STANDARISASI RUMAH POTONG HEWAN DAN PROSEDUR PENANGANAN TERNAK POTONG DI INDONESIA PENDAHULUAN Menurut data WHO, 70% masalah kesehatan masyarakat bersumber dari konsumsi makanan yang tidak sehat, termasuk konsumsi daging dan produk olahannya yang sudah tercemar. Rumah Potong Hewan (RPH) menjadi titik kritis pertama yang menentukan keamanan produk daging yang dijual ke masyarakat baik melalui pasar swalayan maupun pasar tradisional. Banyaknya kasus gangguan kesehatan yang berakhir pada kematian akibat mengonsumsi daging yang tercemar menunjukkan bahwa tingkat keamanan pangan di Indonesia masih sangat rendah. Pengendalian keamanan pangan, khususnya daging, harus dimulai sejak dini, yaitu sejak proses pemotongan hewan. Perlakuan daging sebelum, saat dan sesudah pemotongan sangat menentukan ada tidaknya pencemaran. Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan, jumlah mikroba dalam daging segar harus kurang dari 1 juta. Daging segar juga harus bebas dari E. coli, Salmonella dan Coliform. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Hingga saat ini daging yang dijual di pasar swalayan dan pasar tradisional masih banyak yang terkontaminasi oleh mikroba patogen. Untuk itu, penyediaan daging yang halal, sehat dan aman dikonsumsi masyarakat menjadi upaya yang sangat penting, dimulai dari rantai pertama yang menjadi titik kritis pencemaran, yaitu RPH. RPH yang memenuhi standar kualitas, jaminan kehalalan serta kehigienisan daging akan meningkatkan efisiensi penanganan daging yang dijual produsen ke konsumen. Rumah Potong Hewan juga menjadi kunci penting dalam rantai produksi dan distribusi daging. RPH yang berkualitas bisa mengurangi kerugian akibat penjualan daging yang tercemar oleh mikroba patogen dan bisa mencegah penyebaran penyakit dari hewan ke manusia (zoonisis). Kementerian Pertanian mengungkapkan rumah potong hewan (RPH) yang sudah memenuhi standar penyembelian sesuai ketentuan hanya berjumlah 290 unit atau 41,42 persen dari 700 RPH yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara sisanya masih belum memenuhi standar pemotongan hewan yang ditetapkan. Ke-290 RPH yang sudah memenuhi ketentuan itu terbagi atas RPH yang sudah memiliki fasilitas lengkap penyembelihan hewan sebanyak 60 unit dan RPH dengan fasilitas medium sebanyak 230 unit. Pemerintah saat ini sedang memfinalisasi kebijakan untuk perbaikan dan penyempurnaan berbagai peraturan yang terkait dengan mata rantai pasokan ternak serta Rumah Potong Hewan (RPH) di Indonesia. Hal ini sebagai reaksi dari isu penyiksaan sapi Australia sebelum di sembelih di sejumlah RPH di Indonesia.
Upaya ini merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti semua peraturan perundangan yang terkait dengan aspek kesehatan, agama dan kesejahteraan hewan yang telah sesuai dengan ketentuan badan kesehatan hewan dunia (OIE), dimana Indonesia adalah anggotanya. Saat ini beberapa RPH di Indonesia telah memiliki sertifikasi mutu yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Namun sertifikasi mutu belum mencakup prinsip kesejahteraan hewan secara keseluruhan di setiap rantai pasokannya (supply chain). Berdasarkan kondisi tersebut dan guna menjamin ketersediaan pasokan daging sapi dan keterjangkauan harga, terdapat beberapa solusi yang diputuskan oleh Pemerintah Indonesia saat ini, yang terbagi menjadi tiga solusi. Solusi pertama, yaitu solusi jangka pendek, mengembangkan pedoman kesejahteraan hewan dengan mengacu pada standar dan ketentuan yang berlaku di Indonesia, termasuk untuk peraturan dalam hal kebersihan, sanitasi, maupun jaminan halal; menyusun daftar RPH yang sudah menerapkan prinsip kesejahteraan hewan dan peraturan yang lain maupun daftar RPH yang harus ditingkatkan pengelolaannya. Kemudian mengevaluasi RPH yang memenuhi syarat berdasarkan penilaian auditor independen internasional; membuka impor secara bertahap yang ditujukan kepada RPH yang telah siap menerapkan prinsip kesejahteraan hewan, dan bagi yang belum memenuhi syarat masih mempunyai waktu setidaknya enam bulan untuk memenuhi persyaratan impor khususnya sertifikasi dari RPH yang memenuhi standar; segera menerbitkan Peraturan Menteri (Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian) tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk sesuai dengan amanah UU no 18 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; menerbitkan peraturan (dari) tentang ekspor dan impor hewan dan produk hewan. Solusi kedua, yaitu solusi jangka menengah evaluasi atas cetak biru/blueprint program dan rencana aksi Program Swasembada Daging dikoordinasikan Kemenko Perekonomian dengan penanggung jawab utama adalah Kementan; rencana Aksi Program Swasembada Daging yang disepakati agar dapat selesai dalam satu sampai tiga bulan ke depan sehingga kepastian langkah Pemerintah dan Daerah dalam alokasi
APBN/APBD
2012-1014,
dan
memberi
arah
yang
jelas
bagi
stakeholder
lain.
Solusi ketiga, solusi jangka panjang, melengkapi regulasi yang sudah ada dengan petunjuk teknis pelaksanaan; merevisi SNI tentang RPH karena sudah lebih dari lima tahun; menyusun SNI tentang Pedoman Kesejahteraan Hewan di RPH dan seluruh rantai pasok; memperkuat inspeksi dan surveillance; melakukan kerja sama internasional dalam meningkatkan capacity building dan infrastruktur supply chain.
