63
BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI
7.1
Dampak Ekologi Konversi lahan pertanian ke pemukiman sangat berdampak negatif
terhadap ekologi. Secara ekologis, perubahan telah terjadi sejak awal konversi dilakukan, misalnya, kondisi udara di kampung Pabuaran Hilir semakin panas khususnya dalam sepuluh tahun terakhir. Pohon-pohon yang dulu ditanami seperti duku, durian, rambutan, dan cengkeh, kini hampir tidak ada lagi karena sebelum tanah dijual, pemilik menebang pohonnya terlebih dahulu. Perbandingan antara lahan dan sumber daya alam yang terbatas dengan bertambahnya jumlah penduduk tidak seimbang. Hal ini diperparah dengan sikap masyarakat yang kurang memperhatikan lingkungan. Perkembangan yang tidak seimbang antara alam dengan manusia menyebabkan daya dukung lingkungan menurun. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Jadi, kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang tidak terjadi akibat konversi lahan yang tidak tepat. Setelah adanya konversi lahan, daya dukung lingkungan di Kelurahan Mulyaharja menurun. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya peluang masyarakat Kelurahan Mulyaharja untuk pindah dan membuka lahan di tempat yang lebih tinggi. Hal ini seperti yang telah diungkapkan bahwa Kelurahan Mulyaharja dekat dengan Gunung Salak, maka area inilah yang dimanfaatkan penduduk untuk dapat bertahan hidup. Hal tersebut diperkuat oleh Bapak EMN (45 tahun). Beliau adalah penduduk Kelurahan Mulyaharja yang tinggal di Cibeureum Batas atau RW 11. Cibeureum Batas adalah wilayah yang berada paling tinggi di Kelurahan Mulyaharja, berbatasan dengan Kabupaten Bogor, dan paling dekat dengan Gunung Salak dibandingkan wilayah lain yang ada di Kelurahan Mulyaharja. Proses konversi lahan yang dilakukan oleh PT. A belum banyak terlihat di Cibeureum Batas. Lahan pertanian di sini masih tergolong luas. Wilayah ini belum terkena patok perluasan lahan PT. A, walaupun diprediksikan beberapa
64
tahun kemudian wilayah ini akan mengalami konversi lahan pertanian ke pemukiman seperti wilayah lain di Kelurahan Mulyaharja. Meskipun daerah ini cukup aman dari masalah pembebasan lahan, namun tetap saja terkena dampaknya. Wilayah ini menjadi pelarian bagi penduduk kampung lain di Kelurahan Mulyaharja yang tempat tinggalnya telah dijual kepada PT. A. Selain itu, penduduk Cibeureum Batas adalah saksi dimana penduduk kampung lain yang menjual lahan sawah dan tempat tinggalnya, pindah ke daerah yang alamnya masih menyediakan sumber daya yang memadai bagi terpenuhinya kebutuhan hidup mereka. Sebagian dari mereka mulai membuka lahan di kaki Gunung Salak. Hal ini diungkapkan pula oleh Bapak EMN (45 tahun). ‘...setelah jual lahan dan tempat tinggal, pasti pindahnya ke atas, ke gunung, bukan ke bawah. Karena harga lahan di bawah lebih mahal, gak akan kebeli. Sedangkan lahan di atas masih bisa dibeli dari uang hasil jual lahan, bahkan masih ada sisanya’.
Masalah berikutnya akibat konversi lahan menyangkut masalah air. Fungsi utama dari lahan yaitu sebagai daerah resapan air kini tidak berfungsi kembali dengan semestinya. Pembangunan pemukiman yang tidak terencana dengan baik menyebabkan sistem penyerapan air terganggu, dipicu juga oleh limbah sampah rumah tangga dari pemukiman. Menurut Yusmandhany (2004), perubahan tipe penggunaan lahan misalnya dari hutan atau sawah menjadi pemukiman atau penggunaan lainnya, akan mempengaruhi kemampuan tanah menahan air hujan dan aliran permukaan secara keseluruhan. Sistem resapan air yang terganggu menyebabkan peluang banjir meningkat. Kelurahan Mulyaharja memang mengalami banjir lima tahunan sebelum konversi lahan. Namun, dalam empat tahun terakhir ini semenjak dibangunnya pemukiman di areal konversi tersebut, Kelurahan Mulyaharja mengalami banjir dalam setahun sekali. Kampung Cibeureum Sunting adalah wilayah yang lahan pertaniannya cukup banyak terkonversi. Kampung ini mengalami banjir setahun sekali semenjak adanya konversi lahan, seperti yang diungkapkan oleh Bapak AND (40 tahun).
