1
[ Halaman ini sengaja dikosongkan ]
Hal |2
BAGIAN 1: PRINSIP METODOLOGI PENGINDERAAN JAUH
3
BAB 1 KONSEP METODOLOGI UNTUK PENGINDERAAN JAUH Para ilmuwan telah mengembangkan prosedur untuk mengoleksi dan menginterpretasikan data citra lebih dari 100 tahun yang lalu. Inventarisasi data citra RS dan interpretasi untuk berbagai bidang kehidupan
umumnya
dilakukan
dengan
cara yang
hampir
sama dan
dapat
diklasifikasikan sbb: (1) Perumusan masalah atau penyusunan hipotesis, (2) Inventarisasi dan kalibrasi data, (3) Interpretasi data menjadi informasi tematik, dan (4) Presentasi informasi (Tabel 1.1). 1.
Hipotesis atau perumusan masalah biasanya disusun dengan logika tertentu (misalnya: deduktif atau induktif) dan dengan model yang sesuai (misalnya: deterministik atau stokhastik).
2.
Data dari lapangan (in situ) dan data lain sebagai pembanding atau kontrol diperlukan untuk mengkalibrasi apa yang ada pada citra satelit dan/atau menetapkan ketepatan secara geometrik, radiometrik, dan tematik.
3.
Data remote sensing akan diperoleh baik secara pasif maupun aktif menggunakan citra digital atau analog.
4.
Baik data lapang (in-situ) maupun data RS kemudian diproses menggunakan (a) pengolahan analog (analog processing), (b) pengolahan digital (digital processing) , dan (c) Visualisasi multi-dimensi (N-dimensional visualization).
5.
Metadata,
urutan
proses
pengolahan,
dan
ketelitian
informasi
dikomunikasikan
menggunakan citra, grafik, tabel, database GIS, SDSS (Spatial Data Support System), dll.
Tabel 1.1 Tahapan Metodologi dalam Aplikasi Remote Sensing (Sumber: Adaptasi dari Jensen, 2007) Perumusan Masalah
Inventarisasi data
Interpretasi
Presentasi Informasi
Penyusunan
Pengukuran In Situ:
Pengolahan Citra
Metadata Citra:
Hipotesis
Lapangan, misal
Analog (Visual):
Sumber,
(jika diperlukan)
dengan GPS untuk data
Menggunakan unsur
Tahap pengolahan.
Memilih logika
titik (x,y,z), biomassa,
interpretasi citra
induktif dan/atau
reflectance,
Pengolahan digital:
Accuracy
deduktif
Laboratorium (mis:
Preprocessing
Assessment:
& Pemilihan Model
Hal |4
reflectance, Leaf Area
Koreksi Radiometrik,
Geometric,
Technological
Index)
Koreksi Geometrik.
Radiometric,
Memilih model yang
Collateral data:
Enhancement
Thematic,
tepat:
Digital Elevation Model
Photogrammetric
Change detection.
Deterministik
(DEM)
analysis,
Empiris
Peta tanah
Parametric, seperti:
Analog & Digital:
Berbasis
Peta geologi
Maximum likelihood
Image,
pengetahuan
Sensus penduduk, dll
Non-parametric,
Unrectified
Berbasis proses
Citra RS
Artificial neural
Ortho-images
Stochastic
Passive
networks
Orthophotomaps,
Analog Camera,
Non-metric,
Thematic maps,
Videografi.
Expert systems,
GIS databases,
Passive digital
Decision-tree
Animations,
Frame Camera,
classifiers,
Simulations.
Scanner
Machine learning.
Statistic:
Multispectral
Hyperspectral analysis
Univariate,
Hyperspectral
Change detection
Multivariate.
Linear and area arrays
Modeling
Graph:
Multispectral
Spatial modeling using
1, 2, and 3
Hyperspectral
GIS data,
dimension
Active Sensors
Scene modeling.
Microwave (RADAR),
Scientific geo-
Laser (LIDAR),
visualizations
Acoustic (SONAR).
Hypothesis Testing: Accept or reject hypothesis
1.1
Perumusan Masalah
Ilmuwan maupun praktisi yang menggunakan umumnya sudah terlatih berpikir logis dalam menyelesaikan masalah. Umumnya mereka menggunakan metode yang pada prinsipnya terdiri dari lima langkah pokok, yaitu: (1) perumusan masalah, (2) menyusun hipotesis, (3) mengamati atau melakukan percobaan, (4) menginterpretasikan data, dan (5) menyimpulkan penyelesaian atas masalah tersebut.
