ISSN: 1979-6013
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN (Forestry Socio and Economic Research Journal) Vol. 10 No. 4 Desember Tahun 2013
TERAKREDITASI No. 493/AU1/P2MI-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 10 Nomor 4, Desember Tahun 2013
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 10
No. 4
Bogor, Hal 211 - 273 Desember 2013
ISSN 1979-6013
JURNAL PENELITIAN
ISSN: 1979-6013
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal
Volume 10 Nomor 4, Desember Tahun 2013 Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala LIPI No. 742/E/2012. Jurnal ini memuat Karya Tulis Ilmiah dari hasil-hasil penelitian di bidang Sosial dan Ekonomi Kehutanan serta LINGKUNGAN dan terbit secara berkala empat kali dalam setahun (Maret, Juni, September, Desember). Forestry Social and Economic Journal is an accredited journal, based on the decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 742/E/2012. This Journal Publishes result research in Forest Socio-Economics and ENVIRONMENT and released four times annually (March, June, September, December). Penanggung Jawab (Editor in Chief) : Dewan Redaksi (Editorial Board) Ketua (Chairman) Anggota (Members)
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan : Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) : 1. Dr. Ir. Satria Astana, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) 2. Ir. Subarudi, M.Wood.Sc (Sosiologi Kehutanan) 3. Ir. Setiasih Irawanti, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) 4. Prof. Irsal Las (Agroklimatologi dan Lingkungan) 5. Dr. Ir. Didik Suhardjito, M.S (Sosiologi, Kehutanan & Kehutanan Masyarakat) 6. Dr. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan) 7. Dr. Ir. Handewi P. Salim (Sosial Ekonomi Pertanian) 8. Drs. Edi Basuno, M.Phill, P.Hd (Sosial Ekonomi Pertanian)
Redaksi Pelaksana (Editorial Secretariat) Ketua (Chairman) : Ir. Achmad Pribadi, M.Sc Anggota (Members)
: 1. 2. 3. 4.
Drs. Jonny Holbert Panjaitan, M.Sc Bayu Subekti, SIP, M.Hum Leni Wulandari, S.Hut Ratna Widyaningsih, S.Kom
Mitra Bestari (Peer Reviewers)
: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prof. Dr. Dudung Darusman (Kebijakan Kehutanan) Prof. Dr. Djaban Tinambunan (Keteknikan Kehutanan) Prof.MustofaAgungSardjono(PerhutananSosial) Dr. A. Ngaloken Gintings, (Konservasi Tanah dan Air) Dr. Ir. Boen M. Purnama (Ekonomi Sumberdaya Hutan) Prof. Dr. Ir. Kurniatun Hairiah (Perhitungan Emisi Karbon dan Upaya Pengendalian Perubahan Iklim)
Diterbitkan oleh (Published by) : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Centre For Climate Change And Policy Research And Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Forestry Research and Development Agency) Alamat (Address) : Jalan Gunung batu No. 5, PO. BOX 272 Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : 62-0251-8633944 Fax (Fax) : 62-251-8634924 Email :
[email protected]
ISSN: 1979-6013
TERAKREDITASI No. 493/AU2/P2M-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 10 Nomor 4, Desember Tahun 2013
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 10
No. 4
Bogor, Hal 211 - 273 Desember 2013
ISSN 1979-6013
Ucapan Terima Kasih Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada edisi Vol. 10 No. 4 Desember tahun 2013 : 1. Dr. A. Ngaloken Gintings 2. Prof. Mustofa Agung Sardjono 3. Dr. Ir. Boen M. Purnama
ISSN: 1979-6013
TERAKREDITASI No. 493/AU2/P2M-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 10 Nomor 4, Desember Tahun 2013 DAFTAR ISI ANALISIS FINANSIAL AGROFORESTRI KAYU BAWANG (Dysoxilum Mollissimum Blume) DAN KEBUTUHAN LAHAN MINIMUM DI PROVINSI BENGKULU (Financial Analysis of Kayu Bawang ((Dysoxilum Mollissimum Blume)) Agroforestry and Minimum Land Requirement in Bengkulu Province) Bambang Tejo Premono & Sri Lestari .........................................................................
211 - 223
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT DALAM PEMBANGUNAN (Studi Kasus Masyarakat Adat Battang Kota Palopo Sulawesi Selatan) (Empowerment Of Indigenous People In Development (Indigenous People Case Studies in Battang Palopo City South Sulawesi)) Mohammad Mulyadi ........................................................................................................
224 - 234
POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI PELET KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR TERBARUKAN, Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo (Potential Development of Wood Pellets as a Renewable Fuel, Case Study of Wonosobo District) Sylviani & Elvida Yosefi Suryandari ...............................................................................
235 - 246
PELUANG USAHA EKOWISATA DI KAWASAN CAGAR ALAM PULAU SEMPU, JAWA TIMUR (Ecotourism Business Opportunities in the Region Sempu Island Sanctuary, East Java) Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara& Andi Gunawan ..........................................
247 - 263
ANALISIS KEBUTUHAN LUASAN AREA HIJAU BERDASARKAN DAYA SERAP CO2 DI KABUPATEN KARANGANYAR JAWA TENGAH (Analysis of Green Land Area Requirement Based on CO2 Absorption in Karanganyar Regency, Central Java) R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti .......................................................
264 - 273
JURNAL PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KEHUTANAN ISSN: 1979 - 6013
Terbit : Desember 2013
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa ijin dan biaya. UDC (OSDCF) 630*26 Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) dan Kebutuhan Lahan Minimum di Provinsi Bengkulu Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4, hal. 221 - 223 Salah satu jenis tanaman unggulan lokal penghasil kayu yang banyak ditanam pada lahan milik di Provinsi Bengkulu adalah kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume). Masyarakat beranggapan penanaman kayu bawang pada lahan milik merupakan aset dan cadangan untuk kebutuhan mendesak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan finansial agroforestri kayu bawang dan kebutuhan lahan minimum sehingga dapat memberi gambaran mengenai penanaman lahan milik dengan pola agroforestri kayu bawang dan tanaman tahunan yang menjadi pilihan masyarakat. Penelitian ini dilakukan di 5 (lima) desa di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu dimana masyarakatnya banyak menanam pola campuran (agroforestri) kayu bawang. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif kuantitatif dan analisis finansial. Analisis sosial demografi masyarakat dilakukan secara deskriptif kuantitatif, sedangkan Analisis finansial untuk mengetahui NPV, IRR dan BCR. Hasil penelitian ini sebagai berikut: Penanaman kayu bawang pada lahan milik masyarakat di Propinsi Bengkulu dilakukan dengan pola campuran dengan tanaman tahunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti karet, kakao, dan sawit, pada tingkat suku bunga 11% dan 13 % didapatkan hasil bahwa pola-pola yang dikembangkan masyarakat layak secara finansial, pola penanaman agroforestri yang ada tidak peka terhadap perubahan harga dan volume produksi, kebutuhan lahan minimum penanaman campuran kayu bawang dan tanaman tahunan sekitar 0,34-1,01 ha per petani. Kata kunci: Agroforestri kayu bawang, optimalisasi lahan dan kelayakan finansial UDC (OSDCF) 630*922.2 Mohammad Mulyadi Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Adat Battang Kota Palopo Sulawesi Selatan) Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4, hal. 224 - 234 Salah satu dampak negatif pembangunan adalah pengabaian tatanan sosial dan budaya masyarakat adat. Akibatnya masyarakat adat sebagai salah satu sumber daya pembangunan melakukan perlawanan. Sumber daya manusia merupakan modal dasar pembangunan yang utama, yang diharapkan mampu memaksimalkan potensinya dalam pembangunan. Fokus masalah penelitian ini adalah bagaimana pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan. Desain penelitiannya adalah deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian di Kelurahan Battang Kecamatan Wara Barat Kota Palopo. Penelitian ini menghasilkan
hasil deskripsi tentang: 1) sikap yang tadinya menempatkan masyarakat sebagai penerima program saja, berubah menjadi sikap yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku pembangunan; 2) berbagai bentuk gerakan sosial yang ada pada masyarakat adat di wilayah tersebut menunjukkan bahwa gerakan sosial merupakan dimensi penting dalam pemberdayaan masyarakat adat, sehingga mampu menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah komunitas masyarakat yang butuh dukungan kebijakan dari pemerintah; 3) institusi lokal diperlukan untuk mengubah ketimpangan struktur yang memungkinkan masyarakat adat berperan optimal dalam seluruh tahapan proses pembangunan secara mandiri; 4) setiap anggota masyarakat dalam sebuah komunitas sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang menuju ke arah yang lebih baik. Untuk mengembangkan potensi masyarakat tersebut, maka diperlukan pengembangan kapasitas masyarakat melalui gerakan kemandirian masyarakat, agar mampu mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat, sehingga dapat berperan serta aktif dalam menjalankan pembangunan secara mandiri dan berkelanjutan. Kata kunci: Pemberdayaan, Masyarakat Adat, Pembangunan UDC (OSDCF) 630*831 Sylviani & Elvida Yosefi Suryandari Potensi Pengembangan Industri Pelet Kayu sebagai Bahan Bakar Terbarukan, Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4, hal. 235 - 246 Pelet kayu perlu disosialisasikan sebagai bahan bakar biomassa terbarukan. Industri pelet kayu di Kabupaten Wonosobo adalah Industri Penanaman Modal Asing dari Korea untuk tujuan ekspor. Bahan baku dari kayu pelet seperti serbuk gergaji memiliki potensi suplai di Kabupaten Wonosobo. Di sisi lain, serbuk gergaji adalah bahan bakar utama untuk industri makanan dan minuman seperti tahu dan tempe. Pengenalan pelet kayu sebagai bahan bakar terbarukan untuk industri makanan dan minuman merupakan tantangan untuk industri pengolahan kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pengembangan industri pelet kayu dengan bahan baku limbah kayu. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Metode deskriptif kualitatif dilakukan untuk mengetahui fenomena industri kayu menggunakan kerangka pendekatan yang komprehensif dengan menganalisis setiap sub sistem industri kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan industri pelet kayu memiliki peluang potensi yang tinggi. Potensi limbah kayu gergajian sebagai bahan bakar biomassa terbarukan yang cukup untuk memasok bahan baku pelet kayu. Permintaan pelet kayu dari industri tahu dan tempe dalam satu tahun sebesar 40. 422 ton. Limbah serbuk gergaji yang dapat dihasilkan oleh industri pengolahan kayu yang ada saat ini sebesar 151.524 m3 dapat menghasilkan pelet kayu sebesar 7.576 ton/tahun. Kekurangan bahan baku serbuk gergaji dapat ditutupi melalui investasi penanaman terutama jenis albasia, oleh karena itu terdapat peluang untuk pengembangan industri pelet kayu.
Disamping itu perluasan penanaman pohon pada hutan rakyat merupakan potensi untuk penyediaan bahan baku pelet. Luas kawasan hutan yang dibutuhkan untuk penanaman pohon adalah 1.247,3 ha. Para pemangku kepentingan terkait diharapkan menyebarluaskan promosi produk biomassa terbarukan. Kata kunci: Hutan rakyat, pelet kayu, limbah industri kayu, bahan bakar terbarukan UDC (OSDCF) 630*907.11 Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4, hal. 247 - 263 Cagar Alam Pulau Sempu sudah menjadi salah satu daerah tujuan wisata alam popular yang banyak dikunjungi orang di Kabupaten Malang. Adanya kegiatan ekowisata di Pulau Sempu menimbulkan permasalahan pengelolaan terkait dengan status kawasan sebagai Cagar Alam. Kawasan Cagar Alam tidak ditujukan untuk kegiatan wisata, melainkan hanya untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi kenyataan yang dihadapi sekarang, kunjungan wisatawan ke Pulau Sempu semakin meningkat dan sudah sangat sulit dihentikan. Penelitian ini bertujuan 1) Menganalisis potensi obyek daya tarik wisata alam; 2) Mengevaluasi dampak ekowisata terhadap kawasan; 3) Merumuskan strategi kebijakan pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan studi pustaka. Untuk merumuskan strategi pengelolaan menggunakan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu sangat potensial untuk dikembangkan menjadi tujuan ekowisata dengan daya tarik obyek wisata alam berupa danau “Segara Anakan”, keanekaragaman flora, fauna dan ekosistemnya. Adanya dampak negatif dari wisata alam terhadap kawasan, diperlukan pengelolaan dan perencanaan
yang sesuai untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Strategi pengelolaan yang sesuai adalah a) Melakukan evaluasi fungsi kawasan dan membagi blok pengelolaan untuk meminimalkan dampak pengunjung; b) Perubahan status sebagai kawasan Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam; c) Melakukan kolaborasi pengelolaan kawasan dengan masyarakat. Kata kunci: Hutan rakyat, pelet kayu, limbah industri kayu, bahan bakar terbarukan UDC (OSDCF) 630*161.32 R. Mohamad Mulyadindan R. Esa Pangersa Gusti Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau berdasarkan Daya Serap Co2 di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4, hal. 264 - 273 Tingginya aktivitas suatu wilayah (perkotaan) berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan wilayah tersebut. Penurunan kualitas lingkungan salah satunya diakibatkan oleh polusi gas karbondioksida (CO2). Salah satu upaya untuk menekan konsentrasi CO2 di udara perkotaan yaitu dengan menerapkan konsep area hijau atau yang lebih dikenal dengan ruang terbuka hijau (RTH). Salah satu RTH yang sesuai dengan perkotaan yaitu hutan kota. Penelitian ini bertujuan mengetahui kesesuaian luasan area hijau dengan total emisi yang dihasilkan di Kabupaten Karanganyar. Luasan area hijau yang dianalisis yaitu empat titik hutan kota. Total emisi wilayah dilihat dari empat aspek yaitu emisi dari bahan bakar, penduduk, peternakan dan persawahan. Hasil penelitian menunjukkan luasan area hijau saat ini belum mampu menyerap total emisi. Penambahan area hijau seluas 25.739,814 ha merupakan luasan yang sesuai untuk mampu menyerap total emisi di wilayah tersebut. Kata kunci: Area hijau, emisi CO2, daya serap CO2, luasan ideal
FORESTRY SOCIO AND ECONOMIC RESEARCH JOURNAL ISSN: 1979 - 6013
Date of issue : Desember 2013
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC (OSDCF) 630*26 Bambang Tejo Premono & Sri Lestari Financial Analysis of Kayu Bawang ((Dysoxilum Mollissimum Blume)) Agroforestry and Minimum Land Requirement in Bengkulu Province Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 4, p. 211 - 223 Kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume) is local wood species that is widely planted on private land in Bengkulu Province. Community regard kayu bawang as an asset and reserved for urgent needs. This research aims to analyze the financial feasibility of kayu bawang agroforestry and minimum land requirements. Therefore, the results can give an idea of planting land owned with kayu bawang agroforest patterns and annual crops into the community's choice. The research was conducted in 5 (five) villages in North and Central Districts Bengkulu where people are increasingly planting kayu bawang mixed pattern (agroforestry). Data were analized using quantitative descriptive approach and financial analysis to determine NPV, IRR and BCR. The results of this study showed as follows: kayu bawang are planted in mixed pattern with annual crops that have high economic value such as rubber, cocoa, and palm oil. At an interest rate of 11% and 13%, patterns developed by communities are financially viable, agroforestry pattern is not sensitive to change in price and production volume, minimum land requirement for mixed planting kayu bawang and annual crops 0.34 to 1.01 ha per farmer. Keywords: Kayu bawang agroforest, land optimization and financial feasibility UDC (OSDCF) 630*922.2 Mohammad Mulyadi Empowerment Of Indigenous People In Development (Indigenous People Case Studies in Battang Palopo City South Sulawesi) Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 4, p. 211 - 223 One of the negative impacts of development is the neglect of social structure and culture of Indigenous Peoples. As a result, indigenous peoples as one of development resources become a handicap of development. Human resources are the basic and primary capital in the development, which expected to maximize its potential in development. The focus of this research is how to empower the indigenous peoples in development. The research design used is qualitative descriptive, with research location in Battang Village Wara Barat District Palopo City. The result describes, as follows: 1) indigenous peoples changes in attitude, from the beneficiaries of the development programme to be actor of development; 2) various forms of social movement of indigenous
communities in the region shows that social movement is an important element of their empowerment, therefore they able to proves existence as a community who need support by government policy; 3) local institutions is needed to change the structure of inequality in order to encourage the indigenous peoples to be able to play important role in all phases of development independently; 4) each member of indigenous peoples community has potential to be better. To develop their potential, capacity development of community through self-reliance community movement is required. Therefore the society can develop their knowldege, attitude, and skill to participate sufficient, independent, and sustainable, in the development. Keywords: Empowerment, Indigenous Community, Development UDC (OSDCF) 630*831 Sylviani & Elvida Yosefi Suryandari Potential Development of Wood Pellets as a Renewable Fuel, Case Study of Wonosobo District Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 4, p. 235 - 246 Wood pellets need to be socialized as a renewable biomass fuel. The existing wood pellet factory in Wonosobo regency is a Foreign Investment Industry (FI) of Korea for export purpose. Raw material of wood pellet such as sawdust potentially exists in large amount in Wonosobo regency. Sawdust currently is used for primary fuel for food and beverages industry such as tofu and tempe. The introduction of wood pellets as a renewable fuel for food and beverages industry is a challenge for the wood processing industry. This study aims to determine the potential of the development of wood pellet industry with raw material from wood waste. The study was conducted in Wonosobo regency, Central Java province. Method of qualitative descriptive was used to study the phenomenon timber industry using a comprehensive approach framework by analyzing sub-system of the industry. The results showed that wood pellet industry is potential to be developed. Wood industry waste is potentially sufficient to supply the raw material demand of wood pellets industry. Wood pellets demand of tofu and tempe industry currently amounted to 40, 422 tonnes annuallis. While the existing wood pellet can be fulfilled by 7,576 tons / year. If the sawdust developed to be wood pellets, the wood pellet industry development still potential through investment of albasia planting. Development of the area cultivated with tree of private forestry is a potential for the supply of wood pellets raw material. Forest area required for tree planting is 1 247.3 ha. The related stakeholders were expected to disseminate the products of renewable biomass. Keywords: Private forest, wood pellets, wood waste industry, renewable fuel
UDC (OSDCF) 630*907.11 Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan
UDC (OSDCF) 630*161.32 R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti
Ecotourism Business Opportunities in the Region Sempu Island Sanctuary, East Java
Analysis of Green Land Area Requirement Based on Co2 Absorption in Karanganyar Regency, Central Java
Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 4, p. 247 - 263
Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 4, p. 264 - 273
Sempu Island Nature Reserve has become a favourite nature destination in Malang regency. The visitor numbers increased by time. However, the tourism activities violate the existing regulation i.e the nature reserve status. The visit or other activities entering the reserve area are forbidden except for education, research and development objects. The aims of the study were: 1) To analyze the potential of natural tourist attraction objects; 2) To evaluate the impact of nature tourism; 3) To formulate a strategic plan of Pulau Sempu Nature Reserve accepted by multi-stakeholder. Data were collected through observation, interviews, and study of related literature. The SWOT analysis was used to formulate the strategic plan. The results showed Sempu Island Nature Reserve area is very potential to be developed as ecotourism destination with the main attractions such as the Segara Anakan Lagoon, diversity of flora, fauna and its ecosystem. In order to mitigate the negative impact on the nature tourism of the region, it is necessary to conduct appropriate management and planning. Appropriate management strategies to be implemented are: a) To evaluate the function of the area and divide it into blocks to minimize visitor impact management; b) Changes in status from a Nature Reserve to the Nature Park; c) To collaborate with community in managing the area.
High urban activities have an impact on the environmental degradation quality. One of causes of the environmental degradation quality is carbondioxide (CO2) gas pollution. An effort to reduce concentration of CO2 in the urban air is by applying green area concept or better known as Green Open Space (RTH). One of RTH which appropriate with the urban is city forest. This study aim to determine suitability of green area with total emission generated in Karanganyar. Four-point of city forest has been analyzed. The total emission seen from four aspect, such as emission from fuel, residents, livestock and rice field. The results showed the extent of green areas has not been able to absorb the total emissions. The addition of 25.739,814 Ha green area is one of appropriate effort to absorb the total emission in this region.
Keywords: Private forest, wood pellets, wood waste industry, renewable fuel
Keywords: Green area, CO2 emission, CO2 absorption, ideal green area
ANALISIS FINANSIAL AGROFORESTRI KAYU BAWANG (Dysoxilum Mollissimum Blume) DAN KEBUTUHAN LAHAN MINIMUM DI PROVINSI BENGKULU (Financial Analysis of Kayu Bawang ((Dysoxilum Mollissimum Blume)) Agroforestry and Minimum Land Requirement in Bengkulu Province) Bambang Tejo Premono1 & Sri Lestari2 Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km 6.5 Puntikayu Palembang Telp/Fax: 0711-414864, e-mail:
[email protected] 1,2
Diterima 21 Mei 2013, direvisi 20 Agustus 2013, disetujui 19 September 2013 ABSTRACT
Kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume) is local wood species that is widely planted on private land in Bengkulu Province. Community regard kayu bawang as an asset and reserved for urgent needs. This research aims to analyze the financial feasibility of kayu bawang agroforestry and minimum land requirements. Therefore, the results can give an idea of planting land owned with kayu bawang agroforest patterns and annual crops into the community's choice. The research was conducted in 5 (five) villages in North and Central Districts Bengkulu where people are increasingly planting kayu bawang mixed pattern (agroforestry). Data were analized using quantitative descriptive approach and financial analysis to determine NPV, IRR and BCR. The results of this study showed as follows: kayu bawang are planted in mixed pattern with annual crops that have high economic value such as rubber, cocoa, and palm oil. At an interest rate of 11% and 13%, patterns developed by communities are financially viable, agroforestry pattern is not sensitive to change in price and production volume, minimum land requirement for mixed planting kayu bawang and annual crops 0.34 to 1.01 ha per farmer. Keywords: Kayu bawang agroforest, land optimization and financial feasibility ABSTRAK
Salah satu jenis tanaman unggulan lokal penghasil kayu yang banyak ditanam pada lahan milik di Provinsi Bengkulu adalah kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume). Masyarakat beranggapan penanaman kayu bawang pada lahan milik merupakan aset dan cadangan untuk kebutuhan mendesak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan finansial agroforestri kayu bawang dan kebutuhan lahan minimum sehingga dapat memberi gambaran mengenai penanaman lahan milik dengan pola agroforestri kayu bawang dan tanaman tahunan yang menjadi pilihan masyarakat. Penelitian ini dilakukan di 5 (lima) desa di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu dimana masyarakatnya banyak menanam pola campuran (agroforestri) kayu bawang. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif kuantitatif dan analisis finansial. Analisis sosial demografi masyarakat dilakukan secara deskriptif kuantitatif, sedangkan Analisis finansial untuk mengetahui NPV, IRR dan BCR. Hasil penelitian ini sebagai berikut: Penanaman kayu bawang pada lahan milik masyarakat di Propinsi Bengkulu dilakukan dengan pola campuran dengan tanaman tahunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti karet, kakao, dan sawit, pada tingkat suku bunga 11% dan 13 % didapatkan hasil bahwa pola-pola yang dikembangkan masyarakat layak secara finansial, pola penanaman agroforestri yang ada tidak peka terhadap perubahan harga dan volume produksi, kebutuhan lahan minimum penanaman campuran kayu bawang dan tanaman tahunan sekitar 0,34-1,01 ha per petani. Kata kunci: Agroforestri kayu bawang, optimalisasi lahan dan kelayakan finansial
I. PENDAHULUAN Pola penanaman campuran (agroforestri) merupakan bentuk efisiensi yang dilakukan petani dengan tujuan untuk mengurangi biaya dan
menambah keragaman hasil lahan. Menurut Garret (1997), sistem agroforestri dapat memberikan keuntungan finansial dan menjadi daya tarik bagi alternatif penggunaan lahan. Jenis lokal seperti kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume)
Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) ..... (Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari)
211
menjadi pilihan petani untuk dicampur dengan tanaman tahunan yang memiliki nilai jual tinggi dan hasil berkesimbungan seperti karet, kakao dan sawit. Tanaman kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume) dijadikan tabungan masa depan sebagai pengaman untuk kebutuhan yang lebih besar dan mendadak. Di pihak lain, hasil tanaman tahunan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seharihari. Sejalan dengan pendapat Feder et al. (1985), keuntungan menjadi pertimbangan utama bagi masyarakat untuk memilih jenis tanaman tahunan dan teknologi yang digunakan. Sementara itu, pemilihan kayu bawang didasarkan pada faktor budaya dimana kayu tersebut secara turun-temurun telah ditanam oleh masyarakat Bengkulu terutama suku Rejang dan suku Lembak. Tanaman ini merupakan tanaman unggulan lokal yang menjadi penciri lahan agroforestri pada masyarakat di Bengkulu. Hal tersebut menguatkan pendapat Jose (2011), pemilihan tanaman asli yang ditananam secara agroforestri pada daerah tropis dan subtropis mencerminkan atribut yang baik dari sudut pengalaman dan nilai spesies pada budaya masyarakat tersebut. Keberhasilan penanaman kayu bawang di lahan milik masyarakat Provinsi Bengkulu dapat menyokong perkembangan industri kayu rakyat sehingga dapat memenuhi sebagian kebutuhan kayu. Meskipun hasil kayu bawang bukan sumber pendapatan utama dari lahan milik dengan pola agroforestri. Namun dapat memberi pendapatan yang cukup besar bagi masyarakat pada akhir daur penanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penanaman pohon dengan pola campuran (agroforestri) memberikan beberapa keuntungan yaitu mengurangi modal dan tenaga kerja seperti pupuk, penyiangan, pemberantasan hama penyakit dan sebagainya serta mengurangi serangan hama sehingga dapat meningkatkan efesiensi usaha taninya. Praktek bercocok tanam yang diterapkan masyarakat sebagian besar masih dilakukan secara tradisional, tanpa didasari pengetahuan yang memadai sehingga hasil usaha taninya belum optimal. Tulisan ini bertujuan melihat kelayakan finansial agroforestri kayu bawang, kebutuhan lahan minimum dan memberi gambaran mengenai penanaman lahan milik dengan pola agroforestri pilihan masyarakat.
212
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu. Pelaksanaan penelitian ini pada bulan April sampai dengan bulan November 2012. Pemilihan lokasi sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu dipilih kabupaten yang mayoritas masyarakatnya menanam kayu bawang dengan pola agroforestri. B. Pengumpulan Data Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi identitas responden, luas lahan, kepemilikan kayu bawang, sistem pengelolaan, harga lahan, harga komoditi, harga kayu bawang, upah tenaga kerja dan lain-lain. Sedangkan data sekunder meliputi monografi desa, luas hutan rakyat dan data lain yang mendukung. Penentuan responden sampel penelitian dilakukan menggunakan metode purposive sampling. Jumlah responden sampel penelitian data sebanyak 161 rumah tangga yang terdiri dari Desa Talang Empat 30 responden, Desa Lubuk Sini 29 responden, Desa Batu Raja 37 responden, Desa Sawang Lebar Mudik 31 responden dan Desa Sengkuang 34 responden. C. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif kuantitatif dan analisis finansial. Analisis demografi masyarakat dilakukan secara deskriptif kuantitatif, sedangkan analisis finansial dilakukan untuk menghitung NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return) dan BCR (Benefit Cost Ratio) (Gittinger, 1986; Kadariah dan Gray, 1999), guna menghitung kelayakan usaha tani agroforestri yang diusahakan petani. Penanaman agroforestri kayu bawang dikatakan layak secara finansial apabila nilai NPV>0, BCR>1 dan IRR> suku bunga (i). Analisis sensitivitas untuk mengetahui tingkat resiko usaha, sedangkan untuk mengetahui optimalisasi lahan dilakukan dengan menggunakan analisis Kebutuhan Lahan Minimum (KLM).
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 - 223
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
ditanam di lahan milik. Apabila dilihat dari karakteristiknya, petani penanam kayu bawang sangat bervariasi mulai dari umur, pendidikan, pekerjaan, luas pemilikan lahan, jarak ke kebun, jumlah tanaman kayu bawang, pola tanam kayu bawang, aksesibilitas dan sebagainya, seperti pada Tabel 1.
