Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
HASIL-HASIL PENELITIAN UNGGULAN BALAI BESAR PENELITIAN VETERINER 2005 – 2008 (Research Results of The Indonesian Research Center for Veterinary Sciences During 2005 to 2008) R.M. ABDUL ADJID dan DARMINTO Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No 30, Bogor 16114
ABSTRACT The Indonesian Research Centre for Veterinary Science (IRCVS) is a national research institute under the Indonesian Agriculture Agency for Research and Development (IAARD), Ministry of Agriculture. This institute is responsible to conduct research activities in veterinary sciences in Indonesia. During the last four years between 2005 and 2008, this institute produce a some scientific informations and technologies to support the Acceleration of Self Sufficiency for Beef Programme, controlling avian influenza and zoonotic diseases. The main results during this period were the information of Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) situation in beef cattle in the production areas, diagnostic technique for Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) virus using nested - Polymerase Chain Reaction (n-PCR) and its phylogenetic tree of the local isolates, Direct Floorescent Antibody Technique (DFAT) for detecting Bacillus anthracis, genetic mapping of Avian Influenza (AI) isolates, a new master seed vaccine of AI, and epidemiologic data of Nipah virus in bats and pigs in some areas of Indonesia. Detail information of the research results are discussed in this paper. Key Words: Self Sufficient in Beef, Avian Influenza, Anthrax, BSE, NIPAH ABSTRAK Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet) sebagai lembaga riset nasional bidang veteriner yang berada di bawah Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian memiliki tugas pokok melaksanakan penelitian veteriner di Indonesia. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, tahun 2005 – 2008, Bbalitvet telah menghasilkan berbagai informasi dan teknologi veteriner untuk mendukung program pemerintah di sektor peternakan, yaitu Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS); pengendalian penyakit avian influenza (AI) pada unggas; serta pengendalian penyakit zoonosis penting. Hasil penelitian yang dianggap sebagai unggulan pada periode tersebut, yaitu informasi situasi penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada sapi, teknologi deteksi penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada sapi dengan nested-Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (n-RT PCR) dan phylogenetic tree dari isolat yang berhasil diisolasi, teknik Direct Fluorescent Antibody (DFAT) untuk deteksi kuman B. anthracis sebagai penyebab penyakit Anthraks, peta genetik virus Avian Influenza (AI; master seed baru untuk pembuatan vaksin AI, serta informasi epidemiologi penyakit NIPAH pada kalong dan babi di beberapa daerah di Indonesia. Informasi lengkap dari hasil-hasil penelitian ini diutarakan dalam makalah ini. Kata kunci: P2SDS, Avian Influenza, Anthrak, BSE, NIPAH
PENDAHULUAN Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15/Permentan/OT.140/3/2006, Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet) sebagai lembaga penelitian di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian memiliki tugas pokok melaksanakan
penelitian veteriner di Indonesia. Berbagai aspek veteriner, baik yang terkait dengan masalah kesehatan hewan maupun masalah terkait dengan kesehatan masyarakat veteriner menjadi objek penelitian. Luaran penelitian berupa informasi dan teknologi veteriner yang dihasilkan selanjutnya digunakan untuk mendukung program pembangunan peternakan yang telah diprogramkan oleh pemerintah.
1
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Sebagai lembaga penelitian milik pemerintah, Bbalitvet dituntut untuk berperan aktif dan proaktif dalam menghasilkan informasi dan inovasi teknologi yang terkait dengan upaya mengatasi permasalahan nasional yang menjadi prioritas, disamping menghasilkan informasi dan inovasi veteriner antisipatif atau rintisan yang pada saatnya nanti diperlukan. Dalam kurun waktu empat (4) tahun terakhir ini beberapa isu menonjol dalam bidang peternakan menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat peternakan, yaitu isu daging sapi, penyakit Avian Influenza (AI) pada unggas, serta meningkatnya frekuensi masalah penyakit zoonosis dan aspek keamanan pangan. Sejak tahun 2003, perhatian pemerintah lebih gencar diarahkan pada kenyataan bahwa jumlah importasi daging sapi dan sapi hidup cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun guna memenuhi kebutuhan nasional akan konsumsi daging sapi. Hal ini perlu disikapi dan dilakukan upaya pengelolaannya agar tidak memposisikan Indonesia sebagai negara importir daging sapi yang akan semakin tergantung pada negara lain. Penyebabnya ada beberapa kemungkinan, antara lain karena peningkatan populasi sapi domestik yang lamban, serta meningkatnya jumlah konsumsi daging sapi di Indonesia karena meningkatnya jumlah penduduk dan selera masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah berupaya secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tersebut dari dalam negeri dengan mencanangkan program peningkatan daging sapi nasional, atau sekarang disebut Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Untuk itu, Bbalitvet dituntut untuk mendukung keberhasilan program tersebut melalui penerapan informasi dan inovasi teknologi veteriner yang dihasilkan melalui penelitian-penelitiannya, khususnya untuk meningkatkan status kesehatan hewan yang berujung pada peningkatan produktivitas dan menurunnya tingkat kematian hewan akibat penyakit. Sementara itu dunia perunggasan di Indonesia, bahkan juga di dunia, masih dihadapkan kepada permasalahan yang sangat serius, yaitu penyakit Avian Influenza (AI) yang sangat ganas. Di akhir tahun 2003 penyakit ini telah menghancurkan industri
12
peternakan yang kemudian penyakit dapat dikendalikan. Namun pada kenyataannya, karena sifat agen penyakitnya yang dinamis, dapat bermutasi, maka secara terus menerus penyakit ini menjadi ancaman bagi industri perunggasan di Indonesia. Disamping itu penyakit ini berpotensi zoonosis dan telah memakan korban manusia, sehingga penyakit ini perlu ditangani secara sungguh-sungguh. Disamping kedua permasalahan di atas, keberadaan penyakit zoonosis terus meningkat seiring dengan gencarnya globalisasi informasi dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan ancaman bahaya penyakit yang dapat dipindahkan melalui produk peternakan, baik melalui importasi perdagangan, serta perubahan ekologi. Hal ini tentunya perlu dikendalikan, salah satunya adalah dengan penyediaan informasi dan inovasi teknologi veteriner melalui penelitian-penelitian. Makalah ini menyajikan ’highlight’ hasilhasil penelitian veteriner di Bbalitvet dalam waktu 4 tahun terakhir (periode 2005 – 2008) yang dipandang dapat mendukung upayaupaya percepatan swasembada daging sapi (P2SDS), pengendalian penyakit Avian Influenza (AI) pada unggas, serta dalam penanganan penyakit zoonosis penting. HASIL-HASIL PENELITAN VETERINER UNGGULAN PERIODE 2005 – 2008 Penelitian penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada sapi Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada sapi, dikenal juga sebagai sapi gila/’mad cow’ adalah penyakit bersifat degeneratif dan progresif menyerang syaraf pusat pada sapi dewasa dan dapat mengakibatkan kematian. Penyebabnya adalah fibrils protein (PrP). Sampai dengan saat ini status Indonesia masih bebas dari BSE, sehingga BSE dikategorikan sebagai penyakit eksotik (Kepmentan No. 367/Kpts/ T.N 530/12/ 2002). Namun demikian dikhawatirkan bahwa BSE akan muncul pada sapi di Indonesia karena adanya importasi dan penggunaan Meat Bone Meal (MBM) sebagai bahan pakan ternak dari Eropa yang mungkin mengandung penyebab BSE selama tahun 1988 – 2000.