DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KESEJAHTERAAN PRODUSEN DAN KONSUMEN MINYAK SAWIT DI INDONESIA
NOVINDRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:
DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KESEJAHTERAAN PRODUSEN DAN KONSUMEN MINYAK SAWIT DI INDONESIA Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Juli 2011
Novindra NRP A151050081
ABSTRACT NOVINDRA. Impacts of Domestic Policies and External Factors on the Crude Palm Oil Producers’s and Consumer’s Welfare in Indonesia (BONAR M. SINAGA as Chairman and D.S. PRIYARSONO as Member of the Advisory Committee). Besides its promising prospect in the world market, crude palm oil (CPO) in Indonesia plays an important role to fulfill the need of domestic downstream industries (such as palm cooking oil, oleo chemical, margarine, soap, and biodiesel) for their input procurements. Broad changes in the structure of regional and global economy will affect production, consumption, and trade of CPO and palm cooking oil in Indonesian. The objectives of this study are to analyze the affecting factors of supply and demand for CPO in domestic and world markets and to evaluate (2003-2007) and to forecast (2012-2016) the impact of domestic policies and external factors on the performance of CPO industry in Indonesia. This study was conducted by formulating an econometric model of CPO industry. The model specification was dynamic simultaneous equations and consist of 27 behavioral equations and 12 identities. Model identification was performed by using the order condition criteria, while model was estimated by using 2SLS method. The result show that domestic price of CPO is more responsive to changes in domestic demand quantity of CPO than export demand of CPO. Moreover, the developing of domestic downstream industries of CPO will increase the quantity of demand for CPO, hence it can increase the prices that is received by CPO producers. Domestic policy in the form of restrictions on exports of CPO with determination of the export tax rate of 20 percents can improve the net welfare that is more than the policy of domestic quota (increased domestic supply of CPO) and the policy of export quota. Increasing domestic supply of CPO gives a negative impact on net welfare. This is because the increasing in domestic supply of CPO has not been supported by the development of downstream industry of CPO (besides palm cooking oil industry), thus increasing the domestic supply of CPO will decrease the domestic price of CPO and domestic price of palm cooking oil. In the long run, after the downstream industries of CPO developed rapidly, the government should focus on policy of domestic market obligation (DMO) for CPO companies, hence they will commit to supply CPO domestic. Finally, the DMO policy will fulfill the needs of downstream industry. Key words: Crude palm oil (CPO), domestic policies, change of external factors, Producer’s and Consumer’s Welfare
RINGKASAN NOVINDRA. Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua dan D.S. PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar pertama di dunia (sejak tahun 2006), yang sebelumnya dipimpin oleh Malaysia, sedangkan dalam ekspor Indonesia berada pada posisi kedua terbesar setelah Malaysia. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), permintaan domestik terhadap komoditas minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2010 diperkirakan kebutuhan minyak sawit mencapai lebih dari 4 juta ton per tahun. Sementara itu, di pasar dunia, dalam dua dekade terakhir kebutuhan terhadap minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari. Tingginya permintaan minyak sawit baik lokal maupun dunia sebagai input industri minyak goreng, biodiesel dan potensi kelapa sawit lainnya yang besar dalam perekonomian mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam 32 tahun terakhir luas perkebunan kelapa sawit meningkat pesat lebih dari 36 kali lipat dari 189 ribu hektar pada tahun 1975 menjadi 6 767 ribu hektar pada tahun 2007, dan produksi minyak sawit meningkat lebih dari 44 kali lipat dari 397 ribu ton pada tahun 1975 menjadi 17 665 ribu ton pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). Harga minyak sawit domestik sangat ditentukan oleh harga minyak sawit dunia (di Kualalumpur dan Rotterdam). Harga minyak sawit dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha domestik untuk mengekspor minyak sawit dan menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pasokan minyak sawit bagi industri minyak goreng sehingga stabilitas harga minyak goreng juga akan terganggu. Dari sisi volume, produksi minyak sawit Indonesia jauh melampaui kebutuhan dalam negeri, namun jumlah ekspor yang berlebihan (karena harga minyak sawit dunia yang naik) dapat menyebabkan permintaan minyak sawit domestik tidak tercukupi. Oleh karena itu pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk mengatasi jumlah ekspor minyak sawit yang tinggi. Peningkatan tarif ekspor minyak sawit dilakukan pemerintah dalam upaya menekan arus ekspor minyak sawit, yang dapat menghambat pengembangan industri hilir minyak sawit, salah satunya industri minyak goreng sawit. Selain pajak ekspor pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu domestic market obligation (DMO). Selain isu tentang tarif ekspor dan DMO, isu maraknya industri biodiesel diduga berpengaruh terhadap industri minyak sawit. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari minyak nabati yang berfungsi sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis solar. Penggunaan biodiesel yang lebih ramah lingkungan mendorong konsumen
untuk beralih pada bahan bakar alternatif tersebut. Harga BBM dunia yang semakin meningkat diduga dapat pula mempengaruhi industri minyak sawit karena konsumen akan lebih tertarik dengan bahan bakar substitusinya, biodiesel. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia, (2) mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2003-2007, dan (3) meramalkan dampak kebijakan domestik terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2012-2016. Model penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok yaitu blok perkebunan kelapa sawit, blok minyak sawit, dan blok minyak goreng sawit. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 39 persamaan atau 39 variabel endogen (G), dan 46 predetermined variable terdiri dari 28 variabel eksogen dan 18 lag endogenous variable, sehingga total variabel dalam model (K) adalah 85 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model (M) adalah maksimum 8 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2007. Sementara sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Perdagangan, publikasi Oils Annual World, dan publikasi lainnya. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer yaitu : SAS/ETS for Windows 9.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kebijakan domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak goreng sawit terlebih dulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan. Saran yang bisa dikemukakan berdasarkan penelitian ini adalah : (1) peningkatan produktivitas minyak sawit dalam jangka panjang sebaiknya dilaksanakan melalui peningkatan adopsi teknologi (intensifikasi), dengan
mendorong petani dan pengusaha kelapa sawit menggunakan bibit unggul dan memanfaatkan teknologi dalam pemeliharaan tanaman yang telah dihasilkan oleh lembaga riset kelapa sawit Indonesia; (2) sebagai upaya menumbuhkembangkan industri hilir minyak sawit selain industri minyak goreng sawit domestik (seperti industri sabun, mie, oleokimia, serta biodiesel) maka pemerintah sebaiknya memberikan insentif seperti suku bunga kredit yang murah; (3) dalam rangka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik sebaiknya pemerintah menggunakan dana yang berasal dari pajak ekspor minyak sawit. Dana tersebut digunakan untuk pengembangan lebih lanjut industri kelapa sawit seperti penelitian dan pengembangan pada industri kelapa sawit; kegiatan promosi atau pemasaran minyak sawit ke pasar dunia; dan disiapkan untuk kondisi darurat seperti saat terjadi gejolak harga minyak sawit atau wabah penyakit yang menyerang tanaman sawit; (4) sebagai upaya menanggulangi kenaikan harga minyak goreng sawit domestik yang besar akibat kenaikan harga minyak sawit atau harga minyak mentah dunia, pemerintah sebaiknya menetapkan pajak ekspor atau kuota ekspor sebagai respon jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, setelah industri hilir minyak sawit berkembang pesat, sebaiknya pemerintah berfokus kepada penetapan kebijakan DMO (domestic market obligation) bagi para pengusaha minyak sawit agar mereka memegang komitmen memasok minyak sawit untuk domestik dalam rangka memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik untuk industri hilir minyak sawit. Kata Kunci: minyak sawit, kebijakan domestik, perubahan faktor eksternal, kesejahteraan produsen dan konsumen
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KESEJAHTERAAN PRODUSEN DAN KONSUMEN MINYAK SAWIT DI INDONESIA
NOVINDRA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Pimpinan Ujian Tesis/Wakil PS.EPN : Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS. Staf Pengajar Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Judul Tesis
: Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia
Nama Mahasiswa
: Novindra
Nomor Pokok
: A151050081
Program Studi
: Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Dr. Ir. Dominicus Savio Priyarsono, MS Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Tanggal Ujian Tesis : 19 Februari 2011
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Lulus: 01 Agustus 2011
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia”. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia, mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2003-2007 dan mengkaji ramalan dampak kebijakan domestik terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2012-2016. Penulis
mengucapkan
terimakasih
yang
setinggi-tingginya
kepada
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. dan Dr. Ir. Dominicus Savio Priyarsono, MS. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Program Studi Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. selaku Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS. selaku Penguji yang Mewakili Program Studi Ekonomi
Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini. 3. Papa (almarhum) dan Mama yang selama ini telah memberikan kasih sayang, dan cinta yang tulus serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis, juga saudara-saudari tercinta (Aa Yayan, Ka Novi, Ka Iin, Ria, Fitri, dan Dinda) atas kasih sayang yang tulus dan dukungannya. 4. Ika Kartika yang senantiasa memberikan semangat, dukungan, dan cinta yang tulus kepada penulis untuk menyelesaikan tesis. 5. Mas Ambar atas dukungan dan data yang diberikan. 6. Teman-teman di Departemen ESL (Pa Aceng, Pa Ahyar, rekan-rekan dosen Departemen ESL, Mba Meri, Bu Odah, Mas Erwin, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu). 7. Seluruh staf kependidikan di Program Studi EPN (Mba Rubi, Mba Yani, Ibu Kokom dan Pak Husein) yang senantiasa sabar dan membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi. 8. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu namun telah banyak memberikan saran dan informasi selama penulisan tesis ini. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya industri minyak sawit di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin.
Bogor,
Juli 2011
Novindra
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak, pada tanggal 2 November 1981 dari Ibu Uray Junifah dan Bapak Zainal Abidin Thaher, SH. Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pontianak, Kotamadya Pontianak dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Pendidikan Sarjana tersebut diselesaikan pada tahun 2003. Selama kuliah penulis aktif menjadi asisten dosen untuk Mata Kuliah Ekonomi Umum, Ekonomi Dasar I dan II. Begitu pula setelah lulus, penulis tetap aktif menjadi asisten dosen untuk mata kuliah yang sama dan Mata Kuliah Ekonometrika, Mikroekonomi, dan Makroekonomi. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 dengan mendapat sponsor beasiswa BPPS. Sejak tahun 2007, penulis diangkat sebagai sebagai staf pengajar di Bagian Ekonomi Pertanian, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xxii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xxiii I.
II.
III.
PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian ..........................................................................
9
1.4. Kegunaan Penelitian .....................................................................
10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................
10
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
13
2.1. Profil Kelapa Sawit .......................................................................
13
2.2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit, Produksi, Produktivitas, dan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia ................
15
2.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia .....
18
2.4. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak Sawit Indonesia .........
19
2.5. Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga ................................................................
22
2.6. Profil Biodiesel .............................................................................
23
2.7. Kebijakan di Sektor Minyak Sawit ...............................................
25
2.8. Studi Penelitian Terdahulu ............................................................
28
2.9. Kebaruan Penelitian ......................................................................
35
KERANGKA TEORI .........................................................................
37
3.1. Fungsi Produksi ............................................................................
37
3.2. Permintaan Minyak Sawit Kasar oleh Industri Minyak Goreng Sawit .....................................................
39
3.3. Permintaan Minyak Goreng Sawit oleh Konsumen .....................
41
3.4. Respon Bedakala Produksi Komoditi Pertanian .........................
43
3.4.1. Model Nerlove .................................................................
44
3.4.2. Model Respon Penawaran Minyak Sawit ........................
46
xv
IV.
3.5. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen .....................................
48
3.6. Konsep dan Berbagai Distorsi dalam Perdagangan ......................
54
3.6.1. Dampak Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat ........................................................................
56
3.6.2. Dampak Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat ........................................................................
59
PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS .................
62
4.1. Spesifikasi Model ..........................................................................
62
4.1.1. Blok Perkebunan Kelapa Sawit .........................................
63
4.1.1.1. Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan ............
63
4.1.2. Blok Minyak Sawit ............................................................
64
4.1.2.1. Produktivitas Minyak Sawit ...............................
65
4.1.2.2. Produksi Minyak Sawit Indonesia ......................
66
4.1.2.3. Ekspor Minyak Sawit Indonesia.........................
66
4.1.2.4. Permintaan Minyak Sawit Domestik .................
67
4.1.2.5. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ...............................................................
67
4.1.2.6. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain.....
68
4.1.2.7. Penawaran Minyak Sawit Domestik ..................
69
4.1.2.8. Harga Minyak Sawit Domestik .........................
69
4.1.2.9. Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia .............
70
4.1.2.10. Ekspor Minyak Sawit Malaysia ........................
70
4.1.2.11. Ekspor Minyak Sawit Dunia .............................
71
4.1.2.12. Impor Minyak Sawit Cina .................................
71
4.1.2.13. Impor Minyak Sawit India ................................
72
4.1.2.14. Impor Minyak Sawit Pakistan ...........................
73
4.1.2.15. Impor Minyak Sawit Dunia ...............................
73
4.1.2.16. Harga Minyak Sawit Dunia ...............................
74
4.1.3. Blok Minyak Goreng Sawit ...............................................
74
4.1.3.1. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ........
74
4.1.3.2. Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ...........
75
4.1.3.3. Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik ....
76
4.1.3.4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik .....
76
xvi
V.
4.1.3.5. Harga Minyak Goreng Sawit Domestik ............
77
4.1.3.6. Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ...........................................................
77
4.2. Prosedur Analisis ..........................................................................
78
4.2.1. Identifikasi Model ............................................................
78
4.2.2. Metode Pendugaan Model ................................................
79
4.2.2.1. Uji Statistik-F .....................................................
80
4.2.2.2. Uji Statistik-t .....................................................
81
4.2.2.3. Uji Statistik Durbin-h ........................................
81
4.2.3. Validasi Model .................................................................
82
4.2.4. Simulasi Model..................................................................
83
4.2.4.1. Simulasi Historis ...............................................
85
4.2.4.2. Simulasi Peramalan ...........................................
87
4.2.5. Perubahan Kesejahteraan .................................................
88
4.2.6. Jenis, Sumber, dan Pengolahan Data.................................
89
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN MINYAK SAWIT DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA .................................................................
90
5.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model ....................................
90
5.2. Keragaan Blok Perkebunan Kelapa Sawit ....................................
91
5.2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan ...........................
91
5.3. Keragaan Blok Minyak Sawit .......................................................
102
5.3.1. Produktivitas Minyak Sawit ............................................
102
5.3.2. Produksi Minyak Sawit Indonesia ...................................
112
5.3.3. Ekspor Minyak Sawit Indonesia .......................................
112
5.3.4. Permintaan Minyak Sawit Domestik ................................
114
5.3.5. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng .................................................................
114
5.3.6. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri lain.....................
116
5.3.7. Penawaran Minyak Sawit Domestik ................................
118
5.3.8. Harga Minyak Sawit Domestik ........................................
119
5.3.9. Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia ...........................
121
5.3.10. Ekspor Minyak Sawit Malaysia .......................................
124
xvii
5.3.11. Ekspor Minyak Sawit Dunia ............................................ 126 5.3.12. Impor Minyak Sawit Cina ................................................ 126 5.3.13. Impor Minyak Sawit India ................................................ 129 5.3.14. Impor Minyak Sawit Pakistan .......................................... 131 5.3.15. Impor Minyak Sawit Dunia .............................................. 133 5.3.16. Harga Minyak Sawit Dunia .............................................. 133 5.4. Keragaan Blok Minyak Goreng Sawit ........................................... 134 5.4.1. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ....................... 135 5.4.2. Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ........................... 137 5.4.3. Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik ................... 139 5.4.4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik .................... 139 5.4.5. Harga Minyak Goreng Sawit Domestik ............................ 140 5.4.6. Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ................ 142 5.5. Ringkasan Hasil ............................................................................. 143 VI.
EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TAHUN 2003-2007 .............................................................................. 147 6.1. Evaluasi Daya Prediksi Model....................................................... 147 6.2. Dampak Kebijakan Domestik terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia ......................................... 147 6.2.1. Peningkatan Pajak Ekspor Minyak Sawit .......................... 148 6.2.2. Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia ............................ 150 6.2.3. Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik ............. 153 6.3. Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia......................................... 155 6.3.1. Peningkatan Harga Minyak Sawit Dunia........................... 156 6.3.2. Peningkatan Harga Minyak Mentah Dunia ....................... 158 6.4. Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2003-2007 ................................. 161 6.5. Ringkasan Hasil ............................................................................. 165
VII. RAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK TAHUN 2012-2016 .............................................................................. 167 7.1. Ramalan Dampak Kebijakan Domestik terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia .................................. 167
xviii
7.1.1. Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Sebesar 20 Persen ...........................................................................
167
7.1.2. Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik.............
169
7.1.3. Pelarangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia .....................
172
7.1.4. Penetapan Kuota Ekspor Minyak Sawit Sebesar 40 Persen dari Total Produksi Minyak Sawit Indonesia ........
175
7.2. Ramalan Dampak Kebijakan Domestik Terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2012-2016 ........
178
7.3. Ringkasan Hasil.............................................................................
183
VIII. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................
185
8.1. Simpulan .......................................................................................
185
8.2. Saran Kebijakan ...........................................................................
188
8.3. Saran Penelitian Lanjutan .............................................................
189
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
191
LAMPIRAN .........................................................................................
196
xix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Neraca Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2004-2007 .........
7
2. Perkembangan Produktivitas Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2001-2006 .......................................................................................
17
3. Perkembangan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia, Tahun 1984-2005 ......................................................................................
18
4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia, Tahun 2001-2007 ......................................................................................
18
5. Perkembangan Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia, Tahun 1990-2007 .................
22
6. Dampak Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir ...............................................................................
58
7. Dampak Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir ...............................................................................
61
8. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Rakyat di Sumatera ................................................................
93
9. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Rakyat di Kalimantan .............................................................
95
10. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Negara di Sumatera ......................................................
96
11. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Negara di Kalimantan ..................................................
98
12. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Swasta di Sumatera ......................................................
100
13. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan...................................................
101
14. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Rakyat di Sumatera .................................................................................... 104 15. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Rakyat di Kalimantan................................................................................. 105 16. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Negara di Sumatera .......................................................................... 106 17. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Negara di Kalimantan ...................................................................... 108 18. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Swasta di Sumatera .......................................................................... 109
xx
19. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan ....................................................................... 111 20. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Sawit Indonesia ...................... 113 21. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Sawit................................................................................. 115 22. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain ............................................................................................... 117 23. Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Sawit Domestik ........................ 120 24. Hasil Estimasi Persamaan Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia ........... 122 25. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Sawit Malaysia ....................... 125 26. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit Cina ................................ 128 27. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit India ............................... 130 28. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit Pakistan ......................... 132 29. Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Sawit Dunia ............................. 134 30. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia..................................................................................................... 136 31. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia .................................................................................................... 138 32. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit Dometik ...................................................................................................... 140 33. Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit Dometik ...................................................................................................... 142 34. Hasil Estimasi Persamaan Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia .................................................................................................... 142 35. Dampak Peningkatan Pajak Ekspor Minyak Sawit sebesar 50 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 ....................................................................................... 149 36. Dampak Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 ....................................................................................... 152 37. Dampak Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik sebesar 25 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 .................................................................. 154 38. Dampak Peningkatan Harga Minyak Sawit Dunia sebesar 25 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 ....................................................................................... 157 39. Dampak Peningkatan Harga Minyak Mentah Dunia sebesar 10 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 ....................................................................................... 159
xxi
40. Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2003-2007 .......................................................................................
161
41. Ramalan Dampak Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Sebesar 20 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2012-2016 .....................................................................
168
42. Ramalan Dampak Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik sebesar 50 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2012-2016 .....................................................................
170
43. Ramalan Dampak Pelarangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2012-2016 .......................................................................................
173
44. Ramalan Dampak Penetapan Kuota Ekspor Minyak Sawit Sebesar 40 Persen dari Total Produksi Minyak Sawit Indonesia terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2012-2016 ......................................................................................
176
45. Ramalan Dampak Kebijakan Domestik terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2012-2016 ................................
180
xxii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Fluktuasi Harga Minyak Sawit Domestik, Minyak Sawit Dunia, dan Minyak Goreng Domestik, Tahun 2001-2006 .........................................
5
2. Fluktuasi Harga Tandan Buah Segar Domestik, Tahun 2001-2007 .........
6
3. Perkembangan Luas Areal Kelapa sawit, Tahun 1967-2007 ....................
15
4. Perkembangan Produksi Minyak Sawit, Tahun 1967-2007 .....................
16
5. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 ..........
20
6. Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 ............
21
7. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen pada Kondisi Keseimbangan Pasar .................................................................................
52
8. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara ................................
55
9. Dampak Pajak Ekspor ...............................................................................
56
10. Dampak Kuota Ekspor ..............................................................................
60
11. Horison Waktu Simulasi ...........................................................................
84
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
Halaman
Data Dasar Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia ...................................................................................................
197
Rekapitulasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia............................................................................
202
Program Estimasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia............................................................................
205
Hasil Estimasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia............................................................................
207
Program Validasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia............................................................................
234
Hasil Validasi Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2003-2007.....................................................................
237
7.
Program Simulasi Historis ........................................................................
241
8.
Hasil Simulasi Historis (Peningkatan Pajak Ekspor Minyak Sawit Indonesia Sebesar 50 Persen) ....................................................................
244
Program Simulasi Historis Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 25 Persen .....................................................................
246
10. Hasil Simulasi Historis Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 25 Persen .....................................................................
249
11. Program Simulasi Peramalan Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Indonesia Sebesar 20 Persen .....................................................................
251
12. Hasil Simulasi Peramalan Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Indonesia Sebesar 20 Persen .....................................................................
254
13. Program Simulasi Peramalan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 50 Persen .....................................................................
256
14. Hasil Simulasi Peramalan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 50 Persen .....................................................................
259
15. Program Simulasi Peramalan Pelarangan Ekspor Minyak Sawit .............
261
16. Hasil Simulasi Peramalan Pelarangan Ekspor Minyak Sawit ...................
264
17. Program Simulasi Peramalan Penetapan Kuota Ekspor Sebesar 40% dari Total Produksi Minyak Sawit ............................................................
266
18. Hasil Simulasi Peramalan Penetapan Kuota Ekspor Sebesar 40% dari Total Produksi Minyak Sawit ...................................................................
269
2. 3. 4. 5. 6.
9.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya terhadap perolehan devisa. Sebagai salah satu penggerak utama perekonomian, pembangunan sektor pertanian setidaknya telah mampu memecahkan masalahmasalah sosial ekonomi yang mendasar, khususnya dalam memperluas lapangan kerja, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, pemerataan pendapatan dan mempercepat pengentasan kemiskinan (Jiaravanon, 2007). Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani, sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, pemicu dari pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru, kelapa sawit juga berperan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya industri hilir berbasis minyak sawit di Indonesia (www.deptan.go.id). Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar pertama di dunia sejak tahun 2006 yang sebelumnya dipimpin oleh Malaysia, sedangkan dalam ekspor Indonesia berada pada posisi kedua terbesar setelah Malaysia. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), permintaan domestik terhadap
2
komoditas minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2010 diperkirakan kebutuhan minyak sawit mencapai lebih dari 4 juta ton per tahun. Sementara itu, di pasar dunia, dalam dua dekade terakhir kebutuhan terhadap minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari. Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek minyak sawit cukup cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa minyak sawit merupakan sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga minyak sawit relatif terhadap minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi minyak sawit (Simeh, 2004; Susila, 1998). Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas lahan untuk pengusahaan minyak sawit, minyak kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3 200, 332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak. Faktor yang lain adalah bahwa sekitar 80 persen dari penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak, terutama untuk minyak yang harganya murah (FAO, 2001). Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan efek pendapatan (Pasquali, 1993). Efek substitusi berpangkal dari daya saing minyak sawit yang tinggi sehingga penduduk di negara berkembang cenderung mensubstitusi minyak yang dikonsumsi dengan minyak yang lebih murah. Efek pendapatan cukup signifikan
3
karena pertumbuhan ekonomi yang pesat justru terjadi di negara-negara yang sedang berkembang yang tingkat konsumsi minyak dan lemak yang relatif masih rendah yaitu 10.3 kg per kapita (FAO, 2001). Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan bakunya adalah minyak sawit (Pasquali, 1993). Kecenderungan tersebut sudah tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Keberhasilan Putaran Uruguay juga akan memperkokoh daya saing minyak sawit. Hal ini disebabkan minyak pesaing seperti minyak kedele dan minyak bunga matahari selama ini mendapat proteksi yang cukup kuat dari negara-negara produsennya, khususnya Amerika Serikat dan negara kelompok Uni Eropa. Negara-negara tersebut menganggap pasar dunia sebagai pasar untuk ’membuang’ kelebihan produksi sehingga pasar minyak menjadi tertekan (Pasquali, 1995). Negara berkembang yang umumnya memproduksi minyak sawit diperkirakan akan lebih dapat memanfaatkan perdagangan minyak nabati yang semakin bebas (Barton, 1993). Dalam hal peningkatan produksi, 82 persen dari dampak Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara berkembang, sedangkan negara maju hanya sekitar 12 persen (Pasquali, 1995). Tingginya permintaan minyak sawit baik lokal maupun dunia sebagai input industri minyak goreng, oleokimia, biodiesel, dan potensi kelapa sawit lainnya yang
besar
dalam
perekonomian
merupakan
peluang
dan
mendorong
pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dalam 32 tahun terakhir
4
luas perkebunan kelapa sawit meningkat pesat lebih dari 36 kali lipat dari 189 ribu hektar pada tahun 1975 menjadi 6 767 ribu hektar pada tahun 2007, dan produksi minyak sawit meningkat lebih dari 44 kali lipat dari 397 ribu ton pada tahun 1975 menjadi 17 665 ribu ton pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). 1.2. Perumusan Masalah Industri minyak sawit membutuhkan input dari perkebunan kelapa sawit dalam bentuk Tandan Buah Segar (TBS). Perkebunan kelapa sawit dengan hasilnya yang berupa TBS merupakan hulu dari industri minyak sawit, sedangkan industri hilir utamanya adalah industri minyak goreng sawit. Sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia, minyak goreng asal kelapa sawit telah mendominasi pangsa konsumsi minyak goreng yang beberapa tahun lalu dipegang oleh kelapa (Rachman dan Subroto, 1999). Keterkaitan pasar atau integrasi pasar dalam industri perkelapasawitan penting untuk diketahui, mengingat peran industri tersebut sangat besar bagi perekonomian negara. Integrasi pasar di antara pasarpasar domestik (pasar TBS, minyak sawit, dan minyak goreng domestik), serta antara pasar-pasar tersebut dengan pasar minyak sawit dunia akan menunjukkan bagaimana terjadinya keterkaitan harga. Penyaluran informasi yang semakin cepat dan tepat akan mengakibatkan pasar-pasar tersebut semakin terintegrasi. Menurut Baffes dan Gardner (2003) pasar dapat dikatakan efisien apabila perubahan harga yang terjadi di pasar dunia langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan demikian, pola harga yang ditunjukkan harus sama. Di sisi lain Baffes dan Gardner (2003) menyatakan bahwa segala bentuk campur tangan pemerintah menimbulkan distorsi harga. Adanya kebijakan tersebut akan membuat harga di dalam negeri jauh lebih rendah atau lebih tinggi
5
daripada harga di pasar dunia. Dengan kata lain, adanya kebijakan pemerintah akan mempengaruhi integrasi antara pasar dalam negeri dan dunia. Adapun fluktuasi harga minyak sawit dunia, minyak sawit domestik, dan minyak goreng sawit domestik dapat dilihat pada Gambar 1.
Harga (Rp/Kg)
6000 5000 4000 3000 2000 1000
20 01 (1 ) 20 01 (7 ) 20 02 (1 ) 20 02 (7 ) 20 03 (1 ) 20 03 (7 ) 20 04 (1 ) 20 04 (7 ) 20 05 (1 ) 20 05 (7 ) 20 06 (1 ) 20 06 (7 )
0
Periode
HMSW
HMSD
HMGSD
Keterangan : HMSW = harga minyak sawit dunia, HMSD = harga minyak sawit domestik HMGSD = harga minyak goreng sawit domestik
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007; BPS, 2001-2006; dan Oil World, 2001-2006 Gambar 1. Fluktuasi Harga Minyak Sawit Domestik, Minyak Sawit Dunia, dan Minyak Goreng Sawit Domestik, Tahun 2001-2006 Integrasi harga yang terjadi antara harga minyak sawit dunia dan harga minyak sawit domestik menyebabkan harga minyak sawit domestik sangat ditentukan oleh harga minyak sawit dunia yaitu harga cost insurance and freight (CIF) di Kualalumpur dan Rotterdam. Harga minyak sawit dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha dalam negeri untuk mengekspor minyak sawit dan menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pasokan minyak sawit bagi industri minyak goreng sehingga stabilitas harga minyak goreng juga akan terganggu. Selain itu, menurut Menteri Perdagangan, kenaikan harga minyak
6
goreng di dalam negeri dapat secara langsung disebabkan oleh kenaikan harga minyak sawit di pasar dunia (www.antara.co.id). Artinya pasar minyak sawit dunia diduga mempengaruhi pasar minyak sawit dan minyak goreng domestik. Dapat dilihat pada Gambar 1 bahwa perubahan harga minyak sawit di pasar dunia langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar domestik, dengan pola harga yang cenderung sama. Begitupun halnya dengan pasar minyak goreng domestik yang merefleksikan perubahan harga minyak sawit di pasar dunia. Transmisi harga yang terjadi antara pasar minyak sawit dan minyak goreng domestik dengan pasar minyak sawit dunia disebabkan oleh adanya keterkaitan pasar minyak sawit
1100 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
20 0
1( 20 1) 01 20 (6) 01 (1 20 1) 02 ( 20 4) 02 ( 20 9) 03 ( 20 2) 03 20 (7) 03 (1 20 2) 04 20 (5) 04 (1 20 0) 05 ( 20 3) 05 ( 20 8) 06 ( 20 1) 06 20 (6) 06 (1 20 1) 07 ( 20 4) 07 (9 )
Harga (Rp/Kg)
dunia dengan pasar minyak sawit dan minyak goreng domestik.
Periode
HTBSD
Keterangan : HTBSD = harga tandan buah segar domestik
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 2. Fluktuasi Harga Tandan Buah Segar Domestik, Tahun 2001-2007 Selanjutnya Gambar 1 juga menunjukkan bahwa pada kurun waktu tertentu, yaitu pada tahun 2005 hingga akhir tahun 2006 harga minyak sawit domestik semakin dekat dengan harga minyak sawit dunia. Sebelum tahun 2005 harga minyak sawit domestik lebih rendah dari pada harga minyak sawit dunia. Marjin
7
harga yang tertinggi terjadi pada kurun waktu sebelum tahun 2004. Distorsi harga tersebut dapat disebabkan oleh campur tangan pemerintah yang berupa kebijakan tarif ekspor minyak sawit. Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat dari sisi hulu, harga TBS juga cenderung mengalami kenaikan mengikuti pergerakan harga minyak sawit dunia, dan minyak sawit domestik. Menurut Rachman dan Subroto (1999), produk akhir yang paling menentukan gejolak harga dalam industri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga minyak sawit, selanjutnya harga minyak sawit merupakan acuan utama bagi harga TBS. Harga TBS domestik menunjukkan kecenderungan peningkatan harga, seperti yang terjadi pada harga minyak sawit dan harga minyak goreng domestik. Dari sisi volume, produksi minyak sawit Indonesia jauh melampaui kebutuhan dalam negeri, namun jumlah ekspor yang berlebihan (karena harga minyak sawit dunia yang naik) dapat menyebabkan permintaan minyak sawit domestik tidak tercukupi (Tabel 1). Oleh karena itu pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk membatasi jumlah ekspor minyak sawit yang tinggi. Tabel 1. Perkembangan Neraca Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2004-2007 Neraca 2007 2006 2005 2004 Stok awal (000 ton) Produksi (000 ton) Impor (000 ton) Ekspor (000 ton) Pemakaian Domestik (000 ton) Stok Akhir (000 ton) Sumber : Oil World, 2008
940
1 110
970
920
16 700
16 050
14 100
12 380
25
31
22
13
12 400
12 540
10 436
8 996
4 115
3 711
3 546
3 347
1 150
940
1 110
970
8
Selama ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan bagi industri kelapa sawit yang dapat berdampak bagi industri hulu hingga ke hilir. Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan minyak sawit senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1986-1993, pemerintah menetapkan pembebasan pajak ekspor minyak sawit, hingga mulai tahun 1994 ditetapkan tarif ekspor progresif yang mencapai 40 persen s/d 60 persen bagi minyak sawit dan produk olahannya. Tarif ekspor pada tahun 1997 diturunkan menjadi 5 persen, hingga kemudian naik menjadi 15 persen s/d 40 persen. Pada bulan Desember tahun 2005, pemerintah menetapkan kebijakan tarif ekspor sebesar 1.5 persen, dari tarif ekspor sebelumnya yaitu sebesar 3 persen sejak tahun 2001. Pada tahun 2007, pemerintah menaikkan lagi pajak ekspor minyak sawit dan turunannya secara progresif yang mencapai 10 persen. Peningkatan tarif ekspor minyak sawit dilakukan pemerintah dalam upaya menekan arus ekspor minyak sawit, yang dapat menghambat pengembangan industri hilir minyak sawit, salah satunya industri minyak goreng sawit. Hal-hal yang menyangkut rencana kenaikan tarif ekspor akan selalu menjadi perdebatan berbagai pihak, terutama pihak–pihak yang terkait dalam agribisnis kelapa sawit Indonesia (petani, pedagang, dan eksportir, serta industri). Selain pajak ekspor pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu domestic market obligation (DMO). Domestic market obligation sesuai dengan UndangUndang No.18 tentang Perkebunan yang mengamanatkan keamanan supply dalam negeri. Isu maraknya industri biodiesel diduga berpengaruh terhadap industri
9
minyak sawit. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari minyak nabati yang berfungsi sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis solar. Penggunaan biodiesel yang lebih ramah lingkungan mendorong konsumen untuk beralih pada bahan bakar alternatif tersebut. Harga BBM dunia yang semakin meningkat diduga dapat pula mempengaruhi industri minyak sawit karena konsumen akan lebih tertarik dengan bahan bakar substitusinya, biodiesel. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini secara spesifik sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia. 2. Sejauhmana dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 20032007. 3. Bagaimana dampak kebijakan domestik terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2012-2016. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia.
penawaran
dan
10
2. Mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap
penawaran
dan
permintaan
minyak
sawit
Indonesia,
penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2003-2007. 3. Mengkaji ramalan dampak kebijakan domestik terhadap penawaran dan permintaan
minyak
sawit
Indonesia,
penerimaan
devisa,
dan
kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2012-2016. 1.4. Kegunaan Penelitian Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna antara lain adalah : 1. Sebagai
bahan
pertimbangan
kepada
pemerintah
khususnya
dalam
peningkatan produksi minyak sawit dan industri hilir minyak sawit serta perencanaan kebijakan untuk minyak sawit dan industri hilirnya yang memiliki nilai tambah yang besar. 2. Menambah pengetahuan penulis tentang dampak perubahan faktor eksternal dan kebijakan pemerintah terhadap keragaan komoditas minyak sawit di Indonesia. 3. Sebagai data tambahan untuk penelitian yang sejenis pada bidangnya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Lingkup kajian dalam penelitian ini dibatasi pada tiga sub industri, yaitu sub industri perkebunan kelapa sawit, sub industri minyak sawit, dan sub industri minyak goreng sawit. Berdasarkan proses produksi yang dilaluinya, ketiga sub
11
industri tersebut terintegrasi secara vertikal dalam arti bahwa produksi tandan buah segar merupakan bahan baku bagi industri minyak sawit dan produksi minyak sawit merupakan bahan baku bagi industri minyak goreng disamping industri lain yang berbahan baku minyak sawit. Disamping itu, minyak-minyak nabati lainnya, yaitu minyak kedele dan minyak kelapa menjadi komoditi yang dipertimbangkan sebagai barang substitusi bagi minyak sawit. Pada sub industri perkebunan kelapa sawit, analisis dilakukan terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan yang didisagregasi berdasarkan wilayah dan bentuk pengusahaan. Wilayah pengusahaan dibedakan menurut pulau yang dominan terdapat perkebunan kelapa sawit yaitu Sumatera dan Kalimantan. Adapun bentuk pengusahaan perkebunan dibedakan menurut status hukum pengusahaan yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta. Analisis terhadap sub industri minyak sawit meliputi analisis perilaku permintaan, penawaran, dan harga, baik di pasar domestik maupun di pasar dunia. Pada pasar domestik, terdapat persamaan produktivitas minyak sawit yang memiliki karakteristik sama dengan persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan yaitu didisagregasi berdasarkan wilayah dan bentuk pengusahaan. Kemudian penawaran minyak sawit merupakan penawaran total, sedangkan permintaan minyak sawit didisagregasi menjadi permintaan oleh industri minyak goreng sawit dan oleh industri lainnya. Pada pasar dunia, penawaran ekspor minyak sawit didisagregasi berdasarkan 2 negara produsen utama, yaitu Indonesia dan Malaysia. Pada sisi lain, importir minyak sawit didisagregasi menjadi 3 negara importir, yaitu Cina, India, dan Pakistan.
12
Pada sub industri minyak goreng sawit, analisis hanya dilakukan pada pasar domestik, yang meliputi perilaku produksi, ekspor, permintaan, penawaran, dan harga domestik. Adapun pasar minyak goreng sawit dunia, dalam kajian ini, hanya diwakili oleh harga minyak goreng sawit dunia sebagai peubah eksogen.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Profil Kelapa Sawit Kelapa sawit memainkan peranan penting bagi pembangunan sub sektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat. Di samping itu, kelapa sawit melalui produk hasil olahannya memberikan kontribusi yang besar bagi devisa negara melalui ekspor. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian (2006) diketahui bahwa pada tahun 2005, total devisa yang dihasilkan industri kelapa sawit ini mencapai US.$ 4.4 milyar atau 5 persen dari total ekspor Indonesia seluruhnya yang mencapai US.$ 85.7 milyar. Industri kelapa sawit dibagi menjadi dua, yaitu industri CPO (minyak sawit) dan industri KPO (minyak inti sawit). Dari total devisa yang diperoleh melalui industri kelapa sawit, industri minyak sawit menjadi penyumbang devisa terbesar yaitu sebesar 86.2 persen dari nilai total ekspor industri kelapa sawit. Sisanya, sebesar 13.8 persen disumbangkan oleh industri KPO. Terlihat jelas bahwa industri minyak sawit yang membutuhkan kelapa sawit dalam bentuk Tandan Buah Segar (TBS) lebih mendominasi industri perkelapasawitan Indonesia dibandingkan industri minyak inti sawit (KPO). Sejak tahun 1979 hingga tahun 2007 luas areal maupun produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami peningkatan. Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar pertama di dunia (sejak tahun 2006). Dalam perdagangan dunia, Indonesia merupakan eksportir kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Berdasarkan perkembangan data ekspor impor selama tahun 1969-2007 Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan kelapa
14
sawit. Walaupun Indonesia mulai melakukan impor minyak sawit sejak tahun 1981, namun hal ini tidak mempengaruhi neraca perdagangan yang terjadi. Neraca perdagangan kelapa sawit justru terus mengalami surplus dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2006) menyatakan bahwa minyak sawit (CPO) adalah komoditi yang sangat potensial sehingga layak disebut sebagai komoditi ekspor non migas andalan dari kelompok agroindustri. Hal ini dapat dilihat dari kondisi : (1) secara komparatif terdapat ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perluasan produksi, berbeda halnya dengan negara pesaing terberat Indonesia, Malaysia yang luas areal produksinya telah mencapai titik jenuh; (2) secara kompetitif pesaing Indonesia hanya sedikit; (3) kelapa sawit merupakan
tanaman
perkebunan
yang
memiliki
produktivitas
tertinggi
dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional adalah yang tertinggi dibandingkan ekspor hasil perkebunan lainnya. Selain itu (4) minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan baku industri seperti industri minyak goreng, biodiesel, shortening, kosmetika, farmasi, dan sebagainya. Berbagai manfaat minyak sawit inilah yang mendorong tingginya permintaan akan minyak sawit. Selain untuk memenuhi kebutuhan luar negeri melalui ekspor, produksi minyak sawit Indonesia juga diperuntukkan bagi industri hilir di dalam negeri. Industri hilir minyak sawit dalam negeri didominasi oleh industri minyak goreng sawit. Industri minyak goreng sawit saat ini telah menggeser kedudukan industri minyak goreng lainnya seperti minyak goreng kelapa. Minyak goreng merupakan bagian dari sembilan bahan pokok. Oleh karena itu, pasokan minyak sawit yang
15
merupakan bahan baku bagi industri minyak goreng sawit harus senantiasa terjaga. 2.2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit, Produksi, Produktivitas dan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Perkembangan luas areal kelapa sawit tahun 1967-2007 ditunjukkan pada Gambar 3. Luas areal kelapa sawit sejak tahun 1967 hingga tahun 2007 terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 11.17 persen per tahun. Luas areal tahun 2007 mencapai 63.95 kali lipat dari luas areal pada tahun 1967. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan baru mulai tahun 1979 terdapat pula Perkebunan Rakyat (PR). 8000000
Luas Areal (Ha)
7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000
19 67 19 70 19 73 19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06 20 07
0
Tahun
PR
PBN
PBS
TOTAL
Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 3. Perkembangan Luas Areal Kelapa sawit, Tahun 1967-2007 Sejalan dengan perkembangan luas areal kelapa sawit, perkembangan produksi minyak sawit juga terus mengalami peningkatan. Produksi minyak sawit
16
Indonesia pada tahun 1967 sebesar 168 ribu ton telah meningkat hingga 105 kali lipatnya pada tahun 2007, yaitu sebesar 17 665 ribu ton. Peningkatan luas areal kelapa sawit dan produksi minyak sawit adalah akibat dari pesatnya perkembangan industri hilir kelapa sawit baik dari dalam maupun luar negeri (permintaan akan minyak sawit meningkat). Perkembangan produksi minyak
20000000 16000000 12000000 8000000 4000000 0 19 67 19 70 19 73 19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06 20 07
Produksi (Ton)
sawit dapat dilihat pada Gambar 4.
Tahun
PR
PBN
PS
TOTAL
Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 4. Perkembangan Produksi Minyak Sawit, Tahun 1967-2007 Berdasarkan data rata-rata produksi minyak sawit (CPO) tahun 2001-2007 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009), terdapat 6 propinsi sentra kelapa sawit yang memberikan kontribusi produksi terbesar terhadap total produksi minyak sawit nasional. Keenam propinsi tersebut adalah Riau (25.68 persen), Sumatera Utara (23.43 persen), Sumatera Selatan (9.98 persen), Jambi (7.42 persen), Kalimantan Barat (6.28 persen), dan Sumatera Barat (5.48 persen). Tabel 2 menunjukkan perkembangan produktivitas minyak sawit dari tahun 2001 hingga 2006. Selama tahun 2001-2006, rata-rata produktivitas minyak sawit perkebunan besar swasta lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata produktivitas
17
perkebunan besar negara dan perkebunan rakyat. Hal ini terjadi karena perkebunan besar swasta memiliki beberapa keunggulan, yaitu modal yang besar, teknologi yang lebih modern, dan lain-lain. Secara keseluruhan, produktivitas minyak sawit mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas yang terjadi pada perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara. Komoditas minyak sawit yang sangat potensial mendorong perkebunan kelapa sawit mencari solusi yang efisien dan efektif dalam rangka peningkatan produktivitas. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas on farm (pengolahan lahan, pemupukan, dan lain-lain). Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Minyak Sawit Indonesia, Tahun 20012006 Produktivitas (Ton/Ha) Tahun PR PBN PBS Total 2001 2.64 3.07 2.91 2.84 2002 2.74 3.06 3.00 2.91 2003 2.75 3.25 4.29 3.05 2004 3.26 3.45 3.59 3.17 2005 3.58 3.57 3.51 3.29 2006 3.13 3.62 3.74 3.49 3.02 3.34 3.51 3.13 Rata-Rata Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) setiap tiga tahun sekali, konsumsi per kapita minyak sawit nasional terus mengalami peningkatan sejak tahun 1984 hingga tahun 2005, dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 11.26 persen. Konsumsi minyak sawit di Indonesia pada tahun 1984 tercatat sebesar 2.29 Kg/kapita terus meningkat menjadi 4.8 Kg/kapita pada tahun 2005. Tabel 3 menunjukkan perkembangan konsumsi minyak sawit Indonesia.
18
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia, Tahun 19842005 Tahun Konsumsi / Kapita (Kg/th) Pertumbuhan (%) 1984 2.29 1987 2.54 10.92 1990 2.71 6.69 1993 2.96 9.23 1996 3.17 7.09 1999 3.88 22.37 2002 4.38 12.89 2005 4.80 9.59 11.26 Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) Sumber : BPS, 2006 2.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia Data mengenai produksi dan konsumsi minyak sawit dunia ditunjukkan pada Tabel 4. Prospek industri kelapa sawit kini semakin cerah baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam negeri, kebijakan pemerintah dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) seperti biodiesel sebagai alternatif dari Bahan Bakar Minyak (BBM) memberi peluang kepada industri ini untuk lebih berkembang. Fenomena biodiesel sebagai pengganti BBM juga terjadi di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan kenaikan penggunaan atau konsumsi minyak sawit di pasar dunia. Tabel 4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia, Tahun 2001-2007 Produksi Konsumsi Tahun (juta Ton) (juta Ton) 2001 23.98 23.87 2002 25.39 25.60 2003 28.11 28.20 2004 30.91 29.90 2005 33.73 32.98 2006 37.14 36.14 2007 38.16 38.31 8.09 8.22 Rata-Rata Pertumbuhan (%) Sumber : Oil World, 2001-2007
19
Pertumbuhan penggunaan minyak sawit dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dunia dan semakin berkembangnya tren pemakaian bahan dasar oleochemical pada industri makanan dan industri farmasi (kosmetik). Fenomena ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya. Dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa produksi dan konsumsi minyak sawit dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi dan konsumsi minyak sawit dunia meningkat dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sebesar 8.09 persen dan 8.22 persen per tahun. Peluang Indonesia masih terbuka lebar untuk meningkatkan devisa melalui ekspor minyak sawit ke pasar dunia dengan tren peningkatan produksi dan konsumsi minyak sawit dunia. Hal ini dikarenakan, konsumsi pada tahun 20012007 telah menggambarkan tingginya konsumsi minyak sawit pada tahun-tahun yang akan datang. Saat ini banyak negara di dunia yang telah mendirikan pabrikpabrik biodiesel, dimana sebagian besar pabriknya telah beroperasi. Kondisi ini sangat menguntungkan, karena konsumsi minyak sawit di dunia akan terus mengalami peningkatan yang pesat di kemudian hari. 2.4. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak Sawit Indonesia Sebagian besar ekspor produk olahan kelapa sawit Indonesia adalah dalam bentuk minyak sawit (CPO). Negara-negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah India, Belanda, China, Malaysia, dan Pakistan. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut yang lebih besar dibandingkan ke negara lainnya. Pada tahun 2007, jumlah ekspor Indonesia ke India, Belanda, China, Malaysia, dan Pakistan masing-masing sebesar 2 743
20
ribu ton, 570 ribu ton, 237 ribu ton, 265 ribu ton, dan 226 ribu ton (Oil World, 2007). Kenaikan permintaan dari negara-negara tersebut akan mendorong peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia. Perkembangan volume ekspor minyak sawit sejak tahun 1969 hingga tahun 2007 mengalami sedikit fluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat. Gambar 5 menunjukkan volume ekspor minyak sawit sejak tahun 1969 hingga tahun 2007. Pada tahun 1969 nilai ekspor minyak sawit hanya sebesar US.$ 24 juta meningkat hingga 329 kali lipatnya menjadi US.$ 7.9 milyar pada tahun 2007. Volume ekspor minyak sawit pada tahun 1969 yaitu sebesar 179 ribu ton mengalami kenaikan hingga 66 kali lipatnya pada tahun 2007 dengan volume sebesar 11 875 ribu ton. Ekspor minyak sawit yang tinggi baik dari sisi volume maupun nilainya dalam US.$ salah satunya dipicu oleh maraknya penggunaan biodiesel di pasar dunia yang mendorong kenaikan permintaan minyak sawit dunia. Naiknya permintaan minyak sawit dunia tentunya akan meningkatkan
12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 19 69 19 72 19 75 19 78 19 81 19 84 19 87 19 90 19 93 19 96 19 99 20 02 20 05 20 06 20 07
Volume (Ton)
ekspor untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di luar negeri.
Tahun EKSPOR
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 5. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 Ekspor Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 1999 hingga tahun 2007 (Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah terhadap
21
komoditas minyak sawit. Pada masa krisis, minyak sawit hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri karena harga dalam negeri yang tidak stabil. Setelah masa krisis berlalu, pemerintah mengubah kebijakan menjadi kebijakan yang pro ekspor sehingga ekspor terus mengalami peningkatan hingga
500000 400000 300000 200000 100000 0 19 69 19 72 19 75 19 78 19 81 19 84 19 87 19 89 19 90 19 93 19 96 19 99 20 02 20 05 20 06 20 07
Volume (Ton)
saat ini.
Tahun IMPOR
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 6. Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 Volume impor minyak sawit Indonesia tahun 1969 hingga tahun 2007 disajikan dalam Gambar 6. Selain mengekspor minyak sawit, Indonesia juga melakukan impor yang dimulai sejak tahun 1981. Namun, berbeda dengan perkembangan volume ekspor minyak sawit Indonesia, volume impor minyak sawit sangat fluktuatif dengan kecenderungan semakin menurun. Volume impor pada tahun 1981 sebesar 33 ribu ton dengan nilai US.$ 17 juta, dimana mengalami penurunan menjadi 1 067 ton dengan nilai US.$ 1.02 juta pada tahun 2007. Impor minyak sawit dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri hilir kelapa sawit apabila terjadi kekurangan pasokan minyak sawit dari produsen minyak sawit dalam negeri. Impor minyak sawit yang terus mengalami peningkatan sejak tahun 1987 disebabkan oleh adanya perbedaan harga antara harga minyak sawit di pasar domestik dan pasar dunia. Pada periode tersebut,
22
harga minyak sawit dunia lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak sawit domestik sehingga industri hilir lebih memilih untuk mengimpor minyak sawit dari luar negeri. 2.5. Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga Selain diperuntukkan bagi kepentingan ekspor, produksi minyak sawit juga harus memenuhi permintaan industri minyak goreng sawit yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku. Permintaan minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga yang harus dipenuhi oleh industri minyak goreng sawit terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Akibatnya, industri minyak goreng sawit harus meminta pasokan minyak sawit yang semakin meningkat pula. Tabel 5 menunjukkan permintaan minyak goreng sawit pada tingkat rumah tangga dari tahun 1990 hingga tahun 2007. Tabel 5. Perkembangan Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia, Tahun 1990-2007 Permintaan Pertumbuhan Tahun (Ton) (%) 1990 486 373 1993 560 164 15.17 1996 628 731 12.24 1999 801 168 27.43 2002 932 252 16.36 2005 1 005 820 7.89 2007 1 035 010 2.90 13.67 Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) Sumber : BPS, 2007 Dari Tabel 5 juga dapat dijelaskan bahwa permintaan minyak goreng sawit terus mengalami kenaikan dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 13.67 persen. Permintaan minyak goreng sawit pada tahun 1990 hanya sebesar 486 ribu ton meningkat menjadi 1 035 ribu ton pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan
23
bahwa industri minyak sawit harus bertanggung jawab untuk menjaga pasokan bagi industri minyak goreng sawit karena permintaan minyak goreng sawit cenderung meningkat dari waktu ke waktu. 2.6. Profil Biodiesel Ide penggunaan minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar diesel didemonstrasikan pertama kalinya oleh Rudolph Diesel (± tahun 1900). Penelitian di bidang ini terus berkembang dengan memanfaatkan beragam lemak nabati dan hewani untuk mendapatkan bahan bakar hayati (biofuel) dan dapat diperbaharui. Perkembangan ini mencapai puncaknya di pertengahan tahun 80-an dengan ditemukannya alkil ester asam lemak yang memiliki karakteristik hampir sama dengan
minyak
diesel
fosil
yang
dikenal
dengan
nama
biodiesel
(www.library.usu.ac.id). Saat ini, industri biodiesel kembali dikembangkan dan semakin penting karena cadangan bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui semakin menipis. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbaharukan (renewable) atau biasa disebut sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN). Biodiesel adalah salah satu bagian dari bahan bakar hayati (biofuel) yang merupakan substitusi dari Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya jenis solar. Biodiesel dapat diproduksi dari minyak-minyak tumbuhan seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak pagar, dan lain-lain. Bahan bakar nabati ini dapat digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar, dan mempunyai sifat-sifat fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang ada, hampir tanpa modifikasi.
24
Keuntungan lain dari penggunaan bahan bakar ini adalah karena biodiesel dikenal ramah lingkungan. Asap buangan biodiesel tidak berwarna hitam, sepuluh kali tidak lebih beracun daripada minyak solar biasa, dapat terdegradasi dengan mudah, tidak mengandung sulfur dan senyawa aromatik sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan serta tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer. Lebih jauh lagi, penggunaan biodiesel akan mengurangi efek pemanasan global. Berbagai keunggulan yang ditawarkan biodiesel menarik perhatian dunia (Bode, 2000). Indonesia yang merupakan salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia berpeluang untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di pasar dalam negeri dan pasar dunia yang sangat tinggi. Indonesia berpotensi meningkatkan produksi dan mempopulerkan penggunaan biodiesel di dalam negeri. Lebih jauh lagi, apabila industri biodiesel dalam negeri sudah siap, maka ekspor biodiesel bukan tidak mungkin terjadi. Selain itu, penggunaan biodiesel di dalam negeri dapat mengurangi ketergantungan akan impor bahan bakar fosil yang harganya semakin tinggi. Peluang internasional terbuka lebar karena dunia mulai melirik biodiesel sebagai bahan bakar alternatif. Jumlah penduduk yang semakin bertambah dan berbagai keunggulan biodiesel yang telah dijelaskan sebelumnya mendorong negara-negara di berbagai belahan dunia memproduksi biodiesel dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar. Negara-negara yang memproduksi biodiesel dalam skala besar antara lain India, Pakistan, Cina, Jepang, dan negaranegara di Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, dan lain-lain. Tentunya, peningkatan jumlah pabrik biodiesel di negara-negara tersebut akan meningkatkan
25
permintaan minyak sawit. Sebagai salah satu negara produsen utama minyak sawit, kondisi ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Dengan luas areal kelapa sawit yang masih dapat dikembangkan, produksi dan ekspor Indonesia masih dapat mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor berarti peningkatan penerimaan pemerintah melalui devisa dan peningkatan pendapatan bagi eksportir minyak sawit, serta pelaku agribisnis kelapa sawit (Bode, 2000). 2.7. Kebijakan di Sektor Minyak Sawit Sejak tahun 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang perluasan areal kelapa sawit dengan memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk menanam investasi di bidang perkebunan kelapa sawit. Kebijakan tersebut ditopang dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan regulasi perdagangan minyak sawit melalui SKB 3 menteri, Menteri Pertanian, Menteri Koperasi, dan Menteri Perdagangan. SKB tersebut
memuat Pertama, produsen minyak sawit diharuskan menjual hasil
produksinya kepada produsen di dalam negeri. Kedua, jumlah penjualan tersebut besarnya ditentukan oleh Menteri Pertanian. Ketiga, harga ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Koperasi. Keempat, produsen dapat menjual hasil produksinya ke luar negeri jika produsen dalam negeri tidak menebusnya. Pada tahun 1981 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang larangan ekspor bagi minyak sawit sehingga pada tahun tersebut ekspor minyak sawit kasar turun kembali hingga 61 persen akan tetapi tahun-tahun berikutnya ekspor minyak sawit tetap tinggi walaupun harga pasar cenderung turun. Berikutnya pada tahun 1984 melalui surat keputusan Menteri Perdagangan Nomor 47/KMK/001/84 pemerintah menetapkan pajak ekspor minyak sawit dan produk sejenisnya sebesar
26
37.18 persen sementara tetap mempertahankan kebijakan mengenai harga minyak sawit untuk kebutuhan domestik. Pada tahun 1986 terjadi penurunan harga minyak sawit yang tajam mencapai US.$ 1.97 CIF Rotterdam sehingga memaksa pemerintah membebaskan pajak ekspor melalui ketetapan Menteri Perdagangan Nomor 549/KMK/001/86. Pada tahun 1990 terjadi peningkatan produksi minyak sawit yang cukup tinggi. Pemerintah membolehkan produsen bebas menjual ke pasar di dalam negeri atau pasar luar negeri melalui Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang dikeluarkan tanggal 3 Juni 1993 masing-masing Menteri Pertanian Nomor 240/Kpts/KB/320/v/1991, Menteri Perindustrian Nomor 11/M/SK/1991, dan Menteri Perdagangan Nomor 136/KPB/V/6/1991 tentang deregulasi atas tata niaga minyak sawit. Adapun sistem tata niaga sebelumnya mengharuskan perusahaan swasta nasional dan asing harus menjual sebagian produksi minyak sawitnya ke Kantor Pemasaran Bersama (KPB) dan Perusahaan Negara menjual seluruh produksinya ke KPB. Selanjutnya KPB minyak sawit dijual kepada konsumen domestik, broker, dan badan pemasaran luar negeri. Dari badan pemasaran luar negeri dan importir luar negeri minyak sawit dijual kepada konsumen luar negeri yang akan diolah menjadi berbagai komoditi kebutuhan akhir. Pada
tahun
1994,
pemerintah
melalui
Surat
Keputusan
Nomor
439/KM/KMK.017/1994 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan kembali memberlakukan pajak ekspor atas minyak sawit kasar dan produk olahannya dengan besarnya 40 persen sampai dengan 60 persen dari selisih harga ekspor dan harga dasar. Kebijakan ini didasarkan atas stabilitas dan ketersediaan harga eceran
27
di pasar dalam negeri. Pada tahun 1995, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dikemas dalam paket Deregulasi tanggal 23 Mei 1995 (Pakmei). Kebijakan tersebut menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap penawaran minyak goreng nasional yaitu dengan mencabut Daftar Negatif Investasi bagi industri minyak goreng, penurunan bea masuk minyak goreng non minyak sawit dari 20 persen menjadi 15 persen. Kebijakan tersebut dapat menstabilkan harga minyak goreng melalui persaingan industri minyak goreng dalam negeri. Pada tahun 1997, Menteri Keuangan melalui Surat Keputusan Nomor 300/KMK/01/1997 tentang perubahan tarif pajak ekspor bagi minyak sawit kasar dan produk olahan lain seperti : Crude Olein, RBD olein, dan RBD-PO masingmasing sebesar 5 persen, 4 persen, 2 persen dan 4 persen melalui mekanisme : PE = tarif x HPE x jumlah satuan barang x kurs dimana : PE pajak ekspor dan HPE adalah harga patokan ekspor yang ditetapkan secara berkala oleh Menteri Perindustrian. Sehingga pajak ekspor dapat dihitung yakni tarif dikalikan dengan HPE dikalikan jumlah satuan barang dikalikan lagi dengan kurs yang berlaku. Pada akhir tahun 1997 tepat mulai tanggal 24 Desember 1997, pemerintah melalui Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 420/1997 tentang larangan ekspor selama kuartal pertama tahun 1998. Tetapi dengan adanya kesepakatan dengan IMF kembali pemerintah mencabut larangan ekspor tersebut melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 242/KMK/01/1998 yang berisikan pengenaan pajak ekspor sebesar 40 persen untuk minyak sawit kasar dan 30-35 persen untuk produk lainnya.
