Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Implementasi Etika Birokrasi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Aparat Oleh: Yunizir Djakfar Abstract Nowdays, bureaucracy ethic is a very interesting topic for discussion, especially in creating clean government and respectable. The tendencies or symptoms happened which performance of its duties, so many of the bureaucratic apparatus often violate the rule set. Ethics of bureaucracy in governance is associated with morality and mentality of bureaucracy in providing public services which is reflected through the basic tasks and functions of government, the main function of the service, setting or regulation functions and functions of community empowerment. So, we are talking about ethics bureaucracy means about how the bureaucracy carries out duties and functions in accordance with the conditions set. Keywords: Ethics, bureaucracy, services, government
Pendahuluan Pertanyaan mendasar yang barangkali patut dilontarkan adalah bagimana proses penentuan etika dalam birokrasi itu sendiri. Siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidaknya penerapan etika dalam birokrasi. Bagaimana dengan kondisi saat itu dan pada daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah atau wilayah mereka dan tindakan itu dapat dibenarkan. Akan tetapi di daerah atau wilayah yang berbeda, mungkin berbeda bahkan tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu dapat ditegaskan, bahwa implementasi etika birokrasi dalam pelayanan publik tergantung pada situasi dan kondisi daerah atau wilayah masing-masing. Hal itu sangat terpergantung dari seberapa jauh tingkat pelanggaran yang dilakukan. Di mana pelanggaran itu dilakukan, kapan dan bagaimana serta sanksi apa yang akan diterapkan. sanksi sosial-moral ataukah sanksi hukum. Semua itu bisa bersifat temporer dan sangat bervariasi di negara kita, sebab hal itu juga terkait dengan kondisi sosial dan budaya yang berlaku sesuai dengan norma, adat dan kebiasaan setempat. Tulisan singkat ini mencoba menganalisis bagaimana implementasi etika birokrasi dilaksanakan paling tidak pada tataran standar pelayanan minimal. Sehingga sejalan dengan semangat peningkatan akuntabilitas aparat birokrasi pemerintahan diberbagai level. Pengertian Etika Secara mendasar, etika adalah sistem nilai pribadi yang digunakan untuk memutuskan apa yang benar atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsiten dengan system nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi. Kata etika berasal dar bahasa Yunani, ethos atau taetha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Baturaja, Sedang Menyelesaikan Tesis di MIP FISIP Univ. Lampung
9
Yunizir Djakfar; 9 - 13
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati (Wahyudi, 2008). Seseorang dikatakan baik atau buruk bukanlah dilandaskan atas satu tindakannya saja, melainkan atas dasar pola tindakanya secara umum. Jika arti ethos adalah perilaku adat istiadat, maka dapat ditafsirkan bahwa hal ini sudah dikenal jauh lebih lama sesuai kitab-kitab kuno yang telah ada pada abad ke 25 SM yang menjadi dasar ajaran etika Khong Fu Cu. Jadi konsep-konsep etika sebenarnya sudah dikenal oleh manusia sejak zaman dahulu, jauh sebelum peradaban manusia maju seperti sekarang ini (Muhammad Mufid, 2009). Etika membahas tentang tingkah laku manusia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa etika dan akhlak adalah sama. Persamaan memang ada karena kedua-duanya membahas baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan atau kelompok tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Para ahli menyimpulkan bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut: pertama, dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ketiga, dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, terhina dan sebagainya. Keempat, dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-rubah sesuai tuntutan zaman. Oleh karena itu, terkait dengan hubungan antara etika dan pemerintahan berkaitan dengan hal ini, dalam pandangan Labolo Muhadam (2008), bahwa etika dalam pemerintahan merupakan suatu cerminan dalam hubungannya antara atasan dan bawahan ataupun sebaliknya antara bawahan dengan atasan. Hubungan pemerintahan dengan filsafat pemerintahan, yaitu di mana pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus melihat kebijakan tersebut memiliki manfaat serta tujuan yang ingin dicapai dalam kaitanya dengan kebijakan. Bukan itu saja, bahwa pemerintah dalam hal ini diibaratkan sebagai manusia yang memiliki etika, artinya suatu organisasi atau pemerintah yang di dalamnya memiliki suatu sistem nilai pribadi yang digunakan memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi, tentu saja tidak terlepas dari tujuan pemerintah, yaitu melaksanakan peayanan publik dalam memberikan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hakekat Manusia Manusia pada hakekatnya adalah mahluk sosial, manusia sangat memerlukan pemahaman tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan, karena dengannya ia berbuat dan berprilaku di dunia ini. Namun sebagai pemikir yang semestinya menfokuskan pikiranpikirannya untuk mengarahkan dan membantu umat manusia meraih tujuannya malah menjadi batu penghalang bagi kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki manusia. Seringkali kita mendengar sebagian intelektual menyatakan bahwa dengan keberadaan krisis-krisis yang meliputi dunia sekarang ini tidak seharusnya waktu kita habiskan untuk 10
Yunizir Djakfar; 9 - 13
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
menggali dan mengetahui filsafat penciptaan, manusia mestinya memusatkan segenap pemikirannya dalam bidang ekonomi dan sosial untuk mencari solusi yang terbaik bagi permasalahan kehidupan ini. Para pendukung gagasan ini lalai atas suatu hakikat bahwa jika manusia tidak mengenal substansi filsafat penciptaannya sendiri, maka sangat banyak problematika yang mustahil dapat terpecahkan. Selain dari itu, manusia dipaksa oleh hati nuraninya sendiri untuk memahami tujuan penciptaan dan filsafat kehidupannya, karena tanpa itu ia tidak dapat menjalani kehidupan di alam ini secara sempurna dan bahagia. Kita mengetahui bahwa apabila manusia tidak memahami filsafat penciptaannya, maka mustahil ia memiliki suatu ideologi. Walaupun tidak semua ideologi bisa digolongkan sebagai filsafat penciptaan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan dua premis di bawah ini manusia seharusnya mengetahui dan menghayati filsafat penciptaan: 1) manusia niscaya memiliki ideologi dalam kehidupannya, dan 2) tidak semua ideologi identik dengan filsafat penciptaan. Alasan Pentingnya Etika dalam Birokrasi Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan. Begitulah yang terjadi ketika kita mengharapkan agar aparatur birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, penuh kejujuran dan menjunjung tinggi rasa keadilan. Sementara kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah etika yang perlu diperhatikan oleh aparatur birokrasi. Ada beberapa alasan mengapa etika birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto (2000), bahwa: pertama masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah di masa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkan berbagai masalah publik yang semakin kompleks dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalah yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan-pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan buruk, yang masingmasing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain. Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Masalah-masalah yang ada dalam grey area seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas dalam masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi policy guidance kepada para pejabat/birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah menginkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan 11
Yunizir Djakfar; 9 - 13
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi. Dalam menyikapi pelaksanaan etika birokrasi di Indonesia sering dikitkan dengan etika Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan kepegawaian, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Pelaksanaan etika birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sanksi yang menyertainya, karena etika pada umumnya tidak ada sanksi fisik atau hukuman tetapi berupa sanksi sosial dalam masyarakat. Seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkungan masyarakat tersebut, sementara bagi aparat birokrasi sangat sulit, karena masyrakat enggan dan sungkan (budaya patron yang melekat). Begitu rumit dan kompleknya permasalahan pemerintah dewasa ini, membuat para aparat birokrasi mulai tergelincir atau terjerumus ke dalam prilaku yang menyimpang, belum lagi karena tuntutan atau kebutuhan hidup sendiri. Untuk itu, perlu adanya penegasan payung hukum atau norma aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sanksi yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran birokrasi di Indonesia. Sejalan dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya Ethics in Government seperti dikutip oleh Haryanto (1982), tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu: 1) ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan; 2) menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentingan dinas; 3) membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat itu berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah; 4) membocorkan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak; 5) terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah. Dengan demikian jelas bahwa etika birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak. Untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang etika biasanya tidak tertulis dan sanksinya berupa sanksi sosial yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut. Etika birokrasi, menurut Christine Kansil (2003), bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra Setya Kopri dan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Tentang Pegawai Negeri Sipil, tetapi lebih dari itu bagaimana ketentuan-ketentuan tersebut dapat dihayati dan diamalkan dalam berprilaku sebagai aparat birokrasi. Tidak kalah pentingnya juga yaitu bagaimana penegakan hukum atau sanksi yang tegas bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sanksi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di mata hukum. Penutup 12
Yunizir Djakfar; 9 - 13
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Uraian-uraian di atas, hanya merupakan kosep ideal yang diharapkan dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang merupakan aparat birokrasi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk melayani, mengatur dan memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakan dengan baik apabila aparat birokrasi tersebut memiliki etika dalam bekerja. Etika birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia terikat dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi landasan etika dalam bertindak dan berprilaku dalam melaksanakan tugasnya. Manusia merupakan mahluk sosial yang selalu bergantung antara satu dengan lainnya dan saling membutuhkan. Manusia atau insane merupakan obyek dan subyek dalam kajian pemerintahan ini. Manusia dalam hal ini bertindak selaku pemberi dan penerima pelayanan dari pemerintah. Di satu sisi sebagai pelayan adalah para pegawai pemerintah yang bekerja dalam instansi-instansi pemerintah, dan di sisi lain selaku masyarakat yang berhak menerima pelayanan dari pemrintah. Kaitannya etika manusia dalam pemerintahan adalah bagaimana dalam pelaksanaan pemerintahan harus selalu didasarkan atas nilai-nilai kebenaran atau nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi, sehingga diharapkan setiap peran yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat memiliki suatu tujuan yang sesuai dengan harapan yang diinginkan. Etika birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan oleh pemerintah,akan tetapi bagaimana aplikasinya dalam berprilaku sebagai aparat birokrasi. Dan bagaimana hukuman atau sanksi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu.
DAFTAR PUSTAKA
Haryanto. 1982. Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Kansil, Christine. C.S.T. 2003. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Etika Birokrasi Dalam Administrasi Negara. Yogyakarta: Bigraf Publishing Mufid, Muhammad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group Labolo, Muhadam. 2008. Memahami Ilmu Pemerintahan: Suatu Kajian, Teori, Konsep dan Pengembangannya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Dwiyanto, Agus. 2000. “Pemerintahan yang Baik, Tanggap, Efisien dan Akuntabel”. Makalah Disampaikan dalam Seminar Forum Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pasca Sarjana UGM
13
Yunizir Djakfar; 9 - 13