INFESTASI Onchocerca gibsoni PADA SAP I POTONG DI RUMAH POTONG HEWAN
KO,TA MADYA BOGOR
-
SKRIPSI
oleh
NUR HIDAYAT B 20.0835
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1988
RINGlQl.SAN NUR HIDi'cYAT.
Infestasi Onchocerca gibsoni peda Sapi Potong
di Rumah Potong Hewan Kotamadya Bogor (Di b?wah bimbingan SANUBARI ATMOWISAsrRO). Infestasi Onchocerca gibsoni terjadi p'3da sapi flan Zebu dan menimbulkan bungkuIbungkul pada intermuskuler dada, subcutan dada,
perml~aan
eksternal dari persendian femoro-tibi-
ale, daerah superfisial dari M.
Pectoralis superfisialis
serta pac.a perb8tas2n de.erah leher dan dade. SikIus cacing ini diawali dengan keluarnye larva dari cacing betina, kemudian menembus bungkul, ikut aliran darah dan limfe,
Hisapan vektor akan memindahkan mikrofilaria ke-
dalam tubuh vektor hingge mencapai stadium infektif.
Pada
stadium tersebut larva mengadekan migrasi kemulut vektor dan siap untu.1;: di tularkan kembali melalui gigi tan, kemudian didepositkan ke dalam kulit host.
Melalui aliran darah dan
limfe larva mengembars. dan menempati jaringan ikat. Vektor penyaki t adalah Culicoides pungens , Simulium avidum Simulium mansoni, Simulim ochraceum dan secara laboratories dapat ditularkan oleh Forcinomyia (Lasiohelea) townsvillensis. Prevalensi
c:::~,cing
ini cul
berv2,r~,3
si.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi prevelensi tersebut adalah musim pemotongan, lokasi asal hewan, sex, LLTllUr, dan b"ngsa sapi. Prevalensi caeing di Australiii pada tahun 1949, mu1ai 10%100%, sedang tahun 1978 antano 18% sampai 96);. Nigeria berkisar ant':;r8 10%-20:;-&.
Sedang di
Penelitian yang dilakukan di RPH Kotamadya Bogor, menggunakan 70 ekor sapi Ongole.
Pemeriksaan dilakuken de-
ngen cara inspeksi, pelpasi dan insisi pada temuat yang di duga sebagei tempat predileksi cacing tersebut.
Basil peneli tian menunjukkan be.hwa pre'!:) lensi caeing ini eukup rendah dan predileksi utama pc:da bagian intermus euler dada, sedang sisanya pada subeutan dada.
INFESTASI Onchocerca gibsoni PADA SAPI POTONG DI RUMAH POTONG REvlA.N KOTA MADYA HOGOR
Oleh llJUR
RIDAYAT.
H20. 0835
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar DOKTER HEWAN pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERtlli HEWAN INSTITUT PERTA.NIAN BOGOR
1 9 8 8
INSTITUT PERTANI.!ili BOGOR FAKULTAS KEDOKTERP-.N HEI'IAN
JUDUL SKRIPSI
:
INFESTASI Onchocerca gibsoni PlillA SAPI POTONG DI RlITllAH POTONG HEWAN KOTA MADYA BOGOR
NAMA M.4HASISWA NONOR POKOK
· ·
N U R
HIDAYAT
B20. 0835
Disetujui Bogar,
Drh.
,th-
~.!.'llJBARI
,y- -
1988
ATHOI'IISASTRO
DOSEN PEMBHIBING
RlWAYAT HIDUP
Penu1is di1ehirken pede tengge1 9 Desember 1964 di
K~
cematan Besuki Kabupaten Situbondo Jawa Timur, merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara dari Ramanda t-1ohammad Hafid dan lbunda Siti t-1ariyah. Pada tahun 1977 ia 1u1us dari SON Besuki II Kecamatan Besuki Kabupaten Si tubondo, kemudian melanjutkan ke St·1PN I Situbondo dan 1u1us pade tehun 1980.
Tahun 1980 masuk ke
SMJ,N II Malang Kota Madya Ma1ang sampai tahun 1983. Pada tahun 1983 diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Proyek Perintis I dan tahun 1984 terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.
Gelar Sarja-
na Kedokteren Hewan diraihnya pad a tangga1 14 Juli 1987.
KATA PENGANTAR Fuji
s~ur
penulis panjatkan ke hadirat Allah swt,
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Drh.
Sanubari Atmowisastro, staf
peng~
jar 1aboratorium He1mintho1ogi Jurusan Pasarito1ogi dan Pato1ogi, yang membimbing dan mengarahkan penu1is mu1ai dari persiapan hingga terselesainya skripsi ini.
Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Dinas Peternakan Kota Madya Bogor beserta staf, yang.turut membantu se1ama penelitian berlangsung. Penu1is menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu sega1a kritik dan saran untuk perbaikan se1anjutnya sangat diharapkan. Walaupun. demikian penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Amin.
Bogor, Maret 1988
Penulis
DAFTAR lSI Halaman
........................................................................
ix
....................................................................................
x
KA'l'A PENGid\iTAR DAFTAR lSI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL I.
II.
............................................................................
..............................................................................
1
A.
Latar Belakang Penelitia!l .. .............................. ..
1
B.
Tujuan Penelitian
. .... " ...................................... .
2
c.
