INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV &AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN di Provinsi Jakarta Laporan Hasil Penelitian Tim Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta
UNIVERSITAS KATHOLIK ATMA JAYA JAKARTA
PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UGM
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam Sistem Kesehatan di DKI Jakarta Laporan Penelitian
Daftar Istilah ABPN Alkes APBD Bappeda BLUD BPJS CSR CST Dinkes FHI GFATM HCPI HR Inpres IPWL JAIS JKN Kepmenkes KPAK KPAP LASS LKB LSM MDGs MPI Musrembang Nakes NIK ODHA PABM PBI PDP PMTST Perda Pergub Renstra RKPD RPJMD RPJP SDM SIHA SKPD SRAN SRAP
Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional Alat Kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Layanan Umum Daerah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Corporate Social Responsibility Care, Support, & Treatment Dinas Kesehatan Provinsi Family Health International Global Fund to Fight Aids, Tubercolosis, and Malaria HIV Cooperation Programme for Indonesia Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk) Instruksi Presiden Institusi Penerima Wajib Lapor Jakarta AIDS Information System Jaminan Kesehatan Nasional Keputusan Menteri Kesehatan Komisi Penanggulangan AIDS tingkat Kota Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Layanan Alat Suntik Steril Layanan Komprehensif dan berkesinambungan Lembaga Swadaya Masyarakat Millenium Development Goals Mitra Pembangunan Internasional Musyawarah Perencanaan Pembangunan Tenaga kesehatan Nomor Induk Kependudukan Orang dengan HIV/AIDS Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat Penerima Bantuan Iuran Perawatan Dukungan dan Pengobatan Peraturan Daerah Peraturan Gubernur Rencana Strategi Rencana Kerja Pembangunan Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Sumber Daya Manusia Sistem Informasi HIV-AIDS Satuan Kerja Perangkat Daerah Strategi Rencana Aksi Nasional Strategi Rencana Aksi Provinsi
1
Sudinkes SUFA UPT VCT
Suku Dinas Kesehatan Strategic Use of Anti Retro Viral Unit Pelayanan Teknis Voluntary Counseling and Testing
2
Daftar Isi DAFTAR ISTILAH
1
DAFTAR ISI
3
RINGKASAN EKSEKUTIF
4
I. PENDAHULUAN
8
A. B. C. 1. 2.
SITUASI DAN UPAYA PENANGGULANGAN HIV AIDS DI DKI JAKARTA PERTANYAAN PENELITIAN TUJUAN TUJUAN UMUM TUJUAN KHUSUS
8 12 13 13 13
II. METODE
15
A. B. C. D. E.
15 16 16 17 18
KERANGKA KONSEPTUAL DESAIN DAN PROSEDUR PENELITIAN LOKASI PENELITIAN DAN INFORMAN ANALISA DATA KETERBATASAN PENELITIAN
III. HASIL PENELITIAN
19
A. B. C. D. E. F. 1. 2.
19 20 21 26 30 32 32 58
KONTEKS KEBIJAKAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA SITUASI EPIDEMI DAN PERILAKU BERISIKO TERKAIT HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA RESPON PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA ANALISA PEMANGKU KEPENTINGAN PENANGGULANGAN HIV AIDS PERAN PERGURUAN TINGGI POLA INTEGRASI DI DKI JAKARTA GAMBARAN INTEGRASI BERDASARKAN SUB SISTEM KESEHATAN DI DKI JAKARTA TINGKAT INTEGRASI
IV. DISKUSI
66
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
69
A. KESIMPULAN B. REKOMENDASI
69 70
DAFTAR PUSTAKA
72
3
Ringkasan Eksekutif Studi ini bertujuan untuk menganalisis tingkat integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan di DKI Jakarta sehingga dapat dikembangkan rekomendasi perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah. Desain studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menggunakan mode kerangka konseptual dan analitik yang dikembangkan oleh Atun et al (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur integrasi respon pencegahan, perawatan dukungan dan pengobatan (PDP) dan mitigasi dampak yang dikembangkan untuk merespon permasalahan kesehatan tertentu ke dalam sistem kesehatan. Penelitian ini menggunakan baik data primer maupun sekunder yang dikumpulkan secara kumulatif. Data primer terkumpul dari 18 informan (7 laki-laki dan 10 perempuan, dan 1 waria) yang berkompeten membahas isu sistem kesehatan, program HIV dan AIDS serta kualitas layanan termasuk perkembangan integrasi ke sistem layanan kesehatan terutama di tingkat DKI Jakarta. Prevalensi HIV di DKI Jakarta termasuk tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain dengan angka prevalensi HIV ditemukan di kalangan populasi yang terkonsentrasi seperti penasun, pekerja seks, LSL, dan waria. Prevalensi HIV di DKI Jakarta memberikan dampak kesehatan yang cukup serius. Dari kasus HIV yang terlaporkan, sebanyak 22.8% masuk ke dalam tahap AIDS dengan case rate kematian akibat AIDS mencapai 59.7%. Untuk menghadapi permasalahan ini respon terkait HIV di DKI Jakarta mencakup respon pencegahan yang berfokus pada pengguna napza suntik dan transmisi seksual melalui PMTS, respon PDP termasuk Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dan Strategic Use of ARV (SUFA), dan mitigasi dampak. Layanan HIV sudah tersedia merata di semua kotamadya. Banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam respon penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta. Pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan kekuasaan tinggi adalah Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP), Puskesmas, dan Mitra Pembangunan Indonesia (MPI). Coorporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta memiliki kekuasaan tinggi dengan kepentingan rendah, sebaliknya Orang dengan HIV AIDS (ODHA) sebagai penerima manfaat memiliki kekuasaan dan kepentingan rendah. Pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan tinggi namun kekuasaan rendah adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes), Komisi Penanggulangan AIDS
4
Kota (KPAK), jaringan populasi kunci, dan lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Besarnya kepentingan dan kekuasan banyak dipengaruhi oleh kepemilikan modal dan legitimasi payung hukum untuk melaksanakan program terkait HIV dan AIDS. Dalam pengukuran tingkat integrasi banyak data yang tidak tersedia untuk mengukur setiap dimensi dalam sub-sistem kesehatan, terutama untuk melihat respon mitigasi dampak. Dari data yang tersedia dapat disimpulkan bahwa PDP adalah respon HIV AIDS terbanyak yang dimensinya sudah terintegrasi. Sub-sistem penyediaan farmasi dan alkes sudah terintegrasi secara penuh di kedua dimensinya. Sedangkan dalam sub-sistem lain ada beberapa dimensi yang sudah teringrasi secara penuh seperti dimensi regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem pembayaran layanan, kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Sedangkan dalam respon pencegahan dimensi dalam sub-sistem yang sudah teringrasi baru dalam tataran regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Beberapa dimensi seperti mekanisme pembayaran dan sumber daya baru terintegrasi secara parsial. Sayangnya, dari keseluruhan dimensi yang diukur dalam respon mitigasi dampak hanya tiga dimensi yang tersedia datanya, yaitu regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran serta mekanisme pembayaran layanan dengan hasil pengukuran menunjukkan bahwa dimensi tersebut tidak terintegrasi dengan sistem kesehatan di DKI Jakarta. Dengan tingkat integrasi respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak di DKI Jakarta, cakupan respon masih belum maksimal. Dari seluruh populasi kunci hanya waria yang sudah terjangkau sesuai target, sedangkan sisanya baru mencapai dibawah 45 persen. Begitupun dengan cakupan PDP yang baru mencapai 82% dari target dalam Renstra Dinkes dengan angka ODHA dalam ARV hanya mencapai 44%. Tingkat integrasi intervensi kesehatan di suatu daerah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kurangnya tingkat integrasi dalam repson mitigasi dampak umumnya terjadi ketika respon HIV lebih berfokus pada masalah kesehatan masyarakat dan melupakan tantangan pembangunan dan manajerial yang melingkupi permasalah HIV dan AIDS. Selain itu respon HIV dan AIDS hanya dilihat sebagai masalah kesehatan saja sehingga fokus solusi terhadap masalah tidak dapat keluar dari lingkup kesehatan, dan seringkali mengabaikan aspek sosial dan ekonomi. Level integrasi yang berbeda dalam pemberian layanan umumnya terjadi
5
berkaitan dengan ketersediaan anggaran, kurangnya kordinasi dan pendekatan yang berbeda dalam
monitoring/surveillance
program.
Pada
prakteknya
sistem
kesehatan
mengkombinasikan intervensi yang terintegasi penuh dan tidak terintegrasi. Hal yang penting adalah apakah tingkat integrasi suatu intervensi kesehatan terhadap sistem kesehatan tersebut mampu memebrikan hasil dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Untuk meningkatkan kinerja respon HIV dan AIDS dalam kaitannya dengan sistem kesehatan maka beberapa hal yang menjadi rekomendasi adalah sebagai berikut: 1. Melakukan kajian sosial dan ekonomi terkait dampak HIV dan AIDS jangka panjang, terutama dengan adanya program SUFA yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup ODHA secara bermakna. Hasil dari kajian dapat digunakan untuk melakukan inovasi program mitigasi dampak, termasuk memperluas cakupan kerjasama seperti dengan instansi terkait seperti dinas sosial, badan pemberdayaan masyarkaat perempuan dan keluarga berencana, badan pendidikan dan pelatihan provinsi; 2. Melakukan inovasi untuk mensiasati jumlah tenaga kesehatan yang terbatas dengan melakukan task shifting atau perpindahan delegasi beberapa pekerjaan terkait HIV yang dapat dilakukan oleh kader masyarakat, LSM atau populasi kunci seperti tes HIV berbasis komunitas, konseling kepatuhan Anti Retro-Viral (ARV), konseling dan assessment terkait kesehatan reproduksi, Program Pencegahan Penularan HIV Ibu ke Anak (PPIA) dan Keluarga Berencana, registrasi dan sistem data manajemen; 3. Melakukan standarisasi kualitas layanan HIV dan AIDS sebagai jaminan mutu dalam konteks kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), Standard Operational Procedure (SOP), supervisi, dan dukungan teknis untuk mengimplementasi program pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan, dan mitigasi dampak; 4. Melakukan upaya persiapan SDM sejak dini dengan memasukan kurikulum HIV dan AIDS dalam fakultas kedokteran atau fakultas kesehatan masyarakat untuk menjamin keberlanjutan SDM yang bekualitas dan mengurangi beban pelatihan SDM; 5. Melakukan affirmative action agar lebih aktif bekerja sama dan melibatkan komunitas terdampak HIV (LSM, komunitas populasi kunci) dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi program; 6. Memperjelas kepemilikan data dari Sistem Informasi HIV AIDS (SIHA) dan Integrated Behavioural and Biological Survey (IBBS) dan melakukan analisa yang lebih spesifik
6
untuk setiap komponen Promosi Pencegahan dan PDP untuk kepentingan pengembangan program di daerah, termasuk menyediakan data dan target capaian untuk program terkait mitigasi dampak; 7. Memperhatikan dan mulai melakukan inventaris dampak desentralisasi terhadap respon HIV dan AIDS seperti tidak meratanya jumlah staf dan kualitas layanan akibat kurangnya komitmen kotamadya, serta melakukan upaya perbaikan dan solusi; 8. Memanfaatkan peran CSR perusaan swasta untuk terlibat secara aktif dalam isu HIV secara berkelanjutan dan memfasilitasi kerjasama dengan LSM sebagai solusi keterbatasan dana yang dikelola oleh LSM untuk respon HIV.
7
I.
PENDAHULUAN
A.
Situasi dan upaya penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta
Permasalahan HIV dan AIDS di DKI Jakarta cukup serius. Secara konsisten provinsi ini selalu menduduki urutan lima kasus HIV dan AIDS tertinggi di Indonesia dalam lima tahun terakhir (Kemkes, 2014). Sampai dengan September
2014 kasus HIV yang terlaporkan secara
kumulatif berjumlah 32.782 orang. Jumlah ini kebanyakan dikontribusikan dari populasi beresiko tinggi seperti Wanita Pekerja Seks (WPS), Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), Pengguna Napza Suntik (Penasun), Lelaki Beresiko Tinggi (LBT), dan waria.
Total estimasi populasi
beresiko tinggi terkena HIV di Jakarta adalah 854.340 orang (KPAP, 2013). Dengan situasi ini, DKI Jakarta termasuk dalam kategori epidemi HIV terkonsentrasi. Bila tidak dikendalikan dengan baik kemungkinan besar proporsi ODHA di DKI Jakarta akan meningkat di tahun mendatang. Untuk merespon situasi ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan serangkaian upaya penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Dengan mengacu pada Strategi dan Rencana Aksi Penanggulangan HIV dan AIDS 2013-2017 (SRAP), Pemprov DKI Jakarta bertujuan untuk mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV pada individu, keluarga dan masyarakat. Empat program utama yang dilakukan di Pemprov DKI Jakarta adalah pencegahan, perawatan, PDP), mitigasi dampak dan pengembangan kebijakan untuk lingkungan yang kondusif. Melalui program yang dilakukan DKI Jakarta memiliki target SRAP yang cukup ambisius yaitu (1) Menurunkan infeksi baru pada laki dan perempuan muda sebanyak 50 persen; (2) Menurunkan infeksi baru pada bayi dan anak sebanyak 90 persen dan menurunkan angka kematian terkait HIV sebesar 50%. Seluruh kegiatan terkait HIV dan AIDS di DKI Jakartadikoordinir olehKPAP sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 4 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Strategi dan arahan program yang terangkum dalam SRAP diharapkan dapat memperluas cakupan dan pencapaian program HIV dan AIDS sehingga berhasil mecapai target yang telah ditentukan. Namun, perluasan program terkait HIV yang dilakukan juga dapat menimbulkan konsekuensi lebih lanjut. Jumlah orang yang mengetahu status HIV akibat banyaknya jumlah tes HIV yang dilakukan berdampak pada meningkatnya jumlah ODHA yang membutuhkan perawatan
8
kesehatan. Hal ini tentunya membutuhkan sumber daya baik dalam material dan fisik yang banyak. Untuk menghindari overburden maka upaya pencegahan penularan HIV pada populasi kunci dan populasi umum harus dilakukan dengan lebih efektif. Selain itu, mempersiapkan perawatan dan dukungan bagi ODHA dalam jangka panjang akibat dari efektifitas pengobatan dalam menekan angka kematian ODHA juga harus dilakukan. Agar Pemprov DKI Jakarta dapat merespon tantangan ini dengan baik, diperlukan integrasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan serta pengembangan model penyediaan layanan kesehatan yang melibatkan sektor dan program lain (continuum of care) yang dilihat dari aspek promosi pecegahan, PDP dan mitigasi dampak. Tentunya tantangan ke depan terkait penanggulangan HIV dan AIDS yang akan dihadapi DKI Jakarta memerlukan ketersediaan sumber daya baik dari sisi SDM, anggaran, pengobatan, dan perlengkapan perawatan terkait HIV. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, termasuk DKI Jakarta masih bergantung pada hibah dari inisiatif global baik bilateral maupun multilateral sebesar 40% (Nadjib, 2013). Peran inisiatif kesehatan global yang sedemikian besar dalam penanggulangan HIV dan AIDS di negara-negara berkembang ini telah memunculkan berbagai konsekuensi terhadap sistem kesehatan seperti berkembangnya sistem ganda yaitu sistem penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan pada umumnya, serta lemahnya insentif dari sistem kesehatan untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan terbatasnya integrasi layanan HIV dan AIDS dengan layanan kesehatan yang lain (Atun et al., 2010a; b; Conseil et al., 2013; Desai et al., 2010; Dongbao et al., 2008; Kawonga et al., 2012; Shakarishvili et al. 2010). Demikian pula, koordinasi berbagai upaya kesehatan dengan mengembangkan sistem perencanaan, koordinasi dan monitoring yang terpisah dari upaya kesehatan lain. Situasi ini dikhawatirkan akan memperburuk sistem kesehatan karena akan menggerus sumber daya yang tersedia untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Sehingga upaya untuk memperkuat sistem kesehatan untuk memaksimalkan integrasi penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan dibutuhkan (Atun et al., 2010; Coker et al., 2010; Kawonga, 2012). Integrasi secara umum dikaitkan dengan upaya untuk mengadopsi dan melakukan asimilasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam fungsi-fungsi pokok sistem kesehatan. Pada tingkat penyediaan layanan, integrasi ini misalnya bisa dilakukan dengan menggabungkan layanan khusus AIDS ke dalam layanan kesehatan umum, melibatkan berbagai program
9
kesehatan dan sektor lain di dalam penanggulangan AIDS, menyatukan sistem pembiayaan penanggulangan AIDS dalam pembiayaan kesehatan umum dan lain-lain. Sebuah kajian tentang integrasi program AIDS dan TB di Indonesia, menunjukkan bahwa kedua program tersebut cenderung belum terintegrasi dengan fungsi sistem kesehatan secara umum (e.g. dari segi tata kelola, sistem Monitoring dan evaluasi (M&E), perencanaan, pembiayaan, dan penyediaan layanan) (Desai et al., 2010; Coker et al., 2010). Lebih lanjut, penelitian PKMK (2013) menunjukkan bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan kebijakan yang bersifat vertikal yang diinisiasi dan dikembangkan oleh pemerintah pusat dengan dukungan penuh dari lembaga kesehatan global, tetapi lemah dalam integrasinya dengan sistem kesehatan yang ada karena dibangun berdasarkan sistem yang berbeda dengan sistem kesehatan nasional. Kedua, dalam era desentralisasi seperti saat ini, pemerintah daerah dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS belum memiliki peran yang signifikan dalam pengembangan kebijakan dan program baik pencegahan, PDP, dan mitigasi dampak. Ditemukan bahwa; (a) dominasi peran pemerintah pusat dan lembaga mitra pembangunan internasional (MPI) cenderung menempatkan pemerintah daerah sebagai pelaksana program sehingga komitmen dan dukungan dana daerah terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS cenderung minimal; (b) pendanaan lokal (APBD) untuk program HIV dan AIDS cenderung sangat terbatas dan biasanya digunakan untuk kepentingan pembiayaan kesekretariatan KPAD; (c) masalah-masalah seputar akses layanan HIV dan AIDS oleh populasi kunci (e.g. keterbatasan jam layanan, jumlah dan kualifikasi petugas kesehatan khusus AIDS, sistem pembayaran, stigma & diskriminasi) masih terjadi baik di Puskesmas, RS dan klinik tes HIV lainnya; dan (d) adanya overlapping fungsi antara KPAD dan Dinkes dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah. Sebagai sebuah permasalahan kesehatan, upaya penanggulangan HIV dan AIDS tidak bisa dilepaskan dari sistem kesehatan yang berlaku di sebuah negara. WHO (2007) mendefinisikan sistem kesehatan adalah keseluruhan organisasi, kelembagaan dan sumberdaya yang bertujuan utama untuk mewujudkan tercapainya derajat kesehatan masyarakat. Sistem kesehatan ini mencakup berbagai upaya kesehatan yang dilakukan oleh sektor pemerintah dan non pemerintah (organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta) baik pada tingkat nasional maupun sub nasional. Sistem kesehatan yang kuat akan memungkinkan respons penanggulangan HIV dan AIDS yang berkelanjutan dan terintegrasi dengan upaya kesehatan
10
yang lain. Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa integrasi penanggulangan penyakit tertentu ke dalam sistem kesehatan memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan dan efektivitas intervensi serta mampu memperkuat sistem kesehatan yang ada (Kawonga, Blaauw, & Fonn, 2012, Shigayeva, Atun, McKee, & Coker, 2012; Shigayeva, Atun, Mckee, & Coker, 2010). Sebaliknya, pada negara dengan sistem kesehatan yang kurang kuat, integrasi dengan sistem kesehatan justru akan membahayakan karena keterbatasan sumber daya tersedia menyebabkan adanya persaingan pendanaan antar penanggulangan penyakit. Menurut Dudley & Garner (2011) integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang berimplikasi pada alokasi pendanaan untuk HIV dan AIDS yang berasal dari pemerintah yang harus bersaing dengan pendanaan bagi penyakit yang lain (Dudley & Garner, 2011). Permasalahan integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan bukan merupakan hal yang mudah dilakukan karena melibatkan banyak pemain (dan kepentingan), infrastruktur, kebijakan dan sumber daya. Integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan menuntut upaya untuk meningkatkan efektivitas dan aksesibilitas layanan HIV dan AIDS dengan memaksimalkan sumber daya dan infrastruktur yang tersedia (Dudley and Garner, 2011). Upaya untuk mengintegrasikan dua pendekatan ini sebenarnya berisiko karena hasil-hasil yang telah dicapai melalui pendekatan vertikal bisa tidak tampak atau bahkan hilang. Selain itu, kenyataan bahwa belum terbangunnya sistem kesehatan di tingkat daerah cenderung akan mendorong pengambil kebijakan untuk meneruskan pendekatan vertikal (Godwin and Dickinson, 2012). Meskipun demikian, sejauh ini belum ada kesimpulan yang jelas tentang pengaruh integrasi intervensi khusus ini ke dalam sistem kesehatan terhadap status kesehatan masyarakat umum karena masih terbatasnya studi tentang integrasi dan belum tersedianya metodologi yang dinilai memadai Kawonga et al., 2012 dan Coker at al., 2010). Oleh karena itu isu yang lebih mendasar bukan pada memilih satu pendekatan dari pada pendekatan yang lain atau integrasi kedua pendekatan tersebut karena variabilitas dari konteks kebijakan yang beragam, tetapi lebih melihat bahwa kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dan perlu diintegrasikan dalam porsi yang sesuai dengan kompleksitas penyediaan layanan kesehatan yang terintegrasi dan berkelanjutan berdasarkan perencanaan, koordinasi dan manajemen yang efektif (Dudley and Garner, 2011; Atun et al., 2010). Melakukan integrasi dengan
11
komposisi yang tepat dan praktis merupakan tantangan terbesar dan memerlukan pertimbangan yang sangat hati-hati. Dengan demikian, permasalahan kebijakan yang perlu memperoleh perhatian dalam melihat keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia adalah: (1) bagaimana mengembangkan respon kesehatan masyarakat agar bisa mengakomodasi meningkatnya kompleksitas penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka panjang; dan (2) bagaimana mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang sudah ada untuk memastikan respon jangka panjang, meskipun sistem kesehatan yang berlaku saat ini belum optimal karena adanya berbagai hambatan baik politik, ekonomi dan sosial budaya. Pemahaman tentang dua isu kebijakan ini akan sangat membantu dalam merancang sebuah program penanggulangan HIV dan AIDS yang berkelanjutan dan efektif melalui berbagai upaya penyesuaian dari tingkat strategi dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV dan AIDS, penentuan prioritas dan mobilisasi sumber daya hingga tingkat operasional dan layanan (Atun dan Bataringaya, 2011). Untuk bisa menjawab dua isu kebijakan di atas, Pusat Penelitian HIV dan AIDS (PPH) Unika Atma Jaya Jakarta bekerja sama dengan PKMK FK UGM melakukan penelitian tentang bagaimana “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan di wilayah DKI Jakarta”. Penelitian ini dimaksudkan untuk memetakan berbagai kekuatan dan kelemahan sistem kesehatan di DKI Jakarta dalam mendukung atau merespon permasalahan HIV dan AIDS sehingga diharapkan bisa mengidentifikasi berbagai potensi dan peluang untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini ke dalam sistem kesehatan yang ada.
