BAB VI PERUBAHAN YANG DITIMBULKAN DARI INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS MASYARAKAT MUARA ANGKE DI SEKITAR HUTAN MANGROVE
6.1 Dimensi Perubahan Sosial pada Masyarakat Pesisir Muara Angke Interaksi antar elemen masyarakat pesisir Muara Angke tidak hanya meninggalkan konsekuensi pada kualitas dan daya dukung lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya mengenai bentuk interaksi sosialekologi, terdapat beberapa perubahan sosial yang saling beriringan dan berhubungan timbal balik dengan perubahan ekosistem pesisir. Menurut Usman (2002), perubahan sosial di lingkungan pesisir didasarkan pada lingkungan alam sekitar yang membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu terjadinya perubahan sosial. 6.1.1 Sistem Norma, Nilai, dan Tata Aturan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Hutan Mangrove Pada kasus konflik yang melibatkan berbagai pihak di Muara Angke terkait pola pengelolaan kawasan hutan mangrove dan meyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ideologi yang melatarbelakanginya. Masing-masing aktor memiliki pemahaman dan pola pikir yang berbeda terkait pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Perbedaan ini tentu berkaitan erat dengan pola interaksi dan perubahan sosialekologi di lingkungan pesisir Muara Angke. Ideologi pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dianut masing-masing aktor adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat nelayan menganut ideologi welfare orientation yaitu pemanfaatan sumberdaya
pesisir
dan
hutan
mangrove
untuk
tujuan
pemenuhan
kesejahteraan (pola nafkah). Masyarakat nelayan pada umumnya sangat bergantung pada kualitas dan kelimpahan sumberdaya pesisir (termasuk hutan mangrove), mengingat mangrove memiliki banyak fungsi pemijahan ikan.
79
Sehingga kondisi ini sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas perikanan tangkap di wilayah Muara Angke, apalagi bagi lingkup nelayan tradisional yang jarak melaut relatif lebih dekat dengan tepi pantai. Ekosistem mangrove yang rusak tentu menjadi salah satu faktor menurunnya hasil tangkapan ikan dan penguranan pendapatan bagi nelayan. Pola pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove yang dianut oleh nelayan tradisional Muara Angke memiliki tata kelola dan sistem nilai berupa kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut berupa mitos-mitos yang diciptakan dari generasi ke generasi mengenai hutan mangrove yang dianggap keramat. Masyarakat secara sadar, bahkan tidak berani melakukan kerusakan dan mengganggu satwa yang terdapat di dalam hutan. Kepercayaan yang dianut masyarakat inilah yang secara tidak langsung mengatur interaksi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. 2) Pengelola Kawasan SMMA sebagai dari Pemerintah pusat menganut ideologi konservasi. Ideologi ini erat dengan konsep perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, dan penyelamatan sumberdaya hutan mangrove dari laju pengerusakan. Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara (state property) menyebabkan masyarakat sekitar tidak dapat leluasa memasuki dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. 3) Swasta (diwakili oleh PIK) berpegang pada ideologi kapitalisme dan profitifisme yang tercermin pada ekspansi usaha dan peningkatan laju reklamasi pantai utara Jakarta untuk digunakan kawasan bisnis. Pengembangan bisnis di sektor properti dan pemukiman merangsang para investor untuk berlomba-lomba melakukan reklamasi wilayah pantai utara Jakarta guna memperoleh laba sebesar-besarnya. Kondisi ini membuat pihak swasta memiliki kuasa dan otoritas lebih besar untuk memanfaatkan sumberdaya dibandingkan dengan nelayan Muara Angke. Pembangunan dalam skala besar dalam kawasan reklamasi tersebut kini justru mendatangkan petaka bagi sebagian besar masyarakat pesisir Muara Angke yang juga memiliki ikatan dengan sumberdaya pesisir. Tumpang tindih wewenang dan kepentingan antara swasta dengan masyarakat nelayan yang pada akhirnya menyebabkan konflik.
80
4) Pemerintah daerah di level Provinsi DKI Jakarta dan Kotamadya Jakarta Utara yang menganut ideologi integralisme, yaitu pola pikir untuk penyatuan atau penggabungan serta penyelarasan kepentingan berbagai elemen masyarakat demi terwujudnya stabilitas di tingkat lokal. Pemerintah daerah dituntut dapat mewadahi dan mengatur pengembangan wilayah dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik, dll. Hanya saja, dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah pesisir, pemerintah masih cenderung berpihak kepada swasta dengan keluarnya kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta untuk dijadikan kawasan bisnis dan pemukiman elit. Hal tersebut juga yang mendorong terjadinya konflik (bentrokan) antara masyarakat nelayan Muara Angke dengan pemerintah daerah sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disarikan bahwa beberapa bentuk interaksi yang bersifat disosiatif antar elemen masyarakat Muara Angke bermuara pada sistem nilai dan norma yang dianut oleh masing-masing aktor. Perubahan sosial yang terjadi tidak hanya berupa konflik dan interaksi disosiatif lainnya. Seiring semakin maraknya ideologi kapitalisme di kalangan elit swasta dan pemerintah yang high consumption dan rakus terhadap sumberdaya alam, ternyata mengakibatkan pengikisan nilai, norma, dan tata aturan.
6.1.2 Ketidakjelasan Aturan Main dan Pengikisan Nilai-Nilai Sosial sebagai Akar Konflik Pemanfaatan Hutan Mangrove Moda produksi dan konsumsi di sektor perikanan yang berubah seiring perkembangan zaman, membuat perubahan tata nilai dan sikap masyarakat terkait pengelolaan sumberdaya pesisir. Fenomena ini juga ditambah dengan dominasi pemerintah dan swasta yang terlalu besar dalam penentuan kebijakan pemanfaatan kawasan pesisir dan hutan mangrove. Sebagaimana yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai konflik antara berbagai elemen masyarakat Muara Angke, peristiwa ini berawal dari buramnya aturan main dan tidak ada ketegasan regulasi dari pemerintah. Selain itu, persaingan terbuka antar sesama nelayan (tradisonal dan pendatang) juga disebabkan karena tidak ada sistem aturan pembatasan wilayah yang jelas di kawasan pesisir Jakarta.
81
Kasus konflik pengelolaan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove antara Masyarakat Kali Adem dengan PIK dan pemerintah (SMMA dan pemerintah daerah) memiliki akar konflik sebagai berikut: 1) Perbenturan ideologi atau mazhab pemanfaatan kawasan pesisir antar kedua belah pihak. Nelayan yang menganut mazhab welfare orientation berhadapan dengan mazhab profitisme pihak PIK. Sebagaimana yang dikemukakan Dharmawan (2007), ideologi profit-maximizing economy yang dianut oleh para pelaku ekonomi yang selalu melakukan kalkulasi benefit and cost analysis dalam operasionalisasi praktik ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) turut mengukuhkan proses kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Kondisi tersebut yang memicu ketegangan sosial antar kedua pihak sehingga pecah mencadi konflik yang berekskalasi. 2) Tumpang tindih kewenangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang didominasi swasta (PIK) dan pemerintah. Konflik warga kampung Kali Adem dengan PIK mengacu pada pergeseran etika lingkungan ke arah etika antroposentrisme yang dianut oleh PIK. Etika ini menitikberatkan pada eksploitasi kawasan pesisir (hutan mangrove)
secara besar-besaran yang
