ANALISIS PENGARUH FAKTOR KULTURAL TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
DEMARCE M. SABUNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Halaman ini sengaja dikosongkan
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pengaruh Faktor Kultural Terhadap Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Demarce M.Sabuna NRP. H151104384
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT DEMARCE M.SABUNA. The Effects of Cultural Factor on Poverty in Nusa Tenggara Timur Province under supervisor SRI MULATSIH and YETI LIS PURNAMADEWI Nusa Tenggara Timur (NTT) is one of the Indonesia provinces with high poverty rate (23%) in 2010, although poverty alleviation programs in NTT have been carried out. The question is whether cultural factors affecting poverty or not. Purpose of this study is to analyze the factors that affect poverty in NTT, and to analyze the magnitude of the cultural factors cause poverty in NTT. The results showed that the factors that significantly have positif effect to the number of the poor, are the number of agricultural workers, the number of open unemployment, the spending for cultural (tobacco consumtion, betel nut and the ceremony), while the GDP per capita and the development expenditure budget tend to reduce poverty. The number of total spending for tobacco consumption and betel nut effect the number of poor people, not significant. Average number of year of school, reducing the number of poor but no significant effect on poverty. Cultural is the weakest factors among six other poverty factors. Keywords: Cultural, Poverty, Panel data.
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN DEMARCE M. SABUNA Analisis Pengaruh Faktor Kultural Terhadap Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan YETI LIS PURNAMADEWI. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menunjukkan tingkat kemiskinan masih tergolong tinggi walaupun penanganan kemiskinan terus diupayakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Tingkat kemiskinan di Provinsi NTT pada tahun 2002 sebesar 30,74 persen dan sampai dengan tahun 2010 menurun menjadi 23,01 persen. Indikator lainnya yang menunjukan ketertinggalan di daerah ini adalah tingkat PDRB perkapita NTT. Sepanjang Tahun 2002 hingga Tahun 2010, PDRB Perkapita NTT mengalami peningkatan dalam nominalnya yaitu Rp 2.306.000 pada tahun 2005 mencapai Rp 2.676.000 pada tahun 2010. Meskipun demikian, PDRB perkapita tersebut masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan provinsiprovinsi lain di Indonesia. Kondisi tersebut yang menyebabkan provinsi NTT selalu tertinggal, sehingga termasuk dalam 2 provinsi dengan PDRB perkapita terendah di tingkat nasional, bahkan pada Tahun 2010 menjadi provinsi dengan pendapatan perkapita terendah di Indonesia. Program penanggulangan kemiskinan di Indonesia termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah banyak dilakukan. Dana yang telah dikeluarkan kucurkan oleh pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai trilyun rupiah, tetapi persentase masyarakat miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Program-program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan cenderung bersifat homogen untuk semua daerah di Indonesia tanpa memperhatikan kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah. Menurut Wold Bank (2004), aspek sosial budaya atau kultural dan aspek ekonomi perlu diperhatikan dalam setiap strategi penanggulangan kemiskinan. Nusa Tenggara Timur memiliki kultur yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, sehingga pertimbangan untuk memperhatikan faktor kultural dan faktor–faktor lainnya dalam setiap rancangan strategi penanggulangan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur menjadi menarik untuk diteliti. Harapannya program-program yang lebih tepat sasaran dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan sehingga kemiskinan secara efektif diturunkan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji dinamika kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur: (2) mengkaji kaitan antara budaya masyarakat dengan pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur: (3) menganalis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur: (4) menganalis besarnya pengaruh faktor kultural terhadap terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Cakupan penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten yang mengalami pemekaran setelah tahun 2005 digabungkan ke kabupaten induknya. Periode analisis tahun 2005-2010. Data yang digunakan berupa data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber-sumber lainnya.
Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama dan kedua adalah analisis deskriptif, sedangkan untuk menjawab tujuan ketiga dan keempat digunakan regresi data panel. Sementara itu, model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari model yang dikembangkan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007). Variabel lain juga disertakan dalam penelitian ini yaitu variabel pengeluaran keperluan pesta dan upacara serta pengeluaran tembakau dan sirih pinang. Berdasarkan kajian dinamika kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur diperoleh hasil bahwa pada tahun 2005 hingga tahun 2010 persentase kemiskinan di sebagian besar kabupaten/kota mengalami penurunan, kecuali Kabupaten Ende, Kabupaten Rote Ndao dan Kota Kupang. Apabila dilihat dari sisi keparahan dan kedalaman kemiskinan juga memberikan hasil kajian yang sama yaitu sebagian besar kabupaten/kota mengalami penururan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan, kecuali Kabupaten Ende, Kabupaten Rote Ndao dan Kota Kupang yang cenderung tetap. Hasil kajian juga menunjukan bahwa kabupaten/kota yang masih memegang teguh budaya dan adat istiadat memiliki persentase kemiskinan, indeks kedalaman dan keparahan lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Kupang. Hasil kajian kaitan antara budaya dan pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukan bahwa proporsi pengeluaran untuk makanan terutama sumber karbohidrat cenderung menurun, dan sumber protein stabil sedangkan untuk tembakau dan sirih pinang mengalami fruktuasi. Hal ini menunjukan bahwa alokasi pengeluaran rumahtangga lebih mengutamakan pengeluaran lain dibandingkan dengan kebutuhan gizi anggota rumahtangga masyarakat. Hasil kajian juga menunjukan bahwa proporsi pengeluaran untuk kebutuhan esensial lainnya yaitu pengeluaran pendidikan dan kesehatan rumahtangga lebih kecil dibandingkan dengan proporsi pengeluaran untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang. Hal ini berarti bahwa kecenderungan masyarakat untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan anggota rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil analisis data panel statis dengan Random Effect Model (REM) menunjukan bahwa jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, jumlah pengangguran terbuka, jumlah pengeluaran pesta dan upacara berpengaruh nyata (signifikan) dan berhubungan positif terhadap jumlah penduduk miskin. Besarnya realisasi pengeluaran APBD perkapita dan pengeluaran pembangunan APBD berpengaruh nyata (signifikan) dan berhubungan negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Besarnya pengaruh faktor kultural terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah yang terkecil diantara enam faktor lainnya yaitu faktor pengeluaran pesta dan upacara hanya sebesar 0,08 persen dan berpengaruh nyata (signifikan), sedangkan untuk tembakau dan sirih pinang sebesar 0,03 persen dan tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan. Berdasarkan hasil penelitian, implikasi kebijakan yang dapat disarankan, adalah sebagai berikut: (1) Mengingat faktor peningkatan jumlah penduduk sangat berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
maka program Keluarga Berencana (KB) perlu ditingkatkan untuk membatasi angka kelahiran, terutama pada kelompok masyarakat miskin; (2) Peningkatan pendapatan masyarakat melalui berbagai upaya penyediaan lapangan kerja diluar sektor pertanian dan pengembangan usaha agroindustri menjadi alternatif untuk mengurangi banyaknya pekerja pertanian dan mengatasi pengangguran; (3) Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, mewajibkan masyarakat usia sekolah untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan yang lebih tinggi dan pemberian beasiswa kepada masyarakat miskin; (4) Memperbesar alokasi dana pengeluaran pembangunan APBD serta mengusahakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan. Program-program pengurangan kemiskinan diprioritaskan ke kabupaten/kota yang tingkat kemiskinannya relatif besar seperti Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Kupang.
Halaman ini sengaja dikosongkan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Halaman ini sengaja dikosongkan
ANALISIS PENGARUH FAKTOR KULTURAL TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
DEMARCE M. SABUNA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. M.Parulian Hutagaol, M.S.
Judul Penelitian Nama NRP Program Studi
: Analisis Pengaruh Faktor Kultural Terhadap Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur : DEMARCE M. SABUNA : H151104384 : Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr
Dr. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. Agr Anggota
Ketua
Diketahui Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si.
Tanggal Ujian: 09 Agustus 2012
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus:
Halaman ini sengaja dikosongkan
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Pengaruh Faktor Kultural Terhadap Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku anggota komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr.Ir. M.Parulian Hutagaol, M.S. selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis, dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada isteriku tersayang Sartji N.I. Banu, A.Md Keb, Anak-anakku tercinta Devendy Sabuna dan Dede Praja Sabuna serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan do’a dan dukungan yang tak terkira sejak awal perkuliahan. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Tuhan yang Maha Kuasa. Tuhan yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Meskipun demikian, penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan di Indonesia, terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Bogor, Agustus 2012 DEMARCE M. SABUNA
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Pene Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur) pada tanggal 18 Maret 1974 sebagai sulung dari empat bersaudara pasangan Bapak Thobias Sabuna (alm.) dan Ibu Yakobah Nenotek. Tahun 1986 penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SDN I Pene Selatan, kemudian pada tahun 1989 menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMPN IV Kupang. Pada tahun 1992, penulis lulus dari SMA Beringin Kupang. Pada tahun 1994, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan Sebagai Koordinator Statistik Kecamatan (KSK). Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswa Tugas Belajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta dan menyelesaikan pendidikan D-IV tersebut pada tahun 2005. Setelah lulus D-IV, penulis ditugaskan kembali pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2008, penulis diberi kepercayaan untuk menjadi Kepala Seksi Integrasi, Pengolahan dan Deseminasi Statistik (IPDS) BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pada tahun 2009, penulis dipindahtugaskan menjadi Kepala Seksi Statistik Distribusi BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB yang merupakan kerjasama dengan Badan Pusat Statistik, setelah sebelumnya menyelesaikan Program Alih Jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekomoni dan Manajemen IPB.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xxiii DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxvii I.
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..........................................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian ..............................................................................
6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................
7
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
9
2.1 Definisi Kemiskinan .........................................................................
9
2.2 Penyebab Kemiskinan ......................................................................
11
2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan .................................
13
2.3.1 Jumlah Penduduk ..................................................................
14
2.3.2 Produk Domestik Regional Bruto per Kapita ......................
15
2.3.3 Pengeluaran Pembangunan APBD.........................................
16
2.3.4 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian............................................
17
2.3.5 Pengangguran.........................................................................
19
2.3.6 Tingkat Pendidikan ................................................................
19
2.3.7 Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara serta Tembakau dan Sirih Pinang......................................................................
20
2.4 Kerangka Pemikiran .........................................................................
22
2.5 Hipotesis Penelitian ..........................................................................
23
III. METODE PENELITIAN .........................................................................
25
3.1 Jenis dan Sumber Data ......................................................................
25
3.2 Metode Analisis ...............................................................................
25
3.2.1 Analisis Deskriptif ................................................................
25
3.2.2 Metode Regresi Data Panel ..................................................
25
3.2.2.1 Pengujian Model Terbaik ........................................
28
3.2.2.2 Uji Asumsi ...............................................................
31
3.2.2.3 Evaluasi Model.........................................................
32
3.2.2.4 Spesifikasi Model Penelitian ....................................
33 xix 3.3 Definisi Operasional ......................................................................... 34 IV. GAMBARAN UMUM DAN DINAMIKA KEMISKINAN ....................
37
4.1 Gambaran Umum ..............................................................................
37
4.1.1 Kondisi Geografis dan Wilayah Administratif ......................
37
4.1.2 Kependudukan ........................................................................
37
4.1.3 Produk Domestik Regional Bruto...........................................
40
Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita.........................
40
Produk Domestik Regional Bruto Sektoral ............................
41
4.1.4 Pengeluaran Pembangunan APBD .........................................
43
4.1.5 Pekerja Sektor Pertanian.........................................................
44
4.1.6 Pengangguran .........................................................................
46
4.1.7 Pendidikan ..............................................................................
47
4.2 Dinamika Kemiskinan ......................................................................
49
4.2.1 Jumlah Penduduk Miskin ......................................................
49
4.2.2 Kedalaman Kemiskinan..........................................................
53
4.2.3 Keparahan Kemiskinan...........................................................
55
V. KAITAN BUDAYA DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA .......
57
5.1 Gambaran Umum Budaya NTT ........................................................
57
5.2 Pengeluaran Tembakau dan Sirih Pinang .........................................
58
5.3 Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara........................................
62
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN ..........
67
6.1 Uji Model Regresi Data Panel ..........................................................
67
6.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan .................................
69
6.2.1 Jumlah Penduduk....................................................................
70
6.2.2 Produk Domestik Regional Bruto...........................................
71
6.2.3 Pengeluaran Pembangunan APBD .........................................
71
6.2.4 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian ............................................
73
6.2.5 Pengangguran .........................................................................
75
6.2.6 Pendidikan ..............................................................................
76
6.2.7 Pengeluaran Konsumsi Tembakau dan Sirih Pinang .............
79
6.2.8 Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara............................
79
6.3 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di NTT .............
80
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
85
6.1 Kesimpulan .......................................................................................
85
6.2 Saran .................................................................................................
86
6.3 Saran Penelitian Lanjutan .................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
87
LAMPIRAN ....................................................................................................
89
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2002 - 2010..........
2
2
PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2002 - 2010..........................................................
3
3
Kerangka identifikasi autokorelasi ...........................................................
31
4
Model acuan dan model penelitian ..........................................................
33
5
Jumlah penduduk dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 .........................................................
38
Jumlah penduduk miskin dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 ................................................
50
Persentase penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Indonesia dirinci menurut kota dan desa tahun 2007 - 2010....................
51
Hasil regresi data panel faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 -2010 .................................
69
6
7
8
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran .................................................................................
5
2
Pengujian pemilihan model dalam pengolahan data panel.......................
30
3
Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 ....................................................................................
39
4
Piramida penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 ........
40
5
PDRB per Kapita Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut kabupaten/kota tahun 2005 dan tahun 2010 .............................................
41
PDRB Sektoral Provinsi Nusa Tenggara Timur Menurut Lapangan Usaha tahun 2010 .....................................................................................
42
PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut subsektor pertanian tahun 2010 ................................................................................................
43
Realisasi Pengeluaran Pembangunan APBD di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010............................................................
44
Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja di sektor pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ................................................................................................
45
10 Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 ................................................................................................
45
11 Persentase tingkat pengangguran menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 .................................
46
12 Persentase jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 ...........................................................
48
13 Rata-rata lama sekolah penduduk 10 tahun ke atas di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ...........................................
49
14 Persentase penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005 dan tahun 2010 ..........................................
52
15 Indeks kedalaman kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 ..............................................................................................
53
6
7
8
9
16 Indeks kedalaman kemiskinan menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ..................................
54
17 Indeks keparahan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 ..............................................................................................
55
18 Indeks keparahan kemiskinan menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010...................................
56
19 Persentase jumlah pengeluaran tembakau dan sirih pinang terhadap total pengeluaran rumahtangga menurut kab/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ...........................................
59
20 Persentase pengeluaran sumber makanan karbohidrat, sumber makanan protein dan pengeluaran tembakau serta sirih pinang terhadap total pengeluaran makanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 20052010 ..........................................................................................................
60
21 Persentase jumlah pengeluaran pendidikan, kesehatan dan pengeluaran tembakau dan sirih pinang terhadap total pengeluaran bukan makanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010.................................
61
22 Persentase jumlah pengeluaran pesta dan upacara terhadap total pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 ..........................................................................................
65
23 Persentase jumlah pengeluaran pendidikan, kesehatan dan pengeluaran keperluan pesta dan upacara di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 ..............................................................................................
66
24 Hasil uji error term faktor faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur .................................................................
97
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
2
3
4
5
6
Hasil uji pooled least square faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ............
89
Hasil Pengujian fixed effect faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ............
90
Hasil uji Chow faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 .................................................
91
Hasil uji random effect faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ................................................................................................
93
Hasil uji Hausman faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ...................................
94
Hasil uji normalitas error term faktor-faktor yang memengaruhi kemiskina di Provins Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 ...............