Kegunaan Penelitian
.. .. .. . .. .. .. .. .. . .. .. .. . . .. .. .. . . . .
2
.. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . . . . . . .. .. .. . . . .. .. ..
3
............................................................
3
. .......................... .
4
. .................... .
5
. ............ .
6
.. .......................................... .
8
. ........ ,. ............................................ .
12
............................
12
.. .......................... .
12
.. .............................................. ..
18
. ............................ .
21
......................................
23
TINJAUAN PUSTAKA
B.
Morfologi dan Siklus Hidup
c.
Prevalensi Onchocerca gibsoni
D.
Epidemiologi Infestasi Q. gibsoni
E.
Bungkul Q. gibsoni
BAKf\.N DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian B.
Materi dan Cara Penelitian
IV.
v.
xii
.. ................................................................ .
PENDAHULUAN
Klasifikasi
III.
xi
KEsn1PUL.~.N
DAFTAR PUST.-1K.-\
D.;N SARAN
DAFTAR GAMBAR Halaman
No.
................................................................................
25
.......................... " ...................................... .
25
.3.
Telur yang belum mat2ng hingga telur ber12rva dengan pembesaran 400x .................................................... .
26
4.
Telur berlarv2 dengan pembesaran 100x
......................
26
1.
Speculum
2.
Cacing jant2n
5.
Indulc cacing yang bunting, dengan telur berlarva di dalam uterusnya ...... "............................................................
27
6.
Nikrofilaria deng2n pembesaran lOOx .. . .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. ..
27
7.
Nikrofilaria dengan pembesaran 400x
.. ...................... ..
28
8.
Kutikula dengan garis transversal
. .......................... ..
28
9.
Bagian anterior cacing betina dengan pembesaran 200x ........................................................................................
29
10. Bagian anterior c2cing betina dengan pembesaran 400x ..........................................................................................
29
DAFrAR TABEL
Ha1aman
No.
Teks 1.
Bentuk, Konsistensi, Ukuran dan Lokasi Bungku1 Onchocerca gi bsoni .....................•...
14
2.
Ukuran Te1ur Cacing yang tidak Ber1arva ••..•••••
15
3.
Ukuran Te1ur Cacing Ber1arva
4.
Panjang Larva (l4ikrofi1aria)
. .... ...... .... .. . .. ........ ........ ....
16
17
BAJa; I. A.
PENDAHULUAN.
Latar Belakang Onchocerciasis pada sapi dan zebu yang disebabkan oleh
cacing Onchocerca gibsoni, merupakan penyakit parasiter yang ditandai dengan terbentuknya bungkul pada jaringan ikat dan jaringan dibawah kulit.
Penyakit ini oleh banyak
kalangan kurang diperhatikan karena gejala klinis pada hewan yang terinfestasi hampir tidak ada, serta kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh cacing ini masih dalam penelitian.
Selain itu cacing tersebut tidak bersifat zoonosis. Pada suatu peternakan sapi potong yang menjual hasil
produksinya dalam bentuk daging, serta perusahaan yang dalam proses produksinya mengikutsertakan daging, baik dalam bentuk setengah jadi atau dalam bentuk jadi, kehadiran
par~
sit ini perlu mendapat perhatian, karena adanya bungkulbungkul cacing dapat menyebabkan dibuangnya sebagian jaringan yang terinfestasi parasit ini.
Daging yang mengandung
cacing tidak layak untuk dikonsumsi, walaupun cacing ini ti dak bersifat zoonosis, kecuali bila dilakukan pembuangan terhadap bungkul-bungkul cacing tersebut. Di beberapa negara rnaju terutama di Australia, perhati an terhadap penyakit ini semakin hari sernakin besar, karena Australia merupakan negara pengekspor daging·ke berbagai ne gara besar di dunia terrnasuk Amerika Serikat. Informasi tentang cacing IDnchocerca gibsoni di negara kita rnasih kurang.
2
Berdasarkan kenyataan terse but dan juga atas anjuran dosen pembimbing, timbul suatu pemikiran untuk meneliti infestasi cacing Q. gibsoni pada sapi potong di Indonesia khususnya di Rumah Potong Hewan Kota Madya Bogor. B.
Tujuan Peneli tian 1.
Untuk menghitung secara nyata prevalensi cacing Onchocerca gibsoni di daerah Bogor, khususnya di Rumah Potong Rewan Kota Madya Bogor.
2.
Untuk mengetahui kondisi bungkul cacing Onchocerca gibsoni •
3. Untuk memperoleh data anatomi cacing Onchocerca gibsoni, larva beserta telurnya. C.
Kegunaan Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah : 1.
Memberikan data yang nyata dan otentik mengenai prevalensi cacing Onchocerca gibsoni di Rumah Potong Hewan Kota Madya Bogor.
2.
Data-data tersebut diharapkan bermanfaat bagi perusahaan sapi potnng dan perusahaan dimana daging terse but diolah menjadi bahan jadi atau bahan setengah jadi.
3.
Memberikan informasi kepada para peneliti sebagai acuan dalam melakukan penelitian dimasa yang akan datang.
BAB II. A.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Dalam perkembangannye nematoda dibagi due berdasarkan
pemi1ikan phasmid.
Chitwood dan Chitwood (1973) membagi
nematoda menjadi dua kelompok yakni Phasmida dan Aphasmida (Soulsby,1982).
Namun sistem klasifikasi yang demikian
ini sudah jarang dipakai secara umum. Klasifikasi menurut yamaguti (1961), Chitwood (1969), dan Anderson et a1. (1974) adalah sebagai berikut (Soulsby, 1982) : Nemathelminthes
Filum Kelas
: Nematoda
Subkelas
:
Ordo
: Spirurida
Superfamili Famili
Secernentea
Filaroidea : Onchocercidae
Genus
Onchocerca
Spesies
Onchocerca gibsoni
Dahulu spesies ini mempunyai banyak sinonim, sebelum digunakan nama yang sekarang sebagaimana yang ditemukan oleh Cleland dan Johnston (1910).
Nama-nama yang pernah
digunakan pad a cacing ini antara lain, Filaria lienalis, Stiles (1892);
Spiroptera reticu1ata , Park (1892);
Strongylus SD, Bancroft (1893); (1907);
Spiroptera~,
Cleland
Filaria gibsoni • Cleland et Johnston (1910);
Onchocerca reticulata, Leiper 1910);
Filaria (Onchocerca)
4
gibsoni, Cleland (1910) dalam Reinecke (1983). B.
Morfologi dan Siklus hidup Soulsby (1982) dan Seddon (1967) mengatakan bahwa ca-
cing Onchocerca gibsoni pertama kali ditemukan oleh Cleland dan Johnston pada tahun 1910.
Cacing ini menyerang sapi
dan zebu yang tersebar di daerah Australia, India, Srilangka, Malaysia dan sekitarnya, Nigeria, Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Cacing ini merupakan cacing nematoda dari famili Oncho cercidae dan genus Onchocerca.
Sebagaimana cacing lainnya
dalam famili tersebut, caeing ini mempunyai bentuk tubuh yang panjang dan gilig.
Cacing jantan panjang antara 30
53 mm dan cacing betina panjangnya adalah 140 - 190 mm, tetapi cacing betina ada yang dapat mencapai panjang 500 rom atau lebih (Seddon, 1967; 1952).
Brandy
~ ~
1968;
Miller,
Caeing ini mempunyai kutikula dengan garis-garis
transversal, sayap-sayap lateral yang kecil dan 6-9 papil pada masing-masing sisinya.
Speculum tidak sarna besarnya,
berukuran 120-220 mikron dan 47-94 mikron, sedang mikrofilaria berukuran (Lapage, 1956). selubung.
2~0-350
mikron dengan lebar 3-4 mikron
Mikrofilaria tidak mempunyai sarung atau
Nenurut Nitisuwirjo, et al (1980), cacing ini
bersiiat ovovivipar, artinya caeing ini menghasilkan telurlarva yang nantinya larvanya akan menetas di dalam cacing.
5
Siklus hidup cacing ini diawali dengan keluarnya larva dari bungkul dan ikut aliran limfe host.
Hisapan vek-
tor cacing akan memindahkan larva kedalam tubuh vektor sampai mencapai larva stadium infektif.
Pada stadium ter-
sebut larva mengadakan migrasi ke bagian mulut vektor dan siap untuk ditularkan kembali melalui gigitan. kemudian didepositkan di dalam kulit.
Melalui aliran limfe larva
mengadakan migrasi ke tempat predileksi, dimana mereka menempati jaringan ikat atau di dalam sarang cacing yang sudah ada (Blood £i al., 1981). Vektor penyakit ini adalah Culicoides pungens (Libby, 1975;
Soulsby, 1965;
1978;
Smith
~,
~
Seddon, 1967;
Hall, 1977;
Dunn,
al., 1972), Simulium avidum. Simulium marr-
Simulium ochraceum (Reinecke, 1983) dan secara labo-
ratories larva cacing ini dapat ditularkan oleh ForciDo~
townsvillensis (Ottley et
~
1980).
Selain itu in-
festasi parasit ini secara laboratories dapat ditularkan dengan injeksi mikrofilaria ke dalam ali ran limfe host (Beveridge et al., 1980). C.
Prevalensi Onchocerca gibsoni Prevalensi cacing ini sangat bervariasi.
Seddon (1967) mengatakan bahvla prevalensi Onchocerciasis di Australia berkisar antara 10% - 100%.
Pad a pemeriksaan
yang dilakukan pada bulan agustus 1949 terhadap sapi potong di berbagai Rumah Potong Hewan di berbagai negara bagian di Australia menunjukkan keanekaragaman prevalensi
tersebut.
6
Prevale·nsi di negara bagian New South Wales berkisar antara 10 - 75%, di Northern Territory mencapai 40% sedang di Queensland berkisar antara 11 - 100%.
Ladds et al.
(1979) mengatakan bahwa p evalensi cacing ini terhadap sapi potong yang diperiksa pada bulan April 1977 sampai bulan April 1978 (kecua1i bulan Desember sampai bulan Pebruari) bervariasi dari tiap daerah. Territory
88~b,
Prevalensi di Northern
di Central Australia 74%, di North Western
Queensland 96%, North Eastern Queensland 91%, Queensland 85%, Kimberleys 87%, Southern Queensland 74%, Central New South Wales 18%.
lfoldsworth ~ a1. (1985) mengatakan bah-
wa prevalensi rata-rata di.Australia
berki~ar
90%, sedang
Soulsby (1974) mengatakan bahwa prevalensi cacing ini umum nya rendah, yakni berkisar antara 10 - 20%.
Dan prevalen-
si di Townsvillensis rata-rata adalah 92% (Beveridge
~
a1. , 1980). D.
Epidemio1ogi Infestasi Onchocerca gibsoni Onchocerciasis yang disebabkan oleh cacing Onchocerca
gibsoni terjadi pada sapi dan zebu, ditemukan pertama kali oieh Cleland dan Johnston pada tahun 1910. Infestasi caeing ini pada tiap-tiap bangsa sapi berbeda, demikian pula.pada tiap-tiap musim, tiap-tiap daerah. Ladds et a1., (1979) mengatakan bahwa perbedaan infestasi caeing pada sapi tergantung pada lokasi dimana sapi berasal, musim saat pemotongan, umur hewan, bangsa dan jenis kelamin.
Faktor-faktor tersebut tidak hanya mempengaruhi
7
derajat infestasi, tetapi juga mempengaruhi jumlah bungkul tiap b~gian dada, ketebalan bungkul, berat bungkul dan perubahan patologi anatomi yang ada pada bungkul. c~
Perbedaan daerah asal hewan mempengaruhi infestasi cing rata-rata untuk tiap hewan.
Distribusi infestasi teL
sebut bervariasi antar negara bagian di Australia, mulai dari 18% infestasi dengan 0,4 bungkul tiap bagian dada pada negara bagian New South Wales, sampai 96% infestasi dengan rata-rata 3,6 bungkul untuk tiap bagian dada pada negara bagian North Western Queesland.
Persentase infestasi
tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah bungkul untuk tiap bagian dada.
Selain itu umur dan besar bungkul ter-
tinggi di Central Australia dan terendah di Northern Terri
tory dan North Eastern Queensland. Perbedaan musim mempengaruhi infestasi rata-rata tiap hewan dan jumlah bungkul pada tiap bagian dada.
Infestasi
dan jumlah bungkul terendah ditemukan pada waktu antara
musim gugur dan musim dingin, musim semi serta meninggi
p~
da musim panas. Bangsa sa pi mempengaruhi derajat konsistensi dan berat bungkul.
bun&~ul
Pada ketiga jenis sapi yang pernah di-
teli ti, bungkul yang terdapat pada sapi Brahman mempu11Y2i konsistensi dan berat yang lebih tinggi dari pada sapi Bri tish dan sa pi Eastar, sedeng persentase infestesi pada ketiga jenis sepi ini tidak berbeda. Pada umumnya pada umur sapi yang lebih tua prevalensi infestasi makin tinggi, demikian pula jumlah bungkul
8 ~Dtuk
tiap bagian dada, serta kekerasan bungkul, karena
m~
kin tua sapi dan umur bungkul, makin banyak terjadi proses degenerasi dan pengapuran. E.
Bungkul Onchocerca gibsoni Studi tentang infestasi cacing ini pada umumnya dila-
kukan berhubungan dengan ciri
~~as
bungkul, musim saat di-
potong, bangsa sapi, jenis kelamin dan umur sapi yang dip£ tong. Pada mU1anya mikrofi1aria yang masuk da1am tubuh host mengembara dalam aliran 1imfe, kemudian sampai pada tempat predileksi dan beristirahat sehingga akan terbentuk bungkul-bungkul (Lapage, 1956),
Pernbentukan bungkul tersebut
sebagai reaksi tubuh terhadap adanya toxin yang dihasilkan oleh cacing tersebut sebagai hasi1 sekresinya (Parkinson, 1947). Noharned (193l) yang dikutip dalarn Soulsby (1965) rnengatakan bahwa pada awal terbentuknY2 bungkul, kepala cacing terikat dan dikelilingi oleh tenunan fibrosa dan berturut-turut pad a bagian tubuh yang lain rnengalarni proses yang sama, bersarnaan dengan kejadian itu cacing akan menggu1ung.
Da1am perneriksaan patologi anatomi akan tampak
bshHa cacing terletak dida12.rn tero,"ongan yang ada di dalam bungkul tersebut (Blood, 1981).
Pada tiap tahap
ngan bungkul, ketebalan tenunan fibrosa dan berbeda.
perkernba~
kekerasar~ya
Nakin tua umur bungkul, mskin tebal tenunan
9
fibrosa yang mengelilinginya serta makin keras kapsul dan bungkul tersebut. Bungkul-bungkul ters ebut umumnya mempunyai ukuran 2 - 3,5 em, tetapi pernah pula ditemukan bungkul yang mem-
punyai ukuran 11 x 8 em, sedang bungkul yang mempunyai besar lebih kecil dari biji kacang jarang ditemukan (Seddon, 1967). Bungkul cacing dapat ditemul<:an di jaringan ikat di daerah intermuscular dari otot-otot dada, bagian lateral dari persendian femoro-tibiale, di sekitar musculus Pectoralis superfisialis (Seddon, 1967; 1965;
Thornton, 1957;
Kral, 1953;
Hunggerford, 1975;
Drabble,
Blood, 1981).
Selain itu bungkul tersebut dapat pula ditemukan pada perbatasan antara bagian dada dan leher (Ladds et al •• 1979; Nitisuwirjo et al •• 1980).
Umumnya bungkul tersebut dite-
mukan di daerah dada, tepatnya di daerah segitiga antara tu13ng rusuk 4 dan 6 dengan cartilago costae (Seddon, 1967; Ladds et
~
1979;
Thornton, 1957;
Hunggerford, 1975).