28
Pada
tahun
2001,
Menteri
Keuangan
mengeluarkan
SK
Nomor
66/KMK.017/2001 yang menyatakan bahwa tarif ekspor minyak sawit sebesar 3 persen. Tarif ekspor minyak sawit kemudian diturunkan menjadi 1.5 persen pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2005 pada tanggal 23 Desember 2005. Kemudian pada tahun 2007, Menteri Keuangan mengeluarkan kembali Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.011/2007 pada tanggal 31 Agustus 2007 yang menetapkan tarif ekspor minyak sawit secara progresif dengan kisaran 0-10 persen yang bergantung pada besarnya harga referensi, yaitu harga minyak sawit CIF Rotterdam. Kebijakan pemerintah terkait minyak sawit harus didasarkan pada kondisi minyak goreng di dalam negeri, stabilitas harga di dalam negeri, dan kebutuhan industri dalam negeri. Pemerintah harus tegas dan konsisten dalam memegang orientasi kebijaksanaan. Oleh karena itu, sepatutnya kebijaksanaan yang dipilih oleh pemerintah adalah kebijaksanaan yang menyeluruh, tidak hanya memikirkan salah satu pihak dalam industri kelapa sawit pada saat keadaan telah mendesak melainkan meliputi seluruh pihak dengan melakukan perencanaan yang baik sehingga akan diperoleh solusi yang optimal. 2.8. Studi Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan Susilowati (1989) tentang keadaan pasar minyak sawit di pasar domestik dan beberapa negara konsumen dan produsen utama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permintaan minyak sawit bersifat elastis terhadap tingkat pendapatan dengan koefisien sebesar 2.475. Selanjutnya peneliti juga mengemukakan bahwa antara minyak sawit dengan minyak nabati lain di negara konsumen utama seperti Jepang, Amerika, dan Masyarakat
29
Ekonomi Eropa ternyata memiliki sifat komplementer. Elastisitas permintaan impor negara Jepang, Amerika, dan Masyarakat Ekonomi Eropa terhadap perubahan harga minyak sawit di negara tersebut bersifat inelastis. Manurung, et al (1991) telah melakukan penelitian mengenai prakiraan perkembangan perluasan areal kelapa sawit dan kebutuhan bahan tanaman dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua, dimana penelitian tersebut membahas prakiraan pengembangan perluasan kelapa sawit dan hubungannya dengan ketersediaan bahan tanaman dari tiga sumber benih di Indonesia sampai tahun 2018. Hasil penelitian menjelaskan bahwa sampai dengan tahun 2018 perluasan tanaman kelapa sawit akan tumbuh dengan kisaran antara 66 653 s/d 221 275 ha per tahun atau tumbuh rata-rata 3.24 persen per tahun. Prakiraan luasan areal tersebut juga didukung oleh ketersediaan bahan sampai tahun 2018. Juliawan (1992) melakukan penelitian mengenai pemasaran minyak sawit Indonesia ke negara Belanda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peubahpeubah yang berpengaruh nyata terhadap ekspor Indonesia ke Belanda adalah produksi, harga ekspor minyak sawit Indonesia dan harga minyak inti sawit. Studi yang dilakukan Simanjuntak (1992) tentang daya saing perusahaan kelapa sawit yang didasarkan pengelolaannya yaitu perkebunan besar swasta nasional, perusahaan perkebunan besar negara (PTP), dan perkebunan besar swasta asing. Kriteria yang digunakan adalah keuntungan finansial (ROI) dan biaya sumberdaya domestik (DRC). Hasil kesimpulan studi tersebut menjelaskan bahwa : (1) perusahaan swasta asing memiliki daya saing sangat kuat dibandingkan dengan perusahaan perkebunan lainnya, (2) komoditi minyak sawit kasar tetap memiliki keunggulan komparatif sebagai komoditi ekspor, dan (3)
30
semua kelompok perusahaan mengalami kenaikan efisiensi ekonomi relatif yang hampir sama setiap tahun akibat peningkatan efisiensi teknis. Studi yang dilakukan oleh Manurung (1993) tentang model ekonometrika industri komoditi kelapa sawit Indonesia yang antara lain bertujuan menganalisis berlakunya pembatas, pajak ekspor dan lain-lain. Studi tersebut menghasilkan antara lain : (1) luas areal tanaman dan produktivitas minyak sawit sangat responsif terhadap harga efektif riil ekspor minyak sawit, kebijakan pola pengembangan perkebunan dengan PIR, kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dan tingkat suku bunga, (2) elastisitas harga sendiri dan harga silang permintaan minyak sawit dan inti sawit domestik bersifat inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang, (3) kebijakan pembatas ekspor tidak efektif jika harga dunia lebih tinggi dari harga domestik, dan (4) bahwa pajak ekspor yang sebesar 5 persen dapat menurunkan surplus devisa sehingga defisit neraca perdagangan meningkat. Susila, et al (1995) melakukan penelitian tentang model domestik ekonomi minyak sawit mentah. Dalam penelitian ini data diagregasi menjadi data perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta. Kesimpulan dari penelitian tersebut antara lain : (1) produksi perkebunan rakyat dipengaruhi oleh harga domestik 3 tahun sebelumnya dan jumlah produksi tahun sebelumnya, (2) produksi perkebunan besar negara (PTP) identik dengan perkebunan rakyat, perbedaannya terletak pada koefisien parameter dugaan dan determinasinya, (3) produksi minyak sawit mentah perkebunan besar swasta dipengaruhi oleh harga domestik empat tahun yang lalu dan jumlah produksi minyak sawit mentah tahun sebelumnya, (4) perilaku jumlah ekspor minyak sawit
31
mentah Indonesia dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar dan jumlah ekspor tahun sebelumnya, dan (5) harga domestik minyak sawit mentah dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah, harga domestik tahun sebelumnya dan tingkat teknologi. Drajat dan Buana (1995) melakukan penelitian tentang konsumsi dunia dan posisi Indonesia dalam produksi dan perdagangan dunia minyak sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minyak sawit dunia meningkat selama tiga dasa warsa dengan negara-negara Eropa Barat, Amerika dan Jepang sebagai konsumen terbesar. Konsumsi minyak sawit pada dasa warsa 1983-1992 sebesar 87.7 ton merupakan peningkatan lima kali lipat dari dasa warsa 1963-1972. Posisi Indonesia sebagai pesaing potensial bagi Malayasia mengalami peningkatan produksi yang cukup pesat pada dasa warsa 1983-1992 yakni meningkat delapan kali lipat dibandingkan dasa warsa 1963-1972. Impor minyak sawit dunia meningkat delapan kali lipat menjadi 66.8 juta ton selama dasa warsa 1983-1992 dibanding dasa warsa 1963-1972. Adapun ekspor minyak sawit dunia meningkat dari delapan juta ton pada dasa warsa 1963-1972 menjadi 66.8 juta ton pada dasa warsa 1983-1992. Susila, et al (1995) melakukan penelitian tentang model ekonomi minyak sawit mentah dunia. Kesimpulan hasil penelitian bahwa respon jangka pendek produksi, konsumsi, ekspor, dan impor terhadap perubahan harga minyak sawit dan harga pesaing bersifat inelastis. Pada sisi lain respon harga minyak sawit terhadap perubahan produksi dalam jangka pendek bersifat elastis dengan koefisien 1.4. Hasil simulasi dengan skenario baku menunjukkan bahwa produksi, konsumsi, ekspor-impor minyak sawit dunia meningkat masing-masing dengan
32
laju 6.08 persen, 5 persen, dan 4.12 persen per tahun untuk tahun 1995-2000. Suharyono (1996) melakukan penelitian yang berkaitan dengan dampak kebijakan ekonomi pada komoditi minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia. Hasil penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa : (1) produksi minyak sawit domestik secara nyata dipengaruhi harga minyak sawit domestik, harga ekspor minyak sawit Indonesia, teknologi, permintaan minyak sawit domestik, luas areal produktif tiga tahun sebelumnya, (2) permintaan minyak sawit domestik secara statistik dipengaruhi oleh harga minyak sawit domestik, teknologi dan permintaan minyak goreng sawit domestik, dalam jangka pendek maupun jangka panjang hanya responsif terhadap perubahan permintaan minyak goreng sawit domestik, (3) permintaan minyak goreng sawit domestik dalam jangka pendek hanya responsif terhadap pendapatan nasional dan perkembangan jumlah penduduk selanjutnya dalam jangka panjang selain responsif terhadap pendapatan nasional dan jumlah penduduk juga responsif terhadap harga minyak goreng sawit domestik dan harga minyak goreng kelapa, (4) penawaran minyak sawit domestik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang memiliki elastisitas masing-masing sebesar 1.517 dan 1.556. Sementara terhadap perubahan nilai tukar penawaran minyak sawit hanya responsif dalam jangka panjang dengan nilai elastisitas sebesar -1.006, dan (5) penawaran minyak goreng sawit domestik hanya responsif terhadap perubahan teknologi sedangkan pengaruh produksi minyak terhadap penawaran komoditi ini dalam jangka panjang memiliki elastisitas sebesar 1.013. Penelitian yang dilakukan oleh Sugema, et al (2007) tentang strategi pengembangan industri hilir kelapa sawit, menyimpulkan : pungutan ekspor
33
merupakan buah dari ketidakjelasan strategi industrialisasi serta kebijakan kompetisi. Pengalaman menunjukkan bahwa PE merupakan instrumen yang tidak efektif dalam mencapai sasaran kebijakan yang hendak dicapai. Bahkan PE banyak memberikan dampak negatif bagi industri minyak sawit secara keseluruhan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terdapat beberapa indikasi yang memperlihatkan kearah tersebut yakni sebagai berikut : (1) PE minyak sawit akan menyebabkan terjadinya disparitas harga domestik dengan harga dunia. Turunnya harga minyak sawit domestik akan merugikan produsen minyak sawit dan di lain pihak menguntungkan pelaku di industri hilir. Jumlah kerugian yang terjadi adalah Rp 3.45 triliun per tahun, (2) penurunan harga domestik tersebut akan diikuti dengan penurunan harga yang diterima petani dalam skala yang lebih besar. Petani adalah pihak yang paling dirugikan dimana setiap satu persen penurunan harga minyak sawit domestik akan berakibat pada penurunan harga di tingkat petani sebesar 1.2 persen, (3) karena pendapatan produsen atau petani TBS sawit menurun maka dampak selanjutnya adalah terjadinya involusi di perkebunan sawit. Kemampuan petani untuk membiayai kebun mereka menjadi berkurang sehingga produktivitas kebun sawit akan menurun. Selain itu, ekspansi areal tanam baru juga menjadi terhambat sehingga perkembangan industri sawit secara keseluruhan tidak akan secepat yang terjadi sekarang, (4) dengan adanya involusi di industri hulu maka kesinambungan di industri hilir juga terganggu. Saat ini integrasi hulu-hilir lebih sering terjadi dari hulu dibanding sebaliknya. Industri hulu yang memiliki nilai tambah yang lebih baik merupakan sumber akumulasi modal bagi pengembang di industri hilir. Karena itu pengenaan PE akan berakibat
34
pada lemahnya kemampuan pelaku di hulu untuk melakukan integrasi vertikal ke hilir, (5) dengan terjadinya involusi di hulu maka penyerapan tenaga kerja juga akan terganggu. Penyerapan tenaga kerja di hulu jauh lebih baik dibanding di hilir yang padat modal, (6) kenaikan tarif PE juga akan membuat daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia berkurang yang pada gilirannya akan mengurangi pangsa pasar ekspor Indonesia. Tentunya hal tersebut berimplikasi terhadap penerimaan devisa dari ekspor. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka pengembangan industri hilir sebaiknya tidak dilakukan dengan cara penerapan PE yang lebih tinggi tetapi lebih tepat menggunakan instrumen sistem insentif. Sistem insentif yang diberlakukan khusus untuk industri hilir tidak akan mengganggu industri hulu. Sistem insentif yang demikian akan sekaligus mampu mendorong industri hilir dan meningkatkan kesinambungan industri hulu. Zulkifli
(2000)
dalam
penelitiannya
tentang
dampak
liberalisasi
perdagangan terhadap keragaan industri kelapa sawit Indonesia dan perdagangan minyak sawit dunia menjelaskan antara lain bahwa : (1) respon areal tanaman menghasilkan pada perkebunan besar negara inelastis terhadap perubahan harga minyak sawit kasar, sementara perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta memperlihatkan respon yang sangat elastis, (2) pengembangan areal perkebunan besar negara yang terarah di Kalimantan secara absolut mampu meningkatkan produktivitas. Adapun pengembangan areal kelapa sawit untuk perkebunan besar swasta dan rakyat di Kalimantan dan Sumatera justru menurunkan produksi kelapa sawit. Respon yang negatif tersebut disebabkan oleh umur tanaman yang lebih muda sehingga produktivitasnya masih rendah, (3) harga domestik minyak
35
sawit kasar dipengaruhi secara nyata oleh harga ekspor dan permintaan minyak sawit kasar domestik, dan (4) ekspor minyak goreng sawit Indonesia elastis terhadap perubahan harga domestik minyak goreng sawit baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sementara permintaan domestik minyak goreng sawit inelastis terhadap perubahan harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa. 2.9. Kebaruan Penelitian Penelitian mengenai Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia merupakan penelitian lanjutan dari penelitian mengenai minyak sawit sebelumnya. Adapun kebaruan (novelty) dari penelitian ini ditunjukkan pada simulasi peramalan yang bertujuan menganalisis kebijakan domestik yang memberikan dampak peningkatan kesejahteraan netto yang terbesar. Kebijakan domestik yang dianalisis tersebut adalah penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen, kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen), pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia, dan kuota ekspor minyak sawit sebesar 40 persen dari total produksi minyak sawit Indonesia. Kemudian kebaruan penelitian ini juga ditunjukkan adanya variabel harga minyak mentah dunia dalam persamaan permintaan minyak sawit oleh industri lain. Variabel ini digunakan untuk menunjukkan pengaruh peningkatan harga minyak mentah dunia terhadap perkembangan industri hilir minyak sawit domestik (khususnya industri biodiesel) dan terhadap peningkatan permintaan impor minyak sawit dunia untuk bahan bakar alternatif (biodiesel). Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih
36
responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kenaikan harga minyak mentah dunia menyebabkan peningkatan permintaan minyak sawit oleh industri lain di pasar domestik dan permintaan impor minyak sawit dunia; Kebijakan domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan Peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak goreng sawit terlebih dulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian ini juga dapat dilihat bahwa kebijakan penetapan pajak ekspor pada besaran tertentu ataupun dengan kebijakan kuota ekspor adalah efektif untuk jangka pendek dalam meningkatkan kesejahteraan netto. Namun untuk jangka panjang diperlukan kebijakan kuota domestik yang memastikan terpenuhinya penawaran minyak sawit domestik setelah adanya upaya untuk mengembangkan industri hilir minyak sawit domestik.
III. KERANGKA TEORI 3.1. Fungsi Produksi Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan input dengan output (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984). Secara umum hubungan antara input-output untuk menghasilkan produksi suatu komoditi pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : Y = f (x1, x2, x3, x4)
…….………………………………………..(1)
dimana : Y x1 x2 x3 x4
= Output (Kg/ha) = Luas areal produksi (ha) = Jumlah modal (Rp/ha) = Tenaga kerja (HOK/ha) = Faktor produksi lainnya
Produsen yang rasional berusaha memaksimumkan keuntungannya pada tingkat produksi optimum dengan tingkat harga tertentu. Keuntungan maksimum harus memenuhi syarat FOC (First Order Condition) dan SOC (Second Order Condition). Syarat pertama dipenuhi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol, yang berarti produktivitas marginal faktor produksi sama dengan harga faktornya, sedangkan syarat kedua yang harus dipenuhi yaitu, jika fungsi produksinya cembung, dan nilai determinan Hessian lebih besar dari nol (Koutsoyiannis, 1979). Jika digambarkan secara sederhana fungsi produksi dari minyak sawit kasar adalah : Y= f ( A, M, Z) ..………………………………………………………...(2)
38
dimana : Y A M Z
= Jumlah produksi minyak sawit (Kg) = Luas areal produksi (ha) = Jumlah modal (unit) = Jumlah tandan buah segar (unit)
Pada tingkat harga produksi minyak sawit tertentu (HY), maka fungsi keuntungan produksi minyak sawit dapat dirumuskan sebagai berikut : π = HY * f (A, M, Z) – HA * A – HM * M – HZ * Z...………………. (3) dimana: π HY HA HM HZ
= keuntungan (Rp/kg) = harga minyak sawit (Rp/kg) = harga faktor produksi A (Rp/ha) = harga faktor produksi M (Rp/unit) = harga faktor produksi Z (Rp/unit)
Fungsi keuntungan maksimum diperoleh jika turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol dan turunan keduanya mempunyai nilai Hessian Determinan lebih besar dari nol. Dengan melakukan prosedur penurunan secara matematis dari persamaan 3 di atas maka diperoleh : ∂y ∂y ∂π = HY * − HA = 0 atau HY * = HA ………………………(4) ∂A ∂A ∂A ∂π ∂y ∂y = HY * − HM = 0 atau HY * = HM ………….………(5) ∂M ∂M ∂M ∂π ∂y ∂y = HY * − HZ = 0 atau HY * = HZ …………...…………(6) ∂Z ∂Z ∂Z
Dimana
∂y ∂y ∂y , dan adalah produk marginal dari masing-masing ∂Z ∂A ∂M
faktor produksi. Oleh sebab itu keuntungan maksimum diperoleh jika produk marginal sama dengan rasio harga faktor produksi terhadap harga produk. Dapat juga dikatakan bahwa keuntungan maksimum diperoleh jika nilai produk marginal
39
sama dengan harga faktor produksinya (NPM = HFP). Dari persamaan 4, 5 dan 6, fungsi permintaan faktor produksi oleh petani dirumuskan sebagai berikut : A = g (HA, HY, HM, HZ) ..………………………………………...(7) M = h (HM, HY, HA, HZ) .…...……………………………………..(8) Z = i (HZ, HY, HA, HM) .…..………………………………………(9) Dengan mensubstitusikan persamaan 7, 8 dan 9 ke persamaan 2 maka diperoleh fungsi penawaran minyak sawit sebagai berikut : Qs = qs ( HY, HA, HM, HZ) ..…………………………………………(10) Dolan (1974), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi, yaitu harga komoditi itu sendiri, harga komoditi lain (sebagai substitusinya), biaya faktor produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pajak, subsidi, harapan harga dan keadaan alam. 3.2. Permintaan Minyak Sawit Kasar oleh Industri Minyak Goreng Sawit Sebagai bahan baku untuk industri minyak goreng, permintaan terhadap minyak sawit kasar dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu melalui fungsi keuntungan. Secara rasional, produsen akan berproduksi pada tingkat dimana keuntungan yang diperolehnya dalam keadaan maksimum (Debertin, 1986; Henderson dan Quant, 1980; Beattie dan Taylor, 1985). Dalam kondisi ini input yang digunakan berada dalam jumlah yang optimal. Bila Π adalah profit, P adalah harga output Y dan ri adalah harga input Xi, maka persamaan profit dapat dituliskan sebagai berikut :
Π = P.Y − ∑ ri .X i ……………………………………………………….(11)
40
dengan menurunkan fungsi di atas terhadap masing-masing input maka diperoleh :
δΠ / δX i = P. δY / δX i − ri = 0 .......…………………………………...…..(12) atau P.PMi = ri ………………………………………………………………..(13) dimana PMi adalah produk marjinal dan P.PMi adalah nilai dari produk marjinal dari input i. Pada persamaan di atas, penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.PMi) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasi dari kondisi ini adalah permintaan suatu input oleh industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan (r), harga output (P) dan teknologi produksi (PMi). Disamping itu, permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistorsi pasar. Pada industri minyak goreng sawit, permintaan terhadap minyak sawit kasar selain dipengaruhi oleh harga minyak sawit kasar, juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit, harga input alternatif yaitu minyak inti sawit dan tingkat bunga. Dalam model ekonomi, permintaan input tersebut dituliskan sebagai berikut : D t = f (Pc t , Pk t , Pt , i t , D t −1 ) ……………………………………………(14) dimana Dt adalah permintaan minyak sawit kasar oleh industri minyak goreng sawit, Pct adalah harga minyak sawit kasar, Pt adalah harga minyak goreng sawit, Pkt adalah harga minyak inti sawit, it adalah tingkat bunga, dan Dt-1 adalah permintaan minyak sawit kasar pada tahun sebelumnya.
41
3.3. Permintaan Minyak Goreng Sawit oleh Konsumen Secara umum, fungsi permintaan konsumen terhadap suatu barang diturunkan dari fungsi utilitas konsumen. Diasumsikan fungsi utilitas konsumen adalah : U = u (Cs, Cn ) ………………………………………………………….(15) dimana U adalah total utilitas konsumen dari konsumsi minyak goreng sawit (Cs) dan minyak goreng non sawit (Cn). Konsumen yang rasional akan berupaya memaksimumkan utilitas pada tingkat harga yang berlaku dan sesuai dengan kendala pendapatan (I). Ps * C s + Pn * C n = I …………………………………………………....(16) atau Ps * C s + Pn * C n − I = 0 dimana Ps adalah harga minyak goreng sawit dan Pn adalah harga minyak goreng non sawit. Dengan pendekatan Lagrangian Multipliers, persoalan maksimisasi berkendala di atas dapat dinyatakan sebagai berikut. Maksimum : U = u (Cs, Cn ) dengan kendala : Ps * C s + Pn * C n = I Fungsi komposit berupa gabungan dari kedua fungsi di atas atau disebut sebagai fungsi Lagrangian dapat ditulis sebagai berikut. φ = U = u (Cs , C n ) − λ (Ps * C s + Pn * C n − I) ……………………………...(17) Untuk mendapatkan utilitas maksimum, maka syarat pertama adalah turunan parsial dari fungsi Lagrangian harus sama dengan nol. ∂U ∂φ = − λ (Ps ) = 0 ∂C s ∂C s
…………………………..…………..(18)
42
∂φ ∂U = − λ (Pn ) = 0 ∂C n ∂C n
…………………………..…………..(19)
∂φ = − (Ps * C s + Pn * C n − I) = 0 …………………………..…………..(20) ∂λ
dari persamaan (18), (19) dan (20) di atas diperoleh : ∂U / ∂Cs ∂U = λ(Ps ) atau λ = Ps ∂Cs
….……………………………….(21)
∂U = λ (Pn ) ∂C n
….……………………………….(22)
λ=
∂U / ∂C n Pn
Ps * C s + Pn * C n = I
….……………………………….(23)
sedangkan ∂U / ∂Cs = MU s dan ∂U / ∂C n = MU n maka :
dan
λ = MU s / Ps = MU n / Pn
…………………………………..(24)
MU s / MU n = Ps / Pn = MRS s ,n
…………………………………..(25)
yang menyatakan bahwa kepuasan konsumen akan maksimum pada kondisi dimana rasio marjinal utilitas terhadap harga sama untuk semua komoditi, yaitu sebesar koefisien pengganda Lagrangian ( λ ). Penyelesaian Ps dan Pn pada persamaan (25) dan kemudian substitusikan ke dalam persamaan (23), maka dapat diperoleh fungsi permintaan terhadap minyak goreng sawit, yaitu : C s = f (Ps , Pn , I)
…………………………………...(26)
yang menyatakan bahwa konsumsi atau permintaan konsumen terhadap minyak goreng sawit ditentukan oleh harga minyak goreng sawit itu sendiri, harga komoditi alternatif, dan pendapatan konsumen. Dengan asumsi bahwa permintaan tersebut bersifat dinamis maka elastisitas permintaan minyak goreng sawit terhadap harga minyak goreng sawit, harga
43
minyak goreng non sawit, dan terhadap pendapatan dapat dihitung, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Dolan, (1974) permintaan suatu barang dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang lain, selera, pendapatan, distribusi pendapatan, jumlah penduduk dan harapan harga. 3.4. Respon Bedakala Produksi Komoditi Pertanian Seperti yang kita ketahui, bawah karakteristik utama
produk pertanian
adalah adanya tenggang waktu (gestation period) antara menanam dengan memanen. Hasil yang diperoleh petani yang didasarkan pada perkiraan-perkiraan di masa mendatang serta pengalamannya di masa lalu. Karena pada kenyataannya komoditi pertanian, harga output tidak dapat dipastikan saat produk itu ditanam. Dengan kata lain bahwa, para petani harus mengambil keputusan produksi berdasarkan perkiraan atas harga produknya tahun lalu. Persoalan di atas mengacu pada bedakala (lag) di antara dua periode, yaitu saat penanaman dan panen. Respon petani terjadi setelah bedakala sebagai dampak perubahan pada harga-harga input dan produk serta kebijakan pemerintah. Jika peningkatan harga ini diperkirakan petani akan bertahan terus pada periode berikutnya maka petani merubah komposisi sumberdayanya pada masa tanam mendatang, sehingga pengaruh kenaikan harga tersebut terlihat pada periode tanam berikutnya. Bila praduga adanya ekspektasi demikian dapat diterima maka hubungan-hubungan yang spesifik di antara harga harapan dengan harga di masa lalu dapat dibuat. Sehingga model dapat dikembangkan menjadi dinamik yang dirintis antara lain oleh Nerlove melalui penyesuaian parsial. Nerlove (1958), mengemukakan bahwa, para petani setiap saat periode produksi merevisi dugaan mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai
44
proporsi yang normal terhadap perbedaan yang terjadi dengan yang sebelumnya dianggap normal. Dengan kata lain, petani menyesuaikan prakiraan harga di masa mendatang dalam bentuk proporsi dari selisih antara prakiraan dengan kenyataan. 3.4.1. Model Nerlove Model penyesuaian parsial (Nerlove’s Model), didasarkan atas hipotesis perilaku satuan-satuan ekonomi yang lebih realistis dalam bentuk model-model lag. Model penyesuaian parsial yang dikembangkan Nerlove merupakan model yang populer digunakan dalam studi-studi ekonometrika dalam hal ini respon penawaran. Dalam bentuknya yang paling sederhana misalnya dalam konteks respon areal kelapa sawit. Areal panen kelapa sawit yang diinginkan (Yt* ) dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi ( Pt ) , maka persamaannya dituliskan sebagai berikut : Yt * = β 0 + β1 Pt + U t ….………………………………………………….(27)
dimana : Yt *
= areal panen yang diinginkan tahun ke t
Pt
= harga tahun ke t
Pada persamaan di atas perubahan Yt * tidak teramati (not observable) karena masih merupakan target (bukan aktual), atau dengan kata lain areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung sehingga untuk mengatasinya didalilkan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku penyesuaian parsial. Oleh karena itu peubah ini harus diganti untuk menaksir modelnya dengan menghipotesiskan perilakunya, sebagai berikut ini :
(
)
Yt − Yt −1 = δ Yt* − Yt −1 + Vt .……………………...……………………..(28)
45
dimana : Yt − Yt −1 = perubahan yang sesungguhnya Yt * − Yt −1 = perubahan yang dibutuhkan
δt
= koefisien penyesuaian parsial dan nilainya ( 0 < δ ≤ 1 )
Perubahan areal yang sebenarnya terjadi merupakan proporsi tertentu dari perubahan yang diinginkan. Proporsi ini disebut koefisien penyesuaian parsial (δ), jika nilai δ = 0, berarti tidak ada perubahan apapun dalam areal, dan jika δ = 1, maka areal yang diharapkan sama dengan yang dibutuhkan. Areal panen kelapa sawit yang diamati pada periode tahun ke-t dipengaruhi oleh luas areal yang diinginkan dan luas areal yang ada pada permulaan periode sebelumnya. Substitusikan persaman 27 ke persamaan 28, maka akan diperoleh persamaan berikut ini: Yt − Yt −1 = δ [(β 0 + β 1 Pt + U t ) − Yt −1 ] + Vt …………………………….…(29) Yt = δβ 0 + δβ 1 Pt + (1 − δ )Yt −1 + (Vt + δU t ) …......……………………….(30) dimana : δ β0 adalah konstanta, δ β1 dan (1-δ) adalah paremeter yang diduga sedangkan (Vt + δUt) adalah merupakan peubah pengganggu. Persamaan di atas menunjukkan suatu fungsi dalam bentuk yang dinamis. Untuk mengetahui dalam model ini apakah galat tidak mengalami korelasi serial dapat diuji dengan melihat nilai perhitungan uji Durbin Watson (Koutsoyiannis, 1977). Nerlove (1958), mengemukakan bahwa tidaklah mudah untuk menghitung elastisitas penawaran jangka pendek karena sebenarnya merupakan elastisitas titik (point elasticity) sehingga nilainya berubah-ubah pada titik yang berbeda. Adapun elastisitas
jangka
panjang
sukar
dihitung
secara
langsung.
Sehingga
ditawarkannya cara baru dengan model distribusi beda kala penyesuaian parsial.
46
Elastisitas jangka pendek selalu lebih kecil daripada jangka panjang karena dalam periode jangka panjang dapat terjadi pergeseran fungsi penawaran dan penyesuaian sumberdaya. Dia berpendapat masalah formulasi hubunganhubungan ekonomi yang memasukkan distribusi beda kala terletak pada bagaimana memformulasikan hubungan-hubungan di antara peubah yang dapat diamati. Masalah pada dugaan distribusi beda kala sesungguhnya terletak pada dugaan elastisitas jangka panjang. 3.4.2. Model Respon Penawaran Minyak Sawit Model empiris yang digunakan dalam studi ini pada dasarnya menggunakan model penyesuaian Nerlove, seperti yang telah dilakukan oleh Nainggolan dan Suprapto (1987), dimana untuk memperoleh dugaan penawaran dilakukan dengan menggunakan pendugaan tak langsung. Dalam bentuk sederhana output dispesifikasikan sebagai perkalian antara luas panen dan produktivitas, sehingga dapat dituliskan: Q = A * Y ……………………………………………………………….(31) dimana : Q = output (Kg) A = luas areal panen (ha) Y = produktivitas (Kg/ha) Dalam bentuk logaritma natural (ln) ln Q = ln A + ln Y ………….………………………………………..(32) Selanjutnya diasumsikan bahwa produktivitas (Y) dan luas panen (A) respon terhadap perubahan harga (P), juga diasumsikan bahwa produktivitas respon terhadap perubahan areal. Jika didiferensialkan secara total terhadap harga (P), maka akan diperoleh :
47
1 dQ 1 dA 1 dY = + ..……………………………………………….(33) Q dP A dP Y dP dY ∂Y ∂Y ∂A + = dP ∂P ∂A ∂P
…………………………………………………..(34)
Artinya bahwa perubahan produktivitas karena terjadi perubahan harga terdiri atas perubahan produktivitas secara partial terhadap harga dan perubahan produktivitas karena terjadi perubahan areal akibat dari perubahan harga. Apabila persamaan 34 disubstitusikan ke dalam persamaan 33, maka akan diperoleh penjabaran sebagai berikut :
1 dQ 1 dA 1 ⎛ ∂Y ∂Y ∂A ⎞ = + ⎜ + ⎟ ……….……………………………(35) Q dP A dP Y ⎝ ∂P ∂A ∂P ⎠ Jika kedua ruas kiri dan ruas kanan dikalikan dengan P, maka: dQ P dA P dY P dY dA P A .………………………………(36) = + + dP Q dP A dP Y dA dP Y A
dQ P dY P dA P ⎛ dY A ⎞ = + ⎜1 + ⎟ ……...…………………………..(37) dP Q dP Y dP A ⎝ dA Y ⎠ Jika dinyatakan dalam bentuk elastisitas maka : E(Q,P) = E(Y,P) + E(A,P) (1 + E(Y,A) )
…………………………………….(38)
dimana : E(Q,P) E(Y,P) E(A,P) E(Y,A)
= Elastisitas penawaran (produksi) = Elastisitas produktivitas terhadap harga = Elastisitas luas panen terhadap harga = Elastisitas produktivitas terhadap areal panen
Sehingga dengan demikian maka respon penawaran secara agregat (E(Q,P)) dapat diduga secara tidak langsung dengan menduga terlebih dahulu elastisitas produktivitas terhadap harga, elastisitas luas panen terhadap harga dan elastisitas produktivitas terhadap areal.
48
Untuk mendapatkan nilai kuantitatif dari respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya, dapat digunakan konsep elastisitas. Untuk model yang dinamis dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Adapun persamaan untuk mendapatkan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang adalah : Elastisitas Jangka Pendek (ESR) ESR =
∂Yt X X * = b ...………………….………………….……..(39) ∂X t Y Y
Elastisitas Jangka Panjang (ELR) ELR =
ESR .………………………………..………………………….(40) 1 − blag
dimana : b blag X Y
= parameter dugaan dari peubah eksogen = parameter dugaan dari lag endogen = rata-rata peubah eksogen = rata-rata peubah endogen
3.5. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen Compensating variation (CV) dan equivalent variation (EV) digunakan untuk mengukur kesejahteraan pertama kali diajukan oleh John R. Hicks. Ukuran ini berhubungan dengan pengukuran kesejahteraan klasik dari ilmu ekonomi kesejahteraan lama, tapi tidak menderita kekurangan yang sama. Yang paling penting, pengukuran ini bisa langsung digunakan dalam melakukan tes kompensasi dari ekonomi kesejahteraan yang baru (Just, Hueth, dan Schmitz, 1982). Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan, pertimbangan yang berbeda timbul antara perumusan teoritis dari suatu masalah atau isu dan pengukuran aktual
49
secara kuantitatif dari efek kesejahteraan. Ketika ilmu ekonomi kesejahteraan dibawa ke tingkat empiris, peneliti harus concerned tentang apakah variabel yang relevan yang diamati. Karena utilitas tidak terukur, pengukuran alternatif yang harus dipilih. Sebuah alternatif diamati untuk mengukur intensitas preferensi individu untuk suatu situasi dibandingkan situasi lain adalah jumlah uang yang individu bersedia untuk membayar atau menerima untuk berpindah dari satu situasi ke yang lain. Seperti yang disebutkan sebelumnya, sebuah premis dasar dari beberapa ekonom kesejahteraan terdahulu adalah bahwa surplus konsumen merupakan daerah segitiga di bawah kurva permintaan dan di atas garis harga. Hal itu adalah ukuran kesejahteraan yang layak bagi konsumen. Daerah surplus konsumen memiliki signifikansi kesejahteraan hanya jika mendekati "benar" dari pengukuran willingness to pay (WTP). Baru-baru ini, suatu teknik yang relatif sederhana untuk menentukan kebaikan pendekatan ini telah dikembangkan. Dua hal yang paling penting untuk mengukur WTP adalah CV dan EV. Compensating variation adalah jumlah uang yang diambil dari individu setelah perubahan ekonomi, membuat orang itu sama sejahtera seperti sebelumnya. Untuk suatu perolehan kesejahteraan, CV adalah jumlah maksimum yang orang akan bersedia membayar atas perubahan. Sementara untuk suatu kehilangan kesejahteraan, CV adalah negatif dari jumlah minimum yang dibutuhkan orang sebagai kompensasi atas perubahan. Equivalent variation adalah jumlah uang yang dibayarkan kepada seseorang yang mana suatu perubahan ekonomi tidak terjadi, membuat individu sama sejahtera seperti jika perubahan itu terjadi. Untuk suatu perolehan kesejahteraan,
50
EV adalah kompensasi minimum bahwa orang perlu untuk membatalkan perubahan. Untuk suatu kehilangan kesejahteraan, EV adalah negatif dari jumlah maksimum yang individu akan bersedia membayar untuk menghindari perubahan. CV dan EV juga dapat digunakan untuk mengukur efek kesejahteraan produsen. Mengukur efek kesejahteraan produsen di pasar output adalah pendekatan yang berguna dalam analisis kesejahteraan yang mana data telah tersedia untuk memperkirakan kurva penawaran produk akhir. Permasalahannya ini menjadi tidak mungkin yaitu bila data mungkin cukup hanya untuk memperkirakan permintaan berasal dari produsen di pasar produk setengah jadi. Sebagai contoh, dimungkinkan untuk memperkirakan kurva permintaan yang diperoleh dari bijih besi di tingkat perusahaan atau industri walaupun kurva biaya marjinal untuk produksi baja untuk sebuah perusahaan individu atau industri tidak dapat diperkirakan. Dalam kasus seperti itu, apakah mungkin untuk memperoleh estimasi kesejahteraan dengan melihat hanya pada pasar input?. Untuk menjawab pertanyaan ini adalah penting untuk memahami pentingnya perubahan kesejahteraan di daerah-daerah di bawah kurva permintaan berasal dan bagaimana ini berhubungan dengan quasi-rent atau surplus produsen di pasar output. Para praktisi
telah
membuat
transisi
dari
input
ke
pasar
output.
Compensating variation bagi produsen, misalnya kasus penurunan harga input, dari W0 ke W1, adalah jumlah uang yang produsen akan bersedia membayar untuk mendapatkan hak istimewa untuk membeli pada harga yang lebih rendah (yaitu, yang akan membuat perusahaan sama sejahtera pada harga yang lebih rendah). Equivalent variation bagi produsen adalah jumlah uang yang produsen akan
51
menerima untuk membatalkan hak istimewa untuk membeli pada harga yang lebih rendah (yaitu, yang akan membuat perusahaan sama sejahtera pada harga sebelumnya) (Just, Hueth, dan Schmitz, 1982). Kebijakan harga dasar dilakukan untuk melindungi produsen, dan harga batas tertinggi dilakukan untuk melindungi konsumen sementara dalam hal perdagangan dunia, pemerintah dapat melindungi produsen maupun konsumen domestik berupa kebijakan tarif, pembatasan (restriction, kuota) impor untuk kasus negara pengimpor, atau subsidi ekspor untuk negara pengekspor. Selain itu, pemerintah juga dapat menetapkan pajak ekspor maupun kuota ekspor bagi komoditi yang merupakan bahan baku bagi industri domestik, dengan tujuan untuk menjamin ketersediaan output bagi industri yang membutuhkan komoditi yang diekspor tersebut sebagai bahan baku. Semua kebijakan ini umumnya berdampak terhadap produsen, konsumen maupun pemerintah. Dampak
yang
ditimbulkan
dapat
diketahui
dengan
menggunakan
pendekatan teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics), yaitu dengan konsep pengukuran surplus konsumen (consumer’s surplus) dan surplus produsen (producer’s surplus). Surplus konsumen dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah maksimum nilai uang yang ingin dibayar oleh konsumen dengan nilai yang benar-benar dibayar terhadap jumlah tertentu dari suatu produk. Surplus produsen adalah perbedaan antara jumlah nilai uang yang benar-benar diterima produsen dengan jumlah nilai minimum yang diinginkan produsen tersebut (Just, Hueth, dan Schmitz, 1982; Hirshleifer, 1988). Vesdapunt (1984) menyatakan ada tiga dasar postulat yang penting dalam penggunaan surplus konsumen dan surplus produsen untuk mengukur
52
kesejahteraan yaitu : (1) permintaan merupakan refleksi dari keinginan untuk membayar (willingness to pay), (2) penawaran merupakan refleksi dari biaya marginal (marginal cost), dan (3) perubahan pada pendapatan individu bersifat penambahan (additive). Harga (P) S
B Pe
E
A D Qe
0
Jumlah (Q)
Sumber : Just, Hueth, dan Schmitz (1982) Gambar 7. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen pada Kondisi Keseimbangan Pasar Penjelasan surplus produsen dan konsumen ini secara sederhana dijelaskan pada Gambar 7. Jika diasumsikan tidak ada perdagangan ke luar negeri, maka pada keadaan keseimbangan (Pe dan Qe), surplus konsumen adalah sebesar PeEB dan surplus produsen adalah sebesar PeEA. Kelemahan pengukuran surplus konsumen dengan kurva permintaan biasa adalah tidak mempertimbangkan efek pendapatan akibat dari perubahan harga, sehingga konsep surplus konsumen kurang menggambarkan kondisi keinginan konsumen untuk membayar atau menerima (consumer willingnes to pay or to accept). Secara matematis, surplus produsen dan konsumen diukur dengan mengintegralkan fungsi penawaran dan fungsi permintaan (Chiang, 1984). pd
CS = ∫ Qd ( P) dp …………………………………………………….(41) Pe
53
pe
PS = ∫ Qm ( P) dp ….…………………………………………………(42) Pm
dimana: CS PS Pe Pd
= = = =
nilai surplus konsumen (Rp) nilai surplus produsen (Rp) harga keseimbangan (Rp) harga pada perpotongan kurva permintaan dengan sumbu harga (Rp/unit) Pm = harga pada perpotongan kurva penawaran dengan sumbu harga (Rp/unit) Perubahan harga pada pasar minyak sawit dunia melalui integrasi harga akan berpengaruh terhadap harga minyak sawit domestik sehingga akan mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit domestik. Dampak selanjutnya adalah terjadi perubahan pada surplus produsen dan surplus konsumen baik pada minyak sawit maupun minyak goreng sawit domestik. Dalam penelitian ini, analisis surplus konsumen dan surplus produsen dipelajari melalui pasar input dan pasar output khususnya untuk industri minyak goreng sawit. Produsen pada pasar input adalah produsen minyak sawit sedangkan konsumen adalah industri minyak goreng sawit. Adapun pada pasar output, produsen adalah industri minyak goreng sawit dan konsumen adalah masyarakat sebagai konsumen akhir minyak goreng sawit. Industri minyak goreng sawit bertindak ganda yaitu sebagai konsumen pada pasar input dan sebagai produsen pada pasar output maka perubahan net surplus industri ini dapat didekati melalui salah satu pasar (Just, Hueth, dan Schmitz, 1982). Namun demikian penelitian ini melakukan analisis perubahan kesejahteraan produsen dan konsumen dari 4 sisi, yaitu perubahan surplus produsen minyak sawit, perubahan surplus konsumen minyak sawit, perubahan surplus produsen minyak goreng sawit, dan perubahan surplus konsumen minyak goreng sawit.
54
3.6. Konsep dan Berbagai Distorsi dalam Perdagangan Menurut Gonarsyah (1987), ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan dunia (ekspor-impor) suatu negara dengan negara lain, yaitu keinginan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara, tidak semua negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakatnya serta akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu. Dalam kegiatan ekspor suatu komoditi, Kindleberger dan Lindert (1982) menyatakan bahwa secara teoritis, volume ekspor suatu komoditi tertentu dari suatu negara ke negara lain merupakan selisih antara penawaran dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Di lain pihak kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand). Untuk melihat proses terjadinya perdagangan dunia perhatikan Gambar 8. Suatu negara (negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misalkan minyak sawit) ke negara lain (negara B) apabila harga domestik di negara A (sebelum terjadinya perdagangan dunia) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Struktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya, sehingga di negara A telah terjadi kelebihan produksi (excess supply). Dengan demikian negara A memiliki kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di lain pihak, negara B terjadi kekurangan penawaran karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk
55
membeli komoditi dari negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
P
DA
r x
SA
P
P
ES
DB
Pw m
PA
s
ED 0
SB
PB
QA
Q 0 Qe
Q
Negara A Pasar Dunia (Eksportir) Sumber : Kindleberger dan Lindert, 1982; Tweeten, 1992
0
QB
Q
Negara B (Importir)
Gambar 8. Proses Terjadinya Perdagangan antara Dua Negara Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa sebelum terjadinya perdagangan dunia harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran di pasar dunia akan terjadi jika harga dunia lebih tinggi dari PA, sedangkan permintaan di pasar dunia akan terjadi jika harga dunia lebih kecil dari PB. Pada saat harga dunia (Pw) sama dengan PA maka di negara A tidak terjadi excess supply (ES), namun di negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar s. Adapun jika harga dunia (Pw) sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar r, namun di negara B tidak terjadi excess demand (ED). Dari PA dan PB tersebut maka akan terbentuk kurva ES dan ED di pasar dunia, dimana perpotongan antara kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar dunia sebesar Pw. Dengan adanya perdagangan tersebut maka negara A akan mengekspor komoditi (minyak sawit) sebesar x, sedangkan negara
56
B akan mengimpor minyak sawit sebesar m, dimana di pasar dunia besarnya x sama dengan m yaitu Qe (Kindleberger dan Lindert, 1982; Tweeten, 1992). Menurut pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik, sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat memberikan manfaat yang maksimal. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak ditemukan distorsi pasar yang pada dasarnya berasal dari adanya intervensi pemerintah berupa kebijakan-kebijakan perdagangan, diantaranya berupa pemberlakuan pajak ekspor, tarif impor, pembatasan ekspor/impor (kuota), pemberian subsidi ekspor/impor dan berbagai bentuk distorsi non tarif (non tariff barriers). Analisis parsial mengenai dampak kebijakan-kebijakan tersebut terhadap negara eksportir dan negara importir dapat dijelaskan pada uraian berikut. 3.6.1. Dampak Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat Gambar
9
berikut
menunjukkan
tentang
dampak
ekonomi
dari
pemberlakuan pajak ekspor.
(a)
P
(b)
P
ES’
SA
Pw’-t
a
c b
DB SB
ES
DA Pw’ Pw
(c)
P
1
f d e
2 3 4
t
ED 0
Q 0 Q’e Qe
qc q’c q’p qp
Negara A (Eksportir) Sumber : Tweeten, 1992
Q
Pasar Dunia
Gambar 9. Dampak Pajak Ekspor
0
QpQ’p Q’c Qc Negara B (Importir)
57
Pada dasarnya, pemberlakuan pajak ekspor terhadap suatu produk akan meningkatkan biaya ekspor sehingga dapat mengurangi jumlah produk yang diekspor. Di samping itu, pemberlakuan pajak ekspor akan menyebabkan harga yang diterima produsen domestik menjadi lebih rendah dari harga dunia sebesar pajak yang diberlakukan (Grennes, 1984). Sebagai upaya penyederhanaan analisis, asumsi-asumsi yang digunakan adalah (1) hanya ada dua negara, yaitu negara A sebagai negara eksportir dan negara B (atau gabungan negara-negara lainnya, ROW) sebagai negara importir, (2) pajak ekspor yang diberlakukan adalah pajak spesifik, yaitu pemberlakuan pajak per unit produk yang diekspor, dan (3) negara eksportir adalah negara besar dalam
perdagangan,
dimana
perubahan-perubahan
jumlah
ekspor
dapat
mempengaruhi harga dunia. Pada Gambar 9, pemberlakuan pajak ekspor spesifik (t) akan menggeser secara paralel kurva penawaran ekspor ES ke atas dengan jarak sebesar pajak (t) menjadi ES’. Pada kasus negara besar, dimana slope kurva permintaan impor yang dihadapi adalah negatif, maka penurunan jumlah penawaran ekspor pada harga tertentu akan meningkatkan harga dunia menjadi Pw’. Harga yang diterima produsen domestik pada negara A setelah adanya pajak ekspor adalah Pw’-t, dimana pada harga ini konsumsi domestik naik menjadi q’c dan produksi domestik turun menjadi q’p sehingga kelebihan penawaran yang terjadi sekarang adalah q’p - q’c. Sebaliknya di negara importir, dengan harga dunia Pw’, produksi meningkat menjadi Qp’ dan konsumsi turun menjadi Qc’ sehingga terjadi kelebihan permintaan sebesar Qc’-Qp’ yang besarnya sama dengan qp’-qc’ atau jumlah keseimbangan baru pada pasar dunia, yaitu qe’.
58
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan pajak ekspor, dengan asumsi negara eksportir adalah negara besar, akan menyebabkan penurunan harga yang diterima produsen, penurunan produksi domestik, penurunan volume ekspor, peningkatan konsumsi domestik dan dapat memberikan penerimaan bagi pemerintah di negara eksportir. Sementara di negara importir, terjadi kenaikan harga sehingga merangsang kenaikan produksi dan penurunan konsumsi yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan volume impor. Tabel 6. Dampak Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir Perubahan pada Negara Eksportir Negara Importir Surplus konsumen a+b – (1 + 2 + 3 + 4) Surplus produsen – (a + b + c + d + e) 1 Penerimaan pemerintah d+f -------Kesejahteraan nasional bersih –c–e+f – (2 + 3 + 4) Kesejahteraan dunia bersih –c–e–2–4 Keterangan : daerah f pada Gambar 9(a) sama dengan daerah 3 pada Gambar 9(c). Sumber : Tweeten, 1992 Dampak kesejahteraan dari pemberlakuan pajak ekspor dibandingkan dengan perdagangan tanpa distorsi (free trade) dapat dianalisis melalui perubahan-perubahan pada surplus konsumen dan produsen serta penerimaan yang diperoleh pemerintah. Berdasarkan Gambar 9, perubahan-perubahan tersebut disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa secara umum dampak dari pemberlakuan pajak ekspor akan menurunkan kesejahteraan dunia. Di negara importir, terjadi penurunan kesejahteraan nasional sebesar daerah (2+3+4), sedangkan di negara eksportir dampaknya terhadap kesejahteraan nasional sangat ditentukan oleh elastisitas permintaan dan penawaran. Pajak yang optimal bagi negara eksportir
59
akan berada pada kondisi (f-c-e) maksimum. Oleh karena itu, untuk tingkat pajak ekspor tertentu, kesejahteraan nasional bersih bagi negara eksportir akan negatif bilamana (c+e) lebih besar dari f. Penurunan pajak ekspor dari kondisi yang diuraikan di atas berarti memperkecil penurunan kesejahteraan masyarakat dunia. Produsen di negara eksportir akan menerima penurunan harga yang lebih kecil sehingga dapat merangsang terjadinya peningkatan volume ekspor, sementara konsumen di negara importir akan membayar dengan harga yang lebih rendah. 3.6.2. Dampak Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat Dampak ekonomi dari kuota ekspor dalam perdagangan dapat dijelaskan pada Gambar 10. Pada dasarnya kuota ekspor bertujuan untuk menjamin ketersediaan suatu barang di dalam negeri. Selain itu, kuota ekspor juga dimaksudkan untuk mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga untuk mencapai stabilisasi harga. Pada analisis ini diasumsikan hanya ada dua negara, yaitu negara A sebagai negara eksportir dan negara B (atau gabungan negara-negara lainnya, ROW) sebagai negara importir, serta negara eksportir adalah negara besar dalam perdagangan. Keseimbangan semula terjadi pada saat harga dunia (Pw) sama dengan harga domestik (P) dengan jumlah ekspor dari negara A sebesar qp-qc = Qe. Dengan kuota ekspor oleh negara A sebesar Qe’, maka kurva penawaran ekspor negara A menjadi kurva patah ES’ dan berpotongan dengan kurva ED membentuk harga dunia Pw’. Akan tetapi, pada harga ini di negara A terjadi kelebihan penawaran. Kelebihan penawaran ini akan hilang pada tingkat harga
60
domestik P’, yaitu pada perpotongan antara kurva penawaran (SA) dan kurva permintaan domestik plus kuota (DA’), dimana kurva DA’ sejajar dengan kurva DA dengan jarak horisontal sebesar kuota yang ditetapkan. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa pembatasan ekspor akan menyebabkan penurunan harga domestik di negara A dan kenaikan harga dunia sehingga volume perdagangan menjadi berkurang.
(a)
(b) P
P SA
DA DA’ Pw’ Pw=P
P’
(c) P
ES’
DB SB
ES 1
e
a
d b c
2 3 4
ED 0
qc q’c q’p qp
Negara A (Eksportir) Sumber : Tweeten, 1992
Q 0 Q’e Qe
Q
0
Pasar Dunia
QpQ’p Q’c Qc Negara B (Importir)
Gambar 10. Dampak Kuota Ekspor Dampak kesejahteraan dari kuota ekspor dibandingkan dengan perdagangan bebas dapat dianalisis melalui perubahan-perubahan surplus konsumen dan produsen. Berdasarkan Gambar 10, perubahan-perubahan surplus tersebut disajikan pada Tabel 7. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa secara umum dampak dari kuota ekspor akan menurunkan kesejahteraan dunia. Di negara eksportir, jika daerah e lebih besar dari daerah d pada Gambar 10(a), maka negara eksportir akan memperoleh manfaat dari kuota ekspor dimana konsumen dan
61
pemegang kuota akan memperoleh keuntungan. Akan tetapi, di negara importir terjadi penurunan kesejahteraan nasional yang jauh lebih besar dari manfaat yang diperoleh oleh negara eksportir, sehingga secara total terjadi penurunan kesejahteraan dunia sebesar daerah (d+2+4). Tabel 7. Dampak Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir Perubahan pada Negara Eksportir Negara Importir Surplus konsumen a+b – (1 + 2 + 3 + 4) Surplus produsen – (a + b + c + d) 1 Penerimaan kuota c+e -------Kesejahteraan nasional bersih –d+e – (2 + 3 + 4) Kesejahteraan dunia bersih –d–2–4 Keterangan : daerah e pada Gambar 10(a) sama dengan daerah 3 pada Gambar 10(c). Sumber : Tweeten, 1992
IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS 4.1. Spesifikasi Model Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses (Koutsoyiannis, 1977). Model ekonometrika adalah suatu pola khusus dari model aljabar, yakni suatu unsur yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih variabel pengganggu (Intriligator, 1978). Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel penjelas (explanatory variables) terhadap variabel endogen (dependent variables) khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign) dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori. Model yang baik haruslah memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria statistika yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan koefisien determinasi (R²) serta nyata secara statistik (statistically significant) sedangkan kriteria ekonometrika menetapkan apakah suatu taksiran memiliki
sifat-sifat
yang
dibutuhkan
seperti
unbiasedness,
consistency,
sufficiency, efficiency. Statisitk Dw adalah salah satu kriteria ekonometrika yang digunakan untuk menguji taksiran, yaitu menguji validitas dari asumsi autocorrelation (Koutsoyiannis, 1977). Menurut Koutsoyiannis (1977) dalam tahapan spesifikasi model terdiri dari : (1) penentuan variabel dependen (dependent variable) dan variabel penjelas (explanatory variable) yang diterapkan dalam model, (2) harapan secara teoritis mengenai tanda dan besaran parameter (sign dan magnitude) dari setiap persamaan, dan (3) membuat model matematis. Dalam kaitan pembentukan model
63
tersebut perlu diperhatikan jumlah persamaan, bentuk persamaan linear atau non linear dan lain-lain. Spesifikasi model yang dirumuskan dalam studi ini adalah sangat terkait dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia dalam konteks ekonomi terbuka. Model yang dibangun adalah model persamaan simultan. Adapun model penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia dibagi menjadi 3 blok yaitu blok perkebunan kelapa sawit, blok minyak sawit, dan blok minyak goreng sawit. 4.1.1. Blok Perkebunan Kelapa Sawit Blok perkebunan kelapa sawit hanya terdiri dari 1 persamaan yaitu persamaan luas areal tanaman yang menghasilkan. Persamaan tersebut didisagregasi berdasarkan wilayah (Sumatera dan Kalimantan) dan berdasarkan status atau bentuk pengusahaan perkebunan (perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta). 4.1.1.1. Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan Luas areal tanaman kelapa sawit yang menghasilkan merupakan fungsi dari harga riil minyak sawit domestik, harga riil minyak kelapa domestik, harga riil pupuk, upah riil pada sub sektor perkebunan, suku bunga Bank Indonesia (BI) riil domestik, harga tanaman lain sebagai kompetitif dari kelapa sawit (dalam studi ini adalah tanaman karet), dan teknologi yang diproksi melalui tren waktu. Persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan dirumuskan sebagai berikut. LAKSMijt dimana :
= a0 + a1 HRMSDt-3 + a2 HRMKDt-3 + a3 HRKDt-3 + a4 HRFt + a5 UPRBUNt + a6 SBRt + a7 TREN + U1 …………………………….....................(43)
64
LAKSMijt
= Luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan i (Perkebunan Rakyat = R, Perkebunan Besar Negara = N, dan Perkebunan Besar Swasta = S) di wilayah j (Sumatera = S dan Kalimantan = K) pada tahun ke-t (000 ha)
HRMSDt-3
= Harga riil minyak sawit domestik pada lag 3 tahun (Rp/kg)
HRMKDt-3
= Harga riil minyak kelapa domestik pada lag 3 tahun (Rp/kg)
HRKDt-3
= Harga riil karet domestik pada lag 3 tahun (Rp/kg)
HRFt
= Harga riil pupuk (Rp/kg)
UPRBUNt
= Upah riil pada sub sektor perkebunan (Rp/hari)
SBRt
= Suku bunga BI riil domestik (%)
TRENt
= Teknologi yang diproksi melalui tren waktu
U1
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : a1, a7 > 0 ; a2, a3, a4, a5, a6 < 0 4.1.2. Blok Minyak Sawit Blok minyak sawit Indonesia terdiri dari persamaan produktivitas, produksi, penawaran, dan permintaan minyak sawit domestik, juga ekspor minyak sawit oleh Indonesia, dan persamaan harga. Ekspor minyak sawit Indonesia di pasar dunia menghadapi saingan dari ekspor minyak sawit negara pengekspor lainnya. Dalam penelitian ini negara pesaing ekspor tersebut hanya dibatasi pada Malaysia, sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar dunia kedua setelah Indonesia namun merupakan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Konsumen minyak sawit domestik adalah industri minyak goreng yang berbahan baku minyak sawit dan industri lainnya, seperti industri oleokimia, margarine, dan sabun. Untuk pasar dunia, konsumen minyak sawit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Cina sebagai negara pengimpor minyak sawit terbesar di dunia dengan pangsa impor sekitar 20 persen, diikuti India dengan pangsa
65
impor sekitar 12 persen, dan Pakistan sebagai pengimpor urutan ketiga terbesar di dunia dengan pangsa impor sekitar 6 persen. 4.1.2.1. Produktivitas Minyak Sawit Pada dasarnya, produktivitas suatu produk pertanian dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas input yang digunakan, teknologi produksi (tren), kondisi agroklimat dan tingkat penerimaan yang diharapkan. Dalam perumusan persamaan produktivitas pada penelitian ini, kualitas dan kuantitas penggunaan input diproksi melalui harga-harga input tersebut (tingkat upah dan harga pupuk) serta luas areal kelapa sawit menghasilkan, sedangkan penerimaan diproksi melalui harga output (harga minyak sawit) dan kondisi agroklimat melalui curah hujan. Pada penelitian ini, harga minyak sawit dengan harga pupuk digabung menjadi rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk. Persamaan produktivitas minyak sawit memiliki karakteristik yang sama dengan persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan, yaitu didisagregasi berdasarkan wilayah (Sumatera dan Kalimantan) dan berdasarkan status atau bentuk pengusahaan perkebunan (perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta). Persamaan produktivitas minyak sawit berdasarkan status dan wilayah pengusahaannya per hektar dirumuskan sebagai berikut. YMSijt dimana :
= b0 + b1 RHMSFt + b2 LAKSMijt-1 + b3 UPRBUNt + b4 CURAHt + b5 TRENt + b6YMSijt-1 + U2 .....………...(44)
YMSijt
= Produktivitas minyak sawit pada perkebunan i di wilayah j (ton/ha)
RHMSFt
= Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk
LAKSMijt-1
= Luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan i (Perkebunan Rakyat = R, Perkebunan Besar Negara = N, dan Perkebunan Besar Swasta = S) di wilayah j (Sumatera
66
= S dan Kalimantan = K) pada tahun ke-t-1 (000 ha) CURAHt
= Curah hujan (hari hujan per tahun)
YMSijt-1
= Lag dari YMSijt (ton/ha)
U2
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : b1, b2, b5 > 0 ; b3, b4 < 0 ; 0 < b6 < 1 4.1.2.2. Produksi Minyak Sawit (CPO) Indonesia Jumlah produksi minyak sawit Indonesia merupakan penjumlahan dari hasil perkalian antara luas areal tanaman kelapa sawit yang menghasilkan minyak sawit dengan produktivitas minyak sawit pada masing-masing wilayah dan status pengusahaan perkebunan kelapa sawit, kemudian hasilnya tersebut dijumlahkan dengan produksi minyak sawit di wilayah lain (selain Sumatera dan Kalimantan). Secara matematis persamaan produksi minyak sawit Indonesia, seperti yang terlihat pada persamaan identitas berikut. QMSIt
=
∑ (LAKSMijt * YMSijt) + QMSL ……………....….…....(45)
dimana : QMSIt
= Produksi minyak sawit Indonesia (000 ton)
QMSL
= Produksi minyak sawit di wilayah selain Sumatera dan Kalimantan (000 ton)
4.1.2.3. Ekspor Minyak Sawit Indonesia Jumlah ekspor minyak sawit Indonesia diduga dipengaruhi oleh harga ekspor minyak sawit Indonesia, jumlah produksi minyak sawit Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, dan jumlah ekspor minyak sawit Indonesia tahun sebelumnya. Persamaan ekspor minyak sawit Indonesia diformulasikan sebagai berikut.
67
XMSIt dimana :
= c0 + c1 HRXMSIt + c2 QMSIt + c3 NTERIt + c4 XMSIt-1 + U3 ……................................................…. (46)
XMSIt
= Ekspor minyak sawit Indonesia (000 ton)
HRXMSIt
= Harga riil ekspor minyak sawit Indonesia (US.$/ton)
NTERIt
= Nilai tukar efektif riil rupiah terhadap dollar (Rp/US.$)
XMSIt-1
= Lag ekspor minyak sawit Indonesia (000 ton)
U3
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : c1, c2, c3 > 0 ; 0 < c4 < 1 4.1.2.4. Permintaan Minyak Sawit Domestik Produksi minyak sawit Indonesia sebagian dialokasikan untuk konsumsi domestik dan sebagian lagi untuk tujuan ekspor. Konsumsi domestik sebagian besar diserap oleh industri minyak goreng, sedangkan sebagian lagi dikonsumsi oleh industri lain seperti industri oleokimia, industri margarine dan shortening, industri kosmetika, industri sabun serta industri biodiesel. Dengan demikian, permintaan minyak sawit domestik dapat dituliskan sebagai berikut : DMSDt
= DMSIMGt + DMSILt ….…..….……....…………………...… (47)
dimana : DMSDt
= Permintaan minyak sawit domestik (000 ton)
DMSIMGt = Permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng (000 ton) DMSILt
= Permintaan minyak sawit oleh industri lainnya (000 ton)
4.1.2.5. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Pada penelitian ini, permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng diduga dipengaruhi oleh harga input (harga minyak sawit domestik), harga input substitusinya (harga minyak kelapa domestik), harga output (harga minyak goreng
68
sawit domestik), tren yang merupakan proksi dari teknologi, dan lag dari permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng. DMSIMGt dimana :
= d0 + d1 HRMSDt + d2 HRMKDt + d3 HRMGSDt + d4 TRENt + d5 DMSIMGt-1 + U4 ….……...…………...(48)
HRMSDt
= Harga riil minyak sawit domestik (Rp/kg)
HRMKDt
= Harga riil minyak kelapa domestik (Rp/kg)
HRMGSDt
= Harga riil minyak goreng sawit domestik (Rp/kg)
DMSIMGt-1
= Lag permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng (000 ton)
U4
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : d1 < 0 ; d2, d3, d4 > 0 ; 0 < d5 < 1 4.1.2.6. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain Penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku industri lain bersubstitusi dengan minyak kelapa. Harga minyak mentah dunia yang fluktuatif diduga juga berpengaruh terhadap penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku industri lain seperti industri biodiesel. Disamping itu, upah pada sektor industri, suku bunga BI, dan tren (proksi dari teknologi) juga berpengaruh terhadap permintaan minyak sawit oleh industri lain. Oleh karena itu persamaan permintaan minyak sawit oleh industri lain dituliskan sebagai berikut : DMSILt dimana :
= e0 + e1 HRMSDt + e2 HRMKDt + e3 HRMMWt + e4 UPRINt + e5 SBRt + e6 TREN + e7 DMSILt-1 + U5 ….………………………………......(49)
HRMMWt
= Harga riil minyak mentah dunia (US.$/barrel)
UPRINt
= Upah riil pada sektor industri (Rp/hari)
DMSILt-1
= Lag permintaan minyak sawit oleh industri lainnya (000 ton)
U5
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : e2, e3, e6 > 0 ;
69
e1, e4, e5 < 0 ; 0 < e7 < 1 4.1.2.7. Penawaran Minyak Sawit Domestik Peningkatan harga minyak sawit dunia yang semakin cepat, menstimulus produsen minyak sawit domestik untuk mengekspor minyak sawit yang dihasilkannya. Akibatnya, ketersediaan (penawaran) minyak sawit domestik akan bersifat residual, yaitu sisa produksi setelah dikurangi ekspor. Indonesia juga mengimpor minyak sawit dan sebagian penawaran juga berasal dari stok tahun lalu, sehingga persamaan penawaran domestik dapat dituliskan sebagai berikut : SMSDt
= QMSIt - XMSIt + MMSIt + STKMSt-1 ………...….....…..(50)
dimana : SMSDt
= Penawaran minyak sawit domestik (000 ton)
MMSIt
= Impor minyak sawit Indonesia (000 ton)
STKMSt-1
= Lag stok minyak sawit domestik (000 ton)
4.1.2.8. Harga Minyak Sawit Domestik Sebagaimana dikemukakan bahwa minyak sawit diproduksi berorientasi ekspor, sehingga perilaku harga minyak sawit domestik disamping dipengaruhi oleh kekuatan penawaran, permintaan dan kebijakan tataniaga di pasar domestik, juga dipengaruhi oleh perubahan harga minyak sawit dunia yang ditransmisikan melalui harga ekspor minyak sawit Indonesia. Persamaan harga minyak sawit domestik dirumuskan sebagai berikut. HRMSDt dimana : HRMSDt-1
= f0 + f1 SMSDt + f2 DMSDt + f3 HRXMSIt + f4 HRMSDt-1 + U6 ……………………………...……..(51) = Lag harga riil minyak sawit domestik (Rp/kg)
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : f2, f3 > 0 ; f1 < 0 ; 0 < f4 < 1
70
4.1.2.9. Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia Dalam upaya menjaga kecukupan pasokan bahan baku untuk industri minyak goreng, pemerintah menggunakan berbagai instrumen kebijakan diantaranya adalah pajak ekspor. Sesuai dengan kerangka teori, pemberlakuan pajak ekspor akan menyebabkan harga yang diterima produsen menjadi lebih rendah dari harga dunia. Disamping dipengaruhi oleh pajak ekspor, harga ekspor minyak sawit Indonesia dipengaruhi pula oleh harga minyak sawit dunia, harga minyak mentah dunia, jumlah ekspor minyak sawit Indonesia, dan harga ekspor minyak sawit Indonesia tahun sebelumnya. Perilaku harga ekspor minyak sawit Indonesia dirumuskan sebagai berikut. HRXMSIt dimana :
= g0 + g1 HRMSWt + g2 HRMMWt + g3 XMSIt + g4 PXMSIt + g5 HRXMSIt-1 + U7 ……………………… (52)
HRMSWt
= Harga riil minyak sawit dunia (US.$/ton)
PXMSIt
= Pajak Ekspor minyak sawit Indonesia (%)
HRXMSIt-1
= Lag harga riil ekspor minyak sawit Indonesia (US.$/ton)
U7
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : g1, g2 > 0 ; g3, g4 < 0 ; 0 < g5 < 1 4.1.2.10. Ekspor Minyak Sawit Malaysia Persamaan ekspor minyak sawit Malaysia adalah fungsi dari harga ekspor minyak sawit Malaysia, harga substitusi dari minyak sawit (harga minyak kelapa dunia), produksi minyak sawit Malaysia, nilai tukar efektif kurs Malaysia terhadap US.$, dan lag dari ekspor minyak sawit Malaysia. XMSMt dimana :
= h0 + h1 HRXMSMt + h2 HRMKWt + h3 QMSMt + h4 NTERMt + h5 XMSMt-1 + U8 ……..……………...…….(53)
71
XMSMt
= Ekspor minyak sawit Malaysia (000 ton)
HRXMSMt = Harga riil ekspor minyak sawit Malaysia (US.$/ton) HRMKWt
= Harga riil minyak kelapa dunia (US.$/ton)
QMSMt
= Produksi minyak sawit Malaysia (000 ton)
NTERMt
= Nilai tukar efektif riil kurs Malaysia terhadap US.$ (Ringgit/US.$)
XMSMt-1
= Lag ekspor minyak sawit Malaysia (000 ton)
U8
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : h1, h2, h3, h4 > 0 ; 0 < h5 < 1 4.1.2.11. Ekspor Minyak Sawit Dunia Ekspor minyak sawit dunia merupakan penjumlahan dari semua ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia, ditambah dengan ekspor minyak sawit negara-negara lain yang tidak termasuk ke dalam model. XMSWt
=
XMSIt + XMSMt + XMSRWt ……..…...………..……..(54)
dimana : XMSWt
= Ekspor minyak sawit dunia (000 ton)
XMSRWt
= Total ekspor minyak sawit sisa dunia selain Indonesia dan Malaysia (000 ton)
4.1.2.12. Impor Minyak Sawit Cina Sejalan dengan perkembangan ekspor minyak sawit dunia, permintaan impor minyak sawit dunia juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Negara pengimpor minyak sawit terbesar di dunia adalah Cina. Pada umumnya, hampir di semua negara importir minyak sawit, minyak kedele telah digunakan sebagai komoditi substitusi minyak sawit. Di samping itu, minyak nabati lainnya seperti minyak kelapa, minyak lobak, dan minyak bunga matahari dianggap sebagai komoditi alternatif. Oleh karena itu, dalam persamaan impor minyak
72
sawit Cina perlu dimasukkan variabel yang dapat menangkap perubahanperubahan pada pasar minyak nabati tersebut yang direfleksikan melalui perubahan harga. Faktor lain yang dianggap juga mempengaruhi impor minyak sawit Cina adalah pendapatan per kapita, nilai tukar, dan impor minyak sawit Cina tahun sebelumnya. Adapun perilaku impor minyak sawit Cina yaitu : MMSCt dimana :
= i0 + i1 HRMSWt + i2 HRMKDWt + i3 INCRCt + i4 NTERCt + i5 MMSCt-1 + U9 …………………..…….(55)
MMSCt
= Impor minyak sawit Cina (000 ton)
HRMSWt
= Harga riil minyak sawit dunia (US.$/ton)
HRMKDWt
= Harga riil minyak kedele dunia (US.$/ton)
INCRCt
= Pendapatan riil per kapita Cina (US.$)
NTERCt
= Nilai tukar efektif riil Cina terhadap US.$ (Yuan/US.$)
MMSCt-1
= Lag impor minyak sawit Cina (000 ton)
U9
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : i2, i3, > 0 ; i1, i4 < 0 ; 0 < i5 < 1 4.1.2.13. Impor Minyak Sawit India Pangsa impor minyak sawit (CPO) India terhadap impor minyak sawit dunia sekitar 12 persen, yaitu sebagai negara urutan kedua pengimpor minyak sawit terbesar di dunia. Perilaku impor minyak sawit India dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga minyak sawit dunia, harga minyak kedele dunia (sebagai substitusi minyak sawit), pendapatan per kapita, dan impor minyak sawit India tahun sebelumnya. MMSINDt dimana : MMSINDt
= j0 + j1 HRMSWt + j2 HRMKDWt + j3 INCRINDt + j4 MMSINDt-1 + U10 ………….........................…….....(56) = Impor minyak sawit India (000 ton)
73
INCRINDt
= Pendapatan riil per kapita India (US.$)
MMSINDt-1
= Lag impor minyak sawit India (000 ton)
U10
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : j2, j3, > 0 ; j1 < 0 ; 0 < j4 < 1 4.1.2.14. Impor Minyak Sawit Pakistan Pangsa impor minyak sawit Pakistan terhadap impor minyak sawit dunia sekitar 6 persen, yaitu sebagai negara urutan ketiga pengimpor minyak sawit terbesar di dunia. Perilaku impor minyak sawit Pakistan dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga minyak sawit dunia, harga minyak kedele dunia (sebagai substitusi minyak sawit), pendapatan per kapita, nilai tukar, dan impor minyak sawit Pakistan tahun sebelumnya. MMSPt
= k0 + k1 HRMSWt + k2 HRMKDWt + k3 INCRPt + k4 NTERPt + k5 MMSPt-1 + U11 ……………………….(57)
dimana : MMSPt
= Impor minyak sawit Pakistan (000 ton)
INCRPt
= Pendapatan riil per kapita Pakistan (US.$)
NTERPt
= Nilai tukar efektif riil Pakistan terhadap US.$
MMSPt-1
= Lag impor minyak sawit Pakistan (000 ton)
U11
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : k2, k3, > 0 ; k1, k4 < 0 ; 0 < k5 < 1 4.1.2.15. Impor Minyak Sawit Dunia Impor minyak sawit dunia merupakan penjumlahan dari semua impor minyak sawit Cina, India, Pakistan, dan Indonesia ditambah dengan impor minyak sawit negara-negara lain yang tidak termasuk ke dalam model. MMSWt dimana :
=
MMSCt + MMSINDt + MMSPt + MMSIt + MMSRWt ……...(58)
74
MMSWt
= Impor minyak sawit dunia (000 ton)
MMSRWt
= Total impor sisa dunia selain Cina, India, dan Pakistan (000 ton)
4.1.2.16. Harga Minyak Sawit Dunia Fluktuasi harga minyak sawit di pasar dunia pada dasarnya disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada total ekspor dan total impor minyak sawit dunia. Dalam persamaan matematis dirumuskan sebagai berikut : HRMSWt
= l0 + l1 XMSWt + l2 MMSWt + l3 HRMSWt-1 + U12 …..…(59)
dimana : HRMSWt-1
=
Lag harga riil minyak sawit dunia (US.$/ton)
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : l2 > 0 ; l1 < 0 ; 0 < l3 < 1 4.1.3. Blok Minyak Goreng Sawit Blok minyak goreng sawit terdiri dari persamaan-persamaan produksi, penawaran dan permintaan domestik, ekspor dan impor serta integrasi harga. Mengingat pangsa ekspor minyak goreng sawit Indonesia relatif kecil yang mencerminkan produksi minyak goreng sawit lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditi ini hanya dianalisis pada tingkat domestik. 4.1.3.1. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia Produksi minyak goreng sawit oleh industri minyak goreng pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku (minyak sawit), sedangkan ketersediaan bahan baku tersebut dipengaruhi oleh harga ekspor minyak sawit, karena sesuai dengan fenomena selama ini produsen minyak sawit lebih berorientasi pada ekspor. Namun pengaruh harga ekspor minyak sawit terhadap
75
produksi minyak goreng sawit di Indonesia adalah melalui harga input dari minyak goreng sawit yaitu harga minyak sawit domestik. Disamping itu, produksi minyak goreng sawit Indonesia diduga juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit domestik, teknologi yang diproksi dari tren waktu, dan produksi minyak goreng sawit Indonesia tahun sebelumnya. Fungsi dari persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia dapat diformulasikan seperti pada persamaan berikut. QMGSt dimana :
= m0 + m1 HRMGSDt + m2 HRMSDt + m3 TREN + m4 QMGSt-1 + U13 …....................................................….(60)
QMGSt
=
Produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)
QMGSt-1
=
Lag produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : m1, m3 > 0 ; m2 < 0 ; 0 < m4 < 1 4.1.3.2. Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia Persamaan ekspor minyak goreng sawit Indonesia adalah fungsi dari harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia, harga minyak goreng sawit domestik, produksi minyak goreng sawit domestik, nilai tukar rupiah terhadap dollar, dan ekspor minyak goreng sawit Indonesia tahun sebelumnya. Perilaku ekspor minyak goreng sawit Indonesia dirumuskan sebagai berikut : XMGSt dimana :
= n0 + n1 HRXMGSIt + n2 HRMGSDt + n3QMGSt + n4 NTERIt + n5 XMGSt-1 + U14………..…(61)
XMGSt
= Ekspor minyak goreng sawit Indonesia (000 ton)
HRXMGSIt
= Harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia (US.$/ton)
XMGSt-1
= Lag ekspor minyak goreng sawit Indonesia (000 ton)
U14
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : n1, n3, n4 > 0 ;
76
n2 < 0 ; 0 < n5 < 1 4.1.3.3. Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik Penawaran minyak goreng sawit domestik dipandang sebagai residual yang dibentuk dari sisa produksi minyak goreng sawit Indonesia setelah dikurangi dengan ekspor minyak goreng sawit Indonesia. SMGSt
=
QMGSt - XMGSt .…….....................................................(62)
dimana : SMGSt
= Penawaran minyak goreng sawit domestik (000 ton)
4.1.3.4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik Permintaan minyak goreng sawit domestik diturunkan dari fungsi utilitas konsumen, dimana permintaan selain dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri (harga minyak goreng sawit domestik), juga dipengaruhi oleh harga barang substitusinya, dalam hal ini minyak goreng kelapa di pasar domestik. Disamping itu, permintaan minyak goreng sawit domestik juga dipengaruhi oleh pendapatan per kapita Indonesia dan lag dari permintaan minyak goreng sawit domestik tersebut. Persamaan permintaan minyak goreng sawit Indonesia dirumuskan sebagai berikut. DMGSt dimana :
= o0 + o1 HRMGSDt + o2 HRMGKDt + o3 INCRIt + o4 DMGSt-1 + U15 …...................................(63)
DMGSt
= Permintaan minyak goreng sawit domestik (000 ton)
HRMGKDt
= Harga riil minyak goreng kelapa domestik (Rp/kg)
INCRIt
= Pendapatan riil per kapita Indonesia (Rp/tahun)
DMGSt-1
= Lag permintaan minyak goreng sawit domestik (000 ton)
U15
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : o2, o3 > 0 ; o1 < 0 ; 0 < o4 < 1
77
4.1.3.5. Harga Minyak Goreng Sawit Domestik Harga minyak goreng sawit domestik diduga dipengaruhi oleh permintaan minyak goreng sawit Indonesia, penawaran minyak goreng sawit Indonesia, dan harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia serta harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya. Pada penelitian ini permintaan dan penawaran minyak goreng sawit Indonesia digabung menjadi variabel excess demand minyak goreng sawit. Fungsi dari persamaan harga minyak goreng sawit domestik dapat diformulasikan seperti pada persamaan berikut. HRMGSDt dimana :
= p0 + p1 EXDMGSt + p2 HRXMGSIt + p4 HRMGSDt-1 + U16 …………………………….…....(64)
EXDMGSt
= excess demand minyak goreng sawit (000 ton)
HRMGSDt-1
= Lag harga riil minyak goreng sawit domestik (Rp/kg)
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : p1, p2 > 0 ; 0 < p3 < 1 4.1.3.6. Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia Harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia diduga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dunia dan ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Fungsi dari persamaan harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia dapat diformulasikan seperti pada persamaan berikut. HRXMGSIt
= q0 + q1 HRMGSWt + q2 XMGSt + U17 …………..…......(65)
dimana : HRMGSWt
= Harga riil minyak goreng sawit dunia (US.$/ton)
HRXMGSIt-1
= Lag harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia (US.$/ton)
U17
= Variabel pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah : q1 > 0 ; q2 < 0
78
4.2. Prosedur Analisis Prosedur analisis dalam penelitian ini meliputi identifikasi model, metode pendugaan model, validasi model, simulasi model, perubahan kesejahteraan, dan jenis, sumber, dan pengolahan data. Metode pendugaan (estimasi) yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode 2 Stage Least Squares. Berikut adalah uraian lengkap mengenai prosedur analisis dalam penelitian ini. 4.2.1. Identifikasi Model Indentifikasi model ditentukan atas dasar “order condition” sebagai syarat keharusan
dan
“rank
condition”
sebagai
syarat
kecukupan.
Menurut
Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh : (K - M) > (G - 1) …………………………………..…………………..(66) dimana : K = Total
variabel
dalam
model,
yaitu
variabel
endogen
dan
predetermined variable (current exogenous variable, lagged exogenous variable, dan lagged endogenous variable). M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model, dan G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah variabel endogen dalam model. Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut. (K–M)>(G–1)
= maka
persamaan
dinyatakan
teridentifikasi
secara berlebih (overidentified) (K – M ) = ( G – 1 )
= maka
persamaan
tersebut
dinyatakan
teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan
79
(K – M ) < (G – 1 )
= maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified).
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan, bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural variabel yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977) Pada penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 39 persamaan atau 39 variabel endogen (G), dan 46 predetermined variable terdiri dari 28 variabel eksogen dan 18 lag endogenous variable, sehingga total variabel dalam model (K) adalah 85 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model (M) adalah maksimum 8 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. 4.2.2. Metode Pendugaan Model Berdasarkan hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over identified, dalam hal ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS
80
(Two Stage Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information Maximum Likehood). Pada penelitian ini metode pendugaan model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati, 1999). Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t. 4.2.2.1. Uji Statistik-F Uji statistik-F adalah persamaan yang digunakan untuk mengetahui dan menguji apakah variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen (Koutsoyiannis, 1977). Hipotesis: H0 : β1 = β2 ….. = βi = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0 Keterangan: i = banyaknya variabel bebas dalam suatu persamaan Apabila nilai peluang (P-value) uji statistik-F < taraf α = 5% maka tolak H0. Tolak H0 berarti variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen.
81
4.2.2.2. Uji Statistik-t Uji statistik-t adalah persamaan yang digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel eksogen berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen (Koutsoyiannis, 1977). Hipotesis: Ho : βi = 0 H1 : Uji satu arah a) βi > 0;
b) βi < 0
Uji dua arah c) βi ≠ 0 Kriteria uji: Jika
H1: a) βi > 0, bila P-value uji t < α maka disimpulkan tolak Ho H1: b) βi < 0, bila P-value uji t < α maka disimpulkan tolak Ho H1: c) βi ≠ 0, bila P-value uji t < α/2 maka disimpulkan tolak Ho Pada penelitian ini menggunakan uji satu arah dan taraf α = 15% sehingga
jika nilai peluang (P-value) uji statistik-t < taraf α = 15% maka tolak H0. Tolak H0 berarti suatu variabel eksogen berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. 4.2.2.3. Uji Statistik Durbin-h Apabila dalam persamaan terdapat variabel bedakala (lag endogenous variable) maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistik dw (DurbinWaston Statistics) tidak valid untuk digunakan (Pindyc dan Rubinfeld, 1991). Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan statistik dh
82
(Durbin-h statistics). Persamaan 67 berikut merupakan formula untuk memperoleh nilai dh atau hhitung (Durbin-h statistics).
n ⎛ 1 ⎞ hhitung = ⎜1 − d ⎟ ...………………………………….(67) ⎝ 2 ⎠ 1 − n[(var β )] dimana: d = dw statistik, n = jumlah observasi, dan var (β) = varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable. Jika ditetapkan taraf α = 0.05, diketahui
-1.96 ≤ hhitung ≤ 1.96, maka
disimpulkan persamaan tidak mengalami serial korelasi. Selanjutnya jika diketahui nilai hhitung < -1.96, maka terdapat autokorelasi negatif, sebaliknya jika diketahui nilai hhitung > 1.96, maka terdapat autokorelasi positif (Pindyc dan Rubinfeld, 1991). 4.2.3. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Pada penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Square Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U Theil) (Pindyck and Rubinfield, 1991). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut :
RMSPE =
1 n
n
∑ t =1
⎛ Yt s − Yt a ⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ a Y t ⎝ ⎠
2
……….…………………………(68)
83
U Theil
=
1 n 1 n
∑ (Y n
t =1
∑ (Y ) n
t =1
s 2
t
t
s
− Yt a
1 + n
)
2
∑ (Y ) n
t =1
….…………………….(69)
a 2
t
dimana : Yt s
Yt n
a
= nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi = nilai aktual variabel observasi = jumlah tahun observasi
Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai variabel endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Nilai statistik U Theil bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai statistik U Theil berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif. Adapun untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R²). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U Theil dan makin besar nilai R², maka pendugaan model semakin baik. 4.2.4. Simulasi Model
Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Peramalan dapat dapat dibedakan beberapa jenis dan tujuan simulasi, diantaranya adalah ramalan berdasarkan horison waktu, yang dibedakan menjadi ex post forecast, ex ante forecast dan backcasting, yang diilustrasikan pada Gambar 11.
84
Pada periode t1 menunjukkan batas waktu dari model yang dihitung dengan data yang ada. Simulasi yang dibuat diantara t1 ke t2 disebut dengan ex-post simulation atau historical simulation. Nilai historical series yang dimulai tahun t1 dan berakhir tahun t2, digunakan untuk variabel eksogen, sedangkan nilai historical dalam t1 merupakan keadaan awal dari variabel endogen.
Forecasting
Ex-post simulation or historical simulation
Backcasting
Ex-post forecast
Estimation period
t1
Ex-ante forecast Time (t)
t2
t3 (today)
Sumber : Pindick dan Rubinfeld, 1998 Gambar 11. Horison Waktu Simulasi Ex-post forecast menunjukkan kalau periode dugaan t2 < t3 maka peramalan dapat dilakukan di akhir periode. Adapun pada ex-ante forecast yang dimulai dari t3 adalah simulasi atau perkiraan nilai dependent variabel yang didasarkan pada variabel bebas dan dapat diteruskan hingga pada tahun-tahun berikutnya. Analisis kebijakan dilakukan untuk melihat dampak kebijakan domestik terhadap semua variabel endogen. Dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana reaksi variabel endogen terhadap perubahan variabel eksogen. Menurut Pindick dan Rubinfeld (1991), tujuan simulasi model pada dasarnya adalah untuk (1) mengevalusi kebijakan pada masa lampau, dan (2) membuat peramalan untuk masa yang akan datang. Simulasi model diperlukan untuk mempelajari sejauh mana dampak dari perubahan variabel-variabel eksogen
85
terhadap variabel-variabel endogen di dalam model. Dalam kajian ini simulasi dilakukan untuk mengevaluasi alternatif kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal melalui simulasi historis (ex-post simulation) dan untuk mengkaji ramalan dampak alternatif kebijakan dan perubahan faktor eksternal melalui simulasi peramalan (ex-ante simulation). 4.2.4.1. Simulasi Historis
Simulasi historis dilakukan untuk menjawab tujuan kedua, yaitu mengevaluasi dampak kebijakan domestik maupun perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia, tahun 2003-2007. Kebijakan domestik merupakan kebijakan pemerintah (pengenaan
pajak ekspor minyak sawit, kuota domestik berupa peningkatan penawaran minyak sawit, dan kuota ekspor minyak sawit) dan kebijakan Bank Indonesia (penurunan Suku Bunga Bank Indonesia/SBI). Adapun perubahan faktor eksternal merupakan perubahan selain kebijakan pemerintah yang terjadi di pasar domestik maupun dunia. Pada penelitian ini yang dimaksud perubahan faktor eksternal adalah perubahan harga minyak sawit dan harga minyak mentah dunia. Skenario simulasi historis yang dilakukan adalah tiga skenario kebijakan domestik dan dua skenario perubahan faktor eksternal. Skenario Kebijakan Domestik
1. Peningkatan pajak ekspor minyak sawit, sebesar 50 persen Peningkatan pajak ekspor minyak sawit merupakan upaya pemerintah untuk menanggulangi arus ekspor minyak sawit yang terlalu besar yang dapat menyebabkan pasokan untuk industri hilirnya terutama industri minyak
86
goreng sawit menjadi berkurang. Dengan peningkatan pajak ekspor minyak sawit tersebut diharapkan dapat menanggulangi masalah tersebut. 2. Penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia domestik sebesar 20 persen Dari sisi permodalan, dengan tingkat suku bunga pinjaman sekarang ini (1617 persen per tahun) dirasa masih kurang kondusif untuk usaha perkebunan, termasuk kelapa sawit. Suku bunga yang ideal untuk usaha perkebunan adalah sekitar 12 persen per tahun. Melalui simulasi ini akan dianalisis dampak dari penurunan suku bunga BI terhadap industri kelapa sawit domestik. 3.
Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 25 persen Adanya kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap pengusaha minyak sawit untuk menyuplai minyak sawit untuk kebutuhan industri hilir minyak sawit domestik, terutama untuk industri minyak goreng.
Skenario Perubahan Faktor Eksternal
1. Peningkatan harga minyak sawit dunia 25 persen Pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku berbagai industri terus meningkat dari tahun ke tahun, mendorong peningkatan harga minyak sawit di pasar dunia. Peningkatan harga minyak sawit dunia dapat memicu peningkatan ekspor oleh negara produsen, termasuk Indonesia, sehingga mempengaruhi ketersediaan bahan baku industri domestik. 2. Peningkatan harga minyak mentah dunia 10 persen Harga minyak mentah dunia yang semakin meningkat diduga dapat mempengaruhi industri kelapa sawit karena konsumen akan lebih tertarik dengan bahan bakar substitusinya, yaitu biodiesel, dimana biodiesel menggunakan bahan baku minyak sawit. Indonesia yang merupakan negara
87
penghasil minyak sawit terbesar di dunia berpeluang untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di pasar dalam negeri dan pasar dunia yang semakin meningkat tersebut. 4.2.4.2. Simulasi Peramalan
Salah satu tujuan penelitian ini adalah mengkaji ramalan dampak kebijakan domestik terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak
sawit Indonesia, tahun 2012-2016. Skenario Kebijakan Domestik
1.
Pajak ekspor minyak sawit ditetapkan sebesar 20 persen. Penetapan pajak ekspor yang sering menjadi dilema antara kepentingan untuk melindungi konsumen domestik dan kepentingan untuk memperoleh devisa. Peningkatan pajak
ekspor
minyak
sawit
merupakan
upaya
pemerintah
untuk
menanggulangi arus ekspor minyak sawit yang terlalu besar yang dapat menyebabkan pasokan untuk industri hilirnya terutama industri minyak goreng sawit menjadi berkurang. Dengan peningkatan pajak ekspor minyak sawit tersebut diharapkan dapat menanggulangi masalah tersebut. 2.
Pelarangan Ekspor Apabila semua produksi minyak sawit tidak ada yang diekspor maka secara otomatis kebutuhan minyak sawit domestik akan tercukupi.
3.
Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen Adanya kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap pengusaha minyak sawit dalam menyuplai minyak sawit untuk kebutuhan industri hilir minyak sawit domestik, terutama untuk industri minyak goreng.
88
4.
Penetapan kuota ekspor sebesar 40% dari total produksi minyak sawit Kebijakan ini diharapkan dapat menanggulangi masalah arus ekspor minyak sawit yang terlalu besar yang dapat menyebabkan pasokan untuk industri hilirnya terutama industri minyak goreng sawit menjadi berkurang. Penetapan kuota membuat pengusaha sawit harus menyisihkan minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan domestik.
4.2.5. Perubahan Kesejahteraan
Dalam penelitian ini alternatif simulasi kebijakan juga digunakan untuk menghitung dan menganalisis perubahan kesejahteraan masyarakat. Indikator yang dijadikan sebagai perubahan kesejahteraan dari masyarakat adalah surplus produsen, surplus konsumen dan penerimaan pemerintah. Indikator perubahan kesejahteraan tersebut akan digunakan sebagai dasar evaluasi dan penentu arah kebijakan yang akan diambil. Analisis perubahan kesejahteran dapat dirumuskan sebagai berikut (Sinaga, 1989). 1. Perubahan Surplus Produsen Minyak Sawit QMSIB (HRMSDS – HRMSDB) + ½ (QMSIS – QMSIB) (HRMSDS – HRMSDB) 2. Perubahan Surplus Konsumen Minyak Sawit DMSDB (HRMSDS – HRMSDB) + ½ (DMSDS – DMSDB) (HRMSDS – HRMSDB) 3. Perubahan Surplus Produsen Minyak Goreng Sawit QMGSB (HRMGSDS – HRMGSDB) + ½ (QMGSS – QMGSB) (HRMGSDS – HRMGSDB) 4. Perubahan Surplus Konsumen Minyak Goreng Sawit DMGSB (HRMGSDS – HRMGSDB) + ½ (DMGSS –DMGSB) (HRMGSDS – HRMGSDB)
89
5. Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Pajak Ekspor Minyak Sawit (PXMSIS * XMSIS * HRXMSIS) * ERRIS - (PXMSIB * XMSIB * HRXMSIB) * ERRIB 6. Perubahan Kesejahteraan Netto Industri Minyak Sawit (Perubahan Surplus Produsen Minyak Sawit + Perubahan Surplus Konsumen Minyak Sawit + Perubahan Surplus Produsen Minyak Goreng Sawit + Perubahan Surplus Konsumen Minyak Goreng Sawit + Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Pajak Ekspor Minyak Sawit) 7. Perubahan Kesejahteraan Netto Industri Minyak Goreng Sawit (Perubahan Surplus Konsumen Minyak Sawit + Perubahan Surplus Produsen Minyak Goreng Sawit) Keterangan : Subcript B = nilai dasar Subcript S = nilai akhir 4.2.6. Jenis, Sumber, dan Pengolahan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2007. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Perdagangan. Untuk kelengkapan serta penyesuaian data juga dilakukan pengambilan data dari publikasi seperti Oils Annual World serta publikasi-publikasi lainnya. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer yaitu : SAS for Windows 9.0.
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN MINYAK SAWIT DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 5.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Model ekonometrika industri minyak sawit dalam penelitian ini merupakan model simultan dinamis yang dibangun dari 39 persamaan, terdiri dari 27 persamaan perilaku dan 12 persamaan identitas. Model tersebut sudah melalui beberapa tahapan respesifikasi model. Data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) dengan periode pengamatan tahun 1984 sampai dengan 2007. Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan secara lengkap pada Lampiran 4, dapat dijelaskan bahwa secara umum semua variabel penjelas yang dimasukkan kedalam persamaan-persamaan perilaku mempunyai tanda yang sesuai dengan harapan, khususnya dilihat dari teori ekonomi. Kriteria-kriteria statistika yang umum digunakan dalam mengevaluasi hasil estimasi model cukup meyakinkan. Sebagian besar (56 persen) persamaan perilaku memiliki koefisien determinasi (R2) di atas 0.8 dan hanya 26 persen persamaan yang memiliki nilai R2 di bawah 0.5 dengan kisaran antara 0.2 sampai 0.44. Kemudian dilihat dari nilai F, hanya 6 persamaan (22 persen) yang memiliki nilai peluang uji statistik-F lebih tinggi dari taraf α = 0.05. Berdasarkan hasil uji statistik durbin-w (dw) didapatkan nilai dengan kisaran 0.57 s/d 2.14 dan hasil uji statistik durbin-h (dh) didapatkan kisaran nilai -4.17 s/d 4.48. Dari hasil tersebut diperoleh 8 persamaan yang tidak mengalami masalah serial korelasi, juga terdapat 10 persamaan yang tidak terdeteksi serial korelasinya, dan 9 persamaan mengalami masalah serial korelasi. Terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991)
91
membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi estimasi parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, dengan mempertimbangkan model yang cukup besar dengan periode pengamatan yang cukup panjang, maka hasil estimasi model cukup representatif menangkap fenomena ekonomi dari industri minyak sawit baik di pasar domestik maupun pasar dunia. Hal ini sejalan dengan pendapat Pindyc dan Rubinfield (1981), bahwa evaluasi model lebih tergantung kepada tujuan dari perumusan model. Jika tujuan perumusan model adalah untuk peramalan, maka indikator standard error of forecast lebih tepat daripada nilainilai di atas. Lebih lanjut dikatakan Pindyc dan Rubinfield (1981) bahwa walaupun semua persamaan secara individu mempunyai kriteria statistik yang bagus, tidak menjamin model secara keseluruhan memberikan hasil simulasi yang baik. 5.2. Keragaan Blok Perkebunan Kelapa Sawit Keragaan blok perkebunan kelapa sawit hanya direpresentasikan oleh persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan. Persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan masing-masing terdiri atas 6 persamaan yang didisagregasi berdasarkan wilayah (Sumatera dan Kalimantan) dan bentuk pengusahaan perkebunan (Rakyat, Negara, dan Swasta). 5.2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan Persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan didisagregasi menjadi 6 persamaan, yaitu : (1) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera, (2) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan
92
rakyat di Kalimantan, (3) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera, (4) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan, (5) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Sumatera, dan (6) luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan. Hasil estimasi pada Tabel 8 menunjukkan bahwa luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera dipengaruhi secara nyata oleh harga riil minyak sawit Indonesia t-3, harga riil minyak kelapa Indonesia t-3, pertumbuhan harga riil pupuk, upah riil perkebunan t-1, dan tren, namun demikian luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera lebih responsif terhadap perubahan tren daripada perubahan variabel lainnya. Variabel tren sebagai proksi terhadap perbaikan teknologi, infrastruktur, dan manajemen, berpengaruh positif sangat nyata. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera yang besar dari tahun ke tahun selama periode pengamatan. Besarnya perubahan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera sebagai akibat perubahan tingkat upah sebesar 1 persen adalah lebih kecil dari 1 persen. Hal ini dikarenakan umumnya perkebunan rakyat menggunakan tenaga kerja keluarga sehingga tidak responsif terhadap perubahan tingkat upah. Begitu pula respon LAKSMRS terhadap perubahan harga riil minyak kelapa Indonesia t-3 adalah inelastis, yang mana harga riil minyak kelapa Indonesia t-3 berhubungan negatif dengan LAKSMRS. Ini menunjukkan bahwa minyak sawit dan minyak kelapa, dalam pengusahaannya oleh produsen merupakan dua komoditas yang saling berkompetisi. Kemudian dari hasil dugaan
93
diketahui bahwa perubahan harga riil minyak kelapa Indonesia t-3 hanya menyebabkan perubahan yang kecil dalam LAKSMRS. Tabel 8. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Rakyat di Sumatera
Intercept L3HRMSD
Parameter Estimate 731.0415 0.1345
0.6050
0.0053 0.0179
L3HRMKD
-0.1138
-0.5360
0.0086
L3HRKD PHRF LUPRBUN LSBR TREN R-squared
-0.0323 -5.7248 -0.0652 -2.6474 42.2534 0.9786
-0.3060 -0.0250 -0.9900 -0.0260 1.0190
0.1515 0.0585 0.0011 0.2862 0.0001 <.0001
Variable
Elastisitas SR LR
Prob>|F|
Prob > |T|
Variable Label Harga riil CPO Indonesia t-3 Harga riil minyak kelapa Indonesia t-3 Harga riil karet Indonesia t-3 pertumbuhan harga riil pupuk upah riil perkebunan t-1 suku bunga BI riil t-1 Teknologi Durbin-w stat 1.5825
Sumber : Data diolah (2010) Pada Tabel 8 juga ditunjukkan bahwa variabel suku bunga Bank Indonesia (BI) riil t-1 memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera. Hal tersebut dikarenakan umumnya perkebunan rakyat tidak menggunakan modal dari perbankan sehingga tidak dipengaruhi oleh perubahan suku bunga BI. Harga riil karet domestik t-3 juga memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera. Dapat dijelaskan bahwa perubahan harga karet tidak dapat mempengaruhi keputusan petani sawit di Sumatera mengenai luas areal tanamnya. Hasil pendugaan elastisitas luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera terhadap perubahan harga riil minyak sawit Indonesia t-3 adalah inelastis (Tabel 8). Hal tersebut mengindikasikan bahwa perubahan harga riil minyak sawit Indonesia t-3 hanya mampu membuat perubahan luas areal dalam jumlah yang kecil. Pengaruh pertumbuhan harga riil
94
pupuk terhadap LAKSMRS adalah signifikan, namun respon LAKSMRS terhadap perubahan pertumbuhan harga riil pupuk adalah inelastis. Hal ini berarti perubahan harga pupuk hanya membuat perubahan yang kecil terhadap LAKSMRS. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 9, dapat dijelaskan bahwa persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan dipengaruhi secara nyata oleh upah riil perkebunan t-1 dan tren. Respon luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan terhadap perubahan variabel upah riil perkebunan t-1 adalah inelastis. Hal ini dikarenakan umumnya perkebunan rakyat menggunakan tenaga kerja keluarga sehingga tingkat upah yang berlaku kurang memberikan pengaruh terhadap perluasan areal. Adapun respon luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan sebagai akibat perubahan tren adalah elastis. Ini berarti terjadi kenaikan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan yang besar dari tahun ke tahun selama periode pengamatan sebagai hasil dari perbaikan teknologi, infrastruktur, dan manajemen. Pengaruh variabel harga riil minyak sawit Indonesia t-3 terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan (LAKSMRK) adalah tidak signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga riil minyak sawit Indonesia t-3 tidak mampu membuat luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan berubah. Begitu pula halnya dengan harga riil pupuk t-1, peningkatannya tidak membuat petani menurunkan luas arealnya. Pengaruh harga riil karet Indonesia t-3 terhadap LAKSMRK adalah tidak nyata. Hal tersebut menunjukkan kesamaan dengan petani di Sumatera
95
bahwa perubahan harga karet tidak dapat mempengaruhi keputusan petani sawit di Kalimantan mengenai luas areal tanamnya. Variabel suku bunga BI riil t-1 juga memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan. Hal tersebut dikarenakan umumnya perkebunan rakyat tidak menggunakan modal dari perbankan sehingga tidak dipengaruhi oleh perubahan suku bunga BI. Tabel 9. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Rakyat di Kalimantan Variable Intercept L3HRMSD L3HRKD LHRF LUPRBUN LSBR TREN R-squared
Parameter Estimate 21.0519 0.0109 -0.0026 -0.0427 -0.0096 -0.0909 14.5119 0.9747
Elastisitas SR LR 0.2580 -0.1320 -0.3890 -0.7640 -0.0050 1.8410 Prob>|F|
Prob > |T| 0.5338 0.2764 0.5189 0.3297 0.0205 0.8348 <.0001 <.0001
Variable Label harga riil CPO Indonesia t-3 harga riil karet Indonesia t-3 harga riil pupuk t-1 upah riil perkebunan t-1 suku bunga BI riil t-1 Teknologi Durbin-w stat 1.2074
Sumber : Data diolah (2010) Hasil estimasi terhadap persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera (LAKSMNS) di Tabel 10 menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara nyata adalah harga riil karet domestik t-3, pertumbuhan harga riil pupuk, dan tren. Respon luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera terhadap perubahan harga riil karet domestik t-3 adalah inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga riil karet domestik t-3 tidak membuat perusahaan negara segera beralih menanam karet, begitu pula sebaliknya, karena untuk mengganti tanaman membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang lama. Adapun respon luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera terhadap perubahan tren juga bersifat inelastis. Ini artinya terdapat
96
kenaikan dalam luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera yang kecil dari tahun ke tahun selama periode pengamatan. Peningkatan dalam harga riil minyak sawit domestik t-3 tidak membuat perusahaan negara melakukan peningkatan luas areal, karena pembukaan areal pada perkebunan besar negara lebih berorientasi kepada kebijakan pemerintah, kewajiban perkebunan besar negara untuk mengalokasikan produksinya untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pengaruh pertumbuhan harga riil pupuk terhadap LAKSMNS adalah signifikan, namun respon LAKSMNS terhadap perubahan pertumbuhan harga riil pupuk adalah inelastis. Hal ini berarti perubahan harga pupuk hanya membuat perubahan yang kecil terhadap LAKSMNS. Tabel 10. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Negara di Sumatera
Intercept L3HRMSD
Parameter Estimate 320.1631 0.0165
0.1180
<.0001 0.2021
L3HRMKD
-0.0123
-0.0920
0.1994
L3HRKD PHRF LUPRBUN LSBR TREN R-squared
-0.0095 -1.1749 -0.0014 -0.7547 7.7195 0.9443
-0.1440 -0.0080 -0.0330 -0.0120 0.2960
0.0912 0.1084 0.7252 0.2215 0.0014 <.0001
Variable
Elastisitas SR LR
Prob>|F|
Prob > |T|
Variable Label Harga riil CPO Indonesia t-3 Harga riil minyak kelapa Indonesia t-3 Harga riil karet Indonesia t-3 Pertumbuhan harga riil pupuk upah riil perkebunan t-1 suku bunga BI riil t-1 Teknologi Durbin-w stat 1.5874
Sumber : Data diolah (2010) Tabel 10 juga menunjukkan pengaruh dari tingkat upah terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera (LAKSMNS) adalah tidak signifikan. Hal ini dikarenakan pada perkebunan besar negara penggunaan tenaga kerja sudah terikat pada suatu kesepakatan kerja. Begitu pula pengaruh suku bunga BI riil t-1 terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera adalah tidak nyata. Ini
97
menunjukkan bahwa investasi yang berkaitan dengan upaya peningkatan luas areal pada perkebunan besar negara di Sumatera tidak dipengaruhi oleh besarnya suku bunga BI namun oleh kebijakan yang mengatur perluasan areal. Harga minyak kelapa domestik t-3 mempengaruhi LAKSMNS secara tidak signifikan pula. Ini dikarenakan nilai minyak kelapa sudah tidak ekonomis karena harganya yang relatif lebih mahal dibandingkan harga minyak sawit. Selanjutnya Tabel 11 menunjukkan pendugaan terhadap persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan (LAKSMNK) yang memperlihatkan bahwa LAKSMNK dipengaruhi secara nyata oleh pertumbuhan suku bunga BI riil dan tren. Respon LAKSMNK terhadap perubahan pertumbuhan suku bunga BI riil adalah inelastis. Hal ini berarti jika pertumbuhan suku bunga BI riil naik sebesar 1 persen hanya akan menyebabkan penurunan investasi untuk perluasan areal perkebunan besar negara di Kalimantan yang lebih kecil dari 1 persen. Adapun respon luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan terhadap perubahan tren juga bersifat inelastis. Ini artinya terdapat kenaikan dalam luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan yang kecil dari tahun ke tahun selama periode pengamatan. Pengaruh harga riil pupuk t-1 terhadap LAKSMNK adalah tidak nyata. Hal ini berarti walaupun harga pupuk berubah tidak dapat menyebabkan perubahan pada LAKSMNK. Sama halnya dengan persamaan LAKSMNS (luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera), peningkatan dalam harga riil minyak sawit domestik t-3 tidak membuat pengusaha perkebunan besar negara Kalimantan melakukan peningkatan luas areal, karena pembukaan
98
areal pada perkebunan besar negara lebih berorientasi kepada kebijakan pemerintah,
kewajiban
perkebunan besar negara untuk
mengalokasikan
produksinya untuk memenuhi kebutuhan domestik. Tabel 11. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Negara di Kalimantan Variable Intercept L3HRMSD L3HRKD LHRF UPRBUN PSBR TREN R-squared
Parameter Estimate 23.6435 0.0011 -0.0008 -0.0045 -0.0010
Elastisitas SR LR 0.0760 -0.1260 -0.1270 -0.2540
0.0087 0.6322 0.3612 0.6015 0.1658
-0.0091
-0.0240
0.0268
1.8777 0.9419
0.7410
0.0001 <.0001
Prob>|F|
Prob > |T|
Variable Label harga riil CPO Indonesia t-3 harga riil karet Indonesia t-3 harga riil pupuk t-1 upah riil perkebunan pertumbuhan suku bunga BI riil Teknologi Durbin-w stat 2.0332
Sumber : Data diolah (2010) Selanjutnya dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa pengaruh dari tingkat upah terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan juga tidak signifikan. Hal ini dikarenakan pada perkebunan besar negara penggunaan tenaga kerja sudah terikat pada suatu kesepakatan kerja. Adapun pengaruh harga riil karet Indonesia t-3 terhadap LAKSMNK adalah tidak nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga karet tidak dapat mempengaruhi keputusan pengusaha perkebunan sawit negara di Kalimantan mengenai luas areal tanamnya, karena pengusaha perkebunan besar negara di Kalimantan telah terikat kontrak dengan para investor atas lahan yang memang hanya diperuntukkan untuk tanaman kelapa sawit. Berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Sumatera (LAKSMSS) di Tabel 12, dapat dijelaskan bahwa variabel LAKSMSS dipengaruhi secara signifikan oleh variabel harga riil minyak sawit Indonesia t-3, harga riil karet Indonesia t-3,
99
upah riil perkebunan t-1, dan tren. Variabel tren sebagai proksi terhadap perbaikan teknologi, infrastruktur, dan manajemen, berpengaruh positif sangat nyata terhadap perubahan LAKSMSS, dimana respon LAKSMSS elastis terhadap perubahan tren. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Sumatera yang besar dari tahun ke tahun selama periode pengamatan karena adanya peningkatan teknologi budidaya yang mendorong peningkatan LAKSMSS tersebut. Upah riil perkebunan t-1 mempengaruhi persamaan LAKSMSS secara nyata, namun respon yang diberikan oleh LAKSMSS terhadap perubahan upah riil tersebut adalah inelastis. Hal ini berarti perubahan tingkat upah yang berlaku hanya menyebabkan perubahan yang kecil pada LAKSMSS. Adapun pengaruh pertumbuhan suku bunga BI riil terhadap LAKSMSS adalah tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa perilaku pengusaha perkebunan besar swasta di Sumatera atas luas areal tanamnya tidak ditentukan oleh besar kecilnya tingkat bunga yang berlaku. Variabel harga riil minyak sawit Indonesia t-3 mempengaruhi luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Sumatera secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai akibat kenaikan harga minyak sawit akan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksi minyak sawitnya melalui peningkatan luas areal kelapa sawit, namun respon perubahan luas areal tersebut terhadap perubahan harga minyak sawit adalah inelastis. Hal itu mengindikasikan bahwa perubahan harga minyak sawit yang besar hanya direspon dalam jumlah kecil oleh LAKSMSS. Begitu pula respon LAKSMSS terhadap perubahan harga riil karet domestik t-3 adalah inelastis. Hal ini berarti bahwa
100
peningkatan harga riil karet domestik t-3 tidak membuat perusahaan swasta segera beralih menanam karet, begitu pula sebaliknya, karena untuk mengganti tanaman membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar. Pengaruh variabel harga riil pupuk t-1 terhadap LAKSMSS adalah tidak signifikan, yang berarti besar kecilnya harga pupuk tidak dapat membuat perubahan perilaku pengusaha swasta di Sumatera atas luas arealnya. Tabel 12. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Swasta di Sumatera Parameter Estimate 109.1232 0.1508 -0.0541 -0.1902 -0.0375
0.5200 -0.3930 -0.2530 -0.4360
0.3886 0.0009 0.0024 0.2405 0.0156
PSBR
-0.0467
-0.0060
0.4526
TREN R-squared
76.4387 0.9896
1.4120
<.0001 <.0001
Variable Intercept L3HRMSD L3HRKD LHRF LUPRBUN
Elastisitas SR LR
Prob > |T|
Prob>|F|
Variable Label harga riil CPO Indonesia t-3 harga riil karet Indonesia t-3 harga riil pupuk t-1 upah riil perkebunan t-1 pertumbuhan suku bunga BI riil Teknologi Durbin-w stat 1.7455
Sumber : Data diolah (2010) Pendugaan terhadap persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan (LAKSMSK) di Tabel 13 menunjukkan bahwa LAKSMSK dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil minyak sawit Indonesia t-3, harga riil pupuk t-1, upah riil perkebunan t-1, dan tren. Variabel seperti harga riil minyak sawit Indonesia t-3 dan tren berhubungan positif dengan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan. Sementara harga riil pupuk t-1, upah riil perkebunan t-1, dan suku bunga BI riil berhubungan negatif dengan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan. Respon LAKSMSK terhadap perubahan variabel harga riil minyak sawit Indonesia t-3 adalah elastis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga minyak
101
sawit yang besar direspon dalam jumlah yang besar pula oleh LAKSMSK. Dibandingkan dengan luas areal perkebunan besar swasta kelapa sawit menghasilkan di Sumatera (LAKSMSS), respon luas areal perkebunan besar swasta kelapa sawit menghasilkan di Kalimantan (LAKSMSK) lebih elastis terhadap perubahan harga minyak sawit. Ini dikarenakan Kalimantan merupakan daerah pembukaan yang lebih baru daripada Sumatera, yang memiliki lahan yang potensial untuk pengembangan kelapa sawit dan sebagai perkebunan yang relatif baru umumnya sangat sensitif terhadap perubahan harga. Berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di kalimantan, dapat dijelaskan pula bahwa LAKSMSK responsif terhadap perubahan harga riil pupuk t-1, upah riil perkebunan t-1, dan tren. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga pupuk sebesar 1 persen dapat menyebabkan perusahaan berusaha mengurangi penggunaan pupuk yang cukup besar sehingga terjadi penurunan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan yang lebih besar dari 1 persen. Tabel 13. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan Variable Intercept L3HRMSD LHRF LUPRBUN SBR TREN R-squared
Parameter Estimate 182.8267 0.0579 -0.4839 -0.0214 -0.5294 35.3527 0.9406
Elastisitas SR LR 1.0060 -3.2390 -1.2530 -0.0200 3.2900
Sumber : Data diolah (2010)
Prob>|F|
Prob > |T| 0.1489 0.0611 0.0013 0.1024 0.7243 <.0001 <.0001
Variable Label harga riil CPO Indonesia t-3 harga riil pupuk t-1 upah riil perkebunan t-1 suku bunga BI riil Teknologi Durbin-w stat 2.1409
102
Adapun kenaikan tingkat upah (sebesar 1 persen) dapat menyebabkan perusahaan bertindak tidak menambah tenaga kerjanya atau mengurangi penambahan terhadap tenaga kerjanya (yang berguna untuk meningkatkan LAKSMSK) sehingga LAKSMSK mengalami penurunan (lebih besar dari 1 persen). Begitu pula halnya dengan variabel tren sebagai proksi terhadap perbaikan teknologi, infrastruktur, dan manajemen, berpengaruh positif sangat nyata terhadap perubahan LAKSMSK, dimana respon LAKSMSK elastis terhadap perubahan tren. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan yang besar dari tahun ke tahun selama periode pengamatan karena adanya peningkatan teknologi budidaya yang mendorong peningkatan LAKSMSK tersebut. Adapun pengaruh suku bunga BI riil terhadap LAKSMSK adalah tidak nyata. Ini berarti bahwa perilaku pengusaha perkebunan besar swasta di Kalimantan atas luas areal tanamnya tidak ditentukan oleh tingkat bunga yang berlaku. 5.3. Keragaan Blok Minyak Sawit (CPO) Keragaan blok minyak sawit dipelajari melalui perilaku produktivitas, permintaan, penawaran, dan harga minyak sawit domestik; perdagangan minyak sawit di pasar dunia yang meliputi ekspor minyak sawit negara-negara produsen terbesar (Indonesia dan Malaysia), impor minyak sawit negara-negara importir terbesar (Cina, India, dan Pakistan), dan harga minyak sawit di pasar dunia. 5.3.1. Produktivitas Minyak Sawit Sama halnya dengan persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan, persamaan produktivitas minyak sawit didisagregasi menjadi 6 persamaan, yaitu :
103
(1) produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera, (2) produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan, (3) produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera, (4) produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan, (5) produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera, dan (6) produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Kalimantan. Berdasarkan hasil estimasi di Tabel 14 dapat dijelaskan bahwa produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera dipengaruhi oleh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera t-1, dan curah hujan. Dapat dijelaskan bahwa pengaruh ketiga variabel tersebut (rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera t-1, dan curah hujan) terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera adalah tidak signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa harga minyak sawit domestik atau harga pupuk yang ditunjukkan oleh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk tidak dapat menjadi tolok ukur dalam pengukuran produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Sumatera t-1 berpengaruh secara tidak signifikan terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera. Ini berarti peningkatan luas areal tidak dapat diandalkan sebagai upaya untuk peningkatan produktivitas, terdapat faktor lain yang lebih baik, yaitu peningkatan teknologi dalam budidaya dan manajemen pasca panennya. Sementara itu tidak signifikannya pengaruh perubahan curah hujan terhadap
104
produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera merupakan indikasi bahwa curah hujan tidak banyak pengaruhnya terhadap kemampuan tumbuh dan menghasilkan bagi tanaman sawit. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Horley et al (1976) dalam Tukirin (1993) yang menyebutkan bahwa tanaman sawit mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik, pada areal bertopografi rata maupun topografi berombak, bergelombang dan berbukit-bukit, dengan kriteria 2 brondolan per kg untuk areal bertopografi rata dan 2 brondolan per TBS bagi areal yang bertopografi berombak, bergelombang, dan berbukitbukit. Tabel 14. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Rakyat di Sumatera
Intercept
Parameter Estimate 3.0205
RHMSF
0.1939
0.1870
0.2861
0.0003 -0.0003 0.1945
0.0570 -0.3050
0.2426 0.1961 0.2861
Variable
LLAKSMRS CURAH R-squared
Elastisitas SR LR
Prob > |T|
Variable Label
0.0014
Prob>|F|
Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk LAKSMRS t-1 curah hujan Durbin-w stat 2.1061
Sumber : Data diolah (2010) Hasil pendugaan terhadap persamaan produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan (YMSRK) di Tabel 15, menunjukkan bahwa YMSRK dipengaruhi oleh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan t-1, upah riil perkebunan t-1, dan produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan t-1. Dapat dijelaskan bahwa YMSRK hanya dipengaruhi secara signifikan oleh upah riil perkebunan t-1, namun respon YMSRK terhadap perubahan upah riil perkebunan t-1 adalah inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang, ditunjukkan dengan nilai elastisitas jangka pendek dan panjang
105
masing-masing sebesar 0.302 dan 0.338. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tingkat upah yang berlaku hanya menyebabkan perubahan yang kecil pada produktivitas minyak sawit di perkebunan rakyat Kalimantan, karena umumnya perkebunan rakyat menggunakan tenaga kerja keluarga sehingga tidak responsif terhadap perubahan tingkat upah. Pengaruh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan adalah tidak nyata. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk tidak dapat menjadi tolok ukur dalam mengukur tingkat produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan. Begitu pula halnya dengan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan t-1 berpengaruh terhadap YMSRK secara tidak signifikan. Ini berarti peningkatan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan rakyat di Kalimantan t-1 tidak dapat menjadi tolok ukur bagi peningkatan YMSRK. Tabel 15. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Rakyat di Kalimantan
Intercept
Parameter Estimate 2.1427
RHMSF
0.0926
0.1250
0.1400
0.3599
0.0005 -0.0001 0.1076 0.4356
0.0250 -0.3020
0.0280 -0.3380
0.4440 0.0782 0.4176 0.0462
Variable
LLAKSMRK LUPRBUN LYMSRK R-squared
Elastisitas SR LR
Prob > |T|
Variable Label
0.0008
Prob>|F|
Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk LAKSMRK t-1 upah riil perkebunan t-1 YMSRK t-1 Durbin-h stat 0.8100
Sumber : Data diolah (2010) Disamping faktor tersebut, dari Tabel 15 dapat ditunjukkan bahwa produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan juga dipengaruhi oleh variabel bedakalanya, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata
106
dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu yang dibutuhkan oleh produktivitas minyak sawit pada perkebunan rakyat di Kalimantan untuk menyesuaikan diri kembali atau kembali kepada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Berdasarkan Tabel 16, persamaan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera dipengaruhi oleh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera t-1, curah hujan, dan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera t-1. Hanya variabel produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera t-1 yang berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera (YMSNS). Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi YMSNS untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Tabel 16. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Negara di Sumatera
Intercept
Parameter Estimate 1.3758
RHMSF
0.1510
0.1020
0.3160
0.3765
0.0003 -0.0002 0.6775 0.5505
0.0280 -0.1440
0.0870 -0.4460
0.8134 0.3416 0.0022 0.0090
Variable
LLAKSMNS CURAH LYMSNS R-squared
Elastisitas SR LR
Prob > |T|
Variable Label
0.2593
Prob>|F|
Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk LAKSMNS t-1 curah hujan YMSNS t-1 Durbin-h stat -0.2870
Sumber : Data diolah (2010) Selanjutnya dari Tabel 16 dapat dijelaskan pula bahwa luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Sumatera t-1 (lag LAKSMNS), tidak dapat dijadikan tolok ukur untuk perubahan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera (YMSNS), karena
107
variabel lag LAKSMNS berpengaruh secara tidak nyata terhadap YMSNS. Pengaruh perubahan curah hujan terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera adalah tidak signifikan. Hal ini merupakan indikasi bahwa curah hujan tidak banyak pengaruhnya terhadap kemampuan tumbuh dan menghasilkan bagi tanaman sawit. Begitu pula pengaruh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Sumatera (YMSNS) juga tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa perubahan pada harga minyak sawit atau harga pupuk yang ditunjukkan dengan rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk tidak dapat membuat perubahan pada YMSNS. Hasil estimasi pada Tabel 17 menunjukkan bahwa persamaan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan (YMSNK) dipengaruhi secara signifikan oleh produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan t-1, sedangkan rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan t-1, curah hujan, dan tren, pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan nol. Pengaruh yang nyata dari produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan t-1 (lag YMSNK) terhadap YMSNK, mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi YMSNK untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Dapat dijelaskan bahwa peningkatan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan t-1 tidak dapat mendorong peningkatan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan. Pernyataan ini didukung oleh hasil tabulasi data historis bahwa
108
dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar negara di Kalimantan meningkat rata-rata 83.32 persen per tahun akan tetapi pada kurun waktu yang sama produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan hanya meningkat rata-rata 6.84 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas, luas areal tidak dapat menjadi tolok ukur lagi, namun sangat diperlukan adopsi teknologi dalam budidaya dan manajemen yang lebih baik. Tabel 17. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
Intercept
Parameter Estimate 1.4039
RHMSF
0.2772
0.2550 0.4980
0.0083 -0.0004 0.0119 0.4883 0.4999
0.0920 0.1800 -0.3410 -0.6660 0.0550 0.1080
Variable
LLAKSMNK CURAH TREN LYMSNK R-squared
Elastisitas SR LR
Prob > |T|
Variable Label
0.2046
Prob>|F|
Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk 0.7296 LAKSMNK t-1 0.2137 curah hujan 0.8421 Teknologi 0.0180 YMSNK t-1 0.0451 Durbin-h stat -2.1000 0.2276
Sumber : Data diolah (2010) Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa variabel tren yang merupakan proksi terhadap perbaikan teknologi produksi dan manajemen, berpengaruh positif terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan, namun pengaruhnya tidak signifikan. Hal ini dikarenakan Kalimantan sebagai daerah pembukaan perkebunan yang relatif baru daripada Sumatera sehingga sebagian besar pengusaha perkebunan besar negara di Kalimantan masih tertinggal dalam melakukan adopsi teknologi. Begitu pula dengan pengaruh curah hujan terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar negara di Kalimantan adalah tidak nyata, yang berarti curah
109
hujan tidak banyak pengaruhnya terhadap kemampuan tumbuh dan menghasilkan bagi tanaman sawit. Hasil estimasi terhadap persamaan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera (YMSSS) di Tabel 18 menunjukkan bahwa YMSSS dipengaruhi secara nyata oleh produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera t-1, sedangkan rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk dan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Sumatera t-1, berpengaruh secara tidak nyata terhadap YMSSS. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel harga minyak sawit maupun harga pupuk yang ditunjukkan dengan rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk, tidak dapat menjadi tolok ukur bagi pengusaha perkebunan besar swasta di Sumatera dalam melakukan perubahan terhadap produktivitas perkebunannya. Tabel 18. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
Intercept
Parameter Estimate 1.5125
RHMSF
0.0779
0.0590
0.1210
0.5891
0.00004 0.5127 0.3319
0.0080
0.0170
0.7670 0.0188 0.0704
Variable
LLAKSMSS LYMSSS R-squared
Elastisitas SR LR
Prob > |T|
Variable Label
0.0691
Prob>|F|
Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk LAKSMSS t-1 YMSSS t-1 Durbin-h stat 3.3870
Sumber : Data diolah (2010) Hal yang sama juga dapat dijelaskan pada Tabel 18 bahwa pengaruh variabel luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Sumatera t-1 terhadap YMSSS tidak signifikan. Ini berarti perubahan luas areal tidak dapat menyebabkan produktivitas perkebunan besar swasta di Sumatera juga berubah (hal ini bersesuaian dengan hasil tabulasi data bahwa dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar
110
swasta di Sumatera meningkat rata-rata 16.32 persen per tahun akan tetapi pada kurun waktu yang sama produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera mengalami penurunan rata-rata 1.22 persen per tahun. Produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera hanya dipengaruhi secara signifikan oleh produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Sumatera t-1. Hal itu menunjukkan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi YMSSS untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 19, dapat dijelaskan bahwa persamaan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Kalimantan (YMSSK) dipengaruhi oleh harga riil minyak sawit Indonesia t-1, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan t-1, curah hujan, dan tren. Dapat dilihat bahwa semua variabel penjelas tersebut berpengaruh secara tidak signifikan terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Kalimantan. Berbeda halnya dengan persamaan produktivitas minyak sawit pada perkebunan di Sumatera maupun pada perkebunan rakyat dan negara di Kalimantan, produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Kalimantan tidak dipengaruhi oleh rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk, namun oleh harga riil minyak sawit Indonesia t-1. Dapat dijelaskan bahwa pengaruh harga riil minyak sawit Indonesia t-1 terhadap YMSSK adalah tidak nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga riil minyak sawit Indonesia t-1 tidak dapat membuat YMSSK berubah.
111
Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa peningkatan luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan t-1 tidak dapat mendorong peningkatan produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Kalimantan. Pernyataan ini didukung oleh hasil tabulasi data historis bahwa dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, luas areal kelapa sawit menghasilkan pada perkebunan besar swasta di Kalimantan meningkat rata-rata 40.83 persen per tahun akan tetapi pada kurun waktu yang sama produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Kalimantan hanya meningkat rata-rata 16.66 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas diperlukan adopsi teknologi dalam budidaya dan manajemen yang lebih baik (Tabel 19). Tabel 19. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan besar swasta di Kalimantan Variable Intercept LHRMSD LLAKSMSK CURAH TREN R-squared
Parameter Estimate 2.5683 0.0002 0.0014 -0.0009 0.0967 0.3208
Elastisitas SR LR 0.1931 0.0720 -0.9384 0.5775 Prob>|F|
Prob > |T| 0.1461 0.8461 0.7534 0.3871 0.4719 0.1615
Variable Label Harga riil CPO Indonesia t-1 LAKSMSK t-1 Curah hujan Teknologi Durbin-w stat 1.9600
Sumber : Data diolah (2010) Variabel tren yang merupakan proksi terhadap perbaikan teknologi produksi dan manajemen, berpengaruh positif terhadap produktivitas minyak sawit pada perkebunan besar swasta di Kalimantan, namun pengaruhnya tidak signifikan. Hal ini dikarenakan Kalimantan sebagai daerah pembukaan perkebunan yang relatif baru daripada Sumatera sehingga sebagian besar pengusaha perkebunan besar swasta di Kalimantan masih tertinggal dalam melakukan adopsi teknologi. Begitu pula dengan pengaruh curah hujan terhadap produktivitas minyak sawit pada
112
perkebunan besar swasta di Kalimantan adalah tidak nyata, yang berarti curah hujan tidak banyak pengaruhnya terhadap kemampuan tumbuh dan menghasilkan bagi tanaman sawit. 5.3.2. Produksi Minyak Sawit Indonesia Produksi minyak sawit Indonesia diperoleh dari total produksi minyak sawit pada perkebunan rakyat, swasta, dan negara di Sumatera dan Kalimantan ditambahkan dengan total produksi minyak sawit pada perkebunan rakyat, swasta, dan negara di wilayah selain Sumatera dan Kalimantan. Adapun produksi minyak sawit pada perkebunan rakyat, swasta, dan negara di suatu wilayah dihitung berdasarkan perkalian antara luas areal kelapa sawit menghasilkan dengan produktivitas minyak sawit. Secara matematis total produksi minyak sawit Indonesia dituliskan sebagai berikut : QMSI = LAKSMRS*YMSRS + LAKSMRK*YMSRK + LAKSMNS*YMSNS + LAKSMNK*YMSNK + LAKSMSS*YMSSS + LAKSMSK*YMSSK + QMSL 5.3.3. Ekspor Minyak Sawit Indonesia Dalam model ini, ekspor minyak sawit Indonesia tidak didisagregasikan berdasarkan negara tujuan, melainkan diformulasikan sebagai ekspor total Indonesia ke pasar dunia. Ekspor minyak sawit Indonesia dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan harga riil ekspor minyak sawit Indonesia, produksi minyak sawit Indonesia, nilai tukar efektif riil t-1, dan ekspor minyak sawit Indonesia t-1. Hal tersebut disajikan secara lengkap pada Tabel 20. Ekspor minyak sawit Indonesia hanya dipengaruhi secara signifikan oleh produksi minyak sawit Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah minyak sawit yang dapat diproduksi mendorong pengusaha minyak sawit
113
untuk meningkatkan jumlah ekspor minyak sawit lebih banyak lagi. Kemudian jika dilihat berdasarkan nilai elastisitas, dapat dijelaskan bahwa pengaruh produksi minyak sawit Indonesia terhadap ekspor minyak sawit Indonesia adalah inelastis dalam jangka pendek, namun elastis dalam jangka panjang. Ini berarti dalam jangka panjang, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia dapat terus memenuhi kebutuhan domestik dan mampu memenuhi kebutuhan minyak sawit dunia yang besar melalui ekspor yang besar. Tabel 20. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Variable Intercept
Parameter Estimate -1234.5500
Elastisitas SR LR
Variable Label
Prob > |T| 0.0649
PHRXMSI
1.1198
0.0015
0.0020
0.8795
QMSI LNTERI LXMSI R-squared
0.5654 0.0798 0.2195 0.9721
0.9943 0.1251
1.2740 0.1600
0.0221 0.5074 0.5224 <.0001
Prob>|F|
pertumbuhan harga riil expor CPO Indonesia produksi CPO Indonesia nilai tukar efektif riil t-1 Export CPO Indonesia t-1 Durbin-h stat tak terdef
Sumber : Data diolah (2010) Kemudian dari Tabel 20 juga dapat dijelaskan bahwa pengaruh nilai tukar efektif riil t-1 terhadap ekspor minyak sawit Indonesia adalah tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar efektif riil t-1 tidak menyebabkan terjadinya perubahan pada jumlah minyak sawit yang diekspor pengusaha. Begitu pula dengan pengaruh pertumbuhan harga riil ekspor minyak sawit Indonesia terhadap ekspor minyak sawit Indonesia juga tidak nyata. Ini berarti ada kelambanan ekspor dalam merespon pertumbuhan harga ekspor yang terjadi, yang diduga sebagai akibat praktek ikatan kontrak (forward trading) antara eksportir dengan importir di negara tujuan ekspor. Selain faktor-faktor tersebut, ekspor minyak sawit Indonesia dipengaruhi secara tidak nyata oleh variabel
bedakalanya
(ekspor
minyak
sawit
Indonesia
t-1).
Hal
ini
114
mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu bagi ekspor minyak sawit Indonesia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 5.3.4. Permintaan Minyak Sawit Domestik Persamaan permintaan minyak sawit Indonesia atau domestik merupakan penjumlahan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit dan oleh industri lainnya. Hal tersebut dibangun berdasarkan analisis dalam kurun waktu 1984-2007, diperoleh bahwa rata-rata permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng adalah sebesar 77.54 persen, sedangkan rata-rata permintaan minyak sawit untuk industri lain (seperti oleokimia, margarin, sabun, dan biodiesel) hanya sebesar 22.46 persen. Persamaan permintaan minyak sawit Indonesia atau domestik ditunjukkan dengan : DMSDt = DMSIMGt + DMSILt 5.3.5. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng yang ditunjukkan pada Tabel 21, dapat dijelaskan bahwa permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng (DMSIMG) dipengaruhi secara positif oleh harga riil minyak goreng sawit domestik, harga riil minyak kelapa domestik, tren, dan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng t-1. Adapun variabel harga riil minyak sawit Indonesia berpengaruh secara negatif terhadap DMSIMG. Variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng adalah harga riil minyak goreng sawit domestik,
115
harga riil minyak kelapa domestik, dan tren. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada harga riil minyak goreng sawit domestik mempengaruhi keputusan
produsen
minyak
goreng
sawit
atas
produksinya
sehingga
permintaannnya terhadap minyak sawit sebagai bahan baku juga berubah. Kemudian jika dilihat berdasarkan nilai elastisitasnya, respon permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng terhadap perubahan harga riil minyak goreng sawit domestik adalah inelastis dalam jangka pendek, namun elastis dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan dalam jangka panjang perubahan harga riil minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen akan menyebabkan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng berubah lebih besar dari 1 persen. Tabel 21. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Sawit
Intercept HRMSD
Parameter Estimate -2069.9700 -0.1185
-0.1546
-0.2198
0.0082 0.5566
HRMKD
0.1968
0.2198
0.3125
0.0777
HRMGSD
0.3828
0.7022
0.9987
0.0626
141.1295 0.2968 0.9498
0.9165
1.3033
0.0016 0.1570 <.0001
Variable
TREN LDMSIMG R-squared
Elastisitas SR LR
Prob>|F|
Prob > |T|
Variable Label harga riil CPO Indonesia harga riil minyak kelapa domestik harga riil minyak goreng sawit domestik Teknologi DMSIMG t-1 Durbin-h stat -4.1670
Sumber : Data diolah (2010) Begitu pula respon permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng terhadap perubahan tren bersifat inelastis dalam jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang. Ini artinya terdapat kenaikan dalam permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng yang besar dari tahun ke tahun selama periode pengamatan. Selanjutnya, variabel permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng t-1 (lag DMSIMG) berpengaruh secara tidak nyata terhadap permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng (DMSIMG). Hal ini mengindikasikan
116
bahwa DMSIMG relatif cepat untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Tabel 21 menunjukkan bahwa harga riil minyak sawit Indonesia berpengaruh secara tidak nyata terhadap permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng. Ini berarti perubahan harga riil minyak sawit Indonesia tidak dapat menyebabkan perubahan perilaku produsen dalam melakukan permintaan terhadap minyak sawit untuk memproduksi minyak goreng. Permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng dipengaruhi secara nyata oleh harga minyak kelapa domestik (substitusi dari minyak sawit). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin mahal minyak kelapa maka produsen minyak goreng akan beralih menggunakan minyak sawit. 5.3.6. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain Hasil pendugaan terhadap persamaan permintaan minyak sawit oleh industri lain (DMSIL) yang disajikan pada Tabel 22 menunjukkan bahwa DMSIL dipengaruhi oleh harga riil minyak sawit Indonesia, harga riil minyak kelapa Indonesia, harga riil minyak mentah dunia, upah riil industri t-1, suku bunga BI riil, teknologi, dan DMSIL t-1. Variabel yang mempengaruhi DMSIL secara positif adalah harga riil minyak kelapa Indonesia, harga riil minyak mentah dunia, tren, dan DMSIL t-1. Adapun harga riil minyak sawit Indonesia, upah riil industri t-1, dan suku bunga BI riil berpengaruh terhadap permintaan minyak sawit oleh industri lain secara negatif. Dapat dijelaskan bahwa permintaan minyak sawit oleh industri lain hanya dipengaruhi secara signifikan oleh variabel suku bunga BI riil. Hal ini mengindikasikan bahwa industri lain yang membutuhkan bahan baku minyak
117
sawit, seperti margarin, sabun, mie, oleokimia, serta biodiesel memerlukan insentif (seperti suku bunga kredit yang murah) sehingga mereka bersedia meningkatkan kapasitas produksinya yang berarti meningkatkan permintaan mereka terhadap minyak sawit. Pengaruh harga riil minyak mentah dunia terhadap permintaan minyak sawit oleh industri lain (sebagai proksi permintaan minyak sawit oleh industri seperti sabun, mie, oleokimia, maupun biodiesel) adalah tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa perusahaan yang memproduksi biodiesel di Indonesia masih sedikit dengan kapasitas produksi yang rendah sehingga perubahan harga riil minyak mentah dunia tidak menyebabkan perubahan yang signifikan pada produksi biodiesel (yang ditunjukkan oleh permintaan minyak sawit oleh industri lain). Tabel 22. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
Intercept HRMSD
Parameter Estimate 1400.7280 -0.0092
-0.0484
-0.0510
0.2487 0.9639
HRMKD
0.1838
0.8261
0.8701
0.2105
0.6389 -0.1085 -22.6230 14.4842 0.0506 0.3968
0.0317 -2.6159 -0.2357 0.3784
0.0334 -2.7552 -0.2482 0.3986
0.9513 0.2052 0.0537 0.6640 0.8359 0.3579
Variable
HRMMW LUPRIN SBR TREN LDMSIL R-squared
Elastisitas SR LR
Prob>|F|
Prob > |T|
Variable Label harga riil CPO Indonesia harga riil minyak kelapa Indonesia harga riil minyak mentah dunia upah riil industri t-1 suku bunga BI riil Teknologi DMSIL t-1 Durbin-h stat tak terdef
Sumber : Data diolah (2010) Variabel tren yang merupakan proksi terhadap adopsi teknologi pada industri hilir minyak sawit (selain industri minyak goreng) memberikan pengaruh yang tidak nyata pula terhadap permintaan minyak sawit oleh industri lain (seperti margarin, sabun, mie, oleokimia, serta biodiesel). Hal ini mengindikasikan bahwa
118
teknologi produksi guna menghasilkan produk-produk tersebut belum mengalami kemajuan yang pesat. Harga riil minyak sawit Indonesia secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan minyak sawit oleh industri lain (seperti margarin, sabun, mie, oleokimia, serta biodiesel). Hal ini menunjukkan bahwa para produsen yang menghasilkan produk-produk tersebut dalam menentukan jumlah produksi tidak berpatokan pada harga minyak sawit. Tanda positif pada harga minyak kelapa domestik, menunjukkan bahwa minyak kelapa merupakan input substitusi guna memproduksi produk olahan minyak sawit. Tidak nyatanya pengaruh harga minyak kelapa diduga karena bagi industri olahan minyak sawit tersebut, minyak kelapa atau minyak sawit bukan merupakan bahan baku utama, sehingga porsinya dalam biaya produksi tidaklah besar. Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui pula bahwa pengaruh dari tingkat upah industri terhadap permintaan minyak sawit oleh industri lain adalah tidak signifikan. Hal ini dikarenakan umumnya pada perusahaan penggunaan tenaga kerja sudah terikat pada suatu kesepakatan kerja. Sementara itu, permintaan minyak sawit oleh industri lain juga dipengaruhi oleh variabel bedakala, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu dibutuhkan oleh permintaan minyak sawit oleh industri lain
untuk
menyesuaikan
diri
kembali
atau
kembali
kepada
tingkat
keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 5.3.7. Penawaran Minyak Sawit Domestik Dalam studi ini penawaran minyak sawit domestik dinyatakan sebagai produksi dikurangi ekspor, ditambah impor, ditambah stok tahun sebelumnya. Hal
119
ini dikarenakan peningkatan harga minyak sawit dunia yang semakin cepat, menstimulus produsen minyak sawit domestik untuk mengekspor minyak sawit yang dihasilkannya. Akibatnya, ketersediaan (penawaran) minyak sawit domestik akan bersifat residual, yaitu sisa produksi setelah dikurangi ekspor. Kemudian karena Indonesia juga mengimpor minyak sawit dan sebagian penawaran juga berasal dari stok tahun lalu, maka persamaan penawaran domestik dapat dituliskan sebagai berikut : SMSDt = QMSIt - XMSIt + MMSIt + STKMSt-1 5.3.8. Harga Minyak Sawit Domestik Persamaan harga minyak sawit domestik dari model yang telah diduga ditentukan oleh penawaran minyak sawit Indonesia, permintaan minyak sawit Indonesia, harga riil ekspor minyak sawit Indonesia, dan harga minyak sawit domestik t-1. Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan pada Tabel 23, diketahui bahwa koefisien harga ekspor bernilai 0.8602 yang berarti kenaikan harga ekspor sebesar US.$ 1 per ton hanya akan meningkatkan harga minyak sawit domestik sebesar Rp 860.2 per ton. Jika diasumsikan nilai tukar rupiah terhadap US.$ adalah Rp 8 000, maka setiap kenaikan harga ekspor sebesar US.$ 1 hanya akan berdampak kenaikan sekitar 10.75 persen terhadap harga domestik. Hasil tersebut juga sesuai dengan fenomena aktual yang terjadi selama ini, yaitu terdapat selisih yang besar antara harga ekspor dan harga domestik dari minyak sawit. Kondisi ini dipercayai oleh banyak pakar sebagai permasalahan utama penyebab tingginya harga minyak goreng di dalam negeri karena produsen
120
minyak sawit lebih tertarik mengekspor produknya daripada menjualnya di dalam negeri. Variabel yang mempengaruhi harga minyak sawit domestik secara positif dan secara statistik bersifat nyata adalah permintaan minyak sawit Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa jika permintaan minyak sawit domestik yang digunakan sebagai bahan baku industri hilir minyak sawit meningkat maka harga minyak sawit meningkat yang kemudian harga TBS di tingkat petani juga akan meningkat. Diketahui bahwa respon harga minyak sawit domestik terhadap perubahan permintaan minyak sawit domestik bersifat inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini diduga karena umumnya perkebunan besar swasta memiliki industri minyak goreng sawit sendiri, sehingga secara eksplisit mencerminkan betapa kuatnya integrasi vertikal yang dibangun oleh perusahaan tersebut. Akibatnya perkebunan rakyat yang memproduksi minyak sawit rata-rata sebesar 21 persen (selama kurun waktu 1984-2007) dari total produksi minyak sawit Indonesia harus bersikap sebagai penerima harga, khususnya harga domestik yang selama ini diatur oleh pemerintah secara berkala. Tabel 23. Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Sawit Domestik Variable Intercept SMSD DMSD HRXMSI LHRMSD R-squared
Parameter Estimate 429.1900 -0.0282 0.5882 0.8602 0.2033 0.6758
Elastisitas SR LR -0.0440 0.5630 0.1310
-0.0550 0.7070 0.1640 Prob>|F|
Prob > |T| 0.5368 0.6190 0.0200 0.4056 0.3574 0.0008
Variable Label Supply CPO Indonesia Demand CPO Indonesia harga riil expor CPO Indonesia harga riil CPO Indonesia t-1 Durbin-h stat 3.9290
Sumber : Data diolah (2010) Secara statistik (Tabel 23), pengaruh penawaran minyak sawit domestik terhadap harga minyak sawit domestik adalah tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada penawaran minyak sawit domestik tidak dapat menjadi
121
tolok ukur bagi perubahan harga minyak sawit domestik. Selain faktor-faktor tersebut, harga minyak sawit domestik dipengaruhi secara tidak nyata oleh variabel bedakalanya (harga minyak sawit domestik t-1). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu bagi harga minyak sawit domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 5.3.9. Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia Hasil estimasi persamaan harga ekspor minyak sawit Indonesia disajikan pada Tabel 24. Harga ekspor minyak sawit Indonesia dari model yang diestimasi ditentukan oleh harga riil minyak sawit dunia, pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia, ekspor minyak sawit Indonesia, pajak ekspor minyak sawit Indonesia, dan harga ekspor minyak sawit Indonesia t-1. Dapat diketahui bahwa harga ekspor minyak sawit Indonesia dipengaruhi secara positif oleh harga riil minyak sawit dunia, pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia, dan harga ekspor minyak sawit Indonesia t-1. Adapun ekspor minyak sawit Indonesia dan pajak ekspor minyak sawit Indonesia mempengaruhi harga ekspor minyak sawit Indonesia secara negatif. Berdasarkan kriteria statistik, harga ekspor minyak sawit Indonesia hanya dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil minyak sawit dunia. Hal ini merupakan salah satu konsekuensi dari perekonomian terbuka yaitu terjadi integrasi harga antara harga di tingkat pasar global (harga dunia) dengan harga ekspor pada negara yang bersangkutan. Harga dunia berpengaruh sangat nyata terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia dengan koefisien parameter 0.8737 yang menjelaskan bahwa dari setiap kenaikan harga minyak sawit dunia sebesar US.$ 10 per ton, ceteris paribus, menyebabkan harga ekspor minyak sawit
122
Indonesia meningkat sebesar US.$ 8.737 per ton. Kemudian bila dilihat berdasarkan koefisien elastisitas, respon harga ekspor minyak sawit Indonesia terhadap perubahan harga minyak sawit dunia bersifat elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini berarti, perubahan harga minyak sawit dunia sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan yang lebih besar dari 1 persen pada harga ekspor minyak sawit Indonesia. Perubahan-perubahan kebijakan perdagangan seperti pajak ekspor akan melekat pada harga ekspor. Pada model ini, pajak ekspor berpengaruh nyata terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia dengan koefisien -1.9879 yang menunjukkan bahwa setiap kenaikan pajak ekspor sebesar 1 persen akan menurunkan harga ekspor minyak sawit Indonesia sebesar US.$ 1.9879 per ton. Namun demikian, respon harga ekspor minyak sawit Indonesia terhadap perubahan pajak ekspor sangat inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 24. Hasil Estimasi Persamaan Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia Variable Intercept HRMSW PHRMMW XMSI PXMSI
Parameter Estimate -57.7283 0.8737
1.0130
1.2190
0.1381 <.0001
0.0532
0.0008
0.0010
0.8653
-0.0009 -1.9879
-0.0090 -0.0380
-0.0100 -0.0460
0.6535 0.0092
LHRXMSI
0.1689
R-squared
0.9614
Elastisitas SR LR
Prob > |T|
0.0450 Prob>|F|
<.0001
Variable Label harga riil CPO dunia pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia expor CPO Indonesia pajak expor CPO Indonesia harga riil expor CPO Indonesia t-1 Durbin-h stat 0.5860
Sumber : Data diolah (2010) Pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia berpengaruh secara positif terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia. Ini berarti jika terdapat kenaikan pada harga minyak mentah dunia akan menyebabkan kenaikan harga ekspor
123
minyak sawit Indonesia. Hal ini diduga adanya peningkatan harga ekspor minyak sawit Indonesia tersebut sebagai akibat kenaikan permintaan minyak sawit di pasar dunia yang merupakan kenaikan permintaan oleh industri biodiesel. Namun berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 24, dapat ditunjukkan bahwa pengaruh perubahan pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia adalah tidak signifikan. Terjadinya hal tersebut disebabkan karena negara importir minyak sawit besar seperti Cina, India, dan Pakistan belum terlalu maju dalam pengembangan biodiselnya, tidak seperti di Amerika dan negara-negara Eropa. Secara ekonomi (Tabel 24), variabel ekspor minyak sawit Indonesia berpengaruh negatif terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia. Hal tersebut berarti peningkatan pada ekspor minyak sawit Indonesia akan menyebabkan penurunan pada harga ekspor minyak sawit Indonesia. Namun secara statistik pengaruh ekspor minyak sawit Indonesia terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia adalah tidak nyata, yang mengindikasikan bahwa perubahan pada ekspor minyak sawit Indonesia hanya mampu mendorong perubahan yang sangat kecil terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia. Hal ini dapat terlihat pula berdasarkan hasil tabulasi data historis dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, ekspor minyak sawit Indonesia meningkat rata-rata 32.76 persen per tahun akan tetapi pada kurun waktu yang sama harga ekspor minyak sawit Indonesia hanya meningkat rata-rata 1.40 persen per tahun. Kemudian variabel harga ekspor minyak sawit Indonesia t-1 (variabel bedakala) berpengaruh secara nyata terhadap harga ekspor minyak sawit Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif
124
lambat bagi harga ekspor minyak sawit Indonesia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 5.3.10. Ekspor Minyak Sawit Malaysia Negara-negara eksportir minyak sawit di dunia yang dianggap sebagai pesaing Indonesia adalah Malaysia, Papua New Guinea, dan Colombia. Penelitian ini hanya mempelajari perilaku ekspor Malaysia sebagai pesaing terbesar Indonesia untuk mengetahui daya saingnya di pasar dunia. Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan pada Tabel 25, dapat dijelaskan bahwa perilaku ekspor minyak sawit Malaysia ditentukan oleh perubahan harga riil ekspor minyak sawit Malaysia, perubahan harga riil minyak kelapa dunia, produksi minyak sawit Malaysia, nilai tukar efektif riil Malaysia, dan ekspor minyak sawit Malaysia t-1. Ekspor minyak sawit Malaysia dipengaruhi secara signifikan oleh produksi minyak sawit Malaysia dan nilai tukar efektif riil Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah minyak sawit yang dapat diproduksi mendorong pengusaha minyak sawit Malaysia untuk meningkatkan jumlah ekspor minyak sawit lebih banyak lagi. Kemudian jika dilihat berdasarkan nilai elastisitas, dapat dijelaskan bahwa pengaruh produksi minyak sawit Malaysia terhadap ekspor minyak sawit Malaysia adalah inelastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, jika dibandingkan dengan Malaysia maka Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik dan memenuhi kebutuhan minyak sawit dunia yang besar melalui ekspor yang besar.
125
Tabel 25. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Sawit Malaysia Variable Intercept
Parameter Estimate -1467.2300
Elastisitas SR LR
Prob > |T| 0.0158
SHRXMSM
1.3529
0.0008
0.0010
0.1901
SHRMKW
0.2899
0.0005
0.0006
0.6237
0.6689 734.3466 0.1489 0.9925
0.7488 0.2818
0.8797 0.3310
0.0002 0.0066 0.3647 <.0001
QMSM NTERM LXMSM R-squared
Variable Label
Prob>|F|
perubahan harga riil expor minyak sawit Malaysia perubahan harga riil minyak kelapa dunia produksi CPO Malaysia nilai tukar efektif riil Malaysia expor CPO Malaysia t-1 Durbin-h stat 0.1890
Sumber : Data diolah (2010) Pengaruh nilai tukar efektif riil Malaysia terhadap ekspor minyak sawit Malaysia juga signifikan, namun respon ekspor minyak sawit Malaysia terhadap perubahan nilai tukar efektif riil Malaysia bersifat inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini berarti bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar efektif riil Malaysia menyebabkan terjadinya perubahan pada jumlah minyak sawit yang diekspor pengusaha Malaysia, walaupun perubahannya kecil dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun pengaruh perubahan harga riil ekspor minyak sawit Malaysia terhadap ekspor minyak sawit Malaysia adalah tidak nyata. Hal ini serupa dengan yang terjadi pada Indonesia, yakni adanya kelambanan ekspor dalam merespon perubahan harga ekspor yang terjadi, yang diduga sebagai akibat praktek ikatan kontrak (forward trading) antara eksportir Malaysia dengan importir di negara tujuan ekspor. Kemudian pada Tabel 25 juga dapat ditunjukkan bahwa perubahan harga minyak kelapa dunia (sebagai barang substitusi) tidak dapat menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap jumlah ekspor minyak sawit Malaysia. Ini disebabkan di dunia, harga minyak sawit relatif lebih murah daripada harga minyak kelapa. Hal ini dapat terlihat pula berdasarkan hasil tabulasi data historis dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, rata-rata harga minyak kelapa dunia adalah
126
US.$ 677.13 per ton sedangkan pada kurun waktu yang sama rata-rata harga minyak sawit dunia sebesar US.$ 528.57 per ton. Selain faktor-faktor tersebut, ekspor minyak sawit Malaysia dipengaruhi secara tidak nyata oleh variabel bedakalanya (ekspor minyak sawit Malaysia t-1). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu bagi ekspor minyak sawit Malaysia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 5.3.11. Ekspor Minyak Sawit Dunia Disamping Indonesia dan Malaysia sebagai negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, ada beberapa negara lain yang juga memberi kontribusi terhadap total ekspor minyak sawit dunia. Dalam penelitian ini ekspor dari beberapa negara lain tersebut dikelompokkan ke dalam ekspor sisa dunia yang merupakan variabel eksogen. Ekspor minyak sawit dunia merupakan penjumlahan dari ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia, ditambah dengan ekspor minyak sawit sisa dunia. XMSWt = XMSIt + XMSMt + XMSRWt 5.3.12. Impor Minyak Sawit Cina Cina merupakan negara pengimpor minyak sawit terbesar di dunia saat ini. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabulasi data historis selama kurun waktu 20032007, dapat dijelaskan bahwa rata-rata share impor Cina terhadap total impor di dunia adalah 17 persen. Perilaku impor Cina dipelajari untuk mengetahui peluang pasar, khususnya untuk minyak sawit Indonesia dan Malaysia sebagai pesaing terbesar Indonesia.
127
Perilaku impor minyak sawit Cina dijelaskan oleh harga riil minyak sawit dunia, harga riil minyak kedele dunia, pendapatan per kapita riil Cina, nilai tukar efektif riil Cina, dan impor minyak sawit Cina t-1 (Tabel 26). Harga riil minyak sawit dunia dan nilai tukar efektif riil Cina mempengaruhi impor minyak sawit Cina secara negatif, artinya jika harga riil minyak sawit dunia atau nilai tukar efektif riil Cina meningkat maka impor minyak sawit Cina akan menurun. Adapun harga riil minyak kedele dunia, pendapatan per kapita riil Cina, dan impor minyak sawit Cina t-1 berpengaruh positif terhadap impor minyak sawit Cina. Impor minyak sawit Cina dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil minyak sawit dunia, harga riil minyak kedele dunia, dan pendapatan per kapita riil Cina. Sementara nilai tukar efektif riil Cina dan impor minyak sawit Cina t-1 berpengaruh terhadap impor minyak sawit Cina secara tidak signifikan. Secara ekonomi, respon impor minyak sawit Cina terhadap perubahan harga riil minyak sawit dunia adalah inelastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal ini berarti jika terdapat kenaikan harga riil minyak sawit dunia yang besar maka Cina hanya akan menurunkan impornya dalam jumlah yang kecil, begitu pula sebaliknya. Harga riil minyak kedele dunia juga mempengaruhi impor minyak sawit Cina secara signifikan, yang mana respon impor minyak sawit Cina terhadap perubahan harga riil minyak kedele dunia adalah inelastis dalam jangka pendek, namun elastis dalam jangka panjang. Hal ini berarti dalam jangka panjang, jika harga riil minyak kedele dunia (sebagai substitusi dari minyak sawit) meningkat sebesar 1 persen akan menyebabkan impor minyak sawit Cina meningkat lebih besar dari 1 persen.
128
Tabel 26. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit Cina Variable Intercept HRMSW HRMKDW INCRC NTERC LMMSC R-squared
Parameter Estimate -1050.9500 -2.8644 3.4553 0.3303 -14.5294 0.1814 0.9860
Elastisitas SR LR -0.7051 0.9550 1.1733 -0.0573
Prob > |T|
-0.8614 1.1667 1.4334 -0.0700 Prob>|F|
0.1293 0.0026 0.0025 0.0003 0.8300 0.3731 <.0001
Variable Label Harga riil CPO dunia Harga riil minyak kedele dunia pendapatan per kapita riil Cina nilai tukar efektif riil Cina impor CPO Cina t-1 Durbin-h stat -1.1260
Sumber : Data diolah (2010) Permintaan minyak sawit oleh Cina yang relatif lebih tinggi dibandingkan permintaan minyak kedelenya dikarenakan minyak kedele mengandung TFA (trans fatty acid) yang relatif tinggi dibandingkan minyak sawit sehingga banyak industri makanan yang memilih dan membeli minyak sawit sebagai bahan bakunya (Departemen Perdagangan RI, 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa Cina merupakan peluang pasar yang cukup besar bagi negara eksportir minyak sawit termasuk Indonesia. Secara statistik (Tabel 26), pendapatan per kapita riil Cina juga berpengaruh secara signifikan terhadap impor minyak sawit Cina. Selanjutnya, secara ekonomi, respon impor minyak sawit Cina terhadap perubahan pendapatan per kapita riil Cina adalah elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Bila dikaitkan dengan perjanjian perdagangan bebas dalam ACFTA (Asean China Free Trade Agreement), hal tersebut menjadikan Cina sebagai konsumen yang sangat menjanjikan bagi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Pengaruh nilai tukar efektif riil Cina terhadap impor minyak sawit Cina adalah tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar efektif riil Cina, tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur berubahnya nilai impor minyak sawit Cina. Selanjutnya, impor minyak sawit Cina juga dipengaruhi
129
secara tidak nyata oleh variabel bedakalanya. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu yang lama bagi impor minyak sawit Cina untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. 5.3.13. Impor Minyak Sawit India Berdasarkan tabulasi data historis selama kurun waktu 2003-2007, dapat dijelaskan bahwa rata-rata share impor India terhadap total impor di dunia adalah 14 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa India merupakan negara pengimpor minyak sawit terbesar kedua setelah Cina. Hasil estimasi pada Tabel 27 menunjukkan bahwa perilaku impor minyak sawit India dijelaskan oleh perubahan harga riil minyak sawit dunia, harga riil minyak kedele dunia t-1, pendapatan per kapita riil India, dan impor minyak sawit India t-1. Dapat diketahui bahwa, secara statistik impor minyak sawit India dipengaruhi secara signifikan hanya oleh variabel lagnya, yaitu impor minyak sawit India t-1. Hal itu mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari impor minyak sawit India untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Perubahan yang terjadi pada harga riil minyak sawit dunia tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap impor minyak sawit India. Ini menunjukkan kenaikan harga minyak sawit dunia tidak membuat pengusaha importir dari India mengurangi pembeliannya terhadap minyak sawit, karena kebutuhan yang besar terhadap minyak sawit tersebut. Kemudian dapat diketahui pula bahwa, secara statistik pengaruh harga riil minyak kedele dunia t-1 terhadap impor minyak sawit India adalah sangat tidak nyata. Hal itu mengindikasikan perubahan pada harga riil minyak kedele dunia t-1 (sebagai substitusi dari minyak sawit) tidak dapat
130
menyebabkan perubahan permintaan minyak sawit India, karena harga minyak kedele dunia relatif lebih mahal daripada harga minyak sawit dunia. Pernyataan tersebut didukung bahwa selama kurun waktu 1984 s/d 2007, rata-rata harga minyak kedele dunia adalah US.$ 598 per ton sedangkan pada kurun waktu yang sama rata-rata harga minyak sawit dunia sebesar US.$ 528.57 per ton. Disamping itu, diketahui bahwa isu minyak nabati merupakan salah satu alat kampanye untuk melindungi minyak kedele negara tersebut, yang mana politikus di India mengusung isu minyak nabati sebagai alat untuk memenangkan pemilu. India merupakan produsen kedelai (Glycine soja) terbesar kelima di dunia, setelah Amerika Serikat, Brasil, Argentina, dan Cina (Departemen Perdagangan RI, 2007). Tabel 27. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit India Variable Intercept SHRMSW
Parameter Estimate -694.9250
Elastisitas SR LR
Prob > |T|
Variable Label
0.4838
-1.0775
-0.0065
-0.0447
0.3104
LHRMKDW
0.2052
0.0582
0.4015
0.9102
INCRIND
0.0502
0.5114
3.5307
0.3081
LMMSIND R-squared
0.8552 0.9126
Prob>|F|
0.0007 <.0001
perubahan harga riil minyak sawit dunia harga riil minyak kedele dunia t-1 Pendapatan per kapita riil India impor CPO India t-1 Durbin-h stat 3.0130
Sumber : Data diolah (2010) Berbeda dengan Cina, pengaruh perubahan pendapatan per kapita riil India terhadap impor minyak sawit India adalah tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa perilaku impor minyak sawit India tidak ditentukan oleh perubahan pendapatan per kapitanya, namun lebih ditentukan oleh kebutuhan minyak sawit yang besar. Diketahui bahwa kebutuhan minyak nabati di India setiap tahun diperkirakan mencapai 11 juta ton, yang mana produksi dalam negeri sebesar 5.5 juta ton (yang
131
merupakan produksi minyak kedele) dan sisanya 5.5 juta ton berasal dari impor minyak sawit. minyak sawit dan turunannya yang dipasok oleh Indonesia sekitar 2.56 juta ton yang terdiri dari minyak sawit 1.79 juta ton dan sisanya berupa olein dan stearin. India hingga kini menjadi negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia. Tahun 2005, dari total ekspor minyak sawit Indonesia sebanyak 10.38 juta ton, India merupakan negara penyerap terbesar mencapai 24.6 persen kemudian diikuti dengan Cina sebesar 17.5 persen. Pasar ekspor minyak sawit ke India sangat menjanjikan walaupun pemerintah India masih menerapkan hambatan tarif berupa bea masuk guna memproteksi industri minyak kedelai domestiknya (Departemen Perdagangan RI, 2007). 5.3.14. Impor Minyak Sawit Pakistan Pakistan merupakan negara pengimpor minyak sawit terbesar ketiga setelah Cina dan India. Hal ini sesuai dengan hasil tabulasi data historis selama kurun waktu 2003-2007, dapat dijelaskan bahwa rata-rata share impor Pakistan terhadap total impor di dunia adalah 6 persen. Berdasarkan Tabel 28, diketahui bahwa perilaku impor minyak sawit Pakistan ditentukan oleh harga riil minyak sawit dunia, harga riil minyak kedele dunia, pendapatan per kapita riil Pakistan, nilai tukar efektif riil Pakistan t-1, dan impor minyak sawit Pakistan t-1. Secara statistik, pengaruh harga riil minyak sawit dunia, harga riil minyak kedele dunia, dan impor minyak sawit Pakistan t-1 terhadap impor minyak sawit Pakistan adalah nyata. Adapun pendapatan per kapita riil Pakistan dan nilai tukar efektif riil Pakistan t-1 berpengaruh secara tidak nyata terhadap impor minyak sawit Pakistan.
132
Secara ekonomi, respon impor minyak sawit Pakistan terhadap perubahan harga riil minyak sawit dunia atau harga minyak kedele dunia adalah inelastis dalam jangka pendek, namun elastis dalam jangka panjang. Hal tersebut berarti dalam jangka panjang Pakistan merupakan peluang pasar yang cukup besar bagi negara eksportir minyak sawit termasuk Indonesia. Pengaruh nilai tukar efektif riil Pakistan t-1 terhadap impor minyak sawit Pakistan adalah tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada nilai tukar efektif riil Pakistan, tidak dapat membuat berubahnya jumlah impor minyak sawit Pakistan. Kemudian, impor minyak sawit Pakistan dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi impor minyak sawit Pakistan untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Sama halnya dengan India, pengaruh perubahan pendapatan per kapita riil Pakistan terhadap impor minyak sawit Pakistan adalah tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa perilaku impor minyak sawit Pakistan tidak dapat ditentukan oleh perubahan pendapatan per kapitanya. Tabel 28. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit Pakistan Parameter Estimate 206.2166 -1.0558 0.7428
-0.4570 0.3610
-13.6980 10.8220
0.5071 0.0161 0.0740
0.0008
0.0160
0.4890
0.9383
LNTERP
-0.6576
-0.0260
-0.7830
0.9161
LMMSP R-squared
0.9666 0.9540
Variable Intercept HRMSW HRMKDW INCRP
Elastisitas SR LR
Sumber : Data diolah (2010)
Prob>|F|
Prob > |T|
<.0001 <.0001
Variable Label harga riil CPO dunia harga riil minyak kedele dunia pendapatan per kapita riil Pakistan nilai tukar efektif riil Pakistan t-1 impor CPO Pakistan t-1 Durbin-h stat -3.1740
133
Terdapat faktor lain yang lebih besar pengaruhnya terhadap perubahan impor minyak sawit Pakistan seperti kebutuhan minyak sawit yang semakin meningkat yang mana rata-rata pertumbuhan impor minyak sawit Pakistan adalah sebesar 3.13 persen selama kurun waktu 2005-2008 (Oil World, 2009) dan adanya perubahan dalam penetapan bea masuk minyak sawit. Selama kurun waktu 20052008, diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan impor minyak sawit Pakistan yang berasal dari Indonesia adalah sebesar 19.97 persen (Oil World, 2009). Berdasarkan hal itu diketahui bahwa Pakistan merupakan peluang pasar yang cukup menjanjikan bagi Indonesia. 5.3.15. Impor Minyak Sawit Dunia Cina, India, dan Pakistan merupakan negara pengimpor minyak sawit terbesar di dunia serta ada Indonesia dan beberapa negara lain yang juga memberi kontribusi terhadap total impor minyak sawit dunia. Dalam penelitian ini impor dari beberapa negara lain tersebut dikelompokkan ke dalam impor sisa dunia yang merupakan variabel eksogen. Impor minyak sawit dunia merupakan penjumlahan dari impor minyak sawit Cina, India, Pakistan, dan Indonesia, ditambah dengan impor minyak sawit sisa dunia. MMSWt = MMSCt + MMSINDt + MMSPt + MMSIt + MMSRWt 5.3.16. Harga Minyak Sawit Dunia Berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan harga minyak sawit dunia yang ditunjukkan pada Tabel 29, dapat dijelaskan bahwa harga minyak sawit dunia (HRMSW) dipengaruhi secara positif oleh impor minyak sawit dunia dan harga minyak sawit dunia t-1. Adapun variabel ekspor minyak sawit dunia berpengaruh secara negatif terhadap HRMSW.
134
Variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap harga minyak sawit dunia hanya harga minyak sawit dunia t-1. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa secara statistik harga minyak sawit dunia dipengaruhi secara signifikan hanya oleh variabel lagnya, yaitu harga minyak sawit dunia t-1. Hal itu mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari harga minyak sawit dunia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Adapun ekspor maupun impor minyak sawit dunia berpengaruh secara tidak nyata terhadap harga minyak sawit dunia. Ini berarti perubahan ekspor ataupun impor minyak sawit dunia tidak dapat menyebabkan perubahan yang besar terhadap harga minyak sawit dunia. Hal tersebut didukung oleh hasil tabulasi data historis bahwa dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, ekspor minyak sawit dunia meningkat rata-rata 10.02 persen per tahun, adapun impor minyak sawit dunia meningkat rata-rata 9.58 persen per tahun, akan tetapi pada kurun waktu yang sama harga minyak sawit dunia hanya meningkat rata-rata 0.98 persen per tahun. Tabel 29. Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Sawit Dunia Variable Intercept XMSW MMSW LHRMSW R-squared
Parameter Estimate 279.8991 -0.0089 0.0074 0.4968 0.2838
Elastisitas SR LR -0.2700 0.2130
Prob > |T|
-0.5370 0.4230 Prob>|F|
0.0956 0.6817 0.7187 0.0561 0.1201
Variable Label expor CPO dunia impor CPO dunia harga riil CPO dunia t-1 Durbin-h stat tak terdef
Sumber : Data diolah (2010) 5.4. Keragaan Blok Minyak Goreng Sawit Minyak goreng sawit merupakan salah satu produk olahan dari industri minyak sawit dan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Kebijakankebijakan pemerintah pada industri minyak sawit (CPO) seringkali dihadapkan pada persoalan yang dilematis. Pada satu sisi, industri minyak sawit merupakan
135
penghasil devisa yang cukup besar, sementara pada sisi lain setiap kebijakan yang mendorong peningkatan ekspor minyak sawit menyebabkan konsumen minyak goreng sawit domestik akan menanggung beban kenaikan harga. Dengan pertimbangan tersebut, keberadaan blok minyak goreng sawit diperlukan sebagai salah satu aspek keragaan industri minyak sawit. Blok ini terdiri dari enam persamaan, yaitu produksi minyak goreng sawit Indonesia, ekspor minyak goreng sawit Indonesia, penawaran minyak goreng sawit domestik, permintaan minyak goreng sawit domestik, harga minyak goreng sawit domestik, dan harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia. 5.4.1. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia Produksi minyak goreng sawit Indonesia (domestik) dari model yang telah diduga (Tabel 30), ditentukan oleh harga minyak goreng sawit domestik t-1, harga minyak sawit domestik t-1, tren, dan produksi minyak goreng sawit domestik t-1. Secara statistik harga minyak goreng sawit domestik t-1, harga minyak sawit domestik t-1, dan tren berbeda nyata dengan nol terhadap produksi minyak goreng sawit domestik pada taraf α 15%. Adapun produksi minyak goreng sawit domestik t-1 tidak berbeda nyata dengan nol terhadap produksi minyak goreng sawit domestik. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa tidak ada tenggang waktu yang relatif lambat dari produksi minyak goreng sawit domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Peningkatan harga minyak goreng sawit domestik t-1 sebesar Rp 1 per kg dapat mendorong kenaikan produksi sebesar 1 687.4 ton minyak goreng. Secara ekonomi respon produksi minyak goreng sawit domestik terhadap perubahan harga minyak goreng sawit domestik t-1 adalah elastis dalam jangka pendek dan
136
jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak goreng sawit domestik t-1 sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi minyak goreng sawit domestik lebih besar dari 1 persen. Pengaruh kenaikan harga minyak sawit domestik t-1 (sebagai input) sebesar Rp 1 per kg akan menyebabkan penurunan produksi minyak goreng sawit domestik sebesar 1 273.3 ton. Ditambah respon produksi minyak goreng sawit domestik terhadap perubahan harga minyak sawit domestik t-1 yang bersifat elastis (jangka pendek dan jangka panjang). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa produksi minyak goreng sawit domestik untuk memenuhi permintaan atas komoditas tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan harga minyak sawit domestik sebagai bahan bakunya. Tabel 30. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia Variable Intercept LHRMGSD LHRMSD TREN
Parameter Estimate -5591.9900
Elastisitas SR LR
Prob > |T| 0.0317
1.6874
2.8430
3.5110
0.0437
-1.2733 309.2388
-1.4800 1.8450
-1.8270 2.2780
0.1340 0.0093
LQMGS
0.1902
R-squared
0.7444
Variable Label
0.4163 Prob>|F|
0.0001
harga riil minyak goreng sawit domestik t-1 harga riil CPO domestik t-1 Teknologi produksi minyak goreng sawit t-1 Durbin-h stat tak terdef
Sumber : Data diolah (2010) Variabel tren yang merupakan proksi terhadap penggunaan teknologi berpengaruh positif terhadap produksi minyak goreng sawit domestik. Secara ekonomi pengaruh tren terhadap perubahan produksi minyak goreng sawit domestik bersifat elastis. Hal ini memberikan indikasi bahwa industri minyak goreng sawit telah mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi produksi sehingga keberadaan teknologi ini dapat memacu pertumbuhan produksi
137
minyak goreng sawit domestik yang besar dari tahun ke tahun selama periode pengamatan. 5.4.2. Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia Hasil estimasi persamaan ekspor minyak goreng sawit Indonesia disajikan pada Tabel 31. Ekspor minyak goreng sawit Indonesia dari model yang diestimasi ditentukan oleh harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1, harga riil minyak goreng sawit domestik, produksi minyak goreng sawit domestik, nilai tukar efektif riil Indonesia t-1, dan ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1. Dapat diketahui bahwa ekspor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara positif oleh harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1, produksi minyak goreng sawit domestik, nilai tukar efektif riil Indonesia t-1, dan ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1. Adapun harga riil minyak goreng sawit domestik mempengaruhi Ekspor minyak goreng sawit Indonesia secara negatif. Berdasarkan kriteria statistik, ekspor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1, produksi minyak goreng sawit domestik, nilai tukar efektif riil Indonesia t-1, dan ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1. Harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1 berpengaruh sangat nyata terhadap ekspor minyak goreng sawit Indonesia dengan koefisien parameter 1.0967 yang menjelaskan bahwa dari setiap kenaikan harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1 sebesar US.$ 1 per ton, ceteris paribus, menyebabkan ekspor minyak goreng sawit Indonesia meningkat sebesar 1 096.7 ton. Kemudian bila dilihat berdasarkan koefisien elastisitas, respon ekspor minyak goreng sawit Indonesia terhadap perubahan harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1
138
bersifat inelastis dalam jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang. Hal ini berarti dalam jangka panjang, perubahan harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1 sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan yang lebih besar dari 1 persen pada ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Produksi minyak goreng sawit domestik berpengaruh secara positif terhadap ekspor minyak goreng sawit Indonesia dan secara statistik pengaruhnya siginifikan. Ini berarti jika terdapat kenaikan pada produksi minyak goreng sawit domestik akan menyebabkan kenaikan ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Namun berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 31, dapat ditunjukkan bahwa respon ekspor minyak goreng sawit Indonesia terhadap perubahan produksi minyak goreng sawit domestik adalah inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Tabel 31. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia Variable Intercept LHRXMGSI
Parameter Estimate -642.0550
Elastisitas SR LR
Prob > |T| 0.3284
1.0967
0.5850
2.0250
0.0798
-0.0611
-0.2550
-0.8830
0.6710
QMGS
0.0995
0.2470
0.8530
0.0802
LNTERI
0.0678
0.4440
1.5360
0.1776
LXMGS
0.7110
R-squared
0.8770
HRMGSD
Variable Label
0.0006 Prob>|F|
<.0001
harga riil expor minyak goreng sawit Indonesia t-1 harga riil minyak goreng sawit domestik produksi minyak goreng sawit domestik nilai tukar efektif riil Indonesia t-1 expor minyak goreng sawit t-1 Durbin-h stat -2.7650
Sumber : Data diolah (2010) Secara ekonomi, respon ekspor minyak goreng sawit Indonesia terhadap perubahan variabel nilai tukar efektif riil Indonesia t-1 adalah inelastis dalam jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang. Hal tersebut berarti bahwa dalam jangka panjang, dengan terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dollar
139
amerika akan mendorong pengusaha eksportir minyak goreng sawit untuk meningkatkan ekspornya. Variabel ekspor minyak goreng sawit Indonesia t-1 berpengaruh secara nyata terhadap ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi ekspor minyak goreng sawit Indonesia untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Adapun variabel harga riil minyak goreng sawit domestik berpengaruh terhadap ekspor minyak goreng sawit Indonesia secara tidak signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa intervensi pemerintah melindungi konsumen pada pasar minyak goreng sawit tidak menimbulkan dilema karena penekanan harga minyak goreng sawit domestik tidak mendorong peningkatan ekspor minyak goreng sawit Indonesia. 5.4.3. Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik Pada penelitian ini penawaran minyak goreng sawit domestik merupakan selisih produksi minyak goreng sawit Indonesia dengan ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Secara matematis konsep tersebut disajikan pada persamaan berikut. SMGSt = QMGSt - XMGSt 5.4.4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik Sebagai barang konsumsi maka variabel yang diduga kuat mempengaruhi permintaan minyak goreng sawit domestik yaitu harga minyak goreng sawit domestik, harga minyak goreng kelapa domestik sebagai barang substitusi, dan pendapatan per kapita masyarakat.
140
Tabel 32. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit Dometik Variable Intercept
Parameter Estimate 402.6444
Elastisitas SR LR
Variable Label
Prob > |T| 0.6943
HRMGSD
-0.3088
-1.3040
-2.7350
0.0413
HRMGKD
0.2199
1.1280
2.3660
0.1346
INCRI
0.0367
0.2320
0.4870
0.4932
LDMGS
0.5232
R-squared
0.5821
0.0204 Prob>|F|
0.0053
harga riil minyak goreng sawit domestik harga riil minyak goreng kelapa domestik pendapatan per kapita riil Indonesia demand minyak goreng sawit domestik t-1 Durbin-h stat 4.4800
Sumber : Data diolah (2010) Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 32 dapat diketahui hanya variabel pendapatan per kapita Indonesia yang tidak nyata pengaruhnya terhadap permintaan minyak goreng sawit domestik. Hal itu berarti bahwa permintaan minyak goreng sawit domestik lebih ditentukan oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa domestik sebagai substitusinya. Respon permintaan minyak goreng sawit domestik terhadap perubahan harga minyak goreng sawit atau harga minyak goreng kelapa domestik adalah elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika koefisien tersebut diperbandingkan, permintaan minyak goreng sawit lebih responsif terhadap perubahan harganya sendiri dibandingkan terhadap perubahan harga minyak goreng kelapa. Hal itu menunjukkan bahwa minyak goreng kelapa tidak cukup kuat mensubstitusi minyak goreng sawit. 5.4.5. Harga Minyak Goreng Sawit Domestik Secara teori ekonomi, diketahui bahwa harga minyak goreng sawit domestik dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran minyak goreng sawit serta variabel lagnya (harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya). Namun pada
141
penelitian ini, setelah melalui tahapan respesifikasi, variabel permintaan dan penawaran minyak goreng sawit digabung menjadi variabel excess demand minyak goreng sawit. Secara statistik, variabel yang mempengaruhi harga minyak goreng sawit domestik secara signifikan hanya harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia maka harga minyak goreng sawit domestik juga mengalami peningkatan. Namun secara ekonomi, respon perubahan harga minyak goreng sawit domestik akibat perubahan harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia adalah inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Ini berarti bahwa kenaikan harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia sebesar 10 persen hanya menyebabkan kenaikan harga minyak goreng sawit domestik lebih kecil dari 10 persen. Adapun variabel excess demand minyak goreng sawit berpengaruh terhadap harga minyak goreng sawit domestik secara tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa permintaan dan penawaran minyak goreng sawit memiliki pengaruh yang kecil terhadap perubahan harga minyak goreng sawit domestik. Hal tersebut didukung oleh hasil tabulasi data historis bahwa dalam kurun waktu 1984 s/d 2007, permintaan minyak goreng sawit meningkat rata-rata 15 persen per tahun, adapun penawaran minyak goreng sawit meningkat rata-rata 40 persen per tahun, akan tetapi pada kurun waktu yang sama harga minyak goreng sawit domestik hanya meningkat rata-rata 1 persen per tahun. Selanjutnya pengaruh harga minyak goreng sawit domestik t-1 terhadap harga minyak goreng sawit domestik adalah tidak berbeda nyata dengan nol. Hal
142
itu mengindikasikan bahwa tidak ada tenggang waktu yang relatif lambat dari harga minyak goreng sawit domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Tabel 33. Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit Dometik Variable Intercept
Parameter Estimate 2810.6300
Elastisitas SR LR
Variable Label
Prob > |T| 0.0034
EXDMGS
0.0039
0.00049
0.00050
0.9627
HRXMGSI
2.2225
0.2819
0.2840
0.0140
LHRMGSD
0.0068
R-squared
0.3474
0.9734 Prob>|F|
0.0587
excess demand minyak goreng sawit domestik harga riil ekspor minyak goreng sawit Indonesia harga riil minyak goreng sawit domestik t-1 Durbin-h stat 1.6350
Sumber : Data diolah (2010) 5.4.6. Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia Hasil estimasi persamaan harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia disajikan pada Tabel 34. Harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia dari model yang diestimasi ditentukan oleh harga riil minyak goreng sawit dunia dan pertumbuhan ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Dapat diketahui bahwa harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara positif oleh harga riil minyak goreng sawit dunia. Adapun pertumbuhan ekspor minyak goreng sawit Indonesia mempengaruhi harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia secara negatif. Tabel 34. Hasil Estimasi Persamaan Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia Variable Intercept HRMGSW PXMGS R-squared
Parameter Estimate -19.3125
Elastisitas SR LR
Prob > |T|
Variable Label
0.0043
0.9728
1.0370
<.0001
-0.0155
-0.0010
0.5426
0.9979
Sumber : Data diolah (2010)
Prob>|F|
<.0001
harga riil minyak goreng sawit dunia pertumbuhan ekspor minyak goreng sawit Indonesia Durbin-w stat 0.5700
143
Berdasarkan kriteria statistik (Tabel 34), harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia hanya dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil minyak goreng sawit dunia. Hal ini merupakan salah satu konsekuensi dari perekonomian terbuka yaitu terjadi integrasi harga antara harga di tingkat pasar global (harga dunia) dengan harga ekspor pada negara yang bersangkutan. Kemudian bila dilihat berdasarkan koefisien elastisitas, respon harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia terhadap perubahan harga minyak goreng sawit dunia bersifat elastis. Hal ini berarti, perubahan harga minyak goreng sawit dunia sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan yang lebih besar dari 1 persen pada harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia. 5.5. Ringkasan Hasil Berdasarkan hasil pendugaan model industri minyak sawit Indonesia diperoleh beberapa hasil penting sebagai berikut : 1. Secara umum hasil pendugaan model industri minyak sawit Indonesia cukup baik. Semua tanda parameter dugaan untuk variabel yang digunakan dalam model sesuai dengan yang diharapkan. Variabel penjelas yang digunakan mampu menjelaskan variasi nilai variabel endogennya dengan cukup baik. 2. Respon luas areal tanaman menghasilkan pada perkebunan besar negara terhadap perubahan harga minyak sawit lebih inelastis, dibandingkan respon luas areal tanaman menghasilkan pada perkebunan rakyat maupun perkebunan besar swasta terhadap perubahan harga minyak sawit. 3. Respon produktivitas minyak sawit terhadap peningkatan areal pada perkebunan rakyat, negara, dan swasta, baik di Sumatera maupun Kalimantan adalah inelastis. Respon produktivitas yang inelastis terhadap perubahan luas
144
areal tersebut dapat disebabkan karena pengaruh umur tanaman, dimana tanaman yang berumur muda mempunyai produktivitas yang lebih rendah. Disamping itu dapat pula disebabkan karena penurunan kualitas tanaman dan manajemen perkebunan dengan semakin luasnya areal tanaman. 4. Harga minyak sawit domestik lebih responsif terhadap perubahan permintaan minyak sawit domestik daripada perubahan harga ekspor minyak sawit. Harga minyak sawit domestik selalu lebih rendah dari harga ekspornya karena adanya intervensi pemerintah dalam tataniga minyak sawit dengan ditetapkannya harga dan jumlah alokasi minyak sawit di dalam negeri. Di samping itu, juga disebabkan karena umumnya perkebunan besar swasta memiliki industri minyak goreng sawit sendiri yang mencerminkan betapa kuatnya integrasi vertikal yang dibangun oleh perusahaan tersebut. Akibat dari keadaan ini adalah perkebunan rakyat yang memasok sekitar 30 persen dari total produksi minyak sawit Indonesia harus bersikap sebagai penerima harga (price taker) karena disamping sebagian besar pekebun pada perkebunan rakyat terikat perjanjian pemasaran antara Inti-Plasma pada program PIR, juga disebabkan karena skala usaha yang tidak memungkinkan untuk melakukan ekspor. 5. Harga ekspor minyak sawit Indonesia responsif terhadap perubahan harga minyak sawit dunia baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa jika terdapat kenaikan dalam harga minyak sawit dunia akan mendorong para pengusaha eksportir minyak sawit untuk meningkatkan ekspor minyak sawitnya. Namun dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa peningkatan harga ekspor minyak sawit Indonesia, hanya menyebabkan
145
perubahan relatif kecil terhadap harga minyak sawit domestik dan jumlah ekspor minyak sawit Indonesia. 6. Ekspor minyak goreng sawit Indonesia elastis terhadap perubahan harga ekspor minyak goreng sawit Indonesia dan nilai tukar efektif riil Indonesia dalam jangka panjang. Respon ekspor minyak goreng sawit Indonesia terhadap perubahan harga minyak goreng sawit domestik dan produksi minyak goreng sawit domestik adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara permintaan minyak goreng sawit domestik lebih elastis terhadap perubahan harga minyak goreng sawit daripada perubahan harga minyak goreng kelapa domestik. Hal ini menjelaskan bahwa minyak goreng kelapa tidak cukup kuat mensubstitusi konsumsi minyak goreng sawit. 7. Variabel excess demand minyak goreng sawit berpengaruh terhadap harga minyak goreng sawit domestik secara tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa permintaan dan penawaran minyak goreng sawit memiliki pengaruh yang kecil terhadap perubahan harga minyak goreng sawit domestik. 8. Ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia signifikan dipengaruhi oleh tingkat produksi minyak sawitnya dan tidak signifikan dipengaruhi oleh perubahan harga ekspor yang terjadi. Hal ini dapat terjadi karena adanya praktek forward trading atau perdagangan dengan ikatan kontrak kedua negara ini dengan negara importir. Ekspor minyak sawit Indonesia relatif lebih responsif terhadap perubahan harga ekspornya dibandingkan ekspor minyak sawit Malaysia. Hal ini berarti setiap peluang ekspor yang timbul akibat terjadinya kenaikan harga ekspor akan direspon lebih besar oleh Indonesia, yang mencerminkan bahwa dari
146
aspek harga, Indonesia mempunyai daya saing yang lebih baik dibandingkan dengan Malaysia sebagai kompetitornya. 9. Dalam jangka pendek, respon impor minyak sawit terhadap perubahan harga minyak sawit dunia bersifat inelastis di semua negara importir besar minyak sawit (Cina, India, dan Pakistan). Hal ini berarti jika terdapat kenaikan harga minyak sawit dunia yang cukup besar, negara-negara pengimpor terbesar minyak sawit hanya sedikit mengurangi pembelian minyak sawitnya. Impor Cina dan Pakistan relatif lebih responsif terhadap perubahan harga minyak kedele dunia (sebagai substitusi dari minyak sawit) dibandingkan dengan India, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu, kedua negara ini merupakan peluang pasar yang cukup besar bagi negara eksportir minyak sawit, termasuk Indonesia. Disamping itu, respon impor Cina terhadap perubahan pendapatan per kapitanya adalah elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Bila dikaitkan dengan perjanjian perdagangan bebas dalam ACFTA (Asean China Free Trade Agreement), hal tersebut menjadikan Cina sebagai konsumen yang cukup menjanjikan bagi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.
VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TAHUN 2003-2007 6.1. Evaluasi Daya Prediksi Model Hasil validasi model tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa sebagian besar variabel endogen memiliki nilai rata-rata RMSPE sebesar 10.26 persen dan UTheil sebesar 0.05. Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar persamaan di dalam model memiliki daya prediksi yang baik. Walaupun beberapa persamaan diantaranya memiliki validasi yang lemah, namun nilai-nilai dekomposisi koefisien U-Theil mengindikasikan bahwa bias (error) yang terjadi dalam simulasi model lebih banyak disebabkan oleh faktor nonsistematik. Dengan demikian maka secara umum model yang dibangun mempunyai daya prediksi yang cukup valid untuk melakukan simulasi historis dan simulasi peramalan. Hasil validasi model selengkapnya disajikan pada Lampiran 6. 6.2. Dampak Kebijakan Domestik terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia Evaluasi dampak penerapan alternatif kebijakan domestik terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia dibatasi kepada perubahan variabel endogen yang terkait dengan pengukuran kesejahteraan pelaku industri minyak sawit, yaitu produksi minyak sawit, harga minyak sawit domestik, permintaan minyak sawit domestik, volume dan harga ekspor minyak sawit dan minyak goreng sawit, serta produksi minyak goreng sawit, harga minyak goreng sawit domestik, permintaan minyak goreng sawit domestik. Evaluasi dilakukan terhadap 3 skenario simulasi historis tahun 2003-2007. Berikut ini dikemukakan hasil simulasi pada masing-masing skenario.
148
6.2.1.Peningkatan Pajak Ekspor Minyak Sawit Dari Tabel 35 dapat dijelaskan peningkatan pajak ekspor minyak sawit sebesar 50 persen menyebabkan harga ekspor minyak sawit dan ekspor minyak sawit berkurang masing-masing sebesar 1.106 persen dan 0.031 persen. Penurunan harga ekspor minyak sawit sebesar 1.106 persen menyebabkan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan sebesar 0.099 persen, kemudian menyebabkan harga minyak goreng sawit domestik turun sebesar 0.005 persen dan produksi minyak sawit domestik menurun sebesar 0.024 persen. Karena penurunan harga minyak sawit domestik lebih besar dari penurunan harga minyak goreng sawit domestik maka produksi minyak goreng sawit mengalami peningkatan sebesar 0.064 persen. Peningkatan produksi minyak goreng sawit tersebut mendorong peningkatan ekspor minyak goreng sawit sebesar 0.032 persen. Adapun permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.039 persen sebagai akibat naiknya permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit (karena penurunan harga minyak sawit domestik lebih besar dari penurunan harga minyak goreng sawit domestik). Sementara penawaran minyak sawit domestik mengalami penurunan sebesar 0.007 persen. Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai dasar dari produksi minyak sawit dibandingkan ekspor minyak sawit Indonesia dan selisih perubahan yang terjadi pada produksi minyak sawit serta ekspor minyak sawit Indonesia tidak besar, sehingga penurunan produksi minyak sawit menjadi lebih besar daripada penurunan ekspor minyak sawit Indonesia.
149
Tabel 35. Dampak Peningkatan Pajak Ekspor Minyak Sawit sebesar 50 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 No.
Variabel Endogen
1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2 3 4
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
5
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
6
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
7
Nilai Dasar
Perubahan (%)
1336.9
-0.0075
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
247.3
0.0000
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
473.8
0.0000
54.6863
-0.0018
1550.6
-0.0064
445.7
-0.0224
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
3.0039
-0.0233
8
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
2.2989
-0.0130
9
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
3.7331
-0.0214
10
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
3.2087
-0.0374
11
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
3.5997
-0.0083
12
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
3.1909
-0.0094
13
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
4028.1
-0.0323
14
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
571.1
-0.0175
15
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
16
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
17
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
18
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
19
Produksi Minyak Sawit Indonesia
20
1771.8
-0.0282
176.9
-0.0565
5601.2
-0.0214
1451.4
-0.0207
14128.2
-0.0241
Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
4231.8
0.0638
21
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
3275.2
0.0427
22
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
359.9
0.0000
23
Permintaan Minyak Sawit Domestik
3635.1
0.0385
24
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
1028.6
0.0000
25
Penawaran Minyak Sawit Domestik
8776.1
-0.0068
26
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
2676.8
0.0785
27
Harga Minyak Sawit Domestik
3344.5
-0.0987
28
Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
397.9
-1.1058
29
Harga Minyak Sawit Dunia
466.2
0.0000
3788.1
-0.0053
397.3
0.0000
9119.8
-0.0307
30
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
31
Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
32
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
33
Ekspor Minyak Sawit Malaysia
34
Ekspor Minyak Sawit Dunia
35
13138
0.0000
25678.6
-0.0109
Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
1555.1
0.0322
36
Impor Minyak Sawit Cina
4488.9
-0.0022
37
Impor Minyak Sawit India
3825
0.0000
38
Impor Minyak Sawit Pakistan
1483.3
-0.0067
39
Impor Minyak Sawit Dunia
26320.8
-0.0008
Sumber : Data diolah (2010)
150
Kemudian permintaan terhadap minyak goreng sawit domestik tidak mengalami perubahan sebagai akibat perubahan yang sangat kecil pada harga minyak goreng sawit domestik. 6.2.2.Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia Tabel 36 menunjukkan bahwa penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) riil sebesar 20 persen memberikan dampak peningkatan terhadap luas areal tanaman menghasilkan di semua wilayah dan bentuk pengusahaan perkebunan, kecuali pada perkebunan rakyat di Kalimantan. Hal ini sejalan dengan hasil estimasi model dimana respon areal perkebunan rakyat di Kalimantan adalah yang paling inelastis dibandingkan perkebunan yang lainnya. Peningkatan luas areal terbesar terdapat pada perkebunan rakyat di Sumatera, yaitu sebesar 0.120 persen, kemudian diikuti oleh perkebunan besar swasta di Kalimantan dan perkebunan besar negara di Sumatera masing-masing 0.089 persen dan 0.084 persen. Peningkatan luas areal terbesar adalah pada perkebunan rakyat di Sumatera karena respon areal perkebunan rakyat di Sumatera terhadap perubahan suku bunga BI lebih elastis dibandingkan respon areal perkebunan yang lainnya. Penurunan suku bunga BI mampu meningkatkan produktivitas pada semua bentuk pengusahaan perkebunan. Peningkatan produktivitas terbesar adalah pada perkebunan besar negara di Kalimantan yaitu sebesar 0.060 persen. Adapun peningkatan produktivitas terkecil adalah pada perkebunan besar swasta di Sumatera yaitu sebesar 0.017 persen. Peningkatan luas areal dan produktivitas secara total menyebabkan peningkatan produksi minyak sawit sebesar 0.099 persen sehingga ekspor minyak sawit Indonesia meningkat sebesar 0.1 persen. Kenaikan ekspor minyak sawit
151
Indonesia mendorong penurunan harga ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 0.025 persen. Kemudian, rendahnya persentase peningkatan produksi minyak sawit relatif terhadap persentase kenaikan ekspor minyak sawit Indonesia menyebabkan pasokan bahan baku untuk industri minyak goreng sawit menurun sehingga produksi minyak goreng sawit mengalami penurunan sebesar 0,092 persen. Penurunan suku bunga BI menyebabkan peningkatan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit maupun industri lain masing-masing sebesar 0.028 persen dan 2.167 persen, sehingga secara total permintaan minyak sawit domestik meningkat sebesar 0.239 persen yang kemudian menyebabkan peningkatan harga minyak sawit domestik sebesar 0.164 persen. Kenaikan harga minyak sawit domestik akan mendorong peningkatan harga minyak goreng sawit domestik sebesar 0.003 persen yang selanjutnya menyebabkan penurunan terhadap permintaan minyak goreng sawit domestik sebesar 0.010 persen. Permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit mengalami peningkatan disebabkan oleh besarnya pengaruh peningkatan harga minyak goreng sawit domestik dibandingkan pengaruh peningkatan harga minyak sawit domestik. Kenaikan permintaan minyak sawit oleh industri lain dapat dijelaskan karena berdasarkan hasil estimasi permintaan minyak sawit oleh industri lain hanya dipengaruhi secara signifikan oleh variabel suku bunga BI riil. Hal ini mengindikasikan bahwa industri lain yang membutuhkan bahan baku minyak sawit, seperti margarin, sabun, mie, oleokimia, serta biodiesel memerlukan insentif (seperti suku bunga kredit yang murah) sehingga mereka bersedia
152
Tabel 36. Dampak Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 No.
Variabel Endogen
1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2 3 4
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
5
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
Nilai Dasar
Perubahan (%)
1336.9
0.1197
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
247.3
0.0000
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
473.8
0.0844
54.6863
0.0079
1550.6
0.0387
6
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
445.7
0.0897
7
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
3.0039
0.0433
8
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
2.2989
0.0261
9
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
3.7331
0.0402
10
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
3.2087
0.0623
11
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
3.5997
0.0167
12
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
3.1909
0.0282
13
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
4028.1
0.1614
14
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
571.1
0.0525
15
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
16
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
17
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
18
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
19
Produksi Minyak Sawit Indonesia
20 21
1771.8
0.1129
176.9
0.0565
5601.2
0.0571
1451.4
0.1240
14128.2
0.0991
Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
4231.8
-0.0922
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
3275.2
0.0275
22
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
359.9
2.1673
23
Permintaan Minyak Sawit Domestik
3635.1
0.2393
24
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
1028.6
-0.0097
25
Penawaran Minyak Sawit Domestik
8776.1
0.0558
26
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
2676.8
-0.1121
27
Harga Minyak Sawit Domestik
3344.5
0.1644
28
Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
397.9
-0.0251
29
Harga Minyak Sawit Dunia
466.2
-0.0215
30
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
3788.1
0.0026
31
Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
397.3
0.0000
32
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
9119.8
0.1009
33
Ekspor Minyak Sawit Malaysia
13138
0.0000
34
Ekspor Minyak Sawit Dunia
25678.6
0.0358
35
Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
1555.1
-0.0643
36
Impor Minyak Sawit Cina
4488.9
0.0089
37
Impor Minyak Sawit India
3825
0.0026
38
Impor Minyak Sawit Pakistan
39
Impor Minyak Sawit Dunia
Sumber : Data diolah (2010)
1483.3
0.0202
26320.8
0.0030
153
meningkatkan kapasitas produksinya yang berarti meningkatkan permintaan mereka terhadap minyak sawit. Penurunan suku bunga BI sebesar 20 persen juga menyebabkan ekspor minyak goreng sawit mengalami penurunan sebesar 0.064 persen. Penurunan ekspor minyak goreng sawit tersebut disebabkan oleh penurunan produksi minyak goreng sawit dan peningkatan harga minyak goreng sawit domestik. 6.2.3.Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Dampak peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 25 persen terhadap permintaan dan penawaran minyak sawit di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 37. Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 25 persen menyebabkan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan sebesar 1.567 persen. Selanjutnya diketahui pula bahwa harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan sebesar 0.058 persen. Hal ini dikarenakan kenaikan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan kenaikan penawaran minyak goreng sawit (1.472 persen) yang lebih besar daripada kenaikan permintaan minyak goreng sawit (0.088 persen). Tujuan pemerintah untuk memastikan terpenuhinya pasokan minyak sawit untuk industri hilir minyak sawit terutama industri minyak goreng sawit menjadi disinsentif bagi industri minyak goreng tersebut walaupun merupakan insentif bagi industri lain. Namun berdasarkan hasil simulasi dapat dilihat bahwa penurunan harga minyak goreng sawit domestik lebih rendah daripada penurunan harga minyak sawit domestik sehingga permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit mengalami peningkatan sebesar 0.672 persen.
154
Tabel 37. Dampak Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik sebesar 25 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 No.
Variabel Endogen
1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2
Nilai Dasar
Perubahan (%)
1336.9
-0.1197
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
247.3
-0.0809
3
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
473.8
-0.0211
4
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
54.6863
-0.0216
5
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
1550.6
-0.1096
6
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
445.7
-0.1571
7
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
3.0039
-0.3396
8
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
2.2989
-0.2175
9
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
3.7331
-0.3402
10
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
3.2087
-0.6202
11
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
3.5997
-0.1583
12
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
3.1909
-0.1974
13
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
4028.1
-0.4692
14
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
571.1
-0.2802
15
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
1771.8
-0.3838
16
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
176.9
-0.6783
17
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
5601.2
-0.2821
18
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
1451.4
-0.3858
19
Produksi Minyak Sawit Indonesia
14128.2
-0.3525
20
Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
4231.8
1.1083
21
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
3275.2
0.6717
22
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
359.9
0.1389
23
Permintaan Minyak Sawit Domestik
3635.1
0.6190
24
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
1028.6
0.0875
25
Penawaran Minyak Sawit Domestik
8776.1
25.0000
26
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
2676.8
1.4719
27
Harga Minyak Sawit Domestik
3344.5
-1.5668
28
Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
397.9
0.1005
29
Harga Minyak Sawit Dunia
466.2
0.0858
3788.1
-0.0581
397.3
0.0000
30
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
31
Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
32
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
9119.8
-0.3509
33
Ekspor Minyak Sawit Malaysia
13138
0.0000
34
Ekspor Minyak Sawit Dunia
25678.6
-0.1246
35
Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
1555.1
0.4823
36
Impor Minyak Sawit Cina
4488.9
-0.0245
37
Impor Minyak Sawit India
3825
-0.0078
38
Impor Minyak Sawit Pakistan
1483.3
-0.0472
39
Impor Minyak Sawit Dunia
26320.8
-0.0084
Sumber : Data diolah (2010)
155
Penurunan harga minyak sawit domestik menyebabkan permintaan minyak sawit oleh industri lain meningkat sebesar 0.139 persen. Oleh karena itu, secara total permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.619 persen. Penurunan harga minyak sawit domestik menyebabkan luas areal dan produktivitas mengalami penurunan, yang selanjutnya menyebabkan penurunan produksi minyak sawit sebesar 0.353 persen. Turunnya produksi minyak sawit tersebut menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia menurun sebesar 0.351 persen. Penurunan ekspor minyak sawit Indonesia mendorong peningkatan harga ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 0.101 persen. Besarnya penurunan harga minyak sawit domestik dibandingkan penurunan harga minyak goreng sawit domestik menyebabkan produksi minyak goreng sawit meningkat sebesar 1.108 persen. Peningkatan produksi minyak goreng sawit sebesar 1.108 persen dan penurunan harga minyak goreng sawit sebesar 0.058 persen menyebabkan ekspor minyak goreng sawit meningkat sebesar 0.482 persen. Adapun permintaan minyak goreng sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.088 persen yang disebabkan oleh penurunan harga minyak goreng sawit. 6.3. Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia Untuk mengkaji dampak perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia, dilakukan dua skenario simulasi yaitu : (1) peningkatan harga minyak sawit dunia dan (2) peningkatan harga minyak mentah dunia. Evaluasi dampak perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia dibatasi kepada perubahan variabel endogen yang terkait dengan pengukuran kesejahteraan pelaku industri
156
minyak sawit, yaitu produksi minyak sawit, harga minyak sawit domestik, permintaan minyak sawit domestik, volume dan harga ekspor minyak sawit dan minyak goreng sawit, serta produksi minyak goreng sawit, harga minyak goreng sawit domestik, permintaan minyak goreng sawit domestik. Berikut ini dikemukakan hasil simulasi pada masing-masing skenario. 6.3.1.Peningkatan Harga Minyak Sawit Dunia Hasil simulasi pada Tabel 38 menunjukkan bahwa peningkatan harga minyak sawit dunia sebesar 25 persen ditransmisikan kepada harga ekspor minyak sawit dan harga minyak sawit domestik, sehingga secara berantai menyebabkan peningkatan harga ekspor minyak sawit sebesar 23.951 persen dan harga minyak sawit domestik sebesar 2.114 persen pada tahun 2003-2007. Peningkatan harga ekspor menyebabkan peningkatan volume ekspor minyak sawit sebesar 0.684 persen. Penurunan penawaran minyak goreng sawit lebih besar
daripada
penurunan
permintaan
minyak
goreng
sawit
sehingga
menyebabkan peningkatan harga minyak goreng sawit sebesar 0.048 persen. Peningkatan harga minyak sawit domestik menyebabkan penurunan permintaan minyak sawit oleh industri lain sebesar 0.195 persen, dan juga menurunkan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sebesar 0.852 persen (karena peningkatan harga minyak sawit domestik lebih besar daripada peningkatan harga minyak goreng sawit domestik). Secara total permintaan minyak sawit domestik mengalami penurunan sebesar 0.787 persen. Peningkatan harga minyak sawit domestik menyebabkan luas areal dan produktivitas mengalami peningkatan, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan produksi minyak sawit sebesar 0.515 persen.
157
Tabel 38. Dampak Peningkatan Harga Minyak Sawit Dunia sebesar 25 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 No.
Variabel Endogen
1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
Nilai Dasar
Perubahan (%)
1336.9
0.2319
247.3
0.0809
3
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
4
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
473.8
0.0844
54.6863
0.0430
5
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
1550.6
0.2257
6
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
445.7
0.2917
7 8
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
3.0039
0.4561
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
2.2989
0.2914
9 10
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
3.7331
0.4152
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
3.2087
0.7667
11
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
3.5997
0.1972
12
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
3.1909
0.1786
13
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
4028.1
0.7050
14
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
15
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
16
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
17
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
5601.2
0.4321
18
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
1451.4
0.5030
19
Produksi Minyak Sawit Indonesia
14128.2
0.5146
20
Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
4231.8
-0.9547
21
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
3275.2
-0.8519
22
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
359.9
-0.1945
23
Permintaan Minyak Sawit Domestik
3635.1
-0.7868
24
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
1028.6
-0.0972
25
Penawaran Minyak Sawit Domestik
8776.1
0.1174
26
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
2676.8
-1.1842
27
Harga Minyak Sawit Domestik
3344.5
2.1139
397.9
23.9507
28
Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
29
Harga Minyak Sawit Dunia
30
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
31
Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
571.1
0.4202
1771.8
0.5023
176.9
0.7914
466.2
25.0000
3788.1
0.0475
397.3
0.0000
32
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
9119.8
0.6842
33
Ekspor Minyak Sawit Malaysia
13138
0.0000
34
Ekspor Minyak Sawit Dunia
25678.6
0.2430
35
Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
1555.1
-0.5594
36
Impor Minyak Sawit Cina
4488.9
-7.0017
37
Impor Minyak Sawit India
3825
-0.5098
38
Impor Minyak Sawit Pakistan
1483.3
-14.7913
39
Impor Minyak Sawit Dunia
26320.8
-2.1021
Sumber : Data diolah (2010)
158
Naiknya produksi minyak sawit tersebut menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia meningkat pula sebagaimana pengaruh peningkatan harga ekspor minyak sawit. Besarnya peningkatan harga minyak sawit domestik dibandingkan peningkatan harga minyak goreng sawit domestik menyebabkan produksi minyak goreng sawit menurun sebesar 0.955 persen. Penurunan produksi minyak goreng sawit sebesar 0.955 persen dan peningkatan harga minyak goreng sawit sebesar 0.048 persen menyebabkan ekspor minyak goreng sawit menurun sebesar 0.559 persen. Adapun permintaan minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan sebesar 0.097 persen yang disebabkan oleh peningkatan harga minyak goreng sawit. 6.3.2.Peningkatan Harga Minyak Mentah Dunia Dampak peningkatan harga minyak mentah dunia sebesar 10 persen terhadap permintaan dan penawaran minyak sawit di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 39. Peningkatan harga minyak mentah dunia sebesar 10 persen menyebabkan harga ekspor minyak sawit Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0.176 persen, sehingga menyebabkan ekspor minyak sawit meningkat sebesar 0.016 persen. Hal ini terjadi karena pada saat harga minyak mentah dunia mengalami peningkatan maka permintaan terhadap minyak sawit untuk industri biodiesel juga semakin meningkat. Keadaan tersebut merupakan insentif bagi para pengusaha eksportir minyak sawit untuk meningkatkan volume ekspornya. Peningkatan harga ekspor minyak sawit sebesar 0.176 persen menyebabkan harga minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.06 persen sehingga produksi minyak sawit domestik meningkat sebesar 0.016 persen.
159
Tabel 39. Dampak Peningkatan Harga Minyak Mentah Dunia sebesar 10 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 No.
Variabel Endogen
1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
3
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
4
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
5
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
6
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
7 8
Nilai Dasar
Perubahan (%)
1336.9
0.0075
247.3
0.0000
473.8
0.0211
54.6863
0.0011
1550.6
0.0064
445.7
0.0000
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
3.0039
0.0100
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
2.2989
0.0087
9
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
3.7331
0.0134
10
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
3.2087
0.0249
11
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
3.5997
0.0083
12
Produktivitas minyak sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
3.1909
0.0094
13
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
4028.1
0.0174
14
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
15
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
16
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
17 18 19
Produksi Minyak Sawit Indonesia
20
571.1
0.0175
1771.8
0.0169
176.9
0.0000
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
5601.2
0.0125
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
1451.4
0.0207
14128.2
0.0156
Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
4231.8
-0.0473
21
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
3275.2
-0.0275
22
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
359.9
0.7502
23
Permintaan Minyak Sawit Domestik
3635.1
0.0495
24
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
1028.6
-0.0097
25
Penawaran Minyak Sawit Domestik
8776.1
0.0080
26
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
2676.8
-0.0635
27
Harga Minyak Sawit Domestik
3344.5
0.0598
28
Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
397.9
0.1759
29
Harga Minyak Sawit Dunia
466.2
0.0000
30
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
3788.1
0.0026
31
Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
397.3
0.0000
32
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
9119.8
0.0164
33
Ekspor Minyak Sawit Malaysia
13138
0.0000
34
Ekspor Minyak Sawit Dunia
25678.6
0.0058
35
Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
1555.1
-0.0257
36
Impor Minyak Sawit Cina
4488.9
0.0022
37
Impor Minyak Sawit India
3825
0.0000
38
Impor Minyak Sawit Pakistan
1483.3
0.0000
39
Impor Minyak Sawit Dunia
26320.8
0.0004
Sumber : Data diolah (2010)
160
Kemudian dapat diketahui bahwa penawaran minyak goreng sawit juga mengalami penurunan (0.064 persen) yang lebih besar daripada penurunan permintaan minyak goreng sawit (0.01 persen) sehingga menyebabkan harga minyak goreng sawit domestik naik sebesar 0.003 persen. Selanjutnya, karena peningkatan harga minyak sawit domestik lebih besar dari peningkatan harga minyak goreng sawit domestik maka produksi minyak goreng sawit mengalami penurunan sebesar 0.047 persen. Penurunan produksi minyak goreng sawit tersebut mendorong penurunan ekspor minyak goreng sawit sebesar 0.026 persen. Adapun permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.05 persen sebagai akibat naiknya permintaan minyak sawit oleh industri lain (walaupun permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit menurun, yang dikarenakan peningkatan permintaan minyak sawit oleh industri lain yang lebih besar daripada penurunan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng). Selanjutnya penawaran minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.008 persen. Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai dasar dari produksi minyak sawit dibandingkan ekspor minyak sawit Indonesia dan selisih perubahan yang terjadi pada produksi minyak sawit serta ekspor minyak sawit Indonesia tidak besar, sehingga peningkatan produksi minyak sawit menjadi lebih besar daripada peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia. Kemudian permintaan atas minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan sebesar 0.01 persen sebagai akibat naiknya harga minyak goreng sawit domestik.
161
6.4. Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2003-2007 Tabel 40 berikut merupakan kompilasi dari dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap penerimaan devisa dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2003-2007. Adapun kebijakan domestik merupakan peningkatan pajak ekspor minyak sawit sebesar 50 persen, penurunan suku bunga BI sebesar 20 persen, peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 25 persen, sedangkan perubahan faktor eksternal merupakan peningkatan harga minyak sawit dunia 25 persen dan peningkatan harga minyak mentah dunia 10 persen. Tabel 40. Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2003-2007 (Rp Milyar) Skenario Simulasi
1 2 3 4 5
Perub. SP Minyak Sawit -46.62 77.74 -739.01 1 001.43 28.26
Perub. SK Minyak Sawit 12.00 -20.02 191.07 -255.99 -7.27
Perub. SP Minyak Goreng -0.85 0.42 -9.36 7.58 0.42
Perub. SK Minyak Goreng 0.21 -0.10 2.26 -1.85 -0.10
Perub. TR Pajak 470.58 0.74 -2.44 241.63 1.87
Perub. Net Welfare 435.32 58.78 -557.48 992.81 23.18
Perub. TR Devisa -268.71 15.39 -40.07 5 870.88 44.68
Perub. Net Surplus IMG 11.15 -19.59 181.71 -248.41 -6.85
Keterangan : Perub SP SK TR IMG 1. 2. 3. 4. 5.
: perubahan : surplus produsen : surplus konsumen : penerimaan pemerintah : industri minyak goreng
Peningkatan pajak ekspor minyak sawit sebesar 50 persen Penurunan suku bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 25 persen Peningkatan harga minyak sawit dunia 25 persen Peningkatan harga minyak mentah dunia 10 persen
Sumber : Data diolah (2010) Bila dianalisis dari dampaknya terhadap surplus produsen minyak sawit maka perubahan yang menyebabkan peningkatan surplus produsen minyak sawit
162
paling besar (Rp 1 001.43 milyar) adalah jika harga minyak sawit dunia meningkat sebesar 25 persen. Hal ini disebabkan kenaikan harga minyak sawit dunia sebesar 25 persen menyebabkan kenaikan harga minyak sawit domestik yang paling besar yaitu sebesar 2.114 persen (Tabel 38). Sebaliknya peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 25 persen memberikan dampak penurunan surplus produsen minyak sawit paling besar (Rp 739.01 milyar) karena harga minyak sawit domestik mengalami penurunan paling besar yaitu sebesar 1.567 persen (Tabel 37 dan 40). Berdasarkan Tabel 40 juga dapat diketahui bahwa perubahan yang menyebabkan surplus konsumen minyak sawit mengalami peningkatan paling besar (Rp 191.07 milyar) adalah peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 25 persen. Hal ini sejalan dengan besarnya penurunan harga minyak sawit domestik akibat peningkatan penawaran minyak sawit domestik (harga minyak sawit domestik mengalami penurunan paling besar yaitu sebesar 1.567 persen, Tabel 37). Sebaliknya peningkatan harga minyak sawit dunia sebesar 25 persen menyebabkan penurunan surplus konsumen minyak sawit paling besar (Rp 255.99 milyar). Peningkatan surplus produsen minyak goreng sawit paling besar (Rp 7.58 milyar) terjadi bila terdapat peningkatan harga minyak sawit dunia sebesar 25 persen. Hal tersebut terjadi karena ketika harga minyak sawit dunia meningkat maka harga minyak goreng sawit mengalami peningkatan yang paling besar (0.048 persen, Tabel 38). Sebaliknya peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 25 persen memberikan dampak penurunan surplus produsen
163
minyak goreng sawit paling besar (Rp 9.36 milyar) karena harga minyak goreng sawit mengalami penurunan paling besar yaitu sebesar 0.058 persen (Tabel 37). Sama halnya dengan dampak yang terjadi pada konsumen minyak sawit, surplus konsumen minyak goreng sawit mengalami peningkatan paling besar (Rp 2.26 milyar) pada saat terjadi peningkatan penawaran minyak sawit domestik (harga minyak goreng sawit mengalami penurunan paling besar yaitu sebesar 0.058 persen, Tabel 37). Kemudian penurunan surplus konsumen minyak goreng sawit yang paling besar (Rp 1.85 milyar) adalah ketika terjadi peningkatan harga minyak sawit dunia (harga minyak goreng sawit mengalami peningkatan yang paling besar yaitu 0.048 persen, Tabel 38). Berdasarkan Tabel 40 juga dapat dilihat peningkatan net surplus pada industri minyak goreng sawit yang terbesar (Rp 181.71 milyar) adalah ketika terjadi peningkatan penawaran minyak sawit domestik. Hal ini dikarenakan penurunan harga minyak sawit (pasar input) sebesar 1.567 persen lebih besar daripada penurunan harga minyak goreng sawit (pasar output) sebesar 0.058 persen, sehingga industri minyak goreng sawit memperoleh kenaikan net surplus yang lebih besar (peningkatan surplus konsumen minyak sawit lebih besar daripada penurunan surplus produsen minyak goreng sawit). Sebaliknya, penurunan net surplus pada industri minyak goreng sawit yang terbesar (Rp 248.41 milyar) adalah ketika terjadi peningkatan harga minyak sawit dunia (peningkatan harga minyak sawit di pasar input sebesar 2.114 persen lebih besar daripada peningkatan harga minyak goreng sawit di pasar output sebesar 0.048 persen, Tabel 38).
164
Peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak ekspor minyak sawit terbesar adalah ketika terjadi peningkatan pajak ekspor minyak sawit sebesar 50 persen (Rp 470.58 milyar). Adapun perubahan yang menyebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari pajak ekspor minyak sawit paling besar (Rp 2.44 milyar) adalah ketika terjadi peningkatan penawaran minyak sawit domestik. Hal ini sejalan dengan turunnya volume ekspor minyak sawit paling besar ketika terjadi peningkatan penawaran minyak sawit domestik (0.351 persen, Tabel 37). Adapun kebijakan domestik yang dapat menyebabkan peningkatan kesejahteraan netto (net welfare) yang paling besar (Rp 435.32 milyar) adalah dengan peningkatan pajak ekspor minyak sawit. Hal ini menunjukkan bahwa seharusnya penerimaan pajak yang diperoleh dari pengusaha eksportir minyak sawit digunakan oleh pemerintah untuk mengembangkan industri hilir minyak sawit agar kesejahteraan netto tersebut dapat dirasakan secara nyata oleh produsen dan pengusaha minyak sawit. Kenaikan penerimaan devisa yang paling besar (Rp 5 870.88 milyar) adalah ketika terjadi peningkatan harga minyak sawit dunia. Hal ini sejalan dengan tingginya arus ekspor minyak sawit saat harga minyak sawit dunia meningkat (peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 0.684 persen, Tabel 38). Adapun penurunan penerimaan devisa yang paling besar (Rp 268.71 milyar) adalah saat pajak ekspor minyak sawit ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan pajak ekspor minyak sawit merupakan disinsentif bagi penerimaan devisa dari ekspor minyak sawit. Namun hal ini merupakan kebijakan yang tetap harus dijalankan sebagai upaya menghambat arus ekspor minyak sawit yang terlalu besar sehingga pasokan minyak sawit untuk industri hilir domestik
165
mengalami kekurangan. Selain itu seharusnya pemerintah menggunakan pajak ekspor tersebut untuk pengembangan industri hilir, sehingga yang lebih banyak diekspor adalah produk turunan minyak sawit yang memiliki nilai tambah lebih besar. 6.5. Ringkasan Hasil 1. Peningkatan pajak ekspor minyak sawit menyebabkan penawaran dan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan, sedangkan permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan. 2. Penurunan suku bunga Bank Indonesia menyebabkan penawaran, permintaan, dan harga minyak sawit domestik mengalami peningkatan. 3. Peningkatan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan, sedangkan permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan. Peningkatan permintaan minyak sawit domestik disebabkan karena dampak naiknya permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit maupun permintaan minyak sawit oleh industri lain (harga minyak sawit sebagai input yang menjadi lebih murah mendorong industri hilir domestik meminta minyak sawit lebih banyak untuk meningkatkan kapasitas produksinya). 4. Perubahan faktor eksternal berupa kenaikan harga minyak sawit dunia menyebabkan harga dan penawaran minyak sawit domestik mengalami peningkatan, sedangkan permintaan minyak sawit domestik mengalami penurunan. 5. Adapun perubahan faktor eksternal berupa kenaikan harga minyak mentah dunia menyebabkan harga dan penawaran minyak sawit domestik mengalami
166
peningkatan (peningkatan harga dan penawaran minyak sawit domestik tersebut lebih rendah daripada jika terjadi kenaikan harga minyak sawit dunia). Begitu pula permintaan minyak sawit domestik juga mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena peningkatan permintaan minyak sawit oleh industri lain (biodiesel) lebih besar daripada penurunan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sehingga resultantenya peningkatan pada permintaan minyak sawit domestik. 6. Penerimaan devisa yang paling besar adalah ketika terjadi peningkatan harga minyak sawit dunia. Hal ini sejalan dengan tingginya arus ekspor minyak sawit saat harga minyak sawit dunia meningkat. Adapun penerimaan devisa yang paling rendah adalah saat pajak ekspor minyak sawit ditingkatkan. 7. Kebijakan domestik yang menyebabkan peningkatan kesejahteraan netto yang paling besar adalah dengan peningkatan pajak ekspor minyak sawit, sedangkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan penurunan kesejahteraan netto paling besar.
VII. RAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK TAHUN 2012-2016
7.1. Ramalan Dampak Kebijakan Domestik terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia Sebagai upaya untuk mengkaji ramalan dampak kebijakan domestik terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia tahun 2012-2016, dilakukan 4 skenario, yaitu : (1) penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen, (2) peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen, (3) pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia, dan (4) penetapan kuota ekspor minyak sawit sebesar 40 persen dari total produksi minyak sawit Indonesia. 7.1.1.Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Sebesar 20 Persen Berdasarkan Tabel 41 dapat dijelaskan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen menyebabkan harga ekspor minyak sawit dan ekspor minyak sawit berkurang masing-masing sebesar 6.829 persen dan 0.123 persen. Penurunan harga ekspor minyak sawit sebesar 6.829 persen menyebabkan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan sebesar 0.491 persen, kemudian menyebabkan produksi minyak sawit domestik menurun sebesar 0.113 persen. Selanjutnya dapat dilihat bahwa penawaran dan permintaan minyak goreng sawit domestik mengalami peningkatan. Namun peningkatan penawaran minyak goreng sawit sebesar 0.413 persen lebih besar daripada peningkatan permintaan minyak goreng sawit sebesar 0.032 persen sehingga harga minyak goreng sawit mengalami penurunan sebesar 0.026 persen. Karena penurunan harga minyak sawit domestik lebih besar dari penurunan harga minyak goreng sawit domestik maka produksi minyak goreng sawit meningkat sebesar 0.343 persen.
168
Tabel 41. Ramalan Dampak Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Sebesar 20 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2012-2016 No.
Peubah Endogen
1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2
Nilai Dasar
Perubahan (%)
1797.1
-0.0556
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
366.7
0.0000
3
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
546.7
-0.0183
4
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
67.0939
-0.0109
5
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
2185.1
-0.0503
6
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
653.4
-0.0612
7
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2.9278
-0.0888
8
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
2.3159
-0.0561
9
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
3.7336
-0.1045
10
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
3.3243
-0.1715
11
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
3.7175
-0.0457
12
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
4.1672
-0.0672
13
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
5262
-0.1444
14
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
849.5
-0.0706
15
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
2040
-0.1225
16
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
223
-0.1794
17
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
8122.7
-0.0948
18
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
2726.4
-0.1320
19
Produksi Minyak Sawit Indonesia
19934.6
-0.1129
20
Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
6090.8
0.3431
21
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
4405.9
0.1952
22
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
154.5
0.1294
23
Permintaan Minyak Sawit Domestik
4560.4
0.1930
24
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
1233.4
0.0324
25
Penawaran Minyak Sawit Domestik
12268.4
-0.0465
26
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
27
Harga Minyak Sawit Domestik
28
Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
29
Harga Minyak Sawit Dunia
30
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
31
Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
32
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
33
Ekspor Minyak Sawit Malaysia
16909.8
0.0000
34
Ekspor Minyak Sawit Dunia
34294.7
-0.0487
35
Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
1976.8
0.1973
4114
0.4132
3848.1
-0.4912
361.7
-6.8289
443
0.0451
3404.2
-0.0264
209.6
0.0000
13617.3
-0.1234
36
Impor Minyak Sawit Cina
5317.2
-0.0132
37
Impor Minyak Sawit India
5584.7
-0.0036
38
Impor Minyak Sawit Pakistan
1216.4
-0.0329
39
Impor Minyak Sawit Dunia
32929.3
-0.0039
Sumber : Data diolah (2010)
169
Peningkatan produksi minyak goreng sawit tersebut mendorong peningkatan ekspor minyak goreng sawit sebesar 0.197 persen. Permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.193 persen sebagai akibat naiknya permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit sebesar 0.195 persen (karena penurunan harga minyak sawit domestik lebih besar daripada penurunan harga minyak goreng sawit domestik). Peningkatan permintaan minyak sawit domestik juga disebabkan oleh kenaikan permintaan minyak sawit oleh industri lain sebesar 0.129 persen (sebagai akibat penurunan harga minyak sawit domestik). Adapun penawaran minyak sawit domestik mengalami penurunan sebesar 0.047 persen. Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai dasar dari produksi minyak sawit dibandingkan ekspor minyak sawit Indonesia dan selisih perubahan yang terjadi pada produksi minyak sawit serta ekspor minyak sawit Indonesia tidak besar, sehingga penurunan produksi minyak sawit menjadi lebih besar daripada penurunan ekspor minyak sawit Indonesia. Kemudian permintaan terhadap minyak goreng sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.032 persen sebagai akibat turunnya harga minyak goreng sawit domestik. 7.1.2.Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Dampak peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen terhadap permintaan dan penawaran minyak sawit di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 42. Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen menyebabkan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan sebesar 4.005 persen. Selanjutnya diketahui pula bahwa harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan sebesar 0.226 persen.
170
Tabel 42. Ramalan Dampak Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik sebesar 50 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2012-2016 No.
Peubah Endogen
1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2
Nilai Dasar
Perubahan (%)
1797.1
-0.4452
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
366.7
-0.1636
3
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
546.7
-0.1829
4
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
67.0939
-0.0908
5
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
2185.1
-0.4119
6
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
653.4
-0.5204
7
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2.9278
-0.7412
8
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
2.3159
-0.4707
9
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
3.7336
-0.8544
10
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
3.3243
-1.4138
11
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
3.7175
-0.3685
12
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
4.1672
-0.5399
13
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
5262
-1.1859
14
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
849.5
-0.6474
15
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
2040
-1.0343
16
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
223
-1.5247
17
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
8122.7
-0.7793
18
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
2726.4
-1.0857
19
Produksi Minyak Sawit Indonesia
19934.6
-0.9295
20
Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
6090.8
2.7812
21
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
4405.9
1.5910
22
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
23
Permintaan Minyak Sawit Domestik
24
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
25
Penawaran Minyak Sawit Domestik
26
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
27
Harga Minyak Sawit Domestik
28
Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
29
Harga Minyak Sawit Dunia
30
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
154.5
0.9709
4560.4
1.5700
1233.4
0.3000
12268.4
50.0000
4114
3.3471
3848.1
-4.0046
361.7
0.3871
443
0.3160
3404.2
-0.2262
31
Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
209.6
0.0000
32
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
13617.3
-0.8849
33
Ekspor Minyak Sawit Malaysia
16909.8
0.0000
34
Ekspor Minyak Sawit Dunia
34294.7
-0.3514
35
Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
1976.8
1.6087
36
Impor Minyak Sawit Cina
5317.2
-0.0846
37
Impor Minyak Sawit India
5584.7
-0.0233
1216.4
-0.2384
32929.3
-0.0267
38
Impor Minyak Sawit Pakistan
39
Impor Minyak Sawit Dunia
Sumber : Data diolah (2010)
171
Hal ini dikarenakan kenaikan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen menyebabkan peningkatan penawaran minyak goreng sawit domestik sebesar 3.347 persen yang lebih besar daripada kenaikan permintaan minyak goreng sawit domestik sebesar 0.3 persen. Tujuan pemerintah untuk memastikan terpenuhinya pasokan minyak sawit untuk industri hilir minyak sawit terutama industri minyak goreng sawit menjadi disinsentif bagi industri minyak goreng tersebut walaupun merupakan insentif bagi industri lain. Namun berdasarkan hasil simulasi dapat dilihat bahwa penurunan harga minyak goreng sawit domestik lebih rendah daripada penurunan harga minyak sawit domestik sehingga permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit mengalami peningkatan sebesar 1.591 persen. Penurunan harga minyak sawit domestik menyebabkan permintaan minyak sawit oleh industri lain meningkat sebesar 0.971 persen. Oleh karena itu, secara total permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 1.57 persen. Penurunan harga minyak sawit domestik menyebabkan luas areal dan produktivitas mengalami penurunan, yang selanjutnya menyebabkan penurunan produksi minyak sawit sebesar 0.93 persen. Turunnya produksi minyak sawit tersebut menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia menurun sebesar 0.885 persen. Penurunan ekspor minyak sawit Indonesia mendorong peningkatan harga ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 0.387 persen. Besarnya penurunan harga minyak sawit domestik dibandingkan penurunan harga minyak goreng sawit domestik menyebabkan produksi minyak goreng sawit meningkat sebesar 2.781 persen. Peningkatan produksi minyak goreng sawit
172
sebesar 2.781 persen tersebut dan penurunan harga minyak goreng sawit sebesar 0.226 persen menyebabkan ekspor minyak goreng sawit meningkat sebesar 1.609 persen. Adapun permintaan minyak goreng sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.3 persen yang disebabkan oleh penurunan harga minyak goreng sawit. 7.1.3.Pelarangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia dilakukan dengan tujuan agar kebutuhan minyak sawit domestik terpenuhi secara pasti dan industri hilir minyak sawit domestik dapat meningkatkan kapasitas produksinya. Tabel 43 berikut menyajikan simulasi ramalan dampak pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia. Pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia menyebabkan harga ekspor minyak sawit Indonesia meningkat sebesar 53.636 persen. Pelarangan ekspor menyebabkan penawaran minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 108.992 persen lebih besar daripada peningkatan permintaan minyak sawit domestik sebesar 1.954 persen dan peningkatan harga riil ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 53.636 persen. Hal tersebut menyebabkan penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 4.899 persen. Penurunan harga riil minyak sawit domestik tersebut menyebabkan produksi minyak sawit domestik menurun sebesar 1.232 persen. Selanjutnya dari Tabel 43, dapat dilihat bahwa penawaran minyak goreng sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 4.222 persen lebih besar daripada peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik sebesar 0.389 persen sehingga menyebabkan harga riil minyak goreng sawit domestik menurun sebesar
173
Tabel 43. Ramalan Dampak Pelarangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2012-2016 No.
Peubah Endogen
1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2 3 4
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
5
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
Nilai Dasar
Perubahan (%)
1797.1
-0.6344
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
366.7
-0.2454
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
546.7
-0.2561
67.0939
-0.1294
2185.1
-0.5858
6
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
653.4
-0.7499
7
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2.9278
-0.9222
8
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
2.3159
-0.5829
9
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
3.7336
-1.0901
10
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
3.3243
-1.7808
11
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
3.7175
-0.4654
12
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
4.1672
-0.7007
13
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
5262
-1.5507
14
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
849.5
-0.8240
15
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
2040
-1.3431
16
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
223
-1.9283
17
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
8122.7
-1.0477
18
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
19
Produksi Minyak Sawit Indonesia
2726.4
-1.4745
19934.6
-1.2320
20
Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
6090.8
3.5430
21
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
4405.9
1.9814
22
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
154.5
1.1650
23
Permintaan Minyak Sawit Domestik
4560.4
1.9538
24
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
1233.4
0.3892
25
Penawaran Minyak Sawit Domestik
12268.4
108.9922
26
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
4114
4.2222
27
Harga Minyak Sawit Domestik
3848.1
-4.8985
361.7
53.6356
443
40.5869
3404.2
-0.2849
28
Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
29
Harga Minyak Sawit Dunia
30
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
31
Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
209.6
0.0000
32
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
13617.3
-100.0000
33
Ekspor Minyak Sawit Malaysia
16909.8
0.0000
34
Ekspor Minyak Sawit Dunia
34294.7
-39.7067
35
Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
1976.8
2.1297
36
Impor Minyak Sawit Cina
5317.2
-11.1939
37
Impor Minyak Sawit India
5584.7
-2.7199
1216.4
-40.3979
32929.3
-3.7614
38
Impor Minyak Sawit Pakistan
39
Impor Minyak Sawit Dunia
Sumber : Data diolah (2010)
174
0.285 persen. Karena penurunan harga minyak sawit domestik lebih besar daripada penurunan harga minyak goreng sawit domestik maka produksi minyak goreng sawit mengalami peningkatan sebesar 3.543 persen. Peningkatan produksi minyak goreng sawit tersebut mendorong peningkatan ekspor minyak goreng sawit sebesar 2.13 persen. Permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 1.954 persen sebagai akibat kenaikan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sebesar 1.981 persen dan permintaan minyak sawit oleh industri lain sebesar 1.165 persen. Permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng mengalami peningkatan karena penurunan harga minyak sawit domestik lebih besar daripada penurunan harga minyak goreng sawit domestik. Adapun peningkatan permintaan minyak sawit oleh industri lain dikarenakan penurunan harga riil minyak sawit domestik. Sementara penawaran minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 108.992 persen walaupun produksi minyak sawit Indonesia mengalami penurunan (akibat penurunan harga riil minyak sawit domestik). Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 100 persen lebih besar daripada penurunan produksi minyak sawit Indonesia sebesar 1.232 persen. Kemudian permintaan terhadap minyak goreng sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.389 persen sebagai akibat turunnya harga minyak goreng sawit domestik.
175
7.1.4.Penetapan Kuota Ekspor Minyak Sawit Sebesar 40 Persen dari Total Produksi Minyak Sawit Indonesia Apabila pemerintah menetapkan kebijakan pelarangan ekspor akan menimbulkan kerugian bagi eksportir minyak sawit maupun petani kelapa sawit. Hal tersebut terjadi karena mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh harga yang lebih tinggi di pasar dunia. Oleh karena itu, dalam jangka pendek selain menetapkan pajak ekspor yang lebih tinggi, pemerintah juga dapat menetapkan kuota ekspor. Dengan adanya kebijakan kuota ekspor, diharapkan eksportir minyak sawit maupun petani kelapa sawit tetap memperoleh keuntungan dari ekspor, kemudian pasokan minyak sawit domestik juga tercukupi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri hilir domestik. Tabel 44 berikut menyajikan simulasi ramalan dampak penetapan kuota ekspor minyak sawit sebesar 40 persen dari total produksi minyak sawit indonesia terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia. Penetapan kuota ekspor minyak sawit sebesar 40 persen dari total produksi minyak sawit indonesia menyebabkan harga ekspor minyak sawit Indonesia meningkat sebesar 22.339 persen. Kuota ekspor minyak sawit tersebut menyebabkan penawaran minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 45.50 persen lebih besar daripada peningkatan permintaan minyak sawit domestik sebesar 0.816 persen dan peningkatan harga riil ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 22.339 persen. Hal tersebut menyebabkan penurunan harga riil minyak sawit domestik sebesar 2.048 persen. Penurunan harga riil minyak sawit domestik tersebut menyebabkan produksi minyak sawit domestik menurun sebesar 0.513 persen. Selanjutnya dari Tabel 44, dapat dilihat bahwa penetapan kuota ekspor menyebabkan penawaran minyak goreng sawit domestik mengalami peningkatan
176
Tabel 44. Ramalan Dampak Penetapan Kuota Ekspor Minyak Sawit Sebesar 40 Persen dari Total Produksi Minyak Sawit Indonesia terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2012-2016 No.
Peubah Endogen
Nilai Dasar
Perubahan (%)
1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
1797.1
-0.2615
2
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
366.7
-0.0818
3
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
546.7
-0.1097
4
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
67.0939
-0.0535
5
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
2185.1
-0.2426
6
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
653.4
-0.3061
7
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
2.9278
-0.3860
8
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
2.3159
-0.2418
9
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
3.7336
-0.4553
10
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
3.3243
-0.7430
11
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
3.7175
-0.1937
12
Produktivitas Kelapa Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
4.1672
-0.2904
13
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera
5262
-0.6461
14
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan
849.5
-0.3414
15
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Sumatera
2040
-0.5588
16
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Negara di Kalimantan
223
-0.8072
17
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Sumatera
8122.7
-0.4358
18
Produksi Minyak Sawit Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan
2726.4
-0.6125
19
Produksi Minyak Sawit Indonesia
19934.6
-0.5127
20
Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia
6090.8
1.4744
21
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng
4405.9
0.8284
22
Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain
154.5
0.5178
23
Permintaan Minyak Sawit Domestik
4560.4
0.8157
24
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik
1233.4
0.1622
25
Penawaran Minyak Sawit Domestik
12268.4
45.4998
26
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik
27
Harga Minyak Sawit Domestik
28
Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia
29
Harga Minyak Sawit Dunia
4114
1.7598
3848.1
-2.0478
361.7
22.3390
443
16.9074
3404.2
-0.1175
209.6
0.0000
13617.3
-41.7435
30
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
31
Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
32
Ekspor Minyak Sawit Indonesia
33
Ekspor Minyak Sawit Malaysia
16909.8
0.0000
34
Ekspor Minyak Sawit Dunia
34294.7
-16.5749
35
Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
1976.8
0.8853
36
Impor Minyak Sawit Cina
5317.2
-4.6622
37
Impor Minyak Sawit India
5584.7
-1.1352
38
Impor Minyak Sawit Pakistan
1216.4
-16.7708
39
Impor Minyak Sawit Dunia
32929.3
-1.5649
Sumber : Data diolah (2010)
177
sebesar 1.76 persen lebih besar daripada peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik sebesar 0.162 persen sehingga menyebabkan harga riil minyak goreng sawit domestik menurun sebesar 0.118 persen. Karena penurunan harga minyak sawit domestik lebih besar daripada penurunan harga minyak goreng sawit domestik maka produksi minyak goreng sawit mengalami peningkatan sebesar 1.474 persen. Peningkatan produksi minyak goreng sawit tersebut mendorong peningkatan ekspor minyak goreng sawit sebesar 0.885 persen. Permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.816 persen sebagai akibat kenaikan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sebesar 0.828 persen dan permintaan minyak sawit oleh industri lain sebesar 0.518 persen. Permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng mengalami peningkatan karena penurunan harga minyak sawit domestik lebih besar daripada penurunan harga minyak goreng sawit domestik. Adapun peningkatan permintaan minyak sawit oleh industri lain dikarenakan penurunan harga riil minyak sawit domestik. Tabel 44 juga menunjukkan bahwa kuota ekspor minyak sawit menyebabkan penawaran minyak sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 45.50 persen walaupun produksi minyak sawit Indonesia mengalami penurunan (akibat penurunan harga riil minyak sawit domestik). Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 41.744 persen lebih besar daripada penurunan produksi minyak sawit Indonesia sebesar 0.513 persen. Kemudian permintaan terhadap minyak goreng sawit domestik mengalami peningkatan sebesar 0.162 persen sebagai akibat turunnya harga minyak goreng sawit domestik.
178
7.2. Ramalan Dampak Kebijakan Domestik terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2012-2016 Tabel 45 berikut merupakan kompilasi dari ramalan dampak kebijakan domestik terhadap penerimaan devisa dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2012-2016. Adapun kebijakan domestik merupakan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen, peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen, pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia, dan penetapan kuota ekspor minyak sawit sebesar 40 persen dari total produksi minyak sawit Indonesia. Bila dianalisis dari dampaknya terhadap surplus produsen minyak sawit maka perubahan yang menyebabkan penurunan surplus produsen minyak sawit paling kecil (Rp 376.55 milyar) adalah jika pajak ekspor minyak sawit ditetapkan sebesar 20 persen. Hal ini disebabkan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen menyebabkan penurunan harga minyak sawit domestik yang paling kecil yaitu sebesar 0.491 persen (Tabel 41). Sebaliknya pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia memberikan dampak penurunan surplus produsen minyak sawit paling besar (Rp 3 734.52 milyar) karena harga minyak sawit domestik mengalami penurunan paling besar yaitu sebesar 4.899 persen (Tabel 43 dan 45). Berdasarkan Tabel 45 juga dapat diketahui bahwa perubahan yang menyebabkan surplus konsumen minyak sawit mengalami peningkatan paling besar (Rp 868.03 milyar) adalah pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia. Kemudian simulasi yang memberikan dampak peningkatan surplus konsumen minyak sawit terbesar yang kedua (Rp 708.27 milyar) adalah peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen. Hal ini sejalan dengan besarnya penurunan harga minyak sawit domestik akibat peningkatan penawaran
179
minyak sawit domestik (harga minyak sawit domestik mengalami penurunan terbesar kedua yaitu sebesar 4.005 persen, Tabel 42). Sebaliknya penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen menyebabkan peningkatan surplus konsumen minyak sawit paling kecil (Rp 86.27 milyar). Tabel 45 juga menunjukkan penurunan surplus produsen minyak goreng sawit paling kecil (Rp 5.49 milyar) terjadi bila terdapat penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen. Hal tersebut terjadi karena ketika pajak ekspor minyak sawit ditetapkan sebesar 20 persen maka harga minyak goreng sawit mengalami penurunan yang paling kecil (0.026 persen, Tabel 41). Sebaliknya pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia memberikan dampak penurunan surplus produsen minyak goreng sawit paling besar (Rp 60.13 milyar) karena harga minyak goreng sawit mengalami penurunan paling besar yaitu sebesar 0.285 persen (Tabel 43). Sama halnya dengan dampak yang terjadi pada konsumen minyak sawit, surplus konsumen minyak goreng sawit mengalami peningkatan paling besar (Rp 11.99 milyar) pada saat terjadi pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia. Kemudian simulasi yang memberikan dampak peningkatan surplus konsumen minyak goreng sawit terbesar yang kedua (Rp 9.51 milyar) adalah peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen. Hal ini sejalan dengan besarnya penurunan harga minyak goreng sawit domestik akibat peningkatan penawaran minyak goreng sawit domestik (harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan terbesar kedua yaitu sebesar 0.226 persen, Tabel 42). Kemudian peningkatan surplus konsumen minyak goreng sawit yang paling kecil (Rp 1.11 milyar) adalah ketika terjadi penetapan pajak ekspor minyak sawit
180
sebesar 20 persen (harga minyak goreng sawit mengalami penurunan yang paling kecil yaitu 0.026 persen, Tabel 41). Tabel 45. Ramalan Dampak Kebijakan Domestik terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2012-2016 (Rp Milyar) Skenario Simulasi
Perub. SP Minyak Sawit
Perub. SK Minyak Sawit
Perub. SP Minyak Goreng
Perub. SK Minyak Goreng
1
-376.55
86.27
-5.49
1.11
2
-3 057.64
708.27
-47.55
3
-3 734.52
868.03
-60.13
4
-1 566.82
360.83
-24.54
4.94
Perub. TR Pajak
Perub. Net Welfare
4 223.74
3 929.08
9.51
-20.54
11.99
-4 096.86 -1 177.01
Perub. TR Devisa
Perub. Net Surplus IMG
-3 096.98
80.78
-2 407.95
-163.60
660.72
-7 011.50
-44 627.30
807.91
-2 402.61
-12 810.97
336.28
Keterangan : Perub SP SK TR IMG 1. 2. 3. 4.
: perubahan : surplus produsen : surplus konsumen : penerimaan pemerintah : industri minyak goreng
Pajak ekspor minyak sawit ditetapkan sebesar 20 persen Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen Pelarangan ekspor minyak sawit Penetapan kuota ekspor sebesar 40% dari total produksi minyak sawit
Sumber : Data diolah (2010) Berdasarkan Tabel 45 juga dapat dilihat peningkatan net surplus pada industri minyak goreng sawit yang terbesar adalah saat terjadi pelarangan ekspor minyak sawit (Rp 807.91 milyar). Sementara peningkatan net surplus pada industri minyak goreng sawit yang terbesar kedua adalah ketika terjadi peningkatan penawaran minyak sawit domestik (Rp 660.72 milyar). Hal ini dikarenakan penurunan harga minyak sawit (pasar input) sebesar 4.005 persen lebih besar daripada penurunan harga minyak goreng sawit (pasar output) sebesar 0.226 persen (Tabel 42), sehingga industri minyak goreng sawit memperoleh kenaikan net surplus yang lebih besar (peningkatan surplus konsumen minyak sawit lebih besar daripada penurunan surplus produsen minyak goreng sawit). Adapun, peningkatan net surplus pada industri minyak goreng sawit yang terkecil
181
(Rp 80.78 milyar) adalah ketika terjadi penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen. Tabel 45 juga menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak ekspor minyak sawit terbesar adalah ketika terjadi penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen (Rp 4 223.74 milyar). Adapun perubahan yang menyebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari pajak ekspor minyak sawit paling besar (Rp 4 096.86 milyar) adalah ketika terjadi pelarangan ekspor minyak sawit. Hal ini sejalan dengan turunnya volume ekspor minyak sawit paling besar ketika terjadi pelarangan ekspor minyak sawit (100 persen, Tabel 43). Sementara peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen menyebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari pajak ekspor minyak sawit paling kecil (Rp 20.54 milyar). Hal ini dikarenakan pada saat penawaran minyak sawit domestik meningkat sebesar 50 persen, ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan yang lebih kecil (0.885 persen, Tabel 42) daripada akibat dari pelarangan ekspor dan penetapan kuota ekspor minyak sawit Indonesia. Adapun kebijakan domestik yang dapat menyebabkan peningkatan kesejahteraan netto (net welfare) yang paling besar (Rp 3 929.08 milyar) adalah dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa seharusnya penerimaan pajak yang diperoleh dari pengusaha eksportir minyak sawit digunakan oleh pemerintah untuk mengembangkan industri hilir minyak sawit agar kesejahteraan netto tersebut dapat dirasakan secara nyata oleh produsen dan pengusaha minyak sawit. Sementara kebijakan pelarangan ekspor menyebabkan penurunan kesejahteraan netto (net welfare) yang paling besar (Rp 7 011.50 milyar).
182
Kebijakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen dan penetapan kuota ekspor memberikan dampak penurunan kesejahteraan netto (net welfare) yang lebih kecil daripada akibat kebijakan pelarangan ekspor. Kebijakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen menyebabkan penurunan kesejahteraan netto sebesar Rp 2 407.95 milyar sedangkan kebijakan kuota ekspor menyebabkan penurunan kesejahteraan netto sebesar Rp 2 402.61 milyar (Tabel 45). Berdasarkan Tabel 45 juga ditunjukkan bahwa penurunan penerimaan devisa yang paling kecil (Rp 163.60 milyar) adalah ketika terjadi peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen. Adapun penurunan penerimaan devisa yang paling besar (Rp 44 627.30 milyar)
adalah saat
ditetapkan pelarangan ekspor minyak sawit. Selanjutnya penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen menyebabkan
penurunan
penerimaan
devisa
yang
paling
kecil
kedua
(Rp 3 096.98 milyar). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan pajak ekspor minyak sawit merupakan disinsentif bagi penerimaan devisa dari ekspor minyak sawit. Namun hal ini merupakan kebijakan yang tetap harus dijalankan dalam jangka pendek sebagai upaya menghambat arus ekspor minyak sawit yang terlalu besar sehingga pasokan minyak sawit untuk industri hilir domestik mengalami kekurangan. Selain itu seharusnya pemerintah menggunakan pajak ekspor tersebut untuk pengembangan industri hilir, sehingga yang lebih banyak diekspor adalah produk turunan minyak sawit yang memiliki nilai tambah lebih besar.
183
7.3. Ringkasan Hasil 1. Penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen akan menyebabkan menyebabkan penawaran dan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan, sedangkan permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan. 2. Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen akan menyebabkan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan, sedangkan permintaan minyak sawit domestik mengalami peningkatan. Peningkatan permintaan minyak sawit domestik disebabkan karena dampak naiknya permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit maupun permintaan minyak sawit oleh industri lain (harga minyak sawit sebagai input yang menjadi lebih murah mendorong industri hilir domestik meminta minyak sawit lebih banyak untuk meningkatkan kapasitas produksinya). 3. Kebijakan pelarangan ekspor akan menyebabkan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan, sedangkan permintaan dan penawaran minyak sawit domestik mengalami peningkatan. 4. Kebijakan kuota ekspor akan memberikan dampak yang sama seperti kebijakan pelarangan ekspor yaitu menyebabkan harga minyak sawit domestik mengalami penurunan, sedangkan permintaan dan penawaran minyak sawit domestik
mengalami
peningkatan.
Namun
dampak
perubahan
yang
diakibatkan oleh kebijakan kuota ekspor lebih kecil daripada kebijakan pelarangan ekspor. 5. Penurunan penerimaan devisa yang paling kecil adalah ketika terjadi peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen sedangkan
184
penurunan penerimaan devisa yang paling besar adalah saat ditetapkan pelarangan ekspor minyak sawit. 6. Kebijakan domestik yang menyebabkan peningkatan kesejahteraan netto yang paling besar adalah penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen, sedangkan
kebijakan
pelarangan
kesejahteraan netto paling besar.
ekspor
menyebabkan
penurunan
VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia : a. Perubahan luas areal tanaman menghasilkan pada perusahaan perkebunan besar negara kurang responsif terhadap perubahan harga minyak sawit dibandingkan dengan perkebunan besar swasta dan rakyat. Hal ini dapat terjadi karena kebijakan pemerintah yang menetapkan pemasaran bersama minyak sawit sehingga perilaku perusahaan perkebunan besar negara lebih ditentukan oleh aturan-aturan pemerintah. b. Perubahan produktivitas perkebunan besar negara, swasta, dan rakyat di semua wilayah Indonesia tidak responsif terhadap perubahan luas areal, sehingga peningkatan produksi minyak sawit lebih dikarenakan peningkatan luas areal tanaman kelapa sawit tanpa peningkatan produktivitas. c. Harga minyak sawit domestik lebih responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik. d. Permintaan negara-negara importir minyak sawit utama dunia (Cina dan India) tidak responsif terhadap perubahan harga minyak sawit di pasar
186
dunia, sedangkan impor minyak sawit Pakistan responsif terhadap perubahan harga minyak sawit di pasar dunia. Permintaan impor minyak sawit Cina dan India lebih dipengaruhi perubahan pendapatan dan jumlah penduduknya. e. Penawaran negara-negara eksportir utama dunia (Indonesia dan Malaysia) tidak responsif terhadap perubahan harga ekspor minyak sawitnya. Penawaran ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia lebih dipengaruhi perubahan produksi minyak sawit domestik. f. Impor minyak sawit oleh Cina dan Pakistan relatif lebih responsif terhadap perubahan harga minyak kedele dunia (sebagai substitusi dari minyak sawit) dibandingkan dengan India, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Cina, Pakistan, dan India merupakan negara produsen minyak kedele, tetapi kebijakan pembatasan impor pemerintah India mengenakan pajak impor minyak sawit yang lebih tinggi dibandingkan Cina dan Pakistan. Meskipun harga minyak kedele dunia meningkat, permintaan impor minyak sawit oleh India hanya meningkat relatif kecil. 2. Evaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap industri minyak sawit Indonesia tahun 2003-2007 : a. Kebijakan domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan pengenaan pajak ekspor dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik). b. Perubahan faktor eksternal berupa peningkatan harga minyak sawit dunia dan harga minyak mentah dunia menyebabkan peningkatan harga minyak
187
sawit dan minyak goreng sawit domestik sehingga surplus konsumen minyak sawit dan konsumen minyak goreng sawit menurun. Penurunan surplus konsumen minyak sawit dan surplus konsumen minyak goreng sawit tersebut lebih besar akibat peningkatan harga minyak sawit dunia. Hal ini karena peningkatan harga minyak sawit dunia mengakibatkan kenaikan harga minyak sawit dan minyak goreng sawit domestik yang lebih besar. 3. Ramalan dampak kebijakan domestik terhadap industri minyak sawit Indonesia tahun 2012-2016 : a. Kebijakan domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor. b. Peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak goreng sawit terlebih dulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan. c. Pelarangan ekspor minyak sawit merupakan kebijakan yang hanya akan menyebabkan penurunan penerimaan devisa dan kesejahteraan netto.
188
d. Kebijakan penetapan pajak ekspor pada besaran tertentu ataupun dengan kebijakan kuota ekspor adalah efektif untuk jangka pendek dalam meningkatkan kesejahteraan netto. Namun untuk jangka panjang diperlukan kebijakan kuota domestik yang memastikan terpenuhinya penawaran minyak sawit domestik setelah adanya upaya untuk mengembangkan industri hilir minyak sawit domestik. 8.2. Saran Kebijakan Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disampaikan beberapa saran kebijakan sebagai berikut : 1. Peningkatan produktivitas minyak sawit dalam jangka panjang sebaiknya dilaksanakan melalui peningkatan adopsi teknologi (intensifikasi), dengan mendorong petani dan pengusaha kelapa sawit menggunakan bibit unggul dan memanfaatkan teknologi dalam pemeliharaan tanaman yang telah dihasilkan oleh lembaga riset kelapa sawit Indonesia. 2. Sebagai upaya menumbuhkembangkan industri hilir minyak sawit selain industri minyak goreng sawit domestik (seperti industri sabun, mie, oleokimia, serta biodiesel) maka pemerintah sebaiknya memberikan insentif seperti suku bunga kredit yang murah. 3. Dalam rangka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik sebaiknya pemerintah menggunakan dana yang berasal dari pajak ekspor minyak sawit. Dana tersebut digunakan untuk pengembangan lebih lanjut industri kelapa sawit seperti penelitian dan pengembangan pada industri kelapa sawit; kegiatan promosi atau pemasaran minyak sawit ke pasar dunia; dan disiapkan
189
untuk kondisi darurat seperti saat terjadi gejolak harga minyak sawit atau wabah penyakit yang menyerang tanaman sawit. 4. Sebagai upaya menanggulangi kenaikan harga minyak goreng sawit domestik yang besar akibat kenaikan harga minyak sawit atau harga minyak mentah dunia, pemerintah sebaiknya menetapkan pajak ekspor atau kuota ekspor sebagai respon jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, setelah industri hilir minyak sawit berkembang pesat, sebaiknya pemerintah berfokus kepada penetapan kebijakan DMO (domestic market obligation) bagi para pengusaha minyak sawit agar mereka memegang komitmen memasok minyak sawit untuk domestik dalam rangka memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik untuk industri hilir minyak sawit. 8.3. Saran Penelitian Lanjutan Saran penelitian lanjutan yang dapat diajukan berdasarkan ruang lingkup dan hasil penelitian ini adalah : 1. Penelitian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan industri hilir minyak sawit domestik dan mengenai industri hilir minyak sawit domestik yang memiliki prospek yang baik untuk ditumbuhkembangkan di pasar domestik. 2. Penelitian mengenai dampak peningkatan industri hilir minyak sawit domestik terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya petani sawit, kesempatan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, juga dapat dilakukan penelitian mengenai dampak kawasan perdagangan bebas seperti China ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) terhadap perkembangan industri hilir minyak sawit domestik.
190
3. Penelitian mengenai pola perdagangan dunia industri hilir minyak sawit dan pengaruhnya terhadap perkembangan industri hilir minyak sawit domestik.
DAFTAR PUSTAKA Arief, S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Baffes, J., dan B. Gardner. 2003. The Transsmission of World Commodity Price to Domestic Markets under Policy Reform in Developing Countries. Policy Reform, 6(3) : 159-180. Barton, J.H. 1993. Implication of GATT of World Trade in Vegetables Oils. Paper Presented at Porim International Oil Congress, 20-25 September 1993, Kuala Lumpur. Basiron, Y. 2002. Palm Oil and Its Global Supply and Demand Prospects. Oil Palm Industry Economic Journal, 2(1) : 1-10. Beattie, B.R., and C.R. Taylor. 1985. The Economics of Production. John Wiley & Son, New York. Biro Pusat Statistik. 1984-2007. Statistik Perdagangan Besar dalam Negeri. Biro Pusat Statistik, Jakarta. ________________. 2006. Statistik Indonesia 2006. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Bode, H. 2000. Studi Neraca Energi Pembuatan Biodiesel dari Minyak Sawit. Thesis Magister Institut Teknologi Bandung, Bandung. Boediono. 1990. Ekonomi Internasional. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Chiang, A.C. 1984. Fundamental Methods of Mathematical Economics, 3rd Edition. McGraw-Hill, Inc. Debertin, D. L. 1986. Agricultural Production Economics. MacMillan Publishing Company, New York. Dillon, H.S., M.H. Sawit, P. Simatupang, and S.R. Tabor. 1999. Rice Policy : A Framework For The Next Millenium. Badan Urusan Logistik, Jakarta. Dilorenzo, T.J. 1988. Keunggulan Perdagangan Bebas (Terjemahan). Burkett Miller Distinguished Lectures on Economic Education. Economic Impact, USIA. University of Tennessee, Chattanooga. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. _________________________. 2009. Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
192 Dolan, E.G. 1974. Basic Microeconomics : Principles and Reality. The Dryden Press, Illinois. Doll, J.P., and F. Orazem. 1984. Production Economics : Theory with Applications. Second Edition. John Wiley & Sons, New York. Drajat, B., dan L. Buana. 1995. Konsumsi Dunia dan Posisi Indonesia dalam Produksi dan Perdagangan Internasional Minyak Sawit. Jurnal Pengkajian Agribisnis Perkebunan, 1(2) : 13-24. Erwidodo, and T. Fridhanusetyawan. 1997. Indonesia’s Agricultural Facing The APEC dan WTO. Presented at the Workshop During the Fourty First Annual Conference of Australian & Resource Economics Society, 20-25 January. Erwidodo. 1997. Implikasi dan Dampak Puturan Uruguay Pada Sektor Pertanian di Indonesia. Agro-Ekonomika, 27(2): 25-47. ________. 2000. Effects of Trade Liberalization on Agriculture in Indonesia. Kerja Sama CGPRT dengan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. FAO. 2001. Medium Term Prospects for Agricultural Commodities, Projection to The Year 2005 : Oilseeds, Oils, and Oilmeals. FAO, Rome. Gonarsyah, I. 1987. Landasan Perdagangan Internasional. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Grennes, T. 1984. International Economics. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Hamdy, H. 2000. Ekonomi Internasional : Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Buku Kesatu. Ghalia Indonesia, Jakarta. Handewi, P.S.R., dan Erwidodo. 1994. Kajian Sistem Permintaan Pangan di Indonesia. Jurnal Agro-Ekonomi, 13(2): 73-89. Henderson, J.M., and R.E. Quant. 1980. Microeconomics Theory : A Mathematical Approach. Third Edition. International Student Edition. McGraw-Hill Book Company, Singapura. Hirshleifer, J. 1988. Price Theory and Applications. Fourth Edition. Prentice Hall International Inc, New Jersey. Intriligator, M.D. 1978. Econometric Model, Techniques, and Applications. Prentice Hall Inc, New Jersey.
193 Jiaravanon, S. 2007. Masa Depan Agribisnis Indonesia : Perspektif Seorang Praktisi. Makalah Disampaikan pada Orasi Ilmiah dalam Rangka Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Institut Pertanian Bogor, Bogor. Juliawan, D. 1992. Analisis Pemasaran Minyak Kelapa Sawit Indonesia ke Negara Belanda dan Tinjauan Trend Harga Domestik Pasca Pakjun 91. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Just, R.E., D.L. Hueth, and A. Schmitz. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice Hall Inc, New Jersey. Kindleberger, C.P., and D.H. Lindert. 1982. International Economics. Richard D. Irwin, California. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London. ______________. 1979. Modern Microeconomics. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London. Manurung, A., M. Chairani, dan S. Lubis. 1991. Prakiraan Perkembangan Kelapa Sawit dan Kebutuhan Bahan Tanaman dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Buletin Perkebunan, 22(4) : 221-230. Manurung, J. 1993. Model Ekonometrika Komoditi Kelapa Sawit Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mulyono, S. 2000. Peramalan Bisnis dan Ekonometrika. Edisi Pertama. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nainggolan, K., and A. Suprapto. 1987. Supply Respon for Rice in Java : Empirical Evidence. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 35(2): 39-46. Nerlove, B. 1958. The Dynamics fo Supply: Estimation of Farmers Response to Price. The John Hopkins Press, Baltimore. Nopirin. 1999. Ekonomi Internasional. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Oil World. 2007. World Usage of Oils and Fats and Oilmeals : Global Supply, Demand and Price Outlook 2007/2008. Ista Mielhe and Co, Hamburg. Ong, A.S.H. 1992. Promotion of Oil Palm Products. Paper Presented at ASEAN Agribusiness and Agrotechnology, 6-8 July 2002, Kuala Lumpur.
194 Pasquali, M. 1993. Prospect of The Year 2000 in The World Oilseeds, Oils and Oilmeals Economy : Policy Issues and Chalenges. Paper Presented at The 1993 PORIM International Oil Congress, Kuala Lumpur. __________. 1995. The Changing World Trade Environment in The Oilseeds, Oils and Oilmeals Sector with Special Reference to The Asia and Pacific Region. Paper Presented in Experts Consultation on The Changing Trade Environment for Oilseeds and Products in The Asia and Pacific Region. FAO Regional Office for Asia and Pacific (RAPA), Bangkok. Pindyck, R.S., and D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York. Pindyck, R.S., and D.L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic Forecasts. Fourth Edition. McGraw-Hill Inc, New York. Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian. 2006. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2006. Potensi dan Peluang Investasi Industri Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Rachman, A., dan B. Subroto. 1999. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agrobisnis Kelapa Sawit di Indonesia. Jurnal Agroekonomika, 29(1) : 3955. Simanjuntak, S.B. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Simeh, M.A. 2004. Comparative Advantage of The European Rapeseed Industry Vis a Vis Other Oil and Fat Producers. Oil Palm Industry Economic Journal, 4(2) : 14-21. Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of The Indonesian Hardwood Product Industry : A Policy Simulation Analysis. Ph.D Dissertation. University of the Phillippines at Los Banos, Los Banos. Sugema, I., M.F. Hasan, Aviliani, U. Hidayat, dan Sugiyono. 2007. Strategi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. INDEF, Jakarta. Suharyono. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak Sawit dan Hasil Industri yang Menggunakan Bahan Baku Minyak Sawit di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susila, W.R., Abbas, B. Mardi, dan M. Sarjono. 1995a. Model Domestik Ekonomi Minyak Sawit Mentah. Jurnal Pengkajian Agribisnis Perkebunan, 1(2) : 112.
195 Susila, W.R., Abbas, P.U. Hadi, A. Priyambodo, dan S.O. Lubis. 1995b. Model Minyak Sawit Mentah Dunia. Jurnal Agroekonomi, 14(2) : 21-40. Susila, W.R. 1998. Daya Saing dan Efisiensi Penggunaan Sumberdaya Minyak Sawit Mentah (CPO) Indonesia, Jurnal Agribisnis, 2(2) : 16-30. Susilowati, S.H. 1989. Pasar Minyak Sawit Dunia dan Kaitannya dengan Ekspor Minyak Sawit Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Stephenson, S., and Erwidodo. 1995. The Impact Of The Uruguay Round on Indonesia’s Agricultural Sector. The Minister of Agriculture, Jakarta. Tukirin. 1993. Pembibitan Kelapa Sawit. Majalah Widya Nomor 97 Edisi Oktober. Kopertis Wilayah III, Jakarta. Tweeten, L. 1992. Agricultural Trade : Principles and Policies. Westview Press, Inc, San Francisco. Vesdapunt, K. 1984. Thailand Rice Policy Model: A Simulation Analysis. Ph.D. Dissertation. University of the Philippines, Los Banos. www.antara.co.id/arc/2007/4/20/pemerintah-pertimbangkan-op-minyak-goreng (26 April 2007) www.deptan.go.id/perkebunan/tahunan/KS-IND.DOC (11 Maret 2007) www.library.usu.ac.id (13 Juni 2007) Zulkifli. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Dasar Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia LAKSMRS
LAKSMNS
LAKSMSS
LAKSMRK
LAKSMNK
LAKSMSK
YMSRS
YMSNS
YMSSS
YMSRK
YMSNK
YMSSK
1984
2.20
213.95
77.63
0.02
0.15
0.00
1.82
3.80
4.24
0.39
2.43
0.00
1985
25.63
230.11
84.29
1.47
1.00
0.00
1.57
3.73
3.95
0.74
0.76
0.00
1986
36.70
227.08
83.76
4.47
13.05
0.00
1.34
3.95
4.50
0.52
1.13
0.00
1987
41.23
255.49
96.37
4.71
15.59
0.00
3.70
3.73
3.56
2.03
2.07
0.00
1988
87.98
268.09
127.23
4.99
18.71
0.00
2.86
3.99
3.50
2.26
2.12
0.00
1989
61.96
277.78
143.62
9.22
20.93
1.01
2.39
4.04
4.10
2.19
2.66
2.60
1990
128.57
287.26
202.81
13.46
23.15
1.01
2.58
4.08
3.85
2.04
2.67
2.65
1991
154.22
312.54
228.11
18.44
25.08
1.41
2.23
4.05
3.82
1.92
2.72
0.93
1992
166.25
314.25
287.36
23.83
25.68
2.43
3.67
4.40
3.67
2.21
3.13
4.86
1993
188.20
311.24
328.80
27.40
26.10
5.02
2.66
4.43
4.10
1.73
2.39
2.62
1994
240.19
312.89
384.72
27.04
27.08
7.77
3.05
4.58
4.08
2.05
3.51
1.94
1995
285.75
330.44
464.29
55.82
28.81
23.35
2.90
4.45
3.88
1.91
3.43
2.15
1996
326.73
339.02
549.00
76.09
32.05
37.28
2.78
4.56
3.53
1.86
3.43
2.38
1997
351.92
348.85
603.24
103.90
31.27
57.88
2.85
4.69
3.52
1.88
3.68
2.20
1998
391.76
351.46
652.54
110.18
44.23
60.77
2.70
4.62
3.47
1.79
3.69
2.15
1999
538.68
362.56
791.84
144.23
32.36
126.60
2.27
4.69
2.99
1.56
3.20
1.53
2000
604.70
378.16
973.77
150.23
34.30
205.45
2.59
4.73
3.33
1.99
3.88
1.50
2001
878.49
417.63
1127.22
139.59
40.49
211.77
2.72
3.23
3.03
2.05
2.46
2.45
2002
1043.71
437.28
1211.55
159.48
43.51
251.70
2.85
3.24
3.13
2.01
2.40
2.54
2003
1039.64
445.38
1286.68
193.25
47.54
266.04
2.86
3.41
3.25
2.22
2.37
3.15
2004
1255.96
476.74
1463.46
243.03
50.87
293.48
2.60
3.66
3.63
2.01
2.80
3.32
2005
1373.45
509.32
1645.11
246.55
60.92
377.12
2.77
3.73
3.88
2.37
3.05
3.40
2006
1498.02
526.78
1777.97
284.97
65.89
615.56
3.25
3.76
3.85
2.62
3.10
3.44
2007
1603.16
423.56
1646.76
287.39
51.45
641.78
3.35
4.17
4.04
2.54
3.86
3.39
197
Tahun
Tahun
QMSRL
QMSNL
QMSSL
QMSTL
QMSI
HRMSD
HRKD
HRF
UPRBUN
INF
SBR
HRXMSI
HRXMSM
1984
0.00
0.00
0.02
0.02
1147.19
2727.94
4824.00
549.99
8167.32
8.80
1985
1.69
1.73
5.93
9.35
1243.43
1748.49
3894.45
603.83
8731.93
1986
1.97
1.47
7.80
11.24
1350.73
1617.72
4815.95
620.29
1987 1988
3.02
2.54
9.26
14.82
2.89
4.72
9.73
17.34
1506.06
1966.22
6715.84
1833.59
2294.38
7422.41
1989
15.14
6.42
5.75
27.31
1964.95
2211.33
1990
18.27
12.18
5.79
36.24
2412.61
1991
34.53
27.09
10.86
72.48
1992
36.47
26.53
11.20
1993
34.14
27.69
1994
52.51
1995 1996
CURAH
10.20
855.15
1214.79
2,096.56
4.30
14.70
619.30
828.96
1,894.08
8823.04
8.80
7.20
315.79
443.14
2,343.66
613.02
8332.59
8.90
9.10
419.51
439.36
2,138.36
714.37
8148.00
5.50
12.50
570.76
523.94
2,637.53
5987.38
770.02
8367.52
6.00
13.00
451.45
446.42
2,729.65
1674.10
5179.39
860.86
9011.59
9.50
8.03
334.74
341.66
2,296.74
2657.60
2189.59
4881.39
837.00
9183.57
9.50
13.82
362.88
380.00
1,717.49
74.21
3266.25
2266.63
4887.95
856.21
9567.79
4.90
14.10
436.92
425.83
1,916.71
9.50
71.33
3421.45
1969.88
4651.01
808.96
9642.18
9.80
4.20
402.91
403.92
2,115.94
44.79
11.70
109.00
4008.06
2584.35
6200.40
967.82
10177.84
9.20
3.30
511.15
536.84
1,586.69
66.01
44.47
14.32
124.79
4479.67
3047.36
8220.71
1020.57
10721.94
8.60
6.40
667.87
715.47
2,605.70
82.21
50.18
32.13
164.51
4898.66
2541.33
6856.56
1082.50
11099.49
6.50
10.77
542.32
623.20
2,352.78
1997
93.26
47.87
34.30
175.44
5380.45
2819.85
5326.40
1267.35
11588.31
11.10
4.90
522.42
571.15
2,507.23
1998
92.32
69.09
38.23
199.64
5640.15
4396.84
6977.83
1115.38
7216.53
77.60
-30.68
532.43
619.09
2,173.88
1999
94.91
42.24
50.39
187.54
6004.90
3257.40
5007.12
1312.15
7654.19
2.00
26.00
349.43
426.42
2,952.74
2000
110.12
49.17
83.23
242.53
7580.50
3217.15
5251.67
1280.00
10000.00
9.40
6.60
265.00
282.41
3,060.59
2001
121.07
69.40
140.54
331.01
8396.47
2880.74
3793.01
1332.75
10662.01
12.60
1.40
250.90
239.18
2,903.16
2002
127.34
85.68
154.23
367.25
9622.35
3434.22
4076.56
1250.01
7428.69
10.00
5.30
304.45
348.38
3,003.89
2003
118.59
119.43
147.50
385.52
10440.83
3221.30
4428.15
1205.55
7261.58
5.10
5.30
343.80
412.19
3,104.62
2004
92.31
126.78
185.02
404.11
12326.42
3299.50
6145.53
1170.93
7290.63
6.40
0.70
380.38
382.25
2,904.70
2005
109.90
148.47
217.81
476.19
14619.83
3045.12
6090.11
1053.06
6712.12
17.11
-6.11
307.72
334.12
2,952.11
2006
172.21
128.60
299.21
600.02
17350.85
2600.40
7483.54
1003.22
6164.68
6.60
5.00
326.49
354.02
2,999.52
2007
260.09
152.72
360.41
773.23
17664.73
3826.53
4572.20
968.17
6057.30
6.41
3.59
523.99
331.72
3,046.93
198
Lampiran 1. Lanjutan
Lampiran 1. Lanjutan Tahun
HRMMW
NTERI
STKMS
1984
47.84
3404.91
85.25
1985
43.20
3642.10
1986
22.50
4052.39
SMSD
DMSIMG
DMSIL
DMSD
HRMGSD
QMGS
HRMKD
UPRIN
HRMSW
HRMKW
1130.88
612.80
432.83
1045.63
5087.39
605.00
4652.89
10658.76
1208.15
1914.15
86.77
847.10
642.20
118.13
760.33
4379.09
490.00
3040.16
10669.45
801.73
944.15
255.61
879.40
524.80
98.99
623.79
3706.87
588.00
2759.06
12013.83
403.77
466.61
1987
27.33
4929.32
501.55
1376.54
702.60
172.39
874.99
3918.82
664.00
3264.92
12019.82
519.46
669.39
1988
21.29
4865.87
696.30
1784.49
774.00
314.19
1088.19
4349.24
728.00
3950.03
11766.06
636.28
822.66
1989
25.10
5034.50
507.23
2439.37
948.00
984.14
1932.14
4272.61
847.00
3561.82
11984.62
486.18
718.16
1990
29.26
5125.71
304.76
1930.45
981.60
644.09
1625.69
3648.59
969.00
2307.85
11927.53
382.18
444.12
1991
23.69
5163.48
123.67
1832.54
990.40
718.47
1708.87
3615.84
981.00
3026.60
12082.95
428.63
547.48
1992
22.23
5149.87
375.65
2668.39
1400.00
892.74
2292.74
4088.03
1162.00
3670.82
12466.46
483.55
709.38
1993
19.28
4969.50
236.09
2317.03
1506.02
574.92
2080.94
3650.23
1250.00
3164.86
12486.30
450.59
536.42
1994
17.90
4888.28
290.95
2736.59
1814.46
631.18
2445.64
4093.63
1506.00
2484.95
12545.08
613.38
706.32
1995
19.38
4794.68
483.26
3555.38
2185.54
886.58
3072.12
4352.35
1731.00
3695.08
12966.23
709.68
757.15
1996
22.61
4730.61
863.96
3817.51
2818.46
135.09
2953.55
3986.87
2336.00
3541.92
13534.56
582.94
825.56
1997
19.90
5323.78
108.82
3368.50
2345.20
914.48
3259.68
3611.94
2453.00
3540.65
14222.02
585.71
704.78
1998
12.78
10540.26
514.69
4287.31
2683.46
1089.16
3772.62
4962.34
1389.00
1878.30
9265.48
708.85
695.12
1999
17.85
8436.21
540.73
3222.25
2527.60
153.92
2681.52
4531.28
2575.00
1498.03
11484.56
450.74
761.91
2000
27.68
8238.00
1053.56
4015.56
2520.70
441.30
2962.00
3419.00
2139.00
1663.00
12753.00
310.00
450.00
2001
21.38
9249.75
1669.95
4546.95
1885.65
991.35
2877.00
3145.29
1712.00
1457.14
15570.98
278.13
309.25
2002
22.62
7928.36
1941.09
4968.09
2856.54
170.46
3027.00
4319.78
1793.49
1477.84
14765.39
373.35
403.03
2003
26.06
6915.69
2830.53
5999.53
2994.28
174.72
3169.00
4283.68
4215.91
1421.41
14580.29
414.68
437.14
2004
32.72
7057.63
3152.62
6499.62
3132.03
214.97
3347.00
3971.32
4165.97
1406.16
14771.46
429.39
602.61
2005
43.13
6945.44
3861.47
7407.47
3269.77
276.23
3546.00
3293.39
7643.51
1277.14
13709.96
372.10
544.04
2006
50.28
5931.21
7031.04
10742.04
3407.51
303.49
3711.00
3033.66
4178.02
1158.42
14471.89
408.30
518.49
2007
55.71
5895.69
8716.42
12821.42
3545.26
559.74
4105.00
4350.78
4419.69
1125.19
19906.94
647.79
763.23
199
200
Lampiran 1. Lanjutan
Tahun
HRMKDW
PXMSI
QMSM
NTERM
1984
1199.87
37.18
3716.00
2.04
1985
915.35
5.00
4133.00
1986
537.31
0.00
1987
505.83
1988
674.14
1989
XMSI
XMSM
XMSW
XMSRW
NTERC
INCRC
NTERIND
INCRIND
HRMGSW
127.94
2858.00
4418.94
1433.00
5.18
2562.21
25.65
11539.59
1317.53
2.29
518.76
3228.00
5345.76
1599.00
6.08
2823.43
27.40
12134.97
894.54
4544.00
2.44
566.89
4300.00
5581.89
715.00
6.79
2956.94
26.16
12205.29
494.89
0.00
4533.00
2.55
551.12
4503.00
6472.12
1418.00
6.98
3137.32
25.64
12495.65
560.35
0.00
5030.00
2.72
852.84
4761.00
6839.84
1226.00
6.23
3302.69
26.18
14223.17
732.38
600.08
0.00
6057.00
2.93
781.84
5213.00
7507.84
1513.00
5.61
3124.04
30.14
15068.71
580.64
1990
589.09
0.00
6095.00
3.08
1015.58
5949.00
8640.58
1676.00
7.27
3273.93
31.45
15853.19
512.65
1991
574.03
0.00
6141.00
3.13
1167.69
5768.50
13743.19
6807.00
8.15
3641.39
37.40
15673.09
499.43
1992
526.51
0.00
6374.00
2.81
1030.27
5865.00
8375.27
1480.00
8.19
4166.19
39.28
15751.89
555.96
1993
572.18
0.00
7404.00
2.79
1632.01
6405.00
9446.01
1409.00
7.67
4667.99
44.74
16677.49
537.61
1994
715.61
10.30
7220.00
2.72
1631.20
6895.00
10888.20
2362.00
9.50
5021.32
42.85
17500.59
586.66
1995
706.29
23.20
7811.00
2.58
1265.02
6570.00
10285.02
2450.00
8.08
5306.06
41.31
18281.38
785.40
1996
605.99
15.80
8386.00
2.59
1671.96
6643.00
10734.96
2420.00
7.64
5628.72
42.64
18968.87
748.71
1997
606.09
15.20
9069.00
2.88
2967.59
7230.00
12374.59
2177.00
7.59
5943.47
41.73
19348.80
601.80
1998
661.31
40.00
8320.00
3.87
1479.28
7748.00
11134.28
1907.00
7.76
6243.86
42.52
19198.77
750.05
1999
441.43
30.00
10554.00
3.73
3298.99
9235.00
14116.99
1583.00
8.04
6559.76
43.31
20059.59
507.60
2000
338.00
10.00
10842.00
3.80
4110.03
9280.00
15187.03
1797.00
8.28
7086.00
44.94
20463.63
350.00
2001
344.26
3.00
11804.00
3.85
4903.22
10733.00
17652.22
2016.00
8.46
7605.05
46.79
21112.99
309.25
2002
434.62
3.00
11909.00
3.84
6333.71
10886.00
19187.71
1968.00
8.66
9379.33
46.91
21584.40
467.25
2003
518.58
3.00
13355.00
3.89
6386.41
12216.00
20640.41
2038.00
8.75
10396.92
44.29
22940.02
455.93
2004
561.58
3.00
13976.00
3.94
8661.65
12582.00
24033.65
2790.00
8.65
11708.28
42.64
24847.94
443.11
2005
480.56
3.00
14961.00
3.95
10375.79
13439.00
26660.00
2845.21
8.68
13148.37
41.15
25968.02
427.68
2006
511.66
1.50
15881.00
3.84
10471.92
14423.00
30070.00
5175.09
8.60
14676.21
41.25
27992.65
413.44
2007
731.67
10.00
15823.40
3.59
11875.42
13746.80
29878.00
4255.78
8.06
16324.47
36.40
29475.88
401.12
Lampiran 1. Lanjutan NTERP
INCRP
MMSI
MMSC
MMSIND
MMSP
MMSW
MMSRW
XMGS
HRXMGSI
SMGS
DMGS
HRMGKD
INCRI
1984
29.78
16231.45
57.63
17.00
571.20
400.40
3975.63
2929.40
128.00
1254.56
477.00
337.10
6324.86
3059.53
1985
33.11
16677.14
37.18
56.00
662.20
486.20
4889.18
3647.60
0.00
832.13
490.00
330.00
4872.66
3093.61
1986
34.05
16946.83
8.79
193.00
952.20
522.00
4840.79
3164.80
62.00
446.19
526.00
525.60
4173.33
3026.73
1987
35.26
17392.83
165.99
254.00
1153.80
466.00
6255.99
4216.20
54.00
513.40
610.00
769.80
4713.48
3295.08
1988
34.87
18230.26
302.19
398.00
931.40
520.70
6495.19
4342.90
70.00
685.79
658.00
758.00
5509.04
3581.84
1989
38.68
18645.15
412.39
734.00
456.30
538.20
6883.39
4742.50
152.00
536.19
695.00
725.40
5362.48
3958.56
1990
39.50
18436.30
26.18
1133.00
668.10
682.70
7829.18
5319.20
169.00
473.12
800.00
719.60
4655.99
4309.37
1991
40.39
19126.50
37.87
1007.00
212.70
911.80
7845.87
5676.50
106.00
461.50
875.00
1074.80
4385.88
4574.71
1992
40.04
20204.00
308.74
582.00
207.60
922.00
7558.74
5538.40
76.00
516.69
1086.00
1066.00
5710.16
4726.08
1993
42.00
19852.88
151.94
792.00
150.50
1141.30
8505.94
6270.20
166.00
499.46
1084.00
1054.40
4876.44
4948.96
1994
41.71
20220.91
123.64
1456.00
407.80
1230.00
9717.64
6500.20
351.00
548.33
1155.00
1355.20
4998.68
5201.27
1995
39.51
21003.88
49.79
1396.00
863.10
1121.50
9269.79
5839.40
282.00
746.98
1449.00
1349.00
5260.58
5577.77
1996
42.02
21095.51
107.55
1370.00
1253.90
1103.50
10075.55
6240.60
690.00
712.48
1646.00
1645.70
5348.30
5944.67
1997
43.99
21147.37
91.68
1860.00
1465.30
1120.00
12154.68
7617.70
1587.00
566.40
866.00
1649.50
6378.32
6173.23
1998
46.23
21401.05
17.62
1373.00
1672.30
1114.40
10905.62
6728.30
1075.00
722.59
314.00
313.60
4573.07
5469.86
1999
49.58
22001.60
1.65
1347.00
3257.30
1051.80
13131.65
7473.90
1434.00
472.45
1141.00
141.50
4794.80
5880.11
2000
53.65
26592.64
4.35
1764.00
3650.50
1107.10
14659.35
8133.40
1792.00
321.00
347.00
347.00
4095.00
6752.00
2001
61.74
27684.23
0.14
2120.00
3432.70
1325.00
17108.14
10230.30
1054.00
279.10
658.00
658.20
3902.30
7172.87
2002
58.56
27767.32
9.50
2660.00
3460.80
1300.00
19377.00
11946.70
1401.01
438.66
392.48
962.03
4574.87
7023.32
2003
56.27
28971.41
4.01
3353.00
3978.80
1487.40
21794.00
12970.79
1494.41
428.20
2721.50
976.62
4806.55
7093.95
2004
54.24
29930.45
4.32
3851.00
3452.90
1431.60
23952.00
15212.18
1587.80
416.34
2578.17
991.22
4886.03
7612.45
2005
52.53
32000.18
10.81
4320.00
3315.10
1645.70
26156.00
16864.39
1681.19
402.00
5962.32
1005.82
4411.58
7992.05
2006
50.88
34026.36
1.65
5461.70
3198.40
1767.70
29172.00
18742.56
1774.59
388.77
2403.43
1020.41
4100.31
8315.63
2007
49.02
35605.47
1.07
5730.00
3690.00
1711.00
29938.00
18805.93
1867.98
377.35
2551.71
1035.01
3557.41
8881.42
201
Tahun
202
Lampiran 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia Blok Persamaan Notasi Struktural / Identitas Perkebunan 1. Luas Areal Kelapa Sawit LAKSMRS Struktural Kelapa Perkebunan Rakyat di Sawit Sumatera 2. Luas Areal Kelapa Sawit LAKSMRK Struktural Perkebunan Rakyat di Kalimantan 3. Luas Areal Kelapa Sawit LAKSMNS Struktural Perkebunan Negara di Sumatera 4. Luas Areal Kelapa Sawit LAKSMNK Struktural Perkebunan Negara di Kalimantan 5. Luas Areal Kelapa Sawit LAKSMSS Struktural Perkebunan Swasta di Sumatera LAKSMSK Struktural 6. Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Swasta di Kalimantan Struktural YMSRS Minyak 1. Produktivitas minyak Sawit sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera Struktural YMSRK 2. Produktivitas minyak sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan Struktural YMSNS 3. Produktivitas minyak sawit Perkebunan Negara di Sumatera Struktural YMSNK 4. Produktivitas minyak sawit Perkebunan Negara di Kalimantan Struktural YMSSS 5. Produktivitas minyak sawit Perkebunan Swasta di Sumatera Struktural YMSSK 6. Produktivitas minyak sawit Perkebunan Swasta di Kalimantan Identitas QMSI 7. Produksi Minyak Sawit Indonesia Struktural XMSI 8. Ekspor Minyak Sawit Indonesia DMSD Identitas 9. Permintaan Minyak Sawit Domestik
203
Lampiran 2. Lanjutan Blok Persamaan Minyak Sawit
10. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng 11. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain 12. Penawaran Minyak Sawit Domestik 13. Harga Minyak Sawit Domestik 14. Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia 15. Ekspor Minyak Sawit Malaysia 16. Ekspor Minyak Sawit Dunia 17. Impor Minyak Sawit Cina 18. Impor Minyak Sawit India 19. Impor Minyak Sawit Pakistan 20. Impor Minyak Sawit Dunia 21. Harga Minyak Sawit Dunia 22. Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Sumatera 23. Produksi Minyak Sawit Perkebunan Rakyat di Kalimantan 24. Produksi Minyak Sawit Perkebunan Negara di Sumatera 25. Produksi Minyak Sawit Perkebunan Negara di Kalimantan 26. Produksi Minyak Sawit Perkebunan Swasta di Sumatera 27. Produksi Minyak Sawit Perkebunan Swasta di Kalimantan
Notasi DMSIMG
Struktural / Identitas Struktural
DMSIL
Struktural
SMSD
Identitas
HRMSD
Struktural
HRXMSI
Struktural
XMSM
Struktural
XMSW
Identitas
MMSC MMSIND MMSP
Struktural Struktural Struktural
MMSW HRMSW QMSRS
Identitas Struktural Identitas
QMSRK
Identitas
QMSNS
Identitas
QMSNK
Identitas
QMSSS
Identitas
QMSSK
Identitas
204
Lampiran 2. Lanjutan Blok Persamaan Minyak Goreng Sawit
1. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia 2. Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia 3. Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik 4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik 5. Harga Minyak Goreng Sawit Domestik 6. Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia
Notasi QMGS
Struktural / Identitas Struktural
XMGS
Struktural
SMGS
Identitas
DMGS
Struktural
HRMGSD
Struktural
HRXMGSI
Struktural
205
Lampiran 3. Program Estimasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia
/* PROGRAM ESTIMASI */ OPTION NODATE NONUMBER; DATA ESTIMASI; SET SASUSER.TESIS_5; /* MEMBUAT VARIABEL LAG*/ L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS);
/* CREATE VARIABLE*/ PHRF=(HRF-LHRF)/LHRF*100; PSBR=(SBR-LSBR)/LSBR*100; RHMSF=HRMSD/HRF; SHRXMSM=(HRXMSM-LHRXMSM); PHRMMW=(HRMMW-LHRMMW)/LHRMMW*100; PHRXMSI=(HRXMSI-LHRXMSI)/LHRXMSI*100; SHRMKW=(HRMKW-LHRMKW); SHRMSW=(HRMSW-LHRMSW); PXMGS=(XMGS-LXMGS)/LXMGS*100; EXDMGS=DMGS-SMGS;
QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSTL=QMSRL+QMSNL+QMSSL; QMSI=QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD=DMSIMG+DMSIL; SMSD=QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS;
206
Lampiran 3. Lanjutan XMSW=XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW=MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS=QMGS-XMGS;
PROC SYSLIN 2SLS DATA=ESTIMASI OUTEST=HASIL_4; ENDOGENOUS LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW; INSTRUMENTS SBR TREN HRMMW HRMKD PXMSI QMSM INCRIND CURAH QMSRL QMSNL XMSRW MMSRW
INCRI PHRF INCRC PSBR NTERM HRMKDW HRMGKD INCRP QMSSL STKMS NTERC HRMGSW
/* PERSAMAAN STRUKTURAL MODEL LAKSMRS= L3HRMSD MODEL LAKSMRK= L3HRMSD MODEL LAKSMNS= L3HRMSD MODEL LAKSMNK= L3HRMSD MODEL LAKSMSS= L3HRMSD MODEL LAKSMSK= L3HRMSD MODEL YMSRS= RHMSF MODEL YMSRK= RHMSF MODEL YMSNS= RHMSF MODEL YMSNK= RHMSF MODEL YMSSS= RHMSF MODEL YMSSK= LHRMSD MODEL XMSI= PHRXMSI MODEL DMSIMG= HRMSD MODEL DMSIL= HRMSD MODEL HRMSD= SMSD MODEL HRXMSI= HRMSW MODEL XMSM= SHRXMSM MODEL MMSC= HRMSW MODEL MMSIND= SHRMSW MODEL MMSP= HRMSW MODEL HRMSW= XMSW MODEL QMGS= LHRMGSD MODEL XMGS= LHRXMGSI MODEL DMGS= HRMGSD MODEL HRMGSD= EXDMGS MODEL HRXMGSI= HRMGSW
SHRXMSM RHMSF SHRMKW PXMGS SHRMSW UPRBUN PHRXMSI
*/ L3HRMKD L3HRMKD
LLAKSMRS LLAKSMRK LLAKSMNS LLAKSMNK LLAKSMSS LLAKSMSK QMSI HRMKD HRMKD DMSD PHRMMW SHRMKW HRMKDW LHRMKDW HRMKDW MMSW LHRMSD HRMGSD HRMGKD HRXMGSI PXMGS
L3HRKD L3HRKD L3HRKD L3HRKD L3HRKD CURAH LUPRBUN CURAH CURAH CURAH LNTERI HRMGSD HRMMW HRXMSI XMSI QMSM INCRC INCRIND INCRP TREN QMGS INCRI
PHRMMW
PHRF LHRF PHRF LHRF LHRF LHRF
;
LUPRBUN LUPRBUN LUPRBUN UPRBUN LUPRBUN LUPRBUN
RUN;
TREN TREN TREN TREN TREN TREN LYMSRK LYMSNS LYMSNK LYMSSS
TREN TREN TREN LUPRIN
SBR
PXMSI NTERM NTERC LNTERP
LNTERI
/* PERSAMAAN IDENTITAS */ IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY
LSBR LSBR LSBR PSBR PSBR SBR
QMSRS=QMSRS+0; QMSRK=QMSRK+0; QMSNS=QMSNS+0; QMSNK=QMSNK+0; QMSSS=QMSSS+0; QMSSK=QMSSK+0; QMSI= QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD= DMSIMG+DMSIL; SMSD= QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSW= XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW= MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS= QMGS-XMGS;
TREN
LXMSI LDMSIMG LDMSIL LHRMSD LHRXMSI LXMSM LMMSC LMMSIND LMMSP LHRMSW LQMGS LXMGS LDMGS LHRMGSD
/DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW;
207
Lampiran 4. Hasil Estimasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia Lampiran 4a. Hasil Estimasi Persamaan pada Blok Perkebunan Kelapa Sawit
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
LAKSMRS LAKSMRS luas areal kelapa sawit kebun rakyat di Sumatera
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 13 20
5242805 114851.9 5357657
748972.1 8834.763
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
93.99342 583.83533 16.09930
F Value
Pr > F
84.78
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.97856 0.96702
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept L3HRMSD
1 1
731.0415 0.134501
218.5470 0.049658
3.35 2.71
0.0053 0.0179
L3HRMKD
1
-0.11378
0.036780
-3.09
0.0086
L3HRKD
1
-0.03228
0.021184
-1.52
0.1515
PHRF
1
-5.72475
2.759837
-2.07
0.0585
LUPRBUN
1
-0.06520
0.015615
-4.18
0.0011
LSBR TREN
1 1
-2.64737 42.25342
2.380207 7.742129
-1.11 5.46
0.2862 0.0001
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.582473 21 0.07653
Variable Label Intercept harga riil CPO Indonesia t-3 harga riil minyk kelapa Indonesia t-3 harga riil karet Indonesia t-3 pertumbuhan harga riil pupuk lag upah riil perkebunan lag suku bunga BI riil teknologi
208
Lampiran 4a. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
LAKSMRK LAKSMRK luas areal kelapa sawit kebun rakyat di Kalimantan
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 14 20
181950.7 4733.165 186683.9
30325.12 338.0832
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
18.38704 110.65543 16.61648
F Value
Pr > F
89.70
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.97465 0.96378
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept L3HRMSD
1 1
21.05198 0.010901
32.99978 0.009624
0.64 1.13
0.5338 0.2764
L3HRKD
1
-0.00264
0.003986
-0.66
0.5189
LHRF LUPRBUN
1 1
-0.04265 -0.00957
0.042228 0.003664
-1.01 -2.61
0.3297 0.0205
LSBR TREN
1 1
-0.09085 14.51194
0.427611 1.797681
-0.21 8.07
0.8348 <.0001
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.207351 21 0.35345
Variable Label Intercept harga riil CPO Indonesia t-3 harga riil karet Indonesia t-3 lag harga riil pupuk lag upah riil perkebunan lag suku bunga BI riil teknologi
209
Lampiran 4a. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
LAKSMNS LAKSMNS luas areal kelapa sawit kebun negara di Sumatera
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 13 20
118803.3 7002.040 125805.3
16971.90 538.6185
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
23.20816 366.03329 6.34045
F Value
Pr > F
31.51
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.94434 0.91437
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept L3HRMSD
1 1
320.1631 0.016473
53.96200 0.012261
5.93 1.34
<.0001 0.2021
L3HRMKD
1
-0.01228
0.009081
-1.35
0.1994
L3HRKD
1
-0.00954
0.005231
-1.82
0.0912
PHRF
1
-1.17485
0.681438
-1.72
0.1084
LUPRBUN
1
-0.00138
0.003855
-0.36
0.7252
LSBR TREN
1 1
-0.75474 7.719496
0.587703 1.911629
-1.28 4.04
0.2215 0.0014
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.587382 21 -0.01938
Variable Label Intercept harga riil CPO Indonesia t-3 harga riil minyk kelapa Indonesia t-3 harga riil karet Indonesia t-3 pertumbuhan harga riil pupuk lag upah riil perkebunan lag suku bunga BI riil teknologi
210
Lampiran 4a. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
LAKSMNK LAKSMNK luas areal kelapa sawit kebun negara di Kalimantan
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 14 20
3639.269 224.2521 3863.522
606.5449 16.01801
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
4.00225 35.52305 11.26663
F Value
Pr > F
37.87
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.94196 0.91708
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept L3HRMSD
1 1
23.64347 0.001029
7.766097 0.002103
3.04 0.49
0.0087 0.6322
L3HRKD
1
-0.00081
0.000855
-0.94
0.3612
LHRF UPRBUN PSBR
1 1 1
-0.00446 -0.00104 -0.00913
0.008349 0.000712 0.003690
-0.53 -1.46 -2.47
0.6015 0.1658 0.0268
TREN
1
1.877661
0.350312
5.36
0.0001
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.033182 21 -0.09384
Variable Label Intercept harga riil CPO Indonesia t-3 harga riil karet Indonesia t-3 lag harga riil pupuk upah riil perkebunan pertumbuhan suku bunga riil teknologi
211
Lampiran 4a. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
LAKSMSS LAKSMSS luas areal kelapa sawit kebun swasta di Sumatera
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 14 20
6230510 65510.69 6296021
1038418 4679.335
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
68.40567 761.54400 8.98250
F Value
Pr > F
221.92
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.98959 0.98514
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept L3HRMSD
1 1
109.1232 0.150833
122.6259 0.035840
0.89 4.21
0.3886 0.0009
L3HRKD
1
-0.05408
0.014644
-3.69
0.0024
LHRF LUPRBUN
1 1
-0.19023 -0.03752
0.155185 0.013632
-1.23 -2.75
0.2405 0.0156
PSBR
1
-0.04666
0.060395
-0.77
0.4526
TREN
1
76.43873
6.496667
11.77
<.0001
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.745508 21 0.111464
Variable Label Intercept harga riil CPO Indonesia t-3 harga riil karet Indonesia t-3 lag harga riil pupuk lag upah riil perkebunan pertumbuhan suku bunga riil teknologi
212
Lampiran 4a. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
LAKSMSK LAKSMSK luas areal kelapa sawit kebun swasta di Kalimantan
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 15 20
735163.7 46470.79 781634.5
147032.7 3098.053
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
55.66015 151.78181 36.67116
F Value
Pr > F
47.46
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.94055 0.92073
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept L3HRMSD
1 1
182.8267 0.057925
120.1654 0.028611
1.52 2.02
0.1489 0.0611
LHRF LUPRBUN
1 1
-0.48394 -0.02139
0.122765 0.012297
-3.94 -1.74
0.0013 0.1024
SBR TREN
1 1
-0.52938 35.35273
1.473018 5.110346
-0.36 6.92
0.7243 <.0001
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.140962 21 -0.08798
Variable Label Intercept harga riil CPO Indonesia t-3 lag harga riil pupuk lag upah riil perkebunan suku bunga BI riil teknologi
213
Lampiran 4b. Hasil Estimasi Persamaan pada Blok Minyak Sawit
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
YMSRS YMSRS produktivitas minyak sawit kebun rakyat di Sumatera
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 17 20
0.595909 2.467770 3.063679
0.198636 0.145163
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.38100 2.84027 13.41430
F Value
Pr > F
1.37
0.2861
R-Square Adj R-Sq
0.19451 0.05236
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHMSF
1 1
3.020529 0.193849
0.792440 0.176000
3.81 1.10
0.0014 0.2861
LLAKSMRS CURAH
1 1
0.000316 -0.00034
0.000261 0.000254
1.21 -1.35
0.2426 0.1961
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.106082 21 -0.17968
Variable Label Intercept Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk lag LAKSMRS curah hujan
214
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
YMSRK YMSRK produktivitas minyak sawit kebun rakyat di Kalimantan
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 16 20
0.568282 0.736360 1.304642
0.142071 0.046023
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.21453 2.05906 10.41876
F Value
Pr > F
3.09
0.0462
R-Square Adj R-Sq
0.43558 0.29448
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHMSF
1 1
2.142651 0.092637
0.516987 0.098270
4.14 0.94
0.0008 0.3599
LLAKSMRK LUPRBUN
1 1
0.000525 -0.00007
0.000668 0.000036
0.78 -1.88
0.4440 0.0782
LYMSRK
1
0.107587
0.129301
0.83
0.4176
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.71509 21 0.129733
Variable Label Intercept Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk lag LAKSMRK lag upah riil perkebunan lag dari YMSRK
215
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
YMSNS YMSNS produktivitas minyak sawit kebun negara di Sumatera
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 16 20
2.586544 2.112173 4.698717
0.646636 0.132011
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.36333 4.10719 8.84626
F Value
Pr > F
4.90
0.0090
R-Square Adj R-Sq
0.55048 0.43810
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHMSF
1 1
1.375788 0.151039
1.176391 0.166050
1.17 0.91
0.2593 0.3765
LLAKSMNS CURAH LYMSNS
1 1 1
0.000324 -0.00023 0.677464
0.001348 0.000230 0.185840
0.24 -0.98 3.65
0.8134 0.3416 0.0022
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.065574 21 -0.07571
Variable Label Intercept Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk lag LAKSMNS curah hujan lag dari YMSNS
216
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
YMSNK YMSNK produktivitas minyak sawit kebun negara di Kalimantan
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 15 20
3.265624 3.266234 6.531858
0.653125 0.217749
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.46664 2.98111 15.65309
F Value
Pr > F
3.00
0.0451
R-Square Adj R-Sq
0.49995 0.33327
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHMSF
1 1
1.403913 0.277171
1.058676 0.220323
1.33 1.26
0.2046 0.2276
LLAKSMNK CURAH TREN LYMSNK
1 1 1 1
0.008292 -0.00040 0.011875 0.488330
0.023545 0.000309 0.058578 0.183995
0.35 -1.30 0.20 2.65
0.7296 0.2137 0.8421 0.0180
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.492799 21 -0.25563
Variable Label Intercept Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk lag LAKSMNK curah hujan teknologi lag dari YMSNK
217
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
YMSSS YMSSS produktivitas minyak sawit kebun swasta di Sumatera
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 17 20
0.788424 1.586968 2.375392
0.262808 0.093351
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.30553 3.62879 8.41973
F Value
Pr > F
2.82
0.0704
R-Square Adj R-Sq
0.33191 0.21402
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RHMSF
1 1
1.512447 0.077920
0.779291 0.141527
1.94 0.55
0.0691 0.5891
LLAKSMSS LYMSSS
1 1
0.000043 0.512703
0.000143 0.197523
0.30 2.60
0.7670 0.0188
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.371649 21 0.221943
Variable Label Intercept Rasio harga minyak sawit dengan harga pupuk lag LAKSMSS lag dari YMSSS
218
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
YMSSK YMSSK produktivitas minyak sawit kebun swasta di Kalimantan
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 16 20
8.418577 17.82408 26.24266
2.104644 1.114005
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1.05546 2.34340 45.03984
F Value
Pr > F
1.89
0.1615
R-Square Adj R-Sq
0.32080 0.15100
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LHRMSD
1 1
2.568283 0.000166
1.681152 0.000843
1.53 0.20
0.1461 0.8461
LLAKSMSK CURAH TREN
1 1 1
0.001385 -0.00086 0.096688
0.004333 0.000965 0.131235
0.32 -0.89 0.74
0.7534 0.3871 0.4719
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.960431 21 -0.03514
Variable Label Intercept lag harga riil CPO Indonesia lag LAKSMSK curah hujan teknologi
219
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
XMSI XMSI expor CPO Indonesia
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 16 20
2.606E8 7478644 2.6808E8
65150320 467415.2
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
683.67772 3926.83476 17.41040
F Value
Pr > F
139.38
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.97210 0.96513
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept PHRXMSI
1 1
-1234.55 1.119779
622.8285 7.270178
-1.98 0.15
0.0649 0.8795
QMSI
1
0.565429
0.223031
2.54
0.0221
LNTERI
1
0.079759
0.117630
0.68
0.5074
LXMSI
1
0.219529
0.335636
0.65
0.5224
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.115024 21 -0.07635
Variable Label Intercept pertumbuhan harga riil expor CPO Indonesia produksi CPO Indonesia lag nilai tukar efektif riil Indonesia lag expor CPO Indonesia
220
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DMSIMG DMSIMG demand CPO oleh Industri Mnyk Goreng
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 15 20
16442346 868515.3 17310862
3288469 57901.02
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
240.62631 2156.62251 11.15755
F Value
Pr > F
56.79
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.94983 0.93310
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept HRMSD
1 1
-2069.97 -0.11852
679.9983 0.197092
-3.04 -0.60
0.0082 0.5566
HRMKD
1
0.196745
0.103871
1.89
0.0777
HRMGSD
1
0.382789
0.190315
2.01
0.0626
TREN LDMSIMG
1 1
141.1295 0.296824
36.59031 0.199253
3.86 1.49
0.0016 0.1570
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.741573 21 -0.40955
Variable Label Intercept harga riil CPO Indonesia harga riil minyk kelapa Indonesia harga riil minyk goreng sawit domestik teknologi lag dari DMSIMG
221
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DMSIL DMSIL demand CPO oleh Industri Lain
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 13 20
852856.9 1296664 2149520
121836.7 99743.35
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
315.82171 535.41035 58.98685
F Value
Pr > F
1.22
0.3579
R-Square Adj R-Sq
0.39677 0.07195
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept HRMSD
1 1
1400.728 -0.00922
1159.876 0.199825
1.21 -0.05
0.2487 0.9639
HRMKD
1
0.183806
0.139551
1.32
0.2105
HRMMW
1
0.638918
10.25568
0.06
0.9513
LUPRIN
1
-0.10846
0.081327
-1.33
0.2052
SBR TREN LDMSIL
1 1 1
-22.6230 14.48417 0.050579
10.66579 32.58435 0.239382
-2.12 0.44 0.21
0.0537 0.6640 0.8359
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.942971 21 -0.04987
Variable Label Intercept harga riil CPO Indonesia harga riil minyk kelapa Indonesia harga riil minyak mentah dunia lag upah riil industri suku bunga BI riil teknologi lag dari DMSIL
222
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HRMSD HRMSD harga riil CPO Indonesia
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 16 20
6087639 2920969 9008608
1521910 182560.6
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
427.27108 2797.34414 15.27417
F Value
Pr > F
8.34
0.0008
R-Square Adj R-Sq
0.67576 0.59470
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept SMSD DMSD HRXMSI
1 1 1 1
429.1900 -0.02815 0.588235 0.860154
679.8636 0.055515 0.227753 1.006987
0.63 -0.51 2.58 0.85
0.5368 0.6190 0.0200 0.4056
LHRMSD
1
0.203342
0.214575
0.95
0.3574
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.687957 21 0.109735
Variable Label Intercept supply CPO Indonesia demand CPO Indonesia harga riil expor CPO Indonesia lag harga riil CPO Indonesia
223
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HRXMSI HRXMSI harga riil expor CPO Indonesia
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 15 20
243397.1 9762.824 253159.9
48679.41 650.8549
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
25.51186 419.40544 6.08286
F Value
Pr > F
74.79
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.96144 0.94858
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept HRMSW PHRMMW
1 1 1
-57.7283 0.873691 0.053221
36.85603 0.063972 0.308452
-1.57 13.66 0.17
0.1381 <.0001 0.8653
XMSI PXMSI
1 1
-0.00092 -1.98794
0.001999 0.665201
-0.46 -2.99
0.6535 0.0092
LHRXMSI
1
0.168987
0.077256
2.19
0.0450
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.76083 21 0.067214
Variable Label Intercept harga riil CPO dunia Pertumbuhan harga riil minyak mentah dunia expor CPO Indonesia pajak expor CPO Indonesia lag harga riil expor CPO Indonesia
224
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
XMSM XMSM expor CPO Malaysia
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 15 20
2.0562E8 1550817 2.0717E8
41124334 103387.8
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
321.53977 8575.77619 3.74940
F Value
Pr > F
397.77
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.99251 0.99002
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept SHRXMSM
1 1
-1467.23 1.352876
539.5533 0.985768
-2.72 1.37
0.0158 0.1901
SHRMKW
1
0.289920
0.578711
0.50
0.6237
QMSM
1
0.668988
0.135053
4.95
0.0002
NTERM
1
734.3466
233.0886
3.15
0.0066
LXMSM
1
0.148848
0.159218
0.93
0.3647
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.943716 21 -0.02883
Variable Label Intercept perubahan harga riil expor minyak sawit Malaysia perubahan harga riil minyak kelapa dunia produksi CPO Malaysia nilai tukar efektif riil Malaysia lag expor CPO Malaysia
225
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
MMSC MMSC impor CPO Cina
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 15 20
50602168 717155.3 51319324
10120434 47810.35
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
218.65578 2045.79524 10.68806
F Value
Pr > F
211.68
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.98603 0.98137
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept HRMSW HRMKDW
1 1 1
-1050.95 -2.86442 3.455280
654.6472 0.793566 0.953099
-1.61 -3.61 3.63
0.1293 0.0026 0.0025
INCRC
1
0.330337
0.071198
4.64
0.0003
NTERC
1
-14.5294
66.49078
-0.22
0.8300
LMMSC
1
0.181443
0.197615
0.92
0.3731
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.208406 21 -0.12557
Variable Label Intercept harga riil CPO dunia harga riil minyk kedele dunia pendapatan per kapita riil Cina nilai tukar efektif riil Cina lag impor CPO Cina
226
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
MMSIND MMSIND impor CPO India
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 16 20
37507853 3592492 41100346
9376963 224530.8
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
473.84679 1946.63333 24.34186
F Value
Pr > F
41.76
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.91259 0.89074
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept SHRMSW
1 1
-694.925 -1.07752
969.3966 1.028541
-0.72 -1.05
0.4838 0.3104
LHRMKDW
1
0.205179
1.791087
0.11
0.9102
INCRIND
1
0.050203
0.047688
1.05
0.3081
LMMSIND
1
0.855156
0.204912
4.17
0.0007
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.547803 21 0.186837
Variable Label Intercept perubahan harga riil minyak sawit dunia lag harga riil minyak kedele dunia pendapatan per kapita riil India lag impor CPO India
227
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
MMSP MMSP impor CPO Pakistan
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 15 20
2639686 127268.0 2766954
527937.2 8484.531
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
92.11152 1128.54286 8.16199
F Value
Pr > F
62.22
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.95400 0.93867
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept HRMSW HRMKDW
1 1 1
206.2166 -1.05576 0.742833
303.4111 0.389610 0.386770
0.68 -2.71 1.92
0.5071 0.0161 0.0740
INCRP
1
0.000783
0.009945
0.08
0.9383
LNTERP
1
-0.65759
6.136774
-0.11
0.9161
LMMSP
1
0.966606
0.160222
6.03
<.0001
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.94059 21 -0.49923
Variable Label Intercept harga riil CPO dunia harga riil minyk kedele dunia pendapatan per kapita riil Pakistan lag nilai tukar efektif riil Pakistan lag impor CPO Pakistan
228
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HRMSW HRMSW harga riil CPO dunia
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 17 20
89581.06 226107.2 315688.2
29860.35 13300.42
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
115.32745 489.13926 23.57763
F Value
Pr > F
2.25
0.1201
R-Square Adj R-Sq
0.28376 0.15737
Parameter Estimates
Variable Intercept XMSW MMSW LHRMSW
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
279.8991 -0.00895 0.007431 0.496797
158.6488 0.021439 0.020287 0.242345
1.76 -0.42 0.37 2.05
0.0956 0.6817 0.7187 0.0561
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.405864 21 0.194042
Variable Label Intercept expor CPO dunia impor CPO dunia lag harga riil CPO dunia
229
Lampiran 4c. Hasil Estimasi Persamaan pada Blok Minyak Goreng Sawit
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
QMGS QMGS produksi minyk goreng sawit domestik
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 16 20
44211454 15179776 59391230
11052863 948736.0
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
974.03080 2326.59914 41.86500
F Value
Pr > F
11.65
0.0001
R-Square Adj R-Sq
0.74441 0.68051
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LHRMGSD
1 1
-5591.99 1.687388
2375.611 0.770765
-2.35 2.19
0.0317 0.0437
LHRMSD
1
-1.27330
0.806699
-1.58
0.1340
TREN LQMGS
1 1
309.2388 0.190226
104.6454 0.227979
2.96 0.83
0.0093 0.4163
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.406279 21 -0.21985
Variable Label Intercept lag harga riil minyk goreng sawit domestik lag harga riil CPO Indonesia teknologi lag produksi minyk goreng sawit
230
Lampiran 4c. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
XMGS XMGS expor minyk goreng sawit Indonesia
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 15 20
8832096 1238596 10070692
1766419 82573.09
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
287.35534 898.33220 31.98765
F Value
Pr > F
21.39
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.87701 0.83601
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LHRXMGSI
1 1
-642.055 1.096729
635.5984 0.583583
-1.01 1.88
0.3284 0.0798
HRMGSD
1
-0.06113
0.141115
-0.43
0.6710
QMGS
1
0.099493
0.053033
1.88
0.0802
LNTERI
1
0.067756
0.047892
1.41
0.1776
LXMGS
1
0.711027
0.162769
4.37
0.0006
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.803893 21 -0.42795
Variable Label Intercept lag harga riil expor minyk goreng sawit Indonesia harga riil minyk goreng sawit domestik produksi minyk goreng sawit domestik lag nilai tukar efektif riil Indonesia lag expor minyak goreng sawit
231
Lampiran 4c. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DMGS DMGS demand minyk goreng sawit domestik
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 16 20
1763351 1266195 3029546
440837.7 79137.18
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
281.31331 934.22907 30.11181
F Value
Pr > F
5.57
0.0053
R-Square Adj R-Sq
0.58205 0.47756
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept HRMGSD
1 1
402.6444 -0.30884
1006.150 0.139159
0.40 -2.22
0.6943 0.0413
HRMGKD
1
0.219999
0.139581
1.58
0.1346
INCRI
1
0.036703
0.052335
0.70
0.4932
LDMGS
1
0.523212
0.203331
2.57
0.0204
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.290149 21 0.302743
Variable Label Intercept harga riil minyk goreng sawit domestik harga riil minyk goreng kelapa domestik pendapatan per kapita riil Indonesia lag demand minyk goreng sawit domestik
232
Lampiran 4c. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HRMGSD HRMGSD harga riil minyk goreng sawit domestik
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 17 20
1683618 3162470 4846089
561206.1 186027.7
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
431.30925 3947.55617 10.92598
F Value
Pr > F
3.02
0.0587
R-Square Adj R-Sq
0.34742 0.23226
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept EXDMGS
1 1
2810.630 0.003943
826.1351 0.083177
3.40 0.05
0.0034 0.9627
HRXMGSI
1
2.222506
0.811149
2.74
0.0140
LHRMGSD
1
0.006868
0.203199
0.03
0.9734
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.73984 21 0.054989
Variable Label Intercept excess demand minyak goreng sawit Indonesia harga riil expor minyk goreng sawit Indonesia lag harga riil minyk goreng sawit domestik
233
Lampiran 4c. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HRXMGSI HRXMGSI harga riil expor minyk goreng sawit Indonesia
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
2 18 20
334738.3 719.2988 335457.6
167369.2 39.96104
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
6.32147 500.32314 1.26348
F Value
Pr > F
4188.31
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.99786 0.99762
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept HRMGSW
1 1
-19.3125 0.972813
5.908679 0.011046
-3.27 88.07
0.0043 <.0001
PXMGS
1
-0.01548
0.024939
-0.62
0.5426
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.570417 21 0.574846
Variable Label Intercept harga riil minyk goreng sawit dunia Pertumbuhan expor minyak goreng sawit
234
Lampiran 5. Program Validasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia
/* PROGRAM VALIDASI */ OPTION NODATE NONUMBER; DATA VALIDASI; SET SASUSER.TESIS_5;
/* MEMBUAT VARIABEL LAG*/ L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS);
QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSTL=QMSRL+QMSNL+QMSSL; QMSI=QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD=DMSIMG+DMSIL; SMSD=QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSW=XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW=MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS=QMGS-XMGS;
PROC SIMNLIN DATA=VALIDASI DYNAMIC SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=A ; ENDOGENOUS LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS
235
Lampiran 5. Lanjutan SMSD SMGS HRXMGSI XMSI MMSIND MMSP
HRMSD XMSM MMSW;
HRXMSI HRMSW XMSW XMGS
HRMGSD MMSC
INSTRUMENTS SBR TREN INCRI PHRF SHRXMSM HRMMW HRMKD INCRC PSBR SHRMKW PXMGS PXMSI QMSM NTERM HRMKDW SHRMSW PHRMMW INCRIND CURAH HRMGKD INCRP QMSRL QMSNL QMSSL STKMS UPRBUN XMSRW MMSRW NTERC HRMGSW PHRXMSI L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS);
PARM A0 A6 B0 B6 C0 C6 D0 D6 E0 E6 F0 G0 H0 I0 J0 K0 L0 M0 N0 O0 O6
731.0415 -2.64737 21.05198 14.51194 320.1631 -0.75474 23.64347 1.877661 109.1232 76.43873 182.8267 3.020529 2.142651 1.375788 1.403913 1.512447 2.568283 -1234.55 -1365.99 1400.728 14.48417
RHMSF
;
A1 0.134501 A7 42.25342 B1 0.010901
A2 -0.11378 A3 -0.03228 A4 -5.72475 A5 -0.06520
C1 0.016473 C7 7.719496 D1 0.001029
C2 -0.01228 C3 -0.00954 C4 -1.17485 C5 -0.00138
E1 0.150833
E2 -0.05408 E3 -0.19023 E4 -0.03752 E5 -0.04666
F1 G1 H1 I1 J1 K1 L1 M1 N1 O1 O7
F2 G2 H2 I2 J2 K2 L2 M2 N2 O2
0.057925 0.193849 0.092637 0.151039 0.277171 0.077920 0.000166 1.119779 -0.31981 -0.00922 0.050579
B2 -0.00264 B3 -0.04265 B4 -0.00957 B5 -0.09085
D2 -0.00081 D3 -0.00446 D4 -0.00104 D5 -0.00913
-0.48394 0.000316 0.000525 0.000324 0.008292 0.000043 0.001385 0.565429 0.525389 0.183806
F3 G3 H3 I3 J3 K3 L3 M3 N3 O3
-0.02139 -0.00034 -0.00007 -0.00023 -0.00040 0.512703 -0.00086 0.079759 -6.96387 0.638918
F4 -0.52938 F5 35.35273 H4 0.107587 I4 0.677464 J4 0.011875 J5 0.488330 L4 M4 N4 O4
0.096688 0.219529 103.3167 N5 0.464863 -0.10846 O5 -22.6230
236
Lampiran 5. Lanjutan P0 Q0 R0 S0 T0 U0 V0 W0 X0 Y0 Z0 AA0
429.1900 -57.7283 -1467.23 -1050.95 -694.925 206.2166 279.8991 -5591.99 -642.055 402.6444 2193.248 -19.3125
P1 -0.02815 Q1 0.873691 R1 1.352876 S1 -2.86442 T1 -1.07752 U1 -1.05576 V1 -0.00895 W1 1.687388 X1 1.096729 Y1 -0.30884 Z1 0.054764 AA1 0.972813
P2 0.588235 P3 Q2 0.053221 Q3 R2 0.289920 R3 S2 3.455280 S3 T2 0.205179 T3 U2 0.742833 U3 V2 0.007431 V3 W2 -1.27330 W3 X2 -0.06113 X3 Y2 0.219999 Y3 Z2 2.520597 Z3 AA2 -0.01548;
0.860154 -0.00092 0.668988 0.330337 0.050203 0.000783 0.496797 309.2388 0.099493 0.036703 20.50587
P4 Q4 R4 S4 T4 U4
0.203342 -1.98794 734.3466 -14.5294 0.855156 -0.65759
W4 X4 Y4 Z4
0.190226 0.067756 X5 0.711027 0.523212 0.059529
Q5 0.168987 R5 0.148848 S5 0.181443 U5 0.966606
LAKSMRS= A0 + A1*L3HRMSD + A2*L3HRMKD + A3*L3HRKD + A4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + A5*LUPRBUN + A6*LSBR + A7*TREN ; LAKSMRK= B0 + B1*L3HRMSD + B2*L3HRKD + B3*LHRF + B4*LUPRBUN + B5*LSBR + B6*TREN ; LAKSMNS= C0 + C1*L3HRMSD + C2*L3HRMKD + C3*L3HRKD + C4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + C5*LUPRBUN + C6*LSBR + C7*TREN ; LAKSMNK= D0 + D1*L3HRMSD + D2*L3HRKD + D3*LHRF + D4*UPRBUN + D5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + D6*TREN ; LAKSMSS= E0 + E1*L3HRMSD + E2*L3HRKD + E3*LHRF + E4*LUPRBUN + E5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + E6*TREN ; LAKSMSK= F0 + F1*L3HRMSD + F2*LHRF + F3*LUPRBUN + F4*SBR + F5*TREN ; YMSRS= G0 + G1*(HRMSD/HRF) + G2*LLAKSMRS + G3*CURAH ; YMSRK= H0 + H1*(HRMSD/HRF) + H2*LLAKSMRK + H3*LUPRBUN + H4*LYMSRK ; YMSNS= I0 + I1*(HRMSD/HRF) + I2*LLAKSMNS + I3*CURAH + I4*LYMSNS ; YMSNK= J0 + J1*(HRMSD/HRF) + J2*LLAKSMNK + J3*CURAH + J4*TREN + J5*LYMSNK ; YMSSS= K0 + K1*(HRMSD/HRF) + K2*LLAKSMSS + K3*LYMSSS ; YMSSK= L0 + L1*LHRMSD + L2*LLAKSMSK + L3*CURAH + L4*TREN ; XMSI= M0 + M1*(HRXMSI-LHRXMSI)/LHRXMSI*100 + M2*QMSI + M3*LNTERI + M4*LXMSI ; DMSIMG= N0 + N1*HRMSD + N2*HRMGSD + N3*SBR + N4*TREN + N5*LDMSIMG ; DMSIL= O0 + O1*HRMSD + O2*HRMKD + O3*HRMMW + O4*LUPRIN + O5*SBR + O6*TREN + O7*LDMSIL ; HRMSD= P0 + P1*SMSD + P2*DMSD + P3*HRXMSI + P4*LHRMSD ; HRXMSI= Q0 + Q1*HRMSW + Q2*(HRMMW-LHRMMW)/LHRMMW*100 + Q3*XMSI+ Q4*PXMSI + Q5*LHRXMSI; XMSM= R0 + R1*(HRXMSM-LHRXMSM)+ R2*(HRMKW-LHRMKW)+ R3*QMSM + R4*NTERM + R5*LXMSM ; MMSC= S0 + S1*HRMSW + S2*HRMKDW + S3*INCRC + S4*NTERC + S5*LMMSC ; MMSIND= T0 + T1*(HRMSW-LHRMSW)+ T2*LHRMKDW + T3*INCRIND + T4*LMMSIND ; MMSP= U0 + U1*HRMSW + U2*HRMKDW + U3*INCRP + U4*LNTERP + U5*LMMSP ; HRMSW= V0 + V1*XMSW + V2*MMSW + V3*LHRMSW ; QMGS= W0 + W1*LHRMGSD + W2*LHRMSD + W3*TREN + W4*LQMGS ; XMGS= X0 + X1*LHRXMGSI + X2*HRMGSD + X3*QMGS + X4*LNTERI + X5*LXMGS ; DMGS= Y0 + Y1*HRMGSD + Y2*HRMGKD + Y3*INCRI + Y4*LDMGS ; HRMGSD= Z0 + Z1*(DMGS-SMGS) + Z2*HRXMGSI + Z3*TREN + Z4*LHRMGSD ; HRXMGSI= AA0+ AA1*HRMGSW + AA2*(XMGS-LXMGS)/LXMGS*100 ;
QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI= DMSD= SMSD= XMSW= MMSW= SMGS=
=LAKSMRS*YMSRS; =LAKSMRK*YMSRK; =LAKSMNS*YMSNS; =LAKSMNK*YMSNK; =LAKSMSS*YMSSS; =LAKSMSK*YMSSK; QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSIMG+DMSIL; QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSI+XMSM+XMSRW; MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; QMGS-XMGS;
id tahun; RANGE TAHUN= 2003 TO 2007;
proc print data=a; RUN;
237
Lampiran 6. Hasil Validasi Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2003-2007 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable ID Variables Equations Number of Statements Program Lag Length
39 39 153 Tahun 1 39 75 3
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= VALIDASI OUT= A
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
39 3 Tahun 2003 2007 NEWTON 1E-8 2.18E-16 2 10 2
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
8 3 5 20 24
238
Lampiran 6. Lanjutan
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2003 To 2007 Descriptive Statistics
Variable LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW
N Obs
N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Actual Mean Std Dev 1354.0 251.0 476.4 55.3322 1564.0 438.8 2.9647 2.3529 3.7460 3.0364 3.7288 3.3415 4054.8 595.9 1782.1 168.8 5872.8 1478.3 14480.5 4924.6 3269.8 305.8 3575.6 1005.8 8694.0 3243.4 3198.6 376.5 454.5 3786.6 402.5 9554.2 13281.4 26256.4 1681.2 4543.1 3527.0 1608.7 26202.4
218.9 38.3940 42.9434 7.7216 191.2 178.3 0.3193 0.2470 0.2740 0.5428 0.3035 0.1146 1029.3 142.0 176.7 39.6422 1113.2 632.6 3136.7 1523.4 217.8 150.7 359.5 23.0797 2956.4 1524.1 443.4 86.7051 110.1 593.7 20.4545 2105.8 890.1 4009.4 147.7 1024.4 311.9 144.2 3437.8
Predicted Mean Std Dev 1336.9 247.3 473.8 54.6863 1550.6 445.7 3.0039 2.2989 3.7331 3.2087 3.5997 3.1909 4028.1 571.1 1771.8 176.9 5601.2 1451.4 14128.2 4231.8 3275.2 359.9 3635.1 1028.6 8776.1 2676.8 3344.5 397.9 466.2 3788.1 397.3 9119.8 13138.0 25678.6 1555.1 4488.9 3825.0 1483.3 26320.8
120.0 31.8490 18.6353 5.7661 158.8 120.0 0.1305 0.1046 0.2498 0.4040 0.1556 0.3133 524.0 99.0976 175.3 36.7725 797.4 521.7 2263.2 284.9 205.8 100.1 261.0 86.7122 2538.0 275.4 118.6 22.0413 20.1432 50.8853 21.3806 1572.8 830.6 3566.7 28.1319 1129.1 356.8 108.2 3945.4
239
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2003 To 2007 Statistics of fit
Variable
N
Mean Error
LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
-17.1628 -3.7697 -2.5116 -0.6459 -13.3856 6.8710 0.0391 -0.0539 -0.0129 0.1724 -0.1291 -0.1506 -26.7295 -24.8172 -10.3051 8.1048 -271.6 -26.9252 -352.3 -692.8 5.4069 54.0585 59.4654 22.7586 82.1000 -566.7 145.9 21.4291 11.7375 1.5019 -5.2594 -434.4 -143.4 -577.8 -126.1 -54.1963 298.0 -125.4 118.4
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error -0.2049 -1.0454 -0.0576 -0.5732 -0.6136 6.4450 2.0225 -1.6943 -0.2809 6.5453 -3.1954 -4.6461 1.9812 -2.8271 -0.4802 5.4867 -3.7620 0.8296 -1.3873 -9.2620 0.1860 32.9723 1.9501 2.4148 2.7281 -7.1071 6.3427 9.4824 6.2302 2.1104 -1.3186 -3.3619 -1.0515 -1.9838 -6.9852 -1.3035 9.2970 -7.4710 0.2551
82.0331 9.7812 23.8571 3.0784 42.9717 59.5650 0.2085 0.1444 0.0868 0.2599 0.1775 0.2185 502.8 39.5860 67.1268 9.2943 382.5 122.3 741.9 832.7 17.6937 147.0 156.4 81.9091 709.5 912.4 349.5 68.5736 76.9184 485.8 5.2594 709.6 195.7 782.9 136.2 277.7 512.9 132.0 428.6
6.1663 4.1262 5.0899 5.1877 2.6546 14.8994 7.2392 6.1955 2.2489 8.8154 4.6839 6.6481 12.1715 6.0823 3.6979 6.0687 6.4097 7.8596 4.8725 12.5033 0.5420 49.5682 4.3108 8.1326 8.6456 20.9782 11.8010 18.4796 16.2923 13.4426 1.3186 7.6711 1.4320 2.9776 7.6596 5.3585 14.6991 7.9315 1.6485
RMS Error
RMS % Error
102.3 12.2940 29.7858 4.5930 57.4338 62.3445 0.2325 0.1656 0.1051 0.2767 0.1909 0.2476 543.6 53.4151 81.2852 10.2939 413.7 168.8 929.7 1529.4 19.0560 165.6 179.2 95.9272 893.5 1507.7 458.6 81.2485 92.9515 523.2 5.3242 770.9 245.4 816.4 175.9 365.9 565.3 165.1 593.1
7.7649 5.2268 6.5528 7.5186 3.3806 15.6184 8.2901 7.1608 2.6899 9.4982 4.9513 7.6278 12.4702 7.5030 4.5369 6.9987 6.7007 9.6654 5.7956 20.3874 0.5831 54.8387 4.8863 9.4897 10.7669 27.8455 16.3512 22.0133 18.7640 14.9605 1.3452 8.2836 1.7575 3.0762 9.6302 6.6926 16.4269 9.7244 2.2294
240
Lampiran 6. Lanjutan
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2003 To 2007 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Variable
N
MSE
Corr (R)
LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
10455.3 151.1 887.2 21.0957 3298.6 3886.8 0.0540 0.0274 0.0110 0.0766 0.0365 0.0613 295546 2853.2 6607.3 106.0 171172 28478.1 864295 2338999 363.1 27410.1 32125.9 9202.0 798271 2273288 210330 6601.3 8640.0 273759 28.3472 594240 60220.0 666541 30927.2 133881 319521 27249.7 351732
0.94 0.95 0.68 0.75 0.95 0.97 0.64 0.80 0.90 0.91 0.97 0.88 0.89 0.97 0.87 0.99 0.99 0.97 0.99 0.09 1.00 0.07 0.86 -0.70 0.95 -0.05 -0.24 0.09 0.43 0.21 1.00 0.97 0.97 0.99 0.46 0.93 -0.29 0.58 0.99
Bias (UM)
Reg (UR)
Dist (UD)
Var (US)
Covar (UC)
0.03 0.09 0.01 0.02 0.05 0.01 0.03 0.11 0.02 0.39 0.46 0.37 0.00 0.22 0.02 0.62 0.43 0.03 0.14 0.21 0.08 0.11 0.11 0.06 0.01 0.14 0.10 0.07 0.02 0.00 0.98 0.32 0.34 0.50 0.51 0.02 0.28 0.58 0.04
0.58 0.11 0.10 0.00 0.13 0.57 0.08 0.25 0.00 0.08 0.42 0.59 0.43 0.41 0.06 0.04 0.43 0.22 0.65 0.01 0.28 0.23 0.06 0.92 0.07 0.04 0.20 0.03 0.07 0.02 0.02 0.29 0.01 0.20 0.04 0.18 0.50 0.02 0.64
0.40 0.80 0.89 0.98 0.81 0.42 0.89 0.64 0.98 0.53 0.12 0.04 0.57 0.38 0.93 0.34 0.14 0.75 0.21 0.79 0.64 0.66 0.83 0.02 0.92 0.82 0.70 0.90 0.92 0.98 0.00 0.39 0.65 0.30 0.44 0.80 0.22 0.41 0.32
0.75 0.23 0.53 0.15 0.25 0.70 0.53 0.59 0.04 0.20 0.48 0.52 0.69 0.52 0.00 0.06 0.47 0.35 0.71 0.52 0.32 0.07 0.24 0.35 0.18 0.55 0.40 0.51 0.75 0.86 0.02 0.38 0.05 0.24 0.37 0.07 0.01 0.04 0.59
0.22 0.68 0.46 0.84 0.69 0.29 0.44 0.30 0.94 0.41 0.06 0.11 0.31 0.27 0.98 0.32 0.10 0.63 0.15 0.27 0.60 0.82 0.65 0.59 0.82 0.31 0.50 0.42 0.23 0.14 0.00 0.30 0.61 0.26 0.12 0.91 0.72 0.39 0.37
Inequality U1 0.0747 0.0485 0.0623 0.0824 0.0365 0.1335 0.0781 0.0701 0.0280 0.0900 0.0511 0.0741 0.1307 0.0877 0.0454 0.0597 0.0695 0.1066 0.0630 0.2993 0.0058 0.4954 0.0499 0.0954 0.0983 0.4285 0.1423 0.2114 0.1999 0.1368 0.0132 0.0792 0.0184 0.0308 0.1043 0.0789 0.1598 0.1023 0.0225
Coef U
0.0377 0.0245 0.0313 0.0415 0.0183 0.0674 0.0388 0.0355 0.0140 0.0439 0.0260 0.0378 0.0662 0.0450 0.0228 0.0292 0.0357 0.0543 0.0320 0.1636 0.0029 0.2348 0.0248 0.0471 0.0492 0.2429 0.0698 0.1038 0.0998 0.0687 0.0066 0.0406 0.0093 0.0156 0.0543 0.0396 0.0766 0.0532 0.0112
241
Lampiran 7. Program Simulasi Historis /* PROGRAM SIMULASI_HISTORIS */ OPTION NODATE NONUMBER; DATA SIMULASI_HISTORIS; SET SASUSER.TESIS_5; /* MEMBUAT VARIABEL LAG*/ L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSTL=QMSRL+QMSNL+QMSSL; QMSI=QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD=DMSIMG+DMSIL; SMSD=QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSW=XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW=MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS=QMGS-XMGS; /*SIMULASI PENINGKATAN PAJAK EKSPOR MINYAK SAWIT INDONESIA (PXMSI) SEBESAR 50 PERSEN*/ /*PXMSI=1.5*PXMSI;*/ /*SIMULASI PENURUNAN SUKU BUNGA SEBESAR 20 PERSEN */ /*SBR=0.8*SBR;*/ /*SIMULASI PENINGKATAN HARGA MINYAK SAWIT DUNIA 25 PERSEN */ /*HRMSW=1.25*HRMSW;*/ /*SIMULASI PENINGKATAN HARGA MINYAK MENTAH DUNIA 10 PERSEN */ /*HRMMW=1.1*HRMMW;*/ RUN;
242
Lampiran 7. Lanjutan PROC SIMNLIN DATA= SIMULASI_HISTORIS DYNAMIC SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=A ; ENDOGENOUS LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW; INSTRUMENTS SBR TREN INCRI PHRF SHRXMSM HRMMW HRMKD INCRC PSBR SHRMKW PXMGS PXMSI QMSM NTERM HRMKDW SHRMSW PHRMMW INCRIND CURAH HRMGKD INCRP QMSRL QMSNL QMSSL STKMS UPRBUN XMSRW MMSRW NTERC HRMGSW PHRXMSI L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); PARM A0 A6 B0 B6 C0 C6 D0 D6 E0 E6 F0 G0 H0 I0 J0 K0
731.0415 -2.64737 21.05198 14.51194 320.1631 -0.75474 23.64347 1.877661 109.1232 76.43873 182.8267 3.020529 2.142651 1.375788 1.403913 1.512447
RHMSF
;
A1 0.134501 A7 42.25342 B1 0.010901
A2 -0.11378 A3 -0.03228 A4 -5.72475 A5 -0.06520
C1 0.016473 C7 7.719496 D1 0.001029
C2 -0.01228 C3 -0.00954 C4 -1.17485 C5 -0.00138
E1 0.150833
E2 -0.05408 E3 -0.19023 E4 -0.03752 E5 -0.04666
F1 G1 H1 I1 J1 K1
F2 G2 H2 I2 J2 K2
0.057925 0.193849 0.092637 0.151039 0.277171 0.077920
B2 -0.00264 B3 -0.04265 B4 -0.00957 B5 -0.09085
D2 -0.00081 D3 -0.00446 D4 -0.00104 D5 -0.00913
-0.48394 0.000316 0.000525 0.000324 0.008292 0.000043
F3 G3 H3 I3 J3 K3
-0.02139 -0.00034 -0.00007 -0.00023 -0.00040 0.512703
F4 -0.52938 F5 35.35273 H4 0.107587 I4 0.677464 J4 0.011875 J5 0.488330
243
Lampiran 7. Lanjutan L0 M0 N0 O0 O6 P0 Q0 R0 S0 T0 U0 V0 W0 X0 Y0 Z0 AA0
2.568283 -1234.55 -1365.99 1400.728 14.48417 429.1900 -57.7283 -1467.23 -1050.95 -694.925 206.2166 279.8991 -5591.99 -642.055 402.6444 2193.248 -19.3125
L1 0.000166 M1 1.119779 N1 -0.31981 O1 -0.00922 O7 0.050579 P1 -0.02815 Q1 0.873691 R1 1.352876 S1 -2.86442 T1 -1.07752 U1 -1.05576 V1 -0.00895 W1 1.687388 X1 1.096729 Y1 -0.30884 Z1 0.054764 AA1 0.972813
L2 M2 N2 O2
0.001385 0.565429 0.525389 0.183806
L3 M3 N3 O3
-0.00086 0.079759 -6.96387 0.638918
L4 M4 N4 O4
0.096688 0.219529 103.3167 N5 0.464863 -0.10846 O5 -22.6230
P2 0.588235 P3 Q2 0.053221 Q3 R2 0.289920 R3 S2 3.455280 S3 T2 0.205179 T3 U2 0.742833 U3 V2 0.007431 V3 W2 -1.27330 W3 X2 -0.06113 X3 Y2 0.219999 Y3 Z2 2.520597 Z3 AA2 -0.01548;
0.860154 -0.00092 0.668988 0.330337 0.050203 0.000783 0.496797 309.2388 0.099493 0.036703 20.50587
P4 Q4 R4 S4 T4 U4
0.203342 -1.98794 734.3466 -14.5294 0.855156 -0.65759
W4 X4 Y4 Z4
0.190226 0.067756 X5 0.711027 0.523212 0.059529
Q5 0.168987 R5 0.148848 S5 0.181443 U5 0.966606
LAKSMRS= A0 + A1*L3HRMSD + A2*L3HRMKD + A3*L3HRKD + A4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + A5*LUPRBUN + A6*LSBR + A7*TREN ; LAKSMRK= B0 + B1*L3HRMSD + B2*L3HRKD + B3*LHRF + B4*LUPRBUN + B5*LSBR + B6*TREN ; LAKSMNS= C0 + C1*L3HRMSD + C2*L3HRMKD + C3*L3HRKD + C4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + C5*LUPRBUN + C6*LSBR + C7*TREN ; LAKSMNK= D0 + D1*L3HRMSD + D2*L3HRKD + D3*LHRF + D4*UPRBUN + D5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + D6*TREN ; LAKSMSS= E0 + E1*L3HRMSD + E2*L3HRKD + E3*LHRF + E4*LUPRBUN + E5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + E6*TREN ; LAKSMSK= F0 + F1*L3HRMSD + F2*LHRF + F3*LUPRBUN + F4*SBR + F5*TREN ; YMSRS= G0 + G1*(HRMSD/HRF) + G2*LLAKSMRS + G3*CURAH ; YMSRK= H0 + H1*(HRMSD/HRF) + H2*LLAKSMRK + H3*LUPRBUN + H4*LYMSRK ; YMSNS= I0 + I1*(HRMSD/HRF) + I2*LLAKSMNS + I3*CURAH + I4*LYMSNS ; YMSNK= J0 + J1*(HRMSD/HRF) + J2*LLAKSMNK + J3*CURAH + J4*TREN + J5*LYMSNK ; YMSSS= K0 + K1*(HRMSD/HRF) + K2*LLAKSMSS + K3*LYMSSS ; YMSSK= L0 + L1*LHRMSD + L2*LLAKSMSK + L3*CURAH + L4*TREN ; XMSI= M0 + M1*(HRXMSI-LHRXMSI)/LHRXMSI*100 + M2*QMSI + M3*LNTERI + M4*LXMSI ; DMSIMG= N0 + N1*HRMSD + N2*HRMGSD + N3*SBR + N4*TREN + N5*LDMSIMG ; DMSIL= O0 + O1*HRMSD + O2*HRMKD + O3*HRMMW + O4*LUPRIN + O5*SBR + O6*TREN + O7*LDMSIL ; HRMSD= P0 + P1*SMSD + P2*DMSD + P3*HRXMSI + P4*LHRMSD ; HRXMSI= Q0 + Q1*HRMSW + Q2*(HRMMW-LHRMMW)/LHRMMW*100 + Q3*XMSI+ Q4*PXMSI + Q5*LHRXMSI; XMSM= R0 + R1*(HRXMSM-LHRXMSM)+ R2*(HRMKW-LHRMKW)+ R3*QMSM + R4*NTERM + R5*LXMSM ; MMSC= S0 + S1*HRMSW + S2*HRMKDW + S3*INCRC + S4*NTERC + S5*LMMSC ; MMSIND= T0 + T1*(HRMSW-LHRMSW)+ T2*LHRMKDW + T3*INCRIND + T4*LMMSIND ; MMSP= U0 + U1*HRMSW + U2*HRMKDW + U3*INCRP + U4*LNTERP + U5*LMMSP ; HRMSW= V0 + V1*XMSW + V2*MMSW + V3*LHRMSW ; QMGS= W0 + W1*LHRMGSD + W2*LHRMSD + W3*TREN + W4*LQMGS ; XMGS= X0 + X1*LHRXMGSI + X2*HRMGSD + X3*QMGS + X4*LNTERI + X5*LXMGS ; DMGS= Y0 + Y1*HRMGSD + Y2*HRMGKD + Y3*INCRI + Y4*LDMGS ; HRMGSD= Z0 + Z1*(DMGS-SMGS) + Z2*HRXMGSI + Z3*TREN + Z4*LHRMGSD ; HRXMGSI= AA0+ AA1*HRMGSW + AA2*(XMGS-LXMGS)/LXMGS*100 ; QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI= DMSD= SMSD= XMSW= MMSW= SMGS=
=LAKSMRS*YMSRS; =LAKSMRK*YMSRK; =LAKSMNS*YMSNS; =LAKSMNK*YMSNK; =LAKSMSS*YMSSS; =LAKSMSK*YMSSK; QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSIMG+DMSIL; QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSI+XMSM+XMSRW; MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; QMGS-XMGS;
id tahun; RANGE TAHUN= 2003 TO 2007; proc print data=a; RUN;
244
Lampiran 8. Hasil Simulasi Historis (Peningkatan Pajak Ekspor Minyak Sawit Indonesia Sebesar 50 Persen)
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable ID Variables Equations Number of Statements Program Lag Length
39 39 153 Tahun 1 39 75 3
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
SIMULASI_HISTORIS A
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
39 3 Tahun 2003 2007 NEWTON 1E-8 1.88E-16 2 10 2
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
8 3 5 20 24
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2003 To 2007
245
Lampiran 8. Lanjutan Descriptive Statistics
Variable LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW
N Obs
N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Actual Mean Std Dev 1354.0 251.0 476.4 55.3322 1564.0 438.8 2.9647 2.3529 3.7460 3.0364 3.7288 3.3415 4054.8 595.9 1782.1 168.8 5872.8 1478.3 14480.5 4924.6 3269.8 305.8 3575.6 1005.8 8694.0 3243.4 3198.6 376.5 454.5 3786.6 402.5 9554.2 13281.4 26256.4 1681.2 4543.1 3527.0 1608.7 26202.4
218.9 38.3940 42.9434 7.7216 191.2 178.3 0.3193 0.2470 0.2740 0.5428 0.3035 0.1146 1029.3 142.0 176.7 39.6422 1113.2 632.6 3136.7 1523.4 217.8 150.7 359.5 23.0797 2956.4 1524.1 443.4 86.7051 110.1 593.7 20.4545 2105.8 890.1 4009.4 147.7 1024.4 311.9 144.2 3437.8
Predicted Mean Std Dev 1336.8 247.3 473.8 54.6853 1550.5 445.6 3.0032 2.2986 3.7323 3.2075 3.5994 3.1906 4026.8 571.0 1771.3 176.8 5600.0 1451.1 14124.8 4234.5 3276.6 359.9 3636.5 1028.6 8775.5 2678.9 3341.2 393.5 466.2 3787.9 397.3 9117.0 13138.0 25675.8 1555.6 4488.8 3825.0 1483.2 26320.6
119.8 31.8357 18.6262 5.7657 158.7 120.0 0.1302 0.1045 0.2494 0.4034 0.1555 0.3132 523.2 99.0100 175.0 36.7342 796.5 521.3 2260.5 285.9 206.5 100.1 261.6 86.6997 2537.4 276.0 118.1 21.6396 20.1601 50.9279 21.3806 1570.9 830.6 3565.0 28.3727 1129.0 356.8 108.2 3945.3
246
Lampiran 9. Program Simulasi Historis Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 25 Persen /* PROGRAM SIMULASI_HISTORIS */ OPTION NODATE NONUMBER; DATA SIMULASI_HISTORIS; SET SASUSER.TESIS_5; /* MEMBUAT VARIABEL LAG*/ L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSTL=QMSRL+QMSNL+QMSSL; QMSI=QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD=DMSIMG+DMSIL; SMSD=QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSW=XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW=MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS=QMGS-XMGS; /*SIMULASI PENINGKATAN PENAWARAN MINYAK SAWIT DOMESTIK SEBESAR 25 PERSEN */ SMSD=1.25*SMSD; RUN;
247
Lampiran 9. Lanjutan PROC SIMNLIN DATA= SIMULASI_HISTORIS DYNAMIC SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=A ; ENDOGENOUS LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS /*SMSD*/ SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW; INSTRUMENTS SBR TREN INCRI PHRF SHRXMSM HRMMW HRMKD INCRC PSBR SHRMKW PXMGS PXMSI QMSM NTERM HRMKDW SHRMSW PHRMMW INCRIND CURAH HRMGKD INCRP QMSRL QMSNL QMSSL STKMS UPRBUN XMSRW MMSRW NTERC HRMGSW PHRXMSI SMSD L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); PARM A0 A6 B0 B6 C0 C6 D0 D6 E0 E6 F0 G0 H0 I0 J0 K0
731.0415 -2.64737 21.05198 14.51194 320.1631 -0.75474 23.64347 1.877661 109.1232 76.43873 182.8267 3.020529 2.142651 1.375788 1.403913 1.512447
RHMSF
;
A1 0.134501 A7 42.25342 B1 0.010901
A2 -0.11378 A3 -0.03228 A4 -5.72475 A5 -0.06520
C1 0.016473 C7 7.719496 D1 0.001029
C2 -0.01228 C3 -0.00954 C4 -1.17485 C5 -0.00138
E1 0.150833
E2 -0.05408 E3 -0.19023 E4 -0.03752 E5 -0.04666
F1 G1 H1 I1 J1 K1
F2 G2 H2 I2 J2 K2
0.057925 0.193849 0.092637 0.151039 0.277171 0.077920
B2 -0.00264 B3 -0.04265 B4 -0.00957 B5 -0.09085
D2 -0.00081 D3 -0.00446 D4 -0.00104 D5 -0.00913
-0.48394 0.000316 0.000525 0.000324 0.008292 0.000043
F3 G3 H3 I3 J3 K3
-0.02139 -0.00034 -0.00007 -0.00023 -0.00040 0.512703
F4 -0.52938 F5 35.35273 H4 0.107587 I4 0.677464 J4 0.011875 J5 0.488330
248
Lampiran 9. Lanjutan L0 M0 N0 O0 O6 P0 Q0 R0 S0 T0 U0 V0 W0 X0 Y0 Z0 AA0
2.568283 -1234.55 -1365.99 1400.728 14.48417 429.1900 -57.7283 -1467.23 -1050.95 -694.925 206.2166 279.8991 -5591.99 -642.055 402.6444 2193.248 -19.3125
L1 0.000166 M1 1.119779 N1 -0.31981 O1 -0.00922 O7 0.050579 P1 -0.02815 Q1 0.873691 R1 1.352876 S1 -2.86442 T1 -1.07752 U1 -1.05576 V1 -0.00895 W1 1.687388 X1 1.096729 Y1 -0.30884 Z1 0.054764 AA1 0.972813
L2 M2 N2 O2
0.001385 0.565429 0.525389 0.183806
L3 M3 N3 O3
-0.00086 0.079759 -6.96387 0.638918
L4 M4 N4 O4
0.096688 0.219529 103.3167 N5 0.464863 -0.10846 O5 -22.6230
P2 0.588235 P3 Q2 0.053221 Q3 R2 0.289920 R3 S2 3.455280 S3 T2 0.205179 T3 U2 0.742833 U3 V2 0.007431 V3 W2 -1.27330 W3 X2 -0.06113 X3 Y2 0.219999 Y3 Z2 2.520597 Z3 AA2 -0.01548;
0.860154 -0.00092 0.668988 0.330337 0.050203 0.000783 0.496797 309.2388 0.099493 0.036703 20.50587
P4 Q4 R4 S4 T4 U4
0.203342 -1.98794 734.3466 -14.5294 0.855156 -0.65759
W4 X4 Y4 Z4
0.190226 0.067756 X5 0.711027 0.523212 0.059529
Q5 0.168987 R5 0.148848 S5 0.181443 U5 0.966606
LAKSMRS= A0 + A1*L3HRMSD + A2*L3HRMKD + A3*L3HRKD + A4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + A5*LUPRBUN + A6*LSBR + A7*TREN ; LAKSMRK= B0 + B1*L3HRMSD + B2*L3HRKD + B3*LHRF + B4*LUPRBUN + B5*LSBR + B6*TREN ; LAKSMNS= C0 + C1*L3HRMSD + C2*L3HRMKD + C3*L3HRKD + C4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + C5*LUPRBUN + C6*LSBR + C7*TREN ; LAKSMNK= D0 + D1*L3HRMSD + D2*L3HRKD + D3*LHRF + D4*UPRBUN + D5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + D6*TREN ; LAKSMSS= E0 + E1*L3HRMSD + E2*L3HRKD + E3*LHRF + E4*LUPRBUN + E5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + E6*TREN ; LAKSMSK= F0 + F1*L3HRMSD + F2*LHRF + F3*LUPRBUN + F4*SBR + F5*TREN ; YMSRS= G0 + G1*(HRMSD/HRF) + G2*LLAKSMRS + G3*CURAH ; YMSRK= H0 + H1*(HRMSD/HRF) + H2*LLAKSMRK + H3*LUPRBUN + H4*LYMSRK ; YMSNS= I0 + I1*(HRMSD/HRF) + I2*LLAKSMNS + I3*CURAH + I4*LYMSNS ; YMSNK= J0 + J1*(HRMSD/HRF) + J2*LLAKSMNK + J3*CURAH + J4*TREN + J5*LYMSNK ; YMSSS= K0 + K1*(HRMSD/HRF) + K2*LLAKSMSS + K3*LYMSSS ; YMSSK= L0 + L1*LHRMSD + L2*LLAKSMSK + L3*CURAH + L4*TREN ; XMSI= M0 + M1*(HRXMSI-LHRXMSI)/LHRXMSI*100 + M2*QMSI + M3*LNTERI + M4*LXMSI ; DMSIMG= N0 + N1*HRMSD + N2*HRMGSD + N3*SBR + N4*TREN + N5*LDMSIMG ; DMSIL= O0 + O1*HRMSD + O2*HRMKD + O3*HRMMW + O4*LUPRIN + O5*SBR + O6*TREN + O7*LDMSIL ; HRMSD= P0 + P1*SMSD + P2*DMSD + P3*HRXMSI + P4*LHRMSD ; HRXMSI= Q0 + Q1*HRMSW + Q2*(HRMMW-LHRMMW)/LHRMMW*100 + Q3*XMSI+ Q4*PXMSI + Q5*LHRXMSI; XMSM= R0 + R1*(HRXMSM-LHRXMSM)+ R2*(HRMKW-LHRMKW)+ R3*QMSM + R4*NTERM + R5*LXMSM ; MMSC= S0 + S1*HRMSW + S2*HRMKDW + S3*INCRC + S4*NTERC + S5*LMMSC ; MMSIND= T0 + T1*(HRMSW-LHRMSW)+ T2*LHRMKDW + T3*INCRIND + T4*LMMSIND ; MMSP= U0 + U1*HRMSW + U2*HRMKDW + U3*INCRP + U4*LNTERP + U5*LMMSP ; HRMSW= V0 + V1*XMSW + V2*MMSW + V3*LHRMSW ; QMGS= W0 + W1*LHRMGSD + W2*LHRMSD + W3*TREN + W4*LQMGS ; XMGS= X0 + X1*LHRXMGSI + X2*HRMGSD + X3*QMGS + X4*LNTERI + X5*LXMGS ; DMGS= Y0 + Y1*HRMGSD + Y2*HRMGKD + Y3*INCRI + Y4*LDMGS ; HRMGSD= Z0 + Z1*(DMGS-SMGS) + Z2*HRXMGSI + Z3*TREN + Z4*LHRMGSD ; HRXMGSI= AA0+ AA1*HRMGSW + AA2*(XMGS-LXMGS)/LXMGS*100 ; QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSI= QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD= DMSIMG+DMSIL; /*SMSD= QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS;*/ XMSW= XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW= MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS= QMGS-XMGS; id tahun; RANGE TAHUN= 2003 TO 2007; proc print data=a; RUN;
249
Lampiran 10. Hasil Simulasi Historis (Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 25 Persen)
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable ID Variables Equations Number of Statements Program Lag Length
38 38 153 Tahun 1 38 74 3
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
SIMULASI_HISTORIS A
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
38 3 Tahun 2003 2007 NEWTON 1E-8 2.07E-16 2 10 2
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
8 3 5 20 24
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2003 To 2007
250
Lampiran 10. Lanjutan
Descriptive Statistics
Variable LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW
N Obs
N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Actual Mean Std Dev 1354.0 251.0 476.4 55.3322 1564.0 438.8 2.9647 2.3529 3.7460 3.0364 3.7288 3.3415 4054.8 595.9 1782.1 168.8 5872.8 1478.3 14480.5 4924.6 3269.8 305.8 3575.6 1005.8 3243.4 3198.6 376.5 454.5 3786.6 402.5 9554.2 13281.4 26256.4 1681.2 4543.1 3527.0 1608.7 26202.4
218.9 38.3940 42.9434 7.7216 191.2 178.3 0.3193 0.2470 0.2740 0.5428 0.3035 0.1146 1029.3 142.0 176.7 39.6422 1113.2 632.6 3136.7 1523.4 217.8 150.7 359.5 23.0797 1524.1 443.4 86.7051 110.1 593.7 20.4545 2105.8 890.1 4009.4 147.7 1024.4 311.9 144.2 3437.8
Predicted Mean Std Dev 1335.3 247.1 473.7 54.6745 1548.9 445.0 2.9937 2.2939 3.7204 3.1888 3.5940 3.1846 4009.2 569.5 1765.0 175.7 5585.4 1445.8 14078.4 4278.7 3297.2 360.4 3657.6 1029.5 2716.2 3292.1 398.3 466.6 3785.9 397.3 9087.8 13138.0 25646.6 1562.6 4487.8 3824.7 1482.6 26318.6
118.5 31.7109 18.4905 5.7605 157.2 119.3 0.1251 0.1013 0.2411 0.3909 0.1520 0.3078 510.9 97.7465 170.8 36.1074 785.1 515.5 2223.1 327.8 218.6 99.9938 270.7 86.1086 313.1 109.1 22.2268 20.3754 52.6889 21.3833 1545.5 830.6 3538.2 29.8897 1128.0 356.5 107.5 3943.4
251
Lampiran 11. Program Simulasi Peramalan Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Indonesia Sebesar 20 Persen /* PROGRAM SIMULASI PERAMALAN */ OPTION NODATE NONUMBER; DATA SIMULASI_PERAMALAN; SET SASUSER.TESIS_5; /* MEMBUAT VARIABEL LAG*/ L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSTL=QMSRL+QMSNL+QMSSL; QMSI=QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD=DMSIMG+DMSIL; SMSD=QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSW=XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW=MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS=QMGS-XMGS; /*SIMULASI PENETAPAN PAJAK EKSPOR MINYAK SAWIT INDONESIA SEBESAR 20 PERSEN*/ PXMSI=20; RUN;
252
Lampiran 11. Lanjutan PROC SIMNLIN DATA= SIMULASI_PERAMALAN DYNAMIC SIMULATE STATS; ENDOGENOUS LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW; INSTRUMENTS SBR TREN INCRI PHRF SHRXMSM HRMMW HRMKD INCRC PSBR SHRMKW PXMGS PXMSI QMSM NTERM HRMKDW SHRMSW PHRMMW INCRIND CURAH HRMGKD INCRP QMSRL QMSNL QMSSL STKMS UPRBUN XMSRW MMSRW NTERC HRMGSW PHRXMSI L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); PARM A0 A6 B0 B6 C0 C6 D0 D6 E0 E6 F0 G0 H0 I0 J0 K0 L0
731.0415 -2.64737 21.05198 14.51194 320.1631 -0.75474 23.64347 1.877661 109.1232 76.43873 182.8267 3.020529 2.142651 1.375788 1.403913 1.512447 2.568283
RHMSF
;
A1 0.134501 A7 42.25342 B1 0.010901
A2 -0.11378 A3 -0.03228 A4 -5.72475 A5 -0.06520
C1 0.016473 C7 7.719496 D1 0.001029
C2 -0.01228 C3 -0.00954 C4 -1.17485 C5 -0.00138
E1 0.150833
E2 -0.05408 E3 -0.19023 E4 -0.03752 E5 -0.04666
F1 G1 H1 I1 J1 K1 L1
F2 G2 H2 I2 J2 K2 L2
0.057925 0.193849 0.092637 0.151039 0.277171 0.077920 0.000166
B2 -0.00264 B3 -0.04265 B4 -0.00957 B5 -0.09085
D2 -0.00081 D3 -0.00446 D4 -0.00104 D5 -0.00913
-0.48394 0.000316 0.000525 0.000324 0.008292 0.000043 0.001385
F3 G3 H3 I3 J3 K3 L3
-0.02139 -0.00034 -0.00007 -0.00023 -0.00040 0.512703 -0.00086
F4 -0.52938 F5 35.35273 H4 0.107587 I4 0.677464 J4 0.011875 J5 0.488330 L4 0.096688
253
Lampiran 11. Lanjutan M0 N0 O0 O6 P0 Q0 R0 S0 T0 U0 V0 W0 X0 Y0 Z0 AA0
-1234.55 -1365.99 1400.728 14.48417 429.1900 -57.7283 -1467.23 -1050.95 -694.925 206.2166 279.8991 -5591.99 -642.055 402.6444 2193.248 -19.3125
M1 1.119779 N1 -0.31981 O1 -0.00922 O7 0.050579 P1 -0.02815 Q1 0.873691 R1 1.352876 S1 -2.86442 T1 -1.07752 U1 -1.05576 V1 -0.00895 W1 1.687388 X1 1.096729 Y1 -0.30884 Z1 0.054764 AA1 0.972813
M2 0.565429 M3 0.079759 M4 0.219529 N2 0.525389 N3 -6.96387 N4 103.3167 N5 0.464863 O2 0.183806 O3 0.638918 O4 -0.10846 O5 -22.6230 P2 0.588235 P3 Q2 0.053221 Q3 R2 0.289920 R3 S2 3.455280 S3 T2 0.205179 T3 U2 0.742833 U3 V2 0.007431 V3 W2 -1.27330 W3 X2 -0.06113 X3 Y2 0.219999 Y3 Z2 2.520597 Z3 AA2 -0.01548;
0.860154 -0.00092 0.668988 0.330337 0.050203 0.000783 0.496797 309.2388 0.099493 0.036703 20.50587
P4 Q4 R4 S4 T4 U4
0.203342 -1.98794 734.3466 -14.5294 0.855156 -0.65759
W4 X4 Y4 Z4
0.190226 0.067756 X5 0.711027 0.523212 0.059529
Q5 0.168987 R5 0.148848 S5 0.181443 U5 0.966606
LAKSMRS= A0 + A1*L3HRMSD + A2*L3HRMKD + A3*L3HRKD + A4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + A5*LUPRBUN + A6*LSBR + A7*TREN ; LAKSMRK= B0 + B1*L3HRMSD + B2*L3HRKD + B3*LHRF + B4*LUPRBUN + B5*LSBR + B6*TREN ; LAKSMNS= C0 + C1*L3HRMSD + C2*L3HRMKD + C3*L3HRKD + C4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + C5*LUPRBUN + C6*LSBR + C7*TREN ; LAKSMNK= D0 + D1*L3HRMSD + D2*L3HRKD + D3*LHRF + D4*UPRBUN + D5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + D6*TREN ; LAKSMSS= E0 + E1*L3HRMSD + E2*L3HRKD + E3*LHRF + E4*LUPRBUN + E5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + E6*TREN ; LAKSMSK= F0 + F1*L3HRMSD + F2*LHRF + F3*LUPRBUN + F4*SBR + F5*TREN ; YMSRS= G0 + G1*(HRMSD/HRF) + G2*LLAKSMRS + G3*CURAH ; YMSRK= H0 + H1*(HRMSD/HRF) + H2*LLAKSMRK + H3*LUPRBUN + H4*LYMSRK ; YMSNS= I0 + I1*(HRMSD/HRF) + I2*LLAKSMNS + I3*CURAH + I4*LYMSNS ; YMSNK= J0 + J1*(HRMSD/HRF) + J2*LLAKSMNK + J3*CURAH + J4*TREN + J5*LYMSNK ; YMSSS= K0 + K1*(HRMSD/HRF) + K2*LLAKSMSS + K3*LYMSSS ; YMSSK= L0 + L1*LHRMSD + L2*LLAKSMSK + L3*CURAH + L4*TREN ; XMSI= M0 + M1*(HRXMSI-LHRXMSI)/LHRXMSI*100 + M2*QMSI + M3*LNTERI + M4*LXMSI ; DMSIMG= N0 + N1*HRMSD + N2*HRMGSD + N3*SBR + N4*TREN + N5*LDMSIMG ; DMSIL= O0 + O1*HRMSD + O2*HRMKD + O3*HRMMW + O4*LUPRIN + O5*SBR + O6*TREN + O7*LDMSIL ; HRMSD= P0 + P1*SMSD + P2*DMSD + P3*HRXMSI + P4*LHRMSD ; HRXMSI= Q0 + Q1*HRMSW + Q2*(HRMMW-LHRMMW)/LHRMMW*100 + Q3*XMSI+ Q4*PXMSI + Q5*LHRXMSI; XMSM= R0 + R1*(HRXMSM-LHRXMSM)+ R2*(HRMKW-LHRMKW)+ R3*QMSM + R4*NTERM + R5*LXMSM ; MMSC= S0 + S1*HRMSW + S2*HRMKDW + S3*INCRC + S4*NTERC + S5*LMMSC ; MMSIND= T0 + T1*(HRMSW-LHRMSW)+ T2*LHRMKDW + T3*INCRIND + T4*LMMSIND ; MMSP= U0 + U1*HRMSW + U2*HRMKDW + U3*INCRP + U4*LNTERP + U5*LMMSP ; HRMSW= V0 + V1*XMSW + V2*MMSW + V3*LHRMSW ; QMGS= W0 + W1*LHRMGSD + W2*LHRMSD + W3*TREN + W4*LQMGS ; XMGS= X0 + X1*LHRXMGSI + X2*HRMGSD + X3*QMGS + X4*LNTERI + X5*LXMGS ; DMGS= Y0 + Y1*HRMGSD + Y2*HRMGKD + Y3*INCRI + Y4*LDMGS ; HRMGSD= Z0 + Z1*(DMGS-SMGS) + Z2*HRXMGSI + Z3*TREN + Z4*LHRMGSD ; HRXMGSI= AA0+ AA1*HRMGSW + AA2*(XMGS-LXMGS)/LXMGS*100 ; QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI= DMSD= SMSD= XMSW= MMSW= SMGS=
=LAKSMRS*YMSRS; =LAKSMRK*YMSRK; =LAKSMNS*YMSNS; =LAKSMNK*YMSNK; =LAKSMSS*YMSSS; =LAKSMSK*YMSSK; QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSIMG+DMSIL; QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSI+XMSM+XMSRW; MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; QMGS-XMGS;
RANGE TAHUN= 2012 TO 2016; RUN;
254
Lampiran 12. Hasil Simulasi Peramalan Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Indonesia Sebesar 20 Persen
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
39 39 153 Tahun 39 75 3
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULASI_PERAMALAN
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
39 3 Tahun 2012 2016 NEWTON 1E-8 1.512E-9 2 7 1.4
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
8 3 5 29 33
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2016
255
Lampiran 12. Lanjutan
Descriptive Statistics
Variable LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW
N Obs
N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Actual Mean Std Dev 1797.1 366.7 546.7 67.0939 2185.1 653.4 2.9278 2.3159 3.7336 3.3243 3.7175 4.1672 5262.0 849.5 2040.0 223.0 8122.7 2726.4 19934.6 6090.8 4405.9 154.5 4560.4 1233.4 12268.4 4114.0 3848.1 361.7 443.0 3404.2 209.6 13617.3 16909.8 34294.7 1976.8 5317.2 5584.7 1216.4 32929.3
116.2 21.9566 18.0261 2.9269 126.3 31.5528 0.00407 0.0128 0.0726 0.0144 0.00457 0.1433 347.4 55.5204 27.7633 8.9011 462.6 225.5 1163.5 342.5 204.8 37.2615 167.9 31.2730 395.4 258.7 91.1041 17.7385 15.6329 55.6752 28.7062 859.5 759.9 1745.2 83.8057 190.0 319.1 75.0503 1150.7
Predicted Mean Std Dev 1796.1 366.7 546.6 67.0866 2184.0 653.0 2.9252 2.3146 3.7297 3.3186 3.7158 4.1644 5254.4 848.9 2037.5 222.6 8115.0 2722.8 19912.1 6111.7 4414.5 154.7 4569.2 1233.8 12262.7 4131.0 3829.2 337.0 443.2 3403.3 209.6 13600.5 16909.8 34278.0 1980.7 5316.5 5584.5 1216.0 32928.0
115.0 21.8610 17.8837 2.9179 125.0 31.0350 0.00378 0.0127 0.0740 0.0160 0.00504 0.1417 343.2 55.2285 26.4082 8.7611 456.5 222.2 1148.0 353.0 206.8 37.2455 169.8 31.5675 388.5 266.3 89.9271 19.1651 15.5194 56.1088 28.7064 851.1 759.9 1736.8 86.6788 189.6 319.0 75.4102 1149.8
256
Lampiran 13. Program Simulasi Peramalan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 50 Persen /* PROGRAM SIMULASI PERAMALAN */ OPTION NODATE NONUMBER; DATA SIMULASI_PERAMALAN; SET SASUSER.TESIS_5; /* MEMBUAT VARIABEL LAG*/ L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSTL=QMSRL+QMSNL+QMSSL; QMSI=QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD=DMSIMG+DMSIL; SMSD=QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSW=XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW=MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS=QMGS-XMGS; /*SIMULASI PENINGKATAN PENAWARAN MINYAK SAWIT DOMESTIK SEBESAR 50 PERSEN */ SMSD=1.5*SMSD; RUN;
257
Lampiran 13. Lanjutan PROC SIMNLIN DATA= SIMULASI_PERAMALAN DYNAMIC SIMULATE STATS; ENDOGENOUS LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS /*SMSD*/ SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW; INSTRUMENTS SBR TREN INCRI PHRF SHRXMSM HRMMW HRMKD INCRC PSBR SHRMKW PXMGS PXMSI QMSM NTERM HRMKDW SHRMSW PHRMMW INCRIND CURAH HRMGKD INCRP QMSRL QMSNL QMSSL STKMS UPRBUN XMSRW MMSRW NTERC HRMGSW PHRXMSI SMSD L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); PARM A0 A6 B0 B6 C0 C6 D0 D6 E0 E6 F0 G0 H0 I0 J0 K0 L0
731.0415 -2.64737 21.05198 14.51194 320.1631 -0.75474 23.64347 1.877661 109.1232 76.43873 182.8267 3.020529 2.142651 1.375788 1.403913 1.512447 2.568283
RHMSF
;
A1 0.134501 A7 42.25342 B1 0.010901
A2 -0.11378 A3 -0.03228 A4 -5.72475 A5 -0.06520
C1 0.016473 C7 7.719496 D1 0.001029
C2 -0.01228 C3 -0.00954 C4 -1.17485 C5 -0.00138
E1 0.150833
E2 -0.05408 E3 -0.19023 E4 -0.03752 E5 -0.04666
F1 G1 H1 I1 J1 K1 L1
F2 G2 H2 I2 J2 K2 L2
0.057925 0.193849 0.092637 0.151039 0.277171 0.077920 0.000166
B2 -0.00264 B3 -0.04265 B4 -0.00957 B5 -0.09085
D2 -0.00081 D3 -0.00446 D4 -0.00104 D5 -0.00913
-0.48394 0.000316 0.000525 0.000324 0.008292 0.000043 0.001385
F3 G3 H3 I3 J3 K3 L3
-0.02139 -0.00034 -0.00007 -0.00023 -0.00040 0.512703 -0.00086
F4 -0.52938 F5 35.35273 H4 0.107587 I4 0.677464 J4 0.011875 J5 0.488330 L4 0.096688
258
Lampiran 13. Lanjutan M0 N0 O0 O6 P0 Q0 R0 S0 T0 U0 V0 W0 X0 Y0 Z0 AA0
-1234.55 -1365.99 1400.728 14.48417 429.1900 -57.7283 -1467.23 -1050.95 -694.925 206.2166 279.8991 -5591.99 -642.055 402.6444 2193.248 -19.3125
M1 1.119779 N1 -0.31981 O1 -0.00922 O7 0.050579 P1 -0.02815 Q1 0.873691 R1 1.352876 S1 -2.86442 T1 -1.07752 U1 -1.05576 V1 -0.00895 W1 1.687388 X1 1.096729 Y1 -0.30884 Z1 0.054764 AA1 0.972813
M2 0.565429 M3 0.079759 M4 0.219529 N2 0.525389 N3 -6.96387 N4 103.3167 N5 0.464863 O2 0.183806 O3 0.638918 O4 -0.10846 O5 -22.6230 P2 0.588235 P3 Q2 0.053221 Q3 R2 0.289920 R3 S2 3.455280 S3 T2 0.205179 T3 U2 0.742833 U3 V2 0.007431 V3 W2 -1.27330 W3 X2 -0.06113 X3 Y2 0.219999 Y3 Z2 2.520597 Z3 AA2 -0.01548;
0.860154 -0.00092 0.668988 0.330337 0.050203 0.000783 0.496797 309.2388 0.099493 0.036703 20.50587
P4 Q4 R4 S4 T4 U4
0.203342 -1.98794 734.3466 -14.5294 0.855156 -0.65759
W4 X4 Y4 Z4
0.190226 0.067756 X5 0.711027 0.523212 0.059529
Q5 0.168987 R5 0.148848 S5 0.181443 U5 0.966606
LAKSMRS= A0 + A1*L3HRMSD + A2*L3HRMKD + A3*L3HRKD + A4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + A5*LUPRBUN + A6*LSBR + A7*TREN ; LAKSMRK= B0 + B1*L3HRMSD + B2*L3HRKD + B3*LHRF + B4*LUPRBUN + B5*LSBR + B6*TREN ; LAKSMNS= C0 + C1*L3HRMSD + C2*L3HRMKD + C3*L3HRKD + C4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + C5*LUPRBUN + C6*LSBR + C7*TREN ; LAKSMNK= D0 + D1*L3HRMSD + D2*L3HRKD + D3*LHRF + D4*UPRBUN + D5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + D6*TREN ; LAKSMSS= E0 + E1*L3HRMSD + E2*L3HRKD + E3*LHRF + E4*LUPRBUN + E5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + E6*TREN ; LAKSMSK= F0 + F1*L3HRMSD + F2*LHRF + F3*LUPRBUN + F4*SBR + F5*TREN ; YMSRS= G0 + G1*(HRMSD/HRF) + G2*LLAKSMRS + G3*CURAH ; YMSRK= H0 + H1*(HRMSD/HRF) + H2*LLAKSMRK + H3*LUPRBUN + H4*LYMSRK ; YMSNS= I0 + I1*(HRMSD/HRF) + I2*LLAKSMNS + I3*CURAH + I4*LYMSNS ; YMSNK= J0 + J1*(HRMSD/HRF) + J2*LLAKSMNK + J3*CURAH + J4*TREN + J5*LYMSNK ; YMSSS= K0 + K1*(HRMSD/HRF) + K2*LLAKSMSS + K3*LYMSSS ; YMSSK= L0 + L1*LHRMSD + L2*LLAKSMSK + L3*CURAH + L4*TREN ; XMSI= M0 + M1*(HRXMSI-LHRXMSI)/LHRXMSI*100 + M2*QMSI + M3*LNTERI + M4*LXMSI ; DMSIMG= N0 + N1*HRMSD + N2*HRMGSD + N3*SBR + N4*TREN + N5*LDMSIMG ; DMSIL= O0 + O1*HRMSD + O2*HRMKD + O3*HRMMW + O4*LUPRIN + O5*SBR + O6*TREN + O7*LDMSIL ; HRMSD= P0 + P1*SMSD + P2*DMSD + P3*HRXMSI + P4*LHRMSD ; HRXMSI= Q0 + Q1*HRMSW + Q2*(HRMMW-LHRMMW)/LHRMMW*100 + Q3*XMSI+ Q4*PXMSI + Q5*LHRXMSI; XMSM= R0 + R1*(HRXMSM-LHRXMSM)+ R2*(HRMKW-LHRMKW)+ R3*QMSM + R4*NTERM + R5*LXMSM ; MMSC= S0 + S1*HRMSW + S2*HRMKDW + S3*INCRC + S4*NTERC + S5*LMMSC ; MMSIND= T0 + T1*(HRMSW-LHRMSW)+ T2*LHRMKDW + T3*INCRIND + T4*LMMSIND ; MMSP= U0 + U1*HRMSW + U2*HRMKDW + U3*INCRP + U4*LNTERP + U5*LMMSP ; HRMSW= V0 + V1*XMSW + V2*MMSW + V3*LHRMSW ; QMGS= W0 + W1*LHRMGSD + W2*LHRMSD + W3*TREN + W4*LQMGS ; XMGS= X0 + X1*LHRXMGSI + X2*HRMGSD + X3*QMGS + X4*LNTERI + X5*LXMGS ; DMGS= Y0 + Y1*HRMGSD + Y2*HRMGKD + Y3*INCRI + Y4*LDMGS ; HRMGSD= Z0 + Z1*(DMGS-SMGS) + Z2*HRXMGSI + Z3*TREN + Z4*LHRMGSD ; HRXMGSI= AA0+ AA1*HRMGSW + AA2*(XMGS-LXMGS)/LXMGS*100 ; QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSI= QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD= DMSIMG+DMSIL; /*SMSD= QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS;*/ XMSW= XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW= MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS= QMGS-XMGS; RANGE TAHUN= 2012 TO 2016; RUN;
259
Lampiran 14. Hasil Simulasi Peramalan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 50 Persen
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
38 38 153 Tahun 38 74 3
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SIMULASI_PERAMALAN
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
38 3 Tahun 2012 2016 NEWTON 1E-8 5.152E-9 2 9 1.8
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
8 3 5 29 33
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2016
260
Lampiran 14. Lanjutan
Descriptive Statistics
Variable LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW
N Obs
N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Actual Mean Std Dev 1797.1 366.7 546.7 67.0939 2185.1 653.4 2.9278 2.3159 3.7336 3.3243 3.7175 4.1672 5262.0 849.5 2040.0 223.0 8122.7 2726.4 19934.6 6090.8 4405.9 154.5 4560.4 1233.4 4114.0 3848.1 361.7 443.0 3404.2 209.6 13617.3 16909.8 34294.7 1976.8 5317.2 5584.7 1216.4 32929.3
116.2 21.9566 18.0261 2.9269 126.3 31.5528 0.00407 0.0128 0.0726 0.0144 0.00457 0.1433 347.4 55.5204 27.7633 8.9011 462.6 225.5 1163.5 342.5 204.8 37.2615 167.9 31.2730 258.7 91.1041 17.7385 15.6329 55.6752 28.7062 859.5 759.9 1745.2 83.8057 190.0 319.1 75.0503 1150.7
Predicted Mean Std Dev 1789.1 366.1 545.7 67.0330 2176.1 650.0 2.9061 2.3050 3.7017 3.2773 3.7038 4.1447 5199.6 844.0 2018.9 219.6 8059.4 2696.8 19749.3 6260.2 4476.0 156.0 4632.0 1237.1 4251.7 3694.0 363.1 444.4 3396.5 209.6 13496.8 16909.8 34174.2 2008.6 5312.7 5583.4 1213.5 32920.5
106.8 21.1764 16.8673 2.8534 115.7 27.3812 0.00261 0.0123 0.0835 0.0259 0.00802 0.1311 313.8 53.2169 17.1914 7.8341 413.8 198.9 1040.1 424.8 219.4 37.1694 182.4 33.5672 319.2 84.6824 16.5972 14.5673 58.9810 28.7071 775.1 759.9 1660.8 106.6 186.4 318.2 77.7097 1143.4
261
Lampiran
15.
Program Simulasi Minyak Sawit
Peramalan
/* PROGRAM SIMULASI PERAMALAN */ OPTION NODATE NONUMBER; DATA SIMULASI_PERAMALAN; SET SASUSER.TESIS_5; /* MEMBUAT VARIABEL LAG*/ L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSTL=QMSRL+QMSNL+QMSSL; QMSI=QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD=DMSIMG+DMSIL; SMSD=QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSW=XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW=MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS=QMGS-XMGS; /*SIMULASI PELARANGAN EKSPOR MINYAK SAWIT */ XMSI=0; RUN;
Pelarangan
Ekspor
262
Lampiran 15. Lanjutan PROC SIMNLIN DATA= SIMULASI_PERAMALAN DYNAMIC SIMULATE STATS; ENDOGENOUS LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI /*XMSI*/ XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW; INSTRUMENTS SBR TREN INCRI PHRF SHRXMSM RHMSF HRMMW HRMKD INCRC PSBR SHRMKW PXMGS PXMSI QMSM NTERM HRMKDW SHRMSW PHRMMW INCRIND CURAH HRMGKD INCRP QMSRL QMSNL QMSSL STKMS UPRBUN XMSRW MMSRW NTERC HRMGSW PHRXMSI XMSI ; L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); PARM A0 A6 B0 B6 C0 C6 D0 D6 E0 E6 F0 G0 H0 I0 J0 K0 L0
731.0415 -2.64737 21.05198 14.51194 320.1631 -0.75474 23.64347 1.877661 109.1232 76.43873 182.8267 3.020529 2.142651 1.375788 1.403913 1.512447 2.568283
A1 0.134501 A7 42.25342 B1 0.010901
A2 -0.11378 A3 -0.03228 A4 -5.72475 A5 -0.06520
C1 0.016473 C7 7.719496 D1 0.001029
C2 -0.01228 C3 -0.00954 C4 -1.17485 C5 -0.00138
E1 0.150833
E2 -0.05408 E3 -0.19023 E4 -0.03752 E5 -0.04666
F1 G1 H1 I1 J1 K1 L1
F2 G2 H2 I2 J2 K2 L2
0.057925 0.193849 0.092637 0.151039 0.277171 0.077920 0.000166
B2 -0.00264 B3 -0.04265 B4 -0.00957 B5 -0.09085
D2 -0.00081 D3 -0.00446 D4 -0.00104 D5 -0.00913
-0.48394 0.000316 0.000525 0.000324 0.008292 0.000043 0.001385
F3 G3 H3 I3 J3 K3 L3
-0.02139 -0.00034 -0.00007 -0.00023 -0.00040 0.512703 -0.00086
F4 -0.52938 F5 35.35273 H4 0.107587 I4 0.677464 J4 0.011875 J5 0.488330 L4 0.096688
263
Lampiran 15. Lanjutan /*M0 -1234.55 M1 1.119779 M2 0.565429 M3 0.079759 M4 0.219529*/ N0 -1365.99 N1 -0.31981 N2 0.525389 N3 -6.96387 N4 103.3167 N5 0.464863 O0 1400.728 O1 -0.00922 O2 0.183806 O3 0.638918 O4 -0.10846 O5 -22.6230 O6 14.48417 O7 0.050579 P0 429.1900 P1 -0.02815 P2 0.588235 P3 0.860154 P4 0.203342 Q0 -57.7283 Q1 0.873691 Q2 0.053221 Q3 -0.00092 Q4 -1.98794 Q5 0.168987 R0 -1467.23 R1 1.352876 R2 0.289920 R3 0.668988 R4 734.3466 R5 0.148848 S0 -1050.95 S1 -2.86442 S2 3.455280 S3 0.330337 S4 -14.5294 S5 0.181443 T0 -694.925 T1 -1.07752 T2 0.205179 T3 0.050203 T4 0.855156 U0 206.2166 U1 -1.05576 U2 0.742833 U3 0.000783 U4 -0.65759 U5 0.966606 V0 279.8991 V1 -0.00895 V2 0.007431 V3 0.496797 W0 -5591.99 W1 1.687388 W2 -1.27330 W3 309.2388 W4 0.190226 X0 -642.055 X1 1.096729 X2 -0.06113 X3 0.099493 X4 0.067756 X5 0.711027 Y0 402.6444 Y1 -0.30884 Y2 0.219999 Y3 0.036703 Y4 0.523212 Z0 2193.248 Z1 0.054764 Z2 2.520597 Z3 20.50587 Z4 0.059529 AA0 -19.3125 AA1 0.972813 AA2 -0.01548;
LAKSMRS= A0 + A1*L3HRMSD + A2*L3HRMKD + A3*L3HRKD + A4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + A5*LUPRBUN + A6*LSBR + A7*TREN ; LAKSMRK= B0 + B1*L3HRMSD + B2*L3HRKD + B3*LHRF + B4*LUPRBUN + B5*LSBR + B6*TREN ; LAKSMNS= C0 + C1*L3HRMSD + C2*L3HRMKD + C3*L3HRKD + C4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + C5*LUPRBUN + C6*LSBR + C7*TREN ; LAKSMNK= D0 + D1*L3HRMSD + D2*L3HRKD + D3*LHRF + D4*UPRBUN + D5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + D6*TREN ; LAKSMSS= E0 + E1*L3HRMSD + E2*L3HRKD + E3*LHRF + E4*LUPRBUN + E5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + E6*TREN ; LAKSMSK= F0 + F1*L3HRMSD + F2*LHRF + F3*LUPRBUN + F4*SBR + F5*TREN ; YMSRS= G0 + G1*(HRMSD/HRF) + G2*LLAKSMRS + G3*CURAH ; YMSRK= H0 + H1*(HRMSD/HRF) + H2*LLAKSMRK + H3*LUPRBUN + H4*LYMSRK ; YMSNS= I0 + I1*(HRMSD/HRF) + I2*LLAKSMNS + I3*CURAH + I4*LYMSNS ; YMSNK= J0 + J1*(HRMSD/HRF) + J2*LLAKSMNK + J3*CURAH + J4*TREN + J5*LYMSNK ; YMSSS= K0 + K1*(HRMSD/HRF) + K2*LLAKSMSS + K3*LYMSSS ; YMSSK= L0 + L1*LHRMSD + L2*LLAKSMSK + L3*CURAH + L4*TREN ; /*XMSI= M0 + M1*(HRXMSI-LHRXMSI)/LHRXMSI*100 + M2*QMSI + M3*LNTERI + M4*LXMSI ;*/ DMSIMG= N0 + N1*HRMSD + N2*HRMGSD + N3*SBR + N4*TREN + N5*LDMSIMG ; DMSIL= O0 + O1*HRMSD + O2*HRMKD + O3*HRMMW + O4*LUPRIN + O5*SBR + O6*TREN + O7*LDMSIL ; HRMSD= P0 + P1*SMSD + P2*DMSD + P3*HRXMSI + P4*LHRMSD ; HRXMSI= Q0 + Q1*HRMSW + Q2*(HRMMW-LHRMMW)/LHRMMW*100 + Q3*XMSI+ Q4*PXMSI + Q5*LHRXMSI; XMSM= R0 + R1*(HRXMSM-LHRXMSM)+ R2*(HRMKW-LHRMKW)+ R3*QMSM + R4*NTERM + R5*LXMSM ; MMSC= S0 + S1*HRMSW + S2*HRMKDW + S3*INCRC + S4*NTERC + S5*LMMSC ; MMSIND= T0 + T1*(HRMSW-LHRMSW)+ T2*LHRMKDW + T3*INCRIND + T4*LMMSIND ; MMSP= U0 + U1*HRMSW + U2*HRMKDW + U3*INCRP + U4*LNTERP + U5*LMMSP ; HRMSW= V0 + V1*XMSW + V2*MMSW + V3*LHRMSW ; QMGS= W0 + W1*LHRMGSD + W2*LHRMSD + W3*TREN + W4*LQMGS ; XMGS= X0 + X1*LHRXMGSI + X2*HRMGSD + X3*QMGS + X4*LNTERI + X5*LXMGS ; DMGS= Y0 + Y1*HRMGSD + Y2*HRMGKD + Y3*INCRI + Y4*LDMGS ; HRMGSD= Z0 + Z1*(DMGS-SMGS) + Z2*HRXMGSI + Z3*TREN + Z4*LHRMGSD ; HRXMGSI= AA0+ AA1*HRMGSW + AA2*(XMGS-LXMGS)/LXMGS*100 ; QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI= DMSD= SMSD= XMSW= MMSW= SMGS=
=LAKSMRS*YMSRS; =LAKSMRK*YMSRK; =LAKSMNS*YMSNS; =LAKSMNK*YMSNK; =LAKSMSS*YMSSS; =LAKSMSK*YMSSK; QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSIMG+DMSIL; QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSI+XMSM+XMSRW; MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; QMGS-XMGS;
RANGE TAHUN= 2012 TO 2016; RUN;
264
Lampiran 16. Hasil Simulasi Peramalan Pelarangan Ekspor Minyak Sawit
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
38 38 148 Tahun 38 74 3
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SIMULASI_PERAMALAN
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
38 3 Tahun 2012 2016 NEWTON 1E-8 8.06E-9 2 9 1.8
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
8 3 5 29 33
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2016
265
Lampiran 16. Lanjutan
Descriptive Statistics
Variable LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW
N Obs
N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Actual Mean Std Dev 1797.1 366.7 546.7 67.0939 2185.1 653.4 2.9278 2.3159 3.7336 3.3243 3.7175 4.1672 5262.0 849.5 2040.0 223.0 8122.7 2726.4 19934.6 6090.8 4405.9 154.5 4560.4 1233.4 12268.4 4114.0 3848.1 361.7 443.0 3404.2 209.6 16909.8 34294.7 1976.8 5317.2 5584.7 1216.4 32929.3
116.2 21.9566 18.0261 2.9269 126.3 31.5528 0.00407 0.0128 0.0726 0.0144 0.00457 0.1433 347.4 55.5204 27.7633 8.9011 462.6 225.5 1163.5 342.5 204.8 37.2615 167.9 31.2730 395.4 258.7 91.1041 17.7385 15.6329 55.6752 28.7062 759.9 1745.2 83.8057 190.0 319.1 75.0503 1150.7
Predicted Mean Std Dev 1785.7 365.8 545.3 67.0071 2172.3 648.5 2.9008 2.3024 3.6929 3.2651 3.7002 4.1380 5180.4 842.5 2012.6 218.7 8037.6 2686.2 19689.0 6306.6 4493.2 156.3 4649.5 1238.2 25640.0 4287.7 3659.6 555.7 622.8 3394.5 209.6 16909.8 20677.4 2018.9 4722.0 5432.8 725.0 31690.7
103.3 20.8810 16.4341 2.8254 111.7 25.8962 0.00621 0.0139 0.0826 0.0228 0.00736 0.1302 308.1 53.1026 16.2068 8.0017 400.9 191.4 1012.6 428.5 211.9 37.4317 174.6 33.8596 1099.3 319.5 112.2 39.6952 30.9529 58.7293 28.7051 759.9 885.8 111.3 67.5039 307.6 386.2 657.8
266
Lampiran 17. Program Simulasi Peramalan Penetapan Kuota Ekspor Sebesar 40% dari Total Produksi Minyak Sawit /* PROGRAM SIMULASI PERAMALAN */ OPTION NODATE NONUMBER; DATA SIMULASI_PERAMALAN; SET SASUSER.TESIS_5; /* MEMBUAT VARIABEL LAG*/ L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSTL=QMSRL+QMSNL+QMSSL; QMSI=QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD=DMSIMG+DMSIL; SMSD=QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSW=XMSI+XMSM+XMSRW; MMSW=MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS=QMGS-XMGS; /*SIMULASI PENETAPAN KUOTA EKSPOR SEBESAR 40% DARI TOTAL PRODUKSI MINYAK SAWIT */ XMSI=0.4*QMSI; RUN;
267
Lampiran 17. Lanjutan PROC SIMNLIN DATA= SIMULASI_PERAMALAN DYNAMIC SIMULATE STATS; ENDOGENOUS LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI /*XMSI*/ XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW; INSTRUMENTS SBR TREN INCRI PHRF SHRXMSM RHMSF HRMMW HRMKD INCRC PSBR SHRMKW PXMGS PXMSI QMSM NTERM HRMKDW SHRMSW PHRMMW INCRIND CURAH HRMGKD INCRP QMSRL QMSNL QMSSL STKMS UPRBUN XMSRW MMSRW NTERC HRMGSW PHRXMSI XMSI ; L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR); LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC); LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS); PARM A0 A6 B0 B6 C0 C6 D0 D6 E0 E6 F0 G0 H0 I0 J0 K0 L0
731.0415 -2.64737 21.05198 14.51194 320.1631 -0.75474 23.64347 1.877661 109.1232 76.43873 182.8267 3.020529 2.142651 1.375788 1.403913 1.512447 2.568283
A1 0.134501 A7 42.25342 B1 0.010901
A2 -0.11378 A3 -0.03228 A4 -5.72475 A5 -0.06520
C1 0.016473 C7 7.719496 D1 0.001029
C2 -0.01228 C3 -0.00954 C4 -1.17485 C5 -0.00138
E1 0.150833
E2 -0.05408 E3 -0.19023 E4 -0.03752 E5 -0.04666
F1 G1 H1 I1 J1 K1 L1
F2 G2 H2 I2 J2 K2 L2
0.057925 0.193849 0.092637 0.151039 0.277171 0.077920 0.000166
B2 -0.00264 B3 -0.04265 B4 -0.00957 B5 -0.09085
D2 -0.00081 D3 -0.00446 D4 -0.00104 D5 -0.00913
-0.48394 0.000316 0.000525 0.000324 0.008292 0.000043 0.001385
F3 G3 H3 I3 J3 K3 L3
-0.02139 -0.00034 -0.00007 -0.00023 -0.00040 0.512703 -0.00086
F4 -0.52938 F5 35.35273 H4 0.107587 I4 0.677464 J4 0.011875 J5 0.488330 L4 0.096688
268
Lampiran 17. Lanjutan /*M0 -1234.55 M1 1.119779 M2 0.565429 M3 0.079759 M4 0.219529*/ N0 -1365.99 N1 -0.31981 N2 0.525389 N3 -6.96387 N4 103.3167 N5 0.464863 O0 1400.728 O1 -0.00922 O2 0.183806 O3 0.638918 O4 -0.10846 O5 -22.6230 O6 14.48417 O7 0.050579 P0 429.1900 P1 -0.02815 P2 0.588235 P3 0.860154 P4 0.203342 Q0 -57.7283 Q1 0.873691 Q2 0.053221 Q3 -0.00092 Q4 -1.98794 Q5 0.168987 R0 -1467.23 R1 1.352876 R2 0.289920 R3 0.668988 R4 734.3466 R5 0.148848 S0 -1050.95 S1 -2.86442 S2 3.455280 S3 0.330337 S4 -14.5294 S5 0.181443 T0 -694.925 T1 -1.07752 T2 0.205179 T3 0.050203 T4 0.855156 U0 206.2166 U1 -1.05576 U2 0.742833 U3 0.000783 U4 -0.65759 U5 0.966606 V0 279.8991 V1 -0.00895 V2 0.007431 V3 0.496797 W0 -5591.99 W1 1.687388 W2 -1.27330 W3 309.2388 W4 0.190226 X0 -642.055 X1 1.096729 X2 -0.06113 X3 0.099493 X4 0.067756 X5 0.711027 Y0 402.6444 Y1 -0.30884 Y2 0.219999 Y3 0.036703 Y4 0.523212 Z0 2193.248 Z1 0.054764 Z2 2.520597 Z3 20.50587 Z4 0.059529 AA0 -19.3125 AA1 0.972813 AA2 -0.01548;
LAKSMRS= A0 + A1*L3HRMSD + A2*L3HRMKD + A3*L3HRKD + A4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + A5*LUPRBUN + A6*LSBR + A7*TREN ; LAKSMRK= B0 + B1*L3HRMSD + B2*L3HRKD + B3*LHRF + B4*LUPRBUN + B5*LSBR + B6*TREN ; LAKSMNS= C0 + C1*L3HRMSD + C2*L3HRMKD + C3*L3HRKD + C4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + C5*LUPRBUN + C6*LSBR + C7*TREN ; LAKSMNK= D0 + D1*L3HRMSD + D2*L3HRKD + D3*LHRF + D4*UPRBUN + D5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + D6*TREN ; LAKSMSS= E0 + E1*L3HRMSD + E2*L3HRKD + E3*LHRF + E4*LUPRBUN + E5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + E6*TREN ; LAKSMSK= F0 + F1*L3HRMSD + F2*LHRF + F3*LUPRBUN + F4*SBR + F5*TREN ; YMSRS= G0 + G1*(HRMSD/HRF) + G2*LLAKSMRS + G3*CURAH ; YMSRK= H0 + H1*(HRMSD/HRF) + H2*LLAKSMRK + H3*LUPRBUN + H4*LYMSRK ; YMSNS= I0 + I1*(HRMSD/HRF) + I2*LLAKSMNS + I3*CURAH + I4*LYMSNS ; YMSNK= J0 + J1*(HRMSD/HRF) + J2*LLAKSMNK + J3*CURAH + J4*TREN + J5*LYMSNK ; YMSSS= K0 + K1*(HRMSD/HRF) + K2*LLAKSMSS + K3*LYMSSS ; YMSSK= L0 + L1*LHRMSD + L2*LLAKSMSK + L3*CURAH + L4*TREN ; /*XMSI= M0 + M1*(HRXMSI-LHRXMSI)/LHRXMSI*100 + M2*QMSI + M3*LNTERI + M4*LXMSI ;*/ DMSIMG= N0 + N1*HRMSD + N2*HRMGSD + N3*SBR + N4*TREN + N5*LDMSIMG ; DMSIL= O0 + O1*HRMSD + O2*HRMKD + O3*HRMMW + O4*LUPRIN + O5*SBR + O6*TREN + O7*LDMSIL ; HRMSD= P0 + P1*SMSD + P2*DMSD + P3*HRXMSI + P4*LHRMSD ; HRXMSI= Q0 + Q1*HRMSW + Q2*(HRMMW-LHRMMW)/LHRMMW*100 + Q3*(0.4*QMSI) + Q4*PXMSI + Q5*LHRXMSI; XMSM= R0 + R1*(HRXMSM-LHRXMSM)+ R2*(HRMKW-LHRMKW)+ R3*QMSM + R4*NTERM + R5*LXMSM ; MMSC= S0 + S1*HRMSW + S2*HRMKDW + S3*INCRC + S4*NTERC + S5*LMMSC ; MMSIND= T0 + T1*(HRMSW-LHRMSW)+ T2*LHRMKDW + T3*INCRIND + T4*LMMSIND ; MMSP= U0 + U1*HRMSW + U2*HRMKDW + U3*INCRP + U4*LNTERP + U5*LMMSP ; HRMSW= V0 + V1*XMSW + V2*MMSW + V3*LHRMSW ; QMGS= W0 + W1*LHRMGSD + W2*LHRMSD + W3*TREN + W4*LQMGS ; XMGS= X0 + X1*LHRXMGSI + X2*HRMGSD + X3*QMGS + X4*LNTERI + X5*LXMGS ; DMGS= Y0 + Y1*HRMGSD + Y2*HRMGKD + Y3*INCRI + Y4*LDMGS ; HRMGSD= Z0 + Z1*(DMGS-SMGS) + Z2*HRXMGSI + Z3*TREN + Z4*LHRMGSD ; HRXMGSI= AA0+ AA1*HRMGSW + AA2*(XMGS-LXMGS)/LXMGS*100 ; QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI= DMSD= SMSD= XMSW= MMSW= SMGS=
=LAKSMRS*YMSRS; =LAKSMRK*YMSRK; =LAKSMNS*YMSNS; =LAKSMNK*YMSNK; =LAKSMSS*YMSSS; =LAKSMSK*YMSSK; QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSIMG+DMSIL; QMSI-(0.4*QMSI)+MMSI+LSTKMS; (0.4*QMSI)+XMSM+XMSRW; MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; QMGS-XMGS;
RANGE TAHUN= 2012 TO 2016; RUN;
269
Lampiran 18. Hasil Simulasi Peramalan Penetapan Kuota Ekspor Sebesar 40% dari Total Produksi Minyak Sawit
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable ID Variables Equations Number of Statements Program Lag Length
38 38 148 Tahun 1 38 74 3
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
SIMULASI_PERAMALAN A
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
38 3 Tahun 2012 2016 NEWTON 1E-8 6.493E-9 2 7 1.4
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
8 3 5 29 33
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2016
270
Lampiran 18. Lanjutan
Descriptive Statistics
Variable LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW
N Obs
N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Actual Mean Std Dev 1797.1 366.7 546.7 67.0939 2185.1 653.4 2.9278 2.3159 3.7336 3.3243 3.7175 4.1672 5262.0 849.5 2040.0 223.0 8122.7 2726.4 19934.6 6090.8 4405.9 154.5 4560.4 1233.4 12268.4 4114.0 3848.1 361.7 443.0 3404.2 209.6 16909.8 34294.7 1976.8 5317.2 5584.7 1216.4 32929.3
116.2 21.9566 18.0261 2.9269 126.3 31.5528 0.00407 0.0128 0.0726 0.0144 0.00457 0.1433 347.4 55.5204 27.7633 8.9011 462.6 225.5 1163.5 342.5 204.8 37.2615 167.9 31.2730 395.4 258.7 91.1041 17.7385 15.6329 55.6752 28.7062 759.9 1745.2 83.8057 190.0 319.1 75.0503 1150.7
Predicted Mean Std Dev 1792.4 366.4 546.1 67.0580 2179.8 651.4 2.9165 2.3103 3.7166 3.2996 3.7103 4.1551 5228.0 846.6 2028.6 221.2 8087.3 2709.7 19832.4 6180.6 4442.4 155.3 4597.6 1235.4 17850.5 4186.4 3769.3 442.5 517.9 3400.2 209.6 16909.8 28610.4 1994.3 5069.3 5521.3 1012.4 32414.0
110.8 21.5092 17.3601 2.8848 120.2 29.1591 0.00457 0.0132 0.0768 0.0180 0.00576 0.1376 330.6 54.4869 22.7911 8.5076 436.6 211.2 1099.7 376.6 208.1 37.3224 171.1 32.3520 748.6 281.8 98.7979 7.9313 5.7214 56.9343 28.7058 759.9 1325.6 95.2397 119.3 313.5 204.9 941.2