FILSAFAH AGAMA DENGAN PANCASILA
Disusun Oleh: ARI SETYO NUGROHO 11.11.4949 Teknik Informatika Drs. Tahajudin Sudibyo
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011
Kata Pengantar Puji syukur atas kehadirat allah yang maha esa karena telah membrikan segala rahmat dan rizkinya sehingga tugas makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu, sehingga dapat memnuhi kewajiban Tugas Pancasila ini tanpa kurang suatu apa Tak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih terhadap pihakpihak yang telah membantu dalam penyelesaina laporan ini, dari sumber referensi teman-teman serta semuanya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu Semoga dengan dibuatnya Tugas Akhir dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan sebagai koreksi dimana artikel ini dapat menimbulkan dampak pemahaman yang berbeda, semoga pembaca dapat memaklumi seandainya terdapat kesalahan ketik dan penempatannya Mungkin itu saja yang dapat penulis sampaikan Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik. Yogyakarta, 20 Oktober 2011
Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Abstrak
Dalam sebuah pancasila terdapat sila pertama, yaitu Ketuhanan yang maha Esa, dimana dari sila tersebut adalah Pancasila menekankan dengan sungguhsungguh tentang ke-Esaan Tuhan. Tuhan itu adalah benar-benar Esa/Tunggal;, Esa murni dalam arti Tuhan yang tidak dapat dipisahpisahkan lagi atau bukan merupakan kumpulan (kesatuan) dari satuan-satuan lain. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an antara lain: Surat Al-Ikhlas, ayat 1-4, yang artinya ; Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa;Allah adalah Tuhan, yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu ; Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan; dan tidak seorangpun yang setara dengan dia;. Surat-Ash-Shad, ayat 65, yang artinya: . . . Dan sekali-sekali tidak ada Tuhan, selain Allah Yang Maha Esa dan Maha mengalahkan;. Surat Al-Baqarah ayat 163, yang rtinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang;.
Dunia dimana kita ni hidup menunjukkan berbagai macam keragaman. Penciptaan adalah banyak, tetapi Sang Pencipta adalah Satu. Selain daripada kepercayaan agama, kita dapat mencapai kesimpulan tentang ke-Esaaan hakikat eksistensi dengan jalan logika atau dengan pengalaman duniawi atau dengan pengalaman kejiwaan kita sendiri. Adlah suatu hukum daripada science, bahwa kita ini hidup dalam alam yang penuh dengan berbagai macam ragam gejala, tetapi satu sama lain saling berhubungan.
B. Latar Belakang Masalah Karena di jaman sekarang ini banyak terjadi permasalahan antara Pancasila dan Agama, sehingga adanya banyak dampak dari keduannya sangat sering bermasalah dalam kehidupan sehari-hari,sehingga ini sangat menarik untuk dibahas pada sekarang ini, sehingga perlu adanya pencerahan, sehingga tidak terjadi kesalah pahan di antara kedua pihak
Demikian pula pada penulis, yang saat ini kebingungan terhadap masalah yang sering terjadi, dimana pancaila sering bertabrakan dengan paham yang menganut dimana pancasila terlalu di lebih-lebihkan melampaui kekuatan Agama, sehingga banyak terjadi bentrok dari keduanya, contohnya seperti terjadi sebuah insiden dimana sebuah sekolah tidak mau melaksanakan penghormatan kepada Bendera serta tidak melaksanakan upacara bendera
Sehingga ini sangat menjadi perbincangan hangat, karena itu penulis akan sedikit menggali untuk membahas hal tersebut, sehingga dapat untuk dipelajari dikemudian harinya, dan dapat dijadikan telaah, untuk dkaji lebih jauh dalam waktu kedepan.
C. Rumusan Masalah
Bagaimanakah sikap yang ambil dalam masalah ini, dimana sebagian pihak mempermasalahkan hal tersebut, Apakah tindakan tersebut dapat di jadikan sebagai hal yang dilanjutkan ke sebuah persoalan untk di perdebatkan di DPR, karena hal tersebut tidaklah terlalu menjadi tugas kita semua, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru. Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden Soeharto merumuskan Pancasila sebagai “Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama. “Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara, maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja.
D. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Makalah 1.
2.
Tujuan Penulisan Makalah Pancasila -
Untuk mengetahui Pengertian Pancasila.
-
Untuk mengetahui Pengertian Pancasila sebagai Ideologi Negara.
-
Untuk mengetahui keterkaitan Pancasila dengan Kebudayaan.
Manfaat Penulisan Makalah -
Menambah wawasan betapa pentingnya Pancasila di lingkungan masyarakat
-
Meningkatkan Nasionalisme.
-
Meningkatkan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia.
-
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai Pancaila.
-
Memenuhi tugas akhir mata kuliah Pancasila.
BAB II Pembahasan Masalah
A. Pendekatan Secara Historis Padahal, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya. Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo, menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.) Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005). B. Sila Pertama Dan Agama
Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap
rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “Ketuhanan”, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid). Dalam bukunya, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”. Syafii Maarif selanjutnya menulis: “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam.” Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing. (hal. 31). Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula.
Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Dikutip dari buku Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama, 1991-1992). Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan sifatsifat-Nya. Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi Islam, yakni Allah yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan; bukan Allah seperti dalam konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep lainnya. Kata “Allah” juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah….”. Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi Allah di situ bukan konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang
Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita” Natsir juga meminta agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2). Contoh penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang seharusnya menjadi wilayah agama.
Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan. Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”.
Sejarawan dan
budayawan Betawi ini mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4. ”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.” Kuatnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila – terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting. Salah satu makna adab adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah dengan makhluk – dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab.
BAB III Kesimpulan dan Saran Meletakkan manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan Allah SWT tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat tidak beradab. Bahwa hakekat ketuhanan yang maha esa sesungguhnya ialah dimana Ketuhanan Yang Maha Esa harus di nomor satukan, dan tidak boleh diubah urutannya dengan yang lain, karena kita hidup hanya untuk Menyembah Tuhan yaitu Allah SWT Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Maka dari itu kita sebagia umat Bergama terutama Islam harus cerdas dan pandai, sehingga tidak ada pembodohan, dan penistaan dari semua aspek golonagn yang ada di muka bumi ini.
Daftar Pustaka Singodimedjo, Kasman Hidup Itu Berjuang (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125 Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, Yogyakarta: Pilar Media, 2005
Maarif , Ahmad Syafii “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq Hubungan Agama dan Pancasila” Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985,
Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama
1975-1990,
disunting
oleh
Sudjangi
Jakarta:
Balitbang
Departemen Agama, 1991-1992 Bisri Mustofa Pancasila Kembali untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta: LP3ES, 2009
Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981