perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian Karya Mya Ye. Peranan perempuan Tionghoa dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian mengandung nilai feminisme yang erat kaitannya dengan feminisme sosialis. Feminisme sosialis akan membantu mengungkapan peranan perempuan Tionghoa yang selama ini mengalami penindasan diakibatkan oleh sistem kelas (akibat sistem kapitalisme) dan perbedaan gender (pelanggengan budaya patriarki) yang sangat di pengaruhi oleh faktor-faktor sosial. Peranan perempuan Tionghoa tersebut akan terlihat dari kutipan berikut ini. a. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Pendidikan “Ii Ti Lan mencebik. “Wah, sombongnya kau. Macam orang kaya saja. Sudahlah, tak usah macam-macam. Anak perempuan tak usah sekolah tinggi-tinggi. Nanti baliknya akan ke dapur juga. Buang-buang duit saja.” (Mya Ye, 2011:47). Mengenyam pendidikan merupakan sesuatu yang mahal dan tidak dapat diberikan begitu saja kepada perempuan-perempuan (amoi) tersebut. Perempuan selalu dikaitkan dengan hakikatnya sebagai mahluk lemah yang nantinya hanya akan bekerja di dapur mengurus anak dan suaminya, sehingga pendidikan dianggap tidak penting untuk perempuan. “Dengan enaknya Ii Ti Lan berucap. Padahal anak-anak perempuannya sendiri disekolahkannya tinggi-tinggi, bahkan sampai ke negeri tetangga. commit to user Kenapa dia melarang ibuku berjuang untuk melakukan hal yang sama
69
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
dengannya? Mungkin bukan dengan sekolah keluar negeri. Itu terlalu muluk. Tapi, paling tidak sampai lulus SMA, seperti yang dikatakannya tadi. Apakah karena ibuku miskin dan tidak punya uang, sehingga tidak berhak juga menyekolahkan anak-anaknya walau masih sekedar anganangan? Tidak bolehkah orang miskin mempunyai mimpi?” (Mya Ye, 2011: 48). Kutipan di atas terlihat perbedaan yang sanggat jelas, perempuan Tionghoa (amoi) yang bersetatus miskin tidak diizinkan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, sedangkan perempuan Tionghoa (amoi) dengan setatus yang lebih tinggi (kaya) dapat memperoleh pendidikan yang layak bahkan lebih baik. Hal ini cukup memperlihatkan jelas peranan perempuan Tionghoa yang masih mengalami pertentanggan dalam memperoleh hak-haknya ialah perempuan Tionghoa yang masih hidup dalam lingkar kemiskinanan dan lingkungan primitif, sehingga akan mudah saja mempengaruhi pemikiran perempuan (amoi) tersebut mengakibatkan mereka semakin tertindas. “Shintia mengangguk-angguk. “Kalau kamu sendiri? Apa rencana kamu? Kamu tidak ingin sekolah lagi?” A Cu memandang Shintia dengan wajah polos sebelum berkata, “Saya mau kawin sama orang kaya saja. Seperti Cece saya. Supaya saya bisa kirim uang untuk orang tua saya.” (Mya Ye, 2011: 88). A Cu seorang amoi Singkawang yang masih berusia belia, dengan kepolosannya bercerita khasnya perempuan-perempuan desa yang tidak mempunyai impian akan cita-cita yang tinggi melainkan ingin hidup dengan apa adanya sangat sederhana. Pilihannya hanya ingin mengabdi pada suaminya kelak mengurus urusan rumah tangga layaknya perempuan-perempuan primitif yang tidak dapat memiliki hak-haknya. “Ndak. Buat apa sekolah tinggi-tinggi? Kata amak saya, perempuan itu ndak usah sekolah lama-lama. Yang penting bisa baca-tulis. Nanti juga larinya ke commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dapur lagi. Ikut suami. Jadi ndak usah pintar-pintar. Karena nanti malah ndak dapat jodoh. Ndak laku.” (Mya Ye, 2011:101). Petuah tua yang selalu di wariskan turun temurun untuk para anak perempuan. Takdir perempuan akhirnya berada di dapur, sehingga mengenyam pendidikan tidak dianggap penting. Dengan pendidikan yang alakadarnya perempuan nantinya hanya akan mematuhi perintah suaminya. Bahkan perempuan Tionghoa takut tidak mendapatkan jodoh jika mereka pintar dan takut dianggap tidak laku. “Ng Siat Phin juga sama saja. Orang tuanya menyuruhnya berhenti bersekolah beberapa tahun yang lalu. Selain alasan yang sama seperti yang diceritakan Lie sian, juga karena tak ada biaya. Padahal, mereka bertiga bersekolah gratis. Tapi tetap saja, membantu orang tua mencari uang akan lebih bermanfaat daripada bersekolah.” (Mya Ye: 2011: 124-125). Meski bersekolah gratis, para orang tua tetap tidak mengizinkan anak perempuannya mengenyam pendidikan. Tingkat kepatuhan yang tinggi mengakibatkan perempuan (amoi) hanya dapat menuruti keiinginan orang tuanya. Dan denga faktor ekonomi yang sangat rendah mencarai uang lebih bermanfaat bagi mereka daripada bersekolah. “Karena harapan untuk dapat bersekolah sudah diputus ayahnya, ia berpaling ke jalan yang lain. Jalan pintas yang hampir selalu menjadi pilihan bagi kebanyakan perempuan yang masih terkungkung pola pikir dan budaya lama: menikah. Mencari suami berharta.” (Mya Ye, 2011:146-147). Orang tua merupakan sumber harapan terbesar bagi anak-anaknya dalam membantu mewujudkan cita-citanya. Namun, tidak untuk perempuan Tionghoa, harapannya untuk bersekolah di pupuskan oleh orang tuanya. Mereka akhirnya tidak mempunyai cukup pengetahuan dan pemikiran yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
luas, mengakibatkan mereka semakin tunduk pada pola pemikiran budaya lama yaitu menikah dengan laki-laki kaya untuk memperbaiki kehidupannya. b. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Karier “Banyak hal, “jawab Mei Fang sedikit sendu. “Tentang bagaimana miskinnya kota itu. Masyarakatnya yang kurang berpendidikan. Wanitawanitanya yang menjadi penghibur. Laki-laki yang ringan tangan. Penjudi. Macam-macam pokoknya.” (Mya Ye, 2011:16). Penggalan di atas melihatkan peranan perempuan sebagai pemuas nafsu para lelaki, perempuan bekerja sebagai wanita-wanita penghibur, dan para lelakinya sebagai superioritas yang dapat melakukan semua hal yang mereka inginkan. “Timbul haru dalam hati Shintia. Begitu kerasnya kehidupan anak-anak ini. Semenjak kecil mereka sudah harus berjuang mencari uang. Membantu orang tua menghidupi keluarga. Pendidikan apa adanya. Bahkan sepertinya, kebutuhan mencari ilmu menjadi tak sepenting kebutuhan untuk menyambung hidup.” (Mya Ye, 2011: 99-100). Perempuaan Tionghoa dengan kehidupannya yang keras, tidak memiliki pemikiran lain selain bekerja mencari uang demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Sikap giat ini akhirnya sering kali di salah artikan dan menjerumuskan amoi tersebut dalam lingkar perbudakan yang akhirnya menjadikan mereka sebagai sapi perah bagi siapa saja yang mendapatkannya. “Dari ketiganya hanya Lie Sian yang sempat bercita-cita tinggi. Jadi orang pintar dan bisa buka usaha sendiri. Tetapi, seperti kebanyakan gadis-gadis Tionghoa dengan orang tua produk masa lalu, ia tak diperkenankan untuk berekmbang. Takut tidak laku. Ia lebih baik didik untuk turun ke dapur dan berbakti pada keluarga. Itu jauh lebih berguna, kata Lie Sian singkat. Meniru ucapan yang sering dilontarkan ayah dan ibunya.” (Mya Ye, 2011: 124). Faktor orang tua sangat berpengaruh penting bagi peranan perempuan
commit to userpada orang tuanya sangat tinggi. Tionghoa. Kepatuhan perempuan Tionghoa
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
Terlihat dari kutiapan di atas yang menggambarkan pupusnya cita-cita perempuan Tionghoa dalam menentukan jalan hidupnya. Terampil di dapur dan berbakti bagi keluarganya merupakan jalan hidup yang harus dilakukan. Mereka layaknya boneka yang tunduk patuh tidak memiliki hak dalam menentukan apa yang menjadi keiingiannya. “Belum tentu orang tua ngi juga kasih. Mending ngi dikawin sama Taiwan atau Hongkong daripada merantau begitu,” sanggah Siat Phiin. “Ngi anak perempuan. Memangnya ngi ndak takut merantau sendirian? Kalau ada suami kan enak. Ada yang jaga ndak usah pusing cari duit. Semua diurus suami.” (Mya Ye, 2011: 129). Sebagai perempuan, perempuan-perempuan Tionghoa tersebut selalu merasa dan dianggap tidak dapat mengurusi hidupnya sendiri. Perempuan Tionghoa merasa sangat bergantung pada laki-laki dalam menentukan hidupnya. Hal tersebut yang akhirnya mengakibatkan mereka buta arah dan tidak dapat memilih apa yang sebenarnya terbaik bagi mereka. c. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Status Sosial “Akung ini punya tiga anak perempuan. Tiga-tiganya hidupnya sukses. Yang pertama kawin sama orang Taiwan. Yang kedua, kawin sama orang Australia. Yang ketiga, kawin sama insinyur, orang Jakarta. Semuanya orang kaya. Makanya hidup akung itu sekarang enak,” jelas A Cu polos.” (Mya Ye, 2011: 94). Perempuan Tionghoa turut berperan dalam status sosial keluarga di masyarakat. Kutipan di atas menyatakan masyarakat mengakui kesuksesan atau keberhasilan suatu keluarga diukur dari perempuan Tianghoa yang telah menikah dengan laki-laki dari luar negeri atau laki-laki kaya. “Su Yin tersenyum. “Dalam tradisi kuno, anak lelaki memang lebih diharapkan dari pada anak perempuan. Karena, jika mereka menikah kelak, keturunan mereka akan mewariskan marga yang sama dengan orang tuanya. to user Sedangkan anak perempuancommit pasti akan mengikuti marga suaminya. Tetapi
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
di era globalisasi sekarang, tradisi ini semakin menipis. Mereka yang tidak punya anak lelaki sudah tidak mepersoalkan lagi. Malahan sekarang banyak juga yang kebalikkannya. Mereka mengharapkan anak perempuan saja. Karena anak perempuan bisa dinikahkan dengan orang Taiwan kaya.” (Mya Ye, 2011: 114-115). Diskripsi di atas memperlihatkan peranan perempuan Tionghoa yang tidak memiliki banyak arti atau peran yang penting bagi kehidupan. Mulai dari tradisi kuno yang tidak pernah mengharapkan kehadiran anak perempuan yang dianggap tidak dapat meneruskan garis keturunan, sampai pada era modern saat ini mereka (amoi) tidak memiliki peranan yang penting tidak kalahnya sebagai barang yang dapat diperlakukan bahkan diberikan sesukanya kepada orang asing tanpa menghiraukan hak-hak perempuan tersebut. “Su Yin jadi tertawa melihat reaksi spontan temannya itu. “Dan anak perempuan mereka yang menikah dengan orang luar negeri umumnya tidak kembali ke tanah air. Sedangkan para anak lelaki menjalani hidup sebagaimana biasanya. Sebagian bermalas-malasan karena akan mendapat uang kiriman perbulan dari kakak atau adik perempuan mereka yang menikah di Taiwan atau negara lainnya.” (Mya Ye, 2011:115). Laki-laki dengan semua keistimewaannya dapat menjalani hidup sesuai dengan apa yang diinginkannya. Di sisih lain perempuan Tionghoa tersebut berjuang segenap usaha untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Tidak ada kecemasan keluarga padahal para perempuan Tionghoa yan menikahi lakilaki luar negeri pada umumnya tidak lagi pernah kembali ke tanah airnya. Dan akhirnya perempuanlah yang memenuhi kebutuhan keluarga dan menunjang status sosial keluarga di masyarakat. “Karena orang Taiwan bisa memberi mahar lebih tinggi pada orang tua si gadis. Padahal, perbedaan itu terletak pada kurs mata uang saja. Selain itu, gengsinya pun tentu lebih tinggi. Mereka bisa berteriak-teriak bangga, “anakku menikah dengan lelaki asing di luar negeri ini”. Kalau menikah to user dengan lelaki Singkawang,commit tidak memungkinkan anak mereka mengirim
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
uang setiap bulan. Lagipula, saya pribadi kurang tertarik dengan lelaki Singkawang, “ Su Yin terbahak-bahak.” Kenapa? Lelaki Singkawang sebagian besar masih mengikuti ajaran kuno: perempuan kerjanya di dapur. Tidak punya hak bicara, yang menyangkut keputusan penting, dalam krluarga. Dan lelaki Singkawang cenderung kasar, terutama dalam berbahasa. Sebagaian juga suka judi. Ada pula yang ringan tangan, walaupun sekarang sudah mulai berubah. Kalau mereka tak berubah juga mau cari istri ke mana? Sementara perempuan di sana lebih melilih lelaki Taiwan atau Hongkong.” (Mya Ye, 2011: 117). Penggalan kutipan di atas mengungkapkan kuatnya keiinginan orang tua agar menikahkan anak perempuannya dengan orang luar negeri. Terlihat perempuan di mata keluarga hanya sebagai alat penunjang kebutuhan keluarga dari segi ekonomi. Para orang tua akan merasa sangat bangga di depan masyarakat jika mendapatkan mahar dengan jumlah yang besar. Selain itu tidaknya pilihan lain bagi perempuan Tionghoa selain menikah dengan orang asing. Laki-laki Singkawang dikenal dengan sikap yang kasar, suka bertindak semaunya tanpa memperdulikan hak-hak perempuan selayaknya manusia pada umumnya. “Ketidakberdayaan melawan nasib ini, sekali lagi menyatukan keinginan mereka. Mencari uang dengan jalan pintas: menikah dengan orang luar negeri kaya.” (Mya Ye: 2011: 125). Dari penggalan kalimat di atas terlihat ketidak relaan mereka untuk terusterusan menjadi orang miskin dan tidak adanya daya untuk dapat mengubah kehidupannya. Mereka akhirnya melilih jalan pintas untuk menikah dengan orang luar negeri yang kaya demi memperbaiki keadaan ekonominya dan keluarganya. “Ia bersedia memberikan uang susu sejumlah lima belas juta untuk orang tua A Cu yang langsung mengiyakan. Mereka sudah tak mau ambil pusing lagi dengan pikiran apakah putri mereka akan bahagia nantinya. Yang ada di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
hadapan mereka saat itu hanyalah uang mahar yang dibayar kontan.” (Mya Ye, 2011:286). Perempuan-perempuan Tionghoa itupun dinilai dengan jumlah uang oleh calon suaminya. Orang tua perempuan tidak pernah memikirkan nasib putrinya. Ada perasaan bangga di hati mereka. Perempuan Tianghoa hanya dapat diam dan mengikuti apa yang sudah ditakdirkan untuknya. Tidak pernah ada nilai lebih bagi perempuan Tionghoa dalam status sosial keluarganya selain jumlah uang yang diberikan calon suaminya yang berasal dari luar negeri. d. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Adat Istiadat Tionghoa “Dan mereka tidak bisa menuntut. Ajaran kuno yang diwariskan turuntemurun tak mengajarkan mereka untuk berjuang memperoleh haknya. Yang mereka tahu, hanyalah itu. Perempuan tak ada hak bicara. Tak ada hak untuk maju. Tak ada hak untuk mengejar cita-cita sampai setinggi bintang di angkasa.” (Mya Ye, 2011:130-131). Penggalan kalimat di atas semakin mengungkapkan peranan perempuan Tionghoa yang tidak dapat memperoleh hak-haknya sebagai sesama manusia. Perempuan Tionghoa dituntut untuk patuh akan perintah orang tuanya. Mereka tidak diizinkan untuk mempunyai pendidikan, tidak diizinkan untuk berbicara apa lagi memilih jalan hidupnya sendiri. “Memang, serba salah menjadi wanita Tionghoa. Sejak dulu, kelahiran mereka tak terlalu diharapkan. Jangankan dipestakan seperti bila anak lelaki yang dilahirkan, kelahiran mereka tak jarang diiringi reaksi kesedihan. Perempuan dianggap tak bisa apa-apa. Tak bisa membawa nama marga keluarga, bukan dianggap sebagai pembawa berkah. Meskipun akhirnya, mereka jugalah yang harus berjuang, membanting tulang mencari nafkah.” (Mya Ye, 2011: 131). Peranan perempuan Tionghoa yang tidak pernah diharapakan sejak lahir, terlihat dari kutiapan di atas. Dalam tradisi masyarakat Tionghoa perempuan
commit to user tidak dapat meneruskan nama keluarganya sehingga kelahiran anak perempuan
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
tidak diinginkan, sedangkan untuk anak laki-laki kelahirannya begitu diharapkan, bahkan selalu ada pesta penyambutan untuk kelahiran anak lakilaki. “Su Yin tertawa halus. “Itulah tradisi China kuno. Pria yang memegang kendali. Wanita tak punya hak apa-apa. Bahkan hak berbicara di dalam rumah atau mengambil keputusan. Dan di Singkawang ini masih banyak sekali yang berpegang pada tradisi lama itu. Jadi jangan kaget kalau keadaannya seperti yang kamu lihat sekarang ini.” (Mya Ye, 2011:174). Singkawang dengan tradisinya yang beragam bahkan ikut memegang penting dalam menentukan hidup perempuan Tionghoanya. Perempuan Tionghoa diwajibkan tunduk dalam tradisi Cina kuno yang tidak mengizinkan mereka memegang kendali hidupnya sendiri. Laki-lakilah yang menentukan semua keputusan dan mengambil kendali atas perempuan. e. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Pernikahan “Apakah para amoi ini menikah dengan senang hati atau karena terpaksa?” “Ada yang menikah karena terpaksa. Tapi ada juga yang menikah karena desakan orang tua dan keadaan ekonomi yang sulit.” (Mya Ye, 2011: 118). Pernikahan yang dilakukan para amoi merupakan suatu keterpaksaan dan desakan oleh para orang tua dan keadaan ekonomi mereka yang susah. Tidak ada pilihan lain bagi para amoi untuk memutuskan apa yang terbaik atau apa yang diinginkan bagai hidupnya. “Tempat mereka adalah di dapur. Di sisi suami. Di tengah anak-anak. Duduk diam mendengar rapat keluarga, tanpa sedikit pun berhak menyela. Pun jika itu mengenai nasib mereka. Apa pun yang digariskan, mereka harus pasrah.” (Mya Ye, 2011:131). Perempuan Tionghoa hanya berperan sebagai istri yang bertugas mengurus keperluan domestik saja. Mereka tidak mempunya hak bersuara dan di tuntut
commit to user untuk patuh pada siapa saja yang mendapatkannya terutama suaminya.
