HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah penelitian berada pada 195 m di atas permukaan laut, dengan kisaran suhu 24-28oC, kelembaban 69-79% dan curah hujan rata-rata diatas 10 bulan basah (Monografi Desa Pasir Jambu, 2010). PT PAC ini adalah perusahaan yang sedang merintis usaha penggemukan sapi potong, sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Usaha penggemukan sapi potong di PT PAC ini menggunakan sapi dara Brahman Cross yang didatangkan dari Australia. Penanganan saat sapi datang adalah identifikasi dengan pemberian ear tag. Hal ini untuk mempermudah pengelompokan awal ke dalam kandang. Pengelompokan didasarkan pada bobot badan awal ternak. Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan yaitu kandang kelompok, dengan pertimbangan bahwa penggunaan kandang kelompok lebih efisien dibandingkan penggunaan kandang individu. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan diberikan pada minggu pertama pemeliharaan dengan tujuan untuk adaptasi dan pemulihan kondisi ternak setelah stres akibat transportasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian pakan konsentrat. Hijauan yang digunakan adalah king grass yang dibeli dari petani setempat, sedangkan konsentrat yang digunakan dibeli dari dua perusahaan pabrik pakan khusus untuk ternak sapi yaitu untuk P1 dan P3 dari CV. Tani Mulyo dan P2 dari Daarul Falah. Konsumsi Pakan Konsumsi merupakan unsur penting dalam tubuh hewan dan diperlukan terus menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis. Konsumsi merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak. Pakan tersebut mengandung zat yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi. Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ternak, pakan yang diberikan dan lingkungan. Faktor ternak meliputi jenis kelamin, besarnya tubuh, keaktifan dan kegiatan pertumbuhan atau produktivitas lain.
15
Faktor pakan yang diberikan meliputi kandungan nutrisi pakan, penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, dan tekstur pakan. Faktor lingkungan meliputi suhu dan kelembaban. Tingkat konsumsi pakan sapi impor sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan mengkonsumsi pakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan ataupun jenis hijauan yang diberikan (Bakrie dan Sitepu, 1994). Rataan konsumsi pakan konsentrat dan hijauan dalam penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Konsumsi Hijauan dan Konsentrat Berdasarkan Bahan Kering Konsumsi Bahan Kering Konsentrat Hijauan Total
Perlakuan P1 P2 P3 .............................kg/ekor/hari............................ 6,65 0,87 7,42
7,11 0,87 7,99
6,51 0,87 7,38
Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa total konsumsi bahan kering (BK) berturut-turut yaitu
P1 7,42 kg/ekor/hari, P2 7,99 kg/ekor/hari dan P3 7,38
kg/ekor/hari. Berdasarkan NRC (1984), kebutuhan BK untuk sapi dara potong bobot hidup 300 kg dan pertambahan bobot badan 0,5 kg/hari yaitu 7,5 kg/ekor/hari. Hal ini berarti konsumsi BK pada sapi dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal. Konsumsi pada P2 relatif lebih tinggi dibandingkan P1 dan P3, hal ini diduga karena variasi pakan P2 memiliki palatabilitas yang lebih baik. Field (2007) menyatakan bahwa variasi pakan yang kurang dapat mempengaruhi nafsu makan sapi. Pada penelitian ini komposisi pakan pada P2 lebih bervariasi dibandingkan P1 dan P3. Menurut Ensminger (1993), faktor yang mempengaruhi palatabilitas untuk pakan ternak ruminansia adalah kecerahan warna, bau, rasa, tekstur dan kandungan nutrisi. Rataan konsumsi BK hijauan pada setiap perlakuan memiliki nilai rataan konsumsi yang sama, hal ini disebabkan oleh jumlah rumput yang diberikan dari awal sampai akhir pemeliharaan adalah sama. Grafik rataan konsumsi konsentrat (Gambar 4) menunjukkan kenaikan konsumsi yang pada P2. Hal ini disebabkan pakan P2 mempunyai palatabilitas yang cukup baik dan kandungan nutrisinya cukup tinggi, warna cerah dan mempunyai aroma yang harum dibandingkan pakan P1 dan P3. Terlihat pada 16
grafik 4, konsumsi pakan P2 dari awal sampai akhir pemeliharaan relatif lebih tinggi. Grafik Rataan Konsumsi BK Konsentrat dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Rataan Konsumsi BK Konsentrat Selama Penelitian Grafik rataan konsumsi hijauan (Gambar 5) pada setiap minggu mengalami kenaikan dan penurunan. Hal ini disebabkan karena kondisi rumput yang diberikan pada setiap minggu berbeda dari segi umur panen dan ukuran rumput setelah dicacah, dikarenakan proses pencacahan rumput dilakukan secara manual. Jumlah konsumsi hijauan selama penelitian mempunyai nilai rataan yang sama pada setiap perlakuan. Grafik Rataan Konsumsi Hijauan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Rataan Konsumsi Hijauan Selama Penelitian.
17
Konsumsi Zat Makanan Konsumsi zat makanan yang diukur dalam penelitian ini adalah Total Digestible Nutrient (TDN) dan protein kasar, disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Konsumsi TDN Selama Penelitian Perlakuan P1 P2 P3
TDN (kg) 7,45 7,48 7,12
Konsumsi Energi Semua fungsi tubuh termasuk proses pencernaan membutuhkan energi. Berdsarkan Tabel 3 menunjukan bahwa rataan konsumsi TDN yang berturut–turut a pakan P1 sebesar 7,45 kg, P2 7,48kg dan P3 7,12 kg. Rendahnya konsumsi energi pada P3 seiring dengan rendahnya konsumsi pakan dan kadar TDN dalam ransum. Jika dibandingkan dengan standar NRC (1984), kebutuhan konsumsi TDN untuk sapi dara pedaging sedang tumbuh dan digemukkan dengan bobot hidup 300 kg dengan pertambahan bobot badan sebesar 0,5 kg/hari adalah minimal 6,9 kg/ekor/hari. Konsumsi protein disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Konsumsi Protein Kasar selama penelitian Perlakuan P1 P2 P3
Protein Kasar (kg) 1,18 1,35 1,59
Konsumsi Protein Kasar Rataan konsumsi protein kasar harian untuk masing-masing perlakuan P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar 1,18; 1,35, dan 1,59 kg/ekor/hari. Rendahnya konsumsi protein kasar pada P1 seiring dengan rndahnya kandungan kadar protein kasar pada ransum. Berdasarkan NRC (1984), konsumsi protein kasar untuk sapi pedaging dara sedang tumbuh dan digemukkan dengan bobot hidup 300 kg dan pertambahan bobot badan harian 0,5 kg/hari membutuhkan protein kasar minimal 0,60 kg/hari. Hal ini berarti kebutuhan protein kasar pada sapi penelitian ini sudah terpenuhi. Konsumsi protein kasar pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Ngadiyono dan Nugroho (1996), konsumsi protein kasar (PK) pada sapi
18
dara BX dengan kandungan PK konsentrat 14,06% memiliki nilai konsumsi PK 1,18 kg/ekor/hari. Konversi Pakan Rataan rasio konversi pakan (Feed Conversion Ratio = FCR) sangat dipengaruhi oleh kualitas atau kandungan nutrisi dari pakan serta kemampuan sapi memanfaatkan nutrisi dalam pakan tersebut untuk pertumbuhan. Rataan FCR diperoleh dari perbandingan jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan sapi. Semakin tinggi nilai FCR maka semakin rendah tingkat efektivitas dari pakan tersebut untuk menghasilakan pertambahan bobot badan sapi. Nilai rataan konversi pakan terhadap pertambahan bobot badan sapi pada penelitian tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai Konversi Pakan terhadap Pertambahan Bobot Badan Perlakuan
Konversi Pakan
P1
17,25
P2
10,39
P3
41,00
Nilai Konversi pakan pada penelitian ini secara umum relatif berbeda, perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap usaha feedlot terutama jika populasi sapi yang digemukkan lebih banyak. Konversi pakan terbaik adalah pada perlakuan P2 sebesar 10,39 kg artinya, untuk mendapatkan 1 kg pertambahan bobot badan sapi dibutuhkan ransum seperti pada perlakuan P1 sebanyak 17,25 kg kemudian diikuti perlakuan P2 sebesar 10,39 kg dan perlakuan P3 sebesar 41,00 kg. Dilihat dari ke tiga perlakuan dalam penelitian ini pakan yang dapat memberikan tingkat efektifitas paling baik pada perlakuan P2. Penampilan Produksi Sapi Brahman Cross Heifer Penampilan produksi yang diamati pada penelitian ini adalah bobot akhir, pertambahan bobot badan, bobot karkas, persentase karkas, persentase daging terhadap karkas, persentase daging terhadap bobot akhir sapi Brahman Cross Heifer yang dikelompokkan berdasarkan bobot badan pada kelompok pakan yang