95
Halaman ini sengaja dikosongkan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kemiskinan menjadi isu dunia yang banyak diminati oleh para peneliti karena jumlahnya yang besar dan dampak yang ditimbulkannya sangat buruk bagi kehidupan masyarakat. Wold Bank (2004) melaporkan bahwa seperempat penduduk tergolong miskin. Sementara di Indonesia bisa dihitung dengan standar hidup minimum per kapita per hari US$ 2, maka penduduk yang tergolong miskin mencapai 59,99 persen (Wold Bank, 2007). Menurut Yudhoyono dan Harniati (2007), kemiskinan berdampak negatif atau dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia dan menurunkan ketertiban umum. Kemiskinan juga merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan dan kesenjangan antar golongan penduduk. Kesenjangan dan pelebaran jurang kaya miskin tidak mungkin untuk terus dibiarkan karena akan menimbulkan berbagai persoalan baik persoalan sosial maupun politik di masa yang akan datang. Sejak dilaksanakan pembangunan di Indonesia, jumlah penduduk miskin selama periode (1976-1996) telah mengalami penurunan secara drastis. Sebagai ilustrasi: periode (1976-1981) turun dari 54,2 juta jiwa (40,1%) menjadi 40,6 juta jiwa (26,9%); pada tahun 1990 turun lagi menjadi 27,2 juta jiwa (15,1%); pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin tinggal 22,5 juta jiwa atau 11,2 persen. Sebelum masa krisis pada tahun 1997, Indonesia menjadi salah satu model pembangunan yang diakui karena berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan jumlah penduduk miskin melonjak kembali, tahun 1998 jumlah penduduk miskin tercatat menjadi 49,5 juta jiwa (24,23 %) dan sedikit menurun pada tahun 1999 menjadi 47,9 juta jiwa atau mencapai 23,4 persen dari total jumlah penduduk. Menurut BPS(2010) jumlah penduduk miskin yang berada di
bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 %). Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menunjukkan tingkat kemiskinan masih tergolong tinggi walaupun penanganan
kemiskinan terus diupayakan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah maupun masyarakat. Tingkat kemiskinan di Provinsi NTT pada tahun 2002 sebesar 30,74 persen dan sampai dengan tahun 2010 menurun menjadi 23,01 persen. Penurunan tersebut masih tergolong tinggi apabila dibandingkan secara nasional yaitu berada peringkat 4 setelah 3 provinsi lainnya seperti Tabel 1. Tabel 1. Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2002-2010
Tahun
Jumlah (ribu orang)
Persentase terhadap populasi
2002 1.206,5 30,74 2003 1.166,0 28,63 2004 1.152,1 27,86 2005 1.171,2 28,19 2006 1.273,9 29,34 2007 1.163,6 27,51 2008 1.098,3 25,65 2009 1.021,8 23,31 2010 1.020,6 23,01 *)dibandingkan dengan 33 Provinsi di Indonesia Sumber: BPS, 2003-2010(diolah)
Peringkat termiskin Nasional*) 4 5 5 4 4 4 4 3 3
Sepanjang tahun 2002 hingga tahun 2010 PDRB Perkapita Nusa Tenggara Timur mengalami peningkatan dalam nominalnya. Peningkatan PDRB perkapita tersebut masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Kondisi tersebut yang menyebabkan Provinsi Nusa Tenggara Timur selalu tertinggal dari daerah lain di Indonesia. Pada tahun 2002 hingga tahun 2007 Provinsi Nusa Tenggara Timur
termasuk dalam 2 provinsi dengan PDRB
perkapita terendah di tingkat nasional, bahkan pada tahun 2008 hingga tahun 2010 menjadi provinsi dengan pendapatan perkapita terendah di Indonesia seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. PDRB per kapita dasar harga konstan tahun 2000 Provinsi Nusa Tengara Timur tahun 2002-2010 Jumlah Pertumbuhan (ribuan rupiah) (%) 2002 2.185,4 3,25 2003 2.202,5 0,78 2004 2.294,9 4,19 2005 2.305,7 0,47 2006 2.376,0 3,04 2007 2.450,6 3,14 2008 2.520,0 2,83 2009 2.592,0 2,86 2010 2.676,0 3,24 *)dibandingkan dengan 33 provinsi di Indonesia Sumber : BPS 2003-2011 (diolah) Tahun
Peringkat Nasional*) 32 32 32 32 32 32 33 33 33
Angka kemiskinan yang tinggi dan Pendapatan Domestik Regional Bruto(PDRB) per kapita yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai persoalan mendasar yang belum diupayakan secara maksimal. Persoalan mendasar tersebut berupa kondisi sosial ekonomi, kultur atau budaya masyarakat dan programprogram penanggulangan kemiskinan masih bersifat homogen untuk setiap daerah. Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, sehingga program-program penanggulangan kemiskinan kurang efektif menurunkan angka kemiskinan dan tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Rancangan strategi penanggulangan
kemiskinan
yang
didasarkan
pada
beragamnya
akar
permasalahan yang menjadi faktor penyebab kemiskinan, termasuk faktor kultural yang dihadapi di Nusa Tenggara Timur menjadi penting untuk diteliti. 1.2 Perumusan Masalah Program penanggulangan kemiskinan di Indonesia termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah banyak dilakukan. Program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan adalah berbagai Instruksi Presiden (Inpres), seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan lain sebagainya. Selain Inpres, program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan
Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) dan lain sebagainya. Hampir
semua
departemen
mempunyai
program
penanggulangan
kemiskinan dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah tetapi masyarakat Nusa Tenggara Timur masih
saja miskin dengan pendapatan
perkapita terendah di Indonesia. Dengan kondisi demikian, maka beberapa aspek perlu diperhatikan dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Aspekaspek tersebut mencakup aspek sosial budaya, aspek ekonomi, aspek politik dan aspek-aspek lain seperti aspek waktu dan tata ruang. Menurut Wold Bank (2004), faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat berupa karakter makro, sektor, komunitas, rumahtangga dan individu. Sehubungan dengan aspek sosial budaya, Lewis (1969) mengemukakan bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor kultural dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Kemiskinan kultural adalah kondisi yang diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sebuah komunitas. Faktor-faktor kultural yang menonjol di Nusa Tenggara Timur adalah budaya makan sirih pinang dan budaya pesta serta upacara adat. Faktor-faktor kultural tersebut menyebabkan alokasi pengeluaran rumahtangga yang tidak tepat sasaran dan mengurangi pendapatan yang digunakan untuk tabungan dan investasi. Mengkonsumsi sirih pinang termasuk tembakau bagi seluruh suku yang berada di Nusa Tenggara Timur adalah tradisi atau adat yang telah ada turun temurun bahkan menjadi bagian penting dalam upacara-upacara adat suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Sirih pinang dalam budaya ketimuran pada umumnya dan Nusa Tenggara Timur khususnya memiliki nilai sosial yang tinggi. Sirih pinang berfungsi sebagai penghormatan dan penghargaan kepada tamu yang berkunjung. Sirih pinang juga biasa dipakai sebagai “snack” pembuka dalam setiap pertemuan atau dipakai sebagai simbol atau pelengkap ritual adat. Intinya bahwa sirih pinang
merupakan alat perekat persaudaraan dalam kehidupan masyarakat yang akan terus dicari untuk melengkapi kehidupan masyarakat (Nakmofa, 2010). Kaitannya dengan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, penggunaan tembakau dan sirih pinang dapat meningkatkan kemiskinan. Sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang. Kebutuhan pokok lainnya, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga menjadi prioritas kedua. Diketahui bahwa PDRB per kapita Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 mencapai Rp 2.676.000. Apabila 10 persen dari pendapatan tersebut dibelanjakan untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang maka akan mencapai Rp 267.600. Keadaan ini bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur yang persentase kemiskinannya masih tinggi adalah suatu kondisi yang perlu mendapat perhatian serius dari seluruh komponen masyarakat. Studi empiris menunjukkan bahwa penduduk miskin cenderung lebih banyak menggunakan tembakau daripada penduduk yang lebih kaya (World Bank, 1999). Penduduk dengan status sosialekonomi lebih rendah (tingkat pendidikan dan status pekerjaan) cenderung punya prevalensi merokok lebih tinggi daripada penduduk dengan status sosial-ekonomi yang lebih baik. Selain konsumsi tembakau dan sirih pinang, budaya pesta dan upacara adat juga yang seringkali dilakukan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Benu (2006) dan Nakmofa (2010),
menyatakan bahwa kondisi budaya di Nusa
Tenggara Timur sebagai salah satu penyebab kemiskinan. Hal ini ternyata menimbulkan berbagai sikap dan pendapat, baik yang pro maupun yang kontra. Salah satu pendapat yang paling banyak dikemukakan oleh masyarakat adalah menyangkut pengaruh “belis” (mahar) perkawinan terhadap kondisi kemiskinan. Pada umumnya masyarakat, terutama dari generasi muda, merasa “belis” sebagai suatu beban yang harus dipenuhi terutama pada saat perkawinan dan kematian. Beban ini dirasakan memberatkan perekonomian keluarga, terutama bagi keluarga miskin, karena terbatasnya aset yang mereka miliki untuk melunasi “belis”. Aset yang sering dijadikan alat pembayaran belis adalah hewan ternak, seperti kuda, sapi maupun babi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat memilih
menyimpan asetnya atau menabung dalam bentuk hewan ternak daripada bentuk tabungan lainnya (seperti uang) agar dapat segera digunakan sewaktu-waktu jika ada keperluan adat (belis). Jumlah ternak yang harus diberikan sebagai “belis” kepada pihak perempuan seringkali melebihi jumlah aset yang dimiliki oleh pihak laki-laki. Berdasarkan uraian tersebut diatas, rancangan strategi kemiskinan yang didasarkan pada beragamnya akar permasalahan yang menjadi faktor penyebab kemiskinan, termasuk faktor kultural yang dihadapi di Nusa Tenggara Timur menjadi menarik untuk diteliti. Harapannya program-program yang lebih tepat sasaran
dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah, terutama Pemerintah
Daerah Nusa Tenggara Timur dalam mengatasi masalah kemiskinan sehingga kemiskinan secara efektif diturunkan. Lebih lanjut pemerintah lebih selektif dalam mengalokasikan anggaran pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan uraian diatas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dinamika kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 2. Bagaimanakah kaitan antara budaya masyarakat dengan pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 3. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tengggara Timur? 4. Seberapa besar pengaruh faktor kultural terhadap terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka penelitian ini bertujuan: 1. Mengkaji dinamika kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur 2. Mengkaji kaitan antara budaya masyarakat dengan pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur 3. Menganalis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tengggara Timur.
4. Menganalis besarnya pengaruh faktor kultural terhadap terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian maka manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan informasi mengenai dinamika kemiskinan, kaitan antara budaya masyarakat
dan
pengeluaran
rumahtangga
serta
faktor-faktor
yang
memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tengggara Timur. 2. Sebagai bahan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah dalam mengambil kebijakan agar upaya penanggulangan kemiskinan menjadi lebih efektif. 1.5 Cakupan dan Keterbatasan Penelitian Cakupan
yang
dianalisis
dalam
penelitian
ini
adalah
seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten yang mengalami pemekaran setelah tahun 2002 digabungkan pada kabupaten induknya. Kabupaten Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah digabungkan dengan Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Nagakeo digabungkan dengan Kabupaten Ngada, Kabupaten Manggarai Timur di gabungkan dengan Kabupaten Manggarai. Analisis dilakukan pada setiap kabupaten/kota dengan periode analisis 2000-2010. Data yang digunakan berupa data sekunder, yaitu data kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, rata-rata lama sekolah, PDRB per kapita, pengangguran, realiasi pengeluaran pembangunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pengeluaran pesta dan upacara, pengeluaran konsumsi tembakau dan sirih pinang serta data-data pendukung yang relevan dengan penelitian. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan sumbersumber lainnya.
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Definisi Kemiskinan Definisi kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki maupun perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk menpertahankan dan mengembangakan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak- hak yang dipahami oleh masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang lebih bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum ini meliputi hak akan kebutuhan pangan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik (Kuncoro, 2006). Menurut Damanhuri (2010), terdapat empat macam bentuk kemiskinan yaitu kemiskinan relatif, kemiskinan absolut dan kemiskinan struktural serta kemiskinan kultural. Pertama, kemiskinan relatif adalah kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Kedua, kemiskinan absolut merupakan kondisi miskin yang ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Ukuran yang dipakai adalah dengan menghitung jumlah penduduk miskin yang berada dibawah “garis kemiskinan” (poverty line). Ketiga, Kemiskinan Stuktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan misalnya kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi. Keadaan ini akan diperparah dengan struktur yang menghambat misalnya kalangan UMKM yang
sulit akses kepada permodalan perbankan, sehingga tetap miskin bahkan makin terpuruk karena daya beli yang menurun akibat inflasi, sementara usaha tak berkembang disebabkan kesulitan modal dimana akses kepada perbankan sangat sulit. Selain itu juga, petani dan pertanian terkorbankan oleh kebijakan industrialisasi yang mengorbankan tanah mereka, alokasi APBN, APBD, tata ruang, perbankan dan seterusnya lebih menyalurkan alokasinya kepada pembangunan industri manufaktur. Keempat, kemiskinan Kultural adalah kondisi yang diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sebuah komunitas. Misalnya sikap malas, etos kerja rendah, tak siap berkompetisi, sikap menerabas, mengambil jalan pintas, jika perlu dengan melanggar hokum/korupsi, dan lain sebagainya. Friedman
(1979),
mendefinisikan
kemiskinan
sebagai
kurangnya
kesempatan untuk mengakumulasikan aset-aset produktif, organisasi sosial dan politik yang mampu mewujudkan kepentingan umum, sosialisasi yang dapat memberikan kesempatan untuk bekerja, informasi dan pendidikan serta teknologi yang menjadi tuntutan hidup. Scott (1979), mengartikan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri. Scott mengemukakan tiga definisi kemiskinan. Pertama, kemiskinan merupakan buruknya kondisi seseorang karena kurangnya pendidikan, kesehatan dan transportasi. Hal ini mengakibatkan kemampuan dan produktivitas kerja menurun sehingga pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, definisi miskin yang disebabkan karena kurangnya aset produktif seseorang, seperti uang, tanah, rumah dan fasilitas lainnya. Ketiga, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kehidupan seseorang atau masyarakat yang tidak dipenuhi kebutuhan nonmaterinya, seperti hak kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk merdeka dan kebutuhan nonmateri lainnya. Berdasarkan urain tersebut kemiskinan bisa dipandang sebagai suatu keadaan yang kompleks, tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya.
Menurut Badan Pusat Statistik (2010), penduduk miskin yaitu penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kilo kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan kebutuhan individu yang mendasar lainnya. 2.2 Penyebab Kemiskinan Jhingan (2004), mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian. Suryawati (2005), menyebutkan ciri-ciri kelompok atau masyarakat miskin adalah (1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja dan ketrampilan, (2) Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, (3) Sebagian besar berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil, dan setengah menganggur, (4) Kebanyakan berada di pedesaan, (5) Kurang kesempatan untuk memperoleh bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi dan kesejahteraan sosial lainnya. Ciri-ciri kemiskinan berbeda antar wilayah, dimana perbedaan ini terkait pada kemiskinan sumber daya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan setempat. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka dalam upaya penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah perlu terlebih dahulu di gali penyebab dan cirri-ciri dari kemiskinan masing-masing daerah sehingga program yang diluncurkan tepat sasaran.
Mawardi (2004), menyebutkan ada enam kategori yang menyebabkan kemiskinan, antara lain: 1. Ketidakberdayaan Faktor ketidakberdayaan merupakan faktor di luar kendali masyarakat miskin, yang mencakup aspek ketersediaan lapangan pekerjaan, tingkat biaya/harga (baik barang konsumsi, sarana produksi, maupun harga jual produksi), kebijakan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, keamanan, dan takdir/kodrat. Aspek takdir ini merupakan bentuk kepasrahan dari masyarakat miskin karena kondisi kemiskinan yang mereka alami sudah sedemikian rupa sehingga timbullah sikap apatis dan mereka menganggap bahwa hanya mukjizat Tuhan yang bisa mengubah keadaan. 2. Kekurangan materi Kategori kekurangan materi adalah kepemilikan atau tidak memiliki berbagai macam aset, seperti rumah, tanah, modal kerja, warisan, serta rendahnya penghasilan karena upah atau hasil panen yang rendah. Faktor kekurangan materi merupakan faktor penyebab kemiskinan yang dominan selain faktor ketidakberdayaan. 3. Keterkucilan Faktor keterkucilan terkait dengan hambatan fisik dan nonfisik dalam mengakses kesempatan meningkatkan kesejahteraan, antara lain karena lokasi yang terpencil, prasarana transportasi yang buruk, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, akses terhadap kredit, pendidikan, kesehatan, irigasi dan air bersih tidak ada/kurang memadai. 4. Kelemahan fisik Faktor kelemahan fisik antara lain: kondisi kesehatan, kemampuan kerja, kurang makan dan gizi, dan masalah sanitasi. Pada umumnya kondisi kesehatan yang buruk dianggap lebih penting sebagai penyebab kemiskinan dibandingkan faktor ketidakmampuan bekerja. 5. Kerentanan Faktor kerentanan mencerminkan kondisi ketidakstabilan atau guncangan yang dapat menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan. Kerentanan juga mencakup
aspek pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerjaan tidak tetap, masalah dalam produksi, bencana alam dan musibah dalam keluarga. 6. Sikap dan perilaku Kebiasaan buruk atau sikap yang cenderung menghambat kemajuan masuk dalam kategori ini. Didalamnya mencakup kurangnya upaya untuk bekerja, tidak bisa mengatur uang atau boros, masalah ketidakharmonisan keluarga, serta kebiasaan berjudi/mabuk. Smeru (2001), menyampaikan delapan penyebab dasar kemiskinan, antara lain: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal, (2) keterbatasan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana, (3) adanya kecenderungan kebijakan yang diambil pemerintah bias perkotaan dan bias sektor, (4) sistem yang kurang mendukung dan perbedaan kesempatan antar masyarakat, (5) perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi (tradisional versus modern), (6) produktivitas dan tingkat pembentukan modal yang rendah, (7) budaya hidup yang cenderung dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, dan (8) tata kelola pemerintahan yang belum baik. Suryawati (2005), menyampaikan beberapa penyebab kemiskinan pedesaan, antara lain: 1. Natural assets, mencakup tanah dan air. Sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang relatif kecil sebagai mata pencahariannya. 2. Human assets, yakni kualitas sumberdaya manusia di perdesaan masih rendah dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. 3. Physical assets, masih rendahnya akses masyarakat ke infrastruktur dan pelayanan umum antara lain jalan, listrik dan telekomunikasi. 4. Financial assets, yakni tabungan yang masih kecil dan keterbatasan akses untuk memperoleh modal usaha. 5. Social assets, lebih kepada pengaruh politik. Papilaya (2006), meneliti tentang akar dan strategi pengentasan kemiskinan di tiga kabupaten/kota yang terletak di Provinsi Gorontalo. Dari hasil penelitian mereka dinyatakan bahwa akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan yaitu kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin dan kurang
normatifnya perilaku elit. Secara kualitatif, kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin terlihat dari perilaku seperti perilaku hedonis, konsumtif, ketergantungan, suka berhutang, apatis dan fatalis. Sementara itu, kurang normatifnya perilaku elit dapat terlihat pada perilaku mencari keuntungan (rent seeking behavior) pelaksana program kemiskinan seperti yang diungkapkan oleh rumahtangga miskin pada waktu diskusi kelompok terfokus (FGD). Disamping itu, perilaku mengutamakan keluarga dekat (nepotisme) dan perilaku pilih kasih (favoritisme). 2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan 2.3.1 Jumlah Penduduk Sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja, tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi di negara berkembang. Pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang rendah semakin sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan jumlah penduduk. Sekalipun output meningkat sebagai hasil teknologi yang lebih baik dan pembentukan modal, peningkatan ini akan ditelan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak. Alhasil, tidak ada perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata perekonomian (Jhingan, 2003). Jhingan (2003) mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: 1) ia memperberat beban penduduk pada lahan; 2) ia menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat. Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih
besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendapatan per kapita menjadi rendah. Siregar dan Wahyuniarti (2007), dalam penelitiannya tentang “Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin” menghasilkan temuan bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk sebesar 1000 orang akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 249 orang. Penemuan yang sama diperoleh Suparno (2010) yang menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk terbukti meningkatkan jumlah kemiskinan di Indonesia. 2.3.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita Pro poor growth menurut Kakwani, et al. (2004) yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih memberikan keuntungan atau manfaat bagi penduduk miskin dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Jika ini terjadi maka akan berdampak semakin banyak penduduk miskin yang mengalami peningkatan pendapatan dan mampu keluar dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang pro poor akan terwujud jika pertumbuhan ekonomi lebih banyak dihasilkan dari partisipasi ekonomi penduduk miskin. Hal ini berdampak pada tingkat kemiskinan yang semakin mengecil. Beberapa pendapat mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan seperti diuraikan Todaro dan Smith (2006). Pendapat pertama, pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin. Hal ini terjadi karena kaum miskin akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Pendapat kedua, di kalangan pembuat kebijakan, pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan. Pendapat ketiga, kebijakan untuk mengurangi kemiskinan bukan memperlambat laju pertumbuhan, dengan argumen sebagai berikut: 1. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan perkapita. 2. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung dan berinvestasi di negara mereka sendiri.
3. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas. 4. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang impor. 5. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan. Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh elemen masyarakat, agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi. 2.3.3 Realisasi Pengeluaran Pembangunan APBD Menurut Tambunan (2006), pengeluaran pembangunan pemerintah yang direalisasikan dalam rancangan APBN atau APBD merupakan instrument kelembagaan pemerintah yang memiliki peran strategis dalam pengurangan kemiskinan, melalui penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur fisik terutama jalan dan irigasi. Peningkatan kesehatan dan pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas yang selanjutnya meningkatkan pendapatan penduduk miskin seperti petani dan buruh tani dalam arti luas. Infrastruktur yang baik sangat membantu peningkatan produksi, pertumbuhan kegiatan bisnis, termasuk di sektor informal, dan pemasaran produk-produk dari penduduk miskin seperti petani dan usaha mikro kecil. Besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan sektor publik dapat diproksi dengan besarnya realisasi pengeluaran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Nilai realisasi pengeluaran APBD digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam segi pendanaan dalam rangka dalam pembangunan daerah termasuk untuk mengatasi masalah kemiskinan. Semakin
besar nilai realisasi pengeluaran APBD menunjukkan semakin besar pula peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin. Menurut Fan, et al, (1999), pengeluaran pemerintah dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kemiskinan. Dampak langsung pengeluaran pemerintah adalah manfaat yang diterima penduduk miskin dari berbagai program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pekerja, serta skema bantuan dengan target penduduk miskin. Dampak tidak langsung berasal dari investasi pemerintah dalam infrastruktur, riset, pelayanan kesehatan dan pendidikan
bagi
penduduk,
yang
secara
simultan
akan
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di seluruh sektor dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan peningkatan pendapatan terutama penduduk miskin serta lebih terjangkaunya harga kebutuhan pokok. Pengeluaran pemerintah juga diperlukan
sebagai
stimulus
pertumbuhan
ekonomi
untuk
membantu
mendayagunakan sumber daya secara berkelanjutan bagi pengeluaran pemerintah di masa depan. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama penyediaan solusi yang permanen dalam mengatasi masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan. Besarnya pengeluaran pemerintah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengurangan kemiskinan di berbagai negara, disamping juga dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB riil perkapita, perubahan ketidakmerataan dan tingkat ketidakmerataan awal. Besarnya pengeluaran pemerintah dalam APBN atau APBD memiliki hubungan yang signifikan dengan pengurangan jumlah penduduk miskin. Peningkatan pengeluaran pemerintah akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. 2.3.4 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang mayoritas tinggal di perdesaan. Dari tahun 2000 hingga 2008, sekitar 40 persen angkatan kerja nasional melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian (BPS 2008). Seiring dengan maraknya isu
industrialisasi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan menyebabkan lahan pertanian mengalami pengurangan, bahkan semakin banyak pula penduduk yang tidak mempunyai lahan sama sekali. Semakin berkurang lahan pertanian maka produktivitas pertanian turun sehingga output pertanian juga turun, dan dampaknya adalah terjadinya penurunan pendapatan petani. Jika pendapatan petani berkurang maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kemiskinan bertambah. Menurut Arsyad (2010), satu faktor penyebab kemiskinan di sektor pertanian adalah rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan hal ini salah satunya disebabkan oleh distribusi lahan pertanian yang semakin timpang. Ketimpangan penguasaan lahan pertanian terjadi di Indonesia sudah sejak lama. Program land reform dilaksanakan pada pertengahan tahun 1960-an oleh pemerintahan pada masa itu, namun program ini tidak berhasil mengatasi masalah ketimpangan penguasaan lahan ini seiring dengan perubahan sistem politik dan ekonomi pada masa rezim orde baru. Sebuah realita menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh petani kecil (petani gurem). Petani gurem adalah petani dengan luas lahan garapan kurag dari 0,5 ha. Pada tahun 1983, jumlah petani gurem sekitar 46,2 persen dari keseluruhan petani. Duapuluh tahun kemudian, yaitu tahun 2003, jumlah petani gurem meningkat menjadi 56,4 persen. Salah satu sebab rendahnya produktivitas pertanian adalah rendahnya tingkat pendidikan petani dan buruh tani relatif rendah. Menurut teori pertumbuhan endogen, pendidikan merupakan pendorong meningkatnya output melalui peningkatan produktivitas pekerja karena sumberdaya manusia yang berkualitas. Pada tahun 2003, sekitar 31,62 persen petani di Indonesia tidak pernah mengenyam pendidikan formal, dan sebagian besar tinggal di perdesaan. Petani yang berpendidikan dasar sekitar 44,98 persen, dan hanya sekitar 1,69 persen petani yang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi (BPS 2003). Nurkse dalam Arsyad (2010) dalam satu konsepnya mengenai lingkaran kemiskinan, menyebutkan bahwa timbulnya lingkaran setan kemiskinan disebabkan kurangnya akses dalam pembentukan modal. Lembaga perbankan yang ada di Indonesia masih kurang menjangkau petani kecil. Petani yang paling
sering mendapatkan kredit adalah petani pemilik lahan, misalnya pemilik lahan kelapa sawit. Kurangnya modal menyebabkan petani kecil sulit untuk mengembangkan usahanya, sehingga pendapatan yang diterimanya sulit untuk meningkat. Akibatnya, kemiskinan di sektor pertanian cenderung persistent dan sulit untuk diturunkan. 2.3.5 Pengangguran Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Menurut The National Anti-Poverty Strategy (1999), berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya di Ireland menyatakan bahwa pengangguran merupakan penyebab terbesar terjadinya kemiskinan. Keterkaitan antara pengangguran dengan kemiskinan sangat kuat. Pada tahun 1994, lebih dari setengah dari total keluarga di Ireland dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan. Sukirno (2004), menyatakan bahwa efek buruk dari pengangguran adalah berkurangnya tingkat pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran/kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat yang turun karena menganggur akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, maka akan timbul kekacauan politik dan sosial. Hal ini mempunyai efek yang buruk pada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Suparno (2010) menemukan bahwa banyaknya pengangguran akan berdampak pada peningkatan kemiskinan di Indonesia. 2.3.6 Tingkat Pendidikan Pendidikan berfungsi sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan. Pendidikan membantu menurunan kemiskinan melalui efeknya pada produktivitas tenaga kerja dan melalui jalur manfaat sosial, maka pendidikan merupakan sebuah tujuan pembangunan yang penting bagi bangsa (World Bank 2005). Pendidikan sebagai sarana untuk memperoleh wawasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan agar peluang kerja lebih terbuka dan upah yang didapat juga lebih tinggi. Rahman
(2006) menemukan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan upah/gaji yang diterima oleh pekerja. Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Lucas dan Romer (1996), pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang nantinya menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. Tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Andersson et.al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Determinants of Poverty in Lao PDR menyatakan bahwa pendidikan seseorang sebagai salah satu determinan konsumsi per kapita. Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya.
