9
II TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan landasan teoritis dan empiris memerlukan tinjauan pustaka tentang teori dan fakta empiris mengenai politik lingkungan, politik ekonomi, dan konflik sumberdaya alam yang terjadi diberbagai negara atau wilayah. Selanjutnya, berpijak pada persoalan yang dikaji dan dianalisis akan ditetapkan teori-teori yang akan digunakan sebagai kerangka acuan dalam penelitian dan penulisan. Perspektif Ekologi Politik dalam Persoalan Sumberdaya Alam Sesuai tema utama penelitian, konflik sumberdaya air dan kelembagaan subak merupakan objek yang dianalisis secara mendalam dalam studi ini. Penggunaan perspektif ekologi politik sebagai jalan meneropong permasalahan mewajibkan studi menyentuh ranah politik-ekonomi, politik-ekologi dan interaksi yang terjalin secara sosiologis. Ekologi politik berasumsi bahwa perubahan lingkungan dan kondisi ekologi adalah produk dari proses-proses politik sehingga tidak lepas dari keterlibatan proses-proses dialektik dalam politik ekonomi (Dharmawan, 2007), kombinasi yang terpadu dan kritis antara kajian ekologi dan ekonomi politik (Blaikie & Brookfield 1987). Lingkungan tidak bersifat netral, melainkan merupakan suatu bentuk politized environment yang banyak melibatkan aktor-aktor baik di tingkat lokal, regional, maupun global (Bryant dan Bailey, 1997). Ekologi politik mempertemukan ruang konflik dimana proses produksi dan reproduksi kebijakan dan keputusan politik serta ruang kekuasaan dimana para pemegang otoritas kebijakan menjalankan keputusan yang ditetapkan diruang publik (Dharmawan, 2007). Pada ruang konflik bertarung beragam kepentingan, sedang diruang kekuasaan proses keadilan ditentukan. Pertanyaan tentang kekuatan mana yang menyebabkan hancurnya sumberdaya air merupakan telaah terhadap siapa yang memperoleh keuntungan dan siapa yang menderita kerugian dalam pemanfaatannya. Selanjutnya, studi ini digiring pada muara yang lebih jauh, namun termanifes dalam fenomena yang diamati yakni adanya ruang konflik lain ditingkat yang lebih mikro, yakni ditingkat komunitas. Ruang konflik ini lebih kepada pertarungan akses dari pada pertarungan gagasan. Peran aktor dalam mengakses sumberdaya, relasi-relasi kekuasaan yang dibangun, konflik-konflik kepentingan, hingga kontestasi politik yang terjadi merupakan unsur pendukung utama dalam mendalami objek. Ada enam sub bidang ekologi politik yang terlibat, masing-masing aktor berjuang untuk menguasai satu atau lebih yakni pengetahuan, kekuasaan, praktek ekonomi, politik, keadilan, dan pengaturan. Sebagai sebuah perspektif ilmiah, Dharmawan (2007) sudah mencoba menyusun ruang lingkup, landasan etik, dan konsep yang relevan untuk dicermati dalam melakukan studi ekologi politik. Unsur yang saling berinteraksi dalam fenomena sosial menurut perspektif ekologi politik dikelompokkan menjadi tiga yakni negara, swasta dan masyarakat dimana setiap entitas membawa kepentingannya yang berbeda terhadap air. Perbedaan ini yang membuka peluang terjadinya konflik. Interaksi antar unsur merupakan “exercise of power and
10
authority and power struggle” dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air, serta advokasi terhadap alam. Objek interaksi adalah kepentingan atau interes politik yang menghasilkan keluaran berupa konfigurasi tata pengaturan politik sumberdaya alam dan lingkungan. Kondisi ideal yang dicapai dalam interaksi adalah sistem eko-sosio-politik yang mantap dengan aras analitis meso, meliputi desa, kota, daerah aliran sungai, dan hutan, serta aras makro negara dan global. Analitis di tingkat mikro dengan melihat konflik yang terjadi antar petani subak. Berdasarkan pengertian, cakupan, tujuan, dan fungsi pendekatan ekologi politik, pada sub bab berikutnya, penulis akan meninjau berbagai literatur berkenaan dengan pokok-pokok dalam penelitian. Secara historis perkembangan ekologi politik dimulai dari antropologi budaya ke sosiologi lingkungan, kemudian menjadi ekologi politik. Pertemuan metamorfosa ekologi manusia dengan political economics menghasilkan cabang keilmuan ekologi politik. Perspektif ini menganut tradisi pemikiran ala historical materialism Marxian dengan atmosfir konflik yang sangat kuat (Forsyth, 2003; Robbins, 2004). Mendeskripsikan gejala ekologi politik dapat dilihat dari beberapa studi yang sudah pernah dilakukan seperti Bryant dan Bailey dalam buku The Third World Political Ecology (1997) yang menekankan pentingnya pendekatan aktor. Penelitiannya menyebutkan setidaknya ada lima aktor yang terlibat secara intens dalam pemanfaatan sumberdaya alam, meliputi negara, perusahaan multi national corporation (MNC), NGO, lembaga internasional dan grassroots. Berpijak pada konsep politicized environment, menekankan bahwa persoalan lingkungan tidak terpisah dari konteks ekonomi dan politik. Asumsi pendekatan aktor menurut Bryant dan Bailey (1997) adalah: (1) Biaya dan manfaat sumberdaya alam dinikmati aktor secara tidak merata; (2) Distribusi biaya dan manfaat mendorong ketimpangan; dan (3) Dampak sosial ekonomi mempunyai implikasi politik. Membicarakan ekologi politik tidak bisa lepas dari sumber-sumber politik yang bisa berpengaruh pada perubahan lingkungan seperti pengetahuan dan kekuasaan, diskursus, kebijakan, ekonomi maupun politik. Menggunakan konsep dan kerangka berfikir yang sama, pertarungan antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya alam khususnya hutan di Asia pernah diteliti oleh Bryant (1998). Studi ini menunjukkan pengenalan scientific forestry oleh para penjajah bangsa Eropa di Asia. Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan untuk memelihara hutan jati di Jawa dengan mengemukakan alasan yang logis secara scientific meski dibalik itu ada kepentingan pengembangan kayu yang hasilnya dibutuhkan untuk kepentingan industri di negaranya. Menurut Bryant, disini terjadi pertarungan kuasa dan pengetahuan scientific Barat dan Timur. Kolonial memelihara hutan jati dengan melarang penanaman kayu jenis lain, membuang spesies lain yang tumbuh, dan membatasi pengolahan hutan karena dapat menggangu pertumbuhan kayu jati. Pemerintah membandingkan sistem ini sebagai ecologically good dengan sistem ecologically bad yang dipraktekkan oleh pengelola hutan lokal. Guna pengamanan misi ekonomi kolonial, dilakukan penyebaran wacana yang menyebutkan aktifitas petani lokal bersifat merusak lingkungan dan merupakan tindakan kriminal. Kekuasaan yang melekat dalam pengetahuan dan dituangkan dalam kebijakan merupakan wujud pertarungan aktor lewat relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara penjajah dan
11
negara jajahannya, antara korporasi di negara kolonial dengan petani hutan jati di Jawa. Dalam ruang konflik, masing-masing pihak dengan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki membangun relasi yang mempertarungkan kekuasaannya. Namun masyarakat lokal menolak scientific forestry dan melakukan perlawanan dengan mempertahankan hak-hak lokal melalui illegal forest use. Tuntutan ilmuan kolonial yang menyatakan bahwa para petani lokal bertanggungjawab terhadap kerusakan tanah sesungguhnya digunakan untuk membenarkan pajak sekaligus menekan petani agar mengikuti ideologi kapitalis yang disebarkan kolonial dalam rangka mendukung kebutuhan pembangunan ekonomi di negaranya. Berdasarkan pengetahuan dan ideologi yang sama, Bryant dan Bailey (1997) menilai bahwa konservasi lingkungan yang banyak dilaksanakan termasuk di negara dunia ketiga jarang sekali dilihat sebagai upaya konservasi itu sendiri, melainkan sebagai alat strategis untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik. Indikasi ini terlihat dari pertambahan taman nasional di seluruh dunia terutama di negara dunia ketiga sejalan dengan meningkatnya industri ekowisata. Studi menggunakan perspektif ekologi politik yang dilakukan Gurung (1995) tentang proyek konservasi keanekaragaman hayati di area Annapurna atau disebut Annapurna Conservation Area (ACA). Konservasi di wilayah bagian Barat Kathmandu-Nepal ini dilihat sebagai perpaduan upaya memelihara keseimbangan lingkungan antara konservasi alam dengan kawasan taman nasional sebagai bagian dari promosi ekowisata. Aktor yang terlibat adalah lembaga internasional, negara, NGO (Nepal’s King Mahendra Trust for Nature Concervation-KMTNC) dan grassroots. Proyek ACA ini dinilai sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas yang berhasil karena mengedepankan masyarakat sekitar secara keberlanjutan. Aktor negara menggunakan wacana dan lembaga global untuk membangun rasa kepemilikan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari melalui pemahaman saling ketergantungan komunitas dengan sumberdaya alam. Ruang konflik dan kuasa diminimalisasi dengan penghargaan terhadap aktor yang terlibat, artinya ketidakmerataan biaya dan manfaat diperkecil untuk mengurangi kesenjangan. Studi Escobar (1998) tentang pergerakan sosial masyarakat kulit hitam Kolombia yang terhimpun dalam Process of Black Communities (PCN) bertujuan memperjuangkan hak atas wilayah dan budaya kaum kulit hitam. Ruang konflik terjadi antar negara yang terlalu berpihak kepada kaum kapitalis berskala besar, melawan aktor masyarakat yang diwakili oleh LSM. Pertarungan di ruang gagasan akhirnya dimenangkan oleh masyarakat kulit hitam dengan membuahkan hasil berupa pengesahan UU Ley 70 tahun 1993 yang mengakui identitas dan pendidikan pengembangan kebijakan pemerintah agar sejalan dengan budaya kulit hitam. Tingginya arus migrasi kaum tani proletar dan pengusaha ke Fasifik berdampak pada sosial ekologi akibat persinggungan budaya serta beragam program yang tidak melibatkan masyarakat dinilai mengancam wilayah dan budaya kulit hitam. PCN yang mewakili aktor grassroots berhasil memperkenalkan inovasi konseptual penting dalam wacana keanekaragaman hayati dengan pendefinisian “teritori plus budaya” dan kewilayahan sebagai “koridor kehidupan” yang terhubung langsung ke ekosistem lingkungan lainnya, sehingga perannya signifikan dalam pembangunan ekonomi daerah maupun kewilayahan. Perjuangan ini sekaligus bentuk pertarungan pengetahuan dan
12
kekuasaan antara aktor grassroots yang menganut pengetahuan lokal dengan ideologi sosial-ekonomi-kultural-kolektif, melawan aktor negara dan pengusaha yang menerapkan pembangunan dengan membuka iklim yang kondusif bagi bisnis skala besar termasuk bisnis obat bius dalam dan luar negeri (ekonomikapitalis-individualis) tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Hasil penelitian Escobar di atas dan penelitian Bryant (1998) tentang ekologi politik hutan jati di Jawa menunjukkan pengaruh kental politik membentuk konfigurasi relasi kekuasaan yang kompleks, dimana pengetahuan dan kuasa merupakan kunci kekuatan yang mendominasi. Kedudukan grassroots berhadapan dengan aktor-aktor lain yang memiliki ideologi, pengetahuan, dan kuasa yang sangat berbeda. Pemerintah daerah dengan kuasanya dalam menetapkan kebijakan-kebijakan, meluncurkan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan membangun wilayahnya dengan rapi membungkus tujuan politik dan keberlanjutan kekuasaan. Lembaga-lembaga pendukung secara formal dan sistematis diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi dan angka-angka kuantitatif yang sangat mudah dan jelas diukur keberhasilannya. Ideologi ini sangat mudah bersinergi dengan kapitalis yang secara prinsip berorientasi keuntungan dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi. Sinergitas keduanya mengandung kekuatan dan kuasa memanfaatkan sumberdaya dan jumlah besar dan waktu yang relative cepat. Akhirnya, kelembagaan berbasis komunitas yang berorientasi pada keberlanjutan dengan prinsip pemenuhan kebutuhan komunitas secara adil dan berdaulat ‘terancam’ eksistensinya, sekalipun hasil konstruksi sosial yang sudah lahir, hidup, dan bertahan dalam kurun waktu yang panjang. Tanpa mengabaikan adanya resiliensi kelembagaan, kekuatan pertarungan ideologi yang diteguhkan melalui aturan legal dan diimplementasikan untuk pencapaian keuntungan ekonomi, dalam kurun waktu yang tidak terlalu panjang berpeluang besar mengganggu keutuhan sosial fabric komunitas pengguna air. Studi Adiwibowo (2005) tentang perjuangan petani dari empat desa (Kamarora A, Kamarora B, Kadidia dan Rahmat) yang sebelumnya memiliki akses dan mencari nafkah di daerah Dongi-Dongi, kawasan inti Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Kebijakan konservasi mengharuskan mereka keluar. Guncangan hilangnya sumber nafkah membuat mereka melawan kebijakan negara sekalipun mereka mengetahui dan mengakui pentingnya kebijakan itu. Setidaknya konflik data dan kepentingan yang muncul dalam penyusunan draft zonasi, dikuatkan oleh peniadaan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekologinya menuai perlawanan dan memunculkan konflik. Pertarungan para aktor dengan beragam kepentingan dikawasan Dongi-Dongi digambarkan oleh Adiwibowo sebagai konflik yang multi dimensi, tidak hanya melibatkan masyarakat atau civil society yang diwakili oleh masyarakat adat dan LSM, elit lokal, elit nasional, maupun negara, tetapi terkait dengan aktor yang berada jauh dari kawasan konflik yakni aktor global, turut meramaikan ruang kontestasi. Negara yang seringkali berkoalisi dengan korporasi nasional dan multi nasional menghegemoni grassroots melalui pembenaran pengetahuan barat. Sebaliknya, grassroots dengan pengetahuan tradisionalnya melakukan resistensi terbuka maupun tertutup dalam bentuk tindakan perlawanan tertutup dan diamdiam (laten) maupun terbuka dan terang-terangan (manifest). Studi ini juga menyebutkan bahwa melalui politik konservasi keanekaragaman hayati, aktor global dan lokal memainkan kuasa dan pengetahuannya untuk memperoleh
