DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya
MODUL KHUSUS KOMUNITAS Relawan
Refleksi Kemiskinan
PNPM Mandiri Perkotaan
C04
Modul 1
Konsep dan Sosialisasi RK
1
Kegiatan 1:
Diskusi Jigsaw Konsep dan Tahapan Refleksi Kemiskinan
2
Kegiatan 2:
Pleno Kelas Sosialisasi Hasil RK
5
Mempersiapkan Sosialisasi dan Fasilitasi RK
7
Praktek Sosialisasi dan FGD RK
23
Praktek Sosialisasi dan Fasilitasi FGD RK
24
Evaluasi dan Sosialisasi Hasil RK
26
Kegiatan 1
Pembahasan Hasil Praktek
27
Kegiatan 2
Pembahasan Sosialisasi Hasil RK
27
Kegiatan 3 :
Modul 2
Kegiatan 1
Modul 3
Refleksi kemiskinan dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat terhadap akar penyebab kemiskinan. Kesadaran kritis ini menjadi penting, karena selama ini sering kali dalam berbagai program yang menempatkan masyarakat sebagai objek, seringkali masayarakat tidak diajak untuk melakukan berbagai upaya pemecahan masalah tanpa mengetahui dan menyadari masalah yang sebenarnya (masalah dirumuskan oleh orang luar). Kondisi tersebut menyebabkan dalam pemecahan masalah, masyarakat hanya sekedar melaksanakankehendak orang luar atau karena tergiur dengan iming-iming bantuan uang, bukan melaksanakan kegiatan karena benar-benar menyadari bahwa kegiatan tersebut memang bermanfaat bagi pemecahan masalah mereka. Penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini pada umumnya hanya terbatas pada gejalanya saja tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Dalam pelaksanaan refleksi kemiskinan, ada 2 hal penting yang harus dilakukan, yaitu olah rasa dan olah piker, sehingga pendalaman yang dilakukan melibatkan mental, rasa dan karsa. Olah pikir, proses ini merupakan analisis kritis terhadap permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat, untuk membuka mekanismemekanisme yang selama ini tidak tergali dan tersembunyi di dalamnya. Analisa kritis artinya mencari secara kritis hubungan sebab akibat, sampai hal-hal yang paling dalam sehingga dapat ditemukan akar permasalahan kemiskinan yang sebenarnya. Olah rasa, adalah upaya untuk merefleksikan ke dalam terutama yang menyangkut sikaf dan perilaku masyarakat terhadap permasalahan kemiskinan. Upaya olah rasa lebih menyentuh hati masing-masing orang yang terlibat dalam proses refleksi untuk merenungkan apa yang telah diperbuat, sumbangan apa yang telah diberikan untuk melakukan upaya penanggulangan kemiskinan bagi kesejahteraan dan perbaikan hidup masyarakat. Artinya dalam olah rasa lebih menitikberatkan kepada sikap dan perilaku yang berhubungan dengan nilai-nilai luhur (memanusiakan manusia).
i
Panduan Penggunaan Modul Modul ini dirancang untuk meningkatkan kapasitas Relawan sebagai motor penggerak perubahan yang tergabung dalam Tim Refleksi Kemiskinan di kelurahan/desa baik untuk kegiatan sosialisasi maupun fasilitasi diskusi. Peningkatan kapasitas ini diberikan melalui “On The Job Training” (OJT) yang terdiri dari pembahasan – pembahasan di dalam kelas (ruangan – ruangan tertentu) dan praktek langsung di lapangan dalam tahapan kegiatan Refleksi Kemiskinan. OJT ini berorientasi kepada penumbuhan kesadaran kritis dan peningkatan kemampuan relawan dalam mendampingi proses refleksi kemiskinan. Tujuan umumn dari OJT ”Refelksi Kemiskinan” adalah : 1. Relawan memahami hakekat Refleksi Kemiskinan 2. Relawan mau dan mampu untuk memfasilitasi kegiatan Refleksi kemiskinan Modul dalam OJT ini dibagi ke dalam 3 bagian yaitu : Modul 1 : Konsep dan Sosialisasi Kegiatan Refleksi Kemiskinan, membahas mengenai konsep dan nilai – nilai pembelajaran dalam RK; tahapan kegiatan RK di tingkat komunitas basis dan musyawarah kelurahan/desa; bagaimana menggerakan warga agar mau terlibat dalam RK dan persiapan praktek sosialisasi dan fasilitasi RK di lapangan. Modul 2 : Praktek Sosialisasi dan Fasilitasi FGD RK, praktek ini dirancang sebagai bagian dari kerja lapangan yang bisa dilakukan relawan. Jadi dalam praktek ini relawan ”berlatih sambil bekerja”. Praktek dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap pertama fasilitator yang melakukan kegiatan dan relawan mengamati prosesnya, pada tahap kedua relawan sendirilah yang melakukan pendampingan kepada warga dalam kegiatan sosialisasi dan FGD RK Modul 3 : Pembahasan Hasil Praktek dan Sosialisasi Hasil RK ; relawan diajak unutuk merefleksikan hasil praktek di lapangan dan upaya – upaya untuk memperbaiki pada kegiatan berikutnya; membahas cara – cara untuk menginformasikan hasil RK kepada warga masyarakat luas.
Keseluruhan modul ini disusun ke dalam struktur sebagai berikut : Proses Kegiatan Belajar yang menjelaskan rincian proses kegiatan yang harus dilakukan oleh Tim Fasilitator sebagai pemandu pelatihan/OJT. Lembar Kerja, yang memuat petunjuk untuk tugas – tugas khusus yang harus diberikan kepada peserta , uraian metode – metode yang digunakan. Tidak semua modul memuat lembar kerja karena sangat tergantung kepada proses dalam setiap kegiatan belajar.
ii
Lembar kasus, yang memuat kasus – kasus tertentu untuk dibaca dan dianalisa bersama oleh peserta. Kasus – kasus ini berfungsi sebagai media pengegrak diskusi yang bisa membuka wawasan terhadap suatu keadaan dan menginspirasi peserta. Media Bantu, adalah media – media yang digunakan untuk membantu penjelasan kepada peserta, mengingat di kelurahan/desa dampingan akan sangat sulit menggunakan alat – alat dengan teknologi tinggi seperti LCD, maka fasilitator harus membuat media bantu sendiri bisa dengan cara menggunakan kertas plano atau metaplan yang sudah diisi dengan materi yang mau dijelaskan kepada peserta. Penggunaan media bantu juga bisa dilakukan dengan membagikan fotocopy dan slide – slide yang sudah disediakan. Bahan Bacaan; yang merupakan panduan pengetahuan mengenai topik bahasan bagi pemandu. Bahan bacaan ini juga merupakan bahan serahan bagi peserta yang diberikan pada setiap akhir sessi sesuai dengan tema yang dibahas. Modul pelatihan ini tidaklah kaku, pada pelaksanaannya setiap pemandu dapat melakukan improvisasi dalam metode, media bantu, lembar kerja, lembar kasus yang digunakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh pemandu dan daya tangkap peserta. Tetapi penting untuk diperhatikan improvisasi apapun yang dikembangkan sebaiknya : 1) tidak menyimpang jauh dari tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dalam setiap modul. Sangatlah penting bagi pemandu untuk mempelajari dengan cermat tujuan pembelajaran dari setiap pokok bahasan 2) tetap menggunakan metode pendidikan orang dewasa dengan pendekatan partisipatif untuk penyadaran kritis. Bahan bacaan yang sudah disediakan tidaklah cukup, walaupun sudah melalui proses TOT, setiap pemandu tetap harus menambah wawasan dan pengetahuan mengenai topik – topik bahasan sebelum memandu. Biar bagaimanapun setiap kelas yang dihadapi adalah khas, pengetahuan – sikap – kemampuan setiap peserta juga khas, oleh karenanya sebagai pemandu harus selalu siap menerima situasi yang tidak sama antara satu kelas dengan kelas lainnya. Selamat mencoba menjadi Pemandu Pelatihan dan terus belajar menjadi pemandu yang handal akan tetapi tetap rendah hati. Kerendahan hati adalah modal utama dalam memandu pelatihan yang partisipatif yang menekankan pada kesetaraan sebagai penghargaan pada keberadaan peserta sebagai manusia.
Tim Penyusun
iii
Modul 1 Topik: Konsep dan Sosialisasi RK
Peserta memahami 1) Tujuan dan manfaat Refleksi Kemiskinan 2) Tahapan pelaksanaan Refleksi Kemiskinan 3) Sosialisasi Siklus RK
Kegiatan 1: Diskusi JIGSAW Konsep dan tatacara Refleksi Kemiskinan Kegiatan 2: Pleno kelas Sosialisasi Siklus RK Kegiatan 3: Diskusi kelompok mempersiapkan sosialisasi dan fasilitasi RK
5 Jpl ( 225 ’)
Bahan Bacaan : 1. Berbagai kasus kemiskinan 2. Buku 1 Seri Siklus PNPM Mandiri Perkotaan 3. Buku 2 Seri Siklus PNPM Mandiri Perkotaan 4. Lembar Balik PNPM Mandiri Perkotaan
• Kerta Plano • Metaplan • Papan Tulis , Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
1
Diskusi Konsep dan Tahapan Refleksi Kemiskinan 1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan kepada peserta bahwa kita akan memulai Modul Konsep dan Sosialisasi Refleksi Kemiskinan yang terdiri dari dua kegiatan belajar. Jelaskan tujuan dari modul ini. 2) Jelaskan bahwa kita akan memulai modul ini dengan kegiatan 1 yaitu Diskusi Konsep dan Tahapan Refleksi Kemiskinan. 3) Informasikan kepada peserta bahwa kita akan membahas refleksi kemiskinan dengan menggunakan metode diskusi “JIGSAW” ( lebih jauh mengenai JIGSAW lihat dalam LK 1 – Belajar Melalui JIGSAW). Diskusi ini akan dibagi dalam 2 tahap dengan kelompok yang berbeda. 4) Tahap pertama bagilah peserta ke dalam 7 kelompok (setiap kelompok terdiri dari 3 – 4 orang). Mintalah mereka membaca Buku 1 Seri Siklus : Siklus PNPM Mandiri Perkotaan dan Buku 3 Seri Siklus : Panduan Diskusi Refleksi Kemiskinan. 5) Tugaskan setiap kelompok untuk membahas : Kelompok 1 : Apa yang dimaksud dengan Refleksi kemiskinan ? Kelompok 2 : Untuk apa refleksi kemiskinan dilakukan? Kelompok 3 : Pembelajaran nilai – nilai apa yang ada dalam kegiatan refleksi kemiskinan? Kelompok 4 : Kedudukan refleksi kemiskinan dalam keseluruhan siklus PNPM Mandiri Perkotaan? Kelompok 5 : Bagaimana tahapan pelaksanaan refleksi kemiskinan, siapa yang menjadi peserta, siapa penyelenggara dan darimana biayanya? Bagaimana melibatkan kelompok miskin dan perempuan dalam RK? Kelompok 6 : Bagaimana tahapan penyelenggaraan dan diskusi membangun visi dan FGD RK di komunitas basis? Kelompok 7 : Bagaimana tahapan penyelenggaraan dan musyawarah RK tingkat kelurahan/desa? 2
6) Setelah selesai mintalah mereka untuk kembali ke dalam kelas besar, jelaskan bahwa sekarang akan ada perubahan kelompok. Bagilah peserta menjadi 3 kelompok (setiap kelompok terdiri dari 7 – 8 orang), anggota kelompok terdiri dari perwakilan anggota kelompok diskusi sebelumnya. (dalam masing – masing kelompok ada anggota dari kelompok 1 s/d kelompok 7 dalam diskusi sebelumnya). 7) Mintalah kepada setiap anggota kelompok unutk menjelaskan materi yang telah dipelajari dan dibahas dalam kelompok sebelumnya kepada yang lain dan diskusikan bersama dalam kelompok. Anjurkan kepada setiap kelompok untuk mencatat hal – hal yang menurut mereka belum jelas. 8) Bahas bersama hasilnya dalam kelas besar, buatah daftar bersama apa saja yang belum mereka pahami, ulaslah satu per satu apa yang mereka belum pahami berikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya dan berpendapat. Gunakan lembar balik PNPM Mandiri Perkotaan sebagai media bantu untuk menjelaskan dan beberapa bahan lain yang sudah dipersiapkan sebelumnya , misalnya pernyataan – pernyataan singkat dalam kartu metaplan, bagan alir tahapan RK yang sudah ditulis dalam kertas plano dan lainnya.
Refleksi Kemiskinan dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat terhadap akar penyebab masalah kemiskinan. Kesadaran kritis ini menjadi penting, karena selama ini seringkali dalam berbagai program yang menempatkan masyarakat sebagai ’objek’ masyarakat diajak untuk melakukan berbagai upaya pemecahan masalah tanpa mengetahui dan menyadari masalah yang sebenarnya (masalah dirumuskan oleh ’Orang Luar’).Kondisi tersebut menyebabkan dalam pemecahan masalah masyarakat hanya sekedar melaksanakan kehendak ’Orang Luar’ atau karena tergiur dengan ’iming – iming’ bantuan uang, bukan melaksanakan kegiatan karena benar – benar menyadari bahwa kegiatan tersebut memang bermanfaat bagi pemecahan masalah mereka. Melalui kegiatan ini masyarakat diajak untuk menentukan cita – cita mengenai kondisi ideal (visi) wilayahnya di masa yang akan datang, bagaimana kondisi kemiskinan yang sekarang ini terjadi , apa penyebabnya, apa akar masalahnya, siapa yang harus bertanggungjawab dan dengan cara apa akan dipecahkan. Siklus ini merupakan siklus awal dalam penanggulangan kemiskinan, yang berupa identifikasi masalah dan menjadi dasar untuk menentukan kegiatan siklus selanjutnya. Oleh karena itu penting dalam siklus ini dirumuskan cita – cita (visi) masyarakat terhadap gambaran ideal kelurahan/desa mereka di masa yang akan datang terutama yang berhubungan dengan penanggulangan kemiskinan/pencapaian kesejahteraan. Penyebab kemiskinan yang didapat dari hasil Refleksi kemiskinan akan ditelusuri data dan informasinya lebih jauh dalam kegiatan pemetaan swadaya melalui berbagai kegiatan kajian yang dilakukan oleh warga sendiri. Metode yang digunakan dalam refleksi kemiskinan adalah FGD (focus group discussion atau diskusi kelompok terarah (DKT). Focus Group Discussion atau Diskusi kelompok Terarah merupakan metodologi penelitian (wawancara kelompok) untuk menggali persepsi, pendapat dan harapan – harapan dari sekelompok responden yang diwawancara. Apabila ingin mengetahui persepsi responden dari kelompok tertentu secara khusus, maka FGD biasanya dilakukan untuk kelompok khusus. (misalnya untuk mengetahui persepsi perempuan terhadap air bersih, maka dilakukan hanya untuk kelompok perempuan dengan asumsi bahwa kelompok laki – laki akan mempunyai persepsi yang berbeda dengan perempuan terhadap air bersih) 3
Dalam pelaksanaan refleksi kemiskinan, ada 2 hal penting yang harus dilakukan, yaitu Olah Rasa dan Olah Pikir , sehingga pendalaman yang dilakukan melibatkan mental, rasa dan karsa.
Olah Pikir; Proses ini merupakan analisis kritis terhadap permasalahan kemiskinan yang dihadapi masyarakat, untuk membuka mekanisme – mekanisme yang selama ini sering tidak tergali dan tersembunyi di dalamnya. Analisa kritis terhadap permasalahan kemiskinan sering juga disebut sebagai analisa sosial, artinya mencari secara kritis hubungan sebab akibat, sampai hal –hal yang paling dalam sehingga dapat ditemukan akar permasalahan kemiskinan yang sebenarnya. Setiap kondisi,baik itu eksternal maupun internal, harus ditelusuri dan kemudian dicari hubungan sebab akibatnya dalam suatu kerangka yang logis. Dalam hal ini setiap orang yang terlibat dalam refleksi belajar untuk berpikir analitis dan logis, sehingga diharapkan tumbuh kesadaran kritis terhadap berbagai penyebab kemiskinan yang berakar pada lunturnya nilai – nilai kemanusiaan.
Olah Rasa; adalah upaya untuk merefleksikan ke dalam, terutama yang menyangkut sikap dan perilaku mereka terhadap permasalahan kemiskinan. Upaya olah rasa lebih menyentuh ’hati’ masing – masing orang yang terlibat dalam proses refleksi untuk merenungkan apa yang telah diperbuat, dilakukan, sumbangan apa yang telah diberikan untuk melakukan upaya penanggulangan kemiskinan dan bagi kesejahteraan dan perbaikan hidup masyarakat. Artinya dalam olah rasa lebih menitikberatkan kepada sikap dan perilaku yang berhubungan dengan nilai – nilai luhur manusia ( memanusiakan manusia ). Diharapkan akan tumbuh kesadaran masing-masing bahwa manusia yang berdaya adalah ’Manusia yang mampu menjalankan fitrahnya sebagai manusia, manusia yang berbeda dengan makhluk lain, yaitu manusia yang mampu memberi dan mengabdikan kehidupannya untuk kesejahteraan umat manusia’.
Dari olah pikir dan olah rasa di atas, diharapkan cara pandang peserta yang terlibat dalam diskusi akan berubah dan berimplikasi pada :
4
Kesadaran bahwa seharusnya mereka tidak menjadi bagian yang menambah persoalan, tetapi merupakan bagian dari pemecahan masalah dengan cara berkehendak untuk memelihara nilai – nilai luhur kemanusiaan.
Tumbuhnya pemahaman bahwa sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai – nilai luhur, merupakan awal dari tumbuhnya modal sosial, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan pihak luar terhadap masyarakat setempat.
Tumbuhnya kesadaran untuk melakukan upaya perbaikan, yang dimulai dari diri sendiri. Sehingga setiap anggota masyarakat seharusnya mampu untuk memberikan sumbangan (baik tenaga, waktu,pikiran, ruang bagi kelompok lain untuk berpartisipasi, berdemokrasi, dsb) untuk bersama – sama menanggulangi masalah kemiskinan (baca : untuk kesejahteraan masyarakat)
Pleno Kelas Sosialisai Siklus RK 1) Jelaskan kepada peserta, agar warga mau terlibat mengikuti proses refleksi kemiskinan, maka kita harus memberikan informasi yang cukup dan mampu memotivasi warga untuk ikut hadir dalam pertemuan dan memberikan kontribusi pemikiran. Oleh karena itu kita harus mensosilalisasikan kegiatan ini kepada masyarakat luas.
2) Bahaslah bersama peserta dalam pleno kelas mengenai sosialisasi yang harus dilakukan sebelum kegiatan refleksi kemiskinan dilakukan. Untuk memudahkan pakailah tabel di bawah ini sebagai acuan. Dalam prakteknya pengisian tabel ini bisa dengan menggunakan kartu – kartu metaplan yang berbeda warna untuk setiap kolom.
5
Kelompok sasaran
Tujuan Sosialisasi
Pesan yang akan disampaikan
Media/alat
Tempat
Waktu
Penanggung jawab
3) Bahas dan refleksikan hasilnya, berilah ulasan yang diperlukan. Beri catatan khusus pentingnya melakukan sosialisasi kepada kelompok perempuan dan warga miskin 4) Jelaskan mengenai media – media sosialisasi yang disediakan oleh pihak PNPM Mandiri Perkotaan dan kegunaannya.
Catatan : Penting ditekankan bahwa dalam melakukan sosialisasi harus melihat kondisi sosial budaya masyarakat, seperti : o
Waktu luang masyarakat, baik laki – laki maupun perempuan
o
Tempat – tempat berkumpul masyarakat , untuk menentukan sosialisasi informal dan tempat menempel poster atau pengumuman. Informasi harus sampai juga kepada warga miskin dan perempuan, sehingga harus diperhatikan tempat menempel poster atau pengumuman yang bisa diakses oleh kedua kelompok masyarakat tersebut.
o
Orang – orang yang bisa digunakan sebagai simpul informasi, sehingga mereka bisa dijadikan agen sosialisasi dan media – medai cetakan (misal leaflet, booklet) yang terbatas diberikan kepada mereka agar pesannya bisa sampai kepada warga yang lain.
o
Media – media pertemuan warga yang bisa digunakan untuk ‘menitipkan’ pesan yang akan disampaikan. Pesan – pesan juga harus disampaikan lewat media pertemuan kaum perempuan dan warga miskin, agar mereka mendapatkan akses informasi.
Di setiap kelurahan diwajibkan untuk menyediakan papan informasi minimal di lima titik sebagai media untuk menyampaikan informasi kepada warga masyarakat dari kegiatan – kegiatan yang dilakukan. (lihat bahan bacaan : Kerangka Acuan Papan Informasi).
o o
6
Melibatkan relawan dalam sosialisasi yang dilakukan Capaian indikator sosialisasi RK (lihat dalam Media Bantu yang sudah disediakan) dan bahas bersama.
Mempersiapkan Sosialisasi dan Fasilitasi RK 1) Jelaskan kepada peserta bahwa salah satu peran yang bisa dijalankan oleh relawan adalah mensosialisasikan siklus RK dan memfasilitasi proses diskusi warga dalam kegiatan RK. 2) Tanyakan kepada peserta siapakah di antara mereka yang akan mengambil peran sebagai ‘agen sosialisasi’ dan siapa yang akan memfasilitasi diskusi refleksi kemiskinan. Mintalah mereka berkelompok berdasarkan minatnya. 3) Tugaskan kepada setiap kelompok untuk membuat perencanaan kegiatan yang akan dilakukan di lapangan :
Kelompok ‘agen sosialisasi ‘ mendiskusikan : dimana akan dilakukan sosialisasi RK pertama kali dan mempersiapkan bahan – bahan yang diperlukan.
Kelompok “yang memfasilitasi RK” mendiskusikan rencana kegiatan RK pada tingkat komunitas basis .
Untuk memudahkan proses diskusi kedua kelompok di atas bisa menggunakan tabel di bawah ini : Kegiatan
Tempat
waktu
Penyelenggara
Peserta
Media, Alat dan Bahan
Persiapan :
Pelaksanaan FGD tingkat basis Musyawarah tingkat kelurahan/desa Evaluasi 4) Bahas bersama hasil diskusi tersebut dalam pleno kelas dan berikan ulasan yang diperlukan. 5) Informasikan kepada peserta bahwa kita akan langsung mempraktekan sosialisasi dan fasilitasi diskusi RK pada tingkat komunitas. Pada tahap pertama sosialisasi dan fasilitasi diskusi akan dilakukan oleh fasilitator, sedangkan pada kegiatan yang kedua sosialisasi dan fasilitasi dilakukan oleh relawan.
7
LK 1 – Metode JIGSAW Belajar Melalui JIGSAW (Jigsaw Learning) Jigsaw learning merupakan sebuah teknik yang dipakai secara luas, memiliki kesamaan dengan teknik “pertukaran dari kelompok ke kelompok” (group to group exchange) dengan suatu perbedaan penting : setiap peserta mengajarkan sesuatu kepada peserta lainnya. Setiap peserta mempelajari materi tertentu yang dikombinasikan dengan materi yang dipelajari oleh peserta lainnya. Langkah – Langkah 1) Pilihlah materi yang dapat dipisah menjadi sub – sub topik bahasan , misal dalam kasus RK di atas :
Hakikat Refleksi kemiskinan
Arti penting melakukan Refleksi Kemiskinan
Nilai – nilai pembelajaran yang terkandung dalam RK
Refleksi Kemiskinan dan Siklus PNPM Mandiri Perkotaan
Pelaksanaan RK pada komunitas basis
Musyawarah RK tingkat kelurahan/desa
Tahapan, peserta dan penyelenggara
2) Bagilah peserta ke dalam beberapa kelompok sesuai sub topik yang mau dibahas, misal di atas ada 7 sub topik, maka jumlah kelompok adalah 7 dan setiap kelompok bertugas membahas satu sub topik bahasan. Tetapi apabila jumlah peserta tidak memungkinkan untuk dibagi 7 kelompok , maka peserta bisa dibagi beberapa kelompok dimana masing – masing kelompok membahas lebih dari satu sub topik. 3) Setelah selesai, bentuklah kelompok “jigsaw learning” . Bagilah peserta ke dalam kelompok yang berbeda dari kelompok sebelumnya. Setiap kelompok ada satu orang wakil dari kelompok sebelumnya. Artinya dalam contoh kasus di atas, dalam satu kelompok jigsaw minimal ada 7 orang anggota yaitu satu orang dari kelompok 1, satu orang dari kelompok 2 dan seterusnya sampai kelompok 7. 4) Mintalah masing – masing anggota kelompok jigsaw untuk memaparkan materi yang sudah dipelajari dalam kelompok sebelumnya kepada anggota kelompok jigsaw yang lain. Mintalah mereka untuk mencatat pertanyaan – pertanyaan penting yang tidak bisa dijawab dalam kelompok.
8
5) Kembalilah ke dalam pleno kelas, buatlah daftar pertanyaan yang sudah mereka catat di masing – masing kelompok kemudian bahas bersama dan berikan ulasan dari pemandu.
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
\
9
Jalan Panjang Penyapu Jalan 5 APRIL 2007 - 12:49 WIB Ani Ismawati
Parno Atmaji telah pergi. Meninggalkan derita tak berkesudahan. Siang di bawah terik matahari kutemukan wajah lusuhnya. Tubuhnya renta digerus usia. Tujuh puluh dua tahun sudah usia menggerogoti wajah mudanya. Memakan habis otot kuatnya. Membungkukkan tulang punggung dari badan tegarnya. Mbah Parno, begitu panggilan akrabnya. Nama lengkapnya Parno Atmaji. Kehidupannya sebagai tukang sapu jalanan di daerah Ciputat, Tangerang, Banten, membuatnya akrab dengan pelbagai kendaraan, yang tentu tak pernah mampu dimilikinya. Sekadar berkhayal punya pun mungkin ia tak sanggup. Berada di dalam mobil hanya beberapa menit untuk mencoba pedal gas mungkin juga terasa aneh baginya. Sosok pendiam ini capek menjalani rel panjang kehidupannya. Ia bosan pada kemiskinan yang membelit. Namun dia tak sanggup lari dari kemiskinan yang terus saja menguntit perjalanan hidupnya. Mbah Parno mengantongi uang dari hasil menyapu tak genap Rp 200 ribu per bulan. Uang yang tak ia mengerti sebenarnya datang dari mana dan dibawa bos siapa. Yang jelas selama hampir 50 tahun Mbah Parno menerima uang imbalan dari seseorang yang ia sendiri tak kenal. "Aneh sih sebenarnya," katanya. "Kalau ingin menuntut (kenaikan upah) juga ke mana? Tapi yang penting dapat uang buat makan." Lelaki tua ini tinggal di belakang Lapangan Terbang Pelita Pondok Cabe, Legoso, Jakarta Selatan. Penyangga rumahnya hanya setinggi tanaman jagung. Di tengah bangunan-bangunan tinggi Mbah Parno hidup serba kekurangan. Potongan-potongan tripleks yang menempel pada setiap kayu penyanggah rapuh itu menjadi saksi tentang pahitnya kehidupan keluarga kecilnya. Untung saja tak ada yang mengungkit tanah ini milik siapa. "Kalau sampai digusur, entah akan tinggal di mana," ujarnya. Rumah kecil itu dihuni bersama anak perempuannya, Ijah, 40 tahun, yang memberinya seorang cucu, Murni, sebagai teman pelipur lara. Menantunya, suami Ijah, sudah terbebas dari kejamnya hidup. Sebuah kecelakaan bus di Jalan Kalibata, Jakarta Selatan, dua tahun silam membuat anak semata wayangnya menjanda. Istrinya, Suminah, sudah meninggalkan Parno sejak muda. Suminah tak tahan hidup dalam kemiskinan. Ia pergi dengan laki-laki lain yang lebih mapan. Usia Suminah dengan Mbah Parno terpaut 13 tahun. Mereka menikah tahun 1960. Saat itu Suminah berumur 20 tahun. Pasangan ini dikaruniai seorang anak. Namun saat Ijah berusia 10 ditinggal pergi ibunya begitu saja. Ijah kecil pun menjalani hari-hari panjang hanya bersama bapak.
10
Mbah Parno sering berpikir kenapa kemiskinan tak juga pergi darinya. Dia sedih jika memikirkan itu. Matanya menerawang jauh bersama angin bertiup kencang. Debu-debu jalanan beterbangan melewati bulu-bulu matanya dan melilipkan matanya. Bising knalpot kendaraan semakin akrab menderu-deru. Dalam keramaian, Mbah Parno menjalani hidupnya dari hari ke hari. Sorot matanya yang tajam mencoba menelisik jauh makna hidup. Ketegarannya mencoba menghancurkan dinding keangkuhan dan kerasnya hidup. Dengan otot tua yang kian melembek dia ingin mendobrak pintu menuju singgasana megah dan masuk ke dalamnya. Aku di sini, di hadapannya, kian mengerti bongkahan demi bongkahan kesabaran kian luluh. Hidup susah sudah menyongsong Parno Atmaji lahir ke dunia. Karena panen tak kunjung tiba, keluarga kecil orang tuanya di Boyolali, Jawa Tengah, meninggalkan kampung halaman, hijrah ke Jakarta. Anak tunggal ini belajar menapaki hidup di Ibu Kota. Parno kecil mulai merasakan hawa Jakarta tak sesejuk dan sesegar udara dan angin Boyolali. Tahun demi tahun di Jakarta mengajarkan pada Pak Karjo, bapaknya, bahwa hidup memang tak semudah yang dibayangkan. "Apalagi untuk urusan mencari pekerjaan," tutur Parno. "Lha wong buat makan bertiga saja Bapak nyaris tak sanggup memenuhi." Uang hasil jual rumah di kampung hanya cukup untuk membangun rumah dari tripleks di Legoso. "Rumah itu satu-satunya warisan orang tua buatku," ujarnya. Sisa uang itu untuk makan keluarga dan ongkos pergi-pulang bapaknya mencari kerja. Akhirnya kerja memang didapat, meskipun hanya sebagai tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan kecil. Tapi itu tak berlangsung lama. Suatu saat Pak Karjo dipecat. Pak Karjo tak sanggup memasukkan anak tunggalnya itu ke sekolah. Akhirnya Parno turun ke jalan, naik turun kendaraan umum. Bermodal botol plastik yang diisi sejumput beras, Parno kecil mengamen. Dia menawarkan suara. "Bernyanyi tak jelas," katanya. Seperak dua perak masuk kantong kecilnya. Sedari pagi ia keluar masuk kendaraan umum mengamen dengan lagu-lagu dan suara sebisanya. Di hiruk-pikuk kota Jakarta Parno kecil seperti tak kenal lelah. Parno beranjak remaja. Pada usia 18 tahun Parno ingin pensiun ngamen. Tiga belas tahun mengamen cukup sudah. Dia memutar otak, melirik kanan kiri. Ternyata sudah banyak perkantoran tumbuh di Jakarta. Tapi setiap kali mau mengetuk pintu kantor untuk melamar kerja, ia teringat tak memiliki selembar pun ijazah. "Tak punya surat layak nilai," katanya. Parno nyaris putus harapan. Apalagi bila teringat di dunia ini dia hidup sendiri. Beberapa tahun sebelumnya bapaknya meninggal dalam keputusasaan berkepanjangan. Tak lama kemudian ibunya menyusul ke alam baka. Jika mengingat itu matanya selalu berkaca-kaca. Namun dia sadar harus bangkit. Dia ingin bekerja apa saja. Yang penting bukan tindak kejahatan. Dia ingin berdagang, tapi apalah daya modal tak ada. Suatu hari seorang tetangga menawarinya sapu lidi bergagang dan sebuah gerobak sampah yang tampak menjulang lebih tinggi dari tubuhnya. Parno remaja pun menyingsingkan lengan baju menyapu debu dan sampah jalanan. Dari hari ke hari.
11
Parno remaja mengenal Suminah, gadis berambut sebahu yang digelung. Setiap hari Suminah berkeliling dari kampung ke kampung menjajakan jamu. Racikan jamu gadis itu terasa pas di lidah Parno. "Langganan ibu-ibu," ujarnya. Semakin lama Parno tidak hanya menyukai jamu racikan Suminah, tapi mencintai peraciknya. Dua bulan saling curi pandang, akhirnya cinta mereka berpaut dan dua insan itu menikah. Cinta Parno pada Suminah kian dalam ketika Ijah lahir. "Hidup ini sudah lengkap," katanya. "Meskipun miskin, punya dua perempuan yang mencintai diriku dengan utuh." Bersama Suminah, Parno merawat Ijah. Kemiskinan tak mengurangi kebahagiaan keluarga kecil itu. Tiga belas tahun berlalu. Kebahagiaan dan keceriaan keluarga Parno terkoyak. Ada tetangga baru melirik Suminah. Celakanya, Suminah pun tertarik. Entah kenapa Suminah tiba-tiba lupa suami dan anak yang baru berumur sepuluh tahun. Tanpa menoleh dia pergi bersama laki-laki itu. Kebahagiaan Parno berubah jadi gunungan kecewa dan derita. Dia mencoba mengerti pilihan hidup Suminah. Mungkin perempuan itu capek menjalani hidup dalam kemiskinan sehingga begitu mudah putar haluan. "Cinta tak lagi ada padanya untukku," kata Parno. Lima puluh tahun sudah Parno berkutat dengan derita, debu, dan sampah. Jalan-jalan semakin panjang karena lorong perempatan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, telah dibangun. Aspal jalanan kian berkilat. Tak ada tapak kaki, yang ada hanyalah gilasan ban-ban kendaraan, sampah, dan debu yang membuat Mbah Parno bersin-bersin. Tiba-tiba aku teringat Mbah Parno. Aku ingin menemuinya, sekadar bertukar cerita. Aku kangen mata teduh itu. Kutanya pada orang-orang di Jalan Raya Lebak Bulus, di mana gerangan lelaki tua itu. Seseorang memberi tahu bahwa Mbah Parno telah meninggal pada bulan Februari lalu. Aku tersentak sedih. Ternyata dia telah pergi meninggalkan segala derita. Aku ingin mengenang lelaki penuh derita ini. Mungkin tak ada lagi yang ingat atau memperhatikan salah seorang saja dari begitu banyak penyapu jalan di kota Jakarta, dan kota-kota lain. Mereka mungkin sekadar angka-angka statistik bagi Dinas Kebersihan atau pemerintah. Tapi mereka juga manusia, warga negara Indonesia. (E2)
12
Pedagang Menghitung Hari 31 MEI 2007 - 17:5 WIB
Kios-kios bunga, ikan hias, dan burung di Jalan Barito terancam digusur. Padahal, tempat itu tak hanya punya nilai ekonomis, tapi juga nilai rekreatif.
Kicau burung bersahutan dari kios pedagang kaki lima menyemarakkan kehidupan Jalan Barito, Jakarta Selatan. Satimin duduk menunggu pengunjung di depan salah satu kios. Hampir 30 tahun dia berdagang burung berikut makanannya di sana. Pada tahun 1978 Satimin tiba di Jakarta dari Gunung Kidul, Dearah Istimewa Yogyakarta. Waktu itu ia baru saja keluar dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik. Ia tak mau menjalani pekerjaan berat bergaji rendah. Dengan modal Rp 18 ribu, disemangati hobi memelihara burung, lelaki berkulit legam itu mulai berdagang makanan burung dengan gerobak. Demi menghidupi istri dan tiga anaknya, setiap hari lelaki bertubuh tinggi besar itu menarik gerobak dari rumah kontrakannya ke Jalan Barito, yang jaraknya empat kilometer. Dulu jalan itu belum beraspal. Untuk menarik gerobaknya turun ke lokasi berjualan, ia memerlukan bantuan empat sampai lima orang. "Jalan berlubang-lubang dan turunan," kata pria 51 tahun ini. Satimin dan ratusan pedagang kaki lima lain yang umumnya berjualan bunga dan ikan hias akhirnya berhasil membangun kios semipermanen. Kini 65 kios burung, 20 kios buah-buahan, dan 15 kios makanan berjajar mengelilingi Taman Langsat yang tertutup untuk umum itu. Kios itu berdiri di trotoar luar taman. Sekarang Taman Langsat yang luasnya lebih dari 5 hektare terhampar memanjang itu telah dikelilingi 250 kios pedagang kaki lima. Sedangkan 51 kios bunga dan 54 ikan hias mengelilingi Taman Ayodya yang di tengahnya terdapat danau. Tempat itu sangat bersih, sehingga siapa pun yang berkunjung akan senang. Pasar Barito bukan hanya dikenal masyarakat Jakarta. Banyak orang asing berkunjung untuk membeli bunga atau ikan hias. Bahkan, banyak pedagang yang mengekspor ikan hias ke Korea Selatan. Kini para pedagang di Jalan Barito resah. Pemerintah akan menggusur mereka, berdasarkan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2006. Konon tempat itu akan dijadikan ruang terbuka hijau agar bisa meresap air. Jakarta memang sudah kehilangan ruang terbuka hijau sehingga daerah resapan air berkurang. Akibatnya, setiap hujan tiba banjir selalu mengancam warganya. Lebih-lebih, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, setiap kota harus memiliki kawasan hijau minimum 20% dari seluruh luas kota. Satimin dan para pedagang lain akan dipindah ke daerah Radio Dalam. Namun mereka keberatan karena tempat baru itu tidak strategis.
13
Menurut Ketua Kelompok Pedagang Bunga, Teddy Pandji, Pemerintah Provinsi harus mengkaji aspek ekonomi dan sosialnya sebelum memindahkan para pedagang. "Kami mau direlokasi, tapi tempatnya yang layak, agar usaha tidak mati," kata pria berumur 51 tahun ini. "Jangan sampai pemerintah mengulangi kesalahan ketika Pasar Bunga Cikini yang terkenal pada tahun 70-an dipindah ke tempat yang tidak strategi, sehingga mati." Teddy juga mencontohkan pemindahan pedagang ikan hias di Johar Baru, Jakarta Pusat. Akibat pemindahan itu para pedagang gulung tikar hingga hanya sepuluh kios yang bertahan. Jika tempat usaha baru nanti tidak menguntungkan, sumber pendapatan 1.200 orang keluarga pedagang kaki lima di sana terancam. Para pedagang meminta rencana induk penataan Taman Ayodya tidak menghilangkan kios mereka. Sebab, menurut mereka, kios itu telah memberikan nilai ekonomis taman tersebut. Saat ini setiap kios memiliki omzet penjualan minimum Rp 100 ribu per hari. Jadi, omzet keseluruhan 250 kios di sana senilai Rp 7,2 miliar per tahun. Dari omzet sebesar itu setiap tahun pemerintah Jakarta dapat mengantongi pajak dan uang sewa lahan senilai Rp 5,2 miliar. Para pedagang juga mempertanyakan kenapa mereka yang digusur. Bukankah di Jakata ada 30 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang berada di taman dan jalur hijau? Bagi mereka, pedagang bunga, ikan hias, dan burung tidak merusak lingkungan. Bahkan, tempat itu juga menjadi tempat pariwisata yang unik. Kini para pedagang di Jalan Barito hanya bisa khawatir akan nasib mereka. Juga masa depan anakanak mereka. Dan, penggusuran itu tinggal menghitung hari. (E2)
14
Juragan Kos-kosan dan Kartu Gakin 11 JULI 2007 - 12:32 WIB Rieke Diah Pitaloka
Selasa pagi di ujung Gang Murai. Ibu-ibu rumah tangga sedang sibuk memilih aneka sayuran dan ikan basah yang bergelantungan di atas gerobak milik Lasmi, penjaja belanjaan dapur yang saban hari mangkal di sana. Karena harga sayuran Lasmi terbilang murah dibanding harga jualan tukang-tukang sayur lain, hampir separuh ibu-ibu di lingkungan Gang Murai telah jadi pelanggannya sejak lama. Tapi kali ini tak seperti pagi biasanya. Bu Ariani, perempuan beranak satu yang menyewa rumah petak di Gang Murai, tak muncul pagi itu. "Tumben, Bu Ariani nggak belanja?" tanya tukang sayur itu. "Oh iya Ibu-ibu, saya sampai lupa. Tadi malam anaknya Bu Ariani dilarikan ke rumah sakit. Katanya kena diare," jelas Bu Kasturi, juragan kos-kosan yang rumahnya berdekatan dengan rumah kontrakan Bu Ariani. "Oh, saya baru dengar, Bu! Sekarang gimana keadaannya?" tanya Bu Rahmadi penuh perhatian. "Duh, kasihan Bu Ariani. Anaknya dirawat di mana, Bu?" sambung Bu Tedjo. Ini dia pertanyaan yang sejak tadi ditunggu-tunggu Bu Kasturi. Rupanya orang yang disebut-sebut paling kaya di Gang Murai itu tak sekadar berkabar perihal musibah yang tengah menimpa Bu Ariani, tapi sekaligus hendak melunaskan rasa iri dengkinya pada Bu Ariani. Obrolan ringan itu perlahan-lahan meruyak menjadi gunjing khas ibu-ibu. "Di Rumah Sakit Sentra Medika yang mahalnya selangit itu lho, Bu! Saya heran tuh, rumah aja masih ngontrak, mau sok kaya segala," langsung saja Bu Kasturi menyambut tanya Bu Tedjo. "Mestinya Bu Ariani bawa anaknya ke rumah sakit negeri aja ya, Bu?" "Iya. Suami cuma sopir taksi, lagaknya minta ampun. Dia mau bayar pake apa coba?" tukas Bu Kasturi lagi sambil geleng-geleng kepala. Ibu-ibu lain hanya manggut-manggut mendengar omelannya. Begitulah Bu Kasturi! Orang yang sudah berkelimpahan harta itu jangankan memberikan bantuan guna meringankan beban Bu Ariani yang sedang terkena musibah, tapi justru menyebarkan kedengkian hanya gara-gara tetangganya yang hidup pas-pasan itu mengobati anaknya di rumah sakit swasta. Ibu yang satu ini memang agak lain. Bukan saja iri dengki pada tetangga-tetangga yang bakal menandingi kekayaannya, pada orang yang tertimpa musibah seperti Bu Ariani pun ia cemburu. Ya, cemburu karena Bu Ariani "tak tahu diri" dan tidak "mengukur bayang-bayang seukuran badan". Hidupnya sudah susah, kenapa tidak berobat di rumah sakit milik pemerintah saja? Di rumah sakit mewah, apa dia sanggup bayar? Begitu Bu Kasturi menggerutu. Sepulang dari rumah sakit, Ariani kembali berbelanja keperluan dapur di ujung Gang Murai. Umpat-gunjing perihal Ariani yang "sombong", "sok kaya" dan "tak tahu diri" masih saja berdengung di telinganya, lebih-lebih dari mulut ember Bu Kasturi. Sekali waktu Ariani ingin menyela gerutuan Bu Kasturi, Bu Tedjo, Bu Rahmadi, dan ibu-ibu lain dengan mengatakan, "Terserah saya, dong. Apa pernah saya berutang pada kalian?" Namun, buru-buru niat itu diurungkannya.