Peningkatan
produktivitas
akan
meningkatkan
output
perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga akan mengurangi kemiskinan. 2.3.7 Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara serta Tembakau dan Sirih Pinang Menurut teori lingkaran setan kemiskinan yang dikemukana oleh Nurske dalam Damanhuri (2010) menyatakan bahwa terdapat suatu rangkaian kekuatan yang saling memengaruhi sehingga menimbulkan keadaam dimana suatu negara/daerah akan tetap miskin. Bagi Nurske, hal terpenting dalam lingkaran setan kemiskinan adalah segala keadaan yang menimbulkan adanya hambatan dalam pembentukan modal yang tinggi. Di mana, di satu pihak pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan, dan di pihak yang lain oleh perangsang untuk menanam modal. Menurut Keynes dalam Mankiw (2008), Pendapatan dapat digunakan untuk konsumsi dan tabugan
atau (Y= C+S). Dimana Y= pendapatan, C=
konsumsi dan S= saving/tabungan. Jika diasumsikan bahwa tingkat pendapatan tetap dan konsumsi meningkat maka bagian dari pendapatan yang akan digunakan untuk tabungan semakin menurun atau kecil. Tingkat tabungan yang kecil tersebut
akan menyebabkan pembentukan modal yang kecil. Dengan kata lain, tingkat tabungan akan semakin besar jika pendapatan yang digunakan untuk konsumsi dapat diperkecil. Badan Pusat Statistik menggunakan konsep pendekatan pengeluaran untuk menghitung besarnya konsumsi masyarakat. Pengeluaran dibagi dalam dua bagian yaitu pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Pengeluaran untuk makanan terdiri dari sumber karbohidrat, sumber protein, sayur-mayur, buah-buah, minuman, tembakau dan sirih pinang, dan lain sebagainya. Sedangkan pengeluaran untuk non makanan meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya, termasuk pengeluaran untuk keperluan pesta dan upacara. Mengkonsumsi sirih pinang termasuk tembakau bagi seluruh suku yang berada di Nusa Tenggara Timur adalah tradisi atau adat yang telah ada turun temurun bahkan menjadi bagian penting dalam upacara-upacara adat suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Sirih pinang dalam budaya ketimuran pada umumnya dan Nusa Tenggara Timur khususnya memiliki nilai sosial yang tinggi yang berfungsi sebagai penghormatan dan penghargaan kepada tamu yang berkunjung ke rumah. Sirih pinang juga biasa dipakai sebagai “snack” pembuka dalam setiap pertemuan atau dipakai sebagai simbol atau pelengkap ritual adat. Intinya bahwa sirih pinang merupakan alat perekat persaudaraan dalam kehidupan masyarakat yang akan terus dicari untuk melengkapi kehidupan masyarakat (Nakmofa, 2010). Dengan kondisi budaya seperti ini maka pengeluaran untuk tembakau dan sirih pinang yang besar akan mengurangi tabungan sehingga memperkecil pembentukan modal dan pada akhirnya lingkaran setan kemiskinan tidak akan terputus. Budaya pesta dan upacara adat juga yang seringkali dilakukan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Benu (2006) dan Nakmofa (2010),
menyatakan bahwa kondisi budaya pesta dan upacara adat di Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu penyebab kemiskinan. Salah satu pendapat yang paling banyak dikemukakan oleh masyarakat adalah menyangkut pengaruh “belis” (mahar) perkawinan terhadap kondisi kesejahteraan keluarga. Mahar atau “belis”
perkawinan yang besar akan mengurangi bagian untuk tabungan dan memperkecil pembentukan modal. 2.4 Kerangka Pemikiran Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang memiliki pendapatan perkapita terendah di Indonesia. Persentase kemiskinan juga masih tergolong tinggi yaitu pada peringkat ketiga setelah Provinsi Papua dan Papua Barat. Program penanggulangan kemiskinan yang berasal dari pemerintah pusat masih bersifat homogen untuk setiap daerah.
Banyak program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan tetapi pendapatan perkapita rendah dan tingkat kemiskinan masih tinggi
Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Deskripsi kimiskinan di Provinsi NTT
Analisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan
Ekonomi
Kultural
Regresi Data Panel
Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan
Implementasi kebijakan di Provinsi NTT Gambar 1. Kerangka pemikiran.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Nusa Tenggara Timur berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, sehingga program penanggulangan kemiskinan kurang efektif dan mengakibatkan persentase kemiskinan di Nusa Tenggara Timur masih tergolong tinggi. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat baik secara ekonomi maupun kultural. Kondisi ekonomi dan kultural yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia menyebabkan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Nusa Tenggara Timur juga berbeda. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kondisi umum dan dinamika kemiskinan
serta kaitan
antara budaya masyarakat dan pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Nusa Tenggara Timur. Lebih lanjut, merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menanggulangi kemiskinan di Nusa Tenggara Timur. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini sajikan dalam Gambar 1. 2.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah: a) Jumlah
penduduk,
jumlah
tenaga
kerja
sektor
pertanian,
jumlah
pengangguran, pengeluaran keperluan pesta dan upacara, pengeluaran tembakau dan sirih pinang akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kemiskinan atau peningkatan pada variabel-variabel akan berdampak menambah kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. b) Pengeluaran pembangunan APBD, PDRB perkapita, rata-rata lama sekolah akan mempunyai pengaruh negatif pada peningkatan kemiskinan atau penurunan pada variabel-variabel tersebut akan berdampak mengurangi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Halaman ini sengaja dikosongkan
III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai instansi pemerintah terutama Badan Pusat Statistik. Data yang digunakan antara lain angka kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, tingkat pendidikan, pengeluaran pembangunan APBD, PBRB perkapita, pengangguran, serta data-data lainnya yang relevan dengan penelitian. Periode yang diteliti mulai tahun 2005 sampai dengan 2010. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan Software Excel dan Eviews 6. Software Excel digunakan untuk membuat tabel dan grafik demi menunjang analisis deskriptif. Program Eviews 6 digunakan untuk membuat analisis regresi data panel mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan. 3.2 Metode Analisis 3.2.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk memudahkan pemahaman dan penafsiran. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran kondisi sosial budaya dan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan ulasan rumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
3.2.2 Metode Analisis Data Panel Penelitian
ini
mengkombinasikan
teori
ekonomi
dan
statistik
(ekonometrika), khususnya untuk membuktikan hubungan dan pengaruh antara variabel-variabel sosial budaya dan ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam ruang lingkup penelitian telah disebutkan bahwa
penelitian ini hanya mengambil beberapa variabel utama yang menjadi penentu terhadap kemiskinan yang kemudian direpresentasikan dalam sebuah model ekonometrika. Untuk memperoleh taksiran masing-masing variabel maupun parameter, data statistik dan model diolah dengan menggunakan paket program eviews. Untuk mengetahui apakah hasil statistik masing-masing variabel dan variabel secara keseluruhan sudah sesuai dengan hipotesa-hipotesa yang disusun dan berpengaruh significan dilakukan uji statistik.
Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati, 2004). Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Baltagi (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien. 3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. 4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan diantaranya adalah: 1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai. 3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut: a. Self-selectivity: permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Nonresponse: permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga).
c. Attrition: jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi 4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu. 5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference). Analisis data panel secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu statis dan dinamis. Pada analisis data panel dinamis, regressor-nya mengandung variabel lag dependent-nya, sedangkan pada analisis data panel statis tidak mengandung variabel lag dependent-nya. Penelitian ini menggunakan analisis data panel statis sehingga pembahasannya dibatasi untuk analisis statis saja. Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu
Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Struktur datanya sebagai berikut. x111 x 112 ... periode T x11T x121 x122 ... X it x12T ... ... x1N 1 x 1N 2 ... x 1NT
periode 1 periode 2
x211
...
x212
...
... x21T
...
x221
...
x222
...
...
...
...
x22T
...
...
...
...
...
x2 N 1
...
x2 N 2 ... ...
...
x2 NT
...
xK 11 xK 12 ... xK 1T xK 21 xK 22 ... xK 2T ... ... xKN 1 xKN 2 ... xKNT
individu ke-1
individu ke-2
individu ke-N
Misalkan diberikan persamaan regresi data panel sebagai berikut:
y it a i X it it dimana: y it : nilai dependent variabel untuk setiap unit individu i pada periode t dimana i = 1, …, n dan t = 1, …, T
ai : unobserved heterogenity X it : nilai independent variabel yang terdiri dari sejumlah K variabel. Pada one way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
it i uit dimana: i : efek individu (time invariant)
u it : disturbance yang besifat acak ( u it ~ N ( 0, u2 ) ) Untuk two way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
it i t u it dimana: t : efek waktu (individual invariant) Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu ( i ). Pada two way telah memasukkan efek dari waktu ( t ) ke dalam komponen error, u it diasumsikan tidak berkorelasi dangan X it . Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara i dan t dengan X it . 3.2.2.1 Pengujian Model Terbaik a. Fixed Effect Model (FEM) FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intecept. Untuk one way komponen error:
y it a i i X it u it Sedangkan untuk two way komponen error:
yit ai i t X it uit
Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variabel (LSDV), dan Two Way Error Component Fixed Effect Model. b. Random Effect Model (REM) REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error. Untuk one way komponen error:
y it a i X it u it i Untuk two way komponen error:
y it a i X it u it i t Asumsi yang digunakan dalam REM adalah
E u it | i 0
E u it2 | i u2
E i | xit 0 untuk semua i dan t
E u 0 untuk semua i, t, dan j
E i2 | x it 2 untuk semua i dan t it
Dimana untuk: One way error component: i i Two way error component: i i t
j
E u it u js 0 untuk i j dan t s E i
j
0 untuk i
j
Dari semua asumsi di atas, yang paling penting adalah E i | xit 0 . Pengujian asumsi ini menggunakan HAUSMAN test. Uji hipotesis yang digunakan adalah: H0 : E i | xit 0 Tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas H1 : E i | xit 0 Ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas
H ˆ REM ˆ FEM
M '
FEM
M REM
1 ˆ REM
dimana M : matriks kovarians untuk parameter k : derajat bebas
ˆ FEM ~ 2 k
2 Jika H > tabel maka komponen error mempunyai korelasi dengan peubah bebas
dan artinya model yang valid digunakan adalah REM. Penduga REM dapat dihitung dengan dua cara yaitu pendekatan Between Estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS). c.
Pemilihan Model dalam Pengujian Data Panel Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan
berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Pengujian pemilihan model dalam pengolahan data panel Pengujian model untuk memutuskan apakah akan menggunakan fixed effect atau random effect menggunakan uji Hausman. Hausman test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H0: E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1: E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square.
Jika nilai χ2 statistik hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya. 3.2.2. 2 Uji Asumsi Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM), maka kita dapat melakukan uji asumsi. a. Uji Homoskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square resid pada Weighted Statistics dengan sum square Resid unweighted Statistics. Jika sum square resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari sum square resid unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. b. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Tata cara untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Cara untuk mengetahui ada/tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi.
Tabel 3. Kerangka identifikasi autokorelasi Nilai DW
Hasil
4 – dl < DW < 4
Terdapat korelasi serial negatif
4 – du < DW < 4- dl
Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4 – du
Tidak ada korelasi serial
Du < DW < 2
Tidak ada korelasi serial
dl < DW < du
Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dl
Terdapat korelasi serial positif
Sumber: Gujarati, 2004 3.2.2.3 Evaluasi Model a. Uji-F Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara bersamaan. Jika nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka tolak H0 dan itu artinya minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat, dan berlaku sebaliknya. b. Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu dengan menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah : H0 : βi = 0 H1 : βi ≠ 0 Jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak yang berarti peubah bebas secara statistik nyata pada taraf nyata yang telah ditetapkan dalam penelitian dan berlaku hal yang sebaliknya. Jika nilai probabilitas t-statistik < taraf nyata, maka tolak H0 dan berarti bahwa peubah bebas nyata secara statistik. c. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model
regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari peubah terikat Y dapat diterangkan oleh peubah bebas X. Jika R2 = 0, maka variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali; jika R2 = 1, artinya bahwa variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X. d. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term dilakukan dengan menggunakan uji Jarque Bera. Berdasarkan nilai probabilitas Jarque Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5%, maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi dengan normal. 3.2.2.4 Spesifikasi Model Penelitian
Model dalam penelitian ini mengacu model yang telah digunakan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) dengan dilakukan modifikasi sebagai berikut: Tabel 4. Model acuan dan model penelitian N o 1 2
Model Acuan
No
Model Penelitian
Semua variabel dalam bentuk Asli Terdapata 9 variabel bebas a. Jumlah Penduduk b. Share Pertanian terhadap PDRB c. Persentase Lulusan SMP d. Persentase Lulusan SMA e. Persentase Lulusan Diploma f. Share Industri terhadap PDRB
1
Semua variabel dalam bentuk Logaritma Natural (LN) Terdapat 8 variabel bebas a. Jumlah penduduk
g. PDRB h. Inflasi
2
b. PDRB per kapita c. Pengeluaran Pemb.APBD d. Jumlah pekerja pertanian e. Pengangguran f. Rata-rata lama sekolah g. Pengeluaran keperluan pesta dan upacara h. Pengeluaran tembakau dan sirih pinang
i. Dummy Krisis LN_MISKINit = β0 + β1 LN_PDDKit + β2 LN_PDRB-KPTit + β3 LN_APBDit + β4 LN_TANIit + β5 LN_NGANGGURit + β6LN_LAMASKLHit + β7 LN_PESTAit + β8 LN_SIRIHPINANGit+εit……….…….(1)
Keterangan : i
: Kabupaten/kota
t
: Tahun
LN
: Logaritma natural
MISKIN
: Jumlah penduduk miskin (ribu orang)
β0
: Konstanta
βk
: Elastisitas dugaan k:1,2,..8
PDDK
: Jumlah penduduk (ribu orang)
PDRB-KPT
: PDRB atas dasar harga konstan 2000 dibagi jumlah penduduk (ribu rupiah / kapita)
APBD
: Realisasi pengeluaran APBD (juta rupiah)
TANI
: Jumlah pekerja sektor pertanian (ribu orang)
LAMASKLH
: Rata-rata lama sekolah (tahun)
NGANGGUR
: Jumlah pengangguran terbuka (ribu orang)
SIRIHPINANG
: Jumlah pengeluaran tembakau dan sirih pinang di bagi jumlah penduduk (rupiah / kapita)
PESTA
: Jumlah pengeluaran keperluan pesta dan upacara di bagi jumlah penduduk (rupiah / kapita)
ε
: Error/sisaan
3.3 Definisi Operasional Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, berikut definisi operasional beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep BPS. 1. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang mempunyai pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk miskin dihitung dengan satuan ribu orang. 2. Jumlah penduduk menyatakan semua orang yang berdomisili di wilayah teritorial selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Jumlah penduduk dihitung dengan satuan ribu orang. 3. Bekerja di sektor pertanian adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang
lalu (termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi) pada lapangan usaha pertanian. Jumlah pekerja sektor pertanian dihitung dalam satuan ribu orang. 4. Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata lamanya pendidikan yang telah ditempuh penduduk. Satuan rata-rata lama sekolah adalah tahun 5. PDRB perkapita adalah penjumlahan seluruh komponen nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya yang dihitung berdasarkan harga konstan tahun 2000, dibagi dengan jumlah penduduk. Satuan PDRB perkapita adalah ribu rupiah. 6. Pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan. Pengangguran dihitung dalam satuan ribu orang. 7. Pengeluaran
pembangunan
APBD
adalah
nilai
realisasi
pengeluaran
pembangunan APBD digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam segi pendanaan dalam rangka dalam pembangunan daerah. Satuan untuk pengeluaran pembangunan APBD adalah juta rupiah. 8. Pengeluaran keperluan pesta dan upacara adalah seluruh biaya keperluan pesta
dan upacara tersebut kecuali pembelian makanan/bahan makanan untuk para tamu. Pengeluaran keperluan pesta dan upacara dihitung dalam satuan rupiah. 9. Pengeluaran tembakau dan sirih pinang adalah seluruh biaya konsumsi
tembakau, dan sirih pinang. Pengeluaran tembakau dan sirih pinang dihitung dalam satuan rupiah.
Halaman ini sengaja dikosongkan
IV. GAMBARAN UMUM DAN DINAMIKA KEMISKINAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 4. 1 Gambaran Umum 4.1.1 Kondisi Geografis dan Wilayah Administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur terletak pada 80 -120 Lintang Selatan dan 1180 -1250 Bujur Timur. Secara geografis Nusa Tenggara Timur terletak di belahan paling Selatan Indonesia dan merupakan wilayah kepulauan. Luas wilayah daratan 47.350 km2 pada 566 pulau dengan 42 pulau berpenghuni. Luas wilayah perairan 191.800 km2, dengan panjang garis pantai 2.699 km. Secara geografis, dua per tiga wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur tergolong daerah curam-sangat curam. Musim penghujan relatif pendek (3-4 bulan), dengan ratarata curah hujan berkisar 800-3.000 mm per tahun, panjang hari hujan rata-rata 100 hari per tahun (BMG NTT, 2009) dengan suhu minimum dan maksimum berkisar antara 230-340 celsius. Wilayah administratif Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2004 terbagi menjadi 15 kabupaten dan 1 kotamadya, yang meliputi 198 kecamatan dan 2.167 desa/kelurahan dengan ibukota provinsi di wilayah administratif Kota Kupang. Sejak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah, pemekaran kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur semakin banyak dilakukan sehingga pada tahun 2010 Provinsi Nusa Tenggara Timur terbagi menjadi 20 kabupaten dan 1 kotamadya, yang meliputi 215 kecamatan dan 2.762 desa/kelurahan Sejak tahun 2004 hingga tahun 2010 telah terbentuk 5 kabupaten baru di Provinsi Nusa Tenggara Timur, antara lain Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sabu Raijua (BPS NTT, 2010). Pemekaran daerah kabupaen tersebut dimaksudkan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan mempercepat proses pembangunan di daerah tersebut. 4.1.2 Kependudukan Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 adalah 4.683.827 jiwa. Dengan 952.508 rumah tangga dan tingkat kepadatan penduduk 90 jiwa per km2. Lebih dari 70 persen pendududk tinggal di pedesaan. Sebagian
besar tenaga kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki mata pencaharian di Sektor pertanian (78%) dan sebagian besar tenaga kerja memiliki pendidikan di bawah SD (70%) dengan tingkat pengangguran penduduk usia kerja di atas 15 tahun adalah 5.46 persen. Tabel 5 memperlihatkan jumlah penduduk terbanyak adalah Kabupaten Manggarai dengan jumlah penduduk sebanyak 484.377 orang pada tahun 2005 dan mencapai 545.195 orang pada tahun 2010. Sedangkan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kabupaten Lembata yaitu pada Tahun 2010 hanya sebanyak 117.829 orang. Tabel 5. Jumlah penduduk di rinci menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 Kab/kota Kab. Sumbar Kab. Sumtim Kab. Kupang Kab.T T S Kab.T T U Kab. Belu Kab. Alor Kab. Lembata Kab. Flotim Kab. Sikka Kab. Ende Kab. Ngada Kab. Manggarai Kab. Rote ndao Kab. Mabar Kota Kupang NTT
TAHUN 2005
2006
2007
2008
2009
2010
400.244
409.851
419.308
427.908
436.422
458.381
211.178
217.454
223.116
228.351
233.568
227.732
350.972
362.790
373.663
383.896
394.173
377.508
408.605
412.353
415.660
417.942
419.984
441.155
206.183
209.037
211.350
213.153
214.842
229.803
367.553
394.810
418.004
441.451
465.933
352.297
174.616
177.009
178.964
180.487
181.913
190.026
100.046
102.344
104.440
106.312
108.152
117. 829
219.268
225.268
229.918
234.076
238.166
232. 605
271.766
275.936
277.627
278.628
279.464
300.328
235.414
237.555
238.040
238.127
238.195
260.605
244.746
250.305
254.639
258.398
262.055
272.513
484.377
495.136
504.163
512.065
519.782
545.195
108.615
110.617
112.553
114.236
115.874
119.908
189.919
195.532
201.129
206.367
211.614
221.703
269.680
279.124
286.299
292.922
299.518
336.239
4.243.182
4.355.121
4.448.873
4.534.319
4.619.655
4.683.827
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah)
Perkembangan penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 2005 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 3. Pada tahun 2005, jumlah penduduk provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebesar 4.243.182 jiwa berkembang menjadi 4.683.827 jiwa pada tahun 2010 atau meningkat 10,38 persen. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi modal dasar yang efektif bagi pembangunan nasional jika penduduk tersebut mempunyai kualitas yang baik. Pertumbuhan penduduk yang pesat akan berakibat pada sulitnya peningkatan kesejahteran yang layak dan merata sehingga akan berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan perkapita penduduk.
