KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI, PARU-PARU, DAN GINJAL SAPI YANG TERINFEKSI Coxiella burnetii DI RUMAH POTONG HEWAN TERPADU KOTA BOGOR
SRIMITA KRISTIANI BR SEMBIRING
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Histopatologi Hati, Paru-paru, dan Ginjal Sapi yang Terinfeksi Coxiella burnetii di Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Srimita Kristiani Br Sembiring NIM B04090067
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
ABSTRAK SRIMITA KRISTIANI BR SEMBIRING. Kajian Histopatologi Hati, Paru-paru, dan Ginjal Sapi yang Terinfeksi Coxiella burnetii di Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor. Dibawah bimbingan AGUS SETIYONO dan MAWAR SUBANGKIT. Query fever (Q fever) merupakan penyakit zoonotik yang disebabkan karena infeksi Coxiella burnetii. Ruminansia merupakan reservoar utama penyakit Q fever. Transmisi penyakit umumnya melalui rute oral, dan inhalasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan gambaran histopatologi hati, paru-paru, dan ginjal sapi yang terinfeksi C. burnetii melalui metode pewarnaan Imunohistokima (IHK) dan Hematoksilin dan Eosin (HE). Organ yang diambil terdiri atas hati, paru-paru, ginjal, limpa dan jantung yang berasal dari 50 sapi. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Februari 2013 sampai Oktober 2013 di RPH terpadu Kota Bogor. Berdasarkan hasil pewarnaan IHK, terdapat 5 sampel positif Q fever dari 50 sampel. Lesio yang ditemukan dengan menggunakan pewarnaan HE terdiri atas fokus radang, kongesti, hemoragi, fibrosis, fokus nekrosa, emfisema, pleuritis, dan pneumonia intertisial pada sampel positif Q fever. Lesio yang mirip ditemukan juga pada sampel negatif Q fever. Kata kunci : Coxiella burnetii, Hematoksilin dan Eosin, Imunohistokimia, Sapi Potong, Zoonosis
ABSTRACT SRIMITA KRISTIANI BR SEMBIRING. Histopathological Study on Liver, Lung, and Kidney of Cattle Infected by Coxiella burnetii at Bogor Slaughterhouse. Supervised by AGUS SETIYONO and MAWAR SUBANGKIT. Query fever (Q fever) is a zoonotic disease caused by Coxiella burnetii. Domestic ruminants are considered to be the main reservoir of Q fever. The transmission of this disease usually by aerosol and ingestion. This research was aimed to describe and compare the histopathology on liver, lung, and kidney of cattle infected by C. burnetii using Immunohistochemistry and Hematoxylin Eosin staining. This research used 50 samples and each sample consisted of liver, lung, kidney, heart, and spleen was carried out from February to October 2013 at Bogor slaughterhouse. The result showed that we found 5 samples out of 50 samples were positive infected with C. burnetii Imunohistochemically. Histopathological lesions found like focus inflammation, congestion, haemorrhage, fibrosis, focus necrosis, emphysema, pleuritic, and interstitial pneumonia in positive Q fever samples. Similar histopathological changes were also found in negative Q fever samples. Keywords : Cattle, Coxiella burnetii, Hematoxylin Eosin, Immunohistochemistry, Zoonosis
KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI, PARU-PARU, DAN GINJAL SAPI YANG TERINFEKSI Coxiella burnetii DI RUMAH POTONG HEWAN TERPADU KOTA BOGOR
SRIMITA KRISTIANI BR SEMBIRING
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Kajian Histopatologi Hati, Paru-Paru, dan Ginjal Sapi yang Terinfeksi Coxiella burnetii di Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor Nama : Srimita Kristiani Br Sembiring NIM : B04090067
Disetujui oleh
drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Pembimbing I
drh Mawar Subangkit, MSi APVet Pembimbing II
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Kajian Histopatologi Hati, Paro-Paro, dan Ginjal Sapi yang Terinfeksi Coxiella burnet;i di Rumah Potong Hewan Terpadu KotaBogor Srimita Kristiani Br Sembiring Nama B04090067 N1M
Disetujui oleh
drh Mawar Subangkit, MSi APVet Pembimbing IT
drh A
Tanggal Lulus:
nB
JAN 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 sampai September 2013 ini ialah Kajian Histopatologi Hati, Paru-Paru, dan Ginjal Sapi yang Terinfeksi Coxiella burnetii di Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh Agus Setiyono, MS PhD APVet dan drh Mawar Subangkit, MSi APVet selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberi saran dan wawasan kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang, yang telah membantu selama pelaksanaan dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih kepada rekan satu tim peneliti Q fever Wulandari Utami, Andre Yudhi, dan Hario Praditya Munif yang telah bersama-sama berjuang dalam melaksanakan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh teman-teman Geochelone (FKH angkatan 46) untuk dukungan dan motivasi yang diberikan. Karya ini penulis persembahkan kepada Ayah (Erwin Sembiring), Ibu (Rosmauli Br Sitorus), Adik (Andelta Sembiring), serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014 Srimita Kristiani Br Sembiring
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
METODE
3
Waktu dan Tempat Penelitian
3
Alat dan Bahan
3
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Pengamatan dengan Metode Pewarnaan Imunohistokimia (IHK)
6
Pengamatan dengan Metode Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE)
7
SIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
13
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL 1 Hasil pengamatan sampel imunoreaktif dengan menggunakan pewarnaan IHK 2 Hasil pengamatan lesio organ hati dari sapi positif dan negatif Q fever dengan metode pewarnaan HE 3 Hasil pengamatan lesio organ paru-paru dari sapi positif dan negatif Q fever dengan metode pewarnaan HE 4 Hasil pengamatan lesio organ ginjal dari sapi positif dan negatif Q fever dengan metode pewarnaan HE
6 8 10 12
DAFTAR GAMBAR 1 Hasil pewarnaan IHK positif dengan metode LSAB pada organ a) hati, b) limpa, dan c) ginjal. 2 Fokus radang pada hati disertai infiltrasi limfosit, dan neutrofil 3 Kongesti pada sinusoid hati 4 Hemoragi pada hati disertai infiltrasi limfosit dan neutrofil 5 Fibrosis pada hati disertai infiltrasi sel radang eosinofil 6 Fokus nekrosa pada hati disertai infiltrasi limfosit dan neutrofil 7 Hemoragi dan infiltrasi sel radang pada intertisial paru-paru 8 Kongesti, emfisema, dan pleuritis pada paru-paru 9 Kongesti dan nekrosa koagulatif pada ginjal
7 8 9 9 9 10 11 11 13
PENDAHULUAN Latar Belakang Query fever (Q fever) merupakan penyakit zoonotik yang disebabkan karena infeksi Coxiella burnetii (C. burnetii) (Mahatmi et al. 2008). Saat ini Q fever merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan menular strategis yang terdapat di Indonesia (Kementan 2013). Menurut Acha dan Szyfres (2003), Q fever pertama kali ditemukan di Brisbane, Queensland pada tahun 1935. Saat ini penyakit Q fever telah tersebar hampir di seluruh dunia seperti Kanada, Argentina, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Swiss, Spanyol, Yunani, Maroko, Israel, Tunisia, Zimbabwe, Nigeria, Jepang, Taiwan, dan Australia (Fournier et al. 1998; Maurin dan Raoult 1999; Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2004). Infeksi C. burnetii dapat terjadi pada hewan domestik, hewan liar dan manusia. Beberapa jenis hewan yang dapat terinfeksi oleh C. burnetii di antaranya sapi, kambing, domba, babi, anjing, kucing, dan kuda (Porter et al. 2011). Infeksi C. burnetii juga dapat terjadi pada manusia. Menurut Roosari (2008), kepekaan manusia terhadap infeksi C. burnetii dipengaruhi oleh jenis kelamin, dan jenis pekerjaan. Peternak, pekerja RPH, pekerja laboratorium dan dokter hewan merupakan pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi C. burnetii. Secara filogenik, C. burnetii termasuk ke dalam filum Proteobacteriae, ordo Gamma, genus Coxiella, dan spesies Coxiella burnetii (Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii merupakan bakteri Gram negatif dan memiliki sifat obligat intraseluler dan pleomorfik, memiliki panjang 0.4-1 µm dan lebar 0.2-0.4 µm (Maurin dan Raoult 1999). Infeksi C. burnetii pada hewan dan manusia dapat melalui rute inhalasi, oral, dan kontak langsung, serta melalui gigitan caplak yang hanya terjadi pada hewan saja (Porter et al. 2011). Penularan antara hewan, baik antara hewan liar ke hewan domestik maupun dari hewan domestik ke hewan domestik lainnya dapat melalui gigitan caplak (Ixodidae spp, Argasidae spp) yang bertindak sebagai vektor (Maurin dan Raoult 1999; Acha dan Szyfres 2003). Sumber kontaminasi berupa cairan amnion, plasenta, wol, tanah, debu (Page 2004), serta feses dan urin yang berasal dari hewan terinfeksi C. burnetii (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2004). Infeksi C. burnetii pada hewan dan manusia dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronis (ECDC 2011). Q fever akut pada hewan ditandai dengan adanya pneumonia dan hepatitis (Marrie 2003), sedangkan infeksi kronis menunjukkan adanya endokarditis (Fournier et al. 1998).Pada manusia, manifestasi klinis yang terlihat pada infeksi akut berupa pneumonia dan hepatitis, sedangkan kondisi endokarditis dan gagal ginjal dapat terjadi pada infeksi kronis (Vacher-Coponat et al. 1996; Marrie 2003). Gejala yang ditimbulkan oleh infeksi C. burnetii pada hewan bersifat asimptomatik (tidak menimbulkan gejala klinis yang spesifik) (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2004). Hal inilah yang mendasari peneliti untuk mengambil dan mengamati organ hati, paru-paru dan ginjal untuk mendeteksi dan melihat perubahan yang terjadi akibat adanya infeksi C. burnetii. Pengambilan organ dilakukan di rumah potong hewan (RPH) terpadu Kota Bogor. RPH terpadu Kota Bogor merupakan satu-satunya RPH di Indonesia yang memiliki standar internasional, dan memiliki kapasitas pemotongan yang cukup besar.
2 Proses diagnosa penyakit Q fever pada hewan sulit dilakukan, karena infeksi bersifat asimptomatik. Diagnosa kejadian Q fever terdiri atas dua metode, yakni diagnosa langsung dan diagnosa tidak langsung. Diagnosa langsung terdiri atas imunohistokimia (IHK), kultur bakteri, dan Polymerase Chain Reaction (PCR), sedangkan diagnosa tidak langsung terdiri atas Complement Fixation Test (CFT), Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), dan Immunofluorescence Assay (IFA) (Porter et al. 2011). Metode diagnosa yang digunakan pada penelitian ini adalah IHK tipe Labeled Streptavidin-Biotin Peroxidase (LSAB) karena LSAB memiliki titik isoelektrik yang lebih netral, sehingga meminimalkan kerusakan pada jaringan (Boenisch et al 2009). IHK Labeled Streptavidin-Biotin Peroxidase (LSAB) merupakan IHK tipe tidak langsung dengan menggunakan prinsip pelabelan streptavidin-biotin sebagai antibodi sekunder untuk meningkatkan sensitifitas identifikasi (Boenisch et al. 2009). Pengamatan lesio dengan menggunakan pewarnaan HE dilakukan pada organ hati, paru-paru dan ginjal. Hematoksilin dan Eosin merupakan salah satu metode pewarnaan umum yang sering digunakan untuk mewarnai dan melihat morfologi jaringan. Hati merupakan kelenjar tubuh yang paling besar dan bersifat multifungsi seperti metabolisme protein, lemak, karbohidrat, hemoglobin, ekskresi metabolit, detoksikasi, sekresi empedu dan menyimpan lipid, glikogen, vitamin A dan vitamin B (Dellmann dan Brown 1992; Akers dan Denbow 2008). Hati tersusun atas hepatosit yang terdapat dalam lobus-lobus. Lobus tersebut tersusun dari lobulus-lobulus. Pada tepi lobulus terdapat kumpulan dari tiga saluran yang terdiri atas vena porta, arteri hepatika, dan duktus koledokus atau sering disebut dengan segitiga porta. Buluh limfe dan saraf juga terdapat di segitiga porta. Sel hepatosit satu dengan sel hepatosit lainnya dipisahkan oleh kapiler yang disebut sinusoid. Dalam menjalankan fungsinya organ hati menerima vaskularisasi ganda, yang terdiri atas vena porta dan arteri hepatika. Vena porta membawa darah penuh nutrisi yang diserap dari usus, sedangkan arteri hepatika membawa darah yang kaya akan oksigen kepada sel-sel hati (Dellmann dan Brown 1992). Darah dialirkan dari saluran portal yaitu vena porta dan arteri hepatika melalui sinusoid menuju vena sentralis. Fungsi kekebalan pada organ hati dijalankan oleh sel Kupffer. Sel ini berada di atas sel endotel dari lumen sinusoid (Dellmann dan Brown 1992). Sistem respirasi terdiri dari saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah. Saluran respirasi atas terdiri dari faring, laring, dan trakhea, sedangkan saluran pernafasan bawah terdiri dari bronkus, bronkiolus, dan alveolus (Dellmann dan Brown 1992; Akers dan Denbow 2008). Parenkim merupakan daerah tempat pertukaran gas atau barier darah-udara (blood-air barrier) yang tersusun atas untaian kapiler di satu sisi dan udara di sisi lain. Ginjal merupakan organ yang memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi ekskresi dan fungsi non ekskresi (Price dan Wilson 2006). Daerah perifer ginjal yang beraspek gelap disebut korteks, dan bagian yang lebih cerah disebut medula (Akers dan Denbow 2008). Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang mengitari kapiler glomelurus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal dan duktus pengumpul (Price dan Wilson 2006).
3 Perumusan Masalah Penelitian ini membahas tentang kajian histopatologi hati, paru-paru dan ginjal sapi yang terinfeksi C. burnetii di rumah potong hewan (RPH) terpadu Kota Bogor. Q fever penyakit disebabkan karena infeksi C. burnetii. Saat ini Q fever merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan menular strategis di Indonesia, sehingga kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan. Organ yang diambil terdiri atas jantung, limpa, paru-paru, hati dan ginjal dari 50 ekor sapi. Kelima organ tersebut diwarnai dengan metode pewarnaan Imunohistokimia (IHK). Pewarnaan IHK dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan individu yang positif terinfeksi C. burnetii (imunoreaktif terhadap rabbit anti Coxiella burnetii antibody (FKH IPB)). Setelah diperoleh hasil positif, kemudian dilakukan pewarnaan HE untuk mengamati perubahan lesio yang terjadi pada organ hati, paru, dan ginjal sapi positif terinfeksi dan negatif terinfeksi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi hati, paru-paru, dan ginjal sapi yang terinfeksi C. burnetii melalui pengujian HE dan imunohistokimia. Penelitian ini juga bertujuan membandingkan gambaran histopatologi organ hati, paru-paru, dan ginjal yang positif dan negatif terinfeksi C. burnetii dari sapi yang dipotong di RPH terpadu Kota Bogor.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai gambaran histopatologi organ yang positif dan negatif terinfeksi C. burnetii. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi penyakit Q fever di Indonesia.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Oktober 2013. Pengambilan organ dilakukan di rumah potong hewan (RPH) terpadu Kota Bogor. Pengamatan dilakukan di Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian kali ini terdiri dari botol tempat penyimpanan organ, sarung tangan, gunting, pinset, kertas label, cutter, tissue cassette, tissue basket, parrafin embedding console, automatic tissue processor,
4 cetakan blok parafin yang terbuat dari stainless steel, mikrotom putar, waterbath, gelas objek, gelas penutup, inkubator, rak gelas objek, penghitung waktu. Selain itu digunakan juga pemanas Therm-O-Plate, termometer, gelas piala, pipet tetes, mikroskop cahaya, fotomicrograph, dan software image. Bahan yang digunakan adalah sampel organ jantung, limpa, hati, paru-paru, dan ginjal sapi dari rumah potong hewan, buffer neutral formalin (BNF) 10%, etanol dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 96%, absolut (I, II, III), xylene (I, II, III), parafin, akuades, pewarna jaringan hematoksilin dan eosin, Permount®, polyL-lysine, phosphate buffered saline (PBS), asam sitrat, H2O2 0.3%, fetal bovine serum 1% (FBS 1%), antibodi primer, biotin, streptavidin, diaminobenzidin (DAB), mayer hematoksilin. Antibodi primer yang digunakan adalah rabbit anti Coxiella burnetii antibody (FKH IPB).
Prosedur Penelitian Terdapat empat tahapan prosedur yang dilakukan pada penelitian ini, yakni pengambilan organ, pembuatan sediaan histopatologi, pewarnaan Imunohistokimia (IHK) dan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE). Analisis data pengamatan dengan menggunakan metode deskriptif. Prosedur pewarnaan IHK dilakukan terlebih dahulu pada lima organ untuk memastikan infeksi positif dari agen C. burnetii pada individu sapi. Hasil positif ditandai dengan munculnya warna coklat pada jaringan. Setelah proses seleksi individu positif selesai dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan prosedur pewarnaan HE pada organ hati, paru-paru dan ginjal. Pewarnaan ini bertujuan untuk melihat lesio organ yang berasal dari individu positif dan individu negatif terinfeksi C. burnetii. Pengambilan Organ Pengambilan organ dilakukan setelah proses penyembelihan sapi di RPH selesai dilakukan. Sebelum disembelih, sapi-sapi tersebut telah diperiksa status kesehatannya oleh dokter hewan yang berwewenang di RPH Terpadu Kota Bogor dan dinyatakan sehat. Organ yang diambil yaitu jantung, limpa, hati, paru-paru, dan ginjal dari 50 ekor sapi. Pengambilan organ mewakili tiap ekor sapi yang berbeda dan diambil secara acak dengan ukuran 2 cm x 1 cm x 1 cm per organ. Organ kemudian dimasukkan ke dalam botol berisi larutan BNF 10% dan diberi nomor keterangan pengambilan organ. Pembuatan Sediaan Histopatologi Organ dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm dengan menggunakan cutter kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette. Selanjutnya tissue cassette dimasukkan ke dalam automatic tissue processor untuk proses dehidrasi, clearing dan infiltrasi. Proses dehidrasi dimulai dengan merendam organ ke dalam etanol 70%, 80%, 90%, 96%, 96%, etanol absolut I, etanol absolut II, etanol absolut III, clearing pada larutan xylene I, xylene II, dan infiltrasi pada parafin I, dan parafin II yang bersuhu 58 ºC tiap perendaman dilakukan selama kurang lebih 2 jam. Potongan organ kemudian dimasukkan ke dalam cetakan yang berisi sedikit parafin cair dengan menggunakan parrafin embedding console. Letak potongan organ diatur agar tetap berada di tengah-tengah cetakan. Parafin cair ditambahkan
5 ke dalam cetakan sampai terisi penuh, kemudian dibiarkan hingga terbentuk blok parafin. Organ yang terdapat dalam blok parafin dipotong dengan mikrotom putar dengan ketebalan 3 sampai 5 µm. Hasil potongan diletakkan di atas waterbath bersuhu 46 ºC. Potongan diangkat menggunakan gelas objek kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 50 sampai 60 ºC selama 1 hari. Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) Proses coating slide pada objek gelas dilakukan dengan menggunakan poly– L-lysine. Proses tersebut untuk menjaga agar jaringan tetap menempel pada objek gelas. Pewarnaan dimulai dengan deparafinisasi objek gelas yang berisi irisan blok parafin. Gelas objek dicelupkan ke dalam larutan xylene I, dan II selama 2 menit, kemudian etanol absolut selama 2 menit, etanol 96% dan 80% masingmasing selama 3 menit. Selanjutnya gelas objek dimasukkan ke dalam wadah yang berisi asam sitrat dan PBS yang telah dipanaskan pada suhu 95 ºC selama 15 menit selanjutnya gelas objek didinginkan hingga suhu 37 ºC. Gelas objek dicuci dengan larutan PBS sebanyak 3 kali dan tiap pencucian dilakukan selama 5 menit. Proses selanjutnya adalah blocking endogenous peroxidase dengan menggunakan H2O2 0.3% dalam metanol selama 30 menit. Selanjutnya gelas objek dicuci dengan larutan PBS sebanyak 3 kali dan tiap pencucian dilakukan selama 5 menit. Tahap selanjutnya adalah blocking normal serum dengan menggunakan FBS 1% selama 30 menit. Pencucian gelas objek dilakukan dengan larutan PBS sebanyak 3 kali dan tiap pencucian dilakukan selama 5 menit. Setelah dicuci kemudian dilakukan proses inkubasi antibodi primer pada suhu 4 ˚C selama satu malam. Pencucian gelas objek dengan larutan PBS selanjutnya dilakukan sebanyak 3 kali dan tiap pencucian dilakukan selama 5 menit, kemudian dilakukan proses inkubasi antibodi sekunder yang telah dilabel dengan biotin selama 30 menit. Gelas objek lalu dicuci dengan larutan PBS sebanyak 3 kali dan tiap pencucian dilakukan selama 5 menit. Tahap selanjutnya adalah inkubasi streptavidin selama 30 menit dan diikuti dengan pencucian gelas objek sebanyak 3 kali, dan tiap pencucian selama 5 menit, kemudian gelas objek diberi DAB yang akan memberikan warna cokelat pada jaringan selama 15 detik. Selanjutnya counterstain dengan menggunakan Mayer Hematoksilin sebanyak 5 celupan. Proses selanjutnya adalah proses dehidrasi (etanol 70%, 80%, 90%, 96%, absolut I, absolut II, absolut III), clearing (xylene I, II, III) masing-masing selama 2 menit, dan dilanjutkan dengan menetesi sediaan dengan Permount® kemudian ditutup dengan gelas penutup. Preparat yang telah diwarnai selanjutnya diamati dengan menggunakan mikroskop. Hasil dinyatakan positif jika ditemukan warna coklat pada jaringan. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE) Pewarnaan dimulai dengan melakukan prosedur deparafinisasi. Gelas objek kemudian dicuci dengan akuades selama 1 menit. Selanjutnya gelas objek direndam ke dalam pewarna Mayer Hematoksilin selama 8 menit kemudian dibilas dengan air mengalir selama 30 detik. Selanjutnya gelas objek dimasukkan ke dalam litium karbonat selama 15 sampai 30 detik kemudian dibilas dengan air mengalir selama 2 menit. Gelas objek dimasukkan ke dalam pewarna Eosin selama 2 sampai 3 menit kemudian dibilas dengan air selama 30 sampai 60 detik.
6 Proses berikutnya adalah dehidrasi sebanyak 10 celupan, kemudian dilanjutkan dengan clearing masing-masing selama 2 menit. Gelas objek diberi Permount® dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat yang telah diwarnai kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop untuk melihat gambaran histopatologi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan dengan Metode Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) Hasil pewarnaan IHK dari organ jantung, limpa, hati, paru-paru dan ginjal sapi di RPH Terpadu Kota Bogor, terdapat 5 ekor dari 50 ekor sapi yang imunoreaktif (positif) terinfeksi C. burnetii. Hasil positif infeksi C. burnetii ditemukan pada 1 organ hati, 2 organ limpa, dan 2 organ ginjal (Tabel 1). Hasil imunoreaktif berarti jaringan bereaksi terhadap rabbit anti-Coxiella burnetii antibody (FKH IPB) yang ditunjukkan dengan adanya warna coklat dalam jaringan. Bakteri ini berada pada sitoplasma makrofag. Hasil non imunoreaktif terhadap rabbit anti-Coxiella burnetii antibody FKH IPB ditunjukkan dengan tidak terbentuknya warna coklat dalam jaringan. Jika terdapat organ yang imunoreaktif terhadap rabbit anti Coxiella burnetii antibody (FKH IPB), maka hewan tersebut dinyatakan positif Q fever karena agen dapat menyebar secara hematogen (Maurin dan Raoult 1999). Tabel 1 Hasil pengamatan sampel imunoreaktif dengan menggunakan pewarnaan IHK Imunohistokimia (IHK) Imunoreaktif Non imunoreaktif a
Jumlah 5/50a 45/50
Jumlah sapi yang imunoreaktif terhadap rabbit anti Coxiella burnetii antibody (FKH IPB)
Menurut Byrne (2000), agen C. burnetii dapat menyebar melalui sirkulasi pembuluh darah dan dibawa oleh makrofag, sehingga proses penyebarannya dapat terjadi ke seluruh tubuh. Makrofag merupakan sel radang yang memiliki fungsi fagositosis dan menjadi target sel C. burnetii. C.burnetii masuk ke dalam makrofag dengan menggunakan antigen yang spesifik (Maurin dan Raoult 1999). Hewan yang terinfeksi C. burnetii akan mengalami kondisi bakteremia. Meskipun rute infeksi C. burnetii berbeda-beda, agen tetap dapat ditemukan pada berbagai organ seperti hati, paru-paru, ginjal, jantung, limpa, dan saluran reproduksi karena menyebar secara hematogen (Maurin dan Raoult 1999).
7
a
b
c Gambar 1 Hasil pewarnaan IHK positif dengan metode LSAB pada organ (a) hati, (b) limpa dan (c) ginjal yang ditandai dengan warna coklat (tanda panah) pada jaringan, bar = 20 µm. Pengamatan dengan Metode Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE) Hati Berdasarkan pengamatan lesio pada organ hati dari 5 sapi positif Q fever dengan menggunakan metode pewarnaan HE (Tabel 2), terdapat lesio fokus radang, kongesti, hemoragi, fibrosis, dan fokus nekrosa. Salah satu penyebab terjadinya peradangan adalah adanya infeksi dari agen infeksius. Agen infeksius masuk ke dalam tubuh melalui tiga cara, yakni penetrasi langsung, sistem biliar, dan hematogenous. Infeksi yang paling umum terjadi adalah melalui hematogenous (Carlton dan McGavin 1995). Ketika terhirup atau tercerna, ekstraseluler dari C. burnetii melakukan proses perlekatan pada membran sel makrofag yang terdapat pada jaringan tubuh (limfonodus, limpa, paru-paru, dan hati) dan monosit dalam aliran darah. Adanya sirkulasi C. burnetii dalam pembuluh darah dapat menyebabkan terjadinya pembentukan fokus radang karena adanya proses kemotaksis (Gambar 2) (Goljan 2010).
8 Tabel 2 Hasil pengamatan lesio organ hati dari sapi positif dan negatif Q fever dengan metode pewarnaan HE Organ
Lesio
Hati
Fokus radang Kongesti Hemoragi Fibrosis Fokus nekrosa
a
Query fever +a
-b
2/5 2/5 1/5 1/5 1/5
6/45 12/45 5/45 2/45 4/45
Jumlah lesio yang ditemukan pada sapi positif Q fever Jumlah lesio yang ditemukan pada sapi negatif Q fever
b
Gambar 2 Fokus radang pada hati disertai infiltrasi sel limfosit (segitiga), dan sel neutrofil (tanda panah), pewarnaan HE, bar = 20 µm. Lokasi radang yang ditemukan biasanya terdapat pada vena porta dan sinusoid. Fokus radang dominan diinfiltrasi oleh sel radang limfosit, neutrofil, eosinofil, dan sel plasma. Infiltrasi sel-sel radang mononuklear pada organ hati mengindikasikan hepatitis akut yang disebabkan oleh agen infeksius. Hal ini sesuai dengan pernyataan Raoult et al. (2000) yang menyatakan bahwa hepatitis akut merupakan salah satu bentuk manifestasi dari infeksi C. burnetii. Kongesti merupakan pembendungan pada kapiler darah karena lambatnya aliran darah (Gambar 3). Kongesti pada hati dapat menyebabkan sinusoid berdilatasi. Menurut Maurin dan Raoult (1999), infeksi mikroorganisme seperti C. burnetii dapat membentuk emboli pada pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pada aliran darah dan menginduksi terjadinya pembentukan kongesti. Selain agen infeksius, kongesti juga disebabkan karena kelemahan jantung kanan. Kondisi hemoragi pada organ hati positif Q fever ditandai dengan keluarnya darah dari pembuluh darah karena kerusakan dinding sel pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya akumulasi eritrosit di luar pembuluh darah. Kerusakan dapat disebabkan karena proses perobekan, infeksi agen patogen, dan paparan bahan kimia (Cheville 1999). Kondisi hemoragi (Gambar 4) diduga terjadi karena adanya pembentukan embolus dari agen C. burnetii. Hemoragi disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan limfosit yang merupakan indikasi terjadinya hepatitis akut (Willard dan Tvedten 1999).
9
Gambar 3
Kongesti pada sinusoid hati (tanda panah), pewarnaan HE, bar = 50 µm.
Gambar 4
Hemoragi pada hati yang disertai dengan infiltrasi sel radang limfosit (tanda panah) dan neutrofil (tanda segitiga), pewarnaan HE, bar = 50 µm.
Gambar 5 Fibrosis pada hati disertai dengan infiltrasi sel radang eosinofil (tanda panah), pewarnaan HE, bar = 50 µm. Pada organ hati dari 5 sapi positif Q fever, terdapat 1 organ yang mengalami kondisi fibrosis disertai dengan adanya infiltrasi sel radang eosinofil (Gambar 5). Infiltrasi sel radang eosinofil pada jaringan mengindikasikan adanya proses infeksi dari agen infeksius seperti bakteri, parasit, dan fungi. Di samping itu ditemukan hepatosit yang mengalami nekrosa sebagai lanjutan proses degenerasi (Gambar 6). Kejadian nekrosa ditandai dengan inti yang mengecil (piknosis), pecah (karyoreksis), dan menghilang (karyolisis) (Cheville 1999). Fokus nekrosa
10 disertai dengan infiltrasi sel radang limfosit dan neutrofil. Menurut Maurin dan Raoult (1999), kondisi nekrosa yang disertai infiltrasi sel radang merupakan salah satu lesio yang dapat ditemukan pada pemeriksaan histopatologi jaringan hati hewan yang terinfeksi C. Burnetii. Lesio-lesio yang ditemukan pada organ hati sapi positif Q fever juga dapat ditemukan pada organ hati sapi negatif Q fever, sehingga lesio tidak patognomonis terhadap infeksi C. burnetii.