13
keuntungan dari sumberdaya hutan. Posisi kekuasaan sangat ditentukan pada wacana konservasi dimana kekuatan narasi mempengaruhi kekuatan akses dan kontrol. Kasus ini manifestasi gagalnya globalisasi wacana konservasi keanekaragaman hayati yang ditunjukkan peran institusi lokal (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project-CSIADCP) yang tidak optimal dan ketidakpahaman terhadap dimensi sosial ekonomi lokal. Pada tahun 2010, Adiwibowo at all menuliskan hasil penelitian berjudul Contested Devolution: The Political Ecology of Community-Based Forest Management In Indonesia. Tulisan ini merupakan kritik atas konsep Ostrom dan pengikutnya yang memahami bahwa properti right melalui devolusi akan membuka peluang terbentuk kolektif yang akan berjalan baik. Studi ini menemukan fenomena yang berbeda dimana devolusi tidak semata berkaitan dengan properti right melainkan lebih kepada akses yaitu kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari suatu kebijakan dan pemanfaatan sumber daya hutan. Tiga kasus kehutanan di Lampung, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa persoalan penyerahan hak dan tanggungjawab pengelolaan hutan berbasis masyarakat menunjukkan bahwa perubahan regim melahirkan perubahan fundamental kebijakan kehutanan dari milik negara menjadi milik masyarakat, tidak memproduksi perbaikan kesejahteraan masyarakat melainkan menguntungkan bagi elit-elit lokal yang memiliki kemampuan mengakses manfaat dari sumberdaya kehutanan. Interaksi terjadi antara negara, non negara, dan lingkungan (kasus Hutan Damar di Krui); interaksi proses biofisik, kebutuhan manusia, dan sistem politik yang lebih luas serta interaksi interdependensi individu, komunitas , dan nasional (kasus Hutan Tanaman Rakyat di Konawe); interaksi beragam aktor yang bisa dikelompokkan mewakili negara pusat maupun lokal, masyarakat adat dan kapitalis (kasus Taman Nasional Lore Lindu). Hasil studi dengan latar belakang masyarakat Afrika menunjukkan kuasa pengetahuan sekaligus membuktikan bahwa produksi dari intervensi terhadap lingkungan sangat berkaitan dengan pengetahuan lingkungan yang keduanya diikat oleh relasi kekuasaan (Wulan, 2007). Di negara berkembang, proses produksi pengetahuan seringkali memperkuat ketidakadilan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat yang tersubordinat. Selanjutnya, ada kecenderungan sikap menyalahkan negara berkembang atas kerusakan lingkungan. Ini dilakukan negara maju untuk mengontrol mekanisme manajemen lingkungan global. Ramainya studi ekologi politik mengenai sumberdaya lahan, hutan, bahkan perikanan, menenggelamkan perhatian terhadap persoalan sumberdaya air. Studi politik ekologi tentang air hingga hari ini masih sangat terbatas sekalipun beberapa tahun terakhir ini ancaman krisis air bersih telah menjadi fokus perhatian dunia internasioanl (Suardana, 2009). Pada peringatan World Water Day 2009 di Bali, PBB mengusung tema “Transboundary Waters: Shared Water, Shared Opportunities” dengan penekanan relokasi air dari satu wilayah ke wilayah lain maupun dari satu kelompok ke kelompok lain. Bryant (1998) pernah memotivasi pentingnya kajian masalah lingkungan untuk diperluas hingga perubahan kualitas udara dan air, seperti dituliskan “To begin with, political ecology needs to go beyond the ‘land centrism’ that has characterized most of the work done so far under its name…It is indeed curious that, although water is ‘essential material for maintaining bodily and sosial life’,
14
the political ecology of water quality and availability is still only is its infancy (Swyngedouw, 1995:402)….Yet unequal power relations are as likely to be ‘inscribed’ in the air or water as they are to be ‘embedded’ in the land”. Persoalan air seakan tenggelam oleh studi sumberdaya alam lainnya yang secara kasat mata sarat nilai ekonomi, bersentuhan langsung dengan sistem pola nafkah (livelihood sistem) masyarakat dan sistem kegiatan ekonomi global. Belakangan, persoalan air sebagai sumberdaya terbuka milik bersama (common pool resources) yang bisa diakses oleh semua pihak mulai banyak dibahas. Ancaman krisis air sudah terjadi dibeberapa negara dan diperkirakan dalam waktu cepat akan menjadi persoalan serius, termasuk di Bali. Pengamat lingkungan dan sumberdaya air menyebutkan bahwa peperangan air sudah di depan mata. Berdasarkan pemikiran ini, UU sumberdaya air dalam kaitannya dengan otonomi daerah menduduki posisi penting dan strategis dalam rangka pengelolaan sumberdaya air secara maksimal, aman dan lestari. Perubahan iklim diperkirakan akan terus mewarnai kehidupan global untuk jangka waktu panjang. Intensitas dan pola sebaran spasial maupun temporal curah hujan menyebabkan banjir dan kekeringan semakin sering terjadi (Stern at all, 2006; McCarl and Reilly, 1999). Persoalan ekologi daerah aliran sungai (DAS) yang terus memburuk menyebabkan degradasi sumber-sumber air. Faktorfaktor ini merupakan penyebab krisis sumberdaya air, baik dari sisi kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas. Studi PSP-IPB di DAS Citanduy (Dharmawan, 2005) menyebutkan, penebangan hutan secara masif-ekstensif di kawasan hulu telah meniadakan zona preservasi penahan longsor, sehingga bentang alam menjadi sangat labil. Zona hilir merupakan kawasan yang menderita resiko yang paling parah. Eksploitasi berlebihan tanpa menerapkan upaya keberlanjutan lingkungan mengakibatkan pihak hilir menerima resiko kekurangan pasokan air yang memadai untuk keperluan kebutuhan hidup dan kegiatan ekonominya. Ancaman bagi kegiatan usahatani sama dengan ancaman bagi seluruh kehidupan petani yang menyandarkan hidup pada penghasilan pertanian itu sendiri. Konsekuensinya adalah perilaku eksploitasi sumberdaya alam di hulu secara langsung memarginalisasi masyarakat di hilir. Studi Kartiwa dan Pawitan (2010) menemukan beberapa faktor penyebab yang berpengaruh terhadap krisis air: (1) Tekanan jumlah penduduk yang menggunakan air melampaui daya dukung lingkungan menyebabkan terjadi degradasi daya tampung lingkungan; (2) Kerusakan hutan (deforestasi) yang melaju cepat dari 1,6 juta ha per tahun periode 1985-1997 menjadi 3,8 juta ha per tahun periode 1997-2000. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Sampai dengan tahun 1996, World Resource Institute mencatat Indonesia telah kehilangan hutan asli sebesar 72 persen, dan jumlah ini akan terus bertambah; (3) Lahan kritis yang semakin meluas dari 13,1 juta ha pada tahun 1992 menjadi lebih dari 18,5 juta ha tahun 2011 menyebabkan resapan air berkurang; (4) Kerusakan daerah aliran sungai dibuktikan dengan sebaran DAS kritis dari 22 DAS pada tahun 1984 menjadi 39 DAS pada tahun 1994, lalu menjadi 62 DAS pada tahun 1999, bahkan mencapai 282 DAS 2010; dan (5) Laju alih fungsi lahan sawah ke non sawah atau non pertanian menyebabkan perluasan permukaan kedap (impervious area) sehingga memicu banjir sekaligus penurunan infiltrasi yang mendorong penurunan
15
cadangan air tanah. Temuan ini diperkuat studi Irawan (2004) dan Pasandaran, (2006) yang menunjukkan kecepatan laju alih fungsi lahan khususnya di Jawa. Salah satu hasil studi-aksi tentang sumberdaya air pernah dilakukan PSP IPB bekerjasama dengan United Nation Development Program – UNDP Partnership Indonesia. Dengan judul “Mewujudkan Good Ecological Governance Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam”. Studi berperspektif ekologi politik ini menuliskan besarnya resiko yang ditanggung oleh berbagai pihak akibat tata kelola air yang tidak terintegrasi. Krisis lingkungan seperti rusaknya hutan dan marginalisasi daerah sepanjang daerah aliran sungai (DAS) meningkat tajam setelah diserahkan kepada daerah dengan diberlakukannya UU tentang Otonomi Daerah. Pemanfaatan sumberdaya tanpa disertai biaya pemeliharaan secara berkelanjutan menyebabkan ketidakterjaminan air bagi kepentingan masyarakat yang semakin banyak dan beragam. Meskipun studi ini tidak menerangkan peran masing-masing aktor secara detail, namun pertarungan pengetahuan dan kuasa dalam akses terhadap air mencoba menawarkan solusi atas masalah yang dihadapi dengan berusaha mengambil jalur transformatif-moderat yang berusaha melakukan tata-kelembagaan dengan mengoptimalkan fungsi kelembagaan yang sudah ada. Sementara, bagi para pemangku kepentingan, dilakukan reideologisasi agar memahami benar makna penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan serta kaitannya dengan derajat pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat. Studi ini lebih kental berciri pada studi-studi yang menganut Maszhab Bogor, ada keberpihakan yang kuat terhadap masyarakat miskin dan lingkungan, namun tidak bermaksud mendobrak atau melakukan pembongkaran struktural atas ketimpangan yang ada. Meski demikian, studi ini mampu menunjukkan multi dimensi persoalan tata kelola air sebagai Common Pool Resources (CPR) yang berada pada arena konflik yang serius baik antar wilayah sepanjang bentangan DAS Citanduy, maupun antar aktor yang terlibat (civil society, negara maupun pengusaha). Dominasi negara yang kerap berkoalisi dengan pengusaha dalam hal ini pemerintah daerah yang mengedepankan peraihan PAD yang tinggi, dan peminggiran masyarakat dalam penentuan kebijakan maupun dalam akses terhadap sumberdaya air adalah sumber ketimpangan dan penyebab utama krisis ekologi. Oleh karena itu, studi ini menempatkan penting dan strategisnya peran Dewan Sumber Daya Air (DSDA) mengisi ruang publik dimana semua prosesproses kebijakan dilakukan secara transparan, akuntabel, dan adil. Penelitian Stroma Cole tahun 2012 merupakan penelitian terbaru yang menganalisis pemanfaatan air di Bali, khususnya pemanfaatan air untuk pengembangan wisata di Kabupaten Badung Bali. Menurut Cole (2012), konsentrasi pemerintah Bali yang besar pada pengembangan pariwisata, kurang memperhatikan pengelolaan air yang menjadi salah satu sumberdaya penting bagi masyarakat baik yang terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata maupun yang tidak. Pengembangan pariwisata yang sarat kapital didukung oleh berbagai kemudahan dan kelonggaran peraturan dalam pengelolaan maupun pemanfaatan air. Kebijakan pemerintah tidak menyentuh upaya menjaga keberlanjutan sumber-sumber air maupun penataan yang berbasis pada keberlanjutan pariwisata itu sendiri. Praktek salah urus ini menimbulkan banyak konflik di masyarakat, baik konflik antar sektor, konflik antar wilayah administrasi, maupun antar masyarakat, yang mengancam Bali pada kerawanan ketersediaan air. Secara