5
Metode ilmiah umumnya dikombinasikan dengan suatu model logika yang pada prinsipnya terdiri dari dua cara berpikir logis, yaitu induktif dan deduktif. Kedua model tersebut lebih lanjut dibagi menjadi apakah bersifat deterministik (teratur/ditentukan) atau stokastik (random/acak) (Jensen, 2005, 2007). Ada juga ilmuwan/praktisi yang menginterpretasikan data penginderaan jauh (citra) secara langsung tanpa menggunakan logika deduktif atau induktif. Mereka menginterpretasikan apa yang ada pada citra dengan teknik dan metodologi yang mereka kembangkan sendiri. Metode tersebut mungkin tidak ilmiah (lazim), tetapi umum dilakukan dalam aplikasi penginderaan jauh. Pendekatan semacam inipun dapat menghasilkan pengetahuan baru. Jadi dapat disimpulkan bahwa penginderaan jauh dapat digunakan sebagai metologi ilmiah (deduktif dan induktif) dan juga sebagai pendekatan teknologi untuk memperoleh pengetahuan baru. Diskusi tentang bagaimana logika yang berbeda digunakan dalam praktek penginderaan jauh untuk menghasilkan pengetahuan baru telah dibahas dalam banyak literatur (misalnya: Fussell et al., 1986; Curran, 1989; Fisher and Lindenberg, 1989; Dobson, 1993; Skidmore, 2002; Jensen, 2007).
1.2 Identifikasi Data yang Dibutuhkan Setelah hipotesis dirumuskan, baik melalui logika berpikir induktif atau deduktif, langkah selanjutnya adalah menentukan sejumlah variabel yang akan diamati atau ditentukan. Pada prinsipnya data untuk variabel dapat diperoleh melalui: (1) Pengukuran langsung di lapang ( In-
Situ Measurement), (2) Pengukuran melalui RS, dan (3) Data lain yang sudah ada (colateral data). Setelah kita mendapatkan daftar variabel yang akan kita cari, selanjutnya kita tentukan mana dari variabel tersebut yang dapat diperoleh melalui: (1) pengukuran langsung, (2) data kolateral, dan (3) penginderaan jauh (remote sensing). Pengukuran In-Situ dan Teknik RS dapat digunakan untuk mendapatkan informasi tentang variabel yang sangat penting untuk menjawab permasalahan tersebut. Variabel lain dapat diperoleh dari data spasial yang sudah ada atau colateral data.
1.2.1 Pengukuran Lapang Pengukuran lapang (In-Situ Measurement) mungkin diperlukan untuk: (1) kalibrasi citra satelit dan (2) untuk cross-check terhadap hasil pengukuran akhir.
Informasi tentang prosedur
sampling untuk pengukuran in-situ dapat dipelajari melalui texbook atau kuliah formal pada bidang terkait (misalnya: kimia, biologi, kehutanan, tanah, hidrologi, meteorologi, dll). Kita juga perlu mengetahui cara memperoleh informasi demografi, administratif wilayah dan sosioHal |6
ekonomik masyarakat secara akurat. Metode pengukuran lapang untuk berbagai macam variabel yang kita butuhkan umumnya sama dengan metode penelitian pada setiap ilmu. Sebagai contoh, pada bidang ilmu hidrologi, pengukuran lapang untuk mendapatkan data (evaporasi, hujan harian, kadar lengas tanah, debit sungai, jenis peruntukan lahan, jenis lapisan tanah, kualitas air tanah, dan variabel lain) dilakukan dengan metode yang lazim dilakukan sesuai
bidang
limu
hidrologi.
Kebanyakan
pengukuran
lapang
dilakukan
dengan
mengintegrasikan teknologi GPS (Global Positoning System) yang akan menghasilkan data koordinat (x,y) dan (z) yang mewakili variabel yang diamati (Jensen and Cowen, 1999).
1.2.2 Data Kolateral Informasi tentang variabel yang akan diinvestigasi dapat juga diperoleh dari data-data lama (collateral data) yang sudah tersedia, misalnya digital elevation model, peta tanah, peta geologi, peta batas administrasi pemerintahan, dan peta tematik lain. Idealnya data-data tersebut sudah terintegrasi ke dalam Sistem Informasi Geografis (Clarke, 2001).
Lembaran–lembaran peta
analog yang ada dapat didigitalisasi untuk mendapatkan gambaran kondisi masa lalu dan kondisi yang sudah ada. Kita juga dapat memperoleh informasi dengan mengintegrasikan data yang berupa tabel statistik ke dalam SIG yang kita bangun. Data–data statistik dapat diperoleh dari dinas dan instansi terkait.
1.2.3 Data Penginderaan Jauh Ilmuwan yang akan menggunakan teknologi RS harus terlatih di lapangan dan di laboratorium terkait dengan prosedur pengambilan data. Sebagai contoh, jika para ilmuwan akan menggunakan data RS untuk mengukur suhu permukaan suatu danau, umumnya diperlukan juga pengukuran langsung di lapangan (in-situ) pada saat yang sama. Prinsipnya RS dapat menyediakan informasi untuk dua jenis variabel, yaitu: biofisik dan hybrid.