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Ngi tidak ingat sama Ce Sansan?” tanya Lie Sian kemudian. Dipandangnya kedua sahabatnya bergantian. “Dia kabur dari Taiwan gara-gara ditelantarkan oleh suaminya di sana. Hampir saja dijebak untuk jadi pelacur untuk menutupi hutang suaminya karena harus memberi uang susu yang besar waktu melamar Cece Sansan? Masa lupa?” (Mya Ye, 2011: 125-126). Sesampainya di Taiwan pun nasib para amoi tersebut tidak kalah menyedihkan. Terlihat dari peryataan di atas yang menjelaskan keadaan seorang amoi yang telah menikah dengan orang Taiwan akhirnya berusaha kabur karena hampir di jadikan pelacur oleh suaminya. “Betul. Kalau suaminya sampai meninggalkannya, berarti Ce Sansan yang salah. Ia pasti tidak becus urus keluarga. Makanya, suaminya membawa anaknya pergi. Biar tidak ikut-ikutan ditelantarkan sama ibu kandungnya, angguk Siat Phin.” “Sepertinya, Siat Phin memperoleh ini dari omongan orang dewasa. Mungkin ibunya. Atau siapa pun. Yang pasti, mereka masih berpikiran, kalau keluarga berantakan yang salah pasti pihak istri. Suami selalu benar. Sungguh kasihan nasib kaum perempuan.” (Mya Ye, 2011: 126). Kutipan di atas mempelihatkan ketidakadilan yang dialami perempuan (amoi). Perempuan (amoi) diangggap menjadi penyebab kehancuran rumah tangga yang dibinanya. Padahal belum tentu hal tersebut terjadi karena kesalahan dari pihak perempuan, dan pihak suami selalu dianggap paling benar. “Kalau sudah kawin, perempuan itu harus bisa segala macam. Istri yang baik harus bisa menjadi teman ngobrol suami, jadi ibu yang urus segala keperluan suami, jadi babu yang masak, dan bersih-bersih rumah, dan jadi seperti pelacur yang mampu puaskan suami di tempat tidur.” (Mya Ye, 2011:153). Batasan peranan perempuan Tionghoa yang baik dalam keluarga hanya sebagai teman bercerita suaminya, kemudian dapat mengurus keperluan suaminya dalam hal memasak, mengurusi rumah, dan sebagai pemuas nafsu,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
79 digilib.uns.ac.id
tidak ada peran penting yang dapat dilakukan perempuan selain sebagai pelaku domestik. “Beda dengan Siau Fong. Ia anak perempuan. Kodratnya adalah menjadi istri. Mengabdi pada suami. Dunia yang dikodratkan untuknya, bagaimana pun, tetap hanya seputar kasur, dapur, dan sumur. Dan itu tak membutuhkan sekolah tinggi-tinggi. Cukup belajar dari pengalaman dan cerita orang-orang tua.” (Mya Ye, 2011: 160). Perempuan Tionghoa dianggap tidak membutukan pendidikan. Bersekolah merupakan sesuatu yang sia-sia. Belajar dari pengalaman orang tuanya, perempuan Tionghoa dikodratkan hanya menjadi seorang istri yang mengabdi pada suaminya. Perempuan Tioanghoa hanya berperan seputar kasur, dapur, dan sumur. “Miris. Para lelaki itu memilih calon istri seperti memilih baju di toko. Nilai dan lihat. Kalau pas, beli. Kalau tidak, barang dikembalikan. Mudahmudahan saja proses pemilihan amoi ini tidak perlu dicoba dulu seperti mengepaskan pakaian.” (Mya Ye, 2011:167). Tidak bedanya dengan lelaki Singkawang, lelaki yang berasal dari luar negeri inipun memperlakukan perempuan Tionghoa layaknya seperti barang. Perempuan Tionghoa tidak mempunyai hak untuk menentukan mana calon suami yang baik untuknya. Mereka dipilih layaknya seperti memilih baju di toko. Dilihat kemudian dinilai jika lelaki asing tersebut berkenan mereka akan dinikahi jika tidak mereka dikembalikan. Tidak ada hak perempuan untuk menolak ataupun meminta calon suami yang mereka inginkan. “Apak yang tampar saya, Ce,” akhirnya A Cu membuka mulutnya juga. Masih agak tersedak-sedak.” “Kening Shintia berkerut. Ditatapnya A Cu dalam-dalam. “Ayahmu?”” “Apak habis kalah judi. Habis minum juga karena kelihatannya agak mabuk. Sebenarnya, sudah biasa seperti itu, Ce. Main judi. Kalau kalah terus suka marah-marah. Siapa saja yang ada di rumah dimarahinya. Yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
paling sering kena, Amak. Telat bikin kopi pun bisa bikin apak ngamuk. Terus main pukul atau tampar.” (Mya Ye, 2011:207) Tidakan kasar yang dilakukan seorang ayah kepada anak perempuannya dan istrinya semakin memojokkan peranan perempuan Tionghoa. Mereka hanya sebagai pelampiasan kekesalan, tidak diperlakukan dengan baik layaknya manusia yang memiliki hak asasi manusia. “Ngai tertipu. Ternyata suami ngai hanya petugas kebersihan di sebuah gedung perkantoran di Taipei. Ia tidak lebih kaya dari ngai. Sama miskinnya. Ngai baru tahu semuanya setelah ada di sini. Ngai dibohongi. Untuk bayar mahar sepuluh juta pun dia pinjam sana-sini. Sekarang ngai diwajibkan bantu dia cari uang untuk lunasi utangnya. Hidup ngai sama saja seperti di Singkawang. Sama miskin. Ndak betah. Ingin pulang saja. Tapi sepertinya susah wah. Paspor ngai mertua yang pegang. Jadi ndak bisa kemana-mana. Untung masih bisa titip surat sama teman. Ini pun diam-diam. Kalau ketahuan bisa-bisa ngai dipukuli suami. Disangka ngadu. Untung dulu bukan ngi yang dipilihnya, A Cu. Dia kasar. Kalau bukan pukul, dia akan kurung ngai di kamar, kalau marah.” (Mya Ye, 2011:282). Tidak berhenti di Singkawang saja, di luar negeri pun saat perempuanperempuan Tionghoa sampai di tempat tinggal suaminya perlakuan yang didapatkan sama. Sejumlah uang yang dikeluarkan laki-laki Taiwan tersebut untuk membayar marah pada orang tua perempuan Tionghoa didapatkan dari hasil pinjaman. Perempuan Tionghoa yang telah menikah itu harus ikut bekerja keras membantu suaminya mendapatkan uang. “Jangan datang sini, A Cu. Ndak enak. Ngai ndak bohong. Ngai bangun subuh bantu mertua siapkan dagangan kue untuk dijual ke pasar. Siangnya ke kebun, petik jeruk untuk dijual juga. Ngai Cuma dikasi makan sedikit. Sering kelaparan. Mertua juga galak minta ampun. Ngai menyesal. Tapi nasi sudah jadi bubur. Kalau ngai pulang pun belum tentu keluarga di Singkawang mau terima. Yang ada ngai dimarahi karena ndak becus urus rumah tangga. Kalau bisa kabur, ngai ingin lari saja. Tapi bukan pulang ke Singkawang. Cari kerja saja. Kuli pun tak apa. Asal bisa keluar dari rumah ini.” (Mya Ye, 2011:282). commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kendali atas kehidupan perempuan Tionghoa tidak pernah dipegangnya sendiri. Saat menjadi istri dari orang luar negeri mereka tetap patuh atas semua aturan yang diberikan. Pekerjaan diberikan dari subuh membantu mertuanya yang kasar dan jahat. Kehidupan perempuan Tionghoa seakaan dianggap tidak terlalu penting. Keiingian perempuan-perempuan Tionghoa untuk memutuskan sendiri kehidupan yang diinginkannya selalu terhalangi. Faktor kemiskinan, pendidikan, dan tidak adanya keberanian membuat mereka hanya menjadi sapi perah bagi siapa saja yang mendapatkannya. “Dari penampilannya, orang mesti sulit menyangka kalau gadis muda ini sudah menjadi istri orang. Istri dari suami yang belum pernah dilihatnya.” (Mya Ye, 2011:291). Usia muda tidak menjadi penghalang bagi perempuan Tionghoa untuk menikah, tidak memiliki cita-cita selain mengikuti takdirnya untuk menjadi seorang istri, seorang istri yang bukan memilih sendiri suaminya. Perempuan Tionghoa bahkan menerima lamaran dari laki-laki yang belum pernah dikenal maupun dilihatnya. “Saya tidak betah di sini, Ce. Tidak enak. Saya ditipu sama Mak Comblang itu. Suami saya rupanya orang cacat. Kakinya buntung sebelah. Sudah gitu orangnya pemarah. Suka main pukul seperti lao pa saya. Mertua saya juga begitu. Galak dan cerewet bukan main. Semiskinmiskinnya saya di Singkawang dulu, masih lebih baik. Di sini saya tak bebas keluar rumah. Semua serba diatur mertua. Uangpun dipegang mertua. Saya tidak diberi sama sekali. Tidak sepeser pun. Lalu bagaimana saya harus kasi uang sama orang tua saya?” (Mya Ye, 2011:303). Gambaran kehidupan perempuan Tionghoa diungkapkan kembali dalam kutipan di atas. Perempuan Tionghoa layaknya seperti boneka yang dapat dimanfaatkan bagi siapa saja. Berharap mendapatkan suami yang kaya tapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
ternyata sama miskinnya. Meski bekerja keras perempuan Tionghoa tidak pernah mendapatkan haknya. “Ce, ternyata saya bertetangga dengan Lim Siau Fong. Cece tahu apa yang terjadi sama dia? Dia sudah meninggal, Ce. Minum obat serangga. Siau Fong meninggal lima hari yang lalu. Kasihan sekali nasibnya. Lebih parah daripada saya. Ia mau dijadikan pelacur sama suaminya. Dijual ke bos-bos kaya untuk menghasilkan uang yang banyak. Jahat sekali lelaki itu? Padahal dulu kelihatannya ia baik.” (Mya Ye, 2011:304). A Cu kembali bercerita perempuan Tionghoa ini menceritakkan kisah hidup temannya sesama amoi-amoi dari Singkawang yang menikah dengan laki-laki luar negeri. Hidup menyedihkan dialami oleh perempuan Tionghoa bekerja keras bahkan dijadikan wanita penghibur oleh suaminya sendiri. tidak ada pilihan lain bagi perempuan-perempuan Tionghoa ini selain berusaha untuk kabur maupun bunuh diri. “Mungkin Cece bertanya-tanya kenapa. Saya yang tak tahan, Ce. Saya hampir dijebak menjadi pelacur. Saya tak mau. Lebih baik saya mati daripada saya harus menjual diri.” (Mya Ye, 2011:305). Tidak memiliki pilihan hidup, pada akhirnya banyak perempuan-perempuan Tionghoa yang telah menikah ini akhirnya bernasib buruk. Perempuanperempuan Tionghoa dijebak untuk menjadi pelacur dan lebih memilih untuk bunuh diri agar terhidar dari pelakuan buruk suami-suaminya. 2. Latar Belakang Sosiologis yang Terkadung dalam Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian Karya Mya Ye. Secara sosiologis, novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian merupakan gambaran masyarakat Tionghoa pinggiran Kota Singkawang yang hidup tersisih akibat kerasnya kehidupan di Kota Singkawang. Adapun latar belakang sosiologis
commit to user yang terdapat dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian yakni:
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
a. Suku (Etnis) Suku (Etnis) ialah suatu perkumpulan orang-orang yang mempunyai bahasa, latar belakang budaya, gaya hidup, kebiasaan dan ciri-ciri fisik yang sama. Etnis yang mendominasi Kota Singkawang, yakni Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Seperti kutipan berikut ini: “Nama Singkawang berasal dari kata Shan Kou Yang dalam bahasa Mandarin. Atau, San Kheu Yong dalam bahasa Hakka atau Khek. Shan artinya gunung, sedangkan Kou adalah mulut sungai, dan Yang yaitu lautan. Artinya, yang diapit gunung dan menjulur ke laut. Di cekungan antara kedua gunung inilah Kota Singkawang terletak. Nama ini muncul dari penafsiran para perantau dari China pada zaman dahulu. Masyarakat Singkawwang didominasi oleh tiga etnis besar, yaitu Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Tapi, ada juga etnis lainnya yang tinggal di sini, seperti Jawa, Madura, Bugis, Batak, Minang, dan masih banyak lagi.” (Mya Ye, 2011:56-57). Nama Singkawang merupakan kata yang berasal dari bahasa Mandarin. Dalam kutipan dijelaskan jika masyarakat Singkawang didominasi oleh etnis Tionghoa, Melayu, dan Dayak selain itu banyak juga etnis-etnis lainya yang tinggal dan menetap di kota Singkawang seperti Jawa, Madura, Bugis, Batak, Minang, dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun dalam penceritaan novel etnis Tionghoalah yang menjadi pengisah cerita tersebut. “Padahal dulu, menurut sejarah, leluhur-leluhur kami datang merantau dari tanah China.” (Mya Ye, 2011:19). “Lalu sebuah pigura besar berisi foto-foto kerabat keluarga ini yang berada di tanah China.” (Mya Ye, 2011:66). “Pada tahun 1770, kedatangan orang China ini semakin banyak lagi. Selain Guangdong dan Fujian, banyak juga yang datang dari Provinsi Kanton dan berbahasa Hakka. Orang-orang inilah yang menjadi leluhur orang Tionghoa di Singkawang.” (Mya Ye, 2011:122). Penggalan kalimat-kalimat di atas menggungkapkan sejarah etnis Tionghoa
commit to user Singkawang merupakan keturunan Cina yang datang merantau. Orang Cina
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
yang merantau tersebut merupakan leluhur etnis Tionghoa yang saat ini menetap di Singkawang. Selain itu etnis Tionghoa yang merupakan keturunan Cina juga masih memiliki saudara atau kerabat yang berada di Negara Cina. “Begitu kentalnya nuansa oriental di kota ini. Orang-orang bermata sipit, berkulit putih, dan kebanyakan berbahasa Hakka. Pak kung. Hio. Makanan khas China. Imlek. Cap gomeh.” (Mya Ye, 2011:104). Bukti etnis yang banyak menetap di Singkawang dideskripsikan dalam kutipan di atas. Kota Singkawang yang bernunsa oriental dengan masyrakatnya yang bermata sipit, berkulit putih, dan menggunakan bahasa Hakka. Dengan makanan khas Cina dan acara-acara atau tradisi imlek. Selain itu juga terdapat banyak Pak Kung dan Hio yang merupakan tempat dan alat khusus masyarakat Tionghoa untuk beribadah. “Berdasarkan sebuah data riset statistik, dulu sekali, jumlah pria Tionghoa di Singkawang ini lebih banyak dari perempuannya. Bertahun-tahun kemudian, data tersebut mengalami perubahan. Jumlah amoinya semakin lama semakin meningkat.” (Mya Ye, 2011:109). Deskripsi di atas menjelaskan jumlah pria Tionghoa yang berjumlah lebih banyak dari perempuannya. Namun, setelah bertahun-tahun kemudian jumlah perempuannya yang disebut dengan amoi berjumlah lebih banyak. Deskripsi tersebut menunjukan populasi masyarakat etnis Tionghoa yang berjumlah lebih banyak. b. Tempat Tinggal Mya Ye menggambil setting Singkawang sebagai tempat penceritraan novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian. Berikut kutipannya: “Aku tahu, “Singkawang” merupakan nama sebuah tempat di Pulau Kalimantan. Tapi, di bagian mana dan seperti apa rupannya, itu yang tidak kutahu.” (Mya Ye, 2011:1). commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kota Singkawang sendiri adalah sebuah kota kecil. Dulunya, hanya sebuah kecamatan yang menjadi ibu kota Kabupaten Sambas. Namun, sejak tahun 1981, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.49, statusnya berubah menjadi Kota Administratif.” (Mya Ye, 2011:56). Singkawang sebuah kota kecil yang dahulu merupakan kecamatan dari kota kabupaten Sambas. Sebelum menuju Kota Singkawang Mya Ye juga menghadirkan latar kota Pontianak. Seperti kutipan di bawah ini. “Akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam dari Kota Pontianak, ia sampai juga di Singkawang”. (Mya Ye, 2011:53). “Pemandangan Kota Pontianak yang menyerupai kota kuno, terus menyeberang ke Siantan melalui sebuah jembatan panjang, bernama Tol, yang menghubungkan kedua sisi Sungai Kapuas. Tugu Khatulistiwa. Mempawah. Hutan-hutan. Sungai. Pinggir lautan. Banyak sekali pokoknya.” (Mya Ye, 2011:56). Menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam dari Kota Pontianak untuk samapi di Singkawang. Kota Pontianak dijuluki sebegai Kota Khatulistiwa. Dalam kutipan di atas selama perjalanan menuju Singkawang, Shintia disuguhi pemandangan Kota Pontianak. Setting lainnnya yang diceritakan dalam novel berupa desa bernama Kopisan. Desa tersebut berada di selatan Singkawang. Keadaanya masih sangat asri dengan pemandangan di desa-desa pada umumnyaa dan keadaan jalan yang kecil dan sempit. “Kopisan. Sebuah desa di selatan Singkawang. Jalan masuk menuju desa ini hampir mirip dengan pemandangan di desa-desa lain pada umumnya. Ilalang-ilalang tinggi menjadi pagar alami di sana-sini. Jalanan berbatu-batu yang tidak terlalu lebar. Hanya cukup untuk dilewati oleh sebuah mobil. Tapi, bila brpapasan dengan mobil lain atau bahkan motor, salah satu harus agakmenepi dulu dan lewat bergantian.” (Mya Ye, 2011:92).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
Selain latar tempat berupa lokasi geografis, dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian menggunakan setting tempat berupa bangunan. Bangunanbangunan tersebut berupa rumah, hotel, restauran, gereja, rumah sakit, kedaikedai, toko-toko, kelenteng, dan kuil-kuil (pak kung) seperti kutipan-kutipan berikut ini: “Kamu tahu, Shintia, rumahku adalah rumah panggung. Bentuk rumah standar di Kalimantan untuk menyesuaikan dengan struktur tanah lembek yang berasal dari rawa-rawa.” (Mya Ye, 2011:22). “Lalu, Su Yin menunjuk sebuah bangunan hotel di seberang mereka. Itu hotel yang paling besar dan termasuk tertua di Singkawang.” (Mya Ye, 2011:58). “Kemudian Su Yin mengajak Shintia masuk ke dalam mobil lagi. Menyuruh pak sopir melanjutkan perjalanan. Bergerak perlahan melewati bangunan demi bangunan. Hotel. Restoran. Gereja. Rumah Sakit. Satu persatu dilewati. Kemudian sampailah mereka di jalan yang lebih ramai. Tempattempat yang lebih hiudp. Toko-toko yang menjual berbagai jenis barang. Kedai-kedai baso. Restauran-restauran. Bank. Mobil-mobil yang terparkir rapi sepanjang jalan.” (Mya Ye, 2011:58-59). “Mobil melintasi sebuah bangunan besar menyolok. Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya. Lalu melewati deretan toko-toko lag. Di tengah persimpangan, berdiri sebuah patung naga raksasa berwarna kuning yang meilit gagah di sebuah tiang berwarna hijau.” (Mya Ye, 2011:59). “Yang menjadi ciri khasa lain kota ini adalah banyaknya pak kung di setiap sudut jalan. Mulai dari yang kecil samapi yang besar. Tak heran kalau kota ini juga dijuluki sebagai kota seribu pak kung. Atau kota seribu kuil.” (Mya Ye, 2011:60). c. Bahasa Penggunaan bahasa dalam mendeskripsikan cerita dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian menggunakan bahasa Hakka. Bahasa Hakka dalam novel juga di deskripsikan dalam percakapan tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita. Hal tersebut membuat pembaca terutama yang sedaerah dengan commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengarang akan merasa lebih intim dan lebih dekat dengan kisah yang terdapat dalam novel ini. Setiap penggunaan bahasa Hakka tersebut, Mya Ye memberi makna atau arti dari bahasa tersebut dalam catatan kaki. Berikut kutipankutipan yang mengungkap tentang penggunaan bahasa Hakka yang digunakan Mya Ye dalam mendukung peristiwa-peristiwa dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian. “Apak baru tiba di rumah pukul sebelas malam. Ia hanya mengatakan lelah. Seperti hendak masuk angin. Badannya sakit, sehingga minta amak untuk mengeroki dan membaluri punggungnya dengan obat gosok.” (Mya Ye, 2011:25). “Awalnya, kami, kakak-beradik, bahkan berdoa di pak kung.” (Mya Ye, 2011:34). “Kami membakar hio. Dalam hatiku, aku mohon, semoga kedua kakakku tidak jadi dikirim ke Jakarta.” (Mya Ye, 2011:35). “Kapan Ako pulang lagi ke sini? Atau tak akan kembali lagikah? Tanyaku resah.” (Mya Ye, 2011:35). “Ten an kiu? Tanya Su Yin pada gadis itu.” “Gadis itu menggeleng. Suaranya cempreng. Ngai cang loi.” (Mya Ye, 2011:82). Selain penggunaan bahasa Hakka yang digunakan Mya Ye dalam menceritakan kisah-kisah yang terjadi, beberapa kosakata Mandarin juga digunakan. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh budaya Cina yang terjadi dalam lingkungan masyarakah Tionghoa Singkawang. “Aku dengar waktu mamamu cerita sama lao ma-ku kemarin, sahut Mui Na.” (Mya Ye, 2011:42).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
d. Agama Latar belakang agama yang dianut etnis Tionghoa Singkawang berdasarkan gambaran Mya Ye dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian adalah mayoritas Katolik. Sebagaimana kutipan berikut ini: “Ce, apa Cece dan keluarga masih amat mempercayai kebenaran ritual-ritual itu? Bukankah keluarga Cece kebanyakan sudah menjadi Katolik? sambil bertanya begitu Shintia menegakkan kacamata minusnya yang agak melorot.” (Mya Ye, 2011: 247). “Meskipun Katolik, Bong Su Yi ternyata tetap menyalakan hio ketika mendoakan arwah ayah A Sui. Shintia hanya menundukkan kepala dan berdoa dalam hatinya.” (Mya Ye, 2011:260). Kutipan di atas menjelaskan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tionghoa Singkawang. Meskipun beragama Katolik masyarakat Tionghoa Singkawang tetap menjalankan tradisi, adat, dan kepercayaan leluhur mereka yang berasal dari Cina. e. Adat dan Kepercayaan Masyarakat hidup dan berkembang dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah diwariskan secara turun-temurun sehingga menjadi suatu adat yang selalu dijunjung dan dilakukan oleh masyarakatnya. Selain adat, dalam masyarakat tersirat kepercayaan-kepercayaan yang diyakini keberadaannnya. Meskipun ilmu pengetahuan semakin berkembang dan modern, pola pikir masyarakat masih tetap dan meyakini adat dan kepercayaan yang terkadang tidak bisa diterima oleh logika manusia. Berikut ini kutipan-kutipan yang menandung adat dan kepercayaan dalam masyarakat Tionghoa Singkawang dalam novel. “Masuk ke dalam altar mata Shintia langsung disambut oleh meja sembahyang lengkap dengan pernak perniknya di atas meja, seperti lilincommitmenaruh to user hio sehabis sembahyang. Sebuah lilin sembahyang dan guci tempat
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
kain merah bercorak naga membentang di bawah kaki meja bagian depan. Di depannya, ditaruh batal panjang sebagai alas untuk berlutut. Juga berwarna merah.” (Mya Ye, 2011:65). Kain berwarna merah bagi masyarakat Tionghoa dipercaya sebagai pembawa keberuntungan. Bagi mereka warna merah juga melambangkan keadaan yang terang ceria dan menjadi lambang kegembiraan bagi kehidupan. “Kenapa? Lelaki Singkawang sebagian besar masih mengikuti adat kuno: perempuan kerjannya di dapur. Tidak punya hak bicara, yang menyangkut keputusan penting, dalam keluarga.” (Mya Ye, 2011:116-117). “Su Yin tertawa halus. Itulah tradisi China kuno. Pria yang memegang kendali. Wanita tak punya hak apa-apa. Bahkan hak bicara di dalam rumah atau mengambil keputusan. Dan di Singkawang ini masih banyak sekali yang berpegang pada tradisi lama itu.” (Mya Ye, 2011:174). Masyarakat Tionghoa juga percaya pada adat kuno yang mengatur tata cara berprilaku antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dalam adat kuno yang mereka percayai tidak mempunyai hak bicara dalam hal keluarga maupun halhal penting lainnya. Sedangkan laki-lakinya di percaya sebagi pemegang kendali baik bagi dirinya dan bagi keluarganya. Kepercayaan juga dianggap sebagi sesuatu yang akan mendapat sanksi atau hukuman jika dilanggar oleh masyarajat Tionghoa Singkawang. Seperti dalam kutipan di bawah ini: “Bedalah, Sian. Sudahlah, jangan pikir aneh-aneh. Jangan mimpi terlalu tinggi, gebah Siat Phin akhirnya. Biar orang tua kita saja yang atur sperti biasanya. Kita nurut saja jadi anak. Nanti kualat kalau tidak nurut.” (Mya Ye, 2011:129). “Dalam kepercayaan kami, kalau sudah tiba hari itu, Singkawang diyakini sebagai pusat berkumpul di pak kung itu kemudian dikeluarkan dan diarak keliling kota. Tujuannya, agar Kota Singkawang dibersihkan dari roh-roh jahat, juga supaya masyarakat selalu memperoleh keberuntungan di tahun yang baru. Setelah perarakan, barulah para tatung beraksi.” (Mya Ye, commit to user 2011:198).
