EFIKASI PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN (PMT) BISKUIT DIPERKAYA DENGAN TEPUNG PROTEIN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus), ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN PROBIOTIK Enterococcus faecium IS-27526 YANG DIMIKROENKAPSULASI PADA BALITA ( 2-5 TAHUN) BERAT BADAN RENDAH
ANNIS CATUR ADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Efikasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Biskuit Diperkaya dengan Tepung Protein Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), Isolat Protein Kedelai dan Probiotik Enterococcus faecium IS-27526 yang Dimikroenkapsulasi pada Balita (2-5 Tahun) Berat Badan Rendah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2010
Annis Catur Adi NIM I 162070011
ABSTRACT ANNIS CATUR ADI. Efficacy of Biscuit Enriched with the Catfish Protein Flour (Clarias gariepinus), Soy Protein Isolate and Enterococcus faecium IS-27526 Microencapsulated Probiotic as a Supplementary Food on Underweight Underfive Children (2-5 years old). Under supervised by CLARA M. KUSHARTO, SRI ANNA MARLIYATI and INGRID S. SURONO PEM and infectious diseases among under-five children were exist a serious problem which required immediate efforts to overcome. (Riskesdas, 2007). Analysis by Atmarita et al (2006) using SUSENAS data (1989-2005) showed that PEM among children was mainly determined by economic factors, mother education, food availability and infections. The objective of study was to analyze the efficacy of biscuit enriched with catfish protein flour (Clarias gariepinus), soy protein isolate and E. faecium IS27526 microencapsulated probiotic at a dose 108 cfu/day on nutritional status, humoral immune response (sIgA) and morbidity of underweight under-five children. A human intervention study with duration 90 days supplementation biscuit enriched with catfish protein flour (Clarias gariepinus), soy protein isolate and E. faecium IS-27526 probiotic was conducted in Sukabumi District, West Java. The study was applied a Pre-post Randomized Double Blind Placebo Controlled Trial. Initially, there were 5 groups with 18 children each (P0 = control biscuit with control cream; P1 = catfish protein flour and soy protein isolate biscuit with control cream; P2 = control biscuit with probiotic cream; P3 = catfish protein flour and soy protein isolate biscuit with probiotic cream (everyday) and P4 = catfish protein flour and soy protein isolate biscuit with probiotic cream (every two days). Seven children were dropped out during the treatment, therefore, only 83 children were fulfilled the criteria for analysis. Ethical approval was obtained from Research and Development Board of Indonesian Ministry of Health. The results showed that after 90 days supplementation, the compliance of biscuit consumption was relatively high (82.8%). Delta WAZ among functional biscuit groups P3 (0.309 ± 0.3) and P4 (0.216 ± 0.3) were significantly higher than control group (P0) and other groups, P1 and P2 (p<0.05). However, HAZ and WHZ among functional biscuit groups and other groups were not significantly different. Delta fecal secretory IgA concentration of functional biscuit groups P3 (0.963 ± 0.8 µg/g) and P4 (0.740 ± 0.4 µg/g) were significantly higher than control (P0) and others groups P1 and P2 (p<0.05). Significantly lower episode of diarrhea (2.17 times/4 months) was observed among all treatment groups (P1, P2, P3, and P4). Probability for reduction of diarrhea episode (<1.64 times/4 months) was 63.48% among functional biscuit groups (P2, P3 and P4), and 51.62% among a high protein biscuit group (P1). No adverse effect was observed during 90 days of supplementation. As a conclusion, supplementation of functional biscuit (biscuit enriched with catfish flour protein (Clarias gariepinus), soy protein isolate and E. faecium IS-27526 microencapsulated probiotic is safe for young children and have a beneficial effect, i.e. improve nutritional status (WAZ), modulate humoral immune response (sIgA), and reduce diarrhea episode) among under-five children. Key words: biscuit, WAZ, sIgA, morbidity, under-five children
RINGKASAN ANNIS CATUR ADI. Efikasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Biskuit Diperkaya dengan Tepung Protein Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), Isolat Protein Kedelai dan Probiotik Enterococcus faecium IS27526 yang Dimikroenkapsulasi pada Balita (2-5 Tahun) Berat Badan Rendah. Dibimbing oleh : CLARA M. KUSHARTO, SRI ANNA MARLIYATI dan INGRID S SURONO Masalah gizi kurang pada balita bukanlah merupakan hal yang baru, namun masalah ini tetap aktual, dicerminkan adanya peningkatan prevalensi KEP di daerah kantong kemiskinan. Kondisi ini diperparah dengan adanya bencana alam diberbagai daerah. Laporan Riskesdas (Depkes 2008) menunjukkan di Indonesia periode 2005-2007, telah terjadi perbaikan status gizi balita melampaui target pembangunan jangka menengah (20%), namun masih belum merata dan bahkan masih terdapat 19 propinsi dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang masih cukup tinggi. Lebih lanjut menurut Jalal (2009) berat badan rata-rata anak balita Indonesia setelah usia 6 bulan, semakin bertambah umur, semakin menjauh dari berat badan rata-rata rujukan WHO 2005. Menggunakan nilai rata-rata Z_skor semakin bertambah umur, tinggi badan anak Indonesia juga semakin menjauhi standar WHO. Disisi lain, Riskesdas (Depkes 2008) melaporkan bahwa di Indonesia penyakit ISPA (>35%) dan diare (16.7%) tertinggi pada usia balita, demikian juga penyebab kematian balita adalah diare dan pnemonia. Menurut Tomkins (2002) masalah kurang gizi merupakan faktor penyebab utama tingginya penyakit infeksi dan menurut WHO dan UNICEF hampir 60% kematian anak diasosiasikan dengan gizi kurang. Program intervensi dalam bentuk makanan tambahan bergizi dan sekaligus upaya penguatan imunitas tubuh balita perlu mendapat perhatian serius agar anak balita tidak mudah jatuh ke keadaan kurang gizi dan mudah sakit. Pengadaan PMT balita selama ini masih terfokus pada kandungan zat gizi konvensional saja dan belum memperhatikan potensi fungsional. Hasil Evaluasi WFP dan FKM UNAIR (2008) menunjukkan PMT biskuit memiliki daya terima yang baik pada balita, sedangkan Boobier et al. (2006) biskuit konvensional yang tinggi lemak dan gula diasosiasikan diet tidak sehat, namun dapat dimodifikasi menjadi produk fungsional. Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan protein ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium IS27526 terhadap peningkatan status gizi, respon imun humoral (sIgA) dan morbiditas balita berat badan rendah (BBR). Penelitian ini merupakan penelitian ekspeimental dengan desain Randomized Controlled Trial (RCT) Double Blind Pre-post study. Penelitian di masyarakat dilakukan mulai Juni hingga September 2009 di 4 wilayah kerja Puskesmas di Kabupaten Sukabumi yaitu Kadudampit, Warungkiara, Bantargadung dan Cikakak. Contoh (unit penelitian) adalah anak balita berusia 2-5 tahun dengan berat badan rendah (nilai Z_skor BB/U < -2 SD) di 4 wilayah Puskesmas terpilih di Kabupaten Sukabumi, dengan kriteria inklusi yaitu sehat (tidak menderita infeksi sekunder), tidak alerqi berat, tidak mengkonsumsi antibiotik,sedangkan kriterIa eksklusi yaitu: mempunyai kelainan kongenital/cacat bawaan dan menerima PMT yang serupa dari penelitian atau program PMT lain. Terdapat 5 perlakuan penelitian yaitu kelompok P0 (kontrol) yaitu 18 anak balita mendapat
makanan biskuit biasa dan krim non probiotik (Bbs+KnP); kelompok P1 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit tinggi protein dan krim non probiotik (Btp + KnP); kelompok P2 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit biasa dan krim probiotik (Bbs + KP); kelompok P3 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit tinggi protein dan krim probiotik secara rutin tiap hari (Btp + KP rutin) dan kelompok P4 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit tinggi protein dan krim probiotik selang 1 hari dengan krim non probiotik (Btp dan Kp/KnP). Paket intervensi yang diberikan berupa 50 gram biskuit selama 90 hari. Jumlah awal balita contoh 90, namun pada akhir intervensi terdapat 7 balita contoh yang DO (drop out) sehingga total contoh yang memenuhi kriteria pada akhir intervensi adalah 83 balita. Metode pengukuran parameter penelitian meliputi: 1) Data konsumsi menggunakan metode recall 24 jam dan metode qualitative FFQ; 2) Status gizi yang diukur secara antropometri; 3) Morbiditas dengan metode wawancara keluhan sakit dan 4) Analisis sIgA feses menggunakan sandwich ELISA dan identifikasi mikrobiota dengan metode PCR. Analisis statistik t-test berpasangan untuk menganalisis perbedaan dalam kelompok dan One away Anova untuk perbedaan antar kelompok. Persetujuan Ethical clearance diperoleh dari Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, dengan Nomor: LB.03.04/KE/1008/2009 Biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium IS-27526 (biskuit fungsional) sebagai makanan tambahan (PMT) memiliki daya terima sensoris yang tinggi dengan porsi (50 g per hari) sesuai kemampuan konsumsi balita (2-5 tahun). Tingkat kepatuhan mengkonsumsi selama 90 hari intervensi tergolong tinggi dengan rerata 82.85 %. Cara mengkonsumsi biskuit bervariasi dan hingga akhir intervensi tidak ditemukan efek samping. Tingkat konsumsi energi balita pada awal intervensi sebagian besar tergolong defisit (<70% AKE), sedangkan pada akhir intervensi pada kelompok kontrol (P0) maupun kelompok perlakuan (P2 dan P3) terjadi peningkatan bermakna (p<0.05). Tingkat konsumsi protein balita pada awal intervensi sebagian besar sudah tergolong cukup (>90% AKP) dan pada akhir intervensi terjadi peningkatan bermakna semua kelompok perlakuan P1,P2,P3, dengan peningkatan tertinggi adalah kelompok biskuit fungsional dengan krim probiotik secara rutin (P3). Hasil uji anova menunjukan tidak ada beda (p>0.05) tambahan kontribusi energi antar kelompok dari biskuit, namun sebaliknya terdapat beda bermakna kontribusi protein dari konsumsi biskuit antar kelompok (p<0.05), dengan kontribusi terbesar kelompok P3 (20.9% AKE dan 42.9% AKP). Pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi dosis 108 cfu/hari rutin maupun selang 1 hari dapat meningkatkan balita yang positif teridentifikasi Bifidobakteria dan Enterococcus faecium, sedangkan pemberian biskuit kontrol dan krim probiotik hanya mampu mempertahankan balita yang positif teridentifikasi Bifidobakteria dan Enterococcus faecium. Pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik rutin (P3) maupun selang 1 hari (P4) dapat meningkatkan berat badan (0.783 ± 0.4 g & 0.631 ± 0.3 g) dan Z_skor BB/U (0.309 ± 0.3 & 0.216 ± 0.3) secara bermakna (p<0.05), sedangkan pemberian biskuit yang diperkaya dengan protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai tanpa probiotik cenderung dapat meningkatkan berat badan dan Z_skor BB/U namun tidak bermakna. Peningkatan BB dan Z_skor BB/U tertinggi terdapat pada kelompok biskuit yang diperkaya dengan protein ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), isolat protein kedelai dan krim probiotik Enterococcus faecium IS-27526 rutin. Terdapat kecenderungan peningkatan tinggi badan serta
Z_skor TB/U dan BB/TB pada semua kelompok perlakuan, namun tidak bermakna (p> 0.05). Pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik (P3 & P4) dapat meningkatkan sIgA (0.963±0.8 µg/g & 0.740±0.4 µg/g) secara bermakna (p<0.05), sedangkan pemberian biskuit yang diperkaya dengan protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai tanpa probiotik dapat meningkatkan sIgA namun tidak bermakna. Peningkatan sIgA feses terbesar terdapat pada kelompok biskuit. yang diperkaya protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan krim probiotik rutin (P3). Peningkatan sIgA lebih besar terjadi pada balita dengan status gizi kurang di awal intervensi dibanding balita status gizi buruk. Pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik maupun tidak, mampu menurunkan episode diare (2.17 kali/4 bulan) secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol, namun cenderung belum mampu menurunkan episode ISPA balita berat badan rendah (BBR). Probabilitas.penurunan episode diare (< 1.64 kali/4 bln) balita yang mendapat perlakuan biskuit yang diperkaya dengan protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik sebesar 63.48%. Pemberian PMT biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik (biskuit fungsional) lebih efektif diberikan pada balita dengan status gizi awal tergolong kurang (Z_skor -2 -3 SD BB/U), sedangkan balita dengan status gizi awal tergolong buruk (Z_skor < -3SD BB/U) lebih efektif diberikan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai tanpa probiotik untuk pemulihan defisiensi gizi terlebih dahulu. Pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik E. faecium IS27526 selama 90 hari dengan porsi 50 gram per hari mampu untuk penanggulangan wasting pada balita. Biskuit fungsional terbukti tidak ada efek samping untuk balita (2-5 tahun), sehingga sangat memungkinkan dapat juga dikonsumsi oleh kelompok usia lain seperti orang lanjut usia, anak usia pra sekolah maupun usia sekolah serta sebagai alternatif makanan darurat.. Biskuit yang diperkaya dengan protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik mendatang memungkinkan disubstitusi dengan pangan lokal terutama umbi-umbian dan buah berpati yang berpotensi sebagai prebiotik. Kata kunci : biskuit, BB/U, sIgA, morbiditas, balita BBR
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFIKASI PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN (PMT) BISKUIT DIPERKAYA DENGAN TEPUNG PROTEIN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus), ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN PROBIOTIK Enterococcus faecium IS-27526 YANG DIMIKROENKAPSULASI PADA BALITA ( 2-5 TAHUN) BERAT BADAN RENDAH
ANNIS CATUR ADI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 10
Penguji pada Ujian Tertutup
: Dr. Ir. Budi Setyawan, M.S. Dr. Ir. Evy Damayanti, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka
: Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S. Dr. Makmur Sunusi
Judul Disertasi : Efikasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Biskuit Diperkaya dengan Tepung Protein Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), Isolat Protein Kedelai dan Probiotik Enterococcus faecium IS27526 yang Dimikroenkapsulasi pada Balita (2-5 Tahun) Berat Badan Rendah Nama : Annis Catur Adi NIM
: I 162070011
Disetujui Komisi Pembimbing
Porf. Dr. Clara M. Kusharto, M,Sc. Ketua
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si.
Dr. Ir. Ingrid S. Surono, M.Sc.
Anggota
Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Gizi Manusia
Drh. M.Rizal M. Damanik,M.Rep.Sc.Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,M.S.
Tanggal Ujian : 15 Nopember 2010
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan segala karuniaNya sehingga perjalanan panjang studi dan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Terima kasih dengan tulus dan rendah hati penulis sampaikan kepada komisi pembimbing yang diketuai Prof Dr Clara M. Kusharto,M.Sc karena bimbingan dan nasehat beliau dalam pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi. Beliau adalah teladan kegigihan, dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau selalu meluangkan waktu untuk saya berkonsultasi serta selalu memberikan motivasi dan semangat ketika menghadapi masalah dan kendala.. Ucapan terima terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir Sri Anna Marliyati,M.Si. dan Dr Ir. Ingrid S Surono,M.Sc yang telah banyak membimbing dan memberikan dorongan moril yang tidak ternilai. Beliau adalah teladan dalam kesabaran dan ketelitian. Beliau berdua juga selalu meluangkan waktu dan membimbing dengan sabar,teliti dan ikhlas sehingga memacu saya untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Budi Setyawan, MS dan Dr. Ir. Evy Damayanti, MS sebagai dosen penguji pada ujian tertutup serta Dr Makmur Sunusi (Dirjen Yanrehsos Kemensos RI) dan Prof Dr Ir Hardinsyah,MS (Guru besar FEMA IPB) sebagai penguji diluar komisi pada ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan-masukan yang sangat berharga dalam melengkapi disertasi ini. Kepada Rektor Unair dan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor dan Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS, penulis ucapkan terima kasih. Kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi beserta staf Gizi dan Promkes, Kepala Puskesmas Kedudampit, Warungkiara, Bantargadung dan Cikakak beserta staf yang telah bersedia menerima, mengijinkan dan membantu pelaksanaan penelitian dilapangan diucapkan terima kasih. Tak lupa disampaikan terima kasih kepada ibu dan bapak kader posyandu di wilayah Puskesmas Kadudampit, Warungkiara, Bantargadung dan Cikakak. Kepada anak balita beserta orangtua/pengasuh yang telah bersedia dengan sukarela turut berpartisipasi dalam penelitian sebagai balita contoh hingga akhir kegiatan intervensi disampaikan terima kasih dan semoga Allah SWT melimpahkan pahala bagi mereka semua. Kepada Ir Susi Desminarti,MSi dan keluarga, yang telah bersedia dengan sukarela membantu menjadi pengkode dan sekaligus rumahnya menjadi tempat penampungan sementara biskuit fungsional hingga akhir intervensi, disampaikan terima kasih dan mohon maaf selama 3 bulan lebih telah terganggu
kenyamanannya karena adanya tumpukan dos-dos biskuit. Semoga Allah SWT melimpahkan pahala yang setimpal. Kepada Bapak Saad dan keluarga (Saad Bakery & Cake) yang telah bermitra dan membantu pengadaan biskuit selama penelitian; Ir Darti Nurani, M.Sc (Laboratorium Mikrobiologi ITI, Serpong Tangerang), drh Rachmad Adjie.,M.Si (Balivet, Cimanggu Bogor), Dr.drh Sri Murtini, MS dan Shelin (Laboraturium Mikrobiologi Medik FKH IPB), Bapak Heru (Laboratorium Formulasi Kimia Farma Bandung) dan Mashudi (Lab Gizi Dept Gizi Masyarakat) yang telah banyak membantu kegiatan-kegiatan dilaboratorium disampaikan terima kasih. Semoga Allah SWT melimpahkan pahala dan memberikan balasan setimpal untuk semua kebaikannya. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada adik-adik Imma, Rini, Nien, Silla, Fitri, Denta, Sisi yang telah banyak membantu persiapan hingga pengumpulan data akhir dilapangan. Semoga Allah SWT melimpahkan pahala dan memberikan balasan setimpal untuk semua kebaikanya Kepada Prodi Ilmu Gizi Manusia dan seluruh dosen pengajar yang telah membekali ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh studi diucapkan terima kasih. Tidak lupa, hormat takzim dan ucapan terima kasih disampaikan kedua orangtua tercinta Bapak Ibu Soentoyo S. Adi dan Ayah Ibu mertua dr Syahrul Syaibi, SKM yang telah membimbing dan mendoakan dengan ikhlas mengiringi penulis menyelesaikan pendidikan tertinggi ini. Kepada isteri tercinta Fariani Syahrul, SKM, MKes berkat doa, kesabaran dan pengorbanan yang tiada tara dan ketiga anak-anakku: Bitta, Rissa dan Tisha yang penuh kasih sayang, pengertian dan doanya selama penulis menempuh pendidikan. Sikap itulah yang menjadi motivasi terbesar penulis terutama dalam menghadapi tekanan-tekanan dan tantangan serta mempercepat penyelesaian studi. Tak lupa juga penulis sampaikan kepada seluruh sanak saudara atas segala doa, dorongan dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada teman–teman seangkatan GMA 2007 serta adik dan kakak angkatan GMA yang telah memberi support, berbagi rasa suka duka dan saling membantu dalam rangkaian penyelesaian panjang studi. Masih banyak nama yang telah berjasa yang tidak sempat disebutkan satu per satu atas pernyelesaian studi ini, diucapkan terima kasih yang dalam. Kepada mereka semuanya, semoga amalan dan kebaikan dicatat sebagai amal shaleh. Amin. Smoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2010
Annis Catur Adi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 1 Maret 1969 sebagai anak keempat dari pasangan Suntoyo S Adi dan Miswati. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Faperta IPB, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa CHN-III Dikti Depdiknas dan menamatkan pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada program studi Ilmu Gizi Manusia pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana program doktor (S3) BPPS diperoleh dari Kementerian Pendidikan Nasional. Penulis mulai bekerja sebagai staf pengajar di Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran Airlangga tahun 1994-1996, dan mulai tahun 1996 menjadi staf pengajar di Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Airlangga, Surabaya. Penulis dipercaya sebagai Sekretaris Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat FKM Unair tahun 1998 – 2001 dan sebagai Ketua Departemen Gizi Kesehatan FKM Unair (2 periode) tahun 2001 – 2007. Selama mengikuti program pendidikan S3, penulis pernah mengikuti Program Sanwich Depdiknas di Kulliyyah of Allied Health Sciences, International Islamic University Malaysia (IIUM) Malaysia selama 4 bulan pada tahun 2009. Karya ilmiah yang nerupakan bagian dari disertasi, diantaranya berjudul Functional biscuit, a supplementary food in improving humoral immune response (sIgA) of undernourished young children disajikan pada International Symposium on Probiotic and Prebiotic as Functional Food for Human Health Promotion pada tanggal 4-5 Agustus 2010 di Jakarta. Tiga buah artikel yang merupakan bagian dari disertasi juga diterbitkan edisi awal tahun 2011 pada Jurnal Kedokteran Indonesia/Indonesian Journal of Medicine (FK Universitas Sebelas Maret), The Indonesian Journal of Public Health (FKM Unair) dan Media Gizi Indonesia (Dept Gizi Kesmas, FKM Unair). Invensi yang berjudul Biskuit Bergizi Berbasis Tepung Ikan sudah didaftarkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan HAM RI dengan permohonan Paten No. P00201000605.
DAFTAR ISI halaman DAFTAR ISI ………………………………………………………………… DAFTAR TABEL ….……………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………
i iii v vi
PENDAHULUAN …………………………………………………………… Latar belakang ………………………………………………………. Perumusan Masalah ………………………………………………… Tujuan Penelitian …………………………………………………….. Manfaat Penelitian ……………………………………………………
1 1 3 6 7
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………. Pertumbuhan, Status Gizi dan Faktor yang Mempengaruhinya … Imunitas Balita dan Faktor yang Mempengaruhinya ……………… Kebutuhan Gizi dan Formulasi Makanan Balita ………………….. Pangan Fungsional .. …………………………………………………
8 8 9 14 19
KERANGKA PEMIKIRAN …………………… ……………………………..
29
BAHAN DAN METODE ………………………………………………………. Jenis Penelitian ………………………………………………………… Tahapan Penelitian …………………………………………………….. Disain Penelitian ……………………………………………………….. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………………. Populasi dan Contoh …………………………………………………… Besar Contoh ……………………………………………………………. Prosedur Sampling …………………………………………………….. Variabel Penelitian ……………………………………………………… Instrumen dan Cara Pengumpulan Data …………………………….. Bahan dan Prosedur Intervensi ………………………………………. Manajemen dan Analisis Data ………………………………………… Ethical Clearance dan Informed Concent …………………………….
35 35 35 37 38 38 39 40 40 42 43 46 51
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………….. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………………………………… Karateristik Keluarga dan Balita Sasaran …………………………… Daya Terima dan Kepatuhan Konsumsi Biskuit Fungsional ………. Konsumsi Gizi Balita …………………………………………………… Profil Mikrobiota Balita ……………………………………………….. Efikasi Pemberian PMT Biskuit Fungsional terhadap Status Gizi … Efikasi Pemberian PMT Biskuit Fungsional terhadap Respon Imum Humoral ………………………………………………………………….
52 52 54 64 74 78 87
Efikasi Pemberian PMT Biskuit Fungsional terhadap Morbiditas … Model Prediksi Status Gizi, Respon Imum Humoral dan Morbiditas.. . . . . . . . . . . …………………………………………….. Analisis Ekonomi Usaha Biskuit Fungsional. ………………………..
99 105 113 119
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………. Kesimpulan …………………………………………………………….. Saran ……………………………………………………………………
124 124 125
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….
127
LAMPIRAN ……………………………………………………………………..
135
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1.
Pengaruh probiotik pada stimulasi produksi IgA
..............
13
2.
Peran zat gizi terhadap fungsi umum imun . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14
3.
15
4.
Standar makanan tambahan untuk bayi dan anak-anak (per 100 gram bahan) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Syarat mutu biskuit bayi dan balita (SNI 01-4445-1998) tahun 1998
5.
Studi biskuit sebagai PMT balita di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . .
19
6.
Studi praklinis efikasi probiotik Enterococcus faecium SI 27526 . . .
26
7.
Studi klinis efikasi probiotik Enterococcus faecium SI 27526 . . . . .
27
8.
Definisi operasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
33
9.
Komposisi makanan tambahan biskuit fungsional dan kontrol . . . .
35
10.
Komposisi krim probiotik dan krim kontrol per 100 g . . . . . . . . . . . .
36
11.
Kriteria inklusi untuk penentuan contoh
.....................
38
12.
Kriteria eksklusi untuk penentuan contoh
...................
39
13.
Rincian jumlah sampel menurut perlakuan dan wilayah . . . . . . . .
40
14.
Jenis dan cara pengumpulan data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
42
15.
Jumlah anak balita dan biskuit menurut perlakuan
44
16.
Tipe data dan jenis analisis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
50
17.
Derajat kesehatan dengan indikator makro di Kabupaten Sukabumi
54
18.
Sebaran keluarga balita berdasarkan kondisi fisik rumah . . . . . . . .
55
19.
Sebaran keluarga berdasarkan kondisi MCK . . . . . . . . . . . . . . . . .
56
20.
Sebaran keluarga balita berdasarkan sumber air minum . . . . . . . . .
57
21.
Sebaran keluarga berdasarkan sanitasi lingkungan fisik . . . . . . . . .
57
22.
Sebaran balita berdasarkan tempat tinggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
58
23.
Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga . . . . . . . . . . . . . . . .
58
24.
Sebaran keluarga berdasarkan jumlah balita keluarga . . . . . . . . . . .
58
25.
Sebaran keluarga berdasarkan pendidikan orang tua . . . . . . . . . . .
59
26.
Sebaran keluarga beradsarkan pekerjaan orang tua . . . . . . . . . . . .
60
27.
Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendapatan keluarga . . . .
61
28. 29.
Sebaran pengasuh balita berdasarkan pengetahuan gizi kesehatan pengasuh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran keluarga berdasarkan pengasuh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
61 62
30.
Sebaran balita berdasarkan pola asuh makan
..............
63
31.
Sebaran balita berdasarkan pola akses pelayanan kesehatan . . . .
63
............
16
32.
Sebaran balita berdasarkan pola asuh higiene . . . . . . . . . . . . . . . . .
64
33.
Pendapat pengasuh terhadap rasa biskuit . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
65
34.
Pendapat pengasuh terhadap rasa krim biskuit fungsional . . . . . . .
65
35.
Pendapat pengasuh terhadap bentuk biskuit fungsional . . . . . . . . .
66
36.
Sebaran pendapat pengasuh tentang porsi krim . . . . . . . . . . . . . . .
66
37.
Sebaran pendapat tentang porsi krim biskuit fungsional . . . . . . . . .
67
38.
69
40.
Rata-rata jumlah biskuit yang dikonsumsi harian dan selama intervensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Rata-rata kontribusi energi dan protein harian biskuit fungsional terhadap kecukupan gizi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Anggota keluarga dan orang lain yang turut mengkonsumsi . . . . . .
41.
Sebaran balita menurut menurut kategori kepatuhan . . . . . . . . . . .
72
42.
Sebaran efek negatif setelah mengkonsumsi paket PMT biskuit . . .
74
43.
Konsumsi dan tingkat konsumsi gizi menurut kelompok perlakuan
75
44.
Sebaran balita berdasarkan kategori tingkat konsumsi energi pada awal dan akhir konsumsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran balita contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi protein pada awal dan akhir konsumsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran balita contoh berdasarkan hasil PCR Bifidobacteria . . . . .
77
84
48.
Sebaran balita contoh berdasarkan hasil PCR Enterococcus faecium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebaran balita contoh berdasarkan hasil PCR E. Coli . . . . . . . . . .
49.
Pertambahan ukuran antropometri menurut kelompok perlakuan . .
88
50.
Sebaran balita berdasarkan status gizi pada awal intervensi . . . . .
92
51.
Sebaran balita berdasarkan status gizi pada akhir intervensi . . . . .
94
52.
Nilai Z skor awal dan akhir intervensi menurut perlakuan . . . . . . .
96
53.
sIgA awal dan akhir perlakuan meurut kelompok perlakuan . . . . . .
100
54.
103
55.
Sebaran balita contoh berdasarkan kategori sIgA pada awal dan akhir intervensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Rata-rata sIgA (µg/g) menurut status gizi dan perlakuan . . . . . . . .
56.
Rata-rata lama kejadian diare balita menurut kelompok perlakuan .
107
57.
Sebaran balita berdasarkan kategori episode diare . . . . . . . . . . . .
109
58.
Rata-rata lama kejadian ISPA balita menurut kelompok perlakuan .
110
59
Sebaran balita berdasarkan kategori episode diare . . . . . . . . . . . .
113
60.
Hasil analisis bivariat faktor berhubungan dengan peningkatan status gizi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Hasil analisis bivariat faktor yang berhubungan dengan peningkatan sIgA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Hasil analisis bivariat faktor berhubungan dengan episode diare . .
113
39.
45. 46. 47.
61. 62.
70 71
78 81
86
104
116 117
DAFTAR GAMBAR
Gambar
halaman
1
Sistem pertahanan IgA pada permukaan mukosa
............
12
2.
Perubahan jumlah bakteri fekal berdasarkan usia . . . . . . . . . . . . .
20
3.
Konsep sinergi probiotik dan prebiotik terhadap host . . . . . . . . . .
28
4.
31
5.
Kerangka pemikiran efikasi biskuit fungsional sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan status gizi, respon imun humoral (sIgA) dan morbiditas balita berat badan rendah . . . . . . . . . . . . . Kerangka penarikan sampel balita dan alur penelitian . . . . . . . . . .
41
6.
Alur distribusi dan monitoring paket intervensi biskuit . . . . . . . . . . .
46
7.
Kesukaan anak terhadap biskuit fungsional menurut pemantauan .
68
8.
Tingkat kepatuhan konsumsi paket PMT biskuit selama intervensi
73
9.
Tingkat konsumsi energi (TKE) awal dan akhir ntervensi . . . . . . .
75
10.
Tingkat konsumsi protein (TKP) awal dan akhir intervensi . . . . . . .
77
11.
Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) Bifidobacteria . . . . . . . . .
79
12.
Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) Bifidobacteria . . . . . . . . .
80
13.
Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E faecium . . . . . . . . . . . .
82
14.
Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E faecium . . . . . . . . . . . .
82
15.
Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E coli
.............
84
16.
Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E coli
.............
85
17
Peningkatan BB menurut kelompok umur dan perlakuan . . . . . . . .
89
18.
Pola pertumbuhan BB, TB, dan LLA menurut perlakuan . . . . . . . .
91
19.
22.
Grafik nilai rata-rata Z-skor BB/U selama intervensi menurut perlakuan . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik nilai rata-rata Z-skor TB/U selama intervensi menurut perlakuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik nilai rata-rata Z-skor BB/TB selama intervensi menurut perlakuan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Nilai sIgA menurut kelompok perlakuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
102
23.
Peningkatan sIgA (µg/g) menurut status gizi . . . . . . . . . . . . . . . . . .
105
24.
Rata-rata frekuensi diare menurut waktu pemantauan (bulan) . . . .
107
25.
Rata-rata episode diare menurut kelompok perlakuan . . . . . . . . . .
108
26.
Rata-rata frekuensi ISPA menurut waktu pemantauan (bulan) . . . .
110
27
Rata-rata episode ISPA menurut kelompok perlakuan . . . . . . . . . .
112
20. 21.
97 98 99
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran halaman 1.
Persetujuan Ethik dan Perijinan …………………. . . . . . . . . . . . .
135
2.
Alur Mikroenkapsulasi, Metode Analisis ELISA dan PCR
137
3.
Hasil Analisis Statistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 151
4.
Analisis Ekonomi Usaha Biskuit Fungsional . . . . . . . . . . . . . . . . .
159
5.
Dokumentasi Kegiatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
166
.....
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sampai saat ini masih terdapat empat masalah gizi utama di Indonesia yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI), Kurang Vitamin A (KVA) dan Kekurangan Zat Besi (Anemia). Masalah gizi tersebut semakin serius semenjak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya bencana seperti kekeringan, banjir, dan longsor di berbagai daerah yang berdampak pada penurunan produksi dan penurunan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga. Keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah (keluarga miskin) sehingga terjadi gangguan
pemenuhan kebutuhan pangan
yang akan mempengaruhi keadaan gizi dan kesehatan anggota keluarga di antaranya anak balita. Masalah gizi kurang pada balita bukanlah merupakan hal yang baru, namun masalah ini tetap aktual, yang dicerminkan dengan adanya peningkatan prevalensi KEP di daerah kantong-kantong kemiskinan. Berdasarkan laporan Riskesdas 2007 (Depkes 2008) menunjukkan di Indonesia periode 2005-2007, telah terjadi perbaikan status gizi balita yang melampaui target pembangunan jangka menengah (20%), namun masih belum merata dan bahkan masih terdapat 19 propinsi dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang masih cukup tinggi. Lebih lanjut menurut Jalal (2009) jika dibandingkan dengan berat badan rata-rata standar WHO 2005, posisi anak balita Indonesia setelah usia 6 bulan, semakin bertambah umur semakin menjauh dari berat badan rata-rata rujukan. Hal yang lebih mencemaskan, bahwa rata-rata tinggi badan anak Indonesia dari sejak lahir sudah mendekati garis merah standar WHO. Dengan menggunakan nilai rata-rata Z_skor terlihat makin bertambah umur, tinggi badan anak Indonesia juga semakin menjauhi standar WHO. Hasil Pemantauan status gizi (PSG) pada 4 tahun terakhir (2005-2008) di Kabupaten Sukabumi (berdasar indeks BB/U) menunjukkan terjadi sedikit penurunan prevalensi status gizi kurang 12.2% (2005), 12.1 % (tahun 2006), 12.0% (tahun 2007) dan 11.6% (tahun 2008), namun sebaliknya terdapat kecenderungan peningkatan prevalensi status gizi buruk yaitu 1.5% (tahun 2005), 1.7 % (tahun 2006), 1.8 % (tahun 2007) dan 1.7 % dari 191,896 balita yang ditimbang (Dinkes 2008). Prevalensi status gizi berdasarkan TB/U juga terdapat kecenderungan peningkatan yang
2
cukup tinggi balita yang pendek (stunted < -2 SD) dalam tiga tahun terakhir yaitu: 20.9% (tahun 2005), 22.8% (tahun 2006) dan 23.0% (tahun 2007). Disisi lain, Riskesdas (Depkes 2008) melaporkan bahwa di Indonesia penyakit ISPA (>35.0%), campak (3.4%) dan diare (16.7%) tertinggi terdapat pada usia balita, demikian juga penyebab kematian balita adalah diare dan pnemonia.
Berdasarkan
Profil Kesehatan Kabupaten Sukabumi (2007) juga
menunjukkan masih tingginya kejadian sakit balita akibat berbagai jenis penyakit infeksi, antara lain ISPA (13.0%), diare (20.2%), influenza (10.3%) dan dermatitis lain (7.8%). Menurut Tomkins (2002) masalah gizi kurang (malnutrisi) merupakan faktor penyebab utama tingginya penyakit infeksi dan menurut WHO dan UNICEF hampir 60.0% kematian anak diasosiasikan dengan masalah gizi kurang. Kenyataan adanya KEP dan kejadian penyakit infeksi pada balita tersebut diatas, merupakan masalah yang serius dan mendesak untuk segera dicari penyebab dan upaya penanggulangannya mengingat dampaknya yang serius terutama pada mutu sumber daya manusia Indonesia. Secara umum gizi kurang pada balita dapat menciptakan generasi yang secara fisik maupun mental lemah. Generasi yang demikian akan menjadi beban masyarakat dan pemerintah. Sebagaimana yang dikaji dan diperkenalkan oleh UNICEF (1998) terdapat berbagai penyebab timbulnya masalah gizi pada balita, yang dapat digolongkan: pertama, sebagai penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi, dan kedua, penyebab tidak langsung yaitu pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan dan ketahanan pangan keluarga.
Analisis
Atmarita et al. (2006) terhadap data status gizi SUSENAS (tahun 1989-2005) juga membuktikan determinan utama gizi kurang pada anak balita adalah faktor ekonomi, pendidikan ibu, makanan dan infeksi. Hal ini semakin menunjukkan pentingnya pencegahan dan pemulihan masalah gizi kurang sebagai strategi untuk mengurangi prevalensi, keparahan, dan mortalitas yang diasosiasikan dengan penyakit infeksi. Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka program intervensi dalam bentuk makanan tambahan bergizi dalam jumlah yang cukup pada balita, serta upaya penguatan ketahanan tubuh balita merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius agar anak balita tidak mudah jatuh ke keadaan kurang gizi dan mudah sakit. Anak yang menderita gizi kurang mempunyai imunitas rendah dan untuk menanggulangi, dapat dilakukan beberapa cara antara lain: peningkatan
3
pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan (penyuluhan) gizi, dan perbaikan pola konsumsi. Salah satu bentuk perbaikan konsumsi adalah melalui pemberian makanan tambahan (PMT). Jenis makanan tambahan yang memiliki daya terima baik,diantaranya adalah biskuit. Biskuit yang digunakan sebagai makanan tambahan kenyataannya masih berupa makanan pabrikan yang berbasis tepung terigu dan belum banyak diperkaya dengan menggali potensi pangan lokal yang kaya akan gizi, seperti produk perikanan.
Di sisi lain Kabupaten Sukabumi
memiliki lebih dari 40% wilayah berupa laut, pantai dan pesisir. Selain itu sungaisungai yang mengalir di Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi penghasil produk perikanan ikan tawar dan ikan laut serta penghasil berbagai jenis produk pertanian termasuk kacang-kacangan yang mengandung protein yang tinggi. Optimalisasi penanganan masalah gizi pada balita melalui diversifikasi pengembangan formula makanan tambahan sebaiknya mempertimbangkan aspek gizi, manfaat kesehatan, daya terima, nilai ekonomi, keawetan serta keunggulan sumberdaya pangan lokal. Biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium IS-27526 (biskuit fungsional) merupakan salah satu solusi yang perlu dikaji efikasinya untuk menurunkan prevalensi KEP balita. Selain dapat menambah asupan energi dan protein, sifat fungsional probiotik juga bermanfaat untuk membantu keutuhan mukosa usus, untuk proses metabolisme serta untuk meningkatkan ketahanan tubuh balita sehingga balita tidak mudah sakit. Perumusan Masalah Prevalensi KEP masih tinggi
pada balita usia mulai 6 bulan sampai 59
bulan. Setelah usia enam bulan dengan bertambah umur maka balita Indonesia makin mendekati garis merah baku rujukan WHO. Menurut UNICEF (1998) penyebab langsung tingginya KEP pada balita adalah faktor makanan dan penyakit infeksi. Menurut Jalal dan Atmojo (1998) secara menyeluruh masalah gizi kurang dapat diatasi melalui pendekatan ketersediaan dan konsumsi pangan (food based approach). Salah satu upaya penanggulanggan KEP berbasis pangan yang sudah banyak dilakukan adalah dengan pemberian makanan tambahan (PMT) berupa makanan selingan, namun belum optimal menurunkan prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk.
4
Selama
ini,
pengadaan
PMT
untuk
kesehatan
balita
masih
mengutamakan kandungan zat gizi makro saja tanpa mempertimbangkan manfaat fungsional komponen lain
yang dikandungnya. Masalah KEP pada
balita selain karena kurangnya asupan energi dan protein, juga karena rendahnya imunitas tubuh sehingga balita memiliki risiko yang tinggi terjadinya morbiditas terutama karena penyakit infeksi. Pangan yang berpotensi fungsional diantaranya adalah pangan yang berfungsi menstimulir immunitas tubuh selain zat-zat gizi konvensional yang dikandungnya (Hasler 2001). Masalah lainnya adalah pengenalan makanan tambahan berbasis bahan baku pangan lokal yang diperkaya dengan pangan fungsional belum banyak digali dan dikembangkan sebagai upaya percepatan penanggulangan masalah KEP balita.
Ditinjau dari perspektif ketahanan pangan yang berkelanjutan
(sustainable), makanan alternatif berbasis potensi pangan lokal merupakan sumberdaya pangan daerah (lokal) yang mempunyai keunggulan komparatif ditinjau dari sisi agro-sosioekonomi dan gizi-kesehatan. Hasil studi (Harijono et al. 2002a) menunjukkan bahwa diversifikasi konsumsi energi di daerah marjinal (berlahan kering, kapur dan pesisir) lebih baik dibandingkan daerah perkotaan. Hampir 10 % dari total asupan energi di daerah kapur sebanyak 10% berasal dari umbi-umbian, sementara perkotaan hanya sebanyak 1.5%. Hal serupa terjadi pada pangan sumber protein nabati yang
didominasi oleh kedelai.
Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi masyarakat, terutama di daerah perkotaan dan lahan basah (Harijono et al. 2000b). Produk olahan kedelai berupa isolat protein mengandung protein paling sedikit sebanyak 95% yang sangat baik sebagai bahan pengikat dan pengemulsi formulasi makanan, namun memiliki asam amino esensial methionin yang terbatas. (McWilliams 2001; Sri Winarni 2010). Selanjutnya protein hewani yang sering dikonsumsi masyarakat, diantaranya adalah ikan (BKP & UNAIR 2006), dimana kandungan protein ikan cukup tinggi dan mengandung asam amino yang mendekati pola kebutuhan tubuh manusia (Adawiyah 2007). Ikan lele mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup dan juga merupakan salah satu unggulan komuditas air tawar pada Program Revitaliasi Pertanian dan Perikanan (Mahyudin 2007). Selain memiliki kelebihan, ikan memiliki beberapa kekurangan diantaranya timbulnya bau amis yang berasal dari penguraian (dekomposisi), terutama amonia, senyawa belerang dan amina (Adawiyah 2007). Bau amis kurang disukai anak-anak dan menurut Miller et al (2001) anak usia antara 2 dan
5
3 tahun seringkali resisten untuk mengkonsumsi makanan-makanan baru (food neophobia). Indonesia selain memiliki keragaman hayati, juga memiliki keragaman budaya termasuk keragaman dan produk olahan khas daerah yang mengandung khasiat kesehatan. Dadih adalah susu fermentasi asal Sumatera Barat dan dapat digolongkan pangan fungsional sebagai pangan pencernaan dan pangan probiotik (Akuzawa & Surono 2002). Bakteri Enterococcus faecium IS-27526 yang merupakan hasil isolasi dadih susu fermentasi tradisional asal Sumatera Barat terbukti mempunyai potensi sebagai probiotik (Collado et al. 2003). Suplementasi Enterococcus faecium dadih IS-27526 pada susu UHT rendah lemak selama 3 bulan dapat meningkatkan respon imun humoral secara signifikan, terutama pada balita gizi kurang (Koestomo 2004). Pengolahan pangan lokal untuk makanan PMT balita sampai saat ini masih belum berkembang baik dari aspek kelompok sasaran, jaminan mutu, kepraktisan dalam konsumsi maupun citranya. Hasil Evaluasi World Food Program WFP (WFP & FKM UNAIR 2008) dan Widayani (2007) menunjukkan bahwa PMT dalam bentuk biskuit memiliki daya terima yang baik pada balita. Menurut Boobier et al. (2006) biskuit konvensional yang tinggi lemak trans maupun lemak jenuh dan gula yang sering diasosiakan tidak sehat dapat dimodifikasi menjadi produk fungsional yang sehat. Produk biskuit fungsional berbasis konsentrat ikan laut dan probiotik sebagai makanan tambahan balita telah dikembangkan Rieuwpassa (2006), namun masih mempunyai keterbatasan daya tahan simpan probiotiknya jika disimpan pada suhu ruang.
Adanya
perkembangan teknologi mikroenkapsulasi dengan metode Fluid Bed Drier (FBD), memungkinkan digunakan untuk mempertahankan viabilitas probiotik dari lingkungan yang ekstrim pada saat penyimpanan dan ketika melewati saluran pencernaan. Upaya penanggulangan KEP balita dengan berbagai jenis makanan tambahan (PMT) sudah lama dilakukan di masyarakat, namun kajian evaluasi terhadap efektifitas PMT dalam menurunkan prevalensi KEP dan kejadian infeksi balita di Indonesia hingga saat ini masih belum banyak dilakukan. Selain itu menurut Hughes & Kelly (2006) penelitian klinik tentang keberhasilan peningkatan status gizi dan pengukuran efek terhadap fungsi imunologi pada rehabilitasi gizi juga masih sangat sedikit. Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian adalah :
6
1. Bagaimana daya terima dan tingkat kepatuhan sasaran (balita BBR dan orangtua/pengasuh) yang diberi makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS27526 yang dimikroenkapsulasi ? 2. Bagaimana
konsumsi gizi dan profil mikrobiota balita berat badan rendah
(BBR)? 3. Bagaimana efikasi (pengaruh) pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap status gizi balita BBR? 4. Bagaimana efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap respon imun humoral (sIgA) balita BBR? 5. Bagaimana efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap tingkat morbiditas balita BBR? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium IS27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap status gizi, respon imun humoral (sIgA) dan morbiditas balita BBR. Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengevaluasi daya terima dan kepatuhan sasaran (pengasuh dan balita BBR) terhadap makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526. 2. Mempelajari konsumsi gizi dan mikrobiota balita BBR. 3. Menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 terhadap status gizi balita BBR. 4. Menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 terhadap respon imun humoral (sIgA) balita BBR.
7
5. Menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 terhadap morbiditas balita BBR. Manfaat Penelitian Hasil yang diharapkan : a. Makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat
protein
kedelai dan
dimikroenkapsulasi
dapat
probiotik
E.
mempercepat
faecium
IS-27526
perbaikan
status
yang gizi
(peningkatan nilai Z-skor indeks BB/U, BB/TB dan TB/U) balita BBR. b. PMT biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 dapat meningkatkan sekresi respon imun humoral (sIgA) balita BBR c. PMT biskuit fungsional yang diperkaya protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 ke depan dapat menurunkan kejadian penyakit infeksi yang sering diderita balita BBR. Implikasi dari Penelitian a. Diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah pengembangan program intervensi
makanan
tambahan
(PMT)
fungsional
dalam upaya
meningkatkan mutu (kuantitas dan kualitas) konsumsi masyarakat rawan gizi dan menurunkan kejadian sakit (morbiditas), khususnya balita yang mengalami BBR. b. Diperoleh model intervensi PMT biskuit fungsional untuk perbaikan gizi masyarakat rawan gizi, khususnya balita BBR.
percepatan
8
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan, Status Gizi Anak Balita dan Faktor yang Mempengaruhinya Ada dua determinan yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi pertumbuhan bayi dan balita, yaitu faktor bawaan (genetic factor atau nature) dan faktor lingkungan (environmental factors atau nurture). Faktor bawaan mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan, sedangkan faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi, higienis dan kesehatan bayi dan balita (Satoto 1997). Timbulnya penyakit pada masyarakat merupakan hasil interaksi antara penduduk setempat dengan berbagai komponen
di lingkungan.
Dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat
di
lingkungannya berinteraksi dengan pangan, udara, air serta serangga (Achmadi 2008). Lingkungan yang bersih merupakan faktor yang berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan bayi dan balita (Pudjiadi 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah kontrol hormonal, kondisi sosial ekonomi, iklim dan musim (Sinclair 1991). Menurut Pudjiadi (2001), pertumbuhan balita yang normal dapat dicapai melalui pemberian makanan dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Untuk memonitor pertumbuhan yang menyimpang (growth faltering) pada balita digunakan nilai Z-skor kurva pertumbuhan. Nilai Z-skor untuk memantau pertumbuhan
dapat
berdasarkan
berat
badan
menurut
umur
(BB/U),
panjang/tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U) dan berat badan menurut panjang badan (BB/PB) (WHO 2005).
Rendahnya BB/TB (wasting) sering
digunakan sebagai indikator kekurangan gizi akut, rendahnya nilai TB/U dapat digunakan sebagai indikator kekurangan gizi kronik maupun akut (Gibson 2005). Status gizi kurang diukur dengan indikator BB/U, dikelompokkan ke dalam berat badan rendah (BBR). Terdapat tiga tingkat keparahan BBR yaitu BBR tingkat ringan (mild), sedang (moderte), dan berat (severe) (Soekirman 2000). Kurang energi dan protein (KEP) merupakan gejala awal dari penyebab utama stunting. Pertumbuhan bayi dan balita yang stunting juga diakibatkan oleh defisiensi satu atau beberapa zat gizi seperti seng, besi, vitamin A dan iodium (Rosado 1999; Hautvast 2000). Menurut Martorell (1995) dan The World Bank (2006), kurang gizi berdampak nyata pada kematian balita. Estimasinya, lebih dari 50% kematian balita disebabkan oleh kurang gizi sedang sampai gizi buruk. Kurang gizi terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa jenis zat gizi
9
yang diperlukan, sakit atau kedua-duannya. Kedua faktor tersebut sering kali berinteraksi dalam sinergi yang negatif. Defisiensi zat gizi terutama energi dan protein akan memberikan gangguan psikologik dan sosial, serta secara klinis menyebabkan kelambatan pertumbuhan. Sedangkan gangguan penyerapan makanan dapat disebabkan oleh kerusakan permukaan epitel mukosa usus (brush border) sehingga timbul kekurangan enzim laktase, gangguan fermentasi karbohidrat, dekonyugasi garam empedu dan terjadinya perubahan struktur mukosa usus berupa pemendekan jonjot usus (vili intestinalis) dan pendangkalan kripta yang berakibat berkurangnya mukosa usus (Apriantono 2000; Arisman 2007). Menurut The Word Bank (2006), hasil-hasil studi menunjukkan bahwa masalah kurang gizi tidak hanya disebabkan persediaan pangan, tetapi juga faktor lain seperti pengetahuan ibu, praktek pengasuhan anak, akes terhadap pelayanan kesehatan serta air dan sanitasi. Proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak setiap individu akan mengalami siklus berbeda, peristiwa tersebut dapat cepat maupun lambat tergantung dari individu dan lingkungan (Hidayat 2004). Menurut Martorell (1995), tumbuh kembang anak sampai usia 3 tahun sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh: 1) Laju pertumbuhan bayi sangat cepat, sehingga kebutuhan gizi harus dipenuhi. Kurang gizi sangat potensial mengakibatkan retardasi fisik dan mental; 2) Anak-anak usia 2-3 tahun memiliki kebutuhan gizi lebih tinggi/kg BB; 3) Anak-anak usia 2-3 tahun sangat rentan infeksi dan penyakit karena fungsi pertahanan tubuh belum berkembang sempurna; 4) Anak-anak usia 2-3 tahun belum mampu mengekspresikan keinginan sehingga sangat tergantung keberadaan orang tua. Pola perawatan dan pengasuhan yang buruk akan berdampak buruk terhadap tumbuh kembangnya. Imunitas Balita dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imunitas adalah resistensi terhadap infeksi.
Sistem imun diperlukan
tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh mikroba dan virus. Infeksi lebih sering terjadi dan lebih berat pada anak-anak usia balita dibanding dewasa karena sistem imun yang belum matang (Chapel et al. 1999; Bratawidjaya & Rengganis 2009). Sistem Imun Tubuh. Sistem imun berfungsi melindungi individu dari penyakit infeksi, efek toksin tertentu dan kanker (penyakit neoplasma). Resistensi terhadap penyakit
10
infeksi, toksin dan kanker dapat melalui barier fisik dan kimia terhadap infeksi, aktivitas sel darah putih, serta aktivitas berbagai molekul di dalam cairan tubuh dan di permukaan sel. Ada beberapa macam pengklasifikasian imunitas, antara lain imunitas alamiah (innate/natural immunity) dan imunitas yang didapat (acquired immunity), imunitas pasif (passive immunity) dan imunitas aktif (active immunity), imunitas humoral (humoral immunity) dan cell-mediated immunity. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibanding imunitas non spesifik, meskipun sebenarnya antara kedua sistem imum tersebut terjadi kerjasama erat, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan (Surono 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Innate immune system merupakan pertahanan pertama terhadap agent infeksi dan mengeliminasi patogen yang masuk. Innate immunity berhubungan dengan mekanisme tubuh yang tidak tergantung pada paparan agen infeksi sebelumnya (antigen) (Clough & Roth 1998). Innate immune system (imunitas non spesifik) berupa komponen normal tubuh yang selalu terdapat pada individu yang sehat berfungsi mencegah masuknya mikroba lebih lanjut ke dalam tubuh. Istilah non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu dan mampu melindungi
tubuh terhadap patogen potensial.
Sistem imun ini merupakan
pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Bratawidjaya & Rengganis 2009) Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing terutama yang terpajan pertamakali.
Bila antigen yang
sama masuk ke dalam tubuh untuk kedua kalinya maka akan dikenali lebih cepat. Sistem imun spesifik akan bekerja sama dengan sistem imun non spesifik bila terdapat benda asing yang berbahaya bagi tubuh. Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular. Pada sistem imunitas humoral, sel B melepas anti bodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraselular. Pada imunitas selular, sel T mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang menghancurkan sel terinfeksi (Clough & Roth 1998; Chapel et al. 1999). Respon Imun pada Permukaan Mukosa Sistem imum pada permukaan mukosa disebut juga dengan istilah MALT (mucosa associated lymphoid tissue), sedangkan GALT (gut associated lymphoid tissue) merupakan bagian kecil dari MALT. Membran mukosa merupakan pertahanan pertama inang dari lingkungan di luar tubuh. Permukaan
11
mukosa terdapat di sepanjang rongga internal yang meliputi rongga hidung, rongga mulut, saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran genital (Roitt & Delves 2001). MALT membentuk suatu sistem, dimana sel limfosit
teraktivasi oleh
antigen, terutama sel limposit yang memproduksi IgA dan IgE, kemudian bersirkulasi ke seluruh permukaan mukosa sehingga membentuk sistem imun mukosal (Roitt & Delves 2001). Respon imun yang paling umum terjadi berupa respon imun humoral yaitu peningkatan jumlah sel yang mensekresikan IgA dan sIgA. Sedangkan sel yang mensekresikan IgG, IgE dan IgM terdapat dalam jumlah dan aktivitas rendah (Erickson& Hubbard 2000). IgM dapat menggantikan fungsi IgA apabila karena sesuatu sebab terjadi defisiensi IgA, sedangkan IgE tidak jelas peranannya dalam proteksi usus (Suraatmaja 2007). Antibodi. Antibodi adalah glikoprotein yang diproduksi sel B sebagai respon terhadap
rangsangan
imunogen.
Imunogen
adalah
bahan
yang
dapat
merangsang sel B atau sel T atau keduanya disebut imunogen, sedangkan antigen adalah bahan yang berinteraksi dengan produk respon imun yang dirangsang oleh imunogen spesifik seperti antibodi. Antibodi adalah
protein
dengan struktur yang sama dan dikenal sebagai imunoglobulin (Ig) (Chapel et al. 1999; Bratawidjaya & Rengganis 2009). Imunoglobulin terdiri lima jenis yaitu imunoglobulin A (IgA), IgG, IgM, IgE dan IgD (Devereux 2006). Imunoglobulin A (IgA) merupakan satu kelompok dari 5 jenis antibodi yang ada dalam tubuh manusia (IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD) dan merupakan kelas imunoglobulin kedua terbanyak setelah IgG. Antibodi IgA ada dua macam yaitu serum IgA dan sekretori IgA (sIgA) yang banyak ditemukan dalam air liur, mukus, air mata dan sekresi eksternal lainnya (Surono 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Dari dari semua immunoglobulin yang
diproduksi sel-sel, sekitar 80% ditemukan dalam usus besar berupa IgA (Goktepe et al. 2006). IgA serum, pada umumnya dijumpai dalam bentuk monomerik dan merupakan 15% dari kadar Imunoglobulin total. Paruh waktunya adalah 5-6 hari, serta konsentrasi imunoglobulun A normal di darah adalah 1,4-4 mg/ml (Kresno, 1996; Roitt & Delves 2001), sedangkan IgA sekretori berbentuk dimerik atau polimerik, yang diproduksi melimpah pada permukaan mukosa. IgA1 immunocytes dominan di usus halus, sedangkan IgA2 diproduksi sel-sel pada usus besar (Isolauri et al. 2001). Struktur sIgA dibuat didalam sel plasma
12
yang terdapat dibawah permukaan epitel usus yang kemudian akan diikat lagi oleh suatu glikoprotein yang dinamakan secretory componen (SC). Dengan ikatan terakhir ini sIgA akan lebih tahan terhadap pengrusakan oleh enzim proteolitik (tripsin dan kemotripsin) yang terdapat di dalam usus (Suraatmaja 2007). IgA sekretori (sIgA) ideal untuk menjaga permukaan mukosa dari antigen karena tahan terhadap proteolisis intraluminal dan tidak menimbulkan respon inflamasi (Salminen et al. 1998).
Diperkirakan cara kerja IgA sekretori adalah
mencegah melekatnya antigen pada permukaan mukosa (Roitt & Delves 2001) dan memiliki afinitas yang kuat pada receptor Fc di permukaan makrofag yang dapat membantu fagositosis dan melakukan opsonisasi (Gambar 1)
Gambar 1. Sistem pertahanan sIgA pada permukaan mukosa Beberapa studi menunjukkan fakta bahwa tingkat IgA total serum meningkat setelah mengkonsumsi probiotik secara oral. Namun terdapat perbedaan yang mendasar antara IgA yang ditemukan dalam serum dan usus (intestine). Pengukuran IgA serum mungkin tidak mencerminkan kondisi saluran pencernaan yang aktual (Park et al. 2002, diacu dalam Delcenserie et al. 2006). Walapun pengukuran kadar IgA pada serum sedikit merefleksikan respon imun mukosa (Erickson & Hubbard
2000), namun IgA serum dapat merefleksikan
respon imun humoral secara keseluruhan karena immunoglobulin A juga merupakan produk dari sistem imun humoral. Penelitian efek probiotik terhadap sistem imun sebaiknya difokuskan pada MALT. Respon utama dari imun mukosa adalah respon imun humoral dan produksi sIgA. Terdapat beberapa metode untuk pengukuran tipe dan
13
konsentrasi immunoglobulin. Sekretori IgA diproduksi terutama oleh MALT dan lebih merefleksikan respon intestina (pencernaan) dibandingkan IgA. Sampel terbaik untuk mendapatkan sIgA dapat diperoleh dari mukosa usus, namun membutuhkan invasi (Erickson & Hubbard 2000). Feses dapat digunakan sebagai indikator immunoglobulin saluran pencernaan. Keuntungan penggunaan feses sebagai sampel adalah sIgA kebanyakan diproduksi pada sisi mukosal yang merefleksikan respon intestine, sedangkan kerugiannya aktivitas proteolitik hanya merefleksikan respon kolonik (Erickson & Hubbard 2000). Beberapa strain probiotik dapat menstimulasi produksi IgA oleh sel-sel B yang membantu memelihara intestinal humoral immunity dengan mengikat antigen-antigen (Gambar 1). Hasil beberapa penelitian tentang pengaruh probiotik dalam menstimulasi produksi IgA, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh probiotik pada stimulasi produksi IgA Efek Sistem Imum
Organisme B. bifidum L. acidophilus La1 L. casei rhamnosus B. lactis Bb12
Referensi Fukushima et al. 1998; Ibnou et al. 2003; Isolauir et al. 1995; Kaila et al 1995; Link_Amster et al. 1994; Majamma et al. 1995; Park et al. 2002.
Sumber : Delcenserie et al. 2006
Gizi dan Imunitas. Setiap zat gizi, makro atau mikro mempunyai peranan yang penting dalam sistem imunitas. Hubungan antara gizi dan imunitas telah ditunjukkan pada fungsi dari beberapa sel-sel di dalam sIstem imun yang mengatur siklus metabolisme yang membutuhkan berbagai jenis gizi sebagai kofaktor yang berpengaruh pada mekanisme pertahanan tubuh (Mac Dermott 1993 diacu dalam Fuller & Perdigon 2003). Di negara berkembang, masalah kurang gizi merupakan penyebab umum defisiensi imunitas. Kekurangan protein dapat menimbulkan gangguan imunitas yang ditandai dengan pelemahan sistemik dan imunitas mukosa (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Defisiensi imunitas berefek langsung terhadap respon fase akut dan meningkatkan frekuensi dan keparahan infeksi. KEP dapat meningkatkan atropy mucosa, pembentukan mucin tak normal, involusi thymus dan pelemahan sekresi sIgA (Sullivan et al. 1993). Pada hewan percobaan, kemampuan untuk mempertahankan kandungan normal mucin terganggu dan laju untuk penyerapan asam amino serta lemak berkurang
14
(Arisman 2007). Oleh karena itu penambahan suplemen bakterial, seperti BAL yang terseleksi atau susu fermentasi ke dalam formula makanan mungkin akan meningkatkan tidak hanya status gizi, tetapi juga mikrobiota usus dan sistem imum, sebagaimana dalam mengeliminasi toksin dan membantu dalam pengaturan produksi mukus. Penambahan probiotik pada defisiensi imunitas yang disebabkan masalah gizi kurang dapat disarankan setelah recovery mucosal dengan pemberian makanan yang cukup untuk menghilangkan efek berbahaya pada attropy mucosa yang disebabkan oleh masalah kurang gizi (Isolauri et al. 1991; Allori et al. 2000 diacu dalam Fuller & Perdigon 2003). Menurut Shankar (2001) peran zat –zat gizi terhadap fungsi –fungsi imun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Peran zat gizi terhadap fungsi fungsi umum imun Humoral Imunity
Barrier and Epithelial integrity
Cell-mediated immunity
Cytokine production
KEP
X
X
X
X
Vit A
X
X
X
X
Seng
X
X
X
X
Zat Gizi
Selenium
X
PUFA
X
Vit E
X
X
Vit C
X
Vit B-6
X
Thiamin
X
X
X
Sumber :Shankar AH 2001.
Kebutuhan Gizi dan Formulasi Makanan Balita Kebutuhan Gizi. Masa anak-anak adalah masa pertumbuhan dan perkembangan tulang, gigi, ototdan darah, sehingga anak-anak membutuhkan gizi dalam proporsi yang lebih besar dibandingkan orang dewasa. Anak-anak mungkin berisiko mengalami masalah kurang gizi ketika anak-anak memiliki nafsu makan yang kurang dalam jangka waktu lama, makan dalam jumlah terbatas, atau diet pangan yang kurang mengandung zat gizi yang dibutuhkan.
Disarankan proporsi asupan
energi
adalah 50-60 % dari karbohidrat, 25-35% dari lemak dan 10-15% dari protein.
15
Kebutuhan protein per kg BB menurun dari sekitar 1.1 g/kg pada awal anak-anak hingga 0.95 g/kg pada usia anak selanjutnya (Kathleen & Escott 2004) Formulasi Makanan Balita dan PMT. Formulasi makanan anak balita harus memenuhi persyaratan tertentu khususnya untuk protein, energi, lemak, vitamin dan mineral serta bahan tambahan. Komposisi zat gizi makanan tambahan tinggi protein yaitu mengandung protein sekurang-kurangnya 15 g/100 g apabila mutu protein setara susu sapi yaitu Nett Protein Utilization (NPU) sama dengan 80 dan apabila mutu protein rendah (sekurang-kurangnya NPU = 60), maka jumlah harus dinaikkan menjadi 20 g/100
g
(Tabel 3).
Codex Alimentarius Guidelines
1994
mensyaratkan mutu protein (NPU) sekurang-kurangnya 65 yang setara dengan nilai Protein Effisiency Ratio (PER) tidak kurang dari 2.1. CAG guideline no.8 dan Codex Alimentarius 1994 menyarankan agar tiap 100 gram produk mengandung 20 gram protein dan 100 gram produk tersebut harus menyediakan energi sebanyak 400 kkal. Program intervensi yang dikhususkan untuk balita yang menderita masalah Kurang Energi Protein (KEP) dikenal dengan sebutan PMT-P. Jumlah makanan untuk PMT-P diperkirakan mengandung 300-400 Kalori dan 6-8 gram protein,diberikan selama 180 hari makan anak (HMA) untuk balita dengan status gizi buruk dan 90 HMA untuk balita dengan status gizi kurang (Dinkes 2004). Tabel.3 Standar makanan tambahan untuk bayi dan anak-anak (per 100g bahan) Komponen Zat Gizi Protein, g Energi, kkal Lemak, g Asam Linoleat (g) Serat Makanan (g) Vitamin A ( μg RE) Vitamin D (μg) Vitamin C (mg) Tiamin (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin B12 (μg) Niasin (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Zinc (mg) Sumber : FAO/WHO 1991
Nilai Standar 15 – 20 400 10 – 25 1.4 5.0 266.7 6.67 13.3 0.33 0.6 0.67 6.0 533.3 8.0 6.67
16
Biskuit dan Modifikasinya Biskuit. Menurut SNI, biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Dalam prosesnya, biskuit juga dapat ditambahkan dengan bahan tambahan pangan yang dijinkan. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya kecil dan umur simpan yang relatif lama. Biskuit dapt dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi & Faubion 1990). Namun belum ada klasifikasi yang jelas untuk biskuit, bahkan terkadang dijumpai saling tumpang tindih antara bentuk yang satu dengan lainnya. Hingga saat ini biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat yaitu: (1) tekstur dan kekerasan, (2) perubahan bentuk akibat pemanggangan, (3) ekstensibilitas adonan, dan (4) pembentukan produk (Manley 1983). Tabel 4. Syarat mutu biskuit bayi dan balita (SNI 01-4445-1998) tahun 1998 Kriteria Uji (Parameter) Keadaan(bau,rasa,warna,tekstur) Kadar Air (% b/b) Kadar Protein (% b/b) Kadar Abu (% b/b) Kadar Lemak (% b/b) Serat Kasar (% b/b) Karbohidrat (% b/b) Kalori (kal/100 g) Bahan Tambahan Makanan -pewarna dan pemanis buatan Besi, Fe (mg/kg) Kalsium, Ca (% b/b) Cemaran logam : - Timbal, Pb (mg/kg) - Tembaga, Cu (mg/kg) - Seng, Zn (mg/kg) - Timah, Sn (mg/kg) - Raksa, Hg (mg/kg) - Arsen, As (mg/kg) Cemaran Mikroba : - TPC (koloni/g) - E.coli (APM/g) - Salmonela (koloni/25 g) - Staphylococcus aureus (cfu/g)
Persyaratan Mutu Disajikan dengan Disajikan tanpa susu susu Normal Minimum 5.0 Maksimum 6.5 Maksimun 2.0 6.0 – 11.0 Maksimum 0.5 Minimum 75.0 Minimum 370.0
Normal Minimum 5.0 Maksimum 10.0 Maksimum 2.0 6.0 – 11.0 Maksimum 0.5 Minimun 70.0 Minimum 390.0
Tidak boleh ada Maksimum 140.0 Maksimum 1.0
Tidak boleh ada Maksimum 140.0 Maksimum 1.0
Maksimum 0.3 Maksimum 5.0 Maksimum 40.0 Maksimum 40.0 Maksimum 0.03 Maksimum 0.1
Maksimum 0.3 Maksimum 5.0 Maksimum 40.0 Maksimum 40.0 Maksimum 0.03 Maksimum 0.1
Maks 1.0 X 104 <3 Negatif Maks 1.0 X 102
Maks 1.0 X 104 <3 Negatif Maks 1.0 X 102
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, LIPI 1998
17
Menurut SNI tahun 1990, biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer. Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Crackers adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki struktur berlapis-lapis. Jenis yang ketiga yaitu Cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak. Sifatnya lebih renyah karena tesktur yang kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit dari adonan cair dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki tesktur yang berongga. Modifikasi Biskuit. Menurut Boobier et al. (2006) bahwa biskuit konvensional yang tinggi lemak dan gula, yang diasosiasikan dengan diet tidak sehat oleh konsumer dapat dimodifikasi. Modifikasi dapat dibentuk dengan penambahan vitamin B6, vitamin B12, Asam folad, Vitamin C dan Prebiotik fiber, dengan mengurangi garam dan gula, dengan demikian mengubah produk makanan tradisonal menjadi produk fungsional. Hasil penelitiannya menunjukkan biskuit alternatif tersebut, selain tidak hanya diterima oleh konsumen tetapi dapat juga dibuat dalam skala industri (pabrik) dengan mempertimbangkan kondisi komersial yang tepat. Tepung protein ikan lele dan Isolat protein kedelai Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan asam amino yang diperlukan tubuh. Selain itu mempunyai nilai biologisnya mencapai 90% dan jaringan pengikat sedikit sehingga mudah dicerna serta harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan sumber protein lain. Namun ikan juga memiliki beberapa kekurangan yaitu 1) Kandungan air yang tinggi (80%), pH tubuh ikan yang mendekati netral dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis menyebabkan daging sangat lunak sehingga menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusuk dan; 2) Kandungan asam lemak tak jenuh mengakibatkan daging ikan mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik (Adawyah 2007). Oleh karena itu, diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, bentuk/tekstur, daya awet maupun ekonomi. Lele dumbo (clarias gariepinus) merupakan salah satu jenis lele yang memiliki ukuran besar yang dikembangkan di Indonesia. Protein ikan lele tergolong istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga pelengkap mutu protein. Protein ikan lele mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup (FAO 1972
18
dalam Astawan 2008) yaitu Arginin (6.3%), Histidin (2.8%),Asoleusin (4.3%), Leusin (9.5%), Lisin (10.5%), Metionin (1.4%), Fenilalanin (4.8%), Treonin (4.8%), Valin (4.7%), Triptofan (0.8%) dengan total esensial 49.9 % dan non esensial 50.1%. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung (Ilyas 1993). Disamping protein, tepung ikan juga kaya akan vitamin B, kalsium (Ca), phosphor (P), seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1992). Kedelai merupakan salah satu komoditas penting, yang perlu diupayakan hingga tercapai swasembada kedelai, tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan tetapi juga mendukung agroindustri dan menghemat devisa (Kuntjoro 1997). Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati
yang potensial
karena kandungan protein yang tinggi yaitu 40% (Sugano 2006). Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai untuk biskuit (Koswara 1995; McWilliam 2001). Isolat protein kedelai selain sebagai pengikat dan pengemulsi, juga dapat berfungsi sebagai additif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, serta flavor produk.
Isolat protein kedelai juga mempunyai kemampuan dalam
menyerap lemak atau minyak yang dapat digunakan untuk dua tujuan yaitu meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari karena pemasakan dan untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Kemampuan daya serap air. Isolat protein kedelai juga mempunya kemampuan serap air yang tinggi. Daya serap air isolat protein kedelai penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods) karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan memudahkan penanganannya. Disamping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit (Koswara 1995). Biskuit untuk PMT balita.
Hasil-hasil penelitian terkait penggunaan
produk makanan berupa biskuit sebagai makanan tambahan pada balita di Indonesia, diantaranya disajikan pada Tabel 5.
19
Tabel 5. Studi biskuit sebagai PMT balita di Indonesia Studi
Bahan
Sasaran dan Lama
Hasil
WFP IndonesiaFKM Unair (2008)
Biskuit fortifikasi muliti vitamin dan mineral
Widayani (2007)
Biskuit Terdapat peningkatan fortifikasi kadar retinol dan respon vitamin A dan imum, namun tidak zat Besi terdapat peningkatan status gizi (antropometri)
Penerimaan biskuit oleh Anak balita (12balita dan anak sekolah 59 bulan) dan tinggi (92,8%) rasa enak usia sekolah dasar. Terdapat penurunan Intervensi 1 – 25 prevalensi anemia dan bulan. semakin lama menerima biskuit, risiko anemia makin kecil. Balita (18-38 bulan). Intervensi, selama 4 bulan
Pangan Fungsional Dasar pemilihan terhadap jenis makanan yang akan dikonsumsi, tidak lagi hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan perut atau memberi kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta penampilan menarik, namun juga dipertimbangkan terhadap potensi aktivitas fisiologis komponen yang dikandungnya.
Berkaitan dengan berkembangnya fungsi
makanan tersebut, sekarang dikenal dengan istilah pangan fungsional atau functional food. Menurut konsensus pada The First International Conference on East West Perspective on Functional Foods tahun 1996 dan The International Life Scienece Institute of North America (ILSI), bahwa pangan fungsional didefinisikan sebagai pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, diluar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi konvensional yang terkandung di dalamnya (Wildman & Kelley 2007). Definisi pangan fungsional menurut BPOM (2005) dan Surono (2004) adalah pangan yang secara alamiah atau telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Tiga faktor yang harus dipenuhi agar suatu produk dapat disebut pangan fungsional yaitu: 1) Produk tersebut haruslah suatu produk pangan (bukan kapsul, tablet atau bubuk) yang berasal dari bahan (ingredient) yang terdapat secara alami dengan sifat sensoris yang dapat diterima oleh konsumen; 2) Produk tersebut dapat dan selayaknya dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau
20
menu sehari-hari dan 3) Produk memiliki fungsi tertentu pada waktu dicerna, memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti memperkuat pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu tubuh untuk mengembalikan kondisi tubuh setelah terserang peyakit, menjaga kondisi fisik dan mental, memperlambat proses penuaan, dan sebagainya (BPOM 2005;
Roberfroid
2002) Komponen yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu di dalam makanan fungsional,digolongkan sebagai berikut i) Vitamin, ii) Mineral, iii) Gula alkohol, iv) Asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated fatty acids = PUFA), v) Peptida dan protein tertentu, vi) Asam amino, vii) Serat pangan, viii) Prebiotik, ix) Probiotik, x) Kolin, lisitin dan Inositol, xi) Karnitin dan skualen, xii) Isoflavon (kedelai), xiii) Fitosterol dan fitostanol, xiv) Polifenol (teh) dan xv) Komponen fungsional lain yang akan ditetapkan kemudian (BPOM 2005). Probiotik dan prebiotik merupakan bahan (ingredient) pangan fungsional, karena efek kandungan komponennya telah terbukti pada hewan dan konsumen manusia. Upaya-upaya untuk mengetahui peranan prebiotik dan probiotik dalam kesehatan manusia meningkat luar biasa pada dekade akhir ini, terutama karena adanya penurunan komponen imunitas pada saluran cerna (gut immunity) seiring dengan usia (terlihat pada Gambar 2), paparan terhadap antibiotik yang memungkinkan mengganggu keseimbangan mikroorganisme di dalam usus besar sehingga mikroorganisme patogenik dapat menimbulkan penyakit (NICUS 2007).
Gambar 2. Perubahan jumlah bakteri dalam fesesl berdasarkan usia (Mitsuoka 1978 dalam NICUS 2007)
21
Indonesia memiliki berbagai jenis makanan fermentasi tradisional yang berpotensi mengandung probiotik, salah satunya adalah dadih. Dadih adalah susu fermentasi dari susu kerbau berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Dilihat dari komposisi kimia dan nilai gizi, dadih merupakan sumber protein yang tinggi yaitu sekitar 38% yang mengandung hampir semua jenis asam amino esensial yang digunakan untuk pertumbuhan. Selain itu dadih juga menghasilkan beberapa jenis vitamin B kompleks yang merupakan komponen susu sendiri, vitamin B dan vitamin K (Surono & Hosono 1995; Akuzawa & Surono 2007). Probiotik Definisi Probiotik. Istilah probiotik pertama kali dikenalkan pada tahun 1965 oleh Stillwell dan Lilly. Dalam perkembangannya, muncul berbagai definisi probiotik. Secara sederhana, Salminen et al. (1998) diacu dalam Harish & Varghese (2008) menyatakan bahwa probiotik merupakan suplemen makanan mikroba hidup atau komponen bakteri yang telah tebukti memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan manusia. Definisi probiotik yang pertama kali diungkapkan oleh Parker (1987) adalah organisme dan unsur-unsur yang berperan dalam keseimbangan
mikroflora
usus.
Sedangkan
definisi probiotik
menurut
International Life Sciences Institute Europe (ILSI Eropa) adalah suplemen pangan
berupa
mikroba
hidup
yang
dapat
memberi
pengaruh
yang
menguntungkan bagi kesehatan dan kehidupan inangnya (Salminen et al. 2004). Definisi tersebut memiliki implikasi bahwa probiotik tidak selalu harus berupa sel hidup karena telah memiliki implikasi bahwa probiotik dalam bentuk sel yang tidak hidup juga menunjukkan pengaruh positif terhadap kesehatan inang (Ouwehand & Salminen 1998). Definisi tersebut juga tidak membatasi penggunaan probiotik sebagai bahan pangan, aplikasi dalam bentuk lain yang juga telah dilaporkan mempunyai pengaruh menguntungkan bagi kesehatan, dan tidak hanya sel mikroba utuh tetapi bagian dari sel juga telah terbukti mempunyai pengaruh terhadap kesehatan. Definisi probiotik yang lebih baru lagi dikeluarkan oleh Food and Agricultural Organization (FAO/WHO 2001), yaitu mikroorgansme hidup yang apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup akan memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi ”host”nya (Szajewska et al. 2006).
22
Syarat Probiotik. Probiotik tidak bersifat generik, tetapi strain spesifik. Probiotik akan memberikan manfaat, tergantung pada kemampuannya untuk mempertahankan viabilitasnya terhadap suasana asam dalam lambung, hingga sampai pada targetnya. Kriteria yang harus dipenuhi suatu mokroorganisme untuk dapat diklasifikasikan ke dalam probiotik, antara lain: 1) Non patogen; 2) Stabil terhadap processing, atau kemampuan untuk bertahan di dalam vehicle-nya; 3) Stabilitas di dalam asam dan empedu; 4) Adhesi pada jaringan epitel target; 5) Kemampuan untuk bertahan di dalam saluran pencernaan; 6) Produksi substansi antimikroba; 8) Kemampuan untuk memodulasi sistem imun; 9) Kemampuan untuk mempengaruhi aktivitas metabolik (Szajewska et al. 2006). Probiotik harus berada dalam jumlah minimal tertentu (dalam Colony Forming Unit/ CFU) per dosisnya. Meskipun belum ada studi mengenai hubungan dosis-respon, Natural Health Products Directorate Canada baru-baru ini merekomendasikan dosis 5 miliar CFU per hari selama 5 hari untuk probiotik. Dosis yang ditujukan untuk terapi dan pencegahan bervariasi. Asupan harian 106 hingga 109 cfu merupakan dosis minimum yang efektif untuk tujuan terapi (Szajewska 2006). Aspek keamanan probiotik juga penting untuk dipertimbangkan. Idealnya probiotik berasal dari manusia dan dari saluran pencernaan orang sehat, sebab efek positif kesehatan biasanya sangat tergantung pada lingkungan dan spesies. Strain probiotik tidak boleh bersifat patogen, atau berkaitan dengan penyakit kelainan saluran pencernaan. Selain itu bakteri probiotik juga harus tidak mentransfer gen resisten terhadap antibiotik (Surono 2004). Manfaat Probiotik. Berbagai review tentang probiotik telah secara luas dilakukan dan mengeksplorasi efek positif probiotik bagi kesehatan. Beberapa manfaat probiotik, antara lain: a. Probiotik menghambat bakteri patogen Aksi yang menyehatkan dari probiotik, tidak hanya karena zat gizinya, tetapi juga pengaruhnya terhadap lingkungan gastrointestinal (Andrellucchi et al. 2008) . Probiotik menurunkan konsentrasi bakteri endotoksin, minimal dengan cara menghambat translokasi bakteri dari lumen saluran pencernaan ke aliran darah (Vanderhoof 2001). Ini bisa disebabkan karena kemampuan probiotik untuk melekat pada barier mukosa, sehingga secara umum akan memberikan
23
efek modulasi intestinal allergy sistemik. Probiotik mencegah kolonisasi bakteri pencetus penyakit melalui kompetisi zat gizi, pengaturan system imun dan produksi antitoksin (Marteau et al, 2001). Pelekatan flora normal yang menguntungkan pada mukosa akan menghambat kolonisasi bakteri patogen pada mukosa dan menurunkan over-stimulasi sistem imun. Kolon yang sehat dengan produksi mucus yang cukup dan kolonisasi bakteri yang sesuai akan mencegah melekatnya bakteri pathogen, modulasi proses penyakit dan mencegah inflamasi (Drisko et al. 2003). Apabila mikrobiota komensal di usus mati karena antibiotik, mikroba pathogen dengan mudah mengambil tempat mikrobiota komensal (Baratawidjaja & Rengganis 2009). b. Intoleransi laktosa Strain probiotik elah terbukti mampu membantu mengatasi masalah intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa merupakan gangguan kemampuan produksi
enzim
laktase
atau
β-galaktosidase.
Laktase
penting
untuk
mengasimilasi disakarida menjadi glukosa dan galaktosa yang terdapat pada susu. Orang yang mengalami masalah intoleransi laktosa akan mengalami gangguan perut, diare, kram, flatulence, mual, muntah, dan sebagainya. Masalah lain yang berhubungan dengan intoleransi laktosa adalah defisiensi kalsium. Yogurt mengandung laktosa yang lebih sedikit dibanding susu sehingga dapat memperlambat pengosongan lambung. Bakteri harus berada keadaan hidup dengan jumlah yang cukup untuk memberikan manfaat positif. Selanjutnya penyerapan kalsium akan lebih baik dalam kondisi asam. Bila laktosa dikonversi menjadi asam laktat maka pH usus akan meningkat sehingga penyerapan kalsium juga meningkat (Survana & Boby 2003). c. Menjaga integritas brush border dan sel epitel Pemberian suplementasi probiotik LIS 10506 dan LIS 20506 dapat memungkinkan
perbaikan
intestinal
setelah
menderita
sakit
infeksi.
Sebagaimana ditunjukkan pada percobaan tikus, dimana terjadi perbaikan (recovery) brush burder pada tikus yang diberi suplementasi LIS 10506 dan LIS 20506 (Ranuh et al 2008). Salah satu pemanfaatan probiotik yang telah dikenal secara luas adalah mencegah penyakit diare. Probiotik dapat digunakan mengatasi masalah gastro intestinal pada bayi dan anak-anak. Diare akut berhubungan dengan patogen virus, bakteri maupun parasit. Probiotik meningkatkan produksi mucin usus yang mencegah pelekatan enteropatogen. Pelekatan tersebut dapat dicegah melalui
24
seric hindrance (perbedaan struktural ligan bakteri yang dapat mengganggu pelekatan pada reseptor) atau melalui inhibisi kompetitif pada tempat pelekatan (Drisko et al. 2003, Collado et al 2007). Probiotik untuk Anak dan Hasil Penelitian Pengaruh positif probiotik terhadap host berkaitan dengan peningkatan restorasi permeabilitas intestinal dan mikrobiota usus yang tidak seimbang, perbaikan fungsi barier imunologi intestinal dan penurunan respon peradangan intestinal. Penggunaan probiotik untuk kesehatan anak dihubungkan dengan peningkatan fungsi barier di dalam usus dan penurunan risiko penyakit. Sejumlah produk susu yang difermentasi telah dikembangkan dengan menggunakan strain Lactobacillus dan Bifidobacteria tertentu. Meskipun sebagian besar produk telah digunakan secara aman selama bertahun-tahun, hasil-hasil penelitian ilmiah masih perlu dievaluasi secara hati-hati sebelum merekomendasikan penggunaan produk tersebut secara luas, terutama pada anak-anak (Dinkci 2006). a. Kesehatan saluran cerna Lactobacillus rhamnosus GG secara konsisten menunjukkan penurunan durasi diare akut bayi yang disebabkan oleh infeksi rotavirus sampai 50%. Strain ini juga bermanfaat sebagai profilaksis diare pada anak-anak kurang gizi, terutama pada bayi yang tidak mendapat ASI. Mekanisme yang mendasari efek positif ini diduga berhubungan dengan simulasi respon imun dan/atau peningkatan integritas mukosa usus (NICUS 2007). E. faecium IS-27526 memiliki kemampuan menghambat, berkompetisi dan memindahkan pathogen (Colado et al, 2007). b. Probiotik dan Kesehatan Anak Probiotik dikonsumsi dalam bentuk makanan oleh anak-anak, dan toleransi serta keamanan konsumsi jangka panjang, jenis dan strain bakteri tertentu belum terdokumentasi dengan baik. Penelitian tentang toleransi dan keamanan konsumsi jangka panjang formula bayi yang mengandung bakteri probiotik
hidup
(Bifidobacterium
lactis
dan
Sterptococcus
thermophilus)
memperlihatkan bahwa suplementasi formula dengan probiotik mempunyai toleransi yang baik dan menghasilkan pertumbuhan yang cukup. Frekuensi kolik atau iritabilitas dan penggunaan antibiotik menurun secara signifikan. Bayi yang
25
menerima formula yang telah disuplementasi dengan probiotik cenderung lebih kecil dalam hal kebutuhan dukungan perawatan kesehatan (NICUS 2007). c. Manfaat probiotik terhadap pencegahan Inflammatory Bowel Disease Probiotik cukup penting perannya dalam treatment inflammatory bowel disease pada bayi dan anak-anak (Vanderhoof & Young 2002; Reid 2002; Young & Huffman 2003 diacu dalam Dincki 2006). Laporan terkait mengindikasikan adanya efek positif intervensi probiotik dalam mengembalikan gangguan imunologi dan normalisasi permeabilitas intestinal pada anak yang mengalami Crohn’s disease. d. Alergi Dasar pemikiran penggunaan probiotik untuk pencegahan alergi adalah dengan memberikan stimulasi mikroba pada sistem imun host, melalui kultur mikroorganisme hidup yang bersifat menguntungkan. Studi di Finlandia menunjukkan adanya penurunan kejadian alergi susu pada bayi yang diberi Lactobacillus GG selama masa-masa awal bayi. Perlakuan ini nampaknya juga menurunkan tingkat keparahan allergic eczema (Vanderhoof & Young, 2002 diacu dalam Dincki, 2006). Lactobacillus GG diketahui dapat memperbaiki gejala klinis dermatitis pada anak yang diberi formula whey yang telah disuplementasi dengan probiotik. Hal ini berhubungan dengan kemampuan mikroorganisme tersebut untuk mengubah permeabilitas intestinal maupun melalui pengaruh langsung pada respon imun intestinal (Davidson & Butler, 2000 diacu dalam Dincki 2006). e. Mengurangi gangguan pencernaan dan intoleransi laktosa Penggantian
susu
dengan
yogurt
atau
produk
susu
fermentasi
mendukung perbaikan pencernaan dan menurunkan diare serta gejala lain yang berhubungan dengan intoleransi laktosa. Manfaat serupa juga teridentifkasi pada bayi yang mengalami defisiensi sukrase, yang menyebabkan diare dari proses pencernaan
sukrosa.
Terapi
dengan
Saccharomyces
cerevisiae,
dapat
memperbaiki pencernaan sukrosa karena mengandung enzim sukrase (Drisko et al. 2003). Probiotik Enterococcus faecium IS-27526 Bakteri Enterococcus faecium IS-27526 merupakan salah satu strain probiotik yang potensial sebagai probiotik (Collodo et al 2007; Riewpassa, 2006;
26
Rusilanti, 2003; Surono, 2003). Bakteri yang digunakan sebagai probiotik pada umumnya adalah bakteri asam laktat (BAL). Probiotik Enterococcus faecium IS27526 ini merupakan hasil isolasi dadih. Dadih adalah produk
susu kerbau
fermentasi tradisional asal Sumatera Barat yang telah terbukti berperan sebagai probiotik karena tahan pH rendah, garam empedu, mampu melakukan agregasi, menempel, dan berkolonisasi di usus, bahkan berinteraksi melawan patogen (Colado et al. 2007). Penelitian mengenai penempelan bakteri asam laktat yang diisolasi dari dadih mengindikasikan bahwa setelah perlakuan pemanasan persentase hidrofobik meningkat dari 9,6% menjadi 17,8% untuk semua bakteri asam laktat, yaitu E. faecium IS-16183, E. faecium IS-23427, E. faecium IS27526, L. plantarum IS -10506, L. plantarum IS-20506 (Collado et al. 2007). Hal serupa juga dilakukan pada sejumlah balita melalui pemberian diet E. faecium IS-27526 dapat meningkatkan sekresi antibodi IgA tanpa menimbulkan keluhan yang berarti pada saluran pencernaan. Selanjutnya secara in vitro, E. faecium IS-27526 terbukti memiliki kemampuan menempel dan membentuk koloni pada epitel saluran pencernaan (Surono 2004). Hasil-hasil studi efikasi praklinis terhadap hewan percobaan tikus yang telah dilakukan di Indonesia menunjukkan adanya manfaat dari penggunaan probiotik Enterococcus faecium IS-27526, disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Studi Praklinis efikasi probiotik Enterococcus faecium IS-27526 Studi Harianti (2009)
Bahan Biskuit ikan lele tinggi protein berisi krim probiotik E faecium IS-27526
Kusharto et Biskuit Garut dan al. (2009) tinggi protein yang berisi krim probiotik E faecium IS-27526
Hewan coba dan Lama Perlakuan
Hasil
Tikus jantan jenis Sprague Dawley, 21 hari
Meningkatkan BAL feses dan menurunkan jumlah bakteri koliform feses dan memberikan dampak positif terhadap peningkatan rata-rata berat badan.
Tikus jantan jenis Sprague Dawley, 21 hari
Meningkatkan BAL feses dan memberikan dampak positif terhadap peningkatan rata-rata berat badan tikus.
Beberapa hasil studi efikasi klinis di Indonesia juga telah menunjukkan adanya manfaat dari penggunaan probiotik Enterococcus faecium IS-27526, disajikan pada Tabel 7.
27
Tabel 7 Studi klinis efikasi probiotik Enterococcus faecium IS-27526 Studi
Bahan
Hasil
Sasaran dan Lama
Koestomo FFP (2004)
Dadih IS-27526
Memperbaiki fungsi saluran pencernaan. Tidak signifikan memberikan peningkatan IgA serum total, namun berpotensi memberikan peningkatan lebih baik daripada kontrol.
Balita, 3 bulan
Rieuwpassa F ( 2005)
Biskuit konsentrat ikan laut dan Enterococcus faecium IS-27526
Pertambahan BB, TB dan Status gizi (Z skor BB/U, TB/U, BB/TB) lebih tinggi dibanding kontrol, namun tidak berbeda nyata
Balita, 3 bulan
Memperbaiki antibody anak (Immunoglobulin A) 107,6 mg/dl dan pertumbuhan BAL pada 6 mikroba usus (1,5 x 10 koloni/g) Rusilanti (2006)
Susu plus Probiotik Enterococcus faecium IS-27526
Pemberian susu UHT plus probiotik dapat meningkatkan konsentrasi total IgA lansia 0,251 mg/ml dari konsenrasi 0.245 mg/ml menjadi 0.496 mg/ml.
Lansia, 3 minggu
Prebiotik Definisi Prebiotik. Konsep pertama tentang prebiotik, merujuk pada komponen pangan yang tidak dapat dicerna, namun memiliki manfaat potensial bagi kesehatan host yang
secara
selektif
mendukung
pertumbuhan
atau
aktivitas
koloni
mikroorganisme di dalam usus besar (Gibson & Roberfroid, 1995 diacu dalam Venter 2007). Berdasar hasil-hasil penelitian mengenai prebiotik yang dalam 10 tahun terakhir ini semakin banyak dipublikasikan, Gibson et al. (2004) baru-baru ini meninjau kembali konsep awal prebiotik, terutama mengenai 3 aspek kunci definisi prebiotik:1) resistansi terhadap pencernaan; 2) fermentasi oleh mikroflora usus besar; dan 3) efek tertentu pada flora yang mendukung manfaat kesehatan. Definisi terbaru tentang prebiotik adalah bahan pangan fermentasi tertentu yang dapat mendorong perubahan tertentu terhadap komposisi dan aktivitas mikroflora dalam organ pencernaan dan memberikan manfaat lebih bagi kesehatan dan kesejahteraan (Venter 2007).
