BAB V BENTUK INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS DI SEKITAR HUTAN MANGROVE YANG TERBANGUN PADA MASYARAKAT PESISIR MUARA ANGKE 5.1 Akses Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Hutan Mangrove Secara alamiah masyarakat pesisir Muara Angke memiliki kaitan dengan kawasan hutan mangrove yang sejak lama telah mendukung keberlangsungan ekosistem. Hutan mangrove di pantai utara Jakarta semakin mendekati kondisi kritis akibat upaya reklamasi yang marak dilakukan baik oleh pihak pemerintah, swasta maupun individu. Sejarah hutan mangrove Muara Angke sudah melekat dengan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitarnya. Hutan Mangrove yang kini pengelolaannya berada di bawah pemerintah dalam bentuk Suaka Margasatwa Muara Angke, dahulu merupakan Cagar Alam sejak pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tepatnya pada 17 Juni 1939. Luasan Cagar Alam yang semula 15.04 ha diperluas menjadi 1344.62 pada tahun 1960-an. Cagar Alam Muara Angke lambat laun mengalami kerusakan seiring dengan berkurangnya daya dukung lingkungan akibat tekanan penduduk. Kondisi ini menyebabkan kawasan Cagar Alam statusnya berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke yang luas totalnya 25.02 ha pada tahun 1998 berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/Kpts-II/1998 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 755/Kpts-II/1998 dengan tujuan untuk merehabilitasi kawasan yang rusak (BKSDA DKI Jakarta, 2010). Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara (state property) menyebabkan
masyarakat
sekitar
tidak
dapat
leluasa
memasuki
dan
memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. Akses untuk memasuki kawasan hutan hanya diperuntukkan bagi warga atau pihak yang mendapatkan izin dari Kantor Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta berupa Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) untuk kepentingan studi, penelitian, dan kegiatan pendidikan lainnya.
45
Masyarakat Muara Angke pada mulanya masih bisa memanfaatkan hasil hutan untuk dikonsumsi misalnya buah nipah (Nypa fruticans) untuk dimakan dan hasil hutan lainnya. Namun, hal itu berlangsung hanya pada saat hutan masih berstatus Cagar Alam dan sejak menjadi Suaka Margasatwa penjagaan semakin ketat sehingga masyarakat tidak dapat lagi mengambil hasil hutan. Nah, kalau orang dulu itu masih suka makan buah nipah, untuk dimasak dan dibuat cemilan. Pada waktu itu kami masih bisa ambil sedikit-sedikit di hutan, tapi tidak sampai tebang pohon, ambil seperlunya saja. Nelayan pun sudah mengerti dan tahu soal itu. Tapi sekarang selain sudah tidak boleh sembarangan masuk hutan, orangorang sudah tidak terbiasa lagi makan buah nipah, sudah tidak doyan.
(Bapak H.Nam, 50 tahun, Tokoh Masyarakat Muara Angke) Berdasarkan hasil penelitian kepada 50 responden, ternyata semua responden yang berarti 100 persen tidak memiliki hak akses masuk dan pemanfaatan hutan mangrove. Akses dalam hal ini termasuk pada kegiatan dan pemilikan bukaan lahan mangrove yang didapat pada data penelitian, yang menunjukkan bahwa 100 persen responden tidak memiliki lahan bukaan di dalam kawasan hutan mangrove. Masyarakat Muara Angke sudah mengetahui dan paham pada peraturan pemerintah bahwa keberadaan hutan mangrove tidak dapat diganggu dengan aktivitas manusia. Sementara itu, nelayan di Muara Angke hanya memanfaatkan kawasan pinggiran hutan mangrove sebagai tempat merapat dan istirahat setelah seharian melaut. Kawasan pinggiran hutan mangrove juga kerap dijadikan tempat nelayan untuk memperbaiki kapal yang rusak, karena kini di pantai utara Jakarta sulit lagi ditemui tempat merapat yang nyaman. Hampir semua garis pantai Jakarta sudah berubah menjadi perumahan, kawasan industri, pelabuhan, dan sebagainya. Aktivitas nelayan yang seperti ini dianggap tidak menjadi masalah dan tidak termasuk melanggar peraturan pemerintah, sehingga tidak mendapat teguran dari polisi hutan setempat selama nelayan tidak memasuki dan merusak kawasan konservasi. Lain halnya dengan nelayan Muara Angke yang telah paham pada peraturan pemerintah terkait konservasi hutan mangrove, petugas polisi hutan biasanya menindak nelayan yang berasal dari luar Jakarta seperti nelayan Lampung, Banten, Cirebon dan sebagainya. Nelayan pendatang yang memasuki
46
perairan Jakarta
umumnya belum mengetahui peraturan terkait perlindungan
hutan mangrove sehingga masih saja ditemui aktivitas pemotongan ranting pohon bakau, penangkapan burung dan satwa lain yang dilindungi undang-undang. Fenomena ini sesuai dengan data kualitatif yang diperoleh dari salah satu informan yaitu sebagai berikut. Selama saya bertugas di sini, jarang sekali atau malah tidak pernah memergoki warga asli Muara Angke yang melanggar. Biasanya yang suka masuk diam-diam itu nelayan yang dari luar Jakarta seperti dari Lampung, Banten, Cirebon sama yang warga lain. Biasanya mereka mengambil ranting untuk kayu bakar, menangkap burung-burung, memancing umpan. Kalau mereka ketahuan, ya saya tegur dulu pada awalnya. Nanti kalau ternyata masih tetap diteruskan ya terpaksa saya rampas, terus saya bawa ke pos supaya diproses sama teman-teman dan atasan saya. Jadi warga sini rata-rata sudah paham masalah peraturan SMMA. (Bapak Tan, 38 tahun, polisi hutan Suaka Margasatwa
Muara Angke) Akses masyarakat Muara Angke terhadap hutan mangrove terbentur dengan kebikajan pemerintah yang secara top down menetapkan kawasan hutan sebagai kawasan konservasi (dari Cagar Alam menjadi Suaka Margasatwa). Meskipun begitu, masyarakat Muara Angke dapat memahami dan mematuhi pertauran pemerintah, namun yang justru menjadi hambatan bagi pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove adalah ancaman konversi lahan mangrove untuk pembangunan serta warga yang berasal dari luar Muara Angke yang sengaja menyusup ke kawasan hutan untuk memburu satwa. 5.2. Interaksi Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove bersifat Asosiatif Interaksi sosial-ekologi memiliki cakupan yang besar pada lingkungan hidup dan menimbulkan suatu keterkaitan pada setiap unsur-unsur lingkungan hidup itu sendiri. Interaksi sosial-ekologi juga berangkat dari definisi lingkungan hidup oleh Purba (2002) yang dibuat dengan mempertimbangkan keterkaitan antara seluruh komponen yang terdapat di dalamnya, bukan semata-mata interaksi sosial beserta pranata, simbol, nilai, dan normanya saja tetapi juga kaitannya dengan unsur-unsur lingkungan hidup seprti alam dan lingkungan binaan/buatan. Sebagaimana yang dirumuskan oleh Gillin dan Gillin (1954) yang dikutip Soekanto (2002) bahwa proses asosiatif adalah suaru proses terjadinya saling pengertian dan kerjasama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan yang lainnya, dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan akhir
47
bersama. Kasus interaksi sosial-ekologis masyarakat pesisir Muara Angke bersifat asosiatif yang melibatkan aktor sesama manusia terbagi menjadi beberapa golongan menurut klasifikasi spesifik pihak yang terlibat, yaitu interaksi masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan swasta. Sedangkan interaksi sosial-ekologi asosiatif juga terjadi antara manusia dengan alam. 5.2.1. Interaksi Sosial-Ekologi bersifat Asosiatif antar Manusia Interaksi yang bersifat asosiatif antar masyarakat pesisir Muara Angke dilihat dari segi aktor yang terlibat dan mempunyai keterkaitan satu sama lain. Masyarakat Muara Angke merupakan suatu kesatuan sosial majemuk yang tingkat keberagamannya tinggi, mulai dari keberagaman budaya, etnis, mata pencaharian, status sosial dan ekonomi. Sedangkan di wilayah Muara Angke sendiri terdapat sumberdaya hayati penunjang kehidupan Kota Jakarta yang harus dilindungi dan dilestarikan yaitu kawasan hutan mangrove Muara Angke-Kapuk. Upaya perlindungan hutan mangrove di Jakarta menuntut adanya peran serta dari berbagai stakeholder yaitu pemerintah sebagai penggagas sekaligus pembuat kebijakan dan masyarakat yang disertai dukungan dari pihak swasta. Berbagai elemen masyarakat di atas saling bersentuhan kepentingan dan motivasi dalam hal pemanfaatan dan perlindungan hutan mangrove, yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam interaksi salah satunya hubungan asosiatif. Interaksi asosiatif antar manusia bisa berlangsung dalam bentuk kerjasama seperti kegiatan gotong royong, kemitraan, penghijauan hutan mangrove, serta kegiatan untuk hiburan masyarakat. Adapun uraian dari berbagai bentuk interaksi asosiatif antar masyarakat terkait pengelolaan hutan mangrove adalah sebagai berikut: 5.2.1.1 Gotong Royong Kebiasaan dan rutinitas masyarakat Muara Angke dalam melakukan gotong royong guna menjaga serta membersihkan lingkungan khususnya aliran Kali Angke yang juga mengairi hutan mangrove. Aktivitas sosial kemasyarakatan ini, lebih bersifat informal yang dikendalikan oleh tokoh masyarakat di Kampung Kali Adem atau di perumahan nelayan Muara Angke. Kondisi perairan bantaran Kali Angke yang terhubung langsung dan menjadi satu kesatuan dengan ekosistem hutan mangrove memang penuh dengan tumpukan sampah oganik dan
48
anorganik. Hal ini tentu dapat mengganggu keseimbangan dan keanekaragaman hayati di hutan mangrove. Gotong royong diperuntukkan lebih bagi kebersihan lingkungan tempat tinggal warga Muara Angke. Kegiatan membersihkan sampah dai bantaran Kali Angke merupakan kegiatan utama karena selain menyangkut kebersihan lingkungan, juga untuk upaya pencegahan bencana banjir yang kerap melanda warga Kampung Kali Adem. Data yang menggambarkan keikutsertaan masyarakat pada kegiatan gotong royong di Muara Angke dapat dilihat pada Gambar 3. f.
50%
46%
40% 28%
g.30% h.20% 10%
16% 10%
0% setiap bulan
setiap dua bulan
setiap tiga bulan
tidak pernah
Gambar 3. Distribusi Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan Keikutsertaan pada Kegiatan Gotong Royong Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Gambar 3. di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden terdapat 28 persen
(14 orang) yang tidak pernah melakukan gotong royong. Sementara
responden yang mengaku pernah bergotong royong dengan frekuensi tiga bulan sekali sejumlah 46 persen (23 orang). Kegiatan gotong royong yang dilakukan dua bulan sekali diikuti oleh 16 persen warga (8 orang) dan dengan frekuensi satu bulan sekali sebanyak 10 persen (5 orang). Keguyuban yang terbangun antara masyarakat pesisir Muara Angke terkait pengelolaan hutan mangrove tergolong rendah karena jumlah masyarakat yang melibatkan dirinya secara aktif (rutin setiap bulan) dalam kegiatan gotong royong hanya 10 persen dari 50 responden. Masyarakat yang mengaku tidak pernah dan jarang mengikuti kegiatan gotong royong disebabkan oleh faktor kesibukan sebagai nelayan yang waktu kerjanya lebih banyak dihabiskan di laut dari pada di darat, sebagaimana yang dituturkan oleh masyarakat:
49 Banyak warga yang tidak pernah ikut gotong royong. Warga saya saja hanya itu-itu saja yang suka ikut kami gotong royong. Sibuk melaut terus. Ya tahu sendiri kan kalo melaut itu butuh waktu yang lama, bisa semalaman, bisa berhari-hari. Apalagi sekarang tangkapan makin sedikit, jadi nelayan juga lebih lama melautnya. Kalau nelayan tidak pergi melaut dan tidak dapat uang ya nanti kasihan keluarganya. Mungkin karena itu juga kegiatan gotong royong hanya bisa diikuti oleh warga yang bukan nelayan. Padahal gotong royong juga untuk kepentingan semua warga (Bapak Mul, 48 tahun, Warga Kampung
Kali Adem). Kegiatan gotong royong yang diadakan masyarakat dalam hal bersihbersih lingkungan sekitar sungai dan hutan mangrove justru banyak yang menganggap tidak terlalu menguntungkan dari segi ekonomi. Nelayan banyak yang mementingkan kegiatan melaut untuk menambah pendapatannya. Hal ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan bahwa penumpukan sampah di muara Kali Angke adalah kesalahan warga Muara Angke. Mengingat sampah adalah masalah induk dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang saling terkait dari hulu ke hilir. 5.2.1.2 Kemitraan Interaksi asosiatif juga bisa dalam bentuk kemitraan yang berarti keberadaan elemen masyarakat yang satu bersifat saling menguntungkan dengan elemen masyarakat yang lainnya. Bentuk kemitraan yang terjalin pada lingkup masyarakat Muara Angke melibatkan beberapa aktor seperti warga Muara Angke dengan pemerintah, warga dengan pihak swasta (pelaku bisnis dan industri), serta kemitraan yang terbangun antar warga sendiri. Pola kemitraan berdasarkan aktornya dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat pesisir Muara Angke. Bentuk kemitraan ini merupakan pola kerjasama yang berkaitan langsung dengan pemanfaatan, pelestarian, dan perlindungan hutan mangrove. Interaksi antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan Pemerintah (dalam hal ini adalah pemerintah pengelola hutan mangrove) yaitu Suaka Margasatwa Muara Angke berkaitan dengan kebijakan yang diturunkan menjadi peraturan mengenai upaya konservasi hutan mangrove dan ekosistem di dalamnya. Ketentuanketentuan umum tentang konservasi sumberdaya alam dapat ditemukan dalam UUPLH (Pasal 1 ayat 15) bahwa konservasi sumberdaya alam merupakan
50
pengelolaan
sumberdaya
alam
tidak
terbaharui
untuk
menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana, serta sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya, dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Upaya
konservasi
sumberdaya
mangrove
yang
dilakukan
oleh
pemerintahan DKI Jakarta (yang terdiri dari Kementrian Kehutanan dan Pemda DKI Jakarta melalui lembaga konservasi Suaka Marga Satwa Muara Angke ) pasti menimbulkan konsekuensi sosial pada masyarakat yang memiliki kedekatan secara geografis dan sejarah dengan keberadaan sumberdaya tersebut. Respon atau tanggapan masyarakat Muara Angke mengenai peraturan yang ditetapkan pemerintah untuk melindungi ekosistem hutan mangrove berbeda-beda. Adapun gambaran dukungan masyarakat pesisir Muara Angke terhadap kebijakan pemerintah dalam hal penelolaan hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 4. Dukung, melaksanakan, dan ikut menghimbau masyarakat
34%
Dukung dan melaksanakan
38%
Biasa saja (tidak acuh)
26%
Tidak mendukung Menentang dan melanggar kebijakan pemerintah
2% 0% 0%
5%
10% 15% 20% 25% 30% 35% 40%
Gambar 4. Jumlah Persentase Dukungan Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Kebijakan Konservasi Hutan Mangrove oleh Pemerintah Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Data pada gambar di atas dapat diinterpretasikan bahwa secara umum masyarakat pesisir Muara Angke menanggapi secara positif akan kebijakan pemerintah dalam upaya perlindungan dan rehabilitasi hutan mangrove. Dukungan masyarakat yang sangat mendalam terhadap kebijakan konservasi mangrove oleh
pemerintah tercermin pada kemauan masyarakat untuk tidak
hanya sekedar mematuhi peraturan tetapi juga ikutserta melestarikan ekosistem hutan mangrove atau bahkan ikut mengajak warga lain agar mematuhi peraturan pemerintah. Persentase responden (n = 50 orang) yang termasuk dalam golongan
51
tersebut adalah sebesar 34 persen (17 orang ). Kemudian responden yang hanya sebatas memberi dukungan dengan cara mematuhi secara sadar terhadap peraturan pemerintah adalah sejumlah 34 persen (19 orang). Sementara itu, ada responden yang tidak acuh atau menganggapnya biasa saja tanpa merasa ada keterkaitan dan kedekatan dengan pihak pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut yaitu sebesar 26 persen (13 orang) serta hanya sejumlah dua persen (1 orang) yang tidak mendukung kebikajan pemerintah untuk melindungi hutan mangrove. Interaksi asosiatif terlihat dari banyaknya masyarakat mendukung dan melaksanakan peraturan pemerintah (SMMA) dan merasa bahwa masyarakat memang memiliki hubungan yang erat dengan ekosistem hutan mangrove. Lain halnya dengan masyarakat yang tidak acuh bahkan enggan untuk mendukung dan mematuhi kebijakan pemerintah, karena pemerintah (SMMA selaku pelaksana kebijakan pemerintahan di lapangan) kurang menjalin kedekatan dan sosialisasi dengan warga. Pola hubungan seperti ini membuat beberapa responden merasa tidak perlu mematuhi peraturan pemerintah terkait pengelolaan hutan mangrove. Petugas SMMA yang secara intensif berada di lapangan untuk menjalankan pemantauan dan penjagaan kawasan hutan mangrove juga mengakui keadaan tersebut. Memang saya akui, selama ini pihak kami kurang melihat secara langsung pada kondisi masyarakat. Belum tahu persis akan kondisi yang masyarakat rasakan. Malah baru tahu ya pas ikut Dik Nendy wawancara ambil data di masyarakat. Saya rasa, mungkin karena itu juga ada saja masyarakat yang masih tidak tanggap sama peraturan SMMA. Mungkin juga mereka hanya berpikir yang penting gimana caranya menaikkan pendapatan dan hasil tangkapnya (Bapak Tan, 38 tahun, polisi hutan
Suaka Marga Satwa Muara Angke). Bentuk dukungan masyarakat pesisir Muara Angke khususnya nelayan yang tinggal di dekat hutan mangrove yaitu kerap membantu tugas para petugas SMMA dengan ikut menegur warga yang kedapatan sedang mengambil hasil hutan dan menagkap satwa di hutan mangrove secara ilegal. Warga yang melanggar peraturan pemerintah tersebut pada umumnya bukanlah warga Muara Angke melainkan warga dari luar Kelurahan Pluit bahkan dari luar Jakarta. Selain ikut menegur, masyarakat juga tidak segan untuk melaporkan kepada petugas SMMA jika ada kejadian penyusupan para oknum di hutan mangrove seperti kasus pada Bapak Asi (40 tahun).
52 Saya tahu kalau ada oknum yang menangkap satwa di hutan sini. Tapi itu bukan orang sini kok, rata-rata mereka berasal dari luar Muara Angke. Karena saya merasa sungkan dan menghormati binatang di hutan ini, jadi ketika saya berangkat/pulang melaut kebetulan ada yg ketahuan menangkap hewan ya saya tegur, saya usir biar pergi dan tidak jadi menangkap. Terkadang, saya juga adukan ke petugas (Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem).
Penuturan Bapak Asi tersebut juga diperkuat dengan penuturan Bapak Was (42 tahun) selaku polisi hutan yang bertugan untuk mengamankan dan menjaga kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Bulan ini (Desember2010) saja sudah ada yang menangkap burung di SMMA. Tetapi pelakunya bukan warga Muara Angke, melainkan warga Kamal Muara. Kebanyakan warga di sini tidak ada yang berani macammacam tangkap dan melukai satwa karena selain sudah tahu peraturannya juga ada kepercayaan yang diyakini kalau menangkap satwa pasti nanti akan terjadi sesuatu hal seperti kesurupan. Ketika ada orang yang menyusup ke hutan, saya sering mendapat laporan dari warga sini (Bapak Was, 42 tahun, polisi hutan Suaka Marga Satwa Muara Angke ).
Warga yang secara suka rela mendukung dan mengajak warga lainnya untuk mematuhi peraturan pemerintah (SMMA) adalah mereka yang memang menyadari pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk mendukung kehidupan nelayan. Seperti kasus yang terjadi pada Bapak Nim (55 tahun). Tahun 1970-an, Kelurahan Pluit ini masih banyak sekali hutannya. Rumah masih sepi. Kalau banyak hutan seperti dulu itu rasanya hidup itu indah. Ini serius lho ya. Jangan sampai habis hutan ini. Tidak hanya masyarakat miskin yang sengsara, tetapi kita semua nanti yang sengsara. Saya orang Angke asli juga suka bilang ke tetangga atau teman-teman, bahwa saya paling tigak setuju kalau hutan ini habis, yang ada sekarang ini ya harus dijaga jangan sampai jadi rumah lagi (Bapak Nim, 55 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke).
Berdasarkan uraian di atas, maka secara singkat bentuk dukungan dan interaksi positif antara masyarakat Muara Angke dengan pemerintah pengelola hutan mangrove yaitu dengan mematuhi peraturan (tidak sembarangan masuk kawasan hutan dan mengambil hasil hutan serta satwa yang dilindungi) dan membantu tugas polisi hutan dalam menjaga dan memantau kondisi sekitar hutan dari penyusupan pihak lain. Sedangkan masyarakat yang tidak mendukung disebabkan karena merasa petugas SMMA tidak pernah menjalin kedekatan dengan mereka.
53
b) Kemitraan antara warga pesisir Muara Angke dengan para pelaku bisnis dan industri (swasta). Pembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi dan bisnis berkembang pesat khususnya di pantai utara Jakarta, mengingat kawasan ini merupakan kawasan niaga sejak masa kolonial Belanda. Ekosistem hutan mangrove di Muara Angke semakin lama juga semakin terdesak seiring pesatnya industrialisasi di bidang bisnis property dan pariwisata. Pembukaan lahan oleh pihak swasta (sebagai contoh: pengembang perumahan elit PIK) pun tidak dapat terhindarkan dan sudah dilakukan sejak tahun 1970-an, 1980an, bahkan berlanjut hingga kini. Berikut adalah gambaran bagaimana kawasan hutan mangrove yang diapit oleh keberadaan pemukiman warga dan kawasan industri.
Hutan Mangrove Muara Angke Kawasan Swasta (Perumahan elit, Industri, dan Pariwisata)
Gambar 5. Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke di Tengah Pembangunan Perumahan dan Pusat Industri Tahun 2009 Sumber: Pencitraan Satelit oleh Google Earth (2009) Gambar 5. dapat menampilkan sebuah fenomena keberadaan hutan mangrove terdapat di tengah-tengah kawasan pembangunan industri (komplek pertokoan/ruko, kantor, usaha periwisata dan tempat hiburan) dan hunian elit. Padahal sebelum berdirinya kawasan industri dan hunian elit, kawasan tersebut merupakan kawasan hutan mangrove yang lebat dan rawa yang menunjang daya dukung lingkungan di area pesisir Jakarta. Keberadaan kawasan industri yang mengapit hutan mangrove secara langsung atau tidak langsung dapat menggambarkan interaksi sosial antara pihak swasta selaku pemilik modal dengan masyarakat pesisir Muara Angke. Terdapat pro dan kontra mengenai kegiatan pembanguan yang dilakukan oleh pihak swasta di kalangan masyarakat pesisir Muara Angke yang dapat dilihat pada Gambar 6.
54
90%
100% 80% 60% 40% 20%
0%
0%
Sangat setuju
8% Setuju
0%
2%
Tidak tahu/netral
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
Gambar 6. Respon Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Pembangunan Kawasan Elit dan Industri oleh Pihak Swasta Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Data yang diambil dari 50 orang responden menyatakan bahwa hanya delapan persen (4 orang) responden yang setuju pada kegiatan pembangunan oleh swasta di Muara Angke. Jumlah ini merupakan pertanda sebagian besar responden menyatakan bahwa diri mereka kontra terhadap kegiatan pembangunan di Muara Angke oleh pihak swasta. Responden yang menyatakan setuju adalah wakil dari masyarakat berprofesi bukan sebagai nelayan melainkan sebagai tukang ojek, satpam (security hunian elit) dan pedagang yang memang memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dengan adanya pembangunan sektor hunian dan industri. Pendapatan mereka tergantung pada keberadaan pihak swasta, dan pihak swasta sebagai penggerak industri (sektor formal) memang juga tergantung pada jenis pekerjaan sektor informal di sekitarnya. Para tukang ojek dan pedagang yang pada umumnya mendapat pelanggan dari penduduk perumahan elit merasa keberadaan kawasan ini justru membantu menaikkan taraf ekonominya. Interaksi yang berlangsung hanya sebatas motif kebutuhan ekonomi masing-masing pihak yaitu masyarakat Muara Angke dengan pihak pengembang hunian elit (swasta). Sedangkan untuk kelompok responden yang tidak setuju bahkan sangat tidak setuju terhadap pembangunan kawasan komersil dan hunian elit disekitar hutan mangrove adalah perwakilan dari masyarakat yang haknya terpinggirkan akibat pembangunan tersebut. Pembangunan dan pertumbuhan industri yang pesat dan cenderung berorientasi profit membuat kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan
55
menjadi terabaikan. Masyarakat merasakan lebih banyak kerugian dari pada keuntungan atas keberadaan kawasan komersil tersebut, seperti sering terjadinya banjir kiriman maupun banjir rob yang harus dialami warga. Selain masalah bencana banjir, masalah sosial pun kerap muncul seiring dengan pesatnya pertumbuhan kawasan komersil yaitu pemingggiran lapangan pekerjaan (khususnya nelayan), ketidakharmonisan hubungan warga akibat kesenjangan sosial-ekonomi yang sangat timpang, serta keterdesakan lahan pemukiman masyarakat nelayan akibat penggusuran untuk pembangunan kawasan komersil. c) Kemitraan antara sesama masyarakat pesisir Muara Angke. Hubungan ini sangat tampak pada kelembagaan informal masyarakat seperti pola hubungan patron-klien antara pelaku industri rumahan di bidang pengolahan ikan dengan para nelayan Muara Angke. Pelaku industri pengolahan ikan bertindak sebagai patron yang mengumpulkan hasil tangkapan nelayan untuk dijadikan bahan baku utama industrinya. Nelayan yang melakukan transaksi perniagaan dengan pelaku industri pengulahan ikan adalah nelayan tradisional Kali Adem. Keterbatasan jumlah tangkapan membuat meraka tidak memasok di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke. Hubungan ini lebih bersifat simbiosis mutualisme antara pelaku industri dengan nelayan.
5.2.1.3 Gerakan Penghijauan Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri di pantai utara Jakarta menyebabkan reklamasi semakin marak, sehingga luas hutan mangrove pun semakin lama semakin menyempit. Hal ini membuat pemerintah (Kementrian Kehutanan dibantu oleh Pemprov DKI Jakarta) mengambil langkah untuk melakukan gerakan penghijauan dengan menggerakkan masyarakat setempat untuk terlibat. Pemerintah juga beberapa kali melakukan sosialisasi pentingnya penanaman mangrove kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem hutan mangrove bagi lingkungan dan menumbuhkan minat untuk melakukan penanaman mangrove. Upaya tersebut dapat digolongkan pada bentuk interaksi asosiatif yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove karena mengandung unsur kebersamaan dan kerjasama yang mengarah pada perubahan positif pada lingkungan dan sosial
56
kemasyarakatan. Keterlibatan masyarakat dalam program penghijauan dapat dilihat pada Gambar 7. 72%
80% 60% 40%
18%
20% 0%
0%
0%
A
B
C
D
10%
E
Gambar 7. Persentase Masyarakat Muara Angke yang Ikut Terlibat dalam Kegiatan Penghijauan Tahun 2010. Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Keterangan: A = mengabaikan dan menggagalkan penghijauan, B = melakukan pengijauan karena insentif/imbalan, C = memiliki kesadaran penghijauan namun tidak melakukan, D = memiliki kesadaran dan mau melakukan penghijauan, E = mempelopori atau ikut menggerakkan dan melakukan gerakan penghijauan,
Berdasarkan data pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa memang masih banyak responden (dari total responden = 50 orang) yang belum pernah terlibat dalam kegiatan penghijauan hutan mangrove namun telah memiliki kesadaran pentingnya penghijauan yaitu sebanyak 72 persen (36 orang). Jumlah tersebut mewakili masyarakat yang memang telah sadar serta merasa memiliki ikatan erat dengan hutan mangrove sebagai penyangga keseimbangan lingkungan hidup dan biota laut. Namun, karena faktor kesibukan mereka tidak melakukan penghijauan. Lain halnya dengan responden yang ikut melakukan penghijauan, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang tidak melakukan penghijauan yaitu sebanyak 18 persen (9 orang). Sedangkan responden yang mempelopori sekaligus ikut melakukan penghijauan jumlahnya 10 persen (5 orang) saja. Dari keterangan di atas, tampak bahwa ada hubungan yang bersifat kerjasama, saling terkait dan membutuhkan antara pemerintah dengan masyarakat, meskipun jumlah reponden yang telah ikut serta melakukan penghijauan lebih sedikit dari yang tidak melakukannya. Gerakan penghijauan juga kerap dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan pelajar dari dan di luar wilayah DKI Jakarta. Hal ini menggambarkan adanya hubungan asosiatif antara pemerintah dengan institusi pendidikan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih umum.
