Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
AKUNTABILITAS KINERJA APARAT PEMERINTAH DESA DALAM PELAYANAN PUBLIK Kandung Sapto Nugroho Prodi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
[email protected] ABSTRAK Kondisi birokrasi Indonesia selama ini nampaknya terjadi krisis kepercayaan dan legitimasi sebagai akibat dari gagalnya pemerintah menempatkan dirinya menjadi institusi yang bisa melindungi dan memperjuangkan kebutuhan publik, seringkali Negara tidak terlihat perannya, bahkan abai terhadap kondisi yang ada. Kemampuan soft sistem maupun hard system pelayanan publik dalam merespon dinamika globalisasi yang terjadi dalam masyarakatnya secara cepat, tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana visi dan misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Rerumusan masalahnya adalah Bagaimanakah Idealnya Akuntabilitas Kinerja Aparat Pemerintah Desa dalam Pelayanan Publik ? secara umum pelaksanaan kinerja aparat desa idealnya uang dinilai oleh masyarakat hendaknya menilai tentang kelayakan (efisiensi dan efektifitas) biaya pelaksanaan kegiatan serta kelayakan hasil kegiatan, kemudian Efektifnya pelaksanaan pelayanan di luar jam dinas, kesamaan hak dalam pelayanan di bidang administrasi perkantoran dan kesamaan hak pelayanan bidang kesehatan, kemampuan aparat dalam mengenali kebutuhan masyarakat dan kemampuan merespon opini masyarakat serta melakukan kegiatan secara transparan. Kemudian juga mudah dan pendeknya rentang birokrasi, manfaat atas setiap kegiatan dan puasnya masyarakat atas pelaksanaan kinerja pelayanan serta tingkat kepercayaan masyarakat. Demikian juga tentang upaya pencapaian tujuan dalam intensifkasi PBB, Pelayanan pada jam dinas, pelayanan di luar jam dinas, keakuratan pembuatan kebijakan desa, keakuratan proses sosialisasi setiap kebijakan. Penerapan prinsip-prinsip good governance adalah di semua lini pemerintahan bukan hanya pemerintah pusat, provinsi dan daerah kabupaten namun sekaligus juga pemerintahan di tingkat desa. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi di semua level pemerintahan. Kondisi birokrasi Indonesia selama ini nampaknya terjadi krisis kepercayaan dan legitimasi sebagai akibat dari gagalnya pemerintah menempatkan dirinya menjadi institusi yang bisa melindungi dan memperjuangkan kebutuhan publik, seringkali Negara tidak terlihat perannya,
bahkan abai terhadap kondisi yang ada. Praktek pemerintahan yang berorientasi pada kekuasaan membuat birokrasi tidak responsif dan tidak sensitif serta semakin jauh dari masyarakatnya, birokrasi justru menjadi pihak yang dilayani. Kemampuan soft sistem maupun hard system pelayanan publik dalam merespon dinamika globalisasi yang terjadi dalam masyarakatnya secara cepat, tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana visi dan misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Birokrasi publik di Indonesia seringkali tidak memiliki misi yang jelas sehingga fungsi dan aktivitas yang dilakukan 1
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
cenderung meluas, bahkan menjadi semakin jauh dari tujuannya. Tumpang tindihnya fungsi menjadi hal yang lumrah dan sering terjadi bahkan ada kesan rebutan kewenangan dan kekuasaan alias ketidakjelasan tupoksi dari masing-masing lini pemerintahan. Ketidakjelasan visi dan misi juga membuat orientasi pada prosedur dan peraturan menjadi amat tinggi, apalagi dalam birokrasi publik cenderung menjadikan prosedur dan peraturan sebagai power, maka ketidakjelasan misi tersebut mendorong para pejabatnya menggunakan prosedur dan peraturan sebagai kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan, prosedur justru menjadi dalih para pejabat, karena SOP disusun berdasarkan kepentingan dan kemauan dari si pejabat (birokrat) karena stakeholder masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan SOP. Para pejabat mengabaikan perubahan yang terjadi dalam lingkungan dan alternatif cara pelayanan yang mungkin bisa mempermudah para pengguna layanan untuk bisa mengakses pelayanan secara mudah dan murah. Ketaatan terhadap peraturan dan prosedur menjadi indikator kinerja yang dominan sehingga keberanian mengambil inisiatif dan mengembangkan kreativitas dalam merespon perubahan yang terjadi dalam masyarakat menjadi sangat rendah. Selain itu konsep rutinitas menjadi suatu hal yang dianggap wajar dan benar dalam penyelenggaraan pelayanan publik sehingga jangan sampai SOP justru malah mengekang inovasi-inovasi birokrasi di level manapun. Bukan rahasia lagi bahwasannya saat ini kualitas sumber daya manusia di level pemerintahan desa masih sangat memprihatinkan ditambah lagi dengan kondisi sarana dan prasarana di tingkat desa. Selain itu rendahnya tingkat SDM Aparat Desa dan minimnya pengetahuan maupun ketrampilan Aparat Desa dalam pelayanan publik yang tergambar dari tingkat
pendidikan, semakin memperburuk kualitas pelayanan Aparat kepada masyarakat. Dalam konteks ini masyarakat nampaknya belum ditempatkan sebagai sosok Tuan atau pelanggan yang harus dilayani, dan Aparat sendiri belum mendudukkan diri sebagai Abdi yang yang mengayomi dan melayani masyarakat. Pelayanan public menjadi utama karena penilaian kinerja birokrasi pemerintah desa tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikatorindikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisien dan efektivitas, tetapi harus dilihat pada indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas karena sekarang ini birokrasi tidak lagi identik dengan kekuasaan namun harus berorientasi pelayanan publik. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolistis yang akan cenderung disalahgunakan sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan. Kenyataan yang ada di birokrasi pemerintahan desa, bahwa penggunaan pelayanan oleh publik seringkali tidak ada hubungan sama sekali dengan kepuasan terhadap pelayanan hal ini bisa disebabkan karena SDM maupun sarana dan prasarana di desa. Karakteristik desa adalah menjdi kesulitan lain yang muncul dalam menilai kinerja birokrasi pemerintah desa, karena tujuan dan misi organisasi yang dirumuskan bukan hanya sangat kabur tetapi bersifat multidimensional. Hal ini disebabkan oleh banyaknya stakeholders dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda bahkan sering berbenturan antara satu dengan lainnya, membuat birokrasi ini sulit dalam merumuskan misi yang jelas. Penerapan prinsip-prisip good governance salah satunya adalah akuntabilitas kinerja Aparat Desa dalam 2
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
pelayanan publik menjadi hal yang sangat vital karena melalui akuntabilitas, setiap kinerja Aparat Desa dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada masyarakat. Akuntabilitas kinerja dalam pelayanan publik merupakan bagian dari sebuah penilaian kinerja di Organisasi Pemerintaha yang dimaksudkan untuk mengetahui ukuran sejauhmana keberhasilan organisasi ini dalam mencapai misinya. Dalam pelaksanaan kinerja Aparat Desa pada umumnya, berbagai dukungan unsur manajemen telah melengkapi dalam struktur organisasi Pemerintahan Desa seperti adanya Manusia Aparat Desa (Man) sebagai pelaku. Namun demikian apabila dilihat dari tingkat kualitas SDM Aparat Desa pada umumnya selama ini masih sangat kurang, karena hampir 90% memiliki pendidikan setingkat Sekolah Dasar. Selain itu besarnya tingkat pendapatan para Aparat Desa pada umumnya juga masih tergolong rendah, hal ini didasarkan pada besarnya pendapatan rata-rata hasil tanah bengkok per-hektar pertahun hanya mencapai 9 (sembilan) Ton padi dengan harga gabah kering panen Rp. 900,- perkilogram. Dari hasil tersebut dapat diperhitungkan pendapatan rata-rata Aparat Desa dari hasil bengkok adalah kurang lebih sebesar Rp. 550.000,- perbulan. Kondisi ini bisa dicapai apabila tanah bengkok tersebut dikelola sendiri oleh masing-masing Aparat Desa, namun dalam kenyataannya seringkali dijumpai banyak tanah bengkok yang dijual sewa tahunan, sehingga hasilnya akan lebih sedikit. Dari berbagai unsur manajemen yang ada di Pemerintah Desa, nampaknya proses akuntabilitas kinerja Aparat Desa selama ini belum sesuai dengan yang diharapkan karena masih terjadi beberapa permasalahan antara lain: 1. Belum adanya transparansi SOP sistem pelayanan publik yang dijalankan oleh
Aparat Desa terutama masalah prosedur dan biayanya. 2. Belum evaluasi untuk mengetahui capaian standar penilaian kinerja Aparat Desa yang jelas terutama pada akuntabilitas kinerjanya dalam pelayanan publik. 3. Lebih berorientasi pada hasil dari pada mengutamakan prosedur. 4. Masih banyaknya keluhan masyarakat tentang pelayanan publik oleh Aparat Desa selama ini. Dari beberapa permasalahan di atas, dalam setiap tahunnya sangat perlu dilakukan penilaian akuntabilitas kinerja Aparat Pemerintah Desa sehingga mampu memenuhi harapan dan kepuasan masyarakat sebagai pelanggan yang tidak bisa berpindah layanan. Dari uraian di atas maka yang menjadi perumusan masalahnya adalah Bagaimanakah Idealnya Akuntabilitas Kinerja Aparat Pemerintah Desa dalam Pelayanan Publik ?
Desa Undang-undang Republik Indonesia mengenal istilah Desa, namun nampaknya keberagaman di Indonesia banyak sekali istilah yang digunakan untuk menyebut kesatuan masyarakat yang setara dengan desa. Pemahaman makna mengenai istilah Desa, dapat ditemui dalam berbagai sudut pandang, disesuaikan dengan keperluan pengkajian terhadap desa itu sendiri. Desa dapat dipandang dari sudut pemahaman orang umum (awam) atau pengertian seharihari, dapat pula dipandang dari sudut sosialogis, hukum dan politik, ketatanegaraan/pemerintahan dan sebagainya. Penyebutan istilah desa-pun sebenarnya lebih akrab atau lebih populer, terutama dalam lingkungan masyarakat di Jawa dan Madura. Sedangkan pada masyarakat atau suku bangsa lain, terdapat 3
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
berbagai istilah untuk menyebut istilah yang sejenis dengan desa ini, seperti : “Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh, Huta, Sosor dan Lumban di Mandailing, Kuta di Karo, Jorong di Sumatra Barat, Negeri di Sulawesi Utara dan Maluku, Kampung di Kalimantan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, Temukung di Nusa Tenggara Barat , Yo di Sentani Irian Jaya (Papua) dan sebagainya” (Zakaria dkk, 2001 : 55). Menurut orang umum/awam, desa merupakan suatu tempat atau wilayah yang didiami oleh sekelompok penduduk yang umumnya bercirikan antara lain : mata pencaharian bertumpu pada sektor pertanian, tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah, keberadaan fasilitas pelayanan umum yang relatif terbatas dan sering dipahami sebagai suatu kondisi yang bertolak belakang dengan wilayah kota atau suasana perkotaan, terutama dari aspek “peradabannya”. Secara sosiologis desa diasosiasikan sebagai suatu kesatuan masyarakat yang berinteraksi dan berkomunikasi dalam ikatan kekerabatan yang kental. Menurut Surianingrat (1981a : 65) “merupakan bentuk tertua dari susunan kesatuan masyarakat yang ada dalam peradaban bangsa Indonesia”. Sedangkan menurut Pratikno dalam Juliantoro (Ed.) (2000 : 131) Desa dalam arti sosiologis dapat dipahami sebagai berikut : “Desa secara sosiologis dilihat sebagai komunitas dalam kesatuan geografis tertentu yang antara mereka saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang relatif homogen dan banyak bergantung secara langsung pada alam. Oleh karena itu desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat dan tradisi yang kuat, bersahaja serta
tingkat pendidikan dikatakan rendah”.