Bentuk-bentuk bungkul ada yangbulat, lonjong dan pipih. Bungku1 yang berbentuk bulat dan lonjong umumnya ditemukan di jaringan ikst, tetapi dape.t pula di temukan bungkul yang berbentu.l< pipih bila bungkul terse but tergencet oleh dua musculus yang berdempetan. umumnya ditemukan di
ba~ah
Bungkul yang berbentuk pipih kulit (Hunggerford, 1975).
Thornton (1957) mengatak,m b2.hw2. pad a stadium awa1 P.§. rubahan pato1ogi dari bungkul tersebut adalah terdapatnya bintik-bintik haemorrhagi, kemudian berkembang menjadi
10
caseosa dan akhirnya menjadi bentuk yang mirip dengan lesio tuberculose.
Pada stadium akhir parasit tersebut ter-
bungkus oleh suatu bentukan yang berwarna kuning sebesar telur burung merpati atau lebih besar lagi dan bagian luarnya ditutupi oleh jaringan fibrosa yang berwarna putih dan pad a tengah-tengahnya terdiri dari jaringan yang lunak seperti bunga karang yang satu atau dua ekor cacing terikat di dalamnya.
Akhirnya bungkul dan cacing mengalami
proses degenerasi dan calsifikasi (Lapage, 1956).
Peruba-
han istimewa yang terjadi pada bungkul adalah intranoduler pigmentasi, calsifikasi intranoduler dan necrose central. Perubahan-perubahan tersebut lebihmenyolok pad a bungkul yang mengandung cacing yang mati dan juga lebih besar hubungannya pad a cacing yang bunting daripada yang tidak bunting. Jenis kelamin cacing yang ada di dalam bungkul bisa
-
bervariasi dan kombinasi jenis kelamin memoengaruhi keteba . Ian kapsul serta ada tidaknya mikrofilaria.
Pad a bungkul
yang mengandung cacing dengan jenis kelamin jantan dan betina mempunyai kapsul yang lebih tebal dari pada bungkul yang hanya mengandung Cilcing betina saja (Seddon, 1967). Ladds
~
a1. (1979) mengata.kan bahwa cacing yeng ada. di de
lam bungkul ada yang jantan dan betina, ada yang betina sa ja, tetapi tidak
pern~~
ditemukan suatu bungkul yang me-
ngandung cacing jantan saja, dan mikrofilaria dapat ditemukan apabila cacing dalam bungkul tersebut adalah jantan dan betina.
11
Nitisuwirjo et a1. (1980) mengatakan bahwa distribusi mikrofi1aria di dalam bungkul berhubungan dengan ketebalan kapsul.
l'Iikrofilaria dapat ditemukan pada eksudat fibrin2
sa, intra uterine, stroma bungkul dan kapsula fibrosa, tetapi terbanyak ditemukan di dalam intra uterine.
Sedang
dalam tubuh host mikrofilaria dapat ditemukan di seluruh pembuluh limfe host, termasuk di dalam scrotum, dan jarang ditemu~an
di dalam pembuluh darah dan organ internal
(Akusu et al., 1983;
Blood
~
el., 1981).
Kehadiran bungkul tersebut di dalam tubuh host akan menyebabkan kerugian dengan dibuangnya sebagian jaringan yang terinfestasi (Seddon, 1967), dan akan merusak dari ni1ai ku1i -t hewan (Cheng, 1978).
BIlE III.
BAHAN DAN METODE
T.empat dan Waktu Peneli Han Penelitian dilakukan di Rumah Potong H:=wan (RPH) Kota Madya Bogor dan Laboratorium Belminthologi Fakultas Kedokteran Bewan Institut Pertanian Bogor selama satu bulan, yakni mulai tanggal 1 Pebruari 1988 sampai dengan tanggal 29 Pebruari 1988. B.
Materi dan Cara Penelitian Cara mendiagnose adanya cacing Onchocerca gibsoni pada
penelitian ini yakni dengan menemukan bungkul-bungkul (sarang) cacing pada tempat-tempat predileksi cacing ini. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah sa pi potong Ongole sebanyak 70 ekor yang dipilih secara acak sederhana.
Pemeriksaan ante mortem dilekuken dengan
melakukan inspeksi dan palpasi pada tempat-tempat predileksi.
Pemeriksaan post mortem dilakw,an dengan cara melaku-
kan palpasi dan penyayatan ditempat-tempat predileksi untuk menemukan bungkul-bungkul cacing tersebut.
Bungkul-bungkul
yang ada dimasukkan kedalam formalin 10% dan diperiksa di laboratorium Belminthologi Fakultas Kedokteran Bewan IPB. ,Pemeriksaan terhadap bungkul cacing meliputi pemeriksaan keadaan luar bungkul dan keadaan dalam bungkul, termasuk pemeriksaan terhadap cacing itu sendiri.
Pemeriksaan ca-
cing dari sarangnya umumnya sulit dilakukan dan kalaupun bisa, jarang untuk mendapatkan cacing yang utuh.
l~
Pemeriksaan keadaan luar bungkul meliputi pemeriksaan konsistensi, diameter dan keadaan tenunan fibrosa. riksaan terhadap
la~la
Peme-
dan telur cacing dilakukan terhadap
eksudat fibrinosa yang ada dalam bungkul
terseL~t
dan kalau
perlu pemeriksaan terhadap telur yang berlarva dilakukan dengan cara merusak cacing betina yang bunting.