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Dalam penelitian ini dilakukan pendeteksian keberadaan penyakit BSE pada sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) sebagai langkah pendeteksian dini dan antisipasi atas kejadian BSE yang mungkin lebih besar lagi di kemudian hari. Pemeriksaan otak sapi secara histopatologis, serta pendeteksiannya dengan teknik imunohistochemistry (IHC) dilakukan untuk membuktikan adanya agen penyakit BSE di Indonesia. Sapi yang dijadikan target pemeriksaan adalah sapi dewasa (umur lebih dari 2 tahun) serta sapi tersebut mendapat pakan ternak komersial. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada tahun 2007 dan 2008 (BBALITVET, 2007, 2008) telah melakukan pemeriksaan sampel analisis masing-masing secara berurutan 241 dan 424 sampel obex (otak) sapi potong dengan hasil semuanya negatif terhadap agen BSE. Penelitian penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada sapi Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit yang sangat infeksius pada sapi mengakibatkan pustular vulvovaginitis atau balanoposthitis, konjungtivitis, ensefalitis dan infeksi sistemik lainnya (KAHRS, 1977; STRAUB, 1991). Infeksi virus IBR pada sapi betina dapat menyebabkan penurunan produksi susu, penurunan tingkat fertilitas, serta keguguran (MIUER, 1991). Agen penyebabnya adalah Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1). Berdasarkan gejala klinisnya, maka virusnya terbagi menjadi 2 subtipe, yaitu subtipe 1: yang berhubungan dengan galur yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan (infectious bovine rhinotracheitis, IBR), sedangkan subtipe 2: galur yang dapat menyebabkan gangguan genital seperti infectious pustular vulvovaginalis (IPV) dan infectious balonoposthitis (IBP) (RADOSTITS et al., 2000). Pada hewan yang telah terinfeksi, agen penyakit BHV-1 menyebabkan infeksi laten (VAN OIRSCHOT et al., 1993). Virusnya berdiam diri dalam sel hewan yang terinfeksi. Akibatnya adalah hewan tersebut bertindak sebagai pembawa virus (carrier) yang
berpotensi sebagai sumber penyebar penyakit (ROLA et al., 2005). Bila terjadi cekaman, seperti pada saat transportasi, cuaca yang dingin, populasi ternak yang padat, pemberian obat corticosteroid, atau adanya infeksi sekunder oleh mikroorganisma patogen lainnya, maka kondisi ini akan mengaktivasi siklus replikasi virus. Akibatnya adalah virus terdedah (shedding), meskipun kondisi ternak tidak menunjukkan gejala klinis. Hewan tersebut sangat berpotensi untuk menyebarkan virus kepada ternak lainnya (PASTORET et al., 1982). Virus ini disekresikan melalui sekreta nasal dan okuler, dan terdapat pula di plasenta ternak sapi yang keguguran serta pada semen (ROLA et al., 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik yang mampu mendeteksi virus IBR dalam sekreta nasal/okular, darah dan dalam semen sebagai bahan diagnosis. Dari hasil penelitian ini telah diperoleh teknik Nested-Polymerase Chain Reaction (nPCR) untuk deteksi virus IBR dalam sekreta nasal/okular, limfosit darah perifer serta semen. Teknik ini sangat sensitif dan relatif cukup cepat. Disamping itu dalam penelitian ini diperoleh 9 isolat lokal virus IBR. Secara analisis genetik ’phylogenetic tree’ isolat virus IBR tersebut diketahui sebagai BHV 1.1 dan BHV 1.2 (SAEPULLOH et al., 2008; BBALITVET, 2008). Pengembangan teknik deteksi kuman Anthraks dengan teknik Direct Fluorescent Antbibody (DFA) Penyakit anthraks adalah infeksi bakteri yang bersifat akut atau perakut, bersifat zoonosis, serta berakibat fatal/kematian baik pada ternak maupun manusia. Agen penyebabnya adalah kuman Bacillus anthracis. Di Indonesia kejadian anthraks sering dilaporkan, baik pada hewan maupun manusia. Penyakitnya telah diketahui tersebar dan endemik pada ternak di 11 propinsi, sedangkan kejadian anthraks pada manusia sering dilaporkan di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, NTT dan DI Yogyakarta (DEPKES, 2003). Salah satu kendala dalam pengendalian penyakit anthraks di Indonesia belum tersedianya uji cepat untuk diagnosis penyakit.
13
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Uji cepat untuk diagnosis anthraks sangat diperlukan guna penanganan kasus anthraks dengan segera, terutama pada kasus manusia, karena infeksi kuman anthraks berifat akut (WHO, 1998). Selama ini uji yang tersedia di Bbalitvet dalam deteksi kuman anthraks pada sampel adalah dengan kultur atau biologi yang dilanjutkan dengan uji Ascoli. Uji ini memakan waktu relatif lama. Sementara itu uji immunofluorescent bisa lebih cepat dalam mendeteksi adanya kuman anthraks dalam sampel. Oleh karena itu maka penelitian saat ini diarahkan untuk mendapatkan uji cepat untuk deteksi kuman anthraks dalam sampel. Dari hasil penelitian ini telah diperoleh dan dikembangkan uji cepat Direct Fluorescent Antibody (DFA). Uji ini sangat baik dan dapat digunakan secara langsung untuk deteksi kuman anthraks, baik dari kultur maupun dalam sampel yang berupa organ ternak asal lapangan. Nilai sensitivitas uji sebesar 100%, sedangkan spesifisitas uji mencapai 93,5% (NATALIA dan ADJI, 2008). Penelitian virus Avian Influenza (AI) pada unggas Penyakit Avian Influenza (AI) hingga saat ini masih sering terjadi dan dirasakan dampak kerugian ekonominya oleh peternak unggas di Indonesia. Data di lapangan menunjukan kasus penyakit AI masih dilaporkan bahwa pada peternakan unggas baik komersial (sektor 2 dan 3) maupun unggas peliharaan (sektor 4). Kejadian ini diduga kuat karena vaksin AI yang digunakan sudah tidak dapat lagi memberikan proteksi atau perlindungan yang baik terhadap infeksi virus AI yang ada di lapangan yang telah bermutasi. Penelitian ini ditujukan untuk mendeteksi adanya perubahan genetik (mutasi), melakukan pemetaan genetik, serta mendapatkan master seed baru yang tepat untuk digunakan sebagai vaksin AI di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Bbalitvet (BBALITVET, 2005; 2006; 2007; 2008) memperlihatkan bahwa, isolat virus AI H5N1 yang diperoleh pada tahun 2003 mempunyai motif cleavage site PQRERRRKKR//G. Namun dalam perjalanannya, virus AI dilapang yang diperoleh pada tahun 2005 dan 2006 (khususnya dari daerah Jawa Barat) telah
14
mengalami mutasi pada gen HA cleavage site yaitu, adanya perubahan pada sekuen asam amino dengan motif PQRESRRKKR//G, sehingga posisi S menggantikan R. Sementara itu studi pendahuluan yang dilakukan Dr. David Swayne dari USDA yang menguji 12 vaksin AI yang beredar di Indonesia melaporkan bahwa tidak ada satupun dari ke12 vaksin tersebut dapat memproteksi ayam diatas 50% melawan virus A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006. Hanya vaksin yang mengandung isolat H5N1 isolat lokal (Legok tahun 2003) yang paling tinggi memberikan proteksi pada ayam, dan itupun hanya 40% saja. Virus AI telah diketahui dapat melakukan mutasi selama hidupnya. Data tahun 2004 – 2006 menunjukkan virus AI H5N1 di Indonesia melakukan mutasi, yaitu tejadi perubahan pada epitope A dan B jika dibandingkan dengan virus tahun 2003 yaitu A/ck/Indonesia/BL/2003. Mutasi tertinggi telah terjadi pada dua virus H5N1 yaitu A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 dan Ck/WestJava/SmiPat/06 sebesar 4,88%. Dua virus ini berasal dari peternakan ayam yang rutin melakukan vaksinasi menggunakan vaksin H5N2. Tekanan imunologis diduga kuat mengakibatkan virus ini melakukan mutasi lebih cepat. Sebagian besar virus AI Indonesia mengalami mutasi pada epitope B (posisi asam amino 156 dan 157), epitope D (posisi asam amino 172) dan beberapa perubahan pada epitope A (posisi asam amino 124, 131, dan 137). Tidak ada perubahan pada epitope C dan E sementara beberapa isolat virus AI mengalami perubahan pada epitope undefined. Selanjutnya perubahan tersebut disimpulkan sebagai antigenik drift pada isolat virus AI lapang yang diperoleh (DARMINTO, 2007). Demikian pula halnya dengan beberapa isolat virus AI yang diperoleh dari suatu outbreak pada tahun 2007. Semua isolat virus AI yang dikoleksi tahun 2007 menunjukkan multiple basic amino acid pada cleavage site gen HA yang menunjukkan virus HPAI. Namun demikian sebagian besar isolat menunjukkan perubahan asam amino Arginin menjadi Serin (RÆS) pada posisi ke-6 (PQRESRRKKR//G), sedangkan sepuluh isolat yang berasal dari BPPV Bukit Tinggi dan 2 isolat dari BPPV Medan menunjukkan perubahan asam amino R menjadi G (PQREGRRKKR/G). Semua isolat yang
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
berasal dari BPPV Banjarbaru dan Maros tidak mengalami perubahan asam amino pada posisi tersebut. Semua virus yang dikoleksi pada tahun 2007, yang dianalisis pada penelitian ini, masih mengenal avian receptor (α2,3), serta tidak mengalami perubahan pada pocket receptor binding site. Analisis pohon filogenetik menunjukkan bahwa hanya isolat tahun 2007 yang berasal dari Bbalitvet, terutama yang berasal dari flok divaksinasi, Kelompok 1, iasolat tahun 2006 berasal dari Sukabumi yang berada dalam satu kelompok dengan virus dari flok yang divaksinasi. Dari data keragaman genetik virus AI tahun 2006 – 2007 tersebut, telah diketahui bahwa ada enam kelompok variasi/karakter virus AI di Indonesia. Data ini dapat digunakan untuk menentukan kandidat master seed vaksin AI untuk unggas, paling tidak ada 3 kandidat virus AI yang bisa digunakan sebagai seed vaksin, yaitu kelompok 1, 5 dan 6. Hasil penelitian uji efikasi vaksin menggunakan master seed baru memperlihatkan bahwa isolat lokal virus AI A/ck/west java/PwtWij/06 9/06 sebagai master seed vaksin sangat efektif dan memberikan proteksi dengan spektrum luas terhadap uji tantang isolat virus AI lainnya yang diteliti. Vaksin tadi mampu memberikan proteksi sebesar 100% terhadap virus homolog (AI A/Ck/ WJ/ PWT-Wij/2006); AI A/CK/WJ/1067/2003; A/Ck/Wj/SmiHj.18/2007; A/Ck/ Payakumbuh/ BPPV R II/2007, proteksi sebesar 90% terhadap isolat A/Ck/BB 149/5/2007, serta proteksi sebesar 80% terhadap virus AI A/Ck/WJ/ SmiHamd/2006. Vaksin tersebut mampu mengurangi dan menghentikan ekskresi virus tantang (virus shedding) setelah hari ke 5 hari pasca uji tantang. Vaksin tersebut juga tidak memberikan efek negatif yang dibuktikan dengan tidak adanya ayam yang menderita sakit akibat vaksinasi. Virus ini direkomendasikan untuk digunakan sebagai master seed vaksin AI di Indonesia guna melindungi industri peternakan ayam di Indonesia dari serangan virus AI yang ada pada saat ini.
Penelitian penyakit NIPAH pada kalong dan ternak babi di Indonesia Penyakit NIPAH adalah penyakit infeksius bersifat fatal pada babi yang dapat menular ke manusia (zoonosis) mengakibatkan kematian. Agen penyakitnya adalah virus NIPAH dari genus morbilivirus dari famili paramyxovirus (WANG et al., 1999). Hewan pembawa virus ini adalah kalong. Wabah penyakit NIPAH di Malaysia, dimulai dari kalong (Pteropus spp.) kemudian babi dan selanjutnya ke manusia, yang menyebabkan kematian pada manusia dan babi. Korban yang terjadi pada wabah tersebut adalah 105 orang meninggal dunia serta lebih dari satu juta ekor babi kemudian dimusnahkan (YOB et al., 2001). Sebaran penyakit NIPAH sampai dengan saat ini adalah di Malaysia, Singapura (CHUA et al., 2000) dan Bangladesh (HSU et al., 2000). Secara serologis penyakit NIPAH pada kalong telah dilaporkan di beberapa negara Asia, seperti Bangladesh, Kambodja, Filipina dan Australia (HSU et al., 2004; ANONIMUS, 2006). Kalong yang terinfeksi oleh virus NIPAH tidak memperlihatkan gejala sakit atau bersifat subklinis. Kondisi ini membuktikan bahwa kalong bertindak sebagai hewan pembawa carrier virus NIPAH. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui apakah kalong di Indonesia, terutama pada wilayah yang berada dekat wilayah Malaysia dan beberapa wilayah lainnya yang cukup jauh, bertindak juga sebagai pembawa carrier virus NIPAH, serta bagaimana status babi yang ada di wilayah tersebut sebagai langkah antisipatif akan terjadinya wabah penyakit. Dalam penelitian ini telah diperoleh sebanyak 156 serum kalong P. vampyrus yang berasal dari wilayah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta dan 2.740 serum babi yang berasal dari DKI Jakarta, Medan, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kemudian diperiksa dengan uji ELISA terhadap adanya antibodi virus Nipah. Hasil penelitian
15
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
memperlihatkan secara total 27,7% dari serum kalong yang diperiksa telah mengandung antibodi virus Nipah. Kalong tersebut berasal dari Sumatera Utara (30,6%), Jawa Barat (18%), Jawa Tengah (33%), dan Jawa Timur (19%). Sementara itu tidak satupun serum babi berasal dari beberapa wilayah di atas mengandung antibodi virus Nipah (SENDOW et al., 2008). Selanjutnya hasil pemeriksaan kalong dan babi yang berasal dari Provinsi Kalimantan Barat dengan uji serologi ELISA memperlihatkan bahwa 16 ekor (19%) kalong P. vampirus dari 84 ekor mengandung antibodi virus NIPAH, sedangkan 15 ekor kalong C. brachyotis tidak mengandung antibodi virus NIPAH, serta 610 serum babi asal Kalimantan Barat juga tidak mengandung antibodi virus NIPAH (BBALITVET, 2007). PENUTUP Selama periode empat tahun terakhir (2005 – 2008) Bbalitvet telah melaksanakan berbagai penelitian dan menghasilkan berbagai informasi dan teknologi veteriner, namun informasi dan teknologi yang dianggap unggulan dan yang dapat memberikan manfaat bagi pembangunan peternakan di Indonesia, khususnya dalam pengendalian penyakit startegis pada ternak, yaitu informasi status BSE di Indonesia serta teknik pendeteksiannya pada otak sapi; diperolehnya teknik deteksi cepat kuman anthraks DFA; teknik nested PCR untuk deteksi virus IBR dalam semen sapi pejantan dan sampel lainnya serta data filogenetik tree isolat lokal virus IBR; peta genetik virus AI dan master seed vaksin AI terkini; serta informasi status keberadaan dan sebaran virus NIPAH pada kalong dan babi di beberapa wilayah di Indonesia. Hasil penelitian yang berupa teknologi ini siap dialihkan/ditransferkan kepada laboratorium veteriner lainnya sebagai pengguna teknologi di Indonesia. Sementara master seed vaksin AI terbaru, AI A/Ck/ WJ/ PWT-Wij/2006, telah ditransferkan kepada produsen vaksin nasional untuk diproduksi dalam skala besar guna pengendalian penyakit AI di Indonesia.
