berbeda dimana 8% berusia 15-19 tahun, sedangkan 26% berusia 20-24 tahun. Terakhir, analisis menemukan sekitar 10% waria berusia antara 15-19 tahun dengan 19% lainnya berusia 20 - 24 tahun.39 Tabel 3: Persentase populasi kunci usia 15 – 24 tahun 15 - 19 thn
20 – 24 thn
Jml 15 – 24 thn
Penasun
9%
29%
38%
Wanita Pekerja Seks
8%
26%
34%
Laki-laki yang seks dengan laki-laki (LSL)
13%
19%
32%
Waria
10%
19%
29%
Sumber: KPAN dan UNICEF. Laporan Analisis Lanjutan Data Survei dan Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur. 2011.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa persentase di atas diperoleh dari surveilans dan survei di Indonesia yang menggunakan teknik pengambilan sampel yang diharapkan dapat mewakili kondisi di kota atau provinsi. Data ini adalah data gabungan, dan jika dipilah gambaran di setiap kota bisa berbeda. Oleh sebab itu, persentase ini adalah perkiraan kasar tingkat nasional. Jika digunakan untuk memperkirakan jumlah orang muda yang paling berisiko di Indonesia, maka, dengan menggunakan data estimasi populasi paling berisiko menurut populasi risiko (estimasi tahun 2009), dapat diperoleh perkiraan jumlahnya. Informasi ini bersifat sementara dan belum dapat menggambarkan besaran di daerah, namun bermanfaat untuk melihat besaran masalah. Diperkirakan ada 345.000 orang muda yang paling berisiko tertular HIV. Tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah: bagaimana mencegah remaja dan generasi muda kita terjerumus dalam perilaku berisiko, dan bagaimana membantu mereka yang sudah berperilaku berisiko agar tidak tertular HIV dan penyakit lainnya? Dengan perkataan lain: bagaimana Indonesia dapat meningkatkan secara bermakna upaya pendidikan kesehatan reproduksi, napza, serta pendidikan ketrampilan hidup (life skill education) yang sangat penting dan strategis itu, agar generasi muda kita bisa memilih dan mempertahankan gaya hidup yang sehat dan produktif tanpa penyakit?
39
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Bekerja di jalan di usia belia.
Tabel 4: Perkiraan jumlah orang muda di antara populasi kunci 15 - 19 thn Penasun
20 – 24 thn
Jml 15 – 24 thn
9.521
30.677
40.198
Wanita Pekerja Seks
17.124
55.654
72.778
Laki-laki yang seks dengan laki-laki (LSL)
90.353
132.055
222.408
3.207
6.092
9.299
120.205
224.478
Waria
344.683
Sumber: Berdasarkan persentase dari kajian KPAN dan UNICEF. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan data Kementerian Kesehatan mengenai Estimasi Jumlah Orang Rawan Tertular HIV tahun 2009
3. Meningkatnya jumlah ODHA perempuan: Kecenderungan lain yang terjadi adalah: diantara mereka yang dilaporkan AIDS, persentase perempuan terus meningkat. Dalam laporan Kemkes, diantara kasus AIDS baru, persentase perempuan berubah dari 16,90% pada bulan Juni 2006 menjadi 35,13% pada bulan Juni 2011. Tabel 5: Perubahan proporsi laki-laki dan perempuan pada laporan kasus AIDS baru. Juni 2006 dan Juni 2011 Jun 2006 Laki-laki Perempuan Tidak diketahui Total
422
82,9%
1.298
64,87%
86
16,9%
703
35,13%
1
0,2%
0
509
100%
2.001
0,00% 100%
Sumber: Kementerian Kesehatan, Laporan Situasi HIV dan AIDS di Indonesia, Juni 2006 dan Juni 2011
40
Jun 2011
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Fakta ini penting karena pertama, hal ini menyangkut manusia, khususnya pasangan perempuan, dan kedua, karena perempuan yang HIV positif berpotensi untuk menularkan HIV pada bayi yang dikandungnya, pada saat melahirkan, atau menyusui. Tindakan pencegahan yang dikenal sebagai pencegahan penularan HIV dari Ibu ke bayinya (Prevention of Mother to Child Transmission = PMTCT) terdiri dari 4 pilar yaitu: pencegahan penularan pada calon orang tua (= generasi muda lakilaki dan perempuan), pencegahan penularan HIV antara suami dan isteri, program Keluarga Berencana bagi perempuan HIV positif, dan pencegahan penularan dari ibu hamil HIV positif kepada bayinya dengan pemberian antiretroviral (ARV) prophylaxis pada waktu kehamilan, persalinan dan menyusui. Pemberian ARV untuk pencegahan (ARV profilaksis) dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penularan dari Ibu ke bayinya, namun layanan ini baru tersedia pada 79 lokasi di 22 provinsi.40 Melihat infeksi HIV pada perempuan makin meningkat (sebagian besar ketularan dari suaminya sendiri), maka jelas dibutuhkan upaya yang lebih efektif dan berkesinambungan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, untuk mengubah norma dan kebiasaan yang membuat perempuan terpapar risiko yang tinggi terinfeksi HIV. Pada saat yang sama sering terjadi pelanggaran HAM terhadap perempuan dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan seksual, pelanggaran terhadap haknya untuk hidup sehat bebas HIV dan penyakit lain yang terkait.
4. Berapa banyak orang yang mengetahui status HIVnya?: Mengetahui akan status HIV-nya sangat penting baik bagi orang itu sendiri, maupun untuk upaya pengendalian epidemi secara keseluruhan. Bagi dirinya sendiri, tahu status HIV pada saat dia masih sehat/ tanpa gejala yang berarti yaitu masih dalam tahap HIV, dengan konseling yang tepat, bisa memberikan motivasi untuk segera merubah gaya hidup berisiko menjadi gaya hidup sehat, sehingga mencegah masuk ke dalam stadium AIDS. Selain itu, orang yang mengetahui dirinya HIV positif cenderung berperilaku bertanggung jawab, yaitu menjaga dirinya tidak menularkan kepada orang lain. Bila sudah terlanjur masuk tahap AIDS, maka pengobatan secara dini dapat menekan, bahkan menghentikan proses perjalanan penyakit menjadi lebih parah. Kajian baru menunjukkan bahwa penggunaan ARV yang lebih awal dan konsisten bisa menurunkan risiko penularan kepada orang lain sampai 96%*.
Pada bulan Juni 2006 hanya 5,6% dari perkiraan jumlah ODHA yang hidup, telah mengetahui status HIV positifnya. Sampai dengan bulan Juni 2011 jumlah tersebut telah meningkat 10 kali lipat. Lima puluh persen (50%) dari perkiraan jumlah ODHA41 mengetahui status HIV positifnya. Makin banyak orang yang mengetahui status HIVnya, makin banyak orang yang bisa mengakses layanan perawatan, dukungan
*
Hasil penelitian kajian HPTN (HIV Prevention Trials Networks) yang diluncurkan pada International AIDS Society Coference di Roma tahun 2011.
41
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
dan pengobatan (care, support and treatment = CST) yang tersedia, baik dalam sarana kesehatan publik, swasta maupun masyarakat, termasuk Kelompokkelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang terdapat di 27 provinsi. Di seluruh Indonesia, makin banyak orang yang terinfeksi HIV yang melakukan advokasi secara efektif atau memberikan informasi dan pendidikan kepada orang lain tentang HIV dan AIDS, menjelaskan cara-cara pencegahannya, dan bagaimana cara untuk hidup sepenuhnya walaupun terinfeksi HIV. Grafik 2: Persentasi orang yang mengetahui status HIV positifnya tahun 2006 dan 2011 (30 Juni)
Sudah
tahu
5.6%
50.03%
Belum
tahu
Juni
2006
HIV
:
4.527
AIDS
:
6.332
Total
:
10.859
2006,
DEFmaEi
ODHA
:
193.070
Juni
2011
HIV
:
66.693
AIDS
:
26.483
Total
:
93.176
2009,
DEFmaEi
ODHA
:
186,257
Sumber: Kementerian Kesehatan. Laporan Situasi HIV dan AIDS, Juni 2006 dan Juni 2011
5. Perluasan layanan konseling dan testing sukarela (KTS) atau voluntary counseling and testing (VCT): Hanya ada satu cara untuk mengetahui apakah seseorang sudah terinfeksi HIV atau tidak yaitu: tes darah dengan konseling sebelum dan sesudah testing (KTS), untuk memahami bagaimana tes akan dilakukan dan apa arti dari hasil tes tersebut. Pada tahun 2005 diperkirakan ada 51 lokasi KTS di 7 provinsi42. Pada bulan Juni 2011 Kemkes melaporkan 388 lokasi KTS yang aktif di 142 kabupaten/ kota di seluruh Indonesia,43 termasuk 14 layanan dalam Lembaga Pemasyarakatan dibawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM (KemkumHAM) yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia.
42
Diharapkan Provider Initiated Counseling and Testing (PICT) – yaitu konseling dan tes atas inisiatif petugas kesehatan, yang sudah berjalan dan direncanakan untuk
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
terus diperluas, akan meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan yang sangat penting ini. Akses fisik, bukanlah satu-satunya tantangan untuk perluasan penyediaan dan penggunaan KTS ataupun layanan kesehatan lainnya. Berbagai varian KTS perlu dikembangkan untuk meningkatkan cakupan program. Sebuah kajian mengenai mutu layanan menunjukkan secara konsisten bahwa pelatihan, penyeliaan, pembinaan dan motivasi dapat meningkatkan kemungkinan layanan dapat diterima.44 Namun demikian, harus diakui, bahwa mencapai dan mempertahankan mutu layanan yang tinggi pada sistem kesehatan masyarakat yang luas dan terdesentralisasi tidaklah mudah dan menghadapi banyak tantangan.
Pemberian informasi tentang HIV dan AIDS di puskesmas.
6. Pengobatan dengan antiretroviral (ARV): Di tahun-tahun pertama epidemi HIV, belum ada pengobatan AIDS, dan jika seseorang terinfeksi HIV, maka diperkirakan dirinya tidak akan hidup lama. Saat ini situasinya sudah sangat berbeda. Pengobatan ARV, pertama dikenal secara luas pada tahun 1996,45 dan dengan segera disetujui Kemkes untuk digunakan di Indonesia (1997). Namun demikian, persetujuan penggunaannya hanyalah langkah pertama dari suatu proses yang bergulir panjang.
Di manapun di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, salah satu hambatan untuk ketersediaan pengobatan yang dapat memperpanjang hidup ini adalah biaya yang besar. Pengobatan dengan ARV berada di luar jangkauan kemampuan kebanyakan pasien, apalagi ARV harus dikonsumsi seumur hidup. Pada tahun 2000, 43
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Indonesia mulai mengimpor ARV generik dari India, dan pada tahun 2003 Kimia Farma mulai memproduksi ARV dari bahan-bahan yang diimpor.46 Pada tahun 2004 Kemkes menugaskan 25 Rumah Sakit di 14 provinsi* untuk memberikan layanan pengobatan dengan ARV. Dengan menggunakan sumber dana dari Global Fund untuk membeli obat, maka ARV tersedia secara gratis47 di rumah-rumah sakit tersebut (lihat Lampiran 6A untuk daftar 25 rumah sakit). Pada akhir tahun 2010, 70% biaya untuk pembelian ARV di Indonesia berasal dari APBN dan 30% dana Global Fund,48 suatu langkah penting ke arah keberlanjutan layanan.
Jaringan rumah sakit yang menyediakan layanan ini berkembang menjadi 148 pada tahun 2007,49 dan pada akhir bulan Juni 2011 meningkat menjadi 218 rumah sakit dengan 68 pusat kesehatan masyarakat sebagai satelit.50 (lihat Lampiran 6B). Sampai dengan 30 Juni 2011 jumlah pasien yang menerima ARV secara teratur mencapai 21.347 pasien, 55,7% dari mereka yang pernah menerima,51 sebuah kemajuan yang luar biasa dibandingkan ketika hanya sedikit pasien swasta yang mendapatkan pengobatan. Namun demikian, jumlah tersebut masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah orang yang bisa terselamatkan nyawanya dan dapat ditingkatkan mutu hidupnya andaikata dia mengikuti pengobatan dengan ARV. Lebih jauh lagi, kepatuhan – jumlah pasien yang minum ARV secara terus menerus dan teraturberfluktuasi (naik turun) sejak pengobatan ini dimulai. Jumlah tersebut paling tinggi pada tahun 2009, dimana 60,8% pasien yang sudah memulai pengobatan masih terus menggunakannya sampai 1 tahun. Tahun-tahun yang lain kepatuhan kurang dari 60%. Masalah logistik (transportasi, stock, penyimpanan, pelaporan), diagnosis, resep dan aksesibilitas tetap perlu terus diperbaiki di pihak “pemasok” (supply side). Masalah pemahaman, akses ke penyedia secara teratur, dukungan dan kepatuhan pada resep dokter perlu terus ditingkatkan di pihak “yang membutuhkan” (demand side). Inilah tantangan-tantangan yang perlu diatasi dengan penguatan sistem komunitas maupun penguatan sistem kesehatan yang saat ini sedang berlangsung dan direncanakan oleh Kementerian Kesehatan untuk diperluas dengan dukungan dana Global Fund.
7. Layanan terkait pengurangan dampak buruk (harm reduction): Melalui kombinasi perubahan kebijakan, yang dicapai dengan advokasi yang intensif, dan pengembangan program yang bertahap, Indonesia telah meningkatkan ketersediaan layanan alat suntik steril (LASS) maupun layanan terapi rumatan metadon (PTRM), *
44
SK MenKes 781/ MENKES/ SK/ VII/ 2004. Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Papua. [catatan: lokasi-lokasi di Papua tahun 2004 termasuk satu lokasi (Sorong) yang saat ini adalah kota di Provinsi Papua Barat.]
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
sehingga mampu mengelola ketergantungan obat dan mengurangi penularan HIV serta infeksi lain yang diakibatkan penggunaan alat suntik yang tidak steril. Pada tahun 2000-2002 layanan ini sama sekali belum ada dalam layanan publik, dan infeksi HIV di kalangan penasun mencapai 50% di beberapa tempat,52 namun pada tahun 2011 terdapat 194 layanan alat suntik steril (LASS) di puskesmas dan LSM yang tersebar di 23 provinsi.
Layanan terapi rumatan metadon (PTRM) juga meningkat dari hanya 3 lokasi (2005) menjadi total 65 lokasi (2011), baik yang tersedia di Lapas maupun di Puskesmas. Ketersediaan dana dari AusAID dan Dana Kemitraan Indonesia/DKIA (Indonesian Partnership Fund/IPF) memungkinkan terjadinya peningkatan jumlah dan perluasan secara cepat (rapid scaling-up) mulai tahun 2006 dengan dukungan teknis dari IHPCP dan FHI.53 Layanan ini terus ditingkatkan jumlah dan mutunya, dengan menggunakan berbagai sumber pendanaan, APBN, APBD, AusAID (melalui HIV Cooperation Program in Indonesia, HCPI) maupun Global Fund. Tabel 6 : Peningkatan ketersediaan Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Terapi Rumatan Metadon (TRM). 2005 - 2011 2005
2006
2011
10
65
160
Program LASS – LSM
7
55
34
Program LASS – Total
17
120
194
3
11
65
Program LASS - Puskesmas
TRM – Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Sakit dan Puskesmas
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional melalui Pemantauan, Juni 2011
Dengan keberhasilan ini, Indonesia beberapa kali menjadi tujuan kunjungan belajar (study visit), antara lain dari Malaysia dan Myanmar tahun 2008 serta dua kali kunjungan dari Afghanistan (Oktober 2010 dan Januari 2011). Mereka datang dan belajar mengenai pengelolaan dan pelaksanaan pengurangan dampak buruk di dalam negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Dari kedua rangkaian kunjungan Afghanistan, mereka yang dikirim untuk belajar berasal dari Kementerian terkait penanggulangan narkotika, kementerian kesehatan Masyarakat, Kementerian Kehakiman, dan Kementerian Urusan Perempuan, serta sejumlah dokter, spesialis di bidang materi KIE, dan beberapa pemimpin agama. Kunjungan mereka termasuk konsultasi dengan KPA di tingkat nasional maupun di daerah, Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi serta LSM yang memberikan layanan.
45
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
8. Layanan untuk Pencegahan melalui transmisi seksual: Penularan seksual selalu penting perannya dalam epidemi HIV yang berkembang di Indonesia. Bahkan ketika penggunaan napza suntik menjadi sumber utama penularan baru, penularan melalui transmisi seksual tetap penting. Berbagai pendekatan untuk promosi kondom telah dilakukan, dan hasilnya tidak terlalu baik. Bukti-bukti yang ditunjukkan dari Survei Terpadu Biologis Perilaku (STBP) tahun 2007 (Kemkes dan BPS), kajian paruh waktu (2009) pelaksanaan Strategi dan Rencana Aksi Penanggulangan AIDS tahun 2007 – 2010 juga menunjukkan bahwa tingkat penggunaan kondom tidak berubah, dan prevalensi infeksi menular seksual makin tinggi terutama di kalangan pekerja seks perempuan dan waria. Oleh sebab itu, diambil keputusan penting untuk mengembangkan pendekatan yang berbeda. Rangkaian diskusi berujung pada pengembangan intervensi struktural untuk Pencegahan Melalui Transmisi Seksual (PMTS). PMTS dibangun atas 4 komponen utama, diuji-cobakan, dan evaluasinya menunjukkan hasil yang positif. Pada saat ini PMTS merupakan komponen utama dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional yang komprehensif yang didukung dana Global Fund. Sampai dengan bulan Juli 2011, sistem ini telah mendistribusikan lebih dari 13 juta kondom laki-laki dan hampir 550 ribu kondom perempuan melalui 4.066 outlet kondom. Lebih dari 600 pekerja seks (laki-laki, perempuan dan waria) telah dilatih menggunakan modul pelatihan yang kemudian akan digunakan untuk melatih setidaknya 10.000 pekerja seks di 33 provinsi. Sampai Juni 2011, PMTS telah diluncurkan di 72 lokasi, dan direncanakan 159 lokasi sudah akan berfungsi sebelum tahun 2015.
B. Pendanaan upaya penanggulangan Kemajuan Indonesia menuju kemandirian dalam pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS terus meningkat sejak tahun 2006 ketika hanya 26,58% dana berasal dari pemerintah Indonesia, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Pada akhir tahun 2010, anggaran total meningkat 14% dari US$ 56,576,587 menjadi US$ 65,550,730, sumber dana dari dalam negeri (termasuk dana dari 33 provinsi dan 166 kabupaten/kota) mencapai 42% dari keseluruhan54.
46
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Grafik 3: Pembelanjaan (expenditure) yang dikeluarkan untuk AIDS tahun 2006 – 2010 (dalam juta US $, menurut sumber) $70.0
Dalam Negeri
Luar Negeri
Jumlah
$60.0 $50.0 $40.0 $30.0 $20.0 $10.0 $0.0
2006
2007
Dalam Negeri
$15.0
26.58%
Luar Negeri
$41.5
73.42%
Jumlah
$56.5
2008
$15.4
26.27%
$43.3
73.73%
$58.7
2009
$19.8
39.03%
$31.0
60.97%
$50.8
2010
$21.4
35.00%
$39.8
65.00%
$61.3
$27.5
42.00%
$38.0
58.00%
$65.6
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Laporan National AIDS Spending Assessment (NASA) 2006 - 2008. Laporan sementara NASA Tahun 2009 dan 2010 (dalam persiapan publikasi).
Dalam hal anggaran, tampak pula adanya peningkatan yang bermakna di tingkat nasional. Jika pada tahun 2006 APBN untuk penanggulangan AIDS baru dianggarkan oleh 11 sektor mencapai Rp. 118,6 miliar, maka pada tahun 2011 sudah meningkat menjadi 19 sektor, anggaran AIDS dari APBN mencapai keseluruhan Rp 856.281 miliar, lihat tabel 12). Tabel 7: Peningkatan jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang menganggarkan dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS 2006 (1)
2010 (2)
Provinsi yang mengalokasikan anggaran untuk AIDS
19
33
Kabupaten/Kota yang mengalokasikan anggaran untuk AIDS
73
166
Sumber: (1) Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Laporan National AIDS Spending Assessment, 2006-2007 (2) Laporan sementara NASA Tahun 2009 dan 2010 (dalam persiapan publikasi).
Mengacu pada Perpres 75/2006 Ps 15 dan Permendagri 20/2007 Ps 13, pada tahun 2010, biaya untuk pelaksanaan tugas KPA di 63 kabupaten dan 9 kota di 24 provinsi* *
2010: Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
47
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
yang sebelumnya didanai oleh DKIA/IPF seluruhnya berasal dari APBD – kabupaten/ kota itu sendiri. Pada tahun 2011 dua provinsi lagi memberikan dukungan dana untuk 3 kabupaten yang lain (lihat Lampiran 4, daftar sekretariat KPA kabupaten/kota didanai 100% dengan APBD). Dengan adanya kompetisi yang ketat untuk mendapatkan dana dari APBD, hal di atas menunjukkan bahwa pemahaman tentang pentingnya penanggulangan HIV dan AIDS terus tumbuh. Hal ini juga sangat penting bagi harga diri kita sebagai bangsa, dengan pengakuan bahwa kesehatan rakyat Indonesia adalah tanggung jawab bangsa dan negara Indonesia, dan tidak menggantungkan diri pada bantuan luar negeri.
C. Pengelolaan Penanggulangan Pada saat Komitmen Sentani ditandatangani pada tahun 2004, jumlah KPA Provinsi yang aktif sangat terbatas, terutama hanya mereka yang menandatangani kesepakatan tersebut. Pada akhir tahun 2007, terdapat 2355 provinsi dimana KPAP berfungsi, dengan dukungan dana dari Dana Kemitraan Indonesia untuk AIDS (DKIA)/IPF. Pada tahun 2011 semua provinsi (33 provinsi) telah memiliki KPA yang aktif dengan mengelola berbagai sumber dana: dari APBN, APBD, Global Fund maupun AusAID (untuk 14 provinsi). Memang benar, jumlah dana yang dikelola, pengalaman, serta efektivitas kerja KPA sangat bervariasi. Ada provinsi dimana KPA-nya baru saja mulai mengorganisir kerjanya, belajar tentang HIV dan AIDS dan berupaya keras agar dapat melaksanakan tugas mereka. Sementara ada yang lain, misalnya Bali, DKI Jakarta, dan Jawa Barat telah merencanakan, mengkoordinasikan, memimpin serta mengelola upaya penanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya sejak sebelum tahun 2004, termasuk memfasilitasi pengembangan program inovatif dan memantaunya. KPA Provinsi seperti ini telah mencapai posisi dimana para mitranya menghargai kepemimpinan, keterampilan maupun keahliannya/expertise sekretariat KPA. Walaupun sumber dana dalam negeri untuk KPA sangat terbatas pada semua tingkatan, dengan dukungan dana DKIA/IPF, khususnya pada periode tahun 2006 sampai dengan 2008, pengembangan jaringan KPA Kabupaten/Kota juga telah membuahkan hasil. (lihat tabel 24 untuk informasi tentang dukungan IPF/DKIA terkait penguatan KPA se-Indonesia. Pada tahun 2006 tercatat 73 KPA kabupaten/kota di 19 provinsi yang telah menjalankan fungsinya.56 Pada akhir tahun 2010 ada 166 KPA kabupaten/kota dan pada bulan Juni 2011 tercatat 173 KPA kabupaten/kota tersebar di 33 provinsi yang menjalankan tugas penanggulangan HIV dan AIDS.57
Kalimantan Timur, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara. 2011: Bangka Belitung, Riau
48
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Tabel 8: Perluasan jaringan KPA tahun 2006 - 2011 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Kab./Kota
105
105
170
170
166
173
Provinsi
19
22
33
33
33
33
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Laporan-laporan DKIA/IPF tahun 2006-2011
D. Para Pelaku Upaya Penanggulangan Orang dan lembaga yang aktif dalam penanggulangan telah tumbuh dan berkembang dalam jumlah, keragaman, ketrampilan maupun keahliannya. Tak kalah pentingnya, kegiatan-kegiatan positif terkait HIV dan AIDS menjadi semakin meluas di seluruh pelosok negeri ini, lima tahun setelah Peraturan Presiden. Salah satu hal strategis yang terjadi selama 5 tahun ini, adalah terbentuknya beberapa jaringan populasi kunci (lihat Tabel 9) di tingkat nasional dan provinsi yang selanjutnya dengan dukungan KPAN dan sumber dana lainnya, mengikuti pelatihan-pelatihan kepemimpinan, teknik berorganisasi, advokasi dan lain-lain. Sekretariat KPAN juga terus melibatkan mereka dalam proses pengembangan kebijakan, pengelolaan, ketrampilan terkait program pencegahan seperti pengurangan dampak buruk penggunaan napza, PMTS, mobilisasi sumber daya dan seterusnya. Bahkan ada diantaranya yang terlibat dalam kegiatan regional dan internasional. Diantara mereka ada yang melakukan advokasi, jadi pendidik HIV dan AIDS di antara anggota-anggota mereka, dan bahkan seringkali menjadi pendidik di masyarakat yang lebih luas. Organisasi-organisasi dari orang yang terinfeksi dan terdampak HIV dalam kelompok dukungan sebaya mulai tampak pada tahun 1990-an pada tingkat lokal di banyak tempat di daerah. Beberapa kelompok mulai membentuk jaringan dengan LSM nasional, Yayasan Spiritia, yang didirikan pada tahun 1995 oleh Suzanna Murni dan kawankawan, dan sebagian tetap berdiri sendiri. Kelompok-kelompok ini adalah mekanisme yang sangat penting dalam memberikan pendidikan dan dukungan bagi orang yang terinfeksi maupun yang terdampak HIV dimanapun mereka berada. Demikian pula, masih banyak lainnya yang berperan sebagai anggota KPA, kelompok-kelompok kerja, peserta kegiatan-kegiatan publik, termasuk panitia peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS tanggal 1 Desember setiap tahunnya), Malam Renungan AIDS Nasional (MRAN setiap bulan Mei), dan kegiatan-kegiatan untuk masyarakat lainnya. Sampai bulan Agustus 2011 Spiritia melaporkan telah membina kerjasama dengan 200 KDS di 121 kabuapten/kota (21 provinsi). Secara kumulatif sudah ada kegiatan dukungan kepada 49
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
23.589 ODHA58. Dalam banyak hal, tidak hanya anggotanya yang HIV positif yang aktif, tetapi juga anggota keluarga, teman-teman terdekat ODHA termasuk pasangannya, juga secara aktif mengambil bagian dalam kegiatan pemberian dukungan, maka jangkauan Spiritia jauh lebih luas dari 12.000 anggota KDS saja.
Pertemuan Waria tingkat Nasional yang pertama di Bogor, Januari 2009, bersama Ibu Naf, Sekretaris KPAN
50
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Tabel 9: Jaringan nasional populasi kunci Organisasi Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)
Pendirian
Jumlah Provinsi
2006
22 Prov
Terwujudnya perempuan dengan HIV dan yang terdampak yang berdaya, berkualitas hidup tinggi dan setara dengan warga negara Indonesia lainnya dalam bidang kesehatan, sosial, pendidikan dan ekonomi
2007
19 Provinsi dengan 37 organisasi anggota jaringan
Mencita-citakan komunitas dan individu gay, waria dan LSL lain yang mampu melakukan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terhadap infeksi menular seksual (IMS) dan HIV dan AIDS dengan pendekatan kesehatan dan kesejahteraan seksual dan reproduksi serta hak asasi manusia.
2007
25 Prov
Terpenuhinya hak-hak orang terinfeksi HIV tanpa stigma dan diskriminasi di Indonesia melalui pengembangan kebijakan dan pemantauan terhadap penerapan kebijakan secara terus menerus.
2007
13 Prov
Pengguna napza yang berdaya bersama dengan anggota masyarakat lainnya mewujudkan keadilan sosial
2009
23 Prov, 16 di antaranya telah melakukan kongres tingkat prov59
Mewujudkan negara yang menjalankan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia dari pekerja seks di Indonesia serta memberdayakan pekerja seks.
National Association of HIV Positif Women in Indonesia
Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-Ina) National Network of GayTransgender-and Lesbians
Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) Indonesian Network of People Living with HIV and AIDS
Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) National Network of users of narcotics, psychotropic drugs and oter addictive substances Orgainsasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) National Network of Sex Workers
Pokok-pokok Program
Sumber: Informasi diberikan oleh masing-masing organisasi dalam menjawab kuesioner dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Mei 2011.
51
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Organisasi masyarakat sipil (LSM, berbasis agama, masyarakat akademisi) yang terfokus pada advokasi HIV, hak asasi manusia (HAM), pendidikan HIV, dan pemberian layanan tampak terus bertambah di seluruh Indonesia. Mereka makin menunjukkan peran yang penting sebagai mitra penanggulangan baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, bekerja sama dengan KPA dan pemerintah, komunitas populasi kunci, dengan OHDA dan dengan banyak pihak yang juga penggiat di masyarakat. Kegiatan masyarakat sipil begitu penting, sehingga diputuskan untuk dikembangkan laporan khusus mengenai peran masyarakat sipil dalam 5 tahun Perpres 75/2006. Ada beberapa LSM, yang sudah bergiat sejak lama dan termasuk pionir-pionir di masa awal epidemi HIV dan AIDS di Indonesia, khususnya ada di Jakarta, Bali, Surabaya dan Medan. Sebelum penanggulangan AIDS dilakukan oleh pemerintah secara luas, merekalah yang memimpin kegiatan penanggulangan terkait perawatan dan pengobatan, pengembangan kelompok dukungan sebaya, bekerja bersama berbagai populasi kunci lokal, dan memulai program pendidikan AIDS di tempat kerja. Mereka tetap meneruskan pemberian layanan, berbagi pengalaman, dan menjadi mitra yang penting dalam program nasional yang lebih luas. Pentingnya LSM, kontribusinya dalam bidang HIV dan AIDS, kegiatan-kegiatannya, dan ketersebarannya di seluruh negeri terlihat ketika DKIA/IPF membuka “undangan untuk proposal” yang dikelola oleh sekretariat KPA Nasional. Salah satu komponen dari program kerja DKIA/IPF adalah program pemberian dana hibah kepada LSM (small grant program). Sejak tahun 2008, DKIA/IPF telah berturut-turut membuka undangan untuk proposal60 kepada LSM-LSM yang aktif di bidang HIV dan AIDS. Tahun 2008, telah 119 LSM di 18 provinsi menyerahkan proposal dari Aceh sampai dengan Papua. Sembilan yang akhirnya memperoleh dana untuk penanggulangan AIDS, dengan total pendanaan Rp 8.872.062.000 untuk kegiatan yang menjangkau 18 provinsi. Pada tahun berikutnya, DKIA/IPF menerima 89 proposal, 7 diantaranya terpilih untuk didukung bekerja di 13 provinsi. Di awal tahun 2011 undangan untuk proposal diluncurkan kembali, kali ini, secara khusus yang dicari adalah LSM yang melakukan pekerjaan untuk mengurangi penularan HIV melalui transmisi seksual di daerah-daerah di Pulau Jawa. Ditetapkan, bahwa, kerja ini akan menggunakan kerangka PMTS61 dengan pendekatan intervensi struktural. Dari 33 proposal yang masuk, 13 di antaranya terpilih untuk menerima dukungan DKIA/IPF.
52
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Tabel 10: Program dana hibah DKIA/IPF. Dukungan tahun 2008 - 2011(*) Tahun
Perkiraan dalam US Dollar
Dana Hibah (Rp.)
Proposal diterima
LSM yang didukung
Jml Prov. aktif
IPF - 2008
Rp
8.872.062.000
$
1,043,772
119
9
18
IPF - 2009
Rp
5.087.235.400
$
598,498
89
7
13
IPF - 2011
Rp
4.676.381.400
$
550,163
33
13
5
Sumber: Laporan DKIA/IPF tahun 2008 - 2011 (*)
Undangan untuk proposal tahun 2011 khusus memperluas wilayah pelaksanaan PMTS di Pulau Jawa.
Berikut dalam laporan ini akan dibahas lebih mendalam mengenai organisasi masyarakat sipil yang merupakan mitra penuh dalam perluasan penanggulangan HIV dan AIDS yang paripurna, yang saat ini masih berjalan dengan dukungan dana dari Global Fund. Sebagaimana disebutkan di atas, sepanjang periode 2009 – 2015 Global Fund menyetujui proposal Indonesia untuk Ronde 8 dan 9. Dukungan disalurkan kepada Indonesia melalui 4 penerima hibah utama (disebut dengan Principle Recipient/PR) termasuk 2 organisasi masyarakat sipil, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam rangka meningkatkan peran pelaku penanggulangan AIDS dari pemerintah, Tim Pelaksana yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden RI No.75/2006 (Bab 2, Bagian 2, Pasal 5), telah meningkatkan komitmen pemerintah dan kegiatan multisektor dalam penanggulangan epidemi ini. Dipimpin oleh Sekretaris KPA Nasional, Tim Pelaksana terdiri dari perwakilan organisasi/ lembaga yang menjadi anggota KPA Nasional, baik yang berasal dari pemerintah maupun yang bukan pemerintah. Tim ini bertemu secara teratur 3 bulan sekali setiap tahunnya (bulan Januari, April, Juli, dan Oktober) dengan rotasi untuk menetapkan tuan rumah pertemuan. Pertemuan dilakukan di kantor pusat masing-masing lembaga. Agenda pertemuan termasuk berbagi laporan kegiatan, pembahasan perencanaan dan topik-topik mengenai pengelolaan dan organisasi, maupun berbagi informasi terbaru mengenai epidemi HIV maupun upaya-upaya dengan pendekatan atau metode inovatif. Mengingat pertemuan ini sangat strategis, maka pembahasan perencanaan dan penganggaran juga dilakukan mengikuti siklus perencanaan dan pengganggaran nasional yang dipimpin BAPPENAS. Hal ini adalah dalam rangka menyelaraskan serta melengkapi program nasional antar sektor. Selain berbicara mengenai perencanaan APBN, pada forum ini dilakukan juga harmonisasi dan sinkronisasi melalui pembahasan akan dukungan dana internasional ataupun kegiatan terkait AIDS lainnya.
53
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Malam renungan AIDS untuk memperingati mereka yang telah meninggal karena AIDS.
Selama masa asesmen pelaksanaan Komitmen Sentani (akhir tahun 2004 dan awal tahun 2005) tim evaluasi62 “dengan berat hati sampai pada kesimpulan bahwa secara umum sangat sedikit kemajuan dicapai dalam memobilisasi kerja multi sektor atau pun kerja sektoral yang efektif, sinergis dan meluas dalam hal dukungan untuk pencegahan HIV atau untuk mendukung ODHA dan komunitas yang terus bertambah di Indonesia.”63 Tidak banyak perubahan terjadi sampai ditetapkannya Peraturan Presiden No. 75/2006. Pada tahun 2006 - 2007 hanya sedikit kementerian dan lembaga pemerintah yang memiliki kelompok kerja AIDS yang aktif ataupun anggaran untuk AIDS, seberapapun besarnya. Namun demikian, perubahan yang sangat bermakna terjadi kemudian. Pada tahun 2010-2011, sembilan belas anggota KPA Nasional sektor pemerintah (lihat Tabel 12) menyatakan memiliki anggaran dari masing-masing Kementerian/Lembaga untuk melakukan kegiatan pendidikan terkair HIV dan AIDS bagi staf mereka, dan untuk melaksanakan kegiatan terkait HIV dan AIDS sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing. Banyak di antaranya yang sudah memiliki pokja AIDS yang fungsional, dan beberapa sektor memiliki rencana kerja penanggulangan AIDS. Pada tahun 2010, terjadi dua langkah utama ke depan untuk integrasi penuh upaya penanggulangan AIDS ke dalam mekanisme pembangunan secara umum, dan hal ini menunjukkan hal yang semakin positif bagi keberlanjutan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Pada bulan Januari dalam Peraturan Presiden No.5/2010 telah ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-201464 yang termasuk di dalamnya, pembahasan mengenai pentingnya upaya penanggulangan HIV multi sektor yang berkelanjutan. Pada bulan April, dikeluarkan Instruksi Presiden No. 03/2010 untuk pembangunan berkeadilan,65 yang termasuk di dalamnya komitmen Indonesia untuk percepatan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) 54
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
termasuk tujuan keenam tentang HIV dan AIDS yang dilengkapi dengan indikatorindikator terkait AIDS. Kedua keputusan ini telah memberikan penanggulangan HIV dan AIDS posisi yang meyakinkan dalam agenda pembangunan, sebuah platform yang kuat untuk meneruskan advokasi dan tindakan memperluas ruang lingkup kemitraan terkait AIDS pada seluruh aparat pemerintah di semua tingkatan kepemerintahan. Mitra-mitra pembangungan internasional (International Development Partners) di Indonesia sudah lama berperan membantu upaya penanggulangan HIV dan AIDS, baik dalam bentuk dukungan dana maupun dukungan teknis. Sejak Peraturan Presiden No.75/2006 penanggulangan epidemi ini lebih matang dan lebih jelas bentuk sumbangannya, serta dikelola lebih tegas dan profesional. Demikian pula perkembangan Indonesia bekerja dengan mitra pembangunan internasional, berkembang menjadi lebih konsultatif dan dilaksanakan dalam kemitraan sejati. Sejalan dengan Deklarasi Paris untuk Efektivitas Bantuan (1995), kerjasama bilateral, multilateral, maupun LSM internasional menjadi lebih terintegrasi dalam upaya nasional secara keseluruhan dan sama-sama mengacu pada dua Strategi dan Rencana Aksi Nasional ber-turut-turut: 2007-2010 dan 2010-2014. (Untuk informasi lebih lengkap lihat Bab III bagian D tentang Kemitraan).