16
sederhana, hasil-hasil studi ekologi politik di atas dapat dirangkum seperti pada tabel 1. Matriks 1. Keragaan Aktor dan Regim Studi Ekologi Politik Hasil studi
Aktor Berkepentingan
Regim dominan
Bryant (1997)
Kolonial-Elit Lokal- Petani
Kapitalis
Gurung (1995)
NGO-Negaragrassroots
Environtmentalis
Escobar (1998)
Organisasi Lokal (grassroots)Negara-Swasta
Kulturalis dan ekonomi lokal
Adiwibowo_1 (2005)
Negara-Lembaga InternasionalNGO-Masyarakat adat (grassroot)
Kapitalis berkedok lingkungan
Adiwibowo_2 (2010)
Negara-Elit LokalPetani
Kapitalis
Dharmawan (2005)
Negara (pusat dan daerah)-swastapetani
Kapitalis
Stroma Cole (2012)
Negara-swastamasyarakat/petani
Kapitalis
Kesimpulan
Penolakan scientific forestry adalah illegal forest use/ketidakpatuhan Komitmen ACAP yang pro lingkungan dan masyarakat lokal. Kemenangan pengetahuan lokal dengan strategi pendefinisian wacana keanekaragaman hayati Semua aktor memainkan peran dan pengetahuan yang kompleks, dan untuk mengejar kepentingannya masing-masing Dekonsentrasi dan proverty right tidak memadai bagi berlangsungnya devolusi, peningkatan pendapatan, serta pemerataan manfaat SDA Reideologi dan Tata kelola terpadu DAS menjadi syarat keharusan bagi keberlanjutan sumberdaya air Salah urus air dan ketidakadilan dalam kebijakan menimbulkan konflik dan kemiskinan.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2012
Berdasarkan keragaan perkembangan penelitian ekologi politik sumberdaya alam bisa disimpulkan bahwa dalam setiap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan, selalu ada para aktor yang hadir mengusung berbagai kepentingan yang berbeda satu dengan lainnya. Menurut Escobar (1990) ada tiga regim nature yang paling sering terlibat yaitu regim alam kapitalis (pengusaha), regim alam organik (kelompok pengelola berdasarkan pengetahuan lokal), dan regim alam teknokrat (pemerintah atas nama negara). Ketiga regim memiliki
17
gagasan masing-masing yang dipertarungkan demi kelancaran pengaruh kekuasaan. Hasil-hasil penelitian yang ada menunjukkan regim alam kapitalis berperan sangat dominan. Oleh karena itu, secara kritis Forsyth (2003) menganjurkan agar analisis menggunakan pendekatan ekologi politik perlu mengeksplorasi lebih jauh keterkaitan kapitalisme dengan kerusakan lingkungan. Studi ekologi politik sumberdaya hutan dan lahan memotret panggung pertarungan politik dan ekonomi aktor dalam ruang yang sama dengan munculnya konflik, hal yang sangat berbeda dengan karakteristik konflik sumberdaya air. Menganalisa konflik perebutan air sebagai akibat krisis ketersediaan air tidak bisa dilepaskan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sumber-sumber air dan seluruh lintasan air yang mungkin posisinya berada pada bentang kawasan geografis yang berhubungan (Dharmawan, 2005), bahkan bisa sangat jauh dari lokasi dimana konflik perebutan air terjadi. Penelitian ini menjadi penting karena mendalami sumberdaya yang merupakan kebutuhan mendasar mahluk hidup, memetakan aktor-aktor yang terlibat dan membedah proses pertarungan gagasan maupun akses dan kontrol terhadap sumberdaya air khususnya dalam era orde baru dan era demokratisasi otonomi daerah dalam situasi ketahanan pangan mengkhawatirkan. Studi ini juga mencoba mempelajari dimana dan bagaimana kelembagaan pengairan tradisional dengan kuasa pengetahuan lokalnya berhadapan dengan kekuatan eksternal yang berkepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya air. Kerangka Teori dan Konsep Penelitian Guna memudahkan pengamatan terhadap proses pemanfaatan sumberdaya air, analisis kajian akan dibagi ke dalam dua wilayah. Wilayah pertama dalam tataran kebijakan pengelolaan sumberdaya air ditingkat global, pusat, daerah, hingga komunitas. Pertarungan gagasan dianalisis menggunakan kerangka berfikir Faucoult tentang kuasa pengetahuan, produksi kekuasaan, dan relasi-relasi sosial dimana kuasa muncul. Sejalan dengan Faucoult pembahasan didalami juga menggunakan konsep imperialisme Galtung (1975) yang dikenal dengan Teori Dependensi (Dependency Theory). Penjelajahan wilayah ini ditujukan untuk melihat aktor-aktor mana saja yang terlibat dan berkepentingan terhadap sumberdaya air, bagaimana pertarungan kepentingan terjadi, dan aktor mana yang mendominasi aktor lainnya. Pemanfaatan sumberdaya air dalam hubungan relasi kekuasaan yang tidak setara menyebabkan selalu ada aktor yang tersubordinasi. Proses-proses relasi sosial dan interaksi antar aktor sangat penting untuk melihat sistem kuasa pengetahuan yang terbentuk. Penelusuran peran aktor dan melihat aksesnya terhadap sumberdaya akan menembus wilayah tingkat kelembagaan di komunitas, terutama meliputi lembaga tradisional pengairan pertanian yang dibatasi pada jaringan irigasi subak di Bali. Wilayah kedua pada tataran praktikal yang juga merupakan relasi kekuasaan yang tidak setara sehingga memunculkan konflik-konflik perebutan air yang lebih bersifat terbuka. Aktivitas dan pengelolaan sumberdaya alam di bagian hulu sungai sangat berpengaruh sepanjang sungai hingga aktor-aktor di bagian hilir sungai. Aktor yang berada pada posisi hilir bersifat “given” dan memandang sumberdaya air setara mata pencaharian dengan memanfaatkan akses dan kuasa terhadap sumberdaya sebagai kegiatan ekonomi.
18
Pengaturan Sumberdaya Alam Milik Bersama Air merupakan sumberdaya alam milik bersama yang bebas diakses oleh semua pihak. Apabila pemanfaatannya tidak diatur, maka semua pihak akan mengeksploitasi dan memanfaatkannya semaksimal mungkin (Hardin, 1968). Hak-hak penguasaan sumberdaya bersifat akses terbuka (open access) menjadi tidak jelas pihak mana yang bertanggungjawab sehingga memiliki dampak pada kerusakan sumberdaya. Pemanfaatan yang melampaui batas ambang daya dukung, potensial menyebabkan terjadinya kelangkaan, perebutan, hingga terjadi kerusakan. Akhirnya muncul tragedi dimana semua pihak dirugikan karena tidak bisa lagi memanfaatkan sumberdaya tersebut. Pada titik tertentu keadaan itu bisa menjadi musibah yang membahayakan bagi masyarakat luas. Inilah yang dikenal sebagai “tragedy of the commons”. Bossio, Noble, Pretty dan de Vries mengemukakan bahwa berbagai sungai di dunia seperti Sungai Colorado di Amerika Serikat, Huang-He di Cina, Nil di Afrika, dan sungai-sungai besar di India seperti Indus, Syr Darya dan Amu Darya telah mencapai tahap eksploitasi 100 persen yang mengakibatkan kerusakan ekosistem air dan menurunkan kesejahteraan manusia. Pemanfaatan oleh semua pihak sepanjang sungai mengalir yang mungkin melintasi kabupaten, provinsi, bahkan negara, tanpa ada yang bertanggungjawab menjaga kelestariannya, akhinya menjadi tragedi bagi semua pihak. Menurut Hardin (1968), sumberdaya bersama yang diakses bebas tanpa aturan hanya dapat dibenarkan dalam kondisi kepadatan penduduk yang rendah. Prinsip ini tidak dapat digunakan jika penduduk berkembang dan pemanfaatan sumberdaya yang semakin beragam. Pengaturan sosial yang disepakati bersama bertujuan menumbuhkan tanggungjawab dengan mengalihkan status “bebas akses” dari sumberdaya bersama menjadi private properti. Hardin percaya bahwa privatisasi akan menginternalisasi biaya yang timbul akibat perilaku pemanfaatan sumberdaya, mengurangi ketidakpastian, dan berfungsi meningkatkan tanggung jawab individual atas sumberdaya yang digunakan. Pernyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa Hardin tidak percaya atau tidak melihat peluang adanya kerjasama atau pengelolaan secara terpadu antar para aktor atau antar wilayah yang mengakses sumberdaya tersebut. Alternatif lain yang ditawarkan Hardin adalah mempertahankan sumberdaya bersama sebagai publik properti, tetapi diikuti dengan pengaturan alokasi hak untuk mengaksesnya. Pengaturan pengalokasian hak dapat didasarkan atas sistem lelang, penghargaan atas prestasi, sistem undian, atau dengan menggunakan prinsip siapa yang datang terlebih dulu, maka merekalah yang memiliki hak akses. Ostrom (1999) menyebut tesis Hardin (1968) mengenai “tragedy of the commons” kurang memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam berbagai situasi sumberdaya publik. Ia mengusulkan solusi pencegahan dengan pemberian peran yang lebih besar pada pemerintah, termasuk menangani masalah-masalah kependudukan, kemasyarakatan, dan lingkungan. Argumen Ostrom mengabaikan keberadaan dan potensi pengaturan serta pengelolaan sumberdaya bersama oleh kelompok atau komunitas pengguna. Banyak bukti empirik yang menunjukkan keberadaan dan peranan kelembagaan sosial yang dikonstruksikan dan dipelihara dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya bersama, termasuk hubungan-hubungan sosial yang terkait di dalamnya. Alasan Ostrom menguatkan kuasa dan wewenang negara
19
dan percaya bahwa negara bijaksana dan bertindak selalu demi kepentingan rakyat. Solusi kebijakan dilema sumberdaya bersama berupa intervensi pemerintah atau privatisasi, dapat melemahkan bahkan menghancurkan keberadaan dan peranan kelembagaan sosial komunitas pengguna sumberdaya air yang telah terbukti efektif dalam mengendalikan pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana dan berkelanjutan. Banyak hasil studi menyebutkan bahwa konsepsi sumberdaya bersama sebagai sumberdaya bebas akses tanpa aturan, maupun sumberdaya yang diatur komunitas sebagai collective action masih relevan untuk memahami berbagai gejala penggunaan dan penyalahgunaan sumberdaya alam, sepanjang penerapan masing-masing konsepsi tersebut memperhitungkan konteks sosial ekonomi politik dan ekologi dari gejala yang bersangkutan (Suradisastra at all, 2010; Nasution, 2011). Terkait sumberdaya alam milik bersama (common pool resources), Ostrom (1999; 2006) mengemukakan bahwa terdapat delapan prinsip yang harus dirancang agar kelembagaan dapat berlangsung secara berkesinambungan yaitu: (1) Penentuan batas kepemilikan sumberdaya yang jelas berikut pengaturan cara mengakses, aturan pengambilan, pengelolaan, dampak, kerjasama, serta partisipasi, sehingga tidak mengalami kelebihan (berdasarkan kebutuhan saja). Termasuk didalamnya batas-batas sumberdaya secara fisik agar tidak ada yang menjadi pecundang. Prinsip ini lemah untuk kondisi dimana kapitalis memanfaatkan sumberdaya air habis-habisan dan meninggalkan kerusakan pada lingkungan. Persoalan penentuan batas pemilikan juga sulit dilakukan untuk sumberdaya air yang mengalir sepanjang DAS (air permukaan) dan permeable untuk air bawah tanah yang bila disedot di wilayah tertentu bisa menyebabkan kekeringan untuk daerah sekitarnya. (2) Mengatur distribusi manfaat secara tepat guna dan pembiayaan yang proporsional. Hal ini terkait dengan pengaturan waktu kebutuhan penggunaan sumberdaya, sehingga pemanfaatannya adil dan berkelanjutan. (3) Pengaturan pilihan-kolektif, yaitu hampir semua individu dipengaruhi oleh aturan operasional dalam kaitannya dengan rezim pemanfaatan sumberdaya yang dapat merubah partisipasinya dalam pelaksanaan pengaturan secara konsisten. (4) Adanya kegiatan yang bersifat memonitor kondisi sumberdaya dan perilaku penggunanya yang akuntabel. Diharapkan pelanggaran terhadap pengaturanpengaturan akan selalu menurun, dan kondisi sumberdaya tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (5) Pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan yang diterapkan sesuai dengan tingkatan kesalahan dan konsteks kejadian pengguna tersebut dari petugas yang akuntabel atau dari pengguna lainnya atau keduanya. Hal ini terutama dilakukan terhadap masyarakat yang melakukan pencurian air. Masalahnya akan rumit jika pencurian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup. (6) Ada mekanisme penyelesaian konflik diantara pengguna atau antara pengguna dan petugas yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah, dan tersedia secara lokal. Dalam hal ini, pengaturan dapat dimengerti dan dipahami secara sama untuk setiap anggota masyarakat sehingga konflik yang terjadi dapat diminimalkan.