65
‘...tiap tahun di Cibeureum Sunting ada banjir. Ketika hujan dan air sungai meluap, dahulu ke sawah. Sekarang sawahnya tidak ada, jadi langsung ke rumah warga’.
Banjir yang dialami oleh Kampung Cibeureum Sunting ini disebabkan oleh terganggunya aliran sungai dan fungsi lahan sebagai resapan air yang kini tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebelum konversi lahan air hujan dapat mengalir melalui sungai, serta fungsi sawah sangat baik dalam menyerap air. Ketika sawah hilang akibat dikonversi menjadi perumahan, air mengalir langsung ke pemukiman penduduk Cibeureum Sunting. Pada kasus Cimacan, sungai tercemar akibat bahan kimia untuk menyuburkan rumput golf sebagaimana diungkapkan oleh Bachriadi dan Lucas (2001). Hal ini terjadi di Kelurahan Mulyaharja. Sungai yang digunakan untuk irigasi lahan pertanian, debit airnya menjadi berkurang setelah adanya konversi lahan. Bahkan terdapat anak sungai di Kampung Cibeureum Jempol yang tertutup oleh bebatuan dan pasir akibat pembangunan jalan perumahan di sekitarnya. Aliran sungai yang terganggu ini berdampak pada kesuburan lahan pertanian, kemudian hal itu berakibat kepada menurunnya produktivitas pertanian, seperti yang diungkapkan oleh MHF (72 tahun).
‘...penurunan hasil pertanian salah satunya karena terganggunya sumber air yang mengaliri sawah’.
Penurunan produktivitas juga disebabkan oleh tercemarnya udara di Kelurahan Mulyaharja. Lahan pertanian yang berada di pinggir jalan perumahan, sangat tidak baik bagi kesuburan tanah. Peningkatan intensitas kendaraan yang melewati jalan tersebut dengan polusi yang dikeluarkannya membuat udara tercemar dan padi yang dihasilkan dari lahan persawahan mengalami hasil panen yang kurang baik.
7.2
Keterkaitan Antara Dampak Sosial, Ekonomi, dan Politik Terhadap Keberlanjutan Ekologi Konversi lahan pertanian menjadi pemukiman di Kelurahan Mulyaharja
adalah akibat pertumbuhan ekonomi Kota Bogor yang mengarah pada industri.
66
Paradigma developmentalism yang dianut oleh pemerintah dengan bertumpu pada sektor ekstraktif dan industri membuat Indonesia menuju pada krisis ekologi yang ditandai oleh banyaknya kerusakan lingkungan dan bencana akibat hilangnya keseimbangan ekologi. Perubahan yang dialami oleh penduduk Kelurahan Mulyaharja, baik dalam aspek sosiologi, ekonomi, dan politik, berkaitan dengan kondisi ekologi. Beberapa aspek tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Pembangunan industri di perkotaan yang seharusnya dibangun jauh dari pemukiman saat ini terletak berdampingan dengan pemukiman. Jumlah kendaraan yang keluar
dan masuk daerah perumahan semakin bertambah sehingga
memperparah polusi. Kondisi jalan belum memadai, maka kemacetan lalu lintas. Penduduk kota cenderung mencari tempat bermukim alternatif untuk menghindari ketidaknyamanan hidup di kota dan dengan sendirinya wilayah pemukiman limpahan yang sangat memungkinkan adalah wilayah pinggiran. Hal ini mengakibatkan kerusakan lingkungan yang semakin nyata terlihat. Masyarakat pendatang yang memasuki kawasan perumahan yang dibangun PT. A telah mengubah gaya hidup masyarakat desa menjadi lebih konsumtif. Hal ini diperparah dengan pengaruh kebiasaan hidup yang kurang baik yang ditampilkan oleh masyarakat pendatang. Akibatnya hal-hal tersebut membawa pengaruh kepada perubahan pola pikir masyarakat desa. Perubahan ini mencakup kelangsungan pertanian Kelurahan Mulyaharja karena selain hilangnya lahan, pemuda di sana juga menganggap bertani adalah pekerjaan yang kasar, berat, dan hasilnya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Akibatnya, kini keluarga petani yang masih mempunyai lahan pertanian tidak mempunyai penerus yang akan mengurus lahan pertaniannya. Jika hal tersebut berlangsung terus-menerus, lahan pertanian akan habis karena petani akan dengan mudah memutuskan untuk menjual lahannya. Hal ini tentu berakibat terhadap penurunan produktivitas pertanian. Penurunan produktivitas pertanian juga diakibatkan oleh bertambahnya intensitas kendaraan. Selain menyebabkan kemacetan di daerah Kota Bogor, khususnya di pintu masuk perumahan PT. A, hal ini menyebabkan menurunnya produktivitas pertanian akibat polusi yang ditimbulkan. Pembangunan pemukiman tidak terlepas dari bahan-bahan bangunan dan alat-alat yang digunakannya. Beton
67
yang digunakan dalam pembangunan kawasan pemukiman mempengaruhi unsur hara air yang ada di dalam tanah. Menurut pengakuan beberapa petani Kelurahan Mulyaharja, kesuburan tanah di sana mengalami penurunan sejak adanya konversi lahan. Selain itu, fungsi tanah sebagai resapan air tidak lagi berjalan dengan baik sehingga air hujan di kawasan tersebut tidak tertampung lagi dan Kelurahan Mulyaharja mengalami banjir setahun sekali. Banjir ini terjadi khususnya di kampung yang paling dekat dengan kawasan perumahan PT. A. Krisis ekologi terlihat jelas pada kerusakan lingkungan telah memasuki tahap
yang mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan
pembangunan yang tidak mempertimbangkan faktor lingkungan. Dampak negatifnya yaitu menurunnya mutu lingkungan, terjadinya banjir, tanah longsor, erosi, dan rusaknya sumber daya air. Sungai sebagai sumber air yang digunakan untuk irigasi pertanian di Kelurahan Mulyaharja menjadi rusak dandebit airnya pun berkurang. Solusi yang seharusnya diambil adalah perubahan mendasar terhadap paradigma pembangunan dalam hubungannya dengan alam. Jika sebelumnya manusia dipandang sebagai pusat dari alam, dan apa yang ada di alam digunakan untuk memuaskan kepentingan-kepentingan manusia, maka watak manusia harus diubah ke arah ekosentrisme. Ekosentrisme berpandangan bahwa semua elemen yang ada di alam ini saling berhubungan, baik mahluk hidup maupun benda mati. Jadi, semua mahluk hidup dan benda-benda abiotik lainnya memiliki nilai masing-masing bagi keberlanjutan ekologi. Perubahan ini akan terjadi sempurna jika disertai dengan perubahan kebijakan ekonomi politik yang menyangkut pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat yang konsumtif. Keberhasilan paradigma keberlanjutan ekologi terdapat pada kualitas hidup yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, sosial-budaya dan ekonomi secara proporsional (Triadi, 2008). Perbaikan kualitas kehidupan agar lebih baik di masa yang akan datang, diperlukan gerakan dari semua elemen. Pemerintah sebagai regulator kebijakan harus menyusun dan menjalankan fungsinya
dalam
melaksanakan
kebijakan-kebijakan
yang
mementingkan
kesejahteraan masyarakat. Pada masalah konversi lahan ini pemerintah seharusnya mengatur kebijakan perizinan kepada pihak swasta dan kebijakan mengatasi
68
kebutuhan akan pemukiman. Namun, kontribusi masyarakat untuk menjamin keselamatan ekologi juga harus tetap dilaksanakan didukung kebijakan yang kondusif sehingga faktor-faktor penyebab konversi lahan dapat diminimalisir dengan baik
69
Tabel 18. Perbandingan Kondisi Ekologi Sebelum dan Setelah Konversi Lahan di Kelurahan Mulyaharja No. Uraian Pembanding
Sebelum Adanya Konversi Lahan (tahun 2000) - Debit air besar - Aliran air sungai lancar
Setelah Adanya Konversi Lahan (tahun 2010)
Keterangan
- Debit air sedang - Aliran air sungai terganggu. - Anak sungai tertutup oleh bebatuan dan pasir akibat pembangunan jalan perumahan - limbah sampah rumah tangga dari pemukiman
Sungai sebagai irigasi pertanian menjadi terganggu
1.
Kondisi Sungai
2.
Kondisi Udara
- Masih segar karena terdapat banyak pepohonan
- Kondisi udara semakin panas karena pepohonan yang dulu ditanami seperti duku, durian, rambutan, dan cengkeh ditebang sebelum tanah dijual - intensitas kendaraan yang sering disertai polusi yang dikeluarkannya
Udara tercemar
3.
Produktivitas Pertanian
Letak sawah jauh dari jalan sehingga produktivitas baik
Irigasi terganggu, polusi udara dan penurunan tingkat kesuburan tanah menyebabkan hasil panen yang kurang baik
4.
Daya Dukung Lingkungan
Sumber daya alam mencukupi kebutuhan penduduk Kelurahan Mulyaharja
- Besarnya peluang masyarakat Kelurahan Mulyaharja untuk pindah dan membuka lahan di tempat yang lebih Tinggi - Gunung Salak dimanfaatkan penduduk untuk dapat bertahan hidup
Produktivitas pertanian menurun. Daya dukung lingkungan menurun
5.
Sistem Resapan Air
Sawah menyerap air hujan dengan baik
Sawah hilang akibat dikonversi menjadi perumahan, air mengalir langsung ke pemukiman penduduk
Sistem resapan air terganggu
6.
Peluang Banjir
- Kelurahan Mulyaharja mengalami banjir lima tahunan
- Kelurahan Mulyaharja mengalami banjir satu tahun sekali
Peluang banjir meningkat
Sumber: Hasil analisis yang dilakukan peneliti (2010)
69
70
7.3
Ikhtisar Secara ekologis, perubahan telah terjadi sejak awal konversi dilakukan,
misalnya, kondisi udara di kampung Pabuaran Hilir semakin panas khususnya dalam sepuluh tahun terakhir. Pohon-pohon yang dulu ditanami seperti duku, durian, rambutan, dan cengkeh, saat ini hampir tidak ada lagi. Dampak ekologis meliputi daya dukung lahan, terganggunya sistem resapan air, dan meningkatnya peluang banjir. Perbandingan antara lahan dan sumber daya alam yang terbatas dengan bertambahnya jumlah penduduk tidak seimbang. Hal ini semakin parah jika sikap masyarakat juga kurang memperhatikan lingkungan. Setelah adanya konversi lahan, daya dukung lingkungan di Kelurahan Mulyaharja menurun. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya peluang masyarakat Kelurahan Mulyaharja untuk pindah dan membuka lahan di tempat yang lebih tinggi. Daerah yang berada di paling atas dan paling dekat dengan Gunung Salak menjadi pelarian bagi penduduk kampung lain di Kelurahan Mulyaharja yang tempat tinggalnya telah dijual kepada PT. A. Selain itu, penduduk Cibeureum Batas adalah saksi dimana penduduk kampung lain yang menjual lahan sawah dan tempat tinggalnya, pindah ke daerah yang alamnya masih menyediakan sumber daya yang memadai bagi terpenuhinya kebutuhan hidup mereka. Fungsi utama dari lahan yaitu sebagai daerah resapan air kini tidak berfungsi kembali dengan semestinya. Pembangunan pemukiman menyebabkan sistem penyerapan air terganggu oleh limbah sampah rumah tangga dari pemukiman. Sistem resapan air yang terganggu menyebabkan peluang banjir meningkat. Kelurahan Mulyaharja sebelum konversi lahan mengalami banjir lima tahunan. Namun, dalam empat tahun terakhir ini semenjak dibangunnya pemukiman di areal konversi tersebut, Kelurahan Mulyaharja mengalami banjir satu tahun sekali. Banjir tersebut disebabkan oleh terganggunya aliran sungai dan fungsi lahan sebagai resapan air yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebelum terjadi konversi air hujan dapat mengalir melalui sungai serta fungsi sawah sangat baik dalam menyerap air. Saat ini ketika sawah hilang akibat dikonversi menjadi perumahan, air mengalir langsung ke pemukiman penduduk. Selain itu, aliran sungai yang terganggu berdampak pada kesuburan lahan pertanian, selanjutnya hal itu berakibat pada menurunnya produktivitas pertanian.
71
Selain itu produktivitas menurun juga disebabkan oleh tercemarnya udara di Kelurahan Mulyaharja. hal ini disebabkan karena bertambahnya intensitas kendaraan yang melewati jalan tersebut dengan polusi yang dikeluarkannya. Akibat tercemarnya udara maka padi yang dihasilkan dari lahan persawahan mengalami hasil panen yang kurang baik.