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Pembukaaan toko baru Bong Su Kiat diadakan hari Kamis sore. Sesuai perhitungan hari, tanggal, dan bulan baik menurut feng shui.” (Mya Ye, 2011:246). Bagi masyarakat Tionghoa membantah perintah atau petuah orang tua merupakan sesuatu yang fatal. Sehingga mereka berusaha mungkin untuk terus melakukan apa yang diperintahan orang tuanya. Begitu juga dengan kepercayaan masyarakat Singkawang pada perayaan Cap Gomeh, pak kungpak kung yang berada di Kota Singkawang kemudian di arak berjalan keliling kota agar Kota Singkawang bersih dari roh-roh jahat dan masyarakatnya memperoleh keberuntungan. Selain itu masyarakat Tionghoa juga sangat percaya pada ilmu topografi kuno Cina. Ilmu tersebut dipecaya akan membawa keberuntungan bagi siapa saja yang mengikutinya. Seperti penentuan hari, tanggal, dan bulan baik saat membuka toko atau mengadakan acara lainnya. “Itulah tradisi kuno Tionghoa untuk menghormati keluarga yang sedang berduka, ujar Su Yin. Pakai saja baju berwarna hitam, abu-abu, biru tua, atau putih, akan lebih bagus.” (Mya Ye, 2011:257). “Yang ini Shintia sudah tahu. Adat tradisi tersendiri dalam keluargakeluarga Tionghoa kebanyakan. Bila asa orang tua yang meninggal, maka keluarga harus berada dalam susasana dukacita untuk jangka waktu tertentu. Dalam keadaan demikian, mereka tidak boelh mengadakan pesta. Apalagi sampai menikah.” (Mya Ye, 2011:265). Adat lainnya yang mengatur tingkah laku masyarakat Tionghoa ialah saat acara kematian. Untuk menghormati keluarga yang berduka masyarakat Tionghoa tidak boleh menggunakan baju berwarna terang dan bagi keluarga yang ditinggalkan tidak dizinkan mengadakan acara atau pesta jangka waktu tertentu.
commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kerasnya
kehidupan
masyarakat
Tionghoa
Singkawang
tersebut
berdampak pada keterpurukan nasib para amoi. Keterpurukan tersebut berkaitan dengan masalah sosial. Adapun masalah sosial yang menggambarkan keadaan sosiologis novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian diuraikan sebagai berikut. f. Kemiskinan “Shintia tahu, meski zaman sudah berubah, biarpun reformasi sudah digulirkan sekian tahun, namun stigma negatif tentang etnis Thionghoa masih sulit dihilangkan. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa orang Tionghoa pasti identik dengan kemapanan ekonomi. Sebuah prasangka yang salah kaprah. Karena di luar sana, di tempat lain yang hampir tidak tersoroti, banyak sekali orang-orang Tionghoa yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan,” (Mya Ye, 2011:12). “Kalau mau melihat kehidupan China miskin, datanglah ke Singkawang. Pemandangan kumuh, kotor, dan jorok berserakan di mana-mana. Bukan Cuma di desa-desa, tetapi juga di tengah kota. Kehidupan tanpak sungguh memprihatinkan.” (Mya Ye, 2011:18-19). “Rumah-rumah lama mereka dibongkar. Akibatnya, kemudian banyak terjadi pengangguran. Mungkin sejak itulah kemiskinan merajalela di tanah ini.” (Mya Ye, 2011:19). “Dan kegelapan itu bukan hanya milik amak. Tapi, milik kami semua. Tak habis-habis kami berpikir, bagaimana hidup kami setelah ini? Bagaimana kami makan? Bagaimana kami sekolah? Selama ini, ayahku tak punya apaapa untuk ditinggalkan bagi kami”. (Mya Ye, 2011:26). “Kemiskinan ini membuat kami tak punya bayangan bagaimana menghadapi masa depan. Kami jalani saja apa yang ada di depan mata. Pasrah. Itu juga yang selalu diajarkan amak pada kami”. (Mya Ye, 2011:34). “Miskin. Miskin miskin. Sepertinya hanya satu kata itu saja yang berputar di sekelilingku. Sebegitu miskinnya hidup kami, sampai kami harus bekerja keras hanya untuk hidup. Sebegitu miskinnya, sampai seorang anak harus terpisahkan dari keluarganya hanya untuk mencari kehidupan yang lebih baik”. (Mya Ye, 2011:44). “Hampir sama dengan kondisi keturunannya di Singkawang, orang China user di tanah asalnya. Mereka datang yang merantau itu termasukcommit orang to miskin
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
ke berbagai tempat di Kalimantan Barat, tanpa membawa harta apa-apa. Berharap di tempat yang baru mereka bisa memperoleh kehidupan yang lebih layak. Tetapi, ternyata harapan itu sulit terpenuhi, karena di tanahnya yang baru pun mereka kemudian mengalami banyak kesulitan hisup.” (Mya Ye, 2011:122). “Di rumahnya, ia hanya makan dengan lauk seadanya. Yang tak jarang, karena hanya sedikit, hanya cukup untuk dimakan sehari sekali. Selebihnya puasa. Menu kebangsaannya adalah nasi campur minyak babi dan ssedikit vetsin. Sering pula nasinya dibuatnya bubur supaya hasilnya sedikit lebih banyak dan mencukupi untuk dimakan sekeluarga.” (Mya Ye, 2011;134). “Namun, meskipun kedua orang tuanya membanting tulang dari pagi samapi malam, uang yang didapat tak seberapa. Hanya cukup untuk makan sehari-hari. Dengan lauk seadaanya.” (Mya Ye, 2011:145). Kutipan di atas mengungkapkan bahwa pada umumnya masyarakat Tionghoa Singkawang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, sesuai dengan nilai yang berlaku umum pada saat itu. Masyarakat Tionghoa Singkawang bekerja keras mulai dari para orang tua bahkan anak-anak belia turut bekerja membating tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup, bahkan untuk makan setiap harinya pun sangat sulit sering kali mereka hanya pasrah menghadapi segala kesulitan yang terjadi dalam hidupnya. Kemiskinan masyarakatnya turut mempengaruhi keadaan wilayahnya. Terutama dalam deskripsi di atas di jelaskan keadaan Kota Singkawang yang kumuh, kotor, dan jorok bukan hanya di desa-desannya tapi juga di tengah perkotaannya. Gambaran keluarga Tionghoa yang kehidupannya miskin lebih sering berpuasa menahan lapar juga dijelaskan dalam kutipan di atas. Untuk makan mereka biasa mengkonsumsi nasi yang dibuat bubur agar dapat mencukupi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
untuk dimakan sekeluarga. Menu makananya pun tidak pernah mewah hanya lauk seadaanya dan tidak dapat dinikmati sehari sekali. “Di Singkawang sini, banyak orang-orang tua yang seperti ibuku. Melepas anak-anak mereka yang masih sangat muda untuk pergi jauh. Entah untuk bekerja sambil sekolah, seperti Alung dan Acing, atau untuk dinikahkan dengan orang-orang dari negeri lain. Yang terakhir ini, biasanya anak-anak perempuan. Mereka nikahkan dengan orang luar negeri, seperi dari Sarawak, Taiwan, Hongkong, atau asal negara lain.” (Mya Ye, 2011:45). “Kata orang, yang seperti itu ada penjualanya sendiri. Mereka menyebutkannya mak comblang atau agen. Orang-orang ini, mencari-cari anak gadis yang masih muda sekali untuk dinikahkan dengan orang dari luar negeri. Banyak yang berminat, karena katanya, bisa berubah menjadi tidak miskin lagi.” (Mya Ye, 2011:45). “Ada yang menikah karena terpaksa. Tapi ada juga yang menikah karena desakan orang tua dan keadaan ekonomi yang sulit.” (Mya Ye, 2011:118). “Dalam bayangannya, jika ia berhasil dipersunting oleh pria seperti itu, ia tidak perlu lagi bersusah payah. Tak usah capek-capek membanting tulang seharian. Bekerja di toko orang. Dari pagi sampai malam menjelang. Samapi butiran-butiran bakso habis terjual dan helaian-helaian mi, bihun, dan kwetiau lenyap di perut orang. Sudah begitu, gaji yang diterimanya per minggu hanya paspasan untuk makan. Seringkali malah kurang.” (Mya Ye, 2011:147). Deskripsi di atas menguraikan keadaan masyarakat Tionghoa yang miskin akhirnya rela melepaskan satu persatu anaknya dibawa sanak keluarga maupun orang-orang untuk bekerja sambil bersekolah, bahkan rela menikahkan anaknya pada orang asing dengan alasan ekonomi. Bagi masyarakat Tionghoa dalam kutipan di atas dengan menikahkan anaknya pada laki-laki luar negeri dapat memperbaiki perekonomian menjadi lebih baik. Perempuan Tionghoa pun lebih memilih menikah dengan orang luar negeri dikarenakan pekerjaan keras yang mereka lakukan sering kali kurang untuk mencukupi kebutuhannya. Dengan menikah perempuan Tionghoa berharap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
tidak akan bekerja keras lagi untuk memenuhi kebutuhan karena telah memiliki suami orang luar negeri yang biasanya dikenal kaya. g. Pendidikan Masalah kemiskinan yang dialami masyarakat Tionghoa pada umumnya memengaruhi paradigma mereka dalam hal pendidikan. Pendidikan menjadi sesuatu yang tidak penting, mahal, dan langka dalam kehidupan mereka. Oleh sebab itu, banyak anak-anak mereka yang tidak mengenyam bangku pendidikan. Jika pun berpendidikan, itu merupakan sumbangan dari para sana keluarga yang mampu menyekolahkan mereka. Anak-anak mereka bersekolah sambil bekerja saling membantu untuk menunjang perekonomian. Paradigma mereka tentang pendidikan itu dapat dilihat pada kutipan-kutipan di bawah ini. “Di sana mereka sekolah sambil kerja di toko-toko milik saudara kita itu, Mei Fang. Acing jadi tukang masak di restoran. Alung kerja di toko listrik. Tapi, mereka juga harus mau bekerja. Bantu-bantu,” jelas Aphing panjang lebar.” (Mya Ye, 2011:43). “Dan ketika roda kemiskinan ini tak juga berputar dalam hidup kami, ketika amak semakin tak mampu untuk menyekolahkan kami semua, peristiwa pun berulang. Amak terpaksa merelakan satu persatu anaknya dibawa pergi oleh saudara-saudaranya yang lain ke Jakarta. Menumpang di rumah mereka. Sekolah sambil bekerja.” (Mya Ye, 2011: 49). “Akhirnya, aku pergi ke Jakarta. Merantau mengikuti jejak kakak-kakaku. Tinggal menumpang di rumah salah seorang saudara sepupu yang berbaik hati mau menyekolahkanku. Sampai lulus SMA. Dan roda pun mulai dapat bergerak.” (Mya Ye, 2011:50). “Kami sekolah sore, Ce. Karena paginya anak-anak harus dagang dulu. Cari uang.” (Mya Ye, 2011:99). “Siau Fong masih beruntung bisa bersekolah samapi tamat SD. Ia dibiayai oleh kakak lelaki pertama ayahnya yag hidupnya lebih berkecukupan. Setahun yang lalu, keluarga pamannya itu pindah ke Jakarta. Awalnya, Siau Fong diajak juga. Ia ditawarkan akan bersekolah samapai tamapt SMA. to user Namun, ayahnya melarang.”commit (Mya Ye, 2011:145).
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
“Ng Siat Phin juga sama saja. Orang tuanya menyuruhnya berhenti sekolah beberapa tahun yang lalu. Selain alasan yang sama seperti yang diceritakan Lie Sian, juga karena tak ada biaya. Padahal, mereka bertiga bersekolah gratis. Tapi tetap saja, membantu orang tua mencari uang akan lebih bermanfaat daripada bersekolah.” (MyaYe, 2011:124-125). Kutipan-kutipan di atas menjelaskan keadaan anak-anak masyarakat Tionghoa dalam memperoleh pendidikan. Bekerja sambil bersekolah merupakan gambaran kehidupan anak-anak Tionghoa. Kemiskinan menjadi penyebab mereka tidak dapat leluasa mengenyam pendidikan. Ketika orang tua semakin tidak mampu membiayai kehidupan anak-anaknya, maka para orang tua melepas anak-anaknya satu persatu untuk dibawa oleh saudara-saudara yang lain hijrah meninggalkan Kota Singkawang, kelak anaknya akan bersekolah sambil bekerja membantu sanak keluarga yang membawannya pergi. Kutipan di atas juga mengungkapkan kebiasaan anak Tionghoa untuk hijrah mengikuti keluarganya yang lain agar dapat memperoleh pendidikan dan kehidupan yang lebih baik. Namun, tidak semua anak akan mendapatkan kesempatan yang sama. Tidak jarang banyak anak yang dilarang mengikuti sanak keluargannya meninggalakan Kota Singkawang untuk sekolah dan bekerja. Para orang tua yang melarang anaknya lebih memilih anaknya tetap berada bersama mereka akan lebih bermanfaat karena dapat bekerja membantu kehidupan keluarga. Biasanya larang tersebut terjadi pada anak perempuannya seperti yang tertera dalam kutipan di atas. “Sebegitu miskinnya orang-orang ini sampai mereka tidak dapat bersekolah dengan layak. Dan mungkin, akan tetap tidak dapat mengenyam pendidikan commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jika tidak datang batuan dari salah satu lembaga sosial di Kuching, Malaysia.” (Mya ye, 2011:106). “Semua orang di desa kami miskin, Ce. Ndak ada duit untuk bayar sekolah. Untunglah kami masih bisa belajar gratis, cerita A Cu dengan kalimat yang sedikit lebih panjang dari sebelum-sebelumnya.” (Mya Ye, 2011:91). “Kami sekolah di dalam rumah yang sudah disewa. Di situ kami belajar dengan teman-teman yang lain.” (Mya Ye, 2011”91). Pendidikan merupakan sesuatu yang mahal bagi masyarakat Tionghoa Singkawang. Mereka tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya karena masalah kemiskinan. Dalam kutipan di atas dijelaskan susahnya masyarakat Tionghoa untuk memperoleh pendidikan yang layak. Bagi mereka mungkin tidak akan pernah sama sekali memperoleh pendidikan jika tidak datang bantuan dari lembaga-lembaga sosial yang berasal dari negeri tetangga Malaysia. Sekolah gratis yang diberikan oleh lembaga sosial dari negara tetangga Malaysia membantu mereka memperoleh pendidikan. Mereka bersekolah di sebuah rumah yang disewakan. Tidak ada gedung sekolah pada umumnya, hanya sebuah rumah dan anak-anak belajar memperoleh pendidikan seadanya. “Ndak. Buat apa sekolah tinggi-tinggi? Kata amak saya, perempuan itu ndak usah sekolah lama-lama. Yang penting bisa baca-tulis. Nanti juga larinya ke dapur lagi. Ikut suami. Jadi ndak usah pintar-pintar. Karena nanti malah ndak dapat jodoh. Ndak laku.” (Mya Ye, 2011:101). Deskripsi di atas mengungkapkan pendidikan yang mahal juga bukan merupakan satu-satunya anak Tionghoa tidak memperoleh pendidikan. Adannya pemikiran masyarakat yang salah akan suatu kebiasaan yang turun temurun di berikan pada anak perempuan.
commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambaran ketidak adilan yang diberikan pada anak perempuan dalam memperoleh pendidikan tertuang dalam paragraf di atas. Anak perempuan dianggap tidak penting bersekolah di karenakan nantinya setalah menikah anak perempuan akan menjadi seorang istri yang bertugas mengurusi keperluan dapur, suami, dan anak saja. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dianggap tidak akan mendapat jodoh sehingga, banyak anak perempuan yang akahirnya menurut dan tidak mengganggap pendidikan merupakan sesuatu yang penting. h. Pekerjaan Keadaan masyarakat Tionghoa yang miskin dan pendidikan rendah menjadikan
pekerjaan
yang
mereka
miliki
pun
bersifat
rendahan.