Ribu
Penduduk
4,800 4,600 4,400
4.243
4.355
4.448
4.534
4.620
4.684
4,200 4,000 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Sumber: BPS Prov. NTT (diolah)
Gambar 3. Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi NTT tahun 2005-2010 Komposisi penduduk juga merupakan hal
yang penting
dalam
pembangunan. Komposisi penduduk Nusa Tenggara Timur menurut kelompok umur menunjukan bahwa penduduk Nusa Tenggara Timur memiliki komposisi penduduk muda yaitu jumlah penduduk usia 0-14 tahun lebih banyak dari usia penduduk lainnya. Selengkapnya mengenai komposisi penduduk pada Gambar 4. Tingginya persentase penduduk muda terhadap total penduduk secara keseluruhan disebabkan oleh tingginya tingkat kelahiran atau angka fertilitas. Beban pembangunan dimasa yang datang akan semakin kompleks apabila tingkat kelahiran tidak diantisipasi dengan baik, misalnya dengan program Keluarga Berencana (KB). Tingginya migrasi ke daerah lain terutama ke Indonesia bagian Barat menyebabkan jumlah penduduk kelompok umur di atas 20 tahun semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan karena penyediaan lapangan kerja di luar sektor pertanian dan agroindustri kurang mendapat perhatian pemerintah dan swasta. Hal tersebut juga bisa diakibatkan oleh iklim investasi di Nusa Tenggara Timur yang kurang kondusif dalam menampung angkatan kerja yang produktif tersebut. Selayaknya jumlah penduduk yang besar menjadi modal pembangunan apabila ditingkatkan kualitasnya melalui pendidikan dan penyedian lapangan kerja di daerah ini.
Kel.Umur
Perempuan
Laki-laki
75+ 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4 400
Ribu 300
200
100
0
100
200
300
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 4. Piramida penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 4.1.3 Produk Domestik Regional Bruto 4.1.3.1 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Selama ini, indikator yang paling umum untuk pendekatan ukuran kemakmuran adalah PDRB per kapita. Namun pada kenyatannya PDB per kapita menjadi potret yang tidak komplit untuk menggambarkan kemakmuran karena sangat dipengaruhi oleh transaksi pasar, PDRB per kapita akan lebih baik bila digunakan untuk menggambarkan ukuran produktivitas. Angka ini memberikan gambaran seberapa besar sumbangan tiap orang (per kapita) terhadap pembentukan PDRB Nusa Tenggara Timur. Secara riil, peningkatan PDRB diukur melalui pertumbuhan PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000.
Tujuan utama dari pembangunan ekonomi adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk. PDRB perkapita lazim digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Dengan menggunakan PDRB perkapita, ketimpangan pembangunan antar daerah menjadi lebih terukur dan dapat dibandingkan. Menurut Tambunan (2001), PDRB perkapita dianggap tinggi jika nilainya diatas 2 juta rupiah dan dianggap rendah jika nilainya dibawah 2 juta
rupiah. Pertumbuhan PDRB perkapita tinggi jika diatas 3 persen, dan rendah jika dibawah 3 persen.
Produk Domestik Regioanl Bruto per kapita Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami peningkatan dari tahun 2005 hingga tahun 2010. PDRB perkapita terendah yaitu Kabupaten Lembata yaitu 1,2 juta rupiah meningkat menjadi 1,6 juta rupiah, sedangkan PDRB perkapita tertinggi adalah Kota Kupang sebesar 5,8 juta rupiah menjadi 7,2 juta rupiah pada tahun 2010. Peningkatan PDRB per kapita disebabkan oleh karena peningkatan pendapatan lebih tinggi dari peningkatan jumlah penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur, seperti pada Gambar 5.
Kab/kota
Kota Kupang
Kab.Mabar
Kab.Rote Ndao
Kab.Manggarai
Kab.Ngada
Kab.Ende
Kab.Sika
Kab.Flotim
Kab.Lembata
Kab.Alor
Kab.Belu
Kab.TTU
Kab.TTS
Kab.Kupang
Kab.Sumba Timur
Kab.Sumba Barat
Juta 2005 2010 8.0 7,2 7.0 5,8 6.0 5.0 3,2 2,93,1 3,2 4.0 2,6 2,3 2,9 2,9 2,8 2,9 2,3 2,3 2,7 2,3 2,5 2,6 2,4 2,42,7 2,0 3.0 21 2,0 1,9 1,9 1,7 1,61,9 1.6 1,6 2.0 1,2 1.0 0.0
sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 5. PDRB per kapita Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut kabupaten/kota tahun 2005 dan tahun 2010 4.1.3.2 Produk Domestik Regional Bruto Sektoral Gambar 6 menunjukan kontribusi setiap sektor ekonomi terhadap seluruh kegiatan perekonomian di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sumbangan terbesar dalam PDRB tahun 2010 berasal dari sektor pertanian yakni sekitar 38,81 persen, disusul dengan sektor jasa-jasa sebesar 24,18 persen, sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar 16,55 persen atau berada pada posisi ketiga. Sumbangan terendah dari sektor listrik, gas, dan air bersih yakni hanya 0,39 persen. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur harus diarahkan pada lapangan usaha yang
memberikan kotnribusi besar pada perekonomian di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sektor pertanian merupakan pilihan yang rasional untuk dikembangkan di daerah ini karena memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 38,81 persen dan jumlah pekerja yang bekerja pada sektor ini sebanyak 65 persen pada tahun 2010. 9. Jasa-jasa 24,18%
1. Pertanian 38,81%
8. Keu. & J.Perus 3,63% 7. Peng & Kom 7,35% 6. Perdag., Htl & Rest 16,55%
5. Bangunan 6,30%
2. Pert & Penggalian 1,29% 3. Industri 4. LGA 1,50% 0.39%
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah) Gambar 6. PDRB sektoral Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut lapangan usaha tahun 2010 Secara geografis, dua per tiga wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur tergolong daerah curam-sangat curam. Musim penghujan relatif pendek (3-4 bulan), dengan rata-rata curah hujan berkisar 800-3.000 mm per tahun, panjang hari hujan rata-rata 100 hari per tahun. Luas wilayah daratan 47.350 km2 pada 566 pulau dengan 42 pulau berpenghuni. Luas wilayah perairan 191.800 km2, dengan panjang garis pantai 2.699 km (BMG NTT, 2009). Gambar 7 menunjukan bahwa subsektor Pertanian Tanaman Bahan Makanan memberikan kontribusi terbesar pada sektor pertanian yaitu sebesar 49,68 persen, sedangkan subsektor peternakan hanya sebesar 28,33 persen dan subsektor perikanan hanya sebesar 9,83 persen. Secara geografis, subsektor perikanan seharusnya menjadi prioritas untuk dikembangkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur karena luas wilayah lautan lebih besar dari luas wilayah daratan. Subsektor peternakan juga harus menjadi prioritas untuk dikembangkan karena iklim daerah ini cenderung kering dan memiliki hamparan padang sabana yang luas.
Perikanan 9.83%
Kehutanan 0.65%
Tanaman Bahan Makanan 49.68%
Peternakan 28.33%
Tanaman Perkebunan 11.50%
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah) Gambar 7. PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut subsektor pertanian tahun 2010
usaha
4.1.4 Pengeluaran Pembangunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran pengeluaran pembangunan dalam APBD memberikan gambaran mengenai peranan sektor pemerintah dalam membiayai investasi daerah, yang sekaligus mencerminkan strategi kebijakan fiskal dalam memengaruhi alokasi sumber daya ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaaan lapangan
kerja,
perluasan
kesempatan
berusaha
dan
berbagai
program
pembangunan lainnya, memperbaiki pemerataan distribusi pendapatan, serta menunjang program stabilisasi, termasuk program penyelamatan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyakat. Realisasi pengeluaran untuk pembangunan dari APBD kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur sebesar Rp519,033,348.000 pada tahun 2005 dan terus mengalami peningkatan hingga mencapai Rp1.361.124.776.000 pada tahun 2010 (BPS NTT, 2011). Apabila di lihat dari realisasi pengeluaran pembangunan APBD realisasi pengeluaran pembangunan secara keseluruhan mengalami peningkatan dari tahun 2005 hingga 2010 kecuali Kabupaten Lembata yang mengalami penurunan, Gambar 8. tersebut
Peningkatan pengeluaran pembangunan
diharapkan berimbas pada pertumbuhan ekonomi
yang dapat
menciptakan lapangan pekerjaan, mengembangkan sumber daya manusia,
sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin di provinsi Nusa Tenggara Timur. 2005
Miliar 140.0 114,5
120.0 100.0
113,1 101,9
90,6
84,6
80.0
78,8 82,1 81,6
64,4
60.0 53,3
16,3 18,2
73,4
70,0 40,0 42,4
33,1
40.0 20.0
89,6
81,6
57,8
42,8
30,8
30,0
23,6 24,3
106,5
98,4
65,7
2010
29,3
16,3 17,1 8,0
Kab/kota
Kota Kupang
Kab.Mabar
Kab.Rote Ndao
Kab.Manggarai
Kab.Ngada
Kab.Ende
Kab.Sika
Kab.Flotim
Kab.Lembata
Kab.Alor
Kab.Belu
Kab.TTU
Kab.TTS
Kab.Kupang
Kab.Sumba Timur
Kab.Sumba Barat
0.0
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah) Gambar 8. Realisasi pengeluaran pembangunan APBD di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 Proses pembangunan ekonomi membutuhkan dana yang relatif besar, sedangkan di Privinsi Nusa Tenggara Timur masih sangat terbatas masyarakat yang melakukan investasi karena rendahnya pendapatan, oleh karena itu dapat dimengerti bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai peranan penting dalam upaya meningkatkan ekonomi Indonesia, termasuk masyarakat Nusa Tenggara Timur. 4.1.5 Pekerja Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Nusa Tenggara Timur yang mayoritas tinggal di perdesaan. Dari tahun 2005 hingga 2010, masih diatas 50 persen angkatan kerja nasional melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian, kecuali Kota Kupang. Pada tahun 2005-2010 persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian cenderung menurun. Pada tahun 2005, Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian paling tinggi yaitu 88,57 persen dan paling rendah adalah Kota Kupang yaitu hanya sebesar 9,88 persen. Pada tahun 2010, Kabupaten Manggarai Barat merupakan daerah yang memiliki persentase penduduk
paling tinggi bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 80,46 persen, sedangkan paling rendah adalah Kota Kupang yaitu hanya sebesar 6,72 persen, Gambar 9.
2010
Kab/Kota
Kota Kupang
Kab.Mabar
Kab.Manggara i Kab.Rote Ndao
Kab.Ngada
Kab.Ende
Kab.Sika
Kab.Flotim
Kab.Lembata
Kab.Alor
Kab.Belu
Kab.TTU
Kab.TTS
Kab.Kupang
Kab.Sumba Barat Kab.Sumba Timur
Persen 2005 100 89 88 90 87 8280 79 78 76 76 76 74 7372 73 80 72 72 70 70 69 67 6564 65 63 70 62 62 60 57 55 60 51 50 40 30 20 10 7 10 0
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 9. Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun ketas yang bekerja di sektor pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 Tertier 24 persen
Sekunder 11 persen
Primer 65 persen
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 10. Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010
Gambar 10 menunjukan persentase pekerjaan penduduk Nusa Tenggara Timur berdasarkan lapangan pekerjaan utama dari penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja pada tahun 2010. Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki persentase terbesar yaitu 65 persen, diikuti oleh sektor tertier dan sekunder yaitu masing-masing sebesar 24 persen dan 11 persen. Hal ini menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 4.1.6 Pengangguran Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah pengangguran menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal. Salah satu unsur yang menentukan kemakmuran suatu
masyarakat adalah tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila kondisi tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dapat terwujud. Pengangguran akan menimbulkan efek mengurangi pendapatan masyarakat, dan itu akan mengurangi tingkat kemakmuran yang telah tercapai. Semakin turunnya tingkat kemakmuran akan menimbulkan masalah lain yaitu kemiskinan.
Kab/kota
Kota Kupang
Kab.Mabar
Kab.Rote Ndao
Kab.Manggarai
Kab.Ngada
Kab.Ende
Kab.Sika
Kab.Flotim
Kab.Lembata
Kab.Alor
Kab.Belu
Kab.TTU
Kab.TTS
Kab.Kupang
Kab.Sumba Timur
Kab.Sumba Barat
2005 2010 Persen 16.0 14,6 14.0 12.0 8,8 10.0 8.0 6,7 6,2 6,3 6,5 6,2 5,8 5,4 5,1 4,1 4,8 5,2 4,1 4,7 6.0 4,0 3,8 3,7 3,7 3,7 3,6 3,4 3,2 4.0 2,3 2,0 1,9 1,7 1,7 2,0 1,7 1,6 1,4 2.0 0.0
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah) Gambar 11. Persentase tingkat pengangguran menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010
Pengangguran di kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur pada tahun 20052010 memiliki grafik yang semakin menurun. Pada tahun 2005, tingkat pengangguran terendah adalah 3,34 persen di Kabupaten Manggarai sedangkan tingkat pengangguran tertinggi di Kota Kupang sebesar 14,56 dari total angkatan kerja. Pada tahun 2010, tingkat pengangguran secara keseluruhan menurun apabila di bandingkan dengan tahun 2005. Tingkat pengangguran terendah adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Sikka yaitu sebesar 1,7 persen sedangkan tingkat pengangguran tertinggi adalah Kota Kupang yaitu 8,83 persen seperti Gambar 11.
4.1.7 Pendidikan Masalah yang dihadapi oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah adalah kualitas sumberdaya manusia masih rendah yang digambarkan dengan rendahnya indeks pembangunan manusia (human development index). Pada periode tahun 2007-2009, indeks pembangunan manusia Nusa Tenggara Timur hanya berkisar antara 65,36 hingga 66,60 yaitu jauh dibawah tingkat nasional yaitu 70,60 hingga 71,76 (BPS NTT, 2011). Upaya pembangunan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui investasi disektor pendidikan. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga negara. Peningkatan derajat pendidikan diprioritaskan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan. Dalam kaitannya pendidikan dan kemiskinan, Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas akan meningkatkan output perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga akan mengurangi kemiskinan. Mengingat pentingnya pendidikan tersebut, pemerintah memprioritaskan pembangunan dibidang pendidikan. Keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan tertera dalam Pasal 28 C ayat (1) Amandemen UUD 1945 dan pasal 31 UUD 1945. Pasal 31 Ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan, sedangkan dalam Ayat 3 pemerintah mewajibkan
setiap warga negara untuk mengikuti program pendidikan dasar 9 tahun dan pemerintah wajib membiayainya.
SMK D1/2 3% 1%
D3 1%
D4/S1 2%
SMA 10%
SMP 11% < SD 45%
SD 27%
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 12. Persentase jumlah penduduk 10 tahun keatas menurut tingkat pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah menyusun Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Penerapan dari undang-undang tersebut antara lain diwujudkan dalam program dana BOS dan beasiswa bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Program BOS bertujuan membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu, dan meringankan beban siswa lainnya agar semua siswa memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat SD dan SMP, sedangkan beasiswa untuk siswa tidak mampu diberikan dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Langkah pemerintah dalam pembiayaan pendidikan diwujudkan dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Terkait dengan masalah kemiskinan di Nusa Tenggara Timur, jumlah penduduk mayoritas berpendidikan rendah. BPS NTT (2011) melaporkan bahwa 45,40 persen penduduk berpendidikan tidak tamat Sekolah
Dasar, sedangkan yang tamat Sekolah Dasar sebesar 27,40 persen. Selanjutnya persentase penduduk miskin dengan pendidikan diatas Sekolah Dasar, Gambar 12. Kualitas pendidikan masing-masing daerah dapat dilihat dari rata-rata lama sekolah yang ditempuh oleh penduduk daerah tersebut.
Secara umum,
tingkat pendidikan penduduk di Nusa Tenggara Timur tergolong rendah yaitu berkisar antara 4,90 tahun sampai 10,33 tahun pada tahun 2005 dan meningkat antara 6.33 tahun sampai 10,68 tahun pada tahun 2010, Gambar 13. Persen
2005
12.0
2010
10,3
10,7
10.0 7,2
8.0 6.0
7,2 4,9
6,8
6,3 5,5 5,7
6,3 7,1
6,8
6,6 5,6 5,5
5,8
7,1 5,8
6,6 6.2
7,4 7,3 6,7 6,9 6,5 6,4 6,3 6,4 5,9 5,5 5,5 5,4
4.0 2.0
Kab/kota
Kota Kupang
Kab.Mabar
Kab.Rote Ndao
Kab.Manggarai
Kab.Ngada
Kab.Ende
Kab.Sika
Kab.Flotim
Kab.Lembata
Kab.Alor
Kab.Belu
Kab.TTU
Kab.TTS
Kab.Kupang
Kab.Sumba Timur
Kab.Sumba Barat
-
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 13. Rata-rata lama sekolah penduduk 10 tahun keatas di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 4.2 Dinamika Kemiskinan 4.2.1 Jumlah Penduduk Miskin Kemiskinan merupakan masalah utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam menghitung jumlah penduduk miskin, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini, memungkinkan kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Berdasarkan ukuran garis kemiskinan, jumlah penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 2005 hingga 2010 tidak mengalami penurunan yang signifikan. Jumlah penduduk miskin Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2005 adalah sebanyak 1.172.200 jiwa dan menurun menjadi 1.020.600 jiwa pada tahun 2010 seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah penduduk miskin dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 71
Kabupaten/Kota Kab. Sumba Barat Kab. Sumba Timur Kab. Kupang Kab.TTS Kab. TTU Kab. Belu Kab. Alor Kab. Lembata Kab. Flores Timur Kab. Sikka Kab. Ende Kab. Ngada Kab. Manggarai Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Brt Kota Kupang NTT
2005 168,4 82,3 111,8 149,7 69,5 72,1 49,9 34,4 33,9 54,4 47,4 38,2 155,4 28,0 53,7 22,1 1171,2
Tahun (000 jiwa) 2006 2007 2008 184,6 90,2 122,6 164,1 68,0 79,0 54,7 37,7 37,2 59,6 53,2 41,9 167,2 30,7 58,9 24,2 1273,9
172,8 82,8 111,6 147,5 60,4 83,9 48,2 33,5 31,2 50,5 46,0 40,7 150,5 30,1 53,5 20,3 1163,6
148,5 81,1 95,6 130,8 55,2 82,7 43,2 28,8 29,3 45,9 57,5 36,2 137,8 38,8 48,3 46,1 1,105,8
2009
2010
143,4 76,6 90,0 123,4 50,6 77,1 39,2 27,0 24,8 40,5 51,7 32,9 125,9 37,3 45,9 35,4 1021,8
141,7 74,0 93,6 126,6 52,2 54,7 40,3 31,5 22,4 40,2 56,4 33,7 132,8 39,5 45,3 35,6 1020,6
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah)
Kabupaten Manggarai adalah kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbesar pada tahun 2005 yaitu sebanyak 168.400 orang, menigkat pada tahun
2007 yaitu sebanyak 172.800 orang tetapi menurun pada tahun 2008 hingga pada tahun 2010 hanya sebesar 141.700 orang. Kota Kupang memiliki jumlah penduduk miskin terkecil yaitu sebanyak 22.100 orang tetapi terus meningkat hingga pada tahun 2008 mencapai dan menurun kembali pada tahun 2010 hingga mencapai 35.600 orang. Tabel 7 memperlihatkan persentase penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Indonesia dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2010. Pada tahun 2007 persentase penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur adalah sebesar 27,51 persen dan terus menurun hingga tahun 2010 sebesar 23.03 persen. Tabel 7. Persentase penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Indonesia menurut Kota dan Desa tahun 2007-2010 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007 2008 2009 2010
NTT Kota 16,41 15,50 14,01 13,57
Desa 29,95 27,88 25,35 25,1
Indonesia Kota Desa 12,52 20,37 11,65 18,93 10,72 17,35 9,87 16,56
NTT K+D 27,51 25,65 23,31 23,03
Indonesia K+D 16,58 15,42 14,15 13,33
Sumber: BPS RI (diolah)
Apabila di bandingkan dengan angka kemiskinan nasional pada tahun 2010 yang hanya sebesar 13,33 persen maka Nusa Tenggara Timur adalah provinsi yang persentase penduduk miskinnya cukup tinggi atau menempati urutan ke 30 dari 33 provinsi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu upaya yang lebih serius dan terarah dalam memberdayakan penduduk miskin agar lebih produktif dan pada tataran implementasi program perlu didukung dengan tata kelola yang baik (good governance) sehingga penduduk miskin secara signifikan di turunkan. Gambar 14 memperlihatkan perubahan persentase penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2005 dan 2010. Pada tahun 2005, persentase penduduk miskin tertinggi di Kabupaten Sumba Barat adalah sebesar 42,07 persen, sedangkan terendah di Kota Kupang yaitu sebesar 10,59 persen. Pada tahun 2010, hampir semua kabupaten/kota mengalami penurunan persentase kemiskinan, kecuali Kabupaten Ende, Kabupaten Rote Ndao dan Kota Kupang yang mengalami peningkatan. Kabupaten Ende meningkat dari 20,13 persen
menjadi 21,64 persen, Kabupaten Rote Ndao meningkat dari 25,78 persen menjadi 32,94 persen, sedangkan Kota Kupang meningkat dari 8,19 persen menjadi 10,59 persen. Persen
Kab/kota
Kota Kupang
Kab.Mabar
Kab.Rote Ndao
Kab.Manggarai
Kab.Ngada
Kab.Ende
Kab.Sika
Kab.Flotim
Kab.Lembata
Kab.Alor
Kab.Belu
Kab.TTU
Kab.TTS
Kab.Kupang
Kab.Sumba Barat Kab.Sumba Timur
2005 2010 45.0 42,1 39,0 36,6 40.0 33,7 32,5 34,4 32,1 32,9 31,9 35.0 30,9 28,7 28,6 25,8 28,3 26,7 30.0 24,8 24,4 21,6 22,7 25.0 21,2 20,4 20,0 20,1 19,6 20.0 15,6 15,5 15,5 13,4 12,4 15.0 10,6 9,6 8,2 10.0 5.0 0.0
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 14. Persentase penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010 Perbedaan angka kemiskinan antara kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat disebabkan oleh beberapa hal, pertama adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi antara kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dimana ekonomi tumbuh lebih cepat di daerah perkotaan daripada di pedesaan. Kedua, adanya perbedaan garis kemiskinan, dimana kabupaten/kota yang mempunyai garis kemiskinan lebih tinggi akan berpeluang untuk mempunyai angka kemiskinan yang lebih tinggi. Ketiga, perbedaan kondisi geografis. Kondisi geografis sangat memengaruhi perilaku penduduk, penduduk yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi akan mengalami kesulitan untuk mengakses layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, kualitas sumberdaya manusia di daerah-daerah terpencil akan rendah dan produktivitas mereka juga rendah. Rendahnya produktivitas kerja akan berdampak pada rendahnya upah atau pendapatan yang mereka terima sehingga mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup secara layak dan kemiskinan akan sulit untuk diturunkan. Selain ketiga hal diatas, maka perbedaan kemiskinan antar kabupaten/kota sangat berhubungan positif dengan kultur atau budaya dari masing-masing daerah.
Misalnya Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur yang masih memegang teguh tradisi pesta dan upacara adat terutama adat perkawinan dan kematian memiliki persentase kemiskinan lebih besar dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 4.2.2 Kedalaman Kemiskinan Indeks kedalaman kemiskinan atau poverty gap index (P1) merupakan kedalaman/jurang kemiskinan. Ukuran ini menggambarkan dalamnya kemiskinan, yakni ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin dari garis kemiskinan. Poverty gap index berguna untuk mengetahui besarnya sumberdaya (uang) yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan dengan target sasaran yang sempurna. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Sesungguhnya ukuran ini belum realistis karena belum mempertimbangkan biaya operasional dan faktor penghambat. Selain itu, penghitungan indeks ini tidak mempertimbangkan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Meskipun demikian, kedalaman kemiskinan dapat digunakan sebagai informasi bagi pemerintah terkait dengan anggaran yang akan dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan. Indeks
Indeks Kedalaman Kemiskinan
10.00 8.00 6.00
8,27 5,91
5,74
4,87
4,47
4,04
2009
2010
4.00 2.00 0.00 2005
2006
2007
2008
Tahun
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 15. Indeks kedalaman kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010 Indeks kedalaman kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam periode 2005-2010 menunjukkan kecenderungan menurun. Pada tahun 2005 rata-
rata indeks tersebut sebesar 5,91 turun menjadi 4,04 pada tahun 2010, kecuali tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 8,27. Keadaan ini mengindikasikan bahwa dalam periode 2005-2010 besarnya rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan semakin mengecil, kecuali tahun 2008. Jika pada tahun 2005 jumlah cash transfer yang dibutuhkan untuk menanggulangi kemiskinan sebesar 591 persen dari garis kemiskinan, maka pada tahun 2010 menurun menjadi 404 persen dari garis kemiskinan seperti pada Gambar 15. Gambar
16
menunjukan
indeks
kedalaman
kemiskinan
menurut
kabupaten/kota, Kota Kupang mempunyai angka indeks kedalaman kemiskinan terendah (2,0) dan Kabupaten Sumba Barat mempunyai indeks kedalaman kemiskinan tertinggi (11,2) pada tahun 2005. Hal ini di duga kondisi ekonomi di Kota Kupang lebih baik dibandingkan dengan di Kabupaten Sumba Barat. Sedangkan pada tahun 2010, Kabupaten Flores Timur mempunyai indeks kedalaman kemiskinan terendah (1,7) dan Kabupaten Rote Ndao mempunyai indeks kedalaman kemiskinan tertinggi (6,8). Perekonomian yang baik akan memberikan peluang-peluang kerja yang lebih banyak bagi penduduk, sehingga penduduk akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan, memperoleh upah dan meningkatkan kesejahteraannya. Indeks
2005
12.0 11,2 10.0 8.0
8,5
8,3
6,5
7,8
7,7 6,4 6,6
3,8
4.0
6,8
7,6 6,7
6,0
5,0
6.0
4,3
2,7
4,0
3,9 3,9
3,8
2,9
2,7
6,7 5,6
5,6 3,6
2,9
3,2 2,0
1,5
1,3
2.0
2010
2,0
Kab/Kota
Kota Kupang
Kab. Manggarai Barat
Kab. Rote Ndao
Kab. Manggarai
Kab. Ngada
Kab. Ende
Kab. Sikka
Kab. Flores Timur
Kab. Lembata
Kab. Alor
Kab. Belu
Kab. Timor Tengah Selatan Kab. Timor Tengah Utara
Kab. Kupang
Kab. Sumba Timur
Kab. Sumba Barat
0.0
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah) Gambar 16. Indeks kedalaman kemiskinan menurut kab/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010
4.2.3 Keparahan Kemiskinan Indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Index (P2) menunjukkan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks keparahan kemiskinan berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Ukuran ini tidak digunakan secara luas karena tidak mudah dalam menginterpretasikannya (World Bank 2002 dalam BPS 2005). Indeks
keparahan
kemiskinan
di
Provinsi
Nusa
Tenggara
Timur
menunjukkan fruktuatif, tercatat sebesar 1,72 pada tahun 2005 hingga tahun 2007 sebesar 1,34. Pada tahun 2008 meningkat menjadi 3,08 dan menurun kembali pada tahun 2009 hingga mencapai 1,14 pada tahun 2010. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perekonomian di Provinsi Nusa Tenggara Timur belum stabil, sehingga jika ada gejolak (shock) dampaknya akan cepat dirasakan oleh penduduk miskin. Pada bulan september tahun 2005 pemerintah menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kebijakan ini berdampak pada melonjaknya harga barang-barang kebutuhan pokok. Kenaikan harga jelas akan menurunkan daya beli penduduk khususnya penduduk miskin, sehingga hal ini akan memperlebar kesenjangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Dari enam belas kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sumba Barat merupakan daerah dengan indeks keparahan kemiskinan tertinggi dan Kabupaten Flores Timur memiliki indeks keparahan kemiskinan terendah. Indeks
Indeks Keparahan Kemiskinan
3.50
3.08
3.00 2.50 2.00
1.72
1.63
1.50
1.51
1.34
1.14
1.00 0.50 0.00 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 17. Indeks keparahan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 - 2010
Jika
dibahas
berdasarkan
kabupaten/kota,
Kabupaten
Sumba
Barat
menduduki posisi pertama sebagai daerah dengan indeks keparahan kemiskinan tertinggi. Daerah yang memiliki indeks keparahan kemiskinan terendah adalah Kabupaten Flores Timur. Secara rinci, perkembangan indeks keparahan kemiskinan pada Gambar 18. Persen
2005
2010
4,0 2,2 2,1 2,2 1,6
Kab/kota
Kota Kupang
Kab. Rote Ndao
Kab. Manggarai
Kab. Manggarai Barat
0,6 0,8 0,6
0,9 0,3
Kab. Ende
Kab. Flores Timur
0,6 0,3
0,9 1,1 0,9 1,1
Kab. Sikka
1,4
2,5
2,3 1,9
Kab. Lembata
Kab. Timor Tengah Selatan
Kab. Kupang
0,7 0,7
Kab. Alor
1,2
1,2 1,1
Kab. Belu
1,9
Kab. Sumba Timur
2,9
2,4 2,0 2,0
Kab. Ngada
3,1
Kab. Timor Tengah Utara
2,7
Kab. Sumba Barat
5 4 4 3 3 2 2 1 1 0
Gambar 18. Indeks keparahan kemiskinan menurut kab/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010
V. KAITAN ANTARA BUDAYA DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA 5.1 Gambaran Umum Budaya Nusa Tenggara Timur Kebudayaan sebagai keseluruhan hasil daya cipta manusia yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kebiasaan apa saja yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Tylor, 2005). Dari pengertian ini terlihat bahwa kebudayaan adalah ekspresi seluruh diri manusia, baik akal, rasa, maupun karsa. Dengan akal, manusia mengembangkan daya pikirnya, yang membentuk ilmu pengetahuan. Dengan rasa manusia menghasilkan karya-karya seni. Lalu dengan karsa menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan, dan kebahagiaan, sehingga berkembanglah kehidupan keagamaan dan kesusilaan. Kebudayaan menjadi wadah sekaligus wujud pernyataan diri. Kebudayaan juga memungkinkan manusia menyatakan dirinya secara utuh dan mengartikulasikan kemampuan khas kemanusiaannya secara baru, kontinual, dan orisinal. Dengan demikian, kebudayaan dilihat sebagai wujud ekspresi yang mesti berdaya membebaskan. Dalam proses budaya manusia membiarkan dirinya mengalami kebebasan, karena tak lagi mengalami keterkekangan potensi diri. Hanya dalam kebebasan manusia dapat mengembangkan dirinya dan hanya manusia yang bebas yang bisa mengaktualisasikan dirinya secara integral. Manusia yang bebas senantiasa memiliki ruang untuk berprakarsa, berkreasi, berinovasi, dan beranjak dari ketertinggalan. Budaya sebagai hasil proses pembebasan pun tidak boleh membelenggu manusia dalam dirinya. Budaya justru harus memungkinkan manusia keluar dari pengekangan potensi diri menuju aktualisasi diri yang sejati dan utuh. Sistem-sistem kebudayaan sebagai ekspresi potensi diri itu tidak boleh memandekkan aktivitas pengungkapan potensi diri manusia itu sendiri. Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan beraneka ragam budaya. Budaya yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur dapat bernilai positif maupun negatif bagi masyarakat. Contoh budaya yang bernilai positif adalah “pasola” di Pulau Sumba dan tradisi menangkap Ikan Paus
di Pulau Flores. “pasola” adalah suatu tradisi melakukan lempar lembing atau tombak dengan menunggang kuda. Budaya yang bernilai negatif adalah suatu budaya yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan masyarakat, terutama masyarakat miskin yang melakukannya. Bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, pesta dan upacara adat serta mengkonsumsi Sirih Pinang sangat umum dan berlaku di hampir semua kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 5.2 Pengeluaran Tembakau dan Sirih Pinang Mengkonsumi sirih pinang bagi seluruh suku yang berada di Nusa Tenggara Timur adalah tradisi adat yang telah ada turun temurun bahkan menjadi bagian penting dalam upacara-upacara adat suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Sirih pinang dalam budaya ketimuran pada umumnya dan Nusa Tenggara Timur khususnya memiliki nilai sosial yang tinggi. Memiliki nilai sosial yang tinggi, karena Sirih pinang berfungsi sebagai penghormatan dan penghargaan kepada tamu yang berkunjung ke rumah. Sirih pinang biasa dipakai sebagai “snack” pembuka dalam setiap pertemuan atau dipakai sebagai simbol atau pelengkap ritual adat. Intinya bahwa sirih pinang merupakan alat perekat persaudaraan dalam kehidupan masyarakat yang akan terus dicari untuk melengkapi kehidupan masyarakat. Budaya “puah-manus” (sirih pinang) sebenarnya merupakan sisi lain dari budaya “fetof-naof, olif-tataf “ (persaudaraan). Artinya kebiasaan menyuguhi tamu dengan puah manus (sirih pinang) disaat tamu mengunjungi rumah atau keluarga tertentu merupakan penjelmaan dari sikap membina persaudaraan dan persatuan universal. Kebiasaan puah-manus sesungguhnya mengekspresikan sikap keterbukaan, sikap menerima kehadiran orang lain, sikap “welcome” terhadap sesama tanpa memandang suku, agama atau latar belakang orang tersebut. Pokoknya setiap manusia yang hadir sebagai “tamu” bagi keluarga orang NTT diterima sebagai saudara, manusia yang sederajat, dan itu ditandai dengan pemberian sirih pinang. Falsafah hidup orang NTT yaitu budaya “puah manus”, merupakan falsafah keterbukaan, penghargaan dan partnership dengan semua manusia, (Nakmofa, 2010).
Persen
2005
10.0
2010
8,9
9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0
3,4 2,6 1,9
3.0 2.0
3,8
3,7 3,8 4,0 2,7
2,9
3,5 2,8
2,1
2,1
2,5 0,9 0,6 1,1 0,8 0,9
1,3
1.0
2,1 2,0 1,7 1,3 1,1 0,9
1,6 0,6
0,4 0,3 0,5
Kab/kota
Kota Kupang
Kab.Mabar
Kab.Rote Ndao
Kab.Manggarai
Kab.Ngada
Kab.Ende
Kab.Sika
Kab.Flotim
Kab.Lembata
Kab.Alor
Kab.Belu
Kab.TTU
Kab.TTS
Kab.Kupang
Kab.Sumba Timur
Kab.Sumba Barat
-
Sumber: BPS Prov. NTT (diolah)
Gambar 19. Persentase jumlah pengeluaran tembakau dan sirih pinang terhadap total pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan tahun 2010. Berdasarkan data susenas 2005 hingga 2010, persentase jumlah pengeluaran tembakau dan sirih pinang terhadap total pengeluaran makanan berkisar antara 0.51 persen hingga 8,93 persen pada tahun 2005, sedangkan pada tahun 2010, berkisar antara 0,29 persen dan 3,80 persen. Secara keseluruhan trend pengeluaran tembakau dan sirih pinang menurun dari tahun ke tahun hingga tahun 2010, Gambar 19. Penurunan konsumsi sirih-pinang tersebut disebabkan karena perubahan pemahaman budaya sirih pinang oleh kalangan generasi muda semakin memudar. Selain itu, kebiasaan mengkonsumsi sirih pinang dapat merusak penampilan seperti gigi kotor dan merusak penampilan. Masyarakat perkotaan juga memiliki persentase pengeluaran tembakau dan sirih pinang lebih kecil dibandingkan dengan daerah pedesaan. Hal ini tidak terlepas dari terkikisnnya nilai-nilai tradisi dan budaya di masyarakat perkotaan yang lebih selektif dalam menjalankan tradisi dan budaya tersebut. Kesadaran tentang tradisi dan budaya yang merugikan belum dimiliki sepenuhnya oleh masyarakat pedesaan. Pengeluaran masyarakat untuk menjalankan tradisi atau adat sering kali yang dilakukan tanpa mempertimbangkan pendapatan masyarakat itu sendiri.
Penggunaan tembakau dan sirih pinang di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dapat meningkatkan kemiskinan melalui kerentanan timbulnya resiko karena sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang dan bukan untuk kebutuhan pokok lainnya, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga. Diketahui bahwa PDRB per kapita Nusa Tenggara Timur pada Tahun 2010 mencapai Rp 2.676.000. Jika diasumsikan bahwa 10 persen dari pendapatan tersebut dibelanjakan untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang maka akan mencapai Rp 267.600. Persen
50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 -
44,43
43,27
40,06
33,50
37,68
35,26
Karbohidrat Protein Hewani
18,24
15,69
8,49
17,01
18,36
9,13
9,79
10,28
2007
2008
2009
15,18
18,19
Tembakau dan Sirihpinang
7,67
2,78 2005
2006
2010
Tahun
Sumber: Susenas 2005-2010, (diolah)
Gambar 20. Persentase pengeluaran makanan sumber karbohidrat, sumber protein dan pengeluaran tembakau serta sirih pinang terhadap total pengeluaran makanan di Provinsi NTT tahun 2005-2010 Dalam kaitannya dengan kemiskinan, penggunaan tembakau dan sirih pinang sering kali menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Studi empiris menunjukkan bahwa penduduk miskin cenderung lebih banyak menggunakan tembakau daripada penduduk yang lebih kaya (World Bank, 1999). Penduduk dengan status sosial ekonomi lebih rendah (tingkat pendidikan dan status pekerjaan) cenderung punya prevalensi merokok lebih tinggi daripada penduduk dengan status sosial-ekonomi yang lebih baik. Dalam konteks kemiskinan tersebut, upaya mengontrol penggunaan tembakau dan sirih pinang harus didasari oleh suatu pemahaman tentang adanya
kontradiksi antara kondisi kemiskinan dari suatu keluarga dan pengalihan dari penghasilan yang terbatas untuk belanja tembakau atau rokok dan sirih pinang. Hal ini khususnya sangat relevan dengan melihat besarnya nilai belanja untuk kebutuhan merokok dibandingkan biaya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidupyang paling esensial, khususnya makanan. Menyisikan sebagian uang belanja sehari-hari untuk tembakau dan rokok seringkali dilakukan oleh pencari nafkah dari keluarga miskin di negara sedang berkembang seperti Indonesia, termasuh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Kecenderungan oleh pencari nafkah, yang umumnya bekerja sebagai buruh kasar atau pedagang kecil, dimaklumi oleh anggota rumahtangga lainnya meskipun uang yang disisikan untuk rokok tersebut semestinya sangat berarti untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan, paling tidak untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Gambar 20 mengungkapkan bahwa proporsi belanja tembakau dan sirih pinang terhadap total nilai pengeluaran konsumsi makanan pada kisaran 2,78 persen (2006) dan mencapai 10,28 persen (2010). Sebaliknya, share untuk belanja padi-padian cenderung turun dari sekitar 44,43 persen pada tahun 2006 menjadi sekitar hanya 35,26 persen pada tahun 2010, dan proporsi belanja untuk makanan sumber protein (ikan, daging, telur & susu) relatif tidak berubah selama enam tahun terakhir ini. Persen 6,30
7.00 6.00
6,41
6,49
5,32 4,81
4,52
5.00 4.00 3.00
3,14 2,33
2,41
1,30
2005
Tembakau dan Sirihpinang pendidikan
2,78
2,12
1,96
1,42
1,35
1,35
1,52
1,44
2006
2007
2008
2009
2010
kesehatan
2.00 1.00 0.00
Tahun
Sumber: Susenas 2005-2010, (diolah)
Gambar 21. Persentase jumlah pengeluaran pendidikan, kesehatan, tembakau dan sirih pinang terhadap total pengeluaran di Provinsi NTT tahun 20052010
Gambar 21 menunjukan perbandingan antara pengeluaran rumahtangga untuk penggunaan tembakau dan sirih pinang dengan kebutuhan esensial yang berkaitan dengan pendidikan dan perbaikan kesehatan keluarga terhadap total pengeluaran rumahtangga. Hasilnya menunjukan bahwa belanja tembakau dan sirih pinang melampaui share untuk biaya pendidikan dan kesehatan yaitu secara rata-rata sebesar 5,15 persen sedangkan untuk biaya pendidikan hanya sebesar 2,47 persen dan biaya kesehatan hanya sebesar 1,40 persen. 5.3 Pengeluaran Pesta dan Upacara Nusa Tenggara Timur adalah salah satu daerah yang kaya akan tradisi atau budaya karena masyarakat NTT lahir dari kebhinekaan suku bangsa, yang berasal dari banyak pulau dan bahasa daerah yang berbeda-beda. Budaya Nusa Tenggara Timur yang masih mengekang kemajuan dan menjadi salah satu pemicu kemiskinan adalah budaya “belis” atau mahar perkawinan. Belis atau mahar perkawinan adalah sejumlah uang atau barang, biasanya berupa hewan seperti Kuda, Sapi dan Kerbau di Pulau Sumba, Gading Gajah di Flores, “Tam Oko” (uang dan kain tenun ) di Timor, dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah budaya perkawinan di Pulau Sumba. seorang laki-laki wajib memberikan sejumlah hewan sebagai “belis”/mahar, yang akan di bayar secara tunai atau mencicil sampai pada generasi berikutnya. “Belis” yang sudah disepakati, minimal 15-100 ekor disesuaikan dengan prestise, prestasi atau pendidikan perempuan. Jika diasumsikan minimum 15 ekor untuk seorang gadis dengan harga Rp. 4.000.000 maka total “belis”/mahar yang harus dibayarkan adalah Rp. 60.000.000. Mahar atau “belis” akan sangat memberatkan bagi keluarga miskin. Belis atau mahar perkawinan dilaksanakan oleh seluruh kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur dengan nilai yang bervariasi. Upacara atau pesta kematian di seluruh kabupaten/kota dapat berlangsung selama antara 3 sampai 7 hari bahkan lebih yang menelan biaya ratusan juta rupiah. Berbeda dengan belis/mahar perkawinan, upacara kematian dilakukan dengan menyembelih puluhan ekor hewan berupa sapi dan babi untuk melayani tamu yang berkunjung pada saat kematian. Banyaknya hewan sangat tergantung kepada kemampuan dan prestise dari masyarakat yang meninggal tersebut.
Substansi persoalan kemiskinan dan mental masyarakat Nusa Tenggara Timur berakar pada pola hidup. Pola hidup berfoya–foya, pesta pora dan budaya atau adat masih melekat kuat. Contoh pesta yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah pesta baptis dan sidi baru bagi masyarakat beragama Kristen Protestan, pesta penerimaan komuni pertama bagi masyarakat beragama khatolik, pesta perkawinan nikah adat, pesta masuk rumah baru, pesta wisuda, pesta kematian dan lain sebagainya. Intinya di Nusa Tenggara Timur terdapat banyak pesta dan upacara adat yang digunakan untuk konsumsi sehingga menggerogoti pendapatan masyarakat yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sisi positif dari budaya Nusa Tenggara Timur adalah saling membantu satu sama lain yang dikenal dengan istilah “kumpul keluarga”. Tradisi “kumpul keluarga” tersebut adalah seluruh keluarga yang diundang, berkumpul untuk memberikan sumbangan kepada masyarakat lainnya yang mengadakan pesta. Acara “kumpul keluarga” atau semacam arisan tersebut berlaku bagi setiap keluarga yang akan mengadakan pesta. Sumbangan yang dikumpulkan berupa uang tunai maupun hewan yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah. Tradisi kumpul keluarga tersebut sesungguhnya adalah modal bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur untuk melakukan pembaruan, inovasi atau rekayasa budaya menjadi kekuatan ekonomi yang berbasiskan budaya yang lebih menyentuh masyarakat miskin. Adat istiadat butuh pembaruan. Pembaruan kebudayaan itulah yang menjadi satu dari sekian banyak hal yang semestinya dipertimbangkan dalam pembangunan ke depan. Pembaruan bukan berarti meninggalkan apa yang menjadi pusaka kultural kita, melainkan memformatnya secara baru tanpa melepaskan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Pembangunan tidak harus mengubah budaya lokal tetapi format budaya lokal yang tidak menguntungkan harus dicarikan bentuk yang lebih relevan. Solusi pertama adalah perlunya intervensi urusan adat masyarakat. Dalam arti bahwa hal itu dimasukkan dalam pertimbangan penanggulangan kemiskinan. Misalnya, program ‘duduk bersama’ atau diskusi dengan para pemuka adat dan tokoh masyarakat, mulai dari tingkat dusun, desa dan kelurahan sampai level daerah/kabupaten. Tujuannya semata-mata untuk mengajak dan membantu
mengembangkan kesadaran kritis masyarakat akan hakikat dan persoalan kebudayaannya. Kemudian, dibicarakan bersama format adat yang lebih tepat atau lebih sederhama secara ekonomis, agar menekan sampai sekecil mungkin kerugian ekonomis yang mesti ditanggung untuk upacara-upacara budaya. Selanjutnya, perlu pendekatan-pendekatan persuasif yang terus-menerus dan terprogram, yang melibatkan segenap stakeholder seperti Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, LSM, dan lembaga-lembaga pendidikan. Budaya hemat, budaya menabung, dan kebiasaan menyusun prioritas kebutuhan pun mesti di kampanyekan terus-menerus. Kelompok usaha bersama (KUB) dan Koperasi adalah salah satu solusi alternatif kedua untuk melakukan rekayasa/pembaruan budaya menjadi kekuatan ekonomi masyarakat Nusa Tenggara Timur dan solusi terakhir adalah peningkatan pendidikan untuk merubah pola pikir tentang budaya pesta yang menunjukan prestise di kalangan masyarakat akan semakin berubah kearah yang lebih baik. Terdapat
dua
membelanjakannya
cara untuk
untuk
menghabiskan
barang-barang
pendapatan.
konsumsi.
Pertama,
Kedua,
tidak
membelanjakannya atau ditabung. Pengeluaran konsumsi berupa pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan dapat dipakai sebagai alat untuk memantau kemiskinan penduduk. Masyarakat dianggap hidup layak apabila dapat mengkonsumsi makanan setara 2100 kalori/orang/hari. Untuk pengeluaran non makanan standar/tingkat kemiskinan penduduk/rumah tangga dapat dipantau dari besarnya pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan pokok non makanan seperti biaya berobat ke puskesmas, menyekolahkan anak, dan sejenisnya termasuk pengeluaran untuk pesta dan upacara. Gambar 22 menunjukan persentase pengeluaran untuk pesta dan upacara di Provinsi Nusa Teggara Timur. Pada tahun 2005, pengeluaran pesta dan upacara perkapita terendah adalah sebesar 0.10 persen di Kabupaten Flores Timur, sedangkan tertinggi adalah sebesar 2,30 persen di Kabupaten Belu. Pada tahun 2010, pengeluaran pesta dan upacara perkapita terendah adalah sebesar 0.36 persen di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sedangkan tertinggi adalah sebesar 2,81 persen di Kabupaten Belu. Prensentase pengeluaran pesta dan upacara
tersebut akan jauh lebih besar apabila di tambahkan dengan biaya makanan dan minuman yang di keluarkan untuk membiayai keperluan pesta dan upacara. Persen 3.0
1.5 1.0
2,3
2,3 2,2
2.5 2.0
2005
2,8 2,2 2,2
2,0 1,6 1,2 1,3 1,1 1,0
1,5 1,5
1,5
0,9
0,8
1,0
1,7 1,6 1,3 1,3
1,5 1,5 1,6 1,2 1,2 1,3
0,6
0,4
0.5
1,3
2010
0,1
Kab/kota
Kota Kupang
Kab.Mabar
Kab.Rote Ndao
Kab.Manggarai
Kab.Ngada
Kab.Ende
Kab.Sika
Kab.Flotim
Kab.Lembata
Kab.Alor
Kab.Belu
Kab.TTU
Kab.TTS
Kab.Kupang
Kab.Sumba Barat Kab.Sumba Timur
-
Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)
Gambar 22. Persentase jumlah pengeluaran pesta dan upacara terhadap total pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 dan 2010 Pengeluaran untuk keperluan pesta dan upacara di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat meningkatkan kemiskinan melalui kerentanan timbulnya resiko karena sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru digunakan untuk melakukan pesta dan upacara adat. Dalam rangka membiayai pesta dan upacara tersebut pada umumnya masyarakat, menggunakan asetnya yang sangat terbatas. Aset yang sering digunakan adalah hewan ternak, seperti kuda, sapi maupun babi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat yang menyimpan asetnya atau menabung dalam bentuk hewan ternak daripada bentuk tabungan lainnya (seperti uang) agar dapat segera digunakan sewaktu-waktu jika ada keperluan adat. Gambar 23 menunjukan perbandingan antara pengeluaran rumahtangga untuk keperluan pesta dan upacara dengan kebutuhan esensial yang berkaitan dengan pendidikan dan perbaikan kesehatan keluarga terhadap total pengeluaran bukan makanan rumahtangga. Hasilnya menunjukan bahwa pengeluaran untuk keperluan pesta dan upacara relatif sama dengan pengeluaran untuk kesehatan, sedangkan pengeluaran untuk biaya pendidikan masih lebih tingi dari pengeluaran untuk pesta dan upacara.
Persen
8,53
9.00 7,40
8.00 7.00
6,83
4,07
4.00 3.00
Pesta dan upacara pendidikan
5,66
6.00 5.00
6,77
6,25
4,39 4,38
4,49
4,76
4,00 4,35
3,50
2,98 3,91
4,12
2008
2009
kesehatan
3,51
2.00 1.00 0.00
2005
2006
2007
2010
Tahun
Sumber: Susenas 2005-2010, (diolah)
Gambar 23. Persentase pengeluaran pendidikan, kesehatan, pesta dan upacara terhadap total pengeluaran bukan makanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 2010
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN 6.1 Uji Model Regresi Data Panel Analisis data panel digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Analisis data panel dilakukan dengan menggunakan data 16 Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada kurun waktu 2005 sampai 2010. Pemilihan model regresi terbaik dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang sesuai. Proses ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu membandingkan pooled model dengan fixed effects model kemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effects model dengan random effect model. Pada tahap pertama, untuk membandingkan pooled model dengan fixed effects model digunakan uji Chow, sedangkan pada tahap kedua untuk membandingkan fixed effects model dengan random effect model digunakan uji Hausman. Berdasarkan hasil uji Chow, secara signifikan Ho (pooled model) ditolak atau terdapat heterogenitas individu pada model. Ini ditunjukkan dengan nilai pvalue lebih kecil 0,05. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model. Setelah dihasilkan fixed effects model pada langkah pertama, maka langkah selanjutnya membandingkan antara fixed effects model dan random effects model dengan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi-Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas. Hasil uji Hausman, menunjukkan nilai p-value (probabilita) lebih besar 0,05, bahkan lebih besar dari 0,10. Hal ini berarti random effects model lebih sesuai digunakan. Berbeda dengan fixed effects model, efek spesifik dari masing-masing individu diperlakukan sebagai bagian dari komponen error yang bersifat acak dan tidak berkorelasi dengan variabel penjelas yang teramati, model seperti ini dinamakan random effects model (REM). Dari semua asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi yang berkaitan dengan random effects model (REM), asumsi paling penting adalah asumsi bahwa nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0, atau E(τi xit)= 0.
Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menghitung estimator REM, yaitu between estimator dan Generalized Least Square (GLS). Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah Generalized Least Square (GLS) karena pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between and within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between and within dalam sebuah regresi, sedangkan pendekatan between estimator tidak digunakan karena hanya akan konsisten untuk N tak hingga. Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah residual mengikuti distribusi normal atau tidak. Hasil estimasi menunjukkan model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai nilai residual berdistribusi normal. Ini dapat diketahui dari nilai probabilita Jarque-Bera sebesar 0,5024. Nilai probabilita Jarque-Bera lebih besar dari 0,05 sehingga dapat diperoleh kesimpulan nilai residual berdistribusi normal. Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh model dan metode yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan dengan metode random effect model. Estimasi dilakukan untuk mengetahui besarnya elastisitas dari setiap variabel bebas (independent variable) terhadap variabel tidak bebas (dependent variable). Variabel tidak bebas yaitu jumlah penduduk miskin, sedangkan variabel bebas meliputi jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, jumlah pengeluaran pembangunan APBD,rata-rata lama sekolah, PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2000, pengangguran, jumlah pengeluaran pesta dan upacara, jumlah pengeluaran tembakau dan sirih pinang. Dalam model data panel tersebut, terlihat bahwa REM lebih baik dibandingkan metode FEM. Hal ini tercermin dari nilai statistik uji Hausman (5,873197) yang tidak signifikan pada taraf uji 10 persen dengan p-value 0,6614 yang berarti belum cukup bukti untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara peubah penjelas dengan komponen error. Metode estimasi dalam model data panel menunjukkan hasil estimasi yang cukup baik, hal ini terlihat dari uji kesesuaian modelnya (goodness of fit). Uji model REM secara keseluruhan valid dalam taraf signifikansi 5 persen yang
ditunjukkan dengan nilai statistik uji F (29,89314) dan p-value sebesar 0,000. Model dalam persamaan 1 dapat digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan. Nilai adjusted R2 sebesar 0,7355 berarti keragaman tingkat kemiskinan yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen sebesar 73,55 persen, sedangkan sisanya (26,45 persen) dipengaruhi oleh faktor yang lain. 6.2 Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel dalam Tabel 8. Sebagian besar faktor yang digunakan berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan. Tanda koefisien parameter menunjukkan bahwa jumlah penduduk, PDRB perkapita, jumlah pekerja sektor pertanian, besarnya realisasi pengeluaran APBD, dan rata-rata lama sekolah, jumlah pengangguran terbuka, jumlah pengeluaran pesta dan upacara, dan jumlah pengeluaran untuk konsumsi tembakau, rokok dan sirih pinang
memberikan pengaruh nyata terhadap pengurangan penduduk
miskin, sedangkan rata-rata lama sekolah, dan jumlah pengeluaran konsumsi tembakau, dan sirih pinang tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap tingkat kemiskinan. Tabel 8. Hasil regresi data panel faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Variabel C Log(pddk)
Koefisien 4,688701 0,669347
Prob. 0,0015* 0,0000*
Log(pdrb_kpt) Log(pp) Log(tani) Log(nganggur) Log(lamasklh) Log(pesta) Log(tsp) R-squared F-statistic -* Sig. pada level 1persen
-0,585134 0,0001* -0,090785 0.0195* 0,113003 0,130** 0,121762 0,0767* -0,527694 0,26860 0,079364 0,196** 0,030768 0,65410 0,735500 29,39310 0,0000* ** Sig. pada level 10 persen
Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, jumlah pengangguran terbuka, jumlah pengeluaran pesta dan upacara,
dan jumlah pengeluaran untuk konsumsi tembakau,rokok dan sirih pinang akan berdampak menambah jumlah penduduk miskin. Besarnya realisasi pengeluaran APBD perkapita, pengeluaran pembangunan APBD dan rata-rata lama sekolah akan berdampak mengurangi jumlah penduduk miskin. 6.2.1 Jumlah Penduduk Penduduk merupakan subyek sekaligus obyek dari pembangunan ekonomi maka untuk meningkatkan perekonomian dan penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari peran penduduk itu sendiri. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, nilai elastisitas jumlah penduduk sebesar 0,67 mempunyai arti setiap kenaikan 1 persen jumlah penduduk maka akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,67 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis bahwa pertumbuhan
jumlah
penduduk
memberikan
pengaruh
positif
terhadap
pertumbuhan jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2008, Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: 1) jumlah penduduk memperberat beban penduduk pada lahan; 2) jumlah penduduk menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga maka biaya akan meningkat. Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendapatan per kapita menjadi rendah. Nilai elastisitas jumlah penduduk menunjukkan angka terbesar jika dibandingkan dengan variabel bebas lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi faktor utama tingginya angka kemiskinan. Banyaknya penduduk menyebabkan persaingan dalam memperoleh pekerjaan semakin kuat, sementara lapangan kerja terbatas. Penduduk yang kalah dalam persaingan akan menganggur atau bekerja
dengan pendapatan yang rendah, terutama kembali kepada sektor pertanian sehingga keduanya akan berdampak pada bertambahnya kemiskinan. Selain itu, penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh penduduk non produktif, ini ditunjukkan dengan besarnya angka beban ketergantungan di daerah ini masih tinggi. Tingginya angka beban tanggungan akan mengurangi pendapatan per kapita yang diterima oleh setiap penduduk, sehingga berakibat pada tingginya angka kemiskinan. 6.2.2 Produk Domestik Regional Bruto Per kapita Berdasarkan hasil regresi, PDRB perkapita secara signifikan memengaruhi penurunan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai elastisitas sebesar -0,59 yang artinya setiap kenaikan PDRB perkapita 1 persen maka akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,59 persen, ceteris paribus. Pengaruh PDRB perkapita terhadap penurunan penduduk miskin relatif besar karena faktor-faktor produksi yang belum terdistribusi dengan baik antara lain lahan dan aset produktif lainnya. Lahan dan aset produktif lainnya lebih banyak dikuasai oleh golongan masyarakat menengah keatas sehingga keuntungan atau tambahan pendapatan lebih banyak dinikmati oleh mereka daripada masyarakat miskin. Maka dari itu, dalam menanggulangi kemiskinan diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang lebih melibatkan peran serta masyarakat miskin agar lebih memberikan manfaat peningkatan kesejahteraan bagi mereka. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Abustan (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan PDRB per kapita akan berdampak pada penurunan kemiskinan. 6.2.3 Pengeluaran Pembangunan APBD Koefisien variabel realisasi pengeluaran APBD perkapita sebesar -0,09 berarti setiap peningkatan realisasi pengeluaran APBD perkapita sebesar 1 persen akan berdampak pengurangan penduduk miskin sebesar 0,09 persen, dengan asumsi cateris paribus. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hasibuan (2006) di Provinsi Sumatera Utara, yang menemukan bahwa besarnya APBD berhubungan negatif yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin.