19
berbeda. Rataan Bobot Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Sapi Brahman Cross Heifer dapat dilihat pada Tabel 5, Rataan Bobot Karkas dan Persentase Karkas dapat dilihat pada Tabel 6, dan Rataan Persentase Daging terhadap Bobot Karkas dan Persentase Bobot dahing terhadap Bobot Akhir dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 5. Rataan Bobot Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Sapi Brahman Cross Heifer pada Kelompok Pakan yang Berbeda
P1
Bobot Akhir (kg) 325,30±10,90
Pertambahan Bobot Badan (kg) 0,43±0,04
P2
380,30±16,20
0,79±0,11
P3
365,66± 7,47
0,18± 0,11
Kelompok
Bobot akhir pada kelompok P1 relatif
lebih rendah dibandingkan
kelompok P2 dan P3, sedangkan P3 relatif lebih rendah dibandingkan P2. Hal ini disebabkan oleh konsumsi pakan dan tingkat kecernaan dari ransum yang dikonsumsi. Dilihat dari kandungan nutrisi ransum terutama kandungan proteinnya perlakaun setiap kelompok P1 sebesar 11 %, P2 13,03 % dan P3 16 %. Soeparno (2005) menyatakan bahwa variasi komposisi tubuh atau karkas sebagian besar didominasi oleh variasi bobot tubuh, dan sebagian kecil dipengaruhi oleh umur. Bobot tubuh mempunyai hubungan erat dengan komposisi tubuh dan variasi komponen tubuh yang terbesar adalah lemak. Pertambahan bobot badan pada kelompok P3 relatif lebih rendah dibandingkan kelompok
P1 dan P2, sedangkan P1 relatif lebih rendah
dibandingkan P2, hal ini seiring dengan jumlah ransum yang dikonsumsi. Pertambahan bobot badan harian secara umum seiring dengan besarnya rataan jumlah bahan kering pakan yang dikonsumsi, sehingga diduga tingkat konsumsi pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan pertambahan bobot badan harian dari sapi. Menurut Atmodjo et al. (1981), kecepatan pertumbuhan sapi BX adalah 0,42 kg/hari. Berbeda dengan NRC (1984), yang melaporkan bahwa sapi betina muda sedang tumbuh (Heifers) dengan berat badan 600 pounds (=272,2 kg) dengan pertambahan bobot badan 2,5 pounds (=1,14 kg) membutuhkan konsumsi BK, protein dan ME masing-masing sebesar 6,62 kg, 0,74 kg dan 18,39 Mkal. Menurut Basuki (2002), ada dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada 20
sapi potong yaitu faktor internal (bangsa, umur, genetik, jenis kelamin dan hormon) dan faktor eksternal (pakan, suhu lingkungan, penyakit dan stress lingkungan). Ransum penelitian ini untuk P1 dan P2 sudah memenuhi kebutuhan untuk hidup pokok dengan didapatkannya pertambahan bobot badan harian. Tabel 6. Rataan Bobot Karkas dan Persentase karkas Sapi Brahman Cross Heifer pada kelompok pakan yang berbeda
P1
Bobot Karkas (kg) 153,97±5,05
Persentase Karkas (%) 47,33±0,513
P2
168,30±9,96
43,70±1,180
P3
173,30± 1,91
47,40±0,458
Kelompok
Karkas adalah bagian ternak hasil pemotongan tanpa kepala, kaki pada bagian bawah (mulai dari carpus dan tarsus), kulit, darah dan organ dalam seperti hati, jantung, paru-paru, limpa, saluran pencernaan beserta isinya dan saluran reproduksi (Lawrie, 1985). Kelompok bobot karkas tidak berbeda nyata antar kelompok pakan yang berbeda satu dengan yang lain, hal ini dipengaruhi oleh bobot akhir sapi selama pemeliharaan. Menurut Berg dan Butterfield (1976), peningkatan bobot potong nyata mempengaruhi bobot karkas. Semakin meningkat bobot potong, maka akan diikuti dengan peningkatan bobot karkas. Walaupun bobot karkas dipengaruhi oleh bobot potong (Romans dan Ziegler, 1974), tetapi tidak selalu demikian apabila dihitung persentase karkasnya. Persentase karkas pada kelompok P2 relatif lebih rendah dibandingkan kelompok P1 dan P3. Perbedaan pertambahan bobot badan juga dapat mempengaruhi persentase karkas. Menurut Aberle et al., (1981) dan Soeparno (1992), sapi yang mempunyai konversi pakan yang lebih baik dan pertambahan bobot badan yang tinggi ada kecendrungan akan menghasilkan persentase karkas yang lebih tinggi. Menurut Kurniawan (2005), sapi BX yang dipelihara selama dua bulan (feedlot) rata-rata bobot badan awal 279,68 kg memiliki bobot karkas rata-rata 193,78 kg. Bobot karkas tersebut diperoleh dari sapi dengan bobot potong rata-rata 388,80 kg dengan kisaran 317-463 kg, dikatakan
bahwa
persentase bobot karkas sapi BX rata-rata 49,86%. Perbedaan rataan persentase
21
karkas juga dapat disebabkan oleh perbedaan ukuran saluran pencernaan dan organ-organ penting non-karkas lainnya serta kondisi ternak (Ngadiyono, 1988). Tabel 7. Rataan Persentase Daging terhadap Bobot Karkas dan Persentase Daging terhadap Bobot Akhir Sapi Brahman Cross Heifer pada Kelompok Pakan yang Berbeda
P1
Persentase Daging terhadap Bobot karkas (%) 63,50±1,30
Persentase Daging terhadap Bobot Akhir (%) 30,06±0,96
P2
62,90±1,82
27,48±0,30
P3
63,40±1,39
30,42±0,40
Kelompok
Persentase Daging terhadap Bobot Karkas pada kelompok P2 relatif lebih rendah dibandingkan kelompok P1 dan P3, hal ini seiring dengan bobot karkas yang dihasilkan. Jika dibandingkan dengan penelitian Berg dan Butterfield (1976), persentase total daging sapi heifer adalah 59,37%. Persentase daging yang dihasilkan pada penelitian yaitu 63,50% lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Berg dan Butterfield (1976). Berg dan Butterfield, (1976) menambahkan bahwa perbedaan persentase daging dipengaruhi oleh pertumbuhan lemak dan tingkat kedewasaan ternak. Tingkat kedewasaan sapi heifer lebih cepat daripada steer dan bull, pada bangsa yang sama. Bobot potong sapi heifer lebih rendah daripada sapi steer. Persentase daging terhadap bobot akhir pada P2 relatif lebih rendah dibandingkan P1 dan P3. Hal ini disebabkan oleh komponen non karkas yang diproduksi. Susilawati (1998) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah peningkatan bobot hidup yang diikuti kenaikan bobot karkas dan komponen non karkas seperti perbedaan bobot kepala, kaki, viscera dan isi rumen. Kualitas daging dapat dilihat dari persentase bobot karkas yang dihasilkan. Banyaknya proporsi bagian karkas yang bernilai tinggi, rasio daging dan tulang, kadar dan distribusi lemak karkas serta mutu dagingnya. Peningkatan karkas sejalan dengan meningkatnya bobot potong dan proporsi komponen karkas. Bila salah satu variabel mempunyai proporsi yang lebih tinggi maka proporsi dari salah satu atau kedua variabel lainnya akan menurun (Soeparno, 1992). 22