DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya
MODUL KHUSUS FASILITATOR Pelatihan Dasar 1
Refleksi Kemiskinan
PNPM Mandiri Perkotaan
F09
Modul 1
Focus Group Discussion
1
Kegiatan 1:
Diskusi Pengertian dan Tata cara FGD
2
Kegiatan 2:
Diskusi Penyusunan Pertanyaan Panduan FGD
3
Modul 2
Konsep, Sosialisasi dan Fasilitasi RK
12
Kegiatan 1 :
Memahami Konsep dan Tujuan RK
13
Kegiatan 2 :
Diskusi Kelompok Sosialisasi Kegiatan dan Hasil RK
15
Kegiatan 3 :
Berlatih Menggunakan Media Sosialisasi RK
17
Modul 1 Topik: Focus Group Discussion (FGD)
1. Peserta memahami pengertian dan tata cara penyemenggaraan FGD 2. Peserta mampu mengembangkan panduan FGD
Kegiatan 1: Diskusi pengertian dan tata cara FGD Kegiatan 2: Diskusi penyusunan pertanyaan panduan
3 Jpl ( 135’)
Bahan Bacaan: 1. Tata Cara FGD 2.
• Kerta Plano • Kuda-kuda untuk Flip-chart • LCD • Metaplan • Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
1
Diskusi Pengertian dan Tata Cara Menyelenggarakan FGD 1) Jelaskan kita sekarang akan membahas Modul FGD dengan kegiatan belajar ke 1 yaitu Diskusi Pengertian dan Tata Cara Menyelenggarakan FGD. 2) Kemudian tanyakan kepada peserta apakah di antara mereka ada yang sudah mendengar atau bahkan melakukan FGD, sebelum mereka di PNPM Mandiir Perkotaan?.. 3) Bahas bersama melalui curah pendapat apa yang dimaksud dengan FGD dan apa perbedaannya dengan diskusi biasa atau musyawarah warga, Tuliskan tiap jawaban peserta pada kertas plano/papan tulis dan simpulkan. 4) Diskusikan dalam pleno kelas Bagi peserta hal-hal sebagai berikut : Apakah perbedaan yg hakiki antara FGD dengan diskusi/rapat biasa ? Apakah manfaat dan keterbatasan FGD ? Kapan FGD dibutuhkan/efektif ? Apakah yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan FGD, terkait dgn tim FGD, peserta, proses diskusi, dsb 5) Berikan pencerahan dengan menggunakan bahan tersebut di bawah ini
Seperti telihat dari namanya, DKT (diskusi kelompok terarah) atau FGD (focus group discussion) adalah media bagi sekelompok orang untuk mendikusikan satu topik tertentu secara relatif mendalam. Biasanya diskusi kelompok ini mencakup 7 – 12 orang peserta yang tertarik pada suatu topik atau suatu program tertentu. Di dalamnya terdapat satu orang moderator yang akan memandu peserta untuk mendiskusikan beberapa pertanyaan sesuai dengan topik yang akan dibahas. Diskusi kelompok terarah, berbeda dengan diskusi dalam musyawarah atau rembug warga karena diskusi ini merupakan metode penelitian untuk menggali persepsi, pendapat atau tanggapan sekelompok orang terhadap topik yang akan dibahas. Jadi dalam diskusi ini kita tidak mengambil kesepakatan – kesepakatan. Secara singkat FGD sebenarnya adalah teknik wawancara kelompok , jadi peran Pemandu lebih untuk menggali informasi, pendapat, persepsi, dsb dari para peserta FGD.
2
Diskusi kelompok terarah, dipakai pada waktu : Sebelum melaksanakan sebuah program untuk mengumpulkan data dan memahami permasalahan yang akan dipecahkan. Melakukan ujicoba program atau produk baru. Misalnya, kita dapat menggali pendapat dan tanggapan masyarakat terhadap materi kampanye atau program baru. Melakukan evaluasi program untuk mengevaluasi pelaksanaan dampak sebuah program. Yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan FGD
Memilih tim, pemandu dan beberapa pencatat. Memilih peserta, jenis kelompok, jumlah, dsb. Memutuskan jadwal dan tempat. Menyiapkan panduan diskusi, batasan topik, perkara terkait, pertanyaan pemandu, dsb. Melakukan diskusi, teknik wawancara, salam pembukaan, pertanyaan umum, pertanyaan pendalaman, pertanyaan penutup, menyeimbangkan peserta, mengendalikan diskusi, dsb. Mencatat acara diskusi. Menganalisis hasil Menyusun laporan, mengkaji format laporan, menyoroti temuan-temuan penting, rangkuman diskusi.
Diskusi Penyusunan Pertanyaan Panduan FGD 1) Jelaskan kepada peserta bahwa kita memasuki kegiatan ke 2 dari Modul Fasilitasi FGD, yaitu Diskusi Penyusunan Pertanyaan Pemandu FGD dan uraikan apa yang akan dicapai melalui kegiatan belajar ini, yaitu : Peserta mampu mengembangkan pertanyaan pemandu FGD dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan 2) Mintalah peserta untuk memcari pasangan (setiap pasangan terdiri dari 2 orang) . Tugaskan kepada setiap pasangan untuk mendiskusikan :
Topik – topik apa yang akan dibahas dalam FGD Refleksi Kemiskinan? Pertanyaan – pertanyaan kunci yang harus diajukan ( 5 atau 6 pertanyaan)
3) Setelah selesai diskusi berpasangan ,buat setiap 4 atau 5 pasang untuk menjadi satu kelompok. Tugaskan kepada setiap kelompok untuk mendiskuikan topik – topik dan pertanyaan kunci yang sudah dibahas dalam diskusi berpasangan tadi. Sarankan kepad meraka untuk emnuliskan hasil diskuianya dalam metaplan. Pakailah metaplan berlainan warna untuk setiap topik, dan tempelkan pada kertas plano dengan memekai selotip kertas.
3
4) Tempelkan hasil diskusi setiap kelompok, bahas bersama dalam pleno kelas. Kelompokkan topik – topik yang sama dan pertanyaan – pertanyaan kuncinya. Pemandu bisa memberikan masukkan – masukkan yang diperlukan untuk memperkaya hasil diskusi peserta. 5) Berikan penegasan prisnsip – prinsip dan tips untuk mengembangkan panduan FGD
Menentukan Topik
Diskusi kelompok terarah sebaiknya hanya menntukan satu topik utama untuk didiskusikan dengan detail.
Tentukan aspek – aspke apa saja yang perlu diangkat dan dibahas rinci.
Tuliskan terlebih dahulu 2 – 3 tujuan utama yang ingin dicapai dari diskusi untuk menenutkan topik – topiknya.
Petanyaan Panduan
4
Dirancang agar mendorong orang untuk memebrikan pendapat atau informasi dengan detail.
Dimulai dengan yang umum dan diakhiri dengan yang lebih mendalam : 1) pertanyaan pembuka biasanya 2 – 3 pertanyaan ; 2) pertanyaan umum biasanya 2 – 4 pertanyaan baru kemudian 3) pertanyaan secar mendalam dan 4) pertanyaan penutup untuk memberikan kesempatan kepada peserta megomentari topik – topik utama yang harus didiskusikan. Pertanyaan terakhir juga berguna untuk memastikan bahwa pendapat peserta sudah ditampung.
Contoh Daftar Pertanyaan kunci Masalah ekonomi Apa saja jenis kegiatan ekonomi di wilayah kita? (perdagangan, industri,perikanan, dll) Apakah warga miskin terlibat dalam kegiatan tersebut? Apakah perempuan terlibat dalam kegiatan tersebut? Apabila terlibat bagaimana kedudukannya? Apakah ada di antara kita yang menjadi buruh tani/nelayan/buruh pabrik/buruh lain? Bagaimana hubungan antara buruh dengan majikan? Bagaimana upah yang diberikan? Apabila tidak terlibat, mengapa? Apakah ada perbedaan upah antara buruh perempuan dan laki – laki? Mengapa? Apakah ada yang mempunyai usaha dagang? Dagang apa? Darimana modalnya? Bagaimana pemasarannya? Bagaimana hubungan antara juragan dengan kita? Apakah pendapatan yang dihasilkan mencukupi kebutuhan minimal kita? Apabila tidak mengapa dan Bagaimana cara mengatasinya? Apakah kita pernah memenuhi kebutuhan kita dengan cara meminjam? Apabila ya, darimana kita meminjam? Bagaimana sistem pembayarannya?
Temukan mekanisme penguasaan yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya, baik yang tersembunyi maupun yang terang–terangan . Masalah sosial Siapa saja orang–orang terpandang di wilayah kita? Bagaimana hubungan kelompok mereka dengan kita? (apakah mengarah pada toleransi, penerimaan, dominasi atau memandang rendah?) Apakah warga miskin mempunyai wadah/kelompok untuk bekerjasama? Apakah perempuan mempunyai kelompok untuk melakukan kegiatan bersama? Bagaimana keterlibatan perempuan miskin dalam kelompok tersebut? Siapakah yang menjadi pemimpin formal /informal di wilayah kita? Mengapa kita mengatakan mereka sebagai pemimpin? Bagaimana hubungan kita dengan pemimpin? Apakah mereka memperhatikan masalah dan kebutuhan kita? Apakah mereka memperjuangkan kepentingan kita? Kelompok mana saja yang mendukung pemimpin tersebut? Siapakah yang mengambil keputusan pembangunan di wilayah kita? (miskin, kaya, kelompok terhormat, tokoh, laki–laki, perempuan?) Masalah Pendidikan Bagaimana tingkat pendidikan warga di wilayah kita? Kelompok mana saja yang berpendidikan tinggi? Bagaimana dengan tingkat pendidikan perempuan dari warga miskin? Kelompok mana saja yang kurang berpendidikan? Kelompok mana saja yang tidak berpendidikan? Mengapa ada yang berpendidikan dan ada yang tidak?
5
Masalah Kesehatan Penyakit apa saja yang banyak di derita oleh warga terutama warga miskin ? Kelompok mana yang banyak menderita penyakit tersebut? Mengapa demikian? Kemana biasanya mengobati penyakit tersebut? Mengapa memilih pengobatan tersebut? Apakah hal itu menjadi masalah? Berapakah biaya pengobatan ? Darimana biayanya ? Kemana ibu hamil memeriksakan diri? Bagaimana dengan ibu – ibu hamil yang miskin? Apakah sering terjadi kematian akibat kehamilan dan kelahiran? Apa saja penyakit yang sering diderita oleh anak – anak? Apakah penyakit tersebut menyebabkan kematian? Lingkungan Bagaimana kondisi rumah warga kita? Apakah sudah layak dan sehat? Kelompok mana yang punya rumah layak huni dan tidak layak huni? Mengapa terjadi perbedaan? Darimana kita mendapatkan air bersih? Dipakai untuk keperluan apa saja air bersih itu? Apakah semua warga bisa memenuhi kebutuhan air bersih? Apabila ada yang tidak, kelompok mana saja yang bisa? Mengapa demikian? Dimanakah kita biasa mencuci, mandi dan buang air besar? Mengapa melakukan kegiatan tersebut di tempat itu? Apakah ada tempat pembuangan sampah? Kalau tidak ada, kemana membuang sampah selama ini? Apakah hal itu menjadi masalah? penanggulangan kemiskinan Apakah sudah mencoba menanggulangi keadaan kita? (upaya-upaya keluar dari kemiskinan) Kalau sudah apa hasilnya? Apabila tidak mengapa? Apakah ada pihak luar (pemerintah, lembaga lain) yang peduli dan membantu mereka untuk ke luar dari kemiskinan? Apabila ada apa bentuk dan hasilnya? Kalau berhasil apa yang menyebabkan hal itu berhasil? Kalau tidak berhasil apa yang menyebabkannya?
6
DISKUSI KELOMPOK TERARAH ( FOCUS GROUP DISCUSSION) (Diadaptasi dari bahan “Pelatihan Teknik Fasilitasi Studio Driya Media” oleh Marnia Nes) Seperti terlihat dari namanya, Focus Group Discussion atau Diskusi Kelompok Terarah adalah media bagi sekelompok orang untuk mendiskusikan satu topik tertentu secara relatif mendalam. Biasanya diskusi kelompok ini mencakup 7 – 9 orang peserta yang tertarik pada satu topik atau program tertentu. Di dalamnya terdapat seorang moderator yang akan memandu peserta untuk mendiskusikan beberapa pertanyaan sesuai dengan topik yang dibicarakan. Diskusi kelompok terarah berbeda dengan diskusi kelompok informal karena pembicaraan dalam diskusi kelompok terarah dipandu oleh moderator dan pertanyaan dan pembicaraan yang berlangsung ditulis secara cermat. Artinya, di dalam diskusi kelompok terarah seharusnya tersedia buku catatan dan atau tape recorder yang digunakan untuk membuat semacam deskripsi dan analisa setelah diskusi berakhir. Keuntungan dan Kelemahan Diskusi Kelompok Terarah Keuntungan Relatif murah Waktu yang digunakan cukup singkat Moderator relatif dapat dilakukan oleh siapa saja dengan melakukan pelatihan pendek dan mengujicobakan menjalankan diskusi Dapat digunakan untuk menggali kebiasaan, keyakinan dan penilaian dari sebuah kelompok Perhatian yang penting dan mungkin tidak hanya muncul dalam kehidupan sehari – hari, melalui diskusi kelompok ini dapat dimunculkan
Kelemahan Peserta seringkali tidak mewakili seluruh kelompok sasaran Kelompok yang terlibat mungkin sulit untuk dikendalikan Hasil dan kesimpulan diskusi dapat dipengaruhi oleh pandangan atau pendekatan dari moderator Tidak mempunyai data statistik
Meskipun Diskusi Kelompok Terarah mempunyai beberapa kelemahan, setidaknya kita dapat membatasi kelemahan tersebut dengan melakukan 2 hal : Pertama, proses diskusi kelompok terarah ini sangat tergantung pada moderator untuk memandu proses diskusi dan menganalisa hasilnya. Kelemahan – kelemahan pada diskusi kelompok terarah dapat diatasi jika sebelumnya moderator secara hati – hati menyusun pertanyaan panduan diskusi, melakukan ujicoba pertanyaan, dan secara seksama mencatat/merekam pernyataan dan reaksi yang muncul selama proses diskusi. Kedua, Seleksi dan mengumpulkan peserta mungkin dapat menyulitkan. Kita harus mempersiapkan dan menyebarkan undangan secara hati – hati agar diskusi hanya diikuti oleh orang – orang yang dapat diskusi bersama – sama. Hal itu juga untuk menghindari datangnya orang – orang yang tidak diharapkan hadir datang dan membuat suasana diskusi terganggu. Diskusi Kelompok Terarah Dapat Dipakai Pada Waktu : • Sebelum melaksanakan sebuah program untuk mengumpulkan data dan memahami permasalahan yang akan dipecahkan melalui program.
7
• •
Melakukan ujicoba program atau produk baru. Misalnya, kita dapat menggali tanggapan dan pendapat masyarakat terhadap materi kampanye atau program baru. Melakukan evaluasi program untuk mengevaluasi pelaksanaan dan dampak sebuah program.
Mempersiapkan Diskusi Kelompok Terarah Karakteristik Peserta Biasanya Diskusi Kelompok Terarah diikuti oleh 7 sampai 9 orang peserta yang berasal dari kelompok masyarakat yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai masalah yang akan dibahas. Jumlah peserta diskusi sebaiknya cukup sedikit untuk menciptakan suasana akrab dan memungkinkan setiap peserta berbicara bergiliran. Tetapi jumlah peserta juga harus cukup banyak untuk menghasilkan diskusi yang dianggap mewakili pandangan dari berbagai golongan. Oleh karena itu jumlah peserta antara 7 – 9 orang diperkirakan cukup untuk menghidupkan diskusi dan sekaligus cukup akrab untuk mendorong setiap peserta berbicara. Hal lain yang perlu diperhatikan, peserta diskusi sebaiknya berasal dari latar belakang yang relatif sama, karena biasanya akan merasa lebih nyaman dan bebas berbicara bila berada dalam kelompok yang mempunyai latar belakang yang sama. Apabila kita ingin mendapatkan informasi dari beberapa kelompok dengan latar belakang yang relatif menyolok, sebaiknya kita membuat secar terpisah. Biasanya dalam menentukan peserta , kita dapat dipandu dengan pertanyaan – pertanyaan : • Kesamaan latar belakang apa yang harus dipunyai oleh peserta diskusi ? Misalnya : apakah akan mempengaruhi hasil diskusi jika laki – laki dan perempuan disatukan untuk mendiskusikan mengenai kepemimpinan ? • •
Kelompok masyarakat apa saja yang harus hadir dalam diskusi ini ? Misalnya : ada berapa kelompok berbeda dalam masyarakat yang harus diundang dalam diskusi ? Apakah ada kelompok khusus yang seharusnya diundang dalam diskusi ?
Misalnya : apakah masyarakat pendatang musiman harus dihadirkan dalam diskusi refleksi kemiskinan ?
Catatan : Untuk mengatasi gangguan selama proses diskusi, kita dapat membawa 3 – 4 orang teman yang mungkin akan membantu kita. Bisa saja teman tersebut membantu kita untuk mengalihkan perhatian atau membuat kelompok pembicaraan secara terpisah bersama orang – orang yang tidak mempunyai kepentingan dan tidak diharapkan datang dalam diskusi.
Karakteristik Moderator Seperti yang disampaikan di atas, peran moderator sebagai pemandu diskusi sangat menentukan lancarnya proses diskusi, sehingga keterampilan moderator untuk memandu kelompok menjadi hal yang penting. Salah satu syarat yang tidak dapat ditawar adalah : moderator harus orang yang senang bekerja dalam kelompok dan menikmati berbicara dengan kelompok. Kadangkala proses diskusi berjalan lancar atau sulit dikendalikan. Oleh karena itu seorang moderator harus seseorang yang mampu berpikir dan menanggapi situasi kelompok dengan cepat. Tidak kalah pentingnya, seorang moderator harus orang yang sensitif dengan berbagai karakter peserta dan mau menyimak setiap ucapan orang lain. 8
Moderator yang baik biasanya : • Berpikir terbuka terhadap perbedaan pendapat • Ramah dan mampu mengembangkan suasana yang akrab • Tidak kaku • Mampu menguasai kelompok • Sensitif • Mempunyai empati terhadap pemikiran dan masalah yang dihadapi
Menentukan Tujuan dan Topik Diskusi Berbeda dengan survey atau interview yang mengajukan banyak pertanyaan untuk mendapatkan gambaran satu topik denga luas, diskusi kelompok terarah sebaiknya hanya menentukan satu topik utama untuk didiskusikan dengan detail. Moderator bertugas untuk memandu peserta diskusi, menggali dan membahas satu topik dengan detail. Dengan mendalami satu topik tersebut, peserta diskusi dapat mendapat pemahaman yang mendalam tentang masalah yang dihadapi. Harus diingat, setiap masalah dapat dibahas dari berbagai segi. Oleh karena itu kita harus dengan jelas menentukan terlebih dahulu aspek – aspek apa saja yang perlu diangkat dan dibahas rinci dalam diskusi. Untuk memperjelas semua itu, biasanya kita menuliskan terlebih dahulu 2 – 3 tujuan utama yang ingin kita peroleh untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan tujuan itulah, kita akan menentukan topik – topik yang akan dibicarakan dalam diskusi.
Menulis Pertanyaan Panduan Jika kita tidak dapat menuliskan sendiri, penulisan pertanyaan pemandu dapat dilakukan bersama – sama dengan orang yang tertarik dengan masalah yang akan digali atau meminta bantuan “ orang luar” yang mempunyai pengetahuan atau keterampilan melakukan penelitian. Pertanyaan pemandu dalam diskusi kelompok terarah biasanya dirancang agar mendorong orang untuk memberikan pendapat atau informasi dengan detail. Pertanyaan tersebut dapat dimulai dengan pertanyaan yang sangat umum dan diakhiri dengan pertanyaan yang lebih mendalam. Pada awal diskusi, moderator memberikan pertanyaan yang membuat peserta merasa lebih nyaman. Pertanyaan ‘terbuka’ dapat digunakan untuk mendorong orang menjawab dan mengeluarkan pendapat dalam bahasanya masing – masing. Selanjutnya, setelah suasana ‘mencair’, moderator dapat mulai melontarkan pertanyaan yang lebih mendalam pada akhir diskusi. Tetapi dalam situasi tertentu, kadang – kadang kita harus merubah skenario diskusi secara spontan. Misalnya, jika kita menghadapi kelompok yang sulit untuk berbicara terbuka, mungkin kita lebih banyak melontarkan pertanyaan umum lebih banyak sampai peserta merasa nyaman.
Contoh pertanyaan panduan : Pertanyaan pembuka : ( 2 – 3 pertanyaan)
Pertanyaan ini lebih banyak berfungsi sebagai “pemanasan” dan membuat peserta nyaman. Pertanyaan pembuka ini mengarahkan pada topik yang akan didiskusikan.
merasa
Pertanyaan umum ( 2 – 4 pertanyaan )
Pertanyaan umum dilontarkan untuk mengarahkan peserta mulai berbicara mengenai permasalahan yang akan didiskusikan secara umum.
Pertanyaan secara mendalam ( 2 – 4 pertanyaan )
Pertanyaan yang lebih detail, sulit, dan sensitif sebaiknya dilontarkan setlah peserta merasa terlibat dalam diskusi. Moderator misalnya dapat bertanya mengenai sebuah kondisi, pendapat, 9
atau ide tertentu. Semakin mendalam pertanyaan, semakin baik pula hasil yang akan didapatkan dari hasil diskusi.
Berkaitan dengan hal ini, moderator dapat menggunakan alat Bantu seperti gambar, contoh kasus, atau menuliskan pendapat masing – masing peserta. Pertanyaan terakhir ( 1 pertanyaan ) Pertanyaan terakhir dilontarkan untuk memberi kesempatan pada peserta untuk mengatakan sesuatu mengenai hasil dan pembicaraan selama diskusi. Moderator biasanya melontarkan pertanyaan untuk meminta peserta mengomentari topik – topik utama yang harus didiskusikan. Pertanyaan terakhir juga berguna untuk memastikan, bahwa semua pendapat peserta sudah ditampung.
Melaksanakan Diskusi Kelompok Terarah 1. Memperkenalkan Peserta Pada awal diskusi, moderator melakukan perkenalan yang memakan waktu beberapa menit. Setidaknya perkenalan mencakup : • Memperkenalkan moderator dan notulen • Menyampaikan tujuan diskusi • Memperkenalkan setiap peserta • Mendiskusikan beberapa “peraturan” selama diskusi berlangsung • Membuat peserta nyaman berbicara dalam kelompok 2. Memandu Diskusi Seperti yang dikatakan dia atas, moderator berperan penting dalam memandu diskusi. Keterampilan moderator dapat dikembangkan melalui latihan dan pengalaman memandu langsung. Dalam memandu diskusi, tugas moderator setidaknya dikategorikan dalam 3 hal, yaitu : • Tugas sosial; menyambut peserta, memandu perkenalan , membuat peserta merasa nyaman, mendorong suasana diskusi berjalan seimbang dan partisipatif. • Tugas administrasi; menjaga waktu diskusi, menjaga komunikasi dengan notulens . • Tugas menggali data; mengikuti pertanyaan sesuai panduan, menjaga agar tidak melebar, menggali jawaban peserta hingga detail, memastikan setiap peserta mengeluarkan pendapat dalam diskusi. Kelompok diskusi yang membuat peserta mampu mengeluarkan pendapat dengan lancar akan membuat penggalian data lebih mudah dilakukan. Oleh karena itu, tugas pertama dari moderator adalah menciptakan suasana yang terbuka, sportif dan tidak saling menghakimi. Tujuannya adalah untuk mendorong semua peserta berbicara menyatakan pendapatnya, tapi tidak membiarkan seseorang berbicara terlalu banyak. Moderator juga bertugas untuk mendorong dan menghidupkan suasana pada saat suasana diskusi menjenuhkan, dan sebaliknya mampu mengendalikan suasana menjadi menjadi lebih tenang pada saat suasana diskusi menjadi terlalu riuh dan mengganggu jalannya diskusi. Moderator selanjutnya mendorong agar setiap peserta berani menanggapi peserta lain, mendiskusikan pendapat mereka, dan jika tidak setuju, mereka dapat saling memperdebatkan pendapat masing-masing peserta. Tetapi di sisi lain, moderator juga harus hatihati menggali perasaan serta ide-ide peserta karena kadang-kadang pendapat seseorang bisa menimbulkan emosi peserta lainnya. Dalam situasi demikian moderator harus cepat tanggap terhadap reaksi peserta, atau merubah topik diskusi dengan melontarkan pertanyaan lain, sehingga diskusi dapat berlangsung secara alamiah. Harus diinga adalah setiap pertanyaan atau topik yang dilontarkan harus selesai digali dan dibahas secara detail.
10
3. Rekaman Proses Setiap diskusi sebaiknya didokumentasikan lengkap, baik tertulis maupun menggunakan alat rekaman. Notulen bertanggung jawab untuk menuliskan secara rinci diskusi dan suasana kelompok. Biasanya notulen duduk di luar lingkaran peserta, sehingga tidak mengganggu jalannya diskusi, tetapi notulen harus dapat mencatat reaksi dari peserta. Notulen harus cermat menuliskan pembicaraan dalam diskusi dan peserta yang berkomentar. Selain itu, notulen dapat membuat skema peserta berdasarkan tempat duduk untuk memudahkan identifikasi peserta yang berkomentar.
4. Analisa dan Laporan Analisa dapat dilakukan dengan cara : • Mengelompokkan setiap jawaban berdasarkan pertanyaan moderator. Dengan menuliskan setiap jawaban di bawah pertanyaan, kita dapat mengetahui berbagai pendapat dan reaksi setiap peserta terhadap suatu topik. • Menandai hal penting di dalam catatan atau transkrip. Berdasarkan data terebut, kita dapat menuliskan semacam kesimpulan mengenai pendapat dan reaksi peserta terhadap topik yang didiskusikan. Sebaiknya di dalam menulis laporan, diperhatikan beberapa hal seperti : • Tulislah laporan secara singkat kira – kira 1 atau 2 halaman saja • Memberi gambaran mengenai peserta diskusi • Menulis kesimpulan mengenai pendapat peserta terhadap topik yang didiskusikan. Menuliskan hal – hal yang mungkin dianggap mempengaruhi hasil diskusi
11
Modul 2 Topik: Konsep, Fasilitasi dan Sosialisasi RK
Peserta memahami dan menyadari: 1. Tujuan dan tahapan Refleksi Kemiskinan 2. Sosialisasi RK serta mampu menyusun bahan sosialisasi
Kegiatan 1: Memahami konsep dan tujuan RK Kegiatan 2: Diskusi kelompok sosialisasi kegiatan dan hasil RK Kegiatan 3: Berlatih menggunakan media sosialisasi RK
3 Jpl ( 135 ’)
Bahan Bacaan: 1. Buku Siklus PNPM Mandiri Perkotaan : Panduan Fasilitasi RK 2. Pedoman Teknis RK 3. Lembar balik Konsep dan Siklus PNPM Mandiri Perkotaan 4. Pedoaman Umum PNPM Mandiri Perkotaan
• Kerta Plano • Kuda-kuda untuk Flip-chart • LCD • Metaplan • Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
12
Diskusi Konsep dan Tujuan RK 1) Jelaskan bahwa kita akan membahas modul 2 yaitu mengenai Refleksi Kemiskinan. Uraikan bahwa dalam kegiatan refleksi kemiskinan metode yang digunakan adalah FGD pad atingkat komunitas basis dan musyawarah pad atingkat kelurahan/desa. 2) Kita akan mulai kegiatan dengan mendiskusikan konsep dan tata cara (SOP) RK. 3) Ajaklah peserta untuk mengingat kembali pada tahapan RK yang sudah dibahas dalam modul tata cara siklus , kemudian diskusikan bersama peserta dengan pertanyaan kunci sebagai berikut : •
Apa yang dimaksud dengan FGD Refleksi Kemiskinan?
•
Mengapa RK perlu dilakukan?
•
Apa hasil yang dihapakan dari kegiatan RK?
•
Pembelajaran nilai – nilai apa yang ada dalam RK ?
4) Setelah selesai diskusi, kemudian bagikanlah panduan fasilitasi RK yang sudah disediakan sebelumnya. Mintalah kepada peserta untuk panduan fasilitasi tersebut. Beri mereka waktu yang cukup untuk mempelajari . 5) Berdasarkan pada SOP (Pedoman Teknis) yang sudah dibahas dalam tatacara siklus dan panduan fasilitasi. Bgailah peserta ke dalam 3 kelompok kemudian minta setiap kelompok untuk membahas : (lakukan diskusi di tiga tempat yang berbeda Kelompok 1 membahas :
Siapakah penyelenggaranya RK ?
Bagaimana melibatkan kelompok perempuan dan kelompok miskin ? Materi apa yang harus disampaikan dalam kegiatan RK?
Kelompok 2 membahas : Apa yang harus dipersiapkan oleh Fasilitator? Apa peran relawan dalam RK? Kelompok 3 membahas : Apa saja agenda musyawarah RK tingkat kelurahan/desa? Apakah hasilnya FGD di komunitas basisi dan apa hasil FGD musyawarah kelurahan?
13
6) Lakukan diskusi ”komedi putar” :
Mintalah setiap kelompok untuk menunjuk satu orang anggotanya sebagai wakil kelompok yang akan menjelaskan hasil diskusi kepada kelompok lain.
Setiap kelompok yang tidak bertugas sebagai ”presenter” minta berpindah tempat , kelompok 1 pindah ke kelompok 3, kelompok 3 pindah ke kelompok 2 dan kelompok 2 pindah ke kelompok 1. Mintlalah para presenter yang sudah ditunjuk untuk memaparkan hasil diskusi kelompoknya pada para ”tamu” dari kelompok lain, para tamu dipersilahkan untuk menanggapi hasilnya.
Catat hasil kesepakatan tersebut . Lakukan putaran yang sama sekali lagi
7) Refleksikan bersama hasil diskusi dan berikan penegasan – penegasan yang diperlukan.
Refleksi Kemiskinan dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat terhadap akar penyebab masalah kemiskinan. Kesadaran kritis ini menjadi penting, karena selama ini seringkali dalam berbagai program yang menempatkan masyarakat sebagai ’objek’ seringkali masyarakat diajak untuk melakukan berbagai upaya pemecahan masalah tanpa mengetahui dan menyadari masalah yang sebenarnya (masalah dirumuskan oleh ’Orang Luar’).Kondisi tersebut menyebabkan dalam pemecahan masalah masyarakat hanya sekedar melaksanakan kehendak ’Orang Luar’ atau karena tergiur dengan ’iming – iming’ bantuan uang, bukan melaksanakan kegiatan karena benar – benar menyadari bahwa kegiatan tersebut memang bermanfaat bagi pemecahan masalah mereka.
Dalam pelaksanaannya, ada 2 hal penting yang harus dilakukan dalam Refleksi Kemiskinan, yaitu Olah Rasa dan Olah Pikir , sehingga pendalaman yang dilakukan melibatkan mental, rasa dan karsa.
Olah Pikir; Proses ini merupakan analisis kritis terhadap permasalahan kemiskinan yang dihadapi masyarakat, untuk membuka mekanisme – mekanisme yang selama ini sering tidak tergali dan tersembunyi di dalamnya. Analisa kritis terhadap permasalahan kemiskinan sering juga disebut sebagai analisa sosial, artinya mencari secara kritis hubungan sebab akibat, sampai hal –hal yang paling dalam sehingga dapat ditemukan akar permasalahan kemiskinan yang sebenarnya. Setiap kondisi,baik itu eksternal maupun internal, harus ditelusuri dan kemudian dicari hubungan sebab akibatnya dalam suatu kerangka yang logis. Dalam hal ini setiap orang yang terlibat dalam refleksi belajar untuk berpikir analitis dan logis, sehingga diharapkan tumbuh kesadaran kritis terhadap berbagai penyebab kemiskinan yang berakar pada lunturnya nilai – nilai kemanusiaan.
Olah Rasa; adalah upaya untuk merefleksikan ke dalam terutama yang menyangkut sikap dan perilaku mereka terhadap permasalahan kemiskinan. Upaya olah rasa lebih menyentuh ’hati’ masing – masing orang yang terlibat dalam proses refleksi untuk merenungkan apa yang telah diperbuat, dilakukan, sumbangan apa yang telah diberikan untuk melakukan upaya penanggulangan kemiskinan dan bagi kesejahteraan dan perbaikan hidup masyarakat. Artinya dalam olah rasa lebih menitikberatkan kepada sikap dan perilaku yang berhubungan dengan nilai – nilai luhur manusia ( memanusiakan manusia ). Diharapkan akan tumbuh kesadaran masing-masing bahwa manusia yang berdaya adalah ’Manusia yang mampu menjalankan fitrahnya sebagai manusia, manusia yang berbeda dengan makhluk lain, yaitu manusia yang mampu memberi dan mengabdikan kehidupannya untuk kesejahteraan umat manusia’.
14
Dari olah pikir dan olah rasa di atas, diharapkan cara pandang peserta yang terlibat dalam diskusi akan berubah dan berimplikasi pada :
Kesadaran bahwa seharusnya mereka tidak menjadi bagian yang menambah persoalan, tetapi merupakan bagian dari pemecahan masalah dengan cara berkehendak untuk memelihara nilai – nilai luhur kemanusiaan.
Tumbuhnya pemahaman bahwa sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai – nilai luhur, merupakan awal dari tumbuhnya modal sosial, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan pihak luar terhadap masyarakat setempat.
Tumbuhnya kesadaran untuk malakukan upaya perbaikan, yang dimulai dari diri sendiri. Sehingga setiap anggota masyarakat seharusnya mampu untuk memberikan sumbangan (baik tenaga, waktu,pikiran, ruang bagi kelompok lain untuk berpartisipasi, berdemokrasi, dsb) untuk bersama – sama menanggulangi masalah kemiskinan (baca : untuk kesejahteraan masyarakat)
Diskusi Kelompok Sosialisai Kegiatan dan Hasil RK 1) Jelaskan kepada peserta, bahwa kita akan membahas sosialisasi kegiatan dan hasil RK. 2) Bagilah peserta ke dalam 4 kelompok , dan beri tugas kelompok untuk mendiskusikan :
Kelompok 1 dan 2 mendiskusikan mengenai sosialisasi Kegiatan RK •
Apa tujuan komunikasi (sosialisasi) kegiatan RK?
•
Apa yang harus disosilisasikan? (pesan apa yang harus disampaikan)
•
Media apa yang akan digunakan?
•
Dimana akan disosilisasikan?
•
Kapan waktunya ?
•
Bagaimana agar masyarakat tertarik kepada sosialisasi yang disampaikan?
•
Siapa yang akan menyampaikan pesan (agen sosialisasi)
Kelompok 3 dan 4 mendikusikan mengenai sosialisasi hasil RK: •
Apa tujuan komunikasi sosialisasi hasil RKM ?
•
Pesan – pesan apa yang harus disampaikan ?
•
Media apa yang bisa digunakan?
•
Dimana pesan tersebut akan disampaikan?
15
•
Kapan waktunya ?
•
Bagaimana agar disampaikan?
•
Siapa yang akan menyampaikan pesan (agen sosialisasi)?
masyarakat
tertarik
kepada
sosialisasi
yang
akan
3) Mintalah wakil kelompok 1 dan kelompok 2 untuk mempresentasikan hasilnya, kemudian diskusikan bersama. 4) Kemudian mintalah kelompok 3 dan kelompok 4 untuk mempresentasikan hasilnya, dan bahas dalam diskusi kelas. 5) Refleksikan hasil diskusi bersama dan beri penegasan – penegasan oleh pemnadu dengan menggunakkan media bantu yang sudah disediakan sebagai acuan. 6) Jelaskan mengenai media sosialisasi yang disediakan oleh program untuk kegiatan RKM sebagai alat bantu fasilitator dalam memberikan infromasi kepada masyarakat. Penting ditegaskan bahwa media bantu ini adalah yang minimal bisa dipakai, mungkin fasilitator haurs mengembangkan media – medai lain yang sederhana sesuai kebutuhan dan karakteristik kelompok sasaran.
Catatan : Penting ditekankan bahwa dalam melakukan sosialisasi fasilitator harus melihat lagi hasil pemetaan yang sudah didapatkan pada tahap awal dan pengamatan selama pendampingan, terutama mengenai : o
Waktu luang masyarakat, baik laki – laki maupun perempuan
o
Tempat – tempat berkumpul masyarakat , untuk menentukan sosialisasi informal dan tempat menempel poster atau pengumuman. Informasi harus sampai juga kepada warga miskin dan perempuan, sehingga harus diperhatikan tempat menempel poster atau pengumuman yang bisa diakses oleh kedua kelompok masyarakat tersebut.
o
Orang – orang yang bisa digunakan sebagai simpul informasi, sehingga mereka bisa dijadikan agen sosialisasi dan media – medai cetakan (misal leaflet, booklet) yang terbatas diberikan kepada mereka agar pesannya bisa sampai kepada warga yang lain.
o
Media – media pertemuan warga yang bisa digunakan untuk ‘menitipkan’ pesan yang akan disampaikan. Pesan – pesan juga harus disampaikan lewat media pertemuan kaum perempuan dan warga miskin, agar mereka mendapatkan akses informasi.
Di setiap kelurahan diwajibkan untuk menyediakan papan informasi minimal di lima titik sebagai media untuk menyampaikan informasi kepada warga masyarakat dari kegiatan – kegiatan yang dilakukan. (lihat bahan bacaan : Kerangka Acuan Papan Informasi).
o o
16
Melibatkan relawan dalam sosialisasi yang dilakukan Capaian indikator sosialisasi RK (lihat dalam Media Bantu yang sudah disediakan) dan bahas bersama.
Berlatih Menggunakan Media Sosialisasi RK 1) Jelaskan kepada peserta bahwa kita akan memulai kegiatan 3 dalam modul ini yaitu berlatih menggunakan media sosialisasi RK yang sudah disediakan. 2) Mintalah kepada peserta untuk memilih salah satu media yang akan disimulasikan penggunaannya. Pilihlah 2 orang sukarelawan yang akan bertindak sebagai failitator dalam simulasi penggunaan media. Jelaskan bahwa sosialisasi ini akan dilakukan pada kelompok khusus perempuan dalam sebuah pengajian. 3) Beri kesempatan kepada yang akan memfasilitasi untuk mempelajari panduan penggunaan media yang sudah disediakan. Sementara itu bagilah peserta lain menjadi :
Lima orang sebagai pengamat proses Sosialisasi RK sebagai acuan)
(berikan LK – Pengamatan Simulasi
Lima orang menjadi ibu – ibu kaya
Tiga orang menjadi ibu – ibu tokoh masyarakat.
Satu orang sebagai provokator yang mencoba mempengaruhi yang lain untuk tidak mendukung program
Dua orang sebagai anggota PKK
Dua orang oerempuan warga miskin yang diam saja
Sisanya sebagai ibu – ibu lainnya
4) Bila sudah siap mintalah peserta untuk mulasi melakukan simulasi. Ingatkan bahwa simulasi ini bukan untuk bermain – main, akan tetapi harus dilakukan suasana santai tapi serius. 5) Setelah selesai simulasi bahas hasilnya, mintalah kepada pengamat proses untuk menyampaikan hasil pengamatan mereka; tanyakan kepada yang menjadi fasilitator apa kesulitan – kesuliatan yang dihadapi dalam memfasilitasi; tanyakan kepada yang menjadi peserta sikap apa dari fasilitator yang kurang berkenan dari fasilitator.
17
LK – Lembar Pengamatan Simulasi Sosialisasi RK Lembar Pertanyaan untuk Pengamat : Pertanyaan Pemandu 1) Secara umum apakah ada yang kurang dlm simulasi tersebut ? 2) Apakah fasilitator mengenalkan diri, mengemukakan tujuan diskusi ? 3) Sebagai apa dan dimana fasilitator memposisikan dirinya 4) Apakah bahasa yang digunakan oleh fasilitator sesuai dengan karakteristik peserta ? 5) Apakah media bantu yang digunakan sesuai dengan karakteristik peserta? 6) Bagaimana keterampilan fasilitator dalam menggunakan media bantu? 7) Apakah semua peserta terlibat ? Siapa yang tidak cukup terlibat ? Mengapa ? 8) Apakah ada peseta yang mendominasi ? Bagaimana fasilitator mengatasi orang yang mendominasi ? 9) Apakah peserta bisa menghargai dan menerima perbedaan pendapat ? Bagaimana fasilitator mengatasi hal tersebut ? 10) Apakah fasilitator masih dominan dibandingkan dengan peserta ? 11) Apakah fasilitator cukup ramah, bisa mengembangkan suasana yang akrab dan akomodatif ? Apakah ada hal-hal yg tdk boleh dilakukan tapi tetap dilakukan oleh fasiitator 12) Apa saja yg dicatat oleh perekam proses
18
Komentar Pengamat
UJI PETIK KUANTITATIF PELAKSANAAN SOSIALISASI
TAHAP REFLEKSI KEMISKINAN ”FGD RK” Kelurahan/Desa Kecamatan Kota/Kabupaten Propinsi KMW
:........................................ :........................................ :........................................ :........................................
:........................................ Jawaban
No.
Indikator Kinerja
1.
Minimal 4x Pertemuan RK tingkat RT/RW/Kelompok Komunitas
2.
Minimal 1x pertemuan sosialisasi RK/Pertemuan FGD RK di setiap/masing-masing kelompok khusus perempuan yang teridentifikasi di sosial mapping dan kelompok-kelompok perempuan yang baru terbentuk
3.
20% dari total peserta sosialisasi tahap RK adalah perempuan
4.
Minimal 10% dari total penduduk perkelurahan menjadi peserta pertemuan sosialisasi pada tahap RK
5.
25% dari total warga miskin perkelurahan mengahdiri pertemuan sosialisasi RK
6.
Minimal 1x diskusi interaktif di stasiun radio per kabupaten
Alat Verifikasi
Ya
Keterangan
Tdk
• Laporan hasil kegiatan sosialisasi • Dokumentasi foto-foto pertemuan sosialisasi (bila ada) • Absen • Berita Acara • Laporan hasil kegiatan sosialisasi • Dokumentasi foto-foto pertemuan sosialisasi (bila ada) • Absen • Berita Acara • Laporan hasil sosialisasi • Dokumentasi foto-foto (bila ada) • Laporan hasil kegiatan sosialisasi • Dokumentasi foto-foto pertemuan sosialisasi (bila ada) • Absen • Berita Acara • Laporan hasil kegiatan sosialisasi • Dokumentasi foto-foto pertemuan sosialisasi (bila ada) • Absen • Berita Acara • Kaset rekaman diskusi interaktif • Outline diskusi
19
7.
Minimal 1x penulisan berita pelaksanaan RK di koran lokal
8.
a. Minimal 15 poster tema “RK” per kelurahan dilokasi-lokasi strategis
9.
Media tersebut diatas (pertanyaan no 8) telah didistribusikan kepada : a. Lurah b. Ketua RT/RW c. Tokoh Masyarakat/tokoh agama/pemuka adat d. Tokoh Perempuan atau masing-masing kelompok yang ada e. Warga masyarakat yang menjadi sumber informasi bagi sekelompok warga lainnya f. Lainnya Minimal 2 judul VCD ditayangkan di pertemuan sosialisasi dan pertemuan RK di kelompokkelompok Masyarakat (Judul VCD: Mencari Orang Baik; Siklus P2KP; Tahap RK, dll)
10.
12.
•
•
20
Terdistribusi Media Warga berupa poster/komik/brosur/koran kampung/buletin yang dikembangkan oleh warga dengan tema: ”Kisah Sehari-hari merefleksikan kemiskinan”
• • • •
interaktif Berita acara Laporan kegiatan Klipping surat kabar Laporan hasil kegiatan sosialisasi
• Berita Acara distribusi media sosialisasi (ditanda tangani oleh aparat kelurahan, relawan dan faskel) • Dokumentasi foto-foto poster terpasang di lokasi-lokasi strategis (bila ada) • Laporan hasil kegiatan sosialisasi • Laporan hasil kegiatan sosialisasi
CAT: Sebutkan lokasilokasi pemasangan poster
• Dokumentasi foto-foto penayangan (bila ada)
CAT: Sebutkan judul VCD yang ditayangkan
• Laporan hasil kegiatan sosialisasi • Laporan hasil kegiatan • Laporan hasil kegiatan sosialisasi
Total Perolehan Jawaban : Ya
: .............................................................
Tidak
: .............................................................
Catatan Penting Hasil Uji Petik: ........................................................................................................................................................... .....................................................................................................................
Berita Utama
Kompas, Rabu, 16 Januari 2008
Krisis Harga Pedagang Gorengan Memilih Bunuh Diri Anita Yossihara Beberapa ibu rumah tangga sibuk menata kue di rumah Nuriah (40) di Kampung Cidemang, Kelurahan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Banten, Selasa (15/1) siang. Ibu-ibu itu menyiapkan makanan untuk acara doa bersama berkait meninggalnya Slamet (45), suami Nuriah. Sehari sebelumnya, suami Nuriah nekat gantung diri hingga tewas di sebuah kamar kosong di rumahnya. Jasad Slamet pertama kali ditemukan oleh istrinya yang baru pulang dari berbelanja di Pasar Badak, Pandeglang. Tubuh ayah empat anak itu sudah menggantung di tengah kamar, dengan seutas tali plastik melilit di lehernya. Sehari-hari Slamet bekerja sebagai pedagang gorengan di Pasar Badak, tepatnya di tepi Jalan Raya A Yani. Belakangan ini, kata istrinya, pendapatannya semakin menurun. Slamet tambah tertekan saat minyak tanah sulit didapat dan harganya melambung. Apalagi kenaikan harga minyak tanah bersamaan dengan melonjaknya harga sejumlah bahan pangan, seperti tepung terigu, tepung tapioka, tahu, tempe, sayuran, dan minyak goreng. Empat hari sebelum meninggal, Slamet pernah mengeluh kepada beberapa wartawan yang datang untuk menanyakan dampak kelangkaan minyak tanah dan kenaikan harga. Ia mengatakan terpaksa membeli minyak tanah dengan harga Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per liter. Setiap pagi sebelum berjualan, ia mengambil 2-3 liter minyak tanah di warung milik Enjen. Slamet baru membayar minyak tanah pada malam hari, sepulang berjualan. Namun, menurut Enjen, beberapa waktu terakhir Slamet memang mulai kesulitan membayar minyak tanah. Kondisi itu membuat Slamet merasa berat untuk melanjutkan usaha berdagang gorengan. Keluhan serupa juga pernah disampaikan Slamet kepada Ustadz Nurdin, tokoh masyarakat setempat. Nurdin menceritakan, sebelum Slamet bunuh diri, ia pernah mengeluh selalu merugi. "Modal yang dikeluarkan Rp 50.000 sehari, tetapi pendapatannya cuma Rp 35.000," katanya. Bisa jadi beban pedagang gorengan itu bertambah berat karena semua harga bahan baku gorengan melonjak. Saat ini harga minyak goreng di Pasar Badak mencapai Rp 11.500 per kilogram, harga tepung terigu menjadi Rp 7.000 per kilogram, dan harga tepung tapioka Rp 3.800 per kilogram. Harga bahan baku gorengan lain, seperti tahu dan tempe, juga naik, bahkan sulit didapat kan akibat harga kacang kedelai melonjak di pasaran. Di Pasar Badak, tempat Slamet biasa berbelanja bahan baku, tahu berukuran sedang yang sebelumnya dijual Rp 500 sekarang menjadi Rp 750 per potong. Begitu pula harga tempe berbagai ukuran, naik rata-rata Rp 500 dari harga sebelumnya.
21
Dugaan bahwa Slamet bunuh diri karena tekanan ekonomi diperkuat hasil visum di Rumah Sakit Umum Daerah Pandeglang. "Tidak ditemukan adanya bekas kekerasan fisik sehingga kasus itu murni merupakan bunuh diri. Besar kemungkinan penyebabnya adalah tekanan ekonomi," ujar Kepala Kepolisian Resor Pandeglang Ajun Komisaris Besar Mamat Surahmat. Slamet bukan satu-satunya warga masyarakat yang menjadikan gorengan sebagai tumpuan hidup sehari-hari. Ada ribuan warga yang berharap bisa melanjutkan hidup dengan berdagang gorengan. Namun, jika harga bahan baku terus melonjak, apakah tidak mungkin ada warga lain yang menjadi senekat Slamet: memilih bunuh diri karena putus asa melihat harga bahan pangan yang semakin tak terjangkau. Warteg juga terancam Di Jakarta, kemarin, sejumlah warung nasi, terutama warung tegal (warteg), diwarnai kekesalan pelanggan yang kehilangan lauk kesayangan mereka, orek (irisan kecil tempe goreng berbumbu yang dipotong memanjang, bercampur sedikit irisan cabai merah). Di lingkungan penggila warteg, orek memang hampir identik dengan warteg. Di samping murah meriah, cuma Rp 1.000-Rp 1.500, sebagai pendamping nasi, orek memang enak. "Saya sudah 35 tahun jualan nasi, tapi baru sekarang saya tak bisa menyajikan orek karena tempe menghilang dari pasar tiga hari ini," kata Mu’min, pemilik Warung Nasi Ojo Lali, yang berlokasi di Jalan Melati, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Ketika kerusuhan Mei 1998, menurut dia, tempe dijatah, masing-masing cuma dapat lima bantal tempe. "Zaman perang, zaman Bung Karno, zaman geger G30S, zaman Pak Harto, enggak pernah tempe sampai hilang seperti sekarang," katanya. Kebetulan warungnya mengandalkan tiga menu, orek, soto betawi, dan bakwan udang. Setiap hari warungnya yang buka pada pukul 10.00-20.00 menghabiskan antara lain tempe 15 bantal, tahu besar 15 potong, tahu kuning 30 potong, beras setengah kuintal, dan minyak tanah 30 liter. Karena menu orek absen, jumlah pelanggannya tiga hari belakangan berkurang, dari sekitar 250 orang setiap harinya menjadi 100 orang. "Menu lain boleh mewah, tapi enggak laku kalau enggak ada orek. Ambil orek dulu, baru menu tambahan lainnya," ucap Mu’min. "Padahal sebenarnya, meski dengan harga tinggi, kalau tempenya ada, pasti saya beli karena pelanggan saya tidak keberatan harga orek naik," katanya menambahkan. Mu’min berniat menutup warungnya kalau produk tempe dan tahu menghilang lebih dari seminggu, atau jika harga minyak tanah mencapai Rp 7.000 per liter. "Semua pemilik warteg pasti punya niat yang sama dengan saya," tuturnya. (WIN)
22
Demi Anak, Mereka Terjerat Rentenir Oleh: Khairina Okta Kurniawati (7) meronta-ronta dan menangis sekeras-kerasnya di pangkuan ibunya, Cici (41). Bocah berambut sebahu itu merajuk, minta dibelikan tas sekolah baru. Bagi Okta yang baru diterima sebagai siswa salah satu SD negeri di Kelurahan Pesawahan, Bandar Lampung, sekolah baru berarti juga baju seragam baru, tas sekolah baru, dan sepatu baru.Lho Nduk, tasnya kan masih bagus. Tuh warnanya merah sama merah jambu. Masak kayak gitu dibilang jelek sih,” ujar Cici sambil menunjuk dua tas yang baru dicuci bersih. ”Aku enggak mau Bu, aku mau beli yang baru. Tas itu sudah jelek,” kata Okta meraung. Cici yang kewalahan menenangkan anaknya terpaksa memberi uang kepada Okta Rp5.000 dengan harapan bocah itu bisa berhenti menangis.Okta wajar menangis. Menurut Cici, dua tas sekolah itu bekas pakai Puspitasari (10), kakak Okta yang kini duduk di kelas V SD. Tidak hanya tas, Okta juga memakai baju seragam dan sepatu bekas kakaknya.”Yang penting bersih, tidak harus baru. Lha wong mau bayar sekolah saja saya terpaksa pakai uang panas kok,” tutur Cici, warga Gudang Agen, Pesawahan, Teluk Betung, Bandar Lampung. Dia lantas berkisah, untuk memasukkan Okta ke sebuah SD negeri di Pesawahan, dia harus membayar Rp 150.000.Uang itu, tutur Cici, untuk membayar seragam olahraga serta dua buku paket, yakni buku Matematika dan buku Olahraga. Orangtua siswa diminta membayar uang pangkal itu paling lambat Senin (18/7) atau hari pertama masuk sekolah. Cici yang berprofesi sebagai tukang cuci keliling dengan penghasilan Rp 100.000 per bulan jelas kewalahan membayar uang sebesar itu. Apalagi suami Cici, Rusli (45), hanya bekerja sebagai pengayuh becak dengan penghasilan Rp 8.000 per hari.Utang ke rentenirCici pun terpaksa berutang kepada rentenir keliling atau yang dia sebut sebagai ”uang panas”. Bunga yang ditetapkan rentenir tersebut sebesar 30 persen dari pinjaman pokok, dengan jangka waktu sebulan. Cici, yang meminjam Rp 100.000 untuk membayar uang sekolah Okta, terpaksa harus membayar Rp 130.000 saat jatuh tempo nanti. ”Saat itu saya berharap sudah mampu membayar utang berikut bunganya. Semoga saja ada yang mau membantu,” ujar Cici.Kartisah (42) juga terpaksa berutang Rp 50.000 kepada rentenir keliling. Kartisah harus membayar uang pangkal untuk anaknya sebesar Rp 150.000.Anak kelima Kartisah, Septika Andriani (7), diterima di sekolah yang sama dengan Okta. ”Saya tidak tega. Septika lulus tes masuk SD itu. Namanya tercantum sebagai murid yang lulus tes. Padahal, banyak yang ingin sekolah di sana,” ucap Kartisah yang tidak mampu menyembunyikan rasa bangganya. Setelah Septika diterima, Kartisah pusing tujuh keliling mencari uang untuk melunasi uang pangkal sekolah Septika dan melunasi utang kepada rentenir. Utang sebesar Rp 50.000 itu kini berkembang menjadi Rp 65.000. Suami Kartisah, Amran (47), hanyalah buruh nelayan dengan penghasilan paspasan.Kesulitan keuangan juga membuat Illa (28) tidak jadi menyekolahkan Erwin (7), putra keduanya, ke SD. Illa mundur begitu mengetahui biaya pendaftaran mencapai Rp 150.000. Suami Illa, Samsudin (40), adalah buruh nelayan dengan penghasilan Rp 15.000-Rp 20.000 per hari. ”Saya bukannya enggak mau, tapi membayar Rp 150.000 itu berat sekali. Apalagi saya sudah mau melahirkan. Biarlah Erwin tahun depan saja, kalau ada rezekinya,” ujar Illa.
23
Bebas uang pangkal Pendidikan gratis yang didengung-dengungkan pemerintah nyatanya belum menjangkau Okta, Septika, Erwin, dan anak-anak buruh nelayan lainnya. Meskipun beberapa sekolah sudah menerapkan bebas uang pangkal, seperti yang dialami oleh Yadi Saputra (13), Feni Kusumawati (14), dan Saputri Oktavianingsih (14), orangtua mereka tetap harus menyiapkan sejumlah uang untuk berbagai iuran dan keperluan sekolah. Uang buku, uang lembar kerja siswa, uang komputer, uang pramuka, uang seragam sekolah, uang baju olahraga, dan uang kas kelas hanyalah sebagian dari biaya yang harus dibayar para buruh nelayan, atau mereka yang penghasilannya pas-pasan, untuk sekolah anak-anaknya.Mereka yang berpenghasilan hanya Rp 15.000-Rp 20.000 per hari juga masih harus menyisihkan sejumlah uang untuk transportasi serta jajan anak-anak tersebut. Oleh karena itu, jangan heran jika anak-anak di Gudang Agen umumnya pergi ke sekolah dengan baju seragam bekas, sepatu sekolah bekas, dan tas sekolah bekas.Buku pelajaran pun, kata Saputri, kalau bisa juga bekas agar tidak terlalu memberatkan orangtua.”Meski semua bekas, semangatnya baru. Yang penting kami ingin sekolah,” ujar Saputri yang harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer ke sekolahnya.
24
SUARA MERDEKA - SEMARANG Minggu, 17 Juli 2005 SEMARANG Persiapan Orang Tua Menyekolahkan Anak (2-Habis) Sekolah Gratis Hanya Janji-janji PERMASALAHAN biaya rupanya menjadi beban utama para orang tua siswa ketika mempersiapkan anaknya untuk sekolah. Ketika hal itu ditanyakan, jawabannya pun hampir seragam, masalah keuangan. Bu Atik (30) misalnya. Orang tua siswa ini harus menyediakan Rp 600.000 untuk anaknya yang masuk SMP negeri. Uang sebanyak itu digunakan untuk membeli buku paket baru Rp 270.000, LKS Rp 70.000, buku tulis Rp 20.000, dan tentu saja seragam baru.''Belum lagi harus membayar uang gedung yang jumlahnya jutaan. Semakin lengkap sudah beban kami," ujarnya. Biaya yang harus dikeluarkan tak hanya sampai di situ. Dia juga harus mempersiapkan sejumlah uang untuk membeli peralatan sekolah lainnya seperti tas, sepatu, dan alat tulis. "Apalagi harga tas, sepatu, dan peralatan sekolah mahal," ujarnya. Di saat seperti ini, imbuhnya, pemerintah seharusnya memperhatikan nasib orang tua yang bingung memikirkan biaya sekolah anaknya. "Pemerintah itu kalau bicara mengenai sekolah gratis kok enteng banget. Padahal orang macam kami ini juga paham kalau ingin sekolah yang bagus memang harus membayar. Tidak usah menggembar-gemborkan sekolah gratis,'' katanya.Wanita bertubuh subur ini lantas teringat dalam kampanye pemilu pilkada Kota Semarang kemarin, ketika para calon wali kota menjanjikan sekolah gratis. "Gimana nggak senang, lha wong sekolah dibayari. Namun dari waktu ke waktu, janji memang tinggal janji," tuturnya. Sebagai rakyat kecil, lanjut Ati, dirinya berharap pemerintah lebih memperhatikan kebijakan biaya pendidikan tersebut. Kendala ekonomi dan tingginya biaya sekolah juga dialami Wartini (45). Wanita beranak tiga ini mengaku tidak mempunyai uang untuk persiapan sekolah Dea Febri Mardiyanti, anaknya. Meski memusingkan masalah biaya, dia merasa bahagia. Sebab anak ketiganya itu diterima di SMPN 1 Semarang.I Ingin Menangis Wanita yang bekerja sebagai pedagang ayam tersebut mengaku bebannya bertambah saat tahun ajaran baru ini. Sebab pada waktu yang sama, ketiga anaknya membutuhkan biaya untuk masuk sekolah. Anak yang pertama naik ke kelas III di STM Perkapalan dan anak keduanya diterima di SMAN 8. "Rasanya ingin menjerit dan menangis. Namun demi kelangsungan sekolah anak saya, apa pun akan saya lakukan," kata wanita yang mempunyai tahi lalat di atas alis ini. Bekerja sebagai seorang penjual ayam, tentu saja warga Jalan Dorowati IV RT 3 RW 9 Kelurahan Krobokan Semarang Barat ini kelabakan ketika mengetahui jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk sekolah tiga anaknya. Dia harus mengeluarkan biaya paling tidak Rp 3 juta. Kondisi keuangan yang sangat minim itu membuat dia berharap pihak sekolah mengerti kesusahan yang dirasakannya.Tentu tak semua orang tua siswa kesulitan masalah biaya sekolah anaknya. Salah satunya H Andi Mubandi SH, pria yang menjabat Manajer Perum Pegadaian Kecamatan Kripik, Demak ini sudah merasa senang ketika melihat Hilda Fitriana Rahmawati Putri (15), putri keduanya diterima di SMAN 1 Semarang. Bahkan ketika sang anak berencana kos di Kota Semarang, Andi pun tak keberatan. "Mau 25
bagaimana lagi, tempat tinggal kami kan di Demak, sedangkan anak kami sekolah di Semarang. Kasihan kalau dilaju, terlalu jauh," ujarnya. (Fahmi Z M, Widodo Prasetyo-18m)
26
Abdul Rahman Tukiman Page view: 93 times
Added by: PlasaWaralaba Bocah gunung yang satu ini masa kecilnya dijalani dengan kemiskinan. Beruntung, dari usaha berdagang bakso malang ia kini mejadi pengusaha sukses. Masa kecilnya dilalui di suatu dusun kecil yaitu desa Sumurup, Kecamatan Bendungan, Trenggalek, Jawa timur. Desa itu boleh dibilang secara ekonomi kurang maju. Selain karena terpencil juga kondisi alam sekitarnya yang berbukit batu dan gersang sehingga kurang menguntungkan bagi pertanian. Namun ditengah serba tidak menyenangkan tersebut, menumbuhkan jiwa tangguh, tahan menderita, tidak mudah mengeluh dan tidak pernah mau menyerah dalam diri seoarang anak yang bernama Abdul Rahman Tukiman. Dilahirkan pada tanggal 4 April 1961 dari pasangan Bapak Saimun dan Ibu Paijem ini, masa kecil Abdul Rahman Tukiman bisa dibilang dilalui dengan cukup berat. Pasalnya, meski orang tuanya memiliki sawah ladang yang cukup luas namun sejak usia 9 tahun ia sudah menjadi anak yatim. Otomatis, sawah ladang yang luas itu pun menjadi semakin seperti tidak bertuan karena tidak ada yang mengelola. Sementara, kakak, adik dan ibunya masih tetap harus makan dan bertumpu pada hasil sawah ladang tersebut. Tidak ada jalan lain, akhirnya untuk menyambung hidup terpaksa petak demi petak sawah telah habis digadaikan. Akibatnya, kehidupan keluarga ini menjadi tidak menentu dan semakin terpuruk dari waktu ke waktu. Namun kegetiran tersebut tidak lantas terus diratapi olah Cak Man begitu sapaan akrab Abdul Rahman Tukiman. Justru menjadi cambuk. Seiring usianya beranjak ramaja, berbekal tekad yang kuat anak ke 5 dari 8 bersaudara ini kemudian terlecut hatinya untuk keluar dari kemiskinan dengan meninggalkan desa tercinta untuk mengadu nasib di kota. Waktu itu ia belum tahu mau pergi ke kota mana, apalagi uang saku yang dikumpulkan juga kurang. Dalam kondisi yang hampir putus asa, nasib baik pun datang. Tiba-tiba ada seorang pengusaha Bakso bernama Bapak Sumaji tengah mencari pemuda desa untuk diajak bekerja di Malang. Mendengar itu Cak Man tanpa pikir panjang pekerjaannya lantas menyambut tawaran tersebut.
27
Berdagang Bakso. Meski terasa berat meninggalkan Ibu dan keluarganya, langkah Cak Man tetap mantap untuk bekerja di Kota. Pertama menginjakkan kaki di Malang, semua pekerjaan dilakoninya. Mulai dari membantu memasak bakso, mencuci peralatan masak sampai menyiapkan bakso di rombong/gerobak-bakso yang akan dibawa juragannya berjualan keliling. Lama-lama pekerjaan itu membosankannya, akhirnya ia pun berniat untuk ikut jualan Bakso keliling juga. “Pertama kali jualan tahun 1980 ketika masih berusia 19 tahun. senang banget rasanya,” kisahnya. Tidak diduga, hasil jualan Baksonya ternyata laris manis. Alhasil, sejak saat itu berjualan-bakso, menjadi hari-hari yang terasa indah baginya karena pendapatannya melebihi apa yang didapatkan ketika masih membantu mencari kayu di desa. Setelah melewati masa-masa susah dan senang berjualan bakso ditambah pengalaman ikut bersama 3 juragan, terpikir dalam hati Cak Man untuk berjualan sendiri. Karena setelah dihitunghitung ternyata berjualan sendiri bakso sangat menguntungkan. Namun sekali lagi, semua terbentur modal. Waktu itu Cak Man tidak memiliki uang sama sekali untuk modal usaha. Baru pada 1984, bermodalkan hasil tabungannya selama 2 tahun sebesar Rp 77 ribu, Cak Man memberanikan diri membuka warung bakso. “mulailah tahun itu saya berjualan bakso sendiri,” ujarnya. Prinsipnya pada waktu itu sederhana,
“Seperti orang belajar silat,” katanya. Berbekal
pengalaman bekerja pada 3 juragan bakso yang masing-masing memiliki jurus andalan, tentunya ia juga bisa uga memiliki jurus ampuh yang merupakan penggabungan dari ketiga jurus andalan 3 pendekar tersebut. “Dengan mengkombinasikan kelebihan dari 3 juragan tersebut, saya yakin bahwa bakso buatannya menjadi jauh lebih unggul dan digemari masyarakat,” imbuhnya lagi. Seperti halnya usaha-usaha lainnya, pada hari-hari pertama diwarnai ketidak-menentuan, hari ini ramai, hari berikutnya sepi. Menghadapi kondisi seperti ini, bukan malah menyurutkan hati Cak Man untuk berhenti berjualan tetapi makin menambah semangatnya untuk bagaimana membuat baksonya enak dimata pelanggan. Sukses Digenggaman. Kerja keras dan keuletannya membuahkan hasil. Warung baksonya setiap hari dibanjiri pelanggan. Cabang-cabang lain pun kemudian didirikannya. Kesuksesan lambat laun diraihnya Cak Man. Sampai akhirnya ia memfranchisekan usahanya dan pada Februari 2007 mendirikan PT Kota Jaya, untuk mengurusi manajemen usaha baksonya agar lebih modern.
28
Hebatnya lagi, kini setelah 23 tahun usaha baksonya berjalan, ia telah memiliki 57 buah gerai dan mampu menyerap ratusan tenaga kerja. Dengan asumsi setiap gerai mempekerjakan 16 karyawan (di luar pemilik gerai), maka dengan 60 gerai yang ada saat ini, wong ndeso Cak Man mampu menampung jumlah tenaga kerja sebanyak : 57 x 16 = 960 orang. Tidak hanya itu, kemana-mana ia kini sudah tidak lagi jalan kaki atau naik sepeda onthel. Ia sudah bisa naik mobil mewah lengkap dengan driver yang selalu siap mengantar kemana ia pergi. Rumahnya pun sangat besar terdiri dari dua lantai seluas 1000 m2. Istrinya adalah Hj. Mariyah Maryatun. Anak pertamanya, Andik Purwanto sedang menyelesaikan kuliahnya di FIA, Universitas Brawijaya, Malang. Anak kedua, Yuli Nur Avianti yang masih duduk di bangku SLTA, dan anak ketika Cantika Putri Rahmadani masih balita. Meski semua telah diraih, Cak Man tak lantas lupa dengan asal muasalnya yang wong ndeso dan katro. Ia masih rendah hati dan santun terhadap siapapun. Cak Man mengakui, selama merintis usaha banyak hal berkesan yang pernah dialaminya, terutama pada tahun 1990 – 2000. Contohnya,
pada 1993 ia dari hasil jualan bakso ia berhasil
membeli mobil bekas buatan tahun 1986. Namun karena rumahnya masih di dalam gang kecil, maka setiap malam ia terpaksa tidur di dalam mobil sambil menunggu mobilnya yang diparkir di tepi jalan. Disamping itu, ia juga berhasil membuka gerai baru di Jl. Ciliwung, Jl. Mayjen Wiyono dan di beberapa tempat lain di kotamadya Malang. Darisinilah akhirnya mendudukkan Cak Man dengan Bakso Kotanya sebagai pedagang bakso-malang papan atas yang memiliki gerai terbanyak. Tidak hanya itu, Cak Man kemudian juga mampu membeli rumah di Jl. Kedawung II/11. Rumah baru tersebut disamping sebagai tempat tinggal juga sebagai tempat memasak dan penampungan para karyawannya. Meski berasal dari desa di lereng gunung, Cak Man memiliki visi ke depan yang sangat kuat. Cak Man berkeyakinan bahwa setiap orang harus punya cita-cita dan untuk menggapainya perlu usaha yang sungguh-sungguh dibarengi dengan kemauan belajar kepada siapapun. “Kunci saya membangun usaha hingga sebesar adalah senantiasa meningkatkan mutu dan layanan, membuat inovasi baru (semula hanya 6 varian saat ini sudah 22 varian), sering mengikuti kegiatan pelatihan, mematenkan merek dagang dan menerapkan manajemen modern,” ujarnya.
29
Lebih dari itu yang tak kalah penting dan selalu dipegang teguh Cak Man adalah selalu berpikir untuk jangka panjang. “Dahulu kalau hanya berjualan bakso tradisional, saya tidak perlu melakukan macam-macam. Sekarang, tidak bisa diam begitu saja. Sekarang, Bakso Kota Cak Man sudah memposisikan diri sebagai salah satu resto cepat saji asli Indonesia yang berjuang untuk dapat bersaing dengan resto cepat saji mancanegara seperti KFC, McDonald, Hoka-hoka Bento dan lain sebagainya. Jadi, saya harus berbenah diri untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan,” terangnya.#
30
Dr. H. Zainudin, SH, MH, MM, Cerita Sukses Si Tukang Cuci Mobil [23/04/2007, 11:12:30]
Tukang Cuci Mobil (TCM) bisa jadi dipandang remeh oleh sebagian orang. Namun, dengan profesi yang sederhana itu, Zainudin melangkah menapaki jejak kesuksesan sebagai salesmen. Dr, H, Zainudin, SH, MH, MM telah menulis lebih dari sepuluh buku, diantaranya tentang kunci sukses, kepimimpinan, bisnis, manajemen dan penjualan. Zainudin adalah seorang praktisi professional, direktur bisnis, trainer, pedagang, politisi, dan (tentu saja) penulis. Di samping itu, ia juga adalah pendidik (dosen) di beberapa perguruan tinggi swasta pada program S1 dan S2. Sebuah buku Zainudin yang terbilang laris adalah Kiat-kiat Sukses Menjual (Zenco Publisher: Jakarta. 2004). Pokok-pokok pikirari Zainudin dalam buku itu dinilai sangat baik untuk dipelajari oleh siapa saja yang ingin menjadi sukses di dalam menjual. Menjual rnerupakan pekerjaan sulit-sulit mudah. Sulit bagi yang tidak memiliki kemauan dan kiatkiat dalam berjualan, dan mudah bagi yang punya kemauan keras dan kiat-kiat yang jitu. Zainudin sendiri bukan hanya pandai menulis buku tentang bagaimana menjual, tapi juga adalah pribadi yang rnerupakan salah satu di antara sekian banyak orang yang berhasil di dalam menjuai. Keberhasilan Zainudin dalam menjual itu kemudian ditulisnya sebagai ilmu yang dibagi kepada masyarakat tuas. Atau; dengan kata lain, semua yang tertuang di dalam buku Kiat-Kial Sukses Menjual itu rnerupakan hal nyata yang dialami sendiri oleh Zainudin. Jadi bukan hanya teori ′menjual′ semata melainkan pernah dan sudah dipraktikkan datam kehidupan sehari-hari. Tentang kesuksesannya itu, Zainudin rnengaku dimulai dari nol. "Bukan nol sembarang nol, melainkan nol besar," tegasnya. Cita-cita untuk menjadi orang sukses telah menuntunnya menjadi pengusaha sukses seperti saat ini. Jodoh Dengan TCM Cerita sukses Zainudin berawal dari Lampung. Sejak remaja, ia sudah bercita-cita menjadi pengusaha. Sayangnya, ia beranggapan Lampung tidak bisa memberinya peluang untuk merealisasikan cita-citanya itu. "Ketika itu saya berpendapat, di Lampung kehidupan saya tidak bisa berubah untuk menjadi seorang pengusaha," tandasnya, Karena itu Zainudin bertekad meninggalkan Lampung dan hijrah ke Jakarta, meski di ibukota negara ini ia tidak memiliki sanak saudara. Zainudin lahir pada 12 Januari 1965 di Lampung. Masa kecilnya dilalui di kota kelahirannya. Setelah menyelesaikan SMP di Penengahan, Lampung Selatan, Zainudin kecil mulai memupuk tekadnya menjadi orang sukses, Untuk itu ia harus memilih jalan hijrah ke Jakarta. "Ketika meninggalkan Lampung, saya selalu berucap dalam.dada, "Aku harus berhasil, aku harus berhasil, dan tidak akan keinbali sebelum berhasil," kenang Zainudin. Di Jakarta, Zainudin remaja berkesempatan belajar di SMA Negeri 53 Jakarta Timur. Meski sedang bersekolah, Zainudin remaja merasa bagai ayam yang kehilangan induk. Betapa tidak, ia tertegun menyaksikan kesibukan kota metropolitan ini. "Aku harus berbuat apa?" kata Zainudin mengenang kegalauan hatinya ketika itu Dalam kebingunan itu, Zainudin beruntung
31
mengingat akan tujuan utamanya datang ke Jakarta. Karena itu, ia harus bekerja. "Pekerjaan apa saja yang menghasilkan uang asalkan halal, akan saya kerjakan” kata Zainudin. Berangkat dari tekad itu, Zainudin akhirnya menemukan "jodoh" pertamanya sebagai TCM alias Tukang Cuci Mobil Zainudin mengaku berprofesi sebagai TCM adalah lembaran baru hidupnya. Karena itu ia sangat menikmati pekerjaan tersebut Sekian larna menjalani hidup sebagai TCM, ternyata tanda-tanda kehidupan belum nampak. Apalagi kini ia mulai memasuki dunia pendidikan tinggi. Keinginan untuk mengubah hidup ke arah yang lebih baik pun selalu terbayang dalam benaknya. Pada suatu ketika seusai mencuci mobil. sambil menunggu "klien" baru, Zainudin duduk bersama temannya yang kebetulan saat itu sedang membaca koran. Secara tidak sengaja Zainudin membuka kolom info pekerjaan, dan secara tidak sadar pula ia melihat info pekerjaan untuk menjadi sates. Karena tawaran yang sangat menggiurkan dengan janji mampu menghasilkan gaji sekian juta setiap bulannya, Zainudin yang belum pernah memegang uang jutaan rupiah, mulai tergiur dan berusaha mencari alamat kantor sales tersebut. Menjelang pagi sehabis shalat subuh, mandi, dan berpakaian rapi, berjalanlah Zainudin rnenuju alamat kantor penjualan yang tercantum dalam koran itu. Tak disangka, Zainudin diterima sebagai salesman. Suatu kebanggan baru kini bertengger di pundak pemuda Zainudin. Bagi Zainudin, pekerjaan baru ini adalah pintu gerbang menuju cita-cita yang sempat terpendam selama ia menjalani profesi TCM. la yakin, pekerjaan barunya ini akan mengantarnya ke kursi pengusaha, Dengan penampilan bersih, rapi, berwibawa, sopan, mudah bergaul (banyak teman), gigih, tidak mudah putus asa, dan sabar, pekerjaannya sebagai sales dijalani dan ditekuni selama kurang lebih 15 tahun. Selama kurun waktu ini, profesi salesmen telah membawa hasil yang sangat memuaskan bagi Zainudin, Bahkan profesi itu juga telah mengantarkan dirinya meraih gelar keserjanaan di Universitas Ibnu Khaldun Jakarta. Zainudin mampu menjual barang setiap hari melebihi target standar yang di tetapkaan oleh perusahaannya. Kelebinan uang yang diperoleh dari hasil penjuaian ditabung. Dari hasil tabungan, ia mernberanikan diri untuk membayar barang milik perusahaan dengan bayaran kontan, Kemudian Zainudin menjual dengan sistem kredit pada para pelanggannya. Jadi setiap hah, di samping menjual barang perusahaan, ia juga rnenjuai barang pribadi, "Bisa dikatakan, satu kali jalan beribu pulau yang terlampaui," tukas Zainudin. Omset penjualan perusahaan pun semakin hari semakin besar, dan kepercayaan pimpinan kepada Zainudin semakin bertambah. Karena prestasinya yang bagus ini, pimpinan perusahaan menawarkan kepada Zainudin jabatan baru sebagai kepala cabang. Sebagai kepala cabang, Zainudin tentu memiliki penghasilan tetap dari gaji. la kini sudah menjadi "orang kantoran", sesuatu yang pernah mampir dalam cita-citanya. Kalau dulu ia menilai menjadi pegawai negeri yang berkantor itu enak, kini ia sudah merasakannya. Bedanya, jika di kantor pemerintah memakai seragam yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat, kini ia juga mengguna-kan seragam tapi bebas, berdasi, berjas, dan dandanan rapi. Karena gigih dan jujur sebagai kepala cabang, ba-nyak pelanggan yang senang membeli barangbarang yang dijual Zainudin. Meman-faatkan kesempatan baik, ia melanjutkan kiat yang telah dilakukannya ketika menjadi salesman, yaitu membeli barang perusahaan secara cash dengan harga murah kemudian dijual secara kre--. dit. Bedanya, kini jumlahnya.; lebih besar. Ternyata usaha-ini berhasil dan Zainudin mulai merekrut orang untuk memperkuat jaringan pemasarannya.
32
Perkernbangan berikutnya, Zainudin mampu mendirikan perusahaan sendiri,.Jadi, selain bekerja sebagai kepala cabang pada perusahaan orang lain, Zainudin juga menjadi direktur pada perusahaannya sendiri. Hingga saat ini, PI Nadia Tamaraya Group yang dipimpinnya memiliki beberapa cabang marketing di Jakarta, Subang, Bandung, Bogor, dan Semarang. Dan dalam beberapa tahun ke depan Zainudin berkeinginan untuk melakukan ekspansi perusahaan ke berbagai wilayah lain di tanah air Indonesia. Impian menjadi orang sukses kini telah berada dalam genggam suami dari Utami Sumiyatin dan ayah dari Randy Zanata dan Nadia Cindy Zanata Ini. Bahkan, Zainudin tidak hanya meraih kesuskesan dalam bidang menjual, tapi juga dalam bidang lainnya. Misalnya, ia mendapat kesempatan menempuh pendidikan ke jenjang tertinggi di luar negeri, menjadi pengurus beberapa organisasi profesi dan LSM. Demikian pula dalam bidang politik, Zainudin telah berhasil menduduki jabatan penting dalam tubuh sebuah partai politik yang memenangkan pemilu 2004 yang baru lalu. Sumber : Republika.co.id
33
KISAH NEGERI PENUH WABAH ( Dikutip dari “ Orang Miskin Dilarang Sakit , Eko Prasetyo)
PUKULAN BIAYA KESEHATAN Ujung dari persoalan ini adalah mahalnya biaya kesehatan. Pemerintah, berdasar Undang-undang No. 45 tahun 1999 pasal 32, punya kewajiban membayar sebagian dari iuran layanan kesehatan (Akses), untuk mereka yang PNS (Pegawai Negeri Sipil), dan kartu sehat. Tapi bukti kartu akses maupun kartu sehat tidak mampu mengikuti gerak kenaikan ongkos kesehatan yang jauh lebih cepat. Demikian pula, kendati gaji pegawai negeri naik tiap tahun, tetapi tarif pelayanan kesehatan rumah sakit jauh lebih tinggi kenaikannya, berkisar 25 hingga 75 persen . Apalagi kebijakan kenaikan tarif pelayanan untuk kelas I, II dan VIP yang juga disetujui oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Beban penduduk untuk menyangga biaya pelayanan kesehatan jauh lebih berat saat-saat ini. Sebagai gambaran mudahnya, pada 1995 biaya rawat inap di rumah sakit selama lima hari dapat menghabiskan 1,4 kali rata-rata pendapatan sebulan penduduk Jakarta. Namun di tuahun 1998, tariff itu sudah melonjak 2,7 kali10. Coba hitung berapa banyak pendapatan rumah tangga tersedot untuk membayar perawatan rumah sakit. Efek-efek mengerikan dari kekacauan itu semua ialah semakin menjalarnya wabah-wabah pembawa maut. Tuberkolesis (TB) misalnya, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari setengah juta rakyat Indonesia terserang tuberkolesis, Di negeri wabah ini, TB bekerja dengan pasti dan membunuh 1 orang setiap empat menitnya. Setiap tahun TB menumpas 140 ribu nyawa rakyat Indonesia. Prestasi Indonesia hanya bias dikalahkan oleh India karena 1,8 juta orang penduduknya menderita TB serta Cina yang 1,5 juta penduduknya mengalami nasip serupa11. Sebenarnya pemerintah telah merancang program pengobatan gratis buat penderita TB khususnya di desa-desa. Namun program ini hingga kini belum dijalankan oleh semua instrumen pemerintah daerah. Di Indonesia angka angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) per tahun terus menurun. Tetapi jumlah tersebut masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. AKB di Indonesia tercatat 68 jiwa per 1000 kalahiran hidup pada tahun 1991 dan menurun menjadi 35 jiwa per 1000 kelahiran pada tahun 2002. Rasio yang hampir sama pada AKI yaitu, dari 390 jiwa per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994, turun menjadi 307 jiwa per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 200312. Semuanya itu memang berkaitan dengan status gizi dan kemiskinan. Bagi keluarga-keluarga yang termasuk dalam golongan miskin secara absolut,dengan penghasilan tidak melebihi 2 golongan AS per hari, sudah sangat sulit untuk memperoleh makanan yang memenuhi persyaratan gizi. Alih-alih untuk memenuhi biaya pelayanan kesehatan yang masih sangat jauh dari jangkauan mereka. Hal yang sama buruknya menimpa para penderita kanker yang tarif pengobatannya masih amat sangat mahal. Padahal, di Indonesia setiap tahun tercatat tak kurang dari 11.000 anak penderita akibat serangan tumor ganas. Bahkan menurut banyak pengamat, kira-kira 10 % dari total kematian anak-anak di sebabkan oleh kanker yang menyerang mereka. Di RSCM Jakarta saja, diperkirakan 25-30% anak-anak menderita leukemia. Kondisi ini sama terjadi di RS sardjito, Yogyakarta sejumlah, 262 atau 58% anak-anak penderita kanker adalah leukemia. Sisanya terjangkit tumor otak, kanker tulang, kanker saraf, kanker ginjal dan kanker otot.
34
Untuk mengobati satu macam kanker saja, diperlukan biaya antara Rp 10 hingga Rp 15 juta. Angka tersebut sudah dianggap relatif murah dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Dulu rumah sakit di Indonesia menerapkan pembiayaan pelayanannya dengan standar luar negeri, hingga tiap pasien bisa kena biaya sekitar Rp 70 juta13. Standar pengobatan yang dijalankan secara international tentu akan membawa kerugian bagi masyrakat yang tinggal di negara-negara miskin. Menyebarnya wabah juga bersangkut paut dengan taraf perekonomian suatu masyarakat.
PEMERINTAH TAHU NGGAK SIH SOAL KESEHATAN?! Kekuasaan selalu membuahkan penindasan Repotnya kemenangan selalu berbuah kekuasaan (Anton Chekov)
Di sinilah pentingnya kebijakan pemerintah, terutama dalam mennggulangi virus yang terjangkit di suatu kawasan. Virus yang menjalar disuatu kawasan populasi banyak dipengaruhi oleh perubahan yang berlangsung di lingkungan itu sendiri. Sebut saja infeksi antraks yang pernahmenyebar luas di 11 provinsi; Sumatra Barat, Jambi, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Papua, serta 36 kabupaten/kota madya di Indonesia14. Epidemi ini memang sampai sekarang belum bisa dibasmi sampai tuntas. Tapi untuk melakukan pencegahan diperlukan tindakan yang lebih aktif dari pemerintah. Apalagi penyebaran kuman antraks erat berkait dengan bisnis peternakan yang dikelola oleh sejumlah orang. Dalam kasus usaha peternakan yang dijalankan ditengah-tengah pemukiman penduduk, seharusnya dinas kesehatan selalu memberikan informasi serta mendeteksi perkembangan kesehatan warga di sekitarnya. Tanggung jawab yang serupa juga mestinya dibebankan pada pengusaha peternakan. Artinya setiap sektor bisnis wajib meikul tanggung jawab apabila usahanya menimnbulkan efek-efek bagi kesehatan dan akhirnya keselamatan warga lainnya. Dalam upaya pencegahannya, pihak dinas kesehatan juga harus melakukan dengan berbasis pada fakta atau bukti-bukti nyata. Ada beberapa kasus dimana tindakan pencegahan atas suatu wabah justru menimbulkan resiko kesehatan bagi sejumlah orang. Contohnya pada kasus program gebrak malaria, dimana petugas kesehatan membagi-bagikan obat malaria gratis di kawasan-kawasan yang rawan malaria. Kala itu adal delapan desa di daerah Magelang yang secara gratis menerima obat malaria klorokuin dan primakuin. Petugas kesehatan yang membagikannya memukul rata dosis penggunannya sebanyak tiga hari bagi segala kelompok usia:3-2-1 untuk klorokiun dan 2-10,5 untuk primakuin. Tak ada penjelasan terperinci mengenai efek samping obat dan petugas hanya menekankan kalau ibu hamil hanya boleh minum pil klorokuin. Tak sangka-sangka, semua penduduk yang menerima obat terserang mual, muntah, pusing sehabis menenggak pil malaria mereka. Puncaknya ada ibu hamil ada ibu yang keguguran gara-gara minum obat tersebut. Resiko yang diterima penduduk ini, selain karena kurangnya informasi juga karena petugas tidak mencari kepastian tentang apa yang sudah ada dalam tubuh pasien. Semestinya petugas kesehatan mencari kepastian hal-hal itu misalnya dengan memeriksa darah pasien. Setelah dipastikan darahnya positif mengandung parasit pemicu malaria yang tersebar melalui gigitan nyamuk yang disebut dengan plasmodium SP barulah kedua pil itu dapat diberikan.15 LAGI-LAGI PENDUDUK MISKIN KORBANNYA!
Kemiskinan adalah musuh nomor satu manusia Satu kemiskinan dapat menyebabkan sejuta bahaya (Hendrik Ibsen)
35
Selain daripada itu, adalah penting melibatkan aparat pemerintah yang lain dalam mengusurus kesehatan. Pasalnya, tiap bentuk kebijakan pembangunan kerapkali memiliki dampak bagi kesehatan penduduk. Contohnya, kawasan yang dilalui jalur kabel listrik tegangan tingi ternyata memiliki resiko pada kesehatan penduduk. Desa Ciseeng, Bogor, adalah contoh bagaimana penduduk mengalami gangguan kesehatan sejak kawat-kawat listrik bertegangan 500 kilovolt mulai dipancangkan di sana. Gangguannya berupa macam-macam; mulai keluhan disekitar tubuh, bayi lahir cacat, hingga gangguan mental.Memang salah satu hasil riset kesehatan menuturkan bagaimana penduduk yang tinggal didekat jaringan listrik bertegangan tinggi memiliki tingkat resiko kematian yang lebih tinggi akibat leukimia. Resiko kematian mereka 2-3 kali lipat lebih besar daripada penduduk yang hidup jauh dari kawat itu. Salah satu riset juga menyatakan bagaimana gangguan medan listrik dapat mempengaruhi hormon melatonin. Hormon ini diproduksi oleh kelenjar pineal di otak dan punya berjasa besar mencegah kanker serta merangsang sistem kekebalan tubuh. Dan berkurangnya produksi melatonin akan mendongkrak kemunculan kanker payudara dan kanker prostat. Situasi sama buruknya juga terjadi di lingkungan penjara yang lemah dari segi pengawasannya. Paling tidak ada dua survei yang pernah dilakukan perihal soal kesehatan dilingkungan penjara. Survey pertama, dilakukan di akhir tahun 2000 dengan mengambilsample darah milik para napi. Terdapat 37 dari 180 sample darah napi di lembaga pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar, Bali, terbukti positif mengandung virus HIV. Survey kedua dilakukan oleh SUB-DINAS Kesehatan Jakarta Pusat atas para napi di Rrumah Tahanan (Rutan) Salemba. Hasilnya, tercatat 22% atau 44 dari 200 sample darah dari sana yang terbukti positif mengandung HIV. Situasi yang logis, dengan anggaran hanya Rp 3.500 per hari untuk tiap tahanan dengan pos kesehatan yang hanya dua hari sekali membuat napi sangat rentah terhadap serangan penyakit. Minimnya pengawasan membikin penjara jadi tempat yang nikmat untuk melakukan aktivitas yang rawan penyakit, seperti kegiatan seks antar lelaki kemudian pesta putaw. Situasi yang nampaknya umum terjadi, sebagaimana berlaku di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Disana, pada tahun 2000 saja ada 7% sampai 26% napi di pelbagai penjara terinfeksi virus HIV. Situasi seperti ini juga terjadi di Brazil, India, dan pelbagai negara miskin lainnya.16
KEBIJAKAN EKONOMI HARUS PRO KESEHATAN Dua contoh diatas memberikan petunjuk pada kita betapa persoalan kesehatan berkait-erat dengan instansi-instansi lain. Itulah sebabnya, soal kesehatan tidak lagi bisa dipandang semata-mata sebagai perkara medis belaka. Yang kita butuhkan bukan hanya sepasukan dokter yang bisa memberi obat, tetapi juga kesadaran masyarakat akan perubahan lingkungan disekelilingnya. Aspek-aspek perubahan inilah yang membuat kebijakan kesehatan meminta keterlibatan pelbagai kalangan. Lembaga-lembaga pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, hingga poliklinik perlu melibatkantokoh-tokoh masyarakat supaya terlibat aktif dalam persoalan-persoalan kesehatan. Khususnya untuk masyarakat yang masih tinggal pedesaan atau pedalaman dimana akses pada layanan kesehatan masih merupakan barang yang langka. Keterlibatan semacam itu juga bermanfaat untuk mengeliminir tudingan, bahwa selama ini ilmu kesehatan masih sangat elitis dan dukuasai hanya segelintir ahli. Tak kalah pentingnya ialah hubungan antara sektor kesehatan dengan kebijakan ekonomi. Banyak sekali bukti menunjukan bagaimana kemiskinan ikut memperkeruh persoalan kesehatan. Saat wabah influenza menyerang Madagaskar misalnya, yang telah menewaskan 440 jiwa penduduknya, diidentifikasikan penyebab utamanya adalah kemiskinan. Kondisi tempat tinggal yang hanya berupa gubug-gubug pengap tanpa ventilasi, sangat memudahkan virus-virus menyebar dan menular dari satu orang ke orang lain melalui percikan batuk (droplet nuclei). Persediaan air bersih disana sulit sekali didapat dan ditambah kebiasaan penduduk juga lebih suka ke dukun. Pilihan ke dukun ini
36
muncul karana keberadaanRS yang memang sulit untuk dijangkau. Peningkatan status nutrisi penduduk kemudian menjadi target kebijakan yang penting untuk dikerjakan di sana. Bagaimana dengan Indonesia? Jika kita menelusuri data, terutama indeks Pembangunan Manusia (Human Development/HDI) yang memasukkan tiga parameter penting dalam penghitungan tingkat kesejahteraaan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, maka peringkat kesejahteraan Indonesia pada tahun 2003 ada diurutan 112 dari 175 negara. Jikadibandingkan dengan negar-negara ASEAN, Indonesia berada diurutan bawah, bahkan dibawah Vietnam. Semakin besar skorHDI berarti semakin rendah tingkat pembangunan manusia di suatu negara. Vietnam memiliki angka HDI 109, Filipina 85, Thailand 75, Malaysia 58, Brunei Darusalam 31, dan paling kecil Singapura 28 sedangkan skor Indonesia hanya lebih rendah dari Kamboja (130),Myanmar (131), dan Laos (135). Bila diukur dariIndeks Kemiskinan Manusia (IKM), skor untuk Indonesia adalah 17,9 dan itu adalah peringkat ke-33 dari 94 negara. IKM mengukur kualitas SDM melalui beberapa indikator yang berupa; presentasependuduk di bawah garis kemiskinan, angka buta huruf, prop[orsi penduduk yang kemungkinan meninggal sebelum umur 40 tahun, proporsi penduduktidak mempunyai gizi kurang17. Itu sebabnya orientasi kebijakan ekonomi sudah waktunya mempertimbangkan implikasiimplikasinya terhadap kesehatan. Pembangunan pemukiman yang sehat, nutrisi yang lebih baik, dan keringanan biaya kesehatan dalam bentuk implementasinya. Sekurang-kurangnya mesti ada klinik kesehatan yang ditempatkan dikawasan miskin. Klinik yang diasuh oleh dokter praktik maupuncalon dokter (kaos) yang bisa diakses oleh penduduk miskin. Apalagi banyak populasi penduduk miskin yang tinggal di kawasan-kawasanyang oleh pemerintah dipandang ilegal. Pendefinisian yang berkonotasi buruk ini membuat para praktisi medis pun enggan untuk turun tangan. Status ilegal sama sekali tidak menghapus tuga negara untuk menjamin perlindungan, apalagi jaminan untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. Sebagaimana nasib yang menimpa para napi di penjara, yang tetap memerlukan penanganan kesehatan secara terpadu. Bahkan rumah sakit swasta didorong untuk melaksanakan proyek penanganan kesehatan khusus di daerah-daerah miskin. Wujud proyek ini tidak cukup hanya dengan keringanan biaya. Pengelola rumah sakit swasta perlu menunjukan bagaimana komitmennya pada dunia kesehatan bukan semata-mata untuk menumpuk-numpukan laba. Biarlah masyarakat yang menentuka akreditasi. Sebab pada dasarnya rumah sakit itu melayani masyarakat. Terlebih-lebih selama ini biaya operasinya diongkosi oleh masyarakat. Disini peran pemerintah juga penting, yakni melakukan kontrol atas pelayanan kesehatan di RS, terutama dalam menetapkan harga layanan terhadap pasien yang tidak mampu. Adalah naif bila perkara kesehatan lagi-lagi diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Penyakit bukan barang dagangan, layaknya tas, busana, atau teve. Penyakit ikut menentukan bagaimana sesungguhnya bangsa ini memperlakukan dirinya sendiri. Kalau situasi ini dibiarkan seperti sekarang, maka bersiaplah untuk menerima resikonya.
Pertama, wabah yang terus-menerus akan menyerang penduduk dengan dosis keganasan yang jauh lebih tinggi. Duet demam berdarah dan malaria terbukti adalah menjadi ancaman yang selalu mengintai. Kedua, kemampuan bertahan penduduk negeri ini akan makin merosot. Bukan saja akibat obatobatan oleh racun racun yang disebarkan oleh industri makann.
Ketiga, rumah sakit akan mirip kompleks perumahan mewah yang sulit diakses karena biayanya selangit. Kalau gara-gara tidak punya uang lalu orang miskin tak bisa mendapat pelayanan yang baik, maka inilah waktunya untuk membubarkan keberadaan tempat ini. Rumah Sakit, sekali lagi
37
bukan lembaga keuangan, melainkan lembaga yang wajib memberikan pelayanan bagi mereka yang sakit.
Keempat, pekerja medis tetap saja terlindung dari tuntutan karena imunitas yang dimilikinya. Bukan saja gugatan dari tuntutan malpraktik, melainkan juga ketidak-sediaan untuk memberikan layanan kesehatan yang murah bagi mereka yang tidak mampu. Keempat kondisi tersebut akan menjerumuskan negeri ini pada satu situasi, yakni: negeri wabah. Wabah ganasnya virus, wabah korupsi, hingga wabah keniskinan. Orang miskin, sekali lagi, dilarang sakit dinegeri ini!
38
KOMERSIAL PENDIDIKAN Darmaningtyas Ada suatu pola rutin yang dijalani oleh sekolah-sekolah di Indonesia setiap penutupan dan pembukaan ajaran, terutama sejak dekade 1980-an. Pada penutupan tahun ajaran, biasanya setelah tes sumatif atau kenaikan kelas, sekolah-sekolah banyak yang mengadakan program study tour ke daerah-daerah tujuan wisata. Kota-kota seperti Yogyakarta, Bali dan Jakarta merupakan kota-kota yang banyak dikunjungi oleh wisata pelajar dari berbagai penjuru daerah. Sedangkan pada ajaran baru sekolah secara sistematis memaksa murid untuk melakukan pendaftaran ulang dengan membayar uang dan atau buku paket. Terhadap kedua pola itu belum ada suatu penelitian yang mengkaji secara cermat dan jernih, guna melihat dampak positif-negatifnya. Dengan kata lain, apakah kedua pola yang mentradisi itu menunjang keberhasilan pendidikan nasional atau tidak, belum ada data ilmiah yang mampu menjelaskannya. Pelaksanaan kedua pola itu hanya berdasarkan asumsi baik saja, bahwa keduanya berdampak positif terhadap perkembangan pendidikan nasional, tapi tidak pernah dipertimbangkan dampak negatifnya sama sekali. Tulisan inipun tidak berdasarkan kajian ilmiah yang akurat, tetapi hanya berdasarkan asumsi atau anggapan dasar, pengamatan, dan pengalaman dalam mengikuti jejak pendidikan nasional. Sekurang-kurangnya keterlibatan langsung saya dalam praktik pendidikan di tingkat SMP sejak tahun 1982 (hingga tahun 1995) memberikan masukan yang berharga untuk memberikan komentar terhadap kedua program tersebut. Di sekolah tempat saya belajar tentang praktik pendidikan secara langsung, yaitu di salah satu SMP swasta di Kecamatan Panggang, Gunungkidul, sejak saya terlibat di dalamnya selalu terjadi tarik menarik soal program study tour ini. Pada awalnya, ketika saya baru menjadi guru biasa dan belum mampu bersuara secara kritis program study tour itu selalu dijalankan. Tetapi ketika saya mulai mampu bersuara, sejak pertengahan tahun 1980-an sampai awal 1990-an, program itu tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena saya selalu melihat dari sisi negatifnya saja, yaitu secara ekonomis memberatkan orangtua murid yang hampir keseluruhannya terdiri dari orang-rang miskin desa, sedangkan dampak positifnya hanya membuka wawasan dan pengalaman sedikit kepada murid. Wawasan yang sama dapat diperoleh murid rajin membaca. Yang saya tangkap di program study tour itu hanya memberikan rasa senang saja kepada guru-guru yang dapat tumpangan piknik (rekreasi) secara gratis bersama keluarganya, dan sedikit dapat diskon dari biro perjalanan, mengurus konsumsi, atau keperluan lain. Hanya itu saja yang saya tangkap dari program yang amat memberatkan orangtua murid itu. Perjuangan untuk menolak program study tour ini bukanlah hal yang gampang, karena sebagian besar guru memiliki mental benalu, mereka ingin numpang rekreasi yang dibiayai oleh murid, sehingga setiap kali rapat pemungutan suara untuk menentukan jadi atau tidaknya melaksanakan study tour, saya selalu kalah suara. Para guru umumnya memakai argumentasi bahwa muridmuridlah yang menghendaki untuk study tour ke tempat-tempat tertentu. Tapi para guru yang menyetujui program study tour itu tidak pernah mau mengetahui psycologi anak, bahwa anakanak seusia SMP jelas merupakan usia yang pas suka-sukanya ingin bebas, bersenang-senang dan melakukan rekreasi bersama dengan kawan-kawannya. Anak seusia itu belum mampu memahami betapa sulitnya orangtua yang hidup di desa sebagai petani miskin atau bahkan sebagai buruh tani saja untuk mencari uang. Mereka juga belum mampu memperhitungkan perimbangan antara biaya
39
yang dikeluarkan untuk study tour dan hasil yang diperoleh dari kegiatan tersebut. Yang mereka pertimbangkan hanya rasa senangnya saja, sehingga sungguh naif bila kemudian guru memakai argumen “keinginan anak” untuk memenangkan pemungutan suara. Pada perjalanan berikutnya ketika teman-teman guru tidak mampu menunjukan dampak langsung dari program study tour terhadap peningkatan kualitas pendidikan, maka mereka pun bersedia melakukan koreksi dan tidak melakukan study tour lagi. Saya juga bersyukur karena ada beberapa guru senior yang kritis dan mampu menangkap logika yang saya bangun, bahwa daripada pungutan besar untuk study tour yang hasilnya belum jelas, lebih baik pungutan uang itu dialokasikan untuk pengadaan perpustakaan, laboratorium, serta kebutuhan lainnya yang berkaitan langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan. Guru-guru semacam itulah yang akhirnya mendukung kebijakan untuk tidak melakukan program study tour setiap tahun. Tapi saya pun menjadi kecewa karena setelah saya tidak terlibat langsung dalam pengelolaan sekolah tersebut, program study tour setiap tahun itu dilakukan lagi. Kelak, setelah saya bekerja di Surabaya dan Jakarta, saya memperoleh inspirasi yang bagus dari sekolah-sekolah swasta yang bermutu. Pada beberapa sekolah yang saya jumpai itu, murid-murid tidak diajarkan gaya hidup konsumtif dan rekreatif melalui program study tour, tapi diajarkan cara kerja keras dan serius melalui berbagai aktivitas yang kreatif dan dukungan fasilitas yang lengkap. Sedangkan kebutuhan guru untuk mengembangkan wawasan dan berlibur, keduanya amat penting untuk profesi guru agar lebih berbobot dan tidak menjemukan, difasilitasi oleh yayasan. Yayasan setiap tahun selalu mengajak guru-guru untuk berekreasi atas biaya yayasan. Untuk rekreasi ke luar negeri biayanya dipikul bareng antara yayasan dan guru, tetapi guru tidak merasa terbebani karena dibayar melalui sistem tabungan setiap bulannya. Murid-murid yang akan turut berekreasi bersama guru diperbolehkan, tapi sifatnya sukarela, bukan paksaan. Cara ini selain memberikan kewibawaan kepada penyelenggara sekolah, juga tidak menjadikan murid sebagai kuda tumpangan dan sekaligus sapi perahan. Sayang, hanya sedikit penyelenggara sekolah yang mampu berpikir dan bertindak sejauh itu. Kebanyakan sekolah (mungkin mencapai angka 99%) adalah sekolahsekolah anut grubyuk (ikut-ikutan saja) mengadakan program study tour tanpa konsep yang jelas. Betapa program study tour telah turut menyumbang terjadinya proses pemiskinan di masyarakat terlihat jelas pada pengalaman seorang keluarga di Desa Beji Karangmojo, Gunungkidul. Pada tahun 1987 ketika saya berkunjung ke rumah kawan, ibu kawan tadi menuturkan bahwa ia semula memiliki dua ekor sapi, tapi kemudian tinggal satu ekor karena satu ekor telah dijual ketika anaknya yang duduk di SMA swasa mengikuti program study tour ke Bali. Oleh karena sekolah anaknya itu ternyata sama dengan SMA saya, maka lalu saya melancarkan protes melalui surat terhadap sekolah yang bersangkutan atas tindakannya yang telah menciptakan proses pemiskinan di masyarakat. Di kota-kota besar, orangtua, terutama ibu-ibu juga sering mengeluh, karena anaknya yang sedang ujian di kelas III dipaksa untuk ikut study tour, katanya kalau tidak ikut study tour ijazahnya tidak diberikan. Kenyataannya memang banyak sekolah yang menjadikan keikut-sertaan study tour sebagai syarat pengambilan rapor, pengumuman kelulusan, atau bahkan pengambilan ijazas. Pada sekolah-sekolah yang melaksanakan kebijakan semacam ini jelas bahwa program study tour sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan, baik bagi yayasan, kepala sekolah maupun guru. Sebab sebetulnya tidak ada relevansinya antara study tour dan pengumuman hasil ujian atau pegambilan ijazah. Yang lebih kentara lagi kalau program study tour itu hanya sebagai ajang untuk mengais keuntungan bagi sekolah atau guru adalah kebijakan yang menyatakan”tidak ikut study tour tidak apa, asal bayar”.
40
1. Study Tour sebagai Jaringan Bisnis. Pertanyaan mendasar yang dapat kita ajukan di sini adalah siapa sih sebetulnya yang diuntungkan oleh program study tour itu? Jawaban atas pertanyaan itu amat penting untuk memberikan kesadaran kritis kepada semua penyelenggara pendidikan agar mereka tidak hanya menjalankan program itu seperti taken for granted, tapi mestinya dengan bersikap kritis. Refleksi sejenak untuk melakukan evaluasi terhadap suatu program yang sedang kita jalani itu terasa perlu, terutama untuk mengetahui asas manfaat atau keuntungan apa yang dapat dipetik murid setelah mengikuti program study tour, yang sering makan biaya banyak dan mereka lewati hanya satu dua jam saja. Siapa sesungguhnya yang lebih diuntungan dengan pelaksanaan program tersebut ?. Saya berkeyakinan bahwa program study tour itu memiliki segi positif, setidaknya membuka wawasan murid terhadap kekayaan dan keanekaragaman bangsanya. Juga merupakan rekreasi bersama. Tapi tanpa bermaksud mengurangi tujuan baik dari program tersebut, penulis ingin mengajak pembaca untuk mengkritisi dan sekaligus mengkaji ulang program tersebut agar kedepan program tersebut tidak menambah beban yang lebih berat lagi bagi masyarakat, terlebih pada saat situasi ekonomi amat sulit. Mungkin lebih bijaksana jika biaya mahal untuk study tour itu dialokasikan untuk biaya-biaya pendidikan lainnya yang lebih berdaya guna, misalnya programprogram keterampilan praktis yang diperlukan untuk mencari kerja dan sekaligus memperkenalkan murid dengan dunia nyata, seperti pengetahuan tentang pertanian, nelayan, peternakan, perikanan pertukangan, perdagangan, dan sebagainya. Dengan demikian setelah lulus mereka tahu tentang sejarah hidupnya. Dengan tidak adanya program study tour juga mengurangi beban murid karena tidak ada pungutan yang besar. Apa beberapa dampak negatif yang dapat kita diskusikan dari program study tour itu antara lain : Pertama, memperkuat arus/pola hidup murid yang cenderung konsumtif, rekreatif, dan hedonistik
yang telah mereka dapatkan lewat lingkungan dan media massa, kemudian diperkuat dengan pendidikan formal. Mereka merasakan enaknya menjadi wisatawan, meskipun wisatawan lokal dengan uang pas-pasan. Akibatnya, yang mereka tangkap dari program itu hanya enaknya saja. Mereka tidak pernah memahami bagaimana proses menjadi wisatawan seperti orang dari negaranegara maju, bahwa untuk menjadi wisatawan yang hanya beberapa hari itu mereka harus bekerja keras terlebih dulu selama bertahun-tahun dan hasilnya kemudian ditabung untuk rekreasi. Kultur mereka yang individualis membuat mereka harus berusaha sendiri untuk mencapai apa yang mereka inginkan sebagai seorang wisatawan. Proses yang semacam itu tidak pernah ditangkap murid, mereka hanya menangkap jadinya saja, yaitu saat menjadi wisatawan saja. Akibatnya produk pendidikan nasional itu hanya melahirkan orang-orang yang suka rekreasi, konsumtif, dan hedonistik, dan tidak mau kerja atau usaha keras. Dengan kata lain, program study tour sebetulnya merupakan proses pembelajaran untuk menumbuhkan sikap suka menempuh jalan pintas dengan cara masyarakat diajarkan berekreasi terlebih dulu meskipun belum punya hasil sendiri atau belum kerja. Dan oleh karena daya dukung ekonomi orangtua tidak ada, maka akibatkan setelah lulus sekolah mereka kemudian memilih jalan pintas pula untuk mendapatkan uang dengan cara menjadi pengamen, pengemis atau bahkan penjahat sekalipun guna mewujudkan angan-angan mereka sebagai orang yang hidup enak, merdeka dan hedonis tersebut. Di jalan-jalan, bukan hanya di kota besar, tapi kota-kota kabupaten pun sekarang ini dipenuhi oleh para pengamen saja, tetapi kadang-kadang juga sebagai penodong. Generasi pengamen dan pengemis ini sesungguhnya lahir dari model pendidikan yang mengajarkan jalan pintas, bukan dari model pendidikan yang mengajarkan kerja keras. Kedua, program study tour memperkuat arus “pasar” di sekolah. Sudah diketahui oleh umum, bahwa dalam pelaksanaan program study tour itu ada jaringan pasar yang sangat kompleks dan
41
menguntungkan secara bisnis, misalnya jaringan dengan perusahaan jasa transportasi, perhotelan/penginapan, katering, industri kerajinan dan sebagainya. Di setiap bagian itu selalu terbuka celah lebar untuk melakukan transaksi bisnis, baik bagi sekolah secara institusional atau guru secara individual yang mengurusi program itu, dan semua akan mendapat tetesan melalui potongan harga yang diberikan oleh masing-masing jaringan tersebut. Jaringan bisnis pariwisata inilah yang sebetulnya amat berkepentingan dan sekaligus diuntungkan dengan adanya program study tour. Siapa pemilik jaringan-jaringan usaha tersebut? Tidak lain adalah orang-orang kaya, sebagian ada yang menjadi konglomerat yang memiliki akses dengan kekuasaan. Dengan kata lain, seorang petani di Karangmojo tadi, yang menjual sapinya untuk biaya study tour anaknya ke Bali itu justru memberikan andir untuk turut memperbesar usaha pada juragan besar di Jakarta atau Bali sana. Apa yang diperoleh murid beserta keluarganya yang harus menjual seekor sapinya? Sama sekali tidak ada, kecuali proses pemiskinan yang semakin cepat, karena kehilangan salah satu faktor produksinya sebagai seorang petani. Meskipun siapa-siapa yang berkepentingan dan diuntungkan dari program study tour ini sudah jelas, yaitu pemilik modal yang sudah terlanjur kaya, tapi hanya sedikit guru yang bersikap kritis terhadap keberadaan program study tour. Antusiasme mereka itu tidak lepas dari kondisi kesejahteraan mereka yang rendah, terlebih bagi guru-guru di sekolah-sekolah swasta pinggiran yang gajinya tidak cukup untuk makan dua minggu. Keterlibatan mereka dalam kepanitiaan study tour berarti peluang untuk memperoleh pendapatan tambahan melalui komisi, minimal setahun sekali dapat diperoleh. Inilah masalah dasarnya. Dampak negatif ketiga dari program study tour adalah menumbuhkan sikap tidak jujur kepada aparat sekolah. Sulit membedakan program itu, sesungguhnya program sekolah atau murid ? hal ini dapat terlihat dari penentuan lokasi study tour. Yang dari tahun ketahun selalu berganti dengan alasan bosan jika ditempat yang sama saja. Padahal logikanya, jika program study tour itu hanya dikenakan bagi kelas II saja misalnya, aka berarti tidak akan pernah terjadi pengulangan objek atau murid yang sama, kecuali jika tidak naik kelas, sebab murid yang pada tahun ini mengikuti program study tour , maka tahun depan dia sudah kelas tiga study tour dan tidak perlu study tour lagi. Hal yang sama terjadi bila program itu diperuntukan bagi kelas III, maka murid kelas III yang sekarang ikut study tour tahun depan mereka sudah lulus sehingga tidak mungkin ikut study tour lagi. Tapi ironisnya guru dapat mengatakan secara enak “bosan ah .. kalau tepatnya itu-itu saja”. Berdasarkan ucapan guru semacam itu, maka jelas bahwa program study tour itu sebetulnya keinginan guru yang dimanipulasi sebagai kepentingan murid, hanya dengan tujuan guru memperoleh tumpangan gratis berekreasi dengan mengajak anak-istri/suami. Wajar bila kemudian lokasi study tour itu dipilih dengan tekanan pada tour nya, bukan pada study-nya, dan setelah selesai study tour juga tidak ada kelanjutan untuk membuat karya tulis yang serius, sebagaimana yang diidealkan pada waktu konsep study tour itu digagas. Padahal kalau yang mendapat tekanan itu study-nya, maka bisa saja lokasi itu tetap dari tahun ke tahun, tetapi prosesnya dilakukan secara intens baik oleh guru maupun murid. Murid pun ada kewajiban membuat laporan berupa karya tulis. Melalui proses ini guru dapat belajar dari murid dari setiap angkatan berdasarkan ketajaman analisis yang tercermin dalam karya tulisnya. Setahu saya, konsep semacam itu pernah dijalani oleh SMA De Brito di Yogyakarta dengan mengambil lokasi di Jawa Barat. Entah proses-proses semacam itu masih berlanjut atau tidak. Sesungguhnya, sejauh tidak ada manipulasi kepentingan murid dan tekanannya pada study-nya, maka program itu dapat dibenarkan. Tapi karena hidden agenda di balik program itu amat menonjol, maka program itu lebih baik di stop daripada mendukung proses pemiskinan di masyarakat. Celaka lagi, sekolah yang menjalankan program study tour itu adalah sekolah-sekolah yang muridnya dari kelas menengah ke bawah, yang gurunya berasal dari menengah ke bahwa sehingga naluri rekreasinya tidak dapat terpenuhi dengan fasilitasnya sendiri. SMP-SMP/SMA-SMA yang favorit tidak pernanh menjalankan program tersebut karena baik guru maupun muridnya
42
sudah mampu berekreasi sendiri tanpa harus memanipulasi kepentingan murid. Kebutuhan berekreasi itu adalah kepentingan keluarga. Oleh sebab itu, pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing wilayah. Dampak keempat yang dirasakan oleh masyarakat dari program study tour itu adalah makin beratnya beban ekonomi yang harus dipikul oleh masyarakat. Masyarakat terpaksa harus mengeluarkan biaya ekstra yang cukup besar untuk sesuatu yang tidak memiliki asa manfaat langsung dengan peningakatan mutu pendidikan. Sebagai contoh study tour yang dilaksanakan oleh murid-murid di kelas III SMP/SMTA dan dilaksanakan setelah ujian akhir, apakah asas manfaat langsung yang dapat diperoleh murid dari program tersebut? Mengapa biaya yang untuk biaya study tour itu tidak lebih baik dialokasikan untuk mencari sekolah baru? Sekolah seringkali berlingdung pada kata-kata : “lho anak-anak itu sudah menabung, jadi orang tua tidak perlu bayar lagi”. Ucapan semacam itu jelas mencermikan ketidak-pekaan sekolah terhadap beban ekonomi orangtua murid. Sekolah tidak pernah memahami bahwa kewajiban menabung itu sendiri sesungguhnya membebani orangtua murid, sehingga orangtua sebetulnya punya harapan bahwa kelak tabungannya itu akan dapat meringankan beban akhir mereka pada saat anak memerlukan uang ujian atau pengambilan STTB (bagi sekolah swasta). Itu sebabnya meskipun memberatkan orang tua tetap membayarnya. Betapa jahatnya bila kemudian secara sepihak sekolah menentukan penggunaan uang tabungan itu untuk study tour. Tindakan sekolah semacam itu merupakan bagian dari tindak kejahatan berupa pemaksanaan kehendak dan memanipulasi (menipu) tujuan murid dalam menabung.
2. Sekolah Sebagai Pasar. Mencermati praktik pendidikan nasional sejak orde baru mulai kuat menancapkan basis politiknya yang direpresentasikan oleh Golkar (Golongan Karya) dan militer, sekaligus juga pengalaman terlibat langsung dalam pengelolaan sekolah, menyadarkan kepada kita semua betapa hirukpikuknya suasana pendidikan nasional sebagai pemasaran produk-produk industri maupun kebijakan, sehingga membuat suasana sekolah berubah fungsi menjadi pasar. Di sana banyak orang hilir mudik untuk memasarkan produk-produk industri mereka, baik industri manufaktur maupun jasa. Perilaku pasar yang terjadi di sekola itu dimulai dari pengadaan pakaian olahraga, program study tour , jual buku pelajaran, pencetakan katu identitas OSIS/murid, pakaian seragam, asuransi,
sepatu seragam, ulangan umum bersama, sampai dengan pendaftaran ulang sebagai murid lama.
Sejak kapan perilaku pasar itu masuk ke dalam sekolah? Persisnya tidak dapat diketahui karena mungkin orang pada saat itu tidak care untuk mencatatnya. Yang pasti secara kronologis maksudnya tidak bersamaan, melainkan bertahap satu per satu. Uraian di bawah ini hanya menjelaskan waktunya saja. Pada awal dekade 1970-an, perilaku pasar masuk ke sekolah itu dimulai dengan melakukan aktivitas olah raga, maka para guru olah raga memesankan pakaian seragam berupa kaos dengan warna, jenis, merk dan tulisan yang sama. Yang membedakan hanya soal ukuran dan nomor dada. Pada waktu karena baru satu jenis masuk ke sekolah, biayanya tidak mahal, dan barang yang dibeli juga fungsional, maka orang tidak pernah mempermasalahkannya karena tidak dilihat sebagai kepentingan bisnis, tapi murni sebagai kepentingan kelancaran proses belajar-mengajar saja. Mulai pertengahan dekade 1970-an, bersamaan dengan pengenalan mata pelajaran PMPM yang di dalamnya ada yang membahas mengenai wawasan nusantara, maka diperkenalkanlah program
43
study tour sebagai media untuk menunjang pertumbuhan wawasan nusantara. Berdasarkan pengalaman pribadi, keputusan untuk mengadakan study tour itu diputuskan oleh sekolah (rapat
kepala sekoah, guru dan tentu tata usaha). Kami sebagai murid tinggal melaksanakan perintah dengan rasa takut, karena pihak sekolah ketika mengumumkan hal itu disertai dengan ancamanancaman: tidak boleh ikut ulangan umum, tidak naik kelas, rapornya tidak diberikan, dan sebagainya. Oleh karena program ini memakan biaya besar; pada waktu itu untuk pergi ke Candi Borobudur dan Prambanan biayanya Rp. 1000,- (kurs US$ 1 = Rp. 450,-), maka program ini mulai mendapatkan reaksi. Sebagai murid saya ikut dengan penuh keterpaksaan karena takut ancamanancaman yang diberikan tadi, sementara untuk bisa ikut itu harus berusaha keras untuk mendapatkan biaya Rp, 1000,- dan uang saku Rp, 500,-. Ada seorang kawan di kelas saya yang terpaksa tidak ikut study tour karena ia memberi kesempatan kepada kakaknya yang duduk di kelas III untuk ikut, sementara kalau akan berangkat keduanya tidak mampu. Kecuali karena biaya tinggi, program study tour ini juga sudah penerimaan murid baru pada tahun ajaran 1985/1986. kebijakan UUB ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan standarisasi pendidikan pada tingkat nasional atau paling tidak tingkat propinsi. Dari hasil UUB itu diharapkan dapat menjadi indikator keberhasilan atau kemunduran suatu sekolah. Kesenjangan sekolah satu dengan lainnya dalam satu propinsi juga dapat dilihat dari skor yang dicapai oleh masing-masing sekolah. Mengingat alasannya sangat rasional, maka UUB tidak pernah di curigai sebagai ladang bisnis yang subur. UUB dapat dilihat sebagai bentuk manipulasi bisnis berskala besar bila dilihat secara cermat, yaitu berapa jumlah peserta UUB dalam suatu propinsi atau kabupaten, lalu barapa rupiah yang harus dibayar oleh setiap murid untuk mengikuti UUB? Dari uang yang dibayarkan itu, berapa yang kembali ke murid?. Mari kita ambil contoh saja. Setiap murid rata- rata membayar Rp. 3500,- (ini merupakan angka minimal, ada yang membayar sampai Rp. 400,-) untuk enam mata pelajaran, setiap mata pelajaran rata-rata dicetak sebanyak 7-8 halaman atau total (42-48) halaman. Dengan hanya memakai kertas buram yang dicetak dalam jumlah banyak, sehingga tidak mungkin di fotocopy, maka biaya cetak per halaman hanya Rp. 50,- per lembar atau total biaya yang diperlukan untuk penggandaan soal adalah Rp, 2.100’ – 2400,- per murid. Hasil investigasi kawan-kawan guru di Boyolali dan Purwokerto biaya cetak per lembar hanya 40,Bila kita ambil angka maksimalnya, maka total uang UUB yang kembali ke murid itu hanya Rp. 2400,-. Dengan demikian dari setiap kali UUB paling tidak diperoleh keuntungan Rp. 3500,- p Rp. 2.440,- = Rp. 1.100 per murid. Kalau dilihat secara indivual kecil sekali, hanya Rp. 1100,- per murid. Tetapi bila dalam satu propinsi terdapat 100.000,- murid SMP dan 50,000 murid SMTA, maka total keuntungan yang dapat diraih dari UUB mencapai Rp. 165.000.000,- ini kalkulasi minimum sebelum krisis motener, artinya nilainya sangat besar. Kemana larinya keuntungan dari UUB itu? Sudah dapat ditenggarai ke pejabat pendidikan dan orang-orang yang terlibat dalam proses pengadaan UUB. Oleh karena begitu besarnya jumlah keuntungan yang dapat diraih melalui UUB tersebut. Maka UUB itu tetap dipertahankan karena ia dapat dijadikan tambang emas bagi pejabat pendidikan dan kroni-kroni-nya. Ulangan umum bersama (UUB) itu juga memiliki rentetan ekonomis yang tinggi. Dengan dalih untuk persiapan UUB sekolah mengadakan lest tambahan pelajaran dan bimbingan belajar. Dalam pelaksanaan les tambahan pelajaran ini murid dikenai tambahan biaya yang besarnya tergantung besar kecilnya sekolah, tapi minimum untuk seorang murid SMP di Desa mencapai Rp. 5000,- bagi sekolah kelihatannya kecil, tapi bagi orang tua secara akumulatif menjadi beban. Kebijakan lain yang juga samar sehingga tidak pernah dilihat sebagai media bisnis adalah tes IQ (Intelegence Question). Tes ini tidak pernah dipersoalkan, karena si murid sebetulnya juga punya keinginan untuk mengetahui tingkat kecerdasannya, sehingga memerlukan untuk d tes. Namun karena rasa ingin tahu murid itu harus diperoleh dengan membayar jumlah tertentu, maka tes IQ
44
pun kemudian melahirkan bisnis baru dari sekolah. Betapun rendahnya pembayaran untuk tes IQ itu, tapi tetap saja memberikan diskon kepada sekolah yang telah mengorganisasi muridnya untuk di tes. Selisih antara yang dibayarkan oleh murid dan diterima oleh lembaga pengetes inilah yang menjadi keuntungan sekolah. Pada dekade 1980-an ini juga muncul kecenderungan baru bisnis terselubung yang dilakukan oleh sekolah dengan menerapkan kebijakan ”pendaftaran ulang” bagi murid lama dengan membayar uang pendaftaran ulang. Banyak sekolah yang juga mengharuskan pendaftaran ulang itu disertai dengan pembelian kain seragam baru. Meskipun kain seragam sebelumnya masih bagus. Pola ”daftar ulang” itu tidak pernah dikenal sebelumnya. Sampai dengan akhir dekade 1970-an seorang murid yang naik kelas dari kelas I ke kelas II misalnya, begitu masuk tahun ajaran baru ya langsung duduk di kelas II begitu saja, tidak perlu daftar ulang segala. Tapi awal dekade 1980-an sekolah menerapkan kebijakan baru dengan daftar ulang yang membayar. Bila ditelusuri lebih jauh, motifnya sebetulnya bukan daftar ulang-nya itu, melainkan daftar ulang hanya sebagai kedok untuk memungut biaya dari murid. Memungut biaya lain di luar SPP kepada murid lama tanpa alasan yang jelas akan mendapatkan protes dari masyarakat. Tapi dengan memperkenalkan konsep baru ”daftar ulang” itu, sekolah memiliki argumen yang jelas untuk melakukan pungutan kepada murid lama. Terlebih bila daftar ulang itu juga disertai dengan pemaksaan membeli kain seragam baru, maka itu berarti membuka peluang bisnis kain seragam yang lebih luas, sehingga komisi yang diterima oleh sekolah pun makin besar. Kegiatan bisnis tidak hanya dilakukan oleh sekolah yang berhubungan langsung dengan pelaku bisnis, tapi juga oleh instansi pendidikan. Pengadaan kartu OSIS untuk masing-masing sekolah misalnya, sejak pertengahan dekade-1980-an dikelola oleh Kanwil (tingkat propinsi) dan Kandep (tingkat kabupaten/kotamadya) P dan K. Sebelumnya kartu identitas murid cukup diadakan oleh masing-masing sekolah, cukup dengan mekanisme fotocopy saja, kemudian ditempelkan foto. Tapi kemudian pengadaan kartu identitas OSIS itu dikelola oleh Kanwil dan Kandep P dan K yang bekerjasama dengan industri percetakan dan studio foto. Hal sama juga pungutan untuk pembinaan OSIS yang pada dekade 1980-an itu besarnya Rp. 50,- per murid per bulan. Ini juga kelihatannya kecil, tapi kalau dikumpulkan dalam satu propinsi menjadi amat berarti. Sekolah juga sering tidak tahu persis penggunaan dana pembinaan OSIS ini. Bagi mereka yang penting setiap bulan harus membayar ke Kandep P dan K, dan konon Kandep meneruskannya ke Kanwil P dan K, sebab kalau tidak bayar ditegur. Kecederungan untuk mensentralkan pengelolaan dana yang sebetulnya cukup dikelola oleh sekolah itu sendiri sebetulnya lebih didasari motif untuk melakukan akumulasi komisi. Dengan berbekal surat rekomendasi saja, dan yang bekerja orang lain, seperti industri cetak, studio foto, dan sebagainya, pejabat pendidikan di Kandep dan Kanwil sudah memperoleh jatah komisi. Memasuki dekade 1990-an, produk industri yang masuk ke sekolah mulai bertambah, termasuk juga modus operandinya. Jenis produk industri yang baru masuk ke sekolah mulai dekade 1990-an adalah industri asuransi dan sepatu seragam. Industru asuransi ini masuk di Surabaya pada tahuntahun 1992-1994, sasarannya adalah murid baru untuk tingkat SMP – SMTA. Namun karena adanya berbagai reaksi dari masyarakat, terutama menyangkut efektivitasnya, mengingat seorang murid itu bersekolah di suatu jenjang hanya tiga tahun, maka kebijakan itu tidak bisa massif. Ada beberapa sekolah yang sampai sekarang masih tetap mempertahankannya, tapi banyak pula yang sudah tidak ikut asuransi. Tapi ternyata, masuknya industri asuransi ke sekolah bukan hanya terjadi di Surabaya saja, tapi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Dekade 1990-an ini juga ditandai dengan bisnis buku pelajaran yang semakin menggila. Meskipun pada dekade 1980-an bisnis buku itu sudah masuk ke sekolah, tapi sifatnya masih agak santun, hanya mengandalkan surat rekomendasi dari Dirjen Dikdasmen, Kanwil P dan K, Kandep, dan atau dinas pendidikan P dan K saja. Sedangkan buku-bukunya untuk satu mata pelajaran masih di cetak
45
sekali untuk waktu lama,. Tapi masuk ke dekade 1990-an, terlebih dengan diberlakukannya kurikulum 1994, bisnis buku sudah mulai kotor karena cenderung memiskinkan dan memperbodoh masyarakat. Selain membawa surat rekomendasi dari Dirjen Dikdasmen, Kanwil P dan K, Kandep, atau dinas pendidikan P dan K, buku-buku juga mulai dicetak untuk satu kali pakai. Akibatnya, murid terpaksa setiap catur wulan harus beli buku baru dan tidak dapat diwariskan kepada adik kelasnya karena buku untuk kelas dan catur wulan yang sama pada tahun ini misalnya, tidak dapat dipakai oleh adik kelas yang sama untuk tahun depan. Bisnis buku hanya didasari untuk meraih keuntungan besar bagi penerbit dan pejabat P dan K inilah memiskinan dan memperbodoh masyarakat. Memiskinan karena setiap catur wulan orangtua dipaksa untuk mengeluarkan uang banyak hanya untuk membei buku-buku sampah, sedangkan membodohkan karena kualitas bukunya memang rendah, tidak mencerdaskan. Pemberlakukan kurikulum 1994 juga mendatangkan bisnis baru dengan menjadikan murid sebagai pangsa pasarnya, yaitu bisnis LKS. LKS (Lembar kegiatan Siswa) sebetulnya hanya merupakan instrumen untuk proses pembelajaran. Instrumen semacam itu dapat dibuat oleh setiap murid. Tapi kejelian industri cetak yang melihat kecenderungan guru di Indonesia yang inginnya mencari gampang saja, maka dibuatlah LKS yang dapat diakses dengan cara dibeli. Awalnya masih bersifat bisnis murni karena dijual di pasaran bebas. Tapi ketika lontaran industri percetakan itu direspon oleh guru, maka LKS pun menjadi ladang bisnis yang subur karena dipasarkan langsung ke sekolah-sekolah melalui para guru atau kepala sekolah. Sekarang LKS telah menjadi beban baru bagi setiap orangtua yang menyekolahkan anaknya dari SD sampai SMTA. Hiruk pikuknya sekolah sebagai pasar, tempat transaksi apa saja, baik produk industri manufaktur, jasa maupun produk kebijakan itu telah mengubah suasana dan fungsi sekolah. Suasana sekolah sudah tidak kondusif lagi sebagai proses pembelajaran, karena guru pun sudah sibuk dengan bisnis barunya. Sedangkan fungsi sekolah juga sudah bergeser, bukan tempat untuk proses pembelajaran, melainkan tempat untuk jual beli produk dan mencari keuntungan bagi siapa pun: guru, kepala sekolah, tata usaha, industri cetak, industri penerbitan, studio foto, industri tekstil,penjahit, pejabat dan mungkin juga penjahat sekalian. Bila dikalkulasi secara cermat, sebetulnya pungutan-pungutan terhadap murid yang dimaksudkan untuk menunjang langsung proses pembelajaran itu mungkin hanya seperempat saja. Sedangkan yang tiga perempatnya untuk sesuatu yang tidak esensial, tidak memiliki kaitan langsung dengan proses pembelajaran, misalnya: daftar ulang, pakaian/sepatu seragam, study tour, camping, bakti sosial, pentas seni, lomba ini itu, tes IQ, kartu identitas murid, pembinaan siswa (OSIS), LKS, buku ganti-ganti terus, asuransi sampai dengan pungutan untuk UUB. Sedangkan yang langsung menunjang proses belajar mengajar itu hanya tarikan SPP saja. Jadi seandainya semua pungutan yang tidak prinsipil itu dihilangkan lalu masyarakat di bebaskan untuk mengatur dirinya sendiri mengenai sepatu dan seragam sekolah, pengadaan buku pelajaran, dan sebagainya, maka menyekolahkan anak akan menjadi hal yang menyenangkan bagi orangtua karena amat murah dan sudah dapat diprediksi besarannya, yaitu sebulan sekian rupiah.
46
Perkotaan
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya