7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Kering (Drylands) Menurut Notohadiprawiro (1989), penggunaan istilah “lahan kering” di Indonesia belum disepakati dengan benar. Ada yang menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau unirrigated land. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu diperhatikan tiga hal berikut, yaitu : 1) Iklim
kering
dalam
istilah
Bahasa Inggris adalah arid land
yang
artinya : (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada 250
mm, (b) daerah yang jumlah hujannya tidak
mencukupi untuk
menghidupi vegetasi meskipun jumlahnya sedikit, (c) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk dilakukannya pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan aktual. 2) Keadaan lahan yang berkaitan dengan drainase alamiah lancar (bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah alamiah lain). 3) Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan. Untuk rujukan pertama dapat digunakan istilah “daerah kering” atau “kawasan iklim kering”.
Untuk
rujukan
kedua
dapat
dipilih
istilah
“lahan atasan” (upland). Untuk rujukan ketiga dapat diterapkan istilah “lahan kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan. Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering sebagai kondisi lingkungan dimana terdapat defisiensi kelembaban secara permanen, musiman maupun periodik. Dariah et al. (2004) mendefinisikan lahan kering sebagai hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun atau sepanjang waktu. Kondisi seperti ini dapat dijumpai di daerah tropis, subtropis, temperate, maupun kutub.
Vegetasi penutup di lahan kering sangat
mudah rusak dan jika hal ini terjadi, maka akan sangat sulit untuk mengembalikannya. Tanah di lahan kering sering mengalami kekurangan humus ataupun unsur hara, diantaranya pospat, dan ketersediaannya berkurang dengan cepat (Barrow, 1991).
8
Luas lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan kering di dunia kurang lebih 35% dari luas total atau sekitar 30 – 40 juta km2, dan diantaranya : 14% tergolong semi-arid (21,2 juta km2), dan 4% (5,8 juta km2) merupakan daerah yang sangat kering (extreemely arid) (Barrow, 1991). Menurut Heathcote (1983) dalam Barrow (1991), diperkirakan 37% lahan kering berada di Afrika, 34% di Asia, 13% di Australia, 8% di Amerika Utara, 6% di Amerika Selatan, dan 2% di Spanyol. Pada daerah tersebut terdapat 500 juta sampai 850 juta penduduk yang tinggal menetap dan kehidupannya sangat tergantung pada daerah tersebut. Banyak permasalahan yang dijumpai di lahan kering diantaranya : drainase yang sangat cepat, adanya pengkerakan tanah (soil crusting), kandungan garam atau basa yang sangat tinggi, rendahnya hara, dan kapasitas infiltrasi yang lambat, disamping faktor hama dan penyakit yang menjadi kendala atau pembatas bagi pertumbuhan tanaman. Jenis tanah utama lahan kering di Indonesia adalah
Podsolik Merah-
Kuning (yang meliputi : Ultisol dan Inceptisol) seluas 23,3 juta ha atau 21 persen dari luas seluruh lahan kering, dan Latosol (meliputi : Oxisol, Ultisol dan Inceptisol) seluas 16,4 juta ha atau 15 persen dari luas seluruh lahan kering. Komplek tanah seluas 54,7 juta ha atau 49,1 persen dari luas seluruh lahan kering kebanyakan mencakup Ultisol (Muljadi dan Arsyad, 1967; Sudjadi, 1984). Jadi, lahan kering didominasi oleh Ultisol dan urutan berikutnya adalah Inceptisol dan Oxisol. Dilihat dari jenis tanahnya, lahan kering dengan jenis tanah Ultisol dan Oxisol berpotensi rendah, contohnya yang paling banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Ultisol dan Oxisol termasuk tanah bermasalah (problem soils). Inceptisol yang berasosiasi dengan Ultisol atau Oxisol memiliki sifat-sifat mirip Ultisol atau Oxisol. Kendala tanah Ultisol dapat diringkas sebagai berikut : 1) Kejenuhan Al tinggi 2) Sering mengandung Mn dalam jumlah yang banyak sehingga meracuni 3) Sangat miskin hara 4) Kejenuhan basa, kadar bahan organik dan pH rendah 5) Daya mengikat P dan anion lain kuat
9
6) Mudah mengalami penurunan kadar air karena kapasitas menyimpan air rendah sekali, yaitu 0,10 – 0,15 fraksi volum, bahkan dapat hanya 85 mm/m. 7) Peka terhadap erosi karena lapisan permukaan mudah mengalami pemadatan oleh tekanan beban yang menyebabkan laju infiltrasi lambat dan permeabilitas rendah. Kendala tanah oxisol antara lain : 1) Kejenuhan Al tinggi 2) KTK (Kapasitas Tukar Kation) rendah sekali 3) Sangat miskin hara dan cadangan mineral mudah lapuk rendah 4) Sering kahat S, B dan Mo 5) Daya mengikat P dan anion lain kuat 6) Tekstur yang sangat porous menyebabkan kelembaban tanah rendah dan pencucian kuat. Meskipun potensi tanahnya rendah, tetapi karena potensi luasnya sangat besar, lahan
kering
harus
dipandang
sebagai
suatu aset
nasional yang
perlu diperhatikan dan dimanfaatkan. Perhatian dan pemanfaatannya lebih perlu lagi kalau diingat bahwa lahan sawah (lowland) yang berpotensi baik sudah semakin banyak pemanfaatannya, tidak hanya untuk pertanian tetapi juga untuk keperluan non-pertanian. 2.2. Degradasi Lahan Degradasi lahan merupakan salah satu masalah yang paling krusial saat sekarang, dan masalahnya terus meningkat di seluruh dunia, terutama di negaranegara tropis yang masih berkembang (Kertez, 2009). Sementara itu, masalah degradasi lahan baru mendapat perhatian yang sangat sedikit dari pemerintah dan masyarakat.
Apabila pemerintah dan masyarakat kurang peduli terhadap
kelestarian sumberdaya lahan, khususnya dalam pengelolaannya maka proses degradasi lahan akan terus meningkat dan mgancam kelestarian sumberdaya alam sebagai alat pemenuhan kebutuhan huidup.
Menurut Ballayan (2000),
pengelolaan tanah yang berkelanjutan dengan menerapkan tindakan konservasi tanah yang baik merupakan kunci pengelolaan lahan berkelanjutan diantaranya dapat melindungi sumberdaya tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan air dan yang sangat penting dapat mengurangi efek kekeringan di daerah semi-arid.
10
Degradasi lahan didefinisikan sebagai berkurangnya kemampuan tanah untuk berproduksi jangka panjang yaitu dalam kaitannya dengan kuantitas, kualitas dan penghasil barang atau jasa pada masa sekarang dan masa yang akan datang (Sitorus, 2009), termasuk berkurangnya atau hilangnya produktivitas biologis dan fungsi tanah sebagai ekosistem (Hudson dan Ayala, 2006; Acharya dan Kafle, 2009). Degradasi lahan secara kuantitatif meliputi : kehilangan tanah karena erosi, gerakan massa tanah dan larutan tanah, atau secara kualitatif meliputi : penurunan kesuburan tanah, berkurangnya hara tanaman; perubahan struktur; perubahan aerasi/kadar kelembaban tanah; berubahnya unsur mikro, seperti kadar garam dan senyawa alkalin; polusi beberapa campuran bahan kimia; perubahan flora dan fauna tanah (Sitorus, 2009). Degradasi lahan dapat terjadi secara alami, seperti: penghanyutan tanah/erosi, pembentukan fragipan, pembentukan laterit/plintit, atau pun karena pengaruh manusia (anthropogenic) (Haridjaja, 2008).
Proses degradasi lahan
secara alami sering dipercepat oleh aktivitas manusia seperti deforestasi (penggurunan), pengolahan tanah, penggunaan lahan yang intensif, dan lain-lain (Las et al., 2006). Tingkat degradasi lahan tergantung pada kecepatan proses degradasi lahan, penggunaan lahan, lamanya penggunaan lahan, dan tindakan pengelolaan (management) (Acharya dan Kafle, 2009). Proses degradasi lahan menurut Kertez (2009) dan Tan (2009) dapat dikelompokkan atas lima kelompok, yaitu : (1) soil sealing, yang terjadi akibat kegiatan pembuatan konstruksi jalan, kereta api, ataupun bangunan sehingga permukaan tanah menjadi padat dan tidak dapat berfungsi dengan benar apalagi tanpa vegetasi di atasnya ; (2) erosi tanah, termasuk proses-proses seperti erosi percikan, erosi permukaan, erosi parit, dan macam-macam bentuk bergeraknya massa tanah (longsor dan banjir lumpur); (3) pencemaran tanah, terjadi akibat penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk, pestisida, dan limbah pertanian/industri) menyebabkan asidifikasi dan eutrofikasi; (4) Salinisasi, yaitu adanya akumulasi garam dipermukaan tanah terjadi melalui evaporasi terutama di daerah kering dan dekat pantai; (5) pemadatan tanah, terjadi pada daerah pertanian yang pengolahan tanahnya, budidaya, dan pasca panennya menggunakan mesin/alat berat..
11
Degradasi lahan dapat terjadi akibat dari bencana alam atau karena penggunaan lahan tidak sesuai dan praktek-praktek pengelolaan lahan yang tidak tepat, serta faktor-faktor bencana alam mencakup iklim dan topografi tanah seperti lereng yang curam, sering banjir, bertiupnya angin berkecepatan tinggi, hujan dengan intensitas tinggi, pencucian kuat di daerah lembab dan kondisi kekeringan di daerah arid. Deforestasi yang parah, penebangan vegetasi yang berlebihan, perladangan berpindah, ladang penggembalaan yang berlebihan, penggunaan pupuk yang tidak seimbang dan tidak adanya adopsi teknik konservasi tanah dan air, pemompaan/pengambilan air tanah berlebihan (yang melebihi kapasitas untuk mengisi ulang) adalah beberapa faktor-faktor yang datang karena campur tangan manusia yang menyebabkan erosi tanah yang berujung pada degradasi lahan (Ballayan, 2000). Salah satu bentuk degradasi lahan adalah lahan kritis. Lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian,
karena
pengelolaan
dan
penggunaannya
tidak
atau
kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Pada lahan ini terdapat satu atau lebih
faktor
penghambat
yang
kurang
mendukung
dalam usaha-usaha
pemanfaatan kegiatan pertanian (Sitorus, 2004). Lahan dapat dikategorikan lahan kritis apabila lahan tersebut mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi secara fisik kimia, hidroorologi, dan sosial ekonomi. Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan kritis
secara
kimia
adalah
lahan
yang
bila
ditinjau
dari
tingkat
kesuburan/toksisitasnya tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman bila lahan tersebut diusahakan sebagai areal pertanian. Fungsi hidroorologi lahan berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap, dan menyimpan air.
Lahan kritis secara hidroorologi berkaitan dengan
berkurangnya kemampuan lahan dalam menjalankan salah satu atau lebih dari ketiga kemampuannya tadi. Lahan kritis secara ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat kesuburan relatif baik,
12
tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi (misalnya sengketa pemilikan lahan, sulit pemasaran hasil atau harga produksi sangat rendah), maka lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar. Degradasi lahan kering di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Hal ini sehubungan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan, terutama di Indonesia bagian Barat (Dariah et al., 2004). Oleh karena itu, Sitorus (2009) menggolongkan proses degradasi lahan menjadi dua yaitu : degradasi erosif dan degradasi non-erosif.