14 Tabe1 1.
Bentuk, konsistensi, ukuran dan lokasi bungku1 Onchocerca gibsoni
No.
Bentuk bungkul
Konsistensi
Diameter bungkul
lokasi
1.
Bulat
Lunak
0,5 em
Dada
2.
Bulat
Lunak
0,7 em
3.
Bulat
Lunak
0,7 em
" "
4.
Pipih
Lunak
0,9 em
5.
Bulat
Lunak
1 em
Dada
6.
Jaulat
Lunak
1 em
"
7.
Oval
Keras
1,5 em
"
8.
Oval
Keras
1.5 em
Subcutis
9,
Oval
Keras
1,5 em
Dada
10.
Pipih
Ker"'s
11.
Bulat
. Keras
1,8 em
12.
Bulat
Keras
1,9 em
13.
Pipih
Keras
1,9 em
14.
Pipih
Keras
1,9 em
"
15.
Pipih
Keras
2,0 em
Dada
16.
Pipih
Keras
2,2 em
Dada
1,7 em
" " " Subcutis
15 Tabel 2.
Ukuran telur cacing yang tidak berlarva
No.
Panjang (mikron)
Lebar (mikron)
No.
Panjang (mikron)
Lebar (mikron)
1.
30,6
18,36
14.
33,66
18,36
2.
30,6
12,24
15.
33,66
18,36
3.
33,36
18,36
16.
39,78
18,36
4.
27,54
12,24
17.
33,66
12,24
5.
33,66
18,36
18.
33,66
15,3
6.
39,78
21,42
19.
30,6
18,36
7.
39,78
21,42
20.
39,78
15,3
8.
36,72
15,3
21.
33,66
18,36
9.
24,48
12,24
22.
33,66
15,3
10.
30,6
15,3
23.
33,66
15,3
11.
33,66
15,3
24.
37,72
15,3
12.
30,6
15,3
25.
36,72
15,3
13.
30,6
15,3
16 Tabe1 3.
No.
panjan~
(mikrom
Ukuran te1ur cacing ber1arva
Lebar (mikron)
No.
Panjang (mikron)
Lebar (mikron)
1.
45,9
30,6
20.
42,84
27,54
2.
39,78
27,54
2l.
39,78
27,54
3.
39,78
30,6
22.
42,84
30,6
4.
42,84
30,6
23.
42,84
30,6
5.
39,78
30,6
24.
39,78
27,54
6.
39,78
27,54
25.
36,72
27,54
7.
45,9
27,54
26.
45,9
27,54
8.
39,78
24,48
27.
45,9
33,66
9.
45,9
27,54
28.
39,78
30,6
10.
39,78
27,54
29.
42,84
30,6
11.
45,9
30,6
30.
45,9
27,54
12.
42,84
30,6
31.
45,9
30,6
13.
39,78
27,54
32.
48,96
30,6
14.
39,78
27,54
33.
39,78
27,54
15.
36,72
27,54
34.
42,84
27,54
16.
42,84
30,6
35.
48,96
30,6
17.
45,9
30,6
36.
52,02
30,6
18.
45,9
30,6
37.
42,84
30,6
19.
45,9
24,48
17 Tabel 4.
Panjang larva
No.
Panjang (mikron)
No.
Panjarh. Cmikron.)
1.
262,5
18.
232,22
2.
262,5
19.
218,56
3.
245,88
20,
273,2
4.
280
2I.
286,86
5.
245,88
22.
259,54
6.
245,88
23.
300,52
7.
259,54
24.
273,2
8.
232,22
25.
286,86
9.
273,2
26.
286,86
10.
232,2
27.
300,52
II.
300,52
28.
273,2
12.
259,5 4
29.
273,2
13.
245,88
30.
259,54
14.
232,22
3I.
273,2
15.
245,88
32.
273,2
16.
232,22
33.
300,52
17.
232,22
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHA.SAN
Studi tentang infestasi Onchocerca gibsoni pada sapi potong Ongoleyang dilakukan di Rumah Potong Bewan Kota Madya Bogor memberikan iformasi yang penting tentang cacing tersebut di Indonesia.
Walaupun peneli tian
RPH
menggunakan metode yang praktis untuk dapat mendeteksi
ad~
nya bungkul cacing, namun metode tersebut dapat digunakan untuk kondisi RPH di Indonesia. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa intensitas infes tasi umumnya rendah, karena dari 70 ekor sapi Ongole yang dipotong, prevalensinya hanya 12,86% dengan rata-rata 0,23 bungkul tiap bagian dada.
Rendahnya prevalensi ini selain
karena memang derajat infestasinya rendah, mungkin pula faktor metode yang digunakan untuk menemUkan bungkul pada sapi masih kurang tepat.
Berbeda dengan metode yang dila-
kukan selama penelitian, metode yang dikembangkan di Australia adalah dengan cara mengadakan inspeksi secara kasar terhadap sapi yang akan disembelih, memberi tanda terhadap sapi yang telah disembelih, yang sebelumnya diberi tandatanda tertentu, kemudian mengadakan pemeriksaan di ruang pernisahan antara tulang dan daging.