A. Karakteristik Responden Kayu bawang merupakan jenis tanaman kayu pertukangan unggulan lokal yang memiliki sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah sehingga banyak
Tabel 1. Karakteristik responden pemilik lahan pada lokasi penelitian Table 1. Respondents characteristics on research location No
1
Karakteristik Respoden (Respondent characteristics) Umur (Age)
2
3
4
5
6
7
8
9 10
11
12
Satuan (Unit)
Desa Talang Empat (Talang Empat village) JML
Min Rata-rata (Average) Max
Desa Lubuk Sini (Lubuk Sini village)
%
JML
%
Desa Batu Raja (Batu Raja village) JML
%
35
35
35
25
50,03
45,03
54,90
43,34
70
55
70
SD SMP SMA S1/D3
0 24 3 3
0 80 10 10
0 23 1 5
0 79,31 3,45 17,24
21 8 6 2
56,76 21,62 16,22 5,41
Pekerjaan (Occupation)
Petani Non Tani
22 8
73,33 26,67
29 0
100 0
33 4
89,19 10,81
Suku (Tribe)
Jumlah Anggota Keluarga (Number of family) Jumlah Angg Keluarga yg Berkerja (Number of familyworker) Luas lahan (Land area)
Jumlah tanaman bawang (Number of bawang trees) Jarak ke kebun (Distance to farm) Jarak ke pasar (Distance to market) Tingkat keseringan ke kebun dlm smgg (Frequency the garden in a weeks) Lama di kebun (Duration on farm)
0 24 3 4 27 4
Desa Sengkuang (Sengkuang village) JML % 30 46,4 1 60
65
Pendidikan (Education)
Lembak Non Lembak Rejang Non Rejang
Desa Sawah Lebar Mudik (Sawah Lebar Mudik village) JML %
0 77,42 9,67 12,90
21 8 5 0
97,10 12,90
29 5
85,29 14,71
30
100
36
97,30
31
100
1
2,94
0
0
0
0
0
0
1
2,94
28
96,55
1
2,70
0
0
32
94,12
1
3,45
0
0
0
0
0
0
Rata-rata (Average)
4,4
3,7
Rata-rata (Average)
2,07
2,3
3
1,0
1,0
2,0
0,6
1,0
2,9
1,03
3,0
2,74
2,26
Min Rata (Average) Max
6,0
5,0
2,0
15
3,7
4,1
1,8
2,76
7,0
4,5
15
40
15
5
18
68
53
35
45
32
300
70
60
220
60
2,17
1,95
2,84
1,13
1,80
2,07
2,30
2,80
4,70
4,45
Rata-rata (Average)
5
4
4
Rata-rata (Average)
4,3
3,5
3,7
Min Rata-rata (Average) Max Rata-rata (Average) Rata-rata (Average)
61,76 23,53 14,71 0
5
4
4,1
3,1
Sumber (Source) : Analisis data primer, 2012 (Primary data analysis, 2012)
Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) ..... (Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari)
213
Karakteristik petani penanam kayu bawang agroforestri (pola campuran) berumur antara 43-50 tahun, pendidikan mayoritas antara SD-SMP, dan pekerjaan mayoritas sebagai petani. Dengan pendidikan yang rendah dan pekerjaan mayoritas petani menyebabkan peluang untuk berkerja di luar sektor pertanian makin sempit. Kondisi ini menjadi peluang untuk memberdayakan masyarakat melalui penanaman kayu bawang dalam jumlah lebih banyak dengan memberikan penyuluhan mengenai usaha tani yang optimal. Suku Rejang dan suku Lembak sebagai suku mayoritas di lokasi penelitian telah lama mengenal kayu bawang sehingga budidaya kayu bawang menjadi budaya pemanfaatan lahan. Rataan jumlah kepemilikan tanaman kayu bawang 32-68 batang dan luas kepemilikan lahan rata-rata antara 1,0 hingga 2,9 Ha. Dengan melihat sebaran distribusi kepemilikan kayu bawang, sebanyak 81 rumah tangga memiliki kayu bawang sebanyak 38-71 batang dan 68 rumah tangga memiliki kayu bawang kurang dari 37 batang. Jumlah tanaman lebih dari 75 batang hanya dimiliki sedikit rumah tangga. Jumlah tanaman kayu bawang masih terbatas dikarenakan
ketersediaan ruang yang ada dan adanya kekhawatiran akan mengurangi hasil tanaman tahunan apabila menanam lebih banyak kayu bawang. Sebaran kepemilikan kayu bawang, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1. Dari hasil survei dan pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan hampir setiap lahan yang ada ditanami kayu bawang. Hal ini sejalan dengan pendapat Bertomeu (2004), petani cenderung menanam pohon sebagai tanaman pagar atau menanam dalam intensitas rendah sebagai solusi untuk meningkatkan pendapatan. Jarak rata-rata antara rumah tinggal ke pasar sekitar 2-5 km dan jarak antara rumah ke kebun sekitar 1-3 km, sehingga tidak kesulitan untuk memasarkan hasil tanaman tahunan. Menurut Pattanayak (2003), kondisi tersebut merupakan insentif pasar. Pada umumnya masyarakat menanam tanaman karet sebagai sumber pendapatan. Hasil tanaman campuran seperti karet memerlukan waktu pemanenan yang teratur maka petani hampir setiap hari pergi ke kebun untuk memanen hasil dengan lama waktu di kebun sekitar 3-4 jam setiap hari.
Gambar 1. Distribusi kepemilikan kayu bawang per ha Figure 1. Kayu bawang ownership distribution per ha B. Pengelolaan Kayu Bawang Pada tahap awal pembangunan pola agroforestri kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume) masyarakat melakukan persiapan lahan dengan menerapkan sistem tebas tebang bakar untuk membuka lahan dan persiapan penanaman. Kayu sisa pembakaran dimanfaatkan untuk membuat 214
pagar sekeliling lahan terutama pada daerah yang rawan hama babi. Masyarakat hanya menyisakan tanaman yang dianggapnya memiliki nilai ekonomi seperti durian, kayu manis, jengkol dan sebagainya. Pada tahun pertama dilakukan penanaman jenis tanaman semusim seperti jagung, jahe, kunyit, dan padi. Pemilihan jenis oleh masyarakat didasarkan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 - 223
pada pertimbangan harga komoditi dan ketersediaan pasar. Pada tahun kedua, dilakukan penanaman tanaman tahunan seperti karet, sawit atau kakao dan juga tanaman kayu bawang. Untuk tanaman tahunan seperti karet, masyarakat biasanya mencari anakan pada tegakan dan sebagian lainnya telah menggunakan bibit unggul dengan membeli pada pedagang bibit yang ada. Untuk bibit kayu bawang lebih dari 90% diperoleh dari mencari anakan alam yang ada di bawang tegakan bawang, selebihnya membeli bibit dari penangkar kayu bawang. Jumlah, komposisi tanaman, dan jarak tanam masih sangat beragam antar masyarakat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rumah tangga dan pengetahuan yang dimiliki.
Dalam usaha tani pola agroforestri termasuk budidaya kayu bawang, pada umumnya masyarakat belum melakukan pengelolaan lahan yang baik termasuk pemupukan, penyemprotan pestisida dan herbisida serta pengaturan jarak tanam dan sebagainya. Modal dan pengetahuan tentang usaha tani yang baik menjadi pembatas, karenanya hanya sebagian kecil dari masyarakat saja yang menerapkan usaha tani yang baik. Hasil pengamatan sejalan dengan penelitian yang dilakukan Cureent et al. (1995), petani lebih memilih alasan sistem usaha tani yang tidak intensif. Hal ini dianggap cara yang paling murah dan efisien karena belum berorientasi pada skala ekonomi. Teknik budidaya yang dilakukan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Pengelolaan usaha tani yang dilakukan oleh petani Table 2. Farm management by farmer No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
9. 10. 11.
12.
Pengelolaan Usaha Tani (Farm management ) Memilih buah kayu bawang dari pohon yang unggul (Choosing the fruit from the superior tree) Membuat bibit kayu bawang (Making kayu bawang seedling ) Memupuk bibit kayu bawang (Fertilizing kayu bawang seedling ) Memilih bibit yang paling bagus untuk ditanam (Choosing superior seedling for planting) Membersihkan rumput di sekitar lubang tanam kayu bawang (Weeding around planting hole) Menanam dengan jarak tanam tertentu (Planting with a certain spacing) Memupuk kayu bawang (Fertilizing kayu bawang) Menyiangi lahan kayu bawang (Weeding kayu bawang land) Menjarangani (Thinning) Memangkas ranting kayu bawang (Prunning) Menyemprot dengan herbisida (Applying Herbicide) Menyemprot dengan pestisida (Applying Pesticide)
Desa Sawang Lebar Mudik (Sawang Lebar village)
Desa Batu Raja (Batu Raja village)
Desa Sengkuang (Sengkuang village)
Jml
%
Jml
%
Desa Lubuk Sini (Lubuk Sini village) Jml
%
Desa Talang Empat (Talang Empat village)
Jml
%
Jml
%
14
45,16
7
18,92
11
32,35
0
0
5
16,67
19
61,29
3
8,11
0
0
0
0
2
6,67
1
3,23
0
0
1
2,94
26
89,65
5
16,67
17
54,84
26
70,27
1
2,94
0
0
7
23,33
29
93,55
4
10,81
2
5,88
26
89,65
10
33,33
10
32,26
1
2,70
0
0
16
55,17
4
13,33
3
9,68
1
2,70
0
0
19
65,52
4
13,33
28
90,93
31
83,78
0
0
24
82,76
21
70
13
41,94
3
8,11
0
0
0
0
8
26,67
18
58,06
3
8,11
0
0
0
0
8
26,67
1
3,23
6
16,22
0
0
0
0
7
23,33
1
3,23
4
10,81
0
0
0
0
7
23,33
Sumber (Source) : Analisis data primer, 2012 (Primary data analysis, 2012)
Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) ..... (Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari)
215
Dari Tabel 2, dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian responden (45,16%) melakukan pemilihan bibit kayu bawang yang akan ditanam berdasarkan penampakan batangnya, tidak memperhatikan asal indukan dan kualitas pohon induk kayu bawang. Bibit kayu bawang didapatkan di bawah tegakan kayu bawang kemudian ditanam pada lahan milik tanpa jarak tanam khusus. Menanam hanya memperhatikan ketersediaan ruang lahan yang ada agar tidak mengganggu tanaman tahunan. Tindakan pengelolaan lahan yang dilakukan hanya menyiangi rumput dan gulma sekitar tanaman dan lubang tanaman yang akan ditanami. Input untuk peningkatan produksi seperti pemupukan, penyemprotan herbisida dan pestisida serta pemangkasan batang dan penjarangan yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas hasil masih jarang dilakukan. Dengan kata lain, praktek pengelolaan lahan yang dilakukan masih bersifat tradisional atau silvikultur ekstensif sehingga produktifitas lahannya kurang optimal. C. Analisis Finansial Kayu Bawang Pola tanam agroforestri banyak diadopsi oleh masyarakat Bengkulu pada lahan milik antara tanaman kayu bawang dan tanaman tahunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti karet, kakao,dan sawit. Kayu bawang menjadi pilihan karena merupakan identitas budaya (culture indentity) bagi masyarakat Bengkulu dan memberikan sumbangan ekonomi yang cukup besar bagi rumah tangga pemilik lahan pada akhir daur. Penanaman kayu bawang oleh masyarakat dimanfaatkan untuk membuat rumah di kemudian hari, disimpan sebagai tabungan atau diwariskan kepada anak cucu. Pemilihan pola penanaman agroforestri kayu bawang setiap rumah tangga berbeda-beda dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga, motivasi dan pasar. Namun hal ini tidak berarti bahwa pemilik lahan telah berpikir secara rasional tentang pola mana yang dianggap tepat dan menguntungkan secara ekonomi. Menurut Pattanayak et al. (2003), proses adopsi agroforestri akan dipengaruhi oleh karakteristik petani (farmer preference), insentif pasar, ketersedian sumberdaya, kondisi biofisik serta resiko dan ketidakpastian. Selain itu menurut Predo (2003), petani memandang bahwa masa panen yang cepat dalam pola agroforestri merupakan suatu kelayakan dan
216
disisi lain kurangnya pendapatan dari penanaman pohon menjadi pembatas pengembangan hutan rakyat kayu. Pada lokasi penelitian tidak ditemukan pola penanaman campuran kayu bawang yang sama pada setiap lahan milik. Namun komposisi penyusun jenis secara mayoritas terdapat kesamaan. Pola-pola yang umum ditemukan di lapangan setidaknya ada 4 (empat) pola yaitu kayu bawang-karet alam, kayu bawang-kakao, kayu bawang karet unggul dan kayu bawang-sawit. Setiap pola memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing yang menjadi pertimbangan bagi pemilik lahan untuk diadopsi. Untuk melihat pola-pola penanaman campuran yang dapat memberikan nilai ekonomi atau alokasi lahan yang optimal dilakukan dengan analisis finansial. Pada analisis finansial pola campuran kayu bawang, besaran biaya yang dikeluarkan pada tahun pertama sampai tahun ketiga merupakan komponen yang paling besar dimana komponen biaya tersebut termasuk harga beli lahan, pembukaan lahan, pembuatan lubang tanam dan penanaman serta bibit tanaman semusim dan tanaman tahunan. Pendapatan masyarakat jangka pendek diperoleh dari pendapatan tanaman semusim dan tanaman tahunan untuk jangka panjang seperti kakao, karet atau sawit serta hasil dari kayu bawang. Komponen biaya, harga dan hasil produksi tanaman tahunan diperoleh dari data primer wawancara langsung di masyarakat dan terjadi pada saat penelitian dilakukan yang meliputi; 1. Harga tanah dimasukkan dalam perhitungan analisis. Harga tanah di lokasi penelitian per hektar Rp. 20.000.000,-. 2. Jarak tanam untuk kayu bawang secara acak dimana jumlah tanaman kayu bawang per hektar sekitar 60 batang. Untuk tanaman tahunan sawit jarak tanam 10x10 m, kakao 3,5 x 3,5 m dan karet acak dengan jumlah tanaman karet kurang lebih 500 batang. 3. Tanaman tahunan akan menghasilkan pada umur 3 (tiga) tahun untuk sawit, 4 (empat) tahun untuk kakao, 4 (empat) tahun untuk karet alam dan 3 (tiga) tahun untuk karet unggul. 4. Upah tenaga kerja di lokasi penelitian Rp 45.000,- per hari untuk laki-laki dan Rp 35.000,per hari untuk perempuan. 5. Harga kayu di lokasi tegakan per m3 sebesar Rp. 1.600.000,-
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 - 223
6. Biaya pemanenan dan pengolahan kayu bawang 3 menjadi kayu olahan sebesar Rp. 450.000 per m . 7. Harga hasil tanaman tahunan berdasarkan harga pasar pada saat penelitian adalah tandan buah segar (TBS) sawit Rp 1.000 per kilogram, getah karet Rp 8.000 per kilogram, dan biji kakao Rp. 7.000 per kilogram. Selain itu, digunakan asumsi-asumsi dalam perhitungan analisis finansial sebagai berikut: 1. Suku bunga yang digunakan sebesar 11 persen (Suku bunga kredit di Bank Sumsel pada Juli 2012). 2. Volume tegakan kayu bawang pada daur 15 tahun sebesar 0,83 m3 per batang. Umur produksi tanaman karet dan kakao 25 tahun serta sawit 20 tahun. 3. Hasil rata-rata tanaman tahunan per hektar kakao 787 kilogram per tahun, karet alam 1.920 kilogram per tahun, karet unggul 2.927 kilogram per tahun dan sawit 10.687,5 kilogram per tahun. Pada pola campuran/agroforestri kayu bawang, pemanenan kayu bawang oleh masyarakat tidak dilakukan tebang habis melainkan tebang butuh dan dipilih yang paling besar sesuai dengan kebutuhan artinya pemanenan atau penjualan kayu bawang didasarkan tingkat kebutuhan terhadap uang dan kayu. Di lapangan sering kali didapatkan tegakan kayu bawang dengan volume yang besar pada lahan masyarakat karena telah berumur lebih dari 15
tahun, namun jumlahnya terbatas. Pada saat ini sebagian besar kayu bawang yang ada di lahan milk berukuran kecil. Untuk perhitungan analisis ini, diasumsikan pemanenan kayu dilakukan secara keseluruhan pada umur 15 tahun dengan volume 3 per batang 0,83 m . Pada umur 15 tahun, umumnya masyarakat mulai memanen kayu bawang baik untuk konsumsi rumah tangga sendiri ataupun dijual pada tengkulak kayu. Hal ini karena pada umur tersebut sudah memiliki harga jual yang cukup tinggi dan sudah dibeli oleh tengkulak dengan harga yang pantas. Berdasarkan analisis finansial dengan tingkat suku bunga 11% dan 13% pada pola campuran kayu bawang diperoleh hasil bahwa keempat pola tersebut layak/menguntungkan untuk diusahakan pada lahan milik. Secara proporsi alokasi lahan yang optimum dapat dilihat dari nilai NPV yang tertinggi yaitu pada pola campuran kayu bawang dan karet unggul dengan NPV sebesar Rp. 99.866.876,-. Elastisitas kelayakannya dapat dilihat dari besaran nilai IRR. Pada Gambar 2, terlihat bahwa perbandingan nilai IRR tertinggi ada pada pola campuran kayu bawang dan karet unggul. Hal ini dapat diartikan bahwa pola kayu bawang dan karet unggul memiliki tingkat pengembalian modal yang paling tinggi apabila modal usaha penanaman kayu bawang diperoleh dari pinjaman/kredit usaha.
Tabel 3. Analisis aliran kas agroforestri kayu bawang dan karet alam pada suku bunga 11% Table 3. Cash flow analysis of kayu bawang and jungle rubber agroforest at the rate 11% No
1
2
3
4
Komponen analisis (Component analysis) Hasil (Production) (m3) Cash inflow a. Kayu (Wood) b. Getah (Latex) Sub total Cash out flow Investasi (Lahan) (Investasi)/(Land) Persiapan lahan (Land preparation) Bibit (Seedlings)) Penanaman (Planting) Pemeliharaan (Maintenance) Pemanenan (Harvesting) Sub total Net Cash flow NPV (Rp) BCR IRR (%)
Tahun (Year) Total (Rp/Ha)
0
1
2
3
4
5
6-10
11-15
16-24
9.600.000 9.600.000
9.600.000 9.600.000
82.560.000 82.560.000
79.680.000 99.480.000 179.520.000
120.960.000 120.960.000
2.500.000
4.000.000
50 79.680.000 322.560.000 402.240.000
20.000.000
20.000.000
1.500.000
1.500.000
1.060.000
1.060.000
1.000.000
1.000.000
18.750.000
1.625.000
1.625.000
1.625.000
1.625.000
1.625.000
3.625.000
5.185.000
1.625.000
1.625.000
1.625.000
1.625.000
3.625.000
22.410.000
22.410.000 24.910.000
4.000.000
357.520.000 87.673.020 3,11 26%
Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) ..... (Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari)
217
Tabel 4. Analisis finansial agroforestri kayu bawang dan tanaman kakao pada suku bunga 11% Table 4. Cash flow analysis of kayu bawang and cocoa agroforestry at the rate 11% No 1
2
3
4
Komponen analisis (Component analysis) Hasil (Production) (m3) Cash inflow a. Kayu (Wood) b. Getah (Latex) Sub total Cash out flow Investasi (Lahan) (Investasi)/(Land) Persiapan lahan (Land preparation) Bibit (Seedlings) Penanaman (Planting) Pemeliharaan (Maintenance) Pemanenan (Harvesting) Sub total Net Cash flow NPV BCR IRR (%)
Tahun (Year)
Total (Rp/Ha)
0
1
2
3
4
5
6-14
15
16-24
4.200.000 4.200.000
4.200.000 4.200.000
4.760.000 4.760.000
57.960.000 57.960.000
79.680.000 7.000.000 86.680.000
54.880.000 54.880.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
5.750.000
500.000
4.500.000
50 79.680.000 133.000.000 212.680.000 20.000.000
20.000.000
1.500.000
1.500.000
1.660.000
1.660.000
1.000.000
1.000.000
19.500.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
22.410.000 66.040.000 146.610.000 33.562.380 3,22 18
22.410.000 5.910.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
5.750.000
500.000
28.910.000
Tabel 5. Analisis finansial agroforestri kayu bawang dan karet unggul pada suku bunga 11% Table 5. Cash flow analysis of kayu bawang and clonal rubber agroforestry at the rate 11% No 1 2
3
4
218
Komponen analisis (Component analysis) Hasil (Production) (m3) Cash inflow a. Kayu (Wood) b. Getah (Latex) Sub total Cash out flow Investasi (Lahan) (Investasi)/(Land) Persiapan lahan (Land preparation) Bibit (Seedlings)) Penanaman (Planting) Pemeliharaan (Maintenance) Pemanenan (Harvesting) Sub total
Net Cash flow NPV BCR IRR (%)
Total (Rp/Ha)
Tahun (Year) 0
1
2
3
4
5
6-14
15
16-24
4.200.000 4.200.000
4.200.000 4.200.000
4.760.000 4.760.000
57.960.000 57.960.000
79.680.000 7.000.000 86.680.000
54.880.000 54.880.000
4.500.000
50 79.680.000 385.920.000 485.520.000 20.000.000
20.000.000
1.500.000
1.500.000
3.560.000
3.560.000
1.000.000
1.000.000
39.000.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
5.750.000
500.000
5.910.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
5.750.000
500.000
22.410.000 87.470.000 398.050.000 99.866.876 5,75 28
22.410.000 28.910.000
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 - 223
Tabel 6. Analisis finansial agroforestri kayu bawang dan tanaman sawit pada suku bunga 11% Table 6. Cash flow analysis of kayu bawang and palm oil agroforestry at the rate 11% No 1 2
3
4
Komponen analisis (Component analysis) Hasil (Production) (m3) Cash inflow a. Kayu (Wood) b. Getah (Latex) Sub total Cash out flow Investasi (Lahan) (Investasi)/(Land) Persiapan lahan (Land preparation) Bibit (Seedlings)) Penanaman (Planting) Pemeliharaan (Maintenance) Pemanenan (Harvesting) Sub total
Net Cash flow NPV (Rp) BCR IRR (%)
Tahun (Year)
Total (Rp/Ha)
0
1
2
3
4
5
6-10
11-15
16-20
3.600.000
4.800.000
4.8000.000
60.000.000
79.680.000 72.600.000
25.200.000
10.000.000
8.000.000
50 79.680.000 171.000.000 250.680.000 20.000.000
20.000.000
1.500.000
1.500.000
560.000
1.060.000
1.000.000
1.000.000
38.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
10.000.000
5.060.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
10.000.000
22.410.000
22.410.000
83.470.000 357.520.000 51.972.277 3,0 22%
32.410.000
8.000.000
IRR (%)
Opportunit y Cost (Rp)
Tabel 7. Rekapitulasi analisis finansial agroforestri kayu bawang Table 7. Summary of financial analysis of kayu bawang agroforest Pola Agroforestri Kayu Bawang (Kayu bawang agroforest pattern) Kayu bawng dan karet alam (Kayu bawang and jungle rubber) Kayu bawang dan kakao (Kayu bawang and cacao) Kayu Bawang dan karet unggul (Kayu bawang and clonal rubber) Kayu bawang dan sawit (Kayu bawang and palm oil) Kayu bawng dan karet alam (Kayu bawang and jungle rubber) Kayu bawang dan kakao (Kayu bawang and cacao) Kayu Bawang dan karet unggul (Kayu bawang and clonal rubber) Kayu bawang dan sawit (Kayu bawang and palm oil)
Suku Bunga (Interest rate) (%)
Nilai Nomimal (Nominal value) Total Biaya (Rp/Ha)
Nilai Terdiskonto (Discounted value) Total Biaya Total (Rp/Ha) Pendapatan (Rp/Ha)
NPV (Rp)
BCR
Total Pendapatan (Rp/Ha)
Profit (Rp/Ha)
64.720.000
402.240.000
357.520.000
4.763.915
29.608.117
87.673.020
3,11
26
87.673.020
66.070.000
212. 680.000
146.610.000
4.863.286
15.654.968
33.562.380
3,22
18
-54.110.640
84.970.000
485.520.000
400.550.000
6.254.479
35.738.198
99.866.876
5,75
28
12.193.856
83.340.000
250.680.000
167.210.000
10.353.110
31.092.820
51.972.277
3,00
22
35.700.743
64.720.000
485.520.000
357.440.000
3.048.438
19.884.560
63.373.031
2,67
26
63.373.031
70.660.000
253.000.000
182.340.000
3.328.224
11.916.794
21.600.031
3,37
18
-41.773.00
84.970.000
485.520.000
400.550.000
4.002.253
22.860.940
72.434.971
5,75
28
9.061.940
83.340.000
250.680.000
167.210.000
7.234.718
21.754.586
35.793.722
3,00
22
-27.579.309
11
13
Sumber : Analisis data primer, 2012 Source : Primary data analysis, 2012
Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) ..... (Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari)
219
Gambar 2. Perbandingan NPV dan IRR pada agroforestry kayu bawang Figure 2. Comparation of NPV and IRR of kayu bawang agroforest
D. Kebutuhan Lahan Minimum Untuk mengetahui KLM dilakukan dapat didekati dengan kebutuhan hidup layak (KHL). Sedangkan untuk mengetahui KHL dilakukan dengan pendekatan nilai tukar beras. Sajogja (1977) menyatakan mengenai garis kemiskinan bahwa nilai rupiah per bulan ekivalen dengan nilai tukar beras dalam kilogram per orang per tahun dimana untuk daerah pedesaan antara 240-320 kilogram per orang per tahun. Dengan demikian KHL di daerah penelitian setara dengan kebutuhan beras: 320 kg/orang/tahun X harga beras Rp/kg X jumlah anggota keluarga (orang/KK). KHL di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Untuk mengetahui KLM dilakukan dengan cara membandingkan KHL dengan pendapatan bersih pertahun.
Berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup layak untuk masyarakat di daerah penelitian dan nilai NPV pada suku bunga 11% untuk pola penanaman campuran kayu bawang pada daerah penelitian, maka diperoleh luas lahan minimal guna memenuhi kebutuhan hidup layak sesuai dengan pola tanam. Kebutuhan luas minimal lahan sesuai dengan pola campuran dapat dilihat pada Tabel 9. Rata-rata kepemilikan lahan oleh masyarakat pada lokasi penelitian antara 1,03-3,00 Ha, sementara itu kebutuhan lahan minimal sesuai pola penanaman campuran kayu bawang adalah antara 0,34-1,01 Ha. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak, maka masyarakat dapat memilih salah satu pola campuran kayu bawang yang telah mereka kembangkan.
Tabel 8. Kebutuhan hidup layak di lokasi penelitian Table 8. Proper living needs on research location Jenis pengeluaran (Type of expenditure) KFM (sandang, pangan, dan papan) (Clothing, food and housing) Pendidikan (education) Kesehatan (health) Sosial/Tabungan (Social/saving)
%
Kebutuhan beras (Rice equivalent)(Kg/Tahunn) (Kg/Years)
Harga beras (Rp)
Pengeluaran (Cost) (Rp/Tahun) (Rp/Years)
Jumlah rata-rata anggota keluarga (Average number of family members) (Orang) (Peoples)
Kebutuhan (Rp/Tahun) (Total cost (Rp/Years))
100
320
8500
2.720.000
5
13.600.000
50 50
160 160
8500 8500
1.360.000 1.360.000
5 5
6.800.000 6.800.000
50
160
8500
1.360.000
5
6.800.000
KHL*
34.000.000
Sumber : Data primer 2012 Source : Primary data 2012 *Dimodifikasi dari Marwah, 2008 (Modified from Marwah, 2008)
220
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 - 223
Tabel 9. Kebutuhan lahan minimal pada agroforestri kayu bawang Table 9. Minimal land requirement on kayu bawang agroforestry Pola agroforestri kayu bawang (Kayu bawang agroforest pattern)
Proporsi kebutuhan lahan minimal (Minimum land requirement) (ha)
NPV (Rp)
Kayu bawang dan karet alam (Kayu bawang and jungle rubber) Kayu bawang dan kakao (Kayu bawang and cacao) Kayu Bawang dan karet unggul (Kayu bawang and clonal rubber) Kayu bawang dan sawit (Kayu bawang and palm oil)
87.673.020
0,39
33.652.380
1,01
99.866.876
0,34
51.972.277
0,65
Sumber : Analisis data primer, 2012 Source : Primary data analysis, 2012
E. Analisis Sensitivitas Pola Campuran Kayu Bawang
waktu mendatang. Untuk meramalkan kondisi tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis sensitivitas yaitu melihat kelayakan usaha jika terjadi perubahan-perubahan pada produksi dan harga di masa mendatang. Dengan demikian akan diperoleh faktor-faktor mana yang sensitive, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10.
Dalam mengadopsi pola tanam, kiranya perlu diperhatikan bahwa hasil usaha diperoleh dalam jangka panjang sehingga akan dihadapkan pada kondisi yang sulit diprediksi dengan pasti. Untuk itu perlu memperkirakan kondisi yang akan terjadi di
Tabel 10. Analisis sensitivitas pola agroforestri kayu bawang Table 10. Sensitivity analysis of kayu bawang agroforest pattern Pola agroforetri kayu bawang (Kayu bawang agroforest pattern)
Perubahan (Change) (%)
Kriteria finansial (Financial criteria)
Produksi (Production)
Harga (Price)
10 10 10
0 -30 30
126.515.921 82.840.212 170.191.630
4,04 2,99 5,09
30 25 34
-40
-30
96.814.780
3,23
25
-30 -50
-20 -50
46.887.878 9.197.877
2,13 1,22
20 13
Kayu bawang dan karet alam (Kayu bawang and jungle forest)
Kayu bawang dan kakao (Kayu bawang and cacao)
Kayu bawang dan karet unggul (Kayu bawang and clonal rubber)
Kayu bawang dan sawit (Kayu bawang and palm oil)
NPV
BCR
IRR
10
0
38.013.710
3,59
19
10 10 -40 -30 -50
-30 30 -30 -20 -50
23.324.321 42.910.173 7.744.667 10.415.465 -2.182.469
3,59 3,83 2,11 2,24 1,26
16 20 12 13 9
10
0
113.773.970
6,28
20
10 10 -40 -30 -50 10 10 10 -40 -30 -50
-30 30 -30 -20 -50 0 -30 30 -30 -20 -50
67.880.559 129.071.774 19.205.729 38.675.661 -4.436.331 59.863.080 33.823.430 68.542.964 32.745.864 17.252.743 -7.208.747
4,68 6,72 3,06 3,72 2,27 3,21 2,52 3,44 2.51 2,08 1,43
23 31 15 19 10 23 19 24 18 15 9
Sumber : Analisis data primer, 2012 Source : Primary data analysis, 2012
Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) ..... (Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari)
221
Hasil analisis sensitivitas pola campuran kayu bawang dengan adanya perubahan pada produksi komoditi dan harga diperoleh menunjukkan bahwa penurunan hasil sebesar 40% dan penurunan harga sebesar 30% pada pola campuran kayu bawang tetap dapat memberikan kelayakan secara finansial. Dengan demikian pola campuran kayu bawang secara finansial tidak peka terhadap perubahan harga dan produksi atau dengan kata lain pola ini yang memiliki resiliensi yang tinggi terhadap perubahan yang terjadi. Namun setelah dilakukan simulasi dengan penurunan harga dan produksi sebesar 50% maka keempat pola tersebut tidak layak secara finansial. Artinya kegagalan panen sampai 50% dan harga turun 50% mengakibatkan pola penanaman kayu bawang secara campuran kurang layak secara finansial IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penanaman kayu bawang pada lahan milik masyarakat di Propinsi Bengkulu dilakukan dengan pola campuran dengan tanaman tahunan/komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti karet, kakao, dan sawit. Berbagai pola penanaman dan komposisinya tergantung pada karakteristik individu, tujuan penanaman, dan motivasi pemiliknya. Pola penanaman campuran kayu bawang yang banyak ditemukan pada lokasi penelitian antara lain kayu bawang-karet, kayu bawang-kakao, kayu bawang-sawit dan kayu bawang-karet unggul. Hasil analisis finansial pada suku bunga 11% dan 13 % menunjukkan bahwa pola-pola yang dikembangkan masyarakat layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pola penanaman tidak peka terhadap perubahan tingkat harga dan volume produksi. Agar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak maka masyarakat di lokasi penelitian dapat mengelola sekitar 0,34-1,01 Ha dengan pola penanaman campuran kayu bawang dan tanaman tahunan. B. Saran Penanaman tanaman kehutanan seperti kayu bawang dengan pola campuran (agroforestri) dengan tanaman tahunanan seperti karet, sawit, dan kakao dapat dilakukan dengan jumlah tanaman 222
kayu bawang yang tidak begitu banyak dengan tujuan akhir untuk mendapatkan kayu pertukangan. Untuk penanaman agroforestri (pola campuran) kayu bawang dengan karet unggul membutuhkan luas lahan kurang lebih 0,5 Ha untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. DAFTAR PUSTAKA Bertomeu, M. 2004. Smallholder Timber Production on Sloping Lands in the Philippines: A Systems Approach. World Agroforestry Centre. Southeast Asia Regional Research Programme. Los Banos. Current D., E. Lutz, and S.J Scherr. 1995. The Cost, Benefit and Farmer of Agroforestry: Project Experience in Central America and The Caribbean. Books. Google.Com. Feder, G., R.E. Just and D. Zilberman. 1985. Adoption of Agricultural Innovations in Developing Countries: A survey. Economic Development and Cultural Change, 33(2): 255298. Garrett, H.E.G. 1997. Agroforestry: An Integrated Land-Use Management System for Production and Farmland Conservation. (USDA-SCS 68-3A7S3-134). Fort Collins, CO: United States Department of Agriculture - Soil Conservation Science. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi ProyekProyek Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta Jose, S. 2011. Managing Native and Non-Native Plants in Agroforestry System. Agroforestry System. 101-105. Kadariah, L.K dan C. Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Marwah, S. 2008. Optimalisasi Pengelolaan Sistem Ag roforestri Untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di DAS Konaweha Sulawesi Tenggara. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 - 223
Pattanayak, S.K., D.E. Mercer., E.O. Sills., J.C. Yang, and K. Cassingham. 2002. Taking Stock of Agroforestry Adoption Studies. WP 02_04. Predo, C.D. 2003. What Motivates Farmers? Tree Growing and Land Use Decisions in the Grasslands of Claveria, Philippines. Research report No 2003-RR7. Economy and Environment Program for Southeast Asia
(EEPSEA) and the International Development Research Centre, pp. 56. Available at: http://web.idrc.ca/en/ev51044-201-1-DO_TOPIC. Sajogjo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga Penelitian Sosial Pedesaan. IPB. Bogor.
Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) ..... (Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari)
223
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN * (Studi Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan) (Empowerment of Indigenous People in Development (Indigenous People Case Studies in Battang Palopo City South Sulawesi)) Mohammad Mulyadi1 Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) MPR/DPR RI Gedung Nusantara 1 Paripurna, Lantai 2 Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta Pusat Phone: (62-21) 5715372 Fax.: (62-21) 5715245 Email:
[email protected]
1
Diterima 21 Mei 2013, direvisi 14 Agustus 2013, disetujui 27 September 2013 ABSTRACT
One of the negative impacts of development is the neglect of social structure and culture of Indigenous Peoples. As a result, indigenous peoples as one of development resources become a handicap of development. Human resources are the basic and primary capital in the development, which expected to maximize its potential in development. The focus of this research is how to empower the indigenous peoples in development. The research design used is qualitative descriptive, with research location in Battang Village Wara Barat District Palopo City. The result describes, as follows: 1) indigenous peoples changes in attitude, from the beneficiaries of the development programme to be actor of development; 2) various forms of social movement of indigenous communities in the region shows that social movement is an important element of their empowerment, therefore they able to proves existence as a community who need support by government policy; 3) local institutions is needed to change the structure of inequality in order to encourage the indigenous peoples to be able to play important role in all phases of development independently; 4) each member of indigenous peoples community has potential to be better. To develop their potential, capacity development of community through self-reliance community movement is required. Therefore the society can develop their knowldege, attitude, and skill to participate sufficient, independent, and sustainable, in the development. Keywords: Empowerment, Indigenous Community, Development ABSTRAK
Salah satu dampak negatif pembangunan adalah pengabaian tatanan sosial dan budaya masyarakat adat. Akibatnya masyarakat adat sebagai salah satu sumber daya pembangunan melakukan perlawanan. Sumber daya manusia merupakan modal dasar pembangunan yang utama, yang diharapkan mampu memaksimalkan potensinya dalam pembangunan. Fokus masalah penelitian ini adalah bagaimana pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan. Desain penelitiannya adalah deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian di Kelurahan Battang Kecamatan Wara Barat Kota Palopo. Penelitian ini menghasilkan hasil deskripsi tentang: 1) sikap yang tadinya menempatkan masyarakat sebagai penerima program saja, berubah menjadi sikap yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku pembangunan; 2) berbagai bentuk gerakan sosial yang ada pada masyarakat adat di wilayah tersebut menunjukkan bahwa gerakan sosial merupakan dimensi penting dalam pemberdayaan masyarakat adat, sehingga mampu menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah komunitas masyarakat yang butuh dukungan kebijakan dari pemerintah; 3) institusi lokal diperlukan untuk mengubah ketimpangan struktur yang memungkinkan masyarakat adat berperan optimal dalam seluruh tahapan proses pembangunan secara mandiri; 4) setiap anggota masyarakat dalam sebuah komunitas sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang menuju ke arah yang lebih baik. Untuk mengembangkan potensi masyarakat tersebut, maka diperlukan pengembangan kapasitas masyarakat melalui gerakan kemandirian masyarakat, agar mampu mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat, sehingga dapat berperan serta aktif dalam menjalankan pembangunan secara mandiri dan berkelanjutan. Kata kunci: Pemberdayaan, Masyarakat Adat, Pembangunan *
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni s/d Nopember 2012 di Kelurahan Battang Kota Palopo
224
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 224 - 234
I. PENDAHULUAN Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, eksploitasi sumber daya alam merupakan salah satu cara dalam meningkatkan pembangunan khususnya pertumbuhan ekonomi. Secara umum dikarenakan keterbatasan modal finansial eksploitasi sumber daya alam dilakukan dengan mengundang intervensi pemodal besar sebagai investor, antara lain dengan dalih akan mampu memberikan manfaat dalam bentuk pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat miskin di sekitarnya. Akan tetapi skema seperti ini dari banyak pengalaman justru berkontribusi besar merusak tatanan masyarakat adat yang banyak hidup di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Pola seperti ini menghadap-hadapkan masyarakat adat dengan pemilik modal dan pemerintah sebagai fasilitator di lapangan. Namun, berbagai kasus telah membuktikan, bahwa pembangunan meneruskan semangat kolonialisme dengan merampas tanah masyarakat adat, melakukan peminggiran dan merusak pola produksi dan tatanan politik masyarakat adat. Hal ini kemudian membuat gerakan masyarakat adat muncul dan menguat (Yance, 2010). Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Termasuk diharapkannya penerapan otonomi daerah karena kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat sentralistik. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah harapan karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung mendikte pemerintah daerah agar mau mengikuti apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah pusat. Akibatnya, kebijakan yang sentaralistik tersebut, masyarakat menuntut dan melakukan perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang merugikan masyarakat daerah Salah satu masyarakat adat yang melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah daerah adalah masyarakat adat Battang Kota Palopo Sulawesi Selatan. Masuknya perusahaan tambang PT. Masmindo ke wilayah mereka, menyebabkan banyaknya intimidasi yang berujung pada pengambilalihan kawasan hutan adat yang selama ini menjadi tempat mereka bergantung hidup. Hal
ini menarik untuk dikaji, karena dengan dalih pendapatan daerah untuk pembangunan, pemerintah Kota Palopo lebih memilih memperhatikan keberadaan perusahaan tersebut, dibanding melakukan pemberdayaan masyarakat adat1. Program pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu dalam level lebih operasional, pembagunan melalui proses pemberdayaan masyarakat pada umumnya menggunakan pendekatan community based development, yang artinya adalah pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dengan berbasis komunitas. Untuk mewujudkan pendekatan pemberdayaan masyarakat tersebut perlu didukung oleh sejumlah langkah dan tindakan yang dapat memperlancar baik proses transformasi dan transisi dari paradigma lama ke paradigma baru, maupun dalam menjabarkan konsep pem berdayaan sebagai pendekatan yang digunakan sebagai perspektif baru dalam kegiatan yang lebih operasional. Menur ut Soetomo (2011), i m p l e m e n t a s i ko n s e p d a n p e n d e k a t a n pemberdayaan masyarakat perlu didukung oleh sejumlah langkah dan tindakan, yaitu: reorientasi, gerakan sosial, institusi lokal dan pengembangan kapasitas. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut dan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pokok masalah dalam penelitian ini adalah pola pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan, yang dioperasionalisasikan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian, sebagai berikut: 1. Bagaimana reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan? 2. Bagaimana gerakan sosial masyarakat adat dalam pembangunan? 3. Bagaimana peran institusi lokal masyarakat adat dalam pembangunan? 4. B a g a i m a n a p e n g e m b a n g a n k a p a s i t a s masyarakat adat dalam pembangunan? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi tentang pola pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan yang tercermin pada reorientasi, gerakan sosial, peran institusi lokal dan pengembangan kapasitas masyarakat adat dalam pembangunan pada masyarakat adat Battang Kota Palopo. 1
Wawancara dengan Opu Raja, Tokoh Adat Masyarakat Palopo, tanggal 5 September 2012
Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Adat ..... (Mohammad Mulyadi)
225
II. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan desain kualitatif. Desain penelitian dengan pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diamati. Pendekatan kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamat. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian yang meliputi aktivitas observasi dan wawancara dilaksanakan di Kelurahan Battang, Kecamatan Wara Barat, Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Waktu kegiatan penelitian ini, dimulai dari bulan Juli dan selesai pada bulan November 2012. C. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan deng an mengutamakan pandangan informan (perspectif emic), dan peneliti sendiri memerankan diri sebagai instrumen utama (key instrument) yang terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengumpulan data secara mendalam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1992) bahwa:
“ Qualitative research has the natural setting as the source of data and researcher is key instrument.” Adapun informan yang diwawancara dalam penelitian ini adalah para tokoh masyarakat adat Battang di Kota Palopo. D. Teknik Analisis Data Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Secara operasional analisis data kualitatif adalah proses menyusun data (menggolongkannya dalam tema atau kategori) agar dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan. Pada prinsipnya analisis ini dilakukan setiap saat selama penelitian berlangsung. Kegiatan pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian ini tidak terpisah satu sama lain. Keduanya berlangsung secara simultan dan prosesnya berbentuk siklus (Creswell, 1994). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisis data model interaktif melalui tiga alur kegiatan, yaitu: 1) reduksi data, 2) display data, dan 3) penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles and Huberman, 1984), seperti pada Gambar 1. Model interkatif melalui jalur reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagaimana telah digambarkan di atas digunakan untuk menganalisis data hasil wawancara, obeservasi dan studi dokumentasi yang berkaitan dengan permasalahan yang menjadi fokus penelitian.
Gambar 1. Analisis Data dan Model Interaktif Figure 1. Data analysis and interactive model
226
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 224 - 234
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Masyarakat Adat dan Masyarakat Hutan Adat 1. Masyarakat Adat Keberadaan masyarakat adat adalah fakta sosial sejak lama di Indonesia. Bahkan jauh sebelum bentuk Republik diproklamasikan tahun 1945. Dalam masa pergolakan menuju republik, kelompok-kelompok intelektual mengagregasi kepentingan-kepentingan masyarakat adat untuk menjadi salah satu argumentasi menuntut kemerdekaan, di samping hal-hal penting lainnya. Namun, dalam semangat nasionalitas yang meninggi, lokalitas adat tidak dimasukkan sebagai penyangga hukum (hak) dasar yang disusun oleh para founding father. Pembicaraan mengenai masyarakat adat dalam penyusunan UUD 1945 hanya dibicarakan oleh M. Yamin dan Soepomo. Para tokoh lain yang berasal dari daerah tidak meresponsnya dengan serius. Konstruksi masyarakat adat yang diatur dalam UUD 1945 generasi pertama adalah pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah “bawahan” yang istimewa untuk menopang Pemerintahan Republik di Jakarta. Sebagaimana sebutkan dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945: “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen (daerah-daerah swapraja) dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.” Istilah masyarakat adat mulai disosialisasikan di Indonesia di tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hakhak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis Organisasi non pemerintah menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan, sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing.
Di Indonesia, kosakata masyarakat adat menjadi populer sejak 10 tahun terakhir. Ornop (sudah jelas) punya kontribusi sangat besar dalam mempopulerkan istilah ini sebagai padanan dari indigenous people, terutama sejak pertemuan yang diorganisasikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tana Toraja pada tahun 1993. Dari pertemuan itulah istilah masyarakat adat kemudian disepakati bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. (Sangaji dalam Davidson et.al, 2010:349). Di tingkat negara-negara lain banyak istilah yang digunakan, misalnya first peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan orang asli di Malaysia, sedangkan di tingkat PBB telah disepakati penggunaan istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the UN Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples. Pengertian masyarakat adat tidak dapat dilepaskan dari pengertian masyarakat hukum adat. Menurut Hazairin dalam Soekanto (2005) bahwa: Masyarakat hukum adat adalah kesatuankesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya… bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengana perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri; komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar. Masyarakat adat memiliki kearifan yang tinggi, kedalaman pengetahuan kehidupan yang mengagumkan serta sistim sosial-ekonomi yang tangguh. Namun demikian, dalam kenyataannya terjadi pertentangan antara budaya masyarakat adat
Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Adat ..... (Mohammad Mulyadi)
227
yang bertumpu pada keseimbangan alam dan sistim produksi yang lebih menekankan pada ekonomi subsisten (berladang, berburu, mengumpul, berkebun dll), dengan kebijakan pemerintah yang eksploitatif terhadap sumber daya alam. Perekonomian Indonesia dikembangkan secara makro dengan mengutamakan pertambangan, perkebunan skala besar, logging dan lain sebagainya sebagai sumber utama pembangunan nasional. Pemerintah, media dan pihak swasta membangun stereotype tentang budaya masyarakat adat sebagai terkebelakang, kuno, tidak beradab, primitif dan berbagai macam cap negatif lainnya. Menur ut Abdur rahman (1997) bahwa “masyarakat adat hidup dengan pola hidup kemasyarakatan tempat dimana hukum itu berproses dan sekaligus juga adalah merupakan hasil dari proses kemasyarakatan yang merupakan sumber dari hukum tersebut.” Kehidupan masyarakat adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. 2. Masyarakat Hutan Adat Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitaskomunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni (Nababan, 2008). Hutan bagi masyarakat adat menyediakan berbagai jenis kayu untuk keperluan konstruksi rumah, pembuatan perahu dan perabotan rumah tangga. Hutan adat merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar Masyarakat Adat Battang. Beberapa kegiatan pencaharian yang bergantung pada hutan adalah pembuatan atap daun nipah, mencari kepiting bakau, mencari ikan sungai dan membuat sagu. Pembuatan atap nipah merupakan mata pencaharian yang sangat mengandalkan keberadaan hutan Battang. Bagi Masyarakat Adat Battang hutan juga merupakan sumber lahan atau cadangan lahan di masa depan. Pengelolaan hutan adat Battang dilakukan oleh pemangku adat. Hutan adat Battang secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua, 228
yaitu hutan biasa atau pangngale' dan hutan adat atau pangngale' ada' tomatoa. Hutan biasa boleh dikelola dan dimanfaatkan hasil hutannya, baik kayu maupun bukan kayu. Sementara pangngale' ada tomatoa atau hutan keramat sama sekali tidak boleh diapa-apakan karena mengandung nilai sejarah orang-orang yang dimuliakan oleh masyarakat adat Battang, seperti Sawerigading dan Batara Guru.2 Masyarakat hutan adat umumnya terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk. Menurut Arif (1994) ada beberapa alasan kuat yang melandasi betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan saat ini dan terutama di masa depan, yaitu bahwa: Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuatsebagai penerima insentif yang paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka. Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya. Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar. Masyarakat adat dilindungi UUD 1945 yang mengharuskan negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak tradisional (hak-hak asal usul, menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen), dan diposisikan sebagai Hak Azasi Manusia (HAM) baik dalam Pasal 28 I ayat (3) sesuai dengan standar HAM dalam berbagai instrumen internasional. Hak untuk mengelola sumberdaya alam, termasuk hutan, merupakan salah satu hak ekonomi, sosial dan budaya yang melekat pada 2 Wawancara dengan Opu Raja, Tokoh Adat Masyarakat Palopo, tanggal 5 September 2012
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 224 - 234
setiap manusia sejak dilahirkan. Karenanya, hak seperti ini dapat dikategorikan sebagai “hak alamiah” atau “hak bawaan” yang melekat secara kodrat pada setiap insan (Wahab, 2009). Menurut Hardin (1968), merujuk pada teori Common Property, sebetulnya sumberdaya alam yang ada di bumi ini merupakan sumberdaya yang bebas, dan terbuka untuk siapa saja serta dapat dimiliki bersama. Untuk pengelolaannya setiap individu dapat meng ambil bagian dan ber usaha memaksimalkan keuntungan yang didapat dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Pada mulanya tidak ada aturan yang menghalangi siapapun untuk mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut secara maksimal. Namun, ketika semua orang berupaya memaksimalisasi pengelolaan sumberdaya alam, maka sumberdaya alam tersebut menjadi berkurang, bahkan kemungkinan besar bisa habis (Suharjito, 2000). Karena itu perlu adanya pengaturan dalam pengelolaan sumberdaya alam, dimana masyarakat hutan adatlah yang selama ini mengaturnya dengan kearifan lokal yang dimilikinya. B. Gambaran Umum Wilayah Masyarakat Adat Battang di Kota Palopo Battang merupakan daerah yang terletak disebelah barat Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan langsung dengan kabupaten Toraja Utara. Secara geografis Battang merupakan daerah pegunungan, yang telah ada sejak zaman Belanda dan dikenal dengan nama kampong to' Jambu. Sebagian besar masyarakat adat Battang masih mempraktikkan cara hidup dengan memanfaatkan kawasan pertanian hutan. Pada tahun 1992, daerah hutan lindung di kelurahan ini dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam dengan nama Taman Wisata Alam Naggala III seluas 500 ha. Dasarnya adalah Keputusan Menteri Nomor 663/Kpts-II/92 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1992. Status hukumnya adalah penunjukan tentang perubahan fungsi dan penunjukan sebagian kawasan hutan lindung Nanggala III yang terletak di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan menjadi Taman Wisata Alam Nanggala III. Diluar dugaan, kebijakan tersebut menimbulkan konflik dengan masyarakat adat setempat.
Masyarakat menganggap telah terjadi perluasan wilayah klaim Taman Wisata Alam. Sebagai akibatnya, wilayah pemukiman dan lahan garapan masyarakat Kelurahan Battang Barat yang sejak turun temurun didiami dan dihuni oleh masyarakat adat, masuk dalam klaim Balai Konservatif Sumber Daya Alam (BKSDA) sebagai wilayah Konservasi Taman Wisata Alam Naggala III. Padahal secara administratif wilayah tersebut masuk dalam Kelurahan Battang Barat, Kecamatan Wara Barat, Kota Palopo. C. Evaluasi Program Pembangunan Otonomi daerah dan desentralisasi kehutanan yang kurang persiapan secara memadai mendorong timbulnya kebijakan daerah yang berorientasi sesaat, kedaerahan dan memandang hutan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat potensial. Oleh karena itu banyak kabupaten mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan kegiatan yang menghasilkan pendapatan dari hutan di wilayah mereka (Resosudarmo dan Dermawan, 2003). Semangat mengejar pendapatan dengan mengeksploitasi sumber daya hutan ini sering tidak disertai tanggung jawab untuk melakukan perlindungan, konservasi, rehabilitasi dan reklamasi hutan. Dampak negatif tindakan ini cukup signifikan, mulai dari hutan yang gundul dan menyebabkan banjir, gagal panen, sampai pada kehilangan tempat mencari nafkah bagi penduduk sekitar hutan. Akibatnya masyarakat adat menderita miskin. Tingkat kemiskinan di wilayah masyarakat adat Battang masih tinggi, yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan masyarakat adat untuk menyampaikan aspirasi. Untuk mengatasi kemiskinan, diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat. Pembuatan jalan adalah salah satu upaya membuka keterisolasian wilayah masyarakat adat Battang dari sumber-sumber informasi dan penghubung ke pusat-pusat produksi dan tempattempat distribusi/pemasaran. Selain itu, jalan memudahkan jangkauan penduduk ke pusat-pusat pelayanan sosial dan budaya seperti: sarana pendidikan (sekolah), kesehatan (puskesmas, posyandu) dan ibadah.
Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Adat ..... (Mohammad Mulyadi)
229
Jalan dianggap menjadi kunci pertumbuhan ekonomi yang dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat Battang dari kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu, pembangunan jalan dapat menjadi pintu masuk untuk meningkatkan kesejahteraan dan memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat adat. Pembangunan jalan dalam rangka peningkatan perekonomian di wilayah masyarakat adat Battang telah menjadi perhatian pemerintah Kota Palopo,3 tetapi umumnya dilaksanakan berbasis “proyek”. Program ini seringkali gagal disebabkan antara lain: (1) ketidaktepatan antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan; (2) paket proyek tidak dilengkapi dengan keterampilan yang mendukung; (3) tidak ada kegiatan monitoring yang terencana; dan (4) tidak ada kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan proyek. D. Pola Pemberdayaan Masyarakat Adat Battang Upaya masyarakat adat untuk mengembangkan komunitasnya tentu menjadi tugas berbagai elemen bangsa, karena masyarakat adat merupakan bagian dari bangsa ini. Beberapa upaya penting yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adat adalah pertama, reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan, kedua, gerakan sosial masyarakat adat,ketiga, membangun institusi lokal masyarakat adat, keempat, pengembangan kapasitas masyarakat adat. Proses pemberdayaan masyarakat adat, akan menyisakan berbagai tantangan yang multidimensional. Peran kebijakan pemerintah tentulah diperlukan untuk mempercepat komunitas ini lebih mandiri dan siap menyongsong perubahan sosial yang semakin memperkuat modal pembangunan. Berikut ini akan dijelaskan berbagai upaya yang telah dan harus dilakukan oleh pemerintah Kota Palopo dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam pemberdayaan masyarakat adat. 1. Reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan Reorientasi kebijakan terhadap keterlibatan masyarakat adat Battang perlu dilakukan, khususnya dalam memandang masyarakat adat tidak lagi sebagai obyek tetapi subyek pembangun3
RPJMD Kota Palopo 2008-2013. Pemerintah Kota Palopo mencantumkan kegiatan pembuatan jalan bagi aksesibilitas Masyarakat Adat Battang
230
an. Pada era sebelum reformasi, apabila ada keterlibatan masyarakat tidak lebih pada tahap pelaksanaan. Oleh karena itu, masyarakat terbiasa menunggu program yang dirumuskan dari atas. Masyarakat adat hanya dilibatkan pada tahap pelaksanaan saja, tetapi tidak ketika merumuskan apa yang menjadi kebutuhan dan harapan masyarakat adat. Saat ini, di tengah tuntutan terhadap peran pemerintah dalam memajukan perekonomian masyarakat adat, pemerintah sudah seharusnya melakukan reorientasi peran guna melakukan perubahan-perubahan yang mendasar terhadap proses pemberdayaan masyarakat adat dalam rangka mengembalikan esensi tujuan pemberdayaan masyarakat adat pada jalur yang semestinya, seperti yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berkaitan cita-cita pendiri bangsa tersebut, dimana secara jelas tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan fundamental dibentuknya negara Indonesia adalah negara Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena sejak awal berdirinya bangsa Indonesia, para pembentuk negara menempatkan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai tujuan akhir dari proses membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Atau dengan penafsiran yang lain, nilai keadilan sosial telah dipilih oleh pembentuk negara sebagai nilai yang terpenting dan merupakan tujuan akhir dari proses pembangunan untuk mengisi kemerdekaan. Pada tingkat implementasi, reorientasi menjadi syarat mutlak oleh pelaksana pemberdayaan di lapangan. Sikap yang tadinya menempatkan masyarakat sebagai penerima program saja, berubah menjadi sikap yang menempatkan masyarakat sebagai subyek “pelaku” pembangunan. Hal tersebut diungkapkan oleh Tokoh Adat Masyarakat di Palopo yang menyebutkan bahwa: “Saat ini pemerintah daerah seringkali melibatkan masyarakat adat dalam setiap rapat yang membahas tentang pembangunan di daerah, hal ini bisa dilihat pada rapat-rapat musyawarah pembangunan desa/kelurahan, dimana tokoh masyarakat adat mempunyai posisi penting di dalam masyarakat terutama menjaga agar kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tidak mendapatkan penentangan dari masyarakat. Hal tersebut dapat dimaklumi
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 224 - 234
karena tokoh adat mempunyai makna simbolik sebagai pewaris leluhur yang umumnya diketahui memiliki sikap arif dan bijaksana dalam setiap mengambil keputusan.”4 D eng an demikian, hubung an deng an masyarakat tidak lagi bersifat instruksi, tetapi bersifat kemitraan. Acuan kerja yang dipegangnya adalah mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila terjadi penyimpangan (tutwuri handayani). Pada saat yang tepat mampu berada di antara masyarakat, pemerintah harus bisa memberikan semangat (ing madya mangun karsa), dan sebagai pendamping, pemerintah harus dapat dijadikan panutan masyarakat (ing ngarsa sung tulodo). 2. Gerakan sosial masyarakat adat dalam pembangunan Gerakan sosial tercipta dari sebuah situasi dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat karena adanya ketidakadilan dan kesewenang-wenangan kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan masyarakat, atau menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Hal ini berarti tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang ada tidak sesuai dengan konteks masyarakat yang ada atau bertentangan dengan kepentingan masyarakat secara umum. Gerakan sosial itu terjadi oleh kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu terjadi. Jadi, sekelompok orang bagian dari masyarakat adat terlibat secara sadar untuk berbuat dengan maksud untuk mengubah kondisinya. Gerakan sosial tidak cukup dan berhenti pada pemahaman bahwa mereka mempunyai masalah pada ketidakberdayaan. Lebih dari itu, gerakan sosial perlu diteruskan untuk memperjuangkan nilai-nilai pemberdayaan agar masuk dalam kehidupan berbagai kalangan di masyarakat. Selain itu gerakan sosial juga dimaksudkan dapat mempengaruhi pengambil kebijakan. Dengan demikian, nilai pemberdayaan lebih menjiwai kebijakan yang dirumuskan. Kebijakan yang dirumuskan tidak mempunyai arti apa-apa jika masyarakat tidak 'mengawal' implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat adat, sampai 4
Wawancara dengan A. Syaifuddin Kaddiraja, Tanggal 5 September 2012 di Kota Palopo
perubahan yang diharapkan terjadi di masyarakat. Menurut Tokoh Masyarakat Adat Battang, bahwa: “Beberapa bulan yang lalu, tepatnya 17 Juli 2012 puluhan perwakilan tokoh masyarakat adat Battang, Kecamatan Wara Barat, menemui wakil walikota Palopo. Tokoh masyarakat adat Battang mempertanyakan respon pemerintah Kota Palopo terhadap usulan kawasan Battang dijadikan wilayah adat, supaya masyarakat hidup tenang. Fasilitator masyarakat adat Battang, Mirdad, mengatakan, tokoh masyarakat adat Battang sengaja datang, untuk bersilaturrahmi dengan wakil walikota, Rahmat Masri Bandaso, sekaligus mempertanyakan sejauh mana respon pemerintah soal usulan kawasan adat Battang.”5 Berbagai bentuk gerakan sosial yang ada pada masyarakat adat di wilayah tersebut menunjukkan bahwa gerakan sosial merupakan dimensi penting dalam pemberdayaan masyarakat adat. Karena dengan gerakan sosial, masyarakat adat mampu menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah komunitas masyarakat yang butuh dukungan kebijakan dari pemerintah. 3. Peran institusi lokal masyarakat adat dalam pembangunan Peran institusi lokal masyarakat adat saat ini banyak diabaikan oleh pemerintah daerah, padahal peran institusi lokal tersebut sangat membantu pemerintah dalam menyampaikan berbagai kebijakan yang mengatur masyarakat. Konsep pembangunan yang cenderung menampilkan partisipasi masyarakat yang semu, selama ini secara sistematis telah membuat masyarakat cukup mengatakan dirinya ikut serta dalam pembangunan. Padahal keterlibatan mereka karena seringkali dimobilisasi oleh pemerintah atau deng an kata lain, terpaksa ikut dalam pembangunan. Keterlibatan mereka belum sepenuhnya didasari oleh kesadaran bahwa keterlibatan mereka adalah karena mereka subyek pembangunan. Disinilah letak peran institusi local, sebagai wadah yang mendorong masyarakat untuk bangkit dan memiliki kesadaran bahwa kalau tidak mereka (masyarakat adat) sendiri, siapa lagi. Institusi lokal diperlukan untuk mengubah ketimpangan struktur 5
Wawancara dengan Mirdad (Tokoh Masyarakat Adat Battang), Tanggal 5 September 2012 di Kota Palopo
Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Adat ..... (Mohammad Mulyadi)
231
yang memungkinkan masyarakat adat berperan optimal dalam selur uh tahapan proses pembangunan secara mandiri. Institusi lokal diharapkan mampu berfungsi secara optimal sebagai motor penggerak menuju perubahan di masyarakat adat. Untuk mewujudkan itu semua, saat ini masih banyak institusi masyarakat yang harus berbenah diri untuk dapat terlibat secara optimal dalam proses pembangunan. Pembenahan diri di kalangan institusi-institusi masyarakat ini menjadi sangat vital terkait dengan berlakunya otonomi daerah, di mana potensi-potensi daerah mulai ditangani sendiri oleh daerah. Di beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di daerah perdesaan banyak kita temui institusi lokal, seperti: LKMD, PKK, Koperasi, Klompencapir, Kelompok Tani, kelompok pengajian dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Timbulnya organisasi atau institusi lokal, ada yang karena inisiasi pemerintah dalam rangka melaksanakan program-program pemerintah, ada pula institusi atau organisasi yang murni inisiatif masyarakat, dengan tujuan yang biasanya bersifat dinamis dan tidak tersusun secara jelas, tapi lebih sesuai dengan kebutuhan yang ada saat itu di masyarakat. Menurut tokoh masyarakat Battang, salah satu institusi lokal yang melakukan pemberdayaan masyarakat adalah Tomakaka Battang. Institusi lokal ini cukup membantu masyarakat adat dalam menyalurkan kreativitasnya berupa adanya kerajinan tangan. Hasil dari kerajinan tangan tersebut, kemudian dapat dijual melalui koperasi dengan terlebih dahulu dipromosikan oleh Tomakaka.6 Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adat bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga merupakan tugas dan tanggung-jawab bersama, termasuk juga institusi lokal yang ada di wilayah masyarakat adat. 4. Pengembangan kapasitas masyarakat adat dalam pembangunan Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan proses untuk membuat masyarakat menjadi berdaya. Setiap anggota masyarakat dalam sebuah komunitas sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang menuju ke arah yang lebih baik. Namun potensi itu seringkali tidak bisa ber6
Wawancara dengan salahsatu Tomakaka Battang, Tanggal 12 September 2012 di Kampung Battang Palopo.
232
kembang, disebabkan oleh berbagai faktor tertentu. Untuk mengembangkan potensi masyarakat tersebut, maka diperlukan usaha-usaha yang dapat mendorong masyarakat, agar potensi yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Usaha tersebut antara lain: (i) dengan mengembangkan kapasitas masyarakat, (ii) dengan menggerakkan kembali kemandirian masyarakat dalam pembangunan, (iii) dengan upaya pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat agar dapat berperan serta aktif dalam menjalankan pembangunan secara mandiri dan berkelanjutan. Inti dari pengembangan kapasitas masyarakat adat adalah proses peningkatan kesadaran masyarakat itu sendiri. Salah satu aspek dari peningkatan kesadaran adalah terbukanya peluangpeluang untuk tindakan menuju perubahan. Peningkatan kesadaran itu dapat dicapai melalui beberapa strategi, diantaranya melalui kebijakan dan perencanaan, aksi sosial dan politik, dan melalui pendidikan dan penyadaran. Pemberdayaan melalui pendidikan dan penyadaran menekankan pentingnya suatu proses edukatif atau pembelajaran (dalam pengertian luas) dalam melengkapi masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan mereka, sehingga masyarakat memiliki gagasangagasan, pemahaman, kosakata, dan keterampilan bekerja menuju perubahan yang efektif dan berkelanjutan. (Ife dan Tesoriero, 2008). Dalam pengembangan kapasitas di suatu komunitas masyarakat, harus disadari bahwa setiap masyarakat berbeda-beda. Mereka memiliki karakteristik budaya, geografi, sosial, politik, dan demografi yang unik, sehingga pengalaman pengembangan kapasitas di suatu komunitas masyarakat belum tentu dapat digunakan di masyarakat yang lain, bahkan sangat beresiko meng alami keg ag alan dan melemahkan pengalaman orang-orang dari masyarakat tersebut, karena hal itu bukan proses yang cocok untuk mereka (Ife dan Tesoriero, 2008). Tujuan pengembangan kapasitas masyarakat adalah membangun kembali masyarakat sebagai tempat pengalaman penting manusia, untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan membangun kembali struktur-struktur negara dalam hal kesejahteraan, ekonomi global, birokrasi, elite profesional, dan sebagainya yang selama ini kurang berperikemanusiaan dan sulit diakses. Tujuan dari sebuah usaha pengembangan masyarakat dikata-
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 224 - 234
kan berhasil apabila proses yang dilaksanakan menuju ke arah pencapaian tujuan. Di Kota Palopo, pemerintah daerah telah memfasilitasi masyarakat adat Battang dengan kegiatan pelatihan yang dapat menunjang aktivitas perekonomian masyarakat. Salah satu bentuk kegiatannya memberikan pelatihan tentang bagaimana bercocok tanam yang baik dan benar.7 Sejalan dengan kondisi tersebut, inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran aktif masyarakat dalam mengembangkan dan memajukan daerahnya. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan P emberdayaan merujuk pada pengertian penguatan potensi yang dimiliki oleh masyarakat adat, dengan melakukan reorientasi, gerakan sosial, pengembangan institusi lokal dan pengembangan kapasitas. Reorientasi berfokus pada upaya melihat kembali arti maupun tujuan pendekatan pemberdayaan masyarakat, agar masyarakat dan pemerintah dapat mengambil sikap terhadap program pemberdayaan masyarakat. Pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan. Dengan demikian maka masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapi. C ara pandang seperti tersebut diatas membutuhkan gerakan sosial yang dapat menciptakan iklim dalam kehidupan bermasyarakat dalam merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat. Gerakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat lokal membutuhkan institusi lokal yang berfungsi untuk memfasilitasi tindakan bersama yang sudah terpola, sehingga fungsinya bukan semata mata sebagai suatu organisasi, melainkan juga sebagai pranata sosial. Oleh sebab itu, dalam hubungannya dengan pemberdayaan masyarakat, gerakan sosial sebagai
gerakan sukarela merupakan bagian yang dapat menjembatani antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Untuk mencapai itu semua, dibutuhkan pengembangan kapasitas masyarakat adat, agar dalam setiap tahapan pembangunan, mereka dapat mengikutinya dengan baik. B. Saran Pemberdayaan masyarakat adat merupakan upaya mengubah kondisi masyarakat adat yang seringkali berada pada posisi terbelakang menjadi posisi yang setara dengan komunitas masyarakat lainnya. Agar pemberdayaan masyarakat adat dapat berlangsung secara efektif, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Kota Palopo, yaitu: 1. Pemerintah Kota Palopo Sulawesi Selatan perlu melakukan reorientasi melalui perubahan pola pikir dan sikap untuk menyesuaikan diri dengan pandangan baru yaitu menempatkan masyarakat sebagai subyek dan tidak hanya sebagai obyek pembangunan. 2. Pemerintah Kota Palopo Sulawesi Selatan perlu menyesuaikan peraturan, ketentuan, mekanisme kelembagaan, nilai-nilai dan perilaku yang memungkinkan masyarakat adat berinteraksi secara efektif dengan pemerintah. 3. Masyarakat adat Battang dapat dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan pemerintah yang menyangkut kehidupan masyarakat adat. Adanya keterlibatan masyarakat adat secara aktif dalam pembangunan akan menghasilkan sebuah kondisi yang dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat. DAFTAR PUSTAKA Abdurahman dan Sondra Wentzel. 1997. Konsep Untuk Menyelesaikan Masalah Status Tanah Masyarakat Di Kawasan Hutan Pada Areal HPH dan HPHTI di Propinsi Kalimantan Timur, GTZ-MoF. SFMP Document No. 11. Anshory, Ch, N. 2008. Dekonstruksi Kekuasaan, Konsolidasi Semangat Kebangsaan. Yogyakarta: LkiS.
7
Wawancara dengan A. Syaifuddin Kaddiraja, Tanggal 5 September 2012 di Kota Palopo
Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Adat ..... (Mohammad Mulyadi)
233
Arief, A. 1994. Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bogdan and Biklen. 1992. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn & Bacon. Creswell, J. W. 1994. Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches. California: SAGE Publications, Inc. Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. The Science and Management of Sustainability. New York: Columbia University Press. Ife, J. dan F. Tesoriero. 2008. Community Development, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Miles, M. B. & A. M. Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Baverly Hill: Sage Publications. Nababan, A. 2008. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat. Makalah ini pernah disampaikan dalam Seminar “Hutan Tanaman Rakyat, Untuk Apa dan Siapa”,
234
Pertemuan Mitra Siemenpuu Foundation, Muara Jambi, 5 Nopember 2008. Resosudarmo, I.A.P. dan Dermawan. A. 2003. Hutan dan Otonomi daerah: tantangan Berbagi Suka dan Duka. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Soekanto, S. 2005. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Soetomo. 2011. Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Suhardjito,D., A. Khan, W.A Djatmiko, M.T. Sirait, dan S. Evelyna. 2000. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media. Wahab, A. 2009. Makalah Membangun Kese pahaman dan Strategi dalam Mewujudkan Pengakuan dan Pengelolaan Hutan Mukim yang dilaksanakan oleh Flora Fauna International dan Green Aceh Institute, Banda Aceh, 12 Agustus 2009. Yance, A. 2010. Makalah Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa).
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 224 - 234
POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI PELET KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR TERBARUKAN Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo (Potential Development of Wood Pellets As Renewable Fuel, Case Study of Wonosobo District) Sylviani ¹ & Elvida Yosefi Suryandari ² ¹´² Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No 5, Bogor 16118. Telp (0251) 8633944, Fax: (0251) 8634924 Email:
[email protected] Diterima 22 April 2013, direvisi 12 Juni 2013, disetujui 16 September 2013 ABSTRACT
The existing wood pellet factory in Wonosobo regency is a Foreign Investment Industry (FI) of Korea for export purpose. Raw material of wood pellet such as sawdust potentially exist in large amount supply in Wonosobo regency. Sawdust currently is used for primary fuel for food and beverages industry such as tofu and tempe. This study aims to determine the potential of the development of wood pellet industry with raw material from wood waste. The study was conducted in Wonosobo regency, Central Java province. Method of qualitative descriptive was used to study the phenomenon timber industry using a comprehensive approach framework by analyzing subsystem of the industry. The results showed that wood pellet industry is potential to be developed. Wood industry waste is potentially sufficient to supply the raw material demand of wood pellets industry. Wood pellets demand of tofu and tempe industry currently amounted to 40, 422 tonnes annuallis. Mean while the existing wood pellet can be fulfilled by 7,576 tons/year. If the sawdust developed to be wood pellets, the wood pellet industry development still potential through investment of albasia planting. Development of the area cultivated with tree of private forestry is a potential for the supply of wood pellets raw material. Forest area required for tree planting is 1.247.3 ha. The study showed that wood pellets need to be socialiced as a renewable biomass fuel. The related stakeholders were expected to disseminate the products of renewable biomass. Keywords: Private forest, wood pellets, wood waste industry, renewable fuel ABSTRAK
Industri pelet kayu di Kabupaten Wonosobo adalah Industri Penanaman Modal Asing dari Korea untuk tujuan ekspor. Bahan baku dari kayu pelet seperti serbuk gergaji memiliki potensi suplai di Kabupaten Wonosobo. Di sisi lain, serbuk gergaji adalah bahan bakar utama untuk industri makanan dan minuman seperti tahu dan tempe. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pengembangan industri pelet kayu dengan bahan baku limbah kayu. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Metode deskriptif kualitatif dilakukan untuk mengetahui fenomena industri kayu menggunakan kerangka pendekatan yang komprehensif dengan menganalisis setiap sub sistem industri kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan industri pelet kayu memiliki peluang potensi yang tinggi. Potensi limbah kayu gergajian sebagai bahan bakar biomassa terbarukan yang cukup untuk memasok bahan baku pelet kayu. Permintaan pelet kayu industri tahu dan tempe dalam satu tahun sebesar 40. 422 ton. Limbah serbuk gergajian yang dapat dihasilkan oleh industri pengolahan kayu yang ada saat ini sebesar 3 151.524 m dapat menghasilkan pelet kayu sebesar 7.576 ton/tahun. Kekurangan bahan baku serbuk gergaji dapat ditutupi melalui investasi penanaman terutama jenis albasia, oleh karena itu terdapat peluang untuk pengembangan industri pelet kayu. Disamping itu perluasan penanaman pohon pada hutan rakyat merupakan potensi untuk penyediaan bahan baku pelet. Luas kawasan hutan yang dibutuhkan untuk penanaman pohon adalah 1.247,3 ha. Studi menunjukkan bahwa pelet kayu perlu disosialisasikan sebagai bahan bakar biomass terbarukan. Dalam hal ini, para pemangku kepentingan terkait diharapkan menyebarluaskan promosi produk biomasaa terbarukan. Kata kunci: Hutan rakyat, pelet kayu, limbah industri kayu, bahan baku terbarukan
Potensi Pengembangan Industri Pelet Kayu sebagai Bahan Bakar Terbarukan, Studi Kasus di ..... (Sylviani & Elvida Yosefi Suryandari)
235
I. PENDAHULUAN Kelangkaan yang berakibat pada semakin tingginya harga minyak bumi di pasar dunia mendorong pencarian sumber-sumber energi alternatif yang terbarukan. Kayu merupakan salah satu sumber energi yang diharapkan dapat menggantikan sumber bahan bakar minyak, namun apabila kayu langsung dijadikan sebagai bahan bakar mempunyai sifat-sifat yang kurang menguntungkan, antara lain kadar air yang tinggi, bulki, mengeluarkan asap, banyak abu, dan nilai kalornya rendah (Zam et al, 2011). Bahan bakar dari kayu yang umum digunakan secara langsung adalah sebetan dan serbuk gergaji. Serbuk gergaji melalui proses lanjutan berupa pengeringan dan pengepresan yang dapat dijadikan bahan bakar dinamakan pelet kayu. Jenis bahan bakar ini merupakan bahan bakar kayu alternatif yang dipandang memiliki keunggulan. Penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat dilakukan dengan menggunakan tungku untuk pemanas ruangan atau tungku memasak. Pelet kayu menjadi perhatian utama saat ini karena faktor kemudahan dalam bahan baku dan memiliki karakteristik yang ramah lingkungan. Pelet kayu menghasilkan emisi (NOx, SOx dan HCL) yang lebih rendah dibanding limbah pertanian seperti jerami atau sekam padi (Passalacqua dan Zaetta, 2004). Keuntungan lain pelet kayu dibanding bahan bakar kayu lain seperti chip kayu (wood chip) antara lain : memiliki kalori lebih tinggi (pelet kayu 4,3 juta kal/ton; chip kayu 3,4 juta kal/ton); namun harga pelet kayu lebih tinggi; dimana pelet kayu (334 US$/ton) dan chip kayu (171US$/ton) (Choi dan Kim, 2010). Bahan baku pelet kayu dapat berasal dari limbah eksploitasi seperti sisa penebangan, cabang dan ranting, limbah industri perkayuan seperti sisa potongan, chip, serbuk gergaji dan kulit kayu (Sanusi, 2010). Industri pelet yang terdapat di Kabupaten Wonosobo saat ini adalah industri PMA milik perusahaan Korea yang menggunakan bahan baku serbuk gergajian, sebetan dan bebetan kayu sengon, serta memiliki 3 (tiga) mesin pelet dan 1 (satu) mesin rotary. Produksi per bulan berkisar antara 20 sampai 30 kontainer @ masing-masing 18 ton/kontainer yang diekspor ke Korea. Pelet
236
kayu dijual dalam kemasan 20 kg hingga 900 kg. Di Korea digunakan untuk bahan bakar tungku pemanas ruangan, bahan bakar PLTU bekerjasama dengan perusahaan Samsung dan LG. Sebagai bahan bakar yang terbarukan pelet kayu sudah saatnya diperkenalkan sebagai bahan bakar substitusi terutama untuk industri-industri kecil menengah yang saat ini menggunakan bahan bakar limbah kayu. Di Kabupaten Wonosobo hampir semua industri makanan dan minuman (± 1700 unit) khususnya industri tahu dan tempe menggunakan bahan bakar serbuk gergajian dan sebetan kayu. Pengembangan pelet kayu merupakan suatu tantangan bagi industri kayu khususnya industri penggergajian yang banyak dijumpai di Kabupaten Wonosobo sebagai bentuk perluasan usaha melalui penganekaragaman atau diversifikasi produk. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian mengenai : (1) potensi hutan negara dan hutan rakyat sebagai bahan baku pelet kayu, (2) potensi limbah kayu pada industri penggergajian dan (3) peran para pihak yang mempengaruhi dalam pengembangan produk pelet kayu. Hasil penelitian ini memberi informasi dan rekomendasi tentang kemungkinan pengembangan produk dan industri pelet kayu di Indonesia. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah, dengan pertimbangan bahwa terdapat pabrik pelet kayu skala eksport yang menggunakan bahan baku limbah industri kayu dan potensi pengembangan hutan rakyat cukup luas . Di samping itu, kayu albasia sebagai bahan baku pelet sangat dominan di kawasan hutan rakyat . B. Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan metode wawancara, pencatatan dan pengamatan langsung di lapangan dengan obyek penelitian : industri, hutan rakyat dan berbagai pihak terkait. Metode penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
Table 1. Metode pengumpulan data dan sumber data. Table 1. Data collecting method and the sources. No
Metode (Method)
Sumber data (Source)
Jenis data (Kinds of data) Luas hutan negara dan hutan rakyat Sebaran hutan rakyat Produksi kayu rakyat Pengguna kayu rakyat Harga kayu rakyat Persepsi tentang pengembangan hutan rakyat Penggunaan limbah kayu rakyat Potensi limbah kayu rakyat Persepsi tentang pemanfaatan limbah kayu untuk pelet kayu Persepsi tentang keberadaan industri pelet kayu Proses pembuatan pelet kayu Kondisi tegakan albasia Jenis limbah industri penggergajian. Penyimpanan dan pemanfaatan limbah
1
Pencatatan
Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Dan Kabupaten, Kantor Statistik
2
Wawancara
Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Dan Kabupaten, Industri Penggerga jian, Industri Pelet Kayu, Petani Hutan Rakyat
3
Pengamatan Lapangan
Industri Pengg ergajian, Industri Pelet Kayu, Petani Hutan Rakyat
C. Kerangka Analisis Analisis potensi luas hutan, potensi produksi kayu dan pemanfaatannya untuk produk pelet kayu, serta peran dan fungsi para pihak dalam pemanfaatan kawasan hutan negara dan hutan rakyat dan dalam industri pengolahan kayu, dilakukan melalui alur pikir seperti Gambar 1.
Terlihat bahwa untuk memenuhi kebutuhan pelet kayu sebagai bahan bakar biomasa yang terbarukan dalam rangka pengembangan jenis bahan bakar untuk industri pangan, perlu diketahui besarnya potensi limbah kayu sebagai bahan baku pelet kayu. Limbah yang berasal dari industri kayu sangat ditentukan oleh potensi industri perkayuan dan potensi luas hutan yang ada.
Gambar 1. Kerangka analisis penelitian Figure 1. Framework of research analysis
Potensi Pengembangan Industri Pelet Kayu sebagai Bahan Bakar Terbarukan, Studi Kasus di ..... (Sylviani & Elvida Yosefi Suryandari)
237
D. Analisis Data
b. Sub sistem pengolahan yaitu kebutuhan bahan
Data yang terkumpul diolah dan dianalisis melalui tabulasi sederhana untuk selanjutnya dibahas secara deskriptif, yaitu (1) Untuk mengetahui potensi hutan negara dan hutan rakyat dengan mengidentifikasi luas kawasan hutan dan tutupan lahan serta penggunaan lahan. (2) Untuk mengetahui potensi kebutuhan bahan baku kayu di Kabupaten Wonosobo yaitu dengan mengidentifikasi jumlah industri pengolahan kayu yang ada dan (3) Untuk mengetahui jumlah limbah yang tersedia yaitu dengan menghitung rendemen industri pengolahan kayu. Berdasarkan informasi Dinas Kehutanan Kabupaten Wonosobo industri penggergajian kayu dapat menghasilkan limbah yang berupa serbuk gergaji sebesar 10,6%, sebetan 25,9% dan potongan 14,3% sedangkan rendemen pelet kayu adalah 80% dari serbuk gergajian. Industri Perkayuan merupakan suatu sistem, sehingga perlu diketahui bagaimana bentuk struktur sistemnya. Untuk memahami fenomena usaha Industri Perkayuan diperlukan suatu kerangka pendekatan yang sederhana dan komprehensif. Hubungan sub sistem dalam sistem usaha industri kayu terkait secara simultan dan dinamis. Perubahan pada salah satu sub sistem akan mempengaruhi sub sistem yang lain, baik secara internal (di dalam sistem) maupun perubahan eksternal (di luar sistem). Hasil penelitian dan pengamatan Dinas Kehutanan Kabupaten Wonosobo (2010), menyebutkan bahwa sistem usaha kayu rakyat terdiri dari empat sub sistem yaitu sub sistem produksi, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan, dimana keempat sub sistem tersebut berpengaruh terhadap potensi pengembangan industri pelet kayu. Secara garis besar penjabaran ke empat sub sistem tersebut adalah: a. Sub sistem produksi yaitu potensi industri pengolahan kayu dan pengembangan teknologi
baku, tenaga kerja yang mempunyai keahlian c. Sub sistem pemasaran antara lain sistem pemasaran dan persaingan harga d. Sub sistem kelembagaan meliputi, lembaga sosial dan ekonomi III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Pengembangan Produk Pelet kayu 1. Potensi Penggunaan Pelet Kayu untuk Industri Pangan Bahan baku pelet kayu terdiri dari bebetan (limbah dari pabrik veneer), sebetan (limbah penggergajian), serbuk gergajian (limbah penggergajian) dan barcore dengan diameter kurang dari 10 cm (limbah veneer). Rendemen pelet kayu dari serbuk gergajian 80%, sedangkan bila bahan bakunya chip atau bebetan maka 1 m3 bahan baku bisa menjadi 1,5 m3 serbuk gergajian dengan kadar air maksimal 10%. Data statistik Kabupaten Wonosobo (2011) menunjukkan bahwa banyak terdapat industri pangan terutama Industri Kecil Menengah (IKM) yang memproduksi makanan dan minuman (mamin) tradisional dan produk non-tradisional. IKM makanan tahu dan tempe merupakan produk non tradisional yang cukup berpotensi untuk dikembangkan, dimana terdapat 106 unit industri tahu dan 1602 unit industri tempe menengah dan kecil di Kabupaten Wonosobo khususnya di Desa Bumiroso yang merupakan sentra industri tahu dan tempe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua industri tahu menggunakan bahan bakar serbuk gergajian dimana untuk merebus gilingan kedelai sebanyak 50 kg membutuhkan waktu selama 1 (satu) jam dan membutuhkan bahan bakar
Tabel 2. Kebutuhan serbuk gergajian untuk industri tahu dan tempe Table 2. Demand of sawdust for tofu and tempe industry. No 1 2
238
Produk (Product)
Industri (Industry)
Tahu Tempe Jumlah Potensi pelet Kekurangan
106 unit 1604 unit
Kebutuhan serbuk (Sawdust demand) m3/thn (year) 184.800 461.952 646.752 151.524 495.228
Kebutuhan setara pelet kayu (Wood pellet production equivalent) ton/thn (year) 11.550 28.872 40.422 7.576 32.846
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
3
limbah kayu/serbuk gergajian sebanyak ± 0,83 m . Dengan jumlah industri tahu sebanyak 106 unit, maka dapat diperkirakan jumlah bahan bakar serbuk gergajian yang dibutuhkan sebesar ± 88 m3. Kebutuhan serbuk gergajian untuk 1 (satu) tahun (dengan asumsi 300 hari produksi) adalah 26.400 m3/satu kali masak. Apabila dalam satu hari 7 (tujuh) kali masak maka kebutuhan bahan bakar serbuk gergajian adalah 184.800 m3. IKM mamin lainnya yang menggunakan bahan bakar serbuk gergajian adalah industri tempe. Jumlah industri tempe yang ada di kabupaten Wonosobo (2011) adalah 1.604 unit. Berdasarkan hasil uji coba di Cianjur (2012) bahwa kebutuhan pelet kayu untuk merebus kedelai sebanyak 50 kg dibutuhkan 20 kg pelet (setara 0,32 m3 serbuk gergajian) (Anonim, 2012). Volume serbuk gergajian yang dibutuhkan untuk merebus tempe selama 1 tahun untuk 1604 unit IKM tempe (satu hari 3 kali masak) adalah 461.952 m3. Dengan adanya jenis bahan bakar yang terbarukan berupa pelet kayu, maka potensi kebutuhan pelet untuk industri tahu dan tempe di Kabupaten Wonosobo sangat tinggi. Lebih jelas kebutuhan serbuk gergajian dan pelet kayu untuk kedua industri mamin tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Dari hasil perhitungan pada Tabel 2 terlihat bahwa kebutuhan pelet kayu untuk industri mamin tahu dan tempe sebesar 40.422 ton/tahun. Sementara itu produksi pelet yang dihasilkan PT Solar Park sebesar 5400 ton/tahun, jumlah ini hanya untuk kebutuhan ekspor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perusahaan ini belum dapat memenuhi kebutuhan pelet untuk industri mamin khususnya di Kabupaten Wonosobo. Kebutuhan untuk industri mamin diharapkan dapat dipenuhi dengan pengadaan industri pelet melalui perluasan industri yang sudah ada, atau melalui pembangunan industri pelet yang diintegrasikan dengan industri pengolahan kayu lainnya. Ditinjau dari sub sistem pemasaran, besarnya permintaan bahan bakar pelet kayu untuk industri mamin cukup tinggi dan mer upakan energi alternatif terbar ukan. Keunggulan produk pelet kayu lainnya adalah mudah dalam pengepakan dan pengangkutan. Peluang permintaan pelet kayu ini dimungkinkan karena bahan bakar yang tidak terbarukan (minyak tanah,gas) saat ini harganya terus meningkat dan terkadang sulit didapat di pasar. Kelemahan dari pelet kayu adalah belum dikenal oleh masyarakat
khususnya para IKM. Sementara itu ancaman dari pelet kayu adalah dari sisi harga harus bersaing dengan bahan bakar yang tidak terbarukan. 2. Potensi limbah kayu untuk bahan baku pelet Kebutuhan kayu yang terus meningkat dan potensi hutan yang terus berkurang menuntut penggunaan kayu secara efisien dan bijaksana, antara lain dengan memanfaatkan limbah berupa serbuk kayu gergajian menjadi produk yang bermanfaat seperti briket arang, arang aktif, komposit kayu plastik, pot organik sebagai pengganti polybag, sebagai media tanam jamur dan pellet kayu. Penggunaan bahan bakar biomassa memiliki resiko yang kecil atau bahkan tidak ada terhadap ketersediaan bahan bakar biomassa, karena bahan bakunya berasal dari limbah kayu gergajian maupun limbah veneer kayu yang senantiasa tersedia. Penggunaan limbah industri peng olahan kayu sebag ai bahan bakar dikategorikan sebagai rendah emisi atau karbon netral. Berkaitan hal tersebut, jumlah industri pengolahan kayu merupakan faktor penentu dalam penyediaan bahan baku pembuatan pelet kayu. Kabupaten Wonosobo (2010) memiliki industri pengolahan kayu sejumlah 33 unit yang sudah memiliki ijin (IUPHHK). Berdasarkan persentase masing-masing limbah yang dapat dihasilkan dari industri perkayuan, maka secara rinci potensi limbah industri pengolahan kayu di Wonosobo selama 4 tahun dapat dilihat pada Tabel 3. Dengan asumsi bahwa rendemen limbah serbuk gergajian 10,6 %, sebetan 25,9% dan limbah potongan sebesar 14,3%, maka perkiraan jumlah limbah yang dapat dihasilkan dari IPHHK yang ada di Wonosobo pada tahun 2009 adalah 108.567,5 m3/tahun (Tabel 3). Setiap 1 m3 sebetan dan potongan dapat menghasilkan 1,5 m3 serbuk gergajian (Anonim,), Jumlah potensi serbuk gergajian yang dapat dihasilkan pada tahun 2009 menjadi 151.524,20 m3. Potensi limbah yang tersedia di Wonosobo ini belum mencukupi untuk kebutuhan bahan bakar industri tempe dan tahu sebesar 646.752 m3 atau kekurangan sebesar 76,5 %. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan industri tahu dan tempe bahan baku serbuk gergajian diperoleh dari luar Wonosobo. Berdasarkan keterangan dari petugas PT Solar Park, dengan menggunakan angka asumsi rendemen pelet kayu 80% dari serbuk gergajian maka dapat dihitung jumlah pelet yang dapat
Potensi Pengembangan Industri Pelet Kayu sebagai Bahan Bakar Terbarukan, Studi Kasus di ..... (Sylviani & Elvida Yosefi Suryandari)
239
Tabel 3. Potensi limbah industri pengolahan kayu di Kabupaten Wonosobo Table 3. Waste of wood processing industry potential in Wonososbo District Tahun (Year)
Produksi kayu bulat (Log production ) m3
Limbah serbuk gergajian (Waste of sawntimber ) m3/thn
Limbah sebetan (Waste of sawmill) (m3/thn)
Limbah bebetan (Waste of veneer) (m3/thn)
Total Limbah (Total of Waste ) (m3/thn)
2006 2007 2008 2009
32.964,30 124.607,78 67.794,36 213.715,47
3.494,2 13.208,4
8.537,8 32.273,4
4.713,9 17.818,9
16.745,9 63.300,7
7.186,2 22.653,8
17.558,7 55.352,3
9.694,6 30.561,3
34.439,5 108.567,4
Keterangan (remarks) : Data sekunder diolah (secondary data processed)
dihasilkan dari kedua jenis limbah tersebut adalah 3 sebesar 121.219,36 m pelet kayu (setara 7.576,2 ton),sehingga untuk memenuhi kebutuhan untuk industri mamin tahu dan tempe dibutuhkan bahan bakar pelet kayu sebesar 517 401 m3 (setara 40.422 ton). Ditinjau dari sub sistem pengolahan, kekuatan proses produksi pelet kayu tidak melalui banyak tahapan atau proses produksinya sederhana. Peluang pengolahan pelet kayu cukup besar karena ketersediaan bahan baku dari jenis yang potensial yaitu sengon. Kelemahannya adalah dibutuhkan tenaga yang mempunyai keahlian karena proses pengolahan pelet membutuhkan teknologi tinggi. B. Potensi Industri Pengolahan kayu Sumber bahan baku pelet kayu dapat berasal dari hutan negara maupun hutan rakyat. Di Kabupaten Wonosobo keberadaan hutan negara dan hutan rakyat yang cukup luas sangat berpotensi menghasilkan kayu albasia atau sengon berkualitas yang cukup menjanjikan bagi petani. Dari hutan rakyat seluas 18.981,58 hektar, sedikitnya mampu menghasilkan kayu albasia 750.000 m3 per tahun, sedangkan hutan negara seluas 19.692,36 ha dan dikelola oleh KPH Kedu Utara dan KPH Kedu Selatan (Dishut Wonosobo, 2010). Kondisi hutan tersebut merupakan potensi bagi pengembangan pellet kayu khususnya dari limbah pengolahan kayu sengon. Industri pengolahan kayu yang berdiri pertama kali yang ada di Kabupaten Wonosobo adalah PT. Surya Sindoro Sumbing Wood Industry (SSWI) yang dibangun pada tahun 1990. Dibangunnya industri tersebut mengakibatkan banyaknya permintaan terhadap kayu albasia untuk memenuhi 240
kebutuhan bahan bakunya. Permintaan tersebut diiringi pula dengan tumbuhnya industri penggergajian kayu skala kecil yang mengirimkan bahan baku olahan. Sampai tahun 2010 terdapat sekitar 134 buah industri kayu yang ada di Kabupaten Wonosobo. Lokasi industri kayu tersebut merata di 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Wonosobo. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo, hasil hutan kayu Kabupaten Wonosobo berupa kayu gergajian dari tahun 2006 hing g a 2009 meng alami peningkatan, rata-rata pertumbuhannya adalah 27,36%. Sejak tahun 2006 hasil kayu gergajian di Wonosobo mengalami peningkatan terus menerus yakni 16.482,15 m3, 62.301,00 m3, tahun 83.897,18 m 3 dan pada tahun 2009 kembali mengalami peningkatan menjadi 106.857,737 m3. Konsumsi kayu olahan seperti moulding dan laminating board untuk pasar dalam dan luar negeri cukup besar. Hasil kayu olahan mengalami penurunan pada tahun 2007 sebesar 50 %, namun pada tahun 2009 meningkat kembali hampir 50 % dengan rata-rata pertumbuhan 18,27 %. Perkembangan produksi industri kayu diKabupatenWonosobodapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa dengan adanya peningkatan hasil hutan kayu terutama kayu gergajian menunjukkan sub sistem produksi mempunyai kekuatan terutama dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku untuk industri biomassa, karena bahan baku utama biomassa adalah limbah kayu yang berasal dari industri penggergajian. Kondisi ini mempunyai peluang untuk pengembangan industri pellet kayu, namun kelemahannya adalah biaya teknologi yang masih tinggi serta persaingan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
Tabel 4. Hasil hutan kayu di Kabupaten Wonosobo dari tahun 2006 sampai 2009 Table 4. Forest products in Wonosobo District from 2006 until 2009 Tahun/year ( m3 )
No 1 2 3
URAIAN Kayu Bulat Kayu Gergajian Kayu Olahan
2006
2007
2008
2009
32.964,30 16.482,15 147.095,34
124.607,78 62.301,00 73.547,67
167.794,36 83.897,18 117.456,08
213.715,47 106.857,74 138.915,06
Rata-rata pertumbuhan/ Average growth (%) 27,37 27,36 18,27
Sumber data(Source): Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo (Forest and Plantation Office, 2009)
Tabel 5. Potensi pengembangan industri pelet kayu Table 5.Potential development of wood pellet industry Sub system (Sub system) Produksi
Pengolahan
Kekuatan (Strength) Penyimpanan bahan baku tidak membutuhkan ruang besar Proses produksi yang sederhana
Pemasaran
Merupakan energi alternatif terbarukan, pengangkutan mudah dilakukan
Kelembagaan
Ada investor dan dukungan dari perbankan
Peluang (Opportunity) Pengembangan jumlah industri pellet kayu
Kelemahan (Weakness) Biaya teknologi yang masih tinggi
Ketersediaan bahan baku dan jenis kayu, lokasi bahan baku terjangkau Produksi skala ekspor, nilai bakar bakar yang tidak terbarukan semakin meningkat dan ketersediaannya semakin sulit Ada dukungan dari pemerintah, ketersediaan kawasan
Tenaga kerja yang terampil, mesin berteknologi tinggi
dengan bahan bakar yang tidak terbarukan. Lebih rinci potensi pengembangan industri pelet berdasarkan sub sistem dengan kondisi dan strategi internal (kekuatan dan kelemahan) serta strategi eksternal (peluang dan ancaman) dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat bahwa masing-masing sub sistem mempunyai kondisi dan strategi yang berbeda, dimana untuk mengembangkan industri pellet kayu kedepan masih terbuka peluang atau dimungkinkan terutama untuk memenuhi permintaan pasar domestik. Dengan ketersediaan bahan baku berupa serbuk gergaji, bebetan dan sebetan, maka potensi pengembangan industri pelet dapat dilakukan melalui integrasi dengan industri penggergajian yang telah ada yang merupakan investasi modal dalam negeri. Berdasarkan sub system kelembagaan, kekuatan berupa dukungan dari pihak perbankan, peluangnya berupa ketersediaan lahan
Belum dikenal oleh masyarkat khususnya pelaku IKM
Ancaman (Threath) Persaingan dengan bahan bakar tidak terbarukan Tidak ada ancaman
Harga bersaing dengan bahan bakar tidak terbarukan
Belum ada mitra Lemahnya koordinasi usaha, perlu dukungan para pihak dari sektor lain
terutama pada lahan kritis untuk pengembangan tanaman jenis yang sesuai dengan bahan baku pelet kayu. Sebagaimana diketahui bahwa di Kabupaten Wonosobo terdapat lahan cukup kritis hingga sangat kritis seluas 26.891 ha (BPS Wonosobo, 2010). Sementara itu kelemahannya adalah belum ada mitra usaha dan perlu dukungan dari sektor lain, sedangkan ancaman adalah lemahnya koordinasi para pihak. C. Potensi Hutan Negara dan Hutan Rakyat di Wonosobo Wilayah hutan di Kabupaten Wonosobo terdiri dari kawasan hutan negara seluas 16.837 ha dan hutan rakyat seluas 18.981,58 ha. Hutan negara adalah hutan yang kepemilikan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara/pemerintah dalam hal ini Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Penutupan hutan di Kabupaten Wonosobo cukup luas, sudah
Potensi Pengembangan Industri Pelet Kayu sebagai Bahan Bakar Terbarukan, Studi Kasus di ..... (Sylviani & Elvida Yosefi Suryandari)
241
sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku yaitu lebih dari 30 %, yang terdiri dari luas hutan negara 15,3% dan luas hutan rakyat 17,2%. Luas hutan rakyat di Wonosobo pada tahun 2009 mencapai 10% dari luas hutan rakyat di seluruh Jawa Tengah (Dishut Wonosobo, 2010). Berdasarkan data BPS Kabupaten Wonosobo (2010) penggunaan lahan terluas adalah untuk tegalan atau kebun masyarakat yaitu seluas 42.080 ha (38,2%) dari luas wilayah yaitu 109.941 ha. Selanjutnya adalah penggunaan lahan untuk sawah seluas 17 150 ha (15,5%), penggunaan lahan di Kabupaten Wonosobo secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 2. Keberadaan hutan rakyat di Wonosobo sangat berpotensi menghasilkan kayu albasia atau sengon berkualitas yang cukup menjanjikan bagi petani. Dari luas hutan rakyat 18.981,58 hektar, sedikitnya mampu menghasilkan kayu albasia hingga 750.000 m ³ per tahun. Hutan rakyat atau kebun campur merupakan budaya pertanian turun temurun di desa-desa di Wonosobo, yang dikenal dengan sebutan wono atau alas. Kata “wono” itu sendiri dalam
khazanah kebudayaan pertanian di Jawa tidak hanya berarti hutan sebagaimana yang kita kenal. Wono dalam pemahaman mereka berarti sumber daya (resource) yang bisa berguna bagi pertanian, peternakan, dan kebutuhan hidup lainnya. Itu sebabnya dalam konteks pertanian mereka tidak dikenal sistem tanaman monokultur atau tanaman satu lapis. Tanaman dalam hutan rakyat dibuat belapis-lapis (multi layers) dengan banyak jenis yang dalamnya terdapat pohon kayu, tanaman buahbuahan, tanaman semusim, pakan ternak, dan lain sebagainya. Pola tanam ini ini dikenal sebagai agroforestry. Luas hutan rakyat selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 3. Luas hutan rakyat meningkat hingga tahun 2007, yang kemudian menurun dan stagnan hingga tahun 2010. Apabila kecenderungan luas hutan rakyat menurun maka potensi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan bahan bakar biomasa juga berkurang. Sisi positifnya bahwa masyarakat telah memiliki pengetahuan untuk melakukan agroforestry di tanah milik, sehingga tidak sulit untuk meningkatkan potensi hutan rakyat di
Gambar 2. Penggunaan lahan di Kabupaten Wonosobo (2010) Figure 2. Land use in Wonosobo District
Gambar 3. Luas hutan rakyat Kabupaten Wonosobo tahun 2005-2010 Figure 3. Private forest area in Wonosobo District in 2005 - 2010 242
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
Wonosobo. Potensi dari sebaran tegakan kayu hutan rakyat terdiri dari berbagai jenis antara lain, albasia, mahoni, suren, jenitri, akasia, jati, dan lainnya (Dinas Kehutanan 2009). Lebih jelas sebaran tanaman kayu pada masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat bahwa sebaran hutan rakyat meliputi 15 Kecamatan dimana tanaman albasia yang paling dominan dan tersebar di Kecamatan Kepil, kaliwiro, Sukoharjo, Leksono dan Mojotengah. Sedangkan untuk kayu mahoni yang merupakan urutan kedua setelah albasia tersebar di Kecamatan Kepil, Wadaslintang dan Kaliwiro. Sementara itu untuk jenis jati yang potensi tumbuhnya cukup baik tersebar di Kecamatan Wadaslintang dan Kaliwiro. Untuk jenis lain sebarannya tidak terlalu banyak pada masingmasing kecamatan. Program pemerintah pusat Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) telah dilakukan di Kabupaten Wonosobo sejak tahun 2003 sampai sekarang. Program diarahkan pada pembuatan bibit tanaman albasia, jati, suren, durian, dan akasia yang bertujuan selain untuk mengatasi lahan kritis dengan penanaman tanaman keras juga untuk konservasi air dan lahan, serta dalam jangka panjang diharapkan ber manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui usaha hutan rakyat. Dari tahun 2003 sampai tahun 2008 telah dilaksanakan GNRHL pada 13 kecamatan pada hutan rakyat seluas 7.935 ha seperti
terlihat pada Tabel 6. Pada Tabel 6 terlihat bahwa program GNRHL yang terluas adalah pada tahun 2004 karena pada saat itu sedang digalakkan program sengonisasi, sedangkan tahun 2006 menurun hanya 100 ha hal ini disebabkan karena keterbatasan lahan masyarakat.Tanaman albasia pada program GNRHL dari tahun 2003 sampai 2008 telah ditanam sebanyak 736.604 batang dengan kemungkinan tumbuh 70 % sehingga terdapat sekitar 515.623 pohon albasia yang tumbuh dari program GNRHL tersebut. Menurut informasi BPS Wonosobo bahwa secara grafik lahan sangat kritis cenderung menurun sejak tahun 2007 hingga tahun 2010 yaitu seluas 14.641,37 ha menjadi 5.694,97 ha. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan hutan rakyat sudah memanfaatkan lahan kritis yang ada. Diharapkan dengan programprogram yang ada saat ini seperti Kebun Benih Rakyat (KBR) atau Kebun Benih Desa (KBD) maka penanaman pohon yang lebih luas dapat dilakukan di lahan hutan rakyat. Kebijakan melalui penanaman pohon baik di hutan negara maupun hutan milik merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar serbuk gergaji. Apabila diasumsikan bahwa sengon ditanam dengan jarak 3x 3 m sehingga jumlah pohon adalah 1111 pohon per hektar. Bila setiap pohon mempunyai panjang batang 130 cm dan diameter 30 cm maka volume kayu setiap pohon 0,5 m3, sehingga volume kayu yang dapat
Gambar 4. Jumlah tegakan tanaman di Kabupaten Wonosobo (jumlah pohon) Figure 4. Standing stock in Wonosobo District (number of trees)
Potensi Pengembangan Industri Pelet Kayu sebagai Bahan Bakar Terbarukan, Studi Kasus di ..... (Sylviani & Elvida Yosefi Suryandari)
243
Tabel 6. Luas hutan rakyat penerima Gerhan, 2003 - 2008 Table 6. Private forest area of GERHAN, 2003-2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Luas Hutan Penerima Gerhan/Area of Gerhan( Ha)
Kecamatan/Sub district Kaliwiro Mojotengah Leksono Watumalang Sukoharjo Kalikajar Kejajar Wadaslintang Wonosobo Garung Kertek Selomerto Kalibawang JUMLAH
2003
2004
2005
2006
2007
2008
835 250 -
240 625 1.000 875 125 60 225 -
475 350 200 25 200 200 -
25 50 25
475 75 100 50 650 400 -
75 125 200 -
1.085
3.150
1.450
100
1.750
400
3
dihasilkan sebanyak 560 m per hektar. Serbuk gergajian yang dapat dihasilkan dari 560 m3 adalah 3 59,36 m³ serbuk gergajian ditambah 337,68 m serbuk gergajian dari bebetan/sebetan kayu, sehingga total serbuk gergajian yang dapat 3 dihasilkan setiap ha tanaman adalah 397,04 m . Dengan demikian untuk memenuhi kekurangan 3 kebutuhan serbuk gergajian sebesar 495.228 m dibutuhkan luas lahan sebesar 1 247,3 ha. D. Para Pihak dalam Pengembangan Pelet Kayu di Wonosobo Para pihak yang terkait dalam penyediaan bahan bakar biomasa ini adalah IPHHK, Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian, penyuluh masing-masing Dinas tersebut dan Koperasi Tahu Tempe. Tugas dan fungsi dari masing-masing para pihak berbeda. Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) bertugas untuk mengkoordinasikan dalam penyediaan lahan untuk pengembangan jenis tanaman baik di hutan negara maupun di hutan rakyat, terutama pada lahan cukup kritis dan kritis sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku. Dishutbun juga berfungsi sebagai fasilitator dalam menjamin ketersediaan bahan baku kayu bagi industri penggergajian dan pellet kayu. Dinas
244
Perindustrian dan Perdagangan merupakan pihak yang menjadi ujung tombak dalam mendorong pemasaran dan penggunaan pellet kayu sebagai bahan bakar terbarukan khususnya bagi para IKM dan industri peng olahan lainnya yang menggunakan bahan bakar biomasa. Upaya yang perlu dilakukan saat ini adalah mendorong investasi untuk pengembangan industri pelet kayu yang diintegrasikan dengan industri pengolahan kayu, dengan dukungan para pihak terkait. Disamping itu, pihak-pihak pemerintahan ini bertugas untuk mengeluarkan kebijakan dan peraturan sesuai dengan fungsinya. Penyuluh bertugas untuk melakukan pembinaan, mediator antara instansi pemerintah dan IKM. Sedangkan koperasi bertugas dalam penyediaan bahan baku dan bahan bakar serta sebagai pihak pemberi jasa dalam pemasaran hasil bagi para IKM. Sinergitas dan koordinasi yang baik antar para pihak akan mendorong pengembangan dan pemanfaatan pellet kayu di Kabupaten Wonosobo. Diharapkan dengan adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah, Dishutbun dan masyarakat baik dalam penyediaan lahan, penyediaan bahan baku dan bahan bakar sehingga dapat membantu dalam kelancaran dan pengembangan industri bahan bakar yang terbarukan berupa pellet kayu.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
Gambar 5. Koordinasi antar para pihak dalam pengembangan pelet kayu Figure 5. Stakeholders coordination for wood pellet development
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo sangat berpotensi untuk jenis tanaman albasia atau sengon, dimana dari luas yang ada yaitu 18.981,58 ha dapat menghasilkan kayu sebanyak 750.000 m3 . Melalui program GNRHL telah terealisasi penanaman seluas 7 935 ha yang tersebar di 13 kecamatan. 2. Perkembangan produksi hasil hutan berupa kayu gergajian di Kabupaten Wonosobo dari tahun 2006 hingga tahun 2009 meningkat ratarata 27,36 %. Hal ini merupakan kekuatan dalam memenuhi kebutuhan industri bahan bakar biomass karena bahan baku utamanya adalah serbuk gergajian. 3. Berdasarkan jumlah produksi kayu bulat pada tahun 2009 sebesar 213.715,47 m 3 /tahun diperkirakan dapat menghasilkan limbah serbuk gergajian sebanyak 108.567,5 m3/tahun. Apabila diasumsikan rendemen bagi pelet kayu sebesar 80 %, maka dari limbah yang tersedia dapat dihasilkan sebanyak 121.219,36 m3 pellet kayu. 4. Apabila IKM tahu tempe yang ada di Kabupaten Wonosobo seluruhnya menggunakan bahan bakar yang terbarukan berupa serbuk gergajian maka dibutuhkan bahan baku serbuk sebesar 646.752 m3/thn, sehingga dibutuhkan pasokan bahan baku tambahan sebesar 76,6 % atau
495.228 m3. 5. Potensi pengembangan industri pellet kayu dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar IKM apabila pihak terkait melakukan penanaman terutama jenis albasia. Luas kawasan hutan yang dibutuhkan untuk penanaman adalah 1.247,3 ha yang dapat ditanami di lahan hutan rakyat. B. Saran Perlu dilakukan upaya oleh instansi pemerintah daerah untuk mendorong investasi pengembangan industri pelet kayu baik yang mandiri atau berintegrasi dengan industri pengolahan kayu yang telah ada, disertai dengan sosialisasi kepada para pihak. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Proses Pembuatan Pelet Kayu Sengon. PT Solar Park. Wonosobo. BPS. 2010. Wonosobo Dalam Angka Tahun 2010. Wonosobo. Choi Y dan Js Kim. 2010. The Comparative Study of Wood Fuels Using Life Cycle Assesment. Kangwon National University in republic of Korea. Dinas Kehutanan Jawa Tengah. 2011. Data statistik kehutanan Jawa Tengah. Semarang.
Potensi Pengembangan Industri Pelet Kayu sebagai Bahan Bakar Terbarukan, Studi Kasus di ..... (Sylviani & Elvida Yosefi Suryandari)
245
Dinas Kehutanan Wonosobo. 2010. Master Plan Industri Perkayuan kabupaten Wonosobo tahun 2010. Passalacqua, F. dan Zaetta. 2004. Pellets In Southern Europe. The State Of The Art Of Pellets Utilisation In Southern Europe. New Perspectives Of Pellets From Agri-Residues. 2nd World Conference on Biomass for
246
Energy, Industry and Climate Protection, 10-14 May 2004, Rome, Italy. Sanusi, 2010. Karakteristik Pelet Kayu Sengon. Universitas Hasanudin. Makassar. Zam HA, Syahidah, dan B. Putranto. (2009) Karakteristik Pellet Kayu Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Fakultas Kehutanan Universitas Hasanudin Makassar.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
PELUANG USAHA EKOWISATA DI KAWASAN CAGAR ALAM PULAU SEMPU, JAWA TIMUR (Ecotourism Business Opportunities in the Region Sempu Island Sanctuary, East Java) 2
3
Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan Balai Besar KSDA Jawa Timur, Jl. Bandara Juanda, Surabaya 61253 Telp. 031-8667239 Hp. 08124906191, email:
[email protected] 2,3 Departemen Arsitektur Landscape, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Diterima 20 Mei 2013, direvisi 12 Juni 2013, disetujui 10 Juli 2013 ABSTRACT
Sempu Island Nature Reserve has become a favourite nature destination in Malang regency. The visitor numbers increased by time. However, the tourism activities violate the existing regulation i.e the nature reserve status. The visit or other activities entering the reserve area are forbidden except for education, research and development objects. The aims of the study were: 1) To analyze the potential of natural tourist attraction objects; 2) To evaluate the impact of nature tourism; 3) To formulate a strategic plan of Pulau Sempu Nature Reserve accepted by multi-stakeholder. Data were collected through observation, interviews, and study of related literature. The SWOT analysis was used to formulate the strategic plan. The results showed Sempu Island Nature Reserve area is very potential to be developed as ecotourism destination with the main attractions such as the Segara Anakan Lagoon, diversity of flora, fauna and its ecosystem. In order to mitigate the negative impact on the nature tourism of the region, it is necessary to conduct appropriate management and planning. Appropriate management strategies to be implemented are: a) To evaluate the function of the area and divide it into blocks to minimize visitor impact management; b) Changes in status from a Nature Reserve to the Nature Park; c) To collaborate with community in managing the area. Keywords: Private forest, wood pellets, wood waste industry, renewable fuel ABSTRAK
Cagar Alam Pulau Sempu sudah menjadi salah satu daerah tujuan wisata alam popular yang banyak dikunjungi orang di Kabupaten Malang. Adanya kegiatan ekowisata di Pulau Sempu menimbulkan permasalahan pengelolaan terkait dengan status kawasan sebagai Cagar Alam. Kawasan Cagar Alam tidak ditujukan untuk kegiatan wisata, melainkan hanya untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi kenyataan yang dihadapi sekarang, kunjungan wisatawan ke Pulau Sempu semakin meningkat dan sudah sangat sulit dihentikan. Penelitian ini bertujuan 1) Menganalisis potensi obyek daya tarik wisata alam; 2) Mengevaluasi dampak ekowisata terhadap kawasan; 3) Merumuskan strategi kebijakan pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan studi pustaka. Untuk merumuskan strategi pengelolaan menggunakan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu sangat potensial untuk dikembangkan menjadi tujuan ekowisata dengan daya tarik obyek wisata alam berupa danau “Segara Anakan”, keanekaragaman flora, fauna dan ekosistemnya. Adanya dampak negatif dari wisata alam terhadap kawasan, diperlukan pengelolaan dan perencanaan yang sesuai untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Strategi pengelolaan yang sesuai adalah a) Melakukan evaluasi fungsi kawasan dan membagi blok pengelolaan untuk meminimalkan dampak pengunjung; b) Perubahan status sebagai kawasan Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam; c) Melakukan kolaborasi pengelolaan kawasan dengan masyarakat. Kata kunci: Hutan rakyat, pelet kayu, limbah industri kayu, bahan bakar terbarukan
I. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara mega biodiversity dunia yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi setelah Brasil dengan keunikan, keaslian dan
keindahan alamnya (Indrawan et al. 2007). Keanekaragaman flora, fauna dan ekosistemnya serta keragaman budaya merupakan potensi dan dapat dijadikan salah satu dasar pembangunan berkelanjutan dengan cara memanfaatkan jasa
Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan)
247
lingkungan melalui ekowisata (Supyan, 2011). Dalam rangka untuk melindungi keanekaragaman hayati tersebut, pemerintah menetapkan beberapa kawasan di Indonesia sebagai kawasan konservasi yaitu Suaka Alam (Cagar Alam, Suaka Margasatwa) dan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Tahura) (Zuhri dan Sulistyawati, 2007). Berdasarkan data Kemenhut (2012) Indonesia menetapkan 245 kawasan Cagar Alam dengan luas ± 4.485.230 ha. Pulau Sempu merupakan kawasan konservasi di Jawa Timur, ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor. 46 Stbl No. 69 tanggal 15 Maret 1928 dengan luas ± 877 ha. Penetapan kawasan didasarkan pada faktor botanis, estetis dan topografis (BBKSDA Jatim, 2011). Cagar Alam merupakan kawasan konservasi yang memiliki fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Perlindungan Cagar Alam banyak mengalami hambatan yang disebabkan oleh pembatasan akses, sehingga memicu konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan masyarakat (Wiratno, 2004). Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu (CAPS) beberapa tahun terakhir menghadapi permasalahan pengelolaan yaitu adanya kegiatan wisata alam dalam kawasan. Hal ini bertentangan dengan UU RI No. 5 tahun 1990 pasal 17 ayat 1 yaitu di dalam Cagar Alam hanya dapat dilakukan kegiatan penelitian, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan yang menunjang budidaya. Adanya permasalahan dan tekanan permintaan wisata ke daerah-daerah yang alami akan berdampak pada penurunan kawasan baik secara kualitas maupun kuantitas yang dapat mengancam kelestarian kawasan (Wearing dan Neil, 2009), sehingga tujuan penetapan kawasan konservasi tidak dapat tercapai. Oleh karena itu diperlukan upaya strategis dalam pengelolaan kawasan CAPS, supaya tercapai optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan serta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya, sekaligus dapat memecahkan masalah yang dihadapi kawasan sekarang dan mengantisipasi kondisi yang akan datang. Dengan upaya strategi pengelolaan baru diharapkan kawasan CAPS secara ekologis tetap lestari dan secara ekonomis menguntungkan masyarakat sekitar.
248
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi dan menganalisis potensi obyek daya tarik wisata alam kawasan CAPS; 2) Mengevaluasi dampak wisata alam terhadap kawasan CAPS; 3) Merumuskan alternatif strategi pengelolaan kawasan Pulau Sempu yang sesuai dengan potensi dan status kawasan. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan CAPS. Secara administratif masuk wilayah Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur dan berlangsung pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Maret 2013. B. Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, Geographic Position System (GPS), kamera, komputer, alat perekam, kuesioner, peta kerja dan perlengkapan lapang. C. Metode Pengambilan Data Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif melalui survei dengan cara pengamatan lapangan (observasi) terhadap fenomena-fenomena yang ada di lokasi penelitian, wawancara mendalam (indepth interview) terhadap stakeholders (BBKSDA Jatim, Dinas Kehutanan Kabupaten Malang, Bapeda Kabupaten Malang, pengunjung kawasan) dan studi pustaka. Teknik pengumpulan data dilakukan secara purposive sampling. Jumlah responden pengunjung adalah 192 responden, ditentukan dengan rumus Solvin (Siregar, 2011) yaitu :
Keterangan : n = Jumlah responden N = Ukuran populasi dalam waktu tertentu e = Perkiraan tingkat kesalahan Data penelitian meliputi data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, pengisian kuesioner dan wawancara, berupa potensi ekowisata (potensi obyek daya tarik wisata
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 247 - 263
alam, atraksi alam, budaya dan jenis kegiatan wisata lainnya, akomodasi, fasilitas, pelayanan dan infrastruktur), persepsi pengunjung dan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan CAPS. Data sekunder dikumpulkan dari hasil penelitian, laporan, dokumen dan sumber pustaka yang berkaitan dengan tujuan penelitian, berupa kondisi fisik kawasan (topografi, geologi, iklim), potensi jenis flora dan fauna dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal serta peta kawasan.
strategi pengelolaan kawasan CAPS. Analisis SWOT membandingkan antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dalam pengembangan ekowisata di kawasan CAPS dengan faktor ekster nal (peluang dan ancaman) yang mempengaruhi pengembangan ekowisata di kawasan CAPS dengan menggunakan scoring dan pembobotan, sehingga dari analisis tersebut dapat dirumuskan strategi pengelolaan kawasan CAPS dengan adanya ekowisata (Rangkuti, 2000).
D. Analisis Data 1. Analisis Penilaian Potensi Analisis penilaian potensi ekowisata di CAPS dilakukan dengan cara penilaian obyek dan daya tarik wisata alam, dengan menggunakan tabel kriteria penilaian dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam dengan menggunakan sistem skor dan pembobotan berdasarkan pedoman analisis obyek daya tarik wisata alam yang ditetapkan oleh Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2003. Kriteria data penilaian daya tarik obyek wisata alam bentuk pantai ada pada Lampiran 1. 2. Analisis Strategi Pengelolaan Kawasan Analisis SWOT dalam penelitian ini dilakukan untuk menentukan posisi kondisi saat ini dan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Oyek Daya Tarik Wisata Alam di Kawasan Pulau Sempu Kawasan CAPS merupakan salah satu kawasan konservasi di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur yang mempunyai keanekaragaman hayati dan pesona keindahan alam yang sangat menarik dengan fenomena alam berupa danau Segara Anakan. Kawasan CAPS sudah menjadi salah satu tujuan wisata alam bagi wisatawan yang datang ke Kabupaten Malang. Menurut Yoeti (1999) CAPS merupakan salah satu daerah tujuan wisata alam popular yang banyak dikunjungi orang. Penilaian potensi obyek daya tarik wisata alam (ODTWA) kawasan CAPS disajikan pada Tabel 1.
Tabel 2. Hasil penilaian potensi obyek daya tarik wisata alam di Cagar Alam Pulau Sempu Table 2. Results of assessment of potential objects of nature tourism destinations in Sempu Island Nature Reserve Potensi (Potential) Daya tarik SDA
Unsur penunjang
Kriteria (Criteria) Daya tarik obyek wisata pantai Daya tarik obyek wisata darat Kondisi masyarakat sekitar Kadar hubungan/ aksesibilitas Elemen institusi Potensi Pasar Akomodasi Pengelolaan dan pelayanan Iklim Sarana dan Prasarana Penunjang Ketersediaan air bersih Hubungan dengan obyek wisata di sekitarnya Penurunan kualitas lingkungan Daya dukung kawasan Pangsa pasar
Klasifikasi ODTWA (Classification)
1.050 1.230 1000 550 975 925 30 220 280 315 510 90
Indeks nilai potensi (%) (Potential value of index) 83,33 85,41 83,33 64,71 50 97,37 33,33 61,11 58,33 70 56.66 90
120 375 225
66,67 83,33 83,33
Sedang Tinggi Tinggi
Total nilai ODTWA (Total value)
Nilai potensi (a×b) (Potential value)
1.260 1.440 1200 850 1950 950 90 360 480 450 900 100 180 450 270
Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan)
Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Rendah Tinggi Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi
249
Potensi ODTWA kawasan CAPS (Tabel 1 dan Gambar 1) dapat dipahami bahwa Pulau Sempu mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan kegiatan ekowisata, dengan potensi daya tarik sumber daya alam berupa obyek wisata pantai mempunyai nilai yang tinggi sebesar 83,33% dan obyek wisata darat 85,41%, sedangkan unsur penunjang yang mempunyai nilai yang tinggi adalah kondisi masyarakat sekitar 83,33%, potensi pasar nilai 97,37%, hubungan dengan obyek wisata di sekitarnya dengan nilai 90%, daya dukung kawasan 83,33% dan pangsa pasar nilai 83,33%. Sedangkan potensi unsur penunjang yang mempunyai nilai rendah adalah elemen institusi
50% dan akomodasi 33,33%. Potensi unsur penunjang berupa aksesibilitas, pengelolaan dan pelayanan, iklim, sarana dan prasarana, ketersediaan air bersih, penurunan kualitas lingkungan mempunyai nilai klasifikasi yang tergolong sedang. Hal ini berarti bahwa kawasan CAPS berdasarkan hasil penilaian secara keseluruhan yaitu potensi daya tarik sumber daya alam berupa obyek wisata pantai dan darat serta unsur penunjangnya menunjukkan kawasan CAPS sangat layak untuk dikembangkan kegiatan ekowisata dengan kegiatan utamanya adalah berupa (education, trecking, camping, animal watching, birdwatching).
Gambar 1. Peta potensi obyek daya tarik wisata alam di Cagar Alam Pulau Sempu Figure 1. Map of potential objects of natural tourist attraction in Sempu Island Nature Reserve
Gambar 2. Pengunjung pantai waru-waru dan Danau Segara Anakan Figure 2. Visitors to the beach Waru-waru and the lake Segara Anakan 250
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
Pulau Sempu merupakan kawasan konservasi yang mempunyai keunikan dan keindahan alamnya. Salah satu potensinya adalah obyek wisata pantai dengan nilai klasifikasi ODTWA tinggi dengan nilai sebesar 83,33% artinya bahwa kawasan CAPS sangat layak dikembangkan ekowisata dengan potensi sumber daya alam berupa obyek wisata pantainya. Penilaian tersebut berdasarkan kriteria : keindahan pantai, keselamatan dan keamanan pantai, jenis dan warna pasir, variasi kegiatan, kebersihan, kenyamanan dan lebar pantai. Pulau Sempu mempunyai beberapa potensi obyek wisata pantai dengan pasir putih dan panorama yang indah. Keindahan pantai pulau sempu di sebelah utara berbatasan dengan teluk Sendang Biru, dengan akses yang cukup mudah pengunjung menyeberang menggunakan jasa angkutan perahu dari pantai Sendang Biru selama 10-15 menit sudah sampai di pingir pantai Waru-waru, pantai Raas, pantai Air tawar, Goa macan dan pantai Gebang. Sedangkan pantai yang berada di sebelah selatan dan timur untuk mencapainya harus melalui jalur trek melewati hutan tropis yang masih utuh untuk mencapai pantainya yaitu pantai Tanjung, Setumbut, Karetan, Setigen, Pondok Kobong, Plawangan, Gladakan, Baru-baru, Segara Anakan, Pasir Kembar dan Pasir Panjang. Kegiatan ekowisata sebagai bagian konservasi dan pembelajaran lingkungan yang dilakukan oleh pengunjung di pantai-pantai Pulau Sempu adalah menikmati pemandangan, berenang, berjemur, snorkeling, animal watching, birdwatching, olah raga, susur pantai dan memancing (Gambar 2).
Pulau Sempu selain mempunyai keindahan dan keunikan pantai juga mempunyai potensi obyek wisata darat dengan nilai klasifikasi ODTWA tinggi sebesar 85,41% artinya bahwa kawasan CAPS sangat layak untuk dikembangan ekowisata dengan potensi sumber daya alam berupa obyek wisata darat. Potensi tersebut meliputi pandangan lepas dalam obyek berupa hamparan hutan tropis dataran rendah yang masih utuh yang dilihat dari seberang pantai Sendang Biru. Nilai keindahan kawasan CAPS secara umum meliputi keindahan alam dan bentuk fisik kawasan yang unik dengan potensi flora dan fauna. Menurut Kramadibrata et al. (2010) di kawasan Pulau Sempu terdapat 70 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 63 marga dan 31 suku. Jenis vegetasi yang dominan pada ekosistem hutan tropis dataran rendah, ekosistem hutan mangrove dan ekosistem hutan pantai di Pulau Sempu disajikan pada Tabel 3. Sedangkan keragaman jenis satwaliar di Pulau Sempu berdasarkan data inventarisasi BKSDA Jatim II tahun 1999, ditemukan ada 72 jenis yang terdiri dari 47 jenis Aves, 16 jenis Mamalia, 9 jenis Reptil. Satwaliar jenis Mamalia dan aves yang sering dijumpai di kawasan CAPS disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5 sebagai berikut. Potensi Keanekaragaman flora dan fauna merupakan modal dalam pengembangan ekowisata di kawasan CAPS sesuai dengan konsep ekowisata yaitu prinsip pendidikan konservasi lingkungan dengan mendidik pengunjung dan masyarakat setempat akan pentingnya konservasi. Proses pendidikan ini dapat langsung dilakukan di alam, dengan kegiatan ekowisata berupa (education, trecking, camping, animal watching, birdwatching).
Tabel 3. Jenis vegetasi yang dominan di Cagar Alam Pulau Sempu Table 3. The dominant vegetation types in Sempu Island Nature Reserve
(Sumber : Kramadibrata et al. 2010)
Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan)
251
Tabel 4. Jenis Mamalia yang ditemukan di Cagar Alam Pulau Sempu Table 4. Type of mammals are found in the Island Nature Reserve Sempu No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Nama Lokal (Local names) Lutung jawa Kijang Macan tutul Kucing hutan Jelarang Walang kopo Kukang Trenggiling Landak Monyet ekor panjang Kalong besar Babi hutan
Nama Ilmiah (Scientific name) Trachypithecus auratus Muntiacus muntjak Panthera pardus Felis bengalensis Ratufa bicolor Cynocephalus variegatus Nictycebous javanicus Manis javanica Hystrix brachyura Macaca fascicularis Pteropus vampyrus Sus scrofa
(Sumber : BKSDA Jatim II, 1999)
Potensi keutuhan dan kepekaan sumber daya alam inilah yang menjadikan kawasan CAPS sebagai lokasi yang menarik bagi banyak peneliti dan wisatawan. Kawasan CAPS memiliki 4 (empat) tipe ekosistem yang masing-masing memiliki ciri berbeda satu sama lain tetapi secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan yaitu ekosistem hutan tropis dataran rendah, ekosistem hutan mangrove, ekosistem hutan pantai, ekosistem danau (Telaga Lele, Telaga Sat, Telaga Panjang, Segara Anakan). Menurut Raharjo (2005) tipe ekosistem merupakan satu point of interest untuk dikemas sebagai produk ekowisata, semakin beragam dan semakin unik tipe ekosistem yang ada maka akan semakin beragam paket ekowisata yang bisa dikembangkan. Hal ini berarti bahwa kawasan CAPS dengan keanekaragaman flora, fauna yang unik dan beragam merupakan modal untuk pengembangan produk ekowisata yang menarik. Dukungan dan keingginan masyarakat sekitar terhadap adanya ekowisata di kawasan CAPS cukup tinggi dengan nilai 83,33%. Menurut mereka adanya ekowisata akan membuat desa semakin maju dan akan memberi peluang pekerjaan baru di masa mendatang. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari keinginan untuk bisa terlibat dalam pengembangan wisata alam dengan penjadi pemandu wisata, jasa penyeberangan perahu dan membuka warung makan. Kondisi di dukung dengan potensi pasar juga cukup besar dengan nilai potensinya sebesar 97,37% artinya kawasan CAPS sangat layak 252
dikembangkan ekowisata dilihat dari potensi pasar dan dukungan serta keinginan masyarakat sekitar yang cukup besar. Partisipasi masyarakat merupakan prinsip utama dalam pengembangan ekowisata selain untuk pendidikan konservasi. Adanya partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekowisata diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan, sehingga kegiatan ekowisata akan mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan. Kondisi ini didukung dengan hubungan obyek wisata lain sekitar Pulau Sempu dengan nilai potensi sebesar 90% artinya bahwa kawasan CAPS sangat layak untuk dikembangkan ekowisata dengan didukung obyek wisata lain di sekitar Pulau Sempu yaitu Pantai Sendang Biru, Pantai Tamban, Pantai Goa Cina dan Pantai Bajul Mati. Keberadaan objek wisata lain di sekitar kawasan CAPS dapat dimanfaatkan untuk menarik wisatawan dalam rangka pengembangan kawasan ekowisata. Penilaian potensi ODTWA (Tabel 1) menunjukkan bahwa kawasan CAPS memiliki potensi obyek daya tarik wisata alam yang besar dan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obyek ekowisata. Hal ini didukung adanya potensi ODTWA kawasan CAPS berupa obyek daya tarik wisata pantai dan obyek daya tarik wisata darat yang sangat unik dan berbeda dengan obyek wisata alam di daerah lain. Potensi obyek wisata darat dan pantai tersebut harus bisa dikembangkan secara bersama-sama. Pengelolaan dan pengembangan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
suatu kawasan konservasi untuk ekowisata perlu memperhatikan kelestarian obyek daya tarik wisata yang menjadi maskot dari kawasan tersebut. Semakin banyak potensi daya tarik wisata alam yang ada pada suatu kawasan akan semakin menarik minat wisatawan untuk berkunjung pada kawasan.
Oleh karena itu pengembangan potensi ODTWA yang hanya memperhatikan sarana dan prasarana penunjang tanpa memperhatikan kelestarian ODTWA, seiring berjalannya waktu akan mengakibatkan menurunnya kualitas dari ODTWA di kawasan.
Tabel 5. Jenis aves yang ditemukan di Cagar Alam Pulau Sempu Table 5. Species of bird found in the Island Nature Reserve Sempu No.
Famili (Family)
1.
Bucerotidae
2. 3..
Alcedinidae Ardeidae
4. 5.
Falconidae Accipitridae
6.
Sternidae
7. 8. 9.
Fregatidae Sturnidae Jenis Lain
Nama Lokal (Local names) Kangkareng perut putih Julang emas Raja udang meninting Kuntul hitam Bangau tong-tong Cangak merah Kuntul kecil Kuntul besar Kuntul kerbau Kuntul perak Alap-alap Elang bido Elang laut perut putih Elang bondol Elang laut kecil Elang jawa Dara laut putih Dara laut sayap putih Dara laut sayap hitam Dara laut kecil Dara laut Cikalang cristmast Jalak putih Ibis hitam penggunting laut Pelatuk Srigunting Tiung mungkal Walet Kutilang Prenjak Sriti Cucak ijo Trocokan Gelatik Burung Larwo Kecruk Delimukan Trulek Emprit Burung cabe
Nama Ilmiah (Scientific name) Anthracoceros albirostris Aceros undulatus Alcedo meninting Sterna fuscata Leptoptiles javanicus Ardea purpurea Egretta garzetta Egretta alba Bubulcus ibis Egretta intermedia Sikra accipiter badius Spilornis cheela Haliaetus leucogaster Halliastur indus Ichtyopaga nana Spizaetus bartelsi Gygis alba Chillodonias leucopterus Chillodonias niger Sterna albifronas Sterna hirundo Fregata andrewsi Sturnus melanopterus Pseudibis davisoni Pufinus sp. Picus sp. Dicrucus macrocerus Cochoa azurea Collocalia sp. Pycnonotus aurigaster Prinia polychroa Collocasia sp. Pycnonotus sp. Pycnonotus gogver Padda cryzipora Copsycus saularis Caprimulgus macrucus Treton fulficolis Pluvialis dominica Lonchura maja Dicacum crocileum Colombia sp.
Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan)
253
Pada hakekatnya ekowisata dapat melestarikan dengan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat. Pembangunan ekowisata yang berwawasan lingkungan lebih menjamin dalam melestarikan alam, karena ekowisata tidak mengeksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan (Fandeli, 2000a). B. Karakteristik Pengunjung Secara umum pengunjung yang datang ke Pulau Sempu bervariasi baik dari segi daerah asal, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tujuan pengunjung datang ke Pulau Sempu. Gambar 3 menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengunjung ke kawasan CAPS selama lima tahun terakhir. Hasil penelitian diperoleh gambaran karakteristik pengunjung kawasan CAPS didominasi oleh laki-laki 76,04% dan perempuan 23,96%. Hal ini dimungkinkan bahwa tujuan utama pengunjung adalah ke danau Segara Anakan, sedangkan untuk mencapainya harus melalui jalan trek cukup berat dan panjang ± 2,5 km. Menurut Ross (1998) wisatawan laki-laki cenderung lebih tertarik datang ke lokasi wisata alam yang mempunyai kegiatan fisik menantang untuk berpetualang serta mewujudkan jati dirinya. Adapun kecenderungan pengunjung yang datang pada kawasan CAPS untuk melakukan kegiatan wisata alam sebanyak 40,21% adalah pada usia 1620 tahun, usia 21-25 tahun sebesar 43,30% sedangkan pada usia 26-30 tahun hanya 9,79% dan usia diatas 31 tahun 6,19% pengunjung. Menurut
Fandeli (2000c) wisatawan yang berkunjung ke ODTW alam telah tersegmentasi. Pada umumnya mereka terdiri atas wisatawan remaja, suka berpetualang, tantangan, memiliki motivasi fisik, kesehatan, pendidikan dan penelitian, sehingga ukuran yang diperoleh wisatawan yang melakukan perjalanan wisata alam berbeda dengan wisata lain. Kepuasan akan diperoleh justru apabila wisatawan dalam berwisata ke alam memperoleh tantangan dan beresiko tinggi. Dilihat dari tingkat pendidikan pengunjung 81,96% SMU/SMK dan 15,98% diploma/sarjana serta 2,06% SMP, sedangkan status pekerjaan pengunjung pelajar/mahasiswa 57,73%, selanjutnya karyawan swasta 38,14% dan PNS 4,12%. Pengunjung kawasan CAPS didominasi oleh pengunjung domestik, 22,16% berasal dari Malang, 35,57% berasal dari kota dan Kabupaten di Jawa Timur dan 42,26% berasal dari luar Provinsi Jawa Timur. Hal ini menunjukkan bahwa potensi obyek daya tarik wisata alam di Pulau Sempu sudah dikenal dan diminati bukan hanya oleh masyarakat di Jawa Timur, meskipun pengelola kawasan tidak pernah melakukan kegiatan promosi wisata di kawasan CAPS. Kondisi ini bisa menjadi peluang untuk pengembangan ekowisata di kawasan CAPS. Pengelolaan kawasan konservasi tergantung pada informasi, semakin baik kualitas dan kuantitas informasi yang digunakan maka akan semakin besar terbuka peluang untuk dapat mengefektifkan pengelolaan kawasan (Rosalino dan Grilo, 2011). Informasi keberadaan Pulau Sempu yang diterima pengunjung dan tujuan kedatangan pengunjung disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Jumlah pengunjung Cagar Alam Pulau Sempu periode 2008-2012 Figure 3. Sempu Island Nature Reserve visitors number in period 2008-2012 254
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
Gambar 4. Informasi keberadaan Pulau Sempu dan tujuan pengunjung ke Pulau Sempu Figure 4. Presence information Sempu Island and visitor destination Informasi keberadaan Pulau Sempu yang berasal dari teman/keluarg a 69,04% tersebut mempengaruhi pengunjung sehingga mereka tertarik datang ke Pulau Sempu untuk pertama kali 77,1% dan 22,16% datang untuk kedua kali atau lebih. Pengunjung datang ke Pulau Sempu dengan tujuan rekreasi untuk menikmati pemandangan, keindahan dan keunikan alam adalah 56,70%, pengunjung yang bertujuan untuk berkemah adalah 27,84 sedangkan untuk pendidikan hanya 14,95%. Menurut Fandeli (2000c) kawasan konservasi/ lindung biasanya kaya akan atraksi alam, seperti potensi flora/fauna, sungai, telaga, air terjun, goa serta keunikan alam. Motivasi pengunjung datang ke Pulau Sempu karena mereka menginginkan sesuatu yang baru, menarik dan tidak ada di lokasi yang lain, 78,87% pengunjung termotivasi ingin melihat pemandangan alam berupa Segara Anakan, keindahan pantai 20,62% dan keindahan alam 0,52%. Harapan pengunjung terhadap bentuk wisata alam yang diinginkan 38,66% berupa wisata alam untuk rekreasi, 35,57% pengunjung menginginkan wisata alam untuk pendidikan dan 24,23% responden pengunjung menginginkan wisata alam minat khusus (animal watching, birdwatching). C. Evaluasi Dampak Wisata Alam terhadap Kawasan CAPS Teori keseimbangan ( Equilibrium theory ) memandang bahwa ekosistem dijaga dalam sebuah keseimbangan diatas fondasi spesies-spesies penyusunnya. Dalam keseimbangan tersebut, spesies-spesies ada dan berinteraksi satu sama lain dalam hubungan predator dan mangsanya, serta dalam hubungan-hubungan kompetisi yang ada. Pendekatan ini menciptakan sebuah ide tentang
keseimbangan alam “the balance of nature”. Namun, keseimbangan ini bisa terganggu oleh sebab-sebab alamiah dan manusia (Hakim, 2004). Adanya aktivitas wisata alam dapat menyumbang peran yang signifikan dalam pembiayaan program-program konser vasi lingkung an hidup. Namun, yang har us diperhatikan bahwa aktivitas wisata juga mempunyai potensi untuk ikut serta mengarahkan pada kerusakan lingkungan apabila tidak ada pengelolaan yang intensif. Aktivitas pembangunan wisata alam yang dilakukan juga merupakan ancaman yang nyata terhadap keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan yang akan dikembangkan. Kekhawatiran bahwa pengembangan wisata alam sering menyebabkan hilangnya bentuk-bentuk keanekaragaman hayati di sekitarnya padahal, fungsinya disadari sangat penting bagi ekosistem kawasan. Oleh karena itu rencana pengembangan wisata alam juga harus dilihat daya dukung dari kawasan yang akan dikembangkan untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan adanya kegiatan wisata alam. Hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa dampak wisata alam terhadap respon satwaliar di lokasi penelitian dengan adanya aktifitas pengunjung berbeda-beda. Seperti yang mudah diamati di lokasi penelitian kelompok primata jenis Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sering dijumpai dengan mudah di sekitar obyek daya tarik wisata alam, namun adanya pengunjung membuat satwaliar ini menjadi agresif serta terjadinya penyimpangan pola makan dari satwaliar tersebut. Sementara sebagian satwa lain seperti Lutung jawa (Trachypithecus auratus), Kijang (Muntiacus muntjak), Babi hutan (Sus scrofa) dan lainya cenderung menghindar dari lokasi obyek daya tarik wisata
Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan)
255
alam. Aktifitas wisata alam yang dekat dengan habitat satwaliar, dapat mempengaruhi hidupan liar. Pengaruh-pengaruh negatif tersebut antara lain: 1) Dimungkinkan pengambilan secara ilegal terhadap satwaliar; 2) Kerusakan habitat satwaliar; 3) Perubahan komposisi tumbuhan menurunnya produktifitas tumbuhan bawah karena terinjakinjak pengunjung; 4) Mengurangi daya reproduksi satwaliar; 5) Penyimpangan pola makan satwa (monyet ekor panjang); 6) Modifikasi pola-pola aktifitas satwa; 7) Polusi dan limbah yang ditinggalkan pengunjung. Satwa-satwa kecil seperti burung dan kelompok insekta (kupu-kupu, belalang, dll) sering kali menjadi sasaran diambil secara ilegal. Gangguan lain terhadap satwa dapat terjadi karena tumbuhan sumber makanan juga tergangggu. Tumbuhan dapat terganggu karena perubahan komposisi dan struktur komunitasnya serta produktifitasnya. Dengan adanya pengunjung di kawasan dapat mengurangi produktifitas tumbuhan seperti tumbuhan bawah, rumput dan herba karena terinjak-injak dan mati. Dampak adanya kegiatan wisata alam dikawasan CAPS yang dimungkinkan terjadi pada kawasan adalah bibit-bibit tumbuhan eksotik mempunyai peluang masuk kawasan, karena terbawa oleh manusia/pengunjung baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dengan berkembangnya jumlah spesies eksotik semakin banyak, maka akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap keseimbangan lingkungan. Dampak lain adanya wisata alam terhadap lingkungan yang dapat diamati langsung di lokasi penelitian adalah masalah limbah/sampah. Adanya pengunjung yang masuk kawasan akan membawa limbah dan kebanyakan meninggalkan sampah setelah berkunjung. Sampah yang dihasilkan pengunjung akan menjadi masalah lingkungan yang dapat mempengaruhi kualitas daerah tujuan wisata. Hal seperti ini mudah terjadi, dimana kawasan tujuan wisata alam dengan kepadatan pengunjung yang tinggi, berdampak nyata dengan beban lingkungan yang harus ditanggung kawasan yaitu kawasan menjadi kotor oleh aktifitas wisata, dengan sampah plastik, botol dan kaleng minuman yang tidak bisa terurai oleh lingkungan. Adanya dampak-dampak tersebut harus menjadi perhatian serius bagi pengelola kawasan. Apalagi kondisi saat ini, kawasan CAPS belum ada
256
pengelolaan terhadap adanya wisata alam di dalam kawasan. Salah satu langkah untuk meminimalisir dan mencegah kerusakan kawasan obyek wisata/kawasan konservasi yang disebabkan oleh kunjungan wisatawan yang berlebihan adalah dengan mengetahui daya dukung kawasan yang dapat digunakan untuk menyusun perencanaan peng elolaan deng an adanya ekowisata. Perhitungan daya dukung dapat memberikan batasan maksimal jumlah pengunjung yang dapat ditampung pada kawasan, sehingga dapat digunakan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan akibat jumlah pengunjung yang melebihi kapasitasnya, dengan harapan obyek dan daya tarik wisata dapat terjaga kelestariannya. D. Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan CAPS Pengembangan suatu kawasan menjadi sebuah destinasi ekowisata maka memerlukan suatu analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kawasan tersebut, sehingga perencanaan dan pengembangan kawasan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut. Berdasarkan hasil analisis potensi obyek daya tarik wisata alam, karakteristik pengunjung dan dampak adanya pengunjung. Selanjutnya diidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) untuk mendapatkan strategi pengelolaan di kawasan CAPS dengan adanya permasalahan ekowisata. Hasil analisis IFA (Internal Factor Analysis) kawasan CAPS menunjukkan bahwa faktor internal yang menjadi kekuatan (strength) adalah: a. Potensi daya tarik (wisata alam bentuk darat dan pantai) dengan keanekaragaman hayati dan fenomena alam; b. Kawasan yang masih alami, bebas polusi, nyaman, kondusif dan aman; c. Status kawasan konservasi; d. Kelembagaan pengelola kawasan CAPS sudah ada; e. K awasan CAPS sudah ada dokumen perencanaan; f. Daya dukung kawasan yang tinggi. Hasil analisis IFA (Internal Factor Analysis) kawasan CAPS menunjukkan bahwa faktor internal yang menjadi kelemahan (Weaknesses) adalah:
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
a. Belum tersedianya potensi daya tarik wisata alam secara lengkap; b. Fasilitas dan pelayanan masih terbatas; c. Kualitas dan kuantitas SDM masih belum memadai; d. Sumber dana dan anggaran pengelolaan dan pengembangan terbatas; e. Belum terjalin kemitraan pengelolaan CAPS; f. Sarana dan prasarana pengelolaan terbatas (fasilitas air bersih belum tersedia). Hasil analisis EFA (Eksternal Factor Analysis) kawasan CAPS menunjukkan bahwa faktor-faktor internal yang menjadi Peluang (Opportunities) pengembangan ekowisata adalah: a. Posisi strategis berada di jalur obyek wisata lain; b. Adanya dukungan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata; c. Terbukanya peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan PAD;
d. Potensi pasar yang tinggi; e. Pangsa pasar yang tinggi. Hasil analisis EFA (Eksternal Factor Analysis) kawasan CAPS menunjukkan bahwa faktor internal yang menjadi Ancaman (Threats) adalah: a. Intensitas pengunjung yang besar menimbulkan permasalahan lingkungan dan dampak pada kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati; b. Pelanggaran terhadap fungsi kawasan (lokasi untuk sandar kapal nelayan); c. Kualitas SDM masyarakat yang rendah; d. Kurangnya dukungan para pihak; e. Minimnya sarana dan prasarana pengelolaan kawasana; f. Berpotensi konflik kepentingan pemanfaatan ruang. Hasil penilaian terhadap masing-masing faktor Internal (kekuatan, kelemaahan) dan faktor Eksternal (peluang, ancaman) disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. IFA (Internal Factor Analysis) dan EFA (Eksternal Factor Analysis) Table 2. IFA (Internal Factor Analysis) and EFA (Eksternal Factor Analysis) No. 1. 2. 3. 4.
Faktor Internal dan Eksternal (Internal and Eksternal Factors) Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman
Jumlah (bobot × nilai) (Total (weight × value)) 3.1808 0.5918 3.0241 0.7121
Gambar 5. Matrik Space pengelolaan ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu Figure 5. Space Matrix management of ecotourism in the Sempu Island Nature Reserve
Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan)
257
Berdasarkan Tabel IFA dan EFA diketahui nilai perhitungan antara faktor internal dan eksternal yang selanjutnya digunakan untuk mengetahui strategi yang harus dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut. Strategi pengelolaan kawasan CAPS dengan adanya ekowisata diketahui dengan menggunakan matrik space pada Gambar 4.
Nilai faktor internal sebesar 2,589 dan eksternal 2,312, apabila nilai tersebut dipetakan pada matrik space (Gambar 4) berada pada posisi quadran satu yaitu mendukung kebijakan pertumbuhan yang ag resif ( gr owth oriented strateg y ) deng an menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada. Selanjutnya disusun matrik SWOT sebagaimana Tabel 3.
Tabel 3. Matrik SWOT pengelolaan ekowisata di kawasan Cagar Alam Pulau Sempu Table 3. SWOT matrix management of ecotourism in the Sempu Island Nature Reserve
Berdasarkan Matrik SWOT, maka strategi yang harus dilakukan untuk menghadapi kondisi tersebut adalah dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada yaitu: 1. Pemantapan Kawasan dan Menetapkan
Blok Pengelolaan Kawasan Penunjukan dan penetapan Cagar Alam oleh pemerintah pada dasarnya ditujukan untuk 258
menghindari pemanfaatan sumberdaya alam secara tidak terkendali sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu pengelolaan kawasan CAPS harus didasarkan pada upaya pemenuhan prinsip keseimbangan khususnya antara aktivitas melindungi keseimbangan ekologi dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Diharapkan keberadaan kawasan CAPS bisa tetap terjaga kelestariannya dan masyarakat
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
memperoleh peningkatan kesejahteraan. Tanpa mengabaikan prinsip perlindungan, upaya konservasi juga harus memperhatikan prinsip pemanfaatan untuk lebih mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan kawasan Cagar Alam, harus melibatkan masyarakat agar kelestarian kawasan tetap terjaga dan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Adanya dampak negatif dari wisata alam di kawasan konservasi, tidak berarti bahwa areal alami tidak dapat dipakai untuk kegiatan wisata alam. Bagaimanapun hal tersebut menandakan bahwa jika wisata dan konservasi dipadukan secara efektif, wisata di areal alami haruslah dikelola dan direncanakan dengan baik. Dengan adanya perencanaan dan pengelolaan yang sesuai, dampak negatif yang ditimbulkan dapat diminimalisir (Tisdell, 1996). Berkaitan dengan pengelolaan ekowisata dikawasan konservasi, tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah konservasi. Oleh karena itu perlu penyusunan rencana pengelolaan dengan memperhatikan aspek pembagian kawasan
ke dalam blok-blok pengelolaan. Adapun tujuan pembagian blok pengelolaan adalah agar pengelolaan kawasan konservasi lebih efektif dan efisien untuk dapat menjaga kelestarian kawasan (MacKinnon et al. 1993). Penilaian potensi kawasan, potensi pengunjung dan strategi pengelolaan kawasan dengan menggunakan analisis SWOT: menghasilkan alternatif pengelolaan kawasan dengan pembagian blok yaitu blok pengelolaan rimba dan blok pengelolaan inti. Strategi ini untuk menyelamatkan ekosistem dan keanekaragaman hayati serta dapat membantu sektor pariwisata Kabupaten Malang. Pembagian blok pengelolaan sejalan dengan PP Nomor 28 Tahun 2011, dimaksudkan selain untuk melindungi ekosistem juga memberi kesempatan bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak merambah dan merusak kawasan yang dilindungi. Gambar 6 menunjukkan peta rencana blok pengelolaan dengan potensi obyek wisata alam yang bisa dikembangkan untuk ekowisata di kawasan CAPS.
Gambar 6. Peta rencana blok pengelolaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu Figure 6. Blocks of management plan Sempu Island Nature Reserve's map 2. Melakukan Evaluasi Fungsi Kawasan Kondisi kawasan CAPS pada saat ini sudah mengalami pergeseran pemanfaatan dan fungsi kawasan dari tujuan awal penetapannya sebagai kawasan Cagar Alam, sehingga perlu dilakukan pengkajian atau evaluasi kesesuaian fungsi yang diatur berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 2011. Hasil evaluasi kesesuaian fungsi menjadi dasar
pertimbangan dalam menentukan tindak lanjut penyelenggaraan kawasan Cagar Alam. Tindak lanjut evaluasi fungsi berupa pemulihan ekosistem atau perubahan fungsi. Apabila hasil evaluasi kesesuaian fungsi, kawasan tidak mungkin dipertahankan lagi maka sebagian kawasan CAPS dapat dirubah ke dalam status lain yang lebih sesuai, akan tetapi masih merupakan kawasan konservasi yaitu:
Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan)
259
sebagian kawasan di rubah statusnya menjadi Taman Wisata Alam. 3. Meningkatkan Koordinasi dengan Intansi Terkait Hasil wawancara stakeholders, bahwa tugas dan kewenangan pengelolaan CAPS bersifat ekslusif berada pada BBKSDA Jatim, namun Pemerintah Kabupaten Malang memiliki otoritas dalam pembangunan wilayahnya, yang secara langsung maupun tidak langsung akan berimbas secara fisik wilayah, termasuk kawasan CAPS. Secara yuridis melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Malang tahun 2010-2030 disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Malang mendukung dan mengakui keberadaan kawasan CAPS dan mengalokasikan kawasan CAPS sebagai kawasan lindung (Paragraf 5 Pasal 17) dimana strategi: 1) Mempertahankan dan menjaga kelestariannya k awa s a n ; 2 ) M e m b a t a s i ke g i a t a n y a n g mengakibatkan terganggunya ekosistem serta mengembalikan berbagai kehidupan terutama satwa yang nyaris punah di Pulau Sempu. Kondisi kawasan CAPS saat ini mengalami permasalahan terkait adanya pemanfaatan kawasan untuk wisata alam maka diperlukan alternatif kebijakan pengelolaan untuk mengendalikan dampak yang ditimbulkan adanya kegiatan ekowisata di dalam kawasan. Alternatif pertama adalah penyelarasan RTRW Kabupaten Malang dengan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) CAPS. Strategi penyelarasan antara RTRW Kabupaten Malang dengan RPJP CAPS, merupakan langkah awal yang sangat menentukan dalam upaya pengelolaan kawasan CAPS untuk perubahan status sebagian kawasan menjadi taman wisata alam. Hal ini disebabkan kedua dokumen tersebut merupakan implementasi kebijakan yang berdampak luas pada masyarakat dan pengelolaan kewilayahan. Untuk itu, evaluasi terhadap kedua dokumen tersebut kiranya dapat dilakukan secara simultan dalam kerangka koordinasi. Manfaat yang diharapkan dari penyelarasan kebijakan ini adalah 1) Merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan yang dapat menjamin kelestarian dengan meminimalkan dampak yang ditimbulkan; 2) Merumuskan kebijakan rencana perubahan fungsi dalam fungsi pokok kawasan konservasi CAPS (PP Nomor 10 Tahun 2010, Pasal 41 ayat 1 huruf a); 3) Mendorong pembangunan Kabupaten Malang di wilayah Malang Selatan yang mendukung upaya 260
konservasi; 4) Meminimalisir konflik penataan ruang. Alternatif kedua adalah strategi pembentukan kelembagaan kolaboratif multistakeholders. Dengan adanya hubungan baik antara pengelola kawasan CAPS yaitu BBKSDA Jatim dengan Pemerintah Kabupaten Malang selaku pemangku wilayah administratif, maka kolaborasi diantara keduanya dapat menstimulasi dan membuka peluang bagi pihak lain untuk ikut serta dalam aksi perduli kelestarian kawasan CAPS. 4. Mengembangkan Ekowisata dengan Basis Potensi ODTWA Data potensi obyek daya tarik wisata alam merupakan prasyarat untuk pengembangan produk ekowisata yang khas dan unik sesuai dengan kondisi kawasan CAPS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pengelolaan kawasan yang bertujuan untuk pengembangan produk ekowisata di kawasan CAPS, diperlukan beberapa kegiatan antara lain: a. Meningkatkan penelitian terkait potensi keanekaragaman hayati kawasan CAPS dengan fenomena alam yang ada untuk mendukung pengembangan ekowisata; b. Meningkatkan konservasi keanekaragaman tumbuhan dan satwa liar, pemandangan alam serta budaya masyarakat sekitar sebagai sumber daya tarik ekowisata; c. Melakukan inventarisasi dan penyusunan arahan pengembangan produk wisata alam (jalur interprestasi) berbasis potensi obyek dan daya tarik yang dimiliki; d. Mengembangkan produk ekowisata yang khas dan unik berdasarkan data potensi obyek dan daya tarik wisata alam. 5. Melakukan Kolaborasi Pengelolaan dengan Masyarakat Kolaborasi pengelolaan merupakan salah satu strategi yang harus dilakukan dan dikembangkan dalam pengelolaan kawasan CAPS. Dalam pengembangan ekowisata kolaborasi dengan masyarakat sekitar akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam ikut menjaga kelestarian kawasan. Menurut Borrini (1996) pendekatan kolaboratif didasarkan pada keyakinan bahwa dukungan masyarakat merupakan hal penting agar usaha konservasi dapat berkelanjutan dengan cara memfasilitasi perbedaan kepentingan diantara
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
pihak pengelola dan masyarakat melalui pembagian wewenangan dan tanggung jawab diantara stakeholders. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kawasan CAPS sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obyek ekowisata, dengan daya tarik utamanya adalah panorama ekosistem hutan tropis dataran rendah, ekosistem hutan pantai, ekosistem hutan mangrove, ekosistem danau, keanekaragaman flora dan fauna serta keunikan/kekhasan fenomena alam berupa danau Segara Anakan. 2. Adanya dampak negatif dari wisata alam di kawasan CAPS, diperlukan keterpaduan antara pengelolaan kawasan dengan pengelolaan ekowisata melalui perubahan sebagian kawasan menjadi Taman Wisata Alam. Dengan adanya perencanaan dan pengelolaan yang sesuai, dampak negatif yang ditimbulkan dapat diminimalisir. 3. Alternatif kebijakan pengelolaan kawasan CAPS dengan adanya kegiatan ekowisata : a. Kebijakan pengelolaan kawasan CAPS dengan pembagian blok pengelolaan rimba dan blok pengelolaan inti. Sebagai langkah menyelamatkan ekosistem dan keanekaragaman hayati; b. Melakukan evaluasi fungsi kawasan CAPS sebagai dasar pengusulan perubahan fungsi dalam fungsi sebagian kawasan Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam; c. M e n i n g k a t k a n k o o r d i n a s i d e n g a n Pemerintah Daerah Kabupaten Malang dalam pengelolaan dan pengusulan perubahan fungsi sebagian kawasan Cagar Alam (blok rimba) menjadi Taman Wisata Alam; d. Mengembangkan ekowisata dengan basis potensi obyek daya tarik wisata alam; e. Mengembangkan kolaborasi pengelolaan kawasan dengan masyarakat sekitar. B. Saran 1. Meningkatkan koordinasi, sinkronisasi dan penyelarasan/keterpaduan perencanaan
pengelolaan kawasan CAPS dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang. 2. Diperlukan langkah kongkrit pengelolaan kawasan CAPS untuk meminimalkan dampak pengunjung terhadap kawasan terutama permasalahan sampah yang ditinggalkan pengunjung dan jalan trek menuju obyek danau Segara Anakan. DAFTAR PUSTAKA [BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II. 1999. Laporan Inventarisasi Potensi Satwa di Cagar Alam Pulau Sempu. Jember. Balai KSDA Jawa Timur II. [BBKSDA] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. 2011. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Cagar Alam Pulau Sempu Periode tahun 2011-2030 Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Surabaya. BBKSDA Jawa Timur. Borrini, F.G. 1996. Collaborative Management of Protected Areas: Tailoring the Approach to the Context. Issues in Social Policy. Switzerland. IUCN. [ D I T J E N P H K A ] D i r e k t o r a t Je n d e r a l Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam. Bogor. Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Fandeli, C. 2000a. Konsep dan Pengertian Ekowisata dalam Fandeli C dan Mukhlison [ e d i t o r ] . Pe n g u s a h a a n E kow i s a t a . Yogyakarta. Fakultas Kehutanan UGM. UKSDA Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Fandeli, C. 2000c. Perencanaan kepariwisataan alam dalam Fandeli C dan Mukhlison [editor]. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta. Fakultas Kehutanan UGM. UKSDA Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hakim, L. 2004. Dasar-dasar Ekowisata. Malang. Bayumedia Publishing. Indrawan, M., Supriatna J dan Primack RB. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan)
261
[KEMENHUT] Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. Kementerian Kehutanan. Kramadibrata, K., Suhardjono, Polosakan R, Windadri IF, Sadili A, Sujadi A, Rosalina D dan Sumanta I. 2010. Kajian Ekosistem Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Pulau Sempu. Bogor. Pusat Penelitian Biologi LIPI. MacKinnon, J., MacKinnon, K. Child, G dan Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH. Penerjemah. Ed ke-2 Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Terjemahan, Managing Protected Areas in the Tropics. Raharjo, B. 2005. Ekoturisme Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor. Penerbit Pustaka Latin. Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Rosalino, L.M dan Grilo C. 2011. What drives visitors to protected areal in Portugal: accessibilities, human pressure or natural resources? Journal of tourism and sustainabillty 1: 3-11. Ross, G.F. 1998. Psikologi Pariwisata. Penerjemahan Marianto Samosir. Edisi I. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
262
Siregar, S. 2011. Statistik Deskriptif Untuk Penelitian. Jakarta. Rajawali Pers. Supyan. 2011. Pengembangan Daerah Konservasi Sebagai Tujuan Wisata. Jurnal Mitra Bahari 5: 53-69. Tisdell, C. 1996. Ecotourism, Economics, and the Environment: Observations from China. Journal of Travel Research 34 (4): 11-19. Wearing, S. dan Neil J. 2009. Ecotourism: Impacts, Potentials and Possibilities. Second Edition. University of Technology School of Leisure, Sport and Toursm Sydney, New South Wales, Australia. Wiratno, Indriono D. Syarifuddin A. dan Kartikasari, A. 2004. Berkaca di Cermin Retak; Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta. The Gibbon Faoundation Indonesia. Yoeti, O.A. 1999. Ecotourism, Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Makalah pada penataran dosen dan tenaga pengajar bidang pariwisata Lembaga Tinggi Pariwisata Swasta se-Indonesia. 23-27 08 1999, Cisarua. Bogor. Zuhri, M dan Sulistyawati E. 2007. Pengelolaan Perlindungan Cagar Alam Gunung Papandayan. Jurnal Lingkungan Tropis 28: 579588.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 235 - 246
Lampiran 1. Penilaian daya tarik obyek wisata alam berbentuk pantai Appendix 1. Assessment appeal of natural attractions shaped beach Bobot : No
6
Unsur/Sub unsur
Nilai (Value)
(Elements / sub-elements) 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Keindahan a. Variasi pandangan pulau/gunung di laut b. Keindahan pantai c. Keserasian pandangan pantai dan sekitarnya d. Ada keunikan Keselamatan dan keamanan pantai a. Tidak ada arus balik berbahaya b. Tidak ada tubir c. Bebas racun d. Tidak ada kepercayaan yang mengganggu e. Tidak ada gangguan manusia Jenis dan warna pasir
Variasi kegiatan a. Berjemur b. Selancar c. Berenang d. Menikmati pemandangan e. Olah raga f. Bersampan Kebersihan /kenyamanan a. Tidak ada pengaruh pelabuhan b. Tidak ada pengaruh pemukiman c. Tidak ada pengaruh sungai d. Tidak ada pengaruh pelelangan ikan/pabrik/pasar e. Tidak ada sumber pencemar f. Tidak ada pengaruh musim Lebar Pantai (diukur waktu surut terendah) Kenyamanan a. Tidak ada sampah (bebas bau) b. Tidak ada corat coret (vandal) c. Bebas kebisingan d. Tidak ada ganguan binatang e. Tidak ada gangguan manusia Jumlah:
Ada 5
Ada 4
30
25
Ada 5
Ada 4
30
25
Pasir Merah 30 Lebih 6
30
Lebih 5 30
>150 30 Ada 5
30
Pasir putih 25 Ada 5-6
25
Ada 4 25
126-150 25 Ada 4 25
Ada 3 20
Ada 3
20
Pasir hitam/coklat 20 Ada 3-4 20
Ada 3 20
76-125 20 Ada 3
20
Ada 2
Ada 1
15
10
Ada 2
Ada 1
15
10
Pasir bergeluh 15 Ada 1-2
15
Ada 2 15
50-75 15 Ada 2
15
sedikit berpasir 10 Ada 1
10
Ada 1-2 10
<50 10 Ada 1
10
1.050
Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara & Andi Gunawan)
263
ANALISIS KEBUTUHAN LUASAN AREA HIJAU BERDASARKAN DAYA SERAP CO2 DI KABUPATEN KARANGANYAR JAWA TENGAH (Analysis of Green Land Area Requirement Based on CO2 Absorption in Karanganyar Regency, Central Java) 1
2
R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. 0251-8633944, Fax. 0251-8634924 e-mail :
[email protected] 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8699413 1
Diterima 9 Juli 2013, direvisi 10 Oktober 2013, disetujui 19 Noverber 2013 ABSTRACT
High urban activities have an impact on the environmental degradation quality. One of causes of the environmental degradation quality is carbondioxide (CO2) gas pollution. An effort to reduce concentration of CO2 in the urban air is by applying green area concept or better known as Green Open Space (RTH). One of RTH which appropriate with the urban is city forest. This study aim to determine suitability of green area with total emission generated in Karanganyar. Four-point of city forest has been analyzed. The total emission seen from four aspect, such as emission from fuel, residents, livestock and rice field. The results showed the extent of green areas has not been able to absorb the total emissions. The addition of 25.739,814 Ha green area is one of appropriate effort to absorb the total emission in this region. Keywords: Green area, CO2 emission, CO2 absorption, ideal green area ABSTRAK
Tingginya aktivitas suatu wilayah (perkotaan) berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan wilayah tersebut. Penurunan kualitas lingkungan salah satunya diakibatkan oleh polusi gas karbondioksida (CO2). Salah satu upaya untuk menekan konsentrasi CO2 di udara perkotaan yaitu dengan menerapkan konsep area hijau atau yang lebih dikenal dengan ruang terbuka hijau (RTH). Salah satu RTH yang sesuai dengan perkotaan yaitu hutan kota. Penelitian ini bertujuan mengetahui kesesuaian luasan area hijau dengan total emisi yang dihasilkan di Kabupaten Karanganyar. Luasan area hijau yang dianalisis yaitu empat titik hutan kota. Total emisi wilayah dilihat dari empat aspek yaitu emisi dari bahan bakar, penduduk, peternakan dan persawahan. Hasil penelitian menunjukkan luasan area hijau saat ini belum mampu menyerap total emisi. Penambahan area hijau seluas 25.739,814 ha merupakan luasan yang sesuai untuk mampu menyerap total emisi di wilayah tersebut. Kata kunci: Area hijau, emisi CO2, daya serap CO2, luasan ideal
I. PENDAHULUAN Kota merupakan tempat atau pusat aktivitas manusia. Tingginya aktivitas suatu kota atau wilayah menyebabkan meningkatnya arus transportasi sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan ini diakibatkan karena polusi gas karbondioksida (CO2) yang sebagian besar dihasilkan oleh kendaraan bermotor (Irwan, 2005). Bensin menghasilkan 2,333 g/l emisi karbon dioksida (DEFRA dalam Dahlan, 2007).
264
Selain kendaraan bermotor, aktivitas bernapas manusia, peternakan dan persawahan juga turut menyumbang emisi karbondioksia. Gas CO2 tidak beracun namun bila terakumulasi dalam jumlah yang besar dapat berkumpul di atmosfer sehingga menyebabkan suhu udara bumi meningkat (global warming). Salah satu upaya untuk menekan konsentrasi CO2 di udara yaitu dengan menerapkan penambahan area hijau atau yang dikenal dengan konsep ruang tebuka hijau (RTH). Permendagri No. 1 Tahun 2007 menetapkan luas
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 264 - 273
ideal untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kawasan Perkotaaan adalah sebesar 20% (dua puluh) persen dari lahan publik dan 10% dari lahan privat, sedangkan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 sebesar 30% dari luas wilayah kota. Proporsi ini merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan system mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta dapat meningkatkan nilai estetika kota. Salah satu RTH yang sesuai untuk daerah perkotaan yaitu Hutan Kota (Noor aeni, 2011). Hutan kota merupakan penyerap CO2 yang sangat penting selain fitoplankton, ganggang dan rumput laut di samudera (Salisbury dan Cleon, 1995). Penyerapan karbon dioksida oleh hutan kota dengan jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun (Simpson dan McPherson 1999). Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu dari 140 kota dan kabupaten penerima penghargaan adipura pada 2010. Adipura mer upakan penghargaan dari pemerintah Indonesia untuk kota dan kabupaten yang dinilai berhasil mengelola lingkungan sesuai dengan prinsip good governance (Alamendah, 2011). Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan potensi penyerapan karbondioksida sebagai bentuk pengelolaan lingkungan di empat titik hutan kota di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah dan membandingkannya dengan jumlah emisi karbondioksida yang dikeluarkan baik oleh kendaraan bermotor, penduduk, peternakan dan areal persawahan serta menganalisis kebutuhan luas areal hijau berdasarkan emisi di kota tersebut.
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil empat titik hutan kota di Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Empat titik hutan kota tersebut yaitu Monumen Hari Aksara Internasional (HAI), Monumen Gerakan Sayang Ibu (GSI), Taman Pancasila dan Kawasan sebelah Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2012. B. Pengumpulan Data 2.1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan alam kegiatan ini yaitu data statistik Kabupaten Karanganyar yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karanganyar. Alat yang digunakan dilapangan yaitu Geoghrapical Position System (GPS), kamera digital, tally sheet, tali, pita meter, dendrometer dan alat tulis. 2.2. Pengumpulan Data Data yang diperoleh dalam kegiatan ini berupa primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan pengukuran di lapangan. Data primer meliputi jenis dan jumlah pohon (inventarisasi tegakan) yang ada di empat titik hutan kota. Kegiatan inventarisasi ini dilakukan secara sensus dengan menggunakan metode jalur sepanjang 50 m dengan lebar jalur 20 m (10 m kiri dan 10 m kanan). Data sekunder diperoleh dari referensi yang berkaitan dengan kegiatan penelitian baik studi literatur maupun data dari instansi atau lembaga terkait. Jenis data dan sumber data lebih lengkap tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis dan sumber data Table 1. Type and source of data
Jenis Data (type of data)
Bentuk Data (form of data)
Sumber Data (source)
Keadaan geografis (geoghrapical condition)
Deskripsi
BPS
Jumlah penduduk (population)
Deskripsi
BPS
Jumlah kendaraan bermotor (number of vehicle) Jumlah hewan ternak (sapi, kerbau, dan lain sebagainya) (number of livestock ) Inventarisasi vegetasi (vegetation inventory)
Deskripsi
BPS
Deskripsi
BPS
Deskripsi
Data pengamatan
Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau Berdasarkan Daya Serap Co2 di Kabupaten ..... (R. Mohamad Mulyadin dan R. Esa Pangersa Gusti)
265
C. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis meliputi analisis emisi CO2 yang berasal dari bahan bakar (jumlah kendaraan bermotor), peternakan, pernapasan manusia, dan persawahan. Analisis daya serap karbon dilakukan terhadap vegetasi (jenis pohon) yang ada di lapangan. Kemudian dilakukan analisis kebutuhan luas lahan hutan kota yang sesuai berdasarkan total emisi yang dihasilkan. Perhitungan analisis tersebut adalah sebagai berikut : 1 Analisis emisi CO2
Emisi yang diukur berasal dari empat aspek yaitu emisi dari bahan bakar, penduduk, peternakan dan areal persawahan. Analisis emisi selengkapnya adalah sebagai berikut : 1.1 Analisis emisi CO2 dari bahan bakar Asumsi yang dilakukan dalam perhitungan ini yaitu seluruh jumlah kendaraan bermotor menggunakan bahan bakar bensin dengan konsumsi rata-rata 10 liter/hari. Emisi CO2 dan gas
uap lainnya yang dihasilkan bensin sebesar 2.333 gr/liter (DEFRA dalam Dahlan, 2007). Perhitungannya adalah sebagai berikut : B=a xbxc Keterangan : B = Total emisi CO2 dari bahan bakar (Gg/tahun) a : nilai emisi bensin (g/liter) b : jumlah konsumsi bensin (liter/tahun) c : jumlah kendaraan bermotor (unit) 1.2 Analisis emisi CO2 dari peternakan
Analisis emisi CO2 dari hewan ternak meliputi sapi potong, kerbau, kuda, kambing dan domba. Metana merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh hewan ternak pada saat proses fermentasi di dalam tubuhya serta pada saat pengelolaan pupuk. Perhitungan emisi metana dari fermentasi dan pengelolaan pupuk ternak diperoleh dengan mengalikan jumlah hewan dengan faktor emisi metana (CH4). Faktor emisi berdasarkan proses fermentasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Faktor emisi CH4 dari proses fermentasi berdasarkan jenis ternak Table 2. CH4 emission factor from fermentation process based on type of livestock Jenis ternak (type of livestock)
Faktor emisi CH4 (CH4 emission factor, Kg/head/year), (Kg/ekor/tahun)
Sapi potong (beef cattle)
44
Kerbau (buffalo)
55
Kuda (horse)
18
Kambing (goat) Domba (sheep)
5 8
Sumber (Source) : IPCC (1996)
Perhitungan emisi nya adalah sebagai berikut : Mf = e x f Keterangan : Mf = Emisi CH4 dari proses fermentasi (Kg/ tahun) e : Jumlah hewan ternak (ekor) f : Faktor emisi Ch4 berdasarkan hewan ternak (Kg/ekor/tahun)
266
CH4 yang dihasilkan dari kegiatan pengelolaan pupuk terjadi akibat dekomposisi pada kondisi anaerobik. Faktor emisi dari pengelolaan pupuk ditentukan berdasarkan temperatur daerahnya, untuk Indonesia termasuk daerah dengan temperatur hangat. Faktor ini dapat dilihat pada Tabel 3.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 264 - 273
Tabel 3. Faktor emisi dari pengelolaan pupuk berdasarkan temperature Table 3. Emission factor from manure management based on temeprature Jenis ternak (type of livestock) Sapi potong (beef cattle) Kerbau (buffalo) Kuda (horse) Kambing (goat) Domba (sheep)
Faktor emisi CH4 (CH4 emission factor, Kg/head/year), (kg/ekor/tahun) 2 3 2,27 0,23 0,37
Sumber (Source) : IPCC (1996)
Perhitungan emisi nya adalah sebagai berikut : Mp = e x f Keterangan : Mp = Emisi CH 4 dari pengelolaan pupuk (Kg/tahun) e : Jumlah hewan ternak (ekor) f : Faktor emisi CH4 berdasarkan hewan ternak (Kg/ekor/tahun) Sehingga, total emisi CH4 yang dihasilkan ternak yaitu : M = Mf + Mp CH4 yang dihasilkan teroksidasi menjadi CO2 dengan reaksi kimia : CH4 + 2 O2g CO2 + 2 H2O Sehingga massa emisi CH4 dikonversi menjadi massa emisi CO2 dengan persamaan berikut : T = (M/Mr CH4) x Mr Co2 Keterangan : T = Emisi CO2 dari ternak (Kg/tahun) M = Massa CH4 (Kg/tahun) Mr = Ch4 sebesar 16 ; CO2 sebesar 44
1.4 Analisis emisi CO2 dari persawahan
1.3 Analisis emisi CO2 dari pernapasan manusia Karbondioksida yang dihasilkan dari aktivitas manusia adalah sama yaitu 0,3456 ton CO2/jiwa/ tahun (Grey dan Deneke, 1978). Perhitungan gas CO2 yang dihasilkan oleh penduduk adalah sebagai berikut : P = Jp x Cmanusia Keterangan : P = Total emisi CO2 dari penduduk (ton/tahun) Jp = Jumlah penduduk (jiwa) Cmanusia = Jumlah CO2 yang dihasilkan manusia yaitu 0,3456 (ton/jiwa/tahun)
3.2 Analisis daya serap CO2 vegetasi
Dekomposisi anaerobik dari bahan organic di areal persawahan menghasilkan CH 4 yang melimpah. CH4 yang dihasilkan dari persawahan tersebut dapat diketahui dari luas areal yang dijadikan persawahan dan jumlah musim panen. Perhitungannya adalah sebagai berikut : Ms = Ls x N x f x masa panen Keterangan : Ms = Total emisi CH4 dari persawahan (Gg/tahun) 2 Ls = Luas areal persawahan (m ) N = Nilai ukur faktor emisi Ch4 2 f = Faktor emisi (18 g/ m ) masa panen = 2 kali/tahun Sehingga massa emisi CH4 dikonversi menjadi massa emisi CO2 dengan persamaan berikut : S = (Ms/Mr CH4) x Mr Co2 Keterangan : S =Total emisi CO2 dari persawahan (Gg/tahun) Ms =Massa CH4 dari persawahan (Gg/tahun) Mr =CH4 sebesar 16 ; CO2 sebesar 44 Analisis daya serap CO2 pada vegetasi yang ada di hutan kota di Kabupaten Karanganyar dilakukan dengan cara mengalikan jumlah pohon dengan kemampuan pohon tersebut dalam menyerap gas CO2. Kemampuan pohon dalam menyerap gas CO2 diperoleh dari literatur. 3.3 Analisis kebutuhan luas lahan hutan kota
Kebutuhan akan luasan optimum hutan kota berdasarkan daya serap CO2 dapat diperoleh dari kemampuan hutan kota (vegetasi) dalam menyerap CO 2 . Pendekatan yang digunakan untuk
Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau Berdasarkan Daya Serap Co2 di Kabupaten ..... (R. Mohamad Mulyadin dan R. Esa Pangersa Gusti)
267
menentukan luasan tersebut adalah dengan menghitung kebutuhan hutan kota berdasarkan daya serap CO2 serta membandingkannya dengan luasan hutan kota sekarang. Kebutuhan hutan kota diperoleh dari jumlah emisi CO2 yang terdapat di Kabupaten Karanganyar dibagi dengan kemampuan hutan kota dalam menyerap Co2. L1 = B + T + P + S K Keterangan : L1 = Kebutuhan luasan area hijau (ha) B = Total emisi CO2 dari bahan bakar (ton/tahun) T = Total emisi Co2 dari hewan ternak (ton/tahun) P = Total emisi CO2 dari penduduk (ton/tahun) S = Total emisi CO2 dari persawahan (ton/tahun) K = Kemampuan/nilai serapan Co2 oleh hutan (pohon) sebesar 58,2576 (ton CO2/tahun/ha) (Inverson 1993 diacu dalam Tinambunan, 2006) Setelah mendapatkan nilai kebutuhan luasan area hijau, maka dapat diketahui seberapa luas area hijau yang harus disediakan oleh Kabupaten Karanganyar. Penambahan luasan area hijau yang
harus disediakan diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut : L = L1 L0 Keterangan : L = Penambahan luasan area hijau (ha) L1 = Kebutuhan luasan area hijau (ha) L0 = Luas area hijau (hutan) sekarang (ha) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Kabupaten Karanganyar Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang terletak 0 0 0 antara 110 40”-110 70” Bujur Timur dan 7 28”0 7 46” Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 511 meter di atas permukaan laut serta beriklim 0 tropis dengan temperatur 22-31 C dengan ratarata curah hujan 2.601 mm. Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Ragen di sebelah utara, Propinsi Jawa Timur di sebelah timur, Kabupaten Wonogiri dan Sukoharjo di sebelah selatan serta Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali di sebelah barat.
Gambar 1. Peta Wilayah Karanganyar Figure 1. Regional map of Karanganyar
268
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 264 - 273
Luas wilayah Kabupaten Karanganyar adalah 77.378,64 Ha, yang terdiri dari luas tanah sawah 22.465,11 Ha dan luas tanah kering 54.912,53 Ha. Tanah sawah terdiri dari irigasi teknis 12.922,74 Ha, non teknis 7.586,76 Ha, dan tidak berpengairan 1.955,61 Ha. Sementara itu luas tanah untuk pekarangan/bangunan 21.197,69 Ha dan luas untuk tegalan/kebun 17.847,48 Ha. Di Kabupaten Karanganyar terdapat hutan negara seluas 9.729,50 Ha dan perkebunan seluas 3.251,50 Ha. Jumlah Penduduk di Kabupaten Karanganyar sebanyak 872.821 jiwa, terdiri dari laki-laki 433.840 jiwa dan perempuan 438.981 jiwa. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian (petani sendiri dan buruh tani), yaitu 222.811 orang (30,58%), buruh industri 105.536 orang (14, 49%), buruh bangunan 49.619 orang (6,81 %), pedagang 45.320 orang (6,22 %) dan selebihnya sebagai pengusaha, di sektor pengangkutan, PNS/TNI/Polri, pensiunan, jasajasa dan lain-lain (BPS,2010). B. Emisi CO2 di Kabupaten Karanganyar 1. Emisi CO2 dari bahan bakar Penurunan kualitas lingkungan perkotaan dipengaruhi oleh jumlah kendaraan bermotor yang terdapat di kota tersebut. Banyaknya kendaraan bermotor mengindikasikan banyaknya konsumsi bahan bakar. Sebagian besar gas CO2 dihasilkan dari
proses pembakaran bahan bakar. Dengan asumsi jumlah kendaraan bermotor sebanyak 203.409 unit seluruhnya memakai bahan bakar bensin dengan konsumsi rata-rata 10 liter/hari serta nilai emisi bensin 2.333 gr/liter, maka polusi udara berupa gas CO2 yang dihasilkan dari asap kendaraan bermotor mencapai 1.732,12 Gg/tahun (asumsi 1 tahun = 365 hari). 2. Emisi CO2 dari peternakan Hewan ternak di Kabupaten Karanganyar didominasi oleh lima jenis yaitu sapi potong, kerbau, kuda, kambing dan domba. Dari kelima jenis ternak tersebut, domba merupakan yang paling banyak dipelihara oleh masyarakat yaitu sebanyak 115.488 ekor dan yang paling sedikit dipelihara yaitu kuda dengan 268 ekor (BPS, 2010). Total emisi yang dihasilkan oleh hewan ternak tersaji pada Tabel 4. Polusi metana yang berasal dari hewan ternak mencapai 37%, meskipun efek pemanasan metana di atmosfer lebih kuat daripada CO2, tetapi umur paruhnya di atmosfer hanya sekitar 8 (delapan) tahun dibandingkan CO2 mencapai 100 tahun. Pengurangan pemeliharaan hewan ternak akan mengurangi efek gas rumah kaca secara lebih cepat dibandingkan dengan menerapkan kebijakan dalam efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan (FAO, 2006).
Tabel 4. Total emisi CO2 yang berasal dari hewan ternak pada 2009 Table 4. Total CO2 emission from livestock in 2009
Jenis ternak (type of livestock)
Sapi potong (beef cattle) Kerbau (buffalo) Kuda(horse) Kambing (goat) Domba (sheep)
Total emisi CH4 dari ternak (Total of CH4 emission from livestock) (Gg CH4/tahun)
Kandungan emisi CO2 (CO2 emission) (Gg/thn)
Jumlah ternak (number of livestock), (ekor)
Emisi CH4 dari fermentasi (CH4 emission from fermentation), (Gg CH4/tahun)
Emisi CH4 dari pengelolaan pupuk (CH4 emission from manure mangement), (Gg CH4/tahun)
49.498
2,177
0,099
2,276
6,248
720 268 22.185 115.488
0,039 4,824 x10-3 0,111 0,923
0,002 0,608 x10-3 0,005 0,042
0,041 5,432x10-3 0,116 0,965
0,113 0,015 0,319 2,64
Total kandungan emisi CO 2 dari ternak (Total CO 2 emission from livestock)
Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau Berdasarkan Daya Serap Co2 di Kabupaten ..... (R. Mohamad Mulyadin dan R. Esa Pangersa Gusti)
9,335
269
Metana yang dihasilkan dari hewan ternak bila teroksidasi dapat menghasilkan gas CO 2 . Kandungan emisi CO2 yang dihasilkan akan berbeda dari setiap jenis ternak, karena nilai faktor emisi yang berbeda pada tiap jenis ternak. Meskipun jumlah ternak terbanyak yang dipelihara di Kabupaten Karanganyar adalah domba, namun kandungan emisi CO2 terbesar yang dihasilkan dari hewan ternak berasal dari sapi potong sebesar 6,248 Gg CO2/tahun dan terendah adalah kuda dengan 0,015 Gg CO2/tahun (Tabel 4). 3. Emisi CO2 dari aktivitas manusia Manusia sebagai makhluk hidup akan mengalami respirasi selama masa hidupnya. Respirasi adalah proses menghirup oksigen (O2) dan mengeluarkan gas CO2. Oksigen digunakan manusia untuk proses pembakaran makanan didalam tubuh menghasilkan energi, CO2 dan uap air. Jumlah penduduk Kabupaten Karanganyar saat ini adalah 872.821 jiwa (BPS, 2010). Dengan asumsi gas CO2 yang dihasilkan dari aktivitas manusia adalah sama yaitu 0,96 Kg/hari (Grey dan Deneke, 1978) maka total emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh penduduk Kabupaten Karanganyar adalah sebesar 305,836 Gg CO2/tahun, (1 tahun = 365 hari). 4. Emisi CO2 dari persawahan Pengolahan lahan sawah berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Penanaman padi dalam kondisi genangan air yang terlalu lama dan tinggi akan menghasilkan kondisi anaerob kuat sehingga menjadi sumber gas CH4. Kabupaten Karanganyar sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Luas persawahan mencapai 22.465,11 ha atau hampir sekitar sepertiga luas wilayah (BPS, 2010). Dengan asumsi nilai faktor ukur emisi CH4 (N) bernilai 1, maka luas persawahan tersebut menghasilkan gas CH4, sebanyak 0,5055 Gg CH4/tahun. Gas CH4 yang teroksidasi akan menghasilkan gas CO2 sehingga kandungan yang terdapat pada areal persawahan di Kabupaten Karanganyar adalah sebesar 22,240 Gg CO2/tahun. C. Analisis Daya Serap CO2 pada Vegetasi Hutan Kota Perhitungan daya serap CO2 pada suatu pohon didasarkan pada kadar karbohidrat yang terdapat pada daun pohon tersebut (Dahlan dalam 270
Abdurrazaq, 2010). Inventarisasi pada vegetasi hutan dilakukan dengan cara sensus jenis dan jumlah pohon pada empat titik hutan kota yang ada di Kabupaten Karanganyar yaitu HAI, GSI, Taman Pancasila dan Kawasan sebelah BKD. Analisis daya serap CO2 pada empat titik hutan kota tersaji pada Tabel 5. Vegetasi hutan kota di Kabupaten Karanganyar didominasi oleh jenis Angsana dan Mahoni daun besar. Pohon angsana merupakan pohon dengan jumlah paling banyak pada hutan kota HAI dan Taman Pancasila. Pada hutan kota GSI terbanyak yaitu dadap merah dan pada kawasan BKD paling banyak yaitu mahoni daun besar. Hutan kota di HAI memiliki tingkat kemampuan daya serap CO2 yang paling baik dibanding yang lainnya. Hal ini dikarenakan luasnya yang paling besar dan juga variasi jenis pohonnya memiliki tingkat kemampuan daya serap CO2 yang baik. Hal berbeda terdapat pada hutan kota Kawasan BKD, meskipun memiliki luasan hutan kota yang lebih rendah dibanding hutan kota GSI dan Taman Pancasila, namun kemampuan daya serap CO2-nya lebih baik dibanding dengan dua hutan kota tersebut. Hal ini dikarenakan meskipun variasi jenis dan jumlah pohonnya lebih terbatas, namun tingkat kemampuan daya serap CO2 oleh pohon yang ditanam di Kawasan BKD lebih baik dibanding GSI dan Taman Pancasila (Tabel 5). Tiap jenis pohon memiliki tingkat kemampuan yang berbeda dalam hal daya serap CO2. Angsana merupakan pohon dengan daya serap CO2 memiliki peringkat ke-25 dari 31 pohon yang diteliti dengan daya serap 11,12 Kg CO2/tahun. Mahoni daun besar berada di peringkat 8 dengan daya serap 295,73 Kg CO2/tahun, sedangkan dadap merah berada tiga level dibawah angsana dengan 4,55 Kg CO2/tahun. Pada vegetasi di empat titik hutan kota di Kabupaten Karanganyar ini, yang memiliki daya serap CO2 tertinggi (peringkat 1) yaitu pohon trembesi dengan daya serap mencapai 28.488 Kg CO2/tahun kemudian diikuti oleh pohon beringin dengan daya serap sebesar 535,90 Kg CO2/tahun (Dahlan dalam Abdurrazaq, 2010). Keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan kota tersebut memiliki masing-masing keunggulan selain fungsinya sebagai penyerap gas CO2. Mahoni merupakan jenis yang pohon yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menurunkan kadar
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 264 - 273
timbal di udara. Timbal merupakan sumber utama pencemaran di udara perkotaan yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor (Dahlan, 1989). Jati merupakan pohon dengan kemampuan evapotranspirasi yang tinggi sehingga baik ditanam di daerah yang sering digenangi air untuk mengatasi penggenangan. Krey payung memiliki ketahanan tinggi terhadap pencemaran debu semen dan
kemampuannya dalam menyerap debu semen sangat baik sehingga banyak ditanam dikawasan pabrik semen (Manan,1976). Pohon beringin dan trembesi merupakan salah satu pohon penghasil oksigen yang sangat baik. Beringin juga dapat meredam suara bising dengan tajuknya yang besar dan rapat serta tempat bersarang berbagai jenis satwa (Dahlan, 1989).
Tabel 5. Analisis daya serap CO2 pada berbagai jenis pohon di empat hutan kota di Kabupaten Karanganyar Table 5. CO2 absorption analysis on different types of tree in four urban forest in Karanganyar Jenis Pohon (Types of tree) Angsana (Pterocarpus indicus) Beringin (Ficus benyamina) Bungur (Lagerstroemia speciosa) Dadap merah (Erythrina cristagalli) Flamboyan (Delonix regia) Jati (Tectona grandis) Krey Payung (Fellicium decipiens) Mahoni daun besar (Swietenia macrophylla) Trembesi (Samanea saman) Total daya serap CO2 (Total absorption of CO2)
Jumlah pohon (number of tree)
Daya serap CO2 kg/tahun (CO2 absorption, Kg/year)*
HAI (0,81 ha)
GSI (0,55 ha)
11,12 535,90 160,14 4,55 42,20 135,27 404,83
55 2 1 1 2 6 -
295,73 28.488
8 12 24 3 3 2
Taman Pancasila (0,685 ha) 55 2 6 2 4
Kawasan BKD (0,4 ha) 12 2 -
35
16
-
30
-
1
-
-
13.094,66
8.222,08
4.347,96
9.089,74
Sumber (Source) : *) Dahlan dalam Abdurrazaq (2010)
D. Kebutuhan Luas Optimum Hutan Kota Jumlah penduduk suatu kota memiliki pengaruh terhadap emisi CO2 di wilayah tersebut. Aktivitas masyarakat yang ting gi berdampak pada meningkatnya konsumsi bahan bakar dan berkurangnya lahan hijau menjadi pemukiman. Proses pembakaran menghasilkan gas CO2 dan berkurangnya lahan hijau berdampak pada penurunan kualitas lingkungan kota akibat tidak mampu menampung banyaknya polusi yang dihasilkan. Kandungan emisi CO2 yang terdapat di Kabupaten Karanganyar dilihat dari empat aspek, yaitu emisi dari bahan bakar, peternakan, penduduk dan areal persawahan. Dari semua aspek tersebut diperoleh nilai total emisi CO2 sebesar 2.069,531 Gg/tahun (Tabel 6).
Bila kemampuan daya serap CO2 sebuah vegetasi bernilai 0,0582576 Gg/tahun/ha (Tinambunan, 2006) maka lahan hijau yang dibutuhkan untuk menyerap emisi tersebut yaitu seluas 35.523,794 ha. Luasan hijau yang ada saat ini yaitu hutan Negara 9.729,50 ha (BPS, 2010) ditambah dengan penunjukkan hutan kota seluas 54,48 ha (SK Bupati No. 660.1/465 tahun 2010) maka total area hijau yang ada saat ini seluas 9.783,98 ha. Sehingga, Kabupaten Karanganyar membutuhkan penambahan area hijau seluas 25.739,814 ha untuk mampu menyerap emisi CO2 di wilayahnya. Bila mengacu pada UU No. 26 tahun 2007, idealnya Kabupaten Karanganyar memiliki areal hijau minimal seluas 23.213,592 ha. Penambahan areal hijau seluas 25.739,814 ha akan menjadikan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah yang telah memenuhi kriteria yang sesuai dengan undang-undang penataan ruang (Tabel 6).
Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau Berdasarkan Daya Serap Co2 di Kabupaten ..... (R. Mohamad Mulyadin dan R. Esa Pangersa Gusti)
271
Tabel 6. Kebutuhan luas lahan Table 6. Land area requirement (1)
(2)
Total emisi CO2 (total of CO2 emission), (Gg/tahun) 2.069,531
(3) Kebutuhan luasan Kemampuan lahan berdasarkan vegetasi dalam emisi CO2 menyerap CO2 (land area (ability of vegetation to requirement based on absorp CO2), CO2 emission), (Gg/tahun/ha) (ha) 0,0582576
35.523,794
(4)
(5)
(6)
Luasan hutan saat ini (current forest area) (ha)
Selisih (different) (ha)
Standar luas RTH*
9.783,98
25.739,814
23.213,592
*)
Sumber (Source): UU no. 26 tahun 2007 RTH pada wilayah kota minimal 30% dari luas wilayah kota
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kabupaten Karanganyar memiliki total emisi sebesar 2.069,531 Gg CO2. Total emisi tersebut dilihat dari empat aspek yaitu emisi dari bahan bakar, penduduk, peternakan dan areal persawahan. Emisi dari bahan bakar menjadi penyumbang emisi terbesar dengan kisaran 83% dari total emisi. Empat titik hutan kota yang diamati sebagian besar pohonnya didominasi jenis angsana dan mahoni daun besar, sebagian kecil terdapat beringin dan trembesi. Dalam hal daya serap CO2, trembesi merupakan yang paling baik. Namun jumlahnya hanya ditemui pada satu titik hutan kota saja. Total area hijau di Kabupaten Karanganyar saat ini belum mampu menyerap total emisi yang dihasilkan. Diperlukan penambahan area hijau seluas 25.739,814 ha untuk mampu menyerap total emisi di wilayah tersebut. Dengan penambahan area sejumlah luasan tersebut, maka Kabupaten Karanganyar memenuhi kriteria ideal berdasarkan Undang-Undang penataan ruang daerah. B. Saran Pemerintah Kabupaten Karanganyar membutuhkan penambahan area RTH seluas 25.739,814 ha untuk dapat menyerap total emisi yang ada. Langkah yang dapat ditempuh yaitu dengan menanami pohon di area pekarangan/bangunan seluas 21.197 ha dengan pendekatan hutan masyarakat serta sistem agroforestri pada
272
tegalan/kebun seluas 17.847 ha (BPS, 2010). Pohon beringin dan trembesi merupakan jenis tegakan yang direkomendasikan untuk ditanam pada RTH baru maupun di hutan kota ataupun hutan Negara yang tersedia saat ini. DAFTAR PUSTAKA Abdurrazaq. 2010. Daya Serap Pohon terhadap Karbondioksida. http://ncca19.wordpress. com/2010/02/27/data-daya-serap-pohonterhadap-karbondioksida/. Aeni, N. 2011. Aplikasi SIG Dan Penginderaan Jauh Dalam Penentuan Kecukupan Dan Prediksi Luasan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Rosot CO2 Di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Skripsi . Departemen Konser vasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Alamendah. 2011. Daftar Kota Peraih Piala Adipura 2010. http://alamendah.org/ 2011/06/07/daftar-kota-penerima-pialaadipura-2011/ [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Karanganyar. 2010. Karanganyar dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karanganyar. Karanganyar. Dahlan, E.N. 1989. Studi Kemampuan Tanaman dalam Menyerap Timbal Emisi dari Kendaraan Bermotor. Tesis . Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 264 - 273
Dahlan, E.N. 2007. Analisis Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Sink gas CO2 Antropogenik dari BBM dan Gas di Kota Bogor dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Disertasi. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Pascasarjana IPB. Bogor.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 1996. Revised 1996 IPCC Guidelines for National greenhouse gas Inventories Workbook (Volume 2). http://www.ipcc-nggip.iges.or.jp/public/ gl/invs5.html.
[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 Tentang: Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Jakarta.
Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Diktat Kuliah Fakultas kehutanan. Hal : 228.
[DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 Tentang: Penataan Ruang. Jakarta. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2006. Livestock's Long Shadow: Environmental Issues and Options. Rome. http://www.worldwatch.org/ww/livestock [15 April 2011]. Grey, G.W. and Denake F.J. 1978. Urban Forestry. John Wiley and Sons. New York.
Salisbury, F.B dan Cleon W. R. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Penerbit : ITB Bandung. Simpson, J.R dan McPherson E.G. 1999. Carbon dioxide Reduction Through Urban ForestryGuidelines for Professional an Volunteer Tree Planters. Ge. Tech. Rep. PSW-GTR171. Albany, CA: Pacific Southwest Research Station, Forest Service, U.S. Department of Agriculture. Tinambunan, RS. 2006. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Pekanbaru. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Irwan Z.D. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lanskap Hutan kota. Bumi Aksara. Jakarta.
Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau Berdasarkan Daya Serap Co2 di Kabupaten ..... (R. Mohamad Mulyadin dan R. Esa Pangersa Gusti)
273