II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah Menurut Kalsim dan Sapei (2003), tanah (soil) berasal dari bahasa Latin “solum” yang berarti bagian teratas dari kerak bumi yang dipengaruhi oleh proses pembentukan tanah. Menurut Das (1993), tanah merupakan susunan butiran padat dan pori-pori yang saling berhubungan satu sama lain sehingga air dapat mengalir satu titik yang mempunyai energi lebih tinggi ke titik yang mempunyai energi yang lebih rendah. Dalam pandangan teknik sipil, tanah adalah himpunan mineral, bahan organik dan endapan yang lepas (loose) yang terletak di atas batuan kasar (bed-rock). Ikatan yang relatif lemah dapat disebabkan oleh karbon, zat organik atau oksida-oksida yang mengendap di antara partikel-partikel. Ruang di antara partikel-partikel dapat berisi air, udara ataupun keduanya (Hardiyatmo, 1992). Hakim, et al. (1986) menyatakan tanah adalah tubuh alam (natural body) yang terbentuk dan berkembang sebagai akibat bekerjanya gaya-gaya alam (natural forces) terhadap bahan-bahan alam (natural material) di permukaaan bumi. Tanah terbentuk dari bahan mineral dan organik, air serta udara yang tersusun dalam ruangan yang membentuk tubuh tanah. Akibat berlangsungnya proses pembentukan tanah, maka terjadilah perbedaan morfologi, kimia, fisika dan biologi dari tanah-tanah tersebut. Craig (1991) menyatakan tanah merupakan akumulasi partikel mineral yang tidak mempunyai atau lemah ikatan antar partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan dari batuan. Di antara partikel-partikel tanah, terdapat ruang kosong yang disebut pori-pori (void space) yang berisi air dan atau udara. Ikatan antar partikel tanah disebabkan oleh pengaruh karbonat atau oksida yang tersenyawa di antara partikel-partikel tersebut. Bowles (1989) menyatakan tanah merupakan campuran partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis berikut : barangkal (boulders), kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), lempung (clay) dan koloid (colloids). Tanah pada umumnya dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), atau lempung (clay) tergantung pada ukuran partikel yang paling dominan pada tanah tersebut (Das, 1993). 3
Tanah dapat diklasifikasikan menurut sistem klasifikasi tanah Unified dan klasifikasi segitiga tekstur sistem USDA. Sistem klasifikasi Unified didasarkan dari hasil analisis konsistensi tanah yaitu menggunakan batas cair dan batas plastis, sedangkan klasifikasi menurut segitiga tekstur sistem USDA didasarkan pada fraksi liat, debu dan pasir. Penggambaran klasifikasi tersebut seperti yang tertera pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Klasifikasi tanah berdasarkan sistem Unified
Gambar 2. Klasifikasi tanah berdasarkan sistem USDA
4
a.
Sifat Fisik Tanah
1.
Kadar Air Kadar air tanah merupakan petunjuk bagi banyaknya air yang terkandung di
dalam tanah. Kadar air tanah dapat dinyatakan dalam beberapa cara di antaranya melalui perbandingan relatif terhadap massa padatan tanah, volume padatan tanah dan terhadap pori tanah. Wesley (1973) menyatakan bahwa kadar air tanah merupakan perbandingan berat air dengan berat butir tanah. Kadar air tanah merupakan nisbah antara berat air dengan berat tanah kering (basis kering) atau nisbah antara berat air dengan berat tanah basah (basis basah) atau nisbah antara volume air dengan volume tanah utuh (basis volume) (Hillel, 1980). Hakim, et al. (1986) menyatakan penetapan kadar air dapat dibedakan atas empat cara, yaitu dengan cara gravimetrik, tegangan dan hisapan, hambatan listrik (blok tahanan) dan cara pembauran neutron (neutron scattering). Kadar air ditentukan dengan menimbang contoh tanah kemudian dikeringkan dalam oven bertemperatur 105-110 0C dan ditimbang kembali. Pengeringan harus dilakukan sampai tercapai selisih antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,1% massa mula-mula dengan oven penimbang 4 jam. Umumnya tanah cukup dikeringkan dalam oven selama 24 jam (Craig, 1991).
2.
Tekstur dan Struktur Tanah Tekstur tanah merupakan sebaran relatif ukuran partikel tanah mineral
(Kalsim dan Sapei, 2003). Lebih khusus lagi tekstur tanah dapat didefinisikan sebagai penampilan visual suatu tanah berdasarkan komposisi kualitatif dari ukuran butiran tanah dalam suatu massa tanah tertentu. Partikel-partikel tanah yang besar dengan beberapa partikel kecil akan terlihat kasar atau disebut tanah yang bertekstur kasar. Gabungan partikel yang lebih kecil akan menghasilkan bahan yang bertekstur sedang dan gabungan partikel yang berbutir halus akan menghasilkan tanah yang bertekstur halus (Bowles, 1989). Tektur tanah berhubungan erat dengan plastisitas, permeabilitas, kekerasan, kemudahan olah, kesuburan dan produktifitas tanah pada daerah-daerah geografis tertentu (Hakim, et al., 1986) 5
Bowles (1989) menyatakan struktur tanah adalah susunan geometrik dan kerangka dari partikel atau butiran mineral dan gaya antar partikel yang mungkin bekerja padanya. Struktur tanah antara lain meliputi gradasi, susunan partikel, angka pori, bahan perekat dan gaya elektris yang berhubungan dengan itu. Struktur adalah suatu sifat yang menghasilkan respon terhadap perubahan eksternal di dalam lingkungan seperti beban, air, temperatur dan faktor-faktor lainnya. Soedarmo dan Prayoto (1985) menyatakan bahwa struktur tanah menentukan sifat aerasi, permeabilitas dan kapasitas menahan air. Struktur tanah dapat dipelajari dari dua macam aspek, yaitu yang pertama adalah aspek statik yaitu ciri-ciri tanah yang diakibatkan langsung oleh distribusi agregat pada saat tertentu seperti ruang pori total, permeabilitas, infiltrasi, kadar air dan distribusi agregat. Aspek kedua adalah aspek dinamis atau potensial struktur tanah yaitu ciri-ciri tanah dalam keadaan yang berubah-ubah seperti pf kurva, konduktivitas hidrolik, kemantapan agregat, angka Atterberg dan beberapa sifat mekanik lainya. Tanah dengan struktur yang baik (granular, remah) mempunyai tata udara yang baik, sehingga unsur-unsur hara lebih mudah tersedia dan lebih mudah diolah. Struktur tanah menentukan sifat aerasi, permeabilitas dan kapasitas menahan air serta sifat-sifat mekanik tanah. Struktur tanah yang baik adalah bentuk membulat, sehingga tidak dapat bersinggungan dengan rapat (Buckman dan Brady, 1982).
3.
Permeabilitas Tanah Wesley (1973) menyatakan bahwa permeabilitas atau daya rembes adalah
kemampuan tanah untuk dapat melewatkan air. Air yang mengalir dalam tanah hampir selalu berjalan linier yaitu jalan atau garis yang ditempuh air merupakan garis dengan bentuk garis yang teratur (smooth curve). Permeabilitas diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada media berpori dalam keadaan jenuh, atau didefinisikan juga sebagai kecepatan air untuk menembus tanah pada periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam cm/jam (Baver, 1969). Permeabilitas juga dapat didefinisikan sebagai sifat bahan
6
berpori yang memungkinkan aliran rembesan dari cairan mengalir lewat rongga porinya (Hardiyatmo, 1992). Menurut Bowles (1989), bahan yang memiliki rongga disebut berpori dan bila rongga tersebut saling berhubungan maka ia akan memiliki sifat permeabilitas. Bahan dengan rongga yang lebih besar biasanya mempunyai angka pori yang lebih besar pula, dan karena itu tanah yang padat sekalipun akan lebih tinggi permeabilitasnya dari pada bahan seperti batuan dan beton. Craig (1991) menyatakan bahwa koefisien permeabilitas terutama tergantung pada ukuran rata-rata pori yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk partikel dan struktur partikel. Secara garis besar, makin kecil ukuran partikel, makin kecil pula ukuran pori dan makin rendah koefisien permeabilitasnya. Menurut Herlina (2003) dengan bertambahnya kadar air maka berat isi kering tanah semakin bertambah besar dan koefisien permeabilitas semakin kecil. Pada saat kadar air optimum, berat isi kering tanah mencapai maksimum dan koefisien permeabilitas mencapai minimum. Bila terjadi pertambahan kadar air setelah mencapai optimum, maka berat isi kering tanah menjadi semakin kecil dan koefisien permeabilitas menjadi semakin besar (Buckman dan Brady, 1982). Nilai klasifikasi permeabilitas tanah seperti yang tertera pada Tabel 1 : Tabel 1. Klasifikasi permeabilitas tanah Kelas Sangat rendah Rendah Agak rendah Sedang Agak cepat Cepat Sangat cepat
Permeabilitas (cm/jam) <0.125 0.125-0.5 0.5-2.0 2.0-6.35 6.35-12.7 12.7-25.4 >25.4
Sumber : Sitorus et al. (1980) dalam Sumarno (2003)
4.
Berat Jenis Partikel Tanah Menurut Hardiyatmo (1992), berat jenis (specific gravity) tanah (Gs) adalah
perbandingan antara berat volume butiran padat (γs) dengan berat volume air (γw) pada temperatur 40C. Berat jenis partikel tanah menunjukkan rata-rata partikel tanah yang membentuk sebuah matriks tanah. Berat jenis dari berbagai jenis tanah 7
berkisar antara 2.65-2.75. Untuk tanah tak berkohesi biasanya nilai berat jenisnya adalah 2.67, sedangkan untuk tanah kohesif tak organik berkisar antara 2.68-2.72. Nilai berat jenis tanah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Berat jenis tanah (Gs) Jenis Tanah Kerikil Pasir Lanau tak organik Lanau organic Lempung tak organik Humus Gambut
Berat Jenis 2.65-2.68 2.65-2.68 2.62-2.68 2.58-2.65 2.68-2.75 1.37 1.25-1.80
Sumber : Hardiyatmo (1992)
5.
Berat Isi Tanah (Bulk Density) Menurut Hakim, et al. (1986) berat isi tanah didefinisikan sebagai
perbandingan antara berat tanah dengan volume tanah total. Berat isi tanah merupakan salah satu indikator kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah, maka nilai berat isi tanah semakin besar yang mengakibatkan tanah makin sulit untuk melewatkan air atau ditembus akar tanaman. Hal ini disebabkan oleh ruangan pori yang terdapat di dalam tanah sedikit dan berupa pori mikro. Menurut Kalsim dan Sapei (2003) nilai berat isi kering selalu lebih kecil dari pada nilai berat isi basah. Nilai berat isi kering bervariasi dari 1000 sampai 1800 kg/m3. Semakin halus partikel tanah atau semakin tinggi kandungan bahan organik maka bulk density akan semakin rendah. Akan tetapi jika kepadatan tanah sangat padat maka tanah bertekstur halus menunjukkan berat isi kering yang lebih besar dari pada bertekstur kasar.
6.
Porositas (n) dan Angka Pori (e) Porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume rongga (Vv)
dengan volume total agregat tanah (V) (Hardiyatmo, 1992), sedangkan menurut Terzaghi dan Peck (1987) porositas adalah rasio ruang pori terhadap volume total agregat tanah. Porositas adalah bagian dari volume tanah yang terisi oleh poripori. 8
Porositas tanah umumnya antara selang 0.3-0.75, tetapi untuk tanah gambut nilai n dapat lebih besar dari 0.8. Lebih penting dari porositas adalah sebaran ukuran pori. Tanah berpasir dan tanah berliat mungkin mempunyai porositas yang hampir sama, akan tetapi sifat-sifatnya yang berhubungan dengan simpanan air, ketersediaan air dan aliran air tanah sangat berbeda. Hal ini disebabkan karena pada tanah pasir diameter pori relatif lebih besar dari pada tanah liat (Hardiyatmo, 1992). Angka pori (nisbah void) adalah rasio ruang pori terhadap volume bahan padat (Terzaghi dan Peck, 1987). Menurut Das (1993) angka pori merupakan perbandingan antara volume pori dan volume butiran padat, sedangkan Dunn, et al. (1979) menyatakan bahwa angka pori adalah rasio antara volume pori dan volume bahan padat, yang dinyatakan dalam bentuk desimal. Angka pori merupakan fungsi dari kepadatan tanah.
7.
Potensial Air Tanah (pF) Menurut Kalsim dan Sapei (2003) muka air tanah (water table) atau
preatic surface adalah suatu batas dalam tanah dimana tekanannya sama dengan tekanan atmosfer. Daerah di atas tanah disebut zone tak jenuh, meskipun sedikit di atas batas tersebut masih dalam keadaan jenuh karena adanya proses kenaikan kapiler. Air dalam zone tak jenuh disebut lengas tanah (soil moisture), sedangkan istilah air tanah (ground water) umumnya berkaitan dengan air dalam daerah jenuh di bawah muka air tanah.
b. Sifat Mekanik Tanah 1.
Pemadatan Tanah Pemadatan tanah adalah suatu proses dimana udara dari pori-pori
dikeluarkan dengan salah satu cara mekanis. Cara mekanis yang dipakai untuk memadatkan tanah dapat bermacam-macam, antara lain dengan cara menggali atau mencangkul. Untuk setiap daya pemadatan tertentu kepadatan yang tercapai tergantung pada kadar airnya. Bila kadar air rendah maka tanah akan keras atau kaku sehingga sulit dipadatkan. Bila kadar air ditambah maka air itu akan berfungsi sebagai pelumas sehingga tanah akan semakin mudah dipadatkan. Pada 9
kadar air tinggi kepadatannya akan menurun karena pori-pori tanah menjadi penuh terisi oleh air yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara memadatkan. Pemadatan tanah biasanya diukur (dinilai) dengan angka pori dan lebih tinggi derajat kepadatannya. Jadi untuk menentukan kadar air optimum biasanya dibuat grafik berat kering terhadap kadar air (Wesley, 1973). Menurut Terzaghi dan Peck (1987) tingkat pemadatan tertinggi diperoleh apabila kadar air mempunyai suatu nilai tertentu yang disebut kadar kelembaban optimum (optimum moisture content). Prosedur untuk mempertahankan agar kadar air mendekati nilai optimumnya selama pemadatan timbunan dikenal sebagai kontrol kadar kelembaban (moisture content control). Pengujian pemadatan di laboratorium dapat dilakukan dengan beberapa metode yang didasarkan pada perbedaan cara pelaksanaan pemadatannya antara lain adalah (Sosrodarsono dan Takeda, 1977) : a.
Pemadatan tumbuk yaitu dengan menjatuhkan sebuah penumbuk di atas contoh bahan.
b.
Pemadatan
tekan
yaitu
pemadatan
yang
didasarkan
pada
prinsip
pengoperasian pada contoh bahan dengan dongkrak hidrolis. c.
Pemadatan getar yaitu pemadatan yang menggunakan daya getaran mesin vibrasi. Pemadatan tanah terjadi bila proses mekanis yang menyebabkan partikel
tanah semakin mendekat. Hal-hal yang mempengaruhi pemadatan tanah adalah kadar air (water content), keragaman ukuran butiran tanah (distribution of soil particles) dan macam usaha pemadatan (compactive effort) (Lambe, 1951 dalam Koga, 1991).
2.