Perneriksaan dilakukan
pada daerah dada dimana seringkali bungkul-:bungkul ditemukan dibawah tulang rusuk, terutama pada daerah segitiga an tara tulang rusuk 4 sarnpai 6 dengan cartilago costae. Metode yang demikian itu sangat tidak mungkin dilakukan di Indonesia· karena di negara kita tidak dilakukan pemisahan
19 antara tulang rusuk dengan daging yang resmi dikerjakan oleh pegawai Rurneh Potong Hewan setempc1t.
Kesuli tan ini
merupakan kendala untuk menemukan bungkul-bungkul eaeing seeara tepat. Bungkul-bungkul eaeing yang diteliti urnurnnya mempunyai ukuran yang eukup keeil, diameternya adalah 1,42 ± 0,54 dengan selang antara 0,5 sampai 2,2 ern (tabell). Diameter bungkul yang keeil mungkin karena urnur bungkul yang masih muda atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar tidaknya bungkul.
Umumnya makin tua urnur bungkul,
makin besar diameter bungkul yang ada dalam tubuh host, apalagi bila didalam betina.
bun&~ul
mengandung eaeing jantan dan
Bungkul-bungkul yang pernah diteliti oleh ahli
mempunyai diameter rata-rata 2 - 3,5 em, sedang bungkul yang mempunyai ukuran lebih keeil dari biji kaeang jarang ditemukan. Lokasi bungkul yang ditemukan selama penelitian menunjukkan bahwa 75% bungkul ditemukan pada bagian dada inter museuler dan sisanya pada bagian dada subeutan (tabel 1). Hila metode yang digunakan dengan mengadakan pemisahan tulang dan daging, mungkin perbandingan itu akan berubah. Sedang dengan inspeksi dan palpasi pada daerah predileksi lainnya seperti pada bagian lat9.ral dar.i persendian femoro tibiale dan bagian lateral dari M. Pectoralis Superfisialis serta pad a batas antara daerah dada dan leher belurn ditemukan.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa predileksi utama
cacing ini adalah pad a jaringan ikat, kemudian pada daerah
20 sUbeutan Pada umumnya konsistensi bungkul yang didapatkan selama penelitian adalah keras (67%) sedang sisanya lunak (tabell).
Hal ini karena pada bungkul tersebut sudah berja-
lan proses perkapuran yang dimulai dengan degenerasi dari eaeing tersebut.
Sedang sisanya mungkin belum mengalami
proses degenerasi dan perkapuran. Gaeing iIii merupakan eaeing yang mempunyai telur yang mengandung larva di dalamnya.
Diduga proses ini diawali
dengan terbentuknya telur yang belum matang, kemudian sedikit demi sedikit berkembang hingga terbentuknya larva didalam tersebut (gambar 2).
Pada telur yang tidak mengandung
larva panjangnya 24,48-39,78 mikron dengan lebar
l2~21,,-
21,42 mikron (tabel 2), dan ukuran telur yang berlarv" antara 39,72 - 52,02 mikron dan lebarnya 24,48 - 33,66 mikTon (tabe13). nelitian
Adapun ukuran larva yang didapatkan selama peadalah 218,56 mikron sampai 300,52 mikron.
BA.B V.
KESIl'JPULAN DAN SARAN
Pada peneli tian yang dilakukan di RPH Kota Madya Bogor mengungkapkan sedikit data tentang eaeing ini, baik prevalensi maupun data anatomi.
Prevalensi eacing ini pada sapi
Ongole rendah, yakni 12,86% dengan satu ekor dapat mengandung 0,23 bungkul.
Bungkul-bungkul tersebut urnu=ya di te-
mukan di daerah dada pada bagian intermuseuler dan sebagian kecil ditemukan didaerah subcutan. Perkembangan mikrofilaria, dimulai terbentuknya telur hingga terbentuknya telur berlarva didalam uteru5 induk. hYJlirnya larva dikeluarkan dari telur dan berkurnpul didalam bungkul dan kemudian menerobos bungkul ikut ali ran darah dan limfe.
Dalam aliran darah dan limfe, rnikrofilaria
s·iap untuk di tularkan kembali oleh vektor eaeing ini, yakni Simulium 212. dan Culieoides 212..
Didal:om tubuh nyamuk
mikrofilaria berkembang menjadi stadium infektif. Oleh karena terjadi perkembangan telur dari bentuk yang belurn matang hingga telur yang mengandung larva, maka ukuran telur tersebut berbeda, dan telur yang mengandung larva mempunyai ukuran yang lebih besar. vlalaupun bungkul-bungkul harus dibuang dari jaringan namun sampai saat ini para peneliti mengatakan bahwa caeing ini tidak bersifat zoonosis.
Alasan pembuangan ha-
nya berdasarkan pertimbangan estetika makanan.
Gejala kli-
nis yang di timbulkan oleh caeing ini hanya terlihatnya bungkul-bungkul pada bagian sUbcutan tempat predileksinya.
22
Kcrenc metode yang digunckcn mcsih scngat sederhanc, dan informasi tentang cacing ini di Indonesic masih sedikit, maka diharcpkan dikembangkan suatu metode yang praktis dan efisien untuk menemukcn bungkul cacing ini yang cocok dengan kondisi RPH di Indonesia.