Variabel Biofisik Beberapa variabel biofisik dapat langsung diukur melalui RS. Dalam hal ini RS dapat menyediakan informasi tentang biologi dan/atau fisik ( biofisik) secara langsung, umumnya tanpa harus menggunakan data pendukung lain. Sebagai contoh, sistem RS
thermal dapat digunakan untuk mendeteksi panas permukaan bumi untuk selanjutnya digunakan dalam identifikasi potensi hot-spot. Informasi lokasi hot-spot (titik api) berguna untuk membantu pekerjaan pemadaman kebakaran hutan. Kita juga dapat menggunakan panjang gelombang tertentu untuk mendeteksi keberadaan uap air di atmosfer. Spektrum gelombang mikro (microwave) dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan lengas tanah (soil moisture content) secara langsung (Engman, 2000). 7
Sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectrometer) dari NASA dapat digunakan untuk mengukur APAR (Absorbed Photosynthetically Active Radiation) dan LAI (Leaf Area
Index). Informasi koordinat (x,y) dan ketinggian (z) suatu objek dapat diperoleh secara langsung melalui stereo foto-udara, overlapping citra SPOT, LIDAR (Light Detection and
Ranging), IFSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar). Tabel 1.2 memuat secara ringkas variabel biofisik dan sensor yang dapat digunakan untuk mendeteksi/mengukurnya. Kemajuan yang cukup siginifikan telah dicapai oleh RS karena sebagian besar hasil pengukuran variabel tersebut sangat dibutuhkan pada tingkat nasional maupun internasional dalam rangka memahami fenomena lingkungan secara global (Jensen et al., 2002; Asrar, 2004; Jensen, 2007). Tabel 1.2 Variabel Biofisik dan Sensor yang Sesuai (Sumber: Jensen, 2007) Variabel Biofisik
Rekomendasi Sensor yang Dapat Dipakai
Variabel topografi dan Geodesi (x,y,z) Titik Kontrol Geodesi
Global Positioning Systems (GPS)
X,y Lokasi dari Citra Orthogonal
Teknik Stereoskospik Analog dan digital menggunakan fotografi udara, Citra dari: Ikonos, Digital Globe Quick-
bird, Orb-Image Orbview-3, French SPOT HRV, Landsat Thematic Mapper, Enhanced TM+), Indian IRS-ICD, European ERS-1, and 2 microwave and ENVISAT MERIS, MODIS, LIDAR, RADARSAT 1 and 2 Variabel (Z) untuk Topografi/Bathymetry Digital Elevation Model (DEM)
GPS, Fotografi udara stereoskopik (Stereoscopic Aerial
Digital Bathymetric Model (DBM)
SONAR, Bathymetric LIDAR, Stareoscopic aerial photography
Photography), LIDAR, SPOT, RADARSAT, IKONOS, QuickBird, OrbView-3, Shuttle Radar Topography Mission (SRTM), Interferometric Synthetic Aperture Radar (IFSAR), TerraSAR,
Variabel untuk Vegetasi Pigmen
tumbuhan
Struktur
kanopi
chlorophyll a dan b)
Hal |8
(misalnya: Fotografi udara berwarna, Landsat ETM+, IKONOS,
tanaman
QuickBird, Orb View-3, Orbimage Sea WiFS, Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER), Moderate Resolution Imaging Spectrometer (MODIS), ENVISAT, airbone hyperspectral (misalnya: AVIRIS, HyMap, CASI)
dan Foto-udara Stereo, LIDAR, RADARSAT, IFSAR
ketinggian tanaman Biomasa tumbuhan yang diturunkan dari index vegetasi tanaman Leaf area index (LAI) Absorbed photosynthetically active radiation
Foto udara dengan sianr inframerah (Color-infrared aerial photography), Landsat (TM, ETM+), IKONOS, QuickBird, OrbView-3, Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR), Multiangle, Imaging Spectroradiometer (MISR), airbone hyperspectral system (misalnya: AVIRIS, HyMap, CASI)
Evapotranspirasi Suhu permukaan (tanah, air, atmosfer)
ASTER, AVHRR, GOES, Hyperion, MISR, MODIS, SeaWiFS, airbone, thermal infared
Variabel untuk Tanah dan Batuan (Soil and Rocks) Kelembaban tanah (soil moisture)
ASTER, gelommbang mikro pasif (passive microwave) (SSM/1), RADARSAT, MISR, ALMAZ, Landsat (TM, ETM+), ERS-1 and 2, Intermap Star 3i
Komposisi mineral
ASTER, MODIS, sistem hiperspektral (misal-nya: AVIRIS, HyMap, CASI)
Taxonomy
High resolution color and CIR aerial photography, airbone hyperspectral system (e.g., AVIRIS, HyMap, CASI)
Perubahan panas (Hydrotermal
Landsat (TM, ETM+), foto udara hiperspektral (misalnya : AVIRIS, HyMap, CASI)
Kekasaran permukaan (surface
Fotografi udara, ALMAZ, ERS-1 dan 2, RADARSAT, Intermap Star 3i, IKONOS, QuickBird, ASTER, ENVISAT ASAR
alteration )
roughness)
Monitoring dan Pengukuran Komponen Atmosfer Aerosol (ketebalan optik)
MISR, GOES, AVHRR, MODIS, CERES, MOPITT, MERIS
Awan (fraction, ketebalan optik)