mengabaikan masalah krisis lingkungan. Selain itu, akar konflik juga berasal dari perbedaan status sosial dam ekonomi yang sangat timpang antara warga PIK dengan masyarakat nelayan (timbul prasangka dan kecemburuan sosial), perbedaan suku dan budaya yaitu PIK didominasi oleh suku Tionghoa dan nelayan (suku Jawa, Madura, Bugis, dll). 3) Sedangkan akar konflik masyarakat kali Adem dengan pemerintah lebih pada ketidakjelasan kebijakan yang diambil pemerintah, sehingga membuat bingung masyarakat sekaligus mempersempit ruang akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya hutan mangrove. Hal tersebut mengarah pada masalah pokok yaitu terbenturnya ideologi konservasi (pemerintah) dengan welfare orientation (masyarakat nelayan). Sementara itu, pemerintah daerah juga cenderung memihak PIK dalam operasionalisasi kebijakan yang menimbulkan perlawanan dari nelayan Kampung Kali Adem. 4) Tidak ada aturan yang jelas mengenai batas-batas wilayah konservasi hutan mangrove milik negara (state property) dengan wilayah privat hutan mangrove
82
milik swasta (private property). Sehingga nelayan kerap mengalami pengusiran oleh PIK saat merapat untuk singgah di tepi hutan mangrove yang dianggap nelayan adalah kawasan konservasi. Sedangkan konflik yang melibatkan sesama nelayan (nelayan lokal tradisional dengan nelayan pendatang) Muara Angke juga berkaitan dengan perubahan dan ketidakjelasan tatanan nilai sosial yang diuraikan sebagai berikut: 1) Terjadi tabrakan nilai dan norma antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal tradisional Muara Angke. Nelayan pendatang dari hampir seluruh wilayah nusantara tentu membawa norma dan kebiasaan yang berbeda-beda. Banyak nelayan pendatang yang belum paham aturan konservasi hutan mangrove Muara Angke, sehingga sering terjadi ketegangan dengan nelayan tradisional. Pengusiran terhadap nelayan pendatang oleh nelayan lokal kerap terjadi ketika nelayan pendatang memasuki kawasan hutang mangrove. Mereka biasanya singgah atau melakukan aktivitas penangkapan di perairan Jakarta. Nelayan pendatang rata-rata merupakan nelayan modern, dicirikan dari besarnya kapal dan kelengkapan alat tangkap yang mereka gunakan. 2) Perbedaan alat tangkap antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal juga memicu ketegangan antar kedua pihak. Nelayan pendatang yang menggunakan jaring arad menimbulkan perlawanan dari nelayan lokal. Pengoperasian jaring arad dianggap nelayan lokal dapat merusak lingkungan, padahal nelayan lokal sangat bergantung pada kelestarian lingkungan pesisir untuk menunjang kelangsungan hidupnya. 3) Persaingan wilayah tangkap (fishing ground) antara kedua kelompok nelayan mengingat pantai adalah sumberdaya yang sifatnya open access. 4) Jalur pelayaran yang sangat padat di perairan Jakarta membuat wilayah ini sering terjadi overfshing atau aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan, sehingga menyebabkan kelangkaan sumberdaya hayati pesisir. Kelangkaan tersebut kemudian menyebabkan persaingan antar nelayan menjadi semakin ketat.
83
6.2 Dimensi Perubahan Lingkungan Perubahan lingkungan selalu menyertai suatu sistem hubungan sosial yang terjalin dalam sebuah ekosistem seperti yang terjadi pada lingkungan pesisir Muara Angke. Masalah-masalah sosial yang terjadi akibat ketimpangan relasi dan kekuasaan antar aktor pada interaksi sosial maupun ekologis di Muara Angke menambah deret masalah baru berupa degradasi lingkungan. Konflik antara warga dengan pemerintah dan swasta selain mengakibatkan penurunan kualitas hubungan sosial, juga menurunkan daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang selama ini ditopang oleh kelestarian ekosistem hutan mangrove. Akses dan kontrol masyarakat timpang dengan akses dan kontrol pihak pemerintah dan swasta yang memiliki kuasa lebih besar atas sumber daya mangrove. Adapun perubahan yang terjadi adalah terjadinya bencana banjir, penurunan hasil tangkapan nelayan dan intensitas gangguan satwa ke pemukiman penduduk.
6.2.1 Bencana Banjir Hutan mangrove yang berfungsi sebagai lahan resapan dan penahan intrusi (masuknya air laut ke darat) serta erosi/abrasi pantai tampaknya sudah kurang mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini memang karena tingginya laju pertumbuhan penduduk yang memaksa pembangunan semakin digalakkan terutama oleh pihak swasta guna menyediakan kebutuhan warga akan perumahan dan industri di Muara Angke. Lokasi yang strategis dan akses dekat dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta menarik minat swasta untuk mereklamasi kawasan pesisir Muara Angke menjadi kawasan perumahan dan industri. Frekuensi terjadinya banjir di Muara Angke mengalami perubahan setelah maraknya kegiatan ekspansi usaha oleh swasta yang menggunakan lahan pesisir bermangrove sebagai komoditasnya.
84
Gambarr 14. Perubaahan Frekueensi Terjadinya Bencanna Banjir di Muara Ang gke Sebelum dann Pasca Rek klamasi Tahun 2010 Sumbber: Hasil Pengolahan Data D Kuantiitatif (2010)) Beerdasarkan data d pada Gambar G 14 (dengan ressponden yanng berjumlaah 50 orang) terjjadi kenaikan frekuenssi bencana banjir b hariann saat sebellum dan sessudah marak dilaakukan rekllamasi lahaan mangrov ve di pesisirr Muara Anngke. Respo onden yang menngaku menjaadi korban bencana baanjir harian sebelum reeklamasi seebesar 22 persenn (11 orangg) mengalam mi kenaikaan sebesar 82 persen (41 orang)) saat setelah rekklamasi. Seementara juumlah respo onden yangg merasakann bencana banjir b mingguann menurun dari d sebelum m reklamasi yaitu 78 peersen (39 orrang) menjaadi 18 persen (9 orang) seteelah reklam masi lahan mangrove. m F Fenomena iini selain karena k banjir rob (naiknya permukaan air a laut) jugaa ditambah dengan bannjir kiriman yang bersumberr dari hulu Sungai Anggke. Daahulu, banjir terjadi 5-100 tahun sekalli. Nah, sekarang banjir kok setiap harri. Hanya saja s warga yang tingga al di perum mahan nelayyan (dekat denngan pasar Muara Anggke) itu banjjirnya tidak separah waarga yang tingggal di pingggir kali Anggke. Tetapi tetap t saja beecek karena banjirnya settiap hari (Bapak Nim, 55 tahun, warga w Perum mahan Nelayyan Muara Anngke)
Pemerintah dan swasta sudah s bekerjasama meembantu maasyarakat pesisir p Muara Anngke dengaan membangun tanggu ul untuk meencegah maasuknya airr dari luapan Suungai Angkke dan naikknya permu ukaan air laut. Namunn hal ini belum b mampu mengatasi m beencana banjir yang diraasakan olehh masyarakaat pesisir. Faktor F lain yang memicu terrjadinya bannjir adalah pendangkaalan dasar suungai dan pantai p akibat peenumpukan sampah di d Sungai Angke. Intteraksi yanng timpang g dan pembanguuan dengan merambah hutan man ngrove dapaat membuatt pesisir meenjadi kawasan yang y rentan dilanda bannjir dan keru ugian besarr lainnya.
85
Faktor penyebab banjir di Jakarta tidak hanya menyangkut persoalan reklamasi pantai utara, namun juga pada segi teknis maupun non teknis. Menurut Susmarkanto (2002), penyebab banjir dari segi teknis menyangkut buruknya sistem pengairan atau drainase di hampir seluruh wilayah Jakarta. Buruknya sistem pengairan ini tercermin pada tersendatnya proyek Banjir Kanal Timur sebagai bagian penting dari masterplan pengendalian banjir. Sedangkan dari segi non teknis, banjir Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sebagai berikut: 1. Perubahan iklim global (climate change) yang menyebabkan tingginya curah hujan, ketidakjelasan cuaca, dan tingginya gelombang air laut sehingga banjir rob di kawasan pesisir tidak dapat dihindari. . 2. Rusaknya kawasan hutan konservasi dan konversi lahan di daerah hulu seperti Bogor, Puncak dan Cianjur (BOPONJUR) untuk kepentingan pembangunan vila, hotel, pusat rekreasi dan pemukiman yang tidak terkendali. Hal ini merupakan cerminan meningkatnya luasan lahan kritis di hulu yang berdampak pada peristiwa banjir kiriman ke daerah Ibukota. 3. Penyelewengan aturan mengenai peruntukan lahan rawa-rawa menjadi pemukiman yang sebagian dilakukan oleh PIK. Penyerobotan kawasan hutan mangrove dan rawa-rawa oleh pihak swasta ini menyebabkan hilangnya daerah resapan intrusi air laut, sehingga sering terjadi banjir rob. 4. Buruknya pengelolaan 13 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melewati Jakarta, yang kadar polusi limbah rumah tangga sudah melampaui batas ambang dengan kadar limbah semakin tinggi ke arah hilir dan muara. Hal ini lambat laun mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Pendangkalan tersebut yang sering menimbulkan banjir karena daya tampung sungai untuk mengalirkan air hujan ke laut menjadi berkurang.
6.2.2 Penurunan Hasil Tangkapan Nelayan Perubahan lingkungan yang terjadi di kawasan pesisir dan muara Sungai Angke berdampak nyata pada kehidupan nelayan Muara Angke. Kondisi perairan laut yang tidak lagi bagus karena penumpukan sampah serta polusi dari limbah industri menyebabkan matinya beberapa biota laut terutama ikan. Kebutuhan
86
hidup yang semakin meningkat mendorong nelayan untuk menambah jumlah tangkapan guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Berikut adalah persentase nalayan yang mengalami penurunan hasil tangkapan. 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
66.67%
33.33%
0% berkurang >0.5 berkurang < 0.5
tetap
0%
0%
bertambah > 0.5 bertambah < 0.5
Gambar 15. Persentase Nelayan Muara Angke yang Mengalami Penurunan Hasil Tangkapan Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Penurunan hasil tangkapan nelayan bervariasi jumlah besarannya mulai dari penguranagan tangkapan kurang dari setengah hasil tangkapan biasanya hingga lebih dari hasil tangkapan. Responden yang diambil datanya adalah sejumlah 39 orang yang berprofesi sebagai nelayan. Persentase nelayan yang mengalami mengurangan hasil tangkapan lebih dari setengahnya adalah sebesar 66.67 persen (26 orang) dan responden yang hasil tangkapannya berkurang tidak sampai setengahnya sejumlah 33.33 persen (13 orang). Berkurangnya tangkapan sejauh ini belum dapat diatasi oleh nelayan karena nelayan Muara Angke merupakan nelayan kecil yang kapalnya bukanlah kapal besar dengan peralatan yang lengkap. Nelayan hanya mengandalkan peralatan tangkap dan terknologi seadanya saat melaut. Sekarang hasil tangkapan sudah jauh berkurang, mbak. Dulu setelah melaut bisa dapat ikan macam-macam, sekarang ikan sudah jarang lagi. Misalnya, dulu saya bisa dapat 20 sampai 30 kg sekarang paling cuma 10 kg. Selain itu, dulu kami melaut tidak perlu jauh-jauh, ya di dekat sinisini saja saya sudah dapat ikan. Tetapi sekarang kami pergi melaut harus jauh sekali sampai jarak 5 mil dari sini tepatnya di perairan Ancol. Belum lagi harga solar yang naik terus. Nelayan kan jadi repot. (Bapak War, 38 tahun, warga Kampung Kali Adem)
Data yang didapat dari keterangan Bapak War (38 tahun) menggambarkan kondisi yang sulit sedang dihadapi nelayan Muara Angke. Tidak hanya masalah penurunan hasil tangkapan, tetapi juga rusaknya ekosistem pesisir terdekat
87
sehingga membuat nelayan semakin jauh melaut untuk mendapatkan tangkapan. Dengan peralatan yang terbatas, jarak terjauh yang ditempuh nelayan hanya sebatas perairan utara Jakarta. Cuaca buruk dan gelombang tinggi juga terkadang menghambat nelayan untuk melaut sehingga hasil tangkapan dan pendapatan nelayan pun berkurang. Menurunnya hasil tangkapan juga bisa berdampak pada menurunnya tingkat pendapatan bahkan berlanjut pada tingginya tingkat kemiskinan pada rumah tangga nelayan, khususnya nelayan tradisional. Selain disebabkan oleh rusaknya hutan mangrove, fenomena ini juga disebabkan oleh beberapa faktor yang kompleks yaitu sebagai berikut: 1. Perubahan iklim (climate change) yang dicirikan fenomena pemanasan global (global warming) juga melanda Indonesia. Peristiwa ini menimbulkan naiknya permukaan air laut yang disertai tingginya gelombang pasang. Nelayan adalah salah satu pihak yang dirugikan akibat global warming, karena mereka menggantungkan pendapatan hasil tangkapan ikan pada kondisi alam. Kini, nelayan sudah tidak dapat leluasa melaut karena mereka lebih mengutamakan keselamatan dari pada terus menerjang tingginya ombak untuk mencari ikan. Jarak melaut nelayan pun yang dahulu bisa melaut jauh dari bibir pantai, kini menjadi terbatasi oleh tingginya ombak dan cuaca buruk. Penurunan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan akhirnya tidak dapat dihindari 2. Rusaknya terumbu karang di perairan pesisir utara Jakarta akibat eksploitasi secara berlebihan. Padahal, terumbu karang tidak terpisahkan fungsinya dengan ekosistem mangrove yang juga merupakan tempat beberapa biota laut berkembang biak. Kerusakan ekosistem pesisir secara nyata berpengaruh pada jumlah ikan yang semakin berkurang. Prodiktivitas nelayan dalam hal hasil tangkapan menurun drastis dari masa ke masa, terlebih pasca reklamasi pantai utara Jakarta. 3. Polusi di perairan Jakarta yang bersumber dari limbah industri dan limbah rumah tangga, juga merupakan salah satu penyebab menurunnya jumlah ikan. Nelayan pun kembali menjadi korban karena hasil tangkapan ikan yang semakin berkurang. Tingkat polusi di perairan Muara angke sudah terbilang
88
tinggi mengingat daerah ini sebagai kawasan pesisir yang dikelilingi oleh kawasan industri dan lalu lintas kapal di Teluk Jakarta. 4. Overfishing yaitu aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan tanpa mempedulikan ekosistem dan kelestarian biota pesisir, mengingat perairan Jakarta adalah perairan dengan jalur pelayaran yang sangat padat. Kegiatan ini berdampak pada punahnya beberapa spesies ikan dan biota laut lainnya, sehingga kelimpahan sumberdaya hayati pesisir semakin langka. Peningkatan persaingan antar nelayan pun tidak dapat dihindari lagi. Fenomena tersebut pada akhirnya menjadi salah satu faktor penurunan hasil tangkapan ikan nelayan tradisional Muara Angke. 6.2.3 Gangguan Satwa Liar ke Pemukiman Masyarakat Berkurangnya luasan hutan mangrove juga berarti membuat satwa kehilangan habitatnya. Hutan mangrove yang menutupi pantai utara Jakarta semakin terdesak dengan maraknya ambisi pembangunan perumahan mewah, pusat industri dan pusat aktivitas ekonomi lainnya. Padahal tidak hanya biota laut, spesies satwa di udara dan di darat juga sangat tergantung pada keberadaan hutan mangrove. Hal ini berakibat spesies satwa tersebut mencari habitat baru yang menambah persoalan manusia. Fenomena perpindahan satwa dari hutan mangrove ke pemukiman masyarakat dapat tergambar pada Gambar 16. 60%
52%
50% 34%
40% 30% 20%
12%
10% 0% harian
mingguan
bulanan
0%
0%
tahunan
tidak pernah
Gambar 16. Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke yang Mengalami Gangguan Satwa di Lingkungan Pemukimannya Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Interpretasi Gambar 16 di atas adalah bahwa dari 50 responden masyarakat Muara Angke, terdapat 52 persen responden yang hampir setiap bulannya menjumpai
satwa
dari
hutan
mangrove
yang
berada
di
lingkungan
pemukimannya. Responden yang mengalami gangguan satwa pada setiap
89
minggunya berjumlah 34 persen dan responden yang terganggu oleh satwa yang mengungsi ke pemukiman setiap harinya sebesar 12 persen. Satwa yang kerap kali ditemui warga adalah utamanya monyet, ular, burung, buaya, biawak dan sebagainya. Satwa yang hampir setiap hari berkunjung ke pemukiman warga pada umumnya adalah monyet. Monyet sebagai satwa yang hidupnya berkoloni berpindah menuju pemukiman warga untuk mencari makanan dengan mengacakacak tempat sampah. Penyempitan luasan hutan mangrove di Muara Angke untuk dijadikan sentra bisnis dan pemukiman, membuat habitat bagi biota laut juga semakin sempit. Hutan mangrove juga menjadi habitat biota darat dan tempat singgah bagi satwa yg hidup di udara. Perambahan hutan mangrove membuat beberapa spesies satwa tersebut bermigrasi mencari habitat baru dan pada akhirnya dapat mengganggu ketentraman manusia yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Berdasarkan kondisi yang dialami masyarakat Muara Angke dapat disimpulkan bahwa kerusakan hutan mangrove dan penyempitan luasan lahan mangrove akibat tekanan pembangunan, dapat berimbas pada hilangnya habitat satwa, sehingga tidak heran apabila sering terjadi serbuan koloni satwa di pemukiman warga.
6.3 Ikhtisar Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu terjadinya perubahan sosial. Konflik sebagai pengantar pada terjadinya perubahan sosial di Muara Angke, memiliki aspek keterkaitan dengan sistem nilai dan norma (etika ekosentrisme) yang mulai luntur serta ketidakjelasan tata aturan (kelembagaan) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Kondisi ini sangat terlihat pada perbenturan ideologi pengelolaan sumberdaya alam dari masing-masing aktor. Kerusakan lingkungan di Muara Angke menjadi sebuah keniscayaan selama interaksi pihak-pihak yang menggunakan
sumberdaya alam hutan
mangrove masih timpang dalam hal penguasaan lahan, pemanfaatan dan konservasi hutan mangrove. Perubahan lingkungan dari serangkaian interaksi sosial dan ekologi yang terjadi pada masyarakat pesisir Muara Angke dilihat dari fenomena bencana banjir, tingkat hasil tangkapan nelayan dan migrasi swasta ke
90
perumahan penduduk yang dapat mengganggu kenyamanan. Ketiga fenomena ini adalah peristiwa yang sering dialami oleh masyarakat seiring dengan laju pembagunan yang berkembang pesat di Jakarta khususnya di kawasan pesisir Muara Angke. Masyarakat Muara Angke kini dapat dilanda banjir (baik banjir rob maupun banjir kiriman) dengan frekuensi yang sangat sering yaitu banjir harian (setiap hari). Masyarakat nelayan juga mengalami penurunan hasil tangkapan dengan kisaran kurang dari setengah hasil tangkapan hingga lebih dari setengah hasil tangkapan. Kemudian, masyarakat juga mengalami gangguan dari satwa akibat migrasi satwa yang habitatnya terdesak dengan pembangunan yang dilakukan swasta. Konsekuensi yang dirasakan masyarakat Muara Angke ini juga ada pengaruh dari perubahan iklim (cuaca buruk, ketidakjelasan iklim, naiknya permukaan air laut dan gelombang tinggi) yang berakibat pada terjadinya banjir dan penurunan hasil tangkapan pada nelayan. Berkurangnya luasan lahan mangrove membuat satwa kehilangan habitatnya sehingga ‘mengungsi’ ke wilayah pemukiman warga dan jika hal ini sering terjadi maka akan merugikan keamanan serta kenyamanan lingkungan rumah warga. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah interaksi sosial-ekologi yang tidak seimbang dan terjadi kontestasi kepentingan dapat menimbulkan dampak sosialekologis yang merugikan. Interaksi yang dilakukan secara tidak adil dan mengabaikan kepentingan pihak lain (termasuk merugikan alam) hanya akan memberikan kuntungan jangka pendek bagi segelintir pihak yang mengeksploitasi namun justru membawa kerugian jangka panjang bagi semua masyarakat.