yang
dapat
Dilihat dari sudut pandang hukum dan politik, desa dapat dipahami sebagai suatu kesatuan masyarakat yang hidup dan menyelenggarakan tata kehidupan desanya berdasarkan kaidah, norma dan aturan hukum yang telah disepakati bersama, dan memiliki kuasa (wewenang) untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya dalam bingkai pemerintahan yang mandiri. Lebih jelas Kartohadikusumo mengungkapkan bahwa : “Secara harfiah Desa berasal dari kata dusun atau disebut “Desi” yang mengandung makna kesatuan manusia yang memiliki landasan hukum dalam interaksi, komunikasi dan kerjasama inter maupun antar warga dalam kesatuan wilayah tertentu”. Sejalan dengan itu Desa mengandung makna sebagai kesatuan hukum dimana bertempat suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri” (STPDN; 1999 : 1) Dalam sudut ketatanegaraan atau pemerintahan, desa dipahami sebagai bagian dari organisasi kekuasaan negara atau pemerintahan atau sub sistem dari keseluruhan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Pratikno dalam Juliantoro (Ed.) (2000 : 132) bahwa : “Desa sering diidentikkan dengan organisasi kekuasaan. Melalui kaca mata ini, desa dipahami sebagai organisasi pemerintah atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara”. Berbagai pandangan mengenai desa tersebut, pada dasarnya masing - masing mempunyai relevansinya, tergantung dari sisi mana kita lebih memusatkan perhatian 4
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
dalam mengadakan pengkajian terhadap desa. Namun dalam penelitian ini, agar lebih terfokus pada permasalahan serta disesuaikan dengan substansi dan tujuan penelitian, Desa akan lebih dipahami dalam bingkai pengertian sebagai organisasi pemerintahan desa. Sehingga otonomi desa dalam penelitian ini dipahami sebagai otonomi yang berada pada organisasi pemerintahan desa. Menilik akar historis perkembangannya, sejak awal desa merupakan kesatuan masyarakat yang dijalankan di atas pranata lokal, berdasarkan adat – istiadat, demokratis dan otonom baik dari kekuasaan yang lebih tinggi, maupun dalam menentukan kehendak masyarakat sendiri. Personifikasi konkret atas pernyataan ini, diantaranya dapat dilihat dari realitas desa masa lalu di Sulawesi dan Aceh, yang secara tegas menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif (Pratikno dalam Juliantoro (Ed.), 2000 : 133 134). Contoh lebih kongkret dan aktual lainnya yang sampai sekarang masih ada dan dapat menunjukkan bahwa desa mempunyai karakteristik tersebut di atas, dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Baduy di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten (Rositawati, 1999 : 95 - 99). Desa menjadi istimewa karena di desa sudah dilangsungkan pemilihan kepala desa secara langsung dari jaman dulu kalan, sehingga kenyataan di atas menunjukkan bahwa otonomi desa sudah ada, tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika praktek penyelenggaraan pemerintahan dalam peradaban masyarakat sejak jaman dahulu, bahkan tidak tertutup kemungkinan telah tumbuh dan berkembang dalam peradaban masyarakat Indonesia, jauh sebelum Republik ini lahir, sudah jadi peninggalan nenek moyang kita. Pelayanan Publik Kotler (2003:444), jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat
ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan umum. Sejalan dengan ini E. Jerome Mc Carthy dan William D. Perreahlt (1987:219) mengungkapkan bahwa jasa adalah kegiatan yang dilakukan oleh satu pihak yang lain. Sementara Widono (2001:271), pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sedangkan pelayanan menurut Moenir (1995:17) adalah “proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung”. Dalam pengertian tersebut, pada hakikatnya pelayanan adalah serangkaian atau aktivitas, yang menyangkut segala usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok melalui suatu proses dalam rangka mencapai tujuan. Sebagai suatu proses, maka kegiatan pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh hidupnya manusia yang ada dalam masyarakat. Lembaga Administrasi Negara (2001:63), pelayanan umum adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, daerah dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara/ Daerah dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat mampu dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dapat berupa fisik, non fisik maupun administratif. Pelayanan sektor publik sudah seharusnya juga memperhatikan service quality, karena pelayanan yang baik (prima) adalah awal atau pijakan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang selanjutnya akan menjadi penentu pemberdayaan masyarakat. 5
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
Dari pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa pelayanan umum adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh orang, sekelompok, lembaga dan instansi pemerintahan baik dipusat atau daerah melalui proses dalam rangka mencapai tujuan. Dengan demikian pelaksanaannya sesuai dengan prosedur atau aturan yang sudah ditetapkan oleh instansi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta haknya. Oleh karena itu, pelayanan masyarakat adalah suatu hak yang sebaiknya diperhatikan dan dilindungi oleh pemerintah sebagai pelayan yang memberikan layanan kepada masyarakat pengguna jasa sebagai warga negara yang bermartabat. Sedangkan pengertian pelayanan umum adalah segala bentuk kegiatan pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan lingkungan organisasi tersebut dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun ketentuan perundang-undangan. Sistem pelayanan yang akan diselenggarakan harus berpihak pada rakyat supaya mendorong perubahan budaya birokrasi, dari budaya kekuasaan menuju ke budaya pelayanan. Untuk itu praktek dan kebiasaan dalam penyelenggaraan pelayanan harus dengan sikap ramah dan helpful. Nilai dan simbolsimbol dalam kehidupan birokrasi yang mengidentikkan birokrasi dengan kekuasaan harus diganti dengan nilai dan simbol pelayanan dan juga menempatkan pengguna jasa sebagai sentral dari kehidupan birokrasi. Berbicara masalah pelayanan maka memerlukan suatu kecermatan karena kelekatannya dengan unsur subyektivitas, masing-masing pihak mempunyai dimensi yang berbeda dalam melihat masalah pelayanan, hal ini tergantung kepada kepentingannya. Koetamsi (1997:7) mengemukakan bahwa hakekat pelayanan masyarakat adalah : 1. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi
pemerintah di bidang pelayanan masyarakat. 2. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan masyarakat dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna. 3. Mendorong timbulnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Sementara itu pengertian pelayanan umum menurut Boediono ( 2003:60) adalah : “Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan (produk), baik berupa barang maupun jasa. Hasil pelayanan berupa jasa tidak dapat diinventarisasi, tidak dapat ditumpuk atau digudangkan, melainkan hasil tersebut diserahkan secara langsung kepada pelanggan atau konsumen.” Menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) Nomor 81 Tahun 1993 adalah : Segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara / Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (dalam Boediono, 2003:61).
diatas
Pengertian tentang pelayanan umum terkait beberapa istilah dalam 6
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
administrasi negara seperti instansi pemerintah, tatalaksana, tata kerja, prosedur kerja, sistim kerja dan wewenang, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Instansi Pemerintah Instansi Pemerintah disini adalah sebuah kolektif yang meliputi satuan kerja atau satuan organisasi suatu departemen, lembaga pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah lainnya baik instansi Pemerintah Tingkat Pusat maupun Instansi Pemerintah Tingkat Daerah, termasuk BUMN dan BUMD. 2. Tatalaksana Tatalaksana adalah segala aturan yang ditetapkan oleh instansi pemerintah yang menyangkut tatacara, prosedur dan sistim kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan dibidang pelayanan umum. 3. Tata kerja Tata kerja disini dimaksudkan sebagai suatu cara pelaksanaan kerja yang seefisien mungkin mengenai suatu tugas dengan mengingat segi tujuan, peralatan, fasilitas, tenaga, ruang dan biaya yang tersedia. 4. Prosedur kerja Prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya urutan tahapan secara jelas dan pasti serta caracara yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian suatu bidang tugas. 5. Sistim kerja Sistim kerja diartikan dengan rangkaian tata kerja dan prosedur kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam rangka mencapai hasil kerja yang diharapkan. 6. Wewenang Wewenang diartikan sebagai hak aparatur penyelenggaraan pelayanan umum untuk mengambil tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam angka memuaskan masyarakat sebagai pelanggan, wewenang bukan hanya melekat pada pejabat, tetapi setiap aparatur dalam lingkungan kerja ketika bertemu dengan pelanggan (Boediono, 2003:61). Menurut Moenir (1995:29), dikatakan bahwa para pengguna jasa pelayanan publik sesungguhnya memiliki hak-hak untuk memperoleh pelayanan yang baik, hak untuk mengetahui bagaimana keputusan-keputusan kebijakan mengenai jenis pelayanan tertentu dibuat dan berhak untuk didengar dan diperhatikan pendapatpendapatnya. Oleh karena itu, maka institusi pemerintah yang bergerak disektor publik baik yang berskala besar atau kecil harus selalu memperhatikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa. Untuk mengukur pelayanan yang baik dan memuaskan masyarakat menurut Moenir (1995:197), ada beberapa parameter, antara lain : 1. Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat dalam arti tanpa adanya hambatan yang kadangkala dibuat-buat. 2. Memperoleh pelayanan secara wajar tanpa harus menggerutu atau untaian kata yang mengarah pada permintaan sesuatu. 3. Mendapatkan perlakuan yang sama terhadap kepentingan yang sama 4. Pelayanan yang jujur dan terus terang Sebuah pelayanan yang baik atau berkualitas apabila semua pelanggan mendapat perlakuan yang sama tanpa adanya pilih kasih terhadap semua kepentingan yang ada pada diri mereka. Dengan demikian pelanggan akan mendapatkan pelayanan yang adil sesuai dengan harapan yang mereka inginkan (Moenir,1995:26). 7
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
Menurut Osborne dan Gaebler (2000:208-212), pelayanan yang berorientasi kepada pelanggan mempunyai beberapa keunggulan antara lain : 1. Sistem yang berorientasi pada pelanggan memaksa pemberi jasa untuk dapat bertanggung jawab kepada pelanggannya. 2. Sistem yang berorientasi pada pelanggan mendepolitisasi keputusan terhadap pemberi pilihan pemberi jasa. 3. Sistem yang berorientasi pelanggan merangsang lebih banyak inovasi. 4. Sistem yang berorientasi pelanggan memberi kesempatan kepada orang untuk memilih diantara berbagai macam pelayanan. 5. Sistem yang berorientasi pada pelanggan pemborosannya lebih sedikit, karena pasokan disesuaikan dengan permintaan. 6. Sistem yang berorientasi pada pelanggan, mendorong pelanggan untuk membuat pilihan dan mendorong untuk menjadi pelanggan yang berkomitmen. 7. Sistem yang berorientasi pada pelanggan menciptakan peluang lebih besar bagi keadilan. Pemberian pelayanan merupakan kegiatan yang sangat penting bagi setiap organisasi dalam rangka mencapai tujuannya. Pelayanan yang baik dapat dijadikan penilaian untuk mengukur sejauhmana suatu organisasi dikatakan berhasil. Penilaian pelayanan akan sangat menentukan kinerja suatu organisasi, oleh karena itu dapat digunakan untuk menilai kuantitas, kualitas, efesiensi pelayanan, memotivasi aparat agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani dan mengarahkan untuk menuju perbaikan dalam memberikan pelayanan