E. Jangkauan dan Efektivitas Dalam rangkaian Rencana Aksi Nasional66 dua target dasar terkait usaha Indonesia untuk mengendalikan epidemi adalah, 1) untuk menjangkau 80% populasi kunci (penasun, pekerja seks – laki-laki, perempuan dan waria –, laki-laki yang seks dengan laki-laki, laki-laki berisiko tinggi, dan warga binaan pemasyarakatan, ODHA, juga masyarakat umum di Tanah Papua, serta 2) minimal 60% dari populasi kunci tersebut secara konsisten berperilaku aman. Jika target tersebut tercapai, pertumbuhan epidemi HIV di Indonesia akan tertahan dan setelah itu akan mulai menurun. Demikian pula, risiko penularan pada pasangan seks mereka semua akan menurun, yang dengan demikian akan menurunkan infeksi baru secara keseluruhan. Pemantauan perkembangan antara tahun 2006 dan 2011 (lihat Grafik 4 di bawah) menunjukkan bahwa cakupan populasi kunci meningkat secara terus menerus. Peningkatan terkecil, terjadi pada laki-laki yang seks dengan laki-laki yaitu hanya 6% (2% - 8%); sementara peningkatan terbesar terjadi pada populasi warga binaan pemasyarakatan sebanyak 60%, yang menunjukkan terjadinya penerapan kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM yang secara berta hap telah mengembangkan langkah-langkah yang progresif untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV yang paripurna, termasuk pengurangan dampak buruk 55
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
dan pencegahan melalui penularan seksual serta masalah-masalah kesehatan lainnya dalam sistem pemasyarakatan. Secara umum, dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011, terjadi peningkatan yang besar dalam hal cakupan. Dari hanya sekitar 339.245 orang (2006) menjadi lebih dari 917.604 orang pada bulan Juni 2011. Pada awal tahun 2006, prioritas utama diarahkan untuk menurunkan tingkat infeksi baru pada penasun, yang saat itu sangat tinggi, yang pada akhirnya menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Grafik 4: Cakupan populasi kunci dari tahun 2006 sampai Juni 2011 serta target tahun 2014
120 100 Persentase
80 60 40 20 0
Penas un
WPS L
WPS TL
Waria
LSL
WBP
Pria Risti
2006 (Baseline)
7
24
16
43
2
5
8
2009 (thd est. 2006)
13
29
22
61
3
46
9
2010 (thd est. 2009)
48
68
49
68
7
63
17
Juni 2011 (thd est. 2009)
57
78
54
73
8
65
17
Target SRAN 2014
100
90
90
100
80
100
80
Sumber: Kementerian Kesehatan. Survei Terpadu HIV dan Perilaku. 2006; Kementerian Kesehatan, Estimasi Populasi Rawan Terluar HIV. 2006 dan 2009; Komisi Penanggulangan AIDS Nasional67
Persentase di atas dikonversikan ke dalam jumlah orang yang dijangkau sebagai berikut:
56
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Tabel 11: Populasi kunci yang terjangkau 2006, 2009, dan 2010(*) 2006
2009
2010
Juni 2011
Penasun
15.340
29.575
50.669
60.127
Pekerja seks perempuan - Langsung
25.644
40.029
72.435
82.384
Pekerja seks perempuan – Tidak langsung
14.875
21.895
53.266
58.244
Waria
11.252
18.518
21.855
23.269
LSL
15.336
21.358
47.590
54.836
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
3.845
45.865
88.392
91.948
524.089
546.796
858.296
917.604
Laki-laki Berisiko Tinggi (LBT)
252.953 339.245
288.577
465.817
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2006 - 2010 (*) tidak ada data jangkauan yang bisa diperbandingkan pada tahun 2007 dan 2008
Dari tabel di atas tampak peningkatan yang cukup besar, yaitu tiga kali lebih besar dalam kurun waktu 5 tahun. Namun demikian, untuk mencapai target yang telah kita tetapkan untuk tahun 2014, masih merupakan tantangan yang sangat besar. Setelah pengurangan dampak buruk mulai jalan dengan baik, perhatian dialihkan pada peningkatan efektivitas pencegahan penularan melalui seksual (2008-2009). Segera dilakukan pengembangan program secara sistematis, memulai dengan percobaan, dan kemudian inisiasi pelaksanaan PMTS dengan menggunakan pendekatan yang lebih efektif dan diharapkan juga lebih berkelanjutan (“sustainable”), yaitu intervensi struktural. Sampai dengan 30 Juni 2011 PMTS telah terintegrasi dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang komprehensif, yang pada tahap ini dilaksanakan di 159 Kabupaten/Kota (137 dengan dukungan dana Global Fund; 22 Kabupaten/ Kota dengan dana berdampingan, APBN, GF dan DKIA/IPF). Diharapkan ini akan meningkatkan secara bermakna cakupan populasi paling berisiko, secara khusus meningkatkan pencegahan penularan HIV melalui seks berisiko. Setelah mendapat rencana pemerintah tentang pengembangan koridor pembangunan ekonomi s/d 2025, Sekretariat KPAN melihat ancaman akan meningkatnya jumlah Laki-laki Berisiko Tinggi (LBT) yaitu jutaan laki-laki muda usia produktif, yang mengejar pekerjaan di tempat-tempat pembangunan tersebut; mereka bekerja terpisah kadang-kadang jauh dari keluarga dan masyarakatnya, seringkali di tempat-tempat terpencil dalam lingkungan yang super-macho. Mereka cenderung berperilaku seks berisiko, baik sebagai “rekreasi” maupun sebagai “kebutuhan alami”. Untuk mencegah ledakan epidemi HIV yang lebih besar, pada tahun 2011 dikembangkan “PMTS Paripurna”. Pada tahun 2011 telah dimulai dasar-dasar dari pelaksanaan PMTS Paripurna dengan meluncurkan secara meluas konsep ini di lokasi 57
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
dengan tingkat epidemi diperkirakan akan dapat membawa dampak yang bermakna terhadap penurunan infeksi baru, baik melalui disediakannya pedoman pelaksanaan PMTS, pelatihan-pelatihan pada pemangku kepentingan utama di semua tingkatan (nasional, provinsi dan kabupaten/kota), serta dukungan-dukungan lain untuk memastikan terlaksananya PMTS paripurna tersebut.
Konstruksi jalan yang menarik banyak pekerja laki-laki dari berbagai tempat.
Pada saat bersamaan, dikembangkan kapasitas dan kajian aksi serta penelitian operasional untuk meningkatkan pemahaman akan kebutuhan, tantangan, dan peluang serta minat komunitas laki-laki yang seks dengan laki-laki (LSL), dan bersama berbagai pihak terkait belajar bagaimana bermitra dan memberi layanan lebih efektif bagi LSL. Selain target cakupan, tantangan yang paling besar adalah target “mutu” kegiatan yang dapat menjamin minimal 60% populasi kunci akan berperilaku aman/ tidak berperilaku berisiko penularan. Penggunaan napza suntik, HIV dan upaya penanggulangannya: Membandingkan data kasus AIDS baru yang dilaporkan untuk triwulan kedua (sampai dengan 30 Juni) tahun 2006 dan tahun 2011, terlihat penurunan yang besar dalam penularan HIV di kalangan penasun. Pada akhir bulan Juni tahun 2006, 54,4% kasus AIDS baru yang dila porkan adalah dari penasun; sedangkan pada akhir bulan Juni 2011, hanya 16,3% kasus AIDS baru yang dilaporkan berasal dari penasun. Sejumlah faktor yang mempengaruhi penurunan kasus baru AIDS dari cara penularan alat suntik antara lain: • Sebagaimana tampak di atas, jangkauan penasun meningkat secara bermakna dari 7% tahun 2006 menjadi 57% pada tahun 2011 (Juni). Mereka memperoleh lebih banyak informasi. 58
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Contoh materi komunikasi informasi dan edukasi terkait HIV dan AIDS.
• Perubahan postif dalam lingkup kebijakan mulai dari Peraturan Menkokesra no 2/2007 yang memungkinkan perluasan yang cepat penyediaan program layanan alat suntik steril dan program rumatan metadon/ substitusi oral yang terintegrasi di dalam sistem layanan kesehatan masyarakat yang sudah ada sebelumnya (lihat Box 2 yang menunjukkan perkembangan lingkungan aspek legal dan peraturan 1997 - 2010). • Berbagi jarum dan alat suntik (yang berisiko sangat tinggi untuk penularan HIV jika rekan berbaginya terinfeksi HIV – seringkali tanpa diketahuinya) masih biasa kita temui pada tahun 2005-2006. Dengan makin meningkatnya program pengurangan dampak buruk pada penasun, baik dalam jumlah maupun efektivitas, penasun makin memahami dinamika infeksi, dan makin banyak memanfaatkan layanan TRM dan LASS yang tersedia melalui sistem kesehatan pemerintah, khususnya puskesmas. Hasilnya, baik STHP tahun 2007 maupun Survei Cepat Perilaku (SCP) tahun 2010 menunjukkan bahwa “tidak berbagi alat suntik di minggu terakhir” meningkat di atas target kritis SRAN 60% (lihat Grafik 5). Perlu diperhatikan bahwa SCP ini menunjukkan 61% penasun “tidak berbagi alat suntik pada bulan terakhir”, juga berada di atas titik kritis target SRAN 60%. (Lihat Grafik 6)
59
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Grafik 5: Persentase penasun yang tidak berbagi alat suntik pada penyuntikan terakhir dan selama satu minggu terakhir, tahun 2004, 2007, and 2010
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Penyuntikan terakhir
56
Penyuntikan selama seminggu terakhir 81 60
73 63
49
IBBS 2004
IBBS 2007
Target SRAN 60%
SCP 2010
IBBS 2004: Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya IBBS 2007: Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Malang
Sumber: Kementerian Kesehatan dan Biro Pusat Statistik. Survei Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2004 dan 2007; Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Survei Cepat Perilaku tahun 2010.
• Survei Cepat Perilaku (2010), Grafik 6, di bawah, juga menunjukkan bahwa sudah ada 89% penasun yang akses alat suntik steril (dimanapun mereka dapatkan - layanan, apotek, petugas penjangkalu dll), sementara 73% mengakses Layanan Alat Suntik Steril (LASS) yang khusus disiapkan untuk penasun. Walaupun dibutuhkan analisis lebih lanjut untuk menginterpretasikan hasil ini, gambar di bawah menunjukkan bahwa di saat ini penasun lebih bertanggung jawab untuk kesehatannya sendiri dengan membeli alat suntik untuk keperluannya.
60
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Grafik 6: Akses program dan perilaku menyuntik pada penasun 1600
1470 1311
1400 1200
100% 89%
1000
1044
1074
71%
73%
800
931 63%
600
900 61%
400
521 35%
200 0
Penasun
Punya akses Alat Suntik Steril (ASS)
Akses ke Program
Punya akses ke Layanan ASS (LASS)
Tdk berbagi dlm Tdk berbagi dlm Tdk berbagi dlm Tdk berbagi dlm penyuntikan penyuntikan 1 mg penyuntikan 1 bln penyuntikan 1 thn terakhir terakhir terakhir terakhir
Penggunaan alat suntik
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Survei Cepat Perilaku. 2010
Masih cukup banyak tantangan yang dihadapi untuk dapat melakukan perluasan yang terus menerus serta untuk mendukung program pengurangan dampak buruk yang sudah berfungsi baik di puskesmas, lembaga pemasyarakatan (lapas), dan sistem masyarakat, antara tahun 2006 dan 2011. Dilain pihak, hasil yang sudah dicapai sampai saat ini tampaknya telah memberi bukti yang kuat mengenai keuntungan dari program yang komprehensif, yang terdiri dari: tindakan yang tersasar dengan baik (well targeted action) pada berbagai aspek terkait kebijakan maupun program, serta kerjasama yang baik antara penasun, pengambil kebijakan pemerintah, penyedia layanan, petugas penjangkau dan jaringan dukungan komunitas maupun keluarga. Penularan seksual: Efektivitas untuk mengendalikan penularan HIV pada hubungan seks berisiko, sangat tergantung pada perubahan perilaku: 1) menurunkan atau meniadakan perilaku berisiko, dan 2) penggunaan kondom yang benar dan konsisten. Disinilah peran “total football” Indonesia menjadi penting – sebagian masyarakat membutuhkan informasi dan pesan-pesan dasar, sebagian orang membutuhkan pesan yang dikembangkan secara khusus untuk sasaran yang berbeda, begitu juga bagi mereka dengan tingkat risiko dan kerentanan yang berbeda, dalam hal penularan HIV. Contohnya, • Setiap orang yang rentan akan penularan HIV memerlukan pemahaman yang benar mengenai HIV, cara penularan, berbagai alternatif untuk menghindarkan diri dari penularan HIV, dan bagaimana ODHA tetap dapat hidup sepenuhnya, hidup yang bertanggung jawab. 61
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
• Setiap orang, masyarakat umum, populasi kunci, pengambil kebijakan, dan penyedia layanan, membutuhkan pendidikan tentang penyebab dan gejala stigma dan diskriminasi, dan bahwa hal tersebut tidak beralasan dan tidak dapat ditolerir. Selain itu, • Untuk sebagian masyarakat, yang tepat adalah diskusi yang lebih intensif dan tindakan yang khusus untuk memperkuat ketahanan keluarga serta ketahanan beragama sangat penting, sejalan dengan upaya untuk pemberdayaan orang muda melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk memper tahankan perilaku tidak berisiko ketularan HIV ataupun penyakit lainnya. • Untuk orang lain, mereka yang karena pekerjaannya atau karena gaya hidupnya, berada pada tingkat risiko yang tinggi tertular HIV, penting sekali mereka mendapatkan informasi dan layanan untuk meningkatkan perilaku yang proaktif dan aman, sekaligus dilengkapi dengan ketersediaan layanan yang dibutuhkannya. Ini termasuk akses untuk mendapatkan kondom dan pelicin, pelatihan penggunaannya, menciptakan lingkungan yang mendorong penggunaan kondom, akses untuk pengobatan infeksi menular seksual, juga konseling dan tes HIV baik sukarela maupun didorong oleh pemberi layanan (VCT & PICT). Secara historis, penggunaan kondom di Indonesia pada umumnya rendah. Walaupun sudah banyak upaya untuk promosi penggunaan kondom terkait keluarga berencana atau pencegahan penularan penyakit kelamin termasuk HIV, dimulai sejak epidemi ini masih baru saja dikenal, namun penggunaan kondom tetap rendah, dan ini sangat menghambat upaya pencegahan penularan HIV pada hubungan seks berisiko. Pada tahun-tahun terakhir ini bukti dari Indonesia maupun dari luar negeri menunjukkan bahwa upaya yang paripurna dengan orang dan lembaga di daerah “hot spot” dapat meningkatkan penggunaan kondom yang berakibat pada penurunan infeksi menular seksual, termasuk HIV.68 Walaupun terbatas, Indonesia telah belajar dari pengalaman perluasan dan intensifikasi pemberdayaan pekerja seks (laki-laki, perempuan, dan waria) baik langsung maupun tidak langsung, dari pengalaman pelibatan dan tanggung jawab pemangku kepentingan yang lebih luas, maupun dari kemitraan dengan layanan kesehatan. Pembelajaran ini berujung pada suatu inovasi baru dimana Indonesia telah mengembangkan paket “intervensi struktural” untuk pencegahan infeksi HIV melalui transmisi seksual (PMTS). Program ini dimulai dengan dukungan dana DKIA/IPF dan Global Fund, dan sekarang diperluas pelaksanaannya secara strategis ke lokasi target, yaitu 159 Kabupaten/Kota di 33 Provinsi. Upaya ini dilengkapi dengan penambahan secara bermakna outlet penjualan kondom dan pelicin agar nyaman didatangi pekerja seks. 62
BAB 02 - Epidemi dan Upaya Penanggulangannya: Perubahan-perubahan Tahun 2006 dan 2011
Walaupun baru saja dimulai pada pertengahan tahun 2009, namun demikian laporan sementara hasil pelaksanaannya tampak menjanjikan. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan jumlah outlet kondom/pelicin, juga distribusi dan penggunaan kondomnya. Pada bulan Juni 2011, dilaporkan 3.466 outlet untuk distribusi kondom laki-laki, 1.762 outlet untuk pelicin, dan 600 outlet kondom perempuan. Antara bulan Juli 2009 dan bulan Juli 2011 distribusi kondom adalah sebagai berikut:69 • hampir 14 juta (13.830.854) kondom laki-laki • 1.069.387 paket pelicin, dan • 548.000 kondom perempuan Kondom-kondom ini disediakan secara gratis kepada pekerja seks yang tidak mampu. Di samping itu, promosi penggunaan kondom juga mencakup pesan untuk bertanggung jawab agar memenuhi kebutuhan kondomnya sendiri, agar membeli dan menggunakan kondom secara konsisten sebagai tindakan yang umum untuk menjaga kesehatannya sendiri. Pemasaran kondom secara komersial tetap berjalan bersamaan dengan penyediaan kondom gratis, dan tampak bahwa penjualan tahunannya meningkat dari 69.587.608 kondom tahun 2006 menjadi 116.701.048 di tahun 2010.70 Dari laporan penjualan tampak pula bahwa peningkatan penjualan tahunan – yang bertambah dengan cepat – sejumlah 23.140.424 kondom dari tahun 2009 ke tahun 2010 terjadi karena dampak pengalaman menggunakan kondom gratis yang menyebabkan lebih banyak laki-laki bersedia membeli kondom untuk dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, tampaknya, kondom gratis telah memberi sumbangan terhadap “terciptanya kebutuhan” (atau demand creation) untuk penjualan kondom komersial. Temuan dari evaluasi paruh waktu dari kemajuan penanggulangan AIDS nasional (tahun 2009), juga menunjukkan peningkatan akses terhadap informasi dan layanan bagi pekerja seks; begitu pula dalam tingat penggunaan kondomnya, 74% pada hubungan seks terakhir untuk pekerja seks perempuan.
63
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Grafik 7: Penggunaan kondom yang dilaporkan wanita pekerja seks, 2010 3000 2500
2542 100%
2000
2224
2307
87%
91%
2119
1882
83%
74%
1500
1671 66%
1000
1033 41%
500 0
Jumlah WPS
Info kondom dari PL/PE
Akses ke Program
Ketersediaan kondom pada sex terakhir
Penawaran kondom Penggunaan kondom pada sex terakhir pada seks terakhir
Konsisten menawarkan kondom
Konsisten menggunakan kondom
Penggunaan alat kondom
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Survei Cepat Perilaku. 2010
Apa yang terjadi antara tahun 2006 dan 2010 yang membuat perubahan yang ini dapat terjadi? Seberapa kuat sistem yang sudah ada mampu menghadapi tantangan ke depan? Laporan berikut ini akan membahas hal-hal tersebut dan diakhiri dengan proyeksi ke masa yang akan datang beserta rekomendasi-rekomendasinya.
64
03
Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
65
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Transisi penanggulangan AIDS di Indonesia menunjukkan adanya perubahan yang sistematis dan terencana. Sebelumnya penanggulangan AIDS di Indonesia sangat mengandalkan pendanaan luar negeri, pelaksanaannya dilakukan di lokasi yang tersebar, belum ada koordinasi tingkat nasional yang kuat, apalagi dikelola secara terpadu. Kondisi setelah berfungsinya Sekretaris baru dalam memimpin KPA sudah berubah, penanggulangan nasional direncana secara teliti berbasis analisis yang mendalam terhadap situasi epidemi, dimonitor secara teratur dan secara bertahap menjadi bagian dari sistem kepemerintahan dan kemasyarakatan. Hal ini terjadi secara sistematis, terencana, dan konsepnya tertuang dalam strategi dan kebijakan tertulis. Sepanjang lima tahun sejak hari tersebut, upaya penanggulangan AIDS menjadi bagian dari pengembangan system nasional yang mencakup kebijakan dalam perencanaan dan pengembangan program, mobilisasi dan penguatan sumber daya manusia, sumber daya finansial, maupun kemitraan dengan berbagai pihak. Sekretariat KPAN mulai dengan menetapkan prioritas awal berupa (1) restrukturisasi sekretariat untuk mengembangkan perencanaan, koordinasi dan pemantauan penanggulangan AIDS sebagaimana diarahkan dalam Peraturan Presiden No.75/2006; juga, arahan kepada KPA Provinsi dan Kabupaten/Kota; (2) pengelolaan sumber daya manusia, khususnya dalam pengadaan staf sekretariat melalui proses rekrutmen terbuka, melatih, melakukan mentoring, dan menyelia tenaga-tenaga professional sesuai dengan kebutuhan;71 dan (3) pengembangan strategi penanggulangan AIDS nasional, termasuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) dengan perkiraan biaya yang jelas (costed action plan) yang pertama untuk Indonesia. Pada saat itu dana dalam negeri untuk mendukung kegiatan penanggulangan AIDS sangat terbatas. Begitu pula dukungan informasi ataupun kebutuhan lainnya. Oleh sebab itu, dana hibah dari Pemerintah Inggris (UK) untuk Indonesia sangat bermanfaat. Dana hibah lebih dari satu tahun (multi-year grant) dengan total US$ 47 juta, dimulai pada akhir tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2008. Dana ini diberikan kepada Indonesia untuk mendukung perluasan penanggulangan AIDS di tingkat lokal dengan melibatkan populasi kunci, serta untuk mendukung terciptanya upaya penanggulangan yang paripurna dan multi-sektor. Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bertanggung jawab atas pemanfaatan dan pengelolaan dana tersebut, yang disebut dengan the Partnership Fund for HIV and AIDS (IPF), atau dalam bahasa Indonesia adalah Dana Kemitraan Indonesia untuk HIV dan AIDS (DKIA). Sejak tahun 2007 Komite Pengarah (Steering Committee) yang diketuai oleh Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat bertindak sebagai badan pengawas tertinggi untuk DKIA/IPF. Komite Pengarah ini terdiri dari perwakilan pemerintah Indonesia, mitra pembangunan internasional yang aktif dalam upaya penanggulangan, juga masyarakat 66
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
sipil dan ODHA, masing-masing punya hak bicara dalam Komite Pengarah. Para mitra yang duduk dalam Komite Manajemen DKIA/IPF menjadi lebih terbuka dalam berdialog dan berpartisipasi pada upaya penanggulangan nasional sehingga terjadi juga peningkatan harmonisasi di antara program yang didukung oleh berbagai mitra. DKIA/IPF sudah tersedia ketika sekretariat dari KPAN yang baru dirancang dan dibentuk (2006–2007).72 Karena memang belum ada dana dalam negeri (APBN) yang untuk Sekretariat KPAN yang baru maka DKIA/IPF merupakan sumber dana terpenting untuk tiga hal: 1. segera mulai bekerja – rekrutmen staf, melaksanakan serangkaian kegiatan perencanaan, dan pelatihan serta, pengembangan pengelolaan kegiatan KPA di seluruh Indonesia – secara bertahap. 2. meneruskan dukungan untuk perluasan kegiatan yang melibatkan populasi kunci.* 3. mengembangkan Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS dengan perkiraan biaya berdasarkan informasi strategis mengenai situasi epidemiologis, perkiraan jumlah ODHA dan populasi kunci yang baru dikeluarkan (2006) serta STHP (Survei Terpadu HIV dan Perilaku) di Tanah Papua. Dana DKIA/IPF mulai digunakan pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006. Program utama yang dibiayai dana ini diselenggarakan oleh tim-tim yang pada saat bersamaan juga menerima dukungan dana dari Australia dan Amerika (IHPCP-AusAID dan FHI-USAID). Keduanya bekerja sama erat terutama dengan LSM-LSM tingkat lokal, beberapa KPA daerah dan beberapa departemen teknis terkait.73 Kesepakatan kerja yang dibuat untuk dana DKIA/IPF adalah untuk mendukung perluasan program di 11 provinsi yang pada saat itu sudah berjalan. † Pada awal tahun 2007, MenKo Kesra selaku Ketua KPA Nasional mengeluarkan serangkaian peraturan untuk menetapkan pengelolaan kelembagaan, termasuk struktur, pembagian tugas, pedoman pemantauan dan evaluasi untuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional serta seluruh KPA di Indonesia.74 Pada bulan Februari staf profesional senior dan tingkat menengah yang baru direkrut telah siap, dan revisi Strategi Nasional diselesaikan. Pada tanggal 12 Maret 2007, Strategi ini diluncurkan75 dengan 7 area prioritas: • Pencegahan infeksi menular seksual, HIV dan AIDS • Perawatan dukungan dan pengobatan untuk ODHA • Surveilans HIV dan AIDS serta infeksi menular seksual *
†
Pada akhir tahun 2008, akhir dari fase pertama pemberian dana IPF, 75% penggunaannya adalah untuk kegiatan perluasan semua kegiatan penting dalam penanggulangan, 18% untuk dukungan operasional Komisi Penanggulangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, (33 provinsi dan 177 Kabupaten/Kota), dan 7% untuk biaya administrasi kepada UNDP sebagai Manajer Keuangan. Sumatera Utara, Kepualauan Riau, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, NTT, Papua dan Papua Barat.
67
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
• Penelitian dan penelitian operasional • Promosi lingkungan yang kondusif untuk tanggapan yang paripurna, terintegrasi, dan menyeluruh • Koordinasi dan harmonisasi dengan semua mitra • Keberlanjutan upaya penanggulangan Segera setelah itu, Sekretaris KPA Nasional mengarahkan untuk mengembangkan rencana aksi dengan perkiraan biaya (costed-action plan) yang pertama di Indonesia untuk memberi arah pada penanggulangan yang terukur dalam hal jangkauan dan efektivitas program sehingga mampu memberi dampak secara epidemiologis. Data epidemi dikumpulkan dari berbagai sumber, baik dari daerah maupun tingkat nasional. Begitu pula jenis data yang diperhatikan, yaitu perkiraan prevalensi dan penyebaran HIV, maupun populasi yang paling berisiko tertular76. Data dipergunakan dalam membuat rencana program serta untuk melakukan dialog dan advokasi kepada mitramitra dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, upaya penanggulangan yang lebih terfokus dan terintegrasi dapat terus dipromosikan. Rencana ini juga menjadi bahan untuk pengembangan sistem pemantauan dan evaluasi. Fokus geografis dalam fase perencanaan ditetapkan berdasarkan estimasi jumlah dan penyebaran populasi kunci, termasuk ODHA di seluruh Indonesia. Perhitungan estimasi ini dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan konsultasi yang intensif dengan para pemangku kepentingan di tingkat provinsi. Analisis ini menjadi latar belakang ditetapkannya 19 provinsi, dimana 80% populasi kunci berada,* dan ditetapkan menjadi prioritas pengembangan dan pelaksanaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2007-2010. Pada Bab Pendahuluan dokumen Rencana Aksi Nasional periode ini, upaya penanggulangan dilakukan melalui pelaksanaan program intervensi yang sudah terbukti efektif menekan percepatan infeksi baru baik di Indonesia maupun di dunia.77 Namun demikian, komponen program tersebut tidak dilihat sebagai terpisah-pisah. Program pencegahan, konseling, tes, perawatan, dukungan, pengobatan, dan mitigasi dampak merupakan bagian dari pendekatan yang terintegrasi – atau kita sebut “total football” – yang merupakan keharusan untuk mampu berpacu melawan virus. Peran penting pembangunan dan penguatan sistem termasuk pemantauan dan evaluasi di tingkat nasional maupun daerah juga jadi bagian penting dalam rencana aksi nasional tahun 2007 – 2010. Perluasan (scaling up) merupakan salah satu komitmen penanggulangan AIDS dalam jangka yang lebih panjang, harus didukung dengan peningkatan sumber daya *
68
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS (2007-2010), hal. 9 Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
keuangan maupun pengelolaannya. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun (awal 2008), telah dilakukan pengumpulan informasi strategis sehingga dapat disiapkan proposal yang kuat bagi Indonesia untuk dukungan dana Global Fund. Dana ini direncanakan dapat membantu keberlanjutan penanggulangan AIDS nasional yang direncanakan secara bertahap dan perluasan program dan target yang jelas. Strategi terutama menekankan pada pencegahan; namun tidak mengabaikan perawatan yang komprehensif, dukungan, dan pengobatan. Upaya terkait membangun sistem, baik sistem kesehatan, sistem masyarakat maupun aspek pengelolaannya, selalu menjadi bagian dalam strategi untuk penguatan yang memungkinkan keberlanjutan program serta perluasan secara sistemik Dalam merancang program Indonesia berkomitmen untuk menggunakan metode yang telah terbukti efektif. Analisis dilakukan untuk memahami variasi tantangan di seluruh wilayah Indonesa serta untuk mencari metode dan strategi penanggulangannya. Beberapa pendekatan yang baru dicobakan, diadaptasi dan dievaluasi dampaknya pada epidemi. Jika dapat memperkuat efektivitas program yang sudah berjalan sebelumnya, maka segera diperluas. Langkah awal setelah ditetapkannya Peraturan Presiden No.75/2006, adalah secara sistematis menerapkan tiga mekanisme yang merupakan pilar utama pengelolaan penanggulangan AIDS nasional yang efektif. Mekanisme ini adalah adanya satu kerangka kerja (action framework) yang telah disepakati, satu lembaga koordinasi, dan satu sistem pemantauan dan evaluasi – atau disebut dengan istilah “tiga satu” - “the three ones.” Segera setelah langkah tersebut diambil, maka perhatian diarahkan pada hal-hal sebagai berikut: • Mobilisasi sumber dana: (1) Melakukan kajian bersama mitra-mitra bilateral maupun multilateral mengenai program yang sedang berjalan untuk mencapai kesepahaman atas kebutuhan penanggulangan nasional serta penyesuaian program agar sesuai dengan prioritas Indonesia; (2) mengidentifikasi sumber dana baru yang potensial untuk dukungan dan pengembangan proposal; • Program: Membuat prioritas orang yang akan dilayani, kebutuhan program prioritas, dan menetapkan lokasi berdasarkan analisis yang sistematis berdasarkan pengalaman, tantangan, ketersediaan sumber daya, potensi untuk memberikan dampak pada epidemi, serta memastikan pengembangan kebijakan, standar, dan pedoman untuk perluasan kegiatan yang terbukti dapat diterima oleh masyarakat serta cost effective. • Pengelolaan: Membangun sistem pengelolaan nasional untuk perencanaan dan pemantauan upaya penanggulangan AIDS nasional sesuai dengan perkembangan; memobilisasi dana dan melakukan pembukuan sumber 69
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dana mengikuti kerangka waktu dan cara yang transparan; mengadvokasi dan mempromosikan standar dan praktik yang tidak mendiskriminasikan di semua aspek penanggulangan; mengadvokasi dan memberi dukungan teknis untuk pengembangan “lingkungan yang memberdayakan”, yang positif dan paripurna, baik dalam bentuk kebijakan, hukum, pedoman dan pelatihan untuk mempromosikan pemahaman dan pelaksanaan secara penuh. • Kemitraan: Berkembang bersama mitra dalam negeri dan luar negeri, melalui dialog dan sistem kerja untuk tercapainya kesepahaman atas pendekatan yang dilakukan Indonesia menghadapi epidemi ini; kerjasama secara sinergis di antara para mitra, yang sesuai dengan peran, tanggung jawab, serta keahlian masingmasing. Semuanya berada dalam satu kerangka kerja Rencana Aksi Nasional penanggulangan AIDS. Terkait pengembangan dan evaluasi penanggulangan nasional, tiga hal yang selalu menjadi perhatian adalah jangkauan, efektivitas, dan keberlanjutan. Sementara, isu mengenai stigma, diskriminasi, dan lingkungan yang kondusif (khususnya berhubungan dengan peraturan dan opini publik) juga merupakan bagian penting dalam merancang program, pelatihan, pemantauan dan evaluasi. Sejak Peraturan Presiden No.75/2006 isu-isu tersebut menjadi pertimbangan utama dalam penyediaan layanan, dalam advokasi dan penjangkauan ke masyarakat umum, maupun dalam bekerja dengan populasi kunci, aparat pemerintah, dan anggota legislatif di semua tingkatan. Di dunia, dan juga di Indonesia, stigma dan diskriminasi adalah hambatan dalam pelaksanaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif. Akibat stigma dan diskriminasi, orang terhambat mendapatkan informasi dan layanan, juga kualitas layanannya. Orang yang pernah mengalami diskriminasi dan takut distigma, banyak di antaranya adalah orang yang berisiko terhadap infeksi atau yang sudah HIV positif akan menjauh dari informasi dan layanan yang tersedia karena takut mereka akan diperlakukan sebagai “warga kelas dua” atau bahkan lebih buruk. Jika orang ini tidak mendapatkan apa yang membutuhkan nya - informasi ataupun layanan - maka seluruh lapisan masyarakat juga akan dirugikan.
A. Memobilisasi sumber daya Melalui pengembangan perencanaan sistematis sejak Perpres 75/2006 telah diketahui bahwa Indonesia membutuhkan peningkatan sumber dana, khususnya yang dikelola dalam satu wadah untuk mendukung perluasan yang cepat disertai peningkatan kualitas program penanggulangan. Tanpa peningkatan sumber dana, kecil kemungkinan Indonesia dapat bergerak secara cepat dan menjangkau wilayah yang luas untuk dapat menekan penyebaran infeksi HIV, yang pada akhirnya mengubah arah epidemi. Tanpa gerak cepat, Indonesia akan membayar mahal dampak buruk epidemi HIV dan AIDS 70
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
secara ekonomis maupun sosial. Hal ini belum terhotung banyaknya orang maupun keluarga yang juga harus membayar mahal biaya-biaya dari sumber pribadinya untuk bila tertular penyakit ini. Oleh sebab itu, penting dalam memobilisasi sumber dana adalah, mencari dana dari sumber selain luar negeri. Pada tahun 2006 penanggulangan HIV dan AIDS didanai hanya 26,58% dari sumber dana dalam negeri, dan 73,42% berasal dari dana hibah dari luar negeri.78 Sebagaimana telah dibahas sebelum ini, keberlanjutan program adalah salah satu dari tiga pertimbangan penting kinerja program penanggulangan AIDS. DKIA/IPF dan perjanjian-perjanjian kerja untuk AIDS lainnya79 memang sangat penting untuk memulai upaya dalam kondisi epidemi yang kritis ini. Namun demikian, prioritas pengelolaan dana penanggulangan HIV dan AIDS harus diarahkan pada kemandirian nasional yang berkesinambungan. Oleh sebab itu, mobilisasi dana domestik menjadi perhatian utama. Dalam rangka memobolisasi sumber dana, diterapkan beberapa strategi untuk menghadapi tantangan yang berbeda tetapi saling. Strategi tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1. Meningkatkan sumber dana dalam negeri ke arah keberlanjutan: Indonesia akan mendanai penanggulangan AIDS di negaranya sendiri merupakan prinsip kerja Komisi Penanggulangan AIDS. Hal ini diterapkan pada seluruh tingkatan, sebagaimana secara jelas ditetapkan dalam Peraturan Presiden No.75/2006, artikel 15. Box 1: Peraturan Presiden No.75/2006 : tentang pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Bab V PEMBIAYAAN Pasal 15 (1)
Semua biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Penanggu langan AIDS Nasional dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber dana lainnya yang sifatnya tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
(2)
Semua biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Penanggu langan AIDS Provinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
(3) Semua biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Penanggu langan AIDS Kabupaten/Kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Sumber: Peraturan Presiden No.75/2006
71
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Salah satu langkah penting untuk mewujudkan pembiayaan yang mandiri adalah melalui upaya untuk memastikan disiapkannya alokasi sumber dana dari sumber dalam negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS di daerah dilakukan melalui konsultasi antara Sekretaris KPA Nasional yang baru dengan Wakil Ketua II Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Menteri Dalam Negeri RI, mengenai instruksi yang tepat bagi Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam tanggung-jawabnya di bawah Peraturan Presiden mengenai penganggaran dan pengelolaan penanggulangan HIV dan AIDS. Pada bulan April tahun 2007, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan No.20/2007, yang ditujukan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengenai Pedoman Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan HIV dan AIDS.80 Dalam peraturan ini ditetapkan bahwa, setiap provinsi, kabupaten dan kota harus mendirikan (atau melakukan re-orientasi, jika perlu) Komisi Penanggulangan AIDS yang bersifat multi-sektor, yang menyertakan perwakilan dari LSM dan ODHA. Dalam peraturan tersebut juga disebutkan KPA untuk mengalokasikan anggaran untuk sekretariat serta program kerja KPA. Selanjutnya pada tahun tersebut, tepatnya pada bulan Oktober 2007, Menteri Dalam Negeri menetapkan peraturan yang berikutnya, yang terkait dengan pendanaan kerja dari Komisi Penanggulangan AIDS menggunakan anggaran daerah (APBD).81 Sejak saat itu, setiap tahun, dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri terkait pendanaan, yang termasuk di dalamnya adalah arahah untuk alokasi pendanaan untuk kegiatan KPA pada tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Sebagaimana dapat dilihat di bawah (lihat Grafik 8), pada akhir tahun 2008, 33 provinsi telah mengalokasikan dana untuk HIV dan AIDS. Sejak saat itu, pertumbuhan belanja tahunan pendanaan daerah dalam total, khususnya tingkat provinsi, telah meningkat secara konsisten.
72
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Grafik 8: Pertumbuhan belanja untuk AIDS pada tingkat provinsi, kabupaten/kota. 2006-2010 (dalam miliar rupiah)
Rp120.00 Kabupaten/Kota
dalam miliar rupiah
Rp100.00
Provinsi
33
Jumlah
Rp80.00 Rp60.00 Rp40.00
19
Rp20.00 Rp-
86
23
150
33
172
33 166
73
2006
2007
2008
2009
2010
Kabupaten/Kota
Rp14.20
Rp19.70
Rp29.30
Rp35.20
Rp23.58
Provinsi
Rp27.36
Rp25.52
Rp33.30
Rp38.30
Rp81.40
Jumlah
Rp41.56
Rp45.22
Rp62.60
Rp73.50
Rp104.98
Sumber: 2005 – 2008. KPA Nasional. National AIDS Spending Assessment (NASA); dan 2009-2010. Laporan Sementara KPA Nasional mengenai NASA.
Data tahun 2010 menunjukkan peningkatan yang besar dalam total belanja untuk AIDS di provinsi antara tahun 2009, yaitu Rp.38,3 miliar (US$ 4.505.882) dan tahun 2010 Rp. 81,4 miliar (US$ 9.576.471). Keberhasilan pada tingkat kabupaten/kota memang belum terlalu merata, terjadi peningkatan dari tahun 2005 ke tahun 2009, tetapi sedikit menurun pada tahun 2010. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena berkurangnya jumlah kabupaten/kota yang melaporkan belanja untuk AIDS, dari 172 kabupaten/ kota pada tahun 2009, menjadi 166 pada tahun 2010.82 Berdasarkan pemetaan tahun 2011, terdapat 173 KPA Kabupaten/Kota yang aktif yang melaporkan belanja untuk AIDS pada sampai dengan akhir tahun 2011. Usaha menstimulasi peningkatan anggaran untuk HIV dan AIDS dilakukan melalui dua hal secara bersamaan, pertama untuk meningkatkan dana dari sumber-sumber potensial di tingkat nasional, dan yang kedua melalui hubungan dengan perorangan maupun lembaga di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Upaya ini bermula sesaat setelah Peraturan Presiden No.75/2006 berlaku; dan hingga hari ini upaya ini masih terus dilakukan, termasuk melalui advokasi yang intensif, maupun kegiatan lain, seperti analisis dan pembahasan program dan perkembangan epidemi, pelatihan dan 73
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dukungan teknis untuk perencanaan program/kegiatan AIDS, serta pengembangan kapasitas, khususnya pengembangan rencana aksi provinsi dan kabupaten/kota sekaligus advokasi dengan dasar informasi situasi epidemi dan efektifitas program. Untuk mendukung hal ini, maka dibuatkan kebijakan agar Gubernur, Wakil Gubernur dan pejabat tinggi di tingkat provinsi terus mendapatkan informasi terkini mengenai perkembangan epidemi serta upaya penanggulangannya. Informasi ini termasuk informasi provinsi masing-masing, juga informasi secara umum sebagai bagian dari Republik Indonesia. Untuk itu, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPAN mempersiapkan pertemuan gubernur, dan pertemuan yang penting ini telah dilakukan ada tahun 2008, 2009, dan 2011. Ketua KPAN dalam hal ini didampingi oleh kedua Wakil Ketua KPA Nasional, yaitu Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri, serta Sekretaris KPA N juga pejabat tinggi lainnya. Komunikasi dengan Ketua KPA Provinsi dapat dilakukan dalam pertemuan tahunan, dan juga melalui tatap muka yang secara rutin dilakukan Sekretaris KPAN ketika berkunjung ke provinsi. Staff KPA Provinsi, Kabupaten/Kota, serta masyarakat sipil dan mitra-mitra LSM bersama melakukan advokasi yang intensif kepada pengambil keputusan di daerahnya, sekaligus juga mengikuti pelatihan dan menerima dukungan teknis dari berbagai pihak untuk melakukan perencanaan, penghitungan biaya, penganggaran, dan pengembangan pelaporan. Dukungan teknis dari nasional melibatkan, mitra dalam dan luar negeri, serta konsultan yang bekerja erat dengan tim KPAN. Sebagaimana dapat dilihat pada Grafik 8 di atas,tampak adanya kemajuan. Anggaran telah meningkat pada tahun-tahun terakhir. Bahkan, sebagaimana disebutkan sebelumnya, sejak tahun 2010 beberapa staf sekretariat KPA telah mulai digaji dari dana APBD. Pada tahun 2011, keseluruhan ada 63 kabupaten dan 9 kota di 24 provinsi telah sepenuhnya dibiayai oleh dana APBD (lihat Lampiran 4: kabupaten dan kota yang sekretariat KPA-nya100% dibiayai sumber dana lokal). Upaya peningkatan dana dalam negeri juga dilakukan secara intensif di tingkat nasional. Melalui komunikasi yang erat dengan anggota Tim Pelaksana KPAN, baik secara periodik sesuai dengan siklus perencanaan ataupun melalui sesi-sesi konsultasi, Kementerian/ Lembaga didorong untuk terus mengembangkan program kerja penanggulangan AIDS sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Program kerja yang dimaksud dapat dirujuk oleh Kementerian/Lembaga dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Nasional, seperti program pengurangan dampak buruk, perawatan, dukungan dan pengobatan, serta mitigasi dampak sosial dan ekonomi. Arahan dalam hal ini diperlukan agar upaya yang dikembangkan selalu berpegangan pada tiga pertimbangan, yaitu jangkauan, efektivitas program, dan keberlanjutan dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
74
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Efektivitas mobilisasi sumber dana dalam negeri dapat dilihat dari peningkatan anggaran dan kegiatan Kementerian/Lembaga dalam melakukan penanggulangan AIDS sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pada tahun 2006 alokasi anggaran AIDS di Kementerian/Lembaga mencapai Rp. 118,6 miliar (US$ 13,952,941) untuk 11 kementerian.83 Jumlah total tahun 2010 telah meningkat menjadi Rp. 643.098 miliar (US$ 75,658,588), dan pada tahun 2011 menjadi Rp 856.281 miliar (US$ 100,738,941) dengan 19 Kementerian/Lembaga melaporkan memiliki rencana kegiatan (lihat Tabel 12 halaman berikut untuk Kementerian/Lembaga beserta jumlah anggaran). Tujuan mobilisasi dana dalam negeri adalah bahwa terjadi anggaran HIV telah masuk dalam mekanisme pembangunan Indonesia secara umum. Untuk itu, konsultasi, kerjasama dan kemitraan dengan BAPPENAS sangat menunjang. Selain sebagai anggota Tim Pelaksana KPAN BAPPENAS juga memegang peran kepemimpinan dalam struktur rencana pembangunan nasional. BAPPENAS terlibat secara langsung untuk upaya ini, dan pada tahun 2010 ada indikasi yang kuat bahwa kemajuan besar telah dicapai. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada tanggal 20 Januari tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan No. 05/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2010-2014)84 (RPJMN). Ini termasuk di dalamnya aksi untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada bulan April 2010, Bapak Presiden mengeluarkan instruksi85 untuk meningkatkan upaya pembangunan yang berkeadilan, termasuk di dalamnya, percapatan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dimana tujuan nomor 6 adalah terkait penanggulangan HIV dan AIDS.
75
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Tabel 12: Anggaran AIDS tahun 2006 dan 2011 bersumber dari APBN Kementerian dan Lembaga anggota KPA Nasional (dalam juta Rupiah) Kementerian/Lembaga 1
Kementerian Kesehatan
2
Kantor Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat / Sekretariat KPAN
3
Kementerian Sosial
4
BPPT
5
Anggaran 2006 Rp
Anggaran 2011
113.000
Rp
801.172
---
Rp
25.000
1.700
Rp
4.367
---
Rp
547
Kementerian Hukum dan HAM
Rp
900
Rp
5.000
6
Kementerian Komunikasi dan Informasi
---
Rp
3.745
7
Kementerian Pendidikan Nasional
Rp
1.050
Rp
1.458
8
BKKBN
Rp
200
Rp
3.017
9
Kementerian Dalam Negeri
Rp
230
Rp
3.463
10
Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga
---
Rp
300
11
Kementerian Pertahanan
1.500
Rp
360
12
Badan Narkotika Nasional
---
Rp
2.110
13
Kementerian Transportasi
220
Rp
1.800
14
Kementerian Agama
---
Rp
365,9
15
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Rp
3.592
16
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
17
Tentara Nasional Indonesia
18
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
19
Kementerian Pekerjaan Umum
Rp
Rp
Rp
TOTAL
Rp
170
Rp
133,9
Rp
440
Rp
400
Rp
160
Rp
958
---
Rp
600
Rp 118.600
Sumber: Pertemuan konfirmasi Tim Pelaksana KPA Nasional. April dan Mei 2011.
76
Rp
856.281
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Secara keseluruhan selama periode ini (2006-2010) baik dana belanja absolut maupun relatif untuk HIV dan AIDS terus meningkat. Dana naik dari US$ 56,576,587 pada tahun 2006 menjadi total US$ 65,550,730 pada tahun 2010. Total investasi Indonesia untuk AIDS meningkat setiap tahun. Proporsi dana dalam negeri dibandingkan total juga meningkat dari 27% pada tahun 2006 menjadi 42% tahun 2010. Tabel 13: Pembelanjaan (expenditure) per tahun untuk AIDS tahun 2006 - 2010 menurut sumber dana (dalam atau luar negeri) 2006
2007
2008
2009
2010
Dalam negeri
$
15,038,057
$
15,412,976
$
19,839,380
$
21,318,854
$
27,779,280
Luar negeri
$
41,538,530
$
43,258,421
$
30,991,725
$
39,957,601
$
37,771,450
$
56,576,587
$
58,671,397
$
50,831,105
$
61,276,455
$
65,550,730
JUMLAH
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Laporan NASA 2006-2007; 2008. Perhitungan dalam laporan sementara NASA 2009-2010. Dalam proses persiapan publikasi
2. Sumber dana luar negeri Dukungan dari berbagai mitra pembangunan internasional, baik bilateral maupun multilateral sangat penting dalam perluasan (scale up) upaya penanggulangan HIV dan AIDS selama lima tahun terakhir ini. Ketika anggaran AIDS Indonesia masih sangat terbatas, mitra pembangunan internasional mendukung pengembangan beberapa sistem sosial, pengelolaan, teknis, dan finansial, yang dibutuhkan dalam upaya penang gulangan yang efektif, akuntabel, berkelanjutan, dan paripurna. Pendanaan dari DKIA/ IPF memberikan dukungan untuk proses pengembangan proposal dukungan hibah yang digunakan selama periode 2009-2015 dari Global Fund untuk Indonesia, sebuah langkah yang sangat penting terhadap pelaksanaan upaya penanggulangan yang ter padu, dibandingkan dengan penanggulangan yang bersifat lokal dan terpisah-pisah. Selama tiga tahun pertama setelah Peraturan Presiden No.75/2006, tiga donor bilateral – Pemerintah Inggeris, Amerika Serikat, dan Australia – memberi dukungan finansial yang bermakna untuk penanggulangan nasional, yaitu US$ 35.3 juta, US$ 24.4 juta, dan US$ 20,9, secara berturut-turut. Dukungan dana Global Fund sejumlah US$ 19.9 juta, adalah penyumbang keempat, selama periode yang sama, dan akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang. (Lihat tabel 14 di bawah). Dukungan bilateral dari Pemerintah Inggeris, sebagaimana dibahas sebelumnya, adalah dukungan dana langsung yang sangat bernilai kepada pemerintah Indonesia, 77
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dan melahirkan Indonesian Partnership Fund atau Dana Kemitraan Indonesia untuk HIV dan AIDS (DKIA/IPF) yang dikelola oleh sekretariat KPA Nasional dengan UNDP sebagai Manajer Keuangan (Fund Manager) sampai dengan sekretariat KPA Nasional siap untuk menyandang tanggung jawab sebagai manajer keuangan. Dana bilateral baik dari Australia dan Amerika Serikat diarahkan untuk mendukung utamanya, kegiatan LSM Indonesia di 11 provinsi, tetapi juga termasuk dukungan kapasitas pemerintah daerah, KPA pada semua tingkatan, juga Kementerian Kesehatan baik di tingkat pusat maupun daerah. Walaupun lingkup program belum memadai untuk mendapatkan dampak terhadap epidemi sebagaimana yang diharapkan, namun banyak manfaat dapat diperoleh, dimana organisasi di tingkat daerah beserta kapasitasnya diperkuat sehingga memberi sumbangan yang sangat besar dalam membangun upaya penanggulangan nasional. Tabel 14: Dukungan dana luar negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. 2006 - 2008 (US$)* 2006 (1)
2007 (2)
2008 (3)
UK (DFID)
$ 14,859,921
$ 14,542,239
$ 5,880,900
$
US (USAID)
$
7,084,881
$ 9,639,336
$ 7,710,100
$ 7,795,576
$ 3,962,570 $ 36,192,463
Australia (AusAID)
$
6,013,785
$ 9,234,395
$ 5,706,267
$ 6,959,074
$ 8,829,372 $ 36,742,893
Global Fund
$ 10,464,951
$ 3,656,642
$ 5,818,972
$ 20,199,097 $ 19,992,709 $ 60,132,371
UN (PBB)
$
$ 5,400,331
$ 2,368,333
$ 4,674,854 $ 4,412,998 $ 19,753,653
2,897,137
World Vision Int. Netherlands
$
167,499
$
578,700
2009 (4) --
2010 (4) $
--
Total $ 35,283,060
$
578,700
$
92,906
$
295,290
$
140,272
$
381,800 $
1,077,767
World Bank
$
310,000
$
52,500
$
188,728
$
192,000 $
743,228
European Union (IMPACT)
$
313,129
$
872.588
$
1,185,717
$
114,986
$
1,712,160
Japan
$
49,472
$
65,514
Sumber luar negeri lain
$
457
$
3,628
TOTAL
$ 41,538,103
$ 43,258,120
$ 1,708,075
$ 30,991,725 $ 39,957,601 $ 37,771,449 $ 193,516,998
Sumber: (1) Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. NASA 2006-2007. Data diambil dari tabel 3 and 4. (2) NASA 2006-2007. Data diambil dari tab 6 and 7; (3) NASA 2008. Tabel 4 and 5; (4) NASA data dimutahirkan pada tanggal 9 November 2011 * rincian dana tahun 2009-2010 belum tersedia saat penulisan laporan
78
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Ada pula berbagai dukungan internasional – yang diberikan untuk proyek tersendiri, untuk penelitian dan kajian, untuk peningkatan kapasitas di Indonesia maupun di luar negeri, untuk mengembangan dan memperkuat sistem pengelolaan secara umum, dan dukungan-dukungan lain untuk berbagai kegiatan. Bentuk pemberian data dapat berubah sesuai dengan kebutuhan, ada yang berupa proyek yang khusus dirancang, dan ada pula yang berupa pengadaan dan pemberian layanan. Kadang-kadang pemberian dana secara penuh, dan ada juga yang diberikan sebagai dana pendamping. Dalam rangka mencapai dampak maksimal investasi ini sebagaimana merupakan keinginan bersama, maka pada donor berkonsultasi dengan KPA di tingkat nasional ataupun KPA di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, untuk menentukan bentuk dukungan, atau jenis kegiatan yang akan diberi dukungan. Perubahan utama partisipasi internasional dalam kerja penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sebelum dan setelah Peraturan Presiden No.75/2006 adalah, adanya pemahaman yang lebih baik terhadap 1) peran Sekretariat KPA Nasional dalam memimpin koordinasi dan pengelolaan penanggulangan AIDS secara umum, dan 2) kerangka yang komprehensif dengan mengacu pada dua rangkaian Strategi dan Rencana Aksi Nasional (2007-2010 dan 2010-2014). Lebih jauh lagi, sekretariat KPA Nasional memiliki pendekatan yang luas dan proaktif terhadap kerja mitra internasional, mengajak untuk melakukan harmonisasi kerja di bawah payung penanggulangan AIDS nasional sebagaimana yang ditetapkan dalam Rencana Aksi yang sudah disepakati, dan untuk mengikuti standar, pedoman dan praktik-praktik Indonesia. Selanjutnya, Sekretariat KPA Nasional sering melibatkan mitra luar negeri dalam pembahasan aspek teknis atau agar masuk dalam tim untuk pengembangan program opasional, evaluasi lapangan, mentoring dan pementauan, serta lain sebagainya. Kombinasi tindakan ini telah memungkinkan terjadinya peningkatan dalam sinergi, fokus, dan efektivitas kerja selama lima tahun periode ini, dengan dan oleh para mitra internasional. Selain mengkoodinasikan kegiatan yang sudah ada, sekretariat KPA Nasional telah memimpin pengembangan konsep rencana nasional secara partisipatoris. Termasuk dalam hal ini adalah membuat pengembangan kegiatan untuk melengkapi atau menutup kesejangan agar diperoleh hasil akhir berupa pelaksanaan rencana-rencana nasional. Perencanaan ini termasuk melakukan rancang ulang untuk perluasan kerja menyasar masalah khusus dalam penanggulangan. Di antara mitra luar negeri, Pemerintah Inggris adalah penyumbang terbesar yang memberikan dana hibah kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dengan acuan Peraturan Presiden No.75/2006. Kesepakatan hibah ini ditandatangani pada tahun 2005. 79
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Global Fund yang telah memberikan dukungan kepada Indonesia sejak tahun 2003 mengumumkan kesempatan untuk aplikasi pendanaan baru pada tahun 2007. KPA Nasional pada saat itu baru diangkat sebagai anggota the Country Coordinating Mechanism (CCM) Indonesia dan juga mengelola kerja yang didanai Global Fund. KPA Nasional mengembangkan usulan untuk mengawali upaya perluasan (scale up) penanggulangan AIDS yang terkoordinasi, multi-sektor, dan paripurna. Gagasan tersebut diterima dan Sekretatis KPA Nasional diminta untuk menjadi ketua Technical Working Group (TWG) untuk menyiapkan usulan tersebut. Pengembangan usulan selesai dan dimajukan kepada CCM untuk diserahkan pada Ronde 8. Usulan tersebut kemudian disetujui oleh Global Fund dan dana hibah diberikan kepada Indonesia untuk periode tahun 2009 – 2014. Tabel 15: Dukungan Global Fund untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Provinsi 5 Prov
GF Ronde GF 1
Tahun 2003-2007
Komitmen
Mulai
Bidang
US$
12 juta
Fokus pada pencegahan
65 juta
Fokus pada perawatan, dukungan, dan pengobatan
19 Prov
GF 4
2005-2010
US$
12 Prov
GF 8
2009-2014
US$
130 juta
mulai Jul 2009
Pendekatan komprehensif
23 Prov
SSF th 1
2010-2015
US$
87 juta
mulai Jul 2010
Pendekatan komprehensif
33 Prov
SSF th 2
2011-2015
mulai Jul 2011
Pendekatan komprehensif
xxxxxxxx
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
(lihat Lampiran 3 untuk rincian informasi dukungan Global Fund untuk penanggulangan AIDS termasuk provinsi yang menerima)
Tak lama sesudah itu, TWG, yang masih diketuai oleh Sekretaris KPA Nasional meneruskan kerja dan mulai mengembangkan usulan untuk Global Fund Ronde 9. Berdasarkan penyebaran infeksi yang dilaporkan, mobilitas yang tinggi dari penduduk Indonesia, dan dengan fakta yang semakin baik terdokumentasi dapat dilihat bahwa terdapat wilayah “hot spots” di seluruh 33 provinsi di Indonesia. “Hot spots” adalah wilayah pusat transaksi seks dan perilaku yang berisiko lainnya dalam hal penularan HIV. Wilayah ini merupakan area yang membutuhkan perhatian dalam penanggulangan AIDS. Hal ini diperkuat dengan kenyataan semakin terbangunnya jaringan transportasi – darat, laut, dan udara – dimana semua wilayah saling terkait dan mobilisasi penduduk juga terjadi. Untuk mengantisipasi perkembangan epidemi HIV, salah satunya dikarenakan kondisi seperti ini, maka diambil keputusan untuk menentukan jangkauan nasional secara strategis dengan melakukan seleksi atas lokasi-lokasi prioritas di seluruh provinsi. 80
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Pada saat yang bersamaan dengan persiapan usulan kepada Global Fund, Sekretariat KPA Nasional meneruskan kerja sama dengan mitra-mitra, khususnya USAID dan AusAID untuk mengkonsolidasikan dan mengarahkan fokus masing-masing kegiatannya untuk meningkatkan sinergi dan harmonisasi, khususnya dalam menentukan wilayah layanan dan wilayah geografis yang tumpang tindih. Pada akhirnya USAID, memberi perhatian untuk kegiatan terkait penularan seksual sementara AusAID mengarahkan perhatian mereka pada rangkaian isu terkait penggunaan napza suntik, baik di masyarakat maupun dalam lingkungan lembaga pemasyarakan, ditambah dukungan untuk penguatan kelembagaan di 14 provinsi. Untuk memobilisasi sumber dana baru, dua faktor penting adalah pertama, pengembangan usulan program yang logis dan baik, serta kedua, pengelolaan dana yang bertanggung jawab - yang ditandai dengan pembukuan dan pelaporan yang akurat dan tepat waktu. Untuk alasan ini, sekretariat KPA Nasional memprioritaskan pengelolaan keuangannya serta peningkatan kapasitas untuk Komisi Penanggulangan AIDS pada provinsi dan kabupaten/kota dalam bidang ini, sejak dari permulaan (lihat Halaman 46 untuk diskusi lanjut mengenai pengelolaan dana). Mobilisasi sumber daya hanya satu langkah kebutuhan membangun sistem penang gulangan nasional yang paripurna. Sumber daya memungkinkan terjadinya tindakan. Namun, sumber daya tidak memberi kepastian akan efektivitas. Pengelolaan program dan keuangan, serta sistemnya harus ditumbuhkan, dipelihara, dan dimasukkan dalam sistem untuk mencapai kinerja penanggulangan yang efektif dan berkelanjutan.
B. Program Keberhasilan dalam mengendalikan epidemi sangat tergantung pada keberhasilan upaya pencegahannya. Fakta ini adalah inti dari kerangka berpikir di balik strategi dan rencana aksi Indonesia. Di beberapa negara, pencegahan dapat terkonsentrasi hanya pada satu cara penularan. Karena di Indonesia, keduanya, baik penularan melalui alat suntik tidak steril maupun penularan seksual sama-sama penyumbang besar infeksi baru, maka kedua cara ini dapat perhatian sangat serius. Di dalam kerangka kerja pendekatan “total football” Indonesia, untuk menghadapi epidemi, prioritas awal diberikan untuk percepatan kerja menekan infeksi baru pada penasun dan meningkatkan pemberian layanan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah adiksi dan infeksi. Selanjutnya perhatian diberikan pada pencegahan melalui transmisi seksual. Pada saat yang bersamaan, peningkatan yang terus menerus jumlah perempuan yang ditemukan HIV positif 81
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
menunjukkan dengan jelas bahwa, perhatian untuk menyikapi kesenjangan gender dan peningkatan pengetahuan, keterampilan serta kemampuan perempuan untuk melindungi dirinya dari infeksi. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2011, tercatat 7.255 perempuan dilaporkan dalam kasus AIDS kumulatif, dan perempuan adalah 26,4% dari keseluruhan kasus AIDS yang dilaporkan. Situasi sebagaimana dilaporkan untuk enam bulan pertama, yaitu Januari-Juni 2011, bahkan lebih mengkhawatirkan. Dari 2.001 kasus baru AIDS yang dilaporkan selama periode ini, 35,1%-nya adalah perempuan!86 1. Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik: Komponen program dalam pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik pernah mengalami perubahan. Pada tahun 2006 sudah ada paket layanan dan kegiatan yang disebut dengan “Harm Reduction”, atau dalam bahasa Indonesia “pengurangan dampak buruk” penggunaan napza suntik dan HIV. Sampai dengan tahun 2009 pengurangan dampak buruk komprehensif di Indonesia mencakup 12 komponen sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat No.2/2007, yaitu (1) penjangkauan dan pendampingan; (2) komunikasi informasi dan edukasi; (3) pendidikan sebaya; (4) konseling perubahan perilaku; (5) konseling dan testing HIV sukarela (VCT); (6) program penyucihamaan; (7) layanan jarum dan alat suntik steril; (8) pemusnahan peralatan suntik bekas; (9) layanan terapi pemulihan ketergantungan narkoba; (10) program terapi rumatan metadon; (11) layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (CST), dan (12) pelayanan kesehatan dasar*. Bagaimanapun, Indonesia menghadapi berbagai tantangan untuk mengadopsi dan melaksanakan pengurangan dampak buruk secara lengkap, apalagi dalam waktu yang singkat, padahal untuk mendapatkan dampak yang bermakna terhadap epidemi, skala yang cukup besar harus tercapai. Lingkungan peraturan perundangan pada umumnya, kurang mendukung pengurangan dampak buruk ini, dan bagi kebanyakan orang, baik di lingkungan pemerintahan maupun masyarakat, belum banyak informasi mengenai penggunaan napza. Banyak di antara mereka yang merasa tidak simpatik terhadap penasun. Mereka belum mengerti bahwa ada pilihan untuk bekerja dengan penasun, dan bahwa bila masyarakat dapat bekerja sama secara konstruktif dengan dan untuk penasun maka hal tersebut lebih menguntungkan karena akan mengurangi penularan HIV dan penularan penyakit lain, serta dapat meningkatkan mutu dan produktivitas hidup orang yang masih menggunakan napza.
*
82
Tahun 2009, WHO, UNODC dan UNAIDS menetapkan pedoman pengurangan dampak buruk terbaru yang terdiri dari 9 komponen sebagai berikut: (1) layanan alat suntik steril; (2) terapi substitusi oral dan terapi adiksi obat-obatan; (3) Konseling dan testing HIV; (4) terapi ARV; (5) Pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual; (6) program kondom untuk penasun dan pasangan seksualnya; (7) Komunikasi informasi dan edukasi untuk penasun dan pasangan seksualnya; (8) vaksinasi, diagnosis dan pengobatan vrus hepatitis; (9) pencegahan, diagnosis dan pengobatan tuberkulosis.
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Dosis harian metadon yang disiapkan oleh puskesmas atau klinik lain yang memberikan layanan rumatan metadon.
Staf Sekretariat KPA di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota bekerja sama dengan berbagai mitra termasuk komunitas penasun, aktivis kesehatan masyarakat dan penggiat sosial, juga, mitra-mitra pembangunan internasional, dari Australia, Amerika Serikat dan badan-badan PBB. Bersama-sama atau sendiri-sendiri mereka melakukan advokasi, edukasi, dan demonstrasi pentingnya serta bagaimana efektifnya pengurangan dampak buruk untuk Indonesia. Namun, untuk mampu mencegah meluasnya epidemi HIV di kalangan penasun dibutuhkan daya yang sangat besar. Oleh karena itu Sekretaris KPAN secara strategis memanfaatkan dana IPF/DKIA yang ada serta langsung memobilisasi sumber dana domestik dan luar negeri, terutama Global Fund ATM untuk memungkinkan peningkatan dan perluasan upaya pengurangan dampak buruk ke semua kabupaten/kota/provinsi yang membutuhkan. Paket pengurangan dampak buruk cukup dikenal. Namun pendekatan yang diterapkan khas, yaitu: • struktural, untuk menciptakan lingkungan peraturan perundangan yang kondusif untuk pelaksanaan program dan untuk mengintegrasikannya ke dalam sistem, khususnya sistem kesehatan masyarakat dan sistem hukum dan keamanan masyarakat, kerangka kerja dan layanan peraturan dan perundangan untuk memfasilitasi pelaksanaannya. Mitra utama pengurangan dampak buruk adalah Badan Narkotika Nasional, Kepolisian RI, Kementerian/Lembaga pemerintah, 83
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Kementrian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dan Kementerian Sosial, serta DPR RI. • inklusif, terbuka untuk semua orang, dengan perhatian besar untuk pemberdayaan penasun sebagai bagian dari tim yang mengembangkan dan melaksanakan pengurangan dampak buruk di Indonesia; baik dalam masyarakat maupun yang berada dalam lembaga pemasyarakatan; dan • paripurna (komprehensif), dengan upaya pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan, termasuk untuk mengatasi adiksi dan masalah kesehatan lainnya seperti infeksi menular seksual, hepatitis, dan TB. Karena menghadapi hambatan sosial dan legal, sebelum tahun 2006 upaya pengurangan dampak buruk, sangat terbatas hanya pada proyek percontohan dan hampir seluruhnya ditangani oleh LSM dengan dukungan dana dari luar (khususnya Australia) serta Institut Burnett, FHI, dan badan-badan PBB. Tahun 2006 sampai dengan 2009 walaupun masih menghadapi hambatan dan tantangan legal dan sosial, namun dengan kerja sama dan dukungan berbagai pihak khususnya dukungan dana IPF/DKIA yang disalurkan melalui IHPCP dan FHI, bekerjasama dengan LSM, upaya LASS dapat ditingkatkan dan diperluas. Dengan semakin meningkatnya efektivitas dan lingkungan kebijakan dan peraturan yang mendukung (lihat Box 2 yang menggambarkan evolusi kebijakan terkait penggunaan napza dan penasun) manfaat pengurangan dampak buruk, lebih dimengerti, perluasan dapat makin ditingkatkan dengan sumber dana baru dari Australia melalui HIV Cooperation Program in Indonesia (HCPI) dan Global Fund.
84
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Box 2: Proses perkembangan peraturan perundangan untuk pengurangan dampak buruk • 1997
UU No. 5/1997 tentang Psikotropika. (Mengkriminalisasikan penasun)
• 2006 Kemkes menyetujui pedoman WHO untuk pencegahan dan pengobatan pada penasun • 2006
Kepmenkes RI No. 567/Menkes/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika. Psikotropika dan Zat Adiktif
• 2007
Permenko Kesra RI selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional No. 02/Per/Menko/Kesra/I/2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika. Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik
• 2008
Kepmenkes RI No. 350/Menkes/SK/IV/2008 tentang Penetapan RS Pengampu dan Satelit Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) serta Pedoman PTRM
• 2009
UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. (Pengguna diakui sebagai korban yang berhak atas pengobatan)
• 2010 Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 2010 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (penasun/orang yang adiksi dirujuk untuk pengobatan) • 2010
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. HH 01.PH.02.05/2010 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyalah gunaan Narkotika di UPT Pemasyarakatan di Indonesia. 2010-2014
Bagaimanapun juga, walaupun baru pada tahun 2009 penggunaan napza tidak lagi dikriminalisasikan (melalui UU No.35/2009 tentang Narkotika), usaha penanggulangan di lapangan sudah lebih dahulu dilakukan. Sebagaimana terlihat dalam Grafik 9 (di bawah) antara tahun 2005 dan 2010, ketersediaan program layanan alat suntik steril (sebagai komponen kunci pengurangan dampak buruk) meningkat tajam, dari 17 lokasi menjadi 194 lokasi, sedangkan terapi rumatan metadon (komponen penting lainnya), meningkat dari 3 lokasi menjadi 65 lokasi. Hal ini menggambarkan strategisnya keputusan ini yang juga diikuti dengan adanya kebijakan dan program untuk memastikan ketersediaan layanan paripurna yang esensial, sebagaimana dibutuhkan oleh penasun. Untuk keberlanjutan program jangka panjang, pengurangan dampak buruk harus diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan masyarakat yang sudah ada – rumah sakit, puskesmas, dan layanan kesehatan dalam sistem pemasyarakatan. Selama periode ini tampaknya, layanan pengurangan dampak buruk oleh LSM menurun jumlahnya, karena mereka yang membutuhkan layanan sudah dapat memperolehnya di fasilitasfasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah. Walaupun demikian, pentingnya dukungan masyarakat sipil dalam mengelola penanggulangan 85
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
infeksi HIV yang terkait penggunaan napza, termasuk masalah-masalah pribadi, sosial dan masyarakat, tetap dibutuhkan. Grafik 9: Pertambahan layanan pengurangan dampak buruk di Indonesia. 2002 - 2011 250 LASS/Total LASS/Puskesmas LASS/LSM PTRM
Jumlah Lokasi
200
182
194 169
180 160
147
150 120
113
100
118
129
79 65
50
0
4 4 0 2
2 4 0 4
2002
2003
10 11 2 1 2004
17 10 7 3 2005
69 35
51 49
51
2008
2009
2010
68
55
24
11 2006
2007
65
65 34
2011
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
Grafik 10: Ketersediaan layanan terapi rumatan metadon (TRM) 65
Jumlah Lokasi
70 60
di Lapas/ Rutan
50
di Rumah Sakit
49
di Puskesmas
40
35
JUMLAH
30
24
20 10 0
2 2 0 0
2 2 0 0
2 2 0 0
3 21 0
11 6 4 1
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional,
86
11 9 4 2007
34 25
17 14
16 8
9
2009
2010
4 2008
22
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
2. Pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual Penularan seksual dapat terjadi melalui hubungan seks baik heteroseksual maupun homoseksual. Bisa terjadi pada konteks transaksi seks komersial, hubungan suka sama suka, dan dalam perkawinan. Di semua situasi ini, ada potensi penularan infeksi menular seksual termasuk HIV di antara pasangan jika salah satu dari keduanya terinfeksi. Menghentikan penularan melalui hubungan seksual hanya dapat dilakukan dengan menghindari hubungan seks, kecuali hanya dengan pasangan yang sudah diketahui tidak terinfeksi, atau dengan penggunaan kondom dengan cara yang benar dan konsisten. Dengan perkataan lain pengendalian penularan seksual, adalah dengan memastikan perilaku yang aman, atau dengan mengubah perilaku yang tadinya tidak aman menjadi lebih aman. Perilaku seks aman, adalah perilaku seks yang tidak berisiko kehamilan yang tidak direncanakan dan/atau penularan penyakit. Contoh dari perilaku lebih aman adalah, menunda usia melakukan seks pertama kali, mengurangi jumlah pasangan seks, menggunakan kondom. Penggunaan kondom secara tidak teratur akan membantu menurunkan risiko infeksi tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan risiko. Menghindari seks berisiko, dan penggunaan kondom secara benar dan konsisten adalah dua cara utama untuk menghilangkan risiko tertular HIV. Pentingnya penularan seksual dalam epidemi HIV di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2009 Kementerian Kesehatan memperkirakan sejumlah 6.396.187 orang yang paling berisiko terinfeksi – penasun, pekerja seks perempuan dan pelanggannya, waria dan pelanggannya, laki-laki yang seks dengan laki-laki, warga binaan pemasyarakatan, serta pasangan intimnya dari mereka semua (termasuk suami dan istri). Sejumlah 186.257 orang diperkirakan HIV positif (ODHA).87 (lihat Lampiran 2: Rincian estimasi). Selanjutnya, penularan melalui hubungan seksual makin meningkat ketika makin banyak ODHA yang bisa menularkan kepada pasangannya melalui hubungan seks baik komersial, suka sama suka, atau dalam pernikahan yang sah.
87
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Salah satu kegiatan Pencegahan HIV melalui Transmisi Seksual yang paripurna.
Pada permulaan tahun-tahun penanggulangan nasional, upaya yang cukup besar dilakukan untuk mengurangi penularan melalui hubungan seks berisiko dengan meningkatkan penggunaan kondom, sebagaimana disarankan oleh WHO dengan pendekatan yang disebut dengan “penggunaan kondom 100%” yang telah berhasil di Thailand. Hal utama dari pendekatan adalah 1) pelacuran/hubungan seks berisiko dibatasi hanya di lokasi tertentu yang diatur dan berada di bawah pengawasan pemerintah (tidak boleh di jalan), 2) kondom wajib digunakan dalam setiap seks berisiko, 3) pekerja seks diwajibkan mengikuti pemeriksaan rutin untuk infeksi menular seksual termasuk HIV, 4) jika pekerja seks diketahui terinfeksi, pengelola tempat kerja dikenakan denda dan bertanggung jawab untuk pengobatannya. Bahkan, sesuai dengan peraturan, tempat kerja bisa ditutup. Di Indonesia, pendekatan penggunaan kondom 100% dimasukkan dan dipromosikan dalam Strategi Penanggulangan AIDS tahun 2003-2007. Sekretariat KPAN yang baru (2007), melakukan kajian yang sistematis mengenai efektivitas semua kegiatan yang masih berlangsung sambil mengembangan strategi nasional yang baru, dan kemudian rencana aksi dengan perkiraan biaya. Tahun 2007, surveilans periodik terkait HIV dilakukan secara nasional.88 Tahun 2008, hasil surveilans ini menunjukkan bahwa kampanye penggunaan kondom 100% yang selama ini dilakukan ternyata hanya sedikit berdampak sedikit terhadap pencegahan infeksi. Jika Indonesia ingin mengendalikan epidemi maka harus dicari pendekatan yang lebih efektif.
88
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Berdasarkan pertimbangan ini, ketika persiapan usulan kepada Global Fund (2008), Sekretaris KPA Nasional mengundang pertemuan konsultasi dengan berbagai mitra, baik perorangan maupun organisasi yang berpengalaman dalam bidang pencegahan penularan seksual, termasuk perwakilan dari komunitas LSM, mitra pembangunan internasional, dan perwakilan kementerian terkait (anggota KPA Nasional). Metodenya adalah diskusi dan curah pendapat, analisis hambatan keberhasilan dalam pendekatan penggunaan kondom 100%, juga berbagi pengalaman internasional, dan pengalaman 4 lokasi di pulau Jawa yang menunjukkan peningkatan penggunaan kondom dan menurunnya infeksi menular seksual.89 Menindak-lanjuti hasil pertemuan tersebut, pendekatan baru secara bertahap mulai tampak. Pendekatan yang paripurna untuk menghadapi tantangan penularan seksual di Indonesia – pencegahan HIV melalui transmisi seksual90 (PMTS) adalah hasil dari proses yang intensif untuk upaya penanggulangan HIV melalui penularan seksual. Walaupun banyak mitra dan komponen program khusus berbeda dari kerja pengurangan dampak buruk, namun prinsip dasarnya tetap sama: PMTS adalah sebuah intervensi struktural (berupaya untuk membuat perubahan dalam sistem yang sudah ada maupun di lingkungan lokal). PMTS melibatkan berbagai pihak (termasuk pemerintah lokal dan pimpinan masyarakat, layanan puskemas, pekerja seks dan lainlain yang terlibat dalam industri seks), dan pertimbangan terkait kebijakan/program dan komponen-komponen dibuat dalam paket paripurna. PMTS terdiri dari 4 komponen: 1. Peningkatan peran positif pemangku kepentingan – tokoh masyarakat, orang yang berperan dalam penjualan kondom, pekerja seks, petugas Pemda di sekitar lokasi – untuk bersama-sama mengelola dan bertanggung jawab untuk menciptakan peraturan dan lingkungan sosial untuk memfasilitasi dan mempromosikan penggunaan kondom demi kesehatan pribadi, kesehatan keluarga dan kesehatan masyarakat. 2. Komunikasi perubahan perilaku untuk pemberdayaan pekerja seks agar masing-masing sadar akan hak dan tanggung jawabnya melindungi kesehatan diri mereka sendiri serta pengetahuan dan keterampilan mereka untuk dapat mempromosikan penggunaan kondom dan memantau kesehatannya sendiri 3. Meningkatkan pengelolaan dan ketersediaan kondom dan pelicin 4. Pengelolaan infeksi menular seksual secara paripurna PMTS adalah hasil dan contoh yang baik dari kemitraan untuk pelaksanaan yang efektif dan berkelanjutan. Box 3 menggambarkan kemitraan dan pembagian tugas dalam pelaksanaan PMTS, yang didukung pendanaan Global Fund. Dalam pelaksanaan
89
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
PMTS di lokasi yang lain, para mitra bisa saja berbeda, namun tetap ada pembagian kerja yang jelas serta mekanisme yang mengedepankan kerjasama di antara mitra. Box 3: Kemitraan dalam perluasan penanggulangan AIDS paripurna melalui PMTS tahun 2009 - 2015
Komponen 1
Komponen 2
Komponen 4
Komponen 3
- Lingkungan yang mendukung - Penguatan kelembagaan - Informasi strategis
- Pelayanan, dukungan & pengobatan
- Jangkauan - Penguatan organisasi masyarakat
- Penyediaan informasi, pelayanan & kondom untuk pencegahan
Pemantauan dan Evaluasi Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
Walaupun perluasan (scale up) PMTS dimulai dengan dukungan dana Global Fund (2009-2015), beberapa aspek program ini telah disesuaikan dengan berbagai sumber tambahan DKIA/IPF, APBN, APBD, sementara kondom juga diterima dari BKKBN dan Family Health International (FHI).
90
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Tabel 16: Kemitraan dalam dukungan pelaksanaan PMTS. Juli 2009 - Juni 201191 Distribusi Juli 2009 - Juni 2011 Paket Pelicin (1) Jumlah Kondom laki-laki (2) Jumlah Kondom perempuan (3)
Dukungan Global Fund
Dukungan lain
Outlet Kondom
Jml prov.
Jml Kab/ Kota
33
137
1.067.866
1.521
12.209.888
1.620.966
3.466
33
137
548.175
600
33
137
None
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Keterangan: (1) LSM Internasional, FHI. (2) BKKBN. (3) APBN. UNFPA. FHI
Setelah tersedia modul pelatihan yang sesuai, PMTS bergerak dengan pelatihan pekerja seks pada bulan April dan Juli 2011, sebanyak 1.222 pekerja seks dari 66 lokasi yang berbeda di 23 provinsi dilatih.92 Bergerak maju dengan pendekatan paripurna dan struktural untuk pencegahan HIV melalui penularan seksual, pelatihan diberikan juga kepada 144 anggota Satuan Polisi Pamong Praja (SatPol PP)93 dari 16 provinsi. Kebanyakan peserta adalah komandan di tingkat kebupaten/kota. Tujuan pelatihan adalah untuk mengenalkan pendekatan struktural pencegahan HIV melalui transmisi seksual dan mengembangkan peran kepemimpinan positif SatPol PP dalam pelaksanaan PMTS yang efektif, di tempat dimana mereka bertugas.
3. Teknis layanan kesehatan terkait HIV Konseling, Tes, Perawatan, Dukungan dan Pengobatan: Konseling dan Tes Sukarela (KTS) adalah titik penting antara dunia yang belum terjamah informasi dengan dunia informasi serta layanan teknis terkait HIV dan AIDS. Apabila ada kerjasama dan hubungan yang baik antara sistem masyarakat dan sistem kesehatan maka konseling dan testing, akan menghubungkan seseorang yang baru pertama kali diberitahukan bahwa ia HIV postif, kepada kelompok dukungan sebaya tempat banyak ODHA menemukan informasi, pembaruan, dan pemberdayaan untuk memahami kondisinya dan bagaimana membangun kembali hidup yang penuh dan bertanggung jawab. KTS adalah titik masuk ke dalam rangkaian perawatan (continuum of care) yang dibutuhkan orang yang berisiko atau sudah tertular HIV. Standar, pedoman, dan pelatihan dasar dari bidang ini merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan, namun layanan HIV dan AIDS tersedia baik melalui melalui sistem kesehatan pemerintah (Rumah Sakit dan Puskesmas), maupun berbagai fasilitas non pemerintah, serta jaringan berbasis masyarakat sipil, berbasis agama ataupun sektor swasta. Koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan penyedia layanan lainnya sangat dibutuhkan, dan staf sering dilatih bersama. Bahkan, menurut Kemkes sampai dengan bulan Mei 2011, 32 (15%) dari 218 rumah sakit dengan 91
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
layanan perawatan, dukungan dan pengobatan adalah rumah sakit swasta. Pada saat ini RS swasta menyediakan pengobatan ARV untuk 4.440 pasien (21%) sementara RS pemerintah memberikan pengobatan kepada 17.171 (79%) pasien.94
Pemberian layanan di lokasi.
KTS: Dimulai tahun 2003, Kemkes, Subdirektorat AIDS bekerja sama dengan WHO untuk melaksanakan pelatihan KTS menggunakan kurikulum terakreditasi oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kesehatan (BP2SDM). Setelah itu, konselor telah dilatih dari 25 rumah sakit di 14 provinsi yang telah ditetapkan sebagai rumah sakit yang akan menyediakan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dan AIDS. Sepanjang tahun 2005 – 2006 pelatihan konselor dilakukan di 32 provinsi, sejalan dengan pedoman konseling dan tes yang dikeluarkan oleh Kemkes.95 Layanan KTS diluncurkan dalam sistem layanan puskesmas, awalnya di 5 provinsi* dengan dukungan dana Global Fund Ronde 1 (2003-2007). Perluasan layanan terus berlangsung sejak saat itu menggunakan berbagai sumber dana baik APBN maupun APBD, juga Global Fund, AusAID dan USAID. Sampai dengan akhir Juni tahun 2011, dilaporkan ada 388 layanan KTS di 33 provinsi yang aktif melaporkan hasil KTS. Konseling terkait HIV membutuhkan pelatihan yang tepat. Sampai dengan Maret tahun 2011, terdapat empat puluh tiga (43) pelatih nasional yang berada di 7 provinsi.† Antara tahun 2004 dan 2010, pelatihan dilakukan untuk staf terpilih mapun sukarelawan (2.772 orang) yang melayani 1.053 lembaga termasuk rumah sakit, klinik milik swasta, lembaga pemasyarakatan, dan LSM (lihat Tabel 17). * †
92
Papua, Bali, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Riau. DKI Jakarta, Papua, Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur.
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Di antara konselor KTS dalam periode ini, 1.609 orang adalah perempuan (58%), dan 1.163 (42%) laki-laki. Tabel 17: Jumlah orang yang dilatih konseling dan testing sukarela, menurut lembaga pengirim (2004-2010) Lembaga
RS
RS Jiwa
Puskesmas
BP496
Lapas
LSM
Klinik/ badan Swasta
Klinik
TOTAL
Jumlah orang yang dilatih
361
15
389
6
26
157
35
64
1.053
Sumber: Kementerian Kesehatan. Data Kumulatif sampai dengan Desember 2010 diserahkan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Juli 2011.
Sistem KTS berkembang agak lambat dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009, hanya bertambah 56 lokasi baru dari 100 lokasi yang sudah ada pada tahun 2006. Selama tahun 2009 jumlah lokasi KTS bertambah lebih dari dua kali lipatnya dari 156 pada akhir tahun 2009 menjadi 388 lokasi di 142 kabupaten/kota97 pada akhir tahun 2010. Sebagaimana terlihat di bawah (tabel 18) pemanfaatan KTS meningkat sehingga jumlah orang yang dites juga bertambah banyak. Hal ini menunjukkan peningkatan dalam ketersediaan layanan maupun peningkatan dalam jumlah dan efektivitas upaya penjangkauan. Makin banyak orang dari populasi kunci mupai mengerti mengenai keuntungan diagnosis dan pengobatan dini, dan menumbuhkan kepercayaan dirinya dan keingingan untuk bertanggung jawab atas kesehatan diri mereka sendiri. Dengan meningkatnya penggunaan KTS, maka pelatihan untuk petugas kesehatan yang masih berjalan untuk memperkuat layanan yang tidak menstigma, ramah terhadap klien serta paripura, bebas diskriminasi, dan terintegrasi dalam sistem kesehatan masyarakat, sudah makin memberikan dampak yang positif. Tabel 18: Jumlah lokasi KTS, kunjungan, tes HIV, orang yang HIV positif, dan % HIV Positif. (2006 – June 2011) 2006 (1)
2007 (1)
2008 (1)
2009 (2)
2010 (2)
Jun 2011 (2)
Lokasi KTS
100
120
135
156
388
388
Kunjungan
71.179
129.731
248.813
415.943
669.137
827.172
Tes HIV
56.926
105.061
192.712
333.100
535.943
658.401
Orang yang HIV positif
8.054
14.102
24.464
34.257
55.848
66.693
% HIV Positif
14.1%
13.4%
12.7%
10.8%
10.4%
10.1%
Sumber: 1) Kementerian Kesehatan. 2006-2008: informasi termasuk laporan kepada Global Fund. 2) 2009 – 2011: Kemkes. Laporan Perkembangan Situasi HIV dan AIDS di Indonesia. Akhir tahun 2009 dan 2010. Triwulan kedua 2011
93
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Tes Keliling (Mobile testing): Dalam upaya mendekatkan KTS kepada mereka yang membutuhkan tetapi sukar mendapatkan akses, beberapa KTS yang bertempat di rumah sakit dan puskesmas saat ini telah memulai layanan keliling di beberapa wilayah. Caranya sangat mirip dengan puskesmas keliling, yang telah dilakukan jauh sebelum ini untuk memberi layanan di lokasi terpencil, dimana petugas harus berjalan jauh untuk mencapai masyarakat. Layanan KTS keliling bekerja bersama dengan kelompok komunitas lokal dan petugas penjangkau sukarela yang membantu menyebarluaskan informasi ketersediaan layanan KTS dan terkadang mengajak orang untuk mengikuti tesing. Standar dan prosedur untuk tes tetap mengikuti protokol atau pedoman nasional, baik jika dilakukan di rumah sakit, klinik ataupun lokasi tes keliling. Tes dilakukan menggunakan rapid test sehingga segera dapat diperoleh hasil, untuk kemudian segera mendapatkan pengobatan dan dukungan bila dibutuhkan. Hasil dari unit tes keliling digabungkan dalam laporan rumah sakit/klinik yang mengelola layanan keliling. Layanan keliling sangat terbatas saat ini, tetapi tampak menjanjikan sebagai metode yang dapat terus ditingkatkan ketersediaan dan pemanfaatanya untuk layanan informasi, konseling, tes HIV dan AIDS yang paripurna, juga untuk mengakses kondom dan alat suntik steril. PICT (Provider Initiated Counseling and Testing/ Konseling dan Tes atas dasar inisiatif petugas kesehatan): Bukti yang kuat telah terkumpul di seluruh dunia tentang keuntungan diagnosis dan pengobatan dini pada infeksi HIV. Untuk tujuan ini, peran petugas kesehatan – dokter, perawat, bidan, dan staf teknis lainnya – telah diperkuat untuk bekerja ke arah deteksi dini HIV. Pada tahun 2006, Indonesia mengadaptasi modul dan pedoman pelatihan WHO untuk kegiatan yang disebut dengan “provider initiated counseling and testing” (PICT). Pelatihan dan penggunaan PICT saat ini terus diperluas. Harapannya, pendekatan ini akan berkontribusi secara positif pada kelanjutan pertambahan jumlah orang yang mencari layanan konseling dan testing, akhir-akhir ini. Pada tahun 2010, perluasan PICT dibuat lebih sederhana. Dua ratus dua puluh delapan (228) petugas kesehatan, yaitu kombinasi kaum profesional dari tujuh provinsi* telah menerima pelatihan PICT (lihat Tabel 19).
*
94
Aceh, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan NTT.
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Tabel 19: Petugas kesehatan yang telah dilatih PICT
Dokter
Perawat
Bidan
Lain-lain
Total
Jakarta
21
20
4
12
57
Sumbar
14
11
1
5
31
NAD
14
6
2
8
30
7
16
3
3
29
NTT
11
7
1
11
30
Jateng
13
9
0
8
30
4
13
1
3
21
84
82
12
50
228
Kalbar
Jatim Jumlah
Sumber: Kementerian Kesehatan. Data diserahkan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2011
Perawatan. dukungan dan pengobatan: Orang yang didiagnosa HIV positif dan telah memenuhi kriteria yang ditentukan Kemkes akan didorong untuk memulai pengobatan ARV. Ketersediaan pengobatan telah mengalami peningkatan yang terus menerus sejak peluncuran kampanye ‘3 by 5’) oleh WHO pada tahun 2003 yang mentarget 3 juta orang di seluruh dunia mendapat terapi ARV pada tahun 2005. Tahun 2006, 2.753 pasien AIDS baru di Indonesia telah mengikuti pengobatan ARV dengan jumlah perempuan sekitar dua belas persen (12%) dan anak usia di bawah 14 tahun satu persen (1%). Saat ini, sampai akhir Juni tahun 2011, terdapat 4.969 pasien baru yang menerima ARV, dengan jumlah perempuan pada berjumlah 40% dari mereka yang terobati, dan anak di bawah 14 tahun mencapai 4%. Terapi ARV yang disediakan melalui sistem kesehatan pemerintah pada awalnya 100% didanai dari sumber dana eksternal (Global Fund). Saat ini obat tersedia dan 70% pendanaannya berasal dari APBN* dan sisanya (30%) dari dana Global Fund. Pendanaan untuk ARV sepenuhnya dari anggaran nasional saat ini telah diagendakan. Tabel 20: Pasien baru yang menerima ARV di Indonesia. 2006 - 2011 2006 Laki-laki
2007
2008
2009
2010
s/d Jun 2011
2.396
1.384
2.526
5.597
4.513
2.802
Perempuan
320
405
930
2.620
2.930
1.999
Anak-anak < 14
37
71
152
307
312
168
2.753
1.860
3.608
8.524
7.755
4.969
Total
Sumber: Kementerian Kesehatan. Data diserahkan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Juli 2011
Sampai dengan Juni 2011 terdapat total 286 unit layanan (218 rumah sakit dan 68 satelitnya)98 yang memberikan laporan lengkap mengenai layanan terkait HIV dan *
Data Kementerian Kesehatan
95
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
AIDS yang mereka berikan, jumlah pasien, juga hasil tes dan layanan lainnya. Sesuai laporan Kementerian Kesehatan, sampai dengan 30 Juni 2011, 21.775 orang secara teratur menerima ARV.99 Saat itu dilaporkan sejumlah tujuh belas ribuan (17.360) orang mengikuti pengobatan ARV lini pertama. Tiga ribu lima ratus delapan puluh enam (3.586) orang masih dalam pengobatan lini pertama, tetapi berdasarkan perintah dokter harus mengganti dengan ARV lini pertama lainnya.* Delapan ratus dua puluh sembilan (829) pasien harus mengganti dari lini pertama menjadi lini kedua ARV.† Sejumlah 2.777 orang telah berganti lokasi pengobatan melalui rujukan (disebut transferred out).‡ Sedangkan 1.641 orang telah berhenti pengobatan ARV (drop out), dan 8.005 orang meninggal setelah mulai pengobatan ARV.100 Jika diminum sesuai dengan resep dan aturan, ARV mengurangi jumlah virus (viral load) dan juga mengurangi kemungkinan menularkan kepada orang lain, meningkatkan mutu hidup, dan memperpanjang masa hidup ODHA. Oleh sebab itu, diupayakan agar seluruh ODHA yang memenuhi syarat yang ditentukan untuk mengikuti pengobatan ARV secara teratur. Walaupun sudah terjadi peningkatan dalam sistem setelah bertahun-tahun, pemanfaatan ARV tampak berfluktuasi antara tahun 2008 dan pertengahan 2011. Setelah tingkat kematian turun dengan tajam101 mulai tahun 2006, tampak adanya peningkatan lagi dari 17% (2008) menjadi 23,8% pada akhir bulan Juni 2011, dan pada saat yang bersamaan dilaporkan ada penurunan yang tajam dalam persentasi ODHA yang memenuhi syarat dilaporkan menerima ARV – 64% tahun 2009 dan hanya 44% pada pertengahan tahun 2011.102 Hal ini menunjukkan dua tantangan yang saling terkait: (1) mutu layanan, dan (2) sistem dukungan untuk ODHA dalam meningkatkan motivasi dan disiplin bagi pemanfaatan layanan, serta kepatuhan yang kuat untuk mengikuti pengobatan dengan ARV. Hal ini adalah tantangan setiap hari bagi ODHA yang masih dalam terapi ARV, tetapi juga merupakan tantangan dalam jangka waktu yang lebih panjang untuk sistem kesehatan dan sistem komunitas, serta penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional. Untuk kebanyakan orang yang HIV positif, dukungan adalah hal yang sangat penting untuk mutu hidup, yaitu untuk membantu dalam meningkatkan pengetahuan terkait AIDS, memperkuat disiplin kepatuhan yang konsisten dalam pengobatan, dan untuk penggunaan kondom. Juga untuk meningkatkan semangat hidup, membantu mendapatkan cara pikir dan keterampilan untuk hidup penuh arti dan memuaskan. Dalam sistem kesehatan, pelatihan terkait AIDS menekankan pentingnya menghubungkan ODHA dengan jaringan dukungan di sekitarnya, baik di dalam sistem layanan kesehatan: konselor, manajer kasus yang melekat dengan rumah sakit atau puskemas, antara lain. * † ‡
96
Kemkes. “substitution” = 1 atau lebih medikasi telah diubah tetapi masih dalam pengobatan lini pertama. Kemkes. “switched”= 1 atau lebih pengobatan ARV telah diganti dari lini pertama menjadi lini kedua Kemkes. “transfer out”= perubahan lokasi layanan berdasarkan rujukan.
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Layanan paripurna dalam Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM: Sistem pemasyarakatan di dunia diketahui sebagai tempat dimana berbagai kegiatan, termasuk kegiatan seksual terjadi dan menempatkan warga binaan pemasyarakatan dalam risiko yang tinggi terinfeksi HIV. Menghadapi tantangan ini, dan dengan bertambahnya jumlah warga binaan yang sudah HIV positif, maka Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Kementerian Hukum dan HAM bekerja bersama dengan Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, menetapkan untuk mengembangkan penanggulangan HIV dan AIDS yang paripurna untuk lingkungan lembaga pemasyarakatan. Strategi pertama dari upaya ini dilakukan pada periode 2005-2009. Dalam hal ini, telah dikembangkan kebijakan dan strategi periode tahun 2010-2014, melaksanakan pelatihan teknis-medis untuk staf penyedia layanan kesehatan dalam sistem ini, dan mengembangkan materi komunikasi informasi dan edukasi untuk warga binaan pemasyarakatan. Dalam melaksanakan program ini, Ditjen Pas mendapatkan dukungan teknis dari program kerja sama Indonesia Australia (HCPI) maupun dana utama dari Global Fund sebagai sub-recipient dari Sekretariat KPA Nasional. Kombinasi kemitraan ini, kebijakan, dan tindakan telah mencapai hasil yang berbeda: antara bulan Agustus 2008 hingga Maret 2010, 4.913 orang mengikuti layanan KTS (1.006 diantaranya HIV positif). Sistem secara keseluruhan sekarang telah pada posisi yang diharapkan, dan memberikan informasi maupun layanan di 120 lembaga pemasyarakat di 25 provinsi (dengan dukungan dana Global Fund) dan di 10 lembaga lainnya (penjara, rumah tahanan, dan pusat transisi untuk mereka yang akan dibebaskan) di Jawa dan Bali, dengan beberapa dukungan program dari HCPI. Perlu diperhatikan bahwa apa yang pada awalnya dimulai sebagai program yang memiliki target khusus dan sempit untuk penggunaan napza, HIV dan masalah yang terkait, kini telah berkembang menjadi program layanan yang juga mencakup HIV-TB, hepatitis, rangkaian problema terkait adiksi dan infeksi menular seksual. Jika di masa awal pendanaan sangat tergantung pada mitra pembangunan nasional, maka dengan sudut pandang keberlanjutan program, anggaran tampak mulai bertambah dalam lingkungan kementerian. Pada tahun 2006, anggaran AIDS secara keseluruhan adalah Rp. 0,09 miliar. Pada tahun 2011 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp. 5 miliar.* Dukungan oleh dan untuk ODHA: Ada ODHA yang mendapatkan seluruh dukungan yang dibutuhkan dari teman-teman dan keluarga, namun ada banyak orang lain yang merasakan kedekatan dengan “kelompok dukungan sebaya” (KDS), sebuah kelompok dari orang lain yang juga terinfeksi HIV, atau yang secara langsung terdampak oleh HIV, sebagai hal yang sangat bernilai, bermakna bagi dirinya. Sebuah kajian mengenai mutu hidup ODHA104.105 menunjukkan secara meyakinkan terdapatnya asosiasi yang *
Anggaran Sektor. Dikonfirmasi pada bulan April dan May dalam pertemuan-pertemuan koordinasi (2011).
97
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
kuat dan positif antara “mutu hidup yang baik” dari ODHA dengan partisipasi dalam kegiatan kelompok dukungan sebaya dimana 86,9% dari ODHA yang terlibat dalam kelompok dukungan sebaya melaporkan bahwa dirinya memiliki kualitas hidup yang tinggi, dibandingkan dengan kurang dari lima puluh persen (48,9%) ODHA yang tidak berada dalam kelompok dukungan sebaya. (lihat tabel 21) Tabel 21: Pengaruh aktivitas dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) terhadap mutu hidup ODHA (evaluasi diri) Mutu Hidup
Aktif dalam KDS*
Tidak aktif dalam KDS*
Tinggi
86,9%
48,9%
Rendah
13,1%
51,1%
Sumber: Yayasan Spiritia, Universitas Hamka, & KPA Nasional. 2011. Pengaruh Dukungan Sebaya Terhadap Mutu Hidup ODHA. Jakarta.
Penelitian dilakukan baik pada ODHA yang berafiliasi dalam KDS maupun ODHA yang tidak dalam hubungan dengan KDS; dan topik penelitian terfokus pada pengalaman dan sikap responden terkait 5 hal: • kepercayaan diri seseorang terkait dengan status HIV positifnya. • pengetahuan mengenai HIV dan AIDS. • akses dan pemanfaatan perawatan, dukungan dan pengobatan yang relevan dengan dirinya. • tanggung jawab pribadi untuk melakukan pencegahan agar tidak menularkan HIV kepada orang lain (baik melalui seksual, alat suntik, penularan vertikal dari orang tua ke anak, donor darah, dan dalam kaitannya dengan prosedur operasi) • keterlibatan dalam hidup yang proaktif – kerja profesional, kegiatan komunitas, hobi, dan lain sebagainya – untuk mempertahankan minat hidup Kajian ini mencakup bagian yang kualitatif maupun kuantitatif. Mutu hidup responden dievaluasi sendiri oleh responden.
98
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Kegiatan komunitas di Bali.
Namun demikian, temuan juga jelas bahwa dampak positif KDS lebih tinggi untuk orang dalam kelompok yang mendapat dukungan “lengkap” dari jaringan. Penelitian memisahkan tiga kelompok dengan memasukkan unsur kelompok pendukung (KP)* di tingkat provinsi dan KDS di tingkat Kabupaten/Kota, menyediakan dukungan dan masukan untuk KDS individual. Kelompok dukungan yang lengkap jika kelompok mendapat dukungan baik dari KDS di tingkat kabupaten/kota dan KP di tingkat provinsi; Sedangkan ODHA yang tidak mendapatkan sistem dukungan sebaya, keduanya, baik KDS maupun KP tidak ada, masuk dalam kategori “tidak ada sistem dukungan”. Kategori yang disebut “tidak lengkap” adalah jika seseorang berada di wilayah dimana salah satu, KP (provinsi) atau KDS (kebupaten/Kota) tidak ada. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel 22 di bawah, terdapat perbedaan 12% point antara mereka dengan jaringan dukungan yang tidak lengkap dengan jaringan yang lengkap. Tabel 22 : Pengaruh sistem dukungan sebaya terhadap mutu hidup ODHA Mutu Hidup
Sistem dukungan sebaya yang lengkap – Prov, K/K dan lokal
Sistem dukungan Tidak ada sistem Sebaya yang dukungan tidak komplit sebaya
Tinggi
71,1%
59,3%
50,0%
Rendah
28,9%
40,7%
50,0%
Sumber: Yayasan Spiritia, Universitas Hamka & KPA Nasional. 2011. Pengaruh Dukungan Sebaya Terhadap Mutu Hidup ODHA. Jakarta
Penelitian ini diselesaikan pada akhir bulan Agustus 2011, dan memberi wawasan yang sangat bermanfaat serta informasi yang lebih banyak untuk kerja di bidang ini, . Hal ini relevan, juga, untuk pelaksanaan SRAN 2010-2014 dengan baik. *
Kelompok Gagas = “catalyst group”. Istilah ini digunakan untuk jaringan kelompok dukungan sebaya yang didukung oleh Yayasan Spiritia.
99
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
HIV-TB: TB adalah ko-infeksi yang paling sering ditemukan pada pasien AIDS. Banyak ditemukan infeksi TB pada ODHA,106 lebih sering dari pada infeksi oportunistik lainnya seperti kandidiasis, PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia), Toxoplasmosis, Cryptosporidiosis dan yang lain. TB menjadi penyebab utama kematian pada ODHA (40%-50%).107 Demikian juga, epidemi HIV adalah penyebab penting meningkatnya kasus TB. Baik TB maupun HIV keduanya tidak dapat ditangani secara efektif tanpa mengedalikan keduanya pada saat yang bersamaan. Pengobatan HIV dan AIDS yang baik harus termasuk diagnosis dan pengobatan untuk TB untuk memastikan kematian yang diakibatkan TB dapat diminimalkan. Begitu pula pasien TB tertentu sebaiknya dikonsultasikan dan dites HIV, dan bila hasilnya positif, maka diberikan konseling dan pengobatan yang tepat. Menindak-lanjuti situasi ini, pada tahun 2009, Kementerian Kesehatan mengembangkan dan meluncurkan pedoman nasional kolaborasi TB-HIV beserta modul pelatihannya. Awal tahun 2010 sejumlah manajer program TB dan HIV, dan staf operasional di rumah sakit menyediakan layanan terkait HIV dan AIDS telah dilatih kolaborasi TB-HIV ini. Pelatihan untuk manager HIV dan staf telah dilakukan juga dengan melibatkan 159 rumah sakit yang tersebar di 33 provinsi. Namun demikian pelatihan dalam kolaborasi HIV-TB untuk manajer dan staf dari program TB baru mencapai 20 provinsi. Keseluruhan ada 226 pelatih untuk kolaborasi ini, dan telah melatih 314 orang (informasi sampai dengan akhir Juni 2011). Pencegahan HIV dari Ibu ke bayi yang dikandungnya (Prevention of Mother To Child Transmission, PMTCT): Infeksi HIV dapat ditularkan dari perempuan hamil yang HIV positif kepada bayinya selama masa kehamilan, masa persalinan, dan ketika menyusui. Namun demikian dewasa ini (Juni 2011) dimungkinkan untuk mengurangi risiko penularan melalui cara ini dengan profilaksis ARV yang tepat (PMTCT) yang telah digunakan dengan sukses di seluruh dunia dan di Indonesia. Ada empat komponen utama program PMTCT: • Pencegahan primer, yaitu pencegahan HIV pada laki-laki dan perempuan usia reproduktif • Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan yang HIV positif • Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil yang HIV positif pada bayinya dengan profilaksis ARV • Menyediakan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ibu yang HIV positif, bayinya dan keluarganya Dengan pengobatan profilaksis ARV yang tepat,108 risiko ibu hamil yang HIV positif menularkan HIV ke bayinya dapat sangat dikurangi. Anak yang baru lahir diberi ARV
100
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
(dalam dosis pediatrik), dari saat kelahiran dan saat diberi ASI eksklusif selama enam bulan. Informasi PMTCT dan layanan (termasuk tawaran untuk tes bagi calon ibu yang belum mengetahui status HIVnya) diintegrasikan dengan paket standar layanan perawatan antenatal di Indonesia. Pedoman dan modul pelatihan yang diperlukan telah tersedia dan tim pelatihan juga telah mulai melaksanakan tugasnya. Sampai dengan bulan Juni 2011 tujuh puluh sembilan (79) tim PMTCT telah menyediakan layanan di 22 provinsi dengan kegiatan yang dilaporkan oleh 67 rumah sakit rujukan, 10 rumah sakit satelit dan 2 puskesmas (informasi sampai Juni 2011).
Konseling dan Testing HIV untuk semua.
Dengan terus bertambahnya jumlah perempuan yang dilaporkan HIV positif dan distribusi infeksi yang luas, maka perluasan dari pemberikan layanan PMTCT yang terintegrasi adalah hal yang harus diprioritaskan. Dengan tujuan ini, UNICEF menyedia kan dukungan untuk sejumlah kegiatan PMTCT, termasuk revisi pedoman kebijakan dasar. Setelah itu, rencana aksi nasional untuk PMTCT (2010-2014) disiapkan melalui kelompok kerja yang ditetapkan untuk tujuan tersebut dengan keanggotaan dari KPA Nasional, sektor terkait lainnya, penggiat dari LSM termasuk ODHA dan IPPI.
101
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Grafik 11 : Perempuan yang dilaporkan AIDS tahun 2006 dan 2010 menurut pekerjaannya
Tenaga
profesional
non
medis
Buruh
kasar
Pegawai
Negeri
Sipil
2010
2006
Anak
sekolah/mahasiswa
Petani/peternak/nelayan
Tenaga
non
profesional
(karyawan)
Wiraswasta/usaha
sendiri
Lain‐lain
174
457
Pekerja
sex
Ibu
Rumah
Tangga
2045
628
0
500
1000
1500
2000
2500
Sumber : Kementerian Kesehatan. Diberikan kepada KPA Nasional pada bulan Juni 2011
Mengkaji status layanan kesehatan teknis, tampaknya penguatan kapasitas sistem kesehatan pemerintah untuk penanggulangan epidemi HIV telah menunjukkan kemajuan dalam lima tahun terakhir. Kebijakan teknis kesehatan telah dibuat untuk menjawab berbagai masalah terkait HIV, ditandai dengan tersedainya berbagai manual, modul pelatihan, ataupun pedoman-pedoman. Saat ini sistem sudah lebih siap dan ketersediaan layanan lebih merata dibandingkan lima tahun lalu. Sistem juga memungkinkan pemberian layanan untuk orang dengan kebutuhan yang berbeda, dan ini tampak jelas di beberapa tempat dengan bertambahnya jumlah laki-laki, perempuan dan anak-anak yang terinfeksi dan terdampak oleh HIV. Kemitraan kerja antara layanan kesehatan dan sistem sosial – masyarakat, sistem pengelolaan HIV, termasuk pemerintah daerah dan lembaga yang berwenang melakukan perencanaan saat ini telah dilengkapi dengan berbagai alat sehingga lebih kuat dan lebih siap jika kebutuhan itu datang sewaktu-waktu. Namun demikian, kapasitas secara keseluruhan untuk memberikan layanan teknis kesehatan terkait HIV dalam rangkaian yang penuh – baik melalui pemerintah, non pemerintah, sektor swasta – masih belum mencapai apa yang dibutuhkan untuk menekan dan menurunkan penyebaran HIV dan AIDS. Hal ini karena fasilitas belum cukup dan belum tersebar secara meluas. Sangat diperlukan upaya untuk terus memperluas secara strategis layanan dengan sasaran khusus di tempat-tempat yang tercatat memiliki tingkat epidemi cukup berat. Jaringan penyedia layanan dan 102
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
pengorganisasi komunitas/ petugas penjangkau/ kelompok dukungan sebaya lokal memerlukan penguatan dan pengembangan untuk memastikan bahwa layanan yang sudah tersedia dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Khususnya di daerah dimana epidemi telah berdampak cukup berat, dan dimana transportasi serta komunikasi dirasakan sukar, misalnya di sebagian Tanah Papua dan Kalimantan, usaha ekstra juga diperlukan untuk meningkatkan perluasan layanan kesehatan paripurna termasuk bagi yang membutuhkan layanan terkait HIV dan AIDS – KTS, perawatan, dukungan dan pengobatan, TB-HIV, PMTCT kepada kelompok orang yang belum dapat dijangkau pelayanan yang baik. Sektor kesehatan tidak diharapkan menyelesaikan sendiri tantangan terkait HIV dan AIDS secara sendiri, tetapi sektor kesehatan menerima peran yang besar untuk memimpin pengembangan sistem kesehatan terkait HIV, termasuk meningkatkan kapasitas dalam sektor kesehatan, di dalam masyarakat dan mitra sektor swasta melalui pelatihan dan pengembangan pedoman. Perluasan kegiatan ini tergambarkan dalam kemitraan Sektor Kesehatan untuk memperluas penanggulangan nasional yang paripurna melalui anggarannya sendiri, dan melalui dukungan Global Fund dengan target 1.182 lokasi telah melaksanakan program pada tahun 2014.109
C. Mengelola Penanggulangan: 1. Membangun sistem KPA Nasional memiliki tanggung jawab penuh untuk memimpin, mengelola dan mengkoordinasi penanggulangan nasional. Hal ini telah di mandatkan melalui Peraturan Presiden No.75/2006 khususnya Pasal 1 yaitu, untuk “meningkatkan upaya pencegahan dan pengelolaan penanggulangan AIDS yang lebih intensif, terpadu, terintegrasi dan terkoordinasi”. Tugas ini juga sesuai dengan butir-butir tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam ayat 3 (lihat Box 4, di bawah). Seketariat KPA ditetapkan untuk memimpin dan mengelola kegiatan multi-tingkat dan multi-mitra baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Sekretariat KPAN juga bekerja dengan mitra internasional baik yang bekerja di Indonesia maupun yang berada di luar negeri. Semua ini membutuhkan dialog yang intensif, kerjasama, juga kemitraan, melibatkan seluruh sistem kepemerintahan - eksekutif dan legislatif, perwakilan mitra pemerintah, dengan masyarakat sipil, sektor swasta dan media.
103
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Box 4: Tugas Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Peraturan Presiden 75/ 2006 BAB I. PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, DAN TUGAS Pasal 3 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bertugas: a) menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS; b) menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan; c) mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan, pemantauan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS; d) melakukan penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai media massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan masyarakat; e) melakukan kerja sama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan penanggulangan AIDS; f) mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah AIDS; g) mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS; h) memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten / Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS;
Sumber: Peraturan Presiden No.75/2006
Kinerja dari tugas-tugas ini telah mendukung terciptanya jaringan sistem kebijakan dan hubungan yang erat dalam pelaksanaan tugas untuk meningkatkan upaya yang berperikemanusiaan, efisien, dan efektif untuk menahan penyebaran infeksi dan menghindarkan kerusakan atau hambatan yang dapat mengenai perorangan, keluarga, masyarakat, dan negara jika epidemi ini dapat dikendalikan.
104
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Remaja dan Hari AIDS Sedunia.
2. Perencanaan dan pemantauan penanggulangan serta dampaknya Untuk tujuan ini, prioritas awal adalah persiapan dari strategi nasional berbasis informasi strategis untuk tahun 2007-2010, dan segera setelah itu rencana aksi dengan rincian biaya sebagai arahan upaya penanggulangan serta dasar bagi semua pihak dalam mengembangkan perencanaan, tindakan, advokasi dan mobilisasi sumber dana dan pemantauan di semua tingkatan. Tahun 2006, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang baru dipimpin oleh Sekretaris KPAN, mengembangkan analisis upaya penanggulangan HIV dan AIDS menghadapi epidemi yang sangat bervariasi – bervariasi baik dalam cara penularan maupun dalam wilayah, lokasi dan lingkungan. Kebanyakan provinsi di Indonesia berada dalam tingkat epidemi HIV terkonsentrasi dengan dampak utama penyakit ini dirasakan oleh populasi kunci (penasun, pekerja seks – laki-laki, perempuan, dan waria – laki-laki yang seks dengan laki-laki, dan laki-laki risiko tinggi). Sementara itu, berdasarkan surveilans, telah terbukti bahwa kedua provinsi di Tanah Papua telah mencapai epidemi tergeneralisasi pada tingkat rendah (low-level generalized epidemic), dan bahwa pervalensi HIV lebih tinggi di daerah pedesaan yang akses keluar masuknya lebih sukar dan pada orang dengan tingkat pendidikan yang rendah, dibandingkan prevalensi HIV di perkotaan (Survei Terpadu HIV Perilaku – STHP – 2006 di Tanah Papua).
105
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Indonesia menghadapi epidemi HIV dengan cara penularan yang beragam, dengan dua cara penularan terbanyak yaitu penggunaan alat suntik steril dan hubungan seksual tidak aman. Penggunaan kondom konsisten sangat penting untuk pencegahan melalui penularan seksual. Namun demikian, baik secara nasional maupun di banyak tempat daerah, banyak ditemua sekelompok masyarakat yang menentang promosi kondom secara terbuka. Kelompok ini biasanya bersuara keras dan memiliki pengaruh. Oleh sebab itu dibutuhkan rencana aksi dengan dasar pemikiran epidemiologis yang kuat untuk menghadapi tantangan tersebut. Namun demikian rencana aksi tersebut harus tetap mampu memberikan keleluasaan pada daerah untuk melaksanakan upaya penanggulangan yang mengakomodasi kekhususan kondisi lokal ataupun perbedaan perkembangan epidemi. Rencana yang dimaksud tersebut adalah perencanaan yang komprehensif, tidak hanya mencakup kegiatan pencegahan yang langsung pada perilaku berisiko dan pemberian layanan, tetapi juga memperhatikan hal-hal yang lebih luas dalam mengelola penanggulangan, seperti membangun kapasitas dan sistem untuk jangka waktu yang lebih panjang. KPAN bekerja untuk segera dapat melakukan perluasan jangkauan dan memperkuat efektivitas penanggulangan nasional di seluruh negeri, sambil, pada saat yang bersamaan membangun keberlangsungan program. Dalam mendukung pengelolaan dibutuhkan sistem pemantauan yang baik dan dapat dilaksanakan. Kegiatan penting dalam pemantauan adalah mengumpulkan informasi, melakukan analisis dan memberikan umpan balik, serta memanfaatkan informasi secara strategis. Informasi ini penting untuk memastikan bahwa upaya yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana, serta menghasilkan dampak yang diinginkan, yaitu mencapai jangkauan yang cukup, efektif dalam mempromosikan perilaku yang aman, serta memitigasi dampak dari epidemi HIV dan AIDS. Berdasarkan hasil pemantauan, ditambah dengan informasi dari data dari surveilans periodik dan kajian-kajian lainnya, dapat dilakukan analisis untuk memperolah informasi epidemi baik perkiraan situasi saat ini serta kemungkinan perkembangannya secara alamiah. Informasi ini penting di tingkat nasional maupun daerah untuk melakukan penyesuaian dalam pelaksanaan penanggulangannya. Pengembangan, pemeliharaan, dan pemanfaatan sistem timbal balik perencanaan dan pemantauan telah menjadi pokok untuk pengelolaan dan perluasan secara bertahap penanggulangan di bawah Peraturan Presiden No.75/2006. Dari data yang tersedia,* pada akhir tahun 2006 dan awal tahun 2007 telah ditetapkan wilayah prioritas berdasarkan total perkiraan populasi kunci dan ODHA. Tujuh belas (17) provinsi dimana 80% dari populasi kunci berada, menjadi wilayan prioritas; kemudian ditambah dengan dua provinsi di Tanah Papua, dimana surveilans terpadu HIV perilaku *
Di antaranya, Kemkes, Estimasi Jumlah Orang Dewasa yang Rentan Tertular HIV. 2009, Kemkes dan BPS STHP Tanah Papua. Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006. Jakarta. 2007.
106
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
(STHP 2006) menunjukkan prevalensi HIV adalah 2,4% pada populasi umum usia 15 – 49 tahun. Dari waktu ke waktu, sejalan dengan berkembangnya kemampuan perencanaan berbasis informasi, perhitungan perencanaan yang dilakukan secara terus menerus telah mampu memperbaiki perhitungan dan menetapkan target wilayah lebih terinci, beserta kebutuhannya, juga lokasi dan jumlah populasi orang yang akan diberi layanan (Box 5 di bawah: evolusi dari perencanaan, kemampuan dan produk-produknya 2007 - 2009). Box 5: Peningkatan partisipasi lokal: perencanaan, penetapan lokasi dan kebutuhan program • Persiapan Strategi dan Rencana Aksi tahun 2007-2010: Keputusan akan lokasi prioritas dan komponen-komponen pokok dalam rencana aksi dibuat berdasarkan atas penyebaran populasi kunci dan ODHA sesuai dengan estimasi nasional populasi dewasa paling berisiko yang dilakukan pada tahun 2006. • Persiapan Strategi dan Rencana Aksi tahun 2010-2014: Komponen program dalam strategi tetap sama, namun, ditetapkan atas rekomendasi kajian paruh waktu (2009) serta semakin banyaknya pengalaman, dan semakin banyaknya staf KPA provinsi yang terlatih. Proses perencanaan lebih banyak menerima masukan dari tingkat provinsi dibandingkan proses sebelumnya. Dengan demikian provinsi dapat secara aktif memilih kabupaten/kota prioritas berdasarkan pengetahuan akan kondisi epidemi dari lokal. • Persiapan pelaksanaan program yang didanai dengan Global Fund Ronde 8 (2009): Dalam rangka persiapan pelaksanaan dukungan dana Global Fund, dilakukan serangkaian kegiatan untuk memberi dasar informasi dalam penetapan target:
1) Pengembangan pedoman untuk pemetaan dan wawancara oleh tim perencanaan sekretariat KPA Nasional, 2) Pelatihan penggunaan pemetaan pada staf Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi, 3) Tim Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi bekerja bersama dengan staf Komisi Penanggulangan AIDS kabupaten dan kota, juga anggota populasi kunci lokal dan staf LSM yang aktif untuk menentukan dalam masing-masing kabupaten/kota yang terpilih, lokasi-lokasi hot spots dan sekitarnya, yang dikenal sebagai tempat berkumpul orang yang berisiko tertular HIV dimana program harus difokuskan. Perhitungan ini menghasilkan daftar dokumentasi 137 hotspots dari seluruh bagian di Indonesia, setidaknya tiga di setiap provinsi beserta inventarisasi kebutuhan yang lebih informatif dan daftar mitra-mitra potensial untuk pelaksanaan program.
Setelah memiliki rencana yang lebih jelas, maka telah tim telah memiliki dasar untuk membangun sistem, program aksi, advokasi, dan mobilisasi sumber dana, dikombinasi 107
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dengan sistem pemantauan yang baik. Hal ini mendukungan proses pelaporan yang bertanggung jawab, juga memberi informasi mengenai evaluasi efektivitas untuk rancang ulang program ataupun inovasi-inovasi baru. Tiga jenis informasi yang sangat penting dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia adalah mengenai: (1) epidemiologis, (2) pelaksanaan program, (3) perkembangan kelembagaan, pengembangan yang terfokus pada sistem KPA. Pada akhir tahun 2010, struktur untuk pemantauan kelembagaan terdiri dari 11 indikator – 3 indikator masukan, 4 indikator proses, dan 4 indikator keluaran (lihat Lampiran 7: kerangka kerja untuk evaluasi institusional.) Pada bagian 2, di bawah, ada pembahasan mengenai kemajuan seberapa jauh telah membangun sistem KPA. Keterampilan dan teknologi yang dimiliki oleh staf KPA di daerah, khususnya dalam hal perencanaan dan pemantauan sangat penting. Terbukti dengan keterampilan dan teknologi ini, informasi-informasi penting selama tahun-tahun terakhir ini sangat membantu dalam pelaporan ini. Sejumlah staf telah berpartisipasi dalam pelatihan, baik dalam jangka yang lebih panjang ataupun yang lebih pendek, baik di Indonesia maupun di luar negeri untuk meningkatkan kemampuan perencanaan dan analisis. Perangkat lunak komputer juga telah ditambahkan sesuai kebutuhan untuk membuat pemetaan berbasis komputer, proyeksi matematika dan pemodelan yang bisa dilakukan. Juga, dalam kaitannya dengan pemantauan, peningkatan teknis telah diperkenalkan, dan masih berlangsung untuk memperkuat kecepatan dan keakuratan pelaporan data terkait pelaksanaan program. Walaupun komputer dan kontak e-mail telah digunakan kantor KPA kabupaten, kota dan provinsi, tetapi, dengan situasi yang berbeda, kemampuan pemanfaatannya masih tidak merata, apalagi jika tidak ada orang yang secara khusus melakukan hal ini. Sepanjang tahun 2011, sistem untuk memasukkan data secara on-line telah siap digunakan sebagai bagian dari sistem pemantauan penanggulangan nasional. Sampai dengan bulan Juli 2011, seluruh 33 provinsi dan 137 kabupaten dan kota (lokasi termasuk dalam perluasan yang didukung Global Fund untuk penanggulangan yang paripurna) telah melaporkan kepada kantor pemantauan KPA mengenai kegiatan program menggunakan sistem on-line ini. Berbagai metode pemantauan dan pertukaran informasi mengenai penanggulangan AIDS nasional digunakan pada tingkat nasional diantara sektor pemerintah yang merupakan pelaku penanggulangan HIV dan AIDS. Sebagaimana disebutkan sebelumnya Tim Pelaksana KPA Nasional, yang diketuai oleh Sekretaris KPA Naisonal, adalah wadah koordinasi, penyebaran informasi, advokasi dan perencanaan di antara anggota KPAN. Sejalan dengan kebijakan KPA Nasional, setiap kegiatan terkait HIV 108
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dilakukan dengan menggunakan sistem yang sudah ada, dan perencanaan sektor, penganggaran, dan pelaporan dibuat melalui saluran yang sudah biasa digunakan. Untuk tujuan advokasi, telah dibetuk Forum Perencanaan dan Penggaran dengan BAPPENAS selaku leading sector. Forum ini berfungsi untuk memberi dukungan teknis kepada sektor dalam perencanaan. Namun demikian, kegiatan sektoral tetap berada dalam kerangka kerja masing-masing sektor. 3. Pengembangan sistem Upaya yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan sistem multi-mitra yang terdesentralisasi dan multi-tingkat, yang memiliki tujuan bersama serta kepemilikan terhadap rencana kerja nasional maupun rencana lokal berbasis evidens. Sistem yang dibangun akan bersifat terbuka, inklusif, dan akuntabel; strategis dalam pembuatan kebijakan terkait upaya untuk mengurangi infeksi baru, meningkatkan mutu hidup ODHA dan menghilangkan stigma dan diskriminasi yang diasosiasikan dengan HIV. Evolusi sistem KPA yang berada di seluruh bagian di negeri ini dipantau dengan menyelusuri kemajuan dari 11 indikator yang sebelumnya telah disebutkan (lihat Lampiran 7). Dari empat indikator di bawah, tampak adanya beberapa kemajuan dalam kelembangaan sistem KPA. Status KPA Provinsi telah diperkuat dengan keputusan gubernur. Tiga puluh tiga provinsi memiliki anggaran AIDS dari APBD dan jumlah KPA kabupaten/kota yang menganggarkan untuk HIV dan AIDS naik dari 75 kabupaten/ kota pada tahun 2006 menjadi 166 pada tahun 2010. Tabel 23: Pertumbuhan sistem penanggulangan AIDS (2007 and 2011) Indikator
2007
2010
Komisi Penanggulangan AIDS Prov dengan SK Gubernur
22
33
Dokumen Perencanaan (Renstra to 2010)
19
22
APBD
22
32
Number of active Districts/ cities
95
173
(*)
Sumber: Pemantauan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan DKIA/IPF (*) Proses perencanaan berubah mengikuti Instruksi Presiden No.10/2010 untuk perluasan jangkuan di Indonesia dalam mencapai Target Pembangunan Milenium, termasuk tujuan No.6 yang terkait dengan HIV dan AIDS. Melanjutkan instruksi ini, proses perencanaan terpadu diluncurkan dibawah kepemimpinan BAPPEDA dan termasuk Komisi Penanggulanan AIDS di daerah, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kecepatan dan keberhasilan proses ini bervariasi dari daerah ke daerah dengan dampak pada perencanaan terkait HIV dan AIDS.