20
(7) Ada pengorganisasian hak kepemilikan yang diakui oleh para pengguna dan kelembagaannya, dan tidak dapat dikuasai atau dicampurtangani oleh pemerintah. (8) Jaringan usaha yang secara prinsip merupakan kegiatan pemerintah yang dikelola pada berbagai tingkatan usaha. Beberapa unit usaha yang kecil menggunakan kelembagaan yang ada agar tetap dapat dipertahankan, meskipun tetap dapat berhubungan dengan suatu kelembagaan yang lebih luas cakupannya. Sejauh ini pengaturan pemanfaatan air di Indonesia diserahkan kepada negara sesuai UUD 1945 pasal 33. Bentuk operasionalnya dalam UndangUndang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih jauh pemanfaatan, pengelolaan, dan pelestarian sumberdaya air seperti UUPA, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No. 33 tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air. Krisis Air Krisis adalah keadaan yang berbahaya, genting, kemelut, atau keadaan suram). Kegentingan atau kesuraman yang tercipta oleh suatu situasi perubahan menuju kondisi memburuk yang mengancam bagi kehidupan manusia. Penyebabnya bisa oleh situasi politik, ekonomi, sosial budaya maupun kondisi alam. Keadaan bisa juga merupakan akumulasi dari faktor di atas secara keseluruhan, dimana perubahan atau gejolak pada faktor politik menyebabkan ekonomi morat-marit, secara sosial muncul kemiskinan yang menyebabkan mereka mengeksploitasi alam secara berlebihan dalam rangka mempertahankan hidup dan resikonya terjadi bencana. Perubahan merupakan suatu ruang bentuk kontinum, mulai dari gejala perubahan hingga situasi yang tidak aman bahkan membahayakan. Krisis berada dalam selang tersebut, suatu titik dimana ancaman itu sudah sangat dekat namun dengan upaya tertentu bisa membaik. Krisis biasanya dapat dihindari jika pengawasan serta kontrol oleh lembaga-lembaga terkait yang berwenang diselenggarakan dengan baik. Dihubungkan dengan sumberdaya air, maka krisis muncul ketika air yang tersedia tidak mencukupi bagi semua orang atau pihak yang membutuhkan. Fenomena krisis mewujud dalam tiga bentuk yakni: 1). Jumlah air tetap tetapi yang membutuhkannya bertambah secara signifikan sehingga air tidak mencukupi dan terjadi ancaman terhadap kehidupan mereka yang tidak memperoleh kebutuhan airnya secara mencukupi; 2). Jumlah air tetap tetapi kualitasnya semakin memburuk sehingga mengancam kehidupan manusia yang mengkonsumsinya; 3). Situasi ketidak cukupan atau krisis dimana distribusi air tidak merata sesuai kebutuhan. Sebagian besar air dimanfaatkan oleh mereka yang mampu mengaksesnya dan menyebabkan mereka yang tidak mampu mengaksesnya menjadi kekurangan.
21
Kelembagaan Pengairan Tradisional Subak Subak merupakan perkumpulan petani pengelola air irigasi di lahan sawah dengan karakteristik sosio-agraris-religius (Perda Bali No. 02/PD/DPRD/1972). Pada perkembangannya pengertian karakteristik menjadi sosio-tekno-religius, dimana makna teknis meliputi teknis pertanian dan teknis pengairan. Kelembagaan subak merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat Bali dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya air sesuai kondisi lingkungan pada jamannya, dengan memegang prinsip kebersamaan, keadilan, dan keterjaminan mendapat air bagi masing-masing anggota untuk menjalankan usahatani. Berdasarkan bukti sejarah, subak sudah ada sejak abad ke-11, dan terus eksis hingga saat ini. Pengikatnya yang kuat adalah gatra religius cerminan konsep Tri Hita Karana (THK). THK merupakan filosofis masyarakat Bali yang percaya bahwa kebahagiaan hidup dapat dicapai dengan menjaga keharmonisan hubungan antar komponen meliputi: (1) parahyangan, ditunjukkan adanya pura pada wilayah subak dan blok pemilikan sawah; (2) palemahan ditunjukkan adanya kepemilikan wilayah untuk setiap subak; dan (3) pawongan ditunjukkan adanya organisasi petani sesuai kebutuhan setempat. Hubungan timbal balik ketiga komponen dijunjung dan dipelihara oleh semua anggota subak. Konsep THK merefleksikan subak tidaklah sederhana, sistemnya tidak sebatas gatra fisik dan sosial, atau semata masalah teknis pengairan. Subak adalah wujud nilai-nilai budaya masyarakat tani Bali yang secara kolektif menggambarkan keyakinan, tata kelakuan, dan tata hubungan yang dibangun dan terus dipelihara. Peluang transformasi sistem irigasi subak sebagai suatu teknologi yang sepadan sehingga bisa bertahan hingga kini justru berada pada kekuatan hubungan timbal balik dalam konsep THK. Sistem irigasi subak bersifat sosio-teknis, karakter teknologi yang berkembang menjadi budaya masyarakat. Windia et all (2002) menyebutkan wujud THK dalam sistem irigasi subak yang bersifat sosio-teknis dapat dilihat dari subsistem budaya, subsistem sosial, dan subsistem kebendaan melalui ketiga gatra parhyangan, pawongan, maupun palemahan. Kesepadanan teknologi subak dicakup dalam prinsip-prinsip yang dianut seperti: (1) kegiatan berdasarkan usaha swadaya dan tidak tergantung pada seorang ahli; (2) bersifat desentralisasi; (3) kegiatan berdasarkan kerjasama dan bukan pada persaingan; dan (4) merupakan teknologi yang sadar pada tanggungjawab sosial dan ekologis. Peran subak sebagai teknologi sepadan dalam sistem pertanian beririgasi dapat diamati dengan konsep: (1) Pola pikir. Air dikelola agar mampu mencukupi kebutuhan untuk kegiatan pertanian. Sesuai dengan kondisi ekologi di Bali, pengelolaan air membutuhkan kerjasama dengan menghimpun diri dan kesediaan menanggung resiko kecukupan dan ketidakcukupan secara besama-sama. Komitmen ini dituangkan dalam berbagai kesepakatan-kesepakatan seperti pinjam-meminjam air, penggolongan subak, pelampias (kebijakan memberi tambahan air pada lahan yang berada di hilir), pengurangan porsi air pada blok tertentu dan kepercayaan pada pengurus untuk mengatur distribusi air secara adil; (2) Sistem sosial. Pembentukan organisasi sosial untuk mengelola irigasi subak secara adil dan kolektif. Organisasi subak dipimpin ketua subak (pekaseh) merencanakan, melaksanakan dan mengkoordinasikan kegiatan untuk mencapai tujuan.; (3) Artefak atau kebendaan. Pencapaian tujuan subak, memanfaatkan artefak yang ada seperti bendungan, terowongan, saluran, dan lain-lain secara
22
optimal untuk fungsi-fungsi yang tepat dan dilakukan oleh pihak-pihak yang berkaitan langsung. Eksistensi subak sebagai lembaga pengairan sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategisnya. Orientasi pembangunan di Bali telah mengalami perubahan, tidak lagi menggambarkan lingkungan masyarakat agraris. Keputusan pengembangan pariwisata massal dengan memudahkan semua sarana prasarana dan perijinan yang berkaitan dengan pariwisata merupakan tantangan besar bagi sektor pertanian sekaligus tantangan bagi subak (Windia, 2010). Alih fungsi lahan, perkembangan penduduk, faktor pendukung pariwisata (hotel, lapangan golf, arena permainan) tidak hanya menyedot ketersediaan air hingga 65 persen, tetapi merubah pola pikir, sistem sosial, dan artefak yang ada pada subak. Kondisi ini merupakan tantangan yang membahayakan bagi subak, sehingga sistem ini perlu direkonstruksi (Windia, 2010). Pada perjalanannya, kelembagaan subak yang memiliki kelentingan budaya yang tinggi banyak melakukan adaptasi fungsi. Selama satu dekade terakhir berkembang subak lahan kering yang dikenal dengan subak abian. Aturan dan kesepakatan yang dibangun meliputi fungsi memenuhi kebutuhan anggotanya melalui upaya mengatasi kesulitan usahatani lahan perkebunan, bukan pada masalah pengelolaan dan pemanfaatan air secara adil. Ditemukan juga subak yang sudah mengembangkan fungsinya dari sekedar mengelola pengairan dan pertanian, menjadi koperasi dengan melakukan simpan pinjam, menyediakan saprodi, pemasaran, dan unit-unit usaha pertanian lainnya. Intervensi pemerintah dengan alasan pemberdayaan kelembagaan lokal mempercepat perubahan ikatanikatan kolektifitas dengan prinsip keadilan menjadi lebih individualis dengan prinsip pertumbuhan (Suradisastra et al, 2010). Konflik Sumberdaya Alam Konflik merupakan perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, atau kekuasaan (Johnson, 1990). Tujuan berkonflik tidak hanya untuk memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaing. Artinya, konflik adalah benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dan kelompok lainnya dalam proses perebutan sumber kemasyarakatan yang relatif terbatas. Kamus Umum Bahasa Indonesia (1985) mengartikan konflik sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan, suatu situasi hati, pikiran atau fisik yang berlawanan dan cenderung saling mengalahkan. Secara sosiologis, konflik adalah pertentangan yang terjadi antar pihak dalam masyarakat. Konflik bisa terjadi dalam bentuk perorangan, gerakan sosial, kelompok kepentingan, kelas, jenis kelamin, organisasi, partai politik, kolektivitas etnis, ras, atau antar agama (Collins, 2000). Penyebab konflik seringkali adalah persaingan atas akses dan kontrol terhadap sumberdaya atau peluang yang langka. Menurut Kinseng (2013) konflik adalah relasi sosial antar aktor sosial yang ditandai oleh pertentangan atau perselisihan dan kemarahan, baik dinyatakan secara terbuka atau tertutup dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-masing. Sebagai proses sosial yang bersifat antagonistik, konflik kadang tidak bisa diserasikan karena pihak yang berkonflik memiliki tujuan, sikap, dan struktur nilai berbeda yang tercermin dalam berbagai bentuk perilaku perlawanan, baik yang halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung, terkamuflase, maupun
23
yang terbuka dalam bentuk kekerasan. Konflik bisa terjadi antar individu, antara kelompok, antar wilayah, bahkan antar negara. Sebagai ketidaksepakatan dalam satu pendapat, konflik memunculkan emosi terhadap tindakan orang lain. Keadaan mental dalam impuls-impuls, hasrat-hasrat, keinginan-keinginan yang saling bertentangan namun bekerja pada saat bersamaan. Pertentangan bisa dalam bentuk fisik atau non fisik, berada pada rentang halus (ranah pikiran) hingga kasar (ranah pertengkaran atau benturan fisik) bahkan hingga tingkat kekerasan (violent). Konflik dimulai ketika satu pihak merasa bahwa pihak lain akan, sedang, atau telah mempengaruhi secara negatif. Artinya, konflik baru dimulai jika ada kesadaran dari pihak yang merasa dirugikan, diganggu, atau dirampas haknya. Menurut Robbins (1996), konflik ada dimana-mana, kapan saja dan antara pihak mana saja. Konflik hanya akan hilang bersama hilangnya masyarakat. Sebagai suatu interaksi antara orang-orang atau kelompok yang saling bergantung, adanya konflik berarti merasakan adanya tujuan yang saling bertentangan dan saling mengganggu satu sama lain dalam mencapai tujuan. Jika tindakan satu pihak untuk memenuhi dan memaksimalkan kebutuhannya menghalangi atau membuat tindakan pihak lain jadi tidak efektif untuk memenuhi atau memaksimalkan kebutuhannya ini memunculkan konflik kepentingan (conflict of interest). Konflik bisa meningkat menjadi suatu pertarungan, suatu benturan, suatu pergulatan, pertentangan kepentingan, opini-opini, atau tujuantujuan, pergulatan mental hingga penderitaan batin. Konflik adalah pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya atau orang lain dengan kenyataan yang dihadapi. Secara sederhana konflik merupakan keadaan dimana terdapat tujuan, hak, kepentingan atau kehendak dari pihak-pihak yang berbeda, dirasakan bertumpang tindih, bertabrakan atau berlawanan. Terkait dengan sumberdaya alam, maka konflik merupakan benturan antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya (Faisal dan Maskanah, 2000). Konflik bisa bersifat tertutup, sebatas adanya tumpang tindih hak dan masing-masing telah menentukan sikap yang berlawanan, hanya tidak dinyatakan secara terbuka. Tahap selanjutnya, konflik bersifat mencuat dimana perselisihan antar pihak telah teridentifikasi, diakui, jelas tetapi proses penyelesaian masalah belum berkembang. Konflik bersifat terbuka jika pihak-pihak yang berkonflik saling berhadapan dan masing-masing mempertahankan posisi dan tuntutan tertentu yang berlawanan dengan pihak lainnya. Masing-masing pihak berusaha meyakinkan pihak lawan akan kebenaran posisinya, mencoba mengubah posisi lawan, atau memasuki konflik perlawanan fisik (Faisal dan Maskanah, 2000). Konflik dapat dipetakan dengan mengelompokkan ke dalam ruang-ruang konflik sebagai berikut: 1. Konflik data, terjadi ketika ada pihak yang mengalami kekurangan informasi, perbedaan penterjemahan informasi, perbedaan cara pengkajian data dan informasi, atau kurang komunikasi dalam memahami informasi dalam pengambilan keputusan. 2. Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan dalam pemenuhan kepentingan yang berbeda dan masing-masing meyakini kebenarannya. Konflik ini umumnya terjadi karena masalah mendasar seperti sumberdaya,
