1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Rongga mulut sangat rentan dengan terjadinya perlukaan, termasuk gingiva. Gingiva merupakan membran mukosa yang melekat erat pada periosteum tulang maksila dan mandibula (Junqueira dan Carneiro, 2007). Luka pada rongga mulut dapat timbul karena trauma, penyakit periodontal, ekstraksi gigi, dan bedah mulut (Shim dkk,. 2007). Dalam dunia kedokteran gigi, terdapat salah satu prosedur bedah dengan memberi perlukaan pada gingiva yang dikenal dengan gingivektomi. Menurut Harty dan Ogston (1995) gingivektomi adalah eksisi jaringan gingiva yang berlebih untuk menciptakan gingiva margin yang baru. Luka menyebabkan kerusakan struktur yang disertai dengan kehilangan jaringan (Spector, 1993). Perlukaan didefinisikan sebagai rusaknya atau hilangnya kontinuitas integritas kulit atau jaringan (Bhat, 2008). Menurut Pinheiro dkk., (2004), luka dideskripsikan sebagai adanya pemutusan kontinuitas jaringan baik secara anatomis maupun fungsional yang diikuti oleh kematian atau kerusakan seluler. Penyembuhan luka adalah suatu proses dimana jaringan yang rusak dikembalikan sebisa mungkin ke keadaan yang normal (Nayak, 2006). Proses penyembuhan luka dapat dibagi kedalam tiga tahap yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan remodeling jaringan (van Beurden dkk., 2005). Fase proliferasi penyembuhan
2
luka ditandai dengan proses angiogenesis, pembentukan kolagen, jaringan granulasi, reepitelisasi, dan kontraksi luka (Stillman, 2007). Penyembuhan luka pada gingiva merupakan suatu rangkaian proses yang memerlukan waktu beberapa minggu untuk mencapai penyembuhan secara klinis, bahkan untuk penyembuhan secara sempurna dan pembentukan budel serabut gingival memerlukan waktu beberapa bulan (Fedi dkk., 2004). Penyembuhan luka dapat dipercepat dengan memberi obat-obatan baik secara oral maupun secara topikal. Obat-obatan topikal merujuk pada obat-obatan yang diaplikasikan ke bagian permukaan luar tubuh (Buhse dkk., 2005). Bentuk sediaan obat yang diaplikasikan secara topikal diantaranya salep, krim, pasta, cerata, gel, losion, linimenta, kompres, dan serbuk tabur (Syamsuni, 2006). Obat topikal bertujuan untuk menghasilkan efek terapeutik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis (Lachman dkk., 1994). Keuntungan dari pemakaian obat secara topikal adalah menghindari kesulitan absorpsi gastrointestinal akibat aktivitas enzimatik serta pH gastrointestinal dan memiliki efek terlokalisir dengan efek samping minimum (Rashmi, 2008). Indonesia merupakan bangsa yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman dan 940 spesies diantaranya diketahui sebagai bahan obat (Maheswari, 2002). Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan pohon buah yang berasal dari daerah Asia Tenggara. Secara umum, orang hanya mengkonsumsi buahnya saja dan cenderung membuang kulit buah manggis tersebut. Kulit manggis mengandung
3
tannin, flavonoid, steroid atau triterpenoid, kuinon serta unsur natrium, kalium, magnesium, kalsium, besi, zink, dan tembaga (Poeloengan dan Praptiwi, 2010). Kulit buah manggis juga mengandung senyawa golongan xanton (Nugroho, 2008). Hal ini juga diperkuat dari hasil suatu penelitian dilaporkan bahwa xanton (1, 3, 6trihidroksi-7-metoksi-2,8-bis(3-metil-2-butenil)-9H-xanten-9-on) hasil isolasi dari kulit buah manggis mempunyai aktivitas antiinflamasi dan antioksidan. Xanton merupakan substansi kimia alami yang tergolong senyawa polyphenolic. Senyawa xanton dan derivatnya dapat diisolasi dari kulit buah manggis dan mengandung 3isomangostein, alpha-mangostin, beta-mangostin, gamma-mangostin, garcinone A, B, C, dan D, maclurin, mangostenol, catechin, potassium, kalsium, phosphor, besi, vitamin B1, B2, B6, dan vitamin C (Iswari dan Sudaryono, 2007). Aktivitas antiinflamasi dari kulit manggis diperankan oleh gamma-mangostin (Nugroho, 2008). Gamma-mangostin menghambat jalur siklooksigenase dan mampu menghambat secara poten pelepasan PGE2. Prostaglandin E2 sendiri merupakan mediator penting dalam terjadinya reaksi inflamasi (Nakatani dkk., 2002). Selain itu, flavonoid juga memiliki efek sebagai antiinflamasi (Poeloengan dan Praptiwi, 2010). Flavonoid menghambat jalur lipooksigenase dan siklooksigenase di dalam biosintesis metabolit asam arakidonat, sebagian arakidonat diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien. Baik prostaglandin dan leukotrien bertanggung jawab bagi sebagian besar dari gejala peradangan (Tjay dan Raharja, 2002). Dengan demikian diharapkan gel ekstrak kulit manggis ini bisa lebih dioptimalkan penggunaanya.
4
B. Permasalahan Dari latar belakang dapat dirumuskan masalah penelitian apakah aplikasi topikal gel ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) berpengaruh terhadap angiogenesis pada penyembuhan luka gingiva (kajian pada Rattus norvegicus).
C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) telah banyak dilaporkan, salah satunya sebagai antibakterial (Iinuma dkk., 1996). Sejauh peneliti ketahui, belum ada penelitian mengenai efek gel ekstrak kulit manggis terhadap angiogenesis pada proses penyembuhan luka gingiva (kajian pada Rattus norvegicus).
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek aplikasi gel ekstrak kulit manggis terhadap angiogenesis pada proses penyembuhan luka gingiva (kajian pada Rattus norvegicus).
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
5
1. Memperluas pemanfaatan ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) sebagai bahan herbal untuk pengobatan alternatif yang aman. 2. Menyediakan informasi ilmiah tentang efek aplikasi gel ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L) terhadap angiogenesis pada proses penyembuhan luka gingiva (kajian pada Rattus norvegicus).