109
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Dukungan DKIA/IPF memberikan sekretariat KPA Nasional sumber dana yang diperlu kan untuk memulai serangkaian kegiatan pengembangan perencanaan, pelatihan dan pengelolaan segera setelah menerima uraian tanggung jawab yang diterima pada tahun 2006. Menindak-lanjuti sistem kerjasama dimana sumber dana DKIA/IPF dikelola pada tingkat nasional, sistem ini menjadi alat untuk menstimulasi dialog dan partisipasi penting di antara mitra-mitra penanggulangan nasional. Seiring dengan berjalannya waktu, kerjasama ini meluas, tidak hanya terbatas pada pertemuan anggota Komite Pengelola DKIA/IPF, tetapi juga mentoring, pemantauan dan evaluasi kegiatan yang didanai DKIA/IPF. Tabel 24: Dukungan untuk staf dan pengeluaran operasional KPA oleh DKIA 2006 - 2010 2006
2007
2008
2009
2010
105
105
170
170 (Jan – Jun) 102 (Jul – Des)
102 (Jan – Jun) 9 (Jul - Des)
Provinsi
tidak ada
22
33
33 (Jan - Jun) 21 (Jul – Des)
21 (Jan - Jun)
Nasional
100%
100%
88%
77% (Jul)
71% (Jul)
Kab./Kota
Sumber : Laporan DKIA dan KPAN
Dengan adanya rencana nasional, KPA Nasional mulai mendukung proses pengembangan rencana aksi nasional daerah dan advokasi untuk pendanaan daerah, sebuah proses yang melibatkan pelatihan dan mentoring staf untuk KPA provinsi, kabupaten dan kota, dari 19 provinsi prioritas yang telah ditetapkan. DKIA/IPF juga memberi pendanaan kepada KPA Nasional untuk mengeluarkan Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.110 Pada akhir tahun 2007, 23 provinsi dan 105 kabupaten dan kota telah dilengkapi dengan dokumen perencanaan mereka. Prosesnya terus berlangsung. Perencanaan terkadang dilakukan pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota, terkadang dalam konteks percobaan perencanaan yang multi-lokasi, dan terkadang mencakup keduanya. Contohnya pada tahun 2007 ketika Indonesia menyiapkan proposal baru untuk dukungan Global Fund sebagai bagian dari proses perencanaan, hal tersebut sangat khas, berdasarkan lokasi dan merupakan bagian yang tersentralisasi di Jakarta. 4. Pengelolaan Keuangan Membangun penanggulangan yang paripurna, yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia, tidak mungkin dapat dilakukan tanpa sistem pengelolaan keuangan yang maju, akuntabel, dan tepat waktu. Sistem pengelolaan keuangan yang baik tersebut, sama pentingnya baik untuk pendanaan dalam ataupun luar negeri. Sekretariat KPA 110
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
mulai mengembangkan satu sistem yang memenuhi standar akuntansi baik berdasarkan standar Indonesia maupun internasional, serta dapat mengakomodasi kebutuhan pelaporan yang berbeda-beda dari sumber pendanaan yang berbeda pula, dan yang dapat berkembang sebagai sumber dana akan berkembang untuk penggunaannya pada seluruh tingkatan – nasional, provinsi, kabupaten, dan kota. Memastikan sistem ini ada dan berfungsi dengan baik bukanlah tugas yang kecil. Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia, DFID (donor yang memulai pendanaan untuk DKIA/ IPF), dan UNDP telah memutuskan bersama bahwa sekretariat KPA Nasional pada waktu itu dinilai belum memiliki tenaga dan kapasitas yang cukup untuk mengelola dana DFID untuk Indonesia. Oleh sebab itu, diputuskan bahwa UNDP akan dibayar sesuai dengan ketentuan untuk bertindak sebagai Pengelola Keuangan (Fund Manager) untuk dana DKIA sementara sekretariat terus membangun sistem dan kapasitas untuk mengambil alih secara penuh pengelolaan keuangan ini. Transisi dari pengelola keuangan DKIA dari UNDP kepada Sekretariat KPAN akan terjadi pada akhir tahun 2011. Beberapa tahun setelah 2005 Sekretariat KPAN telah memiliki staf yang berkualitas walaupun jumlahnya relatif kecil. Sekretariat KPAN juga telah membangun sistem pengelolaan keuangan internal (in-house) yang kokoh, dan terbukti dari berbagai penilaian audit (tabel 25 di bawah). Untuk memenuhi kebutuhan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan pula penyeliaan yang intensif serta kegiatan pengembangan kapasitas pengelolaan keuangan bagi sumber daya manusianya. Tabel 25: Audit keuangan yang dikelola Sekretariat KPA Nasional dan hasilnya, tahun 2007 - 2010
2007
2008
2009
2010
Audit oleh
APBN
Wajar tanpa syarat – setiap tahun
BPK . Melalui kantor Kemenko Kesra selaku Ketua KPA Nasional
IPF
Wajar tanpa syarat – setiap tahun
BPKP112
111
GF
Tidak ada dana ke KPAN
Pendanaan dimulai
Wajar tanpa syarat
Local Fund Agent untuk GF = Price Waterhouse Cooper. Kantor Akuntan Publik Syarief Basir Account and Co
UNDP
moderate risk
Low risk
Low risk
HACT113 penilaian dari sistem PBB
Low risk
Sumber: Laporan komentar Auditor dalam catatan KPA Nasional
Hingga laporan ini dibuat, tampak adanya penambahan sumber dana maupun besaran dana yang dikelola oleh sekretariat KPA di semua tingkat antara tahun 2006 dan 111
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
2011. Contohnya, pada tingkat nasional tahun 2006 sekretariat hanya mengelola US$ 3,060,516 dari satu sumber, dan meningkat menjadi US$ 16,540,839 dari lima sumber pada tahun 2011. Grafik 12: Pendanaan yang dikelola oleh sekretariat KPA Nasional, 2006 - 2011
$10,000,000 $9,000,000
dalam juta US$
$8,000,000 $7,000,000 $6,000,000 $5,000,000 $4,000,000 $3,000,000 $2,000,000 $1,000,000 $-
2006
2007
2008
2009
2010
2011
$727,532
$2,053,400
$2,272,727
$2,297,628
$2,840,828
$3,060,516
$3,806,924
$4,052,000
$3,283,091
$2,333,392
$2,916,800
$242,222
$192,800
$2,176,000
$7,735,798
$9,512,227
$211,000
$675,980
$1,102,984
APBN IPF GF AUSAID UNAIDS/UNFPA Total
$3,060,516
$64,000
$114,080
$84,000
$4,840,678
$6,412,280
$8,026,818
$168,000 $13,042,798
$16,540,839
Sumber: Dana Kemitraan Indonesia untuk HIV dan AIDS (DKIA/Indonesian Partnership Fund, 2011
5. Pengembangan kapasitas untuk meningkatkan jumlah orang Indonesia yang terlatih Bagian dari kerja yang terus menerus dari Sekretariat KPA Nasional pada lima tahun terakhir telah memberi sumbangan dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk pengembangan, perencanaan, pengelolaan, dan pemantauan yang terus meluas dan multi-aspek. Pelatihan dan pendidikan telah dipersiapkan di banyak tingkat, dan berdasarkan rancangannya, telah melibatkan peserta (baik perempuan, laki-laki maupun waria) dari pemerintah, juga masyarakat sipil dan militer. Beberapa adalah pelatihan jangka pendek, dengan topik khusus, tingkat pemula untuk orang dengan latar belakang umum atau sangat sedikit pengalaman dalam bidang HIV maupun pengelolaan organisasi. Di sisi yang lain, ada pula orang yang mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dengan spesialisasi program AIDS dan bidang terkait. 112
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Di awal tahun 2007 Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA Nasional meluncurkan serangkaian arahan kebijakan untuk menerangkan dan mendukung KPA baru di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Arahan tersebut termasuk: • Pedoman dan Tata Kerja Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota (Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA No. 04/ 2007)114 • Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KPA Nasional (Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA No. 05/ 2007)115 lengkap • Tim pelaksana KPA Nasional, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden No.75/2006, Bab 2, Ayat 5 (Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA No. 06/ 2007)116 • Ppedoman nasional mengenai pemantauan, evaluasi dan pelaporan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia (Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA No. 08/2007)117 Pemberian dukungan, supervisi, mentoring, dan pemantauan telah menjadi bagian rutin kerja staf KPA Nasional dengan pembagian tugas di antara program, keuangan, pemantauan dan evaluasi, dan staf pengelolaan umum. Indonesia, secara keseluruhan, dibagi menjadi empat wilayah untuk tujuan pengelolaan oleh KPA Nasional. Ada 4 pembagian wilayah untuk pembinaan dan koordinasi berdasarkan wilayah, disebut Pembinaan Wilayah: • Wilayah 1
Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan dan Bangka Belitung; Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Lampung
• Wilayah 2
Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Banten;
• Wilayah 3
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat; Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
• Wilayah 4
Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara
Pekerjaan terkait kewilayahan ini dikoordinasi di tingkat KPA Nasional melalui tim kerja Pembina Wilayah, yang masing-masing terdiri dari 3 staf: keuangan, program dan perencanaan, juga pemantauan dan evaluasi. Petugas Pembina Wilayah melakukan kunjungan ke wilayah yang didukung untuk mendukung pengembangan kelembagaan KPA, serta melakukan mentoring kepada staf program, keuangan, dan monev. Tidak 113
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
jarang Pembina Wilayah mengikut-sertakan Tim Pelaksana termasuk populasi kunci dalam melakukan supervisi ke daerah. Sejak tahun 2007 setiap wilayah menyelenggarakan pertemuan tahunan per wilayah yang dihadiri oleh perwakilan KPA. Agenda dari pertemuan ini termasuk sesi pembahasan kegiatan terpilih dan khusus, sesuai dengan prioritas di wilayah, dan sesi lain mengenai peran dan tanggung jawab KPA, pemberian keterampilan baik dasar ataupun yang lebih tinggi untuk pengelolaan keuangan, ataupun, pelaporan, pemantauan dan evaluasi (termasuk menggunakan perangkat lunaknya). Tergantung pada kegiatan yang akan berjalan di wilayah ataupun pada kebutuhan khusus, terkadang dilakukan pelatihan tambahan dalam perencanaan, advokasi, dan lain sebagainya. Dimana mitra internasional aktif, mereka sering memberi tambahan pelatihan umum di KPA provinsi, kabupaten dan kota. Selama tahun-tahun pertama Komisi Penanggulangan AIDS dengan struktur barunya (2006 – 2008), program dukungan Australia dan program Aksi Stop AIDS dukungan Amerika (Family Health International) mendukung pelaksanaan penanggulangan AIDS dengan dukungan tambahan dari DKIA, bekerja di 11 provinsi.* Dari tahun 2008 sampai dengan 2010 program baru yang didukung Australia, HIV Cooperation Program for Indonesia (HCPI), mulai aktif dengan programnya di 9 provinsi.
Diskusi kelompok dalam sesi pelatihan.
Mulai tahun 2009, pendanaan baru tersedia untuk 12 provinsi ketika dukungan dana Global Fund (GF) dimulai sebagai hibah ketiga dana untuk lima tahun (lihat Lampiran 3 untuk lokasi dukungan GF Ronde 8 dari tahun 2009 - 2014).118 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah salah satu dari 3 penerima utama dana hibah GF, atau yang *
Aksi Stop AIDS (Amerika) dan program Australia keduanya bekerja di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Papua. Aksi Stop AIDS juga bekerja di Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua Barat. Program dukungan Australia juga bekerja di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan.
114
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
disebut dengan Principle Recipient (PR)119 sehingga memungkinkan dilakukannya perluasan pengembangan kapasitas. Dengan mengkombinasikan sumber dana baru dari Global Fund dengan pendanaan dari APBN, DKIA/IPF, dan HCPI – Australia, KPA Nasional mengorganisasi tiga puluh pelatihan dasar (perencanaan, monev, keuangan), dengan materi orientasi untuk Global Fund untuk staf KPA Nasional, KPA di 23 provinsi dan masyarakat sipil serta mitra sektoral, yang dilaksanakan antara bulan Juli 2009 dan akhir bulan Mei 2011. Keseluruhan 2.000 orang dilatih (1.135 laki-laki, 804 perempuan, dan 61 waria) pelatihan pengelolaan dasar dan orientasi pengelolaan Global Fund.120 Tabel 26: Jumah orang yang dilatih dengan dukungan dana GFATM Juli 2009 – Mei 2011 Tahun
Laki-laki
Perempuan
Waria
Total
Juli 2009
256
208
13
477
2010
732
476
46
1,254
s/d Mei 2011
147
120
2
269
TOTAL
1,135
804
61
2,000
Sumber: Laporan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengenai penggunaan dukungan dana dukungan Global Fund
Setiap bidang program juga memiliki kegiatan yang lengkap dari pengembangan kapasitas untuk mendukung keakuratan teknis pengelolaan program di seluruh negeri. Terlihat di bawah, adalah contoh rangkaian pelatihan peningkatan kapasitas dalam hal ini terkait dengan pengurangan dampak buruk.
115
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Tabel 27: Contoh – peningkatan kapasitas terkait pengurangan dampak buruk, 2009-2011 Kegiatan
Jumlah Prov, Kab/ Kota
Kapan
Peserta L2
P
Jml
Sumber dana
1. Pelatihan Komprehensif pengurangan dampak buruk napza suntik untuk akselerasi program
Jakarta, 2-4 Juli 2009
6 Provinsi
22
6
28
APBN
2. Pelatihan Pengurangan dampak buruk Napza suntik di 6 Provinsi
Jakarta, 26 29 Juli 2009
6 Provinsi
30
13
43
GF dan HCPI
3. Workshop penyusunan buku panduan diskusi penasun
Cisarua, 13 15 Oktober 2009
2 Provinsi
11
4
15
APBN
4. Training of Trainer Program layanan jarum dan alat suntik steril
Jakarta, 9 - 11 November 2009
10 Provinsi
27
12
39
IPF
5. Pertemuan penguatan sektor pemerintah dalam rangka pengurangan dampak buruk narkotika
Jakarta, 21 24 Juni 2010
4 Provinsi, 14 Kabupaten/ Kota
29
8
37
GF
6. Pelatihan komprehensif pengurangan dampak buruk Napza suntik (HR)
Ciloto, 26 Sept - 1 Okt 2010
6 Provinsi, 22 Kabupaten/ Kota
39
20
59
APBN dan GF
7. Lokakarya Evaluasi diskusi penasun melalui buku pedoman pertemuan penasun
Jakarta, 12 - 14 April 2011
10 Provinsi, 26 Kabupaten/ Kota
30
22
52
APBN
8. Pelatihan HR Komprehensif dan Adiksi 3 Gelombang
Batam, (Februari), Surabaya (Maret) Bogor (April
20 Provinsi, 44 Kabupaten/ Kota
95
71
166
GF
283
156
439
Sumber : Laporan Kegiatan Pelatihan Sekretariat KPA Nasional
Pelatihan akademis: Di samping pengembangan kapasitas yang dibahas di atas, dibutuhkan pula keterampilan lain yang lebih tinggi tingkat kecanggihannya – baik akademik maupun praktis – dalam bidang terkait AIDS. Pada tahun 2007 Sekretaris KPA Nasional membuka diskusi dengan the Royal Institute of Tropical Medicine di Belanda (Koninklijk Instituut voor de Tropen, KIT) untuk mengeksplorasi kemungkinan kerjasama. Sejauh ini dua staf dari sekretariat KPA Nasional, staf TNI dan satu staf 116
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dari Kemkes telah mendapatkan Master dalam Kesehatan Masyarakat (MPH) dengan spesialisasi HIV dan AIDS. Kerjasama dengn KIT berlanjut juga ketika KIT menjadi tuan rumah (2009) dari tim Indonesia yang berjumlah 20 orang, dari 5 provinsi dan berbagai universitas (Universitas Padjajaran, Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, serta staf dari Kementerian Kesehatan (Badan Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia untuk Kesehatan – BP2SDM-K, Kemkes) dan dari sekretariat KPA Nasional. Pelatihan khusus selama 6 minggu dipersiapkan untuk tim Indonesia untuk mendukung mempersiapkan mereka mengembangan kurikulum terkait HIV untuk diintegrasikan dalam pendidikan dan pelatihan profesi kesehatan. Setelah kembali ke Indonesia, sebagaimana direncanakan tim menyusun kurikulum, untuk digunakan pada Fakultas Kedokteran, untuk Fakultas Kesehatan Masyarakat, dan dua (S1 dan D3) untuk Pendidikan Keperawatan dan Kebidanan. Selama tahun 2011, kurikulum dievaluasi untuk mulai dilakukan kegiatan adopsi atau integrasi pada universitas, maupun persiapan-persiapannya dengan BP2SDM. Fase program ini merupakan suatu bentuk kerjasama antar lembaga yang ditetapkan melalui Nota Kesepahaman antara Sekretaris KPA Nasional dengan Kementerian Kesehatan. Diskusi kerja ini telah meningkatkan minat dari universitas lain dan saat ini ada indikasi bahwa kurikulum akan diadopsi dan diadaptasi oleh universitas. Sejumlah peserta dari Indonesia* juga telah mengikuti program dengan kerjasama UNAIDS dan pusat pelatihan di East-West Center di Hawaii untuk pelatihan penggunaan Asian Epidemic Model (AEM) sebanyak 3 angkatan (2007, 2009 dan 2011), sebuah pemodelan, proyeksi epidemi serta program dan biaya yang membutuhkan pengelolaan data serta pemanfaatannya untuk advokasi. 6. Mempromosikan lingkungan yang mendukung: Lingkungan sosial dan legal di dalam penanggulangan HIV dan AIDS memiliki dampak yang besar baik pada kecepatan langkah penanggulangan maupun dalam keberhasilan atau kegagalan penanggulangan. Lingkungan sosial dan legal ini mempengaruhi anggaran, citra dalam masyarakat mengenai tantangan yang harus diatasi, sikap terhadap orang yang terlibat, dan pilihan untuk solusi. Lingkungan dibentuk oleh hukum, kebijakan publik serta opini publik. Hal ini, pada gilirannya dipengaruhi dan mempengaruhi pemimpin, baik dalam lingkup pemerintah maupun masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya Perpres Sekretaris KPA Nasional terus memberi dukungan kepada para pimpinan mengenai pentingnya lingkungan yang mendukung. Secara khusus lingkungan yang *
Masing-masing satu orang dari BAPPENAS, Kemkes, dan HCPI (Australia) serta 3 dari sekretariat KPAN.
117
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
mendukung yang diharapkan diperoleh dari para pimpinan ini diberikan dalam bentuk kebijakan, program dan tindakan untuk mengendalikan HIV dan AIDS. Berbagai cara telah dilakukan, terutama melalui dukungan pengembangan jaringan yang mendukung dikembangkannya dan terlaksananya kebijakan penanggulangan AIDS di tingkat nasional maupun lokal, melalui advokasi dan pendidikan HIV dan AIDS kepada masyarakat, juga pimpinan masyarakat. Pengembangan Kebijakan: Pada tahun 2006, peraturan-peraturan belum lagi cukup kondusif untuk mendukung penanggulangan AIDS dengan ruang lingkup yang luas serta berspektrum multi-sektor. Opini publik masih didominasi oleh kehati-hatian, terkadang bernada menakut-nakuti dalam membicarakan AIDS, cara penularan, penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia. Walaupun ada pengecualian baik dari perorangan dan lembaga yang benar memahami masalah ini serta setuju upaya yang lebih asertif dan pro-aktif, namun jauh lebih banyak orang - masyarakat - yang belum terinformasi, barangkali juga tidak peduli, enggan terlibat, bahkan terkadang merasa takut. Di sepanjang bentangan negeri ini, sudah banyak tindakan yang konstruktif berjalan dengan dukungan kebijakan yang positif, khususnya di provinsi yang menandatangani “Komitmen Sentani”. Namun demikian, dibandingkan luasnya Indonesia, maka 7 provinsi saja tidaklah cukup; apalagi untuk keberlanjutannya, program dan kebijakan harus menyatu dalam sistem jangka panjang, yang memungkinkan terjadinya dampak yang bermakna terhadap epidemi. Pada saat yang bersamaan, juga membangun perhatian terhadap HIV dan AIDS, yang diawali dari Komitmen Sentani, dan didukung mitra dalam negeri dan internasional yang bermacam-macam, ada beberapa langkah awal untuk memulai mengembangkan kebijakan nasional terkait HIV dan AIDS pada tahun 2004. Kementerian Pendidikan mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pendidikan,121 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengambil kebijakan dasar mengenai pencegahan HIV dan AIDS di tempat kerja122 membangun kebijakan nasional tanpa diskriminasi di tempat kerja. Kementerian Kesehatan menetapkan 25 Rumah Sakit sebagai lokasi pengobatan ARV (SK MenKes 781/MENKES/SK/VII/2004) dan tak lama kemudian menerbitkan pedoman nasional untuk pengobatan ARV (lihat Lampiran 6A). Di luar upaya-upaya ini, konsensus mengenai tindakan apa yang harus segera diambil masih sangat terbatas, sehingga berakibat masih banyak kesenjangan dalam infrastruktur legal dan kebijakan. Pada saat yang bersamaan, kebiasaan masyarakat yang masih dilakukan sejak bertahun-tahun, terhadap orang yang termaginalkan, seperti pekerja seks, pengguna narkoba suntik, dan lelaki yang seks dengan laki-laki, semuanya memberi nuansa mentoleransi stigma dan perilaku diskriminatif terhadap orang yang HIV positif atau dilihat sebagai orang yang berisiko tinggi tertular HIV yang menyebabkan efektivitas upaya penanggulangan AIDS menjadi terbatas.
118
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Dengan alasan tersebut, sejalan dengan mobilisasi sumber daya dan perhatian terhadap pembangunan dan perluasan (scale up) program-program teknis, prioritas awal yang diberikan oleh Ketua dari KPA Nasional serta Sekretaris KPA Nasional adalah untuk mengatasi kelemahan ini. Tindakan dilakukan pada setting/tempat/lingkungan yang berbada-beda, juga, pada tingkat yang berbeda-beda. Tingkat Nasional: Sekretaris KPAN segera mulai bekerja dengan kantor Kementerian Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPAN dan sektor-sektor pemerintah lainnya, anggota Tim Pelaksana KPA Nasional, atau menciptakan jaringan kebijakan yang lebih lengkap serta kebijakan publik khususnya terkait HIV dan AIDS. Perhatian dititik-beratkan pada 1) masalah pengelolaan dan tanggung jawab masyarakat pada umumnya terkait HIV dan AIDS (Kementerian Dalam Negeri selaku sektor utama (leading sector) yang bekerja dengan sekertariat KPA Nasional), juga 2) masalah-masalah teknis seperti ketersediaan dan kualitas layanan dalam berbagai lokasi/tempat, yang merupakan perhatian dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Hukum dan HAM. (Contohnya adalah evolusi kebijakan khususnya yang terkait dengan pengurangan dampak buruk yang telah diuraikan pada Box 2; Untuk contoh lain pengembangan kebijakan multisektoral dan tindakan pada masalah lain, lihat box di bawah ini.
119
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Box 6 : Beberapa hal penting dalam pengembangan kerangka kebijakan multi-sektor Kementerian Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat dan Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2007. Serangkaian peraturan dan instruksi terkait dengan organisasi dan kerja Komisi Penanggulangan AIDS; Pelimpahan tugas kepada Tim Pelaksana KPA Nasional; Terbitnya Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2007-2010; Pedoman Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan HIV dan AIDS di Indonesia; 2008. Pedoman pengembangan KPA Provinsi, Kabupaten/Kota; Pedoman untuk sekretariat KPA; Strategi penanggulangan AIDS pada Perempuan; Strategi Penanggulangan AIDS pada Anak dan Remaja; 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2010-2014. Kementerian Dalam Negeri. 2007. Pada pengembangan KPA Provinsi dan Kabupaten/Kota dan pemberdayaan masyarakat desa terkait penanggulangan HIV dan AIDS; 2008. Terkait dengan penanggulangan AIDS pada tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota, dan pendanaan KPA. 2009-2010. Instruksi terhadap kerja dan pendanaan KPA Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kementerian Kesehatan. 2006. Standar laboratorium untuk pemeriksaan/tes HIV dan infeksi oportunistik; Pedoman pelaksanaan pengurangan dampak buruk; 2007. Penetapan Rumah Sakit Rujukan untuk pengobatan HIV dan AIDS; Pedoman PMTCT; 2008. Penetapan Rumah Sakit dan program satelit untuk rumatan metadon beserta pedoman pendukung; Pedoman untuk integrasi pengurangan dampak buruk pada layanan program di Puskesmas; 2009. Pedoman untuk kolaborasi dalam mengendalikan TB dan HIV; Rencana aksi sektoral untuk penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014 Tentara Nasional Indonesia. 2006. Strategi penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI 2006-2010; Surveilans Biologis Perilaku pada TNI sebagai dasar untuk perencanaan dan pengembangan kebijakan; 2008. Pedoman kewaspadaan universal pada Rumah Sakit-Rumah Sakit TNI. 2010. Rencana Strategis untuk penanggulangan AIDS di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI 2010-2014. Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. 2005. Strategi Nasional penanggulangan HIV/AIDS dan penyalah-gunaan obat dalam system pemasyarakatan 2005-2009. 2006. Pertemuan koordinasi untuk mengoperasionalisasikan sistem pemasyarakatan dalam bidang AIDS dan strategi penanggulangan penyalahgunaan obat; 2008. KTS dimulai di 15 Lapas; 2010. Strategi dan Rencana Aksi untuk penanggulangan HIV dan penyalahgunaan obat dalam sistem pemasyarakatan 2010-2014.
Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota: Upaya lain untuk meningkatkan lingkungan yang mendukung dalam pelaksanaan penanggulangan AIDS adalah dukungan untuk pengembangan peraturan dan kebijakan lokal untuk memberi status legal dalam kerja penanggulangan. Dukungan teknis dan pelatihan, termasuk pelatihan legal yang tepat, diberikan oleh tim dari KPA Nasional kepada perwakilan KPA di tingkat provinsi 120
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dan kabupaten/kota untuk memformulasikan Surat Keputusan Gubernur ataupun Keputusan legislatif. Sampai dengan akhir Juni 2011, lima belas provinsi telah memiliki peraturan daerah terkait penanggulangan AIDS*, satu provinsi (Jawa Barat) telah memiliki SK Gubernur untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Pada kepemerintahan tingkat Kabupaten/Kota, 34 Kabupaten/Kota telah menetapkan peraturan daerah untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Tiga, di seluruh provinsi Papua,† pada tahun 2003 sebelum Peraturan Presiden No.75/2006 telah memiliki Peraturan Daerah. Sisanya, 31 Kabupaten/Kota adalah hasil pengembangan Perda periode tahun 2006 – 2010 (lihat Lampiran 8: provinsi, kebupaten/kota dengan perda penanggulangan HIV dan AIDS). Tugas yang jelas tertera dalam Peraturan Presiden No.75/2006 adalah untuk memobilisasi upaya penanggulangan nasional – tidak hanya sekedar aktivitas pada tingkat nasional. Oleh sebab itu upaya dilakukan di semua tingkat. Sebagaimana dapat dilihat di atas, tujuan dari kerja terkait pengembangan kebijakan pada awalnya adalah untuk menggiatkan Komisi Penanggulangan serta anggota multi-sektor-nya pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, untuk membuat pekerjaan menjadi sistematis melalui pengembangan sistem layanan yang berkualitas dan berkelanjutan, tersebat di seluruh pelosok negeri. Dengan itu, pedoman untuk pemantauan, evaluasi dan pelaporan dipersiapkan. Tercermin dalam perhatian terhadap pengembangan sistem, ada upaya yang terus menerus untuk 1) memastikan kerangka legal untuk melindungi hak-hak dari ODHA dan orang yang bekerja dengan ODHA; 2) menghilangkan stigma terkait HIV dan AIDS, 3) untuk melindungi dan memfasilitasi pengembangan dan integrasi ke dalam system pemerintahan yang sudah ada, khususnya dalam sistem kesehatan pemerintah dan system layanan publik lainnya, layanan yang dibutuhkan oleh seluruah ODHA atau orang yang rentan terinfeksi HIV. Pendekatan struktural untuk mengubah lingkungan mengarahkan pada perluasan (scale-up) upaya pengurangan dampak buruk pada layanan kesehatan masyarakat dan kemitraan dengan upaya yang lebih intensif untuk pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS). Proses ini bukan berarti meniadakan perannya sumbangan para penggiat program terkait dengan pencegahan melalui transmisi seksual atau penggunaan napza suntik. Tetapi lebih, belajar banyak dari mereka yang lebih dahulu bergerak dalam bidang ini, serta penasun, jelaslah bahwa orang muda memerlukan dan berhak untuk mendapatkan konseling, perawatan, dukungan dan pengobatan yang diwakili oleh kelompok yang penting dari populasi di Indonesia yang biasanya kurang mendapat * †
Peraturan Daerah : Riau, Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, SK Gubernur : Jawa Barat 2003 : Kabupaten Jayapura, Naibire, Merauke.
121
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
layanan kecuali kebutuhan mereka dipenuhi melalui kerangka kerja seluruh pemberian layanan kesehatan publik. Perubahan dalam kebijakan dan program sebagaimana yang disebutkan di atas, dikombinasikan dengan pengembangan layanan yang diperlukan, dan bekerjasama dengan komunitas penasun yang bekerja keras dan secara aktif mengurangi prevalensi HIV pada penasun, sehingga memungkinkan bagi banyak penasun untuk mandiri, bertanggung jawab terhadap masyarakat serta memperkuat kehidupan keluarganya melalui terapi rumatan metadon, dan menjadikan Indonesia tujuan kunjungan studi lapangan untuk pengelolaan HIV dan penggunaan napza suntik oleh negara lain. Walaupun pendekatan struktural terhadap penularan melalui seksual, PMTS, baru diluncurkan pada tahun 2009, namun tampak indikasi bahwa PMTS pada umumnya dapat diterima dengan baik di tempat-tempat PMTS diperkenalkan, serta menunjukkan hasil yang meyakinkan dengan pelibatan berbagai pemangku kepentingan maupun peningkatan jumlah pemakaian kondom yang cepat baik yang diberikan secara gratis maupun yang komersial. Opini publik dan sikap masyarakat: Sikap dan tindakan masyarakat terkait dengan HIV dan AIDS dipengaruhi oleh hukum dan kebijakan publik, dan kemajuan yang cepat dalam bidang tersebut dari tahun 2006 dan seterusnya, benar sangat membantu penanggulangan di Indonesia. Namun demikian, bukti di Indonesia dan di beberapa negara lain adalah jelas, bahwa pendidikan masyarakat mengenai HIV dan AIDS serta orang yang positif melalui media dan saluran komunikasi publik lainnya berperan penting dalam menentukan seberapa terbuka atau tertutup masyarakat memandang epidemi ini, serta orang yang terdampak. Sejalan dengan hal ini, serta terkait dengan upaya untuk meningkatkan anggaran daerah untuk AIDS, KPA Nasional secara terus menerus melakukan upaya untuk memobilisasi tokoh-tokoh, pemimpin masyarakat, dan menyediakan informasi kepada masyarakat umum. Bekerja dengan media memerlukan persiapan baik di tingkat nasional maupun daerah untuk membuat berita singkat, memilih orang yang dapat menjadi nara sumber untuk acara di radio maupun televisi. Pelatihan dilakukan secara periodik untuk jurnalis baik di tingkat nasional maupun daerah. Media diberi informasi mengenai event dan acara-acara terkait AIDS yang pantas dipublikasikan sebagai berita – peringatan Hari AIDS Sedunia (bulan Desember setiap tahunnya) dan Malam Renungan AIDS (bulan Mei setiap tahunnya), peluncuran program-program baru, menjadi tuan rumah atau berpartisipasi dalam pertemuan nasional ataupun internasional. Di beberapa provinsi, Komisi Penanggulangan AIDS mengorganisasi jaringan jurnalis yang peduli pada HIV untuk saling membantu memberitakan informasi terkait HIV dan AIDS yang mendidik. 122
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Tabel 28 : Ketua, penanggungjawab pelaksanaan peringatan Hari AIDS Sedunia Tahun
Penanggung Jawab
2013
Ketua, Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA)
2012
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
2011
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
2010
Menteri Pendidikan Nasional
2009
Ketua, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
2008
Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga
2007
Kepala, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
2006
Menteri Kesehatan
Sementara banyak informasi bersifat mendasar, katakanlah informasi informal seperti “Informasi AIDS” (Apa itu HIV? Bagaimana cara penularan? Berbagai cara mencegah penularan HIV? Dimana kita bisa mendapatkan informasi lebih jauh mengenai hal ini?), media telah mengangkat informasi ini untuk kalangan pendengar khusus, karena barangkali pendengar ini lebih sukar dicapai dengan metode komunikasi kepada khalayak umum. Contohnya, pada awal tahun 2009 Radio Komunitas yang didukung oleh DKIA/IPF melakukan siaran di 6 provinsi menyediakan informasi secara khusus pada laki-laki yang seks dengan laki-laki, pekerja seks, dan penasun, dimana pendengarpendengar ini sukar untuk dijangkau dengan cara yang lain. Program diperluas dan pada tahun 2011 mendapatkan dukungan dana APBN dan DKIA/IPF menjangkau pendengar dari komunitas di 8 provinsi. Tetapi kebutuhan untuk informasi tidak pernah habis. Website KPA Nasional dan halaman Facebook (telah mempunyai 2000 anggota), juga halaman web dari Spiritia dan organisasi penggiat HIV, menyediakan informasi dengan ruang lingkup yang luas mengenai HIV dan upaya penanggulangan yang sedang dilaksanakan kepada pendengar di seluruh pelosok negeri. Publikasi KPA Nasional (ada 111 judul, lihat Lampiran 9) mencerminkan perhatian KPA Nasional pada penyebarluasan informasi maupun akuntabilitas dalam melaksanakan tugas sesuai Perpres 75/2006. Sekretaris KPA Nasional dan pembicara lain juga secara teratur terlibat untuk memberi masukan teknis tingkat tinggi pada pertemuan dokter spesialis, misalnya OB-GYN, pertemuan nasional Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, dan pertemuan nasional Ikatan Bidan Indonesia, serta banyak lainnya. Sebagaimana kecepatan penanggulangan AIDS nasional telah ditetapkan dan kebutuhan akan informasi semakin bervariasi, pengembangan komunikasi telah menjadi fokus dari program AIDS dukungan Australia saat ini, HCPI, sejak 2008. Dalam 123
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
kemitraan dengan KPA, HCPI telah mendukung pengembangan beberapa strategi komunikasi – strategi nasional komunikasi, satu untuk meningkatkan kerja komunikasi dengan populasi umum di Tanah Papua (dikembangkan bersama organisasi orang positif di daerah, organisasi-organisasi yang memberikan layanan AIDS, dan Komisi Penanggulangan AIDS Papua dan Papua Barat), dan satu dengan dan untuk laki-laki yang seks dengan laki-laki. Bidang pendidikan publik – formal, non formal, dan informal – juga dapat memberikan sumbangan. Mulai dari adopsi Strategi Penanggulangan AIDS Nasional (2004)123 telah ada pengembangan meteri pendidikan di tingkat nasional. Pada tingkat daerah, sejumlah provinsi telah melaksanakan program pendidikan bermateri HIV dan AIDS secara mandiri. Sebagaimana dibahas sebelumnya, upaya yang dikembangkan dengan semaksimal mungkin, didukung oleh SK Gubernur dan kebijakan sektoral, dapat ditemukan di Provinsi Papua. Pemantauan dan evaluasi pengalaman di Papua bahwa kebijakan benar-benar dilaksanakan akan memberi informasi penting untuk kemungkinan perluasan pendekatan ini dengan meningkatkan pendidikan dasar kesehatan reproduksi dan HIV serta meningkatkan sikap masyarakat umum terhadap pencegahan dan penanaggulangan HIV dan AIDS. Jika banyak kerja di bidang ini difokuskan dalam penyebarluasan informasi, maka juga ada peran advokasi dan promosi yang dilakukan oleh pimpinan yang high profile, yang dikenal banyak orang, tampil sebagai pembicara di media atau acara-acara untuk masyarakat. Pada tingkat tertinggi di Indonesia, partisipasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan International Congress of AIDS in Asia and the Pacific yang kesembilan (ICAAP 9) adalah salah satunya. Pada upacara pembukaan, Presiden mengungkapkan penghargaan kepada 5 jaringan orang positif dan rentan tertular HIV (IPPI, JOTHI, OPSI, PKNI, dan GWL-Ina) dan pentingnya partisipasi orang positif dalam penanggulangan AIDS nasional di Indonesia. Untuk banyak orang yang hadir pada pidato pembukaan ini memberikan kepuasan yang tinggi. Namun demikian dampaknya tidak berhenti pada hari itu. Gelombang dampak pidato Presiden masih dirasakan lama setelah itu. Pada tahun 2011, di New York, selama pembahasan formulasi Deklarasi Politik pada Pertemuan Tingkat Tinggi tentang HIV dan AIDS (bulan Juni 2011), komentar beliau diambil kembali sebagai konfirmasi kebijakan nasional di Indonesia dan untuk mengajak negara-negara lain mencapai kesepakatan sampai pada bahasa yang inklusif, dimana, pada akhirnya, mengadopsinya.
D. Membangun Penanggulangan Nasional melalui Kemitraan: 1. Kemitraan dalam negeri Jiwa dan praktek kemitraan memang sangat penting untuk keberhasilan pencapaian penanggulangan AIDS pada lima tahun terakhir. Semakin banyak orang yang terlibat 124
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dalam penanggulangan baik jumlahnya, keberagamannya, maupun luas minatnya. Hal ini sangat mendukung penanggulangan nasional. Bekerja dengan bermitra telah memastikan kinerja mampu memenuhi kebutuhan orang yang secara langsung terdampak. Kemitraan juga merupakan hal yang sensitif seperti yang ditemukan dalam penata-laksanaan yang berkeadilan gender maupun menjunjung hak asasi manusia, serta mampu memobilisasi banyak orang sesuai dengan minat, keterampilan dan sumberdana yang tersedia. Box 7: Kemitraan Keterlibatan aktif dalam penanggulangan HIV muncul dalam berbagai wujud. Kemitraan adalah mekanisme untuk memaksimalkan sumbangan para pihak. Ada orang yang secara sukarela menyumbangkan waktunya, ada orang atau organisasi yang memberikan kemampuannya untuk sepenuhnya bekerja untuk AIDS. Ada kelompok yang memberikan dukungan dana dan teknis ataupun profesionalitas mereka. Ada pendidik, advokat, peneliti, pelatih, pengelola bisnis, sektor swasta, tokoh agama, aktivis berbasis agama, petugas penjangkau, dan pemberi layanan. Ada LSM, anggota media, lembaga pemerintah, organisasi internasional yang menyumbangkan sumber daya manusia dan pengembangan sistem. Semua ini penting untuk mempercepat pengurangan infeksi baru serta meningkatkan mutu hidup ODHA ataupun keluarganya juga untuk jangka yang lebih panjang terkait efektivitas program yang berkelanjutan.
