ISSN 2088-6527
SEPTEMBER 2014
VOL. 5 NO. 2
GEMA BNPB Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana
Mempromosikan Investasi untuk Ketangguhan Bangsa dan Komunitas
AMCDRR Ke-6
Laporan Utama Thailand Tuan Rumah AMCDRR Ke-6
Fokus Berita
Hentikan Bencana Asap Riau dengan Pencegahan dan Kesiapsiagaan
Liputan Khusus Pencegahan dan Kebijakan Perlindungan Masyarakat Taiwan
Daftar Isi September 2014 Vol. 5 No. 2
3
Pengantar Redaksi
40 4 Laporan Utama 4 Thailand Tuan Rumah AMCDRR Ke-6 8 AMCDRR ke-6 Hasilkan Deklarasi Bangkok 14 Komitmen Indonesia Terhadap Implementasi HFA 16 12 Kategori Diskusi HFA Jilid Dua 22 Mengintegrasikan PRB ke dalam Manajemen Lanskap Cagar Budaya Berbasis Ketangguhan Masyarakat di Situs Sekitarnya
48 Teropong 48 Dua Caturwulan Berlalu, Berbagai Bencana Hidrometeorologi dan Geologi Melanda 52 Geliat Berbagai Gunungapi 58 Media Center Tanggap Darurat Bencana
28 Fokus Berita 28 32
Hentikan Bencana Asap Riau dengan Pencegahan dan Kesiapsiagaan Tantangan Membangun PRB Bersama Masyarakat Desa Kalitlaga, Pagentan, Banjarnegara 36 Manusia Rusak Lingkungan Hidup Picu Bencana Ekologis
60
Liputan Khusus
Profil
40 Pencegahan dan Kebijakan Perlindungan Masyarakat Taiwan 46 Deteksi Korban Bencana melalui Sinyal HP
60 Bekerja dengan Hati untuk Hasil Masterpiece
Snapshot
Pengantar Redaksi
P
ada edisi kali ini, tim majalah GEMA BNPB mulai mengubah topik setiap terbitan majalah kebencanaan ini. GEMA BNPB Volume 5 Nomor 2 September 2014 menyajikan topik Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Kita mengetahui bahwa PRB adalah salah satu strategi dalam penanggulangan bencana. Komunitas internasional memandang PRB sebagai investasi. Banyak aksi PRB yang telah dilakukan di Indonesia, seperti penguatan kapasitas lokal, program Desa Tangguh, Sekolah Aman, dan sebagainya. PRB di Indonesia sangat berkembang pesat hingga pada akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa menganugerahkan Global Champion for Disaster Risk Reduction kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2012 lalu. Laporan utama edisi majalah GEMA BNPB mengenai penyelenggaraan Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) ke-6 yang berlangsung di Bangkok, Thailand, pada Juni lalu. Kemudian salah satu hasil AMCDRR ke-6 ini yaitu Deklarasi Bangkok. Kita juga akan mengetahui dua belas kategori diskusi dalam Hyogo Framework for Action (HFA) 2. Artikel selanjutnya mengenai side event dari penyelenggaraan konferensi ini yang mengupas mengenai integrasi PRB ke dalam manajemen lanskap cagar budaya. Beberapa tema PRB di Indonesia menghiasi majalah GEMA BNPB edisi September ini antara lain tantangan menuju desa tangguh, bencana ekologi, dan penanggulangan bencana asap Riau. Liputan khusus akan menampilkan mengenai perangkat deteksi korban bencana dengan sinyal handphone, penanggulangan bencana di Taiwan, hingga profil Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB. Demikian kami sampaikan, semoga artikel-artikel yang diterbitkan dapat memberikan pengetahuan tentang kebencanaan. Dan kita dapat menjadi lebih menyadari bahwa kita hidup di negara rawan bencana. Kita harus tangguh menghadapi setiap ancaman bencana di sekitar kita. Terima kasih! Salam tangguh! Dr. Sutopo Purwo Nugroho Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas ISSN 2088-6527
SEPTEMBER 2014
VOL. 5 NO. 2
GEMA BNPB Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana
Mempromosikan Investasi untuk Ketangguhan Bangsa dan Komunitas
AMCDRR Ke-6
Laporan Utama Thailand Tuan Rumah AMCDRR Ke-6
Fokus Berita
Hentikan Bencana Asap Riau dengan Pencegahan dan Kesiapsiagaan
Liputan Khusus Pencegahan dan Kebijakan Perlindungan Masyarakat Taiwan
Penanggung Jawab Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Editor I Gusti Ayu Arlita NK, Ario Akbar Lomban, Theophilus Yanuarto, Rusnadi Suyatman Putra, Slamet Riyadi Fotografer Andri Cipto Utomo Desain Grafis Ignatius Toto Satrio Alamat Redaksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pusat Data, Informasi dan Humas, Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat Telp : 021-3458400 Fax : 021-3458500 Email :
[email protected]
Laporan Utama
Thailand Tuan Rumah AMCDRR Ke-6
Sumber : www.6thamcdrr.org
Beberapa waktu lalu, Thailand atau yang dikenal dengan Negeri Gajah Putih menjadi tuan rumah penyelenggaraan AMCDRR ke-6. Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) atau Pertemuan Tingkat Menteri Asia untuk Pengurangan Risiko Bencana merupakan pertemuan yang diselenggarakan dua tahunan di kawasan Asia. Pertemuan tersebut untuk memastikan komitmen politik dan pemangku kepentingan terhadap pelaksanaan pengurangan risiko bencana (PRB). Di samping itu, pertemuan tingkat menteri yang berlangsung lima hari ini menjadi tempat bagi negaranegara, organisasi dan praktisi individu untuk bertemu dan mendiskusikan jalan ke depan dalam mengurangi risiko bencana di wilayah tersebut. 4
Gema BNPB September 2014
Incheon, Republik Korea (2010), dan Yogyakarta, Republik Indonesia (2012). Bangkok sebagai tuan rumah AMCDRR ke-6 tersebut menjadi pertemuan terakhir antar pemerintah tingkat regional di Asia sebelum berakhirnya Hyogo Framework for Action (HFA) 2005-2015 pada bulan Januari 2015 dan Konferensi Dunia ke-3 tentang Pengurangan Risiko Bencana (WCDRR) pada Maret 2015. AMCDRR yang dihadiri perwakilan kementerian dari 20 negara ini memberikan kesempatan untuk organisasi di tingkat Asia yang bergerak di bidang PRB dan praktisi dalam menentukan HFA 2 sebagaimana lanjutan dari keberhasilan HFA. Pada AMCDRR ke-5 di Indonesia, Deklarasi Yogyakarta memuat pernyataan mengenai permintaan terhadap pemerintah di tingkat regional untuk berpartisipasi secara penuh dalam kerangka konsultasi untuk pengembangan kerangka kerja PRB pasca 2015 atau dikenal dengan HFA 2. Deklarasi ini mengharapkan komitmen negara-negara peserta untuk mengintegrasikan PRB di tingkat lokal serta adaptasi perubahan iklim (Climate Change Adaptation) ke dalam perencanaan pembangunan, pengalokasian anggaran untuk mengidentifikasi risiko di tingkat lokal dan memperkuat tata kelola risiko melalui peningkatan partisipasi, transparansi, efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas.
P
ertemuan sebelumnya, Indonesia merupakan tuan rumah AMCDRR ke-5 dengan menghasilkan Deklarasi Yogyakarta. Beberapa negara telah menjadi tuan rumah penyelenggaraan AMCDRR yang didukung oleh United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) atau Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana. Sejak 2005 negara yang pernah menjadi tuan rumah antara lain Beijing, Tiongkok (2005), New Delhi, Republik India (2007), Kuala Lumpur, Malaysia (2008),
Melihat risiko bencana yang meningkat dan mengalami dampak banjir luar biasa 2011, Pemerintah Kerajaan Thailand mengakui pentingnya investasi lebih pada manajemen risiko bencana dan memperkuat ketahanan masyarakat, perlindungan aset publik, dan keterlibatan dunia usaha. Sejak 2011, perubahan signifikan telah dicapai di tingkat nasional dan lokal dalam mengurangi dan mengelola risiko bencana di Thailand. Dengan latar belakang itu semua, Thailand memandang Gema BNPB September 2014
5
tujuan untuk mempromosikan komitmen politik dan tindakan dalam PRB di daerah di hadapan negara-negara Asia. Pemerintah Kerajaan Thailand bekerjasama dengan UNISDR menjadi tuan rumah AMCDRR ke-6 dengan pelaksanaan di Bangkok pada 22 26 Juni 2014. AMCDRR ke-6 ini unik karena akan menjadi pertemuan antar-pemerintah terakhir di wilayah tersebut sebelum pemerintah di seluruh dunia menyimpulkan pada pelaksanaan Hyogo Kerangka Aksi 20052015 dan mengadopsi kerangka kerja baru PRB pasca 2015 yang diselenggarakan di WCDRR ke-3 pada Maret 2015 di Sendai, Jepang. AMCDRR ke-6 ini memberikan kesempatan kepada negara peserta serta pemangku kepentingan di kawasan untuk meninjau dan menentukan proritas yang diperlukan untuk mempercepat kemajuan dalam pencapaian tujuan HFA pada tahun akhir. Konferensi ini juga akan mengkonsolidasikan hasil konsultasi untuk kepentingan HFA jilid 2 sehingga berfungsi sebagai acuan bagi pemerintah dalam diskusi global dan negosiasi terhadap penerapan kerangka di WCDRR ke-3.
Tema AMCDRR ke-6
Pada pertemuan dua tahun sebelumnya, penguatan kapasitas lokal untuk pengurangan risiko bencana menjadi tema utama. Pertemuan kali ini, Thailand sebagai tuan rumah berkonsultasi dengan mitra nasional dan regional untuk menentukan tema utama AMCDRR ke-6. Muatan lokal yang dapat diterjemahkan sebagai komunitas akar rumput tetap menjadi perhatian bersama. Pembahasan mengenai tema tersebut dihadirkan pula pada diskusi sesi ke-4 Global Platform for DRR dan konsultasi-konsultasi di tingkat kawasan Asia. Selanjutnya tema “Mempromosikan Investasi untuk Ketangguhan Bangsa dan Komunitas” disetujui oleh negara dan pihak terkait pada pertemuan ISDR Asia Partnership (IAP) pada November 2013. 6
Gema BNPB September 2014
Tema Utama AMCDRR ke-6 kemudian dijabarkan ke dalam Tiga Sub Tema,
1
Meningkatkan ketangguhan di tingkat lokal.
2
Memperkuat investasi publik terhadap bencana dan manajemen terhadap risiko iklim untuk melindungi dan mempertahankan pencapaian.
3
Kemitraan publik dan dunia usaha untuk PRB.
Pemilihan tema utama dan sub-tema mempertimbangkan besarnya tantangan dalam pelaksanaan HFA di Asia dan Pasifik. Hal yang sangat mendasar bahwa faktor risiko dalam pembangunan adalah yang paling progresif di antara lima Prioritas Aksi HFA. Namun harus diakui pada sisi lain, investasi dalam manajemen risiko bencana masih sangat terbatas. Hal ini dapat dikatakan bahwa nantinya bisa membahayakan pengembangan strategi dan kebijakan nasional untuk pengurangan risiko bencana, khususnya di tingkat lokal. Catatan konsep AMCDRR ke-6 menyebutkan bahwa ada bukti yang cukup bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai tanpa pengelolaan risiko bencana. Manajemen risiko bencana harus menjadi bagian dari kebijakan dan praktek-praktek pembangunan. Peningkatan kerugian ekonomi bencana dan kerusakan didorong oleh faktor-faktor yang mendasari, melekat pada kebijakan dan praktek-praktek pembangunan yang menghasilkan dan mengumpulkan risiko bencana. Fokus utama dari manajemen risiko bencana harus bergeser dan pemahaman lebih didasarkan pada perubahan yang diperlukan dalam kebijakan pembangunan, praktek dan proses untuk mengelola bencana dan risiko yang dapat dipicu
oleh permasalahan perubahan iklim, serta memperkuat ketahanan sehingga dapat memastikan pembangunan yang berkelanjutan. Hal tersebut membutuhkan kebijakan publik, informasi dan kerangka peraturan yang mampu untuk memperhatikan mengenai manajemen risiko ke dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan pada investasi publik. Investasi ini pada akhirnya nanti dapat bertahan terhadap bencana, dan mampu untuk membangun ketangguhan di tingkat nasional maupun lokal. Investasi dunia usaha merupakan 70-85% dari investasi pembangunan, secara global dan juga di Asia Pasifik. Ketahanan investasi dunia usaha merupakan instrumen untuk ketahanan dan daya saing ekonomi nasional, sebagaimana ditekankan dalam 2013 Global Assessment Report on DRR. Langkah-langkah yang dibuat melalui investasi dunia usaha dapat meningkatkan atau mengurangi risiko bencana, serta dampak dari perubahan iklim di masa depan. Dinamika baru dalam pelibatan sektor swasta dan pembangunan kemitraan pemerintah dan dunia usaha untuk PRB perlu untuk terus dikembangkan hingga mencapai aksi bersama, terutama untuk implementasi kerangka kerja PRB pasca 2015.
Tujuan AMCDRR
AMCDRR kali ini diharapkan menghasilkan beberapa poin dari negara-negara peserta. Pertemuan yang dihadiri lebih dari 4.000 peserta bertujuan antara lain untuk meningkatkan komitmen politik yang lebih kuat serta investasi di antara negeranegara Asia dalam manajemen risiko bencana dan pembangunan berkelanjutan. Kedua, pertemuan ini untuk memberikan masukan di tingkat regional dan mendorong komitmen pemerintah dan pemangku kepentingan untuk kerangka PRB pasca 2015 dan WCDRR ke-3 nanti. Pertemuan internasional yang dibuka oleh Menteri Dalam Negeri Pemerintah Thailand Wiboon Sanguanpong juga bertujuan untuk mendorong strategi regional dan
Sumber : www.mfa.go.th
Sumber : www.6thamcdrr.org
mekanisme kerjasama untuk membangun ketahanan di tingkat lokal, mempromosikan investasi publik tangguh dan untuk terlibat sektor swasta dalam pengelolaan risiko bencana melalui public private partnership. Terakhir, AMCDRR mempromosikan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk memperkuat bencana dan manajemen risiko iklim di wilayah. Dari serangkaian kegiatan pada pertemuan AMCDRR, hasil yang secara konkret diharapkan adalah deklarasi sebagai komitmen pemerintah dan pemangku kepentingan terhadap upaya untuk meminimalkan dampak bencana dan melakukan pengurangan risiko bencana sesuai dengan HFA. (phi) Gema BNPB September 2014
7
Sumber : www.6thamcdrr.org
Laporan Utama
AMCDRR Ke-6 Hasilkan
Deklarasi Bangkok Pertemuan selama lima hari di Bangkok pada akhirnya menghasilkan kesepakatan di antara perwakilan negara peserta dan delegasi dari berbagai organisasi. Kesepakatan yang tertuang dalam Deklarasi Bangkok merupakan hasil capaian utama penyelengaraan 6th Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) yang berakhir pada 26 Juni 2014.
Beberapa catatan untuk pemerintah dan pemangku kepentingan selama AMCDRR ke-6 1 Meningkatkan ketangguhan di tingkat lokal. 2 Memperbaiki investasi publik untuk manajemen bencana dan risiko perubahan iklim dalam rangka melindungi dan mempertahankan capaian pembangunan. 3 Bagi dunia usaha untuk mendorong perubahan paradigma dari respon menjadi investasi dalam PRB. 4 Mempromosikan pemanfaatan dan pembangunan sains, teknologi, dan inovasi. 5 Meningkatkan kepemimpinan, transparansi, dan akuntabilitas. 6 Berkontribusi dalam wacana global terkait kerangka kerja PRB pasca 2015. 7 Membangun koherensi antara kerangka kerja tersebut dengan proses bersama terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan dan peraturan perubahan iklim. 8
Gema BNPB September 2014
Deklarasi Bangkok tentang PRB di Asia dan Pasifik 2014 Kami, para Menteri, dan Kepala Delegasi negara-negara Asia dan Pasifik, menghadiri AMCDRR ke-6 di Bangkok, yang diselenggarakan Pemerintah Kerajaan Thailand pada 22-26 Juni 2014. Sangat prihatin dengan meningkatnya dampak dan risiko bencana di Asia-Pasifik, termasuk super topan Haiyan di Filipina, banjir di Thailand, Tiongkok dan India, gempabumi di Pakistan, gempabumi dan tsunami di Indonesia dan Jepang, serta peningkatan jumlah bencana berskala kecil maupun menengah, yang mengakibatkan kerugian besar di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan di wilayah tersebut, begitu juga dampak besar perubahan iklim dialami oleh berbagai negara. Menyadari pencapaian Hyogo Framework for Action 2005 - 2015 (HFA), telah mengembangkan kebijakan dan kelembagaan untuk pengurangan risiko bencana, meningkatkan pemahaman risiko, memperkuat sistem peringatan dini, meningkatkan kesadaran masyarakat dan pendidikan pengurangan risiko bencana, dan memperkuat kapasitas kesiapsiagaan, sambil mengakui bahwa ada kesenjangan yang signifikan dan tantangan dalam pelaksanaan lima prioritas di bawah HFA sehingga masih ada yang harus dikerjakan. Memperhatikan hasil kesepakatan pada pertemuan 4th Session on Global Platform for Disaster Risk Reduction 2013, yang meminta semua pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mentargetkan akar penyebab risiko. Memperhatikan hasil dari Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tahun 2012, yang berjudul "The Future We Want” atau “Masa Depan yang Kita Inginkan", yang menyerukan PRB dan pembangunan yang tangguh terhadap bencana harus ditangani dengan landasan keberpihakan pada kepentingan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan, dan jika perlu untuk diintegrasikan ke dalam kebijakan, rencana, program dan anggaran di semua tingkat. Memperhatikan resolusi Majelis Umum 68/211 yang menyambut pertimbanganpertimbangan dari hasil platform regional dan pertemuan lain, yang telah memberikan kontribusi penting untuk konsultasi kerangka kerja PRB pasca 2015 (HFA2) dan mengundang komitmen secara sukarela semua pemangku kepentingan dan jaringan mereka untuk mendukung pengembangan kerangka kerja PRB pasca 2015. Menghargai kepemimpinan pemerintah Tiongkok, Republik India, Pemerintah Malaysia, Republik Korea, Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand menjadi tuan rumah AMCDRR secara berturut-turut, dan kemajuan dalam pelaksanaan Deklarasi konferensi ini. Menyadari kebutuhan untuk memfokuskan penyebab risiko dan risiko yang bersifat antropogenik, termasuk perubahan iklim dan variabilitas untuk mengurangi risiko yang ada, untuk menghindari akumulasi risiko yang baru, pada profil rendah dan bencana berulang yang meningkatkan kerentanan masyarakat miskin. Menyadari pentingnya model-model pembangunan yang berorientasi pada manusia, yang mengurangi dampak ketidakpastian dan meningkatkan ketahanan masyarakat setempat sebagaimana dipandu Filsafat Kecukupan Ekonomi Filsafat dari Raja Thailand, yang diakui oleh UN Development Programme’s Human Development Lifetime Achievement Award.
