perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : UMAR HANIE P. NIM. E0008081
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
Oleh Umar Hanie P NIM. E0008081
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juli 2012
Pembimbing Utama
Co. Pembimbing
Kristiyadi, S.H., M.Hum. NIP. 19581225 198601 1001
Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. NIP. 19821008 200501 1001
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
Oleh Umar Hanie P NIM. E0008081
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari :..................................... Tanggal :.......... .......................... DEWAN PENGUJI 1 Edy Herdyanto, S.H., M.H.
:..............................................................
Ketua 2 Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.:............................................................... Sekretaris 3 Kristiyadi, S.H., M.Hum
:...............................................................
Anggota
Mengetahui Dekan,
Prof.Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum NIP. 19570203 commit to1985032001 user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Umar Hanie P.
NIM
: E0008081
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : Kajian Teoritis Konsepsi Pengembalian Kerugian Negara Melalui Urgensi Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik dalam Perkara Pencucian Uang di Indonesia ini adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juli 2012 yang membuat pernyataan,
Umar Hanie P. NIM. E0008081
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.S. Al Baqarah:153)
“Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu).” (Q.S. An Nisaa’:45)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Sebuah karya yang sederhana ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibu tercinta, Tosyim Prabowo, B.Sc., dan Suharni, S.H., yang senantiasa memberikan semangat dan kasih sayangnya, Mbak Evita Hanie Pangaribowo yang penulis sayangi, serta kawan-kawan sekalian yang turut membantu penulisan hukum (skripsi) ini.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Umar Hanie P, E0008081. 2012. KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai urgensi peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam perkara pencucian uang serta kontribusi dari pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memberikan kontribusi dalam mengembalikan kerugian negara akibat pencucian uang. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian doktrinal, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu simpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku. Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa peradilan in absentia diperlukan untuk memperlancar proses pemeriksaan di persidangan dalam hal terdakwa tidak hadir di persidangan. Dengan tetap berjalannya proses pemeriksaan di persidangan meski tidak dihadiri terdakwa, hakim dapat menjatuhkan putusan berupa perampasan harta terdakwa. Demikian juga dengan pembuktian terbalik. Apabila terdakwa hadir di persidangan, maka terdakwa diberi beban pembuktian bahwa harta kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana. Pembuktian terbalik dimaksudkan untuk menambah keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan berupa perampasan harta terdakwa untuk digunakan sebagai pemulihan kerugian negara. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa peradilan in absentia dan pembuktian terbalik ini merupakan bentuk upaya dalam memberantas money laundering. Selain itu, peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memiliki urgensi dan kontribusi dalam pengembalian kerugian negara akibat money laundering. Di samping itu, penulis juga memberikan saran agar pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik perlu diatur secara lebih detail lagi dalam undang-undang pencucian uang. Kata kunci: pencucian uang, peradilan in absentia, pembuktian terbalik, pengembalian kerugian negara
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Umar Hanie P, E0008081. 2012. THEORETICAL STUDY OF THE INDEMNIFICATION OF THE STATE CONCEPTION THROUGH THE URGENCY OF COURT IN ABSENTIA AND SHIFTING BURDEN OF PROOF REGULATION IN THE CASE OF MONEY LAUNDERING IN INDONESIA. Faculty of Law The Sebelas Maret University. This study aims to examine more deeply about the urgency of the judiciary in absentia and the shifting burden of proof in case of money laundering as well as the contribution of judicial arrangements in absentia and shifting burden of proof to contribute in restoring state due to loss of money laundering. In writing this essay, the author uses doctrinal research, legal research is done by examining library materials or secondary data consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Legal materials are arranged systematically, examined, and then drawn a conclusion in relation to the matter under investigation. The collection of legal materials in this study using the technique of collecting legal materials with literature. Legal materials relating to issues discussed described, systematized, and then analyzed to interpret the law. The results were that the court in absentia is required to facilitate the inspection process at the hearing in this case the defendant was not present at the hearing. By keeping the passage of the examination process at the trial, though not attended by the accused, the judge ruled on a defendant's seizure of property. Similarly, the shifting burden of proof. If the defendant is present at the hearing, the defendant was given the burden of proving that his/her property is not derived from criminal acts. Shifting burden of proof is intended to increase confidence in the judge ruled on the defendant to a deprivation of property used as the recovery of state losses. The conclusion to be drawn from the results of this study is that the court in absentia and the shifting burden of proof is a form of effort in combating money laundering. In addition, the court in absentia and the shifting burden of proof has the urgency and contribute to the indemnification of the state due to money laundering. In addition, the author also gives suggestions for regulating court in absentia and the shifting burden of proof should be regulated in greater detail in the money laundering legislation. Key words: money laundering, the court in absentia, shifting burden of proof, indemnification of the state
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “KAJIAN TEORITIS KONSEPSI URGENSI
PENGEMBALIAN PENGATURAN
KERUGIAN
PERADILAN
NEGARA IN
MELALUI
ABSENTIA
DAN
PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA” ini dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan kesukaran. Namun berkat bantuan, bimbingan serta pengarahan berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu sepantasnyalah penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2.
Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah memberikan izin bagi tersusunnya skripsi ini hingga selesai.
3.
Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum. selaku pembimbing utama yang telah memberikan petunjuk-petunjuk, pengarahan, saran-saran serta bimbingan sehingga memperlancar penulisan skripsi ini.
4.
Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku pembimbing pembantu yang telah memberikan petunjuk-petunjuk, pengarahan, saran-saran serta bimbingan sehingga memperlancar penulisan skripsi ini.
5.
Bapak Muhammad Adnan, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik penulis atas segala bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas commit to userSebelas Maret.
ix
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7.
Bapak Tosyim Prabowo, B.Sc., Ibu Suharni, S.H., dan Evita Hanie Pangaribowo selaku bapak, ibu, dan kakak dari penulis yang telah memberi kasih sayang serta motivasi kepada penulis.
8.
Sahabat-sahabat penulis di kampus, Triyono, Advent, Ichsan, Niko, Aaf, Alfin, Anjar, dan Peter. Bersama kalian, penulis melewati masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan suka dan duka. Penulis berharap hubungan baik diantara kita senantiasa tetap terjaga.
9.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya bagi penulis dalam menyusun penulisan hukum ini baik secara moril maupun materiil. Semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
balasan yang seimbang dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan, walaupun penulis telah berusaha sebaik mungkin dalam penulisan skripsi ini, kekurangan-kekurangan skripsi ini tetap tidak dapat dihindari karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................
iv
HALAMAN MOTTO..................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................
vi
ABSTRAK .................................................................................................
vii
ABSTRACT .................................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
ix
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Rumusan Masalah .............................................................
5
C. Tujuan Penelitian ................................................................
5
D. Manfaat Penelitian ..............................................................
6
E. Metode Penelitian ...............................................................
7
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................
10
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
12
A. Kerangka Teori ..................................................................
12
1. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang ...................
12
1. Pengertian Pencucian Uang ...............
12
2. Tahapan dan Teknik-Teknik Proses Pencucian Uang ......................................................
13
2. Tinjauan Umum Tentang Peradilan In Absentia ..........
17
3. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian ......................... commit to user 1. Definisi Menurut Para Ahli ...............
19
xi
19
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III
digilib.uns.ac.id
2. Sistem-Sistem Pembuktian ................
20
4. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Terbalik ...........
24
B. Kerangka Pemikiran ..........................................................
27
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................
29
A. Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik Memberikan Kontribusi Terhadap Konsep Pengembalian Kerugian Negara dalam Perkara Pencucian Uang
29
1. Pengaturan Peradilan In Absentia dalam Pencucian Uang .............................................................................
29
2. Pengaturan Pembuktian Terbalik dalam Pencucian Uang ...........................................................................
32
3. Kontribusi Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik Guna Mengembalikan Kerugian Negara dalam Perkara Pencucian Uang ......................
38
B. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik dalam Perkara Pencucian Uang di Indonesia ......
49
1. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dalam Perkara Pencucian Uang di Indonesia .........................
49
2. Urgensi Perlunya Pembuktian Terbalik dalam
BAB IV
Perkara Pencucian Uang di Indonesia ........................
55
PENUTUP ...............................................................................
63
A. Simpulan ...........................................................................
63
B. Saran
67
...........................................................................
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran .........................................
27
2. Gambar 2. Skema Kontribusi Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik dalam Proses Pengembalian Kerugian Negara ................
commit to user
xiii
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan bidang ekonomi tidak dapat terlepas dari hubungan antarmanusia di dunia yang mengalami percepatan dan perubahan. Proses perubahan yang sekarang berlangsung merupakan suatu proses transformasi masyarakat industri menjadi masyarakat informasi, yaitu suatu masyarakat yang kehidupan dan kemajuannya sangat dipengaruhi oleh penguasaan informasi. Salah satu perkembangan dalam bidang informasi tersebut yaitu mengenai penyedia jasa keuangan (PJK). Perkembangan di bidang PJK yang mengaplikasikan informasi dan teknologi dirasa sangat membantu jalannya kehidupan umat manusia pada masa kini. Akan tetapi, tidak selamanya kemajuan di bidang PJK berbasis informasi dan teknologi tersebut membawa dampak positif. Kemajuan teknologi selalu diikuti dengan perkembangan bentuk kejahatan dari yang tradisional hingga yang berbentuk dimensi baru. Di sisi lain, kemajuan teknologi juga harus dikembangkan untuk menanggulangi masalah yang timbul, dan dampak yang negatif dari perkembangan teknologi. Dalam
pergolakan
teknologi
dengan
segala
aspek,
implikasi
dan
konsekuensinya, kejahatan tidak mau ketinggalan. Perkembangan kejahatan diikuti para pelakunya yang secara profesional menggunakan teknologi mutakhir untuk merencanakan dan melaksanakan kejahatannya (Supanto, 2010:102). Beberapa pihak memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut dengan melakukan tindak pidana, salah satunya yaitu melakukan money laundering atau pencucian uang. Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya sulit dilacak oleh aparat penegak hukum. Pelaku tindak pidana tersebut memanfaatkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana untuk to user melakukan berbagai kegiatan.commit Kegiatan memanfaatkan harta kekayaan yang
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
berasal dari tindak pidana itulah yang disebut dengan money laundering atau pencucian uang. Pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana. Pencucian uang makin mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Gerakan ini terpicu oleh kenyataan bahwa saat ini semakin maraknya kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu, sehingga berbagai pihak telah secara konkrit mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu dalam mengatasi masalah pencucian uang. Jika pada mulanya pencucian uang lebih erat kaitannya dengan kejahatan-kejahatan perdagangan obat bius/narkotika dan kejahatan besar lainnya, tetapi kini kejahatan pencucian uang sudah dihubungkan dengan proses atas uang hasil perbuatan kriminal secara umum dalam jumlah besar (N. H. T. Siahaan, 2008:vii). Salah satu contohnya adalah pencucian uang hasil korupsi. Bahkan, masalah money laundering kini berkaitan erat dengan perbuatan korupsi. Indonesia telah melakukan upaya dalam mencegah dan memberantas money laundering, salah satunya dengan membentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang ini menggantikan undang-undang tentang pencucian uang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang kini sudah tidak berlaku lagi. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, terdapat beberapa perbedaan prinsipiil dengan ketentuan hukum pidana formil dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan kata lain, asas-asas commit8 toTahun user 2010 ini cukup banyak diberi ketentuan Undang-Undang Nomor
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
nuansa oleh ketentuan yang bersifat lex specialis. Hal ini karena pencucian uang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini, langkah komprehensif yang dapat dilakukan Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam menangani perkara pencucian uang antara lain ditempuh dengan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik. Dalam mengembangkan langkah-langkah anti-pencucian uang, pemerintah menghadapi tugas sulit menemukan pendekatan-pendekatan yang seimbang antara kebutuhan menciptakan langkah-langkah efektif dalam memerangi pencucian uang dan mendapatkan kembali hasil-hasil dari tindak pidana. Oleh karena itu digunakanlah sistem pembuktian terbalik dan peradilan in absentia agar dapat menuntut para pelaku pencucian uang sekaligus mendapatkan kembali atau merampas hasil-hasil dari tindak pidana. Sebagai asas universal, pembalikan beban pembuktian akan menjadi bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Pengertian istilah “Pembalikan Beban Pembuktian” adalah beban pembuktian yang diletakkan kepada terdakwa, yang seharusnya merupakan tugas Penuntut Umum. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang dikenal sebagai pembalikan beban pembuktian dan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dikenal dengan “Sistem Pembuktian Terbalik”. Dasar hukum pembuktian terbalik ini terdapat pada Pasal 77 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010. Apabila dilihat dari sudut objek, maka sesuai ketentuan Pasal 78 ayat (1), terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang diantaranya sebagai berikut: 1) Korupsi; 2) Penyuapan; 3) Narkotika; 4) Psikotropika; 5) Penyelundupan tenaga kerja; 6) Penyelundupan migran; 7) Di bidang perbankan; 8) Di bidang pasar modal; 9) Di bidang perasuransian; 10) Kepabeanan; 11) Cukai; 12) commit to user Perdagangan orang; 13) Perdagangan senjata gelap; 14) Terorisme; 15)
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
Penculikan; 16) Pencurian; 17) Penggelapan; 18) Penipuan; 19) Pemalsuan uang; 20) Perjudian; 21) Prostitusi; 22) Di bidang perpajakan; 23) Di bidang kehutanan; 24) Di bidang lingkungan hidup; 25) Di bidang kelautan dan perikanan; dan 26) Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih. Pencucian uang di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun baik kuantitas maupun kualitasnya yang telah merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional. Sedangkan pelakunya ada yang ditangkap kemudian melarikan diri ke luar negeri atau bersembunyi di wilayah Indonesia. Pelaku pencucian uang yang melarikan diri, diproses secara hukum, dengan melaksanakan peradilan in absentia berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Peradilan in absentia, merupakan suatu proses pemeriksaan di sidang pengadilan yang mengadili terdakwa dan menjatuhkan pidana yang bersifat mengikat tanpa dihadiri terdakwa. Pelaksanaan peradilan in absentia bertujuan untuk penyelamatan keuangan negara. Berdasarkan putusan peradilan in absentia itu, seluruh harta kekayaan terpidana yang telah disita, dirampas untuk negara. Dalam perkara pencucian uang, peradilan in absentia diatur dalam Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) undang-undang tersebut, pelaksanaan peradilan in absentia hanya dilakukan terhadap orang yang telah dipanggil secara sah namun tidak hadir tanpa alasan yang sah, serta terhadap orang yang telah meninggal dunia (Pasal 79 ayat (4)). Peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memang sangat diperlukan dalam memberantas money laundering. Mengingat money laundering ini merupakan harta yang berasal dari tindak pidana, jumlahnya pasti mencapai skala besar. Pelaku money laundering bisa mendapatkan harta tersebut dari berbagai sumber, misalnya dari keuangan negara. Pada hakikatnya, pemberantasan money laundering bertujuan untuk merampas harta pelaku yang berasal dari tindak pidana dan mengembalikan harta tersebut ke tempat asal mula harta itu berada. Perampasan harta money laundering dapat ditempuh commit to user terbalik. Namun, dari sini masih dengan peradilan in absentia dan pembuktian
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyisakan sebuah pertanyaan, apakah penerapan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik mampu mengembalikan aset keuangan negara apabila harta pelaku money laundering merupakan harta negara. Oleh karena itu, perlu ditelaah dan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam memberantas money laundering guna mengembalikan kerugian negara. Penelitian ini sangat penting, karena apabila penelitian ini tidak dilakukan, kejahatan money laundering akan semakin meluas serta semakin sulit untuk dicegah dan diberantas. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis kemudian tertarik untuk menelaah lebih lanjut persoalan tersebut dalam penulisan hukum yang berjudul “KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN
NEGARA
MELALUI
URGENSI
PENGATURAN
PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memberikan kontribusi terhadap konsep pengembalian kerugian negara dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia? 2. Apa urgensi yang melatari perlunya peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif Tujuan objektif penulisan hukum ini adalah: a. Untuk mengetahui kontribusi pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik terhadap konsep pengembalian kerugian negara dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia. b. Untuk mengetahui urgensi yang melatari perlunya peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang di commit to user Indonesia.
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif penulisan hukum ini adalah: a. Untuk menambah wawasan penulis di bidang pencucian uang khususnya mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik yang termasuk ke dalam Hukum Acara Tindak Pidana Khusus. b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata Satu dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian tentunya diharapkan akan memberikan manfaat yang berguna, khususnya bagi ilmu pengetahuan bidang penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum acara pidana pada umumnya dan penanganan perkara pencucian uang pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan tentang penelaahan ilmiah serta menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah tentang peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang. 2. Manfaat Praktis a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu to userpidana khusus. hukum khususnya hukumcommit acara tindak
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Metode penelitian merupakan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian yang penulis lakukan ini merupakan jenis penelitian hukum kepustakaan, atau dikenal sebagai penelitian hukum doctrinal, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hutchinson memberikan definisi mengenai penelitian hukum doctrinal, yaitu (Peter Mahmud Marzuki, 2009:32) : “Doctrinal Research: Research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular legal category, analyses the relationship between rules, explain areas of difficulty and, perhaps, predicts future development.” (“Penelitian doktrinal: Penelitian yang menyajikan pemaparan sistematis dari ketentuan tentang hukum tertentu, menganalisis hubungan antara aturan-aturan, menjelaskan bagian-bagian yang sulit dan, mungkin, memprediksi perkembangan di masa mendatang.”)
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat doktrinal. Hal ini karena keilmuan hukum memang bersifat preskriptif dan bukan deskriptif sebagaimana ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial (Peter Mahmud Marzuki, 2009:33). commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Sifat Penelitian Sifat dalam penelitian hukum adalah preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilainilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan normanorma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009:22). Sifat preskriptif dalam penelitian ini yaitu penulis akan mempelajari mengenai dilaksanakannya peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang. 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang coba dicari jawabannya. Pendekatanpendekatan
yang
digunakan
dalam
penelitian
hukum
diantaranya
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan
historis
(historical
approach),
pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2009:93). Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani. Sedangkan pendekatan konseptual dilakukan dengan tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Walaupun menemukan aturan hukum, yang ditemukan hanya makna yang bersifat umum. Oleh karena itu perlu membangun suatu konsep untuk dijadikan acuan dalam penelitian. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
4. Sumber Penelitian Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang bahan hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009:141). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Adapun sumber bahan hukum yang penulis gunakan adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer meliputi: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; 2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; 6) United Nations Conventions Against Transnational Organized Crime 2000 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir 2000); 7) United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi 2003). b. Bahan hukum sekunder meliputi: 1) Buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan; commit todengan user permasalahan; 2) Jurnal hukum yang berkaitan
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Artikel-artikel baik di media cetak maupun internet yang berkaitan dengan permasalahan. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka. Studi pustaka yang dimaksud dilakukan dengan cara melakukan pengkodean atas bahan-bahan hukum baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan. Bahan hukum yang
berhubungan
dengan
masalah
yang
dibahas
dipaparkan,
disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan metode deduktif, yaitu cara berpikir berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian penelitian menghadirkan objek yang akan diteliti yang akan digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johny Ibrahim, 2006:393). Dalam penulisan hukum ini, bahan hukum yang telah didapat penulis, kemudian diolah dan dianalisis dalam bentuk interpretasi dengan cara menafsirkan yang berkaitan dengan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam perkara pencucian uang.
F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi: BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini dikemukakan tentang kerangka teori yang meliputi tinjauan tentang pencucian uang, tinjauan tentang peradilan in absentia, tinjauan tentang pembuktian, dan tinjauan tentang pembuktian terbalik. Dalam bab ini juga dikemukakan tentang kerangka pemikiran yang berbentuk bagan dan uraian singkat.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan guna
menjawab
permasalahan
mengenai
bagaimana
peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memberikan kontribusi pengembalian kerugian negara dalam perkara pencucian uang, serta urgensi yang melatari perlunya peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia. BAB IV
: PENUTUP Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian dan pembahasan serta saran-saran yang diajukan penulis sebagai implikasi dari simpulan yang didapat.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Pencucian Uang a. Pengertian Pencucian Uang Money laundering has been defined as "the process by which criminals attempt to hide and disguise the true origin and ownership of the proceeds of their criminal activities, thereby avoiding prosecution, conviction, and confiscation of the criminal funds." (Andrew De Lotbiniftre McDougall, International Arbitration and Money Laundering, The American University International Law Review, 2009, Vol. 12 No. 2, hlmn 1022). (Pencucian uang didefinisikan sebagai “proses yang dilakukan oleh pelaku kejahatan dalam menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya yang berasal dari aktivitas tindak pidana, hal demikian dimaksudkan guna menghindari penuntutan, penghukuman, dan penyitaan terhadap harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana tersebut”). Cara pemutihan atau pencucian uang dilakukan dengan melewatkan uang yang diperoleh secara ilegal melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit guna menyulitkan berbagai pihak untuk mengetahui asal-usul uang tersebut. Kerumitan inilah kemudian dimanfaatkan para pakar money laundering guna melakukan tahap proses pencucian uang (N. H. T. Siahaan, 2008:5-6). Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang, atau pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula dengan pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (kotor). Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, istilah money laundering disebut dengan Pencucian Uang, sebagaimana tercantum dalam judul undang-undang tersebut. Kata money dalam money laundering dapat diistilahkan secara beragam. Ada yang menyebutnya dengan dirty money, hot money, illegal money, atau illicit commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam, berupa uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap (N.H.T. Siahaan, 2008:6). Istilah pencucian uang sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu setiap perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya tersebut. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan harta secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari harta yang sah, atau dengan kata lain, pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, menyamarkan asal-usul uang haram dari pemerintah atau otoritas yang berwenang, terutama dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan, sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.
b. Tahapan dan Teknik-Teknik Proses Pencucian Uang There is no one method of laundering money. Methods range from the purchase and resale of luxury items to the passing of money through a complex international web of legitimate businesses and "shell" companies.' Despite the variety of methods available, the laundering process proceeds in three stages: 1) placement, 2) layering, and 3) integration (Paulina L. Jerez, Proposed Brazilian Money Laundering Legislation: Analysis and Recommendations, The American University International Law Review, 2009, Vol. 20, No.5, hlmn 332). commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Pencucian uang tidak hanya melibatkan satu jenis metode. Metodemetode tersebut bermula dari aktivitas transaksi keuangan hingga melibatkan jejaring dan perusahaan internasional yang kompleks dalam suatu kegiatan bisnis legal. Meskipun terdapat beberapa metode, proses pencucian uang meliputi tiga tahap: 1) penempatan, 2) pelapisan, dan 3) penyatuan). Secara sederhana aktivitas pencucian uang dapat dilakukan melalui perbuatan memindahkan, menggunakan, atau melakukan perbuatan lainnya terhadap hasil dari suatu tindak pidana, baik itu pelakunya organized crime maupun individu yang melakukan tindak pidana dengan maksud menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang halal. Latar belakang perbuatan tersebut adalah memindahkan atau menjauhkan pelaku dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelaku melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah (Edi Setiadi, 2010: 154). Instrumen yang paling dominan dalam pencucian uang biasanya menggunakan sistem keuangan. Perbankan merupakan alat utama yang paling menarik digunakan dalam pencucian uang, mengingat perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling banyak menawarkan instrumen keuangan. Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dapat berupa: (Edi Setiadi, 2010: 154-155) 1) Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu; 2) Menyimpan
uang
di
bank
dalam
bentuk
deposito/
tabungan/rekening/giro; 3) Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih besar atau lebih kecil; 4) Menggunakan fasilitas transfer; 5) Melakukan transaksi ekspor-impor fiktif dengan menggunakan L/C commit tobekerja user sama dengan oknum terkait; dengan memalsukan dokumen
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Pendirian/pemanfaatan bank gelap. Tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu money laundering, karena kegiatannya sangat kompleks. Namun para pakar telah berhasil menggolongkan proses money laundering ke dalam tiga tahap, yaitu: 1) Tahap Placement Placement adalah penempatan harta yang berasal dari perbuatan kriminal untuk pertama kalinya atau tahap awal dari siklus pencucian uang haram. Tahap ini merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan
dari
suatu
aktivitas
kriminal,
misalnya
dengan
mendepositokan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, uang tersebut kemudian akan masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Variasinya antara lain dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan mentransfer
ke
dalam
valuta
asing.
