DISUSUN OLEH : LATRI WULAN SUCI 11.11.4884 KELOMPOK C STRATA 1 TEKNIK INFORMATIKA DOSEN : DRS. TAHAJUDIN SUDIBYO
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011/2012
SUBSIDI DAN KEADILAN SOSIAL DI INDONESIA
ABSTRAK
Susidi adalah bantuan dari pemerintah kepada rakyat yang membutuhkan, namun, pemberian subsidi seringkali menyimpang, yaitu perusahaan besar yang menerima sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan apa-apa. Selain itu, pejabat negara juga dimanjakan dengan segudang fasilitas dan tunjangan yang lebih dari cukup, namun sayangnya, pemberian fasilitas itu tidak dibarengi dengan kinerja yang baik, sehingga sejumlah program pemerintah untuk mensejahterakan rakyat hanya terkesan sekedar isapan jempol belaka. Penyediaan fasilitas umum di Indonesia masih buruk dan kurang terawat, selain itu, mahalnya biaya pendidikan dan pelayanan kesehatan membuat sebagian masyarakat enggan memeriksakan diri ataupun menyekolahkan putra-putrinya sampai mendapatkan gelar sarjana, apalagi dengan banyaknya fenomena kepemilikan reputasi suatu universitas membuat masyarakat di daerah semakin ragu untuk menyekolahkan anak-anaknya di universitas.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini, pemerintah sedang gencar-gencarnya menggalakkan subsidi baik dalam bentuk uang tunai maupun sejumlah keringanan dan tunjangan bagi rakyat kurang mampu. Tapi, apakah subsidi itu sudah sesuai sasaran masih dipertanyakan, faktanya, masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sedangkan pejabat negara justru semakin menambah pundi-pundi kekayaan dan sibuk pergi ke luar negeri dengan alasan yang kurang jelas dan masuk akal, ataupun memperbaiki fasilitas dan gedung-gedung negara agar rapat terasa lebih nyaman dan hikmat, padahal nyatanya, tak sedikit pejabat negara yang tidur dalam sidang ataupun tidak hadir sama sekali, hal ini membuat perbaikan fasilitas dan segala tetek bengeknya menjadi percuma dan mubadzir. Tidak hanya dimanjakan dengan fasilitas tempat kerja yang nyaman, pejabat negara juga masih diberi sejumlah tunjangan dan properti dinas seperti rumah dan mobil yang lebih dari cukup untuk seseorang yang kinerjanya kurang memuaskan, sebaliknya, banyak rakyat miskin yang harus berteduh di bawah kolong jembatan dan mengais rejeki dari tumpukan sampah dan belas kasih orang lain. Istilah „SUBSIDI UNTUK RAKYAT MISKIN‟ memang sepatutnya dipertanyakan, „rakyat miskin‟ dari sudut pandang siapa? Apakah yang dimaksud „rakyat miskin‟ adalah orang atau kelompok yang selalu merasa kurang atau benar-benar rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan? B. Rumusan Masalah 1. Apakah subsidi dan keadilan itu? 2. Bagaimanakah pembagian subsidi di Indonesia? 3. Bagaimanakah kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia saat ini?
BAB II PEMBAHASAN A. Pendekatan Sosiologis Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak pernah bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam hidup bermasyarakat, perlu adanya sebuah pedoman agar selalu tercipta keharmonisan dan kerukunan, jika kerukunan terwujud, maka kecil kemungkinan suatu bangsa akan terpecah dan saling menjatuhkan satu sama lain. Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila merupakan pedoman
hidup
bernegara
bangsa Indonesia.
Nilai-nilai tersebut
yang
membedakan Indonesia dengan negara-negara lain, terutama negara penganut sistem liberalis dan komunis, meskipun demikian, Indonesia tidak perlu membatasi diri dalam bergaul di dunia internasional, hanya saja, kita harus senantiasa berpegang teguh pada aturan dan norma yang tertuang dalam Pancasila, agar tidak mudah terpengaruh dengan budaya asing yang mungkin bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. B. Pembahasan Masalah a. Pengertian Subsidi dan Keadilan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, subsidi berarti bantuan uang, dan sebagainya kepada suatu yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, biasanya dari pemerintah. Sedangkan keadilan adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya ) yang adil, dimana adil adalah sesuatu yang berpihak pada kebenaran, tidak sewenang-wenang, jadi, keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang berpihak pada kebenaran dan tidak sewenang-wenang. Berdasarkan dua pengertian di atas, bangsa ini perlu bercermin sekali lagi, apakah subsidi benar-benar dari pemerintah untuk rakyat? Eko Prasetyo dalam buku Orang Miskin Tanpa Subsidi menjelaskan bahwa pemberian subsidi justru paling banyak diberikan kepada instansi-instansi yang bergerak di bidang
pertambangan, perbankan, dan perluasan pusat perbelanjaan. Di Jakarta saja, luas pusat perbelanjaan mencapai kurang lebih 2,2 juta m2 atau setara dengan tiga ratus kali luas lapangan sepak bola. Ijin pembangunan pusat perbelanjaan sangat mudah didapat, bahkan bisa „tukar guling‟ dengan gedung-gedung yang lebih produktif seperti sekolah. Selain pusat perbelanjaan, perbankan juga mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah soal pemberian subsidi. Namun, pemberian subsidi yang tidak sedikit ini tidak diimbangi dengan kinerja yang baik, tahun 2004 saja, empat bank telah ditutup, hal ini menjadi bukti kinerja buruk Bank Indonesia dalam mengawasi. b. Pembagian Subsidi Di Indonesia Eko Prasetyo ( Orang Miskin Tanpa Subsidi 2005 : 29 ) “Betapa nikmatnya menjadi pejabat BBPN, dapat gaji tinggi yang mencapai 500 milliar rupiah”. Hal ini oleh pemerintah dijadikan alasan untuk memikat para profesional, karena pekerjaan yang beresiko tinggi, yaitu mengatur keuangan negara yang mencapai 600 miliar rupiah. Untuk apa sajakah? Renovasi gedung-gedung pemerintah, pembelian peluru tembak yang menghabiskan 20 juta rupiah per bulan, dan pembangunan lapangan golf untuk tempat rekreasi, khusus untuk lapangan golf, pejabat Bank Sentral telah membangun sebelas lapangan golf dengan dana kurang lebih 3,442 miliar rupiah. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pejabatlah yang justru mendapatkan subsidi, dan hampir menghabiskan seluruh anggaran negara yang didalamnya terdapat jatah untuk rakyat yang masih hidup di kolong jemabatan atau di pinggir rel kereta api. Ironisnya,
orang-orang
seperti
Djoko
Ramiadi
yang
dituduh
menyalahgunakan Commercial Paper Hutama Karya dalam pembangunan negara sebesar 301 miliar rupiah, kasusnya tidak pernah diselesaikan, mengapa? Karena negara tidak merasa dirugikan, justru rakyatlah yang rugi, prinsipnya, jika merugikan rakyat tapi tidak merugikan negara maka dibebaskan dan kasusnya hilang seperti ditelan bumi, sebaliknya, jika negara merasa sangat dirugikan barulah kasusnya dikupas habis-habisan, seperti kasus mogoknya karyawan PT Freeport yang tentunya mengurangi pemasukan negara. Koruptor pun sepertinya
punya semacam kekebalan terhadap hukum, bagaimana tidak, kasusnya baru ditangani jika publik sudah mengetahui seberapa harta yang dimiliki dari hasil korupsi, tak jarang sampai berbulan-bulan para koruptor bersembunyi di „liangnya‟ selama kekayaannya belum terendus media, jika tidak terbukti merugikan negara atau berulang kali tidak hadir dalam sidang dengan alasan sakit, dibebaskan dan mendapatkan jabatan lagi dalam pemerintahan, dan dengan jabatan itu kembali mengkorupsi uang rakyat. Fakta ini membentuk skema yang unik sebagai berikut: Mencuri Uang Rakyat
Korupsi
Diadil i Bebas/Berkuasa Duduk Di Kursi Kekuasaan
Sakit/ Tidak Terbukti Merugikan Negara
Bedasarkan uraian di atas, muncul sebuah pertanyaan : Apakah pembagian subsidi sudah sesuai sasaran? Sasaran tidak semata-mata ditujukan kepada obyek penerima, tetapi juga jumlah nominal subsidi apakah sudah sesuai. Jika ditinjau dari obyek penerima, jelas yang berhak menerima adalah rakyat miskin. Adapun kriteria rakyat miskin menurut Departemen Kesehatan ada 4, yaitu: 1. Tidak mampu makan tiga kali sehari. 2. Tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai SD. 3. Tidak mampu membiayai ongkos kesehatan. 4. Lantai rumah masih terbuat dari tanah. c. Kesejahteraan Rakyat Indonesia Selain masalah pembagian subsidi yang kerap salah sasaran, penyediaan fasilitas umum dan pelayanan masyarakat juga perlu perhatian lebih dari pemerintah. Bangunan penting seperti puskesmas dan gedung-gedung sekolah milik pemerintah seringkali terabaikan, fasilitas umum banyak yang rusak dan tidak terawat, bahkan tak jarang justru membahayakan penggunanya. Padahal,
menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (3) disebutkan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas bangunan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, tapi faktanya, banyak puskesmas yang rusak dan fasilitasnya sangat minim, terkadang sangat mahal karena dijadikan pendapatan daerah. Penawaran ASKES pun tamapaknya bukan pilihan yang menyenangkan karena seringkali pengurusan ASKES disertai biaya birokasi yang rumit dan berbelit-belit. Maraknya kasus malpraktik semakin menambah daftar masalah negeri ini, telah tercatat kurang lebih 28 kasus malpraktik karena kualitas pelayanan yang menyedihkan, dan baru sekitar tiga kasus yang ditangani. Selain kesehatan, pendidikan juga masih menjadi barang mahal untuk sebagian besar rakyat miskin. Meskipun telah ditetapkan bahwa pendidikan untuk jenjang SD dan SMP gratis, mustahil jika pihak sekolah tidak meminta sejumlah sumbangan, dengan alasan untuk pengembangan sekolah, andaikan benar-benar gratis pun itu hanya berlaku sampai tingkat SMP, sedangkan ijazah SMP saat ini sangat sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji rata-rata. Perusahaan rata-rata mencari minimal lulusan sekolah menengah atas, itupun bukan dalam posisi yang tinggi. Alasan terbanyak kenapa banyak orang tua yang tidak menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana adalah biaya yang tidak sedikit, bahkan di universitas negeri sekalipun, padahal, menurut Undang-Undang Dasar 1945 anggaran untuk pendidikan sebanyak 20%, tapi, faktanya hanya 4,1%, selain itu, alumni universitas di daerah kalah bersaing dengan alumni universitas favorit. Berbicara tentang kesejahteraan rakyat, pasti tidak lepas dari kata kemiskinan. Robert Chambers, seorang ahli pembangunan pedasaan asal Inggris mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami rakyat di negara berkembang, khususnya rakyat pedesaan, disebabkan oleh beberapa faktor yang disebut ketidakberuntungan
yang
saling
ketidakberuntungan itu adalah: 1. Kemiskinan. 2. Fisik yang lemah. 3. Kerentanan. 4. Keterisolasian. 5. Ketidakberdayaan.
terkait
satu
sama
lain.
Faktor-faktor
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem keadilan di Indonesia terutama tentang subsidi dan hak-hak rakyat masih belum dilaksanakan sesuai peraturan yang tertulis dalam Undang-Undang. Masih banyak penyelewengan dan pelanggaran yang sangat merugikan rakyat, terutama rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. B. Saran Saran penulis tentang keadilan sosial di Indonesia adalah lebih membuka kesempatan kepada rakyat kecil dan penyandang cacat untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, selain itu, pemerintah juga perlu mengadakan usahausaha untuk menangani masalah keadilan sosial yang terjadi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Prasetyo, Eko. 2005. Orang Miskin Tanpa Subsidi. Yogyakarta : Resist Book. Soetrisno, Lukman. 1997. Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan. Yogyakarta : Kanisius. Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tim Penyusun Kamus. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta : Balai Pustaka. Undang-Undang Dasar 1945.