PEMBAHASAN
Penyediaan daging di Indonesia dipasok dari pemotongan hewan di dalam negeri (lokal) dan impor (pemasukan) daging dari luar negeri. Seiring dengan peningkatan penduduk di Indonesia, konsumsi daging di Indonesia pada lima tahun terakhir (1999-2003) terus meningkat, dengan rata-rata peningkatan rata-rata konsumsi daging sebesar 15,0% per tahun. Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat.Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Dalam peraturan tersebut, persyaratan RPH dibagi menjadi empat kelas (A, B, C dan D) berdasarkan peredaran dagingnya. Pengelompokan tersebut mengatur fasilitas yang harus dimiliki oleh suatu RPH, bukan mengatur persyaratan minimum yang menyangkut aspek teknik higiene, sanitasi dan kesehatan masyarakat veteriner. Sebaiknya persyaratan RPH yang diatur adalah persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh suatu RPH, terutama yang berkaitan dengan aspek higiene dan sanitasi, mengingat RPH adalah suatu tahapan dalam mata rantai penyediaan daging yang memungkinkan munculnya risiko yang dapat membahayakan kesehatan konsumen dan atau menyebabkan penurunan mutu daging. Kemudian pada tahun 1999 diterbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan, yang memuat persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh RPH yang memenuhi ketentuan higiene dan sanitasi. Namun sayangnya SNI ini masih bersifat sukarela (voluntary). Jumlah RPH di Indonesia menurut Buku Statistik Peternakan 2003 sebanyak 777 RPH sapi/kerbau dan 208 RPH babi. Namun secara umum, lokasi dan kondisi hampir seluruh RPH tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan, baik dari aspek lingkungan, higiene dan sanitasi. Umumnya RPH yang ada saat ini dibangun sejak zaman penjajahan Belanda (+ 50-70 tahun), dikelola oleh pemerintah daerah dan proses penyembelihan hewan dilakukan secara tradisional. Berdasarkan sistem jaminan keamanan pangan yang dikenal dengan sistemHazard Analysis Critical Control Point (HACCP), maka penyembelihan di RPH dapat dikategorikan sebagai titik kendali kritis (critical control point). Beberapa bahaya-bahaya yang mungkin terdapat pada daging dapat dikendalikan (dihilangkan atau diturunkan sampai tingkat yang dapat diterima) di RPH. Selain itu, RPH memegang peran penting dalam pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis, sebagai
bagian dari sistem kesehatan hewan nasional.Sehingga peran dan fungsi RPH dalam mata rantai penyediaan daging perlu mendapat perhatian.
Untuk standarisasi Rumah Potong Hewan beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi pengangkutan ternak ke RPH, kelengkapan alat- alat RPH, kompetensi para petugas, standar operasional pemotongan hewan dan syarat ternak yang akan dipotong.
Persyaratan yang harus dimiliki oleh Rumah Potong Hewan/RPH
Syarat–syarat RPH telah diatur juga di dalam SK Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986. Persyaratan ini dibagi menjadi prasyarat untuk RPH yang digunakan untuk memotong hewan guna memenuhi kebutuhan lokal di Kabupaten/Kotamadya Derah Tingkat II, memenuhi kebutuhan daging antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu Propinsi Daerah Tingkat I, memenuhi kebutuhan daging antar Propinsi Daerah Tingkat I dan memenuhi kebutuhan eksport (Manual Kesmavet, 1993). Menurut Manual Kesmavet (1993) RPH ini harus memenuhi syarat yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi syarat lokasi, kelengkapan bangunan, komponen bangunan utama dan kelengkapan RPH: 1. Lokasi RPH. a. Lokasi RPH di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak padat penduduknya, dekat aliran sungai atau di bagian terendah kota. b. Lokasi RPH di tempat yang mudah dicapai dengan kendaraan atau dekat jalan raya (Lestari, 1994b; Manual Kesmavet, 1993). 2. Kelengkapan bangunan. a. Kompleks bangunan RPH harus dipagar untuk memudahkan penjagaan dan keamanan serta mencegah terlihatnya proses pemotongan hewan dari luar. b. Mempunyai bangunan utama RPH. c. Mempunyai kandang hewan untuk istirahat dan pemeriksaan ante mortem. d. Mempunyai laboratorium sederhana yang dapat dipergunakan untuk pemeriksaan kuman dengan pewarnaan cepat, parasit, pH, pemeriksaan permulaan pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran darah. e. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan atau karkas yang ditolak berupa tempat pembakar atau penguburan. f. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan yang ditunda pemotongannya.
g. Mempunyai bak pengendap pada saluran buangan cairan yang menuju ke sungai atau selokan. h. Mempunyai tempat penampungan sementara buangan padat sebelum diangkut. i. Mempunyai ruang administrasi, tempat penyimpan alat, kamar mandi dan WC. j. Mempunyai halaman yang dipergunakan sebagai tempat parkir kendaraaan. 3. Komponen bangunan utama. a. Mempunyai tempat penyembelihan hewan, tempat pengulitan, tempat pengeluaran jeroan dari rongga perut dan dada, tempat pembagian karkas, tempat pemeriksaan kesehatan daging. b. Mempunyai tempat pembersihan dan pencucian jeroan yang terpisah dengan air yang cukup. c. Berdinding dalam yang kedap air terbuat dari semen, porselin atau bahan yang sejenis setinggi dua meter, sehingga mudah dibersihkan. d. Berlantai kedap air, landai kearah saluran pembuangan agar air mudah mengalir, tidak licin dan sedikit kasar. e. Sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk lengkung. f. Berventilasi yang cukup untuk menjamin pertukaran udara. 4. Kelengkapan RPH. a. Mempunyai alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai dengan penyelesaian proses pemotongan termasuk alat pengerek dan penggantung karkas pada waktu pengulitan serta pakaian khusus untuk tukang sembelih dan pekerja lainnya. b. Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksa daging. c. Persediaan air bersih yang cukup. d. Alat pemelihara kesehatan. e. Pekerja yang mempunyai pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur yang berlaku dalam pemotongan hewan serta penanganan daging. Untuk RPH bagi pemotongan babi mempunyai syarat tambahan, yaitu: a. RPH harus ada persediaan air hangat untuk perontokan bulu. b. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan/pembersihan alat untuk babi harus terpisah dengan jarak yang cukup atau dengan pagar tembok setinggi paling sedikit 3 meter atau terpisah total dengan dinding tembok dan terletak di tempat yang lebih rendah dari pada yang untuk hewan lainnya.
Memenuhi Kebutuhan Daging Antar Dati II Dalam Satu Dati I Menurut Manual Kesmavet (1993) untuk RPH yang diperuntukkan memenuhi kebutuhan daging antar Dati II dalam satu Dati I harus memenuhi semua syarat dari RPH untuk memenuhi daging dalam kebutuhan lokal Dati II ditambah dengan:
a. Kandang istirahat berlantai semen. b. Laboratorium yang juga dapat dipergunakan untuk identifikasi kuman dengan pemupukan. c. Tempat pemotongan darurat yang dilengkapi dengan ruang penahan daging. d. Instalasi pengolahan limbah yang berupa saringan untuk memisahkan limbah/buangan padat secara fisik. e. Mempunyai tempat pelayuan dengan dinding yang bagian dalamnya dilapisi bahan kedap air setinggi 2 meter dan dilengkapi dengan exhauster. f. Dilengkapi dengan timbangan untuk karkas serta rel-rel pengangut karkas.
Memenuhi Kebutuhan Daging Antar Dati I Menurut Manual Kesmavet (1993) untuk RPH yang diperuntukkan memenuhi kebutuhan daging antar Dati I harus memenuhi semua syarat RPH untuk memenuhi daging antar Dati II dalam satu Dati I ditambah dengan: a. Laboratorium yang juga dapat digunakan untuk pemeriksaan residu antibiotika. b. Instalasi pengolahan limbah dengan perlakuan secara fisik dan biologis (filtrasi, areasi, digesti anaerobis dan sedimentasi). c. Tempat parkir kendaraan angkutan daging. d. Mempunyai kandang istirahat berlantai semen dengan jarakminimal 50 meter dari bangunan utama. e. Tempat untuk memperlakukan karkas/bahan yang ditolak berupa incineratordengan pembakar bertekanan yang memenuhi syarat kesehatan lingkungan (dengan cerobong asap). f. Mempunyai ruang khusus dalam banguan utama untuk tempat mencuci dan merebus jeroan. g. Mempunyai ruang pelayuan dengan dinding yang seluruh bagian dalamnya dilapisi porselin atau bahan lain yang sejenis dan dilengkapi dengan temperatur 18oC. h. Mempunyai ruang pelepasan daging dari tulang dengan temperatur 18oC. i. Dinding bagian dalam dari bangunan utama RPH tertutup penuh dengan porselin. j. Tersedia air panas untuk mencuci pisau dan alat penanganan lain. k. Mempunyai ruang ganti pakaian untuk karyawan. l. Memeiliki kendaraan angkutan daging tanpa atau dengan alat pendingin yang disesuaikan dengan jarak angkut. m. Dipekerjakan Dokter Hewan.
Memenuhi Kebutuhan Daging Eksport Menurut Koswara (1998) dan Manual Kesmavet (1993) RPH yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan daging eksport harus memenuhi persyaratan seperti pada RPH untuk memenuhi kebutuhan
antar Dati I ditambah dengan: a. Mempunyai ruang pendingin yang dilengkapi dengan pintu pengaman dari bahan tidak berkarat serta pengatur sushu. b. Mempunyai ruang pelepasan daging dari tulang dengan temperatur 10oC. c. Mempunyai ruang pembungkusan, pewadahan dan penandaan produk akhir. d. Mempunyai laboratorium yang juga dapat dipergunakan untuk pemeriksaaan hormon. e. Mempunyai ruang untuk ganti pakaian, locker, ruang istirahat karyawan serta kantin. f. Mempunyai kendaraan angkutan khusus yang harus dilengkapi dengan alat pendingin atau pengatur suhu.
Identifikasi Ternak Siap Potong Penentuan harga pada saat jual beli ternak siap potong, umumnya didasarkan pada taksiran pada saat ternak masih hidup, meskipun dibeberapa tempat terutama ternak besar, penentuan harga ditentukan oleh berat karkas yang dihasilkan oleh ternak yang bersangkutan. Bila harga ternak hidup ditentukan berdasarkan penaksiran, maka pembeli harus sudah bisa memperkirakan berapa banyak karkas yang akan didapat, berapa nilai dari hasil ikutan seperti kulit, jeroan dan sisa karkas lainnya. Penampilan ternak saat hidup mencerminkan produksi dan kualitas karkasnya. Ketepatan penaksir dalam menaksir nilai ternak tergantung pada pengetahuan penaksir dan kemampuan menterjemahkan keadaan dari ternak itu. Keadaan ternak yang perlu mendapat perhatian pada saat menaksir pro-duktivitas ternak adalah : 1. Umur dan berat. 2. Pengaruh kelamin. 3. Perdagingan. 4. Derajat kegemukan. 5. Persentase karkas. 1. Umur dan Berat Umumnya daging yang berasal dari sapi tua akan lebih liat dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Hasil penelitianpun menunjukkan bahwa umur potong sapi berkorelasi positif
dengan keempukan daging yang dihasilkannya, artinya makin tua ternak sudah dapat dipastikan dagingnya akan lebih liat. Daging yang berasal dari sapi tua baunya lebih menyengat dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Namun pada kenyataannya, kuat lemahnya bau daging pada sapi tidak dipermasalahkan konsumen, lain halnya dengan daging domba dan daging kambing, karena ke 2 ternak kecil ini bau dagingnya sangat unik dan lebih kuat dibandingkan dengan sapi. Oleh karena itu konsumen daging domba atau kambing lebih menyukai daging yang berasal dari ternak muda. Ternak sapi tua yang gemuk akan menghasilkan daging yang berlemak oleh karena itu rasanya akan lebih gurih dan banyak disukai konsumen. Selain itu da-ging yang berlemak kandungan airnya lebih sedikit sehingga pada saat dimasak penyusutannya tidak terlalu besar. 2. Pengaruh Kelamin Sapi dara siap potong umumnya lebih murah dibandingkan dengan sapi jantan kebiri, hal ini disebabkan karena persentase karkas sapi dara akan lebih rendah dibandingkan dengan sapi jantan kebiri. Selain itu pada umur yang sama dengan kondisi pemeliharaan yang sama, sapi dara akan sedikit lebih gemuk dibandingkan dengan jantan sehingga akan lebih banyak lemak yang dibuang untuk menghasilkan daging tanpa lemak. Harga sapi jantan muda setiap kilogram hidup umumnya akan lebih murah dibandingkan dengan sapi jantan kebiri, hal ini disebabkkan kualitas daging dari sapi jantan lebih rendah dibandingkan dengan daging dari sapi jantan kebiri pada umur yang sama. Namun produksi dagingnya akan lebih tinggi baik dibandingkan dengan produksi sapi jantan kebiri atau sapi dara. 3. Perdagingan Tujuan akhir produksi ternak daging adalah menghasilkan karkas yang pro-porsi dan kualitas dagingnya prima, yaitu yang kandungan lemaknya disela-sela urat daging termasuk “moderat”, namun demikian tidak dapat dihindari adanya lemak yang berlebih diantara otot-otot, dan keadaan seperti ini tidak disukai oleh konsumen. Pada karkas ada 3 komponen utama, yaitu : daging, lemak dan tulang. Bila pada suatu karkas kandungan dagingnya tinggi maka kandungan tulang dan atau kandungan lemaknya akan lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kandungan daging dengan tulang, namun hubungannya tidak begitu kuat. Artinya bila proporsi daging tinggi maka proporsi tulangnya akan lebih tinggi dan proporsi lemaknya akan relatif lebih kecil. Daging dari ternak yang tidak berlemak/tidak gemuk dapat dilihat terutama pada saat ternak berjalan. Pergerakan otot/daging akan jelas terlihat karena tidak terhalangi oleh tebalnya lapisan lemak. Pada bagian perempat belakang dan daerah iga, yang dagingnya biasa dibuat “steak”, adalah yang paling berharga diantara semua bagian karkas.
4. Derajat Kegemukan (Finish) Selama penggemukan dengan pemberian pakan yang baik, lemak akan dibentuk berturut-turut diluar bundel otot yaitu dibawah kulit dibagian luar karkas (lemak subkutan), dalam rongga perut, sekitar bundel-bundel otot dan juga pada serat-serat otot. Sebagian besar lemak berada diluar bundel otot dan lemak ini akan dilepaskan pada saat prosessing. Lemak yang terbentuk diantara serat otot disebut “marbling” atau kepualaman dan lemak ini akan sangat berpengaruh terhadap kelezatan daging, kegurihan, bau rasa, penampilan dan keempukan. Kegurihan mungkin merupakan faktor yang sangat penting yang disumbangkan oleh adanya “marbling”, selain itu penampilan daging jadi lebih menarik 5. Persentase Karkas Persentase karkas tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas karkas namun penting pada penampilan ternak sebelum dipotong. Pembeli ternak akan memperkirakan nilai karkas dari penampilan ternak sewaktu ternak tersebut masih hidup. Bila pembeli menaksir persentase karkas terlalu tinggi misalnya 1% saja, maka pada ternak yang beratnya 500 kg, pembeli tersebut akan kehilangan 5 kg daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah konformasi tubuh dan derajat kegemukan. Ternak yang gemuk, persentase karkasnya tinggi dan umumnya berbentuk tebal seperti balok. Ternak yang langsing, badan panjang, leher panjang dan berbentuk segitiga seperti sapi perah, persentase karkasnya rendah. Faktor lain yang mempengaruhi persentase karkas adalah jumlah pakan dan air yang ada pada saluran pencernaan ternak. Bila jumlahnya cukup banyak maka persentase karkasnya akan rendah. Kulit yang besar dan juga tebal juga akan berpengaruh terhadap persentase karkas. PERLAKUAN PADA TERNAK SEBELUM DIPOTONG Syarat Ternak yang akan dipotong dan Kebersihan Tempat Penampungan di RPH. Syarat ternak yang akan dipotong adalah kondisi ternak harus dalam keadaan sehat dan segar, untuk itu setelah ternak tiba dirumah potong perlu diistirahatkan terlebih dahulu sampai kondisi ternak kembali segar. Untuk hewan betina besar bertanduk, boleh dipotong dengan syarat : 1. Tidak dipotong untuk diperjual belikan. 2. Betina tersebut mendapat kecelakaan. 3. Betina itu terkena penyakit yang bisa menimbulkan kematian. (misalnya penyakit kembung perut).
4. Betina tersebut dapat membahayakan manusia. 5. Menurut peraturan yang dibuat harus disembelih (umumnya dalam rangka memberantas penyakit). Bila ternak telah melakukan perjalanan yang panjang dan ternak terlihat lelah, segera setelah diturunkan dari truk atau alat angkut lainnya, ternakternak ini digiring ketempat yang sudah tersedia air untuk minum dan dilakukan penyemprotan dengan air dingin, hal ini bukan saja agar ternak menjadi bersih namun juga akan dapat mengu-rangi stress serta menekan adanya bilur-bilur darah pada bagian dibawah kulit (sub-cutan). Lama waktu istirahat dianjurkan selama 2 hari, meskipun kadang-kadang istirahat selama 2 hari ini belum mencukupi. Pada saat istirahat semua ternak harus diberi makan dan minum yang baik dan cukup meskipun beberapa ternak mungkin tidak mau makan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keadaandari tempat penampungan ternak di Rumah Potong, yang kadang-kadang merupakan sumber kontaminasi bakteri pathogen (penyebab penyakit). Karena ada kemungkinan ternak yang pernah datang berasal dari suatu daerah, sedang ada dalam keadaan infeksi subklinis dan hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas daging. Lantai tempat penampungan ternak harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan, karena jika diantara ternak yang sehat terdapat ternak yang menderita penyakit Salmonelosis, maka besar kemungkinan akan terjadi penularan yang cepat yang dapat menimbulkan resiko dimana dalam Rumah Potong Hewan itu timbul pencemaran. Kandang untuk peristirahatan ternak harus cukup luasnya serta menyenangkan bagi ternaknya dan lebih baik lagi bila kandang disekatsekat menjadi unit-unit yang lebih kecil, guna mencegah gerombolan yang terlalu banyak. Jalan menuju ruang penyembelihan harus mudah dan apabila ternak yang akan dipotong itu adalah ternak besar yang dipelihara di padang penggembalaan maka pada sisi lorong harus dipagari dengan menggunakan tiang-tiang yang kuat. Pada saat ternak beristirahat pemeriksaan ante-mortem (sebelum ternak disembelih) sudah mulai dijalankan. Pemeriksaan ante-mortem ini sangat penting dilakukan karena merupakan salah satu proses pencegahan penyakit terhadap konsumen. Dalam hal ini “pemeriksa” harus memiliki pengetahuan mengenai kesehatan masyarakat dan juga cukup berpengalaman dalam menangani ternak-ternak yang akan dipotong. Hal lain yang juga penting yaitu perlakuan terhadap ternak itu sendiri. Perlakuan yang kasar pada ternak sebelum dipotong akan menyebabkan memar pada daging sehingga akan menurunkan kualitas dari pada karkas. Oleh karena itu untuk mengurangi penurunan kualitas karkas, stres lingkungan harus dihindari dan ternak harus diperlakukan dengan baik. Pada umumnya petugas Rumah Potong yang sepanjang dan setiap waktu kerjanya berhubungan dengan ternak cenderung kasar dalam memperlakukan ternak yang akan dipotong.
Pemeriksaan Ante-mortem. Pada pemeriksaan ante-mortem, hal-hal yang perlu dilakukan adalah : 1. Mengidentifikasi dan menyingkirkan pemotongan ternak-ternak yang terkonta-minasi/terserang penyakit terutama penyakit yang dapat menulari manusia yang mengkonsumsinya. 2. Mengidentifikasi dan memisahkan pemotongan ternak yang dicurigai terkontaminasi/terserang penyakit, dengan syarat dagingnya baru bisa dijual bila telah dilakukan pemeriksaan post-mortem (setelah dipotong) dan ternak-ternak ini harus dipotong terpisah dengan ternak-ternak lain yang nyata sehat. 3. Mencegah agar ternak yang kotor tidak memasuki Rumah Potong, hal ini untuk mencegah agar lantai Rumah Potong tidak kotor. Ternak yang kotor dalam Rumah Potong akan menjadi sumber kontaminasi/penyebaran bakteri yang peluangnya sangat tinggi terhadap karkas yang selanjutnya dapat menulari konsumen. 4. Melakukan pemeriksaan epizootic (penyakit-penyakit ternak yang bisa menular pada manusia). Pemeriksaan terhadap jenis penyakit ini harus dilakukan sedini mungkin seperti pada penyakit Mulut dan Kuku, Anthrax dan penyakit lain yang sejenis. Gejala-gejala penyakit seperti tersebut di atas harus diketahui dengan jelas. Penyakit Anthrax dapat diketahui dengan melihat keluarnya darah dari lubanglubang pembuangan, radang paha dapat dilihat dengan adanya suara berkerisik bila paha diraba, penyakit mulut dan kuku dapat diketahui dari ludah yang berlebihan keluar. Selain penyakit-penyakit seperti tersebut juga yang harus diwaspadai adalah penyakit mastitis, endometritis, vaginitis, enteritis, arthritis dan panaritium. 5. Memeriksa umur ternak dengan teliti dan benar, agar tidak tertukar antara daging dari ternak muda yang kualitasnya baik dengan daging yang berasal dari ternak yang sudah tua yang umumnya kualitasnya kurang baik. 6. Ternak yang akan dipotong harus diawasi siang dan malam, karena serangan penyakit bisa datang sewaktu-waktu, sehingga bila ada yang terserang mendadak dapat segera diketahui sedini mungkin. Penyakit Anthrax yang akut dapat berkembang malam hari meskipun siang harinya ternak terlihat normal, namun pada pagi harinya kedapatan sudah mati.
7. Cara hewan bergerak dan respon hewan terhadap benda yang dilihatnya. Pada hewan yang sakit respon terhadap benda disekitar kurang baik dan pergerakan dari hewan tersebut akan lambat. 8. Permukaan luar kulit pun harus diperhatikan dengan baik. Hewan yang sehat bulunya akan terlihat mengkilat dan turgornya baik, selain itu kelenjar-kelenjar lymphe dibawah kulit harus diperhatikan, bila ada pembengkakan harus dicurigai hewan itu terkena penyakit. 9. Pada alat pencernaan yang harus mendapat perhatian adalah bibir dan hidung apakah basah atau tidak, cara mengunyah atau memamah biak. Bila hewan menderita diarhe, maka akan terlihar feces kering menempel pada pangkal ekor. 10. Kondisi tubuh hewan apakah gemuk, kurus atau sedang. Kondisi hewan yang kurus bisa disebabkan oleh berbagai faktor dan diantaranya oleh penyakit. Pada saat melakukan ante-mortem ternak harus diobservasi pada saat ternak istirahat. Ternakternak yang berbaring memisahkan diri dari kelompoknya harus dicurigai, karena ternak yang sakit cenderung memisahkan diri dari kelompoknya, kejadian ini tidak akan terjadi bila ternak tidak sedang dalam keadaan istirahat. Keadaan seperti ini penting untuk diperhatikan karena merupakan adanya indikasi yang tidak berjalan normal pada ternak tersebut. Cara mendeteksi ternak yang tidak sehat. Ternak yang sedang demam dapat diketahui pada saat ternak sedang beristirahat. Ternak tersebut akan terlihat lemah dan tidak bergairah dan kadang-kadang terlihat telinganya terkulai. Ternak babi yang terkena demam akan memisahkan diri dari kelompoknya dan rebahan di teempat yang basah meskipun udara lingkungan sedang dingin. 1. Ternak domba yang terkena penyakit “myasis” akan sering mengibasngibaskan ekornya atau menggisir dan juga bulu pada daerah pantat terdapat kotoran dan basah. 2. Penyakit “Pneumonia” dan “Heat-Stroke” akan mudah diditeksi pada saat ternak beristirahat. Ternak yang terkena penyakit ini akan terlihat kembang kempis kesakitan dan pernafasan cepat.
3. Penyakit “Peritonitis” yang akut juga akan bisa dilihat pada ternak bila sedang istirahat. Hal ini banyak terjadi pada babi. Babi yang terserang penyakit ini memperlihatkan perut yang sedikit gembung dan terlihat lemah dan loyo. 4. Penyakit “Enteritis” juga bisa dilihat pada saat ternak istirahat. Ternak akan terlihat bungkuk karena pada abdomennya ada luka dan akan mencret bila buang kotoran.
