7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Kering Terminologi lahan kering memiliki beberapa pengertian, di dunia internasional ada yang menyebut dengan istilah: dryland, upland, dan unirrigated land. Menurut World Atlas desertification, dryland adalah zona iklim dengan rasio P/ETp antara 0,05 - 0,65 yang berada pada daerah arid, semi-arid dan dry sub-humid (Dregne, 2002). Literatur lain menyatakan bahwa dryland adalah daerah dengan presipitasi tahunan kurang dari 250 mm. Upland adalah keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar (bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah alamiah lain), sedangkan Unirrigated land adalah lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan atau juga lahan yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Pengertian “lahan kering” di Indonesia umumnya sama dengan pengertian upland dan unirrigated land ini (Notohadiprawiro, 1989). 2.2. Degradasi Lahan Barrow (1991) mendefinisikan degradasi lahan sebagai hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi lahan untuk mendukung kehidupan. Kehilangan atau berkurangnya fungsi tersebut tidak dapat digantikan oleh yang lain (Sitorus, 2009). Menurut UN/FAO dalam Stocking dan Murnaghan (2000), degradasi lahan adalah kemunduran permanen atau sementara kapasitas produktif suatu
lahan.
Penurunan
produktifitas
tersebut
termasuk
penggunaan-
penggunaannya (pertanian, padang penggembalaan, hutan, dll), sistem usaha taninya, dan nilai ekonomis dari lahan tersebut. Penurunan produktivitas ini dapat disebabkan oleh perubahan secara alami maupun buatan, seperti hard-setting, laterization, leaching, compaction, crusting, erosi, penurunan keanekaragaman hayati tanah, penurunan kandungan hara, penurunan karbon organik tanah, dan lain sebagainya, sehingga kemudian dikenal dua golongan degradasi yaitu, degradasi geologi atau yang terjadi secara alami dan degradasi dipercepat atau degradasi yang disebabkan karena pengaruh aktivitas manusia (Lal et al., 1998; ESCWA, 2007). Degradasi karena pengaruh
8
aktivitas manusia ini lebih disebabkan karena penggunaan lahan yang kurang tepat sehingga mengakibatkan produktivitas lahan menjadi menurun dengan lebih cepat dan menuju pada keadaan yang disebut kritis. Lahan kritis merupakan istilah spesifik yang digunakan di Indonesia, dimana istilah ini lebih spesifik digunakan untuk mengkaji degradasi lahan non-alamiah atau akibat pengaruh adanya campur tangan manusia. 2.3. Lahan Kritis Lahan kritis menurut hasil Simposium Pencegahan dan Pemulihan Lahan kritis pada Tahun 1975, didefinisikan sebagai tanah yang karena tidak sesuai dengan penggunaan dan kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya (Subardja, 1994). Menurut Departemen Kuhutanan, lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian yang baik, dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi < 25%, topografi dengan kemiringan > 15% dan atau ditandai dengan adanya gejala erosi lembar dan erosi parit (Kurnia, et al., 1997). Menurut Departemen Pertanian, lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan atau penggunaan yang tidak atau kurang memperhatikan kaidahkaidah konservasi tanah (Sitorus, 2004). Menurut Notohadiprawiro (1996), kekritisan lahan pada mulanya dapat menyangkut salah satu atau beberapa faktor lahan, seperti iklim, tanah, topografi, flora dan fauna, atau beberapa di antaranya sekaligus. Akan tetapi oleh karena faktor-faktor lahan berada dalam ikatan sistem, kekritisan salah satu faktor lambat laun dapat menjalar ke faktor yang lain. Iklim merupakan faktor pembentuk tanah, menentukan ketersediaan air dan mempengaruhi kehidupan flora dan fauna. Oleh karena itu, kekritisan iklim bisa menggandeng kekritisan tanah, flora dan fauna. Selanjutnya karena adanya intervensi manusia, dengan terjadinya penggunaan lahan di atas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan, sering akan menyebabkan kerusakan
9
lahan. Misalnya lahan di daerah hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor. Perubahan tutupan vegetasi permanen (hutan) karena perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan (deforestation) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan yang disebabkan erosi tidak hanya dirasakan di bagian hulu (on site) saja, akan tetapi juga berpengaruh dibagian hilir (off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya lahan kritis. Di bagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat terjadinya banjir dimusim penghujan, dan terjadi kekeringan dimusim kemarau. Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidakberlanjutan kegiatan usahatani di wilayah hulu. Erosi yang intensif di lahan pertanian menyebabkan semakin menurunnya produktivitas lahan karena hilangnya lapisan tanah bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan cadas yang keras. Penurunan produktivitas lahan secara langsung akan diikuti oleh penurunan pendapatan
petani
dan
kesejahteraan
petani.