Gambar 6 Fokus nekrosa ditandai inti karyoreksis (segitiga), karyolisis (tanda panah) dan infiltrasi sel radang limfosit dan neutrofil, pewarnaan HE, bar = 50 µm. Paru-paru Hasil pengamatan organ paru-paru dari 5 sapi positif Q fever (Tabel 3) dengan pewarnaan HE, ditemukan adanya lesio hemoragi dan pneumonia intertisialis pada organ paru-paru positif Q fever. Tabel 3 Hasil pengamatan lesio organ paru-paru dari sapi positif dan negatif Q fever dengan metode pewarnaan HE
a
Organ
Lesio
Paru-paru
Kongesti Hemoragi Emfisema Pleuritis Pneumonia intertisialis
Query fever +
a
0/5 2/5 0/5 0/5 1/5
-b
2/45 1/45 1/45 3/45 3/45
Jumlah lesio yang ditemukan pada sapi positif Q fever Jumlah lesio yang ditemukan pada sapi negatif Q fever
b
Kondisi hemoragi pada paru-paru (Gambar 7a) dapat disebabkan karena robeknya dinding pembuluh darah akibat trauma infeksi dari agen patogen atau paparan bahan kimia (Cheville 1999). Selain hemoragi, ditemukan juga infiltrasi sel radang limfosit pada intertisial paru-paru yang mengindikasikan terjadinya pneumonia intertisialis. Adanya infiltrasi sel radang limfosit pada intertisial paruparu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya infeksi kronis oleh agen infeksius, neoplasia, dan kondisi stress (Cheville 1999). Kondisi pneumonia intertisialis dapat dilihat pada Gambar 7b. Lesio yang ditemukan pada
11 organ paru-paru sapi positif Q fever juga dapat ditemukan pada paru-paru sapi negatif Q fever. Sehingga lesio tidak patognomonis terhadap infeksi C. burnetii.
a b Gambar 7 (a) Hemoragi pada paru-paru (tanda panah, (b) infiltrasi sel radang limfosit (tanda panah) di intertisial paru-paru, pewarnaan HE, bar = 50 µm.
a
b
c Gambar 8 (a) Kongesti paru-paru, (b) emfisema yang disertai adanya infiltrasi sel radang neutrofil (tanda panah), (c) pleuritis yang disertai infiltrasi sel radang limfosit (tanda panah), dan neutrofil (tanda segitiga), pewarnaan HE, bar = 50 µm.
12 Kongesti, emfisema, dan pleuritis tidak ditemukan pada organ paru-paru sapi positif Q fever, melainkan pada sapi negatif Q fever. Kongesti ditandai dengan tergenangnya darah pada kapiler dan vena serta warna paru-paru menjadi merah gelap (Gambar 8a). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi kongesti, diantaranya infeksi dari agen infeksius dan lemahnya ventrikel kiri jantung. Emfisema (Gambar 8b) dicirikan dengan proses dilatasi alveolus secara berlebihan dan disertai dengan adanya infiltrasi sel radang (Subronto 2003). Adanya infiltrasi sel radang neutrofil mengindikasikan terjadinya infeksi akut. Menurut Subronto (2003), emfisema dapat disebabkan oleh faktor primer (trauma pada daerah dada) dan faktor sekunder akibat peradangan paru-paru seperti pneumonia, bronkitis, dan bronkiolitis. Pleuritis merupakan peradangan pada pleura yang disertai adanya infiltrasi sel radang. Pleura visceralis merupakan pembungkus paru-paru yang tersusun atas selaput serosa. Pada pleura bagian dalam, terdapat lapis kapiler paru-paru yang mensuplai darah dan jaringan pertukaran gas di daerah perifer (Akers dan Denbow 2008). Kondisi pleuritis (Gambar 8c) disertai dengan adanya infiltrasi sel radang neutrofil. Infiltrasi sel radang neutrofil diduga dapat disebabkan karena adanya proses infeksi akut dari agen infeksius seperti bakteri, virus, dan fungi. Ginjal Pengamatan pada organ ginjal sapi positif Q fever dengan menggunakan pewarnaan HE (Tabel 4), ditemukan adanya lesio kongesti. Kondisi kongesti (Gambar 9a) dapat disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah oleh agen infeksius, salah satunya C. burnetii (Maurin dan Raoult 1999). Lesio yang ditemukan pada organ ginjal sapi positif Q fever juga dapat ditemukan pada organ ginjal sapi negatif Q fever, sehingga lesio tersebut tidak patognomonis terhadap infeksi C. burnetii. Tabel 4 Hasil pengamatan lesio organ ginjal dari sapi positif dan negatif Q fever dengan metode pewarnaan HE
a
Organ
Lesio
Ginjal
Nekrosa koagulatif Kongesti
Query fever +a
-b
0/5 2/5
3/45 8/45
Jumlah lesio yang ditemukan pada sapi positif Q fever Jumlah lesio yang ditemukan pada sapi negatif Q fever
b
Nekrosa koagulatif hanya ditemukan pada organ ginjal sapi negatif Q fever. Nekrosa sel dapat disebabkan rendahnya jumlah oksigen, agen fisik, agen kimia, toksin, infeksi virus, defisiensi nutrisi dan infark pada jaringan. Nekrosa (Gambar 9b) adalah kematian sel atau kumpulan sel. Nekrosa koagulatif ditandai dengan perubahan inti sel berupa karyolisis dan karyoreksis, dan piknosis yang disertai peningkatan opasitas sitoplasma dan bersifat eosinofilik (Macfarlen et al. 2000).