Degradasi erosif berhubungan dengan
pemindahan bahan atau material tanah oleh air dan angin. Hasil penelitian Kurnia et al. (2000), menunjukkan bahwa besarnya erosi pada Ultisol Lampung berlereng 3% berkisar antara 97,7-144,5 ton/ha/tahun atau rata-rata 1,5 cm/tahun, sedangkan erosi pada Ultisol Sumatera Selatan dengan lereng 15% sebesar 423,6 ton/ha/tahun atau rata-rata 5 cm/tahun. Hilangnya tanah lapisan atas setebal 1,55,0 cm tersebut akan mempercepat penurunan produktivitas tanah, karena dalam waktu relatif singkat lapisan tanah atas yang tebalnya terbatas akan cepat hilang. 2.3. Faktor-Faktor Penyebab dan Dampak Degradasi Lahan Banyak faktor penyebab degradasi lahan, diantaranya adalah adanya tekanan jumlah penduduk, meningkatnya urbanisasi, dan perubahan iklim. Selanjutnya faktor-faktor penyebab degradasi lahan dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu : (1) faktor jangka panjang, antara lain terlihat dalam sistem usaha pertanian, pertambangan dan praktek-praktek produksi lainnya yang telah menyebabkan erosi tanah, pengurasan unsur hara tanah, polusi sungai dan air tanah, dan penggurunan yang timbul akibat deforestasi; (2) faktor jangka pendek meliputi faktor-faktor fisik alam dan karakteristik lain dari tanah, yang mempengaruhi erodibilitas tanah dan kemampuannya untuk menyimpan, mengalirkan air dan memegang nutrisi; topografi dan kondisi iklim (Diao dan Daniel, 2007). Menurut Atmojo (2006), bahwa degradasi lahan yang terjadi di Indonesia setelah 30 tahun mulai nampak dan terus mengalami peningkatan. Beberapa indikator yang menunjukkan adanya degradasi lahan, diantaranya adalah: (1) tingkat produktivitas lahan menurun, (2) tingkat kesuburan lahan merosot, (3)
13
konversi lahan pertanian semakin meningkat, (4) lahan kritis semakin meluas, (5) tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, dan (6) daya dukung lingkungan merosot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi lahan berupa penurunan daya dukung lahan dan pencemaran lahan pertanian disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1) erosi, 2) pencemaran agrokimia, 3) pencemaran industri, 4) pertambangan dan 5) galian C, serta alih fungsi lahan. 1. Erosi. Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat produktivitas lahan DAS bagian hulu, yang berakibat terhadap luas lahan kritis semakin meningkat. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan sering akan menyebabkan degradasi lahan. Misalnya, lahan didaerah hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan,
apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian
tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor. Erosi tanah oleh air di Indonesia (daerah tropis), merupakan bentuk degradasi lahan yang sangat dominan. Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen (hutan) menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan (deforestration) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai (DAS).
Sebagai contoh, pada tahun 2000 banyak terjadi
deforestration atau penebangan hutan secara liar, baik di hutan produksi maupun di hutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan. Pada tahun 2000, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia mencapai 56,98 juta ha, sedangkan tahun 2002 mengindikasikan meningkat menjadi 94,17 juta ha, atau meningkat 65,5 % selama 2 tahun. Kerusakan yang disebabkan erosi tidak hanya dirasakan dibagian hulu (on site) saja, akan tetapi juga berpengaruh dibagian hilir (off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya lahan kritis.
Dibagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang
menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat terjadinya banjir dimusim penghujan, dan terjadi kekeringan di musim kemarau.
14
Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidak-berlanjutan kegiatan usahatani di wilayah hulu suatu DAS. Erosi yang intensif di lahan pertanian menyebabkan semakin menurunnya produktivitas usahatani karena hilangnya lapisan tanah bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan cadas yang keras. Penurunan produktivitas usahatani secara langsung akan diikuti oleh penurunan pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Selain menyebabkan ketidak-berlanjutan usahatani di wilayah hulu, kegiatan usahatani tersebut juga menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan di wilayah hilir, yang akan menyebabkan ketidak-berlanjutan beberapa kegiatan usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan sedimen, kerusakan sarana irigasi, bahaya banjir dimusim penghujan dan kekeringan dimusim kemarau. 2. Pencemaran
Agrokimia.
Tingkat
pencemaran
dan
kerusakan
lingkungan di lingkungan pertanian dapat disebabkan karena penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak proporsional. Pada tahun enampuluhan terjadi biorevolusi di bidang pertanian, yang dikenal dengan revolusi hijau dan telah berhasil merubah pola pertanian dunia secara spektakuler, yaitu dengan diperkenalkannya penggunaan agrokimia, baik berupa pupuk anorganik, maupun obat-obatan (insektisida). Dengan revolusi hijau tersebut, produksi pangan dunia meningkat dengan tajam, sehingga telah berhasil mengatasi kekhawatiran dunia akan adanya krisis pangan. Namun demikian, dampak penggunaan agrokimia mulai dirasakan saat ini. Dampak negatif dari penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunnya keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam. Penggunaan pestisida yang berlebihan dalam kurun waktu yang panjang, akan berdampak pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan penyakit, dan juga berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi biota tanah. Sementara itu, pada saat ini residu pestisida akan menjadi faktor penentu daya saing produk-produk
15
pertanian yang akan memasuki pasar global sehingga penggunaan pestisida secara berlebihan perlu dihindari Penggunaan pupuk anorganik yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya kemerosotan kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah. Misalnya petani menggunakan urea (hanya mengandung hara N) saja dalam dosis tinggi secara terus menerus, sementara tanaman mengambil unsur hara tidak hanya N (nitrogen) dalam jumlah yang banyak, maka akan terjadi pengurasan hara lainnya. Unsur hara pokok yang dibutuhkan tanaman semuanya ada 16 unsur, sehingga apabila tidak ditambahkan akan terjadi pengurasan hara lainnya (15 hara) dan pada saatnya akan terjadi kemerosotan kesuburan karena terjadi kekurangan hara lain. Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kandungan bahan organiknya kurang dari 1 persen. Sementara itu, sistem pertanian bisa menjadi berkelanjutan (sustainable) jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %. Bahan organik tanah disamping memberikan unsur hara tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang kesuburan fisiknya akan semakin menurun. 3. Pencemaran Industri. Pencemaran dan kerusakan lingkungan di lingkungan
pertanian
dapat
juga
disebabkan
karena
kegiatan
industri.