Hal ini menunjukkan realisasi pengeluaran APBD yang diproporsi berdasarkan jumlah penduduk memberikan andil yang cukup besar dalam pengentasan kemiskinan. Besaran nilai realisasi pengeluaran APBD perkapita menggambarkan kemampuan daerah dalam segi pendanaan dalam rangka dalam pembangunan daerah termasuk untuk mengatasi masalah kemiskinan. Semakin besar nilai realisasi pengeluaran APBD berarti semakin besar pula peran pemerintah daerah dalam penyediaan lapangan pekerjaan dan penyediaan fasilitas pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan terutama untuk penduduk miskin. Selain itu, realisasi pengeluaran APBD juga menjadi stimulus dan motor penggerak bagi seluruh sektor perekonomian daerah agar dapat tumbuh dengan lebih cepat. Penyusunan anggaran yang efisien sangat penting karena berkaitan erat dengan berbagai sektor perekonomian. Kontribusi APBD dalam pembangunan daerah selain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, juga untuk menciptakan stabilitas ekonomi, peningkatan pendapatan perkapita, pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Alokasi anggaran dalam APBD merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk menjalankan peranannya dalam perekonomian sebagai fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan upaya pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya dalam perekonomian. Kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan penduduk terutama yang tidak bisa dipenuhi oleh pasar. Penyediaan dengan alokasi anggaran pengeluaran ini sangat vital karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan berpengaruh terhadap mobilitas penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik untuk memperlancar aktivitas pembangunan ekonomi. Sebagai contoh, pengeluaran untuk membangun infrastruktur jalan, jembatan, saluran irigasi, pasar, sarana pendidikan dan kesehatan serta sarana publik lainnya. Upaya ini juga dapat dilakukan melalui subsidi untuk mendorong kegiatan tertentu atau melalui pajak untuk menghambat kegiatan yang lain. Fungsi distribusi menyangkut upaya pemerintah untuk mendistribusikan produk-produk yang dihasilkan masyarakat kepada seluruh penduduk. Hal ini terkait masalah trade-off antara efisiensi dan pemerataan. Upaya distribusi
pendapatan dan aset kekayaan untuk menjamin terpenuhinya suatu keadaan distribusi yang merata. Fungsi ini tertuang dalam bentuk subsidi yang diberikan pemerintah daerah kepada penduduk kurang mampu agar mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti subsidi pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum lainnya. Di samping itu, subsidi juga diberikan dalam bentuk pemberdayaan penduduk kurang mampu dan keringanan pajak bagi penduduk miskin dan kelompok usaha kecil. Sedangkan
fungsi
stabilisasi
berguna
untuk
memastikan
bahwa
perekonomian berada dalam full-employment dan harga-harga yang stabil. Penggunaan kebijakan pemerintah sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas ekonomi dan laju pertumbuhan yang cepat. Fungsi ini digunakan pemerintah daerah untuk mengatasi situasi pasar tertentu yang perlu dilakukan suatu kebijakan yang dapat menstabilkan harga-harga barang yang langsung berdampak terhadap kepentingan ekonomi publik, seperti menstabilkan harga barang kebutuhan pokok penduduk (Priyarsono, et al. 2008b). 6.2.4 Jumlah Pekerja sektor pertanian Besarnya pengaruh peningkatan jumlah pekerja di sektor pertanian dapat dilihat dari besarnya nilai koefisien parameter yang juga menunjukan nilai elastisitasnya. Berdasarkan Tabel 8, jumlah pekerja di sektor pertanian juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pengurangan kemiskinan, dengan elastisitas sebesar 0,11. Nilai koefisien jumlah pekerja sektor pertanian per tenaga kerja sebesar 0,11 berarti setiap kenaikan 1 persen jumlah pekerja di sektor pertanian akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,11 persen, dengan asumsi cateris paribus. Peningkatan produktivitas seluruh sektor mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya pengurangan kemiskinan, terutama sektor pertanian dan jasa. Hal ini dikarenakan sekitar 65 persen penduduk menggantungkan sumber penghasilan utamanya dari sektor pertanian dan sekitar 24 persen penduduk memiliki sumber penghasilan utama dari sektor jasa. Selain itu, sebagian besar penduduk miskin di daerah perdesaan bekerja di sektor pertanian, sedangkan
sebagian besar penduduk miskin perkotaan bekerja di sektor jasa terutama pada sektor informal seperti pedagang kecil eceran, kaki lima atau asongan, tukang kayu/batu, tukang becak/ojek, tukang cukur dan sebagainya. Hasil ini sejalan dengan temuan Suryahadi, et al (2006) yang menyatakan bahwa pertumbuhan pada sektor jasa di perdesaan menurunkan kemiskinan di semua sektor dan lokasi. Pertumbuhan jasa di perkotaan memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang tinggi di semua sektor kecuali pertanian perkotaan. Sedangkan pertumbuhan pertanian di perdesaan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan di sektor pertanian perdesaan, yang merupakan kontributor terbesar kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan pertumbuhan seluruh sektor merupakan upaya terbaik dalam pengurangan kemiskinan. Demikian juga dengan temuan Siregar dan Wahyuniarti (2007), yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi, peningkatan share sektor pertanian dan sektor industri memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin walaupun dengan pengaruh yang relatif kecil. Hal ini juga sejalan dengan penemuan Kakwani (2001) untuk studi kasus di Philipina. Pengurangan tingkat kemiskinan di Philipina lebih banyak dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor pertanian, diikuti sektor jasa dan industri. Peningkatan 1 persen output sektor pertanian berdampak pengurangan kemiskinan sebesar 1,12 persen. Peningkatan output sektor jasa dan sektor industri sebesar 1 persen hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan sebesar 0,33 persen dan 0,25 persen. Peningkatan produktivitas sektor pertanian hanya akan terjadi bila peningkatan output sektor pertanian lebih besar dari peningkatan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Oleh karena itu, perlu peningkatan produktivitas sektor pertanian dengan revitalisasi pertanian dan pendayagunaan sumber irigasi. Hal utama yang perlu dilakukan adalah peningkatan kemampuan petani dan nelayan serta penguatan lembaga pendukungnya, peningkatan akses petani dan nelayan kepada sumber daya produktif seperti teknologi, informasi pemasaran, pengolahan dan permodalan, serta perbaikan iklim usaha dalam rangka meningkatkan diversifikasi usaha dan memperluas kesempatan berusaha. Disamping itu, perlu penekanan kembali kebijakan pemerintah di sektor pertanian agar lebih berorientasi pada penduduk miskin, karena selama periode
2002-2008 manfaat pertumbuhan sektor pertanian lebih banyak dinikmati penduduk tidak miskin daripada penduduk miskin. Pertumbuhan sektor pertanian belum tergolong pro poor growth. Hal ini tercermin dari nilai PEGR sektor pertanian yang lebih rendah dari pertumbuhan pendapatan riilnya. Proses redistribusi pendapatan di sektor pertanian juga belum maksimal sehingga peningkatan ketidakmerataan pendapatan di sektor pertanian masih menyebabkan peningkatan tingkat kemiskinan. Efek distribusi sektor pertanian selama periode 2002-2008 masih bernilai positif. 6.2.5 Pengangguran Berdasarkan hasil estimasi, pengangguran secara signifikan berpengaruh pada peningkatan jumlah penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan tingkat elastisitas pengangguran sebesar 0,12 yang artinya peningkatan pengangguran sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin 0,12 persen, ceteris paribus. Antara pengangguran dengan kemiskinan memang saling terkait. Pengangguran menjadi beban perekonomian, dimana mereka tidak menghasilkan pendapatan namun secara rutin mengeluarkan biaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhannya mereka menggunakan hasil kerja orang lain, sehingga mengurangi pendapatan perkapita. Jika pendapatan perkapita menurun akibatnya tingkat kesejahteraan juga menurun dan kemiskinan meningkat. Pengangguran akan berpengaruh pada nasib generasi berikutnya. Jika dalam suatu rumah tangga banyak anggota rumah tangga yang menganggur atau bekerja dengan gaji rendah, maka rumah tangga tersebut akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumahtangganya secara layak dan memadai. Kondisi ini akan menggiring mereka hidup dalam kemiskinan. Kesulitan keuangan yang hadapi menyebabkan rumah tangga tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi dan pendidikan bagi anak-anaknya. Akibatnya, anakanak mereka hanya berpendidikan rendah dimana pada masa yang akan datang mereka akan kesulitan bersaing di dunia kerja. Pada akhirnya anak-anak dari rumah tangga tersebut akan bekerja dengan gaji yang rendah sehingga lingkaran setan kemiskinan sulit untuk diputuskan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
beberapa penelitian sebelumnya, antara lain: NAPS (1999), Sukirno (2004) dan Suparno
(2010)
yang
menyatakan
bahwa
peningkatan
pengangguran
menyebabkan peningkatan kemiskinan. Pengangguran
menjadi
penyebab
kemiskinan,
maka
masalah
pengangguran harus segera diatasi untuk mencegah semakin meningkatnya kemiskinan di Nusa Tenggara Timur. Salah satu cara yang harus ditempuh untuk menurunkan pengangguran adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dengan peningkatan PDRB perkapita. Secara teori, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan yang tercipta akan memperbesar peluang para penganggur untuk bekerja sehingga tidak menganggur lagi. Dengan demikian kenaikan pertumbuhan ekonomi (PDRB perkapita) akan memberikan manfaat bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini didukung dengan hasil estimasi yang menunjukkan peningkatan PDRB perkapita akan menurunkan kemiskinan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 6.2.6 Tingkat Pendidikan Faktor lain yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin adalah tingkat pendidikan. Berdasarkan hasil estimasi dalam Tabel 8, rata-rata lama sekolah tenaga kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pengurangan kemiskinan, dengan nilai koefisien sebesar -0,53. Hal ini berarti setiap kenaikan 1 persen rata-rata lama sekolah akan dapat mengurangi kemiskinan sebesar 0,53 persen, dengan asumsi cateris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil empiris penelitian Siregar dan Wahyuniarti (2007). Hasil estimasi tersebut menunjukkan pentingnya peran pendidikan sebagai investasi modal manusia (human capital) dalam upaya pengurangan kemiskinan. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk suatu daerah masih menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya persentase penduduk miskin daerah tersebut dan dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya lingkaran setan kemiskinan. Menurut Wold Bank (2006), rendahnya tingkat pendidikan penduduk miskin akan menyebabkan produktivitasnya rendah, produktivitas yang rendah akan membuat output dan pendapatan yang rendah, sehingga terjadi kemiskinan.
Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga akan melahirkan generasi selanjutnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru. Dengan demikian, salah satu upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus memotong rantai kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk miskin sebab penduduk dapat berperan optimal sebagai sumberdaya manusia yang berkualitas dalam usaha memajukan perekonomian dan menanggulangi kemiskinan jika diberikan bekal pendidikan dan keterampilan yang memadai. Hasil estimasi pada Tabel 8, juga sesuai dengan hipotesis dan teori pertumbuhan endogen. Pendidikan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui perannya dalam meningkatkan pengetahuan, keahlian dan ketrampilan seseorang. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan produktivitas kerja dan meningkatkan output sehingga secara agregat perekonomian akan lebih maju. Secara teoritis peningkatan perekonomian akan memberikan manfaat bagi masyarakat, antara lain peningkatan kesempatan kerja, turunnya pengangguran, harga barang kebutuhan lebih murah dan semuanya ini akan meningkatkan kesejahteraan penduduk sehingga kemiskinan akan menurun. Jika tingkat pendidikan penduduk dikaitkan dengan kontribusi sektorsektor ekonomi dalam pembentukan PDRB di Provinsi Nusa Tenggara Timur Indonesia, maka sektor industri pengolahan menduduki posisi teratas. Kinerja sektor industri pengolahan memerlukan keahlian dan keterampilan tertentu yang sulit didapatkan pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan setingkat SMU lebih cocok bekerja di sektor ini karena dari sisi pengetahuan dan ilmu yang didapat dari bangku sekolah cukup untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang bergerak di sektor industri pengolahan. Pihak perusahaan akan sulit menerima pegawai yang hanya lulus pendidikan dasar, sehingga semakin tinggi dominasi industri pengolahan dalam perekonomian maka penduduk yang hanya lulus pendidikan dasar akan semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Upaya pemerintah untuk memotong rantai kemiskinan dilakukan melalui program PKH dan PNPM generasi yang dijalankan sejak tahun 2007. PKH bertujuan untuk meningkatkan aksebilitas masyarakat tidak mampu terhadap pelayanan publik, khususnya pendidikan dan kesehatan. Untuk jangka pendek,
melalui pemberian bantuan uang tunai kepada RTSM dengan harapan dapat mengurangi beban pengeluaran RTSM. Sedangkan untuk jangka panjang diharapkan akan terjadi perubahan pola pikir dan perilaku terhadap perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil hingga tingkat pendidikan anak-anak. Program PKH berwujud pemberian dana setiap tahun selama enam tahun kepada RTSM yang memiliki wanita hamil dan atau anak berusia 0-18 tahun guna memperbaiki gizi anak-anak dan membantu anak-anak yang tidak dapat bersekolah. PNPM Generasi bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak balita, serta meningkatkan pendidikan anak-anak usia sekolah dasar dan menengah. PNPM Generasi diharapkan mampu memutus rantai kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan dan derajat kesehatan rumah tangga miskin. PNPM Generasi disalurkan kepada kelompok masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat antara lain dapat berupa pemberian makanan tambahan anak sekolah, subsidi transportasi untuk bidan desa, sarana dan prasarana posyandu, seragam sekolah, serta buku dan alat tulis. Namun sampai saat ini, kedua program ini belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh di semua provinsi. Program ini dilaksanakan secara bertahap dengan jangkauan yang terus ditambah. Program PKH baru terlaksana di 12 provinsi dengan sasaran 720.000 RTSM, termasuk provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain itu, upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf pendidikan adalah dengan menerapkan kebijakan wajib pendidikan dasar 9 tahun bagi anak usia sekolah dan membangun/merehabilitasi sarana dan prasarana pendidikan terutama di wilayah perdesaan, daerah tertinggal, daerah konflik dan daerah bencana. Pemerintah memperluas akses bagi anak usia sekolah dengan menyediakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada jenjang SD dan SLTP agar dapat membebaskan anak-anak dari pungutan sekolah terutama dari keluarga miskin. Pemerintah juga memberikan bantuan buku pelajaran dalam bentuk BOS buku. Untuk tingkat pendidikan SLTA sampai perguruan tinggi, pemerintah juga menyediakan berbagai bentuk beasiswa bagi siswa kurang mampu agar tetap dapat melanjutkan pendidikannya. Selain pendidikan formal, pemerintah juga meningkatkan peran pendidikan informal seperti kelompok belajar (kejar) paket
A,B,C, sekolah terbuka, kelompok belajar fungsional dan bimbingan ketrampilan di Sanggar Kelompok Belajar (SKB). Untuk mendukung kelancaran peningkatan mutu pendidikan penduduk diperlukan anggaran pendidikan yang memadai. Pemerintah terus meningkatkan alokasi anggaran pendidikan dan mulai tahun 2009 anggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen dari APBN, sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, semangat ini belum sepenuhnya diikuti pemerintah daerah karena belum semua daerah punya komitmen yang tinggi untuk mengalokasikan 20 persen dari APBD untuk anggaran pendidikan. 6.2.7 Pengeluaran Konsumsi Tembakau dan Sirih Pinang Hasil estimasi yang menunjukan bahwa elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap pengeluaran konsumsi tembakau dan sirih pinang yaitu 0,03 yang berarti peningkatan pengeluaran untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang 1 persen dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,03 persen, ceteris paribus. Pengaruh positif dari pengeluaran untuk konsumsi tembakau dan sirih pinang terhadap jumlah penduduk miskin mengindikasikan adanya suatu penyimpangan pada pola konsumsi rumahtangga yang semestinya mengutamakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan esensial untuk memajukan pendidikan anak dan memperbaiki derajat kesehatan keluarga, dan diimbangi dengan pengurangan belanja konsumsi rokok, tembakau dan sirih pinang yang justru membahayakan kesehatan. 6.2.8 Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara Elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap jumlah pengeluaran keperluan pesta dan upacara yaitu 0,08 yang berarti peningkatan pengeluaran untuk keperluan pesta dan upacara 1 persen dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,08 persen, ceteris paribus. Pengaruh positif dari pengeluaran untuk keperluan pesta dan upacara terhadap jumlah penduduk miskin juga mengindikasikan adanya suatu penyimpangan pada pola konsumsi rumahtangga yang semestinya mengutamakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan esensial untuk memajukan pendidikan anak dan memperbaiki derajat kesehatan keluarga, dan diimbangi dengan pengurangan belanja keperluan pesta dan upacara.
Besarnya pengaruh faktor kultural terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah yang terkecil diantara enam faktor lainnya yaitu hanya sebesar 0,08 persen untuk faktor pengeluaran pesta dan upacara , sedangkan untuk tembakau dan sirih pinang sebesar 0,03 persen. Walaupun demikian, faktor budaya, terutama budaya pesta dan upacara adat harus mendapatkan perhatian serius dan dipertimbangkan dalam setiap strategi penanggulangan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 6.3 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Berdasarkan uraian faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, jumlah penduduk merupakan variabel dengan nilai
elastisitas
tertinggi
dibandingkan dengan variabel
bebas lainnya.
Permasalahan kependudukan yang sampai saat ini masih ada adalah tingginya angka pertumbuhan penduduk dan penyebaran penduduk yang tidak merata di setiap daerah. Untuk mengatasi tingginya angka pertumbuhan penduduk, pencanangan program Keluarga Berencana (KB) sangat penting, mengingat pertumbuhan jumlah penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur tergolong tinggi. Berdasarkan UU no 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, Keluarga Berencana adalah suatu upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan. Program KB yang selama ini dilakukan oleh pemerintah terutama setelah otonomi
daerah
kurang
berhasil.
BKKBN
sebagai
Instansi
yang
bertanggungjawab terhadap Program KB di daerah kurang mendapat perhatian dalam alokasi anggaran. Apabila Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran yang lebih besar kepada Instansi daerah yang bertanggungjawab terhadap program KB dengan di fokuskan pada keluarga miskin maka jumlah kelahiran akan dibatasi sehingga akan mengurangi kemiskinan. Keluarga miskin yang mengikuti program KB dan mempunyai maksimal dua anak, diberikan jaminan kesehatan dan pendidikan gratis bagi kedua anaknya. Dengan cara ini maka keluarga miskin akan berfikir kembali untuk mempunyai banyak anak.