B.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, pertanyaan penelitian utama dalam studi ini adalah “Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di DKI Jakarta?” Sedangkan pertanyaan khusus meliputi: 1. Bagaimana konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku di DKI Jakarta?
12
2. Seberapa jauh konsistensi antara regulasi dan kebijakan HIV dan AIDS di tingkat kotamadya dan provinsi di DKI Jakarta? 3. Seberapa jauh sinergi fungsi dan peran KPA, Dinkes, lintas sektoral, dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta? 4. Seberapa besar proporsi, kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada (e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta? 5. Seberapa jauh hubungan kerja, ketenagaan dan pengembangan kapasitas antara Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non pemerintah dengan SDM kesehatan di DKI Jakarta? 6. Seberapa jauh integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis dan pemanfatan ‘I untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program di DKI Jakarta? 7. Bagaimana pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan, diagnostik dan terapi dalam kontek kebijakan jaminan kesehatan nasional di DKI Jakarta? 8. Seberapa jauh partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta? 9. Bagaimana keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan AIDS dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya manusia di DKI Jakarta?
C.
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Menganalisis tingkat integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan di DKI Jakarta sehingga dapat dikembangkan rekomendasi perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah 2.
Tujuan Khusus 1. Menganalisis konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku; 2. Mengukur konsistensi antara regulasi dan kebijakan HIV dan AIDS di DKI Jakarta, baik di tingkat kotamadya maupun provinsi;
13
3. Mengidentifikasi dan mengukur sinergi fungsi dan peran KPA, Dinkes, lintas sektoral, dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta; 4. Mengukur proporsi, kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada (e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta; 5. Mengidentifikasi hubungan kerja, ketenagaan dan pengembangan kapasitas antara Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non pemerintah dengan SDM kesehatan di DKI Jakarta; 6. Mengukur integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis di DKI Jakarta dan pemanfatan evidence/bukti untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program; 7. Mengukur pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan, diagnostik dan terapi di DKI Jakarta dalam kontek kebijakan jaminan kesehatan nasional; 8. Mengukur partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta; dan 9. Mengukur keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya manusia.
14
II.
METODE
A.
Kerangka Konseptual
Penelitian ini menggunakan model konseptual dan kerangka analitik yang dikembangkan oleh Atun et al (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur integrasi respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak yang dikembangkan untuk merespon permasalahan kesehatan tertentu ke dalam sistem kesehatan. Integrasi dalam model konseptual ini didefinisikan sebagai tingkat adopsi dan asimilasi intervensi kesehatan khusus ke dalam berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan (Atun et al, 2010). Integrasi dalam sistem kesehatan melihat seberapa jauh berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan didayagunakan secara bersama-sama mendukung inovasi dalam penyelesaian permasalahan kesehatan tertentu dengan cara membangun komitmen antar aktor dalam sektor kesehatan dan memanfaatkan teknologi dan sumber daya yang tersedia (WHO, 2007). Dalam konteks di Indonesia, berbagai fungsi pokok sistem kesehatan tersebut mencakup manajemen dan regulasi kesehatan; pembiayaan; SDM; informasi strategis; penyediaan layanan, dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana ditentukan dalam sistem kesehatan nasional di Indonesia (Perpres 72 tahun 2012). Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan akan dipengaruhi oleh (1) karakteristik permasalahan, kebijakan, dan program HIV dan AIDS (pencegahan, PDP dan dampak mitigasi), (2) interaksi berbagai aktor-aktor yang berkepentingan di dalam sistem kesehatan dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, (3) karakteristik sistem kesehatan dan interakasi antar fungsi-fungsi pokok dalam sistem kesehatan, dan (4) konteks politik, sosial, dan budaya dimana penanggulangan HIV dan AIDS ini dilaksanakan termasuk desentralisasi (Atun et al, 2010, Coker et al, 2010). Beranjak dari pemahaman ini, maka model konseptual untuk penelitian ini dikembangkan dengan mengasumsikan bahwa keempat komponen saling berinteraksi secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat integrasi dan menentukan kinerja sistem kesehatan yang meliputi cakupan, aksesiblitas, pemerataan, kualitas dan keberlanjutan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Model konseptual bisa dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
15
Gambar 1. Kerangka Konseptual
B.
Desain dan prosedur penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ditetapkan. Dalam desain awal, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam. Namun pada pelaksanaannya, data yang diperoleh dari diskusi kelompok terarah tidak digunakan dalam analisa hasil mengingat sumber data hanya berasal dari dua informan dan tidak cukup kaya untuk melihat ‘kesepakatan’ terhadap isu yang ditanyakan. Data primer yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam digunakan sebagai data utama dalam melakukan analisa. Untuk memperkaya hasil, data sekunder terkait respon HIV turut dikumpulkan. Secara keseluruhan, durasi waktu penelitian berlangsung sejak Januari – September 2014, yang meliputi beberapa tahapan sebagai berikut: mempertajam perangkat penelitian, persiapan lapangan, pengambilan data primer, pengumpulan data sekunder analisa dan penulisan laporan.
C.
Lokasi penelitian dan Informan
DKI Jakarta menjadi fokus lokasi pengambilan data dalam penelitian ini. Terdapat beberapa kriteria informan yang digunakan dalam penelitian ini seperti: anggota KPAP, SKPD dengan
16
tugas pokok dan fungsi yang bersinggungan dengan respon HIV, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang terdaftar sebagai mitra kerja KPAP dan mempunya keterlibatan dalam respon AIDS, dan perwakilan populasi kunci. Secara total, terdapat 18 informan yang melakukan wawancara untuk penelitian ini (10 perempuan, 7 lelaki dan 1 waria) yang dikategorikan dalam informan dari MPI, SKPD, OMS, Populasi Kunci, dan penyedia layanan terkait HIV seperti terlihat dalam tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Informan Penelitian.
Kategori MPI LSM OMS Jaringan Ponci SKPD Layanan TOTAL
Gender L P 1 3 3 1 1 2 1 1 7
4 10
Total W 1 -
4 3 3 2
1
5 1 18
Sumber: hasil pengolahan data
D.
Analisa data
Kerangka analisis yang digunakan adalah kerangka logik pendekatan induksi (Creswel, 2003) dan prinsip grounded teori (Glaser & Strauss, 1967; Strauss & Corbin, 1998) yang menitikberatkan pada pengembangan tema dan kategori-kategori yang muncul dalam penelitian. Hasil-hasil verbatim dari wawancara mendalam diklasifikasikan, dikoding, dan dianalisis sesuai dengan tema-tema yang muncul di sesuai dengan tujuh dimensi sub-sistem kesehatan seperti; Manajemen, Informasi & Regulasi Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan, Sumber Daya Manusia (SDM), Informasi Strategis, dan Pemberdayaan Masyarakat. Setiap data yang didapat diklasifikasikan sesuai kata kunci yang dipersiapkan sebelumnya dalam setiap dimensi sub-sistem. Dalam mengukur integrasi beberapa pertanyaan reflektif disiapkan untuk membantu peneliti dalam memberikan penilaian terhadap situasi penanggulangan HIV dan AIDS yang terjadi di DKI Jakarta. Penentuan tingkat integrasi mengacu pada prinsip-prinsip yang digunakan pada penelitian sebelumnya (Conseil et al., 2010; Desai et al., 2010).
17
E.
Keterbatasan Penelitian
Terdapat beberapa keterbatasan dalam studi ini yang perlu dicermati dalam membaca hasil penelitian. Pertama, metode diskusi kelompok terarah tidak dilakukan dalam studi ini sebagai salah satu metode pengambilan data yang awalnya direncanakan. Hal ini menyebabkan hasil studi tidak dapat melihat kesepakatan antar pemangku kepentingan di DKI Jakarta mengenai sistem kesehatan yang berlaku dalam intervensi HIV. Kedua, beberapa informan yang turut diambil datanya juga bekerja dalam lingkup nasional. Hal ini menyebabkan beberapa informasi yang diberikan tidak bisa secara spesifik mengacu pada kondisi intervensi di DKI Jakarta. Hal ini terjadi mengingat karakteristik DKI Jakarta yang selain sebagai sebuah provinsi mandiri namun juga adalah ibukota negara di mana para penggiat HIV berkumpul dan bekerja dalam lingkup nasional berdomisili di DKI Jakarta dan mengetahui situasi penanggulangan HIV dan AIDS di provinsi ini. Ketiga, informasi dari kategori pemberi layanan berjumlah minim sehingga gambaran lengkap dan konfirmasi mengenai situasi dalam pemberian layanan HIV tidak dapat terkonfirmasi dari berbagai pihak. Keterbatasan yang ada sebisa mungkin dilengkapi melalui data sekunder yang bersumber dari dokumen pencapaian program terkait HIV di DKI Jakarta sehingga dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai situasi penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta.
18
III. A.
HASIL PENELITIAN Konteks kebijakan dan penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta
Provinsi DKI Jakarta merupakan ibukota Indonesia yang terdiri dari enam struktur wilayah administrasi yang terdiri dari lima kota administrasi (Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat) dan satu kabupaten yaitu Kepulauan Seribu. Secara paralel DKI Jakarta memiliki 44 kecataman dan 267 kelurahan (BPS, 2014). Jumlah penduduk pada 2014 10.075.300 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.06. Jakarta merupakan daerah padat penduduk dengan jumlah kepadatan 15.212 jiwa per km². Jumlah penduduk miskin sebesar 393,900 atau sebesar 3.92% dari total populasi di DKI Jakarta. Jumlah pendapatan DKI Jakarta pada 2013 terhitung besar, dengan kemampuan untuk mengelola pendapatan daerah sebesar 39.5 trilyun. Dari jumlah tersebut 10% dialokasikan untuk kesehatan, termasuk HIV dan AIDS. Tingkat pendidikan di DKI Jakarta terhitung tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Rata-rata penduduk DKI Jakarta bersekolah selama 11 tahun dengan angka melek huruf sebesar 99.22% (BPS, 2014). Berdasarkan UU Nomor 29 tahun 2007, DKI Jakarta berstatus istimewa yang menyebabkan seluruh kebijakan mengenai pemerintahan maupun anggaran ditentukan pada tingkat provinsi1. Hal ini berdampak pada pengelolaan layanan kesehatan di DKI Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi (Dinkes) memiliki kewenangan dan kewajiban dalam mengeluarkan kebijakan dan mengatur penyediaan semua pelayanan dan bahan medis. Di tingkat kotamadya, Dinkes bekerja melalui Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) dan Unit Pelayanan Teknis (UPT) dalam menjalankan layanan kesehatan. Khusus untuk respon HIV dan AIDS, KPAP memiliki tugas utama sebagai lembaga koordinasi yang menjadi poros komunikasi dan perencanaan program terkait HIV dan AIDS dengan SKPD lain di DKI Jakarta. Serupa dengan Dinkes, KPAP juga memiliki “kepanjangan tangan” di tingkat kotamadya, yaitu Komisi Penanggulangan AIDS Kota (KPAK). Sudinkes dan KPAK bekerja sama dalam melakukan implementasi program HIV dan AIDS di tingkat kotamadya. Dalam konteks jaminan kesehatan, Provinsi DKI Jakarta memiliki jaminan kesehatan untuk warganya melalui payung hukum Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.123 tahun 2014 tentang peserta dan pelayanan jaminan kesehatan menyebutkan di pasal 18 bahwa pelayanan tingkat 1
Lihat Pasal 9 UU no.29/2007 ttg Daerah Khusus Ibukota
19
pertama termasuk pelayanan HIV dan AIDS dan pelayanan harm reduction (HR). Renstra Dinkes 2013-2017 no.1324 tahun 2013 menyatakan bahwa prioritas urusan wajib yang dilaksanakan Dinkes terkait program pencapaian penanggulangan penyakit menular secara gamblang termasuk pengobatan, dukungan dan perawatan bagi orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA) serta monitoring jumlah kasus AIDS. Renstra juga menyebutkan bahwa salah satu sasaran jangka menengah pemda DKI Jakarta adalah menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular dengan terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa menjadi di bawah 0.5%. Sebagai indikator dari RPJMD adalah persentase layanan kesehatan pada ODHA baik akses layanan kesehatan ODHA dan proporsi jumlah penduduk usia 15 sampai 24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, mengikuti Inpres No.3 tahun 2010 mengenai pembangunan yang berkeadilan yang pada saat itu ditetapkan untuk menguatkan pencapaian Milennium Development Goals (MDGs) khususnya target nomor 6 tentang HIV dan AIDS.
B.
Situasi epidemi dan perilaku berisiko terkait HIV dan AIDS di DKI Jakarta
Prevalensi HIV di DKI Jakarta termasuk tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain, kecuali Papua. Kemkes (2012) menyatakan prevalensi HIV adalah 1.03 persen sekitar 0.4 persen lebih tinggi bila dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Tingkat prevalensi ini masih memiliki kecenderungan untuk meningkat dalam beberapa tahun kedepan (Asia Epdemic Model - AEM 2012). Situasi epidemi HIV di DKI Jakarta digolongkan dalam kategori epidemik terkonsentasi. Status ini didapat dari kasus penularan HIV yang tinggi pada sub-populasi tertentu yang memiliki perilaku beresiko tertular HIV lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum lainnya. Tabel 2 menunjukan tingkat prevalensi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) di DKI Jakarta per populasi kunci yang diolah dari Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011. Penasun memiliki tingkat prevalensi tertinggi di DKI Jakarta (56%) dengan Waria (31%) dan LSL (17%) di urutan kedua dan ketiga. Namun dalam konteks penularan IMS situasi ini berbeda dimana kelompok WPSL memiliki tingkat prevalensi tinggi terutama dalam gonorhoe (GO) dan atau chlamidia (51%) dan WPSTL (45%). Untuk tingkat prevalensi sifilis, Waria (31%) dan LSL (17%) tetap tinggi dibandingkan dengan kelompok populasi kunci lainnya. Dari
20
ketujuh sub-populasi kunci yang ada, penasun memiliki pengetahun komprehensif yang paling tinggi (30.8%) disusul dengan waria (29.2%), dengan kelompok lelaki beresiko tinggi (LBT) dengan pengetahuan komprehensif terendah (3.3%). Dengan situasi ini tidak heran bila prevalensi HIV pada ibu hamil jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pekerja seks tidak langsung (5.2% dan 5%). Sayangnya data mengenai tingkat pengetahuan komprehensif pada ibu hamil tidak tersedia. Tabel 2. Data Prevalensi HIV dan IMS DKI Jakarta
Populasi Kunci
Prevalensi HIV (%)
Prevalensi Sifilis (%)
WPSL WPSTL LBT Waria LSL Penasun Ibu Hamil
11.0 5.0 0.3 31 17.0 56.0 5.2
5.0 2.0 5.0 31 17 4.0 0.4*
Prevalensi Prevalensi GO GO (%) dan/atau Chlamidia (%) n/a 51 36 45 18 n/a 38 25 28 18 n/a n/a n/a
% Pengetahuan komprehensif 8 15.6 3.3 29.2 22.8 30.8 n/a
Sumber: STBP 2011 *data tahun 2008
Prevalensi HIV di DKI Jakarta memberikan dampak kesehatan yang cukup serius. Dari kasus HIV yang terlaporkan, sebanyak 22.8% masuk ke dalam tahap AIDS dengan case rate kematian akibat AIDS mencapai 59.7% (Kemkes, 2014). Hal ini terjadi karena diduga akibat dari tingkat pengobatan ARV yang masih cukup rendah. Hanya 81% dari ODHA yang sudah memenuhi syarat untuk memulai terapi ARV yang pernah menjalankan ARV. Itupun, hanya 58% yang masih aktif menggunakan ARV sampai dengan periode data ini dikeluarkan. Angka loss to follow up ARV di DKI Jakarta cukup tinggi dan mempengaruhi tingkat kesehatan ODHA.
C.
Respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta
DKI Jakarta memiliki respon penanggulangan HIV yang cukup baik. Beberapa arahan program yang tertuang dalam rencana strategi nasional baik di KPAN dan Kemkes diadaptasi oleh provinsi. Hal ini turut berkontribusi dalam mendorong ketersediaan layanan terkait HIV di DKI Jakarta. Sampai dengan tahun 2012, KPAP DKI Jakarta mendokumentasikan berbagai layanan HIV yang tersedia di setiap kotamadya (lihat table 3). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa penyebaran layanan terkait HIV telah merata di setiap kotamadya. Selain itu, terlihat
21
bahwa lingkup respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta meliputi tiga komponen besar, yaitu: pecegahan, perawatan, dan pengobatan. Layanan yang tersedia dilakukan oleh puskesmas dan rumah sakit. Tabel 3. Layanan terkait HIV per kotamadya di DKI Jakarta
Layanan
Jak-Pus
Jak-Ut Jak-Bar
Jak-Sel 8
JakTim 10
Jumlah (2012) 55
Layanan konseling dan tes HIV sukarela (VCT/HTC) Layanan infeksi menular seksual (IMS) Layanan program terapi rumatan metadon (PTRM) Layanan program pertukaran jarum suntik steril (LASS) Layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT) Layanan TB-HIV Layanan PDP dan rumah sakit rujukan HIV dan AIDS* satelit ARV di Puskesmas Kecamatan
13
7
9
8
6
8
7
10
39
5
2
3
2
6
18
8
6
8
8
8
38
7
2
9
3
6
27
11
43 24
9
5
7
4
19
Sumber: Renstra KPAP DKI Jakarta (2013) *) sumber Laporan Kasus HIV (Kemkes 2014)
Respon pencegahan terkait HIV di DKI Jakarta berfokus pada dua area, pencegahan HIV bagi kelompok pengguna suntik melalui program pengurangan dampak buruk (LASS dan PTRM), dan pencegahan melalui transmisi seksual. Program pengurangan dampak buruk awalnya mengacu pada Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat No.2/2007 yang menyebutkan 12 komponen utama yang harus dilakukan bagi pencegahan HIV pada kelompok penasun. Namun selanjutnya, pada tahun 2009, WHO, UNODC, dan UNAIDS mengeluarkan pedoman baru yang mengabungkan 12 komponen tersebut menjadi 9 komponen yaitu: (1) program layanan alat suntik steril; (2) terapi substitusi opiat dan layanan pemulihan adiksi lainnya; (3) konseling dan testing HIV; (4) terapi antiretroviral; (5) pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual (IMS); (6) program kondom untuk penasun dan pasangan seksualnya; (7) komunikasi informasi dan edukasi tersasar untuk penasun dan pasangan seksualnya; (8) vaksinasi, diagnosis dan pengobatan hepatitis; (9) pencegahan, diagnosis dan pengobatan tuberkulosis.
22
Di DKI Jakarta, kesembilan komponen tersebut dilakukan bersama-sama antara LSM dan Puskesmas. Peran penjangkauan lebih banyak dilakukan oleh LSM mengingat puskesmas yang bersifat statis atau memberikan layanan lebih banyak di lokasi yang menetap. Sampai dengan tahun 2012 tercatat 38 puskesmas yang memberikan layanan LASS dan 18 layanan PTRM yang tersedia di DKI Jakarta. Bahkan dengan berlakukanya program proteksi sosial Jakarta Sehat, maka penduduk Jakarta yang memiliki kartu Jakarta sehat dapat mengakses layanan pencegahan seperti Metadon tanpa biaya. Sebelumnya, pasien metadon dibebankan biaya sebesar Rp 5000 hingga Rp 15.000 sesuai dengan ketentuan unit pemberi layanannya (Puskesmas atau Rumah Sakit). Pada tahun 2014 program pemulihan adiksi berbasis masyarakat (PABM) secara resmi dilakukan di DKI Jakarta dengan diterbitkannya Pergub No. 182 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM). Program PABM adalah penatalaksanan yang bersifat medis, sosial, dan psikologis atas masalah yang ditimbulkan akibat penggunaan NAPZA yang diselenggarakan atas inisiatif masyarakat. PABM bertujuan meningkatkan akses layanan kesehatan dan sosial bagi penyalah guna napza, memutus mata rantai penularan HIV yang berasal dari pengguna napza suntik, meningkatkan kualitas hiudp pengguna NAPZA dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV ADIS serta penyalahgunaan NAPZA. Program ini dilengkapi dengan Pergub No.614 tahun 2014 tentang tim pembina program pemulihan adiksi berbasis masyarakat tingkat provinsi, untuk memastikan berjalannya program. Sedangkan program pencegahan melalui transmisi seksual di DKI Jakarta mulai berkembang sejak adanya hasil Kajian Paruh Waktu KPAN mengidentifikasi peningkatan penularan infeksi melalui transmisi seksual terutama pada kelompok LSL serta Pekerja Seks2. Dengan menggunakan intervensi struktural sebagai fondasi program PMTS yaitu Pencegahan Melalui Transmisi Seksual sebagai pendekatan yang komprehensif dengan 4 komponen3: (1) Peningkatan peran positif pemangku kepentingan lokal untuk lingkungan yang kondusif, (2) Komunikasi perubahan perilaku yang berazaskan pemberdayaan, (3) Jaminan ketersediaan dan akses kondom dan pelicin dan (4) Manajemen IMS yang komprehensif. Sumber-sumber pembiayaan program HIV and AIDS termasuk PMTS masih didominasi donor internasional dengan share-cost logistik untuk obat-obatan IMS menggunakan APBN/ABPD dengan
2 3
Laporan 5 tahun kpan Pedoman Penerpan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan, Kemkes, 2012
23
proporsi 40% oleh pusat dan 60% daerah. Pada tahun 2012 tercatat 39 tempat layanan di DKI Jakarta yang memberikan perawatan dan pengobatan IMS. Data Jakarta information system milik KPAP DKI Jakarta mencatat terdapat 996 outlet kondom yang tersebar di DKI Jakarta. Pada tahun 2012, Kemkes RI bersama KPA Nasional meluncurkan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) sebagai upaya yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sebagai layanan terpadu dan berkesinambungan untuk memberikan dukungan baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial bagi ODHA dan masyarakat yang membutuhkan dengan melibatkan seluruh sektor terkait, masyarakat termasuk swasta, kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA, keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta organisasi/kelompok yang ada di masyarakat. LKB/SUFA bertujuan menurunkan jumlah kasus baru HIV, menurunkan angka kematian, dan menurunkan stigma dan diskriminasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA (three zeroes). Secara implementatif pembagian antara LSM dan pemerintah adalah dimana LSM mendorong masyarakat untuk bisa mengakses layanan sedangkan untuk penyediaan layanan adalah tugas dinkes. Program perawatan dan pengobatan terkait HIV mulai dilakukan secara intensif sejak 2013, Kemkes meluncurkan inisiatif Strategic Use of ARV (SUFA) yang bertujuan meningkatkan cakupan tes HIV, meningkatkan cakupan ART serta meningkatkan retensi terhadap ART. Dalam implementasinya, SUFA menekankan pada TOP - Temukan, Obati, dan Pertahankan, sebagai pendekatan dan slogan yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman status HIV serta pemberian pengobatan ARV sedini mungkin bagi semua populasi yang berisiko terinfeksi. SRAP DKI Jakarta menyebutkan pengembangan jaminan kualitas layanan perawatan dan pengobatan terkiat HIV melalui peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan yang berkualitas, menjamin ketersediaan dukungan logistik obat, dan peningkatan peran layanan berbasis masyarakat sebagai pelengkap dari layanan yang disediakan oleh pemerintah. Target SRAP 2013-2017 untuk perawatan dan pengobatan adalah 100% ODHA yang membutuhkan pelayanan dan pengobatan ARV dapat terlayani. Sampai dengan 2012 terdapat 24 layanana PDP, 12 satelit ARV, 27 layanan PMTCT dan 55 layanan tes HIV yang tersedia di seluruh kotamadya di DKI Jakarta.
24
Pengobatan untuk warga DKI Jakarta dibantu oleh jaminan kesehatan dari pemerintah daerah namun untuk pembayaran sangat tergantung dengan layanan yang diakses dan Puskesmas yang bersangkutan, kadang kalau butuh pemeriksaan tambahan yang tidak masuk dalam asuransi sehingga tetap harus bayar, inipun juga tergantung petugas, yang sudah biasa dengan populasi kunci bisa membantu untuk gratis. Disamping itu, lembaga (LSM) pun bantu membayar kekurangan biaya pengobatan. Dengan sistem BPJS yang sifatnya nasional ada yang menerima bantuan iuran dan ada yang non iuran, selebihnya peserta askes, jamsostek yang otomatis ada jaminan kesehatan. Namun JKN melalui BPJS belum menanggung semua layanan HIV, contohnya untuk ARV tidak ditanggung, hasil perhitungan biaya yang diperlukan untuk pengobatan sekitar Rp. 20 jt pertahun sedangkan BPJS hanya sanggup 16 juta per tahun dan belum ada kesepakatan untuk meningkatkan tanggungan dari BPJS. Saat ini untuk ARV masih ditanggung oleh APBN. Sedangkan semua fasilitas yang ada di lapas gratis, bila membutuhkan rujukan bisa menggunakan BPJS dan di tanggung namun bisa juga ditawarkan ke pasien bila memilih fasyankes yang lain mereka bisa bayar sendiri. Gubernur DKI Jakarta menginginkan semua warga dapat mengetahui status HIV-nya sehingga dipersiapkan layanan agar mencukupi, sejauh ini ada 28 puskesmas yang siap serta semakin meningkat permintaan RS swasta untuk dapat membuka layanan HIV. Namun populasi kunci masih menjadi fokus perhatian utama saat ini ditambah ibu hamil dan pasangan. Untuk memfasilitasi terwujudnya target-target tersebut, di DKI Jakarta sudah hampir semua Puskesmas kecamatan sudah ada staf yang terlatih. Yang menjadi persoalan adalah menjaga kelanjutan dari program-program ini sebagaimana disebutkan salah satu informan bahwa salah satu hambatan implementasi program adalah masih banyak populasi kunci atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses yang terjangkau. Contoh pada PPIA, banyak ibu dengan anak yang sulit memeriksakan viral load karena kendala biaya, padahal dia juga harus menyusui anaknya. Selain itu banyak masalah di masyarakat karena masih sangat minimnya informasi yang tepat mengenai HIV dan AIDS. Peraturan Menkes no.21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS menyebutkan bahwa mitigas dampak merupakan upaya untuk mengurangi dampak kesehatan dan sosial ekonomi. Ditambahkan bahwa tanggungjawab ini merupakan upaya bersama pemerintah (Pusat dan daerah), swasta dan masyarakat untuk mendukung ODHA dan keluarga menghadapi dampak-dampak akibat penularan HIV dengan memberikan jaminan kesehatan,
25
program bantuan, menghilangkan stigma dan diskriminasi serta memberdayakan ODHA dan keluarga melalui keterlibatan yang lebih bermakna di dalam penanggulangan. Sedangkan SRAN 2015-2019 (masih menunggu penetapan) menetapkan target perluasan cakupan mitigas dampak adalah agar orang terinfeksi atau terdampak HIV, termasuk anak, janda, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang membutuhkan, memiliki akses untuk mitigasi dampak termasuk kesehatan, pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi. Sebagai warga (maupun bukan) mendapat hak akses layanan kesehatan yang sama. Bagi kelompok yang rentan, pemerintah menyediakan bantuan berupa makanan tambahan, dimana pada rencana APBD 2014 dinas sosial DKI Jakarta memberi santunan kepada 200 ODHA (beras, vitamin, susu) dan 180 anak ODHA serta bimbingan dan pelatihan 20 ODHA4. Kementerian sosial pun memiliki Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Integrasi sosial ODHA adalah adaptasi ODHA dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga tidak mengalami diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat5.
D.
Analisa pemangku kepentingan penanggulangan HIV AIDS
Banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam respon penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta. Setiap aktor memiliki peran dan kepentingan yang spesifik, baik secara normatif ataupun sesuai implementasi di lapangan, dengan kepentingan dan tingkat sumber daya yang berbeda-beda. Pemangku kepentingan adalah bagian krusial dari sebuah sistem, dalam konteks ini sistem kesehatan yang berkaitan dengan respon HIV dan AIDS. Dengan melakukan analisa kepentingan dari setiap aktor, dapat membantu untuk memahami bagaimana interaksi antara setiap pemangku kepentingan dalam respon HIV dan AIDS memengaruhi suatu kebijakan atau sistem kesehatan di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil pengolahan data, terdapat beberapa pemangku kepentingan mulai dari perangkat daerah seperti Dinkes, masyarakat sipil seperti LSM, jaringan populasi kunci, MPI termasuk lembaga PBB dan lembaga donor, serta UPT seperti puskesmas dan lembaga pemasyarakatan. Dari hasil pengolahan data yang terkumpul, ditambah dengan data sekunder, maka dapat dipetakan 4
http://kpap.jakarta.go.id/media/download/LI_arah-kebijakan-penanggulangan-hiv-aids-dki-jakarta-2015_20150831175058.pdf 5 http://www.kemsos.go.id/unduh/artikel%20SAM%20INTEGRASI%20SOSIAL%20ODHA.pdf
26
peran, kepentingan serta kekuasaan para pemangku kepentingan termasuk seberapa tinggi atau rendah posisi setiap pemangku kepentingan. Berdasarkan Perda No. 4 tahun 2009 tentang sistem kesehatan daerah, upaya kesehatan masyarakat (UKM) adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, masarakat, dan swasta untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. HIV dan AIDS masuk dalam target UKM sebagai salah satu upaya untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Puskesmas dan masyarakat termasuk salah satu pelaksana UKM di strata pertama. Dalam kebijakan yang lebih spesifik, Perda No.5 tahun 2008 tentang penanggulangan HIV dan AIDS dikatakan bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masarakat dan pemerintah dengan prinsip kemitraan. Masyarakat adalah pelaku utama dalam respon HIV yang berperan untuk mendistribusikan informasi, menciptakan lingkungan kondusif, terlibat dalam peningkatan kapasitas pencegahan dan PDP. Seluruh kegiatan tekait HIV dan AIDS di DKI Jakarta harus dikordinasikan dengan KPAP/K. Peran KPAP/K sendiri diperjelas dalam Pergub No 231 tahun 2015 sebagai pengganti Pergub No. 26 tahun 2012 yang menyakatakn bahwa KPAP adalah lembaga nonstruktural yang berkedudukan di provinsi di bawah gubernur. Tugas utama KPAP adalah menyusun strategi dan rencana aksi HIV, penyusun kebijakan dan program, melaksanakan kerja sama dengan multi pihak, mengoordinasikan, memantau mengevaluasi serta memberikan arahan terkait KPAK. Pada dasarnya KPAK adalah instansi non-struktural yang bekerja khusus sesuai kewilayahan kotamadyanya dan bertugas sebagai pelaksana SRAN dan kebijakan serta berkordinasi dengan pemangku kepentingan terkait HIV di wilayahnya. Berdasarkan Permenkes no 21 tahun 2013 tugas dan tanggung jawab Dinkes dalam penanggulangan HIV AIDS meliputi melakukan kordinasi penyelenggaranan upaya pengendalian dan penanggulangan, menetapkan situasi epidemik HIV, menyelenggarakan sistem pencatatan, pelaporan, evalasi dan menjamin ketersediaan layanan di tingkat primer. Selain itu KPAK bertugas untuk mengkordinasikan kerjasama dari seluruh kegiatan yang dilakukan oleh LSM, jaringan populasi kunci dan MPI. Sumber dana HIV dan AIDS dapat diberikan oleh MPI sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dinkes juga bertanggung jawab untuk melakukan kompilasi dan analisis dari laporan kasus untuk pengambilan kebijakan.
27
Bila dilihat lebih spesifik berdasarkan aturan normatif dan hasil pengolahan data di lapangan, maka peran dari setiap pemanggu kepentingan dapat digambarkan sebagai berikut: Dinkes memiliki kekuasaan dan kepentingan yang sangat tinggi di DKI Jakarta karena instansi ini adalah regulator jaminan pemeliharaan kesehatan, penyelenggara perencanaan dan penyediaan kebutuhan obat dan perbekalan, bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan tenaga kesehatan, tempat pelayanan kesehatan, mengelola dan pemanfaatan biaya pelayanan kesehatan, dan penyelegaraan pelayanan kesehatan setiap UPT. Sebagai intansi struktural, Dinkes dapat mengakses dana APBD sesuai dengan kebutuhannya, berdasarkan rencana strategis dan analisa hasil pelaporan yang dilakukan. Dalam melakukan tugasnya, Dinkes dibantu oleh Sudinkes yang bertugas sebagai pelaksana regulasi dari Dinkes dan berfungsi sebagai pengawas masalah kesehatan di daerahnya. Kepentingan Sudinkes dalam respon HIV AIDS dapat dikategorikan tinggi namun memiliki kekuasaan yang rendah karena hanya sebagai pelaksana. Dalam melakukan tugasnya, Sudinkes memiliki Puskesmas sebagai pelaksana teknis layanan kesehatan. Kegiatan supervisi dan bimbingan teknis menjadi salah satu tugas Sudinkes. Puskesmas bertugas untuk memberikan pelayanan kesehatan, melakukan perencanaan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan UKM di wilayahnya, bekerjasama dengan lintas sector dan masyarakat, memberikan dukungan sistem informasi, memberikan dukungan perencanaan obat. Sebagai pelaksana teknis, Puskesmas memiliki kekuasaan untuk mengatur dana BLUD untuk manggulangi permasalahan kesehatan di daerahnya. Dalam konteks ini, Puskesmas dapat dikagorikan memiliki kekuasan dan kepentingan tinggi. Sebagai lembaga non-struktural, KPAP memiliki kekuasaan dan kepentingan yang tinggi dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta. Lembaga ini dapat mengakses dana hibah APBD untuk melaksanakan mandatnya, seluruh instansi yang melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS harus melakukan kordinasi sebelumnya dengan KPAP. Selain itu, KPAP memiliki kewenangan untuk menentukan arah dan strategi penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta melalui SRAP yang menjadi salah satu tanggungjawab utamanya. Karena KPAP bertindak dalam lingkup provinsi, dalam melakukan tugas di tingkat kotamadya instansi ini dibantu oleh KPAK yang bertindak sebagai pelaksana dari SRAP yang telah dibuat dan membantu melakukan kordinasi dengan pemangku kepentingan lain di daerahnya. KPAK mendapatkan dukungan pendanaan dari KPAP dalam menjalankan tugasnya. Sesuai dengan
28
peran dan fungsinya KPAK dapat dikategorikan memiliki kepentingan yang tinggi namun kekuasaan yang rendah dalam respon HIV di DKI Jakarta. LSM sebagai bagian dari unsur masyarakat adalah pelaku utama dalam respon HIV dan AIDS. Mandat organisasi yang tercantum dalam visi dan misi lembaga yang bekerja di bidang HIV dan AIDS membuat LSM memiliki kepentingan yang tinggi dalam respon ini. Namun kekuasaan yang dimiliki LSM masuk dalam kategori rendah mengingat pendanaan untuk kegiatan yang dilakukannya bergantung dari sumber dana MPI. Walaupun LSM dinilai sebagai mitra potensial dalam respon HIV namun keterlibatan dalam perencanan dan evaluasi program masih terbatas memberikan masukan dan saran. Keputusan akhir tetap berada di tangan instansi pemilik modal atau pemegang kekuasaan di daerah. Situasi ini serupa dengan yang dialami oleh Jaringan Populasi Kunci yang memiliki kepentingan tinggi karena isu HIV sangat dekat dengan kehidupannya namun kekuasaan jaringan populasi kunci dapat dikatakan rendah. Peran populasi kunci adalah sebagai organisasi perwakilan penerima manfaat yang diminta untuk memberikan masukan terkait program namum tetap dilihat sebagai bagian dari penerima manfaat dan bukan pelaku utama. Berbeda dengan ODHA sebagai penerima manfaat individu dari program HIV. Kekuasaan dan kepentingan mereka dapat dikategorikan rendah. Peran yang dilakukan lebih untuk mengakses layanan demi kepentingan individual dan sebatas menerima layanan yang tersedia. Sebagai individu, kekuasaan mereka untuk bertindak sangat terbatas dan bergantung pada pemberi layanan yang menyediakan akses. MPI sebagai pemilik dana dapat dikategorikan memiliki kekuasan dan kepentingan yang tinggi dalam respon penanggulangan HIV di DKI Jakarta. Keberadaan MPI sebagai salah satu mitra dalam respon HIV sudah diakui dalam kebijakan terkait HIV di Indonesia. Dukungan pendanaan dan teknis program yang diberikan MPI kepada pemerintah dan LSM memposisikan organisasi ini dapat menentukan arah dan strategi program HIV di DKI Jakarta. Berbeda dengan lembaga PBB yang memiliki kepentingan tinggi namun kekuasaan rendah. Secara mandat organisasi ini berkepentingan untuk terlibat dalam respon HIV dan AIDS namun sesuai dengan posisinya maka ranah kerja lebih berfokus pada upstream policy di tingkat pusat. Kekuasaannya untuk menentukan arah respon pada tingkat provinsi dapat dikatakan rendah. Sedangkan CSR perusahaan swasta memiliki posisi sebaliknya. Sebagai pemilik modal mereka memiliki kekuasaan yang tinggi namun kepentingan yang rendah. Isu
29
HIV bukanlah mandat utama yang dikerjakan hanya lebih berupa bagian dari kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan. CSR dapat dengan leluasa memilih isu mana yang akan didukung, terutama yang bisa dikaitkan dengan produk perusahaan. Peta posisi kekuasaan dan kepentingan setiap pemangku kepentingan dalam respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta dapat terlihat dalam gambar 2. Gambar 2. peta analisa pemangku kepentingan
Tinggi Jaringan Ponci
Kepentingan
LSM
2
KPAK
1
Dinkes
Sudinkes Lembaga PBB
Puskesmas
CSR perusahaan
ODHA
4
Rendah
E.
KPAP MPI
3
Kekuasaan
Tinggi
Peran Perguruan Tinggi
Keterlibatan perguruan tinggi (PT) dalam respon HIV dan AIDS masih dinilai terbatas oleh informan dalam studi ini. Saat ini keterlibatan PT lebih banyak berfokus pada melakukan penelitian, baik sebagai pihak yang diminta untuk membantu kebutuhan penelitian, misalnya melakukan kajian, evaluasi program, dan/atau terlibat sebagai narasumber dalam pembuatan Renstra HIV dan AIDS, ataupun sebagai pihak yang memiliki kebutuhan untuk melakukan penelitian terkait isu HIV dan AIDS seperti skrispsi mahasiswa. Selain itu, pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan masih dianggap sebagai “menara gading” mengingat belum dapat tersosialisasikan dan termanfaatkan dengan baik untuk mendukung pelaksanaan program HIV dan AIDS di DKI Jakarta. “Hasil penelitian perguruan tinggi masih menara gading, belum implementatif merespon situasi lapangan…. Keterlibatan masih bersifat tokoh/personal seperti di Bali ada Prof Wirawan, tetapi sebagai institusi UNUD belum teruji” (R15)
30
Informan melihat PT sebagai potensi yang dapat berkontribusi lebih dalam respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Pihak akademisi dinilai memiliki sumber pengetahuan yang kaya terkait metodologi, hasil kajian dan pemikiran yang kritis. Maka, seharusnya peran PT bisa lebih ditingkatkan lagi dari sekedar terlibat dalam penelitian. Bila digabungkan, terlihat dua pola masukan untuk meningkatkan peran perguruan tinggi dalam isu HIV dan AIDS, pertama aktif terlibat dalam pre-service education untuk memastikan terciptanya SDM medis yang berkualitas untuk mendukung pelayanan HIV dan AIDS. Misalnya dengan memasukan kurikulum terkait HIV di fakultas kedokteran atau menempatkan residen dalam pelayanan HIV dan AIDS. Kedua, memberikan masukan strategis bagi respon HIV dari sisi akademis seperti menjadikan hasil penelitian sebagai acuan dalam pengambilan keputusan yang dapat menentukan arah respon penanggulangan HIV dan AIDS, terlibat dalam perencanaan program, ataupun keterlibatan lebih bermakna pihak akademisi dalam Musrenbang. “…seharusnya dalam hal mempersiapkan SDM bisa tapi yang menjadi masalah apakah sdm nya mau, sejauh ini belum banyak terlibat di program penanggulangan HIV kecuali penelitian” (R10) “sebenarnya banyak penelitian yang dilakukan PT namun sejauh ini belum ada yang menunjukkan hasilnya dimanfaatkan atau dijadikan acuan dalam mengambil keputusan misalnya oleh KPA” (R16) Beberapa hambatan yang dinyatakan oleh Informan sebagai kendala untuk melibatkan PT lebih bermakna adalah pihak universitas memiliki kewenangan untuk menentukan prioritas kurikulumnya sendiri. Bila isu HIV tidak menjadi prioritas maka kemungkinan untuk masuk dalam kurikulum pendidikan menjadi sulit. Selain itu, pihak akademisi dinilai masih perlu untuk memperdalam pemahaman dan memperbaharui keilmuan yang dimilki terutama dalam konteks komponen implementasi program-program terkait HIV yang sedang dijalankan di lapangan. Hal lain adalah keterbatasan dana untuk melakukan penelitian mandiri yang dibiayai langsung PT berpotensi untuk mengurangi kualitas penelitian yang dilakukan. Terdapat sedikit kekhawatiran untuk menjaga populasi kunci HIV terhindari dari objek penelitian yang dilakukan oleh pihak akademisi.
31
F.
Pola Integrasi di DKI Jakarta
Bagian ini akan menggambarkan pola intergasi sistem kesehatan terkait dengan HIV yang ada di DKI Jakarta. Pola integrasi akan dilihat dari beberapa sub-sistem yang masing-masing memiliki beberapa dimensi yang menyertai, sebagai berikut: 1.
Gambaran integrasi berdasarkan sub sistem kesehatan di DKI Jakarta
a.
Manajemen, Informasi dan Regulasi Kesehatan Penanggulangan HIV
i. Regulasi Dukungan landasan hukum dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sudah cukup kuat. Provinsi ini memiliki dua regulasi utama, yaitu Perda No. 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah (SKD) dan Perda No.8 tahun 2008 tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Tersedianya dua regulasi ini lantas membuahkan dua dokumen utama yang menjadi panduan dalam memberikan respon penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kesehatan No 1234 tahun 2013 dan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013-2017. Dokumen regulasi SKD dibuat dengan tujuan untuk memberikan arah, pedoman, landasan dan kepastian hukum bagi setiap pemangku kepentingan pembangunan kesehatan daerah sehingga seluruh pemangku kepentingan dapat bekerja secara sinergis dan berdaya guna untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.6 Pemberantasan penyakin menular, dalam konteks ini HIV, sudah termasuk sebagai salah satu program prioritas di DKI Jakarta. Sedangkan ruang lingkup penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta berdasarkan Perda No.5 tahun 2008 mencakup umum, promosi, pencegahan, pengobatan dan perawatan dan dukungan. Upaya pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengetahuan tentang tata cara pencegahan, penularan dan akibat yang ditimbulkan serta penyediaan layanan kesehatan yang dapat mencegah penularan HIV7. Sedangkan pengobatan ditujukan untuk ODHA didukung dengan pendekatan perawatan berbasis keluarga, masyarakat, serta dukungan pembentukan persahabatan ODHA. Yang termasuk pengobatan adalah tindakan pengobatan, tes HIV, yang wajib diberikan oleh setiap penyedia layanan kesehatan secara wajib dengan
6 7
Lihat Pasal 2 dan 3 Perda DKI Jakarta No. 4/2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah. Lihat pasal 13 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
32
azas kerahasiaan8. Sedangkan Perawatan dilakukan melalui pendekatan klinis, agama dan pendekatan berbasis keluarga dan masyarakat tanpa diskriminasi. Bentuk dukungan dapat dilakukan oleh masyaratak dan sector terkait memalui pemberdayaan ODHA9. Perda ini juga melegitimasi peran KPAP sebagai leading sector dalam kordinasi seluruh program HIV dan AIDS di DKI Jakarta10. Tabel 4. Daftar Kebijakan terkait HIV di DKI Jakarta
Kategori Kepemimpinan
Pencegahan
Daftar Regulasi terkait HIV di DKI Jakarta 1. SK Walikota Jakarta Utara No.15/2008 ttg Susunan Organisasi KPAK 2. Pergub No.162/2009 ttg KPAP DKI Jakarta 3. SU Walikota Jakarta Barat No.48.2009 ttg Organisasi dan Tata Kerja KPAK Jakarta Barat 4. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 175 Tahun 2009 tanggal 19 Mei 2009 Tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara 5. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 782 Tahun 2010 tanggal 1 November 2010 tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara 6. Surat Keputusan Gubernur No. 954 tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Ketua kepada Sekretaris KPAP 7. Surat Keputusan Gubernur No. 321 tahun 2010 tentang Penunjukan Sekretaris KPAP 8. Peraturan Gubernur No. 26 tahun 2012 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS Kota Pengurangan Dampak Buruk 1. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan tentang Kemandirian Penganggaran Program Harm Reduction No 3884/1.778/2009 2. Peraturan Gubernur No. 183 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat 3. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta No. 63/SE/2012 tentang Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril di DKI Jakarta PMTS 1. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 174 tahun 2003 tentang Penetapan Kelurahan Maphar Sebagai Pilot Proyek Penggunaan Kondom 100% 2. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 1 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS di Jakarta Barat 3. Surat Edaran Kepala Sudin Kesehatan Jakarta Barat No. 2522/SE/2011 tanggal 16 Juni 2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual 4. Surat Edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 19/SE/2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV dan AIDS Melalui Transmisi Seksual untuk Pimpinan Usaha Industri Pariwisata di DKI Jakarta 5. Surat edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 983/1.858.25/2011 tentang Program Pencegahan Penanggulangan IMS dan HIV Pada Tempat Hiburan di wilayah DKI Jakarta
8
Lihat pasal 17 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Lihat pasal 19 bagain 6 Perda DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 10 Lihat pasal 22 Perda DKI Jakarta No.5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 99
33
Kategori
Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
Mitigasi Dampak Situasi yang mendukung
Daftar Regulasi terkait HIV di DKI Jakarta 6. Surat edaran Kelapa Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 12/SE/2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV dan AIDS untuk Pimpinan Usaha Industri Pariwisata Wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur. 1. Surat Keputusan Gubernur No. 248 tahun 2011 tentang Biaya Pemeriksaan Darah Khusus (CD4) di Rumah Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Khusus Daerah 2. Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Program Komprehensif Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS) di 3 wilayah (Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur) 3. Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Nomor 5109 tahun 2012 tentang puskesmas layanan satelit Anti Retroviral dan Rumah Sakit pengampu di DKI Jakarta n/a 1. Peraturan Daerah No. 5 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta 2. MoU antara KPAP DKI Jakarta dengan 6 SKPD (POLDA Metro Jaya, Dinas Sosial, Satpol PP, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, Kanwil Kemenag) dan Forum LSM tentang Kesepakatan Operasional Kondom dan Alat Suntik Bukan Menjadi Barang Bukti 3. Renstra KPAP tahun 2013-2017
Sumber: Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta, 2008 – 2012 (KPAP, 2013)
Rangkaian regulasi ini menjadi landasan bagi pemangku kepentingan terkait HIV dan AIDS di DKI Jakarta dalam merencanakan dan mengimplementasikan programnya, termasuk menjamin partisipasi masyarakat didalamnya. Dokumen Renstra dan SRAP dibuat sebagai turunan dokumen nasional yang dikeluarkan oleh Kemkes dan KPAN. Sebanyak tiga informan menyatakan bahwa SRAP DKI Jakarta sudah digunakan sebagai acuan dalam pengembangan program, dibuat lengkap dengan baseline dan target serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang akan dilakukan. Dalam pembuatannya SRAP turut melibatkan berbagai pihak, walaupun masih ada dua informan yang mengatakan LSM tempatnya bekerja tidak dilibatkan. Terlepas dari proses dan isi dalam dokumen, enam informan merasa implementasi SRAP masih dianggap belum maksimal. Hal ini diduga karena program yang dijalankan kurang memaksimalkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) setiap SKPD dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta seperti yang dikatakan oleh dua informan. Satu informan mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat lebih untuk merespon proyek yang sedang berjalan misalnya Global Fund. Selain itu, kebijakan yang menjadi rujukan belum dievaluasi keberhasilannya sehingga tidak ada proses pembelajaran terhadap dokumen setelahnya. Selain itu otonomi daerah harus dipertimbangkan saat mengadopsi dokumen rujukan nasional.
34
“Renstra terkait penanggulangan HIV ada tetapi dianggap belum maksimal dan belum menjangkau sampai ke bawah…renstra seharusnya dibuat juga berdasarkan tugas dan kewajiban masing-masing SKPD dalam penanggulangan HIV, hal ini yang belum bisa dikeluarkan dalam renstra” (R6) “Kebijakan dirumuskan lebih condong merespon project. GF basisnya pada renstra nasional KPAN” (R14) “Sudah menggambarkan usaha penanggulangan HIV namun yang jadi masalah adalah implementasinya, ada kesan renstra hanya formalitas” (R10) Keberadaan payung hukum dan rencana kerja memberikan dampak langsung pada penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Dokumen ini menjadi acuan dalam membuat perencanaan anggaran. Komitmen pemerintah daerah otomatis terlihat dari adanya anggaran APBD yang disediakan untuk respon HIV dan AIDS. Laporan NASA (2012) mencatat APBD DKI Jakarta untuk HIV pada 2012 mencapai sekitar 16 milliar rupiah. Satu informan mengatakan sebaiknya ketersediaan dana HIV yang besar harus diiringi dengan peningkatan SDM untuk mengelola dana tersebut agar dapat digunakan secara efektif. Dua informan mengatakan ketersediaan regulasi tidak serta-merta mengakui peran dan fungsi LSM dan populasi kunci. “Sebenarnya APBD di Jakarta untuk HIV sudah cukup besar, untuk kegiatan yang dibutuhkan masyarakat, namun untuk menunjang kegiatan itu diperlukan peningkatan SDM” (R6) “Peran SKPD lebih pada regulasi dan kebijakan, perlu mengakui adanya LSM serta fungsi dan peran mereka” (R10) ii. Formulasi Kebijakan Terdapat dua pendapat yang berbeda terkait proses pemuatan kebijakan terkait HIV di DKI Jakarta. Delapan informan mengatakan bahwa pembuatan kebijakan terkait HIV dan AIDS di DKI Jakarta telah dibentuk melalui berbagai proses. Data terkait HIV yang digunakan untuk memformulasikan kebijakan adalah asil surveillance terkait prevalensi HIV seperti STBP, survei sentinel, dan modeling menjadi dasar pembuatan perencanaan. Ditambah dengan hasil capaian implementasi program seperti laporan bulanan, pemetaan populasi kunci, dan data kasus HIV juga turut dipakai dalam perhitungan target. Proses pembuatan kebijakan terkait HIV dilakukan oleh KPAP dan Dinkes secara bersama dengan mengundang pemangku kepentingan terkait seperti LSM dan MPI. Dalam konteks proses pembuatan kebijakan, MPI memberikan masukan terutama terkait praktik berbasis bukti, sekaligus melihat dukungan
35
program yang tertera dalam agenda organisasi mereka. Namun disisi lain, lima informan mengatakan bahwa penggunaan data belum dioptimalkan dalam proses perencanaan kebijakan. Pendapat ini dilontarkan mengingat beberapa data yang digunakan bukanlah yang hasil terbaru atau tidak mempertibangkan hasil pemetaan dengan baik atau tidak dibuat berdasarkan hasil capaian tahun sebelumnya. Beberapa berpendapat bahwa koordinasi terkait hasil perencanaan tidak diinformasikan kembali dengan baik kepada pemangku kepentingan. “Saat ini formulasi kebijakan sudah dilakukan berdasarkan data epidemi yang ada di daerah” (R16) “Sumber informasi data…laporan bulanan, surveilan, ibbs, sentinel” (R1) “Kritik terhadap pemerintah yang tidak mengoptimalkan data hasil pemetaan untuk perencanaan program, lebih sebagai laporan” (R15) “Perencanaan seharusnya disesuaikan dengan hasil assessment dan evaluasi dari tahun sebelumnya, namun system pendataan masih kurang sehingga belum optimal untuk mengubah situasi yang ada” (R6, R3) iii. Akuntabilitas Akses publik terhadap informasi program HIV dan AIDS di DKI Jakarta belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Empat informan mengatakan yang sudah dilakukan terkait pemberian informasi sebatas pada peningkatan pengetahuan HIV saja. Hal ini dilakukan melalui berbagai cara dalam mendistribusikan informasi seperti melalui pendampingan, menggunakan teknologi berbasis SMS, siaran radio, media sosial, media dan KIE yang dikeluarkan oleh Kemkes, KPAn ataupun MPI. Namun, informasi yang lebih dalam terkait perencanaan dan penganggaran masih dinilai tertutup oleh lima informan. Mereka merasa bahwa keterlibatan masyarakat dan populasi kunci baru sebatas formalitas dan belum sepenuhnya transparan. Selain itu masalah birokrasi dan kurangnya kordinasi masih dianggap sebagai penghalang atas distribusi informasi terkait HIV di DKI Jakarta. “…dari LSM melalui informasi saat pendampingan atau ada juga sistem gateaway melalui sms yang mengirimkan informasi2 program apa saja yang sedang berjalan” (R10) “Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan regulasi hanya formalitas” (R5) “LSM sebagai salah satu aktor dalam penanggulangan HIV banyak yang tidak jelas dan tidak transparan misal dalam pengelolaan proggram GF, banyak nilai-
36
nilai yang sudah hilang dan memanfaatkan komunitas hanya sebagai wadah pekerjaan saja” (R9) Dua informan mengatakan bahwa seharusnya pemerintah lebih jeli dalam menggunakan dan memanfaatkan data dan informasi dalam perencanaan. Penentuan intervensi seharusnya melihat pada situasi epidemi di setiap daerah dan mempertimbangkan unsur desentralisasi kebijakan. Kebijakan dari tingkat nasional seharusnya hanya dilihat sebagai panduan dan harus disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan daerah. “Desentralisasi kebijakan berpngaruh terhadap implementasi di daerah. Kebijakan di level nasional hanya ersifat pedoman saja” (R2) b.
Pembiayaan Kesehatan
i. Pengelolaan Sumber Pembiayaan Sumber pembiayaan terkait respon HIV di DKI Jakarta dapat dipetakan menjadi empat kelompok besar. Dana yang bersumber dari pusat (APBN) biasanya bersumber dari Kemkes atau KPAN yang lantas diimplementasikan di tingkat daerah. Dana ini disediakan berdasarkan hasil pemetaan Kemkes terkait kebutuhan perluasan layanan di seluruh provinsi di Indonesia. Sedangkan dana yang bersumber lokal diambil dari APBD. Dana ini bersifat hibah sehingga pengelolaannya kurang fleksible. Dana lain adalah yang bersumber dari MPI seperti Global Fund, HCPI, FHI, Red Institute, Hivos, USAID, Asia Pacific Net Sex Workers, dan SUM. Dana yang bersumber dari donor biasanya penggunaannya disesuaikan dengan mandat organisasi yang diemban untuk dilaksanakan di Indonesia, selain itu terkadang dana sudah melekat di pusat seperti dana Global Fund dan hanya hanya dijalankan saja di daerah. Sistem pengelolaan dana dari luar negeri diatur oleh Kementerian Keuangan namun sampai saat ini belum terkelola dengan baik. Terakhir, dana yang bersumber dari perusahaan swasta dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) namun hanya berjumlah sedikit dan lebih memilih isu HIV dan AIDS. Program terkait pekerja seks misalnya, sulit didanai oleh CSR. “Sumber pembiayaan untuk UPT dari APBN, selain itu ada dari LSM dan donor seperti GF, HCPI, red institute dan FHI” (R11) “Pembiayaan untuk program HIV dan AIDS masih jauh dari yang diharapkan. Sistem pengelolaan dan dari luar negeri melalui kemeneterian keuangan, kecuali untuk dana non pemerintah. Negara pemberi bantuan yang semestinya memberikan informasi terkait dengan bantuan yang diberikan” (R2)
37
Jumlah dana penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sangat besar bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Menurut laporan evaluasi KPAP (2013) pada tahun 2012 total dana penanggulangan HIV di DKI Jakarta mencapai 22.2 milyar rupiah (lihat tabel 5 untuk informasi mengenai detil sumber anggaran). Dana ini bersumber dari APBD dan MPI yang bekerja di wilayah DKI Jakarta dengan proporsi 68% dari total anggaran merupakan dana yang bersumber APBD. Dua informan mengatakan bahwa dana HIV yang bersumber dari APBD diajukan dengan menggunakan sistem yang belaku di DKI Jakarta yaitu e-cataloque, untuk kemudian menunggu persetujuan. Sayangnya pengeluaran dana APBD masih terkendala keterlambatan. Menurut satu informan proses pengalokasian dana HIV yang berkaitan dengan sosialisasi kepada masyarakat sudah melibatkan unsur perwakilan masyarakat, walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana bentuk dan sejauhmana ketterlibatannya. “Ada dana dialokasikan dari APBD untuk sosialisasi HIV yang melibatkan LMK (Red: Lembaga Musyawarah Kota)” (R12) Untuk dana yang bersumber dari APBD dan Global Fund, pengeluaran dana dapat dikelompokan menjadi dana operasional dan dana program. Sebesar 28% dari total dana APBD digunakan untuk biaya operasional dan sekitar 20% untuk dana Global Fund. Sisanya diperuntukan untuk kepentingan biaya program. Hal ini terkonformasi pada pengeluaran Global Fund pada periode selanjutnya. Sebesar 36 Milyar Rupiah digunakan untuk membiayai operasional petugas pemberi layanan. “Mulai Juli 2012 – Juni 2013 sekitar 36M, uang dari GF untuk running cost petugas di layanan” (R4) Dana yang bersumber dari MPI digunakan sesuai dengan mandat kerja MPI di wilayah tertentu. Penyumbang dana hibat terbesar di DKI Jakarta bersumber dari Global Fund. Dua informan mengatakan MPI terkadang tidak melakukan kordinasi dan langsung memberikan dana hibah kepada LSM. Duplikasi program dengan dana APBD sangat mungkin untuk program HIV.
38
Tabel 5. Proporsi Anggaran HIV di DKI Jakarta
Proporsi Angaran HIV DKI Jakarta (2012) (Dalam Miliar Rupiah) 25,000
22,248
20,000 15,100 15,000 10,000 3,682.10
5,000
1,984
938
544.1
ASA/SUM 1
SUM 2
0 APBD
GF
HCPI
TOTAL
**Sumber: Laporan Evaluasi Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta (KPAP, 2013)
ii. Penganggaran, Proporsi, Distribusi dan Pengeluaran Komitmen pemerintah DKI Jakarta dalam respon HIV juga dapat dilihat dari besaran dana APBD yang dikeluarkan. Sumber dana dari pemerintah untuk HIV tidak hanya bersumber dari APBD saja namun ada dukungan dana yang bersumber dari pemerintah pusat atau APBN. Tren anggaran HIV cenderung terus meningkat di DKI Jakarta. Pada tahun 2013 Dinkes mengelola dana untuk HIV sebesar 4.8 milyar. Dana yang dikelola oleh Dinkes diajukan sesuai tupoksi instansi tersebut yaitu peningkatan kapasitas sumber daya manusia kesehatan melalui pelatihan dan refreshing materi terkait IMS dan tes HIV, bimbingan teknis dan monitoring dan evaluasi. Jumlah alokasi dana yang diajukan melalui APBD mengacu pada serapan anggaran yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya. Dua informan mengatakan bahwa diperkirakan kedepannya dana HIV akan semakin meningkat. Saat ini dana HIV sudah meningkat sekitar 50% dari sebelumnya, angka ini kemungkinan besar akan terus meningkat mengingat proyeksi penurunan dukungan dari dari MPI akan bekurang. Peningkatan alokasi dana untuk HIV diperkirakan akan disalurkan melalui BLUD. UPT mengelola anggaran yang berumber baik dari APBD dan MPI. Satu informan mengungkapkan ketidaktahuannya mengenai proses dan jumlah anggaran yang tersedia di DKI Jakarta. Selain itu informan yang sama juga mengatakan masih ada tumpang tindih anggaran dan isu terkait serapan yang kurang maksimal. Dua informan mengatakan bahwa keterlibatan LSM atau masyarakat sipil
39
dalam perencanaan anggaran masih sangat terbatas. Hal ini menimbulkan biaya yang dialokasikan masih bersifat normatif dan belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan. “Penganggaran di dinkes sesuai tupoksi termasuk monev, peningkatan kapasitas SDM seperti pelatihan dan refreshing untuk IMS, VCT dan Bimtek” (R4) “Sepertinya akan ada rencana peningkatan anggaran APBD melalui BLUD karena dana MPI akan semakin berkurang” (R8) “Penganggaran biaya yang dilakukan belum sesuai dengan kebutuhan, selama ini dibuat secara normatif general tidak melihat kebutuhan satu persatu dilapangan” (R16) Dalam pengajuan dana HIV, DKI Jakarta memanfaatkan alat bantu untuk melihat kebutuhan anggaran dan membantu perencanaan seperti yang dikatakan oleh dua informan. Perangkat pertama adalah National AIDS Spending Assessment (NASA) digunakan untuk menghitung pembiayaan HIV dan AIDS di daerah sehingga pemerintah dapat mengetahui secara jelas berapa investasi domestik yang telah diberikan. Pada gambar 1 terlihat proporsi alokasi anggaran yang digunakan untuk membiayai program terkait HIV di DKI Jakarta yang bersumber dari laporan NASA (2012). Total keseluruhan dana adalah 22,248 milyar rupiah yang bersumber baik dari APBD dan MPI. Terlihat bahwa tiga alokasi terbesar dari dana digunakan untuk komponen pencegahan (41%), manajemen program (31%) dan PDP (12%). Alokasi anggaran untuk mitigasi dampak masih sangat kecil (0.23%) bila dibandingkan dengan program lain. Sedangkan perangkat kedua adalah budget tools yang dikembangkan oleh HCPI yang diberguna untuk melakukan kajian dalam memilih kebutuhan anggaran yang lebih strategis sesuai dengan kebutuhan daerah. Mengingat semua puskesmas di DKI Jakarta sudah BLUD, rencana kebutuhan anggaran dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan spesifik Puskesmas tersebut. Pada tahap akhir, Dinkes akan melakukan sinkronisasi dari seluruh anggaran yang telah diajukan oleh UPT di bawahnya untuk menghindari pengajuan kegiatan berulang.
40
Gambar 3. proporsi angagran HIV DKI Jakarta (2012)
Proporsi Anggaran HIV DKI Jakarta 2012
Pencegahan 0%
PDP
31%
Penelitian 41%
SDM
Lingkungan mendukung 1%
Proteksi sosial 4%
10%
1% 12%
Manajemen program mitigasi dampak
Sumber: Laporan NASA (2012)
iii. Mekanisme Pembayaran Layanan Secara umum penduduk DKI Jakarta mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah daerah. Pada tahun 2012 pemerintah daerah mengeluarkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) untuk menjamin pemberian layanan kesehatan bagi yang membutuhkan. Sembilan informan mengatakan bahwa saat ini jaminan kesehatan diberikan melalui BPJS mengikuti dengan kebijakan nasioanal. BPJS dapat dimiliki dengan sistem iuran ataupun noniuran, yang diperuntukan untuk penduduk miskin. Bila tidak memiliki kartu JKN, beberapa kartu lain seperti Jamkesmas, KJS dan KIS dapat digunakan untuk membayar layanan kesehatan. Dua informan mengatakan bila layanan kesehatan tersebut tidak dapat ditanggung oleh JKN maka masih ada Jaminan Kesehatan Daerah yang dapat digunakan untuk membayar layanan. Dengan adanya jaminan kesehatan ini maka penduduk Jakarta dapat berobat secara gratis di seluruh puskesmas dan 88 rumah sakit rujukan Pemprov DKI Jakarta. Walaupun menurut pengakuan tiga informan bahwa dengan adakanya JKN tidak serta-merta membuat seluruh biaya kesehatan menjadi gratis, namun bantuan dana kesehatan dirasa cukup meringankan bebab biaya pengobatan. Bila dibawa ke dalam konteks respon HIV dan AIDS, penggunaan jaminan kesehatan untuk kebutuhan penyakit ini masih terdapat kebingungan. Secara ketentuan, pasien dengan HIV tetap dapat dilayani dengan biaya perawatannya sesuai dengan Permenkes No. 28 tahun
41
2014 tentang pedoman pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional. Biaya pemeriksaan dan perawatan dapat dibebankan melalui skema Indonesian Case-Based Groups (INA-CBGs) yang dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, namun biaya obat yang termasuk dalam obat program seperti ARV tidak dimasukan karena sudah ditanggung oleh pemerintah pusat. Namun dua informan mengatakan bahwa ini masih berproses dan belum ditanggung. Lima informan mengatakan bahwa tidak semua biaya ditanggung dan ada pemeriksaan laboratorium yang masih harus ditanggung oleh pasien. Selain itu, lima informan mengatakan masih ada beberapa masalah yang ditemui dalam pelaksanaan JKN, seperti pengurusan administrasi yang mengandalkan KTP untuk mendaftar, keterlambatan pembayaran dari BPJS ke fasilitas kesehatan, kesulitan administrasi dalam mendaftar, dan perbedaan persepsi dalam memahami aturan JKN. Hal ini diduga dapat menghambat populasi kunci untuk memiliki jaminan kesehatan. “Ada jaminan kesehatan untuk warga Jakarta, namun untuk pembayaran sangat tergantung dengan layanan yang diakses dan PKM nya, kadang kalau butuh pemeriksaan tambahan yang tidak masuk dalam asuransi harus bayar, juga tergantung petugas, yang sudah biasa dengan populasi kunci bisa membantu untuk gratis” (R6) “JKN melalui BPJS belum menanggung semua, untuk ARV tidak ditanggung, hasil perhitungan biaya yang diperlukan untuk pengobatan sekitar 20 jt pertahun sedangkan BPJS hanya sanggup 16 juta per tahun. Belum ada kesepakatan (R4)” c.
Sumber Daya Manusia Kesehatan
i. Kebijakan dan Sistem Manajemen Secara umum tenaga kerja yang bekerja untuk penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta berasal dari tenaga kesehatan, baik PNS dan non-PNS, serta LSM. Menurut enam informan, saat ini belum ada kebijakan yang mengatur tenaga kerja dari luar dinas kesehatan yang di kontrak oleh Dinkes untuk melakukan program penanggulangan HIV dan AIDS. Satu informan mengatakan penyediaan tenaga non kesehatan tergantung Pemda setempat. Pertemuan pembahasan mengenai kebutuhuan SDM pernah didiksusikan di DKI Jakarta, menurut satu informan, namun belum terealisasi sampai saat ini. Beberapa program kesehatan lain di luar HIV (i.e. posyandu, jumantik) memiliki kader kesehatan. Satu informan mengatakan bahwa Subdit AIDS masih mempersiapkan pelibatan SDM untuk kesehatan secara utuh agar bisa masuk dalam Badan Pengelola Sumber Daya Manusia (BPSDM). Sehingga saat ini menurut
42
dua informan standar kompetensi yang ada hanya untuk tenaga kesehatan saja, dan belum ada untuk pekerja yang berasal dari tenaga non-kesehatan. “LSM merasa masih belum ada kebijakan dan aturan yang jelas sehingga merasa masih di lempar kesana-kemari” (R6) “Standarisasi kompetensi untuk tenaga kesehatan, sementara non kesehatan belum ada (R2) Ketersediaan tenaga untuk upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih menjadi hambatan besar di DKI Jakarta. Tujuh informan mengatakan bahwa SDM untuk mengejakan program HIV masih sangat terbatas. Seorang staf kesehatan di UPT dapat bertanggung jawab untuk beberapa program sehigga tidak bisa hanya berfokus untuk memberikan program HIV saja. Hal ini juga dialami oleh Lapas. Keterbatasan tenaga kerja ini juga berdampak pada pelaksanaan pelayanan, terlepas dari pelatihan yang sudah diberikan. Sembilan informan mengatakan salah satu penyebab utama yang menjadi kendala dalam ketersediaan SDM yang mencukupi adalah sistem rotasi bagi PNS yang ada di DKI Jakarta. Banyak staf yang sebelumnya memberikan pelayanan di rotasi ke manajemen atau jabatan struktural sehingga waktu untuk memberikan pelayanan menjadi terbatas karena jumlah staf fungsional jadi berkurang. Walau bagaimanapun kebijakan rotasi sulit untuk dihindari mengingat ini adalah konsekwensi dari pengembangan karir staf. Tabel 6 menunjukan jumlah staf yang tersedia di DKI pada tahun 2012 sesuai dengan layanan HIV yang diberikan. Satu informan mengatakan distribusi SDM antar kotamadya belum merata. Di satu daerah dapat memiliki jumlah SDM yang banyak namun tidak di daerah lain. Kerawanan jumlah SDM menurut satu informan dikarenakan Puskesmas tidak mengusulkan penambahan apabila dibutuhkan SDM lebih banyak. Selain itu, satu informan mengatakan bahwa program HIV belum memiliki mekanisme dan sistem SDM yang jelas, berbeda dengan program TB. Seharusnya peninjauan ulang terhadap sistem mutasi diperlukan. “Masih sangat terbatas, di dinkes cuma 2 orang, di sudin 5 orang masing2 1, di puskesmas masing-masing 7 kali 42 yang darat tambah P. seribu, tapi P seribu belum dikembangin pelatihannya (R4, R16) Tabel 6. tenaga kesehatan tekait HIV sesuai dengan jenis layanan
Jenis Layanan 1. PTRM 2. LASS 3. IMS
Jumlah Layanan (2012) 18 38 38
Ketersediaan SDM (2012) 54 144 152
43
Jenis Layanan 4. PICT 5. PMTCT 6. TB HIV 7. ARV 8. Satelit ARV 9. KPAP/K TOTAL
Jumlah Layanan (2012) 55 18 43 24 19
Ketersediaan SDM (2012) 275 90 120 93 918
Sumber: Hasil Evaluasi KPAP (2013)
ii. Pembiayaan Belum adanya mekanisme yang jelas mengenai SDM untuk program HIV juga berdampak pada sumber pendanaan untuk staf yang menjalankan program. Satu informan mengatakan bahwa sumber pendanaan untuk tenaga kesehatan yang menjalankan program HIV terkadang melebihi ketersediaan dana yang ada. Untuk saat ini, honor untuk petugas dengan status PNS ditanggung oleh APBD sedangkan tenaga kontrak dari BLUD. iii. Kompetensi Respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta juga mempertimbangkan kompetensi SDM yang melaksanakan program melalui berbagai cara. Enam informan mengatakan peningkatan kapasitas melalui pelatihan, penguatan berkala melalui penyegaran materi, dan sertifikasi sudah dilakukan di DKI Jakarta. Selain untuk memberikan materi baru, pelatihan yang dilakukan juga menjelaskan peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan di DKI Jakarta. Namun adanya pelatihan tidak serta merta memecahkan masalah terkait SDM yang ada. Beberapa hal yang teridentifikasi dari pengolahan data adalah jumlah pelatihan yang dilakukan tidak sesuai dengan jumlah tenaga kesehatan yang ada. Menurut satu informan pelatihan yang dilakukan hanya dua kali dalam setahun dengan jumlah perserta yang terbatas. Isu rotasi juga dikatakan oleh satu informan sebagai salah satu kendala dalam menjamin kompetensi mengingat staf yang sudah terlatih dipindahkan dan harus memberikan pelatihan lagi untuk staf pengganti. Menurut satu informan sebaiknya proses pengembangan kapasitas berdasarkan gap assessement dan melibatkan semua pihak seperti KPA dan Kemenkes. Pengembangan perangkat analisa untuk melihat gap kapasitas perlu dilakukan. Untuk mengatasi hal ini, penguatan pada tataran manajemen juga perlu dilakukan sehingga dapat melihat kebutuhan kompetensi dari staf yang ada untuk memaksimalkan berjalannya respon penanggulangan HIV AIDS. Selain itu, satu informan mengatakan
44
peningkatan kapasitas dalam bentuk menhadiri konferensi di luar negeri tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan dalam respon HIV. “Ada pelatihan dan refreshing bagi yang sudah pernah dilatih, tapi kalau ada yang mutasi jadi pelatihan baru, selain itu ada penguatan secara berkala” (R8) “Penguatan perlu dilakukan pada tataran management untuk mendapatkan kualitas pelatihan yang standar, karena saat ini pelatihan yang dilakukan juga masih banyak yang tidak mampu mengatasi atau memenuhi harapan” (R17) Standarisasi kompetensi bagi tenaga penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta harus dapat dilihat dari ketersediaan kebijakan yang mengaturnya. Lima informan mengatakan tidak ada kebijakan yang mengatur standar kompetensi staf yang bekerja untuk penanggulangan HIV di DKI Jakarta. Dua informan mengatakan standar kompetensi dapat dilihat dari pelatihan yang sudah dilakukan karena pasti akan tertera standar kompetensi seperti apa yang menjadi target pelatihan. Empat informan mengatakan rotasi pegawai menjadi kendalam utama dalam standarisasi kompetensi dan belum ada kebijakan yang mengatur hal tersebut. Dua informan mengatakan sebenarnya terdapat dua kebijakan yang dapat dijadikan rujukan untuk standarisasi kompetensi yaitu (1) Standar Pelayanaan Minimal (SPM) bidang kesehatan sesuai dengan Pergub No. 20 tahun 2014 tentang Penyusunan, Penetapan, Penerapan, dan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan dan (2) Permenkes No. 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Layanan Kesehatan Primer. Namun sayangnya dalam SPM DKI Jakarta bidang kesehatan tidak memasukan unsur target terkait dengan HIV secara khusus, kecuali TB. Selain itu, walaupun Permenkes No. 5 tahun 2014 memasukan unsur kompetensi bila menemukan kasus HIV, namun anjuran tersebut hanya berlaku untuk tenaga kesehatan dokter saja. Dapat dibilang tidak ada standar kompetensi yang mengatur perawat, petugas sosial, dan LSM dalam menjalankan respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta. d.
Penyediaan Farmasi dan Alkes
i. Regulasi Penyediaan penyimpanan, diagnostik dan terapi Dalam penyediaan farmasi dan Alkes, DKI Jakarta mengacu pada regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnosis dan terapi dari pusat. Walaupun empat informan mengatakan tidak tahu secara pasti mengenai kebijakan terkait distribusi dan pengadaan obat, namun lima informan mengatakan sudah ada regulasi terkait distribusi dan pengadan obat, khususnya
45
ARV dan reagen, serta prosedur pemberiannya. Standar obat dan reagen yang dapat digunakan sudah termasuk dalam regulasi tersebut. Penanggung jawab untuk distribusi dan pengadaan obat adalah bagian farmasi. Proses implementasinya dimulai dari perencanaan dengan siklus pertahun yang dibuat berdasarkan perhitungan kebutuhan untuk 16-18 bulan. Kebutuhan obat dihitung berdasarkan angka kunjungan berobat dan kebutuhan obat apa yang paling banyak digunakan. Infrastuktur pengadaan yang digunakan adalah Inventory and Order Management System (IOMS). Sejalan dengan desentralisasi, obat yang diberi pusat diserahkan kepada Dinkes untuk kemudian didistribusikan ke Puskesmas. Dengan sistem BLUD yang ada di DKI Jakarta, Puskesmas dapat melakukan pengadaan kebutuhan obat dan alat kesehatan sesuai situasi kesehatan di daerahnya melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) setiap tahunnya. Untuk obat khusus seperti ARV distribusi dilakukan melalui Sudinkes. Untuk penyimpanan dan pencatatan, satu informan mengatakan acuan yang digunakan adalah Permenkes No. 87 tahun 2014 tentang pedoman pemberian ARV yang mengatur register obat dan pencatata stok ARV di layanan. “Sudah ada juga pedoman untuk pengadaan dan distribusi, termasuk untuk stock out, peminjaman ARV itu tidak boleh, tapi kita pernah melakukan…Obat dan alkes di berikan berdasarkan dipa, beda dengan puskesmas yang bisa mengadakan sendiri karena mereka sudah BLUD, untuk obat2 an khusus ada distribusi dari sudin, termasuk juga ARV semuanya sudah gratis” (R11) Di pusat ada kebijakan desentralisasi ARV, obat memang dari pusat namun untuk pengelolaan semau melalui Dinkes tidak langsung ke RS. Dari dinkes distribusi ke RS dan Puskesmas yang sudah inisiasi. RS ada 30 an dan puskesmas ada 28 an (R4) Terlepas dari mekanisme yang sudah ada, masih terdapat beberapa masalah yang ditemui di lapangan. Situasi kehabisan stok ARV yang terjadi di DKI Jakarta disebutkan oleh tiga informan. Situasi ini menyebabkan terjadinya ‘pinjam-meminjam’ obat antar UPT yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Terjadinya situasi tersebut dikatakan oleh dua informan karena masih ada masalah dalam pendistribusian obat, seperti harus mengambil langsung ke tempat penyimpanan/gudang obat, atau keterlambatan stok obat, keterlambatan dalam proses perencanan dan hambatan dalam import obat. Hal ini menyebabkan dampak lebih lanjut yaitu ditemukannya obat dan reagen yang kadaluarsa. Untuk alkes, dua informan mengatakan ketersediaan kondom selalu ada dari KPA namun pelicin sudah tidak tersedia.
46
“Untuk distribusi alkes dan farmasi sejauh ini baik-baik tapi kemarin sempat juga kehabisa stok ARV akhirnya pinjam ke ‘kios’ secara informal antar fasyankes dan tidak bisa memberikan untuk sebulan penuh buat pasien” (R8) “Kadang ada permasalahan distribusi, biasanya menjemput bola mengambil ke tempat penyimpanan, atau kalau memang kehabisan dan masih bisa digantikan jenis obat lain ya diganti, tapi untuk ARV pernah hampir kehabisan kita sampai ambil ke Matraman” (R11) “Kadang ada yang expired, belum ada koordinasi yang baik antar layanan kesehatan dan juga dengan PL untuk pemanfaatan farmasi dan alkes” (R6) ii. Sumber Daya Enam informan mengatakan bahwa sumber biaya pengadaan dari obat ARV dan alat kesehatan diperoleh dari APBN/APBD dan dukungan dana donor. Terlepas dari tidak adanya informasi mengenai proporsi secara spesifik mengenai berapa biaya yang ditanggung oleh MPI, namun untuk logistik obat pembagian biaya adalah 40% masih diberikan oleh pusat dan 60% oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat memang mendorong adanya pembagian beban pengadaan logistik dengan pemerintah daerah. MPI yang diketahui turut mendukung pembelian obat-obatan adalah Global Fund, dan MPI lain mendukung alkes seperti jarum suntik atau kondom. Satu informan mengatakan bahwa pembiayan AIDS sudah terbagi bebannya antara pemerintah dan MPI, namun masih ada ketergantungan. “Untuk ARV 100% dari APBN, untuk logistik ada share cost untuk obat2an IMS dll 40% oleh pusat dan 60% daerah” (R4) e.
Informasi Strategis
i. Sinkronisasi Sistem Informasi DKI Jakarta menggunakan infrastruktur berbasis website untuk mengumpulkan data terkait HIV. Delapan informan mengatakan sistem informasi yang dipakai adalah Sistem Informasi HIV AIDS (SIHA) yang dikelola oleh Dinkes dan sudah terintergasi dengan sistem informasi nasional. Selain itu, dua informan mengatakan ada Jakarta AIDS Information System (JAIS) yang dikelola oleh KPAP. Tiga informan mengatakan setiap UPT melaporkan data setiap bulan dengan menginput capaian seperti program methadone atau tes HIV langsung ke SIHA. Data yang terkumpul dilaporkan berjenjang dari UPT ke Sudinkes, lalu ke Dinkes dan bermuara di Kemenkes. Sedangkan menurut dua informan LSM mengumpulkan laporan sesuai dengan sumber donor yang memberikan proyek. Khusus untuk program yang menggunakan dana dari APBD, ada laporan yang diberikan kepada Pemda. Selain data cakupan program, lima
47
informan mengatakan ada pengumpulan data lain yang dilakukan secara rutin seperti survey sentinel, survei perilaku yang dilakukan Kemkes dan pemetaan yang dilakukan oleh KPA. Dalam mengumpulkan data rutin ini pemerintah bekerja sama dengan LSM untuk memetakan hotspot. Dua informan mengatakan dalam mengumpulkan sistem informasi dan data pemerintah mendapatkan bantuan teknis dan dukungan dari MPI. Menurut dua informan, bila dipetakan Kemkes dan jajarannya bertanggung jawab untuk data layanan dan supply sedangkan KPA dan jajarannya bertanggung jawab terhadap data estimasi dan kebijakan. Sangat disayangkan bahwa tidak ada yang mengetahui bagaimana mekanisme pengolahan dan pemanfaatan data dengan jelas. Tiga informan mengatakan hanya mengetahui sebatas proses pengumpulan informasi dan tidak tahu kelanjutan pengelolaannya. Walaupun terdapat satu informan yang mengatakan secara umum bahwa data dikumpulkan untuk mengetahui dengan segera bila ditemukan masalah dan ada satu informan yang mengatakan data STBP digunakan untuk kepentingan pelaporan MDGs. Terlepas dari keterediaan platform sistem informasi, beberapa kekurangan yang berhasil teridentifikasi adalah sistem tersebut belum terkoneksi antar layanan, tidak dibuat terstruktur sesuai dengan indicator SRAN dan tidak terperbaharui secara berkala. Kendala sumber daya manusia untuk pengelolaan data juga masih ditemukan di tempat layanan. “Yang diketahui ada system pengumpulan informasi, namun detail bagaimana pengelolaan dan pemanfaatannya ga tau” (R5) “Sistem informasi AIDS tidak tersetruktur mulai dari penetapan indikator dalam renstra hingga pelaporannya” (R15) “Awalnya ada petugas khusus tetapi tidak bisa full di HIV sehingga sekarang memanfaatkan kader muda tetapi juga sulit bila dilakukan setiap hari karena ada pelayanan” (R8) ii. Diseminasi dan Pemanfaatan Terlepas dari adanya laporan rutin terkait HIV yang dikumpulkan di DKI Jakarta, diseminasi hasil analisa dan pemanfataan dari data yang terkumpul masih bervariasi antar tiap institusi. Data yang bersumber dari LSM biasanya diserahkan kepada KPA dan juga Dinkes serta Puskesmas. LSM dan organisasi masyarakat sipil biasanya memanfatan data pencapaian untuk mengembangkan proposal dan menentukan arah strategi program ke depan seperti yang diakui oleh empat informan. Tiga informan lainnya mengatakan bahwa data yang terkumpul dijadikan acuan untuk membuat perencanaan program. Dua informan juga
48
mengatakan bahwa data yang terkumpul dari SIHA telah didiseminasikan. Selain itu dua informan juga mengatakan data yang dikumpulkan biasanya dibahas dalam pertemuan kordinasi atau pada saat bimbingan teknis sebagai dasar untuk melihat pencapaian program. “Di dalam lembaga, data yang ada dipakai sebagai database dan dasar membuat proposal, termasuk keputusan dan sikap lembaga” (R6) “Hasil pemetaan atau data dari KPA atau dinkes itu biasanya dipakai sebagai dasar perencanaan dan pelayanan program di LSM” (R16) Namun disisi lain, masih ada kendala untuk memanfaatkan data lebih maksimal. Dua informan mengatakan menemukan kesulitan untuk meminta data untuk keperluan analisa lebih lanjut, walaupun surat permintaan resmi telah dilayangkan. Sehingga pemanfaatan data hanya mengandalkan dari publikasi hasil analisa data yang disediakan secara tersegmen. Keenganan untuk memanfaatkan data lebih lanjut diduga terkait isu ketidakjelasakan kepemilikan data. Hal ini disampaikan oleh tiga informan. Situasi ini timbul akibat data survei dan SIHA biasanya dikelola oleh pusat dan daerah hanya berperan sebagai pengumpul data. Selain itu masalah desentralisasi juga mempengaruhi keputusan daerah untuk memanfaatkan data lebih lanjut. Isu kepemilikan data membuat daerah menjadi ambigu untuk memanfaatkan dan menganalsia data lebih lanjut untuk kepentingan daerah. Data lain yang belum diatur pemanfataannya adalah data yang bersumber dari hasil penelitian seperti yang disampaikan oleh lima informan. Banyak hasil penelitian yang tidak tersosialisasikan dengan baik, termasuk hasil dari penelitian yang dilakukan oleh universitas. Situasi ini diduga karena belum ada mekanisme yang jelas untuk mendokumentasikan, memanfaatkan dan mengintegrasikan data hasil penelitian untuk kepentingan pengembangan program. “Sistem informasi AIDS selama ini seperti IBBS menjadi milik siapa dan belum dimanfaatkan secara optimal dalam perencanaan” (R15) “Data tidak pernah di share, sampai bersurat minta share data tidak diberikan data SIHA, kalau ada pertemuan baru di share secara umum saja, dari situ kita baru bisa mengambil kesimpulan sendiri yang kita gunakan untuk dasar perencanaan” (R16) “Hasil informasi dan penelitian sepertinya belum didiseminasikan termasuk data yang diminta untuk jadi laporan dari kami, tidak tahu dimanfaatkan untuk apa” (R10)
49
f.
Pemberdayan Masyarakat
i. Partisipasi Masyarakat Beberapa upaya untuk melibatkan masyarakat dalam respon penanggulangan HIV dan AIDS sudah dilakukan di DKI Jakarta. Dalam konteks ini masyarakat perlu dilihat sebagai masyarakat umum, LSM dan penerima manfaat atau populasi kunci. Enam informan mengatakan bahwa pelibatan masyarakat dan LSM sangat penting untuk dilakukan. LSM dapat berkontribusi dalam melakukan penjangkauan, distribusi informasi ataupun penyambung komunikasi antara pihak pemberi layanan dan penerima manfaat. Satu informan mengatakan bahwa ada alokasi dana yang disediakan di puskesmas untuk kegiatan yang bersifat melibatkan masyarakat. Selain itu ada sector swasta juga didorong untuk memiliki kegiatan yang melibatkan masyarakat melalui CSR. Biasanya, bentuk pelibatan terlihat dari kerjasama atau terlibat dalam pertemuan kordinasi atau perencanaan, implementasi, dan monitoring program. Namun tampaknya pelibatan ini belum dirasakan secara merata. Satu informan mengatakan bahwa desain program LKB/SUFA sudah dibuat untuk memastikan keterlibatan masyarkat yang lebih aktif, namun terkadang ada kendala biaya untuk mengundang semua orang. Tiga informan mengatakan bahwa pelibatan yang dilakukan masih bersifat artifisial dan formalitas saja. Satu informan secara jelas mengatakan bahwa tidak pernah dilibatkan sama sekali. Empat informan mengatakan bahwa masyarakat memang tidak dilibatkan dalam perencanaan program atau musrenbang, namun lebih ke hal yang bersifat teknis di lapangan, baik di tingkat nasional ataupun di daerah. Satu informan mengatakan umumnya pada tahap perencanaan, keterlibatan lebih berupa pertemuan konsultatif yang kemudian dikembangkan oleh konsultan.
Lima informan mengatakan bahwa pelibatan masyakarat yang terjadi
sekarang terkadang tidak berjalan efektif. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pengetahuan ataupun posisi tawar yang berbeda antara pemangku kepentingan dengan pihak masyarakat. Situasi ini diduga terjadi karena pemberdayaan masyarakat masih kurang. Pelibatan masyarakat dan populasi kunci yang lebih bermakna dapat dilakukan dengan memberikan peningkatan kapasitas terlebih dahulu. “Sejauh ini KDS bermitra dengan KPA dan pemerintah. LSM secara umum hanya dilihat sebagai suatu bentuk kecil partisipasi masyarakat” (R9)
50
“untuk pertemuan perencanaan biasanya tidak melibatkan masyarakat, alasannya karena waktunya sempit” (R8) Dana yang dialokasikan bagi masyarakat sipil untuk penanggulangan HIV dan AIDS masih terbatas. Tiga informan mengatakan dana pemerintah yang disediakan lebih bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat umum dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam kesehatan. Biasanya bentuk dana ini dikeluarkan untuk kader jumantik atau posyandu. Sedangkan dana yang dialokasikan oleh KPAP lebih kepada untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang dapat dikeluarkan melalui pengajuan proposal. Dua informan mengatakan bahwa pemerintah tidak mengalokasikan dana yang dapat diakses langsung oleh populasi kunci untuk melaksanakan program HIV. “Jaringan Populasi kunci tidak dapat mengkases dana dari APBD, tidak ada sosialisasi dana” (R12) “Peran konkrit pemberdayaan dan keteribatan masyarakat adalah posyandu, sumber pembiayaan posyandu berasal dari pemda dati I diteruskan kepada pemda tk II” (R3) Pengembangan kapasitas untuk mendukung pemberdayaan masyarakat juga belum dilakukan dengan maksimal. Empat informan mengatakan sudah ada peningkatan kapasitas berupa pelatihan yang diberikan kepada kader, pendidik sebaya ataupun staf lembaga pemasyarkaatan, namun masih dirasa belum efektif karena terkendala berbagai isu seperti status kerja kader yang bersifat sukarela ataupun hanya terfokus untuk memberikan pemberdayan dalam lingkup kecil untuk periode tertentu seperti warga binaan. Satu informan mengatakan terkadang masyarakat masih awam dan kurang informasi untuk mau secara aktif terlibat dalam respon HIV. ii. Akses dan Pemanfaatan Layanan Berbagai upaya sudah dilakukan di DKI Jakarta untuk memastikan populasi kunci dapat mengakses layanan terkait HIV dan AIDS. Hal ini disampaikan oleh tiga informan. Kartu identitas biasanya tetap menjadi prasyarat utama untuk mendapatkan layanan, namun untuk populasi kunci tenaga kesehatan di Puskesmas dapat membantu untuk tetap memberikan layanan walau tanda ada KTP. Selain itu, terdapat kader yang dilatih dan disediakan untuk membantu memudahkan akses layanan masyakarat ke fasilitas layanan kesehatan. Konsep LKB yang memastikan keterlibatan LSM dan populasi kunci untuk meningkatkan cakupan akses layanan. Data sekunder dari KPAP menunjukan pada tahun 2012 jumlah populasi
51
terjangkau yang sudah terjangkau oleh intervensi adalah WPS (12.238 orang), LSL (8.705), Waria (1.336 orang), Penasun aktif LASS (1.831 orang), penasun aktif PTRM (1.115 orang) dan HRM (69.279 orang). Walaupun begitu, masih ada populasi terdampak HIV yang belum banyak terpapar program. Satu informan mengatakan masalah di PPIA adalah kendala biaya pemeriksaan Viral Load bagi ibu positif yang masih menyusui anaknya. Satu informan juga menegaskan informasi terkait akses layanan kesehatan masih terkendala penyebarannya. Upaya inovatif untuk melakukan distribusi informasi melalui SMS belum juga terlaksana. “Masih banyak populasi kunci atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses yang terjangkau, contoh pada PPIA, banyak ibu dengan anak yang sulit memeriksakan viral load karena kendala biaya, padahal dia juga harus menyusui anaknya…banyak masalah terutama di masyarakat karena nol info.” (R5) Sedangkan akses populasi kunci terhadap jaminan kesehatan juga masih menemukan kendala seperti yang disampaikan oleh tiga informan. Dua informan mengatakan bahwa akses populasi kunci terhadap JKN sudah tersedia. Populasi kunci yang tidak bisa masuk dalam tanggungan JKN beberapa diallihkan melalui KIS dan Jamkesda. Warga binaan pemasyarkaatan juga sudah dapat mengakses JKN untuk kesehatannya. Terlepas dari masuknya HIV sebagai penyakit yang ditanggung perawatannya oleh JKN, pada pelaksanaannya akses kepesertaan populasi kunci masih mendapatkan kendala administrasi. Pemahaman Puskesmas dalam JKN juga belum merata sehingga perbedaaan perlakukan untuk membayar atau memberikan layanan gratis masih ditemukan di tingkat UPT. Dua informan mengangkat isu terkait status pengguna napza untuk mendapatkan JKN. Masih ditemukan perbedaan pemahaman mengenai bisa tidaknya JKN digunakan untuk pengguna napza. g.
Penyediaan Layanan
i. Ketersediaan Layanan Di DKI Jakarta, layanan HIV sudah tersedia baik di tingkatan primer dan sekunder dan sudah terintegrasi antar berbagai pihak. Tempat pelayanan kesehatan seperti RS dan Puskesmas menyediakan berbagai layanan kesehatan terkait HIV seperti pencegahan, pengobatan, paliatif dan rehabilitatif. Hampir seluruh Puskesmas kecamatan di DKI Jakarta dapat memberikan layanan HIV, bahkan jejaring dengan RS untuk memberikan rujukan sudah terbentuk. Biasanya, layanan seperti tes HIV, pemeriksaan dan pengobatan IMS, Metadon,
52
LASS, ARV, tes darah lengkap dan TB sudah dapat diakses melalui Puskesmas. Dalam memberikan pelayanan kesehatan ini, RS dan Puskesmas juga bekerjasama dengan LSM. Peran LSM dalam meningkatkan akses layanan terutama dalam mempromosikan, merujuk dan mendorong dampingan populasi kunci agar mengunjungi layanan kesehatan terkait HIV yang tersedia. perawatan berbasis masyarakat belum ada, hanya melalui LSM saja. “layanan program HIV sudah terintegrasi dan sudah ada jejaring yang cukup baik antar fasyankes dan juga sistem informasinya” (R11) “perlu kerjasama dengan LSM yang membantu mendorong populasi kunci untuk mengakses layanan” (R4) Salah satu pemicu ketersediaan layanan HIV di DKI Jakarta adalah anjuran Gubernur DKI Jakarta yang menginginkan semua warga DKI Jakarta dapat mengetahui status HIV, terutama bagi kelompok populasi beresiko dan ibu hamil. Ditambah dengan inisiasi program LKB/SUFA yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan layanan dan pengobatan HIV. Akses terhadap ketersediaan layanan terkait HIV ini juga dapat mencakup seluruh populasi kunci di DKI Jakarta. Bahkan, pemantauan kebutuhan layanan untuk daerah terpencil seperti di Kepulauan Seribu juga sudah dilakukan. Dapat dibilang layanan kesehatan dapat diakses oleh seluruh masyarakat yang membutuhkan secara merata. “Gubernur menginginkan semua warga dapat mengetahui status HIV nya, dari sisi layanan sudah cukup siap dan semakin bertambah, sejauh ini ada 28 puskesmas yang siap, RS swasta juga permintaan semakin tinggi untuk dapat membuka layanan HIV” (R4) “sudah melakukan sesuai dengan fungsi nya untuk memberikan pelayanan yang bagus dan memenuhi standarnya. sudah bisa memenuhi kebutuhan populasi kunci” (R16) Sayangnya, masih terdapat beberapa hal yang menjadi catatan untuk perbaikan ke depan. Dalam konteks manajemen dan administrasi, rumitnya masalah administrasi, termasuk pengurusan dan penggantian JKN di tempat layanan masih dinilai menghambat orang untuk memanfaatkan layanan kesehatan terkait HIV lebih maksimal lagi. Kedisiplinan petugas layanan dalam meneraplan universal precaution (UP) saat memberikan layanan HIV juga dinilai masih perlu perbaikan. Waktu tunggu layanan yang lama dan faktor jarak juga dinilai masih lama sering menjadi faktor penghambat untuk mengakses layanan yang tersedia. Dua informan mengatakan bahwa jam layanan berubah-ubah di beberapa tempat. Hal ini kemungkinan juga terkait dengan jumlah SDM yang terbatas membuat jam layanan berubah-
53
ubah sesuai dengan ketersediaan dokter yang melayani. Perubahan fungsi beberapa Puskesmas menjadi RSUK juga membuat beberapa layanan yang sudah tersedia harus disesuaikan kembali dalam hal lokasi dan SDM. “Di jakarta ada RSUK yang tadinya puskesmas kemudian menjadi RS, Puskesmas tetap ada pindah lokasi, layanan HIV tetap jalan staff nya untuk awal dibagi sebagian di RSUK dan sebagian di PKM” (R4) Dalam konteks diversifikasi jenis layanan, terdapat beberapa layanan yang dibutuhkan namun belum dapat berjalan maksimal di DKI Jakarta. Hal ini diakibatkan layanan tersebut memang belum tersedia, belum berjalan, ataupun strategi implementasi yang kurang tepat. Misalnya, layanan kesehatan swasta belum sepenuhnya memahami jejaring layanan HIV yang sudah berjalan sampai saat ini. Layanan pendampingan untuk ODHA seperti kepatuhan berobat masih sepenuhnya bergantung pada LSM dan belum tersedia di tempat layanan primer. Enam informan mengangkat belum tersedianya program mitiasi dampak dan program nutrisi untuk ODHA belum berjalan di tempat layanan. Beberapa program mitigasi dampak diberikan oleh Dinas Sosial lebih kepada pelatihan membuat kue atau bantuan pangan. Beberapa program seperti Layanan terkait HAM dan bantuan hukum, pemberdayan dan integasi KDRT masih belum berjalan dengan baik atau belum termanfaatkan dengan maksimal. Sulitnya mengembangkan program yang inovatif diduga karena terkendala persetujuan dari Kemenkes dan jenis layanan yang diberikan masih dinilai “tebang-pilih” sesuai dengan kenyamanan pemerintah. “Mitigasi dampak yang secara khusus belum ada, ada dana untuk masyarakat umum namun kita dorong teman-teman ODHA untuk mengakses itu, seperti bantuan susu, dll” (R5) “Penyediaan layanan berdasarkan hasil assessment sering tidak berjalan. Yang terjadi adalah kalau nyaman buat pemerintah akan dikerjakan tetapi kalau tidak akan dialihkan ke LSM supaya mereka kerjakan dan diminta cari dana sendiri” (R5) “Pernah diundang dalam pembentukan panduan atau SOP untuk pemberian modal bagi WPS namun pada akhirnya kami kurang setuju dengan programnya karena kesannya tidak benar-benar melihat konisi di lapangan kesannya menyepelekan” (R10) ii. Kordinasi dan Rujukan Dalam menyediakan layanan terkait HIV, pemangku kepentingan di DKI Jakarta sudah melakukan upaya kordinasi bersama yang diatur oleh KPAP sesuai dengan tupoksi lembaga
54
tersebut. Pertemuan kordinasi melibatkan fasyankes, dinkes, CSR perubahaan swasta dan LSM yang bergerak di bidang HIV di DKI Jakarta, melalui metode pertemuan rutin atau dalam pertemuan rancangan rapat daerah. Hal yang dibicarakan dalam pertemuan kordinasi termasuk kendala dan masalah yang ditemui dalam menjalankan program terkait HIV seperti pelaporan dan situasi program antar wilayah administrasi. Namun tiga informan mengatakan keraguannya terhadap peran KPAP yang seharusnya bertanggung jawab penuh dalam melakukan fungsi koordinasi. Hal ini terjadi mengingat beberapa pekerjaan yang dilakukan KPAP lebih bersifat implementasi daripada mengkordinasikan program yang ada di DKI Jakarta. “Banyak aktor yang tidak melakukan implementasi sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya seperti contoh KPA yang seharusnya peran koordinasi namun sekarang jadi implementor, sehingga banyak timbul masalah” (R9) “Bahkan KPA dengan peran koordinasi juga berperan sebagai implementor dan kadang tidak tahu menempatkan diri kapan harus memerankan peran2 tersebut” (R17) Dalam implementasinya, masih ditemukan banyak kendala dalam melakukan kordinasi untuk program HIV di DKI Jakarta. Tiga informan mengatakan kurang maksimalnya kordinasi mengakibatkan kerjasama antar berbagai lembaga dan bagian tidak berjalan dengan baik, sehingga tumpang-tindih pelaksanaan program dan kegiatan masih terjadi.
Selain itu,
pemanfaatan sumber daya dalam program belum maksimal, banyak lembaga implementor yang belum memeiliki kapasitas dipaksa untuk melaksanakan tugas yang mereka belum terlalu paham. Bahkan hasil dokumentasi mid-term review tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya sebagai bahan pembelajaran. Pertemuan koordinasi juga belum dapat memaksimalkan diskusi mengenai target capaian program. Capaian program belum dianalisa lebih lanjut untuk kemudian dijadikan target program kedepannya. Satu informan mengatakan bahwa target 100% kondom yang dicetuskan oleh Global Fund sudah bebasis bukti, namun tidak dapat mengkomunikasihkan lebih lanjut mengenai ketersediaan bukti yang ada. “Koordinasi antar bagian belum baik sehingga sering tidak nyambung untuk pemenuhan layanan kesehatan” (R6) “Midterm review dilakukan tetapi tidak pernah ada data resmi dokumentasi hasilya yang dapat dipublis” (R15)
55
“Terkait dengan target belum berjalan, masalah banyak dan belum ada intervensi contoh untuk program PPIA, intervensi yang terintegrasi secara baik belum berjalan” (R5) iii. Jaminan Kualitas Layanan Dalam melihat jaminan kualitas layanan studi ini menggunakan tiga aspek kunci, yaitu mekanisme monitoring dan evaluasi regular, bantuan teknis dan stigma serta diskriminasi terkait HIV. Lima orang informan mengatakan DKI Jakarta sudah memiliki mekanisme monitoring dan evaluasi yang secara rutin dilakukan. Mekanisme monitoring dan evaluasi dilakukan dalam bentuk supervisi dan penilaian penerimaan manfaat program. Beberapa perangkat penilaian digunakan dalam melakukan monitoring rutin yang dilakukan, seperti Standar Pelayanan Minimal, ISO dan akreditasi untuk Puskesmas dan RS, dan survey kepuasan pelanggan. Mekanisme supervisi dilakukan oleh pemangku kebijakan kepada pelaksana program di lapangan dengan cara instansi yang lebih tinggi ke unit pelayanan dibawahnya, seperti Dinkes atau Sudinkes ke Puskesmas, KPAP ke KPAK, ataupun MPI ke LSM mitranya. Supervisi yang dilakukan bertujuan untuk perbaikan kualitas layanan. “ada STM (standar tinggi minimal) untuk PKM, di DKI sudah 50%, juga ada ISO untuk PKM dan RS, ada akreditasi untuk fasyankes/RS” (R4) Namun, mekanisme monitoring dan evaluasi yang dilakukan dinilai masih terdapat beberapa kekurangan. Supervisi yang dilakukan dirasa masih belum mampun untuk menilai efektifitas layanan dan belum dapat meningkatkan jaminan kualitas layanan agar lebih baik. Lima informan mengatakan mekanisme yang ada belum mampu meningkatkan kualitas layanan terkait HIV dan AIDS. Hal ini diduga karena belum ada sistem serta manajemen assessment yang baik dan tidak terkontrol oleh Kementerian Kesehatan, survei kepuasan pelanggan di puskesmas tidak mencakup layanan HIV, masih kurangnya pelibatan dari penerima manfaat dalam melakukan evaluasi di layanan. Selain itu, dua informan mengatakan mekansime monitoring yang ada belum menyentuk penyedia layanan swasta mengingat mereka tidak termasuk dalam ranah monitoring dan ketentuan yang sudah ditentukan oleh pemerintah daerah. “Belum ada manajemen khusus untuk melakukan assessment atau supervise untuk melihat jaminan kulaitas layanan” (R2) “Kualitas layanan Swasta beda dengan Pemerintah, swasta tidak terpaku, RS pemerintah SOP” (R12)
56
Begitupun dengan bantuan teknis sudah tersedia bagi respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Bila dikagorikan, bantuan teknis ada yang diberikan oleh pemerintah ataupun yang berasal dari mitra pembangunan internasional (MPI). Bantuan teknis dari pemerintah umumnya diberikan sesuai dengan alur perintah dan tanggung jawab dari instansi yang terkait minimal satu tahun sekali. Misalnya, dinkes memberikan bantuan kepada puskesmas sebagai unit pelaksana teknis yang bertanggung jawab dalam kesehatan didaerahnya. Bantuan teknis terutama diberikan bila ditemukan masalah yang diketahui saat supervisi lapangan. Sedangkan bantuan teknis dari MPI lebih terstruktur dan rutin. Hal ini sangat mungkin berkaitan dengan mandat organisasi yang bertugas untuk memberikan bantuan teknis kepada pemerintah. Bantuan teknis dapat diberikan baik kepada penyedia layanan pemerintah seperti Puskesmas dan Lembaga Pemasyarakatan, ataupun LSM, baik dalam bentuk bimbingan ataupun peningkatan kapasitas. “Bimtek diberikan dari dinkes ke fasyankes bila ada permasalahan yang ditemukan saat supervisi” (R4) “FHI lebih pada memeberikan technical assistance kepada pemerintah, selain itu kita juga pernah support untuk CoC di beberapa Puskesmas, selain itu juga berpartner dengan LSM ada sekitar 80 LSM, bukan memberi dana untuk implementasi” (R17) Selain itu beberapa upaya untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terkait HIV telah dilakukan oleh fasyankes di DKI Jakarta. Tiga informan mengatakan upaya pengurangan stigma dan diskriminasi dilakukan melalui pemberian informasi yang benar kepada masyarakat luas dan dua informan mengatakan terdapat pelatihan yang dilakukan. Namun enam informan juga mengatakan bahwa stigma dan diskriminasi di tingkatan masyarakat masih menghadapi tantangan, terlepas dari pelibatan masyarakat yang telah dilakukan. Pelibatan kader masyarakat untuk mengurangi stigma dan diskriminasi di tataran masyarakat dianggap sebagai salah satu cara yang cukup strategis oleh satu informan. Hal ini diperkirakan karena isu HIV masih sering dikaitkan dengan masalah religius. Untuk stigma dan diskriminasi pada tingkatan fasyankes, enam informan mengatakan hal tersebut masih terjadi. Empat informan secara spesifik menyebutkan stigma dan diskriminasi masih dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal tersebut terjadi diduga karena tingkat pengetahuan yang berbeda dan perlu ditingkatkan dengan pelatihan kepada tenaga kesehatan di fasyankes.
