EKSPLOITASI, PELECEHAN SEKSUAL DAN KEKERASAN TERHADAP KAUM PEREMPUAN DI PANDANG DARI SILA KE DUA
TUGAS AKHIR
Disusun oleh :
Nama
: Aninda Candri L.
NIM
: 11.11.4905
Nama Kelompok : D Nama Dosen
: Drs. Tahajudin Sudibyo
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011
Page | 1
EKSPLOITASI, PELECEHAN SEKSUAL DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI PANDANG DARI SILA KE DUA
Aninda Candri Laksafa Jurusan Teknik Informatika STIMIK AMIKOM YOGYKARTA
ABSTRAKS Tindak kekerasan terhadap perempuan seringkali dianggap suatu isu yang terbelakang atau bahkan dapat dikatakan tidak menarik. Padahal jika dilihat dari kenyataan yang selama ini terjadi, tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan ancaman terus menerus bagi perempuan di manapun di dunia. Hal ini merupakan akibat dari adanya pandangan di sebagian besar masyarakat yang menganggap kedudukan perempuan di sebagian dunia yang tidak dianggap sejajar dengan laki-laki. Terlebih lagi, rasa takut kaum perempuan terhadap kejahatan (fear of crime) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang dirasakan kaum pria.
Kekerasan terhadap perempuan (KTP) : Segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan ; termasuk ancaman dari tindakan tsb, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi.
Hukum yang berlaku di Indonesia, belum bisa mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan. Karena penanganannya yang kurang maksimal. Sejauh ini kepedulian Komnas Perlindungan Perempuanlah yang bisa sedikit membantu.
Page | 2
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG "Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab “ hakikatnya sila ini lebih
mengacu pada hak asasi manusia (HAM). HAM itu sendiri di peroleh seseorang sejak saat dia lahir. Hak untuk disayangi, di hormati, belejar, makan, mencari penghasilan, hak untuk hidup,dll. Masalahnya hak-hak itu sendiri sekarang ini sudah sering terabaikan. Terutama hak perempuan.
Perempuan itu adalah makhluk yang di penuhi dengan keindahan. Perempuan
itu cantik, dia pelengkap hidup seorang pria. Perempuan
seharusnya di jaga, di hormati, di manjakan, di lindungi, di sayang bukan di lecehkan ataupun di perlakukan seperti binatang. Perempuan bukan mesin pencetak uang ataupun alat pelampiasan nafscehan seksual. Dia tidak untuk di eksploitasi.
Di Indonesia, kasus pelecehan seksual, eksploitasi ataupun kekerasan terhadap perempuan. Memiliki ranking tertinggi di seluruh Negara. Agaknya kaum perempuan di Indonesia masih di anggap sebagai makhluk yang lemah dan bodoh. Sungguh kenyataa yang membuat miris hati.
B.
RUMUSAN MASALAH 1. Ada berapa banyak kasus pelecehan seksual, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan ? 2. Apakah hukum Indonesia telah memberikan perlindungan secara maksimal terhadap tindak kekerasan perempuan
Page | 3
BAB II PEMBAHASAN C.
PENDEKATAN HISTORIS
Perempuan juga mempunyai derajat yang sama dengan laki-laki, hanya karena perbedaan fisik yang membuat fungsinya berbeda. Karena perempuan mempunyai sifat lemah-lembut, perasaannya halus dan penyayang maka di beri tugas mulia oleh Allah swt untuk hamil, melahirkan, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Sedangkan laki-laki umumnya mempunyai fisik lebih kuat, sehingga di beri tugas mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya. Sementara dalam hal ibadah dan mu’amalah maka laki-laki dan wanita mempunyai persamaan; sama-sama memperoleh pahala atas amal salehnya (Surat An-Nahl 97, Al-Ahzab 35).
Sama-sama berhak masuk syurga , mempunyai kewajiban yang sama dalam hal ibadah seperti: shalat, puasa, zakat, haji dan da’wah, serta sama haknya dalam bermu’amalah (Surat An-Nisa, 124). “Adil
adalah adanya
kesempatan untuk
menjelaskan apa
yang
sesungguhnya terjadi [pada saya] dan itu diterima sebagai sebuah fakta dan kebenaran.”(Perempuan korban penyiksaan seksual di Aceh pada masa konflik bersenjata, 2001) “Mereka tidak tahu kecuali bahwa saya hanya dipukul. Saya tidak cerita kepada suami. Saya sangat takut dan merasa sangat malu. Saya tidak berani ambil risiko dan tidak berani membayangkan kalau suami saya tahu. Kemungkinan besar, dia tidak bsia menerima bahwa saya sudah ditiduri oleh orang lain, walaupun itu diperkosa ... Page | 4
Malu, kalau terjadi perceraian dan masyarakat nanti akan cari tahu [apa alasannya].” (Perempuan Aceh korban penyiksaan seksual pada masa konflik bersenjata, 2003). “Adil baru ada apabila pelaku meminta maaf kepada saya dan kepada korban-korban lain atas apa yang mereka lakukan di masa lalu. Pelaku dihukum sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan ... sesuai dengan hukum yang berlaku. [Ada] jaminan hal yang terjadi pada saya tidak terjadi lagi pada orang lain ...”.(Perempuan Aceh korban penyiksaan seksual di masa konflik bersenjata, 2001).
Steriotype tradisional yang menunjukkan pelabelan negatif pada citra perempuan, misalnya anggapan bahwa perempuan lemah, tidak rasional, dan emosional.
Subordinasi, yaitu perempuan dianggap sebagai manusia nomor dua sehingga tidak punya hak dalam posisi tawar dan pengambilan keputusan.
Marjinalisasi atau penilaian kehadiran perempuan tidak penting sehingga tidak diberi akses pada pendidikan dan sumber ekonomi, dan ini merupakan penyebab kemiskinan pada perempuan.
Perempuan berbeban ganda, yaitu ketika perempuan bekerja juga pada ranah publik. Hal itu terjadi karena pekerjaan domestik dianggap sebagai tugas perempuan. Maka ketika perempuan karena potensinya juga bekerja di sektor public sesampai di rumah ia masih berkewajiban menyelesaikan tugas domestik, sementara karena laki-laki (suami) dianggap bertugas publik, dia tidak terkena kewajiban domistik
Page | 5
D.
PEMBAHASAN MASALAH Dari data yang saya dapat, ada 91.311 kasus kekerasan seksual. Jumlah
peristiwa kekerasan seksual tersebut berdasarkan data Komnas Perempuan sudah mendekati sepertiga kasus kekerasan terhadap perempuan. Total kasus kekerasan terhadap perempuan dalam periode di atas adalah 295.836 kasus. Dari sisi lokasi kejadian, lebih dari dua pertiga kasus di atas terjadi dalam ranah personal atau domestik. Itu artinya, dalam banyak kejadian korban memiliki hubungan darah atau relasi intim dengan korban.Kasus di ranah personal mencapai 76 persen dari total kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, atau sebanyak 69.251 kasus. Ruang publik menduduki posisi kedua dalam jumlah kasus, dengan 20.503 kejadian atau sebesar 22 persen. Selain itu, ada pula kasus yang terjadi di ranah negara, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan aparat negara dalam kapasitas tugas mereka. Contoh terkini adalah kasus pelecehan seksual oleh seorang pejabat BPN terhadap tiga ,staf wanita yang menjadi bawahannya. (Harian Kompas,23-9-2011). Menurut Andrew L. Sapiro dalam bukunya berjudul Amerika NO.1 menyebutkan “Kita no.1 dalam kasus pemerkosaan yaitu 114 per100 ribu penduduk.” Departemen Kehakiman AS sampai akhir 1992 menyebutkan bahwa 20% pemerkosa adalah bapaknya sendiri, 26% orang dekatnya, 51% orang yang dikenalnya, 4% orang yang tidak dikenalnya. Ini fakta tahun 1992, bagaimana dengan sekarang? Senada dengan kondisi di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat terus dari tahun ke tahun. Catatan tahun 2004, misalnya, menyebut 5.934 kasus kekerasan menimpa perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2001 (3.169 kasus) dan tahun 2002 (5.163 kasus). Angka ini merupakan peristiwa yang berhasil dilaporkan atau di-monitoring. Dari keseluruhan 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 adalah kasus Page | 6
KDRT. Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan terhadap istri sebanyak 2.025 kasus (75%), kekerasan terhadap anak perempuan 389 kasus (10% ), dan kekerasan terhadap keluarga lainnya 23 kasus (1%). Pelaku umumnya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban seperti suami, pacar, ayah, kakek, dan paman.
KUHP sebagai salah satu sumber hukum pidana yang mempunyai kaitan langsung dengan tindak kekerasan terhadap perempuan, dapat dijadikan instrumen dalam penanggulangan secara yuridis. Namun, kelemahan yang dimiliki oleh KUHP peninggalan kolonial sudah seharusnya dibenahi dengan membuat KUHP nasional. Sebab seperti diketahui, masih banyak perilaku tindak kekerasan terhadap perempuan yang belum tercantum di dalam KUHP.
Pemberlakuan prosedur yang baku dalam hal penanganan kasus-kasus yang berkenaan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan oleh aparat penegak hukum itu diperlukan. Sebab, seringkali penanganan terhadap kasus tindak kekerasan terhadap perempuan itu berbeda-beda tergantung kemampuan individu yang dimiliki oleh personil penegak hukum. Prosedur itu harus berorientasi pada korban dan melakukan upaya awal untuk membantu korban dalam mengatasi trauma yang dialaminya akibat tindak kekerasan yang menimpanya.
Peran Komnas Perlindungan Perempuan yang menyerukan pencegahan kekerasaan terhadap perempuan, mengadakan kampanye anti kekerasan, memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap perempuan. Komnas Perempuan bekerja dengan berpedoman pada prinsip bahwa hak korban mencakup hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Ketiga hak ini saling
kait-mengait,
tidak
bisa
dipisah-pisahkan,
dan
merupakan
satu
kesinambungan yang menghubungkan pemulihan diri yang personal dengan pemulihan yang kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih luas. Dari pengalaman mengupayakan penerapan prinsip ini dalam kehidupan nyata
Page | 7
perempuan korban, peran lembaga dan komunitas agama adalah kunci, baik dalam memberikan bantuan praktis jangka pendek bagi pemulihan korban maupun dalam upaya jangka panjang untuk membangun kesadaran baru di tengah masyarakat agar kekerasan yang dialami para korban tidak terulang lagi.
Page | 8
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu isu yang tidak bisa dianggap sebagai isu terbelakang. Karena disadari atau tidak, perilaku ini telah menjadi isu global. Berdasarkan pembahasan tentang tindak kekerasan terhadap perempuan maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa ; 1. Kasus kekerasan terhadap perempuan kebanyakan adalah kasus pelecehan seksual (50%), KDRT (15%), sisanya kasus eksploitasi perempuan (35%). 2. Hukum di Indonesia sebenarnya telah memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan. Namun, masih banyak kelemahan yang mengikutinya. Mulai dari masih banyak perilaku tindak kekerasan terhadap perempuan yang belum tercantum di dalam Perundang-undangan, sampai dengan ketiadaan prosedur baku dalam penanganan korban tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan.
Page | 9
REFERENSI
Shapiro. L. Andrew Amerika Nomor 1: Kondisi AS yang Kontradiktif dan Ironis. 1995. Jakarta: Pustaka Firdaus. Forum Anti Kekerasan terhadap Perempuan Kalimantan Timur, “Tuntutan di Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia”. 25 November 1998. Iswanto dan Angkasa, 2000. Diktat Kuliah Viktimologi Khusus. Purwokerto Dra. HJ. Djohantini Noordjannah, MM. , dkk : Memecah Kebisuan:Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon Muhammadiyah).2010. Jakarta: Open Society Institute.
Page | 10