57
5.2.2 Interaksi Berdasarkan Etika Ekosentrisme antara Manusia dengan Alam Kehidupan ekosistem sekitar hutan mangrove dan pesisir memang sudah menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan masyarakat Muara Angke. Eksistensi hutan mangrove memiliki peran yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya sebagai kawasan ruang hijau terbuka (RTH) berupa hutan yang hanya satu-satunya terdapat di Jakarta. Banyak keuntungan yang dirasakan masyarakat dengan adanya hutan mangrove yaitu sebagai penyuplai oksigen, tempat pemijahan biota laut, pencegah erosi/abrasi pantai, tempat tinggal (habitat) beberapa satwa, pencegah banjir, dan sebagainya. Masyarakat Muara Angke rupanya mempunyai cara untuk menjaga eksistensi dan kelestarian hutan mangrove yang sejak lama terjalin hubungan timbal balik antar keduanya. Peranan hutan mangrove sangat dirasa penting khususnya bagi nelayan. Kali Angke sebagai satu kesatuan ekosistem hutan mangrove merupakan kawasan strategis lalu lintas kapal untuk merapat. Selain itu, hutan mangrove menjadi tempat berpijahnya ikan dan biota laut lainnya yang tentu sangat menguntungkan nelayan. Jika tidak ada hutan mangrove, maka nelayan akan kehilangan tempat merapat yang aman dari ancaman badai dan gelombang laut, serta kehilangan tempat untuk mencari tangkapan ataupun umpan. Oleh karena itu, terdapat beberapa bentuk interaksi yang menghubungkan manusia dengan alam (ekosistem hutan mangrove) yaitu dengan upaya perlindungan satwa liar, pemanenan hasil hutan yang terkontrol, dan upaya penjagaan keanekaragaman hayati kawasan pesisir dengan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
5.2.2.1 Pelestarian Satwa Liar Seperti upaya masyarakat dalam berinteraksi dan memperlakukan satwa serta vegetasi yang terdapat di dalam hutang mangrove. Bentuk interaksi asosiatif antara masyarakat Muara Angke dengan satwa liar yang selama ini banyak diburu oleh manusia menunjukkan jumlah masyarakat yang tidak menangkap satwa bahkan ikut serta melindunginya melalui cara tradisional yang telah ada sejak lama. Adapun jenis satwa hutan Muara Angke yang kerap menjadi buruan
58
manusia antara lain biawak (Varanus salvator), ular, burung kutilang (Pycnonotus aurigaster) serta berbagai jenis burung lainnya, monyet, dan sebagainya. 80% 60%
60%
34%
40% 20% 0%
0%
0%
A
B
6% C
D
E
Gambar 8. Persentase Interaksi Masyarakat Pesisir Muara Angke dalam Upaya Melindungi Satwa Liar di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Keterangan: A = Menangkap dan membunuh satwa untuk dijual, B = Menangkap satwa untuk jadi hewan peliharaan C = Tidak acuh terhadap keberadaan satwa liar di hutan mangrove D = Tidak berani menangkap satwa liar E = Ikut mengkonservasi satwa liar dengan menggunakan kearifan lokal.
Hubungan dan perilaku masyarakat dalam memperlakukan satwa tampak pada Gambar 8. Berdasarkan pengelompokan jenis interaksinya yang diperoleh dari 50 orang responden. Terdapat 6 persen responden (3 orang) yang tidak acuh terhadap keberadaan satwa liar di hutan mangrove Muara Angke. Sikap tidak peduli akan keberadaan satwa liar di hutan mangrove disebabkan oleh pengetahuan dan kesadaran yang minim tentang peleatarian lingkungan. Tidak ada reponden atau nol persen yang menangkap bahkan membunuh satwa untuk dijadikan komoditas kegiatan jual-beli maupun untuk dijadikan hewan peliharaan. Sebaliknya, terdapat 34 persen responden (17 orang) yang tidak menangkap satwa liar yang berhabitat di hutan mangrove karena mereka tidak berani dan sudah paham dengan peraturan pihak pengelola SMMA tentang larangan menagkap satwa. Masyarakat Muara Angke tidak hanya menaati peraturan pemerintah (SMMA), namun juga melakukan upaya konservasi yang telah diketahui dan dijalankan secara tradisi turun-temurun. Kelompok masyarakat diwakili oleh responden berjumlah 60 persen (30 orang) yang menggunakan tradisi kepercayaan (mitos) yang mereka yakini terkait dengan sejarah dan satwa liar yang terdapat di hutan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA).
59
Masyarakat pesisir Muara Angke meyakini bahwa satwa yang mendiami hutan mangrove memiliki kekuatan-kekuatan gaib sebagai representasi atau penjelmaan dari penunggu gaib hutan mangrove. Masyarakat yang mengganggu, menangkap, bahkan membunuh satwa liar nanti akan mendapatkan kesialan berupa kerasukan, dilanda penyakit dan sebagainya. Hal ini didasarkan pada penuturan responden: Kalau penduduk sini tidak ada yang berani mengganggu binatang di hutan. Mereka takut, dik. Jadi, hewan seperti buaya, ular, monyet yang ada di hutan ini itu bukan binatang biasa. Istilahnya ya hewan itu dianggap siluman, dik. Jadi kalo binatang itu manpir ke tempat kami, ya kami tidakak berani menangkap apalagi membunuh. Kami biarkan saja sampai binatang itu pergi sendiri. Orang sini percaya kalau kita jahat sama binatang di hutan, pasti nanti ada yang kesurupan lah, jatuh lah, banyak pokoknya. Sekarang kan sudah jaman modern, ya masih banyak orang yang tidak mau percaya hal seperti itu, tetapi buktinya mereka itu yang masih nekat mengganggu hewan di hutan sini, malamnya ada yang kesurupan, adajuga yang sakit tapi tidak tahu penyakitnya apa padahal sudah ke dokter. Kejadian seperti itu sudah banyak (Bapak Mul, 48 tahun, warga Kampung Kali Adem). Wah, monyet di hutan seberang itu bukan sembarang monyet. Ada yang “menjaga” mereka di hutan. Tapi yang menjaga ya bukan manusia. Kami selaku orang sini percaya, seperti yang dikatakan orang sunda: ‘pamali’. Orang sini rata-rata sudah tahu, jadi tidak ada yang berani macam-macam kepada monyet-monyet itu (Bapak Iwa, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem )
Penuturan warga tersebut mengimplikasikan bahwa terdapat suatu sistem kepercayaan dan nilai yang dibangun bersama secara turun-temurun oleh sistem sosial masyarakat pesisir dan hutan mangrove. Mitos yang melekat pada satwa liar hutan mangrove terbentuk dari tradisi dan cara pandang masyarakat terhadap alamnya. Mitos tentang satwa di hutan mangrove ini termasuk bagian dari kearifan lokal yang masih bertahan dari tradisi dan budaya masyarakat pesisir Muara Angke. Mitos juga membentuk pengalaman, memberikan arah, dan pedoman kepada manusia untuk bertindak bijaksana6. Masyarakat Muara Angke kini melestarikan dan tetap mempercayai mitos ini dalam rangka perlindungan satwa di hutan mangrove walaupun semakin lama semakin terkikis oleh arus modernisasi, kemajuan teknologi dan pembangunan yang pesat di Jakarta. Upaya 6
Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi: Menguak Bahasa Mitos dan Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan. Yogyakarta: Kreasi Kencana
60
semacam ini dapat digolongkaan bahwa masyarakaat Muara A Angke mem miliki n ekosistem m hutan manngrove. kearifan lookal dalam menjaga keeseimbangan 5.2.2.2 Peemanenan Hasil H Hutan n Huutan mangrrove juga dapat menyumbangkkan hasil hutannya untuk u kepentingaan hewan dan manuusia. Seiring dengan menyempittnya luas hutan h mangrove di Jakartaa, maka pola p peman nfaatan hasil hutan juuga harus lebih dikendalikkan agar tiidak terjadii kepunahaan sumberddaya hayati.. Interaksi yang berlandaskkan etika ekosentrism e me antara masyarakat m M Muara Anggke juga teerlihat dari bagaimana pola pemanfaata p an hasil hutaan yang selaama ini ternnyata masyaarakat tidak lagi mengambill manfaat daari vegetasi mangrove yang beraggam, seperti yang A E B 0% % 0% 0%
tapak padaa Gambar 9. 9 D 322%
C 68%
Gambar 9. Persentasse Jenis Pem manfaatan Hasil H Hutan Mangrove di SMMA oleh Maasyarakat Peesisir Muaraa Angke Taahun 2010 Sumbber: Hasil Pengolahan Data D Kuantiitatif (2010)) Keterangan:: A = Menebaang habis kaw wasan hutan mangrove m B = Mengam mbil kayu bakkar, ranting, memanen m madu u, obat-obatann C = Tidak memanen m hasill hutan D = Tidak memanen m dan memelihara keanekaragam k man flora di huutan E = Menjagga kelestarian ekosistem huutan mangrov ve dengan meenggunakan zoonasi dan perraturan sesuai kearifan lokall.
Maasyarakat pesisir p Muaara Angke kini tidak memanfaattkan hasil hutan h dalam benntuk apapunn untuk meemenuhi keebutuhan hidupnya, teerlihat dari tidak adanya ressponden yaang mengam mbil hasil hu utan dalam bentuk kayyu, ranting, kayu, buah, dauun, bunga dan bagiann tumbuhan n lain sertta madu m mengingat fungsi f mangrove sebagai penyedia p b bahan pang gan, papann dan kebbutuhan lainnya. Fenomenaa tersebut terjadi seirring perubaahan status hutan maangrove meenjadi
61
kawasan lindung (Suaka Margasatwa) yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 1998. Namun sebaliknya, dari 50 responden terdapat 32 persen (16 orang) responden yang tidak mengambil manfaat dari hasil hutan mangrove dan sebesar 68 persen (34 orang) yang juga tidak mengambil manfaat serta turut melestarikannya dengan menggunakan dan menyebarkan mitos-mitos terkait hutan mangrove. Hutan mangrove di Muara Angke pada mulanya memang sempat digunakan masyarakat untuk menjadi tempat penyedia kebutuhan pangannya, seperti buah nipah yang dulu kerap diolah menjadi masakan oleh warga. Namun, karena sekarang pola konsumsi masyarakat sudah berubah dan tidak lagi tergantung pada hasil hutan serta modernisasi dan kemudahan untuk memperoleh bahan pangan lainnya di pasaran. 5.2.2.3 Penggunaan Alat Tangkap Ikan yang Ramah Lingkungan Sebagian besar masyarakat pesisir Muara Angke, khususnya di Kampung Kali Adem merupakan nelayan tradisional yang ditandai dengan kepemilikan kapal dan alat tangkap yang sangat sederhana. Jarak yang mereka tempuh saat melaut pun tidak jauh seperti nelayan modern yang berkeliling ke hampir seluruh wilayah nusantara. Mereka melaut hanya di sebatas perairan Teluk Jakarta dan pada umumnya masih bergantung pada ekosistem hutan mangrove untuk mencari umpan. Dalam penggunaan alat tangkap pun responden yang berprofesi sebagai nelayan tradisional Muara Angke (39 orang) hanya menggunakan alat tangkap jaring dan kail saat melaut dan mengambil kerang di muara sungai yang berdekatan dengan kawasan hutan mangrove. Nelayan tidak menggunakan alat yang berbahaya seperti bom air, racun potassium dan alat lainnya karena mereka sadar hal itu hanya akan membawa keuntungan sesaat dan dapat merugikan nelayan lainnya dengan mencemari perairan dan mematikan biota laut. 5.2.3 Interaksi Sosial-Ekologi Bersifat Disosiatif antar Aktor Manusia Muara Angke sebagai salah satu kawasan pesisir di Jakarta yang mengalami perkembangan yang pesat di sektor pembangunan baik dalam bentuk perumahan, industri, perkantoran dan pariwisata yang didirikan pada lahan yang dulunya merupakan rawa dan hutan mangrove. Letak Muara Angke yang strategis dan dekat dengan pusat pemerintahan kelurahan Pluit dan ditunjang dengan
62
kedekatannya dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta membuat para investor tertarik untuk mengembangkan usaha di sana. Pemerintah selaku pemangku kekuasaan tentu mengatur pergerakan para investor dengan adanya kebijakan dan peraturan.
Namun
dalam
pengaturannya,
pemerintah
belum
mampu
mengendalikan manuver pihak swasta sehingga menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan di Kelurahan Pluit dan khususnya kawasan hutan mangrove Muara Angke. Interaksi semacam ini menimbulkan korban yaitu masyarakat umum yang secara langsung atau tidak langsung dirugikan baik dari segi sosial maupun ekologis. Manusia dan alam sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sering kali terjadi pola dan arus hubungan yang tidak seimbang sehingga salah satu pihak mengalami kerugian dan pihak lain diuntungkan. Interaksi yang tidak seimbang inilah yang terjadi pada kasus Masyarakat Muara Angke dengan beberapa pihak (stakeholder) seperti sesama manusia yaitu antar masyarakat, pemerintah dan swasta serta dengan alam itu sendiri. Interaksi secara sosial yang tidak seimbang antara pihak-pihak ini menimbulkan marginalisasi, ancaman dari masing-masing pihak kepada pihak yang lain, konflik dengan derajat kedalaman tertentu pada setiap aktor yang terlibat sehingga dapat bermuara pada terjadinya aksi demonstrasi dan bentrokan. 5.2.3.1 Marginalisasi Masyarakat pesisir Muara Angke yang didominasi oleh kehidupan nelayan yang hubungan kekerabatannya tinggi dan bersifat patron-klien yang secara normatif menjadi modal sosial dalam membangun sebuah sistem sosial pesisir. Pembangunan pantai utara Jakarta yang semakin lama mengarah pada pembangunan ekonomi dan industri, membuat rakyat kecil yang diwakili oleh warga Kampung Kali Adem jadi pihak yang terabaikan dari sisi ekonomi dan sosial. Kebijakan pemerintah juga turut andil dalam proses peminggiran hak masyarakat pesisir Muara Angke dengan dibukanya Hutan Angke-Kapuk menjadi kawasan perumahan elit. Sebagian kawasan hutan Angke-Kapuk (HAK) mulai dilepaskan oleh pemerintah dimulai sejak tahun 1988. Keputusan Menteri Kehutanan dengan SK
63
No. 097/KPTS-II/98 telah melepaskan kawasan hutan mangrove Angke-Kapus seluas 831.63 ha dalam rangka pembangunan kawasan komersial PIK. Setelah pembangunan kawasan komersil PIK berlangsung selama beberapa tahun, masyarakat kawasan Kelurahan Kapuk dan Muara Angke mulai merasakan dampak buruknya. Lingkungan menjadi sering tergenang air akibat intrusi air laut ke daratan. Dampak buruk ini mengakibatkan masyarakat menanggung kerugian sosial dan ekonomi. Hak masyarakat Muara Angke untuk hidup di kawasan yang aman dari musibah banjir juga terabaikan akibat pembangunan PIK. Puncaknya terjadi pada tahun 2003 dan 2005 ketika sebagian besar wilayah Jakarta dilanda banjir. Peristiwa ini membuat kemarahan serta kekecewaan warga di wilayah kelurahan Kapuk dan Kelurahan Pluit menjadi suatu keniscayaan.
Masalah lain yang
muncul yaitu peminggiran hak Masyarakat Muara Angke di sektor ekonomi terkait dengan akses dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Keterdesakan ekonomi membuat sebagian masyarakat nelayan Muara Angke (khususnya nelayan tradisional Kampung Kali Adem) terkadang harus memulung sampah di bantaran Kali Angke dan di dalam kawasan komersial dan hunian PIK. Mereka sering mengalami pengusiran oleh penghuni dan pengelola kawasan hunian PIK karena dianggap mengganggu kenyamanan dan keindahan kawasan sebagaimana yang diutarakan responden: Dulu anak-anak kami masih bisa main-main ke sana (kawasan hunian elit), sambil memulung sampah untuk membantu orang tua. Tetapi sekarang sudah tidak boleh lagi. Lihat saja, pagar pembatas kompleknya sudah lebih dibuat tinggi, jadi kami tidak bisa masuk ke sana lagi. Kata mereka (penghuni hunian elit), anak-anak kami itu suka mencuri di situ. Kami jadi jengkel jika dibilang begitu. Kami tidak terima jadinya kami ada sedikit cek-cok dengan mereka (Bapak Kar, 27 tahun, warga Kampung Kali Adem)
Polemik lain pun bermunculan seperti penangkapan nelayan oleh pihak keamanan kawasan komersil dan hunian PIK. Penangkapan ini dilakukan karena nelayan dianggap memasuki kawasan hutan mangrove yang diklaim milik PIK pada saat kapal merapat di tepi batas hutan, tanpa melalui proses sosialisasi yang memadai. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pihak swasta yang diwakili oleh PIK mempunyai kewenangan dan kuasa yang lebih atas akses dan kontrol
64
terhadap sumberdaya hutan mangrove. Marginalisasi tampak pada peminggiran nelayan tradisional dari sisi menyempitnya area tangkap. Dengan begitu, nelayan harus menempuh jarak lebih jauh untuk memperoleh tangkapan dan umpan sebagaimana keterangan responden: Orang komplek kaya sempat buat rugi karena kelompok nelayan saya sempat ditangkap oleh pihak swasta pengelola perumaham elit yang akan dibangun di kawasan lahan mangrove yang sudah direklamasi. Tidak ada sosialisasi sebelumnya kalau ada pembangunan di situ, ada peraturan, jadi nelayan tidak tahu. Swasta selalu mencurigai nelayan. Nelayan terpaksa mencari tangkapan ikan di tempat lain yang jaraknya jauh dan menyebabkan hasil tangkapan menurun, bahkan hanya mendapat uji umpan berupa lintah dan yuyu merah saja. (Bapak Suk, 42 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke)
Tindakan marginalisasi oleh pihak swasta yang membatasi wilayah melaut terasa sangat merugikan bagi nelayan, mengingat tingginya biaya operasional (terlebih untuk biaya bahan bakar solar dan biaya makan) yang dibutuhkan untuk menempuh jarak jauh dalam mencari tangkapan. Keadaan ekonomi nelayan pun menjadi makin terpuruk, terlebih dengan ditambah berkurangnya kelimpahan biota laut akibat polusi dan perusakan habitat, membuat hasil tangkapan ikan semakin berkurang.
5.2.3.2 Ancaman Kerasnya kehidupan di pesisir utara Jakarta membuat maraknya tindak premanisme yang tumbuh pada struktur sosial kemsyarakatan. Pelabuhan dan pasar pelelangan ikan Muara Angke menjadi tempat para preman berkuasa. Keberadaan preman membawa dampak positif dan negatif bagi para nelayan dan warga pada umumnya. Preman dianggap dapat menjaga kawasan pasar dan pelabuhan menjadi kondusif untuk aktivitas perniagaan. Namun, terkadang para nelayan juga sering mendapat ancaman dari preman, jika nelayan hendak melapor pada polisi hutan ketika para preman secara sengaja masuk di kawasan hutan konservasi. Warga juga kerap merasa takut karena beberapa anggota preman terlibat dalam tindakan kejahatan seperti, mencopet, memeras pedagang di pasar ikan Muara Angke, dan sebagainya.
65
5.2.3.3 Konflik Konflik yang terjadi di kawasan pesisir Muara Angke dpat dibedakan berdasarkan aktor yang terlibat yaitu sebagai berikut: a) Konflik antara masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta yang diwakili oleh pengembang kawasan komersi dan hunian PIK. Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh swasta menyebabkan timbulnya perlawanan oleh masyarakat. Tindakan marginalisasi oleh pihak swasta (PIK) terhadap masyarakat pesisir Muara Angke bermuara pada munculnya konflik. Tumpang tindih wewenang dan kepentingan antara kedua belah pihak membuat konflik semakin berkskalasi.
Menentang,aksi dan gerakan sosial
46%
Menentang, tidak ada aksi nyata
46%
Tidak ada reaksi apapun
0%
Mendukung, tidak melibatkan diri Mendukung, ikut terlibat dan membantu pihak swasta
8% 0% 0%
10%
20%
30%
40%
50%
Gambar 10. Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan pada Sikap terhadap Keberadaan Kawasan Komersil dan Hunian PIK Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Masyarakat yang melakukan pertentangan dengan swasta, seperti yang tertera pada Gambar 10 dilihat dari sikapnya terhadap keberadaan kawasan komersial dan hunian PIK. Berdasarkan data 50 responden terdapat 46 persen (23 orang) yang menentang keberadaan swasta namun hanya berdiam diri dan juga terdapat warga yang menentang swasta serta melakukan aksi/gerakan nyata dengan jumlah perentase yang sama yaitu 46 persen. Aksi atau gerakan nyata yang dilakukan berupa protes, demonstrasi, bahkan upaya dialog dengan pemerintahan dan wakil rakyat (DPRD DKI Jakarta). Upaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk menyuarakan kepentingan mereka sebagai pihak yang terpinggirkan hak-hak sosial-ekonominya akibat pembangunan kawasan komersil dan hunian elit PIK. Sedangkan hanya terdapat 8 persen (4 orang) yang
66
mendukung kegiatan swasta karena motif ekonomi seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya yaitu hubungan asosiatif masyarakat dengan PIK terkait kemitraan yang menyediakan lapang kerja bagi masyarakat Muara Angke. Letak perumahan elit PIK, apartemen dan deretan pertokoan (ruko) yang berbatasan langsung dengan hutan mangrove dan pemukiman nelayan menyebabkan persinggungan kepentingan. Bentuk konflik masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta juga dapat dilihat pada Gambar 11 dengan interpretasi terdapat 16 persen (7 orang) dari 46 responden yang tidak menyetujui kegiatan swasta (merujuk pada gambar 6). Mereka adalah yang warga pernah terlibat peristiwa kekerasan dengan pihak swasta terkait upaya penggusuran pemukiman nelayan yang berada di bantaran sungai oleh swasta yang difasilitasi pemerintah Kelurahan Pluit (akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian bentuk interaksi disosiatif: Bentrokan). Beberapa bentuk interaksi disosiatif yang terdapat pada beberapa aktor dapat dilihat pada Gambar 11 yang interpretasi masing-masing bagiannya akan dijelaskan pada sub bab berikutnya. 100%
88%
88%
80% 60% 40% 20% 0%
12% 0% 0% 0%
12% 0% 0% 0%
Masyarakat Masyarakat
Masyarakat Pemerintah
30%30% 24% 16% 0% Masyarakat - Swasta
perang (saling bunuh)
kekerasan (anarchism)
adu pendapat
desas-desus (gossip)
saling ancam
Gambar 11. Bentuk dan Kedalaman Konflik dari Beberapa Pihak Terkait dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Mangrove Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Kemudian, responden yang mengalami keadaan saling megancam dengan pihak swasta pada Gambar 11 yaitu sebesar 24 persen (11 orang) sebelum bentrok dengan swasta terjadi pada tahun 1990-an. Ancaman yang didapat warga adalah berupa surat peringatan untuk segera pergi dari kawasan yang akan disterilkan dari pemukiman kumuh. Namun warga masih bersikukuh untuk tidak
67
pindah dari tempat tinggalnya sehingga muncul ketegangan dari kedua pihak. Sedangkan responden yang terlibat dalam adu pendapat dengan swasta adalah sebesar 30 persen (14 orang) dengan jenis saling tidak terima dengan perilaku masing-masing pihak. Keterdesakan ekonomi membuat masyarakat nelayan (khususnya nelayan kecil) terkadang harus memulung sampah di kawasan elit dan mereka sering diusir oleh penghuni dan pengelola komplek real estate karena dianggap mengganggu kenyamanan seperti yang diutarakan oleh Bapak Kar (27 tahun) dan Bapak Suk (42 tahun). Interaksi yang berat sebelah antara penghuni perumahan elit dengan masyarakat seperti penuturan Bapak Kar (27 tahun) dan Bapak Suk (42 tahun) di atas selain menimbulkan adu pendapat antara masyarakat dengan swasta, juga dapat menjadi isu yang kerap diperbincangkan oleh masyarakat atau menjadi desas-desus yang berkembang. Selain itu, penangkapan nelayan juga secara otomatis membuat hubungan yang semakin memburuk dengan pihak swasta (PIK). Konflik kewenangan ini menunjukkan bahwa swasta memiliki kuasa yang lebih besar atas sumberdaya hutan mangrove dari pada masyarakat sekitarnya. Responden yang masuk dalam kelompok ini berdasarkan Gambar 11 adalah sebesar 30 persen (14 orang) menjadikan persoalannya dengan swasta menjadi sebuah isu yang berlandaskan pada prasangka dan perasaan dongkol yang tidak berani mereka ungkapkan secara langsung kepada pihak lain. Ada konflik dengan swasta tentang tanah, mbak. Tetapi sebagian warga tidak bisa berbuat apa-apa. Lama-lama lahan di sini dicaplok oleh swasta. Tidak tahu ya, bagaimana kerjanya pemerintah kok bisa seperti itu. Hal itu membuat cemburu pada kami. Kami sebagai warga asli di sini tetapi orang Cina yang malah punya tanah luas-luas di sini, ditambah lagi mereka memakai cara mengurug hutan bakau. Teman-teman saya yang tinggal di bantaran kali kan otomatis bisa diusir. Tetapi saya tidak berani bicara langsung pada pihak pembangun (Bapak Sar, 55 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke).