57
“Di masyarakat masih dikaitkan dengan masalah religius, masih tinggi stigma dan diskriminasinya” (R6) “Masih ada di fasyankes oleh nakes, usaha untuk mengatasi juga masih dianggap kurang” (R10) Untuk rujukan, DKI Jakarta banyak bergantung kepada LSM. Selain itu, setelah ada UPT satelit ARV, jejaring rujukan antar puskesmas dan rumah sakit telah terbentuk. 2.
Tingkat Integrasi
Dalam menilai tingkat integrasi respon HIV ke dalam sistem kesehatan, studi ini akan menggunakan definisi tingkat integrasi menurut Conseil et al. (2010) dan Desai et al. (2010) yang mengkategorikan tingkat integrasi menjadi tiga, Penuh, Terintegrasi secara parsial dan Tidak terintegrasi. Sebuah sub-sistem kesehatan dikatakan terintegrasi penuh bila intervensi dikelola secara penuh dan dikendalikan melalui sistem kesehatan yang berlaku. Sedangkan penilaian integrasi sebagian bila intervensi ini dikelola sebagian oleh sistem kesehatan yang ada dan sistem untuk intervensi tertentu. Hasil temuan studi di setiap dimensi dalam masingmasing sub-sistem dalam sistem kesehatan akan diukur tingkat integrasinya untuk setiap respon HIV, dalam konteks ini pencegahan, PDP, dan mitigasi dampak. Untuk membantu tingkat pengukuran integrasi, pertanyaan kunci disiapkan untuk dimensi sebagai indikator pengukur seperti terlihat dalam table 7. Tabel 7. pertanyaan kunci tingkat integrasi di setiap dimensi
Dimensi Regulasi Formulasi kebijakan Akuntabilitas Pengeloaan sumber pembiayaan penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran Kebijakan dan sistem manajemen Pembiayaan Kompetensi Regulasi, penyediaan, diagnostic dan terapi
Indikator pertanyaan kunci Apakah pemerintah daerah mengkoordinasikan dan mengelola sumber pembiayaan penanggulangan AIDS yang berasal dari berbagai sumber? Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD? (dalam bentuk Anggaran di SKPD atau Bantuan Sosial) Apakah JKN atau jamkesda bisa digunakan oleh masyarakat untuk memanfaatkan layanan perawatan dan pengobatan HIV? Apakah pemerintah daerah mengkoordinasikan dan mengelola sumber pembiayaan penanggulangan AIDS yang berasal dari berbagai sumber? Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD? (dalam bentuk Anggaran di SKPD atau Bantuan Sosial) Apakah ada regulasi yang mengatur tentang SDM yang digunakan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini? (kompetensi, pengembangan kapasitas, penempatan/mutasi, hubungan kerja dengan non pemerintah) Apakah pembiayaan pengelolaan SDM penanggulangan HIV dan AIDS menggunakan pembiayaan di sektor kesehatan (pemerintah)? Apakah standar kompetensi untuk SDM yang bekerja dalam program HIV dan AIDS mengacu dalam peraturan tentang SDM kesehatan yang berlaku? Apakah regulasi penyediaan, penyimpanan material, diagnostik, dan terapi terkait HIV dan AIDS di daerah tersebut seperti untuk permasalahan kesehatan lain di
58
Dimensi
Sumber daya
Sinkronisasi informasi Diseminasi pemanfaatan
sistem
dan
Partisipasi masyarakat
Akses dan pemanfaatan layanan Ketersediaan layanan Kordinasi dan rujukan
Jaminan layanan
kualitas
Indikator pertanyaan kunci daerah tersebut atau disediakan oleh JKN? (reagen, ARV, kondom, jarum suntik, mesin CD4 dan VL) Apakah sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, dan distribusi obat dan perlengkapan medik untuk HIV dan AIDS masuk di dalam anggaran dinas kesehatan atau ditanggung oleh JKN? Apakah program HIV dan AIDS menggunakan sistem informasi yang digunakan oleh dinas kesehatan? (surveilans, survey, monitoring dan evaluasi program berdasarkan input, proses, output) Apakah hasil pengolahan data sistem informasi program HIV dan AIDS yang ada saat ini digunakan untuk perencanaan dan pengembangan program HIV di daerah tersebut? Apakah ada bentuk-bentuk kemitraan antara pemerintah dengan masayarakat sipil atau swasta dalam proses perencanaan hingga evaluasi program HIV dan AIDS di daerah ini? Apakah ada upaya dari program HIV dan AIDS untuk mendorong masyarakat khususnya populasi kunci untuk memanfaatkan JKN atau bantuan sosial dalam mengakses layanan HIV dan AIDS yang tersedia di wilayah tersebut? Apakah tersedia layanan penanggulangan HIV dan AIDS di fasyankes primer dan sekunder di daerah ini? Apakah layanan HIV dan AIDS yang ada di daerah ini dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan melalui KPAD sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan termasuk penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini? Apakah ada mekanisme supervisi dan evaluasi untuk menjamin kualitas layanan penanggulangan HIV dan AIDS seperti halnya mekanisme dalam pelayanan kesehatan lainnya? (penerapan SOP layanan, ketaatan terhadap petunjuk pelaksanaan, akreditasi, survei kepuasan klien, dll)
Sub-sistem manajemen dan regulasi terdiri dari tiga dimesi yaitu regulasi, formulasi kebijakan dan akuntabilitas. Untuk dimensi regulasi tingkat intergasi pencegahan dan PDP sudah terjadi secara penuh, sedangkan mitigasi dampak tidak terinterintergasi sama sekali. Dalam respon promosi dan pencegahan HIV dan AIDS sudah terdapat tiga kebijakan pendukung yang dapat memastikan baik pencegahan penasun dan transmisi seksual dapat berjalan. Kebijakan krusial untuk pencegahan melalui penasun adalah surat edaran Kadinkes No 3884/1.778/2009 tentang kemandirian penganggaran HR yang mengusulkan agar setiap puskesmas dapat mengeluarkan anggaran untuk alkes jarum steril, pertemuan penasun dan kader muda melalui BLUD. Sedangkan untuk pencegahan tranmisi seks, adanya kebijakan untuk program PMTS yang memastikan distribusi kondom dan outlet kondom dapat dilakukan di setiap kotamadya. Sayangnya tidak ada satupun regulasi terkait mitigasi dampak yang tersedia. Sedangkan hasil pengolahan data untuk dimensi formulasi kebijakan tidak bisa secara detil melihat sesuai masing-masing respon program karena keterbatasan data. Namun secara garis besar sudah ada upaya untuk melakukan pengumpulan data melalui surveillance dan survei perilaku dan data capaian bulanan, namun tidak ada informasi yang memastikan bahwa data tersebut digunakan untuk perencanaan kebijakan. Ketidaktersediaan data untuk memilah
59
pengukuran per respon HIV dan AIDS juga ditemukan dalam dimensi akuntabilitas. Secara umum bentuk akutabilitas pemerintah dalam respon HIV dan AIDS lebih mengarah pada pemberian informasi dan belum merujuk pada perencanaan dan penggunaan anggaran. Terdapat tiga dimensi dalam sub-sistem pembiayaan, yaitu pengeloaan sumber pembiayaan, penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran, serta mekanisme pembayaran layanan. Bila dilihat secara umum, dimensi sumber pembiayaan dapat dikatakan sudah terintegrasi secara penuh. Hal ini terlihat dari adanya dukungan APBD untuk program HIV sebesar 64% dan penggunaan e-catalogue untuk mengajukan perencanaan anggaran, sesuai dengan ketentukan pemerintah daerah DKI Jakarta. Namun, informasi terpilah sesuai dengan respon intervensi (Pencegahan, PDP, mitigasi dampak) tidak tersedia untuk dinilai lebih lanjut. Sedangkan dalam dimensi penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran, tingkat integrasi untuk PDP dan pencegahan dapat dikategorikan sebagai terintegrasi penuh. Penilaian ini didapat mengingat sudah ada mata anggaran untuk program HIV dan AIDS. Data yang ada menunjukan bahwa anggaran untuk pencegahan yang berasal dari APBD berjumlah 41% dari total APBD 2012 dan 12% untuk PDP. Dana ini dapat dikeluarkan dari BLUD puskesmas. Walaupun persentasi anggaran untuk PDP tergolong kecil namun hal ini diasumsikan karena anggaran ARV sudah ditanggung oleh pemerintah pusat. Untuk respon mitigasi dampak dinilai terintegrasi secara parsial mengingat jumlah anggaran yang dikeluarkan dari APBD sangat kecil (0.23%). Kemungkinan dana yang dialokasikan untuk mitigasi berupa bantuan gizi untuk ODHA dan belum dilakukan secara merata oleh setiap UPT. Dimensi ketiga, yaitu mekanisme pembayaran memiliki penilaian yang berbeda-beda. Pencegahan dinilai terintegrasi sebagaian mengingat dana JKN dapat digunakan untuk membayar biaya PTRM namun tidak dapat digunkan untuk membeli jarum suntik dan kondom. Sedangkan PDP dinilai sudah terintegrasi karena biaya perawatan terkait HIV dapat dibayar menggunakan JKN. Walaupun hasil pengolahan data mengatakan bahwa masih ada beberapa biaya yang tidak tercakup seperti biaya lab dan obat, namun hal ini juga ditemukan bila masyarakat lain mengakses JKN untuk penyakit lain. Sub-sistem ketiga adalah sumber daya manusia yang dikategorikan dengan dimensi kebijakan dan sistem manajemen, pembiayaan serta kompetensi. Dalam dimensi kebijakan dan sistem manajemen, tidak tersedia data yang memadai untuk menilai respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak. Namun secara umum dimensi kebijakan dan sistem manajemen dapat
60
dikatakan tidak terintegrasi mengingat DKI Jakarta belum memiliki aturan tertulis terkait pengelolaan SDM untuk program HIV, baik yang PNS, non-PNS ataupun masyarakat sipil. Dimensi pembiayaan juga tidak dapat dinilai sesuai respon penanggulangan HIV mengingat keterbatasan data yang terkumpul. Walaupun secara umum petugas di UPT baik yang bersifat PNS ataupun kontrak yang memberikan pelayanan HIV sudah dibayar melalui APBD. Untuk dimensi kompetensi, hanya PDP yang dinilai sudah terintegrasi secara penuh. Permenkes No.5 tahun 2014 mengatur standar pelayanan klinis yang harus diberikan oleh dokter terkait HIV. Sayangnya tidak ada data yang tersedia untuk menilai kategori pencegahan dan mitigasi dampak. Sub-sistem keempat adalah Penyediaan farmasi dan alkes yang dikategorikan melalui dimensi regulasi penyediaan penyimpanan diagnostik dan terapi, serta sumber daya. Dalam dimensi penyediaan farmasi dan alkes, respon pencegahan dikategorikan tidak terintegrasi karena masih dilakukan melalui KPAP dan KPAK, sedangkan respon PDP dinilai sudah terintegrasi penuh mengingat pengadaan ARV sudah berada di bawah tanggung jawab bidang farmasi Kemenkes dan sudah proses distribusinya sudah dilakukan melalui Dinkes untuk diteruskan ke UPT yang memberikan pelayanan. Pencatatan ARV juga sudah mengacu pada pedoman pemberian ARV yang tertera dalam Permenkes No. 87 tahun 2014. Respon mitigasi dampak tidak dapat diukur lebih lanjut karena ketidaktersediaan data. Dalam dimensi sumber daya, respon pencegahan dinilai terintegrasi sebagian karena masih ada alat kesehatan jarum suntik untuk mendukung program pengurangan dampak buruk yang masih didukung oleh donor. Namun dengan adanya surat edaran Ka. Dinkes No. 3884/1.778/2009, UPT dapat menganggarkan jarum suntik melalui dana APBD. Respon PDP dinilai sudah terintegrasi penuh karena pembelian ARV sudah menggunakan dana APBD dan sebagian besar beban logistik sudah ditanggung oleh APBD. Tidak ada data yang dapat digunakan untuk mengukur respon mitigasi dampak. Sub-sistem kelima adalah informasi strategis yang dipilah berdasarkan dimensi sinkronisasi sistem informasi, dan diseminasi dan pemanfaatan. Respon pencegahan dan PDP dinilai sudah terintegrasi secara penuh dalam dimensi sinkronisasi sistem informasi karena sudah ada survei perilaku dan biologis yang dilakukan untuk melihat prevalensi HIV pada populasi kunci. Dalam dimensi diseminasi dan pemanfaatan, tidak ada data data yang dapat digunakan untk menilai secara spesifik respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak. Namun
61
secara umum, pemanfaatan dari laporan rutin yang terkumpul masih perlu dimaksimalkan terutama untuk perencanaan dan desain program. Sedangkan respon mitigasi dampak tidak memiliki informasi yang cukup untuk dapat dinilai. Sub-sistem keenam adalah pemberdayaan masyarakat yang dilihat melalui dimensi partisipasi masyarakat dan akses serta pemanfaatan layanan. Dari hasil pengolahan data, tidak ada data yang dapat digunakan untuk menilai secara spesifik respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak untuk kedua dimensi dalam sub-sistem pemberdayaan masyarakat. Namun secara umum dimensi partisipasi masyarakat dapat dikategorikan sebagai terintegrasi sebagian mengingat sudah ada pelibatan unsur masyarkaat sipil dalam perencanaan dan evaluasi program walaupun belum merata. Sedangkan dalam dimensi pemanfaatan layanan juga dapat dikatakan sudah terintegrasi sebagian karena UPT dan LSM secara aktif berusaha untuk memastikan populasi kunci dan terdampak HIV untuk teregistrasi dalam JKN, walaupun masih ada beberapa hambatan seperti kesulitan administrasi dan perbedaan pemahaman antar UPT dalam memaknai kegunaan JKN bagi populasi kunci. Dimensi ketujuh yaitu penyediaan layanan yang dinilai melalui dimensi ketersediaan layanan, kordinasi dan rujukan serta jaminan kualitas layanan. Dalam dimensi ketersediaan layanan, respon pencegahan dan PDP dinilai sudah terintegrasi secara penuh. Sekitar 38 puskesmas kecamatan di DKI Jakarta sudah dapat melakukan tes HIV, 30 puskesmas melakukan program LASS, 6 puskesmas menjadi satelit ARV dan 8 puskesmas menjalankan PTRM. Namun tidak ada data yang tersedia untuk mengukur mitigasi dampak. Dalam dimensi kordinasi dan rujukan, tidak ada data yang tersedia untuk mengukur secara spesifik respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak. Namun secara umum sudah ada kordinasi antar lembaga yang bergerak di bidang HIV yang dilakukan oleh KPAP dan Dinkes. Selain itu, alur rujukan sudah tersedia untuk program HIV baik dari LSM ke UPT ataupun antar UPT. Begitupun dengan dimensi jaminan kualitas layanan, hasil pengolahan data tidak dapat digunakan untuk mengukur respon HIV secara spesifik dikarenakan keterbatasan data. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa dimensi jaminan kualitas layanan sudah terintegasi sebagian mengingat mekanisme monitoring dan supervisi sudah menggunakan jalur yang sama dengan penyakit lain yaitu dari Sudinkes ke puskesmas, untuk kemudian disampaikan kepada Dinkes. Sayangnya program HIV belum masuk dalam daftar akreditasi Pukesmas. Rangkuman penilaian setiap dimensi dalam tujuk kategori sub-sistem dapat dilihat dalam table 8.
62
Tabel 8. Tingkat Integrasi sub-sistem dalam setiap dimensi sistem kesehatan
Sub-sistem Manajemen Regulasi
&
Pembiayaan Kesehatan
SDM
Penyediaan farmasi dan alkes Sistem informasi Pemberdayaan Masyarakat Penyediaan layanan
Dimensi
Pencegahan
PDP
Regulasi Formulasi Kebijakan Akuntabilitas Pengelolaan sumber pembiayaan Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran Mekanisme pembayaran layanan Kebijakan dan sistem manajamen Pembiayaan Kompetensi Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi Sumber daya Sinkronisasi sistem informasi Diseminasi dan pemanfaatan Partisipasi Masyarakat Akses dan pemanfaatan layanan Ketersedian Layanan Kordinasi dan Rujukan Jaminan Kualitas Layanan
††† n/a n/a n/a †††
††† n/a n/a n/a †††
Mitigasi Dampak † n/a n/a n/a †
†† n/a n/a n/a †
††† n/a n/a ††† †††
† n/a n/a n/a n/a
†† ††† n/a n/a n/a ††† n/a n/a
††† ††† n/a n/a n/a ††† n/a n/a
n/a n/a n/a n/a n/a n/a n/a n/a
Keterangan: †††: Terintergasi penuh; ††: Terintergasi secara parsial; † Tidak terintegrasi; n/a tidak ada informasi tersedia
a. Hubungan tingkat integrasi dengan Kinerja Program HIV dan AIDS di DKI Jakarta Bila merujuk pada table 8 dapat terlihat bahwa banyak data yang tidak tersedia untuk mengukur setiap dimensi dalam sub-sistem kesehatan. Hasil pengukuran tingkat integrasi dapat disimpulkan bahwa PDP adalah respon HIV AIDS terbanyak yang dimensinya sudah terintegrasi. Sub-sistem penyediaan farmasi dan alkes sudah terintegrasi secara penuh di kedua dimensinya. Sedangkan dalam sub-sistem lain ada beberapa dimensi yang sudah teringrasi secara penuh seperti dimensi regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem pembayaran layanan, kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Sedangkan dalam respon pencegahan dimensi dalam sub-sistem yang sudah teringrasi baru dalam tataran regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Beberapa dimensi seperti mekanisme pembayaran dan sumber daya baru terintegrasi secara parsial. Sayangnya, dari keseluruhan dimensi yang diukur dalam respon mitigasi dampak hanya tiga dimensi yang tersedia datanya, yaitu regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dengan hasil pengukuran bahwa dimensi tersebut tidak terintegrasi dengan sistem kesehatan di DKI Jakarta.
63
Dengan tingkat integrasi yang ada, hasil cakupan respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta masih sangat jauh dari capaian ideal. Pada table 9 dipetakan estimasi populasi beresiko tinggi yang menjadi sasaran utama dalam respon HIV di DKI Jakarta. SRAP DKI Jakarta mensyarakatkan agar 80% dari target setiap populasi kunci dapat terjangkau oleh respon HIV. Dari hasil kerja pada 2012 terlihat bahwa populasi kunci yang terjangkau sesuai target hanya waria (81%). Sedangkan populasi kunci lain hanya terjangkau kurang dari 45%. Untuk kelompok penasun yang mendapatkan akses pencegahan hanya 47% menerima PTRM dan 13.8% menerima program LASS. Bila dihubungkan dengan akses terhadap PDP, hanya kelompok penasun yang memiliki cakupan tes HIV mendekati setengah dari target SRAP (46.4%), sisanya hanya mendapatkan akses terhadap tes HIV kurang dari 25 persen. Tabel 9. Capaian respon HIV di DKI Jakarta per populasi kunci
Populasi Kunci WPS WPS TL Pelanggan WPS LSL Waria Penasun Aktif LASS Aktif PTRM
Estimasi (2012) 12,560 22,030 246,830 46,900 2,050 34,900
Target 80% (SRAP) 10,048 17,624 197,464 37,520 1,640 27,920
Terjangkau (2012)
% terjangkau
Tes HIV
% Capaian
12,238
44.2%
1,845
15%
69,279 8,705 1,336 3,878 1,831 1,115
35% 23.2% 81% 13.8% 47.2% 28.5%
n/a 1,848 327 12,973 n/a n/a
n/a 21.2% 24.4% 46.4% -
Sumber: SRAP KPAP DKI (2013)
Tentunya akses populasi kunci terhadap tes HIV berkontribusi terhadap capaian Dinkes terkait target HIV AIDS. Dalam rencana strategis Dinkes 2013-2017 indikator kinerja program terkait HIV adalah presentase akses layanan kesehatan pada ODHA dengan peningkatan 5% setiap tahun sampai mencapai 60% pada tahun 2017. Data estimasi dari Kemkes (2012) menyatakan bahwa estimasi ODHA di DKI Jakarta berjumlah sekitar 87 ribu orang. Bila mengacu pada renstra Dinkes maka target cakupan layanan adalah 45% atau sekitar 39 ribu ODHA yang mendapatkan akses layanan kesehatan. Dari data laporan twiwulan HIV Kemkes (2014) tercatat bahwa Dinkes hanya bisa mencapai 82% dari target kinerja yang disyaratkan. Itupun hanya 44% ODHA yang dalam perawatan ART dari 23 ribu ODHA yang memenuhi syarat untuk ART. Angka loss to follow up dan kematian ODHA cukup tinggi di DKI Jakarta. Hal ini perlu menjadi perhatian bila kinerja Dinkes diukur dari jumlah ODHA yang mendapatkan akses layanan kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa tingkat intergasi sub-sistem yang sekarangpun belum mampu meningkatkan kualitas PDP dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta.