Pengembangan sektor industri akan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan pertanian, dikarenakan adanya limbah cair, gas dan padatan yang asing bagi lingkungan pertanian. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa gas buang seperti belerang dioksida (SO 2 ) akan menyebabkan terjadinya hujan asam dan akan merusak lahan pertanian. Selain itu, adanya limbah cair dengan kandungan logam berat beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) akan menyebabkan degradasi lahan pertanian dan terjadinya pencemaran air. Limbah cair ini apabila masuk ke
16
badan air pengairan, dampak negatifnya akan menyebar secara luas. Penggalakan terhadap program kali bersih dan langit biru perlu dilakukan, dan penerapan sangsi bagi pengusaha yang mengotori tanah, air dan udara. 4. Pertambangan dan galian C. Usaha pertambangan besar sering dilakukan di atas lahan yang subur atau hutan yang permanen. Dampak negatif pertambangan dapat berupa rusaknya permukaan bekas penambangan yang tidak teratur, hilangnya lapisan tanah yang subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan berpengaruh pada reaksi tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi sangat asam atau sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi kesuburan tanah. Demikian juga semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan terutama batu bata dan genteng, akan menyebabkan kebutuhan tanah galian juga semakin banyak (galian C). Tanah untuk pembuatan batu bata dan genteng lebih cocok pada tanah tanah yang subur yang produktif. Dengan dipicu dari rendahnya tingkat keuntungan berusaha tani dan besarnya resiko kegagalan, menyebabkan lahan-lahan pertanian banyak digunakan untuk pembuatan batu bata, genteng dan tembikar. Penggalian tanah sawah untuk galian C disamping akan merusak tata air pengairan (irigasi dan drainase) juga akan terjadi kehilangan lapisan tanah bagian atas (top soil) yang relatif lebih subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawahan (sub soil) yang kurang subur, sehingga lahan sawah akan menjadi tidak produktif. 5. Alih fungsi lahan. Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian. Salah satu pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya insentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981-1999, sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17% (0,6 juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih penggunaan ke nonpertanian, terutama ke areal industri dan perumahan.
17
2.4. Klasifikasi Degradasi Lahan Pada umumya untuk mengetahui tingkat degradasi lahan disusun klasifikasi degradasi lahan. Pengklasifikasian degradasi lahan dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu tingkat global (GLASOD), tingkat regional (ASSOD) dan tingkat nasional di masing-masing negara. Klasifikasi degradasi lahan tingkat global dan regional lebih menekankan pada faktor eksternal erosi, serta faktor internal memburuknya sifat kimia dan sifat fisik tanah akibat ulah manusia (FAO, 1979; Oldeman, 1991). Klasifikasi degradasi lahan di Indonesia beragam (Firmansyah et al., 2008). Menurut Suwardjo et al. (1996), klasifikasi degradasi lahan di sektor kehutanan menekankan aspek hidrologi lahan, sektor transmigrasi melihatnya sebagai tanah marjinal, dan sektor pertanian mengartikannya sebagai tanah kritis, sedangkan PP No. 150/2000 menyebutnya sebagai tanah rusak. Klasifikasi degradasi lahan menurut Direktorat RKT (1997), disusun berdasarkan tingkat kekritisan lahan yang dapat digolongkan ke dalam lima kelompok yaitu : (1) sangat kritis, (2) kritis, (3) agak kritis, (4) potensial kritis, (5) tidak kritis. Kriteria pengelompokkan ini didasarkan pada faktor-faktor : penutupan lahan, kemiringan lereng, erosi, penutupan oleh batuan, dan tingkat pengelolaan (manajemen). Sementara itu menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) pengklasifikasian tingkat kekritisan lahan didasarkan pada parameter kondisi penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan dan kedalaman tanah.
Parameter-parameter tersebut selanjutnya digunakan untuk
membedakan lahan kritis ke dalam empat tingkat kekritisan yaitu : potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997. Parameter
Potensial Kritis
Semi Kritis
Penutupan vegetasi Tingkat torehan/ Kerapatan drainase
> 75% Agak tertoreh s/d Cukup tertoreh
50 - 75% Cukup tertoreh s/d Sangat tertoreh
Penggunaan lahan/
Hutan, Kebun campuran, Belukar, Perkebunan
Pertanian lahan kering, Semak belukar, Alang- alang Sedang (60 - 100 cm)
Vegetasi Kedalaman tanah
Dalam (>100 cm)
Kritis 25 - 50% Sangat tertoreh s/d Sangat teroreh sekali Pertanian lahan kering, Rumput, Semak Dangkal (30 - 60 cm)
Sangat Kritis < 25% Sangat tertoreh sekali Gundul, Rumput, Semak
Sangat Dangkal (< 30 cm)
18
Secara rinci ciri-ciri kondisi lapang setiap kriteria dan parameter lahan kritis di atas menurut Kurnia et al. (2002) adalah sebagai berikut : 1) Lahan yang potensial kritis adalah lahan-lahan yang (a) masih tertutup vegetasi lebih 75%, tetapi karena topografi dan sifat-sifat litologinya sedemikian rupa atau keadaan lereng yang curam maka bila vegetasi dibuka lahan akan mudah longsor dan terjadi erosi yang kuat serta lahan cepat menjadi kritis, (b) keadaan tanah masih cukup dalam dan (c) lahan masih mempunyai fungsi produksi dan hidrologi yang cukup baik tetapi bahaya erosi untuk menjadi kritis sangat besar bila lahan tersebut dibuka. 2) Lahan semi kritis adalah lahan dengan : (a) presentasi penutupan lahan 50% sampai 75%, (b) tumbuhan atau vegetasi umumnya alang-alang, rumput dan semak belukar, (c) lahan telah mengalami erosi ringan sampai sedang, tetapi produktivitasnya rendah, (d) lahan masih produktif tetapi tingkat erosinya tinggi sehingga secara hidrologis tidak berfungsi. Bila tidak diadakan upaya perbaikan maka dalam waktu relatif singkat akan menjadi kritis, (e) kedalaman tanah sedang sampai agak dalam. 