15
Begitulah Ariani, meski hidup pas-pasan, rumah masih ngontrak, bila anaknya sakit ia tidak mau membawanya ke puskesmas atau ke rumah sakit negeri, tapi ke rumah sakit swasta. Bukan karena Ariani "sombong", "sok kaya", atau "tak tahu diri", melainkan karena ia ingin beroleh layanan kesehatan yang memadai. Mahal sedikit tak apa, tapi diperlakukan secara manusiawi. Berobat ke puskesmas atau ke rumah sakit negeri biayanya memang murah, tapi pasien kerap diperlakukan seperti sampah. Di sebuah rumah sakit pemerintah yang kerap di singkat RSCM, Ariani pernah menyaksikan seorang pasien yang kepalanya bocor karena kecelakaan. Petugas-petugas Instalasi Gawat Darurat bukannya bergegas menangani pasien sekarat itu, malah mendesak dan membentak pihak keluarga agar segera mendaftar dan mengurus administrasi diri lebih dahulu, setelah itu, barulah pasien akan diurus. Tapi saking lama dan berbelit-belitnya urusan adiministrasi itu, pasien sudah keburu mati sebelum sempat diperiksa. Sejak itu Ariani menyebut RSCM sebagai Rumah Sakit Cepat Mati. Tak berselang lama setelah gunjing perihal keluarga Ariani tersiar di Gang Murai, giliran Bu Kasturi yang harus terbaring di rumah sakit. Ia terserang stroke ringan dan dirawat inap selama beberapa hari. Beda dari Ariani, Bu Kasturi memilih dirawat di rumah sakit negeri. Entah karena pertimbangan apa. Ariani bersama rombongan ibu-ibu dari Gang Murai datang menjenguk Bu Kasturi yang masih terbaring lemas, ditemani beberapa orang anak dan cucu. "Cepat sembuh ya, Bu!" begitu Ariani menyapa. "Terima kasih Ibu-ibu sudah datang menjenguk saya." "Sudah berapa hari di sini, Bu?" tanya Bu Tedjo "Sudah enam hari. Mau pulang, tapi belum diizinkan dokter." "Ya sudah Bu, cepat sembuh, biar cepat pulang," imbuh Bu Rahmadi sambil memijit-mijit kaki Bu Kasturi. "Nggak apa-apa, dirawat satu bulan pun nggak masalah bagi saya." "Lho, kok gitu? Apa Bu Kasturi pingin lama-lama di rumah sakit?" "Nggak apa-apa. Saya sudah ngurus kartu Gakin!" "Sepeser pun saya nggak bakal ngeluarin biaya pengobatan. Semuanya gratis!" sambung Bu Kasturi. Ibu-ibu Gang Murai terperangah. Ariani tentu maklum, bagaimana cara orang paling kaya di Gang Murai itu memperoleh "surat keterangan miskin" dari kelurahan hingga berhasil mengantongi kartu Gakin.... (*)
16
Firman dan Waralaba Entrepreuneur. Franchising (waralaba) berasal dari bahasa Prancis (kejujuran atau kebebasan) berarti suatu metode melakukan bisnis di mana franchisor memberikan hak untuk melakukan metode-metode bisnis tertentu kepada franchisee dengan imbalan dan persentase dari penjualan atau keuntungan.
Berbagai dukungan, baik nyata maupun tidak nyata, seperti iklan, pelatihan dan dukungan lainnya umumnya disediakan oleh franchisor. Franchisor umumnya membutuhkan laporan audit, dan mungkin melakukan pengecekan baik secara periodik atau tiba-tiba. Kegagalan franchisee melakukan prosedur biasanya mengakibatkan kerja sama tidak diperpanjang. (definisi dari Wikipedia) Metode waralaba merupakan salah satu cara untuk membawa bisnis berkembang pesat dengan keterbatasan modal. Salah seorang entrepreneur muda yang berhasil menerapkan pola ini adalah Firmansyah Budi Prasetyo. Simak tulisan Kompas tentang dirinya berikut. Firman dan Pola Waralaba “Snack” Singkong (BM Lukita Grahadyarini) Usianya baru 26 tahun, namun Firmansyah Budi Prasetyo, warga Jalan Bugisan, Kecamatan Wirobrajan, Yogyakarta, sukses menapaki usaha snack (penganan) singkong. Dalam waktu 11 bulan, usaha itu melesat melalui pola waralaba dengan jumlah gerai mencapai 250 unit. Usaha itu bermula saat Firmansyah, yang biasa disapa Firman, melihat gerobak dibiarkan teronggok di rumah selama berbulan-bulan. Gerobak itu semula dibeli ibunya untuk menjajakan gorengan. Namun, usaha itu urung dijalankan. Melihat gerobak ”menganggur”, muncul ide Firman untuk mendirikan usaha makanan dengan gerobak. Kesadaran akan potensi singkong di wilayah DI Yogyakarta menumbuhkan gagasan berkreasi dengan produk pangan sepanjang musim itu. ”Singkong mudah didapat karena ditanam hampir di seluruh wilayah di Indonesia sehingga pengolahannya dapat dilakukan siapa pun,” kata Firman yang mengembangkan usaha itu sejak Februari 2007. Berbekal modal awal Rp 3 juta, ia mengolah bahan pangan itu secara cermat, hingga terasa renyah. Makanan ringan yang diberi merek Tela Krezz itu berbentuk balok-balok seukuran jari kelingking dan hampir 90 persen komponennya terbuat dari singkong. ”Saya melakukan uji coba beberapa kali sampai menemukan resep untuk membuat singkong lunak seperti kentang. Singkong yang sudah lunak itu diberi aneka bumbu sehingga rasanya bervariasi,” ujarnya. Gerobak yang menjadi sarana untuk berjualan memanfaatkan peralatan masak sederhana, serupa dengan peralatan masak di dapur rumah. Guna memberi cita rasa, penganan itu diberi bumbu yang kini telah berkembang menjadi 14 jenis rasa.
17
Dengan modal awal itu pula Firman berupaya memperkenalkan produknya secara massal kepada konsumen. Arena pameran menjadi media ampuh dalam berpromosi. Sejak mengikuti beberapa pameran, pesanan terus mengalir dari dalam dan luar Yogyakarta, di antaranya dari Jawa Tengah. Usaha itu berkembang, Firman lalu merekrut delapan karyawan. Modal terbatas Ketika usahanya beranjak maju, pemuda lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2004 itu tertantang untuk melebarkan sayap usaha. Menyadari modal usahanya terbatas, dia mencoba mengadopsi pola bisnis waralaba. Untuk membuka sebuah gerai Tela Krezz, pembeli lisensi atau pewaralaba dikenai biaya dana Rp 3,5 juta sampai Rp 6 juta, disesuaikan dengan lokasi. Dengan dana tersebut, pewaralaba juga mendapatkan pelatihan operasional dan manajerial usaha, termasuk cara memilih singkong yang berkualitas baik. Bahan baku singkong diperoleh dari setiap lokasi waralaba demi menghemat biaya transportasi. Sementara itu, bumbu dasar untuk pelunak singkong dan bumbu rasa snack didatangkannya ke setiap gerai waralaba. Di setiap provinsi yang menjadi lokasi waralaba terdapat satu pewaralaba yang sekaligus menjadi pemasok bumbu ke pewaralaba lainnya di wilayah itu. Untuk menjadi pewaralaba sekaligus pemasok, total biaya yang dikenakan sebesar Rp 12 juta sampai Rp 15 juta, sesuai dengan lokasi. Untuk membuka gerai baru, komunikasi dengan para calon klien dilakukan Firman hanya lewat telepon seluler atau surat elektronik (e-mail). Awalnya, bisnis dengan pola komunikasi yang mengandalkan sarana elektronik itu menuai keraguan para calon mitra, khususnya di daerah luar Jawa. Namun, Firman mampu membuktikan, bisnis adalah sebuah kepercayaan. Kepercayaan itu diwujudkan tidak hanya dalam menjaga mutu produk dan kecepatan waktu pelayanan, melainkan mengedepankan manfaat bagi sesama. Ketepatan waktu dia buktikan dengan pembukaan gerai dalam waktu 14 hari sejak transaksi. Untuk memperluas kemitraan, ia memberi bonus bagi pemegang lisensi yang menambah mitra usaha dan agen. ”Dengan prinsip saling berbagi dengan mitra dan agen, niscaya usaha kita akan maju bersama-sama,” ucap Firman. Di setiap wilayah, singkong yang diolah rata-rata mencapai 300-500 kilogram per hari. Sejumlah 300-500 kilogram singkong itu menghasilkan 1.200 sampai 2.000 bungkus. Usaha kecil dan menengah (UKM) berpola waralaba Firman pun maju pesat. Usaha itu berkembang di 32 kabupaten dan kota, di antaranya Nunukan, Malang, Samarinda, Balikpapan, Medan, Jambi, Batam, dan Banjarmasin. Omzet total usaha berpola waralaba itu mencapai Rp 300 juta setiap bulan. Dari usahanya itu, ia mendapat tambahan modal. Dia lalu merambah bidang usaha lain seperti bisnis binatu, restoran steak, dan chicken chick’s. Ia pun tak ragu meminjam dana bank. Total karyawan yang dia pekerjakan bertambah menjadi 30 orang.
18
Untuk usahanya dalam meningkatkan nilai produk pangan, Firman mendapat penghargaan UKM Award dari Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM pada 2007. Lapangan kerja Sebelum menjadi pengusaha, Firman malang-melintang di berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, pascalulus kuliah. Anak pegawai negeri itu mulai berpikir terjun ke dunia bisnis sewaktu bertemu dengan beberapa imigran gelap asal Indonesia yang terpaksa hijrah ke negeri jiran melalui Nunukan, Kalimantan Timur, demi mendapatkan pekerjaan. ”Saya bertanya-tanya, di mana peran pemerintah untuk menyerap lapangan kerja? Kalau bukan kita yang berusaha membuka lapangan kerja, sampai kapan pun pencari kerja gelap ke luar negeri akan terus ada,” ujarnya. Sejak awal ia meyakini, dalam suatu usaha itu standardisasi sangat penting. ”Apa pun bentuk usahanya, jika dilakukan dengan standardisasi jelas, usaha itu pasti jalan,” kata anak sulung dari tiga bersaudara itu. Pola waralaba diyakininya efektif untuk membuka lapangan kerja. Konsep kemitraan menjadi pilihan dia untuk mengembangkan bisnis tanpa perlu modal besar, namun tetap bisa menyerap tenaga kerja. Memasuki tahun 2008, Firman berencana mengembangkan UKM berpola waralaba itu, terutama ke daerah luar Jawa. Ia berharap potensi singkong di luar Jawa bisa berkembang seiring peningkatan nilai tambah produk itu. Ia juga berencana menciptakan variasi produk singkong lainnya dalam bentuk dan rasa yang berbeda. Di sela kesibukan berusaha, pemuda lajang itu kerap memberikan pelatihan berbisnis untuk kelompok-kelompok mahasiswa tingkat akhir perguruan tinggi negeri dan swasta. ”Saya ingin mengajak generasi muda untuk tidak menggantungkan penghasilan pada penyedia lapangan kerja, tetapi menciptakan usaha. Modal kecil bukan halangan, yang penting kreativitas,” ucapnya.
19
Kisah Sukses Difabel Menjadi Wirausaha Kompas, Jumat, 31 Maret 2006 Evi Purwaningsih (32) hampir seumur hidupnya harus merelakan kakinya terkulai lemah karena polio. Meski demikian, hingga lulus SMEA ia selalu belajar di sekolah umum. Kenyataan hidup mengempaskannya. Saat melamar kerja, Evi selalu menerima jawaban penolakan. "Lulus SMEA saya sempat mencari kerja ke mana-mana tapi tidak ada perusahaan yang mau terima saya sebagai difabel," tuturnya beberapa waktu lalu di Solo. Tidak ingin berputus asa, tahun 1995 ia mengikuti kursus membuat tas rajut di kelurahan tempat ayahnya bekerja. Bersama para ibu PKK, hasil buatan tasnya justru yang dipilih oleh toko yang sebelumnya berjanji akan menyalurkan hasil karya peserta kursus yang dinilai layak jual. Sayang dalam perkembangannya, usaha ini surut seiring menurunnya permintaan. Evi lalu ikut kursus menjahit di Semarang selama empat bulan. Karena baru pertama kali itu menjahit padahal jadwal praktik hanya dua kali, membuatnya kesulitan mengaplikasikannya. Tahun 2000, usaha kerajinan tas mote sedang naik daun. Menuruti ajakan sang adik, Evi ikut kursus membuat kerajinan mote di toko tempatnya bekerja. Hasil kerjanya yang rapi membuat karyanya dipercaya toko itu untuk dipasarkan. Meskipun awalnya setengah terpaksa, menekuni kerajinan mote kini menjadi mata pencaharian Evi. "Saya sekarang malah kebanjiran order untuk memasang furing tas mote," kata Evi. Usahanya semakin maju berkat promosi dari mulut ke mulut. Kini ia mampu meraup penghasilan bersih tiap bulan Rp 400.000, dari hasil menyelesaikan pesanan tas mote yang diberi harga Rp 100.000-Rp 750.000. Ia juga mengajarkan kembali keterampilannya pada orang lain. (Sri Rejeki)
20
Blitar, 10 Juli 2006
Pesan Mbah Slamet, Penjual Kerupuk Singkong Dari www.p2kp.org Tung, tung, tung, tung.. Suara kentongan itu terdengar jelas di depan posko kami. Ah, rupanya Mbah Slamet melintas dengan gerobak berisi kerupuk singkong buatannya. Mbah Slamet, seorang tua renta. Ia terus berjalan sambil membawa kerupuk singkong untuk dijual. Si Mbah pernah bercerita, ia sering berjalan kaki sambil membawa gerobak tersebut dari rumahnya yang berada di Kecamatan Wonodadi, Blitar, menuju Kota Malang, hanya untuk sekedar menjual kerupuk singkong buatannya sendiri. Aku sempat terperangah, tidak percaya. Tapi, demikian kenyataannya. Mbah Slamet berjalan jauh melewati hutan belantara dan jalan berkelok-kelok yang jaraknya puluhan kilometer, hingga tiba di tempat tumpuan rejekinya, yaitu Stasiun Gadang Malang. “Kalau sampeyan pingin ketemu saya, sampeyan bisa nyari saya di Stasiun Gadang. Tanya saja ke orang-orang yang ada di sana, ‘yang namanya Mbah Slamet yang mana ya?’ pasti banyak orang yang tahu,” ujar Mbah Slamet kepadaku. Sambil berbincang dan mengorek informasi dari beliau, aku mencoba membeli dua bungkus kerupuk singkong. “Berapa Mbah, harga kerupuk ini?” tanyaku. “Seribu rupiah, Mas, per bungkusnya,” jawab Mbah Slamet. “Saya beli tiga bungkus, Mbah,” aku pun mengeluarkan uang Rp 3.000 untuk membayar kerupuk yang kubeli. Di sampingku, ada seorang ibu yang memborong sepuluh bungkus kerupuk singkong buatan Mbah Slamet. Setelah Mbah Slamet berlalu, aku pun terlibat perbincangan santai dengan ibu tadi. Membahas kerupuk singkong dan pemiliknya. “Saya kasihan Mas, melihat Mbah Slamet. Umurnya sudah tua, tapi tetap saja berjualan. Saya sering membeli kerupuk singkong Mbah Slamet, karena nggak tega melihat beliau. Tapi, saya akui Mas, kerupuk singkong buatan Mbah Slamet rasanya memang enak dan gurih. Jadi, saya sering menunggu beliau lewat untuk membeli kerupuk singkong,” tutur si ibu, lalu ia melangkah, pulang. Cerita Mbah Slamet ini benar-benar unik dan luar biasa. Sosoknya memang sudah termakan usia, tapi tidak berarti melemah dan berhenti menjalani aktivitas hidup di dunia. Kemiskinan bukan berarti melemahkan hati dan pikiran. Kemiskinan bukan berarti menggelapkan mata dan hanya bisa berpangku tangan. Justru, karena kemiskinanlah, Mbah Slamet menjadi orang yang kuat. Karena kemiskinanlah, Mbah Slamet bangkit dari ketidakberdayaannya. Beliau mengerahkan sisa tenaga di usianya yang terlampau senja untuk menyampaikan pesan kepada semua orang. “Inilah aku. Aku bukan orang yang lemah. Aku bukan orang yang bermartabat rendah. Walau usiaku sudah tua dan ajal mendekat, tidak berarti aku harus berdiam diri di rumah, berpasrah sambil menanti malaikat maut menjemput. Aku ingin di usiaku yang tua ini, masih tersisa tenaga yang bisa memberi banyak manfaat untuk keluarga dan orang-orang disekitarku.” Barangkali, itulah pesan yang disampaikan oleh Mbah Slamet kepada kita, meski tidak tersampaikan secara lisan
21
1)
22
Perjalanan beliau melakoni hidup pada usia senja yang berteman setia dengan kemiskinan dapat kita artikan sebagai pesan yang langsung menyentuh dan menusuk relung hati kita. Bahasa tubuh beliau saat menarik gerobak kerupuknya, getar bibir beliau ketika berbicara, bola mata beliau yang memutih saat menatap, kesederhanaan dan kesahajaan beliau akan menjadi bagian dari sejarah kemiskinan, dan selamanya menjadi kenangan yang paling berharga bagi kita yang tulus dan ikhlas bersahabat dengan orang miskin. (Haris Yuniarsyah, nina) Faskel Srengat, Blitar, KMW XVI Jawa Timur;
Modul 2 Topik: Praktek Sosialisasi dan FGD RK
Peserta memahami 1. Mampu memfasilitasi penyelenggaraan Refleksi Kemiskinan 2. Mampu mensosialisasikan kegiatan siklus RK
Praktek lapangan sosialisasi dan fasilitasi RK
Disesuaikan dengan waktu sosialisasi dan FGD RK tingkat komunitas
1. Bahan Bacaan Berbagai kasus kemiskinan 2. Buku Seri Siklus PNPM Mandiri Perkotaan , Panduan Dsikusi RK 3. Kartu Penggerak Diskusi Refleksi Kemiskinan 4. Lembar Balik PNPM Mandiri Perkotaan
• Kerta Plano • Metaplan • Papan Tulis , Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
23
Praktek Sosialisasi dan Fasilitasi FGD RK 1) Praktek bisa dibagi ke dalam 2 kelompok besar berdasarkan kepada kelompok minat yang sudah teridentifikasi pada saat pembahasan “Mempersiapkan Sosialisasi dan FGD RK”, bila memungkinkan masing – masing kelompok bisa dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil. Masing – masing kelompok didampingi oleh satu atau 2 orang fasilitator. 2) Pelaksanaan fasilitasi dilakukan langsung dalam kegiatan sosialisasi RK dan FGD RK tingkat komunitas basis. Pada pelaksanaan yang pertama, fasilitasi dilakukan oleh Tim Fasilitator dan Relawan mengamati prosesnya, baru pada pelaksanaan yang kedua relawan belajar memfasilitasi langsung. Sepakati terlebih dahulu siapa dari relawan yang akan memfasilitasi kegiatan, siapa yang mencatat proses, apa saja yang perlu dicatat dan sisanya menjadi pengamat. Pakailah lembar pengamatan yang ada di LK 2 – untuk masing – masing pengamat.
24
LK 2 – Lembar Pengamatan Praktek Sosialisasi dan FGD RK Lembar Pertanyaan untuk Pengamat : Pertanyaan Pemandu 1) Secara umum apakah ada yang kurang dlm simulasi tersebut ?
Komentar Pengamat
2) Apakah fasilitator/relawan mengenalkan diri, mengemukakan tujuan diskusi ? 3) Sebagai apa dan dimana fasilitator/relawan memposisikan dirinya 4) Apakah bahasa yang digunakan oleh fasilitator/relawan sesuai dengan karakteristik peserta ? 5) Apakah media bantu yang digunakan sesuai dengan karakteristik peserta? 6) Bagaimana keterampilan fasilitator/relawan dalam menggunakan media bantu? 7) Apakah semua peserta terlibat ? Siapa yang tidak cukup terlibat ? Mengapa ? 8) Apakah ada peseta yang mendominasi ? Bagaimana fasilitator/relawan mengatasi orang yang mendominasi ? 9) Apakah peserta bisa menghargai dan menerima perbedaan pendapat ? Bagaimana fasilitator/relawan mengatasi hal tersebut ? 10) Apakah fasilitator/relawan masih dominan dibandingkan dengan peserta ? 11) Apakah fasilitator/relawan cukup ramah, bisa mengembangkan suasana yang akrab dan akomodatif ? Apakah ada halhal yg tdk boleh dilakukan tapi tetap dilakukan oleh fasiitator 12) Apa saja yg dicatat oleh perekam proses
25
Modul 3 Topik: Evaluasi dan Sosialisasi Hasil RK
Peserta memahami 1. Mampu merefleksikan hal – hal yang harus diperbaiki dalam fasilitasi dan sosialisasi 2. Sosialisasi hasil RK
Kegiatan 1 : Pembahasan hasil praktek Kegiatan 2 : Pembahasan Sosialisasi hasil RK
2 JPL (90’)
1. Buku Seri Siklus PNPM Mandiri Perkotaan , Panduan Dsikusi RK 2. Kartu Penggerak Diskusi Refleksi Kemiskinan 3. Lembar Balik PNPM Mandiri Perkotaan 4. Lembar isian pengamatan praktek
• Kerta Plano • Metaplan • Papan Tulis , Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
26
Pembahasan Hasil Praktek RK 1) Setelah para relawan memfasilitasi kegiatan lakukan pertemuan untuk membahas hasilnya. Diskusikan bersama peserta : Bagaimana hasil pengamatan yang dilakukan? Apa yang sudah berjalan baik dan apa yang berjalan kurang baik? Bagaimana perasaan relawan yang memfasilitasi proses sosialisasi maupun FGD RK? Apa saja yang harus diperbaiki ke depan? 2) Berikan ulasan sebagai masukkan dari fasilitator, berikan tips – tips memfasilitasi yang sederhana. (Fasilitator dianjurkan untuk mempelajari lagi teknik fasilitasi yang sudah diberikan pada pelatihan pra tugas ) 3) Diskusikan juga bersama peserta, bahwa hasil refleksi kemiskinan pada tingkat basis ini akan dibahas dalam musyawarah RK tingkat kelurahan/desa.Penting untuk mempersiapkan wakil dari masing – masing komunitas basis untuk memaparkan hasil RK di tempat mereka pada musyawarah kelurahan/desa. 4) Selain dibahas dalam musyawarh kelurahan/desa, hasil RK juga akan dibahas dalam pertemuan Komunitas Belajar Kelurahan ( KBK) sehingga menjadi pengetahuan bagi banyak pihak yang terlibat dalam KBK. Diskusikan bersama kapan waktu pertemuan KBK untuk membahas hasil FGD RK akan dilaksanakan.
Pembahasan Sosialisasi Hasil RK 1) Jelaskan kepada peserta bahwa hasil FGD RK pada tingkat komunitas basis maupun hasil musyawarah kelurahan/desa harus diinformasikan kepada masyarakat luas. Hal ini penting karena tidak semua warga terlibat dalam kegiatan di samping itu kita harus mulai belajar memberikan informasi kepada masyarakat secara terbuka, penghargaan atas keputusan warga masyarakat, bila ada kekeliruan bisa dikoreksi bersama dan hasil kegiatan tidak dimanipulasi oleh kepentingan – kepentingan tertentu. 2) Rumuskan bersama strategi sosialisasi hasil RK yang akan dilakukan, gunakan tabel di bawah sebagai alat bantu.
27
Kelompok sasaran
Tujuan Sosialisasi
Pesan yang akan disampaikan
Media/alat
Tempat
Waktu
Penanggung jawab
Dalam memandu diskusi, tugas moderator / pemandu setidaknya dikategorikan dalam 3 hal, yaitu : • Tugas sosial; menyambut peserta, memandu perkenalan , membuat peserta merasa nyaman, mendorong suasana diskusi berjalan seimbang dan partisipatif. • Tugas administrasi; menjaga waktu diskusi, menjaga komunikasi dengan notulensi . • Tugas menggali data; mengikuti pertanyaan sesuai panduan, menjaga agar tidak melebar, menggali jawaban peserta hingga detail, memastikan setiap peserta mengeluarkan pendapat dalam diskusi. Kelompok diskusi yang membuat peserta mampu mengeluarkan pendapat dengan lancar akan membuat penggalian data lebih mudah dilakukan. Oleh karena itu, tugas pertama dari moderator adalah menciptakan suasana yang terbuka, sportif dan tidak saling menghakimi. Tujuannya adalah untuk mendorong semua peserta berbicara menyatakan pendapatnya, tapi tidak membiarkan seseorang berbicara terlalu banyak. Moderator juga bertugas untuk mendorong dan menghidupkan suasana pada saat suasana diskusi menjenuhkan, dan sebaliknya mampu mengendalikan suasana menjadi lebih tenang pada saat suasana diskusi menjadi terlalu riuh dan mengganggu jalannya diskusi. Moderator selanjutnya mendorong agar setiap peserta berani mananggapi peserta lain, mendiskusikan pendapat mereka, dan jika tidak setuju, mereka dapat saling memperdebatkan pendapat masing-masing peserta. Tetapi di sisi lain, moderator juga harus hati-hati menggali perasaan serta ide-ide peserta karena kadang-kadang pendapat seseorang bisa menimbulkan emosi peserta lainnya. Dalam situasi demikian moderator harus cepat tanggap terhadap reaksi peserta, atau merubah topik diskusi dengan melontarkan pertanyaan lain, sehingga diskusi dapat berlangsung secara alamiah. Harus diingat adalah setiap pertanyaan atau topik yang dilontarkan harus selesai digali dan dibahas secara detail.
28
Perkotaan
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya