DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI I G.A.K Sudaratmaja Pemerintah Kabupaten Badung, Provinsi Bali
Provinsi Bali memiliki bentang wilayah seluas 5.632,86 km2 atau hanya 0,19 persen dari luas wilayah Indonesia. Jumlah penduduk berdasarkan Sensus Penduduk 2010 adalah 3,9 juta jiwa. Dengan luas wilayah yang relatif sempit, penduduk yang padat dan perkembangan pembangunan antar sektor, terutama sektor pertanian dan sektor pariwisata yang sangat timpang, maka percepatan alih fungsi lahan tidak dapat dihindarkan. Provinsi Bali tidak memiliki sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi, seperti tambang, hutan dan sebagainya. Sumber daya yang dimiliki hanya berupa lahan sawah, lahan kering, perairan dan pantai yang dikembangkan untuk sektor pertanian, perikanan dan pariwisata. Konsep dasar pembangunan Provinsi Bali yang secara intensif diwacanakan tahun 1970-an adalah pengembangan pariwisata budaya yang didukung oleh sektor pertanian. Wujud pembangunan ideal yang diharapkan adalah pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi yang seimbang antara sektor pariwisata dan sektor pertanian. Idealisme konsep tersebut tercermin pada data PDRB Provinsi Bali tahun 1990 dengan peran sektor primer dan sekunder, termasuk pariwisata berkontribusi relatif seimbang dengan sumbangan masing-masing 59,40 dan 40,60 persen. Namun seiring dengan peningkatan pembangunan sektor pariwisata yang sangat signifikan terjadi ketertinggalan pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 2002, peran sektor pariwisata sangat dominan dengan sumbangan pada PDRB sebesar 63,20 persen, sedangkan sisanya (36,80 persen) disumbang oleh sektor primer dan sekunder lainnya (Sudarmanto, 2004). Wajah suram sektor pertanian tersebut akhirnya tercermin dalam bentuk berbagai masalah, diantaranya adalah alih fungsi lahan dengan berbagai dimensi dan atribut di dalamnya, seperti ketahahan sosial, ekonomi dan ekologi masyarakat. Kajian atau diskusi tentang alih fungsi lahan di Provinsi Bali harus merujuk pada eksistensi subak sebagai bentuk kelembagaan permanen yang berkaitan dengan tata kelola air irigasi, aktivitas yang bersifat sosio agraris religius dan berdimensi ekonomi. Kesatuan wilayah atau territorial antara kelompok tani pengelola (krama subak) dengan pura subak sejalan dengan konsep Tri Hita Karana, sehingga kajian tentang ketahanan sosial harus difokuskan pada eksistensi pura subak dan ketahanan ekonomi pada aspek kehidupan ekonomi petani dan ekonomi kelembagaan subak. Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan makalah ini mencakup (a) studi pustaka dengan menggali data dan informasi yang berkaitan dengan alih fungsi lahan dengan dimensinya ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi, (b) observasi atau pengamatan lapangan pada kawasan subak yang mengalami alih fungsi lahan yang relatif cepat, dan (c) studi mendalam pada kasus alih fungsi lahan dan dampaknya pada ketiga aspek diatas.
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
Alih Fungsi Lahan dan Eksistensi Subak Lahan pertanian di Provinsi Bali tidak terlepas dari pengaruh kelembagaan adat lokal, yaitu subak, subak abian dan desa adat. Selain memiliki fungsi sebagai aset atau faktor poduksi dalam bidang pertanian, lahan pertanian juga berfungsi sebagai aset budaya. Dalam konteks subak, Pulau Bali sebenarnya merupakan ekosistem subak (Wiguna dan Surata, 2008). Pemikiran ini dinyatakan untuk menangkis kekhawatiran tentang keberadaan subak dan cara pandang terhadap sektor pertanian. Kerusakan sumberdaya pertanian, termasuk di dalamnya alih fungsi lahan, juga dipengaruhi oleh cara pandang terhadap sektor pertanian. Menurut Wiguna dan Surata (2008), masih banyak kalangan yang menganggap sektor pertanian hanya sebagai penghasil pangan atau produk yang dapat dilihat (tangible) dan dapat dijual (marketable). Pemahaman yang lebih luas sesungguhnya mencakup fungsi intangible yang tidak dapat dipasarkan (non-marketable) yang terkait langsung pada dimensi lingkungan, sosial dan budaya.
Alih Fungsi Lahan Sawah Lahan sawah pada umumnya memiliki sistem jaringan yang relatif lengkap dibandingkan dengan lahan kering, seperti air irigasi, jalan, jembatan, pasar, sistem informasi, dan sebagainya. Sawah merupakan sistem yang relatif settle dibandingkan dengan lahan kering. Lahan sawah relatif lebih diminati investor untuk dikembangkan dibadingkan dengan lahan kering. Luas lahan sawah di Provinsi Bali tercatat 81.482 ha, dan selama tahun 1997-2008, telah terjadi konversi lahan sawah seluas 6.361 ha, atau rata-rata per tahun seluas 579 ha (0,66 persen). Alih fungsi lahan sawah tertinggi berturut-turut terjadi di Kabupaten Jembrana, Kota Denpasar, dan Kabupaten Badung, masing-masing sebesar rata-rata 1,85, 1,64, dan 1,06 persen per tahun. Berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, Kabupaten Bangli mengalami kenaikan luas lahan sawah walaupun relatif kecil, yaitu 0,27 ha per tahun (0,01 persen). Data luas lahan sawah di Bali tahun 1997-2008 ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Lahan Sawah Provinsi Bali, 1997 – 2008 (ha) No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
01 8.135 8.045 7.889 7.871 7.685 7.339 7.013 6.793
02 23.836 23.464 23.414 23.358 23.154 22.842 22.639 22.626
03 11.578 11.473 10.816 10.705 10.619 10.413 10.334 10.299
Kode Kabupaten/Kota 04 05 06 15.322 4.049 2.887 15.227 4.049 2.887 15.203 4.016 2.888 15.169 4.013 2.888 14.966 3.985 2.844 14.945 3.965 2.888 14.937 3.932 2.888 14.878 3.903 2.888
07 7.308 7.125 7.099 7.066 7.059 7.042 7.034 7.027
08 11.420 11.361 11.581 11.560 11.472 11.245 11.011 10.867
09 3.314 3.205 3.165 3.147 3.031 2.882 2.856 2.814
Prov. Bali 87.849 86.836 86.071 85.777 84.815 83.561 82.644 82.095
183
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
Tabel 1. Luas Lahan Sawah Provinsi Bali, 1997 – 2008 (ha) (lanjutan) No
Tahun
9. 2005 10. 2006 11. 2007 12. 2008 Rata-rata perkemb. % perkemb.
01 6.559 6.510 6.576 6.477 (151)
02 22.490 22.413 22.479 22.562 (116)
03 10.118 10.109 10.125 10.230 (123)
-1,85
-0,49
-1,06
Kode Kabupaten/Kota 04 05 06 14.856 3.888 2.888 14.894 3.873 2.890 14.787 3.884 2.890 14.747 3.876 2.890 (52) (16) 0 -0,34
-0,39
0,01
07 7.022 7.011 7.036 7.070 (22)
08 10.618 10.580 10.741 10.913 (46)
-0,30
-0,40
09 2.768 2.717 2.717 2.717 (54)
Prov. Bali 81.207 80.997 81.235 81.482 (579)
-1,64 -0,66
Keterangan Kode Kabupaten/Kota: 01 : Jembrana 02 : Tabanan 03 : Badung
04 : Gianyar 05 : Klungkung 06 : Bangli
07 : Karangasem 08 : Buleleng 09 : Denpasar
Walaupun secara agregat terjadi penurunan luas sawah di Provinsi Bali, namun pada periode 2006-2008 terjadi peningkatan luas lahan sawah sebesar 247 ha (0,30 persen), yakni di kabupaten-kabupaten Buleleng, Badung, Tabanan dan Karangasem. Peningkatan luas lahan sawah ini umumnya adalah bukaan sawah baru dan pelepasan pengelolaan lahan oleh investor untuk kembali menjadi sawah, penetapan batas wilayah subak yang saling berbatasan, dan konversi dari lahan perkebunan.
Eksistensi Subak Subak menurut Perda Provinsi Bali No.02/DPRD/1972 adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio agraris religius, terdiri atas petani penggarap sawah pada suatu wilayah persawahan yang mendapatkan air dari suatu sumber. Walaupun telah ada Perda tentang subak, namun data jumlah subak dari berbagai sumber yang ada, seperti Dinas PU, Dinas Kebudayaan dan Sedahan Agung (Dispenda) selalu berbeda sebagai akibat dari ketidaksamaan definisi dan cara pandang tentang subak. Berdasarkan kesepakan Bupati/ Walikota se Provinsi Bali jumlah subak ditetapkan sebanyak 1.611 buah (1993), namun jumlah ini menjadi 1.603 tahun 2006, hal ini menunjukkan bahwa selama 13 tahun (1993-2006) terdapat penurunan jumlah sebanyak 8 buah (Tabel 2) yang terjadi di Kota Denpasar (dari 45 buah menjadi 37 buah atau 17,78 persen) dengan luas areal mencapai 597 ha. Kawasan Kota Denpasar sangat sarat dengan berbagai pusat pertumbuhan, seperti pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan pariwisata yang mengakibatkan alih fungsi lahan yang menggerus eksistensi subak.
184
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
Tabel 2. Jumlah Subak di Bali 1993 dan 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kabupaten/Kota Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Jumlah
Subak (buah) 1993 Subak (buah) 2006 296 296 95 95 348 348 113 113 45 37 478 478 46 46 50 50 140 140 1.611 1.603
Penurunan jumlah subak di Kota Denpasar juga sejalan dengan laju alih fungsi lahan (Tabel 1). Walaupun Kota Denpasar menempati peringkat kedua dalam alih fungsi lahan setelah Jembrana, diduga bahwa pola alih fungsi lahan di Kota Denpasar terjadi dengan pola terkonsentrasi sehingga mampu menghabiskan suatu kawasan subak. Sedangkan untuk Jembrana dan kabupaten lain, pola pengurangan lahan relatif menyebar sehingga tidak sampai menghilangkan eksistensi subak.
Dampak Alih Fungsi Lahan Alih fungsi lahan terjadi karena desakan kebutuhan lahan untuk penggunaan di sektor bukan pertanian, seperti untuk permukiman, industri, jalan, sekolah dan perkantoran. Desakan tersebut mengandung dimensi ekonomi yang kuat sehingga berdampak pada penyusutan lahan dan pelemahan eksistensi subak. Dalam fenomena ini terdapat tiga hal menarik yang dapat diangkat sebagai ”research questions” yang perlu dibahas, yaitu: (a) dampak alih fungsi lahan terhadap ketahahan sosial masyarakat; (b) pengaruh alih fungsi lahan terhadap ketahahan ekonomi masyarakat, dan (c) dampak alih fungsi lahan terhadap ketahanan sosial-ekologi masyarakat (lihat Gambar 1). Ketahahan sosial dalam konteks ini merujuk pada kemampuan masyarakat, kelembagaan sosial atau komunitas sosial yang terkait dengan lahan pertanian agar tetap bertahan dan mampu menghadapi perubahan karena alih fungsi lahan. Untuk kasus Bali, eksistensi kelembagaan subak mewakili kelembagaan sosial tersebut. Sejalan dengan konteks ini, Suradisastra (2008) menyebut ketahanan sosial ini dengan istilah ”social resilience” (daya lenting sosial). Social resilience mencerminkan upaya kelompok atau kelembagaan masyarakat mempertahankan kelembagaan dan nilai sosial serta norma lokal dalam proses intervensi atau introduksi nilai dan norma eksternal.
185
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
Desakan Kepentingan Bukan Pertanian
Lahan Sawah Subak
Alih Fungsi Lahan Eksistensi Subak
Ketahanan Sosial Eksistensi Pura Subak
Ketahanan Ekonomi Petani (individu) dan Subak (kelembagaan)
Ketahanan Ekologi Abiotik Biotik
Gambar 1. Kerangka Pikir Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Ketahanan Sosial, Ekonomi dan Ekologi Petani di Bali. Ketahanan ekonomi merujuk pada kemampuan masyarakat yang secara ekonomi harus mampu menghadapi perubahan sebagai akibat terjadinya proses alih fungsi lahan. Dengan membandingkan beberapa variabel ekonomi, seperti peluang kerja, tingkat pendapatan dan kesejahteraan sebelum dan sesudah alih fungsi lahan, terminologi ini dapat dipahami. Dalam konteks kelembagaan, ketahanan ekonomi subak dapat dicermati dari berbagai aspek, seperti kepemilikan aset dan perannya dalam pelayanan bagi anggota sedangkan ketahanan ekologi mengacu pada pemahaman subak sebagai suatu ekosistem. Hal yang paling sederhana yang dapat dilihat dalam ekosistem subak setelah terjadinya alih fungsi lahan adalah menyangkut debit air, pencemaran air dan lahan sawah, keadaan biota sawah, produktivitas hasil dan keberlajutan usahatani. Lahan sawah yang mengalami alih fungsi mengalami perubahan peruntukan, sehingga akan banyak limbah terbuang ke lahan sawah karena aktivitas pada pemanfaatannya.
Ketahanan Sosial Subak Studi tentang ketahanan sosial subak sangat menarik dilakukan di wilayah Kota Denpasar karena masih terdapat subak yang sedang menghadapi tantangan dan intervensi untuk kepentingan penggunaan di luar pertanian. Subak Kerdung, Kelurahan Pedungan yang berada di wilayah Kecamatan Denpasar Selatan diambil sebagai contoh kasus untuk studi ketahanan sosial ini. Merujuk pada pemahaman subak berdasarkan Perda No.02/
186
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
DPRD/1972 dan filosofi Tri Hita Karana, keberadaan Pura Subak dijadikan sebagai variabel dasar dalam pengungkapan masalah ketahanan sosial karena alih fungsi lahan. Pura Subak memiliki makna mendalam dalam konteks ketahanan sosial masyarakat petani, termasuk anggapan sebagai benteng terakhir pertahanan subak dari intervensi pihak luar. Hal ini sejalan dengan pendapat Boon (1979) yang menyebutkan bahwa pura mampu mengendalikan tatanan kehidupan sosial, seperti mengantisipasi konflik individu, mempersatukan masyarakat, dan memberi kekuatan spiritual. Tahun 1996, Subak Kerdung memiliki luas areal 313 ha tetapi sekarang (2010) tinggal 235 ha dengan jumlah krama subak (anggota) 250 orang. Dalam selang waktu 14 tahun terjadi penyusutan lahan subak seluas 78 ha (33,19 persen). Beberapa pura yang terkait dengan keberadaan Subak Kerdung antara lain Pura Balun yang dianggap sebagai Pura Pangulun Subak (hulunya subak) dan Pura Bedugul. Pura Balun dimiliki oleh 30 KK petani dengan bukti kepemilikan yang sah (semacam bengkok) seluas 1,5 ha. Keterikatan anggota subak terhadap pura ini bersifat sukarela, namun demikian secara kolektif, Pekaseh (Ketua Subak) biasanya menyampaikan punia (sumbangan berupa uang) secara berkala pada setiap upacara yang digelar di Pura Balun (setiap 6 bulan atau 210 hari). Kewajiban penuh krama (anggota) subak di Pura Bedugul yang situsnya ditemukan sekitar 4 tahun lalu adalah pembangunan fisik pura dan upacara dengan biaya untuk upacara diperkirakan sekitar Rp 6.000.000,- per tahun. Sumber dana subak saat ini berasal dari Pemda Provinsi Bali sebesar Rp 20.000.000,- dan Pemda Kota Denpasar Rp 3.000.000,per tahun. Kontribusi krama (anggota) sebesar Rp 500,- per are (100 m2) untuk setiap kali panen. Bantuan dana yang bersumber dari Pemda terkait dengan upaya pelestarian subak sesuai dengan ketentuan Perda. Upaya pelestarian subak yang dilakukan saat ini di kawasan Subak Kerdung, antara lain: (a) berusaha menekan beban krama subak terhadap kewajiban yang bersifat ekonomi dengan mengoptimalkan pemanfaatan bantuan dana dari Pemda; (b) mengawasi secara aktif implementasi Perda No. 3/1992 tentang jalur hijau; (c) mengapresiasi pembebasan pajak untuk areal sawah yang berada di kawasan jalur hijau; (d) turut mengawasi keberadaan investor/pengembang agar tetap berpegang pada aturan yang ada, terutama jalur hijau dan saluran irigasi; (e) tetap memberikan peluang jual beli lahan di kawasan jalur hijau untuk dimanfaatkan sebagai areal sawah; dan (f) mengapresiasi program pembinaan dan lomba subak secara berjenjang dan berkelanjutan. Beberapa hal yang menjadi catatan Pekaseh Subak Kerdung berkaitan dengan alih fungsi lahan yang berada di luar kawasan jalur hijau, antara lain: (a) belum terbentuk dasar hukum tentang kontribusi untuk subak dalam setiap transaksi jual beli lahan; (b) subak tidak dilibatkan dalam proses administrasi jual beli karena hal ini menyangkut ketentuan dalam peraturan pertanahan yang masih merupakan kewenangan pusat; (c) sebagai akibat dari butir b diatas, sering terjadi konflik kepentingan antara aparat desa (Kades) dengan
187
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
Pengurus Subak dan Investor terutama tentang saluran irigasi dan jalan subak; dan (d) semakin heterogennya krama subak karena penukaran lahan oleh pemerintah menyulitkan pengawasan, termasuk bila pada lahan tersebut terjadi jual beli di kemudian hari. Dalam konteks eksistensi Pura Subak sebagai bentuk ketahanan sosial masyarakat, berikut disajikan data/informasi pembanding dari Subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur. Dari catatan buku subak yang ada terbitan tahun 1955, Subak Saba memiliki areal seluas 44,50 ha dan sekarang (2010) menjadi 36,00 ha atau menyusut 8,5 ha (23,61persen) dengan jumlah anggota 78 orang. Subak Saba juga mendapatkan dana dari Pemda Provinsi Bali dan Kota Denpasar serta iuran anggota. Perbedaannya adalah bahwa Subak Saba mempunyai perarem (kesepakatan subak) yang mengatur kontribusi setiap transaksi jual beli lahan untuk alih fungsi sebesar Rp 1.000.000,- per are (bila lahan tersebut menggunakan jalan subak) dan Rp 500.000,- per are (jika tidak menggunakan jalan subak). Kontribusi tersebut digunakan untuk membiayai upacara di Pura Subak, membangun Pura Subak, memperbaiki jaringan irigasi, membayar listrik, air minum, dan sebagainya. Dengan penegakkan aturan ini, Pura Subak menjadi semakin kuat sebagai benteng ketahanan sosial masyarakat (matriks Tabel 3). Kedua kasus di Subak Kerdung dan Subak Saba menggambarkan kemauan yang kuat dari kalangan internal subak dan eksternal (Pemda) untuk mempertahankan eksistensi subak, setidaknya dalam bentuk pembangunan fisik dan kegiatan ritual. Suradisastra (2008) menyebut bahwa intervensi kepentingan dan upaya penyelamatan akhirnya bermuara pada konsolidasi atau konsensus nilai dan norma lokal dengan nilai dan norma eksternal sebagai bentuk ”social resilience sedang” karena kelembagaan subak tidak menolak secara total tetapi menerima seutuhnya kelembagaan introduksi. Upaya pemberdayaan subak ke depan, baik dalam konteks pembinaan termasuk lomba subak, harus sudah dimulai dengan pemikiran berbasis konsep social resilience. Hal ini menurut Van Breda (2001) sangat bermanfaat dalam kerangka pemberdayaan kelembagaan (termasuk subak) menghadapi pengaruh globalisasi seperti ekonomi, sosial, politik dan psikologis. Tabel 3. Rangkuman Persepsi tentang Eksistensi Pura Subak sebagai Bentuk Ketahanan Sosial (Kasus Subak Kerdung dan Subak Saba Denpasar) No. Uraian 1. Pura Subak sebagai Bentuk Ketahanan Sosial Subak
188
Justifikasi/Keterangan • Bagian dari konsep Tri Hita Karana yang diyakini akan tetap ”ajeg” (lestari). • Pancaran spiritualnya mengkonsolidasi individu, keluarga, asosiasi/kelompok.
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
Tabel 3. Rangkuman Persepsi Tentang Eksistensi Pura Subak sebagai Bentuk Ketahanan Sosial (Kasus Subak Kerdung dan Subak Saba Denpasar) (lanjutan) No. Uraian 2. Upaya pelestaian (internal dan eksternal)
• • • • •
3.
Tantangan dan masalah • • •
Justifikasi/Keterangan Meringankan beban anggota dalam upacara ritual. Mengapresiasi pembebasan pajak pada areal jalur hijau. Mengawasi implementasi Perda Jalur Hijau, jaringan irigasi dan perilaku investor. Memberi bantuan dana melalui APBD Provinsi dan Kota yang diatur melalui Perda. Mengintensifkan berbagai bentuk pembinaan subak seperti penyuluhan, lomba subak, dan sebagainya. Transaksi alih fungsi lahan tidak melibatkan pengurus subak (aturan administrasi masih mengacu aturan pusat). Akibatnya sering terjadi konflik kepentingan subak, kepala desa dan investor. Anggota (krama) subak semakin heterogen.
Ketahanan Ekonomi Subak Ketahanan ekonomi subak dapat dilihat dari dua aspek, yaitu ketahanan yang menyangkut individu petani dan ketahanan ekonomi subak secara kelembagaan. Berbagai teori menyatakan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh petani pada dasarnya bersifat rasional. Oleh karena itu, rujukan yang paling sederhana untuk melihat ketahanan ekonomi krama (anggota) subak setelah alih fungsi lahan adalah dengan melihat akses terhadap peluang kerja, tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani (misalnya, tingkat pendidikan anak). Di sisi lain, ketahanan ekonomi subak dapat dilihat dari kemampuan subak untuk memenuhi kewajibannya sebagai organisasi, seperti pelayanan menyangkut irigasi, pelayanan saprodi, pembinaan dan penyebaran informasi, pemasaran hasil, kepemilikan aset, dan kegiatan ritual (Tabel 4). Mencermati informasi pada Tabel 4 beberapa indikator tentang ketahanan ekonomi subak setelah alih fungsi lahan menunjukkan kecenderungan yang sangat menarik. Bagi individu petani, alih fungsi lahan menyebabkan dampak ”kesengsaraan” yang terlihat dari kecenderungan negatif pada akses terhadap pekerjaan dan pendapatan. Untuk tingkat kesejahteraan, yang dilihat dari segi pendidikan anak, juga meragukan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh adanya lompatan budaya dari budaya agraris ke budaya uang (komersial) yang tidak mampu dikelola dengan baik oleh petani. Menurut petani, pada saat awal mereka mendapatkan uang dari transaksi penjualan lahan, kehidupannya memang terlihat meningkat, bahkan tidak sedikit yang terkesan mewah. Sejalan dengan perjalanan waktu, para petani ini akhirnya jatuh miskin. Demikian juga dampaknya bagi pendidikan anak, keluarga akhirnya melahirkan generasi berpendidikan relatif rendah yang lemah dalam memperjuangkan hidup. 189
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
Tabel 4. Respons Petani terhadap Beberapa Indikator Kunci tentang Ketahanan Ekonomi Setelah Alih Fungsi Lahan No.
Uraian
A. 1.
Individu Petani Akses terhadap pekerjaan lebih gampang setelah alih fungsi lahan. Pendapatan meningkat dan lebih terjamin setelah beralih profesi akibat alih fungsi lahan. Pendidikan anak lebih terjamin setelah tidak menekuni profesi petani. Kelembagaan Subak Ketahanan ekonomi subak dilihat dari kemampuannya sebagai organisasi petani semakin membaik, dalam hal : Pemeliharaan jaringan irigasi Pelayanan Saprodi Pembinaan dan penyuluhan Pemasaran hasil Pemilikan asset Kegiatan ritual
2. 3. B.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Setuju
Respon Petani Tidak Ragu-Ragu
-
√
-
-
√
-
-
-
√
√ √ √ √ √ √
-
-
Ketahanan ekonomi subak secara kelembagaan sangat bertolak belakang dengan ketahanan ekonomi subak. Dari seluruh indikator yang diajukan semuanya menunjukkan kecenderungan peningkatan. Keadaan ini tidak terlepas dari tekad pemerintah yang ingin melestarikan eksistensi subak melalui berbagai upaya positif. Dengan pemahaman teori kelenturan sosial (social resilience), pelestarian eksistensi subak dalam konteks alih fungsi lahan dapat diwujudkan. Konsolidasi dilakukan dengan memerhatikan kawasan jalur hijau, kawasan yang boleh dibangun (dengan mengacu KDB 30 persen), keterjaminan irigasi dan lain-lain yang dituangkan dalam kebijakan tata ruang. Van Breda (2001) menyatakan bahwa masyarakat tidak mungkin menghindari derasnya perubahan akibat pesatnya pembangunan. Para pekerja dan pakar sosial harus mampu berkontribusi aktif untuk memberi pemahaman tentang social resilience. Pengalaman Kota Denpasar yang kehilangan 8 buah subak adalah akibat dari pembangunan yang terkonsentrasi dalam kawasan yang luas seperti pembangunan pusat pemerintahan Provinsi Bali ”Niti Mandala” di Renon Denpasar, pengembangan kota, pembangunan kompleks perumahan, dan sebagainya.
Ketahanan Ekologi Subak Studi kasus di dua subak di atas menunjukkan bagaimana kawasan subak berdampingan dengan areal yang mengalami alih fungsi lahan. Dengan pemanfaatan lahan yang berbeda, 190
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
konflik kepentingan dapat terlihat secara nyata, misalnya konflik yang berkaitan dengan saluran irigasi. Petani anggota (krama) subak pasti menginginkan saluran irigasi tetap berfungsi optimal. Sedangkan masyarakat penghuni di kawasan baru tersebut tidak selalu memiliki saluran air limbah, sehingga saluran irigasi digunakan sebagai muara/tempat pembuangan limbah. Berbagai contoh limbah yang selama ini banyak dikeluhkan petani adalah limbah rumah tangga, limbah pencelupan garmen, limbah industri kecil, limbah bengkel dan sampah yang volumenya terus meningkat. Selain indikator abiotik seperti dikemukakan di depan, tidak kalah pentingnya faktor biotik yang ada pada ekosistem sawah. Beberapa narasumber petani mengemukakan bahwa sekarang ini relatif sulit menemukan biota sawah seperti belut, cacing, kodok, ikan, keong, capung dan sebagainya dibandingkan 10 atau 15 tahun lalu. Dulu, sungai dan saluran irigasi adalah tempat yang cukup banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan, sehingga menjadi tempat yang ideal untuk memancing, menjaring dan sebagainya. Tetapi sekarang, selain populasi ikan menurun, sungai dan saluran irigasi banyak yang terkesan rusak dan kotor karena dipenuhi buangan limbah dan sampah (lihat Tabel 5). Dari lima indikator yang berkaitan dengan ketahanan ekologi subak, terdapat dua hal yaitu debit air dan produktivitas yang masih menunjukkan respons positif oleh petani. Khusus untuk debit air, areal subak yang berada di wilayah Kota Denpasar memiliki sumber air yang cukup yang berasal dari Sungai Ayung. Selain itu, perbaikan jaringan irigasi dan penyusutan areal sawah sebagai akibat alih fungsi, besarnya debit air masih dirasakan cukup oleh petani. Untuk produktivitas, petani merespons positif karena adanya perbaikan cara berusahatani di samping banyaknya pilihan varietas yang memiliki produktivitas tinggi. Tabel 5. Respons Petani terhadap Indikator Ketahanan Ekologi Subak No
1. 2. 3. 4. 5.
Uraian Indikator abiotik dan biotik yang memengaruhi ekologi lahan sawah setelah alih fungsi lahan: Terjadi pencemaran air dan lahan sawah Debit air menurun Populasi biota sawah menurun Produktivitas lahan menurun Usahatani akan bisa berkelanjutan
Setuju
√ √ -
Respon Petani Tidak Ragu -Ragu
√ √ -
√
Untuk indikator pencemaran air dan lahan sawah serta keadaan biota sawah, petani menilai terdapat kemunduran karena pembuangan limbah (rumah tangga, industri, bengkel, dan lain-lain) tidak terkendali. Kelangkaan populasi ikan di sawah termasuk pada saluran irigasi sangat dirasakan oleh petani. Kalaupun masih ada yang bisa didapatkan, timbul perasaan takut untuk mengkonsumsi karena pencemaran tersebut. 191
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
Indikator lain yang dijawab dengan perasaan ragu-ragu oleh petani adalah indikator keberlanjutan usahatani. Hal ini tidak terlepas dari ketidakmampuan petani dalam membayangkan keadaan usahatani 10 sampai dengan 20 tahun kedepan. Mereka merasakan tantangan yang semakin berat, selain karena faktor intenal misalnya regenerasi petani di lingkungan keluarganya, juga masalah eksternal, diantaranya masalah alih fungsi lahan, dan kelemahan keberpihakan kebijakan kepada petani (khususnya petani di wilayah sekitar perkotaan).
Penutup Derasnya desakan terhadap alih fungsi lahan pertanian sebagai akibat pembangunan non pertanian yang pesat akan selalu menjadi topik diskusi yang menarik dan akhirnya bermuara pada kesimpulan yang cenderung bernuansa ”pasrah”. Pemikiran dengan perspektif lain, yaitu dengan melihat kelenturan sosial (social resilience) masyarakat yang menerima perubahan akan memperbaiki cara pandang lain terhadap dampak alih fungsi lahan dan perlu dikemukakan. Studi kasus yang dilakukan di Kota Denpasar menunjukkan bahwa alih fungsi lahan memang tidak bisa dibendung sepenuhnya. Namun demikian, terdapat beberapa perangkat/instrumen yang dapat dioptimalkan aplikasinya, seperti Perda Jalur Hijau, Perda Bantuan Dana untuk Subak, inisiatif lokal dalam bentuk optimalisasi pengawasan yang melibatkan subak, pembinaan subak dan sebagainya. Semangat dari keseluruhan itu dapat dituangkan dalam bentuk kebijakan tata ruang yang berpihak kepada eksistensi subak dengan berbagai atributnya. Studi ini juga mengisyaratkan bahwa Pura Subak sebagai benteng ketahanan sosial dapat tetap ajeg (lumintu atau sustainable) karena mempunyai makna mendalam sebagai bagian dari filosofi ”Tri Hita Karana”. Aura pancaran spiritual Pura Subak mampu mengakomodasi kepentingan individu, keluarga dan asosiasi/kelompok. Dari aspek ekonomi, secara individu petani mengalami kecenderungan kehidupan ke arah negatif sebagai akibat dari alih fungsi lahan. Subak sebagai organisasi justru mengalami peningkatan kekuatan secara ekonomi. Guna mengantisipasi hal tersebut, pemahaman konsep kelenturan sosial (social resilience) perlu diimplementasikan di lingkungan petani melalui upaya pembangunan kapasitas (capacity building) masyarakat. Contoh yang paling nyata adalah upaya mengubah budaya agraris yang sebelumnya melekat pada masyarakat menjadi budaya ekonomi (komersial) setelah memiliki banyak uang, namun seharusnya dapat diarahkan untuk pengembangan usaha ekonomi produktif untuk keberlanjutan usaha dan kehidupan mmasyarakat. Dari aspek ketahanan lingkungan, subak sudah mulai mengalami goncangan yang terlihat dari penurunan mutu lingkungan sebagai akibat alih fungsi lahan. Kondisi yang jelas terlihat setelah hidup berdampingan dengan sektor bukan pertanian adalah pencemaran 192
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL-EKONOMI DAN EKOLOGI DI BALI
air dan lahan sawah dan berkurangnya populasi biota sawah. Debit air dan produktivitas sampai saat ini masih dapat dipertahankan walaupun dari segi keberlanjutan usahatani petani masih meragukannya. Kompleksitas masalah lingkungan yang luas tidak dapat dijawab sepenuhnya dengan mengadopsi teori kelenturan sosial (social resiliance). Namun sebagai subjek dari pengelola usahatani, pembangunan kapasitas (capicity building) bagi kelompoktani/subak untuk upaya pengendalian dampak pencemaran lingkungan sangat diperlukan.
Daftar Pustaka Boon, James. A. 1979. Balinase Temple Politic and the Religious Revitalization of Caste Ideal. Cornell University. Ithaca, NY. BPS Provinsi Bali. 2002. Provinsi Bali dalam Angka 2002. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Pemda Provinsi Bali. Denpasar. BPS Provinsi Bali. 2006. Data Bali Membangun 2006. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Pemda Provinsi Bali. Denpasar. BPS Provinsi Bali. 2008. Lahan Menurut Penggunaannya di Provinsi Bali 2008. BPS Provinsi Bali. Denpasar. Sudarmanto. 2004. Komersialisasi Bali dalam Ajeg Bali Sebuah Cita – Cita. Bali Post, 2004. Suradisastra, Kedi. 2008. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani Forum Penelitian Agroekonomi 26 (2). Wiguna, Alit Artha dan Kaler Surata. 2008. Multifungsi Ekosistem Subak dalam Pembangunan Pariwisata di Bali. Aksara Indonesia. Yogyakarta. Van Breda, Adrian D.P. 2001. Resilience Theory: A Literature Review.
193