BENCANA ALAM SEBAGAI MOMENTUM REVITALISASI KETANGGUHAN BANGSA Yang saya hormati, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pimpinan dan anggota Majelis Wali Amanat, Pimpinan dan anggota Senat Akademik, Pimpinan dan anggota Majelis Guru Besar, Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor, Pengurus Pusat dan Pengurus Daerah KAGAMA, Para pejabat sipil dan militer, Para relawan Merapi, Segenap sitivas akademika Universitas Gadjah Mada, Para tamu undangan dan hadirin yang saya muliakan. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wa Barokatuh Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan karunia-Nya pada hari ini kita diberikan kesehatan dan kesempatan untuk memperingati Dies Natalis Universitas Gadjah Mada yang ke 61. Adalah sebuah kehormatan bagi kami untuk menyiapkan materi dan membacakan pidato Dies ini. Sebagaimana kita ketahui dan rasakan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini masyarakat dunia, Indonesia pada khususnya, terus menerus dilanda bencana alam. Data yang dikumpulkan EMDAT menunjukkan peningkatan kejadian bencana alam selama 3 dasawarsa terahir mencapai hampir 350%. Dalam laporan CRED (2009), selama tahun 2008 terjadi 354 kali bencana alam, jumlah tersebut lebih rendah dari rerata selama tahun 2000-2007 yang mencapai 397 bencana/tahun. Namun demikian jumlah korban dan kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dari rerata tahun-tahun sebelumnya. Lebih dari 230.000 manusia meninggal dunia (tiga kali lipat rerata 2000-2007), 214 juta manusia terkena dampak bencana serta kehilangan harta benda lebih dari 190 milyar US dolar (dua kali
2
lipat rerata 8 tahun sebelumnya). Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa Asia masih menjadi benua yang paling banyak mengalami bencana alam, dengan 9 dari 10 negara yang terbanyak mengalami bencana. Indonesia menempati urutan ke empat setelah Cina, Amerika Serikat, dan Filipina. Pada skala nasional, beberapa bencana alam yang cukup besar terjadi dalam satu dasawarsa terahir ini dimulai dari tsunami di Aceh, gempa tektonik di Bantul dan sekitarnya, gempa di Sumatera Barat, banjir di Wasior, tsunami di Mentawai, sampai letusan Gunung Merapi yang terjadi bulan lalu. Pada peringatan hari ulang tahun UGM yang ke 61 ini, marilah kita doakan semoga para korban becana yang telah tiada diberi tempat yang mulia di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga mereka yang selamat dari bencana diberi kekuatan dan kemudahan dalam menghadapi musibah, serta derajad kehidupan yang lebih baik dibanding sebelumnya. Sebagai bagian dari penghormatan, kepedulian dan tanggung jawab Universitas Gadjah Mada kepada para korban bencana alam dan masyarakat pada umumnya, pidato Dies UGM kali ini mengambil tajuk bencana alam. Pilihan tema ini bukan dimaksudkan untuk meratapi bencana yang telah menimpa kita, tetapi sebagai momentum untuk belajar agar bisa lebih tangguh mengadapi segala macam krisis dalam berbagai bidang. Bencana alam adalah sebuah musibah, sebuah cobaan yang teramat berat bagi umat manusia. Tetapi, sebagaimana telah diajarkan oleh agama, di balik musibah itu ada hikmah dan bahkan anugerah. Adalah diri kita sendiri yang bisa menjadikan musibah tersebut hanya berhenti sebagai musibah, ataukah kita jadikan momentum untuk menggaet hikmah dan anugerah. Atas pertimbangan tersebut, dalam kesempatan yang sangat berharga ini kami bermaksud menyumbangkan pemikiran tentang: “Bencana Alam Sebagai Momentum Revitalisasi Ketangguhan Bangsa”. Hadirin yang berbahagia,
3
Kita semua menyadari bahwa bencana alam merupakan peristiwa alam yang dahsyat dan sering membawa tragedi dan penderitaan besar bagi umat manusia. Energi luar biasa yang dilepas oleh alam bisa memporak-porandakan hasil jerih payah manusia selama puluhan tahun dan menelan banyak korban jiwa, bahkan mengubur satu peradaban manusia dalam waktu singkat. Bencana tersebut bisa berupa gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, dan yang lainnya, yang sebagian merupakan dinamika alam, sebagian lain dipicu oleh ulah manusia. Namun demikian, di balik penderitaan yang diakibatkannya, bencana alam juga memberikan banyak peluang. Bencana alam bisa menjadi pemicu (trigger) bagi bangkitnya kehidupan baru yang lebih baik dan tangguh. Pada saat bencana alam meluluh lantakan normalitas kehidupan dan mengakibatkan penderitaan manusia di atasnya, kita melihat peristiwa yang luar biasa yang jarang terjadi dalam situasi normal. Semangat dan energi untuk membantu dan menolong kepada para korban tanpa melihat hubungan darah, etnis dan agama tiba-tiba bangkit. Bencana alam menggugah rasa kemanusiaan kita dan bahkan menyatukan rasa kebangsaan kita. Kita melihat di media, bagaimana tukang parkir di Jakarta yang bahkan belum pernah melihat Gunung Merapi kemudian tergugah untuk berbagi hasil keringatnya dengan korban bencana Merapi. Orang-orang yang sebelumnya tidak dikenal, tiba-tiba mengulurkan tangan dan menjadi saudara. Justru pada saat bencana terjadi, kebangsaan dan ke-Indonesiaan kita seolah lahir kembali. Fenomena kecil itulah yang antara lain menginspirasi isi pidato Dies ini. Bencana alam menjadi semacam titik kritis percabangan, yaitu di satu sisi membawa kehancuran, namun di sisi lain membuka peluang untuk perbaikan, dan bahkan lompatan kemajuan sebuah bangsa. Tema inilah yang coba kami angkat dalam pidato ini yang merupakan sinergi pemikiran dari berbagai disiplin ilmu di universitas kita tercinta ini. Kedahsyatan Bencana Alam Bapak Ibu hadirin yang saya hormati,
4
Terdapat banyak contoh yang menunjukkan bahwa bencana alam bisa meluluh lantakkan sebuah masyarakat atau bangsa. Letusan gunung Vesuvius yang terjadi di Italia Selatan di tahun 79 M telah mengubur kota Pompeii dan Herculaneum dengan segala isinya. Kota tersebut hilang setelah letusan dan baru ditemukan dan digali 1.600 tahun kemudian. Bukti kebesaran Kekaisaran Romawi ini oleh UNESCO dijadikan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia. Yang terjadi satu dekade yang lalu di Philipina juga luar biasa dahsyat. Pada tanggal 15 Juni 1991, gunung Pinatubo yang 600 tahun sebelumnya tidur pulas, mendadak meletus dan mengakibatkan 850 orang meninggal dunia dan 66.000 orang harus dievakuasi. Hal ini mengakibatkan rerata suhu global turun 0,4 derajad celsius selama tiga tahun berikutnya. Lima miliar meter kubik semburan debu piroklastik yang dilontarkan ke atmosfir telah memaksa ditutupnya Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Subic Bay yang terletak 75 km dari puncak gunung dan Pangkalan AU Clark 25 km di sebelah timur puncak Pinatubo. Kedahsyatan letusan gunung berapi yang terjadi dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia tetap menempati posisi tertinggi. Letusan Gunung Toba purba 73.000 tahun lalu tercatat sebagai salah satu letusan gunung berapi terhebat dalam sejarah kehidupan manusia, bahkan hampir memunahkan umat manusia di bumi. Letusan ini termasuk kategori letusan megakolosal dengan level 8 dalam indeks letusan gunung berapi. Tak kurang dari 150 milyar meter kubik material dilontarkan ke angkasa dan merubah klimat global selama dasawarsa berikutnya. Kaldera yang terbentuk akibat letusan dahsyat tersebut mewariskan danau Toba sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini. Kekuatan letusan Gunung Tambora pada 8-12 April 1815 masih jauh di bawah letusan Toba, namun sepuluh kali lebih dahsyat dari letusan Pinatubo. Bencana Tambora ini menelan korban terbanyak sepanjang sejarah peradaban manusia modern, dengan perkiraan lebih dari 71.000 korban jiwa. Tercatat tiga kerajaan hancur, yaitu Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar yang sempat berkembang di wilayah Bima, Nusa Tenggara Barat. Lima puluh miliar meter kubik material dilontarkan setinggi hingga 43.000 m dari
5
permukaan laut dan kemudian menyebar ke seluruh atmosfir bumi. Debu volkanik dan 400 juta ton gas belerang yang diterbangkannya menurunkan suhu global hingga 3 derajad Celcius dan menyebabkan setahun tanpa musim panas di wilayah-wilayah empat musim. Peristiwa tersebut mengakibatkan gagal panen dan kelaparan terbesar di benua Eropa dan Kanada pada tahun 1816 yang menelan 200.000 korban jiwa, serta epidemi cholera di India. Namun, bencana Tambora tersebut juga melahirkan inovasi. Kesulitan penyediaan pakan bagi kuda mendorong inventor Jerman, Karl Drais mengembangkan angkutan darat tanpa kuda dan lahirlah velocipede, cikal bakal sepeda (New Scientist, 29 Januari 2005). Indonesia tidak hanya pernah mengalami bencana Toba dan Tambora. Dengan tidak kurang dari 150 gunung berapi yang tersebar di kepulauan Indonesia, potensi letusan gunung berapi bisa terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Yang terakhir adalah letusan Gunung Merapi yang terjadi sejak 26 Oktober 2010 lalu selama lebih dari satu bulan yang merupakan letusan terdahsyat Merapi dalam seratus tahun terakhir. Letusan ini telah mengakibatkan 353 orang meninggal dunia (data per 3 Desember 2010 saat Merapi telah diturunkan statusnya), lebih dari 4.000 keluarga kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya, sekitar 867 hektar hutan rusak dan terbakar, serta sekitar 320.000 orang harus mengungsi pada saat puncak aktivitasnya. Demikian pula dengan bencana gempa bumi, Indonesia bersama Jepang merupakan negara dengan kejadian gempa paling tinggi frekuensinya. Rekor gempa bumi dalam sejarah modern juga terekam di Indonesia, ketika gempa di lepas pantai Banda Aceh pada 26 Desember 2004 mencatat getaran hingga 8,9 skala richter atau 9,3 skala magnitude (McKee, 2005). Gempa ini merupakan kekuatan gempa bumi terbesar kedua yang pernah tercatat, sedikit di bawah Gempa Chili tahun 1960 yang berkekuatan 9,5 M. Meski dari pergeseran dan tumbukan lempeng Indo-Australia dan Eurasia telah diprediksi bakal terjadi di pantai barat Sumatra, namun patahnya 1.600 km lempeng benua di dasar laut Andaman yang menimbulkan mega Tsunami tersebut mengejutkan dunia dan menelan 230.000 korban jiwa. Gelombang tsunami yang dibangkitkan mencapai tinggi 30 meter dan melanda tidak saja Pantai Barat Sumatera tetapi sampai
6
ke Thailand, Sri Lanka, India, Maladewa, bahkan sampai Somalia. Dalam 10 tahun terahir, Indonesia mengalami tidak kurang dari 54 gempa bumi besar dengan kekuatan di atas 6 skala Richter. Gempa Jogja dan Jawa Tengah pada tanggal 26 Mei 2006 menelan 5.749 korban jiwa, gempa Padang pada tanggal 30 September 2009 menelan korban 1.117 jiwa, serta gempa dan tsunami Mentawai pada tanggal 25 Oktober 2010 menelan 431 korban jiwa. Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati, Memang, posisi geologis Indonesia pada mahkota “cincin api Pasifik” – (the crown of the Pacific Ring of Fire) yang sekaligus di pertemuan antara landas Benua Eurasia serta Indo-Australia menyebabkan tingginya potensi bencana geofisik. Bukan hanya gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi, tetapi juga banjir lahar, amblesan (subsidence), letusan lumpur (mud explosion), dan tanah longsor. Namun di balik keganasan alam itu tersimpan juga kemurahan alam untuk manusia yang hidup di atasnya. Posisi geografis dan kondisi geologis tersebut menjadikan Indonesia kaya dengan berbagai macam bahan mineral tambang dan tanah yang subur. Tanah yang subur dan sangat sesuai untuk budidaya pertanian dan perkebunan adalah kombinasi dari endapan gunung berapi dan iklim hujan tropika. Ketersediaan air kaya mineral yang melimpah untuk kehidupan adalah juga sebagai akibat dari kombinasi relief pegunungan, endapan gunungapi, dan iklim hujan tropika. Lebih dari itu, keindahan relief pegunungan dan danau-danau volkanik dan tektonik serta penutupan lahan yang selalu hijau dilengkapi dengan iklim yang sejuk adalah panorama indah yang tiada duanya. Betapa kayanya tanah air kita dengan sumber mineral, kelimpahan air, serta kesuburan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Di samping itu, belasan ribu pulau dan perairan yang kaya yang menghubungkan pulau-pulau tersebut merupakan kekayaan yang tiada duanya di dunia. Di sinilah letak ironi alam di mana masyarakat Indonesia berpijak, kita berpijak di bumi yang rawan bencana alam, tetapi sekaligus kaya sumber daya alam. Oleh karena itu, kita ditantang untuk mampu mengelola ironi alam tersebut
7
semaksimal mungkin melalui ketanggungan kita di bidang sosial, ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengelola Kerentanan Akibat Bencana Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati, Besarnya risiko bencana alam tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya bahaya alam (natural hazards), tetapi juga tingkat kerentanan (vulnerability) masyarakat terhadap bencana. Oleh karenanya untuk meminimalisasi bencana alam, kita tak saja harus memahami potensi bahaya alam tetapi juga pada kerentanan berbagai kelompok masyarakat. Jumlah korban dan kerugian yang terjadi di negara miskin atau masyarakat miskin umumnya jauh lebih besar dibanding dengan negara maju atau masyarakat kaya. Data dari EM-DAT selama tahun 1973-2002 menunjukkan bahwa jumlah korban jiwa akibat bencana alam di negara miskin (low income countries) mencapai lebih dari 1,4 juta jiwa, sementara di negara kaya kurang dari 10 ribu jiwa. Menurut kajian Palang Merah Internasional, di negara maju jumlah korban jiwa rerata mencapai 22 orang meninggal per kejadian bencana, di negara penghasilan menengah 145 meninggal per kejadian bencana, sementara di negara miskin 1.052 meninggal per kejadian bencana. Jumlah korban jiwa yang besar pada masyarakat miskin ini dikarenakan oleh banyak faktor. Masyarakat miskin pada umumnya tidak mampu membangun hunian dengan standar kualitas tinggi agar lebih tahan bencana, serta mereka harus tinggal di kawasan yang rawan karena ketiadaan tempat tinggal yang layak dan aman terhadap bencana alam. Selain itu, kurangnya pendidikan dan pemahaman akan bahaya alam dan risikonya menyebabkan mereka tidak siap menghadapi bencana alam. Saat terjadi bencana gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006, hal tersebut terlihat benar. Pemukiman masyarakat miskin mengalami kerusakan yang paling parah dan menelah korban jiwa yang paling besar. Tertimpa reruntuhan bangunan sederhana (non engineered building) yang dibuat sendiri oleh masyarakat merupakan penyebab utama jatuhnya korban. Dalam hal kerugian harta benda akibat bencana alam, meskipun secara absolut di negara miskin lebih rendah dibanding
8
negara kaya, namun bila dihitung relatif terhadap GDPnya, proporsi kerugian tersebut jauh lebih besar. Gempa Haiti dengan skala 7 pada Januari 2010 menelan 222.570 korban jiwa dan kerugian ekonomi 8 milyar dolar atau setara dengan 73% GDP negara tersebut. Tsunami Samudra Hindia 26 Desember 2004 memporakporandakan perekonomian Maladewa yang 6 hari sebelum kejadian baru saja dinyatakan telah lepas dari daftar negara-negara miskin PBB (least developed countries). Tsunami tersebut telah mengembalikan negara tersebut 20 tahun ke belakang (UNDP, 2005). Badai Mitch tahun 1998 menyebabkan kerugian 1 miliar dollar bagi Nicaragua, atau setara dengan 50% GDPnya, dan 2 miliar dollar bagi Honduras, atau setara dengan 37,7% GDP negara tersebut (EM-DAT). Hadirin yang saya hormati, Revitalisasi Ketangguhan Bangsa Konsep bahwa bencana merupakan satu batu ujian untuk mencapai ketangguhan yang lebih tinggi bahkan suatu kejayaan bukanlah sesuatu yang asing. Dalam pewayangan kita mengenal kisah Jabang Tetuko yang diuji dalam kawah Candradimuka sebelum menjadi Gatotkaca, kesatria yang sakti mandraguna. Dalam ajaran Hindu, Dewa Siwa sebagai dewa perusak atau pelebur adalah satu dari Trimurti yang bertugas melebur segala sesuatu yang telah usang agar kehidupan baru yang lebih baik bisa terjadi. Dari dewa Siwa lahirlah Ganesha sebagai lambang pengetahuan dan kearifan. Dalam agama Islam kita juga belajar bagaimana Nabi Muhammad s.a.w. diuji dengan tahun-tahun yang penuh dengan cobaan, dengan kematian istri serta paman beliau yang selama bertahun-tahun menjadi pelindung beliau, sebelum akhirnya berhijrah ke Madinah yang merupakan titik balik perkembangan agama Islam menuju kejayaannya. Bencana merupakan satu batu ujian untuk meningkatkan ketangguhan manusia, ketangguhan masyarakat. Dalam kitab suci Al Qur’an antara lain difirmankan: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya [QS 2: 286]. Dengan demikian mereka yang selamat dan berhasil mengatasi bencana mempunyai ketangguhan yang lebih tinggi. Memang benar bahwa sebagian bencana alam adalah
