II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Karakteristik usaha kecil dilihat dari sistem manajemennya, pada umumnya dikelola
oleh
pemiliknya
langsung
sehingga
lebih
fleksibel
dalam
mengembangkan ide produk. Dari proses produksi usaha kecil memiliki proses yang sederhana dan menggunakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, sehingga biaya operasional dapat ditekan. Namun demikian usaha kecil memiliki beberapa kekurangan dalam hal keterbatasan manajerial, jaringan dan fenonema utama adalah kesulitan dalam hal akses permodalan. Di Indonesia, terdapat berbagai definisi mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), diantaranya sebagai berikut : 1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) : a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang –Undang. b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan, atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang. c. Usaha Menengah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan, atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
6
Tabel 1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut UU RI No.20/2008 Kriteria
Usaha Mikro (Rp)
Usaha Kecil (Rp)
Usaha Menegah (Rp)
Kekayaan Bersih
<50 juta
<500 juta – 10 milyar
Hasil Penjualan Tahunan
<300 juta
<50 juta – 500 juta <300 juta – 2,5 milyar
<2,5 milyar – 50 milyar
Sumber : Undang-Undang RI No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah 2. Menurut Badan Pusat Statistik, UMKM didefinisikan berdasarkan jumlah tenaga kerja seperti dimuat pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria Usaha Kecil dan Menengah menurut BPS Kriteria
Usaha Mikro (Rp)
Usaha Kecil (Rp)
Usaha Menegah (Rp)
Jumlah Tenaga Kerja
<5 orang
5 -19 orang
20 -100 orang
Sumber : Undang-Undang RI No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Menurut Hubeis (2009), UKM didefinisikan dengan berbagai cara yang berbeda tergantung pada negara dan aspek-aspek lainnya (misalnya spesifikasi teknologi). Oleh karena itu perlu dilakukan tinjauan khusus terhadap definisidefinisi tersebut agar diperoleh pengertian yang sesuai tentang UKM, yaitu menganut ukuran kuantitatif yang sesuai dengan kemajuan ekonomi. Menurut Nikijuluw (2012), ada beberapa sifat yang biasanya dimiliki oleh UKM, dilihat dari beberapa dimensi yaitu: 1. Modal : kecil, sulit, keluarga, terbatas akses perbankan, rentenir, kredit pemerintah, program pemerintah, dan lain-lain. 2. Skill :
rendah, terbatas, kurang pendidikan, kurang pelatihan, kurang
pengalaman dan kurang jaringan. 3. Akses Sumber Daya Alam : sangat terbatas, hanya pada daerahnya saja. 4. Produk : tidak standar, musiman, rendah mutu, shell-life terbatas, jangkauan pasar rendah, tidak ada guarantee. 5. Pasar : totally driven by the market, absolutely price-taker, terbatas di sekitar daerah produsen.
7
6. Akumulasi Modal: rendah, atau bahkan tidak ada. Menurut Pramiyanti (2008), kendati terdapat beberapa definisi mengenai UKM, namun usaha kecil mempunyai karakteristik hampir seragam, yaitu : 1. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industria kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekat. 2. Rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, sehingga cenderung mengantungkan pembiayaan dari modal sendiri, atau dari sumber sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara bahkan rentenir. 3. Sebagian usaha kecil ditandai belum memiliki status badan hukum. 4. Dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman, diikuti kelompok industri tekstil dan kayu.
Hubeis (1997) menyatakan bahwa UMKM mempunyai kelebihan dan kekurangan : a. Kelebihan 1. Organisasi internal sederhana terutama pada usaha mikro kecil (UMK) dan pada usaha menengah cukup terstruktur. 2. Mampu meningkatkan ekonomi kerakyatan/padat karya dan berpeluang untuk mengisi pasar ekspor dan mensubstitusi impor. 3. Relatif aman bagi perbankan dalam pemberian kredit. 4. Bergerak di bidang usaha yang cepat menghasilkan. 5. Mampu memperpendek rantai distribusi. 6. Fleksibilitas dalam pengembangan usaha. b. Kekurangan 1. Lemah dalam kewirausahaan dan manajerial. 2. Keterbatasan ketersediaan keuangan. 3. Ketidak mampuan pemenuhan aspek pasar.
8
4. Keterbatasan pengetahuan produksi dan teknologi. 5. Ketidakmampuan informasi. 6. Tidak didukung kebijakan dan regulasi memadai. 7. Tidak terorganisir dalam jaringan dan kerjasama. 8. Sering tidak memenuhi standar.
Menurut Nikijuluw (2007), anatomi usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat dilihat dari kinerja produksi produk hasil perikanan dan kelautan serta penggabungan skala usaha mengingat terdapat beberapa persepsi dalam pengelompokan usaha. Usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu : 1. Kelompok Usaha skala mikro adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang setidaknya memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya. 2. Kelompok Usaha skala kecil adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran
hasil
perikanan
yang
memiliki
kekayaan
bersih
mulai
Rp50.000.000,00 sampai Rp200.000.000,00 tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya. 3. Kelompok Usaha skala menengah adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran
hasil
perikanan
yang
memiliki
kekayaan
bersih
mulai
Rp200.000.000,00 sampai Rp 10 miliar, tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya. 4. Kelompok Usaha skala besar adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih di atas Rp10 Miliar, tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya. Pengembangan usaha kecil, menengah dan Koperasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu (1) kemampuan UKM dan Koperasi dijadikan kekuatan utama pengembangan ekonomi berbasis lokal yang mengandalkan endogenous resources di Kota atau Kabupaten; (2) kemampuan usaha kecil, menengah dan
9
koperasi dalam peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing; (3) menghasilkan produk bermutu dan berorientasi pasar (domestik maupun ekspor); (4) berbasis bahan baku domestik; (5) substitusi impor, serta (6) agribisnis dan agroindustri (Syaukat, 2002). Menurut Haryadi (1998), ada lima (5) aspek yang berkaitan erat dengan perkembangan usaha kecil, yaitu aspek pemasaran, produksi, ketenagakerjaan, kewirausahaan dan akses kepada pelayanan. Dalam aspek pemasaran, tujuan dan orientasi pasar penting bagi perkembangan suatu usaha, karena akan menentukan pilihan-pilihan strategi adaptasi yang akan diambil dalam mengatasi kendalakendala yang akan dihadapi, khususnya yang berkaitan dengan struktur pasar bahan baku produk. Peran pemerintah sangat diharapkan dalam meningkatkan stabilitas kinerja UKM di Indonesia. Pemerintah telah membangun gedung pusat promosi KUKM yang diberi nama SMEsCO (Small Medium Enterprise Company) Promotion Center atau gedung SPC sejak tahun 2004 dalam rangka mengembangkan dan memudahkan kegiatan promosi produk KUKM di tingkat nasional maupun internasional.
2.2 Industri Perikanan Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (UU Perikanan No. 45 Tahun 2009). Industri Perikanan merupakan industri yang menggunakan ikan sebagai bahan baku untuk diolah melalui transformasi dan pengawetan dengan cara melakukan proses perubahan fisik, atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Pengolahan ikan merupakan salah satu dari kegiatan perikanan yang bertujuan untuk mempertahankan ikan dari proses pembusukan, sehingga mampu disimpan lama sampai tiba waktunya untuk dijadikan sebagai bahan konsumsi. Pembusukan itu disebabkan oleh pengaruh kegiatan bakteri dan pengaruh
10
kegiatan enzim (autolisa), yaitu proses penguraian jaringan yang berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati, yang semakin cepat bila suhu meningkat dan mencapai puncaknya pada suhu 37oC (Moeljanto, 1992). Pengolahan ikan diawali dengan cara tradisional menggunakan sinar matahari, yang berfungsi untuk meningkatkan daya simpan dengan jalan mengurangi kadar air (KA). Namun, selama ini ikan tradisional masih mempunyai citra buruk di mata konsumen, karena rendahnya mutu dan nilai nutrisi, tidak konsistennya nilai fungsional, serta tidak adanya jaminan mutu dan keamanan bagi konsumen (Heruwati, 2002). Terdapat beberapa cara pengolahan lain, yaitu pendinginan, pembekuan, pengasapan, penggaraman, pemindangan dan peragian ikan (Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2000). Komoditas perikanan diolah menjadi produk perikanan (produk akhir) yang dapat dikelompokkan menurut proses penanganan dan/atau pengolahan (DITJEN P2HP DKP, 2006) berikut : 1. Produk hidup. 2. Produk segar (fresh product) melalui proses peng-esan/pendinginan. 3. Produk beku (frozen product) baik mentah (raw), atau masak (cooked) melalui proses pembekuan. 4. Produk kaleng (canned product) melaui proses pemanasan dengan suhu tinggi (sterilisasi) dan pasteurisasi. 5. Produk kering (dried product) melalui proses pengeringan alami, atau mekanis. 6. Produk asin kering (dried salted product) melaui proses penggaraman dan pengeringan alami, atau mekanis. 7. Produk asap (smoked product) melalui proses pengasapan. 8. Produk fermentasi (fermented product) melalui proses permentasi. 9. Produk masak (cooked product) melalui proses pemasakan. 10. Surimi based product melalui leaching atau pengepresan (minced).
11
Komoditas perikanan laut yang dapat dihasilkan di hampir seluruh wilayah Indonesia
menyebabkan
sentra
produksi
perikanan,
maupun
agroindustri ikan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.