24
masalah tata cara dalam menangani sumberdaya, atau masalah psikologis seperti persepsi, kepercayaan, keadilan atau kehormatan. Konflik kepentingan biasanya lebih bersifat terbuka. 3. Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi, atau hal-hal yang cenderung tidak realistis sehingga memicu pertikaian. 4. Konflik nilai, disebabkan oleh kepercayaan yang tidak sesuai, baik yang dirasakan atau sebenar-benarnya ada. Nilai merupakan kepercayaan yang dipakai dan menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan tetapi seringkali menimbulkan konflik. Dalam konteks sumberdaya air, konflik kepentingan paling banyak terjadi sehingga resolusi membutuhkan prinsip keadilan yang berintikan pembagian hak dan kewajiban yang diatur oleh konsep kesamaan hak dan hubungan timbal balik. Konsep dan Fungsi Kelembagaan Kelembagaan adalah suatu sistem norma atau pola perilaku yang diperlukan, dihargai, mengikat dan dipatuhi dalam waktu yang cukup lama oleh masyarakat untuk mencapai sejumlah tujuan (Uphoff, 1986). Aturan tersebut menentukan tatacara kerjasama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya serta membantu dalam menentukan hak dan kewajiban masingmasing, menjadi suatu alat pengontrol masyarakat terhadap pengaturan sumberdaya. Oleh karena itu, kelembagaan berkembang dengan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi masyarakat sehingga berfungsi mengatur penguasaan, pemanfaatan dan transfer sumberdaya. Koentjaraningrat (1997) mengartikan kelembagaan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sistem tata kelakuan diwujudkan dalam sejumlah peranan dan sistem nilai yang mengatur hubungan antar manusia. Konsep kelembagaan digunakan manusia dalam kondisi yang berulang yang diorganisasi oleh aturan (rules), norma (norms) dan strategi-strategi (strategies) (Ostrom, 1999). Oleh karena itu, kelembagaan berfungsi menjaga keutuhan masyarakat dengan adanya pedoman yang dapat diterima secara bersama. Kelembagaan berfungsi memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan pengawasan sosial (sosial kontrol), sehingga ada suatu sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat disederhanakan bahwa kelembagaan merupakan norma dan tata aturan yang disepakati bersama dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok manusia. Norma dan tata aturan berfungsi sebagai koridor atau panduan sekaligus kontrol terhadap prilaku masyarakat. Sehubungan dengan sifat kelembagaan yang berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan sumberdaya, maka pengembangan kelembagaan (institutional development) dapat dilihat sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumberdaya yang tersedia sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pembagian kerja secara seimbang, peningkatan pendapatan, perluasan usaha, dan kebebasan untuk memperoleh peluang ekonomi. Proses ini secara internal dapat digerakkan oleh tokoh atau manajer sebuah lembaga atau campurtangan dan promosi oleh
25
pemerintah atau badan-badan pembangunan. Pengembangan kelembagaan, perlu dianalisis sesuai dengan konteksnya, karena dengan aturan yang sama dapat saja mengakibatkan suatu dampak yang berbeda jika dilihat dalam konteks yang berbeda. Sebagai norma dan tata aturan, kelembagaan memuat pertimbangan politik secara khusus, legal, dipengaruhi dinamika pertumbuhan ekonomi, dan mengalami evolusi sebagai suatu proses yang tiada akhir. Pengetahuan sebagai faktor pembentuk perilaku individu di tengah masyarakat. beberapa individu yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang sebuah realita sosial termasuk segala pengaturan, pemanfaatan dan transfer sumberdaya, akan membentuk kelompok. Dalam konteks kelembagaan, kelompok ini sering dikenal sebagai lembaga. Lembaga-lembaga yang ada menekankan kerangka pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial dan sumberdaya terhadap lembaga lain. Disinilah pertarungan pengetahuan dan konsep mestinya dikontrol oleh norma dan tata aturan yang dikonstruksikan sebagai panduan bersama yang harus tetap ditegakkan. Memaknai kelembagaan dalam konteks sumberdaya alam merupakan proses bagaimana manusia mengelola dan mengakses sumberdaya dan pemanfaatannya. Ini merupakan titik penting dalam pengelolaan sumberdaya alam bersangkutan. Lembaga-lembaga yang efektif dan berkelanjutan bagi pengelolaan sumberdaya alam ditentukan oleh beberapa hal, antara lain; (a) Sifat sumberdaya yang hendak dikelola, dan (b). Komposisi masyarakat pengguna sumberdaya tersebut, khususnya mengenai apakah mereka dapat diidentifikasikan (identifiable community). Menurut Uphoff (1986), pada tingkat tertentu dimana sumberdaya dan penggunanya dapat dibatasi atau diidentifikasi dengan batasan yang jelas, maka tugas-tugas pengelolaan akan lebih mudah dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Pendekatan Aktor dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Teori pertama yang akan dipakai untuk membantu peneliti dalam melakukan formulasi, analisis, dan sintesis terhadap realitas sosial yang diamati adalah pendekatan aktor dari Bryant dan Bailey (1997). Perubahan lingkungan yang berdampak pada krisis air dilihat sebagai proses politik dengan kontestasi pertarungan antar aktor yang berkepentingan dalam mengakses dan memperoleh manfaat sumberdaya air. Interaksi sosial yang terbangun dari hubunganhubungan sosial melalui beragam kelembagaan digunakan oleh aktor yang kuat sebagai acuan kebijakan dan disosialisasikan bahkan seringkali dipaksa untuk diterima sebagai sesuatu yang benar oleh aktor yang lemah. Pertimbangan rasional sebagai dasar tindakan para aktor mempertemukan semua azas kepentingan pada ruang pertarungan politik. Relasi kekuasaan mendudukkan pihak-pihak yang lemah dan kuat yang akhirnya menciptakan kesenjangan sosial ekonomi. Oleh karena itu, Bryant dan Bailey menyebutkan, kerusakan lingkungan dan krisis sumberdaya yang terjadi di negara ketiga tidak memadai dipandang sebagai kesalahan dalam kebijakan atau menejemen teknis semata, melainkan memiliki sumber-sumber politik, kesenjangan sosial-ekonomi dan proses politik. Melalui pendekatan yang berpusat kepada aktor, telaah memasuki ranah ekonomi, ekologi, politik, dan sosiologi sekaligus. Berdasarkan pemikiran Bryant dan Bailey (1997), pendekatan aktor berasumsi bahwa: (1) Biaya dan manfaat yang terkait perubahan lingkungan
26
dinikmati para aktor dengan cara tidak merata; (2) Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi; dan (3) Dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan memiliki implikasi politik dalam pemanfaatan dan keberlanjutan sumberdaya dan menimbulkan perubahan kekuasaan dalam hubungan satu aktor dengan aktor lain. Pertarungan antar aktor untuk memperoleh keuntungan dalam mengeksploitasi lingkungan merupakan titik suluh memanasnya ruang konflik. Aktor pertama yang paling besar perannya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air adalah negara. Kekuasaan negara sebagian besar berasal dari kewenangan aktor yang unik ini untuk bertindak atas nama “kepentingan nasional”. Peran negara sebagai aktor yang berdaulat dan memonopoli, seringkali menggunakan cara pemaksaan dalam suatu wilayah dan sumberdaya tertentu. Pada jaman kolonial misalnya, untuk basis administrasi negara, kolonial menaklukkan masyarakat dan lingkungan pada prinsip-prinsip 'ilmiah' dalam rangka 'merasionalisasi' lingkungan sosial dan alam di bawah yurisdiksi mereka (Bryant dan Bailey, 1997). Namun, rekayasa sosial dan lingkungan di abad ke-19 dan ke-20, disambut oleh perlawanan rakyat yang meluas di seluruh negara Dunia Ketiga. Kedudukan negara sebagai aktor kunci dalam masalah manajemen lingkungan dan konflik banyak menuai kritik. Negara yang berperan sebagai fasilitator terkait sistem kapitalis merupakan aktor masalah lingkungan kontemporer yang merupakan produk sampingan penting dari sistem kapitalis sendiri (Johnson, 1990). Namun negara juga aktor kunci dalam mencari solusi untuk masalah lingkungan. Peran ini seringkali terhambat karena terikat pada kepentingan kapitalis. Oleh karena itu, negara harus bertanggung jawab secara eksplisit untuk pengelolaan sumberdaya hayati dan fisik, namun aktor ini seringkali membuat solusi yang memunculkan masalah lingkungan, bahkan biasanya memberikan kontribusi untuk memperburuk masalah yang ada (Bryant dan Bailey, 1997). Aktor kedua adalah multilateral institutions yang memiliki dana besar. Dalam rangka pengembangan kapital yang dimiliki, aktor ini mensyaratkan berbagai ketentuan. Umumnya persyaratan yang ditetapkan berorientasi pada ideologi yang sangat modernis. Hal ini membuka celah bagi menjamurnya sistem perekonomian kapitalis. Pada berbagai studi ditemukan bahwa sistem perekonomian ini telah menciptakan kemiskinan dan kesenjangan di banyak negara dunia ketiga. Multilateral institution yang paling banyak berperan di Indonesia diantaranya Bank Dunia (World Bank), IMF, FAO dan ADB. Aktor ketiga adalah perusahaan atau swasta, mencakup perusahaan domestik maupun multi nasional. Aktor memiliki orientasi bisnis yang memandang sumberdaya air sebagai peluang usaha potensial untuk menghasilkan keuntungan sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Orientasi bisnis dengan mayoritas regim kapitalisme banyak berkoalisi dengan aktor lain khususnya negara dan multilateral institutions dalam pencapaian manfaat optimal dari sumberdaya yang ada. Faktor modal, teknologi, dan pengetahuan merupakan kekuatan aktor dalam mengembangkan upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Aktor keempat adalah lembaga non pemerintah (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) baik tingkat lokal maupun global. Mengusung
27
keberpihakan pada lingkungan atau grassroots sebagai pihak yang lemah. Banyaknya NGO atau LSM yang muncul dengan visi, misi dan ideologi yang berbeda menyebabkan terjadinya benturan kepentingan yang terefleksi dalam pendekatan, bahasa, dan tindakan di lapangan (Adiwibowo, 2005). Benturan tidak terlepas dari pengaruh visi penyandang dana lembaga. Aktor kelima adalah masyarakat atau grassroots. Aktor paling tua yang berperan sejak sumberdaya berlimpah dan pemanfaatannya belum berkonflik karena sebagian aktor lain belum terlibat. Grassroots memanfaatkan sumberdaya air secara langsung untuk keperluan kehidupan dimana sistem pencahariannya sangat tergantung pada keadaan dan pemeliharaan sumberdaya tersebut. Aktor ini secara kuantitas cukup besar dengan status, peran, latar belakang, dan kemampuan beragam. Pada berbagai kajian, aktor grassroots merupakan aktor yang lemah dan cenderung mengalami marginalisasi. Dharmawan (2005) memperkecil jumlah aktor dengan mengelompokkannya menjadi tiga. Pertama, state atau negara dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah yang dapat diwakili presiden, gubernur, bupati, atau departemen/instansi teknis. Kedua, swasta atau kaum kapitalis baik lokal/daerah, nasional maupun global, termasuk multilateral institutions. Ketiga, civil society termasuk didalamnya lembaga non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai misi berpihak pada masyarakat. Ketiganya membentuk relasi kuasa yang didalamnya membangun ruang kekuasaan. Pertarungan Pengetahuan dan Kekuasaan Sumberdaya Alam di Ruang Gagasan Perlu disadari bahwa saat ini pembahasan analisa wacana telah melampaui pakem-pakem linguistik konvensional dan telah melibatkan faktor-faktor sosiopolitis dan ideologis. Faucoult (1980) dengan berani memulai analisa wacana yang bersifat politis dan ideologis sebagai suatu gebrakan dalam dunia pemikiran. Analisa inilah kemudian membuka jalan tentang adanya pertarungan pengetahuan dan kekuasaan yang berlangsung diruang gagasan. Prinsip dasar pemikiran ini bahwa ada hubungan antara kekuasaan dan wacana tentang pengetahuan. Setiap kekuasaan memproduksi pengetahuan dan sebaliknya setiap pengetahuan memproduksi kekuasaan, artinya pengetahuan yang disebarkan sebagai wacana senantiasa mengandung muatan untuk melestarikan sebuah kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan oleh Foucault dipandang sebagai dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dan saling menciptakan. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa berhubungan dengan wilayah pengetahuan. Pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki relasi pengetahuan dan pengetahuan berada di dalam relasirelasi kekuasaan itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penjelasan mengenai proses produksi dan reproduksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Faucoult ( 1980) menjelaskan definisi wacana dengan potensi politis dan kaitannya dengan kekuasaan. Politis tidak selalu diartikan faktor-faktor pemerintahan melainkan setiap sesuatu yang menghegemoni secara kultural maupun ideologis sesungguhnya sudah masuk dalam ruang kekuasaan. Melalui
28
pengertian ini, wacana didefinisikan sebagai elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan dan merupakan satu dimensi dari relasi itu sendiri, dimana wacana dan kekuasaan memiliki hubungan timbal balik. Dengan pengertian ini Faucoult menegaskan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang kekal melainkan sangat tergantung waktu dan tempatnya. Kebenaran saat ini bisa menjadi ketidakbenaran pada saat yang lain karena kehendak untuk kebenaran adalah kehendak untuk berkuasa. Diskursus atau wacana adalah elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan, bahkan menjadi alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah alat, wacana berkekuatan mempengaruhi pola pikir masyarakat. Memiliki potensi strategis untuk meraih atau melestarikan kekuasaan berdasarkan kepentingan tertentu. Wacana bukan semata-mata teks atau bahasa, tetapi politik strategis yang mengusung sebuah ideologi. Hal ini bisa dilihat pada kasus iklan produk pemutih kulit bagi wanita yang mengusung ideologi rasisme, dimana kulit putih dikonotasikan cantik, baik, sehat dan bagus. Melekat pengertian sebaliknya bahwa kulit tidak putih adalah jelek, buruk, sakit dan kurang menarik. Wacana ini berkekuatan mengubah cara pandang dan pola sikap atau perilaku masyarakat (khususnya kaum wanita) untuk menggunakan produk pemutih kulit. Terkait dengan sumberdaya air, wacana ibu yang baik adalah ibu yang menyediakan konsumsi minuman yang sehat bagi keluarga. Air minum dalam kemasan tertentu diproses dengan cara yang sangat higienis sehingga ibu bijaksana selayaknya menyediakan air minum dalam kemasan tersebut bagi konsumsi keluarganya. Wacana tersebut adalah bentuk elemen taktis dalam operasi penguasaan sumberdaya air. Pengetahuan yang dikemas dan diperlengkapi penguasaan teknologi, diwacanakan melalui iklim kondusif lewat pola pikir dan pola perilaku mereka yang menduduki posisi sosial tertentu dalam masyarakat, akhirnya memaksa dan lambat laun menerima dengan sukarela sebagai pola pikir dan pola perilaku masyarakat luas. Wacana yang sama mengartikan bahwa keluarga yang tidak mengkonsumsi air minum dalam kemasan tersebut adalah keluarga yang tidak sehat dimana ibu rumah tangganya bukanlah ibu yang bijaksana. Dibalik wacana tersebut tersimpan juga pembenaran atas ijin usaha yang diberikan negara dan eksploitasi sumberdaya air yang dilakukan perusahaan tertentu adalah kebenaran. Dengan demikian, persoalan krisis air yang dialami masyarakat sekitar perusahaan air minum bukanlah persoalan serius sehingga bisa diabaikan. Kerangka berfikir Faucoult ini dapat dilihat dalam posisi pentingnya sumberdaya air bagi kehidupan manusia dan banyak aktor yang berkepentingan dalam mengakses sumber daya tersebut. Keterbatasan sumber daya atau krisis air yang memunculkan konflik bisa dilihat sebagai produk pertarungan yang dimulai dari ruang gagasan. Pengetahuan para aktor tentang sumberdaya itu sendiri, maupun tentang segala sesuatu yang membenarkan pengetahuannya mengenai hal-hal yang terkait dengan sumber daya itu adalah sebuah kebenaran. Ketika pengetahuan itu diwacanakan, bersama alat yang dipakai untuk mendukung kebenaran wacana (personal, kebijakan, atau media massa) mampu menghegemoni dan mendominasi masyarakat, saat itulah pengetahuan tersebut diterima sebagai sebuah kebenaran. Artinya, kesukarelaan menerima sebuah wacana yang sesungguhnya bersifat politis dan ideologis, berada dalam kancah
29
relasi kekuasaan. Pengetahuan yang diwacanakan dan bersifat berkuasa, didalamnya mengandung muatan untuk memperoleh keuntungan. Menurut Faucoult (1980), masyarakat terbentuk sebagai hasil exercise of power , hasil dari kemenangan pihak yang sebelumnya berjuang dalam konflik pemikiran yang bekerja bukan pada aras material melainkan pengenalan dan penaklukan ideologi. Pertarungan akibat perbedaan kepentingan melibatkan pengetahuan dan kekuasaan yang kemudian menentukan pihak mana yang akan memperoleh keuntungan atas pemanfaatan sumber daya dan mana yang tidak memperoleh keuntungan atau bahkan dirugikan. Faucoult sama sekali tidak membatasi wacana dan kekuasaan sebagai kedudukan legal formal seperti pejabat pemerintah atau pemerintahan itu sendiri. Kekuasaan ada dimana-mana, ada pada pihak manapun dan terdapat pada bidang apapun. Pernyataan ini memungkinkan kerangka berfikir Faucoult dapat digunakan pada semua aras. Pada aras makro bisa ditelusuri dalam pertarungan pengetahuan antar aktor terkait erat dengan isu-isu global seperti keanekaragaman hayati, the global water crisis dan global warming. Pada aras meso ditelusuri pertarungan implementasi isu global dalam percaturan kebijakan suatu negara baik ditingkat nasional maupun daerah, di Indonesia akan sangat lekat dengan berpengaruhnya kuasa idiologi kapitalisme. Sementara diaras mikro dilihat dalam pengaturan-pengaturan pemanfaatan sumberdaya itu sendiri ditingkat operasional. Wacana dan kekuasaan tidak bisa disekat-sekat, tetapi penelusuran pada berbagai aras membuka peluang menemukan jaringan pengetahuan dan kekuasaan yang terjalin yang pada akhirnya bisa saja menjadi lintas aras atau ada hubungan antar aras. Pertarungan Akses Terhadap Sumberdaya Air Air sebagai sumberdaya milik bersama akan beralih menjadi komoditas ekonomi ketika permintaan terhadap air meningkat dan ketersediaannya semakin terbatas. Kepentingan air bagi kehidupan manusia menempatkan air secara budaya maupun politik lekat menjadi sebuah ideologi, oleh karena itu akses terhadap air beralih menjadi sebuah pertarungan baik diruang gagasan maupun diruang praktikal. Ribot dan Peluso (2003) mengartikan akses sebagai kemampuan untuk menghasilkan keuntungan dari sesuatu, baik objek material, perorangan, institusi, maupun simbol. Kemampuan memiliki arti lebih luas pada hubungan sosial yang penting dan mendesak yang memungkinkan untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa hubungan properti semata. Ribot dan Peluso (2003) melihat ada semacam jaringan akses yang dapat dipakai untuk memetakan perubahan sosial dan hubungan akses dengan sumberdaya sehingga konsep ini memungkinkan menganalisa siapa yang sebenarnya memperoleh keuntungan dari sesuatu, melalui proses apa keuntungan itu diperoleh, dan kapan itu dilakukan. Menganalisis sumberdaya air adalah mengeksplorasi jarak kekuatan yang berefek pada kemampuan orang-orang untuk memperoleh keuntungan dari air tersebut. Kemampuan bisa disebabkan dukungan material, kebudayaan, atau ekonomi-politik dengan ikatan dan jaringan kekuasaan yang menyusun akses sumberdaya. Sebagian besar bangsa di dunia mempercayakan pengelolaan dan pengontrolan sumberdaya air pada institusi negara. Krisis air mempertanyakan kekuatan, proses pengaturan, kontrol dan keberpihakan negara pada kepentingan
30
masyarakat. Analisa akses membantu dalam memahami mengapa beberapa orang atau institusi mendapat keuntungan dari sumber daya, apa kekuatan yang dimiliki sehingga akses itu terbuka, dan bagaimana cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh keuntungan tersebut, termasuk diantaranya hubungan properti. Ribot dan Peluso (2003), membedakan teori akses dengan teori properti. Akses lebih kepada kemampuan, sedangkan properti pada kepemilikan. Perbedaan keduanya menarik untuk didalami karena berfungsi mendudukkan sumberdaya air agak berbeda dengan sumberdaya lain seperti lahan atau hutan. Akses terhadap lahan sangat ditentukan oleh properti pada pemilikan yang berhubungan dengan dokumen dan dalam penggunaan sehari-hari dibatasi oleh atribut hukum, adat atau konvensi. Akses seperti ini dikenal sebagai akses legal, secara tidak langsung menyatakan keterlibatan komunitas, pengusaha, atau negara dengan kepemilikan yang dilegitimasi. Aksesnya mempunyai peluang konflik ketika aktor sama-sama mengklaim suatu sumberdaya atau barang yang sama. Hasil studi tentang konservasi hutan (Adiwibowo, 2005) dan peristiwa-peristiwa konflik agraria terbesar berada pada ranah ini. Inti persoalan cenderung pada kekuatan kepemilikannya, bukan semata pada pemanfaatannya. Pertarungan antar aktor seyogianya dikembalikan pada prinsip keadilan lewat persepsi terhadap kelembagaan atau aturan UU yang berkekuatan hukum. Ada pula akses ilegal, bentuk akses langsung yang diberikan berdasarkan sanksi hukum, adat istiadat, dan konvensi. Akses ini mengarah pada perolehan keuntungan dari sesuatu dengan cara yang secara sosial tidak diberikan sanksi oleh negara maupun masyarakat. Akses ilegal beroperasi melalui koersif dan secara diam-diam, pembentukan hubungan antar aktor berusaha mendapatkan penambahan, pengendalian, dan mempertahankan akses. Kemampuan merupakan unsur yang lebih menentukan akses aktor terhadap sumberdaya air. Akses terhadap sumberdaya air diatur secara tidak berbeda dengan sumberdaya lahan, dimana proverti dijadikan acuan dasar mengelola dan mengontrol sumber d aya. Akses terhadap air melekat pada kekuatan legalitas penguasaan lahan, dimana air terpaut di dalamnya (terutama air tanah atau lahan yang didalamnya terdapat mata air). Akses terhadap sumber air pada satu luasan lahan menentukan ketersediaan air pada lahan sekitarnya, bahkan tidak jarang mempengaruhi lintas daerah atau negara (Dharmawan, 2005; Pasandaran, 2006). Air merupakan sumberdaya bersama (common pool resource) sehingga tidak diatur pelarangan atau penggunaannya. Alasan tidak adanya pengaturan karena biaya pengaturan untuk sumberdaya bersama dinilai terlalu besar. Meski demikian perlu disadari bahwa perolehan manfaat air oleh satu pihak menyebabkan pengurangan manfaat bagi orang lain. Artinya, dalam situasi krisis atau aman, selalu ada persaingan (rivalness) dalam pemanfaatan sumberdaya air. Menurut Ribot dan Peluso (2003), kemampuan atau kekuasaan dibatasi oleh dua hal yaitu kapasitas aktor yang mampu mempengaruhi praktis dan ide pihak lain dan kekuasaan yang muncul melalui hubungan sosial. Keduanya memandang kekuasaan menyatu dengan hubungan dan bisa timbul dari aliran dengan cara dikehendaki maupun tidak dikehendaki sebagai efek dari hubungan sosial. Akses seperti halnya properti selalu berubah, tergantung pada posisi individu dan kelompok serta kekuasaan dengan variasi hubungan sosial. Peluso menguatkan pernyataan bahwa properti seharusnya direpresentasikan sebagai ikatan kekuasaan yang menjadi tanda dalam jaringan besar. Menempatkan
