I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistis yang sering terjadi di rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida albicans (Neville dkk., 2003). Hasil penelitian Sofro dkk., pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 79% pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Kariadi Semarang menderita kandidiasis orofaringeal. Penelitian lanjutan Sofro dkk., pada tahun 2013 dari 40 kasus kandidiasis orofaringeal ditemukan spesies Candida albicans sebanyak 18 isolat (45%). Spesies non Candida albicans sebanyak 22 isolat (55%) yang terdiri dari 6 spesies yaitu C. stellatoidea, C. Tropicalis, C. parapsilosis, C. krusei, C. glabrata, C. guillermondia (Sofro dkk., 2013). Candida albicans merupakan flora normal yang tumbuh pada beberapa bagian tubuh manusia seperti kulit, membran mukosa, dan saluran pencernaan. Pada individu yang sehat, organisme komensal tersebut berjumlah kira-kira 20% sampai 40% dari seluruh flora normal. Candida albicans merupakan salah satu spesies jamur dari genus Candida yang memiliki dua bentuk morfologi sel yaitu yeast dan hifa, sehingga disebut jamur dimorfik. Candida albicans dapat bersifat patogen dan menyebabkan infeksi kulit dan mukosa yang disebut kandidiasis dikarenakan faktor lokal dan sistemis (Mitchell, 2010; Cannon dan Firth, 2006; Scully, 2008). Faktor lokal akan memicu pertumbuhan C. albicans dalam rongga mulut sehingga terjadi peningkatan melebihi jumlah normal. Selain itu, faktor lokal juga
1
2
mempengaruhi respon sistem imun berupa penurunan respon imun rongga mulut (Greenberg dkk., 2008). Faktor lokal tersebut adalah ketidakseimbangan mikroflora dalam rongga mulut, hyperkeratosis, xerostomia, kebiasaan merokok, konsumsi antimikroba spektrum luas dan kortikosteroid, pemakaian pelat gigi tiruan, serta iradiasi yang melibatkan mulut atau kelenjar saliva (Scully, 2008; Greenberg dkk., 2008). Faktor sistemis berhubungan dengan status sistem imun dan endokrin (Greenberg dkk., 2008). Faktor sistemis yang berpengaruh yaitu usia, malnutrisi, kemoterapi sitotoksik, gangguan imunitas sel T, konsumsi obatobatan immunosupressive, gangguan endokrin, dan anemia (Scully, 2008; Greenberg dkk., 2008). Kandidiasis oral terjadi karena perlekatan C. albicans pada permukaan epitel, kemudian melakukan penetrasi ke dalam lapisan sel-sel epitel. Candida albicans memproduksi lipase yang memudahkan penetrasi ke dalam lapisan selsel epitel (Greenberg dkk., 2008). Adanya penetrasi hifa C. albicans akan mencegah hilangnya perlekatan pada lapisan epitel karena proses deskuamasi dan juga untuk mendapatkan nutrisi (Marsh dan Martin, 1999). Candida albicans memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm yang merupakan faktor virulensi yang sangat berperan dalam menyebabkan kandidiasis. Pembentukan biofilm diawali dengan adanya perlekatan dan kolonisasi sel-sel jamur pada permukaan host. Interaksi antara protein dalam dinding sel C. albicans dengan reseptor adhesi pada jaringan host akan mengakibatkan agregasi sel-sel jamur. Selain itu juga dapat terjadi koagregasi dengan mikroorganisme lain sehingga menimbulkan
3
infeksi polimikroba (Ramage dkk., 2005; Nobile dan Mitchell, 2006; Williams dkk., 2011). Pembentukan biofilm Candida sp. dapat terjadi pada permukaan suatu bahan seperti pelat gigi tiruan. Keadaan tersebut menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya infeksi Candida sp.. Peningkatan kekasaran permukaan akan membantu perlekatan dan kolonisasi C. albicans pada permukaan pelat gigi tiruan. Kesehatan mulut dan pemeliharaan kebersihan pelat gigi tiruan yang buruk mendukung terbentuknya biofilm pada permukaan pelat (Williams dkk., 2011). Perlekatan C. albicans pada permukaan pelat gigi tiruan karena adanya interaksi hydrophobic antara C. albicans dan pelat gigi tiruan (Minagi dkk., 1985). Perawatan kandidiasis oral dilakukan dengan pemberian obat-obatan antifungi. Obat-obat antifungi yang sering digunakan adalah golongan azole dan polyenes (Greenberg dkk., 2008). Obat-obat antifungi golongan azole akan menghambat pertumbuhan jamur dengan menghambat