Disamping
menyebabkan
ketidakberlanjutan usahatani di wilayah hulu, kegiatan usahatani tersebut juga menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan di wilayah hilir, yang akan menyebabkan ketidakberlanjutan beberapa kegiatan usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan sedimen, dan kerusakan sarana irigasi. Istilah kritis dapat mengandung berbagai makna, dalam Sitorus (2004) setidaknya ada tiga makna lahan kritis, yaitu kritis yang berkaitan dengan keadaan fisik kimianya, kritis secara sosial ekonomi dan kritis secara hidro-orologis. Pada lahan ini terdapat satu atau lebih faktor penghambat yang kurang mendukung dalam usaha-usaha pemanfaatan untuk kegiatan pertanian. Pada umumnya pengertian kritis dalam hal ini diasosiasikan dengan kerusakan yang dialami
10
sebidang lahan sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan atau tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman dengan normal. 2.3.1. Kritis Secara Fisik Kimia Lahan yang termasuk kelompok kritis secara fisik adalah lahan yang secara fisik telah mengalami kerusakan. Ciri yang menonjol yang dapat dilihat di lapangan dari lahan-lahan kritis secara fisik adalah tanah-tanah yang mempunyai salah satu atau kombinasi dari kondisi berikut: (a) Tanah mempunyai kedalaman efektif yang dangkal atau pada kedalaman tanah tersebut terdapat berbagai lapisan penghambat pertumbuhan tanaman, seperti adanya lapisan gambut tebal, lapisan pasir, lapisan kerikil, lapisan batuan, akumulasi garam atau lapisan penghambat lainnya; (b) Pada bagian tertentu atau keseluruhan dapat terlihat adanya lapisan padas yang sudah kelihatan di permukaan tanah; (c) Adanya batuan atau pasir atau abu yang melapisi tanah sebagai akibat letusan gunung, banjir bandang ataupun bencana alam lainnya. Lahan yang termasuk ke dalam kelompok lahan kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan keracunan/ toksisitasnya tidak lagi dapat memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman apabila lahan tersebut diusahakan sebagai areal pertanian. Lahan yang tergolong kritis secara kimia termasuk juga tanah-tanah dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah sebagai akibat sangat rendahnya penyediaan unsur hara dari cadangan mineral tanah ataupun sebagai akibat pencucian unsur hara yang terjadi secara berlebihan. Karakteristik yang dapat diamati di lapangan dari lahan kritis secara kimia adalah salah satu atau kombinasi dari beberapa kondisi berikut: (a) Lahan menunjukkan gejala penurunan produktivitas atau menghasilkan produksi yang sangat rendah; (b) Adanya gejala-gejala keracunan pada tanaman-tanaman sebagai akibat akumulasi racun dan/atau garam-garam dalam tanah; (c) Adanya gejala-gejala defisiensi unsur hara pada tanaman yang tumbuh di atasnya. Kualitas tanah pada lereng atas mempunyai kualitas tanah terburuk dibanding tanah di lereng bawahnya karena telah tergerusnya lapisan atas tanah yang menyebabkan hilangnya unsur-unsur hara tanah. Ciri umum usaha tani tanaman semusim pada lahan kering adalah sering tanah menjadi terbuka karena proses pengolahan tanah
11
dan penyiangan, sehingga ketika turun hujan butirannya akan langsung mengenai permukaan tanah dan kemudian memperbesar laju aliran permukaan serta percepatan proses dispersi dan erosi. Proses ini berakibat pada menipisnya lapisan atas tanah, sehingga terjadi penurunan produktivitas tanah karena hilangnya sumber hara bersama tanah yang tererosi. 2.3.2. Kritis Secara Sosial Ekonomi Yang termasuk di dalam kelompok ini adalah lahan-lahan terlantar sebagai akibat adanya salah satu atau kombinasi dari beberapa faktor sosial ekonomi sebagai kendala dalam usaha-usaha pendayagunaan lahan tersebut. Termasuk dalam pengertian lahan kritis secara sosial ekonomi ini adalah lahan yang sebenarnya masih berpotensi untuk dapat digunakan bagi usaha pertanian dengan tingkat kesuburan yang relatif baik, tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi (misalnya sengketa pemilikan lahan, sulitnya pemasaran hasil atau harga produksi yang sangat rendah), maka lahan tersebut ditinggalkan oleh penggarapnya sehingga menjadi terlantar baik sebagai padang alang-alang maupun sebagai semak belukar. 