Gema BNPB September 2014
9
Menghargai partisipasi dan kemitraan di antara pemangku kepentingan seperti i) organisasi anak-anak, pemuda dan organisasi yang peduli terhadap anak, ii) organisasi masyarakat, iii) individu dan organisasi peduli kaum difabilitas, iv) individu dan organisasi peduli perempuan dan isu gender, v) walikota dan pemerintah daerah, vi) media, vii) Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, viii) parlemen, ix) dunia usaha dan x) sains, teknologi dan akademisi dalam AMCDRR dan komitmen sukarela mereka untuk mendukung kebijakan nasional dan program untuk mengurangi risiko dan membangun ketahanan. Mengakui pembelajaran dari HFA bahwa pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan memerlukan manajemen bencana dan risiko iklim sebagai bagian integral dari pembangunan perencanaan dan program. Hal ini akan mempertajam prioritas HFA untuk aksi sehingga kebijakan publik memprioritaskan dan menekankan pada risiko melalui tindakan manajemen risiko yang efektif di semua tingkat meskipun tindakan tersebut melibatkan semua pemangku kepentingan dengan peran dan tanggung jawab yang lebih jelas. Menyadari kemajuan dalam peringatan dini, pendidikan dan peningkatan kesadaran, bencana kesiapsiagaan, respon dan pemulihan dan menekankan perlunya penguatan lebih lanjut mereka di tingkat regional, nasional dan lokal untuk berkontribusi terhadap ketahanan dan pembangunan berkelanjutan. Mengakui pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mempromosikan pencegahan risiko dan pengurangan risiko dengan memperkuat kapasitas pemerintah nasional, sub nasional, dan lokal, serta kolaborasi antara komunitas sains, pengambil keputusan, dan praktisi dengan pandangan untuk mempromosikan ilmu pengetahuan dengan kebijakan dan praktek untuk PRB dan ketangguhan. Menghargai dua tahun terakhir konsultasi multi pihak oleh pemerintah, organisasi antar pemerintah, dan pemangku kepentingan lain di Asia dan Pasifik yang mengarah kepada dokumen "Asia Pasific Input Document for the post 2015 framework for DRR (HFA2)". Dokumen memaparkan isu-isu prioritas yang akan dibahas lebih lanjut dalam HFA2 dan menyoroti cara potensial ke depan.
Sumber : www.mfa.go.th
10
Gema BNPB September 2014
Merekomendasikan "Asia Pasific Input Document for the post 2015 framework for DRR (HFA2)" sebagai salah satu kontribusi di tingkat kawasan yang dapat dipertimbangkan dalam Konferensi Dunia Ketiga untuk PRB (3WCDRR) di Sendai, Jepang pada 14-18 Maret 2015. Menyadari peran sentral dan tanggung jawab pemerintah nasional dalam membingkai dan melaksanakan kebijakan PRB dan pembentukan platform nasional PRB di negara masingmasing. Mengakui kebutuhan bagi semua pemangku kepentingan untuk melaksanakan transparansi dan akuntabilitas dalam keuangan dan mobilisasi sumber daya yang terkait dengan PRB dan ketangguhan. Mengharapkan segenap pemerintah dan pemangku kepentingan untuk, Peningkatan Ketangguhan di Tingkat Lokal. Mendorong pelembagaan terpadu ketangguhan masyarakat melalui pendekatan dalam perencanaan pembangunan daerah, mempromosikan sekolah aman, mempromosikan desa tangguh bencana sebagai media untuk menciptakan masyarakat berbasis pengurangan risiko bencana di tingkat lokal, mempromosikan inklusi dan relawan/komunitas berbasis jaringan, memperkuat peran kepemimpinan perempuan dalam membangun ketahanan tingkat lokal, mengembangkan kemitraan dan akuntabilitas antar hubungan masyarakat-pemerintah daerah dan dunia usaha, memberikan perhatian kepada partisipasi nyata dan kontribusi positif dari kelompok rentan seperti anak-anak dan pemuda, orang tua, penyandang cacat, serta kelompok yang kurang beruntung lainnya. Manfaatkan pengetahuan tradisional dan komunikasi informasi ilmiah secara sederhana, mudah diakses dan cara dimengerti. Mendorong pengembangan dan penegakan hukum dan peraturan untuk mengurangi risiko terpapar bahaya. Menyadari peran PRB berbasis ekosistem dan mengintegrasikan mata pencaharian ketahanan dan pengelolaan sumber daya alam sebagai pendekatan holistik untuk masyarakat yang tahan bencana terutama di daerah pesisir dan pegunungan. Peningkatan Investasi Publik untuk Manajemen Bencana dan Risiko Iklim dalam kerangka Melindungi dan Mempertahankan Pencapaian Pembangunan. Mendorong investasi yang memiliki risiko dengan langkah-langkah akuntabilitas dalam rencana pembangunan lintas sektor, memperkuat kapasitas institusi untuk mengembangkan, menganalisis dan menggunakan informasi risiko dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan mempertimbangkan manfaat dari strategi perlindungan keuangan dalam rangka untuk mempromosikan investasi publik yang tangguh, terutama di daerah berisiko tinggi. Peran Sektor Swasta - Kemitraan Publik & Dunia Usaha untuk Pengurangan Risiko Bencana, mendorong pergeseran dari tindakan yang berorientasi pada respon menjadi investasi yang berdasarkan informasi risiko sebagai bagian dari proses bisnis. Meningkatkan dialog antara semua pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi hambatan dan peluang untuk membangun suasana yang kondusif untuk kemitraan publik-dunia usaha dan lainnya. Mendorong pengembangan peraturan, insentif dan cara-cara untuk memotivasi peningkatan manajemen risiko bencana oleh dunia usaha dengan penekanan pada usaha mikro, kecil dan menengah. Memperkuat komitmen dunia usaha untuk mengintegrasikan penilaian risiko dan pemanfaatan informasi risiko serta praktek, yang berkontribusi terhadap keberlanjutan usaha ekonomi dan ketangguhan serta iklim ekonomi yang positif. Sains dan Teknologi. Menggalakkan penggunaan dan pengembangan lebih lanjut dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Memperkuat pertukaran antara ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi masyarakat untuk sinergi. Membuat inovasi dan teknologi dapat diakses, tersedia dan terjangkau bagi pemerintah nasional dan masyarakat lokal melalui pengembangan dan transfer teknologi. Berbagi praktek terbaik dan data melalui, antara
Gema BNPB September 2014
11
lain, sumber-sumber terbuka dan jaringan. Promosikan bahaya dan penilaian risiko, pengembangan skenario, dan penelitian lain dan studi tentang pengurangan risiko bencana. Memberdayakan upaya nasional untuk meningkatkan pengumpulan dan berbagi data tentang bencana kerugian, bahaya, dan kerentanan dan berbagi praktik terbaik. Peningkatan tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas. Meningkatkan pelacakan keuangan dan mekanisme transparansi untuk memastikan bahwa dana dan sumber daya yang tersedia untuk PRB dan ketangguhan menyentuh penerima manfaat, khususnya di tingkat lokal secara cepat, dapat diprediksi, dan akuntabel. Pada kerangka kerja PRB pasca 2015. Berkontribusi pada pembahasan global terkait kerangka kerja PRB pasca 2015, mengembangkan 'Rencana Implementasi HFA2 di Kawasan Asia-Pasifik’ dalam konsultasi penuh dan kesepakatan antar negara-negara, berkontribusi untuk mekanisme pengawasan dan ulasan dalam upaya mengukur kemajuan kerangka kerja yang dimaksud, mempromosikan pendidikan tinggi, pelatihan dan penelitian untuk pengembangan PRB. Membangun koherensi antara kerangka kerja PRB pasca-2015 dan proses pada Sustainable Development Goals dan pengaturan perubahan iklim. Menjadikan manajemen bencana dan risiko iklim penting dalam pengembangan agenda pembangunan berkelanjutan pasca 2015 di tingkat nasional dan daerah, mendorong pengkajian risiko bencana dalam kebijakan dan program pembangunan, mempromosikan strategi pembangunan yang sesuai dan berkelanjutan yang meningkatkan kemampuan kita untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan mengurangi risiko bencana, pertimbangkan integrasi PRB di semua sektor pembangunan melalui hukum, kelembagaan dan sumber daya kerangka alokasi dengan peningkatan akuntabilitas, harapan mengungkapkan bahwa General Assembly on Sustainable Development Goals dan High Level Political Forum on Sustainable Development yang mengacu pada pembangunan ketangguhan terhadap bencana sebagai prioritas dalam agenda pembangunan pasca 2015. Mendorong semua pihak termasuk nasional dan pemerintah daerah, masyarakat, organisasi internasional dan dunia usaha untuk mengatasi PRB, perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan dengan cara yang koheren. Terjemahan (phi)
Sumber : www.indianembassy.in.th
12
Gema BNPB September 2014
INDONESIA - 2014
Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Indonesia - Tahun 2014 “Pengurangan Risiko Bencana, Membangun Ketangguhan Daerah” Kota Bengkulu, 13-15 Oktober 2014
planas prb
www.peringatanbulanprb.net
Laporan Utama
Sumber : BNPB
Komitmen Indonesia Terhadap Implementasi HFA Penyelenggaraan Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) ke-6 yang berlangsung selama lima hari memiliki beberapa agenda. Salah satu agenda terpenting adalah high level roundtable yang menghadirkan pejabat tinggi negara-negara peserta. Pada kesempatan ini, perwakilan delegasi negara memberikan pernyataan pemerintah atau country statement dalam menjawab pengurangan risiko bencana (PRB) di masing-masing negara.
P
emerintah Indonesia memberikan pernyataannya dalam sidang tingkat tinggi pertama atau high level roundtable pada 26 Juni 2014. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai focal point penanggulangan 14
Gema BNPB September 2014
bencana di Indonesia memberikan beberapa poin pernyataan menyangkut PRB. Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Dody Ruswandi mewakili Kepala BNPB dalam pernyataan pemerintah pada sidang tersebut, menyampaikan bahwa Indonesia
telah berkomitmen terhadap upaya-upaya implementasi Kerangka Aksi Hyogo atau Hyogo Framework for Action (HFA). Hal tersebut terwujud salah satunya dengan pencapaian Indonesia yang telah menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Indonesia sejak 2010, dengan perubahan secara periodik.
dolar setelah terjadi bencana. Hal ini sangat relevan dengan tema AMCDRR kali ini yaitu “Promoting Investments for Resilient Nations and Communities."
“Kami yakin bahwa upaya kesiapsiagaan di masa mendatang merupakan komponen kunci dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi,” kata Deputi. Prinsip yang harus ditekan juga bahwa building back better dan lebih aman menjadi prinsip utama proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Dody Ruswandi juga mengatakan bahwa 10% dana pemulihan dialokasikan untuk upaya PRB.
Pernyataan Indonesia yang terakhir adalah terjalin kemitraan global sebagai kunci dalam mengatasi PRB di tingkat global, regional, dan nasional. Indonesia menilai bahwa tidak ada negara yang dapat mengatasi sendiri dampak bencana yang sangat besar di wilayahnya. Oleh karena itu, platform di tingkat global dapat bermanfaat sebagai landasan untuk meningkatkan kerjasama PRB pada setiap tingkatan. Indonesia mencontohkan dengan inisiatif kerjasama di tingkat bilateral, regional, dan global, seperti dengan Australia, ASEAN, dan UNISDR untuk mengimplementasikan HFA.
Seperti pada tema AMCDRR sebelumnya dan Deklarasi Yogyakarta, Indonesia memandang perlunya peningkatan kapasitas di tingkat lokal, termasuk juga perhatian terhadap perubahan iklim. Pada konteks ini, BNPB telah mendorong program percontohan seperti Desa Tangguh Bencana. Program ini secara konkret melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
Pada kesempatan penyampaian pernyataan ini, Indonesia mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kerajaan Thailand sebagai tuan rumah AMCDRR ke-6. Konferensi ini sangat penting karena membahas elemen berharga yang akan meletakkan dasar yang kuat untuk tindakan PRB di masa depan kerangka kerja PRB pasca 2015. (phi)
Di samping itu, Indonesia menyatakan bahwa aspek teknologi dapat memberikan manfaat pada peringatan dini dan sistem PRB. Perlunya penguatan dalam penyelenggaraan kegiatan penelitian dan pengembangannya untuk PRB. Beberapa waktu lalu BNPB mengajak para ahli bencana untuk membentuk asosiasi para ahli bencana. “Indonesia Disaster Relief Training Center dan kebutuhan untuk memiliki Pusat Pengetahuan DRR sangat penting,” kata Dody Ruswandi. Pernyataan Indonesia selanjutnya adalah menyangkut investasi PRB dan kesiapsiagaan sangat penting dalam penghematan. Menurut Bank Dunia setiap satu dolar yang digunakan untuk kesiapsiagaan akan menghemat biaya empat
Sumber : www.indianembassy.in.th
Gema BNPB September 2014
15
Laporan Utama
Kategori 12 Diskusi HFA Jilid Dua
H
yogo Framework for Action [HFA] atau Kerangka Aksi Hyogo merupakan rencana pertama yang menjelaskan, menggambarkan dan merinci pekerjaan yang dibutuhkan dari semua sektor dan pelaku yang berbeda untuk mengurangi kerugian bencana. HFA ini sebagai kelanjutan dari pertemuan 2nd World Conference on Disaster Reduction pada tanggal 18 – 22 Januari 2005 di Kobe, Jepang. HFA mendiskusikan tentang tindakan atau aksi yang harus diagendakan dan dilakukan dalam pembangunan ketangguhan bangsa terhadap bencana. Aksi-aksi yang dibahas telah diadopsi oleh 168 negara, termasuk Indonesia, serta
disetujui oleh organisasi internasional, ahli bencana dan mitra lainnya. HFA yang berperiode 2005 – 2015 dibutuhkan untuk mengurangi risiko bencana sebagai bagian dari penanggulangan bencana. HFA menguraikan lima prioritas aksi dan menawarkan prinsip-prinsip dan cara praktis untuk mencapai ketahanan bencana. Tujuannya adalah mengurangi secara signifikan kerugian bencana pada tahun 2015 dengan membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana. Hal tersebut berarti mengurangi hilangnya nyawa dan kerugian aset sosial, ekonomi, dan lingkungan ketika bencana terjadi.
Lima Prioritas HFA Prioritas 1
Menjadikan Pengurangan Risiko Bencana [PRB] sebagai prioritas nasional dan daerah yang dilakukan melalui kelembagaan yang kuat.
Prioritas 2
Mengidentifikasi, mengkaji, dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini.
Prioritas 3
Memanfaatkan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan.
Prioritas 4
Mengurangi faktor-faktor mendasar penyebab timbulnya atau meningkatnya risiko bencana.
Priortias 5
Memperkuat kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respon yang dilakukan efektif.
16
Gema BNPB September 2014
Sumber : BNPB
Pada National Progress Report on the Implementation of HFA [2009 – 2011], Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam pengarusutamaan secara sistematis pengurangan risiko bencana ke dalam proses pembangunan nasional. Hal ini sesuai dengan diberlakukannya Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014 dan Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Risiko Bencana [RAN PRB] 2010 – 2012. Penyelenggaraan penanggulangan bencana juga telah menjadi salah satu prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional [RPJMN] 2010 – 2014. Sementara itu dari sisi regulasi, peraturan-peraturan telah dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] dan kementerian/lembaga terkait. Namun demikian, tantangan pada proses ini biasanya terjadi karena tidak adanya kesamaan persepsi PRB dan pemahaman umum dalam pengarusutamaan PRB ke dalam pembangunan. Banyak pengambil
keputusan, termasuk di eksekutif dan legislatif pemerintah, masih memegang pendapat bahwa manajemen bencana adalah masalah menanggapi peristiwa bencana. Oleh sebab itu, kebijakan dan anggaran di bidang bencana lebih terfokus pada penanggulangan bencana dan aspek pemulihan pasca bencana. Tantangan lain adalah bahwa kebijakan PRB yang ada belum dilaksanakan dengan baik dan diterjemahkan ke dalam kapasitas dan pengembangan kelembagaan. Banyak kebijakan yang relevan telah dirumuskan di tingkat pusat, tetapi pelaksanaannya di provinsi dan kabupaten/kota belum maksimal. Di sisi lain, integrasi dan sinkronisasi kebijakan PRB di berbagai tingkat pemerintahan, antar pemerintah pusat dan daerah masih kurang. Salah satu elemen untuk mendukung integrasi dan sinkronisasi yaitu sumber daya dengan kapasitas yang baik dan alokasi anggaran lebih sebagai investasi dalam promosi pembangunan berkelanjutan. Gema BNPB September 2014
17
Terkait dengan pengembangan dan perkuatan organisasi, Indonesia telah mewajibkan semua provinsi untuk memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD]. Saat ini, Indonesia telah memiliki 34 BPBD di tingkat provinsi dan 366 BPBD kabupaten/kota atau 75% dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Meskipun semua BPBD di provinsi dan sebagian besar di kabupaten/kota sudah terbentuk, kapasitas pengetahuan dan keterampilan masih terus dikembangkan.
hanya sekitar 20 % kabupaten/kota yang telah melakukan kesiapsiagaan bencana dan perencanaan kontinjensi, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dan perencanaan kontinjensi sektoral. Namun demikian, perencanaan yang dalam bentuk dokumen terkadang belum pernah dilakukan evaluasi. Idealnya setiap rencana kontinjensi yang telah disusun perlu dievaluasi secara berkala, misalnya setiap enam atau tiga bulan.
Pencapaian penguatan institusi lain, beberapa provinsi dan kabupaten/kota juga memiliki Forum PRB atau platform yang melibatkan pemerintah dan non-pemerintah pemangku kepentingan. Terkait dengan perkembangan Forum PRB di Indonesia, pada acara Peringatan Bulan PRB di Mataram 7 – 11 Oktober 2013 lalu, Konsultasi Nasional Forum PRB dihadiri oleh 150 wakil Forum PRB di seluruh Indonesia, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, BPBD, lembaga non pemerintah, dan internasional, serta para praktisi kebencanaan.
Sidang 4th Global Platform for Disaster Risk Reduction berlangsung di Jenewa, Swiss pada 19 – 23 Mei 2013. Salah satu tujuan utama dari sidang ini adalah untuk memberikan kesempatan bagi peserta untuk berkontribusi pemikiran dan saran mereka tentang masa depan PRB pasca 2015. Kontribusi ini dibutuhkan sebagai pengembangan Kerangka Aksi Hyogo [HFA] dan sekaligus pembahasan dalam kerangka menuju HFA kedua.