MISR, GOES, AVHRR, MODIS, CERES, MOPITT, UARS, MERIS
Presipitasi
Tropical Rainfall Measurement Mission (TRMM), GOES, AVHRR, SSM/1, MERIS
Uap air
GOES, MODIS, MERIS
Ozone
MODIS
Kandungan kimia atmosfer
ACE
Monitoring dan pengukuran air
9
Warna,
Color and CIR fotografi udara, landsat (TM, ETM+), SPOT, ikonos, QuickBird, OrbView-3, ASTER, Sea WiFS, MODIS, MODIS, airborne hyperspectral systems (AVIRIS, HyMap, CASI), AVHRR, GOES, bathymetric LIDAR, MISR, CERES, Hyperion, TOPEX/POSEIDON, MERIS
Hidrologi permukaan, Sedimentasi, Mineral tersuspensi, Chlorophyll, Dissolved oksigen mater, Salsu dan lapisan es -Extent and characteristics
Color and CIR Aerial Photography, AVHRR, GOES, landsat (TM, ETM+) SPOT, SeaWIFS, Ikonos, QuickBird, ASTER, MODIS, MERIS, ERS-1 AND 2, RADARSAT
Dampak Erupsi gunung berapi suhu, gas - gas
ASTER, MISR, Hyperion, MODIS, Airborne hyperspectral systems
BRDF (Bidirectional reflectance
MISR, MODIS, CERES
distribution function)
(Sumber: Adaptasi dari Jensen, 2007)
Variabel Hybrid Variabel hibrid diperoleh dari analisis secara sistematis lebih dari satu variabel biofisik. Misalnya melalui aplikasi penginderaan jauh untuk mengukur tingkat: penyerapan
Chlorophil oleh tanaman, temperatur, dan kadar lengas tanah, memungkinkan kita untuk memodelkan tingkat stress pada tanaman. Variabel hibrid sangat variatif, tergantung situasi dan kondisi. Peta peruntukan lahan (land use atau land cover) pada skala tertentu pada hakikatnya adalah variabel hibrid. Karena peta peruntukan lahan yang dibuat pada skala tertentu dibentuk dengan mempertimbangkan beberapa variabel fisik dan biologi pada lokasi dan waktu yang sama (misal: lokasi objek (x,y), ketinggian (z), tone dan/atau warna, tingkat biomassa, dan mungkin rerata temperatur. Tabel (1.3) memuat beberapa contoh variabel hibrid dalam konteks aplikasi penginderaan jauh (Jensen, 2007).
Tabel 1.3 Contoh Variabel Hybrid dan Rekomendasi Sensor yang dapat digunakan Jenis variabel Hybrid
Sistem Penginderaan Jauh yang potensial
Peruntukan lahan (Land Use) Komersial, pemukiman, transportasi, dll.
H a l | 10
Very high spatial resolution panchromatic, color and /or CIR stereoscopic aerial photography, high
spatial resolution satellite imagery (<1 × 1 m: IKONOS, QuickBird, OrbView-3), SPOT (2.5 m), LIDAR, high spatial resolution hyperspectral system (e.g., AVIRIS, HyMap, CASI)
Kadastral (property) Pemetaan pajak Penutupan lahan (Land Cover) Pertanian, kehutanan, pemetaan wilayah perkotaan, dll (Agriculture,
forest, urban, etc...)
Color and CIR aerial photography, Landsat (MSS, TM, ETM+), SPOT, ASTER, AVHRR, RADARSAT, IKONOS, QuickBird, OrbView-3, LIDAR, IFSAR, SeaWiFs, MODIS, MISR, MERIS, hyperspectral system (e.g., AVIRIS, HyMap, CASI)
Penyakit tanaman (Vegetation stress) Stress
Color and CIR Aerial photography, Landsat (MSS, TM, ETM+), IKONOS, QuickBird, OrbView-3, AVHRR, SeaWiFs, MISR, MODIS, ASTER, MERIS, airbone hyperspectral systems (e.g., AVIRIS, HyMap, CASI) (sumber: Adaptasi dari Jensen, 2007)
Inventarisasi Data RS Data RS diperoleh menggunakan sistem penginderaan jauh dengan sensor pasif atau sensor aktif (Subbab 1.2). Prinsipnya, sensor pasif digunakan untuk menangkap radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau diemisikan oleh objek di permukaan bumi (Shippert, 2004). Sebagai contoh, kamera atau perekam video (video recorder) dapat digunakan untuk merekam energi elektromagnetik yang dipantulkan permukaan bumi pada daerah panjang gelombang sinar tampak (visible) dan inframerah-dekat (near-
infrared). Sensor Multispectral Scanner (MSS) dapat digunakan untuk merekam fluk radiasi panas yang keluar dari suatu permukaan bumi. Sensor aktif, seperti Gelombang Mikro (microwave) RADAR, LIDAR, atau SONAR menyinari permukaan bumi dengan radiasi elektromagnetik buatan (man-made electromagnetic energy) dan selanjutnya merekam jumlah fluk radiasi yang dipantulkan kembali (scattered back) ke sensor dari sistem peralatan tersebut. Sistem RS tersebut merekam data analog (dalam bentuk
hardcopy foto udara atau data video) dan/atau data digital (misalnya: raster) dari nilai kecerahan (brightness value) yang diperoleh melalui linear array scanner atau area array sacnner. Tabel 6.5 pada Bab 6 meringkas sejumlah sistem penginderaan jauh (aktif dan pasif) pada katagori ini (Jensen, 2007).
11
Pertimbangan Ketelitian Spektral Kebanyakan aplikasi RS menggunakan model deterministik yang menghubungkan antara jumlah energi eletromagnetik yang dipantulkan, diemisikan, atau dipancarkan kembali (back-scattered) pada panjang gelombang atau frekuensi tertentu dengan karakteristik kimia, biologi atau fisik dari fenomena yang sedang diamati. Dalam hal ini kita bermain dengan ketelitian spektral yang direpresentasikan oleh masing-masing band yang ada pada sistem RS dengan asumsi deterministik bahwa setiap band (channel) atau jangkauan panjang gelombang tertentu di dalam sensor akan sensitif terhadap karakteristik fenomena tertentu yang sedang kita amati. Selanjutnya kita dapat menggunakan band pada daerah sinar tampak, near-infrared, multispectral atau
hyperspectral dengan mempertimbangkan fenomena (objek kajian) yang akan diamati. Beberapa daerah panjang gelombang (spectral band) dari spektrum elektromagnetik sensitif dan optimal untuk memperoleh informasi variabel biofisik yang diamati. Band atau kanal tersebut dipilih dengan pertimbangan akan memberikan kontras maksimal antara objek (fitur) yang menjadi fokus di dalam citra dengan latar belakang (background) fitur lain di dalam citra. Prinsip ini dikenal sebagai objek-to-background
contrast.
Pemilihan
kanal
yang
tepat
dapat
meningkatkan
peluang
untuk
mendapatkan informasi objek yang dicari dari data RS. Di sinilah kita perlu mempertimbangkan kesesuian antara ketelitian spektral dengan fenomena yang diamati, karena semakin besar rasio antara ketelitian spektral yang tersedia di citra dan informasi tentang objek yang akan kita amati akan berpengaruh pada peningkatan biaya investasi untuk pembelian citra (Jensen, 2007).
Pertimbangan Ketelitian Spasial Faktor lain yang perlu diperhatikan sebelum inventarisasi data RS adalah kesesuian antara fenomena yang dipelajari dengan ketelitian spasial yang ditawarkan oleh sensor penginderaaan jauh. Ada hubungan antara ukuran objek atau luas dari objek (fitur) yang dikaji dengan ketelitian sensor spasial. Aturan yang didasarkan pada pengalaman dan sudah umum dipakai, yang dapat dijadikan acuan adalah bahwa ukuran nominal ketelitian sensor spasial RS sebaiknya lebih kecil dari 50% (setengah) satuan luas terkecil suatu objek atau fitur yang akan diamati. Misalnya, jika kita ingin memetakan luas gedung atau perumahan di suatu kota, maka ukuran piksel minimum yang dipakai harus lebih kecil dari (0,5 x ukuran luas rerata rumah). Pada kasus ini
H a l | 12
citra dengan ketelitian spasial maksimal (2,5 m x 2,5 m) lebih baik daripada citra dengan ukuran (5m x 5m). Karena kita memiliki informasi spasial setiap lokasi piksel (x,y) pada suatu matriks data raster, hal itu memungkinkan kita untuk mengevaluasi hubungan antara suatu piksel dengan piksel-piksel tetangga di sekelilingnya. Oleh karena itu spectral
autocorelation dan spatial interpolation dapat ditentukan berdasarkan hubungan yang melekat antara piksel dengan piksel-piksel di sekelilingnya (Walsh, et al., 1999; Jensen, 2005).
Banyak aplikasi RS dan GIS pada berbagai bidang ilmu yang
didasarkan pada logika semacam ini. Berbagai algorithma juga sudah dikembangkan untuk menentukan hubungan spasial (spatial correlation) antara piksel dengan piksel sekelilingnya. Algoritma-algoritma tersebut juga telah diintegrasikan ke hampir semua paket perangkat lunak GIS maupun RS. Fasilitas seperti itu telah diimplementasikan pada berbagai perangkat lunak, misalnya ArcGIS Geostatistical Analyst (Johnston et
al., 2001);
GeoDa (https://geoda.uiuc.edu); GS+TM (Robertson, 2008); SatScan
(http://www.satscan.org);
dan
STARS
(http://regal.sdsu.edu/index.php/
main/STARS). Selanjutnya, berbagai metode, model, perangkat lunak dan contoh aplikasi yang dapat digunakan untuk interpolasi data dan aplikasi statistik spasial dapat dipelajari pada berbagai literatur. Salah satunya adalah yang ditulis oleh: De Smith et al., 2007, tentang analisis Geospasial.
Pertimbangan Ketelitian Temporal Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam aplikasi RS adalah masalah ketelitian temporal. Ketelitian temporal merujuk pada frekuensi perekaman data suatu wilayah yang sama oleh sensor (lihat Subbab 6.4). Idealnya, suatu sensor memperoleh data secara berulang untuk membedakan karakteristik wilayah atau fenomena yang diamati dari waktu ke waktu (Haack et al., 1997). Sebagai contoh, komoditas pertanian (agricultural crops) memiliki siklus fenologi (pertumbuhan tanaman) yang spesifik untuk setiap wilayah. Untuk mendeteksi variabel khusus terkait dengan pertumbuhan tanaman, kita perlu memotret wilayah tersebut pada saat–saat kritis dari perkembangan tanaman (Johannsen et al., 2003). multitemporal
dapat
digunakan
untuk
mengikuti
Analisis dengan citra
bagaimana
variabel
yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman berubah dari waktu ke waktu (Jensen
et al., 2002). Beberapa sensor dari sistem satelit, misalnya SPOT, Ikonos, ImageSat dan Quicbird dapat memotret secara off-nadir. Nadir adalah titik yang berada tepat di bawah satelit (spacecraft). Hal itu memungkinkan kita untuk mendapatkan citra pada
13
saat musim tanam atau selama keadaan darurat. Ada benefit dan cost rasio yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan ketelitian spasial berhubungan dengan fenomena yang akan dipelajari. Pada umumnya semakin tinggi ketelitian temporal, misal: monitoring badai (hurricane setiap setengah jam, pergerakan awan untuk peramalan cuaca) membutuhkan ketelitian spasial yang rendah (misalnya: satelit cuaca NOAA-GOESS merekam data dengan ketelitian spasial per piksel 4km x 4km atau 8km x 8 km. Referensi Tabel (6.8) dan Tabel (6.9) pada Bab 6 buku Teori dan
Praktek Penginderaan Jauh, Indarto (2013). Sebaliknya, semakin tinggi ketelitian spasial yang dibutuhkan, semakin rendah ketelitian temporal yang dibutuhkan. Misalnya, aplikasi RS untuk pemetaan penggunaan dan peruntukan lahan di wilayah perkotaan menggunakan ketelitian spasial 1m x 1m, tetapi karena frekuensi perubahan objek di lingkungan perkotaan relatif lambat, maka ketelitian temporal yang digunakan juga rendah, misalnya pemotretan dapat dilakukan untuk setiap 5 sd 10 tahun sekali.
Pertimbangan Ketelitian Radiometrik Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah ketelitian radiometrik. Prinsipnya adalah bahwa semakin tinggi ketelitian radiometrik yang kita inginkan, semakin detail dan semakin jelas objek yang dikaji, akan tampak pada citra, tetapi juga semakin tinggi biaya yang harus kita keluarkan untuk mendapatkan informasi tersebut. Karakteristik polarisasi energi elektromagnetik yang direkam oleh sensor merupakan variabel yang sangat penting yang dapat digunakan untuk karakterisasi objek-objek di permukaan bumi (Curran et al., 1998). Polarisasi dari sinar matahari pada prinsipnya lemah. Akan tetapi jika sinar matahari mengenai benda non-metal (sperti: rumput, tanaman, bangunan), sinar tersebut akan didepolarisasi dan energi yang masuk akan dibelokkan
secara
berbeda.
Umumnya
permukaan
yang
lebih
halus
akan
mempolarisasikan lebih banyak sinar. Kita bisa menggunakan teknologi filter pada sistem RS pasif untuk menyeleksi sinar yang terpolarisasikan pada pemotretan dengan berbagai sudut (misalnya: foto udara). Dapat juga kita menyeleksi energi polarisasi yang masuk dan keluar menggunakan sistem RS aktif seperti RADAR, LIDAR atau SONAR. Domain radar adalah sistem penginderaan jauh yang sekarang banyak dikembangkan dan diterapkan pada berbagai bidang, yang dapat menjadi alternatif solusi penyelesaian masalah keseharian kita.
H a l | 14
1.3 Prinsip Analisis Data RS Citra penginderaan jauh dapat dianalisis menggunakan berbagai teknik pengolahan citra yang pada prinsipnya dapat dibedakan menjadi dua metode, yaitu: 1. Pengolahan citra secara analog (visual), 2. Pengolahan citra secara digital. Kedua metode tersebut bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi fenomena atau objekobjek yang dikaji di dalam scene (citra).
Setelah teridentifikasi, selanjutnya fenomena atau
objek tersebut diukur dan hasil pengukuran selanjutnya digunakan sebagai informasi untuk membantu menyelesaikan masalah (Estes et al., 1983; Estes and Jensen, 1998; Haack et al., 1997; Jensen, 2007). Identifikasi dan interpretasi target di dalam citra dapat dilakukan secara visual atau manual oleh manusia. Umumnya hal ini dilakukan dengan meletakkan citra pada suatu bidang dan menginterpretasikan secara manual, terlepas dari sensor apa yang dipakai dan bagaimana mengoleksinya. Proses interpretasi semacam ini disebut sebagai interpretasi analog. Data RS juga dapat ditampilkan dalam layar monitor komputer dalam bentuk piksel-piksel. Tiap piksel melambangkan nilai bilangan digital (digital number) yang mewakili tingkat kecerahan (brightness level) tiap piksel di dalam citra. Pada kasus ini kita bekerja dengan data RS digital. Interpretasi secara visual juga dapat dilakukan terhadap citra digital dengan menampilkannya di layar monitor. Baik citra analog maupun digital dapat ditampilkan dalam format hitam-putih (disebut sebagai monocrome) atau ditampilkan berwarna (colour image) dengan penyinaran melalui kombinasi beberapa band yang mewakili nilai panjang gelombang tertentu. Jika data RS tersedia dalam format digital, maka analisis, pemrosesan dan interpretasi dapat dilakukan dengan bantuan komputer. Pengolahan citra secara digital dapat digunakan untuk meningkatkan kenampangan citra.