64
Gambar 4. Cascade HIV di DKI Jakarta
Sumber: Laporan triwulan III Kemkes (2014)
65
IV.
DISKUSI
Terdapat beberapa temuan penting dalam studi ini yang layak untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertama, dalam analisa pemangku kepentingan terungkap bahwa terdapat banyak pemangku kepentingan dalam HIV AIDS dengan posisi kekuasaan dan kepentigan yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan temuan dari Ancker dan Rechel (2015) yang menemukan tingkatan kepentingan berbeda antara pemangku kepentingan dalam program HIV dan AIDS Di Kyrgyzstan. Disebutkan bahwa lembaga pemerintahan dan lembaga donor memiliki kepentingan dan kekuasaan yang tinggi, sesuai dengan temuan dalam studi ini dimana Dinkes, KPAP, Puksesmas dan MPI masuk dalam kateori kepentingan dan kekuasaan tinggi. Tiga aktor pertama berkaitan dengan unsur pemerintahan, walaupun Dinkes dan Puskesmas adalah instansi struktural dari pemerintah daerah dan KPAP merupakan lembaga non-struktural. Sedangkan MPI walaupun “lembaga luar” pemerintahan namun dapat masuk dalam kategori ini. Menurut Peters, Paina & Schleimann (2013) hal ini dikarenakan MPI masuk melalui isu inisiatif global untuk bekerja di dalam negeri. Kesamaan yang membuat keempat actor ini memiliki kepentingan dan kekuasaan tinggi dalam respon HIV adalah adanya modal dan legitimasi melalui payung hukum mengenai peran dan tanggungjawab dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta. Menurut Gore dan rekan (2014), peran pemerintah sangat penting dalam analisa politik program HIV mengingat pemerintah adalah peramu kebijakan, penyedia sumber daya terbesar, dan seharusnya memiliki kapasitas untuk bernegosiasi atas keterlibatan donor dalam respon HIV dan AIDS di dalam negeri. Selain itu, data dan tingkat integrasi dalam respon mitigasi dampak sangat terbatas bila dibandingkan dengan respon HIV dan AIDS di pencegahan dan PDP di DKI Jakarta. Menurut Husain dan Badcock-Walters (2002) minimnya program mitigasi dampak umumnya terjadi ketika respon HIV lebih berfokus pada masalah kesehatan masyarakat dan melupakan tantangan pembangunan dan managerial yang melingkupi permasalah HIV dan AIDS. Ketidaktersedianya data terkait dampak epidemi HIV terhadap ekonomi dalam jangka panjang mengakibatkan ketidakpastian dalam merancang program terkait mitigasi dampak. Hal ini biasanya terjadi bila respon HIV hanya dilihat sebagai masalah kesehatan saja sehingga fokus solusi terhadap masalah tidak dapat keluar dari lingkup kesehatan, dan melihat aspek sosial dan ekonomi. Situasi ini serupa dengan respon HIV yang terjadi di Jakarta di mana data dan respon lebih banyak terlihat pada komponen program pencegahan dan PDP. Dalam
66
respon mitigasi dampak yang berhasil diukur tingkat integrasinya menunjukan bahwa dimensi regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran serta mekanisme pembayaran layanan menunjukan tidak terintegrasi dalam sistem kesehatan daerah. Sedangkan tingkat integrasi sub-sistem pada respon pecegahan dan PDP berbeda-beda. Dapat dikatakan hanya lima dari tujuh sub-sistem dimana terdapat dimensi yang dapat terukur tingkat intergasinya. Sub-sistem pemberdaan masyarakat dan sumber daya manusia (kecuali dimensi kompetensi) sama sekali tidak dapat terukur tingkat integrasinya. Menurut Mugavero, Norton, & Saag (2011) level integrasi yang berbeda dalam pemberian layanan umumnya terjadi berkaitan dengan ketersediaan anggaran, kurangnya kordinasi dan pendekatan yang berbeda dalam monitoring/surveillance program. Tingkat integrasi penuh dari kedua respon terlihat dalam dimensi regulasi, pengganggaran proprosi distribusi dan pengeluaran, sinkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Hal ini serupa dengan temuan studi Desai et al (2010) di mana tingkat integrasi secara penuh ditemukan pada infratstuktur layanan kesehatan dan proses procurement pada implementasi program dukungan Global Fund di Indoensia. Pada sub-sistem sistem informasi dimensi pemanfaatan dan diseminasi terhadap data yang sudah terkumpul belum dilakukan secara maksimal karena masih adanya kebingungan kepemilikan data antara nasional atau daerah. Untuk respon pencegahan, dimensi mekanisme pembayaran layanan dan sumber daya baru terintegrasi sebagian, sedangkan dalam respon PDP dimensi tersebut sudah terintegrasi secara penuh. Menurut Atun, Bennet & Duran (2008) adanya perbedaan tingkat integrasi dalam sub-sistem kesehatan terjadi karena adanya dorongan program dari komitmen global yang menfokuskan dukungan dana dan teknis untuk mengentaskan masalah kesehatan spesifik seperti AIDS, malaria atau tuberculosis. Selanjutnya menurut Atun dan rekan (2010) hasil sistematik review terhadap bukti integrasi intervensi kesehatan ke dalam sistem kesehatan menyimpulkan bahwa program kesehatan yang efektif ada yang dihasilkan dari intervensi yang terintegrasi penuh,
sebagian
dan
tidak
terintegrasi.
Pada
prakteknya
sistem
kesehatan
mengkombinasikan intervensi yang terintegasi penuh dan tidak terintegrasi. Hal yang penting adalah apakah tingkat integrasi suatu intervensi kesehatan terhadap sistem kesehatan tersebut seberapa berhasil mengatasi masalah kesehatan yang ada.
67
68
V.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari studi ini adalah, pertama DKI Jakarta telah melakukan berbagai respon HIV dan AIDS yang dilakukan oleh beberapa pemangku kepentingan. Untuk menghadapi permasalahan ini respon terkait HIV di DKI Jakarta mencakup respon pencegahan yang berfokus pada pengguna napza suntik dan transmisi seksual melalui PMTS, respon PDP termasuk LKB dan SUFA, dan mitigasi dampak. Layanan HIV sudah tersedia merata di semua kotamadya. Beberapa pemangku kepentingan yang terlibat memiliki tingkat kepentingan dan kekuasaan yang bervariasi. Besarnya kepentingan dan kekuasan banyak dipengaruhi oleh kepemilikan modal dan legitimasi payung hukum untuk melaksanakan program terkait HIV AIDS. Kedua, respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta memiliki tingkat integrasi yang berbeda-beda. PDP dan pencegahan adalah respon HIV dan AIDS terbanyak yang dimensinya sudah terintegrasi, sedangkan mitigasi dampak adalah respon yang paling tidak terintegrasi. Dimensi yang sudah terintegrasi secara penuh adalah regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem pembayaran layanan, kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Sub-sistem yang tidak dapat diukur tingkat integrasinya adalah pemberdayaan masyarakat dan Sumber Daya manusia. Dimensi kompetensi hanya terdapat dalam respon PDP. Ketiga, tingkat integrasi sub-sistem kesehatan dan respon HIV dan AIDS di Jakarta belum mampu meningkatkan cakupan respon dalam menjangkau populasi kunci ataupun dalam perawatan. Hasil cakupan program masih berada di bawah target yang ditentukan dalam SRAP dan Renstra Dinkes. Keempat, terdapat beberapa faktor yang pelu diperhatikan untuk meningkatkan tingkat integrasi sistem kesehatan dan respon HIV seperti: aspek sosial dan ekonomi jangka panjang harus diperhatikan untuk meningkatkan respon mitigasi dampak, ketersediaan anggaran, meningkatkan kordinasi, dan pendekatan dalam monitoring/surveillance program agar dapat lebih dimanfaatkan untuk perancangan respon HIV ke depan.
69
B.
Rekomendasi
Hasil penelitian ini bertujuan untuk memberikan perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah sehingga rekomendasi yang diberikan berada pada tataran operasional sehingga dapat digunakan secara langsung untuk memperbaiki layanan, sebagai berikut: 1. Melakukan kajian sosial dan ekonomi terkait dampak HIV AIDS jangka panjang, terutama dengan adanya program SUFA yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup ODHA secara bermakna. Hasil dari kajian dapat digunakan untuk melakukan inovasi program mitigasi dampak, termasuk memperluas cakupan kerjasama seperti dengan instansi terkait seperti dinas sosial, badan pemberdayaan masyarakat perempuan dan keluarga berencana, badan pendidikan dan pelatihan provinsi; 2. Melakukan inovasi untuk mensiasati jumlah tenaga kesehatan yang terbatas dengan melakukan task shifting atau perpindahan delegasi beberapa pekerjaan terkait HIV yang dapat dilakukan oleh kader masyarakat, LSM atau populasi kunci seperti tes HIV berbasis komunitas, konseling kepatuhan ARV, konseling dan assessment terkait kesehatan reproduksi, PPIA dan Keluarga Berencana, registrasi dan data manajement system; 3. Melakukan standarisasi kualitas layanan HIV sebagai jaminan mutu dalam konteks kompetensi SDM, SOP, supervisi, dan dukungan teknis untuk mengimplementasi program pencegagan, perawatan, dukungan, pengobatan, dan mitigasi dampak; 4. Melakukan upaya persiapan SDM sejak dini dengan memasukan kurikulum HIV&AIDS dalam fakultas kedokteran atau fakultas kesehatan masyarakat untuk menjamin keberlanjutan SDM yang bekualitas dan mengurangi beban pelatihan SDM; 5. Melakukan affirmative action agar lebih aktif bekerja sama dan melibatkan komunitas terdampak HIV (LSM, komunitas populasi kunci) dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi program; 6. Memperjelas kepemilikan data dari SIHA dan IBBS dan melakukan analisa yang lebih spesifik untuk setiap komponen Pencegahan dan PDP untuk kepentingan
70
pengembangan program di daerah, termasuk menyediakan data dan target capaian untuk program terkait mitigasi dampak; 7. Memperhatikan dan mulai menginventarisir dampak desentralisasi terhadap respon HIV seperti tidak meratanya jumlah staf dan kualitas layanan akibat komitmen kotamadya, serta melakukan upaya perbaikan dan solusi; 8. Memanfaatkan peran CSR perusaan swasta untuk terlibat secara aktif dalam isu HIV secara berkelanjutan dan memfasilitasi kerjasama dengan LSM sebagai solusi keterbatasan dana yang dikelola oleh LSM untuk respon HIV;
71
Daftar Pustaka Ancker, S., & Rechel, B. (2015). HIV/AIDS policy-making in Kyrgyzstan: a stakeholder analysis. Health policy and planning, 30(1), 8-18. Atun, R. A., Bennett, S., & Duran, A. (2008). When do vertical (stand-alone) programmes have a place in health systems. Geneva: World Health Organization. Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., Adeyi, O. 2010a. Integration of targeted health interventions into health systems: A conceptual framework for analysis. Health Policy and Planning, 25:104-111 Atun, Rifat, Thyra de Jongh, Federica Secci, Kelechi Ohiri, and Olusoji Adeyi. (2010) "A systematic review of the evidence on integration of targeted health interventions into health systems." Health policy and planning 25, no. 1 (2010): 1-14. BPS (2014) “Jakarta Dalam Angka” http://www.jakarta.go.id/v2/jakarta_dalam_angka#/0 BPS (2014) “Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2014” BPS Jakarta. Retrieved on 2 March 2016
from
http://jakarta.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Statistik-Daerah--
Provinsi-DKI-Jakarta-2014.pdf Coker, R., Balen, J., Mounier-Jack, S., Shigayeva, A., Lazarus, JV., Rudge, J.W., Naik, N., Atun, R. 2010. A conceptual and analytical approach to comparative analysis of country case studies: HIV and TB control programmes and health systems integration. Health Policy and Planning, 25 (suppl 1): i21-i31 doi:10.1093/heapol/czq054 Conseil, A., Mounier-jack, S., Coker, A. 2010. Integration of health systems and priority health interventions: a case study of the integration of HIV and TB control programmes into the general health system in Vietnam. Health Policy and Planning, 25:i32-i36. Creswell, J.W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Desai, M., Rudge, J. W., Adisasmito, W., Mounier-Jack, S., & Coker, R. (2010). Critical interactions between Global Fund-supported programmes and health systems: a case study in Indonesia. Health Policy and Planning,25(suppl 1), i43-i47. Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2013) “Rencana Strategis Kesehatan 2013-2017” Dongbao, Yu., Souteyrand, Y., Banda, M.A., Kaufman, J., Perriëns, J.H. 2008. Investment in HIV/AIDS programs: Does it help strengthen health systems in developing countries? Globalization and Health doi: 10.1186/1744-8603-4-8.
72
Dudley, L. and Garner, P. (2011). Strategies for Integrating Primary Health Services in Lowand Middle-income Countries at the Point of Delivery (Review). The Cochrane Collaboration, 7. Glaser, B. G., and A. L. Strauss. 1967. The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research. Mill Valley, CA: Sociology Press. Godwin, P. and Dickinson, C. (2012). HIV in Asia – Transforming the agenda for 2012 and beyond: Report of a Joint Strategic Assessment in ten countries. Canberra: AusAID Health Resource Facility. Gore, R. J., Fox, A. M., Goldberg, A. B., & Bärnighausen, T. (2014). Bringing the state back in: Understanding and validating measures of governments' political commitment to HIV. Global public health, 9(1-2), 98-120. Husain, Ishrat Z., and Peter Badcock-Walters. "Economics of HIV/AIDS impact mitigation: Responding to problems of systemic dysfunction and sectoral capacity." In State of the Art: AIDS and Economics, Merck and Co Inc, for IAEN Barcelona Symposium, pp. 84-95. 2002. Instruksi Presiden No 3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan Kawonga, M., Blaauw, D., Fonn, S. 2012. Aligning vertical interventions to health systems: a case study of the HIV monitoring and evaluation system in South Africa. Health Research Policy and Systems, 10:2 (26 January 2012) Kemenkes RI (2011) Laporan Integrated Biological and Behavioral Survey 2011 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013) Laporan Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011-2016 (Asean Epidemic Model). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014) “Laporan Kasus HIV AIDS Triwulan III” Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Jakarta: Kemenkes RI Ditjen PP & PL. Kemkes RI (2012) Laporan Pemetaan Populasi Kunci 2012 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2011. Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011: Laporan 5 tahun pelaksanaan peraturan presiden No:75/2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Jakarta: KPAN. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta (KPAP) (2013) “Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Penaggulangan HIV dan AIDS 2013-2017”
73
KPAN (2015) Rencana Strategis KPAN 2015-2019 (draft) KPAP (2013) “Laporan evaluasi program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta 2008 – 2012 KPAP (2013). “Laporan Evaluasi Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta”. KPAP DKI Jakarta (2013) Rencana Strategis Peraturan Daerah No. 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta Peraturan Daerah DKI Jakarta No 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi DKI Jakarta Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 231 tahun 2015 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.182 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarkaat (PABM) Peraturan Gubernur DKI Jakrata No. 614 tahun 2014 tentang Tim Pembina Program Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat di Tingkat Provinsi Peraturan Gubernur No 20 tahun 2014 tentang Penyusunan Penetapan, Penerapan dan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Peraturan Guvernur DKI Jakarta No. 123 tahun 2014 tentang Peserta dan Pelayanan Jaminan Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan No 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Layanan Kesehatan Primer Peraturan Menteri Kesehatan No 87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Antriretroviral Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 2 tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik Peraturan Presiden No 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional Peters, D. H., Paina, L., & Schleimann, F. (2013). Sector-wide approaches (SWAps) in health: what have we learned?. Health policy and planning, 28(8), 884-890. Rencana Strategis Dinas Kesehatan DKI Jakarta 2013-2017 No. 1324 tahun 2013
74
Shakarishvili G, Atun R, Berman P et al. 2010. Converging health systems frameworks: towards a concepts-to-actions roadmap for health systems strengthening in low and middle income countries. Global Health Governance Spring III: 2. Shigayeva, A., Atun, R., McKee, M., & Coker, R. (2010). Health systems, communicable diseases and integration. Health Policy and Planning, 25(suppl 1), i4-i20. Strauss, A., & Corbin, J. 1998. Basics of qualitative research: Grounded theory procedures and techniques (2nd ed). Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta No 3884/1.778/2009 tentang Kemandirian Penganggaran Harm Reduction UNAIDS, KPAN, Kemkes (2013) “Nasional AIDS Spending Assessment Report 2011-2012” UU RI Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia WHO, UNODC, UNAIDS technical guide for countries to set targets for universal access to HIV prevention, treatment and care for injecting drug users – 2012 revision World Health Organization. 2007. Everybody’s Business: Strengthening Health System to Improve Health Outcomes: WHO’s Framework for Action. Geneva: WHO.
75
Annex 1: Daftar Layanan HIV DKI Jakarta NO
Lokasi
JAKARTA BARAT 1 PKM Kec. Cengkareng 2 PKM Kec. Grogol Petamburan 3 PKM Kec. Kalideres 4 PKM Kec. Kebon Jeruk 5 PKM Kec. Kembangan 6 PKM Kec. Palmerah 7 PKM Kec. Taman Sari 8 PKM Kec. Tambora 9 PKM Kel. Mangga Besar 10 RS Pelni Petamburan 11 RS Kanker Dharmais 12 RSUD Cengkareng 13 RS Royal Taruma 14 RSAP Harapan Kita 15 Kios Atma Jaya JAKARTA PUSAT 16 PKM Kec. Cempaka Putih 17 PKM Kec. Gambir 18 PKM Kec. Johar Baru 19 PKM Kec. Kemayoran 20 PKM Kec. Menteng 21 PKM Kec. Senen 22 PKM Kec. Tanah Abang 23 PKM Kel Kampung Bali 24 RS AL Dr Mintoharjo 25 RSPAD Gatot Soebroto 26 RS St. Carolus 27 RS Husada 28 RS Kramat 128 29 RS Cipto Mangunkusumo 30 RS Islam Cempaka Putih 31 RSU Tarakan 32 Rutan Salemba 33 Klinik Angsa Merah 34 Klinik PPTI Baladewa 35 Lapas Salemba JAKARTA SELATAN 36 PKM Kec. Cilandak 37 PKM Kec. Jagakarsa 38 PKM Kec. Kebayoran Baru 39 PKM Kec. Kebayoran Lama 40 PKM Kec. Mampang Prapatan 41 PKM Kec. Pancoran 42 PKM Kec. Pasar Minggu 43 PKM Kec. Pesanggrahan 44 PKM Kec. Setia Budi 45 PKM Kec. Tebet 46 RSU Fatmawati 47 RS Jakarta 48 RS Esnawan Antariksa 49 Klinik Angsa Merah JAKARTA TIMUR 50 PKM Kec. Cakung 11
Tes HIV11
ARV/PDP
LASS
PTRM
PPIA
* *
TB/HIV
IMS†
*
* *
* *
Sumber: Laporan Triwulan Kemkes TW 3 2014
76
51 PKM Kec. Ciracas 52 PKM Kec. Duren Sawit 53 PKM Kec. Jatinegara 54 PKM Kec. Kramat Jati 55 PKM Kec. Makassar 56 PKM Kec. Matraman 57 PKM Kec. Pasar Rebo 58 PKM Kec. Pulo Gadung 59 RS UKI 60 RS Kepolisian 61 RSJ Duren Sawit 62 RS Pengayoman 63 RSUP Persahabatan 64 RS Said Sukanto 65 RSAU Esnawan Antariksa 66 RSKO 67 RSU Pasar Rebo 68 RS Budi Asih 69 Rutan Pondok Bambu 70 RSU Pengayoman Cipinang 71 Lapas Kls I Cipinang 72 Lapas Kls II Cipinang 73 Rutan Cipinang 74 Klinik PKBI JAKARTA UTARA 75 PKM Kec. Cilincing 76 PKM Kec. Koja 77 PKM Kec. Klp Gading 78 PKM Kec. Tanjung Priok 79 PKM Kec. Penjaringan 80 RSPI Sulianti S 81 RSUD Koja 82 RS Pluit 83 Klinik Tanjung Priuk Total
* *
Sumber: Laporan Twiulan III 2014 Kemkes; †JAIS http://jakartaaids.org/lokasi-layanan-hivims/
77
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Gedung IKM Baru Sayap Utara Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 5528 email:
[email protected] Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425
http://kebijakanaidsindonesia.net Kebijakan AIDS Indonesia @KebijakanAIDS