Kemajuan dalam pelembagaan badan penanggulangan bencana telah meningkatkan kapasitas koordinasi dalam penanggulangan bencana. Kemampuan untuk mengidentifikasi, memonitor dan merespon bahaya yang ada juga telah ditingkatkan melalui berbagai pelatihan dan kegiatan yang berbeda untuk meningkatkan kesadaran tentang bencana. Pengurangan risiko bencana telah mulai diintegrasikan ke dalam kerangka kebijakan di tingkat nasional maupun tingkat lokal untuk kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana. Kebijakan rekonstruksi di wilayah pasca gempa, misalnya, telah menerapkan prinsip-prinsip “build back better” atau “membangun kembali dengan lebih baik”. Beberapa daerah pasca bencana juga telah mengembangkan program-program khusus dan kegiatan untuk mengurangi kerentanan fisik dan sosio-ekonomi. Pada konteks ini, yang perlu mendapatkan perhatian mengenai rencana kontinjensi. Sampai saat ini 18
Gema BNPB September 2014
12 Kategori HFA II
12 Kategori HFA II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pentingnya keterlibatan pada tingkat komunitas. Target pada kelompok yang paling rentan. Perempuan sebagai pemimpin. Anak-anak dan remaja. Generasi baru sebagai peluang. Kesehatan. Pengintegrasian adaptasi perubahan iklim atau climate change adaptation [CCA]. Pembangunan dan Pengurangan Risiko Bencana. Peran ilmu pengetahuan. Berbagi pengetahuan dan Pendidikan. Peningkatan kapasitas. Pembiayaan, penilaian risiko, kesiapsiagaan dan peringatan dini. Keterlibatan sektor swasta dalam PRB. Kemauan politik dan kepemimpinan. Tata kelola, akuntabilitas, transparansi dan inklusivitas.
Sumber : BNPB
Pembahasan HFA 2 pada Global Platform adalah puncak dari konsultasi oleh para pemangku kepentingan selama 20122013, termasuk pada platform tingkat regional. Konsultasi lebih lanjut, diskusi dan presentasi dilakukan selama sesi di Global Platform. Hal tersebut dicontohkan dengan diskusi sehari pada 20 Mei 2013 tentang konsultasi HFA 2 yang dilakukan oleh para para pemangku kepentingan. Pada sidang tersebut diskusi dari para peserta menghasilkan duabelas kategori atau topik yang akan menjadi bagian dari HFA 2. Telah diterima hampir secara universal bahwa HFA 2 harus berdasarkan pada pencapaian atau prestasi HFA dan perjanjian internasional lainnya. Upaya untuk mengimplementasikan HFA harus
terus berlanjut. Dengan demikian, HFA 2 mengasumsikan bahwa apa yang telah dicapai pada HFA sebelumnya telah tercapai semua. Pembahasan HFA 2 mendapatkan respon di Indonesia, khususnya mengenai isu PRB dan adaptasi perubahan iklim yang dibahas pada Konsultasi Nasional Forum PRB pada rangkaian Peringatan Bulan PRB di Mataram, 8 – 9 Oktober 2013 di Gedung Sangkareang, Gedung Provinsi Nusa Tenggara Barat [NTB]. Isu yang diangkat mengenai integrasi adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan. Beberapa pendapat menyebutkan ada keterbatasan sumber daya manusia [SDM] di tingkat lokal untuk bisa mendorong integrasi tersebut. Terkait Gema BNPB September 2014
19
dengan sistem, yang mencakup kebijakan, paradigma dan pengelolaan SDM di tingkat lokal berlaku moratorium. Namun di tingkat nasional kebijakan tidak mendukung atau kurang harmonis dengan kebijakan daerah. Yang terjadi adalah kebijakan yang bersifat profit oriented memperparah dampak perubahan iklim, contohnya adalah kebijakan investasi mengalahkan Analisis Dampak Lingkungan [AMDAL]. Di sisi lain, apresiasi diberikan terhadap pencapaian Indonesia dalam mengintegrasikan isu adaptasi perubahan iklim dan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional [RPJPN], Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional [RPJMN], Peraturan Menteri, AMDAL, kajian risiko bencana, RPB, RAN PRB, RAN API dan lain-lain. Akan
tetapi instrumen-instrumen itu tidak sinkron karena tidak dirancang untuk sinkron, ego sektoral masih sangat tinggi, dan belum menyeluruh. Pemahaman yang kurang juga membuat instrumen-instrumen tersebut tidak dapat berjalan efektif. Pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan integrasi adaptasi perubahan iklim dan PRB antara lain BNPB, Kementerian Lingkungan Hidup [KLH], Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI], Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bappenas], Dewan Perwakilan Rakyat [DPR], dan Kementerian Pekerjaan Umum [PU]. Pembahasan Konsultasi Nasional terkait dengan adaptasi perubahan iklim, PRB dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia menghasilkan beberapa rekomendasi antara lain :
Rekomendasi Konsultasi Nasional Forum PRB 1
Meningkatan kapasitas para pelaku PRB non pemerintah dalam jenjang yang setinggi-tingginya dan tanpa batas. Penguatan kapasitas kemandirian lokal masyarakat kepulauan kecil, pinggiran hutan, wilayah perbatasan dan rentan lain dengan menempatkan kondisi cuaca buruk [kondisi mengancam] sebagai prioritas dalam penanggulangan bencana. Dalam perspektif bencana, cuaca buruk belum ditempatkan sebagai bencana, serta membangun ketangguhan masyarakat rentan, contoh masyarakat kepulauan kecil.
2
Memastikan akses informasi cuaca dan dampak perubahan iklim dan risiko bencana oleh masyarakat dan semua pihak serta solusi. Ini diterjemahkan ke bahasa yang mudah dipahami.
3
Meningkatkan kerja sama pemerintah-akademisi dalam meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menerapkan adaptasi perubahan iklim dan PRB.
4
Memperluas cakupan definisi cuaca ekstrim, tidak hanya fokus pada angin puting beliung, gelombang ekstrem dan abrasi.
5
Memperkuat PRB sebagai sebuah pendekatan pada seluruh manajemen bencana.
6
Mendorong adaptasi perubahan iklim dan PRB dengan mengintegrasikan multi isu yang terkait, seperti migrasi, urbanisasi, mata pencaharian dan kemiskinan dan sebagainya.
7
Mendorong penguatan kapasitas adaptasi perubahan iklim dan PRB bagi kelompok rentan.
8
Memperkuat kapasitas lokal untuk menangani berbagai ancaman bencana.
[Disarikan dan terjemahan dari berbagai sumber]. 20
Gema BNPB September 2014
Gelar Peralatan dan Perlengkapan Penanggulangan Bencana. Lapangan Arcici, Jakarta Pusat. Sumber : BNPB
Gema BNPB September 2014
21
Laporan Utama
Mengintegrasikan PRB ke dalam Manajemen Lanskap Cagar Budaya Berbasis Ketangguhan Masyarakat di Situs Sekitarnya Oleh Raditya Jati
Secara historis, Indonesia telah mengalami kejadian fenomena alam yang berakibat pada bencana dan menyebabkan kehilangan jiwa manusia serta kerusakan properti terutama dampak dari kejadian kebencanaan gempabumi, banjir, tsunami dan letusan gunung berapi. Elemen penting dalam memahami bencana alam adalah dari faktor risiko yang terdiri dari ancaman, kerentanan, dan kapasitas untuk melindungi warisan dan penghidupan (livelihood) untuk mengurangi risiko bencana. Dalam upaya pengurangan risiko bencana (PRB) dapat dilakukan dengan mitigasi dan adaptasi untuk membangun kesadaran, pengembangan kapasitas, kegiatan mitigasi terstruktur dan non-terstruktur, dalam pengelolaan kebencanaan.
22
Gema BNPB September 2014
Sumber : Raditya Jati
P
engalaman United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) selama 50 tahun terakhir telah menunjukkan bahwa suatu situs cagar budaya secara intangible telah punah dari pemaknaan dan keterlibatan masyarakatnya, termasuk permasalahan konservasi yang parah. Upaya yang dilakukan adalah proyek pengembangan berbasis manusia yang membahas permasalahan pelestarian lingkungan, hak tempat tinggal, urbanisasi dan globalisasi budaya untuk pelestarian dan peningkatan warisan budaya. Heritage atau peninggalan budaya yang
merupakan warisan cagar budaya, baik bersifat kebudayaan atau lanskap alami, tangible atau intangible, yang merupakan aset penting bagi pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan penghidupan manusia. Saat ini kondisi heritage semakin lama semakin menurun dengan meningkatnya risiko bencananya. Heritage tidak hanya dilihat sebagai salah satu upaya kewajiban dalam hal pengurangan risiko bencana, tetapi juga sebagai sumber aset upaya untuk membangun masyarakat yang tangguh, terlindungi, terpelihara dan terintegrasi dalam proses dan strategi pengurangan risiko bencana (Platform global ref. HFA2). Gema BNPB September 2014
23
Langkah-langkah untuk memperkuat heritage dan Ketangguhan Masyarakat 1
Memperkuat kemitraan yang membawa manfaat terhadap perlindungan heritage. Mengingat bahwa aset warisan budaya dan warisan dunia sangat terkait erat dengan nilai kepemilikan dari masyarakat, yang memberikan dampak pada keterlibatan yang semakin aktif dari pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana. Kapasitas untuk membangun kemitraan ini dapat memberikan dorongan yang berharga untuk pengurangan risiko bencana di tingkat lokal.
2
Memberikan panduan dan data tentang warisan cagar budaya serta mengangkat dalam penelitian-penelitan yang baru dan instrumentasinya. Beberapa peralatan umum telah diuji dan tersedia, namun masih ada kebutuhan yang mendesak terkait dengan panduan dan pedoman bagi para pelaku profesional di bidang cagar budaya dan pimpinan suatu daerah. Lembaga pengetahuan menjadi penting untuk melakukan penelitian dan menghasilkan sesuatu yang aplikatif, termasuk peranan cagar budaya untuk membangun ketangguhan. Hasil penelitian tidak hanya dalam bentuk laporan, namun harus dapat diimplementasikan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dalam pengurangan risiko warisan budaya dari berbagai macam ancamannya.
3
Akses Risiko terhadap Heritage. Memahami gambaran mengenai kondisi ancaman, kerentanan dan informasi mengenai risiko yang dapat mengkaitkan dengan dokumen terhadap nilai dan indikator unsur dari suatu cagar budaya, merupakan langkah yang penting dalam pengurangan risiko bencana untuk kawasan lanskap cagar budaya. Akses terhadap risiko akan sangat bermanfaat untuk memasukkan dampak sosial dan estimasi ekonomi dibalik kerusakan yang mempunyai konsideran dampak juga terdapat kawasan cagar budaya termasuk masyarakatnya. Diperlukan suatu risk modeling.
4
Merancang kampanye informasi kebudayaan untuk komunikasi risiko dan pemulihan pasca-bencana. Komunikasi risiko, termasuk saran masyarakat dan upaya untuk mempengaruhi pembuatan keputusan dalam investasi di sektor publik dan swasta – termasuk pada tataran rumah tangga – merupakan strategi dalam pengurangan risiko bencana.
5
Membangun kapasitas untuk pengurangan risiko bencana terhadap warisan cagar budaya dunia. Meningkatkan kapasitas melalui program pengurangan risiko bencana di kawasan cagar budaya sebaiknya didukung oleh berbagai pemangku kepentingan. Hal ini akan mencakup pelatihan untuk para pengelola (manajer) suatu kawasan cagar budaya dan museum untuk pengembangan, pelaksanaan dan pengawasan dalam upaya perencanaan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan untuk kawasan cagar budaya, termasuk diantaranya kebijakan dan program serta pembuatan keputusan seperti kepala daerah dan pimpinan museum.
6
Melibatkan pengelola cagar budaya dan institusi terkait dalam platform nasional. Saat ini tidak ada kebijakan yang secara selaras dengan kebutuhan pengurangan risiko bencana di kawasan cagar budaya, baik di tingkat nasional dan daerah. Kesadaran kebijakan dan motivasi sangatlah terbatas. Peranan Platform Nasional menjadi penting dalam mempromosikan pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim untuk kawasan cagar budaya.
24
Gema BNPB September 2014
Salah satu contoh cagar budaya, Taman Sari di Yogyakarta. Sumber : Raditya Jati
Gema BNPB September 2014
25
Lima Tujuan dan Aksi Prioritas UNESCO Di tingkat global, UNESCO memiliki lima tujuan dan aksi prioritas untuk membawa kesiapsiagaan terhadap risiko bencana bagi masyarakat sekitar situs Warisan Dunia.
Lima Tujuan dan Aksi Prioritas UNESCO
26
Tujuan 1
Memperkuat dukungan dalam lembaga-lembaga internasional, regional, nasional dan lokal yang terkait untuk pengurangan risiko pada properti Warisan Dunia. Aktor global untuk pengurangan bencana harus memberikan pertimbangan lebih untuk warisan budaya dan alam di antara isu-isu yang harus dipertimbangkan ketika menentukan tujuan strategis dan perencanaan kegiatan kerjasama pembangunan mereka. Pada saat yang sama, strategi pengurangan bencana di daerah, negara dan tingkat lokal harus memperhitungkan dan mengintegrasikan kepedulian terhadap warisan dunia dari aspek budaya dan alam dalam kebijakan dan mekanisme yang terimplementasi.
Tujuan 2
Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya pencegahan bencana di properti Warisan Dunia. Pembangunan budaya pencegahan, di semua tingkatan, merupakan salah satu elemen kunci untuk strategi pengurangan risiko bencana yang berhasil. Pelatihan, pendidikan dan penelitian, termasuk pengetahuan tradisional yang relevan, adalah cara yang paling efektif untuk mengembangkan budaya kesiapsiagaan. UNESCO merupakan badan yang mempunyai mandat sebagai pelaksana intelektual dari PBB, khususnya dalam membangun jejaring pengetahuan global.
Tujuan 3
Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana di properti Warisan Dunia. Langkah pertama untuk pengurangan risiko bencana dan mitigasi dampaknya adalah identifikasi faktor risiko yang potensial, termasuk perubahan iklim. Kerentanan bencana untuk properti Warisan Dunia harus diidentifikasi secara, dikaji dalam tingkat prioritas dan dipantau secara ketat, sebagai konsiderasi untuk memberikan informasi strategi manajemen risiko yang tepat.
Tujuan 4
Mengurangi faktor-faktor risiko yang mendasar di properti Warisan Dunia. Ketika bencana terjadi, ada sejumlah faktor yang mendasari yang secara signifikan dapat memperburuk dampaknya. Ini termasuk tanah / air dan pengelolaan sumber daya alam lainnya, pembangunan industri dan perkotaan, dan praktek-praktek sosial-ekonomi.
Tujuan 5
Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana di properti Warisan Dunia yang efektif di segala tataran. Konsekuensi terburuk dari bencana alam atau manusia seringkali dapat dihindari atau dikurangi jika semua yang bersangkutan siap untuk bertindak sesuai dengan rencana pengurangan risiko bencana, sumber daya manusia yang diperlukan dan sumber daya keuangan, dan peralatan, yang tersedia.
Gema BNPB September 2014
Mengintegrasikan PRB dalam pengelolaan lanskap cagar budaya telah didiskusikan dalam Side Event di AMCDRR ke-6 di Bangkok. Saat itu, pembicaranya dari UNESCO Regional (Montira Haroyangura Unakul), Indonesian Cultural Landscape Association (Dani B. Soedjalmo), dan Platform Nasional PRB (Dr. Raditya Jati) sebagai Chairman pada acara tersebut.
Dari hasil diskusi yang dihadiri perwakilan dari berbagai negara antara lain Nepal, Filipina, Thailand, dan Indonesia ada beberapa kesepakatan Membangun kesadaran masyarakat dan peranan penting untuk menjaga situs warisan cagar budaya,
2
Situs Heritage juga harus memberi manfaat bagi masyarakat, terutama untuk daerah sekitarnya yang juga menjadi bagian dari penghidupan mata pencaharian mereka,
3
Living Heritage harus melestarikan,
4
Proses pembelajaran harus dilakukan secara berkelanjutan,
5
Pihak berwenang harus memfasilitasi dengan soft skill dan dukungan infrastruktur dan teknologi mitigasi dan adaptasi bencana,
6
Pengunjung sebagai wisatawan juga harus sadar dan aman dari risiko bencana,
7
Adopsi ilmu pengetahuan dari negara lain dapat diintegrasikan ke dalam strategi aksi program untuk setiap situs warisan dengan solusi alternatif yang berbeda,
8
Beberapa ide dan teknologi yang tidak dapat diimplementasikan di Indonesia dapat dimodifikasi menjadi budaya lokal,
9
Meminimalisasi risiko adalah bagian proses dalam memahami dan berkemauan, berasal dari ketangguhan diri masyarakat dan lingkungan,
10
Memperkuat kemitraan (pemerintah di tingkat nasional dan daerah, masyarakat, lembaga pemberi pinjaman, akademisi, lembaga ahli di kedua warisan dan PRB) dalam warisan manajemen risiko bencana,
11
Promosikan kesadaran tentang warisan dan bencana (dimulai dengan pemuda, juga bagi masyarakat lokal, dll),
12
Mendorong pengembangan pedoman teknis untuk memastikan bahwa manajemen bencana warisan dapat diimplementasikan secara praktis: a. Perlindungan keseimbangan warisan dan standar lain untuk keselamatan (yaitu, membangun retrofit atau rehabilitasi pedoman). b. Menyeimbangkan kebutuhan masyarakat setempat, situs warisan, dan sektor lainnya.
13
Mendorong pemanfaatan situs warisan, lanskap budaya, praktik dan pengetahuan adat setempat sebagai bagian dari tanggap darurat bencana dan pemulihan (untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan keyakinan mereka, kesejahteraan, way of life), dan
14
Mendorong pertemuan regional sebagai tindak lanjut PRB bekerjasama dengan UNESCO untuk warisan cagar budaya pada tahun 2015 mendatang.
Gema BNPB September 2014
Sumber : Raditya Jati
1
27
Fokus Berita
Hentikan
Bencana Asap Riau dengan Pencegahan dan Kesiapsiagaan
Sumber : BNPB
28
Gema BNPB September 2014
Masih dalam ingatan kita, kabut asap pekat menyelimuti Provinsi Riau pada awal tahun 2014 ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) cepat bergerak dengan memobilisasi potensi nasional dengan diterjunkannya Pasukan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (PRC PB) berjumlah 1.000 personil gabungan dari TNI Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian. Titik api dan titik panas berhasil dipadamkan dengan cepat. Saat itu Satelit NOAA 18 memantau puluhan titik panas (hotspot) hingga mencapai 1.272 titik pada Februari 2014.
P
ada akhirnya jumlah hotspot berhasil dipadamkan hingga nol titik pada 4 April 2014 sesuai dengan tenggang waktu yang diberikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Operasi udara dan darat yang menggunakan miliaran dana siap pakai ini berhasil mengembalikan kualitas udara di Provinsi Riau dan sekitarnya pada kondisi normal. Operasi udara didukung oleh sejumlah helikopter dari BNPB dan dunia usaha, serta tebaran garam (NaCl) oleh BPPT dengan menggunakan pesawat jenis Cassa dan Hercules. Namun demikian, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan bahwa Provinsi Riau dan sekitar masih menghadapi musim kemarau. Cuaca pada Mei hingga September mengalami El Nino lemah. Kondisi ini menyebabkan curah hujan di wilayah Riau lebih sedikit dibanding pola normalnya sehingga potensi kebakaran hutan dan lahan besar. BMKG menilai wilayah Pekanbaru, Siak bagian barat, Pelalawan bagian barat dan Indragiri Hulu perlu mendapatkan perhatian dari pemangku kepentingan di Provinsi Riau.
Pencegahan dan Kesiapsiagaan
Karhutla di provinsi ini 99% disebabkan kesengajaan manusia sehingga perlu penanganan yang serius dan berlanjut. Penegakan hukum menjadi kunci pemberantasan pelanggaran pembakaran hutan dan lahan. BNPB menyebutkan bahwa dampak karhutla awal tahun 2014 ini antara lain kerugian hingga Rp 15 triliun, lebih 2.000 ha cagar biosfer terbakar, 22.000 ha lahan terbakar, 58.000 orang terserang penyakit saluran pernafasan. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB mengatakan bahwa operasi pengendalian menghabiskan anggaran hingga Rp 150 miliar. Gema BNPB September 2014
29
Menghadapi potensi karhutla, Pemerintah Provinsi telah melakukan upaya-upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Penguatan dan upaya di tingkat lokal menjadi kekuatan dalam mencegah terjadinya bencana asap Riau. Satuan tugas (Satgas) Penegakan Hukum yang didukung oleh pemerintah setempat gencar untuk melakukan sosialisasi terkait larangan pembakaran hutan dan lahan.
Langkah lain telah disusun yaitu dengan penyusunan prosedur tetap atau protap. Protap bermaksud untuk memberikan penjelasan tentang tata cara dan mekanisme prosedur tetap pengendalian bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Protap ini menjadi pedoman dalam pengendalian bencana
Sumber : TNI
Gubernur Riau mengeluarkan Instruksi Gubernur Riau Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pembuatan Bak Penampung Air dan Embung di kabupaten dan kota se-Provinsi Riau. Fungsi penampung tersebut untuk memudahkan pemadaman di wilayah yang sulit terjangkau dan sekaligus penampung air sehingga luapan air dapat membantu membasahi lahan. Wilayah yang menjadi target pembuatan tampungan air dan embung ini antara lain Bengkalis, Indragiri Hilir, Rokan Hilir, Siak, Pelalawan, dan Kepulauan Meranti.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Riau merekomendasikan tampungan air dan embung untuk wilayah Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu dan Indragiri Hulu. Di samping itu, Instruksi Gubernur tersebut juga merekomendasikan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk membuat embung di wilayah Taman Nasional (TN) Teso Nilo, Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Baling dan TN Bukit Tiga Puluh. Tidak hanya itu, perusahaan perkebunan diwajibkan untuk membuat empat embung per 50 ha, sedangkan pemilik lahan seluas 2 ha membuat embung 1 sumur dengan kedalaman mencapai mata air.
30
Gema BNPB September 2014
asap sehingga diperoleh kesamaan pola pikir dan pola tindak. Pemerintah Provinsi Riau sangat serius dalam menanggulangi bencana ini. Ini dibuktikan dengan ikrar bersama yang melibatkan seluruh jajaran Forkompimda Provinsi Riau serta seluruh camat, lurah, kepala desa, dinas-dinas terkait serta TNI/ Polri pada 2 April 2014 lalu. Ikrar yang berlangsung di Balai Serindit, Gedung Daerah Provinsi Riau dibacakan oleh Bupati Rokan Hilir yang diikuti semua elemen. Ikrar penanggulangan bencana asap berisi beberapa poin, antara lain pertama, sungguh-sungguh menanggulangi karhutla. Kedua, menegakkan hukum akibat karhutla. Ketiga, sungguh-sungguh menyediakan ketersediaan dana akibat karhutla. Keempat, sungguh-sungguh mendukung program Gubernur Riau untuk membentuk tim pemantau dan pemandu yang beranggotakan tiga orang per desa dan lima orang per kecamatan di Provinsi Riau. Pencegahan dan kesiapsiagaan sangat ampuh untuk pengendalian karhutla di Riau. Berdasarkan citra satelit NOAA 18 pada 13 September 2014, delapan hotspot terpantau di wilayah Riau. Hotspot berada di Pelalawan 1 titik, Indragiri Hulu 2, Indragiri Hilir 3, dan Kuantan Sengingi 2. NOAA 18 memantau total hotspot seluruh Sumatera 194 titik. Namun demikian, wilayah Riau sempat tertutup kabut asap dampak karhutla yang terjadi di Sumatera Selatan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau telah mengupayakan dengan keras penanggulangan asap di wilayah Riau. Menurut perwakilan BPBD Provinsi Riau, Jim, mengatakan bahwa pihaknya dan elemen yang terlibat memadamkan api kecil yang muncul. Riau diguyur hujan sehingga ini memperkecil peluang munculnya hotspot. Jim menambahkan bahwa Satgas Darat dan Udara selalu standby untuk
Sumber : TNI
Kondisi Terkini
memadamkan api dan asap. Di sisi lain, koordinasi berdasarkan informasi dari lapangan menjadi kunci penanggulangan asap dan api. “Saling menginformasikan dan berkoordinasi, dari provinsi juga menginformasikan ke kabupaten/kota,” jelas Jim. Namun demikian, seluruh elemen di Provinsi Riau patut untuk terus waspada. Meskipun hotspot terpantau sedikit, peningkatan jumlah hotspot bertambah akan tetap berpeluang. Ini tidak hanya faktor cuaca yang kering tetapi faktor manusia yang dengan sengaja melakukan pembakaran. (phi) Gema BNPB September 2014
31
Sumber : BNPB
Fokus Berita
Tantangan Membangun PRB
Bersama Masyarakat Desa Kalitlaga, Pagentan, Banjarnegara Oleh Bambang Sasongko
Bagi masyarakat kebanyakan, hidup yang nyaman, tenteram dan aman adalah menjadi tujuan yang utama yang tidak terbantahkan. Meski masyarakat bermukim di sepanjang bantaran sungai, atau di lereng-lereng perbukitan, bahkan di lereng gunung berapi sekalipun kehidupan dan penghidupan, mereka berlangsung dengan harmoni tanpa melihat adanya unsur kerentanan yang dimiliki atau ancaman-ancaman bahaya banjir, longsor, gempa dan letusan dari gunung berapi itu sendiri. Dimana dari kerentanan yang ada dapat berdampak pada risiko yang besar ketika muncul pemicu pada ancaman-ancaman tersebut dan berpotensi menjadi bahaya dan menimbulkan bencana. Kerugian harta benda, aset kehidupan dan penghidupan hingga korban jiwa. 32
Gema BNPB September 2014
U
ndang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, sebagai tonggak perubahan paradigma Penanggulangan Bencana di Indonesia. Perubahan paradigma dari semula responsif menjadi pencegahan, penanganan secara sektoral menjadi multi sektoral, dilakukan hanya oleh pemerintah menjadi tanggung jawab bersama, sentralisasi menjadi desentralisasi, melakukan tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana. Perubahan paradigma yang terangkum dalam Undang-Undang tersebut intinya bertujuan menjamin terselenggaranya implementasi penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana. Desa Kalitlaga Kecamatan Pagentan, Kabupaten Banjarnegara, merupakan desa tertinggal dengan akses yang terbatas, jarak tempuh dari ibukota kabupaten sekitar 50 km dapat ditempuh 1 – 2 jam. Pendapatan masyarakat rata-rata Rp. 600.000,- per bulan sehingga dapat dikategorikan pada pra sejahtera hingga sejahtera 1. Rata-rata atau sekitar 70% tidak memiliki toilet wc rumah tangga, meski tersedia sumber air yang cukup, sehingga aktifitas buang air besar dilakukan di tegalan/kebun. Selain itu, Kalitlaga sebuah desa yang rawan bahaya longsor dan cuaca ekstrim. Dengan jumlah penduduk 2.200 jiwa dalam
560 Kepala Keluarga dimana pemukiman penduduk Desa Kalitlaga sebagian besar berada di lereng-lereng tebing yang hanya berjarak 1 meter hingga 5 meter dengan kemiringan tebing antara 5° – 25°. Kondisi jalan yang sempit naik turun yang curam serta rawan patah dan longsor. Secara geografis kondisi tanah yang tersusun atas tanah liat di lapisan atas dan tanah liat bercampur batuan padas di lapisan bawahnya. Tanah dan rumah retak diketahui pada tahun 2006 serta ada jalan yang putus karena pergerakan tanah tersebut, turunnya tanah lebih cepat jika terjadi hujan lebat. Kelongsoran tanah di Kalitlaga tergolong pada jenis longsor rayapan, dan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sudah dipasang alat peringatan dini longsor ekstensometer sebanyak 5 titik. Namun saat ini hampir semua sudah tidak berfungsi karena masyarakat tidak memahami akan sistem dan pengelolaan alat peringatan dini longsor ekstensometer tersebut. Alat tersebut tergolong modern yang dioperasionalkan melalui seperangkat komputer sejak mendeteksi terjadinya rayapan tanah hingga potensi terjadinya longsor dan munculkan tanda bahaya kepada masyarakat sekitar untuk melakukan penyelamatan diri. Pada dasarnya masyarakat Kalitlaga sadar betul akan ancaman longsor di wilayahnya. Sehingga pada saat di tahun 2008 ada sekelompok Pramuka
Sumber : BNPB
Gema BNPB September 2014
33
penggiat penanggulangan bencana yang tergabung dalam PADMA (Pathfinder Associate for Disaster Management) bersosialisasi melakukan intervensi dan mengajak masyarakat untuk bersama-sama melakukan meningkatkan kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana (PRB), sejak dari Kepala Desa, Perangkat Desa hingga Tokoh Masyarakat tertarik dan menerima secara terbuka serta komit mau terlibat secara aktif. Sekelompok warga yang terhimpun dalam Tim PRB Desa Kalitlaga diawali dengan sosialisasi pengurangan risiko bencana hingga peningkatan kapasitas mengenai dasar penanggulangan bencana yang tematik yaitu tentang kajian kemampuan dan kerentanan atau lazim disebut VCA (Vulnerability Capacity Analysis). Secara praktis pelatihan ini memberikan pengetahuan dan keterampilan sebagai dasar didalam melakukan kajian risiko. Sehingga akhirnya mengetahui seberapa besar dampak risiko dari keadaan kerentanan dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat Kalitlaga termasuk di areal mana saja yang ditengarai rawan longsor.
Peran tokoh agama
Pak Ganto sebagai salah seorang perangkat desa dan tokoh agama, cukup disegani dan dihormati oleh masyarakat setempat. Pak Ganto juga seorang yang terbuka dengan perubahan. Kemudian mengajak anggota masyarakat untuk bergabung. Rumah beliau pada kegiatan inisiasi ini dijadikan sebagai pusat kegiatan sekaligus sebagai Ketua PRB Desa Kalitlaga.
Peran Kepala Desa
Saat ini, Pak Nurhadi menjabat sebagai Kades sudah selama satu tahun. Beliau sangat senang atas kedatangan tim PADMA serta tujuan mereka jauh-jauh ke Kalitlaga. Beliau menjelaskan bagaimana longsor sering terjadi di wilayah Kalitlaga. Topografi Kalitlaga adalah berbukit-bukit, dan curam/terjal. Sementara kandungan air baik di udara maupun di tanah cukup jenuh, terbukti dengan seringnya udara berkabut dan tanah selalu basah. Tanah gembur, beberapa mengandung cadas 34
Gema BNPB September 2014
serta perilaku masyarakat yang sehari-hari membuang air secara sembarangan karena tidak adanya saluran air membuat Kalitlaga sangat rentan terhadap longsor. Ditambah lagi ada beberapa usaha masyarakat berupa kolam air untuk usaha perikanan, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menambah kandungan air tanah. Salah satu upaya Pak Nurhadi untuk mengurangi ancaman longsor di Kalitlaga adalah untuk melakukan pengurangan atau pengeluaran kandungan air tanah dengan menggunakan batang pohon bambu sebagai alat pengalir air tanah, selain rencana untuk menyadarkan masyarakat agar mulai membuat saluran air yang benar.
Proses dan hasil pelatihan VCA
Antusiasme dan keingintahuan warga yang besar warga menjadi kunci utama kelancaran proses dan capaian pelatihan dasar kajian risiko di Desa Kalitlaga. Parameter keberhasilan dari proses pembelajaran ini ditunjukkan dari hasil diskusi kelompok dan dinamika penyampaian hasil yang juga memperoleh tanggapan terutama dalam konteks mengenali ancaman, kerentanan dan kapasitas/kemampuan dalam PRB. Meski masih jauh dari tingkatan desa tangguh bencana, masyarakat Kalitlaga merasa lebih memahami dan mengerti peran-peran dalam upaya PRB yang harus dilakukan di wilayahnya, sehingga dampak risiko dari bahaya tanah longsor khususnya dapat diminimalisir. Nurhadi, Kepala Desa, mengatakan bahwa kendala besar yang dihadapi oleh pemerintah desa Kalitlaga adalah tidak tersedianya lahan datar sebagai alternatif relokasi pemukiman penduduk yang terkena dampak longsor. Ini dilatarbelakangi kondisi teritorialnya yang hampir semua wilayahnya berlereng. Selain itu, tidak tersedianya kecukupan anggaran desa (APB Desa) untuk membeli lahan yang berada di luar wilayah Kalitlaga dan juga mahal. Situasi ini menyebabkan relokasi warga yang terdampak longsor di 3 Padukuhan sejak tahun 1960-an secara berkala setiap 3
Sumber : BNPB
hingga 6 tahun berpindah secara memutar antara dusun Derikan, Nganjir dan Kemiri karena karakter gerakan atau rayapan longsor di wilayah tersebut, seperti yang terjadi pada tahun 1975, 1990, 1994, 2008 dan 2011. Dapat dilihat di tabel sejarah desa.
Kegiatan Warga dalam konteks PRB
Beberapa kegiatan oleh Tim PRB Desa maupun pemerintah desa Kalitlaga hasil penjabaran dari dokumen kajian risiko longsor yaitu,
Epilog
Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Desa/Kelurahan Tangguh merupakan perwujudan dari tanggung jawab pemerintah dalam memberikan arahan bagi para pihak dalam melaksanakan upaya PRBBK. Perka BNPB ini merupakan perka yang unik karena telah mengakomodir “dinamika” yang berkembang dalam masyarakat, khusus mengadopsi antara lain pikiran-pikiran yang muncul dalam serangkaian kegiatan simposium/konferensi PRBBK. Tak terhindarkan lagi bahwa konsepsi desa/ kelurahan tangguh merupakan transformasi dari konsepsi PRBBK. Sebagai konsep yang meliputi sistem dan metodologi akan berkembang sesuai perkembangan masyarakat dalam menjawab masalahnya termasuk merespon kejadian bencana. Dalam konteks ini, seyogyanya Perka BNPB dipandang sebagai “Living document”, untuk upaya :
1
Gotong royong membersihkan saluran air yang di pinggir jalan maupun di lingkungan perkebunan/tegalan dan lahan pemukiman rutin dilakukan baik di tingkat RT maupun Padukuhan.
2
Penanaman pohon pada lahan-lahan kritis sebagai fungsi reboisasi dan perekat tanah dengan pola bantuan dari Perhutani dan dinas Kehutanan Kabupaten Banjarnegara.
3
Sosialisasi pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi bahaya melalui arisan, pengajian atau pertemuan-pertemuan bentuk lain.
1
Menjauhkan masyarakat dari bencana.
4
Meningkatkan intensitas ronda saat musim hujan.
2
Jauhkan bencana dari masyarakat.
5
Pengelolaan pemanfaatan air bagi warga dan membuat saluran pembuangan air dengan benar.
3
Mengembangkan kearifan lokal.
4
Hidup harmoni dengan risiko bencana “living in harmony with disaster risks”
6
Berupaya membangun MCK komunal sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup sehat warga dan mengurangi pencemaran lingkungan.
sehingga mencapai desa tangguh bencana dapat terwujud.
Gema BNPB September 2014
35
Fokus Berita
Manusia Rusak Lingkungan Hidup Picu Bencana Ekologis Oleh Djuni Pristiyanto
Bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan telah diperkirakan terjadi di 90% wilayah Indonesia. Selain topografi alami di suatu wilayah, potensi bencana ekologis Indonesia turut disebabkan maraknya deforestasi, praktik pertambangan, dan monokultur seperti perkebunan sawit di Indonesia. Merujuk data riset Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2007 yang memperkirakan potensi bencana ekologis di Indonesia sebesar 83%. Namun, angka tersebut melonjak drastis pada penelitian lima tahun kemudian yakni pada 2012, di mana angka potensi bencana tersebut meningkat menjadi 90%.
Sumber : BNPB, Finalis Lomba Kreativitas bidang Kebencanaan 2013
D
alam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) yang menggantikan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23/1997) sama sekali tidak menyinggung mengenai bencana ekologis. Terminologi bencana ekologis pada awalnya digunakan oleh para aktivis Walhi sejak awal tahun 2000-an. Hingga sekarang ini bencana ekologis menjadi kata-kata yang sering diucapkan oleh aktivis-aktivis organisasi non pemerintah (ornop) seperti Greenpeace, World Wide Fund for Nature (WWF), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan lain-lain. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup pun belakangan ini dalam pidatonya banyak menggunakan kata bencana ekologis. Apa itu bencana ekologis? Kata bencana ekologis berasal dari kata bencana dan ekologis, sedangkan kata ekologis itu sendiri berasal dari kata dasar ekologi yang mendapat imbuhan huruf “s”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bencana berarti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan, kecelakaan, bahaya. Kata ekologi berarti ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Dalam bahasa Indonesia, akhiran huruf “s” menyatakan sifat dari kata awal yang diimbuhinya. Jadi kata ekologis berarti bersifat ekologi. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa bencana ekologis berarti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan yang bersifat ekologi. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007) mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.” Dengan demikian bencana ekologis merupakan bencana yang bersifat ekologi. Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Eknas Walhi periode 2005-2008 mendefinisikan bencana ekologis sebagai “akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan hancurnya pranata kehidupan masyarakat.” Pada dasarnya bencana ekologis terjadi karena ulah manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Eknas Walhi periode 2012-sekarang membedakan secara jelas antara bencana alam dengan bencana ekologis. Bencana alam disebabkan oleh alam, dan bencana ekologis disebabkan oleh tindakan manusia yang tidak menghargai lingkungan. Dengan mengambil contoh banjir Jakarta pada awal tahun 2014, Abet berpendapat bahwa banjir itu bukanlah bencana alam, melainkan bencana ekologis yang disebabkan tindakan manusia.
Bencana ekologi dapat diatasi dengan tiga tindakan 1
Kesadaran masyarakat perlu dibina agar mau menjaga lingkungan.
2
Kebijakan pemerintah harus ditegakkan.
3
Penegakan hukum tentunya harus dikedepankan.
Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA., Menteri Lingkungan Hidup pada masa Kabinet Bersatu II Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan dalam acara peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2014, “Apabila saat ini masih ditemukan berbagai bencana ekologis di sekitar kita, maka hal itu disebabkan oleh pemanfaatan sumber daya alam yang tidak berwawasan lingkungan hidup. Oleh karenanya perlu dilakukan koreksi mendalam agar pengelolaan dan pemanfaatannya dapat mensejahterakan Gema BNPB September 2014
37
masyarakat dan tidak menimbulkan bencana. Konsep pembangunan berkelanjutan yang merupakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup merupakan satu-satunya pilihan yang wajib kita wujudkan.”
7
Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia.