3) Lahan kritis adalah lahan dengan : (a) vegetasi penutupan lahan 25% sampai 50% dengan tumbuhan rerumputan dan alang-alang dimana pertumbuhannya sangat kerdil, (b) erosi sedang sampai berat, (c) lahan tidak produktif dengan bahaya erosi cukup tinggi dan (d) lereng 3 – 45%. 4) Lahan sangat kritis mempunyai ciri-ciri : (a) persentase penutupan lahan kurang dari 25% atau gundul, (b) tanah dangkal, (c) lahan dengan bahaya erosi sangat tinggi umumnya pada lereng > 8%. Dengan pertimbangan bahwa : (a) tanah sebagai salah satu sumberdaya alam, tempat tumbuh, media lingkungan, dan faktor produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestariannya; (b) meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumberdaya alam lainnya yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu dan fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa yaitu No. 150 tahun 2000. Dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini dijelaskan tentang kriteria kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
19
Pada tahun 2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat telah meneliti dan membuat rancang bangun kriteria lahan terdegradasi, disebut SODEG (Kurnia, 2001) dengan menggunakan pendekatan penilaian parameterparameter sumberdaya lahan yang bersifat alami (natural assessment), dan paramater-parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (antrophogenic assessment). Model tersebut belum diuji dan divalidasi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sedikit berbeda dengan kriteria Pusat Penelitian Tanah tahun 1997. Balai Penelitian Tanah pada tahun 2007 melakukan penelitian lanjutan dan melakukan perubahan dan perbaikan kriteria degradasi lahan sebelumnya terutama terhadap parameter curah hujan, kedalaman tanah, vegetasi, dan teknik konservasi tanah (Kurnia et al., 2007). Hasil dari penelitian tersebut adalah penetapan baku mutu parameter degradasi lahan dan kriteria lahan terdegradasi yang dimaksudkan untuk perencanaan konservasi tanah dan rehabilitasi lahan pertanian pada skala 1:250.000. Parameter dan kriteria lahan terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter-parameter lahan terdegradasi dan kriteria lahan terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah tahun 2007 . Parameter Natural assessment 1. Curah hujan
2. Bahan induk
3. Bentuk wilayah
4. Kedalaman tanah
Kriteria 1. Rendah 2. Agak rendah 3. Sedang 4. Agak tinggi 3. Tinggi 1. Tahan 2. Agak tahan 3. Peka 1. Datar 2. Berombak 3. Bergelombang 4. Berbukit 5. Bergunung 1. Dalam 3. Dangkal
Skor 5 4 3 2 1 5 3 1 5 4 3 2 1 5 1
Input/keterangan < 1.000 mm/tahun 1.000-2.000 mm/tahun 2.000-3.000 mm/tahun 3.000-4.000 mm/tahun > 4.000 mm/tahun Tabel Lampiran 1 Tabel Lampiran 1 Tabel Lampiran 1 Tabel Lampiran 2 Tabel Lampiran 2 Tabel Lampiran 2 Tabel Lampiran 2 Tabel Lampiran 2 > 50 cm < 50 cm
20
Tabel 2. (Lanjutan) Parameter
Kriteria
Antrophogenic assessment 5. Jenis vegetasi 1. Hutan/tanaman tahunan/agroforestry 2. Semak belukar 3. Padang rumput, alang-alang 4. Tanaman semusim 5. Tanpa vegetasi 6. Penutupan vegetasi 1. Rapat sekali 2. Rapat 3. Cukup rapat 4. Jarang 5. Tanpa/bera 7. Penerapan teknik 1. Baik konservasi tanah
Skor
Input/keterangan
5
Jenis tanaman
4 3
Semak, kebun campuran Rumput-rumputan
2 1 5 4 3 2 1 5
Jenis tanaman Non-tanaman >75% 50-75% 25-<50% 15-<25 % < 15% Terasering terpelihara, alley cropping, sistem kontur Ada, tetapi tidak terpelihara Tak ada atau tidak sesuai kontur
2. Sedang
3
3. Jelek
1
Kelas lahan terdegradasi Kelas lahan terdegradasi Ringan Sedang Berat
Total skor >25 15 – 25 < 15
2.5. Metode Pengukuran Degradasi Lahan Metode untuk penelitian degradasi lahan tergantung pada tipe degradasi lahannya yaitu degradasi fisik, kimia, atau biologi.
Penelitian degradasi lahan
membutuhkan penelitian dari masing-masing komponen proses.
Pendekatan
degradasi lahan mulai dari observasi kualitatif sederhana di lapangan sampai menggunakan model simulasi komputer dengan proses yang kompleks/rumit. Menurut Herndanez (1999), metode penelitian degradasi lahan yang sudah diadopsi adalah menggunakan pendekatan parametrik semi-kuantitatif, dengan alasan antara lain : (1) metode ini relatif cepat dan tidak mahal serta tidak memerlukan desain penelitian lapangan yang memerlukan waktu yang lama dan penggunaan model simulasi komputer yang canggih; (2) tujuan utama dari penelitian degradasi lahan ini adalah untuk menjelaskan mengenai gambaran tentang status degradasi lahan secara cepat, murah, dan efisien dengan sedikit membutuhkan keahlian khusus dalam proses permodelan ataupun data yang sangat spesifik.
21
Metode yang paling fundamental untuk pengukuran degradasi lahan adalah bahwa degradasi lahan (D) merupakan fungsi dari iklim (C), resistensi tanah (S), faktor topografi (T), vegetasi alami (V), penggunaan lahan (L), dan Manajemen (M). Oleh karena itu, pada penggunaan lahan yang aktual, D = f(C, S, T, V, L, M). Namun demikian metode untuk mengukur tingkat degradasi lahan masih terus dikembangkan dan terus diperbaharui, karena memang belum didapatkan suatu metode yang dapat digunakan untuk menilai tingkat degradasi lahan di suatu wilayah yang didasarkan pada hasil penelitian dan data-data yang akurat, sehingga kriteria yang digunakan masih kasar. Menurut Ballayan (2000), metode pengukuran degradasi lahan dapat didekati menggunakan metode prediksi erosi, dimana metode ini telah dikembangkan oleh Cook pada tahun 1936 dan kemudian diadopsi oleh Wischmeier tahun 1978. GLASSOD mengembangkan metode degradasi lahan di lahan kering untuk skala global yang bersifat umum mulai tahun 1990 dan didasarkan pada estimasi-estimasi para pakar secara kualitatif (Sitorus, 2009). 2.6. Erosi Tanah Erosi tanah merupakan suatu proses yang terdiri dari dua fase, yaitu: penghancuran atau pelepasan partikel secara individual dari masa tanah dan fase pengangkutan oleh suatu agen (air) (Gardiner dan Miller, 2004). Apabila energi untuk mengangkut tersebut telah cukup menurun, maka akan terjadi proses berikutnya, yaitu deposisi.