13
a b Gambar 9 (a) Kongesti di daerah tepi tubulus ginjal. (b) Nekrosa koagulatif pada tubulus ginjal disertai dengan inti piknosis, pewarnaan HE, bar = 50 µm
SIMPULAN Lesio histopatologi yang ditemukan pada organ hati sapi positif Q fever berupa fokus nekrosa, kongesti, hemoragi, fibrosis, dan fokus radang. Lesio pada organ paru-paru sapi positif Q fever berupa hemoragi dan pneumonia intertisialis, sedangkan pada ginjal sapi positif Q fever hanya ditemukan lesio kongesti. Lesio histopatologi organ hati, paru-paru dan ginjal positif tidak menunjukkan perbedaan yang spesifik jika dibandingkan dengan organ hati, paru-paru, dan ginjal sapi negatif Q fever.
DAFTAR PUSTAKA Acha PH, Szyfres B. 2003. Zoonoses and Communicable Diseases Common to Man and Animals, Vol II. Chlamydioses, Rickettsioses and Viroses. Ed ke-3. Washington (US): Pan American Health Organization. Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animals. Ed ke-1. Iowa (US): Blackwell Publishing. Arricau-Bouvery N, Rodolakis A. 2004. Is a q fever an emerging or re-emerging zoonosis?. Vet Res. 36:327-349. Boenisch T, Taylor CR, Farmilo AJ, Stead RH, Happel JF, Saxena R, Key M, Robinson JP, Sturgis J et al. 2009. Education Guide Immunohistochemical (IHC) Staining Methods Updated and Expanded. Ed ke-5. Kumar GL, Rudbeck L, editor. California (US): Dako North America. Byrne WR. 2000. Q Fever. Maryland (US): Medical Aspects of Chemical and Biological Warfare. Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology . Ed ke-2. St. Louis (US): Mosby. Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Iowa(US): Iowa State University Pr. (2):101-154.
14 Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Ed ke-3. Hartono R, penerjemah. Jakarta (ID) : UI Pr. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Histology. [ECDC] European Centre For Disease Prevention and Control. 2011. Summary of Key Publications 2010. Stockholm (SE): ECDC. Fischer AH, Jacobson KA, Rose J, Zeller R. 2008. Hematoxylin and eosin staining of tissue and cell section. Pubmed [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 17]. Tersedia pada:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21356829. Fournier PE, Marrie TJ, Raoult D. 1998. Minireview : diagnosis of q fever. J Clin Microbiol. 36(7):1823-1834. Goljan EF. 2010. Rapid Review Pathology. Ed ke-3. Philadelphia (US): Mosby Elsevier. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2013. Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis Nomor 4026/Kpts/OT.140/4/2013. Indonesia (ID): Kementan. Macfarlen PS, Reid R, Callander R. 2000. Pathology Illustrated. Ed ke-5. Edinburgh (US): Churchill Livingstone. Mahatmi H, Setiyono A, Soejoedono RD, Pasaribu FH. 2008. Deteksi Coxiella burnetti penyebab q fever pada sapi, domba, dan kambing di Bogor dan Bali. J Vet. Hlm 180. Marrie TJ. 2003. Coxiella burnetii pneumonia. J Eur Respir. 21:713-719. Maurin M, Raoult D. 1999. Q fever. Clin Microbiol Rev. 12(4):518-553. Page W. 2004. Health Effects of Project Shipboard Hazard and Defence Biological Agent Coxiella burnetii. Miller V, Hogan M, editor. Brookville (US): SHAD Pr. Porter SR, Czaplicki G, Mainil J, Guattéo R, Saegerman C. 2011. Q fever: current state of knowledge and perspectives of research of a neglected zoonosis. Int J Microbiol [Internet]. [diunduh 2013 September 27]. Tersedia pada: www.hindawi.com/journals/ijmb/2011/248418/. Price AS, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed ke-6. Pendit BU, Hartanti H, Wulansari P, Mahanani DA, penerjemah; Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Terjemahan dari: Pathophysiology: Clinical Concepts of Diseas Processes. Raoult D, Tissot-Dupont H, Foucault C, Gouvernet J, Fournier PE, Bernit E, Stein A, Nesri M, Harle JR, Weiller PJ. 2000. Q fever 1985-1998 : clinical and epidemiologic features of 1383 infection. PubMed 79:109-123. Roosari I. 2008. Kajian Q Fever pada Hewan Kesayangan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Vacher-Coponat H, Dussol B, Raoult D, Casanova P, Berland Y. 1996. Proliferative glomerulonephritis revealing chronic q fever. Am J Nephrol. 16(2):159-161. Willard MD, Tvedten H. 1999. Small Animal Clinical Diagnosis by Laboratory Methods. Ed ke-4. Missouri (US): Saunders.
15
RIWAYAT HIDUP Penulis yang bernama lengkap Srimita Kristiani Br Sembiring, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Erwin Sembiring dan Rosmauli Br Sitorus. Penulis dilahirkan di Pertumbuken, Sumatra Utara pada tanggal 13 Desember 1990. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negri 1 Tigabinanga, Kabupaten Karo pada tahun 2009 dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mayor Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2010, setelah masuk di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis diterima masuk menjadi anggota Himpunan Minat Profesi (Himpro) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) dan Pengurus Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) cabang IPB sebagai Bendehara Divisi Dana dan Usaha. Selain itu penulis juga tergabung kedalam komunitas seni FKH yakni KS Steril sebagai Bendehara pada tahun 2011/2012. Selain itu penulis juga menjadi anggota pada Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA) IPB pada tahun 2009.