31
ekonomi-politik akan membantu dalam memahami identifikasi dasar orang atau pihak mana yang bisa mengambil keuntungan dari sumberdaya dan mana yang tidak. Aspek ekonomi-politik dalam konsep Ribot dan Peluso menjadi nyata ketika memisahkan tindakan sosial kedalam pengendalian dan mempertahankan akses. Pengendalian akses adalah kemampuan untuk memediasi akses lainnya dan mengarah pada pemeriksaan dan pengawasan tindakan, fungsi atau kekuatan yang mengawasi dan mengatur tindakan. Mempertahankan akses juga memerlukan kekuasaan untuk menjaga sebagian sumberdaya yang terbuka, seperti halnya air. Baik pengendalian maupun mempertahankan merupakan dua hal yang saling melengkapi dan membentuk hubungan diantara aktor dalam kaitannya terhadap sumberdaya, menejemen, dan penggunaan air. Disaat yang sama, makna dan nilai sumberdaya menyangga antara siapa yang mengendalikan dan siapa yang mempertahankan akses. Pemikiran ini memiliki kesamaan dengan ide Marx mengenai hubungan buruh yang mempertahankan akses dengan pemilik modal yang mengendalikan atau mengontrol aktor yang lain. Dengan demikian, penempatan akses dalam bingkai ekologi-politik yang menyoroti ekonomi-politik signifikan untuk menganalisa perubahan sosial. Analisa proses dalam kerangka identifikasi dan pemetaan mekanisme akses setidaknya mendalami proses penambahan, mempertahankan, dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya. Analisa akses melibatkan : (1) Identifikasi dan pemetaan aliran kepentingan sebagian keuntungan; (2) Identifikasi mekanisme perbedaan antar aktor yang melatarbelakangi penambahan, mempertahankan dan pengendalian aliran keuntungan dan distribusinya; dan (3) Analisa hubungan kekuasaan yang menegaskan mekanisme akses melibatkan darimana keuntungan didapatkan. Kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari sumberdaya air ditentukan pula oleh modal dan identitas sosial. Modal dan identitas sosial bisa diekstrak melahirkan: (1) Akses teknologi sebagai cara dalam memediasi sumberdaya dengan sejumlah cara; (2) Askes modal sebagai faktor yang bisa memediasi sumberdaya untuk mendapatkan keuntungan melalui pembelian kepemilikan, membayar sewa, biaya formal akses atau membeli pengaruh orang yang mengendalikan sumberdaya; (3) Akses pasar sebagai kemampuan untuk mengkomersilkan produk yang bisa dilakukan dalam bentuk struktur pasar, praktik tertutup, dan bentuk persekongkolan antara aktor pasar dengan pendukung kebijakan negara; (4) Akses buruh untuk mengambil peranan penting dalam keuntungan sumberdaya melalui pengambilan keuntungan tiap tahapan proses dengan mengedepankan pengetahuan yang berguna mengendalikan ideologi dan kepercayaan buruh. Ekologi politik sumberdaya air adalah kontestasi kepentingan-kepentingan aktor dalam mendapatkan manfaat dari sumberdaya tersebut. Kekuatan untuk memperjuangkan tujuan merupakan korelasi strategis antara wacana dengan kekuasaan. Wacana berfungsi membentuk suatu hegemoni untuk menunjukkan sebuah kekuasaan, sebaliknya kekuasaan berpengaruh dalam memproduksi wacana untuk membentuk ideologi sosial berdasarkan kepentingan kekuasaan itu sendiri. Artinya, wacana adalah alat untuk memperoleh dan melestarikan kekuasaan. Modernisasi misalnya, dengan wacana teknologi, peningkatan produksi dan kekuatan pasar telah menunjukkan kekuasaannya sebagai ideologi terpenting selama dua abad terakhir. Hingga kini, wacana yang bersumber dari
32
pengetahuan tentang modernisasi terus didistribusikan, menguasai pengetahuan masyarakat, diterima sebagai ideologi, dan dijalankan sebagai tindakan dari pilihan rasional. Wacana tentang modernisasi terus diproduksi untuk menghegemoni pola pikir masyarakat bahkan pemimpin negara-negara berkembang dalam rangka melestarikan kekuasaan negara maju sebagai pencetak modernisasi. Pada aras makro, negara-negara maju dengan para pengusaha internasional secara aktif mendistribusikan wacana industrialisasi yang didukung oleh teknologi modern sebagai kenderaan bagi setiap negara untuk maju. Kemudahan bantuan modal, tenaga ahli dan akses pasar dijadikan elemen taktis untuk mempengaruhi pola pikir dunia ketiga menyerahkan sumberdaya yang dimiliki untuk dikelola, dimanfaatkan dan dikontrol oleh negara maju (Samekto, 2005). Pada substansi yang tidak jauh berbeda, berlaku antara aktor didalam negara, pemerintah, pengusaha/swasta dan masyarakat yang berkepentingan memanfaatkan sumberdaya alam masuk dalam suatu jejaring dimana kerap terjadi hubungan kekuasaan yang tidak setara. Aktor yang menguasai pengetahuan, memiliki wacana yang mampu mempengaruhi pola pikir aktor lain untuk menerima wacana tersebut, atau memiliki kekuasaan. Aktor akan terus aktif memproduksi wacanawacana yang menghegemoni aktor lain untuk menerima ideologi yang didistribusikan, tujuannya adalah melestarikan kekuasaan. Efektifnya wacana dan pengetahuan berfungsi sebagai elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan sehingga dapat dikategorikan sebagai kajian strategis dan politis (Foucault, 1980). Wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah kajian strategis, pengertian wacana dan kekuasaan bisa dilakukan oleh semua aktor, tidak terbatas oleh pemerintahan atau negara. Melalui wacana , sebuah kekuasaan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat dan ditujukan untuk membangun sebuah dominasi dan pelestarian kekuasaan. Faucoult (1980) menganggap seluruh wacana memiliki potensi strategis, tanpa membedakan wacana dominan atau termarginalkan, wacana yang diterima secara sosial atau ditolak atau dengan kata lain pengkelasan wacana. Wacana yang didistribusikan secara sosial ke tengah masyarakat membawa beragam ideologi yang tujuannya mempengaruhi masyarakat. Pada tingkat lapangan, wacana pentingnya minuman air dalam kemasan sebagai air yang sehat dan higienis dan terus didistribusikan lewat iklan media cetak dan elektronik, bahkan lewat momentum-momentum penting bagi tokoh-tokoh masyarakat dan khalayak telah menghegemoni masyarakat, sehingga semua pihak yang ingin hidup sehat minum air dalam kemasan. Kuasa wacana tentang minuman sehat dan higienis terus diproduksi dan dikembangkan dalam rangka mempertahankan bahkan mengembangkan kekuasaan PT Danone dalam mengeksploitasi sumberdaya air. Di negara dunia ketiga, perubahan lingkungan terkait perubahan mata pencaharian tiap aktor yang berarti menandakan penciptaan kekayaan untuk beberapa aktor dan pemiskinan untuk aktor lain (Bryant dan Bailey, 1997). Kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya ditentukan oleh peran tiap aktor yang terlibat dengan kekuasaan. Dalam tulisannya berjudul “Power, Knowledge and Political Ecology : A Review, proses-proses “the Politics of environmental Knowledge Reproduction disebut, bersumberkan pada dua
33
sistem masyarakat dengan pada lapisan sosial yang berbeda. Reproduksi pengetahuan (yang berimplikasi pada reproduksi penguasaan lingkungan) tercipta karena ada konflik politik ekologi antara dua lapisan sosial masyarakat, pertama elit politik dan ekonomi yang memiliki kekuasaan untuk menjustifikasi kebijakan yang dianggap jauh lebih baik dan kedua adalah kelompok subordinat (masyarakat lokal, kelompok miskin) yang melawan kelompok elit melalui budaya resisten. Ilmu seringkali digunakan sebagai instrument untuk mendukung kebijakan politik lingkungan. Pada negara berkembang terdapat aliansi antara negara dan kaum industri dimana demi pertumbuhan industri mengeksploitasi sumberdaya alam. Negara menggunakan kekuasaan politik legal untuk memberi akses istimewa kepada pengusaha berkenaan dengan sumberdaya lingkungan, pengusaha akan memberikan keuntungan finansial dan pengetahuan teknis yang “efisien” untuk mengelola, memanfaatkan, dan memasarkan sumberdaya lingkungan. Adakalanya penguasaan sumberdaya alam oleh kelas dominan diwarnai hegemoni, dimana kelas bawah secara aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui penguasaan basis pikiran, kemampuan kritis, kemampuan afektif melalui konsensus serta bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan yang biasanya diduduki oleh pemerintah atau kapitalis dan atau aliansi keduanya. Pada situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas masyarakat dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni. Pandangan dibangun di atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Galtung (1975) memandang hubungan yang tidak seimbang antar kelas dalam memanfaatkan sumberdaya alam sebagai bentuk imperialisme yang dilakukan oleh negara maju sebagai inti (centre) terhadap negara berkembang sebagai plasma (periphery). Imperialisme bisa terjadi dalam berbagai aspek seperti ekonomi, politik, komunikasi, militer, dan aspek kultural. Inti dan plasma berbagi kepentingan yang sama namun dengan akses dan proporsi yang berbeda terhadap sumberdaya yang sama. Ketidaksinkronan (disinkronisasi) akses terhadap sumberdaya atau kepentingan yang sama disebut disharmoni kepentingan dan terjadi karena perbedaan kekuasaan dan kekuatan. Interaksi antara inti dengan plasma memiliki peluang menghasilkan bentuk hubungan sebagai berikut: 1. Hubungan harmonis, apabila keduanya berbagi kepentingan yang sama (harmony of interest) dan berbagi keuntungan secara proporsional dari sumberdaya yang dikelola atau dieksploitasi bersama, baik berupa keuntungan ekonomi (economic profit) maupun keuntungan non-finansil (sosial benefit). 2. Hubungan disharmonis apabila pusat dan periferi berbagi kepentingan yang sama namun dengan pembagian keuntungan yang tidak sinkron (disharmony of interest). Disinkronisasi kepentingan Inti dengan Plasma disebabkan oleh kesenjangan akses terhadap sumberdaya yang sama yang digambarkan dalam bentuk perbedaan tidak proporsional dalam hal kewenangan, posisi struktural,
34
remunerasi, dan pemanfaatan sumberdaya yang sama. Semakin jauh perbedaan proporsi keuntungan yang diperoleh kedua inti tersebut, semakin lebar pula rumpang disinkronisasi kepentingan tersebut. 3. Hubungan negatif atau konflik apabila terdapat perbedaan kepentingan antara pusat dan periphery dalam mengelola sumberdaya yang sama dalam suatu sistem organisasi sehingga menimbulkan pertentangan dan konflik sosial dalam sistem tersebut. PLASMA INTI
Perusahaan Air Minum dan keuangan Internasional
DISHARMON
Periphery
INTI
DISHARMONI HARMON PLASMA
PDAM/subak
INTI
DISHARMON
(PERIPHERY) INTI Periphery
Garis lurus: menunjukkan hubungan harmonis (harmony of interest). Garis putus-putus: menunjukkan hubungan disharmonis (disharmony of interest).