Terjadinya endapan lumpur di sungai-sungai dapat
digunakan sebagai indikator erosi tanah yang semakin meningkat. Menurut Arsyad (2006) dan Sitorus (2009) secara umum erosi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu erosi geologi (geologic erosion) dan erosi dipercepat (accelerated erosion). Erosi geologi merupakan ukuran besarnya tanah hilang yang masih dapat diperkenankan, sedangkan erosi dipercepat merupakan tingkatan erosi yang merusak. Erosi dipercepat pada saat ini merupakan masalah serius, dan erosi tersebut telah terjadi semenjak manusia mulai mengusahakan lahan. Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah antara lain: curah hujan, aliran permukaan, angin, tanah, lereng, penutup tanah, jumlah penduduk dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah. Arsyad (2006) mengemukakan bahwa faktor-
22
faktor yang mempengaruhi erosi adalah iklim (i), topografi (r), tumbuh-tumbuhan (v), tanah (t) dan manusia (m). Lebih lanjut dinyatakan dalam persamaan deskriptif sebagai berikut : E = f(i, r, v, t, m) Faktor-faktor yang mempengaruhi E (erosi) tersebut dapat digunakan sebagai indikator ada tidaknya kerusakan tanah di suatu wilayah.
Faktor-faktor dalam
persamaan di atas dapat dikelompokkan menjadi dua peubah, yaitu : (1) peubah yang dapat dipengaruhi manusia (jenis tumbuhan di atas tanah), sebagian dari sifat tanah diantaranya adalah kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi, serta unsur topografi yaitu panjang lereng; (2) peubah yang tidak dapat dipengaruhi oleh manusia (iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng atau kemiringan lereng), sedangkan faktor manusia sendiri tergantung dari aktivitasnya di atas tanah, yaitu berupa tata guna atau penggunaan lahan. Secara aktual, peristiwa erosi pada permukaan tanah yang berlereng tidak dapat dihindarkan. Atau dengan kata lain bahwa laju erosi tidak dapat diturunkan menjadi nol (zero erosion) pada lahan usahatani. Namun penilaian erosi tanah yang ada sampai saat ini kebanyakan masih kualitatif. Oleh karena itu, perlu dilakukan prediksi dengan model erosi yang telah tersedia. Salah satu diantaranya adalah model erosi yang biasa digunakan di daerah tropis, yaitu metode MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation) yang dikemukakan oleh Kinnel dan Risse (1998) dalam Arsyad (2006), dimana model ini dapat digunakan lebih baik dalam model AGNPS (Agricultural Non Point Source of Pollution). Model persamaan tersebut dinyatakan dalam suatu hubungan matematis sebagai berikut : A e = RUMe x K UMe x L x S x C UMe x PUMe dimana Ae adalah besarnya erosi (ton/ha/th), R UMe adalah indeks erosivitas hujan, K UMe adalah nilai erodibilitas tanah, L adalah panjang lereng, S adalah faktor kemiringan lereng, C UMe adalah faktor pengelolaan tanaman, dan P UMe adalah faktor pengelolaan tanah (tindakan konservasi tanah). Pada model MUSLE faktor curah hujan ditetapkan dengan menggunakan persamaan berikut: R Ume = Q r .EI 30 yang menyatakan Qr adalah rasio aliran permukaan kejadian hujan (Qe) terhadap besarnya curah hujan pada kejadian tersebut (Be).
Sesuai dengan perubahan
23
persamaan R nilai K yang menjadi K UMe pada tanah terbuka tanpa tanaman dan tindakan konservasi, dengan panjang lereng 22 m dan kecuraman lereng 9%, dihitung menggunakan persamaan berikut :
MUSLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk meprediksi erosi rata-rata jangka panjang dari erosi lembar atau alur di bawah keadaan tertentu dengan memperhitungkan besarnya aliran permukaan pada setiap kejadian hujan (Arsyad, 2006).
Hasil prediksi erosi dapat digunakan untuk perencanaan
pengelolaan lahan atau tindakan konservasi tanah yang mungkin akan dilakukan pada suatu bidang tanah tertentu. Secara skematis persaman MUSLE disajikan pada Gambar 2. BESARNYA EROSI YANG AKAN TERJADI ADALAH FUNGSI: HUJAN
KEMUNGKINAN EROSI TANAH
ENERGI SIFAT TANAH KEKUATAN PERUSAK HUJAN EI30 dan Qr
Ae
=
RUMe
PENGELOLAAN
PENGELOLAAN LAHAN
KUMe
LS
PUMe
PENGELOLAAN TANAMAN
CUMe
Gambar 2. Skema persamaan MUSLE MUSLE merupakan modifikasi dari permasaaan erosi USLE (Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier sejak tahun 1965 sampai 1978 (Renard et al., 1996). MUSLE dikembangkan oleh Kinnel dan Risse pada tahun 1998 dimana pada tahun 1990 sudah dikuantifikasi ketidak pastiannya menggunakan model linier klasik atau analisis regresi Bayesian untuk menyempurnakan persamaan USLE yang dianggap masih terdapat kelemahan dalam memprediksi besarnya erosi di lapangan.
Hal ini sesuai pendapat
24
Wischmeier (1976) yang menyatakan bahwa tingkat akurasi dari persamaan USLE baru sekitar 84%. Sumber kesalahan dalam model erosi adalah pemilihan nilai dari suatu faktor secara tidak tepat. Lebih spesifik lagi Renard et al. (1994) dalam Parysow et al. (2001) menyatakan bahwa faktor K yang disajikan pada peta satuan lahan secara substansi berbeda dengan nilai aktual di lapangan. Menurut Risse et al. (1993), secara umum persamaan USLE, hasil prediksinya cenderung lebih tinggi pada plot erosi yang tingkat erosinya lebih rendah, dan hasil prediksinya lebih rendah pada plot erosi yang tingkat erosinya lebih tinggi. 2.7. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Degradasi Lahan Menurut Lal (1993), degradasi lahan adalah hilangnya produktivitas aktual atau potensial dan kegunaannya akibat faktor alami atau campur tangan manusia. Proses degradasi lahan ditunjukkan oleh penurunan kemampuan tanah untuk menghasilkan barang secara ekonomi dan kemampuan menjalankan fungsi ekologisnya. Degradasi lahan adalah hasil bersih dari proses degradasi dan proses restoratif yang diatur oleh faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Proses degradasi alami sering dipercepat oleh faktor manusia misalnya deforestasi, pengolahan tanah, intensitas pertanaman, penggembalaan dan lain-lain. Tingkat degradasi lahan tergantung pada kerentanan tanah terhadap proses degradatif, penggunaan lahan, lamanya penggunaan lahan, dan tindakan pengelolaan. Berbagai penelitian yang berhubungan dengan degradasi lahan telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di negara lain. Penelitian degradasi lahan meliputi: pengembangan metode menyangkut penyusunan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan, faktor penyebab dan dampak degradasi lahan baik fisik, kimia, biologi dan ekonomi, serta hubungan degradasi lahan dengan produktivitas dan pendapatan masyarakat, serta upaya rehabilitasi terhadap lahanlahan terdegradasi baik secara fisik, kimia dan biologi. Penelitian kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan sudah dilakukan sejak tahun 1979 oleh FAO dan 1991 oleh Oldeman. Di Indonesia penentuan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan dilakukan melalui pendekatan lahan kritis sejak tahun 1985 oleh Departemen Kehutanan RI, tahun 1991 oleh Departemen Pertanian RI, dan tahun 1994 dan 1997 oleh Pusat Peneltian Tanah
25
dan Agroklimat. Karena parameter-parameter yang digunakan dalam penentuan kriteria umumnya bersifat kualitatif dan beragam, maka tahun 2001, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat mulai mengembangkan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan yang lebih operasional dengan menggunakan pendekatan parameter-parameter yang bersifat alami (natural assessment) dan parameterparameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (antrophogenic assessment).
