1
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
DISERTASI
HANGGONO TJAHJO NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
2
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
DISERTASI
HANGGONO TJAHJO NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
3
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas sumbernya dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2010
Hanggono Tjahjo Nugroho NRP. A 1610 40244
4
ABSTRACT HANGGONO TJAHJO NUGROHO. The Impact of Oil Fuel Price Subsidy Policy on Economic Performance and Poverty in Indonesia (BONAR M. SINAGA, as Chairman, HERMANTO SIREGAR and AKHMAD FAUZI, as Members of the Advisory Committee). The objectives of this study were to analyze the factors that influence the supply and demand of oil fuel and to analyze the impact of oil fuel price subsidy policy on economic performance, poverty, and welfare in Indonesia. A simultaneous econometric model of Indonesia oil fuel price subsidy was estimated using a two stage least squares (2SLS) method and SYSLIN procedure for the data set period of 1986-2006. The forecast simulation was set for the period 20102014 with NEWTON method and SIMNLIN procedure. The supply of oil fuel, which was represented by the amount imported, was influenced negatively by its world price and positively by its consumption, consumen price index, and its lag endogenous. The demand for oil fuel was influenced negatively by its retail price and positively by its consumption, its substitutes price, and its lag endogenous. The price subsidy of oil fuel was influenced positively by its world price, domestic exchange rate, government domestic revenue, and its lag endogenous. The price subsidy of oil fuel, except LPG, was elastic against world price of crude oil and domestic exchange rate in the short and long run. The forecast simulation of increases of world crude oil price was resulted in the increase of retail oil fuel price, decreasing economic growth, and increasing the inflation and poverty rate. The government policy to decrease oil fuel subsidy will result in deteriorating the economic performance, poverty alleviation program, and also welfare will be in large deficit. The less severe result happen when government applied kerosene conversion program to LPG. The deteriorating impact of the last two simulation were likely caused by the drop of government expenditure and the negative economic growth altogether. In such developing country like Indonesia, the role of government expenditure was central and important in boosting the economic. Such hypothesis was proven when oil fuel subsidy decreases and the level of government expenditure was kept constant, the result was surprisingly positive to economic performance and poverty alleviation program, even though the sustainable fiscal policy will be rather violated. To overcome the negative impact of the decreasing of oil fuel price subsidy and kerosene conversion program to LPG, government should kept the fiscal budget constant through budget reallocation strategy. By doing this, there were budget available for establishing fiscal space or putting more fund to strategic and most important development program including compensation program for the poor as well as poverty alleviation programs. Keywords :
price subsidy of oil fuel, retail price of oil fuel, economic performance, poverty, welfare.
5
ABSTRAK HANGGONO TJAHJO NUGROHO. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia (BONAR M. SINAGA, selaku Ketua, HERMANTO SIREGAR dan AKHMAD FAUZI, selaku Anggota Komisi Pembimbing). Tujuan dari studi ini adalah melakukan analisis factor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan bahan bakar minyak (BBM) and analisis dampak dari kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia. Model simultan Subsidi Harga BBM Indonesia diestimasi menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN pada rentang data 1986-2006. Simulasi peramalan periode 2010-2014 menggunakan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN. Penawaran BBM, yang diwakili oleh jumlah impornya, dipengaruhi secara negatif oleh harga dunia minyak mentah dan secara positif oleh konsumsinya, indek harga konsumen, dan bedakalanya. Permintaan BBM dipengaruhi secara negatif oleh harga jual ecerannya dan secara positif oleh konsumsinya, harga barang substitusinya, dan bedakalanya. Subsidi harga BBM dipengaruhi secara positif oleh harga dunia minyak mentah, nilai tukar rupiah, penerimaan dalam negeri pemerintah, dan bedakalanya. Subsidi harga BBM, kecuali elpiji, elastis terhadap harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah baik jangka pendek maupun jangka panjang. Simulasi peramalan kenaikan harga dunia minyak mentah mengakibatkan kenaikan harga jual eceran BBM, penurunan pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan inflasi serta kemiskinan. Kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM akan mengakibatkan buruknya kinerja perekonomian, upaya pengentasan kemiskinan, dan kesejahteraan. Dampak yang tidak terlalu buruk terjadi apabila pemerintah menerapkan program konversi minyak tanah ke elpiji. Dampak buruk dari kedua simulasi terakhir tampaknya berasal dari turunnya belanja pemerintah dan negatifnya pertumbuhan ekonomi bersama-sama. Di negara berkembang seperti Indonesia, diakui bahwa betapa penting dan dominannya peranan belanja pemerintah dalam merangsang kegiatan perekonomian. Hipotesa itu terbukti ketika subsidi BBM diturunkan dan belanja pemerintah konstan, hasilnya ternyata positif terhadap kinerja perekonomian dan upaya pengentasan kemiskinan, meskipun kebijakan keberlanjutan fiskal tidak dapat dilakukan sepenuhnya. Dalam rangka mengatasi dampak negatif penurunan subsidi BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji, pemerintah sebaiknya menjaga besaran belanjanya tetap konstan, melalui realokasi anggaran. Dengan demikian, maka akan tersedia tambahan dana guna memperbesar ruang fiskal atau mengalokasikan anggaran pada program kegiatan yang sangat penting dan mendesak, termasuk program kompensasi untuk rakyat miskin dan program-program pengentasan kemiskinan. Kata kunci: subsidi harga BBM, harga jual eceran BBM, kinerja perekonomian, kemiskinan, kesejahteraan.
6
RINGKASAN Sejak tahun 1985, subsidi BBM cenderung meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan komponen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lain. Kontribusi subsidi BBM terhadap belanja negara pada tahun 1985 sebesar 2.03 persen, yang meningkat tajam menjadi 26.47 persen dan 20.01 persen berturut-turut pada tahun 2005 dan 2008. Peningkatan tajam besaran subsidi BBM disebabkan karena 2 hal. Pertama, relatif tetapnya harga jual eceran BBM. Kedua, semakin mahalnya harga keekonomian BBM. Tingginya harga keekonomian BBM disebabkan oleh naiknya harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah. Beban subsidi yang semakin besar berdampak kurang baik bagi kebijakan fiskal karena mengurangi kemampuan menciptakan ruang fiskal, kebutuhan anggaran untuk menjalankan program yang penting dan mendesak, dan pelaksanaan program-program pro-rakyat seperti bantuan langsung tunai, bantuan kesehatan, bantuan operasional sekolah, dan raskin. Selain itu, subsidi harga BBM cenderung menyebabkan terjadinya penyalahgunaan BBM, penyelundupan ke luar negeri, kurangnya insentif bagi pengembangan energi alternatif, pemborosan devisa negara, dan penggunaan energi yang kurang efisien. Meskipun demikian, subsidi BBM telah mampu menstabilkan harga jual eceran BBM, meredam imported inflation yang berasal dari kenaikan harga dunia minyak mentah, relatif terkendalinya laju inflasi, dan penciptaan iklim yang lebih kondusif bagi dunia usaha. Posisi pemerintah menjadi dilemmatis. Upaya pengurangan subsidi BBM telah dimulai sejak lama, bahkan rencana penghapusan subsidi BBM tercantum dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004. Tampaknya kondisi masyarakat pada saat itu masih belum siap dan masih memerlukan stimulus fiskal cukup besar. Pada tahun 2010 kembali diupayakan pengurangan subsidi BBM secara bertahap. Upaya pengurangan subsidi secara bertahap dimaksudkan agar masyarakat dapat menerima kenaikan harga BBM, tidak menimbulkan gejolak sosial politik, sambil mempersiapkan upaya kompensasi bagi masyarakat kurang mampu. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penting untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pasar BBM serta dampak dari kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan BBM, khususnya yang terkait dengan subsidi harga BBM di Indonesia, dan (2) meramalkan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia periode tahun 2010-2014. Metodologi penelitian meliputi pengumpulan data sekunder, konstruksi model, prosedur analisis, dan penyusunan persamaan simultan yang terdiri dari persamaan identitas dan struktural. Menggunakan data tahunan periode tahun 19862006, model diestimasi menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN. Pada tahap signifikansi 20 persen akhirnya diperoleh model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia dengan 76 persamaan yang terdiri dari 34 persamaan perilaku dan 42 persamaan identitas, yang secara ekonomi logis dan mempunyai arti serta
7 dapat dibuktikan secara statistik. Tahap selanjutnya dilakukan uji validasi terhadap model dengan menggunakan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN. Uji validasi meliputi RMSPE, UM, US, UD, dan U-Theil. Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun mempunyai daya ramal yang cukup valid untuk melakukan simulasi ramalan. Simulasi ramalan dilakukan pada periode 2010-2014 dengan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN. Seluruh penghitungan menggunakan program piranti lunak Statistical Analysis System/ Estimation Time Series (SAS/ETS) versi 9.0. Berdasarkan hasil estimasi parameter, dapat disimpulkan bahwa penawaran BBM yang diwakili oleh jumlah BBM yang diimpor, dipengaruhi secara negatif oleh harga dunia minyak mentah dan secara positif oleh konsumsinya, indek harga konsumen, dan bedakalanya. Permintaan BBM dipengaruhi secara negatif oleh harga jual ecerannya dan secara positif oleh konsumsinya, harga barang substitusinya, dan bedakalanya masing-masing. Khusus permintaan minyak tanah sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi secara positif oleh harga eceran kayu bakar. Substitusi premium adalah bensin pertamax, minyak solar tidak mempunyai substitusi, minyak tanah dapat disubstitusi elpiji di sektor rumahtangga dan komersial. Subsidi harga BBM dipengaruhi secara positif oleh harga dunia minyak mentah, nilai tukar rupiah, penerimaan dalam negeri pemerintah, dan bedakalanya masing-masing. Subsidi harga BBM, kecuali elpiji, elastis terhadap harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah, jangka pendek maupun jangka panjang. Subsidi harga elpiji elastis terhadap nilai tukar untuk jangka panjang. Simulasi kenaikan harga dunia minyak mentah akan menaikkan harga jual eceran BBM sekitar 10 persen. Kenaikan harga jual eceran BBM ini berdampak pada peningkatan inflasi, penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Simulasi peningkatan penerimaan dalam negeri berdampak positif bagi kinerja perekonomian dan kemiskinan, yang ditunjukkan antara lain oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi, berkurangnya tingkat inflasi, dan berkurangnya jumlah penduduk miskin. Kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM berdampak pada memburuknya kinerja perekonomian dan kemiskinan, termasuk defisit kesejahteraan. Program konversi minyak tanah ke elpiji, meskipun lebih baik, namun tetap berdampak buruk bagi perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan. Kurangbaiknya dampak 2 simulasi terakhir kemungkinan besar disebabkan oleh penurunan belanja pemerintah dan negatifnya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Disadari bahwa di negara berkembang seperti Indonesia, peranan belanja negara sangat dominan. Hipotesa tersebut terbukti pada simulasi selanjutnya ketika subsidi BBM dikurangi dan besaran anggaran belanja negara diupayakan konstan melalui realokasi anggaran. Hasilnya positif terhadap peningkatan kinerja perekonomian dan pengurangan kemiskinan, meskipun kebijakan keberlanjutan fiskal tidak bisa dipertahankan. Dalam rangka mengatasi dampak negatif penurunan subsidi BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji, pemerintah sebaiknya mempertahankan besaran belanja negara agar tetap konstan, melalui realokasi anggaran. Dengan melakukan hal tersebut, maka akan tersedia tambahan dana untuk memperbesar ruang fiskal atau mengalokasikan anggaran pada pos-pos yang sangat penting dan mendesak, seperti program pembangunan prasarana dan sarana serta program-program pengentasan kemiskinan.
8
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
9
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
HANGGONO TJAHJO NUGROHO
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
10
Judul Penelitian
:
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia
Nama Mahasiswa :
HANGGONO TJAHJO NUGROHO
Nomor Pokok
:
A 1610 40244
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc
Anggota
Anggota Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Prof. Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 21 Desember 2009
Tanggal Lulus:
11
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan kasihNya maka disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran Bahan Bakar Minyak serta dampak kebijakan subsidi harga Bahan Bakar Minyak terhadap indikator makroekonomi, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan data dari berbagai sumber tahun 1986 – 2006, dan dianalisis dengan model ekonometrik. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, atas segala perhatian, bimbingan, saran, kritik, dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis sejak penerimaan mahasiswa, masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor, penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, pengolahan data, hingga penyusunan disertasi.
2.
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc dan Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas segala perhatian, bimbingan, motivasi, arahan, saran, dan kritik kepada penulis sejak masa penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, hingga penyusunan disertasi.
3.
Prof.
Dr. Ir.
Mangara
Tambunan
dan
Dr.
Ir. Widhyawan
Prawiraatmadja, sebagai penguji luar komisi dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS, sebagai pimpinan ujian terbuka yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan disertasi ini. 4.
Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan Ketua Program Studi EPN yang berkenan member kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
5.
Rekan-rekan Program Studi S3-EPN Khusus Angkatan II yang tanpa bosan selalu memberikan dorongan, motivasi, dan saran dalam
12 kaitannya dengan penyelesaian disertasi dan studi ini, termasuk juga rekan Rasidin, Iwan Hermawan, Budi Hidayat, dan Adi Lumaksono. 6.
Ketua dan Anggota Komite masa jabatan 2003-2007 dan masa jabatan 2007-2011 di Badan Pengatur Hilir Migas, yang telah banyak memberikan dukungan moril pada penulis, khususnya keleluasaan waktu yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan disertasi ini. Tak lupa
pada
Tubagus
Haryono,
Lubna,
Eri,
Iwan,
Hairiyati,
Shahabuddin, dan Ibrahim yang banyak memberikan dukungan semangat pada penulis. 7.
Sekertariat Program Studi EPN (Ruby Garniwan, Yani, Aam, bu Kokom,
Husen,
dan
Angga)
yang
telah
banyak
membantu
meringankan segala pengurusan akademik sejak masa perkuliahan hingga prosesi kelulusan. 8.
Terakhir, kepada isteriku tercinta Ike Lusiana Julitta serta anak-anakku Linggar, Danar, dan Sekar, yang dengan penuh kesabaran dan pengertiannya telah dengan dengan ikhlas merelakan dan memberikan pengorbanan waktunya bersama keluarga. Kepada semuanya, sekali lagi tidak lain yang dapat penulis ucapkan selain
terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas dengan berlipat ganda. Penulis menyadari bahwa dengan segala keterbatasan penulis, penelitian ini tentulah belum sempurna, yang menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya. Oleh karena itu segala saran dan masukan guna penyempurnaan penelitian sangat berguna bagi penulis dan masyarakat ilmiah. Penulis berharap agar hasil penelitian ini berguna bagi masyarakat dan pihak-pihak yang memerlukannya. Bogor,
Juni 2010
Penulis
13
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Desember 1960 di Jakarta dan memiliki orang tua yang bernama Bapak Djoko K. dan Ibu Soeratun. Pada tahun 1979 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Asisi, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1987 di Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (Teknik Planologi) Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1988 - sekarang, penulis adalah pegawai negeri sipil di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapppenas), yang pada periode 1994-2002 menduduki jabatan eselon III/a, terakhir sebagai Kepala Sub Direktorat Kinerja Otonomi Daerah, Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah, dan pada tahun 2002 penulis menjadi pejabat fungsional perencana dengan posisi Perencana Madya. Pada tahun 2003 penulis diangkat
sebagai
Anggota
Komite
Badan
Pengatur
Penyediaan
dan
Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa (Badan Pengatur Hilir Migas) masa jabatan 2003-2007. Pada tahun 2007 penulis berhasil lolos lagi dalam fit and proper test di DPR-RI untuk menduduki posisi yang sama, masa jabatan 2007-2011. Pada tahun 1990 penulis mendapatkan sertifikat di bidang economic planning di Glasgow University, Glasgow, United Kingdom atas biaya pemerintah Inggris melalui British Council Jakarta. Gelar magister manajemen diraih pada tahun 1995 dalam bidang Manajemen Keuangan di Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta. Guna lebih memperdalam pengetahuan dan pemahaman di bidang ekonomi, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan pada Program S3 di bidang Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana, Universitas Indonesia, Depok dan lulus menempuh Ujian Prelim pada tahun 2002 serta menjadi Kandidat Doktor. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan pada Program S3 di bidang Ilmu Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penulis menikah dengan Ike Lusiana Julitta tahun 1996 dan dikaruniai dua orang anak laki-laki yaitu Linggar Rehandhana Kanugroho dan Danar Ramadhya Kanugroho, serta satu orang anak perempuan yaitu Sekar Wening Nareshwari.
14
DAFTAR ISI Halaman
I.
II.
DAFTAR TABEL ................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xi
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................
8
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................
12
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...............................
13
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
18
2.1. Pengertian dan Jenis Subsidi .......................................................
18
2.2. Penawaran dan Permintaan Bahan Bakar Minyak .....................
19
2.2.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak .....................................
19
2.2.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak ....................................
21
2.2.3. Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak .........................
24
2.3. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia ................................
25
2.3.1. Subsidi Umum ..................................................................
25
2.3.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak ..........................................
27
2.3.3. Upaya Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak .........
30
2.3.4. Keterkaitan dengan Perekonomian ...................................
32
2.3.5. Keterkaitan dengan Defisit Anggaran ..............................
36
2.3.6. Keterkaitan dengan Kemiskinan .......................................
37
2.4. Subsidi Energi di Negara Lain ....................................................
41
2.4.1. Subsidi Energi di India .....................................................
41
2.4.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Malaysia .......................
42
2.4.3. Subsidi Energi di Negara-negara Eropa ...........................
43
2.4.4. Subsidi Energi di Negara-negara Asia ..............................
45
15
III.
IV.
2.5. Tinjauan Studi Sebelumnya .........................................................
48
2.5.1. Pasar Minyak Mentah ......................................................
48
2.5.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia ......................
54
2.5.3. Kemiskinan .......................................................................
59
KERANGKA TEORI ..........................................................................
69
3.1. Dampak Subsidi Input Terhadap Output ......................................
69
3.2. Kinerja Perekonomian ..................................................................
71
3.2.1. Pendapatan Nasional ..........................................................
71
3.2.2. Inflasi ..................................................................................
72
3.2.3. Pengangguran .....................................................................
75
3.2.4. Neraca Pembayaran ............................................................
77
3.3. Kemiskinan ...................................................................................
78
3.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan ........................................
78
3.3.2. Faktor-faktor Penentu Kemiskinan ....................................
80
3.4. Keseimbangan Perekonomian dalam Kerangka Makroekonomi
81
3.5. Hubungan antar Variabel Makroekonomi ....................................
87
3.5.1. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran ....................................................................
88
3.5.2. Trade-off antara Inflasi dan Pengangguran ........................
89
3.5.3. Hubungan antara Nilai Tukar dan Pengeluaran Pemerintah .........................................................................
90
3.5.4. Hubungan Subsidi dengan Keberlanjutan Fiskal ...............
92
3.6. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan dan Kinerja Perekonomian ............................................................................
94
3.6.1. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan ..........................
94
3.6.2. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian .............
97
3.6.3. Dampak Subsidi terhadap Kemiskinan ..............................
101
3.6.4. Kebijakan Subsidi ..............................................................
102
3.7 Kerangka Pemikiran .....................................................................
103
METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................
108
4.1. Spesifikasi Model .........................................................................
108
4.1.1. Blok Pasar Bahan Bakar Minyak ......................................
113
16
V.
4.1.2. Blok Perdagangan Bahan Bakar Minyak ..........................
120
4.1.3. Blok Fiskal ........................................................................
122
4.1.4. Blok Permintaan Agregat ...................................................
124
4.1.5. Blok Moneter ......................................................................
127
4.1.6. Blok Pasar Tenaga Kerja ....................................................
129
4.1.7. Blok Kinerja Perekonomian ...............................................
130
4.1.8. Blok Kemiskinan ................................................................
130
4.2. Prosedur Analisis .........................................................................
132
4.2.1. Identifikasi Model ..............................................................
132
4.2.2. Metode Estimasi Model .....................................................
133
4.2.3. Validasi Model ...................................................................
134
4.3. Skenario Simulasi .........................................................................
136
4.4. Perubahan Kesejahteraan .............................................................
143
4.5. Definisi Operasional Variabel ......................................................
145
4.6. Jenis dan Sumber Data .................................................................
147
HASIL ESTIMASI MODEL SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK INDONESIA ......................................................................
148
5.1. Keragaan Umum Model ...............................................................
148
5.2. Blok Pasar Bahan Bakar Minyak ................................................
149
5.2.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak .......................................
149
5.2.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak .....................................
150
5.2.3. Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak ..........................
159
5.3. Blok Perdagangan Bahan Bakar Minyak ....................................
159
5.3.1. Impor Bahan Bakar Minyak ..............................................
159
5.3.2. Ekspor Bahan Bakar Minyak .............................................
161
5.3.3. Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak .................................
162
5.4. Blok Fiskal ...................................................................................
163
5.4.1. Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ..................................
163
5.4.2. Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah .............................
167
5.4.3. Gap Fiskal .........................................................................
167
5.5. Blok Permintaan Agregat ............................................................
168
5.5.1. Konsumsi Nasional ............................................................
168
5.5.2. Investasi Nasional .............................................................
169
17
VI.
5.5.3. Belanja Pemerintah ............................................................
171
5.5.4. Impor Nasional ...................................................................
172
5.5.5. Ekspor Nasional .................................................................
173
5.5.6. GDP Nasional ....................................................................
174
5.6. Blok Moneter ................................................................................
174
5.7. Blok Pasar Tenaga Kerja ..............................................................
178
5.8. Blok Kinerja Perekonomian ........................................................
180
5.9. Blok Kemiskinan ..........................................................................
181
5.10. Diskusi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran, Permintaan, Subsidi, dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia ..................................................................................
183
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA ........................................................
187
6.1. Hasil Validasi Model ....................................................................
188
6.2. Hasil Skenario Simulasi Periode Peramalan Tahun 2010-2014 ...
188
6.2.1. Simulasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen ..............................................................................
188
6.2.2. Simulasi Kenaikan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen ............................................................................
195
6.2.3. Simulasi Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji ........................................
200
6.2.4. Simulasi Konversi Minyak Tanah ke Elpiji ......................
205
6.2.5. Simulasi Kombinasi Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar dengan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji ...................................................................
208
6.2.6. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji ..................................................................
212
6.2.7. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran ........................................
215
18
VII.
V.
6.2.8. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Kenaikan Indek Harga Konsumen 5 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran ..........................................................
219
6.3. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kesejahteraan Periode Peramalan Tahun 2010-2014 ..
223
6.4. Rangkuman dan Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian, Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014 .....................................................
229
6.4.1. Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak .................................................................
229
6.4.2. Sintesis Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia ...................................................................
236
6.4.3. Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ............................................................................
242
SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..................................
248
7.1. Simpulan .......................................................................................
248
7.2. Implikasi Kebijakan .....................................................................
258
7.3. Saran Penelitian Lanjutan .............................................................
260
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
263
LAMPIRAN ........................................................................................
270
19 DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Perkembangan Nilai Tukar, Harga Dunia Minyak Mentah, Belanja Negara, dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985-2007 .......
3
2.
Jumlah Konsumsi Energi menurut Jenis dan Kelompok Rumahtangga di Indonesia Tahun 1990-2003 ..............................
6
3.
Ringkasan Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 ..........................................................
7
Harga Jual Eceran dan Perkiraan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2006 ........................................
8
Pemakaian Minyak Tanah, Kayu Bakar, dan Elpiji oleh Rumahtangga untuk Memasak di Indonesia Tahun 1985-2007 ....
9
Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 ..........................................................................
22
Perkembangan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2005 ..........................................................
25
Perkembangan Belanja Negara dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985/86-2007 ................................................................................
26
Perkembangan Indikator Perekonomian dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 ........................................
34
10.
Beberapa Indikator Kemiskinan di Indonesia Tahun 1999-2008..
38
11.
Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 19962007 ...............................................................................................
40
Subsidi dan Pajak Bahan Bakar Minyak di Beberapa Negara Asia ...............................................................................................
46
Studi Terdahulu mengenai Pasar Minyak Mentah, Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia, dan Kemiskinan ..............................
66
14.
Evaluasi Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan ........
96
15.
Evaluasi Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan ..........
97
16.
Persamaan-persamaan yang Menyusun Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia ....................................................
111
4. 5. 6. 7. 8. 9.
12. 13.
20 17.
Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen ..................
145
18.
Hasil Estimasi Parameter Permintaan Premium oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006 .....................................................
151
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006 .....................................................
152
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006 .............................................................
153
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006 ...........................
154
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006 ..........................................
155
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006 .................................................
156
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006 ...............
156
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Elpiji oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006 ..........................................................................
157
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Elpiji oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006 ...........................
158
27.
Hasil Estimasi Parameter Impor Premium Tahun 1986-2006 .....
160
28.
Hasil Estimasi Parameter Impor Minyak Solar Tahun 1986-2006
160
29.
Hasil Estimasi Parameter Impor Minyak Tanah Tahun 19862006 ...............................................................................................
161
30.
Hasil Estimasi Parameter Ekspor Elpiji Tahun 1986-2006 ...........
162
31.
Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Premium Tahun 19862006 ...............................................................................................
164
Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Minyak Solar Tahun 1986-2006 …………….................................................................
165
Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Minyak Tanah Tahun 1986-2006 .....................................................................................
165
Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Elpiji Tahun 1986-2006
166
19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
32. 33. 34.
21 35.
Hasil Estimasi Parameter Penerimaan Pajak Tahun 1986-2006 ...
167
36.
Hasil Estimasi Parameter Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 ..........................................................................
168
Hasil Estimasi Parameter Investasi Minyak dan Gas Bumi Tahun 1986-2006 .....................................................................................
170
Hasil Estimasi Parameter Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi Tahun 1986-2006 ..........................................................................
170
Hasil Estimasi Parameter Belanja Pemerintah Non-Subsidi Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 .......................................
171
Hasil Estimasi Parameter Impor Non- Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 ..........................................................................
172
Hasil Estimasi Parameter Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 ..........................................................................
173
42.
Hasil Estimasi Parameter Penawaran Uang Tahun 1986-2006 .....
175
43.
Hasil Estimasi Parameter Permintaan Uang Tahun 1986-2006 ....
176
44.
Hasil Estimasi Parameter Nilai Tukar Rupiah Tahun 1986-2006 .
177
45.
Hasil Estimasi Parameter Indeks Harga Konsumen Tahun 19862006 ..............................................................................................
177
46.
Hasil Estimasi Parameter Tingkat Suku Bunga Tahun 1986-2006
178
47.
Hasil Estimasi Parameter Penawaran Tenaga Kerja Tahun 19862006 ...............................................................................................
179
Hasil Estimasi Parameter Permintaan Tenaga Kerja Tahun 19862006 ...............................................................................................
179
49.
Hasil Estimasi Parameter Upah Tenaga Kerja Tahun 1986-2006.
180
50.
Hasil Estimasi Parameter Kemiskinan di Perdesaan Tahun 19862006 ...............................................................................................
181
Hasil Estimasi Parameter Kemiskinan di Perkotaan Tahun 19862006 ...............................................................................................
182
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014 ..........................................
192
37. 38. 39. 40. 41.
48.
51. 52.
22 53.
54.
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014 .....................................................................................
224
Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian, Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014
232
23 DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Harga Jual Eceran Minyak Tanah di Beberapa Negara Asia, Oktober 2008 ...............................................................................
47
2.
Efek Substitusi Input dan Output Akibat Penurunan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ........................................................
70
3.
Keseimbangan Pasar Barang .......................................................
83
4.
Keseimbangan Pasar Uang ..........................................................
84
5.
Penurunan Permintaan Agregat ...................................................
85
6.
Penurunan Penawaran Agregat ....................................................
86
7.
Keseimbangan Neraca Pembayaran ............................................
87
8.
Trade Off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran ........
89
9.
Diagram Swan ..............................................................................
91
10.
Pengaruh Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan ....
96
11.
Pengaruh Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan ........
97
12.
Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian .......................
99
13.
Tahapan Produksi dan Pasar Bahan Bakar Minyak di Indonesia ......................................................................................................
105
Kerangka Pemikiran Keterkaitan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia .....................................................................................
107
Keterkaitan Antar Blok dalam Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia .............................................................
110
Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia .............
114
14.
15. 16.
24 DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Penawaran Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 19902005 .............................................................................................
271
2.
Pemakaian Bahan Bakar Minyak per Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 ....................................................................................
278
3.
Istilah-Istilah sektor Minyak dan Gas Bumi ................................
286
4.
Perkembangan Subsidi di Indonesia Tahun 1985-2007 ..............
288
5.
Program Estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ...........................................
289
Hasil Estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ...........................................
295
Program Validasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 .........................
312
Hasil Validasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 .........................
317
Program Peramalan Variabel Endogen Tahun 2007-2014 Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ......................................................................
326
Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2007-2014 Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ......................................................................
331
Program Simulasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2010-2014 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ...
334
Hasil Simulasi Peramalan Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2010-2014 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0 (Simulasi 8) ...................................................................
341
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
25 13.
14.
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia Periode Peramalan 2010 – 2014 ..................................................
347
Data Riil Tahun 1986-2006 ........................................................
350
26
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Subsidi menurut ilmu ekonomi adalah bantuan keuangan dari pemerintah
untuk membantu sektor industri atau bisnis guna menjaga harga barang atau jasa tetap rendah. Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) mengartikan subsidi sebagai transfer dana langsung termasuk potential transfer seperti loan guarantees, pendapatan yang hilang, barang dan jasa yang disediakan pemerintah, seperti infrastruktur umum atau pembelian barang lainnya oleh pemerintah, dan subsidi spesifik dari pemerintah. Oleh sebab itu subsidi menjadi alternatif kebijakan politik untuk mentransfer sebagian dana dari kelompok masyarakat yang satu ke kelompok masyarakat lainnya (Bappenas, 2007). Menurut Suparmoko dalam Handoko dan Patriadi (2005), subsidi atau transfer dana adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi pemerintah. Di banyak negara pengekspor minyak, keberadaan instrumen subsidi harga bahan bakar minyak (BBM)1 tetap dipertahankan karena secara politik negara dengan sumberdaya minyak yang berlimpah selayaknya memberikan subsidi harga BBM di dalam negeri untuk melindungi konsumen domestik terhadap fluktuasi harga dunia minyak mentah. 1 Bahan Bakar Minyak, disingkat BBM, dalam disertasi ini pada awalnya hanya meliputi bensin premium atau premium (gasoline), minyak solar (automotive diesel oil, ADO), minyak tanah (kerosene), dan elpiji (liquefied petroleum gas, LPG). Ketiga jenis BBM itu merupakan BBM subsidi hingga saat ini, tahun 2010. Namun karena pemerintah melaksanakan program konversi minyak tanah ke elpiji pada tahun 2007 yang lalu, maka disertasi ini menambahkan elpiji dalam lingkup pembahasannya guna dapat menangkap nuansa konversi tersebut. Sehingga terminologi BBM dalam disertasi ini terdiri dari premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji.
27 Namun demikian, di sisi lain, subsidi harga BBM juga memiliki eksternalitas negatif. Seperti yang dinyatakan oleh Basri (2002), subsidi harga BBM yang tidak transparan dan tidak jelas targetnya akan menyebabkan: (1) distorsi baru dalam perekonomian, (2) menciptakan inefisiensi, dan (3) tidak dinikmati oleh masyarakat yang berhak. Masyarakat membeli BBM dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar internasional, sehingga konsumen cenderung tidak berhemat terhadap BBM dan terjadi pemborosan sumberdaya, akibat selanjutnya adalah perekonomian menjadi kurang kompetitif. Hartarto (2009) dalam Jajang (2009) mengatakan bahwa Indonesia belum siap untuk melepaskan subsidi harga BBM. Hal ini disebabkan masih mahalnya harga energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan. Menurut Bappenas (2007), hal ini dapat dipahami karena pengurangan subsidi harga BBM mempunyai pengaruh pengganda (multiplier effect) yang lebih luas dibandingkan dengan subsidi non-BBM. Pemerintah Indonesia mulai mengeluarkan subsidi harga BBM yang besar ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998, yaitu sebesar Rp. 28.61 triliun sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Besaran subsidi BBM cenderung berfluktuasi dan mencapai angka tertinggi pada tahun 2008 sebesar Rp. 146.6 triliun dengan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9 196 per US$. Menurut Nugroho (2005) lonjakan nilai tukar rupiah menjadi faktor penting yang menyebabkan peningkatan subsidi BBM. Sementara itu terlihat bahwa komposisi subsidi BBM dan non-BBM terhadap belanja negara cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun secara nominal cenderung meningkat. Abimanyu (2009) dalam Departemen Keuangan (2009c) menyebutkan terdapat beberapa faktor yang
28 mendorong lonjakan anggaran belanja subsidi BBM, antara lain: (1) menurunnya lifting minyak bumi2 dari target APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan (2) peningkatan konsumsi BBM. Tabel 1.
Perkembangan Nilai Tukar, Harga Dunia Minyak Mentah, Belanja Negara, dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985-2007 Nilai Tukar1
Harga Dunia Minyak Mentah2
Belanja Negara3
(Rp/US$)
(US$/Barrel)
(Rp. Miliar)
Tahun
Subsidi BBM3 (Rp. Miliar)
(%) *
Subsidi Non-BBM3 (Rp. Miliar)
(%) *
1985
1 111
27.56
22 148
450
2.03
917
4.14
1990
1 843
23.73
39 754
3 306
8.32
265
0.67
1995
2 249
17.02
65 340
0
0.00
179
0.27
1998
10 014
12.72
172 669
28 607
16.57
7 179
4.16
2000
8 396
28.50
221 467
53 810
24.30
8 936
4.03
2005
9 705
53.40
361.200
95 600
26.47
25 200
6.97
2006
9 164
64.30
440 000
64 200
14.59
43 200
9.82
2007
9 140
72.30
504 600
83 800
16.61
66 400
13.16
2008
9 196
110.60
729 100
146 600
20.01
135 100
18.53
Keterangan: Sumber:
* 1 2 3
: Kontribusi Subsidi terhadap Belanja Negara : IMF, 2006 dan Departemen Keuangan, 2009b : Badan Pelaksana Migas (BPMigas), 2009 : Bappenas, 2007 dan Departemen Keuangan, 2009b
Faktor lain yang sangat esensial adalah fluktuasi harga dunia minyak bumi. Departemen Keuangan, 1991, menyatakan bahwa pemberian subsidi BBM dikarenakan BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional dan besar pengaruhnya terhadap upaya menjaga stabilitas ekonomi. Besar kecilnya subsidi BBM bergantung pada selisih daripada hasil penjualan BBM dan biaya pengadaan dalam negeri. Hasil penjualan BBM dalam negeri pada gilirannya bergantung pada harga dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri, sedangkan biaya pengadaan BBM bergantung pada biaya
2
Istilah minyak bumi atau minyak mentah merupakan minyak mineral yang sama, sebagaimana yang terlihat pada Lampiran 3, dan dalam disertasi ini istilah tersebut dipakai secara bergantian.
29 pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian minyak mentah merupakan komponen yang paling besar dalam pengadaan BBM, maka besar kecilnya subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah. Harga dunia minyak mentah sangat berfluktuatif dan merupakan harga yang dibentuk sebagian oleh kartel penjual OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang menguasai penawaran minyak mentah sekitar 45 persen, situasi keamanan di negara-negara penghasil minyak OPEC dan nonOPEC, dan oleh spekulasi harga oleh para spekulan. Spekulasi harga dunia minyak dilakukan di pasar New York Mercantile Exchange (NYMEX) di New York, yaitu pasar berjangka komoditas dimana salah satu komoditasnya adalah minyak mentah. Proporsi volume minyak mentah yang diperdagangkan di pasar NYMEX sekitar 35 persen dari volume perdagangan dunia minyak mentah. Meskipun demikian, sejarah membuktikan bahwa pasar dunia minyak mentah dapat didikte oleh harga yang terbentuk di pasar NYMEX. Contoh terakhir adalah ketika harga dunia minyak mentah mencapai US$143 per barrel pada bulan Maret 2008 dan turun drastis mencapai US$40 per barrel setahun kemudian. Meskipun sangat fluktuatif, harga dunia minyak mentah cenderung menunjukkan peningkatan yang konsisten yang dimulai pada tahun 1973 sebesar US$12 per barrel hingga tahun 2009 mencapai sekitar US$70 per barrel. Menurut Brown and Yucel (2002) kenaikan harga dunia minyak bumi dapat menurunkan GDP (Gross Domestic Product) yang ditransmisikan melalui sisi supply dan biaya-biaya umum. Rasio biaya BBM yang tinggi pada sektor usaha menunjukkan kepekaannya terhadap perubahan harga dunia minyak bumi.
30 Menurut Blanchard and Jordi (2008) perubahan harga dunia minyak bumi menjadi hal yang penting karena berdampak pada banyak sendi-sendi ekonomi secara konsisten dan simultan sehingga dapat menyebabkan resesi ekonomi. Di pasar dunia posisi Indonesia adalah sebagai price taker karena memproduksi minyak mentah sebanyak 1.1 persen dari total produksi minyak mentah dunia. Sebagai price taker maka fluktuasi harga dunia minyak mentah menjadi faktor eksternal yang given dan karena itu perlu disiasati dengan hati-hati. Sebelum tahun 2005 Indonesia masih menikmati windfall profit3 dari minyak bumi karena ekspor bersih minyaknya masih positif. Sejak tahun 2005 Indonesia masuk dalam kategori negara pengimpor minyak (net-importer country), yaitu lebih banyak mengimpor minyak daripada mengekspornya. Karena itu kenaikan harga dunia minyak mentah cenderung mengakibatkan semakin besarnya defisit ekspor bersih minyak. BBM merupakan sumber energi utama bagi perekonomian nasional yang memberikan kontribusi sebesar 36.51 persen terhadap total konsumsi energi final4 di dalam negeri. Menurut Yanuarti (2004), jasa angkutan dan perkebunan merupakan pengguna BBM yang memiliki rasio biaya kurang dari 35 persen, sedangkan industri pengolahan dan pertambangan memiliki rasio biaya BBM lebih dari 50 persen. Secara umum kenaikan harga BBM sebesar 1 persen diperkirakan dapat memberikan tekanan terhadap kenaikan harga barang-barang di dalam negeri sebesar 0.07 persen tanpa adanya subsidi harga BBM. 3
Windfall profit adalah istilah populer untuk menunjukkan kenaikan mendadak pendapatan negara dari kegiatan mengekspor dan mengimpor minyak bumi sebagai akibat dari kenaikan harga dunia minyak bumi. Hal ini hanya berlaku bagi negara dengan status net-exporter country yaitu lebih banyak volume ekspor dibandingkan impor minyak buminya. 4 Energi Final adalah energi yang dapat dikonsumsi langsung oleh pemakai atau konsumen. Sumber energi lain, selain BBM, adalah BBM non-subsidi, listrik, batubara, kayu bakar, gas bumi (gas alam), dan arang. Total konsumsi energi final di Indonesia pada tahun 2005 adalah 863 751 setara barrel minyak (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006).
31 Berkaitan dengan kemiskinan, Nuryanti dan Herdinie (2007) menyebutkan bahwa kelompok rumahtangga kaya mendominasi konsumsi energi komersial yaitu listrik, elpiji, gas bumi, dan minyak tanah, seperti yang tertera pada Tabel 2. Hal tersebut tampak dari besarnya kontribusi konsumsi energi komersial yang terkait dengan alasan kepraktisan, peningkatan daya beli, dan perubahan gaya hidup. Sementara kelompok rumahtangga miskin masih bergantung pada jenis energi non-komersial khususnya arang dan kayu bakar. Teori Engel dalam Tambunan (2003) menyatakan bahwa kontribusi pengeluaran konsumsi makanan rumahtangga di perdesaan lebih besar dibandingkan dengan kontribusi pengeluaran konsumsi makanan rumahtangga di perkotaan, karena rumahtangga perkotaan sudah beralih ke pengeluaran konsumsi non-makanan. Tabel 2.
Tahun
Kelompok Mid-Low
1990 1995
SBM
%
Kayu Bakar SBM
%
Lain-Lain SBM
%
12 518
31.7
75 699
43.3
3 178
Mid-Up
940
99.2
26 971
68.3
99 269
56.7
8 907
73.7
Mid-Low
47
1.5
12 337
28.9
80 932
43.4
3 778
21.6
3 151
98.5
30 318
71.1
105 419
56.6
13 733
78.4
183
4.8
23 076
43.7
126 014
61.3
5 790
26.5
3 659
95.2
29 717
56.3
79 637
38.7
16 060
73.5
170
3.9
19 406
32.3
112 964
51.9
5 475
21.9
4 157
96.1
40 730
67.7
104 498
48.1
19 486
78.1
Mid-Up Mid-Low Mid-Up
Keterangan:
Minyak Tanah %
Kelompok
0.8
Mid-Up
2003
Elpiji SBM
dan
8
Mid-Low
2000
Sumber:
Jumlah Konsumsi Energi Menurut Jenis Rumahtangga di Indonesia Tahun 1990-2003
26.3
Lain-lain: meliputi listrik, gas bumi, arang, dan briket. SBM: Setara Barrel Minyak. Kelompok Mid-Low: Garis Kemiskinan < Penghasilan < 149.99 %. dari Garis Kemiskinan. Kelompok Mid-Up: 150 % dari Garis Kemiskinan < Penghasilan < 20.1 %. dari Penduduk Terkaya. Statistik Ekonomi Energi Indonesia DESDM, 2006 dalam Nuryati dan Herdinie, 2007.
Tabel 3 menjelaskan penjualan BBM menurut sektor penggunanya di Indonesia pada tahun 2005. Berdasarkan sektor penggunanya, premium dikonsumsi utamanya oleh sektor transportasi sebesar 96.66 persen atau 98.5 juta SBM, minyak solar dikonsumsi oleh sektor transportasi dan industri berturut-turut
32 sebesar 44.92 persen (61.4 juta SBM) dan 38.62 persen (52.8 juta SBM), dan minyak tanah dikonsumsi utamanya oleh sektor rumahtangga dan komersial sebesar 95.41 persen atau 62.7 juta SBM. Terakhir elpiji utamanya dikonsumsi oleh sektor rumahtangga dan komersial sebesar 71.91 persen atau 6.4 juta SBM dan sektor industri sebesar 28.09 persen atau 2.5 juta SBM. Penelitian ini menambahkan elpiji subsidi sebagai salah satu komponen BBM. Elpiji dimaksudkan untuk menggantikan minyak tanah sebagai sumber energi memasak rumahtangga dan usaha kecil melalui Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji. Melalui program konversi diharapkan 52.9 juta rumahtangga dan usaha kecil pengguna minyak tanah dapat beralih ke elpiji (Pertamina, 2009). Tabel 3.
Ringkasan Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 (Juta SBM)
P
MT
MS
E
P
MT
MS
E
Rumahtangga dan Komersial P MT MS E
MT
MS
E
1990
0
1.7
18.4
0.8
35.0
0.010
29.5
0
0
40.5
1.4
1.9
2.1
1.7
11.7
0
1995
0
2.7
32.5
1.6
49.7
0.012
43.5
0
0
45.7
2.9
4.2
3.9
2.3
20.7
0
1997
0
3.1
34.4
2.0
58.5
0.013
48.5
0
0
50.0
3.3
5.0
4.7
2.6
24.1
0
1998
0
2.9
37.3
1.8
61.1
0.013
50.4
0
0
52.0
2.8
5.2
2.9
2.4
17.3
0
2000
0
3.6
47.7
2.4
69.6
0.013
57.3
0
0
56.0
3.0
5.7
2.9
2.5
17.4
0
2005
0
2.5
52.8
2.5
98.5
0.014
61.4
0
0
62.7
3.2
6.4
3.4
2.5
19.3
0
Industri
Tahun
Keterangan: Sumber:
Transportasi
Lain-Lain P
P: Premium; MT: Minyak Tanah; MS: Minyak Solar; E: Elpiji SBM adalah Setara Barrel Minyak, yang merujuk pada kandungan kalori. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
Perhitungan perkiraan subsidi harga premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji yang disajikan pada Tabel 4 menggunakan pendekatan sederhana yaitu selisih antara harga dunia minyak mentah dengan harga jual eceran BBM di dalam negeri, keduanya dalam mata uang rupiah. Subsidi harga minyak tanah secara relatif lebih besar dibandingkan dengan subsidi harga premium, minyak
33 solar, dan elpiji, karena minyak tanah banyak digunakan oleh rumahtangga kurang mampu yang sangat membutuhkan subsidi. Tabel 4.
Harga Jual Eceran dan Perkiraan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2006 Premium
Tahun
Harga Jual Eceran
Minyak Solar
Subsidi Harga
Harga Jual Eceran
Subsidi Harga
Minyak Tanah Harga Subsidi Jual Harga Eceran
(Rp/Liter)
Elpiji Harga Subsidi Jual Harga Eceran (Rp/Kg)
1985
385
-123.8
242
32.5
165
125
370
1990
450
-76.9
245
147.1
190
224.3
400
-132.1
1995
700
-373.4
380
-36.8
280
82.5
1 000
-578.4
1998
1 000
86.7
550
592
280
926.4
1 500
-38.3
2000
1 150
892
600
1545.8
350
1 916.9
1 500
975.7
2005
3 117
229.3
2 877
639.5
2 061
1 654.0
4 250
49.6
2006
4 500
292.5
4 300
736.2
2 000
3 320.5
4 250
669.2
Sumber:
-174.6
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Pada Tabel 5 ditunjukkan seluruh sumber energi final untuk memasak rumahtangga di Indonesia periode tahun 1985-2007. Pada periode tersebut sumber energi kayu bakar lebih dominan daripada sumber energi lainnya. Walaupun mempunyai kecenderungan yang menurun, namun pada tahun 2007 penggunaan kayu bakar dalam persen meningkat dibanding tahun 2001, hal sebaliknya terjadi untuk konsumsi minyak tanah yang mengalami penurunan. Keadaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya harga jual eceran minyak tanah rata-rata sebesar 30.77 per tahun pada periode tersebut, sehingga sebagian masyarakat kurang mampu kembali menggunakan kayu bakar, yang kenaikan harganya hanya sekitar 7.00 persen per tahun pada periode yang sama. 1.2.
Perumusan Masalah Fluktuasi harga dunia minyak bumi yang tercermin melalui besaran
subsidi harga BBM dan harga jual eceran BBM di dalam negeri menimbulkan permasalahan bagi kegiatan perekonomian di Indonesia. Apabila fluktuasi harga dunia minyak mentah berdampak langsung dan linier terhadap harga jual eceran
34 BBM maka setiap terjadi fluktuasi harga dunia minyak mentah akan berakibat pada fluktuasi harga jual eceran BBM dalam negeri. Fluktuasi harga jual eceran BBM dalam negeri dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian dan fluktuasi harga umum dan biaya input sehingga berdampak kurang baik bagi perekonomian nasional. Oleh sebab itu, agar fluktuasi harga dunia minyak mentah tidak berdampak langsung dan linier terhadap harga jual eceran BBM, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan untuk meredam dampak imported inflation. Kebijakan pemerintah untuk mendistorsi pasar agar terjadi pembelokkan transmisi itu dikenal dengan kebijakan subsidi harga BBM. Tabel 5.
Tahun 1985 1990 1995 1998 2001 2007
Pemakaian Minyak Tanah, Kayu Bakar, dan Elpiji oleh Rumahtangga untuk Memasak di Indonesia Tahun 1985-2007 (Persen) Listrik 0.69 0.75 3.85 1.38 2.92 1.86
Elpiji 1.06 1.96 4.10 7.35 8.22 10.57
Minyak Tanah 25.93 26.14 32.24 38.23 44.10 36.57
Kayu Bakar 71.57 70.40 58.78 52.54 43.23 49.38
Arang 0.31 0.30 0.40 0.34 0.27 0.79
Lainnya 0.43 0.40 0.63 0.15 0.09 0.82
Sumber: BPS, 2008a.
Departemen Keuangan (2009b) menyampaikan bahwa untuk anggaran tahun fiskal 2009, setiap kenaikan US$1.0 per barrel harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price, ICP) akan berpotensi menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp. 2.8 triliun sampai dengan Rp. 2.9 triliun. Dari sisi belanja negara, setiap kenaikan harga minyak ICP US$1.0 per barrel akan berpotensi meningkatkan belanja pemerintah pusat sebesar Rp. 3.3 triliun sampai dengan Rp. 3.5 triliun, yang berasal dari pembayaran subsidi BBM, subsidi listrik kepada PT Perusahaan Listrik Negara (persero), dan peningkatan bagi hasil untuk daerah penghasil migas. Dampak bersih dari kenaikan ICP
35 sebesar US$1.0 per barrel adalah minus atau peningkatan defisit anggaran sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.6 triliun. Persoalan sesungguhnya terletak pada harga dunia minyak bumi dalam mata uang rupiah, dimana nilai tukar rupiah menjadi faktor yang sangat penting. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, disamping harga dunia minyak bumi yang berfluktuasi, nilai tukar rupiah cenderung terdepresiasi. Kedua hal ini menyebabkan harga BBM cenderung semakin mahal dalam mata uang rupiah. Harga BBM yang semakin mahal akan semakin jauh diluar jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia. Di sisi lain kebijakan subsidi harga BBM yang terus menerus dilakukan dapat mengganggu kemampuan APBN dalam mendukung pembangunan nasional. Sejak tahun 1986 subsidi BBM cenderung meningkat dan pada tahun 2005 mencapai Rp. 89.19 triliun atau 22.71 persen dari belanja negara. Oleh sebab itu pemerintah bermaksud mengurangi subsidi BBM ini secara bertahap. Kebijakan pengurangan subsidi BBM ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004, yang menyebutkan optimalisasi peran pemerintah dalam upaya mengkoreksi distorsi pasar dengan menghilangkan berbagai hambatan yang mengganggu melalui regulasi, layanan publik, dan insentif. Alasan lain pengurangan subsidi BBM adalah karena subsidi BBM tidak mencapai target kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Subsidi BBM lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat mampu. LPEM Universitas Indonesia dalam Siregar (2003) menunjukkan bahwa kelompok masyarakat miskin di Indonesia hanya mengeluarkan 0.20 persen dari pendapatannya untuk konsumsi
36 BBM dan listrik, sementara kelompok masyarakat menengah mengeluarkan 7.008.00 persen dari pendapatannya untuk konsumsi BBM dan listrik. Subsidi harga BBM menjadikan harga BBM di dalam negeri lebih murah daripada di luar negeri sehingga menyebabkan penyelundupan BBM ke luar negeri. Menurut Basri (2008) kenaikan harga BBM akan menjadi disinsentif bagi penyalahgunaan atau penyelundupan BBM dan juga akan mengurangi konsumsi BBM. Menurunnya penyelundupan dan konsumsi dapat menurunkan impor BBM, sehingga nilai tukar rupiah menguat dan inflasi dapat dikendalikan. Selain itu kenaikan harga BBM akan berdampak positif terhadap lingkungan melalui pengurangan emisi CO2 dan menciptakan peluang bagi pengembangan energi alternatif non-fosil dan energi terbarukan. Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005) menyebutkan bahwa pelaksanaan program kompensasi BBM bagi masyarakat kurang mampu, yang mengikuti kenaikan harga BBM, ternyata tidak berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan. Hartono (2006) mengatakan bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM bagi kelompok rumahtangga miskin juga perlu dihindari. Apabila terjadi peningkatan efisiensi penyaluran dana kompensasi maka dalam jangka panjang kebijakan pengurangan subsidi harga BBM dapat dilakukan tanpa diikuti dengan penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Salah satu program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang terkait langsung dengan kompensasi kenaikan harga jual BBM adalah program BLT. Program ini dilatarbelakangi upaya mempertahankan daya beli RTS (Rumahtangga Sasaran) ketika harga jual BBM dinaikkan. Akan tetapi menurut Purnomo (2006), BLT dalam pelaksanaannya rawan penyelewengan dan
37 seringkali menyebabkan warga masyarakat memilih tercatat sebagai anggota keluarga miskin agar memenuhi syarat untuk mendapat BLT. Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Oleh sebab itu terdapat dua permasalahan yang terkait dengan kebijakan subsidi harga BBM, kinerja perekonomian, dan tingkat kemiskinan di Indonesia, yaitu: 1.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pasar dan perdagangan BBM di Indonesia ?
2.
Bagaimana dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian
yang
ditunjukkan
oleh
pertumbuhan
ekonomi,
pengangguran, tingkat inflasi, dan neraca perdagangan serta tingkat kemiskinan dan kesejahteraan di Indonesia ? 1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penawaran
dan
permintaan BBM, khususnya yang terkait dengan subsidi harga BBM di Indonesia. 2.
Meramalkan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia pada periode tahun 2010-2014. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini antara lain sebagai rujukan
bagi upaya pengendalian subsidi BBM, dampaknya terhadap perekonomian dan
38 tingkat kemiskinan, pengaruhnya terhadap kesejahteraan, masukan bagi para pengambil keputusan, serta sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya. 1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini berskala nasional dengan batasan wilayah penelitian adalah
wilayah Indonesia dengan data series tahun 1986 sampai 2006. Berkaitan dengan judul penelitian, terdapat lima hal penting yang menjadi ruang lingkup penelitian, yaitu pasar BBM, kebijakan subsidi harga BBM, kinerja perekonomian nasional, tingkat kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia. Pasar BBM yang dibangun dalam model meliputi permintaan, penawaran, dan harga jual eceran BBM. Permintaan BBM dikelompokkan pada sektor transportasi, industri, rumahtangga dan komersial, dan lainnya, dimana BBM dianggap sebagai final goods di masing-masing sektor. Selain itu blok penawaran BBM adalah persamaan identitas, sementara persamaan impor BBM dan ekspor elpiji adalah persamaan struktural. Kebijakan penciutan jenis BBM subsidi dan kebijakan pembatasan kelompok pengguna yang berhak membeli BBM subsidi, telah mengurangi volume BBM subsidi dari semula 59.6 juta kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9 juta kiloliter pada tahun 2006. Namun karena data volume konsumsi BBM subsidi pada tahun 2006 tidak dirinci menurut jenis BBM, maka penelitian ini tetap menggunakan data volume konsumsi BBM total. Subsidi harga BBM dalam satuan rupiah per liter merupakan selisih antara harga dunia dengan harga jual ecerannya di dalam negeri. Harga dunia premium,
39 minyak solar, dan minyak tanah diambil dari MOPS (Mid Oil Platt’s Singapore)5 dikalikan dengan faktor alpha6. Hasil perhitungan dikurangi dengan harga jual ecerannya untuk mendapatkan perkiraan besaran subsidi harga per jenis BBM per tahun. Harga MOPS sebagai patokan mulai diberlakukan sejak tahun 2006 bersama dengan pemberlakuan alpha. Pada tahun-tahun sebelumnya penentuan subsidi BBM menggunakan metode cost and fee7. Nilai alpha mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, maksimum 15 persen dari harga dunia BBM. Besaran alpha ditetapkan setiap tahun bersamaan dengan subsidi BBM yang dicantumkan dalam UU APBN. Pada tahun 2006 nilai alpha sebesar 14.1 persen, tahun 2007 sebesar 13.5 persen, tahun 2008 sebesar 9.0 persen, dan tahun 2009 sebesar 8.0 persen. Oleh karena keterbatasan data dan dalam rangka simplifikasi, maka dalam penelitian ini digunakan nilai alpha maksimum sebesar 15.0 persen. Sementara itu harga dunia elpiji menggunakan proksi harga ekspor elpiji. Subsidi harga elpiji merupakan selisih antara harga ekspor elpiji dikurangi dengan harga jual eceran elpiji di dalam negeri. Dalam perhitungan pajak dan pendapatan negara, pemerintah Indonesia menggunakan harga patokan minyak mentah dalam negeri yang disebut dengan Indonesian Crude Price (ICP). Namun ICP ini tidak mencerminkan harga dunia
5
MOPS merupakan harga rata-rata biaya produksi BBM dari kilang-kilang di seluruh dunia. Namun diketahui bahwa harga yang tertera pada MOPS lebih mencerminkan kekuatan pasar penawaran dan permintaan BBM. MOPS diperlukan untuk mendapatkan data mengenai harga dunia jenis BBM tertentu yaitu premium, minyak solar, dan minyak tanah. 6 Merupakan konstanta (biasanya dalam persen atau per seratus) yang merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Badan Usaha, diluar pengadaan BBM, yang terdiri dari biaya pengangkutan melalui laut/darat, penyimpanan, depresiasi, biaya administrasi, marjin Badan Usaha, dan marjin Stasiun Pompa Bensin Umum. 7 Suatu metode untuk menghitung biaya pokok produksi BBM yang terdiri dari cost (pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya pengangkutan laut/darat, biaya umum, biaya bunga, biaya penyusutan, nilai surplus produk) dan fee (upah atau margin Badan Usaha).
40 atau harga keekonomian BBM. Oleh karena itu, penelitian ini tidak menggunakan angka ICP, tetapi menggunakan harga dunia minyak mentah terbitan BPMIGAS dan harga dunia BBM yang dikeluarkan oleh MOPS. Menurut teori ekonomi, bentuk subsidi yang paling sedikit menimbulkan masalah mistargeting adalah subsidi lumpsum seperti BLT, karena langsung ditujukan bagi masyarakat yang ditargetkan. Penelitian ini tidak melakukan pembahasan dan pembandingan antara berbagai bentuk subsidi dan
tidak
mendiskusikan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Masalah lain yang berkaitan dengan belanja subsidi adalah adanya opportunity cost belanja subsidi BBM. Pertanyaan yang muncul adalah berapa ‘biaya kesempatan’ yang hilang sebagai akibat dari belanja subsidi Rp146.6 triliun pada tahun 2008 yang lalu ? Hal ini juga tidak dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Jenis BBM dibatasi hanya pada jenis premium (bensin), minyak solar, dan minyak tanah. Sejak tahun 1977/78 hingga tahun 2009 ketiga jenis BBM tersebut masih mendapat subsidi dari pemerintah8. Selain itu, konsumsi ketiga jenis BBM itu mencapai 79.21 persen pada tahun 1990 dan sebesar 87.55 persen pada tahun 2005 dari total konsumsi BBM (subsidi dan non-subsidi) di dalam negeri.9 Perilaku ekonomi ketiga jenis BBM tersebut diasumsikan mewakili perilaku ekonomi seluruh jenis BBM. Dalam rangka mengatasi semakin mahalnya subsidi minyak tanah, pemerintah melaksanakan Program Konversi Minyak Tanah ke 8 Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 yang diubah dengan Perpres Nomor 9 Tahun 2006, disebutkan bahwa konsumen minyak tanah adalah rumahtangga dan usaha kecil; konsumen premium adalah usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum; sementara konsumen solar adalah usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum. Elpiji yang ditujukan sebagai substitusi minyak tanah untuk konsumen rumahtangga dan usaha kecil, juga mendapatkan subsidi, dan dikemas dalam tabung ukuran 3 kilogram. 9 Bahan Bakar Minyak (BBM), menurut kelaziman yang berlaku di Indonesia, terdiri dari 7 jenis yaitu avtur, avgas, premium, minyak solar, minyak tanah, minyak diesel, dan minyak bakar (lihat Lampiran 3). Sejak tahun 2001, hanya premium, minyak solar, dan minyak tanah yang masih disubsidi pemerintah.
41 Elpiji yang dimulai pada tahun 2007. Karena elpiji berfungsi sebagai pengganti minyak tanah untuk memasak rumahtangga dan usaha kecil, maka elpiji dimasukkan sebagai salah satu bahasan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan aggregat demand dimana perekonomian nasional diuraikan menjadi konsumsi, investasi, ekspor bersih, dan belanja pemerintah. Variabel yang digunakan untuk menggambarkan kinerja perekonomian adalah variabel inflasi, jumlah pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan ekspor bersih. Kinerja perekonomian secara tidak langsung dipengaruhi oleh pasar BBM dengan subsidi harga BBM sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal, di samping pajak. Pada blok permintaan agregat, masing-masing variabel didisagregasi berdasarkan kelompok pengguna BBM yaitu pengguna transportasi, industri, rumahtangga dan komersial, dan lain-lain. Ekspor BBM dan impor elpiji tidak dikaji lebih lanjut karena Indonesia memang tidak melakukan ekspor BBM, sedangkan impor elpiji juga baru dilakukan oleh Indonesia pada tahun 2003. Variabel dominan pada pasar uang yang berkaitan dengan subsidi harga BBM, antara lain nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga domestik, Indeks Harga Konsumen, dan penawaran dan permintaan uang. Untuk melengkapi pendekatan aggregat demand, maka blok pasar tenaga kerja sederhana, yang mewakili pendekatan aggregate supply, dibangun sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kaitannya dengan kebijakan subsidi harga BBM. Persamaan-persamaan yang menyusunnya meliputi penawaran, permintaan, pengangguran, dan upah tenaga kerja. Jumlah pengangguran merupakan selisih antara jumlah penawaran dan permintaan tenaga kerja.
42 Blok kemiskinan dititikberatkan pada kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Tingkat kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan tidak dianalisis lebih lanjut karena data untuk keduanya baru mulai tersedia tahun 1999. Pembagian kemiskinan didisagregasi menurut wilayah perdesaan dan perkotaan dengan pertimbangan adanya perbedaan perilaku dalam mengkonsumsi BBM di kedua wilayah tersebut. Disparitas konsumsi terjadi karena adanya dominasi kayu bakar yang banyak dikonsumsi di wilayah perdesaan. Sementara di wilayah perkotaan pilihan energi rumahtangga dan usaha kecil untuk memasak adalah minyak tanah dan elpiji. Kesejahteraan dihitung dengan menggunakan indikator sederhana yaitu pergerakan/transfer kesejahteraan antara produsen, konsumen, dan anggaran subsidi BBM yang tercantum dalam belanja negara. Dampak bersih kesejahteraan digambarkan dengan penjumlahan dari surplus konsumen, surplus produsen, dan perubahan besaran subsidi BBM. Kebijakan one price policy diterapkan pemerintah dalam pemberlakuan harga jual eceran BBM, yaitu: (1) harga jual eceran premium dan solar adalah sama di seluruh wilayah Indonesia pada titik penyerahan di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), (2) harga jual eceran minyak tanah adalah sama di seluruh Indonesia dengan titik penyerahannya di depo PT Pertamina (Persero), sementara harga jual eceran minyak tanah yang diterima masyarakat berdasarkan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditetapkan oleh kepala daerah setempat, dan (3) harga jual eceran elpiji adalah sama pada titik penyerahan di agen elpiji PT Pertamina (Persero).
43
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan pengertian subsidi, kondisi pasar penawaran dan permintaan BBM, sejarah subsidi BBM, subsidi energi di negara lain, serta studi terdahulu tentang subsidi BBM dan kemiskinan. 2.1.
Pengertian dan Jenis Subsidi Nugroho (2005) mendefinisikan subsidi yang berkaitan dengan subsidi
BBM yaitu pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada Pertamina, sebagai pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia, dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PT Pertamina (persero) dari tugas menyediakan BBM di pasar domestik lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM. Subsidi BBM menjadi salah satu instrumen untuk memeratakan penggunaan energi di masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan subsidi diberlakukan pada saat harga suatu produk energi dinilai tidak sebanding
dengan
daya
beli
masyarakat
khususnya
masyarakat
yang
berpenghasilan rendah (Yusgiantoro, 2000). Jenis-jenis subsidi adalah: (1) direct subsidies, (2) indirect subsidies, (3) labor subsidies, (4) tax subsidies, (5) production subsidies, (6) regulatory advantages, (7) infrastructure subsidies, (8) trade protection (import), (9) export subsidies (trade promotion), (10) procurement subsidies, (11) consumption subsidies, (12) tax breaks and corporate welfare, dan (13) subsidies due to the effect of debt guarantees. Khusus untuk subsidi konsumsi, pemerintah memberikan subsidi ini melalui pembelian barang atau jasa, penggunaan asset
44 atau property pemerintah pada harga di bawah harga pasar. Contoh: pemerintah membeli bahan bakar minyak atau barang lainya dengan harga yang lebih tinggi dan menjualnya ke masyarakat dengan harga yang lebih rendah (Bappenas, 2007). Menurut Bappenas (2007), subsidi pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai: (1) alat pemerataan output melalui mekanisme peningkatan elastisitas permintaan, (2) alat stabilitas harga melalui mekanisme intervensi harga, dan (3) alat optimalisasi output melalui mekanisme elastisitas penawaran. Di lain pihak subsidi juga memiliki eksternalitas negatif, seperti yang dinyatakan oleh Basri (2002), bahwa subsidi yang tidak transparan dan tidak jelas targetnya akan menyebabkan: (1) distorsi baru dalam perekonomian, (2) menciptakan inefisiensi, dan (3) tidak dinikmati oleh masyarakat yang berhak. Relatif rendahnya harga barang subsidi berdampak pada perilaku masyarakat yang kurang kurang hemat dalam konsumsi dan karenanya terjadi pemborosan sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut. 2.2.
Penawaran dan Permintaan Bahan Bakar Minyak
2.2.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak Pada tahun 2004 kapasitas pengilangan minyak bumi sebesar 1 055.50 ribu barrel per hari sedangkan konsumsinya sudah mencapai 1 143.70 ribu barrel per hari (Purwantoro, 2008). Pada tahun 1980an Indonesia pernah mencapai produksi 1.60 juta barrel per hari dengan jumlah penduduk sekitar 130 juta orang. Pada tahun 2006 keadaan memburuk dimana produksinya sebesar 1.05 juta barrel per hari namun jumlah penduduknya telah mencapai 230 juta orang (Oktaviani dan Eka, 2006). Jumlah produksi minyak bumi dalam negeri yang cenderung menurun, salah satunya disebabkan oleh penggunaan teknologi. Paper yang ditulis
45 oleh Managi et al. (2004) menjelaskan bahwa perubahan teknologi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi mempunyai dampak terbesar dalam peningkatan produksi, sedangkan penemuan sumur minyak baru berdampak penting dalam keberlanjutan produksi minyak ke depan. Produksi BBM dari kilang dalam negeri mengalami peningkatan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 dengan kenaikan rata-rata sebesar 2.83 persen per tahun seperti yang terlihat pada Lampiran 1a. Peningkatan produksi terjadi pada periode 1990-1995 yaitu dari 23.17 juta kiloliter menjadi 30.30 juta kiloliter, ketika kilang Balongan mulai produksi pada tahun 1995. Hal ini mengakibatkan jumlah produksi BBM pada tahun 2005 meningkat menjadi 35.2 juta kiloliter10. Sementara kebutuhan BBM meningkat terus dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Selisih antara kebutuhan dengan produksi BBM dipenuhi dari impor yang semakin meningkat, seperti yang terlihat pada Lampiran 1c. Setiap tahun volume impor BBM meningkat rata-rata sebesar 14.08 persen dengan volume impor pada tahun 1990 sebesar 3.37 juta kiloliter yang menjadi 24.31 juta kiloliter pada tahun 2005. Penawaran total BBM tahun 1990 sebesar 26.54 juta kiloliter, dimana produksinya sebesar 23.17 juta kiloliter ditambah impor sebesar 3.37 juta kiloliter, seperti yang terlihat pada Lampiran 1e, yang meningkat tajam pada tahun 2005 menjadi sebesar 59.53 juta kiloliter yang berasal dari produksi sebesar 35.22 juta kiloliter dan impor sebesar 24.31 juta kiloliter, atau terjadi kenaikan penawaran BBM rata-rata per tahun sebesar 5.53 persen.
10
Optimalisasi produksi BBM dilaksanakan antara lain melalui peningkatan teknologi kilang atau penambahan unit pengolahan pada kilang yang sudah ada.
46 Elpiji sebagai bahan bakar alternatif untuk memasak rumah tangga belum banyak diminati. Produksi elpiji pada tahun 1990 mencapai 2.75 juta ton dan sebanyak 94.79 persen diekspor, dan penawaran elpiji untuk konsumsi domestik pada tahun tersebut hanya mencapai 0.14 juta ton. Pada tahun 2005 penawaran elpiji untuk konsumsi semakin meningkat hingga mencapai 0.90 juta ton, sementara jumlah produksi elpiji turun hingga mencapai 1.89 juta ton, dan ekspor hanya mencakup 53.08 persen dari jumlah produksi. 2.2.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak Kelompok pengguna transportasi merupakan kelompok pengguna yang mengkonsumsi BBM terbesar, yaitu 50.71 persen dari total konsumsi BBM pada tahun 2005. Kelompok pengguna transportasi mengkonsumsi BBM hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan kelompok pengguna rumahtangga dan komersial, 3 kali lipat dibandingkan dengan kelompok pengguna industri, dan 6 kali lipat dibandingkan dengan kelompok pengguna lain-lain, sebagaimana yang tercantum pada Tabel 6. Penggunaan BBM di kelompok pengguna transportasi mencerminkan dua jenis permintaan yaitu permintaan akhir (final demand) dan permintaan antara (intermediate demand). Sebagai suatu kelompok pengguna, transportasi memiliki permintaan akhir BBM yang dibutuhkan untuk sektor transportasi itu sendiri. Tetapi kegiatan transportasi bukanlah kegiatan final artinya transportasi adalah kegiatan turunan (derived activity) yaitu kegiatan yang disebabkan oleh tingginya aktivitas ekonomi. Tingginya kegiatan transportasi mencerminkan tingginya aktivitas perekonomian. Karena itu jumlah permintaan BBM di kelompok pengguna transportasi pada hakikatnya mencerminkan tingkat kegiatan usaha perekonomian nasional.
47 Tabel 6.
Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 (Ribu SBM) Industri
Tahun
Premium
1990 1995 1997 1998 2000 2005
0 0 0 0 0 0
M. Tanah 1 674 2 714 3 066 2 937 3 581 2 547
Transportasi Solar 18 407 32 541 34 378 37 339 47 689 52 764
Elpiji 810 1 619 1 980 1 762 2 388 2 542
Premium
M. Tanah
34 968 49 702 58 504 61 086 69 567 98 513
10 12 13 13 13 14
Rumahtangga dan Komersial Tahun
Premium
1990 1995 1997 1998 2000 2005
0 0 0 0 0 0
Keterangan Sumber
M. Tanah 40 513 45 716 50 005 51 916 55 933 62 679
Solar 1 368 2 889 3 301 2 797 2 983 3 213
Solar 29 492 43 457 48 495 50 428 57 262 61 371
Elpiji 0 0 0 0 0 0
Lain-Lain Elpiji 1 896 4 243 4 998 5 204 5 740 6 453
Premium
M. Tanah
2 120 3 902 4 663 2 902 2 917 3 413
1 714 2 286 2 576 2 351 2 477 2 509
Solar 11 660 20 741 24 052 17 254 17 416 19 310
Elpiji 0 0 0 0 0 0
: SBM adalah Setara Barrel Minyak. : Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna transportasi berasal dari BBM sebanyak 91.09 persen, avtur 7.79 persen, dan minyak bakar sebesar 0.79 persen, sebagaimana yang tercantum pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 50.71 persen BBM. Dilihat dari energi BBM, maka sumber energi kelompok pengguna ini berasal dari premium sebesar 61.61 persen, minyak solar 38.38 persen, dan minyak tanah 0.01 persen. Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna industri berasal dari gas bumi sebanyak 30.83 persen, batubara 22.67 persen, BBM 18.08 persen, kayu bakar 13.42 persen, dan listrik 8.13 persen, seperti yang terlihat pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 18.35 persen BBM. Dilihat dari energi BBM, maka sumber energi kelompok pengguna ini berasal dari minyak solar sebesar 91.35 persen, minyak tanah 4.41 persen, dan elpiji 4.24 persen.
48 Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna rumahtangga dan komersial berasal dari kayu bakar sebanyak 66.11 persen, BBM 21.31 persen, listrik 11.66 persen, dan terakhir arang 0.79 persen, seperti yang terlihat pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 22.94 persen BBM. Dilihar dari energi BBM, sumber energi kelompok pengguna ini berasal dari minyak tanah sebanyak 86.64 persen, minyak solar 4.44 persen, dan elpiji 8.92 persen. Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna lainnya berasal dari BBM sebanyak 88.22 persen, minyak bakar 8.71 persen, dan minyak diesel 3.06 persen, seperti yang terlihat pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 8.24 persen BBM. Dilihat dari energi BBM, sumber energi kelompok pengguna ini berasal dari minyak solar sebanyak 76.53 persen, premium 13.53 persen, dan minyak tanah 9.94 persen. Pada tahun 2005, premium diserap 96.65 persen oleh kelompok pengguna transportasi dan 3.35 persen oleh kelompok pengguna lain, minyak solar diserap 44.91 persen oleh kelompok pengguna transportasi dan 38.61 persen oleh kelompok pengguna industri, minyak tanah diserap 92.52 persen oleh kelompok pengguna rumahtangga dan komersial dan 3.76 persen oleh kelompok pengguna industri, elpiji diserap 71.74 persen oleh kelompok pengguna rumahtangga dan komersial serta 28.26 persen oleh kelompok pengguna industri. Kelompok pengguna rumah tangga dan komersial mengalami peningkatan permintaan konsumsi elpiji sejalan dengan peningkatan pendapatan, kesadaran akan lingkungan, dan energi yang bersih. Konsumsi elpiji mengalami peningkatan luar biasa sejak tahun 2007 ketika pada tahun itu pemerintah menerapkan program
49 konversi minyak tanah ke elpiji11 dan sebaliknya konsumsi minyak tanah rumahtangga mengalami penurunan sangat besar sejak program itu dilaksanakan. 2.2.3
Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Penetapan harga jual eceran BBM dilakukan pemerintah dengan
memperhatikan biaya penyediaan dan pendistribsian BBM, kemampuan anggaran belanja negara, dan daya beli masyarakat. Kebijakan harga jual eceran BBM di Indonesia menganut “one price policy” yaitu harga jual eceran BBM diberlakukan sama di seluruh wilayah Indonesia12 . Tabel 7 menunjukkan perubahan harga jual eceran BBM sejak tahun 19852006. Lonjakan tertinggi harga jual eceran BBM rata-rata tertimbang selama periode tahun 1985-2006 terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar 86.69 persen. Hal ini terjadi karena selama tahun 2002 sampai. 2004 pemerintah tidak menaikkan harga jual eceran BBM, padahal harga dunia minyak mentah terus meningkat. Harga jual eceran elpiji mengalami kenaikan cukup tinggi dari Rp. 2 700 per kg pada tahun 2003 menjadi Rp. 4 250 per kg pada tahun 2004. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kenaikan harga dunia minyak bumi yang terjadi pada tahun 2005 dan volatilitas nilai tukar rupiah.
11
Program konversi minyak tanah ke elpiji hanya terbatas dimaksudkan pada penggantian sumber energi untuk memasak rumahtangga dan usaha kecil dari semula minyak tanah menjadi elpiji dengan ukuran tabung 3 kg. Sementara penggunaan elpiji diluar memasak rumahtangga atau diluar rumahtangga tidak tercakup dalam program ini. 12 Harga jual eceran BBM jenis bensin premium dan minyak solar diberlakukan sama besar di seluruh wilayah Indonesia pada titik serah di Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU). Harga jual eceran BBM jenis minyak tanah diberlakukan sama di seluruh wilayah Indonesia pada titik serah di depo atau terminal transit. Namun harga Minyak Tanah yang dibeli masyarakat mengacu pada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh masing-masing Kepala Daerah dengan mempertimbangkan biaya angkut dari depo ke Pangkalan Minyak Tanah. Sementara harga jual eceran elpiji pada prinsipnya mengikuti metode penetapan yang sama dengan BBM. Hanya karena stasiun pengisian elpiji ke tabung elpiji masih sangat terbatas, maka harga jual eceran elpiji memiliki keragaman antar daerah yang lebih besar karena tingginya biaya transportasi terutama transportasi melalui laut dari agen elpiji ke konsumen akhir.
50 Tabel 7.
Tahun 1985 1990 1995 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
2.3.
Perkembangan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2005 Premium
Minyak Tanah
Minyak Solar
Harga Rata-Rata Tertimbang Nilai
Perubahan /Thn Persen
(Rp/Liter) 385 165 242 247.38 450 190 245 278.79 700 280 380 436.91 700 280 380 437.89 1 000 280 550 603.84 1 000 280 550 594.85 1 150 350 600 679.25 1 450 388 955 945.11 1 750 600 1 550 1 381.77 1 810 700 1 650 1 475.19 1 810 700 1 650 1 492.44 3 117 2 061 2 877 2 785.89 4 500 2 000 4 300 3 907.99 Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
2.54 11.38 0.11 37.97 - 1.45 14.21 39.15 46.21 6.76 1.17 86.69 40.29
Elpiji (Rp/Kg) 370 400 1 000 1 000 1 500 1 500 1 500 2 100 2 400 2 700 4 250 4 250 4 250
Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia
2.3.1. Subsidi Umum Komponen yang menyusun subsidi terdiri dari subsidi energi dan nonenergi. Subsidi energi terdiri dari subsidi listrik dan subsidi BBM, sementara subsidi non-energi terdiri dari subsidi pangan, pupuk, kredit program, pajak, dan subsidi lainnya. Subsidi energi selalu menempati porsi terbesar dibandingkan dengan subsidi non-energi, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 8. Kontribusi subsidi terhadap belanja negara periode sebelum krisis ekonomi tahun 1997 tidak pernah melebihi 9.0 persen. Krisis ekonomi pada tahun 1997 dan depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 4 kali lipat, telah membuat pemerintah perlu memberikan subsidi. Sejak saat itu beban subsidi, termasuk subsidi BBM, semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2008 sebesar 38.64 persen dari belanja negara. Pada saat itu subsidi BBM mencapai 20.11 persen dari belanja negara. Tingginya subsidi tampaknya disebabkan oleh dampak krisis dunia subprime mortgage yang mengimbas ke Indonesia.
51 Tabel 8.
Tahun 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 1999/00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Keterangan :
Perkembangan Belanja Negara dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985/86 – 2007 Belanja Negara 22 148 20 738 22 384 26 734 32 692 39 754 44 581 52 048 57 833 62 607 65 342 82 221 109 302 172 669 231 879 221 467 341 563 345 608 370 592 255 309 392 820 440 000 504 600 729 100
Subsidi 1) (Rp. miliar) 1 367 467 1 165 282 1 858 3 570 1 230 867 1 455 1 502 179 1 660 21 121 35 786 65 916 62 745 77 443 40 006 25 465 26 638 119 090 107 400 150 200 281 700
Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) 2) 450 0 402 82 707 3 306 930 692 1 280 687 0 1 416 9 814 28 607 40 923 53 810 68 381 31 162 13 210 14 527 89 194 64 200 83 800 146 600
Subsidi Subsidi BBM Terhadap Terhadap Belanja Negara Belanja Negara Persen 6.19 2.03 2.25 0.00 5.20 1.80 1.05 0.31 5.68 2.16 8.98 8.32 2.76 2.09 1.67 1.33 2.52 2.21 2.40 1.10 0.27 0.00 2.02 1.72 19.32 8.98 20.73 16.57 28.43 17.65 28.33 24.30 22.67 20.02 11.58 9.02 6.87 3.56 10.43 5.89 30.32 22.71 24.41 14.59 29.77 16.61 38.64 20.11
1) Subsidi adalah subsidi BBM ditambah subsidi di luar BBM 2) Jenis BBM yang disubsidi mencakup avtur, avgas, premium, minyak solar, minyak tanah, minyak diesel, dan minyak bakar. Sejak Tanggal 1 Oktober 2000 jenis BBM yang disubsidi berkurang dan hanya mencakup premium, ninyak solar, minyak tanah minyak diesel, dan minyak bakar. Sejak Tanggal 16 Juni 2001 jenis BBM yang disubsidi berkurang lagi hingga hanya mencakup premium, solar, dan minyak tanah.
Sumber : Bappenas, 2007 pada Lampiran 4 dan Departemen Keuangan, 2009b. Subsidi pupuk meningkat sangat tajam dari semula Rp. 2.5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 15.2 pada tahun 2008 (Departemen Keuangan, 2009b). Peningkatan subsidi pupuk ini disebabkan oleh meningkatnya harga dunia minyak mentah yang diikuti secara paralel oleh meningkatnya harga gas alam. Gas alam adalah komponen utama pembentuk harga pupuk. Perbedaan harga pupuk dan harga keekonomiannya memberikan dampak yang serius baik dari sisi efisiensi maupun dari sisi distribusi pendapatan. Dari sisi efisiensi, subsidi telah mendorong penggunaan pupuk yang berlebihan yang berdampak selanjutnya pada
52 tingkat kesuburan tanah. Dari sisi distribusi pendapatan, kepemilikan lahan pertanian bergeser dari petani ke pemilik lahan pertanian, sehingga subsidi pupuk tidak dinikmati oleh petani penggarap yang miskin tetapi oleh petani pemilik tanah yang relatif lebih mampu. Mekanisme pemberian subsidi pupuk, bersama dengan subsidi non-energi lainnya sedang disempurnakan oleh pemerintah agar lebih tepat sasaran dan tepat guna. 2.3.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak Subsidi BBM adalah pembayaran kepada PT. Pertamina (persero)
13
dari
pemerintah dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PT Pertamina (persero) dari tugas menyediakan dan mendistribusikan BBM di Indonesia lebih rendah
dibandingkan
biaya yang
dikeluarkan
untuk
menyediakan
dan
mendistribusikan BBM tersebut. 14 Kebijakan subsidi BBM pertamakali diperkenalkan pada sekitar tahun 1973 yaitu ketika terjadi gejolak harga dunia minyak mentah akibat perang di Timur Tengah. Ketika itu harga dunia minyak mentah naik sampai 4 kali lipat, dari semula US$2-3 per barrel menjadi sekitar US$12 per barrel. Sejak saat itu subsidi BBM menjadi salah satu kebijakan fiskal dan selalu mendapat alokasi anggaran. Meskipun anggaran subsidi dialokasikan setiap tahun, namun beberapa kali pemerintah mendapatkan keuntungan dari penjualan BBM yang disebut
13 Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, Pertamina ditugaskan untuk menyediakan bahan bakar minyak bagi seluruh rakyat Indonesia dan hingga tahun 2009 ini tugas tersebut masih dipercayakan kepada PT Pertamina (Persero). 14 Besaran subsidi BBM, kecuali elpiji, tercantum dalam Undang-undang APBN. Perhitungan dan pembayaran subsidi BBM dilakukan oleh Departemen Keuangan kepada Badan Usaha yang mendapat penugasan pendistribusian BBM bersubsidi. Khusus untuk perhitungan dan pembayaran subsidi elpiji, tetap menjadi tanggungjawab pemerintah, namun dalam pelaksanaannya dibebankan pada manajemen PT. Pertamina (Persero) dengan catatan bahwa subsidi elpiji akan mengurangi keuntungan BUMN tersebut dan dividen yang dibayarkan kepada negara. Besaran subsidi elpiji tidak tercantum dalam Undang-undang APBN.
53 dengan Laba Bersih Minyak (LBM). LBM hanya terjadi ketika harga dunia minyak mentah turun drastis, seperti pada tahun 1986 dari semula US$18-20 per barrel menjadi US$9 per barrel. Selain karena penurunan drastis harga minyak dunia, LBM terjadi karena keengganan pemerintah untuk menurunkan harga jual eceran BBM dalam negeri. Departemen Keuangan (2009b) menyampaikan bahwa harga dunia minyak mentah merupakan faktor utama besaran subsidi BBM. Perubahan harga minyak mentah akan berpengaruh terhadap penerimaan negara, baik penerimaan sumber daya alam migas dan Pajak Penghasilan migas, maupun penerimaan negara bukan pajak lainnya. Untuk APBN Tahun 2009 (Departemen Keuangan, 2009b), setiap kenaikan US$1.0 per barrel harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price, ICP) akan berpotensi menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp. 2.8 triliun sampai dengan Rp. 2.9 triliun. Dari sisi belanja negara, setiap kenaikan harga minyak ICP US$1.0 per barrel akan berpotensi meningkatkan pembayaran subsidi BBM Rp. 2.5 triliun sampai dengan Rp. 2.6 triliun. Mengingat bahwa 24.8 persen dari produksi listrik nasional menggunakan BBM dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) membeli BBM pada harga internasional, maka setiap kenaikan kenaikan harga ICP US$1.0 per barrel akan mengakibatkan penambahan subsidi listrik kepada PT PLN sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.5 triliun. Potensi peningkatan belanja negara sebagai akibat dari kenaikan harga ICP juga berasal dari peningkatan Daerah Bagi Hasil (DBH) Migas kepada daerah penghasil minyak dan gas bumi. Setiap kenaikan ICP US$1.0 per barrel akan berpotensi menaikkan dana DBH dari pemerintah pusat ke daerah penghasil migas sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.5 triliun. Jadi setiap kenaikan
54 ICP US$1.0 per barrel berpotensi meningkatkan belanja pemerintah pusat sebesar Rp. 3.3 triliun sampai dengan Rp. 3.5 triliun. Dampak bersih dari kenaikan ICP sebesar US$1.0 per barrel terhadap anggaran belanja negara adalah minus atau peningkatan defisit sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.6 triliun. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya peningkatan belanja subsidi BBM pada belanja negara adalah meningkatnya jumlah konsumsi BBM di tanah air. Departemen Keuangan (2009b) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi BBM domestik bersubsidi rata-rata sebesar 0.5 juta kiloliter untuk setiap jenis BBM berpotensi menambah defisit ABPN Tahun 2009 pada kisaran Rp. 2.8 triliun sampai dengan Rp. 3.01 triliun. Kenaikan ICP juga dapat meningkatkan subsidi BBM melalui kenaikan konsumsi BBM. Kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan perbedaan harga minyak domestik dengan harga internasional. Perbedaan harga yang terlalu besar akan cenderung meningkatkan konsumsi BBM karena terdapat insentif untuk melakukan penyelundupan BBM ke luar negeri, pencampuran BBM dengan BBM non-subsidi, dan pengalihan BBM kepada pengguna yang tidak berhak. Di lain pihak, peningkatan konsumsi BBM berdampak pada peningkatan impor, karena terbatasnya kapasitas produksi sebagai akibat dari tiadanya pembangunan kilang baru. Kilang Balongan adalah kilang terakhir yang dibangun dan mulai berproduksi pada tahun 1992. Kapasitas produksi kilang masih bisa ditingkatkan secara terbatas melalui penambahan instalasi unit pengolah pada kilang yang ada. Pada tahun 2005 jumlah impor BBM (subsidi dan non-subsidi) meliputi 38.26 persen dari total penawaran BBM (subsidi dan non-subsidi) dalam negeri sebesar 69.15 juta kiloliter.
55 Pemerintah Indonesia sesungguhnya baru mengeluarkan subsidi harga BBM yang sangat besar sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Lonjakan perubahan kurs rupiah sekitar tiga kali lipat menjadi faktor utama yang menyebabkan meningkatnya subsidi, karena penjualan BBM di dalam negeri menggunakan Rupiah sedangkan sebagian besar komponen biaya penyediaan BBM menggunakan mata uang asing. 2.3.3. Upaya Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Peningkatan subsidi BBM yang ditanggung oleh APBN dalam jangka panjang dapat berdampak kurang baik dalam kerangka keberlanjutan fiskal. Hal itu dapat mengakibatkan kemampuan fiskal untuk membiayai pos anggaran lain menjadi terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan kemampuan fiskal, salah satu alternatif kebijakan adalah pengurangan subsidi BBM. Namun alternatif tersebut dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi kinerja perekonomian dan bagi masyarakat seperti timbulnya gejolak sosial politik. Masyarakat terbiasa dengan harga BBM yang relatif stabil dan konstan. Menghadapi situasi yang dilematis tersebut, pemerintah melakukan kebijakan jalan tengah, yaitu berupa : 1.
Penciutan Jenis BBM yang Disubsidi. Sejak mulai diberlakukannya subsidi BBM pada tahun 1977, semua jenis
BBM mendapat subsidi. Namun mengingat konsumen BBM jenis avtur dan avgas adalah masyarakat golongan menengah atas yang menggunakan jasa penerbangan, maka pada tanggal 1 Oktober 2000, subsidi untuk avtur dan avgas dihapuskan. Pemerintah berusaha lebih menciutkan lagi jenis BBM yang disubsidi. Karena itu pada tanggal 16 Juni 2001, subsidi untuk minyak diesel dan minyak bakar dihapuskan karena konsumen kedua jenis BBM ini adalah sektor industri dan
56 kapal pelayaran jarak jauh. Volume penjualan keempat jenis BBM yang dihapus subsidinya mencakup sekitar 12.45 persen dari total volume penjualan BBM (subsidi dan non-subsidi) pada tahun 2005. 2.
Penciutan Konsumen yang Berhak membeli BBM subsidi. Melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 yang diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006, pemerintah membatasi kelompok masyarakat yang berhak membeli BBM subsidi.15 Premium dibatasi penggunanya untuk kegiatan usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum. Minyak solar dibatasi penggunanya untuk kegiatan usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum. Minyak tanah dibatasi penggunanya pada rumahtangga dan usaha kecil untuk memasak dan penerangan. Kedua kebijakan, yaitu kebijakan penciutan jenis BBM yang disubsidi dan penciutan kelompok konsumen yang berhak membeli BBM subsidi, telah mampu mengurangi volume penjualan BBM yang disubsidi, dari semula 59.6 juta kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9 juta kiloliter pada tahun 2006. 3.
Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji. Minyak tanah merupakan jenis BBM yang paling besar mendapat subsidi
harga. Biaya produksi minyak tanah lebih tinggi dari premium dan solar, namun harga ecerannya hanya ½ dari harga eceran premium dan solar. Konversi ini hanya diberlakukan bagi penggunaan memasak di rumahtangga dan usaha kecil. 15 Terdapat 5 kelompok konsumen pengguna yang berhak membeli BBM subsidi, yaitu: (1) Rumahtangga untuk memasak dan penerangan, (2) usaha kecil, setelah diverifikasi oleh instansi berwenang, maksimal 8 000 liter per bulan per unit usaha kecil, (3) usaha perikanan maksimal 25 000 liter per bulan per nelayan dan usaha pembudidayaan ikan kecil, (4) transportasi, semua transportasi darat termasuk angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, kapal berbendera nasional dengan trayek dalam negeri, kendaraan bermotor milik pribadi, swasta, atau pemerintah, dan (5) pelayanan umum yaitu rumah sakit, sarana pendidikan/sekolah/pesantren, tempat ibadah, krematorium, sarana sosial, dan kantor pemerintahan. BBM yang dibatasi penggunanya adalah BBM yang mendapat subsidi. Premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji yang tidak disubsidi, tidak dibatasi penggunanya. Siapa saja boleh membeli BBM non-subsidi.
57 Terdapat dua alasan dipilih elpji sebagai pengganti minyak tanah. Pertama, nilai kalori elpiji relatif lebih tinggi dibandingkan dengan minyak tanah.16 Kedua, harga dunia elpiji, seperti harga gas pada umumnya, cenderung selalu berada dibawah harga minyak mentah. Untuk merangsang penggunaan elpiji, pemerintah membagikan gratis paket elpiji kepada 52.9 juta rumahtangga tidak mampu dan usaha kecil. Program ini dilaksanakan pada tahun 2007 dan diharapkan selesai pada tahun 2010. 17 4.
Program Pembatasan Pembelian BBM. Konsumsi BBM yang pada tahun 2006 mencapai 37.9 juta kiloliter, pada
akhirnya cenderung semakin meningkat. Peningkatan tersebut didasarkan atas pertumbuhan kendaraan bermotor yang berkisar 5 persen per tahun dan pertumbuhan kegiatan perekonomian secara umum yang membutuhkan energi, sehingga pada tahun 2009 realisasi konsumsi BBM mencapai 39.7 juta kiloliter. Untuk mengerem perkembangan konsumsi tersebut, pemerintah berupayan membatasi pembelian premium dan minyak solar. Namun kebijakan ini masih memerlukan persiapan lebih mendalam agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Saat ini pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Migas18, akan
16
Pada besaran kalori yang sama, maka 1 liter minyak tanah setara dengan 0.69 kilogram elpiji. Faktor penghematan lainnya diperoleh dari efisiensi kompor elpiji dibandingkan kompor minyak tanah. Secara umum efisiensi kompor minyak tanah di Indonesia berkisar antara 75 – 90 persen dari kompor elpiji. Dalam program konversi, digunakan asumsi efisiensi kompor minyak tanah sebesar 75 persen, sehingga kandungan kalori dalam 1 liter minyak tanah setara dengan kandungan kalori dalam 0.52 kilogram elpiji. 17 Program konversi minyak tanah ke elpiji diharapkan dapat menghemat sekitar 8 juta KL minyak tanah (konsumsi selama ini 11 juta KL) dari peredaran. Menggunakan faktor efisiensi diatas, maka dibutuhkan elpiji pengganti sekitar 4.1 juta Ton, dan penghematan subsidi sebesar Rp.16.8 triliun per tahun diluar pembagian paket gratis. Paket gratis elpiji terdiri dari kompor gas, selang, regulator, dan tabung elpiji 3 kg. Elpiji yang mendapat subsidi dikemas dalam tabung 3 kg. Elpiji dalam kemasasn tabung 3 kg baru diadakan pada tahun 2007 yang lalu ketika program konversi dimulai. Dalam penelitian ini, data harga elpiji menggunakan harga elpiji dalam tabung 12 kg. 18 Badan Pengatur Hilir Migas adalah lembaga pemerintah yang salah tugasnya adalah menjamin ketersediaan BBM di seluruh wilayah Indonesia (untuk detailnya dapat dilihat Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2002)
58 melakukan ujicoba pencatatan pembelian premium dan minyak solar di Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan pada Tahun 2010. Apabila sistem pencatatan pembelian ini berhasil, maka pemerintah selanjutnya akan menerbitkan payung hukum untuk membatasi pembelian premium dan minyak solar. 2.3.4. Keterkaitan dengan Perekonomian BBM merupakan input energi19 bagi kegiatan perekonomian nasional. Peranan BBM sebagai input energi sangat penting karena memberikan kontribusi sebesar 36.51 persen dari total energi final.