METODE PENELITIAN Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif teoritik dengan berdasarkan pada sumber-sumber kajian pustaka yang terkait, baik itu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (yang menjadi hukum positif) di Indonesia maupun pada referensi-referensi ilmiah tentang pemerintahan desa. Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini adalah pemerinta pada level pemerintahan desa dengan seluruh dokumen yang terkait dengan pemerintahan desa dalam konteks pelayanan public dan masyarakat sebagai pengguna layanan publiknya. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah dengan Wawancara (in dept interview), Studi literatur/studi kepustakaan dan Studi dokumentasi
HASIL PENELITIAN Kajian tentang akuntabilitas kinerja aparat pemerintah desa dalam pelayanan publik menjadi sangat menarik ketika saat ini kita tahu bahwa kualitas sumber daya manusia yang menjadi perangkat desa masih sangat memprihatinkan bahkan di pulau jawa sekalipun, apalagi yang ada di luar pulau jawa. Di provinsi Banten saja yang dekat dengan ibukota Negara dengan jumlah desa sebanyak 1504 desa masih terdapat banyak sekali pemerintahan desa yang tidak mempunyai kantor desa, bagaimana akan melaksanakan pelayanan public di desa kalau kantor desa saja tidak punya. Belum lagi dengan aspek pendidikannya yang masih rata-rata SD atau paling banter SMP bisa dihitung denga jari. Bahwa kemudian sekarang sekretaris desa menjadi Pegawai negeri sipil (PNS) diharapkan akan memperbaiki pelayanan publik. 8
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
Dengan sekretaris desa diangkat menjadi hendaknya di pemerintahan desa bisa menjaga kevalidan data dan memperbaiki kualitas layanan public di desa masing-masing. Namun kalau kita berbicara tentang Kinerja Aparat tidak bisa lepas dari pertama Efisiensi dan Efektivitas kinerja, dimana Secara umum tingkat efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kinerja Aparat belum dapat terwujud. Hal ini terlihat pada indikator kinerja pelaksanaan intensifikasi PBB. Selain itu pelaksanaan pelayanan pada jam dinas dan kondisi di lingkungan pedesaan yang mengharuskan adanya pelayanan di luar jam dinas. Selain itu tingkat akurasi pembuatan kebijakan desa juga dinilai tidak efisien dan tidak efektif pelaksanaan akurasi sosialisasi informasi tidak efisien. Sedangkan kelayakan biaya kegiatan, dan kelayakan hasil kegiatan. Juga harus memperhatikan hal tentang tingkat keadilan pelaksanaan pelayanan aparat dilihat pada indikator kinerja pelayanan bidang administrasi, bidang kesehatan dan kesamaan dalam penghargaan dan hukuman. Tingkat keadilan dalam pelayanan administrasi pelayanan bidang kesehatan juga tingkat keadilan dalam pemberian penghargaan dan hukuman. Kemudian tentang Daya tanggap Aparat Pemerintah Desa dilihat pada kemampuan mengenali kebutuhan masyarakat, kemampuan memberdayakan akses publik dan kemampuan merespon opini publik. serta pada kemampuannya mengenali kebutuhan masyarakat, memberdayakan akses publik yang ada serta merespons opini publik. Sedangkan tentang Pelaksanaan Pelayanan Publik, pihak pemerintah desa harus memperhatikan pertama tentang prosedur pelayanan, dalam hal ini untuk menilai tingkat prosedur pelayanan yang dijalankan oleh Aparat, dilihat pada aspek tingkat transparansi anggaran, tingkat transparansi kegiatan pembangunan dan rentang birokrasinya. Kemudian tentang
manfaat pelayanan dilihat pada aspek pelayanan bidang pemerintahan, pembangunan, kesehatan maupun pendidikan yang kesemuanya dinilai bermanfaat dikaitkan dengan tingkat kepuasan masyarakat atas pelaksanaan pelayanan dan tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat. Dalam hal point utama dalam penelitian ini yakni akuntabilitas kinerja Aparat Pemerintah Desa dalam Pelayanan Publik haruslah memperhatikan pada dari berbagai pelaksanaan kinerja Aparat yang dinilai memiliki tingkat akuntabilitas terletak pada indikator penilaian daya tanggap aparat, prosedur pelayanan, dan manfaat pelayanan, indikator penilaian efisiensi, efektivitas dan tingkat keadilan.
KESIMPULAN Secara umum pelaksanaan kinerja aparat desa idealnya uang dinilai oleh masyarakat hendaknya menilai tentang kelayakan (efisiensi dan efektifitas) biaya pelaksanaan kegiatan serta kelayakan hasil kegiatan, kemudian Efektifnya pelaksanaan pelayanan di luar jam dinas, kesamaan hak dalam pelayanan di bidang administrasi perkantoran dan kesamaan hak pelayanan bidang kesehatan, kemampuan aparat dalam mengenali kebutuhan masyarakat dan kemampuan merespon opini masyarakat serta melakukan kegiatan secara transparan. Kemudian juga mudah dan pendeknya rentang birokrasi, manfaat atas setiap kegiatan dan puasnya masyarakat atas pelaksanaan kinerja pelayanan serta tingkat kepercayaan masyarakat. Demikian juga tentang upaya pencapaian tujuan dalam intensifkasi PBB, Pelayanan pada jam dinas, pelayanan di luar jam dinas, keakuratan pembuatan kebijakan desa, keakuratan proses sosialisasi setiap kebijakan.
9
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
SARAN Ketika terjadi pergantian kepemimpinan di desa maka harus ada jaminan kesinambungan data di desa. Penyusunan Standar operating prosedur (SOP) dengan melibatkan selutuh stakeholder di desa. Mensinergikan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam menjalankan pemerintahan desa. Recruitment SDM di desa yang lebih berkompeten. Memenuhi kelengkapan sarana dan prasarana di desa.
DAFTAR PUSTAKA Budiardjo, Miriam, 1998, Menggapai Kedaulatan Untuk Rakyat, Bandung, Mizan, hal 107-120. David Hunger, dan Thomas L. Wheelem, 2003, Manajemen Strategis, Yogyakarta, Andi, 579 hal. Dwiyanto, Agus,et all, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, Yogyakarta, 267 hal. -------------------, 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Governance and Decentralization Survey, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, Yogyakarta, 225 hal. Guy Peters, B.,2000, The Politics of Bureaucracy, London, Routledge, hal.299-381. Jones, Charles O., 1996, Pengantar Kebijakan Publik, Penterjemah Ricky Ismanto, Editor Nashir Budiman, Jakarta, Rajawali Press. Keban, Yeremias T.,2004, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu, Yogyakarta, Gava Media, 234 hal. Lalono Krina P.,Loina, 2003, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi, Jakarta, Sekretariat Good Public Governance Bappenas, hal 9-13.
Milles,B.Mathew dan A.Michael Huberman, 1992, Analisis data kualitatif, Alih bahasa Tjejep Rohaendi Rohidi, Jakarta, UI Press,. Moleong, Lexy J. 1998, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT.Remaja Rosdhakarya.. Pranoto, 1999, Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Bahan Diklat SPAMA, Jakarta, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia,. Sianipar, J.P.,1999, Perencanaan Peningkatan Kinerja, Bahan Pendidikan dan Pelatihan Staf dan Pimpinan Administrasi Tingkat Pertama, Jakarta, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 106 hal. Sugiyanto, 2004, Mengukur kinerja Kebijakan Publik (Pertanyaan Korelasional Terhadap aktualisasi Good Governance), Jakarta, Jurnal Program Magister STIA-LAN, Suprijadi, Anwar, 2004, Etika Birokrasi Dalam Mewujudkan Good Governance, Jakarta, Jurnal Program Magister STIALAN, Sutopo, Heribertus, 1988, Pengantar Penelitian Kualitatif (Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis), Surakarta, Pusat Penelitian UNS. Wahab, Solichin Abdul., 1990, Analisis Kebijakasanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta, Bumi Aksara. Winarno, Budi, 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta, Media Presindo. Yin, Robert K. 1987. Case Study Research, Design and Methods, Beverly Hill, Sage Publications. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
10
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 4, Desember 2013
Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2002 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil pada umumnya. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Surat Edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara Republik Indonesia, Nomor 02/SE/1980, tanggal 11 Pebruari 1980 tentang Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan. Panduan Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, 2002, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Departemen Dalam Negeri, hal. 18
11