Ketidakberdayaan serta SDM mereka yang kurang berkualitas memaksa mereka untuk tetap bekerja pada taraf rendah. Mereka kalah bersaing dengan masyarakat yang menenganh dan berpendidikan tinggi yang memiliki kualitas SDM baik. Tingkat pekerjaan rendah itu pula yang menyebabkan ekonomi mereka tidak berkembang dan terus berkutat dalam kemiskinan seperti yang di jelaskan pada kutipan-kutipan di bawah ini. “Padahal dulu, menurut sejarah, leluhur-leluhur kami yang datang merantau dari tanah China, banyak yang bekerja sebagai penambang emas, di samping perkebunan, pertanian, dan peternakan. Namun, setelah penjajahan Belanda, semuannya mulai berubah.” (Mya Ye, 2011:19). Dahulunya masyarakat Cina datang ke Indonesia memiliki pekerjaan yang luamayan baik. Mereka bekerja sebagai penambang emas, berkebun, bertani, dan beternak dengan kehidupan ekonomi yang baik. Namun, saat penjajah
commit toberubah. user Keadaan Indonesia yang sulit Belanda datang semuannya kemudian
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
saat zaman penjajahan turut mempengaruhi kehidupan para pendatangnya terutama masyarakat Cina. “Sisa halaman belakang kami pergunakan untuk berternak bebek, ayam, dan babi. Hasilnya kami jual untuk menyambung hidup.” (Mya Ye, 2011:22). “Yang kuingat tentang apak hanyalah kerja kerasnya yang tak mengenal waktu untuk menghidupi kami semua. Apak hanyalah seorang penjaga toko di toko beras milik temannya. Gajinya tentu tak seberapa. Karena itu, ia sering merangkap sebagai kuli panggul. Upahnya? Tetap tak seberapa. Pun bila ditambah dengan upah amak sebagai penjahit kecil-kecilan di rumah.” (Mya Ye, 2011:24). “Kami semua mempunyai pembagian kerja masing-masing. Kakaku yang laki-laki membantu amak mencari uang dengan menjadi kuli angkut seperti almarhum apak dulu.” (Mya Ye, 2011: 30). “Apak kuli angkut di pasar dekat sini, Ce. Amak saya ndak kerja. Di rumah saja urus adik-adik yang masih kecil.” (Mya Ye, 2011:88). “Namun setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga A Cu disuruhnya lebih sering datang. Bukan sekedar untuk mencuci pakaian atau membersihkan rumah, tetapi supaya kekakuannya biisa segera mencair.” (Mya Ye, 2011:89). “Ada warung di depan rumah itu. Pemiliknya, seorang pria Tionghoa tua, sedang berhela-hela seraya bertelanjang dada kepanasan di sebuah kursi bambu dengan bantalan yang warnanya sudah tidak kelihatan jelas lagi.” (Mya Ye, 2011:94). “Sisi lain ini, begitu mencengangkanku. Keyakinanku menguap seketika saat disuguhi pemandangan yang begitu memprihatinkan. Sebut saja. Tukang becak. Buruh. Tukang ikan. Montir. Tukang cuci. Nelayan. Semua ada di sini. Dan mereka adalah orang Tionghoa. Etnis yang sering disamaratakan kehidupannya dengan saudara-saudara mereka yang berharta.” (Mya Ye, 2011:106). “Sehari-hari, Siau Fong bekerja sebagai pelayan di kedai bakso milik Cece Aling. Sama seperti A Cu, ia juga sudah berhenti sekolah setelah lulus sekolah dasar. Alasanya pun sama: orang tua tak ada biaya. Dan ia masih mempunyai tiga orang adik lelaki yang masih kecil-kecil.” (Mya Ye, 2011:144). “Ayah Siau Fong hanyalah seorang tukang becak. Ibunya ikut mencari uang commit to user Setiap hari beliau berjalan dari dengan jalan mencucikan pakaian orang.
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rumah ke rumah. Mengetuk satu persatu pintu. Menawarkan jasa. Siapa tahu ada yang butuh tenaganya untuk mencuci dan menyetrika, atau pekerjaan rumah tangga lainnya.” (Mya Ye, 2011:144-145). “Cangkau itu penjual perantara. Bapaknya A Sui, Ko A Hoey, tiap subuh ambil ikan di pasar Ali Anyang sana. Lalu ikan-ikan itu dia bawa ke pasar lain untuk dijual lagi sama orang lain, jelas Su Yin.” (Mya Ye, 2011:197198). Beberapa kutipan di atas menjelasakan pekerjaan yang dimiliki masyarakat Tionghoa Singkawang. Mulai dari bertenak untuk menyambung kehidupan sampai menjadi buruh dan kuli angkut pasar. Masyaraka Tionghoa bekerja serabutan, tidak hanya satu pekerjaan melainkan berbagai macam pekerjaan mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka masih tidak mencukupi kebutuhan. Bukan hanya para lelaki, perempuan pun turut bekerja membantu suaminya tetapi hasilnya masih juga belum cukup guna menunjang perekonomian keluarga. Anak-anakpun ikut serta bekerja membantu keluarga dengan pendidikan yang sekadarnya mereka menjadi pelayan maupun pesuruh dengan hasil yang tidak seberapa. Gambaran pekerjaan masyarakat Tionghoa tidak jauh dari pekerjaan kasar yang menuntut tenaga ekstra ini akbiat rendannya pendidikan, kurangnya SDM yang handal, dan tidak adanya kesempataan yang dapat mereka lakukan. Mereka cenderung pasrah dan mencoba terus bekerja apa saja agar dapat terus menyambung hidup.
commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Tanggapan Pembaca Terhadap Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian Tanggapan 1: Nama
: Mai Yuliastri Simarmata
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jalan Ampera Pontianak
Profesi
: Dosen STKIP PGRI Pontianak
Reseptor mengungkapkan isi novel yang sangat menarik. Cerita yang ingin pengarang sampaikan berupa ungkapan kegigihan seorang anak yang ingin membantu ekonomi orang tuanya yang sangat sederhana, mereka mau bekerja keras, dan mereka juga mengajarkan tentang ketaatan pada adat istiadatnya. Dalam keadaan realitas reseptor belum pernah melihat secara langsung belum keadaan seperti yang diceritakan dalam pengisahan novel Amoi Gadis yang Menggapai Impain, tetapi reseptor mengakui pernah mendengar keadaan tersebut yang sudah lama di tayangkan di TV tentang pekerjaan negatif jadi perempuanperempuan ini mau menikah kontrak dengan laki-laki yang sudah beristri. Pendidikan tingginya diutarakan reseptor mengenai bagaimana anak-anak tersebut sangat berbakti pada orang tuanya, adiknya bahkan mereka juga membantu sanak keluarganya. Mereka tidak peduli mau harga dirinya dikorbankan yang penting kebahagiaan orang tuanya dan orang tuanya mendukung usaha anaknya. Novel ini juga memiliki nilai adat istiadat yang tinggi, juga nilai mengandung nilai agama dilihat dari ketaatan mereka beribadah menjadi sesuatu yang perlu kita contoh. Bagi reseptor sebagai anak kita harus
commit to user
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengingat lebih pada orang tua dan saudara-saudara kita saat kita suksespun kita tidak boleh melupakan mereka. Reseptor mengambil gambaran dari keadaan novel Amoi Gadis yang Menggapai Impain mengenai pemikiran apakah jika saya menjadi amoi-amoi dalam novel ini mampukah saya atau bisakah saya seperti mereka, itu merupakan suatu hal yang luar biasa yang harus kita apresiasi, walaupun orang beranggapan miring karena kebanyakan mereka menikah dengan orang beristri atau laku-laki tua yang penting setiap bulan dia harus mengirim uang kepada keluarganya. Jadi saya berpikir saya saja yang di sini bekerja baik kadang saya tidak selalu mengirim uang kepada orang tua saya malah jarang sekali karena kebutuhan sehari-hari karena itu perlu diapresiasi dan perlu diancungi jempol tentang kegigihan perempuan-perempuan Tionghoa tersebut. Dikaitkan dengan pendidikan dan kehidupan sekarang reseptor ingin menyapaikan perlunya apresiasi tentang kerajinan, kegigihan, keuletan amoi-amoi Singkawang yang bekerja dengan rajin dan tidak peduli dengan segala jenis pekerjaan apapun tapi mereka tetap bekerja. Hanya yang perlu diubah ialah tentang pemikirannya bahwa kita boleh saja membantu keluarga kita tapi juga harus mendengarkan perkataan orang lain dan menjaga harga kita jangan sampai harga diri kita terjual dapat dibeli oleh orang apa lagi kita seorang perempuan dan sudah masuk zaman emansipasi wanita jadi pemikiran-pemikiran yang seperti itu harus dibuang tidak semuanya wajib kita lakukan walaupun menyangkut adat istiadat tapi tetap harus dibedakan mana yang baik dan mana yang tidak.
commit to user
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Reseptor menyatakan dalam kehidupan nyata keadaan sosial yang tergambar dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impain tidak ada lagi, namun tidak menutup kemungkinan pada etnis-etnis tertentu memang ada yang seperti itu seperti pada etnis Tionghoa pinggiran atau miskin tapi yang sudah maju atau modren tidak lagi seperti itu dan suku-suku yang lain tidak ada lagi yang menginginkan menjual anaknya demi uang, justru pemikirannya mulai berubah agar bagaimana anaknya dapat memiliki pendidikan bahkan sampai memiliki gelar agar dapat hidup lebih baik demi orang tuanya. Banyak orang tua yang mulai memikirkan pendidikan anaknya agar memiliki ahlak dan karakter yang baik. Reseptor mengungkapkan keadaan perempuan dalam masyarakat dengan keadaan perempuan yangg terdapat dalam novel ada kemiripan, tetapi dengan saat ini hanya sedikit hal-hal yang terjadi dalam kisah amoi tersebut karena perempuan-perempuan mulai berpendidikan. Tanggapan 2: Nama
: Melia
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jalan Pak Benceng Pontianak
Profesi
: Mahasiswa Program Studi Pascasarjana UNS
Jawaban
Reseptor menjelaskan novel ini berkisah tentang bagaimana upaya kerja keras anak perempuan untuk menghidupi keluarganya dengan mengorbankan dirinya seperti di sini perempuan Tionghoa dari kalangan berstatus sosial rendah di Singkawang orang tuanya seperti dijual untuk membantu perekonomian commit to user
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keluarganya.
Dalam
keadaan
realitas
reseptor mengungkapkan
keadaan
perempuan dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian pernah terjadi. Reseptor menjelaskan bahwa dia memiliki teman di Singkawang yang temannya memiliki status sosial rendah dalam arti miskin mereka rela menjual anaknya ke Taiwan untuk kehidupan keluarga mereka padahal sesungguhnya anaknya mengalami penderitaan yang menyedihkan karena tidak bisa hidup yang layak saat berada di Taiwan. Nilai pendidikan tinggi yang diungkapkan reseptor berupa nilai moral dan religious. Reseptor menjelaskan etnis Tionghoa kental dengan nilai religiusnya mereka taat beribadah setiap hari dan nilai moralnya yaitu berbakti pada orang tua terutama untuk perempuan Tinghoa rela berkorban demi orang tuanya seperti dalam novel merek menikah dengan orang Taiwan tanpa cinta yang penting bisa memberikan uang pada keluarganya. Pandangan reseptor sebagai mahasiswa tertutama perempuan mengungkapkan bahwa kita boleh saja berbakti pada orang tua tapi ada hal positif dan negatif yang perlu kita tekankan di sini sebagai perempuan kita boleh saja berbakti pada orang tua tapi tidak sampai mengorbankan diri seperti cerita dalam novel menikah dengan laki-laki asing. Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian memiliki berpengaruh pada diri reseptor mengenai ada pada cara pandang reseptor terhadap etnis Tionghoa yang kita ketahui pada lingkungan kita etnis Tionghoa itu selalu dianggap sebagai orang-orang yang memiliki banyak uang namun, ternyata sebenarnya etnis Tionghoa yang memiliki strata rendah sampai rela menjual anaknya yang di tutupi dengan alasan pernikahan. Reseptor mengungkapkan ada hal yang harus diubah commit to user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam sikap amoi yang dikisahan dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian karena dalam zaman modren saat ini tidak lagi ada perjodohan seperti cerita Siti Nurbaya seperti itu. Saat ini tidak ada lagi cerita kawin paksa apa lagi menikah. Tanggapan 3: Nama
: Lora Tri Yulianty
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jalan Imam Bonjol Pontianak
Profesi
: Guru SMA Bahasa Indonesia
Jawaban
Reseptor mengungkapkan novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian berkisah tentang seorang perempuan yang sangat berbakti pada orang tuanya sampai rela menjual dirinya demi uang dengan kedok menikah padahal kehidupan yang mereka lalui tidak jelas dan menderita. Dalam realita reseptor belum pernah mendengar atau melihat secara langsung keadaan yang dikisahan Mya Ye dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian dan reseptor mengungkapkan baru mengetahui saat membaca novel ini. Nilai pendidikan diuangkapkan reseptor berupa sikap bakti anak pada orang tuanya bagi reseptor orang tua pastinya sangat mengharapkan anaknya berbakti pada mereka. Selanjutnya, novel ini memiliki nilai budaya yang mengungkapkan keadaan Kota Singkawang yang sangat menarik. Bagi reseptor cerita novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian sangat menarik, novel ini mengungkapkan
commit to user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bagaimana wujud bakti anak perempuan kepada orang tuanya dan itu merupakan hal yang membangkitkan semangat reseptor. Reseptor juga menjelaskan sifat berbakti perempuan dalam novel perlu ditiru karena dalam hidup seorang anak harus berbakti pada orang tua. Reseptor menguungkapkan adanya sikap yang perlu perempuan dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian ubah, mereka perlu berbakti pada orang tua, namun harusnya ada pilihan atau pemikiran lainnya tidak hanya menikah dengan orang luar negeri saja cara mendapatkan kehidupan yang layak. Dalam lingkungan reseptor dijelaskan bahwa keadaan tersebut sudah tidak ada karena semakin majunya kehidupan modren sekarang anak-anak lebih memikirkan hal-hal lain yang baik dan maju, tapi kembali lagi pada lingkungan kita bagaimana beradaptasi kepada siapa dengan lingkungan yang mana mereka sudah punya pemikiran yang baik bagi hidup mereka sendiri tidak lagi dipengaruhi oleh hal-hal lainya, tapi tidak menutup kemungkinan ada tataran sosial seperti dalam novel ini dalam lingkungan lainya. Reseptor juga mengungkapkan masih adanya keadaan yang terjadi pada perempuan dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian hanya saja keadaan tersebut tersembunyi dan tidak terpampang langsung dalam kehidupan nyata. Tanggapan 4 Nama
: Donny Aris Munandar
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jalan Perdamaian
Profesi
: Karyawan Swasta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
Jawaban
Reseptor menjelaskan dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian pengarang ingin mengungkapkan tentang femomena yang terjadi dalam masyarakat Tionghoa Kota Singkawang. Pengarang juga ingin menceritakan tentang kegigihan seorang wanita Tionghoa yang disebut dengan amoi yang sangat ingin membahagikan orang tuannya dengan cara menikah dengan laki-laki luar negeri yang mana pernikahn tersebut merupakan kehormatan bagi masyarakat Tionghoa di Kota Singkawang. Dan pengarang ingin menceritakan bahwa tidak semua wanita-wanita Tionghoa itu hidup berkecukupan dan hidup bahagia setelah menikah dengan laki-laki luar negeri karena tidak sedikit apa yang mereka pikirkan tidak sesuai dengan harapan mereka. Reseptor menjelaskan bahwa dalam keadaan nyata belum pernah melihat secara langsung keadaan perempuan yang dikisahkan dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian. Reseptor hanya mendengar pembicaran orang-orang sekitar tentang Kota Singkawang yang memang sering terjadi pernikahan yang dilakukan etnis-etnis Tionghoa Singkawang dengan orang yang berasal dari luar negeri. Bagi reseptor novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian mengandung nilai pendidikan tinggi berupa nilai moral karena novel ini bercerita tentang kegigihan-kegigihan wanita Tionghoa yang berusaha menuruti keinginan orang tuanya juga nilai pendidikan yang dapat diambil berupa kegigihan dalam bekerja. Kemudian nilai budaya karena novel ini menceritakan tentang kehidupan atau tradisi yang ada di Kota Singkawang yang dapat menambah wawasan kita akan budaya-budaya yang ada di Indonesia. Dan terdapat nilai agana, dalam novel commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
107 digilib.uns.ac.id
diceritakan tentang ketaatan masyarakat Tionghoa beribadah, dalam hal tersebut kita harus mencontoh ketaatannya, meskipun kita berbeda agama dengan mereka namun, kita harus mencontoh tentang ketaatan mereka beribadah pada Tuhan Yang Maha Esa. Reseptor mengungkapkan karena novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian memiliki nilai pendidikan yang tinggi maka dapat kita ambilmaupun dapat dicontoh sifat-sifat para amoi yang sangat ingin membahagiakan kedua orang tuannya, meski dengan mengorbankan kebahagiaanya karena di zaman sekarang ini kita mulai melupakan untuk berbakti pada orang tua, dengan novel ini semoga kita juga bisa membahagiakan kedua orang tua kita. Pengaruhanya pada diri reseptor diutarakan lebih kepada pembelajaran bahwa kehidupan reseptor saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan amoi tersebut yang mana untuk mencari nafkah atau rezeki mereka harus mengorbankan kebahagiaan mereka dan itu sangat berbeda jauh dengan kehidupan reseptor, sehingga nilai tersebut yang dapat diambil dan reseptor merasa sangat beruntung dengan keadaannya sekarang. Dalam lingkungan reseptor diutarakan bahwa sudah tidak ada hubungan status sosial seperti yang terdapat di dalam novel. Pendidikan dalam keadaan lingkungan reseptor saat ini merupakan hal yang sama bagi orang kaya maupun orang miskin mereka memiliki hak pendidikan yang sama. Masyarakat juga sudah mulai berpikir bahwa anaknya harus lebih baik dari orang tuannya terutama pendidikannya. Bagi reseptor keadaan novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian tidak relevan lagi dengan keadaan nyata. Masyarakat Tionghoa di Kota Singkawang sudah commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membuang jauh-jauh tradisi tersebut. Mereka sudah menganggap tradisi tersebut merupakan aib, kalaupun ada kegiataan tersebut sudah jarang ditemui bahkan, pelakunya pun sudah berbeda seperti dulu yang mudah membicarakan hal tersebut. Jadi kegiatan tersebut sudah sangat tertutup dan jarang ditemui. Tanggapan 5: Nama
: Arni
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jalan Ilham Pontianak
Profesi
: Dosen STKIP PGRI Pontianak
Jawaban
Reseptor mengungkapkan bahwa pengarang novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian ingin menujukkan kebudayaan Tionghoa,. Kebudayaan tersebut tentang bagaimana seorang perempuan Tionghoa di Singkawang diperlakukan oleh orang tuanya seperti anak perempuan harus berbakti pada orang tuanya dan dalam suatu tradisi lama orang tua dulunya lebih menginginkan anak laki-laki namun, dalam novel diungkapkan
orang tua
akhirnya
lebih
menginginkan anak perempuan dengan alasan anak perempuan lebih ulet bekerja mencari uang. selanjutnya, novel ini juga menggambarkan bila perempuan itu cantik akan lebih mudah mendapatkan laki-laki Taiwan demi uang. Bagi reseptor cerita novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian sudah tidak asing lagi. Reseptor pernah mendengar cerita ini walaupun tidak terlalu mendetail, bahwa kebanyakan perempuan Tionghoa memang banyak bekerja di Taiwan agar mendapatkan jodoh di sana dan hal tersebut merupakan tuntutan orang tuanya. commit to user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Reseptor juga mengungkapkan novel ini memiliki nilai religius dan bakti yang dilakukan anak perempuan untuk orang tuanya. Namun, perempuan sebaiknya tidak boleh hanya menerima saja apapun hal yang dapat menghasilkan uang, perempuan harus tegas, dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Reseptor merasa sedih oleh sikap perempuan-perempuan
yang rela
mengorbankan dirinya dengan cara menikah dengan orang Taiwan tanpa rasa cinta atau bahagia tapi dia tetap tabah walaupun mendapatkan perlakuan yang tidak baik dan dia tidak pernah mengeluh pada keluarganya, hanya mencoba memberitakukan pada teman-temannya agar jangan kemari, dan novel ini sangat memotivasi diri reseptor agar selalu bersemangat dalam menjalani kehidupan. Reseptor menjelaskan bahwa harus ada perubahan yang mesti dilakukan oleh perempuan-perempuan dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian. Perubahan tersebut berupa adanya tindakan untuk berpikir terlebih dahulu dalam menentukan apa yang akan menjadi masa depannya. Mereka tidak boleh hanya memikirkan uang saja tapi juga harus bahagia dan perempuan harus bisa lebih tegas lagi. Reseptor juga mengutarakan masih adannya keadaan yang terjadi dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian dengan keadaan nyata yang terjadi saat ini. Apalagi jika dengan keadaan tersebut dipengaruhi dengan faktor ekonomi yang sulit namun, caranya yang mereka lakukan dalam masyarakat saat ini lebih halus dan lebih tertutup.
commit to user
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Alasan Orang Tua Perempuan (Amoi) Singkawang yang Menikahkan Anaknya pada Laki-Laki Luar Negeri. Wawancara digunakan untuk mengungkapkan latar belakang orang tua perempuan (amoi) Singkawang yang menikahkan anaknya pada laki-laki luar negeri. Wawancara dilakukan peneliti di sebuah desa kecil di pinggiran Kota Singkawang terhadap 3 informan yang bersedia dan dianggap masuk dalam katagori informan yang dibutuhan yaitu orang tua yang memiliki anak perempuan (amoi) Singkawang menikah dengan laki-laki dari luar negeri. Informan 1: Nama
: Siau Cian
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 40 Tahun
Profesi
: Ibu Rumah Tangga
Pertanyaan
Informan mengungkapkan saat zaman dahulu dulu etnis Tionghoa memang lebih menginginkan anak laki-laki karena bisa mewarisi marga tapi, zaman sekarang itu semua sama saja malah anak perempuan juga diinginkan karena lebih berbakti pada orang tua daripada anak laki-lakinya. Informan mengutarakan memiliki empat anak diantaranya dua perempuan, dan dua laki-laki. Anak pertama informan ialah permpuan yang telah menikah dengan laki-laki yang berasal dari Taiwan. Selanjutnya, anak kedua ialah anak laki-laki yang telah menikah dengan orang yang asal dari Pontianak dan menetap di Pontianak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
111 digilib.uns.ac.id
Kemudia anak ketiga informan bekerja di pasar yang terdapat di kota Singkawang dan yang terakhir anak perempuan yang masih bersekolah. Informan mengungkapkan bahwa ia mengizinkan anak perempuannya untuk menikah dengan laki-laki yang berasal dari Taiwan dikarenakan faktor ekonomi. Bagi Informan laki-laki Taiwan merupakan laki-laki kaya yang dapat membantu perekonomian anaknya dan dirinya. Kemudian informan juga menjelaskan bahwa anak perempuannya memiliki perasaan suka terhadap laki-laki Taiwan tersebut sehingga informan mengizinkan anaknya menikah dengan laki-laki tersebut. Pernikahan yang dijalani anak informan diutarakannya sudah lima bulan, informan juga mengatakan anak perempuannya selama lima bulan tersebut belum pernah pulang kembali ke Singkawang. Komunikasi yang dilakukan informan dengan anak perempuannya yang menikah dengan laki-laki Taiwan dilakukan melalu telepon. Anak informan pun diutarakan masih memngirimi uang untuk keluargannya di Singkawang meski tidak terlalu banyak tapi informan merasa terbantu dan bersyukur pada pemberian anaknya tersebut. Adanya cerita-cerita yang menakutkan tentang keadaan perempuan-perempuan yang telah menikah dengan laki-laki yang berasal dari luar negeri diakui informan mengakibatkan rasa takut tapi karena informan mendengar kabar baik dari anaknya maka perasaan takut terserbut langsung hilang. Informan menjelaskan perkenalan yang dilakukan anak perempuannya dengan laki-laki yang berasal dari Taiwan bermula dari seorang temannya yang mengenalkan anaknya pada laki-laki Taiwan melalui foto. Mereka kemudian berhubungan melalui telepon bersama temannya sebagai penghubung baru setelah commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
itu laki-laki yang berasal dari Taiwan tersebut dating ke Singkawang. Informan memiliki perasaan bangga pada anak perempuannya yang menikah dengan lakilaki yang berasal dari Taiwan tersebut. Rasa bangga tersebut karena laki-laki Taiwan datang menggunakan mobil, dengan rupa yang menawan, dan memiliki banyak uang. Sehingga para masyarakat mengagumi dan menyanjung pernikahaan anak perempuannya. Informan juga mengatakan bahwa rata-rata anak-anak dalam lingkungan masyarakatnya yang ingin rubah nasib menjadi lebih baik dengan cara menikah dengan laki-laki Taiwan. Informan 2: Nama
: Aliang
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Usia
: 37 Tahun
Profesi
: Buruh Pasar
Jawaban
Informan menjelaskan bahwa keadaan zaman dahulu tentang anak perempuan dan laki-laki dalam keluarga masih sama. Anak laki-laki diutarakan lebih diinginkan, tapi sebenarnya bagi keluarga anak laki-laki dan perempuan sama saja, sama-sama diinginkan oleh keluarganya. Informan mengutarakan memiliki empat anak diantarannya dua perempuan, dan dua laki-laki. Anak pertama informan ialah anak perempuan yang sudah menikah dengan laki-laki yang berasal dari Hongkong selama kurang lebih dua tahun. Informan mengungkapkan bahwa pernikahan tersebut dasari oleh faktor ekonomi. Informan mengakui bahwa ekonomi yang ia miliki tidak mencukupi commit to user
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Bagi informan laki-laki yang berasal dari Hongkong tersebut memiliki ekonomi yang lebih baik sehingga dapat membantu kehidupan informan berserta keluarga dari sisih uang maupun perlengkapan rumah lainnya. Komunikasi yang dilakukan informan pada anak perempuannya yang telah menetap dengan laki-laki yang berasal dari Hongkong berupa pembicaraab singkat melalui telepon. Informan juga mengutarakan selama kurang lebih dua tahun ini anak perempuannya belum pernah pulang kembali ke Singkawang. Informan merasa bahagia karena anak perempuannya masih memberikan uang kepada keluarganya di Singkawang meski tidak terlalu rutin tetapi, informan merasa sangat terbatu dengan kirian uang tersebut. Informan mengakui adanya perasaan takut dan kawatir jika sang anak hidup tersiksa oleh laki-laki yang berasal dari Hongkong tersebut. Namun, informan hanya dapat pasrah tanpa berbuat apapun. Informan merasa sebagai orang kecil yang tidak dapat berbuat apa-apa. Pernikahan anak perempuannya di mulai dari perkenal yang dilakukan saudaranya yang berada di Hongkong dan sudah menikah terlebih dahulu di sana. Setelah itu laki-laki tersebut kemudian dibawa dan dipertemukan di Singkawang. Informan juga mengungkapkan rasa bangganya terhadap pernikahan yang dilakukan anak perempuannya dengan laki-laki yang berasal dari Hongkong. Dari pernikahan tersebut informan menjelaskan sumber ekonomi yang mereka miliki lebih terbantu dengan hal tersebut dilihat dari keadaan adik-adiknya yang bisa bersekolah, kebutuhan rumah yang dapat
commit to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tercukupi dan sedikit-sedikit membangun keadaan ruumah menjadi lebih baik dan layak untuk ditempati. Informan 3: Nama
: Aling
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 34 Tahun
Profesi
: Penjual Sayur
Jawaban
Informan menjelaskan bahwa memang benar jika anak perempuan lebih rajin dibandingkan anak laki-laki yang cendrung malas dan lebih mementingkan dirinya masing-masing. Informan mengungkapkan memiliki tiga anak. Anak perempuannya telah menikah dengan laki-laki yang berasal dari Taiwan dan memiliki dua anak laki-laki yang saat ini masih bersekolah. Anak perempuannya diutarak informan telah menikah selama dua tahunan dan hidup di negara Taiwan. Faktor ekonomi disebutkan informan sebagai alasan mengizinkan anak perempuannya untuk menikah dengan laki-laki Taiwan. Laki-laki Taiwan dianggap dapat membantu kehidupan informan dan dapat memberikan uang yang lebih banyak dibandingan dengan laki-laki yang berasal dari Singkawang. Komunikasi yang dilakukan informan dengan anak perempuannya melalui telepon. Anak informan dijelaskan belum pernah pulang kembali ke Singkawang stelah menikah. Bagi informan anak perempuannya hidup bahagia bahkan anaknya masih memberi kiriman uang untuk mencukupi kebutuhan hari-hari meski tidak rutin tiap bulan. Informan juga mengungkapkan perasaan takut ketika commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mendengan berbagai cerita yang menyudutkan posisi permpuan yang menikah dengan laki-laki luar negeri. Bahkan, informan mengakui pernah mendengar cerita-cerita yang tragis-tragis tentang perempuan yang menikah dengan laki-laki luar negeri kemudian dia disiksa lalu kabur kembali ke Singkawang. Pertemuan anak perempuannya yang diutakan informan bermula dari adanya “mak comblang” yang membawa orang Taiwan tersebut datang ke Singkawang untuk dipertemukan dengan anaknya. Informan juga mengungkapkan bawaha pernikahan anak perempuannya dengan laki-laki yang berasal dari Taiwan tersebut dapat meningkatkan ekonomi keluarga hal tersebut terlihat dari keadaan informan yang mulai memperbaiki keadaan rumahnya menjadi lebih baik, dapat membuka usaha kecil-kecilan, dan di Taiwan anak perempuannya dapat bekerja dan memiliki penghasilan yang lebih besar daripada di Singkawang. 5. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian a. Nilai Pendidikan Moral atau Kebaikan Nilai pendidikan moral atau kebaikan merupakan nilai yang didasari oleh etika yang dapat menjadi acuan budi pekerti seseorang. Berikut ini kutipan yang menunjukan hal tersebut. “Aku bisa membantumu memperoleh bahan yang kamu inginkan, kata wanita itu tak disangka-sangka. Ia mengulurkan tangannya. Perkenalkan. Namaku Lee Mei Fang. Amoi Singkawang.” (Mya Ye, 2011:14) Tolong menolong ialah suatu tindakan baik. Selayaknya manusia hidup sebagai mahluk sosial yang harus saling tolong menolong. Dan tindakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
lainnya yang mengandung nilai moral ialah sifat Lee Mei Fang yang mengulurkan tangan untuk bersalaman saat ingin berkenalan. “Contohnya Alung, abangku yang paling besar. Kulitnya cokelat merata seperti habis di-tan. Ini karena setiap hari dia harus bekerja keras panaspanasan di bawah terik matahari. Mencari tambahan penghasilan untuk membantu Mama.” (Mya Ye, 2011:18). Sebagai anak, menolong orang tua merupakan perbuatan yang baik. Dari kutipan di atas Alung sebagai anak tertua, ia bekerja keras membantu ibunya untuk menambah penghasilan. Kehidupan mereka yang miskin mengakibatkan Alung juga harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarganya. “Tapi, di tengah-tengah kondisi yang sulit itu, satu hal yang pasti, kami tak pernah kehilangan kasih sayang. Bukan Cuma dari saudara sekandung saja. Tetapi juga dari orang-orang di sekitar kami. Tetangga kanan-kiri. Persatuan kami begitu erat. Saling tolong menolong di saat dibutuhkan. Kesusahan ini adalah milik bersama, jadi sudah selayaknya jika kami tanggung bersama.” (Mya Ye, 2011:20). Kutipan di atas menggambarkan nilai moral yang sangat kuat. Hidup di tengah-tengah kesulitan tidak pernah menjadi alasan hilangnya kasih sayang. Manusia yang baik ialah manusia yang hidup saling menyayangi, bukan hanya menyanyangi keluarga kandung saja tapi orang-orang lain di sekitar. Manusia harus mempunya rasa empati yang tinggi. Dalam kutipan semua masalah ataupun kesulitan dihadapi bersama, saling tolong menolong dan menyayangi. “Sekolahlah yang baik. Terus berjuang sampai bisa jadi orang. Dan bantulah siapa pun yang susah jika kalian mampu.” (Mya Ye, 2011:49). Tugas seorang anak ialah bersekolah. Dalam penggalan kalimat di atas seorang ibu memberikan pesan kepada anaknya agar bersekolah dengan baik. Tidak patah semangat dan berusaha menjadi orang yang berhasil, sehingga
commit to user dapat membantu siapa saja yang susah. Bersekolah dengan baik, tidak putus
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
asa dan tolong menolong merupakan suatu tindakan yang mengandung nilai moral yang wajib menjadi acuan bagi anak-anak. “Kami harus membantu orang tua kami mencari nafkah. Bahu-membahu dengan saudara-saudara kami dalam bekerja. Mungkin karena semua hal itulah, akhirnya tertanam dalam diri kami rasa hormat dan bakti pada orang tua dan keluarga.” (Mya Ye, 2011:110). Banyak hal baik yang dapat dilakukan seorang anak untuk orang tuanya. Kebanyakan anak yang baik belajar dengan giat dan bersekolah dengan rajin agar dapat membanggakan orang tuanya. Namun, dalam novel ini kemiskinan akhirnya mengakibtakan anak-anak harus membantu orang tuanya dengan cara ikut mencari nafkah. Mereka juga tetap hormat dan berbakti kepada orang tua dan keluarganya. Hal ini merupakan cerminan nilai moral yang dapat memberikan pelajaran bagi anak-anak agar lebih bersyukur dengan keadaannya sekarang dan tetap mempunya rasa hormat, bakti, dan tolong menolong kepada orang tua dan keluarganya. “Anak lelaki yang lahir di keluarga totok biasannya akan terus tinggal bersama orang tua mereka, bahkan sampai mereka menikah dan mempunyai keturunan kelak. Menantu-menantu perempuan mereka juga wajib berbakti kepada mertuannya, seperti kepada orang tua kandung.” (Mya Ye, 2011:113-114). “Tapi orang-orang Tionghoa, di mana pun berada, pada umumnya memang memiliki rasa bakti yang tinggi terhadap keluarga dan orang tua, ya kan? Ikatan kekerabatan mereka begitu eratnya, bahkan sampai kematian memisahkan, lanjut Su Yin. Dan ini memang benar.” (Mya Ye, 2011:113). Kutipan kalimat di atas merupakan gambaran nilai moral dari karakter orang Tionghoa. Dalam kutiapan di atas orang Tionghoa pada umumnya memiliki rasa bakti yang tinggi kepada orang tua dan keluarganya. Rasa bakti dan kekeluargaannya dibuktikan bahkan sampai kematian memisahkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
“Seka dagumu. Jadi anak perempuan jangan jorok, A Cu. Nanti lelaki tidak ada yang mau menjadi suamimu, kata Shintia menasehati tanpa menggurui.” (Mya Ye, 2011:137). Perempuan harus memiliki sifat yang baik, rapi, dan bersih. Sehingga Shintia meminta A Cu untuk mengelap dagunya yang kotor saat makan. Dan sifat Shintia mengandung nilai moral yaitu saat menegur A Cu, Shitia tidak mengguruinya tapi menasehatinya dengan baik dan lembut. “Jangan membencinya. Bagaimanapun dia orang tuamu. Ingat kan ajaran Konghucu tentang bakti pada orang tua? Ngi tidak boleh lupa itu. Pergilah, Yen. Papa ngi benar. Ngi harus sekolah tinggi supaya masa depan ngi cerah. Kalau tetap di sini, sama ngai, ngi tidak ada masa depan. Ngai Cuma pesuruh toko. Tidak bisa kasih kehidupan enak seperti yang sudah Papa ngi kasih buat anak-anaknya.” (Mya Ye, 2011:234). Nilai moral yang terkadung dalam deskripsi di atas ialah sebuah nasehat untuk seorang anak yang tidak boleh membenci orang tuanya. Seorang anak harus berbakti pada orang tua dan sebagai anak harus mengikuti perintah orang tuanya terutama dalam hal menuntut ilmu. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya dapat menjadi orang yang berhasil, oleh karena itu ia ingin menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya agar mempunyai masa depan yang baik. “Ketika rombongan kecil itu tiba, A Sui yang sedang duduk di depan langsung menghampiri mereka. Bong Su Yin dan Shintia bergantian menyalaminya. “Turut berduka-cita, Sui,” kata Su Yin pelan. “Terima kasih,” angguk A Sui takzim, lalu mempersilahkan kedua orang itu untuk memberi penghormatan terakhir kepada ayahnya.” (Mya Ye, 2011:259). Kutipan di atas memperlihatkan nilai moral yang terkandung saat ada sanak keluarga ataupun orang-orang yang berada di sekitar kita meninggal. Sikap bela sungkawa kita dengan cara mengunjungi memberikan doa kepada
commit toperbuatan user keluarga yang ditinggalkan merupakan yang baik.
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Nilai Pendidikan Religius Nilai pendidikan religius merupakan nilai yang bersifat keagamaan. Dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian nilai religi yang akan ditampilkan dari etnis Tionghoa yang dominan menganut ajaran Konghucu atau agama Buddha. “Namun sebenarnya, A Cu tidak langsung pulang ke rumah. Ia mampir dulu ke tempat lain. Di ujung jalan, ia berbelok masuk kembali ke kedai bakso yang tadi baru saja di datanginya bersama Shintia. Dalam hatinya, A Cu sudah berdoa semoga orang yang dicarinya ada di sana.” (Mya Ye, 2011:140). Berdoa merupakan suatu tindakan yang menghubungan manusia kepada Tuhan. Doa dapat berisi harapan yang kita inginkan agar dapat dikabulkan Tuhan ataupun doa dapat berisi ucapan syukur kita pada Tuhan dan doa dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Seperti yang dilakukan A Cu pada kutipan di atas A Cu berdoa di dalam hatinya agar dapat di pertemukan dengan orang yang dia inginkan di kedai bakso itu. “Supaya keinginannya terkabul, setiap hari ayah Siau Fong bersembahyang di pak kung. Setiap hari ia rajin membakar dupa dan memanjatkan doadoanya pada para dewa di atas sana. Ia percaya, suatu saat permohonannya akan terdengar. Akan dikirimkannya seorang pangeran berkuda putih ke alamatnya. Yang akan mengajak putri cantiknya pergi ke luar Singkawang dengan kuda terbang.” (Mya Ye, 2011:154). Kutipan di atas menguraikan tata cara
berdoa atau sembahyang yang
biasanya dilakukan orang Tionghoa. Ayah Siau Fong bersembahyang di sebuah altar kemudian membakar dupa dan memanjatkan doa-doa agar keinginannya di dengar tuhan. Dia ingin agar anaknya Siau Fong mendapatkan seorang suami dan membawa Siau Fong pergi dari Kota Singkawang.
commit to user
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Sejak dijanjikan akan dikenalkan dengan lelaki Taiwan, Siau Fong menjadi bersemangat. Harapan-harapannya tambah melambung tinggi. Ia semakin rajin berdoa ke pak kung. Menyalakan dupa. Membakar uang kertas persembahan. Melambungkan ujud doa.” (Mya Ye, 2011:158). Siang Fong semakin rajin berdoa agar keinginannya dikabulkan Tuhan. Ia berdoa di pak kung, menyalakan dupa sesuai tata cara sembahyang orang Tionghoa, dan membakar uang kertas. Ia berharap pada Tuhan agar dapat bertemu dengan laki-laki Taiwan yang dia inginkan. “Saya akan rajin berdoa di pak kung. Berdoa pada Thiancu. Meminta Cai Shen memberi rezeki untuk saya.” (Mya Ye, 2011:168). Kutipan di atas menguraikan nilai religius yang dilakukan A Cu. A Cun memohon doa pada dewa pemberi rezeki (Thaincu) agar Cai Shen memberikan rezeki kepadanya. “Ia tak mau gadis itu mengurungkan segala ketetapan. Membuatnya mengingkari petuah orang tua. Menjadi anak durhaka. Demi cintanya, A Sui rela mengalah. Ia ikhlas dan menganggap ini semua sudah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.” (Mya Ye, 2011:241). Nilai religius yang terdapat dalam uraian di atas ialah sikap ikhlas, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang menentukan jalan hidup setiap mahluknya. Dia penguasa dan penentu dalam semua hal. Sehingga manusia harus berbuat baik dan tidak durhaka pada orang tuanya agar mendapatkan tempat yang baik di sisi Tuhan. “Shintia memegang pundak gadis itu. Berdoa saja. Pada dewa pasti akan mengabulkan permohonanmu kalau sudah waktunya bagimu untuk menikah, A Cu.” (Mya Ye, 2011:244). Shintia meminta A Cu agar terus-menerus memohon dan berdoa pada dewa. Dengan berdoa dan memohon kepada dewa permintaan A Cu pasti akan terkabulkan.
commit to user
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Meskipun Katolik, Bong Su Yin ternyata tetap menyalakan hio ketika mendoakan arwah ayah A Sui. Shintia hanya menundukkan kepala dan berdoa dalam hatinya.” (Mya Ye, 2011:160). Penggalan kalimat di atas memperlihatkan orang Tionghoa yang tidak pernah meninggalkan tata cara sembahyangnya dalam mendoakan maupun menyembah Tuhannya. Meski Bong Su Yin beragama Katolik, ia tetap berdoa dengan tata cara Tionghoa dan Shintia mengikutinya dengan cara menundukan kepala berdoa dalam hatinya. “Berdoalah saja. Minta Thiancu melindungi kalian semua. Yakini saja kalau maksud kalian adalah baik. Thiancu pasti menolong kalian. Yuk kita sembahyang ke pak kung.” (Mya Ye, 2011:279-280). Thiancu ialah sebutan Tuhan bagi orang Tionghoa. Nilai religius dalam uraian di atas ialah kepercayaan manusia kepada Tuhan, dengan cara sembahyang agar mendapat lindungan dan pertolongan. Dalam setiap kepercayaan masing-masing umat beragama mempunyai tata cara dan tempat yang berbeda-beda. Untuk orang Tionghoa berdoa atau sembahyang sebaiknya dilakukan di pak kung dan menggunakan hio yang di bakar. c. Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial ialah hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan manusia lainnya. Dengan nilai pendidikan sosial seseorang diharapkan dapat menjadi masyarakat yang tanggap, peduli dan suka menolong orang lain. Karena dengan menolong orang lain akan meringankan beban orang yang terkena kesusahan dan menciptakan masyarakat yang harmonis.
commit to user
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian yaitu kehidupan masyarakat Singkawang yang hidup rukun, saling membantu, dan menghargai setiap acara maupun kesenian yang ada walupun berbeda etnis budaya. “Acara-acara seperti Forum Budaya Tionghoa ini mulai diminati banyak orang. Semua orang dapat menunjukan apresiasinya terhadap salah satu budaya tertua di dunia ini tanpa takut lagi.” (Mya Ye, 2011:11). Nilai pendidikan sosial dalam kutipan di atas ialah apresiasi yang diberikan masyarakat Singkawang pada budaya Tionghoa. Apresiasi tersebut berupa kepedulian masyarakat Singkawang. Kutipan lain yang mengandung nilai pendidikan sosial yaitu: “Aku bisa membantumu memperoleh bahan yang kamu inginkan, kata wanita itu tak disangka-sangka. Ia mengulurkan tangannya. Perkenalkan. Namaku Lee Mei Fang. Amoi Singkawang.” (Mya Ye, 2011:14). “Tapi, di tengah-tengah kondisi yang sulit itu, satu hal yang pasti, kami tak pernah kehilangan kasih sayang. Bukan Cuma dari saudara sekandung saja. Tetapi juga dari orang-orang di sekitar kami. Tetangga kanan-kiri. Persatuan kami begitu erat. Saling tolong menolong di saat dibutuhkan. Kesusahan ini adalah milik bersama, jadi sudah selayaknya jika kami tanggung bersama.” (Mya Ye, 2011:20). “Kami makan daging mungkin hanya setahun sekali. Pada malam tahun baru Imlek. Itu pun biasanya bukan membeli sendiri. tapi, disumbang oleh tetangga yang masih merasa kasihan pada kami. Kalau sesehari, seperti itulah hidup kami. Mau tidak mau kami harus memakannya, kecuali kami mau kelaparan.” (Mya Ye, 2011:32). “Orang dari Kuching. Guru-guru kami juga datang dari Kuching. Semua ada lima orang. Baik-baik mereka, jelas A Cu. Tampak dia semakin lancar bercerita.” (Mya Ye, 2011:91). “Setelah pertunjukan tatung, giliran orang-orang kaya itu tampil. Banyak dari orang-orang ini yang juga menjadi donatur pak kung-pak kung.” (Mya Ye, 2011:200).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
“Mungkin inilah salah satu keunikan sekaligus keuntungan orang-orang Tionghoa di daerah Kalimantan Barat, seperti Pontianak dan Singkawang. Kebanyakan mereka mempunyai yayasan sesuai nama marga. Salah satu tujuannya adalah membantu orang-orang semarga yang sedang kesulitan atau tertimpa musibah. Terutama, menolong orang yang tidak mampu.” (Mya Ye, 2011;258). Penggalan-penggalan paragraf di atas mengungkapkan nilai pendidikan sosial, yakni tolong-menolong membantu orang lain yang sedang dalam kesusahan. Sikap saling menolong tidak hanya dilakukan kepada sesama keluarga tapi kepada semua orang. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri. Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian menjelaskan betapa pentingnya sikap tolong menolong dalam kehidupan sosial masyarakat. Orang-orang yang kuat dengan senang hati membantu orang-orang yang lemah. Memberikan sedikit kebahagiaan bagi yang membutuhkan. Bahkan, masyarakat Tionghoa mendirikan yayasan-yayasan yang bertujuan untuk membantu sesama etnisnya yang sedang dalam kesusahan maupun etnis lainnya yang perlu pertolongan. Suatu perbuatan baik yang patut dicontoh oleh setiap individu manusia dalam masyarakat. “Seperti yang dikatakan Su Yin, tempatnya ramai dikunjungi orang. Sebagaian besar pria. Mereka biasanya adalah orang-orang yang habis berolahraga pagi. Di sini mereka akan mengobrol mengalor-ngindul sambil menikmati secangkir kopi pancung.” (Mya Ye, 2011:79). “Kedua wanita itu mengambil tempat duduk di keteduhan. Mengobrol sambil memperhatikan anak-anak yang sedang semangat berlatih.” (Mya Ye, 2011:188). Paragrap lainnya menjelaskan bahwa sebagai mahluk sosial manusia akan selalu berintraksi pada orang lain. Oleh karena itu hubungan antar manusia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
124 digilib.uns.ac.id
harus lebih terjalin dengan baik. Interaksi yang terdapat dalam kutipan di atas berupa komunikasi yang dilakukan antar sesama manusia dalam suatu tempat. Komunikasi dilakukan untuk memperkaya penggetahuan maupun hanya untuk hiburan semata, dengan komunikasi seseorang dapat tertawa, bercerita, berkeluh-kesah, dan saling berbagi apapun tentang perjalanan hidup. “Kalau dilihat, berat juga latihan yang harus mereka jalani. Perempuan dan laki-laki bercampur-baur dalam berbagai kegiatan fisik yang sama kerasnya. Perbedaan jenis kelamin tak membuat mereka banyak dibedakan.” (Mya Ye, 2011:192). Nilai pendidikan sosial yang tertuang dalam deskripsi di atas ialah peran laki-laki dan perempuan yang sama sebagai mahluk sosial. Laki-laki dan perempuan dapat menjalankan hidupnya dengan kemampuannya masingmasing, dengan arti perempuan dapat membantu bahkan mengganti tugas lakilaki, dan sebaliknya laki-laki juga dapat membantu maupun menggantikan pekerjaan perempuan. Sebagai mahluk sosial manusia tidak boleh saling membeda-bedakan. Baik dari ragam etnis maupun gender semuanya memiliki hak dan kesempatan yang sama. Dengan sosialisai yang baik diharapkan terbentuknya masyarakat yang adil, selaras, bebas, dan sejahtera bebas dari penguasaan individu atas hak milik dan alat-alat produksi. d. Nilai Pendidikan Budaya (Adat Istiadat) Nilai pendidikan budaya atau adat istiadat merupakan cara hidup turun temurun dalam suatu masyarakat yang menjadi kebiasaan. Nilai pendidikan budaya atau adat istiadat tersebut dapat menjadi sumber pengetahuan untuk
commit to user membedakan ragam budaya yang terdapat dalam lingkungan sosial masyarakt.
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
“Kini istilah “amoi Singkawang” malah menarik perhatianku. Sejak kota itu mengeliat menjadi sebuah kota pariwisata bernuansa etnik China. Ramai dikunjungi wisatawan maupun perantau yang tengah pulang kampong, terutama pada saat perayaan Cap Gomeh.” (Mya Ye, 2011:1-2). Kutipan di atas menjelaskan Kota Singkawang yang bernuansakan etnik Cina. Karena memang mayoritas penduduk Kota Singkawang ialah orangorang keturunan cina. Kota singkawang menjadi pusat wisata terutama saat perayaan Cap Gomeh yang diadakan setahun sekali. Perayaan Cap Gomeh, Kota Singkawang yang bernuansa etnik Cina, dan menjadi salah satu pusat yang dikunjungi wisatawan merupak nilai budaya yang terdapat dalam kutipan di atas. “Tapi tunggu sampai Cap Gomeh tiba. Wah, ramai sekali di sini. Sesak. Orang-orang datang ke sini. Yang pergi merantau juga biasanya pulang pas hari itu. Hotel-hotel penuh semua. Kalau tidak booking jauh-jauh hari pasti tidak akan kebagian, kata Su Yin lagi. Kemudian melanjutkan kata-katanya, Cap Gomeh memang perayaan tahunan terbesar di Singkawang. Ramai sekali. Semua orang ke luar rumah. Jalan-jalan utama di tutup untuk arakarakan barongsai, liong, dan masih banyak lagi.” (Mya Ye, 2011:57). Deskripsi di atas menguraikan keadaan saat perayaan Cap Gomeh. Cap Gomeh merupakan salah satu tradisi yang selalu di rayakan masyarakat Tionghoa pada hari kelima belas setelah tahun baru Imlek. Dalam perayaan Cap Gomeh banyak aktraksi yang di lakukan yaitu barongsai, liong, tatung, dan masih banyak lagi. Pusat Kota Singkawang akan di banjiri wisatawan lokal maupun manca negara. Cap Gomeh menjadi suatu tradisi yang diselanggarakan setahun sekali. “Mobil melintasi sebuah bangunan besar di tengah kota yang berwarna merah menyolok. Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya. Lalu melewati deretan toko-toko lagi. Di balik keelokan jalan yang lain, juga berdiri sebuah patung naga raksasa berwarna kuning yang melilit gagah di sebuah tiang hijau. user Patung itu terlihat perkasa.commit Hidup.to Matanya menyorot ganas. Mulutnya
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terbuka lebar. Seolah memberitahukan kepada dunia ialah hewan agung yang menjaga kota Singkawang terhadap gangguan dari luar. Siapa pun yang berani mengusik ketenangan tempat ini akan berhadapan dengannya.” (Mya Ye, 2011:59-60). Klenteng Tri Dharma Bumi Raya dan sebuah patung naga yang berada di sebuah jalan Kota Singkawang menjadi salah satu simbol kebudayaan kota Singkawang. Kota Singkawang yang terkenal dengan warga Tionghoanya juga memberikan dapak pada bangunan Kota Singkawang. Penggalan kaliamat di atas mengungkapkan keelokan Kota Singkawang yang memiliki ciri khas sendiri. “Ini disebut dengan pasar Hongkong. Adanya Cuma malam hari. Dinamakan begitu karena mirip suasana pasar malam di Hongkong yang penuh dengan orang berjualan makanan. Kalau siang, nama tempat ini adalah Pasar Beringin, kata Su Yin. Kalau kamu suka kuliner, di sini tempatnya. Berbagai macam makanan khas Singkawang bisa kamu coba di sini.” (Mya Ye, 2011:75-76). Selain keindahan bangunan-bangunan yang kental akan ciri khas Thionghoa, terdapat juga makanan-makanan khas yang masuk dalam budaya warga Tionghoa. Makanan-makanan khas tersebut banyak di jual di sebuah pasar malam yang biasa di sebut pasar Hongkong. Pasar Hongkong termasuk juga dalam budaya Kota Singkawang. Nuansa merah dengan lampion-lampion terang menyala menghiasi pasar Hongkong menarik semua mata yang berkunjung ke Kota Singkawang ingin menghampiri mencoba kuliner khas Kota Singkawang. “Memang pantas jika jika Singkawang dijuliki sebagai kota amoi. Sama seperti julukan lainnya, kota seribu kuil, julukan kedua ini diberikan karena jumlah gadis yang lebih banyak daripada prianya.” (Mya Ye, 2011:109).
commit to user
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Unsur kebudayaan bermacam-macam salah satunya ialah sebuah julukann atau simbol dari kota itu sendiri. Seperti Kota Singkawang yang dipenuhi kuilkuil menjadi ciri khas sehingga Singkawang dijuluki sebagai kotta seribu kuil. Begitu juga dengan julukan kota amoi karena semakin banyak jumlah gadis yang berada di Kota Singkawang daripada laki-lakinya. “Mayoritas orang Tionghoa di Singkawang ini adalah penganut ajaran Tao dan Konfusius. Dalam salah satu ajaran Konfusius dikatakan, setelah langit, ibu adalah tertinggi. Bunyi kalimat ini kurang lebih hampir sama dengan mutiara kata yang berbunyi, surga di telapak kaki ibu. Saya kira, salah satu hal yang paling mempengaruhi rasa bakti kami pada orang tua adalah ini.” (Mya Ye, 2011:112-113). Tradisi orang Tionghoa yang selalu berbakti kepada orang tuanya terutama ibunya termasuk dalam nilai budaya. Tradisi berbakti kepada orang tua dipengaruhi oleh ajaran Konfusius salah satu ajaran yang di anut orang Tionghoa. “Iya ya. Barongsai memang sempat populer waktu perkumpulan Tionghoa Hwe Koan masih berdiri. Tapi itu zaman dahulu sekali. Setelah itu puluhan tahun etnsis Tionghoa seperti dipasung. Ada, tetapi seperti tak ada. Tradisi dan budaya harus dikubur dalam-dalam, bahkan nama pun harus diganti. Tak boleh pakai tiga nama. Harus ganti dengan nama Indonesia. Tak boleh ada aksara China. Tak boleh merayakan tahun baru imlek. Bahkan, skolahsekolah diultimatum pemerintah untuk tidak boleh memberi izin kepada siswa Tionghoa untuk tidak masuk sekolah pada hari Imlek, apa pun alasannya, Su Yin menggelng-gelengkan kepalanya mengenang zaman yang tak bisa dibilang menyenangkan itu.” (Mya Ye, 2011:189). Kutipan di atas menguraikan keadaan budaya dan tradisi orang Tionghoa yang pernah terkekang. Saat itu suatu kesenian Barongsai yang menjadi tradisi warga Tionghoa dalam setiap pegelaran acara sangat populer. Namun sempat terkekang warga Tionghoa tidak boleh mendapatkan haknya karena dianggap
commit to user
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bukan rakyat bangsa Indonesia. Semua yang bersangkutan dengan tradisi dan adat budaya warga Tionghoa dilarang. “Pembukaan toko baru Bong Su Kiat diadakan hari Kamis sore. Sesuai perhitungan hari, tanggal, dan bulan baik menurut feng shui. Pada hari istimewa itu Bong Su Kiat akan mengundang klb Barongsai untuk memeriahkan acarannya.” (Mya Ye, 2011:246). Nilai budaya yang terdapat dalam uraian di atas ialah tradisi Barongsai yang selalu ada dalam setiap acara atau pesta orang-orang Tionghoa. Seperti saat acara pembukaan toko baru Bong Su Kiat. Tradisi lainnya yang dilakukan orang Tionghoa ialah perhitungan hari, tanggal, dan bulan menurut feng shui. “Lay see adalah gerakan yang biasa dipakai untuk menerkam angpao yang disodorkan. Gerakan ini banyak variasinya. Biasanyaa setiap klub mempunyai ciri khasnya masing-masing. Dalam gerakan itu tidak jarang para pemain membentuk formasi bertingkat. Yang paling bawah bertugas sebagai fondasi. Ia harus kuat menopang teman-temannya yyang memanjati paha atau pundak mereka dan berdiri di atasnya lalu berusaha mengambil angpao yang disodorkan tinggi-tinggi oleh si pemberi.” (Mya Ye, 2011:251252). Angpao termasuk dalam tradisi orang Tionghoa. Angpao biasanya diberikan pada saat perayaan tahun baru Imlek dari orang tua kepada anak-anaknya, anak kepada orang tuanya, ataupun orang-orang yang sudah mempunyai penghasilan sendiri. Dalam penggalan kalimat di atas Angpao diberikan kepada barongsai yang sedang aktraksi. Angpao diberikan sebagai hadiah bagi siapa saja yang mendapatkannya. “Shintia langsung menghubungi Bong Su Yin. Kemudian bersama-sama dengan A Cu sebagai penunjuk jalan, mereka bertiga pergi melayat. Sebelum berangkat, Bong Su Yin sudah mengingatkan Shintia untuk tidak mengenakan pakaian berwarna merah, kuning, cokelat, atau yang mengkilat.” (Mya Ye, 2011:257).
commit to user
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adanya aturan dalam mengenakan pakaian yang tidak berwarnna merah, kuning, coklat, atau yang mengkilat saat melayat merupakan tradisi Tionghoa. Tradisi tersebut untuk menghormati keluarga yang sedang berduka. Suatu aturan yang sudah ada dari zaman dahulu merupakan nilai budaya yang dalam orang Tionghoa. “Hanya foto? Shintia tidak percaya. Lie Sian mengangguk. Itu sudah biasa di sini, Ce. Kami menyebutnya kawin foto. Caranya, ya seperti itulah. Tak ada pesta-pesta.” (Mya Ye, 2011:276). Suatu kebiasaan dapat masuk dalam tradisi yang ada dalam suatu lingkungan atau budaya. Seperti penggalan kalimat di atas, menjelaskan tata cara pernikahan yang dilakukan orang Tionghoa biasanya menggunakan kawin foto. Mempelai perempuan dan pria akan melakukan foto dengan mengenakan baju pengantin, tanpa ada pesta, dan kekuatan hukum yang semestinya mengatur pernikahan.
B. Pembahasan 1. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian Karya Mya Ye. Ketidak adilan yang dialami perempuan dalam lingkungan masyarakatnya yang selalu membedakan peranan laki-laki lebih tinggi dari peranan perempuan merupakan permasalahan yang erat kaitannya dengan gerakan feminisme. Feminisme merupakan gerakan yang ingin meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sederajat dengan kedudukan serta derajat laki-laki (Djajanegara, 2000:4). Gerakan femenisme tersebut mengacu pada aliran commit to user feminisme sosialis yang berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan,
perpustakaan.uns.ac.id
130 digilib.uns.ac.id
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, dan tanpa pembedaan gender. Sebagaimana yang diungkapkan Sylvia Walby dalam jurnalnya yang berjudul The Impact of Feminism on Sociology bahwa “feminism may be defined as a move to reduce and eliminate gender inequality, or alternatively limited to the goal of improving the position of women”. (Feminisme dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mengurangi dan menghilangkan ketidaksetaraan gender, atau alternatif terbatas pada tujuan meningkatkan posisi perempuan). Peranan perempuan Tionghoa dalam novel Gadis yang Menggapai Impian yang diungkapkan Mya Ye merupakan gambaran perempuan Tionghoa terutama para gadisnya yang berada di Kota Singkawang. Banyaknya ketimpangan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehingga menimbulkan banyak persoalan yang akhirnya mengarah pada ketidak adilan atas kesetaraan gender. Ketidak adilan atas kesetaraan gender tersebut dipengaruhi oleh masalah-masalah sosial masyarakat Singkawang terutama oleh faktor kemiskinan, pendidikan, dan adat istiadat. a. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Pendidikan Peranan perempuan Tionghoa yang diungkap dalam novel Gadis yang Menggapai Impian untuk mendapatkan pendidikan merupakan sesuatu yang langka, mahal, dan tidak sesuai dengan kodrat perempuan sebagai pelaku domestik. Pendidikan yang didapat perempuan dianggap tidak akan berguna karena nantinya perempuan hanya akan bekerja di dapur, mengurus anak, dan suaminya. Selain itu pendidikan merupakan barang mahal bagi golongan masyarakat Tionghoa menengah kebawah. Bagi kaum feminis, nilai-nilai commit to user
131 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tradisional inilah yang menjadi penyebab utama inferioritas atau kedudukan dan derajat rendah kaum perempuan (Djajanegara, 2000:5). Perempuan Tionghoa yang masih hidup dalam lingkar kemiskinanan dan lingkungan primitif tersebut akhirnya akan mudah dipengaruhi, mereka semakin tertindas dan tidak berdaya karena tidak memiliki pengetahuan yang layak. Masalah kemiskinan, menuntut perempuan Tionghoa untuk lebih bekerja keras meningkatkan ekonomi keluarganya dengan berbagai cara sehingga, perempuan Tionghoa semakin buta akan pentingnya mendapatkan pendidikan. Cita-cita yang dimiliki perempuan Tionghoapun akhirnya lenyap karena tuntutan bakti mereka pada orang tuanya untuk mensejahterakan keluarganya.
Pemikiran
perempuan
Tionghoa
yang
semakin
sempit
mengarahkan mereka pada suatu pola pemikiran yang sempit, perempuan menjadi tidak berdaya dalam menata hidupnya sehingga menggantungkan nasibnya pada laki-laki yang dianggap pantas mendapatkan segalanya. Tersisihnya
perempuan
baik
bermasyarakat dikarenakan tidak
dalam
pendidikan
mau
adanya keleluasaan
pun
dalam
yang diberikan
lingkungan sosialnya. Djajanegara (2000:5) menyatakan bahwa agar mampu mandiri pertama-tama perempuan harus diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang memungkinkan dia mengasah daya pikirnya. Dengan daya pikir yang terasah perempuan akan sanggup mengembangkan dirinya lebih lanjut lagi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
132 digilib.uns.ac.id
b. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Karier Masyarakat hendaknya membuka diri dan mengakui laki-laki maupun perempuan memiliki pilihan-pilihan dalam menentukan hidupnya sendiri untuk mencapai suatu kesetaraan. Wollstonecraft sebagaimana yang dikutib Tong (2008:22) mengungkapkan bahwa manusia merupakan agen bernalar yang mempunyai kemampuan dalam menentukan nasibnya sendiri sebagai manusia yang otonom. Masyarakat harus berkomitmen untuk memberikan pendidikan awal yang sama bagi anak perempuan maupun laki-laki, serta mengakhiri prasangka, yang pada gilirannya akan menuntut redistribusi besar-besaran atas sumber daya dan perubahan kesadaran yang besar (Tong, 2008:66). Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian karya Mya Ye mendeskripsikan peranan perempuan Tionghoa jauh di bawah laki-laki Tionghoa. Laki-laki Tionghoa dianggap sebagai mahluk superior yang berhak mendapatkan segalanya dalam berbagai hal terutama karier. Laki-laki dapat menentukan karirnya sesuai dengan apa yang dia inginkan, sedangkan perempuan dianggap sebagai mahluk inferior yang tidak pantas mendapatkan karir atau pekerjaan yang baik ataupun pantas bagi dirinya. Tidak adanya pilihan dalam menentukan kariernya, mengakibatkan perempuan Tionghoa semakin giat bekerja untuk mendapatkan uang demi menopang kehidupan keluarganya. Sifat giat perempuan Tionghoa tersebut akhirnya dimanfaatkan bagi siapa saja yang mendapatkannya menjadikan mereka sebagai sapi perah dan terjerumus dalam lingkar perbudakan. Perempuan hanya bertugas sebagai pengurus rumah tangga, membersihkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
133 digilib.uns.ac.id
rumah, memasak, mengurus anak, dan melayani suami. Jikapun bekerja perempuan Tionghoa tidak akan jauh dari profesi pelayan, pembantu, ataupun pesuruh. Perempuan Tionghoa tidak akan memiliki posisi-posisi yang penting dalam pekerjaan. Mereka dianggap tidak penting keberadaannya dan tidak akan berpengaruh dalam memajukan segala bidang pekerjaan. Senada dengan hal tersebut Kate Bloor dalam jurnalnya yang berjudul Feminist Analysis of Science and the Implications for Higher Education mengungkapkan bahwa “Access and participation were seen as the primary solution to masculinist”. (Akses dan partisipasi dipandang sebagai solusi utama untuk maskulin). Keadaan tersebut merupakan suatu pertentangan yang diutarakan kaum feminis. Tong (2008:66) menyatakan bahwa kaum feminis ingin menciptakan kesempatan kerja yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan dapat mencermati dan memahami kebutuhan utama rumah tangga agar tetap mampu menjalankan peran domestik sekaligus peran karirnya dalam publik. c. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Status Sosial Status sosial adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Laki-laki maupun perempuan seharusnya memiliki status sosial yang sama dalam masyarakat. Arivia (2006:19) menjelaskan bahwa teori feminisme ingin mendorong masyarakat untuk menerima perempuan dalam posisi yang sama dengan laki-laki. Peranan perempuan Tionghoa diungkapkan Mya Ye dalam novel Amoi Gadis yang Menggapi Impian ikut dalam menetukan kedudukan atau posisi keluarga dalam masyarakat. Bagi keluarga dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
134 digilib.uns.ac.id
masyarakat peranan perempuan Tionghoa dalam status sosial keluarga memang penting, karena dalam kehidupan masyarakat Tionghoa tersebut perempuan akan dikatakan berhasil jika telah menikah dengan laki-laki luar negeri. Keberhasilan tersebut pada dasarnya hanya diukur dari nominal uang yang diberikan calon suami bagi pihak perempuan. Tidak heran jika akhirnya perempuan tidak memiliki harkat dan martabat selayaknya manusia pada umumnya karena digolongkan sebagai barang yang dapat dengan mudah diberikan kepada siapa saja yang bersedia memberikan nominal uang lebih banyak. Peranan perempuan Tionghoa dalam status sosial tersebut merupakan penciptaan dari struktur keluarga dan masyarakatnya yang salah. Peran keluarga maupun masyarakat yang baik ialah mengembangkan perilaku anggota keluarga maupun anggota masyarakatnya untuk menempa jiwa dan semangat hidup yang dimiliki sebagai fungsi krusial dalam menjadi keajekan masyarakat menurut norma-norma hidup yang berlaku (Anshori dkk, 1997:27). Perempuan bukanlah barang yang dapat diukur dengan sejumlah uang untuk membantu kehidupan ekonomi keluarganya dan menaikan status sosial keluarga seperti yang dideskripsikan pengalan-penggalan kalimat dalam novel. Setiap anak manusia memiliki kemungkinan menjadi yang terbaik termasuk perempuan karena adanya potensi diri yang memungkinkan hal tersebut terjadi (Anshori dkk, 1997:20). Jadi feminis dapat berusaha mendapatkan peluang untuk mendapatkan status maupun posisi yang sama dengan laki-laki. Feminisme berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
135 digilib.uns.ac.id
menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan (Anshori dkk, 1997:21). d. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Adat Istiadat Tionghoa Sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula adatistiadat. Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. Dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian, Mya Ye mengungkapkan peranan perempuan Tionghoa yang terperangkap pada adat istiadat kuno. Adat istiadat konu tersebut mencakup pada tradisi Cina lama yang tidak mengizinkan perempuan memegang kendali hidupnya sendiri. Masyarakat Tionghoa hidup dalam budaya patriarki yang menginginkan peran perempuan di bawah laki-laki. Tong (2008:72) menjelaskan bahwa masyarakat patriarki berusaha menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budayanya adalah alamiah karena itu normalitas seseorang bergantung ada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan prilaku gender yang secara kultural dihubungkan kepada jenis kelamin biologis seseorang. Oleh karena itu perempuan Tionghoa dituntut untuk patuh pada orang tuanya, sehingga apapun yang diperintahkan orang tuanya mereka akan melaksanakannya meski harus mengorbankan hak-hak mereka. Berbeda dengan laki-laki Tionghoa, mereka dapat menentukan apa yang mereka inginkan. Perebedaan tersebut merupakan permasalah gender yang memahami perempuan sebagai mahluk pasif dan lakilaki sebagai mahluk yang aktif. Ungku Maimunah Mohd Tahir dalam jurnalnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
136 digilib.uns.ac.id
yang berjudul When A Feminist Theory Is Decidedly Superfluous: A Case Study mengungkapkan bahwa feminisme menolak fahaman patriarki ini dan dengan memanfaatkan teori feminis. Pemanfaatan teori feminis tersebut untuk membebaskan perempuan dari pembudayaan patriarki. Perempuan perlu menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan dengan cara menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk mnejadi pasif dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan keperibadian mereka masing-masing (Tong, 2008:73). Hal tersebut merupakan cara bagi perempuan dalam membebaskan dirinya dari sistem masyarakat patriarki. e. Peranan Perempuan Tionghoa dalam Pernikahan Pernikahan merupakan ikatan yang suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama sebagai sepasang suami istri dengan direstui agama, kerabat, masyarakat dan Negara. Menikah menjadi salah satu tujuan dalam hidup, dengan menikah akan terbentuk sebuah keluarga yang diharapkan dapat hidup harmonis, saling bahu-membahu mewujudkan keinginannya. Bagi perempuan Tionghoa dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian, pernikahan menjadi sumber harapan untuk mengubah kehidupan mereka agar dapat hidup layak. Namun, kenyataanya pernikahan menjadi permasalahan baru yang mempersuram kehidupan mereka. Bersuamikan lakilaki luar negeri perempuan Tionghoa dianggap sebagai budak. Perempuan dituntut dapat melayani suaminya dari segi dapur, kasur, sumur, dan bekerja keras tanpa imbalan mulai dari subuh hingga malam hari membantu suami commit to user
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memperoleh penghasilan. Tidak jarang perempuan Tionghoa dijadikan pelacur oleh suaminya sendiri. Perempuan-perempuan yang tidak berdaya tersebut akan mencoba kabur bahkan bunuh diri. Laki-laki tersebut mengganggap dirinya sebagai pemilik utuh perempuan. Rasa kepemilikan tersebut berhubungan dengan kapitalisme. Feminisme berusaha
menghapus
sistem
kepemilikan
tersebut
karena
feminisme
beranggapan pekerjaan perempuan di bawah kapitalisme adalah peremehan pekerjaan perempuan (Tong, 2008:157). Perempuan layak mendapatkan peranan yang sama dengan laki-laki mesti telah menikah. Keputusan tersebut sesuai dalam GBHN yang menekankan bahwa pembinaan peranan perempuan sebagai mitra sejajar pria harus tetap memperhatiakan koadrat harkat, serta martabat perempuan (Anshori dkk, 1997:26). Jadi setelah pernikahanpun perempuan tidak hanya bertugas sebagai pelaku domestik saja. Koadrat perempuan sebagai pengurus rumah tangga juga memiliki harkat dan martabat yang sama dengan laki-laki. 2. Latar Belakang Sosiologis yang Terkadung dalam Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian Karya Mya Ye. Cerminan hubungan seseorang dengan orang lain merupakan materi-materi dalam sastra (Damono, 1987:1). Cerminan tersebut berupa latar belakang sosiologis masyrakatnya. Stevi Jackson dalam jurnalnya yang berjudul Feminist Sociology and Sociological Feminism: Recovering the Social in Feminist Thought mengungkapkan bahwa “Sociology as I understand it is more a way of thinking than a finite body of theories and data; it entails questioning existing social commit to user
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
arrangements, an awareness that they are a product of history, an understanding of the social shaping of personal life and experience”. (Sosiologi seperti yang saya mengerti lebih merupakan cara berpikir dari tubuh terbatas teori dan data, tetapi juga memerlukan mempertanyakan tatanan sosial yang ada, kesadaran bahwa mereka adalah produk dari sejarah, pemahaman tentang pembentukan sosial kehidupan pribadi dan pengalaman). Kesadaran masyarakat sebagai pencipta sejarah merupakan cerminan suatu kehidupan sosial masyarakat yang hidup pada kurun waktu tertentu. Mac lver dan Page (dalam Soekanto 2006:22) memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaankebiasaan manusia. Secara sosiologis, novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian merupakan gambaran masyarakat Tionghoa pinggiran Kota Singkawang. Adapun latar belakang sosiologis yang terdapat dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian yakni: a. Suku (Etnis) Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian mendeskripsikan kemajemukan etnis yang mendiami Kota Singkawang. Terdapat tiga etnis yang mendominasi Singkawang, yaitu etnis Tionghoa, Melayu, dan Dayak selain itu banyak juga etnis-etnis lainya yang tinggal dan menetap di kota Singkawang seperti Jawa, Madura, Bugis, Batak, Minang, dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun, dalam novel etnis yang menjadi pusat penceritaan ialah etnis Tionghoa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
139 digilib.uns.ac.id
Etnis Tionghoa merupakan keturuan dari perantauan masyarakat Cina. Buktinya dapat dilihat dari mayoritas bangunan dan ciri fisik masyarakatnya sama seperti masyarakat Cina pada umumnya. Bahkan, beberapa masyarakat Tionghoa Singkawang masih ada yang memiliki kerabat atau saudara berkewarganegaraan Cina dan menetap di Cina. b. Tempat Tinggal Latar tempat pengisahan yang dideskripsikan Mya Ye dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian, yaitu Kota Singkawang. Kota Singkawang yang dulunya hanya sebuah kecamatan berkembang menjadi sebuah kota besar dengan ragam budaya dan khas nuansa oriantal. Selain itu Mya Ye juga mengungkapkan Kota Pontianak sebagai latar tempat. Kota Pontianak diceritakan Mya Ye saat pengisahan Shinta menuju Kota Singkawang. Singkawang memiliki banyak desa-desa kecil salah satunya ialah Desa Kopisan. Latar Desa Kopisan diceritakan Mya Ye sebagai desa kecil dengan keadaan lngkungannya yang masih asri, tidak tersentuh pembanguan, bahkan jalan-jalan kecil, sempit, dan berbatu. Mya Ye juga mendeskripsikan aspek geografis berupa kewilayahan, latar tempat tinggal yang tidak luput dari ulasan adalah bangunan, seperti rumah, hotel, restauran, gereja, rumah sakit, kedaikedai, toko-toko, kelenteng, dan kuil-kuil (pak kung). c. Bahasa Mya Ye menggunakan beberapa bahasa daerah untuk memberikan sentuhan keintiman bagi pembaca dengan daerah yang menjadi latar penceritaan. Dalam novel novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian terdapat bahasa Hakka. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
140 digilib.uns.ac.id
Bahasa Hakka merupakan bahasa yang digunakan oleh etnis keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia. Tetapi pembaca diberi kemudahan dalam memaknai atau mengartikan tiap bahasa tersebut. Mya Ye menyisipkan catatan kaki disetiap bahasa daerah yang terdapat dalam novel. Selain itu novel ini juga menampilkan bahasa Mandarin. Bahasa tersebut merupakan pengaruh budaya Cina yang terdapat pada lingkungan masyarakat Tionghoa Singkawang. d. Agama Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian mengungkapkan agama yang diyakini oleh masyarakat Tionghoa berupa agama Katolik. Meski beragama Katolik masyarakat Tionghoa Singkawang tetap menjalankan tradisi, adat, dan kepercayaan leluhur mereka yang berasal dari Cina. Hal tersebut terlihat dari cara masyarakat Tionghoa beribadah. Dengan agama Katolik masyarakat Tionghoa beribadah pada Tuhannya tetapi mereka juga tidak pernah meninggalkan atau melupakan tradisi atau tata cara beribadah yang dilakukan leluhur-leluhur masyarakat Tionghoa. e. Adat dan Kepercayaan. Adat maupun kepercayaan masyarakat Tionghoa Singkawang merupakan warisan yang telah lama hidup. Warisan tersebut merupakan pemberian leluhur yang senantiasa terus menerus dilakukan masyarakat Tionghoa hingga sekarang. Hal tersebut senada dengan Selo Soemardjan (dalam Soekanto, 2006:22) mengungkapkan bahwa masyarakat merupakan kumpulan orangorang yang hidup bersama untuk menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
141 digilib.uns.ac.id
dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. Masyarakat Tionghoa sangat menghormati dan meyakini warisan leluhur tersebut. Adapun adat dan kebiasaan yang terdapat dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian ialah berupa kebiasaan-kebiasaan yang mereka yakini. Satu diantarannya adat dan kepercayan tersebut berupa kain merah yang selalu ada disetiap rumah atau altar sembahyang masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa juga percaya pada warna merah yang dilambangkan sebagai warna ceria yang dapat membawa keberuntungan. Masyarakat Tionghoa juga percaya pada ajaran konu yang mengatur peranan laki-laki dan perempuan. Dalam kepercayaan tersebut masyarakat menyakini bahwa lakilaki mempunyai hak atas kuasa penuh atas dirinya dan keluarganya, sedangkan perempuan tidak mempunyai hak apapun. Perempuan dianggap hanya sebagi pengurus dapur yang tidak bisa menentukan pilihan atau memberikan keputuhan bagi segala masalah nagi kelurga bahkan dirinya. Kepercayaan juga dianggap sebagi sesuatu yang akan mendapat sanksi atau hukuman jika dilanggar oleh masyarajat Tionghoa Singkawang. Kepercayaan tersebut berupa kepatuhan masyarakat Tionghoa pada orang tuanya jika melanggar mereka akan kualat atau mendapat bbencana. Begitu juga dengan perhitungan hari baik, tanggal baik, dan bulan baik menurut ilmu feng sui. Selain itu juga ada adat dalam acara kematian masyarakat Tionghoa. f. Kemiskinan Novel ini menceritakan bahwa kemiskinan yang ada pada masyarakat Tionghoa Singkawang telah menjadi sesuatu yang umum. Kemiskinan terlihat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
142 digilib.uns.ac.id
mulai dari keadaan desa bahkan pusat kota yang kumuh, kotor, dan pemikiran masyarakatnya. Banyak masyarakat Tionghoa hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka bekerja keras untuk sekadar makan dan menyambung hidup. Bahkan, sering kali mereka berpuasa demi mencukupi kebutuhan makanan untuk keluargannya. Melihat keadaan yang demikian, wajar jika pendidikan merupakan hal yang kurang diperhatikan dalam paradigma mereka. g. Pendidikan Pendidikan dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian menunjukan peran yang kurang penting dalam kehidupan mereka. Mereka menganggap bahwa anak-anak mereka tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi, asal mereka dapat bekerja, dan bisa makan itu sudah cukup. Terutama bagi anak perempuan pendidikan bukan sesuatu yang dianjurkan bahkan menjadi tenttangan bagi para orang tuanya. Anak perempuan nantinya dianggap hanya sebagai istri yang kelak mengurusi dapur, suami, dan anaknya sehingga tidak memelukan pendidikan. Fenomena ini sudah menjadi semacam paradigma yang mendarah daging. Jika pun berpendidikan maka itu bukanlah berasal dari jerih payah para orang tuannya. Pendidikan merupakan suatu ajaran agar manusia dapat hidup lebih baik. Venkataiah (2007:1) mengungkapkan bahwa: “Value education means inculcating in the children a sense of humanism, a deep concern for the well-being of other and the nation. this can be accomplished only when instill in the children a deep felling of commitment to values that would build this country and bring back to people pride in work that brings order, security and assured progress”. Nilai pendidikan berarti menanamkan pada anak rasa humanisasi, keprihatinan yang mendalam bagi kesejahteraan lain dan bangsa. Hal ini dapat commit to user
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dicapai hanya ketika menanamkan pada anak-anak yang dalam penebangan komitmen terhadap nilai-nilai yang akan membangun negara ini dan membawa kembali ke orang kebanggaan dalam pekerjaan yang membawa ketertiban, keamanan dan kemajuan terjamin. Namun, dalam novel di temukan banyak pertentangan yang dihadapi anak-anak perempuan untuk memperoleh pendidikan. Anak-anak di lepas oleh para orang tua untuk hijrah bersama sanak keluarga lainnya meninggalkan Kota Singkawang untuk dapat bersekolah sambil bekerja. Sekolah yang mereka dapatkan merupakan hasil belas kasih dari para keluarganya yang mampu dan mau memberikan biaya bagi anak-anak agar mereka kelak dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Namun, tidak semua anak akan dizinkan para orang tua untuk pergi mengikuti sanak keluarganya bersekolah, sebagian orang tua berpikir anak tersebut akan lebih bermanfaat bekerja membantu kedua orang tuannya dari pada memperoleh pendidikan. Selain harapan dibantu oleh sanak keluarga untuk membiayai sekolah anakanak Tionghoa mungkin mereka tidak akan pernah sama sekali memperoleh pendidikan jika tidak datang bantuan dari lembaga-lembaga sosial yang berasal dari negeri tetangga Malaysia. Bantuan-bantuan pendidikan yang tergambar dalam novel tersebut bukan berasal dari negera mereka sendiri melainkan negara tetangga. Mereka bersekolah di sebuah rumah yang disewakan kemudian belajar dengan apa adanya untuk mendapatkan pendidikan yang sekadarnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
144 digilib.uns.ac.id
h. Pekerjaan Pendidikan yang rendah inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak. Mereka tidak mempunyai kemampuan khusus dalam bekerja. Kualitas SDM yang mereka miliki tidak akan menunjang mereka mendapatkan pekerjaan yang baik. Pemikiran masyarakat yang selama ini selalu menganggap etnis Thionghoa merupakan etnis yang memiliki kemapanan ekonomi merupakan pemikiran yang salah. Tidak semua etnis Thionghoa memiliki ekonomi yang baik. Banyak masyarakat Tionghoa yang berkerja sebagi kuli, buruh, pelayan, penjaga toko, tukang becak, dan pekerjaan rendah lainnya. Pekerjaan tersebut tidak hanya dilakukan oleh kaum dewasa saja, tetapi anak-anak mereka turut menopang kehidupan tersebut. Jika sang ayah bekerja sebagai kuli maupun penjaga toko, maka para istrinya akan bekerja sebagai tukang cuci maupun pekerjan rumah lainnya, dan anak-anaknya akan bekerja sebagai pelayan juga pembantu. 3. Tanggapan Pembaca Terhadap Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian Beragam pendapat yang diungkapan oleh para reseptor mengenai hal yang ingin disampaikan pengarang melalui novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian diantaranya mengungkapkan kegigihan seorang anak yang ingin membantu ekonomi orang tuanya yang sangat sederhana, mereka mau bekerja keras, dan mereka juga mengajarkan tentang ketaatan pada adat istiadatnya. Berdasarkan cerita novel, para amoi Singkawang bekerja keras bahkan siap menikah dengan laki-laki Taiwan demi mahar sejumlah uang. Kerja keras pun dilakukan para amoi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
145 digilib.uns.ac.id
untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Selain itu amoi-amoi Singkwang juga sangat taat pada adat istiadat yang menuntut mereka untuk patuh pada orang tuanya. Hidup dalam lingkar kemiskinan akhirnya membutakan pemikiran para amoi. Mereka hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang sehingga tidak memikirkan pendidikannya. Ditambah faktor orang tua yang tidak pernah mendukung anak perempuannya untuk bersekolah. Orang tua selalu memberikan petuah lama bahwa anak perempuan tidak perlu mempunyai pendidikan karena nantinya hanya akan bekerja di dapur dan melayani suami. Tidak ada pilihan lain bagi para amoi untuk menentukan hidupnya. Seperti halnya yang diungkapkan Soekanto (2006:22) bahwa sistem kehidupan bersama akan menimbulkan suatu kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya dan patuh dalam kebudayaan tersebut. Kultur budaya Tionghoa yang tidak memberikan peran penting bagi perempuan. Perempuan dianggap tidak layak untuk mendapatkan hak-haknya akhirnya memutuskan mereka melakukan apa saja demi membantu perekonomian keluarganya. Hal tersbut akhrinya dimanfaatkan beberapa orang yang disebut dengan “Mak Comblang”. Mereka datang menghasut sanak saudara maupaun masyarakat sekitar untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan laki-laki asing yang bersedia memberikan sejumlah mahar yang besar untuk anak-anak perempuan mereka. Harapan amoi untuk memiliki cinta dan cita tentu tidak ada. Menikah dengan laki-laki Singkawang berarti siap hidup susah dengan ekonomi dan sifat laki-laki Singkawang yang keras dan kasar. Pilihan untuk menikah dengan laki-laki luar commit to user
146 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
negeri menjadi harapan terbesar mereka. Mendapatkan kehidupan yang lebih baik tanpa harus bersusah-susah bekerja menjadi pemikiran para amoi tersebut jika menikah dengan orang luar negeri. Senada dengan pernyataan di atas Muthahari (2007:38) mengungkapkan bahwa selain agresif manusia juga rakus dan mementingkan diri sendiri (empirisme dan utilitarianisme), ia betindak hanya untuk mencari kesenangannya sendiri tanpa harus bersusah-susah (hedonisme). Namun, sesampainya dalam sebuah penikahan perempuan Tionghoa tidak pernah mendapatkan kebahagiannya. Mereka dijadikan budak untuk mengurus rumah tangga dan bekerja untuk menghasilkan uang. Tidak jarang banyak perempuan Tionghoa dijadikan pelacur oleh suaminya sendiri agar lebih besar mendapatkan keuntungan. Perempuan-perempuan Tionghoa yang merasa frustasi akhirnya mencoba untuk kabur bahkan bunuh diri. Namun, beberapa diantara mereka juga ada yang sampai saat ini bertahan agar dapat terus menghidupi keluarganya yang berada di Singkawang. Mereka menjadi sumber penting yang membantu kebutuhan ekonomi keluarga, meski dari awal keberadaan mereka tidak pernah diharapkan bahkan selalu dikesampingkan. Para
reseptor
juga
berpendapat
diantara
mereka
ada
yang
pernah
mendengarkan kisah nyata yang terjadi dalam novel ini. Kisah seperti ini didengar mereka melalui media televisi bahkan cerita dari mulut-kemulut, yang ikut membenarkan kisah yang dialami oleh para amoi dalam novel. Selanjutnya reseptor mengungkapkan adanya nilai pendidikan tinggi yang terdapat dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian. Novel Amoi Gadis yang Menggapai commit to user
147 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Impian banyak mengandung ajaran-ajaran yang baik untuk diterapkan dalam bermasyarakat. Ajaran-ajaran tersebut tergambar dalam sikap para amoi yang sangar berbakti pada orang tua, adat istiadatnya, dan ajaran agamanya. Selain itu nilai pendidikan tinggi dapat juga diambil dari pandangan pengarang novel yang tertuang dalam tulisannya. Mya ye sebagaimana yang diketahui peneliti adalah pribadi yang memiliki jiwa sosial yang tinggi dapat mudah berinteraksi dengan sifat ramahnya. Pada umumnya para reseptor memberikan tanggapan yang positif pada novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian. Para reseptor terkesan dengan sikap amoiamoi Singkawang yang gigih dalam bekerja dan patuh pada kedua orang tuanya. Novel ini juga memberikan pengaruh besar bagi para reseptor setelah membacanya diiantaranya sikap-sikap amoi yang tertuang dalam novel dijadikan cerminan dan motivasi hidup bagi para reseptor. Ceriman tersebut tergambar dari penderitan
para amoi
ketika di
Taiwan
hidup
bersama
suami
yang
memperlakukannya seperti budak masih berusaha memikirkan keluarganya yang berada di Singkawang. Mereka mengenyampingkan penderitaannya demi keluarganya. Para reseptor juga mengungkapkan ada beberapa hal atau sikap yang perlu di ubah dari amoi-amoi yang terdapat dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian yang selamai ini ingin mendapatkan kebahagian tanpa mau bersusah payah
bekerja
lagi.
Senada
dengan
hal
tersebut
Bertens
(2007:239)
mengungkapkan secara logis manusia yang bersifat hedonisme harus membatasi diri pada kebiasaan membiarkan tingkah lakunya dituntun oleh kesenangan. Para commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
148 digilib.uns.ac.id
amoi harusnya mempunyai sikap yang tegas, memiliki pendidikan, tidak terkekang dalam adat istiadat lama dan memikirkan segala tingkah laku mereka dengan mempertimbangkan perlunya upaya yang harus dilakukan seumur hidup untuk mendapatkan kebahagiaan. Selain itu pernikahan yang para amoi lakukan harus memiliki cinta agar rumah tangga yang dibangun dapat harmonis dan menghasilkan generasi penerus yang penuh cinta kasih. Hubungan sosial yang terjalin dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian dengan status sosial yang terdapat dalam masyarakat nyata menurut reseptor sudah jauh berbeda. Dalam novel dijelaskan keluarga mampu bebas menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya sedangan keluarga tidak mampu memaksa anaknya bekerja keras tidak mengizinkannya sekolah bahkan rela menikahkan anaknya dengan laki-laki luar negeri hanya demi uang. Untuk masyarakat nyata yang berada di lingkungan reseptor keluarga mampu maupun keluarga tidak mampu kini semakin berupaya meningkatkan taraf hidup mereka dengan cara menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anaknya yang bersekolah nantinya diharapkan dapat memperbaiki kehidupan keluargannya denga cara mendapatkan pekerjaan yang layak. Para reseptor juga tidak menutup kemungkinan kejadian yang ada dalam novel masih terjadi dalam lingkungan sekarang, seperti kisah para amoi yang menikah dengan laki-laki luar negeri demi sejumlah uang. Namun, tidak hal tersebut diungkapkan para reseptor bahwa permasalahan tersebut ada tapi tidak terbuka bagi umum. Kejadian ini dianggap tabu dan tidak pantas untuk diceritakan apalagi diketahui oleh masyarakat sekitar. commit to user
149 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Alasan Orang Tua Perempuan (Amoi) Singkawang yang Menikahkan Anaknya pada Laki-Laki Luar Negeri. Wawancara dilakukan untuk mengungkapkan alasan orang tua dari perempuan Tionghoa Singkawang (amoi) yang menikahkan anaknya dengan laki-laki luar negeri. Dari wawancara tersebut terungkap para informan merupakan kaum materialisme. Materialisme memandang bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi (Bertens, 1998:76). Sehingga faktor utama yang menjadi alasan mengizinkan anak perempuannya menikah dengan laki-laki luar negeri ialah masalah ekonomi. Beberapa informan mengutarakan memiliki anak perempuan pada masa ini menjadi suatu hal yang diharapkan. Meski pada dasarnya anak perempuan dianggap tidak dapat mewarisi marga keluarga namun, anak perempuan dipercaya dapat merubah nasib keluarganya terutama pada keluarga yang kurang mampu. Anak perempuan digambarkan sebagai anak yang gigih dan patuh pada orang tua. Selain itu ketika menikah anak perempuan akan mendapatkan mahar sejumlah uang yang diberikan calon suaminya kepada orang tua perempuan. Bagi para informan anak perempuannya yang menikah dengan laki-laki luar negeri dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Laki-laki luar negeri dianggap mempunyai kehidupan yang mapan dibandingkan dengan laki-laki Singkawang. Meski para informan mendengar bahkan mengetahui kisah menyedihkan beberapa dari perempuan yang menikah dengan laki-laki luar negeri tersebut tetapi mereka tetap berharap anaknya menikah dan memiliki hidup yang baik dengan laki-laki luar negeri.
commit to user
150 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Para informan mengutarakan banyaknya perubahan yang terjadi ketika anak perempuannya menikah dengan laki-laki luar negeri. Perubahan tersebut akan terlihat dari adanya tambahan dana untuk keluarga, keadaan bentuk rumah yang mulai membaik, dan status sosial keluarga meningkat. Bahkan setelah anak perempuannya menikah dan menetap bersama suaminya di luar negeri, tidak jarang anak perempuannya masih mengirim uang kepada keluarganya dan membuat rasa bahagia orang tua. Pernikahan para amoi tersebut dimulai dari berbagai cara. Satu-persatu informan menuturkan bagaimana cara anak perempuannya berhubungan dengan laki-laki luar negeri kemudian menikah. Hal tersebut ada yang di mulai melalui bantuan atau jasa biro jodoh yang disebut dengan “mak comblang” dan ada juga yang menikah karena dijodohkan dengan beberapa saudaranya yang telah bekerja atau menikah terlebih dahulu di luar negeri. Para informan tidak memungkiri adanya perasaan bangga dengan menikahnya anak perempuannya dengan laki-laki luar negeri. Keadaan sosial masyarakat ini terjadi karena anggapan tidak ada cara lain dalam memperbaiki keadaan ekonomi. Sesuai dengan fakta mendasar Hedonisme yaitu manusia akan melakukan tindakan yang menguntungkan baginya serta menghindari hal yang merugikan (Muthahari, 2007:38). Keinginan untuk menjadi kaya dengan waktu singkat akhirnya mengubur semua cita-cita mulia para amoi dan memilih pemikiran pendek untuk bersuamikan orang luar negeri yang dianggap sebagai orang kaya.
commit to user
151 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian. a. Nilai Pendidikan Moral atau Kebaikan Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari nilai-nilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan di mana individu berada (Nurgiantoro, 1998:319). Pendidikan moral memungkinkan manusia untuk memilih sacara bijaksana yang benar dan yang salah atau tidak benar. Mya Ye pada novel ini menggambarkan sikap dan karakter orang Tionghoa terutama para amoinya yang rajin bekerja, patuh pada orang tua, dan memiliki sifat sabar yang cukup tinggi. Meski hidup dalam keadaan tidak berkecukupan para amoi tidak pernah menyerah bekerja dan berupaya membantu keluarganya. Karakter tersebut sebaiknya menjadi acuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan kesabaran dan kegigihan niscaya akan menghasilkan suatu kebaikan. Dan dengan sikap patuh pada orang tua akan menuntun seorang anak pada kemuliaan yang membuahkan kehidupan penuh cinta kasih dalam keluarga, masyarakat, dan Tuhan. b. Nilai Pendidikan Religius Religius dan agama erat berkaitan dan melebur dalam satu kesatuan. Mangunwijaya
sebagaimana
yang
di
kutip
Nurgiantoro
(1998:326)
menjelaskan istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama. Nilai tersebut merupakan pedoman pedoman hidup manusia untuk setiap saat. Nilai pendidikan agama yang terkadung dalam novel Amoi Gadis yang Menggapi Impian diwujudkan dalam ajaran mengenai ketaatan orang Tionghoa commit to user
152 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyembah Tuhannya. Orang Tionghoa dalam novel dideskripsikan selalu berdoa dan memanjatkan keinginan pada Dewa-dewa. Sebagai umat beragama hendaknya dimanapun dan kapanpun kita selalu mengingat Tuhan. Berbagai macam cara beribadah diajarkan pada tiap agama yang berbeda. Beribadah merupakan cara kita mendekatkan diri dan mengabdikan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mengingat Tuhan seseorang akan memasrahkan diri dan lebih beriman dalam menjalankan kehidupan. c. Nilai Pendidikan Sosial Nilai Sosial dalam karya sastra merupakan suatu tindakan yang dilakukan di tengah-tengah
masyarakat,
mengambil
bahan
dari
dalam
kehidupan
bermasyarakat (Ratna, 2013:35). Nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian yaitu kehidupan masyarakat Singkawang dengan beragam etnis budaya dapat hidup rukun, saling membantu, dan menghargai antar sesama baik dalam setiap acara maupun kesenian yang ada. Dengan nilai pendidikan sosial diharapakan dapat membawa manusia pada kesadaran bahwa manusia membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Kebutuhan manusia pada manusia lainnya dapat terlihat dari interaksi yang biasa masyarakat Tionghoa dalam novel lakukan. Mereka sering berkumpul dalam suatu kedai kopi bercengkrama menghilangkan beban pikiran, bercanda tawa, maupun melakukan kegiatan lainnya. Novel ini juga mengungkapkan betapa pentingnnya sikap saling tolongmenolong. Pertolong dapat diberikan pada siapa saja yang membutuhkan tanpa commit to user
153 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memandang ras, agama, maupun gender. Tidak ada perbedaan dalam status sesama manusia sebagai mahluk sosial semua memiliki hak dan kesempatan yang sama. d. Nilai Pendidikan Budaya (Adat Istiadat) Nilai pendidikan budaya yang terkadung dalam novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian berupa keadaan, kebiasaan, tradisi dalam segala pesta perayaan tahunan, penikahan, dan kematian dipenuhi dengan tata cara atau aturan yang sudah ada sejak dahulu pada etnis Tionghoa. Berlatarkan Kota Singkawang maka Mya Ye banyak melukiskan keadaan Kota Singkawang. Kota Singkawang dengan mayoritas penduduknya beretnis Tionghoa memiliki kekhasan tersendiri. Koenjaraningrat (2000:18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Novel Amoi Gadis yang Menggapai Impian akan menambah pengetahuan kita terhadap ragam budaya yang ada di Indonesia. Terutama budaya Tionghoa Singkawang.
commit to user