20
Oleh sebab itu perubahan harga
BBM akan mempengaruhi harga output nasional secara umum, seperti yang terlihat pada Tabel 9. Ketika harga BBM mengalami kenaikan, maka inflasi cenderung mengalami peningkatan, yang ditransmisikan melalui fungsi BBM sebagai input energi dan sebagai energi final. Menurut Survai Biaya Hidup BPS (2007) sumbangan harga premium terhadap inflasi nasional mencapai 3.00 persen. Krisis ekonomi pada tahun 1998 dipicu oleh depresiasi nilai tukar rupiah yang mendekati 400 persen sehingga menyebabkan harga barang-barang termasuk pinjaman pemerintah dan swasta dalam mata uang asing menjadi naik 4 kali lipat, dari nilai semula, dalam mata uang rupiah. Pada tahun itu inflasi mencapai 77.63 persen, subsidi BBM naik 3 kali lipat dari Rp. 9 814 miliar pada tahun 1997 menjadi Rp. 28 607 miliar pada tahun 1998, sementara harga jual eceran BBM dan elpiji tertimbang naik sebesar 15.27 persen pada periode yang sama.
19
BBM yang merupakan input energi adalah BBM yang dimanfaatkan sebagai input bagi industri yang menghasilkan energi final, seperti energi listrik, batubara, gas alam, dll. Sebagai energi final, BBM dimanfaatkan langsung oleh konsumen akhir seperti rumahtangga dan komersial, transportasi, industri, dan lainnya. 20 Sumber energi final lainnya adalah BBM non-subsidi (4.74 persen), listrik (7.60 persen), batubara (8.41 persen), kayu bakar (30.96 persen), gas bumi/alam (11.47 persen), dan arang (0.31 persen). Total konsumsi energi final di Indonesia pada tahun 2005 adalah 863 751 setara barrel minyak (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006).
59 Tabel 9.
Perkembangan Indikator Perekonomian dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
Indikator a
Satuan
Tahun 1990
1995
1997
1998
2000
2005
1. PDB
Rp. Triliun
875
1 340
1 513
1 314
1 389
1 749
2. Inflasib
%/Tahun
9.53
8.64
11.05
77.63
9.35
17.11
%/Tahun
20.30
15.80
17.34
23.16
16.59
15.43
Rp/US$
1 905
2 308
4 650
8 025
9 595
9 830
Rp/Liter Rp/Liter Rp/Liter Rp/Kg
450 245 190 370
700 380 280 1 000
700 380 280 1 000
1 000 550 280 1 500
1 150 600 350 1 500
3 117 2 877 2 061 4 250
22.31
17.11
19.04
12.47
28.39
53.66
Ribu Jiwa
179 248
191 825
199 837
202 873
205 843
219 893
Ribu Jiwa
1 952
6 251
4 275
5 062
5 813
10 854
Ribu Jiwa
27 200
23 530
29 290
49 500
38 700
35 100
10. Defisit Rp. Miliar 34 127 13 953 26 317 143 583 16 132 Anggaran *) Keterangan : *) Defisit Anggaran = Penerimaan Dalam Negeri – Anggaran Belanja Negara Sumber: a. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006. b. International Monetary Fund, 2006. c. Badan Pusat Statistik, 2006. d. Badan Pusat Statistik, 2005.
11 634
3. Tkt Sk Bungad 4. Nilai Tukar
a a
5. Harga BBM : a. Premium b. Minyak Tanah c. Minyak Solar d. Elpiji 6. Harga Dunia Minyak Bumi a 7. Populasia 8. Penganggurana c
9. Kemiskinan
US$/Barrel
Meskipun harga dunia minyak mentah pada tahun tersebut relatif tidak mengalami perubahan, namun akibat dari depresiasi nilai tukar rupiah yang luar biasa, maka harga dunia BBM dalam rupiah meningkat tajam. Hal ini mengakibatkan dua hal secara bersama-sama, yaitu potensi kenaikan subsidi harga BBM dan potensi kenaikan harga jual eceran BBM. Kenaikan harga jual eceran BBM cenderung memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat memberikan tekanan pada peningkatan jumlah penduduk miskin yang berjumlah 29.29 juta jiwa pada tahun 1997 menjadi 49.50 juta jiwa pada tahun 1998. Tekanan kemiskinan tidak hanya berasal dari tingginya inflasi, tetapi merupakan kombinasi berbagai faktor lainnya termasuk peningkatan jumlah pengangguran dari 4.27 juta jiwa pada tahun 1997 menjadi 5.06 juta jiwa
60 pada tahun 1998. Pengangguran disebabkan oleh lemahnya sisi permintaan konsumsi domestik dan naiknya biaya input sehingga kegiatan produksi menurun dan akibatnya permintaan tenaga kerja menurun. Pada tahun 2005 kembali terjadi gejolak perekonomian Indonesia yang dipicu oleh melonjaknya harga dunia minyak mentah sebesar 2 kali lipat dibandingkan tahun 2000. Meskipun nilai tukar relatif stabil, namun gejolak harga dunia minyak mentah mengakibatkan gejolak subsidi BBM dari semula Rp. 53 810 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp. 89 194 miliar pada tahun 2005 atau 22.71 persen dari belanja negara. Karena anggaran negara semakin terbatas kemampuannya dalam belanja subsidi, maka untuk mengatasi kenaikan harga dunia minyak mentah, pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM tertimbang sebesar rata-rata 34.15 persen per tahun pada periode 2000-2005. Kenaikan harga jual eceran BBM turut mendorong inflasi sebesar 17.11 persen dan mendorong peningkatan pengangguran dari semula 5.81 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 10.85 juta jiwa pada tahun 2005. Kedua hal ini memberikan seharusnya memberikan tekanan pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Namun pada kenyataannya jumlah penduduk miskin turun dari semula 38.70 juta jiwa menjadi 35.10 juta jiwa. Penurunan jumlah penduduk miskin kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya anggaran pemerintah, yang khusus dialokasikan untuk mengatasi masalah kemiskinan, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Analisa ini sejalan dengan temuan Soebiakto (1988) yang mengatakan bahwa harga dunia minyak mentah menyebabkan kondisi yang tidak pasti terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan Indonesia
61 yang tinggi terhadap penerimaan dari ekspor minyak mentah, yang juga sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Oktaviani dan Sahara (2000a) melakukan simulasi kenaikan harga BBM terhadap sektor pertanian, agroindustri, dan rumahtangga pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil simulasi jangka pendek maupun jangka panjang, kenaikan harga BBM, baik diikuti oleh program kompensasi maupun tidak, berdampak negatif terhadap semua output di sektor pertanian dan agroindustri. Penurunan output ini akan diikuti oleh penurunan penyerapan tenaga kerja, penurunan upah nominal tenaga kerja tidak terdidik, dan penurunan sewa lahan pertanian. Hal ini berdampak pada pengurangan pendapatan dan daya beli rumahtangga pertanian. Kenaikan harga BBM dan penyaluran dana kompensasi, yang pada awalnya diharapkan dapat memperbaiki kondisi keluarga miskin, ternyata berdampak sebaliknya. 2.3.5. Keterkaitan dengan Defisit Anggaran Dalam sistem anggaran berimbang, sebagaimana yang dianut Indonesia selama ini, jumlah penerimaan selalu sama dengan jumlah pengeluaran. Defisit anggaran dalam penelitian ini didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dalam negeri pemerintah dengan pengeluaran belanja. Defisit anggaran terjadi ketika peningkatan penerimaan dalam negeri relatif konstan, namun kebutuhan anggaran belanja meningkat tajam untuk memenuhi kebutuhan yang sangat penting dan segera. Defisit juga terjadi apabila penerimaan dalam negeri pemerintah dibawah target. Untuk menutup defisit anggaran, diperlukan suntikan dana luar negeri, baik berupa hibah maupun pinjaman luar negeri. Defisit anggaran yang disebabkan oleh peningkatan kebutuhan mendadak seringkali dikaitkan dengan peningkatan tajam subsidi BBM. Peningkatan tajam
62 subsidi BBM terjadi ketika harga dunia minyak mentah meningkat tajam sementara pemerintah mempertahankan harga jual eceran BBM. Pada tahun 1990 defisit anggaran sebesar Rp. 34 127 miliar, kemudian turun menjadi Rp. 13 953 miliar pada tahun 1995 sebagai akibat dari dinaikkannya harga jual eceran BBM dalam negeri. Defisit anggaran kemudian membengkak menjadi Rp. 143 583 miliar pada tahun 1998 menyusul depresiasi nilai tukar rupiah dan relatif stabilnya harga jual eceran BBM dalam negeri. Pada tahun 2000 defisit anggaran turun drastis menjadi Rp. 16 132 miliar yang kemungkinan besar disebabkan oleh penambahan penerimaan negara bukan pajak seperti dari hasil penjualan asset, privatisasi badan usaha milik negara, dan penjualan obligasi pemerintah (surat utang negara) ke pasar dalam negeri. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara besaran subsidi BBM dengan kecenderungan defisit anggaran. Defisit anggaran seringkali berdampak pada peningkatan utang luar negeri baik yang berasal dari pinjaman maupun penjualan obligasi. Karena itu kebijakan pemerintah mengenai subsidi BBM tidak dapat dilepaskan dari potensi defisit anggaran yang mungkin terjadi. 2.3.6. Keterkaitan dengan Kemiskinan Masalah kemiskinan tidak hanya meliputi jumlah dan persentase penduduk miskin, tetapi terkait pula dengan batas kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan, seperti yang terlihat pada Tabel 10. Batas kemiskinan, baik di perdesaan dan perkotaan, dari tahun 1999 sampai tahun 2008 cenderung meningkat. Batas kemiskinan di perkotaan secara umum lebih besar dibandingkan di perdesaan. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat biaya hidup di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan.
63 Tabel 10. Beberapa Indikator Kemiskinan di Indonesia Tahun 1999-2008 Tahun 1999 2002 2005 2006 2007 2008
Batas Kemiskinan (Rp.) Kota
Desa
92 409.00 130 499.00 150 799.00 174 290.00 187 942.00 204 896.00
74 272.00 96 512.00 117 259.00 130 584.00 146 837.00 161 831.00
Kedalaman Kemiskinan 21 (%) Kota+ Kota Desa Desa 3.52 4.84 4.33 2.59 3.34 3.01 2.05 3.34 2.78 2.61 4.22 3.43 2.15 3.78 2.99 2.07 3.42 2.77
Keparahan Kemiskinan 22 (Rp. Juta) Kota+ Kota Desa Desa 0.98 1.39 1.23 0.71 0.85 0.79 0.60 0.89 0.76 0.77 1.22 1.00 0.57 1.09 0.84 0.56 0.95 0.76
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008.
Tingkat kedalaman kemiskinan di perkotaan dan perdesaan cenderung turun kecuali untuk tahun 2006. Pada tahun 2008 tingkat kedalaman kemiskinan sebesar 2.07 untuk di perkotaan dan 3.42 untuk di perdesaan. Penurunan ini mengindikasikan adanya perbaikan rata-rata kesenjangan standar hidup penduduk miskin dan garis kemiskinan. Tingkat kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih besar dibandingkan tingkat kedalaman kemiskinan di perkotaan. Hal ini berarti bahwa jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin perdesaan terhadap garis kemiskinan perdesaan relatif lebih besar dibandingkan perkotaan. Tingkat keparahan kemiskinan perkotaan dan perdesaan cenderung mengalami penurunan pada periode 1999-2008 kecuali untuk tahun 2006. Pada tahun 2008 tingkat keparahan kemiskinan perkotaan dan perdesaan masingmasing sebesar 0.56 dan 0.95. Penurunan ini menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk miskin, baik di desa maupun di kota, secara umum semakin berkurang. Indeks keparahan kemiskinan di perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Oleh sebab itu distribusi pengeluaran penduduk 21
Kedalaman kemiskinan adalah ukuran sejauh mana rata-rata pengeluaran penduduk miskin mendekati atau menjauhi garis kemiskinan. Apabila tingkat kedalaman kemiskinan menurun maka rata-rata pengeluaran penduduk miskin makin mendekati garis kemiskinan. 22 Keparahan kemiskinan adalah ukuran sejauh mana perbedaan atau ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin. Jika keparahan kemiskinan menurun maka ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin menyempit.
64 miskin perdesaan memiliki ketimpangan yang lebih tinggi daripada distribusi pengeluaran penduduk miskin perkotaan. BPS (2008c) menyajikan data dan analisa mengenai perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Pada periode Maret 2007 - Maret 2008 terjadi kenaikan Garis Kemiskinan (GK)23 sebesar 9.56 persen dari Rp. 166 697 menjadi Rp. 182 636 per kapita per bulan. Komponen pembentuk GK adalah Garis Kemiskinan Makanan24 (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan25 (GKBM). Komponen GKM memberikan kontribusi terhadap GK sebesar 74.07 persen dan GKBM sebesar 25.93 persen, pada bulan Maret 2008. Pada periode 1996-2007 jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami fluktuasi, seperti yang terlihat pada Tabel 11. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13.96 juta jiwa karena krisis ekonomi, yaitu dari 34.01 juta menjadi 47.97 juta. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38.70 juta menjadi 35.10 juta. Namun pada tahun 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin, yaitu dari 35.10 juta pada bulan Februari 2005 menjadi 39.30 juta pada bulan Maret 2006. Peningkatan jumlah penduduk miskin terjadi salah satunya karena harga BBM26 yang naik sehingga menyebabkan naiknya harga berbagai barang dan
23
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan (GK). Pada bulan Maret 2008 kontribusi beberapa produk terhadap pembentukan GK adalah beras sebesar 38.97 persen di perdesaan dan 28.06 persen di perkotaan; listrik, angkutan, dan minyak tanah di perkotaan sebesar 3.07 persen, 2.72 persen, dan 2,65 persen, sementara di perdesaan kontribusi ketiga barang tersebut dibawah 2 persen. 24 GKM adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2 100 kalori per kapita per bulan yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. 25 GKBM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. 26 Pada awal Maret 2005 harga BBM bersubsidi dinaikkan rata-rata sebesar 29 persen. Kemudian pada Tanggal 1 Oktober 2005 harga BBM bersubsidi kembali dinaikkan rata-rata sebesar 127 persen, yang dimaksudkan untuk mengurangi defisit APBN. Kenaikan BBM pada Tanggal 1 Oktober 2005 tersebut memicu inflasi bulan Oktober 2005 sebesar 8.7 persen (Bappenas, 2006).
65 inflasi mencapai 17.95 persen periode Februari 2005 – Maret 2006. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Tabel 11. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia menurut Daerah Tahun 1996-2007 Tahun
Penduduk Miskin (dalam Juta) Kota
1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
9.42 17.60 15.64 12.30 8.60 13.30 12.20 11.40 12.40 14.49 13.56
Desa
Penduduk Miskin (dalam Persen)
Kota+Desa
24.59 31.90 32.33 26.40 29.30 25.10 25.10 24.80 22.70 24.81 23.61
34.01 49.50 47.97 38.70 37.90 38.40 37.30 36.10 35.10 39.30 37.17
Kota 13.39 21.92 19.41 14.60 9.76 14.46 13.57 12.13 11.68 13.47 12.52
Desa 19.78 25.72 26.03 22.38 24.84 21.10 20.23 20.11 19.98 21.81 20.37
Kota+Desa 17.47 24.23 23.43 19.14 18.41 18.20 17.42 16.66 15.97 17.75 16.58
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008c.
Pada Tabel 5 disajikan pemakaian energi, khususnya minyak tanah dan elpiji, oleh rumahtangga di Indonesia untuk memasak. Secara keseluruhan dari tahun 1985-2007, sumber
energi memasak rumahtangga lebih banyak
menggunakan kayu bakar daripada listrik, elpiji, minyak tanah, arang, dan lainnya. Walaupun mempunyai kecenderungan yang menurun, namun pada tahun 2007 penggunaan kayu bakar meningkat sehingga menjadi 49.38 persen dibanding tahun 2001 yang sebesar 43.23 persen. Sumber energi memasak rumahtangga pada tahun 1985 didominasi oleh kayu bakar sebesar 71.57 persen, minyak tanah sebesar 25.93 persen, dan elpiji sebesar 1.06 persen. Konsumsi minyak tanah untuk memasak rumahtangga mengalami pasang surut, dimana pada periode tahun 2001-2007 mengalami penurunan dari 44.10 persen menjadi 36.57 persen. Penurunan konsumsi minyak tanah ini disebabkan oleh kenaikan harga jual eceran minyak tanah pada periode
66 tersebut dari semula Rp. 388 per liter pada tahun 2001 menjadi Rp. 2 000 per liter pada tahun 2007. Kenaikan harga jual eceran minyak tanah menyebabkan konsumen rumahtangga mengalihkan sumber energinya ke kayu bakar yang meningkat menjadi 49.38 persen dan elpiji yang meningkat menjadi 10.57 persen. Tingginya konsumsi kayu bakar dan elpiji pada tahun 2007, selain disebabkan oleh naiknya harga jual eceran minyak tanah, kemungkinan besar sebagai akibat dari pelaksanaan program konversi minyak tanah ke elpiji pada tahun 2007. Dalam pelaksanaan program konversi, pada daerah-daerah yang telah dikonversi, minyak tanah ditarik dari peredaran dan digantikan oleh elpiji. Hal ini menyebabkan masyarakat mampu akan beralih mengkonsumsi elpiji, namun masyarakat kurang mampu, khususnya di perdesaan, yang semula mengkonsumsi minyak tanah akan kembali mengkonsumsi kayu bakar. 2.4.
Subsidi Energi di Negara Lain
2.4.1. Subsidi Energi di India India memiliki 2 jenis subsidi, yaitu Subsidi Eksplisit yaitu subsidi yang tercantum dalam dokumen anggaran dan Subsidi Implisit. Subsidi Eksplisit meliputi subsidi makanan, pupuk, dan BBM. Subsidi Implisit adalah subsidi yang tidak tercantum dalam dokumen keuangan pemerintah, dan mencakup subsidi transportasi. Subsidi BBM pada awalnya off budget dan mulai dimasukkan ke dalam anggaran pemerintah pada periode tahun 2002-2003. Jenis energi yang disubsidi hanya minyak tanah untuk transportasi publik dan elpiji untuk rumahtangga. Kedua jenis energi ini dipertahankan subsidinya karena paling banyak dikonsumsi oleh sektor publik. Pada tahun 1997 pemerintah India menyusun agenda untuk melakukan
transisi dari rejim harga yang diatur
67 pemerintah menjadi harga yang ditentukan pasar. Khusus untuk minyak tanah dan elpiji tetap diberikan subsidi meskipun secara bertahap besarannya dikurangi. Pada akhir tahun 2002, subsidi untuk minyak tanah dan elpiji untuk rumahtangga diturunkan dari 33 persen menjadi 15 persen. Mulai disadari bahwa subsidi elpiji dinilai tidak tepat sasaran karena memberikan manfaat yang lebih banyak bagi kelompok masyarakat penghasilan tinggi di perkotaan. Kondisi yang hampir serupa juga terjadi pada subsidi minyak tanah karena lebih banyak elit desa yang mampu yang mengkonsumsi minyak tanah bersubsidi. Selain itu minyak tanah subsidi tersedia dalam jumlah yang terbatas di perdesaan sehingga subsidi minyak tanah menjadi kurang bermanfaat bagi masyarakat miskin perdesaan. Karena kedua subsidi energi ini dianggap salah sasaran, maka pemerintah India sedang mencari bentuk untuk mengganti subsidi energi dengan subsidi bentuk lain dengan tujuan agar lebih tepat sasaran bagi golongan masyarakat yang paling tidak mampu (Bappenas, 2007). 2.4.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Malaysia Dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN (Association South East Asia Nations) yaitu Singapura dan Thailand, maka harga Bahan Bakar Minyak di Malaysia lebih rendah. Hal ini disebabkan subsidi BBM dan penghapusan pajak semua produk BBM yang besar oleh pemerintah Malaysia. Dampak kebijakan tersebut membuat masyarakat Malaysia dapat menikmati transportasi publik yang terjangkau, biaya operasional nelayan yang rendah, dan biaya operator transportasi sungai yang murah di Sabah dan Serawak. Selain itu masyarakat Thailand dan Singapura dapat membeli BBM lebih murah di Malaysia.
68 Subsidi BBM di Malaysia diberikan langsung kepada produsen atau pengecer. Pemerintah akan melanjutkan subsidi BBM namun dengan jumlah subsidi yang diperbaharui dan ditentukan oleh pemerintah, mengingat subsidi BBM juga berdampak negatif, yaitu: (1) menimbulkan distorsi pasar karena harga tidak mencerminkan harga aktualnya, (2) penyelundupan BBM ke negara lain, (3) meningkatkan defisit anggaran pemerintah karena besaran subsidi BBM sebesar RM 6.6 miliar, dan (4) potensi penerimaan pajak penjualan yang hilang sebesar 7.9 miliar Ringgit Malaysia (Bappenas, 2007). Potensi pajak penjualan dan subsidi BBM sebesar RM 14.5 miliar dapat digunakan untuk mengurangi defisit fiskal dari 3.8 persen dari GDP menjadi 0.7 persen. Permasalahan utama yang dihadapi dalam kaitan subsidi energi adalah kurang tepat sasaran. Oleh karena itu akan dilakukan penyempurnaan dengan membuat metode yang lebih efektif, sehingga operator transportasi publik, nelayan, dan operator transportasi sungai benar-benar dapat merasakan manfaatnya. 2.4.3. Subsidi Energi di Negara-negara Eropa IMF (2008) dalam laporannya menguraikan bahwa subsidi energi di negara-negara Eropa ditujukan untuk: (1) proteksi industri energi domestik, sebagaimana yang terjadi pada subsidi pertambangan batubara di Jerman dan Spanyol, subsidi industri energi sampah di Finlandia dan Irlandia, subsidi biofuel di Perancis dan Itali, (2) pengembangan industri energi terbarukan agar bisa bersaing di pasar internasional, (3) riset dan pengembangan teknologi sumber energi yang ramah lingkungan, dan (4) upaya pemerataan kesejahteraan sosial bagi masyarakat miskin, berupa pembangunan pipa jaringan distribusi gas untuk pemanas ruangan di daerah kantong kemiskinan di negara Denmark, Spanyol,
69 Yunani, dan Irlandia. Hal ini untuk menjamin kepastian pasokan gas dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah yang warganya tidak mampu. Subsidi energi tidak lagi menjadi issue yang menarik di negara-negara Eropa karena sejak dua dasawarsa terakhir telah diberlakukan harga keekonomian bagi energi. Kebijakan energi dilakukan secara terbatas dalam bentuk grant, pajak-pajak, instrumen pengaturan, dan dukungan untuk riset dan pengembangan, dimana kebijakan energi telah menginternalisasi dampak eksternal lingkungan, pengembangan energi terbarukan, dan pengembangan energi alternatif. Berbeda dengan negara-negara di Eropa Barat, negara-negara Eropa Timur yang ekonominya masih dalam masa transisi menerapkan subsidi energi dalam bentuk penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga keekonomiannya. Beberapa kebijakan energi di negara-negara Eropa adalah: (1) hibah atau kredit bunga rendah untuk produsen atau konsumen energi. Sebagai contoh Denmark memberikan subsidi maksimal 30 persen dari biaya pengembangan efisiensi energi atau konservasi di sektor industri dan perdagangan; (2) kebijakan fiskal yaitu penerapan besaran pajak yang berbeda untuk mendorong atau mengurangi produksi atau konsumsi energi tertentu, seperti pajak karbon untuk mengurangi efek gas rumah kaca; (3) pengaturan untuk mendorong konsumen membeli energi tertentu. Di Jerman konsumen yang membeli energi listrik dari pembangkit angin dapat membeli dengan harga lebih murah, sementara di Perancis perusahaan negara diharuskan membeli energi listrik dari pembangkit angin dengan harga lebih mahal untuk merangsang pengusahaan energi angin; dan (4) subsidi untuk melakukan riset dan pengembangan energi terbarukan dan
70 energi
alternatif,
dimana
sekitar
40
persen
dana
dialokasikan
untuk
pengembangan energi nuklir dan sektiar 15 persen untuk energi fosil. Kebijakan energi di negara-negara Eropa membutuhkan dukungan dana cukup besar. Pengurangan pajak pertambahan nilai untuk BBM dan gas di Inggris pada tahun 2004 mencapai nilai €1.4 miliar. Subsidi batubara di negara-negara Eropa Barat dan Eropa Timur (EU-27) pada periode 2002-2006 mencapai nilai €31.0 miliar. Pengurangan pajak karbondioksida untuk industri di Denmark mengurangi penerimaan pemerintah sebesar €0.6 miliar. 2.4.4. Subsidi Energi di Negara-negara Asia Shikha Jha, et al. (2009) melakukan penelitian terhadap subsidi energi di 32 negara Asia dan kaitannya dengan ketidakpastian kondisi makroekonomi dan keberlanjutan fiskal. Volatilitas dan tingginya harga dunia minyak mentah berpengaruh terhadap anggaran belanja baik di negara yang menerapkan subsidi atau negara yang menerapkan pajak terhadap konsumsi BBM dalam negeri. Negara-negara Asia menerapkan sistem yang rumit dalam penetapan harga BBM dalam negerinya yang selalu dikaitkan dengan harga dunia minyak mentah, seperti yang terlihat pada Tabel 12. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat tajam pada tahun 2008, hampir semua negara Asia melindungi konsumennya melalui pembengkakan subsidi atau penurunan pajak BBM-nya. Subsidi BBM mengakibatkan timbulnya biaya fiskal, baik yang dibiayai langsung melalui anggaran belanja atau berupa pengurangan atas margin distribusi dan kilang perusahaan minyak negara.
71 Tabel 12. Subsidi dan Pajak Bahan Bakar Minyak di Beberapa Negara Asia
Sumber :
Shikha Jha, et al. (2009)
Negara yang mensubsidi langsung BBM cenderung menanggung beban defisit fiskal, yang berikutnya akan mengakibatkan besarnya utang publik. Pada Gambar 1 ditampilkan harga minyak tanah di beberapa negara Asia dibandingkan dengan harga minyak tanah spot27 f.o.b.28 versi US Kerosene-type, Rotterdam Kerosene-type, dan SIN Kerosene-type. 27
Harga spot adalah harga seketika atau harga yang terjadi pada hari transaksi. Harga spot biasanya lebih mahal dibandingkan dengan harga pada kontrak jangka pendek atau panjang.
72 Penelitian ini melakukan simulasi dampak gejolak makroekonomi dan harga dunia minyak terhadap utang publik dan perkiraan atas koreksi fiskal yang diperlukan. Ketidakpastian makroekonomi yang berlarut-larut dapat menyebabkan memburuknya utang publik sebagaimana yang diperkirakan terjadi di Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Republik Lao, Malaysia, Maldives, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Cina Taiwan, dan Vietnam. Utang publik di masing-masing negara itu diperkirakan akan meningkat sebesar 10 persen.
Catatan : Sumber :
Survai hanya mencakup ibukota negara Shikha Jha, et al. (2009)
Gambar 1.
Harga Jual Eceran Minyak Tanah di Beberapa Negara Asia, Oktober 2008
Negara Asia yang mengendalikan harga jual eceran BBM dalam negeri, ketika harga dunia minyak meningkat tajam, memerlukan koreksi atas kebijakan fiskal. Tingginya harga dunia minyak mentah lebih berpengaruh dibandingkan ketidakpastian makroekonomi untuk negara India, Indonesia, dan Malaysia. Sementara tingginya harga dunia minyak mentah kurang berpengaruh 28 f.o.b. atau free on board adalah harga barang pada titik pelabuhan asal. Sebagai pengimpor, maka harga f.o.b. perlu ditambah dengan biaya angkutan, asuransi, pajak ekspor, pajak impor, dan pungutan serta biaya lainnya.
73 dibandingkan ketidakpastian makroekonomi untuk negara Cina, Bangladesh, Nepal, dan Pakistan. 2.5.
Tinjauan Studi Sebelumnya
2.5.1. Pasar Minyak Mentah Krichene (2005) melakukan studi pasar minyak dan gas alam dunia periode 1918-2004 dengan menggunakan model simultan. Gejolak harga minyak menyebabkan permintaan minyak dan gas bumi menurun tajam pada tahun 19732004 tanpa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hal ini penting karena perekonomian dunia memiliki potensi untuk melakukan penyesuaian terhadap gejolak harga melalui efek substitusi dan peningkatan efisiensi energi. Krichene menemukan bahwa permintaan dan penawaran baik minyak maupun gas bumi sangat tidak elastis dalam jangka pendek, yang berakibat pada gejolak pasar minyak dan gas bumi. Kenaikan harga minyak mentah dan penerapan pajak tinggi di negara-negara pengimpor minyak mentah telah mengurangi elastisitas permintaan terhadap harganya, melalui penghematan energi dan subsititusi energi. Sementara itu permintaan minyak dan gas bumi memiliki elastisitas pendapatan tinggi. Kurva penawaran jangka panjang minyak mentah terhadap harga menjadi tidak elastis setelah gejolak minyak tahun 1973 yang merefleksikan perubahan struktur pasar dari pasar kompetitif menjadi pasar yang terstruktur. Kurva penawaran jangka panjang gas bumi terhadap harga menjadi lebih elastis setelah gejolak minyak tahun 1973 yang merefleksikan respon penawaran yang lebih fleksibel terhadap perubahan harga gas bumi. Dees et al. (2003) menggunakan model ekonometrik untuk menjelaskan pasar dunia minyak mentah. Penulis menyimpulkan bahwa permintaan minyak bumi dipengaruhi oleh kegiatan perekonomian domestik, harga riil minyak bumi,
74 dan tren waktu yang mewakili perubahan teknologi. Sementara produksi nonOPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang menggunakan metode hybrid menjelaskan bahwa produksi minyak bumi dipengaruhi oleh perubahan teknologi kilang minyak, perubahan teknologi, insentif ekonomi, dan kondisi politik. Estimasi harga riil minyak bumi dipengaruhi oleh utilitas kapasitas produksi minyak bumi negara OPEC, kuota produksi minyak bumi negara OPEC, tingkat kepatuhan negara anggota OPEC dalam kuota, dan stok minyak mentah dari negara-negara OECD. Hasil ini mengindikasikan bahwa OPEC mempunyai kekuatan penting dalam mempengaruhi harga minyak bumi dalam jangka menengah dan panjang. Hayo and Kutan (2002) meneliti dampak berita, harga minyak bumi, dan spillover internasional terhadap pasar finansial Rusia. Dengan adanya liberalisasi dan hubungan pasar Rusia dengan pasar global, maka pembuat kebijakan Rusia membutuhkan banyak pertimbangan untuk menjaga stabilitas pasar domestiknya. Salah satu di antaranya adalah harga dunia minyak mentah yang ternyata berkontribusi terhadap tidak stabilnya pasar keuangan Rusia. Terdapat bukti yang kuat bahwa berita positif seputar sektor energi dapat menaikkan nilai saham sebesar satu persen. Sementara berita negatif mengakibatkan keragaman harga lebih besar dibandingkan dengan berita positif. Namun diakui bahwa berita tentang ketegangan di Chechnya tidak berdampak terhadap pasar keuangan. Temuan studi ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa gejolak harga dunia minyak mentah berdampak signifikan terhadap output domestik dan nilai tukar riil (Rautava, 2002 dalam Dees, et al. 2003).
75 Taiwan adalah salah satu negara di Asia yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi namun tidak mempunyai sumber energi. Oleh sebab itu Yunchang (1996) meneliti dampak kebijakan energi, terutama perubahan dalam kebijakan harga minyak atau gas bumi, terhadap ekonomi Taiwan, dengan menggunakan CEGEM 1.1 (Computable Energy General Equilibrium Model). Model ini berusaha menjelaskan keterkaitan hubungan antara energi, produksi, konsumsi, dan perdagangan internasional. Dalam jangka pendek, pemerintah tidak harus bergantung semata-mata pada kebijakan harga energi untuk mempengaruhi perekonomian, karena tidak ada hubungan yang pasti dan dapat diprediksi antara kinerja ekonomi dengan shock harga energi. Tiap industri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap perubahan harga energi. Kompetisi antar perusahaan mengakibatkan perbedaan respon terhadap perubahan harga energi. Perubahan harga energi dijadikan salah satu arena untuk melakukan kompetisi, sehingga ada industri yang memperoleh keuntungan dan ada pula yang menderita kerugian. Miller dan Zhang (1996) menggunakan teori irreversible investment berasumsi bahwa kenaikan harga barang-barang mengikuti proses pergerakan Brownian yang mulus, meskipun sangat jarang terjadi lompatan harga. Ketika Iran melakukan invasi ke Kuwait pada awal Agustus 1990 terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah dari US$18 per barrel menjadi US$32 per barrel pada pertengahan Agustus 1990. Tetapi harga dunia minyak mentah kembali normal ke posisi semula ketika perang berakhir enam bulan kemudian. Kejadian ini dapat dijelaskan dengan proses pergerakan Brownian yaitu kenaikan harga dipicu oleh terjadinya perang dan kemungkinan terjadinya gangguan pasokan minyak mentah.
76 Berikutnya penurunan harga dunia minyak mentah dipicu oleh selesainya perang dengan harapan penawaran minyak mentah akan kembali stabil. Borenstein, et al. (1997) melakukan penelitian tingkat respon harga bensin terhadap pergerakan harga dunia minyak mentah. Beberapa peneliti menemukan bahwa harga bensin lebih cepat bereaksi ketika terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah daripada ketika terjadi penurunan harga minyak mentah. Transmisi perubahan harga dunia minyak ke harga bensin bergantung pada respon pedagang intermediaries karena biasanya mereka tidak dimiliki oleh pemilik kilang. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat para pedagang intermediaries cenderung segera meningkatkan harga namun ketika terjadi penurunan harga dunia minyak mentah mereka lebih lambat memberikan respon. Raymond dan Rich (1997) melakukan analisis hubungan antara gejolak harga dunia minyak dengan fluktuasi siklus bisnis di Amerika Serikat. Penulis menyusun model Peralihan Markov (markov switching model) yang menghasilkan simpulan bahwa pergerakan harga dunia minyak memberikan kontribusi atas rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat meskipun tidak selalu menjadi penentu dominan. Temuan lain studi ini adalah adanya hubungan yang kuat antara gejolak harga dunia minyak dengan kinerja makroekonomi. Ketika harga dunia minyak mentah sangat tinggi pada periode 1973-75, resesi 1980an, dan periode 1990-91, tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi. Meskipun demikian ditemukan bahwa tidak semua kontraksi pertumbuhan ekonomi dapat dikaitkan dengan tingginya harga dunia minyak mentah. Pangestu (1986) dalam disertasinya melakukan penelitian apakah efek dutch disease terjadi di Indonesia dalam periode lonjakan harga dunia minyak
77 tahun 1973-1982. Penelitian menggunakan persamaan simultan dengan 2 SLS. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa gejala dutch disease terjadi di Indonesia. Dalam rangka untuk meminimalkan efek dutch disease, kebijakan fiskal lebih efektif daripada kebijakan moneter. Dutch disease adalah fenomena ekonomi yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan pendapatan domestik yang mendadak dari sumber alam, yang berdampak pada peningkatan belanja domestik yang mendadak pula. Hal ini mengakibatkan inflasi domestik dan harga barang nontraded
29
menjadi lebih mahal relatif terhadap barang traded non-minyak.
Perubahan harga relatif ini mengakibatkan terjadinya peralihan sumberdaya dari sektor traded non-minyak (karena relatif lebih murah) ke sektor nontraded (karena relatif lebih mahal). Ketika harga minyak turun dan kembali ke tingkat harga semula, perekonomian nasional mengalami resesi karena turunnya daya beli masyarakat dan terjadi kelebihan produksi barang nontraded yang tidak terserap oleh pasar domestik. Perekonomian nasional membutuhkan waktu untuk keluar dari resesi, yaitu dengan mengalihkan kembali sumberdaya dari sektor nontraded ke sektor traded non-minyak. Prawiraatmadja (1997) mengemukakan bahwa berdasarkan proyeksi produksi dan permintaan minyak mentah dan hasil olahannya, dalam waktu dekat Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak. Negara pengimpor minyak adalah negara yang mengalami defisit perdagangan minyak bumi dan hasil olahannya. Untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri yang semakin meningkat dan agar tidak terlalu bergantung pada impor, Indonesia perlu
29
Barang non-traded adalah barang produksi domestik yang dikonsumsi domestik atau barang yang tidak diperdagangkan secara internasional (ekspor-impor). Barang traded adalah barang yang diproduksi domestik dan kemudian sebagian atau seluruhnya diekspor atau barang yang diproduksi di luar negeri dan diimpor atau campuran dari keduanya.
78 membangun kilang baru. Hambatan investasi di sektor hilir migas adalah harga produk final (BBM) masih ditetapkan oleh pemerintah dibawah harga pasar melalui pemberian subsidi. Karena sulitnya akses investasi swasta dalam pembangunan kilang baru, maka untuk memenuhi peningkatan kebutuhan BBM dalam negeri, PT Pertamina (persero) berupaya melakukan impor BBM selain peningkatan kapasitas, efisiensi, atau pembangunan kilang baru. Studi yang dilakukan oleh Husman (2007) di Indonesia difokuskan pada penelitian tentang dampak fluktuasi harga dunia minyak terhadap output dan inflasi dengan menggunakan metode VAR (Vector Auto Regression) periode 1990-2006. Pada periode managed floating tahun 1990-1997 ketika Indonesia berstatus net exporter country, harga dunia minyak tidak berpengaruh dominan dalam pertumbuhan output dan tingkat inflasi domestik, dengan tingkat kesalahan α = 15 persen. Hal ini disebabkan oleh besarnya subsidi sehingga harga BBM domestik cenderung stabil. Pada periode free floating tahun 1997-2006, perubahan harga dunia minyak mentah menjadi lebih berpengaruh terhadap output dan inflasi dalam negeri. Hal ini disebabkan antara lain oleh: 1.
Berubahnya posisi Indonesia dari negara net eksporter menjadi net importer minyak pada tahun 2005, dan
2.
Terjadi perubahan pola subsidi yang terjadi pada tahun 2005 sebagai akibat dari tingginya harga dunia minyak. Afiatno (2006) meneliti hubungan kausalitas antara konsumsi energi akhir
dan ekonomi di Indonesia, dan perbedaan ataupun kesamaan hubungan kausalitas yang terjadi antar wilayah di Indonesia. Penulis menggunakan metode VAR dan menyimpulkan bahwa terdapat hubungan kausalitas multivariat dua arah, yaitu
79 energi mempengaruhi ekonomi dan ekonomi mempengaruhi energi. Oleh sebab itu pemerintah harus berhati-hati dalam mengendalikan konsumsi energi melalui mekanisme harga atau pajak karena mempunyai dampak yang luas, biayanya besar, dan berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi. Mengendalikan konsumsi juga harus hati-hati karena dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi mengingat hubungan energi dan pertumbuhan ekonomi sedemikian kuat. Kondisi ini berbeda dengan negara maju, misalnya Jerman, yang pada umumnya mempunyai hubungan kausalitas antara kegiatan ekonomi dengan konsumsi energi. Di negara itu, agar konsumsi energi tidak berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, maka harga energi dikendalikan melalui pajak energi. 2.5.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia Yanuarti (2004) melakukan penelitian sejauh mana peranan BBM dalam struktur biaya di tingkat produsen dan mengetahui dampak kenaikan harga BBM terhadap harga produksi dengan pendekatan input output. Berdasarkan kajian tersebut, kenaikan harga BBM sebesar 1 persen akan meningkatkan harga barang domestik sebesar 0.07 persen, dalam kondisi tidak ada subsidi BBM. Kenaikan harga barang domestik berasal dari dampak langsung sebesar 0.02 persen dan dampak tidak langsung sebesar 0.05 persen. Dampak langsung berasal dari kenaikan harga minyak mentah sebesar 0.01 persen dan harga BBM sebesar 0.007 persen, sementara dampak tidak langsung berasal dari kenaikan harga produk sektor pengguna minyak mentah dan BBM. Astana (2003) meneliti dampak kebijakan pengurangan subsidi BBM terhadap kinerja industri hasil hutan kayu dan kelestarian hutan. Metode yang digunakan adalah 3SLS dengan menggunakan data tahunan periode 1980-1996.
80 Diperoleh simpulan bahwa kebijakan pengurangan subsidi harga BBM sebesar 25 persen sampai 100 persen akan menurunkan penawaran kayu bulat dalam negeri, penawaran ekspor kayu bulat, penawaran ekspor kayu gergajian, dan penawaran ekspor kayu lapis. Selain itu dampak kebijakan pengurangan subsidi harga BBM memperkuat upaya pelestarian hutan berupa pengurangan penebangan kayu illegal, penurunan laju erosi, dan penurunan kerusakan tegakan tinggal. Selanjutnya dampak kebijakan pengurangan subsidi harga BBM menurunkan kesejahteraan pelaku ekonomi dan menurunkan penerimaan pemerintah, berupa pengurangan surplus produsen, pengurangan surplus konsumen, pengurangan penerimaan pajak ekspor, pengurangan pungutan kehutanan, dan pengurangan penerimaan pajak ekspor kayu. Kurtubi (1998) menganalisis permintaan BBM dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi serta dampak kebijakan harga BBM terhadap permintaan BBM. Metode analisis yang digunakan adalah CECM (Cointegration and Error Correction Modeling) yakni suatu teknik pemodelan ekonometrik yang banyak dipakai ahli di bidang ekonomi energi dan perminyakan. Menggunakan pendekatan kointegrasi, diperoleh estimasi elastisitas permintaan BBM terhadap harganya yaitu untuk jangka pendek sebesar -0.116 dan untuk jangka panjang sebesar -0.549. Estimasi elastisitas permintaan terhadap pendapatan untuk jangka pendek adalah 0.723 dan untuk jangka panjang adalah 1.351. Syafa’at (1996) melakukan penghitungan untuk merumuskan besaran subsidi optimal dan harga optimal, yang dapat memberikan manfaat maksimum baik kepada petani (produsen), konsumen, dan pihak lain yang berkepentingan dengan subsidi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary
81 Least Square). Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) tingkat subsidi optimal untuk padi adalah 47.74 persen dan untuk jagung adalah 21.73 persen. Harga optimal yang ditetapkan sebesar tingkat subsidi optimal akan memberikan manfaat maksimum bagi petani, konsumen, dan pihak lain. Untuk itu diharapkan agar harga dasar padi dan jagung ditetapkan sebesar subsidi optimalnya; dan (2) apabila elastisitas penawaran dan permintaan terhadap harga menurun 10 persen, maka subsidi optimal padi meningkat dari 47.74 persen menjadi 93.75 persen dan subsidi optimal jagung meningkat dari 21.73 persen menjadi 28.45 persen. Semakin besar subsidi optimal, maka semakin rendah harga optimal, dan semakin jauh jarak antara harga optimal dengan harga pasar. Dengan kata lain, semakin inelastik penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka perbedaan harga optimal dan harga pasar akan semakin besar. Soebiakto (1988) dalam disertasinya menganalisis dampak fluktuasi harga dunia minyak mentah terhadap ekonomi Indonesia tahun 1973-1986. Kenaikan harga dunia minyak mentah terjadi pada tahun 1973 dan 1979, sementara penurunan harga terjadi pada tahun 1986. Indonesia dikategorikan sebagai negara kecil karena hanya memiliki cadangan minyak mentah sebesar 1.4 persen dari cadangan minyak mentah dunia, sehingga menjadi negara price-taker dalam bisnis minyak mentah dunia. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa harga dunia minyak menyebabkan kondisi yang tidak pasti terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan Indonesia yang tinggi terhadap penerimaan dari ekspor minyak mentah, yang juga sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Penurunan harga dunia minyak mentah sebesar US$1 per barrel akan berdampak pada penurunan belanja pemerintah
82 sebesar US$32 juta, penambahan defisit neraca pembayaran sebesar US$10 juta, dan peningkatan hutang eksternal sebesar US$145 juta, demikian pula sebaliknya. Dalam kaitan dengan subsidi harga BBM, Soebiakto menyimpulkan bahwa peningkatan harga BBM domestik sebesar Rp. 1 per liter akan mengurangi konsumsi BBM dalam negeri sebesar 13 000 – 14 000 barrel, demikian pula sebaliknya. Untuk mengurangi konsumsi BBM dalam negeri penulis memberikan saran agar dilakukan pengurangan subsidi BBM secara bertahap yaitu paling sedikit sebesar 10 persen per tahun. Hartono dan Budy (2004) mengkaji dampak peningkatan harga energi terhadap distribusi pendapatan dan merumuskan kebijakan ekonomi yang tepat bagi kinerja perekonomian DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta serta upaya pengurangan dampak negatif yang muncul akibat peningkatan harga energi terutama terhadap kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan CGE regional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM, Bahan Bakar Gas (BBG), dan Tarif Dasar Listrik (TDL) memberikan dampak negatif terhadap output dan nilai tambah sektoral terutama terhadap industri makanan, minuman dan tembakau, industri tekstil, kulit, kayu, dan barang dari kayu, dan sektor listrik, gas dan air minum. Hal itu pada gilirannya akan mengurangi pendapatan faktor produksi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja informal, yang pada akhirnya pendapatan dari kelompok rumahtangga miskin dan rumah tangga sangat miskin berkurang relatif dibandingkan dengan kelompok lainnya. Diatin et al. (2003) meneliti pengaruh kenaikan harga solar terhadap usaha penangkapan nelayan di pelabuhan Ratu, Sukabumi. Metode yang digunakan
83 adalah analisis pendapatan usaha, rasio imbangan penerimaan dan biaya, net present value, net benefit cost ratio, dan internal rate of ratio. Kenaikan harga solar berdampak pada penurunan pendapatan usaha penangkapan yang dilakukan oleh unit usaha penangkapan dengan ukuran kapal 5-10 GT, 11-20 GT, dan 21-32 GT, yaitu masing-masing sebesar 55.28 persen, 48.64 persen, dan 25.01 persen. Namun dengan kenaikan harga solar ini, semua usaha penangkapan nelayan secara finansial masih layak untuk dilakukan pada tingkat suku bunga 20 persen. Unit usaha penangkapan yang paling peka terhadap perubahan harga solar adalah unit usaha penangkapan dengan ukuran kapal 5-10 GT. Simatupang dan Purwoto (1995) mengatakan bahwa usahatani dalam sektor pertanian yang diperkirakan sangat dipengaruhi oleh penyesuaian harga solar adalah usahatani padi. Tujuan penelitian adalah mengkaji dampak perubahan harga solar terhadap produksi dan laba usahatani padi. Menggunakan data tahunan periode 1986-1991 dan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression), terbukti bahwa perubahan harga solar sangat berpengaruh terhadap produksi dan usahatani padi. Secara nasional dampak kenaikan harga solar sebesar 26.67 persen pada bulan Januari 1993 diperkirakan akan menurunkan produksi dan laba usahatani padi masing-masing 6.07 persen dan 10.58 persen. Disimpulkan bahwa perubahan harga BBM sangat berpengaruh terhadap produksi dan laba usahatani padi, hal yang sama diperkirakan berlaku juga bagi komoditi pertanian lainnya. Oleh karena itu untuk mengurangi dampak terhadap petani padi, pada setiap kenaikan harga BBM harus diikuti oleh kenaikan harga dasar pertanian.
84 2.5.3. Kemiskinan Hartono (2006) dalam disertasinya membangun model Sistem Neraca Sosial Ekonomi Energi (SNSEE) Indonesia dan model Computable General Equilibrium (CGE). Tujuan penelitian diantaranya adalah menentukan dampak pengurangan subsidi BBM, BBG, dan Tarif Dasar Listrik terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan antar berbagai kelompok rumahtangga. Temuan disertasi ini, bahwa pengurangan subsidi BBM, BBG, dan TDL akan berdampak pada peningkatan PDB, distribusi pendapatan semakin merata, dan penurunan indeks Gini. Dampak terhadap PDB dan distribusi pendapatan beragam bergantung pada apakah pengurangan subsidi: (1) tidak diikuti oleh peningkatan efisiensi penggunaan energi, (2) diikuti oleh peningkatan efisiensi penggunaan energi kelompok industri, dan (3) diikuti oleh peningkatan efisiensi penggunaan energi kelompok industri dan rumahtangga. Hartono (2006) menyampaikan pula bahwa pemerintah perlu memikirkan strategi-strategi dalam melakukan pengurangan subsidi, yaitu: (1) memberikan informasi mengenai cara peningkatan efisiensi penggunaan energi, (2) memberikan insentif pada industri dan masyarakat untuk melakukan peningkatan efisiensi penggunaan energi, dan (3) mengurangi subsidi secara bertahap guna memberikan kesempatan kepada kelompok industri untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Selain itu pemerintah perlu mengembangkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) guna mengurangi beban kelompok rumahtangga miskin akibat pengurangan subsidi. Apabila BLT tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka pemerintah perlu mengembangkan program alternatif penyaluran dana kompensasi selain BLT.
85 Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005) menganalisis dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan dengan menggunakan data Susenas 2004. Pendekatan yang dilakukan adalah kenaikan harga BBM menyebabkan meningkatnya inflasi sehingga pendapatan riil masyarakat menurun. Penurunan pendapatan rril masyarakat, jika terjadi pada keluarga yang berpenghasilan di sekitar dan pada garis kemiskinan, akan menyebabkan mereka jatuh dalam kemiskinan. Namun dengan adanya transfer dana kompensasi BBM,
diharapkan penghasilannya
terkompensasi dan bahkan bisa terangkat keatas dari batas kemiskinan. Dengan asumsi inflasi sebesar 12.5 persen dan elastisitas harga terhadap garis kemiskinan sebesar 1.3, maka pada tahun 2005 garis kemiskinan nasional, perkotaan, dan perdesaan masing-masing sebesar Rp. 143 000, Rp. 166 393, dan Rp. 126 393. Sebagai dampak kenaikan harga BBM, penduduk miskin pada tahun 2005 meningkat menjadi 18.61 persen atau 40.4 juta orang, suatu peningkatan sebesar 1.95 persen dibandingkan tahun 2004. Selanjutnya paper tersebut menjelaskan mengenai efektivitas programprogram kompensasi BBM. Pertama adalah program beras miskin (raskin) yang menurut data susenas 2004 penerima raskin yang tergolong sebagai keluarga miskin hanya sekitar 25.9 persen. Kedua adalah program beasiswa dimana hanya 38.0 persen penerima beasiswa adalah yang berasal dari golongan keluarga miskin. Ketiga adalah program kartu sehat yang ditujukan untuk melindungi keluarga pra-sejahtera dari resiko pengeluaran kesehatan yang terlalu besar. Dari seluruh pemegang kartu sehat hanya 26.5 persen yang berasal dari keluarga miskin. Keempat adalah program dana bergulir yang menuntut kemampuan berwirausaha bagi penerima dana bergulir. Dari seluruh penerima dana bergulir,
86 hanya 9.9 persen yang termasuk golongan keluarga miskin. Disimpulkan bahwa kenaikan harga BBM yang diikuti program kompensasi BBM tidak akan mengakibatkan penurunan tingkat kemiskinan, karena majoritas penerima manfaat program kompensasi bukan golongan keluarga miskin. Kajian mengenai dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor pertanian, agroindustri, dan rumahtangga pertanian di Indonesia dilakukan oleh Oktaviani dan Sahara (2005a). Kedua penulis menggunakan CGE (Computable General Equilibrium) recursive dynamic yang disebut Model Kemiskinan Indonesia (MKI). Secara teoritis kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi. Peningkatan biaya produksi menggeser kurva biaya marjinal dan kurva penawaran ke kiri atas, cateris paribus, sehingga output menurun dan harga output meningkat. Berdasarkan hasil simulasi jangka pendek dan jangka panjang, kenaikan harga BBM berdampak negatif terhadap semua output sektor pertanian dan agroindustri. Meskipun kenaikan harga BBM diikuti dengan penyaluran dana kompensasi BBM, namun tetap berdampak negatif terhadap semua output di sektor pertanian dan agroindustri. Penurunan penyerapan tenaga kerja tetap terjadi meskipun kenaikan harga BBM telah diikuti dengan program kompensasi. Kenaikan harga BBM, baik diikuti oleh program kompensasi maupun tidak, berdampak negatif terhadap upah tenaga kerja tidak terdidik. Hal yang sama terjadi pada tingkat pengembalian lahan atau sewa lahan (return to land). Tingkat pengembalian lahan merupakan salah satu sumber pendapatan rumahtangga di sektor pertanian. Turunnya upah nominal tenaga kerja tidak terdidik dan penurunan tingkat pengembalian lahan, akan menyebabkan semakin berkurangnya pendapatan dan daya beli rumahtangga pertanian. Kenaikan harga BBM dan
87 penyaluran dana kompensasi yang pada awalnya diharapkan dapat memperbaiki kondisi keluarga miskin, ternyata berdampak sebaliknya. Peningkatan harga BBM menyebabkan kondisi rumahtangga pertanian menjadi tidak lebih baik. De Janvry dan Sadoulet (2000) melakukan penelitian tentang kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di 12 negara Amerika Latin. Kedua penulis menemukan bahwa peningkatan pendapatan nasional mengurangi tingkat kemiskinan tetapi tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan. Diketahui pula bahwa peningkatan pendapatan lebih berpengaruh dalam penurunan angka kemiskinan di perkotaan apabila tingkat ketimpangan pendapatan dan kemiskinan cukup rendah dan masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan menengah. Pertumbuhan ekonomi berdampak positif terhadap pengurangan kemiskinan namun berdampak negatif terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan, sementara resesi ekonomi memberikan dampak negatif baik pada kemiskinan maupun ketimpangan pendapatan. Penulis menemukan bahwa jika ketimpangan pendapatan di suatu negara cukup besar, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat mengurangi angka kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi hendak dijadikan alat untuk mengurangi tingkat kemiskinan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan. Decaluwe et al. (1998) menganalisis dampak guncangan perdagangan dan reformasi tarif terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan rumahtangga di beberapa negara berkembang dengan menggunakan model CGE. Simulasi penurunan harga ekspor tanaman pangan dan penurunan tarif impor menyebabkan penurunan pendapatan rumahtangga dan sekaligus penurunan garis batas ambang kemiskinan. Simulasi penurunan harga ekspor tanaman pangan mengakibatkan
88 pengurangan produksi domestik untuk diekspor, yang diikuti oleh pengalihan sumberdaya ke sektor lain yang harga ekspornya masih cukup tinggi. Namun karena tidak semua bisa dialihkan, maka secara total terjadi penurunan GDP nasional, penurunan biaya sewa lahan pertanian, penurunan upah tenaga kerja, dan dengan demikian berkurangnya pendapatan rumahtangga. Karena garis batas ambang tingkat kemiskinan merupakan variabel endogen, maka hal ini berdampak pada penurunan garis batas ambang tingkat kemiskinan. Namun pengurangan pendapatan rumahtangga lebih kecil dibandingkan dengan penurunan batas ambang tingkat kemiskinan. Akhirnya penurunan harga dunia ekspor berdampak pada penurunan pendapatan rumahtangga, penurunan garis batas ambang tingkat kemiskinan yang relatif kecil sehingga secara total terjadi penurunan jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan. Nanga (2006) mengkaji dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan pendekatan persamaan simultan dan metode 2SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transfer fiskal dalam berbagai bentuk seperti bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi umum, memiliki dampak yang cenderung memperburuk kemiskinan di Indonesia. Hal ini terjadi karena
kenaikan
transfer
fiskal
cenderung
mengakibatkan
peningkatan
ketimpangan pendapatan, sementara kemiskinan memiliki hubungan yang positif dan elastis terhadap perubahan dalam ketimpangan pendapatan. Selain itu ditemukan bahwa peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) dapat menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, yang pada gilirannya dapat mengurangi jumlah pengangguran di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena penyerapan tenaga kerja di Indonesia
89 memiliki hubungan yang positif dan responsif (elastis) dengan perubahan PDRB. Keefektifan pertumbuhan ekonomi (peningkatan pendapatan per kapita) dalam mengurangi kemiskinan, ternyata sangat dipengaruhi oleh derajat ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Ketika pendapatan per kapita meningkat, maka meningkat pula derajat ketimpangan pendapatan. Oleh karena efek ketimpangan pendapatan dalam meningkatkan kemiskinan jauh lebih kuat dibandingkan dengan efek pengeluaran per kapita dalam menurunkan kemiskinan, maka sebagai dampak bersihnya kemiskinan akan semakin memburuk. Yudhoyono (2004) menganalisis kebijakan fiskal dan pembangunan pertanian
perdesaan
terhadap
pengangguran
dan
kemiskinan
dengan
menggunakan metode ekonometrik. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa tingkat pengangguran secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan desentralisasi. Kebijakan fiskal yang berupa pengeluaran
pemerintah untuk
prasarana memberi pengaruh positif bagi pengurangan pengangguran di Indonesia. Sebaliknya, setelah adanya desentralisasi atau otonomi daerah, keadaan penyerapan tenaga kerja semakin memburuk. Angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat upah. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh positif bagi upaya-upaya pengurangan angka kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk prasarana secara nyata menurunkan angka kemiskinan di perkotaan, dan pengeluaran pemerintah untuk pertanian secara nyata menurunkan angka kemiskinan di perdesaan. Pertumbuhan ekonomi memiliki dampak positif bagi pengurangan angka kemiskinan, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Di perdesaan, semakin tinggi upah di sektor pertanian, maka semakin berkurang tingkat kemiskinan. Hal ini sesuai dengan
90 kondisi petani yang pada umumnya berlahan sempit ataupun berstatus sebagai buruh tani. Sebaliknya, di perkotaan, tingginya tingkat upah tidak berpengaruh secara nyata terhadap pengurangan angka kemiskinan. Booth (2000) mengkaji kemiskinan dan pemerataan pendapatan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto. Hasil penelitian menjelaskan bahwa nilai head count ratio Indonesia masih di atas Malaysia dan Thailand, namun di bawah Philippines pada akhir tahun 1980-an. Pernyataan Booth memperkuat alasan bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan menjadi hal penting untuk mengurangi masalah kemiskinan di Indonesia dengan catatan program-progran pembangunan lebih diarahkan tidak hanya untuk pengembangan tanaman pangan tetapi juga kebutuhan spesifik bagi penduduk miskin. Sutomo (1995) meneliti kemiskinan rumahtangga dan pembangunan ekonomi wilayah dengan menggunakan pendekatan SNSE (Sistem Neraca Sosial Ekonomi) sebagai kerangka analisis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan rumahtangga, proses pemiskinan rumahtangga dan hubungannya dengan pembangunan wilayah. Analisis deskripsi untuk menjawab aspek-aspek kemiskinan, sedangkan analisis pengganda neraca diaplikasikan untuk menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan distribusi pendapatan rumahtangga. Analisis kontribusi faktor-faktor produksi digunakan untuk melengkapi kedua analisis tersebut. Sitepu (2007) dalam disertasinya menganalisis dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan rumahtangga terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia, dengan menggunakan model ekonometrik dan model CGE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi
91 sumberdaya manusia dan transfer pendapatan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rumahtangga yang diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan rumahtangga. Disimpulkan bahwa investasi sumberdaya manusia lebih efektif menurunkan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan dibandingkan dengan
transfer
pendapatan
kepada
kelompok
rumahtangga
perdesaan.
Disimpulkan bahwa untuk menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi sumberdaya manusia dan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan dan kesehatan bagi kelompok rumahtangga miskin. Ringkasan studi-studi terdahulu dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. No.
Studi Terdahulu mengenai Pasar Minyak Mentah, Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia, dan Kemiskinan
Studi Empiris
Topik
Kekhususan Studi
Pasar dunia minyak mentah dan gas bumi Pasar dunia minyak mentah
Menganalisis permintaan, penawaran, dan dampak dari kebijakan moneter terhadap harga minyak mentah. Menggunakan ekonometrik, permintaan minyak mentah dipengaruhi oleh domestik, harga riil minyak mentah, dan teknologi. Menganalisis dampak dari berita dunia, harga dunia minyak mentah, dan pasar global terhadap pasar keuangan di Rusia. Menganalisisi dampak dari harga dunia minyak mentah terhadap perekonomian Taiwan. Menggunakan pergerakan Brownian untuk menganalisis dan meramalkan harga dunia minyak mentah. Kaitan antara pergerakan harga bensin dan harga dunia minyak mentah ketika terjadi Perang Teluk Tahun 1991.
A. Pasar Minyak Mentah 1.
Krichene (2005)
2.
Dees, (2003)
3.
Hayo dan Kutan (2002)
Pasar dunia minyak mentah
4.
Yunchang (1996)
5.
Miller dan Zhang (1996)
6.
Borenstein, et.al. (1997)
Harga energi dan perekonomian nasional Pergerakan harga dunia minyak mentah Harga bensin dan harga dunia minyak mentah
7.
Raymond dan Rich (1997)
Pasar dunia minyak mentah dan siklus bisnis
8.
Pangestu (1986)
Perekonomian Indonesia tahun 1980an
et.al.
Menganalisis keterkaitan antara pergerakan harga dunia minyak mentah dengan siklus bisnis perekonomian Amerika Serikat, menggunakan Markov Switching Model. Meneliti apakah terjadi gejala dutch disease pada perekonomian Indonesia setelah terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah Tahun 1973.
92 Tabel 13. No.
Lanjutan Studi Empiris
Topik
Kekhususan Studi Analisis deskriptif mengenai pasar bahan bakar minyak di Indonesia, kapan Indonesia akan menjadi negara netimporter. Menganalisis dampak dari harga dunia minyak terhadap output dan inflasi domestik serta kaitannya dengan rejim nilai tukar rupiah. Menggunakan metode VAR mengkaitkan hubungan antara konsumsi energi akhir dengan perekonomian Indonesia.
9.
Prawiraatmadja (1997)
Pasar bahan bakar minyak di Indonesia
10
Husman (2007)
Perekonomian Indonesia tahun 1990-2006
11.
Afiatno (2006)
Hubungan antara konsumsi energi akhir di Indonesia
B. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia 12.
Yanuarti (2004)
13.
Astana (2003)
14.
Kurtubi (1998)
15.
Syafa’at (1996)
16.
Soebiakto (1988)
17.
Hartono dan Budy (2004)
18.
Diatin, (2003)
19.
Simatupang dan Purwoto (1995)
et.al.
C. Kemiskinan 20. Hartono (2006)
Peranan bahan bakar minyak dalam produksi Peranan bahan bakar minyak dalam industri hutan hasil kayu Pasar bahan bakar minyak di Indonesia Penghitungan besaran subsidi optimal Harga dunia minyak mentah dan perekonomian Indonesia Kebijakan harga energi dan distrib. Pendapatan Kebijakan harga energi dan kegiatan nelayan Kebijakan harga energi dan sektor pertanian Kebijakan energi
harga
21.
Hasan, Sugema, Ritonga (2005)
Kebijakan harga energi dan kemiskinan
22.
Oktaviani dan Sahara (2005a)
Kebijakan harga energi dan rumahtangga pertanian
Menganalisis sumbangan harga bahan bakar minyak dalam biaya produksi di Indonesia. Menganalisis peranan subsidi bahan bakar minyak terhadap kinerja industri hutan hasil kayu dan ekspornya. Menganalisis permintaan bahan bakar minyak dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Melakukan analisis untuk menghitung besaran subsidi optimal yang dapat memberikan manfaat pada produsen, konsumen, dan pihak lain. Menganalisis dampak dari kenaikan harga dunia minyak mentah terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 1973-1986. Mengkaji dampak dari kenaikan harga energi terhadap distribusi pendapatan di DKI Jakarta. Mengkaji dampak dari kenaikan harga minyak solar terhadap kegiatan penangkapan ikan di Sukabumi. Menganalisis dampak dari kenaikan harga minyak solar terhadap kegiatan di sektor pertanian. Menggunakan CGE, menganalisis dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan gas terhadap kinerja perekonomian nasional. Menganalisis dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap kemiskinan di Indonesia, menggunakan data Susenas 2004. Menganalisis dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap sektor pertanian, agroindustri, dan rumahtangga pertanian.
93 Tabel 13. No. 23.
Lanjutan Studi Empiris De Janvry dan Sadoulet (2000)
Topik Kemiskinan di Amerika Latin
24.
Decaluwe, at.al. (1998)
Kebijakan perdagangan dan kemiskinan
25.
Nanga, Muana (2006)
26.
Yudhoyono (2004)
Kebijakan fiskal dan kemiskinan di Indonesia Kebijakan fiskal dan kemiskinan
27.
Booth (2000)
Kemiskinan Indonesia
28.
Sutomo (1995)
29.
Sitepu (2007)
Kebijakan pemb. regional dan kemiskinan Kebijakan fiskal dan kemiskinan
dan
Kekhususan Studi Mengalisis faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di negara-negara Amerika Latin. Menganalisis dampak dari guncangan perdagangan dan reformasi tarif terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di negara berkembang. Mengkaji dampak dari transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia dengan metode ekonometrik. Menganalisis dampak dari kebijakan fiskal dan pembangunan pertanian perdesaan terhadap pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Mengkaji karakteristik kemiskinan dan pemerataan pendapatan di Indonesia pada era Presiden Suharto. Menggunakan SNSE, mengkaji dampak dari pembangunan wilayah terhadap kemiskinan di Indonesia. Menggunakan CGE, mengkaji dampak dari kebijakan transfer fiskal terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.
Dari berbagai penelitian tentang subsidi harga BBM yang telah dilakukan, masih terdapat celah yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Para peneliti sebelumnya belum membahas dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia menggunakan metode persamaan simultan. Sumbangan berikutnya yang ditawarkan oleh penelitian ini adalah dampak peramalan dari: (1) kebijakan program konversi minyak tanah ke elpiji, (2) kebijakan pengurangan subsidi harga BBM, (3) pengaruh kenaikan harga dunia minyak mentah. (4) kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah, dan (5) realokasi anggaran yang berasal dari kebijakan pengurangan subsidi harga BBM.
94
III.
KERANGKA TEORI
Bagian ini menjelaskan dasar-dasar yang menjadi acuan teori dari penelitian yang berkaitan dengan penawaran dan permintaan BBM, subsidi harga, mekanisme transmisi subsidi dan harga energi, teori makroekonomi, dan kemiskinan. 3.1.
Dampak Subsidi Input Terhadap Output Dampak perubahan harga input BBM, dalam produksi secara umum, dapat
dipelajari melalui teori efek substitusi input dan output. Menurut grafik, penjelasan teori efek substitusi input dan output disajikan pada Gambar 2 (Ferguson and Gould, 1975 dalam Astana, 2003). Untuk penyederhanaan diasumsikan ada dua jenis input yaitu kapital (garis vertikal) dan BBM (garis horisontal). Keseimbangan awal produksi terjadi di titik P (k1, m1). Tingkat output ditunjukkan oleh kurva isoquant ISQ1 dan tingkat biaya oleh kurva isocost KM1. Tingkat penggunaan input BBM sebesar m1 dan penggunaan kapital sebesar k1. Jika pemerintah mengurangi subsidi BBM, maka harga input BBM akan naik. Pada tingkat biaya yang tersedia, produsen berusaha memaksimumkan output dengan mengurangi input BBM. Pengurangan input BBM ditunjukkan oleh pergeseran kurva isocost dari KM1 ke KM2. Lebih lanjut pengurangan input BBM akan menyebabkan tingkat output juga menurun, yang ditunjukkan oleh bergesernya kurva isoquant dari ISQ1 ke ISQ2. Keseimbangan produksi berubah, yaitu dari titik P ke titik R (k3, m3) dimana tingkat penggunaan BBM sebesar m3 dan kapital sebesar k3.
95
Kapital Kf
K Q
k2 R
k3
P
k1
ISQ1 ISQ2
0
m3
Gambar 2.
m2
M2
m1
Mf
M1
BBM Efek Substitusi Input dan Output Akibat Penurunan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Dengan demikian, penurunan subsidi BBM yang menyebabkan kenaikan harga input BBM akan menyebabkan konsumsi BBM menurun dari m1 menjadi m3. Total penurunan input BBM disebabkan oleh pengaruh substitusi input kapital dan penurunan output. Pengaruh substitusi input kapital dijelaskan dengan kurva isocost pembantu, Kf-Mf. Kurva Kf-Mf adalah sejajar KM2 yang menunjukkan harga BBM yang baru dan menyinggung kurva isoquant ISQ1 yang menunjukkan tingkat output yang lama. Pada tingkat harga BBM yang baru, produsen sebenarnya dapat menghasilkan produk pada tingkat output yang sama dengan asumsi adanya penambahan biaya dari k1 ke k2 sedemikian sehingga tingkat keseimbangan produksi tetap bergerak sepanjang kurva isoquant ISQ1 dan titik keseimbangan
96 antara terletak di Q (k2, m2). Namun dalam kenyataannya, penambahan kapital lebih kecil dari yang diharapkan, yaitu k1 ke k3 yang mengakibatkan input BBM bergerak ke kiri dari m1 ke m3 sehingga tercapai keseimbangan baru di R (k3, m3). Pada keseimbangan final ini tingkat output turun dari ISQ1 menjadi ISQ2. 3.2.
Kinerja Perekonomian Selama lebih dari tiga dekade terakhir, teori makroekonomi dan
aplikasinya dalam perekonomian telah berkembang lebih baik, dimana prinsipprinsip teori makroekonomi banyak mendasari kegiatan makroekonomi itu sendiri (Chari and Kehoe, 2006). Menurut Mankiw (2003), ada beberapa variabel yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian, namun paling tidak terdapat tiga variabel makroekonomi yang penting dan banyak menjadi perhatian para ahli ekonomi yaitu pendapatan nasional atau GDP, kestabilan harga atau inflasi, dan pengangguran. Pohan (2008) menambahkan bahwa keseimbangan neraca pembayaran atau BOP (Balance of Payment) menjadi salah satu target kebijakan makroekonomi selain yang telah disebutkan. Stabilitas ekonomi dapat dilihat dari dampak gejolak variabel makroekonomi lainnya terhadap variabel kunci makroekonomi 3.2.1. Pendapatan Nasional PDB (Produk Domestik Bruto) atau GDP (Gross Domestic Product) dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian. Model ekonomi yang menggambarkan keseimbangan ekonomi nasional sebagaimana disampaikan oleh Mankiw (2003) adalah sebagai berikut: GDP = Y = C + I + G + (X – M) ....................................................... (3.1)
97 Yd
= Y – Tax .................................................................................. (3.2)
Pendapatan nasional dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi pengeluaran pendapatan nasional diartikan sebagai penjumlahan dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, dan impor. Persamaan ini adalah persamaan identitas dan seringkali disebut dengan identitas persamaan pos pendapaan nasional (Mankiw, 2003). Pendapatan perorangan adalah jumlah yang tersedia bagi rumahtangga dan perusahaan nonkorporasi untuk melakukan pengeluaran setelah membayar pajak (disposable income). Kinerja perekonomian dapat direpresentasikan melalui indikator makroekonomi yaitu: 1.
Pertumbuhan ekonomi melalui perubahan PDB, investasi, neraca perdagangan, dan neraca pembayaran.
2.
Stabilisasi ekonomi melalui fluktuasi nilai tukar, tingkat inflasi, dan tingkat pengangguran.
3.2.2. Inflasi Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga umum yang terus-menerus dalam perekonomian (Susanti, et.al, 1995 dan Putong, 2003). Inflasi merupakan kecenderungan harga barang dan jasa termasuk faktor-faktor produksi yang diukur dengan satuan mata uang yang semakin naik terus-menerus. Kaum monetaris mengemukakan bahwa inflasi adalah fenomena moneter yang disebabkan oleh kelebihan jumlah uang yang beredar. Menurut Sukirno (2006b) penyebab terjadinya inflasi dapat dilihat dari berbagai sisi, yaitu sisi permintaan, penawaran, dan campuran antara keduanya. Secara umum penyebab terjadinya inflasi dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) tarikan
98 permintaan (demand pull inflation), (2) desakan biaya (cost push inflation), dan (3) karena inflasi negara lain yang tersalur melalui jaringan perdagangan (imported inflation). Inflasi yang disebabkan oleh permintaan agregat disebut demand pull inflation, yang umumnya terjadi karena adanya penambahan permintaan yang besar yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen. Inflasi yang disebabkan oleh aspek penawaran agregat sering disebut dengan cost push inflation, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi sebagai dampak kenaikan harga bahan mentah atau upah. Di samping itu terdapat pula inflasi yang diimpor (imported inflation) yang disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang impor yang dikonsumsi langsung maupun digunakan sebagai input produksi di dalam negeri. Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi dua, yaitu: (1) inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena adanya defisit dalam pembiayaan, belanja negara, musim paceklik, dan bencana alam yang berkepanjangan. Dalam rangka mengatasi inflasi, pemerintah dapat mencetak uang baru; dan (2) inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). Negara-negara yang menjadi mitra dagang mengalami inflasi yang tinggi, sehingga harga barang- barang dan ongkos produksi di negara tersebut relatif tinggi. Bagi negara pengimpor terpaksa menjual barang impor tersebut di dalam negeri dengan harga yang lebih mahal (Putong, 2003). Kenaikan harga dunia minyak mentah merupakan salah sumber terjadinya imported inflation. Inflasi umumnya memberikan dampak yang kurang menguntungkan dalam perekonomian. Namun dalam jangka pendek, terdapat trade off antara inflasi dan pengangguran. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi dapat menurunkan
99 tingkat pengangguran atau menyeimbangkan perekonomian negara. Akibat negatif yang ditimbulkan oleh inflasi adalah: (1) menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap, (2) mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang, dan (3) memperburuk pembagian kekayaan, khususnya kekayaan yang bersifat keuangan (Sukirno, 2006b). Selain itu inflasi juga dapat menurunkan nilai riil tabungan dan investasi sehingga dapat membuat perekonomian berjalan tidak efisien, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan standar hidup (Kahn, 1994). Penurunan standar hidup ini banyak dirasakan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan, dalam arti jika batas kemiskinan dinaikkan, misalnya karena laju inflasi yang tinggi, akan berdampak pada laju peningkatan kemiskinan yang relatif lebih besar (Ikhsan, 2001 dalam Tambunan, 2003). Dampak positif dari inflasi (Putong, 2003) adalah: (1) bagi pengusaha barang-barang mewah (high end) dimana barangnya menjadi lebih laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise), (2) masyarakat semakin selektif dalam mengkonsumsi dan produksi akan diusahakan seefisien mungkin, (3) inflasi yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri yang dipercaya dan tangguh, dan (4) tingkat pengangguran cenderung menurun karena masyarakat terdorong melakukan kegiatan produksi. Menurut Putong (2003) angka inflasi dapat dihitung dari angka IHK (Indeks Harga Konsumen) atau CPI (Consumer Price Index), yang biasanya diterbitkan setiap bulan, 3 bulan atau 1 tahun. Selain IHK, tingkat inflasi juga dapat dihitung dengan menggunakan GNP (Gross National Product) atau PDB
100 deflator, yaitu membandingkan GNP atau PDB yang diukur berdasarkan harga berlaku (GNP atau PDB nominal) terhadap GNP atau PDB harga konstan (GNP atau PDB riil). 3.2.3. Pengangguran Di samping menaikkan tingkat pendapatan masyarakat, tujuan penting lain dari pembangunan adalah untuk menciptakan kesempatan kerja. Tujuan ini hanya akan tercapai apabila penambahan kesempatan kerja berkembang lebih cepat dari penambahan tenaga kerja. Pengangguran adalah keadaan tanpa pekerjaan yang dihadapi oleh segolongan tenaga kerja, yang telah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tidak memperolehnya. Individu yang menghadapi masalah tersebut dinamakan penganggur (Putong, 2003 dan Sukirno, 2006b). Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibedakan menjadi: (1) pengangguran struktural yaitu pengangguran yang diakibatkan perubahan struktur ekonomi, (2) pengangguran siklikal yaitu pengangguran yang disebabkan perkembangan ekonomi yang sangat lambat atau kemerosotan kegiatan ekonomi, (3) pengangguran normal atau friksional yaitu pengangguran yang terwujud apabila ekonomi telah mencapai kesempatan kerja penuh, dan (4) pengangguran teknologi yaitu pengangguran yang disebabkan perkembangan teknologi (Sukirno, 2006b). Berdasarkan
cirinya,
pengangguran
dapat
dibedakan
atas:
(1)
pengangguran terbuka. Pengangguran ini tercipta sebagai akibat penambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari penambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan; (2) pengangguran tersembunyi adalah keadaan
101 pengangguran yang tidak secara nyata dapat dilihat dan berlaku pada kegiatan yang jumlah pekerjanya melebihi dari yang diperlukan; (3) pengangguran musiman yaitu pengangguran yang tidak terjadi sepanjang waktu tetapi hanya terjadi ketika kegiatan ekonomi yang dijalankan sedang dalam keadaan tidak sibuk atau sedang tidak melakukan kegiatan. Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan; dan (4) setengah pengangguran atau underemployment adalah tenaga kerja yang melakukan kerja dengan jam kerja yang jauh lebih rendah dari jam kerja yang lazim dilakukan dalam sehari atau seminggu (Sukirno, 2006a). Untuk mengetahui seberapa besar jumlah pengangguran di suatu negara atau wilayah dapat digunakan ukuran tingkat pengangguran. Menurut Sukirno (2006b) tingkat pengangguran adalah rasio antara jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja pada suatu waktu tertentu dan dinyatakan dalam persen. Menurut Dornbusch dan Fisher (1997), tingkat pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang tidak memperoleh pekerjaan. Mankiw (2003) menunjukkan pengangguran dalam persamaan sebagai berikut: L = E + U .............................................................................................. (3.3) dimana: L = angkatan kerja E = jumlah orang yang bekerja U = jumlah pengangguran Sehingga tingkat pengangguran adalah U/L. Jika tingkat pengangguran tidak naik dan turun atau pasar tenaga kerja berada dalam kondisi stabil, maka
102 jumlah orang yang mendapatkan pekerjaan harus sama dengan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan. fU = sE .................................................................................................. (3.4) fU = s(L-U) .......................................................................................... (3.5)
f
U U s1 ..................................................................................... (3.6) L L
U s ............................................................................................. (3.7) L sf dimana: fU = jumlah orang yang memperoleh pekerjaan sE = jumlah orang yang kehilangan pekerjaan Persamaan 3.7 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran kondisi stabil U/L bergantung pada tingkat pemutusan hubungan kerja s dan tingkat perolehan kerja f. Semakin tinggi tingkat pemutusan hubungan kerja, maka semakin tinggi tingkat pengangguran. Di lain pihak semakin tinggi tingkat perolehan kerja, maka semakin rendah penganggurannya.
3.2.4. Neraca Pembayaran Neraca perdagangan merupakan catatan penerimaan ekspor dikurangi dengan pengeluaran impor (X - M) dari barang dan jasa. Dengan asumsi ekspor tidak tergantung pada tingkat pendapatan nasional dan tingkat bunga, serta impor merupakan fungsi dari pendapatan, maka semakin tinggi tingkat pendapatan akan menyebabkan semakin kecil surplus neraca perdagangan, BOT (balance of trade). Neraca pembayaran atau BOP (balance of payment) diartikan sebagai semua catatan transaksi yang dilakukan penduduk suatu negara dengan negara lain di dunia, baik neraca barang maupun modal. Oleh sebab itu kurva BOP
103 ditunjukkan dengan kombinasi antara tingkat pendapatan dan harga. BOP berada dalam keadaan keseimbangan bila (X - M) + (net capital flow) = 0. Arus modal netto (net capital flow) atau CF merupakan fungsi positif dari tingkat suku bunga domestik. Jika diasumsikan bahwa tingkat suku bunga luar negeri adalah tetap, maka semakin tinggi tingkat suku bunga domestik akan menyebabkan semakin besar arus modal yang masuk (capital inflow) ke dalam negeri atau semakin kecil arus modal ke luar negeri (capital outflow). Persamaan identitas yang menggambarkan penjelasan di atas disajikan sebagai berikut: 1.
Neraca Perdagangan BOT = X-M .......................................................................................... (3.8)
2.
Neraca Pembayaran BOP = BOT + Net Capital Flow........................................................... (3.9)
dimana:
3.3.
BOT
= balance of trade
BOP
= balance of payment
X
= ekspor Indonesia
M
= impor Indonesia
Net Capital Flow
= capital inflow - capital outflow
Kemiskinan
3.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan Kemiskinan didefinisikan sebagai masalah yang berkaitan dengan multidimensi.
Kemiskinan
sering
dikonsepsikan
sebagai
ketidakcukupan
pendapatan dan harta (lack of income and assets) dalam memenuhi kebutuhan dasar yang meliputi pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Pengertian asset disini mencakup human assets, natural assets, physical assets,
104
financial assets, dan social assets. Fenomena kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi tetapi juga dimensi non ekonomi (World Bank, 2000). Kemiskinan menurut Chambers (1996) menjadi faktor penentu yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap yang lainnya. Kemiskinan khususnya di perdesaan
berhubungan
dengan
masalah
ketidakberdayaan
(powerless),
keterisolasian (isolation), kerentanan (vulnerability), dan kelemahan fisik (physical weakness) dimana masing-masing saling terkait. Produktivitas yang rendah dari tenaga kerja dapat pula dikarenakan kemiskinan karena kemiskinan memberikan kontribusi terhadap kelemahan fisik. Bahkan ketiadaan pendidikan, keterpencilan, dan ketiadaan kontak dengan dunia luar juga ikut memperparah kemiskinan. Chamber (1996) mengatakan bahwa saling keterkaitan di antara berbagai aspek kemiskinan tersebut akan membentuk lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty). Kakwani (2000) menyebutkan ukuran kemiskinan yang baik harus mempertimbangkan antara lain: (1) persentase penduduk miskin, (2) perbedaan kemiskinan agregat, dan (3) distribusi pendapatan antar penduduk miskin. Ada empat ukuran yang sering digunakan para ahli untuk mengukur kemiskinan, yaitu: 1.
Poverty headcount index (P0). P0 adalah ukuran kasar dari kemiskinan yang hanya menunjuk kepada
proporsi dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Ukuran ini menjumlahkan banyaknya orang miskin, kemudian dibandingkan dengan total jumlah penduduk dalam persen, sedemikian sehingga setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya. Kelemahan pengukuran ini hanya menghitung jumlah kepala orang miskin (headcount) namun tidak mampu
105 menangkap tingkat keparahan kemiskinan itu sendiri. Sementara persentase penduduk miskin tidak menggambarkan intensitas dari kemiskinan. 2.
Poverty gap index (P1). P1 mengukur kedalaman kemiskinan di suatu wilayah dan mengestimasi
perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan. Ukuran ini lebih baik daripada ukuran yang pertama sehingga apabila pembuat kebijakan menerapkannya, maka dapat memperkirakan besarnya dana untuk pengentasan kemiskinan. Kelemahan ukuran ini adalah belum memperlihatkan distribusi pendapatan antar penduduk miskin. 3.
Squared poverty gap (P2). P2 adalah rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan. Kelebihan ukuran
ini mempertimbangkan tingkat kepelikan atau keparahan kemiskinan (severity of
poverty) di dalam suatu wilayah dan ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin di wilayah tersebut, sehingga indeks ini sering disebut sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index).
3.3.2. Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan Chamber (1996) mengatakan bahwa terdapat dua pandangan yang mengidentifikasi penyebab kemiskinan, terutama di daerah perdesaan. Pertama adalah pandangan ekonomi politik yang melihat kemiskinan sebagai fenomena sosial.
Kemiskinan
muncul
di
perdesaan
sebagai
akibat
dari
proses
pengkonsentrasian kekayaan dan kekuasaan yang terjadi melalui tiga tingkatan, yaitu tingkat global, nasional, dan lokal. Pada tingkat global atau internasional kemiskinan muncul akibat dari hubungan pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang antara negara kaya dan negara miskin. Pada tingkat nasional,
106 kemiskinan perdesaan muncul sebagai akibat dari ulah berbagai kelompok kepentingan khususnya urban middle class yang berusaha memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kepentingan perdesaan melalui investasi pada industri dan jasa di perkotaan. Pada tingkat lokal atau perdesaan, kemiskinan perdesaan muncul sebagai akibat dari ulah para elit lokal seperti tuan tanah, pedagang, pelepas uang (money lenders), dan birokrat yang terus berusaha mengkonsolidasikan kekuasaan dan kekayaannya. Adanya proses pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang pada tingkat global hingga lokal telah menyebabkan kaum kaya menjadi semakin kaya dan kuat, sementara kelompok miskin secara relatif maupun absolut semakin miskin dan lemah. Kedua adalah kelompok pandangan ekologis fisik, yang melihat kemiskinan sebagai fenomena fisik. Kemiskinan perdesaan muncul sebagai akibat dari pertumbuhan dan tekanan penduduk yang tidak terkendali atas sumberdaya dan lingkungan sehingga lahan menjadi semakin langka. Sebagian tenaga kerja terpaksa bermigrasi ke perkotaan atau ke lingkungan marginal untuk dapat mempertahankan hidup. Selain itu parasit, penyakit, kurang gizi, kondisi lingkungan yang tidak sehat, perumahan yang kurang layak, lingkungan yang kurang nyaman, dan kondisi iklim yang tidak menentu menyebabkan timbulnya kemiskinan di daerah perdesaan.
3.4.
Keseimbangan Perekonomian dalam Kerangka Makroekonomi Berikut ini diuraikan analisis keseimbangan perekonomian dalam kerangka
makroekonomi dengan pendekatan model IS-LM. Kurva IS menyatakan apa yang terjadi pada pasar barang dan jasa, sementara kurva LM menunjukkan apa yang terjadi pada penawaran dan permintaan terhadap uang.
107 Penelitian ini menggunakan pendekatan permintaan agregat (aggregate
demand, AD), sehingga pendapatan nasional (Y atau GDP) ditentukan oleh konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), dan ekspor bersih (X-M). Perubahan komponen permintaan agregat akan menggeser kurva IS. Karena itu, perubahan belanja subsidi BBM akan mengubah besaran belanja pemerintah dan kurva IS bergeser ke kanan. Pergeseran kurva IS menciptakan keseimbangan baru ketika kurva IS yang baru berpotongan dengan kurva LM. Pendapatan nasional dikurangi pajak pendapatan perusahaan dan individu menghasilkan pendapatan setelah pajak (disposable income) atau Yd=Y-T. Pendapatan setelah pajak digunakan untuk: (1) membeli barang dan jasa buatan dalam negeri atau impor, dan (2) untuk ditabung atau Yd=C+S. Persamaan 3.2 dimasukkan ke persamaan 3.1, sehingga diperoleh keseimbangan pendapatan nasional dalam perekonomian terbuka, yaitu: Y = Y - T - S + I + G + (X-M) ........................................................... (3.10) S + T + M = I + G + X ............................................. ......................... (3.11) Gambar 3 menunjukkan keseimbangan di pasar barang, dimana kurva kiri bawah menunjukkan garis IS yang meringkas hubungan antara tingkat suku bunga dan output nasional. Semakin tinggi suku bunga, maka output nasional semakin rendah. Apabila tingkat suku bunga turun, maka output nasional meningkat. Gambar 4 memperlihatkan keseimbangan di pasar uang, dimana penawaran dan permintaan terhadap uang riil menentukan tingkat suku bunga. Kurva penawaran uang riil (M/P) atau MS (Money Supply) berbentuk vertikal karena penawaran uang riil tidak bergantung pada tingkat suku bunga.
108
S, T, M
S, T, M S+T+M
e
d
f
c
45o 0 r
r2
0 Y2
Y1
I, G, X
Y r
r1
g h
r2
r1 IS 0
Y1
Y2
a b I+G+X
Y
0
I, G, X
Gambar 3. Keseimbangan Pasar Barang
Kurva permintaan uang atau L(r, Y) atau money demand (MD) berbentuk miring ke bawah karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya memiliki uang dan menurunkan kuantitas uang yang dimiliki. Pada tingkat suku bunga keseimbangan, maka jumlah uang riil yang diminta sama dengan jumlah penawarannya. Penjelasan ini didasarkan pada teori preferensi likuiditas yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga disesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan uang (Mankiw, 2003).
109
M/P
r
r
LM r2
r2
b
d
r1
r1
c
a L2(r1, Y2) L1(r1, Y1) 0
M/P
0
Y2
Y1
Y
Y
Y MS=MD Y2
h
Y1
g
f e
45o 0
M/P
0
Y1
Y2
Gambar 4. Keseimbangan Pasar Uang Berdasarkan Gambar 3 dan 4, diperoleh keseimbangan pasar barang dan uang yang meliputi : Y
= C(Y - T) + I(r) + G + Nx
(Kurva IS) ................... (3.12)
M/P
= L(r, Y)
(Kurva LM) ................ (3.13)
Gambar 5 menunjukkan perpotongan antara kurva IS dan LM yang merepresentasikan keseimbangan pasar barang dan uang riil pada pengeluaran pemerintah, pajak, jumlah uang beredar, dan tingkat harga tertentu. Oleh karena
Y
110 perhitungan output nasional dari sisi permintaan, maka keseimbangan pasar barang dan uang disebut juga dengan permintaan agregat (AD).
r
M/P
r LM
r1
r1
a
b
L1(r, y1) IS1 0
M/P
0
Y1
Y
P
P1
c
AD
0
Y1
Y
Gambar 5. Penurunan Permintaan Agregat Penawaran agregat (AS) diturunkan dari kurva fungsi produksi dan pasar tenaga kerja. Meskipun penelitian ini tidak menggunakan pendekatan penawaran agregat, namun pasar tenaga kerja tetap diperlukan untuk melengkapi kedalaman analisis. Pada Gambar 6, pendapatan nasional diukur dari sisi produksi, dimana dalam jangka pendek fungsi produksi agregat ini diformulasikan yaitu Y = f(N). Apabila diasumsikan bahwa penawaran tenaga kerja elastis tidak berhingga pada upah W dan harga produk perusahaan adalah konstan pada P, maka keuntungan perusahaan adalah π=P.Y - W.N. Memaksimumkan keuntungan
111 terjadi bila turunan pertamanya adalah nol, sehingga dπ/dN=P.dY/dN-W=0. Pada asumsi turunan kedua terpenuhi, maka dY/dN=MPn adalah produk marginal tenaga kerja sehingga W=MPn. Persamaan ini adalah permintaan tenaga kerja yang digambarkan pada kurva permintaan tenaga kerja.
Y
Y Y=f(N)
b
Y2 a
Y1
45O 0
N1
N2
N
Y
0 P
W
AS
SL1 d
W2 W1
P2 P1
c
DL1 0
f
N1 N2 N3
e
DL2 N
0
Y1 Y2
Y
Gambar 6. Penurunan Penawaran Agregat Perubahan harga akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja, jika diasumsikan kurva penawaran tenaga kerja bersifat kaku (rigid) terhadap perubahan harga dalam jangka pendek, sesuai asumsi Keynes. Apabila penawaran tenaga kerja berubah, maka upah tenaga kerja dan jumlah produksi juga berubah. Hubungan antara perubahan harga dengan jumlah produksi digambarkan melalui kurva penawaran agregat (AS).
112 Keseimbangan eksternal dicerminkan oleh kurva EB (External Balance) yang merupakan hasil dari kondisi keseimbangan antara ekspor bersih (X - M) dan aliran kapital bersih (K). Oleh sebab itu keseimbangan eksternal terjadi ketika ekspor bersih (net export) sama dengan aliran kapital bersih, seperti yang terlihat pada Gambar 7.
X-M
X-M X-M= K
a
0 K1
45O K
K2
0
Y1
Y2
Y
b
r
r
r2
r2 d
f r1
e
r1
c
K = f(r) K1 0
K2
K
0
Y1
Y2
Y
Gambar 7. Keseimbangan Neraca Pembayaran 3.5.
Hubungan Antar Variabel Makroekonomi Menurut Dornbusch dan Fisher (1997) terdapat hubungan yang sederhana
antar variabel utama makroekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi, pengangguran, inflasi, dan neraca pembayaran.
113
3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Semakin tinggi pendapatan nasional, semakin besar harapan untuk membuka kapasitas produksi baru yang tentu saja akan menyerap tenaga kerja baru. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi cenderung memperbesar harapan untuk tidak menganggur, sebaliknya bila pertumbuhan ekonomi mengecil (apalagi negatif), maka tingkat pengangguran cenderung semakin besar. Hubungan
antara
laju
pertumbuhan
riil
dan
perubahan
tingkat
pengangguran dikenal sebagai hukum Okun (Mankiw, 2003). Hukum ini menyatakan ”bila GNP tumbuh sebesar 2.5 persen di atas trend-nya yang dicapai pada tahun tertentu, maka tingkat pengangguran akan turun sebesar 1 persen”. Jadi bila pengangguran ingin diturunkan sebesar 2 persen, maka pertumbuhan ekonomi haruslah dipacu hingga bisa tumbuh sebesar 5 persen di atas rata-rata. Berdasarkan hukum Okun, dapat dibuatkan suatu rumus mengenai tingkat pengangguran sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi (Putong, 2003), yaitu: UEn = UEn-1 - 0.4 (AG-ToG)
......................................................... (3.14)
dimana: UEn
= tingkat pengangguran tahun sekarang
UEn-1
= tingkat pengangguran tahun lalu
AG
= actual growth (pertumbuhan aktual)
ToG
= trend of growth (kecenderungan pertumbuhan)
0.4
= konstanta kenaikan pengangguran apabila pertumbuhan ekonomi naik 1 persen di atas rata-rata
Catatan: semua nilai dalam persen.
114
3.5.2. Trade Off Antara Inflasi dan Pengangguran Mankiw (2003) mengemukakan bahwa terdapat trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran, yang dapat dijelaskan dengan menggunakan kurva Philips seperti pada Gambar 8. Semakin tinggi tingkat pengangguran, maka laju inflasi semakin rendah (Dornbusch dan Fisher, 1997). Inflasi
0 Tingkat Pengangguran
Sumber: Dornbusch dan Fisher, 1997.
Gambar 8.
Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran
Kurva Philips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga kekuatan yaitu: (1) inflasi yang diharapkan, (2) deviasi pengangguran dari tingkat alamiah yang disebut pengangguran siklis, dan (3) guncangan penawaran (Mankiw, 2003). Tiga kekuatan tersebut dapat ditunjukkan pada persamaan berikut: π
= πe – β(µ - µn) + ν ................................................................ (3.15)
dimana: π
= inflasi
πe
= inflasi yang diharapkan
β
= parameter dari respon inflasi terhadap pengangguran siklis
(µ - µn)= pengangguran siklis ν
= guncangan penawaran
115
3.5.3. Hubungan Antara Nilai Tukar dan Pengeluaran Pemerintah Indonesia adalah pengekspor dan pengimpor, baik untuk minyak mentah maupun produk-produk minyak termasuk BBM. Pada saat ini Indonesia menjadi negara net importer minyak mentah, sehingga ketika harga minyak mentah (dalam US$) meningkat atau nilai tukar rupiah terdepresiasi, maka jumlah subsidi yang harus dibayar oleh pemerintah akan meningkat. Chowdhury and Hossain (1998) mengatakan untuk menggambarkan keterkaitan antara nilai tukar rupiah dengan penyerapan domestik (terdiri dari konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah), dapat dijelaskan melalui Diagram Swan, sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 9. Pada diagram
Swan terdapat 2 kurva yaitu kurva IB dan EB. Kurva IB dari kiri atas ke kanan bawah menggambarkan kesimbangan internal yaitu keseimbangan ketika terjadi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dan kestabilan harga. Ke arah kanan (kiri) dari kurva IB akan terjadi tekanan inflasi (deflasi) terhadap perekonomian karena pada nilai tukar riil tertentu, penyerapan domestik lebih besar (kecil) dari yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan tenaga kerja. Kurva EB dari kiri bawah ke kanan atas menggambarkan keseimbangan eksternal yaitu keseimbangan neraca pembayaran. Ke arah kanan (kiri) kurva EB akan terjadi defisit (surplus) neraca pembayaran, karena pada nilai tukar riil tertentu penyerapan domestik lebih besar (kecil) dari yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Titik A merupakan titik keseimbangan internal dan eksternal. Melalui titik A juga terdapat garis titik-titik vertikal dan horizontal yang membagi dua setiap zona guna merinci penyebab ketidakseimbangan agar arahan kebijakan lebih akurat.
116 Nilai Tukar Riil
EB
(II) Surplus
Inflasi D
Depresiasi
(III)
(I)
Surplus
Defisit A
B’
Pengangguran Apresiasi
B
C Defisit
Pengangguran
Inflasi IB
(IV) Penyerapan Domestik Sumber: Chowdhury and Hossain, 1998.
Gambar 9.
Diagram Swan
Diasumsikan suatu negara sedang mengalami masalah inflasi dan defisit neraca pembayaran yang ditunjukkan oleh titik B. Titik B terletak di sebelah kanan kurva IB dan dibawah garis titik-titik horizontal, kedua hal ini menunjukkan bahwa terjadi overvalued mata uang domestik dan terjadi tekanan inflasi. Langkah kebijakan yang perlu dilakukan agar perekonomian kembali ke titik A adalah dengan mengurangi penyerapan domestik dan sekaligus melakukan depresiasi mata uang domestik. Kebijakan tunggal berupa pengurangan penyerapan domestik akan berakibat pada seimbangnya neraca pembayaran tetapi mengakibatkan terjadinya pengangguran, sebagaimana yang ditunjukkan oleh titik C. Apabila kebijakan tunggal berupa depresiasi mata uang domestik diterapkan, maka neraca pembayaran seimbang namun terjadi tekanan inflasi sehingga inflasi meningkat di titik D.
117 Kebijakan tunggal dapat membawa perekonomian kembali ke titik A hanya apabila ketidakseimbangan awal terletak pada garis titik-titik. Misalkan ketidakseimbangan awal di titik B’, maka kebijakan tunggal berupa pengurangan penyerapan domestik akan berdampak pada terjadinya keseimbangan intenal dan eksternal, sehingga perekonomian kembali ke titik A. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila nilai tukar riil berada dekat dengan nilai keseimbangannya, maka kebijakan tunggal penyerapan domestik dapat membawa perekonomian pada keseimbangan internal dan eksternal sekaligus.
3.5.4. Hubungan Subsidi dengan Keberlanjutan Fiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan makroekonomi yang berhubungan dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal yang menjadi salah satu penggerak perekonomian Indonesia tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perubahan yang terjadi pada variabel ekonomi makro dapat mempengaruhi APBN, sementara kebijakan APBN pada akhirnya juga akan mempengaruhi aktivitas ekonomi (Bappenas, 2007). Kebijakan fiskal disebut juga dengan kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui APBN. Fungsi kebijakan fiskal adalah: (1) fungsi alokasi, (2) fungsi distribusi, (3) fungsi stabilisasi, dan (4) fungsi dinamisatif. Fungsi alokasi merupakan fungsi yang berkaitan dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi dengan penyediaan barang-barang sosial atau proses penggunaan sumberdaya yang dengan menciptakan insentif maupun diinsentif agar kegiatan ekonomi dapat berjalan sesuai dengan tujuan. Sementara fungsi distribusi atau retribusi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berkaitan dengan upaya untuk menciptakan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil
118 dan merata di masyarakat. Fungsi stabilisasi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berhubungan dengan mempertahankan tingginya tingkat tenaga kerja yang bekerja (high employment), stabilitas harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang dapat berpengaruh pada neraca perdagangan dan pembayaran (Musgrave and Musgrave, 1984). Fungsi dinamisatif merupakan peran kebijakan anggaran dan belanja pemerintah dalam menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar lebih cepat tumbuh dan berkembang (Bappenas, 2007). Definisi gap fiskal (fiscal gap) adalah selisih antara penerimaan dalam negeri dengan belanja negara. Konsep gap fiskal seringkali dipakai untuk menunjukkan bahwa defisit anggaran berkaitan erat dengan keberlanjutan fiskal. Keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) seringkali diartikan beragam, namun umumnya dipahami bahwa kebijakan fiskal suatu negara dikatakan berkelanjutan apabila negara tersebut dapat mengatasi masalah keterbatasan anggarannya dengan sumber dana dalam negeri. Oleh sebab itu analisis keberlanjutan fiskal mencerminkan besarnya biaya dan manfaat dari beberapa alternatif mekanisme penyesuaian, baik melalui pajak ataupun pengeluaran (Alvarado, Izquierdo, and Panizza, 2004). Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Krejdl (2006) dimana kebijakan fiskal dikatakan mempunyai derajat keberlanjutan apabila present value dari future primary surplusses sama dengan tingkat hutang pada saat itu (atau
intertemporal
budget
constraint).
Kondisi
tersebut
dimaksudkan
untuk
menghindarkan pemerintah dari akumulasi hutang yang berlebihan. Selain itu menurut Blanchard (1990) dalam Krejdl (2006), keberlanjutan fiskal dikaitkan dengan utang yang berlebihan dan terus meningkat. Kebijakan fiskal yang berkelanjutan adalah kebijakan fiskal yang mampu menjamin bahwa
119 rasio utang terhadap GDP akan kembali ke posisi semula. Buiter (1985) dalam Krejdl (2006) menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang berlanjut adalah apabila rasio utang terhadap GDP dapat dipertahankan pada tingkat yang berlaku saat ini. Definisi ini memiliki kelemahan yaitu: (1) tidak ada teori yang menyatakan bahwa rasio utang terhadap GDP harus kembali ke posisi semula dan bukan posisi stabil yang lain, (2) tidak ada batasan sejauh apa rasio utang terhadap GDP yang disebut sebagai berlebihan.
3.6.
Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan dan Kinerja Perekonomian
3.6.1. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan Beban pajak (atau manfaat suatu subsidi) sebagian dipikul konsumen dan sebagian lagi oleh produsen, dimana besarnya bagian dari pajak yang dibayar konsumen tergantung dari bentuk kurva penawaran dan permintaan dan khususnya tergantung pada elastisitas relatif dari permintaan dan penawaran. Dalam kenyataannya subsidi dapat dipandang sebagai pajak negatif. Pada umumnya keuntungan dari subsidi dinikmati oleh konsumen (Pindyck and Rubinfeld, 1991). Seperti yang diperkirakan, efek dari subsidi pada jumlah yang diproduksi dan dikonsumsi adalah kebalikan dari pada efek suatu pajak. Subsidi dapat dibedakan atas subsidi output (subsidized consumption) dan subsidi input (subsidized production). Subsidi output adalah subsidi yang diberikan pada pasar output sedemikian sehingga konsumen seolah-olah mengalami peningkatan pendapatan. Karena tingkat pendapatan konsumen meningkat, maka daya beli konsumen juga meningkat. Peningkatan daya beli konsumen ditampilkan sebagai pergeseran kurva permintaan ke kanan atas
120 sehingga harga barang meningkat dan jumlah konsumsi juga meningkat. Contoh subsidi output adalah pengurangan pajak individu atau transfer dana ke konsumen. Subsidi output diilustrasikan pada Gambar 10, dimana keseimbangan awal pada E0 (P0, Q0), dimana surplus produsen sebesar bidang g dan surplus konsumen sebesar a+d. Apabila dilakukan kebijakan subsidi output dalam bentuk cash grant, misalkan BLT (Bantuan Tunai Langsung), maka pendapatan masyarakat akan meningkat, sehingga kurva permintaan bergeser dari D0 ke D1 dan keseimbangan baru berada di E1 (P1, Q1). Jika diasumsikan tidak ada perdagangan, kebijakan subsidi output yang dilakukan oleh pemerintah sebesar bidang a+b+d+e dapat merubah surplus produsen dan konsumen. Surplus produsen menjadi sebesar bidang d+e+f+g dan surplus konsumen sebesar bidang a+b+c serta dead weight
loss sebesar bidang c+f. Pada Tabel 14 disajikan evaluasi sebelum dan sesudah adanya kebijakan subsidi output terhadap kesejahteraan. Subsidi input adalah subsidi yang diberikan pada pasar input sedemikian sehingga produsen seolah-olah mengalami penurunan biaya produksi. Karena biaya produksi berkurang, maka produsen cenderung memproduksi lebih banyak pada tingkat daya beli konsumen konstan. Penurunan biaya produksi produsen ditampilkan sebagai pergeseran kurva penawaran ke kanan bawah sehingga harga barang menurun dan jumlah penawaran meningkat. Contoh subsidi input adalah pengurangan pajak produsen atau transfer dana ke produsen yang dikenal dengan subsidi. Sebagai konsekuensi dari subsidi output atau subsidi input, kesejahteraan mengalami pergeseran yang dicerminkan pada pergeseran surplus konsumen, surplus produsen, dan pembayaran subsidi pemerintah.
121
P S
P2 P1 P0
a
b
d
c e
E0
E1 f h
g
D1 D0 0
Q0
Q1
Q
Gambar 10. Pengaruh Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan Tabel 14. Evaluasi Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan Keterangan
Surplus Produsen
Sebelum Subsidi Setelah Subsidi
Surplus Konsumen g a, d
d, e, f, g
a, b, c
Subsidi Pemerintah a, b, d, e
DWL c, f
Keterangan: DWL: Dead Weight Loss.
Subsidi input digambarkan pada Gambar 11 yaitu ketika subsidi diberikan pada produsen, maka harga input akan menjadi lebih rendah, sehingga kurva penawaran bergeser dari S0 ke S1 (Handoko dan Patriadi, 2005). Jika diasumsikan tidak ada perdagangan, maka keseimbangan awal pada titik keseimbangan E0 (P0, Q0), dimana surplus produsen sebesar b+c dan surplus konsumen sebesar a. Apabila subsidi input dilakukan oleh pemerintah, maka keseimbangan baru di titik E1 (P1, Q1) pada kurva permintaan yang sama. Jumlah produksi meningkat dari Q0 menjadi Q1 dan pada akhirnya menurun kembali menjadi Q0 karena harga output menurun menjadi P2. Pada keseimbangan baru, subsidi input sebesar bidang
122 b+c+d+f, surplus produsen sebesar bidang c+f+g, dan surplus konsumen sebesar bidang a+b+d+e, serta dead weight loss sebesar bidang e+g.
P
S0 S1 a
P0
b
P1
c
P2
E0 d e E1 g f
D 0
Q0
Q1
Q
Gambar 11. Pengaruh Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan Pada Tabel 15 disajikan evaluasi sebelum dan sesudah adanya kebijakan subsidi input terhadap kesejahteraan.
3.6.2. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian Gambar 12 memberikan ilustrasi grafik dampak dari peningkatan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian. Diasumsikan bahwa nilai tukar rupiah yang berlaku adalah flexible exchange rate dengan rezim kapital bebas keluar masuk.
Tabel 15. Evaluasi Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan
Sebelum Subsidi
Surplus Produsen b, c
Surplus Konsumen a
Subsidi Pemerintah -
-
Setelah Subsidi
c, f, g
a, b, d, e
b, c, d, f
e, g
Keterangan
DWL
Keterangan: DWL: Dead Weight Loss.
Keseimbangan pasar uang (kurva LM) dan pasar barang (kurva IS) berada di titik G (r1 dan y1) sebelum adanya shock ekonomi. Peningkatan subsidi harga
123 BBM akan membebani anggaran negara sehingga selanjutnya dapat meningkatkan pengeluaran pemerintah. Keseimbangan baru pasar uang dan barang dengan adanya peningkatan subsidi harga BBM adalah di titik I (r2, y2). Peningkatan pengeluaran pemerintah berakibat pada bergesernya kurva Investment-Saving (IS) ke kanan atas (IS1 ke IS2), sehingga output nasional meningkat dari y1 ke y3. Peningkatan output dari y1 ke y3 akan mendorong peningkatan suku bunga dari r1 ke r2 pada kurva permintaan uang MS yang sama, sehingga keseimbangan bergeser ke titik F (r1, y2). Peningkatan tingkat suku bunga berdampak pada 2 hal. Pertama, investasi swasta cenderung menurun sehingga output juga menurun dari y3 ke y2. Penurunan output ini akan menaikkan impor sehingga ekspor bersih (net export atau X - M) menurun. Kedua, naiknya suku bunga dalam negeri akan berdampak pada perbedaan suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang mengakibatkan peningkatan capital inflow. Capital inflow mengakibatkan permintaan mata uang domestik meningkat dan terjadi apresiasi nilai tukar rupiah. Di dalam negeri keseimbangan awal aggregat supply dan aggregat
demand berada di titik J (p1, y1). Peningkatan output menggeser kurva AD dari AD1 ke AD2 sehingga keseimbangan baru berada di titik L (p2, y2). Pada titik ini terjadi excess demand, sehingga harga-harga barang naik (inflasi) dari p1 ke p2. Di pasar tenaga kerja, pada (p1), keseimbangan awal di titik O (W1, N1). Ketika terjadi peningkatan harga (p1 ke p2), maka akan mendorong perusahaan meningkatkan produksi, sehingga permintaan terhadap input khususnya tenaga kerja meningkat dari N1 ke N3. Peningkatan permintaan input tenaga kerja ini digambarkan dengan pergeseran kurva permintaan tenaga kerja dari DL1 ke DL2.
124
S, T, M
S, T, M S +T + M
D C
45O 0 M/P
Y1 Y2
r
r
Y
0
G, I, X
r LM
r2
F
r1
r2
I
r1
H
L2(r, y2)
E
A B
G IS2
L1(r, y1)
G+I+X
IS1 0
M/P
0
Y1 Y2 Y3
Y
0
P AS EB L P2 P1
J
K
AD1 0 Y
Y1 Y2 Y3
AD2
Y
Y Y=f(N)
N Y2 M
Y1
45O 0 N1 N2
N
Y
W SL1 SL2
W2 W1
Q O
P
DL1
DL2
0 N1 N2 N3
N
Gambar 12. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian
G, I, X
125
Terhadap permintaan yang meningkat ini, masyarakat memberikan respon dengan meningkatkan penawaran tenaga kerja sehingga kurva penawaran tenaga kerja bergeser dari SL1 ke SL2. Pergeseran ini terjadi ketika upah nominal tenaga kerja masih pada posisi semula di W1. Ketika pekerja mengetahui bahwa terjadi inflasi, maka untuk mempertahankan daya beli riilnya, para pekerja menuntut peningkatan upah nominal yang dituruti oleh pengusaha. Namun karena terjadi informasi yang tidak seimbang, kenaikan upah nominal pekerja (dari W1 ke W2) masih lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan inflasi, sehingga sebetulnya upah riil pekerja menurun. Namun demikian, kenaikan upah nominal ini (dari W1 ke W2) membuat pengusaha melakukan rasionalisasi jumlah pekerja dari N3 ke N2 untuk menyesuaikan dengan peningkatan biaya produksi sebagai akibat dari kenaikan upah nominal. Pada akhirnya pekerja mengetahui bahwa meskipun upah nominal meningkat (dari W1 ke W2) namun sebetulnya upah riil relatif tetap. Karena itu pekerja mengurangi penawaran tenaga kerja sehingga kurva penawaran bergerak kembali dari SL2 ke SL1. Keseimbangan final pasar tenaga kerja ada di titik Q (W2, N2). Dari ilustrasi di atas disimpulkan bahwa kenaikan subsidi harga BBM cenderung akan meningkatkan output nasional dari y1 ke y2 atau pertumbuhan ekonomi (growth). Peningkatan output mendorong peningkatan jumlah tenaga kerja dari N1 ke N2 yang berarti penurunan jumlah penganggur. Upah nominal yang diterima pekerja meningkat dari W1 ke W2, walaupun diketahui bahwa upah riil pekerja menurun. Selain itu peningkatan subsidi juga dapat menyebabkan
126 harga-harga dari p1 ke p2, kenaikan tingkat suku bunga dari r1 ke r2, dan terakhir terjadi penurunan investasi yang diakibatkan oleh kenaikan tingkat suku bunga.
3.6.3. Dampak Subsidi Terhadap Kemiskinan Dampak subsidi terhadap kemiskinan dapat ditelusuri dari dua pendekatan. Pertama adalah peningkatan anggaran subsidi akan meningkatkan belanja negara. Menurut Gambar 12, peningkatan belanja negara akan menggeser kurva IS ke kanan sehingga output nasional meningkat dari Y1 ke Y2. Karena produksi nasional meningkat, maka terjadi pergeseran sepanjang kurva produksi Y=f(N) sehingga kebutuhan akan tenaga kerja meningkat. Peningkatan permintaan tenaga kerja akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja DL1 ke DL2, pada kondisi penawaran tenaga kerja yang relatif stabil di SL1. Hal ini mengakibatkan penyerapan tenaga kerja meningkat dari N1 ke N2 dan upah juga meningkat dari W1 ke W2. Peningkatan upah dan pengurangan pengangguran mengakibatkan daya beli masyarakat relatif membaik. Apabila peningkatan daya beli masyarakat lebih tinggi dari tingkat inflasi, maka sebagian jumlah penduduk miskin dapat melampaui garis kemiskinan dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan subsidi cenderung akan mengurangi jumlah penduduk miskin. Kedua adalah pendekatan harga. Subsidi BBM membuat harga jual eceran BBM menjadi lebih murah daripada seharusnya. Murahnya harga input energi ini membuat biaya produksi umum menjadi lebih rendah daripada seharusnya sehingga harga-harga umum turun. Penurunan harga-harga umum akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan masyarakat. Pada garis kemiskinan yang relatif stabil, maka peningkatan pendapatan relatif masyarakat
127 akan mengakibatkan pengurangan tingkat kemiskinan. Pendekatan ini meyakini bahwa subsidi cenderung mengurangi tingkat kemiskinan. Dari pembahasan ini terdapat hal krusial yang terkait dengan pendekatan pertama, yaitu apakah peningkatan belanja negara sebagai akibat dari peningkatan subsidi dapat mendorong kurva IS ke kanan ? Subsidi adalah bagian dari transfer
payment seperti juga pengurangan pajak, pengurangan biaya bunga perbankan, atau pembagian beras masyarakat miskin. Hal ini biasanya berdampak pada peningkatan relatif daya beli masyarakat pada tingkat pendapatan yang lama atau pengurangan biaya produksi karena adanya subsidi input. Transfer payment langsung ke masyarakat cenderung berdampak pada peningkatan konsumsi. Masalah lain adalah timbulnya biaya kesempatan (opportunity cost) sebagai akibat dari peningkatan alokasi anggaran untuk subsidi BBM yang akan mengurangi alokasi anggaran untuk kegiatan lain. Apakah besaran anggaran subsidi BBM memiliki dampak yang sama besar atau lebih besar terhadap perekonomian nasional apabila jumlah anggaran yang sama dipergunakan untuk kegiatan lain yang lebih penting dan memiliki efek pengganda lebih besar?
3.6.4. Kebijakan Subsidi Besaran subsidi harga BBM dapat berubah-ubah, sebagai respon dari pasar dunia minyak mentah, ketika harga jual eceran konstan. Harga jual eceran yang relatif konstan berdampak pada perubahan subsidi harga BBM sejalan dengan pergerakan harga keekonomian BBM dalam rupiah. Sebagai ilustrasi, pada periode 1986-2006, perbandingan rata-rata harga jual eceran BBM terhadap harga keekonomiannya adalah 95.25 persen untuk premium, 68.33 persen untuk minyak solar, 35.66 persen untuk minyak tanah, dan 110.99 persen untuk elpiji.
128 Sebagai negara importir minyak mentah, harga dunia merupakan harga jual eceran, jika tidak ada subsidi. Selain itu, harga dunia BBM cenderung sangat fluktuatif dengan kenaikan harga tertinggi mencapai 3 kali lipat dalam beberapa bulan, dan kemudian kembali ke harga normal dalam beberapa bulan kemudian. Besaran subsidi BBM adalah : SUBH =
(MOPS x NTKR) - HJEC ...................................... (3.16)
dimana : SUBH =
subsidi harga BBM (Rp./Liter) atau elpiji (Rp./Kg)
MOPS =
harga keekonomian BBM (US$/Liter) atau elpiji (US$/Kg)
NTKR =
nilai tukar riil rupiah (Rp. /US$)
HJEC =
harga jual eceran BBM (Rp./Liter) atau elpiji (Rp./Kg)
Persamaan perilaku kebijakan subsidi bagi setiap jenis BBM adalah : SUBH =
f (MOPS, NTKR, KEBJ, NKEBJ) ............................. (3.17)
Hubungan antara harga dunia dengan harga jual eceran adalah: HJEC =
(MOPS x NTKR) – SUBH ......................................... (3.18)
dimana:
3.7.
KEBJ =
variabel kebijakan terkait dengan produk BBM
NKEBJ=
variabel diluar kebijakan
Kerangka Pemikiran Tahapan kegiatan dari pasar input minyak mentah hingga pasar BBM dan
selanjutnya pasar industri sekunder disajikan pada Gambar 13. Kegiatan eksploitasi minyak mentah merupakan kegiatan penambangan untuk memperoleh minyak mentah, yang kemudian sebagian besar dijual di pasar internasional. Di pasar internasional ini terjadilah pembentukan harga dunia
129 minyak mentah sesuai dengan jenis minyak mentah, yang terkenal adalah Dated
Brent di Eropa, West Texas Intermediate (WTI) di Amerika Serikat, dan Dubai Fateh di Timur Tengah. Selain itu ada pasar berjangka minyak mentah, yang terkenal adalah NYMEX atau New York Merchantile Exchange di New York. Setiap titik sumur pengeboran minyak menghasilkan jenis minyak mentah yang berbeda. Indonesia mengeluarkan daftar harga minyak mentah Indonesia yang dikenal dengan Indonesia Crude Price (ICP). ICP berisikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dari berbagai sumur pengeboran di Indonesia yang menghasilkan jenis minyak mentah yang berbeda dan harga yang berbeda pula. Penggunaan ICP sangat terbatas yaitu hanya digunakan internal oleh pemerintah Indonesia untuk membukukan nilai penjualan minyak mentah Indonesia, penerimaan negara, besaran pajak, dan lainnya yang berkaitan dengan keuangan negara. Penelitian ini menggunakan harga dunia minyak mentah tahunan yang diterbitkan oleh BPMIGAS (Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi). Kilang dalam negeri mampu memenuhi sekitar 61.74 persen dari kebutuhan BBM dalam negeri pada tahun 2005, sementara sekitar 38.26 persennya dipenuhi dari impor. Penelitian ini memfokuskan diri pada perilaku di pasar BBM dan pasar BBM sekunder. Konsumen BBM di pasar ini membutuhkan BBM sebagai input energi maupun sebagai energi final. Pergerakan harga dan jumlah konsumsi BBM berpengaruh terhadap pasar sekunder BBM. Pasar sekunder BBM berkaitan dengan kondisi perekonomian nasional, seperti penyerapan tenaga kerja, GDP nasional, tingkat harga-harga, dan lainnya. Dengan demikian, perilaku di pasar BBM akan berdampak terhadap perekonomian nasional.
130
Tahap Produksi:
Pasar: Penawaran Output
Pasar Industri Sekunder Industri Sekunder BBM Permintaan Input
Pasar BBM Penawaran Output
Industri Primer BBM
Impor BBM Permintaan Input
Pasar Minyak Mentah Penawaran Output
Eksploitasi Minyak Mentah Permintaan Input
Pasar Input Minyak Mentah
Gambar 13. Tahapan Produksi dan Pasar Bahan Bakar Minyak di Indonesia Gambar 14 menjelaskan bahwa proses penetapan besaran subsidi harga BBM melalui proses panjang dan terjadi proses iterasi yang panjang dengan DPRRI. Pemerintah telah menyadari bahwa dampak negatif dari subsidi BBM sudah perlu disikapi dengan suatu kebijakan. Karena itu pemerintah telah mencanangkan kebijakan umum untuk mengurangi beban subsidi dalam APBN, termasuk subsidi BBM. Namun upaya pengurangan subsidi harus dilakukan dengan hati-hati dan bertahap agar tidak menimbulkan gejolak sosial politik.
131 Fluktuasi Harga Dunia Minyak Mentah
Indonesia Sebagai Net Importer
Monetary Side
Nilai Tukar Rp/US$
Kemampuan APBN (Fiscal Side)
Pengeluaran Pemerintah
Penerimaan Pemerintah
Segi Positif: 1.Optimalisasi Hasil Produksi 2.Meningkatkan Daya Beli Masyarakat 3.Pemerataan Hasil Produksi 4.Stabilitas Harga Produksi Pertimbangan: -Undang-Undang -Politik -Harga Dunia BBM -Nilai Tukar Rp/US$ -APBN -Daya Beli Masyarakat
Kebijakan Subsidi Harga BBM
Pendistorsi
Permintaan BBM
Penetapan Harga Jual Eceran BBM
Segi Negatif: 1.Inefisiensi Ekonomi (Boros) 2.Diinsentif Pengembangan Energi Alternatif Selain Migas 3.Penyelundupan 4.Mengurangi Kemampuan APBN
5.Distorsi Pasar 6.Ketidakadilan
Penawaran BBM
Kinerja Perekonomian Inflasi
Growth
Pengangguran
Balance of Trade
Daya Beli Masyarakat
Kemiskinan
Gambar 14. Kerangka Pemikiran Keterkaitan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia
132
Proses penetapan besaran subsidi harga BBM dan subsidi BBM yang lazim dilakukan adalah: (1) perkiraan harga jual eceran BBM tahun depan, termasuk pertimbangan daya beli masyarakat, (2) perhitungan kemampuan APBN dalam menyediakan subsidi BBM, termasuk subsidi non-BBM, (3) bersama dengan DPR-RI, menetapkan besaran asumsi makro seperti nilai tukar, lifting minyak, tingkat suku bunga, harga dunia minyak mentah, dan termasuk subsidi BBM, (4) penetapan UU APBN, didalamnya tercantum subsidi BBM. Yusgiantoro, 2000 menekankan pentingnya peranan harga dunia minyak mentah dalam penghitungan subsidi harga BBM dan harga jual eceran BBM, karena sekitar 75 persen dari komponen pembentuk harga jual eceran BBM berasal dari harga minyak mentah. Karena itu harga dunia minyak mentah menjadi faktor sangat penting dalam penghitungan subsidi harga dan harga jual eceran BBM. Dalam penetapan besaran subsidi harga dan harga jual eceran BBM, selain harga dunia minyak mentah, pemerintah juga mempertimbangkan nilai tukar rupiah, kemampuan APBN, dan daya beli masyarakat. Perlu diketahui, di antara faktor-faktor ekonomi, volatilitas harga dunia minyak mentah sangat dominan mempengaruhi kebijakan subsidi harga BBM.
133
IV.
4.1.
METODOLOGI PENELITIAN
Spesifikasi Model Menurut Intriligator (1996), model merupakan suatu representasi dari
fenomena aktual yang meliputi sistem atau proses yang riil. Menurut Koutsoyiannis (1977), model ekonometrik merupakan gabungan atau integrasi dari teori ekonomi, matematika ekonomi, dan statistik. Model ekonometrik, tidak seperti teori ekonomi dan matematika ekonomi, mempertimbangkan adanya pengaruh gangguan yang random sehingga menghasilkan suatu pola perilaku ekonomi yang tidak deterministik. Model ekonometrik dapat digunakan untuk: (1) alat analisis, seperti pengujian atas teori ekonomi, (2) penetapan kebijakan, yaitu menyediakan nilai estimasi parameter perilaku ekonomi, dan (3) peramalan dampak, yaitu menggunakan nilai estimasi tersebut untuk memprediksi kondisi ekonomi mendatang. Model ekonometrik merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel penjelas (explanatory variables) terhadap variabel endogen (endogenous
variables). Model yang baik memenuhi kriteria ekonomi (theoritically meaningfull), khususnya menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign) estimasi dari parameter yang sesuai dengan harapan teoritis secara apriori. Kriteria statistik dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) dan secara statistik memuaskan (statistically satisfactory), sedangkan kriteria ekonometrik melihat apakah estimasi parameter
memiliki sifat-sifat unbiasedness, efficiency,
consistency, dan sufficiency. Spesifikasi model dalam studi ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu membangun model untuk menganalisis dampak kebijakan subsidi BBM terhadap
134 kinerja perekonomian dan kemiskinan di Indonesia. Model ekonometrik yang dibangun diberi nama Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia, setelah mengalami beberapa kali respesifikasi, tercantum pada Lampiran 5. Model operasional dirumuskan dalam bentuk umum sebagai berikut: Yt α 0 α1Yt* α 2 X t α 3 X t j α 4 Z t α 5 Z t j α 6 Yt j u t
dimana: Yt
= variabel endogen pada periode t
Yt*
= variabel endogen penjelas pada periode t
Xt
= variabel eksogen pada periode t
X t j
= variabel eksogen pada periode lag t-j
Zt
= variabel kebijakan pada periode t
Zt j
= variabel kebijakan pada periode lag t-j
Yt j
= variabel endogen pada periode lag t-j
ut
= faktor pengganggu
α0
= konstanta
α1..., α 6 = parameter Model terdiri dari persamaan struktural dan identitas, yang dikelompokkan menjadi 8 blok persamaan, yaitu: (1) blok pasar BBM, (2) blok perdagangan BBM, (3) blok permintaan agregat, (4) blok fiskal, (5) blok moneter, (6) blok pasar tenaga kerja, (7) blok kinerja perekonomian, dan (8) blok kemiskinan. Keterkaitan antar blok dapat dilihat pada Gambar 15.
135 HARGA MINYAK MENTAH DUNIA
BLOK PASAR BBM HARJA JUAL ECERAN BBM
PERMINTAAN BBM
PENAWARAN BBM
BLOK FISKAL
BLOK PERDAGANGAN BBM
TAX REVENUE IMPOR
SUBSIDI BBM
EKSPOR DOMESTIC REVENUE
PENGELUARAN NON SUBSIDI BBM
KINERJA PEREKONOMIAN
PENGANGGURAN
B L O PENAWARAN K TENAGA KERJA P A S A R T E N A G A
INFLASI
NILAI TUKAR
PERTUMBUHAN EKONOMI
NET EKSPOR
KONSUMSI
PENGELUARAN PEMERINTAH
INVESTASI
GDP NASIONAL
BLOK PERMINTAAN AGREGAT
MONEY SUPPLY BLOK KEMISKINAN UPAH
KEMISKINAN PERDESAAN SUKU BUNGA KEMISKINAN PERKOTAAN
K PERMINTAAN E TENAGA KERJA R J A
Gambar 15.
MONEY DEMAND BLOK MONETER
Keterkaitan Antar Blok dalam Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia
136 Pada Tabel 16 diuraikan persamaan-persamaan yang menyusun Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia. Model terdiri dari 76 persamaan yang dikelompokkan menjadi 8 blok. Blok yang paling rinci adalah blok pasar BBM karena menguraikan permintaan dan penawaran BBM di 3 sektor pengguna. Pada blok perdagangan BBM tidak terdapat persamaan ekspor BBM, kecuali ekspor elpiji, karena tidak ada ekspor BBM pada periode tahun 1986-2006. Impor elpiji tidak dicantumkan karena impor elpiji baru dilaksanakan pada tahun 2003. Jumlah penduduk miskin dibedakan antara perkotaan dan perdesaan karena diduga adanya perbedaan perilaku konsumsi energi. Rumahtangga perdesaan lebih banyak mengkonsumsi kayu bakar sebagai sumber energi alternatif, dan rumahtangga perkotaan lebih banyak mengkonsumsi minyak tanah dan elpiji. Tabel 16.
Persamaan-Persamaan yang Menyusun Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia
No.
Blok
Persamaan
1.
Pasar Bahan Bakar Minyak
A. Penawaran Bahan Bakar Minyak 1. Jumlah Penawaran Premium 2. Jumlah Penawaran Minyak Solar 3. Jumlah Penawaran Minyak Tanah 4. Jumlah Penawaran Elpiji 5. Jumlah Penawaran Bahan Bakar Minyak B. Permintaan Bahan Bakar Minyak 6. Jumlah Permintaan Premium Sektor Transportasi 7. Jumlah Permintaan Premium 8. Jumlah Permintaan Minyak Solar Sektor Transportasi 9. Jumlah Permintaan Minyak Solar Sektor Industri 10. Jumlah Permintaan Minyak Solar Sektor Rumahtangga dan Komersial 11. Jumlah Permintaan Minyak Solar 12. Jumlah Permintaan Minyak Tanah Sektor Transportasi 13. Jumlah Permintaan Minyak Tanah Sektor Industri 14. Jumlah Permintaan Minyak Tanah Sektor Rumahtangga dan Komersial 15. Jumlah Permintaan Minyak Tanah 16. Jumlah Permintaan Elpiji Sektor Industri 17. Jumlah Permintaan Elpiji Sektor Rumahtangga dan Komersial 18. Jumlah Permintaan Elpiji 19. Konsumsi Premium 20. Konsumsi Minyak Solar 21. Konsumsi Minyak Tanah 22. Konsumsi Elpiji 23. Konsumsi Bahan Bakar Minyak C. Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak 24. Harga Jual Eceran Premium 25. Harga Jual Eceran Minyak Solar 26. Harga Jual Eceran Minyak Tanah 27. Harga Jual Eceran Elpiji
137 Tabel 16. Lanjutan No.
Blok
2.
Perdagangan Bahan Bakar Minyak
Persamaan A.
B. C. 3.
Fiskal
A.
B. C. 4.
Permintaan Agregat
A. B.
C. D. E. F. 5.
Moneter
6.
Pasar Tenaga Kerja
7.
Kinerja Perekonomian
8.
Kemiskinan
Impor Bahan Bakar Minyak 28. Jumlah Impor Premium 29. Jumlah Impor Minyak Solar 30. Jumlah Impor Minyak Tanah 31. Impor Premium 32. Impor Minyak Solar 33. Impor Minyak Tanah 34. Impor Bahan Bakar Minyak Ekspor Bahan Bakar Minyak 35. Jumlah Ekspor Elpiji 36. Ekspor Elpiji Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak 37. Ekspor Bersih BBM Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak 38. Subsidi Harga Premium 39. Subsidi Harga Minyak Solar 40. Subsidi Harga Minyak Tanah 41. Subsidi Harga Elpiji 42. Subsidi Premium 43. Subsidi Minyak Solar 44. Subsidi Minyak Tanah 45. Subsidi Elpiji 46. Subsidi Bahan Bakar Minyak Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 47. Penerimaan Pajak 48. Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah Gap Fiskal 49. Gap Fiskal Konsumsi Nasional 50. Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak 51. Konsumsi Nasional Investasi Nasional 52. Investasi Minyak dan Gas Bumi 53. Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi 54. Investasi Nasional Belanja Pemerintah 55. Belanja Pemerintah Non-Subsidi Bahan Bakar Minyak 56. Belanja Pemerintah Impor Nasional 57. Impor Non-Bahan Bakar Minyak 58. Impor Nasional Ekspor Nasional 59. Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak 60. Ekspor Nasional Gross Domestic Product (GDP) Nasional 61. Gross Domestic Product (GDP) Nasional 62. Penawaran Uang 63. Permintaan Uang 64. Nilai Tukar Rupiah 65. Indeks Harga Konsumen 66. Tingkat Suku Bunga 67. Jumlah Penawaran Tenaga Kerja 68. Jumlah Permintaan Tenaga Kerja 69. Upah Tenaga Kerja 70. Jumlah Pengangguran 71. Tingkat Inflasi Domestik 72. Ekspor Bersih Nasional 73. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 74. Jumlah Kemiskinan di Perdesaan 75. Jumlah Kemiskinan di Perkotaan 76. Tingkat Kemiskinan Nasional
138 Pada Gambar 16 disajikan model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia yang menunjukkan hubungan antar variabel, yaitu variabel endogen dan eksogen. Pada Gambar 16, variabel endogen ditunjukkan dengan bentuk segi empat dan variabel eksogen ditunjukkan dengan bentuk oval. Tanda panah mengindikasikan arah pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya. Garis panah yang menuju ke suatu variabel mengindikasikan variabel tersebut dipengaruhi variabel lainnya, sedangkan garis panah yang meninggalkan variabel menunjukkan variabel tersebut mempengaruhi variabel lainnya. Hubungan simultan terlihat ketika suatu variabel mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh variabel lainnya. 4.1.1. Blok Pasar Bahan Bakar Minyak 4.1.1.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak
Penawaran BBM adalah penjumlahan dari produksi dan impor, dan dikurangi ekspor BBM. Untuk menjaga konsistensi, maka ditambahkan penawaran BBM lain (PNWJBLt). Stok atau inventory BBM diasumsikan konstan sepanjang tahun yaitu persediaan untuk 22 hari konsumsi, karena itu tidak perlu dimasukkan ke dalam persamaan. Jumlah produksi dan ekspor merupakan variabel eksogen. Persamaan jumlah penawaran premium (PNWJPRt), minyak solar (PNWJSLt), minyak tanah (PNWJKRt), dan elpiji (PNWJLGt) adalah persamaan identitas berikut ini: PNWJPRt = PROJPRt + IMPJPRt - EKSJPRt ................................... (4.1) PNWJSLt = PROJSLt + IMPJSLt - EKSJSLt .................................... (4.2) PNWJKRt = PROJKRt + IMPJKRt - EKSJKRt .................................. (4.3) PNWJLGt = PROJLGt + IMPJLGt - EKSJLGt .................................. (4.4)
GDPNAS
UNEMPL
REVTAX
GOVENS
REVDDN
KNIAGA
POPNAS
IMPORT
REVNTX
LISTRK
HJECPX
KOSJPRT
MTIKAN
KOSJSLL
BANKTL
RTIKAN
FDINVS
INVRMG
MONEYS
KOSJSLK
KOSJSLI
KOSJSLT
SUBHSL
KOSJSL
NETEKS
INVEST
INTRIL
HJECSL
MONEYD
INVNMG
KOSJKRK
BANKID
KOSJKRI
KOSJKRT
SUBHKR
KOSJKRL
KOSJKR
Gambar 16. Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia
GROWTH
LABORD
UMRNAS
KOSJPRL
HJECPR
GOVEXP
KRODA2
KRODA4
SUBHPR
POVERT
LABORS
JOVKOT
JOVDES
Peubah Eksogen
Peubah Endogen
Keterangan:
SUBBBM
SUBHBL
KOSJPR
CPINDS
INFLSS
HJECKB
HJECKR
KOSJLGL
PNWJPR
IMPJPR
EKSJSL
KOSNBM
EKSRLG
PNWJBL
PNWJLG
PROJLG
PNWJKR
EKSJKR
PNWJSL
PROJSL
PROJPR
KOSCBM
EKSPOR
KOSNAS
IMPNBM
EKSNBM
KOSJLGK
KOSJLGI
HJECLG
SUBHLG
KOSJLG
DEVISS
HDUSLG
PNWJBM
IMPJLG
EKSJLG
IMPJKR
PROJKR
IMPJSL
EKSJPR
INFLSI
CPINDX
IMPRLG
IMPRBM
IMPRKR
IMPRSL
IMPRPR
FDINVS
NTUKRR
HDUSMB
139
140 Jumlah penawaran BBM tidak termasuk penawaran elpiji karena perbedaan satuan, yaitu elpiji menggunakan satuan berat (kilogram) dan BBM lainnya menggunakan satuan volume (liter). Persamaan jumlah penawaran BBM (PNWJBMt) menjadi: PNWJBMt = PNWJPRt + PNWJSLt + PNWJKRt + PNWJBLt ................. (4.5) 4.1.1.2. 1.
Permintaan Bahan Bakar Minyak Permintaan Premium
Sebanyak 96.65 persen premium dikonsumsi di sektor transportasi, sehingga persamaan permintaan premium hanya diwakili oleh sektor transportasi. Permintaan premium diproksi dengan harga jual eceran premium, harga barang substitusi premium yaitu bensin pertamax, dan jumlah kendaraan bermotor roda-2 dan roda-4. Persamaan jumlah permintaan premium di sektor transportasi (KOSJPRTt) yaitu: KOSJPRTt = a0 + a1HJECPRt + a2(HJECPXt/HJECPXt-1) + a3KRODA6t + a4KOSJPRTt-1 + u1 ......................... (4.6) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: a1 < 0; a2, a3 > 0; dan 0 < a4 < 1. Permintaan premium merupakan penjumlahan dari permintaan premium di sektor transportasi dengan permintaan premium di sektor lainnya. KOSJPRt 2.
= KOSJPRTt + KOSJPRLt .............................................. (4.7)
Permintaan Minyak Solar
Sebanyak 44.91 persen minyak solar dikonsumsi di sektor transportasi dan sebesar 38.61 persen dikonsumsi di sektor industri. Konsumsi minyak solar di masing-masing sektor dipengaruhi oleh harga jual eceran minyak solar. Konsumsi minyak solar di sektor transportasi diproksi oleh variabel jumlah kendaraan niaga
141 (KNIAGAt), konsumsi minyak solar di sektor industri diproksi oleh kapasitas listrik terpasang (LSTRIKt) sebagai variabel yang mewakili kapasitas kegiatan sektor industri, dan konsumsi minyak solar di sektor rumahtangga dan komersial didekati dengan jumlah rumahtangga nelayan (RTIKANt) yang menggunakan minyak solar untuk kapal motornya. Persamaan jumlah permintaan minyak solar di sektor transportasi (KOSJSLTt), industri (KOSJSLIt), rumahtangga dan komersial (KOSJSLKt), adalah: KOSJSLTt = b0 + b1HJECSLt + b2KNIAGAt-1 + b3KRISIS + b4KOSJSLTt-1 + u2 ................................................ (4.8) KOSJSLIt = c0 + c1(HJECSLt-HJECSLt-1) + c2LISTRKt + c3KRISIS + c4KOSJSLIt-1 + u3 ............................... (4.9) KOSJSLKt = d0 + d1HJECSLt + d2RTIKANt + d3KOSJSLKt-1 + u4 (4.10) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: b1, c1, d1 < 0; b2, c2, d2 > 0; dan 0 < b3, c4, d3 < 1. Permintaan minyak solar merupakan persamaan identitas dari penjumlahan minyak solar di sektor transportas, sektor industri, sektor rumahtangga dan komersial, dan sektor lainnya. KOSJSLt 3.
= KOSJSLTt + KOSJSLIt + KOSJSLKt + KOSJSLLt .. (4.11)
Permintaan Minyak Tanah
Sebanyak 92.52 persen minyak tanah dikonsumsi di sektor rumahtangga dan komersial. Konsumsi minyak tanah di masing-masing sektor dipengaruhi oleh harga jual eceran minyak tanah. Konsumsi minyak tanah di sektor transportasi didekati oleh variabel jumlah kapal motor nelayan (MTIKANt), yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Jumlah industri yang
142 memerlukan minyak tanah diproksi oleh variabel jumlah kredit perbankan di sektor industri (BANKIDt), yang mewakili kapasitas kegiatan sektor industri. Konsumsi minyak tanah di sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi oleh jumlah penduduk (POPNASt) dan harga barang substitusinya, yaitu kayu bakar (HJECKBt) dan elpiji (HJECLGt). Persamaan jumlah permintaan minyak tanah di sektor transportasi (KOSJKRTt), industri (KOSJKRIt), dan rumahtangga dan komersial (KOSJKRKt) adalah: KOSJKRTt = e0 +e1HJECKRt +e2MTIKANt-1 + e3KOSJKRTt-1 + u5 (4.12) KOSJKRIt = f0 +f1HJECKRt +f2BANKIDt-1 + f3KOSJKRIt-1 + u6 ...(4.13) KOSJKRKt = g0 + g1HJECKRt + g2(HJECKBt-HJECKBt-1) + g3(HJECLGt-1 / HJECKRt-1) + g4POPNASt + g5KOSJKRKt-1 + u7 ............................................. (4.14) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: e1, f1, g1 < 0; e2, f2, g2, g3, g4 > 0; dan 0 < e3, f3, g5 < 1. Permintaan minyak tanah merupakan persamaan identitas dari penjumlahan permintaan minyak tanah di sektor transportasi, sektor industri, sektor rumahtangga dan komersial, dan sektor lainnya. KOSJKRt 4.
= KOSJKRTt + KOSJKRIt + KOSJKRKt + KOSJKRLt (4.15)
Permintaan Elpiji
Konsumsi elpiji di masing-masing sektor dipengaruhi oleh harga jual ecerannya. Konsumsi elpiji di sektor industri dipengaruhi oleh besaran kegiatan industri yang diwakili oleh kapasitas listrik terpasang (LISTRKt), konsumsi elpiji di sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi oleh jumlah penduduk (POPNASt) dan harga barang substitusinya yaitu minyak tanah (HJECKRt).
143 Persamaan jumlah permintaan elpiji di sektor industri (KOSJLGIt) dan rumahtangga dan komersial (KOSJLGKt) adalah: KOSJLGIt = h0 + h1HJECLGt-1 + h2LISTRKt + h3KRISIS + h4KOSJLGIt-1 + u8 ............................................... (4.16) KOSJLGKt = i0 + i1HJECLGt-1 + i2(HJECKRt-HJECKRt-1) + i3POPNASt + i4KOSJLGKt-1 + u9 ....................... (4.17) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: h1, i1 < 0; h2, i2, i3 > 0; dan 0 < h3, h4, i4 < 1. Permintaan elpiji merupakan persamaan identitas dari penjumlahan permintaan elpiji di sektor industri, rumahtangga dan komersial, dan lainnya. KOSJLGt 5.
= KOSJLGIt + KOSJLGKt + KOSJLGLt ...................... (4.18)
Permintaan Bahan Bakar Minyak
Permintaan BBM merupakan persamaan identitas berupa penjumlahan dari permintaan premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji. Sebelum dilakukan penjumlahan, terlebih dahulu masing-masing permintaan jenis BBM dikalikan dengan harga jual ecerannya, sehingga diperoleh nilai permintaan (konsumsi) jenis BBM dalam satuan rupiah, berikut ini: KOSCPRt = (KOSJPRt * HJECPRt) ................................................ (4.19) KOSCSLt = (KOSJSLt * HJECSLt) ................................................. (4.20) KOSCKRt = (KOSJKRt * HJECKRt) ............................................... (4.21) KOSCLGt = (KOSJLGt * HJECLGt) ............................................... (4.22) KOSCBMt = KOSCPRt + KOSCSLt + KOSCKRt +KOSCLGt + KOSCBLt ................................................................ (4.23)
144 4.1.1.3.
Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah subsidi harga BBM mempengaruhi harga jual eceran BBM, namun tidak sebaliknya. Harga jual eceran BBM adalah persamaan identitas, berupa pengurangan harga keekonomian BBM30 dengan subsidi harganya. Harga keekonomian BBM diperoleh dengan melakukan proksi harga dunia BBM dikalikan dengan faktor alpha. Harga dunia BBM adalah harga dunia minyak mentah dikalikan dengan nilai tukar rupiah (NTUKRRt), dikalikan dengan faktor konversi,31 dibagi dengan 159. Faktor konversi mencerminkan biaya rata-rata pengolahan minyak mentah menjadi BBM, yang berbeda-beda untuk setiap jenis BBM. Faktor alpha berlaku sama untuk semua jenis BBM, kecuali elpiji, sebesar 15 persen. Faktor alpha mencakup antara lain biaya pengangkutan impor ke pelabuhan di Indonesia, distribusi antar pulau, distribusi darat, margin usaha, dan penyusutan. Elpiji tidak mengenal faktor alpha karena sebagian biaya alpha ditanggung oleh PT Pertamina (persero) selaku
distributor tunggal elpiji di Indonesia dan sebagian lagi dibebankan ke konsumen. Hal ini mengakibatkan harga elpiji di konsumen akhir menjadi beragam yang merupakan fungsi dari biaya transportasi dari agen elpiji ke konsumen akhir rumahtangga dan usaha kecil. Persamaan harga jual eceran premium (HJECPRt), minyak solar (HJECKRt), minyak tanah (HJECSLt), dan elpiji (HJECLGt) adalah:
30
Harga keekonomian BBM adalah harga dunia BBM pada titik konsumen akhir di dalam negeri. Harga keekonomian BBM diperoleh dengan mengalikan harga dunia BBM dengan faktor alpha. Dalam penelitian ini, sesuai Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 dan juga untuk penyederhanaan, digunakan faktor alpha maksimal 15 persen. 31 Untuk mengkaitkan harga dunia BBM dengan harga dunia minyak mentah, penulis menyusun faktor konversi menggunakan data tahun 1986-2006. Rata-rata harga dunia BBM (data dari MOPS Singapura) dibagi dengan rata-rata harga dunia minyak mentah (data dari BPMIGAS) periode 1986-2006. Faktor konversi yang diperoleh adalah harga dunia premium 18 persen diatas harga dunia minyak mentah, minyak solar 24 persen, dan minyak tanah 31 persen. Harga dunia elpiji menggunakan data harga ekspor elpiji Indonesia, yang lazimnya bergerak mengikuti pergerakan harga dunia minyak mentah.
145 HJECPRt
= ((HDUSMBt*1.18*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHPRt .... (4.24)
HJECSLt
= ((HDUSMBt*1.24*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHSLt .... (4.25)
HJECKRt
= ((HDUSMBt*1.31*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHKRt ... (4.26)
HJECLGt
= ((HDUSLGt*NTUKRRt)/1 000) - SUBHLGt .............. (4.27)
4.1.2. Blok Perdagangan Bahan Bakar Minyak 4.1.2.1.
Impor Bahan Bakar Minyak
Produksi BBM yang padat modal dan padat teknologi, merupakan fungsi penawaran yang dalam jangka pendek bersifat rigid (kaku) dan tidak dapat merespon perubahan pasar jangka pendek. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang semakin meningkat, pemerintah melakukan impor BBM (kecuali elpiji) yang saat ini meliputi sekitar 35 persen kebutuhan domestik. Produksi elpiji lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri, hanya sebagian kecil untuk konsumsi domestik. Dalam perkembangan selanjutnya, kebutuhan elpiji dalam negeri semakin meningkat sementara ekspor elpiji terikat kontrak jangka panjang. Hal ini mengharuskan pemerintah melakukan impor elpiji yang baru dimulai pada tahun 2003. Impor BBM dipengaruhi oleh harga keekonomian BBM, Indeks Harga Konsumen domestik (CPINDXt), konsumsi di dalam negeri (KNIAGAt dan POPNASt), dan nilai tukar rupiah (NTUKRRt). Persamaan jumlah impor premium (IMPJPRt), minyak solar (IMPJSLt), dan minyak tanah (IMPJKRt) adalah: IMPJPRt
= j0 + j1((HDUSMBt-1*1.18*1.15*NTUKRRt-1)/159) + j2CPINDXt + j3TRENDD + j4IMPJPRt-1 + u10 .. (4.28)
IMPJSLt
= k0 + k1((HDUSMBt*1.24*1.15*NTUKRRt)/159) + k2CPINDXt + k3KNIAGA + k4IMPJSLt-1 + u11 .(4.29)
146 IMPJKRt
= l0 + l1((HDUSMBt*1.31*1.15*NTUKRRt)/159) + l2POPNASt + l3KRISIP + l4IMPJKRt-1 + u12 .... (4.30)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: j1, k1, l1 < 0; j2, k2, k3, l2 > 0; dan 0 < j4, k4, l4 < 1. Persamaan impor masing-masing BBM merupakan persamaan identitas, yang diperoleh dari perkalian harga dunia minyak mentah dalam US$ per barrel dengan jumlah impor BBM, kemudian dikali faktor konversi yang berbeda-beda untuk setiap jenis BBM, dikali nilai tukar rupiah, dibagi dengan 159, dan dibagi satu juta. Persamaan impor masing-masing BBM adalah: IMPRPRt = (IMPJPRt*1.18*HDUSMBt*NTUKRRt/159) / 1 000 000 ..... (4.31) IMPRSLt = (IMPJSLt*1.24*HDUSMBt*NTUKRRt/159) / 1 000 000 ...... (4.32) IMPRKRt = (IMPJKRt*1.31*HDUSMBt*NTUKRRt/159) / 1 000 000 .....(4.33)
Persamaan impor BBM total (IMPBBMt) adalah persamaan identitas yang merupakan penjumlahan dari impor premium, minyak solar, minyak tanah, elpiji, dan BBM lain. Persamaan impor BBM (IMPBBMt) adalah: IMPBBMt = IMPRPRt + IMPRKRt + IMPRSLt + (IMPJLGt*HDUSLGt *NTUKRRt) / 1 000 000 000 + IMPBBLt ................. (4.34) 4.1.2.2.
Ekspor Bahan Bakar Minyak
Selama periode pengamatan tahun 1986-2006, Indonesia tidak pernah mengekspor premium, minyak solar, dan minyak tanah. Sebaliknya untuk elpiji, sekitar 90 persen produksi elpiji diekspor ke luar negeri karena produksi elpiji tidak dapat diserap oleh pasar domestik pada masa itu. Karena itu, ekspor BBM hanya terdiri dari ekspor elpiji. Jumlah ekspor elpiji diproksi dengan jumlah
147 produksinya (PROJLGt) dan harga dunianya (HDUSLGt). Persamaan jumlah ekspor elpiji (EKSJLGt) adalah: EKSJLGt
= m0 + m1(HDUSLGt-1*NTUKRRt-1/1 000) + m2PROJLGt + m3TRENDD + m4KRISIP + m5EKSJLGt + u13 (4.35)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: m1, m2 > 0 dan 0 < m5 < 1. Persamaan ekspor BBM, yang diwakili oleh ekspor elpiji (EKSRLGt), adalah: EKSRLGt = EKSJLGt * HDUSLGt * NTUKRRt / 1 000 000 0000 .. (4.36) 4.1.2.3.
Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak
Neraca perdagangan BBM atau ekspor bersih BBM adalah persamaan identitas yang diperoleh dari pengurangan antara ekspor BBM dengan impor BBM, yaitu: BOTBBM = EKSRLG – IMPBBM ................................................. (4.37) 4.1.3. Blok Fiskal 4.1.3.1.
Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Nilai subsidi harga BBM yang dipakai dalam penelitian ini adalah nilai prakiraan subsidi harga BBM. Nilai prakiraan subsidi diperoleh dengan menggunakan metode Price Gap Approach (Koplow, 2009), yaitu: Price Gap = Price Reference – End-User Internal Price. Jika diasumsikan bahwa Price Gap
adalah subsidi harga BBM, Price Reference adalah harga keekonomian BBM, dan End-User Internal Price adalah harga jual eceran BBM, maka menggunakan analogi yang sama, subsidi harga BBM = harga keekonomian BBM – harga jual eceran BBM. Menggunakan metode tersebut, dapat diperoleh prakiraan subsidi harga premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji. Persamaan subsidi harga BBM merupakan persamaan pokok dalam penelitian ini, yang besarannya dipengaruhi oleh harga dunia BBM dalam satuan
148 US$ per barrel atau per ton, nilai tukar rupiah (NTUKRRt), dan penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt). Variabel REVDDNt merupakan proksi dari kemampuan pendanaan dalam negeri untuk membiayai belanja negara tanpa hibah atau bantuan luar negeri. Persamaan subsidi harga premium (SUBHPRt), subsidi harga minyak solar (SUBHSLt), subsidi harga minyak tanah (SUBHKRt), dan subsidi harga elpiji (SUBHLGt), adalah: SUBHPRt = s0 + s1(HDUSMBt*1.18) + s2NTUKRRt + s3REVDDNt + s4SUBHPRt-1 + u19 ................... (4.38) SUBHSLt = t0 + t1(HDUSMBt*1.24) + t2NTUKRRt +t3(REVDDNt-REVDDNt-1)+t4SUBHSLt-1
+u20
...
(4.39) SUBHKRt = u0 + u1(HDUSMBt*1.31) + u2NTUKRRt + u3REVDDNt + u4SUBHKRt-1 + u21 ................... (4.40) SUBHLGt = v0 + v1HDUSLGt + v2NTUKRRt+ v3(REVDDNt/ REVDDNt-1) + v4SUBHLGt-1 + u22 ............................................ (4.41) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: s1, s2, s3, t1, t2, t3, u1, u2, u3, v1, v2, v3 > 0 dan 0 < s4, t4, u4, v4 < 1. Nilai subsidi BBM diperoleh dari hasil perkalian antara subsidi harga dengan jumlah konsumsinya masing-masing. Persamaan subsidi premium (SUBRPRt), minyak solar (SUBRSLt), minyak tanah (SUBRKRt), elpiji (SUBRLGt), dan subsidi BBM (SUBBBMt) adalah: SUBRPRt = SUBHPRt * KOSJPRt / 1 000 000 ............................ (4.42) SUBRSLt
= SUBHSLt * KOSJSLt / 1 000 000 ............................ (4.43)
SUBRKRt = SUBHKRt * KOSJKRt / 1 000 000 .......................... (4.44)
149 SUBRLGt = SUBHLGt * KOSJLGt / 1 000 000 ........................... (4.45) Persamaan subsidi BBM total (SUBBBMt) adalah: SUBBBMt = SUBRPRt + SUBRSLt + SUBRKRt + SUBRLGt + SUBBBLt .............................................................. (4.46) 4.1.3.2.
Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah
Penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt) adalah persamaan identitas yang merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak (REVTAXt) dan penerimaan diluar pajak (REVNTXt). Persamaan penerimaan pajak (REVTAXt), yang merupakan persamaan struktural, adalah: REVTAXt
= w0 +w1GDPNASt-1 +w2KRISIP + w3REVTAXt-1 + u23 ..... (4.47)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: w1 > 0 dan 0 < w3 < 1. Persamaan penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt) adalah: REVDDNt = REVTAXt + REVNTXt ............................................... (4.48) 4.1.3.3. Gap Fiskal
Gap fiskal (lihat Alesina, 2000 dan Alvarado, et.al, 2004) adalah persamaan identitas yaitu pengurangan dari penerimaan dalam negeri (REVDDNt) dengan belanja pemerintah atau anggaran belanja negara (GOVEXPt): FISCGPt = REVDDNt - GOVEXPt .................................................... (4.49) 4.1.4. Blok Permintaan Agregat 4.1.4.1.
Konsumsi Nasional
Besaran konsumsi non-BBM dipengaruhi oleh tingkat inflasi domestik (INFLSIt), tingkat suku bunga domestik (INTRILt), dan jumlah penduduk (POPNASt). Persamaan nilai konsumsi non-BBM (KOSNBMt) adalah:
150 KOSNBMt = o0 + o1INFLSIt + o2INTRILt + o3POPNASt + o4KRISIS + o5KOSNBMt-1 + u15 .......................... (4.50) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: o1, o2, < 0; o3 > 0; dan 0 < o5 < 1. Persamaan konsumsi nasional adalah: KOSNASt = KOSCBMt + KOSNBMt ............................................. (4.51) 4.1.4.2.
Investasi Nasional
Investasi di sektor minyak dan gas bumi (INVRMGt) dipengaruhi oleh nilai penanaman modal langsung (FDINVSt), jumlah penduduk (POPNASt), dan tingkat suku bunga domestik (INTRILt). Investasi di sektor migas cenderung dilakukan dalam satuan mata uang asing, sehingga variabel nilai tukar rupiah (NTUKRRt) diabaikan. Persamaan nilai investasi migas (INVRMGt) adalah: INVRMGt = p0 + p1(INTRILt-INTRILt-1) + p2(FDINVSt/FDINVSt-1) + p3POPNASt + p4KRISIS + p5TRENDD + p6INVRMGt-1 + u16 .............................................. (4.52) Tanda yang diharapkan estimasi parameter: p1 < 0; p2, p3 > 0; dan 0 < p6 < 1. Investasi non-migas (INVRMGt) seperti pertanian, otomotif, jasa keuangan, dan konstruksi lazimnya dilakukan oleh pengusaha dalam negeri dengan lokasi usaha di dalam negeri, sehingga nilai tukar rupiah menjadi salah satu faktor penting selain tingkat suku bunga domestik (INTRILt). Persamaan nilai investasi non-migas (INVNMGt) adalah: INVNMGt = q0 + q1INTRILt-1 + q2NTUKRRt-1 + q3TRENDD + q4KRISIS + q5INVNMGt-1 + u17 ......................... (4.53) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: q1, q2 < 0 dan 0 < q5 < 1. Persamaan investasi nasional (INVESTt) adalah:
151 INVESTt = INVRMGt + INVNMGt.................................................... (4.54) 4.1.4.3.
Belanja Pemerintah
Belanja pemerintah atau anggaran belanja negara (GOVEXPt) adalah persamaan identitas yang merupakan penjumlahan dari belanja pemerintah diluar subsidi BBM (GOVENSt) dengan pengeluaran untuk subsidi BBM (SUBBBMt). Pengeluaran untuk subsidi BBM merupakan persamaan identitas. Belanja pemerintah diluar subsidi BBM (GOVENSt), yang merupakan persamaan struktural, dipengaruhi oleh penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt) dan tingkat inflasi domestik (INFLSIt), dengan rincian: GOVENSt = x0 + x1REVDDNt + x2INFLSIt + x3TRENDD + x4GOVENSt-1 + u24 ............................................ (4.55) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: x1, x2 > 0 dan 0 < x4 < 1. Persamaan belanja pemerintah atau anggaran belanja negara (GOVEXPt) adalah: GOVEXPt = GOVENSt + SUBBBMt ............................................... (4.56) 4.1.4.4.
Ekspor Nasional
Ekspor non-BBM dipengaruhi oleh tingkat inflasi dunia (INFLSSt) yang diproksi dengan tingkat inflasi di Amerika Serikat, Indeks Harga Konsumen domestik (CPINDXt), nilai tukar riil rupiah (NTUKRRt), dan jumlah penawaran BBM (PNWJBMt). Persamaan nilai ekspor non-BBM adalah: EKSNBMt = r0 + r1INFLSSt + r2CPINDXt + r3(NTUKRRt-NTUKRRt-1) + r4PNWJBMt + r5EKSNBMt-1 + u18 ...................... (4.57) Tanda diharapkan dari estimasi parameter: q2 < 0; q1, q3, q4 > 0; dan 0 < q5 < 1. Persamaan ekspor nasional (EKSPORt) adalah: EKSPORt = EKSRLGt + EKSNBMt .................................................. (4.58)
152 4.1.4.5.
Impor Nasional
Impor non-BBM (IMPNBMt) dipengaruhi oleh tingkat inflasi domestik (INFLSIt), nilai tukar rupiah (NTUKRRt), jumlah penduduk (POPNASt), dan Indeks Harga Konsumen dunia yang diwakili oleh IHK Amerika Serikat (CPINDSt), yaitu: IMPNBMt = n0 + n1CPINDSt + n2INFLSIt + n3NTUKRRt-1 + n4POPNASt + n5KRISIS + n6IMPBBMt-1 + u14 ..... (4.59) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter adalah n1, n3 < 0; n2, n4 > 0; dan 0 < n6 < 1. Persamaan impor nasional (IMPORTt) adalah: IMPORTt = IMPBBMt + IMPNBMt .................................................. (4.60) 4.1.4.6.
Gross Domestic Product (GDP) Nasional
Persamaan Gross Domestic Product Nasional (GDPNASt) adalah: GDPNASt = KOSNASt + INVESTt + GOVEXPt + NETEKSt ......... (4.61) 4.1.5. Blok Moneter
Blok moneter terdiri dari beberapa persamaan yang menggambarkan hubungan antara penawaran uang (MONEYSt), permintaan uang (MONEYDt), tingkat inflasi domestik (INFLSIt), nilai tukar rupiah (NTUKRRt), dan tingkat suku bunga domestik (INTRILt). Berdasarkan teori makroekonomi, penawaran uang dipengaruhi oleh tingkat suku bunga domestik (INTRILt), output nasional (GDPNASt), dan kredit perbankan total (BANKTLt). Persamaan penawaran uang (MONEYSt) adalah: MONEYSt
= y0 + y1INTRILt + y2GDPNASt + y3BANKTLt + y4KRISISt + y5TRENDD + y6MONEYSt-1 + u25 ..................... (4.62)
153 Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: y1, y2, y3 > 0 dan 0 < y6 < 1. Sesuai dengan teori makroekonomi, permintaan uang dipengaruhi oleh penawaran uang (MONYESt), tingkat suku bunga domestik (INTRILt), dan nilai tukar rupiah (NTUKRRt). Persamaan permintaan uang (MONEYDt) adalah: MONEYDt = z0 + z1INTRILt + z2NTUKRRt + z3MONEYSt + z4MONEYDt-1 + u26 ........................................... (4.63) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: z1, z2 < 0; z3 > 0; dan 0 < z4 < 1. Nilai tukar rupiah
(NTUKRRt) dipengaruhi oleh rasio Indeks Harga
Konsumen domestik (CPINDXt) dan luar negeri (CPINDSt), penanaman modal langsung (FDINVSt), dan jumlah cadangan devisa domestik (DEVISSt), yaitu: NTUKRRt = ac0 + ac1(CPINDXt/CPINDSt) + ac2FDINVSt +ac3(DEVISSt-DEVISSt-1)+ ac4NTUKRRt-1 +u29.. (4.64) Tanda diharapkan dari estimasi parameter: ac1 > 0; ac2, ac3 < 0; dan 0 < ac4 < 1. Dalam Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia, harga jual eceran BBM dianggap sangat penting dalam mempengaruhi perubahan hargaharga umum. Untuk itu, harga jual eceran premium, minyak solar, dan minyak tanah secara bersama-sama dijadikan harga rata-rata tertimbang BBM (HTMCPKt) terhadap volume konsumsinya masing-masing. Persamaan Indeks Harga Konsumen (CPINDXt) adalah: CPINDXt = ab0 + ab1HTMCPKt + ab2MONEYSt-1+ab3CPINDXt-1 +u28 .. (4.65)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: ab1, ab2 > 0 dan 0 < ab3 < 1. Persamaan tingkat suku bunga domestik dipengaruhi oleh penawaran uang (MONEYSt), rasio permintaan uang terhadap Lag-nya (MONEYDt), dan investasi nasional (INVESTt). Persamaan tingkat suku bunga domestik (INTRILt) adalah:
154 INTRILt = aa0 + aa1MONEYSt + aa2(MONEYDt/MONEYDt-1) + aa3(INVESTt-INVESTt-1) + aa4KRISIS + u27 ..........(4.66) Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: aa1 < 0 dan aa2, aa3 > 0. 4.1.6. Blok Pasar Tenaga Kerja
Blok pasar tenaga kerja terdiri dari penawaran tenaga kerja (LABORSt), permintaan tenaga kerja (LABORDt), dan upah tenaga kerja (UMRNASt). Penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh upah tenaga kerja (UMRNASt), jumlah penduduk (POPNASt), dan belanja pemerintah non-subsidi BBM (GOVENSt). Persamaan penawaran tenaga kerja Indonesia (LABORSt) adalah: LABORSt
= ad0 + ad1UMRNASt + ad2POPNASt + ad3(GOVENSt-GOVENSt-1)+ad4LABORSt-1+u30 (4.67)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: ad1, ad2, ad3 > 0 dan 0 < ad4 < 1. Permintaan tenaga kerja (LABORDt) dipengaruhi oleh upah tenaga kerja (UMRNASt) dan output nasional (GDPNASt), yaitu: LABORDt
= ae0 + ae1UMRNASt-1 + ae2GDPNASt + ae3LABORDt-1 + u31 ....................................................................... (4.68)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: ae1 < 0; ae2 > 0; dan 0 < ae3 < 1. Upah tenaga kerja dipengaruhi oleh pasar tenaga kerja yaitu penawaran dan permintaan tenaga kerja. Persamaan upah tenaga kerja (UMRNASt) adalah : UMRNASt
= af0 + af1LABORSt-1 + af2(LABORDt-LABORDt-1) + af3KRISIP+ af4TRENDD + af5UMRNASt-1 + u32 ... (4.69)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: af1 < 0; af2 < 0, dan 0 < af5 < 1.
155 4.1.7.
Blok Kinerja Perekonomian
Persamaan jumlah pengangguran di Indonesia (UNEMPLt) adalah persamaan identitas yang merupakan pengurangan dari penawaran tenaga kerja dengan permintaan tenaga kerja, yaitu: UNEMPLt
= LABORSt - LABORDt ................................................ (4.70)
Persamaan tingkat inflasi domestik (INFLSIt) adalah persamaan identitas yang merupakan pertumbuhan indek harga konsumen domestik, yaitu: INFLSIt = (CPINDXt - CPINDXt-1) / CPINDXt-1 * 100 ..................... (4.71) Persamaan nilai ekspor bersih atau Balance of Trade (NETEKSt) adalah persamaan identitas yang merupakan pengurangan ekspor nasional dengan impor nasional, yaitu: NETEKSt = EKSPORt - IMPORTt ..................................................... (4.72) Tingkat pertumbuhan ekonomi (GROWTHt) adalah persamaan identitas yang merupakan pertumbuhan dari GDP nasional, yaitu: GROWTHt
= (GDPNASt - GDPNASt-1 ) / GDPNASt-1 * 100 .......... (4.73)
4.1.8. Blok Kemiskinan
Blok kemiskinan terdiri dari persamaan jumlah kemiskinan di perdesaan (JOVDESt) dan perkotaan (JOVKOTt). Kemiskinan di perdesaan dipengaruhi oleh tingkat inflasi domestik (INFLSIt), harga jual eceran kayu bakar (HJECKBt), jumlah pengangguran (UNEMPLt), dan belanja pemerintah (GOVEXPt). Harga jual eceran kayu bakar berpengaruh positif terhadap kemiskinan di perdesaan karena sebagian besar masyarakat perdesaan masih menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi utama untuk memasak di rumahtangga. Persamaan kemiskinan di perdesaan (JOVDESt) adalah:
156 JOVDESt = ag0 + ag1INFLSIt + ag2GOVEXPt-1 + ak3UNEMPLt + ag4HJECKBt + ag5JOVDESt-1 + u33 ..................... (4.74) Kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh tingkat inflasi domestik (INFLSIt), jumlah pengangguran (UNEMPLt), harga jual eceran elpiji (HJECLGt), belanja pemerintah (GOVEXPt), dan upah tenaga kerja (UMRNASt). Belanja pemerintah yang semakin besar akan cenderung berpengaruh positif terhadap upaya pengentasan kemiskinan dengan harapan pemerintah mengalokasikan lebih banyak dana untuk program pro-rakyat. Persamaan kemiskinan di perkotaan (JOVKOTt) adalah: JOVKOTt =ah0 + ah1INFLSI + ah2GOVEXPt + ah3UMRNASt + ah4UNEMPLt-1 + ah5HJECLGt-1 + ah6JOVKOTt-1 + u34
.................................................................................................................
(4.75)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: ag1, ag3, ag4, ah1, ah4, ah5 > 0; ag2, ah2, ah3 < 0; dan 0 < ag5, ah6 < 1. Kemiskinan nasional merupakan persamaan identitas berupa penjumlahan kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Kemiskinan nasional disajikan dalam persen yaitu jumlah penduduk miskin nasional dibagi dengan jumlah penduduk nasional Indonesia. Pencantuman dalam persen dianggap lebih dapat mewakili fluktuasi jumlah orang miskin nasional terhadap jumlah penduduk nasional. Persamaan tingkat kemiskinan nasional adalah: POVERTt = (JOVDESt + JOVKOTt) / POPNASt * 100 .................... (4.76)
157 4.2.
Prosedur Analisis
4.2.1. Identifikasi Model
Sebelum model diestimasi, perlu dilakukan identifikasi model. Identifikasi model menggunakan order condition dan menurut Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition adalah: (K - M) > (G - 1) dimana: K = total variabel dalam model (jumlah variabel endogen dan predetermined),
G = total persamaan dalam model (jumlah variabel endogen), dan M = jumlah variabel endogen dan eksogen dalam satu persamaan yang diidentifikasi. Jika dalam sistem persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut: ( K – M ) > ( G – 1 ) = maka
persamaan
tersebut
dinyatakan
teridentifikasi secara berlebih (over identified), (K – M ) = ( G – 1 )
= maka
persamaan
tersebut
dinyatakan
teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan (K – M ) < (G – 1 )
= maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified).
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural harus exactly identified atau over identified untuk dapat mengestimasi parameternya.
158 Model terdiri dari 76 variabel endogen (G) yang terdiri dari 34 persamaan struktural dan 42 persamaan identitas, dan 67 variabel pre-determined yang terdiri dari 34 variabel eksogen dan 33 variabel lag endogenous. Sehingga terdapat 143 variabel (K) dalam model. Persamaan yang memiliki jumlah variabel terbanyak adalah persamaan dengan 6 variabel (M) yang adalah over identified. Berdasarkan kriteria order condition, maka model over identified karena setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. 4.2.2. Metode Estimasi Model
Model yang dibangun adalah over identified, maka model dapat diestimasi dengan menggunakan metode 2SLS (Two Stage Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood), atau
FIML (Full Information Maximum Likelihood). Berdasarkan kriteria statistik dan ekonomi, maka metode estimasi model yang terbaik dalam penelitian ini adalah 2SLS, karena dapat menghasilkan nilai estimasi parameter yang lebih efisien. Sedangkan 3SLS dan FIML menggunakan informasi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model. Estimasi model dilakukan dengan menggunakan program aplikasi komputer Statistical Analysis System/Econometric Time Series (SAS/ETS) versi 9.0.
Untuk menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama dapat menjelaskan secara nyata keragaman variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan statistik uji-F. Untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, maka digunakan statistik uji-t. Karena dalam model ada persamaan yang mengandung variabel
159 bedakala, maka digunakan statistik Durbin-Watson untuk melihat ada tidaknya auto korelasi (Pindyck and Rubinfeld, 1991). 4.2.3. Validasi Model
Sebelum model digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan, perlu diuji dahulu apakah model cukup valid. Kriteria uji validitas model yang digunakan adalah ketepatannya menjelaskan dan menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Uji validitas model yang sering digunakan adalah kesalahan rataan kuadrat terkecil (Root Mean Squares Percent Error,RMSPE) dan koefisien ketidaksamaan Theil (Theil Inequality Coefficient, U) (Pindyck and Rubinfeld, 1991). Root Mean Squares Error, RMSE, adalah rata-rata kuadrat dari perbedaan
nilai estimasi dengan nilai pengamatan (aktual) suatu variabel endogen. Jika nilai RMSE semakin kecil maka estimasi variabel endogen semakin valid. Nilai statistik RMSE dirumuskan sebagai berikut:
Y n
1 n
RMSE
t 1
s t
Yta
2
RMSPE adalah rata-rata kuadrat dari proporsi perbedaan nilai estimasi dengan nilai pengamatan suatu variabel endogen. Jika nilai RMSPE semakin kecil maka estimasi variabel endogen semakin valid. Nilai statistik RMSPE dirumuskan sebagai berikut:
RMSPE
s
1 n
dimana n , Yt , Yt
a
n
t 1
Yts Yta Ya t
2
x 100
berturut-turut adalah jumlah periode pengamatan, nilai
estimasi variabel endogen, dan nilai pengamatan variabel endogen (Pindyck and Rubinfeld, 1991).
160 U adalah perbandingan RMSE dengan rata-rata kuadrat nilai pengamatan variabel endogen. Nilai U maksimum adalah satu dan minimum adalah nol. Jika Yt s 0 atau U=1 maka estimasi variabel endogen disebut sebagai naïf. Jika Yt s Yt a atau U=0, maka estimasi variabel endogen disebut sebagai sempurna,
sangat mendekati kenyataan. Semakin kecil nilai RMSPE dan U dan semakin besar nilai R2, maka estimasi variabel endogen semakin baik. Nilai statistik U dirumuskan sebagai berikut:
U
1 n
Y n
t
t 1
1 n
s
Yt a
2
Y n
t 1
a 2
t
dimana Yt s dan Yt a berturut-turut adalah perubahan nilai estimasi variabel endogen dan perubahan nilai pengamatan variabel endogen. Koutsoyiannis (1977) mengatakan bahwa nilai perubahan tersebut diperoleh dari selisih antara data sekarang dengan data periode sebelumnya. Menurut Pindyck and Rubinfeld (1991), perubahan tersebut disajikan dalam bentuk tingkat perubahan. Nilai U dapat didekomposisi menjadi tiga komponen menurut sumber kesalahannya (Pindyck and Rubinfeld, 1991), yaitu proporsi bias (UM), proporsi keragaman (US), dan proporsi covarians (UC). Komponen pertama adalah UM yang mengukur sejauh mana nilai rata-rata estimasi menyimpang dari nilai pengamatannya. Estimasi variabel endogen dikatakan valid jika UM < 0.20. Komponen kedua adalah US yang mengukur sejauh mana nilai keragaman estimasi menyimpang dari nilai pengamatannya, dikenal sebagai proporsi keragaman dari inequality coefficient. Semakin kecil nilai US, maka estimasi variabel endogen semakin valid. Komponen pertama dan kedua mengindikasikan
161 kesalahan sistematis yang seharusnya dapat dihindari. Komponen ketiga adalah UC yang mengukur penyimpangan covarians estimasi dari nilai pengamatannya. Semakin besar nilai UC, maka estimasi variabel endogen semakin valid. Komponen ketiga adalah kesalahan tidak sistematik, karena itu tidak dapat dihindari. Apabila nilai ketiga dekomposisi statistik U dijumlahkan maka hasilnya adalah satu. Nilai statistik UM, US, dan UC adalah: UM =
1 n (Yt s Yt a ) 2 n t 1 ( s a ) 2
US =
1 n s a ( Yt Yt ) 2 n t 1
UC =
dimana nilai
(Y s Y a ) 2
2(1 ) s a 1 n (Yt s Yt a ) 2 n t 1 s
a
Y , Y , s , a , dan berturut-turut rata-rata nilai estimasi
variabel endogen, rata-rata nilai pengamatan variabel endogen, standar deviasi nilai estimasi variabel endogen, standar deviasi nilai pengamatan variabel endogen, dan koefisien korelasi antara nilai estimasi dengan nilai pengamatan variabel endogen (Pindyck and Rubinfeld, 1991). 4.3. Skenario Simulasi
Skenario simulasi peramalan yang dilakukan dalam penelitian ini, yang mencakup
periode
peramalan
2010-2014,
ditentukan
sesuai
dengan
kecenderungan data dan rencana kebijakan pemerintah. Skenario simulasi yang dilakukan adalah:
162 1.
SIM-1: Simulasi 1 adalah kenaikan harga dunia minyak mentah sebesar 5
persen. Pergerakan harga dunia minyak mentah merupakan faktor eksogen yang senantiasa harus diperhatikan. Indonesia adalah negara kecil dan menjadi price
taker harga minyak mentah karena hanya memiliki cadangan minyak 1.40 persen dari cadangan minyak dunia. Harga dunia minyak mentah sangat berfluktuatif, yang pada tahun 2007 sebesar US$72 per barrel, menjadi US$143 per barrel pada awal tahun 2008, dan kemudian turun menjadi US$39 per barrel pada akhir tahun 2008. Meskipun sangat fluktuatif, namun diketahui bahwa harga dunia nominal minyak mentah periode 1986-2006 naik sebesar 7.4 persen per tahun. Dalam pasar dunia minyak dan gas bumi, harga-harga energi fosil biasanya saling terkait dan bergerak pada arah yang sama. Harga kontrak penjualan elpiji biasanya mengikuti dan searah dengan pergerakan harga dunia minyak mentah. Karena itu, dalam disertasi ini, apabila harga dunia minyak mentah naik 5 persen, maka harga elpiji juga naik 5 persen. 2.
SIM-2: Simulasi 2 adalah kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah
sebesar 10 persen. Kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah pada periode tahun 1986-2006 mencapai 8.01 persen per tahun dan dalam simulasi ini digunakan pembulatan angka yaitu 10 persen. Kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah merupakan kebijakan fiskal berupa penarikan sejumlah uang yang beredar di masyarakat melalui instrumen pajak dan non-pajak. Dalam rejim anggaran berimbang, maka kenaikan penerimaan negara akan mengakibatkan kenaikan anggaran belanja. Naiknya anggaran belanja selanjutnya diharapkan akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah dalam mengalokasikan anggaran belanjanya, termasuk untuk melaksanakan program pengentasan kemiskinan.
163 3.
SIM-3:
Simulasi 3 adalah pengurangan subsidi harga premium, minyak
solar, minyak tanah, dan elpiji. Simulasi ini merupakan penjabaran wacana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004, yang antara lain mengamanatkan penghapusan subsidi BBM pada tahun 2004. Simulasi ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan masukan bagi para pengambil kebijakan mengenai dampak dari pengurangan subsidi BBM. Pemahaman yang cukup baik mengenai perilaku subsidi harga dan dampaknya terhadap perekonomian dan kemiskinan diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah yang tepat dalam rangka mengantisipasi dampak negatif dari pengurangan subsidi BBM. Besaran subsidi BBM berbeda-beda untuk setiap jenis BBM dan bergantung pada harga jual eceran masing-masing. Di Indonesia, harga keekonomian BBM sama dengan harga jual ecerannya ditambah dengan subsidi harganya. Apabila harga keekonomian meningkat dan harga jual eceran tetap maka, untuk mengimbanginya, subsidi harga akan naik. Sebagai gambaran, ketika harga dunia minyak mentah mencapai US$80 per barrel, pada kurs US$1 sama dengan Rp. 9 300, maka harga keekonomian bensin premium adalah Rp. 6 349 per liter, harga keekonomian minyak solar adalah Rp. 6 672 per liter, harga keekonomian minyak tanah adalah Rp. 7 049 per liter, dan harga keekonomian elpiji adalah Rp. 3 047 per kg. Setelah mengetahui harga keekonomian dan harga jual eceran rata-rata pada periode peramalan 2010-2014, dapat dihitung besaran subsidi harga rata-rata pada periode yang sama. Pada periode tersebut, subsidi harga rata-rata premium adalah 38.42 persen dari harga keekonomiannya, minyak solar 29.27 persen dari
164 harga keekonomiannya, minyak tanah 72.49 persen dari harga keekonomiannya, dan elpiji 17.84 persen dari harga keekonomiannya. Sebagai contoh, subsidi harga minyak tanah adalah Rp. 4 549 per liter atau 64.53 persen dari harga keekonomiannya, yang diperoleh dari selisih antara harga keekonomian sebesar Rp. 7 049 per liter dengan harga jual ecerannya sebesar Rp. 2 500 per liter. Dalam disertasi ini, simulasi pengurangan subsidi BBM menggunakan patokan atau acuan bagian tertentu dari harga keekonomian BBM yang ditanggung oleh negara, sebagai subsidi harga, sementara bagian lain dari harga keekonomian BBM ditanggung oleh konsumen, sebagai harga jual eceran. Sehingga apabila harga dunia minyak naik, maka harga keekonomian BBM akan naik proporsional, subsidi harga naik proporsional, dan harga jual eceran juga naik proporsional. Dengan demikian, setiap kenaikan harga dunia minyak mentah akan ditanggung bersama, sebagian oleh anggaran belanja melalui kenaikan subsidi harga BBM, dan sebagian lagi oleh masyarakat melalui kenaikan harga jual eceran BBM. Simulasi ini dilakukan dengan alasan sebagai berikut: (1) keuangan negara akan semakin terbatas dan karena itu perlu pembatasan atau prioritisasi subsidi yang lebih tajam, (2) pemerintah tidak bisa lagi menanggung sendirian seluruh porsi kenaikan harga dunia minyak mentah, dan (3) masyarakat perlu mengalami proses pembelajaran agar semakin memahami mengenai pentingnya energi dan harganya yang mahal, sehingga dapat mengarah pada upaya-upaya penghematan penggunaan energi. Subsidi harga premium diturunkan dari semula 38.42 persen dari harga keekonomiannya menjadi 20.00 persen, subsidi harga minyak solar diturunkan dari semula 29.27 persen dari harga keekonomiannya menjadi 20.00 persen,
165 subsidi harga minyak tanah diturunkan dari semula 72.49 persen dari harga keekonomiannya menjadi 40.00 persen, dan subsidi harga elpiji diturunkan dari semula 17.84 persen dari harga keekonomiannya menjadi 10.00 persen. 4.
SIM-4: Simulasi 4 adalah konversi minyak tanah ke elpiji. Pada simulasi
ini pemerintah menurunkan subsidi harga minyak tanah agar harga jual eceran minyak tanah meningkat dan menaikkan subsidi harga elpiji agar harga jual ecerannya menurun. Peningkatan harga jual eceran minyak tanah dan penurunan harga jual eceran elpiji, diharapkan dapat mengalihkan konsumsi rumahtangga dan komersial dari minyak tanah ke elpiji. Peralihan ini cenderung dapat terlaksana dengan baik karena pada saat bersamaan, harga jual eceran elpiji menurun. Penurunan harga jual eceran elpiji diharapkan dapat semakin menarik minat rumahtangga dan komersial untuk menggantikan minyak tanah ke elpiji dan mengkonsumsi lebih banyak elpiji. Simulasi ini menurunkan subsidi harga minyak tanah dari semula 72.49 persen dari harga keekonomiannya menjadi 30.00 persen, dan meningkatkan subsidi harga elpiji dari semula 17.84 persen dari harga keekonomiannya menjadi 30.00 persen. 5.
SIM-5: Simulasi 5 adalah kombinasi pengurangan subsidi harga premium
dan minyak solar dengan konversi minyak tanah ke elpiji. Simulasi ini merupakan simulasi yang paling mendekati kenyataan dan paling sesuai dengan arah kebijakan pemerintah pada saat ini yaitu melaksanakan program konversi minyak tanah ke elpiji dan sekaligus mengurangi beban subsidi BBM melalui pengurangan subsidi harga premium dan minyak solar. Rincian simulasi 5 adalah pengurangan subsidi harga premium dari semula 38.42 persen menjadi 20.00 persen dari harga keekonomiannya, pengurangan subsidi harga minyak solar dari
166 semula 29.27 persen menjadi 20.00 persen dari harga keekonomiannya, pengurangan subsidi harga minyak tanah dari semula 72.49 persen menjadi 30.00 persen dari harga keekonomiannya, dan subsidi harga elpiji ditambah dari semula 17.84 persen menjadi 30.00 persen dari harga keekonomiannya. Dibandingkan dengan subsidi harga premium, pengurangan subsidi harga minyak solar lebih kecil, agar kenaikan harga jual eceran minyak solar tidak sebesar kenaikan harga jual eceran premium. Konsumen premium adalah masyarakat golongan menengah atas, sementara konsumen minyak solar dicirikan dengan kegiatan usaha dan industri. Untuk memberikan insentif bagi kegiatan usaha, maka simulasi ini hanya menaikkan sedikit harga jual eceran minyak solar. 6.
SIM-6: Simulasi 6 adalah kombinasi kenaikan harga dunia minyak mentah
5 persen, peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah 10 persen, pengurangan subsidi harga premium dan minyak solar, dan konversi minyak tanah ke elpiji atau kombinasi simulasi (1) + simulasi (2) + simulasi (5). Simulasi ini dimaksudkan untuk menganalisis kombinasi dampak dari kenaikan harga jual eceran BBM dan kenaikan belanja pemerintah diluar subsidi BBM. Kenaikan harga jual eceran BBM akan cenderung berdampak pada tingginya inflasi dan memburuknya kinerja perekonomian dan kemiskinan. Kenaikan belanja pemerintah diluar subsidi BBM cenderung akan berdampak positif bagi perekonomian dan kemiskinan. Hasil akhir dari simulasi bergantung pada kekuatan mana yang lebih dominan, kenaikan harga jual eceran atau kenaikan belanja pemerintah diluar subsidi BBM. 7.
SIM-7: Simulasi 7 adalah kombinasi kenaikan harga dunia minyak mentah
5 persen, peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah 10 persen,
167 pengurangan subsidi harga premium dan minyak solar, konversi minyak tanah ke elpiji, dan realokasi anggaran atau kombinasi simulasi (6) + realokasi anggaran. Pada simulasi (6) terdapat penghematan subsidi BBM sebesar Rp. 60 845 miliar dan menjadi faktor pengurang dari belanja pemerintah. Pada simulasi ini, penghematan tersebut dimasukkan kembali dalam sistem perekonomian melalui penempatannya pada variabel endogen belanja pemerintah diluar subsidi BBM (GOVENSt). Sebagai akibat dari peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah, belanja pemerintah diluar subsidi BBM mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut akan semakin besar manakala kebijakan realokasi anggaran diterapkan. Peningkatan belanja pemerintah diluar subsidi BBM diharapkan akan dapat meningkatkan besaran belanja pemerintah sehingga berdampak positif bagi kinerja perekonomian melalui perbesaran ruang fiskal atau pelaksanaan programprogram lain yang sangat penting dan mendesak. 8.
SIM-8: Simulasi 8 adalah kombinasi kenaikan harga dunia minyak mentah
5 persen, peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah 10 persen, kenaikan indek harga konsumen 5 persen, pengurangan subsidi harga premium dan minyak solar, konversi minyak tanah ke elpiji, dan realokasi anggaran atau kombinasi simulasi (7) + kenaikan indek harga konsumen 5 persen + realokasi anggaran. Penghematan anggaran sebesar Rp. 61 492 miliar diperoleh dengan melakukan simulasi 7 + kenaikan indek harga konsumen 5 persen. Penghematan tersebut dimasukkan kembali dalam sistem perekonomian melalui penambahannya pada variabel GOVENS yaitu anggaran pemerintah diluar subsidi BBM, sehingga belanja pemerintah (GOVEXP) dapat lebih ditingkatkan lagi.
168 4.4. Perubahan Kesejahteraan
Indikator yang digunakan untuk mengukur perubahan kesejahteraan adalah surplus konsumen, surplus produsen, dan pengeluaran subsidi BBM. Apabila harga jual eceran menurun, maka surplus produsen akan menjadi positif atau terjadi transfer kesejahteraan dari konsumen ke produsen, demikian pula sebaliknya (Agus, 2001 dan Ilham, 2006). Subsidi yang besar dianggap dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan. Karena itu apabila nilai subsidi menurun, maka kesejahteraan akan menurun. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan subsidi terhadap perubahan kesejahteraan. Indikator kesejahteraan adalah: A.
Surplus Produsen BBM
1.
Surplus Produsen Premium: PNWJPRB x (HJECPRS - HJECPRB) + ½ (PNWJPRS - PNWJPRB) x (HJECPRS - HJECPRB)
2.
Surplus Produsen Minyak Solar: PNWJSLB x (HJECSLS - HJECSLB) + ½ x (PNWJSLS - PNWJSLB) x (HJECSLS - HJECSLB)
3.
Surplus Produsen Minyak Tanah: PNWJKRB x (HJECKRS - HJECKRB) + ½ x (PNWJKRS - PNWJKRB) x (HJECKRS - HJECKRB)
4.
Surplus Produsen Elpiji: PNWJLGB x (HJECLGS - HJECLGB) + ½ x (PNWJLGS - PNWJLGB) x (HJECLGS - HJECLGB)
5.
Surplus Produsen BBM:
169 Surplus Produsen Premium + Surplus Produsen Minyak Solar + Surplus Produsen Minyak Tanah + Surplus Produsen Elpiji B.
Surplus Konsumen BBM
1.
Surplus Konsumen Premium: KOSJPRB x (HJECPRB - HJECPRS) + ½ x (KOSJPRB - KOSJPRS) x (HJECPRB - HJECPRS)
2.
Surplus Konsumen Minyak Solar: KOSJSLB x (HJECSLB - HJECSLS) + ½ x (KOSJSLB - KOSJSLS) x (HJECSLB- HJECSLS)
3.
Surplus Konsumen Minyak Tanah: KOSJKRB x (HJECKRB - HJECKRS) + ½ x (KOSJKRB - KOSJKRS) x (HJECKRB - HJECKRS)
4.
Surplus Konsumen Elpiji : KOSJLGB x (HJECLGB - HJECLGS) + ½ x (KOSJLGB - KOSJLGS) x (HJECLGB - HJECLGS)
5.
Surplus Konsumen BBM: Surplus Konsumen Premium + Surplus Konsumen Minyak Solar + Surplus Konsumen Minyak Tanah + Surplus Konsumen Elpiji
C.
Perubahan Subsidi Bahan Bakar Minyak Perubahan SUBBBM = SUBBBMS - SUBBBMB
D.
Perubahan Dampak Bersih Perubahan Dampak Bersih = Surplus Produsen BBM + Surplus Konsumen BBM + Perubahan Subsidi BBM
170 Keterangan:
B = nilai dasar/ basis S = nilai simulasi
4.5.
Definisi Operasional Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yaitu variabel kuantitatif dan kualitatif. Variabel kuantitatif dalam rupiah telah diriilkan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) domestik tahun dasar tahun 2000. Variabel kuantitatif dalam US$ telah diriilkan dengan IHK Amerika Serikat tahun dasar tahun 2000. Variabel kualitatif meliputi variabel dummy krisis ekonomi di Indonesia (KRISIS) dan dummy pemilihan umum presiden di Indonesia (KRISIP). Rincian Definisi Operasional Variabel disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen No. A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Notasi
Definisi Variabel
Satuan
Penawaran Premium Penawaran Minyak Solar Penawaran Minyak Tanah Penawaran Elpiji Penawaran Bahan Bakar Minyak Permintaan Pemium di Sektor Transportasi Permintaan Minyak Solar di Sektor Permintaan Minyak Solar di Sektor Industri Permintaan M. Solar Sektor Rumahtangga Permintaan Minyak Tanah di Sektor Permintaan Minyak Tanah di Sektor Industri Permintaan M.Tanah Sektor Rumahtangga Permintaan Elpiji di Sektor Industri Permintaan Elpiji di Sektor Rumahtangga Permintaan Premium Permintaan Minyak Solar Permintaan Minyak Tanah Permintaan Elpiji Permintaan/Konsumsi Premium Permintaan/Konsumsi Minyak Solar Permintaan/Konsumsi Minyak Tanah Permintaan/Konsumsi Elpiji Permintaan/Konsumsi Bahan Bakar Minyak Harga Jual Eceran Premium Harga Jual Eceran Minyak Tanah Harga Jual Eceran Minyak Solar Harga Jual Eceran Elpiji Jumlah Impor Premium Jumlah Impor Minyak Solar Jumlah Impor Minyak Tanah Impor Premium
Ribu Ribu Ribu Ribu Kg/Tahun Ribu Ribu Ribu Ribu Ribu Ribu Ribu Ribu Liter/Tahun Ribu Kg/Tahun Ribu Kg/Tahun Ribu Ribu Ribu Ribu Kg/Tahun Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp/Liter Rp/Liter Rp/Liter Rp/Kg Ribu Ribu Ribu Rp.Miliar/Tahun
Variabel Endogen PNWJPRt PNWJSLt PNWJKRt PNWJLGt PNWJBMt KOSJPRTt KOSJSLTt KOSJSLIt KOSJSLKt KOSJKRTt KOSJKRIt KOSJKRKt KOSJLGIt KOSJLGKt KOSJPRt KOSJSLt KOSJKRt KOSJLGt KOSCPRt KOSCSLt KOSCKRt KOSCLGt KOSCBMt HJECPRt HJECKRt HJECSLt HJECLGt IMPJPRt IMPJSLt IMPJKRt IMPRPRt
171 Tabel 17. Lanjutan No.
Notasi
32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76.
IMPRSLt IMPRKRt IMPBBMt EKSJLGt EKSRLGt BOTBBMt SUBHPRt SUBHSLt SUBHKRt SUBHLGt SUBRPRt SUBRSLt SUBRKRt SUBRLGt SUBBBMt REVTAXt REVDDNt FISCGPt KOSNBMt KOSNASt INVRMGt INVNMGt INVESTt GOVENSt GOVEXPt IMPNBMt IMPORTt EKSRLGt EKSPORt GDPNASt MONEYSt MONEYDt NTUKRRt CPINDXt INTRILt LABORSt LABORDt UMRNASt UNEMPLt INFLSIt NETEKSt GROWTHt JOVDESt JOVKOTt POVERTt
B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Definisi Variabel Impor Minyak Solar Impor Minyak Tanah Impor Bahan Bakar Minyak Jumlah Ekspor Elpiji Ekspor Elpiji Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak Subsidi Harga Premium Subsidi Harga Minyak Solar Subsidi Harga Minyak Tanah Subsidi Harga Elpiji Subsidi Premium Subsidi Minyak Solar Subsidi Minyak Tanah Subsidi Elpiji Subsidi Bahan Bakar Minyak Penerimaan Pajak Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah Gap Fiskal Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak Konsumsi Nasional Investasi Minyak dan Gas Bumi Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi Investasi Nasional Belanja Pemerintah diluar Subsidi BBM Belanja Pemerintah atau Anggaran Belanja Impor Non-Bahan Bakar Minyak Impor Nasional Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak Ekspor Nasional Gross Domestic Product (GDP) Nasional Jumlah Penawaran Uang Jumlah Permintaan Uang Nilai Tukar Rupiah Indeks Harga Konsumen Tingkat Suku Bunga Domestik Jumlah Penawaran Tenaga Kerja Jumlah Permintaan Tenaga Kerja Upah Tenaga Kerja Jumlah Pengangguran Tingkat Inflasi Domestik Ekspor Bersih Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Penduduk Miskin di Perdesaan Penduduk Miskin di Perkotaan Tingkat Kemiskinan Nasional
Satuan Rp. Rp. Rp. Ribu Kg/Tahun Rp. Rp. Rp/Liter Rp/Liter Rp/Liter Rp/Kg Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Miliar/Tahun Rp. Miliar/Tahun Rp. Miliar/Tahun Rp. Miliar/Tahun Rp. Miliar/Tahun Rp. Miliar/Tahun Rp. Miliar/Tahun Rp. Miliar/Tahun Rp. Miliar/Tahun Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp/US$/Tahun Indeks Persen/Tahun Juta Juta Ribu Juta Persen/Tahun Rp. Persen/Tahun Juta Juta Persen/Tahun
Variabel Eksogen HDUSMBt HDURMBt HDUSLGt HJECPXt HJECKBt PROJPRt PROJSLt
Harga Dunia Minyak Bumi (dalam US$) Harga Dunia Minyak Bumi (dalam Rupiah) Harga Dunia Elpiji Harga Jual Eceran Pertamax Harga Jual Eceran Kayu Bakar Produksi Premium Produksi Minyak Solar
US$/Barrel Rp/Ribu Liter US$/Ton Rp/Liter/Tahun Rp/Ikat/Tahun Ribu Ribu
172 Tabel 17. Lanjutan No.
Notasi
Definisi Variabel
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 28. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
PROJKRt PROJLGt EKSJPRt EKSJSLt EKSJKRt IMPJLGt IMPBBLt KOSJPRLt KOSJSLLt KOSJKRLt KOSJLGLt KOSJBLt KOSCBLt SUBBBLt PNWJBLt KRODA2t KRODA4t KRODA6t KNIAGAt POPNASt LISTRKt MTIKANt RTIKANt CPINDSt INFLSSt FDINVRt FDINVSt DEVISSt BANKIDt BANKTLt INVETLt KRISIS KRISIP TRENDD
Produksi Minyak Tanah Produksi Elpiji Ekspor Premium Ekspor Minyak Solar Ekspor Minyak Tanah Impor Elpiji Impor Bahan Bakar Minyak Lain Permintaan/Konsumsi Premium Lainnya Permintaan/Konsumsi Minyak Solar Sektor LainPermintaan/Konsumsi Minyak Tanah Sektor Permintaan/Konsumsi Elpiji Sektor Lain-lain Permintaan/Konsumsi Bahan Bakar Minyak Lain Permintaan/Konsumsi Bahan Bakar Minyak Lain Subsidi BBM diluar Premium, M.Tanah, Penawaran BBM Selain Premium, M. Tanah, dan Kendaraan Roda 2 Kendaraan Roda 4 Kendaraan Roda 2 dan Roda 4 Kendaraan Niaga Populasi Penduduk Indonesia Daya Listrik Terpasang Perahu Motor Tempel Rumahtangga Perikanan Indeks Harga Konsumen Dunia Tingkat Inflasi Dunia Foreign Direct Investment (dalam Rupiah) Foreign Direct Investment (dalam US$) Cadangan Devisa Kredit Perbankan Sektor Industri Kredit Perbankan Total Kredit Investasi Total Dummy Krisis Ekonomi Indonesia Dummy Pemilihan Umum Tren Waktu
Satuan Ribu Ribu Ribu Ribu Liter/Tahun Ribu Liter/Tahun Ribu Ribu Ribu Ribu Ribu Ribu Ribu Rp. Rp. Ribu Ribu Ribu Ribu Ribu Juta Mega Unit/Tahun KK/Tahun Indeks %/Tahun Rp. US$ US$ Rp. Rp. Rp. 19975 Tahun Sekali -
4.6.Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder tahunan mulai tahun 1986 sampai dengan 2006, yang dapat dilihat pada Lampiran 14. Instansi sumber data adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), Badan Pusat Statistik (BPS), International Energy Association (IEA),
International Monetary Fund (IMF), Mid Oil Platt’s Singapore (MOPS), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM), dan Bank Indonesia.
173
V.
HASIL ESTIMASI MODEL SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK INDONESIA
Hasil estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia, dibahas secara rinci untuk setiap persamaan. Model yang digunakan telah mengalami beberapa kali perubahan spesifikasi, dan hasil estimasi parameter telah sesuai dengan kriteria ekonomi, statistik, dan ekonometrik. Program estimasi dan hasil estimasi model selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6. 5.1.
Keragaan Umum Model
Berdasarkan kriteria ekonomi, hasil estimasi parameter setiap persamaan struktural dalam model sesuai dengan teori ekonomi yang terlihat dari tanda dan besaran hasil estimasi parameter yang menunjukkan hubungan variabel penjelas dengan variabel endogennya. Berdasarkan kriteria statistik, hasil estimasi model menunjukkan indikator statistik yang relatif baik. Nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing persamaan struktural dalam model pada berkisar antara 0.61 – 0.99, kecuali untuk persamaan struktural subsidi harga minyak solar (SUBHSL), nilai tukar rupiah (NTUKRR), tingkat suku bunga (INTRIL), dan kemiskinan di perkotaan (JOVKOT). Dengan demikian secara umum variabel penjelas yang dimasukkan dalam persamaan struktural dalam penelitian ini mampu menjelaskan dengan cukup baik keragaman variabel endogennya. Nilai statistik uji-F pada umumnya cukup tinggi, kecuali satu persamaan yaitu persamaan kemiskinan di perkotaan yang mempunyai nilai statistik uji-F yang relatif rendah namun nyata yaitu 2.82. Dengan demikian secara keseluruhan dapat diiterpretasikan bahwa keragaman variabel dalam setiap persamaan
174 struktural secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik keragaman variabel endogennya masing-masing, pada α sebesar 0.01. Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel penjelas yang secara individu tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel endogennya apabila menggunakan taraf nyata atau α sebesar 1 persen. Namun dengan taraf nyata yang lebih fleksibel, yaitu α sebesar 20 persen, dapat dilihat bahwa sebagian besar variabel penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh secara nyata terhadap variabel endogennya masing-masing. Nilai Durbin-Watson (DW) berkisar antara 1.1324 sampai dengan 2.9790, yaitu berturut-turut pada persamaan ekspor elpiji (EKSJLGt) dan persamaan impor premium (IMPJPRt), yang mengindikasikan adanya masalah autokorelasi. Masalah ini sering ditemui pada penelitian bidang ekonomi yang disebabkan oleh keterkaitan antar variabel. Oleh karena model yang disusun dalam penelitian ini merupakan model di bidang ekonomi, maka untuk kepentingan tersebut, penelitian ini lebih difokuskan pada kriteria ekonomi dibandingkan kriteria statistik dan ekonometrik. Berdasarkan hasil estimasi parameter tersebut, maka model yang digunakan dalam penelitian ini cukup baik dalam menjelaskan perilaku pasar dan subsidi harga BBM, kinerja perekonomian, dan kemiskinan di Indonesia. 5.2.
Blok Pasar Bahan Bakar Minyak
5.2.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak
Penawaran BBM adalah persamaan identitas yang meliputi penjumlahan dari produksi, impor, dan dikurangi ekspor. Persamaan penawaran BBM adalah: PNWJPRt
= PROJPRt + IMPJPRt - EKSJPRt
175 PNWJSLt
= PROJSLt + IMPJSLt - EKSJSLt
PNWJKRt
= PROJKRt + IMPJKRt - EKSJKRt
PNWJLGt
= PROJLGt + IMPJLGt - EKSJLGt
PNWJBMt
= PNWJPRt + PNWJSLt + PNWJKRt + PNWJBLt
5.2.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi persamaan permintaan BBM di sektor transportasi, industri, dan rumahtangga dan komersial, menunjukkan semua persamaan memiliki daya penjelas tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara 0.86535 hingga 0.99690, artinya keragaman variabel-variabel penjelas dalam persamaan-persamaan tersebut mampu menjelaskan 86.54 hingga 99.69 persen keragaman variabel-variabel endogennya. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua persamaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01, yang menunjukkan bahwa pada setiap persamaan variabel penjelas secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman variabel endogennya secara nyata. 1.
Permintaaan Premium oleh Sektor Transportasi
Hasil estimasi parameter permintaan premium untuk sektor transportasi disajikan pada Tabel 18. Data statistik tidak membedakan antara kendaraan roda empat yang menggunakan bahan bakar bensin dan yang bermesin diesel. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa semua kendaraan roda empat menggunakan bensin sebagai bahan bakarnya. Premium bukan substitusi minyak solar dan sebaliknya, serta penggunaannya bergantung pada jenis mesin kendaraan. Estimasi parameter harga jual eceran premium sebesar 404.767 dan mempunyai hubungan yang negatif. Namun demikian, respon permintaan premium pada sektor transportasi terhadap harga jual eceran premium bersifat
176 tidak elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan yang dikemukakan oleh Storchmann (2005) bahwa elastisitas jangka panjang permintaan gasoline (premium) terhadap harganya berkisar antara -0.8 – -1.0, juga temuan Wheaton, 1982 dalam Storchmann, 2005 yaitu sebesar 0.74, dan temuan Johansson dan Schipper, 1997 dalam Storchmann, 2005 yaitu sebesar -0.70. Tabel 18.
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Premium oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
1 089 813
0.1068
-404.767
0.0912
-0.0642
-0.8775
RHJECPX (Rasio Harga Pertamax)
25 360.13
0.9132
0.0026
0.0350
KRODA6 (Kendaraan Roda Dua dan Empat)
51.52939
0.0243
0.0863
1.1803
LKOSJPRT (Lag Kons. Premium Sek.Transport.)
0.926845
<.0001
Variabel Intercept (Intersep) HJECPR (Harga Jual Eceran Premium)
Adj-R2 = 0.99690; F-hitung = 1530.79; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.781738
Estimasi parameter jumlah kendaraan roda dua dan empat sebesar 51.529 dan mempunyai hubungan yang searah. Variabel jumlah kendaraan roda dua dan empat berpengaruh nyata terhadap permintaan premium pada sektor transportasi dengan elastisitas jangka pendek 0.0863 dan jangka panjang 1.1803. Selain itu permintaan premium untuk sektor transportasi dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena tingginya pengaruh faktor bedakala tersebut. 2.
Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Transportasi
Hasil estimasi parameter permintaan minyak solar untuk sektor transportasi disajikan pada Tabel 19. Estimasi parameter harga jual eceran minyak
177 solar sebesar 827.18 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon permintaan minyak solar pada sektor transportasi terhadap harga jual eceran minyak solar tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Estimasi parameter bedakala jumlah kendaraan niaga sebesar 266.3491 dan mempunyai hubungan yang searah. Respon permintaan minyak solar pada sektor transportasi terhadap jumlah kendaraan niaga bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan menjadi elastis dalam jangka panjang. Tabel 19.
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
892 803
0.0576
HJECSL (Harga Jual Eceran Minyak Solar)
-827.18
0.0994
-0.0987
-3.5823
LKNIAGA (Lag Kendaraan Niaga)
266.3491
0.1142
0.0739
2.6819
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi)
-752 422
0.0260
LKOSJSLT (Lag Kons. M. Solar Sek.Transport.)
0.972452
<.0001
Variabel
2
Adj-R = 0.98124; F-hitung = 249.50; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.971382
Ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia, permintaan minyak solar cenderung menurun sebesar 752 422 ribu liter. Hal ini dikarenakan ketika krisis ekonomi terjadi, sektor perekonomian mengalami kontraksi, tingkat konsumsi masyarakat turun, dan kegiatan produksi mengalami penurunan. Selain itu permintaan minyak solar untuk sektor transportasi dipengaruhi oleh bedakalanya dengan besaran 0.972452. 3.
Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Industri
Hasil estimasi parameter permintaan minyak solar untuk sektor industri disajikan pada Tabel 20. Estimasi parameter daya listrik terpasang sebesar 167.5038 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon permintaan minyak
178 solar pada sektor industri terhadap daya listrik terpasang bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan menjadi elastis dalam jangka panjang. Peningkatan daya listrik terpasang merupakan indikasi dari tingkat kegiatan produksi yang secara umum memerlukan tenaga listrik. Tabel 20.
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006 Variabel
Intercept (Intersep)
Parameter Estimasi
Pr > |t|
-172 483
0.6452
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
DHJECSL (Perub. Harga Jual Eceran M. Solar)
-103.726
0.8827
-0.0019
-0.0058
LISTRK (Daya Listrik Terpasang)
167.5038
0.0928
0.4027
1.2607
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi)
-800 382
0.0993
LKOSJSLI (Lag Kons. M. Solar Sektor Industri)
0.680545
0.0062
2
Adj-R = 0.97189; F-hitung = 165.21; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.356451
Selain itu ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia, maka permintaan minyak solar pada sektor industri cederung menurun sebesar 800 382 ribu liter. Kejadian yang serupa terjadi pada permintaan premium, dimana permintaan premium mengalami penurunan ketika krisis ekonomi terjadi. Krisis ekonomi menimbulkan dampak kontraksi bagi perekonomian sehingga tingkat produksi pada umumnya mengalami penurunan. Permintaan minyak solar untuk sektor industri dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.680545. 4.
Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial
Hasil estimasi parameter permintaan minyak solar untuk sektor rumahtangga dan komersial disajikan pada Tabel 21. Minyak solar merupakan salah satu sumber bahan bakar kapal nelayan, selain premium dan minyak tanah. Premium dan minyak tanah umum diketahui untuk kapal nelayan kecil dengan daya jangkau sekitar pantai. Untuk kapal nelayan besar, sumber utama bahan
179 bakar utama adalah minyak solar, dengan daya jangkau ke lautan lepas. Rumahtangga nelayan memiliki kapal nelayan kecil dan kapal nelayan besar. Tabel 21.
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006 Variabel
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intercept (Intersep)
-285 614
0.0256
HJECSL (Harga Jual Eceran Minyak Solar)
-16.9463
0.5708
0.0006
0.0014
RTIKAN (Rumahtangga Nelayan)
0.259371
0.0099
1.1052
2.6745
LKOSJSLK (Lag Kons. M. Solar RT&Komers)
0.586745
0.0002
2
Adj-R = 0.92201; F-hitung = 75.88; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.678387
Ketika jumlah rumahtangga nelayan meningkat sebesar 1 kepala keluarga, maka akan meningkatkan permintaan minyak solar di sektor rumahtangga dan komersial sebesar 0.259371 ribu liter, ceteris paribus. Dalam jangka pendek dan jangka panjang, permintaan minyak solar di sektor rumahtangga dan komersial responsif terhadap perubahan jumlah rumahtangga nelayan. Selain itu permintaan minyak solar untuk sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.586745. 5.
Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Transportasi
Hasil estimasi parameter permintaan minyak tanah untuk sektor transportasi disajikan pada Tabel 22. Estimasi parameter harga jual eceran minyak tanah sebesar 0.23234 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon permintaan minyak tanah pada sektor transportasi terhadap harga jual eceran minyak tanah bersifat tidak elastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Ketika bedakala jumlah perahu motor tempel meningkat sebesar 1 unit, maka akan meningkatkan permintaan minyak tanah di sektor transportasi sebesar
180 0.001826 ribu liter, ceteris paribus. Dalam jangka pendek dan jangka panjang, permintaan minyak tanah di sektor transportasi tidak responsif terhadap bedakala jumlah perahu motor tempel. Selain itu, permintaan minyak tanah untuk sektor transportasi dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.705722. Tabel 22.
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006 Parameter Estimasi
Variabel
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intercept (Intersep)
615.0396
0.0255
HJECKR (Harga Jual Eceran Minyak Tanah)
-0.23234
0.1099
-0.0675
-0.2293
LMTIKAN (Lag Perahu Motor Tempel)
0.001826
0.1593
0.0887
0.3014
LKOSJKRT (Lag Kons. M. Tanah Sek.Transport)
0.705722
<.0001
Adj-R2 = 0.87454; F-hitung = 45.15; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.109878
6.
Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Industri
Hasil estimasi parameter permintaan minyak tanah untuk sektor industri disajikan pada Tabel 23. Estimasi parameter bedakala kredit bank di sektor industri sebesar 0.582187 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon permintaan minyak tanah pada sektor industri terhadap bedakala jumlah kredit bank di sektor industri bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Permintaan minyak tanah untuk sektor industri dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.729712. 7.
Permintaaan Komersial
Minyak
Tanah
oleh
Sektor
Rumahtangga
dan
Hasil estimasi parameter permintaan minyak tanah untuk sektor rumahtangga dan komersial disajikan pada Tabel 24. Estimasi parameter harga jual eceran minyak tanah sebesar 977.029 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon permintaan minyak tanah pada sektor rumahtangga dan komersial
181 terhadap harga jual eceran minyak tanah bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Tabel 23.
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
97 382.2
0.1372
HJECKR (Harga Jual Eceran Minyak Tanah)
-52.7697
0.2867
-0.0733
-0.2714
LBANKID (Lag Kredit Bank Sektor Industri)
0.582187
0.0324
0.1400
0.5179
LKOSJKRI (Lag Kons. M. Tanah Sek. Industri)
0.729712
<.0001
Variabel
2
Adj-R = 0.86535; F-hitung = 41.70; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.06525
Tabel 24.
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
-5 600 302
0.0111
HJECKR (Harga Jual Eceran Minyak Tanah)
-977.029
0.0059
-0.0689
-0.1057
DHJECKB (Perub. Harga Jual Ec. Kayu Bakar)
637.6862
0.5323
0.0014
0.0022
RHJLGKR (Rasio H. J. Ec Elpiji dg. M. Tanah)
78 488.42
0.3387
0.0261
0.0401
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia)
60 321.3
0.0028
1.3260
2.0354
LKOSJKRK (Lag Kons.M. Tanah RT&Komers.)
0.348502
0.0543
Variabel Intercept (Intersep)
2
Adj-R = 0.96916; F-hitung = 120.41; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.560575
Variabel jumlah penduduk Indonesia berpengaruh positif dan nyata terhadap variabel permintaan minyak tanah pada sektor rumahtangga dan komersial. Respon permintaan minyak tanah pada sektor rumahtangga dan komersial terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Permintaan minyak tanah untuk sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.348502.
182 8.
Permintaaan Elpiji oleh Sektor Industri
Hasil estimasi parameter permintaan elpiji untuk sektor industri disajikan pada Tabel 25. Estimasi parameter harga jual eceran elpiji tahun sebelumnya sebesar 32.9607 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon permintaan elpiji pada sektor industri terhadap harga jual eceran elpiji bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Estimasi parameter daya listrik terpasang sebesar 9.67065 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon permintaan elpiji pada sektor industri terhadap daya listrik terpasang bersifat elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Tabel 25.
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Elpiji oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
-13 861.6
0.6492
LHJECLG (Lag Harga Jual Eceran Elpiji)
-32.9607
0.1024
-0.3885
-0.8069
LISTRK (Daya Listrik Terpasang)
9.67065
0.0002
1.0030
2.0833
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi)
-65 665.4
0.0079
LKOSJLGI (Lag Konsumsi Elpiji Sek. Industri)
0.518545
0.0014
Variabel
2
Adj-R = 0.90485; F-hitung = 46.17; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.637818
Ketika krisis ekonomi di Indonesia, permintaan elpiji sektor industri cenderung menurun sebesar 65 665.4 ribu kg. Permintaan elpiji sektor industri dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.518545. 9.
Permintaaan Elpiji oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial
Hasil estimasi parameter permintaan elpiji untuk sektor rumahtangga dan komersial disajikan pada Tabel 26. Jumlah penduduk Indonesia berpengaruh positif dan nyata terhadap variabel permintaan elpiji pada sektor rumahtangga dan komersial. Respon permintaan elpiji pada sektor rumahtangga dan komersial
183 terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Permintaan elpiji untuk sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi secara nyata oleh bedakalanya dengan besaran 0.439191. Tabel 26.
Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Elpiji oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006 Parameter Estimasi
Variabel Intercept
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
-1 330 336
0.0010
-40.89
0.3960
-0.1957
-0.3489
DHJECKR (Perub. Harga Jual Ec. M. Tanah)
32.74244
0.6750
0.0048
0.0086
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia)
8 159.952
0.0006
4.3565
7.7683
LKOSJLGK (Lag Kons. Elpiji RT&Komers.)
0.439191
0.0113
LHJECLG (Lag Harga Jual Eceran Elpiji)
Adj-R2 = 0.90835; F-hitung = 48.08; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.676853
10.
Permintaan Bahan Bakar Minyak
Permintaan BBM dalam jumlah adalah persamaan identitas yang diperoleh dari penambahan permintaan BBM di setiap sektor pengguna, yaitu sektor transportasi,
industri,
rumahtangga
dan
komersial,
dan
sektor
lainnya
(KOSJPRLt), (KOSJSLLt), (KOSJKRLt), dan (KOSJLGLt). Permintaan BBM dalam jumlah dikalikan dengan harga jual eceran masing-masing, maka diperoleh nilai permintaan BBM dalam rupiah. Persamaan permintaan BBM adalah: KOSJPRt = KOSJPRTt + KOSJPRLt KOSJSLt = KOSJSLTt + KOSJSLIt + KOSJSLKt + KOSJSLLt KOSJKRt = KOSJKRTt + KOSJKRIt + KOSJKRKt + KOSJKRLt KOSJLGt = KOSJLGIt + KOSJLGKt + KOSJLGLt KOSCPRt = KOSJPRt * HJECPRt KOSCSLt = KOSJSLt * HJECSLt KOSCKRt = KOSJKRt * HJECKRt
184 KOSCLGt = KOSJLGt * HJECLGt KOSCBMt = KOSCPRt + KOCRSLt + KOSCKRt + KOSCLGt + KOSCBLt 5.2.3. Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
Persamaan harga jual eceran BBM merupakan persamaan identitas yang merupakan selisih dari harga keekonomian BBM dengan subsidi harganya masing-masing, sebagaimana disajikan berikut: HJECPRt = ((HDUSMBt*1.18*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHPRt HJECSLt = ((HDUSMBt*1.24*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHSLt HJECKRt = ((HDUSMBt*1.31*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHKRt HJECLGt = ((HDUSLGt*NTUKRRt)/1 000) - SUBHLGt Harga jual eceran BBM dipengaruhi oleh perubahan harga keekonomian BBM, fluktuasi nilai tukar rupiah, dan subsidi harga BBM. 5.3.
Blok Perdagangan Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi persamaan pada blok perdagangan BBM yang meliputi premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji, menunjukkan semua persamaan memiliki daya penjelas tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara 0.73965 hingga 0.98561. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua persamaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01. 5.3.1. Impor Bahan Bakar Minyak 1.
Jumlah Impor Premium
Hasil estimasi parameter jumlah impor premium disajikan pada Tabel 27. Estimasi parameter Indek Harga Konsumen sebesar 39 025.03 dan mempunyai
185 hubungan yang positif. Respon impor premium terhadap IHK bersifat elastis dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Tabel 27.
Hasil Estimasi Parameter Impor Premium Tahun 1986-2006 Variabel
Intercept (Intersep) LMOPHPR (Lag Harga Keekonomian Premium) CPINDX (Indeks Harga Konsumen)
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
281 000
0.7233
-812.799
0.3131
-0.5605
-7.1565
39 025.03
0.0747
1.6358
20.8852
TRENDD (Tren Waktu)
-140 012
0.2428
LIMPJPR (Lag Impor Premium)
0.921675
0.0003
Adj-R2 = 0.93940; F-hitung = 74.63; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.979014 Keterangan: LMOPHPR = (LHDUSMBt-1*1.18*1.15*LNTUKRRt-1)/159
Impor premium dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya. Artinya apabila impor premium tahun lalu naik sebesar 1 ribu liter, maka impor premium pada tahun sekarang akan naik sebesar 0.921675 ribu liter. 2.
Jumlah Impor Minyak Solar
Hasil estimasi parameter jumlah impor minyak solar dapat dilihat pada Tabel 28. Estimasi parameter Indek Harga Konsumen sebesar 38 335.36 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon impor minyak solar terhadap IHK bersifat tidak elastis dalam jangka pendek mapun dalam jangka panjang. Tabel 28.
Hasil Estimasi Parameter Impor Minyak Solar Tahun 1986-2006 Variabel
Intercept (Intersep) MOPHSL (Harga Keekonomian Minyak Solar)
Parameter Estimasi
Pr > |t|
298 261
0.7217
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
-509.90
0.6438
-0.1165
-0.1569
CPINDX (Indeks Harga Konsumen)
38 335.36
0.1125
0.4580
0.6166
KNIAGA (Kendaraan Niaga)
881.1056
0.0291
0.3882
0.5226
LIMPJSL (Lag Impor Minyak Solar)
0.257180
0.3892
2
Adj-R = 0.92611; F-hitung = 60.54; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.216671 Keterangan: MOPHSL = (HDUSMBt*1.24*1.15*NTUKRRt)/159
186 Variabel jumlah kendaraan niaga berpengaruh nyata dengan hubungan yang positif. Artinya apabila ada kenaikan jumlah kendaraan niaga sebesar 1 ribu unit, maka akan meningkatkan impor minyak solar sebesar 881.1056 ribu liter,
ceteris paribus. Variabel jumlah kendaraan niaga mempunyai elastisitas jangka pendek sebesar 0.3882 dan jangka panjang sebesar 0.5226. 3.
Jumlah Impor Minyak Tanah
Hasil estimasi parameter jumlah impor minyak tanah disajikan pada Tabel 29. Variabel jumlah penduduk Indonesia berpengaruh positif dan nyata terhadap variabel impor minyak tanah. Artinya apabila jumlah penduduk Indonesia meningkat sebesar 1 juta jiwa, maka akan mendorong peningkatan impor minyak tanah sebesar 53 732.84 ribu liter, ceteris paribus. Respon impor minyak tanah terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu ketika terjadi pemilu di Indonesia, impor minyak tanah cenderung meningkat sebesar 366 515.2 ribu liter, ceteris paribus. Tabel 29.
Hasil Estimasi Parameter Impor Minyak Tanah Tahun 19862006 Variabel
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intercept (Intersep) MOPHKR (Harga Keekonomian Minyak Tanah)
-8 404 491
0.0043
-286.025
0.2782
-0.2162
-0.2271
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia)
53 732.84
0.0034
5.4461
5.7211
KRISIP (Dummy Pemilu)
366 515.2
0.1630
LIMPJKR (Lag Impor Minyak Tanah)
0.048066
0.8543
2
Adj-R = 0.73965; F-hitung = 14.49; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.938421 Keterangan: MOPHKR = (HDUSMBt*1.31*1.15*NTUKRR)/159
5.3.2. Ekspor Bahan Bakar Minyak
Ekspor BBM diwakili oleh jumlah ekspor elpiji. Hasil estimasi parameter jumlah ekspor elpiji disajikan pada Tabel 30. Estimasi parameter produksi elpiji
187 sebesar 1.10452 dan mempunyai hubungan yang positif. Produksi elpiji berpengaruh nyata terhadap ekspor elpiji dengan elastisitas jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar 1.4269. Tabel 30.
Hasil Estimasi Parameter Ekspor Elpiji Tahun 1986-2006 Variabel
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intercept (Intersep)
-255 591
0.0511
LHDUHLG (Lag Harga Dunia Elpiji)
137.9002
0.0973
0.0932
0.0933
1.4269
1.4269
PROJLG (Produksi Elpiji)
1.10452
<.0001
TRENDD (Tren Waktu)
-58 639.1
<.0001
KRISIP (Dummy Pemilu)
-27 176.7
0.5870
LEKSJLG (Lag Ekspor Elpiji)
0.000699
0.9909
2
Adj-R = 0.98561; F-hitung = 261.24; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.132411
Estimasi parameter bedakala harga dunia elpiji sebesar 137.9002 dan mempunyai hubungan yang positif. Bedakala harga dunia elpiji berpengaruh secara nyata terhadap ekspor elpiji dengan elastisitas jangka pendek 0.0932 dan jangka panjang 0.0933. Tren waktu berpengaruh negatif terhadap ekspor elpiji. Artinya dengan waktu yang berjalan, ekspor elpiji mempunyai kecenderungan menurun sebesar 58 639.1 ribu kg, ceteris paribus. 5.3.3. Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak
Nilai ekspor BBM merupakan persamaan identitas yang hanya terdiri dari nilai ekspor elpiji (EKSRLGt), yang diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah ekspor elpiji dengan harga internasional elpiji, yaitu: EKSRLGt = EKSJLGt * HDUSLG Nilai impor BBM adalah persamaan identitas yang diperoleh dari penjumlahan nilai impor premium (IMPRPRt), minyak solar (IMPRSLt), minyak tanah (IMPRKRt), elpiji (IMPRLGt), dan BBM lainnya (aviation turbine, aviation
gasoline, minyak diesel, dan minyak bakar) (IMPBBLt). Nilai impor masing-
188 masing jenis BBM diperoleh dari perkalian antara jumlah impor dengan harga dunia masing-masing BBM, yaitu: IMPRPRt = IMPJPRt *1.18*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000 IMPRSLt = IMPJPRt *1.24*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000 IMPRKRt = IMPJKRt *1.31*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000 IMPBBMt = IMPRPRt + IMPRSLt + IMPRKRt +IMPRLGt+ IMPBBLt Ekspor bersih BBM (BOTBBMt) adalah persamaan identitas yang merupakan hasil pengurangan dari ekspor BBM (EKSRLGt) dengan impor BBM (IMPBBMt), yaitu: BOTBBMt = EKSRLGt - IMPBBMt 5.4.
Blok Fiskal
Hasil estimasi persamaan pada blok fiskal yang meliputi subsidi harga premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji, belanja pemerintah non-subsidi BBM, dan penerimaan pajak, menunjukkan semua persamaan memiliki daya penjelas tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara 0.54872 hingga 0.94376. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua persamaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01. 5.4.1
Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
1.
Subsidi Harga Premium
Hasil estimasi parameter subsidi harga premium disajikan pada Tabel 31. Estimasi parameter harga dunia premium sebesar 19.2383 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon subsidi harga premium terhadap harga dunia premium bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 13.2903 dan dalam jangka panjang sebesar 19.8224.
189 Selain itu estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 0.165753 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon subsidi harga premium terhadap nilai tukar rupiah bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 13.88849 dan dalam jangka panjang sebesar 20.7093. Tabel 31.
Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Premium Tahun 19862006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
-1 674.94
0.005
19.2383
0.076
13.2903
19.8224
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$)
0.165753
0.005
13.8849
20.7093
REVDDN (Penerimaan Dalam Negeri)
-0.00025
0.880
-0.6272
-0.9354
LSUBHPR (Lag Subsidi Harga Premium)
0.329533
0.088
Variabel Intercept (Intersep) MOPSPR (Harga Dunia Premium)
Adj-R2 = 0.76550; F-hitung = 16.51; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.845917 Keterangan: MOPSPR = (HDUSMBt*1.18) (dalam US$/barrel)
Subsidi harga premium dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya. Artinya apabila subsidi harga premium tahun lalu naik sebesar Rp. 1 per liter, maka subsidi harga premium akan naik sebesar Rp. 0.329533 per liter pada tahun sekarang. 2.
Subsidi Harga Minyak Solar
Hasil estimasi parameter subsidi harga minyak solar disajikan pada Tabel 32. Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 0.132112 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon subsidi harga minyak solar terhadap nilai tukar rupiah bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 3.1730 dan dalam jangka panjang sebesar 3.9914. 3.
Subsidi Harga Minyak Tanah
Hasil estimasi parameter subsidi harga minyak tanah disajikan pada Tabel 33. Estimasi parameter harga dunia minyak tanah sebesar 27.50348 dan
190 berhubungan positif. Respon subsidi harga minyak tanah terhadap harga dunia minyak tanah bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 2.4153 dan dalam jangka panjang sebesar 2.8076. Tabel 32.
Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Minyak Solar Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
-765.783
0.0795
MOPSSL (Harga Dunia Minyak Solar)
8.272682
0.3509
1.7401
2.1889
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$)
0.132112
0.0121
3.1730
3.9914
DREVDDN (Perub. Penerimaan Dalam Negeri)
0.001276
0.6396
0.9178
1.1545
LSUBHSL (Lag Subsidi Harga Minyak Solar)
0.205053
0.3392
Variabel
2
Adj-R = 0.54872; F-hitung = 6.78; Pr > F bernilai 0.0025; DW = 1.673092 Keterangan: MOPSSL = (HDUSMBt*1.24) (dalam US$/barrel)
Tabel 33.
Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Minyak Tanah Tahun 1986-2006 Variabel
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
-1 506.28
<.0001
MOPSKR (Harga Dunia Minyak Tanah)
27.50348
0.0014
2.4153
2.8076
0.18639
0.0002
1.7659
2.0527
0.000998
0.4704
0.2832
0.3291
0.13972
0.3236
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$) REVDDN (Penerimaan Dalam Negeri) LSUBHKR (Lag Subsidi Harga Minyak Tanah) 2
Adj-R = 0.86408; F-hitung = 31.20; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.943414 Keterangan: MOPSKR = (HDUSMBt*1.31) (dalam US$/barrel)
Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 0.18639 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon subsidi harga minyak tanah terhadap nilai tukar rupiah bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 1.7659 dan dalam jangka panjang sebesar 2.0507. 4.
Subsidi Harga Elpiji
Hasil estimasi parameter subsidi harga elpiji disajikan pada Tabel 34. Estimasi parameter harga dunia elpiji sebesar 2.47841 dan mempunyai hubungan
191 yang positif. Respon subsidi harga elpiji terhadap harga dunia elpiji bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 34.
Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Elpiji Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
-1 808.81
0.0695
HDUSLG (Harga Dunia Elpiji)
2.47841
0.0445
0.5133
0.7611
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$)
0.13000
0.0333
0.7337
1.0878
RREVDDN (Rasio Penerimaan Dalam Negeri)
153.1878
0.8201
0.1467
0.2174
LSUBHLG (Lag Subsidi Harga Elpiji)
0.325504
0.1167
Variabel Intercept (Intersep)
2
Adj-R = 0.61762; F-hitung = 8.67; Pr > F bernilai 0.0008; DW = 1.816376 Keterangan: HDUSLG = Harga ekspor LPG Indonesia (dalam US$/000 kg) = Harga dunia elpiji
Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 0.13000 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon subsidi harga elpiji terhadap nilai tukar rupiah bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan menjadi elastis dalam jangka panjang dengan koefisien elastisitas sebesar 1.0878. Subsidi harga elpiji dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya. Artinya apabila subsidi harga elpiji tahun lalu naik sebesar Rp. 1 per kg, maka subsidi harga elpiji pada tahun sekarang akan naik sebesar Rp. 0.325504 per kg. 5.
Subsidi Bahan Bakar Minyak Nilai subsidi merupakan persamaan identitas berupa penjumlahan nilai
subsidi premium (SUBRPRt), subsidi minyak solar (SUBRSLt), subsidi minyak tanah (SUBRKRt), subsidi elpiji (SUBRLGt), dan subsidi BBM lainnya (SUBBBLt), yang tersaji berikut ini: SUBRPRt =
SUBHPRt * HJECPRt
SUBRSLt =
SUBHSLt * HJECSLt
SUBRKRt = SUBHKRt * HJECKRt SUBRLGt =
SUBHLGt * HJECLGt
192 SUBBBMt = SUBRPRt + SUBRSLt + SUBRKRt + SUBRLG + SUBBBLt 5.4.2. Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 1.
Penerimaan Pajak
Hasil estimasi parameter nilai penerimaan pajak disajikan pada Tabel 35. Nilai penerimaan pajak dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya, yaitu apabila penerimaan pajak tahun lalu naik sebesar Rp. 1 miliar, maka penerimaan pajak tahun sekarang akan naik sebesar Rp. 0.929618 miliar. Tabel 35.
Hasil Estimasi Parameter Penerimaan Pajak Tahun 1986-2006 Variabel
Parameter Estimasi
Intercept (Intersep)
Pr > |t|
-105.437
0.9909
0.01561
0.3707
KRISIP (Dummy Pemilu)
-1 982.86
0.7835
LREVTAX (Lag Penerimaan Pajak)
0.929618
<.0001
LGDPNAS (Lag GDP Nasional)
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0.1544
2.1944
2
Adj-R = 0.94376; F-hitung = 107.27; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.673793
2.
Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah
Persamaan penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt) adalah penjumlahan dari penerimaan pajak (REVTAXt) dengan penerimaan diluar pajak (REVNTXt), yaitu: REVDDNt = REVTAXt + REVNTXt 5.4.3. Gap Fiskal
Persamaan gap fiskal dalam negeri (FISCGPt) adalah persamaan identitas yang merupakan hasil pengurangan dari penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt) dengan belanja pemerintah atau anggaran belanja negara (GOVEXPt), yaitu: FISCGPt = REVDDNt - GOVEXPt
193 5.5.
Blok Permintaan Agregat
Hasil estimasi persamaan pada blok permintaan agregat yang meliputi konsumsi non-BBM, investasi migas, investasi non-migas, ekspor non-BBM, impor non-BBM, menunjukkan semua persamaan memiliki daya penjelas tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara 0.82190 hingga 0.99114. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua persamaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01. 5.5.1. Konsumsi Nasional 1.
Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi parameter nilai konsumsi non-BBM disajikan pada Tabel 36. Nilai konsumsi non-BBM dipengaruhi secara nyata oleh variabel tingkat inflasi dengan hubungan yang negatif. Artinya apabila terjadi peningkatan tingkat inflasi sebesar 1 persen, maka nilai konsumsi nasional non-BBM akan menurun sebesar Rp. 14 969 miliar, ceteris paribus. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, variabel ini bersifat inelastis. Tabel 36.
Hasil Estimasi Parameter Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 Variabel
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intercept (Intersep)
-705 965
0.1744
INFLSI (Tingkat Inflasi)
-14 969.3
0.0067
-0.2642
-0.6047
INTRIL (Tingkat Suku Bunga)
-15 241.7
0.0058
-0.1547
-0.3541
1.9716
4.5129
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia)
6 422.242
0.0420
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi)
99 778.84
0.0419
0.56312
0.0044
LKOSNBM (Lag Kons. Non-BBM) 2
Adj-R = 0.99114; F-hitung = 426.28; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.180638
Estimasi parameter tingkat suku bunga sebesar 15 241.7 dan mempunyai hubungan yang positif. berpengaruh nyata secara statistik dengan hubungan yang
194 negatif. Respon nilai konsumsi non-BBM terhadap tingkat suku bunga bersifat inelastis, baik jangka panjang dan jangka pendek. Estimasi parameter jumlah penduduk Indonesia sebesar 6 422.242 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon nilai konsumsi non-BBM terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis, baik dalam jangka panjang dan jangka pendek. Ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia, nilai konsumsi non-BBM cenderung meningkat sebesar Rp. 99 778.84 miliar. Tampaknya fenomena ini terjadi karena inflasi yang tinggi, sehingga nilai konsumsi non-BBM dalam rupiah meningkat, meskipun konsumsi non-BBM dalam jumlah ternyata berkurang. Bedakala nilai konsumsi non-BBM berpengaruh nyata dengan besaran 0.56312. 2.
Konsumsi Nasional
Nilai konsumsi nasional adalah penjumlahan dari nilai konsumsi BBM dan nilai konsumsi non-BBM. Persamaan nilai konsumsi nasional menjadi adalah: KOSNASt = KOSCBMt + KOSNBMt 5.5.2. Investasi Nasional 1.
Investasi Minyak dan Gas Bumi
Hasil estimasi parameter nilai investasi migas disajikan pada Tabel 37. Estimasi parameter perubahan tingkat suku bunga sebesar 413.781 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon nilai investasi migas terhadap perubahan tingkat suku bunga bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. 2.
Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi
Hasil estimasi parameter nilai investasi non-migas disajikan pada Tabel 38. Estimasi parameter bedakala tingkat suku bunga sebesar 3 677.4 dan
195 mempunyai hubungan yang negatif. Respon nilai investasi non-migas terhadap bedakala tingkat suku bunga bersifat inelastis dalam jangka pendek dan menjadi elastis dalam jangka panjang. Tabel 37.
Hasil Estimasi Parameter Investasi Minyak dan Gas Bumi Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
-60 545.3
0.6440
DINTRIL (Perub. Tingk. Suku Bunga)
-413.781
0.0011
-0.0013
-0.0020
RFDINVS (Rasio FDI dg. Lag FDI)
199.603
0.5084
0.0120
0.0177
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia)
400.891
0.6067
2.6925
3.9740
5 799.113
0.2486
Variabel
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) TRENDD (Tren Waktu)
74.53277
0.9736
LINVRMG (Lag Invest. Minyak dan Gas Bumi)
0.322453
0.2347
Adj-R2 = 0.91069; F-hitung = 33.29; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.858617
Tabel 38.
Hasil Estimasi Parameter Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi Tahun 1986-2006 Variabel
Intercept (Intersep)
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
138 173.5 0.0005
LINTRIL (Lag Tingkat Suku Bunga)
-3 677.4 0.0010
-0.1224
-4.1740
LNTUKRR (Lag Nilai Tukar Rp/US$)
-16.4365 0.0043
-0.4970
-16.9480
TRENDD (Tren Waktu)
430.3034 0.7431
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi)
-93 414.8 0.0013
LINVNMG (Lag Invest.Non-Minyak&Gas Bumi)
0.970674 <.0001
2
Adj-R = 0.89292; F-hitung = 32.69; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.460511
Estimasi parameter bedakala nilai tukar rupiah sebesar 16.4365 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon investasi non-migas terhadap bedakala nilai tukar rupiah bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Selain itu dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, maka nilai investasi non-migas akan cenderung menurun sebesar Rp. 93 414.8 miliar. Nilai
196 investasi non-migas dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.970674. 3.
Investasi Nasional
Nilai investasi nasional adalah persamaan identitas yang diperoleh dari penjumlahan nilai investasi migas dan nilai investasi non-migas. INVESTt
= INVRMGt + INVNMGt
5.5.3. Belanja Pemerintah 1.
Belanja Pemerintah Non-Subsidi Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi parameter belanja pemerintah non-subsidi BBM disajikan pada Tabel 39. Estimasi parameter penerimaan dalam negeri pemerintah sebesar 0.993385 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon belanja pemerintah non-subsidi BBM terhadap penerimaan dalam negeri pemerintah bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Tabel 39.
Hasil Estimasi Parameter Belanja Pemerintah Non-Subsidi Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep) REVDDN (Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah)
21 295.93
0.4847
0.993385
0.0008
0.9193
1.0333
INFLSI (Tingkat Inflasi)
2 183.588
<.0001
0.1248
0.1403
TRENDD (Tren Waktu)
-4 583.55
0.2063
LGOVENS (Lag Blnja Pemerintah Non-BBM)
0.110305
0.5063
Variabel
2
Adj-R = 0.89218; F-hitung = 40.31; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.163919
Hasil estimasi parameter tingkat inflasi sebesar 2 183.588 dan dengan hubungan yang positif. Respon belanja pemerintah non-subsidi BBM terhadap tingkat inflasi bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek mapun dalam jangka panjang.
197 2.
Belanja Pemerintah
Persamaan nilai belanja pemerintah atau anggaran belanja negara adalah: GOVEXPt = GOVENSt + SUBBBMt 5.5.4. Impor Nasional 1.
Impor Non-Bahan Bakar Minyak
Pada Tabel 40 disajikan hasil estimasi parameter impor non-BBM. Estimasi parameter tingkat inflasi sebesar 2 088.257 dan berhubungan positif. Baik dalam jangka pendek dan jangka panjang, respon impor non-BBM terhadap tingkat inflasi bersifat tidak elastis. Tabel 40.
Hasil Estimasi Parameter Impor Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
-901 589
0.0628
CPINDS (Indeks Harga Konsumen Dunia)
-3 010.86
0.5401
INFLSI (Tingkat Inflasi)
Variabel
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang -1.3252
-1.4347
2 088.257
0.1495
0.1151
0.1246
LNTUKRR (Lag Nilai Tukar Rp/US$)
-13.7374
0.0668
-0.3898
-0.4220
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia)
7 165.514
0.1259
6.8705
7.4383
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi)
-8 795.08
0.8915
LIMPNBM (Lag Impor Non-BBM)
0.076328
0.7804
2
Adj-R = 0.82190; F-hitung = 15.61; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.613397
Estimasi parameter bedakala nilai tukar rupiah sebesar 13.7374 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon nilai impor non-BBM terhadap bedakala nilai tukar rupiah
bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Estimasi parameter jumlah penduduk Indonesia sebesar 7 165.514 dan mempunyai hubungan yang positif. Baik dalam jangka pendek dan panjang, respon nilai impor non-BBM terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis.
198 2.
Impor Nasional
Nilai impor nasional merupakan persamaan identitas yang berasal dari penjumlahan nilai impor BBM dan nilai impor non-BBM. IMPORTt = IMPBBMt + IMPNBMt 5.5.5. Ekspor Nasional 1.
Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi parameter nilai ekspor non-BBM disajikan pada Tabel 41. Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 45.68434 dan dengan hubungan yang positif. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, variabel ini bersifat tidak elastis. Tabel 41.
Hasil Estimasi Parameter Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 Variabel
Intercept (Intersep) INFLSS (Tingkat Inflasi Dunia)
Parameter Estimasi
Pr > |t|
-142 862
0.0967
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
11 213.69
0.2245
0.1090
0.4842
CPINDX (Indeks Harga Konsumen)
-221.617
0.7067
-0.0517
-0.2296
DNTUKRR (Perubahan Nilai Tukar Rp/US$)
45.68434
<.0001
0.0428
0.1901
PNWJBM (Penawaran BBM)
0.004252
0.0449
0.6573
2.9207
LEKSNBM (Lag Ekspor Non-BBM)
0.774934
<.0001
Adj-R2 = 0.97361; F-hitung = 141.21; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.422699
Estimasi parameter penawaran BBM sebesar 0.004252 dengan hubungan yang positif. Respon ekspor non-BBM terhadap penawaran BBM bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan temuan Siddiqui (2004) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara ketersediaan energi dengan kapasitas intensitas kegiatan ekonomi. Peningkatan ketersediaan energi akan cenderung merangsang kegiatan ekonomi pada tingkat yang lebih tinggi, termasuk kegiatan ekspor.
199 Nilai ekspor non-BBM dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya. Apabila nilai ekspor non-BBM tahun lalu naik sebesar Rp. 1 miliar, maka nilai ekspor non-BBM pada tahun sekarang akan naik Rp. 0.774934 miliar. 2.
Ekspor Nasional
Nilai ekspor nasional merupakan persamaan identitas yang terdiri dari nilai ekspor BBM dan nilai ekspor non-BBM. Persamaan nilai ekspor BBM hanya meliputi nilai ekspor elpiji, karena ekspor premium, minyak solar, dan minyak tanah pada periode tahun 1986-2006 sangat kecil dan dapat diabaikan. EKSPORt = EKSRLGt + EKSNBMt 5.5.6. GDP Nasional
Nilai Gross Domestic Product (GDP) nasional adalah persamaan identitas, yang merupakan penjumlahan dari konsumsi nasional, investasi nasional, belanja pemerintah, ekspor nasional, dan dikurangi dengan impor nasional, yaitu: GDPNASt = KOSNASt + INVESTt + GOVEXPt + NETEKSt 5.6.
Blok Moneter
Hasil estimasi persamaan pada blok moneter yang meliputi penawaran uang, permintaan uang, nilai tukar rupiah, indek harga konsumen, dan tingkat suku bunga, menunjukkan semua persamaan memiliki daya penjelas tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara 0.51186 hingga 0.99299. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua persamaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01. 1.
Penawaran Uang
Hasil estimasi parameter penawaran uang disajikan pada Tabel 42. Estimasi parameter tingkat suku bunga sebesar 2 571.971 dan mempunyai
200 hubungan yang positif. Respon penawaran uang terhadap tingkat suku bunga bersifat tidak elastis baik dalam jangka pendek maupun dalam panjang. Estimasi parameter GDP nasional sebesar 0.332875 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon penawaran uang terhadap GDP nasional bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Tabel 42.
Hasil Estimasi Parameter Penawaran Uang Tahun 1986-2006 Variabel
Intercept (Intersep)
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
-144 069
0.0020
INTRIL (Tingkat Suku Bunga)
2 571.971
0.0113
0.0323
0.1100
GDPNAS (GDP Nasional)
0.332875
0.0012
0.8186
2.7840
BANKTL (Total Kredit)
0.187252
<.0001
0.1341
0.4562
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi)
-27 775.3
0.3431
TRENDD (Tren Waktu)
-15 802.2
0.0070
LMONEYS (Lag Penawaran Uang)
0.705972
<.0001
2
Adj-R = 0.99299; F-hitung = 449.42; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.626985
Estimasi parameter total kredit bank sebesar 0.187252 dan mempunyai hubungan yang positif. Baik dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang, respon penawaran uang terhadap variabel ini bersifat tidak elastis. Seiring dengan berjalannya waktu penawaran uang cenderung menurun sebesar Rp. 15 802.2 miliar. Penurunan jumlah penawaran uang tampaknya bukan disebabkan oleh penurunan kapasitas kegiatan ekonomi, tapi oleh semakin luasnya penggunaan uang “plastik” berupa kartu kredit atau kartu debit. Sistem perbankan yang semakin maju dan berkembang memberi peluang bagi masyarakat untuk tidak memegang uang “cash” seperti biasa, namun tetap dapat melakukan transaksi dan kegiatan bisnis lainnya. Penawaran uang dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.705972.
201 2.
Permintaan Uang
Hasil estimasi parameter permintaan uang disajikan pada Tabel 43. Estimasi parameter tingkat suku bunga sebesar 2 904.01 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon permintaan uang terhadap tingkat suku bunga bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Tabel 43.
Hasil Estimasi Parameter Permintaan Uang Tahun 1986-2006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
139 390.8
0.0205
INTRIL (Tingkat Suku Bunga)
-2 904.01
0.1917
-0.0352
-0.0420
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$)
-31.9808
0.0049
-0.3641
-0.4352
MONEYS (Penawaran Uang)
1.025931
0.0044
0.9877
1.1805
LMONEYD (Lag Permintaan Uang)
0.163295
0.6067
Variabel
2
Adj-R = 0.96411; F-hitung = 128.60; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.949389
Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 31.9808 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon permintaan uang terhadap nilai tukar rupiah bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Estimasi parameter penawaran uang sebesar 1.025931 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon permintaan uang terhadap penawaran uang bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. 3.
Nilai Tukar Rupiah
Hasil estimasi parameter nilai tukar rupiah disajikan pada Tabel 44. Estimasi parameter FDI sebesar 0.16761 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon nilai tukar rupiah terhadap nilai FDI bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Estimasi parameter perubahan cadangan devisa sebesar 0.20648 dan mempunyai hubungan negatif. Respon nilai
202 tukar rupiah terhadap perubahan cadangan devisa bersifat inelastis, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Tabel 44.
Hasil Estimasi Parameter Nilai Tukar Rupiah Tahun 1986-2006 Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
5 270.346
0.0025
CPIN_2 (Rasio IHK dg. IHK Dunia)
1 450.247
0.2163
Variabel
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0.1769
0.1854
FDINVS (Foreign Direct investment)
-0.16761
0.0996
-0.0703
-0.0737
DDEVISS (Perubahan Cadangan Devisa)
-0.20648
0.0518
-0.0388
-0.0407
0.04588
0.8572
LNTUKRR (Lag Nilai Tukar Rp/US$) 2
Adj-R = 0.57913; F-hitung = 7.54; Pr > F bernilai 0.0015; DW = 1.771635
4.
Indeks Harga Konsumen
Hasil estimasi parameter indeks harga konsumen disajikan pada Tabel 45. Estimasi parameter harga tertimbang premium, minyak tanah, dan minyak solar sebesar 0.007563 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon indeks harga konsumen terhadap harga tertimbang premium, minyak tanah, dan minyak solar bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Tabel 45.
Hasil Estimasi Parameter Indeks Harga Konsumen Tahun 19862006 Variabel
Intercept (Intersep) HTMCPK (Harga Rata-rata Tertimbang Premium, Minyak Solar, dan Minyak Tanah) LMONEYS (Lag Penawaran Uang) LCPINDX (Lag Indeks Harga Konsumen)
Parameter Estimasi
Pr > |t|
-11.8457
0.0593
0.007563 0.000037 0.897738
0.1431 0.0069 <.0001
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.1088 0.2433
1.0635 2.3791
Adj-R2 = 0.98814; F-hitung = 528.80; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.717795
Estimasi parameter bedakala penawaran uang sebesar 0.000037 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon indeks harga konsumen terhadap bedakala penawaran uang bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis
203 dalam jangka panjang. Di samping itu indeks harga konsumen dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.897738. 5.
Tingkat Suku Bunga
Hasil estimasi parameter tingkat suku bunga disajikan pada Tabel 46. Apabila terjadi krisis ekonomi, maka tingkat suku bunga akan cenderung turun sebesar 21.304 persen, ceteris paribus. Tabel 46.
Hasil Estimasi Parameter Tingkat Suku Bunga Tahun 1986-2006 Variabel
Intercept (Intersep) MONEYS (Penawaran Uang) RMONEYD (Rasio Permint Uang thd. Lag-nya) DINVEST (Perubahan Investasi) KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi)
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
1.203584 -6.16E-06 9.420449 3.68E-06 -21.304
0.9537 0.4659 0.5818 0.9538 0.0071
-0.4898 1.5295 0.0050
-
Adj-R2 = 0.51186; F-hitung = 5.98; Pr > F bernilai 0.0044; DW = 2.451757
5.7.
Blok Pasar Tenaga Kerja
Hasil estimasi persamaan pada blok pasar tenaga kerja yang meliputi penawaran dan permintaan tenaga kerja dan upah tenaga kerja, menunjukkan semua persamaan memiliki daya penjelas cukup tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara 0.61627 hingga 0.98295. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua persamaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01. 1.
Penawaran Tenaga Kerja
Hasil estimasi parameter penawaran tenaga kerja disajikan pada Tabel 47. Estimasi parameter jumlah penduduk Indonesia sebesar 0.382762 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon penawaran tenaga kerja terhadap jumlah penduduk Indonesia mempunyai nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.8434 dan jangka panjang sebesar 1.6439. Selain itu penawaran tenaga kerja dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.48698.
204 Tabel 47.
Hasil Estimasi Parameter Penawaran Tenaga Kerja Tahun 1986-2006 Elastisitas
Parameter Estimasi
Pr > |t|
-29.896
0.0574
UMRNAS (Upah Tenaga Kerja)
0.002136
0.4811
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia)
0.382762
0.0523
0.8434
1.6439
DGOVENS (Perub. Belanja Pem. Non-BBM)
5.67E-06
0.4628
-0.0055
-0.0108
0.48698
0.0657
Variabel Intercept (Intersep)
LLABORS (Lag Penawaran Tenaga Kerja)
Jangka Pendek
Jangka Panjang
0.0141
0.0275
2
Adj-R = 0.98295; F-hitung = 274.86; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.176923
2.
Permintaan Tenaga Kerja
Hasil estimasi parameter permintaan tenaga kerja disajikan pada Tabel 48. Estimasi parameter GDP nasional sebesar 6.68 x 10-6 dan mempunyai hubungan positif. Respon permintaan tenaga kerja terhadap GDP nasional mempunyai nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.1013 dan jangka panjang sebesar 0.2640. Permintaan tenaga kerja dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.616336. Tabel 48.
Hasil Estimasi Parameter Permintaan Tenaga Kerja Tahun 1986-2006 Elastisitas
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
25.24131
0.1024
LUMRNAS (Lag Upah Tenaga Kerja)
-0.00058
GDPNAS (GDP Nasional) LLABORD (Lag Permintaan Tenaga Kerja)
Variabel
Jangka Pendek
Jangka Panjang
0.8659
-0.0039
-0.0101
6.68E-06
0.1576
0.1013
0.2640
0.616336
0.0188
2
Adj-R = 0.95585; F-hitung = 138.13; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.751762
3.
Upah Tenaga Kerja
Hasil estimasi parameter upah tenaga kerja disajikan pada Tabel 49. Estimasi parameter bedakala penawaran tenaga kerja sebesar 31.8223 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon upah tenaga kerja terhadap bedakala
205 penawaran tenaga kerja bersifat elastis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Seiring dengan berjalannya waktu, upah tenaga kerja meningkat sebesar Rp. 62.27182 per bulan. Upah tenaga kerja dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.721639. Tabel 49.
Hasil Estimasi Parameter Upah Tenaga Kerja Tahun 1986-2006 Variabel
Intercept (Intersep)
Parameter Estimasi
Pr > |t|
2 247.657
0.0417
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
LLABORS (Lag Penawaran Tenaga Kerja)
-31.8223
0.0538
-4.5350
-16.2916
DLABORD (Perub. Permintaan Tenaga Kerja)
2.084503
0.8463
0.0165
0.0592
KRISIP (Dummy Pemilu)
53.38795
0.2271
TRENDD (Tren Waktu)
62.27182
0.0560
LUMRNAS (Lag Upah Tenaga Kerja)
0.721639
0.0002
Adj-R2 = 0.61627; F-hitung = 7.10; Pr > F bernilai 0.0017; DW =1.864732
5.8.
Blok Kinerja Perekonomian
1.
Jumlah Pengangguran
Persamaan pengangguran di Indonesia (UNEMPLt) adalah: UNEMPLt = LABORSt - LABORDt 2.
Tingkat Inflasi Domestik
Persamaan tingkat inflasi domestik (INFLSIt) adalah: INFLSIt = (CPINDXt - CPINDXt-1) / CPINDXt-1 * 100 3.
Ekspor Bersih
Persamaan ekspor bersih atau Balance of Trade (NETEKSt) adalah: NETEKSt = EKSPORt - IMPORTt 4. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
Persamaan pertumbuhan ekonomi Indonesia (GROWTHt) adalah:
206 GROWTHt 5.9.
= (GDPNASt - GDPNASt-1 ) / GDPNASt-1 * 100
Blok Kemiskinan
Hasil estimasi persamaan pada blok kemiskinan yang meliputi kemiskinan di perdesaan dan perkotaan, menunjukkan semua persamaan memiliki daya penjelas cukup tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara 0.36550 hingga 0.64139. Dilihat dari hasil statistik uji-F, persamaan kemiskinan di perdesaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01 dan persamaan kemiskinan di perkotaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha > 0.01. 1.
Kemiskinan di Perdesaan
Hasil estimasi parameter jumlah penduduk miskin di perdesaan disajikan pada Tabel 50. Estimasi parameter tingkat inflasi sebesar 0.133437 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon kemiskinan di perdesaan terhadap tingkat inflasi mempunyai nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.0548 dan jangka panjang sebesar 0.1379. Tabel 50.
Hasil Estimasi Parameter Kemiskinan di Perdesaan Tahun 19862006 Variabel
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intercept (Intersep)
8.885239
0.3401
INFLSI (Tingkat Inflasi)
0.133437
0.0132
0.0548
0.1379
-0.000020
0.2829
-0.1442
-0.3629
UNEMPL (Jumlah Pengangguran)
0.356018
0.2702
0.0699
0.1758
HJECKB (Harga Jual Eceran Kayu Bakar)
0.002710
0.6439
0.0751
0.1888
LJOVDES (Lag Jumlah Penduduk Miskin Desa)
0.602540
0.0014
LGOVEXP (Lag Belanja Pemerintah)
Adj-R2 = 0.64139; F-hitung = 7.80; Pr > F bernilai 0.0011; DW = 1.922797
Di dalam penelitian ini, inflasi merupakan pertumbuhan dari Indeks Harga Konsumen yang salah satunya dipengaruhi oleh harga tertimbang dari premium, minyak solar, dan minyak tanah. Seperti yang dinyatakan oleh Hasan, Sugema,
207 dan Ritonga (2005) bahwa kenaikan harga BBM meskipun diikuti dengan program kompensasi dengan efektivitas sebagaimana yang terekam dari data SUSENAS tahun 2004, tidak mengakibatkan penurunan tingkat kemiskinan. Selain itu jumlah penduduk miskin di perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.602540. 2.
Kemiskinan di Perkotaan
Hasil estimasi parameter jumlah penduduk miskin di perkotaan disajikan pada Tabel 51. Estimasi parameter tingkat inflasi sebesar 0.135014 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon kemiskinan di perkotaan terhadap inflasi bersifat tidak elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 51.
Hasil Estimasi Parameter Kemiskinan di Perkotaan Tahun 19862006 Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Estimasi
Pr > |t|
Intercept (Intersep)
12.30025
0.0205
INFLSI (Tingkat Inflasi)
0.135014
0.0103
0.1247
0.1446
GOVEXP (Belanja Pemerintah)
-0.00002
0.2929
-0.3528
-0.4092
UMRNAS (Upah Tenaga Kerja)
-0.00260
0.5581
-0.1252
-0.1452
LUNEMPL (Lag Jumlah Pengangguran)
0.354592
0.3572
0.1399
0.1623
LHJECLG (Lag Harga Jual Eceran Elpiji)
0.000068
0.9651
0.0098
0.0114
LJOVKOT (Lag Jumlah Penduduk Miskin Kota)
0.137808
0.5766
Variabel
2
Adj-R = 0.36550; F-hitung = 2.82; Pr > F bernilai 0.0551; DW = 2.208122
3.
Tingkat Kemiskinan
Persamaan
tingkat
kemiskinan
adalah
persamaan
identitas
yang
merupakan hasil operasi matematika dari jumlah kemiskinan di perdesaan, jumlah kemiskinan di perkotaan, dan jumlah penduduk Indonesia. POVERTt = (JOVDESt + JOVKOTt) / POPNASt x 100
208 5.10. Diskusi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran, Permintaan, Subsidi, dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia
Produksi BBM pada periode tahun 1995 sampai 2005 relatif stabil dan merupakan variabel eksogen. Ekspor BBM dilakukan secara sporadis dan dalam jumlah yang kecil, sehingga dapat diabaikan. Karena produksi relatif konstan, maka untuk memenuhi peningkatan konsumsi BBM dalam negeri, pemerintah mengimpor BBM. Khusus elpiji, produksinya sebagian besar diekspor karena keterbatasan daya serap konsumen dalam negeri. Impor elpiji baru dimulai pada tahun 2003 setelah kebutuhan konsumsi dalam negeri semakin meningkat. Penawaran premium, minyak solar, dan minyak tanah adalah persamaan yang identitas yang merupakan penjumlahan dari produksi ditambah impor dikurangi ekspor, dimana produksi dianggap tetap dan ekspor sangat kecil sehingga diabaikan dan karena itu penawarannnya dipengaruhi oleh impor sebagai persamaan struktural. Penawaran elpiji adalah persamaan identitas yang merupakan penjumlahan dari produksi ditambah impor dikurangi ekspor, dimana produksi dianggap tetap dan impor sangat kecil sehingga diabaikan dan karena itu penawarannya dipengaruhi oleh ekspor sebagai persamaan struktural. Impor premium, minyak solar, dan minyak tanah dipengaruhi oleh kemampuan daya serap pasar. Daya serap pasar premium ditunjukkan oleh indek harga konsumen, daya serap minyak solar ditunjukkan oleh indek harga konsumen dan jumlah kendaraan niaga, daya serap pasar minyak tanah ditunjukkan oleh jumlah penduduk karena 92.52 persen minyak tanah digunakan untuk memasak rumahtangga dan komersial. Sementara ekspor elpiji dipengaruhi secara nyata oleh produksi, harga dunia elpiji atau harga ekspornya, dan kecenderungan ekspor yang telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
209 Permintaan BBM di sektor transportasi pada hakikatnya mencerminkan tingkat kegiatan usaha perekonomian nasional. Sebanyak 96.65 persen premium diserap oleh sektor transportasi. Karena itu sesuai dengan kenyataan, permintaan premium secara nyata dipengaruhi oleh harga jual eceran premium dan jumlah kendaraan roda dua dan roda empat. Respon permintaan premium terhadap jumlah kendaraan roda dua dan empat di dalam negeri bersifat elastis dalam jangka panjang. Sebanyak 44.91 persen dan 38.61 persen minyak solar diserap berturutturut oleh sektor transportasi dan industri. Sesuai dengan kenyataan, permintaan minyak solar oleh sektor transportasi dipengaruhi secara nyata oleh harga jual eceran minyak solar dan jumlah kendaraan niaga. Respon permintaan minyak solar terhadap harga jual eceran dan kendaraan niaga bersifat elastis dalam jangka panjang. Permintaan minyak solar oleh sektor industri dipengaruhi oleh jumlah industri, dengan respon elastis dalam jangka panjang. Sebanyak 92.52 persen minyak tanah dikonsumsi oleh sektor rumahtangga dan komersial. Permintaan minyak tanah dipengaruhi secara nyata oleh harga jual eceran minyak tanah dan jumlah penduduk. Karena itu jumlah penduduk mempengaruhi perilaku permintaan minyak tanah di sektor rumahtangga dan komersial dengan respon yang elastis dalam jangka pendek dan panjang. Sebanyak 71.74 persen elpiji dikonsumsi oleh sektor rumahtangga dan komersial. Permintaan elpiji dipengaruhi secara nyata oleh jumlah penduduk dengan respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Meskipun subsidi harga BBM merupakan kebijakan fiskal dan proses penetapannya cenderung mengikuti dialektika politik, namun berdasarkan temuan
210 estimasi model, ada beberapa variabel yang mempengaruhi perilaku subsidi harga BBM, yaitu harga dunia BBM, nilai tukar rupiah, penerimaan dalam negeri pemerintah, dan bedakala subsidi harganya masing-masing. Harga dunia BBM mempengaruhi subsidi harga BBM, kecuali minyak solar. Selain itu respon subsidi harga premium, minyak solar, dan minyak tanah terhadap harga dunia BBM bersifat elastis, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang; kecuali subsidi elpiji yang inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan harga dunia BBM mempengaruhi secara dominan perubahan subsidi harga premium, minyak solar, dan minyak tanah. Harga jual eceran BBM menjadi sinyal bagi produsen untuk berproduksi dan bagi konsumen untuk menentukan jumlah konsumsinya. Persamaan harga jual eceran BBM adalah persamaan identitas yang merupakan pengurangan dari harga keekonomian BBM dengan subsidi harga BBM. Harga jual eceran BBM merupakan pencerminan dari besaran subsidi harga BBM. Kebijakan subsidi harga BBM merupakan faktor yang mendistorsi keseimbangan permintaan dan penawaran BBM di dalam negeri. Subsidi harga BBM dipengaruhi secara nyata oleh nilai tukar rupiah dan bersifat elastis dalam jangka pendek dan panjang, kecuali elpiji yang hanya elastis untuk jangka panjang. Hal ini terjadi karena Indonesia mengimpor BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Fluktuasi nilai tukar rupiah menentukan besaran harga keekonomian BBM dalam rupiah, besaran harga jual eceran BBM, dan besaran subsidi harganya. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah mempengaruhi secara dominan perubahan besaran subsidi harga premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji.
211 Penerimaan dalam negeri pemerintah ternyata tidak mempengaruhi subsidi harga BBM secara nyata. Karena pertimbangan ekonomi tidak dapat menjelaskan hubungan antara penerimaan dalam negeri pemerintah dengan subsidi harga BBM, tampaknya hubungan itu dapat dijelaskan dengan pertimbangan nonekonomi, seperti sosial politik. Proses penentuan besaran subsidi BBM lebih banyak diwarnai oleh proses politik antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI yang kemudian dituangkan dalam dokumen UU APBN. Proses politik ini didasarkan pada kesepakatan asumsi-asumsi makro seperti nilai tukar rupiah, harga dunia minyak mentah, besaran inflasi mendatang, produksi minyak mentah, tingkat buku bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan target pertumbuhan ekonomi. Termasuk dalam proses politik tersebut adalah kesepakatan harga jual eceran BBM dalam tahun anggaran berjalan dan tahun depan. Terkait dengan besaran belanja yang menjadi kesepakatan politik, pemerintah diberikan keleluasaan untuk memperoleh sumber-sumber penerimaan negara. Sumber penerimaan negara terutama berasal dari penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, penjualan obligasi pemerintah, hibah dan bantuan asing. Penerimaan pajak dan bukan pajak biasanya masuk dalam kategori penerimaan dalam negeri pemerintah.
212
VI.
6.1.
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Hasil Validasi Model
Hasil estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini divalidasi (simulasi dasar) untuk periode 19882006. Program validasi model dapat dilihat pada Lampiran 7. Validasi menggunakan indikator statistik yaitu Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) untuk mengukur penyimpangan hasil prediksi dari nilai aktual setiap variabel endogen dan statistik Theil’s Inequality Coefficient (U). Selain itu digunakan dekomposisi U-Theil, yaitu proporsi bias (UM), proporsi keragaman (US), dan proporsi covarians (UC). Hasil validasi model dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil validasi tersebut memperlihatkan dari 76 persamaan, terdapat 61 persamaan yang memiliki nilai RMSPE lebih kecil dari 50 persen dan 15 persamaan memiliki nilai RMSPE diatas 50 persen. Nilai RMSPE yang lebih dari 50 persen umumnya terjadi pada persamaan-persamaan identitas. Hal ini terjadi karena error variabel endogen terakumulasi pada persamaan identitas tersebut, seperti pada persamaan ekspor bersih, gap fiskal, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan inflasi. Selain itu, nilai RMSPE yang lebih dari 50 persen juga terjadi pada persamaan subsidi harga BBM dan subsidi BBM karena nilainya berfluktuasi mengikuti naik turunnya harga dunia minyak mentah. Sebagian besar nilai statistik U mendekati nol, yaitu 63 persamaan mempunyai nilai statistik U lebih kecil dari 20 persen dan 13 persamaan
213 mempunyai nilai U lebih besar dari 20 persen. Nilai U-Theil tertinggi adalah 0.5865 yaitu pada persamaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang merupakan persamaan identitas dengan nilai proporsi bias (UM) kecil yaitu 0.01. Dilihat dari komponen statistik U, terlihat bahwa proporsi bias (UM) dan proporsi keragaman (US) mendekati nol, dan proporsi covarians (UC) mendekati satu. Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan, maka model yang dibangun cukup valid digunakan untuk melakukan simulasi peramalan dampak perubahan faktor eksternal dan kebijakan. 6.2.
Hasil Skenario Simulasi Periode Peramalan Tahun 2010-2014
Program dan hasil peramalan variabel endogen tanpa perubahan faktor eksternal dan kebijakan (nilai dasar variabel endogen per tahun) pada periode peramalan 2007-2014, dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10. Dalam penelitian ini dilakukan 8 simulasi yang terdiri dari 1 simulasi perubahan faktor eksternal, 4 simulasi perubahan kebijakan, dan 3 simulasi merupakan gabungan perubahan faktor eksternal dan kebijakan. Program simulasi kebijakan peramalan dapat dilihat pada Lampiran 11. Sebagai contoh, ditampilkan pula hasil Simulasi 8 pada Lampiran 12. Hasil simulasi kebijakan peramalan yang lengkap disajikan pada Lampiran 13. 6.2.1. Simulasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen
Ketersediaan energi di suatu negara seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi negara itu. Apakah ketersediaan energi menjadi penyebab terjadinya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi mengakibatkan tingginya permintaan akan energi? Hal ini dijawab oleh Afiatno (2006) yang menemukan bahwa konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki
214 hubungan multivariat dua arah, yaitu konsumsi energi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi mempengaruhi konsumsi energi. Karena keduanya memiliki hubungan kuat yang timbal balik, maka pemerintah harus berhati-hati dalam mengendalikan konsumsi energi karena mempunyai dampak yang luas, biayanya besar, dan dapat berpotensi menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pengendalian konsumsi suatu barang dapat menggunakan mekanisme harga, yang dilakukan dengan pengenaan pajak atau subsidi. Minyak mentah memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian dunia (Barsky and Kilian, 2004). Pergerakan naik turun harga dunia minyak tidak hanya semata-mata disebabkan oleh mekanisme penawaran dan permintaan (Krichene, 2005), tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor keamanan dan spekulasi perdagangan minyak mentah. Minyak mentah dan produk turunannnya, hingga saat ini, masih menjadi sumber energi utama di negara-negara berkembang dan negara maju. Meskipun untuk pembangkit listrik sudah banyak digunakan sumber energi alternatif seperti energi nuklir, air, atau gas alam, namun untuk kebutuhan di sektor transportasi masih disuplai utamanya dari energi minyak mentah dan produk turunannya. Begitu pentingnya sumber energi minyak mentah dan produk turunannya ini sebagai sumber energi utama, sehingga fluktuasi harganya berpengaruh terhadap kegiatan perekonomiannya. Raymond and Rich (1997) menemukan bahwa fluktuasi harga dunia minyak mentah memberikan kontribusi atas rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Yunchang (1996) menemukan bahwa pergerakan harga dunia minyak mentah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi negara Taiwan. Dampak dari fluktuasi harga
215 dunia minyak mentah tidak hanya negatif terhadap negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Taiwan, tetapi juga terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan untuk beberapa kasus, Indonesia mengalami dampak yang lebih berat karena beban subsidi energi BBM. Hingga saat ini masih sulit bagi pemerintah untuk melepaskan subsidi BBM ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Borenstein, et al. (1997) menemukan dalam penelitiannya bahwa harga
gasoline (di Indonesia setara dengan premium) berfluktuasi secara asimetri terhadap harga dunia minyak mentah. Ketika harga dunia minyak mentah naik maka harga gasoline dengan segera menyesuaikan diri, apabila harga dunia minyak mentah turun maka harga gasoline tidak segera turun. Penyesuaian harga
gasoline yang asimetri ini dibantah oleh Bachmeier and Griffin (2003), yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pergerakan harga gasoline simetri terhadap harga dunia minyak mentah. Penyesuaian harga gasoline segera terjadi ketika harga dunia minyak mentah berfluktuasi. Di Indonesia, subsidi energi BBM tidak hanya berkaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan kemiskinan, tetapi telah menjadi komoditas politik. Soebiakto (1988) dalam disertasinya menyimpulkan bahwa fluktuasi harga dunia minyak mentah menimbulkan dampak ketidakpastian terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan yang tinggi dari penerimaan ekspor minyak mentah, yang sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Soebiakto juga menemukan bahwa setiap penurunan harga dunia minyak mentah US$1 per barrel akan mengakibatkan penurunan belanja pemerintah US$32 juta, peningkatan defisit neraca pembayaran US$10 juta, dan peningkatan hutang eksternal US$145 juta, demikian pula
216 sebaliknya. Penghitungan Soebiakto belum memperhitungkan penambahan subsidi harga ketika harga jual eceran BBM konstan. Karena itu sangat penting untuk mengetahui dampak dari kenaikan harga dunia minyak mentah sebesar 5 persen terhadap perekonomian Indonesia, besaran subsidi harga BBM, dan dampak terhadap jumlah orang miskin di Indonesia, yang disajikan pada Tabel 52. Subsidi harga BBM ternyata sangat elastis terhadap perubahan harga dunia BBM. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan harga dunia BBM akan sangat direspon oleh pemerintah melalui kenaikan subsidi harganya. Dari hasil estimasi parameter persamaan subsidi harga premium, sebagai contoh, setiap kenaikan harga dunia premium US$1 per barrel akan mengakibatkan kenaikan subsidi harga premium sebesar Rp. 19.2383 per liter, dan sebaliknya. Responsifnya subsidi harga terhadap pergerakan harga dunia minyak mentah
memberikan
indikasi
bahwa
pemerintah
Indonesia
cenderung
mempertahankan harga jual eceran BBM pada tingkat harga yang berlaku. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meredam gejolak perekonomian dunia, yang salah satunya dapat berasal dari harga dunia minyak mentah, agar tidak mempengaruhi perekonomian domestik. Meskipun subsdi harga sangat responsif terhadap fluktuasi harga dunia minyak mentah, namun ternyata harga jual eceran BBM mengalami kenaikan yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan subsidi harganya. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketersediaan anggaran yang cenderung menurun sebesar 0.201 persen, yang tampaknya membatasi kemampuan pemerintah dalam memberikan respon subsidi yang sesuai, sehingga terjadi kenaikan harga jual eceran BBM yang melampaui kenaikan subsidi harganya.
217
Tabel 52. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014 Variabel
Uraian
PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG
Penawaran Premium (Ribu Liter) Penawaran M.Solar (Ribu Liter) Penawaran M.Tanah (Ribu Liter) Penawaran Elpiji (Ribu Kilogram) Penawaran BBM (Ribu Liter) Kons. Premium di Transport. (Rb Lt) Konsumsi Premium (Ribu Liter) Kons. M.Solar di Transport. (Rb Lt) Kons. M.Solar di Industri (Rb Lt) Kons. M.Solar di RT & Kom. (Rb Lt) Konsumsi Minyak Solar (Rb Lt) Kons. M.Tanah di Transport. (Rb Lt) Kons. M.Tanah di Industri (Rb Lt) Kons. M.Tanah di RT & Kom. (Rb Lt) Konsumsi Minyak Tanah (Ribu Liter) Kons. Elpiji di Industri (Rb Kg) Kons. Elpiji di RT & Kom. (Rb Kg) Konsumsi Elpiji (Ribu Kilogram) Konsumsi Premium (Miliar Rp) Konsumsi Minyak Solar (Miliar Rp) Konsumsi Minyak Tanah (Miliar Rp) Konsumsi Elpiji (Miliar Rp) Konsumsi BBM (Miliar Rp) Harga Jual Eceran Premium (Rp/Lt) Harga Jual Eceran M.Solar (Rp/Lt) Harga Jual Eceran M.Tanah (Rp/Lt) Harga Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg) Jumlah Impor Premium (Ribu Liter) Jumlah Impor M.Solar (Ribu Liter) Jumlah Impor M.Tanah (Ribu Liter) Impor Premium (Miliar Rp) Impor Minyak Solar (Miliar Rp) Impor Minyak Tanah (Miliar Rp) Impor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Jumlah Ekspor Elpiji (Ribu Kg) Ekspor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp) Subsidi Harga Premium (Rupiah/Liter) Subsidi Harga M.Solar (Rupiah/Liter) Subsidi Harga M.Tanah (Rupiah/Liter) Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg)
Nilai Dasar
1
2
33 898 969 37 315 237 7 818 580 1 305 403 87 773 312 26 466 929 26 846 754 17 122 380 14 315 475 783 877 34 496 949 2 423 417 944 11 827 549 12 789 797 399 185 917 056 1 316 242 73 485 113 628 17 275 3 319 231 145 2 720 3 283 1 349 2 516 24 380 853 25 231 664 3 260 140 109 922 118 397 16 064 255 417 334 733 999 - 254 417 1 697 1 359 3 555 546
0.109 0.213 -1.152 -1.381 0.030 -0.918 -0.905 -3.243 -0.105 -0.867 -1.673 -4.886 -6.863 -3.188 -3.174 -1.085 -0.110 -0.405 7.769 5.827 15.789 3.603 6.566 8.757 7.730 19.720 4.051 0.151 0.315 -2.764 5.825 6.006 2.684 5.462 5.387 11.448 5.439 0.595 0.530 0.270 12.779
0.160 0.098 -0.026 -0.015 0.101 0.010 0.010 1.087 0.034 0.290 0.560 1.184 1.666 0.781 0.777 0.140 -0.018 0.030 -0.009 -1.974 -3.890 -0.452 -1.271 -0.029 -2.549 -4.654 -0.489 0.223 0.144 -0.064 0.409 0.307 0.066 0.323 0.059 0.110 0.323 0.389 6.610 1.944 2.929
Simulasi (persen) 3 4 5
6
7
8
3.339 1.628 3.796 4.360 4.874 10.043 1.330 0.639 1.511 1.945 2.191 3.697 -0.322 -0.154 -0.366 -1.598 -1.664 -2.007 -0.340 -0.167 -0.387 -1.836 -1.890 -2.418 1.826 0.887 2.076 2.369 2.666 5.272 -2.819 -0.069 -2.851 -3.849 -3.887 -4.258 -2.779 -0.068 -2.810 -3.795 -3.832 -4.198 -5.040 -0.289 -5.149 -8.632 -8.759 -10.081 -0.143 -0.012 -0.147 -0.265 -0.274 -0.295 -1.303 -0.083 -1.334 -2.276 -2.318 -2.628 -2.590 -0.150 -2.647 -4.446 -4.514 -5.186 -25.883 -35.635 -36.468 -41.796 -42.023 -43.851 -36.385 -50.096 -51.259 -58.733 -59.043 -61.642 -16.420 -22.612 -23.165 -26.486 -26.650 -27.653 -16.378 -22.555 -23.104 -26.421 -26.583 -27.595 -2.852 3.819 3.558 1.704 1.648 0.888 0.584 4.294 4.266 3.864 3.874 3.589 -0.458 4.150 4.051 3.209 3.199 2.770 24.287 0.689 24.587 32.696 33.166 35.149 8.193 0.642 8.420 14.412 14.760 16.158 68.779 85.769 87.185 94.671 95.010 96.952 10.913 -10.127 -8.909 -2.139 -1.748 -0.066 17.046 6.799 18.343 24.524 24.875 26.362 27.775 0.743 28.120 37.881 38.407 41.120 11.235 0.801 11.537 20.034 20.491 22.854 102.742 141.352 145.116 166.956 168.134 174.203 11.476 -13.734 -12.498 -5.215 -4.834 -2.731 4.642 2.263 5.278 6.062 6.777 13.964 1.967 0.946 2.234 2.877 3.240 5.467 -0.773 -0.369 -0.877 -3.832 -3.991 -4.813 6.610 3.172 7.524 14.880 16.119 25.506 3.702 1.759 4.208 11.167 11.956 15.855 0.779 0.376 0.883 3.626 3.759 4.475 4.610 2.205 5.245 11.811 12.719 18.612 1.326 0.649 1.508 7.162 7.372 9.432 2.692 1.311 3.062 15.311 15.771 20.494 4.618 2.209 5.254 11.798 12.707 18.605 -40.415 0.766 -40.415 -37.426 -37.426 -37.426 -21.775 0.640 -21.775 -17.851 -17.851 -17.851 -36.832 -52.624 -52.624 -50.262 -50.262 -50.262 -44.160 67.338 67.338 75.760 75.760 75.760
218
Tabel 52. Lanjutan Nilai Dasar
1
46 014 46 927 45 488 722 139 150 330 922 486 623 - 95 277 1 408 642 1 639 787 55 718 177 407 233 125 442 750 581 900 346 479 601 895 787 297 788 296 2 641 213 1 256 557 1 366 987 8 483 298.40 2.76 121.10 108.30 528.10 12.83 9.44 186 400 3.40 13.78 5.72 8.17
-0.348 0.404 -1.185 7.245 -2.976 2.751 12.360 2.993 -1.424 3.492 -0.074 10.000 -0.051 10.274 -0.972 9.906 -0.834 0.014 0.209 -0.167 -0.026 0.159 -0.610 -0.027 -0.471 0.018 0.183 12.327 -0.201 10.214 0.162 0.104 2.411 0.197 0.078 0.085 0.093 0.086 -0.478 2.129 -0.609 2.905 -0.788 3.153 0.578 0.120 1.542 0.335 1.121 -6.676 0.000 0.165 -0.092 0.646 -0.095 -1.041 1.114 -4.493 4.736 1.931 -7.394 -0.273 -4.021 14.015 1.526 -12.936 1.768 -22.464 1.587 -15.588
Simulasi (persen) 4 5
Variabel
Uraian
SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT
Subsidi Premium (Miliar Rp) Subsidi Minyak Solar (Miliar Rp) Subsidi Minyak Tanah (Miliar Rp) Subsidi Elpiji (Miliar Rp) Subsidi Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Penerimaan Pajak (Miliar Rp) Penerimaan DN Pemerintah (Miliar Rp) GAP Fiskal (Miliar Rp) Konsumsi Non-BBM (Miliar Rp) Konsumsi Nasional (Miliar Rp) Investasi MIGAS (Miliar Rp) Investasi Non-MIGAS (Miliar Rp) Investasi Nasional (Miliar Rp) Belanja Non-Subsidi BBM (Miliar Rp) Belanja Pemerintah (Miliar Rp) Impor Non-BBM (Miliar Rp) Impor Nasional (Miliar Rp) Ekspor Non-BBM (Miliar Rp) Ekspor Nasional (Miliar Rp) GDP Nasional (Miliar Rp) Jumlah Penawaran Uang (Miliar Rp) Jumlah Permintaan Uang (Miliar Rp) Nilai Tukar (Rp/US$) Indeks Harga Konsumen (indeks) Tingkat Suku Bunga (persen) Jlh. Penawaran Tenaga Kerja (Juta Jiwa) Jlh. Permintaan Tenaga Kerja (Juta Jiwa) Upah Minimum Nasional (Rb Rp/Bulan) Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) Tingkat Inflasi Domestik (%/Tahun) Ekspor Bersih Nasional (Miliar Rp) Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%/Thn) Jumlah Penduduk Miskin Desa (Jt Jiwa) Jumlah Penduduk Miskin Kota (Jt Jiwa) Tingkat Penduduk Miskin Nasional (%)
Keterangan: Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6 Simulasi 7 Simulasi 8
Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persen Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persen Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar. Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
2
3 -42.276 -23.784 -47.373 -44.575 -37.718 -0.330 -0.224 -52.291 -2.245 0.474 -0.119 -1.671 -1.300 0.355 -8.749 0.393 2.183 1.595 1.597 -1.769 -2.420 -2.990 1.537 4.055 5.040 0.000 -0.554 -0.284 4.362 12.083 -0.296 -11.485 13.615 23.250 16.313
0.709 0.489 -63.512 74.103 -19.978 -0.204 -0.138 -27.900 -1.089 0.023 -0.075 -0.829 -0.649 0.123 -4.684 0.170 1.034 0.775 0.776 -1.079 -1.484 -1.790 0.737 1.944 3.182 0.000 -0.277 -0.170 2.670 5.552 -0.057 -6.756 7.425 11.717 8.616
-42.296 -23.831 -63.785 73.923 -42.491 -0.387 -0.263 -58.905 -2.547 0.397 -0.140 -1.903 -1.481 0.389 -9.865 0.441 2.480 1.813 1.815 -2.081 -2.845 -3.501 1.745 4.591 5.929 0.000 -0.646 -0.322 5.126 13.634 -0.330 -13.559 15.479 25.560 18.291
6 -42.906 -25.308 -65.400 72.454 -43.726 10.000 10.274 -54.474 -3.549 0.408 -0.020 -2.688 -2.050 13.312 -0.327 0.731 5.433 2.120 2.137 -0.600 -0.775 -1.417 2.593 6.836 0.936 0.083 -0.185 -1.534 2.204 21.241 -8.508 -4.721 5.034 6.297 5.385
7 -42.930 -25.366 -65.483 72.440 -43.781 10.000 10.274 9.678 -3.734 0.299 0.149 -2.882 -2.157 27.135 10.177 0.877 5.902 2.376 2.393 1.606 2.266 1.852 2.886 7.607 -6.121 0.248 0.554 -2.708 -2.456 24.468 -8.938 9.591 -8.322 -16.467 -10.590
8 -43.151 -25.903 -65.948 71.706 -44.191 10.000 10.274 11.874 -5.178 -0.732 -0.017 -6.343 -4.831 27.736 10.536 0.523 8.199 4.750 4.770 0.996 0.475 -0.649 4.549 13.183 0.178 0.248 0.185 -2.746 0.479 27.408 -6.302 19.729 -4.821 -16.303 -7.967
219 Kenaikan harga jual eceran BBM, sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, akan menurunkan konsumsinya. Kenaikan harga jual eceran premium sebesar 8.757 persen mengakibatkan penurunan konsumsi premium di sektor transportasi sebesar 0.918 persen. Hal ini sesuai dengan konsumsi premium di sektor transportasi yang tidak elastis terhadap harganya, sebesar 0.0642 dalam jangka pendek. Secara umum kenaikan harga jual eceran BBM akan menurunkan tingkat konsumsi masing-masing. Fenomena penurunan tingkat konsumsi energi BBM, memiliki dampak yang luas dan berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi. Hal ini sebagaimana yang ditemukan oleh Afiatno (2006) bahwa terdapat hubungan timbal balik antara konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Dari simulasi ini jelas terlihat bahwa penurunan konsumsi BBM, sebagai akibat dari kenaikan harga jual ecerannya, berdampak pada penurunan GDP nasional 0.478 persen dan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4.021 persen. Salah satu faktor yang membuat GDP nasional turun adalah menurunnya ekspor bersih, yang diakibatkan oleh tingginya harga beli minyak mentah dunia. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat, konsumsi energi yang tidak elastis terhadap harganya, membutuhkan devisa yang lebih besar untuk membiayai impornya. Peningkatan nilai impor yang besar ini pada akhirnya membuat neraca perdagangan menjadi defisit dan GDP nasional menjadi negatif. Selanjutnya penurunan jumlah penawaran uang yang lebih besar dari permintaannya, akan berdampak pada peningkatan tingkat suku bunga sebesar 1.121 persen. Hal ini ikut memberikan andil terhadap penurunan investasi nasional sebsear 0.471 persen.
220 Selanjutnya simulasi ini memberikan dampak terhadap kenaikan tingkat inflasi sebesar 4.736 persen. Penelitian Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005) menunjukkan bahwa peningkatan inflasi berakibat pada penurunan pendapatan riil masyarakat. Penurunan pendapatan riil masyarakat, jika terjadi pada masyarakat yang berada pada dan sekitar garis kemiskinan, akan menyebabkan mereka jatuh pada kelompok orang miskin. Pada tingkat inflasi tersebut, jumlah penduduk miskin perdesaan meningkat 1.526 persen dan penduduk miskin perkotaan meningkat 1.768 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar 1.587 persen. Peningkatan penduduk miskin ini juga dipengaruhi oleh semakin besarnya angka pengangguran yang meningkat 1.114 persen sebagai dampak dari penurunan investasi nasional. Meningkatnya pengangguran mengakibatkan semakin berkurangnya pendapatan yang biasanya diterima oleh pekerja, sehingga hal ini berpotensi juga mengurangi pendapatan riil masyarakat. Selain pengangguran yang meningkat, juga tingkat upah nasional mengalami penurunan sebesar 0.095 persen. Keempat hal diatas, yaitu belanja pemerintah dan upah nasional yang berkurang, inflasi dan pengangguran yang meningkat, secara bersama-sama mengakibatkan penurunan pendapatan riil masyarakat, sehingga semakin banyak penduduk yang masuk dalam kategori penduduk miskin. Simulasi Kenaikan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen
Instrumen kebijakan fiskal bersama-sama dengan kebijakan moneter seringkali dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sebagian komponen kebijakan moneter merupakan domain kewenangan Bank Indonesia seperti target inflasi dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Dalam prakteknya Bank Indonesia selalu melakukan koordinasi
221 dengan pemerintah dalam rangka menjalankan kewenangannya. Berbeda dengan kebijakan moneter, maka kebijakan fiskal merupakan domain utama kewenangan pemerintah yang dalam pelaksanannya seringkali harus dikonsultasikan dengan para wakil rakyat. Sehingga kebijakan fiskal di Indonesia, sebagaimana juga kebijakan fiskal di negara lain, merupakan produk dari suatu proses politik. Secara garis besar komponen dari kebijakan fiskal adalah alokasi anggaran untuk pos-pos atau kegiatan tertentu, sumber-sumber dan target penerimaan dalam negeri dan luar negeri, asumsi-asumsi makro yang mendasari perhitungan penerimaan dan belanja, serta besaran dari belanja itu sendiri. Dalam rangka mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun paska reformasi, pemerintah berupaya meningkatkan besaran belanja negara dengan sumber pendanaan dari dalam negeri. Besarnya utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah telah membebani anggaran belanja negara melalui pos pembayaran cicilan pokok dan bunga. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah pada masa sebelumnya yang mengandalkan sumber pembiayaan dari luar negeri atau pinjaman dalam negeri untuk menutup defisit anggaran. Belajar dari pengalaman, saat ini pemerintah berupaya untuk lebih mengutamakan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dan bukan pajak. Komponen terbesar dari penerimaan pajak adalah pajak penghasilan. Saat ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya ekstensifikasi dan intensifikasi penarikan pajak penghasilkan melalui sosialisasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang harus dimiliki oleh setiap warganegara. Penerimaan bukan pajak antara lain bersumber dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara,
222 hasil penjualan asset yang dimiliki negara seperti penjualan saham BUMN, dan pungutan lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir (Departemen Keuangan, 2009b), strategi kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk memberikan stimulus fiskal dengan tetap memperhatikan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan. Langkah konsolidasi fiskal ditempuh melalui optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara, peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, serta pemilihan alternatif pembiayaan yang tepat untuk meminimalkan resiko keuangan di masa mendatang. Optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara dapat ditempuh melalui peningkatan penerimaan dari pajak dan bukan pajak. Reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan ditempuh melalui: (1) perubahan paket undang-undang perpajakan, kepabeanan, dan cukai, (2) peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak dan pengawasan internal terhadap petugas pajak, (3) peningkatan kapasitas sumber daya manusia, (4) perbaikan sistem informasi dan teknologi, dan (5) modernisasi perpajakan. Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan pajak mengalami kenaikan sangat signifikan pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp. 347.0 triliun, Rp. 409.2 triliun, Rp. 491.0 triliun, Rp. 633.8 triliun, dan Rp. 725.8 triliun atau rata-rata 20.23 persen per tahun pada periode tersebut. Penerimaan pajak pada tahun 2009 mencapai 13.6 persen dari PDB nasional. Sementara penerimaan negara bukan pajak mengalami kenaikan cukup besar pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp. 149.9 triliun, Rp. 227.0 triliun, Rp. 215.1 triliun, Rp. 325.7 triliun, dan Rp. 258.9 triliun atau rata-rata 14.71 persen
223 per tahun pada periode tersebut. Penerimaan negara bukan pajak pada tahun 2009 mencapai 4.9 persen dari PDB nasional. Fluktuasi penerimaan negara bukan pajak lebih banyak disebabkan oleh fluktuasi harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Secara umum penerimaan dalam negeri pemerintah mengalami kenaikan rata-rata sebesar 18.83 persen per tahun pada periode 2005-2009. Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah dimaksudkan untuk memberikan fiscal space atau ruang fiskal32 yang lebih besar pada pemerintah untuk dapat digunakan pada program-program yang muncul mendadak namun sangat mendesak untuk segera diselesaikan, tanpa mengganggu rencana program yang sudah ada. Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah sebesar 10 persen, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 52, ditujukan untuk menciptakan ruang fiskal apabila ditengah tahun anggaran berjalan terjadi kenaikan kebutuhan anggaran seperti kenaikan harga dunia minyak mentah. Simulasi tunggal ini dilakukan untuk mengetahui dampak dari peningkatan ruang fiskal terhadap kinerja perekonomian, gap fiskal yaitu selisih antara penerimaan dalam negeri dengan belanja negara, dan terhadap kemiskinan. Kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah, yang memperbesar ruang fiskal, ternyata dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan anggaran subsidi BBM sebesar 3.492 persen dan anggaran diluar subsidi BBM sebesar 12.327 persen. Besarnya peningkatan anggaran non-subsidi dibandingkan dengan anggaran subsidi, tampaknya disebabkan oleh kebutuhan belanja non-subsidi yang 32
Fiscal space atau ruang fiskal menurut Heller, 2005 dalam Departemen Keuangan, 2009b adalah ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah. Konsep fiscal space terutama mengacu kepada kemampuan anggaran pemerintah untuk menambah pengeluarannya tanpa menyebabkan terjadinya fiscal insolvency. Untuk menciptakan fiscal space dapat dilakukan berbagai cara antara lain peningkatan penerimaan pajak, memangkas belanja yang kurang prioritas, dan menambah hibah atau pinjaman.
224 lebih besar sementara kebutuhan belanja subsidi BBM relatif konstan. Relatif konstannya kebutuhan belanja subsidi BBM dikarenakan relatif konstannya harga dunia minyak mentah. Sebagai dampak dari meningkatnya anggaran subsidi BBM, maka anggaran subsidi harga BBM mengalami peningkatan. Subsidi harga minyak solar meningkat paling besar yaitu 6.610 persen. Secara umum, peningkatan subsidi harga BBM akan menurunkan harga jual eceran BBM rata-rata sebesar 1.93 persen, dimana penurunan terbesar pada harga jual eceran minyak tanah sebesar 4.654 persen. Dampak selanjutnya dari penurunan harga jual eceran BBM adalah peningkatan konsumsinya rata-rata sebesar 0.34 persen. Peningkatan konsumsi energi, seperti yang disampaikan oleh Siddiqui (2004) berhubungan erat dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang membaik. Hal ini terlihat dari meningkatnya GDP nasional sebesar 2.129 persen dan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 14.015 persen. Ditinjau dari pasar uang, kebijakan ini diperkirakan akan memberikan dampak yang positif bagi sektor keuangan dengan menciptakan suku bunga yang relatif rendah. Rendahnya tingkat suku bunga menciptakan iklim yang kondusif bagi perekonomian untuk merangsang tingkat investasi agar lebih besar lagi. Selain itu juga perlu disadari bahwa rendahnya tingkat suku bunga perbankan akan mengakibatkan terjadinya pergeseran modal dari sistem perbankan ke pasar modal yang diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Pergeseran investasi ke pasar modal akan semakin menggairahkan sistem perekonomian dan memperkuat landasan ekonomi pasar di Indonesia. Modal yang diperoleh dari pasar modal dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan kegiatan investasi
225 lanjutan. Sehingga penurunan tingkat suku bunga riil pada sistem perbankan memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama adalah semakin murahnya biaya pinjaman uang (cost of money) dari sistem perbankan sehingga merangsang pengusaha untuk berinvestasi. Kedua, menurunnya tingkat suku bunga riil di sektor perbankan akan membuat deposan mengalihkan uang dari perbankan ke pasar modal. Peningkatan transaksi di pasar modal akan semakin menggairahkan jual beli saham di pasar modal dan sekaligus memperbesar peluang pengusaha dalam memanfaatkan dana berlimpah di pasar modal. Penawaran uang akan naik sebesar 2.905 persen dan permintaan uang akan naik sebesar 3.153 persen. Hal ini mengakibatkan tingkat suku bunga mengalami penurunan sebesar 6.676 persen. Selain itu, kebijakan ini mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian, yang terlihat dari penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan sebesar 12.936 persen dan penduduk miskin perkotaan sebesar 22.464 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional mengalami penurunan sebesar 15.888 persen. Besarnya penurunan angka kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh positif peningkatan belanja pemerintah, penurunan pengangguran, serta penurunan harga jual eceran elpiji, yang sangat penting bagi konsumsi energi masyarakat perkotaan. Simulasi Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji
Alokasi belanja subsidi energi yaitu subsidi BBM dan listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu dari 2.15 persen dari PDB pada tahun 2002 menjadi 6.68 persen dari PDB pada tahun 2009. Subsidi memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu pihak subsidi sangat diperlukan oleh masyarakat ketika terjadi krisis atau lonjakan harga barang-barang kebutuhan primer. Salah satu ciri
226 barang kebutuhan primer adalah tidak elastisnya permintaan barang tersebut terhadap harganya, selain juga sulit atau tidak ada barang substitusinya. Kenaikan harga barang primer, sebagai contoh barang primer adalah BBM, cenderung akan menurunkan kemampuan daya beli dan kualitas hidup masyarakat. Untuk itu, diperlukan peran pemerintah dalam menjaga stabilitas harga barang primer melalui mekanisme pajak atau subsidi. Minyak tanah adalah sumber energi utama rumahtangga di banyak negara Asia. Karena itu subsidi minyak tanah masih lazim diberikan di beberapa negara Asia, seperti Turkmenistan, Bhutan, India, dan Indonesia (Shikha Jha, et al., 2009). Di pihak lain, belanja subsidi merupakan belanja non-discretionary
spending atau belanja wajib seperti halnya pembayaran biaya bunga dan hutang pokok pinjaman. Belanja subsidi ini cenderung meningkat dan akan berpotensi mengganggu keberlanjutan anggaran pemerintah. Hal ini seterusnya akan dapat mengurangi kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia yang dapat mengakibatkan terjadinya capital flight dan melemahnya mata uang rupiah. Jika nilai tukar rupiah melemah maka harga barang-barang domestik akan ikut melonjak karena tingginya porsi barang-barang impor dalam perekonomian Indonesia. Inflasi yang tinggi akan meningkatkan beban perekonomian rakyat, melemahnya daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi terganggu, pengangguran dan kemiskinan akan meningkat. Dampak lain dari peningkatan beban subsidi adalah berkurangnya fiscal space dan sekaligus juga berkurangnya kesempatan pemerintah untuk melaksanakan berbagai program penting dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan dan pembangunan prasarana lainnya.
227 Menyadari hal-hal diatas, pemerintah melakukan upaya kebijakan antara lain berupa penyesuaian harga BBM, konversi minyak tanah ke elpji, efisiensi PT Pertamina melalui pengurangan biaya distribusi dan margin (faktor alpha), pengendalian konsumsi BBM, serta pemanfaatan energi alternatif (Departemen Keuangan, 2009b). Penyesuaian harga BBM merupakan salah satu pilihan kebijakan yang dapat dilakukan baik ketika harga dunia minyak mentah meningkat, nilai tukar rupiah merosot, atau pemerintah berupaya mengurangi beban APBN melalui penghematan subsidi BBM. Pengurangan subsidi harga dilakukan dengan mengurangi porsi subsidi harga terhadap harga keekonomian masing-masing jenis BBM. Porsi subsidi harga premium yang semula 38.42 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 20.00 persen. Porsi subsidi harga minyak solar yang semula 29.27 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 20.00 persen. Porsi subsidi harga minyak tanah yang semula 72.49 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 40.00 persen. Porsi subsidi harga elpiji yang semula 17.84 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 10.00 persen. Dampak dari pengurangan subsidi harga BBM dapat dilihat pada Tabel 52. Ditinjau dari sisi pasar BBM, kebijakan ini berdampak pada peningkatan harga-harga BBM. Peningkatan harga tertinggi terjadi pada minyak tanah sebesar 102.742 persen. Peningkatan harga ini berdampak pada penurunan tingkat konsumsi, yang tertinggi adalah konsumsi minyak tanah yang turun sebesar 16.378 persen. Penurunan tingkat konsumsi energi, seperti yang dikemukakan oleh Afiatno (2006), memiliki pengaruh terhadap tingkat kegiatan perekonomian pada umumnya.
228 Siddiqui (2004) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di Pakistan periode 1971-2003. Peningkatan penawaran energi pada harga yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Pengaturan harga energi agar terjangkau masyarakat dilakukan melalui deregulasi. Kenaikan harga energi akan mengurangi permintaan energi, dan akibatnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu kebijakan mengenai harga energi, khususnya harga jual eceran BBM, harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Lamech and O’Sullivan (2002) dalam Siddiqui (2004) menekankan pentingnya peran energi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Strategi pengentasan kemiskinan harus terkait dengan upaya perluasan akses terhadap energi, menerapkan strategi fiskal berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada anggaran negara dalam rangka melaksanakan kebijakan energi, dan kebijakan fiskal yang ketat untuk mengoptimalkan penggunaan energi. Hasil simulasi peramalan kebijakan ini mengakibatkan dampak negatif terhadap perkembangan perekonomian pada umumnya. Kondisi ini terlihat dari menurunnya investasi dan ekspor bersih serta penurunan besaran GDP nasional. Penurunan GDP nasional tampaknya diakibatkan oleh penurunan konsumsi energi sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Selanjutnya, perrmintaan uang mengalami penurunan lebih cepat dari penawarannya, sehingga mengakibatkan tingkat suku bunga meningkat sebesar 5.040 persen. Peningkatan suku bunga mengakibatkan investasi baik investasi migas
maupun
investasi
non-migas
mengalami
penurunan.
Penyediaan
kesempatan kerja yang menyerap pencari kerja, sangat ditentukan oleh besarnya
229 investasi dalam negeri. Oleh karena penurunan investasi juga berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja, maka jumlah tenaga kerja yang tidak terserap pada lapangan kerja mengalami peningkatan sebesar 4.362 persen. Kenaikan harga-harga BBM berdampak pada peningkatan biaya transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami peningkatan sebesar 12.083 persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat upah nasional turun sebesar 0.284 persen. Kombinasi dari tingginya inflasi, penurunan
tingkat
upah
nasional,
dan
penurunan
belanja
pemerintah
mengakibatkan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami peningkatan sehingga tingkat penduduk miskin nasional naik 16.313 persen. Meskipun
simulasi
kebijakan
ini
berdampak
kurang
baik
bagi
perekonomian, namun penurunan subsidi harga telah mampu mengurangi defisit anggaran pemerintah melalui penurunan subsidi BBM sebesar 37.718 persen. Penurunan subsidi ini disebabkan oleh penurunan anggaran subsidi harga yang diikuti oleh penurunan jumlah konsumsinya. Artinya dengan kebijakan ini pemerintah berhasil melakukan penghematan anggaran belanja sebagai akibat dari penurunan subsidi BBM sebesar Rp. 52 484 miliar. Penghematan ini selanjutnya juga berhasil menurunkan gap fiskal pemerintah sebesar Rp. 49 821 miliar. Penghematan belanja negara merupakan suatu peluang bagi pemerintah memperbesar fiscal space atau menetapkan kebijakan realokasi anggaran bagi pos anggaran yang memerlukan penambahan dana seperti pembangunan prasarana dan pengentasan kemiskinan. Khusus pada tahun fiskal 2009, strategi kebijakan fiskal pemerintah antara lain: (1) pengendalian (capping) subsidi BBM dan listrik, dan (2) reformulasi dana perimbangan dengan memasukkan beban subsidi BBM
230 dan subsidi pupuk sebagai variabel penerimaan dalam negeri (PDN) dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (Departemen Keuangan, 2009b). Simulasi Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam rangka menciptakan kebijakan fiskal yang sehat dan sustainable, pemerintah berusaha mengendalikan beban anggaran subsidi. Pada tahun fiskal 2009, langkah-langkah penghematan subsidi energi yang dilakukan pemerintah antara lain meliputi percepatan dan perluasan program konversi BBM ke elpiji (Departemen Keuangan, 2009b). Dalam penelitian ini, konversi BBM ke elpiji dilakukan dengan menaikkan harga jual eceran minyak tanah dan pada saat bersamaan menurunkan harga jual eceran elpiji, melalui pengurangan atau penambahan subsidi harganya. Apabila harga jual eceran minyak tanah meningkat, maka sesuai mekanisme pasar, jumlah permintaannya akan menurun sehingga terjadi penghematan volume konsumsi minyak tanah. Minyak tanah yang dihemat atau dikurangi konsumsinya akan digantikan oleh elpiji yang harga jual ecerannya diturunkan. Pengurangan subsidi harga minyak tanah dilakukan dengan mengurangi porsi subsidi harga minyak tanah terhadap harga keekonomiannya, yang semula 72.49 persen menjadi 30.00 persen. Penambahan subsidi harga elpiji dilakukan dengan meningkatkan porsi subsidi harga elpiji terhadap harga keekonomiannya, yang semula 17.84 persen menjadi 30.00 persen. Tabel 52 menyajikan dampak dari simulasi program konversi minyak tanah ke elpiji. Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, penurunan subsidi minyak tanah mengakibatkan harga minyak tanah meningkat sebesar 141.352 persen, sementara harga elpiji mengalami penurunan sebesar 13.734 persen. Dengan
231 demikian diharapkan bahwa jumlah konsumsi minyak tanah akan turun yang kemudian akan digantikan oleh konsumsi elpiji yang harga jual ecerannya turun. Dalam kenyataannya, jumlah konsumsi minyak tanah mengalami penurunan sebesar 22.555 persen, sementara jumlah konsumsi elpiji mengalami kenaikan sebesar 4.150 persen. Dampak dari simulasi kebijakan ini sangat dirasakan oleh rumahtangga yang kebutuhan energi memasaknya berasal dari minyak tanah. Menurut BPS, (2008a), kebutuhan energi untuk memasak rumahtangga Indonesia tahun 2007 berasal dari kayu bakar 49.38 persen, minyak tanah 36.57 persen, dan elpiji 10.57 persen. Transformasi penyediaan energi dari minyak tanah ke elpiji sangat dirasakan oleh penduduk miskin perkotaan karena keterbatasan alternatif energi memasak yaitu minyak tanah dan elpiji, sementara penduduk miskin perdesaan memiliki alternatif yang lebih luas yaitu minyak tanah, elpiji, dan kayu bakar. Karena itu jelas terlihat bahwa simulasi ini membawa dampak peningkatan jumlah orang miskin di perkotaan yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan jumlah orang miskin di perdesaan. Penduduk miskin di perkotaan lebih sensitif terhadap dampak negatif program konversi minyak tanah ke elpiji, dibandingkan dengan penduduk miskin di perdesaan. Hasil simulasi ini ternyata mampu menurunkan volume konsumsi dan subsidi minyak tanah berturut-turut 22.555 persen dan 63.512 persen, yang pada saat bersamaan menaikkan volume konsumsi dan subsidi elpiji berturut-turut 4.150 persen dan 74.103 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa simulasi kebijakan ini menurunkan subsidi BBM 19.978 persen atau penghematan sebesar Rp. 27 799 miliar dan pengurangan gap fiskal sebesar Rp. 26 582 miliar.
232 Simulasi kebijakan ini berdampak pada penurunan GDP nasional sebesar 1.079 persen. Penurunan GDP nasional disumbang sebagian besar oleh penurunan belanja nasional sebesar 4.684 persen, yang disebabkan oleh penurunan belanja subsidi. Selanjutnya tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sebesar 6.756 persen. Dampak kurang baik terhadap perekonomian, selain berasal dari penurunan belanja negara, kemungkinan besar juga berasal dari penurunan konsumsi energi minyak tanah yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan konsumsi elpiji. Hasil simulasi menunjukkan bahwa konsumsi minyak tanah turun sebesar 2 884 704 kiloliter yang kemudian dikompensasi oleh kenaikan konsumsi elpiji sebesar 54 626 ton. Pada faktor substitusi 0.35
33
, penurunan konsumsi minyak
tanah sebesar itu harus dikompensasi dengan tambahan konsumsi elpiji sebanyak 1 009 646 ton atau terdapat selisih hampir 1 juta ton elpiji. Karena tidak seluruh pengurangan konsumsi minyak tanah dapat dikompensasi oleh elpiji, ada kemungkinan sebagian masyarakat mengurangi tingkat konsumsi energinya atau kembali menggunakan kayu bakar. Kedua hal ini yang kemungkinan besar memberikan sumbangan terhadap penurunan kegiatan perekonomian nasional. Konversi minyak tanah ke elpiji berdampak pada peningkatan biaya transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami peningkatan sebesar 5.552 persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat upah nasional turun sebesar 0.170 persen. Kombinasi dari tingginya inflasi, penurunan 33
Menggunakan asumsi bahwa pola konsumsi rumahtangga akan minyak tanah dan elpiji pada periode peramalan 2010-2014 sama dengan pola konsumsi tahun 2007, maka 12 789 797 kiloliter minyak tanah mensuplai 36.57 persen rumahtangga dan 1 316 242 ton elpiji mensuplai 10.57 persen rumahtangga. Apabila kebutuhan 10.57 persern rumahtangga dipenuhi dari minyak tanah, maka diperlukan sekitar (0.1057/0.3657) * 12 789 797 kiloliter = 3 696 695 kiloliter minyak tanah yang setara dengan 1 316 242 ton elpiji. Jadi faktor substitusi minyak tanah terhadap elpiji adalah (1 316 242 / 3 696 695) = 0.35. Artinya, untuk menggantikan 1 316 242 ton elpiji dibutuhkan sekitar 3 696 695 kiloliter minyak tanah.
233 tingkat upah nasional, dan penurunan belanja pemerintah mengakibatkan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami peningkatan sehingga tingkat penduduk nasional naik sebesar 8.616 persen. Simulasi Kombinasi Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar dengan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam APBN tahun fiskal 2009 (Departemen Keuangan, 2009b), pemerintah berusaha menekan peningkatan konsumsi BBM. Beberapa upaya yang akan dilakukan pemerintah antara lain adalah: (1) mempercepat program konversi bahan bakar minyak rumahtangga ke elpiji, (2) memanfaatkan energi alternatif seperti batubara, gas bumi, panas bumi, air, dan bahan bakar nabati, (3) mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal dan nonfiskal. Dalam rangka menjabarkan kebijakan peramalan tersebut, simulasi ini melakukan program konversi minyak tanah ke elpiji dan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal. Dengan asumsi bahwa premium banyak dikonsumsi oleh masyarakat golongan menengah atas, maka subsidi harganya diturunkan lebih besar dibandingkan dengan subsidi harga minyak solar. Sementara minyak solar, yang seringkali dikaitkan dengan kegiatan usaha dan industri, penurunan subsidi harganya lebih kecil dibandingkan dengan premium. Hal ini dimaksudkan agar kenaikan harga jual eceran premium lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga jual eceran minyak solar, sedemikian sehingga harga jual eceran minyak solar relatif masih lebih terjangkau dibandingkan dengan premium. Dengan demikian, subsidi harga premium dikurangi dari semula 38.42 persen menjadi 20.00 persen dari harga keekonomiannya, subsidi harga minyak solar dikurangi dari semula 29.27 persen menjadi 20.00 persen dari harga keekonomiannya,
234 subsidi harga minyak tanah dikurangi dari semula 72.49 persen menjadi 30.00 persen dari harga keekonomiannya, dan subsidi harga elpiji ditambah dari semula 17.84 persen menjadi 30.00 persen dari harga keekonomiannya. Hasil simulasi kebijakan peramalan ini dapat dillihat pada Tabel 52. Dalam rangka mendukung program konversi minyak tanah ke elpiji, simulasi kebijakan peramalan ini menaikkan harga jual eceran minyak tanah luar biasa tinggi yaitu 145.136 persen. Di lain pihak, meskipun harga jual eceran elpiji diturunkan agar konsumsinya meningkat, namun penurunan harga jual ecerannya relatif kecil yaitu 12.498 persen. Hasil simulasi ini mengurangi jumlah konsumsi premium, minyak solar, dan minyak tanah. Jumlah konsumsi premium dan minyak solar berkurang masing-masing sebesar 2.180 dan 2.647 persen. Sementara jumlah konsumsi minyak tanah berkurang 23.104 persen atau 2 954 955 kiloliter yang dikompensasi dengan penambahan elpiji sebesar 4.051 persen atau 53 321 ton. Jumlah kompensasi elpiji masih jauh dari yang diharapkan dan tidak sebanding dengan pengurangan minyak tanah. Karena itu diperkirakan ada rumahtangga yang mengurangi jumlah konsumsi energinya atau melakukan substitusi sumber energi dari minyak tanah ke kayu bakar atau sumber energi lainnya. Simulasi peramalan kebijakan ini berdampak kurang baik bagi perekonomian. Hal ini diindikasikan oleh penurunan investasi nasional, penurunan net ekspor, dan GDP nasional. Sebagai akibat dari penurunan belanja subsidi, maka anggaran belanja negara mengalami penurunan cukup besar yaitu 9.865 persen, yang selanjutnya mengurangi GDP nasional sebesar 2.081 persen. Dari segi pandangan kebijakan moneter, penurunan GDP nasional mampu
235 menurunkan permintaan uang sedemikian sehingga tingkat suku bunga mengalami peningkatan sebesar 5.929 persen. Besarnya biaya uang akan mengakibatkan investor mengurangi kegiatan investasinya, baik investasi di sektor migas maupun non-migas. Penurunan GDP nasional memiliki arti lain dari pandangan sektor riil yaitu mengindikasikan kurangnya gairah pengusaha meningkatkan produksi karena lemahnya daya serap konsumen dan berkurangnya investasi baru. Kedua hal ini berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja dan juga penurunan upah. Penurunan permintaan tenaga kerja, pada kondisi penawaran tenaga kerja relatif konstan, berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran sebesar 5.126 persen. Kombinasi dari peningkatan pengangguran, penurunan belanja anggaran negara, penurunan upah nasional, tingginya inflasi, yang meskipun dinetralisasi dengan penurunan harga jual eceran elpiji, membawa dampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin perdesaan sebesar 15.479 persen dan penduduk miskin perkotaan sebesar 25.560 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar 18.291 persen. Pengurangan subsidi BBM cenderung mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian. Namun disisi lain terlihat bahwa pengurangan subsidi memberikan dampak positif berupa penciptaan ruang fiskal yang lebih besar dan kesempatan realokasi anggaran pada pos-pos kegiatan yang sangat membutuhkan. Penempatan anggaran pada ruang fiskal menjadi sangat penting karena besarnya ketidakpastian perekonomian dunia dan juga sebagai dampak dari globalisasi. Globalisasi telah mendekatkan kepentingan antar negara dan menciptakan ketergantungan sangat tinggi antar negara, terutama negara-negara yang memiliki
236 hubungan dagang yang penting. Gejolak politik, keamanan, sosial, bahkan moneter yang memiliki dampak terhadap nilai tukar, inflasi, atau pasar saham di suatu negara akan menjalar dengan cepat ke negara mitra dagangnya. Krisis keuangan subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008 telah memicu ketidakstabilan dunia, dimana nilai tukar dan pasar saham Indonesia sempat mengalami penurunan. Ketidakstabilan eksternal tersebut ditambah dengan masalah-masalah internal seperti gejolak politik dan penataan kehidupan demokrasi, mengharuskan pemerintah bersikap hati-hati dalam melakukan kebijakan fiskal. Dalam kerangka inilah ruang fiskal menjadi sangat penting peranannya dalam menjaga momentum pembangunan. Dibandingkan dengan simulasi 4, maka simulasi peramalan ini mampu mengurangi subsidi dalam jumlah yang lebih besar, karena premium dan minyak solar juga berkurang subsidinya. Subsidi harga premium dan minyak solar berkurang berturut-turut sebesar 40.415 persen atau Rp. 686 per liter dan 21.775 persen atau Rp. 296 per liter. Subsidi harga minyak tanah berkurang sebesar 52.624 persen atau Rp. 1 871 per liter, dan subsidi harga elpiji meningkat sebesar 68.880 persen atau Rp. 376 per kilogram. Kombinasi dari penurunan subsidi harga dengan penurunan jumlah konsumsi mengakibatkan subsidi berkurang dalam jumlah yang besar atau terjadi penghematan subsidi BBM sebesar Rp. 59 126 miliar. Selanjutnya penghematan yang berasal dari penurunan belanja subsidi BBM mampu memberikan tambahan ruang fiskal bagi anggaran belanja negara sebesar Rp. 56 123 miliar.
237 Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam rangka mengatasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah terhadap kestabilan anggaran belanja negara, pemerintah melakukan berbagai upaya. Dari sisi penerimaan, upaya yang dilakukan antara lain berupa pengoptimalan penerimaan negara, intensifikasi perpajakan, peningkatan produksi migas (lifting), dan pencarian sumber-sumber penerimaan lain. Dari sisi pengeluaran, upaya pemerintah
antara lain melakukan penghematan belanja,
penjadwalan pelaksanaan proyek-proyek yang tidak terlalu penting, penjadwalan pembayaran hutang dalam negeri atau luar negeri, dan terakhir adalah peningkatan harga jual eceran BBM. Simulasi peramalan ini, sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 52, merupakan kombinasi simulasi 1 + simulasi 2 + simulasi 5. Simulasi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebijakan peningkatan penerimaan dalam negeri dapat mengatasi dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM yang dilakukan ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Kebijakan pengurangan subsidi BBM, di satu pihak, telah mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian. Hal ini terutama dikarenakan pengurangan subsidi berakibat pada penurunan
anggaran
belanja
negara yang
selanjutnya akan
cenderung
menyebabkan kontraksi perekonomian. Dalam rangka mengatasi penurunan anggaran belanja negara, simulasi ini meningkatkan penerimaan dalam negeri pemerintah. Peningkatan penerimaan dalam negeri tidak hanya akan menambah anggaran belanja negara, tetapi juga akan memperbaiki gap fiskal karena sumber pendanaannya berasal dari dalam
238 negeri. Meningkatnya penerimaan dalam negeri dapat digunakan untuk menambah subsidi harga BBM, yang harga dunianya meningkat sebesar 5 persen. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat dan harga jual eceran BBM relatif konstan, maka selisih antara harga keekonomian dengan harga jual ecerannya akan semakin melebar. Karena itu, ketika harga dunia minyak mentah meningkat, maka anggaran subsidi cenderung meningkat, yang salah satu sumber pendanaannya berasal dari peningkatan penerimaan dalam negeri. Simulasi peramalan kebijakan ini tampaknya mampu menjaga stabilitas anggaran belanja negara, dimana anggaran belanja negara hanya turun sebesar 0.327 persen. Penurunan anggaran belanja negara yang relatif kecil diharapkan dapat meredam dampak negatif dari penurunan subsidi. Meskipun demikian, nilai ekspor bersih dan investasi nasional mengalami penurunan yang cukup besar sehingga GDP nasional tetap mengalami penurunan sebesar 0.600 persen. Meskipun GDP nasional mengalami perlambatan penurunan, namun tingkat pertumbuhan ekonomi nasional masih menurun sebesar 4.721 persen. Pada simulasi ini terlihat bahwa subsidi harga BBM menanggung sebagian porsi dari kenaikan harga dunia minyak mentah 5 persen. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat, maka meningkat pula subsidi harga dan harga jual eceran BBM secara proporsional. Dibandingkan dengan simulasi 5, subsidi harga BBM rata-rata mengalami kenaikan 5 persen, yaitu subsidi harga premium naik dari Rp. 1 011 per liter menjadi Rp. 1 062 per liter, subsidi harga minyak solar naik dari Rp. 1 063 per liter menjadi Rp. 1 116 per liter, subsidi harga minyak tanah naik dari semula Rp. 1 684 per liter menjadi Rp. 1 768 per liter, dan subsidi harga elpiji naik dari Rp. 914 per kg menjadi Rp. 960 per kg.
239 Bagian lain dari kenaikan harga dunia minyak mentah akan dibebankan kepada konsumen melalui peningkatan harga jual eceran. Dibandingkan dengan simulasi 5, harga jual eceran premium naik 7.63 persen dari semula Rp. 3 485 per liter menjadi Rp. 3 751 per liter, minyak solar naik 7.62 persen dari semula Rp. 3 662 per liter menjadi Rp. 3 941 per liter, minyak tanah naik 8.89 persern dari semula Rp. 3 308 per liter menjadi Rp. 3 602 per liter, dan elpiji naik 8.31 persen dari semula Rp. 2 201 per kg menjadi Rp. 2 384 per kg. Akibat lanjut dari kenaikan harga jual eceran adalah menurunnya konsumsi BBM. Sebagai contoh, konsumsi minyak tanah turun dari semula 9.83 juta kiloliter menjadi 9.41 juta kiloliter, sedangkan konsumsi elpiji juga mengalami penurunan dari semula 1.37 juta ton menjadi 1.36 juta ton. Terhadap nilai dasar peramalan, konsumsi minyak tanah turun 26.421 persen atau 3 379 182 kiloliter dan konsumsi elpiji naik 3.209 persen atau 42 237 ton. Dari kondisi ini terdapat indikasi bahwa pengurangan konsumsi minyak tanah tidak diimbangi dengan penambahan konsumsi elpiji, sehingga ada rumahtangga yang mengalihkan sumber energinya ke sumber lain seperti ke kayu bakar, biomassa lain, atau mengurangi konsumsi energinya. Secara umum simulasi peramalan kebijakan ini masih mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian, meskipun kenaikan penerimaan dalam negeri telah berhasil meredam sebagian dampak negatifnya. Tingkat suku bunga masih mengalami kenaikan sehingga investasi migas dan non-migas mengalami perlambatan, yang nantinya akan berdampak pada penurunan GDP nasional. Penurunan anggaran belanja negara dan perlambatan pertumbuhan ekonomi telah memaksa kegiatan ekonomi mengalami ’slowing-down’ sehingga permintaan
240 tenaga kerja juga mengalami penurunan. Akibat lanjutnya adalah terjadi penurunan upah nasional dan terjadi peningkatan jumlah pengangguran sebesar 2.204 persen. Interaksi dari berbagai faktor diatas ternyata berhasil mempengaruhi tingkat kehidupan masyarakat miskin yang berada di dekat garis kemiskinan. Penurunan upah nasional, peningkatan pengangguran, dan berkurangnya anggaran belanja negara turut memberikan sumbangan atas pertambahan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar 5.385 persen. Strategi pengurangan subsidi BBM tampaknya berhasil memperbaiki gap fiskal anggaran belanja negara, meningkatkan ruang fiskal, serta realokasi anggaran bagi program-program yang lebih mendesak. Simulasi ini berhasil menghemat subsidi BBM sebesar Rp. 60 845 miliar atau penurunan sebesar 43.276 persen. Penghematan subsidi berdampak pada pengurangan gap fiskal sebesar Rp. 51 901 miliar atau penurunan sebesar 54.474 persen. Penurunan gap fiskal ini sangat penting dalam rangka menciptakan strategi fiskal yang berkelanjutan dengan mengurangi ketergantungan dari sumber dana luar negeri. Penghematan subsidi BBM, dari sudut kebijakan fiskal, ternyata memberikan hasil positif dan menjanjikan serta memiliki prospek fiskal jangka panjang. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran
Simulasi ini bertujuan untuk mengetahui dampak lanjutan dari simulasi 6 dengan melakukan realokasi anggaran yang berasal dari penghematan subsidi BBM sebesar Rp. 60 485 miliar. Penghematan subsidi BBM yang diperoleh dari
241 simulasi 6 berhasil mengurangi gap fiskal. Namun, diketahui bahwa di negara berkembang seperti Indonesia, peranan anggaran belanja negara masih dominan dalam menggerakkan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mempertahankan besaran anggaran belanja negara sama seperti sebelumnya, penghematan subsidi BBM tersebut dimasukkan kembali dalam anggaran belanja melalui penambahannya pada variabel belanja pemerintah diluar subsidi BBM (GOVENS). Simulasi 7 adalah melakukan penambahan anggaran sebesar Rp. 60 485 miliar, yang berasal dari penghematan subsidi BBM pada simulasi 6, pada variabel GOVENS. Realokasi anggaran tersebut dapat digunakan untuk melaksanakan berbagai kebijakan fiskal diluar subsidi BBM, seperti pengembangan ruang fiskal, pembangunan prasarana, penambahan anggaran pro-rakyat, atau program lain yang dianggap lebih mendesak. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 52. Hasil simulasi ini serupa dengan hasil simulasi 6 pada beberapa hal diantaranya yaitu besaran subsidi harga BBM, besaran harga jual eceran BBM, dampak terhadap jumlah konsumsi BBM, dan ekspor bersih BBM. Dampak yang membedakan antara simulasi 6 dan 7 adalah pada simulasi 7 dilakukan realokasi anggaran belanja negara yang berasal dari penghematan subsidi BBM, sehingga belanja pemerintah meningkat 10.177 persen. Peningkatan anggaran belanja negara ini ternyata mampu mengurangi dampak kurang baik dari simulasi kebijakan penghematan subsidi BBM menjadi lebih positif bagi kinerja perekonomian dan kemiskinan. Peningkatan anggaran belanja negara sebesar 10.177 persen, yang bersama-sama dengan penurunan ekspor bersih dan investasi nasional, masih
242 mampu meningkatkan GDP nasional sebesar 1.606 persen. Peningkatan anggaran belanja negara dan GDP nasional cenderung mengakibatkan dampak positif bagi perekonomian dan kemiskinan. Simulasi ini memberikan dampak positif bagi perekonomian dengan melihat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi positif 9.591 persen dan tingkat suku bunga turun 6.121 persen. Penurunan suku bunga akan memicu peningkatan investasi dan meningkatkan produksi barang dan jasa sehingga diperlukan tambahan tenaga kerja cukup besar yaitu 0.554 persen. Tingkat suku bunga adalah salah satu unsur penting dalam proses keputusan bisnis karena akan mempengaruhi kemampuan melunasi pinjaman serta tingkat keuntungan yang dapat dicapai. Selanjutnya, besarnya permintaan tenaga kerja mengakibatkan tenaga kerja yang tidak bekerja mendapat pekerjaan dan pengangguran menjadi berkurang. Berkurangnya pengangguran berarti semakin banyak masyarakat yang memiliki penghasilan sendiri dan semakin terangkat dari garis kemiskinan. Interaksi dari berbagai faktor diatas berhasil meningkatkan taraf kehidupan masyarakat miskin yang berada di dekat garis kemiskinan. Penurunan upah nasional, penurunan pengangguran, dan peningkatan anggaran belanja negara turut memberikan sumbangan atas berkurangnya jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan, sehingga tingkat penduduk miskin nasional turun sebesar 10.590 persen. Strategi realokasi anggaran belanja tampaknya tidak menguntungkan dalam upaya pengurangan gap fiskal, meskipun terjadi penghematan subsidi BBM sebesar 43.781 persen. Simulasi ini cenderung meningkatkan gap fiskal sebesar 9.678 persen yang kurang kondusif dari sudut pandang kebijakan fiskal yang
243 berkelanjutan atau kebijakan ketahanan fiskal. Strategi realokasi yang dilakukan pada simulasi ini ternyata membutuhkan tambahan dana yang berasal dari hibah atau pinjaman luar negeri untuk menutup gap fiskal yang semakin melebar. Beberapa indikator ketahanan fiskal yang dapat digunakan, selain perkembangan rasio utang terhadap PDB, adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang terhadap PDB, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara, dan rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja negara. Rasio utang terhadap PDB menunjukkan tingkat efisiensi pemanfaaan utang yang dilakukan, sehingga semakin rendah tingkat rasio maka semakin efisien pemanfaatan utang. Pada 5 tahun terakhir, rasio utang terhadap PDB menunjukkan angka yang berkisar pada 4.7 persen terhadap PDB (Departemen Keuangan, 2009b). Realokasi anggaran belanja negara pada simulasi ini mengarah pada strategi yang dikenal sebagai stimulus fiskal. Pemanfaatan stimulus fiskal dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain adalah: (1) pemberian insentif perpajakan pada sektor-sektor yang produktif dan memiliki efek multiplikasi yang besar, (2) optimalisasi belanja negara untuk sarana dan prasarana pembangunan demi penciptaan lapangan kerja dan memberikan dukungan bagi sektor swasta, (3) alokasi belanja negara untuk meningkatkan daya beli masyarakat bepenghasilan rendah dalam bentuk subsidi energi dan non-energi, dan (4) dukungan pemerintah kepada swasta dalam pembangunan infrastruktur (public-private partnership). Pada saat ini pemerintah sedang menghadapi dilemma perihal pembayaran pokok hutang dan bunga pinjaman yang semakin membesar. Pada tahun 2009 (Departemen Keuangan, 2009b) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan utang dalam jangka panjang, berpedoman pada: (1) penurunan rasio utang terhadap PDB
244 secara bertahap, (2) penetapan target tambahan utang bersih maksimal terhadap PDB dengan kisaran kurang lebih 1 persen, dan (3) pengurangan secara bertahap ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa simulasi ini berdampak relatif baik bagi perekonomian dan pengurangan kemiskinan, namun ternyata peningkatan kebutuhan akan utang luar negeri perlu diwaspadai. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Kenaikan Indek Harga Konsumen 5 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran
Simulasi 8, yaitu simulasi 7 ditambah kenaikan indek harga konsumen 5 persen, dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih utuh mengenai kondisi dunia nyata ketika beberapa variabel endogen bergerak bersama-sama. Hasil simulasi dharapkan dapat memberi masukan bagi para pengambil keputusan akan dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM ketika terjadi tambahan tingkat inflasi sebesar 5 persen. Penambahan tingkat inflasi diperkirakan akan membuat perekonomian sedikit memburuk karena harga-harga umum cenderung meningkat dan daya beli masyarakat turun. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 52. Easterly (2001) melakukan studi pada 31 869 responden di 38 negara dengan memperhatikan perbedaan karakteristik antar-negara. Masyarakat kurang mampu, yang dicirikan antara lain rendahnya pendapatan, rendahnya tingkat pendidikan, tenaga kerja tidak terdidik, sangat rentan terkena dampak negatif dari inflasi, dibandingkan dengan masyarakat mampu. Inflasi tinggi akan cenderung mengakibatkan penambahan jumlah orang miskin, kelompok masyarakat miskin
245 menjadi semakin miskin, penurunan upah riil, dan akhirnya kontrisbusinya terhadap GDP yang sudah kecil menjadi semakin kecil. Inflasi juga berdampak pada kegiatan perekonomian nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Elder (2004) di Amerika Serikat menemukan bahwa ketidakpastian inflasi berdampak pada penurunan penawaran barang dan jasa, penurunan aktivitas riil ekonomi nasional, dan penurunan pertumbuhan produksi nasional. Kebijakan ekonomi yang mampu mengurangi ketidakpastian inflasi akan cenderung mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Simulasi ini menghasilkan dampak terhadap peningkatan harga jual eceran BBM yang semakin besar, yang tampaknya disebabkan oleh efek peningkatan inflasi. Dalam kondisi inflasi yang semakin tinggi, maka nilai uang akan semakin menurun, yang diindikasikan oleh naiknya harga barang dan jasa. Dibandingkan dengan simulasi 7, harga jual eceran premium yang semula meningkat 38.407 persen menjadi 41.120 persen, minyak solar yang semula meningkat 20.491 persen menjadi 22.854 persen, minyak tanah yang semula meningkat 168.134 persen menjadi 174.203 persen, dan elpiji yang semula turun 4.834 persen menjadi 2.731 persen. Peningkatan harga jual eceran yang semakin tinggi sebagai akibat dari semakin tingginya inflasi, juga mengakibatkan jumlah konsumsi BBM semakin menurun. Jumlah konsumsi premium yang semula turun 3.832 persen menjadi 4.198 persen, minyak solar yang semula turun 4.514 persen menjadi 5.186 persen, minyak tanah yang semula turun 26.583 persen menjadi 27.595 persen, dan elpiji yang semula naik 3.199 persen menjadi 2.770 persen. Dibandingkan dengan nilai dasar, jumlah konsumsi minyak tanah turun sebesar 27.595 persen atau 3 529 398 kiloliter, yang dikompensasi dengan
246 kenaikan jumlah konsumsi elpiji sebesar 36 457 ton. Menggunakan faktor substitusi 0.35, maka penurunan jumlah konsumsi minyak tanah tersebut setara dengan kenaikan jumlah konsumsi elpiji sebanyak 1 235 289 ton elpiji, sehingga terdapat kekurangan sebesar 1 198 832 ton elpiji. Dengan demikian, pada simulasi ini terlihat bahwa peningkatan jumlah konsumsi elpiji hanya mampu mengkompensasi sebagian kecil penurunan konsumsi minyak tanah. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan konsumsi energi dalam perekonomian yang akan berdampak pada penurunan kapasitas kegiatan perekonomian dan selanjutnya akan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi. Ekspor bersih mengalami penurunan sebagai dampak dari semakin mahalnya harga impor BBM dalam mata uang rupiah. Selain nilai impor yang semakin mahal, juga terjadi peningkatan jumlah impor premium. Peningkatan volume impor premium disebabkan oleh elastisnya impor premium terhadap inflasi domestik dan harga dunia premium. Kombinasi dari penurunan nilai ekspor bersih, investasi, dan konsumsi nasional serta kenaikan anggaran belanja negara mengakibatkan GDP nasional mengalami peningkatan sebesar 0.996 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 19.729 persen. Simulasi peramalan kebijakan ini memberikan dampak yang relatif kurang baik bagi pasar tenaga kerja. Ketika tingkat suku bunga mengalami peningkatan maka terjadi kelesuan dalam kegiatan penanaman modal dan kegiatan produksi, yang menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja lebih kecil dari peningkatan penawarannya, sehingga terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja
247 dan jumlah pengangguran meningkat sebesar 0.479 persen. Dampak selanjutnya adalah menurunnya tingkat upah nasional. Simulasi ini menghasilkan dampak yang relatif baik terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Kombinasi dari penurunan upah nasional, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan harga jual eceran elpiji, peningkatan anggaran belanja negara, dan tingkat inflasi yang tinggi, mengakibatkan penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan dan di perkotaan masing-masing sebesar 4.821 persen dan 16.303 persen. Penurunan jumlah penduduk miskin di kedua daerah tersebut mengakibatkan penurunan tingkat penduduk miskin nasional sebesar 7.967 persen. Penurunan penduduk miskin tampaknya disebabkan oleh peningkatan anggaran belanja negara. Dari seluruh variabel endogen pembentuk persamaan kemiskinan, variabel inflasi, pengangguran, dan upah nasional menunjukkan kinerja yang buruk. Hanya variabel endogen anggaran belanja negara dan harga jual eceran elpiji yang menunjukkan indikasi kondusit terhadap upaya pengurangan kemiskinan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam rangka program pengentasan kemiskinan, peranan belanja pemerintah di Indonesia masih dominan dan strategis. Ketika inflasi sangat tinggi yaitu 27.408 persen, pengangguran meningkat, dan upah nasional menurun, namun karena anggaran belanja negara yang meningkat dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 19.729 persen, maka tingkat kemiskinan nasional berhasil dikurangi. Meskipun dalam simulasi ini terlihat betapa penting dan strategisnya peranan anggaran belanja negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan
248 mengurangi kemiskinan, namun komponen pembentuk anggaran belanja negara tahun 2009 cukup mengkhawatirkan. Departemen Keuangan, 2009b, menyatakan bahwa dari jumlah anggaran belanja negara (pemerintah pusat) sebesar Rp. 716 400 miliar, sebagian besar yaitu 57.0 persen digunakan mendanai pengeluaran wajib seperti belanja pegawai sebesar 19.6 persen, pembayaran bunga utang sebesar 14.2 persen, dan subsidi sebesar 23.3 persen. Sedangkan porsi anggaran yang tidak mengikat hanya mencapai 43.0 persen yang meliputi belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Kecilnya porsi anggaran untuk belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lain-lain barangkali akan memberikan dampak yang berbeda terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi yang pro rakyat miskin tahun fiskal 2009, pemerintah melaksanakan berbagai program diantaranya adalah pemberian bantuan sosial, penyediaan Bantuan Langsung Tunai, penyediaan beras subsidi (raskin), program Kartu Sehat, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, dan Bantuan Operasional Sekolah. 6.3.
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kesejahteraan Periode Peramalan Tahun 2010-2014
Pada bagian ini dilakukan evaluasi skenario simulasi kebijakan menggunakan indikator kesejahteraan yang mencakup surplus produsen, surplus konsumen, dan perubahan subsidi BBM, untuk setiap jenis BBM, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 53. Metode evaluasi adalah menjumlahkan seluruh indikator sehingga diperoleh perubahan dampak bersih kesejahteraan.
249
Tabel 53. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014 No.
Uraian
1
Perubahan Kesejahteraan (Rp. Miliar) 2 3 4 5 6 7
8
A. Premium 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
8 079 -6 424 -160 1 495
-27 21 186 180
26 038 -20 565 -19 453 -13 979
690 26 421 -542 -20 824 326 -19 462 474 -13 864
35 691 -28 188 -19 743 -12 239
36 277 -28 584 -19 754 -12 060
39 820 -30 658 -19 855 -10 694
B. Minyak Solar 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
9 481 -8 829 -556 96
-3 125 2 879 3 400 3 154
13 857 -12 891 -11 161 -10 195
985 14 242 -908 -13 240 230 -11 183 306 -10 182
24 785 -23 197 -11 877 -10 288
25 381 -23 733 -11 904 -10 256
28 519 -26 558 -12 156 -10 195
C. Minyak Tanah 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
2069 -3457 -1354 -2742
-491 800 1 251 1 560
10 822 14 902 15 282 -19 184 -27 146 -27 938 -21 549 -28 890 -29 014 -29 911 -41 135 -41 670
17 474 -32 621 -29 740 -44 896
17 591 -32 874 -29 787 -45 070
18 195 -34 213 -29 998 -46 017
D. Elpiji 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
132 -134 89 87
-16 16 22 22
-410 405 534 529
-170 170 523 523
-157 157 523 523
-89 89 518 518
E. Bahan Bakar Minyak 1. Surplus Produsen 2. Surplus Konsumen 3. Perubahan Subsidi 4. Perubahan Dampak Bersih
19 760 -18 844 -1 981 -1 064
-3 659 3 717 4 859 4 917
51 094 16 126 55 536 -53 020 -28 152 -61 597 -52 484 -27 799 -59 126 -54 411 -39 825 -65 187
77 780 -83 835 -60 845 -66 900
79 092 -85 034 -60 921 -66 863
86 445 -91 340 -61 492 -66 387
Keterangan: Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6 Simulasi 7 Simulasi 8
376 -381 -322 -326
-451 445 535 529
Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persen Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persen Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar. Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
Simulasi 1 memberikan surplus bagi kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 19 760 miliar. Hal ini terjadi karena kenaikan harga dunia minyak mentah tidak seluruhnya dapat diserap oleh kenaikan subsidi harga BBM, sehingga harga
250 jual eceran BBM mengalami peningkatan. Peningkatan harga jual eceran BBM yang diikuti oleh penurunan konsumsinya mengakibatkan produsen relatif lebih menikmati manfaatnya dibandingkan konsumen. Di lain pihak, konsumen cenderung dirugikan dengan penurunan surplus sebesar Rp. 18 844 miliar. Dalam rangka mengatasi kenaikan harga dunia BBM, pemerintah berusaha meningkatkan anggaran subsidi harganya. Namun keterbatasan anggaran mengakibatkan dana yang tersedia tidak cukup sehingga terjadi kenaikan harga BBM dalam negeri. Kenaikan harga ini memicu penurunan konsumsinya, sehingga subsidi BBM mengalami penciutan sebesar Rp. 1 981 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 1 064 miliar. Simulasi 2 yang dicirikan oleh penurunan harga jual eceran BBM berdampak pada surplus konsumen sebesar Rp. 3 717 miliar. Hal ini terjadi karena kenaikan penerimaan dalam negeri akan memberikan kesempatan pemerintah untuk meningkatkan anggaran belanja, termasuk anggaran subsidi BBM. Kenaikan subsidi harga, dalam kondisi harga dunia minyak dan nilai tukar rupiah relatif stabil, akan mengakibatkan harga jual eceran turun. Konsumen minyak solar menikmati surplus terbesar, sementara konsumen elpiji menikmat surplus konsumen terkecil karena penurunan harga jual ecerannya yang paling kecil. Permintaan BBM tidak elastis terhadap perubahan harganya, namun dalam nilai mutlak, penurunan harga telah mengakibatkan peningkatan jumlah konsumsi yang lebih besar. Hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan subsidi BBM sebesar Rp. 4 859 miliar. Pada akhirnya terjadi peningkatan dampak bersih kesejahteraan pada simulasi ini sebesar Rp. 4 917 miliar.
251 Simulasi 3 memberikan surplus bagi kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 51 094 miliar. Hal ini terjadi karena penurunan subsidi harga BBM akan menaikkan harga jual ecerannya, bahkan harga jual eceran minyak tanah meningkat 102.742 persen. Meskipun kenaikan harga jual eceran minyak tanah adalah yang terbesar, namun surplus produsen premium lebih besar dari minyak tanah. Hal ini dikarenakan harga dasar dan volume penjualan premium 2 kali lebih besar dari minyak tanah, sehingga kenaikan surplus produsen premium dalam nilai mutlak tetap 2 kali lebih tinggi dibandingkan minyak tanah. Simulasi peramalan penurunan subsidi harga mengakibatkan terjadinya penurunan subsidi BBM sebesar Rp. 52 484 miliar. Kenaikan harga jual eceran BBM mengakibatkan konsumen menderita dengan penurunan surplus konsumen sebesar Rp. 53 020 miliar. Akhirnya terjadi defisit dampak bersih kesejahteraan sebesar Rp. 54 411 miliar. Simulasi 4 yang merupakan simulasi konversi minyak tanah ke elpiji, mengakibatkan kenaikan harga jual eceran minyak tanah dan penurunan harga jual eceran elpiji, sementara harga jual eceran premium dan minyak solar relatif tetap. Kenaikan jual eceran minyak tanah berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen minyak tanah sebesar Rp. 14 902 miliar, pengurangan kesejahteraan konsumennya sebesar Rp. 27 146 miliar, dan pengurangan subsidinya sebesar Rp. 28 890 miliar. Di lain pihak, penurunan harga jual eceran elpiji, berdampak pada penurunan kesejahteraan produsennya sebesar Rp. 451 miliar, peningkatan kesejahteraan konsumennya sebesar Rp. 445 miliar, dan peningkatan subsidinya sebesar Rp. 535 miliar. Simulasi ini ternyata mampu meningkatkan surplus produsen BBM sebesar Rp. 16 126 miliar. Surplus
252 produsen terbesar terjadi pada minyak tanah yaitu Rp. 14 902 miliar. Program konversi ternyata lebih memberikan manfaat bagi produsen dibandingkan terhadap konsumen. Selain itu penurunan subsidi BBM juga berperan besar dalam pengurangan kesejahteraan. Dampak bersih perubahan kesejahteraan adalah Rp. 39 825 miliar yang keluar dari masyarakat. Simulasi 5 adalah kombinasi dari penurunan subsidi harga premium dan minyak solar dengan program konversi minyak tanah ke elpiji. Simulasi ini meningkatkan kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 55 536 miliar, penurunan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 61 597 miliar, dan pengurangan subsidi sebesar Rp. 59 126 miliar. Besarnya peralihan surplus dari konsumen ke produsen disebabkan karena simulasi ini mengakibatkan kenaikan seluruh harga jual eceran BBM yang cukup besar. Hal ini membuat produsen relatif lebih diuntungkan dibandingkan konsumen. Selain itu penurunan dampak bersih sebesar Rp. 65 187 miliar mengindikasikan bahwa simulasi ini perlu mendapat perhatian karena berpotensi menurunkan kesejahteraan pada umumnya. Simulasi 6 adalah kombinasi dari peningkatan harga dunia minyak mentah, peningkatan penerimaan dalam negeri, pengurangan subsidi BBM, dan konversi minyak tanah ke elpiji. Dalam upaya menetralisasi dampak dari kenaikan harga dunia minyak mentah, simulasi ini mengupayakan peningkatan subsidi harga BBM melalui peningkatan penerimaan dalam negeri. Tampaknya, kenaikan penerimaan dalam negeri sebesar 10 persen tidak berarti kenaikan subsidi harga BBM pada porsi yang sama. Alokasi belanja negara pada pos-pos anggaran merupakan keputusan politik yang tidak selalu sejalan dengan logika ekonomi. Karena itu, terlihat bahwa pada simulasi ini harga BBM meningkat lebih tajam
253 lagi dibandingkan dengan simulasi sebelumnya. Sebagai akibat dari kenaikan harga jual eceran BBM tersebut, maka terjadi peralihan kesejahteraan dari konsumen ke sisi produsen. Surplus produsen terbesar pada produsen premium yang meningkat sebesar Rp. 35 691 miliar. Sementara surplus konsumen terbesar pada konsumen minyak tanah yang berkurang sebesar Rp. 32 621 miliar. Simulasi ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 77 780 miliar, pengurangan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 83 835 miliar, dan pengurangan subsidi sebesar Rp. 60 844 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 66 900 miliar. Simulasi 7 merupakan kombinasi dari simulasi 6 ditambah dengan realokasi dana yang berasal dari penghematan subsidi BBM kepada belanja pemerintah diluar subsidi BBM. Kebijakan realokasi ini relatif tidak berpengaruh terhadap peningkatan harga jual eceran BBM, termasuk pula pada jumlah konsumsinya. Karena itu, seperti yang dapat diduga, simulasi ini mengakibatkan peralihan kesejahteraan dari konsumen ke produsen. Simulasi ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen sebesar Rp. 79 092 miliar, penurunan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 85 034 miliar, dan pengurangan subsidi sebesar Rp. 60 921 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 66 863 miliar. Simulasi 8, merupakan kombinasi dari simulasi 7 ditambah dengan peningkatan inflasi domestik. Peningkatan inflasi domestik ternyata berdampak kuat terhadap kenaikan harga jual eceran BBM. Kenaikan harga jual eceran yang semakin tinggi berdampak pada semakin besarnya penurunan jumlah konsumsi BBM. Dampak berikutnya, sesuai perkiraan, yaitu semakin besarnya peralihan
254 kesejahteraan dari konsumen ke sisi produsen. Secara total, simulasi ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen sebesar Rp. 86 445 miliar, penurunan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 91 340 miliar, dan pengurangan subsidi sebesar Rp. 61 492 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 66 387 miliar. 6.4.
Rangkuman dan Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian, Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014
6.4.1. Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Subsidi harga BBM dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah, nilai tukar rupiah, dan penerimaan dalam negeri pemerintah. Pengaruh harga dunia terhadap subsidi harga tidak selalu sebanding dengan pengaruh penerimaan dalam negeri pemerintah. Meskipun harga dunia minyak mentah mengalami kenaikan dan memberi tekanan pada kenaikan subsidi harga, namun karena anggaran belanja negara relatif konstan, maka subsidi secara umum juga konstan, dan subsidi harga BBM hanya mengalami sedikit kenaikan. Hal yang relatif sama akan terjadi apabila nilai tukar rupiah terdepresiasi. Kenaikan harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah mengakibatkan semakin mahalnya harga keekonomian BBM dalam rupiah. Kenaikan harga keekonomian BBM akan disalurkan melalui kenaikan harga jual eceran BBM. Namun ketika simulasi kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah 10 persen dilakukan, maka subsidi harga mengalami kenaikan dan subsidi BBM meningkat sebesar 3.692 persen. Dapat disimpulkan bahwa kenaikan subsidi harga BBM lebih bergantung pada ketersediaan dana pada anggaran belanja negara dibandingkan dengan pada dorongan dari faktor eksternal.
255 Kenaikan harga jual eceran BBM berdampak pada penurunan jumlah konsumsinya. Karena permintaan energi cenderung tidak elastis terhadap harganya, maka persentase penurunan jumlah konsumsi BBM lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harganya. Meskipun demikian, karena jumlah konsumsi BBM sangat besar, dalam nilai mutlak penurunan konsumsi BBM tetap sangat berpengaruh terhadap anggaran belanja negara. Pada kondisi ini subsidi BBM mengalami penurunan sedemikian sehingga belanja pemerintah juga turun. Menggunakan data tahun peramalan 2010-2014, diketahui bahwa subsidi minyak tanah, premium, minyak solar, dan elpiji berturut-turut mencakup 72.49 persen, 38.42 persen, 29.27 persen, dan 18.27 persen dari harga keekonomiannya. Hal ini ternyata mempengaruhi dampak kenaikan harga dunia minyak terhadap harga jual eceran dalam negeri. Semakin besar kontribusi subsidi harga, maka semakin sensitif harga jual eceran dalam negeri terhadap gejolak harga dunia minyak mentah, dalam kondisi subsidi harga BBM relatif konstan. Kenaikan harga dunia minyak mentah 10 persen menyebabkan harga jual eceran minyak tanah, premium, minyak solar, dan elpiji berturut-turut meningkat sebesar 19.720 persen, 8.757 persen, 7.730 persen, dan 4.051 persen. APBN tahun fiskal 2008 (Departemen Keuangan, 2008) menetapkan asumsi harga dunia minyak mentah sebesar US$60 per barrel, sama dengan tahun fiskal 2007. Namun pada awal tahun 2008 harga dunia minyak mentah merambat naik dan mencapai puncaknya sebesar US$143 per barrel. Kenaikan harga dunia minyak mentah sebesar itu diluar kemampuan anggaran untuk memikulnya. Dalam upaya menyelamatkan APBN 2008 dari ancaman subsidi yang berlebihan, pada bulan Mei 2008 pemerintah memutuskan untuk membagi beban subsidi
256 BBM kepada masyarakat dengan menaikkan harga jual eceran BBM rata-rata sebesar 28.7 persen. Penawaran BBM sekitar 65 persen berasal produksi kilang dalam negeri dan sisanya sebesar 35 persen berasal dari impor. Pola penawaran BBM relatif lebih stabil dan tidak terlalu dipengaruhi oleh pergerakan harga dunia minyak bumi maupun peningkatan inflasi dalam negeri. Meskipun peningkatan harga dunia minyak mentah mengakibatkan harga BBM juga meningkat, namun karena adanya subsidi BBM, peningkatan harga dunia minyak mentah tidak langsung dirasakan oleh masyarakat. Ada jarak waktu antara kenaikan harga dunia minyak mentah dengan kenaikan harga jual eceran BBM domestik. Dari model diketahui bahwa premium, minyak solar, dan minyak tanah tidak saling bersubstitusi. Artinya penurunan atau kenaikan permintaan premium tidak berhubungan dengan permintaan minyak solar dan minyak tanah, demikian pula sebaliknya. Karena ketiga jenis BBM ini tidak saling substitusi, maka dimungkinkan pelaksanaan kebijakan yang bersifat ’segmented’ atau kebijakan khusus yang tidak akan berpengaruh terhadap barang lainnya. Dalam kenyataan sehari-hari, para pemilik kendaraan seringkali mempraktekkan pencampuran ilegal antara minyak tanah yang murah dengan premium atau minyak solar. Pemanfaatan elpiji di sektor industri dan transportasi masih sangat terbatas karena membutuhkan biaya mahal dalam pengadaan converter kit dari sumber energi BBM ke elpiji. Pada Tabel 54 dapat dilihat rangkuman hasil simulasi kebijakan yang merupakan kebijakan tidak langsung (indirect policy) dan kebijakan langsung (direct policy) dalam rangka mengetahui dampak subsidi BBM terhadap kinerja perekonomian dan kemiskinan di Indonesia.
257 Tabel 54. Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian, Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014 Variabel A. PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG IMPBBM EKSRLG BOTBBM KOSJPR KOSJSL KOSJKR KOSJLG HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBBBM B.
Uraian
Nilai Dasar
1
2
3
Simulasi 4 5
6
7
8
Subsidi dan Pasar Bahan Bakar Minyak (persen) Penawaran Premium (Ribu Liter) Penawaran Minyak Solar (Ribu Liter) Penawaran Minyak Tanah (Ribu Liter) Penawaran Elpiji (Ribu Kilogram) Impor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Ekspor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp) Konsumsi Premium (Ribu Liter) Konsumsi Minyak Solar (Ribu Liter) Konsumsi MinyakTanah (Ribu Liter) Konsumsi Elpiji (Ribu Kilogram) Harga Jual Eceran Premium (Rp/Lt) Harga Jual Eceran Minyak Solar (Rp/Lt) Harga Jual Eceran Minyak Tanah (Rp/Lt) Harga Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg) Subsidi Harga Premium (Rp/Lt) Subsidi Harga M.Solar (Rp/Lt) Subsidi Harga M.Tanah (Rp/Lt) Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg) Subsidi BBM (Miliar Rp)
33 898 969 37 315 237 7 818 580 1 305 403 255 417 999 - 254 417 26 846 754 34 496 949 12 789 797 1 316 242 2 720 3 283 1 349 2 516 1 697 1 359 3 5555 546 139 150
0.109 0.213 -1.152 -1.381 5.462 11.448 5.439 -0.905 -1.673 -3.174 -0.405 8.757 7.730 19.720 4.051 0.595 0.530 0.270 12.779 -1.424
0.160 0.098 -0.026 -0.015 0.323 0.110 0.323 0.010 0.560 0.777 0.030 -0.029 -2.549 -4.654 -0.489 0.389 6.610 1.944 2.929 3.492
3.339 1.330 -0.322 -0.340 4.610 2.692 4.618 -2.779 -2.590 -16.378 -0.458 27.775 11.235 102.742 11.476 -40.415 -21.775 -36.832 -44.160 -37.718
1.628 0.639 -0.154 -0.167 2.205 1.311 2.209 -0.068 -0.150 -22.555 4.150 0.743 0.801 141.352 -13.734 0.766 0.640 -52.624 67.338 -19.978
3.796 1.511 -0.366 -0.387 5.245 3.062 5.254 -2.810 -2.647 -23.104 4.051 28.120 11.537 145.116 -12.498 -40.415 -21.775 -52.624 67.338 -42.491
4.360 1.945 -1.598 -1.836 11.811 15.311 11.798 -3.795 -4.446 -26.421 3.209 37.881 20.034 166.956 -5.215 -37.426 -17.851 -50.262 75.760 -43.726
4.874 2.191 -1.664 -1.890 12.719 15.771 12.707 -3.832 -4.514 -26.583 3.199 38.407 20.491 168.134 -4.834 -37.426 -17.851 -50.262 75.760 -43.781
10.043 3.697 -2.007 -2.418 18.612 20.494 18.605 -4.198 -5.186 -27.595 2.770 41.120 22.854 174.203 -2.731 -37.426 -17.851 -50.262 75.760 -44.191
0.209 -0.471 -0.201 0.093 2.411 -0.478 0.183 -0.051 -0.972 -0.609 -0.788 0.578 1.542 1.121 -0.095 1.114 4.736 -7.394 -4.021 1.526 1.768 1.587
-0.167 0.018 10.214 0.086 0.197 2.129 12.327 10.274 9.906 2.905 3.153 0.120 0.335 -6.676 -1.041 -4.493 1.931 -0.273 14.015 -12.936 -22.464 -15.588
0.474 -1.300 -8.749 1.597 2.183 -1.769 0.355 -0.224 -52.291 -2.420 -2.990 1.537 4.055 5.040 -0.284 4.362 12.083 -0.296 -11.485 13.615 23.250 16.313
0.023 -0.649 -4.684 0.776 1.034 -1.079 0.123 -0.138 -27.900 -1.484 -1.790 0.737 1.944 3.182 -0.170 2.670 5.552 -0.057 -6.756 7.425 11.717 8.616
0.397 -1.481 -9.865 1.815 2.480 -2.081 0.389 -0.263 -58.905 -2.845 -3.501 1.745 4.591 5.929 -0.322 5.126 13.634 -0.330 -13.559 15.479 25.560 18.291
0.408 -2.050 -0.327 2.137 5.433 -0.600 13.312 10.274 -54.474 -0.775 -1.417 2.593 6.836 0.936 -1.534 2.204 21.241 -8.508 -4.721 5.034 6.297 5.385
0.299 -2.157 10.177 2.393 5.902 1.606 27.135 10.274 9.678 2.266 1.852 2.886 7.607 -6.121 -2.708 -2.456 24.468 -8.938 9.591 -8.322 -16.467 -10.590
-0.732 -4.831 10.536 4.770 8.199 0.996 27.736 10.274 11.874 0.475 -0.649 4.549 13.183 0.178 -2.746 0.479 27.408 -6.302 19.729 -4.821 -16.303 -7.967
19 760 -18 844 -1 981 -1 064
-3 659 3 717 4 859 4 917
51 094 -53 020 -52 484 -54 411
16 126 -28 152 -27 799 -39 825
55 536 -61 597 -59 126 -65 187
77 780 79 092 86 445 -83 835 -85 034 -91 340 -60 845 -60 921 -61 492 -66 900 -66 863 -66 387
Indikator Perekonomian dan Kemiskinan (persen)
KOSNAS INVEST GOVEXP EKSPOR IMPORT GDPNAS GOVENS REVDDN FISCGP MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT
Konsumsi Nasional (Miliar Rp) Investasi Nasional (Miliar Rp) Belanja Pemerintah (Miliar Rp) Ekspor Nasional (Miliar Rp) Impor Nasional (Miliar Rp) GDP Nasional (Miliar Rp) Belanja Non-Subsidi BBM (Miliar Rp) Penerimaan DN Pemerintah (Miliar Rp) GAP Fiskal (Miliar Rp) Jumlah Penawaran Uang (Miliar Rp) Jumlah Permintaan Uang (Miliar Rp) Nilai Tukar (Rp/US$) Indeks Harga Konsumen (indeks) Tingkat Suku Bunga (persen) Upah Minimum Nasional (Rb Rp/Bulan) Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) Tingkat Inflasi Domestik (%/Th) Ekspor Bersih Nasional (Miliar Rp) Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%/Thn) Jumlah Penduduk Miskin Desa (Jt Jiwa) Jumlah Penduduk Miskin Kota (Jt Jiwa) Tingkat Penduduk Miskin Nasional (%)
C. 1. 2. 3. 4. Keterangan: Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6 Simulasi 7 Simulasi 8
Indikator Kesejahteraan (Rp. Miliar) Surplus Produsen Bahan Bakar Minyak Surplus Konsumen Bahan Bakar Minyak Perubahan Subsidi Bahan Bakar Minyak Perubahan Dampak Bersih
1 639 787 233 125 581 900 788 296 601 895 2 641 213 442 750 486 623 - 95 277 1 256 557 1 366 987 8 483 298.40 2.76 528.10 12.83 9.44 186 400 3.40 13.78 5.72 8.17
Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persen Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persen Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar. Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
258 Model yang dipakai pada penelitian ini menempatkan inflasi sebagai variabel endogen yang sensitif terhadap pergerakan harga jual eceran BBM. Kenaikan sedikit pada harga jual eceran BBM, akan mengakibatkan inflasi meningkat tajam. Meskipun demikian, inflasi bukanlah variabel dominan bagi penduduk miskin. Inflasi yang tinggi, diatas dua digit, cenderung dihindari oleh pemerintah karena dapat memberi sinyal negatif bagi dunia usaha berupa ’overheating’ perekonomian sehingga penyaluran kredit perlu dijadwal ulang. Jika pemerintah peduli terhadap besaran inflasi, maka simulasi terbaik adalah simulasi 4, 3, dan 5. Jika pemerintah sangat memperhatikan tingkat pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan pembangunan, maka kita perlu melihat unsur-unsur pembentuk GDP nasional. Kebijakan subsidi harga BBM secara langsung mempengaruhi besaran anggaran belanja negara, yang menyumbang sekitar 1/5 dari GDP nasional. Pengaruh subsidi harga BBM terhadap komponen lainnya terjadi secara tidak langsung. Konsumsi BBM memberikan sumbangan sebesar 14 persen dari konsumsi nasional, karena itu pengaruh kebijakan subsidi BBM relatif tidak berpengaruh terhadap konsumsi nasional. Nilai ekspor bersih, yang dikaitkan dengan besaran impor BBM, hanya bergerak apabila harga dunia minyak mentah berfluktuasi. Sementara besaran investasi nasional secara tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat suku bunga domestik yang bergerak sejalan dengan kombinasi perubahan penawaran dan permintaan uang. Karena itu simulasi 7, 2, dan 8 merupakan alternatif kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi yang layak diterapkan.
259 Sejalan dengan tingkat suku bunga yang mempengaruhi tingkat investasi, maka tingkat investasi dan gairah berproduksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besaran permintaan tenaga kerja. Jika pemerintah berupaya mengatasi masalah pasar kerja yang terus terjadi, maka simulasi 2 dan 7 merupakan
alternatif
kebijakan
yang
baik
untuk
mengurangi
jumlah
pengangguran. Bahkan pada simulasi 7 jumlah pengangguran tetap berhasil diturunkan dengan tetap menjalankan program pengurangan subsidi harga BBM dan program konversi minyak tanah ke elpiji dan ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Neraca perdagangan yang ditampilkan sebagai ekspor bersih ternyata cukup dipengaruhi oleh besaran impor BBM. Impor BBM mencakup sekitar 42 persen dari impor total, sehingga kenaikan harga impor BBM dalam mata uang rupiah berdampak pada penurunan impor nasional dan memperburuk neraca perdagangan Indonesia. Karena itu simulasi 4, 2, 3, dan 5, merupakan alternatif kebijakan yang baik untuk mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kemiskinan di perdesaan lebih sederhana yaitu inflasi, anggaran belanja negara, dan upah nasional. Jumlah kemiskinan di perdesaan cenderung berkurang pada simulasi 2, 7, dan 8. Ketiga simulasi ini memiliki karakteristik yang sama yaitu terjadinya peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor anggaran belanja negara, meskipun inflasi sangat tinggi, ternyata sangat penting dalam membantu pemerintah mengurangi angka kemiskinan di perdesaan. Anggaran belanja negara yang meningkat, memungkinkan pemerintah menambah ruang fiskal atau melaksanakan program-program pro-rakyat seperti Bantuan
260 Langsung Tunai, Jaminan Kesehatan Masyarakat, Raskin, dan Bantuan Operasional Sekolah. Upaya mengatasi masalah kemiskinan di perkotaan tampaknya lebih sulit karena permasalahan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah orang miskin perkotaan ditambahkan dengan variabel upah nasional. Berbeda dengan di perdesaan yang banyak tersedia lapangan pekerjaan tidak formal atau pekerjaan pertanian yang tidak masuk dalam pencatatan sebagai sektor formal, maka di perkotaan lebih banyak orang bekerja di sektor formal yang upahnya dicerminkan dalam upah nasional. Simulasi yang memberi dampak menggembirakan bagi upaya pengentasan kemiskinan di perkotaan adalah simulasi 2, 7, dan 8. Dikarenakan tingkat kemiskinan nasional merupakan persamaan identitas, maka simulasi yang memberikan dampak positif bagi pengurangan kemiskinan nasional adalah simulasi 2, 7, dan 8. Indikator berikutnya adalah gap fiskal yang berasal dari pengurangan penerimaan dalam negeri pemerintah dengan anggaran belanja negara. Semakin besar gap fiskal, maka semakin besar kebutuhan anggaran belanja negara yang berasal dari hibah/bantuan luar negeri. Gap fiskal memberikan indikasi apakah suatu kebijakan fiskal memenuhi prinsip-prinsi kebijakan fiskal yang sustainable atau berkelanjutan. Dalam simulasi yang dilakukan, sumber gap fiskal terutama berasal dari naik turunnya anggaran subsidi BBM. Jika pemerintah melakukan pengurangan subsidi BBM, ketika penerimaan dalam negeri relatif konstan, maka yang terjadi adalah anggaran belanja negara berkurang, gap fiskal akan cenderung mengecil, dan kebijakan fiskal dapat dikategorikan sebagai kebijakan fiskal yang berkelanjutan. Simulasi 5, 6, 3, dan 4 merupakan simulasi yang mampu
261 menurunkan gap fiskal. Namun perlu diperhatikan bahwa simulasi 7 dan 8 adalah simulasi yang menginjeksikan kembali penghematan yang berasal dari pengurangan subsidi ke anggaran belanja negara. Karena itu simulasi 7 dan 8 tidak menghasilkan suatu penghematan anggaran belanja negara dan bukan simulasi yang sejalan dengan kebijakan fiskal yang berkelanjutan. Secara umum, dampak terhadap kesejahteraan yang positif diperlihatkan oleh simulasi 1 dan 2, yang keduanya merupakan simulasi tunggal. Dalam penelitian ini, pengurangan subsidi merupakan unsur yang mengurangi kesejahteraan. Meskipun demikian, pengurangan subsidi dapat juga dianggap sebagai suatu kebijakan yang positif karena dapat menyediakan ruang fiskal atau keleluasaan dalam upaya melaksanakan program-program pro-rakyat, apabila dilakukan realokasi anggaran. Simulasi 3, 4, dan 5 pada dasarnya juga merupakan simulasi tunggal yaitu upaya pengurangan subsidi BBM. Simulasi yang lebih realistis adalah simulasi 6, 7, dan 8. Dari Tabel 54 terlihat bahwa simulasi 8 memberikan pengurangan kesejahteraan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan simulasi 6 dan 7, lebih realistis, menghasilkan dampak terhadap kinerja perekonomian yang relatif baik, dan masih mampu mengurangi tingkat kemiskinan nasional. 6.4.2. Sintesis Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia
Beberapa kebijakan subsidi harga BBM yang dirumuskan pemerintah bertujuan melindungi masyarakat kurang mampu dari gejolak harga BBM dan mempertahankan kebijakan fiskal yang keberlanjutan. Kondisi ini menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Sebagai contoh, pada tahun 2000 DPR RI dan pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
262 Program Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004, yang berisikan antara lain strategi besar (grand strategy) penghapusan subsidi BBM pada tahun 2004. Rencana kenaikan harga jual eceran BBM tersebut dimulai pada bulan Januari 2002. Namun kita ketahui, pada akhirnya pemerintah menyadari bahwa lebih banyak faktor-faktor sosial dan kestabilan politik yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menaikkan harga jual eceran BBM. Karena itu subsidi BBM hingga saat ini masih ada dan cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan harga dunia minyak mentah. Kenaikan harga jual eceran BBM merupakan pilihan yang sulit dan tidak populer, karena cenderung akan memberikan dampak terhadap meningkatnya biaya transportasi, harga barang dan jasa yang menggunakan komponen BBM, dan pengaruh psikologis secara tidak langsung terhadap kenaikan harga barang dan jasa pada umumnya. Pemerintah harus mengambil suatu keputusan diantara pilihan keputusan yang sulit dengan melihat pada keterbatasan anggaran belanja negara. Analisis kelebihan dan kekurangan kebijakan peningkatan harga jual eceran BBM musti mempertimbangkan kedua sudut pandang tersebut. Di sisi lain, kenaikan harga jual eceran BBM cenderung akan dapat mendorong penghematan penggunaan energi pada umumnya, efisiensi alokasi sumber daya, serta mencegah kegiatan penyalahgunaan BBM seperti penggunaan minyak tanah dan solar subsidi ke pengguna industri atau penyelundupan BBM ke luar negeri. Dampak langsung dari kenaikan harga jual eceran BBM adalah terjadinya penurunan subsidi energi secara nyata sehingga memberikan ruang fiskal yang besar dan keleluasaan pemerintah melakukan realokasi anggaran bagi
263 pelaksanaan program-program lain yang pro-rakyat termasuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja. Selanjutnya, upaya pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM mendapat tantangan masyarakat luas. Masyarakat, termasuk kalangan pengusaha, sudah terbiasa dengan harga BBM yang rendah dan stabil dan dengan demikian dianggap kondusif dalam menciptakan iklim investasi yang baik dan kepastian ekonomi. Karena itu pemerintah berupaya melakukan terobosan kebijakan yang tidak secara resmi menaikkan harga jual eceran BBM, tetapi tujuan pengurangan subsidi BBM tetap dapat dicapai. Salah satu komponen yang membuat besarnya anggaran subsidi BBM adalah volume BBM yang disubsidi. Karena itu, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005, yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006, melakukan pengaturan terhadap kelompok masyarakat yang berhak membeli BBM subsidi. Pada dasarnya, premium hanya diperuntukkan bagi konsumen usaha kecil, transportasi darat, dan pelayanan umum. Minyak solar diperuntukkan bagi usaha kecil, transportasi darat, transportasi laut terbatas, pelayanan umum, dan usaha perikanan terbatas. Minyak tanah diperuntukkan bagi konsumen rumahtangga dan usaha kecil terbatas. Sementara itu konsumen elpiji yang dikemas dalam tabung 3 kilogram diperuntukkan bagi konsumen rumahtangga dan usaha kecil. Pengaturan mengenai tata niaga elpiji tabung ukuran 3 kg, 12 kg, dan 50 kg diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquified Petroleum Gas (elpiji).
264 Keputusan pemerintah pada tahun 2006 yang membatasi konsumen yang berhak membeli BBM subsidi memperoleh hasil pada tahun-tahun berikutnya berupa pengurangan volume BBM subsidi yang dikonsumsi masyarakat. Pada dokumen anggaran APBN tahun 2005 ditetapkan volume BBM subsidi sebesar 59.6 juta kiloliter, yang kemudian turun sebesar 37.9 juta kiloliter sebagaimana yang tercantum pada dokumen APBN-Perubahan tahun 2006, dan kemudian turun lagi menjadi 36.9 juta kiloliter pada APBN 2007. Pada tahun 2004 realisasi subsidi BBM mencapai Rp. 69.0 triliun dan menjadi Rp. 104.7 triliun pada tahun 2005. Peningkatan beban subsidi pada tahun 2005, selain disebabkan oleh tingginya harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah, juga disebabkan oleh naiknya volume konsumsi BBM subsidi. Dalam rangka mengatasi beban subsidi BBM yang semakin meningkat, pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM sebesar rata-rata 30 persen pada awal bulan Maret 2005 dan kemudian sebesar rata-rata 125 persen pada awal bulan Oktober 2005. Sehingga pada tahun 2005 telah diberlakukan 2 kebijakan mendasar, yaitu: (1) kenaikan harga jual eceran BBM, dan (2) berkurangnya volume BBM subsidi. Kedua kebijakan ini membuahkan hasil, yang tercermin pada penurunan realisasi beban subsidi BBM menjadi Rp. 64.2 triliun pada tahun fiskal 2006. Dalam upaya menanggulangi dampak negatif kenaikan harga jual eceran BBM terhadap penduduk golongan miskin, pemerintah melaksanakan program penanggulangan dampak pengurangan subsidi energi (PPD-SE) yang kemudian diubah menjadi program kompensasi pengurangan subsidi BBM (PKPS-BBM), yang berisikan antara lain: (1) penyediaan pangan murah melalui operasi pasar
265 khusus (OPK) beras bagi rakyat miskin (raskin), (2) penyediaan bantuan khusus bidang pendidikan termasuk bantuan operasional sekolah (BOS), (3) bantuan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin, (4) penyediaan air bersih bagi penduduk miskin di perkotaan, dan (5) penyediaan dana bergulir bagi lembaga kredit mikro. Pada bulan Januari Tahun 2010, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral menerbitkan Roadmap Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak, berisikan langkah-langkah pengurangan subsidi BBM sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000. Pertimbangan yang dikemukakan mengenai pentingnya Roadmap tersebut antara lain: (1) pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaaran pendistribusian BBM, (2) harga dunia minyak mentah cenderung terus meningkat, (3) daya beli sebagian masyarakat masih rendah, (4) kebutuhan BBM terus meningkat, (5) subsidi BBM terus meningkat, (6) kemampuan APBN untuk mendanai subsidi semakin terbatas, (7) kebijakan subsidi harga BBM tidak tepat sasaran, dan (8) diperlukan pengalihan kebijakan dari subsidi harga BBM menjadi subsidi langsung. Dalam rangka melaksanakan kebijakan pengurangan subsidi BBM dan secara bertahap menuju subsidi yang tepat sasaran, dilakukan strategi antara lain: (1) mewajibkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) dalam rangka diversifikasi sumber energi, (2) pelaksanaan konversi minyak tanah ke elpiji, (3) melakukan pembinaan dan pengawasan agar subsidi BBM tepat sasaran, (4) alokasi BBM subsidi untuk pengguna tertentu dengan menggunakan sistem distribusi tertutup, dan (5) melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
266 Ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam upaya pengurangan subsidi BBM. Pertama, adalah penguatan program-program pro-rakyat miskin seperti raskin, bantuan operasional sekolah, kredit usaha kecil, dan jaminan kesehatan masyarakat. Kedua, pengurangan volume BBM subsidi, dengan cara antara lain: (1) diversifikasi sumber energi ke gas bumi, elpiji, dan energi nonfosil, (2) penerapan sistem distribusi tertutup untuk pengguna tertentu, dan (3) diterapkan insentif dan dis-insentif fiskal. Ketiga, penajaman besaran Harga Keekonomian BBM, yaitu: (1) menekan biaya distribusi BBM, (2) mengevaluasi biaya penyediaan BBM, dan (3) diskriminasi harga untuk pengguna tertentu sesuai dengan kemampuannya. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, disebutkan nilai alpha ditetapkan maksimal sebesar 15 persen dari harga MOPS. Dalam kenyataan, besaran alpha semakin mengecil, yaitu dari 14.1 persen pada tahun 2006 menjadi 8.0 persen pada tahun 2009. Semakin kecil nilai alpha seringkali diindikasikan dengan semakin efisiennya pendistribusian BBM. Tetapi kita harus hati-hati mengenai efisiensi ini, karena adanya ketidakpastian yang tinggi dalam pendistribusian BBM di Indonesia sebagai akibat dari luasnya wilayah distribusi, cuaca yang sulit diprediksi, jarak laut, dan daerah pedalaman yang sulit dijangkau. Oleh karena itu, semakin tinggi efisiensi dapat diartikan sebagai semakin sensitif terhadap potensi kelangkaan apabila salah satu mata rantai pendistribusian mengalami hambatan. Selain itu, penetapan nilai alpha dalam persen hanya akan memiliki nilai ekonomis ketika harga dunia minyak mentah cukup tinggi. Namun apabila harga dunia minyak mentah merosot, semakin kecil nilai alpha dalam rupiah. Dalam
267 rangka mengakomodasi nilai alpha yang naik turun, pada tahun fiskal 2010 pemerintah menetapkan nilai alpha nasional sebesar Rp. 566 per liter, sehingga untuk sementara nilai alpha terbebas dari fluktuasi harga dunia minyak mentah. Negara-negara di Asia memiliki pengalaman dan menerapkan kebijakan yang berbeda-beda untuk subsidi BBM (Shikha Jha, 2009). Negara-negara Asia Tengah dan Asia Tenggara cenderung memberikan subsidi BBM, sementara negara-negara Asia Timur cenderung melepas harga ke pasar. Pengaturan harga BBM menganut mekanisme berbeda-beda, yaitu: (1) harga dilepas ke pasar, (2) secara otomatis harga BBM berubah-ubah berdasarkan suatu rumus, dan (3) pengendalian harga atau harga administrasi secara ad-hoc. Di negara-negara yang menerapkan pengendalian harga, kenaikan harga dunia minyak mentah mengakibatkan perlunya peninjauan kembali kebijakan tersebut termasuk pengurangan subsidi atau pajak. China dan India melepaskan harga BBM ke mekanisme pasar dan pada saat bersamaan melindungi masyarakat miskin melalui program jaring pengaman sosial. Program tersebut mendapat pendanaan dari penghematan anggaran belanja karena tidak memberikan subsidi. 6.4.3. Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperbaiki kinerja perekonomian dan kemiskinan tidak akan membuahkan hasil apabila tidak ditunjang oleh kegiatan lain. Masalah defisit anggaran yang dialami negara Indonesia semakin menunjukkan tingkat yang serius, terutama setelah krisis ekonomi tahun 1997. Strategi yang menyeluruh mengenai kebijakan anggaran, belanja, dan penerimaan negara harus dirumuskan kembali agar sesuai dengan
268 arah dan tujuan yang ingin dicapai. Pengelolaan anggaran yang tidak hati-hati akan dapat menjerumuskan negara Indonesia ke dalam kebangkrutan. Pada tahun fiskal 2009, utang pemerintah yang berasal dari dalam negeri mencapai Rp. 779.9 triliun dan utang luar negeri US$73.2 miliar. Untuk melunasi utang, pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp. 101.73 triliun atau 14.2 persen dari belanja negara. Pada tahun yang sama pembayaran subsidi BBM mencapai Rp. 57.6 triliun atau 8.04 persen dari total belanja negara. Belanja subsidi dan pembayaran bunga utang mencakup 37.5 persen anggaran belanja negara, membuat pemerintah kurang leluasa menjalankan programprogram pembangunan lainnnya. Oleh karena itu, sudah saatnya diperlukan suatu kebijakan yang menyeluruh untuk mengatasi persoalan subsidi ini. Salah satu jalan keluar adalah mengadopsi strategi yang sedang diterapkan oleh China dan India (Shika Jha, 2009), yaitu melepas harga BBM ke mekanisme pasar dengan tetap memberikan perlindungan bagi masyarakat kurang mampu. Sejauh mana kenaikan harga dunia minyak mentah berpengaruh terhadap kenaikan harga jual eceran BBM atau kenaikan subsidi harga BBM ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Departemen Keuangan (2009b) melakukan macro
stress test yaitu simulasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah. Jika harga dunia minyak mentah naik sebesar US$20 per barrel akan mengakibatkan penambahan beban pembayaran subsidi ke PT Pertamina (persero) sebesar Rp. 48.7 triliun. Selain itu, apabila terjadi depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 20 persen, maka akan terjadi penambahan beban pembayaran subsidi ke PT Pertamina (persero) sebesar Rp. 50.3 triliun.
269 Karena itu, dua hal sangat penting dalam kaitan dengan subsidi, yaitu harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Dalam simulasi terlihat bahwa subsidi harga tidak berubah untuk meredam kenaikan harga dunia minyak mentah yang mengakibatkan harga jual eceran BBM naik. Karena itu, pemerintah harus hati-hati dalam mengendalikan kebijakan subsidi harga BBM, khususnya ketika terjadi fluktuasi harga dunia minyak mentah. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang bersifat random, sebaiknya pemerintah mencadangkan dana cukup besar dalam ruang fiskal dengan tujuan untuk berjaga-jaga. Peningkatan
penerimaan
dalam
negeri
dapat
membawa
kinerja
perekonomian dan kemiskinan pada arah dan kondisi yang lebih baik. Namun perlu disadari bahwa peningkatan penerimaan dalam negeri yang berlebihan dapat berdampak pada kondisi ’overtax’ yaitu beban pajak berlebihan sehingga mengakibatkan kelesuan dunia usaha dan berikutnya kontraksi perekonomian. Peningkatan penerimaan dalam negeri dapat dilakukan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan termasuk meningkatkan efisiensi penarikan pajak. Kebocoran dalam penarikan pajak sebaiknya dikurangi agar menjadi sekecil mungkin, meningkatkan kesadaran para pembayar pajak, dan sekaligus meningkatkan kepatuhan warganegara dalam membayar pajak. Program pengurangan subsidi BBM, sebagaimana yang telah dilakukan di negara-negara lain, dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan daya beli golongan masyarakat kurang mampu. Seperti kita ketahui bahwa di Indonesia, minyak tanah menjadi sumber energi utama rumahtangga di perkotaan, sehingga kenaikan harga minyak tanah atau bahkan kelangkaan minyak tanah akan menyulitkan kehidupan golongan masyarakat
270 kurang mampu di perkotaan. Masyarakat kurang mampu di perdesaan, meskipun memiliki alternatif sumber energi berupa kayu bakar, tetap mengalami kesulitan mendapatkan kayu bakar dengan harga terjangkau. Meluasnya permukiman penduduk serta berkurangnya kawasan hutan dan tegalan membuat kayu bakar semakin sulit diperoleh dan harganya menjadi semakin mahal. Berkurangnya kemampuan dan daya beli masyarakat kurang mampu dapat dikompensasi dengan memberikan pelayanan umum gratis atau memberikan bantuan langsung uang tunai. Bantuan pelayanan umum dimaksudkan agar mereka tetap memiliki akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, terutama layanan ibu hamil, anak usia balita, dan anak usia sekolah. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dimaksudkan untuk memberi keleluasaan bagi masyarakat mengalokasikan sendiri dana bantuan sesuai dengan keperluannya. Hal yang sering dipermasalahkan dalam pemberian BLT ini antara lain: (1) kurang tepatnya pendataan penduduk miskin, sehingga seringkali terjadi under-estimate, (2) sulitnya menjangkau penduduk yang tinggal di daerah-daerah terpencil, dan (3) besaran alokasi BLT yang seringkali dianggap kurang sepadan dengan akibat yang ditimbulkan dari kenaikan harga jual eceran BBM. Program konversi minyak tanah ke elpiji dilaksanakan pemerintah dengan membagikan paket elpiji kepada golongan masyarakat kurang mampu dan kemudian menarik minyak tanah subsidi dari peredaran atau pasar. Hal ini dilakukan bertahap dalam kurun waktu 3-6 bulan di suatu wilayah. Minyak tanah tetap disediakan di pasar namun dengan harga keekonomiannya. Mekanisme ini diharapkan dapat ’mendorong’ rumahtangga agar mengganti sumber energi memasak dari minyak tanah ke elpiji. Pelaksanaan program konversi berjalan
271 dengan mulus meskipun ditemui beberapa hambatan, diantaranya adalah: (1) kurangnya sosialisasi penggunaan gas elpiji sehingga seringkali menimbulkan masalah-masalah keamanan dan kenyamanan penggunaan, (2) penyediaan gas elpiji seringkali terlambat yang disebabkan oleh kurang lancarnya sistem pendistribusian gas elpiji, dan (3) perubahan kebiasaan masyarakat dan peralatan penerangan yang tidak semuanya dapat diganti dari minyak tanah ke elpiji. Ada dua hal yang menyebabkan dampak negatif pengurangan subsidi BBM, yaitu: (1) kenaikan harga jual eceran menyebabkan jumlah konsumsi menurun, sehingga mengakibatkan kinerja perekonomian terganggu. (2) kenaikan harga jual eceran mengakibat inflasi tinggi dan ini berdampak kurang baik bagi upaya pengentasan kemiskinan. (3) pengurangan subsidi harga berdampak pada penurunan anggaran belanja pemerintah sehingga berpengaruh terhadap permintaan uang, tingkat suku bunga, dan kemiskinan. Dalam rangka mengatasi pengurangan anggaran belanja negara, pada simulasi 7 dan 8 dilakukan realokasi anggaran yang berasal dari penghematan subsidi. Strategi ini menghasilkan kinerja perekonomian dan kemiskinan yang relatif baik, namun gap fiskal tetap memburuk. Artinya, pelaksanaan strategi ini (simulasi 7 dan 8) mengakibatkan anggaran belanja negara tetap bergantung pada tambahan modal dari luar negeri. Dari simulasi 7 dan 8 terlihat betapa pentingnya peran kebijakan fiskal dalam mendorong perekonomian untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Peran penting kebijakan fiskal tidak hanya berlaku di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Ketika terjadi krisis keuangan tahun 2008 yang dikenal dengan istilah
272 ‘subprime mortgage’, pemerintah di negara-negara maju itu memberikan bantuan berupa stimulus fiskal kepada sektor swasta dan masyarakat yang terkena dampak krisis. Dana stimulus dari anggaran negara Amerika Serikat berjumlah sekitar US$800 miliar. Hal penting dalam menetapkan kebijakan fiskal adalah menjaga keseimbangan antara penerimaan dengan pengeluaran dan pemilihan pos-pos anggaran strategis yang dapat memberikan ‘multiplier effect’ maksimal bagi perekonomian negara.
273
VII.
7.1.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia, dirumuskan simpulan berdasarkan tujuan penelitian pertama, sebagai berikut : 1.
Fungsi penawaran BBM di Indonesia ditunjukkan oleh perilaku impor premium, minyak solar, dan minyak tanah dan ekspor elpiji. Impor premium menunjukkan respon yang positif dan elastis terhadap perubahan indek harga konsumen domestik. Artinya, meningkatnya indek harga konsumen akan diikuti oleh meningkatnya impor premium, dan sebaliknya. Atau dengan kata lain, jika inflasi di masa mendatang cenderung meningkat maka diduga konsumsi premium di Indonesia akan semakin meningkat. Impor premium sangat dipengaruhi oleh impor premium pada tahun sebelumnya. Impor minyak solar dipengaruhi oleh indek harga konsumen dan jumlah kendaraan niaga di Indonesia. Namun respon impor minyak solar terhadap perubahan indek harga konsumen dan jumlah kendaraan niaga kurang elastis. Impor minyak tanah sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia dan menunjukkan respon yang positif dan elastis terhadap perubahan jumlah penduduk. Ekspor elpiji sangat dipengaruhi oleh harga dunia elpiji dan jumlah produksi elpiji dan keduanya memiliki respon positif. Ekspor elpiji tidak elastis terhadap
274 perubahan harga dunia elpiji, namun elastis terhadap perubahan jumlah produksinya dalam jangka pendek dan panjang. 2.
Konsumsi premium di sektor transportasi dipengaruhi oleh harga jual ecerannya, memiliki respon negatif, dan tidak elastis terhadap perubahan harga jual ecerannya. Selain itu, konsumsi premium di sektor transportasi dipengaruhi oleh jumlah kendaraan roda 2 dan roda 4 dengan respon positif dan elastis terhadap perubahan jumlah kendaraan roda 2 dan roda 4 dalam jangka panjang. Konsumsi minyak solar di sektor transportasi dipengaruhi oleh harga jual ecerannya dengan respon negatif dan elastis terhadap perubahan harga jual ecerannya dalam jangka panjang. Selain itu, konsumsi minyak solar di sektor transportasi dipengaruhi oleh jumlah kendaraan niaga dengan respon positif dan elastis terhadap perubahan jumlah kendaraan niaga dalam jangka panjang. Konsumsi minyak solar di sektor industri dipengaruhi oleh jumlah industri yang ada dengan respon positif dan elastis terhadap perubahan jumlah industri dalam jangka panjang. Konsumsi minyak tanah di sektor rumahtangga dan komersial sangat dipengaruhi oleh harga jual ecerannya dengan respon negatif dan tidak elastis terhadap perubahan harga jual ecerannya. Selain itu, konsumsi minyak tanah di sektor rumahtangga dan komersial sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia dengan respon positif dan sangat elastis terhadap perubahan jumlah penduduk Indonesia dalam jangka pendek dan panjang. Konsumsi elpiji di sektor rumahtangga dan komersial sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia dengan respon positif dan
275 elastis terhadap perubahan jumlah penduduk Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang. 3.
Subsidi harga premium dipengaruhi oleh harga dunia premium dan nilai tukar dengan respon positif dan sangat elastis terhadap perubahan harga dunia premium dan nilai tukar, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Subsidi harga minyak solar dipengaruhi oleh nilai tukar dengan respon positif dan elastis terhadap perubahan nilai tukar jangka pendek dan jangka panjang. Subsidi harga minyak tanah sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak tanah dan nilai tukar dengan respon positif dan sangat elastis terhadap perubahan harga dunia minyak mentah dan nilai tukar baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Subsidi harga elpiji dipengaruhi oleh harga dunia elpiji dan nilai tukar dengan respon positif dan tidak elastis terhadap perubahan harga dunia elpiji namun elastis terhadap perubahan nilai tukar jangka panjang.
4.
Harga jual eceran
premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji
dipengaruhi oleh harga dunianya dan besaran subsidi harganya masingmasing. Artinya, apabila terjadi kenaikan harga dunianya dan diimbangi oleh kenaikan subsidi harga pada besaran yang sama, maka harga jual eceran premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji akan tetap. Berdasarkan tujuan penelitian kedua, maka disimpulkan sebagai berikut: 1.
Jika terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah sebesar 5 persen, maka harga jual eceran BBM meningkat antara 4.051 persen sampai 19.720 persen. Kenaikan harga jual eceran tersebut disebabkan karena subsidi harga BBM relatif tidak berubah yang tampaknya sebagai akibat dari
276 keterbatasan belanja pemerintah. Kenaikan harga jual eceran BBM berdampak pada penurunan jumlah konsumsi BBM, sehingga anggaran belanja untuk subsidi BBM juga sedikit menurun, yang seterusnya berdampak pada penurunan belanja pemerintah. Kenaikan harga jual eceran berdampak pada kenaikan harga-harga umum sehingga inflasi meningkat cukup besar, selain itu juga terjadi depresiasi nilai tukar rupiah. Dampak selanjutnya adalah terjadinya kenaikan tingkat suku bunga sehingga nilai investasi nasional menurun. Penurunan investasi nasional bersamaan dengan penurunan belanja pemerintah mengakibatkan GDP nasional menurun dan tingkat pertumbuhan ekonomi juga menurun. Hal ini selanjutnya, bersama-sama dengan tingkat inflasi yang cukup tinggi, mengakibatkan tingkat penduduk miskin nasional meningkat. Kenaikan harga dunia minyak mentah yang mengakibatkan kenaikan harga jual eceran BBM berdampak pada transfer kesejahteraan dari konsumen ke produsen. Namun transfer ini masih belum mampu menetralisasi berkurangnya kesejahteraan dari faktor subsidi BBM, sehingga dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 1 064 miliar. 2.
Jika pemerintah meningkatkan penerimaan dalam negeri sebesar 10 persen, maka peningkatan itu akan terserap pada belanja pemerintah, baik belanja subsidi BBM maupun belanja non-subsidi BBM. Peningkatan belanja subsidi BBM berdampak pada penurunan harga jual eceran BBM antara 0.029 persen sampai 4.654 persen, sehingga harga-harga umum relatif dapat terkendali. Penurunan harga jual eceran BBM mengakibatkan kenaikan jumlah konsumsi BBM yang akhirnya cenderung mendorong
277 peningkatan GDP nasional dan tingkat pertumbuhan ekonomi cenderung meningkat. Peningkatan GDP nasional akan meningkatkan penawaran uang sehingga tingkat suku bunga cenderung turun, yang kemudian akan mendorong peningkatan investasi nasional, baik di sektor migas maupun diluar sektor migas. Peningkatan kegiatan usaha ekonomi nasional akan membutuhkan tambahan tenaga kerja yang selama ini tidak bekerja, sehingga pasar tenaga kerja mengalami permintaan lebih dan tingkat upah nasional akan meningkat serta pengangguran berkurang. Pada akhirnya, kondisi perekonomian yang kondusif tersebut mampu mengurangi jumlah orang miskin di desa dan di kota sehingga tingkat kemiskinan nasional berkurang tajam. Menggunakan analisis kesejahteraan, penurunan harga jual eceran BBM memberikan dampak sangat positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dimana terjadi transfer kesejahteraan dari produsen BBM ke konsumen BBM yang diikuti oleh peningkatan kesejahteraan yang berasal dari peningkatan subsidi BBM. 3.
Jika pemerintah menurunkan subsidi BBM yaitu premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji, dan belanja pemerintah diluar subsidi BBM cenderung konstan, maka hal ini akan menurunkan anggaran belanja pemerintah. Penurunan belanja pemerintah cenderung berdampak buruk bagi upaya pemerintah mengurangi angka kemiskinan nasional. Penurunan subsidi harga BBM mengakibatkan harga jual eceran BBM meningkat tajam, yang berkisar antara 11.235 persen sampai 102.742 persen, dimana kemudian jumlah konsumsi BBM mengalami penurunan yang berkisar antara 0.458 persen sampai 16.378 persen. Penurunan jumlah konsumsi
278 BBM memberikan sinyal kurang baik bagi kegiatan usaha nasional sehingga diperkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi akan cenderung menurun. Penurunan kegiatan usaha nasional merupakan sinyal bagi penurunan permintaan uang sedemikian sehingga tingkat suku bunga domestik
meningkat
dan
investasi
menurun
serta
pengangguran
meningkat. Gap fiskal menurun 52.291 persen yang mengindikasikan bahwa simulasi ini sejalan dengan kebijakan fiskal yang berkelanjutan karena mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri. Pada akhirnya GDP nasional mengalami penurunan dan jumlah penduduk miskin nasional juga mengalami peningkatan. Harga jual eceran BBM yang meningkat mengindikasikan terjadinya transfer kesejahteraan dari konsumen BBM ke produsen BBM, dan pada saat bersamaan terjadi penurunan kesejahteraan masyarakat yang berasal dari penurunan subsidi BBM. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan tajam sebesar Rp. 54 410 miliar. 4.
Jika pemerintah melakukan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji, maka harga jual eceran minyak tanah dinaikkan dan harga jual eceran elpiji diturunkan, dengan harapan jumlah konsumsi minyak tanah menurun yang kemudian digantikan dengan peningkatan jumlah konsumsi elpiji. Simulasi ini mengakibatkan penurunan jumlah konsumsi minyak tanah, baik di sektor transportasi, industri, maupun rumahtangga dan komersial. Demikian pula jumlah konsumsi elpjii mengalami peningkatan baik di sektor industri dan rumahtangga dan komersial. Namun besarnya penurunan konsumsi minyak tanah, baik dari segi kandungan kalori
279 maupun dari segi volume, tidak dapat dikompensasi dengan besasrnya peningkatan konsumsi elpiji. Hal ini mengindikasikan terjadinya peralihan sumber energi masyarakat, yang biasanya menggunakan minyak tanah beralih ke non-minyak tanah. Untuk pengguna rumah tangga di perdesaan, kemungkinan besar terjadi peralihan ke sumber energi biomassa seperti kayu bakar, sampah organik, dan arang. Untuk rumahtangga di perkotaan kemungkinan besar terjadi peralihan ke sumber energi elpiji. Peralihan sumber energi ini diperkirakan akan berdampak pada penurunan produktivitas
masyarakat
sehingga
tingkat
pertumbuhan
ekonomi
cenderung menurun, tingkat pengangguran dan inflasi meningkat. Pada akhirnya, peningkatan harga energi secara umum untuk konsumsi rumahtangga dan komersial, baik yang di perdesaan maupun perkotaan, akan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin nasional. Pada simulasi ini terjadi kenaikan harga minyak tanah sebesar 141.352 persen, sehingga terjadi pengurangan kesejahteraan konsumen Rp. 27 146 miliar dan peningkatan kesejahteraan produsen sebeser Rp. 14 902 miliar. Hal ini terjadi karena jumlah konsumsi minyak tanah relatif lebih elastis terhadap perubahan harga jual ecerannya dibandingkan dengan jumlah penawaran minyak tanah. Secara keseluruhan, simulasi ini mengakibatkan penurunan dampak bersih kesejahteraan sebesar Rp. 39 824 miliar. 5.
Jika pemerintah menggabungkan kebijakan pengurangan subsidi BBM dengan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji, maka akan memberikan dampak yang kurang kondusif bagi perekonomian karena tingginya kenaikan harga jual eceran BBM yang berkisar antara 11.537 persen
280 sampai 145.116 persen, kecuali harga jual eceran elpiji. Selain itu, penurunan subsidi harga BBM secara umum mengakibatkan penurunan belanja pemerintah cukup besar yang berdampak pada penurunan GDP nasional dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Gap fiskal menurun 58.905 persen sehingga baik bagi upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan dari sumber pembiayaan luar negeri. Kombinasi kenaikan harga jual eceran BBM dan penurunan belanja pemerintah cenderung akan berdampak stagflasi bagi perekonomian. Pada akhirnya tingkat penduduk miskin nasional meningkat cukup tajam terutama penduduk miskin di perkotaan, meskipun harga jual eceran elpiji sedikit menurun. Selain itu juga terjadi penurunan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 61 597 miliar dan peningkatan kesejahteraan produsen sebesar Rp. 55 536 miliar, dan penurunan dampak bersih kesejahteraan sebesar Rp. 65 187 miliar. 6.
Jika pengurangan subsidi BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan ketika harga dunia minyak mentah dan penerimaan dalam negeri pemerintah meningkat, maka kondisi perekonomian secara umum masih kurang baik. Harga jual eceran BBM meningkat, kecuali elpiji, yang berkisar antara 20.034 persen sampai 166.956 persen, sehingga belanja pemerintah dan GDP nasional menurun. Naiknya harga jual eceran BBM secara umum mengakibatkan jumlah konsumsi BBM mengalami penurunan
sehingga
berdampak
kurang
kondusif
bagi
kegiatan
perekonomian. Dampak selanjutnya adalah penurunan tingkat investasi nasional, penurunan upah nasional, penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengangguran, peningkatan inflasi, dan peningkatan
281 jumlah penduduk miskin nasional. Simulasi ini mampu mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri sebesar 54.474 persen, karena itu sejalan dengan kebijakan fiskal yang berkelanjutan. Selain itu terjadi penurunan dampak bersih kesejahteraan masyarakat sebesar Rp. 66 900 miliar. 7.
Jika penghematan yang diperoleh dari pengurangan subsidi BBM ditambahkan kembali pada belanja non-subsidi BBM sehingga belanja pemerintah relatif konstan, atau kebijakan realokasi anggaran, maka simulasi ini memberikan dampak yang relatif baik bagi kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan masyarakat. Pada simulasi ini, harga jual eceran BBM, kecuali elpiji, meningkat antara 20.491 persen sampai 168.134 persen sehingga jumlah konsumsi BBM secara umum mengalami penurunan cukup tajam. Hal ini cenderung berdampak kurang baik bagi kegiatan perekonomian nasional. Namun di sisi lain, belanja pemerintah mengalami peningkatan yang berasal dari peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah. Tampaknya, di negara berkembang seperti Indonesia, belanja pemerintah masih memegang posisi dominan dalam mendorong perekonomian nasional. Hal ini terbukti bahwa peningkatan
belanja
pemerintah
sebesar
10.177
persen
mampu
meningkatkan GDP nasional dan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 9.591 persen. Peningkatan GDP nasional mengakibatkan penawaran uang lebih besar dari permintaan uang sehingga tingkat suku bunga menurun dan investasi meningkat. Lebih lanjut peningkatan investasi berdampak pada peningkatan permintaan tenaga
282 kerja dan penyerapan tenaga kerja yang menganggur. Gap fiskal meningkat sebesar 9.678 persen, kurang baik bagi strategi kebijakan fiskal yang berkelanjutan. Kombinasi antara kenaikan harga jual eceran BBM dan peningkatan belanja pemerintah ternyata mampu mengurangi jumlah penduduk miskin perdesaan dan terutama penduduk miskin perkotaan, sehingga tingkat penduduk miskin nasional menurun cukup besar. Meskipun simulasi ini mengakibatkan membaiknya dampak terhadap kinerja
perekonomian
dan
kemiskinan,
namun
dampak
bersih
kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 66 863 miliar. 8.
Jika diasumsikan bahwa terjadi inflasi 5 persen per tahun, untuk lebih mendekati kondisi dunia nyata, maka simulasi ini secara umum memberikan dampak yang kurang baik bagi kinerja perekonomian dan kemiskinan. Harga jual eceran BBM, kecuali elpiji, meningkat antara 22.854 persen sampai 174.203 persen, yang berdampak pada penurunan jumlah konsumsi BBM dan relatif kurang baik bagi kegiatan ekonomi nasional. Secara umum GDP nasional meningkat, tingkat suku bunga meningkat, investasi nasional mengalami penurunan, penyerapan tenaga kerja berkurang, inflasi sangat tinggi, dan pertumbuhan ekonomi meningkat tajam. Gap fiskal meningkat sebesar 11.874 persen yang mengindikasikan kurang baik dalam upaya pelaksanaan strategi fiskal yang berkelanjutan. Kombinasi dari kinerja perekonomian diatas tampaknya relatif baik bagi upaya pengentasan penduduk miskin yang berkurang sebesar 7.967 persen. Meskipun demikian terjadi penurunan dampak bersih kesejahteraan sebesar Rp. 66 387 miliar.
283 Pada saat harga dunia minyak mentah dan inflasi meningkat, kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, konversi minyak tanah ke elpiji, peningkatan penerimaan dalam negeri, dan realokasi anggaran, tampaknya mampu memberikan dampak yang relatif baik bagi kinerja perekonomian dan upaya
pengentasan
kemiskinan.
Meskipun
diakui
bahwa
simulasi
ini
meningkatkan ketergantungan pemerintah pada pembiayaan luar negeri dan terjadinya penurunan kesejahteraan masyarakat yang cukup besar. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji masih mampu memberikan hasil yang relatif baik bagi perekonomian Indonesia. 7.2.
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan simpulan, maka disusun implikasi kebijakan berikut: 1.
Dalam rangka menciptakan anggaran negara yang berimbang dan stabil, pemerintah perlu berhati-hati terhadap guncangan eksternal yang berasal dari kenaikan harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah. Dalam penetapan asumsi makro APBN, pemerintah seyogyanya berhati-hati dengan mencantumkan kemungkinan terburuk kedua variabel tersebut, selain menciptakan ruang fiskal yang relatif besar dalam APBN. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kelenturan bagi APBN dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan terburuk faktor eksternal.
2.
Mengantisipasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah terhadap penurunan jumlah impor BBM, pemerintah seyogyanya menyediakan cadangan BBM dalam negeri (buffer stock) yang dapat digunakan untuk konsumsi beberapa waktu ke depan. Cadangan tersebut berfungsi sebagai
284 stabilisator apabila terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah yang berada diluar kemampuan anggaran negara untuk membelinya. 3.
Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah, khususnya ketika terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah, sangat bermanfaat untuk mempertahankan kinerja perekonomian, upaya mengurangi jumlah penduduk miskin, dan upaya mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap bantuan pembiayaan dari luar negeri.
4.
Agar upaya pemerintah untuk menggantikan sumber energi rumahtangga dan komersial melalui program konversi minyak tanah ke elpiji dapat berhasil, maka perlu memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat terutama penduduk miskin di perkotaan, selain juga mempersiapkan sistem distribusi elpiji, agar dapat menjangkau seluruh rumahtangga dan komersial di Indonesia baik yang tinggal di perkotaan maupun perdesaan.
5.
Dalam upaya meredam dampak negatif kebijakan pengurangan subsidi BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji, pemerintah perlu meningkatkan penerimaan dalam negeri dan mempertahankan besaran anggaran belanja pemerintah melalui realokasi anggaran.
6.
Pemerintah perlu menciptakan sistem pengawasan yang efisien dan benar agar tidak terjadi kebocoran dalam penyaluran BBM bersubsidi. Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 yang membatasi kelompok masyarakat yang berhak membeli BBM bersubsidi. Upaya pembatasan konsumen dengan menciptakan sistem distribusi tertutup BBM dengan menggunakan sistem elektronik atau manual menggunakan kartu kendali atau alat identifikasi lainnya
285 7.3.
Saran Penelitian Lanjutan
1.
Penajaman penelitian dampak subsidi harga BBM terhadap kemiskinan dapat dilakukan dengan menggunakan data kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan.
2.
Besaran subsidi harga BBM sebaiknya menggunakan data riil ketika metode cost and fee diterapkan pada periode tahun 1986-2006 dan ketika metode MOPS plus alpha diterapkan setelah tahun 2006.
3.
Karena harga jual eceran elpiji dan karakteristik pasar elpiji berbeda-beda menurut ukuran tabung elpiji yaitu tabung 3 kg, 12 kg, dan 50 kg, maka penelitian lanjutan tentang pasar elpiji sebaiknya dibedakan berdasarkan ukuran tabung elpiji. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil analisis yang lebih akurat dan alternatif kebijakan yang direkomendasikan dapat lebih tepat sasaran sesuai dengan karakteristik pasar elpiji masing-masing.
4.
Pembatasan konsumen pengguna yang berhak membeli BBM subsidi berdampak pada penurunan volume BBM subsidi dari semula 59.6 juta kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9 juta kiloliter pada tahun 2006. Namun karena keterbatasan data, penelitian ini menganggap seolah-olah tidak ada pembatasan konsumen pengguna, sehingga data BBM subsidi pada tahun setelah 2006 menggunakan data konsumsi BBM. Oleh karena itu disarankan agar dilakukan pemilahan dari awal antara volume BBM subsidi dengan BBM non-subsidi.
5.
Mengingat setiap jenis BBM memiliki konsumen utama yang berbeda dan tidak saling substitusi, maka studi yang mendalam terhadap masing-
286 masing konsumen utama dapat memberikan masukan spesifik dalam perumusan kebijakan subsidi harga untuk setiap jenis BBM. 6.
Program konversi minyak tanah ke elpiji perlu diteliti lebih lanjut untuk memperoleh gambaran yang lebih tepat, khususnya dalam kaitan dengan pembatasan konsumen minyak tanah, pemberlakuan harga ekonomi minyak tanah, perubahan kebiasaan dan perilaku masyarakat, dan sistem distribusi elpiji hingga ke pelosok daerah.
7.
Pada tahun 2004 subsidi BBM mencapai puncak yaitu 24.30 persen dari belanja pemerintah. Apakah alokasi anggaran untuk subsidi BBM tersebut merupakan kebijakan yang optimal bagi rakyat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikaji lebih lanjut mengenai besarnya ‘opportunity cost’ apabila anggaran untuk subsidi BBM digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan atau pos anggaran lainnya.
8.
Penelitian ini mengasumsikan bahwa sumber energi final Indonesia hanya berasal dari BBM, meskipun diketahui bahwa perannya cukup penting. Oleh karena itu, penelitian lanjutan sebaiknya mempertimbangkan sumber energi final lain seperti biomassa (kayu bakar dan arang), gas alam, batubara, dan listrik.
9.
Subsidi komoditas seperti subsidi BBM ini seringkali tidak tepat sasaran, menimbulkan penyalahgunaan antar pengguna, merangsang ekspor ilegal, dan sulit dalam pengawasannya. Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya diwacanakan peralihan bentuk subsidi dari subsidi komoditas ke subsidi langsung masyarakat yang membutuhkan. Penelitian yang mendalam
287 mengenai hal ini diharapkan dapat mengurangi kekurangan subsidi komoditas serta mengurangi dampak negatif dari terjadinya distorsi pasar. 10.
Upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM sebaiknya dilakukan secara bertahap dengan sosialisasi yang luas, penetapan batasan subsidi optimal yang mampu ditanggung anggaran negara, mempertahankan strategi keberlanjutan fiskal, dan sebagai upaya pembelajaran bagi masyarakat agar dapat melakukan penghematan konsumsi BBM.
288
DAFTAR PUSTAKA
Afiatno, B.E. 2006. Hubungan Kausalitas antara Konsumsi Energi dan Aktivitas Ekonomi di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Agus. 2001. Perdagangan Komoditi Rotan Indonesia di Pasar Domestik dan Jepang: Analisis Dampak Perubahan Faktor Ekonomi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Alesina, A. 2000. The Political Economy of the Budget Surplus in the United States. The Journal of Economic Perspectives, 14(3): 3-19. Alvarado, C.A., A. Izquierdo, and U. Panizza. 2004. Fiscal Sustainability in Emerging Market Countries with An Application to Ecuador. Working Paper. Inter-American Development Bank, Research Department, Washington, DC. Astana, S. 2003. Dampak Kebijakan Pengurangan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Industri Hasil Hutan Kayu dan Kelestarian Lingkungan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Laporan Akhir Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia. Direktorat Keuangan Negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. . 2008a. Lima Tantangan Pokok Pembangunan Ekonomi dan Gambaran Ekonomi Indonesia Tahun 20102014. Direktorat Perencanaan Makro, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. . 2008b. Data Statistik Indonesia. Direktorat Perencanaan Makro, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 2008a. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008. Badan Statistik Indonesia, Jakarta. . 2008b. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 2008c. Berita Resmi Statistik Nomor 37/07/Tahun XI, Tanggal 1 Juli 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bachmeier, L.J. and J.M. Griffin. 2003. New Evidence on Asymmetric Gasoline Price Responses. The Review of Economics and Statistics, 85(3): 772-776.
289 Barsky, R.B. and L. Kilian. 2004. Oil and the Macroeconomy since the 1970s. The Journal of Economic Perspective, 18(4): 115-134. Booth, A. 2000. Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assessment. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(1): 73-104. Borenstein, S., A.C. Cameron, and R. Gilbert. 1997. Do Gasoline Prices Respond Asymmetrically to Crude Oil Price Changes? The Quarterly Journal of Economics, 12(1): 305-309. Chari, V.V. and P.J. Kehoe. 2006. Modern Macroeconomics in Practice: How Theory is Shaping Policy. The Journal of Economic Perspectives, 20(4): 3-28. Chowdhury, A. and A. Hossain. 1998. Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Limited, Massachusetts. . and H. Siregar. 2004. Indonesia’s Monetary Policy DilemmaConstraints of Inflation Targeting. The Journal of Developing Area,
37(2): 137-153. De Janvry, A. and E. Sadoulet. 2000. Growth, Poverty, and Inequality in Latin America: A Causal Analysis, 1970-94. Review of Income and Wealth, 46(3): 267-287. Decaluwe, B., A. Patry, and L. Savard. 1998. Income Distribution, Poverty Measures and Trade Shocks: A Computable General Equilibrium Model of an Archetype Developing Country. Centre de Recherche en Economie et Finance Appliquees, CREFA. Dakar. http://www.econo1.ecn.ulaval.ca/ cahiers/ 1998/9812.pdf. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2003. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Jakarta. . 2006. Buku Pegangan Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2006. Pusat Informasi Energi, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Jakarta. Departemen Keuangan. 1991. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1991/1992. Departemen Keuangan, Jakarta. . 2000-2008. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2000-2008 (berbagai tahun anggaran). Departemen Keuangan, Jakarta. . 2009a. Data Pokok Anggaran Pembangunan Belanja Negara 2008-2009. Departemen Keuangan, Jakarta. . 2009b. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009. Departemen Keuangan, Jakarta.
290 . 2009c. Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Dees, S., P. Karadeloglou, R. Kaufmann, and M. Sanchez. 2003. Modelling the World Oil Market: Assessment of a Quarterly Econometric Model. European Central Bank and CEES, Frankfurt. Email:
[email protected]. Diatin, I., M.P. Sobari, dan D. Fauziyah. 2003. Pengaruh Kenaikan Harga Solar terhadap Usaha Penangkapan Nelayan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi. Buletin Ekonomi Perikanan, 5(1): 21-27. Dornbusch, R. dan S. Fischer. 1997. Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta. Easterly, W. and S. Fischer. 2001. Inflation and the Poor. Journal of Money, Credit, and Banking, 33(2): 160-178. Elder, J. 2004. Another Perspective on the Effects of Inflation Uncertainty. Journal of Money, Credit, and Banking, 36(5): 911-928. Hamilton, J.D. and Ana M.H. 2004. Comment: Oil Shock and Aggregate Macroenomic Behaviour: The Role of Monetary Policy. Journal of Money, Credit and Banking, 36(2): 265-286. Hartono, D. dan B.P. Resosudarmo. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Harga Energi terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta: Aplikasi Model Komputasi Keseimbangan Umum. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 5(1): 83-102. . 2006. Dampak Kebijakan Harga, Subsidi, dan Efisiensi Konsumsi Bahan Bakar Minyak, Gas, dan Listrik terhadap Perekonomian di Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Hasan, M.F., I. Sugema, dan H. Ritonga. 2005. Menganalisa Dampak Kenaikan BBM terhadap Kemiskinan dengan Data Susenas 2004. Agro-Ekonomika, 35(1): 1-14. Hayo, B. and A.M. Kutan. 2002. The Impact of News, Oil Prices, and International Spillovers on Russian Financial Markets. Working Paper. Center for European Integration Studies, Bonn. Hooker, M.A. 2002. Are Oil Shock Inflationary ? Asymmetric and Nonlinear Spesicifations versus Changes in Regime. Journal of Money, Credit and Banking, 34(2): 540-561. Husman, J.A. 2007. Dampak Fluktuasi Nilai Tukar terhadap Output dan Harga: Perbandingan Dua Rezim Nilai Tukar. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 10(1): 3-21.
291 Ilham, N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. International Monetary Fund. 2006. International Financial Statistics Yearbook. International Monetary Fund, Washington DC. ________________________. 2008. Fuel and Food Price Subsidies: Issues and Reform Options. Fiscal Affairs Department, International Monetary Fund, Washington DC. Intriligator, M.D. 1996. Econometric Models, Techniques, and Applications. Prentice Hall Inc, New Jersey. Kahn, G.A. 1994. Progress Toward Price Stability: A Report Card for 1994. Economic Review, 83(3): 5-32. Kakwani, N. 2000. Growth and Poverty Reduction: An Empirical Analysis. Asian Development Review, 18(2): 75-84. Kim, Byung-Yeon. 2002. Causes of Repressed Inflation in the Soviet Consumer Market, 1965-1989: Retail Price Subsidies, the Shiponing Effect and the Budget Deficit. The Economic History Review, New Series, 55(1): 105-127. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia. 2008. Analisis Kebijakan Persaingan dalam Industri Elpiji Indonesia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Jakarta. Koplow, D. 2009. Measuring Energy Subsidies Using the Price-Gap Approach: What does It Leave Out? International Institute for Sustainable Development, Manitoba. http://www.iisd.org. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London. Krejdl, A. 2006. Fiscal Sustainability. Working Paper Series. Economic Research Department, Czech National Bank. Praha. Krichene, N. 2005. A Simultaneous Equations Model for World Crude Oil and Natural Gas Markets. IMF Working Paper. International Monetary Fund, Washington DC. Kurtubi. 1998. Konsumsi, Harga dan Bentuk Pasar BBM di Indonesia. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 46(3): 369-397. Managi, S., J.J. Opaluch, D. Jin, and T.A. Grigalunas. 2004. Forecasting Energy Supply and Pollution from the Offshore Oil and Gas Industry. Marine Resource Economics, 19: 307-332. Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.
292 Mardiana, R. 2001. Value At Risk (VAR) Harga Minyak Mentah. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 49(2): 175-191. Miller, M. and L. Zhang. 1996. Oil Price Hikes and Development Triggers in Peace and War. The Economic Journal, 106(435): 445-457. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nugroho, H. 2005. Apakah Persoalannya pada Subsidi BBM? Tinjauan terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, dan Pembangunan Infrastruktur Energi. Majalah Perencanaan Pembangunan, 10(2): 2-18. Nuryati dan S.S. Herdinie. 2007. Analisis Karakteristik Konsumsi Energi pada Sektor Rumahtangga di Indonesia. Seminar Nasional III, SDM Teknologi Nuklir Tanggal 21-22 Novenber 2007, Yogyakarta. Oktaviani, R. dan Sahara. 2005a. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Sektor Pertanian, Agroindustri dan Rumahtangga Pertanian di Indonesia. Agro-Ekonomika, 35(1): 15-36. . 2005b. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Kinerja Ekonomi Makro, Keragaan Ekonomi Sektoral dan Rumahtangga di Indonesia: Suatu Pendekatan Model Ekonomi Keseimbangan Umum Recursive Dynamic. Jurnal Manajemen dan Agribisnis, 2(1): 35-52. . dan E. Puspitawati. 2006. Prediksi Pertumbuhan Makro Ekonomi Nasional dan Regional, serta Sektor Riil Indonesia 2007 dengan Beberapa Pilihan Kebijakan. Agrimedia, 11(2): 1-16. Pangestu, M.E. 1986. The Effects of An Oil Boom on A Small Oil Exporting Country: The Case of Indonesia. PhD Dissertation. University of California, California. PT. Pertamina (Persero). 2009. Progress Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji s.d. 31 Oktober 2009. PT. Pertamina (Persero), Jakarta. Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York. Prawiraatmadja, W. 1997. Indonesia’s Transition to A Net Oil Importing Country: Critical Issues in the Downstream Oil Sector. Bulletin of Indonesian Economic Studies, (33)2: 49-71. Purnomo, B. 2006. Dampak Psikososial Bantuan Langsung Tunai. Serial Online. http://www.sinarharapan.com. Purwantoro, R.N. 2008. Perkembangan Migas Indonesia. Manajemen Usahawan Indonesia, 37(3): 11-17.
293 Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi Kedua. Ghalia, Jakarta. Raymond, J.E. and R.W. Rich. 1997. Oil and the Macroeconomy: A Markov State-Switching Approach. Journal of Money, Credit and Banking, 29(2):193-213. Rietveld, P. and S. van Woudenberg. 2005. Why Fuel Prices Differ. Energy Economics. 27: 79-92. Shikha Jha, P. Quising, and S. Camingue. 2009. Macroeconomic Uncertainties, Oil Subsidies, and Fiscal Sustainability in Asia. ADB Economics Working Paper Series. Asian Development Bank, Manila. Siddiqui, R. 2004. Energy and Economic Growth in Pakistan. The Pakistan Development Review, 43(2): 175-200. Simatupang, P. dan A. Purwoto. 1995. Dampak Perubahan Harga Solar terhadap Produksi dan Laba Usahatani Padi. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, (43)1: 39-53. Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of The Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis. PhD Dissertation. University of The Philippines, Los Banos. Sitepu, R.K. 2007. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soebiakto, T. 1988. The Impacts of Changing Oil Prices on the Domestic Demand for Refined Oil Products, Supply of Crude Oil for Exports, Government Budget, Balance of Payments, and External Debt: The Case of Indonesia. PhD Dissertation. University of Colorado, Colorado. Storchmann, K. 2005. Long-Run Gasoline Demand for Passenger Cars: The Role of Income Distribution. Energy Economics, 27: 25-28. Sukirno, S. 2006a. Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Edisi Kedua. Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. . 2006b. Makroekonomi. Teori Pengantar. Edisi Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Susanti, H., M. Ikhsan, dan Widyanti. 1995. Indikator-Indikator Ekonomi. Edisi Kedua. Kerjasama Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi dengan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syafa’at, N. 1996. Analisis Dampak Subsidi Harga Output terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, (44)3: 251-270.
294 Tambunan, T.H. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia, Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. Usman, B.M. Sinaga, dan H. Siregar. 2006. Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum dan Setelah Desentralisasi Fiskal. Journal on Social Economic of Agriculture and Agribusiness (SOCA), 6(3): 25-37. Usman, H. Siregar, dan B.M. Sinaga. 2006. Kemiskinan, Distribusi Pendapatan, dan Desentralisasi Fiskal: Analisis Simulasi Model Ekonometrika. Bisnis dan Ekonomi Politik, 7(4): 9-44. World Bank. 2000. World Development Report 2000/2001. Oxford University Press, Oxford. Yanuarti, T. 2004. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Harga Barang Domestik. Occasional Paper Bank Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yunchang, J.B. 1996. The Impact of Energy Pricing Policy on Taiwan’s Small Open Economy. Asian Economic Journal, 10(1): 61-81. Yusgiantoro, P. 2000. Ekonomi Energi, Teori dan Praktik. Pustaka Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
295
LAMPIRAN
296 Lampiran 1. Penawaran Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 19902005 Lampiran 1a. Produksi Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 (Ribu Kilo Liter) Thn 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Sumber:
Premium*) 6 187 6 888 7 178 7 535 8 568 9 171 9 892 10 714 10 661 11 806 11 742 12 180 11 653 11 559 11 969 11 630
M Minya Tanah k Solar 7 255 9 724 7 528 10 466 7 791 11 124 7 548 11 663 8 358 11 682 7 918 13 209 8 513 14 212 7 629 13 759 8 474 14 553 9 416 14 751 9 206 15 249 9 221 15 253 8 952 14 944 9 310 15 035 9 034 15 685 8 542 15 047
Sub Total 23 166 24 882 26 093 26 746 28 608 30 298 32 617 32 102 33 688 35 973 36 197 36 654 35 549 35 904 36 688 35 219
Avtu r 845 1 046 1 008 909 947 1 118 1 441 1 222 1 144 997 1 342 1 371 1 482 1 701 1 783 1 699
Av gas 14 6 14 6 14 14 3 9 5 11 8 5 5 5 5
M. Diesel 1 791 1 712 1 922 1 963 1 327 925 1 002 778 1 239 1 332 1 294 1 448 1 340 1 239 1 622 1 361
M. Bakar 4 271 4 289 4 610 4 251 4 180 4 109 3 215 3 319 4 186 4 310 5 165 5 579 5 931 5 386 4 923 4 413
Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Keterangan : * Sejak tahun 1997 termasuk Super TT (tanpa timbal) Premix ’94 dan Bensin Biru-2 Langkah (BB-2L).
297 Lampiran 1b. Produksi Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 (Persen) Thn 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Premium* 20.56 21.57 21.33 22.24 24.43 25.15 25.84 28.62 26.48 27.70 26.69 27.03 26.30 26.13 26.59 27.24
Sumber : Keterangan
M Minya Tanah k Solar 24.11 32.32 23.57 32.77 23.16 33.06 22.28 34.43 23.83 33.30 21.71 36.22 22.24 37.13 20.38 36.76 21.05 36.15 22.09 34.61 20.92 34.66 20.46 33.85 20.20 33.73 21.05 33.99 20.07 34.84 20.01 35.24
Sub Total 77.00 77.91 77.55 78.95 81.56 83.09 85.21 85.77 83.67 84.40 82.27 81.34 80.23 81.17 81.49 82.49
Avtur 2.81 3.28 3.00 2.68 2.70 3.07 3.76 3.26 2.84 2.34 3.05 3.04 3.34 3.85 3.96 3.98
Avga s 0.05 0.02 0.04 0.02 0.04 0.04 0.01 0.02 0.01 0.03 0.00 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01
M. Diesel 5.95 5.36 5.71 5.79 3.78 2.54 2.62 2.08 3.08 3.13 2.94 3.21 3.02 2.80 3.60 3.19
M. Bakar 14.20 13.43 13.70 12.55 11.92 11.27 8.40 8.87 10.40 10.11 11.74 12.38 13.39 12.18 10.93 10.34
Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah). : * Sejak tahun 1997 termasuk Super TT (tanpa timbal) Premix ’94 dan Bensin Biru-2 Langkah (BB-2L).
298 Lampiran 1c. Impor Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 (Ribu Kilo Liter) Thn 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
PreMinyak M mium1 Tanah2 Solar 0 1 172 2 196 0 465 2 196 0 1 077 4 248 0 1 541 4 593 0 1 446 3 588 0 2 074 3 538 0 2 260 4 773 0 3 118 8 148 585 1 328 5 048 1 598 2 789 5 770 1 984 2 966 7 194 2 410 2 718 7 879 3 154 2 916 9 637 3 076 2 516 9 955 6 576 2 907 12 339 7 267 2 604 14 440
Sumber : Keterangan:
Sub M. Avtur Avgas Total Diesel 3 368 0 0 0 2 661 0 0 0 5 325 0 0 0 6 134 0 0 0 5 034 0 0 0 5 612 0 0 0 7 033 0 0 0 11 266 0 0 0 6 961 0 0 0 10 157 0 0 0 12 144 0 0 0 13 007 0 0 0 15 707 0 0 0 15 547 0 0 0 0 0 21 822 679 0 0 24 311 654
M. Bakar 383 894 756 897 931 794 2 467 3 072 1 634 581 2 326 1 166 1 232 1 512 1 896 1 491
Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah). 1 : Premium merupakan penjumlahan premium dan HOMC, dimana HOMC (High Octane Mogas Component) adalah salah satu bahan pembuat premium. 2 : Kerosene di dalam Buku Pegangan Statistik Ekonomi Energi Indonesia, 2006 tertulis DPK (Dual Purpose Kerosene) yang biasanya dikenal sebagai kerosene atau minyak tanah.
299 Lampiran 1d. Impor Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 (Persen) Thn 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
PreMinyak M mium1 Tanah2 Solar 0 31.25 58.54 0 13.08 61.77 0 17.71 69.86 0 21.92 65.32 0 24.24 60.15 0 32.38 55.23 0 23.79 50.24 0 21.75 56.83 6.81 15.45 58.73 14.88 25.97 53.73 13.71 20.50 49.72 17.00 19.18 55.59 18.62 17.21 56.89 18.03 14.75 58.36 26.95 11.92 50.58 27.47 9.84 54.58
Sumber :
Sub Avtur Total 89.79 0 74.85 0 87.57 0 87.24 0 84.39 0 87.61 0 74.03 0 78.57 0 80.99 0 94.59 0 83.93 0 91.77 0 92.73 0 91.14 0 89.45 2.78 91.89 2.47
Avgas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
M. Diesel 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
M. Bakar 10.21 25.15 12.43 12.76 15.61 12.39 25.97 21.43 19.01 5.41 16.07 8.23 7.27 8.86 7.77 5.64
Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah). Keterangan: 1 : Premium merupakan penjumlahan premium dan HOMC, dimana HOMC (High Octane Mogas Component) adalah salah satu bahan pembuat premium. 2 : Kerosene di dalam Buku Pegangan Statistik Ekonomi Energi Indonesia, 2006 tertulis DPK (Dual Purpose Kerosene) yang biasanya dikenal sebagai kerosene.
300 Lampiran 1e. Jumlah Produksi dan Impor Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 (Ribu Kilo Liter) Thn
Premium
M Tanah
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
6 187 6 888 7 178 7 535 8 568 9 171 9 892 10 714 11 246 13 404 13 726 14 590 14 807 14 635 18 545 18 897
8 427 7 993 8 868 9 089 9 804 9 992 10 773 10 747 9 802 12 205 12 172 11 939 11 868 11 826 11 941 11 146
Sumber:
Minyak Solar 11 920 12 662 15 372 16 256 15 270 16 747 18 985 21 907 19 601 20 521 22 443 23 132 24 581 24 990 28 024 29 487
Sub Total 26 534 27 543 31 418 32 880 33 642 35 910 39 650 43 368 40 649 46 130 48 341 49 661 51 256 51 451 58 510 59 530
Avtur
Avgas
845 1 046 1 008 909 947 1 118 1 441 1 222 1 144 997 1 342 1 371 1 482 1 701 2 462 2 353
14 6 14 6 14 14 3 9 5 11 0 8 5 5 5 5
M. Diesel 1 791 1 712 1 922 1 963 1 327 925 1 002 778 1 239 1 332 1 294 1 448 1 340 1 239 1 622 1 361
M. Bakar 4 654 5 183 5 366 5 148 5 111 4 903 5 682 6 391 5 820 4 891 7 491 6 745 7 163 6 898 6 819 5 904
Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
301 Lampiran 1f. Jumlah Produksi dan Impor Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 (Persen) Thn
Premium
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
18.28 39.37 34.49 34.73 40.80 42.18 39.48 35.27 43.54 45.91 40.36 41.97 39.64 39.61 41.49 41.47
Sumber:
M. Minyak Tanah Solar 24.90 2.66 5.17 7.10 6.89 9.54 9.02 10.26 5.14 9.55 8.72 7.82 7.81 6.81 6.50 5.72
35.23 12.55 20.41 21.17 17.08 16.27 19.05 26.82 19.54 19.76 21.15 22.67 25.80 26.94 27.60 31.69
Sub Total 78.41 54.58 60.07 63.01 64.77 67.99 67.56 72.35 68.22 75.23 70.23 72.46 73.25 73.36 75.60 78.88
Avtur
Avgas
M. Diesel
M. Bakar
2.50 5.98 4.84 4.19 4.51 5.14 5.75 4.02 4.43 3.42 3.95 3.94 3.97 4.60 5.51 5.16
0.04 0.03 0.07 0.03 0.07 0.06 0.01 0.03 0.02 0.04 0.00 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01
5.29 9.79 9.23 9.05 6.32 4.25 4.00 2.56 4.80 4.56 3.80 4.17 3.59 3.35 3.63 2.99
13.75 29.62 25.78 23.73 24.34 22.55 22.68 21.04 22.53 16.75 22.02 19.41 19.18 18.67 15.26 12.96
Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
302 Lampiran 1g. Jumlah Produksi, Ekspor, dan Impor Elpiji di Indonesia Tahun 1990-2005
Thn 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Sumber:
Produksi Ton 2 745 882 2 756 504 2 785 009 2 872 072 2 894 221 2 940 761 3 227 664 2 786 652 2 343 944 2 263 518 2 087 669 2 187 677 2 099 756 1 962 629 2 016 001 1 890 717
Persen 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 94.41 98.39 98.84
Ekspor Ton 2 602 057 2 528 844 2 556 764 2 642 255 2 636 356 2 511 581 2 712 253 2 132 917 1 761 304 1 745 383 1 306 318 1 484 503 1 268 104 1 106 424 1 034 270 1 015 366
Persen 94.79 91.74 91.81 91.99 91.09 85.41 84.03 76.54 75.14 77.11 62.57 67.86 60.39 53.22 50.48 53.08
Impor Ton 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 116 391 32 994 22 166
Persen 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.59 1.61 1.16
Total Ton 2 745 882 2 756 504 2 785 009 2 872 072 2 894 221 2 940 761 3 227 664 2 786 652 2 343 944 2 263 518 2 087 669 2 187 677 2 099 756 2 079 020 2 048 995 1 912 883
Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Solar Sub Total Batu-baraElpiji (LPG Gas Bumi M. Bakar M. Diesel Listrik Kayu Bakar Arang Avtur Avgas 18 407 20 081 9 412 810 43 802 9 098 8 661 10 475 49 570 0 0 0 20 538 22 352 11 058 929 43 331 9 131 8 901 11 687 51 358 0 0 0 25 003 27 086 12 266 1 054 46 013 9 903 9 499 13 727 52 720 0 0 0 28 871 31 217 13 940 1 214 47 953 11 630 9 703 14 218 54 005 0 0 0 31 241 33 775 14 409 1 413 49 204 12 955 9 363 13 904 55 318 0 0 0 32 541 35 255 16 904 1 619 52 259 17 840 8 429 15 011 56 017 0 0 0 33 716 36 644 15 755 1 839 54 807 18 401 7 304 17 043 56 685 0 0 0 34 378 37 444 16 348 1 980 60 624 20 069 7 324 18 441 57 327 0 0 0 37 339 40 276 18 154 1 762 54 815 21 421 6 615 17 665 57 949 0 0 0 42 990 46 300 27 352 1 961 75 005 25 134 8 284 19 223 58 517 0 0 0 47 689 51 270 36 875 2 388 83 582 26 228 7 741 21 865 58 981 0 0 0 49 919 53 048 38 192 2 484 89 223 26 710 7 749 21 819 54 940 0 0 0 51 668 54 740 39 510 2 624 93 582 25 513 7 110 22 578 51 840 0 0 0 50 221 53 285 40 872 2 636 90 322 20 057 6 093 22 373 49 499 0 0 0 56 153 58 947 56 353 2 768 97 798 21 665 5 744 24 719 46 085 0 0 0 52 764 55 311 72 551 2 542 98 691 17 544 4 458 26 021 42 948 0 0 0
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Tahun Pre-mium M. Tanah 1990 0 1 674 1991 0 1 814 1992 0 2 083 1993 0 2 346 1994 0 2 534 1995 0 2 714 1996 0 2 928 1997 0 3 066 1998 0 2 937 1999 0 3 310 2000 0 3 581 2001 0 3 129 2002 0 3 072 2003 0 3 064 2004 0 2 794 2005 0 2 547
Lampiran 2a. Pemakaian Bahan Bakar Minyak pada Sektor Industri (Ribu SBM)
Lampiran 2. Pemakaian Bahan Bakar Minyak per Sektor di Indonesia Tahun 1990 - 2005
303
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Tahun PremiumMinyak Tana Solar Sub Total BatubaraElpiji (LPG Gas Bumi M. Bakar M. Diesel Listrik Kayu Bakar Arang Avtur Avgas 1990 0 1.1 12.12 13.22 6.2 0.53 28.83 5.99 5.7 6.9 32.63 0 0 0 1991 0 1.14 12.94 14.08 6.97 0.59 27.3 5.75 5.61 7.36 32.35 0 0 0 1992 0 1.21 14.51 15.72 7.12 0.61 26.71 5.75 5.51 7.97 30.6 0 0 0 1993 0 1.28 15.7 16.98 7.58 0.66 26.08 6.32 5.28 7.73 29.37 0 0 0 1994 0 1.33 16.41 17.74 7.57 0.74 25.85 6.81 4.92 7.3 29.06 0 0 0 1995 0 1.33 16 17.34 8.31 0.8 25.7 8.77 4.15 7.38 27.55 0 0 0 1996 0 1.4 16.17 17.58 7.56 0.88 26.29 8.83 3.5 8.17 27.19 0 0 0 1997 0 1.4 15.66 17.05 7.45 0.9 27.61 9.14 3.34 8.4 26.11 0 0 0 1998 0 1.34 17.08 18.42 8.3 0.81 25.07 9.8 3.03 8.08 26.5 0 0 0 1999 0 1.26 16.42 17.69 10.45 0.75 28.65 9.6 3.16 7.34 22.35 0 0 0 2000 0 1.24 16.51 17.74 12.76 0.83 28.93 9.08 2.68 7.57 20.41 0 0 0 2001 0 1.06 16.97 18.03 12.98 0.84 30.33 9.08 2.63 7.42 18.68 0 0 0 2002 0 1.03 17.37 18.4 13.28 0.88 31.46 8.58 2.39 7.59 17.43 0 0 0 2003 0 1.07 17.61 18.69 14.33 0.92 31.68 7.03 2.14 7.85 17.36 0 0 0 2004 0 0.89 17.88 18.77 17.94 0.88 31.14 6.9 1.83 7.87 14.67 0 0 0 2005 0 0.8 16.49 17.28 22.67 0.79 30.83 5.48 1.39 8.13 13.42 0 0 0
Lampiran 2b. Pemakaian Bahan Bakar Minyak pada Sektor Industri (Persen)
304
Sub Total M. Bakar M. Diesel Gas Bumi Avgas Avtur Listrik Arang Kayu BakarElpiji (LPG Briket 64 470 1 450 1 460 3 44 8 746 10 0 0 0 0 70 669 760 1 342 18 48 9 738 10 0 0 0 0 75 369 730 1 117 20 66 13 896 10 0 0 0 0 78 613 762 1 167 40 73 16 047 10 0 0 0 0 86 381 890 1 255 63 44 9 543 10 0 0 0 0 93 171 1 200 1 089 74 45 10 275 12 0 0 0 0 101 431 2 009 730 89 46 11 868 16 0 0 0 0 107 012 2 573 751 103 43 12 331 20 0 0 0 0 111 527 3 641 710 140 32 7 487 23 0 0 0 0 119 578 1 719 741 147 32 6 593 25 0 0 0 0 126 842 1 541 922 138 26 7 945 27 0 0 0 0 132 500 2 217 577 111 32 9 531 30 0 0 0 0 136 807 1 996 699 99 7 11 281 33 0 0 0 0 142 880 1 865 567 97 20 12 630 33 0 0 0 0 153 372 1 629 344 74 19 14 828 34 0 0 0 0 159 898 1 399 475 37 17 13 682 34 0 0 0 0
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Tahun Pre-mium M. Tanah Solar 1990 34 968 10 29 492 1991 37 498 10 33 161 1992 39 565 11 35 793 1993 40 333 11 38 269 1994 45 235 12 41 134 1995 49 702 12 43 457 1996 54 324 13 47 094 1997 58 504 13 48 495 1998 61 086 13 50 428 1999 64 352 13 55 213 2000 69 567 13 57 262 2001 73 341 13 59 146 2002 76 938 14 59 855 2003 82 158 14 60 708 2004 92 321 14 61 037 2005 98 513 14 61 371
Lampiran 2c. Pemakaian Bahan Bakar Minyak pada Sektor Transportasi (Ribu SBM)
305
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Tahun PremiumMinyak Tana Solar Sub TotalMinyak Baka Minyak Dies Gas Alam Avgas Avtur Listrik Arang Kayu BakarElpiji (LPG Briket 1990 45.9 0.013 38.71 84.63 1.9 1.92 0 0.06 11.48 0.01 0 0 0 0 1991 45.41 0.012 40.15 85.57 0.92 1.62 0.02 0.06 11.79 0.01 0 0 0 0 1992 43.38 0.012 39.24 82.63 0.8 1.22 0.02 0.07 15.24 0.01 0 0 0 0 1993 41.7 0.011 39.57 81.29 0.79 1.21 0.04 0.08 16.59 0.01 0 0 0 0 1994 46.07 0.012 41.89 87.98 0.91 1.28 0.06 0.04 9.72 0.01 0 0 0 0 1995 46.95 0.011 41.05 88.01 1.13 1.03 0.07 0.04 9.71 0.01 0 0 0 0 1996 46.75 0.011 40.53 87.3 1.73 0.63 0.08 0.04 10.21 0.01 0 0 0 0 1997 47.63 0.011 39.48 87.12 2.09 0.61 0.08 0.04 10.04 0.02 0 0 0 0 1998 49.44 0.011 40.81 90.26 2.95 0.57 0.11 0.03 6.06 0.02 0 0 0 0 1999 49.95 0.01 42.86 92.81 1.33 0.58 0.11 0.02 5.12 0.02 0 0 0 0 2000 50.62 0.009 41.66 92.29 1.12 0.67 0.1 0.02 5.78 0.02 0 0 0 0 2001 50.58 0.009 40.79 91.38 1.53 0.4 0.08 0.02 6.57 0.02 0 0 0 0 2002 50.98 0.009 39.66 90.65 1.32 0.46 0.07 0 7.47 0.02 0 0 0 0 2003 51.97 0.009 38.4 90.38 1.18 0.36 0.06 0.01 7.99 0.02 0 0 0 0 2004 54.21 0.008 35.84 90.06 0.96 0.2 0.04 0.01 8.71 0.02 0 0 0 0 2005 56.12 0.008 34.96 91.09 0.8 0.27 0.02 0.01 7.79 0.02 0 0 0 0
Lampiran 2d. Pemakaian Bahan Bakar Minyak pada Sektor Transportasi (Persen)
306
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Tahun Pre-mium M. Tanah Solar Sub Total M. Bakar 1990 0 40 513 1 368 41 881 0 1991 0 41 407 1 613 43 020 0 1992 0 42 425 1 950 44 375 0 1993 0 43 632 2 433 46 064 0 1994 0 44 661 2 679 47 339 0 1995 0 45 716 2 889 48 605 0 1996 0 46 845 3 132 49 977 0 1997 0 50 005 3 301 53 307 0 1998 0 51 916 2 797 54 713 0 1999 0 53 818 2 840 56 658 0 2000 0 55 933 2 983 58 916 0 2001 0 58 279 3 028 61 307 0 2002 0 61 140 3 073 64 213 0 2003 0 62 785 3 119 65 905 0 2004 0 62 830 3 166 65 996 0 2005 0 62 679 3 213 65 893 0
M. Diesel Gas Kota Av-gas Av-tur Listrik Briket Elpiji (LPG Arang Kayu Bakar 3.3 132 0 0 8 303 0 1 896 6 527 175 414 5 143 0 0 9 471 0 2 154 6 619 178 078 7.4 157 0 0 10 524 0 2 474 6 711 180 808 10.2 172 0 0 11 904 1.43 2 919 6 802 183 590 11.4 201 0 0 13 140 11.03 3 571 6 806 185 897 12.1 230 0 0 15 343 20.7 4 243 6 804 187 877 13 262 0 0 17 767 30.44 4 935 6 797 189 547 13.5 281 0 0 20 561 46.87 4 998 5 499 195 320 11.9 262 0 0 22 851 61.26 5 204 4 207 199 795 12.2 269 0 0 24 516 72.88 5 556 2 968 203 267 12.8 284 0 0 27 678 75.05 5 740 2 958 207 102 12.9 295 0 0 29 993 77.23 5 796 2 936 210 832 13.1 305 0 0 30 808 79.61 6 122 2 907 214 995 13.3 316 0 0 33 067 81.95 6 274 2 859 218 947 13.5 307 0 0 36 601 84.03 6 391 2 789 222 059 13.7 330 0 0 39 590 90.44 6 453 2 698 224 475
Lampiran 2e. Pemakaian Bahan Bakar Minyak pada Sektor Rumah Tangga dan Komersial (Ribu SBM)
307
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Tahun PremiumMinyak Tana Solar Sub TotalMinyak Baka Minyak Dies Gas kota Avgas Avtur Listrik Briket 1990 0 17.3 0.58 17.89 0 0 0.06 0 0 3.55 0 1991 0 17.29 0.67 17.96 0 0 0.06 0 0 3.95 0 1992 0 17.31 0.8 18.11 0 0 0.06 0 0 4.29 0 1993 0 17.35 0.97 18.32 0 0 0.07 0 0 4.73 0 1994 0 17.38 1.04 18.42 0 0 0.08 0 0 5.11 0 1995 0 17.37 1.1 18.47 0 0 0.09 0 0 5.83 0.01 1996 0 17.39 1.16 18.56 0 0 0.1 0 0 6.6 0.01 1997 0 17.86 1.18 19.04 0 0 0.1 0 0 7.34 0.02 1998 0 18.08 0.97 19.06 0 0 0.09 0 0 7.96 0.02 1999 0 18.35 0.97 19.32 0 0 0.09 0 0 8.36 0.02 2000 0 18.47 0.99 19.46 0 0 0.09 0 0 9.14 0.02 2001 0 18.72 0.97 19.7 0 0 0.09 0 0 9.64 0.02 2002 0 19.14 0.96 20.1 0 0 0.1 0 0 9.64 0.02 2003 0 19.17 0.95 20.13 0 0 0.1 0 0 10.1 0.03 2004 0 18.8 0.95 19.74 0 0 0.09 0 0 10.95 0.03 2005 0 18.46 0.95 19.41 0 0 0.1 0 0 11.66 0.03
Lampiran 2f. Pemakaian Bahan Bakar Minyak pada Sektor Rumah Tangga dan Komersial (Persen) LPG Arang Kayu Bakar 0.81 2.79 74.91 0.9 2.76 74.36 1.01 2.74 73.78 1.16 2.71 73.01 1.39 2.65 72.34 1.61 2.59 71.4 1.83 2.52 70.38 1.78 1.96 69.75 1.81 1.47 69.59 1.89 1.01 69.3 1.9 0.98 68.4 1.86 0.94 67.74 1.92 0.91 67.3 1.92 0.87 66.86 1.91 0.83 66.44 1.9 0.79 66.11 308
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Tahun PremiumMinyak Tana Solar Sub TotalMinyak Baka Minyak Dies 1990 2 120 1 714 11 660 15 494 1 067 681 1991 2 334 1 879 12 769 16 982 1 176 750 1992 2 462 1 879 13 464 17 805 1 154 736 1993 3 072 2 034 16 533 21 639 1 208 770 1994 3 425 2 167 18 311 23 903 1 275 814 1995 3 902 2 286 20 741 26 929 1 466 914 1996 4 475 2 562 23 113 30 150 1 883 986 1997 4 663 2 576 24 052 31 291 2 050 1 064 1998 2 902 2 351 17 254 22 507 2 043 942 1999 2 805 2 395 16 986 22 186 2 284 893 2000 2 917 2 477 17 416 22 810 2 424 904 2001 3 030 2 559 17 802 23 391 2 563 914 2002 3 142 2 547 18 145 23 834 2 702 925 2003 3 254 2 534 18 488 24 276 2 576 936 2004 3 410 2 521 18 816 24 747 2 506 915 2005 3 413 2 509 19 310 25 232 2 492 876
Gas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampiran 2g. Pemakaian Bahan Bakar Minyak pada Sektor Lain-Lain (Ribu SBM) Avgas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Avtur 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Listrik 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
LPG Kayu bakar Briket Arang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 309
12.3 12.34 12.5 13.01 13.18 13.31 13.55 13.55 11.38 11.06 11.16 11.28 11.44 11.71 12.11 11.93
9.94 9.94 9.54 8.61 8.34 7.8 7.76 7.49 9.22 9.44 9.48 9.52 9.27 9.12 8.95 8.77
67.63 67.53 68.36 70 70.45 70.77 70 69.91 67.68 66.97 66.63 66.26 66.08 66.53 66.8 67.52
Solar 89.86 89.81 90.4 91.62 91.96 91.88 91.31 90.95 88.29 87.47 87.27 87.06 86.79 87.36 87.86 88.22
6.19 6.22 5.86 5.11 4.91 5 5.7 5.96 8.01 9.01 9.27 9.54 9.84 9.27 8.9 8.71
3.95 3.97 3.74 3.26 3.13 3.12 2.99 3.09 3.7 3.52 3.46 3.4 3.37 3.37 3.25 3.06
Minyak Minyak Sub Total Bakar Diesel
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Minyak Tahun Premium Tanah Gas
Lampiran 2h. Pemakaian Bahan Bakar Minyak pada Sektor Lain-Lain (Persen)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Avgas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Avtur 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Listrik 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
LPG 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kayu Bakar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Briket 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Arang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 310
311
Lampiran 3. Istilah-Istilah sektor Minyak dan Gas Bumi
Minyak Bumi atau Minyak Mentah
:
BBM
:
Avgas
:
Avtur
:
Premium
:
Minyak Diesel
:
adalah minyak mineral yang merupakan campuran dari hidrokarbon yang berwarna hijau kehitam-hitaman serta mempunyai kerapatan dan kekentalan yang bervariasi. Merupakan bahan baku untuk mendapatkan BBM dan produk petrokimia. Data yang ditampilkan dalam neraca energi merupakan jumlah minyak bumi dan kondensat. Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dimaksud dalam neraca energi adalah produk kilang minyak yang dapat digunakan untuk energi, terdiri dari avgas, avtur, mogas/premium, minyak solar, minyak diesel, minyak bakar, dan minyak tanah. Khusus dalam Disertasi ini, istilah Bahan Bakar Minyak (BBM) mengacu pada premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji. Aviation Gasoline adalah bahan bakar pesawat terbang baling-baling terdiri dari hidrokarbon ringan didistilasi antara 100oC dan 250oC, hasil distilasi pada volume sekurang-kurangnya 20% pada temperature 143oC. Aviation Turbine adalah bahan bakar untuk pesawat terbang jet terdiri dari hidrokarbon sedang dengan karakteristik distilasi dan titik nyala seperti minyak tanah dengan kandungan aromatik maksimum 22 persen terhadap volume. Kekentalan di bawah 18cST pada temperature -20oC, titik beku di bawah -47oC dan nilai oktan berkisar antara 80-145 RON. Bensin Premium atau Motor Gasoline (mogas) adalah minyak hidrokarbon ringan yang digunakan untuk mesin pembakaran dalam seperti kendaraan bermotor tidak termasuk pesawat terbang. Mogas didistilasi antara 35oC dan 215oC diproses dengan Reformer, Catalitik Craking atau Blending dengan fraksi aromatik untuk mencapai nilai oktan yang tinggi. Di pasar Indonesia mogas dipisahkan menjadi tiga jenis: premium, premix dan super TT (premium mempunyai nilai oktan sekitar 80 RON, premix dan petramax mempunyai nilai oktan sekitar 94 RON, dan super TT dan petramax plus mempunyai nilai oktan sekitar 98 RON dan bebas timbal). adalah produk kilang yang megandung gas oil berat. BBM jenis ini diperoleh dari fraksi terendah dari atmosperic destilasi minyak mentah, sedangkan gas oil beratnya diperoleh dari vacuum re-distilasi dari residu atmospheric destilasi. Dalam pemasaran diesel oil dipisahkan menjadi dua jenis, yaitu minyak solar (Automotive Diesel Oil (ADO) atau High Speed Diesel
312 (HSD)) dan minyak diesel (Industry Diesel Oil (IDO) atau Low Speed Diesel (LSD)). Lampiran 3. Lanjutan
Minyak Bakar
:
Minyak Tanah
:
Elpiji (LPG)
:
LNG
:
Batubara
:
Biomassa
;
Kilang Minyak
:
Kondensat
:
SBM
:
Sumber:
adalah hasil minyak hasil distilasi residu. BBM ini terdiri dari semua residu termasuk residu dari blending. Kekentalan sekitar 10 cSt pada 80oC. Titik bakar (flash point) nya di atas 50oC dengan density lebih dari 0.90. atau kerosene adalah BBM yang dihasilkan dari proses destilasi antara volatility di antara mogas dan gasoil. Dengan distilasi sedang antara 150oC dan 300oC dimna didistilasi pada volume minimal 65 persen pada temperature 250oC. Spesific gravity-nya sekitar 0.8 dengan titik nyala di atas 38oC . Adalah kependekan dari Liquified Petroleum Gas, adalah hidrokarbon ringan fraksi dari minyak mentah, dihasilkan dari proses kilang minyak yang terdiri dari propane (C3H8) dan butana (C4H10) atau campuran dari keduanya. Selain dari kilang minyak, LPG dapat dihasilkan dari pemurnian (purification) gas bumi di kilang LPG dan kilang LNG. Adalah kependekan dari Liquified Natural Gas yaitu gas alam yang dimampatkan pada tekanan tinggi sehingga berbentuk cairan. Biasanya dilakukan untuk ditransportasikan agar efisien. adalah batuan sedimen yang terbentuk dari tumpukan kayu jutaan tahun yang lalu. adalah kumpulan dari kayu bakar, limbah pertanian (sekam, batang padi, cangkang sawit, tempurung kelapa), black liquor (cairan limbah), potongan kayu (chip), dan kulit kayu (bark). adalah unit pengolahan minyak buni dan kondesat untuk memproduksi bahan bakar minyak, antara lain naptha, avgas, avtur, ADO, IDO, premium, minyak tanah, minyak bakar, dan LPG. atau natural gas liquid adalah cairan yang didapat dari gas bumi, dapat juga berupa gas minyak cair dan bensin alam. Setara Barel Minyak adalah nilai kesetaraan kalor dengan satu barel minyak bumi.
Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
-
b.2. Pangan
b.3. Listrik
b.4. Bunga Kredit Program
b.4. Lainnya Uraian
10 599 -
b.2. Pangan
b.3. Listrik
b.4. Bunga Kredit Program
b.4. Lainnya
612
1 192
1 930
1 535
1 910
7 179
28 607
35 786
172 669
1998
-
-
-
-
467
467
-
467
20 738
1986
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007.
708
11 306
b. Subsidi Non BBM:
b.1. Pupuk
9 814
21 121
2. Total Subsidi
a. Subsidi BBM
109 302
1. Jumlah Belanja Negara
1997
917
917
b. Subsidi Non BBM:
b.1. Pupuk
450
1 367
2. Total Subsidi
a. Subsidi BBM
22 148
1985
1. Jumlah Belanja Negara
Uraian
244
2 033
4 552
18 164
-
24 993
40 923
65 916
231 879
1999
-
-
-
-
763
763
402
1 165
22 384
1987
367
2 428
3 928
2 213
-
8 936
53 810
62 745
221 467
2000
-
-
-
-
200
200
82
282
26 734
1988
Lampiran 4. Perkembangan Subsidi di Indonesia Tahun 1985-2007
926
1 083
4 618
2 435
-
9 063
68 381
77 443
341 563
2001
-
-
-
-
1 150
1 150
707
1 858
32 692
1989
51
184
4 103
4 507
-
8 845
31 162
40 006
345 605
2002
-
-
-
-
265
265
3 306
3 570
39 754
1990
1 395
1 644
4 519
4 697
-
12 255
13 210
25 465
370 592
2003
-
-
-
-
300
300
930
1 230
44 581
1991
1 919
-
3 363
5 476
1 353
12 111
14 527
26 638
255 309
2004
-
-
-
-
175
175
692
867
52 048
1992
7 865
474
12 511
6 452
2 594
29 896
89 194
119 090
392 820
2005
-
-
-
-
175
175
1 280
1 455
57 833
1993
4 775
319
31 246
5 570
2 982
44 892
62 735
107 628
422 470
2006
-
-
-
-
815
815
687
1 502
62 607
1994
1 100
1 640
32 488
6 584
6 981
48 793
56 361
105 154
457 300
2007
-
-
-
36
143
179
-
179
65 342
1995
-
-
-
58
186
244
1416
1 660
82 221
1996
313
314
Lampiran 5. Program Estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0 NOTE: Copyright (c) 2002 by SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. NOTE: SAS (r) Proprietary Software Version 9.00 (TS M0) Licensed to SUNY AT STONY BROOK, Site 0013402001. NOTE: This session is executing on the WIN_PRO platform. NOTE: SAS initialization used: real time 1.15 seconds cpu time 0.63 seconds options nodate nonumber; proc import datafile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\Energi.xls" out=work.energi; sheet='2009_04_1986'; getnames=yes; run; NOTE: WORK.ENERGI was successfully created. NOTE: PROCEDURE IMPORT used (Total process time): real time 0.29 seconds cpu time 0.12 seconds data Hanggono; set energi; /*A.
SATUAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK
MOPSPR MOPSSL MOPSKR HDUSLG HDUSMB MOPLPR MOPLSL MOPLKR HDULLG HDULMB
= = = = = = = = = =
HDUSMB * 1.18 HDUSMB * 1.24 HDUSMB * 1.31 US$ / RIBU KG US$ / BARREL MOPSPR/159*1000 MOPSSL/159*1000 MOPSKR/159*1000 HDUSLG HDUSMB/159*1000
= = =
US$ / BARREL US$ / BARREL US$ / BARREL
= = = = =
US$ US$ US$ US$ US$
MOPRPR MOPRSL MOPRKR HDURLG HDURMB MOPHPR MOPHSL MOPHKR HDUHLG HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG HDUSMB HDULMB HDURMB HDUHMB
= = = = = = = = = = = = = = = = =
MOPLPR*NTUKAR = RP MOPLSL*NTUKAR = RP MOPLKR*NTUKAR = RP HDULLG*NTUKAR = RP HDULMB*NTUKAR = RP 1.15 * MOPRPR / 1000 1.15 * MOPRSL / 1000 1.15 * MOPRKR / 1000 HDURLG / 1000 SUBHPR = MOPHPR = SUBHSL = MOPHSL = SUBHKR = MOPHKR = SUBHLG = HDUHLG = US$/BARREL US$/RB LITER RP/RB LITER RP / LITER
/ / / / / / / / / /
RIBU RIBU RIBU RIBU RIBU
RIBU RIBU RIBU RIBU RIBU
RP RP RP RP
/ / / /
LITER LITER LITER KG LITER LITER LITER LITER KG LITER
LITER LITER LITER KG
315 B. HARGA DUNIA PREMIUM KEROSENE SOLAR dan ELPIJI*/ HDUSMB = HDUSMBNR/CPINDS*100; HDULMB = HDUSMB/159*1000; HDURMB = HDULMB*NTUKRR; HDUHMB = HDURMB/1000; HDUSLG = HDUSLGNR/CPINDS*100; HDULLG = HDUSLG; HDURLG = HDULLG*NTUKRR; HDUHLG = HDURLG/1000; MOPSPR MOPSSL MOPSKR MOPSAT MOPSAG MOPSDS MOPSBR
= = = = = = =
1.18 1.24 1.31 1.50 1.36 1.22 0.90
* * * * * * *
HDUSMB; HDUSMB; HDUSMB; HDUSMB; HDUSMB; HDUSMB; HDUSMB;
MOPRPR MOPRSL MOPRKR
= = =
1.18 * HDURMB; 1.24 * HDURMB; 1.31 * HDURMB;
/*B. HARGA KEEKONOMIAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RUPIAH/SATUAN */ ALPHAC = 1.15; MOPHPR = ALPHAC * MOPRPR /1000; MOPHSL = ALPHAC * MOPRSL /1000; MOPHKR = ALPHAC * MOPRKR /1000; /*C. SUBSIDI HARGA SUBHPR = MOPHPR SUBHSL = MOPHSL SUBHKR = MOPHKR SUBHLG = HDUHLG
BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RUPIAH/SATUAN*/ - HJECPR; - HJECSL; - HJECKR; - HJECLG;
/*D. NILAI IMPOR BAHAN BAKAR MINYAK DALAM MILIAR RUPIAH*/ IMPRPR = IMPJPR * MOPRPR /1000000000; IMPRSL = IMPJSL * MOPRSL /1000000000; IMPRKR = IMPJKR * MOPRKR /1000000000; EKSRLG = EKSJLG * HDURLG /1000000000; EKSRBM = EKSRLG; IMPBBL = IMPRAT + IMPRBR; IMPBBM = IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + IMPRLG + IMPBBL; /*E. PENAWARAN JUMLAH BAHAN PNWJPR = PROJPR + IMPJPR PNWJSL = PROJSL + IMPJSL PNWJKR = PROJKR + IMPJKR PNWJLG = PROJLG + IMPJLG PNWJBL = PNWJAT + PNWJAG PNWJBM = PNWJPR + PNWJSL /*F. KONSUMSI BAHAN KOSCPRT = KOSJPRT KOSCPRL = KOSJPRL KOSCSLT = KOSJSLT KOSCSLI = KOSJSLI KOSCSLK = KOSJSLK KOSCSLL = KOSJSLL KOSCKRT = KOSJKRT
BAKAR MINYAK DALAM RIBU LITER*/ - EKSJPR; - EKSJSL; - EKSJKR; - EKSJLG; + PNWJDS + PNWJBR; + PNWJKR + PNWJBL;
BAKAR MINYAK PER SEKTOR PENGGUNA DALAM MILIAR H*/ * HJECPR / 1000000; * HJECPR / 1000000; * HJECSL / 1000000; * HJECSL / 1000000; * HJECSL / 1000000; * HJECSL / 1000000; * HJECKR / 1000000;
316
KOSCKRI KOSCKRK KOSCKRL KOSCLGI KOSCLGK
= = = = =
KOSJKRI KOSJKRK KOSJKRL KOSJLGI KOSJLGK
* * * * *
HJECKR HJECKR HJECKR HJECLG HJECLG
/ / / / /
1000000; 1000000; 1000000; 1000000; 1000000;
/*G. KONSUMSI BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RUPIAH*/ KOSCPR = KOSCPRT + KOSCPRL; KOSCSL = KOSCSLT + KOSCSLI + KOSCSLK + KOSCSLL; KOSCKR = KOSCKRT + KOSCKRI + KOSCKRK + KOSCKRL; KOSCAT = KOSJAT * HJECAT /1000000; KOSCAG = KOSJAG * HJECAG /1000000; KOSCDS = KOSJDS * HJECDS /1000000; KOSCBR = KOSJBR * HJECBR /1000000; KOSCLG = KOSCLGI + KOSCLGK; KOSCPK = KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR; KOSCPG = KOSCPK + KOSCLG; KOSCBL = KOSCAT + KOSCAG + KOSCDS + KOSCBR; KOSCBM = KOSCPG + KOSCBL; KOSJBL = KOSJAT + KOSJAG + KOSJDS + KOSJBR; KOSJPK = KOSJPR + KOSJSL + KOSJKR; /*H. SUBSIDI BAHAN SUBRPR = SUBHPR SUBRSL = SUBHSL SUBRKR = SUBHKR SUBRAT = SUBHAT SUBRAG = SUBHAG SUBRDS = SUBHDS SUBRBR = SUBHBR SUBRLG = SUBHLG SUBPKS = SUBRPR SUBPKG = SUBPKS SUBBBL = SUBRAT SUBBBM = SUBPKG
BAKAR MINYAK DALAM MILIAR RUPIAH*/ * KOSJPR / 1000000; * KOSJSL / 1000000; * KOSJKR / 1000000; * KOSJAT / 1000000; * KOSJAG / 1000000; * KOSJDS / 1000000; * KOSJBR / 1000000; * KOSJLG / 1000000; + SUBRSL + SUBRKR; + SUBRLG; + SUBRAG + SUBRDS + SUBRBR; + SUBBBL;
/*I. INDIKATOR MAKROEKONOMI DALAM MILIAR RUPIAH*/ SUBTOT = SUBBBM + SUBNBB; GOVENS = GOVEXP - SUBBBM; REVNTX = REVDDN - REVTAX; FISCGP = REVDDN - GOVEXP; BOTBBM = EKSRLG - IMPBBM; KOSNBM = KOSNAS - KOSCBM; INVNMG = INVEST - INVRMG; EKSNBM = EKSPOR - EKSRBM; IMPNBM = IMPORT - IMPBBM; NETEKS = EKSPOR - IMPORT; LCPINDS = LAG(CPINDS); LCPINDX = LAG(CPINDX); INFLSI = (CPINDX - LCPINDX)/LCPINDX * 100; INFLSS = (CPINDS - LCPINDS)/LCPINDS * 100; GDPNAS = KOSNAS + INVEST + GOVEXP + NETEKS; LGDPNAS = LAG(GDPNAS); GROWTH = (GDPNAS - LGDPNAS)/LGDPNAS * 100; /*J. HARGA RATA-RATA TERTIMBANG BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RIPIAH/LITER*/ HTMCPK = KOSCPK/KOSJPK*1000000; CPIN_2 = CPINDX / CPINDS;
317 /*INDIKATOR JOVERT = POVERT = KRODA6 =
KEMISKINAN DALAM JUTA ORANG */ JOVDES + JOVKOT; JOVERT / POPNAS * 100; KRODA4 + KRODA2;
/*INDIKATOR LHDUSLG LKOSJPRT LKOSJSLI LKOSJKRT LKOSJKRK LKOSJLGK LIMPJSL LSUBHPR LSUBHKR
LAG = = = = = = = = =
(L), PERUBAHAN (D), PERTUMBUHAN (G), DAN LAG(HDUSLG); LHDUSMB LAG(KOSJPRT); LKOSJSLT LAG(KOSJSLI); LKOSJSLK LAG(KOSJKRT); LKOSJKRI LAG(KOSJKRK); LKOSJLGI LAG(KOSJLGK); LIMPJPR LAG(IMPJSL); LIMPJKR LAG(SUBHPR); LSUBHSL LAG(SUBHKR); LSUBHLG
RASIO (R)*/ = LAG(HDUSMB); = LAG(KOSJSLT); = LAG(KOSJSLK); = LAG(KOSJKRI); = LAG(KOSJLGI); = LAG(IMPJPR); = LAG(IMPJKR); = LAG(SUBHSL); = LAG(SUBHLG);
GSUBHPR LGOVEXP DGOVEXP LINVEST DINVEST DINTRIL DNTUKRR LMONEYD LREVDDN RREVDDN DDEVISS LREVTAX RFDINVS LEKSJLG LSUBHSL LSUBHLG
= = = = = = = = = = = = = = = =
(SUBHPR-LSUBHPR)/LSUBHPR*100;LGOVENS LAG(GOVEXP); DGOVENS (GOVEXP - LGOVEXP); LINVNMG LAG(INVEST); LINVRMG (INVEST - LINVEST); LINTRIL (INTRIL-LINTRIL); LNTUKRR (NTUKRR-LNTUKRR); LMONEYS LAG(MONEYD); RMONEYD LAG(REVDDN); DREVDDN REVDDN/LREVDDN; LDEVISS (DEVISS - LDEVISS); LMOPHPR LAG(REVTAX); LFDINVS FDINVS/LFDINVS; LEKSNBM LAG(EKSJLG); LSUBHPR LAG(SUBHSL); LSUBHKR LAG(SUBHLG); LHJECPX
= = = = = = = = = = = = = = = =
LAG(GOVENS); (GOVENS - LGOVENS); LAG(INVNMG); LAG(INVRMG); LAG(INTRIL); LAG(NTUKRR); LAG(MONEYS); MONEYD/LMONEYD; (REVDDN-LREVDDN); LAG(DEVISS); LAG(MOPHPR); LAG(FDINVS); LAG(EKSNBM); LAG(SUBHPR); LAG(SUBHKR); LAG(HJECPX);
RHJECPX LHJECKR LHJECLG LHJECSL LHJECPR LJOVKOT LLABORD LLABORS DINFLSI LKOSNBM LMOPSPR LHDUHLG DHJECKB GHJECKB LKNIAGA DBANKID RHJSLLG GHJECSL
= = = = = = = = = = = = = = = = = =
HJECPX/LHJECPX; LBANKID LAG(HJECKR); DHJECKR LAG(HJECLG); DHJECLG LAG(HJECSL); DHJECSL LAG(HJECPR); LJOVDES LAG(JOVKOT); LUMRNAS LAG(LABORD); DLABORD LAG(LABORS); LINFLSI (INFLSI-LINFLSI); LIMPNBM LAG(KOSNBM); LMOPHSL LAG(MOPSPR); LPROJLG LAG(HDUHLG); LHJECKB (HJECKB-LHJECKB); RHJLGKR (HJECKB-LHJECKB)/LHJECKB*100; LAG(KNIAGA); LMTIKAN (BANKID-LBANKID); RHJECSL (HJECSL/HJECLG); RHJSLLG2 (HJECSL-LHJECSL)/LHJECSL*100;LUNEMPL
= = = = = = = = = = = = =
LAG(BANKID); (HJECKR-LHJECKR); (HJECLG-LHJECLG); (HJECSL - LHJECSL); LAG(JOVDES); LAG(UMRNAS); (LABORD - LLABORD); LAG(INFLSI); LAG(IMPNBM); LAG(MOPHSL); LAG(PROJLG); LAG(HJECKB); (LHJECLG/LHJECKR);
= = = =
LAG(MTIKAN); (HJECSL/LHJECSL); (LHJECSL/LHJECLG); LAG(UNEMPL);
RUN; NOTE: There were 21 observations read from the data set WORK.ENERGI. NOTE: The data set WORK.HANGGONO has 21 observations and 398 variables. NOTE: DATA statement used (Total process time): real time 0.43 seconds cpu time 0.40 seconds
318
proc SYSLIN 2SLS data=Hanggono; endogenous PNWJPR PNWJSL KOSJSLK KOSJSL KOSCPR KOSCSL IMPJPR IMPJSL BOTBBM SUBHPR SUBBBM REVTAX GOVENS GOVEXP NTUKRR CPINDX GROWTH JOVDES
PNWJKR KOSJKRT KOSCKR IMPJKR SUBHSL REVDDN IMPNBM INTRIL JOVKOT
instruments KRISIS KRODA2 SUBBBL BANKTL EKSJSL
PNWJLG KOSJKRI KOSCLG IMPRPR SUBHKR FISCGP IMPORT LABORS POVERT;
PNWJBM KOSJKRK KOSCBM IMPRSL SUBHLG KOSNBM EKSNBM LABORD
KRISIP KRODA4 PNWJBL FDINVS EKSJKR
TRENDD KRODA6 CPINDS INVETL LBANKID
KOSJPRT KOSJKR HJECPR IMPRKR SUBRPR KOSNAS EKSPOR UMRNAS
KOSJPR KOSJLGI HJECSL IMPBBM SUBRSL INVRMG GDPNAS UNEMPL
HDURMB HJECKB KNIAGA POPNAS FDINVR KOSJPRL PROJPR PROJSL REVNTX;
KOSJSLT KOSJLGK HJECKR EKSJLG SUBRKR INVNMG MONEYS INFLSI
HDUSMB LISTRK KOSJSLL PROJKR
LIMPJPR LIMPJSL LIMPJKR KRISIP
KOSJSLI KOSJLG HJECLG EKSRLG SUBRLG INVEST MONEYD NETEKS
HDUSLG MTIKAN KOSJKRL PROJLG
HJECPX RTIKAN DEVISS EKSJPR
model model model model
IMPJPR IMPJSL IMPJKR EKSJLG
= = = =
LMOPHPR MOPHSL MOPHKR LHDUHLG
CPINDX CPINDX POPNAS PROJLG
TRENDD KNIAGA KRISIP TRENDD
/dw; /dw; /dw; LEKSJLG /dw;
model model model model
KOSJPRT KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK
= = = =
HJECPR HJECSL DHJECSL HJECSL
RHJECPX LKNIAGA LISTRK RTIKAN
KRODA6 LKOSJPRT /dw; KRISIS LKOSJSLT /dw; KRISIS LKOSJSLI /dw; LKOSJSLK /dw;
model model model model model
KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJLGI KOSJLGK
= = = = =
HJECKR HJECKR HJECKR LHJECLG LHJECLG
LMTIKAN LBANKID DHJECKB LISTRK DHJECKR
LKOSJKRT /dw; LKOSJKRI /dw; RHJLGKR POPNAS LKOSJKRK /dw; KRISIS LKOSJLGI /dw; POPNAS LKOSJLGK /dw;
model model model model
SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG
= = = =
MOPSPR MOPSSL MOPSKR HDUSLG
NTUKRR NTUKRR NTUKRR NTUKRR
REVDDN DREVDDN REVDDN RREVDDN
LSUBHPR LSUBHSL LSUBHKR LSUBHLG
/dw; /dw; /dw; /dw;
model model model model model
GOVENS REVTAX EKSNBM IMPNBM KOSNBM
= = = = =
REVDDN LGDPNAS INFLSS CPINDS INFLSI
INFLSI KRISIP CPINDX INFLSI INTRIL
TRENDD LREVTAX DNTUKRR LNTUKRR POPNAS
LGOVENS /dw; PNWJBM POPNAS KRISIS
/dw;
model model model model model model model model model model model model
INVRMG INVNMG MONEYS MONEYD NTUKRR INTRIL CPINDX LABORS LABORD UMRNAS JOVDES JOVKOT
= = = = = = = = = = = =
DINTRIL LINTRIL INTRIL INTRIL CPIN_2 MONEYS HTMCPK UMRNAS LUMRNAS LLABORS INFLSI INFLSI
RFDINVS LNTUKRR GDPNAS NTUKRR FDINVS RMONEYD LMONEYS POPNAS GDPNAS DLABORD LGOVEXP GOVEXP
POPNAS TRENDD BANKTL MONEYS DDEVISS DINVEST LCPINDX DGOVENS LLABORD KRISIP UNEMPL UMRNAS
KRISIS KRISIS KRISIS LMONEYD LNTUKRR KRISIS /dw; LLABORS /dw; TRENDD HJECKB LUNEMPL
TRENDD LINVRMG /dw; LINVNMG /dw; TRENDD LMONEYS /dw; /dw; /dw; /dw;
LEKSNBM /dw; KRISIS LIMPNBM /dw; LKOSNBM /dw;
/dw; LUMRNAS /dw; LJOVDES /dw; LHJECLG LJOVKOT /dw;
319 identity PNWJPR = PROJPR + IMPJPR - EKSJPR; identity PNWJSL = PROJSL + IMPJSL - EKSJSL; identity PNWJKR = PROJKR + IMPJKR - EKSJKR; identity PNWJLG = PROJLG + IMPJLG - EKSJLG; identity PNWJBM = PNWJPR + PNWJSL + PNWJKR + PNWJBL; identity identity identity identity
KOSJPR KOSJSL KOSJKR KOSJLG
= = = =
KOSJPRT KOSJSLT KOSJKRT KOSJLGI
+ + + +
identity identity identity identity
HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG
= = = =
MOPHPR MOPHSL MOPHKR HDUHLG
identity identity identity identity identity identity
KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG BOTBBM KOSCBM
= = = = = =
KOSCPR; KOSCSL; KOSCKR; KOSCLG; EKSRLG - IMPBBM; KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR + KOSCLG + KOSCBL;
identity identity identity identity identity identity identity
IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM IMPORT EKSRLG EKSPOR
= = = = = = =
IMPRPR; IMPRSL; IMPRKR; IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + IMPRLG + IMPBBL; IMPBBM + IMPNBM; EKSRLG; EKSRLG + EKSNBM;
identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity
NETEKS REVDDN INVEST KOSNAS SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM GOVEXP FISCGP GDPNAS GROWTH UNEMPL INFLSI POVERT
= = = = = = = = = = = = = = = =
EKSPOR - IMPORT; REVTAX + REVNTX; INVRMG + INVNMG; KOSCBM + KOSNBM; SUBRPR + 0; SUBRSL + 0; SUBRKR + 0; SUBRLG + 0; SUBRPR + SUBRSL + SUBRKR + SUBRLG + SUBBBL; GOVENS + SUBBBM; REVDDN - GOVEXP; KOSNAS + INVEST + GOVEXP + NETEKS; GROWTH; LABORS - LABORD; INFLSI; POVERT;
-
KOSJPRL; KOSJSLI + KOSJSLK + KOSJSLL; KOSJKRI + KOSJKRK + KOSJKRL; KOSJLGK;
SUBHPR; SUBHSL; SUBHKR; SUBHLG;
run; NOTE: 21 observations were read. 1 observations have missing values. 20 observations were used in the computations. NOTE: PROCEDURE SYSLIN used (Total process time): real time 0.26 seconds cpu time 0.15 seconds
320 Lampiran 6.
Hasil Estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJPRT Dependent Variable KOSJPRT Label Kons.Premium di Transportasi (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 3.102E14 7.755E13 1530.79 <.0001 Error 15 7.599E11 5.066E10 Corrected Total 19 3.109E14 Root MSE 225073.912 R‐Square 0.99756 Dependent Mean 10071186.3 Adj R‐Sq 0.99690 Coeff Var 2.23483 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1089813 635159.7 1.72 0.1068 Intercept HJECPR 1 ‐404.767 224.2521 ‐1.80 0.0912 H.Jual Eceran Premium (Rp/Liter) RHJECPX 1 25360.13 228775.0 0.11 0.9132 Rasio Harga Bensin Pertamax (rasio) KRODA6 1 51.52939 20.57990 2.50 0.0243 Jlh.Kendaraan R4 & R2 LKOSJPRT 1 0.926845 0.059403 15.60 <.0001 LAG Kons.Premium di Transport. (Rb Lt) Durbin‐Watson 1.781738 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.096245 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJSLT Dependent Variable KOSJSLT Label Kons.M.Solar di Transportasi (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.181E14 2.952E13 249.50 <.0001 Error 15 1.774E12 1.183E11 Corrected Total 19 1.198E14 Root MSE 343941.580 R‐Square 0.98519 Dependent Mean 8575716.06 Adj R‐Sq 0.98124 Coeff Var 4.01065 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 892803.0 434157.4 2.06 0.0576 Intercept HJECSL 1 ‐827.180 470.8609 ‐1.76 0.0994 H.Jual Eceran M.Solar (Rp/Liter) LKNIAGA 1 266.3491 158.7959 1.68 0.1142 LAG Jlh.Kendaraan Niaga KRISIS 1 ‐752422 304508.5 ‐2.47 0.0260 Krisis Domestik LKOSJSLT 1 0.972452 0.058266 16.69 <.0001 LAG Kons.M.Solar di Transport. (Rb Lt) Durbin‐Watson 1.971382 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.00169 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJSLI Dependent Variable KOSJSLI Label Kons.M.Solar di Industri (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.367E14 3.417E13 165.21 <.0001 Error 15 3.102E12 2.068E11 Corrected Total 19 1.398E14
321 Root MSE 454754.650 R‐Square 0.97781 Dependent Mean 6644934.17 Adj R‐Sq 0.97189 Coeff Var 6.84363 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐172483 367098.5 ‐0.47 0.6452 Intercept DHJECSL 1 ‐103.726 691.3420 ‐0.15 0.8827 Perub.H.Jual Ec.M.Solar (Rp/Liter) LISTRK 1 167.5038 93.30388 1.80 0.0928 Daya Listrik Terpasang (MW) KRISIS 1 ‐800382 455481.3 ‐1.76 0.0993 Krisis Domestik LKOSJSLI 1 0.680545 0.213814 3.18 0.0062 LAG Kons.M.Solar di Industri (Rb Lt) Durbin‐Watson 2.356451 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.18261 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJSLK Dependent Variable KOSJSLK Label Kons.M.Solar di RT& Kom. (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 3.826E11 1.275E11 75.88 <.0001 Error 16 2.69E10 1.681E9 Corrected Total 19 4.095E11 Root MSE 40999.7391 R‐Square 0.93433 Dependent Mean 468197.805 Adj R‐Sq 0.92201 Coeff Var 8.75693 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐285614 116096.6 ‐2.46 0.0256 Intercept HJECSL 1 ‐16.9463 29.27728 ‐0.58 0.5708 H.Jual Eceran M.Solar (Rp/Liter) RTIKAN 1 0.259371 0.088699 2.92 0.0099 Rumah Tangga Nelayan (KK) LKOSJSLK 1 0.586745 0.122279 4.80 0.0002 LAG Kons.M.Solar di RTdanKom.(Rb Lt) Durbin‐Watson 1.678387 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.157913 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJKRT Dependent Variable KOSJKRT Label Kons.M.Tanah di Transportasi (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1625878 541959.2 45.15 <.0001 Error 16 192059.0 12003.69 Corrected Total 19 1817937 Root MSE 109.56133 R‐Square 0.89435 Dependent Mean 2196.45815 Adj R‐Sq 0.87454 Coeff Var 4.98809 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 615.0396 249.6839 2.46 0.0255 Intercept HJECKR 1 ‐0.23234 0.137281 ‐1.69 0.1099 H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Liter) LMTIKAN 1 0.001826 0.001237 1.48 0.1593 LAG Kapal Motor Perikanan (Unit) LKOSJKRT 1 0.705722 0.135130 5.22 <.0001 LAG Kons.M.Tanah di Transport. (Rb Lt)
322 Durbin‐Watson 2.109878 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.06722 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJKRI Dependent Variable KOSJKRI Label Kons.M.Tanah di Industri (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 2.696E11 8.986E10 41.70 <.0001 Error 16 3.448E10 2.1548E9 Corrected Total 19 3.041E11 Root MSE 46419.4657 R‐Square 0.88661 Dependent Mean 462798.110 Adj R‐Sq 0.86535 Coeff Var 10.03018 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 97382.20 62237.07 1.56 0.1372 Intercept HJECKR 1 ‐52.7697 47.88291 ‐1.10 0.2867 H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Liter) LBANKID 1 0.582187 0.248451 2.34 0.0324 LAG Jlh.Kred sekt. Indus.(Rp.Miliar) LKOSJKRI 1 0.729712 0.094142 7.75 <.0001 LAG Kons.M.Tanah di Industri (Rb Lt) Durbin‐Watson 2.06525 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.04201 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJKRK Dependent Variable KOSJKRK Label Kons.M.Tanah di RT& Kom. (rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 5.016E13 1.003E13 120.41 <.0001 Error 14 1.166E12 8.331E10 Corrected Total 19 5.132E13 Root MSE 288636.661 R‐Square 0.97727 Dependent Mean 9063922.49 Adj R‐Sq 0.96916 Coeff Var 3.18446 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐5600302 1914895 ‐2.92 0.0111 Intercept HJECKR 1 ‐977.029 301.3361 ‐3.24 0.0059 H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Liter) DHJECKB 1 637.6862 995.9595 0.64 0.5323 Perub.H.Jual Ec.Kayu Bakar (Rp/Ikat) RHJLGKR 1 78488.42 79230.91 0.99 0.3387 Rasio LAG H.Eceran Elpiji thd MTanah POPNAS 1 60321.30 16674.98 3.62 0.0028 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) LKOSJKRK 1 0.348502 0.165904 2.10 0.0543 LAG Kons.M.Tanah di RTdanKom.(Rb Lt) Durbin‐Watson 1.560575 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.166778 The SAS System
323 The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJLGI Dependent Variable KOSJLGI Label Kons.Elpiji di Industri (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.333E11 3.332E10 46.17 <.0001 Error 15 1.082E10 7.2155E8 Corrected Total 19 1.441E11 Root MSE 26861.6774 R‐Square 0.92488 Dependent Mean 148934.085 Adj R‐Sq 0.90485 Coeff Var 18.03595 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐13861.6 29861.92 ‐0.46 0.6492 Intercept LHJECLG 1 ‐32.9607 18.94584 ‐1.74 0.1024 LAG H.Jual Ec. Elpiji (Rp/Kg) LISTRK 1 9.670650 1.970958 4.91 0.0002 Daya Listrik Terpasang (MW) KRISIS 1 ‐65665.4 21443.27 ‐3.06 0.0079 Krisis Domestik LKOSJLGI 1 0.518545 0.132585 3.91 0.0014 LAG Kons.Elpiji di Industri (Rb L) Durbin‐Watson 1.637818 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.054459 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJLGK Dependent Variable KOSJLGK Label Kons.Elpiji di RT& Kom. (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 7.769E11 1.942E11 48.08 <.0001 Error 15 6.06E10 4.0398E9 Corrected Total 19 8.375E11 Root MSE 63559.2017 R‐Square 0.92765 Dependent Mean 368211.908 Adj R‐Sq 0.90835 Coeff Var 17.26158 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1330336 328536.0 ‐4.05 0.0010 Intercept LHJECLG 1 ‐40.8900 46.79875 ‐0.87 0.3960 LAG H.Jual Ec. Elpiji (Rp/Kg) DHJECKR 1 32.74244 76.56139 0.43 0.6750 Perub.H.Jual Ec.M.Tanah (Rp/Liter) POPNAS 1 8159.952 1892.359 4.31 0.0006 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) LKOSJLGK 1 0.439191 0.152259 2.88 0.0113 LAG Kons.Elpiji di RT dan Kom. (Rb Lt) Durbin‐Watson 1.676853 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.086801 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model IMPJPR Dependent Variable IMPJPR Label Jumlah Impor Premium (Ribu Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.514E14 3.786E13 74.63 <.0001 Error 15 7.609E12 5.073E11 Corrected Total 19 1.59E14 Root MSE 712223.409 R‐Square 0.95216 Dependent Mean 1826630.57 Adj R‐Sq 0.93940 Coeff Var 38.99110
324 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 281000.0 778848.8 0.36 0.7233 Intercept LMOPHPR 1 ‐812.799 778.7522 ‐1.04 0.3131 LAG H.Dunia Premium (Rp/Lt) CPINDX 1 39025.03 20375.61 1.92 0.0747 Indeks Harga Konsumen (indeks) TRENDD 1 ‐140012 115155.9 ‐1.22 0.2428 Tren Waktu LIMPJPR 1 0.921675 0.197084 4.68 0.0003 LAG Jlh Impor Premium (Rb Lt) Durbin‐Watson 2.979014 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.52874 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model IMPJSL Dependent Variable IMPJSL Label Jumlah Impor M.Solar (Ribu Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 3.366E14 8.414E13 60.54 <.0001 Error 15 2.085E13 1.39E12 Corrected Total 19 3.574E14 Root MSE 1178983.61 R‐Square 0.94167 Dependent Mean 6344694.47 Adj R‐Sq 0.92611 Coeff Var 18.58220 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 298261.0 821685.6 0.36 0.7217 Intercept MOPHSL 1 ‐509.900 1080.504 ‐0.47 0.6438 Harga Dunia M.Solar (Rp/Liter) CPINDX 1 38335.36 22738.67 1.69 0.1125 Indeks Harga Konsumen (indeks) KNIAGA 1 881.1056 365.2047 2.41 0.0291 Jlh.Kendaraan Niaga LIMPJSL 1 0.257180 0.290049 0.89 0.3892 LAG Jlh Impor M.Solar (Rb Lt) Durbin‐Watson 2.216671 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.11751 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model IMPJKR Dependent Variable IMPJKR Label Jumlah Impor M.Tanah (Ribu Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.097E13 2.742E12 14.49 <.0001 Error 15 2.838E12 1.892E11 Corrected Total 19 1.381E13 Root MSE 434937.961 R‐Square 0.79446 Dependent Mean 1989770.34 Adj R‐Sq 0.73965 Coeff Var 21.85870 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐8404491 2501940 ‐3.36 0.0043 Intercept MOPHKR 1 ‐286.025 254.1792 ‐1.13 0.2782 Harga Dunia M.Tanah (Rp/Liter) POPNAS 1 53732.84 15449.05 3.48 0.0034 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) KRISIP 1 366515.2 249826.2 1.47 0.1630 Krisis Pemilu LIMPJKR 1 0.048066 0.257226 0.19 0.8543 LAG Jlh Impor M.Tanah (Rb Lt) Durbin‐Watson 1.938421 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.028809
325 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EKSJLG Dependent Variable EKSJLG Label Jumlah Ekspor Elpiji (Ribu Kg) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 1.003E13 2.005E12 261.24 <.0001 Error 14 1.075E11 7.6756E9 Corrected Total 19 1.013E13 Root MSE 87610.7467 R‐Square 0.98940 Dependent Mean 1803688.45 Adj R‐Sq 0.98561 Coeff Var 4.85731 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐255591 119842.7 ‐2.13 0.0511 Intercept LHDUHLG 1 137.9002 77.60924 1.78 0.0973 LAG Harga Dunia Elpiji (Rp/Kg) PROJLG 1 1.104520 0.074827 14.76 <.0001 Jumlah Produksi Elpiji (Ribu Kg) TRENDD 1 ‐58639.1 8422.879 ‐6.96 <.0001 Tren Waktu KRISIP 1 ‐27176.7 48881.60 ‐0.56 0.5870 Krisis Pemilu LEKSJLG 1 0.000699 0.060272 0.01 0.9909 LAG Jlh Ekspor Elpiji (Rb Kg) Durbin‐Watson 1.132411 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.330361 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model SUBHPR Dependent Variable SUBHPR Label Subsidi Harga Premium (Rp/Liter) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 5306602 1326650 16.51 <.0001 Error 15 1205613 80374.18 Corrected Total 19 6512215 Root MSE 283.50341 R‐Square 0.81487 Dependent Mean ‐190.62908 Adj R‐Sq 0.76550 Coeff Var ‐148.71992 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1674.94 510.3706 ‐3.28 0.0050 Intercept MOPSPR 1 19.23830 10.10601 1.90 0.0763 Harga Dunia Premium (US$/Barrel) NTUKRR 1 0.165753 0.051066 3.25 0.0054 Nilai Tukar (Rp/US$) REVDDN 1 ‐0.00025 0.001652 ‐0.15 0.8800 Penerimaan DN Pemerintah (Rp Miliar) LSUBHPR 1 0.329533 0.180382 1.83 0.0877 LAG Subsidi Harga Premium (Rp/Lt) Durbin‐Watson 1.845917 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.031924 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model SUBHSL Dependent Variable SUBHSL Label Subsidi Harga Minyak Solar (Rp/Liter) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
326 Model 4 2392131 598032.8 6.78 0.0025 Error 15 1323947 88263.16 Corrected Total 19 3716078 Root MSE 297.09116 R‐Square 0.64372 Dependent Mean 417.70382 Adj R‐Sq 0.54872 Coeff Var 71.12484 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐765.783 407.1332 ‐1.88 0.0795 Intercept MOPSSL 1 8.272682 8.592345 0.96 0.3509 Harga Dunia M.Solar (US$/Barrel) NTUKRR 1 0.132112 0.046310 2.85 0.0121 Nilai Tukar (Rp/US$) DREVDDN 1 0.001276 0.002671 0.48 0.6396 Perub.Pend.DN Pemerintah (Rp.Miliar) LSUBHSL 1 0.205053 0.207707 0.99 0.3392 LAG Subsidi Harga Minyak Solar (Rp/Lt) Durbin‐Watson 1.673092 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.094408 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model SUBHKR Dependent Variable SUBHKR Label Subsidi Harga Minyak Tanah (Rp/Liter) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 6408425 1602106 31.20 <.0001 Error 15 770347.5 51356.50 Corrected Total 19 7178773 Root MSE 226.61972 R‐Square 0.89269 Dependent Mean 877.61566 Adj R‐Sq 0.86408 Coeff Var 25.82221 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1506.28 284.1631 ‐5.30 <.0001 Intercept MOPSKR 1 27.50348 7.048467 3.90 0.0014 Harga Dunia M.Tanah (US$/Barrel) NTUKRR 1 0.186390 0.038393 4.85 0.0002 Nilai Tukar (Rp/US$) REVDDN 1 0.000998 0.001348 0.74 0.4704 Penerimaan DN Pemerintah (Rp Miliar) LSUBHKR 1 0.139720 0.136881 1.02 0.3236 LAG Subsidi Harga M.Tanah (Rp/Lt) Durbin‐Watson 1.943414 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.016035 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model SUBHLG Dependent Variable SUBHLG Label Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 5071347 1267837 8.67 0.0008 Error 15 2192957 146197.1 Corrected Total 19 7264303 Root MSE 382.35730 R‐Square 0.69812 Dependent Mean ‐431.73526 Adj R‐Sq 0.61762 Coeff Var ‐88.56291 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1808.81 925.3643 ‐1.95 0.0695 Intercept
327 HDUSLG 1 2.478410 1.129942 2.19 0.0445 Harga Dunia LPG (US$/Ribu Kg) NTUKRR 1 0.130000 0.055488 2.34 0.0333 Nilai Tukar (Rp/US$) RREVDDN 1 153.1878 662.0296 0.23 0.8201 Rasio Pend.DN Pemerintah (Rp.Miliar) LSUBHLG 1 0.325504 0.195544 1.66 0.1167 LAG Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg) Durbin‐Watson 1.816376 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.088142 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model REVTAX Dependent Variable REVTAX Label Penerimaan Pajak (Rp Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 5.951E10 1.984E10 107.27 <.0001 Error 16 2.9589E9 1.8493E8 Corrected Total 19 6.247E10 Root MSE 13598.9773 R‐Square 0.95264 Dependent Mean 123515.721 Adj R‐Sq 0.94376 Coeff Var 11.00992 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐105.437 9107.695 ‐0.01 0.9909 Intercept LGDPNAS 1 0.015610 0.016947 0.92 0.3707 LAG GDP Nasional (Rp.Miliar) KRISIP 1 ‐1982.86 7096.216 ‐0.28 0.7835 Krisis Pemilu LREVTAX 1 0.929618 0.145291 6.40 <.0001 LAG Penerimaan Pajak (Rp Miliar) Durbin‐Watson 2.673793 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.34954 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSNBM Dependent Variable KOSNBM Label Konsumsi di luar BBM (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Meam Square F Value Pr > F Model 5 1.423E12 2.846E11 426.28 <.0001 Error 14 9.3456E9 6.6755E8 Corrected Total 19 1.432E12 Root MSE 25836.8997 R‐Square 0.99347 Dependent Mean 651301.982 Adj R‐Sq 0.99114 Coeff Var 3.96696 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐705965 493400.4 ‐1.43 0.1744 Intercept INFLSI 1 ‐14969.3 4709.294 ‐3.18 0.0067 Tingk.Inflasi Domestik INTRIL 1 ‐15241.7 4682.451 ‐3.26 0.0058 Tingk.Suku Bunga Domestik POPNAS 1 6422.242 2870.513 2.24 0.0420 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) KRISIS 1 99778.84 44556.36 2.24 0.0419 Krisis Domestik LKOSNBM 1 0.563120 0.166096 3.39 0.0044 LAG Konsumsi diluar BBM (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 2.180638 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.10931
328 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model INVRMG Dependent Variable INVRMG Label Investasi MIGAS (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 6 2.687E9 4.4783E8 33.29 <.0001 Error 13 1.7488E8 13452169 Corrected Total 19 2.8618E9 Root MSE 3667.71986 R‐Square 0.93889 Dependent Mean 30047.5642 Adj R‐Sq 0.91069 Coeff Var 12.20638 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐60545.3 127980.4 ‐0.47 0.6440 Intercept DINTRIL 1 ‐413.781 98.68045 ‐4.19 0.0011 Perub.Tkt.Suku Bunga Domestik RFDINVS 1 199.6029 293.5048 0.68 0.5084 Rasio FDI thd LAGnya POPNAS 1 400.8910 759.9341 0.53 0.6067 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) KRISIS 1 5799.113 4800.646 1.21 0.2486 Krisis Domestik TRENDD 1 74.53277 2205.871 0.03 0.9736 Tren Waktu LINVRMG 1 0.322453 0.258749 1.25 0.2347 LAG Investasi MIGAS (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 1.858617 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.022504 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model INVNMG Dependent Variable INVNMG Label Investasi Non‐MIGAS (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 7.53E10 1.506E10 32.69 <.0001 Error 14 6.4506E9 4.6075E8 Corrected Total 19 8.175E10 Root MSE 21465.1761 R‐Square 0.92110 Dependent Mean 197874.104 Adj R‐Sq 0.89292 Coeff Var 10.84790 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 138173.5 30473.29 4.53 0.0005 Intercept LINTRIL 1 ‐3677.40 884.5174 ‐4.16 0.0010 LAG Tingk.Suku Bunga Domestik LNTUKRR 1 ‐16.4365 4.830315 ‐3.40 0.0043 LAG Nilai Tukar (Rp/US%) TRENDD 1 430.3034 1287.299 0.33 0.7431 Tren Waktu KRISIS 1 ‐93414.8 23389.51 ‐3.99 0.0013 Krisis Domestik LINVNMG 1 0.970674 0.083784 11.59 <.0001 LAG Investasi Non‐MIGAS (Mil. Rp) Durbin‐Watson 2.460511 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.28043 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model GOVENS Dependent Variable GOVENS Label Belanja Pem.diluar Subs.BBM (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 5.648E10 1.412E10 40.31 <.0001 Error 15 5.2544E9 3.5029E8 Corrected Total 19 6.173E10
329 Root MSE 18716.1239 R‐Square 0.91488 Dependent Mean 202102.592 Adj R‐Sq 0.89218 Coeff Var 9.26070 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 21295.93 29722.08 0.72 0.4847 Intercept REVDDN 1 0.993385 0.238038 4.17 0.0008 Penerimaan DN Pem. (Rp Miliar) INFLSI 1 2183.588 382.9008 5.70 <.0001 Tingk.Inflasi Domestik TRENDD 1 ‐4583.55 3469.726 ‐1.32 0.2063 Tren Waktu LGOVENS 1 0.110305 0.162005 0.68 0.5063 LAG Belanja Pem. diluar Subs.BBM (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 1.163919 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.370948 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model IMPNBM Dependent Variable IMPNBM Label Impor diluar BBM (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 6 7.769E10 1.295E10 15.61 <.0001 Error 13 1.078E10 8.2928E8 Corrected Total 19 8.847E10 Root MSE 28797.1908 R‐Square 0.87814 Dependent Mean 195230.861 Adj R‐Sq 0.82190 Coeff Var 14.75033 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐901589 443005.2 ‐2.04 0.0628 Intercept CPINDS 1 ‐3010.86 4784.964 ‐0.63 0.5401 Indeks H.Konsumen Dunia INFLSI 1 2088.257 1363.225 1.53 0.1495 Tingk.Inflasi Domestik LNTUKRR 1 ‐13.7374 6.866849 ‐2.00 0.0668 LAG Nilai Tukar (Rp/US%) POPNAS 1 7165.514 4380.851 1.64 0.1259 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) KRISIS 1 ‐8795.08 63236.86 ‐0.14 0.8915 Krisis Domestik LIMPNBM 1 0.076328 0.268141 0.28 0.7804 LAG Impor diluar BBM (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 1.613397 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.077118 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EKSNBM Dependent Variable EKSNBM Label Ekspor diluar BBM (Rp Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 4.852E11 9.703E10 141.21 <.0001 Error 14 9.6204E9 6.8717E8 Corrected Total 19 4.948E11 Root MSE 26213.9034 R‐Square 0.98056 Dependent Mean 323942.348 Adj R‐Sq 0.97361 Coeff Var 8.09215 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐142862 80231.59 ‐1.78 0.0967 Intercept INFLSS 1 11213.69 8824.759 1.27 0.2245 Tingk.Inflasi Dunia CPINDX 1 ‐221.617 576.9774 ‐0.38 0.7067 Indeks Harga Konsumen (indeks) DNTUKRR 1 45.68434 3.877742 11.78 <.0001 Perub.Nilai Tukar Rp/US$ PNWJBM 1 0.004252 0.001931 2.20 0.0449 Jlh.Penawaran Total BBM (Rb Lt)
330 LEKSNBM 1 0.774934 0.100377 7.72 <.0001 LAG Ekspor diluar BBM (Rp Miliar) Durbin‐Watson 2.422699 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.22952 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model MONEYS Dependent Variable MONEYS Label Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 6 9.64E11 1.607E11 449.42 <.0001 Error 13 4.6473E9 3.5748E8 Corrected Total 19 9.686E11 Root MSE 18907.2009 R‐Square 0.99520 Dependent Mean 536189.751 Adj R‐Sq 0.99299 Coeff Var 3.52621 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐144069 37488.83 ‐3.84 0.0020 Intercept INTRIL 1 2571.971 871.9851 2.95 0.0113 Tingk.Suku Bunga Domestik GDPNAS 1 0.332875 0.080565 4.13 0.0012 GDP Nasional (Rp.Miliar) BANKTL 1 0.187252 0.033340 5.62 <.0001 Jumlah Kredit Total (Rp.Miliar KRISIS 1 ‐27775.3 28229.55 ‐0.98 0.3431 Krisis Domestik TRENDD 1 ‐15802.2 4942.848 ‐3.20 0.0070 Tren Waktu LMONEYS 1 0.705972 0.114336 6.17 <.0001 LAG Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 2.626985 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.45044 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model MONEYD Dependent Variable MONEYD Label Jlh.Permintaan Uang (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.086E12 2.715E11 128.60 <.0001 Error 15 3.167E10 2.1112E9 Corrected Total 19 1.118E12 Root MSE 45947.3010 R‐Square 0.97167 Dependent Mean 556979.867 Adj R‐Sq 0.96411 Coeff Var 8.24936 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 139390.8 53814.28 2.59 0.0205 Intercept INTRIL 1 ‐2904.01 2124.160 ‐1.37 0.1917 Tingk.Suku Bunga Domestik NTUKRR 1 ‐31.9808 9.702011 ‐3.30 0.0049 Nilai Tukar (Rp/US$) MONEYS 1 1.025931 0.306260 3.35 0.0044 Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) LMONEYD 1 0.163295 0.310573 0.53 0.6067 LAG Jlh.Permintaan Uang (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 1.949389 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.013606 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model NTUKRR Dependent Variable NTUKRR Label Nilai Tukar (Rp/US$)
331 Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 52790148 13197537 7.54 0.0015 Error 15 26268726 1751248 Corrected Total 19 79058874 Root MSE 1323.34742 R‐Square 0.66773 Dependent Mean 6226.23782 Adj R‐Sq 0.57913 Coeff Var 21.25437 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 5270.346 1450.855 3.63 0.0025 Intercept CPIN_2 1 1450.247 1123.594 1.29 0.2163 Rasio IHK Dom.dgn IHK dunia FDINVS 1 ‐0.16761 0.095480 ‐1.76 0.0996 Foreign Direct Investment(US$ Juta) DDEVISS 1 ‐0.20648 0.097744 ‐2.11 0.0518 Perub.Cad.Devisa (US$ Juta) LNTUKRR 1 0.045880 0.250690 0.18 0.8572 LAG Nilai Tukar (Rp/US%) Durbin‐Watson 1.771635 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.09069 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model CPINDX Dependent Variable CPINDX Label Indeks Harga Konsumen (indeks) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 46985.96 15661.99 528.80 <.0001 Error 16 473.8900 29.61812 Corrected Total 19 47459.85 Root MSE 5.44225 R‐Square 0.99001 Dependent Mean 75.49685 Adj R‐Sq 0.98814 Coeff Var 7.20858 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐11.8457 5.833631 ‐2.03 0.0593 Intercept HTMCPK 1 0.007563 0.004912 1.54 0.1431 H.Tertimb.Dom.Prem,Kero,& Solar (Rp/Liter) LMONEYS 1 0.000037 0.000012 3.10 0.0069 LAG Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) LCPINDX 1 0.897738 0.072296 12.42 <.0001 LAG Indeks Harga Konsumen (indeks) Durbin‐Watson 1.717795 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.116883 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model INTRIL Dependent Variable INTRIL Label Tingk.Suku Bunga Domestik Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1210.308 302.5769 5.98 0.0044 Error 15 758.8766 50.59178 Corrected Total 19 1969.184 Root MSE 7.11279 R‐Square 0.61462 Dependent Mean 6.22649 Adj R‐Sq 0.51186 Coeff Var 114.23433
332 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1.203584 20.36490 0.06 0.9537 Intercept MONEYS 1 ‐6.16E‐6 8.231E‐6 ‐0.75 0.4659 Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) RMONEYD 1 9.420449 16.73631 0.56 0.5818 Rasio Jlh.Permintaan Uang DINVEST 1 3.682E‐6 0.000062 0.06 0.9538 Perub.Investasi (Rp.Miliar) KRISIS 1 ‐21.3040 6.842226 ‐3.11 0.0071 Krisis Domestik Durbin‐Watson 2.451757 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.24051 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model LABORS Dependent Variable LABORS Label Jumlah Penawaran Tenaga Kerja (Juta Jiwa) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 2635.608 658.9020 274.86 <.0001 Error 15 35.95789 2.397193 Corrected Total 19 2671.566 Root MSE 1.54829 R‐Square 0.98654 Dependent Mean 90.18592 Adj R‐Sq 0.98295 Coeff Var 1.71677 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐29.8960 14.52379 ‐2.06 0.0574 Intercept UMRNAS 1 0.002136 0.002956 0.72 0.4811 Upah Rata2 Nasional (Rp/Bulan) POPNAS 1 0.382762 0.181596 2.11 0.0523 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) DGOVENS 1 5.665E‐6 7.518E‐6 0.75 0.4628 Perub.Belanja Negara Non‐Subs.BBM (Rp.Miliar) LLABORS 1 0.486980 0.245298 1.99 0.0657 LAG Jlh.Penawaran TK (Juta Jiwa) Durbin‐Watson 2.176923 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.1331 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model LABORD Dependent Variable LABORD Label Jumlah Permintaan Tenaga Kerja (Juta Jiwa) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1298.595 432.8651 138.13 <.0001 Error 16 50.14181 3.133863 Corrected Total 19 1348.737 Root MSE 1.77027 R‐Square 0.96282 Dependent Mean 84.58188 Adj R‐Sq 0.95585 Coeff Var 2.09297 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 25.24131 14.56669 1.73 0.1024 Intercept LUMRNAS 1 ‐0.00058 0.003407 ‐0.17 0.8659 LAG Upah Min.Nas. (Rp/Bulan) GDPNAS 1 6.679E‐6 4.505E‐6 1.48 0.1576 GDP Nasional (Rp.Miliar) LLABORD 1 0.616336 0.235863 2.61 0.0188 LAG Jlh.Permintaan TK (Juta Jiwa) Durbin‐Watson 2.751762 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.38126
333 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model UMRNAS Dependent Variable UMRNAS Label Upah Rata2 Nasional (Rp/Bulan) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 211430.1 42286.02 7.10 0.0017 Error 14 83347.90 5953.421 Corrected Total 19 294778.0 Root MSE 77.15842 R‐Square 0.71725 Dependent Mean 598.04653 Adj R‐Sq 0.61627 Coeff Var 12.90174 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 2247.657 1002.465 2.24 0.0417 Intercept LLABORS 1 ‐31.8223 15.11352 ‐2.11 0.0538 LAG Jlh.Penawaran TK (Juta Jiwa) DLABORD 1 2.084503 10.55715 0.20 0.8463 Perub.Jlh.Permintaan TK (Jt Jiwa) KRISIP 1 53.38795 42.26093 1.26 0.2271 Krisis Pemilu TRENDD 1 62.27182 29.88673 2.08 0.0560 Tren Waktu LUMRNAS 1 0.721639 0.141572 5.10 0.0002 LAG Upah Min.Nas. (Rp/Bulan) Durbin‐Watson 1.864732 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.026093 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model JOVDES Dependent Variable JOVDES Label Jlh.Pend.Miskin Desa (Juta Orang) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 159.3531 31.87063 7.80 0.0011 Error 14 57.22888 4.087777 Corrected Total 19 216.5820 Root MSE 2.02183 R‐Square 0.73576 Dependent Mean 27.08459 Adj R‐Sq 0.64139 Coeff Var 7.46485 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 8.885239 8.996531 0.99 0.3401 Intercept INFLSI 1 0.133437 0.047018 2.84 0.0132 Tingk.Inflasi Domestik LGOVEXP 1 ‐0.00002 0.000017 ‐1.12 0.2829 LAG Blj.Pem. (Rp.Miliar) UNEMPL 1 0.356018 0.310129 1.15 0.2702 Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) HJECKB 1 0.002710 0.005738 0.47 0.6439 H.Jual Eceran Kayu Bakar (Rp/Ikat) LJOVDES 1 0.602540 0.152132 3.96 0.0014 LAG Jlh.Pend.Miskin Desa (Jt Org) Durbin‐Watson 1.922797 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.036745 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model JOVKOT Dependent Variable JOVKOT Label Jlh.Pend.Miskin Kota (Juta Orang) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 6 44.98292 7.497154 2.82 0.0551
334 Error 13 34.51105 2.654696 Corrected Total 19 79.49397 Root MSE 1.62932 R‐Square 0.56587 Dependent Mean 12.21033 Adj R‐Sq 0.36550 Coeff Var 13.34381 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 12.30025 4.661912 2.64 0.0205 Intercept INFLSI 1 0.135014 0.045020 3.00 0.0103 Tingk.Inflasi Domestik GOVEXP 1 ‐0.00002 0.000015 ‐1.10 0.2929 Belanja Pemerintah (Rp.Miliar) UMRNAS 1 ‐0.00260 0.004328 ‐0.60 0.5581 Upah Rata2 Nasional (Rp/Bulan) LUNEMPL 1 0.354592 0.371452 0.95 0.3572 LAG Jlh.Pengangguran (Juta Jiwa) LHJECLG 1 0.000068 0.001532 0.04 0.9651 LAG H.Jual Ec. Elpiji (Rp/Kg) LJOVKOT 1 0.137808 0.240602 0.57 0.5766 LAG Jlh.Pend.Miskin Kota (Jt Org) Durbin‐Watson 2.208122 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.18905
Lampiran 7. Program Validasi Model Subsidi Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0 NOTE: Copyright (c) 2002 by SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. NOTE: SAS (r) Proprietary Software Version 9.00 (TS M0) Licensed to SUNY AT STONY BROOK, Site 0013402001. NOTE: This session is executing on the WIN_PRO platform. NOTE: SAS initialization used: real time 1.13 seconds cpu time 0.62 seconds options nodate nonumber; proc import datafile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\ekso_N.xls" out=work.predikendo; sheet='ekso_NN'; getnames=yes; run; NOTE: WORK.PREDIKENDO was successfully created. NOTE: PROCEDURE IMPORT used (Total process time): real time 0.46 seconds cpu time 0.20 seconds data Hanggono; set predikendo; /*INDIKATOR LAG (L), PERUBAHAN (D), PERTUMBUHAN (G), DAN RASIO (R)*/ LHDUSLG = LAG(HDUSLG); LHDUSMB = LAG(HDUSMB); LKOSJPRT = LAG(KOSJPRT); LKOSJSLT = LAG(KOSJSLT); LKOSJSLI = LAG(KOSJSLI); LKOSJSLK = LAG(KOSJSLK); LKOSJKRT = LAG(KOSJKRT); LKOSJKRI = LAG(KOSJKRI); LKOSJKRK = LAG(KOSJKRK); LKOSJLGI = LAG(KOSJLGI); LKOSJLGK = LAG(KOSJLGK); LIMPJPR = LAG(IMPJPR); LIMPJSL = LAG(IMPJSL); LIMPJKR = LAG(IMPJKR); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); GSUBHPR = (SUBHPR‐LSUBHPR)/LSUBHPR*100; LGOVENS = LAG(GOVENS); LGOVEXP = LAG(GOVEXP); DGOVENS = (GOVENS ‐ LGOVENS); DGOVEXP = (GOVEXP ‐ LGOVEXP); LINVNMG = LAG(INVNMG); LINVEST = LAG(INVEST); LINVRMG = LAG(INVRMG); DINVEST = (INVEST ‐ LINVEST); LINTRIL = LAG(INTRIL); LINTRIL = (INTRIL‐LINTRIL); LNTUKRR = LAG(NTUKRR); DNTUKRR = (NTUKRR‐LNTUKRR); LMONEYS = LAG(MONEYS); LMONEYD = LAG(MONEYD); RMONEYD = MONEYD/LMONEYD; LREVDDN = LAG(REVDDN); DREVDDN = (REVDDN‐LREVDDN); RREVDDN = REVDDN/LREVDDN; LDEVISS = LAG(DEVISS); DDEVISS = (DEVISS ‐ LDEVISS); LMOPHPR = LAG(MOPHPR);
335 LREVTAX = LAG(REVTAX); LFDINVS = LAG(FDINVS); RFDINVS = FDINVS/LFDINVS; LEKSNBM = LAG(EKSNBM); LEKSJLG = LAG(EKSJLG); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LHJECPX = LAG(HJECPX); RHJECPX = HJECPX/LHJECPX; LBANKID = LAG(BANKID); LHJECKR = LAG(HJECKR); DHJECKR = (HJECKR‐LHJECKR); LHJECLG = LAG(HJECLG); DHJECLG = (HJECLG‐LHJECLG); DHJECSL = (HJECSL ‐ LHJECSL); LHJECSL = LAG(HJECSL); LHJECPR = LAG(HJECPR); LJOVDES = LAG(JOVDES); LJOVKOT = LAG(JOVKOT); LUMRNAS = LAG(UMRNAS); LLABORD = LAG(LABORD); DLABORD = (LABORD ‐ LLABORD); LLABORS = LAG(LABORS); LINFLSI = LAG(INFLSI); DINFLSI = (INFLSI‐LINFLSI); LIMPNBM = LAG(IMPNBM); LKOSNBM = LAG(KOSNBM); LMOPHSL = LAG(MOPHSL); LMOPSPR = LAG(MOPSPR); LPROJLG = LAG(PROJLG); LHDUHLG = LAG(HDUHLG); LHJECKB = LAG(HJECKB); DHJECKB = (HJECKB‐LHJECKB); RHJLGKR = (LHJECLG/LHJECKR); GHJECKB = (HJECKB‐LHJECKB)/LHJECKB*100; LKNIAGA = LAG(KNIAGA); LMTIKAN = LAG(MTIKAN); DBANKID = (BANKID‐LBANKID); RHJECSL = (HJECSL/LHJECSL); RHJSLLG = (HJECSL/HJECLG); RHJSLLG2 = (LHJECSL/LHJECLG); GHJECSL = (HJECSL‐LHJECSL)/LHJECSL*100; RUN; NOTE: There were 21 observations read from the data set WORK.PREDIKENDO. NOTE: The data set WORK.HANGGONO has 21 observations and 341 variables. NOTE: DATA statement used (Total process time): real time 0.43 seconds cpu time 0.31 seconds proc SIMNLIN data=Hanggono simulate stat outpredict theil dynamic; endogenous PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT; instruments KRISIS KRISIP TRENDD HDURMB HJECKB HDUSMB HDUSLG HJECPX KRODA2 KRODA4 KRODA6 KNIAGA POPNAS LISTRK MTIKAN RTIKAN SUBBBL PNWJBL CPINDS FDINVR KOSJPRL KOSJSLL KOSJKRL DEVISS BANKTL FDINVS INVETL PROJPR PROJSL PROJKR PROJLG EKSJPR EKSJSL EKSJKR LBANKID REVNTX; LIMPJPR = LAG(IMPJPR); LIMPJSL = LAG(IMPJSL); LIMPJKR = LAG(IMPJKR); LKOSJPRT = LAG(KOSJPRT); LKOSJSLT = LAG(KOSJSLT); LKOSJSLI = LAG(KOSJSLI); LKOSJSLK = LAG(KOSJSLK); LKOSJKRT = LAG(KOSJKRT); LKOSJKRI = LAG(KOSJKRI); LKOSJKRK = LAG(KOSJKRK); LKOSJLGI = LAG(KOSJLGI); LKOSJLGK = LAG(KOSJLGK); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LHJECPR = LAG(HJECPR); LHJECSL = LAG(HJECSL); LHJECKR = LAG(HJECKR); LHJECLG = LAG(HJECLG); LGOVENS = LAG(GOVENS); LREVTAX = LAG(REVTAX); LEKSNBM = LAG(EKSNBM); LIMPNBM = LAG(IMPNBM); LKOSNBM = LAG(KOSNBM); LINVRMG = LAG(INVRMG); LINVNMG = LAG(INVNMG); LUNEMPL = LAG(UNEMPL); LMONEYS = LAG(MONEYS); LMONEYD = LAG(MONEYD); LCPINDX = LAG(CPINDX); LNTUKRR = LAG(NTUKRR); LLABORD = LAG(LABORD); LLABORS = LAG(LABORS); LUMRNAS = LAG(UMRNAS); LJOVDES = LAG(JOVDES); LJOVKOT = LAG(JOVKOT); LGOVEXP = LAG(GOVEXP); LGDPNAS = LAG(GDPNAS); LHDUSMB = LAG(HDUSMB); LHDUSLG = LAG(HDUSLG); LFDINVS = LAG(FDINVS);
336 LDEVISS = LAG(DEVISS); LHJECPX = LAG(HJECPX); LLISTRK = LAG(LISTRK); LINVEST = LAG(INVEST); LINFLSI = LAG(INFLSI); parm a0 610131.1 a1 ‐1006.15 a2 45607.62 a3 ‐187855 a4 0.917482 b0 307769.8 b1 ‐374.831 b2 36851.46 b3 899.8852 b4 0.238200 c0 ‐9084383 c1 ‐324.797 c2 57864.80 c3 308616.0 c4 0.008018 d2 1.095330 d3 ‐58788.2 d4 ‐24296.2 d0 ‐233020 d1 135.5081 d5 0.003112 e0 1123446 e1 ‐402.994 e2 65335.98 e3 54.66420 e4 0.913706 f0 931971.5 f1 ‐811.742 f2 266.2612 f3 ‐745200 f4 0.966513 g0 ‐173134 g1 ‐103.547 g2 167.5878 g3 ‐800573 g4 0.680418 h0 ‐277032 h1 ‐15.5707 h2 0.254732 h3 0.585949 i2 0.001794 i3 0.691805 i0 650.3112 i1 ‐0.22956 j0 99971.36 j1 ‐53.3637 j2 0.574755 j3 0.727337 k0 ‐6206374 k1 ‐1020.17 k2 667.2196 k3 75566.91 k4 64740.81 k5 0.320929 l0 ‐6479.68 l1 ‐33.4571 l2 8.900561 l3 ‐63657.6 l4 0.562667 m0 ‐1448665 m1 ‐40.4743 m2 35.26335 m3 8830.503 m4 0.392610 n3 0.000069 n4 0.350459 n0 ‐1625.42 n1 17.01932 n2 0.158425 o0 ‐754.298 o1 7.325894 o2 0.130561 o3 0.001439 o4 0.243628 p0 ‐1497.98 p1 26.47919 p2 0.183126 p3 0.001192 p4 0.146793 q0 ‐1760.35 q1 2.520876 q2 0.130057 q3 99.12324 q4 0.339150 v0 28256.32 v1 1.004436 v2 2189.487 v3 ‐4989.29 v4 0.094282 w3 0.934858 w0 1737.680 w1 0.013563 w2 ‐241.188 x0 ‐126317 x1 10217.00 x2 ‐120.787 x3 45.51901 x4 0.003914 x5 0.762593 y0 ‐925567 y1 ‐3484.64 y2 2182.193 y3 ‐13.3777 y4 7516.541 y5 ‐12728.7 y6 0.056252 z0 ‐926521 z1 ‐14481.0 z2 ‐14749.4 z3 7693.559 z4 98066.50 z5 0.496401 aa0 ‐67817.5 aa1‐401.235 aa2 204.7058 aa3 441.2943 aa4 6257.735 aa5 87.22439 aa6 0.283337 ab0 152112.3 ab1 ‐3625.88 ab2 ‐16.5571 ab3 78.57330 ab4 ‐88870.8 ab5 0.928631 ac0 ‐141299 ac1 2521.748 ac2 0.333529 ac3 0.183465 ac4 ‐29437.9 ac5 ‐15986.9 ac6 0.707517 ad0 134969.7 ad1 ‐2977.76 ad2 ‐32.4716 ad3 1.050450 ad4 0.150957 ae0 5566.276 ae1 1417.658 ae2 ‐0.18375 ae3 ‐0.19527 ae4 0.013310 af0 2.376565 af1 ‐7.28E‐6 af2 9.034990 af3 9.922E‐7 af4 ‐21.4946 ag0 ‐13.3265 ag1 0.007853 ag2 0.000040 ag3 0.888247 ah0 ‐34.2679 ah1 0.003006 ah2 0.418323 ah3 6.431E‐6 ah4 0.449711 ai0 26.60973 ai1 ‐0.00083 ai2 6.945E‐6 ai3 0.597850 aj0 2260.720 aj1 ‐31.3557 aj2 4.369742 aj3 80.13413 aj4 59.97610 aj5 0.668586 ak0 8.885239 ak1 0.133437 ak2 ‐0.00002 ak3 0.356018 ak4 0.002710 ak5 0.602540 al0 12.30025 al1 0.135014 al2 ‐0.00002 al3 ‐0.00260 al4 0.354592 al5 0.000068 al6 0.137808 ; IMPJPR = a0 + a1*(1.18*1.15*(LHDUSMB*LNTUKRR/159)) + a2*CPINDX + a3*TRENDD + a4*LIMPJPR; IMPJSL = b0 + b1*(1.24*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + b2*CPINDX + b3*KNIAGA + b4*LIMPJSL; IMPJKR = c0 + c1*(1.31*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + c2*POPNAS + c3*KRISIP + c4*LIMPJKR; EKSJLG = d0 + d1*(LHDUSLG*LNTUKRR/1000) + d2*PROJLG + d3*TRENDD + d4*KRISIP + d5*LEKSJLG; KOSJPRT = e0 + e1*HJECPR + e2*(HJECPX/LHJECPX) + e3*KRODA6 + e4*LKOSJPRT; KOSJSLT = f0 + f1*HJECSL + f2*LKNIAGA + f3*KRISIS + f4*LKOSJSLT; + g2*LISTRK KOSJSLI = g0 + g1*(HJECSL ‐ LHJECSL) + g3*KRISIS + g4*LKOSJSLI; KOSJSLK = h0 + h1*HJECSL + h2*RTIKAN + h3*LKOSJSLK;
337 KOSJKRT = i0 KOSJKRI = j0 KOSJKRK = k0 KOSJLGI = l0 KOSJLGK = m0 SUBHPR = n0 SUBHSL SUBHKR = p0 SUBHLG = q0 GOVENS = v0 REVTAX = w0 EKSNBM = x0 IMPNBM = y0 KOSNBM = z0 INVRMG = aa0
INVNMG = ab0 MONEYS = ac0 MONEYD = ad0 NTUKRR = ae0 INTRIL = af0 CPINDX = ag0
LABORS = ah0 LABORD = ai0 UMRNAS = aj0 JOVDES = ak0 JOVKOT = al0
+ i1*HJECKR + i2*LMTIKAN + i3*LKOSJKRT; + j1*HJECKR + j2*LBANKID + j3*LKOSJKRI; + k1*HJECKR + k2*(HJECKB‐LHJECKB) + k3*(LHJECLG/LHJECKR) + k4*POPNAS + k5*LKOSJKRK; + l1*LHJECLG + l2*LISTRK + l3*KRISIS + l4*LKOSJLGI; + m1*LHJECLG + m2*(HJECKR‐LHJECKR) + m3*POPNAS + m4*LKOSJLGK; + n1*(1.18*HDUSMB) + n2*NTUKRR + n3*REVDDN + n4*LSUBHPR; = o0 + o1*(1.24*HDUSMB) + o2*NTUKRR + o3*(REVDDN‐LREVDDN) + o4*LSUBHSL; + p1*(1.31*HDUSMB) + p2*NTUKRR + p3*REVDDN + p4*LSUBHKR; + q1*HDUSLG + q2*NTUKRR + q3*(REVDDN/LREVDDN) + q4*LSUBHLG; + v1*REVDDN + v2*INFLSI + v3*TRENDD + v4*LGOVENS; + w1*LGDPNAS + w2*KRISIP + w3*LREVTAX; + x1*INFLSS + x2*CPINDX + x3*(NTUKRR‐LNTUKRR) + x4*PNWJBM + x5*LEKSNBM; + y1*CPINDS + y2*INFLSI + y3*LNTUKRR + y4*POPNAS + y5*KRISIS + y6*LIMPNBM; + z1*INFLSI + z2*INTRIL + z3*POPNAS + z4*KRISIS + z5*LKOSNBM; + aa1*(INTRIL‐LINTRIL) + aa2*(FDINVS/LFDINVS) + aa3*POPNAS + aa4*KRISIS + aa5*TRENDD + aa6*LINVRMG; + ab1*LINTRIL + ab2*LNTUKRR + ab3*TRENDD + ab4*KRISIS + ab5*LINVNMG; + ac1*INTRIL + ac2*GDPNAS + ac3*BANKTL + ac6*LMONEYS; + ac4*KRISIS + ac5*TRENDD + ad1*INTRIL + ad2*NTUKRR + ad3*MONEYS + ad4*LMONEYD; + ae1*(CPINDX/CPINDS) + ae2*FDINVS + ae3*(DEVISS‐LDEVISS) + ae4*LNTUKRR; + af1*MONEYS + af2*(MONEYD/LMONEYD) + af3*(INVEST‐LINVEST) + af4*KRISIS; + ag1*(((KOSJPR*HJECPR) + (KOSJSL*HJECSL) + (KOSJKR*HJECKR))/(KOSJPR+KOSJSL+KOSJKR)) + ag2*LMONEYS + ag3*LCPINDX; + ah1*UMRNAS + ah2*POPNAS + ah3*(GOVENS‐LGOVENS) + ah4*LLABORS; + ai1*LUMRNAS + ai2*GDPNAS + ai3*LLABORD; + aj1*LLABORS + aj2*(LABORD‐LLABORD) + aj3*KRISIP + aj4*TRENDD + aj5*LUMRNAS; + ak1*INFLSI + ak2*LGOVEXP + ak3*UNEMPL + ak4*HJECKB + ak5*LJOVDES; + al1*INFLSI + al2*GOVEXP + al3*UMRNAS + al4*LUNEMPL + al5*LHJECLG + al6*LJOVKOT;
PNWJPR = PROJPR + IMPJPR ‐ EKSJPR ; PNWJSL = PROJSL + IMPJSL ‐ EKSJSL ; PNWJKR = PROJKR + IMPJKR ‐ EKSJKR ; PNWJLG = PROJLG + IMPJLG ‐ EKSJLG ; PNWJBM = PNWJPR + PNWJSL + PNWJKR + PNWJBL; KOSJPR = KOSJPRT + KOSJPRL; KOSJSL = KOSJSLT + KOSJSLI + KOSJSLK + KOSJSLL; KOSJKR = KOSJKRT + KOSJKRI + KOSJKRK + KOSJKRL; KOSJLG = KOSJLGI + KOSJLGK; HJECPR = (1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHPR; HJECSL = (1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHSL; HJECKR = (1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHKR; HJECLG = (HDUSLG*NTUKRR/1000) ‐ SUBHLG; KOSCPR = (KOSJPR*HJECPR)/1000000; KOSCSL = (KOSJSL*HJECSL)/1000000; KOSCKR = (KOSJKR*HJECKR)/1000000; KOSCLG = (KOSJLG*HJECLG)/1000000; BOTBBM = EKSRLG ‐ IMPBBM; KOSCBM = KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR + KOSCLG + KOSCBL;
338 IMPRPR = IMPJPR*1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPRSL = IMPJSL*1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPRKR = IMPJKR*1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPBBM = IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + (IMPJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000) + IMPBBL; IMPORT = IMPBBM + IMPNBM; EKSRLG = (EKSJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000); EKSPOR = EKSRLG + EKSNBM; NETEKS = EKSPOR ‐ IMPORT ; REVDDN = REVTAX + REVNTX; INVEST = INVRMG + INVNMG; GOVEXP = GOVENS + SUBBBM; KOSNAS = KOSCBM + KOSNBM; FISCGP = REVDDN ‐ GOVEXP; SUBRPR = (SUBHPR*KOSJPR)/1000000; SUBRSL = (SUBHSL*KOSJSL)/1000000; SUBRKR = (SUBHKR*KOSJKR)/1000000; SUBRLG = (SUBHLG*KOSJLG)/1000000; SUBBBM = SUBRPR + SUBRSL + SUBRKR + SUBRLG + SUBBBL; GDPNAS = KOSNAS + INVEST + GOVEXP + NETEKS; GROWTH = ((GDPNAS ‐ LGDPNAS) / LGDPNAS*100); UNEMPL = LABORS ‐ LABORD; INFLSI = ((CPINDX ‐ LCPINDX) / LCPINDX*100); POVERT = ((JOVDES + JOVKOT) / POPNAS*100); range tahun= 1988 to 2006; run; ods rtf close;
Lampiran 8. Hasil Validasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 76 Endogenous 76 Parameters 179 Range Variable TAHUN Equations 76 Number of Statements 122 Program Lag Length 1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= HANGGONO Solution Summary Variables Solved 76 Simulation Lag Length 1 Solution Range TAHUN
339 First 1988 Last 2006 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 9.686E‐9 Maximum Iterations 3 Total Iterations 47 Average Iterations 2.473684 Observations Processed Read 20 Lagged 1 Solved 19 First 3 Last 21
340 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1988 To 2006 Descriptive Statistics Actual Variable N Obs
N
Predicted
Mean
Std Dev
Mean
Std Dev
Label
PNWJPR
19
19
11557446
4828609
11030502
4793013
Jlh.Penawaran Premium (Rb Lt)
PNWJSL
19
19
19782902
6257275
19590302
6023468
Jlh.Penawaran M.Solar (Rb Lt)
PNWJKR
19
19
10337089
1512907
10397584
1496560
Jlh.Penawaran M.Tanah (Rb Lt)
PNWJLG
19
19
531154
297749
534872
291529
PNWJBM
19
19
50216436 13357396
49557388 13120906
Jlh.Penawaran BBM (Rb Lt)
KOSJPRT
19
19
10347200
3958102
10689959
3864576
Kons.Premium di Transp.(Rb Lt)
KOSJPR
19
19
10878578
4015627
11221337
3921036
Konsumsi Premium (Rb Lt)
KOSJSLT
19
19
8776572
2409522
9621890
2780750
Kons.M.Solar di Transp.(Rb Lt)
KOSJSLI
19
19
6848621
2624676
6886039
2598012
Kons.M.Solar di Industri(Rb Lt)
KOSJSLK
19
19
481514
137872
485332
133522
Kons.M.Solar di RT& Kom.(Rb Lt)
KOSJSL
19
19
19289747
5644631
20176301
6001011
Jumlah Konsumsi M.Solar(Rb Lt)
KOSJKRT
19
19
2223.0
293.5
2317.1
254.1
Kons.M.Tanah di Transp.(Rb Lt)
KOSJKRI
19
19
472500
122085
497395
103252
Kons.M.Tanah di Industri(Rb Lt)
KOSJKRK
19
19
9187495
1590241
9564870
1654912
Kons.M.Tanah di RT& Kom.(Rb Lt)
KOSJKR
19
19
10070389
1744088
10472753
1796528
Konsumsi M.Tanah (Rb Lt)
KOSJLGI
19
19
152769
87716.6
148747
82806.8
Kons.Elpiji di Industri(Rb Kg)
KOSJLGK
19
19
378384
210578
373222
200341
Kons.Elpiji di RT& Kom.(Rb Kg)
KOSJLG
19
19
531154
297749
521969
281672
Jumlah Konsumsi Elpiji (Rb Kg)
KOSCPR
19
19
16982.4
9481.8
16121.1
7675.0
Konsumsi Premium (Miliar Rp)
KOSCSL
19
19
20943.6
15683.0
18330.1
13062.0
Konsumsi M.Solar (Miliar Rp)
KOSCKR
19
19
6167.4
2949.1
4658.8
1684.9
Konsumsi M.Tanah (Miliar Rp)
KOSCLG
19
19
1100.7
807.6
1067.5
719.3
KOSCBM
19
19
53531.1
33072.4
48514.6
27343.8
HJECPR
19
19
1537.5
343.4
1408.4
197.4
H.Jual Eceran Premium (Rp/Lt)
HJECSL
19
19
1011.1
451.2
853.0
347.9
H.Jual Eceran M.Solar (Rp/Lt)
HJECKR
19
19
619.3
254.2
451.4
142.6
H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Lt)
HJECLG
19
19
1900.9
467.2
1917.3
320.5
H.Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg)
IMPJPR
19
19
1922769
2939435
1395825
2953338
Jumlah Impor Premium (Rb Lt)
IMPJSL
19
19
6601345
4297266
6408746
4106238
Jumlah Impor M.Solar (Rb Lt)
IMPJKR
19
19
2042145
842061
2102639
768220
Jumlah Impor M.Tanah (Rb Lt)
IMPRPR
19
19
3543.0
6234.0
3172.3
6602.1
Impor Premium (Miliar Rp)
IMPRSL
19
19
10059.0
10626.8
10124.6
11824.1
Impor M.Solar (Miliar Rp)
IMPRKR
19
19
2948.7
2104.6
3041.7
2295.1
Impor M.Tanah (Miliar Rp)
IMPBBM
19
19
18076.1
19991.0
17865.2
21869.7
EKSJLG
19
19
1870725
684181
1867007
681307
EKSRLG
19
19
2423.4
660.8
2362.2
580.4
BOTBBM
19
19
-15652.7
19740.7
-15503.0
21577.1
Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp)
SUBHPR
19
19
-172.2
595.5
-209.7
465.8
Subsidi Harga Premium (Rp/Lt)
SUBHSL
19
19
423.5
453.6
406.7
328.4
Subsidi Harga M.Solar(Rp/Lt)
SUBHKR
19
19
896.3
625.6
879.4
597.3
Subsidi Harga M.Tanah(Rp/Lt)
SUBHLG
19
19
-411.4
628.3
-432.5
496.3
Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg)
SUBRPR
19
19
-246.0
6289.2
-959.5
5862.5
Subsidi Premium (Miliar Rp)
SUBRSL
19
19
9276.6
10529.2
9454.6
9387.7
Subsidi M.Solar (Miliar Rp)
SUBRKR
19
19
9889.8
7990.3
9945.8
7919.8
Subsidi M.Tanah (Miliar Rp)
SUBRLG
19
19
-131.2
362.6
-107.0
240.8
SUBBBM
19
19
20233.1
25725.1
19777.9
23259.6
Subsidi BBM (Miliar Rp)
REVTAX
19
19
128042
55118.7
132324
62411.1
Penerimaan Pajak (Miliar Rp)
REVDDN
19
19
193639
67095.0
197920
75331.2
Pendapatan DN Pemerintah
Jlh.Penawaran Elpiji (Rb Kg)
Konsumsi Elpiji (Miliar Rp) Konsumsi BBM (Miliar Rp)
Impor BBM (Miliar Rp) Jumlah Ekspor Elpiji (Rb Kg) Ekspor Elpiji (Miliar Rp)
Subsidi Elpiji (Miliar Rp)
(Miliar Rp)
341 Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev FISCGP 19 19 -33508.3 28313.3 -32372.6 19603.9 19 19 671453 266441 688638 298243 KOSNBM KOSNAS 19 19 724984 291575 737153 314880 INVRMG 19 19 30718.6 12226.4 30748.5 11188.6
Label
Fiscal GAP (Miliar Rp) Kons.di luar BBM (Miliar Rp) Konsumsi Nasional (Miliar Rp) Investasi MIGAS (Miliar Rp)
INVNMG
19
19
203664
61920.8
211767
61212.3
Investasi Non-MIGAS (Miliar Rp)
INVEST
19
19
234382
60767.8
242515
66943.8
Investasi Nasional (Miliar Rp)
GOVENS
19
19
206914
54228.7
210515
61333.2
Blj.Pem.diluar Subs.BBM
GOVEXP
19
19
227147
68115.8
230292
81807.2
Belanja Pemerintah (Miliar Rp)
IMPNBM
19
19
201078
64754.5
201844
61875.8
Impor diluar BBM (Miliar Rp)
IMPORT
19
19
219155
78055.0
219709
77218.5
Impor Total (Miliar Rp)
EKSNBM
19
19
334681
158284
329061
151180
Ekspor diluar BBM (Miliar Rp)
EKSPOR
19
19
337104
158760
331423
151547
Ekspor Total (Miliar Rp)
GDPNAS
19
19
1304462
436408
1321674
495145
GDP Nasional (Miliar Rp)
MONEYS
19
19
556790
211783
565329
218013
Jlh.Penawaran Uang (Miliar Rp)
MONEYD
19
19
578276
229166
592303
237443
Jlh.Permintaan Uang (Miliar Rp)
NTUKRR
19
19
6310.0
2060.1
6219.3
1610.7
Nilai Tukar (Rp/US$)
CPINDX
19
19
78.2385
49.7792
72.2890
48.0085
INTRIL
19
19
6.0580
10.4307
5.9931
7.2752
LABORS
19
19
91.1302
11.3840
91.1439
11.3138
LABORD
19
19
85.3282
7.9481
85.6641
8.2558
UMRNAS
19
19
607.8
119.9
598.9
81.5153
Upah Rata2 Nasional (Rb Rp/Bln)
UNEMPL
19
19
5.8019
3.6500
5.4798
3.6838
Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa)
INFLSI
19
19
11.6973
11.7867
11.1997
7.6800
Tingk.Inflasi Domestik
NETEKS
19
19
117950
90401.6
111714
91889.8
Ekspor Bersih (Miliar Rp)
GROWTH
19
19
7.2556
7.7032
9.0949
22.9026
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
JOVDES
19
19
26.7713
3.1560
25.9223
2.7172
Jlh.Pend.Miskin Desa (Jt Org)
JOVKOT
19
19
12.1723
2.0942
11.1995
0.7601
Jlh.Pend.Miskin Kota (Jt Org)
POVERT
19
19
19.6819
3.1104
18.7777
2.5599
Tingkat Penduduk Miskin (%)
(Miliar Rp)
Indeks Harga Konsumen (indeks) Tingk.Suku Bunga Dom. Riil Jumlah Penawaran TK (Juta Jiwa) Jumlah Permintaan TK (Juta Jiwa)
342
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1988 To 2006 Statistics of fit
Mean
Mean %
Mean Abs
Mean Abs
RMS
RMS %
N
Error
Error
Error
% Error
Error
Error
R-Square
PNWJPR
19
-526944
-5.0242
642366
5.8129
727731
6.5642
0.9760
PNWJSL
19
-192600
-0.3973
680614
3.7535
951634
4.9546
0.9756
PNWJKR
19
60494.4
0.6892
304304
3.1200
399193
4.2097
0.9265
PNWJLG
19
3718.2
2.1267
56479.6
13.8694
71748.7
18.1368
0.9387
PNWJBM
19
-659049
-1.1949
1096041
2.1394
1440372
2.7706
0.9877
KOSJPRT
19
342760
4.2400
351168
4.2961
429750
5.7465
0.9876
KOSJPR
19
342760
3.9879
351168
4.0417
429750
5.3825
0.9879
KOSJSLT
19
845319
9.3386
845319
9.3386
1002040
10.6369
0.8174
KOSJSLI
19
37417.2
0.9360
309255
5.0642
402181
6.6542
0.9752
KOSJSLK
19
3818.1
2.1411
37091.2
8.3094
46094.5
9.9727
0.8820
KOSJSL
19
886554
4.5266
995949
5.2213
1149618
5.8835
0.9562
KOSJKRT
19
94.1391
4.7373
145.8
6.7909
168.1
7.9808
0.6537
KOSJKRI
19
24894.9
6.7748
39173.1
8.8479
50427.4
11.0909
0.8199
KOSJKRK
19
377375
4.1286
420195
4.5102
487774
5.1241
0.9007
KOSJKR
19
402364
4.0420
458176
4.4917
527550
5.0588
0.9034
KOSJLGI
19
-4022.4
-0.6006
17007.6
13.1118
22990.7
17.3729
0.9275
KOSJLGK
19
-5162.6
0.9381
43849.8
13.3281
54583.6
16.0715
0.9291
KOSJLG
19
-9185.0
0.4815
58724.2
12.7398
73735.7
15.2308
0.9353
KOSCPR
19
-861.3
-2.5852
2340.4
12.0460
3391.0
14.7357
0.8650
KOSCSL
19
-2613.5
-8.7070
4366.3
20.3397
5718.5
25.2313
0.8597
KOSCKR
19
-1508.6
-20.7928
1735.4
25.4201
2454.9
28.9745
0.2685
KOSCLG
19
-33.1586
4.7347
236.6
21.9505
344.8
25.0787
0.8075
KOSCBM
19
-5016.5
-6.8725
8285.0
14.2919
10930.1
16.8318
0.8847
HJECPR
19
-129.1
-5.9880
233.0
14.6349
281.3
17.0017
0.2916
HJECSL
19
-158.1
-12.4479
223.7
21.7536
277.1
26.6272
0.6020
HJECKR
19
-167.9
-23.4313
185.5
27.9812
244.9
31.5639
0.0199
HJECLG
19
16.3980
4.2386
296.4
16.5192
356.9
20.1510
0.3840
IMPJPR
19
-526944
.
642366
.
727731
.
0.9353
IMPJSL
19
-192600
2.5515
680614
14.8313
951634
19.4513
0.9482
IMPJKR
19
60494.4
11.0123
304304
24.2177
399193
43.0587
0.7628
IMPRPR
19
-370.7
.
696.5
.
857.0
.
0.9801
IMPRSL
19
65.6210
4.1836
1582.7
24.6876
1971.0
30.7606
0.9637
IMPRKR
19
93.0514
10.4237
546.4
26.2274
676.6
42.8952
0.8909
IMPBBM
19
-211.0
-2.5878
2475.9
18.7158
3091.0
21.5960
0.9748
EKSJLG
19
-3718.2
-0.0887
56479.6
3.4963
71748.7
4.6946
0.9884
EKSRLG
19
-61.2166
0.6727
275.6
12.4518
406.8
17.5291
0.6000
BOTBBM
19
149.8
-0.8488
2244.2
24.7359
2937.6
33.6914
0.9766
SUBHPR
19
-37.4187
-17.1606
305.5
91.9298
361.3
140.8
0.6115
SUBHSL
19
-16.8819
-29.9781
258.6
86.8596
318.4
116.9
0.4798
SUBHKR
19
-16.9375
21.5939
233.8
48.8429
297.1
81.3283
0.7619
SUBHLG
19
-21.1709
25.6417
336.7
199.0
428.0
397.9
0.5102
SUBRPR
19
-713.5
-14.1187
3479.1
91.9893
4580.3
143.9
0.4402
SUBRSL
19
178.0
-27.0302
5556.6
90.3217
7342.7
122.2
0.4867
SUBRKR
19
56.0184
26.8193
2622.7
51.9105
3608.7
86.7929
0.7847
SUBRLG
19
24.2016
13.8481
197.2
206.9
321.5
422.4
0.1701
SUBBBM
19
-455.2
-171.4
11523.3
209.6
15170.9
579.8
0.6329
REVTAX
19
4281.2
1.5833
11950.3
9.6908
15934.1
12.7824
0.9118
REVDDN
19
4281.2
1.0693
11950.3
6.0922
15934.1
7.7378
0.9405
FISCGP
19
1135.7
29.7165
21128.7
69.8189
34114.3
101.5
-.5324
KOSNBM
19
17185.5
4.1951
92642.3
16.9777
142620
28.6556
0.6976
Variable
343 Mean
Mean %
Mean Abs
Mean Abs
RMS
RMS %
N
Error
Error
Error
% Error
Error
Error
R-Square
KOSNAS
19
12169.0
3.3052
97853.3
16.4316
143253
26.5767
0.7452
INVRMG
19
29.8897
1.0286
2941.9
9.9655
3559.8
11.6533
0.9105
INVNMG
19
8103.0
6.7051
34176.5
19.6838
40198.6
24.8970
0.5551
INVEST
19
8132.9
4.4028
34782.5
16.5961
40476.6
20.2847
0.5317
GOVENS
19
3600.7
3.2614
30952.9
16.7801
45106.9
27.1607
0.2697
GOVEXP
19
3145.5
0.7562
29035.8
12.9881
40135.8
17.5354
0.6335
IMPNBM
19
765.4
1.2530
25741.6
12.8281
35635.4
16.3551
0.6803
IMPORT
19
554.4
0.8231
25661.0
11.8618
35893.7
15.3268
0.7768
EKSNBM
19
-5619.9
1.1266
43597.9
15.1395
60801.4
20.9617
0.8442
EKSPOR
19
-5681.1
1.1321
43834.3
15.1070
61148.2
20.9295
0.8434
GDPNAS
19
17211.9
1.2934
118185
10.5958
167241
16.4050
0.8450
MONEYS
19
8538.9
5.2314
62394.1
14.3979
79556.5
23.8667
0.8510
MONEYD
19
14027.0
4.2489
69691.6
12.2197
99640.2
15.5802
0.8005
NTUKRR
19
-90.7646
0.9565
824.3
13.1298
1210.7
17.7937
0.6354
CPINDX
19
-5.9495
-8.4203
6.3599
9.2389
8.7889
11.6387
0.9671
INTRIL
19
-0.0649
-34.9913
4.0008
72.8019
6.7716
179.7
0.5551
LABORS
19
0.0137
0.0282
1.2520
1.3420
1.6346
1.7129
0.9782
LABORD
19
0.3359
0.4108
1.8771
2.1965
2.4698
2.8800
0.8981
UMRNAS
19
-8.8492
0.2768
65.1744
10.7971
79.8236
12.9767
0.5320
UNEMPL
19
-0.3222
-3.6573
1.7915
51.6481
2.1099
74.4596
0.6473
INFLSI
19
-0.4976
38.7326
7.6338
84.5920
13.4012
147.0
-.3645
NETEKS
19
-6235.5
-3.6791
37922.3
63.0033
50963.5
104.3
0.6645
GROWTH
19
1.8393
-19.0837
13.6876
144.8
20.2394
206.9
-6.287
JOVDES
19
-0.8490
-2.1062
2.9153
11.4213
3.5039
14.6906
-.3011
JOVKOT
19
-0.9728
-5.3387
1.7807
14.6189
2.3116
18.7967
-.2860
POVERT
19
-0.9041
-3.4123
2.2037
11.6669
2.6745
15.0433
0.2196
Variable
344 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1988 To 2006 Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions Corr
Bias
Reg
Dist
Var
Covar
MSE
(R)
(UM)
(UR)
(UD)
(US)
(UC)
U1
U
PNWJPR
19 5.296E11
0.99
0.52
0.00
0.48
0.00
0.47
0.0583
0.0298
PNWJSL
19 9.056E11
0.99
0.04
0.03
0.93
0.06
0.90
0.0460
0.0231
PNWJKR
19 1.594E11
0.96
0.02
0.01
0.97
0.00
0.98
0.0382
0.0191
PNWJLG
19 5.1479E9
0.97
0.00
0.00
1.00
0.01
0.99
0.1186
0.0593
PNWJBM
19 2.075E12
1.00
0.21
0.01
0.78
0.03
0.77
0.0278
0.0140
KOSJPRT
19 1.847E11
1.00
0.64
0.04
0.33
0.04
0.32
0.0389
0.0192
KOSJPR
19 1.847E11
1.00
0.64
0.04
0.33
0.05
0.32
0.0372
0.0184
KOSJSLT
19 1.004E12
0.99
0.71
0.15
0.14
0.13
0.16
0.1103
0.0525
KOSJSLI
19 1.617E11
0.99
0.01
0.00
0.99
0.00
0.99
0.0550
0.0275
KOSJSLK
19 2.1247E9
0.94
0.01
0.01
0.99
0.01
0.98
0.0922
0.0460
KOSJSL
19 1.322E12
0.99
0.59
0.11
0.29
0.09
0.31
0.0573
0.0280
KOSJKRT
19
28256.1
0.87
0.31
0.00
0.69
0.05
0.63
0.0750
0.0368
KOSJKRI
19 2.5429E9
0.93
0.24
0.04
0.71
0.13
0.62
0.1035
0.0507
KOSJKRK
19 2.379E11
0.98
0.60
0.04
0.37
0.02
0.38
0.0524
0.0257
KOSJKR
19 2.783E11
0.98
0.58
0.03
0.39
0.01
0.41
0.0517
0.0253
KOSJLGI
19 5.2857E8
0.96
0.03
0.01
0.96
0.04
0.93
0.1314
0.0668
KOSJLGK
19 2.9794E9
0.96
0.01
0.00
0.99
0.03
0.96
0.1268
0.0641
KOSJLG
19
5.437E9
0.97
0.02
0.01
0.98
0.05
0.94
0.1219
0.0617
KOSCPR
19 11498910
0.94
0.06
0.13
0.80
0.27
0.67
0.1754
0.0914
KOSCSL
19 32700925
0.95
0.21
0.10
0.69
0.20
0.59
0.2207
0.1186
KOSCKR
19
6026702
0.76
0.38
0.05
0.57
0.25
0.37
0.3609
0.2091
KOSCLG
19
118921
0.90
0.01
0.00
0.99
0.06
0.93
0.2550
0.1312
KOSCBM
19 1.1947E8
0.96
0.21
0.16
0.63
0.26
0.53
0.1750
0.0928
HJECPR
19
79125.2
0.67
0.21
0.01
0.78
0.25
0.53
0.1788
0.0939
HJECSL
19
76769.9
0.86
0.33
0.02
0.65
0.13
0.54
0.2513
0.1372
HJECKR
19
59984.2
0.71
0.47
0.02
0.51
0.20
0.33
0.3672
0.2150
HJECLG
19
127378
0.62
0.00
0.01
0.99
0.16
0.84
0.1826
0.0916
IMPJPR
19 5.296E11
0.98
0.52
0.01
0.47
0.00
0.48
0.2111
0.1096
IMPJSL
19 9.056E11
0.98
0.04
0.01
0.95
0.04
0.92
0.1218
0.0619
IMPJKR
19 1.594E11
0.88
0.02
0.01
0.97
0.03
0.94
0.1814
0.0901
IMPRPR
19
734377
0.99
0.19
0.21
0.60
0.17
0.64
0.1220
0.0604
IMPRSL
19
3884655
0.99
0.00
0.42
0.58
0.35
0.65
0.1366
0.0662
IMPRKR
19
457853
0.95
0.02
0.17
0.81
0.08
0.91
0.1885
0.0919
IMPBBM
19
9554234
0.99
0.00
0.41
0.59
0.35
0.65
0.1164
0.0569
EKSJLG
19 5.1479E9
0.99
0.00
0.00
1.00
0.00
1.00
0.0361
0.0181
EKSRLG
19
165446
0.79
0.02
0.02
0.96
0.04
0.94
0.1622
0.0824
BOTBBM
19
8629206
0.99
0.00
0.43
0.57
0.37
0.63
0.1185
0.0577
SUBHPR
19
130518
0.78
0.01
0.00
0.99
0.12
0.87
0.5974
0.3272
SUBHSL
19
101390
0.69
0.00
0.00
1.00
0.15
0.85
0.5205
0.2820
SUBHKR
19
88285.8
0.88
0.00
0.03
0.97
0.01
0.99
0.2742
0.1390
SUBHLG
19
183214
0.72
0.00
0.01
0.99
0.09
0.91
0.5807
0.3090
SUBRPR
19 20978712
0.71
0.02
0.09
0.89
0.01
0.97
0.7476
0.3845
SUBRSL
19 53915630
0.72
0.00
0.06
0.94
0.02
0.98
0.5312
0.2722
SUBRKR
19 13022821
0.89
0.00
0.05
0.95
0.00
1.00
0.2868
0.1434
SUBRLG
19
103375
0.46
0.01
0.05
0.95
0.14
0.86
0.8539
0.5070
SUBBBM
19 2.3016E8
0.80
0.00
0.03
0.97
0.03
0.97
0.4713
0.2437
REVTAX
19
2.539E8
0.97
0.07
0.29
0.64
0.20
0.73
0.1148
0.0560
REVDDN
19
2.539E8
0.98
0.07
0.33
0.60
0.25
0.67
0.0780
0.0384
FISCGP
19 1.1638E9
-0.04
0.00
0.35
0.65
0.06
0.94
0.7863
0.4214
Variable
N
Inequality Coef
345
MSE Decomposition Proportions Corr
Bias
Reg
Dist
Var
Covar
MSE
(R)
(UM)
(UR)
(UD)
(US)
(UC)
U1
U
KOSNBM
19 2.034E10
0.87
0.01
0.20
0.79
0.05
0.94
0.1981
0.0972
KOSNAS
19 2.052E10
0.89
0.01
0.15
0.84
0.03
0.97
0.1840
0.0908
INVRMG
19 12672047
0.96
0.00
0.02
0.98
0.08
0.92
0.1081
0.0543
INVNMG
19 1.6159E9
0.78
0.04
0.09
0.87
0.00
0.96
0.1893
0.0930
INVEST
19 1.6384E9
0.80
0.04
0.19
0.77
0.02
0.94
0.1674
0.0821
GOVENS
19 2.0346E9
0.69
0.01
0.27
0.72
0.02
0.97
0.2112
0.1043
GOVEXP
19 1.6109E9
0.87
0.01
0.31
0.69
0.11
0.88
0.1696
0.0836
IMPNBM
19 1.2699E9
0.83
0.00
0.05
0.95
0.01
0.99
0.1691
0.0846
IMPORT
19 1.2884E9
0.89
0.00
0.05
0.95
0.00
1.00
0.1547
0.0773
EKSNBM
19 3.6968E9
0.92
0.01
0.01
0.98
0.01
0.98
0.1650
0.0834
EKSPOR
19 3.7391E9
0.92
0.01
0.01
0.98
0.01
0.98
0.1649
0.0834
GDPNAS
19 2.797E10
0.94
0.01
0.24
0.75
0.12
0.87
0.1219
0.0602
MONEYS
19 6.3292E9
0.93
0.01
0.07
0.92
0.01
0.98
0.1340
0.0664
MONEYD
19 9.9282E9
0.91
0.02
0.08
0.90
0.01
0.97
0.1608
0.0794
NTUKRR
19
1465719
0.80
0.01
0.00
0.99
0.13
0.86
0.1829
0.0929
CPINDX
19
77.2449
0.99
0.46
0.02
0.52
0.04
0.50
0.0955
0.0493
INTRIL
19
45.8547
0.75
0.00
0.01
0.99
0.21
0.79
0.5728
0.3209
LABORS
19
2.6720
0.99
0.00
0.00
1.00
0.00
1.00
0.0178
0.0089
LABORD
19
6.1001
0.95
0.02
0.07
0.91
0.01
0.97
0.0288
0.0144
UMRNAS
19
6371.8
0.74
0.01
0.01
0.98
0.22
0.77
0.1290
0.0653
UNEMPL
19
4.4517
0.83
0.02
0.09
0.88
0.00
0.98
0.3101
0.1580
INFLSI
19
179.6
0.05
0.00
0.27
0.73
0.09
0.91
0.8179
0.4490
NETEKS
19 2.5973E9
0.84
0.01
0.10
0.89
0.00
0.98
0.3463
0.1756
GROWTH
19
409.6
0.44
0.01
0.88
0.11
0.53
0.46
1.9398
0.5865
JOVDES
19
12.2770
0.30
0.06
0.24
0.70
0.01
0.93
0.1300
0.0661
JOVKOT
19
5.3434
0.10
0.18
0.05
0.77
0.32
0.51
0.1873
0.0981
POVERT
19
7.1529
0.60
0.11
0.06
0.82
0.04
0.85
0.1343
0.0688
Variable
N
Inequality Coef
346 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1988 To 2006 Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Variable
Relative Change Corr N MSE (R)
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP
19 0.00510 19 0.00303 19 0.00167 19 0.0347 19 0.000868 19 0.00370 19 0.00327 19 0.0122 19 0.00556 19 0.0124 19 0.00375 19 0.00650 19 0.0124 19 0.00268 19 0.00260 19 0.0420 19 0.0269 19 0.0260 19 0.0305 19 0.0864 19 0.1749 19 0.0796 19 0.0390 19 0.0352 19 0.0877 19 0.2119 19 0.0443 19 . 19 0.0634 19 0.1136 19 . 19 0.1458 19 0.1157 19 0.0791 19 0.00220 19 0.0621 19 0.1696 19 2.4603 19 1.6847 19 0.5247 19 65.4901 19 2.8695 19 2.0892 19 0.6044 19 143.5 19 9.2755 19 0.0158 19 0.00659 19 1.8143
0.60 0.01 0.02 0.01 0.20 0.55 0.55 0.78 0.01 0.03 0.58 0.34 0.36 0.65 0.64 0.02 0.00 0.00 0.05 0.13 0.36 0.00 0.16 0.15 0.24 0.37 0.01 . 0.00 0.03 . 0.00 0.02 0.06 0.00 0.02 0.11 0.05 0.00 0.00 0.03 0.04 0.00 0.00 0.03 0.03 0.01 0.02 0.00
0.76 0.68 0.85 0.76 0.84 0.32 0.47 0.53 0.38 0.55 0.77 0.45 0.70 0.73 0.76 0.73 0.79 0.80 0.52 0.50 0.48 0.69 0.64 0.48 0.43 0.46 0.42 . 0.53 0.85 . 0.51 0.79 0.73 0.99 0.95 0.83 0.04 0.26 0.24 0.15 0.05 0.21 0.24 0.01 0.49 0.52 0.86 0.10
0.03 0.14 0.14 0.17 0.01 0.30 0.28 0.09 0.25 0.39 0.02 0.30 0.19 0.04 0.03 0.08 0.08 0.05 0.23 0.42 0.03 0.14 0.27 0.25 0.35 0.02 0.26 . 0.12 0.47 . 0.26 0.33 0.05 0.07 0.64 0.06 0.47 0.23 0.42 0.13 0.47 0.29 0.45 0.12 0.00 0.39 0.21 0.35
0.38 0.85 0.83 0.82 0.79 0.15 0.16 0.14 0.74 0.57 0.40 0.36 0.45 0.31 0.32 0.90 0.92 0.95 0.72 0.45 0.61 0.86 0.57 0.61 0.42 0.61 0.72 . 0.88 0.50 . 0.74 0.65 0.89 0.93 0.34 0.83 0.48 0.77 0.58 0.84 0.49 0.70 0.54 0.85 0.97 0.60 0.77 0.65
0.00 0.00 0.01 0.01 0.02 0.08 0.08 0.01 0.01 0.05 0.01 0.03 0.02 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.07 0.08 0.00 0.03 0.00 0.03 0.11 0.00 . 0.03 0.23 . 0.00 0.09 0.02 0.04 0.51 0.28 0.00 0.04 0.00 0.19 0.00 0.02 0.01 0.33 0.27 0.03 0.05 0.02
0.40 0.99 0.96 0.99 0.78 0.37 0.36 0.21 0.98 0.92 0.41 0.63 0.61 0.35 0.36 0.97 1.00 0.98 0.95 0.80 0.56 1.00 0.81 0.85 0.73 0.52 0.98 . 0.97 0.73 . 1.00 0.89 0.92 0.96 0.48 0.61 0.95 0.96 1.00 0.78 0.96 0.98 0.99 0.64 0.71 0.96 0.93 0.98
Inequality Coef U1 U 0.6913 0.5909 0.5575 0.6721 0.4305 0.7973 0.7610 1.5227 0.7115 0.9196 0.7180 1.3943 1.0336 1.0470 0.9900 0.6843 0.6035 0.5819 0.8533 1.1038 1.0859 0.7344 0.8935 1.1031 1.3179 1.1168 1.0511 . 0.7762 0.7127 . 0.8423 0.6906 0.6064 0.1150 0.4949 0.5496 1.4069 1.1013 1.1983 1.0293 1.3724 1.1638 1.2174 1.0423 0.8824 0.7966 0.4996 1.2081
0.4200 0.3033 0.2667 0.3250 0.2358 0.3030 0.2918 0.4700 0.3523 0.4069 0.2986 0.5254 0.4245 0.4014 0.3891 0.3577 0.3058 0.3019 0.4445 0.5135 0.6125 0.3673 0.4409 0.5419 0.5926 0.6233 0.5266 . 0.4112 0.3012 . 0.4166 0.3097 0.3279 0.0569 0.2102 0.3314 0.7004 0.6144 0.5812 0.6764 0.6873 0.6288 0.5708 0.7582 0.5682 0.3689 0.2348 0.6640
347
Relative Change Variable KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT
N
MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist MSE (R) (UM) (UR) (UD)
19 0.0973 19 0.0821 19 0.0177 19 0.0556 19 0.0376 19 0.0630 19 0.0422 19 0.0313 19 0.0280 19 0.0644 19 0.0642 19 0.0326 19 0.0790 19 0.0346 19 0.0541 19 0.0210 19 0.9151 19 0.000309 19 0.000873 19 0.0172 19 0.5793 19 3.7149 19 1.7364 19 4.8555 19 0.0199 19 0.0386 19 0.0205
0.04 -0.05 0.87 0.28 0.28 0.59 0.57 0.67 0.70 0.51 0.51 0.29 0.43 0.35 0.63 0.46 0.91 0.43 0.22 0.51 0.61 0.30 0.33 0.58 0.57 0.63 0.53
0.02 0.01 0.00 0.04 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.04 0.00 0.47 0.00 0.00 0.02 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.03 0.13 0.07
0.94 0.94 0.01 0.43 0.39 0.34 0.27 0.15 0.17 0.25 0.25 0.84 0.84 0.49 0.02 0.04 0.57 0.25 0.50 0.34 0.64 0.07 0.71 0.63 0.54 0.09 0.41
0.05 0.05 0.99 0.53 0.59 0.66 0.73 0.85 0.83 0.75 0.75 0.16 0.12 0.47 0.98 0.49 0.43 0.75 0.48 0.66 0.35 0.93 0.29 0.36 0.43 0.77 0.51
Var (US)
Covar (UC)
0.58 0.56 0.13 0.01 0.00 0.03 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.39 0.49 0.05 0.12 0.06 0.79 0.00 0.02 0.02 0.25 0.20 0.21 0.24 0.15 0.01 0.06
0.41 0.43 0.87 0.95 0.98 0.97 0.99 1.00 1.00 1.00 1.00 0.61 0.47 0.91 0.87 0.47 0.21 1.00 0.96 0.98 0.74 0.79 0.78 0.75 0.82 0.85 0.87
Inequality Coef U1 U 3.0344 2.8636 0.4753 1.2833 1.2094 0.9417 0.9015 0.7513 0.7131 0.9177 0.9218 1.7302 1.9341 1.0763 0.7769 0.8846 0.6120 0.6234 1.0750 1.0285 1.2651 0.9610 1.6836 1.3658 1.2458 0.8766 1.1729
0.7261 0.7230 0.2593 0.5792 0.5727 0.4365 0.4393 0.3791 0.3551 0.4603 0.4610 0.5832 0.5771 0.4632 0.4504 0.5895 0.4202 0.3134 0.4848 0.4848 0.4868 0.6160 0.6162 0.5120 0.4969 0.4583 0.4986
NOTE: Percent error statistics for 2 variables were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
348 Lampiran 9. Program Peramalan Variabel Endogen Tahun 2007-2014 Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode NEWTON, Prosedur SIMNLIN, Program SAS/ETS versi 9.0 NOTE: Copyright (c) 2002 by SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. NOTE: SAS (r) Proprietary Software Version 9.00 (TS M0) Licensed to SUNY AT STONY BROOK, Site 0013402001. NOTE: This session is executing on the WIN_PRO platform. NOTE: SAS initialization used: real time 1.17 seconds cpu time 0.70 seconds options nodate nonumber; proc import datafile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\ekso_P.xls" out=work.predikendo; sheet='ekso12_21_NN_v75'; getnames=yes; run; NOTE: WORK.PREDIKENDO was successfully created. NOTE: PROCEDURE IMPORT used (Total process time): real time 0.32 seconds cpu time 0.15 seconds data Hanggono; set predikendo; RUN; NOTE: There were 29 observations read from the data set WORK.PREDIKENDO. NOTE: The data set WORK.HANGGONO has 29 observations and 715 variables. NOTE: DATA statement used (Total process time): real time 0.65 seconds cpu time 0.56 seconds proc SIMNLIN data=Hanggono simulate stat outpredict out=N_endo; endogenous PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT; instruments KRISIS KRISIP TRENDD HDURMB HJECKB HDUSMB HDUSLG HJECPX KRODA2 KRODA4 KRODA6 KNIAGA POPNAS LISTRK MTIKAN RTIKAN SUBBBL PNWJBL CPINDS FDINVR KOSJPRL KOSJSLL KOSJKRL DEVISS BANKTL FDINVS INVETL PROJPR PROJSL PROJKR PROJLG EKSJPR EKSJSL EKSJKR LBANKID REVNTX; LIMPJPR = LAG(IMPJPR); LIMPJSL = LAG(IMPJSL); LIMPJKR = LAG(IMPJKR); LKOSJPRT = LAG(KOSJPRT); LKOSJSLT = LAG(KOSJSLT); LKOSJSLI = LAG(KOSJSLI); LKOSJSLK = LAG(KOSJSLK); LKOSJKRT = LAG(KOSJKRT); LKOSJKRI = LAG(KOSJKRI); LKOSJKRK = LAG(KOSJKRK); LKOSJLGI = LAG(KOSJLGI); LKOSJLGK = LAG(KOSJLGK); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LHJECPR = LAG(HJECPR); LHJECSL = LAG(HJECSL); LHJECKR = LAG(HJECKR); LHJECLG = LAG(HJECLG); LGOVENS = LAG(GOVENS); LREVTAX = LAG(REVTAX);
349 LEKSNBM = LAG(EKSNBM); LIMPNBM = LAG(IMPNBM); LKOSNBM = LAG(KOSNBM); LINVRMG = LAG(INVRMG); LINVNMG = LAG(INVNMG); LMONEYS = LAG(MONEYS); LMONEYD = LAG(MONEYD); LNTUKRR = LAG(NTUKRR); LCPINDX = LAG(CPINDX); LLABORD = LAG(LABORD); LLABORS = LAG(LABORS); LUMRNAS = LAG(UMRNAS); LJOVDES = LAG(JOVDES); LJOVKOT = LAG(JOVKOT); LGOVEXP = LAG(GOVEXP); LGDPNAS = LAG(GDPNAS); LHDUSMB = LAG(HDUSMB); LHDUSLG = LAG(HDUSLG); LFDINVS = LAG(FDINVS); LDEVISS = LAG(DEVISS); LHJECPX = LAG(HJECPX); LLISTRK = LAG(LISTRK); LINVEST = LAG(INVEST); LINFLSI = LAG(INFLSI); parm a0 610131.1 a1 ‐1006.15 a2 45607.62 a3 ‐187855 a4 0.917482 b0 307769.8 b1 ‐374.831 b2 36851.46 b3 899.8852 b4 0.238200 c2 57864.80 c3 308616.0 c4 0.008018 c0 ‐9084383 c1 ‐324.797 d0 ‐233020 d1 135.5081 d2 1.095330 d3 ‐58788.2 d4 ‐24296.2 d5 0.003112 e0 1123446 e1 ‐402.994 e2 65335.98 e3 54.66420 e4 0.913706 f0 931971.5 f1 ‐811.742 f2 266.2612 f3 ‐745200 f4 0.966513 g0 ‐173134 g1 ‐103.547 g2 167.5878 g3 ‐800573 g4 0.680418 h1 ‐15.5707 h2 0.254732 h3 0.585949 h0 ‐277032 i0 650.3112 i1 ‐0.22956 i2 0.001794 i3 0.691805 j0 99971.36 j1 ‐53.3637 j2 0.574755 j3 0.727337 k0 ‐6206374 k1 ‐1020.17 k2 667.2196 k3 75566.91 k4 64740.81 k5 0.320929 l0 ‐6479.68 l1 ‐33.4571 l2 8.900561 l3 ‐63657.6 l4 0.562667 m3 8830.503 m4 0.392610 m0 ‐1448665 m1 ‐40.4743 m2 35.26335 n0 ‐1625.42 n1 17.01932 n2 0.158425 n3 0.000069 n4 0.350459 o0 ‐754.298 o1 7.325894 o2 0.130561 o3 0.001439 o4 0.243628 p0 ‐1497.98 p1 26.47919 p2 0.183126 p3 0.001192 p4 0.146793 q0 ‐1760.35 q1 2.520876 q2 0.130057 q3 99.12324 q4 0.339150 v3 ‐4989.29 v4 0.094282 v0 28256.32 v1 1.004436 v2 2189.487 w0 1737.680 w1 0.013563 w2 ‐241.188 w3 0.934858 x0 ‐126317 x1 10217.00 x2 ‐120.787 x3 45.51901 x4 0.003914 x5 0.762593 y0 ‐925567 y1 ‐3484.64 y2 2182.193 y3 ‐13.3777 y4 7516.541 y5 ‐12728.7 y6 0.056252 z0 ‐926521 z1 ‐14481.0 z2 ‐14749.4 z3 7693.559 z4 98066.50 z5 0.496401 aa0 ‐67817.5 aa1‐401.235 aa2 204.7058 aa3 441.2943 aa4 6257.735 aa5 87.22439 aa6 0.283337 ab0 152112.3 ab1 ‐3625.88 ab2 ‐16.5571 ab3 78.57330 ab4 ‐88870.8 ab5 0.928631 ac0 ‐141299 ac1 2521.748 ac2 0.333529 ac3 0.183465 ac4 ‐29437.9 ac5 ‐15986.9 ac6 0.707517 ad0 134969.7 ad1 ‐2977.76 ad2 ‐32.4716 ad3 1.050450 ad4 0.150957 ae0 5566.276 ae1 1417.658 ae2 ‐0.18375 ae3 ‐0.19527 ae4 0.013310 af0 2.376565 af1 ‐7.28E‐6 af2 9.034990 af3 9.922E‐7 af4 ‐21.4946 ag0 ‐13.3265 ag1 0.007853 ag2 0.000040 ag3 0.888247 ah0 ‐34.2679 ah1 0.003006 ah2 0.418323 ah3 6.431E‐6 ah4 0.449711 ai0 26.60973 ai1 ‐0.00083 ai2 6.945E‐6 ai3 0.597850 aj0 2260.720 aj1 ‐31.3557 aj2 4.369742 aj3 80.13413 aj4 59.97610 aj5 0.668586 ak0 8.885239 ak1 0.133437 ak2 ‐0.00002 ak3 0.356018 ak4 0.002710 ak5 0.602540 al0 12.30025 al1 0.135014 al2 ‐0.00002 al3 ‐0.00260 al4 0.354592 al5 0.000068 al6 0.137808 ; IMPJPR = a0 + a1*(1.18*1.15*(LHDUSMB*LNTUKRR/159)) + a2*CPINDX + a3*TRENDD + a4*LIMPJPR; IMPJSL = b0 + b1*(1.24*15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + b2*CPINDX + b3*KNIAGA + b4*LIMPJSL; IMPJKR = c0 + c1*(1.31*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + c2*POPNAS + c3*KRISIP + c4*LIMPJKR; EKSJLG = d0 + d1*(LHDUSLG*LNTUKRR/1000) + d2*PROJLG + d3*TRENDD + d4*KRISIP + d5*LEKSJLG;
350 KOSJPRT = e0 KOSJSLT = f0 KOSJSLI = g0 KOSJSLK = h0 KOSJKRT = i0 KOSJKRI = j0 KOSJKRK = k0 KOSJLGI = l0 KOSJLGK = m0 SUBHPR = n0 SUBHSL SUBHKR = p0 SUBHLG = q0 GOVENS = v0 REVTAX = w0 EKSNBM = x0 IMPNBM = y0 KOSNBM = z0 INVRMG = aa0
INVNMG = ab0 MONEYS = ac0 MONEYD = ad0 NTUKRR = ae0 INTRIL = af0 CPINDX = ag0
LABORS = ah0 LABORD = ai0 UMRNAS = aj0 JOVDES = ak0 JOVKOT = al0
+ e1*HJECPR + e2*(HJECPX/LHJECPX) + e3*KRODA6 + e4*LKOSJPRT; + f1*HJECSL + f2*LKNIAGA + f3*KRISIS + f4*LKOSJSLT; + g1*(HJECSL ‐ LHJECSL) + g2*LISTRK + g3*KRISIS + g4*LKOSJSLI; + h1*HJECSL + h2*RTIKAN + h3*LKOSJSLK; + i1*HJECKR + i2*LMTIKAN + i3*LKOSJKRT; + j1*HJECKR + j2*LBANKID + j3*LKOSJKRI; + k1*HJECKR + k2*(HJECKB‐LHJECKB) + k3*(LHJECLG/LHJECKR) + k4*POPNAS + k5*LKOSJKRK; + l1*LHJECLG + l2*LISTRK + l3*KRISIS + l4*LKOSJLGI; + m1*LHJECLG + m2*(HJECKR‐LHJECKR) + m3*POPNAS + m4*LKOSJLGK; + n1*(1.18*HDUSMB) + n2*NTUKRR + n3*REVDDN + n4*LSUBHPR; = o0 + o1*(1.24*HDUSMB) + o2*NTUKRR + o3*(REVDDN‐LREVDDN) + o4*LSUBHSL; + p1*(1.31*HDUSMB) + p2*NTUKRR + p3*REVDDN + p4*LSUBHKR; + q1*HDUSLG + q2*NTUKRR + q3*(REVDDN/LREVDDN) + q4*LSUBHLG; + v1*REVDDN + v2*INFLSI + v3*TRENDD + v4*LGOVENS; + w1*LGDPNAS + w2*KRISIP + w3*LREVTAX; + x1*INFLSS + x2*CPINDX + x3*(NTUKRR‐LNTUKRR) + x4*PNWJBM + x5*LEKSNBM; + y1*CPINDS + y2*INFLSI + y3*LNTUKRR + y4*POPNAS + y5*KRISIS + y6*LIMPNBM; + z1*INFLSI + z2*INTRIL + z3*POPNAS + z4*KRISIS + z5*LKOSNBM; + aa1*(INTRIL‐LINTRIL) + aa2*(FDINVS/LFDINVS) + aa3*POPNAS + aa4*KRISIS + aa5*TRENDD + aa6*LINVRMG; + ab1*LINTRIL + ab2*LNTUKRR + ab3*TRENDD + ab4*KRISIS + ab5*LINVNMG; + ac1*INTRIL + ac2*GDPNAS + ac3*BANKTL + ac4*KRISIS + ac5*TRENDD + ac6*LMONEYS; + ad1*INTRIL + ad2*NTUKRR + ad3*MONEYS + ad4*LMONEYD; + ae1*(CPINDX/CPINDS) + ae2*FDINVS + ae3*(DEVISS‐LDEVISS) + ae4*LNTUKRR; + af1*MONEYS + af2*(MONEYD/LMONEYD) + af3*(INVEST‐LINVEST) + af4*KRISIS; + ag1*(((KOSJPR*HJECPR) + (KOSJSL*HJECSL) + (KOSJKR*HJECKR))/(KOSJPR+KOSJSL+KOSJKR)) + ag2*LMONEYS + ag3*LCPINDX; + ah2*POPNAS + ah3*(GOVENS‐LGOVENS) + ah1*UMRNAS + ah4*LLABORS; + ai1*LUMRNAS + ai2*GDPNAS + ai3*LLABORD; + aj1*LLABORS + aj2*(LABORD‐LLABORD) + aj3*KRISIP + aj4*TRENDD + aj5*LUMRNAS; + ak1*INFLSI + ak2*LGOVEXP + ak3*UNEMPL + ak4*HJECKB + ak5*LJOVDES; + al1*INFLSI + al2*GOVEXP + al3*UMRNAS + al4*LUNEMPL + al5*LHJECLG + al6*LJOVKOT;
PNWJPR = PROJPR + IMPJPR ‐ EKSJPR ; PNWJSL = PROJSL + IMPJSL ‐ EKSJSL ; PNWJKR = PROJKR + IMPJKR ‐ EKSJKR ; PNWJLG = PROJLG + IMPJLG ‐ EKSJLG ; PNWJBM = PNWJPR + PNWJSL + PNWJKR + PNWJBL; KOSJPR = KOSJPRT + KOSJPRL; KOSJSL = KOSJSLT + KOSJSLI + KOSJSLK + KOSJSLL; KOSJKR = KOSJKRT + KOSJKRI + KOSJKRK + KOSJKRL; KOSJLG = KOSJLGI + KOSJLGK; HJECPR = (1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHPR;
351 HJECSL = (1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHSL; HJECKR = (1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHKR; HJECLG = (HDUSLG*NTUKRR/1000) ‐ SUBHLG; KOSCPR = (KOSJPR*HJECPR)/1000000; KOSCSL = (KOSJSL*HJECSL)/1000000; KOSCKR = (KOSJKR*HJECKR)/1000000; KOSCLG = (KOSJLG*HJECLG)/1000000; BOTBBM = EKSRLG ‐ IMPBBM; KOSCBM = KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR + KOSCLG + KOSCBL; IMPRPR = IMPJPR*1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPRSL = IMPJSL*1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPRKR = IMPJKR*1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPBBM = IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + (IMPJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000) + IMPBBL; IMPORT = IMPBBM + IMPNBM; EKSRLG = (EKSJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000); EKSPOR = EKSRLG + EKSNBM; NETEKS = EKSPOR ‐ IMPORT ; REVDDN = REVTAX + REVNTX; INVEST = INVRMG + INVNMG; GOVEXP = GOVENS + SUBBBM; KOSNAS = KOSCBM + KOSNBM; FISCGP = REVDDN ‐ GOVEXP; SUBRPR = (SUBHPR*KOSJPR)/1000000; SUBRSL = (SUBHSL*KOSJSL)/1000000; SUBRKR = (SUBHKR*KOSJKR)/1000000; SUBRLG = (SUBHLG*KOSJLG)/1000000; SUBBBM = SUBRPR + SUBRSL + SUBRKR + SUBRLG + SUBBBL; GDPNAS = KOSNAS + INVEST + GOVEXP + NETEKS; GROWTH = ((GDPNAS ‐ LGDPNAS) / LGDPNAS*100); UNEMPL = LABORS ‐ LABORD; INFLSI = ((CPINDX ‐ LCPINDX) / LCPINDX*100); POVERT = ((JOVDES + JOVKOT) / POPNAS*100); range tahun= 2007 to 2014; run; NOTE: The data set WORK.N_ENDO has 8 observations and 177 variables. ods rtf close; NOTE: PROCEDURE SIMNLIN used (Total process time): real time 0.20 seconds cpu time 0.20 seconds proc print data=N_Endo; var TAHUN IMPJPR IMPJSL IMPJKR EKSJLG KOSJPRT KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJLGI KOSJLGK SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG GOVENS REVTAX EKSNBM IMPNBM KOSNBM INVRMG INVNMG MONEYS MONEYD NTUKRR INTRIL CPINDX LABORS LABORD UMRNAS JOVDES JOVKOT PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPR KOSJSL KOSJKR KOSJLG KOSCBM IMPORT EKSPOR NETEKS REVDDN INVEST GOVEXP KOSNAS GDPNAS GROWTH UNEMPL INFLSI POVERT SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG FISCGP SUBBBM KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG BOTBBM IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSRLG; run; NOTE: There were 8 observations read from the data set WORK.N_ENDO. NOTE: PROCEDURE PRINT used (Total process time): real time 0.01 seconds cpu time 0.01 seconds proc export data=work.N_endo outfile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\ekso_P.xls"dbms=excel2000; sheet='endo12_21_NN_v75';
352 RUN; NOTE: endo12_21_NN_v75 was successfully created. NOTE: PROCEDURE EXPORT used (Total process time): real time 0.28 seconds cpu time 0.12 seconds
353 Lampiran 10. Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2007-2014 Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
76 76 179 TAHUN 76 122 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
HANGGONO N_ENDO
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
76 1 TAHUN 2007 2014 NEWTON 1E-8 7.6E-15 3 24 3
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
Obs TAHUN 1 2 3 4 5 6 7 8
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
IMPJPR 11859080.63 13537636.53 15477698.39 17762225.26 20448351.62 23573496.25 27157088.52 31206103.73
IMPJSL 17350769.50 18556761.21 19927005.44 21460375.73 23143252.53 24960253.34 26898775.02 28951906.53
IMPJKR 2880388.07 2964816.98 3347094.07 3106187.71 3162221.47 3213607.34 3256750.06 3599116.20
9 1 8 22 29
EKSJLG 801784.67 752887.60 632627.09 559835.33 455865.13 343832.85 224661.69 75550.68
KOSJPRT
KOSJSLT
KOSJSLI
19372554.70 20745378.36 22144609.19 23560753.08 24995105.45 26451797.17 27935260.71 29449790.16
13421342.92 14404033.14 15438103.99 16457702.30 17448771.17 18407650.98 19330894.49 20213355.43
11785005.99 12356207.61 12868663.46 13366237.33 13859660.80 14351254.92 14841395.81 15330130.93
354 Obs
KOSJSLK
KOSJKRT
KOSJKRI
KOSJKRK
1 2 3 4 5 6 7 8
690729.86 715382.95 739162.85 761023.34 781291.03 800335.35 818361.31 835440.21
2490.57 2527.24 2528.65 2510.20 2479.43 2439.20 2389.93 2330.86
431765.92 432643.59 433881.51 433224.62 429771.56 423076.10 412859.06 398897.95
11095726.47 11412548.75 11582998.01 11696734.41 11784837.94 11853251.87 11900476.83 11923221.03
Obs 1 2 3 4 5 6 7 8
SUBHLG
HJECPR
HJECSL
HJECKR
HJECLG
410.329 610.976 688.276 741.608 792.515 844.013 895.927 947.753
2278.79 2235.00 2300.26 2410.37 2542.32 2690.67 2855.78 3039.16
2320.38 2054.59 2125.28 2286.38 2477.55 2687.35 2916.51 3168.17
870.02 894.25 978.89 1080.97 1193.87 1318.60 1457.70 1613.86
2451.89 2138.83 2081.49 2103.32 2147.95 2199.48 2254.28 2311.87
Obs
INVRMG
1 2 3 4 5 6 7 8
44952.99 46103.55 48086.90 50277.75 52477.59 54639.12 56761.95 58853.79
Obs
JOVDES
JOVKOT
22.8107 20.5597 18.4244 16.4824 14.6250 12.8082 10.9713 9.2099
10.1595 4.8075 3.2050 2.4168 1.6955 0.8940 0.0602 -1.0695
1 2 3 4 5 6 7 8
KOSJLGI
INVNMG 176280.96 190200.25 199858.09 205731.07 208065.91 207135.93 203204.40 196506.04
Obs
KOSJSL
1 2 3 4 5 6 7 8
29957266.41 31234288.02 32300579.61 33634071.28 34532355.79 36094826.16 36618838.14 38099500.05
264272.48 649486.64 298280.71 722492.78 336315.57 791432.53 368039.63 846354.89 393549.50 891955.50 414790.20 932744.77 433390.74 971269.82 450391.20 1008735.79
GOVENS
MONEYD
880893.64 980141.72 1068687.69 1149233.27 1223184.45 1292804.81 1358815.04 1424089.27
937135.53 1040923.87 1145583.66 1241920.10 1329884.96 1411891.27 1489108.09 1564743.83
KOSJKR 11988090.64 12328234.73 12518709.36 12647965.36 12746926.12 12821618.97 12870643.21 12890753.78
SUBHSL
SUBHKR
732.89 1023.31 1218.62 1382.10 1535.36 1686.89 1841.06 2000.42
844.43 1369.40 1572.52 1698.92 1807.47 1912.81 2019.16 2127.66
2473.46 2723.03 2927.67 3129.31 3333.04 3541.24 3756.59 3980.92
EKSNBM
253996.90 268518.34 283654.13 299424.71 315535.36 331922.07 348576.35 365214.78
638625.38 672228.46 701402.77 726740.80 752902.02 779386.14 810508.03 847654.54
IMPNBM
KOSNBM
299355.42 300332.92 314209.08 326895.22 337550.03 346866.96 355560.76 364108.41
1141555.79 1199690.47 1250419.56 1301953.85 1357430.94 1416863.26 1479193.06 1542984.15
NTUKRR
INTRIL
CPINDX
LABORS
LABORD
UMRNAS
7476.75 7678.88 7870.59 8063.71 8255.58 8445.62 8634.42 8822.77
5.41479 5.29171 4.55148 3.81292 3.15122 2.55829 2.01171 1.49853
190.585 206.059 224.390 245.320 268.414 293.311 319.752 347.603
111.207 112.879 115.081 117.135 119.127 121.104 123.083 125.310
99.562 101.619 103.571 105.377 107.168 108.949 110.704 112.476
548.309 528.787 602.955 562.687 531.284 507.753 489.903 556.080
PNWJSL
24053700.66 24941172.45 26541493.66 28249146.23 30830058.70 33028361.25 36068605.27 39561675.09
SUBHPR
REVTAX
340670.00 358121.24 378778.22 400023.51 421334.65 442888.98 464941.63 487432.63
MONEYS
PNWJPR
KOSJLGK
PNWJKR
PNWJLG
PNWJBM
KOSJPR
32589140.72 11348670.11 1002754.87 77773671.56 19901501.16 33439723.48 11551130.74 1056423.29 79314702.91 21196217.52 34379337.10 10751439.55 1158359.52 80971110.27 22614973.23 35429322.33 8928564.91 1195424.58 81954201.39 24048936.02 35591816.34 8202630.40 1250555.46 83993326.01 25399878.14 36862487.10 7672047.99 1303868.13 86242232.30 26772274.03 38236481.42 7433222.43 1356874.94 89885839.78 28270803.68 39712323.42 6893620.29 1434212.04 94327390.41 29799939.54 KOSJLG
KOSCBM
913759.12 1020773.49 1127748.09 1214394.53 1285505.00 1347534.96 1404660.56 1459126.99
147876.08 147012.86 156457.27 173607.68 191610.61 211899.69 232664.86 260431.52
Obs
INVEST
GOVEXP
KOSNAS
GDPNAS
1 2 3 4 5 6 7 8
221233.96 236303.80 247944.99 256008.83 260543.50 261775.06 259966.35 255359.83
410579.34 456777.59 494557.56 530883.17 566253.40 603635.14 640537.31 680807.56
1289431.87 1346703.33 1406876.84 1475561.54 1549041.55 1628762.95 1711857.92 1803415.66
2162473.27 2295297.70 2397013.64 2497832.17 2595563.67 2693995.69 2790599.83 2892520.39
IMPORT 399692.16 418785.77 455520.74 492954.86 534517.26 580610.04 632977.50 694963.48
EKSPOR
NETEKS
640920.26 674298.75 703155.00 728333.50 754242.48 780432.59 811215.76 847900.81
241228.10 255512.98 247634.26 235378.63 219725.22 199822.54 178238.26 152937.33
GROWTH
UNEMPL
INFLSI
POVERT
8.81909 6.14225 4.43149 4.20601 3.91265 3.79232 3.58591 3.65228
11.6442 11.2600 11.5103 11.7584 11.9588 12.1546 12.3792 12.8342
8.06209 8.11951 8.89589 9.32764 9.41360 9.27558 9.01471 8.71026
14.6431 11.1194 9.3626 8.0820 6.8973 5.7243 4.5566 3.3252
REVDDN 371770.22 392978.74 415181.30 438419.90 462422.59 487149.45 512617.42 538569.99
SUBRPR 14585.63 21690.39 27559.04 33238.06 38997.88 45161.93 52048.24 59612.27
355 Obs
SUBRSL
SUBRKR
1 2 3 4 5 6 7 8
25296.75 42772.17 50793.46 57141.62 62416.07 69042.45 73939.19 81062.65
29652.01 33570.12 36650.63 39579.38 42486.02 45404.44 48349.78 51317.12
Obs
BOTBBM
1 2 3 4 5 6 7 8
-98041.86 -116382.56 -139559.44 -164466.95 -195626.78 -232696.63 -276709.02 -330608.80
SUBRLG 374.94 623.67 776.20 900.60 1018.78 1137.34 1258.47 1382.89
IMPRPR 35715.71 44109.84 54464.17 67362.66 83381.78 103194.54 127552.56 157265.54
FISCGP
SUBBBM
-38809.12 -63798.85 -79376.26 -92463.27 -103830.81 -116485.69 -127919.89 -142237.57
69909.34 98656.35 115779.34 130859.66 144918.75 160746.16 175595.68 193374.93
IMPRSL
IMPRKR
54911.93 63538.14 73686.21 85526.14 99169.23 114821.01 132763.33 153324.25
9630.49 10724.57 13075.60 13077.93 14315.10 15617.62 16981.64 20136.28
KOSCPR 45351.24 47373.50 52020.34 57966.75 64574.63 72035.47 80735.26 90566.79
IMPBBM 100336.74 118452.85 141311.67 166059.64 196967.23 233743.09 277416.75 330855.07
KOSCSL 69512.37 64173.68 68647.84 76900.41 85555.66 96999.31 106799.11 120705.66
EKSRLG 2294.88 2070.30 1752.23 1592.69 1340.45 1046.45 707.73 246.27
KOSCKR 10429.83 11024.53 12254.38 13672.12 15218.20 16906.58 18761.50 20803.86
KOSCLG 2240.44 2183.26 2347.40 2554.26 2761.20 2963.87 3166.50 3373.31
356 Lampiran 11. Program Simulasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2010-2014 menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN pada Program SAS/ETS versi 9.0 (Simulasi 8)
NOTE: Copyright (c) 2002 by SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. NOTE: SAS (r) Proprietary Software Version 9.00 (TS M0) Licensed to SUNY AT STONY BROOK, Site 0013402001. NOTE: This session is executing on the WIN_PRO platform. NOTE: SAS initialization used: real time 1.17 seconds cpu time 0.70 seconds options nodate nonumber; proc import datafile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\ekso_P.xls" out=work.predikendo; sheet='ekso12_21_NN_v75'; getnames=yes; run; NOTE: WORK.PREDIKENDO was successfully created. NOTE: PROCEDURE IMPORT used (Total process time): real time 0.32 seconds cpu time 0.15 seconds data Hanggono; set predikendo; /*SIMULASI DAMPAK PERAMALAN TAHUN 2010 - 2014: (1)
Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen (SIM-1) IF TAHUN <=2009 THEN HDUSMB = HDUSMB; ELSE HDUSMB = 1.05*HDUSMB; IF TAHUN <=2009 THEN HDUSLG = ELSE HDUSLG = 1.05*HDUSLG;
(2)
Kenaikan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen (SIM-2) IF TAHUN <=2009 THEN REVTAX = REVTAX; ELSE REVTAX = 1.1*REVTAX; IF TAHUN <=2009 THEN REVNTX = ELSE REVNTX = 1.1*REVNTX;
(3)
HDUSLG;
Pengurangan Subsidi Harga BBM (SIM-3) IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR;
REVNTX;
SUBHPR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL;
SUBHSL;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = ELSE SUBHKR = 0.4*SUBHKR;
SUBHKR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = ELSE SUBHLG = 0.1*SUBHLG;
SUBHLG;
357
(1)
Pelaksanaan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji (SIM-4) IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = SUBHKR; ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG;
(2)
(3)
(4)
SUBHLG;
Pengurangan Subsidi Premium dan Minyak Solar serta Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji (SIM-5) IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = SUBHPR; ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL;
SUBHSL;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR;
SUBHKR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG;
SUBHLG;
Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) (SIM-6) IF TAHUN <=2009 THEN HDUSMB = HDUSMB; ELSE HDUSMB = 1.05*HDUSMB; IF TAHUN <=2009 THEN HDUSLG = ELSE HDUSLG = 1.05*HDUSLG;
HDUSLG;
IF TAHUN <=2009 THEN REVTAX = ELSE REVTAX = 1.1*REVTAX; IF TAHUN <=2009 THEN REVNTX = ELSE REVNTX = 1.1*REVNTX;
REVTAX;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR;
SUBHPR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL;
SUBHSL;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR;
SUBHKR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG;
SUBHLG;
REVNTX;
Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran Belanja Rp. 60 485 miliar (SIM-7) IF TAHUN <=2009 THEN HDUSMB = ELSE HDUSMB = 1.05*HDUSMB;
HDUSMB;
IF TAHUN <=2009 THEN HDUSLG = ELSE HDUSLG = 1.05*HDUSLG;
HDUSLG;
IF TAHUN <=2009 THEN REVTAX = ELSE REVTAX = 1.1*REVTAX;
REVTAX;
IF TAHUN <=2009 THEN REVNTX = ELSE REVNTX = 1.1*REVNTX;
REVNTX;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR;
SUBHPR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL;
SUBHSL;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR;
SUBHKR;
358
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG;
SUBHLG;
IF TAHUN <=2009 THEN GOVENS = GOVENS; ELSE GOVENS = 1.2697*GOVENS; */ (1)
Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Kenaikan Indeks Harga Konsumen 5 Persen + Realokasi Anggaran Rp. 61 492 miliar (SIM-8) IF TAHUN <=2009 THEN HDUSMB = ELSE HDUSMB = 1.05*HDUSMB;
HDUSMB;
IF TAHUN <=2009 THEN HDUSLG = ELSE HDUSLG = 1.05*HDUSLG;
HDUSLG;
IF TAHUN <=2009 THEN REVTAX = ELSE REVTAX = 1.1*REVTAX;
REVTAX;
IF TAHUN <=2009 THEN REVNTX = ELSE REVNTX = 1.1*REVNTX;
REVNTX;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR;
SUBHPR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL;
SUBHSL;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR;
SUBHKR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG;
SUBHLG;
IF TAHUN <=2009 THEN CPINDX = ELSE CPINDX = 1.05*CPINDX;
CPINDX;
IF TAHUN <=2009 THEN GOVENS = GOVENS; ELSE GOVENS = 1.2757*GOVENS; RUN;
NOTE: There were 29 observations read from the data set WORK.PREDIKENDO. NOTE: The data set WORK.HANGGONO has 29 observations and 715 variables. NOTE: DATA statement used (Total process time): real time 0.57 seconds cpu time 0.54 seconds ods rtf file ='H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\sim_v75\2009_12_21_ramal_v75_hasil.rtf'; NOTE: Writing RTF Body file: H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\sim_v75\2009_12_21_ramal_v75_hasil.rtf proc SIMNLIN data=Hanggono simulate stat outpredict theil dynamic; endogenous PNWJPR PNWJSL KOSJSLK KOSJSL KOSCPR KOSCSL IMPJPR IMPJSL BOTBBM SUBHPR SUBBBM REVTAX GOVENS GOVEXP
PNWJKR KOSJKRT KOSCKR IMPJKR SUBHSL REVDDN IMPNBM
PNWJLG KOSJKRI KOSCLG IMPRPR SUBHKR FISCGP IMPORT
PNWJBM KOSJKRK KOSCBM IMPRSL SUBHLG KOSNBM EKSNBM
KOSJPRT KOSJKR HJECPR IMPRKR SUBRPR KOSNAS EKSPOR
KOSJPR KOSJLGI HJECSL IMPBBM SUBRSL INVRMG GDPNAS
KOSJSLT KOSJLGK HJECKR EKSJLG SUBRKR INVNMG MONEYS
KOSJSLI KOSJLG HJECLG EKSRLG SUBRLG INVEST MONEYD
359 NTUKRR GROWTH
CPINDX JOVDES
INTRIL JOVKOT
instruments KRISIS KRODA2 SUBBBL BANKTL EKSJSL
LABORS LABORD POVERT;
KRISIP KRODA4 PNWJBL FDINVS EKSJKR
TRENDD KRODA6 CPINDS INVETL LBANKID
UMRNAS
HDURMB HJECKB KNIAGA POPNAS FDINVR KOSJPRL PROJPR PROJSL REVNTX;
LIMPJPR = LAG(IMPJPR); LIMPJKR = LAG(IMPJKR); LKOSJSLT = LAG(KOSJSLT); LKOSJSLK = LAG(KOSJSLK); LKOSJKRI = LAG(KOSJKRI); LKOSJLGI = LAG(KOSJLGI); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LHJECPR = LAG(HJECPR); LHJECKR = LAG(HJECKR); LGOVENS = LAG(GOVENS); LEKSNBM = LAG(EKSNBM); LKOSNBM = LAG(KOSNBM); LINVNMG = LAG(INVNMG); LMONEYD = LAG(MONEYD); LCPINDX = LAG(CPINDX); LLABORS = LAG(LABORS); LJOVDES = LAG(JOVDES); LGOVEXP = LAG(GOVEXP); LHDUSMB = LAG(HDUSMB); LFDINVS = LAG(FDINVS); LHJECPX = LAG(HJECPX); LINVEST = LAG(INVEST);
parm a0 610131.1 b0 307769.8 c0 -9084383 d0 -233020 e0 f0 g0 h0 i0 j0 k0
1123446 931971.5 -173134 -277032 650.3112 99971.36 -6206374
l0 m0 n0 o0 p0 q0 v0
-6479.68 -1448665 -1625.42 -754.298 -1497.98 -1760.35 28256.32
w0 x0
1737.680 -126317
a1 b1 c1 d1 d5 e1 f1 g1 h1 i1 j1 k1 k5 l1 m1 n1 o1 p1 q1 v1
-1006.15 -374.831 -324.797 135.5081 0.003112 -402.994 -811.742 -103.547 -15.5707 -0.22956 -53.3637 -1020.17 0.320929 -33.4571 -40.4743 17.01932 7.325894 26.47919 2.520876 1.004436
w1 0.013563 x1 10217.00 x5 0.762593
UNEMPL
INFLSI
HDUSMB LISTRK KOSJSLL PROJKR
NETEKS
HDUSLG MTIKAN KOSJKRL PROJLG
HJECPX RTIKAN DEVISS EKSJPR
LIMPJSL = LAG(IMPJSL); LKOSJPRT = LAG(KOSJPRT); LKOSJSLI = LAG(KOSJSLI); LKOSJKRT = LAG(KOSJKRT); LKOSJKRK = LAG(KOSJKRK); LKOSJLGK = LAG(KOSJLGK); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LHJECSL = LAG(HJECSL); LHJECLG = LAG(HJECLG); LREVTAX = LAG(REVTAX); LIMPNBM = LAG(IMPNBM); LINVRMG = LAG(INVRMG); LMONEYS = LAG(MONEYS); LNTUKRR = LAG(NTUKRR); LLABORD = LAG(LABORD); LUMRNAS = LAG(UMRNAS); LJOVKOT = LAG(JOVKOT); LGDPNAS = LAG(GDPNAS); LHDUSLG = LAG(HDUSLG); LDEVISS = LAG(DEVISS); LLISTRK = LAG(LISTRK); LINFLSI = LAG(INFLSI);
a2 b2 c2 d2
45607.62 36851.46 57864.80 1.095330
a3 b3 c3 d3
-187855 899.8852 308616.0 -58788.2
a4 b4 c4 d4
0.917482 0.238200 0.008018 -24296.2
e2 f2 g2 h2 i2 j2 k2
65335.98 266.2612 167.5878 0.254732 0.001794 0.574755 667.2196
e3 f3 g3 h3 i3 j3 k3
54.66420 -745200 -800573 0.585949 0.691805 0.727337 75566.91
e4 f4 g4
0.913706 0.966513 0.680418
k4
64740.81
l2 m2 n2 o2 p2 q2 v2
8.900561 35.26335 0.158425 0.130561 0.183126 0.130057 2189.487
l3 m3 n3 o3 p3 q3 v3
-63657.6 8830.503 0.000069 0.001439 0.001192 99.12324 -4989.29
l4 m4 n4 o4 p4 q4 v4
0.562667 0.392610 0.350459 0.243628 0.146793 0.339150 0.094282
w2 -241.188 x2 -120.787
w3 x3
0.934858 45.51901
x4
0.003914
360 y0
-925567
z0
-926521
aa0 -67817.5 ab0 152112.3 ac0 -141299 ad0 134969.7 ae0 5566.276 af0 2.376565 ag0 -13.3265 ah0 -34.2679 ai0 26.60973 aj0 2260.720 ak0 8.885239 al0 12.30025
y1 -3484.64 y5 -12728.7 z1 -14481.0 z5 0.496401 aa1-401.235 aa5 87.22439 ab1 -3625.88 ab5 0.928631 ac1 2521.748 ac5 -15986.9 ad1 -2977.76 ae1 1417.658
y2 y6 z2
ac2 0.333529 ac6 0.707517 ad2 -32.4716 ae2 -0.18375
af1 ag1 ah1 ai1 aj1 aj5 ak1 ak5 al1 al5
af2 ag2 ah2 ai2 aj2
-7.28E-6 0.007853 0.003006 -0.00083 -31.3557 0.668586 0.133437 0.602540 0.135014 0.000068
IMPJPR
= a0
IMPJSL
= b0
IMPJKR
= c0
EKSJLG
= d0
KOSJPRT
= e0
KOSJSLT
= f0
KOSJSLI
= g0
KOSJSLK KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK
= = = =
KOSJLGI
= l0
KOSJLGK
= m0
SUBHPR
= n0
SUBHSL
= o0
SUBHKR
= p0
SUBHLG
= q0
GOVENS
= v0
REVTAX
= w0
h0 i0 j0 k0
2182.193 0.056252 -14749.4
aa2 204.7058 aa6 0.283337 ab2 -16.5571
9.034990 0.000040 0.418323 6.945E-6 4.369742
y3
-13.3777
y4
7516.541
z3
7693.559
z4
98066.50
aa3 441.2943
aa4
6257.735
ab3 78.57330
ab4
-88870.8
ac3 0.183465
ac4
-29437.9
ad3 1.050450 ae3 -0.19527
ad4 ae4
0.150957 0.013310
af3 ag3 ah3 ai3 aj3
af4
-21.4946
9.922E-7 0.888247 6.431E-6 0.597850 80.13413
ah4
0.449711
aj4
59.97610
ak3 0.356018
ak4
0.002710
al2 -0.00002 al3 -0.00260 al6 0.137808 ;
al4
0.354592
ak2 -0.00002
+ + + + + + + +
a1*(1.18*1.15*(LHDUSMB*LNTUKRR/159)) a2*CPINDX + a3*TRENDD + b1*(1.24*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + b3*KNIAGA + b4*LIMPJSL; c1*(1.31*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + c3*KRISIP + c4*LIMPJKR; + d1*(LHDUSLG*LNTUKRR/1000) d3*TRENDD + d4*KRISIP +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
e1*HJECPR + e2*(HJECPX/LHJECPX) e4*LKOSJPRT; f1*HJECSL + f2*LKNIAGA f4*LKOSJSLT; g1*(HJECSL - LHJECSL) g3*KRISIS + g4*LKOSJSLI; h1*HJECSL + h2*RTIKAN i1*HJECKR + i2*LMTIKAN j1*HJECKR + j2*LBANKID k1*HJECKR + k2*(HJECKB-LHJECKB) k4*POPNAS + k5*LKOSJKRK; l1*LHJECLG + l2*LISTRK l4*LKOSJLGI; m1*LHJECLG + m2*(HJECKR-LHJECKR) m4*LKOSJLGK; n1*(1.18*HDUSMB) n3*REVDDN + n4*LSUBHPR; o1*(1.24*HDUSMB) o3*(REVDDN-LREVDDN) p1*(1.31*HDUSMB) p3*REVDDN + p4*LSUBHKR; q1*HDUSLG + q2*NTUKRR q4*LSUBHLG; v1*REVDDN + v2*INFLSI v4*LGOVENS; w1*LGDPNAS + w2*KRISIP
a4*LIMPJPR; b2*CPINDX c2*POPNAS d2*PROJLG d5*LEKSJLG;
+ e3*KRODA6 + f3*KRISIS + g2*LISTRK + + + +
h3*LKOSJSLK; i3*LKOSJKRT; j3*LKOSJKRI; k3*(LHJECLG/LHJECKR)
+ l3*KRISIS + m3*POPNAS + n2*NTUKRR + o2*NTUKRR + o4*LSUBHSL; + p2*NTUKRR + q3*(REVDDN/LREVDDN) + v3*TRENDD + w3*LREVTAX;
361 EKSNBM
= x0
IMPNBM
= y0
KOSNBM
= z0
INVRMG
= aa0
INVNMG
= ab0
MONEYS
= ac0
MONEYD
= ad0
NTUKRR
= ae0
INTRIL
= af0
CPINDX
= ag0
LABORS
= ah0
LABORD UMRNAS
= ai0 = aj0
JOVDES
= ak0
JOVKOT
= al0
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
x1*INFLSS + x2*CPINDX + x3*(NTUKRR-LNTUKRR) x4*PNWJBM + x5*LEKSNBM; y1*CPINDS + y2*INFLSI + y3*LNTUKRR y4*POPNAS + y5*KRISIS + y6*LIMPNBM; z1*INFLSI + z2*INTRIL + z3*POPNAS z4*KRISIS + z5*LKOSNBM; aa1*(INTRIL-LINTRIL) + aa2*(FDINVS/LFDINVS) aa3*POPNAS + aa4*KRISIS + aa5*TRENDD aa6*LINVRMG; ab1*LINTRIL + ab2*LNTUKRR + ab3*TRENDD ab4*KRISIS + ab5*LINVNMG; ac1*INTRIL + ac2*GDPNAS + ac3*BANKTL ac4*KRISIS + ac5*TRENDD + ac6*LMONEYS; ad1*INTRIL + ad2*NTUKRR + ad3*MONEYS ad4*LMONEYD; ae1*(CPINDX/CPINDS) + ae2*FDINVS ae3*(DEVISS-LDEVISS) + ae4*LNTUKRR; af1*MONEYS + af2*(MONEYD/LMONEYD) + af3*(INVEST-LINVEST) af4*KRISIS; ag1*(((KOSJPR*HJECPR) + (KOSJSL*HJECSL) (KOSJKR*HJECKR))/(KOSJPR+KOSJSL+KOSJKR)) ag2*LMONEYS + ag3*LCPINDX; ah1*UMRNAS + ah2*POPNAS + ah3*(GOVENS-LGOVENS) ah4*LLABORS; ai1*LUMRNAS + ai2*GDPNAS + ai3*LLABORD; aj1*LLABORS + aj2*(LABORD-LLABORD) + aj3*KRISIP aj4*TRENDD + aj5*LUMRNAS; ak1*INFLSI + ak2*LGOVEXP + ak3*UNEMPL ak4*HJECKB + ak5*LJOVDES; al1*INFLSI + al2*GOVEXP + al3*UMRNAS al4*LUNEMPL + al5*LHJECLG + al6*LJOVKOT;
PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM
= = = = =
PROJPR PROJSL PROJKR PROJLG PNWJPR
+ + + + +
IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPJLG PNWJSL
-
EKSJPR ; EKSJSL ; EKSJKR ; EKSJLG ; + PNWJKR + PNWJBL;
KOSJPR KOSJSL KOSJKR KOSJLG
= = = =
KOSJPRT KOSJSLT KOSJKRT KOSJLGI
+ + + +
KOSJPRL; KOSJSLI + KOSJSLK + KOSJSLL; KOSJKRI + KOSJKRK + KOSJKRL; KOSJLGK;
HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG
= = = =
(1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) - SUBHPR; (1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) - SUBHSL; (1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) - SUBHKR; (HDUSLG*NTUKRR/1000) - SUBHLG;
KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG BOTBBM KOSCBM
= = = = = =
(KOSJPR*HJECPR)/1000000; (KOSJSL*HJECSL)/1000000; (KOSJKR*HJECKR)/1000000; (KOSJLG*HJECLG)/1000000; EKSRLG - IMPBBM; KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR + KOSCLG + KOSCBL;
IMPRPR IMPRSL
= IMPJPR*1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; = IMPJSL*1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000;
362 IMPRKR = IMPJKR*1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPBBM = IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + (IMPJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000) + IMPBBL; IMPORT = IMPBBM + IMPNBM; EKSRLG = (EKSJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000); EKSPOR = EKSRLG + EKSNBM; NETEKS = EKSPOR - IMPORT ; REVDDN = REVTAX + REVNTX; INVEST = INVRMG + INVNMG; GOVEXP = GOVENS + SUBBBM; KOSNAS = KOSCBM + KOSNBM; FISCGP = REVDDN - GOVEXP; SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM
= = = = =
(SUBHPR*KOSJPR)/1000000; (SUBHSL*KOSJSL)/1000000; (SUBHKR*KOSJKR)/1000000; (SUBHLG*KOSJLG)/1000000; SUBRPR + SUBRSL + SUBRKR + SUBRLG + SUBBBL;
GDPNAS GROWTH UNEMPL INFLSI POVERT
= = = = =
KOSNAS + ((GDPNAS LABORS ((CPINDX ((JOVDES
INVEST + GOVEXP + NETEKS; - LGDPNAS) / LGDPNAS*100); LABORD; - LCPINDX) / LCPINDX*100); + JOVKOT) / POPNAS*100);
range tahun= 2010 to 2014; run; ods rtf close;
363 Lampiran 12.
Hasil Simulasi Peramalan Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2010-2014 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0 (Simulasi 8)
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
69 69 146 TAHUN 69 115 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
HANGGONO
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
69 1 TAHUN 2010 2014 NEWTON 1E-8 2.32E-15 2 10 2
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
6 1 5 25 29
364
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2010 To 2014 Descriptive Statistics
Variable
Actual Mean Std Dev
Predicted Mean Std Dev
N Obs
N
PNWJPR
5
5
33547569
4423031
37303498
6240054
PNWJSL
5
5
37166486
1817685
38694610
2120839
PNWJKR
5
5
7826017
775372
7661663
799958
PNWJLG
5
5
1308187
92612.4
1273832
79455.6
PNWJBM
5
5
87280598
4916793
92400296
7007897
KOSJPRT
5
5
26478541
2327291
25339862
1693961
KOSJPR
5
5
26858366
2273507
25719687
1640111
KOSJSLT
5
5
18371675
1485617
15396328
149781
KOSJSLI
5
5
14349736
776265
14273237
805910
KOSJSLK
5
5
799290
29410.7
763273
17475.9
KOSJSL
5
5
35795918
1756645
32708055
264460
KOSJKRT
5
5
2429.9
71.4024
1360.6
491.0
KOSJKRI
5
5
419566
13921.1
160315
120307
KOSJKRK
5
5
11831704
92171.8
8556843
636640
KOSJKR
5
5
12795581
99408.1
9260399
734820
KOSJLGI
5
5
412032
32450.6
402731
25678.4
KOSJLGK
5
5
930212
63940.8
949968
35365.9
KOSJLG
5
5
1342244
96372.0
1352699
59985.2
KOSCPR
5
5
73175.8
12905.3
99313.8
17861.6
KOSCSL
5
5
97392.0
17264.0
131988
15948.9
KOSCKR
5
5
17072.5
2819.8
34022.5
1590.2
KOSCLG
5
5
2963.8
323.1
3316.8
342.3
KOSCBM
5
5
214043
34064.2
292080
36376.7
HJECPR
5
5
2707.7
248.9
3838.6
447.2
Label Jlh.Penawaran Premium (Rb Lt) Jlh.Penawaran M.Solar (Rb Lt) Jlh.Penawaran M.Tanah (Rb Lt) Jlh.Penawaran Elpiji (Rb Kg) Jlh.Penawaran Total BBM (Rb Lt) Kons.Premium di Transportasi (Rb Lt) Jumlah Konsumsi Premium (Rb Lt) Kons.M.Solar di Transportasi (Rb Lt) Kons.M.Solar di Industri (Rb Lt) Kons.M.Solar di RT& Kom. (Rb Lt) Jumlah Konsumsi M.Solar (Ribu Lt) Kons.M.Tanah di Transportasi (Rb Lt) Kons.M.Tanah di Industri (Rb Lt) Kons.M.Tanah di RT & Kom. (rb Lt) Jumlah Konsumsi M.Tanah (Rb Lt) Kons.Elpiji di Industri (Rb Kg) Kons.Elpiji di RT & Komersial (Rb Kg) Jumlah Konsumsi Elpiji (Ribu Kg) Konsumsi Premium (Miliar Rp) Konsumsi M.Solar (Miliar Rp) Konsumsi M.Tanah (Miliar Rp) Konsumsi Elpiji (Miliar Rp) Konsumsi BBM (Miliar Rp) H.Jual Eceran Premium (Rp/Lt)
365 HJECSL
5
5
2707.2
348.8
4033.8
469.9
HJECKR
5
5
1333.0
210.7
3700.1
433.6
HJECLG
5
5
2203.4
82.8568
2446.9
143.9
IMPJPR
5
5
24029453
5329089
27785382
7146867
IMPJSL
5
5
25082913
2965070
26611036
3284052
IMPJKR
5
5
3267577
193710
3103223
171702
IMPRPR
5
5
107751
35670.8
137959
50782.1
IMPRSL
5
5
117121
26838.2
137169
32562.2
IMPRKR
5
5
16025.7
2720.0
16782.3
2828.1
IMPBBM
5
5
251932
66974.5
302956
87909.0
EKSJLG
5
5
331949
190184
366304
176732
EKSRLG
5
5
986.7
529.6
1204.1
531.5
BOTBBM
5
5
-250946
67504.1
-301751
88438.4
SUBRPR
5
5
45811.7
10419.9
26158.2
4588.6
SUBRSL
5
5
68720.4
9400.6
34771.5
4046.7
SUBRKR
5
5
45427.3
4639.0
15489.3
651.2
SUBRLG
5
5
1139.6
190.4
1239.2
121.9
SUBBBM
5
5
161099
24638.5
77658.2
9349.3
REVDDN
5
5
487836
39611.6
536619
43572.8
FISCGP
5
5
-116587
19564.5
-106591
9825.9
KOSNBM
5
5
1419685
95509.2
1335706
168835
KOSNAS
5
5
1633728
129529
1627785
204520
INVRMG
5
5
54602.0
3389.6
55708.9
3022.3
INVNMG
5
5
204129
4638.8
166154
21433.3
INVEST
5
5
258731
2865.9
221863
18415.4
GOVEXP
5
5
604423
59170.3
643211
53390.0
IMPNBM
5
5
346196
14631.1
348290
10378.1
IMPORT
5
5
598129
81471.1
651246
91452.1
EKSNBM
5
5
783438
47486.8
824695
64769.3
H.Jual Eceran M.Solar (Rp/Liter) H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Lt) H.Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg) Jumlah Impor Premium (Ribu Lt) Jumlah Impor M.Solar (Rb Lt) Jumlah Impor M.Tanah (Rb Lt) Impor Premium (Miliar Rp) Impor M.Solar (Miliar Rp) Impor M.Tanah (Miliar Rp) Impor BBM (Miliar Rp) Jumlah Ekspor Elpiji (Ribu Kg) Ekspor Elpiji (Miliar Rp) Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp) Subsidi Premium (Miliar Rp) Subsidi M.Solar (Miliar Rp) Subsidi M.Tanah (Miliar Rp) Subsidi Elpiji (Miliar Rp) Subsidi BBM (Miliar Rp) Pendapatan DN Pemerintah(Miliar Rp) GAP Fiskal (Miliar Rp) Kons.di luar BBM (Miliar Rp) Konsumsi Nasional (Miliar Rp) Investasi MIGAS (Miliar Rp) Investasi Non-MIGAS (Miliar Rp) Investasi Nasional (Miliar Rp) Belanja Pemerintah (Miliar Rp) Impor diluar BBM (Miliar Rp) Impor Nasional (Miliar Rp) Ekspor diluar BBM (Miliar Rp)
366 EKSPOR
5
5
784425
46957.7
825899
64240.5
GDPNAS
5
5
2683178
153888
2667513
215323
MONEYS
5
5
1289625
108400
1262526
126678
MONEYD
5
5
1407510
127324
1358122
143143
NTUKRR INTRIL
5 5
5 5
8444.4 2.6065
299.9 0.9132
8869.0 2.7609
346.6 0.8499
LABORS
5
5
121.2
3.2118
121.4
2.9631
LABORD
5
5
108.9
2.8042
108.5
3.2378
UMRNAS
5
5
529.5
31.0317
513.6
37.0881
UNEMPL
5
5
12.2170
0.4148
12.8893
0.3543
INFLSI
5
5
9.1484
0.2866
12.0308
6.5511
NETEKS
5
5
186296
34520.3
174654
28719.3
GROWTH
5
5
3.8035
0.2493
4.0708
3.6641
JOVDES
5
5
12.8194
2.8776
13.1121
4.3405
JOVKOT
5
5
0.7994
1.3663
4.7903
1.6168
POVERT
5
5
5.7171
1.8744
7.5175
2.6283
Ekspor Nasional (Miliar Rp) GDP Nasional (Miliar Rp) Jumlah Penawaran Uang (Miliar Rp) Jumlah Permintaan Uang (Miliar Rp) Nilai Tukar (Rp/US$) Tingkat Suku Bunga Domesik Riil Jlh Penawaran Tenaga Kerja (Jt Jiwa) Jlh Permintaan Tenaga Kerja (Jt Jiwa) Upah Rata2 Nasional (Rb Rp/Bulan) Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) Tingkat Inflasi Domestik Ekspor Bersih (Miliar Rp) Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Jlh.Pend.Miskin Desa (Juta Orang) Jlh.Pend.Miskin Kota (Juta Orang) Tingkat Penduduk Miskin (%)
367
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2010 To 2014 Statistics of fit
Variable
N
Mean Error
Mean % Error
Mean Abs Error
Mean Abs % Error
RMS Error
RMS % Error
R-Square
PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVDDN FISCGP
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
3755929 1528124 -164354 -34355.1 5119698 -1138679 -1138679 -2975347 -76498.7 -36017.6 -3087863 -1069.3 -259251 -3274862 -3535182 -9301.3 19756.0 10454.7 26138.1 34595.8 16950.1 352.9 78036.9 1130.9 1326.6 2367.1 243.5 3755929 1528124 -164354 30207.1 20048.3 756.5 51023.2 34355.1 217.3 -50805.9 -19653.5 -33948.9 -29938.0 99.5363 -83440.8 48783.6 9996.0
10.7768 4.0880 -2.1412 -2.5737 5.7740 -4.1577 -4.1035 -15.7039 -0.5434 -4.4664 -8.4680 -44.4332 -62.4904 -27.6418 -27.5890 -2.1628 2.3188 0.9481 35.6457 36.6152 102.6 11.9775 37.0623 41.5099 49.1897 179.0 10.9808 14.8685 6.0377 -5.0120 26.6774 16.9278 4.7400 19.6008 20.1436 32.5447 19.5921 -42.3331 -49.2858 -65.7170 9.7899 -51.5945 10.0000 -7.6166
3755929 1528124 164354 34355.1 5119698 1138679 1138679 2975347 76498.7 36017.6 3087863 1069.3 259251 3274862 3535182 9301.3 23394.3 27605.4 26138.1 34595.8 16950.1 352.9 78036.9 1130.9 1326.6 2367.1 243.5 3755929 1528124 164354 30207.1 20048.3 756.5 51023.2 34355.1 217.3 50805.9 19653.5 33948.9 29938.0 99.5363 83440.8 48783.6 10917.0
10.7768 4.0880 2.1412 2.5737 5.7740 4.1577 4.1035 15.7039 0.5434 4.4664 8.4680 44.4332 62.4904 27.6418 27.5890 2.1628 2.6826 2.1467 35.6457 36.6152 102.6 11.9775 37.0623 41.5099 49.1897 179.0 10.9808 14.8685 6.0377 5.0120 26.6774 16.9278 4.7400 19.6008 20.1436 32.5447 19.5921 42.3331 49.2858 65.7170 9.7899 51.5945 10.0000 8.6126
4093848 1555758 165864 38037.2 5458597 1271834 1271834 3310541 81157.6 37629.1 3405367 1133.8 276388 3338967 3612972 11100.3 35374.2 36682.3 26512.1 34620.6 16999.6 354.4 78064.9 1144.8 1331.0 2375.5 249.6 4093848 1555758 165864 33094.0 20693.1 763.1 54351.9 38037.2 220.4 54147.7 20333.8 34285.0 30158.3 117.5 84556.2 48912.1 13261.8
11.3698 4.1368 2.1926 2.8417 6.0733 4.5374 4.4813 17.1108 0.5857 4.6338 9.2188 47.4425 67.1795 28.1525 28.1642 2.5483 4.1467 2.9536 35.6510 37.2627 105.2 12.0442 37.3073 41.6326 49.2169 179.3 11.1823 15.3978 6.0681 5.0334 27.1071 16.9582 4.7445 19.8058 29.1054 40.1936 19.7933 42.4287 49.2951 65.7529 12.1991 51.6169 10.0000 9.9848
-.0709 0.0843 0.9428 0.7891 -.5407 0.6267 0.6088 -5.207 0.9863 -1.046 -3.698 -314.2 -491.7 -1639 -1650 0.8537 0.6174 0.8189 -4.275 -4.027 -44.43 -.5041 -5.565 -25.44 -17.21 -158.0 -10.34 0.2623 0.6559 0.0835 -.0759 0.2569 0.9016 0.1768 0.9500 0.7835 0.1957 -3.760 -15.63 -51.83 0.5243 -13.72 -.9059 0.4256
368 KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
-83979.3 -5942.4 1106.9 -37974.8 -36867.9 38787.6 2093.9 53117.2 41257.1 41474.4 -15665.5 -27099.7 -49387.8 424.6 0.1544 0.2238 -0.4485 -15.9844 0.6723 2.8825 -11642.8 0.2673 0.2927 3.9909 1.8004
-6.2113 -0.6554 2.0670 -18.7261 -14.2494 6.5425 0.7354 8.8630 5.1755 5.1976 -0.6885 -2.2093 -3.6119 5.0174 7.0698 0.1892 -0.4201 -3.0748 5.6516 30.9024 -5.8495 9.3507 0.2955 1358.2 31.1144
83979.3 58744.1 1106.9 37974.8 36867.9 38787.6 10486.2 53117.2 41257.1 41474.4 45035.9 27099.7 49387.8 424.6 0.2139 0.2238 0.4721 15.9844 0.6884 2.8825 11642.8 2.4778 1.1047 3.9909 1.8004
6.2113 3.6893 2.0670 18.7261 14.2494 6.5425 3.1129 8.8630 5.1755 5.1976 1.7384 2.2093 3.6119 5.0174 8.6307 0.1892 0.4411 3.0748 5.7773 30.9024 5.8495 62.1671 8.4832 1507.2 31.1144
108298 70560.9 1156.7 41214.1 40325.2 39131.2 14870.7 54750.1 44065.4 44268.6 62834.9 31743.5 51717.3 426.6 0.2275 0.3386 0.5944 17.5935 0.9192 6.4454 16713.1 3.3918 1.3635 4.0108 1.9375
8.1937 4.5776 2.1897 20.4368 15.6059 6.6982 4.5130 9.0634 5.4396 5.4608 2.4959 2.6402 3.8506 5.0286 9.1167 0.2882 0.5587 3.4047 7.7648 69.0999 7.7217 84.1296 9.9296 2846.9 31.4527
-.6072 0.6291 0.8544 -97.67 -246.5 0.4533 -.2913 0.4355 -.0764 -.1109 0.7916 0.8928 0.7938 -1.529 0.9224 0.9861 0.9438 0.5982 -5.140 -631.4 0.7070 -230.4 0.7193 -9.772 -.3355
PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG
Variabel Uraian 33 898 969 37 315 237 7 818 580 1 305 403 87 773 312 26 466 929 26 846 754 17 122 380 14 315 475 783 877 34 496 949 2 423 417 944 11 827 549 12 789 797 399 185 917 056 1 316 242 73 485 113 628 17 275 3 319 231 145 2 720 3 283 1 349 2 516
Nilai Dasar 33 935 815 37 394 733 7 728 479 1 287 371 87 799 553 26 223 844 26 603 669 16 567 149 14 300 463 777 078 33 919 907 2 305 389 261 11 450 456 12 383 903 394 855 916 049 1 310 905 79 193 120 249 20 002 3 439 246 321 2 958 3 537 1 616 2 618
1 33 953 220 37 351 639 7 816 509 1 305 207 87 861 894 26 469 482 26 849 307 17 308 466 14 320 329 786 148 34 690 160 2 452 424 907 11 919 931 12 889 172 399 745 916 890 1 316 635 73 478 111 385 16 603 3 304 228 208 2 719 3 200 1 287 2 503
2
di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014
35 030 761 37 811 628 7 793 383 1 300 964 89 376 298 25 720 831 26 100 656 16 259 372 14 295 066 773 667 33 603 323 1 796 265 876 9 885 522 10 695 076 387 801 922 409 1 310 210 91 332 122 938 29 156 3 681 270 546 3 476 3 652 2 736 2 804
3 34 450 761 37 553 841 7 806 535 1 303 229 88 551 662 26 448 683 26 828 508 17 072 960 14 313 714 783 224 34 445 115 1 560 208 569 9 153 083 9 905 093 414 430 956 438 1 370 868 73 991 114 357 32 091 2 983 246 860 2 740 3 310 3 257 2 170
35 185 708 37 878 955 7 789 977 1 300 355 89 595 166 25 712 488 26 092 313 16 240 727 14 294 404 773 421 33 583 770 1 540 203 709 9 087 713 9 834 842 413 387 956 176 1 369 563 91 552 123 195 32 335 3 023 273 545 3 485 3 662 3 308 2 201
Simulasi 4 5
35 376 993 38 041 138 7 693 654 1 281 431 89 852 311 25 448 211 25 828 036 15 644 386 14 277 501 766 038 32 963 143 1 410 172 474 8 694 850 9 410 615 405 989 952 490 1 358 479 97 511 130 004 33 629 3 248 287 830 3 751 3 941 3 602 2 384
6
35 551 244 38 132 773 7 688 474 1 280 728 90 113 017 25 438 284 25 818 109 15 622 651 14 276 300 765 710 32 939 879 1 405 171 177 8 675 471 9 389 935 405 765 952 586 1 358 351 97 857 130 399 33 687 3 261 288 643 3 765 3 956 3 618 2 394
7
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan
Penawaran Premium (Rb Lt) Penawaran Minyak Solar (Rb Lt) Penawaran Minyak Tanah (Rb Lt) Penawaran Elpiji (Rb Kg) Penawaran BBM (Ribu Liter) Kons. Premium di Transport. (Rb Lt) Konsumsi Premium (Rb Lt) Kons. M.Solar di Transport. (Rb Lt) Kons. M.Solar di Industri (Rb Lt) Kons. M.Solar di RT & Kom. (Rb Lt) Konsumsi Minyak Solar (Rb Lt) Kons. M.Tanah di Transport. (Rb Lt) Kons. M.Tanah di Industri (Rb Lt) Kons. M.Tanah di RT & Kom. (Rb Lt) Konsumsi Minyak Tanah (Rb Lt) Kons. Elpiji di Industri (Rb Kg) Kons. Elpiji di RT & Kom. (Rb Kg) Konsumsi Elpiji (Ribu Kilogram) Konsumsi Premium (Miliar Rp) Konsumsi Minyak Solar (Miliar Rp) Konsumsi Minyak Tanah (Miliar Rp) Konsumsi Elpiji (Miliar Rp) Konsumsi BBM (Miliar Rp) Harga Jual Eceran Premium (Rp/Lt) Harga Jual Eceran M.Solar (Rp/Lt) Harga Jual Eceran M.Tanah (Rp/Lt) Harga Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg)
Lampiran 13.
8 37 303 498 38 694 610 7 661 663 1 273 832 92 400 296 25 339 862 25 719 687 15 396 328 14 273 237 763 273 32 708 055 1 361 160 315 8 556 843 9 260 399 402 731 949 968 1 352 699 99 314 131 988 34 023 3 317 292 080 3 839 4 034 3 700 2 447
369
Uraian
Jumlah Impor Premium (Rb Lt) Jumlah Impor Minyak Solar (Rb Lt) Jumlah Impor Minyak Tanah (Rb Lt) Impor Premium (Miliar Rp) Impor Minyak Solar (Miliar Rp) Impor Minyak Tanah (Miliar Rp) Impor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Jumlah Ekspor Elpiji (Ribu Kilogram) Ekspor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp) Subsidi Harga Premium (Rp/Lt) Subsidi Harga Minyak Solar (Rp/Lt) Subsidi Harga Minyak Tanah (Rp/Lt) Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg) Subsidi Premium (Miliar Rp) Subsidi Minyak Solar (Miliar Rp) Subsidi Minyak Tanah (Miliar Rp) Subsidi Elpiji (Miliar Rp) Subsidi BBM (Miliar Rp) Penerimaan Pajak (Miliar Rp) Penerimaan DN Pemerintah (Miliar Rp) GAP Fiskal (Miliar Rp) Konsumsi Non-BBM (Miliar Rp) Konsumsi Nasional (Miliar Rp) Investasi MIGAS (Miliar Rp) Investasi Non-MIGAS (Miliar Rp) Investasi Nasional (Miliar Rp)
IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST
Lanjutan
Variabel
Lampiran 13. 24 380 853 25 231 664 3 260 140 109 922 118 397 16 063 255 417 334 733 999 - 254 417 1 697 1 359 3 555 546 46 014 46 927 45 488 722 139 150 330 922 486 623 - 95 277 1 408 642 1 639 787 55 718 177 407 233 125
Nilai Dasar 2
24 417 699 24 435 104 25 311 159 25 268 066 3 170 039 3 258 068 116 325 110 372 125 508 118 760 16 495 16 074 269 369 256 241 352 765 334 929 1 114 1 000 - 268 256 - 255 240 1 707 1 704 1 366 1 448 3 564 3 624 616 562 45 853 46 199 46 371 50 327 44 134 46 739 811 743 137 169 144 009 330 676 364 014 486 377 536 619 - 94 352 - 104 715 1 396 889 1 408 843 1 643 210 1 637 052 55 704 55 807 176 324 177 359 232 028 233 167
1
6
7
8
25 667 592 25 858 877 26 033 128 27 785 382 25 795 381 25 957 564 26 049 199 26 611 036 3 231 537 3 135 214 3 130 034 3 103 223 118 193 126 278 127 640 137 959 123 379 131 618 132 552 137 169 16 205 16 646 16 667 16 782 268 813 28]5 585 287 903 302 956 339 781 358 705 359 409 366 304 1 030 1 152 1 157 1 204 - 267 783 - 284 433 - 286 746 -301 751 1 062 1 062 1 062 1 011 1 116 1 116 1 116 1 063 1 684 1 768 1 768 1 768 914 960 960 960 26 552 26 271 26 260 26 158 35 744 35 051 35 024 34 772 16 473 15 739 15 701 15 489 1 255 1 245 1 245 1 239 80 024 78 305 78 229 77 658 329 641 364 014 364 014 364 014 485 342 536 619 536 619 536 619 -39 154 - 43 376 - 104 498 - 106 591 1 372 760 1 358 649 1 356 044 1 335 706 1 646 305 1 646 479 1 644 687 1 627 785 55 640 55 707 55 801 55 709 174 031 172 639 172 295 166 154 229 672 228 346 228 097 221 863
Simulasi 4 5
25 512 645 24 932 645 25 728 054 25 470 267 3 234 942 3 248 094 117 188 113 409 122 780 120 480 16 189 16 124 267 193 261 049 339 172 336 907 1 026 1 012 - 266 167 - 260 036 1 710 1 011 1 367 1 063 2 245 1 684 305 914 26 561 46 340 35 766 47 157 23 939 16 598 400 1 257 86 666 111 351 329 831 330 248 485 532 485 950 - 45 456 - 68 695 1 377 017 1 393 297 1 647 563 1 640 158 55 652 55 677 174 442 175 936 230 094 231 612
3
370
Simulasi 4 5
442 750 581 900 346 479 601 895 787 297 788 296 2 641 213 1 256 557 1 366 987 8 483 298.40 2.76 121.10 108.30 528.10 12.83 9.44 186 400 3.40 13.78 5.72 8.17
443 559 580 728 347 039 616 408 787 912 789 026 2 628 585 1 248 903 1 356 210 8 532 303.00 2.79 121.10 108.20 527.60 12.97 9.89 172 618 3.26 13.99 5.82 8.30
497 326 641 334 346 838 603 078 787 969 788 970 2 697 444 1 293 055 1 410 086 8 493 299.40 2.57 121.30 109.00 522.60 12.25 9.63 185 892 3.88 11.99 4.44 6.90
444 323 530 988 347 842 615 035 799 858 800 884 2 594 495 1 226 149 1 326 113 8 614 310.50 2.89 121.10 107.70 526.60 13.39 10.58 185 849 3.01 15.65 7.05 9.50
443 294 554 645 347 069 608 117 793 398 794 411 2 612 708 1 237 905 1 342 520 8 546 304.20 2.84 121.10 108.00 527.20 13.17 9.97 186 293 3.17 14.80 6.39 8.87
444 472 524 496 348 006 616 819 801 573 802 603 2 586 257 1 220 811 1 319 130 8 631 312.10 2.92 121.10 107.60 526.40 13.49 10.73 185 784 2.94 15.91 7.19 9.66
6 501 690 579 995 349 012 634 597 803 987 805 139 2 625 362 1 246 817 1 347 620 8 703 318.80 2.78 121.20 108.10 520.00 13.11 11.45 170 542 3.24 14.47 6.08 8.61
Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persen Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persen Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar. Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
3
Keterangan: Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6 Simulasi 7 Simulasi 8
2
Belanja Non-Subsidi BBM (Miliar Rp) Belanja Pemerintah (Miliar Rp) Impor Non-BBM (Miliar Rp) Impor Nasional (Miliar Rp) Ekspor Non-BBM (Miliar Rp) Ekspor Nasional (Miliar Rp) GDP Nasional (Miliar Rp) Jumlah Penawaran Uang (Miliar Rp) Jumlah Permintaan Uang (Miliar Rp) Nilai Tukar (Rp/US$) Indeks Harga Konsumen (indeks) Tingkat Suku Bunga (%/Thn) Jumlah Penawaran TK (Juta Jiwa) Jumlah Permintaan TK (Juta Jiwa) Upah Minimum Nasional (Rb Rp/Bulan) Jml. Pengangguran (Juta Jiwa) Tingkat Inflasi Domestik (%/Th) Ekspor Bersih Nasional (Miliar Rp) Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%/Thn) Jumlah Penduduk Miskin Desa (Jt Jiwa) Jumlah Penduduk Miskin Kota (Jt Jiwa) Tingkat Penduduk Miskin Nasional (%)
1
GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT
Nilai Dasar
Uraian
Lanjutan
Variabel
Lampiran 13.
7 562 889 641 118 349 518 637 421 806 003 807 160 2 683 640 1 285 029 1 392 298 8 728 321.10 2.59 121.40 108.90 513.80 12.51 11.75 169 739 3.73 12.63 4.78 7.30
8 565 553 643 211 348 290 651 246 824 695 825 899 2 667 513 1 262 526 1 358 122 8 869 337.74 2.76 121.40 108.50 513.60 12.89 12.03 174 654 4.07 13.11 4.79 7.52
371
1679161 1050572
1920270 1109626 2440000
2196000 1172000 2602057
2196000
4248000 1077000 2556764
4593000 1541000 2642255
3588000 1446000 2636356
3538000 2074000 2511581
4773000 2260000 2712253
8148000 3118000 2132917 10031380
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
566314 602565 636130 673528
9118588
7194000 2966000 1306318 11929095 10082980
7879000 2718000 1484503 12576406 10636498
9637000 2916000 1268104 13193587 10917953
9955000 2516000 1106424 14089321 11022704
2410000
3154000
3076000
6576000 12339000 2907000 1034270 15833195 11616797 10687255
7267000 14440000 2604000 1015366 16894997 12150616 10446548
9882611 16284132 2743548 1079070 18065572 12765425 11202029
2001
2002
2003
2004
2005
2006
9424589
8977164
8397318
560536
544539
525262
488397
511421
1984000
7393023
6827300
2000
9495022
5770000 2789000 1745383 11034498
9220576
5048000 1328000 1761304 10474133
654436
550818
492239
459586
468058
374772
306764
259994
244157
229242
585000
6815567
5929557
5544464
5359429
5554171
4805350
3905966
3498319
3238941
2998226
215198
201976
1598000
9614314
8282316
7404375
7056585
7362148
6879090
6306639
5605065
5308702
5027058
2774878
2567685
1999
9314137
8521418
7754857
6913939
6782365
6427990
5994072
5577115
5188716
4759459
4505257
1998
465000 2528844
980000
4826934
1989
530000
1988
994660
1468326
4489963
0
570000
1987
941725
1283963
0
2396
2353
2433
2406
2449
2496
2612
2604
2305
2328
2429
2189
2168
1982
2030
1790
1788
1756
1724
1692
1661
438269
428037
485601
526507
537286
600713
719491
663090
520727
549049
547136
495017
457894
422682
384416
324725
299369
292231
285262
278460
271820
10797098
10533543
10919932
10788762
10693241
11188541
11237999
10781327
9204653
8954720
8753620
8338325
8070242
7861241
7829501
7412286
7245116
7064287
6887968
6716046
6548411
216353
253640
306667
287740
249515
210952
229560
135169
147375
185497
139923
118533
73107
67505
68189
68601
43052
39976
61266
76064
161576
552039
643877
708058
684856
582137
492222
551791
382966
435265
468238
375488
310647
184758
162312
160056
159059
100773
93024
141734
174936
369424
166
147
784
225
192
617
892
212
109
-447
-601
-840
-1005
-1063
-631
-684
-265
-407
-673
-540
-1060
417
410
1003
426
433
1158
1546
743
742
234
116
-83
-181
-167
152
157
507
332
101
307
-159
1883
1061
1798
1234
1290
1781
1917
1097
1161
488
378
186
108
149
444
471
773
523
290
522
48
IMPJPR IMPJSL IMPJKR EKSJLG KOSJPRT KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJLGI KOSJLGK SUBHPR SUBHSL SUBHKR
1986
TAHUN
Lampiran 14. Data Riil Tahun 1986-2006
372
1797 1645 1522 1431 1551 1733 1612 1870 1723 1575 1472 1386 1253 1038 1150 1300 1404 1360 1282 1999 2552
-1099
-819
-907
-675
-455
-532
-418
-1285
-1136
-1301
-1106
-586
-48
29
976
442
-84
-235
-906
32
379
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2438
1845
1169
1240
1243
856
600
571
689
752
799
855
936
1015
879
945
844
743
791
855
934
1134
1322
496
526
481
348
350
291
351
554
589
630
689
748
645
693
655
613
652
705
770
2410
2726
3011
2029
1925
1883
1500
1557
1880
1980
2103
2250
1847
2004
1275
1371
1378
1449
1542
1645
1657
329934
229318
244805
255602
247835
249014
142288
204521
297722
193519
206575
186208
195305
193779
167852
161824
157990
135723
131549
110689
111037
241006
222425
198741
181853
168532
166402
115913
130704
116449
126856
120571
110633
103341
95856
85365
75800
67947
57322
47090
37509
40413
526596
530342
450804
391377
424758
514158
518380
393930
609705
304904
243139
227385
211208
203437
199873
176946
160633
143872
127488
119913
88333
245024
308120
249265
185396
209567
260218
255459
183487
332823
228376
204737
201305
166350
152893
156962
155755
134302
104479
85972
84127
62518
1072565
1056851
1033702
928322
844254
821787
830250
812593
775727
723040
642903
588745
498936
471154
366181
358316
335856
303159
293263
268437
252865
44600
49634
47408
34177
40633
38618
33006
32997
55436
27491
22043
21150
20818
20425
20394
19717
19072
18492
17541
17299
13804
141627
135879
133071
134417
169223
216445
280909
216393
249114
324342
310292
269566
238632
211133
196904
190230
172298
151140
127993
87874
83332
783640
771623
732120
718020
709072
756985
747028
670588
723499
704202
606918
500895
429653
387950
348894
312092
291616
218145
166079
144777
129142
899178
846233
777780
686408
690667
709756
689935
681220
756008
890688
619427
523067
447352
397641
360933
317568
279536
239185
174656
152361
133017
6151
7059
6942
6884
7805
9449
8396
7886
11879
5371
4496
4477
4579
4679
4847
4859
4818
4735
4579
4634
3815
2.00
5.20
7.99
8.91
6.02
6.40
12.82
2.18
-34.86
10.05
9.43
6.32
6.44
7.37
11.70
11.50
11.11
12.98
11.55
9.43
11.97
SUBHLG HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG GOVENS REVTAX EKSNBM IMPNBM KOSNBM INVRMG INVNMG MONEYS MONEYD NTUKRR INTRIL
1986
TAHUN
Lampiran 14. Lanjutan
373
70.19 72.25 74.60 75.51 77.80 78.46 79.95 81.45 83.90 86.36 90.11 93.86 92.74 94.85 95.65 98.81 100.78 105.82 103.97 106.64 110.22
21.42
23.41
25.29
26.91
29.02
31.74
34.12
37.43
40.62
44.45
47.56
50.50
79.80
96.36
100.00
111.50
124.66
133.10
141.17
155.93
176.37
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
97.77
95.72
93.72
95.77
91.65
89.45
89.84
88.82
87.67
87.05
85.70
80.11
82.04
79.20
78.52
76.42
75.85
73.43
72.52
70.40
68.34
622.80
622.34
607.34
569.11
557.48
472.39
522.41
542.12
534.09
835.79
797.22
774.27
748.03
669.60
686.64
627.08
480.05
452.50
426.80
412.86
415.07
24.81
22.70
24.80
25.10
25.10
29.30
26.40
28.55
31.90
25.98
20.05
22.70
25.34
27.99
28.32
28.64
28.97
30.32
31.68
33.04
35.97
9924188
9992000
9804000
9089000
8868000
7993000
8427000
8285619
8148418
8015211
7885822
9892000 18985000 10773000
9171000 16747000
8568000 15270000
7535000 16256000
7178000 15372000
6888000 12662000
6187000 11920000
5926651 11361205
5677258 10845270
5438359 10367609
5209512
9802000
14.49 22004560 31770655 11378656
12.40 18897000 29487000 11146000
11.30 18545000 28024000 11941000
12.20 14635000 24990000 11826000
13.30 14807000 24581000 11868000
8.60 14590000 23132000 11939000
12.30 13726000 22443000 12172000
13.95 13404000 20521000 12205000
17.60 11246000 19601000
13.00 10714000 21907000 10747000
8.40
9.47
10.53
11.60
11.91
12.22
12.53
12.67
12.80
12.93
12.76
9723026
9172897
9190417 16975012
8342022 16016872
7440545 16564978
7204409 14646871
6828089 12947808
6357474 11579404
5928790 10924241
5529011 10306148
5156190
4808508
9967398
9781930
9252484
8921881
8652374
8562715
8075162
7852795
7658281
7468586
7283589
7103174
972596
831652
703174
781351
518135
582640
653735
515411
429180
257865
229817
228245
227660
143825
133000
203000
251000
531000
768392 74953074 18669339 28598624 11668402
897517 69153000 17480327 27056409 11385584
768392
897517
1014725 69418000 16418015 26487751 11846119 1014725
972596 61294000 14647351 24064458 11753109
831652 61246000 13732388 24212847 11678439
703174 59233000 13095986 23359617 12283033
781351 58469000 12429291 22072256 12457778
518135 53361000 11515474 20297537 11926810
582640 48857000 10971725 19714129 10144515
653735 51768000 10830921 21852715
515411 47778000 10081399 18827523
429180 42870000
257865 41041000
229817 40906000
228245 39728000
227660 35490000
143825 33838000
133000 32827854
203000 31881365
251000 30992947
531000 30157622
152434
122134
74459
71808
68461
53292
37747
31273
36042
43589
41719
40926
41638
44392
36512
36327
30472
26640
27227
28246
30020
CPINDX LABORS LABORD UMRNAS JOVDES JOVKOT PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPR KOSJSL KOSJKR KOSJLG KOSCBM
1986
TAHUN
Lampiran 14. Lanjutan
374
128111
145761
163035
179068
202063
205337
213082
229767
245843
307878
612931
396698
521614
517609
427092
393362
452981
533141
529605
88315
107607
138663
158953
162281
157965
170150
205538
211858
240103
343019
195664
281402
284553
233792
209704
294401
359126
320843
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
120351
86882
1987
1988
88652
64181
208763
174015
158580
183657
193301
233056
240213
201034
269913
67775
33985
24229
42931
47372
39782
20115
24371
38154
39796
33469
24470
97137
352452 186227
243455 185513
285496 180480
257557 168594
242370 209856
270020 255063
205335 313915
194906 249390
187087 304550
174368 351833
184263 332336
164268 290716
163523 259449
149923 231557
139062 217298
131018 209947
136267 191370
106796 169632
90968 145534
88883 105173
75358
912714
875079
867997
843866
811768
766629
684621
629672
540574
515546
402693
394643
366329
329799
320489
296683
282884
367230 1224999
255090 1178985
304628 1108160
283430 1000129
275964
306330
221468
240627
330670
200685
207147
178222
184063
183601
170167
163800
170394
141819
130457
115185
102204
1987219
1793603
1751848
1635810
1591835
1669528
1643593
1534918
1716901
1386922
1258089
1122838
1027018
978076
829939
788505
752465
679404
636276
550510
506695 .
10.79
2.38
7.09
2.76
-4.65
1.58
7.08
-10.60
23.79
10.24
12.05
9.33
5.00
17.85
5.25
4.79
10.75
6.78
15.58
8.65
11.98
10.85
10.25
10.05
9.13
9.37
5.81
6.03
5.06
6.81
4.41
6.25
1.87
2.25
1.43
2.03
1.95
2.08
2.08
1.84
1.85 .
13.10
10.46
6.06
6.77
11.80
11.50
3.77
20.75
58.02
6.19
6.99
9.43
8.52
9.69
7.51
9.37
7.84
6.42
8.05
9.27
17.70
16.01
16.68
17.40
18.11
17.94
18.39
20.53
24.30
19.35
14.46
16.60
18.82
21.10
21.81
22.34
23.08
24.00
25.33
26.73
28.94
3097
2571
12878
3300
2635
8078
11086
2446
1192
-4845
-6063
-7721
-8386
-7906
-4545
-4669
-1684
-2416
-3723
-2784
-5097
11938
11096
26562
10254
10496
27057
34119
15081
14624
5114
2180
-1407
-2897
-2758
2221
2035
5870
3627
1044
2982
-1457
21969
12077
21303
14502
15068
21870
23881
13088
11777
4861
3694
1718
963
1286
3804
3807
6068
4003
2167
3801
343
292
29
-920
-228
-70
310
762
15
-28
-383
-570
-558
-293
-295
-95
-121
-65
-90
-184
-206
-583
IMPORT EKSPOR NETEKS REVDDN INVEST GOVEXP KOSNAS GDPNAS GROWTH UNEMPL INFLSI POVERT SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG
1986
TAHUN
Lampiran 14. Lanjutan
375
-8833 4496 -1092 6096 12404 1976 2314 -10178 -11241 -7986 572 7166 32948 36106 79180 57316 28129 27828 59823 25771 37296
-26845
-26302
-39489
-35023
-34127
-32782
-31105
-33678
-20541
-13953
-22884
-26317
-143583
-45721
-16133
-36310
-33594
-25873
-19132
-11634
-14778
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
47635
34942
21050
19918
19278
17030
14294
11950
13748
15012
14839
14474
14377
13916
11612
11832
9858
8482
8418
8482
8643
69727
49920
30959
29832
30106
20007
13243
11585
13587
16443
15044
14512
14985
16818
12877
12238
9776
8119
8151
8309
8565
13232
15049
5874
6181
5621
4274
4360
3465
3559
5526
5759
5829
6150
6473
5521
5597
5141
4696
4873
5135
5472
1852
2446
3055
1973
1601
1324
1172
807
1095
1294
1084
966
476
461
291
312
198
193
313
413
880
-67974
-44472
-38741
-20525
-20586
-19401
-19559
-8927
-5494
-6840
-2992
-1464
-1484
-2691
-2638
-454
-1633
-1002
-1542
-2106
-1217
23352
13561
11817
4240
4377
4018
3523
1737
693
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
40435
28316
23300
14420
14052
13804
13423
6592
6281
6989
3797
2375
2355
3390
3808
2105
2580
1795
1303
1483
865
7197
5395
5799
3850
4492
5031
5847
3366
1746
2826
1899
1471
1002
1202
1020
471
1455
1096
861
1061
670
70984
47272
40917
22510
22921
22852
22793
11695
8720
9815
5696
3846
3357
4592
4828
2576
4035
2891
2164
2544
1536
3010
2800
2176
1985
2335
3451
3234
2768
3226
2974
2704
2382
1873
1901
2190
2122
2402
1889
622
438
318
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
425
451
466
463
464
486
507
493
558
826
806
773
821
913
903
1082
1104
1111
1102
1111
1132
FISCGP SUBBBM KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG BOTBBM IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSRLG KRISIS KRISIP TRENDD HJECKB
1986
TAHUN
Lampiran 14. Lanjutan
376
146 178 139 164 192 173 177 154 155 212 222 260 154 201 295 246 236 261 303 391 453
23
28
22
25
31
25
24
20
18
19
23
20
13
19
28
24
24
27
35
36
52
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2871
2902
2250
1671
1565
1922
2050
1284
1656
1061
878
884
886
1044
1160
1341
1594
1219
1027
1194
923
36404
33193
28964
23313
18061
15492
13564
13053
12529
11993
10091
8785
7788
7355
6941
6524
6083
5722
5420
5554
5119
8241
7484
6748
5133
3862
3261
3039
2905
2779
2662
2415
2109
1877
1700
1591
1495
1313
1182
1073
1170
1064
44645
40677
35712
28446
21923
18753
16603
15958
15308
14655
12506
10894
9665
9055
8532
8019
7396
6905
6493
6724
6183
7643
6988
6274
4328
2747
2448
2373
2267
2215
2144
2024
1858
1709
1729
1666
1593
1410
1387
1278
1257
1129
222
219
216
214
212
211
210
207
204
201
197
194
191
188
184
183
180
179
176
172
168
24846
21657
21459
21207
21114
21052
20850
20596
20374
17042
15321
14981
14201
11896
10259
9118
9119
9033
8391
7105
6074
213195 2379412
189158 2366159
181140 2352750
176088 2144959
141953 2155254
131010 2116450
87764 2047901
135101 2018870
123207 1816695
111313 2002916
104512 2020260
99602 2003467
93816 1940237
90949 1888298
84331 1743962
81940 1787997
81389 1645935
79439 1647589
77144 1683464
76086 1558225
68640 1441619
7231000
8208000
8400000
8128000
6960000
7399000
8026000
8310000
7947000
7304000
7254379
7210420
7171768
7138100
9843000
9990000
9572000
0
0
9799202
9623000
0 10908000
0
0
0
9331 10128000
5476
5383
2419
1331
-18
-628
-505
930
924
2214
972
-395
703
-2039
117.07
113.41
109.71
106.86
104.46
102.82
100.00
96.74
94.67
93.23
91.10
88.50
86.08
83.90
81.48
79.08
75.88
71.98
68.69
65.98
63.70
11617
32806
2018
-1275
-15445
-54012
-38212
-22376
-4467
26943
30568
21986
11214
11169
10571
9106
6934
4486
3840
2704
1545
603767
585330
584820
558030
538801
519580
500196
480976
497592
799541
767262
668999
587165
526606
422044
400099
363402
351674
340296
329256
318545
3957642
3823115
3581134
3356852
3309769
3201416
3066697
2921095
3154831
4768399
4064832
3533933
3141273
3180600
2587659
2428439
2216027
2132441
2051621
1973491
1897980
HDUSMB HDUSLG HJECPX KRODA2 KRODA4 KRODA6 KNIAGA POPNAS LISTRK MTIKAN RTIKAN SUBBBL PNWJBL CPINDS FDINVR KOSJPRL KOSJSLL
1986
TAHUN
Lampiran 14. Lanjutan
377
24754 27824 24482 24384 29844 31090 34027 33002 32395 33014 40215 36398 29775 28075 29394 25126 25700 27205 25711 22269 24146
281282
287390
293631
300008
306522
336361
346768
366469
391577
416953
478744
461301
416830
479789
497676
491283
445464
435434
438153
421651
430639
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
446308
442285
392117
329030
293132
275864
269000
233628
610779
748736
615937
527833
465027
401494
360220
355466
334165
236357
174000
140363
123264
81122
71445
55695
47331
38415
35623 781000
9724000 7255000 2745882
9440934 7175993 2573000
9166109 7097846 1183000
8899283 7020551
8640225 6944097 1101000
9892000 14212000 8513000 3227664
9171000 13209000 7918000 2940761
8568000 11682000 8358000 2894221
7535000 11663000 7548000 2872072
7178000 11124000 7791000 2785009
6888000 10466000 7528000 2756504
6187000
5926651
5677258
5438359
5209512
1254
3380
226
-149
-1658
-5271
-4551
-2849
84410 12121949 15486523 8635108 1843676
84949 11630000 15047000 8542000 1890717
82783 11969000 15685000 9034000 2016001
70860 11559000 15035000 9310000 1962629
66522 11653000 14944000 8952000 2099756
65888 12180000 15253000 9221000 2187677
65276 11742000 15249000 9206000 2087669
59868 11806000 14751000 9416000 2263518
-446 177264 10661000 14553000 8474000 2343944
9261 199463 10714000 13759000 7629000 2786652
13024 148123
9778 133356
5190 116050
5352 114120
5208 103224
4669
3763
2534
2278
1645
1205
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
783625
753981
710120
702234
594968
611884
579491
602979
549436
562277
563000
544879
540848
532008
490972
503798
494424
492843
493972
467794
456907
111446
21030
86756
75704
73838
103619
89422
64201
70638
47512
63692
53636
60182
54066
53697
55217
68319
49474
43879
51374
34946
3139
3154
2338
2661
1677
1758
1060
623
752
832
883
945
1034
1122
1172
1260
1137
929
989
1068
1167
8181
8067
6142
4802
3415
4404
1700
623
752
832
883
945
1034
1122
1172
1260
1137
929
989
1068
1167
1996
2360
1133
1172
1195
1139
400
363
439
475
505
540
591
641
645
693
758
743
791
855
934
KOSJKRL DEVISS BANKTL FDINVS INVETL PROJPR PROJSL PROJKR PROJLG EKSJPR EKSJSL EKSJKR KPIKAN REVNTX HJECAT HJECAG HJECBR
1986
TAHUN
Lampiran 14. Lanjutan
378
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 679000 654000 629468
934
855
791
743
810
898
835
962
886
810
757
713
627
519
550
825
1211
1240
1169
1411
3057
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
794000
931000
897000
756000
894000
383000
348296
316737
288038
261939
581000
0 1627725
0 1491000
0 1896000
0 1512000
0 1232000
0 1166000
0 2326000
0
0 1634000
0 3072000
0 2467000
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
845000
805657
768145
732381
698281
947000
909000
997000
0 1778581
0 1699000
0 1783000
0 1701000
0 1482000
0 1371000
0 1342000
0
0 1144000
0 1222000
0 1441000
0 1118000
0
0
0 1008000
0 1046000
0
0
0
0
0
731280
674942
622945
574953
530659
925000 1744309 778000 2093372
4660 4422620 1336148 2503382
5000 4413000 1361000 2322635
5000 4923000 1622000 2437923
5000 5386000 1239000 1929351
5000 5931000 1340000 1607126
8000 5579000 1448000 1384970
1000 5165000 1294000 1348664
11000 4310000 1332000 1119253
5000 4186000 1239000 1270919
9000 3319000
3000 3215000 1002000 2014725
14000 4109000
14000 4180000 1327000 1619993
6000 4251000 1963000 1481770
14000 4610000 1922000 1283600
6000 4289000 1712000 1124135
14000 4271000 1791000
14961 4261689 1823775
15988 4252399 1857150
17085 4243129 1891136
18258 4233878 1925744
2842 4762504
3068 4734052
851280
889548
3416 5754507 1093414
3556 6215566 1183478
1316 6260273 1380379
5788 6162485 1426877
4678 6076212 1472168
5704 5442096 1520591
5760 5233604 1272127
7719 5380904 1415796
8347 4281652 1380605
8155 4061430 1601222
7982 4047720 1776747
8270 5125969 1835276
9836 4943609 1804965
9270 4862914 1724819
9347 4325941 1701744
10041 4299942 1775344
10787 4274099 1852128
11588 4248412 1932233
12449 4222879 2015802
7858
7325
5699
5134
2695
2435
1430
697
956
1741
1779
1648
1675
1663
1505
1417
832
627
616
614
619
23
25
21
17
4
25
8
4
4
6
7
8
8
9
12
12
11
9
11
12
15
9506
11172
6522
7285
7483
7019
2430
1977
2295
2557
2161
2193
2392
3287
3187
3371
3279
3196
3380
3630
3943
2602
1255
1278
1467
1672
1177
810
789
797
1009
1045
1297
1575
1765
1508
1549
1378
1319
1465
1651
1882
HJECDS IMPJAT IMPJAG IMPJBR IMPJDS PROJAT PROJAG PROJBR PROJDS KOSJAT KOSJAG KOSJBR KOSJDS KOSCAT KOSCAG KOSCBR KOSCDS
1986
TAHUN
Lampiran 14. Lanjutan
379
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6459
5908
5472
5151
5500
6348
6211
6724
5650
5146
4993
5314
4052
3466
4678
10656
11854
13903
13520
19777
19989
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
967
979
362
223
-11
-121
-95
75
73
497
372
91
337
-230
0
0
0
0
0
0
0
818
818
250
120
-98
-206
-191
-42
-51
345
250
-10
205
-317
0
0
0
0
0
0
1157
590
600
241
159
20
-43
-25
103
107
223
37
-143
-12
-371
0
0
0
0
0
0
1561
774
781
258
143
-50
-144
-127
179
187
520
315
87
288
-171
114.13
113.32
123.27
124.30
119.56
121.06
122.75
125.07
123.65
124.06
124.64
125.49
125.55
125.08
125.21
126.09
125.64
127.30
126.69
125.81
124.67
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
107.92
3785.95
105.89 22166.00
93.12 32994.00
90.07 116391.00
92.44
90.15
87.67
81.95
80.05
77.35
72.17
68.26
65.13
62.52
59.28
56.85
54.19
51.84
48.90
46.20
43.68
530.86
443.02
332.52
278.42
246.41
252.97
294.86
194.57
145.97
242.06
202.04
187.50
133.57
129.00
143.99
136.54
145.35
117.73
95.25
117.60
93.30
60.60
40.40
38.27
28.83
25.02
24.44
28.50
17.97
12.72
19.09
20.67
17.02
15.82
16.97
19.32
20.00
23.73
18.23
14.92
18.44
14.43
4495.97 1644.95 6096.48 2534.28
2314.46 5207.63
1975.68 4669.19
225.85
-148.74
425.15 37295.51 1253.64
450.55 25771.29 3380.30
466.29 59823.37
463.38 27827.61
463.58 28128.98 -1658.15
485.60 57316.07 -5270.76
507.32 79179.80 -4551.00
493.28 36106.05 -2848.57
-446.09
7166.06 9260.84
572.41 13024.37 558.09 32947.84
826.29
806.02
772.92 -7985.80 9777.72
820.83 -11241.30 5189.95
912.62 -10178.26 5351.61
902.93
1082.38
1104.15 12403.59 3762.79
1110.61
1102.37 -1091.78 2277.76
1110.92
1132.26 -8833.14 1204.54
KOSCBL EKSJAT EKSJAG EKSJBR EKSJDS SUBHAT SUBHAG SUBHBR SUBHDS POPDES POPKOT IMPJLG HDUSLGNR HDUSMBNR HJECKB SUBBBM FDINVS
1986
TAHUN
Lampiran 14. Lanjutan
380
49.50 42.50 38.70 37.90 38.40 37.30 36.10 35.10 39.30
10013.67
7855.15
8396.34
10247.43
9314.41
8574.89
8932.99
9705.15
9266.40
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1994
38.98
35.88
2160.80
1993
2909.38
39.59
2087.11
1992
1997
40.23
2029.91
1991
1996
40.87
1950.29
32.16
41.50
1842.80
1990
28.45
42.99
1770.10
1989
2248.60
44.48
1685.70
1988
2347.00
45.97
1643.84
1987
1995
48.72
1282.56
2.05
0.39
-0.88
-1.07
0.28
0.91
3.28
3.34
4.02
3.52
2.65
3.30
2.48
0.44
0.86
1.86
2.93
4.48
4.03
3.73
4.90 9031.95 1471.05 19048.56
7220.68 1461.23 15240.33
6032.03 1713.43 14463.79
75556.46 12474.45 1330.31 23871.28
59142.68
46643.88
42042.11
3559.94 165801.04 24679.86
2054.09 162185.03 23767.10
1967.16 148240.88 24287.86
2075.99 137415.84 23324.78
851.61 50987.24
575.95 52103.58
482.56 48048.85
828.26 46411.78
2233.10 109278.20 20660.55 1345.13 45177.74
2340.89 104382.48 17170.76 1446.12 33030.88
2119.16 105103.20 15574.93 1285.28 30736.36
2196.13
1755.77
1644.95
1839.49
94384.37
74234.96
69999.77
68878.87
69071.55
60634.73
54996.35
43161.60
41269.25
45738.86
31748.14
3.23 25516.82
3.37 23521.64
2.67 22934.21
2.30 18262.07
1.60 17914.76
2.82 18710.88
3.37 19503.00
2.19 24674.15
1.55 49255.68
87438.25 12053.26 1379.15 23848.12 220531.76
92504.94
97094.43
9554.51 2943.28 25964.62 229676.35
9469.50 1585.26 23350.69 233279.06
9623.21 2886.32 25253.30 239381.47
7879.07 103439.44 10885.89 3057.28 23112.16 223749.99
5048.96 108814.68 10044.70 2331.13 25205.06 216119.51
5475.71 101724.17
3802.38
4889.42
6672.53 104504.85 10865.28 5598.11 25395.96 257476.99
6680.00 106782.00 10810.00 2884.00 26210.00 246802.02
3836.49
7404.39 215112.02 21615.46 2542.48 62404.14 298161.53
2.34 51486.05 10526.11 221133.40 28966.60 2615.69 69488.94 105895.14
2.94 37071.30
2.81 34928.46
2.59 34123.64
2.97 32213.85
3.04 30129.24
4.22 26669.82
5.42 24726.92
4.79 19631.38
4.10 14275.55
3.58 11348.00
9790.37
90427.71 57203.37
82786.30 48706.90
74086.73 41743.22
88333.24
-4905.06 143871.66
-6137.30 127488.43
-9694.51 119913.40
64041.27 42443.62 -19137.21
98481.96 78850.04
-7287.59 211208.32
5.27 90600.80 208345.71 62822.77
3.76 67194.88 190980.74 39184.14
1.79 60394.99 167186.14 43529.39
1.23 46207.02 140452.74 52025.91
1.88 48140.90 149731.66 29942.16
3.73 72681.21 196340.87 37295.30
6.65 66661.00 162578.00 25815.00
5.53 47149.35 162669.67 46891.99
5.56 62291.36 185099.74 85044.61
5.86 70009.70 177435.00 75953.90
6144.04 526595.66
178.28 530341.56
841.36 450804.28
826.19 391377.01
1480.06 424757.53
6188.23 514157.78
7991.00 518380.12
6001.20 393929.70
5133.83 609705.36
-9902.38 304903.97
5.59 42342.87 131549.51 75597.70 -16403.47 243138.66
6.10 36120.86 113469.67 64752.07 -15208.78 227384.82
5.07 33328.41 108498.90 75564.42
-6139.79 203436.62
-9149.25 199872.94
91534.34 72700.06 -13837.43 176946.19 3.41 33405.47 107646.68 75472.91
3.90 44928.64
6.08 47479.52
8.35 61128.15 100344.58 62888.94 -11164.33 160632.98
9.27 49723.16
8.13 37709.59
7.30 43080.54
6.85 31219.94
NTUKAR JOVERT INTRIW INFLSS BANKTN BANKTB BANKID INVETN INVETB INVEID DEVISA INTRSW REVMGS EXPRUT EXPDEV CURACC EKSNMG
1986
TAHUN
Lampiran 14. Lanjutan
381