Konsistensi Tanah Istilah konsistensi berhubungan dengan derajat adhesi antara partikel tanah
dan tahanan yang muncul guna melawan gaya yang cenderung berubah dan meruntuhkan agregat tanah. Konsistensi digambarkan dengan istilah-istilah seperti keras, kaku, rapuh, lengket, plastik, dan lunak (Terzaghi dan Peck, 1987). Menurut Hakim, et al. (1986) konsistensi tanah tergantung pada tekstur, sifat, jumlah koloid-koloid inorganik dan organik, struktur dan terutama kandungan air 10
tanah. Dengan berkurangnya kandungan air, umumnya tanah-tanah akan kehilangan sifat melekatnya (stickness) dan plastisitasnya sehingga dapat menjadi gembur (friable) dan lunak (soft) dan akhirnya jika kering akan menjadi coherent. Sumarno (2003) menyatakan bahwa konsistensi tanah biasanya dinyatakan dengan batas cair dan plastis (disebut juga batas Atterberg). Atterberg (1991) dalam Darmastuti (2005) memberikan cara untuk menggambarkan batas-batas konsistensi tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan kadar airnya, yaitu : 1) Batas Cair (Liquid Limit) Batas cair (LL) adalah batas atas dari rentang kadar air dimana tanah masih bersifat plastis atau dapat dikatakan sebagai batas atas dari daerah plastis. Batas cair biasanya ditentukan dari pengujian Cassagrande. Batas cair merupakan kadar air tanah dalam persen berat kering. 2) Batas Plastis (Plastic Limit) Batas plastis (PL) merupakan batas bawah daerah plastis dimana kadar air tanah pada kedudukan antara daerah plastis dan semi padat, yaitu persentase kadar air tanah dengan diameter silinder 3.2 mm mulai retak-retak bila digulung. 3) Indeks Plastisitas (Plasticity Indeks) Indeks plastisitas (IP) adalah selisih dari batas cair dan batas plastis. Jika tanah mempunyai kadar interval air daerah plastis yang kecil, maka keadaan ini disebut tanah kurus. Sebaliknya, jika tanah mempunyai kadar interval air daerah plastis yang besar disebut tanah gemuk (Bowles, 1989 dalam Darmastuti, 2005).
B. Tanggul Sosrodarsono dan Takeda (1977) menyatakan bahwa tanggul adalah bendungan urugan homogen, karena bahan yang membentuk tubuh tanggul terdiri dari tanah yang hampir sejenis dan gradasinya (susunan ukuran butiran tanah) hampir seragam. Tanggul saluran adalah tanggul tanah yang berfungsi untuk menahan aliran air dan menyangga permukaan air sehingga air yang masuk ke saluran dapat dikendalikan. Apabila garis rembesan memotong lereng hilir suatu tanggul, maka akan terjadi aliran-aliran filtrasi keluar menuju permukaan lereng
11
tersebut dan terlihat gejala keruntuhan atau kelongsoran kecil pada permukaan lereng hilir. Tanggul selalu menghadapi masalah stabilitas tubuh tanggul. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh tubuh tanggul terletak di bawah garis rembesan (seepage line). Tubuh tanggul selalu dalam kondisi jenuh, sehingga daya dukung, kekuatan geser tanah serta sudut geser alamiahnya menurun pada tingkat yang paling rendah. Semakin rendah garis rembesan di hilir tubuh tanggul, maka ketahanannya terhadap gejala kelongsoran akan meningkat dan stabilitas tanggul akan meningkat pula. Menurut DPU (1986), rembesan terjadi apabila tubuh tanggul harus mengatasi beda tinggi muka air dan jika aliran yang diakibatkannya meresap masuk ke dalam tanah di sekitar tanggul. Aliran ini mempunyai pengaruh yang merusakkan stabilitas tanggul karena terangkutnya bahan-bahan halus dapat menyebabkan erosi bawah tanah. Jika erosi bawah tanah sudah terjadi, maka terbentuk jalur rembesan antara bagian hulu dan bagian hilir tanggul. Keadaan ini akan mengakibatkan kerusakan sebagai akibat terkikisnya tanah pondasi.
a.
Dimensi Tanggul DPU (1986) menyatakan dimensi tanggul adalah sebagai berikut :
1.
Tinggi tanggul (Hd) Tinggi tanggul adalah beda tinggi tegak antara puncak dan bagian bawah
dari pondasi tanggul. Permukaan pondasi adalah dasar dinding kedap air atau dasar zona kedap air. Apabila pada tanggul tidak terdapat dinding atau zona kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara bidang vertikal yang melalui tepi hulu mercu tanggul dengan permukaan pondasi alas tanggul tersebut. Mercu adalah bidang teratas dari suatu tanggul yang tidak dilalui oleh luapan air dari saluran.
2.
Tinggi Jagaan (Free board) (Hf) Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum
rencana air dalam saluran dengan elevasi tanggul. Elevasi permukaan rencana merupakan elevasi banjir rencana saluran. Elevasi permukaan air penuh normal 12
atau elevasi permukaan banjir rencana, dalam keadaan demikian yang disebut elevasi permukaan air maksimum rencana adalah elevasi yang paling tinggi yang diperkirakan akan dicapai oleh permukaan air saluran tersebut.
3.
Kemiringan Lereng (Talud) Kemiringan rata-rata lereng tanggul (hulu dan hilir) adalah perbandingan
antara panjang garis vertikal yang melalui puncak dan panjang garis horizontal yang melalui tumit masing-masing lereng tersebut (Perwira, 2004). Nilai kemiringan talud untuk tanggul tanah homogen tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai kemiringan talud yang dianjurkan untuk tanggul tanah homogen Klasifikasi tanah *)
Kemiringan sungai
Kemiringan talud tanah
GW, GP, SW, SP
Lulus air, tidak dianjurkan
GC, GM, SC, SM
1 : 2.5
1:2
CL, ML
1:3
1 : 2.5
CH, MH
1 : 3.5
1 : 2.5
Sumber : DPU (1986) *) Menurut The Unified Soil Classification System Ket : G (gravel = kerikil), S (sand = pasir), C (clay = lempung), M (silt = lanau), L (plastisitas rendah), H (plastisitas tinggi), W (gradasi baik), P (gradasi tidak baik).
b. Piping Soedibyo (1993) menyatakan piping adalah erosi yang sangat cepat sebagai akibat rembesan terpusat lewat tubuh atau pondasi bendungan urugan. Air meresap melalui timbunan tanah, lapisan kedap air atau pondasi bendungan. Menurut Terzaghi dan Peck (1987) sebagai dasar tanggul di atas pondasi tanah mengalami keruntuhan pembentuk mendadak aliran dalam saluran atau terowongan berbentuk pipa yang terletak di antara tanah dan pondasi. Bila air yang tersimpan keluar dari reservoir dan memasuki jalur keluar, maka lebar dan kedalaman jalur bertambah dengan cepat sampai pondasi struktur terangkat dan menyebabkan struktur hancur fragmen yang akan dihancurkan oleh aliran air yang deras. Peristiwa semacam ini sebagai keruntuhan oleh saluran pipa (gejala piping). Lebih lanjut Soedibyo (1993) menyatakan bahwa dengan adanya tekanan air di sebelah hulu maka ada kecenderungan terjadinya aliran air yang melewati pori13
pori di dalam tanah. Apabila gaya yang menahan lebih besar dari gaya yang mengalirkan maka aliran air ini akan terjadi. Kalau hal ini terjadi butir-butir kecil dari tanah akan hanyut dan terjadi erosi yang akan makin lama makin besar dan biasanya terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Setelah tanah yang hanyut makin besar maka dalam tubuh tanggul makin cepat berlubang, kemudian akan hancur dan inilah yang disebut gejala piping. Piping dapat terjadi bila qout > qc. Debit kritis (qc) besarnya sekitar 5% dari debit pemasukan (qin). C. Debit Rembesan Debit rembesan (aliran) adalah kapasitas rembesan air yang mengalir ke hilir melalui tubuh dan pondasi tanggul. Debit rembesan suatu tanggul mempunyai batas-batas tertentu yang apabila debit rembesan melampaui batas tersebut, maka kehilangan air yang terjadi akan cukup besar. Di samping itu debit rembesan yang besar dapat menimbulkan gejala suforsi piping serta gejala sembulan (boiling) yang sangat membahayakan kestabilan tubuh tanggul (Sosrodarsono dan Takeda, 1977). Menurut Soedibyo (1993) debit rembesan harus dibatasi yaitu 2% - 5% dari debit rata-rata yang masuk ke dalam waduk atau saluran. Semakin besar debit rata-rata yang mengalir pada sebuah saluran irigasi maka persentase maksimal yang diambil harus semakin kecil. Hukum Darcy tepat untuk aliran rembesan di dalam tanah. Hukum ini mengasumsikan bahwa aliran air di dalam tanah merupakan aliran laminer dan merupakan konsep dasar proses aliran air di dalam tanah dengan beberapa pengecualian. Asumsi lain adalah interaksi antara cairan dan tanah tidak menghasilkan perubahan dalam “fluidity” atau “permeability” dengan berubahnya gradien serta kondisi isothermal atau (isotropik) berlaku pada contoh tanah (Tampubolon, 1988). Besarnya debit rembesan yang terjadi pada tanggul dapat diperkecil dengan cara (DPU, 1986) : a.
Pemakaian bahan pelapis dari beton, aspal, karet, plastik dan sebagainya.
b.
Pemakaian adukan encer (grout).
c.
Pemakaian filter pada bagian keluar dari elemen yang tidak tembus air.
d.
Pemakaian inti atau dinding halang dengan koefisien permeabilitas yang rendah. 14
Hukum Darcy dapat digunakan untuk menghitung debit rembesan yang melalui struktur bendungan. Dalam merencanakan sebuah bendungan, perlu diperhatikan stabilitasnya terhadap bahaya longsoran, erosi lereng dan kehilangan air akibat rembesan yang melalui tubuh bendungan. Terdapat beberapa metode untuk menghitung debit rembesan yang melewati tanggul yang dibangun dari tanah urugan homogen di antaranya adalah : 1.
Metode Cassagrande Cassagrande (1973) dalam Hardiyatmo (1992) mengusulkan metode untuk
menghitung rembesan lewat tubuh tanggul yang didasarkan pada pengujian model. Parabola AB berawal dari titik A’ seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 3 (Hardiyatmo, 1992) dengan A’A = 0.3 x (AD). Menurut Cassagrande debit rembesan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : q = k a sin2 α………………………………………………… (1) a = √(d2 + H2) - √(d2 – H2 – ctg2 α)…………………………(2) dimana : q
= debit rembesan (m3/det)
k
= koefisien permeabilitas (m/det)
α
= sudut hilir tanggul
d
= jarak horizontal antara E dan C (m)
a
= panjang zona basah (m)
H
= tinggi muka air (m)
Gambar 3. Garis rembesan 15
2.
Metode Grafik Taylor (1948) dalam Sosrodarsono dan Takeda (1977) memberikan
penyelesaian dalam bentuk grafik. Prosedur untuk mendapatkan debit rembesan dengan metode grafik adalah dengan menentukan perbandingan nilai d terhadap H dari Gambar 3. Berdasarkan nilai d/H dan α maka nilai m dapat diperoleh dari grafik pada Gambar 4 (Sosrodarsono dan Takeda, 1977). Panjang zona basah (a) dihitung dengan menggunakan rumus : a = mH/sinα …………………………………………………….. (3) Berdasarkan nilai a debit rembesan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 1.
Gambar 4. Grafik perbandingan antara α terhadap d/H 3.
Metode Bowles Berdasarkan Gambar 5 (Bowles,1989) jumlah rembesan pada tanggul
urugan dapat diketahui dengan menghitung panjang zona basah (a) pada bagian hilir tanggul (Bowles, 1989) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : a = (d/cosβ) - √((d2/cos2β) – (H2/sin2β)) untuk β ≤ 300…….... (4) q = ka sin β tan β ………………………………………...…… (5) dimana : a = panjang zona basah (m) d = jarak antara titik asal dari garis freatik dengan ujung bawah hilir (m) H = tinggi tekan air (beda tinggi muka air hulu dan muka air hilir) (m) Β = sudut antara muka tanggul bagian hilir dan dasar tanggul. 16
Perhitungan ini dapat digunakan untuk perhitungan jumlah rembesan dan biasanya direkomendasikan untuk memperoleh penyelesaian yang cepat apabila β ≤ 300. Apabila β > 300, pemakaian persamaan 4 dan 5 dapat memberikan yang cukup memuaskan tentang jumlah rembesan pada beberapa kasus (Bowles, 1989).
Gambar 5. Garis rembesan dalam tubuh tanggul Wesley (1973) menyatakan garis rembesan (line of seepage atau free surface) adalah batas paling atas dari daerah dimana rembesan mengalir, seperti garis CD pada Gambar 5. Jadi sebenarnya garis rembesan adalah sama dengan muka air tanah. Rembesan air mengalir sejajar dengan garis ini sehingga garis rembesan juga merupakan garis aliran. Menurut Fukuda dan Tutsui (1973) dalam Anwar (1995) perembesan air secara lateral (seepage) dan secara vertikal (perkolasi) dipengaruhi oleh permeabilitas, porositas, tekstur, kedalam pori, kelembaban dan muka air tanah. Perkiraan rembesan penting dalam pembangunan bendungan baik jenis urugan, termasuk tanggul, maupun beton. Sebagian besar bendungan dapat terjadi rembesan baik melalui bendungan itu sendiri (pada jenis bendungan urugan), maupun melalui dasarnya (untuk bendungan urugan maupun beton). Apabila material dasar dan pinggirnya merupakan batuan, sering batuan tersebut disuntik adukan encer (grouting) untuk mengisi retakan-retakan dan mengurangi permeabilitas.
Suntikan
adukan
encer
kadang-kadang
digunakan
untuk
mengurangi permeabilitas apabila material dasarnya berupa tanah (Bowles, 1989). 17
D. Program Geoslope Program Geoslope dibuat oleh sebuah perusahaan yang bernama Geo-Slope International, Ltd yang berada di Kanada. Geo-Slope International berdiri sejak tahun 1997. Geoslope adalah suatu program yang digunakan pada bidang geoteknik dan modeling geo-environment. Program Geoslope terdiri dari SLOPE/W, SEEP/W, SIGMA/W, QUAKE/W, TEMP/W dan CTRAN/W. Programprogram ini satu sama lain saling berhubungan sehingga dapat digunakan dalam menganalisis berbagai jenis permasalahan dengan memilih jenis program yang sesuai untuk tiap-tiap masalah yang berbeda (http://www.geo-slope.com). Manfaat dari setiap program adalah : 1.
Slope/w adalah program untuk menghitung faktor keamanan dan stabilitas lereng.
2.
Seep/w adalah program untuk meneliti rembesan bawah tanah.
3.
Sigma/w adalah program untuk menganalisa tekanan geoteknik dan masalah deformasi.
4.
Quake/w adalah program untuk menganalisa gempa bumi yang berpengaruh terhadap perilaku tanggul, lahan, kemiringan lereng, dll.
5.
Temp/w adalah program untuk menganalisa masalah geothermal.
6.
Ctran/w adalah program yang dapat digunakan bersama dengan Seep/w untuk model pengangkutan zat-zat pencemar.
Seep/w merupakan program yang digunakan dalam menganalisa rembesan air dalam tanah dan tekanan air rembesan, yang membuat material menyerap air seperti tanah dan batu. Seep/w dapat diaplikasikan dalam menganalisis dan mendesain pada bidang geoteknik, sipil hidrogeologika dan proyek pembangunan tambang. Keistimewaan program Seep/w di antaranya adalah : 1.
Jenis analisa meliputi kondisi aliran steady state (mantap), aliran unsteady state (tidak mantap), aliran 2D dan aliran 3D.
2.
Jenis boundary condition (kondisi batas) meliputi total head, pressure head dan lain sebagainya. Kondisi batas dapat diatur dan dibatalkan untuk mengetahui bentuk kondisi rembesan.
3.
Volume air dan fungsi konduktivitas dapat diperkirakan dari parameter dasar dan fungsi grain size (ukuran butiran). 18
4.
Penggambaran aliran air lebih jelas.
5.
Pada program Seep/w memungkinkan untuk membatalkan dan mengurangi perintah-perintahnya. Penelitian ini hanya akan mengaplikasikan penggunaan Seep/w. Dari hasil
akhir program Seep/w dapat diketahui arah/vektor aliran, garis rembesan, pola aliran (flow net) dan debit rembesan yang diduga terjadi pada tubuh tanggul.
19