2.3.3. Kritis Secara Hidro-orologis Lahan kritis secara hidro-orologis merupakan lahan yang keadaannya sedemikian rupa dimana tanahnya tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagai pengatur tata air. Hal ini terjadi karena terganggunya kemampuan lahan untuk menahan, menyerap dan menyimpan air. Keadaan ini sebenarnya berhubungan erat dengan keadaan kritis secara fisik yang dikemukakan terdahulu dan dapat merupakan akibat dari kritis secara fisik tersebut. Lahan kritis hidroorologis dapat dilihat di lapangan dari banyak sedikitnya vegetasi yang tumbuh di atas tanahnya. Sebagian besar jenis vegetasi tidak mampu lagi tumbuh dan berkembang baik pada keadaan kritis hidro-orologis ini. Lahan kritis hidroorologis ini di lapangan dapat berupa lahan-lahan gundul tanpa vegetasi penutup, atau dengan vegetasi penutup dalam jumlah yang sedikit, atau terbatasnya jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya. Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan (2007), mengidenfikasikan bahwa laju deforestasi antara tahun 2000 – 2005 sebesar 1,08 juta ha/tahun. Keadaan ini telah menyebabkan terus meningkatnya
12
lahan-lahan kritis karena akibat deforestasi lahan menjadi kehilangan fungsi utamanya sebagai pengatur tata air, pengendali erosi dan siklus oksigen (Rachman, 2006). Kusmana et al. (2004), menambahkan bahwa penutupan vegetasi memegang peranan penting dalam pengaturan sistem hidrologi, terutama "efek spons" yang
dapat menyekap air hujan dan mangatur pengalirannya
sehingga mengurangi kecenderungan banjir dan menjaga aliran air dimusim kemarau. Kekritisan lahan juga dapat dinilai secara kuantitatif atau kualitatif. Ukuran kuantitatif menetapkan kekritisan berdasarkan luas lahan atau proporsi unsur lahan yang terdegradasi atau hilang. Misalnya, penipisan tubuh tanah, menunjukkan kekritisan kuantitatif lahan. Ukuran kualitatif menetapkan kekritisan menurut tingkat penurunan mutu lahan atau unsur lahan. Menurunnya produktivitas lahan, menunjukkan kekritisan kualitatif lahan. Akan tetapi ukuran kuantitatif dan kualitatif sering berkaitan. Misalnya, penipisan tubuh tanah (gejala kuantitatif) karena erosi membawa serta penurunan produktivitas tanah (gejala kualitatif) karena lapisan tanah atasan biasanya lebih produktif daripada lapisan tanah bawahan (Notohadiprawiro, 1996). 2.4. Indikator Penentu Kekritisan Lahan Degradasi lahan oleh pengaruh manusia dibagi menjadi 2 tipe besar: (1) degradasi erosif, yaitu berhubungan dengan pemindahan bahan atau material tanah seperti erosi oleh kekuatan air dan angin; dan (2) degradasi non-erosif, yaitu merupakan kerusakan atau kemunduran sifat-sifat tanah in-situ yang dapat berupa degradasi fisik dan degradasi kimia dan/atau biologi tanah (Oldeman, 1998; ESCWA, 2007; Direktorat Pengelolaan Lahan, 2009). Sementara Stocking dan Murnaghan (2000), membagi tipe-tipe degradasi lahan menjadi 9 tipe, yaitu: erosi oleh air, erosi oleh angin, penurunan kesuburan tanah, waterlogging, salinisasi, sedimentasi, penurunan muka air tanah, penutupan lahan oleh vegetasi, meningkatnya persentase batuan di permukaan dan singkapan batuan. Untuk mengidentifikasi suatu lahan masuk ke dalam tingkat atau derajat kekritisan tertentu maka diperlukan satu set indikator kunci yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kekritisan tersebut. Kosmas et al. (1999), memetakan
13
tingkat kekritisan lahan di daerah-daerah mediteran dengan indikator-indikator kunci yang digunakan untuk mengukur kelas kemampuan lahan atau indikatorindikator untuk mengukur kelas kesesuaian lahan. Indikator ini dapat digunakan untuk mendefinisikan tingkat kekritisan lahan pada skala perencanaan tingkat nasional ataupun regional yang dapat dikelompokkan kedalam 4 kategori besar yaitu: indikator kualitas tanah, indikator kualitas iklim, indikator kualitas vegetasi, dan indikator kualitas manajemen. Indikator kualitas tanah; Tanah merupakan faktor yang dominan pada ekosistem daratan, terutama pengaruhnya terhadap produksi biomassa. Degradasi akan terjadi pada suatu lahan tertentu ketika tanah tidak mampu menyediakan media perakaran, air dan hara dalam keadaan yang memadai/cukup. Kualitas ini dapat dievaluasi melalui variabel sifat-sifat atau karakteristik tanah yang dipakai dalam survei tanah secara umum seperti: kemiringan lereng, bahan induk, kedalaman efektif tanah, fragmen batuan, tekstur, struktur, drainase, bulk density, permeabilitas tanah (FAO, 2007), crusting, asidifikasi, salinisasi, dan penurunan kandungan hara (Lal et al., 1998). Penurunan kandungan hara karena tercuci atau karena uptake oleh tanaman dapat diidentifikasi melalui perubahan kandungan bahan organik tanah, pH, N, P, Al, Ca, Mg, K, Na, KTK, dan KB (FAO, 2001; van Lynden et al., 2004). Indikator kualitas iklim; Indikator kualitas iklim dapat dievaluasi melalui variabel-variabel seperti: curah hujan, aridity, dan aspek lereng. Di daerah tropis, jumlah, intensitas, dan distribusi hujan merupakan faktor yang menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran permukaan, serta tingkat kerusakan erosi yang terjadi (Arsyad, 2006). Sementara itu aridity dan aspek lereng lebih banyak dikaji pada daerah-daerah mediteran (zona arid, semi-arid, sub-humid). Indikator kualitas vegetasi; Komponen biotik dominan yang terkait dengan masalah degradasi adalah penutupan lahan oleh vegetasi. Vegetasi sangat krusial pengaruhnya terhadap kapasitas infiltrasi tanah dan aliran permukaan. Kunci indikator kualitas vegetasi terkait dengan degradasi lahan dapat dikaji melalui: resiko kebakaran dan kemampuan pemulihannya, proteksi terhadap erosi tanah, resistensi terhadap kekeringan, dan persentase penutupan lahan.
14
Indikator Kualitas manajemen; Sebidang lahan dengan penggunaan tertentu maka berkaitan dengan jenis manajemen tertentu pula. Suatu lahan akan mengalami tingkat stres tertentu tergantung pada jenis pengelolaan yang diterapkan, dimana penerapan jenis pengelolaan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, sosial, ekonomi, teknologi dan politik yang ada. Misalnya, adanya kebijakan lingkungan yang berlaku di suatu daerah memberikan dampak tertentu pada lahan dimana kebijakan tersebut diterapkan. Indikator kualitas manajemen dapat di evaluasi melalui variabel-variabel seperti: pengunaan lahan, overgrazing, penerapan teras, dan resiko kebakaran. Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, dalam kriterianya menambahkan bahwa manajemen dapat dievaluasi melalui kualitas penerapan teknologi konservasi tanahnya seperti: adanya tata batas kawasan, adanya pengamanan, dan adanya penyuluhan. 2.5.
Pengembangan Perangkat dan Metode untuk Identifikasi Kekritisan Lahan Sejak dicetuskannya istilah kahan kritis dalam Simposium Pencegahan dan
Pemulihan Lahan kritis pada Tahun 1975, maka sejak saat itu pula lembaga/instansi pemerintah terkait mulai melakukan upaya-upaya untuk pengendaliannya, termasuk upaya pengembangan perangkat dan metode untuk identifikasi kekritisan lahan. Upaya-upaya tersebut tentunya bukan tanpa kendala, hal ini disebabkan karena masih terdapatnya perbedaan pendapat terkait isitilah/definisi lahan kritis, metode penentu lahan kritis, dan prioritas penanganannya. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, Tahun 1985, menggunakan kriteria lahan kritis untuk kepentingan reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis yang berada di dalam kawasan hutan di daerah aliran sungai/DAS. Selanjutnya Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan, Ditjen Tanaman Pangan, Deptan, Tahun 1991, juga memiliki kriteria lahan kritis dengan parameter-parameternya yang berbeda. Dalam penilaian lahan kritis Pusat Penelitian Tanah, Tahun 1997, menggunakan penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan, dan kedalaman tanah (solum) sebagai indikator penentu (Kurnia et al., 2007). Pada
15
Tahun 1997, Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, juga membuat kriteria baru untuk menetapkan lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kawasan hutan lindung, dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup, dalam PP No 150 Tahun 2000, pengklasifikasian kekritisan tanah di lahan kering dilakukan dengan menentukan baku mutu ambang kekritisannya. Selanjutnya pada Tahun 2007 balai penelitian tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, mengeluarkan kriteria untuk mengukur tingkat degradasi lahan yang diberi nama bakumutu parameter degradasi lahan dan kriteria lahan terdegradasi. Sejauh ini, penetapan variabel-variabel penentu kekritisan lahan, pengkriteriaan, dan penentuan kelas kekritisannya, masih bersifat subyektif, dimana hanya didasarkan pada suatu kesepakatan-kesepakatan atau judgment pakar yang selanjutnya ditetapkan dalam suatu forum diskusi atau pertemuanpertemuan ilmiah. Jadi, selama ini belum dilakukan penetapan-penetapan yang melibatkan pertimbangan dari hasil analisis statistik, sebelum selanjutnya dibuat ketetapan-ketetapan untuk menyusun kriteria. Dewasa ini perangkat statistik adalah merupakan metode yang populer dan dipercaya untuk membantu peneliti dalam mendeskripsikan dan mengambil kesimpulan ilmiah dari suatu fakta atau fenomena. Masalah lahan kritis merupakan fenomena yang sangat kompleks dan rumit untuk dipercahkan, oleh karena itu penterjemahan masalah kedalam bentuk yang lebih sederhana yang bisa dimengerti tentu membutuhkan suatu alat bantu yang lebih dari hanya sekedar kesepakatan atau judgment yang sangat subyektif. Penetapan yang terlalu subyektif dapat menjerumuskan pada penyimpulan fenomena yang jauh berbeda dari fakta, sehingga sangat masuk akal jika kriteria dan data tentang lahan kritis hingga saat ini masih menjadi hal yang belum pasti. Manusia mungkin mempunyai keterbatasan ketika dihadapkan pada karakteristik yang sangat beragam di lapangan. Menjadi sangat sulit untuk mengidentifikasi bagaimana hubungan antar variabel yang terjadi, variabel-variabel apa saja yang paling dominan berpengaruh, bagaimana perbedaan antar kelompok yang terjadi atas obyek yang diteliti, dan sebagainya. Pada kondisi ini alat bantu statistik sangat
16
bisa diandalkan, sehingga keputusan akhir yang diambil menjadi lebih obyektif dan mendekati kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, dalam pengembangan kriteria lahan kritis, selain didasarkan pada pertimbangan atau judgment dari pakar maka penyusunan kriteria dengan menambahkan pertimbangan dari hasil analisis statistik menjadi perlu untuk dilakukan. Selain dari pada itu, upaya ini dapat ditempuh dalam rangka mereduksi perbedaan dan silang pendapat yang terjadi antar pakar, sehingga dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang lebih baik dalam ketidakpastian. 2.6. Kriteria dan Klasifikasi Lahan Kritis Beberapa kriteria dan klasifikasi kekritisan lahan yang ada di Indonesia diuraikan sebagai berikut: Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan Tahun 1997, menggolongkan tingkat kekritisan lahan kedalam lima kelompok, yaitu : (1) Tidak kritis; (2) Potensial kritis; (3) Agak kritis; (4) Kritis; dan (5) Sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada variabel-variabel: kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat erosi, penutupan oleh batuan, tingkat pengelolaan (manajemen) dan produktivitas lahan. Kriteria penetapan lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat RKT, Departemen Kehutanan, dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 1997 dan Balai penelitian tanah Tahun 2007, mengelompokkan lahan kritis atau lahan terdegradasi atas empat tingkat kekritisan lahan, yaitu: (1) Potensial kritis; (2) Semi kritis; (3) Kritis; dan (4) Sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada variabelvariabel: kondisi penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan dan kedalaman tanah. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Kementerian Lingkungan Hidup menyebut lahan kritis sebagai tanah rusak (Firmansyah et al., 2008). Menurut PP No 150 Tahun 2000, pengklasifikasian kekritisan tanah di lahan kering dilakukan dengan menentukan baku mutu ambang kekritisannya. Kriteria ini ditujukan untuk pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Penilaian kekritisan lahan tersebut didasarkan pada parameter
17
ketebalan solum, kebatuan permukaan, komposisi fraksi, berat isi, porositas total, derajat pelulusan air, pH, DHL, redoks, dan jumlah mikroba. Lebih rinci kriteria ambang kritis dapat dilihat pada Lampiran 5. Sementara itu dalam Sitorus (2004) mengemukakan, ditinjau dari aspek kerusakan fisik, lahan kritis dapat digolongkan atas empat kelompok, yaitu : (1) Lahan potensial kritis; (2) Lahan semi/hampir kritis; (3) Lahan kritis; dan (4) Lahan sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kerusakan, ditinjau dari variabel-variabel: tingkat erosi, kedalaman efektif tanah, penutupan tanaman, topografi dan kesuburan tanah. Lahan potensial kritis, adalah lahan yang masih/kurang produktif bila diusahakan untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan, akan tetapi apabila pengelolaanya tidak didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan semi kritis atau kritis. Lahan potensial kritis di lapangan dapat dicirikan dengan keadaan sebagai berikut: (a) Pada lahan belum terjadi erosi atau mulai terjadi erosi ringan, namun karena keadaan topografinya bergelombang dan pengusahaan lahan yang kurang tepat, maka erosi dapat terjadi terutama apabila dalam pemanfaatannya tidak disertai dengan kegiatan-kegiatan pencegahan erosi dan tindakan konservasi tanah lainnya. Misalnya, hutan yang baru dibuka; (b) Tanah mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam, lapisan atas (top soil) lebih dari 20 cm; (c) Persentase penutupan tanah relatif masih tinggi (vegetasi rapat); (d) Mempunyai kemiringan lereng datar sampai berbukit; dan (e) Tingkat kesuburan tanah rendah sampai tinggi. Tindakan-tindakan konservasi tanah yang dilakukan di sini pada dasarnya bertujuan untuk pencegahan erosi. Menurut Notohadiprawiro (1996), lahan dapat pula bersifat kritis secara potensial ditinjau dari aspek geografi. Nisbah luas lahan terhadap jumlah penduduk yang terlalu kecil merupakan keadaan yang kritis karena dapat mengimbas pada penggunaan lahan yang eksploratif. Pada gilirannya, penggunaan lahan yang eksploratif akan menjurus ke perusakan keadaan biofisik lahan. Kekritisan semacam ini terjadi di kawasan pertanian sebagai akibat penggusuran lahan pertanian produktif. Penggusuran ini, disamping mengimbas kekritisan lahan setempat, juga memunculkan kekritisan lahan di tempat-tempat lain.
18
Peristiwa yang terjadi di Indonesia memberikan contoh jelas. Kehilangan lahan produktif di Jawa jarang yang dapat diganti dengan pembukaan lahan baru di luar Jawa yang tingkat produktivitasnya sebanding. Lahan baru yang dibuka terpaksa dikerjakan secara lebih intensif untuk dapat mengkompensasi kehilangan produksi. Akibatnya, resiko munculnya kekritisan di lahan-lahan bukaan baru menjadi tinggi. Lahan juga dapat dinilai kritis menurut aspek geografi kalau berpotensi membahayakan lahan lain yang berada di bawah kendalinya. Misalnya, lahan di lereng atas dengan bahan yang kurang subur menimbun lahan di bawahnya, bersifat kritis karena longsoran bahan tadi akan merusak lahan hilirnya. Lahan semi/hampir kritis, adalah lahan yang kurang/tidak produktif, dan telah terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat produksi rendah. Lahan semi kritis di lapangan dapat dicirikan dengan keadaan sebagai berikut: (a) Tanah telah mengalami erosi dari tingkat erosi permukaan sampai erosi alur (riil erosion), dengan produktivitas yang rendah; (b) Tanah mempunyai kedalaman efektif sangat dangkal (lapisan atas kurang dari 5 cm); (c) Persentase penutupan lahan sedang (vegetasi antara 50 sampai 75%) dengan vegetasi dominan alang-alang, rumput, semak belukar dan hutan jarang; (d) Kemiringan lereng umumnya > 18%; dan (e) Tingkat kesuburan tanah rendah. Tindakan-tindakan konservasi tanah yang dilakukan di sini bertujuan untuk merehabilitasi lahan dan pencegahan erosi. Lahan kritis, adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali sehingga jika diusahakan sebagai lahan pertanian perlu didahului dengan usaha rehabilitasi. Di lapangan, lahan kritis dicirikan dengan keadaan lahan sebagai berikut: (a) Lahan telah mengalami erosi berat dengan tingkat erosi umumnya berupa erosi parit (gully erosion); (b) Kedalaman solum tanah dangkal (< 60 cm); (c) Persentase penutupan lahan rendah (antara 25 sampai 50%); (d) Kesuburan tanah yang rendah, meliputi daerah perladangan yang telah rusak, padang rumput atau alang-alang dan semak belukar tandus. Lahan sangat kritis, adalah lahan-lahan yang sangat rusak sehingga tidak memungkinkan lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar untuk direhabilitasi. Di lapangan, lahan sangat kritis dicirikan dengan keadaan
19
lahan sebagai berikut: (a) Pada tanah telah terjadi erosi sangat berat, sebagian berada pada tingkat erosi parit, banyak dijumpai tanah longsor atau rayapan tanah (soil creeping); (b) Lapisan-lapisan tanah produktif telah habis tererosi, kedalaman solum tanah sangat dangkal (30 cm); (c) Persentase penutupan tanah oleh vegetasi sangat rendah (< 25%), kadang-kadang sebagian atau seluruhnya gundul; (d) Kemiringan lereng umumnya > 30%; dan (e) Tingkat kesuburan tanah sangat rendah. Tindakan-tindakan konservasi tanah yang dilakukan di sini bertujuan untuk merehabilitasi lahan. 2.7. Analisis Multi Variabel Dalam melakukan analisis fenomena yang kompleks di alam seperti masalah lahan kritis, maka diperlukan suatu penyederhanaan yang disebut model. Model adalah “kumpulan hukum-hukum fisik dan atau pengamatan empirik yang ditulis dalam bentuk persamaan-persamaan matematik dan dikombinasikan sedemikian rupa untuk menghasilkan sekumpulan hasil berdasarkan pada sekumpulan kondisi yang sudah diketahui atau diasumsikan” (Rachman dan Dariah, 2004). Model dapat dibatasi sebagai konsep dari sistem yang disederhanakan, sehingga menurut Djuanda (2009), model dapat didefinisikan sebagai suatu abstraksi atau penyederhanaan dari sesuatu yang nyata (realitas). Jadi model dapat dianggap sebagai pengganti (substitusi) untuk sistem yang dipertimbangkan dan digunakan apabila lebih mudah bekerja dengan model pengganti tersebut dari sistem yang sesungguhnya. Model yang baik adalah model yang sederhana namun memuat secara akurat informasi yang diperlukan (Tirta, 2006), sehingga dalam mendefinisikan persamaan hubungan antara lahan kritis dan variabel penyebabnya, mesti ada penyederhanaan, yaitu mengambil hal-hal penting yang menjadi penentu utama kekritisan lahan dan mengabaikan rincian hal-hal yang tidak menjadi kepentingan. Hubungan matematis seringkali digunakan untuk mempelajari fenomena alam nyata yang kompleks dengan cara menganalisis hubungan antara variabel yang mempengaruhi sistem dalam proses yang kompleks. Dewasa ini untuk membuat suatu penyederhanaan terhadap masalah di lapangan sudah ditunjang dengan fasilitas/perangkat analisis yang praktis, mudah dan akurat. Berbagai
20
perangkat analisis untuk memecahakan masalah pada berbagai bidang analisis mulai dari ekonomi, sosial, kesehatan hingga pertanian telah tersedia. Perangkat analisis data seperti SAS, SPSS, Minitab, Statistik 8, sudah sangat populer digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang kompleks di lapangan. Analisis statistik multivariabel (multivariate) merupakan metode statistik yang memungkinkan kita melakukan penelitian terhadap lebih dari dua variabel secara bersamaan. Dengan menggunakan teknik analisis ini maka kita dapat menganalisis pengaruh beberapa variabel terhadap variabel lainnya dalam waktu yang bersamaan. Analisis multivariat digunakan karena pada kenyataannnya masalah yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan hanya menghubunghubungkan dua variabel atau melihat pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya. Teknik analisis multivariat secara dasar diklasifikasi menjadi dua, yaitu analisis dependensi dan analisis interdependensi. Analisis dependensi berfungsi untuk menerangkan atau memprediksi variabel bergantung (respons) dengan menggunakan dua atau lebih variabel bebas (predictor). Yang termasuk dalam klasifikasi ini ialah analisis regresi linear berganda, analisis diskriminan, analisis varian multivariat (MANOVA), dan analisis korelasi kanonikal (Nugroho, 2005). Metode dependensi diklasifikasikan didasarkan pada jumlah variabel bergantung, misalnya satu atau lebih dan skala pengukuran bersifat metrik atau non metrik. Jika variabel bergantung hanya satu dan pengukurannya bersifat metrik, maka teknik analisisnya digunakan analisis regresi berganda. Jika variabel bergantung hanya satu dan pengukurannya bersifat non-metrik, maka teknik analisisnya digunakan analisis diskriminan. Jika variabel bergantung lebih dari satu dan pengukurannya bersifat metrik, maka teknik analisisnya digunakan analisis varian multivariat. Jika variabel bergantung lebih dari satu dan pengukurannya bersifat non-metrik, maka teknik analisisnya digunakan analisis conjoint. Jika variabel bergantung dan bebas lebih dari satu dan pengukurannya bersifat metrik atau non-metrik, maka teknik analisisnya digunakan analisis korelasi canonical.
21
Metode interdependensi diklasifikasikan didasarkan pada jenis masukan variabel dengan skala pengukuran bersifat metrik atau non-metrik. Jika masukan data berskala metrik, maka kita dapat menggunakan teknik analisis faktor, analisis cluster dan multidimensional scaling. Jika masukan data berskala non-metrik, maka kita hanya dapat menggunakan teknik analisis multidimensional scaling (Simamora, 2005). 2.7.1. Analisis Diskriminan Analisis diskriminan ialah suatu teknik statistik yang digunakan untuk memprediksi probabilitas obyek-obyek yang menjadi milik dua atau lebih kategori yang benar-benar berbeda yang terdapat dalam satu variabel bergantung didasarkan pada beberapa variabel bebas. Lebih lanjut analisis diskriminan digunakan untuk membuat satu model prediksi keanggotaan kelompok didasarkan pada karakteristik-karakteristik yang diobservasi untuk masing-masing kasus. Prosedur ini akan menghasilkan fungsi diskriminan yang didasarkan pada kombinasi-kombinasi linier yang berasal dari variabel-variabel bebas (predictor) yang dapat menghasilkan perbedaan paling baik antara kelompok-kelompok yang dianalisis. Semua fungsi dibuat dari sampel semua kasus bagi keanggotaan kelompok yang sudah diketahui. Fungsi-fungsi tersebut dapat diaplikasikan untuk kasus-kasus baru yang mempunyai pengukuran untuk semua variabel bebas tetapi mempunyai keanggotaan kelompok yang belum diketahui. Tujuan utama menggunakan analisis diskriminan ialah melihat kombinasi linier. Artinya untuk mempelajari arah perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam suatu kelompok sehingga diketemukan adanya kombinasi linier dalam semua variabel bebas. Kombinasi linier ini terlihat dalam fungsi diskriminan, yaitu perbedaan-perbedaan dalam rata-rata kelompok. Sebagai contoh uji diskriminan yang dilakukan oleh Chozin et al. (2002), bisa digunakan untuk membedakan genotype kacang tunggak yang rentan dan yang tidak rentan terhadap kekeringan, dengan diameter batang, senesen daun, dan temperatur daun sebagai kriteria seleksi.
22
Analisis diskriminan berguna untuk menganalisis data jika variabel tak bebas (respons) bersifat non-metrik/kategorik, maksudnya yaitu data berskala nominal atau ordinal; Variabel bebas (predictor) berupa skala interval atau rasio (Supranto, 2004); Semua variabel predictor sebaiknya mempunyai distribusi normal multivariat keanggotaan kelompok diasumsikan eksklusif, maksudnya tidak satupun kasus yang termasuk dalam kelompok lebih dari satu; dan exhaustive secara kolektif, maksudnya semua kasus merupakan anggota satu kelompok. Jika variabel tak bebasnya terdiri dari dua kelompok disebut analisis diskriminan dua kategori/kelompok, sedangkan kalau variabel tak bebasnya lebih dari dua kategori/kelompok disebut analisis diskriminan berganda (multiple discriminant analysis). 2.7.2. Analisis Gerombol (Cluster Analysis) Analisis
Gerombol
merupakan
suatu
teknik
analisis
statistik
yang ditujukan untuk membuat klasifikasi individu-individu atau obyek-obyek kedalam kelompok-kelompok lebih kecil yang berbeda satu dengan yang lain. Prosedur analisis gerombol ini digunakan untuk mengidentifikasi kelompok kasus yang secara relatif sama yang didasarkan pada karakteristik-karakteristik yang sudah dipilih dengan menggunakan algoritma yang dapat mengatur kasus dalam jumlah besar. Algoritma yang digunakan mengharuskan kita membuat spesifikasi jumlah cluster-cluster yang akan dibuat. Metode yang digunakan untuk membuat klasifikasi dapat dipilih satu dari dua metode, yaitu memperbaharui kelompokkelompok cluster secara iteratif atau hanya melakukan klasifikasi. Dalam analisis gerombol tidak ada variabel bebas dan tergantung karena model analisis ini merupakan model interdependen. Kegunaan utama ialah untuk mengelompokkan obyek-obyek berdasarkan karakteristik tertentu yang sama. Obyek dapat berupa benda, kasus ataupun orang yang biasa disebut responden (Anderberg, 1973). Cluster sebaiknya mempunyai kesamaan yang tinggi dalam kelompok cluster tersebut tetapi mempunyai perbedaan yang besar antar kelompok cluster.