PETA SEBARAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN JUMLAH UPI : 505 UE AS RUSIA KANADA KOREA SELATAN VIETNAM CHINA
ACEH : 1 SKP B: 1
SULUT: 33
SUMUT : 45 SKP A: 11 SKP B: 24 SKP C: 10
SKP A: 6 SKP B: 16 SKP C: 11
KALTIM: 15
SUMBAR : 2
KEPRI: 1
SKP A: 1 SKP C: 1
SKP B: 1
SUMSEL: 3 SKP A: 3
BANTEN: 6 SKP A: 1 SKP B: 5
SULTENG: 5
SKP A: 3 SKP B: 4 SKP C: 2
MALUKU: 12
JAKARTA: 56
SULSEL: 63
SKP A: 21 SKP B: 28 SKP C: 7
SKP A: 20 SKP B: 33 SKP C: 10
JABAR: 26 JATENG: 23 SKP A: 10 SKP B: 14 SKP C: 2
SKP A: 10 SKP B: 10 SKP C: 3
SKP A: 59 SKP B: 42 SKP C: 3
SKP A: 2 SKP B: 7 SKP C: 1
SKP A: 2 SKP B: 3
KALSEL: 9
JATIM: 104
PAPUA BARAT: 10
SKP B: 3
SKP B: 1
BABEL: 5
MALUKU UTARA: 2
GORONTALO: 3
KALTENG: 1
SKP C: 5
LAMPUNG: 6 SKP A: 6
SKP A: 2 SKP B: 4
SKP B: 2
SKP A: 12 SKP B: 3
KALBAR: 6
: 176 : 412 : 113 : 76 : 412 : 76 : 220
SULTRA: 7 SKP A: 3 SKP B: 2 SKP C: 2
BALI: 50
NTB: 1
NTT: 6
SKP A: 12 SKP B: 36 SKP C: 2
SKP B: 1
SKP B: 2 SKP C: 4
SKP A: 1 SKP B: 7 SKP C: 4
PAPUA : 4 SKP B: 4
Sumber: Nikijuluw, 2012
Gambar 1. Peta sebaran industri pengolahan ikan
2.3 Ikan Pindang Dalam proses pengolahannya secara umum, ikan Pindang dibedakan menjadi dua (2) yaitu pindang air garam dan pindang garam. Pindang air garam adalah suatu produk olahan perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, penyiangan, pencucian, perendaman dalam larutan garam, penyusunan, perebusan dan penyiraman/tanpa penyiraman (BSN, 2009). Sedangkan pindang garam adalah suatu produk olahan perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, penyiangan, pencucian, penyusunan dan pengaraman, perebusan I, perebusan II dan pendinginan (BSN, 2009). Pemindangan merupakan salah satu cara pengawetan yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi ikan pindang hanya memiliki umur simpan yang singkat sekitar
12
2 – 4 hari (Moedjiharto, 2002). Bahan yang sering digunakan dalam pemindangan adalah Ikan layang (Decapterus. spp) (Purnomo, 2002), yang memiliki kandungan gizi cukup tinggi yaitu jumlah protein 27%, lemak 3%, energi 176 kalori, air 60%, mineral 0,26%, serta vitamin B 0,07 mg (Heruwati, 2002). Sebagian besar pindang diproduksi di pulau Jawa dengan bahan baku ikan Layang, Lisong, Kembung, Tongkol, Tongkol Como, Banyar, dan Slengseng. Pada tahun 2010 jumlah pemindang nasional 65.766 KK. Sentra produksi pindang di pulau Jawa terutama terdapat di Sukabumi, Bogor, Karawang, Kendal, Rembang, Pati, dan Trenggalek. Proses pengolahan pindang belum memenuhi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan; kemasan masih sederhana; daya saing memasuki pasar retail modern dan ekspor
rendah; serta dukungan
permodalan masih rendah. Masalah utama yang dihadapi industri pemindangan saat ini adalah bahan baku tidak tersedia sepanjang tahun, sehingga tingkat utilitas pemindang rata-rata hanya 50% (DITJEN P2HP KKP, 2012) 2.4 Mutu dan Keamanan Pangan Produk Perikanan Berkaitan dengan produk perikanan sebagai produk pangan, maka jaminan mutu dan keamanan pangan produk perikanan sangat penting. Mutu dan keamanan produk perikanan ditentukan mulai dari kondisi mutu ikan segar sebagai bahan baku utama. Kesegaran ikan dalam karakteristik organoleptiknya merupakan faktor penting dalam penilaian mutu ikan. Penurunan mutu ikan segar ditandai oleh adanya perubahan karakteristik organoleptik ikan yang meliputi terdeteksinya off-odours dan off-flavor, pembentukan lendir, produksi gas, perubahan warna dan tekstur daging ikan (Huss, 1994). Terjadinya perubahan karakteristik organoleptik ikan segar disebabkan oleh proses autolisis, aktivitas kimiawi pada tubuh ikan, serta akibat aktivitas mikrobiologis. Ketiga (3) faktor tersebut selalu terdapat pada perubahan
karakteristik
organoleptik
ikan
segar.
Proses
autolisis
merupakan proses penguraian protein jaringan otot dan komponen organik lainnya di dalam daging ikan. Penurunan mutu akibat aktivitas kimia yang paling utama terjadi adalah perubahan akibat oksidasi lemak daging ikan yang
13
menghasilkan bau dan rasa tengik, serta perubahan warna menjadi coklat kusam. Aktivitas beragam mikroorganisme yang terdapat pada ikan dapat menghasilkan beragam senyawa hasil penguraian protein dan lemak seperti amonia, gas hidrogen belerang (H2S), beragam jenis asam, dan senyawa lain yang berbau busuk dan tengik (Ilyas, 1993). Penanggulangan beragam masalah yang menurunkan mutu ikan dan bahaya keamanan pangan terkait dengan aktivitas penanganan ikan, dimulai dari kegiatan penangkapan ikan hingga konsumen akhir. Berdasarkan hal tersebut, maka jaminan mutu terhadap produk agroindustri ikan yang baik perlu dilakukan melalui penerapan sistem jaminan mutu yang memadai secara efektif mulai dari ikan ditangkap, proses pengolahan di pabrik sampai ke tangan konsumen. Sistem mutu pada agroindustri ikan meliputi Good Manufacturing Practices (GMP), Standard
Sanitation
Operational
Procedure (SSOP) dan Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) (Palacios, 2001).
2.5 Sistem Jaminan Mutu Produk Perikanan 2.5.1 Penanganan yang Baik Untuk memperoleh ikan dengan mutu yang sesuai dengan ketentuan industri pengolahan ikan, maka penanganan ikan yang baik (Good Handling Practices atau GHP) sepanjang aktivitas rantai pasokan ikan untuk industri pengolahan perlu dilakukan dengan optimal. Penanganan ikan yang baik dapat mengurangi potensi
kerusakan dan kehilangan
mutu
ikan
sepanjang rantai pasokan. Menurut Menai (2007), penanganan ikan segar yang baik meliputi penanganan ikan segar di atas kapal, dan penanganan ikan
di pangkalan
Penanganan
ikan
pendaratan segar
harus
ikan,
atau
berpedoman
tempat kepada
pelelangan ikan. prinsip-prinsip
penanganan ikan segar yang baik dan benar, yaitu ikan harus selalu berada dalam rantai dingin (0-50C), pekerja bekerja dengan cermat, cepat, tepat waktu dan higienis (Mangunsong, 2008).
14
2.5.2 Cara Berproduksi yang Baik Cara berproduksi yang baik (Good Manufacturing Practices atau GMP) terdiri dari berbagai macam persyaratan yang secara umum, meliputi persyaratan mutu dan keamanan bahan baku/bahan pembantu, persyaratan penanganan bahan
baku/bahan
pembantu,
persyaratan
pengolahan,
persyaratan pengemasan produk, persyaratan penyimpanan produk dan persyaratan distribusi produk. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijabarkan lebih spesifik lagi sesuai dengan jenis produk yang diolah.
2.5.3 Prosedur Standar Penerapan Sanitasi Prosedur standar penerapan sanitasi (Sanitation Standar Operating Procedure atau SSOP) merupakan
langkah terdokumentasi yang secara
spesifik mendeskripsikan prosedur sanitasi tertentu untuk menjamin terpenuhinya kebersihan di suatu tempat kebersihan
tersebut
harus
cukup
pengolahan pangan. Prosedur detil
untuk menjamin
bahwa
pencemaran produk tidak akan terjadi. Dokumentasi dan peninjauan penerapan SSOP diperlukan dalam rencana HACCP secara periodik. SSOP secara umum harus meliputi : a. Keamanan air. b. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan pangan. c. Pencegahan kontaminasi silang. d. Menjaga tempat cuci tangan, sanitasi, dan fasilitas toilet. e. Proteksi pangan dan bahan baku dari pencemaran dan kerusakan. f. Pelabelan yang sesuai. g. Pengendalian kondisi kesehatan pekerja. h. Proteksi dari gangguan hewan.
Kebersihan dan terjaganya kondisi sanitasi merupakan hal yang vital dalam penyediaan pangan utuh dan aman bagi konsumen. Oleh karena itu, kebersihan dan sanitasi pada bangunan, peralatan, perlengkapan dan permukaan yang berhubungan langsung dengan pangan sangat penting
15
untuk dijaga, agar dapat tercegah dari kontaminasi bahaya pangan. Permukaan alat yang mengalami kontak langsung dengan pangan, harus dibersihkan
secara
teratur
untuk
mencegah
perkembangbiakan
mikroorganisme dan pembentukan biofilm. Komponen zat pembersih, maupun alat kebersihan dan sanitasi harus disimpan jauh dari pangan (pada tempat terpisah). Suatu sistem sanitasi yang efektif akan memerlukan beragam prosedur pembersihan yang meliputi pengukuran efektif untuk pengendalian
penyakit
dan
pasokan
air
yang
memadai.
Kondisi drainase yang baik juga diperlukan untuk membuang air limbah penanganan pangan. Pengendalian sanitasi tambahan meliputi perawatan sanitasi fasilitas toilet, penyediaan tempat cuci tangan dan penyediaan tempat pembuangan limbah pada lokasi yang tepat (Tajkarimi, 2007)
2.5.4 Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point, atau HACCP) adalah suatu sistem yang digunakan untuk
mengidentifikasi
pengendaliannya
yang
bahaya memfokuskan
mengandalkan sebagian besar
dan pada
menetapkan pencegahan
tindakan daripada
pengujian mutu produk akhir. HACCP
dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan bukti secara ilmiah terhadap risiko kesehatan manusia. Penerapan sistem HACCP
dilakukan
berdasarkan 12 langkah terurut. Dari 12 langkah
tersebut terdapat tujuh prinsip dasar HACCP. Penerapan sistem HACCP berdasarkan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya (BSN, 1998) adalah : a. Pembentukan tim HACCP Tim HACCP idealnya harus dibentuk karena pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu harus tersedia untuk pengembangan rencana HACCP efektif.
Secara optimal, hal tersebut dapat dicapai dengan
16
pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara umum bahayabahaya yang dimaksudkan (semua jenjang bahaya, atau hanya jenjang tertentu).
b. Deskripsi produk Deskripsi yang lengkap mengenai produk, atau kelompok produk diperlukan sebagai gambaran bagi tim HACCP dan sangat diperlukan dalam membantu menetapkan tujuan keamanan pangan dan analisis bahayanya.
c. Identifikasi rencana penggunaan Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk, atau konsumen. Dalam halhal tertentu, kelompok-kelompok populasi konsumen yang rentan dalam menerima pangan dari institusi, maka perlu dipertimbangkan.
d. Penyusunan bagan alir Diagram alir yang dibuat harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Bila HACCP diterapkan pada suatu operasi tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut.
e. Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan Deskripsi tugas harus ditulis untuk setiap langkah proses, termasuk hal detil operasi, misalnya, operator apa yang diperlukan, atau peralatan apa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan. Konfirmasi bagan alir harus mencakup tanggungjawab keamanan pangan yang relevan dari operator.
17
f. Melaksanakan analisis bahaya (Prinsip 1) Identifikasi bahaya
akan menyoroti
bahaya
keamanan
pangan
yang diperkirakan berasosiasi dengan produk, atau proses. Identifikasi bahaya memerlukan suatu pemahaman terhadap bahan baku, proses, spesifikasi produk, peralatan pengolahan, lingkungan pengolahan dan kegiatan operator di dalam suatu proses.
g. Menentukan Titik Kendali Kritis (Prinsip 2) Titik kendali kritis (TKK) dapat berupa poin, langkah, atau prosedur dimana kendali dapat diterapkan dan penting untuk mencegah, atau menghilangkan bahaya keamanan pangan atau mengurangi hingga batas tertentu, sesuai dengan : 1) Tujuan keamanan pangan untuk produk. 2) Level bahaya yang terjadi. 3) Frekuensi seringnya bahaya terjadi. 4) Transfer atau redistribusi timbulnya bahaya. 5) Kondisi efek bahaya pada pelanggan.
h. Menetapkan batas kritis (Prinsip 3) Batas kritis merupakan kriteria yang memisahkan pengamatan, atau pengukuran yang dapat dan tidak dapat diterima. Batas kritis harus jelas didefinisikan dan dapat diukur. Batas kritis harus spesifik untuk setiap TKK sebagaimana batas kritis mendefinisikan aktivitas dan operasi yang dapat diterima untuk mengendalikan bahaya.
i. Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian TKK (Prinsip 4) Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali pada TKK. Selanjutnya, pemantauan seyogianya memberi informasi yang tepat waktu untuk mengadakan penyesuaian dalam memastikan pengendalian proses untuk mencegah pelanggaran dari batas kritis.
18
Dimana mungkin, penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali pada suatu TKK.
j. Menetapkan
tindakan
perbaikan
untuk
dilakukan
jika hasil
pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tertentu tidak dalam kendali (Prinsip 5). Tindakan-tindakan perbaikan harus memastikan bahwa TKK telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus mencakup disposisi tepat dan produk yang terpengaruh. Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.
k. Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif (Prinsip 6) Metoda audit dan verifikasi, prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Contoh kegiatan verifikasi mencakup peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya; meninjau kembali penyimpangan dan disposisi produk; mengkonfirmasi apakah TKK berada dalam kendali.
l. Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya (Prinsip 7) Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta akurat adalah penting dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.
19
2.6 Analisis Kelayakan Usaha Studi kelayakan usaha adalah suatu penelitian tentang layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan, yaitu prakiraan bahwa proyek dapat, atau tidak dapat menghasilkan keuntungan yang layak (Umar, 2003). Dari sisi keuangan, proyek dikatakan sehat, apabila dapat memberikan keuntungan yang layak dan mampu memenuhi kewajiban finansialnya. Tujuan dari analisis aspek finansial adalah untuk membandingkan pengeluaran dengan pendapatan, seperti ketersediaan dana, kemampuan proyek untuk dapat membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan, dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus (Umar, 2003). Hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan aliran kas (cash flow). Pada umumnya ada empat (4) metode yang biasa digunakan dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode payback period (PBP), net present value (NPV), internal rate of return (IRR) dan profitability index (PI). PBP adalah metode untuk mencoba mengukur seberapa cepat investasi dapat kembali. Karena itu, satuan hasilnya bukan persentase, tetapi satuan waktu. Kalau nilai PBP lebih pendek dari yang disyaratkan, maka proyek dikatakan menguntungkan, namun apabila lebih lama proyek ditolak (Rangkuti, 2008). NPV dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh investasi. IRR adalah nilai discount rate yang membuat NPV dari suatu proyek sama dengan nol. IRR adalah tingkat rataan keuntungan intern tahunan bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen (Gittinger, 1996). PI atau Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) adalah perbandingan antara nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang dengan nilai sekarang dari investasi (Umar, 2003). Analisis rasio keuangan merupakan teknik untuk mengetahui secara cepat kinerja keuangan perusahaan. Tujuannya mengevaluasi situasi yang terjadi saat ini dan memprediksi kondisi keuangan masa mendatang (Rangkuti, 2008). Jenis rasio keuangan ini adalah : (1) rasio likuiditas (liquidity ratio), tujuan rasio ini adalah untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya;
(2) rasio hutang (leverage ratio), tujuan rasio ini adalah untuk
20
mengukur sampai seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh pihak luar; (3) rasio aktivitas (activity ratio), tujuan rasio ini adalah untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam mengelola sumber dana perusahaan dan (4) rasio keuntungan (profitability ratio), tujuan rasio ini adalah untuk mengukur efektivitas keseluruhan manajemen yang dapat dilihat dari keuntungan yang dihasilkan (Rangkuti, 2008).
2.7 Manajemen Strategik Manajemen Strategik merupakan proses obyektif, rasional dan sistematik yang melibatkan fase perumusan dan implementasi rencana, strategi dan keputusan yang diperlukan untuk meraih tujuan yang efektif dan efisien dari suatu organisasi dan mempertahankan keunggulan yang dimilikinya saat ini dan ke depan, baik untuk bertahan maupun mempengaruhi sistem dalam arti makro, meso dan mikro (Hubeis dan Najib, 2008). David (2008), mendefinisikan manajemen strategi sebagai ilmu tentang perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi keputusankeputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi untuk mencapai tujuannya. Sementara Hutabarat dan Huseini (2006), mengemukakan manajemen strategik adalah pengelolaan organisasi yang menyangkut desain, formasi, transformasi serta implementasi dari strategi yang berlaku untuk kurun waktu tertentu. Sejalan dengan itu, Wheelen dan Hunger (2010) menjabarkan bahwa manajemen strategik merupakan serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Manajemen strategik mencakup scanning lingkungan (eksternal dan internal), formulasi strategi baik bersifat jangka pendek atau panjang, evaluasi dan kontrol. Setiap organisasi harus menggunakan konsep dan teknik manajemen strategis dalam lingkungan industri yang dijalankannya dengan pendekatan proaktif dalam menghadapi berbagai peristiwa. Oleh karena itu, manajemen strategik dapat digunakan untuk mengidentifikasi kegiatan yang menjanjikan dan berfokus pada sumber daya (alam, manusia dan buatan). Kerangka dasar dan berpikir manajemen strategik (Gambar 2) terdiri dari 4 (empat) tahap yaitu :
21
1. Pengamatan Lingkungan Pengamatan lingkungan merupakan proses awal dari manajemen strategi yang bertujuan menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap lingkup organisasi.
Pengamatan Lingkungan Eksternal
Formulasi Strategi
Evaluasi dan Pengendalian
Implementasi Strategi
Misi
Lingkungan sosial
Tujuan
Lingkungan Tugas
Strategi Program
Internal Kebijakan
Struktur Budaya
Anggaran
Sumberdaya Prosedur
Kinerja
Gambar 2. Model Manajemen Strategik (Wheelen dan Hunger, 2010)
2. Formulasi Strategi Formulasi
strategi
terdiri
dari
perumusan
misi,
penetapan
tujuan,,
pengembangan strategi dan penetapan kebijakan. Unsur utama yang harus diperhatikan adalah bagaimana organisasi tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan dengan cepat. Langkah selanjutnya adalah análisis lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhi strategi kebijakan yang akan dibuat. Langkah selanjutnya adalah melakukan análisis
22
SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Analisis tersebut akan menghasilkan strategi alternatif dan pemilihan strategi tertentu. 3. Implementasi Strategi Implementasi
strategi
merupakan
tahap
dimana
formulasi
strategi
dikembangkan secara logis ke dalam bentuk tindakan. Langkah terakhir, yaitu kegiatan evaluasi dan pengendalian yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa semua kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi hendaknya didasarkan pada rencana yang telah disepakati sehingga tidak menyimpang dari batasbatas toleransi. 4. Evaluasi dan Pengendalian Evaluasi dan pengendalian memiliki tiga tahap utama, yaitu (1) evaluasi faktor eksternal dan internal yang merupakan dasar bagi strategi saat ini, (2) mengukur performance, dan (3) mengoreksi kesalahan yang terjadi.
2.8 Konsep Keunggulan Daya Saing Keunggulan daya saing dapat didefinisikan sebagai kepemilikan perusahaan terhadap berbagai aset dan kompetensi dengan karakteristik spesial (seperti kemampuan dalam menciptakan strategi berbiaya rendah, merek, ataupun strategi logistik) yang menjadikan perusahaan memiliki keunggulan melebihi pesaingnya. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), keunggulan kompetitif merupakan posisi yang menjamin superioritas perusahaan di atas para pesaingnya dalam pandangan konsumen. Sumber keunggulan kompetitif terletak pada kemampuan perusahaan untuk membedakan dirinya sendiri di mata konsumen dari para pesaingnya (keunggulan nilai) dan yang ke dua adalah kemampuan perusahaan melakukan cara kerja berbiaya rendah (keunggulan produktifitas). Keunggulan daya saing merupakan gabungan dari banyaknya kreativitas di perusahaan dalam mendisain, memproduksi, memasarkan, mengantarkan dan mendukung produknya. Perusahaan akan memiliki keunggulan daya saing jika mampu melakukan aktivitas tersebut lebih baik, atau lebih murah dari pesaingnya.
23
2.9 Pengambilan Keputusan Strategik dalam Pengembangan Usaha Perencanaan strategik (Renstra) merupakan proses analisis, perumusan dan evaluasi strategis yang bertujuan agar perusahaan dapat melihat secara obyektif kondisi-kondisi eksternal dan internal untuk mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi. Renstra penting untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan dukungan optimal dari sumber daya yang ada agar dapat meningkatkan daya saing (Rangkuti, 2008). Menurut Umar (2003), lingkungan perusahaan dapat dibagi menjadi lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal terdiri atas peubah-peubah yang merupakan kekuatan dan kelemahan bagi perusahaan dan berada di bawah kontrol perusahaan. Lingkungan eksternal terdiri atas peubah-peubah yang merupakan peluang dan ancaman bagi perusahaan dan tidak dapat dikontrol perusahaan. Teknik perumusan strategi yang digunakan dalam membantu menganalisa, mengevaluasi dan memilih strategi terdiri atas tiga tahap, yaitu (1) tahap mengumpulkan data (input stage); (2) tahap pencocokan (matching stage), berfokus pada strategi alternatif yang layak dengan memadukan faktor-faktor eksternal dan internal; (3) tahap keputusan (decision stage), tahap pemilihan strategi yang terbaik dari berbagai strategi alternatif yang ada untuk diimplementasikan (David, 2008). Faktor eksternal yang dimiliki oleh suatu unit usaha meliputi peluang dan ancaman. Peluang dan ancaman merujuk pada peristiwa dan tren ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, pemerintahan, teknologi dan persaingan yang dapat menguntungkan atau merugikan suatu organisasi secara berarti di masa depan, sebagian besar di luar kendali suatu organisasi (David, 2008). Menurut Jauch dan Glueck (1999), analisis eksternal adalah suatu proses yang dilakukan oleh perencanaan strategik untuk memantau sektor lingkungan dalam menentukan peluang dan ancaman bagi perusahaan. Faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan suatu unit usaha. Kekuatan dan kelemahan merupakan segala kegiatan dalam kendali organisasi yang bisa dilakukan dengan sangat baik atau buruk (David, 2008). Menurut Jauch dan Glueck (1999) analisis internal adalah proses dimana perencanaan strategik
24
mengkaji pemasaran dan distribusi perusahaan, penelitian dan pengembangan, produksi dan operasi, sumber daya dan karyawan perusahaan serta faktor keuangan dan akuntansi untuk menentukan dimana letak kekuatan dan kelemahan perusahaan. Analisis
SWOT
merupakan
salah
satu
alat
analisis
yang
dapat
menggambarkan secara jelas keadaan yang dihadapi oleh perusahaan. Rangkuti (2008), menyatakan analisis SWOT adalah mengidentifikasi berbagai faktor yang secara sistematis untuk merumuskan strategi yang didasarkan pada logika untuk memaksimalkan kekuatan yang dimiliki dan peluang yang ada dan secara bersamaan mampu meminimalkan kelemahan dan ancaman yang timbul, baik yang berasal dari internal maupun eksternal perusahaan. Alat analisis untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan dengan menggunakan matrik SWOT, dapat mengambarkan dengan jelas peluang dan ancaman dari luar yang dihadapi serta dapat menyesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Matrik ini menghasilkan empat set alternatif strategik, yaitu strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT. Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode yang sangat komprehensif dalam pengambilan keputusan. Metode untuk
dapat
ini
dimaksudkan
mengorganisasikan informasi dari berbagai keputusan secara
rasional (judgement) agar dapat memilih alternatif yang paling disukai (Saaty, 1990). Metode ini dapat membantu memecahkan masalah kualitatif kompleks dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah yang dimaksud dalam kerangka berpikir terorganisir, sehingga memungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Metode ini memiliki keunggulan tertentu, karena mampu membantu menyederhanakan persoalan kompleks menjadi persoalan terstruktur, sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan terkait. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu persoalan kompleks dan tidak terstruktur, serta bersifat strategik dan dinamis melalui upaya penataan rangkaian peubahnya dalam suatu hirarki. Pengolahan data dengan metode AHP dapat dilakukan dengan aplikasi perangkat lunak CDP V3.04 dan Expert Choice.
25
Keunggulan lain dari AHP, diantaranya menjelaskan proses pengambilan keputusan secara grafik, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam proses bersangkutan. Dengan memakai metoda AHP, proses keputusan yang bersifat kompleks dapat diuraikan menjadi sejumlah keputusan lebih kecil (terbatas), sehingga dapat ditangani dengan lebih mudah. Selain itu, dalam aplikasinya, metode ini juga menguji konsistensi berbagai penilaian, khususnya apabila terjadi penyimpangan penilaian yang terlalu jauh dari nilai konsistensi yang sempurna (Marimin, 2004). Marimin (2004) menyatakan beberapa langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah : 1. Penyusunan Hirarki untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur, dalam wujud kriteria dan alternatif, yang disusun dalam bentuk hirarki. 2. Penyusunan kriteria untuk membuat keputusan yang dilengkapi dengan (1) uraian subkriteria dan (2) bentuk alternatif yang terkait masing-masing kriteria tersebut untuk dipilih sebagai keputusan tercantum pada tingkatan paling bawah. 3. Penilaian Kriteria dan Alternatif untuk melihat pengaruh strategik terhadap
pencapaian
sasaran,
yang
dinilai
melalui perbandingan
berpasangan. Nilai dan definisi pendapat kualitatif berdasarkan
skala
perbandingan Saaty (1990) adalah seperti termuat pada Tabel 6. 4. Penentuan
Prioritas
menggunakan
teknik
perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons) untuk setiap kriteria dan alternatif. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan
manipulasi
matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian dengan menggunakan cara perhitungan CR (Consistency Ratio).
Metode gabungan SWOT dan AHP merupakan metode yang saling melengkapi, sehingga menghasilkan strategi pengembangan usaha yang sesuai dengan kebutuhan. Analisis SWOT dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai
26
faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengembangan usaha dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun meminimalkan kelemahan dan ancaman yang ada, (Rangkuti, 2008). Analisis AHP digunakan untuk menetapkan prioritas pengembangan usaha pengolahan pindang ikan. Tujuan analisis adalah untuk membantu para pengambil keputusan dalam menentukan strategi yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang terbaik.
Tabel 3. Keuntungan penggunaan metode AHP No
Prinsip
Penjelasan
1
Kesatuan
2
Kompleksitas
3
Saling Ketergantungan
4
Pengukuran
5
Konsistensi
6
Sintesis
7
Tawar Menawar
8
Pemilihan Konsensus
9
Pengulangan Proses
AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, dan luwes untuk aneka ragam persoalan yang tidak terstruktur AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasar sistem dalam memecahkan persoalan kompleks AHP mencerminkan kecenderungan alami, dari pemikiran untuk memilah-milah unsur dalam satu sistem, pada berbagai tingkat yang berlainan dan pengelompokkan unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat. AHP menghasilkan satu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujudnya suatu metode untuk menetapkan prioritas AHP melacak konsistensi logis dari berbagai pertimbangan yang dipakai untuk menetapkan berbagai prioritas AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi dapat memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuantujuannya. AHP tidak memaksakan konsesus tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian berbeda. AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisinya atas satu persoalan dan memperbaiki berbagai pertimbangan, serta pengertian melalui berbagai pengulangan.
Tahapan metode analisis SWOT dan AHP adalah : (1) mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pengembangan unit pengolahan
27
pindang ikan dan (2) melakukan analisis AHP. Menurut Budiharsono (2001) tahapan metode gabungan antara SWOT dan AHP adalah sebagai berikut : 1. Analisis SWOT dilakukan dengan cara mengdentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dalam penyusunan kebijakan. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. 2. Setelah melakukan analisis SWOT, selanjutnya melakukan analisis AHP dengan tahapan sebagai berikut : merinci permasalahan ke dalam komponenkomponennya, kemungkinan mengatur bagian dari komponen komponen tersebut kedalam bentuk hierarki. Hierarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa kumpulan lainnya sehingga terdapat unsur-unsur yang spesifik, atau unsur yang dapat dikedalikan dan dicapai dalam situasi konflik (Saaty, 1993)