Uang/aset
dapat
pula
diselundupkan ke luar negeri, tujuannya untuk memindahkan uang/aset tersebut dari sumber asalnya. Modus operandinya adalah dana ditempatkan jauh dari lokasi kejahatan. Placement ini merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari aktivitas kejahatan misalnya memecah uang tersebut dalam pecahan besar atau kecil untuk ditempatkan dalam sistem perbankan, atau placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, maupun menggabungkan uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah. Proses placement ini merupakan titik yang paling lemah dalam pencucian uang (Edi Setiadi, 2010: 155). 2) Tahap Layering Layering adalah pengalihan dari suatu bentuk investasi ke bentuk investasi lainnya yang dilakukan untuk memperpanjang jalur commit to usermenutupi sumber sebenarnya dari pelacakan atau suatu tindakan untuk
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
uang/aset dengan melakukan berlapis-lapis transaksi finansial yang dirancang untuk menghilangkan jejak dan menciptakan anonim. Berbagai modus operandi dapat dilakukan melalui tahap layering ini yang tujuannya menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya maupun asal-usul uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara lain dan dapat dilakukan beberapa kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, dan lain-lain (N. H. T. Siahaan, 2008:9). Dengan demikian layering dapat disimpulkan sebagai proses memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekeningrekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. 3) Tahap Integration Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering. Penyatuan uang melibatkan pemindahan sejumlah dana yang telah melewati proses pelapisan yang teliti kemudian disatukan dengan dana yang berasal dari kegiatan legal ke dalam arus perputaran dana global yang begitu besar (Aziz Syamsuddin, 2011: 21). Modus operandinya yaitu dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal atau dilakukan transaksi yang bersih. Dana yang terlapis tadi digunakan untuk pembayaran, kemudian transaksi itu dapat dilakukan melalui lembaga keuangan biasa sebagai bagian dari transaksi yang jernih. Misalnya pembayaran hutang atau tagihan lainnya. Dengan cara ini akan tampak bahwa aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ilegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci (N. H. T. Siahaan, 2008:9-10). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
2. Tinjauan Tentang Peradilan In Absentia Peradilan in absentia adalah peradilan yang dilakukan/dilaksanakan di luar kehadiran terdakwa, setelah prosedur pemanggilan secara hukum dilakukan tetapi terdakwa tidak hadir atau tidak dapat dihadirkan (Edi Setiadi, 2010: 43). Hakim pun dapat menjatuhkan hukuman meski terdakwa tidak hadir dalam persidangan. Dalam perkara pidana, menurut mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, konsep in absentia adalah konsep di mana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (Abdul Rahman Saleh, 2008: 208). Dasar hukum peradilan in absentia ini tidak dicantumkan secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hanya saja di dalam Pasal 196 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHAP disebutkan sebagai berikut:
Pasal 196 (1) “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal Undang-Undang ini menentukan lain.”
Pasal 214 (1) “Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.” (2) “Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.”
Di samping itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa dimana intinya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berpendapat bahwa commitdengan to userAcara Pemeriksaan Cepat (baik perkara-perkara yang diperiksa
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat diputus di luar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat. Jadi, hukum acara pidana tidak hanya mengakui keberadaan persidangan secara in absentia untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan, tetapi berlaku juga bagi perkara tindak pidana ringan (Pasal 205 KUHAP). Selain itu, persidangan in absentia secara khusus diatur dalam beberapa undang-undang lainnya, antara lain: (www.hukumonline.com) 1) Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.” 2) Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.” 3) Pasal 79 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 yang menyatakan, “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.” Dalam Angka 3 Surat Edaran Mahkamah Agung No.: 03 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang No. 31 Tahun 2007 tentang Perikanan, disebutkan bahwa, “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah dalam pengertian perkara in absentia, yaitu terdakwa sejak sidang pertama tidak pernah hadir di persidangan.” commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Pasal
35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Terorisme yang menyatakan, “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.”
Di luar ketentuan-ketentuan tersebut di atas, terdapat beberapa peraturan lain yang mengatur mengenai peradilan in absentia, antara lain: 1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang TindakanTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil; 2) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi; 3) Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
3. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Definisi menurut para ahli: 1) Menurut M. Yahya Harahap: Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman mengenai cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2010: 273). 2) Menurut Alfitra: Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dan dilakukan tindakantindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dengan pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian (Alfitra, 2011: 21). commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Sistem-Sistem Pembuktian: 1) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction in time) Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam persidangan ataupun bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti tersebut diabaikan hakim dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan terdakwa. Sistem ini memberikan kebebasan terlalu besar kepada hakim sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenangwenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin (Adami Chazawi, 2008:25). 2) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Raisonee) Dalam sistem ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran keyakinan hakim sangat leluasa tanpa batas, pada sistem conviction raisonee ini keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib commit to user menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keyakinannya atau kesalahan terdakwa. Dengan kata lain, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan yang dapat diterima akal, tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang tak masuk akal. Sistem ini lebih maju sedikit daripada sistem yang pertama, walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistem yang kedua ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan bebas (vrije bewijstheorie), karena dalam membentuk keyakinannya hakim bebas menggunakan alat-alat bukti dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang diperolehnya dari alat-alat bukti tersebut (Adami Chazawi, 2008:26-27). 3) Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie) Sistem ini hanya berpedoman pada alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, sedangkan keyakinan hakim tidak ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras (Andi Hamzah, 2008: 251). Ada kalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem menurut undang-undang secara positif. Maksudnya, ialah dalam hal membuktikan didasarkan
kesalahan
semata-mata
terdakwa pada
melakukan
alat-alat
bukti
tindak serta
pidana cara-cara
mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dulu dalam commit to hal usermembuktikan telah sesuai dengan undang-undang. Apabila dalam
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jadi, sistem ini adalah sistem yang berlawanan dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan semata-mata (Adami Chazawi, 2008:27). Sistem pembuktian demikian pada saat ini sudah tidak ada penganut lagi, karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga karena sistem ini sama sekali
mengabaikan
perasaan
nurani
hakim.
Hakim
bekerja
menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang-undang (Adami Chazawi, 2008:28). 4) Sistem
pembuktian
berdasarkan
undang-undang
secara
negatif/terbatas (Negatief Wettelijk) Sistem ini adalah hasil penggabungan secara terpadu antara sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem tersebut, terwujudlah rumusan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”. Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai commit to user pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan atau dengan kata lain tidak berdiri sendiri-sendiri. Disebut dengan sistem menurut undang-undang, karena dalam membuktikan harus menurut ketentuan undang-undang baik alat-alat bukti yang dipergunakan maupun cara mempergunakannya serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyatakan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Disebut dengan terbatas, karena dalam melakukan pembuktian untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana di samping dengan menggunakan alat-alat
bukti
yang
sah
menurut
undang-undang
juga
dibatasi/diperlukan pula keyakinan hakim. Artinya, bila ketiadaan keyakinan hakim, tidak boleh menyatakan sesuatu (objek) yang dibuktikan sebagai terbukti, walaupun alat bukti yang dipergunakan telah memenuhi syarat minimal bukti (Adami Chazawi, 2008:28-29). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan penganut sistem pembuktian ini, hal tersebut terlihat dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang, yaitu alat bukti yang sah sesuai ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
4. Tinjauan Tentang Pembuktian Terbalik Secara teoritis Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana asasnya mengenal tiga teori hukum pembuktian, yaitu: a.
Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif, yaitu dengan titik tolak adanya alat bukti yang secara limitatif ditentukan oleh undang-undang;
b.
Teori Hukum Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim, polarisasinya hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan;
c.
Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif, yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan undang-undang dan didukung pula keyakinan hakim terhadap eksistensi alat-alat bukti bersangkutan. Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi dengan
eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada tiga teori tentang beban pembuktian. Indonesia juga mengenal tiga teori tentang beban pembuktian tersebut, yaitu: a.
Beban Pembuktian pada Penuntut Umum Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan sulit meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi dengan asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Teori beban pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional” commit to user (Lilik Mulyadi, 2007: 102).
perpustakaan.uns.ac.id
b.
25 digilib.uns.ac.id
Beban Pembuktian pada Terdakwa Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana (Lilik Mulyadi, 2007: 102). Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan teori “Pembalikan Beban Pembuktian”. Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik, teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas. Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana pencucian uang.
c.
Beban Pembuktian Berimbang Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/atau Penasihat Hukum saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta Penasihat Hukum akan membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dalam kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang” (Lilik Mulyadi, 2007: 103). Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolok ukur Penuntut Umum dan terdakwa, teori beban pembuktian dapat dibagi menjadi dua kategorisasi. Pertama, sistem pembuktian “biasa” atau “konvensional”, Penuntut Umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti. Kemudian terdakwa dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut commit Umum sesuai ketentuan Pasalto66user KUHAP. Kedua, teori pembalikan
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau “murni” bahwa
terdakwa
dan/atau
Penasihat
Hukum
membuktikan
ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan Penuntut Umum saling membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa. Pada hakikatnya, asas pembalikan beban pembuktian dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010), dan Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999). Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian secara murni menyebabkan beralihnya asas
praduga tidak
bersalah
menjadi
asas
praduga
bersalah.
Konsekuensi logis dimensi demikian, praduga bersalah relatif cenderung dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas praduga tidak bersalah. Pada asasnya, praduga tidak bersalah merupakan asas fundamental dalam negara hukum. Konsekuensinya, setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban pembuktian pada Penuntut Umum, norma pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara-cara yang adil (Lilik Mulyadi, 2007: 105). Lebih
lanjut,
dalam
hal
pembalikan
beban pembuktian,
terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jika ia tidak dapat membuktikannya, ia dianggap bersalah (Indriyanto Seno Adji, 2001: 46). commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Pencucian Uang (Money Laundering)
Pengaturan Money Laundering (UU No.8 Tahun 2010)
Peradilan In Absentia
Pembuktian Terbalik
Urgensi yang Melatari
Pengembalian Kerugian Negara
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan: Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan bahwa pencucian uang (money laundering) merupakan commit to user salah satu tindak pidana khusus
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebagai salah satu tindak pidana khusus, maka dalam penanganan perkara pencucian uang terdapat hal-hal yang khusus pula dalam proses beracara pada pemeriksaan di persidangan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 memuat beberapa substansi mengenai proses beracara pada pemeriksaan di persidangan yang sedikit menyimpang dari ketentuan hukum pidana formil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal itu terkait dengan perwujudan dari sifat kekhususan yang ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Akan tetapi, penyimpangan tersebut tetap dibenarkan berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali. Mengingat pencucian uang merupakan tindak pidana khusus dan termasuk kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka diperlukan penanganan khusus dan luar biasa pula, terutama dalam hal pemeriksaan di persidangan. Kekhususan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut antara lain mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik. Dalam perkara pencucian uang, dimungkinkan untuk dilaksanakan peradilan in absentia, yaitu persidangan tanpa kehadiran terdakwa. Kekhususan lainnya yaitu tentang pembuktian terbalik, dimana dalam hal ini terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana. Dua hal kekhususan pada proses beracara inilah yang merupakan suatu bentuk upaya luar biasa sebagai penanganan perkara pencucian uang, dimana pada intinya memiliki tujuan pokok yang sama, yaitu untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Terkait hal inilah penulis kemudian tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai urgensi yang melatari perlunya peradilan in absentia dan pembuktian terbalik sebagai upaya pengembalian aset kekayaan negara dalam perkara pencucian uang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik Memberikan Kontribusi Terhadap Konsep Pengembalian Kerugian Negara dalam Perkara Pencucian Uang Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik serta pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu, selanjutnya akan dikemukakan tentang kontribusi pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik guna mengembalikan kerugian negara akibat money laundering atau pencucian uang. 1.
Pengaturan Peradilan In Absentia dalam Pencucian Uang Peradilan in absentia adalah peradilan yang dilakukan/dilaksanakan di luar kehadiran terdakwa, setelah prosedur pemanggilan secara hukum dilakukan tetapi terdakwa tidak hadir atau tidak dapat dihadirkan. Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan, bahwa pemeriksaan di pengadilan harus dengan hadirnya terdakwa. Dalam penjelasan Pasal 154 ayat (4) disebutkan bahwa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan adalah merupakan kewajibannya, bukan merupakan haknya. Jadi terdakwa dapat dihadirkan secara paksa. Kehadiran terdakwa di depan pengadilan bukan saja hanya untuk memenuhi hak-hak terdakwa tetapi juga untuk mewujudkan prinsip due process of law (proses hukum yang baik) yang merupakan asas universal dan merupakan salah satu ciri dari negara hukum. Prinsip ini harus selalu dipegang teguh dalam penegakan hukum pidana (Edi Setiadi, 2010:43-44). Berlangsungnya sidang pengadilan yang tanpa dihadiri oleh terdakwa, sesungguhnya sebagai antisipasi agar semua orang yang telah distatuskan sebagai terdakwa tidak bebas begitu saja, meskipun ia melarikan diri.
Model
persidangan in commit to user
29
absentia
dapat
dijadikan
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
klep/pengaman terhadap keterbatasan-keterbatasan aparat hukum yang tidak dapat menghadirkan terdakwa di depan persidangan, karena terdakwa melarikan diri (Waluyadi, 2009:114). Bagaimanapun harus diakui, bahwa persepsi aparat hukum dan persepsi pelaku tindak pidana terhadap berlangsungnya proses hukum berbeda. Aparat hukum akan berusaha semaksimal mungkin agar setiap pelaku tindak pidana diproses secara hukum. Sebaliknya, seorang pelaku tindak pidana akan melakukan hal yang sama agar ia terlepas dari jeratan hukum yang salah satu jalannya adalah dengan cara melarikan diri. Peradilan in absentia juga dimungkinkan oleh undang-undang. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: a.
Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain;
b.
Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat diketahui bahwa prinsip persidangan dilakukan dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain. Pengertian kata “dengan” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tidak sama dengan pengertian kata “harus”, sehingga Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tidak dapat diartikan bahwa “persidangan harus dihadiri terdakwa”. Ini berarti, tanpa hadirnya terdakwa pun, persidangan tetap dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, dikembalikan pada hukum formal (Hukum Acara), termasuk di dalamnya KUHAP, Undang-Undang Kehakiman dan undang-undang lain sepanjang mengatur tentang proses beracara di pengadilan. Peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang diatur dalam Pasal 79 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun user berikut: 2010. Pasal-pasal tersebut commit berbunyitosebagai
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
Pasal 79 ayat (1): Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
Pasal 79 ayat (3): Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
Pasal 79 ayat (4): Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita. Penjelasan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka jika terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 79 ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan negara. Meskipun ketentuan-ketentuan tersebut menyimpang dari KUHAP, namun penyimpangan tersebut tetap diperbolehkan karena ketentuan-ketentuan ini merupakan implementasi dari asas lex specialis derogat legi generali dalam pencucian uang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
2.
32 digilib.uns.ac.id
Pengaturan Pembuktian Terbalik dalam Pencucian Uang Pembalikan beban pembuktian atau sering disebut pembuktian terbalik dalam bahasa Inggris disebut reversal burden of proof. Selain itu, beberapa kalangan memadankan dengan istilah shifting burden of proof (Jawade Hafidz, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11, No 2, 2011, hlmn 7). Secara konseptual, penggunaan metode pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik dengan baik dapat membawa perubahan dalam sistem hukum nasional. Termasuk perubahan paradigma bagi para penegak hukum yang cenderung berpikir normatif-dogmatik dalam menerapkan kaidah-kaidah hukum. Hal ini penting guna membangun sistem hukum nasional yang lebih utuh, efektif dan efesien dalam mewujudkan tujuan hukum. Selain itu, penggunaan metode pembuktian terbalik dalam persidangan di pengadilan memberikan sedikit kemudahan kepada jaksa penuntut umum dalam hal pembuktian. Terutama dalam perkara tindak pidana pencucian uang yang mengkondisikan bahwa untuk membuktikan unsur asal-usul harta kekayaan terdakwa, cukup terdakwa sendiri yang harus membuktikannya. Khusus perkara pencucian uang, pembalikan beban pembuktian sangat dibutuhkan sebab perkara ini tergolong rumit. Apalagi bentuknya sebagai kejahatan berlanjut (secondary crime), yang bersumber dari kejahatan asal yang disebut primary core atau core crime. Sehingga proses pembuktiannya pun tergolong rumit. Penerapan beban pembuktian dalam pencucian uang berdasarkan sistem atau asas tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana, dan jika keterangan terdakwa ini benar, maka pihak yang berwenang atau hakim dapat mempertimbangkan keterangan tersebut sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan bagi diri terdakwa, atau sebaliknya dapat merugikan diri terdakwa apabila keterangan tersebut ternyata tidak benar. Sistem pembuktian dalam perkara pidana pada to user Nomor 8 Tahun 1981 Tentang umumnya didasarkan padacommit Undang-Undang
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hukum Acara Pidana. Demikian pula dengan pencucian uang, juga didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Akan tetapi, ada beberapa pengecualian terutama dalam penanganan pencucian uang ini mengingat bahwa pencucian uang merupakan extraordinary crime, sehingga dalam penanganannya pun harus melalui cara-cara yang luar biasa. Salah satu bentuk pengecualian dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ini adalah sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah sistem pembuktian terbalik yang berimbang. Pengaturan mengenai sistem pembuktian terbalik dalam pencucian uang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 68, Pasal 69, Pasal 77, dan Pasal 78 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010, yakni :
Pasal 68 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 69 Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Pasal 77 Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
Pasal 78 (1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Ketentuan ini dimaksudkan agar terdakwa menjelaskan asal-usul harta kekayaannya, karena patut diduga tindak pidana yang dilakukan pelaku money laundering berasal dari kekayaan negara, dan oleh karenanya dapat merugikan keuangan negara. Pembuktian terbalik ini diberlakukan terhadap perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Terdakwa wajib membuktikan dirinya tidak terlibat dalam tindak pidana. Akan tetapi, bukti itu belum dapat menjamin dirinya tidak terlibat dalam tindak pidana yang disangkakan itu, oleh karena penuntut umum masih tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Hal inilah yang disebut dengan sistem pembuktian terbalik yang bersifat berimbang dalam pencucian uang. Terdakwa "wajib" membuktikan bahwa ia tidak melakukan pidana setelah diperkenankan oleh hakim. Selain itu, pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana tidaklah bersifat imperatif. Artinya, apabila terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta yang dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana, maka hal tersebut akan memperkuat posisi dakwaan penuntut umum bahwa terdakwa melakukan pencucian uang. Sebaliknya, apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa harta yang dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan bagi diri terdakwa sendiri. Dalam keadaan seperti ini, jaksa penuntut umum tetap commit to user terdakwa bersalah melakukan berkewajiban membuktikan bahwa
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencucian uang. Dari sini jelaslah bahwa beban pembuktian tetap diserahkan kepada jaksa penuntut umum. Apabila pembuktian terbalik ini diterapkan secara total dan absolut yang terjadi maka hanya akan membebaskan jaksa penuntut umum dari beban untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya seorang terdakwa. Selain itu, reversal of burden proof secara absolut dan total akan menimbulkan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya pelanggaran terhadap asas "presumption of innocence" dan "non selfincrimination". Oleh karena itu, yang diterapkan dalam sistem beban pembuktian ini hanyalah sekadar "shifting of burden proof" dengan memberikan kesempatan terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana (Jawade Hafidz, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11, No 2, 2011, hlmn 9). Begitu pula beban pembuktian kepada jaksa penuntut umum untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Dengan demikian, beban pembuktian terhadap suatu perkara pidana tetap dibebankan kepada jaksa penuntut umum. Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan tindak pidana, sebab penuntut
umum
masih
tetap
berkewajiban
untuk
membuktikan
dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, dalam artian jaksa penuntut umum masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang menegaskan dianutnya sistem pembalikan beban pembuktian/pembuktian terbalik yang masih bersifat terbatas ini masih belum jelas eksplisitasnya. "Terbatas" menurut undang-undang ini menunjuk pada peran jaksa commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penuntut umum yang masih memiliki kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menentukan bahwa hakim memerintahkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Rumusan ketentuan tersebut menyiratkan beberapa hal. Pertama, pembuktian terbalik tentang harta kekayaan terdakwa tidak harus dihubungkan dengan tindak pidana asal
(core
crime)
ataupun
fokus
pada
perbuatan
terdakwa
(daadstraafrecht). Kedua, keberhasilan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak bergantung pada pembuktian tindak pidana asalnya karena ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menegaskan bahwa untuk pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak harus dibuktikan terlebih dulu tindak pidana asalnya. Merujuk pada ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU Nomor 8 Tahun 2010 dalam praktiknya, hakim tetap dapat memerintahkan pembuktian terbalik terhadap terdakwa meskipun tidak terkait dengan dugaan terdakwa telah melakukan tindak pidana asalnya. Rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengacu pada bunyi ketentuan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang fokus pada perampasan aset terdakwa tidak harus perlu menghubungkannya dengan tindak pidana asal. Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 berbunyi: ”Each state party may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation.” (Negara peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan bagi pelaku kejahatan untuk menerangkan asal-muasal harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana atau properti lainnya guna keperluan penyitaan). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
Lalu diperkuat Pasal 20 yang berbunyi: ”Each state party shall consider…as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”. (Negara peserta seharusnya mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan bagi pelaku kejahatan untuk menerangkan asal-muasal harta kekayaannya, yang dalam hal ini diperoleh dari kekayaan yang tidak sah, atau apabila kekayaannya meningkat secara signifikan dan tidak sebanding dengan pendapatannya yang sah).
Kata kunci kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya yang sah, bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan terdakwa dan tindak pidana yang telah dilakukannya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dapat dikatakan telah memahami sungguh-sungguh semangat, jiwa, serta makna di balik Pasal 31 ayat 8 dan Pasal 20 Konvensi PBB Antikorupsi, sehingga dengan demikian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam menyelamatkan keuangan negara secara signifikan. Permasalahan dalam pembuktian terbalik adalah bahwa pembuktian terbalik memiliki beberapa kelemahan. Pertama, bahwa penggunaan metode pembalikan beban pembuktian dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang jika tidak dilakukan dengan tepat dapat berakibat terhadap kurangnya implementasi hukum dalam menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, pembalikan beban pembuktian bisa saja mengabaikan hak-hak dasar terdakwa, termasuk hak untuk dilindungi nama baiknya. Kedua, dalam praktek sehari-hari, metode pembalikan beban pembuktian di Indonesia commit tomasih user tergolong baru. Apalagi belum
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
banyak perkara yang diputus di pengadilan yang menggunakan metode pembuktian terbalik terutama perkara-perkara pencucian uang. Hal ini tentunya menyulitkan aparat penegak hukum (polisi, jaksa penuntut umum dan hakim) dalam mengimplementasikan aturan mengenai penggunaan pembalikan beban pembuktian terutama untuk perkara tindak pidana pencucian uang. Ketiga, belum adanya ketentuan hukum terutama hukum acara yang mengatur secara khusus tentang penggunaan pembalikan beban pembuktian yang dapat dijadikan acuan para penegak hukum sehingga metode ini sukar untuk di implementasikan. Keempat, secara teoritis, penggunaan metode pembalikan beban pembuktian memberi kemudahan kepada jaksa penuntut umum dalam menuduh seseorang meskipun belum tentu orang tersebut melakukan hal apa yang dituduhkan kepadanya. Dalam hal ini, sangat mungkin terjadi kesalahan dalam menuduh seseorang. Sehingga, pelanggaran terhadap asas presumption of innocence sangat mungkin terjadi.
3.
Kontribusi Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik Guna Mengembalikan Kerugian Negara dalam Perkara Pencucian Uang Salah satu unsur mendasar dalam pencucian uang ialah adanya kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan pencucian uang tidak semata-mata bertujuan agar pelaku dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara akibat dari tindak pidana. Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi defisit APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara) sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara adalah berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti commit to melawan user jumlahnya sebagai akibat perbuatan hukum baik sengaja ataupun
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
lalai. Pengertian ini menunjukkan bahwa kerugian negara mengandung arti yang luas sehingga mudah dipahami dan ditegakkan bila terjadi pelanggaran dalam pengelolaan keuangan negara. Di samping itu, kerugian negara tidak boleh diperkirakan sebagaimana yang dikehendaki tetapi wajib dipastikan berapa jumlah yang dialami oleh negara pada saat itu. Hal ini dimaksudkan agar terdapat suatu kepastian hukum terhadap keuangan negara yang mengalami kekurangan agar dibebani tanggung jawab bagi yang menimbulkan kerugian negara (Muhammad Djafar Saidi, 2011:109110). Penentuan keberadaan keuangan negara didasarkan pendekatan yang digunakan dalam merumuskan pengertian keuangan negara sebagaimana tercantum pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah sebagai berikut: (Muhammad Djafar Saidi, 2011:11-12) a.
Dari sisi obyek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut;
b.
Dari sisi subyek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara;
c.
Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban;
d.
Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan commit user dan hubungan hukum yang toberkaitan dengan pemilikan dan/atau
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Mengenai kerugian negara, maka sudah pasti hal itu juga menyangkut tentang keuangan negara. Dalam Pasal 1 angka 22 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Unsur-unsur kerugian negara/daerah tersebut meliputi: a.
Kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya;
b.
Perbuatan melawan hukum;
c.
Kausalitas perbuatan melawan hukum dengan kekurangan yang terjadi;
d.
Subjek penanggung jawab kerugian. Dalam hal unsur “kerugian keuangan negara”, konstruksi Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 harus dikaji secara komprehensif, dengan menganalisis sejauh mana hubungan pengembalian kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak yang melanggar hukum, dalam hal ini mengenai kejahatan pencucian uang atau money
laundering.
Pengembalian
kerugian
negara
setelah
hasil
pemeriksaan yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dari hasil audit yang dilakukannya harus segera dilaporkan kepada instansi yang berwenang (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara yang dikembalikan tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau tidak. Pencucian uang tidak akan pernah lepas kaitannya dengan tindak to user korupsi ibarat mata uang, tidak pidana korupsi. Pencuciancommit uang dengan
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010, korupsi merupakan jenis tindak pidana yang disebut paling awal yang dalam hal ini terdakwa memperoleh harta kekayaannya. Dengan kata lain, apabila seseorang melakukan pencucian uang, besar kemungkinan sebelumnya yang bersangkutan telah melakukan korupsi atau tindak pidana asal yang lainnya. Mengingat bahwa pencucian uang dan korupsi sangat erat kaitannya, maka pengaturan mengenai pencucian uang dengan korupsi memiliki banyak
kesamaan
dalam
hal
proses
peradilan
dan
upaya
pemberantasannya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut “UU PTPK”) juga mengenal mengenai konsep pengembalian kerugian negara. Terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi, UU PTPK menggunakan dan memaksimalkan konsep “upaya pengembalian kerugian keuangan negara”. Konsep tersebut diharapkan mampu mengembalikan kerugian keuangan negara. UU PTPK mengatur enam hal dalam kaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara, terdiri dari lima meliputi gugatan perdata dan satu melalui pidana tambahan, yaitu: (gagasanhukum.wordpress.com) a.
Gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara yang nyata disebabkan setelah dilakukan penyidikan ditemukan unsur tidak cukup bukti, seperti diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU PTPK;
b.
Gugatan perdata disebabkan karena adanya putusan bebas sedangkan secara nyata ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU PTPK;
c.
Gugatan perdata dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 33 UU PTPK;
d.
Gugatan perdata dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat commit to user dilakukan pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan secara nyata
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 34 UU PTPK; e.
Gugatan perdata terhadap tindak pidana korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi masih terdapat harta benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, seperti diatur dalam Pasal 38 C UU PTPK;
f.
Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PTPK.
Pengaturan gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi menandai bahwa norma-norma hukum pidana saja tidak cukup memadai untuk pengembalian kerugian keuangan negara, setidak-tidaknya dalam keadaankeadaan tertentu. Apabila UU PTPK
dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan pidana, maka diaturnya upaya gugatan perdata dalam undang-undang tersebut menunjukkan pula bahwa suatu peraturan perundang-undangan dapat sekaligus mengandung aspek hukum pidana maupun
perdata,
bahkan
juga
hukum
administrasi
(gagasanhukum.wordpress.com). Kerugian negara akibat dari pengelolaan keuangan negara yang menyimpang atau melanggar hukum wajib dikembalikan agar keuangan negara berada dalam keadaan semula untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan negara dalam rangka mencapai tujuan negara. Upaya negara untuk mengembalikan kerugian akibat ditimbulkan oleh pengelolaan keuangan negara yang menyimpang atau melanggar hukum, telah disiapkan instrumen hukum yang berada dalam konteks hukum pidana. Instrumen hukum pidana yang terkait dengan pengembalian kerugian negara melalui peradilan adalah UU PTPK dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Hal itu dilakukan karena tindak pidana korupsi tergolong commit to user sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
biasa, sama halnya dengan pencucian uang. Dengan demikian, kerugian negara dalam kacamata instrumen hukum pidana adalah tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang memerlukan pemberantasan berbeda dengan tindak pidana lainnya, seperti pembunuhan. UU PTPK memuat ketentuan-ketentuan yang terkait dengan tindakan atau perbuatan hukum yang menimbulkan kerugian negara dan memerlukan penyelesaian secara tepat tanpa melanggar hak asasi manusia terhadap pihak-pihak yang terjaring sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Ketentuan-ketentuan UU PTPK yang berkaitan dengan kerugian negara adalah sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Pasal 3 UU PTPK: Setiap orang yang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun dan/atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Dalam penjelasan umum UU PTPK ditegaskan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara, dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (Muhammad Djafar Saidi, 2011:139) commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sementara itu, pengertian perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Dalam arti perekonomian negara termasuk pula sebagai unsur tindak pidana korupsi ketika perekonomian negara dirugikan atas perbuatan termaksud. Sebenarnya tindak pidana korupsi sebagai sasaran instrumen hukum pidana diupayakan agar dapat diperkecil dan bahkan diharapkan tidak terjadi lagi (Muhammad Djafar Saidi, 2011:139140). Pengembalian kerugian negara melalui peradilan boleh dilakukan bersamaan dengan pengembalian kerugian negara di luar peradilan. Hal ini didasarkan dengan pertimbangan hukum sebagai berikut: (Muhammad Djafar Saidi, 2011:151) a.
Pengembalian
kerugian
negara
melalui
peradilan
dengan
pengembalian kerugian negara di luar peradilan memiliki prosedur yang berbeda; b.
Kerugian negara yang dikembalikan di luar peradilan bukan merupakan sanksi atau hukuman melainkan hanya bersifat pengganti atas kerugian negara yang ditetapkan oleh atasannya atau Badan Pemeriksa Keuangan; commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Kerugian negara yang dikembalikan melalui peradilan merupakan sanksi atau hukuman berupa denda yang dijatuhkan oleh pengadilan atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, pengembalian kerugian negara baik di luar peradilan maupun melalui peradilan secara bersamaan atau terpisah bukan merupakan suatu pelanggaran hukum di bidang hukum keuangan negara. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka pengembalian kerugian negara yang dinyatakan hilang dan/atau digunakan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dengan demikian, pengembalian kerugian negara baik di luar peradilan maupun melalui peradilan perlu diterapkan secara bersamaan dalam rangka pemberantasan perbuatan yang merugikan keuangan negara, dalam hal ini khususnya mengenai pencucian uang yang melibatkan aset kekayaan negara. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak diatur secara detail mengenai konsep pengembalian kerugian negara akibat pencucian uang. Pengaturan mengenai konsep pengembalian kerugian negara hanya diatur secara sepintas melalui pengaturan peradilan in absentia, yang dalam hal ini pemeriksaan di
persidangan dalam perkara pencucian uang
dimungkinkan untuk dilaksanakan persidangan secara in absentia, yaitu persidangan tanpa kehadiran terdakwa, baik karena terdakwa tidak hadir maupun karena terdakwa meninggal dunia. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan aset kekayaan negara akibat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Konsep pengembalian kerugian negara lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu mengenai penerapan pembuktian terbalik, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dan rinci pengaturannya dalam undang-undang. Dalam hal ini, terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya user terdakwa mampu membuktikan bukan berasal dari tindak commit pidana. to Apabila
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana, maka hal itu dapat menjadi bahan pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman bagi terdakwa. Sebaliknya, apabila terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, maka hal itu dapat menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana, khususnya pencucian uang, serta dapat memperkuat posisi tuntutan penuntut umum. Pembuktian terbalik merupakan upaya luar biasa dalam proses pemeriksaan di persidangan, hal ini patut diterapkan dalam perkara pencucian uang, mengingat pencucian uang merupakan jenis kejahatan yang luar biasa pula. Harta kekayaan milik terdakwa bukan tidak mungkin berasal dari kekayaan negara yang telah dikorupsi, karena korupsi dan pencucian uang ibarat mata uang, saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur
ketentuan
tentang
pembuktian
terbalik
yang
sifatnya
“compulsory”, yaitu dalam proses pemeriksaan di persidangan, terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana. Hal ini sebagai upaya dalam memberantas pencucian uang, serta untuk mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan dari terdakwa. Lebih lanjut, pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memberikan kontribusi mengenai konsep pengembalian kerugian negara dalam pencucian uang dapat dilihat pada skema berikut:
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Proses Pengembalian Kerugian Negara
Terdakwa Tidak Hadir
Terdakwa Hadir
Peradilan In Absentia
Penuntut Umum vs Terdakwa
Penuntut Umum vs “Kursi Kosong”
Pembuktian Terbalik Secara Berimbang
Penuntut Umum Pembuktian
Melakukan
Penuntut Umum dan Terdakwa Dibebani Beban Pembuktian
Putusan Hakim
Perampasan Harta Terdakwa Guna Mengembalikan Kerugian Negara Gambar 2. Skema Kontribusi Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik dalam Proses Pengembalian Kerugian Negara
Berdasarkan skematik tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam hal terdakwa tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah setelah dilakukan pemanggilan yang sah, maka proses pemeriksaan di persidangan tetap dilanjutkan dengan peradilan in absentia, yaitu persidangan tanpa commit to penuntut user kehadiran terdakwa. Dalam hal ini umum akan melawan “kursi
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
kosong”, karena kursi yang seharusnya diduduki oleh terdakwa tidak ada penghuninya. Berhubung terdakwa tidak hadir, maka terdakwa pun kehilangan hak-haknya untuk melakukan pembelaan di muka persidangan. Hal ini akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh penuntut umum dalam melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti yang dimilikinya guna meyakinkan hakim bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana, khususnya pencucian uang, dan dengan berdasarkan keyakinan hakim serta adanya alat-alat bukti dari penuntut umum, maka hakim pun akan menjatuhkan putusan berupa perampasan harta terdakwa yang untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam kas negara guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan terdakwa. Dalam hal terdakwa hadir di persidangan, maka proses pemeriksaan di pengadilan berjalan seperti pada umumnya. Kali ini, penuntut umum tidak lagi melawan “kursi kosong”, karena terdakwa hadir di persidangan. Berhubung terdakwa hadir di persidangan, terdakwa dibebani beban pembuktian terbalik, yaitu terdakwa harus membuktikan di muka persidangan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana. Hal ini sebagai imbas dari ketentuan pengaturan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Apabila terdakwa mampu membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana, maka hal itu akan menjadi bahan pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman terdakwa. Sebaliknya, apabila terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, maka hal itu pula akan menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana, khususnya pencucian uang. Meskipun pembuktian terbalik diterapkan secara berimbang, dalam arti penuntut umum tetap dibebani beban pembuktian, namun ketidakmampuan terdakwa dalam membuktikan harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana, dapat commit to user menjadi landasan yang kuat bagi hakim untuk menjatuhkan putusan
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
berupa perampasan harta terdakwa yang untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam kas negara guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan terdakwa. Mencermati uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu hasil analisis bahwa pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam pencucian uang memberikan kontribusi yang besar dan signifikan dalam pengembalian kerugian negara. Secara tidak langsung, pencucian uang dapat berakibat pada kerugian negara, yang dalam hal ini pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan (secondary crime). Dalil tersebut mengacu pada tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila tindak pidana asalnya adalah korupsi, maka hal itu jelas sangat merugikan negara. Bagaimanapun juga, pencucian uang dan korupsi sangat erat kaitannya. Sehingga apabila terdakwa melakukan korupsi, maka patut diduga terdakwa pasti juga melakukan pencucian uang. Oleh karena itu, diperlukan upaya luar biasa dalam memberantas pencucian uang. Bagi terdakwa yang melarikan diri atau telah meninggal dunia, proses pemeriksaan di persidangan dilakukan secara peradilan in absentia. Dan bagi terdakwa yang sanggup hadir di persidangan, maka yang bersangkutan dibebani beban pembuktian terbalik. Peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memiliki tujuan utama serta memberikan kontribusi yang sama, yaitu sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan terdakwa.
B. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik dalam Perkara Pencucian Uang di Indonesia 1.
Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dalam Perkara Pencucian Uang di Indonesia Money laundering atau pencucian uang merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Letak “luar biasa” tersebut bisa menyangkut beberapa aspek, mulai dari pelakunya, jaringannya, modus commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
operandinya,
hingga
akibat
yang
ditimbulkannya.
Namun,
pada
pembahasan kali ini akan lebih difokuskan pada pelakunya. Pencucian uang bukanlah jenis kejahatan yang biasa. Berhubung pencucian uang merupakan kejahatan luar biasa, maka sudah pasti pelakunya pun bukan orang sembarangan. Pelaku money laundering pastilah orang yang pintar, berilmu, serta memiliki keahlian dan kedudukan terpandang dalam bidangnya. Inilah sebabnya money laundering juga termasuk salah satu jenis kejahatan kerah putih atau sering disebut dengan white collar crime. Istilah “kerah putih” ini menunjukkan bahwa pelakunya merupakan seorang profesional dan memiliki keahlian di bidangnya. Perlu diketahui bahwa profesionalitas pelaku money laundering ini tidak hanya sebatas memiliki skill dalam bidangnya saja, tetapi juga memiliki keahlian lainnya dalam merencanakan atau mempersiapkan segala sesuatu setelah yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Misalnya, setelah pelaku berhasil melakukan pencucian uang, pelaku telah mempersiapkan segala rencana dan sarana untuk melarikan diri agar tidak ditangkap atau setidak-tidaknya sulit dilacak oleh aparat penegak hukum. Meskipun telah mengerahkan segala daya dan upaya, namun pada akhirnya aparat penegak hukum tidak mampu menangkap atau mengetahui keberadaan pelaku. Aparat penegak hukum tidak lantas hanya berdiam diri saja setelah gagal menangkap pelaku, karena dalam konteks ini negara telah mengalami kerugian akibat tindakan dari pelaku. Bagaimanapun juga, hukum harus tetap ditegakkan. Dan segala sesuatu yang hilang dari aset negara serta menimbulkan kerugian bagi negara, harus kembali lagi dalam genggaman negara. Berangkat dari fenomena itulah, maka timbul pengaturan mengenai peradilan in absentia, yaitu proses pemeriksaan di persidangan tanpa dihadiri oleh terdakwa. Dalam hal ini, terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah, setelah dilakukan pemanggilan secara sah kepada yang user pemeriksaan di persidangan tetap bersangkutan. Oleh karenacommit itulah, to proses
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilanjutkan dengan tanpa dihadiri oleh terdakwa. Hal ini tak lepas dari kondisi yang urgent, yaitu demi mengembalikan kerugian negara. Landasan hukum peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang terdapat pada Pasal 79 ayat (1), Pasal 79 ayat (3), dan Pasal 79 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya pengaturan peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang menunjukkan bahwa pengaturan tersebut memiliki landasan yang kuat untuk diterapkan dalam proses penanganan perkara pencucian uang. Pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga
dapat
membahayakan
sendi-sendi
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, pencegahan dan pemberantasan pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana, yang dalam hal ini salah satunya yaitu melalui pengaturan peradilan in absentia dalam penanganan perkara pencucian uang. Diperlukannya peradilan in absentia memang tak lepas dari urgensiurgensi
serta
alasan-alasan
yang
melatarinya.
Urgensi-urgensi
diperlukannya peradilan in absentia tersebut antara lain: a.
Sebagai upaya dalam mengembalikan kerugian negara Money laundering merupakan salah satu kejahatan luar biasa yang dapat mengakibatkan pada kerugian negara. Kerugian negara tersebut akan tetap terus ada walaupun pelaku money laundering melarikan diri. Hal itu jelas tidak dapat dibiarkan begitu saja. Aparat penegak hukum harus menemukan solusi untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindakan pelaku money laundering. Apabila aparat penegak hukum telah mengerahkan segala daya upaya untuk menemukan pelaku yang melarikan diri tetapi tetap tidak mampu commit to user menangkap pelaku, maka dalam proses pemeriksaan di persidangan
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan peradilan in absentia. Model persidangan in absentia dapat dijadikan klep/pengaman terhadap keterbatasan-keterbatasan aparat hukum yang tidak dapat menghadirkan pelaku money laundering di depan persidangan, karena yang bersangkutan melarikan diri. Hal ini sangat diperlukan dan bersifat urgent, mengingat perbuatan money laundering dari pelakunya dapat merusak kestabilan perekonomian negara serta menimbulkan dampak kerugian yang besar bagi negara. Oleh karena itu peradilan in absentia sangat penting guna mengembalikan kerugian negara akibat money laundering melalui proses pemeriksaan di persidangan guna melakukan perampasan harta terdakwa setelah adanya putusan hakim. b.
Sebagai upaya dalam menegakkan hukum meskipun terdakwa melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya Pelaku money laundering dapat menimbulkan dampak pada kerugian negara. Terhadap siapapun yang telah mengambil aset kekayaan negara ataupun menimbulkan kerugian negara, maka baginya harus dijatuhi hukuman yang setimpal. Hukuman tersebut adalah berupa perampasan harta kekayaan yang dimilikinya dan untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam kas negara guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan dari pelaku tersebut. Meskipun pelaku money laundering melarikan diri, proses pemeriksaan di persidangan harus tetap dilanjutkan setelah berkas perkara yang bersangkutan telah dilimpahkan ke pengadilan. Terdakwa yang melarikan diri, diadili secara in absentia. Hal ini sangat penting guna menegakkan aturan hukum bahwa siapa saja yang telah melakukan tindak pidana dan berakibat pada kerugian negara, maka harta kekayaan yang dimilikinya harus dirampas guna mengembalikan kerugian negara yang timbul. Dan proses perampasan harta pelaku tindak pidana harus melalui pemeriksaan di persidangan serta dengan putusan
hakim.
Oleh karena itu, aturan hukum mengenai commit to user pengembalian kerugian negara harus tetap ditegakkan meski pelaku
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
money laundering melarikan diri. Penegakan aturan hukum tersebut adalah melalui peradilan in absentia. c.
Adanya pergeseran paradigma dalam peradilan Pada umumnya, proses pemeriksaan di persidangan bertujuan untuk menegakkan hukum dan menghukum terdakwa dengan hukuman setimpal apabila terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, yang mengakibatkan makin berkembangnya pula bentuk-bentuk tindak pidana, maka kebutuhan dalam proses peradilan di tingkat pengadilan pun mengikuti arus perkembangan yang ada. Tidak dipungkiri bahwa kejahatan money laundering merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa yang modern, dalam artian teknik-teknik dan modus operandinya serba canggih serta tidak lepas dari pemanfaatan teknologi mutakhir. Selain teknik-teknik dan modus operandinya yang luar biasa, money laundering juga mengakibatkan hal yang luar biasa pula pada kerugian negara. Harta kekayaan pelaku money laundering, bisa jadi bersumber dari aset kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena money laundering ini bisa berdampak pada kerugian negara, maka penanganannya pun harus ditujukan untuk mengembalikan kerugian negara. Inilah letak dari pergeseran paradigma dalam peradilan. Mengingat begitu urgent terkait kerugian negara ini, maka dalam money laundering proses peradilannya mulai fokus pada pemulihan atau pengembalian kerugian negara, dan tidak lagi dicurahkan sepenuhnya pada pemberian hukuman bagi terdakwa. Hal ini penting karena aset kekayaan negara yang mengalami kerugian akibat perbuatan terdakwa merupakan harta negara yang digunakan untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, aspek upaya pengembalian kerugian negara jauh lebih penting daripada keperluan menghukum terdakwa seberat-beratnya. Apalagi to user dalam hal terdakwa commit melarikan diri, maka apabila aparat penegak
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum telah berusaha menangkap terdakwa tetapi tidak membuahkan hasil, proses pemeriksaan di persidangan tetap dapat dilanjutkan meski tanpa kehadiran terdakwa, yaitu dengan peradilan in absentia. Peradilan in absentia ini merupakan wujud nyata telah terjadinya pergeseran paradigma dalam dunia peradilan, yang dalam hal ini lebih difokuskan sebagai upaya pengembalian kerugian negara akibat perbuatan terdakwa daripada menjadikan peradilan tersebut sebagai sarana untuk menghukum terdakwa seberat-beratnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dinyatakan bahwa jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir di persidangan pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Peradilan in absentia itu ditujukan pada harta benda negara. Ide dasar peradilan in absentia dalam tindak pidana ekonomi yang diambil dari Belanda tersebut, dimaksudkan untuk segera menyelamatkan harta yang merupakan hasil tindak pidana. Berdasarkan uraian-uraian mengenai urgensi peradilan in absentia di atas, maka dapat ditarik suatu benang merah tentang perlunya peradilan in absentia dalam proses pemeriksaan di tingkat persidangan perkara pencucian uang pada intinya ialah sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan pelaku money laundering. Kerugian negara yang sudah timbul akibat perbuatan pelaku, harus tetap diupayakan pemulihannya, meskipun pelaku melarikan diri atau meninggal dunia. Peradilan in absentia menjadi sarana yang dapat ditempuh aparat penegak hukum untuk tetap terus melanjutkan pemeriksaan perkara pencucian uang apabila terdakwa melarikan diri atau telah meninggal dunia. Hal ini diperlukan
karena
dalam
hal
perampasan
harta
terdakwa
guna
mengembalikan kerugian negara, terlebih dahulu harus sudah ada putusan hakim. Sehingga meskipun terdakwa tidak hadir, aparat penegak hukum dapat terus melakukan pemeriksaan perkara pencucian uang hingga tingkat commit user yang untuk selanjutnya hakim persidangan dengan peradilan in to absentia
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
akan menjatuhkan putusan berupa perampasan harta terdakwa untuk dimasukkan ke dalam kas negara guna mengembalikan kerugian yang diderita oleh negara akibat perbuatan terdakwa.
2.
Urgensi Perlunya Pembuktian Terbalik dalam Perkara Pencucian Uang di Indonesia Pencucian uang atau money laundering dilakukan dengan berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit. Sehingga banyak perkara-perkara pencucian uang lolos dari pembuktian sistem KUHAP. Oleh karena itu pengaturan mengenai pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, diterapkan upaya hukum pembuktian terbalik. Pembuktian yang diterapkan dalam money laundering menganut dua sistem sekaligus, yaitu sistem Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian dilakukan dengan cara menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, serta yang menggunakan sistem pembuktian negatif menurut KUHAP. Jadi, tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, tetapi teori pembuktian terbalik terbatas atau berimbang. Kata-kata “terbatas atau berimbang” menunjukkan bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa harta kekayaan yang dimiliki terdakwa tidak berasal dari tindak pidana, hal itu tidak berarti harta kekayaan terdakwa tidak berasal dari tindak pidana, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Setelah terdakwa memberikan keterangan mengenai asal-usul harta kekayaannya, ditambah dengan pembuktian dari penuntut umum, maka hakim akan mempertimbangkan semuanya dan hakim akan menentukan pendapatnya. Apabila keterangan terdakwa terbukti benar bahwa harta kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana, maka commithal to yang user menguntungkan bagi terdakwa. keterangan itu dipakai sebagai
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Namun, jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang asal-usul harta kekayaan yang dimilikinya, maka keterangan itu dapat dipergunakan untuk menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan money laundering. Dalam money laundering terkait lebih dari satu jenis tindak pidana, yaitu kejahatan menghasilkan uang haram (misalnya korupsi) dan pencucian uang haram tersebut. Kualifikasi money laundering dirumuskan sebagai penempatan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan. Berdasarkan ketentuan ini maka adanya perbuatan korupsi tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup apabila ada pengetahuan atau dugaan bahwa uang haram tersebut berasal dari perbuatan korupsi, yaitu bila sudah terdapat bukti permulaan yang cukup (Edi Setiadi, 2010:148). Dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, ditegaskan bahwa di sidang pengadilan terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Perkataan “wajib” bagi terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana mengandung pengertian bahwa dalam undang-undang ini dianut sistem pembuktian terbalik. Di samping konsepsi pembuktian terbalik terdapat dalam berbagai instrumen hukum nasional, konsepsi pembuktian terbalik juga terdapat dalam instrumen hukum internasional, salah satunya adalah pada United Nations Conventions Against Transnational Organized Crime (UNCTOC) yang ditandatangani di Palermo, Italia, Desember 2000. UNCTOC bertujuan mempromosikan kerjasama untuk mencegah dan memerangi kejahatan terorganisir antarnegara (transnational organized crime). Selain utamanya mengatur perihal kejahatan transnasional terorganisir, di dalamnya diatur beberapa kriminalisasi atas beberapa perbuatan, yaitu delik
“turut-serta
dalam
sebuah
kelompok
organisasi
kriminal”
(participation in an organized criminal group) pada Pasal 5, delik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
“pencucian hasil kejahatan” (the laundering of proceeds of crime) pada Pasal 6, dan delik korupsi pada Pasal 8. Sedangkan Pasal 12 UNCTOC yang mengatur tentang Penyitaan dan Perampasan menetapkan bahwa negara-negara peserta harus mengadopsi tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk memudahkan penyitaan atas hasil-hasil kejahatan yang berasal dari tindak pidana yang dicakup dalam konvensi dan properti yang senilai yang berkaitan dengan hasilhasil kejahatan dimaksud, properti, perlengkapan atau instrumentalinstrumental lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk dipergunakan dalam tindak pidana yang dicakup dalam konvensi ini. Negara-negara peserta wajib mengadopsi tindakan-tindakan tersebut yang mungkin diperlukan untuk memudahkan identifikasi, pelacakan, pembekuan atau perampasan atas setiap hal yang dimaksud di atas yang pada akhirnya untuk tujuan penyitaan/perampasan. Apabila hasil dari kejahatan itu telah diubah bentuknya atau dikonversikan sebagian atau seluruhnya ke dalam properti lain, properti itu dapat dikenakan tindakan-tindakan sebagaimana tersebut dalam pasal ini sebagai pengganti hasil-hasil kejahatan (M. Akil Mochtar, 2009:183). Pasal 12 angka 7 UNCTOC berbunyi: “States Parties may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the principles of their domestic law and with the nature of the judicial and other proceedings.” (Negara peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mengharuskan bahwa seorang pelaku menunjukkan asal-muasal sah yang didakwa diduga merupakan hasil-hasil kejahatan atau properti lain yang dapat dikenakan penyitaan, sepanjang persyaratan tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip hukum nasionalnya dan dengan sifat dari yudisialnya dan hukum acara lainnya). Pasal tersebut menerapkan ketentuan sistem pembuktian terbalik yang menetapkan bahwa pelaku harus menunjukkan asal-usul yang sah dari sesuatu yang didakwa sebagai hasil kejahatan atau properti lain yang commit to user dapat dikenakan perampasan sejauh bahwa kewajiban itu adalah tidak
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum nasional dan prosedur hukum acara lainnya. Ketentuan yang bunyinya hampir sama terdapat dalam Pasal 31 angka 8 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)/ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, yaitu: “States Parties may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of such alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other proceedings.” (Negara peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mengharuskan bahwa seorang pelaku menunjukkan asal-muasal sah dari yang diduga didakwa merupakan hasil-hasil kejahatan atau properti lain yang dapat dikenakan penyitaan, sejauh bahwa kewajiban seperti itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya dan dengan sifat dan proses hukum acara lainnya). Ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia yang hampir serupa dengan pengaturan pada Pasal 12 angka 7 UNCTOC dan Pasal 31 angka 8 UNCAC tersebut di atas, adalah ketentuan Pasal 77 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi: Pasal 77 Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
Selanjutnya, mengingat Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention
Against
Corruption/UNCAC
2003
(Konvensi
Anti
Korupsi/KAK 2003) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 dan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime/UNCTOC 2000 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang to user 2000) melalui Undang-Undang Kejahatan Transnasional commit Terorganisir
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime 2000, maka ketentuan sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentu berdampak pada hukum pembuktian yang masih dilandaskan pada ketentuan dalam KUHAP. Selain itu, penggunaan sistem pembuktian terbalik merefleksikan terjadinya pergeseran dari penggunaan prinsip
Ultimum
Remedium
menjadi
Primum
Remedium
dalam
pemberantasan money laundering. Dalam prinsip Ultimum Remedium, hukum pidana tidak lagi digunakan apabila sarana-sarana lain telah berhasil dalam memberantas tindak pidana. Sebaliknya, dalam prinsip Primum Remedium, hukum pidana dikedepankan sebagai sarana utama dalam memberantas tindak pidana pada umumnya, dan money laundering pada khususnya. Hal ini mengingat telah terjadi perubahan paradigma tentang money laundering dari hanya sebagai salah satu jenis kejahatan menjadi kejahatan yang cara pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa sebab kerugian yang ditimbulkan oleh money laundering tidak saja merugikan keuangan negara tetapi juga telah merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Selain itu, dunia melalui UNCAC 2003 dan UNCTOC 2000 sangat prihatin atas seriusnya masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh money laundering terhadap stabilitas negara yang dapat melemahkan pembangunan berkelanjutan. Ditinjau dari fungsinya, penerapan pembuktian terbalik mempunyai fungsi kontrol sosial berupa apa yang harus dan apa yang jangan dilakukan. Hal ini dimaknai bahwa seseorang dalam upaya memiliki harta kekayaannya harus melalui suatu cara perolehan yang wajar, jujur, dan bersih. Apabila hal ini dilanggar maka perintah penerapan pembuktian terbalik
atas
harta
kekayaannya
segera
diberlakukan.
Penerapan
pembuktian terbalik juga mempunyai fungsi sebagai penyelesaian sengketa terhadap suatu harta kekayaan tertentu. Apabila dapat dijelaskan commitmelalui to usercara-cara yang wajar maka harta bahwa perolehannya ditempuh
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
kekayaan tersebut tetap menjadi milik yang memberikan penjelasan. Namun, apabila tidak dapat dijelaskan bahwa perolehan harta kekayaan itu melalui cara-cara yang wajar maka negara dalam hal ini dapat melakukan perampasan. Pemberlakuan pembuktian terbalik juga mempunyai fungsi rekayasa sosial (social engineering), yaitu kebijakan sosial yang direncanakan untuk memudahkan pembuktian kasus-kasus penyuapan/ korupsi, serta untuk memulihkan kerugian keuangan/perekonomian negara akibat terjadinya pencurian, penggelapan dan korupsi melalui prosedur yang terlegitimasi, bahkan terhadap harta kekayaan yang merupakan hasil suatu tindak pidana (money laundering) dimungkinkan untuk dapat dikembalikan kepada pemiliknya yang sah. Pembuktian terbalik juga mempunyai fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance) yaitu menjaga atau berupaya agar pencapaian kesejahteraan masyarakat dapat terus terwujud dan pemberantasan terhadap hambatan-hambatannya seperti perilaku korupsi dapat diberantas atau setidaknya diminimalisir (M. Akil Mochtar, 2009:192-193). Tujuan diterapkannya pembuktian terbalik dalam perkara money laundering adalah agar tujuan preventif dan efek jera diharapkan terpenuhi. Tujuan preventifnya jelas, yaitu agar money laundering tidak terjadi lagi di masa mendatang. Sedangkan tujuan pemberian efek jera kepada pelaku, dapat dipahami bahwa money laundering merupakan perbuatan yang mencederai diri sendiri secara berat karena resiko yang diterima jauh lebih besar, yaitu hukumannya sangat berat dan resiko tersebut cepat datangnya, karena dengan adanya penerapan pembuktian terbalik. Sementara itu kemanfaatan yang akan dinikmati dari money laundering kemungkinan besar tidak akan diperoleh. Hal ini karena harta kekayaannya akan segera disita, dirampas, atau dikembalikan. Dengan demikian kerugian/perekonomian negara yang terganggu dapat segera dipulihkan. Pembuktian terbalik juga memiliki pergeseran paradigma dalam hal to userDalam hukum pidana formil pada beban pembuktian dalam commit persidangan.
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
umumnya yaitu sesuai yang tercantum dalam KUHAP, disebutkan bahwa siapa yang mendakwa, maka pihak itulah yang membuktikannya dalam persidangan. Sedangkan pembuktian terbalik memiliki konsep yang berbeda dengan KUHAP, yaitu dalam hal ini posisi terdakwa sebagai pihak yang didakwa, juga dibebani beban pembuktian di persidangan. Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana. Namun, penerapan pembuktian terbalik tidak dilakukan secara absolut, tetapi secara terbatas atau berimbang, sesuai dengan asas shifting of burden proof. Dikatakan terbatas atau berimbang, karena tidak hanya terdakwa yang diberikan beban pembuktian, tetapi penuntut umum selaku pihak yang mendakwa juga tetap wajib melakukan pembuktian. Meskipun tidak diterapkan secara absolut, pembuktian terbalik merupakan suatu bukti adanya pergeseran paradigma dalam hal beban pembuktian di persidangan. Semula hanya penuntut umum yang melakukan beban pembuktian, kini beban tersebut dibagi juga kepada terdakwa. Hal ini sangat penting mengingat terdakwa telah melakukan money laundering yang termasuk kategori kejahatan luar biasa serta berimbas pada kerugian negara. Sehingga pembuktian terbalik dapat menjadi salah satu sarana ampuh dalam mengembalikan kerugian negara dengan melalui perampasan harta kekayaan terdakwa untuk dimasukkan ke dalam kas negara guna menutupi aset yang telah hilang dalam kekayaan negara. Diterapkannya pembuktian terbalik, sebenarnya juga tidak lepas dari adanya suatu “suspicious” atau “kecurigaan” dari aparat penegak hukum kepada terdakwa. Terdakwa dicurigai telah mengambil aset kekayaan negara, yang untuk selanjutnya aset tersebut kemudian dilakukan pencucian. Berawal dari dalil tersebut, maka aparat penegak hukum melakukan terobosan dalam hal pemanfaatan pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik dinilai sebagai suatu “jaminan” agar dapat dilakukan penyitaan atau perampasan terhadap harta kekayaan terdakwa yang patut user diduga berasal dari tindakcommit pidana,tokhususnya melakukan penyelewengan
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhadap aset kekayaan negara. Perampasan terhadap harta kekayaan negara tentu tidak akan dapat dilakukan tanpa adanya putusan hakim terlebih dahulu. Sedangkan hakim dapat menjatuhkan putusan dengan adanya minimal dua alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim. Untuk alat bukti, hal itu menjadi tanggung jawab penuntut umum. Sedangkan untuk keyakinan hakim, didasarkan pada penilaian hakim selama persidangan. Dalam hal penilaian hakim ini, salah satunya didasarkan pada pembuktian terbalik. Penerapan pembuktian terbalik inilah yang nantinya akan menjadi salah satu bahan pertimbangan hakim guna mencapai keyakinannya dalam menjatuhkan putusan. Disinilah letak pembuktian terbalik sebagai “jaminan” agar dapat dilakukan perampasan harta kekayaan terdakwa. Pembuktian terbalik mempunyai sumbangsih dalam memberikan keyakinan hakim untuk menjatuhkan putusan berupa perampasan harta kekayaan terdakwa yang untuk selanjutnya digunakan untuk mengembalikan kerugian negara. Mencermati dari berbagai uraian di atas, maka pembuktian terbalik merupakan suatu hal yang urgent untuk diterapkan dalam pemeriksaan perkara money laundering di persidangan. Adanya pergeseran paradigma dalam hal pemberian beban pembuktian yang semula hanya diemban penuntut umum, kini juga dibagi kepada terdakwa, menunjukkan betapa pentingnya penyelesaian sengketa yang menyangkut persoalan harta kekayaan.
Pelaku
money
laundering
yang
patut
diduga
telah
menyelewengkan aset kekayaan negara, perlu ditindaklanjuti dengan tindakan yang luar biasa untuk dilakukan perampasan terhadap harta kekayaannya, yaitu dengan pembuktian terbalik. Tujuan perampasan harta kekayaan terdakwa tersebut adalah untuk dikembalikan ke kas negara guna menutupi kerugian negara yang telah ada. Bagaimana pun, aset kekayaan negara harus tetap utuh dan kerugian negara harus dipulihkan. Karena kekayaan negara itulah yang nantinya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian, maka dapat diambil simpulan dan saran sebagai berikut:
A. Simpulan 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki kontribusi yang signifikan mengenai konsep pengembalian kerugian negara akibat pencucian uang. Letak kontribusi pengembalian kerugian negara akibat pencucian uang terdapat pada pengaturan mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang terdapat pada pasal-pasal berikut: a.
Pasal 68 “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.” Pasal ini secara tersirat memiliki kontribusi dalam pengembalian kerugian negara, yaitu dengan disebutkannya ketentuan bahwa beberapa hal mengenai proses pemeriksaan perkara pencucian uang terdapat halhal yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini. Hal ini mengingat urgensi dari pemberantasan pencucian uang yang merupakan kejahatan luar biasa serta adanya peran undang-undang ini dalam mengupayakan pengembalian kerugian negara akibat pencucian uang.
b.
Pasal 69 “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.” Rumusan ketentuan ini merupakan cerminan dari Pasal 20 dan Pasal 31 commit to user ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang dalam hal ini kata kunci 63
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya yang sah, bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan terdakwa dan tindak pidana yang telah dilakukannya, sehingga tidak perlu terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya. Dengan adanya ketentuan ini, maka dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 telah memahami sungguh-sungguh semangat, jiwa, serta makna di balik Pasal 20 dan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi, sehingga dengan demikian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam menyelamatkan keuangan negara secara signifikan. c.
Pasal 77 “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Pasal ini merupakan pasal yang mengatur mengenai penerapan pembuktian terbalik di persidangan dalam perkara pencucian uang. Dalam hal ini, terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana. Apabila terdakwa mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana, maka hal itu dapat menjadi bahan pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman bagi terdakwa. Sebaliknya, apabila terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, maka hal itu dapat menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana, khususnya pencucian uang, serta dapat memperkuat posisi tuntutan penuntut umum. Pembuktian terbalik merupakan upaya luar biasa dalam proses pemeriksaan di persidangan, hal ini patut diterapkan dalam perkara pencucian uang, mengingat pencucian uang merupakan jenis kejahatan yang luar biasa pula. Harta kekayaan milik terdakwa to user bukan tidak mungkincommit berasal dari kekayaan negara yang telah
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
dikorupsi, karena korupsi dan pencucian uang ibarat mata uang, saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 melalui pasal ini mengatur ketentuan tentang pembuktian terbalik yang sifatnya “compulsory”, yaitu dalam proses pemeriksaan di persidangan, terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana. Hal ini sebagai upaya dalam memberantas pencucian uang, serta untuk mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan dari terdakwa. d.
Pasal 78 (1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Pasal ini, baik dalam ayat (1) maupun ayat (2) mengatur mengenai langkah-langkah dan prosedur bagi terdakwa dalam melakukan pembuktian terbalik. Jadi, pasal ini dapat dikatakan sebagai rangkaian tentang penerapan pembuktian terbalik dalam proses pemeriksaan perkara pencucian uang di tingkat persidangan yang merupakan salah satu upaya guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan terdakwa.
e.
Pasal 79 ayat (1): “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.” Letak kontribusi pasal ini terhadap konsep pengembalian kerugian negara adalah bahwa pengaturan ini dimaksudkan guna mempercepat proses pemeriksaan perkara pencucian uang di pengadilan. Apabila terdakwa tidak diketahui keberadaannya meskipun sudah dilakukan commit user upaya pencarian, maka guna tomemperlancar proses pemeriksaan di
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
persidangan, dapat tetap dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Hal ini mengingat urgensi yang ditimbulkan akibat pencucian uang sebagai kejahatan luar biasa yang telah merugikan negara, sehingga proses pemeriksaan di persidangan pun perlu dituntaskan secepat mungkin guna memulihkan kerugian negara yang telah ada. f.
Pasal 79 ayat (3): “Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.” Letak kontribusi pasal ini terhadap konsep pengembalian kerugian negara adalah bahwa meskipun terdakwa pencucian uang tidak hadir dalam persidangan, proses pemeriksaan perkaranya tetap dapat dilanjutkan hingga tahap paling akhir atau tahap penjatuhan putusan. Putusan
tersebut
kemudian
dipublikasikan
agar
publik
dapat
mengetahui bahwa kerugian negara akibat pencucian uang dapat segera dipulihkan setelah adanya putusan tersebut. g.
Pasal 79 ayat (4): “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.” Letak kontribusi pasal ini terhadap konsep pengembalian kerugian negara adalah bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan negara.
2. Landasan hukum peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang terdapat pada Pasal 79 ayat (1), Pasal 79 ayat (3), dan Pasal 79 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya pengaturan peradilan in absentia dalamcommit perkara uang menunjukkan bahwa to pencucian user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengaturan tersebut memiliki landasan yang kuat untuk diterapkan dalam proses penanganan perkara pencucian uang. Peradilan in absentia tersebut ditujukan pada aset kekayaan negara. Urgensi peradilan in absentia dimaksudkan untuk segera menyelamatkan harta yang merupakan hasil tindak pidana. Sementara itu, dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, ditegaskan bahwa di sidang pengadilan terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Perkataan “wajib” bagi terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana mengandung pengertian bahwa dalam undang-undang ini dianut sistem pembuktian terbalik. Adanya pergeseran paradigma dalam hal pemberian beban pembuktian yang semula hanya diemban penuntut umum, kini juga dibagi kepada terdakwa, menunjukkan betapa pentingnya penyelesaian sengketa yang menyangkut persoalan harta kekayaan. Pelaku money laundering yang patut diduga telah menyelewengkan aset kekayaan negara, perlu ditindaklanjuti dengan tindakan yang luar biasa untuk dilakukan perampasan terhadap harta kekayaannya, yaitu dengan pembuktian terbalik. Urgensi perampasan harta kekayaan terdakwa melalui pembuktian terbalik tersebut adalah untuk dikembalikan ke kas negara guna menutupi kerugian negara yang telah ada.
B. Saran 1. Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam memberantas dan menanggulangi pencucian uang, ketentuan mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam peraturan mengenai money laundering atau pencucian uang perlu diatur lebih lanjut, lebih detail, dan lebih mendalam pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang money laundering tersebut. Hukum acara mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik perlu dipertimbangkan pula untuk diterapkan pada segala jenis kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Guna memaksimalkan pencegahan dan pemberantasan money laundering, perlu diatur melalui hukum acara yang bersifat khusus dengan memuat substansi: a.
Mewajibkan kepada hakim untuk menerapkan hukum pembuktian terbalik terhadap terdakwa;
b.
Memberlakukan sebuah standar khusus pembuktian terbalik dengan menekankan pada penerapan asset recovery, dengan prioritas ditujukan kepada harta kekayaan dan bukan pada diri pribadi terdakwa. Dengan kata lain, penekanan kepada pemulihan kerugian akibat perbuatan terdakwa dan bukan penghukuman terhadap diri terdakwa;
c.
Mengatur secara lebih detail mengenai mekanisme penyitaan, pembekuan, dan perampasan terhadap aset kekayaan terdakwa yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana.
commit to user