9
fenomena alam yang tidak bisa dicegah oleh manusia. Kehadirannya merupakan kodrat yang tidak bisa dihalangi apalagi ditolak oleh manusia yang ada di dekatnya. Namun demikian, risiko yang diakibatkan oleh bencana ini bisa diminimalisasi, dan bahkan dijadikan momentum ketangguhan sebuah bangsa untuk menghadapi berbagai macam krisis. Paradigma dalam pengelolaan bencanapun telah mengalami perubahan mendasar. Pendekatan pasif-reaktif yang memandang bahwa bencana bersifat tak bisa diprakirakan, tak bisa dihindari, sehingga harus ditangani secara darurat telah banyak ditinggalkan. Pendekatan dominan saat ini adalah pendekatan aktif-preventif yang memfokuskan pada upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana. Perubahan paradigma tersebut mengandung konsekuensi bahwa upaya penanggulangan bencana merupakan bagian integral aktivitas pembangunan untuk membangun ketangguhan bangsa menghadapi masa depannya. Dalam konteks memanfaatkan bencana untuk momentum revitalisasi ketangguhan bangsa, maka siklus manajemen bencana harus kita maknai sebagai satu siklus untuk revitalisasi tersebut. Bangsa yang tangguh menghadapi bencana baik alam maupun bencana lainnya bisa dicirikan melalui ungkapan bahasa Jawa: masyarakat yang tanggap, tangguh, tanggon, dan trengginas. Proses pencegahan dan mitigasi bencana harus dimaknai sebagai upaya untuk menyiapkan ketangguhan masyarakat melalui pembangunan kesadaran akan bahaya bencana yang mengancam sehingga siap dan tanggap menghadapinya. Ketanggapan dalam arti luas adalah kemampuan untuk responsif terhadap perubahan, mampu beradaptasi dan memanfaatkan peluang secara optimal. Dalam kehidupan modern yang penuh dengan dinamika perubahan dan persaingan, sikap tanggap tersebut merupakan kapasitas dasar untuk menghadapi persaingan global. Kesiagaan bencana adalah membangun masyarakat agar tidak saja tanggap terhadap bencana tetapi juga trengginas ketika bencana datang. Trengginas dalam arti luas adalah kemampuan untuk secara cepat, cerdas dan tepat mengambil keputusan dan melangkah dengan keputusan tersebut untuk mengatasi bencana, menghadapi berbagai
10
macam krisi dan memenangi persaingan. Ketika bencana atau krisis melanda, maka masyarakat yang tangguh tadi akan menjadi tanggon, yang artinya dapat diandalkan untuk menghadapi dan mengatasi bencana. Momentum kejadian bencana alam harus dimanfaatkan sebagai pemicu untuk membangun itu semua bahkan lebih dari itu. Tahap pemulihan (recovery) merupakan saat untuk melenting kembali (spring back), meloncat menuju ke level ketangguhan yang lebih tinggi. Dengan demikian rekonstruksi atau pembangunan kembali tidak sekedar mengembalikan keadaan seperti kondisi semula, tetapi membangun kembali dengan lebih baik (building back better). Pembangunan yang tanggap dan tangguh bencana juga harus merupakan pembangunan yang didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pengentasan kemiskinan, karena kemiskinan merupakan sumber kerentanan bencana yang paling utama (Nizam, 2010). Bapak Ibu para hadirin yang mulia, Hasrat untuk membangun peradaban yang jauh lebih maju pasca bencana telah dikenal dalam sejarah berbagai bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Strategi yang digunakan juga terus berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban. Strategi paling konvensional yang digunakan adalah berpindah tempat tinggal menjauhi bencana, yang sering juga digunakan sebagai momentum untuk membangun masyarakat yang lebih kuat dan maju. Dalam sejarah Nusantara, dipindahkannya pusat kerajaan Mataram Hindu ke arah Timur yang melahirkan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur pada abad ke 12 hingga 16 juga bermaksud ganda. Di satu sisi perpindahan ini dimaksudkan untuk menghindari risiko bencana alam, baik letusan gunung berapi maupun gempa tektonik. Namun, di sisi lain perpindahaan ini juga didorong oleh keinginan untuk memanfaatkan potensi perdagangan antar negara yang mulai tumbuh pada masa-masa tersebut. Wilayah dan orientasi kerajaan Mataram Hindu yang agraris bergeser menuju pengembangan kerajaan yang tidak hanya berbasis pada kekuatan agraris tetapi juga niaga dan maritim. Akses ke laut dan perdagangan dunia yang lebih baik bisa
11
dikembangkan di Jawa Timur. Perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur tersebut akhirnya mengalami puncak kejayaannya pada masa Majapahit (Purwanto, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa momentum bencana alam telah diubah menjadi energi untuk membangun hari esok yang lebih baik, menulis kembali bahkan mereorientasi jalannya sejarah. Peristiwa dramatis serupa bisa kita lihat dari lahirnya sistem welfare-state di negara-negara Skandinavia yang lahir dari kebutuhan untuk bersama-sama menghadapi bencana. Bencana besar the black death melanda hampir seluruh Eropa dan menyebar dengan cepat ke benua Asia dan Afrika Utara. Wabah mematikan yang bersumber dari penyakit pes ini terjadi pada pertengahan abad ke 14 dan mencapai puncaknya di Eropa antara tahun 1348 hingga 1350. Bencana tersebut diperkirakan telah membunuh seperempat penduduk Eropa dari ujung selatan Italia hingga kawasan Skandinavia, dari Cordoba hingga wilayah Rusia. Diperkirakan korban mencapai 25.000.000 jiwa dari sekitar 102.000.000 penduduk Eropa. Kengerian akan wabah tersebut digambarkan dengan sampai tidak sanggupnya keluarga untuk mengubur anggotanya yang meninggal, berhentinya seluruh aktifitas politik-pemerintahan dan mandegnya kegiatan peribadatan di gerejagereja. Namun the black death yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis tersebut tidak hanya menimbulkan kematian tetapi juga membawa perubahan sangat mendasar dalam tata sosial masyarakat. Di kawasan Norwegia misalnya, wabah yang membawa kematian besar ini telah melahirkan reformasi agraria setelahnya sehingga melahirkan struktur sosial baru yang lebih egaliter. Di kawasan Eropa daratan, perubahan mendasar terjadi dalam aktifitas gereja, di mana lembaga ini kemudian lebih aktif untuk menjalankan fungsi pelayanan sosial kepada jemaatnya. Lebih luas lagi, bencana kematian besar dalam sejarah Eropa tersebut menjadi pembelajaran penting, bahwa tanpa peran institusi sosial-kolektif yang kuat, individu dan keluarga sangatlah rentan. The black death telah memberikan fondasi bagi lahirnya sistem perlindungan sosial-ekonomi yang lebih kokoh yang dilakukan institusi di atas keluarga, yaitu Negara dan Gereja. Sistem perlindungan yang kemudian bertransformasi menjadi sistem welfare,
12
baik yang berbasis Negara maupun institusi sosial-kolektif. Esensi dari semua itu adalah bagaimana kita memanfaatkan energi bencana menjadi momentum untuk merevitalisasi ketangguhan kita sebagai bangsa. Bangsa Indonesia telah terbukti sebagai bangsa yang tangguh, yang mampu berkembang berhadapan dengan dinamika alam, mampu merebut kemerdekaan, serta yang terahir mampu bangkit dari krisis multi dimensi pada akhir dekade 90-an menuju lahirnya masyarakat demokratis modern seperti saat ini. Untuk bisa mengubah bencana menjadi momentum tersebut dibutuhkan lompatan kapasitas, lompatan derajat ketangguhan bangsa. Kita harus merevitalisasi ketangguhan sosial, ketangguhan ekonomi, dan ketangguhan teknologi. Revitalisasi Ketangguhan Sosial Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati, Salah satu kunci sukses dalam Rekonstruksi Paska bencana Gempa Bumi di Jawa tahun 2006 adalah kerja sinergis antara pemerintah dengan kebijakan-kebijakan paska bencana yang relevan; dukungan berbagai lembaga, donor nasional dan internasional yang membantu melalui rencana konkret dan aksi nyata dalam mengisi kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dan kapasitas Pemerintah saat bencana; dan tentu saja ketangguhan masyarakat dalam mengatasi permasalahan paska bencana dengan kerja keras bahu membahu, yang kesemuannya terakumulasi dalam kekuatan yang sering disebut sebagai “modal sosial”. (Ikaputra, 2009). Idham Samawi (2008)—yang saat itu menjabat sebagai bupati Bantul, kabupaten yang paling berat terkena dampak kerusakan akibat gempa tahun 2006, mendefinisikan terminologi modal sosial sebagai kemampuan komunitas untuk mengembangkan kerja sama (kemitraan) dalam rangka mencapai tujuan bersama, yang dilandasi oleh semangat kebersamaan, nilai-nilai agama, dan kearifan lokal. Kegiatan-kegiatan seperti membantu mereka yang sedang dalam kesulitan, kegiatan bersih dusun, atau kebersamaan dalam membangun wilayah, merupakan sejumlah contoh yang dapat dikemukakan oleh Idham Samawi, yang kesemuanya memperlihatkan kuatnya ikatan sosial dan pada sisi yang lain menunjukkan kuatnya
13
toleransi di dalam komunitas. Modal sosial tersebut tidak serta-merta lahir tetapi tumbuh dan berkembang secara laten melalui interaksi dan pranata sosial yang hidup dinamis di dalam masyarakat sehingga menjadi kearifan lokal yang unik untuk setiap komunitas. Pada saat bencana terjadi modal sosial tersebut menunjukkan daya dan ketangguhannya dalam menanggapi kondisi kritis secara spontan tanpa menunggu perintah. Ketangguhan yang muncul saat dan setelah bencana datang menjadikan masyarakat kita terkenal tangguh dalam merespon bencana. Sebelum pertolongan dari luar datang, sebelum pemerintah memobilisasi dukungan, gotong-royong dan volunteerisme masyarakat dengan cepat termobilisasi untuk bahu-membahu saling bantu dan saling tolong satu dan lainnya. Dalam tataran konseptual modal sosial dapat diterjemahkan sebagai tradisi kuat bangsa dalam wujud yang kita kenal sebagai “semangat gotong royong” dalam mengatasi berbagai permasalahan masyarakat. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana modal sosial atau gotong royong ini menjadi kunci sukses dalam mentransformasikan retorika bangsa pada Pidato Kenegaraan tahun 2006 menjadi kenyataan, yakni mempertangguh “Modal sosial untuk menjaga rasa kebersamaan, dan diharapkan mampu mencegah potensi ketegangan dan konflik antar kelompok masyarakat” (Yudhoyono, 2006: 13) Ketangguhan sebuah bangsa terdiri dari ketangguhan perorangan yang terintegrasi dalam sebuah ketangguhan kolektif masyarakatnya. Setiap kali terjadi bencana alam, proses tanggap darurat dan pemulihan kembali selalu menunjukkan betapa rasa kemanusiaan dan kebangsaan terpicu oleh peristiwa yang mempersatukan seluruh komponen bangsa tersebut. Lahirlah solidaritas, kepedulian sosial, kasih sayang, pengorbanan untuk sesama. Semangat kolektif untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah secara bersama tanpa menonjolkan pamrih pribadi, hal ini menggambarkan semangat kesukarelaan (volunteerism) yang ada dalam diri kita. Secara kolektif hal tersebut menjadi modal ketangguhan sosial yang sangat besar dan harus dijaga dalam proses pemulihan pasca bencana. Intervensi eksternal yang tidak menjiwai ketangguhan sosial
14
tersebut kadang justru meredupkan bahkan melenyapkan potensi pemulihan cepat korban bencana untuk segera mandiri dan kembali ke kehidupan normal. Sebagai contoh, semangat gotong-royong pengungsi yang selamat dari bencana dengan mudah akan hilang dengan pemberian insentif yang kurang tepat; pemerintah yang memposisikan diri sebagai penjamin kerugian bencana dengan menjanjikan penggantian atas kehilangan harta-benda bisa menjadi kontra produktif. Respon pemerintah dalam kekacauan saat tanggap darurat seringkali didasarkan pada tujuan pemulihan keamanan dan ketertiban melalui pendekatan komando dari pusat yang salah menafsirkan keadaan lapangan dan merendahkan potensi masyarakat. Padahal, sebelum pemerintah bisa bertindak, pertolongan pertama justru datang dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu Hamdi (2010) menggaris bawahi pentingnya pendekatan partisipatoris masyarakat mulai saat tanggap darurat untuk membangun ketangguhan sosial yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan ketangguhan sosial pascabencana, sejumlah prinsip perlu dijalankan dalam tahap-tahap tanggap bencana. Pertama, pelibatan masyarakat yang tertimpa bencana dalam setiap proses pengambilan keputusan menyangkut pemulihan pascabencana. Tokoh-tokoh masyarakat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan menyangkut pengorganisasian pengungsi, kebutuhankebutuhan dalam tahap tanggap darurat dan terutama pada tahap-tahap berikutnya, termasuk keputusan tentang tempat dan rancangan hunian antara bagi pengungsi. Pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan akan membantu pemulihan psikologis dan mendorong keberdayaan masyarakat secara keseluruhan. Kedua, pelibatan masyarakat dalam setiap langkah dalam tanggap bencana. Kegiatankegiatan penyiapan makanan, hunian darurat dan hunian antara, kebersihan dan keamanan lingkungan hunian darurat, hiburan, dan bahkan pendidikan bagi anak-anak usia sekolah dan pra-sekolah. Kedua prinsip di atas menempatkan masyarakat yang tertimpa bencana tetap sebagai subjek, bukan objek program tanggap bencana. Dengan demikian rasa keberdayaan dan kebersamaan dalam masyarakat tetap dijaga, bahkan ditumbuhkembangkan. Sebagai bangsa yang religius, peristiwa bencana sering pula
15
diikuti dengan refleksi atas kesalahan dan kekurangan yang telah dilakukan sebelum kejadian bencana baik secara perorangan maupun kolektif. Refleksi tersebut hendaknya menjadi modal untuk melakukan perbaikan dalam segala bidang baik dalam ranah teknis seperti penataan kawasan dan lingkungan yang lebih baik, pembangunan rumah yang lebih tahan bencana, penyempurnaan perencanaan tanggap darurat dan mitigasi bencana, hingga perbaikan perilaku sosial di dalam masyarakat. Bencana alam hendaknya menjadi momentum untuk mawas diri dan melakukan perbaikan dan memperkokoh modal sosial yang merekatkan kebersamaan bangsa. Sebagai contoh, bencana tsunami Aceh telah dimanfaatkan menjadi momentum perekat perdamaian dan menghentikan konflik sosial di dalam masyarakat. Revitalisasi Ketangguhan Ekonomi Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati, Setiap kejadian bencana selalu meninggalkan tantangan berat bagi pemerintah dan masyarakat. Hilangnya tempat tinggal, terputusnya suplai air bersih, terputusnya aliran listrik, terganggunya layanan telekomunikasi, rusaknya jalan dan jembatan, dan berbagai prasarana lain mengganggu bahkan menghentikan aktifitas sosialekonomi masyarakat. Bencana alam juga bisa menghapus kemajuan ekonomi yang telah terjadi selama puluhan tahun sebelumnya. Mereka yang selamat dari bencana alam mengalami kesulitan karena meningkatnya pengeluaran dan menurunnya penghasilan karena hilangnya asset dan sumber mata pencaharian. Ironisnya, bencana alam selalu memberi pukulan ekonomi terbesar bagi masyarakat miskin. Hilangnya rumah tinggal yang merupakan asset utama bagi sebagian besar masyarakat miskin menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengatasinya. Pemulihan kembali ekonomi, kehidupan dan penghidupan masyarakat (economic recovery) merupakan tantangan yang tidak mudah diatasi dan memerlukan waktu yang lebih lama dan proses yang lebih berat dari pada pemulihan sarana-prasarana. Sebagai contoh, meskipun revitalisasi kota Kobe pasca gempa 17 Januari 1995 telah melahirkan kota dan prasarana yang sama bahkan lebih baik dari
16
sebelum gempa, namun aktivitas perdagangan di pelabuhan terbesar ke dua di Jepang tersebut tetap saja tidak bisa pulih ke kondisi sebelum bencana (Edgington, 2010). Diperlukan unsur lain dari sekedar pemulihan prasarana fisik, yakni ketangguhan yang lebih dalam dalam diri manusia secara kolektif, dalam diri masyarakat, dalam diri bangsa. Di sini kita lihat bahwa yang dibutuhkan bukan hanya sekedar economic recovery semata, lebih dari itu, diperlukan revitalisasi kapasitas sistem ekonomi untuk ‘melawan’ kerentanan ekonomi (economic fragility). Mengingat hampir seluruh wilayah Indonesia rawan bencana alam, maka sangat mendesak bagi negara untuk mengembangkan sistem penjaminan penyediaan layanan dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban bencana. Sistem tersebut bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sistem penjaminan layanan dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh warga negara. Hal ini merupakan tantangan bagi para ekonom kita untuk memikirkan sistem kesejahteraan yang lebih utuh bagi seluruh warga negara Indonesia. Selama ini korban harta benda terbesar dirasakan oleh masyarakat (sektor privat) karena belum meluasnya sistem serta tingginya biaya asuransi. Perlu dikembangkan sistem asuransi bencana secara nasional. Di Amerika Serikat misalnya, pada tahun 1968 telah dikembangkan National Flood Insurance Program (NFIP) berdasar Undang-undang untuk melindungi masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir (FEMA, 1986). Program semacam itu tentunya bisa juga dikembangkan untuk para petani agar terlindung dari bencana gagal panen karena bencana alam cuaca maupun hama. Dana siaga bencana dalam bentuk dana abadi (endowment fund) yang dapat segera dimanfaatkan saat terjadi bencana untuk keperluan tanggap darurat dan pemulihan (recovery) hendaknya disiapkan terutama bagi daerah-daerah dengan potensi bencana alam tinggi. Perencanaan skema-skema keuangan untuk mengatasi kondisi pasca bencana yang mendorong pulihnya aktifitas ekonomi, seperti penghapusan bunga pinjaman bagi korban bencana dan kemudahan akses pada modal kerja, hendaknya menjadi norma dan bagian dari praktek baik (best practice) yang dilakukan. Langkah-langkah pemulihan dini (early recovery) ekonomi
17
dan kehidupan sosial masyarakat dapat dilakukan segera setelah fase tanggap darurat. Program cash for work misalnya, bisa menjadi pilihan pemulihan segera perekonomian masyarakat korban bencana. Pelibatan para korban bencana dalam aktifitas ekonomi yang produktif hendaknya direncanakan dengan baik sebagai bagian dari disaster management. Tanpa perencanaan yang baik, kondisi masyarakat korban bencana yang berada dalam keterdesakan ekonomi dan rasa belas kasihan penolong untuk memberi bantuan dan santunan justru dapat menimbulkan situasi yang counter productive, merendahkan harga diri, daya juang dan semangat untuk bangkit kembali dari para korban. Diperlukan perencanaan yang baik dan kreativitas untuk bisa memanfaatkan besarnya dana bantuan yang masuk ke kawasan bencana agar segera menggerakkan perekonomian masyarakat, bukan sebaliknya. Revitalisasi Ketangguhan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati, Bencana alam juga memberi peluang untuk membangun kembali lebih baik (building back better). Tahap rekonstruksi merupakan saat kritis dan peluang emas bagi penataan ruang yang lebih aman, lebih baik dan lebih tangguh untuk menghadapi bencana. Hal ini merupakan tantangan bagi para ahli tata ruang, arsitek, dan insinyur, maupun para ahli ilmu sosial, administrasi publik, dan pemerintahan. Tata ruang baru hendaknya memberi harmoni yang lebih baik antara keamanan, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi, kesetaraan sosial, dan inklusifitas pembangunan. Rekonstruksi tidak terjadi dalam kevakuman tetapi merupakan kelanjutan dari alur pembangunan pra-bencana yang telah membentuk pranata politik, sosial, ekonomi, bahkan budaya masyarakat. Harus disadari fakta bahwa proses pra-bencana tersebut secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi pada besarnya bencana dan kerugian yang terjadi. Boleh jadi proses pembangunan pra-bencana yang membentuk masyarakat, kehidupan dan penghidupannya, pemukiman, pemerintahan, juga telah melahirkan kemiskinan, kerentanan, dan peminggiran kelompok masyarakat tertentu sehingga rawan terkena bencana. Oleh karenanya, sangat penting untuk
18
menganalisa dan memahami hal tersebut sehingga dapat dihasilkan model rekonstruksi yang paling tepat yang dapat mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketangguhan. Namun karena desakan waktu, seringkali hal tersebut tidak dilakukan atau hanya dilakukan secara superfisial. Masyarakat yang selamat dari bencana tidak diposisikan sebagai subyek, pelaku, melainkan sekedar obyek dalam rekonstruksi (Theo Schilderman, Putting people at the center of reconstruction). Sudah seharusnya apabila Indonesia sebagai supermarket bencana alam menjadi pusat dari kajian bencana alam di dunia. Kita dikaruniai dengan laboratorium alam skala 1:1 untuk riset kebencana alaman baik yang bersifat pemahaman akan kejadian alam tersebut (disaster science), aspek manajemen bencana, aspek kesehatan bencana, psikologi bencana, aspek teknologi dan rekayasa untuk mitigasi bencana, aspek sosio-ekonomi bencana, aspek humaniora, maupun aspek antropologi dan sejarah kebencanaan. Perguruan tinggi besar di seluruh Indonesia sangat potensial menjadi pusat kajian kebencana alaman dunia dengan ciri khas di masing-masing daerah. Bila untuk mengarus utamakan pelestarian lingkungan telah dikembangkan pusat-pusat studi lingkungan hidup di banyak perguruan tinggi di Indonesia, maka kebutuhan untuk mengembangkan pusat-pusat kajian kebencanaan di perguruan tinggi sangat mendesak. Riset kebencanaan sangat diperlukan untuk membangun kapasitas ketangguhan nasional dalam menghadapi bencana. Universitas Gadjah Mada sebagai perguruan tinggi Nasional yang berada di kota bersejarah dan kaya dengan berbagai kearifan lokal dan ragam bencana alam hendaknya mengembangkan kajiankajian kebencanaan tersebut baik yang berbasis keilmuan parsial maupun lebih penting lagi yang berbasis lintas disiplin ilmu untuk mengembangkan pengetahuan kebencanaan yang holistik. UGM juga perlu mengembangkan pendidikan interprofesi untuk menyiapkan para profesional tanggap darurat dan manajer pengelolaan bencana alam. Kajian-kajian tersebut hendaknya menjadikan Yogyakarta sebagai contoh kota yang tangguh menghadapi bencana bagi daerah-daerah lain di Indonesia dan bahkan bagi dunia.
19
Belajar dari bencana, momentum ini seharusnya juga menjadi pembelajaran bagi kita untuk membangun ketangguhan menghadapi arus globalisasi, liberalisasi dan persaingan dunia yang semakin ganas serta berbagai krisis yang bisa muncul setiap saat. Meskipun manifestasinya berbeda, namun banyak analogi yang bisa diambil. Perubahan drastis dalam sistem sosial, politik dan ekonomi di suatu negara bisa dengan cepat melanda Indonesia. Krisis moneter dan ekonomi di belahan dunia lain, bisa mengakibatkan krisis yang serupa di Indonesia. Seperti halnya bencana alam, krisis semacam ini bisa menghancurkan kapasitas masyarakat kita jika kita tidak mempunyai ketangguhan sosial, politik dan ekonomi yang handal. Oleh karena itu, kapasitas mengelola bencana alam dengan membangun ketangguhan kita di segala bidang akan menjadi pondasi bagi kapasitas kita untuk menghadapi krisis. Loncatan kemajuan pasca bencana untuk mampu mengelola berbagai macam krisis inilah yang perlu untuk kita bangun. Penutup Bapak Ibu para hadirin yang berbahagia, Bencana alam akan selalu ada, oleh karenanya satu-satunya pilihan adalah menyiapkan diri dan menjadikan diri tangguh menghadapinya. Peristiwa bencana seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita untuk lebih tanggap dan tangguh terhadap bencana alam serupa dan membuka peluang untuk membangun masa depan yang lebih baik. Merespon bencana bukanlah sekedar upaya recovery, atau mengembalikan keadaan seperti semula, tetapi membangun masyarakat yang lebih tangguh, jauh melebihi situasi sebelum bencana. Momentum yang dihasilkan oleh energi bencana hendaknya menjadi modal untuk menyatukan energi kehidupan masyarakat untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik melalui pembangunan yang lebih harmoni dan lestari dengan alam dan lingkungannya. Ketangguhan tersebut hendaknya juga mencakup ketangguhan kita menghadapi berbagai krisis dunia bahkan bisa turut serta membangun harmoni dunia. Ungkapan filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche dalam Twilight of the Idols (1888) berikut merangkum hal tersebut.
20
What does not destroy me, makes me stronger Akhirnya, saya ingin mengingatkan satu amnesia sejarah bangsa, termasuk sejarah UGM yang berkaitan juga dengan satu bentuk bencana. Yaitu “bencana” serangan kolonial Belanda pada 19 Desember 1948 yang mampu mempersatukan bangsa Indonesia dan sahabat Indonesia di PBB serta mengokohkan kemerdekaan kita. Untuk mengabadikan hal tersebut, meskipun Keputusan Pendirian UGM tertanggal 16 Desember 1949, tetapi Dies UGM diperingati pada tanggal 19 Desember. Hal ini dikarenakan momentum 19 Desember setahun sebelumnya (1948) menjadi momentum penting untuk merevitalisasi persatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kita tidak hanya sedang memperingati kelahiran Universitas Gadjah Mada, tetapi juga menegaskan dan memperkokoh ketangguhan bangsa Indonesia. Dirgahayu Universitas Gadjah Mada, semoga semangat kerakyatan yang merdeka dalam kebhinekaan yang merupakan fondasi kebangsaan kita terus menjadi nafas kehidupan akademik di kampus ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya bagi kita semua dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menuju kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia serta tangguh menghadapi segala tantangan zaman. Amin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
21
Daftar Pustaka Beck, Ulrich, (2000, Reprinted), Risk Society: Towards a New Modernity. Sage Publications: Thousands Oaks, California. Blaikie, Peter, T Cannon, I Davis, and B Wisner, 2004, At Risk: Natural Hazards, People’s Vulnerability, and Disasters, Routledge, New York, 2004, 464 pp. Comfort, Louise K., 2005, Risk, Security, and Disaster Management, Ann. Rev. Polit. Sci., 2005, 8:335-56. Copolla, Daniel P., 2007, Introduction to International Disaster Management, Elsevier, Amsterdam. Edgington, D.E., 2010, Reconstructing Kobe, The Geography of Crisis and Opportunity, UBC Press, Vancouver EM-DAT, http://www.em-dat.be/database. FEMA, 1986, A Unified National Program for Floodplain Management. 1 Mar. 1986. Hood, Christopher, Morrow, Betty Hearn, 1999, Identifying and Mapping Community Vulnerability, Disasters, 1999, 23(1):118. Ikaputra, 2009, Social Capital and House Reconstruction Post Earthquake: The Case of Yogyakarta 2006-2008. Report of Research Fellow at Institute of Architecture, Technical University of Vienna-Austria, 2007-2008. McKee, Maggie, 2005, Power of tsunami earthquake heavily underestimated, New Scientist, February 9, 2005. Nizam, 2010, Bencana alam dan pembangunan berkelanjutan – tantangan dan peran Teknik Sipil dan Lingkungan di masa depan, Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Pinkowski, Jack, 2008, Disaster Management Handbook (Public Administration and Public Policy), CRC Press, California. Purwanto, Bambang, 2010, Komunikasi pribadi. Salter, John, 1997, Risk Management in a Disaster Management Context, Journal of Contingencies and Crisis Management, Vol. 5 (1), March, 1997. Samawi, Idham, 2008, Urgensi Rekonsiliasi Komunitas. Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta, KR Online, 14 Februari 2008. Schilderman, Theo, 2010, Putting people at the center of
22
reconstruction, in Lyons, M. & Theo Schilderman (ed.), Building Back Better, Delivering people-centered housing reconstruction at scale, Practical Action Publ., London. Smith, Wally & John Dowell, 2000, A Case Study of Coordinative Decision-making in Disaster Management, ERGONOMICS, 2000, Vol. 43 (8), 1153-1166. Witt, James Lee, 2005, Building Back Better and Safer, Private Sector Summit on Post-Tsunami Reconstruction. Yudhoyono, Susilo B. (2006). Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Serta Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007, Sekretariat Negara.