Membangun Sistem Integritas Dalam Pemberantasan Korupsi di Daerah/ Editor, Agung Djojosoekarto, Diani Sadiawati, Natalia Hera Setiyawati; Tim penulis, Diani Sadiawati...(et al.). –Jakarta : Kemitraan, 2008 xiv, 139 hlm.; 18,2 x 25,7 cm. Diterbitkan atas kerjasama dengan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia dan Bappenas RI. ISBN: 978-979-26-9625-7 Membangun Sistem Integritas Dalam Pemberantasan Korupsi di Daerah Editor: Agung Djojosoekarto, Diani Sadiawati dan Natalia Hera Setiyawati Tim Penulis: Diani Sadiawati Dadang Trisasongko Ratminto Nasokah Siti Fatimah Dan Satriana Lilis Widaningsih Dwi Saputra Jabir Alfaruqi Fridolin Berek Putu Wirata Dwikora Nyoman Sunata Ketut Budiarta Akhmad Budiharto Joko Santoso Aji Nur Mugi Ikanedi Desain Sampul: MN. Jihad Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia Jl. Brawijaya VIII No. 7 Kebayoran Baru - Jakarta 12160 INDONESIA Phone : +62-21-72799566 Fax : +62-21-7208519, 7225667 http: //www.kemitraan.or.id Bappenas RI Jl. Taman Suropati No.2 Jakarta 10310-Indonesia Telp. 021-31936207,3909650 Fax. 021-3145374 http: //www.bappenas.go.id
REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
KATA PENGANTAR Assalamu ‘alaikum Warrahmatullahi Wabarrokatuh, Salam Sejahtera untuk kita semua; Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya menjadi komitmen dari Pemerintah Republik Indonesia saja, tetapi sudah menjadi komitmen dari seluruh Negara dan Bangsa-Bangsa di Dunia; karena Korupsi merupakan permasalahan Dunia yang sangat mengganggu semua negara. Hal tersebut secara nyata terbukti, dengan munculnya Konvensi PBB tentang Anti Korupsi pada tahun 2003 (UN Convention Against Corruption – 2003). Komitmen Pemerintah Republik Indonesia tergambar secara jelas dengan telah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN–PK) 2004–2009 serta Ratifikasi terhadap Konvensi PBB tentang Anti Korupsi 2003 tersebut, melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006. Di tingkat Pemerintahan Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota, juga telah disusun Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD–PK); dengan beberapa Sasaran sebagai berikut : a. Mempercepat penerapan Prinsip-Prinsip Tata Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) di lingkungan Pemerintah Daerah; antara lain: akuntabilitas, transparansi, ketaatan pada hukum / peraturan perundang-undangan serta partisipasi masyarakat; b. Meningkatkan kualitas Pelayanan Publik serta meniadakan Pungutan Liar dalam pelaksanaannya; c . Bersama-sama dengan DPRD, melakukan upaya Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya Kebocoran Keuangan Negara; baik yang bersumber dari APBN maupun APBD. Jelas kiranya dan sesuai dengan amanah dalam Inpres No. 5 Tahun 2004 dimaksud, bahwa upaya Pemberantasan Korupsi merupakan komitmen, tugas dan tanggung jawab bersama dari Pemerintah Pusat serta Pemerintah Daerah. Dalam pelaksanaannya, juga harus melibatkan dan mendapatkan dukungan dari seluruh komponen bangsa; khususnya anggota masyarakat dan kalangan pengusaha yang merupakan para Pengguna dari Jasa Pelayanan Publik di lingkungan masing-masing.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
iii
Partisipasi Masyarakat dalam upaya Pemberantasan Korupsi juga didorong dan dijamin baik dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, maupun dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Untuk mengetahui tingkat ”Kepuasan Publik” terhadap penyelenggaraan Jasa dan Pelayanan Publik yang dilaksanakan oleh Instansi-Instansi pada jajaran Pemerintah Daerah, Tim Nasional Implementasi RAN–PK 2004–2009 telah melaksanakan Survei terhadap Kepuasan Masyarakat yang diberi nama ”Citizen Report Card (CRC)”. Survei ini baru dilaksanakan pada enam Kabupaten / Kota di tiga Provinsi sebagai Pilot Project, yakni di : Kabupaten Indramayu, Provinsi Jabar; Kabupaten Pemalang dan Kota Magelang, Provinsi Jateng; serta Kabupaten Jembrana dan Kota Denpasar, Provinsi Bali; Hasil dari Survei inilah yang kemudian disusun dalam Buku ”Membangun Sistem Integritas dalam Pemberantasan Korupsi di Daerah: Catatan atas Pengalaman Pengawalan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD–PK) dan Pelaksanaan Citizen Report Card (CRC) di Lima Daerah”; dengan maksud dan tujuan sebagai wahana pembelajaran bagi Pemerintah Daerah dan Komponen Masyarakat di Daerah yang bersangkutan. Bagi Pemerintah Daerah yang menjadi Pilot Project, hasil survei ini diharapkan akan menjadi bahan masukan dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan kualitas Pelayanan Publik pada Instansi-Instansi Terkait; sedangkan bagi Pemerintah Daerah lainnya, diharapkan dapat menjadi bahan dan contoh untuk diterapkan di Daerah masing-masing. Pada kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan yang tinggi kepada Saudara Bupati dan Walikota beserta Jajarannya dan berbagai Organisasi Masyarakat Sipil dari enam Pemerintah Daerah yang telah berkenan menjadi Pilot Project; atas kerjasama dan partisipasinya, sehingga Survei Tingkat Kepuasan Masyarakat melalui metoda ”Citizen Report Card (CRC)” telah dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Ucapan Terima Kasih serta Penghargaan juga kepada institusi ”Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia)” yang telah memfasilitasi berbagai pelaksanaan kegiatan Survei ”Citizen Report Card (CRC)” di enam daerah pilot sampai dengan dilaksanakannya kegiatan Launching Nasional dari Buku ”Membangun Sistem Integritas dalam Pemberantasan Korupsi di Daerah: Catatan atas Pengalaman Pengawalan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD–PK) dan Pelaksanaan Citizen Report Card (CRC) di Lima Daerah”;
iv
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
Mudah-mudahan berbagai pengalaman, baik yang positif maupun yang kurang baik, yang tertuang di dalam Buku ini; akan dapat memberikan kontribusi dan menjadi inspirasi serta ”lesson learned”: tidak hanya bagi jajaran Pemerintah Daerah, namun juga bagi setiap Penyelenggara Negara yang memiliki ketulusan dan komitmen yang tinggi dalam upaya Pemberantasan Korupsi di Negara kita; yang insya Allah akan dapat mendorong dan mempercepat terwujudnya Kesejahteraan Rakyat serta Kecerdasan Bangsa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama. Wabilahit Taufiq wal Hidayah, Wassalamu ‘alaikum Warrahmatullahi Wabarrokatuh,
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
v
KATA PENGANTAR Direktur Eksekutif Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia Kemitraan memandang Inpres 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi sebagai sebuah terobosan dalam upaya pemerintah memerangi korupsi yang telah mengakar dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia. Oleh karenanya Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia senantiasa mendukung upaya pemerintah dalam implementasi Inpres 5/2004. Wujud dukungan yang dilakukan oleh Kemitraan salah satunya adalah melalui perencanaan, penyusunan, sosialisasi Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) mulai tahun 2005. Sebagai kelanjutannya, Juni 2007 hingga Desember 2008 Kemitraan telah memfasilitasi upaya daerah dalam membangun sistem integritas pemberantasan korupsi melalui penyusunan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) dan survey kepuasan masyarakat dengan metode Citizen Report Card (CRC). Program ini diinisiasi di 6 (enam) daerah yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Jembrana, Kota Magelang, Kabupaten Pemalang, Kota Bandung dan Kabupaten Indramayu. Program ini menitikberatkan pada dua bidang garap utama, yakni pertama, membangun komitmen pemerintah daerah dalam pemberantasan korupsi melalui RAD PK. Kedua, pada penguatan partisipasi masyarakat selaku penguna layanan publik dalam evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik. Proses yang berlangsung di enam daerah pilot project sangat beragam dan memberikan banyak hikmah yang dapat diambil dan diinformasikan kepada publik. Kemitraan berharap bahwa pengalaman beberapa daerah ini akan dapat memberikan inspirasi kepada semua pihak, baik pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah maupun kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya untuk mengembangkan upaya bersama dalam rangka pemberantasan korupsi. Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Diani Sadiawati, SH., LLM. selaku Direktur Hukum dan HAM, Bappenas RI atas kerjasama dan dukungannya selama program ini berlangsung. Selain itu kami berterima kasih kepada semua Bupati/Walikota di Kota Denpasar, Kabupaten Jembrana, Kota Magelang, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Indramayu dan Kota Bandung atas kesediaannya dan kerjasamanya yang baik sebagai daerah pilot proyek. Demikian juga kepada organisasi masyarakat sipil yang telah terlibat dalam program ini yakni KP2KKN Jawa Tengah, Bali Corruption WatchBCW, dan Lembaga Advokasi Kerakyatan-LAK Bandung. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, Kemitraan bersama dengan Bappenas menerbitkan catatan pengalaman dan pembelajaran dalam vi
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
sebuah buku “Membangun Sistem Integritas dalam Pemberantasan Korupsi di Daerah: Catatan atas Pengalaman Pengawalan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) dan Pelaksanaan Citizen Report Card (CRC) di Lima Daerah”. Kami berharap buku ini akan dapat memberikan kontribusi yang positif dan inspirasi bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia demi tercapainya Indonesia yang dicita-citakan . Jakarta, 12 November 2008 Direktur Eksekutif Kemitraan,
Mohamad Sobary
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
vii
Daftar Isi Kata Pengantar Bappenas RI .................................................................................
iii
Kata Pengantar Direktur Eksekutif Kemitraan ..................................................
vi
Daftar Isi
........................................................................................................ viii
Daftar Tabel
........................................................................................................
Daftar Grafik
........................................................................................................ xii
xi
Daftar Gambar ........................................................................................................ xiii Daftar Singkatan ...................................................................................................... xiv Bab 1 Perspektif Pelayanan Publik Ideal Sebagai Langkah Pemberantasan Korupsi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Daerah 1.1. Korupsi, Mal-Administrasi, dan Mutu Pelayanan Publik .............. 2 1.2. Teori Exit dan Voice ............................................................................ 5 1.3. Privatisasi Pelayanan Publik .............................................................. 12 1.4. Customer sebagai Shareholders: Perspektif Ideal Penyelenggaraan Pelayanan Publik................................................... 14 1.5. Kesimpulan dan Rekomendasi .......................................................... 17
viii
Bab 2 Upaya Pemberantasan Korupsi Terpadu Melalui Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) Dan Pelibatan Publik Dalam Implementasinya 2.1 Latar Belakang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) .............................................................................................. 2.2 Tugas, Struktur dan Keanggotaan Tim RAD PK ............................ 2.3 Definisi, Fungsi dan Sosialisasi RAD PK ......................................... 2.4 Latar Belakang RAD PK dan Komitmen Pemerintah Daerah serta Masyarakat .................................................................................. 2.5 Kendala dan Hambatan dan Metode Pelaksanaan RAD PK ........ 2.6 Pelibatan Masyarakat Sipil dalam Perumusan, Pelaksanaan, Monitoring dan Evaluasi RAD PK ............................ 2.7 Keberlanjutan RAD PK .......................................................................
30 30
Bab 3 Citizen Report Card (CRC) Sebagai Media Partisipasi Warga Dalam Pengawasan Pelayanan Publik 3.1. Apa itu CRC? ........................................................................................ 3.2. Manfaat dan Kegunaan Penyelenggaraan CRC .............................. 3.3. Kelebihan CRC Dibandingkan dengan Metode Lainnya .............. 3.4. Prinsip-Prinsip CRC ............................................................................ 3.5. Proses CRC ............................................................................................ 3.6. CRC sebagai Media Advokasi Pelayanan Publik ........................... 3.7. Keberhasilan Penyelenggaraan CRC ................................................
36 37 39 40 45 47 47
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
19 21 23 24 26
Bab 4 Pengalaman Pengawalan CRC Pelayanan IMB di Kabupaten Pemalang 4.1. Deskripsi Kabupaten Pemalang ........................................................ 4.2. Proses Konseptualisasi Umum .......................................................... 4.3. Proses Kelahiran Kebijakan Pemberantasan Korupsi ..................... 4.4. Proses Teknis Menuju CRC ................................................................ 4.5. Temuan Pokok Pemalang ................................................................... 4.6. Faktor Pendukung dan Penghambat ................................................ 4.7. Motivasi Mengurus IMB: Pengalaman Unik Pemalang dan Rekomendasi Tindak Lanjutnya ................................................ 4.8. Upaya Yang Telah Dilakukan ............................................................
49 50 51 54 57 60 62 63
Bab 5 Praktik Terbaik dan Pembelajaran Survei CRC di Kota Magelang 5.1. Deskripsi Kota Magelang ................................................................... 5.2. Potret Pelayanan Publik Kota Magelang ......................................... 5.3. Latar Belakang Lahirnya RAD PK Kota Magelang ........................ 5.4. RAD PK Kota Magelang ..................................................................... 5.5. Persiapan dan Proses Survei CRC ..................................................... 5.6. Temuan Pokok Survei CRC ............................................................... 5.7. Rekomendasi Hasil CRC .................................................................... 5.8. Faktor Pendukung dan Penghambat ................................................ 5.9. Upaya Lanjut Yang Telah Dilakukan ...............................................
68 69 70 73 75 76 78
Bab 6 Upaya Pemberantasan Korupsi melalui RAD PK dan CRC: Kasus Kabupaten Jembrana 6.1. Inovasi-inovasi Pemerintah Kabupaten Jembrana ......................... 6.2. Persiapan dan Pelaksanaan Survei ................................................... 6.3. Hasil dan Temuan Survei ................................................................... 6.4. Rekomendasi Survei ............................................................................ 6.5. Upaya Yang Telah Dilakukan Pasca Survei ....................................
81 87 88 91 93
Bab 7 Evaluasi Partisipatif Terhadap Pelayanan Publik Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi: Kasus Kota Denpasar 7.1. Deskripsi Kota Denpasar .................................................................... 7.2. Latar Belakang Penerapan Survei CRC ............................................ 7.3. Persiapan dan Pelaksanaan Survei ................................................... 7.4. Hasil Survei .......................................................................................... 7.5. Rekomendasi Survei ............................................................................ 7.6. Lankah Kongkrit Yang Telah Dilakukan .........................................
95 96 100 101 103 107
Bab 8 Pengalaman Kabupaten Indramayu dalam Mendorong Upaya Perbaikan Pelayanan Publik melalui Penyusunan RAD PK dan Pelaksanaan Survei CRC 8.1. Persiapan dan Pelaksanaan Survei CRC .......................................... 8.2. Temuan Pokok CRC di Indramayu .................................................. 8.3. Catatan Untuk Tindak Lanjut ............................................................ 8.4. Rekomendasi: Strategi Advokasi Untuk Perbaikan, Perubahan, dan Peningkatan Layanan Pengurusan IMB ................................... 8.5. Langkah lanjut Pasca Survi CRC .......................................................
66
111 114 115 119 121
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
ix
Bab 9 Catatan Perjalanan Pemberantasan Korupsi di Lima Daerah 9.1. Politik Pemberantasan Korupsi di Indonesia .................................. 9.2. Mengapa Pelayanan Publik? ............................................................... 9.3. Korupsi di Sektor Pelayanan Publik ................................................. 9.4. Catatan dari Lima Daerah .................................................................. 9.5. Realitas Pelayanan Publik di Lima Daerah....................................... 9.6. Peluang Pembaruan Pelayanan Publik ............................................
123 124 125 126 127 128
Daftar Pustaka ............................................................................................... 133
x
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
Daftar Tabel Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 8.1
Berbagai Bentuk Mal-Administrasi ........................................ 3 Derajat Hubungan Providers-Custemers ................................. 15 Desain Kerangka Advokasi .................................................... 120
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
xi
Daftar Grafik Grafik 4.1 Perbaikan yang Paling Mendesak Terkait Pelayanan IMB di Kabupaten Pemalang ........................................................... 59
xii
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
Daftar Gambar Gambar 6.1 Skema Pemanfaatan Sumber Daya Di Kabupaten Jembrana .................................................................................. 83 Gambar 6.2 Aktifitas Pos Pemberdayaan Masyarakat Terpadu ........... 87
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
xiii
Daftar Singkatan APBD Bappeda Bappenas Bawasda BCW BIGS BP2T CRC Dipenda DPTPM DPU FGD IMB Kepres KPK KTP LAK LAKIP LOD LOS Meneg PPN RAD PK RAN PK SKPD SPM TA UPPI UPPT
xiv
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Badan perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Pengawasan Daerah Bali Corruption Watch Bandung Institute for Governance Studies Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Citizen Report Card Dinas Pendapatan Daerah Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Dinas Pekerjaan Umum Focus Group Discussion Ijin Mendirikan Bangun-Bangunan Keputusan Presiden Komisi Pemberantasan Korupsi Kartu Tanda Penduduk Lembaga Advokasi Kerakyatan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Lembaga Ombudsman Daerah Lembaga Ombudsman Swasta Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi Satuan Kerja Pemerintah Daerah Standar Pelayanan Minimal Technical Assistance Unit Pelayanan Perijinan dan Investasi Unit Pelayanan Perijinan Terpadu
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL
BAB 1 PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL SEBAGAI LANGKAH PENANGGULANGAN KORUPSI DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH
Seiring dengan menguatnya ide good governance, tuntutan akan pelayanan publik yang lebih berkualitas dan berwawasan good governance di daerah juga semakin menguat. Oleh karena itu inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik di daerah juga harus terus ditingkatkan, sehingga model penyelenggaraan pelayanan publik yang mendekati ideal dapat diwujudkan. Salah satu isu yang sangat penting dalam pengembangan inovasi penyelenggaraan pelayanan publik di daerah adalah pencegahan terhadap praktik korupsi. Oleh karena itu di dalam bab ini akan ditelaah konsepsi dan model penyelenggaraan pelayanan publik yang ideal sehingga dapat
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
1
BAB 1
menanggulangi terjadinya praktik korupsi dalam penyelenggaraan pelayanan publik di daerah. Telaah konsep dan model tersebut akan diikuti dengan kajian pengalaman empiris di negara lain untuk dapat dirumuskan rekomendasi penerapannya di Indonesia. 1.1. Korupsi, Mal-Administrasi, Mutu Pelayanan Publik
2
Dalam studi Ilmu Administrasi Negara, sudah sejak lama Drucker1 mengidentifikasi adanya enam dosa besar administrator publik, yaitu: 1. Perumusan tujuan yang ambigu, tanpa adanya target yang jelas sehingga tujuan tersebut tidak dapat diukur dan dinilai tingkat pencapaiannya 2. Pengerjaan beberapa kegiatan dalam waktu yang bersamaan tanpa adanya prioritas yang jelas 3. Keyakinan bahwa ’besar itu berkah’, artinya orientasi pekerjaan adalah pada banyaknya aktivitas yang dapat mendatangkan penghasilan, dan bukannya pada kompetensi 4. Berperilaku dogmatis, bukannya eksperimental. Artinya prosedur standar dianggap sebagai sesuatu yang sangat sakral yang tidak boleh dilanggar, sehingga administrator tidak berani melakukan tindakan yang bertentangan dengan prosedur atau yang belum ada prosedurnya. 5. Ketidakmampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu dan keengganan untuk memperhatikan umpan balik 6. Kuatnya asumsi bahwa program itu sifatnya berkelanjutan dan kuatnya keengganan untuk menghentikan program yang gagal atau tidak tepat sasaran. Enam dosa besar tersebut kemudian dikenal sebagai bentuk-bentuk penyimpangan administarsi atau mal-administrasi (maladministration), yang dalam perkembangannya terus ditambahkan daftarnya sehingga semakin lama daftar dosa administrator menjadi semakin banyak. Bentukbentuk mal-administrasi yang sangat lengkap sudah diidentifikasi oleh Caiden2 dan diurutkan secara alfabetis, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 1.1 di bawah ini.
Drucker, P., 1980. “The Deadly Sins in Public Administration.” Public Administration Review, Vol. 40 (March/April). 2 Caiden, Gerald, 1991. “What Really Is Public Mall Administration”, in Public Administration Review, Vol. 51 (Nov/Dec), hal. 492. 1
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL
Tabel 1.1 Berbagai Bentuk Mal-administrasi Table 1 Common Bureaupathologies Abuse of authority/ power/position Account padding Alienation Anorexia Arbitrariness Arrogance Bias Blurring issues Boondoggles Bribery Htueaucratese (unintelligibility) Busywork Carelessness Chiseling Coercion Complacency Compulsiveness Conflicts of interest/objectives Confusion Conspiracy Corruption Counter productiveness Cowardice Criminality Deadwood Deceit and deception Dedication to status quo Defective goods Delay Deterioration Discourtesy Discrimination Diseconomies of size Displacement of goals/ objectives Dogmatism Dramaturgy Empire building Excessive social costs/ complexity Exploitation Extortion Extravagance Failure to acknowledge/act/ answer/respond Favoritism
Fcar of change, innovation, risk Finagling Footdragging Framing Fraud Yudging/fuuirtg (issues) Gamesmanship Gattvpardismo (superficiality) Ghost employees Gobbledygook/jargon Highhandedness Ignorance Illegality Impervious to criticism/ suggestion Improper motivation Inability to learn Inaccessibility Inaction Inadequate rewards and incentives Inadequate working conditions Inappropriateness incompatible tasks Incompetence Inconvenience Indecision (decidvphobia) indifference indiscipline Ineffectiveness Ineptitude inertia Inferior quality Inflexibility inhumanity Injustice Insensitivity Insolence Intimidation Irregularity Irrelevance Irresolution Irresponsibility Kleptocracy Lack of commitment Lack of coordination
Lack of creativity! experimentation Lack of credibility Lack of imagination Lack of initiative Lack of performance indicators Lack of vision Lawlessness Laxity Leadership vacuums Malfeasance Malice Malignity Meaningless/make work Mediocrity Mellownization Mindless job performance Miscommunication Misconduct Misfeasance Misinformation Misplaced zeal Negativism Negligence/neglect Nepotism Neuroticism Nonaccountability Noncommunication Nonfeasance Nonproductivity obscurity Obstruction Officiousness Oppression Overkill Oversight Overspread Overstaffing Paperasserie Paranoia Patronage Payoffs and kickbacks Perversity Phony contracts Pointless activity Procrastination Punitive supervision Red-tape
Reluctance to delegate Reluctance to take decisions Reluctance to take responsibility Remoteness Rigidity/brittleness Rip offs Ritualism Rudeness Sabotage Scams Secrecy Self perpetuation Self serving Slick bookkeeping Sloppiness Social astigmatism (failure to see problem) Soul destroying work Spendthrift Spoils Stagnation Staving Stonewalling Suboptlatiration Sycophancy Tail chasing Tampering Territorial imperative Theft Tokenism Tunnel vision Unclear objectives Unfairness Unnecessary work Unprofessional conduct Unreasonableness Unsafe conditions Unsuitable premises and equipment Usurpatory Vanity Vested interest Vindictiveness Waste Whim Xenophobia
Sumber: Caiden, Gerald, 1991. “What Really Is Public Mall Administration”, pada Public Administration Review, Vol. 51 (Nov/Dec), hal. 492.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
3
BAB 1
4
Sementara itu Christopher Hood sebagaimana dikutip Caiden3 telah mengidentifikasi adanya beberapa penyimpangan administrasi yang terjadi di dalam tubuh birokrasi Inggris, yaitu: 1. Overkill atau diseconomy, artinya hasil didapatkan dengan ongkos atau biaya yang sangat besar, yang sebenarnya dapat ditekan 2. Counter productivity, artinya hasil yang didapatkan justru bertentangan dengan tujuan yang diinginkan 3. Inertia, artinya tidak melakukan tindakan apapun untuk merespon perubahan lingkungan (stimulus) 4. Ineffectiveness, artinya kalau toh merespon stimulus, paling banter yang dilakukan hanyalah merubah masukan sekedarnya sehingga pada gilirannya hanya menghasilkan sedikit perubahan atas keluaran, atau bahkan keluaran sama sekali tidak berubah 5. Tail chasing, artinya semakin banyak pasokan yang diberikan akan semakin banyak pula permintaan yang dibuat. 6. Under-organization dan over-organization, artinya memperlakukan prosedur pelayanan sebagai ritual sehingga pelayanan menjadi berbelit-belit dan menimbulkan penyuapan atau korupsi 7. Wastage, tindakan memping-pong customers 8. Big-stick syndrome, artinya kontrol diri yang terlalu berlebihan sehingga administrator tidak berani mengambil inisiatif dan cenderung mencari selamat dengan mengorbankan kepentingan customers 9. Negative demonstration, artinya tindakan para administrator justru memicu respon yang bersifat berlawanan dengan yang diinginkan 10. Time-lags, artinya respon yang terlambat 11. Reorganization, artinya perubahan struktural yang dilakukan lebih merupakan respon simbolis yang sama sekali tidak mengubah substansi 12. Sub-optimization, artinya di dalam praktik administrasi sering terjadi perumusan tujuan yang saling bertentangan dan koordinasi yang tidak berjalan dengan baik 13. Professional fragmentation, artinya penanganan masalah yang tidak efektif karena jeleknya koordinasi dan kerjasama tim sehingga menimbulkan inefisiensi Dari daftar tersebut di atas, nampak bahwa dibandingkan dengan Drucker, Hood sudah jauh lebih terperinci dalam mendeskripsikan bentuk-bentuk mal-administrasi. Secara eksplisit Hood menyebutkan 3
Ibid, hal. 487
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL
bahwa salah satu bentuk mal-administrasi adalah pelayanan yang berbelitbelit, sehingga memicu timbulnya korupsi atau penyuapan. Sementara itu Kajian yang dilakukan oleh Pierce4 secara lebih komprehensif telah merinci bentuk-bentuk mal-administrasi yang terkait dengan korupsi, yaitu: 1. Pencurian asset atau inventaris 2. Penggunaan jam kerja untuk keperluan pribadi 3. Penyuapan 4. Kesalahan penggunaan kantor 5. Konflik kepentingan Berdasarkan berbagai bentuk mal-administrasi tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa pelayanan publik yang jelek dapat memicu terjadinya korupsi, terutama penyuapan. Akan tetapi korupsi yang dilakukan oleh administrator publik, dalam bentuk pencurian asset, penggunaan jam kerja dinas untuk kepentingan pribadi dan menguatnya konflik kepentingan, juga mengakibatkan kualitas pelayanan publik menjadi semakin jelek. Dengan demikian sesungguhnya ada hubungan timbal balik antara kualitas pelayanan publik dengan praktik korupsi. Semakin marak praktik korupsi yang dilakukan oleh adminstrator publik, maka akan semakin jelek kualitas pelayanan publik. Demikian juga sebaliknya, semakin jelek kualitas pelayanan publik, akan semakin besar kemungkinan terjadinya korupsi terutama dalam bentuk penyuapan. Oleh karena hubungan di antara keduanya bersifat timbal balik, maka perbaikan kualitas pelayanan publik akan dapat menanggulangi terjadinya praktik korupsi. Di sini lah arti pentingnya perumusan model penyelenggaraan pelayanan publik yang ideal. Apabila model ini dapat dikembangkan dan diterapkan, maka praktik korupsi dapat dicegah dan diharapkan semakin lama akan semakin mengecil. 1.2. Teori ‘Exit’ dan ‘Voice’ Teori ‘exit’ dan ‘voice’ adalah merupakan grand theory dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian teori ini dapat dipakai sebagai titik tolak pengembangan model pelayanan publik yang ideal. Teori ‘exit’ dan ‘voice’ yang dikembangkan oleh Albert Hirschman (sebagaimana dikutip Jones5) menyatakan bahwa kinerja pelayanan publik dapat ditingkatkan apabila ada mekanisme ‘exit’ dan ‘voice’. Mekanisme ‘exit’ berarti bahwa jika pelayanan publik tidak berkualitas maka konsumen/klien harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan publik yang lain yang disukainya. Sedangkan mekanisme ‘voice’ berarti adanya kesempatan untuk mengungkapkan Pierce, W.S., 1981. Bureaucratic Failure and Public Expenditure. New York: Academic Press, Harcourt Brace Jovanich. 5 Jones, R. 1994. “The Citizen’s Charter Program: an Evaluation, Using Hirchman’s Concept of ‘Exit’ and ‘Voice’” in Review of Policy Issues Vol 1.(Summer). 4
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
5
BAB 1
6
ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan publik. Hirschman6 juga menjelaskan bahwa mekanisme ‘exit’ biasanya terhambat oleh beberapa faktor seperti: kekuatan pemaksa dari negara, tidak adanya lembaga penyelenggara pelayanan publik alternatif, dan tidak adanya biaya untuk menciptakan lembaga penyelenggara pelayanan publik alternatif. Sedangkan mekanisme ‘voice’ biasanya tidak efektif karena: pengetahuan dan kepercayaan terhadap mekanisme yang ada, dan aksesibilitas serta biaya untuk mempergunakan mekanisme tersebut. Teori ‘exit’ dan ‘voice’ ini sejalan dengan teori politik klasik yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung untuk korup atau disalahgunakan, sedangkan kekuasaan yang absolut sudah pasti akan disalahgunakan7. Dengan demikian untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik diperlukan adanya kesetaraan posisi tawar antara pengguna jasa atau customers dengan lembaga penyelenggara pelayanan atau providers. Secara teoritis kesetaraan posisi tawar ini akan dapat dicapai dengan cara: 1. Meningkatkan posisi tawar customers, atau dengan kata lain memberdayakan customers 2. Mengontrol kewenangan/kekuasaan providers. Secara lebih terperinci, keseimbangan posisi tawar antara providers dengan masyarakat selaku customers dapat dicapai dengan menerapkan beberapa konsep yang akan diuraikan di bawah ini. Konsep-konsep ini tidak perlu semuanya diterapkan, tetapi dapat dipilih beberapa yang memang sesuai dengan karakteristik pelayanan publik yang diselenggarakan. Adapun konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut:8 1. Customer’s charter Ini merupakan suatu dokumen yang di dalamnya diatur tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat baik dalam diri providers, maupun yang melekat di dalam diri customers, serta sangsi bagi kedua pihak tersebut apabila tidak dapat memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan. Di dalam customer’s charter biasanya dijelaskan juga tentang visi, misi dan nilai-nilai yang hendak dimaksimalkan penerapannya oleh providers. Customer’s charter ini kadang-kadang disebut juga sebagai client’s charter atau citizen’s charter. Ini adalah salah satu konsep yang sangat populer dan sangat banyak diterapkan di banyak negara. Di Indonesia customer’s charter sudah pernah dilembagakan sebagai kegiatan eksperimentasi oleh Pusat Studi Kependudukan Ibid. Lord Acton dalam Budiardjo, M. 1983. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, hal. 99. 8 Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 73-79. 6 7
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL
dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dengan mendapat dukungan dari Ford Foundation, dan dengan bekerjasama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kota Blitar, dan Pemerintah Kabupaten Semarang. Customer’s charter ini diterjemahkan sebagai kontrak layanan. Di Kota Yogyakarta sudah dibuat kontrak layanan untuk pelayanan akta kelahiran, di Kota Blitar untuk pelayanan Puskesmas, dan di Kabupaten Semarang (Kecamatan Ambarawa) untuk pelayanan KTP dan HO. 2. Customer service standard Ini merupakan standar pelayanan yang melekat dalam suatu jenis pelayanan publik tertentu. Di dalam draft Rancangan Undang Undang Pelayanan Publik, customers service standard diterjemahkan menjadi standar pelayanan publik. Penggunaan terminologi standar pelayanan publik ini dipergunakan untuk membedakanya dengan konsepsi Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Di tahun 2007 ada dua Permendagri yang mengatur lebih lanjut tentang SPM, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal. Di Indonesia Standar Pelayanan Minimal sudah dibuat oleh beberapa daerah seperti Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kota Bekasi. Sedangkan standar pelayanan publik sudah banyak dibuat sampai ke tingkat desa atau kelurahan. Hanya saja implementasinya memang belum sepenuhnya baik. 3. Customer redress Customer redress adalah pemberian ganti rugi kepada customers, apabila pelayanan publik yang diberikan oleh providers tidak sesuai dengan ketentuan yang ada baik di dalam customer’s charter, maupun yang disebutkan di dalam customers service standard. Ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk sejumlah uang, penggantian pelayanan serupa, atau kompensasi yang lainnya. Di Indonesia belum banyak daerah yang sudah memberikan ganti rugi, tetapi beberapa perusahaan sudah memberikan ganti rugi kepada customers. Perusahaan penerbangan misalnya, sudah memberikan ganti rugi berupa pemberian makanan dan minuman apabila penerbangan terlambat dari jadwal yang dijanjikan.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
7
BAB 1
8
4. Quality guarantees Konsep ini dapat diterjemahkan menjadi garansi kualitas, artinya suatu jaminan yang diberikan oleh providers bahwa pelayanan publik yang diselenggarakannya pasti memenuhi standar tertentu. Apabila standar tersebut tidak dapat dipenuhi, maka customers berhak untuk meminta pemenuhan standar tersebut. Garansi kualitas ini biasanya diikuti dengan pemberian ganti rugi. Ada perusahaan retail misalnya, yang memberikan garansi bahwa harga jual tokonya adalah yang paling murah, dan apabila customers dapat membuktikan bahwa apabila ada perusahaan atau toko lain yang menjual barang yang sama dengan harga yang lebih murah, maka customers tersebut akan mendapatkan gantirugi. 5. Quality inspectors Ini merupakan suatu jabatan yang tugas, kewenangan dan tanggung jawabnya adalah memeriksa dan memastikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh providers benar-benar telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Di suatu usaha pencucian mobil misalnya, ada petugas khusus yang tugasnya memeriksa kebersihan mobil yang dicuci sebelum mobil itu diserahkan kepada customers. Di bengkel reparasi motor, biasanya ada juga petugas khusus yang memeriksa motor yang sudah selesai direparasi sebelum diserahkan kepada customers. 6. Customer complaint systems Ini merupakan sistem penanganan keluhan yang efektif. Idenya adalah menciptakan suatu sistem penanganan keluhan yang efektif dan responsif, sehingga customers tidak merasa segan untuk menyampaikan keluhannya atau pengaduannya karena customers tahu pasti bahwa pengaduan itu pasti akan ditindak lanjuti. Sistem penanganan keluhan dapat dilakukan dengan menunjuk pejabat tertentu, membuka hotline bebas pulsa atau membuka kotak pos dengan nomor yang mudah diingat, bisa juga dilakukan dengan membuka email account. Di kota Yogyakarta di bentuk satu unit kerja khusus untuk menjalankan sistem ini yang disebut sebagai Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK). 7. Ombudsman Ini adalah semacam lembaga pengawas independen, yaitu suatu lembaga yang tugas, kewenangan dan tanggung jawabnya adalah untuk melakukan pengawasan dan penilaian terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dan melakukan pengawasan dan penilaan terhadap tindakan yang dilakukan oleh administrator publik dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, sudah ada Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) dan juga
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL
Lembaga Ombudsman Daerah (LOD). Sementara itu di tingkat nasional sudah ada Komisi Ombudsman Nasional (KON). 8. Competitive public choice systems Konsep ini sebenarnya adalah merupakan perwujudan dari mekanisme ‘exit’. Di sini customers diberi kesempatan untuk memilih providers yang disukainya, karena ada beberapa providers yang memberikan pelayanan yang sejenis yang saling bersaing dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas. Dalam perkembangannya, apabila tidak mungkin untuk dibuat providers baru, maka dibuat beberapa unit sejenis pada providers yang sudah ada. Terkait pelayanan perpanjangan Surat Izin Mengemudi, misalnya, di Kabupaten Sleman masyarakat sudah memiliki pilihan untuk memperpanjang SIM di Kantor Polres Sleman, atau di unit layanan perpanjangan SIM yang ditempatkan di Ambarukmo Plaza. 9. Vouchers and reimbursement programs Hampir sama dengan konsep competitive public choice systems, konsep voucher dan reimbursement programs juga dimaksudkan untuk memberikan pilihan kepada para customers dalam memilih providers yang disukainya. Voucher adalah semacam kupon yang diberikan kepada warga masyarakat yang dianggap berhak atau memenuhi persyaratan tertentu untuk ditukar dengan jenis pelayanan umum tertentu di salah satu providers yang dipilih oleh customers. Program voucher tepat untuk diterapkan misalnya dalam program beasiswa pendidikan kepada masyarakat miskin, sehingga customers yang meneriman voucher dapat memilih sekolah yang disukainya. Dengan demikian setiap sekolah akan bersaing untuk memberikan pelayanan yang terbaik, karena nantinya sekolah dapat menukarkan voucher tersebut kepada Pemerintah dengan sejumlah uang. Sedangkan reimbursement dapat diterjemahkan sebagai program penggantian sejumlah uang. Idenya adalah customers terlebih dahulu membayar pelayanan publik yang dipakainya, kemudian kuitansi pembayarannya dimintakan ganti kepada pihak tertentu yang seharusnya bertanggungjawab untuk membayar biaya pelayanan tersebut. Hal ini dapat diterapkan dalam penyelenggaraan program pelayanan asuransi kesehatan misalnya, dengan cara pasien memilih dokter yang disukainya, membayar biaya dokter dari uangnya sendiri, dan kemudian menukarkan kuitansi pembayaran dengan uang kepada providers penyelenggara program asuransi kesehatan. Dengan demikian dokter atau rumah sakit akan bersaing untuk menyelenggarakan pelayanan yang terbaik, sehingga pasien datang kepadanya.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
9
BAB 1
10
10. Customer information systems and brokers Ini adalah suatu lembaga yang dibentuk dengan tugas, kewenangan dan tanggung jawab untuk menghimpun dan menyediakan informasi kepada masyarakat tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Data yang dapat diakses dari lembaga ini misalnya informasi tentang prosedur pelayanan umum tertentu, karakteristik providers tertentu, providers yang memberikan pelayanan umum terbaik, providers yang memberikan pelayanan umum kurang baik, dan lain-lain. Di Kota Yogyakarta misalnya, ada Pusat Informasi Kos, yang menghimpun berbagai informasi tentang kos. Ada juga pusat informasi tanah dan bangunan, yang memberikan layanan tentang jual beli tanah dan bangunan. 11. Competitive Bidding Pada intinya ini adalah ketentuan bahwa untuk dapat melakukan pekerjaan tertentu yang terkait dengan penerimaan sejumlah uang, para providers harus bersaing karena adanya sistem tender atau lelang. Misalnya kontrak untuk menyelenggarakan pelayanan angkutan di dalam kota, harus dilakukan dengan cara tender yang adil dan kompetitif. Di Indonesia hal ini diatur dalam peraturan yang dikenal sebagai Keppres 80/2003. 12. Competitive benchmarking Benchmarking kadang-kadang diterjemahkan sebagai tolok ukur. Artinya agar didapatkan pelayanan publik yang berkualitas, setiap providers harus melakukan perbandingan dengan providers lain yang menyelenggarakan pelayanan publik yang sejenis, sehingga diketahui kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam dirinya, dan dapat dilakukan perbaikan dengan segera. Di Indonesia hal ini biasanya dilakukan dengan cara melakukan studi banding. Sayangnya studi banding tersebut cenderung berubah menjadi sekedar wisata ke daerah lain karena tindak lanjutnya tidak pernah dilakukan. 13. Privatization Ini juga merupakan salah satu wujud dari mekanisme ‘exit’, karena disini sebagian dari proses penyelenggaraan pelayanan publik diserahkan kepada pihak swasta, sehingga customers memiliki beberapa pilihan. Di Kabupaten Sleman misalnya, sebagian pekerjaan dalam penyelenggaraan pelayanan penerbitan akta tanah, yaitu pengukuran dan pembuatan gambar situasi, diberikan kepada pihak swasta, yaitu surveyor bersertifikat yang bukan Pegawai Negeri Sipil. 14. Sistem Penggajian Berdasarkan Prestasi Di dalam sistem ini gaji yang diberikan kepada pegawai atau
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL
karyawan dikaitkan dengan prestasi kerjanya, khususnya dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian meskipun pangkat golongan dan masakerja pegawai sama, gaji yang diterimanya akan berbeda apabila prestasi kerjanya tidak sama. Secara praktis hal ini dapat dilakukan dengan memperhitungkan komponen atau prestasi kerja dalam perhitungan gaji seorang pegawai. Di Indonesia hal ini sudah lama dilakukan di Propinsi Gorontalo yang dikenal sebagai tunjangan kinerja. 15. Sistem kerja berdasarkan kontrak. Hampir sama dengan sistem penggajian berdasarkan prestasi, disini dikembangkan sistem insentif yang lebih adil. Artinya pegawai dipekerjakan dengan sistem kontrak sehingga dapat dilakukan evaluasi secara periodik. Apabila prestasi pegawai jelek, maka kontrak kerja pegawai tersebut tidak perlu diperpanjang. Dengan demikian pegawai akan terpacu untuk berprestasi secara maksimal dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Di Indonesia, yang sudah mulai dilakukan adalah kontrak jabatan, artinya untuk menduduki jabatan tertentu dibuat kontrak yang isinya adalah target pencapaian kinerja. Apabila target tersebut tidak dapat dipenuhi, maka yang bersangkutan dapat dicopot dari jabatan yang diembannya. Hal ini sudah bagus, akan tetapi akan lebih baik lagi apabila kontrak jabatan yang sudah mulai diperlakukan di beberapa daerah ditingkatkan menjadi pengangkatan pegawai berdasarkan kontrak. 16. Sistem evaluasi prestasi kerja 3600 Ide ini muncul karena adanya kelemahan yang melekat dalam sistem evaluasi kinerja pegawai, yang selama ini sangat ditentukan oleh atasan langsungnya. Dengan demikian seorang pegawai akan sangat loyal pada atasan langsungnya, tetapi mengabaikan customers yang harus dilayaninya. Dalam sistem penilaian 3600 ini masyarakat pengguna jasa pelayanan umum juga dilibatkan sebagai penilai prestasi pegawai. Dengan demikian diharapkan pegawai juga akan sangat memperhatikan kepentingan customers karena nilai prestasi kerjanya juga ditentukan oleh customers. Di Propinsi Jawa Tengah misalnya, selain DP3, penilaian pegawai yang menduduki jabatan struktural juga dilakukan dengan menggunakan instrumen lain yang penilaiannya tidak hanya dilakukan oleh atasan langsung. Diantara berbagai konsepsi yang dapat dipakai untuk menyeimbangkan posisi tawar antara providers dan customers tersebut di atas, yang paling populer dan paling banyak dipraktikan di berbagai
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
11
BAB 1
negara adalah privatisasi. Oleh karena itu di dalam sub bab berikut ini akan didiskusikan privatisasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 1.3 Privatisasi Pelayanan Publik
12
Konsepsi privatisasi pelayanan publik seringkali dipertukarkan dengan konsepsi kemitraan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kemitraan dan privatisasi itu tidak sama, akan tetapi ada juga pendapat yang menyatakan bahwa keduanya adalah sama. Di dalam ilmu sosial, perbedaan perumusan definisi seperti ini memang sering terjadi. Yang jelas dua konsep itu memang memiliki persamaan, karena keduanya menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik dapat dilakukan secara bersama-sama dalam suatu ikatan kerjasama antara organisasi publik, organisasi privat dan masyarakat. Oleh karena itu di dalam tulisan ini konsepsi privatisasi pelayanan publik dianggap sama dengan kemitraan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Savas9 menyatakan bahwa privatisasi pelayanan publik dilakukan karena adanya beberapa alasan sebagai berikut: 1. Alasan pragmatis, artinya privatisasi dilakukan sematamata karena Pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk menyelenggarakan pelayanan publik, sehingga mengajak swasta yang kebetulan lebih memiliki dana untuk bersamasama menyelenggarakan pelayanan publik. 2. Alasan ideologis, artinya privatisasi dilakukan dengan pertimbangan ideologis bahwa peran Pemerintah yang terlalu besar tidak sesuai dengan norma demokrasi. Peran Pemerintah harus dikurangi karena intervensi Pemerintah dalam kehidupan masyarakat akan mengancam kelangsungan demokrasi. Ada asumsi bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah cenderung inefisien karena terlalu bersifat politis. Sementara itu pengambilan keputusan yang dilakukan oleh privat akan lebih efisien karena bersifat apolitis. 3. Alasan komersial, artinya privatisasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa privat selalu lebih efisien dari segi biaya karena adanya kontrol yang kuat dari mekanisme pasar. 4. Alasan populis, artinya privatisasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa masyarakat perlu diberdayakan dengan cara diberi lebih banyak pilihan, dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokoknya. 5. Senada dengan Savas, Denhardt10 menyatakan bahwa tindakan Savas E.S., 1987. Privatization: The Key to Better Government, New Jersey: Chatham House Publishers, hal. 4-10. 10 Denhardt, Janet V. & R.B. Denhardt. 2003. The New Public Service Serving Not Steering. Amonk, New York: M.E. Sharpe, hal. 16 9
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL
privatisasi merupakan gerakan yang sudah menggejala dan tidak bisa dihindari; privatisasi merupakan sebuah ideologi yang mengasumsikan bahwa pelayanan publik akan lebih baik jika dilakukan oleh organisasi di luar pemerintah. Gerakan ini dipicu oleh adanya keterbatasan pengeluaran anggaran pemerintah dan juga ketidakmampuan organisasi pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik secara efisien. Savas11 mendefinisikan konsep privatisasi sebagai tindakan pengurangan peran organisasi pemerintah atau peningkatan peran organisasi non pemerintah dalam proses kegiatan atau pemilikan aset dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sementara itu Smyth12 mendefinisikan privatisasi sebagai tindakan yang dilakukan oleh suatu institusi untuk mendapatkan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh institusi lain dalam waktu yang bersamaan dan dalam atmosfer persaingan sehat. Jadi dalam pendefinisian privatisasi, Savas lebih menekankan pada aspek pengurangan peran Pemerintah, yang kemudian digantikan oleh peran swasta dan masyarakat. Sedangkan Smyth lebih menekankan pada aspek kompetisi yang seharusnya terjadi baik antar organisasi pemerintah, antara organisasi pemerintah dengan swasta, maupun antar organisasi swasta, dengan tanpa memperhatikan penambahan atau pengurangan peran Pemerintah. Dengan demikian definisi Smyth jauh lebih luas dan mencakup banyak kegiatan yang dapat memicu kompetisi. Sejalan dengan ini, kemudian Corbett13 menyatakan bahwa privatisasi penyelenggaraan pelayanan publik, mencakup beberapa kegiatan sebagai berikut: 1. Korporatisasi dan komersialisasi urusan pemerintah dan organisasi penyelenggara pelayanan publik 2. Peningkatan liberalisasi atau kompetisi perusahaan milik pemerintah 3. Contacting out atau outsourcing, yaitu pemberian kesempatan kepada swasta untuk mengerjakan sebagian pekerjaan atau sebagian dari pelayanan yang tadinya diselenggarakan oleh Pemerintah dengan sistem kontrak 4. Contracting in atau pemberian kesempataan kepada manajer dari sektor swasta untuk mengelola pelayanan pemerintah atau perusahaan milik pemerintah 5. Keharusan untuk melakukan tender dalam pengadaan barang dan jasa Privatisasi pelayanan publik sampai sekarang masih sangat populer, dan dianggap sebagai salah satu model penyelenggaraan pelayanan Opcit, hal. 88. Smyth, J.D. 1997. “Competition as a Meas of Procuring Public Service: Lessons for the UK from the US Experience” in The International Jurnal of Public Sector Management Vol. 10, hal. 24. 13 Corbett, D. Australian Public Sector Management, New South Wales: Allen & Unwin, 1996, hal. 78-79. 11
12
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
13
BAB 1
publik yang sangat efisien dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kelemahan dalam konsepsi privatisasi adalah bahwa privatisasi masih menganggap customers sebagai stakeholders. Penempatan customers sebagai stakeholders memang sudah lebih baik dibanding penempatan customers sebagai anggota masyarakat yang tidak memiliki posisi tawar dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akan tetapi perspektif atau paradigma yang lebih baru menyarankan bahwa customers seharusnya ditempatkan sebagai shareholders, bukannya sebagai stakeholders. 1.4 Customers Sebagai Shareholders: Perspektif Ideal Penyelenggaraan Pelayanan Publik
14
Kata stakeholders dan shareholders sepintas terdengar sama, akan tetapi maknanya jauh berbeda. Stakeholders kadang diterjemahkan sebagai petaruh, artinya orang atau pihak yang terpengaruh baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam penyelenggaraan pelayanan yang dilakukan oleh suatu organisasi. Oleh karena mereka selalu terpengaruh oleh organisasi penyelenggara pelayanan, maka aspirasi mereka harus diperhatikan. Sementara itu shareholders, biasa diterjemahkan sebagi pemegang saham. Artinya mereka adalah bagian dari pemilik organisasi yang menyelenggarakan pelayanan publik. Dengan demikian mereka ini tidak hanya harus diperhatikan aspirasinya, tapi sebagai bagian dari pemilik, mereka berhak untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan. Jelas bahwa posisi tawar shareholders jauh lebih tinggi dibanding posisi tawar stakeholders. Salah satu ilmuwan yang menyarankan bahwa customers harus dianggap sebagai shareholders adalah Tony Bovaird, yang menggunakan istilah co-production. Bovaird14 menjelaskan bahwa posisi masyarakat umum dan customers dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah sebagai co-producer. Bovaird15 menyatakan bahwa dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, ada dua tahapan penting, yaitu: (a) perencanaan atau perumusan desain pelayanan; dan (b) pelaksanaan atau implementasi desain tersebut. Berdasarkan peran customers dan providers (sebagai producer utama, sebagai co-producer atau consumer) dalam tahapan perencanaan dan tahapan implementasi rencana, Bovaird16 memetakan pola hubungan diantara mereka dalam penyelenggaraan pelayanan publik menjadi: 1. Penyelenggaraan pelayanan tradisional (customers tidak dilibatkan dalam implementasi) tapi proses perencanaannya mengikutsertakan customers sebagai co-producer. 2. Proses perencanaan tidak mengikutsertakan customers, tapi Bovaird, Tony. 2007. “Beyond Engagement and Participation: User and Community Coproduction of Public Services”, in Public Administration Review, Vol. 67 (Sep/Oct), hal. 846. 15 Ibid. hal. 847. 16 Ibid. hal. 848. 14
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL
implementasinya mengikutsertakan customers sebagai coproducer. 3. Customers bertindak sebagai co-producer, baik dalam proses perencanaan maupun dalam proses pengimplementasian rencana. 4. Customers bertindak sebagai co-producers dengan tanpa didahului proses perencanaan yang formal. 5. Customers bertindak sebagai producer utama atas rencana yang sepenuhnya dibuat oleh providers 6. Customers bertindak sebagai producer atas rencana yang dibuat secara bersama-sama antara providers dengan customers Untuk memudahkan pemahaman atas konsepsi hubungan providers dan customers tersebut, Bovaird17 telah membuat tabel derajat hubungan providers–customers sebagaimana nampak dalam tabel 1.2 di bawah ini. Tabel 1.2 Derajat Hubungan Providers – Customers Table 1 Range of Professional-User Relationships Professionals as sole service planners
Service user and/or community as coplanners
No professional input into service planning
Professionals as sole service deliverer
Traditional professional service provision
Traditional professional service provision with users and communities involved in planning and design (e.g., participatory budgeting in Porto Alegre)
N/A
Professionals and users/ communities as codeliverers
User codelivery of professionally designed services (e.g., Sure Start)
Full user/professional coproduction (e.g., Caterham Barracks Community Trust)
User/community codelivery of services with professionals, with little formal planning or design (e.g., Beacon Community Regeneration Partnership) Traditional self-organized community provision
Users/communities as sole deliverers
User/community delivery of professionally planned services (e.g., Villa Family)
User/community delivery of coplanned or codesigned services (e.g,, Tackley Village shop)
Sumber: Bovaird, Tony. 2007. “Beyond Engagement and Participation: User and Community Coproduction of Public Services”, in Public Administration Review, Vol. 67 (Sep/Oct), hal. 848
Penempatan customers sebagai shareholders ini akan dapat diterapkan dengan baik, apabila customers memang memiliki kompetensi untuk melakukan perencanaan atau perumusan desain pelayanan; dan melaksanakan atau mengimplementasikan desain tersebut. Jadi asumsinya customers memang memiliki kompetensi dan kesetaraan posisi tawar, sehingga dapat menjalankan perannya sebagai shareholders dengan baik. Sedangkan hal-hal di bawah ini, apabila dapat diwujudkan, maka akan dapat menjadi faktor pendukung penempatan customers sebagai 17
Ibid, hal. 848.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
15
BAB 1
16
shareholders. Sebaliknya, apabila hal-hal tersebut tidak dapat dipenuhi, maka justru akan menjadi faktor penghambat bagi penempatan customers sebagai shareholders. Hal-hal tersebut adalah: 1. Kuatnya kehendak politik pemerintah; 2. Berlakunya supremasi hukum; 3. Adanya sistem reward and punishment yang adil; 4. Adanya dukungan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa penempatan customer sebagai shareholders ini adalah perspektif penyelenggaraan pelayanan publik yang ideal ditinjau dari sudut pandang hubungan antara customers dan providers. Penerapan perspektif baru ini tentu saja tidak menghapuskan teknik, metoda dan hal-hal lain yang sudah lama dipelajari terkait penyelenggaraan pelayanan publik. Hal-hal lain ini misalnya adalah prinisip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81/1993 yang kemudian diperbaharui dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/2003, yaitu18: 1. Kesederhanaan Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan 2. Kejelasan a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian; keluhan/ persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayaran. 3. Kepastian Waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun wakrtu yang telah ditentukan. 4. Akurasi Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah. 5. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. 6. Tanggung Jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik
18
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK IDEAL
dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. 7. Kelengkapan Sarana dan Prasarana Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika). 8. Kemudahan Akses Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika. 9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas. 10. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain. Penerapan perspektif customers sebagai shareholders dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia sebenarnya sudah mulai di coba untuk dikembangkan di Indonesia. Dalam beberapa contoh mekanisme penyeimbang posisi tawar antara customers dengan providers di sub bab terdahulu misalnya, mengindikasikan bahwa ada beberapa daerah yang sudah mulai mencoba menempatkan customers sebagai providers. Secara nasional, juga sudah ada beberapa peraturan perundangan yang mencoba memberdayakan customers dan menyeimbangkan posisi tawar antara providers dengan customers meskipun masih belum cukup komprehensif dan sistematis. Terkait dengan penanggulangan korupsi dalam penyelenggaraan pelayanan publik misalnya, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi telah mengamanatkan kepada seluruh jajaran pemerintahan untuk memerangi korupsi. Inpres tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan perumusan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009 sebagai Living Document yang disusun oleh 92 instansi Pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi. Ini adalah contoh kongkret penerapan customers sebagai shareholders dalam proses perencanaan atau perumusan desain pelayanan publik. Lebih detail tentang tinjauan peraturan perundangan akan dituliskan di dalam bab 2 buku ini. 1.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Sesuai dengan ide good governance, penyelenggaraan pelayanan publik juga harus menerapkan prinsip-prinsip good governance. Dengan demikian akan dapat diciptakan pelayanan publik yang berkualitas.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
17
BAB 1
Tinjauan teori mengindikasikan bahwa kualitas pelayanan publik memiliki hubungan timbal balik dengan praktik korupsi. Korupsi ini adalah merupakan salah satu bentuk mal-administrasi. Perspektif pelayanan publik yang ideal menempatkan customers bukan hanya sebagai stakeholders, tapi juga sebagai shareholders yang harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi atas keputusan tersebut. CRC sebagai metode evaluasi pelayanan publik, saat ini dianggap sebagai metode yang dapat memastikan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian sudah sepantasnya apabila CRC direkomendasikan untuk diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di daerah sehingga kualitas pelayanan publik di daerah dapat ditingkatkan, dan korupsi dapat ditanggulangi.
18
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI TERPADU
BAB 2 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI TERPADU MELALUI RENCANA AKSI DAERAH PEMBERANTASAN KORUPSI (RAD-PK) DAN PELIBATAN PUBLIK DALAM IMPLEMENTASINYA
2.1 Latar Belakang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang dikeluarkan pada tanggal 9 Desember Tahun 2004 merupakan bentuk komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memimpin secara langsung pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari komitmen tersebut, Presiden menginstruksikan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
19
BAB 2
20
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Meneg PPN/Kepala Bappenas) untuk menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) 2004-2009 sebagaimana tertuang di dalam diktum kesebelas butir 319. Berdasarkan Inpres tersebut, Meneg PPN/Kepala Bappenas segera mengambil tindakan yang diperlukan. Dalam kurun waktu kurang lebih 3 (tiga) bulan, mulai tanggal 23 Desember 2004 sampai dengan tanggal 4 Januari 2005, Meneg PPN/Kepala Bappenas, di kantor Bappenas, secara langsung memimpin rapat yang diikuti berbagai komponen pembangunan. Sesuai dengan amanah Inpres Nomor 5 Tahun 2004, rapat yang dilaksanakan hampir setiap hari tersebut dilaksanakan dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait pemberantasan korupsi yang meliputi: 1. Sembilan puluh dua Unit Kerja Eselon I yang berasal dari 18 Kementerian; 2. Empat belas Lembaga Pemerintah Non Departemen; 3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); 4. Komisi Ombudsman Nasional (KON); 5. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK); 6. Organisasi Masyarakat Sipil (NGO) yang diwakili oleh Indonesia Procurement Watch (IPW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan PSHK), serta Lembaga Independensi untuk Peradilan (Leip). Pada tanggal 11 Februari 2005, draft RAN PK kemudian dipresentasikan di depan Sidang Kabinet oleh Meneg PPN/Kepala Bappenas. Sebagai respons atas presentasi draft tersebut, Presiden menginstruksikan agar semua kementerian/lembaga, gubernur/bupati/ walikota untuk melaksanakan RAN PK sebagai upaya percepatan pemberantasan korupsi di lingkungan instansi/lembaga masing-masing. Di dalam Instruksi Presiden tersebut disebutkan bahwa, Bappenas mempunyai tugas mengkoordinasikan penyusunan RAN PK. Sementara itu semua rencana aksi yang tertuang di dalam RAN PK seluruhnya adalah merupakan rencana yang disampaikan oleh unit-unit pada kementerian/ lembaga yang perwakilannya tergabung dalam Tim Penyusun RAN PK yang dibentuk dengan SK Meneg PPN/Kepala Bappenas Nomor Kep.219/M.PPN/12/2004 tanggal 17 Desember 2004 tentang Pembentukan Penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) Tahun 2004-2009. Dengan demikian, RAN PK dapat dianggap sebagai komitmen kementerian/lembaga dalam upaya pemberantasan korupsi. Sebagai konskuensinya, sebagaimana diatur di dalam mekanisme monitoring dan evaluasi RAN PK, kementrian/lembaga yang telah menuangkan rencananya dalam RAN PK, perlu membuat rencana aksi yang lebih detail sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) unit-unit di dalamnya, dengan dikoordinasikan oleh Inspektorat Jenderal. Lihat Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
19
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI TERPADU
Tindak lanjut Sidang Kabinet yang lainnya adalah dikirimkannya surat Meneg PPN/Kepala Bappenas pada bulan Februari 2005 kepada seluruh Menteri/Kepala LPND, Gubernur/Bupati/Walikota untuk mengintegrasikan rencana-rencana aksi penanggulangan korupsi ke dalam rencana kerja anggaran kementerian/lembaga (RKAKL), rencana kerja pemerintah (RKP), rencana kerja pemerintah daerah (RKPD), serta rencana kerja anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD). Surat Meneg PPN/Kepala Bappenas tersebut juga mengamanahkan agar pelaksanaan RAN PK dilaksanakan bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian diharapkan RAN PK benar-benar diposisikan sebagai rencana aksi bersama seluruh komponen bangsa untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, sudah pada tempatnya apabila RAN PK dianggap sebagai cerminan political will semua komponen bangsa dalam upaya pemberantasan korupsi. Sejalan dengan ini, Bambang Widjoyanto sebagai salah satu wakil dari komponen masyarakat, mengatakan bahwa tersusunnya RAN PK dapat dianggap sebagai suatu peristiwa langka yang bersejarah, karena Pemerintah dan wakil kelompok masyarakat secara bersama-sama telah berhasil menyusun dan menyepakati langkah-langkah yang akan ditempuh bersama dalam memberantas korupsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masingmasing. 2.2 Tugas, Struktur dan Keanggotaan Team RAN PK Tim RAN-PK mempunyai tugas untuk melakukan berbagai hal sebagai berikut: 1. menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009; 2. melakukan sosialisasi dan konsultasi publik terhadap konsep RAN Pemberantasan Korupsi 2004-2009 beserta mekanisme pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi-nya; 3. menyampaikan laporan akhir berupa konsep rumusan RAN Pemberantasan Korupsi 2004-2009 beserta mekanisme pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi serta pelaporannya kepada Meneg PPN/Kepala Bappenas. Dalam pelaksanaan tugasnya, secara organisasional, Tim Penyusun RAN PK Tahun 2004-2009 dibagi menjadi 3 bidang, yaitu: (a) Bidang Pencegahan Korupsi, (b) Bidang Penindakan Tipikor dan Penguatan Sistem Penegakan Hukum, serta (c) Bidang Monitoring dan Evaluasi. Sedangkan anggota tim RAN PK meliputi: 1. Kantor Meneg PPN/Bappenas, 2. Komisi Pemberantasan Korupsi, 3. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara 4. Departemen Agama,
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
21
BAB 2
22
5. Departemen Dalam Negeri, 6. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 7. Sekretariat Negara, 8. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 9. Departemen Pekerjaan Umum, 10. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 11. Departemen Luar Negeri, 12. Kejaksaan Agung, 13. Kepolisian Republik Indonesia, 14. Departemen Kehutanan, 15. Sekretariat Kabinet, 16. Departemen Perhubungan, 17. Departemen Pertahanan, 18. Departemen Kelautan dan Perikanan, 19. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 20. Departemen Keuangan, 21. Departemen Pendidikan Nasional, 22. Kantor Meneg BUMN, 23. Badan Intelijen Negara, 24. Kantor Meneg Komunikasi dan Informasi, 25. Indonesian Corruption Watch, 26. Masyarakat Transparansi Indonesia, 27. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28. Asosiasi Advokat Indonesia, 29. Transparansi Internasional Indonesia, 30. Indonesian Procurement Watch, 31. Government Watch, 32. Komite Independen Pemantau Pemilu, 33. Good Governance Information Center, 34. Partnership for Governance Reform in Indonesia, 35. Indonesian Police Watch, 36. Lembaga Independensi untuk Peradilan, 37. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 38. Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, dan 39. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Untuk memperkuat efektifitas pelaksanaan RAN PK, di tahun 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005. Di dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 ini antara lain dinyatakan bahwa RAN PK harus diintegrasikan ke dalam: (a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); dan (b) Rencana Kerja Pemerintah pada tingkat Nasional dan daerah. Hal ini berarti bahwa, pelaksanaan RAN PK menjadi tanggungjawab semua instansi atau lembaga pemerintah sesuai dengan lingkup tugasnya masing-masing, baik di tingkat Pemerintah Nasional, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI TERPADU
2.3 Definisi, Fungsi dan Sosialisasi RAN PK RAN PK dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah kongkret yang akan dilakukan oleh pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mempercepat perbaikan/penyempurnaan kebijakan dan/atau kelembagaan di bidang pelayanan publik yang bersih dan bebas dari korupsi. Sedangkan fungsi RAN PK adalah sebagai: 1. Pedoman bagi Departemen/Lembaga/Pemda dalam menyusun Rencana Aksi untuk mempercepat perbaikan/penyempurnaan pelayanan publik yang bersih dan transparan; 2. Acuan untuk mengintegrasikan kegiatan pusat dan daerah di bidang pelayanan publik dalam rangka pencegahan terjadinya korupsi; 3. Memberikan informasi kepada publik tentang upaya-upaya kongkret yang telah dilakukan di bidang pelayanan publik. Definisi dan fungsi dari RAN PK tersebut di atas pada intinya menekankan pentingnya upaya pencegahan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama antara berbagai pemangku kepentingan dan lembaga swadaya masyarakat. Fokus RAN PK adalah untuk melaksanakan pemenuhan ketentuan Inpres Nomor 5 Tahun 2004, terutama perbaikan atau penyempurnaan kinerja pelayanan publik yang selama ini masih dikeluhkan oleh sebagian besar masyarakat. Adapun keluhan masyarakat terkait kinerja pelayanan publik mencakup kemudahan akses, transparansi dan keterbukaan penyelenggaraan pelayanan sehingga praktik-praktik penyimpangan yang berpotensi menyebabkan korupsi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Untuk memastikan agar RAN PK 2004-2009 dapat dipahami secara komprehensif, maka diperlukan komunikasi dialogis antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dilakukan konsultasi publik dalam forum terbuka. Di dalam forum konsultasi publik yang telah dilakukan untuk pertama kalinya, beberapa instansi/lembaga pelaksana RAN PK telah diberi prioritas utama untuk menyampaikan reformasi pelayanan publik yang telah dilakukannya, terutama dalam hal peningkatan akses, transparansi dan keterbukaan. Instansi atau lembaga tersebut adalah: 1. Badan Pertanahan Nasional (SPOP), 2. Departemen Dalam Negeri (catatan sipil dan kependudukan); 3. Departemen Keuangan (pajak) Di dalam konsultasi publik tersebut telah dilakukan dialog langsung dengan penerima manfaat (pemerintah daerah dan masyarakat) mengenai langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi. Di dalam forum itu juga didiskusikan cara untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik pada lingkup tugas masing-masing, sebagaimana diinstruksikan di dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2004.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
23
BAB 2
24
Di tingkat nasional, 92 unit Eselon I dari 18 Kementerian dan 14 Lembaga Pemerintah Non Departemen, sejak awal telah mengikuti proses penyusunan RAN PK. Demikian juga dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Organisasi Masyarakat Sipil. Sementara itu di tingkat Propinsi dan kabupaten/kota belum banyak pejabat atau anggota masyarakat yang terlibat dalam proses penyusunan RAN PK. Oleh karena itu, RAN PK perlu disosialiasikan di tingkat propinsi dan kabupaten/ kota dalam bentuk Konsultasi dan Kampanye Publik RAN PK. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan pemahaman terhadap RAN PK di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, diharapkan sesegera mungkin penjabaran RAN PK di daerah dapat dilakukan secara cepat oleh pemerintah daerah bersama dengan komponen masyarakat setempat, sesuai dengan isu rawan korupsi yang berkembang, yang perlu dituangkan dalam rencana aksi pencegahan korupsi. Di tahun 2005, enam propinsi dijadikan sebagai target awal pelaksanaan Konsultasi dan Kampanye Publik RAN PK 2004-2009. Keenam propinsi tersebut adalah: Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan dan Jawa Timur. Rekomendasi umum yang dihasilkan dari kegiatan Konsultasi dan Kampanye Publik tersebut adalah: (a) perlunya pembuatan dan pensosialisasian pedoman-pedoman baku serta ukuran waktu dalam proses pemberian ijin, khususnya di bidang pertanahan; (b) perlu dibentuk suatu sistem pelayanan satu atap sebagai salah satu upaya kunci pencegahan korupsi; (c) maksimalisasi pelaksanaan Keppres No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui sistem pelayanan satu atap; dan (d) penerapan E-procurement, e-budgeting, dan e-monitoring/control yang akuntabel secara merata di semua instansi, di propinsi dan kabupaten/ kota. Rekomendasi yang telah dirumuskan berdasarkan aspirasi masyarakat tersebut, seharusnya direspon oleh instansi atau lembaga pemerintah daerah terkait. Respon bisa diwujudkan dalam bentuk upaya perbaikan prosedur, penyempurnaan peraturan atau peningkatan koordinasi antar instansi atau lembaga. Tentu saja hal ini sangat tergantung pada komitmen aparat penyelenggara negara dalam mendukung upaya perbaikan pelayanan publik sebagai bagian dari upaya pencegahan korupsi. 2.4. Latar Belakang Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) dan Komitmen Pemerintah Daerah serta Masyarakat Di Daerah Dalam perkembangannya Bappenas bekerjasama dengan Kemitraan sepakat untuk lebih memantapkan mekanisme pemahaman dalam rangka menjabarkan RAN PK khususnya di daerah, ke dalam suatu rencana aksi daerah pemberantasan korupsi atau yang lebih sering disebut dengan
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI TERPADU
RAD PK. Langkah tersebut ternyata merupakan titik awal bergulirnya upaya-upaya pencegahan korupsi yang dilakukan oleh lembaga atau unit pelaksana di tingkat propinsi dan kabupaten/kota secara kolaboratif dengan lembaga swadaya masyarakat. RAD PK tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam rencana kerja pemerintah daerah (RKPD), dan rencana kerja anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD). Hal ini sejalan dengan isi surat Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden setelah RAN PK di presentasikan di dalam Sidang Kabinet. Inpres Nomor 5 Tahun 2004 pada diktum keempat telah mengamanatkan agar para pembantu presiden mulai dari tingkat pusat hingga daerah: “meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik baik dalam bentuk jasa ataupun perizinan melalui transparansi dan standarisasi pelayanan yang meliputi persyaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pungutan-pungutan liar”. Secara teoritis amanat tersebut akan dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik secara signifikan. Sayangnya, amanat tersebut belum diimplementasikan secara penuh, sehingga manfaatnya belum dirasakan masyarakat banyak. Beberapa unit kerja dan pemerintah daerah memang telah melakukan perbaikan-perbaikan secara internal. Namun gerakan ini masih bersifat sporadis dan parsial, karena itu perlu digerakkan secara progresif oleh para penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah. Beberapa instansi atau lembaga dan pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota memang telah menjabarkan RAN PK dan RAD PK sesuai dengan lingkup kewenangannya masing-masing. Penjabaran tersebut diwujudkan dalam bentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Sayangnya, perbandingan antara lembaga yang telah melakukan penjabaran RAN PK atau RAD PK dengan jumlah kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah yang ada di Indonesia, jumlah dan persentasenya masih terlalu kecil. Sampai dengan tahun 2008, dari 16 propinsi dan 6 kabupaten/kota yang difasilitasi untuk penyusunan RAD PK, baru 1 propinsi dan 3 kabupaten/kota yang telah mengakomodasikan RAD PK ke dalam Peraturan Kepala Daerah. Lebih jauh lagi, sangat sulit untuk diketahui secara spesifik apakah pelaksanaan RAN PK dan RAD PK benar-benar telah dilaksanakan sehingga masyarakat benar-benar memperoleh manfaat dengan dilaksanakannya rencana aksi tersebut. Ini merupakan tantangan yang perlu terus menerus ditindaklanjuti dengan kesungguhan, kesadaran dan komitmen bersama semua komponen masyarakat.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
25
BAB 2
26
Proses untuk lebih memantapkan komitmen pemerintah daerah dalam melaksanakan percepatan pemberantasan korupsi melalui rencana aksi daerah, selama ini diupayakan melalui mekanisme bottom-up dalam forum preliminary FGD. Ini adalah forum terbatas antar instansi pusat, pemerintah daerah dan perwakilan LSM. Sedangkan pelaksanaan FGD yang selanjutnya dilakukan dengan melibatkan peserta yang lebih banyak. Di sini Bappenas bersama dengan instansi atau lembaga lain seperti KPK, Menpan dan beberapa instansi pelaksana RAN PK lainnya, lebih berperan sebagai fasilitator, yang membantu pemerintah dan komponen masyarakat di daerah dalam memfokuskan isu rawan korupsi yang berkembang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan FGD penyusunan RAD PK merupakan pencerminan tindak lanjut komitmen Pemda, swasta dan LSM di masing-masing propinsi untuk melaksanakan RAN PK. Hal ini juga menunjukkan kuatnya komitmen untuk mengakomodasikan langkah-langkah perbaikan untuk menanggulangi berbagai permasalahan pelayanan publik rawan korupsi sesuai dengan permasalahan yang telah dipetakan sebelumnya di dalam forum preliminary FGD. Artinya proses yang partisipatif dan kuatnya kesadaran serta kemauan bersama antar komponen masyarakat di daerah dalam penyusunan RAD PK, mencerminkan kuatnya komitmen bersama untuk memberantas korupsi. Preliminary FGD dan FGD lanjutan juga dilengkapi dengan media campaign dan editors meeting yang dihadiri oleh perwakilan dari instansi pusat penyusun dan pelaksana RAN PK, seperti Bappenas, KPK, Ditjen Pajak, Ditlantas POLRI, BPN, BKPM, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik, perwakilan pemerintah daerah serta perwakilan dari berbagai media di masing-masing propinsi. Kegiatan lainnya yang dilakukan adalah dialog radio interaktif di salah satu stasiun radio atau televisi lokal dengan pembicara dari Bappenas, Kemitraan, KPK dan Bappeda propinsi setempat, yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan konsultasi publik dan penyusunan RAD PK. 2.5 Kendala, Hambatan dan Metoda Pelaksanaan RAD PK Sampai dengan pertengahan tahun 2008, perjuangan untuk menjabarkan RAN PK ke dalam RAD PK tidaklah mudah. Minimnya pemahaman tentang RAN PK diikuti dengan masih kecilnya komitmen pemerintah daerah untuk menyusun RAD PK pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. RAN PK baru dipahami sebagai sebuah rencana belaka yang masih sulit untuk dikonkritkan sebagai sebuah rencana aksi daerah yang dapat didanai dengan APBD. 2. Kekhawatiran akan dianggap sebagai suatu penyimpangan yang mengarah kepada korupsi, apabila daerah secara langsung berinisiatif mengakomodasi ke dalam rencana anggaran. 3. Setelah berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri,
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI TERPADU
telah diupayakan pemberian payung hukum dalam bentuk Permendagri tentang Pelaksanaan APBD. Meskipun demikian, komitmen daerah dalam menyusun RAD PK belum cukup kuat dan cenderung masih bersifat ad-hoc sehingga belum dapat dijamin keberlangsungannya. Hal ini terjadi karena, RAD PK baru digunakan sebagai kendaraan politik untuk kepentingan kampanye dalam pilkada gubernur/bupati/walikota. Akan tetapi hal ini harus dilihat secara positif, karena secara tidak langsung publik telah mengetahui adanya suatu rencana aksi pemberantasan korupsi yang akan dilaksanakan oleh caloncalon gubernur/bupati walikota. Sebagai tindaklanjut tentunya adalah komitmen dalam pelaksanaannya, sejauh mana visi gubernur/bupati/walikota tidak mengartikan pelaksanaan RAD PK hanya sebatas suatu pelaksanaan kegiatan yang benar-benar dilihat sebagai suatu proses yang berkelanjutan (sustainable). Sementara itu beberapa kelemahan yang masih melekat terkait minimnya pemahaman tentang RAN PK dan kecilnya komitmen pemerintah daerah untuk menyusun RAD PK antara lain20: 1. RAD PK baru akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat, jika strategi tersebut secara formal menjadi produk hukum daerah. Belum seluruh rumusan RAD PK dipayungi oleh produk hukum daerah. Akibatnya, strategi dalam RAD PK ini seringkali belum mampu mengikat eksekutif maupun legislatif daerah untuk melaksanakan program dan praktek manajemen yang bebas korupsi. 2. Strategi pemberantasan korupsi dalam RAD PK terkait erat dengan proses perencanaan dan penganggaran. Hal ini terjadi karena hampir keseluruhan strategi di daerah dikaitkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan diasumsikan akan dibiayai oleh APBD. Akan tetapi, pelaksanaan RAD PK ini belum diintegrasikan dengan perencanaan dan penganggaran yang formal. Hal ini mengakibatkan beberapa hal berikut: a) Kebutuhan untuk menata penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana tertuang dalam dokumen RAD PK belum dijadikan dasar perencanaan di daerah. Hal ini terbukti dengan tidak disediakan dan tidak dipresentasikannya dokumen RAD-PK dalam berbagai forum perencanaan dan penganggaran. b) Kebutuhan untuk menata penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana tertuang dalam dokumen RAD PK Entin Sriani Muslim, Seri Kertas Kerja Model Pelibatan Masyarakat Sipil Dalam Perumusan, Pelaksanaan, dan Pemantauan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) 20
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
27
BAB 2
28
belum menjadi usulan warga yang disampaikan dalam forum-forum perencanaan dan penganggaran. Akibatnya, program RAD PK tidak terdokumentasikan dalam dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran, dan tidak ternegosiasikan dalam proses politik perumusan APBD. c) Dokumen RAD PK belum menjadi dokumen yang mempengaruhi mekanisme monitoring dan evaluasi yang terlembaga di daerah. Mekanisme monitoring dan evaluasi program pembangunan di daerah yang riil dan terlembaga di daerah belum mengintegrasikan dokumen RAD PK dalam memantau pelaksanaan program pembangunan di daerah. Belajar dari pengalaman tersebut di atas, Bappenas bekerjasama dengan Kemitraan (Partnership for Governance Reform in Indonesia) sepakat untuk mengubah metoda pelaksanaan RAD PK di lokasi percontohan pada beberapa propinsi dan beberapa kabupaten yang telah melakukan konsultasi publik dan sosialisasi RAN PK, dalam proses penyusunan RAD PK. Metoda yang dilakukan adalah untuk memastikan apakah prioritas RAD PK yang telah ditetapkan pemerintah daerah telah diketahui dan dipahami dengan baik oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Di sini ditelaah, apakah: (a) masyarakat benar-benar telah memahami dan mengetahui mekanisme penanganan keluhan (complaint mechanism); (b) apakah masyarakat tahu apa yang harus dilakukan apabila mereka masih mengalami praktik pungutan liar; dan (c) apakah keluhan telah di respon dengan baik oleh aparat terkait. Sebagai contoh, dalam kasus peningkatan pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Di sini dicoba untuk dikaji: (a) sejauh mana masyarakat dapat merasakan secara personal bahwa tidak ada pungutan: (b) ketepatan waktu sesuai ketentuan dalam pembuatan KTP melalui laporan yang dibuat oleh anggota masyarakat yang langsung terlibat dalam pembuatan KTP. Metoda ini disebut sebagai Kartu Pelaporan Masyarakat (citizen report card/CRC) yang merupakan upaya untuk meningkatkan mekanisme partisipasi publik. Inti dari CRC tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran aparat pelayan publik bahwa tugas mereka adalah untuk melayani rakyat, bukannya minta dilayani. Beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari hasil pelaksanaan survei melalui metoda CRC adalah sebagai berikut: 1. Aparat pelayan publik sebagai bagian dari alat perlengkapan pemerintah harus mempunyai kesadaran bahwa mereka merupakan personal pilihan dari sekian juta bangsa Indonesia yang memperoleh amanah untuk melaksanakan tugas melayani masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Masih belum memuaskannya pelayanan publik karena masih maraknya pungutan-pungutan liar dan perilaku korup,
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI TERPADU
harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pemberian penghargaan dan hukuman (reward and punishment) yang sesuai kepada setiap aparat pelayan publik. Langkah-langkah tersebut tentunya harus dituangkan dalam suatu mekanisme rencana yang sistematis, sehingga jelas tahapan penyelesaiannya. salah satu instrumen yang dapat dipakai adalah melalui suatu Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi. Walaupun hal tersebut tidak mudah, namun beberapa daerah sebagai percontohan telah ditetapkan melalui proses pelibatan berbagai komponen pemerintah dan masyarakat yang cukup partisipatif. Adapun beberapa lokasi percontohan yang ditetapkan adalah: 1. Kota Magelang yang telah menetapkan RAD PK Kota Magelang ke dalam Peraturan Walikota Magelang Nomor 33 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Korupsi Kota Magelang Tahun 2007-2010. Peraturan Walikota ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Walikota Nomor 13 Tahun 2008 tentang Rencana Tindak Lanjut RAD PK Tahun 2007-2010; 2. Kabupaten Pemalang dengan Peraturan Bupati Nomor 67 Tahun 2006 tentang Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Korupsi Kabupaten Pemalang Tahun 2007-2011; dan 3. Kabupaten Jembrana dengan Peraturan Bupati Jembrana Nomor 14 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Korupsi Kabupaten Jembrana 2007-2010. Penentuan lokasi percontohan didasarkan atas pertimbangan kesiapan masing-masing pemerintah daerah untuk secara terbuka dan transparan menerima masukan secara langsung dari masyarakat terkait manajemen pelayanan publik yang telah ditetapkan dalam prioritas RAD PK bersama dengan lembaga swadaya masyarakat, dalam bentuk kartu pelaporan masyarakat (citizen report card). Masing-masing daerah telah menetapkan jenis pelayanan publik tertentu yang dituliskan di dalam RAD PK untuk kemudian diuji-cobakan ke dalam metoda kartu pelaporan masyarakat. Pemerintah Kota Magelang misalnya, menetapkan uji coba pelayanan publik bidang perizinan, yaitu izin mendirikan bangunan (IMB). Pemerintah Kota Denpasar menetapkan pelayanan KTP. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Jembrana memilih pelayanan publik di bidang pertanahan. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Indramayu juga memilih pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB) sebagai jenis pelayanan publik yang diujicoba dengan mempergunakan metoda CRC. Uraian yang lebih terperinci terkait pelaksanaan CRC di lima kabupaten akan dituliskan pada bab-bab selanjutnya. Ini adalah pengalaman berharga yang dapat diambil sebagai pelajaran tentang kolaborasi antara pemerintah dengan semua komponen masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi publik dalam rangka pencegahan korupsi.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
29
BAB 2
2.6 Pelibatan Masyarakat Sipil dalam Perumusan, Pelaksanaan, Monitoring dan Evaluasi RAD PK
30
Dalam sistem manajemen yang baik, fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi haruslah merupakan suatu sistem yang terintegrasi dan tidak berdiri sendiri. Hal ini dimaksudkan agar fungsi-fungsi tersebut dapat menjadi instrumen yang efektif dalam upaya pencapaian tujuan organisasi, sekaligus untuk memastikan bahwa pengelolaan organisasi telah sesuai dengan perencanaan yang telah disusun sebelumnya. Jika salah satu fungsi manajemen tadi tidak berjalan, misalnya fungsi pengawasannya, maka dapat diperkirakan bahwa organisasi sedang menghadapi suatu masalah serius. Pelibatan masyarakat sipil sebagai salah satu stakeholders terpenting dalam pemberantasan korupsi mutlak diperlukan, mulai dari tahap perencanaan hingga monitoring dan evaluasi. Keterlibatan masyarakat sipil diperlukan untuk mendorong efektivitas RAD PK dalam pemberantasan korupsi di daerah. Peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi RAD-PK akan memperbesar terinternalisasinya strategi pemberantasan korupsi dalam penyelenggaraan pelayanan publik ke dalam keputusan politik dan kebijakan riil pemerintah daerah. Bentuk mekanisme pelibatan masyarakat dapat dilakukan secara sederhana sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Beberapa contoh bentuk pelibatan masyarakat antara lain adalah sebagai berikut: 1. Memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam periode waktu yang ditentukan untuk memberikan tanggapan terhadap RAD PK yang disusun oleh pemerintah daerah dengan perwakilan masyarakat yang terbatas baik dalam media cetak, maupun elektronik seperti TV dan Radio lokal; 2. Melakukan survei sederhana kepada masyarakat terkait konsep RAD PK yang telah disusun untuk memperoleh konfirmasi apakah rencana aksi tersebut merupakan hal yang sangat prioritas bagi masyarakat untuk secepatnya dilaksanakan atau tidak; dan 3. mengkonfirmasikan kembali kepada masyarakat terhadap perubahan-perubahan yang telah dilakukan pasca tanggapan dari masyarakat dengan penjelasan yang transparan tentang tanggapan yang diterima dan telah ditindaklanjuti, serta tanggapan yang belum dapat diakomodasikan. 2.7 Keberlanjutan RAD PK Terjadinya praktik korupsi yang telah berkembang di setiap lini kehidupan penyelenggaraan negara dan di segenap send-sendi kehidupan masyarakat, seharusnya dapat memberikan kesadaran bagi semua
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI TERPADU
komponen bangsa Indonesia bahwa komitmen dan kebersamaan serta kesadaran untuk memberantas korupsi bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah semata, namun menjadi kewajiban seluruh masyarakat Indonesia. Sejauh ini, periode RAN PK memang sejalan dengan periode RPJMN, yaitu lima tahun (2004-2009). Akan tetapi, setelah diratifikasinya UNCAC dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, maka tidak ada alasan lagi untuk membatasi upaya pemberantasan korupsi sebatas periode kepemimpinan presiden. Hal ini terjadi karena selama Indonesia masih belum memenuhi ketentuan yang diatur di dalam UNCAC, maka upaya pemberantasan korupsi secara sistemik harus terus berlangsung. Demikian pula di daerah, sejalan dengan pemenuhan UNCAC, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk tidak melakukan langkah-langkah pemberantasan korupsi. Karena sifatnya yang kompleks, korupsi di daerah layak dan perlu dikaji lebih lanjut dengan pendekatan interdisipliner dan multidimensional. Dengan demikian akan dapat ditemukan jalan terbaik bagi upaya penanggulangannya. Implementasi cara-cara penanggulangannya harus disesuaikan dengan karakteristik kondisi politik ekonomi maupun sosial budaya dari masing-masing daerah. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan suatu daerah dalam pemberantasan korupsi akan berbeda dengan daerah yang lainnya, mengingat karakteristik praktik korupsi yang terjadi di daerah kemungkinan juga berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Sebagai sebuah rencana aksi preventif yang berkelanjutan dalam rangka pemberantasan korupsi, perumusan RAD PK sesungguhnya memiliki banyak nilai strategis. Nilai-nilai strategis ini antara lain adalah21: 1. Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan tugas utama pemerintah daerah. Pembenahan kinerja penyelenggaraan pelayanan publik memiliki potensi yang sangat besar untuk mengurangi secara signifikan praktek korupsi di daerah. 2. Strategi pemberantasan korupsi dalam RAD PK saat ini lebih banyak mengarah pada pembenahan struktur, manajemen, dan budaya kelembagaan pemerintah daerah. Dengan demikian, pemberantasan korupsi sangat potensial untuk diinternalisasikan ke dalam budaya, manajemen, dan struktur kelembagaan pemerintah daerah. Ini merupakan strategi yang lebih berkelanjutan dibanding strategi-strategi represif dari pihak luar pemerintah daerah. 3. Pembenahan struktur, manajemen, dan budaya kelembagaan pemerintah daerah guna memberantas korupsi, mensyaratkan adanya instrumen dan mekanisme kelembagaan pendukung. Oleh karenanya RAD PK yang berupaya membenahi struktur, manajemen, dan budaya kelembagaan pemerintah daerah 21
Ibid.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
31
BAB 2
32
sangat potensial untuk melahirkan berbagai instrumen dan mekanisme kelembagaan yang inovatif. Instrumen inovatif yang dimaksud misalnya adalah instrumen untuk mengidentifikasi unit cost pelayanan publik, dan instrumen untuk menampung keluhan publik. 4. Perencanaan RAD PK yang tepat dan jaminan penganggaran yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku merupakan hal-hal yang akan mendorong pemerintah daerah untuk lebih bersemangat lagi melakukan pemberantasan korupsi, dan terutama upaya pencegahannya. Namun perlu dipahami oleh semua stakeholder, terutama pemerintah daerah, bahwa RAD PK bukanlah sebuah kegiatan proyek yang hanya berjalan sebatas periode tahun anggaran. RAD PK merupakan rencana aksi yang lambat laun akan terinternalisasi dalam setiap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing unit pemerintahan. Hal ini akan berlangsung secara lebih baik dan lebih cepat apabila dilakukan kemitraan dengan lembaga non pemerintah terkait yang berperan untuk memberikan berbagai input apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan RAD PK. 5. Paradigma baru peran lembaga swadaya masyarakat pada umumnya adalah orientasi yang lebih mengutamakan kemitraan bersama pemerintah, namun dengan tetap mempertahankan sikap kritis yang konstruktif apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan. Hal tersebut tentunya harus dianggap sebagai suatu langkah positif terutama oleh pemerintah baik di pusat dan daerah. Bagaimanapun pemerintah membutuhkan mitra untuk mengingatkan satu dengan lainnya, baik dengan lembaga formal seperti lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif, maupun dengan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi-asosiasi profesi, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat, dan lain sebagainya. Mengingat luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berbagai suku bangsa dan beribu-ribu pulau, maka tugas besar yang diemban oleh negara umumnya dan pemerintah khususnya tentunya akan lebih ringan apabila semua komponen saling bahu membahu mendukung mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. 6. Membangun suatu mekanisme keluhan bagi publik (public complaint mechanism) yang komprehensif terkait dengan upaya pencegahan korupsi pada akhirnya menjadi suatu keharusan bagi setiap unit pelayanan publik di Indonesia. Walaupun hanya menjadi salah satu dari sekian penyebab terjadinya penyimpangan dalam bentuk korupsi, namun pelayanan publik
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI TERPADU
selalu melekat dalam setiap pelaksanaan kehidupan masyarakat di Indonesia mulai dari tingkat pemerintahan pusat sampai dengan pemerintahan desa. Oleh karena itu penguatan posisi tawar setiap insan masyarakat Indonesia melalui mekanisme keluhan menjadi suatu hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Seringkali dinyatakan bahwa korupsi terjadi karena bertemunya niat dan kesempatan yang bersifat negatif. Oleh karena itu niat dan kesempatan negatif harus diubah menjadi niat dan kesempatan yang bersifat positif. Niat positif dapat dikembangkan antara lain dengan terus menerus memberikan penyadaran bahwa tugas pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan, bukannya minta dilayani. Sementara kesempatan positif dapat dikondisikan antara lain dengan memberikan penghargaan kepada aparat pemerintah yang melaksanakan tugasnya dengan baik dan memberikan hukuman yang tegas kepada aparat pemerintah yang melakukan penyimpangan. Melalui pembentukan mekanisme penanganan keluhan publik yang didasari dengan niat untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik lagi kepada masyarakat, maka diharapkan akan dapat ditumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Melihat nilai strategis yang ada dalam RAD PK, keberlangsungan upaya pemberantasan korupsi terpadu harus terus ditingkatkan tidak saja oleh pemerintah, namun juga masyarakat. Hal ini dapat dilakukan, melalui kemitraan dengan berbagai komponen atas dasar saling membutuhkan satu dengan lainnya.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
33
34
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
CRC (CITIZEN REPORT CARD) SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI WARGA
BAB 3 CRC (CITIZEN REPORT CARD) SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI WARGA DALAM PENGAWASAN PELAYANAN PUBLIK
Bergerak lebih jauh menuju ke arah yang lebih baik tidak boleh hanya mengandalkan slogan. Semangat pembaharuan dan perbaikan bagi kondisi pemerintahan yang carut marut dapat terjebak dalam euphoria, maka proses menjadikannya sebagai langkah teknis (yang tidak hanya berhenti dalam strategi) dapat menghindarkan hal tersebut. CRC (citizen report card) sebagai media pelibatan publik dalam pengawasan pemerintahan merupakan metoda survei yang diadopsi dari sektor swasta dan sudah cukup lama dilakukan di beberapa negara. Namun demikian pelaksanaan metoda ini di Indonesia masih relatif baru dibandingkan dengan metodametoda survei konvensional lainnya. Oleh karena itu deskripsi singkat mengenai CRC akan dipaparkan dalam bab ini. Beberapa poin yang akan dipaparkan dalam bab ini adalah mengenai definisi CRC, dari mana metoda ini berasal, bagaimana implementasi CRC
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
35
BAB 3
dan apa hasil dari pelaksanaan CRC. Poin lain yang juga akan diuraikan adalah kelebihan CRC dibandingkan dengan metoda lainnya dalam survei, dan juga prinsip-prinsip CRC, serta penjelasan mengenai CRC sebagai media advokasi pelayanan publik. 3.1 Definisi CRC
36
Sebagaimana orang tua dapat mengetahui perkembangan atau tingkat keberhasilan anaknya di sekolah melalui rapor, yang secara kontinyu diberikan oleh guru kepada orang tua siswa baik per semester atau per caturwulan; warga dapat mengetahui perkembangan dan tingkat keberhasilan instansi maupun lembaga pemerintah dan non-pemerintah melalui CRC. Baik rapor siswa maupun CRC, keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk menyajikan informasi tentang tingkat keberhasilan atau kemajuan. Report card (kartu penilaian) adalah sebuah kartu yang isinya merupakan penilaian dari masyarakat (konsumen) atas kualitas atau kinerja lembaga pelayanan publik. Kartu penilaian dibuat dengan tujuan untuk memberikan penilaian atas jasa pelayanan publik dengan harapan dapat dijadikan dasar untuk mengubah kondisi pelayanan menjadi lebih baik. Metoda report card untuk penilaian pelayanan publik pertama kali diperkenalkan oleh Samuel Paul pada Public Affair Center (PAC) dengan penelitian pertama dilakukan di Bengalore, India. Pada tahun 2002 dan 2005 Bigs telah memanfaatkan CRC sebagai metoda penelitian dengan melibatkan kira-kira 400 lebih responden. CRC ini merupakan survei partisipatif tentang bagaimana warga kota menilai layanan umum yang diselenggarakan pemerintah Kota Bandung. Aspek yang dinilai oleh konsumen (warga kota) dalam survei ini adalah kualitas, efisiensi, dan masalah yang mereka hadapi ketika berinteraksi dengan penyelenggara layanan umum. Melalui survei ini, konsumen juga diminta untuk membandingkan berbagai layanan umum dari dinas atau provider yang mereka terima. Pada dasarnya hasil dari CRC yang dilakukan di Kota Bandung memberikan gambaran tentang kepuasan dan ketidakpuasan konsumen terhadap layanan umum yang mereka terima. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa CRC bukan opini melainkan kenyataan atau fakta yang dihadapi warga dalam memenuhi kebutuhan dasar melalui jasa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Karena bukan opini, maka kepuasaan dan keluhan yang diungkapkan warga sebagai konsumen perlu diperhatikan untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Dalam masyarakat yang demokratis, kebijakan terbaik harus menjadi cerminan dari suara masyarakat. Dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan, CRC dapat digunakan sebagai salah satu alat penting dalam monitoring akuntabilitas. Karena itu CRC ini seharusnya dibuat secara berkala oleh organisasi pemerintah untuk memperoleh umpan balik dari masyarakat terhadap pelayanan yang mereka
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC (CITIZEN REPORT CARD) SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI WARGA
selenggarakan. CRC ini dapat dijadikan baseline untuk mengukur kemajuan atau kemunduran akuntabilitas pelayanan dari sisi konsumen. Selain itu kartu penilaian juga dapat digunakan sebagai alat untuk membandingkan (benchmarking) kualitas pelayanan antara satu kota dengan kota yang lainnya. Citizen report card merupakan salah satu pendekatan atau metoda dalam pengukuran kepuasan konsumen terhadap layanan publik . Tujuan utama report card adalah untuk kepentingan advokasi, yaitu perumusan strategi bagi peningkatan kualitas dan akuntabilitas pelayanan publik. Setidaknya ada tiga metoda yang dapat digunakan dalam pemanfaatan CRC, yaitu: 1. Metoda membaca buku mengenai penelitian dasar tentang pasar 2. Metoda dengan menggunakan konsultan lokal (seperti peneliti akademis, perusahaan-perusahaan riset pasar, individu dengan keahlian teknis dalam pemasukan data atau analisis statistik, dll) 3. Metoda dengan menggunakan peralatan riset survei yang ada dalam mengembangkan kuesioner. 3.2 Manfaat dan Kegunaan CRC CRC mampu menginformasikan feed back warga terhadap jasa layanan yang diberikan oleh provider serta dapat memberikan gambaran tentang tingkat kepuasaan atau ketidakpuasaan masyarakat secara sederhana dan komunikatif. Manfaat CRC tidak sebatas hanya pada pengukuran kepuasaan tetapi juga pada pembahasan aspek spesifik interaksi antara agen atau penyedia layanan dengan warga dan pengidentifikasian isu-isu terkait yang muncul. Terkait dengan hal-hal yang lebih sederhana, CRC mampu mengidentifikasi isu-isu strategis berkaitan dengan kualitas layanan yang dinikmati oleh warga. seperti: (a) penyedia layanan yang dapat dipercaya; (b) tersedianya pengobatan gratis di berbagai rumah sakitt umum; (c) jenis kesulitan yang dialami ketika bertransaksi dengan penyedia layanan untuk menyelesaikan masalah–masalah layanan; dan (d) kejelasan jumlah biaya yang digunakan dalam penyelenggaraan layanan umum. Dalam interaksi antara pemerintah dengan warga masyarakat, CRC mampu menyediakan indikasi atau ukuran alternatif terkait penyelenggaraan pelayanan publik yang baik. CRC tidak saja dapat mengidentifikasi dan menginventarisasi umpan balik dari warga masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, tetapi juga mampu menguji pilihan-pilihan berbeda yang diharapkan oleh warga masyarakat dalam memecahkan suatu persoalan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Di Bangalore, India, misalnya, CRC didesain untuk dapat mengkaji apakah warga mau membayar lebih untuk mendapatkan
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
37
BAB 3
38
izin pengelolaan sampah, atau tidak. Oleh karena itu CRC juga berguna untuk memberikan alternatif kepada warga masyarakat dalam perbaikan layanan umum. Berdasarkan beberapa penelitian CRC yang telah dilakukan di beberapa kota, dapat diidentifikasikan beberapa manfaat dan kegunaan metoda CRC, yaitu: 1. CRC dapat digunakan untuk mengetahui gambaran umum tentang penyelenggaraan pelayanan. 2. CRC menginformasikan umpan balik warga secara sederhana dalam mengindikasikan tingkat kepuasaan atau ketidakpuasaan pelayanan. 3. CRC merupakan ukuran kepuasan warga akan layanan umum. 4. CRC tidak berhenti pada pengukuran kepuasaan tetapi juga membahas pada aspek spesifik interaksi antara penyedia layanan dengan warga dan mengidentifikasi isu terkait yang muncul. 5. CRC mampu mengidentifikasi isu-isu strategis berkaitan dengan kualitas layanan yang dinikmati oleh warga. 6. CRC mampu memberikan sudut pandang yang berbeda untuk mengidentifikasi potensi permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 7. CRC tidak hanya mampu mengumpulkan umpan balik dalam penyelenggaraan pelayanan publik, tapi juga mampu mengidentifikasi tindak lanjut atas umpan balik tersebut. 8. CRC diselenggarakan untuk menguji pilihan-pilihan yang berbeda yang diharapkan oleh warga masyarakat, terkait dengan upaya pemecahan masalah dalam penyelenggaraan pelayanan umum. 9. CRC bukanlah opini. 10. CRC mampu menyediakan gambaran umpan balik warga secara komprehensif dan handal. 11. CRC dapat menilai kualitas, efisiensi, kecukupan dan masalah yang dihadapi oleh konsumen ketika berinteraksi dengan lembaga penyelenggara layanan umum. 12. Warga yang merupakan konsumen beberapa jenis pelayanan umum yang berbeda dapat membandingkan kualitas dan karakteristik berbagai jasa pelayanan umum yang diterimanya. 13. CRC dapat digunakan sebagai salah satu alat penting dalam monitoring akuntabilitas. 14. CRC dapat dijadikan baseline untuk mengukur kemajuan atau kemunduran akuntabilitas pelayanan dari sisi konsumen. 15. CRC dapat digunakan sebagai alat untuk membandingkan (benchmarking) kualitas pelayanan antara satu kota dengan kota lain.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC (CITIZEN REPORT CARD) SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI WARGA
Dalam konteks yang lebih luas dan lebih substantif, CRC idealnya dapat digunakan untuk: 1. Mempengaruhi perubahan dalam perumusan kebijakan dan implementasinya; 2. Mempengaruhi pembuat kebijakan dan pelaksananya; 3. Megorganisasikan opini dan partisipasi masyarakat; 4. Memperjuangkan kepentingan masyarakat luas; 5. Dijadikan alat untuk mewujudkan demokratisasi. 3.3 Kelebihan CRC Dibandingkan dengan Metoda Lain Penelitian untuk menilai kinerja pelayanan publik atau kinerja pelayanan pemerintah sudah sering dilakukan dengan memanfaatkan berbagai metoda. Sebagian besar hasil penelitian tersebut berupa opini atau penilaian dari pakar atau ahli yang lebih banyak menggambarkan dan menganalisis kualitas layanan dari sudut pandang yang sifatnya normatif. Sementara itu masih belum banyak dilakukan penelitian yang dapat menggambarkan fakta yang langsung diberikan oleh masyarakat pengguna layanan publik secara empiris. Dengan kata lain, sebagian besar hasil penelitian tentang penyelenggaraan pelayanan publik merupakan persepsi responden terhadap layanan publik. Di sini penentuan indikator dan instrumen yang digunakan didasarkan atas teori bukan fakta atau kebutuhan masyarakat. Sehingga hasilnya dirumuskan atas dasar interpretasi seorang ahli dalam bahasa ilmiah yang seringkali sulit dipahami dan sulit diimplementasikan untuk mempengaruhi kebijakan atau memperbaiki kualitas penyelenggaraan pelayanan publik. Sementara itu dalam prosesnya, penelitian tersebut tidak banyak melibatkan masyarakat secara partisipatif selain sebagai responden. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila hasil penelitian tersebut kurang memberikan dampak secara langsung kepada masyarakat. Atau dengan kata lain masyarakat tidak merasa terwakili dengan hasil penelitian tersebut. Pada metoda CRC, penentuan indikator dan perumusan instrumen penelitian didasarkan atas kebutuhan masyarakat yang dilakukan melalui FGD atau survei pendahuluan terhadap layanan publik yang akan diteliti. CRC adalah penelitian partisipatif yang dalam prosesnya pelibatan masyarakat atau konsumen dalam penentuan indikator penelitian sangat terbuka luas. Mengapa demikian? argumentasi sederhananya adalah bahwa layanan publik yang diberikan kepada masyarakat atau konsumen seharusnya mampu memberikan layanan terbaik sesuai kebutuhan masyarakat atau konsumen. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat atau konsumen didasarkan atas prinsip partisipasi. Partisipasi ini mencakup keseluruhan proses pemanfaatan jasa layanan publik mulai dari informasi yang didapat (sosialisasi dan transparansi), prosedur yang harus dilakukan, persyaratan yang harus dipenuhi, dan juga waktu dan
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
39
BAB 3
40
biaya yang dibutuhkan. Oleh karenanya, hasil survei CRC tidak hanya berupa persepsi dan intrepretasi yang didasarkan pada teori, akan tetapi hasil CRC berupa gambaran atau potret fakta empiris yang diberikan oleh masyarakat atau konsumen yang menggunakan jasa layanan tersebut. Dengan melakukan pengukuran seperti ini, beberapa kelebihan dari metoda CRC yang akan didapat antara lain adalah sebagai berikut: 1. Pengukuran kualitas pelayanan publik secara berkala, yang dapat diperbandingkan antar jenis layanan dan antar waktu, atau wilayah. Perbandingan ini berguna sebagai patokan (benchmark) dalam pengukuran kelayakan atau kualitas layanan publik yang disediakan oleh suatu pemerintah lokal. 2. Dengan pengukuran tersebut juga akan dapat ditentukan tingkat capaian atau keberhasilan pelayanan publik, sehingga dapat dipakai untuk meningkatkan kinerja pelayanan yang bersangkutan. 3. Adanya tingkatan dan pemeringkatan yang dibuat, dapat menjadi alat ukur bagi konsumen (masyarakat) sebagai pembayar pajak untuk menilai layanan publik. Hasil pengukuran ini dapat dijadikan alat oleh masyarakat dalam melakukan protes atas kinerja pelayanan publik yang peringkatnya kurang baik. 4. Penilaian yang dibuat dapat dijadikan alat diagnosis dalam mengidentifikasikan kelemahan dan kelebihan suatu jenis pelayanan publik tertentu. Oleh karena itu, kartu penilaian ini dapat dipergunakan sebagai masukan bagi pembuat kebijakan dalam proses perumusan kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik. 5. Karena dapat dijadikan sebagai alat ukur kualitas, penelitian ini dapat dijadikan alat untuk melakukan advokasi dalam mengurangi kemungkinan korupsi di sektor publik. Sejalan dengan hal ini, World Bank pernah menyatakan bahwa kartu penilaian merupakan salah satu alat yang efektif dalam advokasi korupsi. 3.4 Prinsip-Prinsip CRC Akuntabilitas pelayaan publik ditentukan oleh dua faktor. Yang pertama, adalah voice, yaitu seberapa besar sarana atau kesempatan bagi konsumen untuk melakukan protes bila terjadi masalah atau ketidakpuasan dalam pelayanan publik. Makin besar sarana untuk melakukan voice ini, semakin mendorong penyedia layanan publik untuk meningkatkan kualitasnya. Sedangkan yang kedua, adalah exit, yaitu kondisi yang di dalamnya, jika seorang konsumen atau pengguna suatu layanan publik tidak suka atau tidak puas atas layanan yang ada, ia dapat memilih jenis layanan lain yang merupakan pengganti dari layanan tersebut. Misalnya, jika seorang tidak menyukai atau tidak puas dengan layanan kereta api,
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC (CITIZEN REPORT CARD) SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI WARGA
maka ia dapat memilih untuk menggunakan jasa layanan bus antar kota, atau memakai mobil sewaan. Sebaliknya untuk kondisi exit yang rendah misalnya terjadi dalam penggunaan jalan raya. Seseorang tidak dapat memilih alternatif lain jika dia merasa tidak puas atas kondisi jalan raya (misalnya karena macet), tetapi tetap dengan terpaksa menggunakan jalan tersebut. Semakin tinggi kondisi exit pada suatu layanan publik, maka semakin tinggi akuntabilitas pelayanan tersebut. Sementara tingginya akuntabilitas pelayanan akan meningkatkan kualitas pelayanan publik yang ada. Konsepsi report card sendiri dikembangkan atas dasar keinginan untuk memperbaiki akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan. Melalui report card, masyarakat pengguna dapat memberikan penilaian terhadap jasa layanan yang mereka terima. Diharapkan dapat terjadi proses timbal balik antara provider dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik dengan konsumen yaitu masyarakat pengguna jasa layanan publik. Untuk itu, dalam penyelenggaraan CRC perlu diperhatikan 9 faktor kritis yang dapat disebut sebagai prinsip-prinsip CRC. Kesembilan prinisp tersebut adalah: 1. Konteks Politik Konteks politik sebuah negara akan menentukan tipe interaksi antara pemerintah dan warganya. Pola interaksi pemerintah dengan masyarakat sipil, media, kelompok bisnis, dan warga pada umumnya sangat dipengaruhi oleh konteks politik ini. Jika warga dapat berpartisipasi dan mempengaruhi sebuah kebijakan pemerintah, maka CRC bisa menjadi mekanisme yang efektif untuk menyuarakan pengalaman warga ketika menjadi pengguna sebuah layanan yang disediakan pemerintah. Jika sarana yang dimiliki warga untuk menyuarakan pendapat minim, baik melalui pemilu, diskusi publik, dan cara yang lainnya, maka institusi dan proses politik biasanya minim juga untuk bisa mengakomodasikan usulan warga. Di sini CRC menjadi mekanisme yang kurang atau belum dikenal oleh pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, penting untuk mengenalkan CRC kepada pemerintah. Berilah penjelasan bahwa umpan balik dari warga terkait dengan layanan yang disediakan, sangat penting untuk dipahami. Selain itu sebaiknya diupayakan agar warga masyarakat bisa merasa nyaman ketika memberikan umpan balik atas layanan yang disediakan oleh pemerintah. Jika sebuah pemerintahan kelihatannya akan merintangi usaha ini, libatkanlah mereka sejak awal dalam proses pelaksanaan CRC. Walaupun mungkin nanti hasilnya akan minimal tetapi setidaknya mereka mau mendengarkan CRC dan memahami perspektif ini.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
41
BAB 3
42
2. Desentralisasi Prinsip kedua yang harus diperhatikan adalah desentralisasi. Sudah menjadi tren pada saat ini, bahwa pemerintah pusat mendesentralisasikan tanggungjawab penyelenggaraan layanan publik kepada daerah. Tujuan desentralisasi adalah untuk memberikan keleluasaan yang lebih terhadap daerah dalam hal penentuan anggaran belanja daerah dan pengambilan keputusan pemerintah daerah, namun hasilnya masih belum menggembirakan. Walaupun di beberapa daerah kualitas layanan publik membaik seiring dengan adanya peluang desentralisasi, di sisi lain desentralisasi juga telah meningkatkan penyalahgunaan dana. Pemerintah daerah juga gagal untuk memperbaiki kualitas layanan publik, meski ada peluang desentralisasi. Oleh karena itu, dalam konteks CRC, pemahaman terhadap dampak desentralisasi menjadi penting. Harus diidentifikasi pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan layanan. Usaha-usaha yang dirintis untuk memperbaiki layanan publik harus ditujukan pada institusi-institusi ini. 3. Keamanan Diskusi secara terbuka mengenai masalah-masalah yang dihadapi hanya akan berlangsung jika peserta diskusi merasa aman. Seharusnya institusi hukum dan perangkat di bawahnya dapat menjamin keamanan bagi setiap individu yang terlibat dalam diskusi tersebut. Namun jika hukum dan perangkatnya lemah, maka pelaksanaan CRC dan diseminasi temuan menjadi sulit. Jadi penyelenggaraan CRC secara metodologi akan sulit jika kebebasan berbicara masih menjadi persoalan. 4. Kebebasan warga untuk menyuarakan pengalaman Terkait dengan isu keamanan di atas, kebebasan untuk mengemukakan pendapat terhadap kebijakan publik yang dibuat pemerintah juga merupakan isu penting. Dapatkah warga sebagai individu, baik yang miskin atau kaya, kuat atau lemah, mendiskusikan pengalaman mengenai pelayanan publik yang mereka terima secara terbuka? Pertanyaan ini harus bisa dijawab sebelum pelaksanaan CRC diputuskan. Pemanfaatan metoda CRC bisa lebih efektif jika warga secara individu dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas terhadap kebijakan apapun yang dikeluarkan pemerintah tanpa perasaan takut. Umpan balik adalah pengalaman berharga yang direfleksikan responden. Jika warga takut untuk mengomentari pemerintah, maka realiabilitas masukan yang dikemukakan responden atau warga menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan. Responden pada akhirnya mungkin
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC (CITIZEN REPORT CARD) SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI WARGA
akan menjawab pertanyaan dengan tidak akurat atau bahkan menolak untuk diwawancarai. 5. Kehadiran CSO Di beberapa negara, CSO memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Keaktifan CSO mengindikasikan tingginya inisiatif warga. Hal ini sangat penting dalam penyelenggaraan CRC. CSO seperti ini dapat menyediakan beberapa layanan yang gagal disediakan oleh pemerintah. Selain itu mereka juga dapat mengadvokasikan revisi UU dan kebijakan serta memberikan informasi penting kepada publik. Dengan demikian CSO yang terorganisir dengan baik, aktif, dan netral adalah CSO yang sesuai untuk berpartisipasi dalam tahapan penyelenggaraan CRC. Sementara kelompok CSO yang bias bisa mengubah temuan CRC untuk kepentingan mereka sendiri. Namun absennya kehadiran CSO akan membatasi pilihan-pilihan untuk mendistribusikan temuan CRC dan menindaklanjutinya dengan advokasi dan reformasi layanan publik. 6. Kelompok atau NGO yang profesional Organisasi yang memiliki keahlian-keahlian tertentu sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan CRC. Keahliankeahlian ini sangat terkait dengan tahapan penyelelenggaraan CRC terutama tahap metodologi. Kelompok akademisi atau kelompok peneliti independen dapat membantu pelaksanaan CRC dari sisi metodologi. Untuk menjamin kualitas pengumpulan data, sebuah lembaga yang melakukan CRC, sebaiknya: a. memiliki keahlian dalam melakukan teknik survei illmu-ilmu sosial, b. memiliki pengetahuan yang memadai mengenai layanan publik di daerah programnya, c. dapat mengembangkan desain sampling, d. berpengalaman dalam melakukan kerja-kerja lapangan. Sementara untuk melengkapi analisis temuan, sebuah lembaga sebaiknya memiliki keahlian dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Sedangkan untuk mengejar dampak, sebuah lembaga sebaiknya memiliki ruang publikasi, komunikasi, dan keahlian advokasi. 7. Kualitas Media Sebuah media independen akan melakukan pengecekan alami baik terhadap pemerintah, kelompok bisnis, atau stakeholder lainnya yang ada di masyarakat. Selama tahap distribusi temuan CRC, peran media sangat penting. Hadirnya
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
43
BAB 3
44
sebuah media independen sangat diperlukan untuk menjangkau audience yang lebih luas. Sebuah media lokal independen yang antusias akan meningkatkan kemungkinan diseminasi temuan CRC menjadi semakin tepat waktu, tersebar secara luas, dan direspon secara positif. Hal ini diharapkan pada akhirnya akan berkembang pada isu-isu kualitas layanan. Sementara media yang dikontrol ketat pemerintah mungkin tidak akan mendukung proses distribusi temuan dengan tepat. 8. Orientasi Kepemimpinan Penyedia Layanan Efektifitas temuan CRC sangat bergantung pada orientasi kepemimpinan penyedia layanan. Temuan CRC akan efektif jika penyedia layanan terbuka terhadap masukan-masukan eksternal dan memiliki kemauan untuk memperbaiki layanan publik. Orientasi kepemimpinan penyedia layanan memperlihatkan kemauan untuk mendengarkan dan merespon aspirasi warga. Jika lingkungan mendukung perubahan, masukan-masukan langsung dari warga dapat dijadikan bahan untuk melakukan perbaikan. Sementara jika penyedia layanan tertutup terhadap masukan-masukan warga dan enggan melakukan perbaikan layanan publik, maka penyedia layanan mungkin saja menolak temuan-temuan CRC dan dampak dari penyelenggaraan CRC menjadi tidak signifikan. Jika sebuah kepemimpinan tidak responsif, CRC tetap bisa diselenggarakan dengan memberikan dampak yang cukup berarti. Cobalah gali apa sebenarnya kepentingan penyedia layanan, kemudian identifikasi juga figur yang memiliki otoritas yang mungkin tertarik dengan temuantemuan CRC. Sisi baik dan buruk dari sebuah layanan publik juga sebaiknya ditampilkan dengan proporsional. Mengulangulang hasil temuan CRC sebaiknya juga dilakukan untuk mempengaruhi kepemimpinan sebuah otoritas. Dalam situasi seperti ini, komitmen yang panjang baik dari lead institution maupun dari stakeholder yang lainnya sangat diperlukan. 9. Kepentingan Pemerintah dalam Mengusung Inisitiif Walaupun layanan publik disediakan pada tingkat lokal (pemerintah daerah), pemerintahan yang lebih tinggi seperti pemerintah pusat dan Propinsi juga dapat mempengaruhi penyedia layanan di tingkat daerah. Pemerintahan pusat atau Propinsi bisa saja mempengaruhi tekanan baik secara finansial atau yang lainnya untuk memulai memperbaiki layanan publik di tingkat daerah. Jika tingkat pemerintahan yang lebih tinggi mendukung usaha-usaha daerah untuk memperbaiki layanan publik, maka mereka dapat mendorong reformasi perbaikan layanan berdasarkan temuan CRC. Jika pemerintah daerah tidak
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC (CITIZEN REPORT CARD) SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI WARGA
mendukung usaha ini, maka pemerintahan yang lebih tinggi sebenarnya dapat melakukan tekanan-tekanan tertentu untuk memastikan penyelenggaraan CRC dapat dilakukan. Sementara jika pemerintahan yang lebih tinggi tidak mendukung inisiatif daerah, maka pengimplementasian temuan CRC menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Jika hal yang seperti ini yang terjadi, maka dukungan keuangan untuk mengimplementasikan reformasi layanan publik mungkin menarik untuk dijajaki. 3.5 Proses CRC Penelitian untuk mengukur kualitas jasa layanan yang diberikan pemerintahan kota dengan menggunakan metoda report card dilatarbelakangi adanya krisis pemerintahan, sulitnya membuat respon kolektif, dan keinginan untuk merubah keadaan dalam pelayanan publik. Report card disusun agar pemerintah lebih tanggap terhadap keinginan dan kebutuhan dari masyarakat. Report card berusaha untuk dapat mendobrak benteng monopolistik lembaga pelayanan publik yang dibentuk oleh pemerintah nasional, negara dan lokal. Report card adalah sebuah kartu yang isinya merupakan penilaian dari masyarakat (konsumen atas kualitas atau kinerja lembaga pelayanan publik). Kartu penilaian dibuat dengan tujuan untuk melakukan penilaian atas jasa pelayanan publik dengan harapan dapat dijadikan dasar untuk merubah kondisi pelayanan menjadi lebih baik. Untuk melakukan CRC, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh peneliti, yang pada dasarnya relatif tidak jauh berbeda dengan penelitian survei lainnya. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah agar proses survei kepada masyarakat dilakukan oleh surveyor yang memahami betul teknik penjaringan data dari masyarakat tanpa melakukan manipulasi. Karena hasil survei report card harus benarbenar menggambarkan fakta yang dialami masyarakat pengguna ketika mendapatkan jasa layanan dari provider. Beberapa tahap dalam proses CRC adalah sebagai berikut: 1. Tahap persiapan Beberapa hal yang perlu diperhatikan Di sini antara lain: data dari masing-masing provider yang akan disurvei, menentukan jenis jasa layanan yang akan disurvei, mempersiapkan dan melaksanakan FGD, mendapatkan rumusan indikator penelitian, membuat kisi-kisi instrumen. Tujuan dari diadakannya FGD ini adalah untuk mengidentifikasi kembali jenis dan ukuran pelayanan publik yang paling dibutuhkan atau paling penting bagi masyarakat dilihat dari sisi masyarakat maupun sisi pemerintah, dan mempertemukan keinginan dari masyarakat dengan keinginan dari pemerintah.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
45
BAB 3
46
Harus diperhatikan bahwa pada saat ini masyarakat sudah mengetahui bahwa pemerintah mempunyai hak untuk melaksanakan pemerintahan karena diberi mandat oleh masyarakat (the power to govern). Dengan demikian masyarakat tidak boleh lagi dianggap sekedar sebagai obyek. FGD dalam CRC ditujukan untuk mengidentifikasi dan merumuskan indikator instrumen penelitian yang akan digunakan dalam survei (menjaring data primer dari masyarakat pengguna atau konsumen). Untuk mendapatkan data kebutuhan dari masing-masing stakeholders, FGD dapat dilakukan 2 tahap, yaitu FGD khusus untuk provider (penyedia jasa layanan) dan FGD khusus untuk customer (masyarakat pengguna jasa layanan). Pemisahan pelaksanaan FGD CRC dimaksudkan agar eksplorasi kebutuhan atau harapan dari masing-masing stakeholders dapat diakomodasikan secara maksimal. FGD dengan provider, dapat dilakukan untuk mengidentifikasi jenis jasa layanan yang diberikan, karakteristik pelayanan, karakteristik pelanggan atau konsumen jasa layanan, cakupan layanan, mekanisme serta tata laksana pelayanan. Sedangkan FGD dengan pelanggan atau konsumen, berfungsi untuk mengidentifikasi kebutuhan atau harapan konsumen, masalah yang sering dialami konsumen, dan lain-lain. 2. Pelaksanaan Keluaran yang diperoleh di sini meliputi hasil survei secara keseluruhan antara lain: data tingkat penggunaan, data tingkat kepuasan, data peringkat tingkat penggunaan dan tingkat kepuasan, masalah-masalah atau keluhan, termasuk juga pemetaan data pada masing-masing wilayah survei. Pelaksanaan report card diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat baik dilihat dari sisi penawaran (lembaga penyelenggara pelayanan publik) maupun dari sisi permintaan (pengguna fasilitas pelayanan publik). 3. Pelaporan dan Advokasi Keluaran yang diperoleh pada tahap ini adalah dokumen laporan hasil penelitian lengkap berdasarkan hasil survei dan interpretasi hasil melalui proses diskusi dan wawancara mendalam. Pada tahapan terakhir dan terpenting ini harus diperhatikan agar hasil CRC ini menjadi sebuah kerangka advokasi yang dilakukan secara sistematis sehingga tujuan utama dari CRC untuk mendorong pemerintah sebagai penyedia jasa layanan dapat memperbaiki pelayanannya. Di sisi lain, advokasi yang dilakukan juga untuk meningkatkan atau mendorong partisipasi warga dalam memperbaiki kinerja pelayanan publik
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC (CITIZEN REPORT CARD) SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI WARGA
3.6 CRC sebagai Media Advokasi Pelayanan Publik CRC sebagai media advokasi pelayanan publik baru diperkenalkan oleh PAC (Public Affair Center) di Bangalore, India pada tahun 1990-an. CRC sebagai media advokasi merupakan perkembangan dari advokasi yang selama ini digunakan oleh kalangan NGO dalam mendesakkan perubahan. Sebelumnya banyak NGO melakukan advokasi dengan melibatkan ‘numbers’ atau sejumlah orang dengan cara turun ke jalan dalam bentuk aksi massa. Dalam perkembangannya ‘numbers’ ini dimodifikasi dalam bentuk keterlibatan masyarakat (responden) dalam survei CRC. Dengan demikian advokasi dengan menggunakan hasil CRC merupakan advokasi yang tetap melibatkan sejumlah warga sebagai penyampai pesan tanpa harus turun ke jalan dalam bentuk aksi massa. Selama ini pelayanan publik merupakan ranah yang menjadi sasaran atau target CRC. Hal ini terjadi baik untuk CRC yang hanya melibatkan satu provider ataupun CRC yang melibatkan banyak atau multi provider. Dengan demikian perbaikan pelayanan publik menjadi tujuan akhir dilaksanakannya CRC karena pelayanan publik yang baik atau yang memuaskan adalah harapan hampir semua warga di negara manapun dia tinggal. Sehingga penyelenggaraan CRC yang diinisiasi PAC ini dengan cepat menyebar ke sejumlah negara, salah satunya adalah Indonesia. Ada beberapa lembaga penelitian di Indonesia yang sudah menyelenggarakan CRC. Diantaranya adalah BIGS (Bandung Institute of Governance Studies), ICW (Indonesia Corruption Watch), LGSP, dan Kemitraan. BIGS sudah menyelenggarakan CRC di kota Bandung untuk tahun 2002 dan 2005 di semua provider. Sementara ICW menyelenggarakan CRC di sektor pendidikan. LGSP melakukan CRC di beberapa tempat di wilayah programnya, dan Kemitraan melakukan CRC di beberapa sektor diantaranya layanan perizinan dan layanan administrasi KTP dan KK. 3.7 Keberhasilan Penyelenggaraan CRC Komitmen politik dari pemerintah atau penyelenggara layanan merupakan faktor yang paling penting dalam proses implementasi hasilhasil CRC. Di Filipina, hasil CRC diadopsi untuk dijadikan basis data dalam menjalankan penganggaran kinerja. Pengalokasian belanja publik juga dilakukan berdasarkan hasil CRC ini. Sementara di Bangladesh dan Ukraina, hasil CRC diadaptasi menjadi sistem peringkat tata pemerintahan yang baik. Keberhasilan lain dalam proses advokasi CRC adalah lahirnya pembentukan Bangalore Task Force oleh otoritas di Bangalore sehingga monitoring layanan publik dilakukan secara periodik oleh task force ini. Task force ini diorganisir oleh institusi independen dan hasilnya diadopsi otoritas pemerintah untuk dijadikan bahan perbaikan dalam sistem insentif dan manajemen internal pemerintahan.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
47
48
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
CRC PELAYANAN IMB DI KABUPATEN PEMALANG
BAB 4 PENGALAMAN PENGAWALAN CRC PELAYANAN IMB DI KABUPATEN PEMALANG 49
4.1 Deskripsi Kabupaten Pemalang Kabupaten Pemalang secara astronomis terletak di antara 109.170– 109.400 Bujur Timur dan 8.520-7.200 Lintang Selatan. Sementara itu sesuai dengan letak geografis, maka wilayah Kabupaten Pemalang memiliki batas-batas sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa; 2. Sebelah Timur dengan Kabupaten Pekalongan; 3. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Purbalingga; 4. Sebelah Barat dengan Kabupaten Tegal. Luas wilayah Kabupaten Pemalang adalah 115,30 km2 atau 115.300,577 ha, terdiri dari tanah sawah seluas 38.694,216 ha dan tanah kering seluas 72.836,361 ha. Berdasarkan wilayah administratifnya, Kabupaten Pemalang terdiri dari 14 kecamatan dan 211 desa serta 11 kelurahan. Sedangkan jumlah dusun atau lingkungan yang ada di seluruh
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
BAB 4
desa dan kelurahan adalah 933 yang terdiri dari 5969 RT dan 1218 RW. Kondisi topografi wilayah Kabupaten Pemalang terdiri dari daerah dataran pantai, dataran rendah, dataran tinggi dan daerah pegunungan. Jumlah penduduk di Kabupaten Pemalang pada akhir tahun 2007 sebesar 1.371.757 jiwa, yang terdiri dari 682.642 jiwa laki-laki dan 689.115 jiwa perempuan. Pertumbuhan penduduk Kabupaten Pemalang masih cukup tinggi. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2005 adalah sebanyak 907.339 orang. Sementara pada tahun 2006, menjadi 912.470 orang atau bertambah sebanyak 0,56%. Sampai dengan akhir tahun 2006 dari jumlah angkatan kerja yang ada, sebanyak 318.670 orang masuk dalam kategori setengah penganggur. Sedangkan untuk kategori penganggur terbuka terdapat 210.653 orang. 4.2 Proses Konseptualisasi Umum
50
Fenomena umum dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah ”jika bisa diperlambat mengapa dipercepat” atau kalau ”membayar di luar yang resmi saja mau mengapa digratiskan” sering menjadi sinyalemen umum di mana-mana. Kultur seperti itu memang belum bisa dihapus sampai nol persen baik dalam persepsi maupun perilaku penyedia layanan. Sebagai contoh, di bidang pelayanan publik, kini hampir semua daerah sedang beramai-ramai menyelenggarakan model one stop service (OSS) sebagai salah satu produk andalan kebijakan daerah. Dalam konsep OSS pemerintah daerah sedapat mungkin memberikan pelayanan yang murah, cepat dan menyenangkan. Namun dalam praktiknya, biaya ekstra atau pungutan liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada kantor-kantor pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata dan merasakan praktik korupsi yang semakin marak dan meluas. Laporan pengaduan pun banyak mengalir dari masyarakat. Selain itu, korupsi juga banyak terjadi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan penerimaan dan pembelanjaan uang negara. Sektor pengadaan barang dan jasa merupakan sektor yang paling banyak terjadi korupsi22. Korupsi selain terkait dengan aturan normatif yang lemah, sikap dan perilaku juga disebabkan karena lemahnya sistem manajemen sumber daya manusia dari penyelenggara pemerintahan, mulai dari sistem rekruitmen, karir dan promosi serta penilaian kinerja sampai kepada renumerasinya. Cukup banyak contoh birokrasi nepotisme dalam sistem rekruitmen, karir dan promosi pegawai negeri sipil yang merupakan bibitbibit korupsi yang berkembang dalam setiap lini pemerintahan sampai dengan saat ini. Penanganan korupsi selama ini masih menghadapi berbagai hambatan serius yang dikelompokkan menjadi: 22
Lihat Laporan KPK tahun 2006 dan 2007.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC PELAYANAN IMB DI KABUPATEN PEMALANG
1. Hambatan Struktural, yang terjadi karena masih adanya ego sektoral di masing-masing bidang dan belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif, serta lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum, dan juga lemahnya sistem pengendalian intern. Hambatan struktural ini menyebabkan kasus-kasus korupsi banyak ditutup-tutupi. 2. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah: masih adanya sikap sungkan dan toleran diantara aparatur pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan toleran dan melindungi pelaku korupsi; campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam penanganan tindak pidana korupsi; rendahnya komitmen untuk menangani korupsi secara tegas dan tuntas; serta sikap masa bodoh sebagian besar warga masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi. 3. Hambatan Instrumental, yaitu yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundangundangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. 4. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik sehingga mengakibatkan penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Permasalahan yang juga mengemuka terkait dengan korupsi adalah masih lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum. Masyarakat telah semakin skeptis dan curiga dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh masing-masing lembaga penegak hukum, bahkan seringkali lembaga penegak hukum dituduh sebagai tempat melindungi aparat yang bersalah. Walaupun pengawasan eksternal saat ini telah semakin intensif dilakukan oleh masyarakat, namun satu hal yang masih menjadi kendala adalah keterbatasan masyarakat untuk memperoleh akses informasi terhadap proses penanganan perkara korupsi maupun putusan terhadap perkara korupsi. Hal ini menjadi tuntutan utama, khususnya dari kelompok masyarakat yang menaruh perhatian pada masalah korupsi. 4.3 Proses Kelahiran Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pada hakekatnya Pemerintah Kabupaten Pemalang berkomitmen dan mendukung penuh kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Dukungan Kabupaten Pemalang terhadap upaya percepatan
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
51
BAB 4
52
pemberantasan korupsi lebih lanjut dituangkan dalam Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) Tahun 2007– 2011 yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten Pemalang Tahun 2006-2011, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Pemalang Tahun 2008 serta Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK). Inpres Nomor 5 Tahun 2004, menginstruksikan, kepada para gubernur serta para bupati dan walikota bahwa dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan menghapuskan pungutan-pungutan liar. Peningkatan kualitas pelayanan kepada publik seperti yang diinstruksikan dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tersebut kemudian diadopsi di Kabupaten Pemalang dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten Pemalang tahun 2006–201123. Di dalam RPJMD peningkatan kualitas pelayanan secara eksplisit dituliskan dalam sasaran ketiga yaitu meningkatnya pelayanan infrastruktur kepada masyarakat melalui peningkatan kualitas dan kuantítas sarana dan prasarana pelayanan publik serta kelembagaan pelayanan investasi dan kerjasama antar daerah guna percepatan pertumbuhan ekonomi daerah salah satunya dengan meningkatnya kualitas pelayanan perizinan. Juga dalam sasaran ketujuh yaitu peningkatan investasi dan pemberdayaan sumber daya alam yang salah satu caranya dengan meningkatkan penyederhanaan prosedur perizinan, prosedur pelayanan retribusi dan pajak daerah. Berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai upaya percepatan pemberantasan korupsi, RAD PK Kabupaten Pemalang Tahun 2007–2011 diarahkan pada: 1. Bidang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dengan kegiatan: (a). Penyempurnaan Sistem Pelayanan Publik dengan hasil yang diharapkan adalah kejelasan dan kemudahan pelayanan kepada masyarakat dalam waktu, biaya dan persyaratan; (b) Pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara dengan hasil yang diharapkan peningkatan jumlah Pejabat/Pejabat Negara Wajib Lapor; dan (c) Peningkatan Efektifitas Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pembinaan Aparatur dan Penanganan Pengaduan Masyarakat dengan hasil yang diharapkan adalah perbaikan kinerja perangkat daerah; 2. Bidang Penindakan Tindak Pidana Korupsi melalui kegiatan dukungan terhadap upaya-upaya penindakan tindak pidana korupsi dengan hasil yang diharapkan adalah peningkatan kelancaran penanganan kasus oleh aparat penegak hukum serta jumlah peraturan daerah yang direvisi; serta 3. Bidang Monitoring dan Evaluasi melalui kegiatan Monitoring, Dokumen Perda No.2 Tahun 2006 tentang RPJM Kabupaten Pemalang Tahun 2006-2011.
23
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC PELAYANAN IMB DI KABUPATEN PEMALANG
Evaluasi dan Pelaporan dengan hasil yang diharapkan antara lain peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan dan komitmen pemerintah daerah dalam memberantas korupsi serta memperjelas langkah-langkah pemerintah daerah terhadap komitmen pemberantasan korupsi. Sesungguhnya jauh sebelum proses formal penyusunan Peraturan Bupati Pemalang Nomor 67 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) di Kabupaten Pemalang Tahun 2007-2011, telah disusun beberapa langkah kebijakan yang sinergis dengan upaya pemberantasan korupsi di Kabupaten Pemalang dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Penerbitan Instruksi Bupati Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pemakaian Lencana Bendera Merah Putih. Kebijakan ini mulanya diterapkan bagi aparatur pemerintah daerah yang dimaksudkan sebagai upaya menerjemahkan dan menumbuhkan jiwa patriotisme sehingga diharapkan selalu tertanam kesadaran peran aparatur sebagai pelayanan masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu respon masyarakat terhadap penerapan kebijakan tersebut meluas hingga kalangan pelajar, hal tersebut sebagai upaya dini penerapan jiwa patriotisme dan menjaga konsistensi upaya penyelenggaraan kehidupan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. 2. Penerbitan Surat Edaran Bupati Pemalang Nomor 3186/426/ Org tentang Himbauan Penggunaan Alat Transportasi Sepeda. Kebijakan ini diterapkan khususnya bagi aparatur yang secara geografis memungkinkan untuk dilaksanakan misalnya jarak yang tidak terlalu jauh (radius 5 km). Hal ini juga sebagai upaya contoh kepada masyarakat bahwa penyelenggaraan kesederhanaan hidup dapat ditempuh juga dalam pelaksanaan tugas keseharian. 3. Penerbitan Keputusan Bupati Pemalang Nomor. 050/01.C/2008 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Pemalang Tahun 2008. Kebijakan ini relevan dalam rangka tertib administrasi pengadaan barang/ jasa sehingga terwujud transparasi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraannya. Selain beberapa langkah tersebut di atas, pemerintah Kabupaten Pemalang juga menerapkan kebijakan yang sifatnya lebih implementatif. Wujud kebijakan yang lebih implementatif ini antara lain adalah: 1. Pencanangan area bebas pungutan liar, sebagai wujud tekad pemerintah daerah khususnya pada institusi pelayanan seperti Unit Pelayanan Perizinan dan Investasi. Kegiatan ini berupa pemasangan papan-papan himbauan dan spanduk untuk mengingatkan tekad memberantas korupsi. 2. Pemberian balas jasa (reward) dan hukuman (punishment) bagi
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
53
BAB 4
aparat yang melaksanakan tugas keseharian. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat apel pagi minggu pertama setiap bulan berdasarkan laporan dan absensi yang dilakukan oleh SKPD kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Hal ini dilakukan sebagai bentuk perhatian pimpinan sehingga bawahan merasa mendapatkan perlakuan yang adil atas segala tindakan yang dilakukannya. 3. Penandatangan Pakta Integritas bagi penyelenggara pemerintahan daerah mulai dari perangkat desa, kecamatan, sampai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di tingkat kabupaten sampai pejabat negara seperti bupati dan wakil bupati. Kegiatan ini diharapkan sebagai benteng moral untuk tidak melakukan penyimpangan bagi segenap aparatur dalam setiap tindakan yang dilakukan selama melaksanakan tugas. 4.4 Proses Teknis Menuju CRC
54
Sebagai tindak lanjut dari komitmen Pemerintah Kabupaten Pemalang dalam pemberantasan korupsi yang tertuang dalam Peraturan Bupati Pemalang Nomor 67 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) Kabupaten Pemalang Tahun 20072011, maka disusunlah serangkaian kegiatan untuk menjaring pendapat masyarakat lewat servei persepsi masyarakat yang disebut dengan citizen report card (CRC). Ada beberapa tahapan yang dilaksanakan dalam CRC ini. Tahapan-tahapan itu bisa dijelaskan sebagai berikut: 1. Tahap Dukungan Penyelenggaraan Setelah diterbitkannya Peraturan Bupati Pemalang tentang RAD PK maka ditindaklanjuti dengan penandatanganan nota kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Pemalang dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas RI) sebagai upaya untuk merealisasikan niat perbaikan layanan kepada masyarakat. Hal terpenting dalam nota kesepakatan tersebut adalah persetujuan dan dukungan Pemerintah Kabupaten Pemalang terhadap pelaksanaan survei pendapat masyarakat melalui CRC dengan mengambil responden masyarakat yang pernah melaksanakan permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Penandatanganan nota kesepahaman ini dilaksanakan pada tanggal 1 April 2008 yang dilakukan oleh Bupati Pemalang HM Machroes dan Direktur Hukum dan Hak Asasi Manusia Bappenas RI, Diani Sadiawati. Penanda tanganan ini dilaksanakan di pendopo Kabupaten Pemalang dengan dihadiri para camat dan segenap SKPD yang ada. 2. Tahap Pemantapan Lokasi Survei CRC Untuk menyepakati objek survei persepsi lewat CRC tersebut maka dilakukanlah pertemuan dengan berbagai MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC PELAYANAN IMB DI KABUPATEN PEMALANG
stakeholder di Kabupaten Pemalang. Dalam pertemuan tersebut, isu yang muncul adalah perlunya dilakukan survei terhadap proses pelayanan IMB yang dalam hal ini diselenggarakan oleh Unit Pelayanan Perizinan dan Investasi (UPPI) dibawah naungan Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) sebelum dilaksanakan penataan organisasi baru di Kabupaten Pemalang. Pasca penataan organisasi di Pemalang UPPI berubah menjadi Unit Pelayanan dan Perizinan terpadu (UPPT) di bawah Disperindagkop. Selanjutnya objek survei tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan pengumpulan informasi terkait kebijakan dan aturan-aturan yang berhubungan dengan Izin Mendirikan Bangunan. 3. Tahap Penggalian Informasi Awal Setelah dilakukan pemantapan lokasi dan mendapatkan informasi terkait kebijakan dan aturan, selanjutnya dilakukan focus group discussion (FGD) tentang Izin Mendirikan Bangunan. Dalam pelaksanaan FGD team inti survei melakukan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Komite Masyarakat Pemalang Anti Korupsi (Kompak) sebagai bentuk pemberdayaan LSM lokal. Tugas LSM lokal (Kompak) adalah menyiapkan tempat pertemuan dan mengkoordinasikan kelompok-kelompok masyarakat pengguna layanan agar bisa hadir mengikuti FGD. Sementara pihak Pemerintah Kabupaten Pemalang yang dikoordinasikan oleh Bappeda dan UPPI bertugas menyedikan tempat dan mengundang para SKPD terkait, dan para camat untuk mengikuti FGD dalam hal pelayanan perizinan. FGD dilaksakan dengan dua kelompok sasaran. Kelompok pertama adalah penyedia jasa layanan (provider) dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten Pemalang yang secara teknis dilaksanakan oleh Unit Pelayanan Perizinan Terpadu (UPPT) berserta SKPD dan para camat di Pemalang. Kelompok kedua FGD dilakukan dengan pengguna layanan (customer) dalam hal ini adalah masyarakat dan dunia usaha yang terlibat langsung dalam proses pengurusan Izin Mendirikan Bangunan. Diskusi dilaksanakan selama 2 hari di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk penyedia jasa layanan. FGD ini dihadiri oleh unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pengawas Daerah (Bawasda), Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), Unit Pelayanan Perizinan dan Investasi (UPPI), Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan camat di wilayah Kabupaten Pemalang. Dalam FGD ini Sekda Pemalang, Santoso mengatakan bahwa penyedia layanan UPPI harus bersiap diri untuk transparan, terbuka dan tidak
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
55
BAB 4
56
alergi terhadap kritik dan masukan. Mentalitas minta dilayani harus diubah menjadi mental melayani. Pihak UPPI dan DPU menjelaskan secara rinci berbagai kebijakan, prinsip dan sistem pelayanan IMB. Diskusi kedua dilaksanakan di tempat pertemuan Pringjajar Pemalang pada hari berikutnya bagi pengguna layanan untuk mendapatkan masukan tentang pengalamanpengalaman yang mereka alami selama mengurus IMB. Oleh karena itu mereka yang hadir adalah yang pernah memiliki pengalaman dalam mengurus Izin Mendirikan Bangunan. Dalam diskusi tersebut dapat disusun indikator-indikator yang terkait dengan transparansi informasi, prosedur dan persyaratan permohonan IMB, gambar, waktu penyelesaian, biaya pengurusan, perilaku petugas serta respon umpan balik. Dari FGD ini ditemukan beberapa informasi penting antara lain pembuatan gambar sering menjadi masalah karena gambar yang dibikin pengguna layanan sering ditolak sehingga harus meminta bantuan kepada Dinas Pelayanan Umum (DPU). Biaya pengurusan masih terdapat tambahan di luar yang telah ditetapkan serta waktu penyelesaiannya banyak yang melampaui batas maksimal yang telah ditetapkan. 4. Tahap Penyusunan Kuisioner dan Survei Pada tahap awal, penyusunan kuesioner dikerjakan oleh TIM inti CRC dengan technical assistence (TA) Siti Fatimah dari BIGS (Bandung Institut Government Studies). Setelah kuisioner tersusun secara baik kemudian dilakukan pelatihan terhadap para surveyor yang nantinya akan melakukan survei di lapangan. Dalam pelatihan ini, kuisioner yang sudah tersusun kemudian didiskusikan lagi dengan para surveyor untuk mendapatkan masukan-masukan agar indikator-indikator yang sudah diperoleh lewat FGD dengan customer maupun provider bisa dipertajam. Kegiatan penyusunan kuisioner dilaksanakan selama 2 hari dilanjutkan dengan pelatihan survei selama 2 hari pula. Sebelum dioperasionalisasikan di lapangan, kuisioner terlebih dahulu diuji coba untuk mendapatkan masukan apakah waktunya terlalu lama dan membosankan responden atau tidak, bahasanya tepat atau tidak, serta bisa tidak bahasa yang dituangkan dalam kuisioner itu dipahami dengan mudah oleh para responden. Setelah diuji coba dan hasilnya bagus artinya tidak banyak memunculkan masalah kemudian survei baru dilaksanakan di lapangan dalam jangka waktu 10 hari. 5. Tahapan Pengumpulan Kuisioner, Pengolahan Data dan Analisa Data. Kegiatan ini dilakukan oleh team inti bersama dengan technical assistence (TA). Pada tahap ini team inti dan TA
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC PELAYANAN IMB DI KABUPATEN PEMALANG
melakukan koreksi dan evaluasi atas kuisioner yang disebarkan oleh surveyor untuk selanjutnya dikoding dan diolah untuk menjadi data survei yang baku. 6. Tahap Konsultasi dan Penyusunan Laporan Untuk menyusun laporan hasil CRC di dua daerah (Pemalang dan Magelang) dilaksanakan report writing workshop di Semarang selama 2 (dua) hari. Kegiatan ini melibatkan mitramitra LSM daerah yang ikut survei serta pihak penyedia layanan IMB. Setelah laporan tersusun dengan baik, lalu dilakukan consultative meeting dengan Pemerintah Kabupaten Pemalang tentang hasil survei CRC serta dilakukan penjadwalan bersama untuk melakukan launching. 7. Launching Hasil CRC Tahap terakhir adalah launching hasil CRC. Kegiatan ini dilaksanakan di Gedung Sasana Bhakti Praja Kabupaten Pemalang. Acara ini dihadiri oleh Bupati, Ketua DPRD, Kemitraan, Bappenas, Team Inti, SKPD-SKPD terkait dan juga media massa. Media ikut hadir dengan undangaan dari LSM Kompak agar meliput acara tersebut. Media memberitakan perihal hasil CRC pada hari berikutnya. Dalam acara launching tersebut narasumber diambilkan dari peneliti dan pengamat pelayanan publik, Team Inti, Sekda dan kepala unit pelayanan terpadu dengan sambutan dari Bappenas dan Bupati Pemalang. Dialog terjadi secara intens karena yang diundang adalah para birokrat yang kebanyakan sedang menempuh kuliah S2. Dialog semakin seru karena pembicaraan menukik dimulai dari metoda, jumlah responden, pembuatan laporan sampai pada temuan-temuan di lapangan. Dalam acara ini pemerintah daerah melalui Sekretaris Daerah menyambut baik hasil CRC dan menghimbau agar ada perubahan dalam pelayanan publik, sebab tanpa ada perubahan tidak akan terjadi perbaikan dan perubahan itu perlu perjuangan. Sekda juga merespon positif beberapa usulan perbaikan diantaranya adalah menyediakan mobil keliling untuk mengadakan pelayanan dan penyuluhan IMB kepada masyarakat. Dengan demikian hasil CRC ini berdampak positif bagi perbaikan terhadap pelayanan IMB di Kabupaten Pemalang. 4.5 Temuan Pokok Pemalang Pelayanan publik yang prima adalah pelayanan yang bisa dinikmati oleh penggunan layanan dengan mudah, murah dan cepat atau dalam konsep yang berbeda adalah pelayanan yang ramah. Ramah bukan hanya tampilan fisik murah senyum dan mudah menyapa pemohon
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
57
BAB 4
58
tetapi lebih jauh lagi adalah pelayanan yang benar-benar ramah terhadap customer yang mengurus IMB mulai dari awal sampai akhir. Di Pemalang desain awal penyelenggaraan pelayanan publik termasuk pengurusan IMB adalah untuk memberikan pelayanan yang prima atau ramah terhadap pelanggan. Memang dalam survei diperoleh hasil tingkat kepuasan konsumen atau pengguna layanan IMB yang cukup tinggi, bahkan mendekati 90%. Namun ketika ditelusuri lebih jauh, ternyata diperoleh fakta-fakta yang mengindikasikan adanya rasa kurang puas meskipun hal itu tidak disebutkan secara langsung. Hal ini bisa bisa dilacak dalam hal waktu penyelesaian pengurusan IMB. Di dalam SOP yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Pemalang maksimal waktu pelayanan adalah 5 hari setelah persyaratan lengkap. Tetapi dalam praktik masih lebih banyak yang selesai dalam waktu di atas 22 hari (ada 54% dari jumlah responden mengatakan hal itu). Sementara itu terkait biaya pengurusan IMB ternyata masih ada dana tambahan di luar yang resmi. Jumlah responden yang memberi jawaban masih ada pungutan liar ada 21%. Masyarakat juga masih merasakan adanya keluhan dalam mengurus IMB. Jumlah responden yang mengaku merasa ada keluhan mencapai 38%. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa mayoritas responden (70 %) memberikan jawaban bahwa mereka meminta bantuan orang lain dan 30% mengurus sendiri. Jumlah ini diambil dari semua responden yang pernah mengurus IMB. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, ada beberapa hal penting yang bisa dijelaskan terkait dengan CRC pengurusan IMB di Pemalang. Dengan masih tingginya keluhan, batas waktu penyelesaian yang relative belum tepat waktu, adanya uang pungutan di luar yang resmi serta banyaknya orang memilih meminta bantuan orang lain daripada mengurus sendiri bisa dipahami bahwa pelayanan pengurus IMB masih perlu ditingkatkan. Sebab sebuah pelayanan yang prima akan mengurangi munculnya para calo (jasa perantara) karena orang akan mengurus sendiri. Dengan masih dominannya calo dalam pengurusan IMB maka mau tidak mau penyedia layanan harus bekerja keras agar mereka bisa membuat kebijakan dan kinerja yang bisa mengalahkan pola-pola kerja yang diberikan oleh para calo. Meskipun kebijakan peningkatan kinerja pelayanan pengurusan IMB terus diupayakan tetapi kalau masyarakat masih terus menggunakan jasa calo berarti kebijakan itu hanya menguntungkan calo. Dalam hal masih adanya calo dan pungutan tidak resmi, sebetulnya hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga terjadi di banyak negara yang lain. Di Brasil, India, dan Italia permasalahan calo diberikan solusi dengan membuat dua jalur pelayanan yakni pelayanan resmi dan tidak resmi. Bagi yang ingin cepat dan mudah dibikin standar sendiri dan yang ingin mengurus secara normal dilayani tersendiri. Dengan demikian menjadi jelas berapa dana, waktu dan hal-hal lain
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC PELAYANAN IMB DI KABUPATEN PEMALANG
yang diperlukan dan harus dipenuhi terkait dengan penyelenggaraan sesuatu jenis pelayanan. Namun dalam konteks Pemalang, pemerintah daerah tidak akan memilih cara itu. Pemerintah Kabupaten Pemalang berkomitmen untuk dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang benar-benar murah, cepat, ramah dan tidak ada percaloan. Melihat pengalaman responden yang terekam lewat CRC di bidang pelayanan pengurusan IMB, maka mau tidak mau Pemerintah Kabupaten Pemalang harus mengindahkan keinginan-keinginan masyarakat Pemalang yang menghendaki adanya perbaikan-perbaikan di bidang pengurusan IMB. Hasil CRC adalah bukti otentik bahwa masyarakat pengguna layanan menghendaki perbaikan-perbaikan. Tentu saja tidak semua aspek perlu diperbaiki karena memang sudah cukup baik seperti kedisiplinan pegawai, sikap ramah dan baik serta keinginan untuk memberikan pelayanan yang terbaik di masa-masa mendatang terkait pengurusan IMB. Aspek-aspek yang sudah baik hanya perlu ditingkatkan agar menjadi lebih baik lagi. Sedangkan aspek-aspek yang masih perlu diperbaiki terkait dengan pelayanan IMB di Pemalang menurut responden adalah sebagai berikut24: Grafik 4.1 Perbaikan Yang Paling Mendesak Terkait Pelayanan IMB di Kabupaten Pemalang
Sumber: Laporan Hasil Survei CRC terhadap Pelayanan IMB di Kabupaten Pemalang, Kemitraan, September 2008. Laporan Hasil Survei CRC terhadap Pelayanan IMB di Kabupaten Peemalang, Kemitraan, September 2008. 24
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
59
BAB 4
Sebagaimana dapat diamati di dalam grafik 4.1 tersebut di atas, hal-hal yang mendesak yang harus segera dilakukan perbaikan terutama adalah waktu penyelesaian pembuatan izin (30%), dan biaya (24%). Harapan responden terhadap Pemerintah Kabupaten Pemalang ini adalah keinginan yang tidak mengada-ada tetapi sebuah keniscayaaan bila Pemerintah Kabupaten Pemalang lewat UPPT nya ingin memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. 4.6 Faktor Pendukung dan Penghambat
60
Layakanya sebuah rencana untuk melakukan perubahan, maka pelaksanaan CRC untuk mengukur Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) di sektor pelayanan publik (perizinan IMB) Kabupaten Pemalang juga tidak lepas dari faktor yang mendukung dan menghambat lajunya kegiatan tersebut. Faktor pendukung itu bisa berasal dari internal birokrasi maupun masyarakat. Demikian juga dengan faktor penghambat. Hal tersebut wajar dan memang dapat dipahami bahwa masih banyak masyarakat yang mengharapkan adanya suatu perubahan positif dengan melakukan dukungan terhadap setiap langkah kebijakan yang ditempuh. Dari sisi birokrasi juga ada pihak-pihak yang apresiatif terhadap kegiatan CRC di sektor perizinan bahkan lebih jauh agar CRC bisa diterapkan di semua jenis layanan publik. Dengan demikian tingkat keberhasilannya bisa diukur dengan jelas. Yang bernada menghambat juga bisa lahir dari masyarakat yang selama ini ikut menikmati pola lama sistem pelayanan terutama para calo. Sedangkan di lingkungan birokrasi juga masih ada yang sulit untuk merubah pola pikir dari dilayani menjadi melayani. Memang masih ada pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kebiasaan yang berpihak kepadanya maupun belum terbiasanya suatu kegiatan perubahan yang konstruktif diterapkan. Akan tetapi yang lebih penting adalah mengidentifikasi faktor-faktor penghambat dan pendukung itu sendiri secara tepat, sehingga dapat dirumuskan rekomendasi perbaikan penyelenggaraan pelayanan publik yang komprehensif, sistematis dan efektif. Identifikasi faktor-faktor pendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi khususnya dari hasil survei persepsi masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Komitmen Berbagai Pihak. Faktor pendukung utama adalah adanya komitmen dan dukungan dari Bappenas untuk mendorong Pemerintah Kabupaten Pemalang agar melaksanakan CRC terhadap RAD-PK yang telah disepakati melalui MoU (memorandum of understanding) tanggal 1 April 2008. Komitmen ini memberikan angin segar bagi upaya pelaksanaan CRC karena dengan demikian program tersebut akan dianggap sebagai program yang legal dan sangat penting sekali, karena Bappenas secara terus terang juga menyatakan bahwa program ini sebagai
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC PELAYANAN IMB DI KABUPATEN PEMALANG
salah satu pilot project upaya pemberantasan korupsi di sektor pencegahan. Dengan demikian semua semua stakeholder harus menerima dengan baik dan mendukung sepenuhnya program tersebut. 2. Keterbukaan Penyedia Layanan. Keterbukaan penyedia layanan baik dalam menerima kritik, saran dan masukan untuk perbaikan pelayanan perizinan IMB maupun keterbukaan dalam hal melayani masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang selukbeluk pelayanan publik khususnya di bidang perizinan adalah faktor yang sangat penting untuk mendukung kelancaran CRC. Sikap terbuka dan mudah bekerjasama dengan Team Inti maupun team secara keseluruhan juga ditunjukan setelah CRC dirumuskan. Harapannya hasil CRC bisa memberikan dorongan bagi perubahan sistem pelayanan IMB di Pemalang. Dengan demikian Pemerintah Kabupaten Pemalang sangat apresiatif terhadap hasil CRC. 3. Sifat Familiar Masyarakat. Familiarnya masyarakat untuk menerima para surveyor yang melaksanakan tugas CRC meskipun mereka sebenarnya belum tahu apa itu CRC. Mereka belum tahu apakah CRC akan menguntungkan, merugikan atau kegiatan yang akan berdampak positif bagi masyarakat. Tetapi karena masyarakatnya familiar maka kerja yang cukup baru di kalangan masyarakat tersebut tetap berjalan lancar. Sifat familiar ini menjadikan surveyor tidak terlalu butuh waktu lama untuk menjelaskan apa itu CRC, yang penting kegiatan itu tidak menimbulkan masalah bagi responden. Sedangkan identifikasi faktor-faktor penghambat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi khususnya dari hasil survei persepsi masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kurang akuratnya data pemilik IMB. Salah satu problem mendasar terkait dengan CRC di Kabupaten Pemalang adalah belum tersedianya data pemilik/ pemohon IMB secara akurat. Banyak nama pemilik yang kurang jelas alamatnya, atau disebutkan alamatnya tetapi banyak nama-nama yang hampir mirip nama depannya tetapi nama belakangnya berbeda. Dalam banyak kasus juga ditemui bahwa nama yang terdaftar di kantor UPPT memang benar ada orangnya di masyarakat tetapi belum pernah mengurus IMB, sedangkan yang memiliki IMB adalah nama lain yang kebetulan nama depannya sama. Data yang kurang akurat ini menjadikan kesulitan bagi surveyor untuk melakukan tugas wawancara kepada responden.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
61
BAB 4
2. Banyaknya pemilik IMB berstatus ”urban”. Mereka memiliki rumah di Kabupaten Pemalang tetapi sehari-hari bekerja dan hidup di Jakarta atau kota besar lainnya. Rumah yang ada di tempati anak-anaknya, orang tua atau pembantu. Dengan kondisi seperti ini menjadikan proses survei menjadi agak lama, tidak efektif karena harus mengganti responden sebab tidak ada yang bisa memberi keterangan perihal pengurusan IMB. 3. Faktor geografis. Letak Kabupaten Pemalang yang memanajang dari jalur pantura Jawa Tengah sampai ke perbatasan Kabupaten Purbalingga dan berada di bawah kaki Gunung Slamet menjadikan daerah ini cukup susah untuk dijelajahi. Letak geografis ini menuntut surveyor harus berjibaku naik turun jurang, desa, gunung dan bukit-bukit. Lokasi ini menjadikan kerja survei harus bertambah lebih banyak dari jumlah hari yang telah disepakati.
62
4.7 Motivasi Mengurus IMB: Pengalaman Unik Pemalang dan Rekomendasi Tindak Lanjutnya Kebanyakan responden yang disurvei memberikan jawaban bahwa mereka mengurus IMB karena taat pada peraturan (78 %). Jawaban ini merupakan gabungan dari dari mereka yang mengurus IMB sendiri maupun yang meminta bantuan orang lain. Urutan berikutnya adalah mereka yang mengurus IMB untuk mengajukan kredit (11 %). Sementara yang mengurus IMB karena bertujuan agar bangunan tidak dibongkar/ digugat (10%); dan hanya ada 1 % yang mengurus IMB untuk mendapatkan masukan mengenai bagaimana cara membangun rumah tinggal atau usaha yang baik. Data tersebut di atas mengindikasikan bahwa mayoritas responden mengurus IMB karena mereka sekedar memenuhi tuntutan aturan. Hal ini bukan berarti tidak baik, tetapi hal ini kurang sesuai dengan tujuan diadakannya pelayanan IMB. Tujuan utama diadakannya layanan IMB itu bukan untuk kepentingan penyedia layanan tetapi lebih pada upaya pemenuhan kepentingan pengguna jasa layanan. Argumen atas pernyataan ini adalah bahwa filosofi dasar diciptakannya layanan IMB adalah untuk memberikan advice layanan bagaimana membangun rumah tinggal, tempat usaha atau bangunan yang sesuai dengan kondisi lingkungan, letak geografis, dan tidak menyalahi desain tata kota/wilayah yang ada. Dengan perteambangan berbagai faktor di atas, maka penyedia layanan yang akan meloloskan IMB akan memberikan saran bagaimana konstruksi bangunan yang cocok dengan kondisi tanah, letak geografi serta tatakelola kota/wilayah. Dengan demikian keamanaan pemilik
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CRC PELAYANAN IMB DI KABUPATEN PEMALANG
akan terjaga dan tidak terganggu maupun mengganggu masyarakat dan lingkungannya. Urutan kedua motif mengurus IMB adalah untuk mendapatkan kredit. Hal ini memang tidak dilarang, tetapi tujuan ini seharusnya bukan menjadi tujuan utama. Sedangkan urutan motif pengurusan IMB yang berikutnya adalah agar bangunan tidak digugat. Motivasi ini juga tidak melanggar aturan tetapi mengesankan bahwa penyedia layanan dalam hal ini pemerintah merupakan ancaman bagi warganya sehingga kalau tidak mengurus IMB maka bisa dengan sesuka hati bisa menggusur, menggugat atau bahkan merobohkan bangunan milik rakyat. Ini merupakan hal yang memprihatinkan kalau benar bahwa motifasi masyarakat mengurus IMB adalah untuk sekedar berlindung dari ancaman pemerintah daerah. Ini adalah sebuah kontradiksi, sebab tujuan IMB bukan untuk menakutnakuti atau sebaliknya tameng bagi bangunan yang tidak benar. IMB diadakan adalah untuk mengatur bagaimana agar bangunan itu menjadi aman dan nyaman bagi pemiliknya. Tentu saja ini perlu mendapatkan perhatian agar IMB itu tidak disalah-pahami oleh masyarakat pengguna layanan. Sebab kalau terjadi kesalah-pahaman seperti itu, bisa-bisa penyedia layanan diduga negatif, misalnya demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka IMB digalakkan. Jika terjadi persepsi semacam ini tentu akan merugikan pihak penyedia layanan. Oleh karena itu masih butuh sosialisasi lebih intens tentang makna diadakannya layanan IMB bagi masyarakat agar tujuan utamanya benar-benar dimengerti dan dapat diwujudkan. Di sinilah pentingnya pemahaman yang lebih mendalam dari penyedia jasa IMB bahwa mereka tidak hanya dituntut untuk bisa melayani dengan cepat, tepat dan murah tetapi juga memiliki dayaguna bagi pengguna layanan. 4.7 Tindak Lanjut Yang Telah Dilakukan Disamping melakukan upaya untuk melaksanakan hasil rekomendasi survei CRC, Pemerintah Kabupaten Pemalang menjadikan hasil survei CRC pada pelayanan perizinan IMB sebagai referensi untuk perbaikan pelayanan publik dengan berbasis ISO (International Organization for Standarditation) yang sedang dilakukan pada Dinas Perijinan dan Penaman Modal. Berdasarkan hasil survei CRC pula, Kabupaten Pemalang meningkatkan status kelembagaan pelayanan perizinan yang asalnya berbentuk unit menjadi kantor dengan nama Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu yan telah disahkan dengan Peraturan Daerah Kota Pemalang dan berlaku efektif tahun 2009, hal ini dilakukan agar kewenangan di bidang perizinan menjadi lebih besar dan dapat menyelenggarakan pelayanan perizinan secara optimal.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
63
64
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
SURVEI CRC DI KOTA MAGELANG
BAB 5 PRAKTIK TERBAIK DAN PEMBELAJARAN SURVEI CRC DI KOTA MAGELANG
Untuk mewujudkan kehidupan yang berkualitas, dalam kehidupan sehari-hari kita memerlukan beragam pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa,. Di berbagai bidang pelayanan, negara memainkan peran yang sangat dominan dan bahkan menguasai penyelenggaraan layanan tersebut (monopolistic public goods). Pelayanan perizinan dan sertifikasi, termasuk di dalamnya izin mendirikan bangunan (IMB) merupakan pelayanan yang menjadi kewenangan mutlak negara. Oleh karena itu, negara wajib mengelola sumber daya yang dimiliki dan mengalokasikannya demi kesejahteraan warga melalui pelayanan IMB yang berkualitas. Filosofi dari sebuah pelayanan adalah memberikan jasa yang terbaik demi kepuasan konsumen (masyarakat pengguna). Dengan kata lain, konsumen adalah raja. Dalam konteks IMB, filosofinya adalah memberikan pelayanan yang berkualitas dalam proses pengurusan IMB, mulai dari aspek ketepatan waktu, sampai pada perilaku petugas dalam melaksanakan pelayanan tersebut. Tapi benarkah dalam pengurusan IMB
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
65
BAB 5
di Kota Magelang masih berlaku hukum konsumen adalah raja? Hal inilah yang hendak dikaji di dalam bab ini. 5.1 Deskripsi Kota Magelang
66
Kota Magelang terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah, dikelilingi oleh Kabupaten Magelang, dengan batas Sungai Elo di Sebelah Timur, dan Sungai Progo di Sebelah Barat. Sementara Kecamatan Secang membatasi Kota Magelang di Sebelah Utara dan Kecamatan Mertoyudan di Sebelah Selatan. Luas Kota Magelang hanya 1.812 hektar (ha) sehingga Kota Magelang memiliki predikat sebagai daerah tersempit di Propinsi Jawa Tengah. Topografinya mayoritas datar, dan sedikit bergelombang sampai curam. Dengan ketinggian 350 meter di atas permukaan laut, Kota Magelang memiliki hawa yang cenderung sejuk, antara 17o– 32o C. Sebagai sebuah kota, sebagian besar lahan di Kota Magelang dipergunakan untuk lahan pemukiman atau perkampungan, yaitu sebesar 73%. Luas penggunaan lahan sebagai tempat tinggal ini, secara perlahan selalu meningkat, karena jumlah penduduk Kota Magelang yang secara perlahan juga selalu bertambah. Sementara dari luas wilayah yang hanya 18,12 km² tersebut, 24,038 ha, diantaranya merupakan hutan negara, yaitu Gunung Tidar. Gunung Tidar ini terletak di tengah-tengah Kota Magelang dan merupakan pusat pendidikan akademi militer. Secara administratif, Kota Magelang dibagi menjadi 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Magelang Utara, Kecamatan Magelang Tengah dan Kecamatan Magelang Selatan. Tiga kecamatan tersebut kemudian dibagi lagi menjadi 17 kelurahan. Menurut registrasi tahun 2006, jumlah penduduk Kota Magelang adalah 118.646 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sejumlah 57.124 jiwa dan perempuan 61.522 jiwa. Sedangkan laju pertambahan penduduknya berkisar pada angka 0,7 % per tahun. Sementara setiap tahunnya jumlah penduduk yang masuk selalu lebih besar dari penduduk yang keluar. Hal ini menandakan banyaknya masyarakat luar Kota Magelang yang menaruh harapan besar untuk hidup dan berusaha di Kota Magelang. Sebagian besar penduduk Kota Magelang bekerja di bidang perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel; bidang industri pengolahan; bidang bangunan dan; bidang angkutan, pergudangan dan komunikasi. Sedangkan ditinjau dari sisi tata ruang, Kota Magelang dibagi menjadi lima Bagian Wilayah Kota (BWK). Pola pemanfaatan lahan terdiri dari permukiman, perkantoran, sekolah dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan sedikit kawasan lindung. 5.2 Potret Pelayanan Publik Kota Magelang Salah satu tugas pemerintah daerah adalah pemberian pelayanan publik yang prima kepada masyarakat. Dalam kenyataannya penyediaan
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
SURVEI CRC DI KOTA MAGELANG
jasa pelayanan publik kepada masyarakat sering ditumpangi oleh kepentingan orang ataupun kelompok yang bertujuan untuk memperkaya diri ataupun kelompoknya sebagai ‘pemburu rente’. Praktik korupsi dalam pelayanan publik sepertinya sudah menjadi fenomena yang umum terjadi. Saking umumnya, bahkan hal itu tidak lagi dirasakan sebagai tindak korupsi, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pengurusan pelayanan publik. Praktik korupsi sekarang ini sudah terstruktur dan membudaya. Untuk itu, pemberantasan korupsi merupakan agenda yang paling mendesak untuk dilakukan. Akan tetapi, karena korupsi ini sudah terstruktur dan membudaya, maka korupsi tidak dapat dilawan dengan penegakan hukum semata. Bayangkan, seandainya seluruh koruptor di Indonesia harus diadili dan dikirim ke penjara, diperlukan proses yang sangat lama untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Belum lagi jika terpidana mengajukan banding dan kasasi. Alhasil, untuk menyeret koruptor ke penjara, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Kalaupun berhasil, belum tentu penjara yang ada dapat menampung seluruh koruptor. Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (DPTPM) Kota Magelang merupakan perangkat daerah penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang memiliki tugas pokok memberikan pelayanan administrasi perizinan dan non perizinan tertentu dan pelayanan di bidang penanaman modal kepada masyarakat yang telah dilimpahkan oleh Walikota Magelang.25 DPTPM Kota Magelang memiliki tanggung jawab dan kewajiban di dalam proses administrasi, sementara pembinaan teknis dan pengawasan menjadi kewajiban dan tanggung jawab Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang secara teknis terkait dengan DPTPM. DPTPM mulai melaksanakan kegiatan mulai tanggal 28 Juni 2007. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah bagian dari pelayanan bidang perizinan dan sertifikasi. Ini adalah salah satu jenis pelayanan yang pengurusannya menjadi kewenangan mutlak negara. Publik meyakini bahwa pelayanan IMB adalah salah satu jenis pelayanan yang sarat dengan persoalan suap (biaya tinggi), waktu pengurusan yang lama, rumit dan berbelit-belit. Sedangkan di sisi lain Pemkot Magelang telah mencanangkan konsep one stop service. Hal ini diatur di dalam Keputusan Walikota Magelang No 068.2/36.d/112 Tahun 2007 tentang Penetapan Jenis Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan Pada Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Magelang, yang mencakup 31 jenis peizinan dan 6 jenis non perizinan yang ditangani oleh DPTPM. Pelayanan IMB di Kota Magelang, selama ini diatur dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 5 tahun 2001 DPTPM saat ini berubah menjadi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T). Perubahan dimaksud dengan Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok Organisasi Lembaga Teknis Daerah, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Satpol PP. 25
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
67
BAB 5
tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan, yang diundangkan pada tanggal 1 Juni 2001. Peraturan perundangan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan tertib bangunan untuk menciptakan lingkungan yang aman, tertib dan sehat.26 5.3 Latar Belakang Lahirnya RAD PK Kota Magelang
68
Saat ini, pemberantasan korupsi tengah menjadi prioritas utama pemerintah. Serangkaian aturan telah diterbitkan demi mewujudkan agenda pemberantasan korupsi, baik dari aspek penindakan maupun dari aspek pencegahan. Komisi Pemberantasan Korupsi membedakan adanya dua jenis korupsi, yaitu korupsi yang terjadi karena kebutuhan (need corruption) dan korupsi karena kerakusan (greedy corruption).27 Korupsi jenis pertama terjadi terutama karena sistem pemerintahan yang kurang baik. Korupsi ini dapat diberantas dengan tindakan perbaikan sistem itu sendiri. Sementara itu, korupsi jenis kedua lebih banyak disebabkan karena ketamakan dan mental yang rusak. Ini harus diperbaiki dengan upaya penindakan, yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Penanganan korupsi jenis kedua menjadi tugas institusi penegak hukum yang meliputi kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan khususnya KPK. Agenda pemberantasan korupsi dengan penekanan pada penindakan telah dilakukan semenjak era reformasi yang ditandai dengan munculnya semangat pemberantasan korupsi pada tahun 1999 dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Semangat untuk melakukan pemberantasan korupsi begitu menggebugebu. Akan tetapi dalam perkembangannya ternyata pola pemberantasan korupsi yang dofokuskan pada penindakan an sich dirasakan kurang efektif. Pemberantasan korupsi dengan titik berat pada penindakan ini begitu boros waktu dan biaya. Hal ini terjadi karena untuk menyeret satu kasus hingga sampai pada vonis yang berkekuatan hukum tetap, harus ditempuh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan serta persidangan yang masing-masing proses ini membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Terlebih lagi jika terpidananya mengajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali; tentu waktu dan biaya yang diperlukan akan lebih membengkak lagi. Memperhatikan kendala tersebut di atas, perlu dilakukan pergeseran prioritas upaya penanggulangan korupsi melalui metoda pencegahan Peraturan yang relevan untuk IMB saat ini adalah UU. No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang Pelaksanaan UU. No. 28 Tahun 2002; Kepmen PU Nomor 24/PRT/ M/2007 Tanggal 9 Agustus 2007 tentang Petunjuk Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung, beserta aturan teknis lainnya yang diatur dalam Permen PU dan Kepmen PU. 27 Lihat Laporan KPK tahun 2006 dan 2007 26
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
SURVEI CRC DI KOTA MAGELANG
terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan sistem yang menutup kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Inilah komitmen yang saat ini tengah menjadi agenda utama pemerintah. 5.4 RAD PK Kota Magelang Sebagai wujud dari komitmen pemerintah, Presiden RI telah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Untuk menindaklanjuti Inpres ini, telah disusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) 2004-2009. RAN PK ini berisi langkah-langkah atau upaya kongkrit yang akan dilakukan oleh pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mempercepat proses perbaikan dan penyempurnaan kebijakan dan/atau kelembagaan demi untuk mewujudkan pelayanan publik yang bersih dan bebas dari korupsi. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi ini pada level daerah akan diturunkan menjadi Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD-PK). Di Kota Magelang, RAD-PK diatur dalam Peraturan Walikota Magelang Nomor 33 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD-PK) Kota Magelang Tahun 2007-2010; serta Peraturan Walikota Magelang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Rencana Tindak Lanjut RAD-PK Kota Magelang Tahun 2007-2010. Ini merupakan wujud komitmen Pemkot Magelang yang sangat kuat dalam upaya pemberantasan korupsi. Inpres Nomor 5 Tahun 2004 memberikan implikasi bahwa segenap lapisan masyarakat mempunyai tanggung jawab bersama untuk melaksanakan RAN PK maupun RAD-PK secara konsisten dan konsekuen serta yang terpenting adalah masyarakat benar-benar memperoleh manfaat dari pelaksanaan rencana aksi tersebut. Karena permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang permisif dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal. Korupsi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perilaku birokrat yang kompromisitis dan juga sikap masyarakat yang permisif terhadap praktik korupsi. Korupsi birokrasi, terutama suap dalam pemberian pelayanan publik, terus saja terjadi dan seakan dianggap wajar, baik oleh aparatur birokrasi maupun masyarakat itu sendiri. Terjadinya korupsi birokrasi ini disebabkan karena adanya permintaan yang tinggi dari masyarakat atas kualitas pelayanan publik yang cepat, mudah, terjangkau dan pasti. Akan tetapi di sisi lain, sistem pelayanan yang ada tidak sesuai dengan yang diidealkan. Dengan kondisi yang demikian, maka seringkali terjadi kompromi dan pengambilan jalan pintas untuk menyelesaikan urusan
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
69
BAB 5
birokrasi dalam pelayanan publik. Fenomena tersebut juga muncul di Kota Magelang, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat dan pemangku kepentingan yang lain terhadap keberadaan RAD-PK Kota Magelang Tahun 2007-2010. 5.5 Persiapan dan Proses Survei CRC
70
Demi tercapainya Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009 dibutuhkan suatu lingkungan kondusif dengan visi dan komitmen pemerintah, pengadaan sumber daya yang memadai dengan penerapan strategi, perencanaan dan pendekatan yang terdiri dari tindakan pencegahan dan tindakan penindakan, serta peran aktif dari masyarakat, monitoring dan evaluasi dari Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009. Berkaitan dengan upaya percepatan Pemberantasan Korupsi tersebut, Bappenas bersama dengan Partnership sejak tahun 2005 hingga saat ini telah melaksanakan kegiatan proses penyusunan, sosialisasi, konsultasi dan kampanye publik dokumen Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009 serta FGD dalam rangka penyusunan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD-PK) di beberapa daerah. Dokumen RAN-PK tersebut menjadi acuan dan telah dijabarkan oleh masing-masing daerah ke dalam RAD-PK sebagai upaya memperbaiki dan menyempurnakan pelayanan publik serta membangun sistem integritas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya praktik korupsi. Sebagai bagian dari pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD-PK), Kota Magelang dijadikan sebagai salah satu pilot project area yang ditunjuk oleh Bappenas dalam program percepatan pemberantasan korupsi. Untuk itu telah dilaksanakan pertemuan dengan pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil untuk menyusun agenda bersama dalam melaksanakan RAD-PK. Salah satu hal penting yang muncul dalam pertemuan tersebut adalah keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah. Untuk itu perlu dibuat kegiatan partisipatif dengan tujuan untuk menggali masukan dari masyarakat. Kegiatan yang sudah disepakati adalah survei persepsi masyarakat melalui citizen report card (Kartu Pelaporan Masyarakat). Survei yang dilakukan secara partisipatif ini bertujuan untuk mencari masukan dari masyarakat terkait dengan substansi RAD PK. Survei ini juga diharapkan dapat memberikan bahan perbaikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Magelang. Jenis pelayanan publik yang dipilih untuk disurvei adalah pelayanan pengurusan IMB yang diselenggarakan oleh Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (DPTPM) Kota Magelang. Sebagai dukungan terhadap pelaksanaan Survei CRC, telah ditandatangani Nota Kesepahaman Bersama (memorandum of understanding) Nomor 11 Tahun 2008 – Nomor 1642/Dt.21/03/2008 antara Bappenas-RI
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
SURVEI CRC DI KOTA MAGELANG
dengan Pemerintah Kota Magelang tentang dukungan Pemkot Magelang terhadap pelaksanaan Survei Persepsi Masyarakat melalui citizen report card di Kota Magelang, yang dilaksanakan pada hari Senin, 3 Maret 2008. Nota Kesepahaman Bersama tersebut ditandatangani oleh Diani Sadiawati, SH., LLM., selaku Direktur Hukum dan Hak Asasi Manusia Bappenas-RI, dan H. Fahriyanto selaku Walikota Magelang. Langkah yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan ini diawali dengan upaya team untuk mencoba meyakinkan pihak pemkot bahwa survei ini akan bermanfaat dan akan memberikan kontribusi yang positif terhadap proses pemberantasan korupsi dan perbaikan layanan publik di Kota Magelang. Kerjasama yang dilakukan bersama dengan aparat di lingkungan Pemkot Magelang, yang dalam hal ini adalah Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Magelang, merupakan jembatan yang menghubungkan team yang notabene adalah orang luar dengan jajaran aparat di Pemkot Magelang. Ibarat orang yang hendak bertamu, sopan santun yang tidak boleh dilewatkan adalah permisi dan mengetuk pintu. Demikian pula yang dilakukan oleh team peneliti survei CRC di Kota Magelang. Melalui sosialisasi tentang RAD PK dan penjelasan kesepakatan yang berisi tentang dukungan terhadap pelaksanaan survei CRC di Kota Magelang, akhirnya diperoleh dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan survei CRC ini. Setelah penandatanganan nota kesepahaman dilakukan, kemudian diselenggarakan pertemuan yang dihadiri semua pemangku kepentingan dengan tujuan untuk menentukan jenis pelayanan publik di Kota Magelang yang akan disurvei. Pertemuan ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendorong stakeholders di Kota Magelang agar: 1. Meningkatkan komitmennya dalam melakukan upaya-upaya percepatan pemberantasan korupsi; 2. Mempererat koordinasi pusat, daerah dan media dalam perbaikan pelayanan publik dan pemberantasan korupsi; 3. Memastikan dilaksanakannya langkah-langkah baik pencegahan maupun penindakan serta untuk memberikan hasil konkrit kepada masyarakat sebagai wujud penanganan korupsi yang memerlukan pendekatan penanganan secara sistematis; 4. Mendapatkan masukan dan tanggapan serta dukungan komitmen berupa penyempurnaan kebijakan dari berbagai pihak dalam rangka implementasi RAD-PK; 5. Merumuskan pelibatan masyarakat dan sektor swasta dalam implementasi RAD-PK; 6. Memberikan asistensi pusat kepada SKPD pelaksana RAD-PK di Kota Magelang dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan RAD PK di daerah; 7. Memberikan informasi mengenai kegiatan seputar percepatan pemberantasan korupsi di Kota Magelang; serta 8. Mendapatkan dukungan dari media bagi sosialisasi RAD-PK di Kota Magelang.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
71
BAB 5
72
Dalam pertemuan tersebut, isu yang paling menonjol dan yang diusulkan peserta untuk disurvei adalah pelayanan pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diselenggarakan oleh Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (DPTPM) Kota Magelang. Jenis pelayanan ini dipilih karena diasumsikan bahwa yang paling banyak terjadi praktik korupsi adalah di sektor perizinan termasuk izin IMB. Rangkaian Survei CRC pasca pertemuan dengan pemangku kepentingan adalah riset kualitatif. Hal ini dilakukan melalui studi dokumen yaitu aturan-aturan yang terkait dengan IMB, wawancara dengan stakeholder terkait, yang dilanjutkan dengan focus group discussion (FGD). Studi dokumen yang bertitiktolak pada aturan perundangan yang terkait dengan IMB ini dilakukan terhadap aturan perundangan baik pada level nasional maupun kebijakan lokal yang terkait dengan pengurusan IMB.28 Adapun wawancara dengan stakeholder dilakukan terhadap pejabat DPTPM serta Bappeko Magelang. Untuk DPTPM, wawancara dilakukan terhadap Kepala DPTPM serta beberapa staf di dinas tersebut. Sedangkan untuk pemkot, wawancara dilakukan terhadap jajaran aparat di Bappeko Magelang. Wawancara ini dimaksudkan untuk mendapatkan masukan terkait aturan serta apa yang telah dilaksanakan serta apa yang tengah diagendakan Pemkot Magelang terkait dengan inovasi dan upaya perbaikan dalam pelayanan IMB di kota Magelang. Wawancara juga dimaksudkan untuk menggali hambatan atau kendala yang dialami terkait dengan upaya realisasi atas inovasi tersebut serta hal-hal yang telah berhasil dilakukan. Wawancara kepada stakeholder ini juga sekaligus dipakai sebagai wahana untuk melakukan cross check antara informasi yang didapatkan dari aparat dengan informasi yang didapatkan dari masyarakat. Aturan-aturan yang diteliti tersebut meliputi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2005, tentang Standar Pelayanan Prima; Permendagri No 24 Tahun 2006, Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP); Peraturan Daerah Kota Magelang No 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah No 5 Tahun 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Magelang; Peraturan Walikota Magelang No 23 Tahun 2006 tentang Standar Pelayanan Prima; Peraturan Walikota Magelang No 11 Tahun 2007 tentang Pedoman Uraian Tugas Jabatan Struktural Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Magelang; Keputusan Walikota Magelang No 068.2/36.d/112 tahun 2007 tentang Penetapan Jenis Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan Pada Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Magelang; Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Magelang Nomor 551.21/06/297 Tanggal 2 Juli 2007 tentang Prosedur Pelayanan Perizinan Dan Non Perizinan yang Dikelola Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Magelang; serta Standar Pelayanan Publik (SOP) Izin Mendirikan Bangunan di Kota Magelang. Adapun studi dokumen yang lain adalah buku-buku yang relevan dengan survei CRC ini. 28
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
SURVEI CRC DI KOTA MAGELANG
5.6 Temuan Pokok CRC Populasi survei CRC pelayanan IMB di Kota Magelang adalah para pengguna layanan IMB pada bulan Juni 2007– bulan Mei 2008. Data yang diperoleh dari kantor DPTPM, menunjukkan adanya 298 pengguna yang sudah mengajukan permohonan IMB. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam survei CRC ini adalah teknik pengambilan sampel stratifikasi proporsional. Implementasi teknik ini dimulai dengan membuat kerangka sampel dan mengklasifikasikan semua data pengguna tersebut ke dalam kecamatan-kecamatan yang ada di Kota Magelang. Setelah itu penentuan responden dilakukan di setiap kecamatan dengan menggunakan teknik acak sederhana. Sedangkan teknik wawancara yang dilakukan dalam survei CRC ini adalah wawancara tatap muka langsung terhadap responden terpilih. Wawancara terhadap responden ini dilakukan selama kurang lebih dua minggu. Dengan tingkat kepercayaan 95%, proporsi 0,5, sampling error 5%, dan N 298, maka jumlah minimal sampelnya adalah 169. Untuk survei ini diambil sampel sebanyak 190 responden yang tersebar di 3 kecamatan. Hasil survei menunjukkan bahwa salah satu temuan pokok dalam survei ini adalah tingginya penggunaan jasa perantara dalam pengurusan IMB, yang mencapai 58%. Dengan demikian asumsi dasar penyelenggaraan pelayanan untuk memenuhi kewajiban negara dalam memberikan pelayanan publik terbaik kepada warganya, patut dipikirkan ulang. Tingginya penggunaan jasa perantara atau calo jelas mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki persepsi bahwa kualitas pelayanna sangat jelek, sehingga mereka enggan untuk mengurus sendiri. Hasil survei juga menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui informasi pelayanan IMB secara lengkap melalui leaflet, brosur atau buku saku dan juga informasi dari kantor kecamatan. Dengan demikian mediamedia tersebut dapat dijadikan alat sosialisasi yang cukup efektif oleh penyedia layanan untuk menyampaikan informasinya secara lengkap kepada masyarakat. Temuan dalam FGD menyatakan bahwa pengajuan kredit merupakan alasan yang paling mengemuka bagi masyarakat untuk mengurus IMB.29 Sebaliknya, alasan pengajuan kredit hanya disebutkan oleh 4% responden. Sementara itu ‘memenuhi aturan’ adalah alasan yang paling banyak dipilih oleh responden dalam survei, yang mencapai 83%. Temuan ini mengindikasikan bahwa mayoritas responden merupakan masyarakat yang taat terhadap aturan. Terlebih lagi ini juga didukung dengan data bahwa 46% responden mengurus IMB sebelum mendirikan bangunan. Akan tetapi karena ada inkonsistensi antara temuan survei dengan temuan FGD, maka hal ini perlu dikaji ulang. Data survei menunjukkan bahwa 64 % responden mengurus IMB untuk rumah tinggal dan 36 % untuk keperluan usaha. Hal itu menunjukan 29
FGD dengan user IMB di Kota Magelang tanggal 30 April 2008 MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
73
BAB 5
74
bahwa cukup banyak orang yang menjalankan usaha di Kota Magelang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kota Magelang sebagai kota jasa yang aman dan nyaman cukup diminati untuk melakukan investasi. Ada dua aspek pengurusan IMB yang informasinya banyak tidak diketahui oleh pengguna. Kedua aspek ini adalah biaya (60%) dan waktu penyelesaian IMB (65%). Kedua aspek ini juga sering muncul ketika team peneliti melakukan FGD dengan pengguna satu bulan sebelum penyelenggaraan survei dilakukan. Sementara itu, terkait persyaratan pengurusan IMB, temuan yang menonjol adalah bahwa gambar rencana bangunan merupakan salah satu persyaratan yang sulit dipenuhi oleh responden. Hal itu mengakibatkan mayoritas responden lebih suka meminta bantuan orang lain untuk membuatkan gambar (52%). Sedangkan pihakpihak yang sering diminta bantuan untuk membuatkan gambar adalah arsitek, petugas DPU dan petugas DPTPM. Sebenarnya cukup banyak juga responden yang membuat sendiri gambar bangunannya (48%), akan tetapi 20% responden yang membuat sendiri gambar rencana bangunan, gambarnya tidak diterima oleh petugas. Walaupun peraturan mengatakan bahwa IMB dapat diselesaikan dalam waktu 15 hari atau bahkan lebih cepat, faktanya lebih dari sepertiga responden atau 78% membutuhkan waktu lebih dari sebulan untuk mendapatkan IMB. Oleh karena itu dapat dimaklumi mengapa kepuasan responden terhadap waktu penyelesaian berbeda tipis antara yang puas dan yang tidak, 42% menyatakan puas dan 58% menyatakan tidak puas. Salah satu tujuan diselenggarakannya CRC adalah untuk mengungkap biaya-biaya tidak resmi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Terkait dengan hal ini, 20% responden menyatakan ada biayabiaya yang dikeluarkan selain biaya resmi. Biaya-biaya ini berkisar antara Rp 100.000,- sampai dengan Rp 500.000,-. Adanya biaya-biaya yang tidak resmi ini kemungkinan menyebabkan banyaknya responden yang menyatakan bahwa mereka tidak puas dengan pelayanan IMB. Minimnya pengetahuan pengguna terhadap biaya IMB juga terekam dengan baik dalam survei ini. Hasil survei menunjukkan adanya 64% responden yang tidak mengetahui ketentuan tentang biaya pengurusan IMB. Hal ini menunjukkan bahwa leaflet yang memuat cara menghitung biaya IMB, tidak begitu efektif untuk mensosialisasikan penghitungan biaya IMB kepada masyarakat. Terkait dengan pengaduan masyarakat, 48% responden menyatakan ada keluhan ketika mengurus IMB, angka persentase ini hampir sebanding dengan responden yang tidak mengeluh (52%). Secara lebih detail, diketahui bahwa aspek-aspek yang paling sering dikeluhkan oleh sebagian besar responden adalah waktu pelayanan, dan rincian biaya pengurusan IMB. Adapun cara penyampaian keluhan yang paling banyak dipilih adalah disampaikan langsung kepada petugas. Sementara itu pengguna layanan yang tidak menyampaikan keluhan beralasan bahwa mereka tidak yakin kalau pengaduannya akan ditanggapi. Ada juga
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
SURVEI CRC DI KOTA MAGELANG
responden yang menyatakan bahwa mereka tidak tahu cara menyampaikan keluhan, atau ada juga yang mengaku tidak memiliki waktu. 5.7 Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat CRC Pelaksanaan survei CRC di Kota Magelang ini tidak lepas dari faktor pendukung maupun faktor yang menghambat. Beberapa faktor yang mendukung kelancaran pelaksanaan survei CRC ini adalah respon positif dari Pemkot Magelang dan dukungan pendanaan dari Kemitraan, serta dukungan dari Forbes PM, sebagai salah satu NGO di Kota Magelang yang membantu kelancaran survei. Adapun faktor yang menghambat bisa dikategorikan ke dalam tiga kategori yaitu: (a) hambatan pra-lapangan; (b) hambatan di lapangan; serta (c) hambatan pasca lapangan. Hal-hal yang menjadi penghambat dalam proses pra-lapangan adalah ketidakjelasan jadwal waktu pelaksanaan dan jadwal pencairan dana untuk pelaksanaan rangkaian kegiatan survei CRC. Ketidakpastian tanggal ini membuat jadwal menjadi lambat. Karena ketika Team Inti Survei telah siap melaksanakan agenda kegiatan ternyata dari pihak pusat tidak bisa mengikuti tanggal itu. Hal ini mengakibatkan jadwal menjadi sulit dipastikan sehingga waktu pelaksanaan menjadi mundur. Hal lain yang menghambat adalah ketidakpastian tentang pencairan dana. Diakui ataupun tidak, setiap kegiatan tidak bisa dilepaskan dari urusan keuangan. Manakala persoalan keuangan ini tidak jelas kepastian pencairannya, maka hal ini menjadi penghambat tersendiri dalam pelaksanaan kegiatan. Hambatan di lapangan adalah sulit menemukan responden karena data yang diberikan oleh DPTPM ini banyak yang alamatnya tidak jelas. Sehingga surveyor harus mencari alamat itu dengan memakan waktu yang lebih lama. Kalau alamatnya jelas, maka surveyor tinggal mencari alamat tersebut. Akan tetapi jika alamatnya tidak jelas, maka dia harus bertanya ke sana-sini untuk mendapatkan kepastian alamat responden tersebut. Hal ini tentu membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak. Di lapangan ditemukan banyak sekali data DPTPM yang tidak lengkap. Tidak hanya alamat saja seperti diuraikan di atas, identitas lainnya seperti tempat tanggal lahir juga banyak yang tidak tercantum. Padahal sebenarnya hal ini bisa dilengkapi karena identitas tersebut semuanya tercantum di KTP ataupun kartu identitas lain. Selain itu, juga ada responden yang di namanya ada dalam daftar yang diberikan oleh DPTM, tetapi yang bersangkutan ternyata dia tidak pernah mengurus IMB, padahal nama dan alamat sama persis dengan data yang diberikan oleh DPTPM. Kasus lainnya, ada pemohon IMB yang sedang berada di luar kota, baik untuk urusan liburan, maupun dalam rangka pengobatan karena sakit. Beberapa responden yang terpilih secara acak sedang melakukan liburan karena waktu penyebaran kuisioner yang dilakukan memang bertepatan dengan liburan sekolah. Dikarenakan singkatnya waktu untuk survei lapangan, maka responden tidak bisa ditemui karena sampai batas akhir waktu
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
75
BAB 5
penyebaran kuisioner, responden belum selesai berlibur. Adapun hambatan pasca lapangan adalah lokasi antara sekretariat Team Inti Survei dengan lokasi pengolahan data yang tidak berada di satu tempat. Hal ini mengakibatkan proses pengiriman serta konfirmasi data menjadi butuh waktu dan biaya yang lebih banyak. Team inti dan surveyor memang harus selalu berkomunikasi dan kalau bisa tidak saling berjauhan secara fisik. Sebagai gambaran, selepas dari survei lapangan, team inti melakukan pemeriksaan atas kelengkapan jawaban pada tiaptiap kuisioner. Selanjutnya jawaban yang tidak sesuai standar harus dikonfirmasikan kepada surveior. Setelah itu kuisioner dikirim untuk dilakukan koding dan analisis data. Dalam situasi yang demikian, petugas koding tidak melihat langsung bagaimana konfirmasi surveyor atas jawaban kuisioner yang tidak sesuai standar tersebut. Dalam kondisi demikian, petugas koding memerlukan waktu untuk melakukan konfirmasi melalui Team Inti Survei yang berada pada lokasi yang jauh. Sebenarnya hal ini bisa dihindari kalau petugas pengecekan kuisioner dan petugas koding berada dalam satu lokasi, dan lebih baik lagi jika ini dilakukan oleh orang yang sama. 76
5.8 Rekomendasi CRC Temuan dari survei CRC kemudian dirumuskan secara bersamasama dengan mitra dari Pemkot Magelang dan disampaikan pada acara launching survei CRC30. Temuan ini kemudian dijadikan isu strategis untuk perbaikan pelayanan IMB di Kota Magelang. Tindak lanjut yang direkomendasikan untuk memperbaiki kinerja pelayanan IMB adalah sebagai berikut: 1. Perlu regulasi untuk mengatur tata kelembagaan, meminimalisir penggunaan jasa perantara, mengurangi biaya tidak resmi dan memperpendek prosedur pelayanan. Pelayanan satu pintu merupakan hasil dari koreksi atas pelayanan banyak tempat yang ternyata menimbulkan banyak permasalahan. Permasalahan yang sering terjadi adalah prosedur yang berbelit-belit, merepotkan, boros biaya serta rentan terjadinya penyimpangan. Berdirinya DPTPM dalam pengurusan perizinan IMB merupakan upaya yang dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut. Ini terjadi karena maksud didirikannya DPTPM adalah untuk melakukan penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan serta bidang penanaman modal. Ruang lingkup Launching sebagai publikasi hasil temuan CRC, dilakukan dalam bentuk seminar dan konsultasi publik, dan juga dihadiri kalangan jurnalis di Kota Magelang seperti Kompas, Suara Merdeka, Wawasan dan Kedaulatan Rakyat. Sebagai ownership dari Survei CRC ini pihak Pemkot Magelang adalah pihak yang mengundang rekan wartawan tersebut. 30
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
SURVEI CRC DI KOTA MAGELANG
penyederhanaan ini meliputi kecepatan proses, kepastian biaya, kejelasan prosedur pelayanan maupun transparansi. Sedangkan tujuan akhirnya adalah untuk: (a) mewujudkan pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau; (b) meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik; serta (c) meniadakan biaya ekonomi tinggi dan meniadakan praktek KKN. Akan tetapi dalam praktiknya pelayanan IMB belum dapat diurus di satu pintu atau satu lembaga yaitu DPTPM. Dalam hal ini pengurusan masih terkait dengan dinas lain yaitu DPU dan tanda tangan walikota. Hal ini tentu akan membuat proses menjadi lebih panjang jika dibandingkan apabila ditangani satu lembaga saja. IMB memang sangat terkait dengan persoalan teknik (arsitektur/sipil) yang notabene sekarang ini berada di bawah DPU. Sehingga untuk pengurusannya harus terkait dengan DPU. Mungkin prosedurnya akan bisa menjadi lebih pendek jika petugas teknis ini juga ditempatkan ke DPTPM, sehingga pengurusan teknis juga sudah akan selesai di DPTPM. Kemudian terkait dengan tanda tangan walikota mungkin akan lebih pendek waktu pengurusan IMB jika tanda tangan itu tidak di walikota tapi dilimpahkan di Kepala DPTPM. Karena mengantri tanda tangan walikota tentu jauh lebih panjang daripada mengantri tanda tangan kepala dinas. Sehingga pengurusan IMB akan selesai hanya dengan mengurusnya di DPTPM saja. Selain itu waktu penyelesaiannya juga akan lebih singkat. Karena pengurusan yang lambat dan repot merupakan salah satu penyebab maraknya penggunaan jasa perantara. Usulan tindak lanjut yang seperti ini adalah salah satu cara untuk meminimalkan penggunaan jasa perantara dalam mengurus IMB. Selain itu prosedur yang ringkas tentu juga akan memberikan sumbangan dalam upaya untuk mengurangi biaya tidak resmi. 2. Membuat pola sosialisasi yang efektif dan tepat sasaran dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk mempermudah akses masyarakat dalam pengurusan IMB. Selama ini, pemerintah telah melakukan serangkaian agenda sosialisasi terkait dengan pengurusan IMB. Akan tetapi masyarakat masih banyak yang tidak tahu cara mengurus IMB, termasuk di dalamnya adalah rincian biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus IMB. Minimnya pengetahuan ini tentu akan membuka peluang terjadinya praktik yang menyimpang. Ke depan, mungkin perlu dibuat pola sosialisasi yang lebih efektif dan tepat sasaran. Salah satu usulan yang muncul dalam diskusi adalah pembuatan kalender yang
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
77
BAB 5
78
gambarnya adalah prosedur atau mekanisme cara mengurus IMB. 3. Perbaikan internal di tubuh BP2T Kota Magelang pada tataran kebijakan melalui penyusunan kebijakan baru di bidang penyempurnaan pelayanan publik. BP2T Kota Magelang mengisyaratkan bahwa dalam waktu dekat akan disusun kebijakan untuk menghilangkan praktik percaloan. Kebijakan ini direncanakan akan diwujudkan dalam bentuk Peraturan Walikota Magelang. Substansi dari Rancangan Peraturan Walikota ini adalah pengaturan seputar praktik percaloan dalam pengurusan perizinan di Kota Magelang. Di dalamnya diatur, misalnya apabila seseorang mewakilkan pengurusan perizinan harus membuat surat kuasa sehingga terwujud tertib administrasi dalam pengurusan perizinan. Praktek percaloan memang sudah menjadi rahasia umum dan bahkan terkesan sudah menjadi salah satu ‘mata pencaharian’ mengingat banyak warga Kota Magelang yang berprofesi sebagai pedagang sehingga tidak memiliki waktu untuk mengurus perizinan dan lebih memilih untuk meminta bantuan perantara atau calo. 4. Merubah citra DPTPM dengan memberikan layanan yang prima sehingga menjadi lembaga pelayanan yang murah, ramah, transparan, cepat. Selama ini, yang tergambar dalam benak masyarakat adalah bahwa mengurus IMB itu mahal, lama dan merepotkan. Oleh karenanya masyarakat banyak yang memilih untuk tidak usah mengurus IMB saja. Kalaupun harus mengurus IMB, maka masyarakat merasa lebih baik untuk menggunakan jasa perantara. Pertimbangannya adalah kalau mengurus sendiri akan repot. Inilah persepsi banyak orang tentang pelayanan IMB. Persepsi ini belum tentu benar, tetapi persepsi ini akan sangat mempengaruhi perilaku masyarakat. Untuk itu harus dilakukan upaya untuk merubah persepsi masyarakat. Harus dicitrakan bahwa pelayanan IMB itu cepat, murah dan mudah. Hal ini perlu dilakukan dengan memberikan layanan yang prima sehingga menjadi lembaga pelayanan yang mudah, murah, ramah, transparan dan cepat. 5.9 Upaya Yang Telah Dilakukan Hal besar yang dirasakan dari program pemberantasan korupsi di daerah melalui Rencana Aksi Daerah dan evaluasi terhadap pelayanan publik melalui survei CRC adalah adanya komitmen pemerintah daerah dan keterlibatan publik dalam pengawasan pelaksanaan pelayanan publik.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
SURVEI CRC DI KOTA MAGELANG
Dengan adanya RAD PK, Pemerintah Daerah telah mengartikulasikan komitmennya kepada publik dengan langkah-langkah strategis untuk memberantas korupsi di daerah. Melalui survei CRC, masyarakat diposisikan sebagai pihak penentu dalam menilai pelayanan publik dan juga memberikan input perbaikan dan penyempurnaan pelayanan publik. Tindak lanjut yang dapat dirasakan dengan adanya survei CRC adalah Pemerintah Kota Magelang telah menyusunan Rencana Tindak Lanjut Rencana Aksi Daerah (RTL RAD PK) dengan Peraturan Walikota Nomor 13 Tahun 2008. Memaksimalkan instansi pelayananperizinan (Badan Pelayanan Perizinan Terpadu/BP2T) dengan melakukan restrukturisasi organisasi di internal lembaga ini menjadi yang lebih adaptif terhadap pelayanan publik. Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya program ini, Pemerintah Kota Magelang semakin terbuka terhadap berbagai input dari masyarakat dan pula menerima dengan baik terhadap berbagai pengawasan yang dilakukan oleh berbagai pihak di luar institusi pemerintah.
79
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
80
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
RAD-PK DAN CRC: KASUS KABUPATEN JEMBRANA
BAB 6 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI RAD-PK DAN CRC: KASUS KABUPATEN JEMBRANA 81
6.1. Inovasi-inovasi Pemerintah Kabupaten Jembrana Sampai saat ini31, Kabupaten Jembrana tercatat sebagai daerah yang Kami merasa sangat perlu membuat garis bawah pada unsur ‘’sampai saat ini’’ sebagai penegasan, karena catatan ini didasarkan dari proses yang berkaitan dengan survei kepuasan masyarakat Jembrana terhadap layanan pengurusan sertifikat di Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana, yang sebelumnya telah diawali dengan FGD (focus group discussion) antara warga Jembrana, Bappeda Jembrana, Bawasda Jembrana maupun Kepala Kantor Pertanahan Jembrana serta jajarannya, yang dilakukan pada tahun 2008. Bila pada suatu ketika, melalui pengawasan dan penyelidikan aparat yang berwenang ditemukan adanya penyimpangan – apalagi terindikasi sebagai tindak pidana korupsi – tentu berada di luar konteks survei, karena yang dicari dalam survei adalah kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik oleh aparat di institusi pemerintahan yang berada di wilayah Kabupaten Jembrana. Survei ini bukanlah satu advokasi terhadap kasus dan output-nya pun tentunya bukanlah ada tidaknya kasus korupsi yang terungkap dan diproses oleh aparat penegak hukum. 31
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
BAB 6
82
pemimpinnya telah melakukan berbagai terobosan dan inovasi dalam tatakelola pemerintahan. Sejak dipimpin Bupati Prof. Drg. Gede Winasa yang dipilih oleh DPRD Jembrana pada tahun 2001, Jembrana melakukan pembenahan di berbagai bidang. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan Visi Kabupaten Jembrana, yaitu: “Terwujudnya masyarakat Jembrana yang sejahtera, berkeadilan beriman dan berbudaya.” Dimulai pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, Gede Winasa terus menerus melakukan rasionalisasi birokrasi. Beberapa SKPD (satuan kerja perangkat daerah) atau yang lebih populer disebut sebagai Dinas, dilebur dan digabung menjadi satu. Penggabungan ini dilakukan berdasarkan pengelompokan secara fungsional. Bentukbentuk pembenahan yang lainnya adalah: penataan kantor pemerintahan, penerapan model fit and proper test dengan sistem ‘’tender’’ dalam proses rekruitmen kepala-kepala dinas, dan efisiensi penggunaan anggaran daerah. Pada tahun 2006, ketika Gede Winasa terpilih untuk kedua kalinya, ia semakin percaya diri. Bersama dengan DPRD, Bupati Jembrana menerbitkan Perda No. 2 Tahun 2006, yang mengatur tentang rasionalisasi birokrasi secara mendasar32. Rasionalisasi birokrasi ini dilakukan dengan pemikiran yang komprehensif sebagaimana dapat dilihat kerangka pikirnya dalam gambar 6.1 di bawah ini.
Berdasarkan Perda No. 2/2006 tersebut, dibentuk empat kelompok besar SKPD. Yakni SKPD yang tergabung dalam Kelompok Ekonomi, yakni Dinas Perkutut, merupakan gabungan dari Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan; Kelompok Peningkatan yang terdiri atas gabungan Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, gabungan Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata; Kelompok Pelayanan Publik yang terdiri atas gabungan Dinas PU dan Lingkungan Hidup; gabungan Dinas Informasi, Komunikasi dan Pelayanan Umum serta Hubungan Data; gabungan Dinas Tenaga Kerja dengan Duta Kencana; dilengkapi Kelompok Penunjang, yakni Bappeda, Bawasda, Kantor Pol PP & Kesbanglimas, serta Kantor Diklat. (Sumber: Sosialisasi RAD-PK Kabupaten Jembrana, yang disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terfokus di Negara, 29 April 2008).
32
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
RAD-PK DAN CRC: KASUS KABUPATEN JEMBRANA
Gambar 6.1 Skema Managemen Pemanfaatan Sumber Daya di Kabupaten Jembrana Skema Manajemen Pemanfaatan Sumber Daya Di Kabupaten Jembrana
Manajemen
Sumber Daya Manusia
Efisiensi SDM
Efisiensi Sarana
Sumber Daya
Hasil Efisiensi SDM, Sarana, Dana
Efisiensi Dana
Sumber Daya Alam
Kemampuan
Kualitas Pendidikan
Derajat Kesehatan
Kualitas Hidup
Peningkatan Kualitas Hidup Dan Pelayanan Masyarakat
Kesejahteraan Masyarakat
Daya Beli
Penggabungan beberapa SKPD melalui rasionalisasi yang radikal ini berhasil menghemat biaya operasional dalam jumlah yang cukup besar. Sebelum rasionalisasi birokrasi tersebut dilakukan, di Jembrana ada 22 SKPD yang memerlukan biaya operasional sekitar 55 miliar per tahun (setiap SKPD memerlukan biaya operasional rata-rata 2,5 M setahun). Dengan penggabungan, jumlah SKPD tinggal 11 buah dan mampu menghemat biaya operasional sebesar 27,5 M. Artinya terjadi penghematan anggaran sebesar 50% dibandingkan dengan biaya yang diperlukan pada tahun 2001. Penggabungan SKPD tersebut menghasilkan pengelompokkan SKPD dengan nama-nama yang unik. Mungkin baru ada di Kabupaten Jembrana dinas dengan nama seperti Dinas Perkutut (Pertanian, Kehutanan dan Kelautan), Dinas Inyahud (Dinas Informasi, Komunikasi dan Pelayanan Umum, dan Data). Penggabungan SKPD ini juga dibarengi dengan penataan kantor sehingga semua kepala dinas berkantor seatap dengan Bupati. Bupati juga dapat memantau langsung aktivitas para birokrat melalui kamera CCTV. Khusus untuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pengawas Daerah, kedua badan ini sengaja ditempatkan di luar kompleks kantor bupati dengan maksud agar netralitas perencanaan dan akuntabilitas audit internal dapat dijamin.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
83
BAB 6
84
Kendati jabatan-jabatan setingkat kepala dinas dipangkas, agaknya tidak ada pengaruh negatif terhadap kinerja aparat pemerintah setempat, setidaknya kalau diukur dari perolehan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Bila pada tahun 2000 PAD Jembrana tercatat Rp. 2.551.826.749,00 dengan APBD senilai Rp 66.911.688.691,00 di tahun 2007 Jembrana membukukan PAD senilai Rp. 16.972.778.686,00 dengan APBD sebesar Rp. 407.052.696.729,59. Ini berarti peningkatan PAD-nya berlipat 6,65 kali dalam tujuh tahun, atau rata-rata 95 % dalam setahun. Inovasi lainnya adalah pengembangan wawasan entrepreneurship dalam diri birokrasi. Entrepreneurship merupakan sifat atau sikap yang melekat dalam diri seseorang, yang dicirikan dengan: 1. Keberanian untuk mengambil resiko bagi setiap keputusan yang diambil. 2. Menyukai perubahan. 3. Melakukan temuan-temuan yang membedakan dirinya dengan orang lain. 4. Menciptakan nilai tambah, memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain. 5. Karyanya dibangun berkelanjutan, bukan ledakan sesaat, tetapi dilembagakan, agar lembaga itu kelak dapat bekerja efektif di tangan orang-orang lain. 6. Mampu bekerja secara efektif dan efisien Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa ada perbedaan makna efisien pada organisasi swasta dan pada organisasi pemerintah atau birokrasi. Pada perusahaan swasta efisiensi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan pada organisasi pemerintahan atau birokrasi efisiensi dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka perwujudan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat dengan kondisi fisik dan kompetensi yang dimilikinya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sehat jasmani dan rohani serta cukup sandang, pangan dan papan. Peningkatan Partisipasi dalam layanan publik di Kabupaten Jembrana, dipandang sebagai kebutuhan mendasar yang tidak boleh dinomor-duakan. Keadilan layanan publik diterjemahkan dalam bentuk pemberian pelayanan yang sama dan merata kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan keteampangan antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya. Prioritas peningkatan kualitas pelayanan publik di Kabupaten Jembrana dikembangkan dengan konsep dasar sebagai berikut: 1. Layanan publik merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah 2. Layanan publik merupakan komponen dasar dalam meningkatan rasa adil,
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
RAD-PK DAN CRC: KASUS KABUPATEN JEMBRANA
3. Layanan publik merupakan bagian dari tugas pokok pemerintah sebagai regulator (fungsi mengatur) serta sebagai pengayom masyarakat. Perwujudan konsep tersebut yang juga merupakan inovasi, dan yang sekarang menjadi kebanggaan birokrasi di Kabupaten Jembrana adalah pelayanan satu loket yang melayani 63 jenis pelayanan perizinan. Pelayanan satu loket ini secara organisatoris berada di bawah Dinas Pelayanan Umum. Data yang ada menunjukkan bahwa dari bulan Januari sampai Desember 2007, sistem satu loket ini telah menerima 8.066 buah permohonan; 7.899 buah diantaranya diproses dan sebanyak 7.853 buah sudah disahkan dan diterbitkan. Total penerimaan dari pelayanan perizinan dari Januari hingga September 2007 tersebut mencapai Rp.1.509.168.717,88,(satu miliar lima ratus sembilan juta seratus enam puluh delapan ribu tujuh ratus tujuh belas ribu rupiah delapan puluh delapan sen). Ada kekhawatiran bahwa sistem satu loket ini akan mengakibatkan pelayanan menjadi tidak nyaman karena antrian menumpuk. Akan tetapi, ternyata hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Pusdeham Universitas Airlangga Surabaya terhadap 2000 responden yang menggunakan layanan satu loket itu, menunjukkan hasil yang menggembirakan. Diantara 2000 responden, 84,75% diantaranya menyatakan puas dengan pelayanan satu pintu. Data yang lebih terperinci adalah: yang mengatakan puas terhadap layanan dari petugas ada 87 persen, puas dengan sistem dan standar prosedur ada 89 persen, puas dengan standar biaya ada 84 persen, dan puas dengan standar waktu ada 79 persen. Keberhasilan ini nampaknya memacu Pemerintah Kabupaten Jembrana untuk menjajagi kemungkinan pembenahan layanan-layanan publik yang dilakukan SKPD vertikal, sebutlah misalnya layanan pengurusan sertifikat tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten. Memang, secara struktural, Kantor Pertanahan tidak berada di bawah otoritas Kepala Daerah Kabupaten Jembrana, tetapi merupakan lembaga yang berada langsung di bawah Badan Pertanahan Nasional di Jakarta. Struktur formal ini nampaknya tidak menyurutkan niat Pemkab Jembrana untuk mendorong adanya layanan yang lebih baik terhadap masyarakat yang mengurus sertifikat tanah di Jembrana. Untuk itu, Pemkab Jembrana mempersilakan Kantor Pertanahan Jembrana untuk memanfaatkan fasilitas layanan satu loket, maupun fasilitas lain seperti Jimbarwana-Network, dan Jimbarwana TV. Peraturan Bupati Jembrana No. 14/2007 tentang RAD-PK Kabupaten Jembrana 2007-2010, menargetkan pertanahan – selain layanan perizinan satu loket tersebut yang sudah diuji coba tentunya – sebagai target untuk dibenahi. Karena merupakan instansi vertikal di bawah Badan Pertanahan Nasional, tentulah diperlukan inovasi dan terobosan-terobosan birokratis, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Untungnya, Jembrana punya slogan yang bisa menjadi spirit
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
85
BAB 6
86
untuk melakukan terobosan-terobosan inovatif ini: kalau mau pasti bisa!!! Terobosan struktural itu dilakukan dengan awal yang ‘’cantik’’. Pada tanggal 29 April 2008, dalam kerangka RAN-PK (Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi) yang diprogramkan oleh Bappenas, Pemerintah Kabupaten Jembrana dengan Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana menandatangani nota kesepahaman. Di dalam nota kesepahaman tersebut antara lain diatur bahwa Kantor Pertanahan akan memperluas akses informasi tentang informasi dokumen pertanahan ke masyarakat, sementara Pemerintah Kabupaten Jembrana menyediakan sarana yang telah ada untuk kepentingan pelayanan sertifikasi tanah, seperti: 1. Komputer sebagai database informasi dengan sistem touch screen yang sudah ada di beberapa desa, 2. Jimbarwana-Net yang sudah ada di semua kecamatan, semua desa/ lurah serta 88 Sekolah dari SD hingga SMA/SMK yang bisa diakses secara gratis, 3. Jimbarwana TV yang menjangkau pelosok desa di Jembrana, 4. Posdayandu (Pos Pemberdayaan Masyarakat dan Pelayanan Terpadu) terdapat di setiap dusun/banjar. Di Posdayandu ini secara rutin seminggu sekali ada team datang yang terdiri atas: PPM (Petugas Pemberdayaan Masyarakat), Tenaga Kesehatan Out Door, Team Perizinan, Petugas Juru Penerang Kecamatan, Kader Bina Balita, P2WKSS, serta kader-kader pembangunan lainnya. Setiap Posdayandu dilengkapi dengan mapping keluarga by name, by address dan by profile. Posdayandu merupakan pengembangan dari Posyandu tradisional. Pada Posdayandu bukan saja dilakukan kegiatan penimbangan bayi dan pembinaan kesehatan ibu dan anak, namun juga dilakukan pemberdayaan masyarakat termasuk peningkatan berbagai kegiatan pelayanan publik, seperti informasi perizinan dan pembuatan sertifikat tanah. Secara visual, aktivitas dan fungsi posdayandu ini dapat dilihat di dalam gambar 6.2 di bawah ini.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
RAD-PK DAN CRC: KASUS KABUPATEN JEMBRANA
Gambar 6.2 Aktivitas Pos Pemberdayaan Masyarakat Terpadu
AKTIVITAS POSDAYANDU :
PKL
PMD
• Dana bergulir • CBD • PPK • Klpk ♀
• Padat Karya • Balai Subak •Jln Usaha Tani •P4K, PEM •Reboisasi,dll
DIK •Beasiswa •Subsidi Dik • dll
Informasi Kom KB
• Alkon gratis • KRR • UPPKS • BKB,BKR, BKL, BLK
Kes &Kesos
BPN Informasi BPN
• JKJ • KUBE
6.2 Persiapan dan Pelaksanaan Survei Selain pelayanan yang diberikan oleh instansi horizontal yang berada langsung di bawah kendali Bupati Jembrana, masih ada pelayanan oleh instansi vertikal, yang berada di luar otoritas Bupati Jembrana. Pelayanan oleh instansi vertikal ini diantaranya adalah: pelayanan pembayaran pajak kendaraan bermotor (STNK) di kantor SAMSAT, pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi) di kantor polisi, pembuatan paspor di Kantor Imigrasi, dan sertifikat tanah di Kantor Pertanahan. Untuk tahun 2008, survei yang menggunakan metoda CRC (citizen report card) ini memilih layanan pengurusan sertifikat di Kantor Pertanahan untuk dijadikan target dalam penelitian. Survei ini dapat dilaksanakan dengan baik dan cukup lancar karena semua instansi yang terkait dengan penelitian cukup terbuka untuk melakukan kerjasama dan mendukung pelaksanaan survei. Apalagi, karena secara formal, sudah ada MoU (memorandum of understanding) antara Bappenas dengan Bupati Jembrana serta Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana. Adapun isi dari MoU tersebut adalah kesepakatan untuk memberikan pelayanan publik yang
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
87
BAB 6
88
transparan dalam prosedur, memiliki kepastian waktu dan kepastian biaya. Untuk Pemerintah Kabupaten Jembrana sendiri, hasil dari survei diharapkan bisa menjadi acuan untuk menyempurnakan RAD PK Kabupaten Jembrana, termasuk tindak lanjutnya, yakni LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). Lembaga BCW (Bali Corruption Watch) yang melakukan survei CRC ini tidak mengalami kesulitan, karena lembaga-lembaga yang telah disebutkan di atas bersikap kooporatif. Rangkaian kegiatan survei CRC dimulai dengan menyelenggarakan FGD (focus group discussion), bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Jembrana, Bappeda Jembrana, serta Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana. FGD untuk provider dihadiri oleh Bappeda Jembrana, Bawasda Jembrana, camat, kepala desa/lurah, kepala dusun/kepala lingkungan, bendesa adat/klian banjar. Sedangkan FGD untuk customer dihadiri oleh para aktivis LSM dan warga masyarakat yang menggunakan layanan dari instansi yang terkait. Dalam forum FGD disepakati tiga indikator pokok –yakni transparansi prosedur, standar biaya, standar waktu yang jelas serta mekanisme penanganan pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat –yang dijadikan acuan untuk memberikan pelayanan. Berpegang pada tiga indikator itu kemudian dirancang kuisioner. Teknik pemilihan sampel yang dipergunakan adalah random sampling secara purposif yang dilakukan di seluruh desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Jembrana. Dibantu oleh 20 orang surveyor, wawancara responden dapat diselesaikan dalam waktu satu sampai dua minggu. Proses selanjutnya adalah pengolahan data, analisis statistik, dan konsultasi dengan provider. Proses terakhir adalah seminar hasil untuk memperoleh masukan-masukan, guna menyempurnakan analisis, dan terutama untuk merumuskan rekomendasi tindak lanjut yang bisa dilakukan untuk menyempurnakan kualitas pelayanan kepada masyarakat. 6.3 Hasil dan Temuan Survei Dilihat dari aspek kepuasan warga yang menggunakan layanan Kantor Pertanahan maupun instansi terkait, survei terhadap 326 responden33 ini menunjukkan tingkat kepuasan yang cukup tinggi. Hasil survei menunjukkan bahwa 88% responden menyatakan puas, sebaliknya 12% menyatakan tidak puas. Ini adalah persentase yang cukup tinggi, akan tetapi tentu saja tidak dapat disimpulkan bahwa bahwa Survei dilakukan dengan metoda CRC (citizen report card), merupakan kerjasama Bappenas, Kemitraan, Pemkab Jembrana dan Bali Corruption Watch, dimulai dengan rangkaian FGD (focus group discussion) yang melibatkan masyarakat pengguna layanan maupun instansi yang memberikan layanan. Responden ditentukan dari daftar tahun 2007, warga yang mengurus sertifikat di Kantor Pertanahan Jembrana, dirandom secara sederhana dari 51 desa/ kelurahan yang ada di Kabupaten Jembrana. 33
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
RAD-PK DAN CRC: KASUS KABUPATEN JEMBRANA
pelayanan di Kantor Pertanahan Jembrana maupun instansi lain yang terkait dalam pengurusan dokumen pertanahan sudah tidak memerlukan pembenahan. Kalau angka 12% warga yang tidak puas itu dikuantifikasi, dari 5.991 populasi warga yang tercatat mengurus sertifikat dan dokumen pertanahan, jumlah yang tidak puas itu adalah 719 orang. Ini merupakan angka yang cukup besar, yang andaikan mereka cukup artikulatif menyampaikan masalah dan ketidakpuasannya melalui media massa, atau kalau dimobilisasi untuk melakukan unjuk rasa karena layanan yang tidak memuaskan itu, ketidakpuasan ini bisa ‘menggoyang’ Gedung Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana. Apalagi kalau diantara yang tidak puas itu adalah komunitas yang punya hak atas tanah-tanah komunal seperti tanah laba pura, tanah ayahan desa, tanah-tanah milik desa adat, dan sejenisnya. Angka satu bisa berarti satu komunitas desa adat, yang bila terlibat sengketa bisa menimbulkan kerawanan sosial yang sangat sensitif. Yang melegakan, Pemerintah Kabupaten Jembrana maupun Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana, bukannya tidak menyadari implikasi dari 12% warga yang tidak puas tersebut. Kalau dirinci berdasarkan indikator-indikatornya, sumber-sumber ketidakpuasan mereka adalah karena adanya pungutan-pungutan tidak resmi di beberapa tahapan/ segmen, waktu penyelesaian yang relatif lama, serta prosedur yang kurang diketahui secara transparan. Persentase responden yang mengalami masalah pada masingmasing tahapan pengurusan dokumen pertanahan, relatif sangat kecil. Rinciannya adalah, 6 orang (1,8% dari 326 responden) mengatakan mengalami masalah dalam pengurusan silsilah di kepala dusun/kepala lingkungan, 6 orang (1,8% dari 326 responden) mengalami masalah dalam kelanjutan pengurusan silsilah di kepala desa/lurah, 10 orang (3,1% dari 326 responden) mengaku bermasalah ketika menyerahkan berkas di Kantor Pertanahan, 22 orang (6,7% dari 326 responden) mengalami masalah dalam pengukuran tanah yang disertifikatkan, 20 orang (6,1% dari 326 responden) dalam pengurusan lanjutan pengukuran tanah, 20 orang (6,1% dari 326 responden) lagi bermasalah ketika mengambil sertifikat yang sudah jadi. Karena setiap responden diminta memilih hanya satu masalah yang menurut mereka paling berat, maka total responden yang mengaku mengalami masalah adalah 84 orang (25,7%). Kalau dilihat jumlah yang mengaku tidak puas ‘’hanya’’ 12%, padahal yang mengaku mengalami masalah adalah 25,7%, berarti cukup banyak diantara mereka yang mengalami masalah itu ‘’bersikap toleran’’ terhadap kualitas layanan aparat dan memilih ‘’tidak mermpasalahkan’’ apa yang mereka alami. Karena dari data yang ditemukan di lapangan, dari 84 orang yang mengaku mengalami masalah di tahapan yang berbeda tersebut, persentase yang mengadukan masalahnya jauh lebih kecil lagi. Masing-masing hanya 1,3% untuk masalah dalam pengurusan silsilah di kepala dusun/kepala lingkungan, 1,3% untuk pengurusan lanjutan di kepala desa/lurah, 1,2% untuk masalah dalam penyerahan berkas
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
89
BAB 6
90
permohonan di Kantor Pertanahan, 5% untuk masalah dalam pengukuran tanah, 8,6% untuk pengurusan lanjutan setelah pengukuran tanah dan 8,8% untuk masalah dalam pengambilan sertifikat yang sudah jadi. Cukup menarik bahwa dari sedikit warga bermasalah yang mengadukan masalahnya, prosentase diperolehnya solusi cukup tinggi, antara 50% sampai 100%. Bagaimana halnya dengan pungutan tidak resmi, atau pemberian imbalan diluar biaya resmi yang dalam bahasa populer masyarakat disebut sebagai ‘’pungutan liar’’? Dari 326 responden, 221 orang (66,8%) mengaku mengalami ‘’pungutan liar’’ ini. Pada tahapan manakah mereka paling banyak mengaku mengalami ‘’pungutan liar’’? Data terkait tempat terjadinya pungutan liar adalah sebagai berikut: dalam pengurusan surat pengantar silsilah di kepala dusun/kepala lingkungan (44,3%), lanjutan pengurusan silsilah di kepala desa/lurah (44,6%), pengukuran tanah (10,6%), pengurusan lanjutan setelah pengukuran (3,9%), pengambilan sertifikat yang sudah jadi (22,1%), pendaftaran berkas permohonan (6%). Data tersebut di atas menunjukkan bahwa responden nampaknya lebih banyak mengalami pungutan-pungutan tidak resmi itu di instansi dusun maupun desa, yang persentasinya semuanya di atas 40%. Di Kantor Pertanahan pun relatif masih tinggi, khususnya dalam hal pengukuran tanah dan pengambilan sertifikat yang sudah jadi. Penyebab lebih banyaknya terjadi pungutan tidak resmi di lembaga-lembaga tingkat dusun dan desa dibanding di instansi Kantor Pertanahan, diduga karena dusun/lingkungan maupun desa/kelurahan tidak punya standar biaya, sehingga aparat bisa ‘’bermain’’ dengan warga yang memerlukan layanan pengurusan surat. Dikhawatirkan, fenomena ini lebih menguat di desa adat atau desa pakraman yang lebih otonom, yang karena otoritasnya semakin kuat dibanding desa/kelurahan, kadang-kadang memutuskan perarem (musyawarah warga desa adat) berupa standar pungutan yang seringkali jumlahnya dikeluhkan warga, karena dianggap terlalu besar. Beberapa surveyor menemukan responden yang menjelaskan, bahwa di suatu desa adat di Kecamatan Pekutatan, ada desa adat yang menetapkan pungutan berupa ‘sumbangan’ antara Rp 1.000.000,- sampai Rp 2.500.000,- sebagai persyaratan untuk transaksi tanah. Sebenanrnya Pemerintah Kabupaten Jembrana sudah memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 24 Tahun 2006 tentang Keuangan Desa, yang di dalamnya diatur standar pungutan untuk berbagai jenis layanan administrasi yang dibutuhkan masyarakat. Namun, sekalipun keputusan bersama maupun Perda sudah ada, mungkin karena sosialisasi yang kurang merata, atau pemahaman aparat yang masih terbatas, nyataya cukup banyak keluhan warga masyarakat terkait pungutan atau biaya tambahan pada saat mengurus sertifikat tanah. Perlu dicermati, bahwa yang disurvei hanya 5.991 warga yang mengurus sertifikat tanah. Bagaimana halnya dengan warga masyarakat di luar populasi survei? Mereka pasti juga berurusan dengan dengan aparat
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
RAD-PK DAN CRC: KASUS KABUPATEN JEMBRANA
dusun maupun desa misalnya karena butuh surat pengantar untuk mencari keterangan berkelakuan baik, surat keterangan domisili, atau surat lainnya. Hampir dapat dipastikan bahwa pungutan tidak resmi atau permintaan biaya tambahan juga muncul di sini. Kendati mungkin persentase yang tidak puas tidak berubah banyak, tetapi besaran kuantitatifnya pastilah meningkat. Survei CRC memang tidak mencari-cari kelemahan dari instansi penyedia layanan publik. Tapi, ibarat dokter yang mendiagnosis penyakit, setelah penyakit diketahui, seorang dokter dapat menulis resep yang tepat. Demikian pula halnya dengan survei ini, yang dapat memberikan rekomendasi untuk dapat memperbaiki kinerja pelayanan publik yang disurvei. Tawaran Pemerintah Kabupaten Jembrana agar Kantor Pertanahan bergabung dalam satu loket dengan Dinas Pelayanan Umum, nampaknya belum bisa disepakati. Namun, ada beberapa poin yang telah disepakati, seperti pemanfaatan fasilitas-fasilitas Pemkab Jembrana –seperti Jimbarwana TV, Jimbarwana-Net, Posdayandu- untuk mensosialisasikan informasi pertanahan ke masyarakat. Penting dicatat, bahwa Pemkab Jembrana bersama Kantor Pertanahan sepakat dengan rekomendasi, bagaimana agar para klian banjar adat maupun bendesa adat difasilitasi untuk duduk bersama, guna menyepakati standar biaya yang menurut mereka layak terkait pengurusan dokumen-dokumen pertanahan. Hal ini didasari atas kesadaran bahwa desa adat dan banjar adat memang memiliki kepentingan terkait pengurusan pelayanan sertifikasi tanah. 6.4 Rekomendasi Survei CRC Tingkat kepuasan pelayanan pengurusan sertifikat di Kantor Pertanahan maupun instansi lain yang terkait cukup tinggi, yakni 82%, akan tetapi persentase responden yang menggunakan perantara untuk pengurusan dokumen pertanahan tersebut juga cukup besar, yakni 88%. Sangat masuk akal mengapa mereka puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas. Tidak lain karena secara umum mereka tidak bersentuhan langsung dengan petugas di berbagai tahapan dan karenanya tidak mengalami langsung masalah-masalah, seperti halnya mereka yang mengurus sendiri. Karenanya, berangkat dari persentase responden yang tidak puas (18%) dan mengurus sendiri dokumen pertanahan yang dibutuhkan (12%), menjadi penting untuk mencermati masalah-masalah yang dialami oleh responden yang tidak puas tersebut. Secara umum, variabel penyebab ketidak-puasan tersebut, antara lain adalah proses yang dirasakan berbelit, waktu yang lama serta adanya pungutan tidak resmi dari aparat. Berangkat dari temuan-temuan survei yang telah diuraikan di atas, provider dapat dan bahkan ada yang telah melakukan langkah-langkah sebagai tindak lanjutnya. Beberapa catatan penting sebagai tindak lanjut yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
91
BAB 6
92
1. Mendorong Desa Pakraman/Banjar Adat Membuat Biaya Standar Cukup tingginya persentase responden yang mengaku mengalami pungutan tidak resmi di kantor kepala dusun/ kepala lingkungan dan kepala desa/lurah, perlu diberikan catatan penting. Pemerintah Kabupaten Jembrana perlu secara pro-aktif memfasilitasi pertemuan desa pakraman/banjar adat guna menetapkan standar pungutan yang layak terhadap warga yang mengurus dokumen-dokumen ke kantor desa. Hal ini didasarkan atas perteambanan bahwa pungutan tidak resmi itu disebabkan karena: a. kurangnya sosialisasi standar pungutan menurut kesepakatan gubernur/bupati/walikota se-Bali berkaitan dengan administrasi kependudukan, b. kurangnya sosialisasi isi Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Desa di Jembrana; c. di desa pakraman/banjar adat belum ada standar pungutan yang sering dibebankan kepada warga yang mengurus dokumen administrasi terkait pengurusan sertifikat tanah, 2. Pembenahan Mekanisme Pengaduan Masyarakat Tindak lanjut untuk ketidakpuasan yang variabelnya berada di Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana, bisa dilakukan dengan membenahi mekanisme pengaduan masyarakat. Dengan demikian mereka yang mengalami masalah (proses berbelit, waktu yang berlarut-larut, pungutan liar, dan sejenisnya) bersedia mengadu. Di pihak lain pimpinan instansi benar-benar harus melakukan tindak lanjut, dengan mencarikan solusi serta menjatuhkan sanksi terhadap aparat yang benar-benar bersalah setelah memeriksa pengaduan masyarakat. 3. Peningkatan Kapasitas Kantor Pertanahan Jembrana Berkenaan dengan diundangkannya UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa penyusunan rencana umum tataruang wilayah berbasis pada teknologi GIS (geographic information system), Pemerintah Kabupaten Jembrana telah merevisi Perda No. 7/2002 tentang RUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah) Wilayah Kabupaten Jembrana 2000-2010. Revisi dilakukan, pertama untuk melaksanakan apa yang diamanatkan oleh UU No. 26/2007, dan kedua untuk menyesuaikannya Perda RUTRW Jembrana tersebut dengan pendataan tataruang wilayah berbasis GIS. Untuk pendataan berbasis GIS ini, Bakor Tata Ruang Pemerintah Kabupaten Jembrana memanfaatkan foto satelit dari Citra Satelit. Sejalan dengan rekomendasi dari seminar hasil survei persepsi masyarakat terhadap layanan pengurusan dokumen
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
RAD-PK DAN CRC: KASUS KABUPATEN JEMBRANA
pertanahan di Kabupaten Jembrana, komunikasi terjalin semakin baik antara Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana dan Pemerintah Kabupaten Jembrana. Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap warga, Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana bersedia dan terbuka untuk bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Jembrana yang telah melakukan berbagai inovasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Paska pelaksanaan dan dirumuskannya rekomendasi dalam seminar tentang persepsi masyarakat terhadap layanan pengurusan dokumen pertanahan di Kabupaten Jembrana, Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana secara intensif telah melakukan komunikasi dengan Pemerintah Kabupaten Jembrana, untuk mengintegrasikan teknologi dan sistem GIS tersebut dengan pelayanan dokumen pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana. Dengan teknologi GIS ini, Kantor Pertanahan Jembrana bisa memiliki database mengenai pemilik tanah, luas tanah, jenis dokumen pertanahan yang ada (sertifikat, pipil, dll). Dengan sistem ini, bisa dihindarkan kemungkinan adanya kasus sertifikat ganda. Pengukuran tanah pun dapat dilakukan secara lebih praktis dan lebih cepat. Dengan demikian pelayanan diharapkan bisa menjaid lebih baik, antara lain dari segi waktu pengerjaan, sistem dan prosedur pengerjaan, sampai dengan keamanan dokumen dari kemungkinan ‘’kerawanankerawanan hukum’’ (sengketa, sertifikat ganda, dll). 6.5 Upaya Yang Telah Dilakukan Agenda paska survei pelayanan dokumen pertanahan di Kantor Pertahanan Kabupaten Jembrana adalah, langkah cepat Pemkab Jembrana menyusun perbaikan Rencana Aksi Daerah (RAD PK) dengan melakukan perubahan Peraturan Bupati No. 14 Tahun 2008 tentang RAD-PK Kabupaten Jembrana 2007-2010 dan untuk implementasinya akan dianggarkan dalam perencanaan anggaran 2009-2010. RAD-PK Kabupaten Jembrana yang baru, menyertakan indikator dari masing-masing kegiatan dan sub-kegiatan, mendelegasikan sekaligus menugaskan pelaksanaannya kepada SKPD yang berwenang dan memasukkannya dalam program RPJMD serta membebankan anggarannya pada APBD Kabupaten Jembrana 2009-2010. Selain itu, upaya lanjut yang akan dilaksanakan pemkab Jembrana adalah melakukan penyempurnaan pelayanan adminisrasi pertanahan, mendorong kepada pejabat untuk membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN), meberikan bantuan kepada KPK dalam LHKPN, penetapan standar kinerja, penetapan program dan wilayah
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
93
BAB 6
bebas korupsi, kesederhanaan hidup, mendukung penegakan hukum, dan juga melakukan kerjasama dengan KPK tentang kajian sistem yang menimbulkan korupsi dan peningkatan pengawasan pembangunan. Tak kalah menariknya yang perlu disampaikan dalam buku ini yang merupakan upaya lanjut yang diagendakan sebagai dampak dari efektifitas survei CRC adalah, Pemkab Jembrana mengagendakan penyempurnaan Sistem Pelayanan SAMSAT (pelayanan pembayaran STNK, pengurusan SIM, BPKB), yang notabena merupakan instansi diluar otoritas Pemkab Jembrana. Untuk mengetahui seberapa besar capaian Pemkab Jembrana dalam kegiatan-kegiatan RAD-PK yang telah diagendakan tadi, memang diperlukan pengukuran dengan menggunakan metode yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun praktis. Bilamana merujuk pada hasil survei CRC di bidang dokumen pertanahan Kantor Pertanahan Jembrana yang telah dilakukan, sejauh ini CRC merupakan metode yang sampai saat ini diyakini cukup sahih untuk mengukur bagaimana kinerja SKPD yang memberikan pelayanan publik sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. 94
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
EVALUASI PARTISIPATIF TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
BAB 7 EVALUASI PARTISIPATIF TERHADAP PELAYANAN PUBLIK SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI KOTA DENPASAR
7.1 Deskripsi Kota Denpasar Sebagai kota yang merupakan ibu kota Propinsi Bali, Kota Denpasar adalah pusat urbanisasi penduduk. Kaum urbanis ini tidak hanya datang dari kabupaten-kabupaten di lingkungan Propinsi Bali, tetapi banyak juga yang datang dari luar Propinsi Bali. Pendatang dari luar Bali, diantaranya datang dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, bahkan ada juga pendatang dari mancanegara. Dibandingkan dengan daerah lainnya di Bali, karakteristik penduduknya yang multi etnik, multi agama, multi budaya pastilah jauh lebih kompleks. Tingkat kompetisi di bidang ekonomi, pendidikan dan ketenagakerjaan Kota Denpasar juga jauh lebih tinggi dibanding kabupaten/kota lain di Bali. Oleh karena itu, wajar kalau
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
95
BAB 7
warga Kota Denpasar memiliki tuntutan atas kualitas pelayanan publik yang lebih tinggi dibanding dengan tuntutan di daerah lain. Untuk menjawab tuntutan masyarakat yang kompleks tersebut, paska reformasi 1998/1999, Pemerintah Kota Denpasar telah berupaya untuk melakukan berbagai inovasi. Di bawah kepemimpinan Walikota AAN Puspayoga, inovasi-inovasi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, layanan administrasi, dan bidangbidang yang lain. Untuk mengetahui tingkat efektivitas berbagai program inovasi tersebut, harus dilakukan pengkajian secara komprehensif, dengan menggunakan metoda ilmiah. Hal ini lah yang dilakukan di Kota Denpasar dengan menggunakan metoda citizen report card (CRC). Pengalaman atas penerapan metoda CRC beserta pelajaran penting yang diperolehnya, kemudian ditulis menjadi bab 7 buku ini. 7.2 Latar Belakang Penerapan Survei CRC
96
Survei dengan metoda CRC untuk menguji kepuasan warga Kota Denpasar terhadap pelayanan aparat di instansi yang berkaitan dalam pengurusan KTP (Kartu Tanda Penduduk), merupakan salah satu metoda untuk mengetahui tingkat kepuasan warga Kota Denpasar terhadap kualitas pelayanan publik yang menjadi kewajiban pemerintah. Hasil survei yang dilakukan Bali Corruption Watch bekerjasama dengan Pemerintah Kota Denpasar, Bappenas serta Kemitraan ini, diharapkan menjadi bahan evaluasi terhadap titik-titik lemah yang menyebabkan ketidakpuasan warga. Satu hal yang perlu diperhatikan, KTP hanyalah salah satu dari sejumlah pelayanan yang menjadi wewenang serta tanggung jawab Pemerintah Kota Denpasar34, ataupun instansi vertikal lainnya. Akan tetapi ini adalah pelayanan yang sangat strategis karena semua jenis pelayanan mensyaratkan adanya KTP dalam proses pengurusannya. Berbagai jenis pelayanan yang mensyaratkan adanya KTP antara lain adalah: pelayanan di Kantor Pertanahan, pengurusan SIM (Surat Izin Mengemudi), pembayaran pajak melalui perpanjangan STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan), pengurusan paspor di Kantor Imigrasi, dan sebagainya. Sering terdengar keluhan terhadap kualitas atau kinerja pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kinerja pelayanan publik memang belum baik dan harus terus-menrus dibenahi. Dengan menggunakan indikator-indikator yang umum tentang pelayanan publik yang baik, Pemerintah Kota Denpasar telah mencoba melakukan berbagai upaya dan juga telah menetapkan kebijakan yang berorientasi pada perbaikan kualitas pelayanan publik. Indikator-indikator Misalnya layanan kesehatan di Puskesmas, layanan berbagai macam perizinan di bidang usaha, sarana transportasi, fasilitas-fasilitas umum untuk masyarakat, dan sebagainya.
34
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
EVALUASI PARTISIPATIF TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
yang dijadikan acuan dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan publik adalah akuntabilitas, keadilan, responsivitas, transparansi, penegakan hukum, partisipasi masyarakat, serta efektivitas dan efisiensi kebijakan. Wujud kongkrit upaya perbaikan kualitas pelayanan publik misalnya adalah dikembangkannya sistem pengadaan barang dan jasa dengan metoda e-procurement. Metoda ini disiapkan oleh Pemerintah Kota Denpasar dengan bekerjasama dengan Bappenas. Program e-procurement ini dimaksudkan untuk mewujudkan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang efisien, efektif, terbuka, kompetitif, tidak diskriminatif dan akuntabel. Kerjasama dengan Bappenas ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman dengan Kementrian Negara PPN/ Bappenas yang telah ditandantangani dan diberi Nomor: NKB.001/M. PPN/01/2008//188.45/1/HK/2008 tentang Kerjasama Implementasi Sistem Aplikasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Nasional dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa Daerah. Selain itu telah ada nota kesepahamanan antara Pemerintah Kota Denpasar dengan Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan KPK tertanggal 14 Agustus 2006 yang diberi Nomor: 188.45/03/Hk/2006/107/DIV/08/2006 tentang Pembaharuan Tata Kelola Pemerintahan (PTKP) Yang Baik di Pemerintah Kota Denpasar Sebagai tindak lanjut dari beberapa peraturan pemerintah yang visinya untuk memperbaiki kualitas pelayanan, Pemerintah Kota Denpasar melakukan penyederhanaan birokrasi. Misalnya, dengan berpedoman pada Permendagri No.24/2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) untuk penyederhanaan pelayanan yang menyangkut kelembagaan, percepatan proses, dan transparansi dalam persyaratan perizinan maupun pembiayaan, Pemerintah Kota Denpasar menerapkan Pelayanan Satu Pintu. Beberapa hal yang telah dilakukan terkait dengan penyelenggaraan pelayanan satu pintu adalah sebagai berikut: 1. Pembentukan Sekretariat Bersama Pelayanan Terpadu (Sekberyandu). Pembentukan Sekberyandu ini diatur berdasarkan Keputusan Walikotamadya KDH Tk.II Denpasar No.524/1998 tentang Pembentukan Sekberyandu Pemerintah Kotamadya Tk.II Denpasar. 2. Debirokrasi dan Deregulasi Pelayanan Perizinan. Hal ini dilakukan dengan cara membentuk Dinas Perizinan yang ditetapkan dengan Perda Kota Denpasar No.6/2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Perizinan Kota Denpasar, yang layanannya mencakup 11 bidang perizinan yang dituangkan dalam Peraturan Walikota No.16/2005. Kemudian dibentuk juga Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang operasionalisasinya diatur di dalam Peraturan Walikota No.2/2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja UPT Kota Denpasar 3. Optimasi Peran Bawasda dan Peningkatan Pengawasan.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
97
BAB 7
4.
5.
98
6.
7.
8.
Peningkatan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur telah diupayakan dengan cara mendorong aparat pengawas agar dalam pelaksanaan tugasnya dapat bertindak independen, dalam arti lepas dari pengaruh organisasi atau pejabat lain sehingga bisa bekerja secara objektif. Bawasda diarahkan untuk dapat menjadi quality assurance dalam penyelenggaraan tugastugas Pemkot di bidang pelayanan publik. Pembuatan Call Centre. Pembuatan call centre ini dirancang secara khusus untuk memberi informasi terkait bencana kegawatdaruratan di bidang Kebakaran, kebanjiran, kecelakaan lalu lintas dan pohon tumbang. Nomor tilpon yang dipergunakan sebagai call centre adalah 0361223333, atau bisa juga dengan penggunaan pesan singkat atau SMS ke nomor 0361 8022232. Di masa depan, program call centre untuk menjadi pusat beragam informasi tentang Pemkot Denpasar. Pelaksanaan Elektronik Komersial (e-commerce). Pemkot Denpasar memfasilitasi perdagangan produk pengrajin secara on line melalui website: htpp: www.balidenpasartrading.com. Sampai dengan akhir tahun 2007 sebanyak 56 pengrajin telah memanfaatkan program e-commerce ini. Penerapan SIAK. Pemkot Denpasar juga mengembangkan SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) sehingga pembuatan KTP dapat dilakukan dengan cepat. Program SIAK ini juga dapat dipakai melakukan perpanjangan KTP secara online melalui website: htpp: kependudukan.denpasarkota. go.id/KTP. SIAK juga memiliki aplikasi yang memungkinkan dilakukannya maintenance database kependudukan. Penerapan Pakta Integritas. Pakta Integritas merupakan komitmen yang mutlak harus dilakukan untuk mencegah korupsi khususnya dalam pengadaan barang/jasa maupun dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu penandatanganan Pakta Integritas mutlak harus dilakukan Penyusunan Perencanaan Pembangunan. a. Keberadaan UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengisyaratkan proses perencanaan pembangunan daerah dapat menunjang keberhasilan pembangunan nasional. b. Berbasis Aspirasi Masyarakat. Mengingat tujuan pembangunan adalah untuk kesejahteraan masyarakat maka masyarakatlah yang paling mengerti kebutuhannya. Maka penyusunan APBD Kota Denpasar dilakukan melalui usulan dari masyarakat melalui Musrenbang Desa/ Kelurahan, Kecamatan, Forum Skepada, Forum Gabungan Skepada dan Musrenbang Kota. Untuk usulan program
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
EVALUASI PARTISIPATIF TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
kegiatan yang bersumber dana dari APBD I, APBN dan dana lainnya pembahasannya diteruskan ke Musrenbang Propinsi. 9. Sosialisasi Paket Regulasi tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. a. Pelaksanaan program sosialisasi paket regulasi tentang. Pengelolaan Keuangan Daerah telah dilaksanakan oleh Pemkot Denpasar yang dilakukan berkerjasama dengan BPKP Perwakilan Bali. b. Sosialisasi Permendagri 59/2007 dan PP 58/2005 dilakukan dengan mendatangi seluruh Skepada di lingkungan Pemkot Denpasar sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan melaksanakan pendampingan dalam pelaksanaan ketentuan tersebut selama 1 tahun. c. Melalui kegiatan ini diharapkan semua Skepada terdorong untuk mewujudkan good governace dan clean government khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah. Terkait pelayanan KTP, Pemerintah Kota Denpasar telah membentuk Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Instansi ini menangani pula dokumen-dokumen kependudukan lain seperti akta kelahiran akta pernikahan, akta kematian, dan lain-lain. Di tahun 2006, setidaknya ada 442.70635 orang yang membutuhkan KTP. Ini adalah jumlah yang cukup besar. Petugas di kantor setempat menginformasikan, pada hari Senin jumlah warga yang berurusan ke Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar bisa berjumlah 500 orang, sementara pada hari antara Selasa sampai dengan Jum’at, jumlahnya antara 100 sampai 300 orang. Dengan keterbatasan ruang serta fasilitas yang dimiliki sekarang ini, sirkulasi warga yang berurusan di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar bisa sangat padat. Seringkali terlihat adanya antrean panjang serta suasana yang tidak nyaman. Untuk itu sejak bulan Februari 2008, telah dibentuk Kantor Pelayanan di Kecamatan Denpasar Barat. Pada akhir tahun 2008 juga akan dibentuk Kantor Pelayanan di Kecamatan Denpasar Teamur, dan pada tahun 2009 akan dibentuk Kantor Pelayanan Kecamatan Denpasar Selatan. Pertanyaannya adalah, apakah inovasi-inovasi yang telah dilakukan Pemerintah Kota tersebut berpengaruh terhadap tingkat kepuasan masyarakat pengguna atau tidak?. Untuk mengetahuinya, diperlukan survei secara komprehensif, dan metoda CRC (citizen report card) ini merupakan metoda yang secara empirik dianggap tepat. Idealnya, semakin banyak jenis pelayanan yang bisa disurvei semakin baik. Dengan demikian semakin banyak yang bisa diketahui sehingga dapat dirumuskan kebijakan pengelolaan pelayanan publik yang lebih komprehensif. Oleh karena Jumlah penduduk usia produktif dan usia lanjut versi Badan Pusat Statistik tahun 2006, sebagaimana dikutip dalam Buku Profil Kota Denpasar tahun 2007 35
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
99
BAB 7
adanya beberapa keterbatasan, untuk tahun 2008, di Kota Denpasar, survei dengan metoda CRC ini baru dilakukan terhadap layanan pengurusan KTP. 7.3 Persiapan dan Pelaksanaan Survei
100
Untuk tahun 2008, dipilih pelayanan pengurusan KTP di Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar sebagai target dalam penelitian survei yang menggunakan metoda CRC (citizen report card). Survei ini dapat dilaksanakan dengan baik dan cukup lancar karena mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan hasil akhir survei, Walikota Denpasar, Bappeda Kota Denpasar maupun Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sangat mendukung pelaksanaan survei ini. Satu hal yang sangat mendukung pelaksanaan survei adalah sudah adanya MoU (memorandum of understanding) antara Bappenas dengan Walikota Denpasar Adapun isi dari MoU tersebut adalah kesepakatan untuk memberikan pelayanan publik yang transparan dalam prosedur, memiliki kepastian waktu dan kepastian biaya. Untuk Pemerintah Kota Denpasar sendiri, hasil dari survei diharapkan bisa menjadi acuan untuk menyempurnakan RAD PK (Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi) Kota Denpasar. Dalam pelaksanaan survei, BCW (Bali Corruption Watch) sebagai pelaksana sama sekali tidak mengalami, karena lembaga-lembaga seperti Dinas Catatan Sipil, Bappeda Kota Denpasar maupun Walikota Denpasar, bersikap korporatif dan tidak merasa khawatir sedikitpun terhadap hasil survei. Hal ini terjadi karena mereka sadar bahwa temuan-temuan survei bisa dijadikan pijakan untuk membenahi pengelolaan pelayanan publik. Bentuk kongkret dukungan dari Kantor Catatan Sipil adalah diberikannya daftar warga Kota Denpasar yang mengurus KTP dalam tahun 2007-2008. Sementara dukungan dari Kesbanglinmas Pemerintah Kota Denpasar diberikan dalam bentuk dilengkapinya izin survei. Hal ini sangat membantu sehingga tidak ada kesulitan yang dihadapi ketika para surveyor pergi ke rumah-rumah warga untuk mewawancarai para responden, yang telah diacak melalui teknik pemilihan sampel secara purposive, di seluruh desa/ kelurahan di Denpasar. CRC merupakan metoda survei partisipatif yang melibatkan baik provider selaku penyelenggara jasa pelayanan, maupun customer selaku pengguna jasa pelayanan. Proses awal survei adalah penyelenggaraan FGD (focus group discussion) yang diselenggarakan secara kolaboratif, bekerjasama dengan Pemerintah Kota Denpasar, Bappeda Denpasar, serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. FGD provider dihadiri oleh Bappeda Denpasar, Bawasda Denpasar, Camat, kepala desa/lurah, kepala dusun/kepala lingkungan, bendesa adat/klian banjar. Sedangkan FGD customer dihadiri oleh para aktivis LSM dan warga masyarakat yang menggunakan layanan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar dan instansi terkait lainnya. Di dalam forum
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
EVALUASI PARTISIPATIF TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
FGD, disepakati tiga indikator pokok sebagai acuan untuk memberikan pelayanan. Tiga indikator tersebut adalah transparansi prosedur, standar biaya serta kejelasan waktu pelayanan. Berdasarkan tiga indikator ini, kemudian dikembangkan kuisioner untuk nantinya dicarikan datanya di lapangan. Teknik pemilihan sampel yang dipergunakan adalah random sampling secara purposive yang dilakukan di seluruh desa/kelurahan yang ada di Kota Denpasar. Dengan bantuan 20 orang surveyor, wawancara responden dapat diselesaikan dalam waktu dua minggu. Proses selanjutnya adalah pengolahan data, analisis statistik, dan konsultasi dengan provider. Proses terakhir adalah seminar hasil untuk memperoleh masukan-masukan, guna menyempurnakan analisis, dan terutama untuk merumuskan rekomendasi tindak lanjut yang bisa dilakukan untuk menyempurnakan kualitas pelayanan kepada masyarakat. 7.4 Hasil Survei Survei pelayanan KTP di Kota Denpasar dilakukan terhadap 321 orang responden, yang telah dipilih dengan sistem random sederhana dari populasi warga Kota Denpasar yang mengurus KTP pada tahun 20072008. Populasi warga Kota Denpasar yang mengurus KTP dalam tahun 2007 tercatat sebanyak 102.667 orang. Hasil survei menunjukkan, bahwa kepuasan responden terhadap layanan aparat dalam pengurusan suratsurat berkaitan dengan pengurusan KTP sangat tinggi karena mayoritas menunjukkan kepuasan di atas 90%. Untuk mereka yang mengurus surat di kantor dusun/lingkungan, tingkat kepuasannya 90,7%, di kantor desa/ lurah tingkat kepuasannya 92,6%, pendaftaran KTP kepuasannya 98,2% dan kepuasan saat mengambil KTP yang sudah jadi malah mencapai 98,9%. Data yang ada menunjukkan, tingkat ketidakpuasan relatif sangat kecil, yaitu berkisar antara 1,8% dan 9,3%. Hasil ini sebenarnya agak berbeda dengan yang diperkirakan. Semula diperkirakan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan KTP kurang tinggi mengingat adanya beberapa kendala seperti, kurang memadainya fasilitas fisik yang tersedia di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar. Sirkulasi warga yang mengurus KTP sebetulnya juga tidak cukup nyaman. Pada jam-jam sibuk, warga perlu antri antara 30 menit sampai 60 menit dalam kondisi tempat duduk yang sangat terbatas serta tidak ada pendingin ruangan. Memperhatikan data dan uraian deskriptif tersebut di atas, disadari bahwa tidak dapat ditarik kesimpulan semata-mata berdasarkan pada data kuantitatif. Sekalipun persentase yang tidak puas relatif sangat kecil, namun kalau dikonversikan menjadi angka absolut dan diperhatikan konteksnya, maka maknanya bisa sangat berbeda. Konteks penelitian ini adalah bahwa populasi warga yang mengurus KTP dalam setahun berjumlah 102.667 orang. Apabila ada 9,3% yang tidak puas di tingkat dusun/lingkungan, artinya ada 9.548 orang yang tidak puas dengan pelayanan KTP yang
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
101
BAB 7
102
diselenggarakan di tingkat dusun. Dengan metoda yang sama ini berarti yang tidak puas dengan pelayanan KTP di tingkat desa/kelurahan adalah 7.597 orang, dan yang tidak puas dalam pengambilan KTP yang sudah jadi di Kantor Catatan Sipil adalah 1.848 orang. Angka-angka ini memiliki makna yang luas dan dalam. Seandainya ketidakpuasan mereka cukup kuat untuk mendorong gerakan protes, dan seandainya mereka merupakan massa yang solid, angka 9.548 sangat berbeda maknanya dengan angka 9,3%. Cobalah membayangkan, seandainya 9.500-an massa yang kecewa memprotes dan turun ke jalan, mereka bisa memacetkan lalulintas serta menimbulkan goncangan sosial yang signifikan. Dengan demikian jelas bahwa persentasi yang kecil bisa menjadi angka yang sangat besar apabila jumlah totalnya memang besar. Oleh karena itu pemerintah tidak boleh mengabaikan hak-hak sosial mereka yang tidak puas, kendatipun persentasinya sangat kecil. Apabila dilihat per tahapan pelayanan, tingkat ketidakpuasan warga ternyata paling tinggi berada pada pengurusan surat pengantar di kepala dusun/kepala lingkungan (9,3%), disusul ketidakpuasan pada pengurusan untuk pengesahan di kepala desa/lurah (7,4%). Sementara itu potret ketidakpuasan di Kantor Catatan Sipil, masing-masing 1,1% untuk pengambilan KTP yang sudah jadi, 1,4% dalam proses pemotretan dan 1,8% dalam proses pendaftaran. Secara lebih detail deskripsi faktor penyebab ketidakpuasan warga di masing-masing tahapan instansi tersebut adalah sebagai berikut: (a) tidak puas karena proses yang dirasakan berbelit; (b) tidak puas karena waktu pemrosesan yang lama; dan (c) tidak puas karena ada pungutan. Di tingkat kepala dusun/kepala lingkungan, sebanyak 55,6% responden mengeluhkan proses yang dirasakan berbelit. Di tingkat kepala desa/lurah, 50,0% responden mengeluhkan waktu pemrosesan yang dirasakan lama. Di saat mendaftar di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, 80% mengeluhkan proses yang mereka anggap berbelit, sementara saat pemotretan dan pengambilan KTP yang sudah jadi, 75% mengeluhkan prosesnya yang dirasakan lama. Keluhan terhadap pungutan, relatif sangat kecil, masing-masing 11,1% di kepala dusun/kepala lingkungan, 12,5% di kepala desa/lurah, 20% saat pendaftaran di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Data tentang penanganan keluhan atau pengaduan sangat menarik untuk disimak. Sebagaimana sudah dideskripsikan di alinea terdahulu, ketidakpuasan tertinggi ada tahapan pelayanan yang dilakukan oleh kepala dusun/kepala lingkungan, akan tetapi tingkat penyelesaian yang diperoleh oleh warga di sini juga sangat tinggi. Hasil survei menunjukkan bahwa seluruh responden yang mengadu (100%) merasa puas dengan penanganan keluhan yang diberikan, baik karena layanan petugas, waktu penyelesaian, serta efektivitas dari solusi yang diberikan. Demikian juga halnya yang terjadi di tahapan pelayanan yang dilakukan oleh kepala desa/ lurah. Tingkat kepuasan responden terhadap penanganan pengaduan atas pelayanan di tingkat desa/kelurahan, hampir seluruhnya mengaku puas.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
EVALUASI PARTISIPATIF TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
Tingkat kepuasan yang tidak maksimal justru tercatat dalam penanganan keluhan saat mendaftar di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, karena persentase kepuasannya hanya berkisar antara 40% sampai 55,6%. Catatan penting dari proses survei CRC yang melibatkan Pemerintah Kota Denpasar ini adalah, kendati tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan sangat tinggi, Pemerintah Kota dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak boleh cepat merasa puas. Temuan survei selain bisa dijadikan sebagai alat untuk memotret tingkat kepuasan masyarakat, yang lebih penting lagi adalah untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kinerja pelayanan di masa yang akan datang. Ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan, tidak hanya untuk perbaikan pelayanan di Pemerintah Kota Denpasar, tetapi juga untuk perbaikan sistem layanan administrasi kependudukan yang aman dari kemungkinan manipulasi data kependudukan untuk kepentingankepentingan tertentu. Sebagai misal, Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar sedang mencoba satu proyek percontohan, dengan empat desa teladan di Denpasar. Dalam proyek itu dicoba untuk menerapkan administasi kependudukan dalam database bersistem komputer yang online, sehingga aparat desa bisa memasukkan data kependudukan disertai kendali dan kontrol secara sistematis dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Seharusnya di masa depan hal ini bisa dikembangkan ke seluruh desa di Denpasar. Akan lebih baik lagi apabila data kependudukan bisa diorganisasikan dalam sistem SIAK secara online di seluruh Bali, sehingga monitoring data kependudukan bisa dilakukan secara lebih mudah. Survei juga menunjukkan masih adanya keluhan-keluhan yang muncul disana-sini, misalnya pungutan-pungutan dari aparat dusun, aparat desa, ataupun komunitas desa pakraman yang tidak seragam dan kadang-kadang dikeluhkan warga karena nilainya yang dianggap terlalu tinggi. Rekomendasi atas permasalahan ini adalah perlu dilakukannya sosialisasi kesepakatan antara gubernur, bupati, walikota se-Bali tentang standar pungutan yang ditetapkan untuk pengurusan administrasi kependudukan mulai dari kepala dusun/kepala lingkungan, kepala desa/ perbekel/lurah. Sementara pungutan dari warga Desa Pakraman, yang kadang-kadang dikeluhkan karena jumlahnya yang tidak jelas standarnya, bisa diatasi dengan memfasilitasi kelian banjar/bendesa adat untuk membuat kesepakatan bersama tentang standar pungutan yang layak, terkait pengurusan dokumen administrasi kependudukan. 7.5 Rekomendasi Survei Sekalipun persentase responden yang puas terhadap pelayanan pengurusan dokumen kependudukan mulai dari kepala dusun/kepala lingkungan, kepala desa/lurah, sampai dengan Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar sangatlah tinggi, tidak berarti bahwa
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
103
BAB 7
104
Pemerintah Kota Denpasar tidak memerlukan penyempurnaan. Persentase ketidakpuasan dari responden-responden yang bermasalah ternyata berupa adanya pungutan tidak resmi dalam pengurusan surat di kepala dusun/ kepala lingkungan dan kepala desa/lurah. Di dalam seminar hasil survei, disarankan agar Pemerintah Kota memfasilitasi pertemuan dari kepala dusun/kepala lingkungan, kepala desa/lurah serta bendesa adat/kelian banjar adat se-Kota Denpasar, untuk membuat standar biaya yang dianggap layak. Dengan demikian aparat memiliki pedoman standar untuk menentukan pungutan. Sementara itu, di pihak lain warga masyarakat memiliki pegangan untuk melakukan kontrol bilamana ada pungutan-pungutan tidak resmi diluar standar biaya yang telah ditetapkan. Pemerintah Kota Denpasar sangat memperhatikan rekomendasi dari seminar tersebut dan telah berupaya untuk melakukannya. Bahkan sebelum adanya survei dengan metoda CRC pun, Pemerintah Kota telah merencanakan beberapa langkah untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap warga dalam pengurusan KTP. Sebagai tindak lanjut paska survei CRC, Pemerintah Kota Denpasar akan melakukan tindak lanjut sebagai berikut: 1. Menyebarkan unit pelayanan KTP. Pelayanan KTP dapat didekatkan setidaknya sampai tingkat kecamatan, seperti yang sudah dilaksanakan di Kecamatan Denpasar Utara. Oleh karena itu rencana Pemkot Denpasar untuk membuka kantor pelayanan di Kecamatan Denpasar Barat pada bulan Oktober 2008, selanjutnya di Denpasar Selatan pada tahun 2009, perlu didukung sepenuhnya. Selanjutnya perlu diingat bahwa penyederhaan proses pengurusan KTP adalah penyederhanaan administrasi dan teknis. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan cara memperbanyak jumah loket layanan (termasuk penyelenggaraan layanan di luar kantor Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan), mempercepat prosedur pesetujuan dan klarifikasi. 2. Menyusun standar pungutan dalam pengurusan dokumen di dusun/lingkungan dan desa/kelurahan yang terkait dengan pembuatan KTP. Pemerintah belum dapat mengendalikan dan memperbaiki rangkaian proses pengurusan KTP yang dimulai dari tingkat dusun/lingkungan. Pemerintah Kota Denpasar perlu menyusun standar pelayanan pengurusan persyaratan KTP di tingkat dusun/lingkungan hingga desa/kelurahan, lebih khusus lagi menyangkut biaya-biaya yang dapat dipungut di masing-masing tahapan. Berkoordinasi dengan Majelis Madya Desa Pakraman di kota serta Majelis Alit Desa Pakraman di tingkat kecamatan, Pemerintah Kota dapat memfasilitasi pertemuan antara kelihan banjar adat dan kelihan desa pakraman seKota Denpasar untuk membahas serta menetapkan biaya yang
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
EVALUASI PARTISIPATIF TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
dapat dibebankan kepada warga masyarakat yang mengurus dokumen-dokumen terkait pengurusan KTP. Sekalipun bukan merupakan wewenangnya, Pemerintah Kota Denpasar tentu tidak bisa melepaskan begitu saja bilamana warga Kota Denpasar dibebani pungutan dengan jumlah yang bervariasi antara Rp 100.000,- sampai Rp 450.000,-. Hal ini terungkap karena dikeluhkan oleh masyarakat dan muncul dalam forum FGD (focus group discussion) dengan masyarakat pengguna layanan, sekalipun menurut survei, jumlahnya sangat kecil. Oleh karena itu Pemerintah Kota Denpasar perlu melakukan: a. Memfasilitasi Parum (untuk Desa Pekraman) dan Forum (kepala desa/lurah) untuk membahas standarisasi pungutan-pungutan resmi di tingkat dusun/lingkungan dan desa/lurah terutama yang berkaitan dengan pengurusan dokumen KTP. b. Memisahkan pungutan untuk urusan dinas dan urusan adat di tingkat dusun/lingkungan dan desa/lurah serta ada transparansi terhadap pungutan-pungutan tersebut, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman yang mengkaitkan urusan adat dengan pengurusan KTP yang merupakan urusan kedinasan dan merupakan hak dasar warga negara. 3. Membenahi sosialisasi mekanisme pengaduan pengurusan KTP. Sampai saat ini belum ada standar mekanisme penyelesaian atas pengaduan warga, karena selama ini penanganan pengaduan dilakukan semata mengandalkan kedekatan dengan petugas di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau instansi terkait lainnya. Mekanisme pengaduan merupakan hal yang penting untuk mendapatkan masukan perbaikan pelayanan publik. Pengembangan mekanisme pengaduan ini tidak saja berlaku untuk Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, akan tetapi pengembangan mekanisme pengaduan dapat dijadikan contoh pengembangan hal serupa di sektor pelayanan publik lain di Kota Denpasar. 4. Mengopteamalkan pelayanan perpanjangan KTP melalui SMS dan internet. Hal ini sangat penting untuk dilakukan demi peningkatan kualitas pelayanan, tapi harus disertai dengan kontrol pemerintahan di tingkat desa. Tanpa kontrol dari pemerintahan di lokasi pemukiman, justru kemudahan ini dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang sudah tidak berhak memegang KTP Kota Denpasar untuk tetap memiliki KTP Kota Denpasar.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
105
BAB 7
106
5. Penerapan Kependudukan Berbasis SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) secara menyeluruh di Propinsi Bali. Untuk Kota Denpasar, administrasi kependudukannya telah menerapkan SIAK. Kini bahkan sedang dirancang satu projek percontohan untuk empat buah desa di Denpasar, dengan cara memberikan pelatihan mengenai sistem berbasis SIAK ini terhadap petugas di Desa/Kelurahan. Bila seluruh daerah di Bali bisa menggunakan administrasi kependudukan berbasis SIAK ini, pemerintah dapat mencegah pembuatan KTP ganda, yang sering disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Hal ini terjadi karena dengan SIAK, data administrasi kependudukan terintegrasi secara online di seluruh Bali, sehingga apabila ada orang yang sudah punya KTP mencoba membuat KTP lagi, identitasnya dapat dideteksi serta ditolak oleh sistem yang menggunakan teknologi komputer tersebut. 6. Menyelaraskan peraturan perundangan yang saling berbenturan, khususnya terkait pengurusan KTP. Satu masalah yang kadang-kadang muncul adalah adanya persyaratan dalam pembuatan sertifikat tanah yang mengharuskan orang yang bersangkutan memiliki KTP, sebagaimana diatur dengan peraturan di BPN (Surat Keputusan BPN No. 23/1997). Hal ini mengharuskan orang yang membeli tanah di beberapa lokasi yang berbeda harus memiliki KTP di beberapa lokasi yang berbeda pula. Ketentuan ini mengharuskan mereka berganti-ganti KTP setiap kali membeli tanah di tempat yang berbeda. Sekalipun terlihat sederhana, peraturan ini terkesan cukup memberatkan, karena pembuatan KTP baru harus memenuhi sejumlah persyaratan, mulai dari memasukkan nama yang bersangkutan di Kartu Keluarga (KK) serta rangkaian proses selanjutnya sampai ke Catatan Sipil. Masalah ini perlu dicarikan solusi, dengan menyelaraskan peraturan perundangan, agar tidak sampai terjadi situasi yang ‘memaksa’ masyarakat membuat KTP ganda yang merupakan pelanggaran hukum. 7. Melakukan CRC secara berkala untuk layanan lain di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar. Survei dengan metoda CRC ini perlu dilakukan guna mengetahui persepsi masyarakat terhadap jenis layanan yang diberikan oleh berbagai instansi dalam wewenang Pemkot Denpasar. CRC juga berguna untuk mencari masukan dalam rangka upaya pembenahan-pembenahan yang sejalan dengan visi clean and good governance. Pelaksanaan CRC ini sebaiknya biayanya dibebankan kepada APBD.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
EVALUASI PARTISIPATIF TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
7.6 Langkah Kongkrit Yang Telah Dilakukan Berangkat dari hasil survei kepuasan masyarakat dengan menggunakan dalam pengurusan KTP, Pemerintah Kota Denpasar mengagendakan tindak lanjut, guna menyelaraskan Keputusan Walikota No. 188.45/367 A/Hk/2006 tentang Program Aksi Daerah Dalam Rangka Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik Pemerintah Kota Denpasar Tahun 2006 dengan upaya pemberantasan korupsi, disusunlah Rencan Aksi Daerah Pembertasan Korupsi (RAD PK) Kota Denpasar 2008-2011. Proses ini dilakukan memalaui FGD dan workshop yang menhadirkan SKPD (satuan kerja perangkat daerah) Kota Denpasar, komponen masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat. Tindak lanjut lain dari survei CRC ini adalah dilakukannya penyempurnaan standar danm prosedur serta mekanisme pengaduan pelayanan pengurusan KTP di Kota Denpasar. Selain itu, sebagaimana disampaikan dalam FGD Penyusunan RAD PK (18 November, 2008), Pemerinta Kota berkomitmen untuk melakukan penyempurnaan pelayanan publik baik pada instansi yang berada di bawah kewenganan Pemerintah Kota Denapsar maupun instansi vertikan yang berada di Kota Denpasar. Bidang utama di SKPD Kota Denapsar adalah pendidikan dan kesehatan. Sedangkan pelayanan instansi vertikal yang direkomendasikan adalah pelayanan sertifikasi pertanahan, pelayanan keimigrasian (Pasport), dan pelayanan pembayaran pajak bumi dan bangunan. Berbagai upaya lanjut ini dilakukan didasari atas dua hal. Pertama, tugas pemerintah sebagai “abdi masyarakat” dalam memberikan pelayanan terbaik untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara. untuk itu, cita-cita pemberian pelayanan yang terbaik oleh pemerintah terus selalu dikejar dengan berbagai inovasi dan kerja keras. Kedua, komitmen pemberantasan korupsi. Diyakini oleh Kota Denpasar, bahwa salah satu aspek penyebab tindakan korupsi adalah pelayanan publik yang buruk. Oleh karenanya, dalam rangka menanggulangi terjadinya praktik korupsi, perbaikan palayanan publik merupakan sebuah keniscayaan.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
107
108
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
PENGALAMAN PERSPEKTIFKABUPATEN PELAYANANINDRAMAYU PUBLIK IDEAL
BAB 8 PENGALAMAN KABUPATEN INDRAMAYU DALAM MENDORONG UPAYA PERBAIKAN PELAYANAN PUBLIK MELALUI PENYUSUNAN RAD PK DAN PELAKSANAAN SURVEI CRC
Upaya percepatan pemberantasan korupsi telah menjadi komitmen pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Pemerintah Kabupaten Indramayu pun memiliki komitmen yang sama. Untuk itu, di Kabupaten Indramayu, pemberantasan korupsi dijadikan fokus dalam memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat. Selain melakukan berbagai inovasi pelayanan publik, seperti misalnya Wajib Belajar 12 tahun, KTP berasuransi, dan layanan Puskesmas gratis; Pemerintah Kabupaten Indramayu juga terlibat aktif dalam penandatanganan kesepakatan bersama tentang Gerakan Percepatan Pemberantasan Korupsi di Jawa Barat. Kesepakatan bersama ini ditandatangani pada tanggal 28 November 2007 oleh 18 lembaga, termasuk Pemerintah Kabupaten Indramayu. MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
109 109
BAB 8
110
Kesepakatan tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu landasan bagi Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam memberikan dukungan yang sungguh-sungguh terhadap proses penyusunan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) maupun dalam pelaksanaan survei citizen report card (CRC). Penyususunan RAD PK dan pelaksanaan survei CRC tersebut dilakukan sebagai upaya mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik. Secara sosiologis, masyarakat Kabupaten Indramayu, terutama di beberapa pelosok desanya, dikenal memiliki karakter masyarakat pesisir yang keras dan relatif masih belum banyak berkembang. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan berbagai program pembangunan. Hal ini pun merupakan kendala tersendiri dalam upaya pengembangan pelayanan publik yang berkualitas dan partisipatoris. Pelayanan yang sifatnya tidak menyentuh secara langsung kebutuhan dan kepentingan mereka, seperti misalnya pengurusan IMB dianggap tidak penting. kegunaan dan manfaat IMB relatif tidak banyak dikenal apalagi dipahami oleh masyarakat. Untuk memperbaiki dan mengejar ketinggalan tersebut Pemerintah Kabupaten Indramayu telah mencoba untuk meningkatkan pelayanan dengan manajemen baru di bidang pengurusan perizinan. Dibentuknya DPPM (Dinas Perizinan dan Penanaman Modal) Kabupaten Indramayu pada bulan Januari 2007 merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Meskipun demikian, harus diakui bahwa DPPM belum banyak menunjukkan perubahan dalam hal penyadaran masyarakat akan pentingnya berbagai perizinan khususnya IMB. Hal ini terjadi karena masyarakat masih menganggap bahwa IMB tidak perlu dan tidak penting, juga karena akses informasi dan sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah masih relatif kurang. DPPM dibentuk sebagai lembaga yang mengurus berbagai jenis perizinan di kabupaten Indramayu dengan konsep one stop services (pelayanan satu pintu) dengan tujuan untuk meningkatkan efesiensi pengurusan berbagai jenis perizinan. Hal ini didasari atas kesadaran bahwa penyelanggaraan pelayanan publik yang lebih efisien akan mendorong upaya yang lebih substantif dalam rangka pemberantasan korupsi di tubuh pemerintahan. Disadari juga adanya stigma buruk yang melekat di benak masyarakat, bahwa dinas yang mengurus berbagai jenis perizinan dianggap sebagai dinas ’basah’. Artinya berbagai peluang korupsi akan terjadi pada lembaga tersebut. Penyusunan RAD PK Kabupaten Indramayu dan pelaksanaan CRC sebagai salah satu alat untuk mengukur kualitas layanan yang sudah diberikan DPPM kepada masyarakat merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi di daerah. Disadari bahwa upaya ini masih membutuhkan waktu yang lama karena kompleksitas permasalahan yang ada harus diselesaikan dengan memperhatikan aspek sosiologis maupun manajemen dan administrasi
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PENGALAMAN KABUPATEN INDRAMAYU
kepemerintahan. Namun program ini merupakan awal dari proses perubahan ke arah yang lebih baik. 8.1 Persiapan dan Pelaksanaan Survei CRC Melalui kesepakatan Pemerintah Kabupaten Indramayu dengan Bappenas dan Kemitraan, BAWASDA kabupaten Indramayu dijadikan sebagai leading sector dalam pelaksanaan CRC di Kabupaten Indramayu. Sedangkan Bappeda Kabupaten Indramayu dijadikan leading sector dalam pelaksanaan RADPK. Dengan pertimbangan bahwa keterlibatan masyarakat independen untuk membantu pelaksanaan program akan mempercepat pelaksanaan program, maka disepakati untuk memberikan amanah kepada Lembaga Advokasi Kerakyatan (LAK) sebagai pelaksana CRC dan pendamping dalam proses penyusunan RAD PK. Terkait pelaksanaan survei CRC, ditetapkan Dinas Perizinan dan Penanaman Modal (DPPM) sebagai proyek percontohan. Adapun alasan yang mendasarinya adalah: 1. DPPM adalah SKPD yang baru terbentuk pada bulan Januari 2007 yang masih membutuhkan proses penataan agar menjadi lebih baik. Oleh karena itu melalui survei ini diharapkan ada feed back dari masyarakat tentang kualitas pelayanan DPPM kepada masyarakat sehingga upaya penataan pelayanan DPPM semakin sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. 2. Sejalan dengan Inpres 5/2004 pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menentukan area bebas korupsi. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Indramayu menetapkan DPPM sebagai pilot project agar melalui perbaikan dan penataan pelayanan maka DPPM dapat menjadi SKPD pertama yang berani dan siap untuk dipromosikan sebagai wilayah bebas korupsi. Hal ini juga dapat terwujud, pertama-tama karena pimpinan dan seluruh staf di DPPM mau dan berkomitmen untuk menciptakan layanan yang bebas korupsi. Tahap awal kegiatan di Indramayu dimulai dengan penandatanganan MoU antara Bappenas dan Pemerintah Kabupaten Indramayu pada tanggal 3 Juni 2008. Penandatanganan MoU ini dilaksanakan di Ruang Data I Bupati Indramayu, dan menjadi momen penting karena di hadapan seluruh Kepala SKPD, Ketua DPRD, Pihak Kepolisian, LSM dan perwakilan masyarakat. Bupati Indramayu yang bertindak atas nama Pemerintah Kabupaten Indramayu menyatakan komitmen untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik sebagai upaya percepatan pemberantasan korupsi. Melalui penanda-tanganan kesepakatan ini, Pemerintah Kabupaten Indramayu juga menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap Team Pelaksana Survei, dalam hal ini Lembaga Advokasi Kerakyatan (LAK) dengan harapan akan didapatkan masukan yang berarti bagi upaya perbaikan pelayanan publik di Kabupaten Indramayu.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
111
BAB 8
112
Pelaksanaan CRC di Kabupaten Indramayu dilakukan secara sistematis melalui serangkaian tahapan kegiatan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan CRC di kabupaten Indramayu diawali dengan diskusi antara pelaksana survei (LAK) dengan BPPM untuk menentukan jenis layanan perizinan yang akan disurvei. Dari 44 jenis perizinan yang diselenggarakan DPPM, maka ditentukan pelayanan IMB yang akan dijadikan objek penelitian. Penentuan pelayanan IMB menjadi obyek penelitian lebih pada kepentingan strategis menyangkut tata atur wilayah Kabupaten Indramayu yang sedang dalam proses perkembangan fisik (bangunan). 2. Tahapan selanjutnya dilakukan focus group discussion (FGD) dengan provider (DPPM) dan customer (masyarakat pengguna) yang pernah mengurus IMB dalam kurun waktu satu tahun terakhir. FGD dilakukan untuk menggali informasi dari kedua belah pihak (provider dan customer) yang akan digunakan sebagai indikator dalam penyusunan instrumen penelitian. Hal ini dilakukan karena prinsip CRC adalah mengungkap fakta sehingga penentuan indikator penelitiannya didasarkan pada permasalahan, kebutuhan masyarakat. FGD merupakan salah satu metoda pengumpulan data awal yang bersifat partisipatif karena melibatkan secara langsung masyarakat pengguna dalam menentukan indikator penelitian. Hasil FGD merupakan dasar yang digunakan untuk tahapan survei lapangan yang akan dilakukan dengan kuisioner. Proses penyusunan dan penyempurnaan instrumen CRC dilakukan bersama-sama oleh team peneliti dan technical assistance (TA) berdasarkan hasil diskusi (FGD). Instrumen merupakan alat ukur kuantitatif yang diharapkan akan mampu menggambarkan fakta dari responden dalam proses pengurusan IMB. 3. Keberhasilan pelaksanaan survei CRC sangat ditentukan juga oleh kapasitas surveyor yang bertugas mengumpulkan data langsung dari responden melalui kuisioner dan wawancara mendalam. Sebagai upaya penguatan lokal dalam keterlibatan program, rekrutmen surveior dimaksimalkan dari sumber daya lokal. Sebagian besar surveyor berasal dari Rembug Warga Dermayu (RWB), sebuah organisasi rakyat (forum warga) yang merupakan jaringan kerja LAK di Indramayu. Keterlibatan RWD juga dimaksudkan sebagai upaya keberlanjutan advokasi di Kabupaten Indramayu yang dilakukan oleh masyarakat kritis yang berasal dari Kabupaten Indramayu. 4. Untuk penguatan kapasitas surveyor, dilakukan pelatihan/ pembekalan surveyor selama 2 hari termasuk di dalamnya dilakukan uji coba instrumen. Pembekalan surveior dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada surveior
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PENGALAMAN KABUPATEN INDRAMAYU
tentang CRC baik secara metodologis maupun filosofis tujuan umum CRC sebagai upaya untuk melakukan perbaikan kualitas layanan publik yang melibatkan partisipasi warga. Dalam pembekalan surveyor juga diberikan pemahaman tentang pentingnya wawancara mendalam serta pendalaman temuan lapangan yang akan berguna untuk memperkaya sekaligus pendalaman hasil penelitian. Di sisi lain, pembekalan surveyor merupakan upaya menanamkan tanggung jawab terhadap kejujuran pelaksanaan survei melalui kontrol kualitas dan pelaksanaan survei secara lebih terorganisir. 5. Pelaksanaan survei dilakukan selama 10 hari dengan jumlah sampel 350 responden yang diambil dari populasi sebanyak 846 orang. Populasi di sini diartikan sebagai masyarakat yang menggunakan/mengurus IMB terhitung sejak DPPM dibentuk (awal tahun 2007) sampai Juli 2008. Wilayah survei terdiri dari 31 kecamatan yang dibagi menjadi 4 kelompok (koordinator wilayah) yang didasarkan pada pembagian wilayah secara geografis dan sebaran sampel untuk memudahkan teknis pelaksanaan. Setiap wilayah survei memiliki koordinator lapangan yang bertanggung jawab terhadap berjalannya survei di wilayahnya. Pengorganisasian survei tersebut untuk menjaga kualitas survei serta kemudahan koordinasi antara peneliti dengan surveior. Koordinasi dilakukan melalui telepon untuk mengecek kemajuan pencapaian masing-masing surveior. Quality control dilakukan melalui spot check (pengecekan langsung di lapangan) maupun konfirmasi kepada 35 orang (10%) dari total responden. Wawancara mendalam dilakukan di sela-sela pelaksanaan survei oleh coordinator assistant dan enumerator. Pembagian tugas ini berjalan baik sehingga ketika survei berlangsung, Koordinator Team dapat melaksanakan tugas pendampingan untuk penyusunan RAD PK Kabupaten Indramayu. Data hasil survei merupakan data primer yang kemudian diolah dan dianalisis menjadi satu dokumen hasil penelitian. 6. Pelaksanaan consultative meeting. Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu karakter pokok CRC. Dengan metoda CRC, pelaksanaan survei tidak berhenti sebatas pada penyusunan laporan hasil, akan tetapi yang lebih penting adalah menjadikan hasil survei ini sebagai dasar acuan untuk mendorong provider (dalam hal ini DPPM) untuk mengevaluasi dan memperbaiki layanan yang telah diberikan. Pertemuan konsultatif dilakukan di Kantor Dinas Perizinan dan Penanaman Modal (DPPM) pada tanggal 7 Agustus 2008. Hal ini juga dimaksudkkan agar lebih banyak pegawai DPPM yang mengikuti pertemuan konsultatif, dengan demikian dapat diperoleh berbagai tanggapan atas hasil
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
113
BAB 8
114
survei sebelum dijadikan laporan akhir. Consultative meeting dihadiri juga oleh perwakilan dari Bappeda dan Bawasda sebagai lembaga yang terkait dengan program RAD PK di Kabupaten Indramayu. 7. Pelaksanaan Workshop Penulisan Laporan. Hasil survei, wawancara mendalam serta consultative meeting merupakan bahan bagi peneliti untuk menuliskan laporan lengkap. Melalui workshop penulisan laporan yang melibatkan Team Inti, technical assistant dan data analyst, DPPM, Bawasda, Bappeda dan perwakilan surveyor. Proses workshop lebih merupakan kerja bersama semua peserta sehingga semua peserta sekaligus menjadi narasumber. Secara metodologis, metoda partisipatif yang digunakan dalam workshop ini meliputi pemaparan, brainstorming, diskusi kelompok dan diskusi pleno. 8. Launching Hasil CRC. Launching hasil CRC adalah proses desiminasi dan awal dari program advokasi yang dilakukan di Kabupaten Indramayu yang didasarkan pada CRC. Keterlibatan semua instansi terkait dan masyarakat dalam launching sebagai bentuk penguatan kapasitas daerah dan penguatan komitmen pemerintah dalam RAD PK di Kabupaten Indramayu. Launching yang dihadiri oleh DPPM selaku provider, para kepala SKPD, para camat se Kabupaten Indramayu maupun LSM serta pihak media masa menjadi forum diskusi dan dialog terbuka antara semua komponen dalam menanggapi hasil survei. Komposisi peserta yang beragam ini sengaja disiapkan agar hasil CRC tentang layanan IMB tersebar ke berbagai pihak dan akan menjadi pemicu untuk perbaikan pelayanan di satuan kerja masing-masing maupun sebagai bentuk sosialisasi tentang adanya upaya perbaikan pelayanan publik yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu. 8.2 Temuan Pokok CRC di Indramayu Secara umum, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indramayu puas terhadap layanan pengurusan IMB yang dikelola oleh DPPM. Hal ini didasarkan pada penilaian yang disampaikan oleh seluruh responden yang disurvei, baik yang mengurus sendiri (31%) maupun yang menggunakan jasa penghubung (69%). Dari 108 responden yang mengurus sendiri 80,5% menyatakan puas atas kualitas layanan pengurusan IMB dengan berbagai alasan. 51,58% menyatakan puas karena syarat dan proses pengurusan IMB mudah dipenuhi, 26,32% puas karena pengurusannya tepat waktu, 14,74% puas karena biaya murah dan 7,37% menyatakan puas karena petugas yang kompeten. Meski demikian ada 19,5 % responden menyatakan tidak puas dengan berbagai alasan. 60,87% dari total responden yang menggunakan jasa penghubung tidak puas karena pengurusan IMB tidak tepat waktu,
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PENGALAMAN KABUPATEN INDRAMAYU
21,74% tidak puas karena biaya mahal, 13,04% tidak puas karena syarat dan proses tidak mudah dan hanya 4,35% yang tidak puas karena petuga tidak kompeten. Secara khusus, terkait dengan kapasitas dan perilaku petugas, dari 31% responden yang mengurus sendiri 80% menyatakan puas dan 20% menyatakan tidak puas. Secara lebih detail alasan kepuasan maupun ketidakpuasan mereka adalah sebagai berikut: Diantara 80% responden yang merasa puas, 43% diantaranya menyatakan puas karena petugas ramah, 43% menyatakan puas karena petugas tanggap dan cekatan, 11% puas karena petugas tidak memungut biaya tambahan dan 3% puas karena beberapa alasan lain. Sebaliknya, dari 20% yang tidak puas, kebanyakan menganggap petugas kurang kompeten (52%), 26% tidak puas karena petugas tidak ramah, 13% tidak puas karena petugas masih memungut biaya tambahan dan 9% tidak puas karena alasan-alasan lain. Berkenaan dengan proses sosialisasi atau transparansi informasi 80% dari total responden yang pernah mendapatkan informasi tentang layanan IMB menyatakan tidak puas dan hanya 20% yang menyatakan puas. Dari 80% (276) responden yang tidak puas terhadap sosialisasi informasi, 65% tidak puas karena informasi sulit didapatkan, 27% tidak puas karena informasi yang disampaikan kurang lengkap, 6% tidak puas karena informasi yang disampaikan sulit dipahami dan 2% tidak puas karena alasan lain. Sedangkan dari 20% (69) responden yang puas, 42% menyatakan puas karena informasi yang disampaikan mudah dipahami, 39% menyatakan tidak puas karena informasi mudah diperoleh, 17% menyatakan puas karena informasi yang disampaikan cukup lengkap dan 2% menyatakan puas karena alasan-alasan lain. Terkait dengan pengaduan masyarakat 86% dari total responden yang disurvei tidak memberikan pengaduan, 11% tidak menjawab pertanyaan dan hanya sebesar 3% pernah memberikan pengaduan. Dari 3% (10) responden yang pernah memberikan pengaduan,70% menyatakan tidak puas terhadap tanggapan atas pengaduan yang mereka sampaikan dan hanya 30% yang menyatakan puas atas tanggapan yang diberikan. Dari 70% yang menyatakan tidak puas terhadap tanggapan atas pengaduan yang mereka berikan, 57% menyatakan tidak puas karena tanggapan yang lambat, 29% tidak puas karena masalah tidak terselesaikan, dan 14% tidak puas karena menurut mereka, petugas tidak ramah. Dari 30% yang menyatakan puas, 34% puas karena pengaduan mereka cepat ditanggapi, 33 % menyatakan puas karena masalah yang mereka adukan dapat diselesaikan dan 33% sisanya menyatakan puas karena berbagai alasan lain. 8.3 Catatan Untuk Tindak Lanjut Berdasarkan hasil survei dan diskusi pendalaman hasil survei, terdapat beberapa catatan yang dapat dijadikan isu strategis untuk
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
115
BAB 8
116
ditindaklanjuti terkait perbaikan layanan pengurusan IMB. Catatancatatan tersebut antara lain: 1. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang pelayanan IMB. Kebanyakan warga mengurus IMB hanya untuk memenuhi persyaratan administratif ketika berurusan dengan pihak lain tanpa ada pemahaman yang mendalam tentang mengapa mereka harus mengurus IMB. Hal ini ditunjukkan oleh hasil survei yang menyatakan bahwa 64% dari total responden yang disurvei mengurus IMB hanya untuk memenuhi aturan yang berlaku. Bahkan kebanyakan (44% dari total responden) mengurus IMB setelah bangunan didirikan. Rendahnya pemahaman ini bukan tanpa sebab. Salah satu penyebab utama adalah tidak adanya sanksi bagi pihak yang melanggar aturan (tidak membuat IMB). Hingga kini, penerapan sanksi sulit dilakukan karena pengurusan IMB tidak terkait langsung dengan aktivitas keseharian kehidupan masyarakat. Faktor lain yang merupakan penyebab lemahnya kesadaran masyarakat ini adalah nilai urgensitas IMB bagi warga. Sebagian warga mengatakan bahwa pengurusan IMB bukan merupakan kebutuhan utama. Bahkan, ada atau tidak ada IMB masyarakat masih dapat melaksanakan aktivitas, termasuk mendirikan bangunan (terutama hunian) sekaligus memanfaatkan bangunan tersebut. 2. Kurangnya sosialisasi pelayanan IMB. Rendahnya pemahaman masyarakat kemungkinan besar terkait dengan kurangnya sosialisasi. Hasil survei menunjukkan bahwa 73% dari total responden yang disurvei menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan layanan informasi tentang IMB. Atau dengan kata lain, sejak terbentuknya DPPM sosialisasi tentang IMB kepada masyarakat hanya mencapai nilai 27% atau 2,7 dalam rentang nilai 1-10. Menurut pihak DPPM (catatan wawancara dengan Kepala Bidang Perizinan, DPPM) kurangnya sosialisasi tentang IMB ini disebabkan oleh dua faktor utama yakni, pertama prasarana dan sarana kegiatan DPPM belum memadai, dan yang kedua minimnya dana untuk program sosialisasi. Kedua hal ini perlu diperhatikan dalam penyusunan rencana kerja satu hingga dua tahun mendatang. Selain itu juga diharapkan sosialisasi tentang layanan IMB dilakukan secara berkala dan terus menerus. 3. Lamanya durasi pelayanan IMB. Berdasarkan aturan yang berlaku, waktu yang diperlukan dalam pengurusan IMB ditetapkan 14 hari. Namun kenyataannya, hasil survei menunjukkan bahwa baik responden yang mengurus sendiri maupun yang menggunakan jasa penghubung, 49% diantaranya mengatakan bahwa
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PENGALAMAN KABUPATEN INDRAMAYU
pengurusan IMB melampaui batas waktu 14 hari sebagimana yang ditentukan. Hal ini dibenarkan oleh DPPM walaupun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kebanyakan pemohon menganggap bahwa 14 hari yang dimaksud dihitung sejak mereka datang ke DPPM padahal 14 hari yang dimaksud adalah sejak berkas-berkas persyaratan dinyatakan lengkap dan diserhkan ke petugas front office DPPM. Kedua, seringkali setelah SK IMB terbit pemohon tidak segera mengambil SK IMB. 4. Adanya pungutan tidak resmi Berdasarkan hasil analisis, 8% dari total responden yang mengurus sendiri dan 10% dari total responden yang menggunakan jasa penghubung mengatakan masih adanya pungutan yang tidak resmi di luar biaya resmi dalam pengurusan IMB yakni biaya administrasi (pengesahan), biaya gambar dan biaya retribusi. Bahkan lebih jauh lagi, menurut sebagian warga (8% dari total responden yang mengurus sendiri) menyatakan bahwa pungutan tidak resmi paling sering terjadi pada tahapan pengambilan SK IMB (60,52%). 5. Penggunaan jasa penghubung Hasil survei menyatakan bahwa lebih banyak pemohon (69%) yang mengggunakan jasa penghubung dalam pengurusan IMB daripada yang mengurus sendiri (31%). Sebagian besar pemohon mengaku jasa penghubung yang mereka gunakan adalah ‘Dinas Perizinan’. Menurut DPPM, penyebutan Dinas Perizinan sebagai penghubung ini perlu diklarifikasi. Hal ini diperkuat oleh catatan surveyor yang menyatakan bahwa responden yang menggunakan jasa penghubung menyebut semua aparat berseragam PNS yang sering menguruskan IMB sebagai petugas dari Dinas Perizinan. Aparat-aparat berseragam ini sering mendatangi warga yang sedang membangun hunian dan menanyakan IBM. Hal ini diklarifikasi oleh DPPM dengan mengatakan bahwa dinas tidak melakukan praktik percaloan di lapangan. DPPM hanya turun ke lapangan ketika pengecekan kondisi bangunan setelah berkas pengajuan IMB diterima dinas. Bagi PNS (Pemda) yang mengaku Dinas Perizinan mereka pasti bukan dari DPPM karena pakaian DPPM khusus berdasi dan berwarna biru. Sehubungan dengan itu, pihak DPPM mengharapkan agar setiap pemohon yang menggunakan jasa penghubung dalam mengurus IMB, perlu membuat surat kuasa atau surat penugasan. 6. Keterlibatan PU Cipta Karya Sebagian pemohon yang menggunakan jasa penghubung menyebutkan “Petugas Perizinan” sebagai pihak penghubung. Kebanyakan responden mengatakan bahwa salah satu petugas
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
117
BAB 8
118
perizinan yang menemui mereka adalah petugas dari PU Cipta Karya. Menurut DPPM, keterlibatan PU Cipta Karya sangat mungkin terjadi karena beberapa alasan. Pertama, sebelum ada DPPM, kewenangan mengurus IMB merupakan kewenangan PU Cipta Karya. Kedua, meskipun DPPM terbentuk, PU Cipta Karya tetap ada. Hal ini disebabkan oleh pilihan model penggabungan berbagai kewenagan perizinan yang dulunya berada di beberapa SKPD yang kini merupakan kewenangan DPPM. Dijelaskan pula bahwa model DPPM bukan merupakan “merger” dari beberapa SKPD. Dengan demikian, patut diduga bahwa aparat/pegawai PU Cipta Karya masih terlibat dalam pengurusan IMB. Apalagi, PU Cipta Karya memiliki Kantor Cabang Dinas di semua kecamatan. Ketiga, masyarakat belum mengetahui sepenuhnya bahwa kewenangan pengurusan IMB berada di DPPM. Dengan demikian ketika ada petugas/ aparat dari PU Cipta Karya yang mengatasnamakan petugas perizinan, masyarakat memilih menggunakan PU Cipta Karya (terutama cabang dinas) sebagai jasa penghubung. 7. Belum harmonisnya peraturan-peraturan yang terkait dengan Perda IMB. Peraturan-peraturan terkait yang dimaksud adalah peraturan-peraturan tentang Rencana Tata Ruang maupun peraturan-peraturan tentang pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini dipandang penting karena sesungguhnya kebijakan tentang IMB berhubungan erat dengan zoning Regulasi yang mengatur tentang peruntukkan lahan maupun Rencana Umum dan Rencana Detail Tata Ruang Kota. Keterkaitan antara kebijakan-kebijakan tersebut semestinya merupakan kepastian hukum yang harus dijamin oleh pemerintah. Namun dalam kenyataannya, banyak peraturan yang masih tumpang tindih. Akibatnya penerapan sanksi atas suatu peraturan seringkali berbenturan dengan peraturan yang lainnya. Hingga kini, RUTR Kabupaten Indramayu belum diperbaharui dan lebih jauh lagi semua kecamatan di Indramayu belum memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan. Hal ini di satu sisi menghambat penerapan kebijakan IMB secara utuh karena masyarakat tidak mendapatkan kejelasan tentang peruntukan lahan maupun batasan-batasan lain seperti building coverage rate (cakupan wilayah yang boleh dibangun pada setiap persil lahan), batasan tentang ketinggian bangunan di setiap kawasan berdasarkan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) di masing-masing kecamatan, dan berbagai kebijakan lain. Ke depan, upaya harmonisasi kebijakan ini harus menjadi salah satu prioritas pembaharuan.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PENGALAMAN KABUPATEN INDRAMAYU
8.4 Rekomendasi: Strategi Advokasi untuk Perbaikan, Perubahan dan Peningkatan Layanan Pengurusan IMB Advokasi pada hakekatnya merupakan upaya yang sistematik, terarah dan terpadu yang dilakukan secara sadar dan terus menerus untuk mengubah atau memperbaiki suatu keadaan dari yang tidak baik di masa sekarang menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Sasaran advokasi umumnya meliputi dua hal penting yakni perubahan pada substansi atau materi kebijakan dan perubahan pada prilaku atau kebiasaan yang sudah ada. Berkenaan dengan layanan pengurusan IMB sebagai sebuah bentuk pelayanan publik, maka perubahan dan perbaikan layanan pengurusan IMB merupakan sebuah kerja advokasi yang perlu dilakukan terus menerus. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menemukan dan menyepakati isu strategis untuk membangun kerja advokasi yang sistemik, terarah dan terpadu. Berdasarkan temuan survei, analisis dan consultative meeting bersama Dinas Perizinan dan Penanaman Modal, beberapa isu strategis yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut: 1. Masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang IMB ; 2. Intensitas sosialisasi informasi yang sangat kurang; 3. Pengurusan IMB masih melampaui batas waktu 14 hari yang ditentukan; 4. Masih adanya “pungutan yang tidak resmi” di luar biaya resmi; 5. Keterlibatan PU Cipta Karya dalam proses pengurusan IMB diluar kewenangan memberikan rekomendasi; 6. Belum harmonisnya peraturan-peraturan yang terkait dengan Perda IMB. Rancangan strategi advokasi untuk keenam isu strategis di atas dikelompokkan berdasarkan kategori masalah dan sasaran serta pilihan model advokasi yang dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak. Secara ringkas, desain kerangka advokasi tersebut dapat dilihat pada tabel 8.1 berikut ini.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
119
BAB 8
Tabel 8.1 Desain Kerangka Advokasi
Isu Strategis
120
Substansi Dasar Permasalahan
Tujan dan sasaran advokasi perubahan
Pilihan Model Advokasi Litigasi
Usulan Bentuk Kerja dan PihakPihak Terkait
Belum harmonisnya peraturanperaturan yang terkait dengan layanan pengurusan IMB
Belum tersedia/ direvisinya Perda tentang RUTR, RDTR dan RTBL Kecamatan
Mensinkronkan berbagai kebijakan yang terkait dengan penerapan kebijakan layanan pengurusan IMB
Legal drafting Pihak terkait: LSM Perguruan Tinggi Konsultan Hukum Konsultan perencanaan (tata ruang)
Sosialisasi tentang layanan IMB masih sangat minim
Belum tersedia dana yang cukup untuk mendukung program sosialisasi yang terus menerus. Belum tersedianya prasarana dan sarana yang mendukung pelaksanaan program sosialisasi
Non Litigasi Meningkatkan pelaksanaan program sosialisasi tentang layanan IMB. Sasaran: Perumusan program dan penetapan alokasi anggaran untuk pelaksanaan program sosialisasi oleh DPPM
Workshop Penyusunan Program Sosialisasi Layanan IMB Secara Partisipatif. Kampanye Berkala Tentang Layanan tentang Imb Melalui Berbagai Media Pelibatan media komunikasi kultural dan media komunitas untuk pelaksanaan sosialisasi informasi tentang layanan pengurusan IMB
Masih terlibatnya PU Cipta Karya dalam pengurusan IMB, di luar kewenangan terbatas memberikan rekomendasi atas permintaan DPPM
Benturan kebijakan dan prilaku personal
Memastikan Litigasi dan kewenangan Non Litigasi pengurusan IMB oleh SKPD yang diberikan mandat (sesuai tupoksi masingmasing)
Legal drafting Penerapan sanksi bagi oknum yang melanggar peraturan
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PENGALAMAN KABUPATEN INDRAMAYU
Pengurusan IMB melewati batas waktu yang ditetapkan 14 hari
Komitmen dan kompetensi petugas. Perbedaan persepsi tentang 14 hari pengurusan IMB
Memperbaiki mekanisme kerja internal DPPM Menyamakan persepsi tentang batas waktu 14 hari pengurusan IMB
Non Litigasi Penyusunan SOP (Standar Operational Procedure) Diskusi komunitas untuk penyamaan persepsi masyarakat
Tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang IMB, masih rendah
Tidak terbangunnya pemahaman tentang mengapa masyarakat harus mengurus IMB. Perilaku masyarakat yang mengurus IMB hanya sekedar untuk memenuhi aturan.