biosintesis sterol pada membran sel jamur, sedangkan mekanisme kerja polyenes yaitu dengan membentuk pori-pori pada membran plasma yang mengandung komponen utama sterol ergosterol (Cannon dan Firth, 2006). Ergosterol merupakan komponen yang berperan dalam permeabilitas dan integritas membran sel serta berfungsi sebagai enzim perlekatan membran (Iwaki dkk., 2008). Pada saat ini, resistensi jamur pada obat-obat antifungi golongan azole telah banyak terjadi diakibatkan oleh penggunaan obat antifungi dalam jangka panjang, contohnya pada pasien HIV/AIDS yang mengkonsumsi antifungi triazole dalam jangka waktu yang lama
4
untuk mengobati kandidiasis orofaringeal. Resistensi terhadap antifungi golongan azole dapat mengakibatkan infeksi jamur yang berulang (Cannon dan Firth, 2006). Pengembangan obat antifungi dengan efek samping yang rendah mulai dilakukan. Produk alami baik komponen murni maupun ekstrak tanaman yang terstandarisasi dapat menjadi sumber obat-obatan baru karena adanya kandungan senyawa kimia yang beraneka ragam. Beberapa senyawa kimia tanaman yang memiliki efek farmakologi sebagai antifungi dapat berupa ekstrak mentah, minyak esensial, senyawa terpenoid, saponin, fenol, alkaloid serta peptida dan protein (Abad dkk., 2007). Kandungan zat aktif tanaman yang memiliki kemampuan fungicidal dapat menjadi alternatif sumber senyawa aktif pada obat-obatan antifungi (Dellavalle dkk., 2011). Asam oleanolat merupakan salah satu jenis asam terpenoid yang terkandung dalam tanaman dan obat-obatan herbal. Asam oleanolat sebagai senyawa aktif dalam tanaman memiliki efek terapeutik (Nowak dkk., 2013). Berdasarkan penelitian ilmiah, asam oleanolat memiliki beberapa kemampuan biologis seperti fungicidal, antireplikasi HIV, antibakteri, analgesik, dan antiinflamasi
(Zhao
dkk., 2011; Mengoni dkk., 2002; Capel dkk., 2011; Vasconcelos dkk., 2006a). Hasil penelitian Habila dkk., (2012) menunjukkan aktivitas antifungi senyawa asam oleanolat yang diisolasi dari cengkeh. Asam oleanolat dapat menghambat pertumbuhan Candida terutama spesies C. albicans dengan terbentuknya zona hambat pada media pertumbuhan C. albicans dengan konsentrasi minimal (MIC) 1,25x10-6 mg/ml. Asam oleanolat memiliki toksisitas yang rendah, penelitian
5
Mengoni dkk., (2002) asam oleanolat memiliki kemampuan menghambat replikasi HIV pada sel makrofag dan monosit tanpa membunuh kedua sel tersebut. Asam oleanolat yang terkandung dalam tanaman dapat diidentifikasi dan dikuantifikasi, tetapi setiap tanaman mengandung konsentrasi asam oleanolat yang berbeda, contohnya pada tanaman Mentha piperita L. mengandung 0,099% asam oleanolat (Iram dan Mohammed, 2010; Jager dkk., 2009). Pada saat ini, asam oleanolat telah diproduksi oleh beberapa industri kimia. Asam oleanolat tersebut disintesis dari tanaman dengan kemurnian asam oleanolat hampir mencapai 100% (Sigma Aldrich Co., 2013; Cayman Chemical Company, 2014; Santa Cruz Biotechnology, Inc., 2014).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu: Apakah terdapat pengaruh konsentrasi asam oleanolat pabrikan terhadap persentase perlekatan sel C. albicans secara in vitro?
C. Keaslian Penelitian Habila dkk., (2012) telah menguji efek fraksi asam oleanolat dari cengkeh (Syzigium aromaticum) terhadap pertumbuhan Candida secara in vitro. Penelitian tersebut membuktikan asam oleanolat memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan C. albicans. Kebaruan dari penelitian ini adalah menguji pengaruh konsentrasi asam oleanolat pabrikan terhadap persentase perlekatan C. albicans secara in vitro.
6
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi asam oleanolat pabrikan terhadap persentase perlekatan sel C. albicans secara in vitro.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan akan didapat dari penelitian ini antara lain: 1. Sebagai informasi ilmiah mengenai pengaruh asam oleanolat terhadap perlekatan C. albicans. 2. Sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan asam oleanolat. 3. Hasil
penelitian
dapat
dijadikan
bahan
pertimbangan
untuk
pengembangan produk perawatan kesehatan gigi dan mulut bagi masyarakat.