16
DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2006. Nipah. Center for Food Security and Public Health. Http://www.rivma.org/ nipah.doc BALAI PENELITIAN VETERINER. 2005. Laporan Tahunan 2005. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. BALAI BESAR PENELITIAN VETERINER. 2006. Laporan Tahunan 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. BALAI BESAR PENELITIAN VETERINER. 2007. Laporan Tahunan 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. BALAI BESAR PENELITIAN VETERINER. 2008. Laporan Tahunan 2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. CHUA, K.B., W.J. BELLINI, P.A. ROTA, B.H. HARCOURT, A. TAMIN, S.K. LAM, T.G. KASIAZEK, P.E. ROLLIN, S.R. ZAKI, W.J. SHIEH, C.S. GOLDSMIT, D.J. GUBLER, J.T. ROEHRIG, B. EATON, A.R. GOULD, J. OLSON, H. FIELD, P. DANIELS, A.E. LING, L.J. ANDERSON and B.W.J. MAHY. 2000. Nipah virus: A recently emerging deadly paramyxovirus. Science 288: 1432 – 1435. DARMINTO. 2007. Kebijakan Vaksinasi di Indonesia. Bahan presentasi pada Rapat Kerja Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian dan WHO, Jakarta. DEPARTEMEN KESEHATAN RI. 2003. Pedoman Tata Laksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Antraks di Rumah Sakit. Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. HSU, V.P., M.J. HOSAIN, U.D. PARASHAR, M.M. ALI, T.G. KSIAZEK, I. KUZMIN, M. NIEZGODA, C. RUPRECHT, J. BRESEE and R.F. BREIMAN .2004. Nipah virus enchepalitis reemergence, Bangladesh. Emerg. Infect. Dis. Http://www. cdc.gov/ncidod/EID/vol10no12/04-0701.htm SENDOW, I., H. FIELD, RM ABDUL ADJID, T. SYAFRIATI, DARMINTO, C. MORRISSY dan P. DANIELS. 2008. Seroepidemiologi Nipah Virus pada Kalong dan Ternak Babi di Beberapa Wilayah di Indonesia. J. Biologi Indonesia V(1): 35 – 44. KAHRS, R.F. 1977. Infectious Bovine Rhinotracheitis: a review and update. J. Am. Vet. Assoc. 171: 1055 – 1064.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
NATALIA, L. dan R.S. ADJI. 2008. Identifikasi Cepat Bacillus anthracis dengan Direct Fluorescent Antibody Assay yang Menggunakan Componen Dinding Sel dan Kapsul. JITV 13(2): 133 – 139. MILLER, J.M. 1991. The effect of IBR virus infections on reproductive function of cattle. Vet. Med. 86: 95 – 98. SAEPULLOAH, M., R.M.A. ADJID, I.W.T. WIBAWAN dan DARMINTO. 2008. Pengembangan Nested PCR untuk Deteksi Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) pada Sediaan Usap Mukosa Hidung dan Semen asal Sapi. JITV 13(2): 155 – 164. PASTORET, P.P., E. THIRY, B. BROCHIER and G. DERBOVEN. 1982. Bovine herpesviruses 1 infection of cattle: Pathogenesis, Latency, consquences of latency. Ann. Rech. Vet. 13: 221 – 235. RADOSTITS, O.M., C.C. GAY, D.C. BLOOD and K.W. HINCHLIFF. 2000. Veterinary Medicine: A textbook of the disease of cattle, sheep, pigs, goats and horses, 9th. W.B. Saunders Company Ltd. pp. 1173 – 1184. ROLA, J.., M. LARSKA and M.P. POLAK. 2005. Detection of bovine herpesvirus-1 from an outbreak of infectious bovine rhinotracheitis. Bull. Vet. Inst. Pulowy 49: 267 – 271.
STRAUB, O.C. 1991. BHV-1 infectious: Relevance and spread in Europe. Comp. Immunol. Microbiol. Infect. Dis. 14: 175 – 186. VANOIRSCHOT, J.T., P.J. STRAVER, J.A. VAN LIESHOUT, J. QUAK, F. WESTENBRINK and A.C. VANEXSEL.1993. A subclinical infection of
bulls with bovine herpesvirus type 1 at an artificial insemination centre. Vet. Rec. 132: 32 – 35. WANG, L.F., M. YU, E. HANSON, L.I. PRITCHARD and B.T. EATON. 1999. The genome structure of Hendra virus, a new paramyxoviridae member pathogenic to human and animals. Proceeding of international Union of Microbiological Society. 9 – 13 August 1999, Sydney, Australia. WORLD HEALTH ORGANIZATION. 1998. Guidlines for the Surveilance and Control of Anthrax in Human and Animals. 3rd. Ed. TURBULL, P.C.B., R. BOHM, O. GOSIVI, M. DOGAWAY, M.E. HUGH JONES, D.D. JOSHI, M.K. LALITHA and V. DEVOS. Department of Communicable Disease Surveilance and Response pp. 51 – 61. YOB, M.Y., H. FIELD, A.M. RASHDI, C. MORRISSY, B. VAN DER HEIDE, P. ROTA, A. ADZHAR, J. WHITE, P. DANIELS, A. JAMALUDDIN and T. KSIAZEK. 2001. Nipah virus infection in bats (Order chiroptera) in Peninsular Malaysia. Emerg. Infect. Dis. 7(3): 439 – 441.
17