Namun untuk keperluan perencnaan rehabilitasi
lahan dan konservasi tanah secara nasional, masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Sehubungan dengan bentuk degradasi tanah yang terpenting di kawasan Asia antara lain adalah erosi tanah oleh air dan degradasi sifat kimia berupa penurunan kadar bahan organik tanah dan pencucian hara (Firmansyah, 2003), maka banyak penelitian degradasi lahan yang dikaitkan dengan erosi air baik secara alami maupun adanya campur tangan manusia. Faktor alami penyebab degradasi lahan antara lain: areal berlereng curam, tanah yang peka erosi, curah hujan yang tinggi, dan lain-lain (Firmansyah, 2003). Faktor degradasi lahan akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain: marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat (Barrow, 1991). Lal (2000) menyebutkan, lima faktor penyebab degradasi lahan akibat campur tangan manusia secara langsung yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, serta adanya aktivitas industri dan bioindustri. Faktor penyebab lahan terdegradasi dan rendahnya produktivitas antara lain: deforestasi, mekanisme dalam usaha tani, kebakaran penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur. Kaitannya dengan erosi sebagai penyebab utama degradasi lahan, maka banyak penelitian mengenai model prediksi erosi dan kejadian erosi di lapangan yang telah dilakukan.
Wischmeier pada tahun 1965 sampai tahun 1978
mnegembangkan model prediksi erosi USLE (Universal Soil Loss Equation) dan pada tahun 1976 melakukan penelitian tentang penggunaan dan salah penggunaan
26
dari model persamaan USLE.
Menurut Wischmeier (1976) bahwa sumber
kesalahan terbesar dalam prediksi erosi adalah dalam pemilihan nilai faktor, disamping kesalahan yang lain seperti menentukan panjang lereng dan mengevaluasi
lereng yang tidak teratur.
Risse et al. (1993) melanjutkan
penelitian terhadap model prediksi erosi USLE yaitu meneliti tentang kesalahan dari persamaan USLE, dimana secara umum hasil prediksi erosi USLE menunjukkan bahwa kehilangan tanah lebih besar pada plot erosi dengan tingkat erosi rendah dan hasilnya lebih rendah pada plot erosi yang tingkat erosinya tinggi. Sejalan dengan pengembangan model USLE, maka pada tahun 1975, Wiliam memodifikasi persamaan USLE yang dikenal dengan MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation), dimana kalau USLE menggunakan curah hujan sebagai indikator energi perusak, sedangkan MUSLE menggunakan jumlah aliran permukaan untuk mensimulasi erosi dan hasil sedimen. Edward pada tahun 1990 melakukan kuantifikasi terhadap ketidakpastian persamaan erosi MUSLE. Pada tahun 1998 Kinnel dan Risse mengembangkan model persamaan MUSLE untuk digunakan dalam model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution) yang digunakan untuk memprediksi besarnya erosi pada suatu kejadian hujan dari suatu DAS karena persamaan USLE tidak cocok untuk maksud tersebut. Selain USLE dan MUSLE, model prediksi erosi yang lain juga dikembangkan yaitu RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation). RUSLE dikembangkan oleh Renard et al. pada tahun 1991, merupakan model erosi yang didesain untuk memprediksi besarnya erosi tahunan oleh aliran permukaan dari suatu bentang lahan berlereng dengan tanaman dan sistem pengelolaan tertentu. RUSLE juga telah digunakan untuk memprediksi besarnya erosi dari padang rumput dan lahan non-pertanian (bangunan). Pemilihan yang tepat mengenai nilai faktor yang digunakan, RUSLE dapat menghitung erosi rata-rata untuk suatu sistem pergiliran tanaman dalam suatu tahun atau untuk fase pertumbuhan tanaman.
Bartsch et al. (2002) menggunakan model erosi RUSLE yang
dikombinasikan dengan GIS (Geographic Information System) untuk menentukan besarnya erosi pada pangkalan militer di Utah, Malaysia, akan tetapi hasilnya tidak tepat karena data yang digunakan terlalu sedikit, sehingga prediksi erosi yang dihasilkan terlalu besar.
27
Umumnya faktor-faktor penyebab degradasi lahan baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan penurunan produktivitas tanah. Pada sistem usahatani tebas dan bakar atau perladangan berpindah masih tergantung pada lama waktu bera sehingga tergolong sistem usaha yang berkelanjutan secara ekologis. Sistem tersebut pada beberapa daerah marjinal dan tekanan populasi terhadap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi makin meningkat mengakibatkan masa bera makin singkat sehingga merusak dan menyebabkan degradasi lahan dan lingkungan.
Banyak penelitian yang
menyatakan bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi, dan persentase kejenuhan rendah di subsoil setelah 2-5 tahun kebakaran.
Tanah yang tererosi, subsoil menjadi media tumbuh
tanaman, tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman (Firmansyah, 2003). Pengaruh antrophogenic terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar.
Akibat
penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan arthropoda tanah, dan merubah iklim mikro (Hidayati, 2000). Karakteristik tanah terdegradasi umumnya diukur dengan membandingkan dengan tanah yang tidak terdegradasi yaitu tanah hutan. Perbandingan tanah hutan sebagai tanah yang tidak terdegradasi karena memiliki siklus tertutup artinya semua unsur hara di dalam sistem tanah hutan berputar dan sangat sedikit yang hilang atau keluar dari sistem siklus hutan. Tanah di luar hutan merupakan sistem terbuka demana siklus hara dapat hilang dari sistem tersebut. Penurunan sifat pada tanah untuk penggunaan bukan hutan akan menunjukkan memburuknya sifat-sifat dari tanah tersebut (Firmansyah, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah Ultisol Bengkulu dengan vegetasi hutan habis tebang empat bulan dan tanah pertanian yang diusahakan tiga tahun terjadi penurunan kemampuan menyediakan N anorganik sebesar 12-13% dibdaningkan tanah hutan. Selain itu, terjadi penurunan intensitas mineralisasi N pada lahan pertanian sebesar 39% pada kedalaman tanah 0-10 cm.
Hal ini
28
menunjukkan bahwa tanah hutan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah pertanian. Konversi penggunaan lahan hutan ke lahan pertanian menyebabkan degradasi pada siklus N (Hdanayani, 1999). Hubungan degradasi lahan dengan produktivitas menunjukkan bahwa degradasi lahan berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tanah yang mengalami degradasi baik sifat fisik, kimia dan biologi berpengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai sekitar 22% pada lahan semi kritis, 32% pada lahan kritis dan 38% pada lahan sangat kritis. Kacang tanah mengalami penurunan produksi sekitar 9%, 46% dan 58% masing-masing pada lahan semi kritis, kritis dan sangat kritis (Sudirman dan Vadari, 2000). Kaitannya dengan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi, banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Menurut Suprayogo et al. (2001), degradasi sifat fisik tanah pada umumnya disebabkan karena memburuknya struktur tanah. Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kdanungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat tanah tersebut, selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah juga menyebabkan terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Pada saat hujan turun, kerak yang terbentuk di permukaan tanah juga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah ini, porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan limpasan permukaan akan meningkat. Upaya perbaikan degradasi sifat fisik tanah mengarah terhadap perbaikan struktur tersebut. Firmansyah (2003) menyatakan bahwa penggunaan gambut terhumifikasi rendah dengan BD 0,10 Mg m-3 memiliki pengaruh lebih besar daripada gambut terhumifikasi tinggi dengan BD 0,29 Mg m-3 dalam menurunkan kekompakan tanah. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa bahan organik lebih efektif untuk tanah dengan kekompakan tinggi, ketahanan penetrasi maksimum tanah liat
29
menurun dari 0,64 menjadi 0,30 Mpa, dan pada tanah berpasir meningkat dari 0,64 menjadi 1,08 Mpa. Pemberian bahan tersebut dapat memperbaiki sifat fisik tanah berupa peningkatan total ruang pori, perbaikan aerasi tanah, pori air tersedia, permeabilitas tanah dan menurunnya ketahanan penetrasi. Pemberian dosis 20 Mg/ha dapat meningkatkan aerasi diatas 12%, sedangkan pada takaran 10 Mg/ha dapat memperbaiki ketahanan penetrasi. Rehabilitasi pada tanah terdegradasi yang dicirikan dengan penurunan sifat kimia dan biologi tanah umumnya tidak terlepas dari penurunan kandungan bahan organik tanah, sehingga amelioran yang umum digunakan berupa bahan organik sebagai agen resiliensi. Pemberian bahan organik jerami atau mucuna sebanyak 10 ton/ha dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, yaitu meningkatkan aktivitas mikroba, meningkatkan pH H 2 0, meningkatkan selisih pH, meningkatkan pH NaF (mendorong pembentukan bahan anorganik tanah yang bersifat amorf), meningkatkan pH 8,2 atau KTK variabel yang tergantung pH, menurunkan Al dd dan meningkatkan C-organik tanah. Penurunan Al dd selain disebabkan oleh kenaikan pH dan pengikatan oleh bahan-bahan tanah bermuatan negatif, juga disebabkan karena pengkhelatan senyawa humik. Peranan asam fulvik dalam mengkhelat Al jauh lebih tinggi dibdaningkan asam humik sekitar tiga kalinya (Widjaja, 2002). Lal (2000) menyatakan bahwa dalam pertanian tradisional maka pemanfaatan cover crop pada masa bera dapat meningkatkan produktivitas tanah berliat aktivitas rendah di tropika basah diperkirakan dapat memfiksasi 172 kg/N dari atmosfir selama siklus 2 tahun. Penelitian lainnya yang menggunakan tanaman penutup tanah tinggi yaitu Leucochepphala dan Acacia leptocarpa merupakan spesies yang menjanjikan untuk ditanam saat masa bera dengan tujuan regenerasi tanah di tropika basah. Tingginya polifenol yang dihasilkan dari serasah daun mampu mengikat protein selama dekomposisi daun, sehingga terjadi immobilisasi N, hal tersebut merupakan peranan utama polifenol dalam bahan organik tanah dan peningkatan N pada tanah terdegradasi. Bahan organik sebagai bahan rehabilitasi juga didapat dari limbah, terutama limbah industri kelapa sawit yang banyak diluar pulau Jawa. Manik (2002) menyatakan bahwa tdanan kosong kelapa sawit sebanyak 95 Mg/ha
30
mampu meningkatkan pH tanah, kdanungan P, K, Mg, dan KTK tanah, serta meningkatkan
produksi
tdanan buah
segar
16,3%.
Widhiastuti
(2002)
pemanfaatan limbah cair kelapa sawit atau POME (Palm Oil Mill Effluent) meningkatkan karbon mikroorganisme C-mic, dengan kecenderungan makin lama limbah diaplikasikan kdanungan C-mic makin meningkat. Amelioran lain yang umum digunakan pada tanah-tanah tropika adalah kapur. Pengapuran umumnya ditujukan untuk menetralkan Al dd terutama pada tanaman yang peka terhadap keracunan Al dan meningkatkan pH tanah hingga 5,5, sedangkan bila keracunan Mn, maka pH perlu dinaikkan hingga 6,0 (Firmansyah, 2003). Penggunaan tanaman penutup tanah yang dikombinasikan dengan penggunaan gypsum dapat mengurangi erosi sampai 86% dan meningkatkan kapasitas infiltrasi 26-132% pada tanah Cecil sandy loam (Zhang et al., 1996)