8
Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
Lingkungan hidup yang baik dan sehat dan merupakan prasyarat utama bagi manusia untuk dapat hidup dengan sejahtera dan aman dari bencana ekologis. Pasal 1 UU No. 32/2009 mendefinisikan lingkungan hidup sebagai “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.” Untuk itu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan artian sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
9
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
10 Mengantisipasi isu lingkungan global. Esensi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara. Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup itu terutama ditujukan untuk melindungi dan mengatasi dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
Dalam Penjelasan Pasal 15 Ayat 2 Huruf b UU No. 32/2009 menguraikan mengenai dampak dan/atau risiko lingkungan hidup antara lain sebagai berikut : 1
Perubahan iklim.
2
Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati.
3
Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan.
4
2
Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia.
Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam.
5
3
Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem.
Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan.
6
4
Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat.
5
Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup.
7
Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.
6
Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan.
Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain diuraikan dalam Pasal 3 UU No. 32/2009 sebagai berikut : 1
38
Gema BNPB September 2014
Dengan demikian pengertian dari bencana ekologis menurut para pelaku lingkungan hidup tersebut sesuai dengan isi Penjelasan
Pasal 15 Ayat 2 Huruf b UU No. 32/2009 tentang dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. Pada akhir tahun 2013 Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Lampung mengadakan seminar akhir tahun dengan topik "Bencana Ekologi Akibat Investasi Rakus Ruang". Dalam seminar itu dibahas hal-hal penting mengenai bencana ekologis. Penguasaan lahan dan ekspansi pemilik modal selama ini yang tidak mencerminkan keutuhan sistem ekologi lingkungan serta keadilan bagi rakyat sebagai pemilik sumber-sumber kehidupan yang berdaulat, telah menimbulkan bencana ekologis yang mengancam umat manusia. Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati manusia bersama makhluk hidup lainnya. Masingmasing tidak berdiri sendiri dalam menjalani proses kehidupan, namun saling berinteraksi dan membutuhkan. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara teratur merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dibicarakan secara parsial atau terbagi-bagi.
Ada beberapa permasalahan pokok persoalan lingkungan hidup, seperti terus menurunnya kondisi hutan, kerusakan daerah aliran sungai, habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak, citra pertambangan yang merusakan lingkungan, ancaman atas keanekaragaman hayati makin tinggi, kelemahan penegakan hukum maupun sistem mitigasi bencana alam yang belum dikembangan. Konflik pengelolaan sumberdaya alam-bencana ekologis hampir terjadi di semua daerah di Indonesia. Walhi mencatat penyebab bencana ekologis di perkotaan adalah karena minimnya ruang terbuka hijau, ketiadaan drainase, tersumbat saluran pembuangan air, dan posisi daerah yang berada di dataran rendah. Di perdesaan, bencana ekologis itu disebabkan karena alih fungsi hutan pada dataran tinggi, kehilangan hutan mangrove (bakau), dan pendangkalan serta penyempitan sungai. Kesemuanya ini bermuara pada penataan ruang yang tidak terkendali sehingga menyebabkan terganggu keseimbangan ekosistem yang berdampak menimbulkan bencana alam. Dengan demikian ada korelasi yang sangat erat antara kerusakan lingkungan hidup yang menyebabkan terjadinya bencana ekologis dengan kejadian bencana alam.
Lingkungan hidup harus dipandang secara holistik menyeluruh serta meletakkan semua komponennya dengan setara. Dalam banyak definisi, lingkungan hidup masih ditafsirkan secara konvensional yang dianggap sebagai penunjang kehidupan. Perspektif ini melihat lingkungan sebagai objek eksploitasi untuk penunjang kehidupan. Sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Sumber daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan.
Sumber : BNPB
Gema BNPB September 2014
39
Liputan Khusus
Pencegahan dan Kebijakan Perlindungan Masyarakat Taiwan
Sumber : wikipedia.org
Sejarah yang panjang telah mendorong Taiwan untuk membangun sistem penanggulangan bencana. Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebagai bagian dari pencegahan menjadi pengarusutamaan dalam menghadapi bencana. Puluhan tahun Taiwan membangun sistem penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana secara spesifik menekankan pada pencegahan dan kebijakan perlindungan masyarakat terhadap bencana. Mereka mengembangkan program yang melibatkan sains dan teknologi, khususnya untuk mitigasi bencana, sejak 1998.
P
ada tahun 1982 Dewan Sains Nasional mulai mempromosikan program besar mengenai penelitian terhadap pencegahan bencana. Program ini mendapatkan dukungan dari kementerian dan badan yang terkait dengan bencana sehingga pada 1997, mereka membangun program Sains dan Teknologi Nasional untuk Mitigasi Bencana. Prinsip pemikiran terhadap kebencanaan yang disepakati bersama bahwa mitigasi menjadi landasan penting terhadap perlindungan masyarakat Taiwan. Dewan ini kemudian meluncurkan program periode pertama pada kurun waktu 1999 – 2001 dan dilanjutkan 2002 – 2006. Untuk memastikan program ini berjalan dengan baik, pemerintah membentuk National Science and Technology Center for Disaster Reduction (NCDR) pada Juli 2003. Fungsi utamanya adalah dukungan teknis, implementasi aplikasi, dan promosi pengurangan risiko bencana. Organisasi yang dipimpin oleh Wei Sen Li sebagai Sekretaris Jenderal memastikan apa yang dikerjakan tersebut dapat memberikan perlindungan terhadap masyarakat. Program ini sangat berhasil dalam membangun data terintegrasi dari berbagai kementerian dan badan terkait bencana. Data-data tersebut sangat mendukung dalam langkah-langkah mitigasi dalam perlindungan terhadap bencana. Data-data terintegrasi bersumber dari analisis tingkat risiko, peringatan dini, prakiraan, sistem pencegahan, respon darurat, dan sebagainya.
Informasi peringatan dini dan langkah pencegahan dapat diakses oleh masyarakat melalui website pemerintah, short message service (SMS), media komersial, maupun media sosial. Media sosial, seperti facebook, sangat populer di antara masyarakat Taiwan sehingga media ini sangat signifikan dalam menginformasikan peringatan dini terhadap ancaman bencana.
Bencana di Taiwan
Taiwan atau yang dikenal juga sebagai Formosa merupakan negara dengan keindahan alam. Negara yang beribu kota Taipei ini menduduki peringkat utama sebagai tempat kunjungan wisata dunia. Namun di belakang keindahan alam tersebut, Taiwan berhadapan dengan ancaman bahaya (hazard) geologi dan hidrometeorologi. Berbagai jenis bencana melanda Taiwan, seperti gempabumi, taifun, longsor, banjir, dan longsoran bebatuan atau debris flow. Dari aspek bahaya geologi, Taiwan sangat berpotensi gempabumi. Beberapa catatan gempabumi besar terjadi di negara dengan luas sekitar 36.000 km². Kurun waktu 20 tahun terakhir, gempabumi Ji Ji yang terjadi pada 21 September 1999 telah menewaskan lebih dari 2.000 jiwa. Gempabumi yang dikenal dengan 921 earthquake dan berkekuatan 7.3 SR mengakibatkan 51.000 bangunan roboh dan 53.000 rusak berat. Berikut sejarah gempabumi berkekuatan lebih dari 5 SR dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Gema BNPB September 2014
41
Sejarah gempabumi berkekuatan lebih dari 5 SR dalam kurun waktu 20 tahun terakhir Kejadian
Daerah Terdampak
Korban Meninggal
Rumah Rusak
5 Juni 1994
Yilan, Hualien
6.2
1
1
16 September 1994
Selat Taiwan
6.8
0
0
23 Februari 1995
Hualien
5.8
2
0
25 Juni 1995
Yilan, Hualien
6.5
1
6
17 Juli 1998
Nantou
6.2
5
0
21 September 1999
Nantou
7.3
2.415
51.711
17 Mei 2000
Nantou
5.3
3
11 Juni 2000
Nantou
6.7
2
31 Maret 2002
Nantou, Hualien
6.8
5
15 Mei 2002
Yilan
6.2
1
1 Mei 2004
Hualien
5.8
2
26 Desember 2006
Pingtung
7
2
19 Desember 2009
Hualien
6.8
0
4 Maret 2010
Kaohsiung
6.4
0
26 Februari 2012
Pingtung
6.4
0
Bencana gempabumi yang lebih besar pernah terjadi pada 1935. Gempabumi Hsinchu berkekuatan 7.1 SR menewaskan lebih dari 3.000 jiwa di Taichung. Saat itu, 17.000 ribu bangunan rusak berat. Berdasarkan Central Weather Bureau, Kejadian kegempaan rata-rata per bulan dengan kekuatan di atas 3 SR sebanyak 190 kali. Dilihat tempat kejadian, wilayah tengah Taiwan rawan bahaya gempabumi. Hal tersebut karena proses alam tumbukan lempeng Eurasia dan Laut Filipina. Jutaan tahun lalu proses tumbukan inilah yang juga telah membentuk Pulau Taiwan yang berpopulasi aborigin 2%. Dari aspek bahaya hidrometeorologi, Taiwan memiliki ancaman terhadap bahaya seperti kekeringan, banjir, taifun, longsor, dan debris flow. Pada Mei hingga Juni biasanya turun musim hujan atau biasa disebut plum rain dan Juli hingga Oktober sering terjadi taifun. Musim hujan ini dapat memicu terjadinya hujan sangat deras atau torrential rain yang dapat menyebabkan banjir. Namun demikian torrential rain 42
Magnitude (SR)
Gema BNPB September 2014
3
juga memicu terjadinya longsor bebatuan atau debris flow. Debris flow merupakan longsoran bebatuan dari batu yang berukuran besar hingga kecil yang dipicu oleh hujan yang sangat deras. Ancaman begitu besar karena 70% wilayah Taiwan merupakan dataran tinggi yang terbagi atas tebing-tebing dengan kemiringan tajam serta pegunungan. Topografi dengan kemiringan tajam membuat longsoran bebatuan berakibat pada kerusakan yang sangat parah. Masyarakat Taiwan mengalami bencana hidrometeorologi berupa banjir dan longsor. Bencana tersebut dipicu oleh taifun dahsyat atau biasa disebut dengan super typhoon, seperti taifun Nari (2001) dan Morakot (2009). Taiwan memang langganan taifun. Rata-rata taifun 3,6 kali melanda Taiwan setiap tahunnya. Tahun 2001, Taiwan mengalami 8 kali taifun, sedangkan tahun 2004 Taiwan tersapu 6 taifun. Berikut ini gambaran akibat dan dampak taifun yang dialami Taiwan.
Akibat dan Dampak Taifun yang Dialami Taiwan Hewan Terdampak
Peternakan terdampak
Wilayah
Ternak
Unggas
Pingtung
421
Kaohsiung
236
9.419
649.002
Tainan
593
68.435
3.209.360
Chiayi
153
22.512
1.206.887
Taitung
19
429
2.070
1.422
157.120
7.121.806
Total
56.325
2.054.487
Data Peternakan dan Hewan Terdampak di Beberapa Wilayah di Taiwan Taifun
Korban Meninggal
Luka-luka
Kerugian Pertanian ($ US Miliar)
Kerugian Konstruksi ($ US Miliar)
Total Kerugian ($ US Miliar)
Chebi
30
124
22.3
0.7
23.0
Trami
5
-
2.2
4.9
7.1
Toraji
214
188
235.7
170.6
406.4
Nari
104
265
126.5
56.7
183.1
Utor
1
6
2.9
7.6
10.5
354
583
389.6
240.5
630.1
Total
Taifun Morakot yang terjadi tahun 2009 memaksa pemerintah untuk mengevakuasi lebih dari 24.000 jiwa. Taifun yang memicu longsor hingga 40 ha ini menelan korban ratusan jiwa. Tidak hanya korban manusia tetapi jutaan hewan mati (ternak, unggas, dan ikan) karena tersapu banjir. Total kerugian hingga Rp. 6,7 triliun. Data peternakan dan hewan terdampak di beberapa wilayah di Taiwan dapat dilihat pada data di atas. Taiwan sangat berkepentingan terhadap isu perubahan iklim. Ini erat kaitannya dengan bencana hidrometeorologi, seperti taifun dan banjir. Perubahan iklim telah memicu berbagai dampak langsung seperti suhu yang lebih panas, peningkatan tinggi muka air laut, perubahan pola dan curah hujan, kejadian hujan ekstrim, dan taifun. Di samping itu perubahan iklim dapat memicu
juga dampak susulan seperti bencana longsoran.
Belajar dari Taiwan
Sejarah panjang bencana Taiwan telah mendorong strategi penanggulangan bencana. Berdasarkan laporan Bank Dunia (2005), Taiwan menduduki peringkat ke-4 dengan kategori ancaman bahaya pada area terpapar 73,1% dan penduduk terpapar 73,1%. Pemerintah Taiwan melakukan investasi yang sangat besar, khususnya untuk sains dan teknologi. NCDR memetakan kerentanan, antara lain pada dua aspek. Pertama, kerentanan fisik yang terkait dengan degradasi lingkungan, pemanfaatan lahan dan keberlanjutan lingkungan. Kedua, kerentanan sosial. Kerentanan ini dipicu oleh potensi risiko yang meningkat karena beberapa faktor, Gema BNPB September 2014
43
Alur Informasi dari Sumber Data Hingga ke Masyarakat.
Sumber : NCDR
antara lain kepadatan penduduk 647 per km², urbanisasi yang cepat, perubahan struktur demografis, dan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Kondisi berdasarkan kenyataan geografis, sejarah bencana, dan kerentanan menempatkan strategi pencegahan dan perlindungan masyarakat sebagai misi penanggulangan bencana Taiwan. Dalam mewujudkan strategi pencegahan dan perlindungan masyarakat, Taiwan melakukan banyak aksi pada penyusunan kebijakan, kelembagaan, investasi sains dan teknologi, dan pembangunan komunitas tangguh bencana. Pada saat respon darurat, kabinet atau Executive Yuan berperan dalam memimpin koordinasi antar kementerian/ lembaga dan pemangku kepentingan lain. Sementara pada saat kondisi normal, kementerian/lembaga terkait selalu memantau dan berbagi data atau pun informasi.
Investasi Sains dan Teknologi
Taiwan sangat mendukung pemutakhiran terhadap tiga aspek terkait sains dan teknologi, seperti peningkatan sumber daya manusia (man power), kajian ilmiah (research), teknologi informasi dan 44
Gema BNPB September 2014
komunikasi (information and communication technology). Sumber daya manusia dengan standar tinggi dapat ditemui di NCDR di mana 80% pegawai berpendidikan doktor dan pascasarjana. Melalui sumber daya manusia yang handal, kajian-kajian ilmiah dapat dilakukan sehingga mereka mampu menangkap secara penuh berbagai aspek yang saling terkait, misalnya sosial, budaya, dan kondisi geografis. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi media pendukung yang sangat ampuh dalam sistem penanggulangan bencana Taiwan. Mulai dari pemanfaatan data saat kondisi normal, early warning system, peringatan dini, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi (recovery), semua dibangun dengan sistem yang sangat canggih. Sebagai contohnya saat peringatan dini, masyarakat dapat mengakses berita melalui media sosial, seperti facebook, twitter, dan google. Masyarakat Taiwan merupakan pengguna tertinggi facebook di Asia. Namun demikian, Taiwan masih memiliki tantangan bagaimana end to end dari teknologi yang sangat canggih itu dapat benar-benar dipahami masyarakat sehingga mereka dapat terhindar dari bencana.
Sumber : BNPB
Pada saat tanggap darurat, kapasitas penanggulangan bencana di tingkat daerah dan ketangguhan masyarakat menjadi faktor penting. Menurut Hsin Yu Shan, pengajar di Universitas Nasional Chiao Tung, kunci keberhasilan dalam respon darurat mencakup beberapa hal, antara lain kemitraan penuh, kerjasama yang konkret dengan memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat, dukungan pusat ke daerah, masukan dari bawah ke pusat, peningkatan kapasitas semua pemangku kepentingan, komunikasi dan kerjasam tim, dan evaluasi. Hsiao Yuan mengatakan bahwa penanggulangan bencana ke depan, khususnya alam, dapat berpijak pada perspektif T-H-I-N-K, singkatan dari Think,
Human Mangement, Investigation, Notice, dan Knowledge. “Think mengacu pada kajian, pengembangan, dan praktek”, jelas Yuan, Kepala Seksi Unit Pertanian, Soil and Water Conservation Bureau. Human management menekankan pada bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat dalam merespon peringatan dini, sedangkan investigasi adalah menggali lebih detail lokasi potensi untuk penanggulangan bencana. Yuan memberikan gambaran bahwa tim yang dipimpinnya memakan waktu lebih 10 tahun untuk memetakan debris flow di Taiwan. Sementara Notice merupakan kecepatan dan ketepatan dalam memberikan peringatan dini dan Knowledge merupakan sumber data dan informasi serta sistem pengambilan keputusan oleh para ahli. (phi) Gema BNPB September 2014
45
Liputan Khusus
Deteksi
Korban Bencana melalui Sinyal HP Pesatnya kemajuan teknologi membuat manusia mau tak mau akan bergantung pada keberadaan peralatan teknologi, salah satunya telepon seluler atau handphone (HP). Mulai dari fungsinya yang hanya sekedar menelepon dan berkirim pesan atau short message service (SMS), selancar di dunia maya, game, chatting dan sebagainya. Saat ini HP sudah menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia, ke manapun pergi selalu dibawa. Nampaknya hal tersebut menjadi alasan pembenaran untuk manusia bergantung dengan telepon selulernya.
B
adan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memiliki perangkat Lifesaver yang dapat melacak keberadaan pengguna HP saat tertimpa bencana, contohnya saat terjadi bencana gempabumi yang mengakibatkan runtuhnya bangunan dan pada akhirnya reruntuhan menimpa korban. Lifesaver dapat digunakan untuk mencari korban berdasarkan sinyal dari HP korban. Jika anjing pelacak mengandalkan indera penciumannya yang tajam, Lifesaver mengandalkan sinyal handphone korban yang direkayasa untuk melacak keberadaan korban. Syarat utama Lifesaver ini dapat bekerja apabila HP korban dalam kondisi hidup. 46
Gema BNPB September 2014
Bagaimana jika keadaan bencana berakibat pada BTS (Base Transceiver Station) hancur berantakan, dan tidak ada sinyal sama sekali sehingga HP tidak dapat digunakan untuk berkomunikasi? Mr. Mario pengajar dari Amerika yang memberikan pelatihan kepada staf BNPB mengatakan bahwa perangkat Lifesaver bisa berfungsi sebagai BTS. “Lifesaver dapat menjangkau dan merekayasa jaringan yang ada saat itu, meskipun tidak ada jaringan sama sekali, kita dapat melakukan setting jaringan versi kita” ucapnya pada acara peningkatan kapasitas Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB dalam pemanfaatan mobil komunikasi dan Lifesaver, di Sentul, Jawa Barat.
Lifesaver akan bekerja mencari sinyal HP terdekat yang masih hidup (nyala/aktif). Lifesaver bekerja layaknya BTS dan memiliki amplifier untuk memperkuat sinyal sampai dengan maksimum 10 watt, jarak menengah 5 watt dan jarak terdekat 1 watt. Jika dibandingkan dengan sinyal handphone yang hanya 1 watt, kekuatan Lifesaver dapat diandalkan dalam memancarkan sinyal. Namun demikian, konsekuensi penggunaan amplifier yang tinggi akan mempercepat usia baterai pada HP korban. Lifesaver ini juga dapat digunakan untuk menelpon dan mengirim SMS kepada korban tanpa harus mengetahui nomor HP korban, asalkan handsetnya berteknologi GSM. Penggunaan HP dalam jaringan Lifesaver tidak memerlukan pulsa telepon dan tetap dapat digunakan meskipun tidak mempunyai pulsa.
Sumber : BNPB
Lifesaver ini dikemas dalam perangkat portable berbobot 30 kg dan setting peralatannya hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Alat ini dapat diandalkan dalam pencarian korban saat terjadi bencana dan infrastruktur jaringan komunikasi lumpuh. Salam tangguh! (acu)
Gema BNPB September 2014
47
Teropong
Dua Caturwulan Berlalu, Berbagai Bencana
Hidrometeorologi dan Geologi Melanda Sumber : BNPB, Finalis Lomba Kreativitas bidang Kebencanaan 2013
Secara kumulatif sejak awal hingga akhir bulan kedelapan tahun 2014, sebanyak 972 kejadian bencana telah melanda berbagai wilayah di Indonesia. Bencana tersebut meliputi bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, gelombang pasang/abrasi, kebakaran hutan dan lahan) dan bencana geologi (letusan gunungapi dan gempabumi). Korban jiwa akibat bencana hingga bulan Agustus adalah sebanyak 374 orang meninggal dan hilang serta lebih dari 1,7 juta jiwa terdampak dan terpaksa mengungsi.
J
umlah kejadian bencana mencapai puncaknya pada bulan Januari dan kemudian turun hingga titik terendah pada bulan Juli. Di bulan Agustus, jumlah kejadian bencana sedikit meningkat. Pola ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana memasuki akhir tahun nantinya jumlah kejadian bencana akan mengalami peningkatan. Puncak kejadian bencana biasanya terjadi sekitar bulan Desember dan Januari. Dilihat dari jenis bencananya, selama kurun waktu delapan bulan ini, Indonesia dirundung berbagai macam jenis bencana. Mulai dari bencana hidrometeorologi yang selalu terjadi setiap bulan, bencana asap, ancaman erupsi gunungapi, hingga kekeringan yang mulai melanda beberapa wilayah sejak 2 bulan terakhir.
Dominasi Banjir, Longsor, dan Puting Beliung
Dari segi frekuensi kejadiannya, 3 bencana hidrometeorologi selalu mendominasi, yaitu bencana banjir, longsor, dan puting beliung. Setiap bulannya persentase jumlah kejadian bencana banjir, longsor, dan puting beliung selalu lebih dari 85% dari jumlah seluruh kejadian. Bencana banjir erat kaitannya dengan jumlah korban terdampak dan mengungsi yang begitu besar, sedangkan puting beliung identik sebagai bencana yang banyak merusak permukiman warga. Tanah longsor adalah yang paling berat karena seringkali menelan korban jiwa. Banjir yang cukup banyak menarik perhatian adalah banjir yang melanda ibukota pada awal tahun 2014. Dimulai dari hujan deras yang terjadi sejak Sabtu (11/1) malam
di Jakarta dan sekitarnya, banjir mulai menggenangi sejumlah wilayah di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan pada hari Minggu (12/1) dan selanjutnya banjir meluas ke wilayah lain di Jakarta. Hingga akhir Januari 2014, bencana banjir di DKI Jakarta telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 23 jiwa, sedangkan jumlah pengungsi sempat mencapai 151.969 jiwa. Banjir yang terjadi di Jakarta cukup mengganggu aktifitas warga, terutama karena tergenangnya sejumlah ruas jalan yang menghambat perjalanan warga. Bencana lain yang juga menimbulkan cukup banyak korban jiwa adalah bencana longsor yang terjadi di Kudus, Provinsi Jawa Tengah dan Paniai, Provinsi Papua. Di Kudus, longsor terjadi di perbukitan Dukuh Kambangan, Desa Menawan, Kecamatan Depok Kabupaten Kudus Jawa Tengah pada Selasa (21/1) pukul 02.00 WIB dini hari. Peristiwa ini menimbun 14 rumah yang menyebabkan 14 orang meninggal dunia dan 9 rumah rusak. Posisi rumah terletak di tebing lereng dan korban tertimbun runtuhan ke dalam jurang sedalam 30 meter. Di Paniai, bencana longsor menimpa kawasan pertambangan masyarakat di Distrik Bogobaida, Kampung Damai Tiga, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua pada 2 Juli 2014. Longsor terjadi akibat hujan deras yang menyebabkan struktur tanah menjadi labil. Akibatnya, bencana tanah longsor terjadi di kawasan tersebut dan menimpa warga yang sedang beristirahat setelah melakukan aktivitas penambangan. Bencana ini menimbun 15 orang, dimana 13 orang meninggal dunia dan 2 lainnya mengalami luka berat. Selain itu, longsor ini juga menyebabkan 1 unit rumah mengalami rusak berat. Gema BNPB September 2014
49
Sumber : BNPB
Bencana Asap Menyita Perhatian
Sejak awal Februari 2014 sudah mulai terpantau titik api yang cukup banyak jumlahnya di Riau. Banyaknya jumlah titik api ini sebenarnya tergolong anomali karena pada tahun-tahun sebelumnya biasanya jumlah titik api baru mulai meningkat pada pertengahan tahun. Titik api yang terdeteksi muncul akibat adanya kebakaran lahan dan hutan. Awal Maret 2014 sebenarnya jumlah titik api sempat menurun, namun menginjak pertengahan bulan jumlah titik api kembali meningkat hingga kemudian menimbulkan asap yang sangat mengganggu aktifitas warga, mulai dari aktifitas belajar mengajar para siswa, kegiatan perkantoran, hingga penerbangan. Sebanyak 16 maskapai menghentikan penerbangannya dari Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, Riau sampai tanggal 15 Maret 2014. Sembilan diantaranya merupakan penerbangan reguler dan sisanya adalah maskapai penerbangan carteran, menurut data dari Airlines Operator Comittee (AOC) Pekanbaru. Dampak asap juga menyebabkan penerbangan menuju Padang dan Jambi mengalami penundaan hingga 5 jam lebih. Banyaknya asap yang terjadi menyebabkan jarak pandang menjadi rendah, hanya 200 meter, sehingga tidak memungkinkan pesawat mendarat dan terbang di Pekanbaru. Sementara itu, jarak pandang yang rendah juga mengakibatkan helikopter untuk water bombing maupun 50
Gema BNPB September 2014
hujan buatan juga tidak dapat beroperasi sehingga makin memperparah bencana asap yang terjadi. Pada 14 Maret 2014 Presiden RI melakukan rapat koordinasi penanganan bencana asap akibat pembakaran lahan dan hutan dengan menggunakan teleconference di SemarangJakarta-Pekanbaru.
Presiden telah memberikan arahan dan instruksi bahwa operasi terpadu harus ditingkatkan dengan 3 pilar yaitu : 1
Kegiatan pemadaman api dan asap. Danrem Riau ditunjuk untuk melanjutkan tugas ini.
2
Perawatan dan kesehatan yang dipimpin oleh pejabat senior dari Pemda Riau.
3
Penegakan hukum dipimpin Kapolda Riau, yang sebelumnya telah bekerja pada satgas penegakan hukum.
Ketiga pilar perlu diperkuat dan ditingkatkan efektivitas kecepatannya agar memberikan dampak psikologis yaitu efek jera bagi pembakar. Operasi terpadu tersebut dipimpin oleh Kepala BNPB dibantu perwira tinggi TNI untuk mengendalikan operasi di lapangan. Presiden memberikan alokasi waktu 3 minggu untuk operasi terpadu tersebut. Semua harus dikerahkan secara
optimal, bahkan Presiden menyebutkan bahwa upaya pemadaman ini adalah operasi militer selain perang. Presiden RI juga menyempatkan diri meninjau lokasi kebakaran lahan dan hutan di Riau, yaitu dengan rute udara menuju Padang serta jalur darat dari Padang ke Riau. Di akhir kunjungannya ke Riau, Presiden RI menetapkan 2 kebijakan untuk menangani bencana asap di Riau. Kebijakan jangka pendek yaitu untuk memastikan agar api benar-benar padam sehingga asap hilang. Kebijakan jangka panjangnya tak lain adalah penertiban kawasan dan pencegahan kawasan dari pembakaran. Pada akhir Maret 2014, beberapa parameter keberhasilan pemadaman sudah menunjukkan kemajuan. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) terus membaik di berbagai wilayah di Riau, sudah tidak ada titik api yang terpantau oleh satelit NOAA 18, jarak pandang pun semakin meningkat. Kebakaran lahan dan hutan di Indonesia umumnya terjadi pada musim kemarau. Wilayah yang rawan bencana ini meliputi 9 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Pola jumlah hotspot di Sumatera dan Kalimantan berdasarkan data tahun 2006-2013 biasanya meningkat mulai Juni hingga Oktober dengan puncaknya terjadi pada Agustus dan Oktober. Sejak pertengahan Juni 2014, jumlah titik api di Indonesia mulai mengalami peningkatan. Titik api paling banyak terpantau di Provinsi Riau. Berdasarkan data pada bencana-bencana sebelumnya, dampak karlahut di Riau selalu besar. Sebagai ilustrasi, dampak karlahut di Riau selama 26 Februari 2014 hingga 4 April 2014 telah menyebabkan kerugian ekonomi sekitar Rp. 20 triliun. Selain kerugian dalam nilai rupiah, 2.398 ha cagar biosfer terbakar, 21.914 Ha lahan lainnya juga terbakar, 58.000 orang terserang ISPA, sekolahsekolah diliburkan, hampir 6 juta jiwa terpapar asap dan lainnya. Untuk menangani
karlahut pada periode tersebut, BNPB telah mengeluarkan Rp. 134 milyar, personil gabungan yang dikerahkan sebanyak 4.931 personil, dan helikopter/pesawat yang dilibatkan untuk operasi pemadaman udara sejumlah 11 unit. Selanjutnya, memasuki pertengahan tahun 2014, kebakaran hutan dan lahan mulai mengancam wilayah yang rawan bencana ini. Wilayah tersebut meliputi 9 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Pola jumlah hotspot di Sumatera dan Kalimantan berdasarkan data tahun 20062013 biasanya meningkat mulai Juni hingga Oktober dengan puncaknya terjadi pada Agustus dan Oktober. BNPB telah menyiapkan dana siap pakai sebesar Rp. 355 milyar untuk antisipasi karhutla pertengahan tahun ini. Hingga akhir Juni telah disiapkan 3 helikopter, yaitu Bolco, Kamov dan Sikorsky yang ditempatkan di Riau untuk pemadaman api dan asap. Modifikasi cuaca dengan pesawat Casa dan Hercules juga mulai beroperasi. Sedangkan helikopter MI-8 telah ditempatkan di Palembang, Sumatera Selatan, dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sebanyak 2.500 personil TNI dan Polri siap dimobilisasi jika diperlukan. Beberapa Standar Operasional Prosedur (SOP) dan peraturan telah disusun oleh kementerian/lembaga sebagai dasar pelaksanaan. BNPB juga telah mengadakan pelatihan bagi anggota TNI dalam penanggulangan asap atau api di tahun 2014. Pelatihan diselenggarakan di Gedung INA-DRTG pada tanggal 17 - 19 Juni 2014. Dengan pelatihan tersebut para peserta TNI diharap dapat meningkatkan kemampuan dan keahlian baik secara teknis maupun manajerial dalam mengatasi bencana asap dengan tetap memahami konsep operasi yang berpegangan pada empat strategi. Pemadaman di darat, pemadaman melalui udara, penegakan hukum, dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat terdampak. (rns) Gema BNPB September 2014
51
Teropong
Geliat Berbagai
Gunungapi
Sepanjang delapan bulan pertama tahun 2014, beberapa gunungapi di Indonesia mengalami peningkatan status vulkanik. Penentuan status gunungapi adalah kewenangan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi. Status tersebut dimaksudkan sebagai peringatan dini untuk memberikan keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung. Makna status Siaga yaitu semua data menunjukkan aktivitas vulkanik yang terjadi dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana. Tindakan yang harus dilakukan pada tahap ini adalah sosialisasi di wilayah terancam, penyiapan sarana darurat, koordinasi harian, dan piket penuh. Sedangkan status Waspada bermakna terdapat kenaikan aktivitas di atas level normal, baik kegempaan, geokimia, deformasi, dan vulkanik lainnya. Dalam kondisi ini maka tindakan yang diperlukan adalah sosialisasi, penilaian bahaya, pengecekan sarana, serta pelaksanaan piket terbatas.
Sumber : BNPB
Gunung Sinabung
Diawali dengan Gunung Sinabung yang sudah mulai mengalami erupsi sejak tahun 2013. Sejak dinaikkan statusnya menjadi Awas (Level 4) pada 24 November 2013, Gunung Sinabung terus menunjukkan aktifitas vulkaniknya. Akibatnya, masyarakat yang bermukim di radius 0-5 km dari Gunung Sinabung terpaksa mengungsi. Pengungsi terpaksa tetap bertahan di lokasi pengungsian hingga waktu yang belum bisa ditentukan. Tinggal di lokasi pengungsian
selama jangka waktu yang lama tentunya membuat berbagai aktifitas sehari-hari warga menjadi terganggu. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, baik untuk pemerintah maupun masyarakat. Untuk penanganan jangka panjang, pemerintah berencana akan merelokasi 5 desa yang terletak dalam radius 3 km dari Gunung Sinabung, yaitu Desa Simacem, Bekerah, Sigarang-garang, Sukameriah, dan Sukanalu.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk membantu para pengungsi
1
Pengungsi mendapat cash for work (padat karya) dari BNPB sebesar Rp. 50.000,-/KK/ hari selama 2 bulan.
2
Pengungsi mendapat jatah hidup (jadup) dari Kemensos sebesar Rp. 6.000,-/orang/ hari dan 400 gram beras/orang/hari.
3
Penduduk yang tidak mengungsi namun melakukan berbagai aktivitas membersihkan dan memperbaiki rumah atau taman atau kebun dan sebagainya mendapat cash for work tapi tidak diberikan jadup.
4
Di bidang pendidikan, diberikan bantuan senilai Rp. 4,6 milyar untuk seragam sekolah, peralatan sekolah, tenda belajar, program trauma healing dan beasiswa dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Beasiswa yang diberikan senilai Rp. 1 juta/tahun untuk SD, Rp. 1,5 juta/tahun untuk SMP, Rp. 2 juta/tahun untuk SMA/ SMK, dan Rp. 2,1 juta/semester untuk perguruan tinggi. Perguruan tinggi setempat, yaitu USU dan UNIMED membebaskan biaya SPP untuk siswa yang terdampak. Selain itu, USU juga memberikan bimbingan belajar bagi siswa terdampak yang akan menghadapi ujian nasional.
5
Di bidang pertanian, telah diserahkan kepada Bupati Karo bantuan berupa hand tractor, cultivator, dan pompa air masing-masing 20 unit. Selain itu, diberikan juga bantuan bibit berbagai sayuran, buah, dan ternak yang rencananya akan diberikan mulai Februari hingga April 2014.
6
Di bidang pekerjaan umum, diberikan bantuan berupa 9 mobil tangki air bersih untuk pelayanan pengungsi, pembangunan MCK, penyiraman untuk pembersihan jalan, dll.
Gunung Kelud
Selanjutnya pada bulan Februari, giliran Gunung Kelud yang menunjukkan aktivitas vulkaniknya. Peningkatan tersebut berlangsung cukup cepat, dimulai dengan perubahan dari status Normal ke Waspada pada tanggal 2 Februari 2014 pukul 14.00 WIB. Status Waspada kemudian berubah menjadi Siaga pada tanggal 10 Februari
2014 pukul 10.00 WIB. Peningkatan status Siaga menjadi Awas terjadi pada tanggal 13 Februari 2014 pukul 21.15 WIB dan kemudian diikuti letusan pada pukul 22.50 WIB. Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan bahwa tanggap darurat erupsi Gunung Kelud Gema BNPB September 2014
53
berlaku mulai tanggal 13 Februari-12 Maret 2014. Penduduk yang berada dalam radius 10 km diungsikan ke tempat yang lebih aman. Angin bertiup ke barat menyebabkan dampak erupsi Gunung Kelud menjadi sangat luas dimana abu vulkaniknya dirasakan hingga di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan bahkan sebagian Jawa Barat. Erupsi Gunung Kelud juga menyebabkan sejumlah bandara ditutup, yaitu Bandara Juanda (Surabaya), Adi Sumarmo (Solo), Adi Sucipto (Yogyakarta), Abdurrahman Saleh (Malang), Ahmad Yani (Semarang), Husein Sastranegara (Bandung), dan Tunggul Wulung (Cilacap). Korban meninggal akibat erupsi ini berjumlah 7 orang, semuanya berasal dari Kabupaten Malang. Korban yang mengalami luka-luka dilaporkan sebanyak 1.423 orang, dimana 31 orang diantaranya terpaksa harus menjalani rawat inap. Jumlah pengungsi mengalami puncaknya pada tanggal 17 Februari 2014, yaitu mencapai 87.629 jiwa.
Dalam upaya penanggulangan bencana erupsi Gunung Kelud, Presiden RI pada tanggal 14 Februari 2014 memberikan beberapa arahan, yaitu : 1
BNPB agar menangani dampak erupsi Gunung Kelud dengan memperkuat atau mendampingi Pemda Kabupaten Blitar, Kediri dan Malang,
2
Penuhi semua kebutuhan pengungsi,
3
Gubernur Jawa Timur telah diperintahkan merapat ke daerah untuk memberikan bantuan,
4
Memastikan ke PVMBG apakah akan ada letusan berikutnya.
BNPB dan Kementerian/Lembaga lain telah memberikan bantuan kepada Pemda setempat. Adapun bantuan yang diberikan BNPB sendiri adalah senilai Rp. 3.800.732.390, berupa makanan tambahan gizi, makanan siap saji, lauk pauk, masker, selimut, dan tenda posko. Lebih dari 5.000 54
Gema BNPB September 2014
personil dari pusat telah diturunkan untuk membantu, terdiri dari BNPB, TNI, Polri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, dan Basarnas.
Gunung Merapi, Gunung Slamet, dan Gunung Soputan
Berikutnya pada bulan April dan Mei 2014, dalam tiga hari berturut-turut tiga gunungapi dinaikkan status vulkaniknya.
Ketiga gunung tersebut 1
Gunung Merapi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah meningkat dari Normal (Level I) ke Waspada (Level II) pada tanggal 29 April 2014,
2
Gunung Slamet di Jawa Tengah meningkat dari Waspada (Level II) ke Siaga (Level III) pada tanggal 30 April 2014,
3
Gunung Soputan di Sulawesi Utara meningkat dari Waspada (Level II) ke Siaga (Level III) pada tanggal 1 Mei 2014.