Gambar 1. Hubungan Struktural Hipotetis Organisasi Sumberdaya Air Menurut Kerangka Berfikir Galtung Kelompok inti, merupakan gabungan lembaga keilmuan dan perusahaan asing yaitu kelompok yang mampu menciptakan dan menerapkan teknologi terkait eksploitasi, pengelolaan, pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya air menjadi produk bernilai ekonomi tinggi. Di sisi lain, organisasi periphery memanfaatkan air untuk menghasilkan bahan pangan yang bernilai ekonomi rendah. Agar terjadi proses pertukaran materi dan pemanfaatan yang diatur dalam undang-undang diperlukan bentuk hubungan pusat-periphery yang mengandung harmony of interest antara organisasi inti (lembaga asing) dengan organisasi periphery (lembaga lokal dan nasional). Hubungan harmoni tersebut menghubungkan organisasi inti di pusat dengan organisasi inti di periphery. Seluruh aliran informasi dan transaksi yang melalui garis harmoni merupakan garis kerjasama yang menguntungkan bagi kedua inti kelompok tersebut.
35
Hubungan kedua sistem organisasi tersebut berurusan dengan sumberdaya alam yang sama. Secara teoritis, harmony of interest antara pihak organisasi inti di periferi dengan inti pihak negara maju harus memberikan pembagian keuntungan yang seimbang atau proporsional. Akan tetapi sepanjang garis harmoni terdapat berbagai celah yang dapat menguntungkan salah satu kelompok, terutama bagi kelompok yang memiliki kekuatan finansil dan pengaruh politik global yang lebih kuat. Arena Konflik Sumberdaya Air Lahirnya konflik sumberdaya air merupakan siklus yang rumit dan sulit dicari ujungnya. Sejarah pengelolaan dan pemanfaatan air yang terakumulasi dalam kelembagaan pengairan, dimana bentuk dan fungsinya cepat atau lambat berkembang menyesuaikan dengan lingkungan strategisnya. Identifikasi penyebab konflik menunjukkan penyebab munculnya konflik. Sumberdaya yang semakin langka dengan sistem distribusi manfaat dan keuntungan yang tidak adil memperkuat wujud konflik. Penelusuran arena konflik sumberdaya air menunjukkan konflik terjadi pada berbagai level yaitu: 1. Konflik kelas yang terjadi pada aras mikro, tidak semata-mata ditentukan oleh kepemilikan alat produksi seperti lahan, tetapi dipengaruhi oleh otoritas yang melekat pada posisi seseorang. Awig-awig atau perarem yaitu peraturan yang diberlakukan pada lembaga subak, memberikan wewenang distribusi air pada malam hari kepada kelian subak. Ini membuat hubungan kedekatan dengan pemimpin mempengaruhi kemampuan mengakses air 2. Konflik sistem pengetahuan dan kuasa terjadi di semua aras. Arena konflik pada tingkat penyusunan kebijakan merupakan pertarungan pengetahuan dan kuasa antara aktor negara, kapitalis dan grassroots (seringkali bersama LSM) yang mempercayakan aspirasinya lewat badan legislatif. Secara merayap pertarungan ini juga terjadi pada aras mikro antara anggota dan pengurus subak, pemerintah desa adat maupun desa dinas. 3. Konflik interest politik terjadi pada aras meso khususnya pemerintah daerah (dengan atau tanpa intervensi pusat). Politik pembangunan daerah mendorong pemerintah setempat membuat skala prioritas yang tidak lepas dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Pilihan politik menentukan dan ditentukan regim yang berkuasa dengan pengetahuan yang dianut. Prioritas pariwisata dengan regim kapitalis di provinsi Bali kini telah mendominasi regim organik sehingga meluruhkan pengetahuan lokal dan ikatan-ikatan subak sebagai modal sosial masyarakat yang otomatis menyingkirkan pertanian pangan. 4. Konflik ekonomi terjadi pada semua aras dimana terjadi pertarungan ekonomi kapitalis dengan ekonomi kerakyatan hasil kemasan budaya dan kelembagaan lokal.
36
Kerangka Pemikiran Memahami konflik sumberdaya air dalam perspektif ekologi politik dapat ditelusuri dari pertarungan antara aktor mulai dari ruang gagasan sebagai pertarungan ilmu dan kekuasaan dalam pengertian proses penentu aktor mana yang berkuasa beserta dengan regim, ideologi, dan kepentingan yang dibawanya. Selanjutnya, pertarungan kemampuan mengakses sumberdaya air (menggunakan teori actor Bryant dan Bailey dengan teori akses Ribbot dan Peluso) yang pada hakekatnya menentukan siapa yang memperoleh keuntungan dan siapa yang menanggung kerugian. Kekuasaan dan akses mendapatkan pembenaran karena didukung oleh hukum-hukum, undang-undang, atau aturan legal lainnya. Tanpa kontrol yang kuat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya membuka peluang terjadinya krisis ekologi dan krisis air. Dampaknya tidak saja untuk kepentingan generasi yang hidup saat ini, tetapi bisa mengancam keberlanjutan kebutuhan generasi masa depan. Pertarungan diruang gagasan dengan memproduksi wacana-wacana hakekatnya sudah sarat dengan konflik. Pertarungan diruang akses memanifestasikan konflik secara lebih nyata dimana peran otoritas menjadi sangat dominan. Namun demikian, krisis air melengkapi konflik sebagai bentuk pertarungan antar aktor sebagai perwakilan lembaga maupun aktualisasi dari otoritas yang dimiliki berdasarkan posisinya yang bisa merusak integritas sosial (Dahrendorf, 1963). Sejalan dengan pertarungan yang memunculkan dominasi antar aktor sesungguhnya berlangsung proses sosial berupa interaksi antar aktor yang membangun jejaring dengan beragam simpul dan rangkaian pengikat. Kedekatan dan kekuatan jejaring pengikat memberi sumbangan besar dalam kekuatan pertarungan dan akses sumberdaya. Realitas konflik menyebabkan terjadinya perubahan pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air. Konflik multi dimensi yang bisa terjadi antar petani pengguna air, antar lembaga pengairan pertanian, antar wilayah sepanjang lintasan air atau satu sumber air, bahkan antar aktor yang berkuasa mengakses dan memanfaatkannya secara maksimal dengan aktor yang tersubordinasi dan termarginalkan. Pada akhirnya mengancam ketahanan pangan daerah maupun nasional. Secara sederhana, kerangka pikir ini bisa digambarkan seperti di bawah ini.
37
Aktor dengan ideologi dan kepentingan
Negara Pusat dan Daerah
Swasta
– Regim berkuasa – Politik ekologi dan ekonomi
Lembaga Internasional
Krisis Air
NGO
Masyarakat/ subak
– Lingkungan – Biofisik – Pertumbuhan penduduk
Konflik
Antar petani (internal subak)
Antar wilayah subak (hulu & hilir)
Antar sektor pertanian & non pertanian)
Antar aktor (kepentingan yang berbeda)
Antar level (desa dan supra desa)
Peluruhan Subak dan Ancaman Ketersediaan Pangan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Krisis air rentan memunculkan konflik yang bersifat vertikal maupun horizontal dan potensial menimbulkan disintegrasi. Hubungan antara pusat dan periphery merupakan hubungan kooptasi yang tidak harmonis (kecuali hubungan antara centre of centre dengan centre of periphery). Demikian halnya pada internal periphery yang terdiri dari centre of periphery dengan periphery of pheriphery terhubung konflik dalam hubungan yang tidak seimbang. Berdasarkan kekuatan produk hukum masing-masing level, kaum pengusaha melakukan pendekatan memakai modal kapital dan pengetahuan ekonomi modernnya memperjuangkan akses dan keuntungan atas sumberdaya air. Pada internal subak sendiri muncul beragam konflik terkait perebutan air. Otoritas pengurus terhadap anggota subak, atau pemerintah atas desa terhadap desa dan subak merupakan konflik yang terbangun akibat posisi masing-masing aktor dalam struktur yang ada.
38
Konflik Sumberdaya Air
Wacana/ pengetahuan
Ruang gagasan (konflik wacana)
CC PC
Biaya, teknologi dan keuntungan
Ruang akses (konflik otoritas)
cP neg
pP subak Keterangan : Hub disharmonis Hub harmonis
Gambar 3. Arena Konflik Sumberdaya Air
Perjuangan dalam pertarungan kepentingan terhadap sumberdaya air, setiap aktor secara formal maupun informal membangun jejaring. Hubungan tiap simpul (aktor) dirangkai atau diikat oleh beragam unsur seperti kuasa (power), kepentingan (interest) maupun emosi (emotion). Desa, wilayah dimana komunitas atau petani berada merupakan pemilik sumberdaya yang dipertarungkan sehingga semua aktor yang terlibat berusaha membangun jejaring dengan aktor ini melalui beragam ikatan. Antar level birokrasi didominasi oleh ikatan kuasa level atas terhadap level bawah yang kerap mengandung unsur koersif.