Kasus yang dialami oleh Bapak Sar (55 tahun) di atas menggambarkan sebuah
prasangka
kepada
pihak
pengembang
swasta
yang
melakukan
pembangunan tanpa memperhatikan dampak negatif yang dirasakan masyarakat. Selain itu, ketimpangan seperti ini keberpihakan pemerintah yang cenderung kepada swasta tentu meyebabkan kecemburuan masyarakat. Swasta tidak akan
68
dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa didukung kebijakan dan perizinan dari pemerintah. Konflik antara masyarakat dengan swasta dapat disimpulkan sudah ada dalam tahap konflik terbuka yang saling melakukan intervensi dan perlawanan nyata satu sama lain, namun belum sampai pada taraf terjadi tragedi pembunuhan. Konflik dalam konteks masyarakat pesisir Muara Angke ini juga tergolong konflik pemanfaatan ruang dan konflik kewenangan pada sektor kehutanan mangrove yang banyak dimanfaatkan untuk kawasan perumahan elit, sehingga membuat posisi masyarakat semakin terdesak. b) Konflik antar masyarakat nelayan Muara Angke dengan nelayan pendatang. Interaksi masyarakat terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir yang bersifat disosiatif atau merugikan pihak lain tidak terlalu tampak pada masyarakat Muara Angke satu sama lain. Bentuk interaksi disosiatif antara sesama masyarakat Muara Angke adalah konflik yang derajat kedalamannya rendah. Sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 11 bahwa bentuk konflik yang terjadi antara masyarakat (50 responden) adalah adu pendapat dan timbulnya desas-desus (gossip). Masyarakat yang mengaku pernah terlibat dalam peristiwa adu pendapat dengan pihak lain terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove adalah sejumlah 12 persen (6 orang). Mereka terlibat adu pendapat ketika sedang mencoba menegur warga lain untuk tidak mengambil hasil hutan atau menangkap satwa, dan direspon dengan perlawanan dari warga yang diingatkan tersebut. Selain itu, permasalahan juga dilatarbelakangi persaingan penguasaan wilayah tangkap ikan antara nelayan lokal tradisional Muara Angke dengan nelayan pendatang. Kemudian, konflik yang berkembang dalam masyarakat Muara Angke juga dalam bentuk desas-desus (gossip) sebesar 88 persen (44 orang) yang berarti bahwa sebagian besar responden pernah memendam prasangka dengan warga luar Muara Angke yang mengganggu ekosistem hutan mangrove tanpa berani memberi peringatan dan mengusirnya. Tidak ada (nol persen) responden yang mengaku pernah terlibat dalam insiden saling mengancam, kekerasan, dan pembunuhan warga lain.
69
Prasangka yang timbul di kalangan masyarakat biasanya berkisar tentang konflik antarpribadi yang tidak ada hubungannya dengan interaksinya dengan hutan mangrove. Jenis interaksi disosiatif di kalangan manyarakat ini adalah bentuk/tipe konflik tertutup (latent) yang hanya dirasakan pergolakan dalam individu masnyarakat. c) Konflik antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah (Pengelola Suaka Marga Satwa Muara Angke) Hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah dalam hal ini adalah SMMA dapat dilihat pada Gambar 11. mengenai derajat konflik yang pernah mereka alami. Responden yang diambil adalah sebesar 50 orang dengan responden yang mengalami adu pendapat dengan pemerintah terkait kebijakan konservasi hutan mangrove adalah sejumlah 12 persen (6 orang). Biasanya, masyarakat nelayan Muara Angke yang kapalnya merapat dan bersandar di tepi kawasan hutan dilarang oleh petugas polisi hutan SMMA karena diduga dapat merusak dan mengganggu ekosistem hutan. Peristiwa ini menimbulkan adu argumentasi antara kedua pihak yang mencoba memberi alasan dan pembenaran akan tindakannya. Adu pendapat tidak lagi terjadi seiring upaya pemerintah untuk memahami kondisi nelayan yang kini tidak mempunyai tempat merapat. Kemudian, terdapat 88 persen responden (44 orang) yang sebatas menyimpan prasangka dan mengungkapkannya dengan sesama warga lainnya terkait hubungannya dengan pemerintah pengelola SMMA. Selama ini, memang petugas SMMA kurang mengenal dan bersosialosasi dengan masyarakat pesisir Muara Angke sehingga menimbulkan prasangka bahwa petugas SMMA cenderung eksklusif dan menutup diri. Sebagaimana kasus yang dialami oleh Bapak Nap (34 tahun) yaitu sebagai berikut: Petugas sering keliling sisir kali Angke ini mungkin untuk memantau orang-orang yang akan masuk ke hutan. Saya yang tinggalnya di bantaran kali Angke ini kan dekat dengan hutan, dekat sekali. Bisa dibilang kami ini tetangga mereka. Tapi jarang ya saya liat petugas itu mampir ke sini, mau mendengarkan dan tehu akan kondisi kami. Paling cuma Pak Nam (orang dinas kehutanan, warga asli Muara Angke) yang kami kenal dengan baik, yang lainnya sepertinya cuek-cuek ya. (Bapak Nap, 34 tahun, warga Kampung Kali Adem)
70
Kondisi yang dirasakan masyarakat ini memang tidak pernah diketahui oleh petugas SMMA dan hanya sebagai desas-desus yang menjadi pembicaraan satu warga dengan warga yang lainnya. Bentuk konflik desas-desus ini menandakan bahwa konflik masyarakat dengan pemerintah pengelola SMMA berada pada tataran konflik laten (tersembunyi) dicirikan dengan adanya tekanantekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Pengelolaan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir di Muara Angke bersifat multi aktor dengan karakteristik dan interest berbeda-beda yang dibawa oleh masing-masing aktor. Interaksi sosial-ekologi terbangun pada setiap dimensi dan lingkup aktor yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu interaksi antara pemerintah, masyarakat nelayan Muara Angke dan swasta (PIK). Interaksi bersifat asosiatif terjalin antara pemerintah dengan pihak swasta terkait dukungan pemerintah dalam bentuk legalisasi kawasan PIK. Pemerintah dengan masyarakat nelayan tradisional Muara Angke juga membangun hubungan positif dalam bentuk kerjasama penjagaan kawasan hutan mangrove. Kemudian, nelayan Muara Angke menjalin hubungan patron-klien dengan pengusaha rumahan pengolahan hasil tangkapan. Konflik sebagai salah satu bentuk interaksi disosiatif juga digambarkan dengan membaginya menjadi dua jenis konflik yaitu konflik terbuka dan konflik tertutup. Konflik terbuka terjadi pada interaksi swasta (PIK) dengan nelayan tradisional Muara Angke dilatarbelakangi ketimpangan wewenang penguasaan sumberdaya pesisir dan pengerusakan lingkungan yang ditudingan kepada swasta sebagai akibat dari reklamasi pantai utara Jakarta. Konflik terbuka antara masyarakat dengan PLTU Muara Karang juga terjadi bermula dari isu pencemaran lingkungan dan penurunan hasil tangakapan nelayan. Sedangkan konflik antara masyarakat nelayan tradisional Muara Angke dengan nelayan pendatang bermula dari persoalan perbedaan alat tangkap, persaingan wilayah tangkap hingga isu perusakan lingkungan pesisir dan hutan mangrove yang kerap dilakukan nelayan pendatang. Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa bentuk konflik di atas dapat digambarkan pemetaan jaring sosial antar aktor yang terlibat di dalamnya yaitu pada Gambar 12 berikut:
71
Warga PIK
legalisasi kawasan PIK Pengelola PIK
Pemerintah Daerah DKI Jakarta & Jakarta Utara
SWASTA • Ketimpangan wewenang penguasaan lahan pesisir • Pengerusakan lingkungan HUTAN MANGROVE
Desas-desus (prasangka)
PEMERINTAH
Kementrian Kehutanan RI : BKSDA DKI Jakarta
MASYARAKAT PESISIR
Penjagaan kawasan hutan mangrove
Pencemaran lingkungan
Nelayan Tradisional Muara Angke
Hubungan dagang (patronklien)
PLTU Muara Karang
• Beda alat tangkap • Persaingan wilayah tangkap • Perusakan lingkungan pesisir dan hutan mangrove Nelayan Pendatang
Pengusaha Pengolahan Hasil Perikanan
Keterangan: : konflik terbuka : konflik tertutup : kerjasama : keterkaitan ekologis : lingkup aktor
Gambar 12. Pemetaan Interaksi Sosial dan Konflik antar Aktor
72
5.2.3.4 Unjuk Rasa (Demonstrasi) Gerakan unjuk rasa yang kerap dilakukan oleh nelayan Muara Angke adalah upaya untuk menentang tindakan pembuangan limbah di muara sungai yang dilakukan oleh perusahaan pemerintah PLTU Muara Karang. Limbah industri berdampak langsung pada kualitas perairan yang menggenangi hutan mangrove, sehingga secara otomatis dapat merusak keanekaragaman hayati ekosistem pesisir. Nelayan merasa sangat dirugikan karena limbah dapat membuat hasil tangkapan mereka menjadi berkurang drastis akibat banyaknya biota laut yang mati. Tokoh masyarakat Muara Angke sudah menempuh jalur hukum dan sering mengadu ke pemerintah (Pemerintah Kota Jakarta Utara), tetapi kasus pencemaran ini belum mendapat tanggapan yang tegas dari pihak yang berwenang. Masalah pencemaran perairan sungai dan pesisir di Muara Angke dan pesisir utara Jakarta hingga kini masih belum menemui titik tengah penyelesaian. Masyarakat yang merasa dirugikan akibat pencemaran (seperti nelayan) masih sering melakukan upaya demonstrasi untuk memperjuangkan hak mereka. Pemerintah kurang dapat mengambil tindakan tegas karena kasus pencemaran ini melibatkan perusahaan pemerintah yaitu PLTU Muara Karang.
5.2.3.5 Bentrokan Bentokan merupakan puncak dari konflik yang berekskalasi antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pengembang kawasan komersil PIK. Peran pemerintah dalam mendukung pihak swasta (PIK) juga menjadi faktor penyebab kemarahan masyarakat. Konflik pemanfaatan lahan antara pengembang PIK dengan warga Kali Adem
muncul akibat tingginya laju pertumbuhan
kawasan kumuh yang mengelilingi daerah pemukiman mewah. Kawasan pemukiman kumuh (Kampung Kali Adem) sendiri terbentuk akibat status open access pada wilayah bantaran Kali Angke. Bentuk konflik masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta yang mengarah pada terjadinya bentrokan juga dapat dilihat pada Gambar 11 dengan hasil terdapat 16 persen (7 orang) dari 46 responden yang tidak menyetujui kegiatan swasta. Mereka adalah yang warga pernah terlibat peristiwa kekerasan
73
dengan pihak swasta terkait upaya penggusuran pemukiman nelayan yang berada di bantaran sungai oleh swasta yang difasilitasi pemerintah Kelurahan Pluit dan Pemerintah daerah Kota Jakarta maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana yang telah dijelaskan Rudianto (2004), penyebab konflik pemanfaatan lahan di pesisir Muara Angke dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) batas dan status kepemilikan sumberdaya tidak jelas (Izin Mendirikan Bangunan, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai); (2) Terjadi “transfer of ownership”; (3) Eksklusivisme penggunaan lahan untuk industri, pemukiman, perdagangan dan jasa yang disebabkan adanya “power of money”; (4) Pemerintah daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah yang sudah menjadi produk Peraturan Daerah dan (5) Lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Pemerintah memiliki sudut pandang kawasan pemukiman kumuh harus digusur karena menyalahi peruntukan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Upaya penggusuran inilah yang melahirkan perlawanan keras dan terjadilah bentrokan warga Muara Angke melawan Pemerintah. Hal ini berdasarkan pada keterangan dari responden: Tahun 1990-an kawasan Kampung Kali Adem sempat akan digusur oleh petugas kamtib. Warga sudah diperingatkan berkali-kali tapi kami di sini tetap bertahan saja bagaimana pun kondisinya. Kami kan sudah tinggal di sini (Kampung Kali Adem) terhitung sudah bukan setahun-dua tahun, tetapi sudah puluhan tahun. Orang-orang menggusur kami ya untuk membangun apartemen dan komplek perumahan orang kaya itu. Kami sudah tidak punya lahan dan apaapa lagi di kampung halaman. Jadi, kami tetap bertahan sampai pihak Pemkot benar-benar menggusur kami. Kami sempat melakukan perlawanan dengan banyak yang membawa golok, pentungan untuk bersiap melawan petugas trantib. Tetapi akhirnya pihak Pemkot tidak jadi mennggusur karena kami melawan. Alasan dari Pemerintah menggusur rumah kami katanya agar kota jadi rapi dan bagus, karena yang dilihat kan rumah-rumah elit bukan penduduk seperti kami ini (Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem)
5.2.4 Interaksi Sosial-Ekologi Berlandaskan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam Masyarakat pesisir Muara Angke yang hidup di sekitar hutan mangrove yang dihubungkan dengan bentangan Sungai Angke juga memiliki perilaku yang unik dalam memperlakukan sungai yang mengairi hutan mangrove. Pengumpulan
74
data kuanntitatif yangg dilakukan pada 50 reesponden menunjukka m n interaksi yang disosiatif pada p sumbeerdaya alam mnya seperti pada Gambbar 13 berikkut.
0% 1 12%
26%
32% 30%
Membuangg semua jenis sampah di sungai s Angke Membuangg sampah anorganik di d sungai Angke Tidak mem mbuang sampah h di sungai Memungutii sampah Memungutii dan mendaurr ulang samppah di sungai
Gambbar 13. Perseentase Masyyarakat Pesiisir Muara Angke A yangg Membuan ng Saampah di Muuara Sungaii Angke Tahhun 2010 Sumbber: Hasil Pengolahan Data D Kuantiitatif (2010)) Reesponden yaang tidak membuang m sampah di sungai dann memungu utinya sebesar 133 persen (66 orang) yaang meman ng secara saadar memunnguti samp pah di sungai unntuk memperlancar daan tidak menghambat m kapal nelaayan yang akan melaut. Teerdapat 32 persen respponden (16 orang) yanng tidak meembuang sam mpah di sungai karena k di linngkungan mereka m mem mang terseddia sistem peengangkutan dan pengolahaan sampahh yang diisiapkan oleh o penguurus RW masing-maasing. Respondenn yang masuk m dalaam golongan ini meerupakan rresponden yang bermukim m di kompllek perumaahan nelayaan permaneen yang meemang mem miliki struktur dan d sistem pengelolaaan sampah yang jelaas, seperti tersedianyaa bak sampah dan d tempat penampunngan sampah sementaara di setiiap wilayah h RT sebelum sampah dianngkut oleh petugas p kebeersihan Pem mda Jakarta Utara. Sedangkan, teerdapat 30 persen p respo onden (15 orang) o mengaku memb buang sampah (jenis sampahh anorganikk) di sungaii secara senngaja. Kemuudian terdap pat 26 persen (133 orang) ressponden yanng membuaang segala jenis sampahh (limbah ru umah tangga, saampah orgaanik,dan annorganik) dii sungai. Perilaku P warrga yang sangat tidak ram mah lingkunngan ini diisebabkan oleh o keadaaan tempat tinggal mereka m (warga Kaali Adem) yang y tidak terdapat sisttem pengeloolaan sampaah seperti halnya h warga yanng bermukkim di peruumahan nellayan Muarra Angke. Kondisi teempat
75
tinggal yang kumuh dan berada di atas aliran sungai (rumah terapung) membuat mereka selalu membuang sampah di sungai, padahal mereka juga menggunakan air sungai tersebut untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK). Selama ini, keluarga saya buang sampah di sungai ini. Ya, mau bagaimana lagi. Di Kampung Kali Adem kan tidak ada temapt sampah dan tidak ada yang mengumpulkan (mengatur) seperti yang ada di komplek perumahan bagus itu. Jadi, sampah mau dikumpulkan di mana? Kampung kami saja letaknya di atas kali begini. Tidak di atas tanah. Jadi, ya mau tidak mau sampah langsung dibuang di kali. (Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem)
Pernyataan Bapak Asi (40 tahun) mengenai kebiasaannya membuang sampah di Sungai Angke mewakili alasan masyarakat yang sampai saat ini masih membuang sampah di Sungai Angke.
Aktivitas semacam ini tentu dapat
mecemari Sungai Angke yang juga airnya mengaliri hutan mangrove di SMMA, sehingga mempengaruhi kondisi kebersihan hutan mangrove yang tampak dari banyaknya sampah yang menyangkut dan masuk di kawasan hutan. Mereka juga belum memiliki kesadaran bahwa perilaku mereka yang membuang sampah di sungai dapat mencemari air laut sehingga dapat mengurangi hasil tangkapan ikan nelayan. Selain itu, perilaku membuang limbah industri oleh para pelaku industri, contohnya PLTU Muara Karang , juga dapat tergolong interaksi disosiatif antara manusia dengan alam. Limbah industri berbahaya bagi kondisi perairan pesisir yang menggenangi hutan mangrove serta dapat mengancam biodeversity ekosistem pesisir.
Limbah
juga dapat
memperburuk
dan
menghambat
pertumbuhan tanaman bakau sehingga luas hutan mangrove semakin menyempit. Hal ini patut diwaspadai mengingat hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi keseimbangan lingkungan.
5.3 Ikhtisar Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara (state property) menyebabkan
masyarakat
sekitar
tidak
dapat
leluasa
memasuki
dan
memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. Akses untuk memasuki
76
kawasan hutan hanya diperuntukkan bagi warga atau pihak yang mendapatkan izin dari Kantor Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian kepada 50 responden, ternyata semua responden yang berarti 100 persen tidak memiliki akses masuk dan pemanfaatan hutan mangrove. Akses dalam hal ini termasuk pada kegiatan dan pemilikan bukaan lahan mangrove. Masyarakat Muara Angke sudah mengetahui dan paham pada peraturan pemerintah bahwa keberadaan hutan mangrove tidak dapat diganggu dengan aktivitas manusia. Interaksi asosiatif dan disosiatif terbagi menjadi dua golonngan besar yaitu antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam. Interaksi asosiatif dan disosiatif
antar
sesama
manusia
berdasarkan
keterlibatan
setiap
aktor
(stakeholder). Bentuk interaksi sosio-ekologis bersifat Disosiatif antar Manusia terbagi menjadi lima kelompok yaitu marginalisasi, ancaman, konflik, demonstrasi dan bentrokan. Adapun penjelasan singkat dan terperinci dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9 secara terlampir. Interaksi sosio-ekologis berlandaskan etika lingkungan ekosentrisme antara manusia dengan alam menyangkut dengan upaya masyarakat dalam melindungi sumberdaya hutan mangrove seperti perlindungan satwa liar, menjaga ekosistem hutan dengan tidak memanen hasil hutan mangrove, dan penggunaan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Sedangkan interaksi berlandaskan etika antroposentrisme antara manusia dengan alam berupa perilaku membuang sampah dan limbah industri yang masih belum bisa dikendalikan seperti halnya yang dirinci dalam Tabel 7.
77
Tabel 7. Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Berdasarkan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam Tahun 2010 Interaksi Aktor Bentuk Kegiatan Warga Kampung Kali Perlindungan satwa liar Adem di sekitar kawasan hutan mangrove dan Suaka Marga Satwa Muara Angke. ASOSIATIF (Antara Pemanfaatan dan Manusia dengan alam) pemeliharaan hutan mangrove. Nelayan Tradisional Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Warga Kampung Kali Membuang sampah Adem rumah tangga, plastik, kertas ke Sungai Angke. DISOSIATIF (Antara Manusia dengan alam) Para pelaku industri Membuang limbah seperti PLTU Muara industri di muara sungai. Karang Sumber: Ringkasan Pengolahan Data Kuantitatif dan Kualitatif (2010)