Terkait dengan peningkatan status Gunung Merapi dan Gunung Slamet, Kepala BNPB melakukan kunjungan kerja untuk meninjau langsung kondisi Gunung Slamet pada tanggal 1 Mei 2014. Selanjutnya, pada tanggal 2 Mei 2014 diadakan rapat koordinasi teknis kesiapan penanggulangan bencana untuk menghadapi erupsi Gunung Merapi dan Gunung Slamet di Jawa Tengah. Rapat ini dihadiri oleh BPBD Kabupaten/ Kota dan Provinsi se-Jawa Tengah, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Badan Geologi Gunung Slamet, TNI, Polda, Basarnas serta unsur terkait lainnya di Kantor BPBD Provinsi Jawa Tengah. Dalam Rapat Koordinasi Teknis tersebut, Kepala Pelaksana Harian BPBD Provinsi Jawa Tengah, Sarwa Pramana, SH, M.Si, melaporkan bahwa BPBD Provinsi telah melakukan langkah-langkah antisipasi, antara lain rapat koordinasi dengan para pemangku kepentingan. Selain itu, Gubernur
Sumber : BNPB
Jawa Tengah juga sudah menerbitkan surat dengan nomor 361/003474 tanggal 17 Maret 2014 perihal Antisipasi Aktivitas Gunung Slamet. Upaya pencegahan lain yang telah dilakukan adalah melakukan sosialisasi, simulasi dan geladi, serta menyampaikan informasi tentang titik kumpul dan jalur evakuasi. Kepala BNPB, DR. Syamsul Maarif, M.Si, menyampaikan agar melibatkan LSM dalam penanganannya. Penanganan darurat menjadi tanggung jawab kabupaten, jika lebih dari level kabupaten, maka provinsi yang mengambil tanggung jawab. Selain itu, upaya lain yang harus dilakukan adalah membuat rencana kontinjensi, rencana aksi, prosedur tetap (protap) yang dibuat berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana dan Peraturan Kepala BNPB No. 6a Tahun 2011 tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai Pada Status Keadaan Darurat Bencana.
Gunung Sangeang Api
Pada akhir bulan Mei giliran Gunung Sangeang Api yang terletak pada Kecamatan Wera Timur, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mengalami erupsi. Pada tanggal 30 Mei 2014 pukul 15.55 WITA terjadi letusan di Gunung Sangeangapi. Tinggi letusan mencapai 3.000 meter ke arah barat dan abu vulkaniknya sebagian besar jatuh ke laut. Dengan adanya letusan tersebut, PVMBG menaikkan status Gunung Sangeang Api dari Waspada (level II)
menjadi Siaga (level III) terhitung mulai 30 Mei 2014 pukul 16.00 WITA. Gunung Sangeang Api terletak di Pulau Sangeang yang merupakan pulau vulkanik dimana penduduknya telah dikosongkan melalui transmigrasi lokal ke Kecamatan Wera (Sangeang darat) sejak tahun 1985. Transmigrasi dilakukan oleh 263 KK setelah letusan tahun 1953 dan tahun 1985. Lahan yang ditinggalkan saat ini telah berkembang menjadi ladang dan rumah sementara (salaya) yang umumnya ditempati saat musim tanam (Agustus-November) dan musim panen (Maret-Mei). Ladang dan salaya ini berada di kawasan rawan bencana (KRB) III, yaitu kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu pijar, dan gas beracun. Penduduk Sangeang darat memiliki kebun di Pulau Sangeang Api sehingga saat terjadi letusan penduduk yang sedang berada di kebun dievakuasi dengan menggunakan kapal. Proses evakuasi dibantu oleh BPBD Bima bersama SAR, TNI, dan Polri dari Pulau Sangeang. Tidak ada korban jiwa maupun pengungsi pada peningkatan status Gunung Sangeang Api ini. Sebanyak 7.328 jiwa (1.748 KK) dari 4 desa yang berjarak 8 km dari Gunung Sangeangapi, yaitu Desa Sangeang, Oitoi, Tadewa, dan Langgasolo, terkena hujan abu yang cukup parah. Sejak dinaikkan statusnya, aktivitas Gunung Sangeang Api terus meningkat. Pada tanggal 31 Mei 2014 terjadi dua Gema BNPB September 2014
55
letusan yang cukup besar, yaitu pukul 01.30 WITA dan 10.42 WITA. Kondisi di Kecamatan Wera, Kabupaten Bima gelap tertutup abu vulkanik. Abu vulkanik juga menyebar ke wilayah lain di Kabupaten Bima, yaitu Kecamatan Sape, Ambalawi, serta kabupaten lain, yaitu Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, dan Sumba Timur, serta Kota Bima. Dua bandara di NTB yaitu Bandara Bima dan Bandara Tambolaka ditutup sementara. Bandara Bima ditutup mulai 31 Mei 2014 pukul 13.04 WIT hingga pukul 18.00 WIT dan Bandara Tambolaka ditutup mulai 31 Mei 2014 pukul 13.00 WIT hingga 1 Juni pukul 13.00 WIT. PVMBG kemudian menetapkan Kawasan Rawan Bencana (KRB) III pada radius 1 km dan KRB II radius 5 km dari pusat kawah Gunung Sangeangapi. Pemukiman penduduk terdekat, yaitu Kecamatan Wera, berjarak 8 km dari kawah Gunung Sangeangapi sehingga masih aman dari dampak lontaran material/awan panas Gunung Sangeangapi. BPBD Provinsi NTB, BPBD Kabupaten Bima, dan BPBD Kabupaten Sumba Timur telah mendistribusikan masker kepada masyarakat Bima. Masyarakat dihimbau untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. BPBD, TNI, Polri, PMI, Tagana, SKPD dan ORARI telah melakukan penanganan darurat. Surat keputusan Tanggap Darurat ditetapkan oleh Bupati Bima dalam Keputusan Bupati No. 188.45/462/010/2014 tanggal 31 Mei 2014 dan berlaku selama 7 hari. Pada tanggal 1 Juni 2014, Bupati Bima
Sumber : BNPB
56
Gema BNPB September 2014
bersama unsur terkait menggelar Rapat Koordinasi Penanganan Dampak Letusan Gunung Sangeang Api. Kepala BNPB telah memerintahkan Tim Reaksi Cepat BNPB mendampingi penanganan darurat, termasuk memberikan bantuan yang diperlukan BPBD. BNPB telah memberikan Dana Siap Pakai ke BPBD Provinsi NTB sebesar Rp. 150 juta dan sudah disalurkan langsung oleh BPBD Provinsi NTB ke BPBD Kabupaten Bima sebesar Rp. 100 juta. Sebelumnya BNPB melalui BPBD Provinsi NTB telah memberikan bantuan langsung berupa barang 2.000 lembar masker, 100 lembar selimut, 15 paket makanan siap saji, 50 paket lauk pauk, 250 dus air mineral, 50 suplemen gizi, 100 lembar matras, 89 lembar tikar, 70 paket peralatan dapur, 30 paket kompor, 30 lembar terpal gulung, 50 paket pakaian anak-anak, 50 paket sandang, dan150 paket pakaian keluarga.
Gunung Slamet
Yang terakhir, pada bulan Agustus 2014 Gunung Slamet yang sempat diturunkan statusnya ke Level II pada bulan Mei 2014 ini, kembali menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik sejak bulan Juni 2014. Pada periode 1-11 Agustus 2014 tercatat terjadi 474 kali gempa letusan atau sekitar 43 kejadian/hari, 5.070 kali gempa hembusan atau 456 kejadian/hari. Berbagai peningkatan aktivitas vulkanik ini menimbulkan potensi terjadinya erupsi
hingga akhirnya pada tanggal 12 Agustus 2014 pukul 10.00 WIB statusnya kembali dinaikkan menjadi Siaga (Level III).
Berdasarkan peningkatan status ini, maka PVMBG mengeluarkan rekomendasi
1
Masyarakat dan pengunjung/ wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah yang ada di puncak Gunung Slamet dalam radius 4 km dari kawah aktif.
2
Masyarakat di sekitar Gunung Slamet diharap tenang tidak terpancing isu-isu tentang erupsi Gunung Slamet dan harap selalu mengikuti arahan dari BPBD setempat.
3
Masyarakat yang berada dalam Kawasan Rawan Bencana II (KRB II) untuk selalu waspada dan memperhatikan perkembangan Gunung Slamet yang dikeluarkan oleh BPBD setempat.
4
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (BPBD Provinsi), BPBD Kabupaten Pemalang, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Purbalingga tentang aktivitas Gunung Slamet.
5
BPBD Kabupaten Pemalang, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Purbalingga agar senantiasa berkoordinasi dengan Pos Pengamatan Gunungapi Slamet di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang atau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi di Bandung.
6
Badan Geologi akan selalu berkoordinasi dengan BNPB, BPBD Provinsi, BPBD Kabupaten Pemalang, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Purbalingga dalam memberikan informasi tentang kegiatan Gunung Slamet.
Sebagai langkah antisipasi, BPBD Provinsi Jawa Tengah telah mengirimkan stok logistik dan masker ke lokasi. Selain itu, Kepala BNPB juga memerintahkan jajaran BNPB dan BPBD agar menyempurnakan rencana kontinjensi erupsi Gunung Slamet. Sebagai langkah selanjutnya, pada tanggal 26 Agustus 2014 diadakan Rapat Koordinasi Dukungan Operasional Kesiapsiagaan Bencana Erupsi Gunung Slamet di Provinsi Jawa Tengah. Rapat ini diadakan di Kantor Bakorwil III, Purwokerto, Kabupaten Banyumas. Rapat diikuti sekitar 70 orang yang terdiri dari perwakilan BNPB, BPBD, Kementerian dan Lembaga terkait dan SKPD dari 5 kabupaten di sekitar Gunung Slamet. Seusai rapat, rombongan dari BNPB dan PVMBG yang didampingi oleh BPBD Kabupaten Banyumas melakukan peninjauan di beberapa lokasi untuk mengecek kesiapsiagaan yang telah dilakukan. Dari peninjauan ini diperoleh informasi bahwa untuk para pihak perangkat desa maupun relawan dan TNI sudah siap dan tahu tugasnya. Rencana kontinjensi sudah disusun dan sudah dilakukan sosialisasi ke masyakarat. Perlu dilakukan simulasi agar sosialisasi lebih mengena dan masyarakat lebih memahaminya. (rns)
Sumber : BNPB
Gema BNPB September 2014
57
Teropong
Media Center
S
ungguh tepat kiranya julukan Negara Supermaket Bencana atau Laboratorium Bencana bagi Indonesia. Julukan itu diperkuat dengan data bencana Indonesia yang terus menunjukkan frekuensi bencana yang cukup tinggi. Berdasarkan info bencana BNPB, tercatat sejak Januari – Agustus 2014 telah terjadi 972 kejadian bencana yang mengakibatkan hampir 380 jiwa meninggal dunia dan lebih kurang 1.7 juta jiwa dalam kondisi menderita dan mengungsi. Pasca tsunami aceh 2014. Perlu kita berkilas balik terkait fenomena alam yang mengakibatkan bencana Indonesia, mulai gempabumi Padang, banjir bandang Wasior, gempabumi Yogjakarta, banjir Jakarta, kebakaran lahan dan hutan Riau, gempabumi Aceh Tengah, jebolnya bendungan Way Ela Ambon, banjir Manado hingga erupsi Gunung Sinabung dan Kelud. Bencana alam ini telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap sebagian masyarakat Indonesia. Cerminan kondisi dan situasi tanggap darurat, pengelolaan dari data dan informasi bencana menjadi hal yang penting dan tidak terpisahkan dalam penanganan tanggap darurat bencana. Data dan informasi selalu bergerak dinamis, perubahan data terjadi sangat cepat dan informasi seputar bencana dilapangan sangat 58
Gema BNPB September 2014
berkembang. Arus data dan informasi perlu dikelola dengan baik untuk memberikan rekomendasi yang tepat bagi pengambil kebijakan dan keputusan dalam masa tanggap darurat. Lesson learned penanganan Erupsi Merapi 2010 bahwa informasi seputar bencana alam yang terjadi di suatu wilayah sangat penting disebarluaskan kepada masyarakat dan termasuk media massa, sehingga situasi kepanikan dan kesimpangsiuran informasi yang diterima masyarakat bisa dikendalikan. Oleh karena itu, penyelenggaraan penanggulangan bencana perlu dikoordinasi dengan cepat, tepat, efektif dan akuntabel. Hal ini agar korban jiwa, kerusakan, dan kerugian harta benda dapat diminimalisir dengan baik. Menyikapi dinamika situasi komunikasi data dan informasi pada masa tanggap darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyiapkan pedoman pembentukan media center tanggap darurat bencana agar tugas kehumasan sebagai penyebar informasi dan pendokumentasian kegiatan Penanggulangan Bencana. Media center tanggap darurat bencana merupakan bagian dari strukur pos komando dengan tujuan agar data dan informasi yang masuk
Sumber : bnpb
Tanggap Darurat Bencana
dan keluar untuk kepentingan publik dapat dilakukan secara terorganisasi sebagai bentuk pelayanan bagi stakeholder termasuk masyarakat yang membutuhkan. Peraturan Kepala BNPB No. 8 Tahun 2013 tentang Pedoman Media Center Tanggap Darurat Bencana, mendefenisikan bahwa Media Center Tanggap Darurat Bencana sebagai unit pelayanan informasi kebijakan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana berbasis teknologi informasi dan komunikasi untuk menyediakan informasi yang diinginkan, memberikan kemudahan dan kecepatan dalam diseminasi informasi yang aktual, obyektif, dan faktual. Tim yang bertugas dalam pekerjaan ini adalah orang-orang yang memiliki keahlian dibidang komunikasi, pengumpulan, pengelolaan, penyajian data, dan informasi, administrasi serta profesi dibidang teknisi dan reporter. Mereka berperan penting dalam penyajian data tanggap darurat bencana. Media Center Tanggap Darurat Bencana menjadi salah satu penyalur informasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena fungsi media center itu sendiri adalah memastikan masyarakat dan wartawan dapat mengakses informasi mutakhir penanggulangan bencana yang dibutuhkan,mengkoordinasi dan mengoperasikan yang menjadi tugas pokok media center. Fungsi Media Center Dalam kesempatannya saat penanganan erupsi merapi tahun 2010, Kasubdit Media Online Direktorat Pengelolaan Media Publik, Ditjen Informasi dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Hyppolitus Layanan menegaskan bahwa Kementerian Kominfo diberi tanggung jawab dalam memfasilitasi seluruh provider dalam mengoptimalisasikan penguatan jaringan telekomunikasi di daerah yang rawan bencana, pelayanan Wi-fi, dan pemberdayaan radio komunitasi serta radio komunikasi antar penduduk seperti RAPI dan ORARI yang pembinaannya berada dibawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI). Hyppo mengatakan, fungsi media center itu ada dua. Pertama adalah sebagai humas pemerintah sesuai dengan tata kelola media
center dalam memberikan layanan informasi, diantaranya kontribusi penyampaian berita ke media online Info Publik, dan penyalur informasi di daerah. Sedangkan Fungsi Media Center yang kedua adalah pada saat terjadi bencana merupakan unit pendukung Posko Tanggap Darurat. Media Center memiliki peranan strategis dalam menyampaikan informasi, termasuk didalamnya bagaimana mencegah adanya konflik terhadap isu yang sedang hangat, dan mencegahnya melalui media center. Implementasi Media Center Tanggap Darurat Bencana Sejak diterbitkannya peraturan tersebut, BNPB telah melakukan kegiatan media center tanggap darurat bencana pada pos komando, di antaranya saat penanganan bencana asap riau, erupsi gunung sinabung, banjir jakarta, penanganan jebolnya bendungan Way Ela Ambon, dan sebagainya. Media center selalu update untuk dalam memberikan informasi mengenai jumlah pengungsi, korban jiwa, kebutuhan mendesak yang diperlukan hingga memberikan keterangan pers. Sharing informasi kepada publik melalui unit ini menjadi perlu sebagai bentuk publikasi penanggulangan bencana yang sedang dilakukan dan juga untuk memudahkan bagi mereka yang ingin memberikan bantuan kemanusiaan. Kehadiran media center di lokasi bencana sangatlah penting khususnya dalam penyalur informasi yang terkait dengan bencana yang sedang terjadi. Pemerintah, Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat itu sendiri memiliki kepentingan dalam upaya-upaya kemanusiaan. Di samping itu, media massa juga berperan sebagai elemen pendukung dalam penyebarluasan informasi situasi bencana sehingga dapat membantu masyarakat untuk memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang dihadapi nanti jika terjadi bencana. Saat ini media center tanggap darurat bencana telah menjadi salah satu materi belajar bagi pelaku kebencanaan di daerah yang disampaikan melalui kegiatan bimbingan teknis data, informasi dan kehumasan BNPB maupun saat pelatihan Satuan Reaksi Cepat PB (ari) Gema BNPB September 2014
59
Profil
Sumber : BNPB
Bekerja
dengan Hati
untuk Hasil
Masterpiece Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Ir. Bernardus Wisnu Widjaja, M.Sc. Menjabat posisi tertinggi sebagai seorang pengawai negeri sipil tidak pernah terbayangkan oleh Bernardus Wisnu Widjaja muda. Sosok yang merintis karir sejak 26 tahun lalu ini akhirnya didaulat dan diangkat sebagai Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dulu, pria yang diterima sebagai PNS di Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) tidak menyangka akan bergelut dengan penanggulangan bencana seperti sekarang. Segudang pengalaman penanggulangan bencana dimiliki, baik di belakang meja hingga operasi di lapangan.
W
isnu Widjaja muda yang lulus dari Fakultas Geologi Universitas Gadjah Mada ini mulai mengabdikan diri sebagai PNS di BPPT pada tahun 1988. Ditempatkan di Bagian Perencanaan, pria yang dilahirkan di Denpasar 53 tahun lalu disibukkan dengan melakukan programprogram di BPPT. Namun, pengalaman lain diperoleh pada saat melakukan pekerjaan yang bersifat teknis pada Proyek Tri Bima Sakti. Proyek ini menggarap pengkajian kelayakan infrastruktur jembatan penghubung antar pulau, saat itu rencananya Jawa-Bali, Jawa-Sumatera, dan Jawa-Madura (Jembatan Suramadu). Gema BNPB September 2014
61
Pada saat di BPPT, kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri mampu menambah wawasan dan pengalaman berharga, yang membentuknya seperti sekarang ini. Seusai menerima gelar master of science di bidang Engineering Geology dari Department Earth Sciences, Universitas Leeds di Inggris, pria yang hobi bermain tenis ini sempat masuk ke dalam Tim Asistensi Teknis Pembangunan Jembatan Barelang (BatamRempang-Galang) di bawah koordinasi Profesor B.J. Habibie. Bergelut dengan bidang geologi membawa ketertarikan terhadap mitigasi. Mitigasi atau upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana dilakoni sejak bergabung dengan Tim Asistensi Mitigasi Bencana di bawah Menristek pada tahun 2000. Saat itu Menristek menunjuknya sebagai Ketua Kelompok kerja Banjir dan Longsor.
Mengabdi di Bencana
Pengalaman di bidang mitigasi inilah yang mendorong keterlibatannya di Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Bakornas PBP), cikal bakal terbentuknya BNPB. Pemikiran yang jauh ke depan memantapkan untuk melanjutkan karir PNS ternyata terwujud. Namun, syarat yang dimintanya saat pertama kali bergabung dengan Bakornas PBP adalah tetap bergelut di bidang mitigasi. “Kalau di pengungsi tidak mau,” ungkap Wisnu seolah-olah merasa yakin tidak akan bergelut di bidang pengungsian. Bersama dengan teman-teman seniornya yang sekarang sudah pensiun, salah satunya Sugeng Triutomo, mulai merintis BNPB setelah disahkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Pilihan mengabdi di Bakornas PBP sempat diragukan oleh para rekan kerja di BPPT. “Kenapa kerja di sana, kerjaannya tidak jelas,” kata Deputi sembari mengingat pendapat teman-teman saat itu. 62
Gema BNPB September 2014
“Dari awal Badan yang mengurusi penanggulangan bencana (Bakornas PBP) yang kemudian dimantapkan kelembagaannya melalui Undang-Undang menjadi BNPB sangat strategis, meskipun maju tidaknya lembaga ini sangat tergantung dari leadership pimpinan dan komitmen para karyawannya” jelas pria yang juga menjabat Co-Director Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR). Pria yang memiliki dua anak ini mengawali karir sebagai Kepala Sub Bidang Mitigasi di Bakornas PBP. Karir meningkat hingga menduduki jabatan eselon II ketika lembaga ini berganti menjadi BNPB. Menjabat Direktur Pengurangan Risiko Bencana dan Direktur Kesiapsiagaan pada Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan telah dijabat sebelum akhirnya berpindah sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan BNPB pada 2012. Berselang dua tahun, tepatnya Januari 2014 tantangan baru sebagai seorang Deputi berada di pundaknya. Masa pengabdian di BNPB tidak hanya di belakang meja, operasi penanggulangan bencana yang berupa tanggap darurat pun menariknya ke lapangan. “Sempat hampir tiga tahun membantu dalam kesekretariatan Kepala BNPB menyebabkan terlibat banyak dalam operasi tanggap darurat yang dipimpin Bapak Kepala BNPB. Saya belajar banyak dari Bapak Syamsul Maarif yang sangat menghargai ide-ide dari anak buah,” kenang Deputi yang salah satu anaknya bekerja di Facebook, Inc yang bermarkas di California, Amerika Serikat. Operasi tanggap darurat dilakukan pada saat bencana seperti gempabumi dan tsunami Aceh (2004), gempabumi Yogyakarta (2006), gempabumi Padang (2009), dan erupsi Merapi (2010).
Strategi PRB pada Rehab-Rekon
Berbicara penanggulangan bencana tentu tidak terlepas dari strategi pengurangan risiko bencana (PRB). Strategi ini diadopsi oleh banyak negara sebagai pengarusutamaan dalam penanggulangan bencana. Konsep ini tentunya diterapkan juga pada tahap-tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
Dari awal Badan yang mengurusi penanggulangan bencana (Bakornas PBP) yang kemudian dimantapkan kelembagaannya melalui Undang-Undang menjadi BNPB sangat strategis, meskipun maju tidaknya lembaga ini sangat tergantung dari leadership pimpinan dan komitmen para karyawannya. Sumber : BNPB
Merasa memiliki ketertarikan dengan bidang mitigasi, Deputi yang merintis berdirinya Pusat Pengendali Operasi BNPB ini berpendapat bahwa Unit Rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana adalah merupakan tempat untuk mempraktekkan konsep-konsep pengurangan risiko bencana. Pada unit inilah mitigasi bencana dapat diimplementasikan, baik berupa mitigasi struktural maupun non struktural. Menurutnya, kebijakan untuk membangun lebih aman dengan mengharuskan pembangunan dengan struktur bangunan mengikuti standar aturan/persyaratan teknis atau building code dari kementerian yang berwenang, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum. Building code merupakan prinsip yang harus ada pada tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Di samping itu, pembangunan kembali juga harus memperhatikan peta risiko bencana. “Proses
pembangunan ini juga harus diawasi oleh konsultan teknis atau fasilitator yang profesional,” tambah mantan Kepala Sub Bidang Pemetaan dan Tata Guna Lahan Tim Pembangunan Pulau Natuna. Pada kedeputian bidang rehabilitasi dan rekonstruksi ditetapkan kebijakan bahwa sekitar 10% anggaran yang ada digunakan untuk PRB. Deputi mencontohkan seperti kebijakan relokasi yang bisa dijalankan apabila suatu masyarakat memang harus direlokasi, mengingat potensi ancaman yang sangat besar. Jadi, mitigasi struktural dan non struktural dapat diterapkan pada kedeputiannya.
Pemikiran terhadap Rehab-Rekon
Rehabilitasi dan rekonstruksi maksimal berlangsung tiga tahun setelah bencana yang terjadi di suatu wilayah. Setelah itu, Gema BNPB September 2014
63
Indonesia termasuk dalam kelompok kecil negara-negara yang secara konsisten mengimplementasikan kaidah-kaidah yang disarankan oleh Perserikatan BangsaBangsa (PBB). mekanisme pembangunan menggunakan skema sesuai pada program pembangunan yang regular. Sehubungan dalam konteks ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sangat berperan pada masa transisi untuk pengalihan dari proses pembangunan pasca bencana ke program pembangunan secara regular karena Bappenes memiliki fungsi kontrol proses pembangunan tersebut. Dalam pelaksanaan pembangunan kembali yang lebih baik dan lebih aman atau“build back better” dari kondisi sebelum bencana haruslah dilaksanakan secara sistematis dengan pengaturan dan pengelolaan yang baik. Untuk mencapai hasil yang optimal sebagaimana yang diinginkan, proses pembangunan kembali ini harus diawali dengan perencanaan yang baik, dilakukan pembagian tanggung jawab pelaksanaan serta penganggarannya serta pengawasan dan pengendalian. Indonesia termasuk dalam kelompok kecil negara-negara yang secara konsisten mengimplementasikan kaidah-kaidah yang disarankan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, langkah awal yang dilakukan adalah pembuatan rencana aksi (renaksi) yang berdasarkan pada kaji kerusakan, kerugian dan kebutuhan masyarakat korban bencana dengan menggunakan metode Damage and Losses Assessment (DaLa) dari Eclac (Economic Commission for Latin America and the Caribbean) yang dilanjutkan dengan HRNA (Human Recovery Need Assessment) dan PDNA (Post Disaster 64
Gema BNPB September 2014
Need Assessment). BNPB sendiri kemudian mengadaptasikan dan merangkum paket metodologi ini menjadi satu metode, yaitu Jitu PB (Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana), yang saat ini telah dibakukan menjadi Peraturan kepala BNPB No. 15 tahun 2011 tentang Jitu PB. Selanjutnya atas arahan Kepala BNPB, istilah Jitu PB diganti menjadi Jitu Pasna karena istilah PB sudah umum diartikan sebagai penanggulangan bencana. Selanjutnya, hasil kajian Jitu Pasna disusun menjadi Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, baik dari nasional, pemerintah daerah, perwakilan masyarakat dan dunia usaha. Renaksi inilah yang disepakati bersama untuk dilaksanakan. Dokumen ini secara jelas menyebutkan pembagian kewenangan dan tanggungjawab penganggaran serta pelaksanaannya. Pemerintah akan memberikan bantuan yang sifatnya stimulan dan mengharapkan pemerintah daerah dan masyarakat yang terdampak secara mandiri menuntaskan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksinya menjadi lebih baik dan lebih aman. Secara umum, tantangan yang dihadapi adalah ketersediaan anggaran dan komitmen dari para pelaku. Banyak pemerintah daerah masih punya anggapan bahwa urusan bencana adalah urusan pemerintah dalam hal ini BNPB sehingga kontribusinya dalam penganggaran penanganan bencana sangat minim. Meskipun demikian, saat ini beberapa pemerintah daerah sudah mulai sadar akan pentingnya investasi untuk melakukan upaya-upaya preventif untuk mengurangi dampak bencana. Hal ini terlihat dari jumlah anggaran yang disediakan, serta maraknya aktivitas-akitivitas pengurangan risiko bencana. Pada sisi lain, pemerintah pusat, dimana setelah rencana aksi selesai disusun, masih ada tahapan panjang untuk menurunkan anggaran. Usulan pendanaan dari rencana aksi tersebut harus diajukan ke Kementerian Keuangan kemudian dari menteri keuangan dikirim ke DPR untuk memintakan persetujuan baru kemudian masuk ke DIPA BNPB.
Sumber : BNPB
Mekanisme penyediaan anggaran yang lebih cepat diakses saat ini sedang dipikirkan untuk percepatan pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi yang mendesak harus segera dilakukan. Semakin lama program Rehabilitasi dan rekonstruksi ini tertunda, maka akan semakin banyak timbul permasalahan baru, yang akan semakin memperumit permasalahan. Hal ini sangat berpotensi memperpanjang derita masyarakat korban bencana. Beberapa pemikiran terkait penggunaan mekanisme risk transfer (asuransi) dan pooling funds sedang digodog di Kementerian Keuangan. Untuk membangun kembali secara lebih baik dan lebih aman, tentunya jangan sampai sebatas pada slogan belaka. Saat ini pembangunan kembali masih diukur terhadap capaian fisik hasil pembangunan semata bahkan pembangunan sosial ekonomi masih terlihat dikesampingkan. Usulan-usulan rehabilitasi dan rekonstruksi dari daerah masih menonjol berupa usulan pembangunan fisik seperti rumah, jembatan, jalan, irigasi dan sebagainya. Usulan program yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat, peningkatan
pendapatan masyarakat melalui peningkatan kapasitas produksi dan pemasaran masih lemah. Bahkan pelibatan dunia usaha dalam membangun kembali daerah pasca bencana masih berjalan sendiri-sendiri belum sinergi, terintegrasi dan terencana dengan baik. Keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia baik di BNPB maupun di BPBD merupakan tantangan tersendiri. Permasalahan dihadapi sejak penyusunan rencana aksi khususnya dalam penyajian data yang akurat dan “terkunci” dengan by name, by address, by photo dan by coordinate. “Kita harus mampu mengunci data walaupun sifatnya sementara untuk bisa segera melakukan perencanaan dan aksi pelaksanaan pembangunan. Semakin lama data dari lapangan akan memperlambat analisisnya, dan tentu semakin lama rencana aksi dapat diselesaikan.” jelas Deputi. Terobosan pemikiran terkait rehabilitasi dan rekonstruksi adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. “Yang saya inginkan ini, mestinya melibatkan e-government,” jelas Pak Wisnu. Hal tersebut mengacu pada proses pengambilan data Gema BNPB September 2014
65
Sumber : BNPB
di lapangan yang seharusnya dapat dilakukan secara efisien, transparan, dan cepat. Deputi mencontohkan pemanfaatan teknologi ini ketika petugas lapangan atau surveyor dengan cepat memberikan laporan kerusakan atau kerugian di lapangan. Melalui perangkat tablet, petugas dapat secara cepat menentukan koordinat, tingkat kerusakan, serta menyertakan pemilik rumah yang rusak tersebut. Gagasan ini tidak hanya melibatkan pakar informasi dan teknologi tetapi juga perlunya kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, terkait dengan identitas tunggal. Menurutnya mungkin hal ini dapat dilakukan di wilayahwilayah yang rawan bencana terlebih dahulu.
Penguatan BNPB
BNPB sebagai lembaga yang khusus dalam penanggulangan bencana perlu peningkatan dalam segi perkuatan koordinasi antar unit di dalam BNPB sendiri. Rencana aksi pada program rehabilitasi dan rekonstruksi idealnya mendapatkan 66
Gema BNPB September 2014
dukungan analisis atau konsep PRB dari unit lain. “Belum kuat, kesannya masih jalan sendiri-sendiri. Ke depan perlu koordinasi antar unit dan yang sangat penting membuat rencana strategis yang bersifat teknis dan dihasilkan secara bersama,” ujar Pak Wisnu, panggilan akrabnya. Manajemen organisasi selalu menjadi perhatian dan ini telah dilakukan di kehidupan keluarganya. Memberikan dukungan yang penuh bagi pejabat dan staf di lingkungan kerja sebagai refleksi bagaimana yang dilakukan di dalam keluarganya. Menurutnya, memberikan kesempatan kepada staf untuk suatu ide atau melanjutkan studi merupakan bentuk perhatian yang sangat serius terhadap penguatan BNPB. Deputi menginginkan BNPB sebagai learning organization dimana semua pegawai harus berbicara dan diajak berbicara. Visi bersama menjadi sangat penting dan itu terlahir sebagai tugas masing-masing pegawai. Bekerja harus dengan hati.
Di sisi lain, penguatan lembaga juga dapat ditunjukkan dengan cara berbeda. Selama mengabdi pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan BNPB, road map perlu digagas. “Di Pusdiklat, kami melakukan road map. Sementara di sini belum ada target, misalnya untuk 10 tahun ke depan,” jelas Wisnu Widjaja. Dia menambahkan bahwa pada saat memimpin Pusdiklat, target yang hendak dicapai pada dua tahun pertama adalah pengakuan pada tingkat nasional. Dua tahun berikutnya di tingkat ASEAN, dua tahun berikutnya di tingkat Asia, dan dua tahun kemudian dilihat secara global sebagai referensi dunia. Menurutnya, tantangan yang masih harus dijawab yaitu mengenai monitoring dan evaluasi atau monev. “Monev tidak hanya sampai pada output tetapi sampai ke impact,” tambah Deputi. Dia mencontohkan monev yang sampai ke dampak seperti pada pertanyaan apakah huntap bagi masyarakat itu dipakai atau tidak, kemudian apakah dan sejauh mana bermanfaat bagi penghuninya. Demikian juga mengenai tantangan lain adalah pada sumber daya manusia. Melihat BNPB hingga kini, menurut Deputi masih banyak pekerjaan rumah yang harus ditingkatkan. “Semua unit punya rencana. Mestinya program-program (seperti rencana aksi), setiap unit tahu tentang rencana aksi tersebut. Perlu sering diselenggarakan pertemuan sehingga diperoleh persepsi dan pemahaman yang sama,” kata Deputi. Menyamakan visi dan tugas. Deputi juga berpendapat bahwa setiap pegawai harus merasa besar bersama BNPB. Deputi mencontohkan arahan Kepala BNPB Syamsul Maarif bahwa jangan kita besar karena organisasi tapi organisasi besar karena kita ada di situ. Ke depan, Deputi sangat mengharapkan BNPB dipenuhi pegawai yang memiliki fisik dan intelektualitas tinggi dan pengabdian kepada kemanusiaan. Salah satu cita-citanya adalah turut membesarkan BNPB.
Pengembangan Diri
Melanjutkan studi di luar negeri sangat
memberikan pengalaman dan pengetahuan yang sungguh berharga. Dengan pengalaman hidup di negeri orang, kita bisa mendapatkan referensi untuk mengukur seperti apa sebaiknya kita (dalam arti personal maupun Negara) melangkah maju menuju masyarakat tangguh dan sejahtera. Dalam bekerja tidak cukup hanya ketekunan, tetapi juga totalitas dalam berkarya di mana pun tempatnya. Menurut Deputi bahwa apa yang kita inginkan belum tentu yang terbaik untuk posisi kita. Namun kita seharusnya menghayati apa yang menjadi tugas kita. “Bekerja dengan hati dan yang dikerjakan itu sebagai masterpiece maka kita akan dilihat orang,” tambah Deputi.
Bekerja dengan hati dan yang dikerjakan itu sebagai masterpiece maka kita akan dilihat orang. Hal tersebut telah ditekuninya sepanjang hidup dan bahkan diterapkan di dalam keluarga. Salah satunya memberikan kesempatan yang besar bagi anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Ini pun ditunjukkan kepada para pegawai untuk melanjutkan studi S2 atau S3. Namun yang diharapkan Deputi ketika menempuh pendidikan bahwa kita tidak hanya mendapatkan pengetahuan tetapi nilai (value). Deputi berpendapat nilai sangat penting dalam pengembangan diri untuk menjadi manusia yang utuh, dan bukan semata-mata kerja itu hanya untuk rejeki uang. (phi) Gema BNPB September 2014
67
Snapshot
Sumber : Biro Pers Istana
Penyematan anugerah tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Kepala BNPB, DR. Syamsul Maarif, M.Si.
Pertemuan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan 2014 di Surabaya.
Media Summit on Climate Change ICTs and Disaster Reduction di Jakarta.
Kunjungan kerja Angkatan Darat Kerajaan Inggris ke BNPB.
Rakor tingkat menteri mengenai Sinabung dan Banjir Sulut di Kantor Kemenkokesra, Jakarta.
68
Gema BNPB September 2014
In House Training bagi Pengambil Keputusan di INA DRTG, Sentul, Jawa Barat.
Serah terima jabatan Ketua Dharma Wanita Persatuan BNPB.
Kepala BNPB menerima laporan keuangan dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK.
Rapat pengurus Barang Milik Negara di lingkungan BNPB.
Rapat Buku Data Bencana Indonesia tahun 2013 di Kantor BNPB. Gema BNPB September 2014
69
Kunjungan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin ke kantor INA DRTG Sentul, Jawa Barat.
Sosialisasi Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah dalam Menghadapi Erupsi Gunungapi di Minahasa Utara.
Halal bihalal keluarga besar BNPB di TMII, Jakarta.
Pertemuan Forum Komunikasi Teknologi Informasi Komunikasi di BNPB.
Tim finalisasi penyusunan kurikulum diklat penanggulangan bencana untuk wartawan.
70
Gema BNPB September 2014
DI TENGAH BENCANA
SELALU ADA KRITIK & ADA YANG BEKERJA
“B
iasanya dalam keadaan bencana seperti ini, yang muncul adalah komentar yang cepat menyalahkan, terlambat, serba minim dan sebagainya. Pada batas tertentu, anggaplah itu sebagai pemicu untuk kita bekerja lebih baik lagi. Yang berkomentar miring, masih tetap berkomentar miring, lupa untuk ikut berkontribusi dalam mengatasi masalah itu. Tapi jangan itu mengganggu mengatasi konsentrasi kita, kegigihan kita untuk mengatasi masalah. Rakyat merasakan, manakala kita tulus dan serius di dalam mengatasi semua itu.
Jadi ini yang saya sampaikan kepada semua pimpinan daerah yang juga bekerja serius untuk mengatasi masalah itu. Kemarin di Mentawai, di Padang, sebelumnya di Wasior, di Papua Barat dan akan saya sampaikan terus. Mari, kita konsentrasi dan gigih mengatasi semuanya itu. Yang lain kita serahkan pada keadilan Tuhan. Saya dan rakyat yang akan bisa menilai, apakah kita semua serius, tulus, cekatan untuk mengatasi masalah itu.” Arahan Presiden RI dalam Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Merapi 2 November 2010
Diterbitkan oleh: Pusat Data Informasi dan Humas BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat 10120 Telp. 021-3458400 Fax. 021-3458500 Website Email Facebook Twitter Youtube
: : : : :
www.bnpb.go.id
[email protected] www.facebook.com/infobnpb http://twitter.com/BNPB_Indonesia http://www.youtube.com/user/BNPBIndonesia
ISSN 2088-6527
9 772088 652013