Memperhatikan ternak yang akan
dipotong sangat penting dilakukan, karena bila ada tingkah laku yang tidak normal perlu dicurigai bahwa ternak tersebut ada kelainan. Disamping diperhatikan pada saat istirahat ternak pun harus diperhatikan pada saat berjalan. Usahakan ternak berjalan perlahan dan dilihat apa ada kelainan atau tidak. Pengawasan sebaiknya dilakukan pada : 1. Sisi sebelah kiri. 2. Sisi sebelah kanan. 3. Bagian depan dan kepala. 4. Bagian belakang (kaki dan anus). Bila ada sedikit saja yang mencurigakan maka harus dilakukan pemeriksaan yang lebih intensif. Untuk melihat kelainan-kelainan ini membutuhkan pengalaman yang cukup. Penimbangan pada Ternak Pada saat ternak akan dipotong, sebelum memasuki rumah potong, bila ada fasilitas penimbangan ternak, maka sebaiknya ternak ditimbang terlebih dahulu. Mak-sudnya untuk mengetahui berapa berat potong dari ternak tersebut dan berapa kira-kira karkas yang akan dihasilkan. Rumah potong di Indonesia, umumnya tidak memiliki timbangan untuk ternak hidup, baik untuk ternak kecil maupun untuk ternak besar. Untuk ternak kecil kapasitas 100-150 kg sudah memadai, namun untuk ternak besar sebaiknya yang berka-pasitas 750 kg. Menimbang ternak kecil tidak terlalu sulit karena tenaganya masih bisa diatasi oleh manusia. Pada ternak domba dan kambing cukup dengan menyatukan keempat kakinya dan diikat kemudian digantung pada kait timbangan gantung. Pada sapi ka-rena tenaganya jauh lebih kuat, maka sebaiknya
timbangannya dibuat seperti kerangkeng dengan lebar dan panjang lebih besar sedikit dari badan sapi. Pada saat ditimbang pintu kerangkeng sebaiknya tertutup karena dikhawatirkan sapi jadi lebih galak akibat suasana yang berbeda dari biasanya.
Pengangkutan Ternak ke RPH Ternak potong sebagai sumber daging segar yang dihasilkan Rumah Potong Hewan (RPH) didatangkan dari daerah-daerah penghasil ternak yang memerlukan sarana pengangkutan, baik berupa kendaraan truk maupun kapal laut untuk perdagangan antar pulau. Tujuan yang ingin dicapai pada kegiatan pengangkutan ternak pada prisnispnya harus dapat :
menjamin keamanan ternak dan keselamatan ternak
mengurangi kerugian selama pengangkutan
menjamin kualitas produk ternak yang diangkut
mendukung perkembangan usaha pengangkutan ternak
Bila ditinjau dari aspek penanganan daging, maka kegiatan pengangkutan ternak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas dagingnya setelah dipotong di RPH. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan ternak adalah agar diupayakan terciptanya kondisi yang nyaman bagi ternak selama pengangkutan menuju RPH. Hal ini berpengaruh pada tingkat stress ternak dalam perjalanan, yang akan menekan penurunan bobot badan ternak dan pemulihannya memerlukan waktu yang relatif singkat. Dengan upaya tersebut diatas diharapkan dapat mempertahankan kualitas daging pada saat ternak dipotong di RPH. Kondisi hewan ternak yang akan diangkut ke lokasi RPH agar dipilih dari ternak yang sehat. Selama dalam pengangkutan agar dihindari terjadinya hal-hal yang dapat mengakibatkan ternak mengalami cidera atau luka, atau kematian ternak sehingga tidak menimbulkan kerugian ekonomi dalam proses pengangkutan ternak. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak pelaku usaha umumnya telah berpengalaman dalam memilih jenis angkutan yang dianggap aman dan nyaman bagi ternak yang diangkut serta telah memperhitungkan tingkat biaya dan keuntungan yang akan diperoleh pada saat menghasilkan daging. Besar kecilnya ruang yang dibutuhkan untuk setiap ternak dalam pengangkutan dipengaruhi oleh bobot badan, bangsa sapi, jenis kelamin dan umur ternak sapi. Untuk pengangkutan ternak melalui laut sangat diperlukan sarana kapal untuk mengangkut dari wilayah sumber ternak yang berada dikawasan Timur Indonesia. Pengangkutan ternak dengan kapal laut
biasanya memerlukan waktu lebih lama untuk sampai di lokasi tujuan yang sebagian besar di Pulau Jawa sebagai daerah konsumen daging sapi. Untuk itu idealnya dalam angkutan ternak dengan kapal laut dilengkapi dengan sarana dan peralatan yang dapat mendukung di capainya kondisi ternak yang nyaman selama dalam perjalanan. Beberapa jenis sarana dan peralatan tersebut diantaranya :
Paddock; berupa ruangan dalam kapal yang ditempati oleh ternak dan dibatasi oleh pagar penyekat serta dilengkapi dengan tempat makan, minum dan pembuangan kotoran.
Peddock isolasi; berupa ruangan khusus didalam kapal yang digunakan untuk menempatkan dan menangani ternak yang mengalami gangguan kesehatan.
Gangway; berupa gang diantara paddock yang berfungsi untuk memudahkan pelayanan terhadap ternak seperti pemberian pakan, air minum, mengontrol ternak dan proses bongkar muat.
Tangga bongkar muat dan tangga ternak antar lantai kapal yang kuat, tidak licin dan aman bagi ternak.
Ventilasi yang terpasang dengan baik dan dapat berfungsi untuk mensirkulasi udara dalam ruangan paddock.
Tempat pakan dan air minum ternak yang kuat dan tidak bocor.
Alat penerang yang ditempatkan pada ruang paddock dengan posisi yang dijamin aman dari jangkauan ternak.
Peralatan sanitasi; untuk mengupayakan agar lantai kapal selalu dalam kondisi bersih dan bebas hama.
Pengikat; untuk mengikat ternak pada kondisi ternak yang membahayakan.
Penutup dek atas; untuk keperluan ternak harus dapat menahan panas dan air hujan serta dapat dibuka – tutup.
Stockman; berupa tempat petugas/karyawan yang bertugas mengontrol dan mengawasi ternak selama dalam pengangkutan diatas kapal.
Untuk pengangkutan ternak didarat, idealnya menggunakan kendaraan khusus pengangkut ternak. Kondisi lapangan yang ada umumnya menggunakan kendaraan truck dengan bak terbuka yang belum menjamin kenyamanan bagi ternak selama pengangkutan. Untuk dapat berfungsi khusus bagi angkutan ternak, maka kendaraan truck tersebut perlu didesain khusus atau dimodifikasi sehingga layak dan aman untuk digunakan mengangkut ternak yang akan dipotong di RPH.
Kelengkapan sarana dan peralatan yang perlu diadakan pada kendaraan truck khusus pengangkut ternak potong antara lain :
Bedding; yaitu penutup lantai truck angkutan ternak yang berfungsi untuk memberikan kenyamanan, keselamatan ternak dan mengurangi pencemaran selama pengangkutan.
Penyekat; adalah bagian dari bak truck angkutan ternak yang berfungsi untuk memisahkan dan menahan ternak didalam truck.
Penghalang ternak; merupakan bagian dari bak truck ysng dipasang pada bagian atas dan berfungsi untuk mencegah ternak keluar dari bak truck selama pengangkutan.
Tangga bongkar muat ternak; adalah sarana yang berfungsi untuk membantu proses bongkar muat ternak dari dan ke kendaraan angkutan ternak.
Kisi-kisi ventilasi; adalah celah yang dibuat pada bak truck dan berfungsi untuk kelancaran sirkulasi udara didalam bak truck.
Sarana dan peralatan lain yang mendukung keamanan dan kenyamanan ternak dalam pengangkutan seperti penutup bak, pintu bak truck, tempat pakan dan minum, alat penerang, alat sanitasi dan pengikat ternak. (Sumber : Pedoman Pasca Panen Produk Peternakan. Ditjen PPHP Departemen Pertanian. 2006)
Pedoman Pemotongan Ternak Pemotongan ternak adalah kegiatan penyembelihan hewan potong untuk menghasilkan daging. Penanganan yang baik dan benar pada proses pemotongan ternak disarankan untuk mengacu dan memperhatikan beberapa ketentuan yang telah diberlakukan seperti: ·
Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 555 / Kpts/ TN. 240 / 9/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan.
·
Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 413/ Kpts/ TN.310/ 7/1992 tentang
Pemotongan Hewan
Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya. Salah satu hal yang perlu dipahami dalam penanganan sebelum penyembelihan yaitu bahwa kondisi fisik ternak sesaat sebelum penyembelihan dan juga pada proses penyembelihan mempunyai pengaruh yang sangat berarti terhadap mutu daging yang dihasilkan dari ternak tersebut. Ternak yang banyak istirahat dan tenang, pada waktu pemotongan akan menghasilkan daging yang lebih baik mutunya dibanding dengan ternak yang berada dalam kondisi kelelahan. Oleh karena itu perlakuan terhadap ternak sebelum dipotong agar diistirahatkan dengan baik, tidak menderita tekanan dan tidak mengalami perlakuan kasar agar dihasilkan daging yang baik mutunya.
Beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam pemotongan ternak, antara lain : ·
Ternak yang akan dipotong harus menjalani pemeriksaan ante-mortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang, paling lama 24 jam sebelum pemotongan.
·
Pemeriksaan ante-mortem dilakukan ditempat yang telah disediakan di area RPH, kecuali apabila atas pertimbangan petugas pemeriksa yang berwenang, dapat dilakukan pemeriksaan dalam kandang atau pada kendaraan/alat pengangkut ternak. Pada prinsipnya pemeriksaan ante-mortem tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi petugas pemeriksa untuk memberikan rekomendasi atas kelayakan kesehatan ternak yang akan disembelih.
·
Bagi ternak potong yang dalam pemeriksaan ante-mortemnya dicurigai mengidap penyakit tertentu, maka pemotongannya ditunda sambil menunggu hasil pengujian laboratorium. Apabila dari hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan ternak tersebut mengidap penyakit tertentu, maka perlakuan selanjutnya dapat mengacu pada ketentuan yang berlaku, sebagaimana telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan.
·
Ternak yang akan dipotong sebaiknya diistirahatkan paling sedikit 12 jam sebelum penyembelihan dilakukan. Perlakuan ini dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi ternak dari pengaruh stres selama pengangkutan dari tempat asal ternak menuju tempat pemotongan. Diharapkan dengan melalui proses ini dapat diperoleh daging yang baik dan bermutu.
·
Pemotongan ternak sebaiknya dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) atau Tempat Pemotongan Hewan (TPH). Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pemotongan ternak mendapat pengawasan dan sesuai dengan petunjuk dari petugas pemeriksa.
·
Apabila akan dilakukan pemotongan pada ternak betina/betina bunting, agar memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Salah satu pertimbangannya adalah untuk menghindari terjadinya penurunan populasi ternak potong, akibat adanya pemotongan terhadap ternak betina produktif.
·
Pemotongan ternak disarankan agar dilakukan menurut tata cara agama Islam. Pertimbangan tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan bagi umat Islam sebagai mayoritas konsumen daging di Indonesia. Cara pemotongan dimaksud agar dilakukan oleh juru potong (jagal) Islam menurut tata cara yang sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti memutus jalan napas (hulqum), memutus jalan makanan (mari’), memutus dua urat nadi (wadajam) dan membaca Basmallah sebelumnya.
·
Pemotongan ternak dapat dilakukan dengan pemingsanan atau tanpa pemingsanan terlebih dahulu. Apabila ternak sebelum dipotong dipingsankan terlebih dahulu maka pemingsanannya dilakukan sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Pemotongan dilakukan pada ternak dalam keadaan posisi rebah, kepalanya diarahkan ke arah kiblat dan dengan menyebut nama Allah, ternak tersebut dipotong dengan menggunakan pisau yang tajam. Pemotongan dilakukan pada leher bagian bawah, sehingga tenggorokan, vena yugularis dan arteri carotis terpotong. Menurut Ressang (1962) hewan yang dipotong baru dianggap mati bila pergerakanpergerakan anggota tubuhnya dan lain-lain bagian berhenti. Oleh karena itu setelah ternak tidak bergerak lagi leher dipotong dan kepala dipi-sahkan dari badan pada sendi Occipitoatlantis. Pada pemotongan tradisional, pemotongan dilakukan pada ternak yang masih sadar dan dengan cara seperti ini tidak selalu efektif untuk menimbulkan kematian dengan cepat, karena kematian baru terjadi setelah 3-4 menit. Dalam waktu tersebut merupakan penderitaan bagi ternak, dan tidak jarang ditemukan kasus bahwa dalam waktu tersebut ternak berontak dan bangkit setelah disembelih. Oleh karena itu pengikatan harus benarbenar baik dan kuat. Cara penyem-belihan seperti ini dianggap kurang berperikemanusiaan.Waktu yang diperlukan secara keseluruhan lebih lama dibandingkan dengan cara pemotongan yang meng-gunakan pemingsanan. Pada saat pemotongan diusahakan agar darah secepatnya dan sebanyakbanyaknya keluar serta tidak terlalu banyak meronta, karena hal ini akan ada hubungannya dengan :
Warna daging.
Kenaikan temperatur urat daging.
pH urat daging (setelah ternak mati).
Kecepatan daging membusuk.
Agar darah cepat keluar dan banyak, setelah ternak disembelih, kedua kaki belakang pada sendi tarsus dikait dengan suatu kaitan dan dikerek ke atas sehingga bagian leher ada di bawah. Keadaan seperti ini memungkinkan darah yang ada pada tubuh ternak akan mengalir menuju ke bagian bawah yang akhirnya keluar dari tubuh.
·
Setelah ternak yang dipotong tidak bergerak dan darahnya berhenti mengalir, maka penyelesaian selanjutnya yang dilakukan adalah sebagai berikut :
-
Kepala sampai batas tulang leher I dan kaki, mulai dari tarsus/karpus dipisahkan dari badan.
-
Ternak digantung dan dikuliti
-
Isi perut dan dada dikeluarkan
-
Karkas dibelah memanjang dengan ujung leher masih terpaut. Kegiatan penanganan daging/karkas di RPH setelah selesai pemotongan, perlu mendapatkan perlakuan tertentu untuk menjaga kualitas daging yang dihasilkan. Dengan demikian diharapkan daging dapat memenuhi syarat untuk dikeluarkan dari RPH dan didistribusikan ke berbagai wilayah pemasaran setelah dilakukan pemeriksaan post mortem. Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan dalam penanganan daging setelah selesai penyembelihan, antara lain :
·
Daging/karkas dan bagian ternak lainnya secara utuh agar segera dilakukan pemeriksaan post mortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang. Pemeriksaan post mortem dimulai dengan pemeriksaan sederhana dan apabila diperlukan dapat dilengkapi dengan pemeriksaan mendalam. Prosedur pemeriksaan post mortem telah diatur dan ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
·
Daging/karkas yang dinyatakan dapat diedarkan dan dikonsumsi, sebaiknya dilakukan proses pelayuan terlebih dahulu sebelum didistribusikan keluar RPH. Proses pelayuan dapat dilakukan sekurangkurangnya selama 8 jam dengan cara menggantungkannya didalam ruang pelayuan yang sejuk, cukup ventilasi, terpelihara baik dan hygienis.
·
Daging yang layak untuk diedarkan dan dikonsumsi agar diberi tanda dalam bentuk stempel khusus. Sedangkan daging yang tidak layak edar atau tidak layak dikonsumsi agar diberikan perlakuan sesuai dengan petunjuk dari petugas pemeriksa yang berwenang.
·
Dalam penanganan daging agar diupayakan tidak terjadi kontak langsung antara daging tersebut dengan lantai dan di jaga agar daging tidak terkontaminasi yang dapat menurunkan kualitas daging, sehingga dapat merugikan semua pihak baik produsen maupun konsumen daging. Pemeriksaan kesehatan hewan harus dilakukan, dan dikerjakan sebelum dan sesudah hewan disembelih atau dipotong. Pemeriksaan tersebut dinamakan ante mortem untuk ternak sebelum dipotong dan post mortem untuk daging dari ternak setelah dipotong. Kegiatan pemeriksaan ini sangat erat hubungannya dengan kemungkinan adanya penyakit yang dibawa oleh hewan tersebut yang dapat menular pada manusia. Apabila hewan-hewan yang akan disembelih mengidap penyakit, maka harus dikarantina dahulu untuk disembuhkan (diobati) atau kalau tidak disembuhkan, hewan harus dibunuh dan dagingnya tidak boleh dikonsumsi. Demikian pula halnya terhadap hasil pemeriksaan daging hewan setelah pemotongan, perlu diperiksa kesehatannya untuk memastikan bahwa daging tersebut aman dan layak untuk dikonsumsi. Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah : genetik, spesies,
bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan stres. Faktor setelah pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah : metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging. (Sumber : Buku Pedoman Pasca Panen Produk Peternakan, Ditjen PPHP Kementan RI, 2006)
PENUTUP Keamanan pangan asal ternak berkaitan erat dengan mata rantai penyediaan pangan tersebut. RPH sebagai tempat yang ditunjuk untuk pemotongan hewan haruslah memiliki standar yang memadai agar masyarakat merasa aman dalam mengkonsumsi panganan mereka. Standar ini haruslah mengacu pada SNI yang merupakan standar baku untuk Indonesia. Mulai dari Identifikasi ternak yang akan dipotong sampai penanganan pasca pemotongan harus hygiene untuk menghindari terkontaminasinya daging dengan bakteri atau kontaminan lainnya. Masih banyak RPH di Indonesia yang belum memenuhi standar RPH yang disyaratkan. Ini tentunya menjadi perhatian serius bagi pemerintah terlebih sorotan media mengenai perlakuan sapi impor Australia di RPH Indonesia. Kita berharap standar RPH di seluruh Indonesia dapat disetarakan bahkan bila perlu sama dengan standar RPH di Luar Negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Syamsul. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia IVARTAZOA Vol. 16 No . / Th. 2006 Direktorat Kesmavet Dirjen Peternakan Departemen Pertanian, Pedoman teknis Kegiatan Penataan RPH Tahun Anggaran 2010 http://septinalove.blogspot.com/2010/03/rumah-potong-hewan-rph-sapi.html http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=743 http://higiene-pangan.blogspot.com/2008/10/product-safety-di-rph.html http://www.hijauku.com/2011/09/29/jamin-keamanan-pangan-sejak-dini-mulai-dari-rph/ http://disnak.sumbarprov.go.id/index.php?disnak=berita&j=1&id=108 http://agriternak.blogspot.com/2011/03/pedoman-pemotongan-ternak.html http://agriternak.blogspot.com/2011/03/pedoman-pengangkutan-ternak-ke-rph.html http://karantina.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=175:penyelenggaraankesejahteraan-hewan&catid=45:opini http://duniaveteriner.com/2009/04/simpul-kritis-hewan-kurban/print
TUGAS KESMAVET STANDARISASI RUMAH POTONG HEWAN DAN PROSEDUR PENANGANAN TERNAK POTONG DI INDONESIA
oleh: Dyta Kharis Setiawan 0909005075 Kelas B
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011