Terkait dengan sektor pertanian di Nusa Tenggara Timur, hasil estimasi menunjukkan bahwa banyaknya pekerja sektor pertanian berpengaruh pada peningkatan kemiskinan. Kebijakan yang seharusnya diambil adalah mengembangkan usaha berbasis pertanian (agroindustri). Pengembangan usaha agroindustri menjadi alternatif
untuk
mengurangi
banyaknya
pekerja
pertanian
dan
mengatasi
pengangguran. Usaha ini akan sangat bermanfaat, dimana banyaknya pekerja pertanian dapat beralih menjadi pekerja di usaha agroindustri. Dengan berkembangnya usaha tersebut, lapangan pekerjaan akan semakin bertambah dan pengangguran dapat berkurang. Di sisi yang lain, usaha agroindustri akan menguntungkan banyak pihak, antara lain petani, pengusaha dan pekerjanya. Bagi petani, berkembangnya usaha agroindustri akan memudahkan mereka untuk memasarkan hasil panennya dan memacu semangat mereka untuk menghasilkan output yang lebih baik kuantitas maupun kualitasnya. Bagi pengusaha, hasil pertanian dan tenaga kerja yang banyak memudahkan mereka untuk mendapatkan input produksi sehingga akan menghasilkan output yang banyak. Output yang banyak akan menambah keuntungan bagi pengusaha dan meningkatkan kesejahteraannya. Bagi masyarakat, banyaknya output akan membuka kesempatan kerja yang lebih banyak bagi mereka sehingga penduduk yang tadinya menganggur dapat memperoleh pekerjaan. Lebih lanjut, output yang banyak akan menjadikan harga barang hasil produksi murah sehingga daya beli masyarakat meningkat, kesejahteraan meningkat dan kemiskinan menurun. Dalam upaya menurunkan kemiskinan, kualitas sumberdaya manusia menjadi salah satu penentu keberhasilannya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan keterampilan dan keahlian yang akan mempengaruhi produktivitas seseorang dalam bekerja. Menurut data BPS NTT (2011), terdapat sekitar 45 persen penduduk di Nusa Tenggara Timur yang tidak tamat SD dan hanya lulus setingkat SD dan 27 persen penduduk yang lulus SD. Sedangkan sisanya, sekitar 28 persen yang lulus SMP keatas. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk masih sangat rendah dan jika dikaitkan dengan produktivitas kerja maka rendahnya pendidikan akan menyebabkan produktivitas juga rendah. Produktivitas yang rendah hanya akan dihargai dengan upah yang rendah sehingga kesejahteraan sulit untuk meningkat dan kemiskinan tidak kunjung berkurang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah
akan
menurunkan kemiskinan. Menanggapi realita ini, seyogyanya kebijakan pemerintah mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan yang lebih tinggi. Kesempatan kerja bagi para lulusan pendidikan dasar terbatas, kebanyakan dari mereka menjadi pengangguran atau bekerja di sektor pertanian pendapatan rendah. Jika hal ini terus terjadi maka penderitaan penduduk miskin akan berlangsung lama. Akibat kurangnya pendidikan, tidak sedikit masyarakat miskin yang beranggapan bahwa menyekolahkan anak-anak tidak penting. Anak-anak mereka dipaksa untuk ikut bekerja membantu orang tuanya. Jika keadaan ini tidak segera diatasi maka kemiskinan ini akan diwariskan pada generasi selanjutnya. Langkah pemerintah untuk membantu penduduk miskin keluar dari kemiskinan salah satunya dengan memperbanyak beasiswa bagi masyarakat miskin sampai jenjang SMU agar membuka wawasan dan merubah pola pikir mereka ke arah yang lebih baik. Setelah lulus mereka dapat memasuki dunia kerja dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Dengan bekal inilah mereka dapat meningkatkan produktivitas
kerjanya,
yang
selanjutnya
dapat
memperbaiki
kondisi
perekonomiannya, meningkatkan kesejahteraanya sehingga rantai kemiskinan bisa terputus. Peningkatan pendidikan penduduk miskin selain menguntungkan mereka dari sisi peningkatan pendapatan, secara umum perekonomian akan mengalami pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membuka peluang kerja bagi masyarakat sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya. Dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi didekati dengan PDRB per kapita. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan PDRB perkapita akan menurunkan kemiskinan. Agar peningkatan PDRB perkapita lebih dirasakan oleh penduduk miskin, maka kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dimana sebagian besar penduduk miskin bekerja. Menurut
BPS
(2008),
sebanyak
56,35
persen
penduduk
miskin
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Peningkatan pertumbuhan sektor pertanian dapat dilakukan dengan mengurangi pekerja pertanian yang sudah sangat melimpah dan berupaya mengembangkan usaha agroindustri. Menurut Susilowati (2007), pengembangan usaha agroindustri makanan memiliki pengaruh yang baik dalam meningkatkan pemerataan pendapatan rumahtangga dan besar peranannya
dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, usaha agroindustri nonmakanan akan berdampak pada peningkatan output, nilai tambah modal dan mengurangi kemiskinan. Kebijakan kedua adalah mengupayakan peningkatan pendapatan penduduk miskin yang bekerja di luar sektor pertanian. Penduduk miskin yang berprofesi sebagai pengusaha kecil seringkali menghadapi kendala kurangnya modal untuk mengembangkan usaha mereka. Maka dari itu, kemudahan akses kredit ke lembaga keuangan sangat mereka butuhkan untuk mengembangkan usahanya. Usaha yang semakin berkembang dapat meningkatkan pendapatan dan kesehteraan mereka, sehingga hidup dalam kemiskinan tidak mereka alami lagi. Kebijakan ketiga, pemberian bekal pengetahuan dan keterampilan kepada angkatan kerja sangat penting. Pengetahuan dan keterampilan kerja dapat diberikan melalui training, kursus-kursus dan percobaan-percobaan. Dengan memiliki bekal keterampilan, pekerja dapat meningkatkan produktivitasnya dan bagi pengusaha kecil, hasil dari pelatihan ini dapat dikembangkan dalam usaha mereka. keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
Sisi positif dari budaya Nusa Tenggara Timur adalah saling membantu satu sama lain yang dikenal dengan istilah “kumpul keluarga”. Tradisi “kumpul keluarga” tersebut sesungguhnya adalah modal bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur untuk melakukan pembaruan, inovasi atau rekayasa budaya menjadi kekuatan ekonomi yang berbasiskan budaya yang lebih menyentuh masyarakat miskin. Adat istiadat butuh pembaruan. Pembaruan kebudayaan itulah yang menjadi satu dari sekian banyak hal yang dapat dipertimbangkan dalam pembangunan ke depan. Pembaruan bukan berarti meninggalkan apa yang menjadi pusaka kultural, melainkan memformatnya secara baru tanpa melepaskan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Pembangunan tidak harus mengubah budaya lokal tetapi format budaya lokal yang tidak menguntungkan harus dicarikan bentuk yang lebih relevan. Intervensi urusan adat masyarakat dapat dijadikan solusi. Hal ini diawali dengan program ‘duduk bersama’ atau diskusi dengan para pemuka adat dan tokoh masyarakat, mulai dari tingkat dusun, desa dan kelurahan sampai level daerah/kabupaten. Tujuannya semata-mata untuk mengajak dan membantu mengembangkan kesadaran kritis masyarakat akan hakikat dan persoalan
kebudayaannya. Kemudian, dibicarakan bersama format adat yang lebih tepat atau lebih sederhama secara ekonomis, agar menekan sampai sekecil mungkin kerugian ekonomis yang mesti ditanggung untuk upacara-upacara budaya. Selanjutnya, perlu pendekatan-pendekatan persuasif yang terus-menerus dan terprogram, yang melibatkan segenap stakeholder seperti Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, LSM, dan lembaga-lembaga pendidikan. Budaya hemat, budaya menabung, dan kebiasaan menyusun prioritas kebutuhan pun harus di kampanyekan terus-menerus. Kabupaten yang menjadi prioritas untuk melakukan intervensi urusan adat adalah Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Kupang karena hasil kajian menunjukan bahwa daerah-daerah tersebut masih memegang teguh budaya dan adat istiadat memiliki persentase kemiskinan, indeks kedalaman dan keparahan lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya Kelompok Usaha Bersama (KUB) adalah salah satu solusi yang lain untuk melakukan rekayasa/pembaruan budaya menjadi kekuatan ekonomi masyarakat di Nusa Tenggara Timur. KUB dilakukan dengan cara memanfaatkan tradisi “kumpul keluarga”
untuk memberdayakan masyarakat, terutama masyarakat
miskin. Solusi terakhir adalah peningkatan pendidikan untuk merubah pola pikir tentang budaya pesta yang menunjukan prestise di kalangan masyarakat akan semakin berubah kearah yang lebih baik.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan tujuan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Dinamika kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukan bahwa pada tahun 2005 hingga tahun 2010 persentase kemiskinan di sebagian besar kabupaten/kota mengalami penurunan , kecuali Kabupaten Ende, Kabupaten Rote Ndao dan Kota Kupang yang mengalami peningkatan. Apabila dilihat dari sisi keparahan dan kedalaman kemiskinan juga memberikan hasil kajian yang sama yaitu sebagian besar kabupaten kota mengalami penururan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan, kecuali Kabupaten Ende, Kabupaten Rote Ndao dan Kota Kupang yang cenderung tetap. Hasil kajian juga menunjukan bahwa kabupaten/kota yang masih memegang teguh budaya dan adat istiadat memiliki persentase kemiskinan, indeks kedalaman dan keparahan lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Kupang. 2. Kaitan antara budaya dan pengeluaran rumahtangga adalah konsumsi tembakau dan sirih pinang melampaui pengeluaran untuk biaya pendidikan dan kesehatan yaitu secara rata-rata sebesar 5,15 persen sedangkan untuk biaya
pendidikan hanya sebesar 2,47 persen dan biaya kesehatan hanya
sebesar 1,40 persen. Persentase pengeluaran untuk pesta dan upacara terhadap total pengeluaran bukan makanan adalah sebesar 4,12 persen relatif sama dengan pengeluaran untuk kesehatan yaitu 3,96 persen dan lebih rendah dari pengeluaran untuk pendidikan yaitu 6.91 persen. 3. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, faktor-faktor yang berpengaruh nyata (signifikan) dan berdampak menambah jumlah penduduk miskin jika variabel-variabel tersebut ditingkatkan adalah jumlah penduduk,
jumlah
pekerja sektor pertanian, jumlah pengangguran terbuka, jumlah pengeluaran pesta dan upacara, sedangkan faktor PDRB per kapita, pengeluaran
pembangunan APBD berdampak mengurangi kemiskin jika variabel-variabel tersebut di tingkatkan. 4. Besarnya pengaruh faktor kultural terhadap kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah yang terkecil diantara enam faktor lainnya yaitu faktor pengeluaran pesta dan upacara hanya sebesar 0,08 persen dan berpengaruh nyata (signifikan), sedangkan untuk tembakau dan sirih pinang sebesar 0,03 persen tetapi tidak signifikan. 7. 2 S a r a n Berdasarkan kesimpulan yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Mengingat faktor peningkatan jumlah penduduk sangat berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur maka program Keluarga Berencana (KB) perlu ditingkatkan untuk membatasi angka kelahiran, terutama pada kelompok masyarakat miskin. 2. Peningkatan pendapatan masyarakat melalui berbagai upaya penyediaan lapangan kerja diluar sektor pertanian dan pengembangan usaha agroindustri menjadi alternatif untuk mengurangi banyaknya pekerja pertanian dan mengatasi pengangguran. 3. Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, mewajibkan masyarakat usia sekolah untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan minimum SMP dan pemberian beasiswa kepada masyarakat miskin. 4. Memperbesar alokasi dana pengeluaran pembangunan APBD untuk belanja modal dan mengusahakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 5. Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Kupang menjadi priotas dalam strategi penanggulangan kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 7.3 Saran Penelitian Lanjutan Penelitian dapat dilanjutkan dengan menggunakan kombinasi data primer dan data sekunder tentang pengaruh budaya terhadap kemiskinan di Nusa Tenggara Timur. Hasil estimasi variabel penggunaan tembakau dan sirih pinang tidak signifikan. Hal ini diduga disebabkan oleh keterbatasan data, cakupan waktu dan wilayah penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Andersson, Engvall and Kokko. 2005. Determinants of Poverty in Lao PDR. Stockholm School of Asian Studies. Stockholm: Stockholm School of Economics. Arsyad, L. 2010. Ekonomi Pembangunan. Ed-5. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Baltagi, B.H. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data 3rd Edition. Chicester: John Wiley and Sons. Ltd [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Nusa Tenggara Timur dalam angka 2005. Kupang: BPS Nusa Tenggara Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Nusa Tenggara Timur dalam angka 2006. Kupang: BPS Nusa Tenggara Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Nusa Tenggara Timur dalam angka 2007. Kupang: BPS Nusa Tenggara Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Nusa Tenggara Timur dalam angka 2008. Kupang:BPS Nusa Tenggara Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Nusa Tenggara Timur dalam angka 2009. Kupang: BPS Nusa Tenggara Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Nusa Tenggara Timur dalam angka 2010. Kupang: BPS Nusa Tenggara Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia Tahun 2010. Jakarta: BPS Jakarta. . Benu, F. 2006. Sistem Ekonomi Kerakyatan di Nusa Tenggara Timur. Discution Paper. Kupang: Universitas Nusa Cendana Kupang. Damanhuri, DS. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Bogor: IPB Press Fan, S., P. Hazell and S. Thorat. 1999. Linkages between Government Spending, Growth, and Poverty in Rural India.. Washington DC: International Food Policy Research Institute Fan, S., L.Zhang, and Zhang, X. 2002. Growth, Inequality and Poverty in China; The Role of Public Investments. Research Report 125, Washington DC: International Food Policy Research Institute Fan, S and C.C. Kang. 2004. Road Development, Economic Growth, and Poverty Reduction in China. DSGD Discussion Paper No 12. China: International Food Policy Research Institute Friedman, J. 1979.Urban Poverty in Latin America: Same Theoretical Considerations. Development Dialogue. Upsala: Dag Hammarskjold Foundation. Jhingan, M.L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Penerjemah: D. Guritno. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kakwani, N. S. Khandker and H.H. Son. 2004. Pro-Poor Growth: Concepts and Measurement with Country Case Studies. Brasil:United Nations Development Programme International Poverty Centre. 1:62-67 Kuncoro,M. 2005. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YPKN. Lewis, O. 1969. On Understanding Poverty: Perspectives from the Social Sciences. Basic Books. New York:Elserviere Science Press. Lucas, R.E.B. 1997. Handbook of Family and Economics Internal Migration in Developing Countries, ed. M. R. Rosenzweig and Stark. Boston: Elseviere Science Press.
Mawardi, S. 2004. Penyebab Kemiskinan Menurut Orang Miskin. Field Report. Jakarta: SMERU. 11: 7-9. Nakmofa, J. 2010. Sirih Pinang: Nilai Budaya Penopang Ekonomi dan Nilai Ekonomi Penopang Budaya dalam Pengurangan Risiko Bencana.. Kupang: YP2RB. [NAPS] National Anty Poverty Strategy. 1999. Unemployment and Poverty. Poverty Briefing No 7 Unemployment and Poverty. Washington DC: BIDS Papilaya EC dan Sugihen, BG. 2006. Akar dan Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kota Ambon, Maluku dan Kabupaten Balemo, Gorontalo. Jurnal Penyuluhan.2:4-12. Rahman, R.I. 2006. Access to Education and Employment: Implications for Poverty. PRCPB Working Paper No.14. Dhaka: BIDS. Scott, W. 1979. Poverty Monitoring in Development Countries. Dalam: Development and Change. London and Beverly Hills: SAGE.10:3-7 Siregar, H dan D. Wahyuniarti. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Bogor: MB-IPB. Smeru. 2001. Paket Informasi Dasar: Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta:BKPK). Suparno.2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan: Study Pro Poor Growth di Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor. Suryawati, C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensi. Jakarta: JMPK 8:40-44 Tambunan, T. 2006. Perekonomian Indonesia sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis. Jakarta: Pustaka Quantum Todaro, M. P and S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed-9. Alih Bahasa. Jakarta: Erlangga. World Bank. 2004. Mewujudkan Pelayanan Umum bagi Masyarakat Miskin. Jakarta: The World Bank. World Bank. 2006. Meningkatkan Pelayanan Umum bagi Rakyat Miskin. Konferensi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dan Pencapaian Tujuan Millenium., Jakarta: The World Bank. World Bank. 2007. World Development Indicators. Washington: The World Bank. Yudhoyono, SB. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiska [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN - LAMPIRAN Lampiran 1: Hasil uji Pooled Least Square faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Dependent Variable: LOG(MISKIN) Method: Panel Least Squares Sample: 2005 2010 (6 tahun) Cross-sections included: 16 Kabupaten Total panel (unbalanced) observations: 95 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PDDK) LOG(PDRB_KPT) LOG(PP) LOG(TANI) LOG(NGANGGUR) LOG(SEKOLAH) LOG(PESTA) LOG(TSP)
2.343657 0.924882 -0.341143 -0.091781 -0.011080 0.036229 -1.129648 0.211512 -0.000303
1.653782 0.162803 0.143973 0.057015 0.113799 0.098452 0.388858 0.050818 0.088025
1.417150 5.681000 -2.369498 -1.609779 -0.097366 0.367986 -2.905041 4.162129 -0.003439
0.1601 0.0000 0.0201 0.1111 0.9227 0.7138 0.0047 0.0001 0.9973
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.777218 0.756494 0.282367 6.856899 -9.939636 37.50336 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.071308 0.572215 0.398729 0.640675 0.496494 0.620311
Lampiran 2: Hasil uji Fixed Effect faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Dependent Variable: LOG(MISKIN) Method: Panel Least Squares Sample: 2005 2010 (6 tahun) Cross-sections included: 16 kabupaten Total panel (unbalanced) observations: 95 Variable C LOG(PDDK) LOG(PDRB_KPT) LOG(PP) LOG(TANI) LOG(NGANGGUR) LOG(SEKOLAH) LOG(PESTA) LOG(TSP)
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
5.364335 0.612714 -0.625381 -0.089257 0.126318 0.125128 -0.416085 0.038271 0.031620
1.514052 0.135603 0.149323 0.039211 0.099946 0.069151 0.294672 0.070571 0.070197
3.543033 4.518448 -4.188103 -2.276326 1.263870 1.809487 -1.412027 0.542298 0.450441
0.0007 0.0000 0.0001 0.0258 0.2104 0.0746 0.1623 0.5893 0.6538
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.933828 0.912392 0.169368 2.036680 47.72225 43.56336 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.071308 0.572215 -0.499416 0.145774 -0.238711 1.754828
Lampiran 3: Hasil pengujian antara fixed effect dengan pooled least square (Uji Chow) model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Signifikansi Model Fixed Effect (FEM) H0 : α1 = α2 = … = αi (intercept sama) H1 : sekurang-kurangnya ada 1 intercept yang berbeda Redundant Fixed Effects Tests Equation: UJICHOW Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
d.f.
Prob.
11.202403 115.323774
(15,71) 15
0.0000 0.0000
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PDDK) LOG(PDRB_KPT) LOG(PP) LOG(TANI) LOG(NGANGGUR) LOG(SEKOLAH) LOG(PESTA) LOG(TSP)
2.343657 0.924882 -0.341143 -0.091781 -0.011080 0.036229 -1.129648 0.211512 -0.000303
1.653782 0.162803 0.143973 0.057015 0.113799 0.098452 0.388858 0.050818 0.088025
1.417150 5.681000 -2.369498 -1.609779 -0.097366 0.367986 -2.905041 4.162129 -0.003439
0.1601 0.0000 0.0201 0.1111 0.9227 0.7138 0.0047 0.0001 0.9973
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.777218 0.756494 0.282367 6.856899 -9.939636 37.50336 0.000000
Cross-section F Cross-section Chi-square Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LOG(MISKIN) Method: Panel Least Squares Sample: 2005 2010 (6 tahun) Cross-sections included: 16 kabupaten Total panel (unbalanced) observations: 95 Variable
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.071308 0.572215 0.398729 0.640675 0.496494 0.620311
Karena nilai probabilitas Chi-Square berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti tolak H0.
Kesimpulan : Model Fixed Effect (FEM) lebih baik daripada model Pooled Least Square
Lampiran 4: Hasil uji Random Effect faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Dependent Variable: LOG(MISKIN) Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Sample: 2005 2010 (6 tahun) Cross-sections included: 16 kabupaten Total panel (unbalanced) observations: 95 Swamy and Arora estimator of component variances Variable C LOG(PDDK) LOG(PDRB_KPT) LOG(PP) LOG(TANI) LOG(NGANGGUR) LOG(SEKOLAH) LOG(PESTA) LOG(TSP)
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
4.688701 0.669347 -0.585134 -0.090785 0.113003 0.121762 -0.527694 0.079364 0.030768
1.425015 0.129218 0.140523 0.038141 0.093561 0.067953 0.286118 0.060929 0.068419
3.290282 5.179978 -4.163969 -2.380261 1.207810 1.791861 -1.844324 1.302560 0.449707
0.0015 0.0000 0.0001 0.0195 0.1304 0.0767 0.2686 0.1962 0.6541
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.278787 0.169368
Rho 0.7304 0.2696
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.735503 0.710898 0.167260 29.89314 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.983945 0.309207 2.405932 1.483541
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.738588 8.045853
Mean dependent var Durbin-Watson stat
4.071308 0.443620
Lampiran 5: Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
H0 : model Random Effect lebih baik daripada Fixed Effect H1 : model Fixed Effect lebih baik daripada Random Effect Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: UJI HAUSMAN Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
5.873197
8
0.6614
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.669347 -0.585134 -0.090785 0.113003 0.121762 -0.527694 0.079364 0.030768
0.001691 0.002551 0.000083 0.001236 0.000164 0.004968 0.001268 0.000247
0.1684 0.4255 0.8666 0.7048 0.7928 0.1133 0.2485 0.9568
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
5.364335 0.612714 -0.625381 -0.089257 0.126318 0.125128 -0.416085 0.038271 0.031620
1.514052 0.135603 0.149323 0.039211 0.099946 0.069151 0.294672 0.070571 0.070197
3.543033 4.518448 -4.188103 -2.276326 1.263870 1.809487 -1.412027 0.542298 0.450441
0.0007 0.0000 0.0001 0.0258 0.2104 0.0746 0.1623 0.5893 0.6538
Test Summary Cross-section random
Cross-section random effects test comparisons: Variable LOG(PDDK) LOG(PDRB_KPT) LOG(PP) LOG(TANI) LOG(NGANGGUR) LOG(SEKOLAH) LOG(PESTA) LOG(TSP)
Fixed 0.612714 -0.625381 -0.089257 0.126318 0.125128 -0.416085 0.038271 0.031620
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOG(MISKIN) Method: Panel Least Squares Sample: 2005 2010 (6 tahun) Cross-sections included: 16 kabupaten Total panel (unbalanced) observations: 95 Variable C LOG(PDDK) LOG(PDRB_KPT) LOG(PP) LOG(TANI) LOG(NGANGGUR) LOG(SEKOLAH) LOG(PESTA) LOG(TSP)
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.933828 0.912392 0.169368 2.036680 47.72225 43.56336 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.071308 0.572215 -0.499416 0.145774 -0.238711 1.754828
Cross-section random effects test comparisons: Variable LOG(PDDK) LOG(PDRB_KPT) LOG(PP) LOG(TANI) LOG(NGANGGUR) LOG(SEKOLAH) LOG(PESTA) LOG(TSP)
Fixed
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.669347 -0.585134 -0.090785 0.113003 0.121762 -0.527694 0.079364 0.030768
0.001691 0.002551 0.000083 0.001236 0.000164 0.004968 0.001268 0.000247
0.1684 0.4255 0.8666 0.7048 0.7928 0.1133 0.2485 0.9568
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
5.364335 0.612714 -0.625381 -0.089257 0.126318 0.125128 -0.416085 0.038271 0.031620
1.514052 0.135603 0.149323 0.039211 0.099946 0.069151 0.294672 0.070571 0.070197
3.543033 4.518448 -4.188103 -2.276326 1.263870 1.809487 -1.412027 0.542298 0.450441
0.0007 0.0000 0.0001 0.0258 0.2104 0.0746 0.1623 0.5893 0.6538
0.612714 -0.625381 -0.089257 0.126318 0.125128 -0.416085 0.038271 0.031620
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOG(MISKIN) Method: Panel Least Squares Sample: 2005 2010 (6 tahun) Cross-sections included: 16 kabupaten Total panel (unbalanced) observations: 95 Variable C LOG(PDDK) LOG(PDRB_KPT) LOG(PP) LOG(TANI) LOG(NGANGGUR) LOG(SEKOLAH) LOG(PESTA) LOG(TSP)
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.933828 0.912392 0.169368 2.036680 47.72225 43.56336 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.071308 0.572215 -0.499416 0.145774 -0.238711 1.754828
Karena nilai probabilitas Chi-Square berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.6614 yang berarti tidak cukup bukti untuk tolak H0. Kesimpulan : Model Random Effect (REM) lebih baik daripada model Fixed Effect (FEM)
Lampiran 6: Hasil Uji Normalitas error term faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Gambar 24.Uji Normalitas error term pada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan nilai probabilitas Jarque Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5%, maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi dengan normal.
Halaman ini sengaja dikosongkan