Analisis digital juga memungkinkan kita untuk secara
otomatis mengidentifikasi target dan menyeleksi informasi tanpa intervensi manusia secara manual. Meskipun demikian, pengolahan secara digital tidak dapat menggantikan proses pengolahan secara manual. Umumnya kita mengkombinasikan kedua teknik tersebut dalam proses analisis dan interpretasi citra.
1.3.1 Pengolahan Citra Secara Analog Manusia menggunakan elemen dasar untuk interpretasi citra secara visual (Gambar 1.1) yang mencakup tingkat hitam–putih (grey scale tone), warna, kedalaman (ketinggian/depth), ukuran (size), bentuk (shape), bayangan (shadow), tekstur (texture), site, asosiasi (association), dan susunan (arrangement).
15
Gambar 1.1 Pengolahan Citra Secara Analog dan Digital Menggunakan Elemen Interpretasi Citra (Sumber: Jensen, 2007) Otak kita dapat menangkap dan mengingat segala macam objek yang rumit di dalam citra atau fotografi udara karena kita secara kontinu: (1) terbiasa melihat apa yang ada di sekeliling kita, (2) gambar objek tersebut juga dapat kita lihat di buku, televisi atau internet. Tabel 1.4 menampilkan perbandingan tahap atau proses yang dilakukan antara pengolahan citra secara analog dan digital. Pengolahan Citra Secara Analog (Visual)
Pengolahan Citra Secara Digital
Skala hitam ke putih (Grayscale
8 sd 12-bit nilai kecerahan (brightness values) atau skala reflektan permukaan (surface reflectance) atau emisi permukaan
Skala warna (RGB) = Red, Green, Blue)
Skala warana : 24 bit look-up table
tone)
Transformasi komposit multikanal RGB (misalnya: intentisy, hue, saturation)
Height (ketinggian) dan Dept (kedalaman)
Soft-copy: photogrammetry, radargrammetry, RADAR interferometry, LIDAR, SONAR
Ukuran (panjang, luas, keliling, volume)
Soft-copy: photogrammetry, radargrammetry, RADAR interferometry
Bentuk
Soft-copy: photogrammetry, radargrammetry, interferometry, landscape ecology metrics, object-
H a l | 16
oriented image segmentation Tekstur
Texture transformation, geostatistical analysis, landscape ecology matrics, fractal analysis
Bayangan (shadow)
Soft-copy photogrammetry, radargrammetry, measurement from rectified images,
Situs (site)
Contextual, expert system, neural networks analysis
Asosiasi (Association)
Contextual, expert system, neural networks analysis
Susunan (Arrangement)
Contextual, expert system, neural networks analysis
Kebiasaan tersebut melekat pada kemampuan personal masing-masing individu dan ditambah dengan informasi kolateral dari sumber lain akan membentuk pengetahuan pada diri kita. Selanjutnya kita berusaha mengidentifikasi fenomena atau objek yang ada di citra dan memberi justifikasi. Pengukuran yang teliti terhadp objek (panjang, luas, keliling, volume, dll) dilakukan dengan teknik fotogrammetri monoscopic (single foto) atau stereoscopic (overlapping) citra. Lebih detail tentang teknik interpretasi secara manual dapat dijumpai di buku-buku
fotogrammetry.
1.3.2 Pengolahan Citra Secara Digital Para ilmuwan telah menghasilkan banyak kemajuan dalam pengolahan citra secara digital untuk keperluan visualisasi ilmiah dan pengujian hipotesis (misalnya: Estes dan Jensen, 1998; Townshend dan Justice, 2002; Kraak, 2003).
Metode pengolahan citra secara detail dapat
dijumpai pada banyak literatur, misalnya tulisan: Donnay et al., 2001; Bossler et al., 2002; Jensen, 2005; Campbell, 2008; Campbell, 2011; Jensen, 2007. Pengolahan citra secara digital menggunakan elemen interpretasi citra dengan banyak teknik sebagaimana diringkas dalam Tabel 1.4. Secara umum tahap pengolahan citra secara digital mencakup: (1) Pre-processing (koreksi geometrik dan radiometrik), (2) peningkatan kenampakan citra (image enhancement), (3)
pattern recognition using inferential statistics , (4) photogrammetric image processing of stereoscopic image, (5) expert system and neural network analysis, (6) hyperspectral analysis dan (7) change detection. Bab 8 dan Bab 9 akan menjelaskan prinsip-prinsip tahapan proses pengolahan citra secara digital dengan lebih detail.
17
1.4 Presentasi Informasi Informasi yang dihasilkan dari proses pengolahan dan interpretasi citra penginderaan jauh umumnya berupa citra yang lebih bagus kenampakannya, peta citra, orthofoto map, peta tematik, file database spasial, statistik dan grafik (Gambar 1.1). Oleh karena itu output final dari proses penginderaan jauh membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan di bidang penginderan jauh, kartografi, GIS, statistik spasial dan juga pengetahuan dalam bidang tertentu sesuai dengan fenomena atau objek yang sedang dipelajari. Ilmuwan yang tahu tentang prinsip dan hubungan sinergi antara RS dengan bidang ilmu lain dapat membuat output yang memadai, efektif dan komunikatif. Sebaliknya, jika ada salah satu langkah yang ditinggalkan, atau ketidaklengkapan pengetahuan pada salah satu bidang, hal itu dapat menyebabkan output final yang dihasilkan tidak memadai, tidak komunikatif dan mis-interpretasi.
1.5
Ringkasan
Prinsip metodologi pada aplikasi penginderaan jauh terdiri dari: (1) Perumusan masalah atau penyusunan hipotesis, (2) Inventarisasi dan kalibrasi data, (3) Interpretasi data menjadi informasi tematik, dan (4) Presentasi informasi. Penginderaan jauh dapat digunakan sebagai metodologi ilmiah (deduktif dan induktif) dan juga sebagai pendekatan teknologi untuk memperoleh pengetahuan baru. Data untuk variabel yang akan dipelajari dapat diperoleh melalui: (1) Pengukuran langsung di lapang (In-Situ measurement), (2) Pengukuran melalui RS, dan (3) Data lain yang sudah ada (colateral data). Informasi tentang variabel yang akan diinvestigasi dapat juga diperoleh dari data-data lama (collateral data) yang sudah tersedia, misalnya digital elevation model, peta tanah, peta geologi, peta batas administrasi pemerintahan, dan peta-peta tematik lain. Penginderaan jauh dapat menyediakan informasi untuk dua jenis variabel, yaitu biofisik dan hibrid. Variabel biofisik. Beberapa variabel biofisik dapat langsung diukur melalui RS. Dalam hal ini RS dapat menyediakan informasi tentang biologi dan/atau fisik ( bio-fisik) secara langsung, umumnya tanpa harus menggunakan data pendukung lain. Variabel hibrid diperoleh dari analisis secara sistematis lebih dari satu variabel biofisik. Citra penginderaan jauh dapat dianalisis menggunakan berbagai teknik pengolahan citra yang pada prinsipnya terdiri dari dua metode, yaitu pengolahan citra secara analog (visual) dan pengolahan citra secara digital. Kedua metode tersebut bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi fenomena atau objek-objek yang dikaji di dalam scene (citra). Setelah H a l | 18
teridentifikasi, fenomena atau objek tersebut kemudian diukur dan hasil pengukuran digunakan sebagai informasi untuk membantu menyelesaikan masalah. Interpretasi citra secara analog menggunakan elemen dasar interpretasi citra secara visual (Gambar 1.1), yang mencakup tingkat hitam – putih (grey scale tone), warna, kedalaman (ketinggian/depth), ukuran (size), bentuk (shape), bayangan (shadow), tekstur (texture), site, asosiasi (association), dan susunan (arrangement). Pengolahan citra secara digital dilakukan dengan perangkat lunak pengolah citra dan hardare komputer.
1.6 1.6.1
Pertanyaan Umpan Balik Tipe B
Petunjuk: Pilih semua jawaban yang paling benar 1. Berikut termasuk langkah-langkah metodologi pada aplikasi penginderaan jauh: (a) Perumusan masalah (b) Inventarisasi data (c ) Interpretasi
(d) Presentasi informasi
2. Perumusan masalah dapat dilakukan dengan pendekatan ilmiah, secara? (a) Deduksi
(b) induksi
(c) Deterministik
(d) pengetahuan berbasis empiris
3. Inventarisasi data untuk memperoleh nilai suatu variabel biofisik maupun hibrid dapat dilakukan melalui: (a) pengukuran in-situ (b) Pengukuran atau survei dengan GPS (c) Pembelian citra satelit (d) Digitalisasi peta konvensional yang ada 4. Data kolateral sebagai pelengkap kajian di dalam aplikasi penginderaan jauh dapat diperoleh dari? (a) DEM (b) Biro Pusat Statistik (c) Peta Analog yang ada (d) Sistem Informasi Geografis
1.6.2 Tipe C Petunjuk: Jelaskan dengan uraian dan contoh. 1.
Jelaskan dengan suatu contoh aplikasi RS untuk menyelesaikan suatu permasalahan dan
lengkapi kolom-kolom berikut untuk memandu penyelesaian masalah tersebut! Langkah Perumusan
Keterangan tentang data dan proses yang dilakukan masalah
&
penyusunan hipotesis
19
Inventarisasi data
Interpretasi & pengolahan data
Presentasi informasi
2.
Pada contoh kasus di atas, sebutkan mana yang termasuk variabel biofisik dan mana yang
termasuk variabel hibrid. Jelaskan bagaimana Saudara memperoleh dan mengolah informasi untuk mendapatkan kedua jenis variabel tersebut.
H a l | 20