Selain itu diha-
rapkan adanya penelitian yang mengungkapkan tentang geja18 klinis hewan tersebut, pengBruh infestasi cacing tersebut terhadap pertumbuhcn be rat badan, prevalensi ycng berhubungan dengan batas daerah (lokasi), sex, umur, musim dan vektor yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUST.i'.KA Akusu, M.O; Ikede, B.O; Akpodge, J.U. 1983. Scrotal Onchocerciasis in a Bull in Nigeria. British Veterinary Journal, 139 : 220 - 221. Beveridge, I; Kummerow, EL; Wilkinson, P. 1980. Experimental Infection of Laboratory Rodents and Calves 'vi th I'likrofi13ria of Onchocerca gi bsoni • Tropenmedizin und Parasitologie, 31 : 82 - 8b. Beveridge, I; K~merow, EL; Wilkinson, P. 1980. Observations on Onchocerca gibsoni and Nodule Development in Naturally Infected Cattle in Australia. Tropenmedizin und Parasitologie, 31 : 75 - 81. Blood, D.C; Radostits, O.M. 1981. Veterin5ry Medicine. 5th. Ed. Bailliere Tindall, P.796 - 797. Brandy, Paul J; Migaki, George; Taylor, Kenneth E. 1968. ~leat Hygiene. 3th. Ed. Lea and Febiger. Philadelphia, P.148 - 149. Cheng, Thomas C. 1978. General Parasitology. Academic Press. New York, p.667.
2th.
Drabble, J. 1965. Text Book of Meat Inspection. Ed. Halstad Press. Sydney. P.377 --378.
Ed.
9th.
Dunn, Angus M. 1978. Veterinary Helminthology. 2th. Ed. William Heinemann Medical Books LTD. London, P.79 - 80. Hall, HTB. 1977. the Tropics.
Diseases and Parasites of Livestock in Longman Group LTD. London, P.59 - 61.
Holdsworth, P.A; Moorhouse, D.E. ni in the Brisket of Cattle. Journal, 62 : 26 - 27.
1985. Onchocerca gibsoAustralian Veterinary
Hunggerford, T.G. 1975. Diseases of Livestock. 8th. Ed. Mc. Graw - Hill Books Company. Sydney, P.960 961. Kral, Frank and Benjamin J. Novak. 1953. Veterinary Dermatology. J.B. Lippincott Company. Philadelphia, P.242 - 243.
Ladds. P. 1'1; Ni tisuwirjo, S; Goddand, ~j .E. 1979. Epedemiological and Gross Pathological Studies of Onchocer ca gibsoni Infection in Cattle. Austrelia Veterinary JOurnal, 55 : 455 - 462. Lapage, Geoffrey. 1956. Monnigs Veterinary Helminthology and Entomology. 4th. Ed. Bailliere Tindall and Cox. London, P.279 - 281. Libby, James A. 1975. ~le2t Hygiene. 4t.h. Febiger. Philadelphia, P.I08 - 109. A.R. 1952. Meat Hygiene. 2th. biger. Philadelphia, P.92 - 93.
~liller,
Ed.
Ed.
Lee and
Lea and Fe-
Nitisuwirjo, S; Ladds, P.W. 1980. A Quantitative Histopathological Study of Onchocerca gibsoni Nodules in Cattle. Tropenmedizin und Perasitologie, 31 : 467 474. Ottley, M.L; Moorhouse, D.E. 1980. Laboretory Transmission of Onchocerca gibsoni by Forcipomvia (Lasiohelea) to~~svillensis. Australia Veterinary Journal, 56 : 559 - 560. Parkinson, G.S; Shaw, Kathlee M. 1947. A Synopsis of Hygiene. J. and A Churchill LTD. London, P.419 - 420. Reinecke, RK. 1983. Veterinary Helminthology. Butterworth Publishers PTY LTD. Durben/Pretoria, P.3l3 - 315. Seddon, HR. 1967. Helmith Infestations. 2th. Ed. Commonwealth of Australia Departement of Health. Australia, P.198 - 203. Smith, Hiltonatmore; Jones, Thomas Carlyle; Hunt, Ronald duncan. 1972. Pathology. 4th. Ed. Lea and Febiger, P.778, 1034. Soulsby, E.J.L. 1965. Text Book of Veterinary Clinical Parasitology. Volume I Helminths. Black Well Sci. Pub. Oxford, P.759 - 761. Soul!;lby, E.J.J.. 1982. Helminths, ArthrOPods .and Protozoa' of Domesticated Animal. 7th. Ed. Bailliere Tindall. London, P.323 - 324. Soulsby, E.J.L. 1974. Parasitic Zoonosis Clinical and Experimental Studies. Academic Press. New York, P.288 - 289. Thornton, Horege. 1957. I'jeat Inspection. 3th •. Ed. Bailliere, Tindall and Cox. London, P.358 - 360.
GAMBAR
25
Gambar 1.
Speculum
GambcT 2.
Cacing jantan
Ganbar
Telur yang belum ffiatan,s hingga berlarv8 d eng8D pembesaran L,OOx
G8mbar 4.
27
Gs.mbar 5.
Incluk yang bunting, dengan telur berL:rvo di ds.lam uter';snys..
Gamb',r 6.
Larva (mi].::rofilarie) dengen ~embes~ran lOOx
28
GBmbBr 7.
MikrofilBriB dengan pem'::1esaran 400x
GBmbar 8.
Kutikula dengBn garis transversal
,
,, ,,:..
,~ ~"
...
.. .
-,-,("~-
"
-"-
~
~
29
Gambar 9.
B&gian anterior cacing dengan pembesaran 200x
Gambar 10.
Bagian anterior cacing dengan pembesarn 400x