Project Working Paper Series No. 05
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
Penulis:
Leti Sundawati Soni Trison
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-IPB Bekerjasama dengan Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
Penulis:
Leti Sundawati Soni Trison
Layout dan Design Sampul : Dyah Ita M. dan Husain As’adi
Diterbitkan pertama kali, Juli 2006 Oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB Bekerjasama dengan Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia-UNDP Kampus IPB Baranangsiang Gedung Utama, Bagian Selatan, Lt. Dasar Jl. Raya Pajajaran Bogor 16151 Telp. 62-251-328105/345724 Fax. 62-251-344113 Email.
[email protected]
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
ISBN: 979-8637-34-6 2
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
KATA PENGANTAR Kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagaimana tertuang pada Undang Undang (UU) no. 22/1999 dan revisinya pada UU no. 32/2004 menjadi salah satu landasan perubahan sistem tata-kelola pemerintahan (governance system) yang penting dalam sejarah pembangunan politik dan administrasi pengelolaan wilayah secara nasional di Indonesia. Hal tersebut juga menimbulkan adanya perubahan sikap masyarakat dan berbagai kalangan yang menaruh perhatian pada pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, dimana mereka berharap otonomi daerah dapat membangun dan merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam sehingga pemanfaatan sumberdaya alam benarbenar dapat mensejahterakan seluruh rakyat. Namun potret pengelolaan sumberdaya alam selama 3 tahun terakhir menunjukkan kenyataan bahwa telah banyak inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menindaklanjuti otonomi daerah dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) di daerahnya masing-masing. Terdapat beberapa kelemahan yang dapat dicatat dan pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah masih minimnya pemahaman terhadap kepentingan seluruh komponen bangsa Indonesia atas sumberdaya alam dan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Working paper ini merupakan bagian dari “Studi Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan” yang mencoba mengkaji konsep dan pengalaman empirik pengelolaan sumberdaya alam pada ranah pedesaan di lima propinsi contoh yaitu Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Bali dan Papua. Akhir kata semoga working paper ini memberikan masukan dan informasi yang bermanfaat mengenai pelaksanaan otonomi desa khususnya atau OTDA dan bagi semua pihak pada umumnya. Bogor, Juli 2006 Penulis
3
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar ………………………………………………………….................
iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………………….
iv
1.
Pendahuluan ..................................................................................
1
2.
Perubahan Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Alam................................................................................................
3
3.
Tinjauan Teoritis Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan.................................................................................. ....
12
4.
Praktek Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Pedesaan ...................
16
5.
Penutup ............................................................................................
22
Daftar Pustaka ......................................................................................
23
4
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
1
PENDAHULUAN
Kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagaimana tertuang pada Undang Undang (UU) no. 22/1999 dan revisinya pada UU no. 32/2004 menjadi salah satu landasan perubahan sistem tata-kelola pemerintahan (governance system) yang penting dalam sejarah pembangunan politik dan administrasi pengelolaan wilayah secara nasional di Indonesia. Hal tersebut juga menimbulkan adanya perubahan sikap masyarakat dan berbagai kalangan yang menaruh perhatian pada pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, dimana mereka berharap otonomi daerah dapat membangun dan merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam sehingga pemanfaatan sumberdaya alam benarbenar dapat mensejahterakan seluruh rakyat. Dalam konsepnya, otonomi daerah (sesuai UU 22/1999 dan penyempurnaannya pada UU 32/2004) secara eksplisit ataupun implisit hendak mengedepankan cita-cita penegakan prinsip-prinsip demokrasi (kesetaraan, kesejajaran, etikaegalitarianisme), keunggulan lokal, keberagaman, prinsip bottom-up, desentralisme administratif yang elegan dan berwibawa di tingkat lokal serta berkemampuan mengatasi persoalan riil di lapangan, penghargaan pada prakarsa serta hak-hak politik masyarakat lokal, kemandirian dan kedaulatan sistem sosial-ekonomi lokal serta pembebasan dari segala bentuk ketergantungan sosial-politik pada semua pihak. Transparansi tata-pemerintahan, akuntabilitas publik dan pengelolaan sumberdaya alam juga menjadi salah satu maksud diundangkannya UU tersebut. Konsep otonomi daerah juga memberikan platform bagi sistem administrasi pembangunan yang memungkinkan setiap stakeholder mengaktualisasikan cita-cita pencapaian derajat keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang lebih baik (better and sustainable socio-economic standard of living), serta kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable natural resources and environment) secara aspiratif. Potret pengelolaan sumberdaya alam selama 3 tahun terakhir menunjukkan kenyataan bahwa telah banyak inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menindaklanjuti otonomi daerah dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) di daerahnya masing-masing. Namun inisiatif tersebut nampaknya belum merata ke seluruh daerah. Terdapat beberapa kelemahan yang dapat dicatat dan pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah masih minimnya pemahaman terhadap kepentingan seluruh komponen bangsa Indonesia atas sumberdaya alam dan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Selama lebih dari 30 tahun, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dengan pola yang sentralistik dan cenderung eksploitatif, sehingga menimbulkan 5
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
berbagai ketidakadilan di tengah masyarakat. Semangat otonomi daerah yang muncul sejak 1999 membawa visi baru untuk mengubah pola-pola tersebut, dan berusaha menata kembali pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Arah pengelolaan yang hendak dicapai melalui visi baru tersebut sangat relevan untuk dikaji mengingat semakin menipisnya sumberdaya alam di Indonesia. Sejauh mana desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum terkecil melakukan pengelolaan sumberdaya alam, perlu mendapat perhatian dalam kerangka pembaruan tata-kelola pemerintahan desa sesuai dengan semangat otonomi. Working paper ini merupakan bagian dari “Studi Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan” yang mencoba mengkaji konsep dan pengalaman empirik pengelolaan sumberdaya alam pada ranah pedesaan di lima propinsi contoh yaitu Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Bali dan Papua.
2
PERUBAHAN PARADIGMA PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
Sejak Deklarasi Stockholm 1972, prinsip-prinsip umum dalam pembangunan berkelanjutan tentang sistem pengaturan sumberdaya alam mengalami perkembangan yang cepat. Prinsip-prinsip tersebut semakin berkembang dan diperluas dalam Deklarasi Rio 1992, sehingga kemudian mencapai puncaknya pada Deklarasi Johannesburg pada tahun 2002 yang mengarah pada pembentukan kaidah hukum baru meliputi: a) Kewajiban yang dimuat dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockholm dan prinsip 2 Deklarasi Rio yang mengatur hak berdaulat negara atas sumberdaya alam dan tanggungjawab negara untuk mencegah dampak lingkungan yang bersifat lintas batas batas negara; b) Prinsip melakukan tindakan pencegahan; c) Prinsip bertetangga yang baik dan kewajiban melakukan kerjasama internasional; d) Prinsip pembangunan berkelanjutan; e) Prinsip kehati-hatian; f) Prinsip pencemar membayar; dan g) Prinsip kebersamaan dengan tanggungjawab yang berbeda. Dalam program pembangunan Indonesia, masalah pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam merupakan masalah mendasar dalam pembangunan nasional. Secara konstitusional ditetapkan bahwa penguasaan sumberdaya alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, walaupun secara faktual 6
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
pembangunan yang dilakukan selama lebih dari tigapuluh tahun, belum disertai dengan perangkat hukum yang menjamin tercapainya tujuan tersebut, yaitu pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan dengan pendekatan yang bersifat holistik. Adanya perubahan batang tubuh UUD 1945 melalui proses perubahan I, II, III dan IV memberi mandat tersendiri dalam hal pengaturan pengelolaan sumberdaya alam. Mandat ini antara lain muncul dari pergeseran tata pemerintahan negara Indonesia ke arah yang berimplikasi pada timbulnya kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia di daerahnya. Adapun pemanfaatan sumberdaya alam dalam konteks otonomi daerah tersebut harus dilaksanakan secara adil dan selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seperti dinyatakan dalam Pasal 18 A. Berkaitan dengan hak asasi manusia dalam pengelolaan sumberdaya alam, secara khusus UUD 1945 dan perubahan I, II, III dan IV memberikan mandat khusus dalam Pasal 28 H bahwasanya setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam dan dimiliki oleh negara kita, pengaturan yang dibentuk seyogyanya juga harus menunjang peningkatan taraf ekonomi rakyat yang ditujukan bagi pengembangan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3). Paradigma baru pengelolaan sumberdaya alam tersebut telah pula mendorong terbentuknya kebijakan makro pemerintah Indonesia dalam bentuk TAP MPR No: IX/2001 tentang pembaharuan dan pengelolaan sumberdaya alam. Gagasan dan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumberdaya alam yang terbentuk dalam keputusan Majelis ini merupakan salah satu bentuk refleksi tuntutan baru sistem hukum sumberdaya alam Indonesia di bawah konsep pembangunan berkelanjutan. Arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dalam TAP MPR No. IX/2001 ini dinyatakan sebagai berikut: a. b. c.
Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya 7
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
d. e. f. g.
tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.
TAP MPR NO. IX/MPR/2001 secara khusus memberikan mandat kepada DPR bersama Presiden untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan pengelolaan sumberdaya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua peraturan yang ada di bawahnya. Berikut ini adalah peraturan perundangundangan pengelolaan sumberdaya alam di bidang konservasi dalam konteks otonomi daerah. 1.
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. Undang-undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan 3. Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. 4. Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan. 5. Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Keaneka-ragaman Hayati). 6. Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). 7. Undang-undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. 8. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. 9. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 10. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1963 tentang Penyerahan Pengusahaan Hutan-hutan tertentu kepada Perusahaan Negara 11. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1973 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi. 12. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. 8
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
13. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. 14. Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. 15. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Penyelenggaraan otonomi daerah umumnya disambut positif dan didukung banyak pihak. Disamping merupakan amanat konstitusi, otonomi daerah dirasakan sebagai kebutuhan yang semakin mendesak dan menjadi jalan keluar bagi tantangan yang akan sulit diatasi jika penyelenggaraan kehidupan bernegara tetap dalam sistem yang sentralistik. Terdapat tiga manfaat yang umumnya diharapkan dari penyelenggaraan otonomi daerah melalui desentralisasi : pertama, prakarsa dan kreativitas daerah dapat lebih berkembang sehingga masalah dan tantangan yang muncul di daerah dapat lebih mudah dan cepat diatasi; kedua, beban persoalan dapat lebih dibagi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi pusat untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang bersifat strategis; ketiga, membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat di tingkat lokal dan daerah sehingga mampu meningkatkan rasa keadilan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Banyak pihak berharap pelaksanaan otonomi daerah akan membawa perubahanperubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya alam dapat diperbaiki. Namun pelaksanaan otonomi daerah tidak seperti yang diharapkan, sehingga banyak pihak yang lalu memandang otonomi daerah sebagai pemberi dampak buruk terhadap pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Hal tersebut menurut Kartodiharjo dan Jhamtani (2006) disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) adanya pertentangan kebijakan pusat dan daerah yang salah satunya sebagai akibat tidak dilakukannya sinkronisasi UU sektor dengan UU otonomi daerah, (2) persepsi mengenai otonomi daerah yang beragam, dimana persepsi lembaga-lembaga pemerintah tidak cukup tepat memaknai pelaksanaan otonomi daerah, dan di sisi lain masyarakat tidak percaya terhadap apa yang dilakukan pemerintah, dan (3) kelemahan fungsi pemerintahan daerah terutama kelemahan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Akibat dari otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya alam dikemukakan oleh Nababan (2002) yang memandang bahwa otonomi daerah sebagai pendorong pengrusakan sumberdaya alam yang semakin meningkat serta pengrusakan sendi-sendi masyarakat adat yang umumnya berakar di wilayah pedesaan (lihat Box 1). 9
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
UU No. 32/2004 tentang pemerintah daerah dibentuk untuk mendukung dan menunjang penyelenggaraan otonomi daerah yang bertanggung jawab dan berpedoman pada prinsip-prinsip demokrasi. Berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam konteks otonomi daerah, dalam Pasal 10 UU ini dinyatakan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia di daerahnya. Adapun upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tersebut kiranya harus dilaksanakan dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan hidup secara bertanggung jawab dan disesuaikan dengan potensi dan kenekaragaman daerah. Hal ini menjadi mandat tersendiri bagi pemerintah daerah untuk mampu membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di daerahnya dengan berorientasi pada potensi dan kemampuan daerah setempat. Namun mandat tersebut seringkali kurang diimplementasikan, sehingga Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten yang merupakan turunan dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah umumnya tidak menyebutkan secara eksplisit kewenangan desa dalam pengaturan sumberdaya alam. Padahal PP No. 72/2005 menyebutkan secara jelas menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berhak melakukan identifikasi, pembahasan dan penetapan jenis-jenis kewenangan yang diserahkan pengaturannya kepada desa, seperti kewenangan dibidang pertanian, pertambangan, dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan dan lingkungan hidup, perikanan, politik dalam negeri dan administrasi publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas pembantuan, pariwisata, pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan perlindungan.
10
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa Box 1:
Otonomi Daerah: Pemberlanjutan Pengrusakan Alam yang Semakin Meningkat
UU 22/1999 dan UU 25/1999 ini hanya mengatur sistem pemerintahan (government system), bukan system pengurusan (governance system). Ini berarti bahwa kedua UU ini baru mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai di mana pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini adalah tumbuh-suburnya perilaku politik pengurasan di kalangan elit politik, khususnya para bupati yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar. Para bupati berlomba-lomba mengeluarkan PERDA untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya dari berbagai macam sumber seperti bermacam pungutan, retribusi, pemberian ijin HPHH skala kecil, IPK dan sebagainya. Akibatnya beban pengeluaran rakyat ke pemerintah semakin meningkat, yang nampaknya juga tidak diimbangi dengan meningkatnya kualitas pelayanan birokrasi kepada rakyat yang telah membayar pajak dan non-pajak lebih besar. Hal menarik dan penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama setahun terakhir ini adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD bukan berarti dengan sendirinya mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas sumberdaya alam. Pada kenyataannya peraturan per-UU-an sektoral masih tetap kokoh dan berjalan seperti biasanya. Misalnya pencabutan ijin HPH, HPHTI, perkebunan besar, kuasa pertambangan masih tetap berada di tangan departemen sektoral. Dari sini bisa dipastikan otonomi daerah telah menyebabkan penambahan jumlah dan jenis kegiatan eksploitasi sumberdaya alam, belum lagi terhitung ekploitasi haram (tidak pakai ijin dari pemerintah pusat atau daerah) yang sama sekali di luar kapasitas pemerintah untuk mengontrol. Kalau kecenderungan ini tidak segera dihentikan (atau paling tidak dikendalikan) maka otonomi daerah tidak pernah jadi solusi, bahkan akan meningkatkan laju pengrusakan diri masyarakat adat itu sendiri beserta habitatnya. Sumber: Nababan, A. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasiskan Masyarakat Adat: Tantangan dan Peluang dalam Kumpulan Makalah Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. PPLH-IPB.
Perda tentang Pemerintahan Desa umumnya hanya menurunkan atau mengulang kembali UU dan PP yang ada di atasnya tanpa ada warna lokalitas maupun penurunan kewenangan yang lebih rinci di dalamnya. Hal tersebut misalnya terjadi di Jawa Barat dan Bali yang desanya merupakan tipikal desa pemerintah. Namun demikian pada era otonomi daerah ini, terdapat pula beberapa daerah kabupaten yang mencoba memperkuat desa dengan memberikan berbagai kewenangan selain dari urusan pemerintahan. Sebagai contoh Kabupaten Solok di Sumatera Barat membuat Perda No. 4/2002 dan diperbaharui dengan Perda No. 8/2004 tentang Pemerintahan Nagari. Perda tersebut dikenal di Kabupaten Solok sebagai Perda tentang pelimpahan 105 kewenangan ke tingkat desa yangmana di propinsi Sumatera Barat disebut Nagari. Menurut PP 72/2005 desa atau yang disebut dengan nama lain (yaitu: Nagari di Propinsi Sumatera Barat) 11
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan berwenang mangatur dan mengurus masyarakatnya. Perda No. 4/2002 dan revisinya No. 8/2004 yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Solok memberikan otonomi yang cukup besar kepada Nagari untuk mengurus wilayah dan masyarakatnya termasuk sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. Perda yang memberi banyak kewenangan pada Nagari ini disambut baik dan menjadi pendorong pembangunan terutama oleh Nagari-Nagari yang telah memiliki SDM aparat maupun masyarakat memadai serta memiliki sumber pendapatan asli daerah yang cukup besar. Salah satu Nagari terbaik di Kabupaten Solok adalah Nagari Paninggahan yangmana aparat Nagari-nya umumnya berpendidikan sarjana. Nagari ini juga memiliki sumberdaya alam yang cukup (wilayahnya cukup luas serta terletak di tepi Danau Singkarak) dengan akses yang telah baik ke ibukota kabupaten. Bagi Nagari yang SDM-nya lemah dengan akses yang sulit karena pembangunan sarana jalan di masa lalu sampai sekarang belum diprioritaskan, maka kewenangan yang besar ini menjadi beban yang cukup besar, apalagi berbagai kewenangan tersebut banyak yang tidak disertai dengan dukungan dana pelaksanaan. Semangat perubahan telah pula mewarnai Peraturan Daerah atau Qanun di Provinsi NAD. Qanun Kabupaten Aceh Besar No. 08/2004 tentang Pemerintahan Gampong, Bab II Pasal 4 ayat b menyebutkan bahwa: Gampong mempunyai fungsi pembangunan, baik pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan hidup maupun pembangunan mental spiritual. Gampong adalah ‘desa’ sebagaimana disebutkan dalam PP 72/2005. Namun kondisi provinsi NAD yang belum kondusif baik karena kondisi sosial politik maupun karena terjadinya bencana tsunami baru-baru ini, menyebabkan Qanun tersebut baru berupa peraturan tertulis dan belum sampai pada tataran pelaksanaan yang nyata di lapangan. Namun demikian, dengan mencatumkan secara eksplisit fungsi Gampong sebagai pelestari lingkungan hidup maka semoga di masa yang akan datang Gampong di propinsi NAD dapat menjadi ujung tombak pengelolaan sumberadaya alam dan lingkungan di provinsi tersebut.
3
DESA SEBAGAI WILAYAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
Sampai saat ini perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya alam melalui otonomi daerah belum dirasakan atau terefleksikan sampai pada ranah desa yang notabene merupakan tataran pelaksana pemerintahan terendah. Desa atau yang disebut dengan nama lain (misalnya: Nagari di Sumbar dan Gampong di NAD) menurut PP No. 72/2005 memiliki kewenangan yang mencakup: urusan 12
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Kondisi masyarakat Indonesia yang lebih dekat dengan lingkungan alamnya telah mengakibatkan keberadaan pengelolaan lingkungan khususnya sumberdaya alam di Indonesia mempunyai peranan yang khas dan cukup penting dalam menjalankan roda kehidupan. Mengingat peranan penting tersebut peranan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk mengelola sumberdaya alam tersebut menjadi sangat penting diketahui oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan melalui pembangunan mempunyai andil yang cukup besar dalam menggerakkan roda perekonomian. Dalam menjamin kelangsungan pembangunan ekonomi maka pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan faktor ekologis dalam rangka mengurangi akibat yang akan merugikan. Jumlah sumberdaya alam yang semakin menyusut, menjadikannya sebagai baranglangka dan menjadi sumber pendapatan daerah yang penting, oleh karena itu harus dikelola oleh yang berkompeten. Desa yang SDM aparatnya umumnya rendah, karena memang tidak pernah atau jarang mendapat pembinaan, dengan demikian dianggap tidak akan berkompeten dalam mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. Apalagi apabila sumberdaya alam tersebut dianggap sangat penting sehingga perlu pengaturan dari tingkat pusat, maka desa tempat dimana sumberdaya alam tersebut notabene berada, seringkali terpinggirkan dan tidak mendapat manfaat dari sumberdaya alam yang berlimpah di wilayahnya.
13
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
Safitri (2005) menyatakan bahwa pada umumnya rakyat atau masyarakat desa pada dasarnya menginginkan ranah yang lebih luas untuk mengaktualisasikan hak-haknya pada sumberdaya alam. Hak pada kawasan menjadi wadah untuk mengelola, memanfaatkan sekaligus melestarikan sumberdaya alam. Ketidakjelasan dan tumpang tindih batas wilayah kelola menimbulkan konflik, keterbatasan akses dan ketidakleluasan masyarakat membuat dan mengambangkan aturan lokal. Lebih lanjut Safitri (2005) menjelaskan adanya Box 2:
Masalah Batas Wilayah Pengelolaan SDA
Hasil konsultasi publik dalam rangka perumusan RUU-PSDA telah mengidentifikasi lima persoalan batas wilayah pengelolaan: 1.
Batas kawasan kelola masyarakat adat/lokal dengan kawasan hutan Negara. Di region Sumatera, Kalimantan, dan Papua persoalan ini terlihat cukup dominant.
2.
Batas antara kawasan konservasi dengan kawasan budidaya atau kelola rakyat. Kawasankawasan konservasi, seperti cagar alam, taman nasional, dan hutan lindung, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kawasan yang hanya memberikan akses terbatas kepada rakyat untuk memanfaatkannya. Persoalan muncul ketika penetapan kawasan konservasi itu tidak melibatkan rakyat sekitarnya. Demikian pula ketika pemerintah secara sepihak mengubah fungsi suatu kawasan menjadi kawasan konservasi, meningkatkan status kawasan konservasi, atau memperluas kawasan konservasi sehingga mengenai wilayah kelola rakyat. Meskipun bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya alam, kebijakankebijakanberkaitan dengan penetapan kawasan konservasi berpotensi mengancam keberlanjutan kehidupan rakyat di sekitar kawasan karena banyak yang belum diimbangi dengan perencanaan yang komprehensif tentang nasib rakyat di kawasan tersebut.
3.
Batas wilayah administratif antar desa/kampung. Terutama di masa otonomi daerah ketika banyak perubahan pada desa, baik melalui pemekaran maupun penyatuan desa, persoalanpersoalan batas wilayah ini banyak muncul di beberapa tempat. Meskipun demikian, belum banyak upaya penyelesaian yang dilakukan pemerintah.
4.
Batas wilayah tangkapan nelayan lokal dan batas kewenangan pemerintah pusat dan daerah di laut. Inilah hal yang dipandang para pihak dalam konsultasi publik ini sebagai persoalan yang belum tuntas diselesaikan.
5.
Terbatasnya akses nelayan pada pantai karena pengaplingan wilayah pesisir dan laut oleh badan usaha pariwisata dan budidaya mutiara.
Sumber: Safitri, M. 2005. Penguasaan dan Konflik Sumberdaua Alam dalam Kartodiharjo, dkk. 2005. Dibawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam. Suara Bebas. Jakarta.
lima persoalan batas wilayah pengelolaan yang muncul dari hasil konsultasi publik Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumberdaya Alam (lihat Box 2). Sebagaimana disebutkan pada Box 2, batas wilayah administratif desa seringkali menjadi masalah setelah adanya otonomi daerah berkaitan dengan kawasan pengelolaan sumberdaya. Dengan adanya otonomi daerah tersebut terjadi 14
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
perubahan batas-batas administratif baik karena pemecahan suatu desa maupun penggabungan desa/kampung menjadi suatu desa baru. Pembentukan Nagari di Provinsi Sumatera Barat yangmana batas administratifnya ditentukan oleh batas sosiologis yaitu wilayah dengan kesamaan adat atau diistilahkan sebagai adat selingkar Nagari. Sedangkan kawasan kelola Nagari umumnya merupakan wilayah-wilayah yang menurut suku atau kaum di Nagari tersebut merupakan tanah ulayat mereka. Perubahan dari bentuk pemerintahan desa ke pemerintahan Nagari di Sumatera Barat ini tidak jarang menimbulkan konflik batas wilayah karena batas sosioligis seringkali tidak tercatat dan hanya mengandalkan kepada ingatan penduduk yang lebih tua atau dituakan. Batas-batas tanah ulayat pada masa dahulu juga terbentuk oleh konsesus-konsensus tidak tertulis antar berbagai keluarga atau kaum. Permasalahan agraria memang merupakan permasalahan yang cukup rumit di propinsi Sumatera Barat. Pada satu sisi banyak pihak menganggap permasalahan agraria di propinsi Sumatera Barat menghambat pembangunan terutama menghambat masuknya investor karena ketidakjelasan hak pemilikan lahan menurut hukum negara. Pada sisi lain, adanya tanah-tanah ulayat memungkinkan masyarakat memiliki wilayah kelola dengan ranah yang lebih luas.
Gambar 1: Wilayah Nagari Paningggahan di Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang meliputi kawasan hutan dan perbukitan (kiri) serta danau Singakarak (kanan) 15
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
4
TINJAUAN TEORITIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM BERBASIS KEMITRAAN
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Salah satu cara dalam membangun perekonomian negara adalah pengelolaan sumberdaya alam, dimana salah satu instrumen untuk mewujudkan asas kebersamaan dan asas kekeluargaan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah kemitraan. Kemitraan adalah hubungan antar pelaku yang didasarkan pada ikatan kerjasama yang saling menguntungkan dalam hubungan kerja sinergis. Setiap pelaku kemitraan memiliki potensi, kemampuan dan keunggulan tersendiri, meskipun ukuran, jenis, sifat dan tempat yang dimitrakan setiap pelaku berbeda-berbeda. Kemitraan merupakan upaya bersama untuk memperkuat kemampuan untuk membangun guna terbangunnya kemandirian. Syarat bagi kesuksesan kemitraan adalah adanya imbalan yang saling menguntungkan dari kedua belah pihak. Perkembangan pola kemitraan ini muncul sebagai sebuah respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya alam yang baru, yang menuntut lebih demokratis, yang lebih mengakui perluasan akses manusia dalam mengelola berbagai sumberdaya yang merupakan pilihan-pilihan. Pengelolaan bersama merupakan suatu pendekatan yang menyatukan sistemsistem pengelolaan pada tingkat lokal dan Negara. Berbagai bentuk pengelolaan bersama dapat merupakan representasi dari berbagai tingkat partisipasi, masingmasing menyiratkan tingkatan kekuatan yang dimiliki pemerintah, masyarakat atau pihak terkait lainnya. Dalam merumuskan sebuah konsep pengelolaan bersama, ada banyak alasan yang dapat diberikan mengapa harus menyertakan masyarakat karena memungkinkan: (1) merumuskan persoalan bersama dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar factor ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang dapat diterima, dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan (5) merumuskan persoalan dengan lebih efektif. Didalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, pola kemitraan dikenal dengan skema “joint management” atau “collaborative (co)-management”. Kemitraan biasanya didefinisikan sebagai berbagi tanggung jawab atau kewenangan Pendekatan partisipatif memerlukan waktu yang lama terutama pada tahap-tahap awal perencanaan dan analisis, didalam proses selanjutnya pendekatan ini akan mengurangi atau menghindari adanya pertentangan. 16
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 Tentang Pemerintah Daerah telah membawa perkembangan baru dalam proses pembentukan hukum di daerah dilihat dari konsep pembangunan. Pada tahap ini proses pengambilan keputusan dalam setiap pelaksanaan pembangunan didasarkan pada pendekatan berbasis masyarakat (community-based development approach). Bertalian dengan makin menguatnya posisi daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam diperlukan adanya pengembangan kapasitas lembaga di daerah. Agar pengaruh yang makin kuat ini berjalan efektif, maka perlu pengembangan institusi yang mempunyai: a. b. c. d. e. f.
kemampuan untuk melakukan koordinasi lintas sektor unit lembaga yang mempunyai peran koordinasi yang efektif; kewenangan mengatur dan mengambil keputusan dalam sistem pemberian izin kegiatan; kemampuan menginternalisasikan budaya partisipasi dan kinerja yang baik; kepemimpinan yang tidak berpihak dan memahami konsep pembangunan berkelanjutan’ dan kemampuan menumbuhkan pembentukan dana lingkungan.
Pengembangan institusi yang mampu mendorong perubahan konsep budaya partisipasi masyarakat yang konstruktif, koodinasi lintas sektor yang produktif, desentralisasi keputusan yang acceptable dan efektif, pendekatan hukum lintas sumberdaya yang memperhatikan daya dukung lingkungan, dan terbuka pada pertimbangan ilmu dan teknologi secara positif. Menurut Suporaharjo (2005), dalam kerangka pertimbangan pengelolaan sumberdaya secara terpadu berwawasan kebersamaan, beberapa hal berkut ini dapat menjadi bahan pertimbangan : 1. Kerjasama Antar Pihak: Pengambilan keputusan hukum dan kerjasama pengelolaan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di masa mendatang makin diperlukan, meskipun perilaku lama dari birokrat maupun masyarakat itu sendiri tidaklah secepatnya berubah. Sikap ini hanya dapat digantikan dengan sikap positif yaitu dengan menghindari sebanyak mungkin sikap skeptis dan curiga terhadap pihak lain, kemudian menilainya dengan sikap kritis dan keterbukaan. Sikap ini tetaplah harus terus dikembangkan, diuji terus dalam setiap kejadian yang menyangkut nasib banyak orang. Baik sikap birokrat yang kaku dan otoritarian maupun sikap masyarakat yang terus dituntut untuk terbuka dan mau belajar lagi, seiring dengan jalannya waktu. Memulai suatu kerjasama yang didasari oleh saling percaya memang bukanlah pekerjaan mudah, oleh sebab itu perlu dicari satu program kerja yang relatif sederhana dan tidak terlalu menimbulkan konflik kepentingan diantara institusi yang bergabung dalam suatu kerjasama. 2. Perubahan Pola Pikir: Dalam peningkatan effektivitas, dituntut adanya perubahan pola pikir dimana pergeseran paradigma sosial dari government ke 17
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
governance menuntut bentuk baru pengambilan keputusan dan definisi baru untuk tanggung jawab dan kemitraan. Sikap positif dalam interaksi sangat dituntut. Suatu sikap yang tidak diwarnai syak wasangka (prejudice), dimana kreativitas lebih dituntut daripada sekedar pendekatan rutin. 3. Integritas: Pengetahuan, pemahaman, dan kepedulian akan arti penting dan strategis pemanfaatan sumberdaya wilayah sungai maupun wilayah pesisir merupakan bagian dari pembangunan nasional, sehingga perlu dipelihara kelestariannya perlu terus disebarluaskan ke berbagai kalangan, khususnya para anggota legislatif, kalangan pengambil keputusan di pemerintahan maupun swasta. Sikap-sikap tersebut niscaya diterapkan mulai dari tahap perencanaan sampai saat penanganan pasca pencemaran lingkungan hidup. 4. Kesadaran dan Etika Interaksi: Peran stakeholder pada akhirnya sudah sampai pada suatu bentuk kesadaran dan berada pada tataran wilayah etika interaksi, dimana tak ada satu keputusanpun yang tidak mengandung pertimbangan mengenai hak dan kewajiban, soal baik dan buruk bagi pihak lain, khususnya bagi masyarakat dan kebanyakan orang. Dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam berbasis kemitraan maka kebijakan yang harus dibangun untuk mengolah dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya dengan memperhatikan hak dan kewajiban pada tingkatan individual, komuniti dan negara atas dasar prinsip keberlanjutan (sustainability). Mengingat keragaman yang besar dalam hal strategi pengelolaan sumberdaya alam serta kondisi sosial-budaya komuniti-komuniti penggunanya, maka penetapan batas-batas wilayah pengelolaan seyogianya memperhatikan kondisi ekologi setempat dengan melibatkan partisipasi komuniti pengguna. Pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak luar perlu memperhatikan kelangsungan hidup masyarakat dan kebudayaan penduduk setempat, serta pembagian hasil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup yang layak bagi kemanusiaan. Disampijng itu, perlu pemberdayaan masyarakat pengguna dan pengelola sumberdaya pada ranah pedesaan dengan memperhatikan dua komponen, yaitu: 1) pengayaan pengetahuan ekologi bagi warga komuniti-komuniti lokal dan para stakeholders, termasuk aparat birokrat; dan 2) pembangunan serta pengembangan pranata sosial sebagai hasil kesepakatan bersama (bottom-up); Dalam pengelolaan lingkungan hidup, hak kewajiban dan peran serta masyarakat telah diatur dalam undang-undang yaitu setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup, setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan 18
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
perusakan lingkungan hidup, setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup, masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adapun bentuk hak, kewajiban dan peran serta itu adalah dengan cara meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; memberikan saran pendapat; dan menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
5
PRAKTEK PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI PEDESAAN
Pengelolaan sumberdaya alam pada beberapa daerah telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pengelolaan sumberdaya alam dengan menggunakan kearifan budaya lokal atau kearifan tradisional (indegenous knowledge) adalah dengan mendayagunakan semua keahlian-keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tradisional di berbagai daerah dalam memanfaatkan sumberdaya lingkungannya, lingkungan budaya dan lingkungan alam. Hampir semua suku dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan adat dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada hukum-hukum agama. Keunggulan nilai-nilai lama yang oleh sebagian orang dikatakan ketinggalan zaman ini telah terbukti bermanfaat bagi upaya-upaya penyelamatan lingkungan yang kini telah mengalami degradasi dan eksploitasi berlebihan akibat pembangunan selama ini berorientasi pada pertumbuhan berbagai bidang dan sektor pembangunan yang diintrodusir pihak pelaku pembangunan modern yang telah menimbulkan implikasi negatif terhadap nilai-nilai tradisional. Namun tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat yang keberadaan dan aplikasinya ditengah masyarakat masih kuat ini bagaikan sebuah bangunan kuno yang yang sarat dengan berbagai sejarah dan legenda yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang mampu menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal. 19
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
Pengelolaan sumberdaya alam berbasis kemitraan telah banyak dilakukan di beberapa daerah seperti dalam hal pengelolaan sumber daya air, perikanan dan hutan. Di desa Nasol, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat masyarakat telah mampu mengelola air bersih untuk kebutuhan rumah tangga dalam bentuk badan usaha milik desa. Pengelolaan sumberdaya air ini dilakukan dengan cara pipanisasi air bersih dari sumber air di desa tersebut yang terletak di lereng gunung Sawal ke rumah-rumah penduduk di desa tersebut serta ke desa-desa tetangganya yang terletak di bagian yang lebih rendah. Pengelolaan sumberdaya air ini menjadi sumber penghasilan asli desa yang cukup besar, sehingga desa ini mampu melakukan kegiatan pembangunan terutama pembangunan fisik yang lebih baik, terlihat dari sarana jalan akses yang baik, lingkungan desa yang serta perangkat desa yang cukup aktif karena adanya tambahan pendapatan selain dari honor yang berasal dari pemerintah. Dengan demikian adanya kesempatan untuk mengelola sumberdaya alam di tingkat desa, akan mendorong desa menjadi lebih mandiri. Pipanisasi air bersih dari sumber air ke rumah-rumah penduduk telah pula dilakukan oleh penduduk desa Gunung Sari, Kabupaten Ciamis. Namun pengelolaannya baru berupa swadaya masyarakat, sehingga belum dapat menjadi sumber penghasilan desa. Oleh karena itu, potensi sumberdaya alam yang cukup besar di Desa Gunung Sari tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mendorong pembangunan di desa tersebut. Peran aparat desa sebagai pelaksana pemerintahan di tingkat desa, memegang peranan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya alam di tingkat desa. Hal ini terlihat di dalam kasus desa Gunung Sari dimana SDM aparat yang umumnya rendah serta kurangnya perhatian dari kepala desa menyebabkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada di wilayah desa ini belum maksimal. Pengelolaan sumberdaya air yang dilandasi dengan hukum-hukum adat telah lama dilaksanakan di Provinsi Bali yang terkenal dengan sistem subak. Namun sistem subak ini lebih menekankan kepada pengelolaan sumberdaya air untuk pengairan lahan pertanian/persawahan. Saat ini banyak ahli yang memandang bahwa sistem subak sudah mengalami degradasi dengan berkembangnya berbagai peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Pengelolaan sumberdaya air kini diatur dengan UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dimana pada pasal 17 dinyatakan bahwa pemerintahan desa atau yang disebut dengan nama lain memiliki wewenang dan kewajiban untuk: (1) mengelola sumberdaya air yang ada di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh masyarakat dan atau pemerintah di atasnya dengan mempertimbangkan azas kemanfaatan umum; (2) menjaga efektifitas, efisiensi, kualitas dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air yang menjadi kewenangannya; (3) memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga 20
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
desa atas sesuai dengan ketersediaan air yang ada; dan (4) memperhatikan kepentingan desa lain dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya air di wilayahnya. Dengan memperhatikan UU No. 7/2004 tersebut, desa-desa contoh dalam studi ini yang disebutkan di atas telah dengan cukup baik melaksanakan kewenangannya sesuai dengan UU tersebut. Lebih jauh lagi Desa Nasol dan Desa Gunung Sari di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat telah membentuk kemitraan untuk pengelolaan sumberdaya air pada skala Daerah Aliran Sungai. Melalui studi aksi yang juga dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-IPB (PSP3-IPB) dengan sponsor dari lembaga swadaya masyarakat Partnership, telah membangun suatu bentuk kemitraan lintas administratif untuk pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam di wilayah DAS Citanduy yang meliputi Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Pengelolaan sumberdaya air untuk kebutuhan air bersih rumah tangga juga telah dilakukan oleh Nagari Simanau dan Nagari Paninggahan di Kabupaten Solok, Sumatera Barat melalui pipanisasi dengan bantuan program pemerintah (program WESLIC). Namun program penyediaan air bersih bantuan pemerintah ini belum dikelola secara khusus oleh nagari sehingga belum menjadi sumber penghasilan nagari. Pengelolaan sumberdaya air tidak hanya diperuntukan bagi kebutuhan air bersih rumah tangga dan pertanian saja, Nagari Simanau di Kabupaten Solok, Sumatera Barat telah mampu mengelola sumberdaya air untuk pembangkit listrik. Pembangkit lisktrik tenaga mikro hidro (PLTMH) ini dibangun dengan bantuan pemerintah asing yaitu dari negara Jepang pada tahun 1996 dengan kapasitas 25.000 watt dan kini telah ditingkatkan menjadi 30.000 watt. Kini PLTMH ini menjadi aset nagari dan dikelola oleh suatu manajemen khusus yang berada di bawah naungan koperasi nagari Simanau. Wilayah propinsi Sumatera Barat yang memiliki topografi bergunung-gunung memang kaya dengan sumberaya alam termasuk banyaknya sumberdaya air yang dapat dikembangkan menjadi pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Nagari Batu Bajanjang yang bertentangga dengan Nagari Simanau juga memiliki pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Bagi wilayah nagari-nagari yang terisolir dan tidak terjangkau listrik negara maka adanya PLTMH cukup membantu perkembangan pembangunan di wilayahnya, dimana listrik tersebut walaupun terbatas dapat digunakan untuk menghidupkan TV yang selain sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana untuk mendapatkan informasi.
21
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
Gambar 2:
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Nagari Simanau, Kabupaten Solok, Sumatera Barat
Dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya, beberapa desa sudah mengakomodasinya dengan peraturan yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam. PP No. 72/2005 menyatakan bahwa desa berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat, dimana menurut Penjelasan PP tersebut yang dimaksud dengan kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa adalah hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan asalusul, adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti subak, jogoboyo, jogotirto, sasi, mapalus, kaolotan, kajaroan, dan lain-lain. Sesuai dengan PP No. 72/2005 tersebut, Desa Nasol di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat telah memiliki peraturan desa yang mengatur tentang pengelolaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. Sedangkan Nagari Simanau di Kabupaten Solok, Sumatera Barat telah memiliki peraturan nagari (Perna) tentang pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Pengelolaan lingkungan hidup Nagari Paninggahan di Kabupaten Solok telah diatur dalam peraturan nagari tentang lingkungan hidup, dimana melalui Perna ini dibentuk Badan Pengelola Lingkungan Hidup Nagari Paninggahan. Badan ini aktif menjalin kerjasama untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup di nagari ini, yaitu dengan melakukan kegiatan penghijauan hutan rakyat melalui program GNRHL serta bantuan luar negeri memalui lembaga internasional sperti ICRAF. Mungkin hanya sebagian kecil saja desa-desa di Indonesia yang mampu mengakomodasi pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya melalui peraturan desa yang merupakan peraturan formal yang diakui hukum negara asalkan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya, walaupun pada masyarakat adat umumnya terdapat aturan adat tentang pengelolaan sumberdaya alam, namun seringkali tidak tertulis sehingga sulit diakui dalam hukum formal. 22
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
Desa Sabron Sari, desa contoh di Kabupaten Sentani, Propinsi Papua, walaupun memiliki sumberdaya alam yang cukup melimpah karena terletak di pinggir cagar alam pegunungan Cycloop serta adanya sumber tambang emas, namun desa ini belum mampu mengakomodir pengelolaan sumberdaya alam dalam bentuk peraturan formal (peraturan desa). Sehingga selain pajak, tidak ada penghasilan desa dari pengelolaan sumberdaya alam di wilayah ini dan pembangunan desa harus bergantung kepada dana alokasi dari Pemerintah Daerah. Sedangkan hutan, sumberdaya tambang dan sumberdaya alam lainnya di wilayah tanah adat umumnya diatur lewat aturan adat tidak tertulis. Yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam di tanah adat/tanah ulayat masyarakat asli Sabron Sari yaitu masyarakat adat Mamta adalah ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang disebut sebagai Ondoafi. Tanah ulayat di desa ini umumnya dikuasai oleh masyarakat adat melalui ketua adat yang pada dasarnya bertindak sebagai tuan tanah. Tidak adanya aturan formal dalam pengelolaan sumberdaya alam di Desa Sabron Sari telah menimbulkan konflik diantara warga yang melakukan penggalian pasir dan batu. Konflik ini dipicu oleh adanya kerusakan lingkungan yang akibat kegiatan penggalian pasir dan batu, sedangkan tidak ada tindakan maupun pengawasan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan desa. Contoh kasus dari Propinsi Nangro Aceh Darusalam (NAD) menarik untuk dikaji. Nampaknya Propinsi NAD bermaksud merevitalisasi adat melalui Peraturan Daerah (Qanun) ke dalam pemerintahan Gampong. Namun sampai saat ini, Qanun tersebut baru sebatas peraturan tertulis karena pelaksanaan dari Qanun tersebut belum terjadi di lapangan akibat dari kondisi sosial, ekonomi dan politik yang belum kondusif. Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam di tingkat desa (Gampong) cukup jelas dijabarkan. Dalam Qanun Kabupaten Aceh Besar No. 08/2004 tentang Pemerintahan Gampong, dimana dalam susunan perangkat Gampong (Bab VII pasal 28) disebutkan adanya perangkat Gampong yang khusus mengatur pengelolaan beberapa jenis sumberdaya alam, yaitu: Keujreun Blang yang mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi yang berhubungan dengan kegiatan persawahan; Peutua Seunebok mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi yang berhubungan dengan pengaturan bidang perkebunan, peternakan dan perhutanan; dan Pawang laot mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi yang berhubungan dengan penangkapan ikan di laut, termasuk pengaturan tentang usaha tambak sepanjang pantai, usaha-usaha pelestarian terumbu karang dan hutan bakau dipinggir pantai serta kegiatan yang berhubungan dengan sektor perikanan. Revitalisasi adat ke dalam struktur pemerintahan desa seperti di propinsi NAD merupakan hal yang positif bagi pengelolaan sumberdaya alam di ranah desa, terutama apabila dapat dilaksanakan dengan baik. Perubahan bentuk pemerintahan desa sejak tahun 1979 melalui UU No.5/1979 sampai dengan UU 23
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
No. 32/2004 telah banyak mereduksi berbagai adat kebiasaan lokal. Di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak pernah lagi misalnya Jogotirto (aparat yang bertugas mengelola sumberdaya air untuk persawahan) disebut secara khusus sebagai aparat dalam struktur desa, yang ada adalah Kaur (Kepala Urusan) yang membidangi pembangunan, sehingga bersifat umum dan seringkali karena SDM-nya yang rendah tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Pemerintahan Nagari di propinsi Sumatera Barat, sesungguhnya juga merupakan hasil revitalisasi adat. Namun struktur pemerintahan Nagari pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan struktur desa yang terdahulu. Pada struktur pemerintahan Nagari juga tidak disebutkan adanya aparat yang mengelola sumberdaya alam secara khusus. Struktur organisasi Nagari hampir sama dengan struktur desa hanya penamaan yang berbeda, misalnya Nagari dikepalai oleh Wali Nagari (= Kepala Desa) dimana membawahi Sekretaris Nagari dan Seksi-seksi (=Kaur) serta para Wali Jorong (= Kepala Dusun). Disamping organisasi nagari terdapat Badan Perwakilan Nagari (BPN) yang merupakan modifikasi dari Badan Perwakilan Desa (BPD), dimana BPN beranggotakan unsur perwakilan ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama, bundo kanduang, pemuda dan perwakilan jorong. BPN juga merupakan mitra dari Wali Nagari dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan. Usaha-usaha revitalisasi adat banyak dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia. Usaha-usaha yang bersifat positif ini tentunya perlu diakomodir oleh pemerintah supra desa (Kabupaten, Propinsi dan Negara), sehingga menjadi suatu kekuatan pembangunan yang positif dan dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam diharapkan revitalisasi adat ini dapat menjadi pendorong dan pendukung pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, semakin meningkatkan kemandirian masyarakat di tingkat desa serta menjadikan unsur pembaruan tata-kelola pemerintahan desa dan pembaruan tata-kelola sumberdaya alam.
24
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
6
PENUTUP
Otonomi daerah telah memberikan dampak positif dan dampak negatif dalam pengelolaan sumberdaya alam di pedesaan. Pengelolaan sumberdaya alam pada ranah desa yang berbasis kemitraan akan mendorong pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan serta mendorong kemandirian desa apabila dilaksanakan dengan memperhatikan: (1) kemampuan SDM pengelolanya, (2) adanya peraturan perundangan yang mendukung, (3) adanya kelembagaan yang kuat, dan (5) adanya kondisi sosial ekonomi politik yang kondusif. Selain itu revitalisasi adat ke dalam struktur pemerintahan desa, seyogyanya pula menjadi dasar bagi pembaruan tata-kelola pemerintahan desa dan pada gilirannya mendorong pengelolaan sumber daya alam pedesaan yang berkelanjutan.
25
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
DAFTAR PUSTAKA Chandradewi, R dan W. Pratiwi. 2003. Agenda Pengaturan Ulang Pengelolaan Sumberdaya Alam. Buletin Advokasi LEBAH Vol 2 No. 2. Oktober 2003. Jakarta Darsono, V. 1995. Pengantar Ilmu Lingkungan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta Press. Yogyakarta. Kartodiharjo, H. dan H. Jhamtani. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. PT. Equinox Publishing Indonesia. Jakarta. Kartodiharjo, H.; M. Safitri, F. Ivalerina, A. Khan, S.M.P. Tjondronegoro. 2005. Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam. Suara Bebas. Jakarta. Mitchell, B., B. Setiawan dan D.H. Rahmi. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soerjani, M.; A. Rofiq dan R. Munir. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Suporahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi. Pustaka Latin. Bogor.
26
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata-kelola Pemerintahan Desa
BIODATA PENULIS Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc, lahir di Ciamis, 30 Agustus 1964. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Pertanian dari IPB tahun 1988. dan pada tahun 1993 menyelesaikan Master of Forestry Sciences (MFor.Sc.) dari Universitas Goettingen, Jerman. Gelar Doktor der Forstwissenschaft diterima penulis pada tahun 2000 dari universitas Universitas Goettingen, Jerman. Saat ini penulis sebagai Staf Pengajar pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Soni Trison, S.Hut, MS., lahir di Tasikmalaya, 23 November 1977. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Kehutanan pada tahun 2001 dan melanjutkan pada Magister Sain bidang Ilmu Pengetahuan Kehutanan dari IPB dan memperoleh gelar master pada tahun 2004. Saat ini penulis adalah Asisten Dosen pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB.
27