Fokus dan sinergi dalam kemitraan telah dipromosikan sebagai tanggung jawab dan kewenangan KPA untuk mengelola penanggulangan AIDS seperti yang tercantum dalam Peraturan Presiden No.75/2006 dan dalam rangkaian Strategi dan Rencana Aksi Nasional (2007-2010 and 2010-2014). Secara umum telah menyebutkan kemitraan sebagai payung dari semua kerja di bidang ini. Pada tingkat nasional, kemitraan sudah terbukti dalam tim/kelompok kerja konsultatif, semua, dengan keanggotaan yang berasal dari pemerintah, masyarakat sipil, perwakilan populasi kunci, dan sekretariat KPA juga mitra pembangunan internasional sesuai dengan topik dan permasalahannya. Jika mitra-mitra itu sendiri bervariasi tergantung tujuan kerja, namun demikian, pola dialog dan kemitraan telah dipraktekkan di seluruh negeri. Kemajuan dalam melembagakan kebijakan tampak bervariasi dari waktu ke waktu, di lokasi yang berbeda. Namun demikikan, prinsipnya jelas – ini adalah kebijakan nasional dimana penanggulangan HIV dan AIDS adalah untuk semua, oleh semua, bersifat kerjasama dan bersinergi.
125
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Kemitraan dengan berbagai unsur masyarakat termasuk tokoh agama, sektor swasta, dan lain-lain.
Beberapa contoh dari sekretariat KPAN yang dapat menggambarkan pola kerja ini: Terkait dengan pengelolaan dana dan pengembangan program: • Komite Pengarah DKIA - IPF Steering Committee (badan pengawas tertinggi) dan Komite Pengelola DKIA - Management Committee memberi saran-saran terkait teknis program, dan pada saat-saat tertentu, ikut serta dalam memberikan mentoring dan pemantauan kegiatan yang didukung IPF. Keanggotaan kedua komite ini termasuk perwakilan dari pemerintah Indonesia ditambah beberapa donor besar untuk IPF, juga perwakilan dari populasi kunci dan masyarakat sipil. • Kerjasama, konsultasi dan koordinasi multi-tingkat dan multi-mitra adalah bagian dari proses pengembangan program dan akan berlanjut dalam pelaksanaan kegiatan dukungan Global Fund – untuk memperluas upaya penanggulangan di 33 provinsi dan 137 kabupaten/kota. Sebagaimana disebutkan sebelumnya program yang lengkap tidak mungkin tercapai tanpa kemitraan yang dimulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaannya, termasuk pemantauan dan evaluasi. Secara khusus, dalam kegiatan yang didukung GF dimana KPA Nasional bertanggung jawab untuk proses pengembangan proposal, juga melibatkan perwakilan pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun provinsi. Pelaksanaan didesentralisasi, dilaksanakan kebanyakan oleh KPA di daerah, LSM, dan pelaksana independen lainnya untuk outlet distribusi kondom dan pelicin, serta didukung oleh staf sekretariat KPA Nasional dengan cara kombinasi, kunjungan lapangan maupun komunikasi yang intensif melalui telpon ataupun email.
126
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Pengelolaan keuangan harian kegiatan yang didukung GF, dalam rangka memenuhi standar dan praktek, dilakukan secara desentralisasi. Sekretariat KPA Nasional menyediakan pelatihan dan dukungan dalam pengelolaan keuangan untuk semua penerima dana GF baik di provinsi maupun kabupaten/kota yang menerimanya, tetapi pengelolaan keuangan dan program dilakukan di daerah masing-masing. Sekretariat KPA Nasional sebagai Penerima Hibah Utama (Principle Recipient), adalah tujuan dari laporan program dan laporn keuangan dari KPA tingkat kebupaten, kota dan provinsi, dan bertanggung-jawab kepada Global Fund untuk seluruh pengelolaan dan pelaporan penggunaan dana hibah yang diberikan melalui Sekeretariat KPA Nasional. Kerjasama dalam hal ini dilakukan multi-tingkat, dan multi-mitra. Terkait dengan masalah program yang menjadi perhatian: Ada kelompok kerja multi-mitra KPA Nasional dengan Surat Keputusan124 oleh Sekretaris KPA Nasional dan dengan penugasan ini, contohnya kelompok kerja (pokja) untuk gender dan HAM, pokja Tanah Papua di tingkat nasional, pokja penelitian, dan ada panel ahli yang terdiri dari perorangan atau organisasi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus, yang dibutuhkan untuk pengembangan penanggulangan AIDS yang seimbang dan secara teknis mengikuti perkembangan dunia. Keanggotaan dari setiap kelompok ini selalu disertai perwakilan dari populasi kunci, termasuk ODHA, dan juga sektor pemerintah yang terkait dengan topik bahasan, LSM, mitra pembangunan internasional, dan staf sekretariat KPA Nasional. Penugasan khusus: Ada kelompok kerja/tim dengan penugasan khusus. Contohnya, pengembangan Strategi dan Rencana Aksi Nasional, pengembangan strategi komunikasi, strategi penanggulangan pada laki-laki yang seks dengan laki-laki dan masih ada beberapa dokumen yang dikembangan dengan metode ini. Di antara sektor-sektor pemerintah di tingkat nasional, dua mekanisme utama mempromosikan kemitraan dan sinergi di antara sektor adalah melalui Tim Pelaksana KPA Nasional, yang ditetapkan dalam ayat 5 dalam Peraturan Presiden serta melalui Forum Perencanaan dan Penganggaran untuk HIV dan AIDS125 yang dipimpin oleh BAPPENAS. Keduanya berperan sangat penting dalam mendukung peningkatan anggaran sektor untuk mencapai tingkat yang digambarkan dalam Tabel 12 dan integrasi HIV dan AIDS sebagai pertimbangan yang selalu ada untuk setiap aspek dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.126 Kemitraan multi-tingkat dalam kementerian/lembaga (nasional, provinsi, kabu paten dan kota): Banyak tantangan dalam mengembangkan kemitraan multi-tingkat dalam kondisi negara yang begitu luas. Namun demikian, sekretariat KPA Nasional menggunakan berbagai alat bantu untuk terus mengedepankan kemitraan, konsultasi dan kerja sama multi-tingkat dengan KPA Provinsi dan mitra-mitranya, juga untuk 127
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
mendorong pertukaran pengalaman di antara berbagai pihak dalam tim di provinsi. Pada tiga tahun pertama setelah Peraturan Presiden (2007-2009), KPA Nasional mendukung empat pertemuan regional setiap tahun, satu wilayah per tahun. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia dibagi dalam 4 wilayah pembinaan, maka untuk kerjasama, konsultasi, dan pengelolaan dukungan, sekretariat KPA Nasional. Dialog dan konsultasi antar tingkat tidak tergantung hanya pada pada pertemuan-pertemuan regional. Sekretaris KPA Nasional sering melakukan perjalanan ke tingkat provinsi, kabupaten, dan kota untuk tujuan advokasi dan konsultasi. Demikian juga, staf di tingkat nasional yang bekerja sebagai tim Pembina Wilayah, yang terdiri dari tiga orang (masing-masing satu orang dari monev, keuangan, dan dukungan teknis program) dan masing-masing tim bertanggung jawab untuk satu wilayah di antara 4 wilayah yang ada. Kerja tim pembina wilayah adalah memberi tambahan dukungan teknis program yang sedang berjalan. Pola kerja ini, telah ada pada saat pertemuan regional yang pertama, terus meningkat perannya dengan semakin meluasnya penanggulangan AIDS nasional ke 33 provinsi sebagai mana dana hibah Global Fund dimulai pada bulan Juli 2009. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, kemitraan dengan masyarakat sipil pada penanggulangan nasional – jaringan populasi kunci termasuk ODHA, komunitas berbasis agama dan berbagai bentuk organisasi baik tingkat nasional maupun daerah, dalam bidang pendidikan, advokasi maupun layanan – juga sektor swasta dan media, semakin penting perannya hingga saat ini. Hal ini telah terjadi dalam dialog, interaksi yang terus menerus dengan populasi kunci yang terwakili pada forum Tim Pelaksana KPA Nasional, dengan masyarakat sipil yang tidak hanya berasal dari dalam negeri. Mitra masyarakat sipil dalam penanggulangan telah didukung untuk berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan regional maupun internasional pada saat berbagi pengalaman, mengajarkan keterampilan praktis terkait pencegahan dan pengelolaan HIV dan AIDS, belajar dari pengalaman yang lain. Lima tahun setelah Peraturan Presiden tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, perhatian komunitas akademik terhadap HIV dan AIDS semakin meningkat, baik dalam penelitian ataupun bidang untuk diketahui, dipelajari dan diajarkan melalui kurikulum. Jika pada tahun 2006 perhatian oleh kaum akademik hanya diberikan secara perorangan yang kebetulan tertarik pada HIV dan AIDS, saat ini fokus kerja adalah untuk memperluas jaringan universitas di seluruh negeri. Universitas dari Papua sampai Aceh, telah memberikan masukan yang penting dalam evaluasi dan pengembangan penanggulangan AIDS nasional sebagai konsultan yang mengambil bagian dalam pengembangan dan evaluasi program. Sebagaimana kemitraan yang lain yang berhubungan dengan HIV dan AIDS, setiap lembaga pendidikan memiliki kegiatannya sendiri – penelitian dan pengajaran – tetapi 128
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
juga bekerja bersama untuk berbagai proyek. Contohnya satu kelompok, bekerja untuk pengembangan kurikulum yang akan digunakan pada Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas dan Pendidikan Keperawatan dan Kebidanan. Konsultasi termasuk pembahasan metodologi pengajaran, topik yang masuk dalam kurikulum, pembahasan terkait etika dan lain sebagainya. Dengan telah dimulainya kerja dengan universitas, minat terus tumbuh pada fakultas yang sama di universitas yang lain yang menghasilkan peningkatan jumlah institusi yang ikut dalam pertemuan konultasi dengan pendidikan HIV. Inisiatif yang menarik telah menghasilkan kerjasama antara populasi kunci, dalam hal ini adalah laki-laki yang seks dengan laki-laki lainnya (LSL), sejumlah universitas di Indonesia,* dan LaTrobe University dari Australia. Kelompok ini bekerja sama dalam proyek yang mengkombinasikan peningkatan kapasitas untuk penelitian lapangan khusus bagi laki-laki yang seks dengan laki-laki. Kegiatan tersebut termasuk masalah yang terkait dengan penelitian dan rancangan instrumen penelitian, pemetaan LSL, kajian norma dan praktek LSL, kajian mengenai stigma, dan bagaimana remaja belajar mengenai kesehatan seksual. Dengan memperhatikan besarnya jumlah laki-laki yang seks dengan laki-laki (diperkirakan ada 695.000 orang tahun 2009), dan yang masih remaja (sebanyak 13% di bawah usia 19 tahun dan 19% antara 19-24 tahun), maka upaya ini sangatlah penting baik untuk kemanusiaan maupun untuk penanggulangan HIV dan AIDS (lihat Tabel 3 dengan data mengenai orang muda). Laki-laki Berisiko Tinggi: Upaya yang lain diluncurkan selama tahun 2011 adalah kemitraan publik-swasta (public-private partnership) untuk pencegahan penyakit infeksi menular seksual termasuk HIV di antara laki-laki tenaga kerja yang mobilitasnya tinggi, bekerja jauh dari rumah dan jumlahnya sangatlah banyak. Inisiatif baru ini adalah bagian dari upaya yang terpadu untuk mengintensifkan, memperluas dan meningkatkan efektiviktas pencegahan infeksi HIV melalui penularan seksual. 2. Kerjasama internasional dan kemitraan Bab I, ayat 3, Peraturan Presiden menyebutkan “kerjasama regional dan internasional dalam kerangka upaya penanggulangan dan mengelola penanggulangan AIDS.” Kerjasama ini telah dilakukan dalam dua bentuk: • partisipasi dalam dan menjadi tuan rumah pertemuan-pertemuan/diskusi internasional; dan • bekerja dengan mitra bilateral dan multilateral dalam keseharian. Pelibatan dalam pertemuan-pertemuan regional dan internasional: Kegiatan internasional yang paling menonjol adalah sebagai tuan rumah untuk the 9th *
Di antaranya, adalah Universitas Hasanudin, Makasar, Sulawesi Selatan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali
129
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
International Congress of AIDS in Asia and the Pacific, (ICAAP) tanggal 9 - 13 Agustus 2009 di Bali. Ibu Ani Bambang Yudhoyono menjadi tuan rumah pertemuan Duta AIDS dan Champions dari berbagai negara, dan Ibu Ani memberikan sambatannya. Acara ICAAP secara keseluruhan dibuka oleh Presiden H. Soesilo Bambang Yudhoyono.
Ibu Ani Yudhoyono selaku Duta AIDS Indonesia menerima duta-duta AIDS dari berbagai negara di wilayah Asia Pasifik dalam pertemuan ICAAP IX di Bali.
Dengan dukungan sekretariat KPA Nasional, Pemerintah Australia (AusAID), AIDS Society of Asia and the Pacific (ASAP), Global Fund for AIDS, TB and Malaria (GF ATM), dan World Health Organization (WHO), Joint UN programme on AIDS (UNAIDS), and United Nations Fund for Population (UNFPA), panitia lokal untuk ICAAP 9 mengikut sertakan banyak orang yang berasal dari Jakarta dan Denpasar, Bali, dimana Kongres dilaksanakan. Sampai dengan hari penutupan Kongres dikunjungi oleh lebih dari 6.000 orang dari 78 negara, hampir 4.000 (3.624) mendaftarkan untuk pertemuan penuh. Dengan dana yang diperoleh dari berbagai sponsor ICAAP, beasiswa yang disiapkan oleh 229 peserta dari 27 negara (130 beasiswa lengkap dan 99 beasiswa sebagian). Dalam hal substansi pertemuan, juga termasuk lokakarya pengembangan keterampilan, presentasi abstrak secara oral, diskusi berbasis poster, 24 simposia, 68 pertemuan satelit
130
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dan 5 sesi pleno besar. Area pameran utama, Asia-Pacific Village, memberi tempat untuk memamerkan serta berbagi informasi mengenai program yang dilakukan dan pengalaman lapangan yang dikunjungi oleh 521 peserta selama pelaksanaan kongres tersebut. Media terlibat penuh untuk Kongres dengan 262 peserta media mendaftarkan diri dan mengikuti event ini. Sangat mengesankan, sejumlah 389 orang ikut serta sebagai panitia, dan setidaknya 218 sukarelawan bekerja selama masa kongres. Dalam lima tahun terakhir Indonesia telah berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan di berbagai negara dari yang terdekat, di Singapura dan Australia, dan sampai yang jauh seperti Brazil, Namibia, dan Polandia. Penggiat Indonesia menghadiri dan beberapa adalah pembicara yang diundang, panelis, dan memberikan paparan pada pertemuan AIDS dunia yang lebih besar ataupun yang dilakukan secara periodik - the Global AIDS Conference127 dan International Conference on Harm Reduction.128 Sering diundang untuk berbagi pengalaman mengenai perkembangan pengurangan dampak buruk di Indonesia, negara dengan jumlah orang Muslim terbanyak. Indonesia juga diminta untuk bekerja dengan komunitas berbasis agama, dan memobilisasi upaya penanggulangan AIDS secara multi-sektoral. Sekertaris KPA Nasional telah diminta untuk bicara pada berbagai pertemuan internasional, termasuk pertemuan donor, mengenai hal ini, juga masalah yang terkait dengan gender dan hak asazi manusia, dalam konteks program AIDS dan penanggulangan multi-sektor. Dengan sumber dana yang terbatas, maka ini menjadi suatu kebijakan, bahwa dukungan KPA Nasional untuk berpartisipasi dalam pertemuan semacam ini hanya diberikan kepada peserta yang secara aktif akan memberikan presentasinya. Prioritas yang lebih jauh telah diberikan kepada perwakilan LSM, populasi kunci, perempuan, dan/atau peserta provinsi dan kabupaten/kota karena memiliki akses yang sangat terbatas untuk mendapatkan sumber dana. Kerjasama dengan mitra pembangunan internasional: Kemitraan dengan pelaku internasional dalam bidang HIV dan AIDS sangat beragam dan memiliki peran penting dalam penanggulangan AIDS di Indonesia. Ada dukungan untuk kerja masyarakat sipil, khususnya dengan populasi kunci, kelompok berbasis agama, dan advokasi LSM, pendidikan, dan kelompok kerja layanan pada tingkat perorangan dan masyarakat. Ada dukungan untuk mengembangkan pemahaman dan keterampilan baru melalui penelitian, kajian, dan pelatihan. Sama pentingnya untuk jangka panjang, ada dukungan untuk membangun sistem – penguatan sistem masyarakat dan sistem kesehatan, dan membangun sistem KPA untuk mengelolaan seluruh penanggulangan. Bentuk dukungan dapat bermacam-macam; dukungan dana, dukungan teknis, pelatihan di Indonesia, pelatihan di luar negeri, adalah yang terpenting. 131
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
Selama tahun 2006 - 2008, Pemerintah Inggeris, Amerika Serikat dan Australia adalah mitra penting Indonesia baik secara programatik maupun pendanaan sehingga memungkinkan diluncurkannya penanggulangan AIDS nasional yang terkoordinasi. Sementara Australia dan AS terus bermitra dengan Indonesia, Global Fund menjadi sumber dana terbesar dengan total belanja US$ 20,2 juta pada tahun 2009 diikuti dengan US$ 19,9 juta pada tahun 2010. Secara keseluruhan, selama tahun 2006-2010, dukungan dana dari Global Fund mencapai 31%, sementara 19% dari baik Australia maupun AS, 18% dari Inggris, dan 10% dari badan-badan PBB*. Pemerintah Inggris adalah dalam bentuk dana yang dapat digunakan lebih dari satu tahun (dana awal untuk DKIA/IPF) untuk perluasan (scale up) program layanan dan pengembangan sistem pengelolaan multi-sektoral – sistem KPA – di seluruh Indonesia. Dana baru mulai dialirkan pada akhir tahun 2005. DKIA/IPF berada di bawah kendali Indonesia, sebagaimana dilihat melalui laporan ini, memberikan masukan dana yang fleksibel, dimana selama tahun-tahun pertama Perpres sangat penting dalam penanggulangan. Tabel 29: Belanja untuk HIV dan AIDS. Dukungan dana mitra luar negeri, 2006-2010 Sumber Dana Global Fund
31,07%
Australia
18,99%
Amerika Serikat
18,70%
Inggris
18,23%
Badan PBB
10,21%
Lain-lain TOTAL
%
2,80% 100,00% Sumber: NASA 2006-2010
Dukungan dana Amerika (USAID) dan Australia (AusAID) keduanya telah lama mendukung kerja HIV dan AIDS di Indonesia, dimulai sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden No.75/2006. Keduanya telah bekerja di 11 provinsi† -- dalam beberapa hal saling tumpang tindih, dan dalam beberapa hal bekerja sendiri. Kedua Negara telah memberikan perhatian khusus untuk mendukung kerja masyarakat sipil dengan populasi paling berisiko – penasun, pekerja seks laki-laki, perempuan dan waria. Bantuan juga * †
NASA, Laporan Sementara, 2009 - 2010 USAID : Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa TImur, Papua and Papua Barat. AusAID : 2006-2008 DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Sulawesi Selatan, Papua. 2008 sampai saat ini: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur , Banten, Bali, Papua Barat and Papua.
132
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
digunakan untuk pelatihan keterampilan, pemberikan dukungan teknis, kajian, dan evaluasi. Keduanya bekerja dengan KPA daerah di provinsi dimana mereka aktif. Program kerjasama dengan pemerintah Australia sekarang, HCPI, dikembangkan dalam konteks yang baru, dengan kerjasama yang sangat dekat dan konsultasi dengan sekretariat KPA Nasional. Hasilnya adalah kemitraan yang lebih produktif, dan masih berlangsung. Pertemuan perencanaan dan evaluasi periodik mengikuti program yang masih berlangsung. Pengembangan program ini adalah kesempatan untuk mengintegrasikan dukungan teknis dan layanan yang ditawarkan Australia dalam konteks penanggulangan AIDS di Indonesia secara keseluruhan. Australia menerima kesempatan ini, dan sebagaimana dimintakan, memberikan prioritas untuk mendukung pengurangan dampak buruk, pengembangan kelembagaan untuk semua sistem pengelolaan AIDS, pengembangan sumber daya manusia untuk profesionalisasi penanggulangan, dan program komprehensif dalam sistem lembaga pemasyarakatan. Australia melalui the Clinton Health Access Initiative (CHAI) memberikan bantuan teknis terkait pengadaan dan pengelolaan pasokan ARV, beberapa dukungan teknis untuk memberi mentoring klinis kepada dokter-dokter di 2 kabupaten dan 1 kota di Papua (Kabupaten Jayapura dan Jayawijaya, dan kota Jayapura). Pengembangan program ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan dan penyesuaian kerja dukungan Australia dan Amerika. Dengan koordinasi dan kepemimpinan dari KPA Nasional, telah disepakati bahwa wilayah geografi yang menjadi area program dukungan juga termasuk peningkatan kapasitas untuk penjangkuan dan pemberian layanan pengurangan dampak buruk; sementara dukungan Amerika terfokus pada penularan seksual. Area geografi pelaksanaan program dukungan dari Australia maupun dari Amerika bisa sama, karena memang ditujukan ke daerah prioritas dengan tingkat epidemi HIV yang tertinggi di Indonesia. Dalam kaitannya dengan kerja di bidang pengurangan dampak buruk, program Australia juga mendukung peningkatan kapasitas sistem KPA di 14 provinsi di Indonesia melalui pelatihan dan dukungan teknis. Komponen tambahan dalam kemitraan dengan Australia, juga, adalah penelitian dan kajian untuk meningkatkan pengetahuan baru yang penting mengenai epidemi, penanggulangan, serta efektivitasnya melalui upaya penelitian kolaborasi dari tim Australia dan Indonesia. Di Tanah Papua, dengan epidemi sudah masuk ke penduduk umum walaupun masih tingkat rendah (low level generalized epidemic), kedua Negara, Amerika dan Australia mendukung bersama-sama. Perkembangan kegiatannya memang agak berbeda. Pada tahun 2006-2008, Family Health International bekerja di Tanah Papua didukung dua sumber dana, USAID dan DKIA/IPF. Kerja terkonsentrasi pada pemberian dukungan teknis kepada sektor kesehatan yang mengerjakan tugas tersebut untuk meningkatkan kemampuan dalam konseling tes sukarela dan perawatan dukungan dan pengobatan secara paripurna, dan untuk mendiagnosa serta memberikan perawatan, 133
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
dukungan dan pengobatan yang tepat terkait HIV dan AIDS di 11 kabupaten dan kota. Mendukung kerja ini, dan berusaha mencapai sinergi di antara para penggiat, FHI bekerja di kabupaten dan kota yang sama dengan kelompok masyarakat sipil yang aktif tentang transmisi seksual, dukungan untuk ODHA dan komunitas, juga kelompok berbasis agama untuk melakukan pendidikan AIDS di kedua provinsi. Selama waktu tersebut program dukungan Australia bekerja pada berbagai aspek dalam pendidikan dan komunikasi AIDS (contohnya multi-media, radio), dan pengembangan kapasitas dengan KPA di daerah. Sebagaimana siklus program Australia yang baru segera dimulai (2008), kesepakatan untuk pembagian tugas yang lebih jelas, antara kerja yang didukung oleh Australia dan yang didukung oleh USAID (yang juga baru memajukan siklus program baru) telah memberikan efek yang postif di Tanah Papua dan di tempat lain. Kerja terkait penularan seksual dan dukungan untuk LSM yang bekerja dengan dan untuk populasi kunci diteruskan sebagai fokus dari kerja dukungan USAID. Program Australia pada saat yang bersamaan memperluas kerja mereka dalam pendidikan dan komunikasi AIDS, mengambil dukungan untuk kelompok kerja masyarakat sipil yang bekerja dengan populasi umum (dimana FHI telah mendukung di waktu sebelumnya), dan meneruskan dukungan untuk pengembangan kelembagaan jaringan KPA di tingkat lokal. Pada tahun 2011, diantara mitra-mitra multilateral, Global Fund adalah penyumbang terbesar dalam hal jumlah dana maupun jangkauannya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perluasan nasional penanggulangan AIDS yang paripurna didukung oleh Global Fund, yang menjangkau 137 kabupaten/kota di 33 provinsi pada tahun 2010, dan 2011 telah mencapai 159 kabupaten/kota yang terdiri dari 137 kabupaten kota dengan dukungan dana GF dan 22 kabupaten/kota dengan dukungan dana IPF. (lihat Lampiran 3 untuk informasi sekilas mengenai dukungan Global Fund) Badan-badan PBB telah memberi sumbangan sesuai dengan bidang keahlian masingmasing dalam hal penanggulangan HIV dan AIDS: • UNICEF and UNFPA129 : khususnya terkait dengan situasi dan kebutuhan orang muda (program lapangan praktis juga pengembangan kebijakan, advokasi, penelitian dan analisis sebagai masukan untuk penanggulangan AIDS nasional),130 • UNODC131 : Dukungan yang penting terkait advokasi untuk pengurangan dampak buruk, baik dalam pelaksanaan di komunitas, maupun di lembaga pemasyarakatan, juga dukungan teknis untuk pencegahan HIV dan pemulihan adiksi secara paripurna, • WHO132 : bekerja dengan sistem kesehatan baik dalam bentuk pilot atas pendekatan baru sebagaimana yang dibutuhkan, juga untuk mendukung penguatan sistem kesehatan terkait HIV dan AIDS dengan pengembangan pedoman, pelatihan, serta melalui pendekatan-pendekatan lain,
134
BAB 03 - Mengelola Perubahan: Membangun Sistem dan Upaya Memfungsikannya
• UNESCO133 : dilakukan pada saat tertentu untuk mendukung kebijakan dan materi untuk pendidikan, • ILO134 : terkait dengan kebijakan dan program tempat kerja, terutama dalam hubungannya dengan perencanaan dan pengembangan inisiatif tahun 2011 untuk menetapkan program efektif pencegahan penularan seksual kepada dan dari lakilaki berisiko tinggi dan pekerja migran, • UNAIDS135 sebagai koordinator informasi UN dan kegiatan HIV dan AIDS yang mendukung Sekretariat CCM Global Fund melalui perhatiah khusus untuk mendukung HIV dan AIDS.
Pertemuan tentang Global Fund di selenggarakan oleh Global Fund dan Departemen Luar Negeri Jepang di Tokyo bulan Mei 2008. Dalam foto dari kiri ke kanan : Dr. Peter Piot, Executive Director UNAIDS; Dr. Nafsiah Mboi, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia; Mr. William Bowtell, Executive Director, Pacific Friends of GF-ATM; Dr. Nafis Sadik, Special Envoy (HIV and AIDS) of the Secretary General of the United Nations; Dr. Michel Kazatchkine, Executive Director, Global Fund to Fight AIDS, TB, and Malaria.
Kemitraan dengan satu per satu badan-badan PBB berbeda penanganannya. Beberapa badan PBB menyiapkan konsultasi teratur dengan sekretaris KPA Nasional, mencari dialog dan cara-cara memberi sumbangan kepada penanggulangan AIDS nasional di Indonesia sebagaimana dengan SRAN. Yang lainnya tampak memiliki lingkup yang lebih kecil dalam mengadaptasi rencana, atau meluncurkan kegiatan baru. Sepanjang tahun 2006 – 2011 telah terjadi banyak kemajuan dalam kerjasama, koordinasi dan kemitraan dengan PBB sebagaimana mereka dapat memahami 135
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
tanggung jawab dari KPA Nasional dan keuntungan bersama karena kerjasama yang erat. Secara umum, badan-badan PBB sekarang adalah mitra yang baik untuk upaya penanggulangan nasional, diberi perlengkapan yang baik untuk memberikan keahlian khusus dan membantu memberi dukungan untuk bahan pertimbangan alternatif kebijakan dan program, yang diperoleh dari literatur dan pengalaman dunia, sebagaimana dibutuhkan. Dalam beberapa hal, mereka juga mampu bekerja dengan mitra Indonesia untuk mendukung data dunia dengan pengalaman lokal, penelitian oleh orang Indonesia maupun kajian-kajian pilot. Pada saat yang bersamaan, lebih banyak badan PBB yang berkonsultasi dengan sekretariat KPA Nasional dari pada sebelumnya, terkait HIV serta pengembangan program mereka, maupun penetapan lokasi dan kegiatannya. Karena anggaran yang terbatas dan, badan PBB tidak ada yang memiliki lingkup nasional di Indonesia. Di sisi yang lain, beberapa memiliki fokus perhatian pada satu masalah khusus untuk periode tertentu (sesuai dengan misi mereka) atau satu wilayah geografi di periode waktu yang panjang di Tanah Papua, dengan dampak kumulatif yang memberikan manfaat bermakna. Contoh, selama tahun-tahun sejak Peraturan Presiden No.75/2006 UNICEF dengan dukungan dari pemerintah Belanda telah memberikan bantuan kepada Dinas Pendidikan Provinsi di Papua dan Papua Barat dalam upayanya untuk mengarus-utamakan pendidikan mengenai HIV dan AIDS dalam pendidikan formal, non formal dan informal. Bekerja di dalam pemerintah termasuk dengan KPA dan dinas teknis seperti Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota, UNICEF telah mendukung advokasi, kebijakan dan kurikulum serta pengembangan materi, uji coba berupa pilot pendekatan baru dari layanan, penelitian dan pengumpulan data, juga pengembangan kapasitas dengan mitra-mitra dari Bappeda, kantor daerah BPS, dinas kesehatan, dinas pendidikan, serta dinas pemuda dan olah raga. Selain upaya yang dilakukan oleh pemerintah ini, ada juga kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lebih luas, dengan peminatan pada pendidikan – komunitas berbasis agama dan orang muda sendiri, keduanya di dalam dan di luar sekolah. Misalnya di Papua, peraturan gubernur untuk pengarus-utamaan pendidikan telah ditetapkan (28 Desember 2010).136 Di kedua provinsi kebijakan dinas telah dikembangkan dan mengeluarkan standar serta pedoman proses pengarus-utamaan pendidikan HIV dan AIDS. Kurikulum baru dan materi belajar mengajar pendamping telah digunakan. Kebijakan tempat kerja yang penuh telah diluncurkan menekankan pada tanggung jawab departemen kepada pendidik dan siswa yang belajar secara formal, non-formal, dan informal, dan komunitas untuk pembelajaran yang lengkap dan akurat mengenai HIV dan AIDS, juga dukungan kepada semua orang dalam “komunitas pendidikan” (staf, pembelajar dan keluarganya) untuk memfasilitasi akses pada layanan terkait HIV, sebagaimana dibutuhkan, di luar wilayah keahlian dinas pendidikan. 136
Di tingkat nasional, UNICEF bekerja dengan sekretariat KPA Nasional pada sejumlah kegiatan penting yang terfokus untuk mengidentifikasi dan melakukan tindakan untuk mengurangi kerentanan anak dan remaja terhadap infeksi HIV. Kegiatan utama termasuk mendukung pengembangan “Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk Anak dan Remaja (2007 – 2010). Juga untuk analisis survei dan penelitian berdasarkan kelompok usia untuk mendapatkan data terpilah berdasarkan umur orang muda (14-24 tahun) dari survei-survei dan penelitian terhadap populasi yang paling berisiko tertular HIV, termasuk risiko penularan dan akses mereka terhadap informasi dan layanan.137 Mereka juga memberi dukungan teknis untuk penembangan program aksi terkait orang muda yang paling berisiko (most at risk youth - MARY) atau remaja yang paling berisiko (most at risk adolescents - MARA). Kemitraan dengan UNODC juga tampak efektif dan sangat bermanfaat selama 5 tahun terakhir untuk bekerjasama secara intensif dalam diskusi mengenai napza, penggunaan napza dan epidemi HIV. UNODC memberikan bantuan teknis untuk pengembangan kebijakan dan program dalam pencegahan HIV pada penasun dan perawatan komprehensif untuk pemulihan napza. UNODC mendukung dalam diskusi kebijakan yang luas, khususnya, yang telah disebutkan sembelum dalam Dialog Selatan-Selatan. Kerja dari sejumlah LSM internasional baik besar maupun kecil138 sangat sedikit yang bisa dilihat dalam ukuran makro dalam penanggulangan AIDS nasional, misalnya sebagaimana yang kita temukan dalam NASA. Di sisi lain, dalam bidang keahlian masingmasing, atau wilayah geografi mereka, sumbangannya sangat dihargai, dan merupakan sumbangan yang penting untuk penanggulangan AIDS nasional. Kegiatannya termasuk dukungan teknis, pelatihan, pengembangan materi, dukungan untuk program layanan dan telah membantu memberdayakan LSM daerah dan komunitas yang mereka layani untuk memobilisasi diri sendiri menambah pengetahuan dan kerja untuk mengatasi ancaman HIV dan AIDS di masyarakat itu sendiri.
137
BAB 04 - Melihat ke Depan
138
BAB 04 - Melihat ke Depan
04
Melihat ke Depan
139
BAB 04 - Melihat ke Depan
TANTANGAN UNTUK MENJAMIN KEBERLANJUTAN upaya penanggulangan AIDS nasional yang efektif: Kemajuan yang telah dicapai selama 5 tahun yang lalu, perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan dalam 5 tahun ke depan, untuk mencapai MDG goal 6 bahkan lebih dari itu, terkendalinya epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Upayaupaya ke depan tersebut telah tertuang dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014 lengkap dengan indikator, pembagian tugas, pentahapan dan pembiayaan yang dibutuhkan. Dalam rangka merangkum kajian pengalaman Indonesia menanggulangi HIV dan AIDS sejak terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 75/2006, maka berikut ini akan dibahas mengenai tantangan di masa yang akan datang serta rekomendasi tindakannya. Berdasarkan data pemantauan perkembangan epidemi, dampak pencapaian penang gulangan hingga saat ini, serta menggunakan pemodelan terhadap kemungkinan dampak keberhasilan pelaksanaan penanggulangan jika pelaksanaannya hingga akhir tahun 2014 sesuai dengan Strategi dan Rencana Aksi Nasional (2010-2014), maka ada dua hal yang perlu diperhatikan: Pertama, tampak adanya perlambatan dari perjalanan epidemi yang sejak sebelumnya masih meningkat. Hal ini disebabkan oleh upaya terpadu dari seluruh mitra dalam penanggulangan nasional. Kedua, dengan menggunakan Asian Epidemic Model untuk mendukung analisis dan pemahaman terhadap epidemi di masa yang akan datang, dapat dilihat bahwa: 1) Tanpa tindakan yang terorganisasi, infeksi akan mengikuti perjalanan epidemi sesuai dengan garis biru, dimana terdapat 648.322 orang terinfeksi HIV pada tahun 2015. (Lihat Grafik 13 di bawah) 2) Dengan perluasan (scale-up) serta bekerja sama erat dengan seluruh mitra pada 5 tahun terakhir, sektor pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, mitra pemba ngunan internasional – peningkatan epidemi telah menunjukkan perlambatan. Begitu pula, dasar-dasar penanggulangan telah cukup mantap, khususnya dalam penjangkauan dan efektivitas program dimana ada indikasi bahwa keduanya terus meningkat. Jika hal ini terus dilakukan dengan kecepatan 2006-2010, maka kecepatan penambahan infeksi sebagaimana yang terjadi di masa lalu akan diperlambat dibandingkan dengan kecepatan penambahan infeksi pada skenario tanpa tindakan. Namun demikian, tetap ada sejumlah 350.550 diproyeksikan orang terinfeksi HIV pada tahun 2015. (Lihat Grafik 13 di bawah)
140
BAB 04 - Melihat ke Depan
3) Di sisi yang lain, jika seluruh pendanaan dan tenaga, kebijakan dan program, pelatihan dan tindakan dikerahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014, maka tahun 2015 dapat menjadi tahun ketika arah perjalanan epidemi HIV di Indonesia mulai berubah, dan, walaupun infeksi baru akan tetap terjadi, namun akan mulai menurun. Grafik 13: Pemodelan Dampak 3 skenario penanggulangan epidemi HIV di Indonesia 1995-2025 2,000,000 1,800,000 1,600,000 Jumlah ODHA
1,400,000
1,817,728
Tanpa peningkatan program Dengan program 2006-2010 SRAN 2010-2014
1,200,000 648,322
1,000,000 800,000
751,816
600,000
350,550
400,000
178,911
200,000
244,103
-
1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
Hal ini, tentu saja, tidak berarti bahwa HIV dan AIDS akan hilang dari Indonesia atau bahwa kerja penanggulangan AIDS nasional akan berakhir. Hanya saja, keseimbangan antara tindakan dan perhatian akan membutuhkan pemantauan yang terus menerus serta penyesuaian dalam perencanaan program, dan pemberian layanan kepada masyarakat. Sebagaimana dapat dilihat dalam pemodelan tentang penularan HIV ke depan, program yang berkelanjutan tetap dibutuhkan pada pengguna napza suntik (warna merah pada Grafik 14 di bawah). Namun demikian, yang terpenting adalah peningkatan upaya pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) paripurna, karena penularan melalui hubungan seksual tetap penting di tahun-tahun mendatang. Penularan HIV melalui seks terus terjadi pada laki-laik yang seks dengan laki-laki (di masyarakat maupun di lembaga pemasyarakatan), pasangan masing masing termasuk penularan dari penasun kepada pasangan seks-nya.
141
BAB 04 - Melihat ke Depan
Grafik 14: Pemodelan jalur penularan epidemi HIV ke depan tahun 1995-2025 100,000 #Infeksi Baru HIV Tahunan 90,000
97,508 WPS
80,000
LSL
70,000
Penasun
60,000 50,000
Pelanggan
40,000 30,000 20,000
Pasangan Intim
10,000 0
Lo-Risk Men 1994
1999
2004
2009
2014
2019 2020
2024 2025
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Pemodelan dengan AEM
Walaupun penambahan infeksi diperkirakan akan mengalami perlambatan, tetapi jumlah orang (perempuan, laki-laki dan anak-anak) yang hidup dengan HIV akan tetap membutuhkan informasi, pengobatan, layanan dan jaringan dukungan. Begitu pula, upaya pencegahan dari yang negatif agar tetap berstatus negatif dalam HIV tetap menjadi program yang utama. Untuk mencapai tujuan ini – perubahan arah epidemi – dalam rencana periode ke depan akan membutuhkan kerja sama, cakupan yang terus diperluas, efektivitas program yang berkesinambungan dan terus menerus diperbaiki, serta berkelanjutan. Untuk tujuan ini, maka usulan rekomendasi adalah sebagai berikut: • Kebijakan, sumber daya dan struktur kelembagaan untuk menjamin upaya penanggulangan yang efektif dan berkelanjutan: Dalam Perpres 75/2006 (Ps 15) dan Permendagri 20/2007 (Ps 13) tercantum bahwa “semua biaya untuk pelaksanaan tugas KPAN dibebankan kepada APBN” dan “semua biaya untuk pelaksanaan tugas KPA provinsi dan KPA kabupaten/kota dibebankan kepada APBD”. Untuk periode 2010-2014, secara nasional, perencanaan dan penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS terintegrasi dalam Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 maupun Inpres 3/2010. Hal ini mungkin dapat menjamin tersedianya APBN sampai tahun 2014. Namun demikian, jumlahnya sangat tidak mencukupi kebutuhan untuk membiayai upaya penanggulangan AIDS secara nasional, sehingga bila dukungan dana dari luar negeri (GFATM, AusAID, USAID dll) berhenti atau berkurang, maka upaya penanggulangan yang komprehensif dan 142
BAB 04 - Melihat ke Depan
efektif seperti sekarang akan terancam. Di samping itu, walaupun jumlah dana dalam negeri terutama APBD mulai meningkat, dan di beberapa daerah perencanaan dan penganggaran penanggulangan AIDS sudah terintegrasi dalam RPJMD, dan ada 24 KPA Provinsi yang telah memiliki setidaknya 1 kabupaten/kota yang mandiri yaitu dana dibiayai APBD, namun demikian, hal ini belum menjamin keberlanjutan program. Pada saat ini baru 16 Provinsi dan 34 kabupaten/kota yang telah memiliki Perda penanggulangan HIV dan AIDS (lihat Lampiran 8: Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan Perda HIV dan AIDS). Dengan demikian anggaran untuk penanggulangan AIDS di daerah sangat tergantung pada komitmen (pribadi) gubernur, bupati, walikota, maupun anggota DPRD. Ini berarti kesinambungan dan keberlanjutan upaya penanggulangan AIDS di Indonesia sama sekali tidak terjamin. Karena itu, upaya mobilisasi sumber daya dan penguatan kelembagaan yang dibutuhkan harus terus menerus ditingkatkan selama 5 tahun ke depan.
Di samping itu, secepatnya dalam waktu dekat perlu ada pemikiran secara serius dan keputusan pemerintah, apakah upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS akan tetap dilaksanakan oleh lembaga pemerintah non-struktural seperti KPA (dengan jaminan sumber daya yang memadai secara berkelanjutan), ataukah akan diintegrasikan kedalam Kementerian Kesehatan atau Kementerian/Lembaga yang lain? Keputusan tersebut tidak dapat ditunda sampai tahun 2015.
• Pencegahan : Upaya pencegahan tetap akan ditingkatkan lima tahun ke-depan baik jangkauan, mutu/ efektivitas maupun keberlanjutannya. Sebagaimana dijelaskan di depan, upaya pencegahan di kalangan penasun cukup berhasil, namun masalah penggunaan napza tetap perlu mendapat perhatian antara lain: jangkauan dan mutu/ efektifitas semua komponen harm reduction, terutama LASS, PTRM, pengobatan adiksi serta rehabilitasi medis dan sosial maupun pengobatan adiksi berbasis masyarakat (PABM). Pencegahan dan pengobatan penyalah gunaan ATS (amphetamine type stimulants) juga masih perlu ditingkatkan, bekerja sama dengan berbagai pihak: BNN, Kepolisian, Kemkes, Kemsos, dll.
Pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual (PMTS) dengan intervensi struktural, harus makin ditingkatkan jangkauan maupun mutunya dengan dikembangkannya PMTS Paripurna – yaitu: PMTS di lokasi-lokasi “hotspots” dimana terdapat “pekerja/penjaja seks yang melayani laki-laki pembeli seks (pelabuhan-pelabuhan, terminal-terminal, “lokalisasi”/ lokasi dll) terintegrasi dengan PMTS yang terfokus pada Laki-laki Berisiko Tinggi (LBT) melalui tempat kerja dan tempatnya rekreasi yaitu antara lain: buruh migran, para pelaut dan anak buah kapal, anggota POLRI/ TNI dengan penugasan jauh dari keluarga dalam waktu yang lama, Laki-laki yang seks dengan sesama Laki-laki (LSL) – singkatnya pencegahan penularan HIV melalui setiap seks berisiko, baik antara suami isteri maupun bukan, hetero, homo maupun bi-seksual. LBT juga dapat kita temui pada 143
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
pekerja tambang, pekerja perkebunan maupun pekerja industri bangunan yang juga bekerja jauh dari keluarganya.
Pencegahan penularan HIV dari orang tua (melalui ibu) ke bayinya juga perlu makin ditingkatkan, dengan mengintegrasikan PMTCT ke dalam layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), agar sebanyak mungkin dicegah kelahiran bayi-bayi yang terinfeksi HIV.
Pencegahan penularan HIV pada kelompok-kelompok tertentu yang membu tuhkan pendekatan khusus, antara lain: warga binaan Lembaga Pemasyarakatan, remaja dan generasi muda berperilaku berisiko (“High Risk Youth”), masyarakat umum di provinsi Papua dan Papua Barat yang sudah termasuk “low level generalized epidemic”.
• Penguatan sistem kesehatan untuk Dukungan, Perawatan dan Pengobatan ODHA: Selama 5 tahun yang lalu Kemkes dan jajarannya sampai ke tingkat kabupa ten/kota secara bertahap telah meningkatkan jumlah dan mutu layanan Konseling dan Testing Sukarela (KTS=VCT), PICT (Provider initiated Counseling and Testing), serta kemampuan diagnosa dan pengobatan, dukungan dan perawatan medis bagi orang yang terinfeksi HIV, dilengkapi dengan berbagai peraturan, panduan, juklak dan juknis. Selama 5 tahun kedepan, penguatan sistem kesehatan secara komprehensif harus makin ditingkatkan agar mutu layanan bagi orang terinfeksi HIV termasuk pengobatan ARV dan penyakit-penyakit penyertanya. Disamping itu, upaya promosi kesehatan, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi terkait penggunaan napza dan infeksi HIV harus dapat dilaksanakan secara komprehensif dalam suatu sistem kesehatan yang bebas stigma dan diskriminasi, profesional dan bersahabat terhadap populasi kunci yang terdampak.
Penguatan sistem kesehatan publik perlu dilengkapi pula dengan dukungan ODHA berbasis masyarakat yang makin meningkat jumlah dan mutunya dalam 5 tahun ke depan: baik dukungan oleh keluarga, kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS), organisasi orang yang terinfeksi HIV maupun masyarakat pada umumnya.
• Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat sipil (civil society): Meningkat sejak Perpres 75/2006 secara sangat bermakna, yaitu pada: 1) LSM/organisasi kemasyarakatan dalam bidang AIDS ada yang jadi anggota KPAN dan KPA di daerah (walaupun tidak semua provinsi/kabupaten/kota),
2) aktivis AIDS banyak yang menjadi anggota pokja KPA ataupun staf sekretariat KPAN/provinsi/kabupaten/kota;
3) antara tahun 2006-2009 terbentuk 5 jaringan nasional populasi kunci: IPPI, GWLIna, Jothi, PKNI dan OPSI – yang masing-masing mendapat dukungan dana operasional maupun kegiatan/ program dari Sekretariat KPA Nasional sampai sekarang;
144
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
4) selama 5 tahun Perpres – LSM AIDS/ jaringan populasi kunci termasuk ODHA selalu terlibat dalam setiap kegiatan KPA N seperti pemetaan, perencanaan, mobilisasi sumber daya, monev dll;
5) LSM/organisasi kemasyarakatan duduk dalam berbagai Badan Pengawas, Badan Penasehat lembaga-lembaga tertentu misalnya Country Coordinating Mechanism (CCM) GFATM, DKIA/IPF, dll.
6) dalam struktur pengelolaan dana dukungan GFATM LSM/organisasi kema syarakatan berperan sebagai PR, SR, SSR maupun mitra pelaksana.
7) dalam kurun waktu yang 2005 - 2011 dukungan dana ke LSM/organisasi kemasyarakatan yang diketahui/ dilaporkan ke Sekretariat KPAN berasal dari 8 sumber*, berjumlah total Rp, 251.678.843.635 (US$ 29,726,923).
Secara singkat: peran masyarakat sipil (civil society) selama 5 tahun ini secara jelas merupakan mitra pemerintah dalam penanggulangan AIDS yang komprehensif, mulai dari tingkat lokal sampai nasional. Ke depan, yang perlu dilakukan adalah yang disebut penguatan sistem masyarakat (“Community Systems Strengthening”) terkait penanggulangan HIV dan AIDS baik secara nasional maupun di daerah bersamaan dan selaras dengan penguatan sistem kesehatan (“Health System Strengthening”) untuk mencapai tujuan bersama mengacu kepada Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia.
Penutup: Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75 tahun 2006 disusun dengan melibatkan sektor pemerintah, masyarakat sipil, orang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS dan akademisi. Tim penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak, baik perorangan maupun lembaga yang terlibat dalam penyusunan Laporan 5 tahun Peraturan Presiden RI No. 75 tahun 2006 ini. Tim penyusun berupaya semaksimal mungkin mempersiapkan laporan ini, namun, pasti masih ada kekurangan. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan masukan dan perbaikan. Sebagai penutup, tim pengembangan laporan ini berharap bahwa kemajuan dan tantangan di masa yang akan datang yang kita catat dapat memberi sumbangan untuk upaya nasional menekan laju epidemi dan mengendalikannya, serta memastikan yang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS mendapat dukungan dan kebebasan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi – tingginya serta mampu menjalani hidup secara penuh. *
APBN, AusAID, Global Fund, ICAAP, IPF, UNESCO, UNODC, dan USAID
145
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Referensi
1 2 3 4
5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
30 Mei 1994. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesehateraan Rakyat/9/KEP/MENKO/KESRA/VI/1994, 16 Juni. Kementerian Kesehatan, Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia, 30 Des 2004. Dalam laporan ini kecuali ada penjelasan lain semua data tentang epidemi – infeksi baru, infeksi kumulatif, persentase infeksi, cara penularan dll – bersumber pada Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia oleh KemKes. Pelayanan pemerintah dan data epidemi belum dipisahkan antara provinsi Papua dan Papua Barat. Kementerian Kesehatan. Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia, 30 Des 2004. Menteri Koordinator Bidang Keseahteraan Rakyat/ Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Kepala BKKBN. Kementerian Kesehatan, Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia, 30 Juni 2006 dan 30 Juni 2011. Data bersumber pada laporan2 DKIA dan KPAN. Anggaran sektoral yang di laporkan untuk tahun 2006. Hasil pertemuan konsultasi/ konfirmasi anggaran sektor. Data National AIDS Spending Assessment (NASA). Laporan 2006-2008 final. Data 2009-2010 perkiraan awal. 361 Rumah sakit umum, 15 rumah sakit jiwa, 389, puskesmas, 6 BP4, 26 lapas, 157 LSM, 35 perusahaan swasta, 64 klinik swasta. Informasi bersumber Kementerian Kesehatan Juni 2011. Kementerian Kesehatan, Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia, 30 Juni 2011. Pemantauan oleh KPAN. Pemantauan KPAN. Data sudah diverifikasi pada bulan Januari 2011. Laporan KPAN tentang pelatihan 2011. Monitoring KPAN melalui laporan kondom dan outlet kondom – 3,466 outlet untuk kondom lakilaki, 600 outlet untuk konom perempuan. Laporan DKT tentang penjualan kondom. Kementerian Kesehatan, Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia, 30 Juni 2011.
146
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
22 23 24 25 26 27 28 29
30
31 32 33
34
35 36 37 38 39 40 41
42 43 44
45 46
Kementerian Kesehatan, Catatan dalam rangka persapan Laporan 5 Tahun ini. Kementerian Kesehatan, Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia, 30 Juni 2011. Data di terima dari organisasi bersangkutan bulan Mei 2011. Laporan KPAN tentang latihan. Keputusan Presiden No. 36/1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS dan peraturan-peraturan yang terkait, tertanggal 30 Mei 1994. Keputusan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat No. 9/KEP/MEMKO/KESRA/VI/1994, tertanggal 16 Juni 1994. Laporan Rumah Sakit dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Global Fund (GF) adalah institusi pendanaan internasional yang terbesar di dunia dalam bidang HIV dan AIDS. GF didirikan pada tahun 2002 sebagai sebuah kemitraan antara publik dan swasta (juga dikenal sebagai public-private partnership) yang secara khusus bertujuan untuk menghimpun dana dunia untuk upaya penanggulangan AIDS, Malaria dan TB bagi kesejahteraan manusia di seluruh dunia. Pendanaan ini dirancang dalam bentuk hibah yang dapat digunakan lebih dari satu tahun dalam kerangka ronde – dari ronde 1 hingga, yang terakhir, saat ini sudah ada ronde 10 – dengan cara memilih usulan yang dikirimkan oleh negara-negara yang membutuhkan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemkes) mengeluarkan laporan tiga-bulanan mengenai status epidemi HIV dan AIDS. Laporan sampai dengan akhir tahun yang digunakan sebagai rujukan di sini adalah menggunakan laporan tiga-bulanan ini. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Satu tahun setelah Komitmen Sentani: Laporan Proses Evaluasi Partisipatoris di Indonesia, serta Kesimpulannya. Februari, 2005. Komunikasi pribadi dengan Bapak Abdurizal Bakrie. 11 Mei 2011. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2007-2010, Jakarta 2007. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-2014. Jakarta 2010. UK Department for International Development (DFID), the Australian government overseas assistance program (AusAID), United States Agency for International Development (USAID), Japan International Cooperation Agency (JICA), dan pemerintah negara Belanda. Laporan konseling pertama kalau dimasukkan dalam laporan tiga-bulanan Kementerian Kesehatan dalam status epidemi pada tahun 2009. Kementerian Kesehatan. Laporan akhir tahun status epidemi, 2010. Kementerian Kesehatan. Laporan Situasi HIV dan AIDS, Juni 2006 dan Juni 2011. Kementerian Kesehatan dan BPS. Estimasi Populasi Dewasa Paling Berisiko tertular HIV. 2009. KPA Nasional dan UNICEF. Laporan Analisis Lanjutan Data Survei dan Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur. 2010. Data Kementerian Kesehatan. Juli 2010. Estimasi ODHA menurut Kementerian Kesehatan, tahun 2009 adalah 186,257. Laporan Situasi HIV dan AIDS, Juni 2011 menerima secara kumulatif 26,483 AIDS yang dilaporkan dan 66,693 HIV positif. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. One Year of the Sentani Commitment : Report on a Participatory Evaluation Process in Indonesia and Some Conclusions. Tabel 5, hal 13. Kementerian Dalam Negeri. Menurut websitenya 2011 Indonesia terdiri dari 497 kabupaten/ kota. KPA Nasional dan Australia Indonesia Partnership. Summary Report: Injecting Drug User Behaviour and Service Satisfaction Survey. Clients of NGOs, Community Health Centers and Hospitals in Bali, Banten, DKI Jakarta, Central Java, East Java, West Java and DI Jogjakarta. June 2010. Konferensi ADIS Sedunia XI, Vancouver, 1996. USAID. Indonesia HIV and AIDS Strategy Audit. Januari 2007.
147
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
47 Obat ARV adalah gratis. Kadang-kadang ada kebutuhan tes atau layanan lain terkait pengobatan dimana pasien harus membayar. 48 Informasi tertulis mengenai ARV dan perkembangan layanannya di Indonesia, diberikan oleh Kementerian Kesehatan kepada KPAN bulan Juni 2011. 49 Catatan Sekretaris Pokja AIDS Kementerian Kesehatan. 50 Kementerian Kesehatan. Laporan Perkembangan Situasi HIV and AIDS di Indonesia s/d Juni 2011. 51 30 Juni 2011. Laporan Perkembangan SItuasi HIV dan AIDS di Indonesia. Tabel 2.8, hal 18. 52 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi Penanggulangan AIDS Nasional Tahun 20032007. Sebagaimana diindikasikan di Kampung Bali, Jakarta, di lokasi dimana 90% pengguna napza suntik diketahui HIV positif. 53 Menurut Undang-undang Amerika, FHI tidak diperkenankan terlibat dalam program LASS walaupun terlibat penuh dengan LSM lokal atau lembaga alinnya dalam melaksanakan pengurangan dampak buruk. 54 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. National AIDS Spending Assessment. Technical Report : AIDS Spending in Indonesia 2009-2010. (Laporan Sementara). Mei 2011. 55 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. The Indonesian National Action Plan 2007-2010 : Implementation, a Mid-Term Review Report. October 2009. 56 Dalam Laporan DKIA/IPF sampai dengan tahun 2008, serta sumber yang ada dalam daftar presentasi “Hasil Pemantauan, KPA Nasional, Dimutahirkan sampai dengan 8 Apr 2011”. 57 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, data Monev. 58 Yayasan Spiritia, Laporan Pelaksanaan Program. Periode Januari – Agustus 2011. 59 Musyawarah daerah. 60 Pengumuman melalui Koran, dari mulut ke mulut, informasi kepada Komisi Penanggulangan AIDS di seluruh Indonesia, dan melalui internet. 61 Istilah yang digunakan adalah “Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual”, atau disingkat PMTS. PMTS menggunakan pendekatan struktural untuk menurunkan penularan melalui seksual dengan menjangkau pekerja seks, pelanggannya, dalam spektrum yang luas melibatkan pemangku kepentingkan di sekitar likasi – termasuk pemerintah setempat, polisi yang bertugas di area tersebut, mucikari, pemilik toko atau pemilik bisnis, dan penyedia layanan keseharan. Ada 4 komponen dalam pendekatan PMTS - (1) peningkatan peran positif pemangku kepentingan, (2) komunikasi perubahan perilaku, (3) penyediaan kondom dan pelicin, (4) pengobatan infeksi menular seksual. 62 Evaluasi dilakukan pada 7 provinsi. Tim yang terdiri dari multi-sektor yang terlibat dalam hal ini, mengambil bagian dalam penandatanganan Kesepakatan ikut menjadi tim evaluasi untuk 1 atau lebih provinsi yang dikunjungi: Kantor Kementerian Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, DPR RI, Badan Narkotika Nasional, Forum Parlemen untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD), Departemen Kesehatan, Departemen Sosial , Departemen Pendidikan Nasional, Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional dan UNAIDS. 63 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Satu Tahun setelah Komitmen Sentani: Laporan Proses Evaluasi Partisipatoris dan Beberapa Kesimpulan. Feb 2005, p 19. 64 Peraturan Presiden 05/2010 ttg. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (PRJMN) 2010-2014). 20 Januari 2010. 65 Instruksi Presiden 03/2010 ttg Program Pembangunan yang Berkeadilan. 21 April 2010. 66 KPAN. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS. Periode 2007-2010 dan 20102014 67 Kementerian Kesehatan dan KPAN. Laporan Nasional : Estimasi Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV Tahun 2006 (23 Nov 2006)
148
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
68 KPAN. Meningkatkan Penggungaan Kondom Pada Setiap Hubungan Sexual Berisiko. 2007 (tidak dipublikasikan) 69 Dukungan dana dari GF, APBN, and UNFPA. Dukungan GF adalah yang terbesar untuk penyediaan kondom laki-laki - 12,209,888 kondom -- dan paket pelicin -1,067,866. Kondom perempuan disediakan pada awalnya oleh FHI, kemudian dalam jumlah yang lebih besar oleh APBN dan UNFPA. 70 DKT. Laporan penjualan. Juli 2011. 71 Walaupun jumlah total tidak berubah pada tahun 2006-2007, staf dan konfigurasi sekretariat mengalami perubahan besar. Begitu pula keseimbangan gender, berubah dari 31% perempuan dan 69% laki-laki menjadi hampir sama besar antara laki-laki dan perempuan, hingga saat ini. 72 Sebagaimana disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Negara Inggris, UNDP akan bertindak sebagai Manajer Keuangan untuk DKIA (mendapatkan bayaran sebesar 7%) sampai waktu yang disepakati kemudian bahwa sekretariat KPAN akan mengambil alih tanggung jawab. Transisi ke arah pengelolaan oleh sekretariat KPAN dijadwalkan akan terjadi pada Januari 2012. 73 Contohnya, diantaranya, kegiatan proyek Australia bekerja erat mendukung sekretariat KPAN, dan dukungan USAID diberikan untuk dukungan teknis yang ekstensif untuk Kementerian Kesehatan. 74 Serangkaian Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPAN, diantaranya No. 3/2007 mengenai Susunan, Tugas dan Keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional; No. 4/2007 mengenai Pedoman dan Tata Kerja Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota, No.5/2007 Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KPA Nasional; No. 8 mengenai pedoman nasional pemantauan, evaluasi dan pelaporan terkait HIV dan AIDS di Indonesia. 75 Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPAN No. 07/ PER/ MENKO/ KESRA/ III/ 2007 Strategi Nasional Penanggulangan AIDS Indonesia Tahun 2007-2010. 76 Kementerian Kesehatan dan BPS. Estimasi populasi beririko dan ODHA. 2006; dan Survei Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) di dua provinsi Tanah Papua (data dikumpulan pada akhir tahun 2006 dan hasil dipublikasi pada awal tahun 2007) 77 KPAN. Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS. 2007- 2010. 78 KPAN. National AIDS Spending Assessment (NASA). 2006-2007. 79 Awalnya dengan Australia dan Amerika, tetapi juga ada dukungan dari Negara Belanda, Jepang, Uni Eropa, dan lain-lain. 80 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 20/2007 tentang Pedoman umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah. 17 April 2007. 81 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59/ 2007 ttg. Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri no 13/ 2006 ttg pedoman pengelolaan keuangan daerah. 26 October 2007. 82 KPAN. Laporan sementara NASA 2009-2010. 83 Anggarang Sektor yang dilaporkan. 84 Peraturan Presiden 05/2010 ttg Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014. 85 Instruksi Presiden 03/2010 ttg. Program Pembangunan yang Berkeadilan. 86 Kementerian Kesehatan. Situasi Perkembangan HIV dan AIDS. Juni 2011. 87 Kemeneterian Kesehatan. Estimasi Penduduk Dewasa yang Rentan tertular HIV di Indonesia tahun 2009. 88 Alat bantu utama pemantauan dampak pengendalian epidemi, serveilans dilakukan pada tahun 2002, 2004, 2007, dan semuanya telah dipublikasikan. Surveilans juga telah dilakukan pada tahun 2011, namun hasilnya belum tersedia.
149
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
89 KPAN, 2007. “Meningkatkan Penggunaan Kondom Pada Setiap Hubungan Seksual Berisiko”. Tidak dipublikasikan 90 Pencegahan HIV Melalui Transmisi Sexual (PMTS). 91 KPAN. Catatan perkembangan, inventory dan kemitraan dalam hal PMTS yang disiapkan oleh petugas program. 30 July 2011. 92 Laporan pelatihan KPAN. 93 Memberi layanan pada tingkat komunitas tetapi juga merupakan bagian dari jaringan nasional. 94 Dari catatan Kementerian Kesehatan, Juli 2011 95 Keputusan Menteri Kesehatan No 1507/Menkes/SK/X2005 tentang pedoman Pelayanan Konseling dan Test HIV/AIDS secara sukarela. 96 BP4 - Balai Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Paru. 97 142 kabupaten/ kota = 29% dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia. 98 Kementerian Kesehatan. Laporan Situasi Perkembangan HIV and AIDS d Indonesia. Juni 2011. 99 Kementerian Kesehatan. Laporan Situasi Perkembangan HIV and AIDS di Indonesia. Juni 2011. 100 Data terinci mengenai status ARV yang diperoleh dari Laporan Situasi Perkembangan HIV and AIDS di Indonesia. Juni, 2011, Bagan 2.1, p 20 sebagaimana direvisi pada tanggal 28 July 2011 101 Pasien yang meninggal, yang menggunakan ARV 102 Kementerian Kesehatan. Laporan Situasi Perkembangan HIV and AIDS d Indonesia. Juni 2011. 103 Persentase “menerima ARV” merujuk pada persentasi dari mereka yang masuk kriteria menerima ARV berdasarkan standar Kementerian Kesehatan. “Meninggal” menunjukkan pasien yang meninggal setelah memulai pengobatan ARV. 104 Penelitian menggunakan dua metode, kualitatif dan muantitatif. Mutu hidup responden dievaluasi berdasarkan laporan dari responden 105 Yayasan Spiritia, Universitas Hamka, dan KPA Nasional. 2011. Pengaruh Dukungan Sebaya Terhadap Mutu Hidup ODHA. Jakarta. 106 Tabel Kementerian Kesehatan “Infeksi Oportunistik yang dilaporkan dalam kasus AIDS” termasuk dalam laporan triwulan mengenai situasi epidemi di Indonesia. Laporan Juni 2011 menunjukkan 12.304 infeksi oportunistik dari total 32.319 yang dilaporkan, atau 38,07%. 107 Data Kementerian Kesehatan. Juli 2011. 108 Ibu yang mendapatkan ARV dari trimester kedua kehamilannya. 109 Kementerian Kesehatan. Informasi diberikan pada Juli 2011. 110 IPF. Scaling Up the Indonesian AIDS Response : Report on the Indonesian Partnership Fund for HIV and AIDS. 2005-2008. Juni 2008. 111 BPK, Badan Pemeriksaan Keuangan. National Audit Board. Indonesian government board auditing utilization of national budget funds (APBN). 112 BPKP, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 113 HACT assessment - Harmonized Approach to Cash Transfer - asesmen risiko sistem manajemen yang digunakan UNDP untuk semua organisasi yang meneria dana dari UNDP. 114 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat no 4/2007 ttg Pedoman dan Tata Kerja Komisi Penanggulangan Nasional, Provinsi dan kabupaten/ Kota. 115 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat no 5/2007 ttg Organisasi dan Tata Kerja Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 116 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat no 6/2007 ttg Tim Pelaksanan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 117 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat no 8/2007 ttg pedoman nasional monitoring, evaluasi dan pelaporan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia 118 Dana Hibah Global Fund untuk Indonesia. Ronde 1 ( 2003-2007), Ronde 4 (2005-2010).
150
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
119 Principle Recipient. Istilah yang digunakan oleh Global Fund to Fight AIDS, TB, and Malaria (GF ATM) untuk penerima dana utama atau yang langsung menerima dana dari GF ATM dari Geneva. Principle Recipient memiliki otorisasi untuk bekerja dengan Sub Recipient tetapi Principle Recipient adalah penerima dana sekaligus yang bertanggung jawab atas penggunaan dana. 120 Data dari Laporan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengenai penggunaan dana Global Fund. 121 Kementerian Pendidikan Nasional. Strategi Nasional Pencegahan HIV/AIDS Melalui Pendidikan (2004). 122 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor : KEP. 68/MEN/ IV/2004 ttg Pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. 123 Kementerian Pendidikan Nasional. Strategi Pencegahan HIV/AIDS Melalui Pendidikan. 2004. 124 Surat keputusan. Kelompok kerja pendidikan, penguarangan dampak buruk, pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS), tempat kerja, Papua, gender dan HAM 125 Forum Perencanaan dan Penganggaran HIV dan AIDS. 126 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 (RPJMN). 127 2006 di Toronto, 2008 di Mexico City, 2010 in Vienna. 128 2007 di Warsawa, Poland, 2008 di Barcelona, Spanyol, 2009 di Bangkok, Thailand, 2010 in Liverpool, Inggris, 2011 di Beirut, Lebanon. 129 United Nations Children’s Fund (UNICEF), United Nations Population Fund (UNFPA). 130 Contohnya UNICEF akhir-akhir ini mengorganisir analisis data mengenai orang muda usia 15 - 24, dengan risiko yang lebih besar terluar HIV karena gaya hidup ataupun pekerjaannya. 131 United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). 132 World Health Organization (WHO). 133 United Nations Education and Cultural Organization (UNESCO). 134 International Labor Organization (ILO). 135 Joint United Nations Program on HIV and AIDS (UNAIDS). 136 Peraturan Gubernur Papua No 26 Tahun 2010 ttg Pengarusutamaan HIV dan AIDS Melalui Pendidikan. 28 Desember 2010. 137 KPAN dan UNICEF. Laporan Analisis Data Lanjutan Survei dan Penelitian Berdasarkan Usia. Laporan pra publikasi. Dijadwalkan akan terbit pada tahun 2011 138 Daftar berikut adalah yang disarankan, bukan merupakan ketetapan, dan tidak ada perbedaan baik oragnisasi dengan pelibatan jangka panjang ataupun pendek dalam bidang ini: Asia Pacific Network of People Living with HIV and AIDS, Care, CordAID, HIVOS, IMPACT, INTERNA, Lutheran World Federation, Oxfam, Project Concern International (PCI), Medicin du Mond, Medicin Frontier, Salvation Army, Save, World Relief.
151
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Lampiran Lampiran 1
152
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Lampiran 2 Kementerian Kesehatan & Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Estimasi Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV Tahun 2006 Kementerian Kesehatan/ Ministry of Health Estimasi Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV Tahun 2009
2006 Penasun Pasangan Penasun WPS Langsung WPS Tidak Langsung Total : Wanita Penjaja Seks Pelanggan(*) WPS Langsung Pelanggan WPS Tidak Langsung Total : Pelanggan WPS Pasangan Pelanggan WPS Waria Pelanggan Waria LSL WBP ODHA (*) “pelanggan = klien”
2009
Perbedaan Estimasi 2006 & 2009
219,130 93,350 128,220 92,970 221,190 2,479,860 682,060 3,161,920 1,833,660 28,130 83,130 766,800 96,210 193,030
105,784 28,805 106,011 108,043 214,054 2,285,996 883,932 3,169,928 1,938,650 32,065 71,316 695,026 140,559 186,257
-113,346 -64,545 -22,209 15,073 -7,136 -193,864 201,872 8,008 104,990 3,935 -11,814 -71,774 44,349 -6,773
Jumlah pasangan rawan
1,927,010
1,967,455
40,445
Jumlah rawan infeksi (termasuk pasangan, tidak termasuk ODHA)
6,503,520
6,396,187
-107,333
169,230-216,820
132,089-287,357
Range (Estimasi ODHA)
153
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Lampiran 3 Rangkuman Dukungan Dana Global Fund for AIDS TB and Malaria Data : asal dari KPAN dan website Global Fund Ronde
Tahun
GF 1 GF 4 GF 8 SSF thn 1 SSF thn 2
2003 - 2007 2005 - 2010 2009 - 2014 2010 - 2015 GF total
Jml Prov (US$ juta) $12 5 $65 19 $130 12 $87 +11 = 23 +10 = 33 $294
Kab/ Kot
68 +35 = 103 +34 = 137
Mulai
Bidang
Jul-09 Jul-10 Jul-11
Pencegahan. Perw, Duk. Peng Pendekatan Kompre. Pendekatan Kompre. Pendekatan Kompre.
GF Ronde 1, 5 provinsi, tahun 2003-2007 1 Kepulauan Riau 2 Riau 3 DKI Jakarta 4 Papua 5 Bali Catatan : dapat perpanjangan waktu untuk pelaksanaan sampai 2008. tanpa tambahan anggaran GF Ronde 4, 19 provinsi, tahun 2005 - 2010 1 Sumatera Utara 11 2 Sumatera Selatan 12 3 Kepualauan Riau 13 4 Riau 14 5 Banten 15 6 DKI Jakarta 16 7 Jawa Barat 17 8 Jawa Tengah 18 9 DI Yogyakarta 19 10 Jawa Timur Grup A (2009-2014) GF Ronde 8, 12 Provinsi 1 Sumatera Utara 2 Riau 3 Sumatera Selatan 4 Kepulauan Riau 5 DKI Jakarta 6 Jawa Barat 7 Jawa Tengah 8 Jawa Timur 9 Bali 10 Sulawesi Selatan 11 Papua 12 Papua Barat
154
Kalimantan Barat Kalimantan Timur Bali Sulawesi Selatan Sulawesi Utara NTB NTT Papua Papua Barat
Grup B (2010-2015) GF SSF - Thn 1 +11 Provinsi 1 Sumatera Barat 2 Lampung 3 DI Yogyakarta 4 Banten 5 NTB 6 NTT 7 Kalimantan Barat 8 Kalimantan Selatan 9 Kalimantan Timur 10 Sulawesi Utara 11 Maluku
Grup C (2011-2015) GF SSF - Thn +10 Provinsi 1 N Aceh Darussalam 2 Jambi 3 Bengkulu 4 Kep Bangka Blitung 5 Kalimantan Tengah 6 Sulawesi Tengah 7 Sulawesi Tenggara 8 Gorantolo 9 Sulawesi Barat 10 Maluku Utara
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Lampiran 4 Annex
:
4
63 Kabupaten dan 9 Kota Mandiri - Didanai oleh APBD di 24 provinsi 63
Kabupaten
dan
9
Kota
Mandiri
–
didanaan
oleh
APBD
di
24
provinsi
TahunTahun
2010
&
2011
2010 & 2011
2010
No
2
3
1
4
Lampung
Banten
7
Jawa
Barat
8
Kepulauan
Riau
Islands
Sumatera
Barat
Sumatera
Selatan
5
6
Sumatera
Utara
Provinsi(18)
Jawa
Tengah
9
DI
Yogyakarta
10
Jawa
Timur
11
Bali
12
NTT
No
Kab
(48)
Kota
(8)
1
2
1
1
2
1
2
1
1
2
1
2
3
4
5
6
7
8
1
2
3
4
5
1
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
1
2
3
4
Kab
Serdang
Bedagai
Kab
Tj.
Balai
Kab.
Solok
Kota
Lubuklinggau
Kab.
Ogan
Komering
Ulu
Kab
Bintan
Kab
Natuna
Kota
Metro
Kota
Tangerang
South
Kota
Serang
Kab
Bandung
Kab
Sumedang
Kab
Subang
Kab
Tasikmalaya
Kab
Garut
Kota
Sukabumi
Kab
Tasikmalaya
Kab
Cimahi
Kota
Salatiga
Kab
Temanggung
Kab
Jepara
Kab
Grobogan
Kab
Sragen
Kab
Gunung
Kidul
Kab
Kulon
Progo
Kab
Pasuruan
Kota
Pasuruan
Kab
Tulung
Agung
Kab
Madiun
Kab
Jombang
Kab
Gresik
Kab
Batu
Kab
Nganjuk
Kota
Madiun
Kab
Klungkung
Kab
Karang
Asem
Kab
Jembrana
Kab
Bangli
Kab
Gianyar
Kab
Flores
Timur
Kab
Ende
Kab
Sumba
Barat
Kab
Timor
Tenggara
1
2
3
4
5
6
7
8
155
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Annex
:
4
13
Kalimantan
Barat
14
Kalimantan
Tengah
15
Kalimantan
Timur
16
Sulawesi
Utara
17
Sulawesi
Selatan
18
Sulawesi
Barat
18
Propinsi
1
1
1
2
3
4
1
2
1
2
3
1
Kab.
Landak
Kab.
Muara
Teweh
Kab.
Nunukan
Kab.
Bontang
Kutai
Timur
Kutai
Kartanegara
Kab
Minahasa
Kab
Minahasa
South
Kab.
Luwu
Timur
Kab
Bulukumba
Kab
Wajo
Kab
Mamasa
48
Kabupaten
Kab
(15)
Kota
(1)
Kab.
Aceh
Barat
Kab.
Aceh
Utara
Kab
Siak
Kab
Kepulauan
Meranti
Kab
Bangka
Selatan
Kab
Belitung
Timur
8
Kota
2011
#
1
2
3
4
5
6
Provinsi
(6)
NAD
Riau
Bangka
Belitung
Kalimantan
Selatan
Sulawesi
Tengah
Gorontalo
6
Propinsi
24
Provinsi
156
#
1
2
1
2
1
2
1
2
3
1
2
3
3
1
2
3
1
Kota
Banjar
Baru
Kab.
Banjar
Kab.
Balangan
Kab.
Parigimoutong
Kab.
Tojo
Una
Una
Kab.
Luwuk
Kab.
Bangkep
Kab.
Bonebolango
Kab.
Gorontalo
Kab.
Pohuwato
15
Kabupaten
1
Cities
63
Kabupaten
9
Kota
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Lampiran 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2006 BAB I .... BAB II ORGANISASI Bagian Kesatu Keanggotaan Pasal 4 (1) Susunan keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional terdiri dari : 1. Ketua merangkap Anggota : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat 2. Wakil Ketua I merangkap Anggota : Menteri Kesehatan 3. Wakil Ketua II merangkap Anggota : Menteri Dalam Negeri 4. Anggota : a. Menteri Agama; b. Menteri Sosial; c. Menteri Komunikasi dan Informatika; d. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia; e. Menteri Kebudayaan dan Parawisata f. Menteri Pendidikan Nasional g. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; h. Menteri Perhubungan; i. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga; j. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; k. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BAPPENAS; l. Menteri Negara Riset dan Teknologi; m. Sekretaris Kabinet; n. Panglima Tentara Nasional Indonsia; o. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; p. Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi; q. Kepala Badan Narkotika Nasional; r. Ketua Badan Narkotika Nasional s. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia t. Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia u. Ketua Palang Merah Indonesia v. Ketua Kamar Dagang dan Industri w. Ketua Organisasi ODHA Nasional
5. Sekretaris merangkap anggota
:
Dr. Nafsiah Ben Mboi
(2) Keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah oleh Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sesuai kebutuhan. (3) Perubahan nama Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) angka 5 ditetapkan oleh Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
157
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Lampiran 6A
KepMenKes : 781/MENKES/SK/VII/2004 : 7 Jul 2004 Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV/ AIDS
1 DKI Jakarta
1 RS Dr. Cipto Mangunkusumo
2 RS Fatmawati
3 RS Persahabatan
4 RS Kanker Dharmais
5 RS Duren Sawit
6 RSPI Sulianti Saroso
7 RSPAD Gatot Soebroto
8 RSAL Mintohardjo
9 RS POLRI Kramat Jati
2 Jawa Barat
Bandung
RS Dr. Hasan Sadikin
3 Jawa Tengah
Semarang
RS Kariadi
4 DI Yogyakarta
RS Sardjito
5 Bali
Denpasar
RS Sanglah
6 Sumatera Utara
Medan
RS H Adam Malik
7 Sumatera Selatan
Palembang
RS M. Hoesin
8 Sulawesi Selatan
Makasar
RS Dr. Wahidin Sudirohusodo
9 Jawa Timur
Surabaya
RSUD Dr. Soetomo
10 Riau
Pekanbaru
RSUD Pekanbaru
11 Kalimantan Barat
Pontianak
RSUD Dodarso
12 Sulawesi Utara
Manado
RSUD Malalayang
13 Papua
1 Jayapura
RSUD Jayapura
2 Merauke
RSUD Merauke
3 Sorong
RSUD Selebes Solu
4 Timika
RS Mitra Masyarakat
14 Kepulauan Riau
Batam
RS Budi Kemuliaan
158
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Lampiran 6B Pelayanan aktif - Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan Rumah sakit (218) dan satelitnya (68 - rumah sakit dan puskesmas) No.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Rumah Sakit
1
NAD
Banda Aceh
RSU Dr. Zainoel Abidin
2
Sumatera Utara
Asahan
RSUD H. Abdul Manan Simatupang Kisaran
3
Sumatera Utara
Binjai
RSUD Dr.Djoelham
4
Sumatera Utara
Deli Serdang
RSU Lubuk Pakam Deli Serdang
5
Sumatera Utara
Medan
RS Bhayangkara Tk.II Sumut
6
Sumatera Utara
Medan
RS Haji Medan - VCT Bina Us Syifa
7
Sumatera Utara
Medan
RS Kesdam II Bukit Barisan
8
Sumatera Utara
Medan
RSU Dr. Pirngadi
9
Sumatera Utara
Medan
RSU H. Adam Malik
10
Sumatera Utara
Pematang Siantar
RSUD Djasemen Saragih
11
Sumatera Utara
Rantau Prapat
RSUD Rantau Prapat Labuhan Batu
12
Sumatera Utara
Serdang Bedagai
RSU Sultan Sulaiman - Serdang Bedagai
13
Sumatera Barat
Bukittinggi
RSU Dr. Achmad Mochtar
14
Sumatera Barat
Padang
RSU Dr. M. Djamil
15
Riau
Bagan Siapiapi
RS. Dr. RM Pratomo
16
Riau
Bengkalis
RSUD Bengkalis
17
Riau
Dumai
RSUD Dumai
18
Riau
Duri
RS PT Chevron Duri
19
Riau
Indragiri Hilir
RSU Puri Husada-Tembilahan
20
Riau
Kampar
RSUD Bangkinang-Kampar
21
Riau
Mandau
RSUD Mandau
22
Riau
Pangkalan Kerinci
RSUD Selasih
23
Riau
Pekanbaru
RS St. Maria
24
Riau
Pekanbaru
RSJ Tampan
25
Riau
Pekanbaru
RSUD Arifin Achmad
26
Kepulauan Riau
Batam
RS Budi Kemuliaan
27
Kepulauan Riau
Batam
RS. Saint Elizabeth
28
Kepulauan Riau
Batam
RSUD Batam
29
Kepulauan Riau
Karimun
RSUD Karimun
30
Kepulauan Riau
Bintan
RSUD Tanjung Uban
31
Kepulauan Riau
Tanjung Pinang
RSU Tanjung Pinang
32
Sumatera Selatan
Banyuasin
RSUD Banyuasin
33
Sumatera Selatan
Kayu agung
RSUD Kayuagung
34
Sumatera Selatan
Lubuk Linggau
RSUD Siti Aisyah
35
Sumatera Selatan
Muara Enim
RSU Prabumulih
36
Sumatera Selatan
Musi Rawas
RS. Dr. Sobirin Musi Rawas
159
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
No.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Rumah Sakit
37
Sumatera Selatan
Ogan Komering Ulu
RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja
38
Sumatera Selatan
Palembang
RS Ernaldi Bahar
39
Sumatera Selatan
Palembang
RS Myria Palembang
40
Sumatera Selatan
Palembang
RS RK Charitas
41
Sumatera Selatan
Palembang
RSU Dr. M.Hoesin Palembang
42
Bengkulu
Bengkulu
RSU Dr. M. Yunus
43
Jambi
Jambi
RSU Raden Mattaher
44
Lampung
Bandar Lampung
RSU Dr. H. Abdoel Moeloek
45
Lampung
Lampung Selatan
RSUD Kalianda
46
Bangka Belitung
Bangka
RSU Sungai Liat
47
Bangka Belitung
Belitung
RSUD Tanjung Pandan - Pangkal Pinang
48
Bangka Belitung
Pangkal Pinang
RSUD Depati Hamzah - Pangkal Pinang
49
DKI Jakarta
Jakarta Barat
RS Kanker Dharmais
50
DKI Jakarta
Jakarta Barat
RS PELNI
51
DKI Jakarta
Jakarta Barat
RS Royal Taruma
52
DKI Jakarta
Jakarta Barat
RSAB Harapan Kita
53
DKI Jakarta
Jakarta Barat
RSUD Cengkareng
54
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
RS Husada
55
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
RS Kramat 128
56
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
RS St. Carolous
57
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
RSAL Dr. Mintoharjo
58
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
RSPAD Gatoet Soebroto
59
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
RSUD Tarakan
60
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
61
DKI Jakarta
Jakarta Selatan
RS Jakarta
62
DKI Jakarta
Jakarta Selatan
RSU Fatmawati
63
DKI Jakarta
Jakarta Timur
RS Kepolisian Pusat Dr. Soekanto
64
DKI Jakarta
Jakarta Timur
RS Ketergantungan Obat
65
DKI Jakarta
Jakarta Timur
RS UKI
66
DKI Jakarta
Jakarta Timur
RSJ Duren Sawit
67
DKI Jakarta
Jakarta Timur
RSPAU Dr. Esnawan Antariksa
68
DKI Jakarta
Jakarta Timur
RSUD Budhi Asih
69
DKI Jakarta
Jakarta Timur
RSUP Persahabatan
70
DKI Jakarta
Jakarta Utara
RS Pluit
71
DKI Jakarta
Jakarta Utara
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
72
DKI Jakarta
Jakarta Utara
RSUD Koja
73
Jawa Barat
Bandung
RS Al Islam Bandung
74
Jawa Barat
Bandung
RS Bungsu
75
Jawa Barat
Bandung
RS Paru Dr. H.A. Rotinsulu
76
Jawa Barat
Bandung
RSUD Kota Bandung - Ujung Berung
77
Jawa Barat
Bandung
RSUP Dr. Hasan Sadikin
78
Jawa Barat
Bekasi
RS Ananda
160
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
No.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Rumah Sakit
79
Jawa Barat
Bekasi
RSU Kota Bekasi
80
Jawa Barat
Bekasi
RSUD Kabupaten Bekasi
81
Jawa Barat
Bogor
RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi
82
Jawa Barat
Cirebon
RSUD Gunung Jati
83
Jawa Barat
Cirebon
RSUD Waled
84
Jawa Barat
Indramayu
RS Bhayangkara - Indramayu
85
Jawa Barat
Karawang
RSU Karawang
86
Jawa Barat
Tasikmalaya
RSU Tasikmalaya
87
Banten
Serang
RSU Serang
88
Banten
Tangerang
RS Qadr
89
Banten
Tangerang
RS Cilegon
90
Banten
Tangerang
RS Usada Insani
91
Banten
Tangerang
RSU Tangerang
92
Jawa Tengah
Banyumas
RSU Banyumas
93
Jawa Tengah
Batang
RSU Batang
94
Jawa Tengah
Brebes
RSUD Brebes
95
Jawa Tengah
Cilacap
RSU Cilacap
96
Jawa Tengah
Jepara
RSUD RA Kartini
97
Jawa Tengah
Kebumen
RSUD Kebumen
98
Jawa Tengah
Kendal
RSUD Dr. H. Soewondo Kendal
99
Jawa Tengah
Pati
RSUD RAA Soewondo - Pati
100
Jawa Tengah
Purwokerto
RSU Prof. Dr. Margono Soekarjo
101
Jawa Tengah
Salatiga
RS Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga
102
Jawa Tengah
Salatiga
RSUD Salatiga
103
Jawa Tengah
Semarang
RSUP Dr. Kariadi
104
Jawa Tengah
Semarang
RS Tugurejo
105
Jawa Tengah
Semarang
RSU Ambarawa
106
Jawa Tengah
Semarang
RSU Pantiwilasa Citarum
107
Jawa Tengah
Slawi
RSU Dr. H.M. Suselo
108
Jawa Tengah
Surakarta
RS Dr. Oen
109
Jawa Tengah
Surakarta
RSU Dr. Moewardi
110
Jawa Tengah
Tegal
RSU Kardinah = RSU Tegal
111
Jawa Tengah
Temanggung
RSU Temanggung
112
D I Yogyakarta
Yogyakarta
RS Bethesda
113
D I Yogyakarta
Yogyakarta
RS PKU MUHAMMADIYAH
114
D I Yogyakarta
Yogyakarta
RSU Dr. Sardjito
115
D I Yogyakarta
Yogyakarta
RSU Panti Rapih
116
D I Yogyakarta
Bantul
RSUD Panembahan Senopati
117
Jawa Timur
Banyuwangi
RSU Blambangan
118
Jawa Timur
Banyuwangi
RSUD Genteng
119
Jawa Timur
Blitar
RSUD Ngudi Waluyo Wlingi
120
Jawa Timur
Gresik
RS Ibnu Sina Gresik
161
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
No.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Rumah Sakit
121
Jawa Timur
Jember
RSUD Balung
122
Jawa Timur
Jember
RSU Dr. Soebandi
123
Jawa Timur
Jombang
RSU Jombang
124
Jawa Timur
Kediri
RSUD Gambiran
125
Jawa Timur
Kediri
RSU Pare
126
Jawa Timur
Lamongan
RSUD Dr Soegiri Lamongan
127
Jawa Timur
Madiun
RSUD Dr. Soedono Madiun
128
Jawa Timur
Malang
RS Islam Malang - UNISMA
129
Jawa Timur
Malang
RSU Dr. Syaiful Anwar
130
Jawa Timur
Malang
RSU Kepanjen
131
Jawa Timur
Mojokerto
RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo
132
Jawa Timur
Mojokerto
RSUD Prof. Dr. Soekandar
133
Jawa Timur
Nganjuk
RSU Nganjuk
134
Jawa Timur
Sampang
RSUD Sampang
135
Jawa Timur
Sidoarjo
RSU Sidoarjo
136
Jawa Timur
Surabaya
RS Bhayangkara Tk II. Jatim
137
Jawa Timur
Surabaya
RSUD Dr. M. Soewandhie
138
Jawa Timur
Surabaya
RS Khusus Paru Surabaya
139
Jawa Timur
Surabaya
RSAL Dr. Ramelan
140
Jawa Timur
Surabaya
RSJ Menur
141
Jawa Timur
Surabaya
RSUD Dr. Soetomo
142
Jawa Timur
Tulungagung
RSUD Dr. Iskak Tulungagung
143
Bali
Badung
RSUD Badung
144
Bali
Buleleng
RSU Singaraja
145
Bali
Denpasar
RSUP Sanglah
146
Bali
Gianyar
RSUD Sanjiwani
147
Bali
Tabanan
RSUD Tabanan
148
Bali
Wangaya
RSUD Wangaya
149
Kalimantan Barat
Ketapang
RSUD Agoesdjam
150
Kalimantan Barat
Mempawah
RSUD Dr. Rubini Mempawah
151
Kalimantan Barat
Pontianak
RS Khusus Prov. Kalimantan Barat
152
Kalimantan Barat
Pontianak
RSU Dr. Soedarso
153
Kalimantan Barat
Pontianak
RSU St. Antonius
154
Kalimantan Barat
Sambas
RSU Pemangkat
155
Kalimantan Barat
Sanggau
RSU Sanggau
156
Kalimantan Barat
Singkawang
RSU Dr. Abdul Aziz
157
Kalimantan Barat
Sintang
RS Ade M Djoen
158
Kalimantan Timur
Balikpapan
RS TNI Dr. R. Hardjanto
159
Kalimantan Timur
Balikpapan
RSU Dr. Kanudjoso Djatiwibowo
160
Kalimantan Timur
Malinau
RSUD Malinau
161
Kalimantan Timur
Nunukan
RSU Kab Nunukan
162
Kalimantan Timur
Samarinda
RS Dirgahayu
162
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
No.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Rumah Sakit
163
Kalimantan Timur
Samarinda
RSU H. A. Wahab Sjahranie
164
Kalimantan Timur
Tarakan
RSUD Tarakan
165
Kalimantan Tengah
Palangkaraya
RSU Dr. Doris Sylvanus
166
Kalimantan Tengah
Kota Waringin Barat
RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun
167
Kalimantan Selatan
Banjarmasin
RS Ansari Saleh
168
Kalimantan Selatan
Banjarmasin
RSU Ulin Banjarmasin
169
NTB
Lombok Tengah
RSUD Praya
170
NTB
Lombok Timur
RSU Dr. R. Soedjono Selong
171
NTB
Mataram
RSJ Prov. NTB
172
NTB
Mataram
RSU Mataram
173
NTT
Belu
RSU Atambua
174
NTT
Ende
RSUD Ende
175
NTT
Flores Timur
RSUD Larantuka
176
NTT
Kupang
RS REM 161 Wirasakti
177
NTT
Kupang
RSUD Prof. Dr. W.Z. Johanes
178
NTT
Kupang
RSUD Umbu Rara Meha
179
NTT
Manggarai
RSUD RUTENG
180
NTT
Sikka
RSUD Dr. TC. Hillers
181
NTT
Sumba Daya Barat
RS Karitas
182
Sulawesi Utara
Bitung
RSU Bitung
183
Sulawesi Utara
Manado
RS Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang
184
Sulawesi Utara
Manado
RSUP Prof. dr. R. D. Kandaou Manado
185
Sulawesi Utara
Teling
RSAD R.W. Mongisidi
186
Sulawesi Utara
Tomohon
RS Bethesda Tomohon
187
Sulawesi Tengah
Palu
RSU Undata Palu
188
Sulawesi Selatan
Bulukumba
RSUD Haji Andi Sultang Daeng Radja
189
Sulawesi Selatan
Makassar
RS Bhayangkara
190
Sulawesi Selatan
Makassar
RS Jiwa Dadi
191
Sulawesi Selatan
Makassar
RSUD Labuang Baji
192
Sulawesi Selatan
Makassar
RS Pelamonia
193
Sulawesi Selatan
Makassar
RSU Daya
194
Sulawesi Selatan
Makassar
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
195
Sulawesi Selatan
Palopo
RSU Sawerigading
196
Sulawesi Selatan
Pare-pare
RSU Andi Makassau
197
Sulawesi Selatan
Pinrang
RSU Lasinrang
198
Sulawesi Tenggara
Kendari
RSU Prov.SULAWESI TENGGARA- Kendari
199
Gorontalo
Gorontalo
RSUD Prof. Dr.H. Aloei Saboe
200
Maluku
Ambon
RSUD Dr. M. Haulussy
201
Maluku
Tual
RSUD Karel Sadsuitubun Langgur
202
Maluku Utara
Ternate
RSUD Dr. Chasan Boesoirie
203
Papua Barat
Fak Fak
RSU Fak-fak
204
Papua Barat
Manokwari
RSU Manokwari
163
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
No.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Rumah Sakit
205
Papua Barat
Sorong
RSU Sorong
206
Papua Barat
Sorong
RSUD Sele Be Solu
207
Papua
Jayapura
RSUD Yowari
208
Papua
Abepura
RSUD Abepura
209
Papua
Biak
RSUD Biak
210
Papua
Jayapura
RS Dian Harapan
211
Papua
Jayapura
RSUD Jayapura
212
Papua
JayaWijaya
RSUD Wamena
213
Papua
Merauke
RSUD Merauke
214
Papua
Mimika
RS Mitra Masyarakat
215
Papua
Mimika
RS Tembagapura
216
Papua
Mimika
RSU Timika
217
Papua
Nabire
RSU Nabire
218
Papua
Paniai
RSUD Paniai
Juni 2011. Pelayanan aktif - Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan Rumah Sakit (218) dan satelitnya (68 - Rumah Sakit dan Puskesmas) No.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Rumah Sakit
Tipe Satelit
1
NAD
Aceh Barat
Rsu Cut Nyak Dien (satelit RS Zaenoel Abidin)
RS
2
NAD
Aceh Tamiang
Rsu Tamiang (satelit RS Zaenoel Abidin)
RS
3
NAD
Aceh Timur
RSU Langsa (satelit RS Zaenoel Abidin)
RS
4
NAD
Aceh Utara
Rsu Cut Meutia (satelit RS Zaenoel Abidin)
RS
5
NAD
Pidie
RSU Sigli (satelit RS Zaenoel Abidin)
RS
6
Sumatera Utara
Medan
Klinik Penyakit Tropik dan Infeksi: Dr Umar Zein (Satelit RS Pirngadi)
7
Sumatera Utara
Balige
RS HKBP Tobasa (satelit RS Bhayangkara)
RS
8
Sumatera Utara
Karo
RS Kabanjahe (satelit RS Adam Malik)
RS
9
Sumatera Utara
Medan
RSU Bina Kasih (satelit RS Kesdam)
RS
Klinik
10
Bangka Belitung
Belitong Timur
RSUD Manggar (satellit RSUD Tj Pandan)
11
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
LAPAS Salemba (satelit St Carolous)
Lapas
RS
12
DKI Jakarta
Jakarta Timur
Lapas Pondok Bambu (satelit RSJ Duren Sawit?)
Lapas
13
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
PPTI (Perhimpunan Penanggulangan Tuberculosisi Indonesia, satelit RSPI)
LSM
14
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
YPI (satelit RSCM)
LSM
15
DKI Jakarta
Jakarta Barat
Puskesmas Kali Deres (satelit YPI-RSCM)
PKM
16
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
Puskesmas Kecamatan Gambir (satelit RS Tarakan)
PKM
17
DKI Jakarta
Jakarta Selatan
Puskesmas Tebet (satelit YPI-RSCM)
PKM
18
Jawa Barat
Bandung
Lapas Kebon Waru (satelit RSHS)
Lapas
19
Jawa Barat
Bandung
Lapas Banceuy (Rutan Klas I, satelit RSHS)
Lapas
164
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
No.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Rumah Sakit
Type of Satelite
20
Jawa Barat
Bandung
Lapas Suka Miskin (satelit RSHS)
Lapas
21
Jawa Barat
Bekasi
Lapas Bekasi (satelit RS Ananda)
Lapas
22
Jawa Barat
Cirebon
Lapas Gintung (satelit RS Gunung Jati)
Lapas
23
Jawa Barat
Bandung
Puskesmas Kopo (satelit RSHS)
PKM
24
Jawa Barat
Bandung
Puskesmas Salam (satelit RSHS)
PKM
25
Jawa Barat
Cirebon
Puskesmas Larangan (satelit RS Gunung Jati)
Pkm
26
Jawa Barat
Bandung
RS Immanuel (satelit RSHS)
RS
27
Jawa Barat
Bandung
RS St. Borromeus (satelit RSHS)
RS
28
Jawa Barat
Cianjur
RSUD Cianjur(satelit RSHS)
RS
29
Jawa Barat
Indramayu
RSU Indramayu(satelit RSHS)
RS
30
Jawa Barat
Kuningan
RSU Kuningan(satelit RSHS)
RS
31
Jawa Barat
Purwakarta
RSUD Bayu Asih(satelit RSHS)
RS
32
Jawa Barat
Subang
RSUD Subang(satelit RSHS)
RS
33
Jawa Barat
Sukabumi
RS Assyifa (satelit RSHS)
RS
34
Jawa Barat
Sukabumi
RSUD R. Syamsudin SH (satelit RSHS)
RS
35
Jawa Tengah
Semarang
BKPM Semarang (Badan kes Paru Masy.) (satelit Kariadi)
Balai Negara
36
Jawa Tengah
Surakarta
BBKPM (Balai Besar Kes Paru Masy. Satelit Moewardi)
Balai Negara
37
Bali
Denpasar
Yayasan Kepti Praja (satelit Sanglah)
LSM
38
Bali
Buleleng
Puskesmas Grogak (satelit Buleleng)
PKM
39
Kalimantan Selatan
Tanah Bumbu
RS Amanah Husada (satelit RS Ansari Saleh)
RS
40
Sulawesi Selatan
Makassar
Klinik Prof. dr. Abd Halim (satelit RS Wahidin)
Klinik
41
Sulawesi Selatan
Makassar
Puskesmas Jumpandang Baru (satelit RS Wahidin)
PKM
42
Sulawesi Selatan
Makassar
Puskesmas Kasi-kasi (satelit RS Wahidin)
PKM
43
Papua
Jaya wijaya
Klinik Kalvari
Klinik
44
Papua
Merauke
Puskesmas Kuprik (satelit RSUD Merauke)
Klinik
45
Papua
Merauke
Puskesmas Mopah (RSUD Merauke)
Klinik
46
Papua
(induk: Abepura)
Puskesmas Depapre (satelit RS Abepura)
PKM
47
Papua
(induk: Abepura)
Puskesmas Dosai (satelit RS Abepura)
PKM
48
Papua
(induk: Abepura)
Puskesmas Harapan (satelit RS Abepura)
PKM
49
Papua
(induk: Abepura)
Puskesmas Jayapura Utara (satelit RS Abepura)
PKM
50
Papua
(induk: Abepura)
Puskesmas Kota Raja (satelit RS Abepura)
PKM
51
Papua
(induk: Abepura)
Puskesmas Koya Barat (satelit RS Abepura)
PKM
52
Papua
(induk: Abepura)
Puskesmas Sentani (satelit RS Abepura)
PKM
53
Papua
(induk: Abepura)
Puskesmas Waena(satelit RS Abepura)
PKM
54
Papua
Jaya wijaya
Puskesmas Wamena (sateli RS Wamena)
PKM
55
Papua
Mimika
Puskesmas Timika (satelit RS Mimika)
PKM
56
Papua
Mimika
Puskesmas Timika Jaya (satelit RS Mimika)
PKM
57
Papua
Mimika
Puskesmas Koamki (satelit RS Mitra Masy.)
PKM
58
Papua
(induk: Abepura)
RS Mulia Puncak Jaya (satelit RS Abepura)
RS
59
Papua
Baru
RSUD Asmat (satelit RS Merauke)
RS
165
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
No.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Rumah Sakit
Type of Satelite
60
Papua
Bovendigul
RS Boven Digul (satelit RS Merauke)
RS
61
Papua
Kepi
RS Kepi (satelit RS Merauke)
RS
62
Papua
Tembaga Pura
RS Waa Banti- Tembaga Pura (satelit Tembaga Pura)
RS
63
Papua Barat
Kota Sorong
Klinik Santo Agustinus (satelit RSU Selebe Solu)
Klinik
64
Papua Barat
Fak Fak
Puskesmas Fak Fak Kota (satelit RSU Fak Fak)
PKM
65
Papua Barat
Kab. Sorong
Puskesmas Aimas (Satelit RSU Sorong)
PKM
66
Papua Barat
Kota Sorong
Puskesmas Malawe (satelit RSU Selebe Solu)
PKM
67
Papua Barat
Kota Sorong
Puskesmas Remu (satelit RSU Selebe Solu)
PKM
68
Papua Barat
Manokwari
Puskesmas Sanggeng (Satelit RSU Manokwari)
PKM
166
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Lampiran 7 DEFINISI INDIKATOR YANG DINILAI
Indikator yang Dinilai
I
III
INPUT
2, jika
3, jika
Sumber Data
SDM
Jika tidak ada Sekretaris Penuh Waktu, dan atau PP, dan atau PA
Ada Sekretaris Penuh Waktu, PP, dan PA
Korwil Monev
Dana
Jika seluruh pendanaan baik operasional maupun program bersumber dari KPAN
Jika pendanaan baik operasional maupun program bersumber dari APBD dan KPAN (baik dikelola oleh SKPD maupun Sekretariat KPA
Jika seluruh pendanaan baik operasional maupun program bersumber dari APBD
Korwil Keuangan
Infrastruktur
Belum memiliki Sekretariat dan fasilitas yang memadai
Belum memiliki Sekretariat atau fasilitas yang memadai
Sudah memiliki Sekretariat dan fasilitas yang memadai
Korwil Monev
Pokja yang Terbentuk
Tidak ada pokja yang terbentuk
Sudah ada pokja yang terbentuk namun belum aktif
Sudah ada pokja yang terbentuk dan aktif
Korwil Monev Korwil Program
Terbentuknya Jaringan/ Kelompok Risiko Tinggi
Belum ada jaringan/ kelompok risiko tinggi
Sudah ada jaringan/ kelompok risiko tinggi
Sudah ada jaringan/ kelompok risiko tinggi dan aktif
Korwil Program
Belum ada forum perencanaan
Sudah ada forum perencanaan namun belum aktif
Sudah ada forum perencanaan dan aktif (aktif = ada pertemuan rutin)
Korwil Monev & Korwil Program
Tidak ada Tim Asistensi
Ada Tim Asistensi yang masih aktif namun tidak ada pertemuan rutin
Ada Tim Asistensi yang masih aktif dan ada pertemuan rutin
Korwil Monev & Korwil Program
Perda
Belum memiliki Perda
Perda masih dalam proses (draft)
Sudah memiliki Perda
Korwil Monev
Renstrada (atau RAD)
Belum memiliki Renstrada
Renstrada masih dalam proses (draft)
Sudah memiliki Renstrada
Korwil Monev
APBD
Belum memiliki APBD 2008
Ada APBD namun di SKPD
Ada APBD yang dikelola Sekretariat
KPAP
Kebijakan lokal
Belum ada kebijakan lokal
Kebijakan lokal masih dalam proses
Sudah ada kebijakan lokal
Korwil Monev & Korwil Program
Proses
Tim Asistensi
OUTPUT
0, jika Jika tidak ada Sekretaris Penuh Waktu, PP, PA
Forum perencanaan
lampiran
Penilaian
167
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Lampiran 8 Daerah (15 Provinsi & 31 Kabupaten / Kota) yang sudah memiliki PERDA tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Sudah ada Perda atau PerGub KPA Provinsi Sumatera Utara
Belum ada Perda Kabupaten/Kota
1
Kab. Serdang Bedagai
Ada: Nomor 11 Tahun 2006
2
Kab. Tanjung Balai Asahan
Ada: Nomor 6 Tahun 2009
1 Riau Sumatera Selatan
Perda AIDS
Perda Nomor 4 Tahun 2006 3
Kota Palembang
Perda Nomor 16 Tahun 2007
2 Kepulauan Riau
Ada: Nomor 15 Tahun 2007
3 DKI Jakarta
Ada: Nomor 5 Tahun 2008
4 JawaBarat
Per Gub Nomor 78 Tahun 2010 4
Kota Cirebon
Ada: Nomor 1 Tahun 2010
5
Kab. Indramayu
Ada: Nomor 8 Tahun 2009
6
Kota Bekasi
Ada: Nomor 3 Tahun 2009
7
Kab. Tasikmalaya
Ada: Nomor 4 Tahun 2007
8
Kota Tasikmalaya
Ada: Nomor 2 Tahun 2008
5 Jawa Tengah
Perda Nomor 5 Tahun 2009 9
Kab. Semarang
10 Kab. Batang 6
DI Yogyakarta
Ada: Nomor tdk tahu Ada: Nomor 12 Tahun 2010
7 Jawa Timur
8
Ada: Nomor 3 Tahun 2010
Ada: Nomor 5 Tahun 2004. 11 Kab. Banyuwangi
Ada: Nomor 6 Tahun 2007
12 Kab Pasurun
Ada: Nomor 4 Tahun 2010
13 Kab. Malang
Ada: Nomor 14 Tahun 2008
14 Kota Probolinggo
Ada: Nomor 9 Tahun 2005
Banten
Ada: Nomor 6 Tahun 2010
9 Bali
Perda Nomor 3 Tahun 2006 15 Kab. Badung
Ada: Nomor 1 Tahun 2008
16 Kab. Buleleng
Ada: Nomor 5 Tahun 2007
17 Kab. Klungkung
Ada: Nomor 3 Tahun 2007
18 Kab. Gianyar
Ada: Nomor 15 Tahun 2007
19 Kab. Jembrana
Ada: Nomor 1 Tahun 2008
20 Kab. Bangli
Ada: Nomor 4 Tahun 2010
10 Kalimantan Barat
Perda Nomor 2 Tahun 2009
11 Kalimantan Timur
Perda Nomor 5 Tahun 2007
168
21 Kota Samarinda
Ada: Nomor 23 Tahun 2000
22 Kota Tarakan
Ada: Nomor 6 Tahun 2007
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
KPA Provinsi
Kabupaten/Kota
12 Sulawesi Utara
Perda AIDS Perda Nomor 1 Tahun 2009
23 Kota Bitung
Ada: Nomor 19 Tahun 2006 Perda No. 4 Tahun 2010
13 Sulawesi Selatan
24 Kab. Bulukumba
Ada: Nomor 5 Tahun 2008
25 Kab. Luwu Timur
Ada: Nomor 7 Tahun 2009
14 NTB
Perda No. 11 Tahun 2008
15 NTT
Perda No. 3 Tahun 2007
Papua Barat
26 Kab. Manokwari
Ada: Nomor 6 Tahun 2006
27 Kab. Teluk Bintuni
Ada: Nomor 21 Tahun 2006
28 Kota Sorong
Ada: Nomor 41 Tahun 2006 Perda No 8 Tahun 2010
16 Papua
29 Kab. Jayapura
Ada: Nomor 20 Tahun 2003
30 Kota Jayapura
Ada: Nomor 7 Tahun 2006
31 Kab. Biak Numfor
Ada: Nomor 2 Tahun 2006
22 Kab. Nabire
Ada: Nomor 18 Tahun 2003
33 Kab. Merauke
Ada: Nomor 5 Tahun 2003
34 Kab. Mimika
Ada: Nomor 11 Tahun 2007
Sumber : KPAN (per September 2011)
Jumlah Perda AIDS di Tingkat Provinsi: 15 Jumlah PerGub : 1 Jumlah Perda AIDS di Tingkat Kabupaten/Kota: 34
169
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Lampiran 9 Daftar Terbitan KPAN Tahun 2006 - 2011 Judul
Kategori
Penerbit
Tahun
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI, Perempuan dan Anak Indonesia 2005 (Bahasa Inggeris)
Kommunitas Berdampak
KEMENKOKESRA
2006
Menyediakan Layanan Berbasis Komunitas , PrinsipPrinsip Bekerja Dengan Komunitas Untuk Pemulihan Perempuan Korban Kekerasan
Kommunitas Berdampak
KPA N
2006
Laporan Nasional Estimasi Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV Tahun 2006
Komunikasi dan Edukasi
KPA N & DEPKES RI
2006
Pertemuan Regional III, Koordinasi dan Peningkatan Program Akselerasi Penanggulangan HIV/AIDS
Kongres dan Konferensi AIDS
KPA N
2006
Buku Alamat dan Daftar Rumah Sakit
Direktori
KPA, Bakti Husada
2006
Peta Pelayanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Untuk ODHA di Indonesia
Pemetaan
KPA N
2006
Laporan Negara Tindak Lanjut Terhadap Deklarasi Komitmen HIV dan AIDS (UNGASS) Periode Pelaporan 2004-2005
Monitoring dan Evaluasi
KPA N
2006
Pedoman Nasional Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan HIV dan AIDS
Monitoring dan Evaluasi
KPA N
2006
Buku Pedoman Pelaksanaan Akselerasi Penanggulangan HIV/AIDS di 100 Kabupaten/Kota
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2006
Rencana Strategis Penanggulangan HIV-AIDS Tahun 2006-2010
Strategi Nasional AIDS
KPA NAD
2006
Rencana Strategis Penanggulangan HIV dan AIDS 20062010
Strategi Nasional AIDS
KPA SUMUT
2006
Laporan Nasional Estimasi Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV tahun 2006
Laporan Nasional
KPA N
2006
Situasi Perilaku Beresiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006
Laporan Nasional
KPA N
2006
Third Quarterly Report April to June 2006 (Bahasa Inggris)
Laporan Nasional
KPA N
2006
Laporan Nasional on Estimates of Adults Vulnerable to HIV Infection in Indonesia, 2006 (Bahasa Inggris)
Laporan Nasional
KPA N
2006
Yayasan Spiritia Report on Activities 2005/2006 (Bahasa Inggris)
Laporan Nasional
KPAP DKI Jakarta
2006
Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba Pada LAPAS/RUTAN di Indonesia ( Sebuah Analisa )
Lembaga Pemasyarakatan
KPA N
2006
PLHIV and Health Service Access (Bahasa Inggris)
Penelitian
KPA N
2006
Lentera: Lembaran Tentang Realita AIDS
Advokasi
KPAP Bali
2007
170
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Judul
Kategori
Penerbit
Tahun
Abstrak Pertemuan Nasional HIV dan AIDS Menyatukan Langkah Untuk Memperluas Respon, 4-8 February 2007
Kongres dan Konferensi AIDS
KPA N
2007
Pertemuan Nasional HIV dan AIDS ke 3, Menyatukan Langkah Untuk Memperluas Respon
Kongres dan Konferensi AIDS
KPA N
2007
Pertemuan Nasional HIV dan AIDS Menyatukan Langkah Untuk Memperluas Respon, 4-8 February 2007 ( Program )
Kongres dan Konferensi AIDS
KPA N
2007
Rapat Koordinasi KPA Nasional dan Propinsi , 23-25 April 2007
Komunikasi dan Edukasi
KPA N
2007
Project Report National Condom Week 2007 (Bahasa Inggris)
Kondom
KPA N
2007
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Indonesia Nomor 02/PER/MENKO/KESRA/ I/2007
Undang-undang dan Peraturan
KPAP DKI Jakarta
2007
Pelatihan Kader Muda untuk Program Pengurangan Dampak Buruk Pengguna Napza Suntik , Surabaya, 4-7 Desember 2007
Harm Reduction
KPA N
2007
Pelatihan Kader Muda Untuk Program Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik
Harm Reduction
KPA N
2007
Pelatihan Set- Up Layanan Jarum Suntik di Puskesmas
Harm Reduction
KPA N
2007
Memecah Kebisuan HIV dan AIDS di Afrika
HIV dan Agama
KPAP Papua
2007
Program Akselerasi di 14 Kota
Monitoring dan Evaluasi
KPA N
2007
Umpan Balik Pelaksanaan Program Akselerasi di Kabupaten/ Kota Prioritas Periode Juli- Desember 2006
Monitoring dan Evaluasi
KPA N
2007
Laporan Umpan Balik Program Akselerasi di 14 Kota, Periode Mei 2007-Desember 2007
Monitoring dan Evaluasi
KPA N
2007
Selayang Pandang Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Belu NTT
Monitoring dan Evaluasi
KPA Belu
2007
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2007-2010
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2007
Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 20072010
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2007
Arahan Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Penanggulangan AIDS 2007-2010
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2007
Petunjuk Pengelolaan Keuangan dan Penyusunan Laporan Untuk Dana Bantuan
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2007
Pedoman Keuangan KPA Nasional, Pedoman Keuangan Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2007
Pedoman Pelaksanaan Hari AIDS Sedunia Tahun 2007
Kampanye Nasional
KPA N
2007
Laporan Pelaksanaan Peringatan Hari AIDS Sedunia 2007, Tema: Kepemimpinan
Kampanye Nasional
KPA N
2007
Sambutan MENKOKESRA selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Dalam Rangka Peringatan HAS 2007
Kampanye Nasional
MENKOKESRA
2007
171
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Judul
Kategori
Penerbit
Tahun
Laporan KPA Nasional Januari-Juni 2007
Laporan Nasional
KPA N
2007
Laporan Kegiatan Pelatihan Kader Muda Untuk Program Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik, Banten 19-22 November 2007
Laporan Nasional
KPA N
2007
Laporan Kegiatan Pelatihan Advokasi Staf Sekretariat KPA Kab./Kota
Laporan Nasional
KPA N
2007
Laporan KPA Nasional 2007
Laporan Nasional
KPA N
2007
Simposium Perkembangan Terakhir HIV di Papua Nugini dan Indonesia Khususnya Propinsi di Tanah Papua
Laporan Nasional
KPA N
2007
Estimasi Orang Dengan HIV/AIDS ( ODHA ) di Kabupaten / Kota Provinsi Bali 2007
Laporan Nasional
KPAP Bali
2007
Program Penanggulangan HIV-AIDS Lapas/Rutan di Indonesia
Lembaga Pemasyarakatan
KPA N
2007
Buku Saku Staf lapas/ Rutan
Lembaga Pemasyarakatan
KPA N
2007
Master Plan, Rencana Penguatan Sistem dan Penyediaan layanan Klinis Terkait HIV dan AIDS di Lapas/Rutan 2007-2010
Lembaga Pemasyarakatan
KPA N
2007
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis ( Layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV dan AIDS di Lapas/Rutan
Lembaga Pemasyarakatan
KPA N
2007
Direktori Lembaga PBB dan Internasional Bidang HIV dan AIDS
Direktori
KPA N
2008
11 Langkah Memahami HIV dan AIDS
Edukasi
KPA N
2008
Panduan Organisasi dan Tata kerja Sekretariat Komisi Penanggulangn AIDS di Daerah
Undang-undang dan Peraturan
KPA N
2008
PedomanProsedur Pelaksanaan Program Pengurangan Dampak Buruk Bagi Pengguna Napza Suntik di Puskesmas
Undang-undang dan Peraturan
KPA, Bakti Husada
2008
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2008
Undang-undang dan Peraturan
KPAP DKI Jakarta
2008
Pedoman Advokasi Penanggulangan HIV dan AIDS
Undang-undang dan Peraturan
KPAP DKI Jakarta
2008
Pedoman Prosedur Pelaksanaan Program Pengurangan Dampak Buruk Bagi Pengguna Napza Suntik di Puskesmas
Harm Reduction
KPA N
2008
Scaling Up the Indonesian AIDS Response, Report on the Indonesian Partnership Fund for HIV and AIDS ( (Bahasa Inggris))
Monitoring dan Evaluasi
KPA N
2008
Strategi Komunikasi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2008
Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Anak dan Remaja 2007-2010
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2008
Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Perempuan
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2008
172
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Judul
Kategori
Penerbit
Tahun
Kampanye Nasional
KPA N
2008
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat KPA Nasional
Laporan Nasional
KPA N
2008
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat KPA Nasional Januari- Juli 2008
Laporan Nasional
KPA N
2008
Komunikasi dan Edukasi
KPA N
2008
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat KPA Nasional
Laporan Nasional
KPA N
2008
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat KPA Nasional April 2008
Laporan Nasional
KPA N
2008
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat KPA Nasional Mei 2008
Laporan Nasional
KPA N
2008
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat KPA Nasional Juni 2008
Laporan Nasional
KPA N
2008
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat KPA Nasional Juli 2008
Laporan Nasional
KPA N
2008
Laporan Triwulan KPA Nasional Januari-Maret 2008
Laporan Nasional
KPA N
2008
Twelfth Quarterly Report ( July- September 2008 ) (Bahasa Inggris)
Laporan Nasional
KPAP DKI Jakarta
2008
VCT
KPA N
2008
HIV dan AIDS Sekilas Pandang ( Edisi Kedua )
Advokasi
KPA N
2009
HIV dan AIDS Sekilas Pandang , Beberapa Dasar Program Penanggulangan HIV dan AIDS untuk Tanah Papua
Advokasi
KPA Prov.Papua
2009
Biomedical Penelitian
KPA N
2009
Kondom
KPA N
2009
Undang-undang dan Peraturan
KPA N
2009
Laporan Pelatihan Komprehensif Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik ( Harm reduction )
Harm Reduction
KPA N
2009
HIV-AIDS dan Sirkumisisi ( Sunat )
HIV dan Agama
KPAP Papua
2009
Akses Universal dan Hak Asasi Manusia, Membangun Komitemn, Membangun Sinergi
Hak Asasi Manusia dan Hukum
KPA N
2009
Informasi Dasar Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Seri 3: Pemetaan Populasi Kunci-2009 di 12 Provinsi Dukungan GF ATM Round 8
Pemetaan
KPA N
2009
Rumusan Kebijaksanaan PerencanaanPenanggulangan HIV dan AIDS Untuk Rancangan RPJMN 2010-2014
Monitoring dan Evaluasi
KPA N, BAPPENAS
2009
Status Monitoring dan Evaluasi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2009
Monitoring dan Evaluasi
KPA N
2009
HIV dan AIDS Sekilas Pandang Edisi Kedua
Monitoring dan Evaluasi
KPA N
2009
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2009
Pertemuan Harm Reduction ke-2, 15-18 Juni 2008 Makassar Sulawesi Selatan
HIV di Indonesia, Report 2008
11 Langkah Memahami HIV dan AIDS
HIV/AIDS Penelitian Inventory 1995-2009 (Bahasa Inggris) Makalah Seminar Pekan Kondom Nasional Lokakarya Diseminasi Pedoman Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat Jakarta, 20-23 Oktober 2009
173
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
Judul
Kategori
Penerbit
Tahun
Kampanye Nasional
KPA N
2009
Laporan LOKNAS Forum Perencanaan dan Penganggaran Penanggulangan HIV dan AIDS
Laporan Nasional
KPA N
2009
Laporan Penyelenggaraan Lomba Penulisan HIV dan AIDS
Laporan Nasional
KPA N
2009
Report on The Indonesia Partnership Fund January June 2009 (Bahasa Inggris)
Laporan Nasional
KPA N
2009
Kesehatan Seksual ( Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual )
Kesehatan Reproduksi
KPA N
2009
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyalahgunaan Narkotika di UPT Pemasyarakatan di Indonesia Tahun 2010-2014
Harm Reduction
KPA N
2010
Pemetaan
KPA N
2010
Rumusan Kebijakan Perencanaan Penanggulangan HIV dan AIDS untuk Rancangan RPJMN 2010-2014
Laporan Nasional
KPA N
2010
Laporan Kegiatan Fasilitasi Perencanaan dan Penganggaran Program Penanggulangan AIDS di 12 Provinsi
Laporan Nasional
KPA N
2010
Laporan fasilitasi Perencanaan dan Penganggaran
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2010
Perpres 75/ 2006 dan PerMendagri 20/ 2007 (reprint)
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2010
Buku Peta epidemi HIV di Indonesia
Laporan Nasional
KPA N
2010
Internasional
KPA N
2010
Buku Pedoman Pelaksanaan Program Harm REdukasi Bagi Penasun di Puskesmas (reprint)
Harm Reduction
KPA N
2010
Buku Saku Pengenalan HIV dan AIDS
Komunikasi dan Edukasi
KPA N
2010
ringkasan SRAN 2010-2014 (ver Indonesia)
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2010
Ringkasan Sran 2010-2014 (ver Inggris)
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2010
Buku Pedoman Diskusi Penasun
Harm Reduction
KPA N
2010
Buku SRAN 2010-2014
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2010
Kesehatan Reproduksi
KPA N
2011
Ringkasan SRAN (ver Indonesia) reprint
Strategi Nasional AIDS
KPA N
2011
Buku Profil HIV dan AIDS di 33 Propinsi
Laporan Nasional
KPA N
2011
Buku Pedoman PABM
Harm Reduction
KPA N
2011
Buku Peta Epidemi HIV
Laporan Nasional
KPA N
2011
Panduan Pelaksanaan Peringatan Hari AIDS Se-Dunia Tahun 2009
Informasi Dasar Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
Laporan RI untuk UNGASS 2008-2009
Cetak buku Pemoman Pencegahan Melalui Transmisi Seksual
174
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
Lampiran 10
175
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
176
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
177
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
178
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011
179
Laporan 5 Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75/2006
180
Peta
Epidemi
dan
Penanggulangan
HIV
dan
AIDS
di
Indonesia,
2011
Peta Epidemi dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, 2011
Prevalensi
HIV
2009
173
kabupaten/
kota
dimana
ada
kegiatan
penanggulangan
AIDS
komprehensif.
Sumber
data:
Est
Pop
Dewasa
Rawan
Terinfeksi
HIV,
2009,
Kemkes.
Pemetaan
oleh
KPAN
tahun
2010
di
33
provinsi
dan
440
kabupaten/kota.