28
Sumber prebiotik. Komponen pangan yang secara ilmiah terbukti memberikan manfaat sebagai prebiotik
mungkin baru
inulin, oligofruktosa,
laktulosa, galakto
oligosakarida (GOS) dan fruktosa oligosakarida (FOS). Asupan harian prebiotik dapat ditingkatkan melalui konsumsi secara rutin beberapa jenis pangan seperti bawang daun, artichoke, bawang putih, bawang bombay, gandum dan produk gandum, asparagus, dan pisang. Belum ada rekomendasi khusus mengenai kecukupan prebiotik. Namun, dosis 4-20 gram per hari telah menunjukkan efikasi. Prebiotik potensial lain yang hingga saat ini masih dalam penelitian di antaranya saccharides,
xylooligosaccharides,
lactitol,
soyoligosaccharides,
isomaltooligosaccharides dan
glucooligo
gentiooligosaccharides (NICUS
2008). Air Susu Ibu (ASI) merupakan sumber prebiotik berupa oligosakarida. Sinbiotik Probiotik dan Prebiotik. Sinbiotik adalah efek yang ditimbulkan dari kombinasi spesifik pemberian prebiotik dengan probiotik untuk memperoleh manfaat kesehatan tertentu dari aksi sinergi. Sinbiotik didefinisikan sebagai campuran dari probiotik dan prebiotik yang memberikan efek yang menguntungkan bagi host dengan meningkatkan daya tahan dan keberadaan mikroorganisme hidup yang menguntungkan di dalam usus, melalui stimulasi pertumbuhan mikroorganisme dalam usus, dan/ atau mengaktivasi metabolisme bakteri yang menunjang kesehatan (Gambar 3). Produk
sinbiotik
mempunyai
potensi
meningkatkan
kesehatan,
tetapi
memerlukan penelitian lebih lanjut pada manusia agar dapat ditetapkan rekomendasi secara ilmiah (NICUS 2007).
Gambar 3 Konsep sinergi probiotik dan prebiotik terhadap host (Harish & Varghese 2006).
29
KERANGKA PEMIKIRAN
Masalah gizi kurang pada balita bukanlah merupakan hal yang baru, namun masalah ini tetap aktual. Masalah gizi kurang tersebut makin serius semenjak Indonesia mengalami krisis dan diperparah dengan sering adanya berbagai bencana alam. Riskesdas (Depkes 2008) menunjukkan di Indonesia periode 2005-2007, telah terjadi perbaikan status gizi balita yang melampaui target pembangunan jangka menengah (20%), namun masih belum merata dan bahkan masih terdapat 19 propinsi dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang masih cukup tinggi. Masalah gizi kurang (KEP) dapat diatasi dengan secara lebih berkelanjutan dengan pendekatan ketersediaan dan konsumsi pangan (food based approach). Intervensi yang dikhususkan untuk balita yang menderita masalah Kurang Energi Protein (KEP) dikenal dengan sebutan PMT-Pemulihan (PMT-P). Makanan tambahan (PMT) biskuit fungsional adalah biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedele, selain mengandung zat gizi (terutama energi dan protein) yang padat, juga mengandung probiotik Enterococcus faecium IS-27526 yang sudah dimikroenkapsulasi. Kandungan energi dan protein yang bermutu tinggi (asam amino yang relatif lengkap) dari biskuit fungsional tersebut akan dapat mempercepat penambahan kuantitas dan kualitas
asupan gizi balita KEP.
Namun besarnya tambahan asupan gizi yang diperoleh, juga tergantung seberapa
tingkat
kepatuhan dalam mengkonsumsi makanan
tambahan.
Keberadaan probiotik dalam biskuit fungsional tersebut akan dapat mendukung keseimbangan mikrobiota usus yang berhubungan dengan GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue).
Selain adanya perbaikan dan peningkatan
struktur dan fungsi saluran pencernaan (gastro intestinal tract) serta peningkatan keseimbangan koloni mikrobiota usus, probiotik juga akan dapat berefek pada gastro intestinal mucosa yang menstimulasi respon imun non spesifik dan spesifik sebagai sistem pertahanan tubuh. Pertahanan pertama tubuh (non spesifik), diantaranya adalah sistem sekresi IgA, yang memproduksi antibodi mukosa berupa sIgA. Fungsi utama sekresi antibodi adalah mediasi terhadap benda-benda asing. Selain itu keberadaan probiotik, zat gizi dan komponen lain (prebiotik) juga dapat berperan
dalam meningkatkan metabolisme tubuh
(absorbsi gizi) dan memperbaiki selera makan.
30
Kecukupan konsumsi gizi balita, selain dipengaruhi biskuit fungsional, juga ditentukan oleh jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari (konsumsi harian).
Konsumsi makanan harian balita, selain dipengaruhi
langsung oleh ketersediaan pangan keluarga dan pola asuh, secara tidak langsung dipengaruhi oleh kondisi (sosial ekonomi demografi) keluarga. Status gizi balita, secara langsung dipengaruhi konsumsi zat gizi, secara langsung juga dipengaruhi morbiditas, terutama penyakit infeksi seperti ISPA dan diare. Tingkat morbiditas pada balita, selain secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi dan respon imun, juga dipengaruhi oleh kualitas dari pola pengasuhan yang meliputi: pola pemberian maka, pola akses pelayanan kesehatan dasar dan hygiene serta sanitasi lingkungan fisik dimana balita tinggal. Infeksi sering terjadi pada anak usia balita karena sistem imun yang belum matang. Timbulnya suatu penyakit pada masyarakat tertentu pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara
masyarakat
(penduduk)
setempat
dengan
berbagai
komponen
dilingkungannya, dimana dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat termasuk balita berinteraksi dengan pangan, udara, air serta serangga. Adanya tambahan konsumsi berupa biskuit fungsional yang mengandung protein yang bermutu tinggi serta sekaligus didukung adanya perbaikan penyerapan gizi, peningkatan nafsu makan dan peningkatan respon imunitas humoral sebagai efek dari probiotik biskuit fungsional, maka adanya sinergi tersebut akan sangat memungkinkan dapat mempercepat perbaikan status gizi dan penurunan kejadian sakit infeksi balita yang menderita berat badan rendah (BBR). Balita yang menderita masalah gizi kurang (malnutrisi) terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa jenis zat gizi yang dibutuhkan. Masalah gizi kurang merupakan penyebab utama dari penurunan imunitas yang secara langsung berdampak pada respon phase akut dan mudah meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan infeksi pada umumnya, baik infeksi akut maupun kronis.
31
Profil gut micro flora
Biskuit Fungsional
Konsumsi tambahan
Tingkat kepatuhan
Nafsu makan
Absorbsi zat gizi
Konsumsi balita
Konsumsi harian
Respon imun humoral (sIgA)
Morbiditas ( penyakit & infeksi)
Status Gizi
Pola Asuh: -pemberian makan
Ketersediaan pangan - Sumber pangan - Sumber prebiotik
-akses yan dasar -higiene
Karakteristik :
Sanitasi Lingkungan
Sosial -ekonomi – demografi keluarga
Ket : ---- tidak diteliti
Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian efikasi biskuit fungsional sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan status gizi, respon imun humoral (sIgA) dan morbiditas balita berat badan rendah (BBR)
32
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan efikasi (pengaruh) PMT biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai
dan
probiotik E. faecium IS-27526 (biskuit fungsional) dan biskuit kontrol terhadap status gizi (Z-skor BB/U, TB/U dan BB/TB) balita dengan berat badan rendah (BBR) 2. Terdapat perbedaan efikasi (pengaruh) pemberian makanan tambahan (PMT) biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai
dan probiotik E. faecium IS-27526 (biskuit
fungsional) dan biskuit kontrol terhadap respon imun humoral (sIgA) balita dengan berat badan rendah (BBR). 3. Terdapat perbedaan efikasi (pengaruh) PMT biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai
dan
probiotik E. faecium IS-27526 (biskuit fungsional) dan biskuit kontrol terhadap morbiditas (diare dan ISPA) balita dengan berat badan rendah (BBR)
Secara matematis, hipotesis tersebut dituliskan sebagai berikut: H0 : µ 0 -µ 1 = 0 H1 : µ 0 -µ 1 ≠ 0 Penjelasan: µ 0 = rata-rata status gizi, respon imun humoral (sIgA) dan morbiditas balita yang tidak mendapat makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 (biskuit kontrol). µ 1 = rata-rata status gizi, respon imun humoral (sIgA) dan morbiditas balita yang
mendapat makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan
tepung protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 (biskuit fungsional)
Definisi operasional dan hasil ukur dari variabel-varibel penelitian disajikan secara lengkap pada Tabel 8.
33
Tabel 8. Definisi Operasional No
Variabel
Definisi
1.
Biskuit fungsional
Produk makanan kering dibuat dengan cara memanggang adonan berbasis bahan dasar protein ikan, isolat protein kedelai, terigu, susu bubuk, gula, margarin, mentega, telur serta soda kue dan baking powder, ditambah krim yang mengandung probiotik E. faecium 8 cfu/hari) yang IS-27526 (10 dimikroenkapsulasi. Semua pangan (makanan harian dan biskuit fungsional) yang dimakan oleh balita yang diterjemahkan ke dalam zat gizi
2
Konsumsi gizi
3
Tingkat kepatuhan
4.
Balita berat badan rendah (BBR)
5
Status gizi
Tingkat keadaan gizi balita sebagai gambaran perbandingan berat badan, tinggi badan dan umur terhadap baku antropometri WHO 2006
6
Profil mikrobiota
7
Respon imun humoral
8
Antibodi Imunoglobulin A sekretori
9
Morbiditas (penyakit dan infeksi)
Jenis (spesies) mikrobiota yang dieksaminasi dari feses anak balita dengan metode Polymerase Chain Reaction ( PCR). Resistensi tubuh terhadap penyakit yang ditandai dengan muncul dan meningkatnya konsentrasi parameter humoral spesifik sekresi antibodi (sIgA) untuk mempertahan kan daya tahan tubuh dengan cara melawan antigen yang masuk dalam tubuh Komponen utama imunoglobulin A berupa IgA sekretori (sIgA) yang ditemukan dalam feses balita dengan metode sandwich ELISA Kejadian sakit ISPA dan diare (frekuensi dan lama) yang pernah diderita balita selama masa intervensi.
Tingkatan ketaatan sasaran dalam mengikuti intervensi pemberian makanan tambahan biskuit fungsional yang diukur melalui persentasi biskuit yang dikonsumsi. Keadaan balita yang diukur menggunakan indikator berat badan menurut umur (BB/U) dengan nilai Z-skor < -2 SD
Hasil Ukur
a. Rasio dalam satuan zat gizi (Kal, g, mg, RE) b. Ordinal (%): 1 = < 70 % 2= 70 – 90% 3 ≥ 90 % a. Rasio dalam persen (%) b. Ordinal (%): 1 = < 50 % 2 = 50 – 70 % 3 ≥ 70 % a. Gizi kurang (tingkat keparahan BBR ringan) : Z skor -2 s/d -3 SD b. Gizi buruk (tingkat keparahan BBR sedang/ berat : Z-skor < - 3 SD a. Rasio dalam nilai Z-skor b. Ordinal : Z skor < - 3,0 Z skor -3,0 s/d -2,0 Z skor -2,0 s/d 2,0 Z skor ≥ 2,0 Nominal, jenis bakteri : 1. Bifidobacterium 2. Escherichia coli 3. Enterococcus faecium Rasio dalam µg/g sampel feses basah
Ordinal (µg/g): 1 = < 1,9 µg/g 2 = 1,9 - 5,7 µg/g 3 ≥ 5,7 µg/g Nominal, jenis penyakit : 1:ISPA, 2: Diare Rasio, frekuensi sakit (kali) ,lama (hari), episode (kali/4 bln)
34
No 10
Variabel Pola asuh
11
Sanitasi lingkungan fisik
12
Sosial ekonomi keluarga
Definisi Praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan ibu/pengasuh pada balita terkait dengan pemberian makan, akses pelayanan dasar dan hidup bersih sehat (higiene) Pola asuh makan adalah praktekpraktek yang diterapkan pada balita meliputi: riwayat pemberian ASI dan cara pemberian makanan Pola akses pelayanan dasar adalah praktek-praktek yang diterapkan pada balita terkait pencarian pelayanan gizi dan pelayanan kesehatan. Pola asuh higiene (hidup sehat) adalah praktek-praktek yang diterapkan pada balita terkait kebiasaan hidup bersih dan teratur (mandi, cuci tangan) Keadaan fisik tempat tinggal yang meliputi rumah, MCK dan sumber air Keadaan keluarga berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan,besar keluarga dan pengetahun gizi kesehatan Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang ditamatkan orangtua/pengasuh balita Pekerjaan adalah jenis kegiatan produktif yang dilakukan orangtua/ pengasuh untuk memenuhi kebutuhan keluarga Pendapatan adalah jumlah penghasilan (nilai uang) keluarga yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga dalam satu bulan terakhir Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga Pengetahuan Gizi Kesehatan adalah penguasaan pengetahuan dalam bidang gizi dan kesehatan anggota RT (ibu/pengasuh) yang diyatakan dengan nilai skor dari jawaban yang benar
Hasil Ukur
Ordinal: 1. Buruk = < 60 % 2. Cukup = 60 – 74.9% 3 Baik ≥ 75 % Ordinal: 1. Buruk = < 60 % 2. Cukup = 60 – 74.9% 3. Baik ≥ 75 % Ordinal: 1. Buruk = < 60 % 2. Cukup = 60 – 74.9% 3. Baik, ≥ 75 % Ordinal: 1. Buruk = < 60 % 2. Cukup = 60 – 74.9% 3. Baik ≥ 75 %
Ordinal meliputi: 1) Tidak sekolah,2) SD, 3) SLTP, 4) SLTA, dan 5) PT Nominal meliputi:1) Tidak bekerja, 2) Petani, 3) Dagang,4) PNS, Nelayan, 7) lainnya Ordinal berdasarkan kuintil: - (Rp/keluarga/bulan) - (Rp/kapita/bulan) Ordinal (orang): 1) ≤ 4, 2) 5 -6 dan 3) ≥ 7 a. Rasio dalam persen (%) b. Ordinal (%): 1 = < 60 % 2= 60 – 74.9% 3 ≥ 75 %
35
BAHAN DAN METODE
Jenis Penelitian Penelitian ini adalah studi efikasi, yang merupakan bagian dari penelitian payung Hibah Hi Link IPB - Dikti 2008/2009 (Kusharto et al. 2009). Penelitian dilakukan dengan 2 tahap yaitu: Tahap pertama adalah melakukan inventarisasi dan observasi kegiatan penelitian tahap sebelumnya dalam pengembangan teknologi dan reformulasi produk olahan biskuit fungsional, uji pre klinis secara in vivo pada percobaan hewan tikus serta penyiapan produk intervensi. Tahap kedua adalah melakukan eksperimental trial pada manusia berbasis komunitas untuk menilai efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 (biskuit fungsional) pada balita BBR berusia 2-5 tahun. Tahapan Penelitian Tahap pertama adalah penyiapan produk biskuit fungsional dan krim probiotik yang digunakan dalam penelitian eksperimental di masyarakat, meliputi: a. Produk biskuit fungsional yang digunakan adalah biskuit hasil penelitian Hibah Link (Kusharto et al. 2009), dengan bukti kelayakan ilmiah sebagai berikut: 1) Formula biskuit fungsional yang digunakan dengan komposisi disajikan pada Tabel 9. Hasil uji organoleptik lebih 70 persen ibu balita menyukai biskuit fungsional dan hasil Paired samples T test tidak ada beda nyata (p<0.05) penerimaan dengan biskuit balita komersial. Selain itu juga telah dilakukan pengujian tingkat keawetan hingga 6 bulan
(Kusharto et al.
2009; Mervina 2009). Tabel 9. Komposisi makanan tambahan biskuit fungsional dan kontrol Komposisi Bahan Tepung Ikan lele - Tepung daging - Tepung kepala Tepung terigu Isolat Protein kedelai Telur ayam Gula bubuk Margarin Mentega Susu Jumlah
Biskuit kontrol / biasa
Biskuit Fungsional
Berat (g)
%
Berat (g)
%
0 0 400 0 180 180 90 90 60
0 0 40 0 18 18 9 9 6
35 15 250 100 180 180 90 90 60
3.5 1.5 25 10 18 18 9 9 6
1000
100
1000
100
36
Komposisi Bahan
Biskuit kontrol
Biskuit Fungsional
8 4 23.20 9.07 60.92 488.8
8 4 23.78 23.08 46.76 489.4
Baking powder Soda kue Lemak % Protein % Karbohidrat % Energi (Kal/100 g)
Hasil pengukuran daya cerna protein dengan metode enzimatik secara in vitro sebesar 89.34% (Mervina 2009), tergolong sedang karena nilainya menyerupai daya cerna kacang-kacangan (FAO/WHO/UNU 1994). 2)
Hasil
uji pre klinis
Laboraturium
Hewan
biskuit fungsional secara in vivo pada tikus di Puslibang
Gizi dan
Makanan,
Departemen
Kesehatan, Bogor menunjukkan pemberian biskuit fungsional (krim probiotik dan biskuit tinggi protein) secara nyata memberikan manfaat meningkatkan jumlah BAL fekal dan menurunkan jumlah koliform fekal secara in vivo (Kusharto et al. 2009; Harianti 2009). b) Produk krim probiotik Enterococcus faecium IS-27526 yang digunakan dengan komposisi disajikan pada Tabel 10. Formula dasar krim yang digunakan adalah modifikasi hasil penelitian Rieuwpassa (2005). Modifikasi dilakukan
berupa
penambahan
probiotik
yang
dimikroenkapsulasi
(penyalutan) dengan metode Fluid Bed Drier (FBD) untuk mempertahankan viabilitas probiotik dari lingkungan yang ekstrim pada saat melewati saluran pencernaan dan saat penyimpanan sehingga daya simpan probiotik menjadi lebih panjang dan meningkatkan jaminan keamanan. Tabel 10. Komposisi krim probiotik dan krim kontrol per 100 g Krim Kontrol Komposisi bahan - Mentega (unsalted) - Margarin - Gula halus - Susu cair - Probiotik Warna Energi (Kal/100 g) Lemak % Protein % Karbohidrat %
10 g 10 g 75 g 5 ml Tidak ada Putih- kuning 435.5 2.33 0.65 91.21
Krim Probiotik 10 g 10 g 75 g 5 ml Enterococcus faecium IS-27526 (0.14 g) Putih-kuning 435.5 2.33 0.65 91.21
37
Proses mikroekapsulasi dan pencampuran probiotik dalam krim. Tempat proses mikroenkapsulasi FBD (Fluid Bed Drier) dilakukan di Laboratorium Riset dan Pengembangan Kimia Farma Bandung, sedangkan pembuatan krim probiotik dan krim kontrol (non probiotik) dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Institut Teknologi Indonesia, Serpong Tangerang. Proses mikroenkapsulasi dilakukan dengan menggunakan bahan meliputi: kultur E. faecium IS-27526 (2.5 g), bahan pengisi Avicel pH 101 (89.5 g), bahan penyalut pertama Na-alginat (1.5 g dalam 100 ml aquades) dan penyalut kedua CaCl 2 0,1M (1.1 g dalam 100 ml aquades) serta susu skim sebagai prebiotik (9 g). Proses penyalutan dilakukan dengan metode suspensi udara. Pada proses fluidasi, partikel padat akan mengalir ke atas melalui bagian yang disebut ’bed’ dan ketika laju aliran gas mencapai titik kritis (laju fluidisasi minimun), partikel padat akan tersuspensi secara merata. Alur proses mikroenkapsulasi (penyalutan) disajikan pada Lampiran 2. Proses pencampuran probiotik kedalam krim. Proses pembuatan krim diawali dengan mencampurkan mentega dan margarin. Kemudian dilanjutkan dengan penambahan gula dan susu. Adonan diaduk menggunakan mixer sampai tercampur merata. Setelah cukup homogen ditambahkan probiotik ke dalam campuran dan diaduk kembali sampai kalis dan homogen, kemudian krim dikemas menggunakan aluminium foil. Hasil pengujian krim probiotik E. faecium IS-27526
yang telah
dimikroenkapsulasi dengan viabilitas BAL adalah 7.4 x 1010 cfu/hari. Untuk memperoleh manfaat bagi kesehatan (108cfu/hari), maka penambahan dalam krim 1.4 g pelet/kg krim. Tahap II (Kedua) Tahap kedua adalah
uji pengaruh (efikasi) pemberian makanan
tambahan biskuit fungsional yang diperkaya protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik pada kelompok sasaran terpilih di masyarakat. Disain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan di masyarakat dengan menggunakan desain Randomized Controlled Trial (RCT) Double Blind Pre-post Study yaitu kondisi dimana peneliti dan subyek penelitian tidak mengetahui secara rinci jenis perlakuan apa yang diberikan pada masingmasing balita contoh penelitian. Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan dan alokasi contoh ke dalam kelompok perlakuan secara acak (random assigment). Produk
38
biskuit intervensi (perlakuan dan kontrol) memiliki bentuk,ukuran dan kemasan yang sama sehingga masing-masing contoh penelitian maupun tim peneliti tidak mengetahui jenis perlakuan yang diterima. Tempat dan Waktu penelitian Penelitian dilakukan pada anak balita berusia 2-5 tahun yang menderita berat badan rendah (nilai Z-skor BB/U < -2 SD) di 4 wilayah Puskesmas yaitu Cikakak, Bantargadung, Warungkiara dan Kedudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kondisi wilayah ke-4 (empat) puskesmas tersebut diharapkan dapat mewakili sebaran wilayah di Kabupaten Sukabumi, dimana wilayah kerja Puskesmas Cikakak merupakan wilayah pesisir, Puskesmas Bantar Gadung dan Warungkiara
merupakan
wilayah
dataran
rendah-menengah,
sedangkan
Puskesmas Kedudampit merupakan wilayah dataran tinggi (pegunungan). Puskesmas Bantargadung digabungkan Warungkiara dalam satu kelompok tipe wilayah karena memiliki karakteristik relatif sama dan merupakan puskesmas baru (semula Pustu Puskesmas Warungkiara). Pemilihan lokasi penelitian dipilih secara langsung (purposive) berdasarkan analisis Profil Kabupaten Sukabumi dan rekomendasi Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi. Penelitian eksperimental di masyarakat ini dilakukan selama 12 bulan atau 1 tahun, dengan lama intervensi pemberian makanan tambahan biskuit selama 90 hari yaitu pada Juni hingga September 2009. Populasi dan Contoh Populasi awal penelitian adalah anak balita berusia 2-5 tahun dengan berat badan rendah (Z-skor BB/U < -2 SD) di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Populasi penelitian adalah anak balita berusia 2-5 tahun dengan berat badan rendah (nilai Z-skor BB/U < -2 SD) di 4 (empat) wilayah puskesmas terpilih. Contoh (subyek penelitian) adalah anak balita berusia 2-5 tahun dengan berat badan rendah (nilai Z-skor BB/U < -2 SD) di 4 wilayah Puskesmas terpilih (Cikakak, Bantargadung, Warungkiara dan Kedu Dampit) Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, kriteria inklusi disajikan pada Tabel 11 dan kriteria eksklusi Tabel 12. Tabel 11. Kriteria inklusi untuk penentuan contoh No 1. 2. 3 4 5
Kriteria Berumur 2 – 5 tahun (24- 57 bulan) Berat badan rendah (nilai Z-skor BB/U < -2 SD) Sehat (tidak menderita infeksi sekunder) berdasarkan pemeriksaan dokter Tidak mempunyai alerqi berat berdasarkan medical questionnaire Tidak mengkonsumsi antibiotik dan/atau laxative (4 minggu sebelum penelitian)
39
Tabel 12. Kriteria eksklusi untuk penentuan contoh No 1. 2. 3. 4.
Kriteria Mempunyai kelainan kongenital/cacat bawaan Menerima PMT yang serupa dari penelitian atau program PMT lain Tidak Menyetujui Informed consent Berpatisipasi dalam penelitian lain
Besar contoh (ulangan) Penelitian ini membandingkan antara beberapa perlakuan, maka menggunakan Hypothesis test for two population means (two-sided test) (Lemeslow 1999; Kuntoro 2008). Dengan menetapkan salah jenis pertama sebesar α, power test sebesar 1-β, dan perbedaan rata-rata respon imun perlakuan sebesar µ , maka rumus untuk menghitung besar contoh (ulangan) ditentukan sebagai berikut : 2 σ2 (Z 1-α/2 + Z 1-ß )2 n = ------------------------------(μ 1 – μ 2 )2 Keterangan: Z1- α/2 = suatu nilai sehingga P(Z> z α ) =1-α/2 , Z adalah peubah acak normal baku Z1- β = suatu nilai sehingga P(Z> z β ) =1-β , Z adalah peubah acak normal baku
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rieupassa (2005), pengaruh pemberian biskuit konsentrat protein ikan teri dan probiotik terhadap respon imun humoral (kadar Imonoglobulin A atau IgA) balita, dengan mengambil salah jenis pertama (tingkat kesalahan) α=0.05, and power test sebesar 1-β=0.90 or β=0.1, σ = 3.28 perubahan IgA (mg/dl) perlakuan biskuit kontrol (µ0) = 3.93 dan perlakuan biskuit Konsentrat Protein Ikan (µ1)= 8.23, kemudian disubstitusikan ke dalam rumus diatas dan dihitung menggunakan software komputer, maka diperoleh n contoh sebesar 13. Berdasarkan hasil komputasi di atas, maka ulangan percobaan dilakukan 13 kali perlakuan termasuk kontrol, kemudian ditambah 40% (1.4 kali) kemungkinan gagal sehingga jumlah contoh penelitian menjadi 18 per kelompok perlakukan. Karena terdapat 5 perlakuan, maka jumlah total contoh adalah 18 x 5 = 90 anak balita dengan BBR. Dengan mempertimbangkan berbagai tipologi wilayah Kabupaten Sukabumi, maka contoh dialokasikan dengan proporsi yang sama di ketiga tipe wilayah puskesmas yaitu 30 balita tiap wilayah puskesmas (pesisir, dataran rendah dan dataran tinggi), disajikan pada Tabel 13.
40
Tabel 13.
Rincian jumlah contoh menurut perlakuan dan wilayah Wilayah Puskesmas
Perlakuan
Jumlah
Jumlah
Cikakak (Pesisir)
Warungkiara /B. gadung (Dataran Rendah)
Kedudampit (Dataran Tinggi)
Awal Intervensi
Akhir Intervensi
6
6
6
18
18
6
6
6
18
15
6
6
6
18
16
6
6
6
18
18
6
6
6
18
16
30
30
30
90
83
P0 : kontrol (Biskuit P1 P2 P3 P4
biasa + Krim non probiotik) : Biskuit tinggi protein + Krim non probiotik : Biskuit biasa + krim probiotik :Biskuit biasa + krim probiotik (rutin tiap hr) : Biskuit tinggi protein+ krim probiotik (sela 1 hr)
Jumlah
Keterangan : DO 7 balita pada akhir intervensi
Prosedur Sampling Contoh penelitian diseleksi dari balita berusia 2-5 tahun yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pertama, mendaftar balita berusia 2-5 tahun dengan BBR (Z-skor BB/U <-2 SD) yang diperoleh dari daftar balita hasil PSG terakhir di 4 wilayah kerja puskesmas terpilih. Kedua, untuk mencapai validitas eksternal yang baik, maka dilakukan penapisan dengan pengukuran antropometri, pemeriksaan klinis dan wawancara menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi.
Balita
dimasukan
kerangka sampling, apabila balita tersebut
memenuhi persyaratan (inklusi dan eksklusi) yang telah ditetapkan. Ketiga, setelah dipilih 30 balita contoh secara acak sederhana dari kerangka sampling di masing-masing (tiga) wilayah puskesmas (dataran rendah, dataran tinggi dan pesisir), selanjutnya dilakukan random
allocation untuk masing-masing
kelompok perlakuan 6 contoh (Gambar 5). Variabel penelitian Variabel penelitian terdiri dari variabel tidak bebas yaitu status gizi balita, morbiditas, respon imun humoral (sIgA) dan variabel bebas yaitu perlakuan makanan tambahan berupa paket biskuit yaitu 4 biskuit fungsional dan 1 biskuit kontrol.
41
Populasi Balita di 3 tipe wilayah Puskesmas
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi Contoh Penelitian
Random allocation (90 contoh, masing-masing wilayah 30) • Puskesmas pesisir (30) • Puskesmas dataran rendah/sedang (30) • Puskesmas dataran tinggi (30)
5 kelompok (P0,P1,P2,P3,P4) di 3 wilayah masing-masing perlakuan 6 contoh
P
P
0 P 0 P 0
1 P 1 P 1
18 H -7 hr
P 2 P 2 P 2
18
18
P 4 P 4 P 4
P 3 P 3 P 3
18
18
Pemberian obat cacing (deworming)
Base line 0 bulan (0 hr)
Pengukuran parameter (status gizi, respon imun, asupan E & P, morbiditas)
Bulan 1 (30 hr)
Pengukuran parameter (status gizi, asupan, kepatuhan konsumsi biskuit, morbiditas)
Bulan 2 (60 hr)
Pengukuran parameter (status gizi, respon imun, asupan E&P kepatuhan konsumsi biskuit, morbiditas)
End line 3 bulan (90 hr)
Pengukuran parameter (status gizi,asupan E & P, kepatuhan konsumsi biskuit, morbiditas)
Gambar 5. Kerangka penarikan contoh balita dan alur penelitian
42
Instrumen dan Cara Pengumpulan data Data yang dikumpulkan terdiri dari data contoh penelitian dari anak balita dan keluarganya pada 3 tahap (awal, pemantauan bulanan, akhir). Data contoh penelitian meliputi: identitas (nama, jenis kelamin, berat lahir, urutan anak keberapa, dll), sosial ekonomi keluarga, kondisi lingkungan rumah, status kesehatan, ukuran antropometri (BB, TB), asupan konsumsi, kejadian sakit dan tingkat kepatuhan konsumsi makanan tambahan biskuit.
Wawancara dan
pengukuran (antropometri) data dasar (base and endline based) diambil oleh tenaga yang terlatih (dilatih sebelumnya) dan memiliki kompetensi yang relevan, sedangkan analisis laboratorium dilakukan dengan perlengkapan dan prosedur yang standar di laboratorium. Jenis dan cara pengumpulan data, secara lengkap disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Jenis dan cara pengumpulan data No
Data
1
Identitas anak balita (nama, jenis kelamin, umur, urutan anak , dll)
2.
Sosial ekonomi keluarga - Pendapatan/Pengeluaran - Pendidikan - Pekerjaan orang tua - Jumlah anggota keluarga - Pengetahuan Gizi dan Kesehatan
3.
Pelayanan gizi dan kesehatan (penimbangan, vitamin A, imunisasi, dll)
4.
Keadaan sanitasi dan Higiene
5.
Pola asuh makan
6.
Konsumsi pangan (Intake) Kuantitatif - Sebelum intervensi - Setetah 1, 2 bulan - Setelah intervensi Kualitatif
Wawancara dengan orangtua (pengasuh) anak balita menggunakan kuesioner Wawancara dengan orangtua (pengasuh) anak balita menggunakan kuesioner
1 kali
Waktu pengum pulan Awal
1 kali
Awal
Wawancara dengan orangtua (pengasuh) anak balita menggunakan kuesioner Wawancara dengan orangtua (pengasuh) dan pencatatan (dirujuk dengan KMS) Wawancara dengan orangtua (pengasuh) dan observasi Wawancara dengan orangtua (pengasuh) anak balita menggunakan kuesioner
2 kali
Awal dan akhir
4 kali
Awal dan setiap bulan Awal
4 kali
Awal dan setiap bulan
Metode food recall 24 jam Metode food recall 24 jam Metode food recall 24 jam
4 kali
Awal dan setiap bulan
Cara Pengukuran atau Pengumpulan
Wawancara dengan FFQ (Gibson 2005)
Frekuensi
1 kali
43
No 7.
Konsumsi biskuit fungsional (tingkat kepatuhan)
- Jumlah yang diberikan - Jumlah yang dikonsumsi - Jumah sisa - Siapa yang konsumsi - Alasan tidak konsumsi Morbiditas
8
Observasi anak dan wawancara dengan orangtua serta pencatatan harian oleh petugas (kader) Dicatat dalam form isian Dicatat dalam form isian Dicatat dalam form isian Dicatat dalam form isian Dicatat dalam form isian Pemeriksaan secara klinis oleh dokter puskesmas Wawancara dengan orangtua (pengasuh)
12 kali
Waktu pengum pulan Setiap minggu, selama 3 bulan
1 kali
Awal
4 kali
Pengukuran antropometri (BB,TB,LLA) dengan timbangan secca, microtoise dan pita LLA Pemeriksaan feses dengan metode PCR (Matsuki et al. 2002, dimodifikasi; Cheng et al. 1997, dimodifikasi) Pemeriksaan sIgA feses dengan metode sandwich ELISA (Peter et al. 2004)
4 kali
Awal dan setiap bulan Awal dan setiap bulan Awal dan akhir
Cara Pengukuran atau Pengumpulan
Data
9.
Status gizi
10.
Profil gut mikrobiota
11.
Respon imun humoral (sIgA)
Frekuensi
2 kali
2 kali
Awal dan akhir
Bahan dan Prosedur Intervensi Pengadaan Biskuit Fungsional dan Krim Pembuatan produk makanan tambahan biskuit fungsional dan biskuit kontrol/biasa dilakukan di UKM mitra PT Saad’S Bakery & Cake Kunciran Indah, Kecamatan Pinang Kota Tangerang, sedangkan pembuatan krim probiotik dan krim non probiotik dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Institut Teknologi Indonesia, Serpong.
Produk biskuit fungsional dan biskuit biasa serta krim
probiotik dan krim non probiotik dibuat dalam kondisi yang serupa baik bentuk, warna, rasa, porsi maupun kemasan. Penyelenggaraan Intervensi Seminggu sebelum dilakukan distribusi makanan tambahan biskuit intervensi kepada balita contoh penelitian (yang telah memenuhi kriteria penelitian), terlebih dahulu diberikan obat cacing (deworming). Pemberian obat cacing dilakukan oleh dokter puskesmas di wilayah Kedudampit, Warungkiara, Bantargadung dan Cikakak.
44
Makanan tambahan biskuit fungsional diberikan kepada contoh penelitian (anak balita dengan BBR) setiap hari sebanyak 1 bungkus (4 buah biskuit) dengan berat sekitar 50 gram atau setara ± 200 Kal dan 10 g protein) dan 1 set krim (15 gram) selama 90 hari, sehingga total paket makanan tambahan biskuit yang diberikan kepada balita contoh penelitian selama intervensi sebanyak 90 bungkus biskuit atau 360 buah keping biskuit. Porsi biskuit sebesar 50 gram ditentukan dengan asumsi bahwa biskuit fungsional memberikan kontribusi sekitar 15 % - 20 % dari rata-rata AKG balita usia 2-5 tahun (1500 Kalori). Perlakuan dalam penelitian terdiri dari 1 kelompok kontrol (P0) dan 4 kelompok perlakuan (P1,P2,P3,P4), dimana masing-masing kelompok terdiri 18 anak balita dengan BBR. Kelompok kontrol (P0) yaitu 18 anak balita mendapat makanan biskuit biasa dan krim non probiotik (Bbs+KnP); kelompok P1 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit tinggi protein dan krim non probiotik (Btp + KnP); kelompok P2 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit biasa dan krim probiotik (Bbs + KP); kelompok P3 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit tinggi protein dan krim probiotik secara rutin tiap hari (Btp + KP rutin) dan kelompok P4 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit tinggi protein dan krim probiotik selang 1 hari dengan krim non probiotik (Btp dan Kp/KnP) dengan jadwal disajikan Tabel 15. Tabel 15. Jumlah anak balita dan biskuit menurut perlakuan Perlakuan Makanan Tambahan P0 (Bbs + KnP) P1 (Btp+ KnP) P2 (Bbs + KP) P3 (Btp + KP (rutin) P4 (Btp + KP1 / KnP2 (selang 1 hr)
Jumlah anak balita 18
Jumlah Makanan Tambahan (biskuit) per hari Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu 50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
18
50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
18
50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
18
50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
18
50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
50 g
1)
2)
1)
2)
1)
2)
Keterangan Bbs : Biskuit biasa Btp : Biskuit tinggi protein
2) KnP : Krim non probiotik KP 1): Krim probiotik
Distribusi Paket Biskuit Fungsional Alur distribusi dan monitoring paket intervensi biskuit fungsional sebagai makanan tambahan, dilakukan dengan beberapa tahapan (Gambar 6) sebagai berikut:
45
a. Paket intervensi untuk 90 balita contoh penelitian diberi 6 digit nomor kode (010101 - 030406) b. Paket intervensi dikemas dalam plastik berisi 6 bungkus biskuit dan 6 set krim dan kemudian diberi kode indentitas oleh petugas independen khusus pengkode. Biskuit dikemas dengan plastik yang disiller, sedangkan krim dikemas dengan aluminium foil yang kemudian juga di siller agar tertutup rapat. c. Paket intervensi didistribusikan ke balita contoh penelitian setiap minggu. Paket dari IPB (Bogor) didistribusikan
kepada koordinator kader di
masing-masing wilayah puskesmas, kemudian paket intervensi PMT biskuit didistribusikan ke kader-kader posyandu pendamping. Mekanisme distribusi dari kader pendamping ke balita sasaran disesuaikan dengan kebiasaan setempat (diantar langsung ke sasaran; sasaran mengambil ke kader atau dikonsumsi bersama-sama dengan balita sasaran lain di tempat yang telah disepakati). d. Untuk meningkatkan keamanan (food safety) dan mengurangi risiko rusak, serta tercecer/kehilangan, maka tiap balita diberikan 1 buah toples untuk tempat menyimpan paket intervensi biskuit fungsional di rumah e.
Agar anak balita patuh mengkonsumsi biskuit yang diberikan, ada sejumlah kader posyandu yang diminta bantuan untuk mengawasi dan sekaligus mencatat pemberian biskuit pada balita disekitarnya sesuai jumlah dan jadual yang telah ditentukan. Selain itu untuk meningkatkan kepatuhan dan menjaga kelangsungan keikutsertaan dalam kegiatan penelitian bagi balita yang diberikan bahan kontak ”reward” berupa mainan anak-anak pada saat pemantauan bulanan.
Jumlah balita contoh pada akhir intervensi dan alasan Droup out. Balita contoh penelitian hingga akhir intervensi selama 90 hari
yaitu
sebanyak 83 balita, dimana 7 balita mengalami droup out (DO) dengan alasan pindah rumah ke kabupaten lain (Bogor, Jakarta) bersama orang tua dan tidak diperoleh alamat baru. Perpindahan tempat tinggal balita contoh sebagian besar bersifat sementara karena menjelang puasa Ramadlan (6 orang) dan sebagian lain (1 orang) karena orang tua memiliki masalah ekonomi sehingga terpaksa pindah dan menetap ke rumah nenek yang berada diluar daerah Sukabumi.
46
Persediaan Paket Intervensi Bogor (IPB)
Pengkodingan
Petugas Independent
Kader Koordinator Wilayah Kedu Dampit Warungkiara Bantargadung Cikakak
Monitoring Tim lapangan
Kader Pendamping
Monitoring Balita Sasaran
Gambar 6. Alur distribusi dan monitoring paket intervensi biskuit Manajemen dan Analisis Data Pengendalian Mutu Data. Untuk menjamin kualitas data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, dilakukan beberapa langkah pengendalian mutu sebagai berikut: Rekruitmen enumerator. Peneliti
dibantu oleh enumerator untuk
pengumpulan data dan pelaksanaan intervensi. Kriteria enumerator dalam penelitian
adalah berpendidikan minimum mahasiswa program sarjana Gizi
Masyarakat semester 6 atau bidang lain yang setara. Sebelum melakukan pengumpulan data, enumerator terlebih dahulu diberi penjelasan tentang tujuan dan ruang lingkup penelitian, cara melakukan intervensi, cara pengisian kuesioner, cara mengawasi dan mencatat pelaksanaan intervensi, penggunaan panduan pengumpulan data dan teknik wawancara.
47
Pre Test Kuesioner dan Daftar Isian. Sebelum digunakan dalam studi, kuesioner dan daftar isian yang dirancang untuk pengumpulan data terlebih dahulu diuji coba. Uji coba kuesioner dan daftar isian dilakukan di wilayah yang berbeda, kemudian perbaikan dilakukan sesegera mungkin sesuai hasil uji coba. Pengembangan Panduan untuk pengumpulan data. Panduan yang telah dikembangkan dalam penelitian ini mencakup: 1. Panduan penentuan anak balita contoh penelitian 2. Panduan wawancara 3. Panduan penggunaan kuesioner dan daftar isian. Verifikasi Data. Pengecekan terhadap data yang telah dikumpulkan, dlakukan untuk memperkecil kesalahan data. Jika ditemukan adanya perbedaan, maka dilakukan koreksi. Supervisi. Supervisi dilakukan oleh peneliti, mulai pada persiapan awal kegiatan penelitian yaitu pemilihan anak balita BBR sebagai contoh penelitian, pelaksanaan intervensi, dan pengumpulan data (sebelum, selama dan setelah) intervensi. Manajemen Data Kelengkapan Data. Pemeriksaan kelengkapan data dalam kuesioner dan daftar isian dilakukan untuk mengetahui apakah data yang dikumpulkan lengkap atau tidak. Jika tidak lengkap, maka data harus segera dilengkapi. Pengolahan Data.
Data-data yang telah terkumpul dari kuesioner,
wawancara, pemeriksaan, pengukuran langsung dan hasil analisis laboraturium diolah dan dianalisis dengan menggunakan WHO Antro 2005, Nutri Survey 2005, Microsoft Excel XP 2007 dan SPSS versi 15.0. Data konsumsi pangan digali dengan metode recall 24 jam dan metode qualitative FFQ. Recall dan FFQ dilakukan secara berulang, yakni 4 (empat) kali yaitu pada saat sebelum intervensi (awal), selama intervensi (2 kali) dan akhir intervensi dengan tujuan untuk memperoleh data yang cukup representatif dan lebih dapat menggambarkan kebiasan makan anak balita berat badan rendah contoh. Data konsumsi harian balita contoh dikonversi ke dalam zat gizi menggunakan tabel DKBM (Nutri Survey soft 2005). Setiap asupan gizi balita contoh dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (2004) dan kemudian di persentasikan
(dalam
%).
Penggolongan
tingkat
konsumsi
dilakukan
berdasarkan Martianto et al. (2008), tingkat konsumsi dibagi menjadi tiga yaitu: :
48
1. Defisit berat, jika konsumsi < 70 % AKG 2. Defisit ringan, jika konsumsi 70 – 90 % AKG 3. Cukup, jika konsumsi > 90% AKG Data tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi biskuit intervensi diperoleh menggunakan form pemantauan yang berisi banyaknya biskuit yang dibagikan kepada balita per minggu, biskuit yang dikonsumsi oleh balita per hari dan sisa yang tidak dikonsumsi. Data kepatuhan ini dicatat oleh kader selama intervensi berlangsung. Tingkat kepatuhan dihitung dengan cara menjumlahkan semua biskuit yang dikonsumsi balita selama 90 hari makan anak (HMA) dibagi dengan jumlah biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh balita selama 90 HMA, yaitu 360 keping (4 keping/hari X 90 hari) dikalikan 100 (%). Penggolongan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit dilakukan menjadi tiga yaitu: rendah, jika kepatuhan < 50 % ; cukup, jika kepatuhan 50 – 70 % ;dan tinggi, jika kepatuhan ≥ 70 % Data status gizi yang diukur secara antropometri meliputi berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) berdasarkan umur setiap bulan dimulai pada awal intervensi ,selama intervensi (bulan ke 1, bulan ke 2) dan pada saat 3 bulan (akhir) intervensi. Hasil pengukuran kemudian disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U dan BB/TB berupa nilai terstandar (Z skor) dengan menggunakan baku antropometri WHO 2006. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-skor masing-masing indikator ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut: Berdasarkan indikator BB/U Kategori Gizi Buruk
Z-skor < - 3.0
Kategori Gizi Kurang
Z-skor ≥ - 3.0 s/d Z-skor < -2.0
Kategori Gizi Baik
Z-skor ≥ - 2.0 s/d Z-skor ≤ 2.0
Kategori Gizi Lebih
Z-skor ≥ 2.0
Berdasarkan indikator TB/U Kategori Sangat Pendek
Z-skor < - 3,.0
Kategori Pendek
Z-skor ≥ - 3.0 s/d Z-skor < -2.0
Kategori Normal
Z-skor ≥ - 2.0
Berdasarkan indikator BB/TB Kategori Sangat Kurus
Z-skor < - 3.0
Kategori Kurus
Z-skor ≥ - 3.0 s/d Z-skor < -2.0
Kategori Normal
Z-skor ≥ - 2.0 s/d Z-skor ≤ 2.0
Kategori Gemuk
Z-skor ≥ 2.0
49
Data imunoglobulin A sekretori (sIgA) diperoleh melalui pengambilan contoh feses balita pada awal dan akhir intervensi.
Metode yang digunakan
untuk menganalisis sIgA feses adalah sandwich ELISA modifikasi dari metode Peter et al. (2003). Analisis sIgA dilakukan di Laboratorium Makmal Terpadu, FKH IPB, Bogor.
Dengan memperhatikan konsentrasi normal sIgA di dalam
feses adalah 1.8 – 7 µg/g, dengan rata-rata 3.8 µg/g dan standart devasi ± 1.9 µg/g (Haneberg & Aarkog 1975), maka hasil analisis sIgA dalam feses diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu: 1. Rendah, jika sIgA < 1.9 µg/g bb feses 2. Normal, jika sIgA
1.9 - 5.7 µg/g bb feses
3. Cukup, jika sIgA > 5.7 µg/g bb feses Data mikrobiota feses diperoleh dengan metode PCR (Chen and Griffiths 1998; Matsuki et al. 2002; Cheng et al. 1997, dimodifikasi), dengan primer yang digunakan adalah primers g-Bifid, primers uspA dan primers EM1 (Lampiran 3). Ekstraksi feses dilakukan dengan menggunakan QIAmp Stool Mini Kit (Qiagen, Jerman).
Analisis feses dengan metode PCR dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Balivet, Cimanggu Bogor. Data morbiditas dengan metode wawancara dan dihitung berdasarkan kejadian sakit (frekuensi dan lama sakit) selama intervensi dan episode dihitung dengan menjumlahkan frekuensi terjadinya diare/ISPA pada data baseline (bulan 0), pemantauan bulan 1, pemantauan bulan 2 dan pemantauan bulan 3 intervensi, sehingga didapatkan episode diare/ISPA dalam 4 bulan dan selanjutnya untuk mengetahui episode dalam 1 tahun diperoleh dengan mengalikan tiga (4 bulan x 3). Pengolahan data mencakup data entri, editing, penggabungan sheet dan pembangkitan variabel. Untuk data entri terlebih dahulu dipersiapkan struktur sheet yang terdiri atas nama variable, type dan decimal. Setelah data dientry, dilakukan editing yaitu proses pemeriksaan data yang telah di entry dengan data yang terdapat dalam kuesioner. Jika ada perbedaan maka dilakukan koreksi. Penggabungan sheet dilakukan untuk keperluan penggabungan beberapa variabel ke dalam sheet yang sama, pemecahan sheet juga diperlukan untuk memilah-milah variabel.
Pada sheet hasil penggabungan atau pemisahan,
pembangkitan variabel akan mudah dilakukan karena variabel yang diperlukan sudah terkumpul dalam sheet yang sama.
50
Analisis Data. Analisis data untuk mengevaluasi efikasi (pengaruh) dari pemberian makanan tambahan biskuit fungsional terhadap status gizi, respon imun humoral (sIgA) dan morbiditas (diare dan ISPA) balita contoh dilakukan sesuai rancangan penelitian. Analisis ini juga dilakukan untuk menguji kembali pengaruh dari covariate. Analisis awal maupun menyeluruh digunakan soft ware SPSS 15.0 for window. Tipe data dan jenis analisis statistik disajikan Tabel 16. Tabel 16. Tipe data dan analisis No 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9
Tipe Data
Analisis
Data gambaran umum lokasi penelitian Karakteristik sosial ekonomi keluarga balita (pendidikan, pendapatan, besar keluarga, pengetahuan gizi dan kesehatan Karakteristik balita
Deskriptif atau naratif Deskriptif : rata-rata, maksimum dan minimum, persentase
Deskriptif : rata-rata, maksimum dan minimum, persentase Pelayanan gizi dan kesehatan, higiene Deskriptif : rata-rata, dan sanitasi lingkungan maksimum dan minimum, persentase Pola asuh makan Deskriptif : rata-rata, maksimum dan minimum, persentase Konsumsi biskuit (tingkat kepatuhan) Deskriptif : rata-rata, maksimum dan minimum, persentase dalam tabel dan grafik Parameter dalam kelompok perlakuan Deskriptif : rata-rata, (sebelum dan sesudah intervensi ) maksimum dan minimum, persentase dalam tabel dan - Konsentrasi sIgA grafik - Status Gizi Analitik : T – test - Konsumsi gizi - Morbiditas berpasangan Parameter antar kelompok perlakuan Deskriptif : rata-rata, (sebelum dan sesudah intervensi) maksimum dan minimum, persentase - Konsentrasi sIgA - Status Gizi Analitik : One-way Anova, - Konsumsi gizi - Morbiditas LSD Faktor prediksi status gizi, respon imun Multiple (polytomous) logistic regression humoral dan morbiditas Model Matematik untuk peubah respon status gizi
Y1 pij = µ + Mi + X
1
β1 + X 2β 2 + X
3
β 3+ X 4β 4 + X
Y2 pij = µ + Mi + X 1 β 1 + X 3 β 3 + X 8 β 8 + X Y3 pij = µ + Mi + X
1
β 1+ X 2β 2+ X
3
9
β
9
β 3 +X 4 β 4 + X
7
+X 5
β 7 + X 8 β 8 + ε ij 10
β
10 +
β5 + X 7β
X 7
12
+X
β
12
+ ε ij
12 β 12
+ ε ij
51
Keterangan: Y1 pij =
status gizi setelah intervensi (p) pada unit penelitian ke-j dengan keadaan status gizi sebelum intervensi x-p yang mendapat makanan tambahan ke-i (i =0,1,2,3,4) Y2 pij = respon imun humoral (sIgA) setelah intervensi (p) pada unit penelitian ke-j dengan keadaan sIgA sebelum intervensi x-p yang mendapat makanan tambahan ke-i (i =0,1,2,3,4) Y3 pij = morbiditas setelah intervensi (p) pada unit penelitian ke-j dengan keadaan morbiditas sebelum intervensi x-p yang mendapat makanan tambahan ke-i (i =0,1,2,3,4) µ = parameter rata-rata umum dari Yp ij Mi = Efek pemberian makanan tambahan biskuit ke- i, i=0,1,2,3,4 (0= Bbs+KnP, 1= Btp+KnP, 2= Bbs + KP , 3 dan 4 = Btp + KP (rutin & selang) X k = peubah pengganggu X1 = konsumsi protein X2 = konsumsi energi X3 = tingkat kepatuhan konsumsi biskuit X4 = pola asuh makan X5 = pola asuh hygiene X6 = sanitasi lingkungan X7 = tingkat pengetahuan gizi kesehatan X8 = morbiditas diare X9 = morbiditas ISPA X10 = sIgA awal X11 = status gizi awal X12 = akses yankes X13 = kondisi rumah β k = parameter koefisien dari peubah pengganggu (k=1,2,...,13) ε ij = efek galat unit penelitian ke-j karena memperoleh makanan tambahan ke-ij , dimana j=1,2,...,18 (j menunjukkan indeks ulangan perlakuan)
Ethical Clearance dan Informed Concent a.
Persetujuan Ethical clearance Departemen Kesehatan
diperoleh dari Badan Litbang Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, dengan Nomor:
LB.03.04/KE/1008/2009. b. Informed concent pada masing-masing contoh dalam penelitian ini, diperoleh setelah memberikan penjelasan yang memadai tentang penelitian ini, meliputi tujuan, metode dan risiko yang terjadi selama dalam penelitian ini.
Contoh
yang telah memahami dan bersedia secara sukarela diminta untuk menandatangi inform concent yang telah dipersiapkan.
52
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Keadaan Geografis. Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten dengan wilayah terluas di Jawa dan Bali. Posisi geografis Kabupaten Sukabumi terletak di antara 106° 49’ – 107° 00’ Bujur Timur (BT) dan 6° 57’ – 7° 25’ Lintang Selatan (LS) dengan luas wilayah 4.128 km2 (412.799,54 Ha). Batas wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi adalah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat; sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia; sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Propinsi Banten dan Samudera Indonesia; dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Wilayah Kabupaten Sukabumi berada pada ketinggian berkisar antara 0 – 2960 meter, dengan bentuk topografis wilayah pada umumnya meliputi permukaan yang bergelombang di daerah selatan dan bergunung di daerah bagian utara dan tengah. Adanya daerah pantai dan gunung-gunung menyebabkan keadaan lereng sangat miring (lebih besar dari 35° ) meliputi 29° dari luas kabupaten Sukabumi, 37% dengan kemiringan antara 13° - 35° dan 21% dengan kemiringan 2°-13°. Keadaan topografi yang demikian menyebabkan wilayah Kabupaten Sukabumi menjadi rawan longsor dan erosi tanah (BPS 2008). Kabupaten Sukabumi memiliki iklim tropis, dengan curah hujan setahun sebesar 3247 mm dari 124 hari hujan dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan curah hujan 762 mm dan hari hujan 25 hari. Curah hujan antara 3000 – 4000 mm/tahun terdapat di daerah utara, sedangkan curah hujan antara 2000 – 3000 mm/tahun terdapat dibagian tengah sampai selatan Kabupaten Sukabumi.
Suhu udara berkisar antara 17.2°C – 32.8°C dengan
suhu rata-rata 25.50°C, sedangkan kelembaban rata-rata sebesar 86.2 persen (Dinkes 2008). Wilayah Administratif. Wilayah administratif di Kabupaten Sukabumi, sejak tahun 2006 terdapat 47 kecamatan, 345 desa, 3 kelurahan, 2996 rukun warga (RW) dan 11,499 rukun tangga (RT). Ibukota Kabupaten Sukabumi saat ini berada di Kota Palabuhanratu dan memiliki jarak fisik dengan Ibukota Negara ± 140 km, dengan Ibukota Propinsi Jawa Barat ± 153 km dan dengan Kota Sukabumi ± 60 km.
53
Kependudukan. Penduduk Kabupaten Sukabumi berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) selama empat tahun terakhir terus meningkat. Tahun 2005 sekitar 2,224,993 jiwa, tahun 2006 sekitar 2,278,836 jiwa, tahun 2007 sekitar 2.291.003 jiwa dan tahun 2008 sekitar 2,376,620 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk tahun 2005 sebesar 1.93%, tahun 2006 sebesar 1.67%, tahun 2007 sebesar 0.53%, tahun 2008 sebesar 1.66% dengan tingkat kepadatan penduduk 579.39 orang per km persegi. Penduduk miskin tahun 2005 berjumlah 746.857 jiwa (218.211 KK) atau 34.06% dari jumlah penduduk, tahun 2006 naik menjadi 813,742 jiwa (226,401 KK) atau 38% dari jumlah penduduk. Sementara tahun 2007 terjadi penurunan penduduk miskin menjadi 619,919 jiwa (181,697 KK) atau 29.0% dari jumlah penduduk dan tahun 2008 menjadi 606.072 jiwa (177,638 KK) atau 28.0% dari jumlah penduduk.
Sektor atau lapangan usaha yang memiliki kontribusi
terbesar terhadap PDRB adalah pertanian, rata-rata sebesar 38.7 %, diikuti oleh sektor industri pengolahan rata-rata sebesar 17.8 %, sektor perdagangan, hotel dan restoran rata-rata sebesar 16.1 %. Potensi Sumberdaya Alam. Potensi sumber daya pertanian di Kabupaten Sukabumi terutama tersebar di bagian utara aliran sungai Cimandiri. Kondisi ini tidak bisa terlepas dari keberadaan Gunung Gede Pangrango di sebelah utara dan Gunung Salak di sebelah Barat. Sejak dulu daerah utara terkenal sebagai penghasil komoditi perkebunan berupa karet dan teh , serta berkembang menjadi daerah persawahan, usaha tani sayur mayur, peternakan dan budidaya ikan air tawar yang cukup potensial. Potensi sumber daya pesisir dan kelautan Kabupaten Sukabumi terutama tersebar di 7 (tujuh) wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, yaitu sepanjang ± 117 km yang memanjang dari wilayah kecamatan Cisolok, Palabuhanratu, Ciemas, Ciracap, Surade, Cibitung, dan Tegalbuleud. Adapun jenis potensi sumber daya pesisir dan kelautan yang ada antara lain: perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, penyu, bahan tambang dan mineral, serta pariwisata. Sarana Pelayanan Kesehatan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan
tuntutan terhadap peningkatan layanan
kesehatan masyarakat ketersediaan dan keterjangkauan (akses) ke sarana kesehatan menjadi hal yg penting. Jumlah puskesmas sebanyak 57 buah ditambah dengan Puskesmas pembantu sebanyak 111 buah. Sehingga rasio
54
puskesmas terhadap jumlah penduduk pada tahun 2008 adalah 1: 42,206, yang berarti 1 Puskesmas melayani 42,206 penduduk.
Rumah Sakit sebanyak 5
buah, dimana 3 milik Pemda dan 2 milik swasta, dengan sarana tempat tidur (TT) sebanyak 371 buah di RS milik Pemda. Sehingga rasio TT dibandingkan dengan jumlah penduduk 1:6,484. Sarana kesehatan lain milik swasta adalah 12 Rumah Bersalin,Balai Pengobatan 51 buah, Toko Obat 22 buah, Apotik 33 buah. Praktek dokter swasta 261, laboratorium klinik 7 buah, praktek bidan swasta 213 buah. Sedanglan sarana kesehatan yg dibangun oleh warga masyarakat
seperti
Posyandu sebanyak 3,061 buah dengan kategori pratama 1,049 buah, purnama 894 dan mandiri 236 buah (Dinkes 2008). Status Gizi dan Derajat Kesehatan. Status balita dengan gizi buruk menunjukkan peningkatan yaitu 1.51% tahun 2005; 1.6% tahun 2006; 1.76% tahun 2007 dan tahun 2008 sebesar 1.68% dari 191,896 anak yg ditimbang. Prevalensi gizi buruk menurut wilayah kerja Puskesmas cukup bervariasi, kisarannya dibawah 1% sampai diatas 1%, namun tidak ada kecamatan yang prevalensi gizi buruk diatas 5 %, sehingga tidak ada kecamatan yang tergolong rawan gizi. Dengan alokasi anggaran yang meningkat setiap tahun, dan didukung dengan penambahan tenaga kesehatan dan sarana kesehatan, Kabupaten Sukabumi berhasil meningkatkan derajat kesehatan dengan indikator makro seperti pada Tabel 17. Tabel 17 Derajat kesehatan dengan indikator makro di Kabupaten Sukabumi Indikator
Satuan
2005
2006
2007
2008
AHH
Tahun
65.70
65.87
65.94
66.56
AKB
Per 1000
53.25
44.39
42.00
< 42.00
AKI
Per 100,000
364.17
363.19
< 363.19
< 363.19
2. Karakteristik Keluarga Balita Sasaran 2.1. Keadaan lingkungan fisik tempat tinggal dan sanitasi Naluri untuk bertahan hidup menyebabkan manusia selalu ingin hidup sehat. Kondisi lingkungan fisik yang berada disekitar tempat tinggal mempunyai peranan besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau kelompok masyarakat. Kondisi lingkungan fisik mencakup aspek yang sangat luas sehingga dalam penelitian ini terbatas pada keadaan tempat tinggal dan sanitasi meliputi keadaan fisik rumah, MCK dan sumber air minum.
55
Rumah. Keadaan rumah balita contoh yang diteliti meliputi lantai dan dinding. Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar (80.7%) rumah sudah berlantai ubin/keramik dan semen, namun ada sebagian kecil masih berlantai tanah.
Berdasarkan persyaratan kesehatan perumahan lantai rumah harus
kedap air dan mudah dibersihkan (Kepmenkes RI No 829/Menkes/SK/VII/1999) Lantai yang tidak kedap air dan tidak menimbulkan
peningkatan
kelembaban
didukung ventilasi yang baik dapat dan
kepengapan
yang
akan
memudahkan penularan penyakit (Depkes 2001). Dinding sebagian besar (73.5%) rumah balita contoh sudah terbuat dari tembok batu bata dengan semen ataupun dengan tanah liat, sedangkan sebagian lainnya masih terbuat dari kayu atau bambu . Berdasarkan Depkes (2008) penggunaan jenis dinding dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Apabila dibandingkan dengan data Riskesdas nasional (63.7%), maka kondisi keluarga balita contoh memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan rata-rata nasional. Tabel 18 Sebaran keluarga balita berdasarkan kondisi fisik rumah
Kondisi Fisik Rumah Lantai Ubin/keramik Semen Semen & karpet plastic Bambu Tanah Total Dinding Bata/batu dg semen Bata/batu dg tanah liat Kayu/bamboo Total
P0
Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 n % n % n %
n
%
P4
n
%
9 5 1
50.0 27.8 5.6
8 3 1
53.3 20.0 6.7
10 2 0
62.5 12.5 0
8 8 0
44.4 44.4 0
9 3 0
56.3 18.7 0
2 1
11.0 5.6
3 0
20.0 0
2 2
12.5 12.5
2 0
11.2 0
4 0
25.0 0
18
100
15
100
16
100
18
100
16
100
13 0
72.2 0
10 0
66.7 0
10 1
62.5 6.2
16 0
88.9 0
12 0
75.0 0
5 18
27.8 100
5 15
33.3 100
5 16
31.3 100
2 18
11.1 100
4 16
25.0 100
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Sarana pembuangan limbah dari aktivitas kehidupan sehari hari termasuk limbah kotoran manusia mempunyai peranan yang besar terhadap kesehatan seseorang maupun masyarakat. Pembuangan kotoran (tinja) yang tidak layak akan dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, terutama penyakitpenyakit yang penularannya melalui tinja. Menurut Widyati & Yuliarsih (2002)
56
sebagian besar penyakit dapat dikendalikan dengan sanitasi yang baik melalui pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan. Jenis sarana pembuangan tinja yang dianggap ‘saniter’ apabila menggunakan jenis leher angsa (Riskesdas 2008). Tabel 19 menunjukkan bahwa pembuangan tinja keluarga balita contoh yang menggunakan WC berseptictank (milik sendiri dan umum)
masih lebih
rendah (59.0%) apabila dibandingkan dengan rata-rata nasional (68.9 %). Persentase keluarga balita yang menggunakan tempat pembuangan tinja belum saniter masih cukup tinggi dan menyebar pada semua kelompok, baik kelompok kontrol maupun perlakuan,termasuk pembuangan tinja pada sungai/parit/selokan sebesar 9.6 persen. Tabel 19 Sebaran keluarga berdasarkan kondisi MCK
Jenis WC WC sendiri dg septic tank WC sendiri tanpa septic tank WC umum dg septic tank WC umum tanpa septic tank WC tetangga Jamban cemplung Sungai/parit/selokan Jumlah
n 9
% 50.0
Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 n % n % n % 8 53.3 6 37.5 10 55.6
3
16.7
2
13.3
3
18.8
3
16.7
4
25.0
0
0
0
0
0
0
1
5.6
1
6.3
2
11.1
2
13.3
3
18.8
2
11.1
1
6.3
1 1 2 18
5.6 5.6 11.1 100
1 1 1 15
6.7 6.7 6.7 100
0 1 3 16
0 6.3 18.8 100
0 2 0 18
0 11.1 0 100
2 2 2 16
12.5 12.5 12.5 100
P0
P4 n 4
% 25.0
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Keadaan sumber air minum. Air mempunyai berbagai fungsi dalam proses vital tubuh. Menurut Joint Monitoring Program WHO/Unicef dalam Riskesdas (2008) akses terhadap air bersih ‘baik’ apabila pemakaian air minimal 20 liter per orang per hari, sarana sumber air yang digunakan improved. Sarana sumber air yang improved adalah sumber air jenis perpipaan/ledeng, sumur bor/pompa, sumur terlindung dan air hujan, selain itu dikategorikan not improved. Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar (63.9%) sumber air bersih untuk minum pada keluarga balita contoh sudah tergolong improved, namun juga masih terdapat sebagian keluarga yang menggunakan sumber air minum yang terbuka yaitu sumur terbuka, mata air dan sungai.
57
Tabel 20 Sebaran keluarga balita berdasarkan sumber air minum Sumber Air Minum PAM Sumur tertutup Sumur terbuka Mata air Sungai Air Isi ulang Air kemasan
P0 n 2 9 4 2 0 1 1
% 11.1 50.0 22.2 11.1 0 5.6 5.6
n 1 6 0 8 0 2 0
Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 % n % n % 6.7 4 25.0 4 22.2 40.0 6 37.5 5 27.8 0 2 12.5 0 0 53.3 6 37.5 8 44.4 0 1 6.3 0 0 13.3 1 6.3 2 11.1 0 1 6.3 0 0
P4 N 2 4 1 7 0 1 1
% 12.5 25.0 6.3 43.8 0 6.3 6.3
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr Tiap keluarga ada yang mempunyai sumber air minum >1
Kategori sanitasi lingkungan fisik disusun dari sebagian aspek lingkungan fisik yang terbatas pada jenis lantai rumah, jenis sarana pembuangan tinja dan sumber air minum, diperoleh bahwa secara keseluruhan persentase keluarga yang tergolong kategori sanitasi sedang dan baik relatif sama.
Namun
berdasarkan masing-masing kelompok perlakuan ditemukan sebagian besar keluarga contoh kecuali keluarga kelompok P3 masih tergolong sedang, dan sebaliknya kondisi sanitasi sebagian besar keluarga balita kelompok tergolong baik.
P3
Menurut Riyadi (2006) keadaan kesehatan seseorang juga
dipegaruhi faktor lingkungan.
Sebaran keluarga balita contoh berdasarkan
kondisi sanitasi lingkungan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Sebaran keluarga berdasarkan kondisi sanitasi lingkungan fisik Kondisi Sanitasi Fisik Sedang Baik Total
P0 n 10 8 18
% 55.6 44.4 100
n 8 7 15
Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 % n % n % 53.3 11 68.8 8 44.4 46.7 5 31.2 10 55.6 100 16 100 18 100
P4 N 13 3 16
% 81.3 18.7 100
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
2.2. Karakteristik keluarga balita Besar keluarga dan Jumlah Balita. Tempat tinggal balita contoh sebagian besar bersama kedua orang tuanya, namun ada sebagian lain yang hanya tinggal bersama salah satu orangtuanya (ayah atau ibu) yaitu balita contoh pada kelompok P0 (control) dan perlakuan P4. Selain orangtua, ternyata sebagian balita contoh tinggal bersama kakek/nenek dan bibi/pamannya. Sebaran balita berdasarkan tempat tinggal disajikan pada Tabel 22
58
Tabel 22 Sebaran balita berdasarkan tempat tinggal Tinggal Serumah
P0
Ibu saja Kakek/Nenek Keluarga lain
n 16 1 0 0 1
% 88.8 5.6 0 0 5.6
n 12 0 2 1 0
Total
18
100
15
Orang tua Ayah saja
Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 % n % n % 80.0 12 75.0 16 88.9 0 0 0 0 0 13.3 1 6.2 0 0 6.7 3 18.8 1 5.6 0 0 0 1 5.6 100
16
100
18
100
P4 n 13 1 0 2 0
% 81.3 6.2 0 12.5 0
16
100
Keterangan:: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Besar keluarga balita dikelompokan menjadi tiga yaitu kecil≤4( orang), sedang (5-6 orang) dan besar ≥( 7 orang). Tabel 23 menunjukkan sebagian besar jumlah keluarga balita contoh tergolong sedang. Menurut Suhardjo (1989) jumlah anggota keluarga memilki andil dalam permasalahan gizi. Tabel 23 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga
Besar Keluarga ≤ 4 orang 5 – 6 orang Total
P0 n 5 13 18
% 27.8 72.2 100
n 6 9 15
Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 % n % n % 40.0 8 50.0 4 22.2 60.0 8 50.0 14 77.8 100 16 100 18 100
P4 n 8 8 16
% 50.0 50.0 100
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Jumlah anggota keluarga yang besar akan mempersulit dalam memenuhi kebutuhan pangan, terutama balita yang memerlukan perhatian khusus karena belum bisa mengurus keperluan sendiri serta dalam masa pertumbuhan. Menurut Khomsan et al (2004) jumlah anggota keluarga dan kategori rumah tangga mempunyai efek yang nyata terhadap tingkat kecukupan protein. Tabel 24 menunjukkan bahwa jumlah balita pada keluarga balita berkisar antara 1 hingga 2 balita dan sebagian besar hanya memiliki 1 orang balita. Jumlah balita pada keluarga contoh berkisar antara 1 hingga 2 balita. Tabel 24 menunjukkan bahwa sebagian keluarga pada semua kelompok perlakuan memiliki 1 anak balita. Sebaran jumlah balita disajikan Tabel 24. Tabel 24 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah balita keluarga Jumlah Balita 1 orang 2 orang Total
P0 n 17 1 18
% 94.4 5.6 100
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n % 93.3 15 93.8 15 83.3 6.7 1 6.3 3 16.7 100 16 100 18 100
P1 n 14 1 15
P4 n 16 0 0
% 100 0 100
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
59
2.3. Pendidikan Orangtua Pendidikan orangtua balita contoh bervariasi mulai tidak sekolah hingga tamat SLTA. Tabel 25 menunjukkan bahwa pendidikan ayah dan ibu balita sebagian besar adalah tamat sekolah dasar (SD) dan bahkan pada ayah (8.3%) serta ibu (7.7%) balita pada kelompok P2 yang tidak pernah sekolah. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendidikan orang tua disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan umum orangtua balita contoh masih tergolong rendah dan secara umum tingkat pendidikan ibu balita contoh lebih rendah dibandingkan ayah balita. Menurut Soekirman (2000) pendidikan umum berhubungan dengan ketahanan pangan keluarga dan pola pengasuhan anak. Kedua faktor tersebut merupakan penyebab tidak langsung terjadinya KEP. Pendidikan rendah yang dimiliki orang tua berdampak pada status gizi balitanya karena berhubungan pola asah, asih dan asuh kepada anak balitanya.
Disisi lain wanita dengan pendidikan lebih rendah, biasanya
mempunyai anak lebih banyak karena pada umumnya tidak dapat/sulit diajak memahami dampak negatif dari mempunyai anak banyak (Khomsan & Kusharto 2002). Tabel 25 Sebaran keluarga berdasarkan pendidikan orangtua Pendidikan Ayah Tidak sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Total Ibu Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Total
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
0 1 10 2 4 17
0 5.9 58.8 11.8 23.5 100
0 1 7 2 2 12
0 8.3 58.3 16.7 16.7 100
1 0 8 2 1 12
8.3 0 66.7 16.7 8.3 100
0 2 9 3 2 16
0 1 12 3 0 16
0 6.3 75.0 18.8 0 100
0 2 9 2 1 14
0 14.3 64.3 14.3 7.1 100
1 1 9 2 0 13
7.7 7.7 69.2 15.4 0 100
0 0 11 3 2 16
P4 n
%
0 12.5 56.3 18.8 12.5 100
0 0 9 3 2 14
0 0 64.3 21.4 14.3 100
0 0 68.8 18.8 12.5 100
0 0 10 3 0 13
0 0 76.9 23.1 0 100
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
2.4. Pekerjaan Orangtua Pekerjaan orangtua balita contoh cukup bervariasi meliputi pertanian, perikanan, perdagangan, jasa angkutan buruh, pegawai swasta dan pegawai negeri.
bidang
dan jasa lain termasuk
Sebagian besar pekerjaan KK
(ayah) adalah buruh dan sopir/ojek, sedangkan ibu balita sebagian besar tidak
60
bekerja atau sebagai ibu rumahtangga. Hanya sebagian kecil ibu balita yang bekerja yaitu kelompok perlakuan P2 dan P4 bekerja sebagai buruh dan berdagang. Menurut Khomsan (2007) pekerjaan merupakan sumber pendapatan keluarga, dengan adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatannya setiap bulan. Pekerjaan kepala keluarga (KK) lain pada balita yang tidak tinggal dengan orang tua,yaitu: pada kelompok P0 dan P1 KK bekerja sebagai buruh; KK kelompok P2 bekerja sebagai petani yang mempunyai lahan (1 orang) dan buruh ( 2 orang); KK kelompok P3 bekerja sebagai petani yang mempunyai lahan (1 orang) dan buka toko (1 orang), sedangkan pada kelompok P4, kepala keluarga bekerja sebagai petani yang mempunyai lahan (1 orang) dan PNS (1 orang). Sebaran keluarga berdasarkan jenis pekerjaan orang tua disajikan Tabel 26. Tabel 26 Sebaran keluarga berdasarkan pekerjaan orangtua Pekerjaan Ayah Tidak bekerja Petani Buruh tani Nelayan Pedagang PNS Pegawai swasta Buruh Sopir/ojek Lainnya Total Ibu Ibu rumahtangga Petani Pedagang Buruh Lainnya Total
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
1 0 1 0 2 0 1 9 2 1 17
5.8 0 5.8 0 11.8 0 5.9 52.9 11.8 5.8 100
0 1 2 0 1 0 1 3 1 3 12
0 8.3 16.8 0 8.3 0 8.3 25.0 8.3 25.0 100
0 0 2 1 2 0 2 1 3 1 12
0 0 16.7 8.3 16.7 0 16.7 8.3 25.0 8.3 100
0 1 0 0 1 1 0 7 2 4 16
15 0 0 0 1 16
93.8 0 0 0 6.2 100
12 1 0 0 1 14
85.8 7.1 0 0 7.1 100
8 0 2 3 0 13
61,5 0 15.4 23,1 0 100
15 1 0 0 0 16
P4 n
%
0 6.3 0 0 6.3 6.3 0 43.7 12.4 25.0 100
0 0 2 0 1 0 0 4 3 4 14
0 0 14.3 0 7.1 0 0 18.6 21.4 28.6 100
93.8 6.7 0 0 0 100
11 0 1 1 0 13
84.6 0 7.7 7.7 0 100
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
2.5. Pendapatan Keluarga Pekerjaan merupakan sumber utama pendapatan keluarga.
Rata-rata
pendapatan keluarga contoh cukup bervariasi berkisar antara Rp 716,666.70 hingga Rp 1,238,667.00, dimana pendapatan keluarga tertinggi terdapat pada keluarga balita kelompok P1 dan terendah kelompok P4.
Berdasarkan kategori
kuintil, Tabel 27 menunjukkan bahwa secara umum sebagian besar pendapatan
61
keluarga balita contoh masih tergolong rendah. Persentase kategori pendapatan tinggi terbanyak pada keluarga balita kelompok P1, kategori pendapatan sedang terbanyak adalah kelompok P3 dan P4, sedangkan kategori pendapatan rendah terbanyak adalah kelompok P3.
Sebaran keluarga balita contoh berdasarkan
kategori pendapatan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendapatan keluarga Kategori Pendapatan Rendah ( < Rp 625.000) Sedang (Rp 625.000 Rp.1.500.000) Tinggi (> Rp 1.500.000) Total
n 7
% 38.9
n 7
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n % 46.7 5 31.3 9 50.0
7
38.9
3
20.0
6
37.4
9
50.0
8
50.0
4
22.2
5
33.3
5
31.3
0
0
2
12.5
18
100
15
100
16
100
18
100
16
100
P0
P1
P4 N 6
% 37.5
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
2.6. Pengetahuan Pangan Gizi dan Pola Pengasuhan. Pengetahuan pangan gizi merupakan aspek kognitif pengasuh yang mencerminkan pemahaman tentang gizi, pangan dan kesehatan. Secara umum perilaku konsumsi seseorang sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap nilai tindakan yang dilakukan. Pada tingkat rumahtangga, pengetahuan pangan dan gizi terutama ibu rumahtangga (isteri), berpengaruh terhadap jenis pangan yang dikonsumsi sebagai refleksi dari praktek dan perilaku berkaitan dengan gizi (Hardinsyah 1996).
Sebaran pengasuh balita
berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Sebaran pengasuh balita berdasarkan pengetahuan gizi kesehatan pengasuh Pengetahuan Rendah Sedang Total
P0 n 15 3 18
% 83.3 16.7 100
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n % 73.3 10 62.5 13 72.2 26.7 6 37.5 5 27.8 100 16 100 18 100
P1 n 11 4 15
P4 N 11 5 16
% 68.8 31.2 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Tabel 28 menunjukkan tingkat pengetahuan gizi kesehatan ibu/pengasuh balita contoh sebagian besar masih tergolong rendah dan sebaliknya tidak ada yang tergolong baik. Persentase terbesar tingkat pengetahuan yang tergolong sedang ditemukan pada kelompok P2 (37.5.%), sedangkan tingkat pengetahuan
62
rendah terbanyak pada ibu/pengasuh balita kelompok P0 (83.3%). Pengetahuan pangan gizi yang rendah seringkali dapat menimbulkan anggapan yang tidak selaras dengan prinsip gizi dan juga seringkali kesulitan dalam pemilihan dan pengolahan bahan pangan serta pemberian makanan yang terbaik untuk balitanya. 2.7. Pola Asuh Pengasuhan adalah proses inisiatif. Pola pengasuhan yang diteliti terbatas pada pengasuhan makan dan pengasuhan hidup sehat yang meliputi pola akses pelayanan kesehatan dasar dan pola asuh kebersihan (hygiene).
Tabel 29
menunjukkan bahwa ibu balita merupakan pengasuh utama sebagian besar balita contoh, sedangkan pengasuh balita terbanyak berikutnya adalah nenek/kakek.
Anggota keluarga lain yang juga berperan sebagai pengasuh
balita adalah paman/bibi dan kakak kandung balita yang sudah dewasa. Menurut Hartog (2006) beberapa studi menunjukkan wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung mempunyai komitmen waktu dan upaya lebih baik untuk mengasuh anak daripada wanita dengan berpendidikan rendah. Tabel 29 Sebaran balita berdasarkan pengasuh Pengasuh Ibu Nenek/Kakek Bibi/Paman Kakak balita Total
P0
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n % 60.0 8 50.0 9 50.0 20.0 6 37.4 4 22.2 6.7 1 6.3 3 16.7 13.3 1 6.3 2 11.1 100 16 100 18 100
P1
n 8 4
% 44.4 22.2
n 9 3
1 5
5.6 27.8
1 2
18
100
15
P4 N 9 3 2 2 16
% 56.2 18.8 12.5 12.5 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Pola Asuh Makan. Pola asuh makan yang diteliti terbatas pada apa dan bagaimana balita makan
serta situasi yang terjadi pada saat makan,
meliputi pemberian ASI, kolustrum, pemberian makanan pertama selain ASI dan frekuensi pemberian makan. Sebaran balita berdasarkan pola asuh makan disajikan pada Tabel 30. Hasil penilaian terhadap praktek pengasuhan makan terhadap balita contoh, sebagian besar 44.6% tergolong sedang.
Persentasi
terbesar pola asuh makan yang tergolong baik adalah kelompok P3 (38.9%) dan sebaliknya tergolong pola asuh yang buruk pada balita kelompok P0 (44.0%).
63
Tabel 30 Sebaran balita berdasarkan pola asuh makan Pola Asuh Makan Buruk Sedang Baik Total
P0 n 8 7 3 18
% 44.4 38.9 16.7 100
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n % 40.0 5 31.2 4 22.2 33.3 8 50.0 7 38.9 26.7 3 18.8 7 38.9 100 16 100 18 100
P1 n 6 5 4 15
P4 n 2 10 4 16
% 12.5 62.5 25.0 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Pola akses pelayanan dasar.
Pola pengasuhan kesehatan yang
dilakukan pengasuh dalam mengakses pelayanan dasar yang diteliti meliputi imunisasi dasar yang termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dan vitamin A dosis tinggi (10.000 IU) yang diperoleh balita
sebagai upaya
memberikan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit infeksi. Imunisasi dasar terbatas pada imunisasi yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA yaitu imunisasi BCG, DPT, dan Campak, sedangkan Vitamin A merupakan kapsul vitamin A dosis tinggi yang diberikan setiap 6 bulan sekali. Hasil penilaian terhadap praktek pengasuh dalam mengakses pelayanan dasar terhadap balita contoh secara umum sudah baik, meskipun masih terdapat yang tergolong buruk. Persentase terbesar pengasuhan dalam mengakses pelayanan dasar yang tergolong baik adalah kelompok perlakuan P4 (68.7%), dan sebaliknya yang tergolong buruk pada kelompok P0 (kontrol).
Sebaran balita contoh
berdasarkan pola akses pelayanan kesehatan disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Sebaran balita berdasarkan pola akses pelayanan kesehatan Pola Akses Yankes Buruk Cukup Baik Total
P0 n 6 5 7 18
% 33.3 27.8 38.9 100
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n % 6.7 5 31.2 3 16.7 33.4 3 18.8 7 38.9 38.9 8 50.0 8 44.4 100 16 100 18 100
P1 n 1 5 9 15
P4 n 2 3 11 16
% 12.5 18.8 68.7 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Pola asuh perawatan kebersihan (higiene).
Perawatan kesehatan
merupakan bentuk perilaku ibu atau pengasuh dalam menerapkan pola hidup sehat pada balita sehingga selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit. Pola asuh perawatan yang diteliti meliputi mencuci tangan ketika menyuapi dan setelah buang air besar, kebiasaan mandi dan menggosok gigi serta pemakaian sandal/alas kaki. Hasil penilaian praktek perawatan kebersihan terhadap balita contoh, secara umum tergolong sudah baik, meskipun masih terdapat sebagian
64
kecil
tergolong buruk.
Persentasi terbesar pola asuh perawatan kebersihan
yang tergolong baik adalah kelompok perlakuan P1 dan sebaliknya tergolong buruk terdapat pada balita kelompok P0, P2 dan P4. Sebaran balita contoh berdasarkan pola asuh perawatan kebersihan (hygiene) disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Sebaran balita berdasarkan pola asuh higiene Pola Asuh Higiene
P0 n
Buruk Cukup Baik
1 7 10 18
% 5.6 38.8 55.6 100
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n % 0 1 6.3 0 0 33.3 8 50.0 9 50.0 66.7 7 43.7 9 50.0 100 16 100 18 100
P1 n 0 5 10 15
P4 n 1 6 9 16
% 6.3 37.4 56.3 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
3. Daya Terima dan Kepatuhan Konsumsi Biskuit Fungsional 3.1. Daya Terima Biskuit Penilaian terhadap daya terima biskuit fungsional meliputi rasa biskuit dan rasa krim dilakukan secara inderawi. Selain itu juga dilakukan penggalian pendapat pengasuh balita terhadap bentuk dan
porsi biskuit fungsional
sebagai paket PMT serta tingkat kesukaan dan kebosanan balita terhadap paket PMT biskuit fungsional setiap bulan selama intervensi. Menurut Muctadi (1994) makanan tambahan anak kecil dapat dilihat penerimaannya berdasarkan kriteria ibu. Makanan tambahan anak kecil dapat diterima apabila ibu menyenangi rasa makanan tambahan tersebut. Rasa biskuit. Rasa merupakan karakteristik yang menentukan apakah suatu makanan yang disajikan akan habis dimakan atau tidak. Menurut Mc Williams (2001) rasa makanan sangat penting dalam menentukan daya terima dan kualitas. Hasil penilaian rasa menunjukkan bahwa
sebagian
besar (80.7%) pengasuh balita contoh pada semua kelompok perlakuan menyatakan rasanya enak dan sebaliknya hanya sebagian kecil (6.0%) menyatakan tidak suka dan sebesar 3.6% menyatakan biskuit agak pahit dan terlalu manis. Hal ini berarti secara umum cita rasa biskuit fungsional sebagai makanan tambahan (PMT) anak balita dapat diterima dengan baik oleh balita sasaran. Adanya rasa yang disukai tersebut dapat meningkatkan kemauan (selera) balita untuk mengkonsumsi biskuit yang diberikan dan dapat mempertahankan selera yang masih cukup tinggi untuk tetap mau mengkonsumsi selama 90 hari intervensi. Sebaran pendapat pengasuh balita contoh tentang rasa biskuit fungsional disajikan pada Tabel 33.
65
Tabel 33 Pendapat pengasuh terhadap rasa biskuit Pendapat tentang Rasa Biskuit
Enak Cukup enak Tidak suka Lainnya Tidak tahu Jumlah
P0 n 14 1 2 0 1 18
% 77.7 5,6 11,1 0 5.6 100
P1 n 11 0 1 2 1 15
% 73.3 0 6.7 13.3 6.7 100
n 13 0 1 1 1 16
P2 % 81.4 0 6.2 6.2 6.2 100
P3 n 16 1 1 0 0 18
% 88.8 5.6 5.6 0 0 100
P4 n 13 1 0 0 2 16
% 81.3 6.2 0 0 12.5 100
Jumlah N % 67 80.8 3 3.6 5 6.0 3 3.6 5 6.0 83 100
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P :Btp + Kp sela 1 hr Lainnya P1 : agak pahit, P2 : manis
Rasa krim. Hasil serupa juga diperoleh pada penilaian terhadap rasa krimnya, dimana sebagian besar (65.1%) pengasuh menyatakan rasa krimnya enak, namun cukup berimbang antara yang menyatakan anaknya tidak suka (10.8%) dan rasanya cukup enak (9.6).
Hal ini berarti rasa krim dari biskuit
fungsional tersebut sudah dapat diterima dengan baik, namun demikian kualitas rasa masih perlu lebih ditingkatkan, terutama tingkat kemanisan dan penurunan aroma amis. Sebaran pendapat pengasuh tentang rasa krim biskuit secara lengkap disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Pendapat pengasuh terhadap rasa krim biskuit fungsional Pendapat tentang Rasa Krim Biskuit Enak Cukup enak Tidak suka Lainnya Tidak tahu
Jumlah
n 11
P0 % 61.1
n 14
P1 % 93.3
n 11
P2 % 68.8
n 11
P3 % 61.1
N 7
P4 % 43.8
Jumlah N % 54 65.1
2 3 1 1 18
11.1 16.7 5.6 5.6 100
0 0 0 1 15
0 0 0 6.7 100
0 1 1 3 16
0 6.3 6.3 18.8 100
3 3 1 0 18
16.7 16.7 5.6 0 100
3 2 1 3 16
18.8 12.5 6.3 18.8 100
8 9 4 8 83
9.6 10.8 4.8 9.6 100
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P :Btp + Kp sela 1 hr
.
Lainnya : P0 = manis, P2= agak kurang manis, P3=terlalu manis, P4= anyir
Bentuk Biskuit. Bentuk merupakan faktor pertama selain warna yang akan mempengaruhi reaksi awal seseorang dalam menentukan sikap terhadap makanan yang disajikan terutama pada anak anak.
Hasil penilaian
menunjukkan bahwa bentuk biskuit bundar dengan hiasan icing bergambar orang senyum dinilai sudah baik oleh sebagian besar (77.1%) pengasuh balita, dan sebaliknya hanya 2.4% yang menyatakan kurang baik dan tidak menyukai. Artinya balita sasaran dapat menerima dengan baik dan menyukai biskuit fungsional yan berbentuk bundar. Bentuk biskuit yang disukai, akan dapat meningkatkan daya tarik balita untuk
mengkonsumsi. Sebaran pendapat
tentang rasa krim biskuit secara lengkap disajikan pada Tabel 35.
66
Tabel 35. Pendapat pengasuh terhadap bentuk biskuit fungsional Pendapat tentang Bentuk Biskuit Bentuk sudah baik Bentuk cukup baik Bentuk kurang baik Bentuk tidak disukai Jumlah
P0 n 12 5 1 0 18
P1
% 66.7 27.8 5.6 0 100
n 13 2 0 0 15
% 8.,7 13.3 0 0 100
P2 n 13 2 0 1 16
% 81.3 12.5 0 6.3 100
P3 n 14 4 0 0 18
% 77.8 22.2 0 0 100
P4 n 12 4 0 0 16
% 75.0 25.0 0 0 100
Jumlah N % 64 77.1 17 20.5 1 1.2 1 1.2 83 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3:Btp+ Kp rutin; P4:Btp + Kp sela 1 hr
Porsi Biskuit dan Krim. Porsi makanan, selain berkaitan dengan penampilan, perencanaan penghidangan juga merupakan salah satu penyebab tidak
dihabiskannya
menunjukkan bahwa
makanan.
Hasil
penilaian
terhadap
porsi
biskuit
sebagian besar (85.5%) pengasuh balita contoh pada
semua kelompok perlakuan menyatakan porsinya sudah tepat dan sebaliknya hanya sebagian kecil (10.8%)
menyatakan terlalu banyak dan
2.4 persen
menyatakan terlalu sedikit. Artinya porsi biskuit fungsional yang diberikan setiap hari sebanyak 50 g sudah sesuai dengan kemampuan kapasitas konsumsi balita sehingga dapat menekan terjadinya sisa. Hal ini mengingat kemampuan perut anak usia 2-5 tahun terbatas atau lebih kecil daripada orang dewasa. Sebaran pendapat pengasuh tentang porsi biskuit fungsional secara lengkap disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 Pendapat pengasuh terhadap porsi biskuit fungsional Pendapat tentang Porsi Biskuit Terlalu banyak Porsinya tepat Terlalu sedikit Tidak tahu Jumlah
P0 n 3 12 2 1 18
% 16.7 66.7 11.1 5.6 100
P1 n 4 11 0 0 15
% 26.7 73.3 0 0 100
P2 n 0 16 0 0 16
% 0 100 0 0 100
P3 n 2 16 0 0 18
% 11.1 88.9 0 0 100
P4 n 0 16 0 0 16
% 0 100 0 0 100
Jumlah N % 9 10,8 71 85,5 2 2,4 1 1,2 83 100
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp +Knp ; P2 :Bbs+ Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Hasil serupa diperoleh pada penilaian terhadap porsi krim probiotik, dimana sebagian besar (77.1%) pengasuh menyatakan porsi krimnya sudah tepat, namun sebagian lain (15.7%) menyatakan masih terlalu banyak dan sebaliknya 6.0 persen menyatakan terlalu sedikit. Hal ini berarti bahwa porsi krim biskuit fungsional yang diberikan sebagai makanan tambahan (PMT) setiap hari sebanyak 15 g sudah sesuai dengan kemampuan kapasitas konsumsi balita mampu sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya sisa.
67
Sebaran pendapat pengasuh tentang porsi krim biskuit fungsional secara lengkap disajikan pada Tabel 37. Tabel 37 Sebaran pendapat pengasuh tentang porsi krim Pendapat Porsi Krim Terlalu banyak Porsinya tepat Terlalu sedikit Tidak menjawab
Jumlah
P0 n 5 10 2 1 18
% 27,.8 55.6 11.1 5.6 100
P1 n 2 13 0 0 15
% 13.3 86.7 0 0 100
P2 n 1 14 1 0 16
P3
% 6.3 87.5 6.3 0 100
n 2 14 2 0 18
% 11.1 77.8 11.1 0 100
P4 N 3 13 0 0 16
% 18.8 81.3 0 0 100
Jumlah N % 13 15.7 64 77.1 5 6.0 1 1.2 83 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
3.2. Tingkat kesukaan dan kebosanan biskuit fungsional selama intervensi ( 90 hari) Biskuit merupakan salah satu makanan yang sudah popular dan disukai anak-anak. Hasil wawancara terhadap pengasuh, pada bulan pertama
tanpa membedakan kelompok perlakuan (Gambar 7) diperoleh
sekitar 69.9% balita contoh menyukai biskuit dan hanya sekitar 7.2 % yang tidak suka karena rasa terlalu manis dan rasa pahit, sedangkan yang menyatakan bosan sekitar 22.9%. Pada pemantauan bulan kedua, menunjukkan terjadi penurunan persentase kesukaan sekitar 6% dan beralih pada peningkatan persentase bosan, semula 22.9% menjadi 36.1%. Kebosanan mungkin saja terjadi pada beberapa anak balita setelah sekian lama mengkonsumsi biskuit karena setiap hari anak balita diharuskan mengkonsumsi biskuit yang sama sebanyak 4 keping (50 g) dan karena di rumah ada makanan lain atau mudahnya akses jajanan lain disekitar rumah. Pemantauan bulan ketiga, persentase yang menyatakan suka masih tetap (63.9%), sedangkan persentase yang menyatakan bosan menurun dan bergeser menjadi tidak suka yaitu sekitar 3.6 persen.
Masih tingginya
penerimaan atau tingkat kepatuhan konsumsi terhadap paket biskuit fungsional hingga akhir intervensi, selain karena karakteristik (rasa, bentuk) biskuit yang disukai, porsi yang tepat dan sudah merupakan makanan yang sudah biasa dimakan anak-anak, juga
karena manfaat yang dirasakan
setelah mengkonsumsi (nafsu makan menjadi lebih baik, tidak mudah (jarang sakit). Adanya intervensi PMT biskuit fungsional
juga dapat
menghemat pengeluaran uang jajan anak dan menurunkan kebiasaan jajan (sejenis ‘chiki’, permen, minuman ‘berenergi’, dan lainnya) yang dikeluhkan
68
ibu-ibu balita. Menurut Hartog et al. (2006) budaya makan merupakan faktor yang penting dalam proses penerimaan suatu produk baru. Produk baru akan lebih mudah diterima jika produk tersebut dianggap sesuai dengan konsep yang kuat terhadap apa yang dapat dimakan dan secara teknis dapat diaplikasi di daerahnya.
% 80 70 60 50 40 30 20 10 0
69.9%
63,9
63,9
36,1
32,5
22,9 7,2
3,6
0
Bulan 1
Bulan 2 Suka
Bosan
Bulan 3 Tidak Suka
Gambar 7 Kesukaan anak terhadap biskuit fungsional menurut pemantauan
Berdasarkan alur kecenderungan persentase anak balita yang masih menyukai dan mau mengkonsumsi biskuit hingga bulan ketiga jumlah (kepatuhan) yang
tetap tinggi dan sebaliknya
dengan
persentase
kebosanan hingga akhir intervensi (90 hari) masih rendah, maka dapat dikatakan bahwa biskuit fungsional
dapat diterima sebagai makanan
tambahan bagi anak balita dengan berat rendah. 3.3. Cara dan Jumlah Konsumsi Biskuit Hasil observasi dan wawancara langsung pada pengasuh pada saat kunjungan ke rumah balita contoh, menunjukkan bahwa cara anak balita mengkonsumsi biskuit fungsional cukup bervariasi, antara lain: biskuit dimakan secara langsung bersamaan dengan krim,
ada yang krimnya
dihabiskan terlebih dahulu baru kemudian biskuitnya, serta ada pula yang biskuit dicelupkan ke dalam air putih atau air teh terlebih dahulu, baru kemudian dikonsumsi. Demikian pula cara pemberian biskuit oleh pengasuh kepada anak balita juga cukup bervariasi, antara lain: pengasuh memberi sedikit demi sedikit biskuit dengan cara menyuapi balita sambil bermain, balita mengkonsumsi sendiri di rumah masing-masing, namun
69
juga ada balita yang mengkonsumsi biskuit secara bersama-sama balita lain dengan berkumpul di rumah kader posyandu pada sore hari atau waktu yang disepakati bersama. Biskuit fungsional yang diberikan kepada anak balita dengan berat badan rendah, dianjurkan untuk dikonsumsi habis 1 porsi yang terdiri dari sekitar 50 gram biskuit dan 15 gram krim (4 keping/bungkus) setiap harinya. Rata-rata jumlah biskuit yang dikonsumsi harian sekitar 41.5 gram (3.32 ± 0.81 keping) pada semua kelompok perlakuan, sedangkan rata-rata tertinggi pada kelompok perlakuan P3 sebesar 45.1 gram (3.61 keping) dan rata-rata terendah pada kelompok P1 sebesar 38.3 gram (3.06 keping). Hasil uji Anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan (p>0.05). Artinya jumlah total biskuit yang dikonsumsi harian selama 90 hari intervensi oleh balita contoh pada semua kelompok , baik kontrol maupun perlakuan relatif sama atau tidak ada perbedaan jumalah yang berarti. Rata-rata jumlah biskuit yang dikonsumsi harian menurut kelompok per hari maupun selama intervensi (90 hari) disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Rata-rata jumlah biskuit yang dikonsumsi harian dan selama intervensi Rata – rata biskuit yang dikonsumsi
P0 ( n=18)
P1 (n=15)
Keping Per hari Per 90 hari
3.34 ± 0.81 300.3 ± 72.6
3.07 ± 1.14 276.0 ±102.8
Kelompok Perlakuan P2 P3 (n=16) (n=18) 3.27 ± 0.86 294.1± 77.4
3.61 ± 0.54 325.3 ± 48.4
P4 (n=16) 3.29 ± 0.69 296.5 ± 61.7
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Sejumlah biskuit fungsional yang dikonsumsi oleh anak balita selama intervensi 90 hari dapat memberikan kontribusi (tambahan) asupan gizi balita contoh, terutama energi dan protein. Rata-rata kontribusi energi dan protein dari biskuit fungsional yang dikonsumsi anak balita BBR per hari disajikan pada Tabel 39. Berdasarkan Tabel 39 tersebut, rata-rata kontribusi energi sudah diatas 15 persen AKG energi. Kontribusi energi tertinggi adalah kelompok perlakuan P3 (279.49 Kalori atau 20.96 % AKE), sedangkan terendah adalah kelompok perlakuan P1 (237.15 Kal atau 17.92% AKE). Kontribusi energi dari makanan tambahan biskuit ini lebih besar dibandingkan hasil survey melalui telepon pada ibu dan pengasuh
70
lebih dari 600 anak di Amerika, dimana kontribusi energi pada snack pagi hari menyediakan 124 – 156 Kalori, sedangkan snack pada sore hari menyediakan 139 – 170 Kalori
(Miller
et al
2007).
Hasil uji Anova
menunjukkan tidak ada beda nyata (p>0.05) kontribusi energi antar kelompok perlakuan.
Artinya kontribusi tambahan energi dari konsumsi
makanan tambahan biskuit kontrol dan biskuit fungsional selama intervensi tidak ada beda, diantaranya karena biskuit yang digunakan semua kelompok mengandung Kalori relatif sama. Tabel 39. Rata-rata kontribusi energi dan protein harian biskuit fungsional terhadap kecukupan gizi Kelompok Perlakuan /Jenis Zat Gizi P0 Energi (Kal) Protein (g) P1 Energi (Kal) Protein (g) P2 Energi (Kal) Protein (g) P3 Energi (Kal) Protein (g) P4 Energi (Kal) Protein (g)
Jumlah per satuan zat gizi
% AKG
258.03 ± 62.42 3.74 ± 0.93
19.25 15.28
237.15 ± 88.36 8.92 ± 3.33
17.92 36.67
251.75 ± 67.52 9.47 ± 2.54
18.31 37.51
279.49 ± 41.62 10.51 ± 1.56
20.96 42.89
254.76 ± 53.02 9.58 ± 1.99
18.12 37.12
Rata-rata kontribusi protein pada kelompok kontrol sekitar 15 persen ,sedangkan kelompok perlakuan sudah diatas 30 persen AKG protein. Kontribusi protein tertinggi ditemukan pada kelompok perlakuan P3 (10.51 g atau 42.89 % AKP), sedangkan terendah adalah kelompok perlakuan kontrol (P0) yaitu 3.74 g atau 15.28% AKG protein. Hasil uji Anova menunjukkan terdapat perbedaan sangat nyata (p<0.01) tambahan asupan (intake)
protein antar kelompok perlakuan.
Artinya kontribusi
tambahan intake protein dari konsumsi PMT biskuit fungsional selama 90 hari intervensi berbeda antar kelompok. Selain faktor jumlah biskuit yang dikonsumsi, juga karena biskuit kelompok perlakuan (P1, P3 dan P4) mengandung protein yang tinggi berasal dari bahan isolat protein kedelai dan tepung ikan lele.
Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein
kedelai yang paling murni karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering (Koswara 1995). Protein ikan lele juga mengandung semua
71
asam amino esensial dalam jumlah yang cukup (Astawan 2008) dan komposisi kimia yang ada dalam tepung protein ikan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, termasuk protein dan senyawa nitrogen lainnya (Sunarya 1990).
Biskuit tinggi protein
perlakuan mengandung sekitar 10.5 g protein persaji (50 g) atau setara 40 persen AKG protein balita sasaran, sehingga dapat dikatakan memenuhi kriteria BPOM (2004), dimana makanan dikatakan sumber protein yang baik bila mengandung sedikitnya 20 persen AKG yang dianjurkan per saji. 3.4.
Kepatuhan Konsumsi Biskuit Biskuit fungsional sebagai makanan tambahan dianjurkan hanya dikonsumsi oleh anak balita contoh agar diperoleh manfaat yang optimal. Namun kenyataannya, selain anak balita contoh juga terdapat anggota keluarga lain yang turut mengkonsumsi biskuit fungsional yaitu anak kandung lainnya (saudara kandung), orang tua (ayah-ibu), nenek-kakek dan juga anak balita tetangga. Anak kandung atau saudara balita sasaran merupakan anggota lain yang paling sering (38.6%) turut mengkonsumsi biskuit
fungsional.
Sebaran
anggota
keluarga
lain
yang
turut
mengkonsumsi biskuit fungsional disajikan pada Tabel 40. Tabel 40 Anggota keluarga dan orang lain yang turut mengkonsumsi Anggota Klg lain yang Mengkonsumsi Anak lainnya Ibu/Bapak Anggota klg lain (kakek/nenek,dll) Balita tetangga
P0 (n=18) n % 8 44.4 0 0 1 5.6
P1 (n-15) n % 7 46.7 2 13.3 3 20.0
P2 (n=16) n % 5 31.3 2 12.5 3 18.8
P3 (p=18) N % 7 38.9 1 5.6 1 5.6
P4 (n=16) n % 5 31.3 1 6.3 2 12.5
1
0
2
1
1
5.6
0
12.5
5.6
6.3
Jumlah (N=83) N % 32 38.6 6 7.2 10 12.0 5
6.0
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Idealnya biskuit fungsional dikonsumsi sesuai yang dianjurkan setiap hari selama intervensi 90 hari sehingga tambahan asupan gizi dan probiotik dapat memberikan manfaat gizi dan kesehatan secara optimal. Hasil pemantauan selama 3 bulan menunjukkan bahwa kepatuhan konsumsi biskuit fungsional cukup tinggi pada semua kelompok perlakuan yaitu berkisar antara 76.67% hingga 90.35 % dengan rata rata tingkat kepatuhan 82.85%.
Rata-rata tingkat kepatuhan tertinggi terdapat pada
anak balita kelompok P3 (90.35 ± 13.45%) dan terendah pada kelompok P1 (76.67 ± 28.56%). Berdasarkan kategori tingkat kepatuhan sebagaimana
72
terlihat pada Tabel 41, kategori tingkat kepatuhan tinggi paling banyak (88.9%) pada balita contoh kelompok perlakuan P3 dan sebaliknya kategori rendah paling banyak (18.7%) pada kelompok perlakuan P1. Tabel 41 Sebaran balita menurut kategori tingkat kepatuhan Tingkat Kepatuhan Rendah Sedang Tinggi Total
P0 n 1 3 14 18
% 5.6 16.7 77.7 100
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n % 20.0 3 18.7 0 0 20.0 1 6.3 2 11.1 60.0 12 75.0 16 88.9 100 16 100 18 100
P1 n 3 3 9 15
P4 n 1 4 11 16
% 6.3 25.0 68.7 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp selang 1 hr
Tingkat
kepatuhan
konsumsi
biskuit
fungsional
antar
waktu
pemantauan (bulan pertama hingga bulan ketiga) menunjukkan adanya kecenderungan penurunan yang tidak tajam pada kelompok control maupun pada semua kelompok perlakukan (Gambar 8). Hasil uji t berpasangan menunjukkan tidak ada beda yang nyata (p> 0.05) antara tingkat kepatuhan pada awal intervensi (bulan ke-1) dan akhir intervensi (bulan ke-3), demikian juga hasil uji Anova menunjukkan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit balita contoh pada bulan pertama, bulan kedua maupun bulan ketiga tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan (Lampiran 3).
Keadaan ini dapat dikatakan bahwa tingkat
kepatuhan mengkonsumsi biskuit fungsional tetap tinggi dan relatif tidak berubah selama 3 bulan pelaksanaan intervensi.
Kepatuhan konsumsi
biskuit yang sangat tinggi (100%), terutama ditemukan pada balita-balita yang para pengasuh menyatakan suka dan merasakan manfaat gizi dan kesehatan setelah mengkonsumsi PMT biskuit; respon dan motiviasi ibu yang baik pada kegiatan pemberian PMT biskuit serta karena sebagian besar keluarga anak balita contoh termasuk keluarga berpenghasilan rendah yang tidak banyak
memiliki ketersediaan dan alternative pilihan
makanan jajanan untuk anak balita di rumahnya. Menurut hasil penelitian Arinta (2010) terdapat hubungan nyata antara tingkat partisipasi ibu dengan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit fungsional, namun tidak ada hubungan nyata dengan partisipasi kader posyandu.
73
perlakuan P0
P1
P2
P3
P4
86,65
83,39
94,39
91,79
84,85
84,37
75,58
78,3
77,5
74,5
90,35
83,89
77,47
Bln1
Bln2
77,83 85,63
Bln3
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 8. Tingkat kepatuhan konsumsi paket PMT biskuit selama Intervensi 3.5. Manfaat dan Efek Samping setelah Mengkonsumsi Biskuit Fungsional Makanan bagi anak balita harus memenuhi kriteria tertentu, diantaranya aman, mempunyai nilai gizi yang baik dan bermanfaat bagi kesehatan.
Hasil wawancara dengan pengasuh tentang manfaat yang
dirasakan atau terlihat pada anak balitanya setelah diberikan biskuit sebagian besar adalah anak menjadi lebih sehat (50.6%), berat badan anak bertambah (44.6%) dan dapat mencegah anak sakit (2.4%). Makanan yang aman merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi sebelum syarat lain.
Hasil wawancara dengan pengasuh tentang efek
samping yang dikeluhkan atau dialami anak balitanya setelah diberikan paket biskuit sebagian besar (96.6%) menyatakan tidak pernah ada efek samping setelah mengkonsumsi paket PMT biskuit selama 90 hari dan hanya 1,2 persen yang menyatakan pernah BAB agak encer 1 kali dan merasakan kadang-kadang mual (1.2%) pada awal-awal mengkonsumsi biskuit fungsional. Sebaran balita contoh menurut ada atau tidaknya efek samping yang pernah dialami disajikan pada Tabel 42 Berdasarkan Tabel 42 tersebut diatas secara umum dapat dikatakan bahwa paket biskuit fungsional aman dikonsumsi oleh balita dengan berat badan rendah (BBR). Adanya efek sementara yang dirasakan oleh sebagian kecil balita contoh disinyalir merupakan masa adaptasi karena kejadian hanya berlangsung pada awal pemberian paket biskuit saja dan belum tergolong penyakit diare. Secara individual setiap anak memliki toleransi yang
74
berbeda dan dikatakan diare jika ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi dengan atau tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmaja 2005). Tabel 42 Sebaran efek samping setelah mengkonsumsi paket biskuit Efek samping setelah konsumsi Biskuit Tidak pernah Pernah, sekali pada awal Pernah, kadangkadang mual Jumlah
P0
P1
P2
P3
P4
Jumlah N %
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
18 0
100 0
15 0
100 0
15 0
93.8 0
17 1
94.4 5.6
16 0
100 0
81 1
96.6 1.2
0
0
0
0
1
6.2
0
0
0
0
1
1.2
18
100
15
100
16
100
18
100
16
100
83
100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
4.
Konsumsi Gizi Balita (Energi, Protein, Vitamin A dan Vitamin C) Zat gizi dibutuhkan oleh tubuh agar setiap orang dapat hidup aktif, sehat
dan produktif dapat dipenuhi melalui konsumsi beragam jenis makanan. Semakin beragam jenis makanan yang dikonsumsi, semakin besar peluang terpenuhi kebutuhan akan zat gizi. Rata–rata konsumsi gizi balita contoh menggambarkan konsumsi harian, sedangkan menurut Suhardjo dan Martianto (1996) untuk mengetahui sejauhmana masalah konsumsi gizi, indikator yang dapat digunakan adalah tingkat konsumsi gizi. Rata-rata konsumsi dan tingkat konsumsi gizi disajikan pada Tabel 43. Konsumsi energi dan protein balita contoh semua kelompok perlakuan pada akhir intervensi menunjukkan adanya peningkatan. Peningkatan konsumsi energi tertinggi terlihat pada kelompok perlakuan P0 (kontrol) , P2 dan P3. Hasil uji beda t berpasangan konsumsi energi balita pada kelompok P0, P2 dan P3 menunjukkan ada perbedaan nyata (p< 0.05) antara konsumsi energi pada awal dan akhir.
Peningkatan kelompok P0 (kontrol) terlihat tinggi diduga karena
pada awal intervensi terjadi defisit energi yang besar dan lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa balita dalam kondisi defisit energi berat, terjadinya peningkatan konsumsi energi lebih mudah dibandingkan yang defisit ringan. Peningkatan
konsumsi
protein
tertinggi
nampak
pada
kelompok
perlakuan P1 dan P3. Hasil uji beda t berpasangan konsumsi protein balita pada kelompok P1 dan P3 menunjukkan ada perbedaan yang nyata (p<0.05) antara konsumsi protein pada awal dan akhir. Peningkatan kelompok P3 terlihat paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya, diduga selain karena adanya tambahan
75
protein yang cukup tinggi dan lengkap asam amino dari paket biskuit fungsional, juga karena adanya efek dari probiotik E. faecium IS-27526. Adanya probiotik selain dapat meningkatkan penyerapan gizi di dalam tubuh, juga dapat meningkatkan nafsu makan. Tabel 43 Konsumsi dan tingkat konsumsi gizi menurut kelompok perlakuan Rata-rata Zat Gizi dan SD Menurut Kelompok Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 ( n=18) (n=15) (n=16) (n=18) (n=16)
Variabel Awal Intervensi -Energi (Kal) -Energi (%) - Protein (g) -Protein (%) -Vitamin A (mg) - Vitamin C (mg) Akhir Intervensi -Energi (Kal) - Energi (%) -Protein (g) -Protein (%) -Vitamin A (mg) - Vitamin C (mg)
653.5 48.5 19.9 80.9 275.3 7.2
± 185.2 ± 14.0 ± 6.7 ± 28.7 ± 222.0 ± 14.2
845.7 ± 145.5* 63.1 ± 12.7 22.1 ± 4.6 89.3 ± 19.3 356.4 ± 274.2 8.9 ± 13.3
682.2 ± 226.0 52.1 ± 19.9 19.7 ± 6.4 81.6 ± 30.5 374.8 ± 169.3 7.7 ± 8.3
801.3 ± 260.6 60.4 ± 23.7 24.4 ± 8.1 98.7 ± 37.6 296.1 ± 144.9 13.4 ± 24.6
839.3 ± 228.9* 908.2 ± 234.5 63.8 ± 20.8 67.5 ± 20.2 25.2 ± 6.9 * 28.1 ± 7.8 103.5 ± 31.6 114.3 ± 38.1 381.8 ± 261.4 286.1 ± 228.0 19.2 ± 22.6 4.9 ± 6.3
758.2 ± 210.3 57.0 ± 18.2 22.2 ± 8.1 91.3 ± 38.0 288.8 ± 206.7 9.0 ± 15.4
738.2 ± 296.7 53.9 ± 23.7 22.6 ± 11.2 90.3 ± 47.7 272.2 ± 231.8 13.6 ± 20.6
965.2 ± 269.3* 72.6 ± 18.2 29.1 ± 7.3 * 119 ± 35.3 387.9 ± 237.8 13.1 ± 14.9
866.9 ± 259.2 63.5 ± 23.3 25.1 ± 6.8 100.1 ± 33.7 301.3 ± 279.4 13.0 ± 23.9
Keterangan : * beda nyata antara awal dan akhir intervensi (p<0.05)
Tingkat konsumsi energi (TKE) pada Gambar 9 menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan pada semua kelompok, baik kelompok kontrol (P0) maupun perlakuan.
Peningkatan tingkat konsumsi energi yang cukup besar
terlihat pada balita kelompok P3 (Btp + Kp rutin) dan kelompok P0 (kontrol), namun pada akhir intervensi hanya balita pada kelompok P3 yang sudah mampu melebihi dari 70% AKE. 80 70
% TKE
60 50 40
TKEawal
30
TKEakhir
20 10 0 P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 9 Tingkat konsumsi energi (TKE) awal dan akhir Intervensi
76
Tingkat konsumsi protein (TKP) pada Gambar 10 juga menunjukkan adanya kenaikan pada semua kelompok perlakuan. Gambar 10 menunjukkan tingkat konsumsi protein pada semua kelompok perlakuan (P1,P2,P3 dan P4) ditemukan lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (P0). Peningkatan terbesar terlihat pada kelompok perlakuan P3, sedangkan pada akhir intervensi hanya kelompok P2 dan P3 yang sudah melapaui 100%. Hasil uji beda t berpasangan menunjukkan hanya pada kelompok P1,P2 dan P3 yang berbeda secara nyata (p<0.05) antara konsumsi protein awal dan akhir intervensi. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian makanan tambahan biskuit fungsional yang megandung tinggi protein dari protein ikan dan isolat protein kedelai dapat memberikan tambahan konsumsi protein yang bermakna pada balita berat badan rendah.
Pada fase pertumbuhan, protein memegang peranan yang sangat
penting, karena pada fase proses biosintesis berlangsung dengan cepat terutama pembentukan protein tubuh. Setiap hari, sekitar seperempat protein (asam amino) yang tersedia dalam tubuh tidak dapat dirubah untuk penggunaan lain seperti bahan energi dan sebanyak 3 persen jumlah protein total berada dalam keadaan dinamis, yang bergantian dipecah dan disintesis kembali. Oleh karena itu protein (asam amino) dibutuhkan setiap hari untuk mendukung pertumbuhan baru dan memelihara sel-sel (Sizer & Whitney 2008; Almatsier 2001).
120 100 A% TKP
80 60 40 20 0 P0
P1
P2 Perlakuan
P3
P4
TKPawal TKPakhir
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 10 Tingkat konsumsi protein (TKP) awal dan akhir Intervensi
77
Berdasarkan kategori tingkat konsumsi energi, pada awal intervensi ditemukan sebagian besar balita contoh pada kelompok kontrol (P0) dan semua kelompok perlakuan tergolong defisit berat energi dan sebaliknya hanya sebagian kecil (5.6 s/d 6.7%) yang tergolong cukup. Sebaran balita contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi energi disajikan pada Tabel 44. Tabel 44 Sebaran balita berdasarkan kategori tingkat konsumsi energi pada awal dan akhir intervensi Kategori Tingkat Konsumsi Energi Awal Intervensi < 70% ( defisit berat) 70 s/d 90 % (defisit ringan) > 90 % (cukup) Total Akhir Intervensi < 70% ( defisit berat) 70 s/d 90 % (defisit ringan) > 90 %(cukup) Total
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
17
94.4
13
85.6
10
62.5
15
1
5.6
1
6.7
5
31.2
0 18
0 100
1 15
6.7 100
1 16
12
66.7
11
74.4
6
33.3
2
0 18
0 100
2 15
P4 n
%
83.3
12
75.0
2
11.1
3
18.7
6.3 100
1 18
5.6 100
1 16
6.3 100
11
68.8
10
55.6
11
68.8
13.3
2
12.5
4
22.2
3
18.7
13.3 100
3 16
18.7 100
4 18
22.2 100
2 16
12.5 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Pada akhir intervensi, Tabel 44 menunjukkan adanya perbaikan kategori konsumsi energi pada semua kelompok, yaitu penurunan jumlah kategori defisit energi berat bergeser menjadi kategori defisit energi
ringan.
Peningkatan
jumlah balita contoh dengan kategori tingkat konsumsi energi cukup hanya terjadi pada kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4, dan sebaliknya tidak terjadi pada kelompok kontrol (P0). Berdasarkan kategori tingkat konsumsi protein, pada awal intervensi ditemukan balita contoh pada kelompok kontrol (P0) dan semua kelompok perlakuan tersebar relatif merata pada semua kategori. Namun jumlah kategori tingkat konsumsi protein cukup pada balita contoh kelompok P1 dan P2 lebih tinggi dibandingkan pada balita kelompok lainnya. Pada akhir intervensi, Tabel 45 menunjukkan adanya perbaikan kategori konsumsi energi pada semua kelompok, yaitu penurunan jumlah kategori defisit protein berat bergeser menjadi kategori defisit protein
ringan.
Peningkatan jumlah balita contoh dengan
kategori tingkat konsumsi protein cukup juga terjadi pada semua kelompok, namun secara umum peningkatan yang tertinggi ditemukan pada balita kelompok
78
perlakuan P3.
Sebaran balita contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi
protein disajikan pada Tabel 45. Tabel 45 Sebaran balita contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi protein pada awal dan akhir intervensi Kategori Tingkat Konsumsi Protein
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
7
38.9
5
33.3
2
12.5
5
4
22.2
5
33.3
5
31.2
7
38.9
5
33.4
9
18
100
15
100
3
16.7
1
7
38.9
> 90 %
8
(cukup) Total
18
Awal Intervensi < 70% ( defisit berat) 70 s/d 90 % (defisit ringan)
> 90 % (cukup) Total Akhir Intervensi < 70% ( defisit berat) 70 s/d 90 % (defisit ringan)
P4 n
%
27.8
6
37.5
4
22.2
4
25.0
56.3
9
50.0
6
37.5
16
100
18
100
16
100
6.7
2
12.4
1
5.5
2
12.4
6
40.0
3
16.8
3
16.7
7
43.8
44.4
8
53.3
11
68.8
14
77.8
7
43.8
100
15
100
16
100
18
100
16
100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
5. Profil Mikrobiota Feses Balita Mikroba yang secara alamiah terdapat dalam tubuh disebut flora normal atau mikrobiota (Waluyo 2004). Mikrobiota di dalam usus manusia secara alamiah terdapat sekitar 100-400 jenis bakteri yang secara sederhana dikelompokkan dalam ‘bakteri baik’ yang bermanfaat bagi kesehatan dan ‘bakteri jahat’ yang menyebabkan penyakit (bakteri pathogen), dimana keduanya hidup dalam keseimbangan. Komposisi mikrobiota dalam feses bisa menjadi indikator kondisi seseorang (Sri Winarni 2010). Mikrobiota dalam saluran pencernaan orang yang sehat berbeda dengan orang yang sedang menderita sakit (Drisko 2003). Jumlah bakteri dominan dikendalikan oleh beberapa faktor seperti makanan inang, system kekebalan tubuh inang, tingkat daya hidup bakteri, adanya infeksi dan dosis konsumsi makanan suplemen probiotik (Wahyudi & Samsundari 2008). Untuk mengidentifikasi jenis mikrobiota yang ada dalam feses balita contoh dilakukan analisis sejumlah sub contoh balita dengan metode PCR. Analisis PCR dilakukan secara terbatas pada jenis bakteri Bifidobakteria, Koliform (E.coli) dan Enterococcus faecium pada feses balita contoh sebelum (24 contoh) dan sesudah (24 contoh) dilakukan intervensi PMT biskuit.
79
5.1 Bakteri Bifidobakteria. Bifidobacterium adalah salah satu bakteri baik dari genus bakteri asam laktat
yang
hidup
di
(http://id.wikipedia.org/wiki
dalam
usus
besar
/Bifidobacterium).
manusia
Bakteri
dan
hewan
Bifidobakteria
secara
alamiah biasanya terdapat dalam saluran pencernaan manusia. Bifidobakteria digolongkan sebagai bakteri asam laktat dan sampai saat ini ada sekitar 30 jenis yang telah diisolasi. Beberapa hari setelah kelahiran, Bifidobacteria telah mengkoloni saluran pencernaan bayi, namun
populasi Bifidobacteria terus
menurun dengan bertambahnya umur kecuali jika Bifidobacteria ditambahkan dalam makanan atau minuman (Wahyudi & Samsundari 2008). Hasil analisis PCR Bifidobacteria dalam fekal balita, menggunakan Primers g-Bifid; dengan kontrol positif Bifidobacterium animalis dan kontrol negatif Nuclease free water disajikan Gambar 11 dan 12.
Gambar 11. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) Bifidobakteria, N0 1-24 sampel, kontrol positif Bifidobacterium animalis (no 25) dan kontrol negatif Nuclease free water (no 26) Keterangan : No
Perlakuan
Hasil
Ket
No
Perlakuan
Hasil
Ket
No
Perlakuan
Hasil
Ket
1
P3
-
Pre
11
P0
+
Pre
21
P1
+
Pre
2
P3
+
Post
12
P0
-
Post
22
P1
+
Post
3
P3
+
Pre
13
P4
+
Pre
23
P1
+
Pre
4
P3
+
Post
14
P4
+
Post
24
P1
+
Post
5
P1
+
Pre
15
P4
+
Pre
6
P1
+
Post
16
P4
+
Post
7
P2
+
Pre
17
P3
+
Pre
25
kontrol
Bifidobacterium
8
P2
+
Post
18
P3
+
Post
positif
animalis
9
P0
+
Pre
19
P3
+
Pre
kontrol
Nuclease free
10
P0
+
Post
20
P3
+
Post
negative
water
26
80
Gambar 12. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) Bifidobakteria, N0 1-24 sampel, kontrol positif Bifidobacterium animalis (no 25) dan kontrol negatif Nuclease free water (no 26) Keterangan : No
Perlakuan
Hasil
Ket
No
Perlakuan
Hasil
Ket
No
Perlakuan
Hasil
Ket
1
P3
+
Pre
11
P3
+
Pre
21
P2
+
Pre
2
P3
+
Post
12
P3
+
Post
22
P2
+
Post
3
P2
+
Pre
13
P1
+
Pre
23
P4
-
Pre
4
P2
+
Post
14
P1
-
Post
24
P4
-
Post
5
P4
+
Pre
15
P1
-
Pre
6
P4
+
Post
16
P1
-
Post
7
P4
-
Pre
17
P4
+
Pre
25
kontrol
Bifidobacteri
8
P4
+
Post
18
P4
-
Post
positif
um animalis
9
P3
+
Pre
19
P0
+
Pre
kontrol
Nuclease
10
P3
+
Post
20
P0
+
Post
negative
free water
26
Gambar 11 dan 12 menunjukkan bahwa pada balita kelompok biskuit kontrol P0 (Bbs + KnP) Gambar 11 (M9,M10,M11,M12) dan Gambar 12 (M19,M20)
pada akhir intervensi 25 persen
teridentifikasi
positif bakteri
Bifidobacteria, 60 persen balita kelompok perlakuan P1 (Btp + KnP) dan P4 (Btp + KP selang 1 hari) teridentifikasi positif, sedangkan balita kelompok P2 (Bbs + KP) dan P3 (Btp + KP rutin) 100 persen teridentifikasi positif Bifidobacteria (Tabel 46). Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian biskuit fungsional yang mengandung tinggi protein dan krim probiotik rutin tiap hari maupun selang 1 hari dapat mempertahankan dan juga meningkatkan keberadaan Bifidobacteria pada saluran pencernaan balita. Bifidobacteria merupakan bagian terbesar mikrobiota dalam usus normal dan berperan penting dalam perlawanan terhadap bakteri dan mikroorganisme membahayakan (Pirrainen et al 2008),
81
merangsang system kekebalan, membantu pencernaan dan penyerapan gizi makanan. Namun populasi Bifidobakteria terus menurun dengan bertambahnya umur
kecuali
ditambahkan
dalam
makanan
atau
minuman.
Populasi
Bifidobacteria dipengaruhi oleh sejumlah faktor meliputi jenis diet, antibiotik dan stress (Wahyudi & Samsundari 2008). Peningkatan populasi Bifidobacteria di dalam saluran pencernaan, dapat dilakukan antara lain dengan pemberian gizi yang baik dan lingkungan yang stabil (Lu & Walker 2001) dan menambahkan proporsi probiotik (Surono 2004; Pirrainen et al 2008) agar bakteri yang baik (Bifidobacteria) di dalam saluran pencernaan dapat berkembang dengan baik, sehingga mampu bersaing dalam mengurangi kemampuan bakteri pathogen mendominasi saluran pencernaan. Sebaran balita contoh berdasarkan hasil PCR Bifidobacteria pada feses disajikan pada Tabel 46. Tabel 46 Sebaran balita contoh berdasarkan hasil PCR Bifidobacteria Hasi Uji PCR Awal Intervensi - Negatif - Positif Total Akhir Intervensi - Negatif - Positif Total
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
4 0 4
100 0 100
1 4 5
20 80 100
0 3 3
0 100 100
1 5 6
3 1 4
75.0 25.0 100
2 3 5
40.0 60.0 100
0 3 3
0 100 100
0 6 6
P4 n
%
16.0 84.0 100
3 3 6
50.0 50.0 100
0 100 100
2 4 6
33.3 66.7 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
5.2.
Bakteri Enterococcus faecium Bakteri Enterococcus faecium adalah salah satu jenis spesies dari bakteri
asam aktat (BAL) yang terdapat dalam usus manusia. BAL memiliki peranan penting pada kehidupan manusia sebagai bagian dari mikrobiota normal pada saluran pencernaan.
E. faecium merupakan bakteri penumpang sementara,
sehingga sangat perlu digantikan secara terus menerus. Dalam beberapa studi E. faecium bersifat resisten terhadap antibiotk spektrum luas dan terbukti efektif dalam mengurangi frekuensi diare (Wahyudi & Samsundari 2008). Hasil analisis PCR E. faecium dalam fekal balita, menggunakan Primers EM1A-EM1B; dengan kontrol positif Enterococcus faecium ATCC 19434 (No 25) dan kontrol negatif Nuclease free water (no26) disajikan pada Gambar 13 dan 14.
82
Gambar 13. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E. faecium, N0 1-24 sampel, kontrol positif E. faecium ATCC 19434 (no 25) dan kontrol negatif Nuclease free water (no 26)
Keterangan : Perlakuan
Hasil
Ket
No
Perlakuan
Hasil
Ket
No
Perlakuan
Hasil
1
No
P3
-
Pre
11
P0
-
Pre
21
P1
-
Pre
Ket
2
P3
+
Post
12
P0
-
Post
22
P1
+
Post
3
P3
-
Pre
13
P4
-
Pre
23
P1
-
Pre
4
P3
+
Post
14
P4
+
Post
24
P1
-
Post
5
P1
-
Pre
15
P4
-
Pre
6
P1
+
Post
16
P4
+
Post
7
P2
+
Pre
17
P3
-
Pre
25
8
P2
-
Post
18
P3
-
Post
kontrol positif
9
P0
-
Pre
19
P3
-
Pre
26
10
P0
-
Post
20
P3
+
Post
kontrol negative
Enterococcus faecium ATCC 19434 Nuclease free water
Gambar 14. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E. faecium, N0 1-24 sampel, kontrol positif E. faecium ATCC 19434 (no 25) dan kontrol negatif Nuclease free water (no 26)
83
Keterangan: No 1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan P0 P0 P2 P2 P4 P4 P4 P4
Hasil + +
Ket Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
No 11 12 13 14 15 16 17 18
Perlakuan P3 P3 P1 P1 P1 P1 P4 P4
Hasil + +
Ket Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
No 21 22 23 24
Perlakuan P2 P2 P4 P4
25
kontrol positif
9 10
P3 P3
+
Pre Post
19 20
P0 P0
-
Pre Post
26
kontrol negative
Hasil +
Ket Pre Post Pre Post
Enterococcus faecium ATCC 19434 Nuclease free water
Gambar 13 dan 14 dan Tabel 47 menunjukkan bahwa pada feses balita kelompok biskuit kontrol P0 (Bbs + KnP) pada Gambar 13 (M10,M12) dan Gambar 14 (M2,M20) pada awal maupun pada akhir intervensi (selama 90 hari) 100 persen tetap tidak teridentifikasi adanya
bakteri E. faecium, sedangkan
balita kelompok perlakuan P1 (Btp + KnP), P2 (Bbs + KP), P3 (Btp + KP rutin) dan P4 (Btp + KP selang hari) teridentifikasi positif E. faecium yang meningkat. Peningkatan feses balita yang teridentifikasi positif pada kelompok P1 (Btp + KnP) relatif sama dengan balita pada kelompok P2 (Bbs + KP), sedangkan peningkatan teringgi pada balita kelompok P3 dan P4 (Tabel 47). Balita kelompok biskuit fungsional P3 (Btp + KP rutin) pada Gambar 13 (M2, M4, M18, M20) dan Gambar 14 (M10, M12) sebanyak 66.7 persen dan P4 (Btp + KP selang 1 hari) pada Gambar 13 (M14,M16) dan Gambar 14 (M6,M8,M18,M24) sebanyak 100 persen positif E.faecium (Tabel 47).
Hal ini mengindikasikan
bahwa adanya E. faecium pada feses sebagai refleksi saluran pencernaan balita adalah efek dari pemberian biskuit fungsional dengan probiotik E. faecium IS 27526 baik rutin tiap hari maupun selang 1 hari. Komponen yang terdapat dalam biskuit fungsional yaitu isolat protein kedelai dan tepung protein ikan lele Dumbo ternyata dapat memberikan efek prebiotik yang dapat menunjang viabilitas probiotik Enteroccocus faecium IS-27526. Hal ini sejalan dengan penelitian pada tikus percobaan Harianti (2009) dimana selain dapat meningkatkan berat badan tikus, pemberian biskuit fungsional juga meningkatkan kandungan BAL dalam feses.
Sinbiotik prebiotik dan probiotik dapat memberikan efek pada host
dengan meningkatkan kelangsungan dan keberadaan mikroorganisme yang menguntungkan (NICUS 2007).
84
Tabel 47 Sebaran balita berdasarkan hasil PCR Enterococcus faecium Hasil Uji PCR Awal Intervensi - Negatif - Positif Total Akhir Intervensi - Negatif - Positif Total
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
4 0 4
100 0 100
5 0 5
100 0 100
3 0 3
100 0 100
6 0 6
4 0 4
100 0 100
3 2 5
60.0 40.0 100
2 1 3
66.7 33.3 100
2 4 6
P4 n
%
100 0 100
6 0 6
100 0 100
33.3 66.7 100
0 6 6
0 100 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
5.3.
Bakteri Fekal E. coli Escherichia coli (E.coli) adalah salah satu jenis spesies utama bakteri
gram negative dan merupakan bakteri yang sangat umum dikenal. Walaupun ditemukan dimana-mana, termasuk pada tubuh manusia (pada umumnya ditemukan dalam usus besar), strain E.coli pada umumnya berbahaya karena diantaranya dapat menyebabkan diare dan bahkan kematian.
Namun
kehadirannya di dalam usus besar manusia merupakan keadaan normal untuk mendukung kesehatan (Wahyudi & Samsundari 2008). Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E. coli dalam feses balita contoh dengan Primers Universal Stress Protein A (uspA), kontrol positif E. coli uspA (no 25) dan kontrol negatif Nuclease free water disajikan Gambar 15 dan 16.
Gambar 15. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E. coli, N0 1-24 sampel, kontrol positif E. coli uspA (no 25) dan kontrol negatif Nuclease free water (no 26)
85
Keterangan: Perlakuan
Hasil
Ket
No
Perlakuan
Hasil
Ket
No
Perlakuan
Hasil
Ket
1
No
P3
-
Pre
11
P0
+
Pre
21
P1
+
Pre
2
P3
-
Post
12
P0
+
Post
22
P1
+
Post
3
P3
+
Pre
13
P4
+
Pre
23
P1
-
Pre
4
P3
+
Post
14
P4
-
Post
24
P1
+
Post
5
P1
+
Pre
15
P4
-
Pre
6
P1
+
Post
16
P4
+
Post
7
P2
+
Pre
17
P3
+
Pre
25
P2
+
Post
18
P3
+
Post
kontrol positif
E. coli uspA
8 9
P0
+
Pre
19
P3
-
Pre
26
10
P0
+
Post
20
P3
+
Post
kontrol negative
Nuclease free water
Gambar 16. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E. coli, N0 1-24 sampel, kontrol positif E. coli uspA (no 25) dan kontrol negatif Nuclease free water (no 26) Keterangan : No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perlakuan P0 P0 P2 P2 P4 P4 P4 P4 P3 P3
Hasil + + +
Ket Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
No 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Perlakuan P3 P3 P1 P1 P1 P1 P4 P4 P0 P0
Hasil + + -
Ket Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
No 21 22 23 24
25 26
Perlakuan P2 P2 P4 P4
kontrol positif kontrol negativ e
Hasil +
Ket Pre Post Pre Post
E. coli uspA Nuclease free water
Gambar 15 dan 16 menunjukkan bahwa pada awal intervensi sebagian besar balita contoh kelompok kontrol P0 (Bbs + KnP) dan perlakuan P1 (Btp + KnP), P2 (Bbs + KP) serta P4 (Btp + KP selang hari) teridentifikasi positif keberadaan bakteri E. coli, sedangkan sebaliknya balita kelompok perlakuan P3
86
(Btp+KP rutin) sebagian besar tidak teridentifikasi E. coli.
Pada akhir intervensi
100 persen balita kelompok P0, P1 dan P2 positif teridentifikasi E coli, sedangkan kelompok P3 dan P4 sekitar 60 persen positif terindentifikasi adanya E coli. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian biskuit fungsional yang mengandung protein tinggi yang diperkaya dengan isolat protein kedelai dan protein ikan dan krim probiotik E. faecium IS-27526 baik rutin tiap dan selang 1 hari
meningkatkan keberadaan E. coli pada feses sebagai refleksi saluran
pencernaan balita contoh. Jenis E coli yang ada dalam fekal tidak dapat teridentifikasi, apakah termasuk E. coli yang dapat menyebabkan sakit (pathogen) atau sebaliknya memberikan manfaat untuk kesehatan.
Namun
berdasarkan
setelah
tidak
adanya
efek
samping
pada
balita
contoh
mengkonsumsi biskuit selama interevensi 90 hari, diduga bahwa E. coli yang meningkat adalah E coli yang tidak berbahaya (tidak toxin). Sebagian besar E. coli tidak berbahaya, tetapi beberapa, seperti E. Coli tipe O157:H7, merupakan kontaminan makanan (Fratamico 2001) dapat mengakibatkan keracunan makanan
yang
serius pada
manusia.
Enterococcus
faecium
IS-27526
meningkatkan respon imun humoral dan mampu menghambat virulensi E coli O157:H7, dan Salmonella tyhimurium E10 (Darmawan et al 2006). Beberapa strain E. Coli yang tidak berbahaya dapat menguntungkan manusia dengan memproduksi vitamin K 2 dan vitamin B, atau dengan mencegah bakteri lain di dalam usus (http://id. wikipedia. or/wiki/ Escherichia coli) dan memelihara kesehatan usus bersama probiotik yang secara otomatis membentuk system pengendaliansedemikian rupa sehingga jumlahnya tidak melebihi batas menjadi pathogen (Wahyudi & Samsundari 2008). Sebaran balita berdasarkan hasil PCR E coli pada feses disajikan pada Tabel 48. Tabel 48 Sebaran balita berdasarkan hasil PCR E. coli Hasil Uji PCR Awal Intervensi - Negatif - Positif Total Akhir Intervensi - Negatif - Positif Total
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
0 4 4
0 100 100
1 4 5
20 80 100
0 3 3
0 100 100
4 2 6
0 4 4
0 100 100
0 5 5
0 100 100
0 3 3
0 100 100
2 4 6
P4 n
%
66.7 33.3 100
2 4 6
33.3 66.7 100
33.3 66.7 100
1 5 6
16.7 83.3 100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
87
6. Efikasi Pemberian PMT Biskuit Fungsional terhadap Status Gizi Masalah Kurang Energi Protein (KEP) pada balita disebabkan oleh berbagai faktor terutama faktor makanan yang tidak memenuhi kebutuhan balita akan energi, protein atau kombinasi dari kedua zat gizi tersebut serta karena infeksi yang berdampak pada penurunan status gizi balita. Salah satu upaya yang selama ini dilakukan adalah pemberian paket makanan tambahan (PMT) berupa makanan selingan. Pemberian makanan tambahan berupa paket biskuit fungsional diharapkan dapat membantu mempercepat pemenuhan kebutuhan gizi pada balita yang mengalami masalah KEP sehingga terjadi perbaikan status gizi. Status gizi balita dapat diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) maupun LLA. 6.2.
Pertambahan Berat Badan, Tinggi Badan dan Lila Berat Badan (BB). Berat badan merupakan salah satu ukuran
antropometri yang memberikan gambaran tentang masa tubuh dan mudah berubah. Pengukuran berat badan dilakukan pertama kali pada 1-2 hari sebelum intervensi pemberian paket PMT biskuit fungsional dan pengukuran berikutnya berselang 1 bulan selama intervensi 90 hari. Tabel 49 menunjukkan pada bulan pertama pertambahan rata-rata berat badan terbesar adalah kelompok perlakuan P1 (Btp + KnP), sedangkan pertambahan rata-rata terkecil adalah kelompok perlakuan P0 (Bbs + KnP). Pengukuran pada bulan kedua, pertambahan rata-rata berat badan terbesar adalah kelompok perlakuan P4, sedangkan pertambahan terkecil adalah kelompok P2 (Bbs + KP). Pengukuran pada bulan ke tiga, pertambahan rata-rata
berat badan terbesar adalah
kelompok perlakuan P3 (Btp+KPrutin), sedangkan pertambahan rata-rata beratbadan terkecil adalah kelompok P0 (Bbs + KnP). Apabila dilihat selama 90 hari intervensi secara keseluruhan awal hingga akhir (selisih berat badan), menunjukkan kelompok perlakuan P3 mengalami pertambahan rata-rata berat badan tertinggi, kemudian diikuti P4, P2,P1 dan pertambahan berat badan terkecil adalah P0. Hasil uji Anova ditemukan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok dan dilanjutkan uji komparasi ganda dengan metode LSD (Least Significance Difference) menunjukkan terdapat perbedaan selisih rata rata berat badan yang sangat nyata (p<0.001) pada kelompok P3 dan beda nyata (p<0.05) pada kelompok P2 dan P4 terhadap kelompok kontrol (P0), sedangkan kelompok perlakuan P1 tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) terhadap kelompok kontrol. Hal
88
ini membuktikan bahwa pemberian paket biskuit fungsional dengan probiotik P2 (Bbs + KP); P3 (Btp + KP rutin) dan P4 (Btp + KP selang hari) dapat meningkatkan berat badan secara nyata pada balita contoh, sedangkan perlakuan biskuit fungsional tanpa probiotik P1(Btp+ KnP) dapat meningkatkan berat badan balita contoh namun tidak nyata secara statistik. Biskuit fungsional, selain mengandung kalori dan protein terutama dari isolat protein kedelai dan ikan lele yang tinggi sehingga meningkatkan kecukupan gizi, juga mengandung probiotik Enterococcus faecium IS 27526 yang tergolong bakteri asam laktat (BAL) dan menurut Surono (2003) terbukti secara in vitro dan in vivo memiliki sifat-sifat probiotik yang baik dan terindikasi mempunyai kemampuan sampai di usus dalam keadaan hidup. Usus kecil berfungsi sebagai tempat utama pencernaan makanan secara enzimatis
dan tempat penyerapan zat gizi,
sedangkan penelusuran beberapa pustaka diperoleh bahwa beberapa manfaat yang dianggap berasal dari BAL antara lain adalah sintesis vitamin, protein, meningkatkan daya cerna dan daya serap zat-zat gizi (Wahyudi & Samsundari 2008). Berdasarkan referensi pustaka tersebut, maka sangat beralasan jika diindikasikan bahwa biskuit fungsional selain memberikan tambahan gizi (energi dan protein) yang memadai, juga berpotensi memperbaiki daya serap dan daya cerna berbagai zat gizi sehingga dapat meningkatkan berat badan balita. Tabel 49 Pertambahan ukuran antropometri menurut kelompok perlakuan Pertambahan Ukuran Antropometri Berat Badan ( kg ) Bulan ke 1 Bulan ke 2 Bulan ke 3 Bulan ke 0-3 Tinggi Badan ( cm ) Bulan ke 1 Bulan ke 2 Bulan ke 3 Bulan ke0-3 Lila ( cm ) Bulan ke 1 Bulan ke 2 Bulan ke 3 Bulan ke0-3
P0 ( n=18)
P1 (n=15)
Kelompok Perlakuan P2 (n=16)
P3 (n=18)
P4 (n=16)
0.025 ± 0.228 ± 0.022 ± 0.275 ±
0.36 0.54 0.39 0.29
0.457 ± 0.32 0.093 ± 0.38 -0.037 ±0.28 0.513 ± 0.46
0.234 ± 0.49 0.003 ± 0.42 0.313 ± 0.38 0.550 ± 0.46*
0.386 ± 0.042 ± 0.356 ± 0.783 ±
0.52 0.35 0.35 0.40**
0.122 ± 0.49 0.237 ± 0.40 0.272 ± 0.38 0.631 ± 0.35*
0.528 ± 0.544 ± 0.761 ± 1.833 ±
0.41 0.50 0.58 0.94
0.813 ± 0.433 ± 0.763 ± 2.010 ±
0.49 0.25 0.47 0.63
1.112 ± 0.90 0.634 ± 0.45 0.631 ± 0.47 2.378 ± 1.12
1.033 ± 0.545 ± 0.858 ± 2.436 ±
0.90 6.09 0.59 1.44
0.837 ± 0.63 0.591 ± 0.40 0.681 ± 0.51 2.109 ± 0.84
0.267 ± 0.51 0.030 ± 0.54 0.061 ± 0.56 0.358 ± 0.32
0.113 ± 0.046 ± 0.220 ± 0.380 ±
0.48 0.45 0.51 0.51
0.359 ± 0.42 0.128 ± 0.39 0.018 ± 0.42 0.506 ± 0.20
0.364 ± 0.45 -0.147 ± 0.51 0.352 ± 0.63 0.569 ± 0.33
0.225 ± 0.43 0.225 ± 0.26 0.725 ± 2.57 1.175 ± 2.52
Keterangan : * beda nyata terhadap P0
** beda sangat nyata terhadap P0
89
Hasil analisis Anova dan dilanjutkan komparasi dengan metode LSD terhadap kelompok perlakuan biskuit fungsional yang mengandung krim probiotik E. faecium IS-27526 yang telah dienkapsulasi menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0.05) antara kelompok perlakuan P3 (Btp + KP rutin) dengan P2 (Bbs + KP) maupun P4 (Btp + KP sela 1 hari) dan sebaliknya. Hal ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan selisih berat badan tidak nyata antara penggunaan probiotik secara rutin setiap hari dan selang 1 hari Gambar 17 menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok umur dan perlakuan, peningkatan berat badan terbesar terjadi pada berbagai kelompok umur yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa efek peningkatan berat badan badan tidak terjadi hanya pada kelompok umur tertentu saja atau dengan kata lain bahwa umur tidak mempunyai pengaruh. Apabila dibandingkan dengan kelompok lain terlihat bahwa balita pada kelompok perlakuan P3 (Btp + KP rutin) terdapat peningkatan paling besar dan relatif sama antar kelompok umur.
Peningkatan BB (kg)
Perlakuan 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
P0
P1
P2
P3
P4
24-36 bln
0,38
0,667
0,67
0,772
0,744
37-48 bln
0,225
0,538
0,406
0,79
0,538
49-60 bln
0,063
0,225
0,733
0,8
0,5
Ket: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 17 Peningkatan BB balita menurut umur dan perlakuan
Tinggi Badan (TB). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal dan relatif tidak sensitif berubah dalam waktu pendek.
Tabel 49 menunjukkan pada bulan pertama
pertambahan rata-rata tinggi badan terbesar adalah kelompok perlakuan P2, sedangkan pertambahan rata-rata terkecil
adalah kelompok kontrol (P0).
Pengukuran pada bulan kedua, pertambahan rata-rata tinggi badan terbesar adalah kelompok perlakuan P2, sedangkan pertambahan terkecil kelompok perlakuan P1.
adalah
Pengukuran pada bulan ke tiga, pertambahan rata-
90
rata tinggi badan terbesar adalah kelompok perlakuan P3, sedangkan pertambahan rata-rata tinggi badan terkecil adalah kelompok P2. Apabila dilihat selama 3 (tiga) bulan intervensi secara keseluruhan mulai awal hingga akhir (selisih tinggi badan), menunjukkan kelompok perlakuan P3 mengalami pertambahan rata-rata tinggi badan tertinggi, kemudian diikuti P2, P4,P1 dan pertambahan tinggi badan terkecil adalah P0.
Hasil uji Anova
ditemukan terdapat perbedaan tidak nyata (p>0.05) antar kelompok
dan
dilanjutkan uji komparasi ganda dengan metode LSD (Least Significance Difference) juga menunjukkan perbedaan selisih rata rata tinggi badan yang tidak nyata (p>0.05) antar kelompok, baik dengan kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa pemberian paket PMT biskuit fungsional dengan probiotik maupun tanpa probiotik dapat meningkatkan tinggi badan balita contoh, namun secara statistik tidak nyata. Menurut Soekirman (2000) pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat.
Pengaruh kurang gizi terhadap
pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama (Soekirman 2000).Tinggi badan biasa digunakan untuk mengestimasi masalah gizi masa lalu dan masalah gizi kronis daripada status gizi saat ini (Hartog et al 2006) LLA. Lingkar lengan atas (LLA) memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lila merupakan sebagaimana berat badan
merupakan
indikator
yang
sangat
labil
sehingga
merupakan
indikatorstatus gizi kini. Perkembangan LLA hanya terlihat besar pada tahun pertama kehidupan (5.4 cm), sedangkan pada umur dua sampai lima tahun sangat kecil yaitu 1.5 cm per tahun (Suhardjo & Riyadi 1990). Apabila dilihat selama 90 hari intervensi secara keseluruhan awal hingga akhir (selisih) LLA, menunjukkan kelompok perlakuan P4 mengalami pertambahan rata-rata tinggi LLA tertinggi, kemudian diikuti P3, P2,P1 dan pertambahan tinggi badan terkecil adalah P0. Hasil uji Anova ditemukan terdapat perbedaan tidak nyata (p>0.05) antar kelompok
dan
dilanjutkan uji komparasi ganda dengan metode LSD
(Least Significance Difference) juga menunjukkan terdapat perbedaan selisih rata rata LLA yang nyata (p<0.05) antara kelompok perlakuan P4 dengan kontrol (P0), sedangkan kelompok perlakuan lain (P1,P2 dan P3) terdapat perbedaan tidak nyata (p>0.05) dengan kelompok kontrol. Diantara kelompok perlakuan paket biskuit fungsional juga ditemukan adanya perbedaan selisih
91
LLA yang tidak nyata (p>0.05). Hal ini membuktikan bahwa pemberian paket biskuit fungsional dengan probiotik maupun tanpa probiotik dapat meningkatkan panjangLila balita contoh, namun secara statistik tidak nyata (p>0.05). Pola pertumbuhan BB , TB dan Lila selama intervensi. Balita yang sehat bertambah umur bertambah berat badan, LLA dan tinggi badannya. Gambar 18
menunjukkan
adanya pola pertumbuhan berat badan, LLA dan
tinggi badan balita pada kelompok kontrol (P0) dan semua kelompok perlakuan.
2,5 2 1,5 BB (kg)
1
TB (cm)
0,5
Lila (cm)
0 P0
P1
P2
P3
P4
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 18 Pola pertumbuhan BB, TB dan LLA menurut perlakuan
Pola pertambahan ukuran antropometri (berat badan, LLA ,tinggi badan) balita contoh pada gambar diatas terlihat mempunyai pola yang relatif sama dengan percepatan tertentu.
Gambar 18 menunjukkan bahwa pada semua
kelompok perlakuan PMT biskuit fungsional (P1 hingga P4) mempunyai percepatan ketiga ukuran antropometri yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Diantara kelompok perlakuan, ditemukan kelompok perlakuan P3 (Btp + KP rutin) mengalami percepatan pertumbuhan (BB dan TB) yang paling tinggi dibandingkan kelompok perlakuan yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian paket biskuit fungsional dengan probiotik maupun tanpa probiotik dapat meningkatkan pertumbuhan (BB,TB,dan LLA) balita. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemberian paket biskuit fungsional dengan probiotik secara rutin memberikan pengaruh terhadap percepatan pertumbuhan paling tinggi.
92
6.3.
Sebaran Balita Contoh Berdasarkan Kategori Status Gizi pada Awal Intervensi Status gizi balita balita sering digunakan untuk melihat status gizi
masyarakat secara umum. Untuk mengetahui secara tepat status gizi balita contoh, maka digunakan beberapa alternatif indikator yaitu BB/U, TB/U dan BB/TB.
Sebaran balita berdasarkan status gizi dengan beberapa indikator Z
skor disajikan pada Tabel 50. Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum.
Balita yang menjadi contoh dalam penelitian, semua tergolong balita
dengan berat badan kurang (underweight). Tabel 50 menunjukkan pada awal intervensi sebagian besar balita kelompok perlakuan P1, P3 dan P4 tergolong gizi kurang atau kekurangan berat badan tingkat ringan, sedangkan kelompok P0 dan P2 relatif sama proporsi antara gizi kurang dan gizi buruk. Baik status gizi kurang maupun status buruk pada balita, kedua duanya mengandung resiko yang tidak baik bagi kesehatan balita contoh. Tabel 50 Sebaran balita berdasarkan status gizi pada awal intervensi Status Gizi Z skor BB/U <-3 ( gizi buruk) - 3 s/d < - 2 ( gizi kurang) Total Z skor TB/U <-3 ( sangat pendek) - 3 s/d < -2 ( pendek) Total Z skor BB/TB <-3 ( sangat kurus) - 3 s/d < -2 ( kurus ) ≥ 2 (normal) Total
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2
P3
P4
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
10
55.6
5
33.3
8
50.0
3
16.7
7
43.7
8
44.4
10
66.7
8
50.0
15
83.3
9
56.3
18
100
15
100
16
100
18
100
16
100
10
55.6
5
33.3
8
50.0
3
16.7
7
43.7
8
44.4
10
66.7
8
50.0
15
83.3
9
56.3
18
100
15
100
16
100
18
100
16
100
1
5.6
0
0
0
0
1
5.6
0
0
5
27.8
2
13.3
3
13.3
5
27.8
2
12.5
12
66.7
13
86.7
13
86.7
12
66.7
14
87.5
18
100
15
100
16
100
18
100
16
100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
93
Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Tabel 50 menunjukkan pada awal intervesi balita contoh kelompok perlakuan P1, P3 dan P4 sebagian besar tergolong pendek, sedangkan balita kelompok kontrol (P0) sebagian besar tergolong sangat pendek pada awal intervensi. Sedangkan berdasarkan indikator BB/TB, menunjukkan status gizi saat awal intervensi ini sebagian besar balita contoh semua kelompok perlakuan masih tergolong normal, hanya 5.6 persen yang tergolong sangat kurus yaitu pada balita kelompok kontrol (P0) dan perlakuan P3. Tabel 50 berdasarkan indikator BB/U secara umum menunjukkan adanya perbaikan status gizi
setelah dilakukan intervensi biskuit fungsional selama 90
hari pada semua kategori status gizi. Perbaikan status gizi balita terlihat dengan adanya penurunan balita kategori gizi buruk dan gizi kurang dan sebaliknya terdapat balita dengan status gizi baik yang pada awal intervensi tidak ada. Peningkatan status gizi balita contoh menjadi kategori baik, terutama ditemukan pada kelompok perlakuan biskuit fungsional dengan probiotik (P3 dan P4) maupun tanpa probiotik (P1) dibandingkan kelompok yang menggunakan biskuit kontrol (P0 dan P2). Peningkatan kategori status gizi berdasarkan indeks TB/U menjadi normal tidak ditemukan pada semua kelompok perlakuan, namun perbaikan status gizi balita contoh pada akhir intervensi ditemukan dengan adanya penurunan persentasi balita sangat pendek dan sebaliknya terjadi peningkatan persentasi balita pendek. Peningkatan persentase kelompok perlakuan (P1 hingga P4) lebih besar dibandingkan kelompok control (P0), dan persentase terbesar terdapat pada kelompok perlakuan P2 (Bbs + KP). Terdapat fenomena perbaikan kategori status gizi yang relatif sama antara indek BB/TB dengan Indek TB/U, dimana peningkatan kategori status gizi tidak banyak terjadi pada semua kelompok. Hal ini berbeda dengan indeks BB/U yang dapat diperbaiki dalam waktu yang pendek.
Sebaran balita berdasarkan status gizi pada akhir
intervensi disajikan pada Tabel 51. Berdasarkan Tabel 51 tersebut, secara umum apabila dibandingkan antar kelompok, maka ditemukan bahwa perbaikan status gizi berdasarkan indek BB/U, TB/U dan BB/TB kelompok perlakuan lebih baik peningkatan status gizi nya dibandingkan kontrol, sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada balita kelompok perlakuan P3 (Btp + KP rutin).
94
Tabel 51 Sebaran balita berdasarkan status gizi pada akhir intervensi Status Gizi Z skor BB/U <-3 ( gizi buruk) - 3 s/d < - 2 ( gizi kurang) - 2 s/d < 2 ( gizi baik ) Total Z skor TB/U <-3 ( sangat pendek) - 3 s/d < -2 ( pendek) Total Z skor BB/TB <-3 ( sangat kurus) - 3 s/d < -2 ( kurus ) ≥ -2 (normal) Total
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
11
61.1
2
13.3
5
31.3
1
6
33.3
8
53.4
9
56.3
1
5.6
5
33.3
2
18
100
15
100
11
61.1
4
7
38.9
11
P4 n
%
5.6
2
12.5
11
61.1
10
62.5
12.5
6
33.3
4
25.0
16
100
18
100
16
100
26.7
5
31.3
2
11.1
7
43.7
73.3
11
68.8
16
88.9
9
56.3
100
18
100
16
100
18
100
15
100
16
1
5.6
1
6.7
1
6.3
1
5.6
0
0
5
27.8
1
6.7
4
25.0
0
0
1
6.3
12
66.7
13
86.7
11
68.8
17
94.4
15
93.8
18
100
15
100
16
100
18
100
16
100
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
6.4. Status Gizi berdasarkan nilai Z-skor Balita Mengingat ada beberapa alternatif indikator yang dapat digunakan untuk menilai status gizi balita, untuk mengetahui secara tepat maka digunakan nilai Z-skor indikatorBB/U, TB/U dan BB/TB. Tabel 52, menunjukkan rata-rata nilai Z-skor BB/U pada awal maupun akhir intervensi antar kelompok relatif berbeda, dimana nilai Z-skor kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan. Namun demikian, apabila membandingkan selisih nilai Z-skor BB/U pada awal dan akhir intervensi ditemukan semua kelompok perlakuan (P1 hingga P4) lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (P0). Selisih nilai Z-skor paling besar ditemukan pada balita kelompok perlakuan P3 dan P4. Hasil uji Anova ditemukan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok dan dilanjutkan uji komparasi ganda dengan metode LSD (Least Significance Difference) menunjukkan terdapat perbedaan selisih rata rata nilai Zskor BB/U yang sangat nyata (p<0.001) pada kelompok P3 dan nyata (p<0.05) pada kelompok P4 terhadap kelompok kontrol (P0), sedangkan kelompok perlakuan lain tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) terhadap kelompok kontrol. Hal ini membuktikan bahwa pemberian PMT biskuit fungsional P3 (Btp + KP rutin) dan
95
P4 ( Btp + KP selang hari) dapat meningkatkan nilai Z-skor BB/U secara nyata pada balita contoh, sedangkan perlakuan lainnya yaitu P1(Btp+ KnP) dan P2 (Bbs +KP) dapat meningkatkan nilai Z-skor BB/U balita contoh namun tidak nyata secara statistik (p>0.05). Pemberian paket biskuit fungsional P3 (Btp + KP rutin) dan P4 ( Btp + KP selang hari) dapat meningkatkan berat badan yang nyata seiring dengan bertambahnya usia, karena selain mendapatkan protein yang lebih tinggi jumlahnya dan juga mengandung komposisi asam amino esensial yang saling melengkapi dari kombinasi isolat protein kedelai dan tepung protein ikan lele dumbo, serta mendapatkan probiotik E. faecium IS-27526
yang dapat
meningkatkan penyerapan zat gizi di dalam tubuh. Menurut Fuller & Perdigon 2003
pada
fase
pertumbuhan
selain
jumlah
protein,
kualitas protein
(kelengkapan asam amino esensial) memegang peranan yang sangat penting, bahkan menurut Roux et al (2003) defisiensi asam amino esensial merupakan faktor penting dan sangat bermakna dalam kondisi malnutrisi. Sebagai contoh dalam pola konsumsi (diet) yang berbasis utama nasi biasanya terbatas asam amino methionin dan threonin, makanan berbasis protein kedelai terbatas asam amino methionen, sedangkan makanan berbasis gandum (gluten) dan jagung (maizena) terbatas jumlah asam amino lisin. Oleh karena itu dengan adanya kombinasi protein kedelai dan protein ikan lele Dumbo, dimana ikan lele dumbo menurut Astawan (2008) cukup tinggi kandungan metionin (1.4 %), lisin (10.5 %) dan treonin (4.8 %) serta nilai biologisnya mencapai 90% (Adawyah 2008), maka secara teoritik dapat melengkapi asam-asam amino yang seringkali menjadi pembatas pada konsumsi balita BBR dan adanya protein juga meningkatkan asam hidroklorat di dalam perut dan dengan demikian akan memicu katong empedu untuk mengeluarkan empedu ke dalam duodenum (bagian pertama usus halus) untuk membantu pencernaan (Wahyudi & Samsundari 2008). Selain itu adanya probiotik berkompetisi dengan bakteri pathogen (‘bakteri jahat’) yang menyebabkan kondisi yang baik pada saluran pencernaan sehingga akan dapat meningkatkan penyerapan zat-zat gizi dan fungsi pencernaan makanan serta memberikan efek manambah masa tubuh (Fuller & Perdigon 2003; Sobariah 2007; Wahyudi & Samsundari 2008; Winarti 2010). Tabel 52 menunjukkan rata-rata nilai Z-skor TB/U pada awal maupun akhir intervensi antar kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan kelompok
96
perlakuan. Demikian juga apabila dibandingkan selisih nilai Zskor TB/U pada awal dan akhir intervensi ditemukan kelompok perlakuan (P1 hingga P4) lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (P0). Selisih nilai Z-skor paling besar ditemukan pada balita kelompok perlakuan P3.
Namun hasil uji Anova
ditemukan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian paket biskuit fungsional dapat meningkatkan rata-rata nilai Z skor TB/U balita contoh, namun tidak nyata secara statistik (p>0.05). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Widayani (2007) pemberian biskuit yang difortifikasi vitamin A dan zat besi dan penelitian Rieuwpassa (2005) pemberian biskuit konsentrat protein ikan teri laut dapat meningkatkan nilai rata-rata Z-skor TB/U namun tidak bermakna. Tabel 52 Nilai Z-skor awal dan akhir intervensi menurut perlakuan Rata – rata Nilai Z skor BB/U Awal Akhir Selisih TB/U Awal Akhir Selisih BB/TB Awal Akhir Selisih
Kelompok Perlakuan P2 (n=16)
P0 ( n=18)
P1 (n=15)
P3 (n=18)
P4 (n=16)
-3.164 ± 0.59 -3.192 ± 0.67 -0.028 ± 0.19
-2.416 ± 0.44 -2.297 ± 0.62 0.119 ± 0.30
-2.726 ± 0.57 -2.723 ± 0.59 0.003 ± 0.36
-2.502 ± 0.47 -2.193 ± 0.43 0.309 ± 0.31**
-2.635 ±0.49 -2.419 ±0.49 0.216 ±0.31*
-3.470 ± 0.26 -3.418 ±0.25 0.052 ± 0.26
-2.664 ± 1.07 -2.594 ±1.01 0.070 ± 0.20
-3.033 ±0.92 -2.870 ± 0.78 0.163 ± 0.08
-2.388 ± 0.67 -2.168 ± 0.51 0.219 ± 0.55
-2.951 ±0.46 -2.811 ±0.54 0.141 ± 0.20
-1.626 ± 0.89 -1.712 ±0.94 -0.086 ± 0.41
-1.221 ± 0.83 -1.118 ± 0.90 0.137 ± 0.53
-1.377 ± 0.79 -1.512 ± 0.84 -0.158 ± 0.63
-1.630 ± 0.95 -1.367 ± 0.69 0.263 ± 0.70
-1.288 ±0.66 -1.079 ±0.56 0.209 ±0.50
Keterangan: * berbeda nyata (p< 0.05) ** berbeda sangat nyata (p< 0.001)
Tabel 52, menunjukkan rata-rata nilai Z-skor BB/TB pada awal nilai Z-skor BB/TB kelompok perlakuan P3 paling lebih rendah, sedangkan pada akhir intervensi rata-rata nilai Z-skor BB/TB kelompok kontrol paling rendah. Apabila dibandingkan selisih nilai Z-skor BB/TB, ditemukan balita contoh kelompok P3 dan P4 jauh lebih besar dibandingan kelompok control maupun perlakuan lainnya. Hasil homoskedastisitas dimana statistic Levene = 1.132 dan p= 0.347, berarti semua kelompok balita mempunyai varian yang sama (homogen). Hasil uji Anova ditemukan adanya perbedaan tidak nyata (p>0.05) antar kelompok. Hal ini
mengindikasikan
bahwa
pemberian
paket
biskuit
fungsional
dapat
meningkatkan nilai Z skor BB/TB balita contoh namun tidak nyata secara statistik. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Widayani (2007) pemberian biskuit yang difortifikasi vitamin A dan zat besi dan penelitian Rieuwpassa (2005)
97
pemberian biskuit konsentrat protein ikan teri laut dapat meningkatkan nilai ratarata Z-skor BB/TB namun tidak bermakna. 6.5. Pola Pertumbuhan Selama Intervensi Menurut standar WHO 2005, diharapkan anak balita tumbuh mengikuti kurva normal pertumbuhan, dengan menggunakan nilai rata-rata Z skor semakin bertambah umur, semakin bertambah pula berat badan dan tinggi badan. Nilai rata-rata Z skor BB/U disajikan dalam Gambar 19.
0 -0,5
Bln 0
Bln 1
Bln 2
Z skor BB/U
-1 -1,5 -2 -2,5
Bln 3 P0 P1 P2 P3 P4
-3 -3,5 Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 19. Grafik nilai rata-rata Zskor BB/U selama intervensi menurut perlakuan Gambar 19 terlihat adanya pola pertumbuhan selama intervensi yang berbeda, dimana balita contoh pada perlakuan kontrol (P0) dan P2 cenderung tidak tumbuh (relatif tetap), balita pada perlakuan P1 sedikit tumbuh dan sebaliknya pertumbuhan positif ditemukan pada perlakuan P3 dan P4. Hal ini membuktikan bahwa pemberian paket PMT biskuit fungsional dengan probiotik rutin maupun selang 1 hari dapat meningkatkan pertumbuhan (berat badan) anak balita contoh yang menderita berat badan rendah.. Nilai rata-rata Z-skor TB/U dalam Gambar 20 terlihat adanya pola pertumbuhan tinggi badan selama intervensi yang hanya terdapat sedikit perbedaan (relatif sama) antar kelompok, dimana balita contoh pada perlakuan kontrol (P0) dan perlakuan P1 cenderung tidak tumbuh (relatif tetap), balita pada perlakuan P2 dan P4 sedikit tumbuh, sedangkan pertumbuhan positif terbesar ditemukan pada balita contoh perlakuan P3. Hal ini membuktikan bahwa
98
pemberian PMT biskuit fungsional dengan probiotik rutin maupun selang 1 hari dapat meningkatkan pertumbuhan (tinggi badan) anak balita contoh yang menderita berat badan rendah selama intervensi, meskipun tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) dengan kelompok perlakuan lain.
Hasil ini
sejalan dengan penelitian Widayani (2007) pemberian biskuit yang difortifikasi vitamin A dan zat besi dan penelitian Rieuwpassa (2005) pemberian biskuit konsentrat protein ikan laut dan probiotik E faecium dapat meningkatkan nilai rata-rata Z-skor TB/U balita namun tidak bermakna.
Pemantauan 0
Zskor TB/U
-0,5
Bln 0
Bln 1
Bln 2
Bln 3
-1
P0
-1,5
P1
-2
P2
-2,5
P3
-3
P4
-3,5 -4 Ket:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 20. Grafik nilai rata-rata Z skor TB/U selama intervensi menurut perlakuan
Nilai rata-rata Z-skor BB/TB dalam Gambar grafik 21 terlihat adanya pola pertumbuhan berat badan menurut tinggi badan selama 90 hari intervensi yang berbeda, dimana balita contoh pada perlakuan kontrol (P0), perlakuan P1 dan P2 cenderung mengalami gagal tumbuh (pertumbuhan negatif) dan sebaliknya pertumbuhan positif ditemukan pada balita contoh perlakuan P3 dan P4. Hal ini membuktikan bahwa pemberian PMT biskuit fungsional dengan probiotik rutin maupun selang 1 hari dapat meningkatkan pertumbuhan (berat badan/tinggi badan) anak balita contoh yang menderita berat badan rendah sesuai dengan pertambahan usiannya selama intervensi.
99
Pemantauan 0 -0,2
Bln 0
Bln 1
Bln 2
Bln 3
Z skor BB/TB
-0,4 -0,6
P0
-0,8
P1
-1
P2
-1,2
P3
-1,4
P4
-1,6 -1,8 -2 Keterangan.: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 21. Grafik nilai rerata Zskor BB/TB selama intervensi menurut perlakuan
7.
Efikasi Pemberian PMT Biskuit Fungsional terhadap Respon Imun Humoral (sIgA) Biskuit fungsional selain mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh,
juga mengandung probiotik yang mempunyai potensi aktivitas fisiologi dalam sistem imunitas. Sistem imun pada permukaan mukosa (MALT) merupakan pertahanan pertama dari lingkungan luar tubuh. Mekanisme respon imun mukosa akan terjadi apabila antigen masuk melalui jalur mulut. Respon imun yang paling umum terjadi adalah respon imun humoral berupa peningkatan jumlah sel pensekresi IgA dan sIgA sekretori. Diperkirakan cara kerja IgA sekretori adalah mencegah melekatnya antigen pada permukaan mukosa (Roit & Delves 2001) dan memiliki afinitas yang dapat membantu fagositosis dan melakukan opsonisasi. 7.2.
Kadar sekretori IgA (sIgA) Analisis yang dilakukan untuk melihat imunitas tubuh balita contoh
sebagai akibat pemberian paket PMT biskuit fungsional adalah sIgA pada feses. Sekretori IgA dipilih untuk dianalisis karena merupakan faktor larutan yang spesifik muncul ditunjukkan oleh immunoglobulin (Ig). IgA merupakan immunoglobulin kedua terbanyak dan 80% banyak ditemukan dalam usus besar. (Goktepe et al 2006). Pengukuran sIgA pada serum kurang mencerminkan kondisi saluran pencernaan (Park et al 2002), sedangkan
100
pengukuran fekal mungkin lebih mencerminkan kondisi saluran pencernaan yang aktual (Peter et al 2004). Hasil analisis sIgA pada 72 sampel fekal balita contoh diantara 83 sampel akhir, pada awal intervensi diperoleh nilai ratarata sIgA sebesar 0.5898 µg/g dengan rentang nilai 0.0 hingga 2.6526 µg/g, sedangkan akhir intervensi diperoleh nilai rata-rata lebih tinggi yaitu 1.0674 µg/g dengan rentang nilai 0.0 hingga 3.6503 µg/g. IgA sekretori awal dan akhir perlakuan
menurut kelompok perlakuan secara lengakap disajikan
pada Tabel 53. Rata–rata nilai sIgA balita contoh pada awal intervensi, kelompok kontrol (P0) dan kelompok perlakuan (P1 hingga P4) relatif sama dan hasil uji Anova pada semua kelompok ditemukan perbedaan yang tidak bermakna (p>0.05). Artinya pada awal intervensi terdapat homogenitas nilai sIgA pada semua kelompok perlakuan balita contoh sehinga tidak terdapat perbedaan varian yang bermakna. Tabel 53 .IgA sekretori (sIgA) awal dan akhir menurut kelompok perlakuan Immunoglobulin A sekretori (µg /mg) Awal -minimum -maksimum -rerata Akhir -minimum -maksimum -rerata Selisih ratarata ( awal & akhir)
Kelompok Perlakuan P2 P3 (n=16) (n=18)
P0 ( n=18)
P1 (n=15)
P4 (n=16)
0 1.311 0.585 ±0.5
0 2.446 0.594 ±0.7
0 1.876 0.684 ±0.6
0 2.653 0.628 ±0.8
0 1.428 0.535 ±0.4
0 1.870 0.629 ± 0.6
0.017 2.4575 0.869 ±0.7
0.031 2.763 0.965±0.7
0.286 3.650 1.591 ±0.8
0.503 2.424 1.275±0.6
0.045 ±0.6
0.275 ±0.7
0.361±0.8
0.963 ±0.8**
0.740±0.4*
Keterangan: * berbeda nyata (p< 0.05) ** berbeda sangat nyata (p< 0.001) Pada akhir intervensi, rata–rata nilai sIgA semua kelompok perlakuan (P1 hingga P4) lebih tinggi dibanding kelompok kontrol dan hasil uji Anova ditemukan terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05). Demikian juga selisih (perubahan) rata rata nilai sIgA pada awal dan akhir intervensi pada kelompok perlakuan memiliki selisih nilai sIgA lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol dan hasil uji Anova bermakna (p<0.05).
juga ditemukan perbedaan yang
Peningkatan nilai sIgA tertinggi adalah kelompok
perlakuan P3 (0.963 ± 0.8 µg/g), kemudian diikuiti kelompok P4 (0.740 ± 0.4 µg/g ), kelompok P2 (0.361 ± 0.8 µg/g), kelompok P1 (0.275 ± 0.7µg/g) dan terendah adalah kelompok kontrol (P0).
101
Hasil uji Anova dan dilanjutkan uji komparasi ganda dengan metode LSD (Least Significance Difference) menunjukkan terdapat perbedaan selisih rata rata nilai sIgA yang sangat nyata (p<0.001) pada kelompok P3 dan beda nyata (p<0.05) pada kelompok P4 terhadap kelompok kontrol (P0), sedangkan kelompok perlakuan lain tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) terhadap kelompok kontrol. Hal ini membuktikan bahwa pemberian paket biskuit fungsional P3 (Btp + KP rutin) dan P4 ( Btp + KP selang hari) dapat meningkatkan sIgA secara nyata (P<0.05) pada balita contoh, sedangkan perlakuan lainnya yaitu P1(Btp+ KnP) dan P2 (Bbs +KP) dapat meningkatkan sIgA balita contoh, namun tidak nyata secara statistik (p<0.05). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kombinasi peningkatan konsumsi protein cukup tinggi dengan kualitas asam amino yang lengkap dan probiotik E. faecium IS 27526 lebih baik dalam upaya meningkatkan respon imun humoral (sIgA) daripada pemberian protein yang tinggi atau probiotik E. faecium IS 27526.
Pemberian kombinasi protein yang tinggi dari isolat
protein kedelai dan tepung protein ikan lele dumbo dan probiotik diduga lebih mampu mempercepat perbaikan morfologi dan fungsi intestina serta memperbaiki sistem imun balita dalam kondisi berat badan rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Peters et al (2004) bahwa perbedaan konsentrasi immunoglobulin menggambarkan diet pada saat dilakukan sampling; pemberian probiotik dapat meningkatan respon imunitas humoral dan sekresi sIgA mukosa (Heyman & Menard 2002); pemberian BAL secara oral tidak akan menginduksi antibodi serum melawan epitopnya sendiri yang berarti mengkonsumsi makanan yang mengandung BAL akan menghasilkan manfaat menguntungkan karena sistem menjadi aktif tanpa memproduksi antibodi serum bakteri anti asam laktat. Efek tersebut disebabkan oleh tidak adanya system immunogenesitas pada organism dan karena keberadaan dipeptid mumary (MPD) suatu senyawa struktur dinding sel (Wahyudi & Samsundari 2008); demikian juga menurut
Roux et al (2003) kerusakan
mukosa pada masalah gizi kurang (malnutrisi) dapat diperbaiki setelah pemberian BAL dengan dosis optimal L. casei
selama 7 hari, ditandai
dengan peningkatan sIgA, tetapi tidak pada IgG. Permukaan mukosa intestina berhubungan secara lansung dengan lingkungan sehingga sel mukosa terekspos dengan antigen.
Sekresi-sekresi internal dalam
permukaan intestina terlibat langsung dengan pertahanan tubuh dan hal
102
tersebut menunjukkan bahwa resistensi terhadap infeksi lebih berkaitan langsung
terhadap
sekresi
antibodi
oleh
sel-sel
mukosa
intestina
dibandingkan dengan sekresi antibodi serum. Sistem sekresi sIgA adalah tipe utama immunoglobulin dalam sistem sekretori, sedangkan IgG adalah immunoglobulin dominan dalam serum (Wahyudi & Samsundari 2008). Gambar 22 menunjukkan nilai sIgA pada awal intervensi relatif sama pada semua kelompok, sedangkan pada akhir intervensi terdapat perbedaan yang cukup tajam, dimana kelompok P3 (Btp + KP rutin) terdapat peningkatan yang tertinggi dan sebaliknya kelompok P0 atau kontrol (Bbs + KnP) terendah.
1,6 1,4 sIgA (ug/g)
1,2 1 0,8
IgAwal
0,6
IgAkhir
0,4
Selisih
0,2 0 P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan Ket :P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 22 Nilai sIgA menurut kelompok perlakuan Nilai sIgA kelompok P3 lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan lainnya, namun hasil uji Anova dan dilanjutkan uji komparasi ganda dengan metode LSD (Least Significance Difference) menunjukkan terdapat
perbedaan yang sangat nyata (p<0.001) dengan
kelompok kontrol (P0), dan berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok perlakuan P1 dan P2, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) dengan kelompok P4. Hal ini membuktikan bahwa pemberian paket biskuit fungsional P3 (Btp + KPrutin) dapat meningkatkan sIgA lebih tinggi secara nyata dibandingkan paket biskuit fungsional P1(Btp + KnP) dan P2 (Bbs + KP), namun relatif sama (tidak jauh berbeda) dengan paket biskuit fungsional P4 (Btp + KP selang 1 hari).
103
Perubahan kadar IgA sekretori (sIgA) pada feses balita contoh berdasarkan kategori sIgA, disajikan pada Tabel 54. Peningkatan jenjang kategori menjadi lebih tinggi (normal), ditemukan paling banyak terjadi pada balita kelompok perlakuan P3 dan P4, yaitu berturut turut dari semula
13.3 %
menjadi 46.7% dan semula 7.1% menjadi 42,9% tergolong normal (1.9 – 5.7 µg/g), sedangkan kelompok lainnya relatif kecil dan bahkan tidak ada peningkatan jenjang kategori. Hasil uji t berpasangan menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) kategori sIgA awal dan akhir pada kelompok perlakuan P3 dan P4, sedangkan kelompok lainnya tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian paket biskuit fungsional
telah dapat meningkatkan nilai sIgA pada semua kelompok
perlakuan, namun hanya PMT biskuit fungsional P3 (Btp + KP rutin)
dan P4
(Btp + KP selang hari) yang mampu meningkatkan jenjang kategori sIgA menjadi lebih baik (normal). Tabel 54 Sebaran balita contoh berdasarkan kategori immunoglobulin A sekretori (sIgA) pada awal dan akhir Iintervensi Kategori sIgA (µg /g) Awal Intervensi < 1.90 ( rendah) 1.90 s/d 5.70 (normal) Total Akhir Intervensi < 1.90 ( rendah) 1.90 s/d 5.70 (normal) Total
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
15
100
12
85.7
12
85.7
13
0
0
2
14.3
2
14.3
15
100
14
100
14
13
86.7
12
85.7
2
13.3
2
15
100
14
P4 n
%
86.7
13
92.9
2
13.3
1
7.1
100
15
100
14
100
12
85.7
8
53.3
8
57.1
14.3
2
14.3
7
46.7
6
42.9
100
14
100
15
100
14
100
Rata-rata immunoglobulin A sekretori (sIgA) feses balita menurut status gizi (nilai z skor BB/U), pada awal intervensi, rata-rata sIgA pada balita dengan status gizi awal adalah buruk berkisar antara 0.00 hingga 1.3113 µg/g dengan sIgA rata-rata 0.6083 µg/g, sedangkan rata-rata sIgA pada balita dengan status gizi awal kurang lebih rendah yaitu berkisar antara 0.00 hingga 1,4207 µg/g dengan sIgA rata-rata 0.5636 µg/g.
Hasil analisis korelasi menunjukkan
hubungan tidak nyata (p>0.05) antara status gizi awal dengan nilai sIgA balita awal balita contoh. Pada akhir intervensi, rata-rata sIgA pada balita dengan status gizi buruk berkisar antara 0.00 hingga 1.9164 µg/g dengan sIgA rata-rata
104
0.7696 µg/g, sedangkan rata-rata sIgA pada balita dengan status gizi kurang berkisar antara 0.00 hingga 3,6503 µg/g dengan sIgA rata-rata 1.1649 µg/g dan balita dengan balita dengan status gizi baik berkisar antara 2,7633 µg/g dengan sIgA rata-rata 1.1707 µg/g.
0.0306 hingga
Hasil analisis korelasi juga
menunjukkan hubungan tidak nyata (p>0.05) antara status gizi akhir dengan nilai sIgA. Rata-rata immunoglobulin A sekretori (sIgA) feses balita dikategorikan berdasarkan status gizi (nilai Z-skor BB/U), disajikan pada Tabel 55. Pada awal intervensi ditemukan rata-rata nilai sIgA yang relatif sama pada status yang sama (buruk dan kurang), namun pada akhir intervensi sebaliknya ditemukan adanya perbedaan yang cukup besar. Balita dengan berbagai status gizi buruk pada semua kelompok perlakuan PMT biskuit fungsional yang menggunakan probiotik Enterococcus faecium IS-27526 dalam krim yang telah dienkapsulasi (P2,P3 dan P4) memiliki rata-rata sIgA yang jauh lebih besar dibandingkan kelompok lain meskipun sebagian besar masih dibawah yang sehat 3.8 ± 1.9
rata-rata sIgA anak
µg/g dengan variasi 1.8 hingga 7.0 µg/g (Haneberg,
Aarskog 1975). Tabel 55 Rata-rata immunoglobulin A sekretori (µg /g) menurut status gizi dan perlakuan Status Gizi berdasarkan (Z-skor BB/U) Awal -Buruk -Kurang Akhir -Buruk -Kurang -Baik
P0 ( n=18)
Rata-rata Immunoglobulin A Sekretori (µg/g) Menurut Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 (n=15) (n=16) (n=18)
P4 (n=16)
0. 673 ± 0.5 0. 537 ±0.5
0. 069 ±0.1 0. 600±0.6
0. 729±0.6 0. 535±0.6
0 304±0.4 0.678 ±0.9
0.679.±0.5 0. 511 ±0.4
0. 673 ±0.7 0. 573 ±0.6 0.688 ±0.0
0. 286±0.0 0. 346±0.3 0.876 ±0.3
0. 823 ±0.5 0. 944 ±0.6 1.397 ±1.9
1.916±0.0 1.800 ±1.3 0.987 ±0.8
1.073 ±0.0 1.095±0.5 1.730 ±0.8
Peningkatan IgA sekretori atau selisih sIgA awal dan akhir (delta) fekal balita contoh yang dikategorikan berdasarkan status gizi (nilai Z-skor BB/U), disajikan pada Gambar 23. Peningkatan Imunoglobulin A sekretori (sIgA) balita contoh dengan status gizi kurang lebih besar dibandingkan balita contoh dengan status gizi buruk. Perbedaan yang cukup besar terutama terlihat pada kelompok perlakuan paket PMT Biskuit fungsional yang menggunakan probiotik E. faesium IS 27526 (P2,P3 dan P4). Hal ini mengindikasikan bahwa perbaikan sIgA pada balita dengan status gizi kurang lebih efektif atau lebih mudah dibandingkan
105
balita dengan status gizi buruk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Koestomo (2004), suplementasi BAL dadih IS-27526 lebih efektif meningkatkan sekresi IgA serum total pada balita dengan status gizi kurang dibanding balita dengan status gizi sangat kurang (buruk). Integritas system imun ubuh merupakan syarat utama untuk memebrikan respon pertahanan secara optimum. Tingkat keparahan defisiensi gizi mempengaruhi mekanisme imunitas (Sullivan et al 1993). Menurut Allori et al (2000) diacu dalam Fuller dan Perdigon (2003) penambahan probiotik pada defisiensi imunitas yang disebabkan kurang gizi dapat disarankan setelah recovery mucosal dengan pemberian makanan yang cukup untuk menghilangkan efek berbahaya pada intestina yang mungkin terjadi oleh adanya stimulasi yang berlebihan dari mukosa yang mengalami athropia yang disebabkan karena masalah kurang gizi (malnutrisi).
Bahkan dalam kondisi kekurangan gizi
(malnutrisi) pemberian bakteri asam laktat (BAL) dapat berakibat baik atau bahkan menjadi lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Oleh karena itu sangat penting memberikan dosis yang tepat (Wahyudi & Samsundari 2008).
1 sIg A (um/g)
0,8 0,6 0,4 0,2 0 -0,2 P0 -0,0001
P1 0,228
P2 -0,0969
P3 0,8504
P4 0,5315
SG Kurang 0,0587
0,2289
0,6155
0,9799
0,7749
SG Buruk
Ket.:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 23 Peningkatan sIgA (µg/g ) fekal menurut status gizi 8.
Efekasi Pemberian Biskuit Fungsional terhadap Morbiditas (diare dan ISPA) Morbiditas dikaji untuk mengetahui sejauhmana efikasi pemberian paket
biskuit fungsional pada kelompok perlakuan terhadap daya tahan tubuh (imunitas) balita contoh. Gambaran keadaan morbiditas balita contoh di wilayah penelitian difokuskan pada dua jenis penyakit yang terbanyak diderita anak usia
106
balita yaitu diare dan ISPA. Menurut Grantham et al (1999) gastroenteritis dan ISPA merupakan prevalensi terbanyak dan kondisi serius yang mungkin berpengaruh terhadap perkembangan anak balita. Morbiditas diketahui berdasarkan kejadian sakit (frekuensi dan lama sakit) selama intervensi dan episode dihitung dengan menjumlahkan frekuensi terjadinya diare/ISPA pada data baseline (bulan 0), pemantauan bulan 1, pemantauan bulan 2 dan pemantauan bulan 3, sehingga didapatkan episode diare/ISPA dalam 4 bulan dan selanjutnya untuk mengetahui episode dalam 1 tahun diperoleh dengan mengalikan tiga (4 bulan x 3). 8.2.
Diare
Penyakit diare atau juga disebut gastroenteritis masih merupakan masalah masyarakat di Indonesia dan sebagian besar (70-80%) penderita adalah balita (Suraatmaja 2007).
Gambar 24. menunjukkan pada awal intervensi rata-rata
frekuensi kejadian diare tertinggi adalah balita kelompok kontrol P0 (0.83 ± 1.09 kali) dan terendah kelompok perlakuan P1 (0.33 ± 0.48 kali). Pada akhir intervensi rata-rata frekuensi kejadian diare tertinggi tetap balita kelompok P0 (0.83 ± 0.86 kali) dan terendah kelompok P4(0.13 ± 0.34 kali). Meskipun terjadi fluktuasi antar waktu, pemantauan pada balita kelompok perlakuan P3 dan P4 terdapat kecenderungan penurunan insiden diare yang lebih tinggi, sedangkan kontrol (P0) tetap tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian biskuit tinggi protein (isolat protein kedele dan tepung protein ikan) dan probiotik E. faecium IS-27526 cenderung mampu menurunkan kejadian diare. Beberapa mekanisme yang diduga meliputi: kompetisi antara mikrobiota saluran pencernaan dan mikroorganisme dari luar tubuh dalam menggunakan zat gizi yang terbatas, peningkatan metabolit yang dihasilkan mikrobiota saluran pencernaan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang berasal dari luar serta kompetisi untuk mendapatkan tempat pada mukosa usus. Proses terjadinya sakit bergantung pada resistensi pathogen pada saluran pencernaan. Mikroba pathogen baru dapat bertahan pada ekosistem saluran pencernaan bila mampu melakukan pelekatan pada mukosa usus (Wahyudi & Samsundari 2008). Probiotik dapat memodifikasi komposisi koloni mikrobiota dan aktivitas perlawanan terhadap bakteri pathogen (Szajewska et al. 2006) dengan kompetisi untuk mengadakan pelekatan dengan sel epitel mukosa. Epitel mukosa yang telah jenuh dengan bakteri probiotik tidak dapat lagi dilekati bakteri lain sehingga dapat mencegah terjadinya kolonisasi bakteri pathogen (Suraatmaja 2007).
107
1 0,9 0,8 0,7
P0
0,6
P1
0,5
P2
0,4
P3
0,3
P4
0,2 0,1 0 Baseline
Pantau1
Pantau2
Pantau3
Keterangan: P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 24 Rata-rata frekuensi diare menurut waktu pemantauan (bulan) Diare akut dapat terjadi secara mendadak pada anak balita yang sebelumnya sehat, sedangkan diare kronik berlanjut sampai 2 minggu atau lebih dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak berubah selama masa diare tersebut (Suraatmaja 2007). Pada awal intervensi rata-rata kejadian diare terlama adalah balita kelompok kontrol P0 (2.39 ± 3.58 hari) dan sebaliknya tersingkat kelompok perlakuan P2 (0.69 ± 1.49 hari), sedangkan pada akhir intervensi terlama tetap balita kelompok kontrol dan sebaliknya terendah adalah kelompok perlakuan P4 (0.37 ± 1.02 hari). Pola kecenderungan yang sama ditemukan pada jumlah hari frekuensi sakit dikalikan lama sakit (Tabel 56). Meskipun kejadian diare berfluktuasi antar waktu, berdasarkan lama terjadinya diare tersebut kelompok perlakuan (P1,P2,P3 dan P4) lebih singkat dibanding kelompok kontrol dan masih tergolong diare akut. Tabel 56 Rata-rata lama kejadian diare balita menurut kelompok perlakuan Kejadian Diare (hari) Lama sakit (hari) Bulan 0 Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Frekuensi X Lama sakit Bulan 0 Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3
P0 ( n=18)
Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 (n=15) (n=16) (n=18)
P4 (n=16)
2. 39 ± 3.58 2.00 ±1.74 1. 39 ±1.33 1.39 ± 1.33
0. 80 ±1.42 0. 27 ±0.79 0. 13 ±0.35 0.60 ± 1.24
0. 69 ±1.49 1. 19 ±1.94 0. 50 ±1.75 1.06 ± 2.08
1. 67 ±1.49 0. 33 ±1.94 0. 33±0.84 0.50 ± 0.68
1.25.±1.48 0. 25 ±0.68 0. 75 ±1.12 0.37 ± 1.02
3. 78 ± 6.99 2.44 ±2.20 2. 00 ±2.25 2.11 ± 2.29
0. 60 ±1.29 0. 27 ±0.79 0. 20 ±0.56 0.60 ± 1.24
1. 44 ±3.86 1. 19 ±1.94 0. 50 ±1.75 1.19 ± 2.19
2. 00 ±2.54 0. 33 ±0.84 0. 33±1.03 0.50 ± 1.04
1.25.±1.48 0. 25 ±0.68 0. 94 ±1.65 0.37 ± 1.02
108
Gambar 25 menunjukkan bahwa rata-rata episode diare tertinggi dalam 4 bulan dan 1 tahun adalah
balita kelompok kontrol.
Episode diare semua
kelompok perlakuan (P1 hingga P4) jauh lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (P0). Namun diantara kelompok perlakuan ditemukan episode balita kelompok P1 paling rendah, hal ini diduga terkait dengan kejadian diare pada awal intervensi yang paling rendah sehingga lebih kecil kemungkinan terjadi infeksi ulang. Hasil uji Anova menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok kontrol dan perlakuan, namun tidak ada beda nyata (p>0.05) diantara jenis perlakuan. Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4 PMT biskuit fungsional yang mengandung kombinasi komponen protein berkualitas (isolat protein kedele dan tepung protein ikan lele) maupun paket biskuit protein tinggi dan probiotik dapat memberikan manfaat lebih sempurna sehingga mampu menurunkan morbiditas diare. Proses terjadinya sakit tergantung pada resistensi pathogen pada saluran pencernaan dan mikroba pathogen baru dapat bertahan pada ekositem saluran pencernaan bla mampu melakukan pelekatan pada mukosa usus (Wahyudi & Samsundari 2008). Infeksi virus atau bakteri tidak selamanya menyebabkan terjadinya diare karena tubuh mempunyai mekanisme daya tahan tubuh. Mekanisme efek probiotik pada diare berupa perubahan lingkungan mikro lumen usus, berkompetisi pada tempat perlekatan, kompetisi zat gizi dan meningkatkan fungsi imunitas dan stimulasi sel imunomodulator (Suraatmaja 2007; Drisco et al. 2003) yaitu dengan peningkatan ekspresi mucin dan sekresi IgA yang bekerja melawan rotavirus (Dincki et al 2006).
10 8
kali
6 4 2 0 Episode 4 bln
P0 3,33
P1 0,93
P2 1,31
P3 1,22
P4 1,19
Episode 1 thn
10
2,8
3,94
3,67
3,56
Ket.:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 25 Rata-rata episode diare menurut kelompok perlakuan
109
Tabel 57 ditemukan sebaran balita contoh sebagian besar masih diatas episode nasional, namun demikian persentasi balita kelompok kontrol (P0) jauh lebih banyak dibanding semua kelompok perlakuan paket PMT biskuit fungsional.
Menurut WHO (2006) anak dalam kondisi kurang gizi dapat
menyebabkan diare menjadi lebih berat, lebih lama
dan lebih sering terjadi
dibandingkan pada anak yang tidak kurang gizi. Tabel 57 Sebaran balita berdasarkan kategori episode diare Kategori Episode (kali/tahun)
P0
P1
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n %
n
%
n
>2
17
94.4
9
60.0
9
56.3
11
≤ 1.6 Jumlah
1 18
5.6 100
6 15
40.0 100
7 16
43.7 100
7 18
P4 n
%
61.1
11
68.8
38.9 100
5 16
31.2 100
Ket : episode nasional 1.6 – 2.0 kali/tahun
8.3. ISPA. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) ISPA merupakan infeksi saluran pernafasan akut (pernafasan bagian atas dan saluran pernafasaan bagian bawah) yang berlangsung sampai 14
hari.
Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Adapun yang dimaksud saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ sekitarnya seperti sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru (Rasmalian 2004). Gambar 26 menunjukkan pada awal intervensi rata-rata frekuensi kejadian sakit ISPA tertinggi adalah balita kelompok kontrol P0 (1.17 ± 0.98 kali) dan terendah balita pada kelompok perlakuan P1 (0.60 ± 0.51 kali), sedangkan pada akhir intervensi rata-rata frekuensi kejadian ISPA tertinggi tetap balita kelompok kontrol P0 (0.89 ± 0.58 kali) dan terendah kelompok P4 (0.56 ± 0.51 kali). Meskipun terjadi fluktuasi antar waktu pemantauan selama intervensi 90 hari, pada kelompok perlakuan P3 (Btp +KP rutin) dan P4(Btp + KP selang 1 hari) terdapat kecenderungan penurunan insiden ISPA yang lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya (P1 dan P2), sedangkan kelompok balita kontrol (P0) juga mengalami penurunan kejadian ISPA,namun frekuensinya masih tetap tinggi.
110
1,4 1,2 1
P0
0,8
P1
0,6
P2 P3
0,4
P4
0,2 0 Baseline
Pantau1
Pantau2
Pantau3
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 26 Rata-rata frekuensi ISPA menurut waktu pemantauan (bulan) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari, diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes 2000). Rata-rata lama kejadian ISPA balita menurut kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 58. Tabel 58 Rata-rata lama kejadian ISPA balita menurut kelompok perlakuan Kejadian ISPA (hari) Lama sakit (hari) Bulan 0 Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Frekuensi X Lama sakit Bulan 0 Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3
P0 ( n=18)
Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 (n=15) (n=16) (n=18)
P4 (n=16)
4. 39 ± 3.53 2.89 ± 2.78 3. 39 ± 2.93 3.28 ± 2.24
3. 33 ±3.86 1. 07 ±2.05 2. 26 ±3.79 3.00 ± 3.12
3. 50 ±4.05 2. 31 ± 2.65 4. 31 ±2.96 1.94 ± 1.98
3. 44 ±5.24 0. 94 ±1.86 3. 11± 1.97 3.61 ± 3.03
3.94.±4.04 1. 25 ±1.88 1. 44 ±1.75 2.19 ± 2.14
5. 83 ± 6.67 3.44 ±3.78 3.39 ±2.93 3.56 ± 2.30
3. 07 ±3.95 1. 07 ± 2.05 2. 73 ±3.81 3.00 ± 3.12
5. 94 ±3.86 2. 31 ±1.94 4. 94 ±1.75 2.38 ± 2.19
5. 33 ±7.69 1. 17 ±2.09 3. 33±2.27 3.61 ± 3.03
4.50.±5.04 1. 25 ±1.88 1. 94 ±3.13 2.19 ± 2.13
Keterangan:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Tabel 58 menunjukkan bahwa pada awal intervensi rata-rata kejadian ISPA terlama adalah balita kelompok kontrol P0 (4.39±3.53 hari) dan sebaliknya tersingkat kelompok.perlakuan P1 (3.33 ± 3.86 hari), sedangkan akhir intervensi terlama tetap balita kelompok kontrol dan sebaliknya terendah adalah kelompok perlakuan P2 (1.94± 1.98 hari), kecenderungan yang sama ditemukan pada jumlah hari frekuensi sakit dikalikan lama sakit. Kejadian sakit ISPA diantara
111
semua kelompok balita contoh ditemukan fluktuasi antar waktu, namun secara umum masih tergolong singkat dan merupakan penyakit ISPA ringan dengan gejala batuk, pilek, serak dan demam. Berdasarkan lama terjadinya ISPA, kelompok perlakuan (P1,P2,P3 dan P4) dapat dikatakan lebih singkat dibanding kelompok kontrol (P0). Gambar 27 menunjukkan bahwa rata-rata episode ISPA tertinggi dalam 4 bulan maupun 1 tahun adalah balita kelompok kontrol P0 (3.44 kali dan 10.33 kali) ,dan lebih tinggi dibandingkan episode ISPA nasional (3 s/d 6 kali/tahun). Meskipun lebih kecil dari kelompok kontrol (P0), rata-rata episode ISPA semua kelompok perlakuan juga masih melebihi nasional. Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku (Depkes RI (2001). Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah perbedaan kondisi contoh, dimana pada penelitian ini semua balita contoh tergolong BBR (underweight), sedangkan episode nasional balita contoh dengan berbagai status gizi.
Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah
terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam keadaan gizi kurang, selain lebih mudah terserang ISPA, serangannya sering berlangsung lebih lama (Depkes 2001). Gambar 27 menunjukkan episode ISPA yang tinggi (10 kali/tahun) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan berkisar antara 6 – 9 kali pertahun, relatif sama dibandingkan dengan episode di negara-negara berkembang yaitu berkisar antara 4 – 9 kali pertahun (Grantham et al 2001). Apabila dibandingkan antar kelompok perlakuan paket biskuit fungsional ditemukan episode balita kelompok P1 dan P4 lebih rendah dibanding lainnya, hal ini diduga terkait dengan kejadian ISPA pada awal intervensi yang juga lebih rendah sehingga relatif lebih kecil kemungkinan terjadi infeksi ulang. Hasil uji Anova menunjukkan ada perbedaan nyata (p< 0.05) antar kelompok P1 dan P4 dengan kontrol, sedangkan kelompok P2 dan P3 tidak ada beda nyata (p>0.05) dengan kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa
kelompok perlakuan paket
biskuit protein tinggi maupun biskuit fungsional yang mengandung protein tinggi dan probiotik dapat meningkatkan imunitas tubuh
dan mampu menurunkan
morbiditas ISPA, namun tidak dapat digeneralisasi. Kondisi balita yang saat ini masih BBR dan riwayat sakit balita contoh sebelum intervensi diduga mempunyai peran terhadap kemudahan terjadinya infeksi ulang selama intervensi dilakukan. Infeksi lebih sering terjadi dan lebih berat pada anak usia balita disebabkan
112
karena sistem imun belum matang (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Menurut Arisman (2007) hasil otopsi penderita malnutrisi pada umumnya menunjukkan tanda-tanda yang menyiratkan bahwa selama hidup mereka pernah terserang bronchitis, tuberkolusis serta pneumonia. Penyulit ini terutama disebabkan oleh lenyapnya kekuatan otot perut, disela iga, bahu dan diafragma. Akibatnya fungsi ventilasi tergangu, kemampuan untuk mengeluarkan dahak
menjadi rusak
sehingga eksudat menumpuk dalam bronkus. Keadaan hipoproteinema secara bersamaan mengakibatkan edema interstitial dan sekresi bronkus. Kondisi demikian memperberat fungsi ventilasi yang telah terganggu. Sedangkan menurut Szajewska et al. (2006) beberapa strain probiotik memang dapat mencegah infeksi respirasi pada bayi dan anak sehat, namun hingga saat ini belum cukup bukti untuk merekomendasikan secara khusus.
12 10 8 Kali
6 4 2 0 Episode 4 bln
P0 3,44
P1 2,13
P2 3,25
P3 2,94
P4 2,31
Episode 1 thn
10,33
6,4
9,75
8,83
6,94
Ket.:P0 :Bbs + KnP; P1:Btp + Knp; P2 :Bbs + Kp; P3 :Btp + Kp rutin; P4 :Btp + Kp sela 1 hr
Gambar 27 Rata-rata episode ISPA menurut kelompok perlakuan Tabel 59 menunjukkan sebaran balita contoh pada semua kelompok sebagian besar masih diatas episode nasional (> 6 kali/tahun), namun demikian persentasi balita kelompok kontrol (P0) jauh lebih tinggi dibandingkan semua kelompok perlakuan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian paket biskuit fungsional anak balita yang mengalami BBR (underweight) dapat menurunkan frekuesi kejadian sakit (episode) ISPA lebih baik daripada kontrol, meskipun tidak dapat digeneralisasi. Menurut Hughes & Kelly (2006) kejadian infeksi pada anak balita gizi kurang, terdapat dua fakta yang harus dipertimbangkan, yaitu pertama, infeksi berperan penting dalam pemberian tindakan klinik dan kedua, infeksi sering kali tersembunyi sebagai respon fibrile terhadap infeksi yang tidak
113
memadai. Selain itu ratusan studi infeksi melaporkan bahwa infeksi yang disertai masalah kurang gizi dapat menyebabkan infeksi menjadi lebih parah atau ada juga yang tidak ada efek (Roux et al 2003). Penurunan yang bermakna prevalensi infeksi saluran pernafasan yang terjadi anak-anak di Vietnam utara, selain karena intervensi perbaikan gizi, mungkin juga karena adanya perbaikan higiene (Sripaipan et al 2002). Tabel 59 Sebaran balita berdasarkan kategori episode ISPA Kategori Episode (kali/tahun) >6.0 3.0 – 6.0 < 3.0
P0 n 15 2 1 18
% 83.3 11.1 5.6 100
Kelompok Perlakuan P2 P3 % n % n % 40.0 11 68.8 11 61.1 40.0 4 25.0 7 38.9 20.0 1 6.3 0 0 100 16 100 18 100
P1 n 6 6 3 15
P4 N 7 6 3 16
% 43.8 37.5 18.8 100
Ket : episode nasional 3 - 6 kali/tahun
9.
Model Prediksi Status Gizi, Respon Imun Humoral dan Morbiditas Untuk mengestimasi beberapa faktor terhadap Status gizi, Respon imum
dan morbiditas
secara bersama sama dan untuk menentukan besarnya
kontribusi masing-masing faktor, maka dilakukan analisis multivariate dengan menggunakan analisis Multinomial Logistic Regresi. Sebelum dilakukan analisis multivariate, dilakukan analisis bivariat. Menurut Lemeslow (1989) dan Murti (1997) dengan analisis bivariat dapat menentukan variabel mana yang bisa diikutkan dalam analisis multivariate. Variabel yang mempunyai nilai p<0.25 dapat dijadikan kandidat dalam permodelan. 9.1
Model Prediksi Peningkatan Status Gizi Hasil analisis bivariat faktor yang diprediksi berhubungan dengan status
gizi balita contoh disajikan pada Tabel 60. Tabel 60 Hasil analisis bivariat faktor yang berhubungan dengan peningkatan status gizi No Variabel Nilai p Keputusan 1 Jenis Perlakuan 0.002 Kandidat model 2 Konsumsi harian protein 0.751 3 Konsumsi harian energi 0.833 4 Tingkat kepatuhan konsumsi 0.060 Kandidat model biskuit 5 Status gizi awal (BB/U) 0.772 6 Pola asuh makan 0.501 7 Tingkat pengetahuan dan gizi 0.662 8 Morbiditas diare 0.138 Kandidat model
114
Hasil analisis Multinomial Logistic Regression untuk status gizi, menunjukkan bahwa variabel yang memberi kontribusi pada model untuk memprediksi status gizi akhir balita contoh menjadi status gizi baik ( Z skor > -2 SD) dan status gizi kurang (-3 s/d -2 SD) berdasarkan nilai Z skor BB/U adalah jenis perlakuan dan tingkat kepatuhan. Jenis perlakuan dikategorikan menjadi dua yaitu biskuit protein tinggi (P1) dan biskuit probiotik (P2,P3 dan P4), sedangkan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit dikategorikan menjadi dua yaitu tinggi dan sedang/rendah. Secara matematis model Multinomial Logistic Regression untuk status gizi dapat dituliskan sebagai berikut : 1 Status Gizi baik = -------------------------------------------------------------------1 + e –( - 5.040 + 2.285 (bisk.probiotik) + 4.088 (bisk.protein) + 2.930 (patuh) 1 Status Gizi kurang =
---------------------------------------------1 + e –( - 2.149(bisk.probiotik) + 3.175 (bisk.protein) )
Kedua model tersebut dapat memprediksi status gizi akhir (nilai Zskor BB/U) sebesar 61.4 %, sedangkan 38.7 % merupakan faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan model matematis tersebut diatas, dapat dihitung nilai peluang (probabilitas)
balita contoh pada akhir intervensi paket PMT Biskuit
fungsional menjadi baik dan kurang adalah sebagai berikut : Probabilitas untuk status gizi akhir baik : a. Pada balita dengan intervensi biskuit probiotik dan tingkat kepatuhan tinggi mempunyai probabilitas menjadi status gizi baik pada akhir intervensi sebesar : 1 = ---------------------------------- = 0.5436 = 54.36% 1 + e –(-5.040 + 2.285 + 2.930 ) b. Pada balita dengan intervensi biskuit tinggi protein dan tingkat kepatuhan tinggi mempunyai probabilitas untuk menjadi status gizi baik pada akhir intervensi sebesar : 1 = ---------------------------------- = 0.8785 = 87.85% 1 + e –(-5.040 + 4.088 + 2.930 )
115
c. Pada balita dengan intervensi biskuit probiotik dan tingkat kepatuhan sedang /rendah mempunyai probabilitas untuk menjadi status gizi baik pada akhir intervensi sebesar : 1 = ---------------------------------- = 0.0598 = 5.98% 1 + e –(-5.040 + 2.285) d. Pada balita dengan intervensi biskuit tinggi protein dan tingkat kepatuhan sedang/rendah mempunyai probabilitas untuk menjadi status gizi
baik
pada akhir intervensi sebesar : 1 = ---------------------------------- = 0.2785 = 27.85% 1 + e –(-5.040 + 4.088 ) Probablitas untuk status gizi akhir kurang : a. Pada balita dengan intervensi biskuit probiotik mempunyai probabilitas menjadi status gizi kurang pada akhir intervensi sebesar : 1 = ----------------------- = 0.1044 = 10.44 % 1 + e –(-2.149)
b. Pada balita dengan intervensi biskuit tinggi protein
mempunyai
probabilitas menjadi status gizi kurang pada akhir intervensi sebesar : 1 = -------------------- = 0.9599 = 95.99 %
1 + e –(3.175 )
Berdasar hasil perhitungan nilai peluang (probabilitas), maka pemberian biskuit tinggi protein (P1) pada balita BBR lebih efektif untuk meningkatkan status gizi (indek BB/U) daripada pemberian biskuit probiotik (biskuit biasa dengan krim probiotik (P2) dan biskuit tinggi protein dengan krim probiotik (P3 & P4)).
Peluang peningkatan status gizi pada akhir intervensi semakin besar,
apabila disertai dengan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit yang tinggi.
116
9.2
Model Prediksi Peningkatan Respon Imun Humoral (delta sIgA) Kategori
variabel dependen respon imun humoral (delta sIgA) pada
analisis ini yang semula tiga kategori diubah menjadi dua kategori berdasarkan nilai rata-rata yaitu < 0.4776 µg/mg dan ≥ 0.46567 µg/mg. Hasil analisis bivariat faktor yang diprediksi berhubungan dengan peningkatan respon imun humoral (sIgA) disajikan pada Tabel 61. Tabel 61 Hasil analisis bivariat faktor yang berhubungan dengan peningkatan sIgA No 1 2 3 4 5 6 7
Variabel Jenis Perlakuan Tingkat kepatuhan konsumsi biskuit Konsumsi harian protein Morbiditas Diare Morbiditas ISPA Kadar sIgA awal Akses pelayanan kesehatan
Nilai p 0.036 0.604 0.324 0.375 0.277 0.695 0.705
Keputusan Kandidat model -
Hasil analisis Multinomial Logistic Regression untuk memprediksi peningkatan respon imum humoral (delta sIgA) menunjukan bahwa variabel yang berperan dalam model adalah jenis perlakuan. Jenis perlakuan meliputi biskuit tinggi protein (dummy1: P1, biskuit isolat protein kedele + tepung protein ikan lele dan krim kontrol) dan biskuit fungsional (dummy2: P2 (biskuit kontrol dan krim probiotik E faecium IS-27526), P3 (biskuit protein isolat kedelai + tepung protein ikan lele dan krim probiotik E faecium IS-27526 rutin) dan P4 ( biskuit isolat kedelai + tepung protein ikan lele dan krim probiotik E faecium IS27526 setiap 2 hari). Secara matematik model Multinomial Logistic Regression dapat dituliskan sebagai berikut : 1 Respon Immun =
-------------------------------------------------------------------1 + e –(-1.386 + 0.799 (bisk.prot) + 1.715 (bisk.prob))
(sIgA)
Model tersebut dapat memprediksi respon imum humoral sebesar 63.9 %, sedangkan 36.1 % merupakan faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan model matematis tersebut diatas, dapat dihitung nilai peluang (probabilitas) fungsional
balita contoh pada akhir intervensi paket biskuit
akan dapat mempunyai respon imun humoral (sIgA) yang tinggi
(delta sIgA >0.4776 µg/g) adalah sebagai berikut:
117
a. Probabilitas untuk perlakuan biskuit tinggi protein : 1 Respon Imun = ------------------------- = 0.3573 = 35.73 % 1 + e –(-1.386 + 0.799 )
Artinya : pada balita yang mendapatkan biskuit tinggi protein, probabilitas untuk terjadi peningkatan respon imun humuran yang lebih tinggi (delta sIgA > 0,4776 µg/g) sebesar 35,73%
b. Probabilitas untuk perlakuan biskuit probiotik : 1 Respon Imun = ------------------------- = 0.5815 = 58.15 % 1 + e –(-1.386 + 1.715 ) Artinya : pada balita yang mendapatkan biskuit probiotik, probabilitas untuk terjadi peningkatan respon imun humoral yang lebih tinggi (delta sIgA >0,4776 µg/g) sebesar 58,15% Berdasar hasil perhitungan nilai peluang (probabilitas), maka pemberian biskuit probiotik (biskuit biasa dengan krim probiotik (P2) dan biskuit tinggi protein dengan krim probiotik (P3 & P4)) pada balita BBR lebih efektif untuk meningkatkan respon imun humoral daripada pemberian biskuit tinggi protein (P1). 9.3.
Model Prediksi Morbiditas (Diare) Kategori variabel dependen morbiditas (diare) dikategorikan berdasarkan
nilai rata-rata episode yaitu < 1.64 kali/4 bulan
dan≥ 1.645 kali/4 bulan. Hasil
analisis bivariat faktor yang diprediksi berhubungan dengan morbiditas diare. disajikan pada Tabel 62. Tabel 62 Hasil analisis bivariat faktor yang berhubungan dengan Episode diare No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Variabel Jenis perlakuan Konsumsi protein harian Konsumsi energi harian Kepatuhan thd konsumsi biskuit Pola asuh makanan Pola asuh hygiene Kondisi rumah Pengetahuan gizi dan kesehatan Akses thd pelayanan kesehatan
Nilai p 0.002 0.315 0.693 0.018 0.719 0.204 0.678 0.400 0.266
Keputusan Kandidat model Kandidat model Kandidat model -
118
Hasil analisis Multinomial Logistic Regression untuk memprediksi morbiditas (diare) menunjukkan bahwa variabel yang berperan dalam model adalah jenis perlakuan dan kepatuhan konsumsi biskuit.
Jenis perlakuan
meliputi biskuit protein tinggi (dummy1 (exp1): P1, biskuit tinggi protein dan krim biasa) dan biskuit fungsional (dummy2 (exp2): P2 (biskuit biasa dan krim probiotik), P3 (biskuit tinggi protein dan krim probiotik rutin) dan P4 (biskuit tinggi protein dan krim probiotik selang 1hari). Secara matematik model Multinomial Logistic Regression dapat dituliskan sebagai berikut 1 Y = ----------------------------------------------
, Y=episode diare ≤ 1.64 kali/4 bln
(1) + 2.603exp(2) - 2.050patuh)
1 + e –(2.115exp
Model tersebut dapat memprediksi morbiditas diare sebesar 74.7 %, sedangkan 25.3 % merupakan faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini Berdasarkan model matematis tersebut diatas, dapat dihitung nilai peluang (probabilitas) balita contoh pada akhir intervensi paket PMT Biskuit fungsional akan mempunyai episode kejadian diare rendah (≤1.64 kali/4 bln ) adalah sebagai berikut: a. Probabilitas
episode diare rendah (≤1.64 kali/4 bln ) pada balita yang
mendapat perlakuan biskuit tinggi protein dengan tingkat kepatuhan tinggi: 1 Episode Diare = ------------------------- = 0.5162 = 51.62% 1 + e –(2.115 – 2.050 ) Artinya : pada balita yang mendapatkan biskuit tinggi protein dan mempunyai tingkat kepatuhan yang tinggi, probabilitas untuk mengalami episode diare ≤1.64 kali/4 bln sebesar 51,62% b. Probabilitas episode diare rendah (≤1.64 kali/4 bln ) pada balita yang mendapat biskuit probiotik dengan tingkat kepatuhan tinggi : 1 Episode Diare = ------------------------- = 0.6348 = 63.48% 1 + e –(2.603 – 2.050 )
Artinya : pada balita yang mendapatkan biskuit probiotik dan mempunyai tingkat kepatuhan yang tinggi, probabilitas untuk mengalami episode diare ≤1.64 kali/4 bln sebesar 63.48 %.
119
Berdasar hasil perhitungan nilai peluang (probabilitas), maka pemberian biskuit probiotik (biskuit biasa dengan krim probiotik (P2) dan biskuit tinggi protein dengan krim probiotik (P3 & P4)) pada balita BBR lebih efektif untuk menurunkan episode diare daripada pemberian biskuit tinggi protein (P1).
10. Analisis Ekonomi Usaha Biskuit Analisis ekonomi usaha pembuatan biskuit fungsional dapat dilakukan dengan mengkaji kelayakan ekonomi mulai dari : 1) pembuatan tepung protein ikan; 2) krim probiotik yang dimikroenkapsulasi dan 3) biskuit tinggi protein . 10.1 Analisa ekonomi tepung protein ikan lele. Tepung protein ikan lele, merupakan salah satu bahan baku biskuit fungsional yang menjadi pembeda dengan biskuit pada umumnya dan sekaligus menentukan kualitas kandungan gizi (protein), cita rasa (daya terima) serta biaya produksi. Komponen biaya yang perlu diperhitungkan, diantaranya bahan baku, investasi peralatan dan bangunan serta tenaga dan bahan bakar (listrik). Komponen biaya lain yang perlu diperhitungan dalam proses pembuatan tepung ikan lele, antara lain listrik, kemasan, transportasi, telepon,
bangunan dan
pajak. Bahan baku utama dalam pembuatan tepung protein ikan adalah ikan lele dumbo, dengan ukuran 2-3 ekor per kg.
Harga ikan lele dumbo di pasaran
Sukabumi dan sekitarnya adalah Rp 13.000,00 per kg.
Selain daging, bagian
ikan lele yang dapat atau berpotensi dimanfaatkan adalah kepala dan tulang sebagai bahan tepung; kulit sebagai keripik atau snack lainnya, serta minyak ikan.
Diantara bahan tersebut, yang sudah dapat dimanfaatkan adalah daging,
kepala/tulang serta kulit. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan tepung ikan lele dengan bahan baku daging maupun kepala/tulang ikan lele adalah retort, pressure electric, drum dryer, grinder, disk mill, vacuum sealer, freezer, ember, pisau fillet, timbangan serta peralatan rumahtangga lainnya, sedangkan untuk pengolahan kulit sebagai keripik adalah peralatan penggorengan. Tenaga yang diperlukan dalam proses pembuatan tepung dengan kapasitas 417 kg bahan lele per hari, diantaranya adalah 6 orang operator untuk menjalankan beberapa peralatan pengolahan yang berbasis mesin elektrik, 3 orang tenaga kasar untuk mengerjakan persiapan bahan dan penanganan
120
limbah serta 1 orang tenaga administrasi untuk menunjang kelangsungan kegiatan yang terkait administrasi. Analisis ekonomi usaha tepung protein ikan lele diperhitungkan dengan 3 jenis produk output sekaligus yaitu produk tepung protein ikan daging lele; tepung kepala/tulang ikan lele; serta keripik kulit ikan lele. Analisis kelayakan ekonomi, dihitung dengan menjumlahkan komponen biaya yang terdiri dari: 1) Bahan, 2) Susut alat, 3) Listrik, 4) Tenaga kerja, 5) Kemasan, 6) Transportasi, 7) Telepon , 8) minyak goreng serta margin ditetapkan 25 % untuk tepung daging ikan lele dan tepung kepala/tulang ikan lele, sedangkan margin keripik kulit ikan lele adalah sebesar 100%.
Perhitungan secara lengkap pada Lampiran 4.
Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa dengan menghasilkan 3 produk
sekaligus yaitu tepung ikan lele dari bahan baku daging (biaya produksi per kg Rp 126,283.32, harga jual dengan asumsi margin 25% adalah Rp 157,854.15 per kg); tepung ikan lele dari kepala/tulang (biaya produksi Rp 26,049.98 per kg, harga jual dengan asumsi margin 25% adalah Rp 32,562.47 per kg) serta keripik kulit ikan (biaya produksi Rp 22,797,91 per kg, harga jual dengan asumsi margin 100% adalah Rp 45,595.81 per kg), dapat diperoleh pendapat kumulatif sebesar Rp 191,486,350.80 per bulan, dengan keuntungan (profit) bersih yang diperoleh per bulan Rp 14,204,832.99. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka estimasi recovery modal usaha atau RoI pembuatan tepung ikan dengan diversifikasi produk (3 produk olahan) akan dapat tercapai dalam waktu 49 bulan ( 4 – 4.5 tahun), dengan menghasilkan 3 produk sekaligus.
Untuk
meningkatkan daya saing harga
tepung protein ikan di pasaran, tanpa menurunkan sifat fungsional sebagai bahan baku biskuit atau makanan lainnya, dapat dilakukan
dengan
pencampuran (mixing) antara tepung protein ikan dari bagian daging dengan tepung ikan dari bagian kepala/tulang ikan lele, dengan rasio sebesar 3.5 : 1.5 sehingga diperoleh harga dasar tepung ikan lebih murah Rp 96,213.32 per kg, dengan harga jual (asumsi margin 25 %) sebesar Rp 120,266.65 per kg. 10.2.
Analisis ekonomi (biaya) krim probiotk Krim probiotik E. faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi, merupakan
salah satu komponen biskuit fungsional yang menjadi pembeda dengan biskuit pada umumnya karena adanya sifat fungsional yang dimiliki probiotik. Komponen biaya yang perlu diperhitungkan, diantaranya bahan baku, sewa
121
peralatan dan laboraturium serta tenaga dan bahan bakar (listrik). Komponen biaya lain yang perlu diperhitungan adalah kemasan. Bahan baku utama dalam pembuatan krim probiotik adalah kultur probiotik E. faecium IS-27526, sedangkan bahan baku lainnya meliputi mentega, margarine, gula halus dan susu cair. Biaya untuk menggandakan bahan baku utama kultur hingga diperoleh 200 g kultur murni probiotik E. faecium IS-27526 dalam skala laboratorium adalah sebesar Rp 16,150,500.00. Biaya pengadaan kultur probiotik dapat ditekan lebih rendah jika pengadaan dalam skala komersial. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan krim probiotik (penggadaan kultur, mikroenkapsulasi dengan mentode FBD dan pembutan krim) adalah peralatan laboratorium yang dapat disewa dari laboratorium mikrobiologi dan perusahaan farmasi, demikian juga dengan tenaga operasonalnya. Analisis kelayakan ekonomi, dihitung dengan menjumlahkan komponen biaya yang terdiri dari: 1) Bahan baku, 2) Sewa peralatan dan laboratorium, 3) Kemasan. Perhitungan secara lengkap pada Lampiran 4. Untuk menghasilkan 1 porsi (15 gram) krim probiotik E. faecium IS 27526 yang sudah dimikro enkapsulasi adalah Rp 1,642.45 per porsi.
Biaya pembuatan krim probiotik
dapat dikurangi, diantaranya dengan mengurangi porsi krim dari semula 15 gram per porsi menjadi 10 gram per porsi tanpamengurangi dosis probiotik E. faecium IS-27526 dan pengadaan dalam skala komersial. 10.3.
Analisis ekonomi usaha biskuit tinggi protein Biskuit tinggi protein berbasis tepung protein ikan lele dan isolat protein
kedelai, merupakan pembeda dengan biskuit pada umumnya Komponen biaya yang perlu diperhitungkan dalam analisis ekonomi usaha, diantaranya bahan baku, investasi peralatan dan bangunan serta tenaga dan bahan bakar (listrik). Komponen biaya-biaya lain yang juga perlu diperhitungkan
dalam proses
pembuatan biskuit tinggi protein, antara lain listrik, kemasan, transportasi, telepon, dan pajak. Bahan baku utama dalam pembuatan biskuit tinggi protein adalah tepung protein ikan lele, isolat protein kedelai dan bahan biskuit pada umumnya adalah tepung terigu, margarin, mentega, telur, susu bubuk, gula, soda kue dan baking powder.
122
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan biskuit tinggi protein adalah oven, mixer, loyang, cetakan, sealler injak, timbangan, refrigerator serta peralatan rumahtangga lainnya. Tenaga yang diperlukan dalam proses pembuatan biskuit dengan kapasitas 1000 bungkus perhari atau 30,000 bungkus per bulan adalah 7 orang. Sebanyak 2 orang untuk menjalankan oven dan mixer, 4 orang tenaga kasar untuk mengerjakan persiapan bahan dan pengemasan serta 1 orang sebagai tenaga administrasi. Analisis
ekonomi
usaha
biskuit
tinggi
protein
dihitung
dengan
menjumlahkan komponen-komponen biaya yang terdiri dari: 1) Bahan, 2) Susut alat, 3) Listrik, 4) Tenaga kerja, 5) Kemasan, 6) Transportasi, 7) Telepon, 8) Gas, 9) Pajak serta margin ditetapkan disajikan pada Lampiran 4.
20 %. Hasil perhitungan secara lengkap
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dengan
kapasitas produksi 30.000 bungkus per bulan,
diperlukan biaya produksi
sebesar Rp 71,459,891.43 dengan harga jual (asumsi margin 20%) per bungkus Rp 2750.00, maka diperoleh total pendapatan sebesar
Rp 82,500,000.00
dengan pendapatan bersih sebesar Rp 2,790,108.57 per bulan dan estimasi recovery modal 70 bulan, sedangkan apabila dengan harga jual (asumsi margin 25%) Rp 2800,00 per bungkus, maka akan diperoleh total pendapatan sebesar Rp
84,000,000,00
dengan
pendapatan
bersih
sebesar
per
bulan
Rp
4,140,108.57 dan estimasi recovery modal atau RoI 47.51 bulan (4 tahun). Berdasar hasil analisis kelayakan ekonomi usaha pembuatan biskuit fungsional (biskuit tinggi protein dan krim probiotik E faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi) yang meliputi : 1) pembuatan tepung protein ikan; 2) krim probiotik yang dimikroenkapsulasi dan 3) biskuit tinggi protein, maka diperoleh biaya per bungkus biskuit fungsional adalah Rp 4,500.00, sedangkan biskuit tinggi protein adalah Rp 2800,00 per bungkus dengan kapasitas produksi home industry atau UKM sebesar 30000 bungkus per bulan, dengan target rincian sebagai berikut : Nama produk Jumlah produksi per bulan Periode produksi per bulan Periode RoI Harga jual
Biskuit Tinggi Protein (BTP)
Biskuit Fungsional (BF)
30,000 bungkus 25 hari 47.5 bulan / 4 tahun Rp 2800.00
30,000 bungkus 25 hari 47.5 bulan / 4 tahun Rp 4450.00
Keterangan : BF : BTP + krim probiotik
123
Harga pengadaan makanan tambahan
pemulihan (PMT-P) untuk
tambahan energi dan protein sesuai sasaran (Indeks harga/balita) belum ada standart harga pasti secara nasional, namun untuk di beberapa daerah, termasuk di Kabupaten Sukabumi telah disepakati Rp 5000.00/makan tahun anggaran 2011, sehingga dengan biaya pembuatan biskuit fungsional (Rp 4450.00) dan biskuit tinggi protein (Rp 2800.00) masih dibawah indeks harga/porsi pengadaan makanan tambahan (PMT) yang disepakati bersama untuk penambahan asupan energi dan protein balita.
124
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi (biskuit fungsional) sebagai makanan tambahan (PMT) memiliki daya terima sensoris yang tinggi dengan porsi (50 g per hari) konsumsi balita (2-5 tahun).
sesuai kemampuan
Tingkat kepatuhan mengkonsumsi selama
intervensi (hingga 90 hari) tergolong tinggi dengan rata-rata 82.85 %. Cara mengkonsumsi biskuit bervariasi dan hingga akhir intervensi tidak ditemukan efek samping. 2. Tingkat konsumsi energi balita pada awal intervensi sebagian besar tergolong defisit (<70% AKE) dan terjadi peningkatan yang bermakna pada akhir intervensi pada semua kelompok.
Tingkat konsumsi protein balita
pada awal intervensi sebagian besar sudah tergolong cukup (>90% AKGP) dan terjadi peningkatan bermakna (p<0.05) pada akhir intervensi, terutama pada kelompok perlakuan biskuit fungsional dengan krim probiotik secara rutin tiap hari (P3). 3. Pemberian biskuit diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 dosis 108 cfu/hari rutin (P3) maupun selang 1 hari (P4) dapat meningkatkan balita BBR yang positif teridentifkasi pemberian
Bifidobacteria biskuit
mempertahankan
biasa (P2)
dan
Enterococcus
dengan
keberadaan
krim
faecium,
probiotik
Bifidobacteria
sedangkan
hanya
dan
mampu
Enterococcus
faecium. 4. Pemberian biskuit diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 (P3 &P4) dapat meningkatkan berat badan (0.783 ± 0.4 g & 0.631 ± 0.3 g) dan Z skor BB/U (0.309 ± 0.3 & 0.216 ± 0.3) secara bermakna (p<0.05), sedangkan pemberian biskuit yang mengandung protein ikan dan isolat protein kedelai tanpa probiotik (P1) dan biskuit biasa disertai probiotik (P2) cenderung dapat meningkatkan berat badan dan Z-skor BB/U namun tidak bermakna pada balita BBR. Terjadi kecenderungan peningkatan tinggi badan serta
Z-skor TB/U dan BB/TB
namun tidak bermakna. 5. Pemberian biskuit diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 (P3 & P4) dapat meningkatkan
125
sIgA feses (0.963±0.8 µg/g & 0.740±0.4 µg/g) secara bermakna (p<0.05), sedangkan pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai tanpa probiotik E. faecium IS-27526 (P1) cenderung dapat meningkatkan sIgA namun tidak bermakna pada balita BBR. Peningkatan sIgA lebih besar terjadi pada balita dengan status gizi kurang (Z-skor BB/U -2 s/d-3 SD) di awal intervensi dibandingkan balita dengan status gizi buruk (Z-skor BB/U < -3 SD). 6.
Pemberian biskuit diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 maupun tidak (P1,P2,P3 &P4) mampu menurunkan (2.17 kali/4 bulan) episode diare secara bermakna (p<0.05)
dibandingkan
kontrol,
namun
cenderung
belum
mampu
menurunkan episode ISPA balita dengan berat badan rendah (BBR). 7.
Biskuit fungsional maupun biskuit tinggi protein memenuhi kelayakan ekonomi (RoI 4 tahun) sebagai alternatif usaha di bidang makanan dan harga per satuan (porsi) biscuit masih dibawah indek harga/balita untuk pengadaan program makanan tambahan (PMT).
Saran. 1. Pemberian PMT biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 (biskuit fungsional) lebih efektif diberikan pada balita dengan status gizi awal tergolong kurang (Zskor -2- -3 SD BB/U), sedangkan balita dengan status gizi awal tergolong buruk (Z skor < -3SD BB/U) lebih efektif diberikan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan dan isolat protein kedelai (biskuit tinggi protein) tanpa probiotik untuk pemulihan defisiensi gizi terlebih dahulu. 2. Pemberian biskuit diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 selama 90 hari dengan porsi 50 gram per hari mampu untuk penanggulangan wasting pada balita. Apabila digunakan untuk penanggulangan stunting, perlu dipertimbangkan kembali lama intervensi dengan memperpanjang hari intervensi atau meningkatkan porsi per hari. 3. Biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 terbukti tidak ada efek samping untuk balita (2-5 tahun), sehingga sangat memungkinkan untuk dapat dikonsumsi oleh kelompok usia lain seperti orang lanjut usia, anak usia pra sekolah
126
maupun usia sekolah, serta dapat sebagai alternatif makanan darurat (emergency food) di daerah yang terjadi bencana. 4. Biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 (biskuit fungsional) mendatang perlu dikembangkan variasi rasa dan bentuk dan juga memungkinkan untuk dilakukan substitusi terigu dengan pangan lokal terutama umbi-umbian (garut, ubi jalar, mocal, dll) dan buah berpati yang berpotensi sebagai prebiotik. Isolat protein kedelai perlu diupayakan disubtitusi dengan isolat protein kacang-kacangan/koro-koroan lokal. Adanya bahan substitusi tersebut, selain menunjang diversifikasi pangan, juga akan memungkinkan terjadinya sinbiotik antara prebiotik dan probiotik E. faecium IS 27526. 5.
Agar usaha produksi tepung protein ikan lele dapat layak secara ekonomi, sebaiknya tidak hanya mengolah daging ikan sebagai tepung protein dagng ikan saja, tetapi juga harus dilakukan diversifikasi
produk
dengan
memanfaatkan semua bagian-bagian ikan lele (konsep zero wasted) yaitu kepala/tulang sebagai tepung ikan yang tinggi mineral, kulit sebagai keripik ikan. Terdapat bahan limbah potensial yang masih perlu pengkajian lebih lanjut adalah pemanfaatan minyak ikan lele (sekitar 16 liter per 100 kg ikan lele). Selain itu perlu peningkatan kualitas kemasan dan kepraktisan krim probiotik dengan konsep ‘two in one’ (krim dijadikan satu dengan biskuit).
127
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi UM. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Kompas, Jakarta.
Penerbit Buku
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Akuzawa R, Surono IS. 2002. Fermented Milk of Asia. Ryozo, Encyclopaedia of Diary Science, England: Elsevier Science Ltd. United Kingdom: 1045-1048. Apriantono RRS. 2000. Hasil guna pemberian makanan formula tempe susu wortel (TSW) dibandingkan dengan makanan susu wortel (SW) pada anak usia 12-36 bulan penderita gizi kurang [tesis]. Yogjakarta: Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Arinta FT. 2009. Partisipasi ibu dan kader dalam program pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P) kaitannya dengan tingkat kepatuhan ibu balita. [skripsi]. Bogor: Dept. Gizi Masyarakat, FEMA Institut Pertanian Bogor Arisman. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakrata: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Astawan M. Lele Bantu Pertumbuhan Janin. http://wilystra2007. multiply.com/ journal /item62/Lele_Bantu_Pertumbuhan_Janin [ 13 September 2008] Atmarita. 2006. Mampukah Indonesia bersepakat untuk melakukan peningkatan Sumberdaya manusia (SDM) yang cerdas dan berkualitas. Gizi Indonesia, 29 (1): 47-57 Atmasier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Baratawidjaya KG, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar. Eds ke 8. Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Fakultas
[BKP] Badan Ketahanan Pangan & UNAIR. 2005. Kajian pola konsumsi pangan dan gizi masyarakat berdasarkan kelompok umur di Jawa Timur [laporan penelitian] Jawa Timur: BKP [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005. Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK 00.05.52.0685 Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. Jakarta : BPOM RI. Bonjoch X. Balleste E, Blanch AR. 2005. Multiple with 16S rNA gene-targeted primers of Bifidobacterium spp. to identify sources of fecal pollution. Applied and Enviromental Microbiology, Vol 70 No 5, p3171-3175. Boober WJ, Baker JS, Davies B. 2006. Development of healthy biscuit: an alternative approach to biscuit manufacture. Nutrition Journal 2006, 5:7. Charley H. 1982. Food Science. 2 nd ed. John Wiley and Sons, New s.an.
128
Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N. 1999. Essentials of Clinical Immunology. Fourth Edition. Boca Raton : Blackwell Science. Cheng et al. 1997. A PCR Assay for identification of Enterococcus faecium. Journal of Clinical Microbiology, Vol 35 No 5, p.1248-1250. Clough NC, Roth JA. 1998. Understanding Immunology. Mosby Elsevier. Codex Alimentarius Commission, 1994. Codex Alimentarius Food for Special Dietary Uses (Including Foods for Infant and Children). FAO-WHO. Collado MC, Surono IS, Meriluoto J, Salminen S. 2007. Potential probiotic characteristics of Lactobacillus and Enterococcus strains isolated from tradisional dadih fermented milk against pathogen intestinal colonization. Journal of Food Protection, Vol 70,No 3,p. 700-705. Cornelius W, Van Niel .2004. Probiotic: Not Just For Treament Anymore Pediatric. Dharmawan J, Surono I, Lee YK. 2006. Adhesion properties of indigenus dadih lactic acid bacteria on human intestinal mucosal surface. Asian-Aust. J. Anim.Sci 19 (5): 751-755. Delcenserie, Martel D, Lamoureux M, Amiot J, Boutin Y, Roy D. 2003. Immuno modulatory Effect of Probiotics in the Intestinal Tract. Curr. Issue Mol. Biol. 10:37.-54 [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDA) Indonesia Tahun 2007. _______Departemen Kesehatan RI. 2008. Buku Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan . www.depkes.go.id (sitasi tanggal 13 maret 2010) _______Departemen Kesehatan RI. 2001. Pedoman Peberantasan Penyakit ISPA. Jakarta : Depkes RI _______Departemen Kesehatan RI 1999 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta: Depkes RI [Desperind] Departemen Perindustrian RI. 1992. SNI 01-2973-1992. Syarat Mutu Biskuit. Pusat Standarisasi Industri. Jakarta : Desperind RI [Dinkes] Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan Kabupaten Sukabumi Tahun 2008, Sukabumi: Dinkes ______ Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan Kabupaten Sukabumi Tahun 2007, Sukabumi: Dinkes ______ Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan Kabupaten Sukabumi Tahun 2006, Sukabumi: Dinkes
129
______ Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan Kabupaten Sukabumi Tahun 2005, Sukabumi: Dinkes Drisko JA, Giles CK, Bischoff BJ. 2003. Probiotics in Health Maintenance and Disease Prevention. Alternative Medicine Review, Vol 8, Number 2. Devereux G. 2006. The Immune system: an overview. Di dalam Nutrition and Immnue Function. Calder PC, Field CJ, Gill HS (editors). CABI Publishing. Erickson KL, Hubard NE. 2000. Probiotic immunomodulation in health and disease. J. Nutr. (suppl) 130: 403S-409S Faridi H, Faubion JM. 1990. Dough Reology and Baked Product Texture. Nostrand Reinhold, USA FAO/WHO. 1994. Guidelines on Formulated Suplementary Food for Older Infant and Young Children. Roma: FAO/WHO Fratamico PM. 2001. Application of the polymerase chain reaction for detection, identification, and typing of foodborne microorganismes. Di dalam: Charles LW, Samir D, editor. Microbial Food Contaminantion. Boca Raton Florida: CRC Press. Fuller, Perdigon, G. 2003. Gut Flora, Nutrition, Immunity and Health. Oxford : Blackwell Publishing. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Oxfort University Press. New York. Goktepe I, Juneja VK, Ahmedna M. 2006. Probiotic in Food Safety and Human Health. Boca Raton: CRC Press. Grantham SM, Fernald LC, Sethuraman K. 1999. Effect of healt and nutrition on cognitive and behavioural development in children in the first three years of life. Food Nutr Bull;20:53-75. Haneberg B, Aarkog D. 1975. Human faecal Immunoglobulins in healthy infants and children, and in some with diseases affecting the intestinal tract or the immune system. Clin.exp.Immunol 22:210-222. Hardinsyah. 1996. Measuerement and determinant of food diversity: Implication for Indonesia’s food and nutrition policy. [disertasi]. Queensland: Faculty of Medicine, University of Queensland. Harianti R. 2009. Pengaruh pemberian biskuit tinggi protein berisi krim probiotik fungsional terhadap profil mikrobiota fekal dan berat badan tikus. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harijono et. al. 2002a. Kajian Pengembangan Makanan Tambahan Ibu Hamil Berbasis Pangan Hewani. Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur. Harijono et. al. 2002b. Kajian Pengembangan Makanan Tambahan Balita Berbasis Pangan Lokal. Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur.
130
Harish K, Varghese T. 2006. Probiotics in human-evidence based review. Calicut Medical Journal, 4(4):e3 Hartog AP, Staveren WA, Brouwer ID. 2006. Food Habits and Consumption in Developing Countries. Manual for field studies. The Netherland: Wageningen Academic Publishers. Hasler CM. 2001. Functional food. Di dalam: Bowman BA, Rusell RM,editor. Present Knowledge in Nutrition. Eighth Ed. Washington DC : ILSI Hautvast JL. 2000. Severe linear growth retardation in rural Zambian children in the influence of biological variable. Am Clin Nutr. 71:550-550. Hidayat A. 2004. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Heyman M, Menard S. 2002. Probiotic microorganisms: how they effect intestinal pathophysiology. Celular and Molecular Life Sciences 59 , 1511165. Hughes S, Kelly P. 2006. Interactions of malnutritrion and immune impairment, with specific reference to immunity against parasites. Review Article. Parasite Immunology, 28:577-588. Isolauri E, Sutas Y, Kankaanpaa P, Arvilommi H, Salminem S. 2001 effect on immunity. Am Clin Nutr 73 (suppl) : 444S-50S.
Probiotic:
Jalal F. 2009. Pengaruh gizi dan stimulasi psikososial terhadap pembentukan kecerdasan anak usia ini: Agenda Pelayanan Tumbuh Kembang Anak Holistik-Integratif. [orasi] Padang: Guru Besar dalam Bidang Ilmu Gizi pada Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Kathleen M, Escott-Stump S. 2004. Krause’s Food, Nutrition and Diet Terapy, 11 th Edition. SAUNDERS. Elsever, USA. Khomsan A, Kusharto CM 2004 Kaitan Pangan, Gizi dan Kependudukan 2004. Didalam : Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani CM. editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Depok: Penebar Semangat. Khomsan A, Sukandar D, Faisal A, Riyadi H, Mudjajanto. 2005. Research on Food Secuirty and Nutritional Status of Poor Household In Highland and Coastal Areas. [Research report]. Bogor: Bogor Agricultural University Koestomo FFP. 2004. Sekresi Antibody IgA Serum dan Saliva Total pada Balita Setelah Suplementasi Probiotik Dadih IS-27526. Studi Kasus di Kecamatan Teluk Naga Tangerang. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.. Koswara S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Kresno SB. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
131
Kuntoro 2008. Metode Sampling dan Penelitian Besar Sampel. Pustaka Melati.
Surabaya:
Kusharto CM et al. 2009. Makanan fungsional berbasis protein ikan dan probiotik untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak balita rawan gizi [laporan penelitian]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Lemeslow S. et al. 1990 Adequate of Sample Size in Health Studies. WHO: John Wiley & Sons. Lemeslow S, David W. 1989. Applied Logistic Regression. USA: John Wiley & Sons. Lu L, Walker WA. 2001. Phatologic and phisiologic interaction of bacteria with the gastrointestinal ephitelium. Am .J Clin. Nutr. 73 (suppl):1124S-1130S. Mahyuddin K. 2007. Swadaya.
Panduan Lengkap Agribisnis Lele.
Jakarta: Penebar
Manley DJR. 1983. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Ellis Horwood Limited, Chicester. Martianto D, Riyadi H, Hastuti D, Alfiasari. 2008. Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Kaitannya dengan StatusGizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah. [Laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Martorell R, 1995. Promoting Healthy Growth: Rationale and Benefits in Child Growth and Nutrition in Developing Countries. Andresen PP, Pelletier.D, Alderman H. Ithaca and London: Cornel University Press. Marteau PR, de Vrese M, Cellier CJ, Schrezenmeir J. 2001. Protection from gastrointestinal diseases with the use of probiotics. Am J Clin Nutr 73:430S-436S Matsuki T, et al. 2004. Quantitative PCR with 16S rRNA-gene-targeted speciesspecific primers for analysis of human intestinal Bifidobacteria. Applied and Enviromental Microbiology,Vol 20 No 1,p.167-173. McWillian M. 2001, Food Experimental Perspectives. Eds fourth . New Jersey: Mervina. 2009. Formula biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedele (Glycine max) sebagai makanan potensial untuk anak balita gizi kurang. [skripsi]. Bogor: Dept. Gizi Masyarakat, FEMA Institut Pertanian Bogor. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Semangat.
Jakarta:
Muctadi D. 1994. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
132
NICUS. 2007. Probiotics and Prebiotic: Granny’s Wisdom Take Us Back to Future. Nutrition Informatioan Center, University Stellenbosch, Dept of Human Nutrition. Peters IR. Calvert EL. Hall EJ, Day MJ. 2004. Measurement of immunoglobin concentration in the feces of healthy dogs. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology. Vol 11 No 5:841-848. Piirainen L et al. 2008. In school-aged children a combination of galactooligosaccharides and Lactobacillus GG increases bifidobacteria more than Lactobacillus GG on its own. Annals of Nutrition & Metabolisme 52:204-208 Rasmaliah 2004. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Penanggulangannya. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Rieuwpassa F. 2006. Biskuit konsentrat protein ikan dan probiotik sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi anak balita. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Riyadi H. 2006. Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta : Universitas Terbuka Roberfroid MB. 2002. Functional foods: concepts and application to inulin and oligofructose. British Journal of Nutrition, 87,suppl. 2,S139-S143. Roitt I, Delves PJ. 2001. Roitt’s Essential Immunology. Tenth edition. London: Blockwell Scientific Publication. Rosado JL, 1999. Separate and joint effect of micronutrient deficiencies on linier growth. J.Nutr.129 (suppl):531S-533S. Roux ME, Slobodianik NH, Cano PG, Perdigio G. 2003. Mucosal immune system and malnutrition. Di dalam Fullern R & Perdigon G, editor. Gut Flora, Nutrition, Immunity and Health. Malden USA: Balckwell Publishing. Rusilanti. 2006. Aspek psikososial, aktivitas fisik, konsumsi makanan, status gizi dan pengaruh susu plus probiotik Enterococcus faecium IS-27526 (MEDP) terhadap respon imun IgA lansia. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pudjiadi,S, 2001. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Salminen S, Deighton M, Benno Y, Gorbach S. 1998. Latic acid bacteria in health disease. in latic acid bacteria: Microbiology and Functional Aspects, Salminen S and A Von Wright (eds) Marcel Dekker, New York:211-254. Satoto, 1997. Fitrah dan tumbuh kembang anak. [orasi] Semarang: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Gizi pada Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
133
Shankar AH 2001. Nutritional modulation of immune function and infectious disease. Edited Browman BA & Russel RM. Present Knowledge in Nutriton Eighth Edition. Washington DC : ILSI Press. Sinclair D. 1991. Human Growth After Birth. New York : Oxfort University Press. Sizer FR, Whitney ER. 2008. Nutrition Concepst and Controversies 11 Th Edition. Belmont USA: Thomson Wadsworth. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Sripaipan T et al. 2002. Effect of an integrated nutrition progam on child morbidity due to respiratory infection and diarrhea in northern Vietnam. Food and Nutrition Jurnal, vol 23 no 4 (supplement). Sudarmo, Subijanto M 2004. Probiotik pada bayi dan Anak (Pengobatan dan Pencegahan Penyakit Gastrointestinal). Surabaya: Airlangga University Press (AUP). Sugano M. 2006. Soy in Health and Disease Prevention. CRC Press. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Universitas, Pangan dan Gizi. Sullivan DA, Vierman JP, Soo C. Influnence of severe protein malnutrition on rat lactimal, salivary and gastrointestinal immune expression during development, adulthood and ageing. Immunology, 78 (2),308-17. Suraatmaja S. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta : Sagung Seto. Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. Jakarta : Penerbit YAPMMI. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein. Processing Technology, Applied Science. London: Publishing LTD. Suvarna VC, Boby VU. 2005. Probiotics in human health: A current assessment. Current Science Vol. 88 No. 11: Szajewska H, Setty M, Mrukowicz, Guandalini S. 2005. Probiotic in gastrointestinal diseases in Children: Hard and not –so hard evidence of efficacy. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 42:454-475. Vanderhoof JA.2001 Probiotics: future directions. Am J Clin Nutr 73:1152S 1155S. Wahyudi A, Samsundari S. 2008. Bugar dengan Susu Fermentasi. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang Press.
134
WFP, FKM Unair. 2008. Follow up Survey: Nutrition Rehabilitation Program (NRP) di Madura, Lombok ,NTB dan Timor Barat,NTT. [Research report] Jakarta : World Food Program (WFP). WHO. 2006. Pocket Book of Hospital Care for Children. Guidelines for the management of common illnes with limited resources. Genewa: WHO Press. Widayani S. 2007. Efikasi dan preferensi biskuit yang difortifikasi vitamin A dan zat besi (fe) dan kaitannya dengan konsumsi status gizi dan respon imun anak balita. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widiyati R, Yuliarsih. 2002. Higiene dan Sanitasi Umum Perhotelan. Jakarta: PT Grasindo. Winarti S. 2010. Makanan Fungsional. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wisemen G. 2003. Nutrition and Health. London: Taylor & Francis
135
136
137
Lampiran 2. Alur Mikroenkapsulasi, Metode Analisis ELISA Sandwich dan PCR
1. Alur Proses Mikroenkapsulasi Probiotik E. faecium IS 27526
2,5 gram sel bakteri E. faecium IS 27526
9 gram susu skim Diaduk didispersi
98,5 gram Avicel (diberi sedikit demi sedikit)
100 gram pelet
Dikasih aquades hingga diperoleh pelet yang kalis terhadap air Pelet diekstruksi ± 280 rpm dan sferonisasi ± 800 Pelet dioven pada suhu < 35 oC
Dilakukan penyalutan dengan Na-alginat melalui metode FBD suhu 350C, 2-3 atm
Dilakukan penyalutan dengan CaCl2 melalui metode FBD suhu 350C, 2-3 atm
Diperoleh pelet akhir yang telah di enkapsulasi sebanyak 57 gram dari 100 gram awal
10 gram pelet yang ada diambil dan diuji secara mikrobiologis Total Plate Count (TPC)
Kapang-khamir
BAL
138
2. ELISA Sandwich Metode Analisis sIgA fekal (Peters IR et al. 2004, modifikasi) Metoda yang digunakan untuk menganalisis jumlah antibody sIgA fekal pada contoh adalah sandwich ELISA. Tahapan pertama yang dilakukan adalah optimasi range kurva standar sIgA manusia (0,0003125 µg/µl; 0,000625 µg/µl; 0,00125 µg/µl; 0,0025 µg/µl; 0,005 µg/µl; dan 001 µg/µl) dan analisis pengenceran sampel yang optimum dari beberapa tingkat pengenceran (1x, 2x, 3x dan 4x). Selanjutnya tahapan analisa konsentrasi sIgA contoh adalah
1)
ekstraksi immunoglobulin sampel dan 2) ELISA 2.1.
Ekstraksi Sampel Sampel sebanyak 1 g (bb) diekstrak dengan
10 ml buffer (0,01 M
phosphat-buffered saline; PBS pH 7,4 dan 0,5% tween Sigma-Aldrich dan 0,05% sodium azida), kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan kombinasi pengocokan manual dan homogenisasi mekanis menggunakan vorteks. Kemudian suspensi disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 20 menit pada suhu 50C. Sebanyak 1 ml supernatan dipindahkan ke tabung efendorf steril yang telah berisi 10 μl koktail inhibitor protease (Sigma-Aldrich). Selanjutnya diforteks dan disentrifus pada 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh dipindahkan ke dalam tabung efendorf steril dan disimpan pada suhu -200C sebelum dilakukan analisa. 2.2.
Enzim-linkage immunosorbent assays (ELISA) Sebanyak 96 sumur mikroplat Maxisorp dilapisi dengan 100 μl anti-human
IgA (1:4000) yang diencerkan dengan buffer karbonat, dan diinkubasi selama semalam pada suhu 40C. Kemudian dicuci sebanyak tiga kali dengan larutan pencuci PBS-Tween 20 0,05% dan dua kali dengan larutan akuabides. Setelah itu ke dalam setiap sumur ditambahkan 100 μl larutan blocking (PBS-skim 5%), diinkubasi selama 1 jam pada suhu 370C dan dicuci. Pengenceran sampel yang optimum adalah 1 kali.
Sampel dan standar human-IgA ditambahkan ke dalam
plat sebanyak 100 μl (masing-masing diulangi 2 kali), diinkubasi selama 1 jam pada suhu 370C dan dicuci.
Kisaran konsentrasi standar IgA manusia yang
digunakan adalah 0,0003125 - 001 µg/µl. Kemudian ditambahkan 100 μl anti-human IgA-peroxidase conjugate 1:4000 yang diencerkan dengan PBS, diinkubasi selama 1 jam pada suhu 370C dan dicuci.
Selanjutnya ke dalam setiap sumur ditambahkan 100 μl larutan
139
substrat tetramethylbenzidine (TMB) dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 370C sehingga terbentuk warna biru dan kerapatan optik langsung diukur pada panjang gelombang 615 nm dengan menggunakan ELISA reader. Kurva standar IgA dibuat dari nilai rata-rata OD standar IgA pada setiap konsentrasi. Rata-rata OD yang diperoleh dari setiap sampel diplotkan terhadap kurva standar sehingga didapat nilal konsentrasi IgA sampel (µg/µl), kemudian dikonversi dengan faktor pengenceran dan diubah satuannya ke dalam µg/g bb feses. 2.3. Larutan pereaksi dan antibodi untuk ELISA a. Larutan stock PBS 10X (Phosphat Buffer Saline, pH 7,4) Sebanyak 137,8 g disodium hydogen orthophosphate (Na 2 HPO 4 , BM 358,15)
dan
15,9
sodium
dihydrogen
orthophosphate
monohydrate
(NaH 2 PO 4 .H 2 0, BM 137,90) dan 90 g sodium chloride (NaCl) ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam 500 ml aquabides dan ditepatkan volumenya hingga 1 liter. b. Larutan PBS 1X Sebanyak 50 ml larutan stock PBS 10X ditambahkan aquabides sebanyak 450 ml dan disimpan pada suhu 40C. c. Larutan pencuci PBS-Tween 20 0,05% Sebanyak 0,5 ml tween 20 dilarutkan dengan 1 liter PBS 1X. d. Larutan buffer karbonat-bikarbonat Satu kapsul karbonat-bikarbonat ( Sigma) dilarutkan dalam 100 ml aquabidest, kemudian dihomogenkan. e. Larutan blocking PBS-skim 5% Sebanyak 5 g susu skim dilarutkan dengan larutan PBS 1X hingga volume 100 ml. f.
Substrat TMB Satu tablet 3,3’, 5,5’-tetramethyl-benzidine dilarutkan dalam 9 ml
phosphate citrate-buffer dan 1 µl larutan hydrogen peroksidase 30 %. Kemudian ditambahkan dimehyl sulfoksida kemurnian 99,9% sebanyak 1ml.
140
3. METODE Polymerase Chain Reaction (PCR)
3.1.
Ekstraksi DNA E. coli, Bifidobacteria dan Enterococcus faecium dari feses. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan QIAmp Stool Mini Kit (Qiagen,
Jerman), dengan langkah sebagai berikut : Sampel feses sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam tabung 15 ml steril dan ditambahkan buffer ASL sebanyak 5 ml, kemudian divorteks selama 1 menit sampai sampel feses homogen. Lysate diambil sebanyak 2 ml
dan
dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, kemudian dilakukan pemanasan dalam waterbath pada suhu 80 oC selama 5 menit. Selanjutnya larutan tersebut divorteks selama 15 detik dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit. Supernatan diambil sebanyak 1,2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, kemudian ditambahkan 1 tablet InhibitEX
dan divorteks
sampai tablet tersebut terlarut, selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar selama 1 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit. Semua supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf , selanjutnya disentrifugasi
kembali dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3
menit. Proteinase K sebanyak 15 µl dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang baru, kemudian supernatan tersebut diatas diambil 200 µl dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang mengandung proteinase K. Setelah itu ditambahkan buffer AL sebanyak 200 µl dan divorteks selama 15 detik, diinkubasikan selama 10 menit pada suhu 70 oC (dalam waterbath). Selanjutnya lysate ditambah dengan 200 µl etanol 96 % dan divorteks untuk mencapur larutan tersebut. Larutan tersebut diambil 500 µl dan dimasukkan ke dalam QIAmp spin column yang dilengkapi dengan tabung koleksi, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit dan tabung koleksi yang mengandung filtrat dibuang. QIAmp spin column tersebut diambil kembali dan dipasang lagi dengan tabung koleksi yang baru. Selanjutnya buffer AW1 sebanyak 500 µl dimasukkan
ke dalam column tersebut dan disentrifugasi
dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit dan
tabung koleksi yang
mengandung filtrat dibuang. QIAmp spin column tersebut diambil kembali dan dipasang lagi dengan tabung koleksi yang baru. Selanjutnya buffer AW2 sebanyak 500 µl dimasukkan
ke dalam column tersebut dan disentrifugasi
dengan kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit dan
tabung koleksi yang
141
mengandung filtrat dibuang. QIAmp spin column tersebut diambil kembali dan dipasang lagi dengan tabung eppendorf. Kemudian buffer AE sebanyak 200 µl dimasukkan
ke dalam column tersebut, diinkubasikan selama 1 menit dan
disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit dan
tabung
eppendorf yang mengandung filtrat diambil, kemudian disimpan pada suhu 20 oC. 3.1.1.
Amplifikasi DNA E. coli menggunakan primers universal stress protein A (uspA) Prosedur amplifikasi PCR fragmen DNA dilakukan dengan menggunakan
primers uspA, forward : 5’- CCG ATA CGC TGC CAA TCA GT -3’ dan reverse : 5’- ACG CAG ACC GTA AGG GCC AGA T -3 (Chen & Griffiths,1998, dimodifikasi). PCR dilakukan dengan total volume 50 µl larutan reaksi yang terdiri dari 30.65 µl nuclease free water (Applichem), 5 µl 10 X PCR buffer (Vivantis), 4 µl MgCl 2 (Vivantis, 25 mM), 1 µl dNTP (Vivantis, 10 mM), 2 µl primers (Midland, 10 pmol/µl), 0,35 µl Taq Polymerase (Vivantis, 5 U/µl ) dan 5 µl
DNA templat. Kontrol positif dan negatif harus diikutkan dalam setiap
amplifikasi. PCR dilakukan menggunakan mesin ABI 9700 dengan siklus sebagai berikut, 1 siklus pada suhu 94 oC selama
5 menit, 35 siklus pada suhu 94 oC
selama 1 menit, 60 oC selama 1 menit dan pada suhu 72 oC selama
1 menit,
o
dan dilanjutkan dengan 1 siklus pada suhu 72 C selama 5 menit. Produk PCR (amplikon) diambil 10 µl dan dicampur dengan 2 µl loading dye (Vivantis), selanjutnya diseparasi menggunakan 2 % agarose (Promega) yang telah ditambahkan ethidium bromide (Applichem) 0,5 µg/ml pada tegangan 120 V selama 50 menit dengan menggunakan marker 100 bp DNA ladder (Vivantis). Hasil elektroforesis selanjutnya dilihat dengan menggunakan Gel Documentation System (Vilber Lourmat). 3.1.2.
Amplifikasi DNA Bifidobacteria primers g-Bifid Prosedur amplifikasi PCR fragmen DNA dilakukan dengan menggunakan
primers g-Bifid,
forward : 5’- CTC CTG GAA ACG GGT GG-3’dan reverse : 5’-
GGT GTT CTT CCC GAT ATC TAC A -3’ (Matsuki et al, 2002, dimodifikasi). PCR dilakukan dengan total volume 50 µl larutan reaksi yang terdiri dari 30.65 µl nuclease free water (Applichem), 5 µl 10 X PCR buffer (Vivantis), 4 µl MgCl 2 (Vivantis, 25 mM), 1 µl dNTP (Vivantis, 10 mM), 2 µl primers (Midland, 10 pmol/µl), 0,35 µl Taq Polymerase (Vivantis, 5 U/µl ) dan 5 µl DNA templat. Kontrol positif dan negatif harus diikutkan dalam setiap amplifikasi. PCR
142
dilakukan menggunakan mesin ABI 9700 dengan siklus sebagai berikut, 1 siklus pada suhu 94 oC selama 5 menit, 35 siklus pada suhu 94 oC selama 1 menit, 55 oC selama 1 menit dan pada suhu 72 oC selama 1 menit, dan dilanjutkan dengan 1 siklus pada suhu 72 oC selama 5 menit. Produk PCR (amplikon) diambil 10 µl dan dicampur dengan 2 µl loading dye (Vivantis), selanjutnya diseparasi menggunakan 2 % agarose (Promega) yang telah ditambahkan ethidium bromide (Applichem) 0,5 µg/ml pada tegangan 120 V selama 50 menit dengan menggunakan marker 100 bp DNA ladder (Vivantis). Hasil elektroforesis selanjutnya dilihat dengan menggunakan Gel Documentation System (Vilber Lourmat). 3.1.3. Amplifikasi DNA Enterococcus faecium primers EM1 Prosedur amplifikasi PCR fragmen DNA dilakukan dengan menggunakan primers EM1,
forward (EM1A): 5’- TTG AGG CAG ACC AGA TTG ACG-3’dan
reverse (EM1B): 5’- TAT GAC AGC GAC TCC GAT TCC-3’ (Cheng et al, 1997, dimodifikasi). PCR dilakukan dengan total volume 50 µl larutan reaksi yang terdiri dari 34.25 µl nuclease free water (Applichem), 5 µl 10 X PCR buffer (Vivantis), 1.5 µl MgCl 2 (Vivantis, 50 mM), 1 µl dNTP (Vivantis, 10 mM), 1.5 µl primers (Midland, 10 pmol/µl), 0,25 µl Taq Polymerase (Vivantis, 5 U/µl ) dan 5 µl
DNA templat. Kontrol positif dan negatif harus diikutkan dalam setiap
amplifikasi. PCR dilakukan menggunakan mesin ABI 9700 dengan siklus sebagai berikut, 1 siklus pada suhu 94 oC selama 2 menit, 35 siklus pada suhu 94 oC selama 1 menit, 55 oC selama 1 menit dan pada suhu 72 oC selama 1 menit, dan dilanjutkan dengan 1 siklus pada suhu 72 oC selama 7 menit. Produk PCR (amplikon) diambil 10 µl dan dicampur dengan 2 µl loading dye (Vivantis), selanjutnya diseparasi menggunakan 2 % agarose (Promega) yang telah ditambahkan ethidium bromide (Applichem) 0,5 µg/ml pada tegangan 120 V selama 50 menit dengan menggunakan marker 100 bp DNA ladder (Vivantis). Hasil elektroforesis selanjutnya dilihat dengan menggunakan Gel Documentation System (Vilber Lourmat).
143
3.2.
Optimasi PCR
3.2.1. Polymerase Chain Reaction (PCR) E. coli Primers Universal Stress Protein A (uspA) No 1 2 3 4
5 6 7
Reagen 1 PCR Buffer 10X MgCl 2 (25 mM) dNTP mix (10 mM) Primers uspA F uspA R Tag DNA Polymerase Nuclease Free Water Template
Konsentrasi 1x
Jumlah 5 ul
1.5 mM
3 ul
200 uM
1 ul
15 pmol 15 pmol 1.25 U
1.5 ul 1.5 ul 0.25 ul
-
32.75 ul 5 ul
-
Reagen 2 PCR Buffer 10X MgCl 2 (25 mM) dNTP mix (10 mM) Primers uspA F uspA R Tag DNA Polymerase Nuclease Free Water Template
Konsentrasi 1x
Jumlah 5 ul
2 Mm
4 ul
200 uM
1 ul
20 pmol 20 pmol 1.75 U
2 ul 2 ul 0.35 ul
-
30.65 ul 5 ul
-
PCR Reaction (cycle) : 1 (94 oC, 5 menit), 35 (94 oC, 1 menit; 60 oC, 1 menit; 72 oC, 1 menit), 1 (72 oC, 5 menit dan 4 oC)
Hasil Optimasi PCR Primers uspA
Kolom : 1 -2 Reagen 1 (E.coli dan ddwater) dan Reagen 2 (E.coli dan ddwater)
3-4
144
3.2.2 Polymerase Chain Reaction (PCR) Bifidobacteria Primers g-Bifid No 1 2 3 4
5 6 7
Reagen 1 PCR Buffer 10X MgCl 2 (25 mM) dNTP mix (10 mM) Primers g-Bifid F g-Bifid R Tag DNA Polymerase Nuclease Free Water Template
Konsentrasi 1x
Jumlah 5 ul
1.5 mM
3 ul
200 uM
1 ul
15 pmol 15 pmol 1.25 U
1.5 ul 1.5 ul 0.25 ul
-
32.75 ul 5 ul
-
Reagen 2 PCR Buffer 10X MgCl 2 (25 mM) dNTP mix (10 mM) Primers g-Bifid F g-Bifid R Tag DNA Polymerase Nuclease Free Water Template
Konsentrasi 1x
Jumlah 5 ul
2 mM
4 ul
200 uM
1 ul
20 pmol 20 pmol 1.75 U
2 ul 2 ul 0.35 ul
-
30.65 ul 5 ul
-
PCR Reaction (cycle) : 1 (94 oC, 5 menit), 35 (94 oC, 1 menit; 55 oC, 1 menit; 72 oC, 1 menit), 1 (72 oC, 5 menit dan 4 oC)
Hasil Optimasi PCR Primers g-Bifid
Kolom : 1 -2 Reagen 1 (Bifido dan ddwater) dan (Bifido dan ddwater)
3-4 Reagen 2
145
3.2.3. Polymerase Chain Reaction (PCR) E. faecium Primers EM1A-EM1B
No 1 2 3 4
5 6 7
Reagen PCR Buffer 10X MgCl 2 (50 mM) dNTP mix (10 mM) Primers EM1A EM1B Tag DNA Polymerase Nuclease Free Water Template
Konsentrasi 1x 1.5 mM 200 uM
Jumlah 5 ul 1.5 ul 1 ul
1.5 pmol 1.5 pmol 1.25 U -
1.5 ul 1.5 ul 0.25 ul 34.25 ul 5 ul
PCR Reaction (cycle) : 1 (94 oC, 2 menit), 35 (94 oC, 1 menit; 55 oC, 1 menit; 72 oC, 1 menit), 1 (72 oC, 7 menit dan 4 oC)
Kolom : 1 (isolat E.faecium BCC 0729), 2 (isolat E.faecium ATCC 19434), 3 (kontrol negatif-nuclease free water)
146
147
148
149
150
151
152
Lampiran 3. Hasil Analisis Statistik 1. Kepatuhan Konsumsi Biskuit Descriptives total biskuit Std.
95% Confidence Interval
N
Mean
Deviation
Std. Error
for Mean
Minimum
Maximum
Lower
Upper
Lower
Upper
Lower
Upper
Lower
Upper
Bound
Bound
Bound
Bound
Bound
Bound
Bound
Bound
0
18
300.31
72.646
17.123
264.18
336.43
111
360
1
15
276.00
102.840
26.553
219.05
332.95
87
360
2
16
294.13
77.422
19.355
252.87
335.38
137
360
3
18
325.28
48.443
11.418
301.19
349.37
216
360
4
16
296.50
61.706
15.426
263.62
329.38
154
360
Total
83
299.40
73.714
8.091
283.31
315.50
87
360
Test of Homogeneity of Variances total biskuit Levene Statistic
df1
4.566
df2 4
Sig. 78
.002
ANOVA total biskuit Sum of Squares
Df
Between Groups
20861.798
Within Groups
424700.43
Mean Square
1 Total
445562.22
4
5215.450
78
5444.877
F
Sig. .958
.435
F 1.337
Sig. .264
82
9
Bulan ke 1 ANOV A tkt patuh1 Sum of Squares Between Groups 2390.192 W ithin Groups 34863. 091 Total 37253. 283
df 4 78 82
Mean S quare 597.548 446.963
153
Bulan ke 2 ANOV A tkt patuh2 Sum of Squares Between Groups 1719.392 W ithin Groups 38177. 599 Total 39896. 990
Mean S quare 429.848 489.456
df 4 78 82
Sig. .481
F .878
Bulan ke 3 ANOVA tkt patuh3 Sum of Squares Between Groups 1216.291 W ithin Groups 54203. 389 Total 55419. 681
2.
df
Mean Square 304.073 694.915
4 78 82
F .438
Sig. .781
Status Gizi (BB, TB, Z skor BB/U) Berat Badan Test of Homogeneity of Variances deltaBBAkhir
Levene Statistic
df1
.452
df2 4
Sig. 78
.771
ANOVA deltaBBAkhir Sum of Squares Between Groups
Df
Mean Square
2.467
4
.617
Within Groups
12.198
78
.156
Total
14.665
82
F 3.944
Sig. .006
154
Multiple Comparisons Dependent Variable: deltaB BAk hir
(I) Perlakuan 0
LS D
1
2
3
4
(J) Perlakuan 1 2 3 4 0 2 3 4 0 1 3 4 0 1 2 4 0 1 2 3
Mean Difference (I-J) -.2383 -.2750* -.5083* -.3563* .2383 -.0367 -.2700 -.1179 .2750* .0367 -.2333 -.0813 .5083* .2700 .2333 .1521 .3563* .1179 .0813 -.1521
St d. E rror .1383 .1359 .1318 .1359 .1383 .1421 .1383 .1421 .1359 .1421 .1359 .1398 .1318 .1383 .1359 .1359 .1359 .1421 .1398 .1359
Sig. .089 .046 .000 .011 .089 .797 .054 .409 .046 .797 .090 .563 .000 .054 .090 .266 .011 .409 .563 .266
95% Confidenc e Int erval Lower Bound Upper Bound -.514 .037 -.546 -.004 -.771 -.246 -.627 -.086 -.037 .514 -.320 .246 -.545 .005 -.401 .165 .004 .546 -.246 .320 -.504 .037 -.360 .197 .246 .771 -.005 .545 -.037 .504 -.118 .423 .086 .627 -.165 .401 -.197 .360 -.423 .118
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Tinggi Badan Test of Homogeneity of Variances deltaTbAkhir Levene Statistic
df1
3.360
df2 4
Sig. 78
.014
ANOVA deltaTbAkhir Sum of Squares Between Groups
Df
Mean Square
4.426
4
1.106
Within Groups
85.164
78
1.092
Total
89.589
82
F 1.013
Sig. .406
155
Multiple Comparisons Dependent Variable: deltaTbAkhir
(I) Perlakuan 0
LSD
1
2
3
4
(J) Perlakuan 1 2 3 4 0 2 3 4 0 1 3 4 0 1 2 4 0 1 2 3
Mean Difference (I-J) -.1767 -.5442 -.6028 -.2760 .1767 -.3675 -.4261 -.0994 .5442 .3675 -.0586 .2681 .6028 .4261 .0586 .3267 .2760 .0994 -.2681 -.3267
Std. Error .3653 .3590 .3483 .3590 .3653 .3755 .3653 .3755 .3590 .3755 .3590 .3694 .3483 .3653 .3590 .3590 .3590 .3755 .3694 .3590
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.904 .551 -1.259 .171 -1.296 .091 -.991 .439 -.551 .904 -1.115 .380 -1.153 .301 -.847 .648 -.171 1.259 -.380 1.115 -.773 .656 -.467 1.004 -.091 1.296 -.301 1.153 -.656 .773 -.388 1.041 -.439 .991 .847 -.648 -1.004 .467 -1.041 .388
Sig. .630 .134 .087 .444 .630 .331 .247 .792 .134 .331 .871 .470 .087 .247 .871 .366 .444 .792 .470 .366
Selisih (Delta) Z skor (BB/U. TB/U,BB/TB) menurut perlakuan P0
Descriptive Statistics Std. N
Range
Minimum
Maximum
Mean
Deviation Variance Std.
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Error
Statistic
Statistic
DeltaBBu
18
.65
-.36
.29
-.0278
.04506
.19117
.037
DEltaTBu
18
1.0
-.4
.5
.052
.0607
.2574
.066
DeltaBBTB
18
1.37
-.82
.55
-.0856
.09628
.40850
.167
Valid N (listwise)
18
P1
Descriptive Statistics
Std. N
Range
Minimum
Maximum
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Mean
Deviation
Variance
Statistic
Statistic
Std.
1.31
-.63
.68
Statistic
DeltaBBu
15
.1193
DEltaTBu
15
.8
-.5
.3
.070
DeltaBBTB
15
2.21
-1.12
1.09
.1027
Valid N (listwise)
15
Error .07752
.30025
.090
.0523
.2027
.041
.13731
.53180
.283
156
P2 Descriptive Statistics N
Range
Minimum
Maximum
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Mean Statistic
Std. Deviation
Variance
Statistic
Statistic
Std. Error
DeltaBBu
16
1.36
-.73
.63
.0025
.08963
.35852
.129
DEltaTBu
16
1.2
-.5
.7
.163
.0800
.3199
.102
DeltaBBTB
16
2.03
-1.15
.88
-.1350
.15762
.63049
.398
Valid N (listwise)
16
Std. Deviation
Variance
Statistic
Statistic
P3 Descriptive Statistics N
Range
Minimum
Maximum
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
1.11
-.08
Mean Statistic
1.03
Std. Error
DeltaBBu
18
.3089
DEltaTBu
18
2.5
-1.1
1.4
.219
DeltaBBTB
18
2.77
-1.10
1.67
.2628
Valid N (listwise)
18
.07320
.31056
.096
.1298
.5508
.303
.16453
.69804
.487
Std. Deviation
Variance
Statistic
Statistic
P4 Descriptive Statistics N
Range
Minimum
Maximum
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Mean Statistic
Std. Error
DeltaBBu
16
1.13
-.30
.83
.2156
.07815
.31260
.098
DEltaTBu
16
.6
-.2
.4
.141
.0493
.1974
.039
DeltaBBTB
16
1.57
-.39
1.18
.2094
.12512
.50047
.250
Valid N (listwise)
16
3.
Imonoglobulin A Sekretori (sIgA) Test of Homogeneity of Variances DeltaIgA Levene Statistic .827
df1
df2 4
Sig. 67
.513
ANOVA DeltaIgA Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
8.064
4
2.016
Within Groups
30.804
67
.460
Total
38.868
71
F 4.385
Sig. .003
157
Multiple Comparisons Dependent Variable: DeltaIgA
(I) Perlakuan 0
LS D
(J) Perlakuan 1 2 3 4 0 2 3 4 0 1 3 4 0 1 2 4 0 1 2 3
1
2
3
4
Mean Difference (I-J) -.23056533 -.31619280 -.91772689* -.69524658* .230565335 -.08562746 -.68716155* -.46468125 .316192799 .085627464 -.60153409* -.37905379 .917726887* .687161552* .601534088* .222480302 .695246585* .464681250 .379053786 -.22248030
St d. E rror ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ******** ********
Sig. .363 .214 .000 .007 .363 .739 .008 .074 .214 .739 .020 .144 .000 .008 .020 .380 .007 .074 .144 .380
95% Confidenc e Int erval Lower Bound Upper Bound -.73350594 .27237527 -.81913340 .18674781 -1. 41192003 -.42353374 -1. 19818719 -.19230598 -.27237527 .73350594 -.59716597 .42591104 -1. 19010216 -.18422095 -.97621975 .04685725 -.18674781 .81913340 -.42591104 .59716597 -1. 10447469 -.09859348 -.89059229 .13248472 .42353374 1.41192003 .18422095 1.19010216 .09859348 1.10447469 -.28046030 .72542091 .19230598 1.19818719 -.04685725 .97621975 -.13248472 .89059229 -.72542091 .28046030
*. The mean difference is significant at the .05 level.
4. Morbiditas (Diare dan Ispa)
Episode ISPA 4 bulan Test of Homogeneity of Variances episode ispa dalam 4 bulan Levene Statistic 1.115
df1
df2 4
Sig. 78
.356
ANOVA episode ispa dalam 4 bulan Sum of Squares Between Groups
Df
Mean Square
21.404
4
5.351
Within Groups
203.560
78
2.610
Total
224.964
82
F 2.050
Sig. .095
158
Multiple Comparisons Dependent Variable: episode ispa dalam 4 bulan LS D
(I) Perlakuan 0
1
2
3
4
Mean Difference (I-J) 1.311* .194 .500 1.132* -1. 311* -1. 117 -.811 -.179 -.194 1.117 .306 .938 -.500 .811 -.306 .632 -1. 132* .179 -.938 -.632
(J) Perlakuan 1 2 3 4 0 2 3 4 0 1 3 4 0 1 2 4 0 1 2 3
St d. E rror .565 .555 .538 .555 .565 .581 .565 .581 .555 .581 .555 .571 .538 .565 .555 .555 .555 .581 .571 .555
Sig. .023 .727 .356 .045 .023 .058 .155 .758 .727 .058 .584 .105 .356 .155 .584 .258 .045 .758 .105 .258
95% Confidenc e Int erval Lower Bound Upper Bound .19 2.44 -.91 1.30 -.57 1.57 .03 2.24 -2. 44 -.19 -2. 27 .04 -1. 94 .31 -1. 34 .98 -1. 30 .91 -.04 2.27 -.80 1.41 -.20 2.07 -1. 57 .57 -.31 1.94 -1. 41 .80 -.47 1.74 -2. 24 -.03 -.98 1.34 -2. 07 .20 -1. 74 .47
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Diare Test of Homogeneity of Variances episode diare dalam 4 bulan Levene Statistic 1.342
df1
df2 4
Sig. 78
.262
ANOVA
episode diare dalam 4 bulan Sum of Squares Between Groups
Df
Mean Square
67.237
4
16.809
Within Groups
195.919
78
2.512
Total
263.157
82
F 6.692
Sig. .000
159
Multiple Comparisons Dependent Variable: episode diare dalam 4 bulan LSD
(I) Perlakuan 0
1
2
3
4
(J) Perlakuan 1 2 3 4 0 2 3 4 0 1 3 4 0 1 2 4 0 1 2 3
Mean Difference (I-J) St d. 2.400* 2.021* 2.111* 2.146* -2. 400* -.379 -.289 -.254 -2. 021* .379 .090 .125 -2. 111* .289 -.090 .035 -2. 146* .254 -.125 -.035
Error .554 .545 .528 .545 .554 .570 .554 .570 .545 .570 .545 .560 .528 .554 .545 .545 .545 .570 .560 .545
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .508 .604 .657 .000 .508 .869 .824 .000 .604 .869 .949 .000 .657 .824 .949
95% Confidenc e Int erval Lower Bound Upper Bound 1.30 3.50 .94 3.10 1.06 3.16 1.06 3.23 -3. 50 -1. 30 -1. 51 .75 -1. 39 .81 -1. 39 .88 -3. 10 -.94 -.75 1.51 -.99 1.17 -.99 1.24 -3. 16 -1. 06 -.81 1.39 -1. 17 .99 -1. 05 1.12 -3. 23 -1. 06 -.88 1.39 -1. 24 .99 -1. 12 1.05
160
Lampiran 4 Analisis Ekonomi
161
162
163
164
165
Lampiran 5. Dokumentasi Kegiatan 1. Sosialisasi Penelitian di Dinas Kesehatan Kab. Sukabumi, Puskesmas dan Kader
2. Skrening Balita Contoh
166
3. Pengadaan PMT Biskuit Fungsional
a. Pembuatan tepung ikan lele dumbo
b. Mikroenkapsulasi probiotik
c. Pembuatan Biskuit Fungsional
167
d. Paket PMT Biskuit Fungsional
4. Distribusi PMT Biskuit Fungsional di Lapangan
5. Pemantauan Selama Intervensi
168
6. Partisipasi Balita dan Pengasuh dalam Penelitian
7. Partisipasi Kader, Puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam Penelitian
8. Pengumpulan Data, Sampel fekal
169
9. Analisis fekal dengan Metode ELISA dan PCR