Non Litigasi Membangun pemahaman yang utuh tentang perlunya mengurus IMB dan mendorong perubahan perilaku masyarakat.
Kampanye akademik tentang perlunya IMB Sosialisasi tentang layanan IMB secara terpadu, terus menerus melalui berbagai media informasi; terutama media komunitas.
8.5 Tindak Lanjut Yang Telah Dilakukan Hasil survei CRC Kab. Indramayu menyatakan bahwa masyarakat masih menengarai banyaknya praktek korupsi dalam pelayanan perizinan. Menindaklanjuti hasil survei tersebut, Pemerintah Kabupaten Indramayu berkomitmen untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi di daerahnya melalui pemberian tunjangan penghasilan bagi aparatur Dinas Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (DPTPM) dan Bawasda. Tungangan Penghasilan PNS Berdasarkan Beban Kerja sedang diproses dan dibahas dalam pembahasan APBD yang sekarang ini tengah memasuki tahap akhir. Selain itu, seabgai upaya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, DPTPM yang selama ini tidak memiliki gedung sendiri, Pemerintah Kabupaten Indramayu pada tahun 2009 disediakan anggaran untuk pembangunan gedung DPTPM. Hal lain, dampak dengan adanya survei CRC adalah Pemerintah Kabupaten Indramayu melangkah cepat menyelesaikan penyusunan RAD PK dan telah mencapai pada penyusunan draf hukum RAD PK sebagai Peraturan Bupati.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
121
122
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
CATATAN PERJALANAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
BAB 9 CATATAN PERJALANAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI LIMA DAERAH 123
9.1 Politik Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Ketika KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sibuk menangkapi dan membawa para anggota DPR atau para pejabat pemerintah daerah yang korup ke pengadilan, apa kira-kira yang sedang dipikirkan oleh rakyat kebanyakan? Lalu, apa yang dipikirkan juga oleh rakyat kebanyakan ketika para konsultan, aktivis LSM dan lembaga donor bekerja siangmalam untuk melakukan reformasi di lembaga-lembaga negara? Kalau kita menyempatkan diri mendengarkan langsung apa yang diharapkan oleh masyarakat luas, kita akan mendapatkan pesan yang begitu kuat tentang pentingnya masyarakat segera mendapatkan secara langsung semua hiruk-pikuk tentang pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. Ada saat di mana para pegiat anti korupsi, di luar maupun di dalam pemerintahan, perlu merefleksikan semua usaha yang telah dilakukan selama sepuluh tahun terakhir dalam pemberantasan korupsi, terutama
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
BAB 9
124
terkait dengan pertanyaan mendasar tentang relevansi semua usaha pemberantasan korupsi yang ada sekarang ini dengan kebutuhan kongkrit masyarakat. Misalnya, apakah reformasi di kepolisian telah menghadirkan sistem pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang murah, cepat dan akuntabel, atau apakah reformasi di sektor kesehatan telah membuat masyarakat lebih mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah, mudah dan berkualitas, atau apakah penegakan hukum terhadap koruptor di sektor pelayanan publik akan serta merta memudahkan membuat masyarakat mendapatkan pelayanan publik sebagaimana yang mereka harapkan? Pemberantasan korupsi dan reformasi di lembaga pelayanan publik, selama sepuluh tahun terkahir, membuktikan bahwa ia tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus tetap diletakkan di atas konteks masyarakat yang berhak atas pelayanan yang diberikan oleh negara. Aspirasi masyarakat hendaknya menjadi titik awal (dasar pemberi legitimasi dan mandat) dan sekaligus menjadi arah pemberantasan korupsi dan reformasi pelayanan publik. Akan sangat berbahaya jika ada kesenjangan antara usaha pemberantasan korupsi dan reformasi pelayanan publik dengan aspirasi masyarakat. Kondisi ini bukan saja akan mengakibatkan usaha pemberantasan korupsi dan reformasi pelayanan publik kehilangan legiteamasi, tetapi lebih dari itu, usaha-usaha itu akan kehilangan arah dan relevansinya. Dalam jangka panjang, bisa saja reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi tidak mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. 9.2 Mengapa Pelayanan Publik? Mengapa pelayanan publik menjadi wilayah penting pemberantasan korupsi? Ada beberapa alasan yang bisa diajukan untuk itu: Pertama, dari sudut pandang hak asasi manusia, rakyat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang efektif dan terjangkau dari negara terkait dengan pemenuhan hak-hak dasarnya. Dalam hal ini, pemberantasan korupsi di sektor pelayanan publik menjadi bagian dari upaya untuk mengopteamalkan kemampuan negara dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya yaitu memenuhi hak-hak dasar rakyatnya. Korupsi yang tak tertangani di sektor pelayanan publik, cepat atau lambat, merongrong kemampuan negara untuk memenuhi hak-hak dasar rakyatnya. Kedua, sektor pelayanan publik diyakini sebagai pintu masuk yang paling tepat untuk menumbuhkan dukungan politik yang luas dari masyarakat. Melalui pendekatan pemberantasan korupsi yang berbasis pada hak-hak rakyat (rights based corruption eradication/ RBCE) akan mendorong kesadaran politik dan kemampuan masyarakat untuk memastikan pemenuhan hak-hak konstitusionalnya terkait dengan pelayanan publik. Rakyat yang memiliki kesadaran kritis seperti itulah yang dibutuhkan untuk mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi dan menjadi penopang utama tata pemerintahan yang baik di Indonesia.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CATATAN PERJALANAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
Di zaman seperti sekarang, ketika parlemen tidak memberikan dukungan politik yang kuat bagi upaya pemberantasan korupsi, dukungan politik dari rakyat secara langsung menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk memastikan agar upaya pemberantasan korupsi berjalan secara efektif dan memiliki daya tahan yang lebih lama. 9.3 Korupsi di Sektor Pelayanan Publik Pada umumnya, sektor pelayanan publik di berbagai negara dirongrong oleh praktik korupsi dengan berbagai modusnya. Ada beberapa modus yang dapat dikenali, yaitu suap (bribery), pencurian asset (embezzlement ), curang (fraud), pemerasan (extortion), penyalahgunaan kekuasaan, insider trading dan konflik kepentingan dalam bentuk nepotism, favoritism. Hal lain yang sering terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pelayanan publik, misalnya dengan dengan memperjualbelikan izin. Di Indonesia, sektor pelayanan publik termasuk sektor yang paling banyak ditemukan praktik korupsi oleh aparat penyelengaranya. Praktik korupsi yang paling umum dijumpai dan terkait langsung dengan masyarakat pengguna pelayanan publik adalah praktik suap, nepotism atau favoritism, pemerasan. Mengapa praktik korupsi tersebut masih saja sering terjadi? Paling tidak, ada beberapa faktor yang bisa disebutkan dalam tulisan ini yang diduga menjadi penyebab utama terus berlangsungnya praktik korupsi di pelayanan publik, yaitu: Pertama, tidak cukupnya transparansi tentang berbagai informasi yang terkait dengan pemberian layanan, misalnya ketidakjelasan prosedur atau mekanisme, misteriusnya besaran biaya yang dibutuhkan dan waktu yang selalu bisa dinegosiasikan. Di dalam ketidakjelasan seperti itu, masyarakat pengguna layanan publik menjadi sangat tergantung pada “orang-orang dalam” atau para calo yang memiliki koneksi dengan “orang-orang dalam”. Kedua, lemahnya fungsi pengawasan internal di dalam birokrasi pelayanan publik juga dianggap sebagai insentif bagi berkembangnya praktik korupsi. Dalam banyak kasus, dimana praktik korupsi sudah menyandera hampir seluruh jajaran birokrasi pelayanan publik, terjadi semacam pelumpuhan yang disengaja terhadap fungsi pengawasan. Pengawasan hanyalah tinggal kemasan saja. Misalnya, ada kotak pengaduan masyarakat yang sudah dipajang di ruang pelayanan publik, tetapi tidak pernah ada usaha serius untuk menindaklanjuti keluhankeluhan masyarakat yang masuk. Ketiga, belum terbangunnya kesadaran kritis masyarakat pengguna pelayanan publik juga turut menyuburkan praktik korupsi. Belum terbangunnya kesadaran kritis ini dapat dilihat dari beberapa indikasi misalnya ketidaktahuan masyarakat terhadap hak-haknya atas pelayanan publik, sikap apatis masyarakat terhadap praktik korupsi
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
125
BAB 9
dan bahkan banyak yang lebih memilih menggunakan jalan pintas dalam berurusan dengan lembaga pelayanan publik, masyarakat belum mampu mengoranisisasikan dirinya dalam mengontrol penyelenggaraan pelayananan publik. Agus Dwiyanto, dalam Kata Pengantar buku Reformasi Birokrasi Publik (2006), mengatakan bahwa praktik pungli (pungutan liar) dalam penyelenggaraan pelayanan birokrasi pemerintah cenderung semakin meluas. Pungutan liar dan suap dengan mudah ditemukan di hampir setiap birokrasi pelayanan publik. Lebih dari itu, pungli dan suap menjadi semakin diterima sebagai suatu hal biasa dan dinilai wajar oleh korbannya sendiri36. Kalau sudah demikian kondisinya, siapa sebenarnya yang saat ini mengendalikan birokrasi pelayanan publik? Kalau secara internal dan eksternal mereka tidak dikontrol oleh siapapun, para birokrat pelayanan publik merasa tidak perlu harus bertanggung jawab kepada siapapun. Birokrasi yang merasa tidak harus tunduk pada siapapun ini dapat dipastikan juga telah kehilangan responsivitasnya, khususnya terhadap tuntutan pengguna pelayanan publik. Perkembangan ini sunggung sangat mencemaskan. 126
9.4 Catatan Dari Lima Daerah Praktik pelaksanaan survei CRC di berbagai negara cukup beragam, terutama terkait siapa yang menjadi penyelenggaranya. Ada yang murni diorganisisasikan oleh LSM atau koalisi LSM dan ada yang dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah. Di India, pada awal tahun sembilan puluhan, survei CRC digunakan oleh LSM di sana sebagai bagian dari skenario mereka untuk melakukan advokasi hak-hak masyarakat atas pelayanan publik yang baik dan terjangkau. Hasil survei menjadi bahan usulan dan diskusi dengan pemerintah daerah dalam kerangka pembaruan pelayanan publik kepada pemerintah daerah. Sementara itu, Pemerintah Propinsi Zanzibar, Kenya, menggunakan survei CRC sebagai pembaruan metoda evaluasi pelayanan publiknya. Pemerintah Propinsi Zanzibar tertarik menggunakan metoda survei ini karena sifat partisipatorisnya. Untuk penyelenggaraan survei, Pemerintah Propinsi Zanzibar membentuk sebuah konsorsium yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah daerah, masyarakat sipil dan media. Konsorsium ini dibuat sebagai kelompok yang independen dalam melakukan survei, menyampaikan temuan dan rekomendasinya kepada pemerintah daerah maupun publik37. Survei CRC di lima daerah, yang didukung oleh Kemitraan dan Bappenas, sebenarnya lebih dekat pada model yang diterapkan oleh Agus Dwiyanto dkk. 2006, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal vi. 37 CRC Learning Toolkit. 2007, Improving Local Governance and Pro-poor Service Delivery, ADB and ADBI. 36
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CATATAN PERJALANAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
Pemerintah Propinsi Zanzibar di Kenya. Team yang dibentuk di masingmasing daerah terdiri dari dua unsur, yaitu para staf pemerintah kabupaten yang ditunjuk oleh pimpinannya dan para aktivis LSM setempat. Team ini memang tidak secara eksplisit dimaksudkan sebagai team yang independen, tatapi keberadaan para aktivis LSM di dalam team tersebut telah menjadi faktor penyeimbang kekuatan dan kepentingan di dalamnya. Sebenarnya, bisa dikatakan team ini independen, sebab praktis tidak ada intervensi yang sifatnya substansial dari pemerintah daerah dalam perumusan rencana kerja survei, pelaksanaan survei dan pelaporannya kepada pemerintah daerah dan publik Substansi temuan di masing-masing daerah sangat menarik. Pada bab ini penulis menganalisis dua aspek dari survei CRC di lima kabupaten dan kota. Aspek pertama terkait dengan isi temuan-temuan survei secara umum dan aspek kedua adalah aspek proses penyelenggaraan survei itu sendiri. Dengan mempertimbangkan konteks sosial-politik yang kita alami sekarang, penulis beranggapan bahwa proses survei tersebut jauh lebih penting dari temuan-temuannya, sebab proses itulah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar kehidupan demokrasi yang sesungguhnya di daerah. Ini adalah investasi politik jangka panjang yang tentu akan sengat penting bagi upaya mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik di daerah, termasuk terwujudnya pelayanan publik yang terjangkau, bersih dan berkualitas. 9.5 Realitas Pelayanan Publik Di Lima Daerah Beberapa catatan umum terkait dengan kecenderungankecenderungan yang dapat diamati dari hasil survei adalah sebagai berikut. Pertama, masyarakat yang toleran terhadap praktik korupsi masih ada. Sebagian responden survei yang mengatakan, bahwa pungutan liar oleh atau pemberian yang tidak wajar kepada aparat birokrasi pelayanan publik adalah hal yang bisa diterima. Sikap toleran ini bukan hanya karena sikap mau serba cepat dalam menyelesaiakn berbagai urusan di lembaga pelayanan publik, tapi kadang juga muncul sebagai bentuk keputusasaan pengguna layanan publik akibat mereka tidak adanya pilihan lain selain harus menghadapi kenyataan pelayanan publik yang buruk. Ia muncul sebagai akumulasi dari pengalaman empirik dalam berusursan dengan lebaga pelayanan publik. Oleh karena itu, sikap toleran terhadap praktik korupsi ini tidak akan serta-merta hilang begitu pemerintah memperbaiki pelayanan publiknya. Masih ada persepsi yang tertinggal di dalam kesadaran masyarakat yang masih harus dikikis melalui berbagai bentuk penyadaran publik. Kedua, praktik pungutan biaya di luar yang telah ditentukan masih tetap ada, sekalipun dalam prosentase yang tidak besar. Di dalam masyarakat yang masih dianggap cukup toleran terhadap praktik suap dan belum cukup artikulatif dalam mengemukakan masalah-masalah
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
127
BAB 9
yang dihadapi, rendahnya prosentase keluhan dan kecilnya jumlah pungutan liar, bukan berarti bahwa fakta itu bisa diabaikan begitu saja. Sebagai indikasi, ia tetap penting untuk menunjukkan bahwa peluang terjadinya pungutan liar atau suap di dalam pelayanan publik tersebut tetap ada. Angka-angka itu bisa saja naik sewaktu-waktu jika kondisinya memungkinkan. Ketiga, masih adanya praktik percaloan yang dijumpai dalam pelayanan survei tersebut mengindikasikan masih adanya problem terkait dengan aksesibilitas pelayanan publik dari aspek prosedur-prosedur yang disediakan. Masih ada ketidakmampuan birokrasi pelayanan publik untuk mematuhi ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah daerah terkait dengan berapa lama pemberian layanan harus dilakukan atau juga karena adanya prosedur yang tidak dipahami oleh masyarakat pengguna. Oleh karena itu, seruan-seruan kepada masyarakat pengguna layanan publik agar tidak mengunakan jasa calo atau pelarangan terhadap calo terbukti kurang efektif apabila masyarakat pengguna tidak mendapatkan insentif seandainya mereka harus berhubungan langsung dengan instansi pelayanan publik. 128
9.6 Peluang Pembaruan Pelayanan Publik Birokrasi pelayanan publik tidak pernah bisa lepas dari konteks sosial-politik lokalnya. Birokrasi pelayanan publik akan mengalami kegagalan manakala ia gagal memahami realitas sosial-politik dimana ia berada. Penulis bermaksud meletakkan interaksi antar-aktor dalam keseluruhan proses yang melahirkan survei CRC ini di atas konteks upaya bangsa kita untuk membangun tatanan hidup yang lebih demokratis, khususnya dalam mengembangkan demokrasi di tingkat lokal sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sejak reformasi politik dimaklumkan oleh rakyat pada tahun 1998, rakyat memang pilihan begitu banyak partai politik untuk menyalurkan aspirasinya. Tetapi selama sepuluh tahun terakhir, rakyat juga telah membuktikan sendiri bahwa partai belum mampu berbuat banyak untuk memperjuangkan hak-hak mereka, terutama untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik. Namun, dalam waktu bersamaan, organisasi masyarakat sipil telah memulai berbagai usaha untuk menumbuhkan kemampuan partisipasi politik rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama untuk memastikan hak-hak konstitusional mereka dihormati dan dipenuhi. Di bawah ini adalah beberapa pembelajaran penting yang didapatkan dari proses lahir dan berlangsung survei CRC di lima daerah. 9.6.1 Dari Konfrontasi Menuju Negosiasi dan Asistensi Selama puluhan tahun aktor-aktor diluar birokrasi pemerintah menaruh perhatian yang serius terhadap masalah pemerintahan.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CATATAN PERJALANAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
Pengawasan secara terbuka telah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, baik melalui organsiasi masyarakat sipil, media massa maupun secara langsung dan terbuka melalui aksi-aksi massa. Bahkan sejak munculnya keterbukaan politik tahun 1998, pendekatan-pendekatan seperti itu yang paling sering dilakukan oleh masyarakat. Melalui tulisan ini, penulis tidak hendak ingin mengatakan bahwa aksi-aksi seperti tidak efektif. Tetapi, penulis ingin mengatakan bahwa aktor-aktor masyarakat sipil perlu menengok pendekatan yang mungkin relevan digunakan untuk kondisi-kondisi tertentu. Seharusnya tidak semua masalah pemerintahan bisa dihadapi dengan penggalangan opini di media atau melakukan tekanan politik melalui aksi-aksi massa. Dalam hal mendorong adanya komitmen perubahan di kalangan pemerintahan, membangun tekanan politik melalui aksi-aksi terbuka mungkin lebih cocok. Aksi-aksi ini biasanya dimaksudkan untuk mengangkat isu-isu makro di tingkat lokal maupun nasional, bukan untuk hal-hal yang lebih detil, mendalam dan memberikan tawaran solusi yang kongkrit pula. Pengalaman pelaksanaan survei CRC di lima daerah ini membuktikan, bahwa metoda survei CRC, yang menyinergikan kepentingan aktor-aktor di dalam dan di luar birokrasi publik, lebih tepat digunakan untuk daerah-daerah dimana kehendak untuk melakukan perbaikan pelayanan publik sudah muncul di kedua belah pihak, baik di jajaran birokrasi pemerintah maupun di kelompok-kelompok masyarakat di luar birokrasi. Bagi birokrasi yang demikian, tekanan politik yang besar dan terbuka tidak diperlukan lagi dan bahkan justru bisa merusak inisiatifinsiatif reformasi yang mulai muncul di dalamnya. Yang diperlukan kemudian adalah dukungan politik dan mitra yang kompeten untuk melakukan pembaruan ke dalam jajaran birokrasi. Alur respon masyarakat tentu tidak harus se-linear itu, sebab mungkin saja komitmen jajaran birokrasi sangat dinamik, bisa naik dan juga bisa turun. Yang terpenting dari pembelajaran di lima daerah itu adalah bahwa pendekatan masyarakat terhadap birokrasi tidak tunggal sifatnya, sangat tergantung pada dinamika politik yang terjadi di dalam dan di luar birokrasi. 9.6.2 Mencairkan Prasangka, Membangun Kepercayaan Metoda survei ini sejak awal perencanaan program ini dirancang untuk mempertemukan tiga pihak di dalam satu interaksi sosial dan fungsional sekaligus. Tiga pihak yang dimaksud adalah: aparat pemerintah daerah, aktivis anti korupsi dan masyarakat pengguna layanan publik. Sebagaimana diketahui, sebagai latar belakang, selama ini ada prasangkaprasangka yang berkembang di antara tiga pihak itu. Ada semacam ketidakpercayaan di antara mereka. Aparat pemerintah cenderung menganggap para aktivis anti korupsi selalu mencari-cari kesalahan aparat pemerintah, mempermalukan mereka di media massa dan akan
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
129
BAB 9
130
membuat mereka masuk penjara. Sementara ada anggapan umum yang berkembang di kalangan aktivis anti korupsi, bahwa aparat pemerintah cenderung tertutup, tidak mau berdialog. Di tingkat masyarakat masih berkembang pandangan yang negatif pula terhadap pemerintah, misalnya aparat pemerintah cenderung tidak mendengarkan keluhan mereka tentang buruknya kualitas pelayanan publik. Melalui survei ini, interaksi antara aparat pemerintah daerah dan aktivis anti korupsi berlangsung pada beberapa level. Pada awal dimulai program survei ini, ada kesepakatan antara kepala daerah serta jajaran pimpinannya dan aktivis anti korupsi untuk menjalankan survei ini secara bersama-sama. Di sinilah letak krusialnya peran Bappenas dan Kemitraan yang sejak awal program ini telah memainkan peran intermediasi secara efektif. Pada tahap berikutnya, interaksi aktivis anti korupsi dilanjutkan dengan aparat pemerintah yang akan tergabung di dalam survei. Mereka berinteraksi sejak awal perencanaan desain survei hingga kegiatan akhir survei. Kerja sama seperti ini sangat strategis dalam kondisi transisi politik seperti di Indonesia, dimana dibutuhkan upaya-upaya khusus untuk mengonsolidasikan aktor-aktor pro-pemberantasan korupsi di daerah, terutama antar aktor-aktor pro-reform yang ada di dalam dan di luar birokrasi pemerintah. Memang, melalui interaksi yang singkat dalam pelaksanaan kegiatan survei tidak dengan serta merta menghasilkan sikap saling percaya. Konsolidasi aktor-aktor pro-reform ini menjadi penting, terutama untuk mempercepat terbangunnya sistem integritas di dalam birokrasi. Paling tidak ada dua alasan yang bisa dikemukakan untuk menegaskan urgensi konsolidasi aktor-aktor pro-reform, yaitu: • Birokrasi membutuhkan bantuan untuk merumuskan arah pengembangan sistem integritas. • Kelompok-kelompok pro-reform di dalam birokrasi membutuhkan legiteamasi dan dukungan politik yang besar dari kalangan masyarakat sipil agar mereka mendapatkan ruang gerak yang lebih luas untuk melakukan reform. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa para aparat birokrasi yang pro-reform biasanya tidak mendapatkan ruang gerak yang memadai di dalam birokrasi. Dalam banyak kasus, mereka ini menjadi kelompok kecil yang terlihat aneh di dalam belantara birokrasi pemerintahan yang bobrok. • Para pegiat anti korupsi di luar jajaran birokrasi membutuhkan komunikasi politik yang lebih efektif untuk memastikan aspirasi pembaruan mereka dapat diterima sebagai input penting bagi reformasi pelayanan publik. • 9.6.3 Pentingnya Peran Mediator dan Fasilitator Pembaruan menuju tata pemerintahan yang bersih di Indonesia adalah proses yang bertahap dan berjalannya sangat tergantung pada
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
CATATAN PERJALANAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
efektifitas interaksi antara jajaran birokrasi pemerintah dan aktor-aktor di luar birokrasi pemerintah, dalam hal ini adalah masyarakat sipil. Dalam masa transisi politik seperti di Indonesia, interaksi semacam itu tidak mudah dilakukan. Kesenjangan-kesenjangan komunikasi yang terjadi selama puluhan tahun terakhir memerlukan pendekatan-pendekatan baru untuk menjembatani komunikasi tersebut. Penyelenggaraan survei CRC di lima daerah memberikan pembelajaran penting tentang perlunya proses negosiasi yang harus dimainkan, baik oleh aktor-aktor di masyarakat sipil maupun di dalam jajaran birokrasi. Menilik proses penyelenggaraan survei CRC di lima daerah pilot, peran mediaso dan fasilitasi telah dimulai oleh Kemitraan dan Bappenas melalui beberapa kegiatan pertemuan yang melibatkan unsur jajaran pemerintah daerah dan organsiasi masyarakat sipil setempat untuk merumuskan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi. Interaksi awal ini kemudian dilanjutkan melalui pelatihan bersama tentang survei CRC yang melibatkan peserta yang sama, lalu diikuti dengan diskusi dan kerja sama intensif antar mereka mulai sejak perumusan rencana kerja survei, pelaksanaan survei, pembuatan laporan hasil survei hingga melaporkannya kepada publik. Yang menarik adalah bagaimana Bappenas memainkan perannya sebagai pemegang mandat presiden, melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, untuk merumuskan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi. Dengan segala keterbatasan kewenangannya sebagai instansi pemerintah pusat, Bappenas, dengan dukungan penuh dari Kemitraan, telah melakukan pendekatan yang kreatif dengan memfasilitasi lahirnya Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi melalui proses politik yang relatif lebih partisipatoris hingga pemberian dukungan sampai ke kegiatan yang sangat kongkrit berupa survei CRC. 9.6.4 Media: Yang Mengawasi dan Mendidik Survei CRC bukan sekedar upaya pengumpulan dan analisis terhadap fakta-fakta pemberian pelayanan publik. Lebih dari itu, karena survei ini adalah survei untuk mendorong pembaruan, maka survei CRC membutuhkan media sebagai sarana untuk mengadvokasikan pentingya perbaikan-perbaikan dalam sistem pelayanan publik. Hasil survei perlu disampaikan juga kepada publik karena dua alasan penting, yaitu : i) karena masing-masing pengguna pelayanan publik berhak mengetahui bagaimana kondisi sebenarnya dari lembaga pelayanan publik yang tergambarkan dari hasil survei; ii) pemahaman publik ini akan menjadi kekuatan penting bagi upaya membangun kekuatan kontrol sosial yang lebih kuat dan berkelanjutan.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
131
BAB 9
132
9.6.5 Perlunya Pelembagaan Survei CRC Para penyelenggara survei CRC di lima daerah tersebut, dalam laporannya, memberikan rekomendasi tentang perlu pemerintah daerah mengadopsi model survei ini sebagai bagian dari metoda untuk mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik di daerah. Mengadopsi model survei ini berarti mengadopsi prinsip-prinsip partisipasi masyarakat dan transparansi informasi publik. Oleh karenanya, dibutuhkan komitmen yang lebih kuat lagi dari seluruh jajaran pemerintah daerah untuk melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi pelayanan publik sekaligus komitmen untuk membuka diri bagi proses evaluasi dengan cara memberikan seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan evaluasi yang sah dan terpercaya. Untuk menjamin keberlanjutan pelaksanaan survei CRC, para kepala daerah sangat diharapkan segera membuat peraturan atau kebijakan untuk memayungi atau menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan survei ini secara periodik bagi seluruh institusi pelayanan publik di daerah. Dengan demikian, pelaksanaan survei ini tak lagi tergantung pada dukungan dari sumber-sumber di luar anggaran pemerintah daerah. Untuk daerah-daerah yang telah memiliki lembaga semacam ombudsman atau semacam komisi pelayanan publik, metode ini seharusnya telah menjadi bagian dari cara kerja mereka. Sementara untuk organisasiorganisasi masyarakat sipil di lima daerah penyelenggaraan survei ini, diharapkan tetap mampu menjaga agar capaian-capaian politik yang telah dihasilkan melalui proses survei ini dapat dioptimalkan untuk memerkuat pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di daerahnya.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
DAFTAR PUSKATA Buku Bovaird, Tony. 2007. “Beyond Engagement and Participation: User and Community Coproduction of Public Services”, in Public Administration Review, Vol. 67 (Sep/Oct). Budiardjo, M. 1983. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Caiden, Gerald, 1991. “What Really Is Public Mall Administration”, in Public Administration Review, Vol. 51 (Nov/Dec). Corbett, D. 1996. Australian Public Sector Management, New South Wales: Allen & Unwin. Denhardt, Janet V. & R.B. Denhardt. 2003. The New Public Service Serving not Steering. Amonk, New York: M.E. Sharpe. Drucker, P., 1980. “The Deadly Sins in Public Administration.” Public Administration Review, Vol. 40 (March/April). Dwiyanto Agus (editor). 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Entin Sriani Muslim, Seri Kertas Kerja Model Pelibatan Masyarakat Sipil Dalam Perumusan, Pelaksanaan, dan Pemantauan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD PK) Gunnar Myrdal. 1981. Obyektivitas Penelitian Sosial, Jakarta: LP3ES Jones, R. 1994. “The Citizen’s Charter Program: an Evaluation, Using Hirchman’n Concept of ‘Exit’ and ‘Voice’” in Review of Policy Issues Vol 1. (Summer). Kurniawan, Luthfi J., dkk. 2008. Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik, Malang: In-TRANS Publising, Cet. 1. Patton, Micahel Quinn. 1991. Metode Evaluasi Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
133
DAFTAR PUSTAKA
Pierce, W.S., 1981. Bureaucratic Failure and Public Expenditure. New York: Academic Press, Harcourt Brace Jovanich. Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Profil Kabupaten Jembrana Tahun 2008 Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Savas E.S., 1987. Privatization: The Key to Better Government, New Jersey: Chatham House Publishers.
134
Smyth, J.D. 1997. “Competition as a Meas of Procuring Public Service: Lessons for the UK from the US Experience” in The International Jurnal of Public Sector Management Vol. 10. Susan Rose-Ackerman, 2006. KORUPSI PEMERINTAHAN (Sebab, Akibat Dan Solusi), Jakarta: Sinar Harapan. Tayibnapis, Farida Yusuf. 2000. Evaluasi Program, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Widoyoko, Danang, dkk. 2006. Saatnya Warga Melawan Korupsi, Jakarta: Indonesia Corruption Watch. Windia, Wayan P. Eksistensi Desa Pakraman di Bali Windia, Wayan P. Hukum Adat Bali Peraturan Perundang-Undangan Draft Rancangan Undang Undang Pelayanan Publik yang dibahas di Komisi II DPR RI Tahun 2008 Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Bupati Pemalang Nomor 67 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah Kabupaten Pemalang Tahun 2007-2011 Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Pemalang Tahun 2006-2011 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Sumber Website http://siteresources.worldbank.org/INTPCENG/11433801116506267488/20511066/reportcardnote.pdf. http://www.capacity.org/en/journal/tools_and_methods/citizen_ report_cards_score_in_india. http://www.citizenreportcard.com/crc/pdf/manual.pdf.
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
135
PROFIL PARA PENULIS Diani Sadiawati Jabatan saat ini adalah Direktur Hukum dan HAM, Bappenas RI. Dilahirkan di Jakarta tepatnya pada tanggal 30 Januari 1962. Memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1987) dan menyelesaikan Master of Law (LLM) di University of Leiden, The Netherlands pada Public International Law (1996). Aktif terlibat sebagai peserta dan narasumber dalam berbagai seminar dan workshop baik tingkat nasional maupun internasional. Selain itu aktifitas yang dilakukannya adalah melakukan berbagai penelitian dan menulis.
136
Dadang Trisasongko Dadang Trisasongko adalah Advisor Anti Korupsi di Kemitraan. Pria kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, pada tahun 1963 ini menamatkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Pernah menjadi pekerja bantuan hukum di Lembaga Bantuan HukumLBH Surabaya dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-YLBHI (1988–2001). Aktivitas organisasi lain adalah: Anggota Dewan Etik ICW, Ketua Dewan Pengurus The Indonesian Legal Resource Centre dan Ketua Dewan Pengurus Institut Tititan Perdamaian. Ratminto Dilahirkan di Jogjakarta pada 21 Agustus 1966. Dalam kesehariannya bekerja sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selain itu juga mengajar pada Magister Administrasi Publik di universitas yang sama. Aktif sebagai penulis buku, peneliti dan pembicara dalam berbagai seminar dan kegiatan ilmiah terkait dengan pelayanan publik. Menyelesaikan S1 pada Ujuran Ilmu Administrasi Negara, UGM (1991), S2 pada Filnders University Australia (1999). Sekarang sedang menyelesaikan S3 pada Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia. Nasokah Laki-laki yang akrab dipanggil Oka ini adalah Project Officer pada Kemitraan. Lahir di Demak, Jawa Tengah pada tanggal 25 Juni 1979. Menyelesaikan S1 di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002) dan sekarang sedang dalam proses menyelesaikan tesisnya pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan konsentrasi Hukum Tata Negara. Pernah aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta (2002-2005), Sekretaris Eksekutif di Gerakan Kemitraan Bisnis Beretika Berkelanjutan/Gatra Tri Brata (2005-2007): lembaga yang menginisiasi dan mengawal pelembagaan Ombudsman Swasta DIY, dan pernah pula menjadi konsultan pada perusahaan penyedia jasa konsultansi untuk MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PROFIL PARA PENULIS
pelayanan publik pemerintah daerah, Daya Prosumen Mandiri (20052007) untuk peningkatan kualitas pelayanan perizinan melalui One Stop Service (OSS) dan analisa kebijakan daerah dengan metode Regulatory Impact Assessment (RIA). Siti Fatimah Adalah Direktur BIGS (Bandung Institute of Governance Studies) Bandung. Dilahirkan di Bandung pada tanggal 15 April 1973. Menyelesaikan S1 pada Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung (1997). Aktif dalam melakukan advokasi dan penelitian bidang anggaran publik. Terlibat sebagai trainer, fasilitator dan narasumber dalam berbagai workshop dan training. Banyak publikasi yang telah terbitkan baik dalam bentuk modul, buku maupun artikel di media massa. Dan Satriana Dan Satriana adalah Direktur Kalyana Mandira, Bandung. Terlibat dalam berbagai kegiatan seminar, lokakarya, trainig dan workshop sebagai narasumber, trainer, dan fasilitator. Aktif dalam advokasi kebijakan anggaran. Selain itu, juga aktif menulis dan memberikan opininya menanggapi masalah-masalah sosial terkini di berbagai media lokal. Dan Satriana adalah ahli dalam penyusunan modul training dan kegiatan pembelajaran partisipatif. Terlibat dalam program di Kemitraan sebagai Technical Assisstante bagi Pemda Jembrana dan Denpasar untuk survei CRC. Lilis Widaningsih Dosen Tetap pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Dilahirkan di Bandung pada tanggal 22 Oktober 1971. Menyelesaikan S1 pada IKIP Bandung, Program Studi Pendidikan Teknik Arsitektur (1997) dan S2 pada Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Program Magister Arsitektur (2004). Ibu muda energik ini aktif dalam berbagai penelitian dan publikasi baik di lingkungan kampus tempatnya mengajar maupun di berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat. Dwi Saputra Dwi Saputra, SH. lahir di Sungailiat, 03 Juni 1968, lulusan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang tahun 1994, bekerja di YLBHI – LBH Semarang sejak 1995 – 2004, adalah salah seorang pendiri dan beberapa periode dipercaya sebagai Koordinator BP Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah 2004 – 2006. Selain sebagai anggota KP2KKN, sejak 2006 hingga sekarang sebagai koordinator Jejaring Anti Korupsi (JeJAK) Jawa Tengah. Publikasi berupa buku antara lain : ”Tiada Ruang Tanpa Korupsi” KP2KKN Maret
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
137
PROFIL PARA PENULIS
2004; “Katakan : TIDAK (Panduan Melawan Mafia Peradilan)” KP2KKN, Partnership & European Union, Juli 2006 dan “Hukuman Percobaan Kasus Korupsi, Eksaminasi Publik Perkara No. 240/Pid.B/2005/PN.Smg” KP2KKN, Partnership & European Union, Juli 2006. Jabir Alfaruqi Jabir Alfaruqi adalah Koordinator KP2KKN Jawa Tengah. Lahir di Pati, 11 September 1969. Menyelesaikan S1 di IAIN Walisongo Semarang. Aktif sebagai penulis dan kolumnis di berbagai media. Fridolin Joseph Berek Dilahirkan di Atambua, NTT, pada tanggal 15 Juni 1973. Menyelesaikan S-1 pada Urban and Regional Planning, Universitas Winaya Mukti Bandung. Posisi sekarang adalah Direktur Lembaga Adokasi Kerakyatan (LAK) Bandung. Aktif melakukan advokasi kebijakan anggaran pelayanan publik di Kota Bandung. Terlibat sebagai fasilitator dan konsultan dalam program penyusunan RAD PK di beberapa daerah di Indonesia yang dilakukan oleh Bappenas RI. 138
Putu Wirata Dwikora Lahir di Penebel, Bali, Juli 1960. Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Udayana (1987), berkarir sebagai koresponden, antara lain Majalah Berita TEMPO, FORUM Keadilan, MATRA, sebelum menjadi freelance dan menjadi kontributor naskah-naskah seni budaya dan sosial politik, antara lain untuk The Jakarta Post, KOMPAS, dan media lainnya. Tahun 1994 dia salah seorang penandatangan Deklarasi Sirnagalih, cikal bakal berdirinya AJI (Aliansi Jurnalis Indpenden) Indonesia, tahun 1990-an mulai akfit bersama kelompok kritis yang mengadvokasi korban pelanggaran HAM di Bali, ikut mendirikan LSM anti-korupsi Bali Corruption Watch (2000) dan menjadi ketuanya sampai sekarang. Tahun 2004 meraih Tasrif Award dari AJI Indonesia untuk perjuangannya memberantas korupsi, advokasi HAM dan perjuangan demokrasi lainnya di Bali. Sambil menjadi penulis freelance untuk media cetak, tahun 1990-an ia mulai bergulat dengan seni rupa dan budaya, menulis beberapa buku monografi perupa, diantaranya ‘’Arie Smit, Memburu Cahaya Bali’’, ‘’Siluet Perempuan, Sket-sket Wayan Sujana Suklu’’, dan lain-lain. Termasuk salah seorang inisiator diadakannya Bali Biennale 2005, selain mengkuratori beberapa pameran seni untuk venu di Surabaya, Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Nyoman Sunata Drs I Nyoman Sunata, M.Pd adalah Perencana Madya pada Bappeda Kabupaten Jembrana-Bali. Alumni Magister Pendidikan IKIP Negeri Singaraja Tahun 2005 dan Alumni TOT Penjenjangan JFP UI-Bappenas Tahun 2004. Aktif sebagai narasumber dalam berbagai seminar nasional dan Internasional; seperti Seminar Urgensi Penguatan Keuangan Daerah
MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
PROFIL PARA PENULIS
di Bappenas, Perencanaan dan Penganggaran di Lespida.Peserta Seminar 6 Tahun Pelaksanaan Otonomi Daerah di Jakarta. Sebagai salah seorang deklarator Assosiasi Perencana Pemerintah Indonesia di Bappenas. Dalam kegiatan pemberantasan korupsi, aktif sebagai Mitra Pemerintah dalam program Membangun Integritas Pemberantasan Korupsi di Daerah Melalui RAD PK dan Evaluasi berbasis Metode Citizen Report Card-CRC kerja sama Kemitraan dan Bappenas RI. Selin itu adalah perintis Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi Kabupaten Jembrana 2007-2010. Ketut Budhiarta Bekerja pada Bappeda Kota Denpasar. Terlibat aktif pada program membangun sistem integritas pemberantasan korupsi kerja sama Bappenas RI dan Pemda Denpasar dengan dukungan Kemitraan sebagai mitra lokal dan kontak person untuk pelaksanaan kegiatan ini. Akhmad Budiarto Dilahirkan di Bandung, 25 Desember 1965. Jabatan yang diemban saat ini adalah Kasubbag Perencanaan Bawasda Kab. Indramayu. Sebelumnya pernah menjadi Kepala Seksi Pemuda pada Kantor Pemuda dan Olahraga, Kasubbid Data pada Bappeda dan Protokoler Pemda Indramayu. Menyelesaikan S1 di Fakultas Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Wiralodra Indramayu (1992) dan menamatkan S2 pada STIE Ganexa Jakarta dengan konsentrasi Sumber Daya Manusia (2000). Aktif dalam berbagai aktifitas dalam rangka peningkatan dan perbaikan kualitas pelayanan publik di Pemerintah Kabupaten Indramayu. Joko Santoso Jabatan yang sekarang diemban adalah Kasubbag Pemerintahan Umum, Bagian Tata Pemerintahan Setda Kota Magelang. Lahir di Karanganyar, 1 Oktober 1980. Menyelesaikan S1 pada STPDN (2002) dan S2 pada Magister Administrasi Publik-MAP UGM Yogyakarta (2005). Terlibat dalam berbagai kegiatan dan penelitian dalam pemberantasan korupsi dan penerapan good governance di Pemerintah Kota Magelang. Aji Nur Mugi Harjono Ayah dua anak ini dilahirkan di Pemalang, pada tanggal 29 Januari 1972. Menyelesaikan S1 di Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Bandung dan S2-nya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sekarang ini bekerja pada Bappeda Kabupaten Pemalang. Ikanedi Anggota Badan Pekerja Bali Corruption Watch-BCW Bali. Lahir di Sidoarjo, tanggal 20 Oktober 1970. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar (2000). Sebagai pengacara publik yang juga juga aktif di BCW, Ikanedi terlibat aktif dalam advokasi kasuskasus korupsi dan anggaran publik. MEMBANGUN SISTEM INTEGRITAS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
139
140
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN