Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013
Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Biomassa Mikroba: Studi Kasus di Areal Bukit Batu, Riau Delita Zul1), Bernadeta L. Fibriarti1), Melda Yunita2), Siti Halimah2), dan Siti Komariah2) 1)
2)
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau, Alumni Jurusan Biologi FMIPA Universitas
[email protected] Abstrak. Areal Bukit Batu termasuk ke dalam kawasan Cagar Biosfer Giam Siak KecilBukit Batu (GSK-BB) yang merupakan hutan rawa gambut dataran rendah dengan jenis flora, fauna dan mikroba tanah beranekaragam. Sebagian besar lahan telah dialih fungsi menjadi areal perkebunan, hutan tanaman industri, pertanian, perladangan dan pemukiman penduduk. Alih fungsi lahan akan berdampak terhadap penyusutan atau hilangnya vegetasi asli dan jangka panjang akan mempengaruhi aktivitas biota tanah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak alih fungsi lahan di areal Bukit Batu terhadap karakter fisika kimia tanah dan aktivitas biota tanah melalui pengukuran biomassa mikroba. Tanah gambut disampling dengan metode purposive sampling dari 6 lokasi yang mewakili berbagai alih fungsi lahan yaitu: hutan primer (kontrol), hutan sekunder, kebun karet umur 14 tahun, hutan karet umur 40-60 tahun, kebun sawit umur 12 tahun, dan kebun sawit umur 3 tahun. Karakter fisika-kimia tanah diukur dengan mengikuti metode standar, sedangkan biomassa mikroba dihitung menggunakan metode Chloroform Fumigation Extraction (CFE). Karakter fisika kimia tanah bervariasi dan belum menunjukkan kecendrungan adanya dampak alih fungsi lahan. Derajat keasaman tanah gambut berkisar 3,5 - 5, suhu tanah saat sampling berkisar 28,25-31,25oC, berat kering tanah berkisar 21,20-42,86% dengan berat volume tanah berkisar 0,10-0,34 g/cm3. Hasil pengukuran biomassa mikroba meliputi biomassa karbon (C), fosfor (P), dan nitrogen (N) menunjukkan bahwa biomassa mikroba pada lokasi yang telah mengalami alih fungsi lahan lebih rendah dan signifikan berbeda dengan hutan primer. Tingginya biomassa mikroba di hutan primer disebabkan oleh ketersediaan bahan organik yang cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alih fungsi lahan belum memberikan dampak terhadap perubahan karakter fisika kimia tanah, sebaliknya secara signifikan mempengaruhi total biomassa mikroba. Kata Kunci: Alih fungsi lahan, biomassa mikroba, Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu
PENDAHULUAN Areal Bukit Batu, Riau yang termasuk kawasan Cagar Biosfer Giam Siak KecilBukit Batu (GSK-BB) merupakan ekosistem lahan gambut yang sebagian besar wilayahnya telah dikonversi dan beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan perladangan penduduk. Penggunaan dan pembukaan lahan secara terus menerus mengakibatkan penyusutan dan penghilangan vegetasi asli lahan yang akan mempengaruhi siklus biogeokimia karena
adanya perubahan dari komposisi komunitas, populasi dan aktivitas mikroba tanah. Vegetasi tumbuhan merupakan faktor penting sebagai penentu jenis tanah, sifat, karakter tanah, keanekaragaman, komposisi, komunitas dan aktivitas mikroba tanah. Aktivitas mikroba tanah dapat dimonitor salah satunya melalui pengukuran biomassa mikroba tanah. Biomassa mikroba tanah merupakan jumlah komponen mikroba pada suatu ekosistem yang dengan cepat dapat merespon perubahan kondisi tanah terutama apabila terjadi penurunan dan peningkatan
Semirata 2013 FMIPA Unila |173
Delita Zul: Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Biomassa Mikroba: Studi Kasus di Areal Bukit Batu, Riau
residu tanaman dan hewan tanah. Di alam, biomassa mikroba tanah berperan penting dalam siklus nutrisi di tanah. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya korelasi positif antara jumlah nutrisi yang telah dimineralisasi dengan jumlah nutrisi yang terdapat pada biomassa mikroba tanah, sehingga biomassa mikroba dapat digunakan sebagai indikator perubahan kualitas tanah dan siklus nutrisi. Pengurangan biomassa mikroba dapat mengurangi laju siklus nutrisi dan jumlah nutrisi di tanah. Oleh karena itu, sangat penting untuk diketahui total biomassa mikroba tanah, terutama di Cagar Biosfer GSK-BB karena berkaitan erat dengan informasi mengenai laju siklus nutrisi di areal tersebut. METODE PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL TANAH Tanah gambut disampling dari areal Bukit Batu di kawasan Cagar Biosfer GSK−BB, Riau yang terletak diketinggian 5-10 m dari permukaan laut, pada garis lintang 1o12‘4‖N dan garis bujur 101o41‘3‖E. Sampel tanah diambil dari 6 lokasi berbeda yang mewakili berbagai alih fungsi lahan, meliputi: 1) Hutan primer sebagai kontrol, 2) Hutan sekunder, 3. Kebun karet umur 14 tahun, 4) Hutan karet umur 40-60 tahun, 5) Kebun sawit umur 12 tahun, dan 6) Kebun sawit umur 3 tahun. Sampel tanah diambil dengan metode purposive sampling pada lapisan permukaan antara 0-15 cm dengan membuang serasah-serasah yang ada di permukaan tanah. Pada setiap lokasi sampling diambil 4 sampel tanah sebagai ulangan sehingga diperoleh 24 sampel (6 lokasi x 4 ulangan). Sekitar 500 g sampel tanah dicuplik dan dimasukkan ke dalam plastik. Sampel tanah tersebut disimpan pada suhu 4ºC setelah proses sampling dan selama transportasi sampel ke laboratorium.
174|Semirata 2013 FMIPA Unila
PENGUKURAN KARAKTER FISIKA KIMIA TANAH Karakter fisika kimia tanah yang diukur meliputi:volume tanah, kandungan air, pH, temperatur, dan konduktivitas tanah dengan mengikuti prosedur standar. BIOMASSA MIKROBA TANAH Biomassa mikroba dihitung dengan metode chloroform fumigation incubation (CFE). Sampel tanah dikeringanginkan hingga mencapai 40% kapasitas lapang dan disaring menggunakan saringan dengan ukuran pori <2 mm. Sepuluh gram subsampel tanah yang telah dikeringanginkan difumigasi selama 24 jam dengan 30 ml CHCl3 bebas alkohol dalam desikator. Setelah masa inkubasi, CHCL3 dikeluarkan dari desikator dan dilakukan defumigasi selama 24 jam yang diulangi 3 sampai 4 kali. Sampel tanah kemudian diekstraksi dengan 50 ml 0,5 M K2SO4. Hal yang sama dilakukan untuk subsampel tanah yang sama, tetapi tanpa perlakuan fumigasi dan defumigasi. Ekstrak tanah disaring dengan kertas Whatman no. 45. Total biomassa karbon mikroba dalam ekstrak subsampel tanah dihitung dengan metoda titrasi, biomassa fosfor mikroba dihitung dengan metoda kolorimetri, sedangkan biomassa nitrogen mikroba ditentukan dengan metode destilasi dan titrasi. HASIL DAN PEMBAHASAN KARAKTER FISIKA KIMIA TANAH Karakter fisika kimia tanah pada 6 lokasi pengambilan sampel di Cagar Biosfer GSKBB disajikan pada Tabel 1. Derajat keasaman tanah relatif rendah berkisar antara 3,5 – 5 (data tidak ditampilkan). Hasil pengukuran pH tanah pada lahan gambut ini relatif sama dengan pH tanah
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013
dari berbagai lahan gambut lain yang ada di Indonesia, seperti di Kalimantan yang berkisar antara 3,19 - 5,50 dan lahan gambut Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan dengan kisaran pH antara 4,1 sampai 4,3. Variasi temperatur tanah saat pengambilan relatif rendah, akan tetapi terdapat kecendrungan bahwa temperatur tanah meningkat pada lokasi yang mengalami alih fungsi lahan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh cahaya matahari lebih mudah penetrasi ke tanah sebagai akibat kanopi lahan terbuka. Hal berbeda ditunjukkan oleh rendahnya temperatur tanah di hutan primer yang memang diketahui ditutupi kanopi yang rapat. Tutupan kanopi akan mengurangi evaporasi dan menjaga temperatur tanah. Alih fungsi lahan dengan pengolahan tanah berupa penebangan dan pembakaran lahan menyebabkan terbukanya permukaan tanah. Dampak langsung adalah meningkatnya temperatur tanah dan turunnya kadar air tanah. Berat kering tanah berkisar antara 21,2042,85%. Berat kering tanah menunjukkan jumlah kandungan air tanah gambut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alih fungsi lahan menyebab-kan peningkatan berat kering tanah. Lahan gambut yang sudah dibuka akan mengalami penurunan kandungan air secara berlebihan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hadi et al. yang memperoleh nilai berat kering lahan pertanian lebih tinggi dibandingkan hutan gambut. Hutan primer memiliki kandungan air yang besar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Pengolahan lahan dengan
kanalisasi mengakibat-kan tanah gambut bersifat kering tak balik (irreversible). Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut hidrofilik berubah menjadi gambut hidrofobik karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air gambut menjadi menurun. Pada penelitian ini, alih fungsi lahan belum menyebabkan peningkatan berat volume tanah. Berat volume tanah pada hutan primer lebih tinggi dibanding dengan lokasi yang telah mengalami alih fungsi lahan. Berat volume tanah menunjuk-kan tingkat kepadatan tanah. Berat volume tanah gambut umumnya berkisar antara 0,05-0,40 g/cm3 dan semakin matang gambut maka akan semakin besar berat volumenya. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tim Sintesis Kebijakan yang memperoleh berat volume tanah gambut Kalimantan berkisar 0,05-0,30 g/cm3 dan lahan gambut Sibu, Sarawak dengan rerata berat volume gambut 0,150 g/cm3. Berdasarkan klasifikasi tingkat dekomposisi material organik tanah gambut oleh Soil Survey Staff dalam Dengiz et al. menunjukkan bahwa tingkat dekomposisi tanah gambut Cagar Biosfer GSK-BB pada 6 lokasi pengambilan sampel tanah mewakili semua jenis tingkat dekomposisi material organik tanah gambut yaitu fibrik, hemik dan saprik. Tingkat dekomposisi material organik tanah gambut Propinsi Riau bervariasi meliputi jenis fibrik, hemik dan saprik, sedangkan tingkat dekomposisi material organik pada tanah gambut di Kalimantan dan Rawapening (Jawa Tengah) berada pada tingkat dekomposisi jenis saprik.
Semirata 2013 FMIPA Unila |175
Delita Zul: Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Biomassa Mikroba: Studi Kasus di Areal Bukit Batu, Riau
Tabel 1. Karakter fisika kimia tanah gambut
Lokasi Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun karet (14 thn) Hutan karet (4060 thn) Kebun sawit (3 thn) Kebun sawit (12 thn)
Berat Tingkat Volume Dekomposisi (g/cm3) Gambut* 78,0±1,00 0,34±0,0 28,25±0,50 22,05±0,96 11,5±4,51 Saprik 1 78,8±2,10 0,32±0,0 28,50±0,58 21,20±2,08 8,75±3,59 Saprik 3 63,6±3,80 0,13±0,0 30,50±0,58 36,85±2,51 14,25±1,5 Hemik 6 71,5±2,27 0,29±0,0 28,50±0,58 28,50±2,28 20,5±1,29 Saprik 3 63,2±2,50 0,10±0,0 31,25±1,73 42,85±4,39 10,5±5,57 Fibrik 2 57,1±4,38 0,20±0,0 28,75±0,50 36,40±5,75 15,0±8,12 Hemik 5
Temperatur (CO)
Berat Kering (%)
Kandunga n air (%)
Konduktifi tas Tanah (me/100 g)
* Tingkat dekomposisi berdasarkan Soil Survey Staff (1999) dalam Dengiz et al. 2009 BIOMASSA MIKROBA
Biomassa C, P, dan N mikroba di Cagar Biosfer GSK-BB bervariasi (Gambar 1). Data menunjuk-kan bahwa biomassa mikroba di hutan primer cendrung lebih tinggi dari lokasi yang telah mengalami alih fungsi lahan. Analisis mengguna-kan OneWay ANOVA menunjukkan bahwa biomassa C mikroba dari keenam lokasi pengambilan sampel berbeda secara signifikan (0,000 pada tingkat kepercayaan 5%), tetapi tidak demikian halnya dengan biomassa P dan N mikroba. Uji LSD (data tidak disajikan) juga memberikan konfirmasi bahwa biomassa C mikroba pada lokasi hutan primer berbeda nyata dibandingkan dengan lokasi pengambilan sampel yang mengalami alih fungsi lahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa alih fungsi dan pengolahan lahan dalam bentuk kanalisasi dan pembakaran menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan biomassa C mikroba. Penurunan biomassa P dan N juga terjadi di lokasi yang telah mengalami alih fungsi, tetapi belum menunjukkan pengaruh yang signifikan.
176|Semirata 2013 FMIPA Unila
Gambar 1. Biomassa C, P, dan N mikroba di lahan gambut Cagar Biosfer GSK-BB. 1. Hutan primer, 2. Hutan sekunder, 3. Kebun karet (14 tahun), 4. Hutan karet (40-60 tahun), 5. Kebun sawit (3 tahun), 6. Kebun sawit (12 tahun)
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013
KESIMPULAN
Biomassa mikroba sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik tanah yang merupakan sumber nutrisi bagi mikroba dalam melangsungkan proses metabolisme. Hal tersebut yang menyebabkan biomassa mikroba di hutan primer lebih tinggi dari lokasi yang telah mengalami alih fungsi lahan. Hutan primer di Cagar Biosfer GSK-BB relatif tidak terganggu oleh aktivitas antro-phogenik, sehingga kondisi alami hutan tetap terjaga dan ketersediaan bahan organik yang tinggi di lokasi ini. Hal tersebut mendukung keberlang-sungan aktivitas mikroba tanah dapat berjalan baik. Biomassa merupakan parameter sensitif terhadap aktivitas-aktivitas pengolahan tanah. Pengukuran biomassa mikroba menggambarkan kualitas tanah melalui aktivitas mikroba tanah yang berlangsung baik. Biomassa C mikroba sangat dipengaruhi oleh bahan organik tanah yang merupakan sumber nutrisi bagi mikroba dalam aktivitas metabolisme. Alih fungsi lahan berdampak terhadap penurunan biomassa C mikroba. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Srivastava et al. di hutan tropis India, yang juga menemukan biomassa C mikroba pada lokasi yang mengalami alih fungsi lahan cenderung menurun secara signifikan dibandingkan lahan yang tidak mengalami pengolahan. Biomassa P mikroba pada lokasi yang mengalami alih fungsi lahan di hutan tropis India juga cenderung menurun secara signifikan dibandingkan lahan yang tidak mengalami pengolahan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa karakter fisika-kimia tanah gambut bervariasi dengan perbedaan yang tidak terlalu besar, yang berarti bahwa alih fungsi lahan belum memberikan dampak terhadap perbedaan karakter fisika kimia tanah. Tingkat dekomposisi tanah gambut Cagar Biosfer GSK-BB pada 6 lokasi pengambilan sampel tanah meliputi fibrik, hemik dan saprik. Alih fungsi lahan memberikan perbedaan yang signifikan terhadap perbedaan biomassa C mikroba, tetapi tidak terhadap biomassa P dan N mikroba. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Kompetitif Sesuai Prioritas Nasional Batch III; BBKSDA Provinsi Riau atas izin untuk pengambilan sampel tanah; Ucapan terima kasih banyak juga disampaikan pada Prof. Dr. Shigeo Kobayashi dari Universitas Kyoto atas saran dan petunjuk selama pengambilan sampel di lapangan dan penduduk setempat yang membantu dalam proses pengambilan sampel tanah. DAFTAR PUSTAKA Wicaksono, A.H. 2003. Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Tanah. Jurnal Penelitian UNIB IX(2): 85-88. Carney, K.M., and P.A. Matson. 2005. Plant Communities, Soil Microorganisms, and Soil Carbon Cycling: Does Altering the World Belowground Matter to Ecosystem Functioning? Ecosystems 8: 928-940.
Semirata 2013 FMIPA Unila |177
Delita Zul: Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Biomassa Mikroba: Studi Kasus di Areal Bukit Batu, Riau
Zul, D., Denzel, S., Kozt, A., and Overmann, J. 2007. Effects of Plants Biomass, Plant Diversity and Water Content on the Bacterial Communities in Soil Lysimeter: Implications for the Determinants of Bacterial Diversity. Applied Environmental Microbiology 73: 6916-6929. Brookes, P. 2001. The Soil Microbial Biomass: Concept, Measurement and Applications in Soil Ecosystem Research. Microbes and Enviromental 16(3): 131-140 Smith, V.R., Steenkamp, M., and French, D.D. 1993. Soil Decomposition Potential in Relation to Environmental Factors on Marion Island (sub-Antarctic). Soil Biology and Biochemistry 25: 1619– 1633. Li, F., Wenju, L., Xiaoke, Z., Yong, J., and Jingkuan, W. 2008. Changes in Soil Microbial Biomass and Bacterial Community in a Long-Term Fertilization Experiment during the Growth of Maize. Advances in Environmental Biology 2(1):1-8 Hu, C. and Cao, Z. 2007. Size and Activity of the Soil Microbial Biomass and Soil Enzyme Activity in Long-Term Field Experiments. World Journal of Agricultural Sciences 3(1):63-70 Aoyama, M., and Nagumo, T. 1995. Factors Affecting Microbial Biomass and Dehydrogenase Activity in Apple Orchard Soils with Heavy Metal Accumulation. Soil Science Plant Nutrition 42 (4): 821-931. Anderson, J. M. and Ingram, J. S. I. 1992. Tropical Soil Biology and Fertility a Handbook of Methods. Second Edition. University of Oxford: CAB International Hargreaves, P. R., Brookes, P. C., Ross, G. J. S., and Poulton, P. R. 2003. Evaluating Soil Microbial Biomass Carbon as Indicator of Long-Term
178|Semirata 2013 FMIPA Unila
Environmental Change. Soil Biology Biochemistry 35:401-407 Vance, E.D., Brookes, P.C., and Jenkinson, D.S. 1987. An Extraction Method for Measuring Soil Microbial C. Soil Biology Biochemistry 19:703-707. Maftu‘ah, E. Alwi, M., dan Willis, M. 2005. Potensi Makrofauna Tanah Sebagai Bioindikator Kualitas Tanah Gambut. Bioscientiae 2(1): 1-14. Rahmita D, Abdul G, dan Rusmiati. 2007. Kerapatan dan Biodiversitas Nematoda Tanah Gambut di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Bioscientiae 4(2): 85-94. Agus, F. dan Subiksa, I. G. M. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. http://www.worldagro-forestry.org. [Tanggal akses: 18 Mei 2011] Murdiyarso, D., Upik, R., Kurniatun, H., Lili, M., I.N.N. Suryadiputra, dan Adi, J. 2004. Buku Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut. Bogor: Wetlands International. Barkah, B.S. dan Sidiq, M. 2009. Panduan Penyekatan Parit/Kanal dan Pengelolaan Bersama Masyarakat di Areal Hutan Rawa Gambut MRPP Kab. Musi Banyuasin. Report No.20.TA.Final. MRPP: Sumatra Selatan Hadi, A., Muhammad, H., Kazuyuki, I., Erry, P., Fadly, R., and Haruo, T. 2001. Effect on Land-use Change in Tropical Peat Soil on The Microbial Population and Emmision of Greenhouse Gas. Microbes and Environ-ment 16(2): 7986. Najiyati, S., Muslihat, L., Sdan uryadiputra, INN. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest and
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013
Peatland in Indonesia. Bogor. Wetlands International-Indonesia Programmed and Wildlife Habitat Canada.
peat Soil under Negative Human Impact in Turkey. Environment Geology 56:1057-1063
Sagiman S. 2007. Pemanfaatan Lahan Gambut dengan Perspektif Pertanian Berkelanjutan. [Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah]. Universitas Tanjung Pura, Fakultas Pertanian.
Maas, M., Kabirun, S., dan Nuryani, S. 2000. Laju Dekomposisi Gambut dan Dampaknya pada Status Hara pada Berbagai Tingkat Pelindian. Jurnal Ilmu Tanal dan Lingkungan 2(1):23-32
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
Oberson, A., Bu¨nemann, E.K., Friesen, D.K., Rao, I.M., Smithson, P.C., Turner, B.L., and Frossard, E. 2006. Biological Approaches to Sustainable Soil Systems: Improving Phosphorus Fertility in Tropical Soils through Biological Interventions. (Eds): Uphoff N, Ball AS, Fernandes E, Herren H, Husson O, Laing M, Palm C, Pretty J, Sanchez P. USA: CRC Press; Chapter 31: 531-546.
Wahyunto, S., Ritung, Suparto, H., dan Subagjo.2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor. Wetlands International Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa Gambut di Kalimantan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2):149-156. Satrio, A. E., Gandaseca, S., Ahmed, O.H., and Majid, N.M.A. 2009. Influence of Chemical Properties on Soil Carbon Storage of A Tropical Peat Swamp Forest. American Jounal of Applied Science 6 (11): 1970-1973. Dengiz, O., Ozaytekin, H. H., Cayci, G., and Barran, A. 2009. Characteristics, Genesis and Classificatiaon of A Basin
Tripathi, G., Deora, R., and Singh, J. 2010. Biological, Chemical and Biochemical Dynamics during Litter Decomposition at Different Depths in Arable Soil. Journal of Ecology and Natural Environment 2: 038-051 Dilly, O. 2006. Ratios of Microbial Biomass Estimates to Evaluate Microbial Physiology in Soil. Biology Fertility Soils 42: 241-246 Srivastava, S,C., dan Singh, J,S. 2002. Microbial C,N, and P in Dry Tropical Forest Soils: Effect of Alternate LandUse and Nutrient Flux. Soil Biology and Biochemistry 23:2 117-124.
Semirata 2013 FMIPA Unila |179