perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pandangan Pengarang dalam Novel Lampuki karya Arafat Nur Pandangan pengarang terhadap novel tidak lepas dari latar belakang kehidupan pengarang, bagaimana pencaharian pengarang, profesionalisme kepengarangannya, dan proses kreatif pengarang. Arafat Nur adalah salah satu penulis yang berasal dari Aceh. Beliau sudah aktif menulis sejak tamat dari bangku SMA. Tulisan pertamanya adalah berupa puisi yang diterbitkan oleh Majalah Kiprah. Selanjutnya ia banyak menulis cerpen, puisi, dan opini yang diterbitkan diberbagai majalah dan surat kabar. Arafat Nur adalah salah satu tokoh sastra yang produktif dalam melahirkan
karya-karya
terbaik.
Beliau
pernah
mendapatkan
beberapa
penghargaan melalui cerpen-cerpen yang ditulisnya. Penghargaan tersebut antara lain penghargaan terbaik lomba menulis cerpen Taman Budaya Aceh pada tahun 1999 dan harapan I lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan Telkom online dalam rangka menyambut Hari Kartini pada tahun 2005. Novel pertama Arafat Nur muncul pada tahun 2005 dengan judul Percikan Darah di Bunga dan langsung mendapat penghargaan juara III Nasional lomba penulisan novel Forum Lingkar Pena. Setelah novel remaja pertamanya tersebut, Arafat Nur aktif menulis berbagai novel lain. Novelnya yang lain, Ciuman di Suatu Senja juga pernah memenangkan Sayembara Novel Do Karim, commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63 yang kemudian dimuat di Harian Analisa sebagai cerita bersambung dengan judul Merah Jingga. Novel Lampuki merupakan novel Arafat Nur yang membawanya menjadi sastrawan handal dalam khazanah sastra Indonesia. Novel ini merupakan novel pertamanya yang bergenre serius dan merupakan pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010. Tidak hanya sampai di situ, novel Lampuki juga membawanya pada penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2011. Dengan kedua penghargaan tersebut, Arafat Nur menjadi penulis Aceh satusatunya sepanjang sejarah yang pernah memenangkan sayembara paling bergensi dan banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak tersebut. Novel Lampuki lahir berdasarkan perjalanan panjang penulis. Gagasan ceritanya telah mengendap selama bertahun-tahun sebelum Arafat Nur bekerja keras menuliskannya selama kurang lebih dua tahun. Banyak alasan mengapa gagasan cerita Lampuki begitu lama diabadikan dalam bentuk tulisan. Salah satunya adalah karena cerita tentang Lampuki berlangsung terlalu dekat dengan kehidupan Arafat Nur, sehingga beliau kesulitan mengembangkan ruang imajinasinya. Selain itu, sebelum memulai proses penulisan Lampuki, beliau sempat mengalami titik jenuh yang sangat panjang. Setelah pemberontakan
tiga
tahun
jiwanya
lamanya
terhadap
vakum
dalam
peristiwa-peristiwa
menulis, di
ditambah
sekitarnya,
dan
kemarahannya pada perilaku masyarakatnya yang menyimpang, akhirnya mendorong Arafat Nur untuk segera memulai menuangkan gagasan Lampuki commit to user tersebut ke dalam tulisan. Novel Lampuki─seperti yang telah disebutkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64 merupakan novel genre serius pertamanya─adalah novel yang dikerjakannya dengan sungguh-sungguh dengan banyak alasan. Salah satunya adalah Arafat Nur ingin meluruskan segala yang terjadi di Aceh, baik pola pikir, pemahaman, dan segala hal yang “menewaskan” Aceh karena peperangan. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan pengarang yang terlampir dalam catatan lapangan hasil wawancara 1 atau CLHW 1. Novel Lampuki selesai digarap sekitar dua tahun lamanya. Novel ini ditulis Arafat Nur dengan unik, utuh, menghibur, dan diceritakan dengan cerdas. Arafat Nur yang memang memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang Aceh, memanfaatkan pengetahuan tersebut ke dalam tulisannya. Banyak sekali hal rumit di dalam novel ini, namun Arafat Nur mampu menuliskannya dengan cara yang cerdas, ringan dan sederhana. Rangkaian peristiwa perang yang diceritakan di dalam novel benar-benar ditonjolkan dengan sisi yang berbeda oleh Arafat, sehingga tidak membuat pembaca jenuh, bahkan meninggalkan kesan yang dalam. Lampuki ditulis dengan bahasa yang yang ringan, sederhana dan berbeda dengan bahasa yang terdapat di novel-novel sejenis lainnya. Gaya bercerita Arafat Nur yang penuh emosi, justru menimbulkan humor-humor di dalam novel ini, sehingga menambah keunikan novel Lampuki. Arafat Nur juga memiliki penguasaan majas yang baik. Perumpamaan dan gaya bahasa yang digunakan Arafat di dalam novel ini jarang sekali ditemukan pada pengarang lain. Selain itu, diksi atau pilihan kata yang dipakai Arafat Nur memiliki kekhasan tersendiri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65 Relevan dengan paragraf sebelumnya, gaya bahasa dan gaya penceritaan Arafat Nur tersebut salah satunya disebabkan kesukaannya dalam membaca bukubuku sastrawan dunia dari negara-negara Eropa, Arab dan Asia. Arafat Nur banyak mempelajari teknik dan gaya bercerita dari negara-negara tersebut ketika menulis novel Lampuki. Selain itu, Arafat Nur juga mempelajari bahasa Melayu Klasik. Hal ini sesuai dengan kutipan hasil wawancara dengan pengarang yang dapat dilihat dalam catatan lapangan hasil wawancara 1 atau CLHW 1. Arafat Nur memang mempelajari banyak hal ketika menulis novel Lampuki, seperti mempelajari bahasa, sejarah, maupun cara bercerita yang baik dan jarang dilakukan oleh penulis-penulis lain. Keseriusannya dalam mempelajari semua hal tersebut membuktikan bahwa Arafat Nur memang tidak main-main dalam menggarap Lampuki. Pengalaman batin, pemahamannya terhadap sejarah, bahasa, diksi, majas dan gaya bercerita berkait berkelindan dalam narasinya pada novel ini. Selain itu, novel ini juga memiliki nilai-nilai hidup, baik secara tersirat dan tesurat, yang baik diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman Arafat Nur terhadap sejarah dibuktikan melalui kutipan novel berikut.
Tidak lama setelah Teungku Daud bersedia turun gunung, Karno tumbang digantikan seorang jenderal sipit berhati keji. Dialah yang melancarkan serangan dan pembunuhan-pembunuhan massal di kampung-kampung kami. Sejak itulah dimulai Tahun-Tahun Pembantaian yang merenggut begitu banyak korban penduduk yang sudah menyelamatkan negeri mereka dari kehancuran. (Lam/AN/2011:28-29) Setelahnya, betapa banyak bala tentara yang dilimpahkan kemari pada tahun-tahun berdarah yang pebuh kekejian dan simbahan darah untuk memburu sejumlah pengikut Hasan Tiro. Hasan adalah lelaki yang menyandang banyak harapan dan angan-angan panjang yang muncul commit to user kemudian setelah Teungku Daud mangkat. Pada masa itu kampung-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66 kampung berubah sunyi, sangat mencekam bila datang malam. Serdadu menjarahi harta benda, menangkapi penduduk, dan secara merajalela menculik ratusan orang. Tengah malam buta mereka datang mengetuk pintu lalu meminta lelaki sebagai tumbal. (Lam/AN/2011:29) Begitulah, berbilang tahun kekayaan bumi di Pasai terus dikeruk dan diangkut tanpa henti, tanpa memandang kesengsaraan penduduk dan ulah dari semua petaka yang mereka ciptakan di sini. Semua hasilnya habis digunakan untuk kepentingan pembangunan di pusat pemerintahan, dan sebagian lagi digelapkan oleh komplotan pejabat tengik yang kemudian menjadi kaya raya di tengah penduduk yang terjangkit busung lapar. Sejumlah pemimpin ternyata diam-diam menjajah kaumnya sendiri dan keadaan rakyat mereka pun tiada beda dengan keadaan kami di sini. (Lam/AN/2011:60) Alasan kejahatan pemimpin itulah yang kemudian menjadi pemicu Hasan Tiro naik darah. Lelaki itu menghimpun sejumlah pengikut dan kekuatan di hutan, lantas memberontak kepada pemerintah pusat. Dan, tingkah pongah para pendatang semakin membuat panas hati banyak orang; mereka berperilaku serupa pencuri, tiada sikap ramah dan tak kenal santun sedikit pun. Mereka amat lancang, melecehkan, dan menghina kami sekalian, seolah-olah kami di Pasai ini budak yang bisa diabaikan seumpama hewan liar. (Lam/AN/2011:61)
Melalui kutipan di atas Arafat menjelaskan bahwa ada alasan-alasan berupa sejarah masa lalu yang membuat masyarakat di Aceh marah kepada pemerintah. Arafat Nur banyak melakukan observasi dan membaca buku-buku untuk mendapatkan informasi sejarah tersebut. Beliau mengorek sejarah melalui berbagai sisi, tidak hanya menjelaskan sisi baik, namun juga membongkar sisi-sisi buruk dari sejarah tersebut. Selanjutnya, kutipan berikut menjelaskan pandangan Arafat Nur mengenai sejarah orang Aceh pada zaman dahulu.
Aku pernah mendengar ayahku berkata bahwa tidak semua orang Aceh punya keturunan baik. Kebanyakan dari kami ini dahulunya berasal dari anak cucu perompak, bandit-bandit garang dan kejam dari Arab, India, China, dan Peringgi yang datang kemari dengan mengarungi laut raya commit to user untuk merompak, merampok, dan menjarah, lalu menjadikan wilayah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67 kecil ini sebagai negeri tempat persembunyian mereka yang aman dan damai. Keturunan-keturunan beringas inilah yang sering menimbulkan kekacauan, bencana, dan kerusakan-kerusakan bagi kami sendiri. (Lam/AN/2011:284) Memang ada juga orang-orang baik hati, tulus, lembut akal budinya, dan santun perangainya─konon mereka adalah keturunan dari cicit Nabi Muhammad yang diusir suku Badui, sebelum dan setelah suku itu menguasai kerajaan Arab. (Lam/AN/2011:285)
Secara singkat, novel Lampuki adalah novel berlatar Aceh pada masa penuh gejolak konflik antara tentara pemerintah dan pasukan laskar gerilyawan. Untuk menghadapi
gerilyawan, serdadu
pemerintah menjalankan
taktik
membinasakan gerilyawan yang mana warga menjadi sasaran pembantaian. Masamasa itu adalah masa-masa yang menakutkan karena konflik tersebut pada ujungnya menyengsarakan orang-orang kecil tak berdosa. Dalam hal ini Lampuki dapat dikatakan novel yang jujur. Arafat Nur secara profesional melihat konflik tersebut dari berbagai sisi, sehingga tidak berat sebelah dan tidak untuk kepentingan apa pun. Semua yang digambarkan oleh Arafat Nur sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada saat itu di Aceh. Ada dua tokoh sentral yang diceritakan oleh Arafat Nur di dalam novel Lampuki ini. Tokoh pertama adalah aku (Muhammad). Ia berperan sebagai orang yang menceritakan keadaan yang terjadi di dalam novel, termasuk Ahmadi, tokoh sentral lainnya. Kedua tokoh ini memiliki karakter yang berbeda. Tokoh aku yang bekerja sebagai tukang bangunan sekaligus seorang Teungku di kampung Lampuki sangat mencintai perdamaian, kerukunan dan ketenangan di dalam hidupnya. Prioritas hidupnya hanyalah mengabdikan diri kepada Tuhan dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68 mengajarkan anak-anak di kampungnya belajar mengaji dan membaca Alquran. Baginya, pendidikan sangat penting bagi masa depan anak-anak Lampuki, oleh karena itu ia sangat sedih ketika sekolah-sekolah formal di kampungnya harus ditutup karena perintah para pasukan laskar gerilyawan. Terkait hal ini, masalah pendidikan memang salah satu hal yang sangat diperhatikan oleh Arafat sebagai pengarang. Tokoh aku memiliki pandangan dan pikiran-pikiran yang unik dan khas. Meski Arafat Nur mengambil sudut pandang yang jauh ketika menulis novel ini, namun tentu ada beberapa hal yang mempengaruhi pengarang dalam menullis pikiran-pikiran yang ada di Lampuki. Salah satunya adalah pandangan yang dimiliki tokoh aku berasal dari pikiran masyarakat di lingkungannya. Arafat memindahkan pikiran-pikiran tersebut ke dalam Lampuki dengan baik dan kontemporer. Salah satu pandangan Arafat Nur yang unik dapat dilihat melalui kutipan berikut.
Pagi itu, tatkala Karim berangkat meninggalkan kampung, dia sempat mencegatku di depan rumah. Karim menyelipkan tiga lembar uang kertas dalam saku bajuku, uang kertas berwarna merah. Itulah warna yang punya nilai paling tinggi di negeri ini, serupa halnya warna bendera dan darah. Maka, tidak salah bila mereka menyebutkan negeri ini─sambil bernyanyinyanyi riang dan bangga─tanah tumpah darah. Memang selamanya negeri ini senang dengan pertumpahan darah. (Lam/AN/2011:177-178)
Selanjutnya, tokoh Ahmadi digambarkan oleh Arafat sebagai tokoh yang beringas, kejam, dan kasar. Ia merupakan pemimpin laskar gerilyawan yang sangat ditakuti oleh masyarakat di Lampuki dan juga tokoh yang paling diincar commit to user oleh para tentara. Di dalam novel, Arafat sering mengumpamakan kekuatan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69 Ahmadi yang berasal dari kumisnya. Kumisnya yang sangat tebal dan kasar digambarkan sebagai sumber kekuatan dan kewibawaannya. Selain itu, kumis itu juga melambangkan kegarangan, kesuburan, dan harga diri tokoh Ahmadi. Dalam hal inilah kekuatan Arafat Nur dalam memberi perumpamaan-perumpaan yang cerdas dan tidak biasa terhadap berbagai hal dibuktikan. Arafat Nur yang memang tumbuh dan besar di Aceh memiliki pengetahuan yang baik mengenai sejarah dan perkembangan lingkungan Aceh, serta pemikiran-pemikiran masyarakatnya. Beliau memanfaatkan dengan baik pengetahuan tersebut sehingga Lampuki berhasil menjadi novel yang dapat menunjukkan sisi Aceh secara nyata. Beberapa pemikiran-pemikiran masyarakat Aceh mengenai konflik dahulu banyak ditunjukkan oleh tokoh Ahmadi di novel ini. Salah satunya pemikiran tokoh Ahmadi yang merupakan pemimipin pasukan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil wawancara dengan pengarang yang dapat dilihat dalam CLHW 1. Ahmadi yang merupakan penggerak pasukan laskar memiliki misi untuk mengusir para serdadu pemerintah. Bagi Ahmadi, para serdadu tersebut tak ubahnya seperti penjajah yang mengobrak-abrik tanah Aceh yang mulia. Dengan kelincahan, keuletan dan kekuatannya nya dia menghimpun kekuatan bersama orang-orang yang dihasutnya guna memikirkan cara dan strategi untuk melumpuhkan mereka. Penggambaran tentang tokoh Ahmadi dapat dilihat melalui kutipan novel berikut.
Lelaki gagah itu punya kumis sangat tebal, helai demi helainya kasar dan commit to user kaku, menyemak hebat di bawah cupingnya yang mancung. Tiada seorang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70 pun di antara kami yang tidak mengenalnya dengan baik. Nama lelaki itu begitu masyhur, orang-orang kerap menyebut dirinya hampir di saban percakapan. Dialah Ahmadi si Kumis Tebal, lelaki yang menakutkan sekalian orang! (Lam/AN/2011:17-18) Sebetulnya Ahmadi bukanlah orang asing di kampung ini, Cuma saja dia jarang terlihat berkeliaran di kampung lantaran sering berkelana ke sembarang tempat. Aku mendengar, akhir-akhir ini dia lebih sering berada di gunung bersama kawan-kawannya, sibuk menghimpun kekuatan, membentuk laskar baru di hutan guna melawan pemerintah. Ahmadi bersumpah, dia tidak bakal membiarkan serdadu penjajah untuk selamanya mencacah-cacah dan menistakan tanah mulia yang dirahmati Tuhan ini. (Lam/AN/2011:18) “Kita semua wajiblah berperang melawan kaum perusak yang sudah menginjak-injak tanah ini. Mereka betul-betul tidak tahu diri, biadab, dan kejam! Tiada pantas lagi bagi kita memberi hati atas kejahatan mereka yang tidak terperi. Kalau tidak, betapa hinanya kita ini, bangsa yang merupakan keturunan kaum beradab dan pemberani, bisa diperbudak oleh kaum lamit yang pernah dijajah berkali-kali.” (Lam/AN/2011:31)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pandangan pengarang di dalam novel ini benar-benar menunjukkan pandangan masyarakat Aceh pada saat itu. Salah satunya adalah bagaimana Ahmadi kerap kali mendekati dan menghasut para pemuda bahkan anak-anak guna menghimpun pasukan yang lebih banyak dan lebih kuat. Bahkan Ahmadi meminta tokoh aku untuk ikut membujuk muridmuridnya. Hal-hal inilah yang membuat para orang tua ketakutan. Mereka takut anak-anaknya termakan hasutan Ahmadi dan pergi mengikutinya ke hutan dan melawan tentara tanpa dapat mereka cegah atau melarang. Peristiwa tersebut digambarkan dalam novel melalui kutipan berikut.
Tentunya, sejak awal aku tidak menyetujui rencana Ahmadi yang menginginkan muridku. Aku tidak kuasa mengajukan sanggahan ataupun penolakan langsung maka kutanggapi semua kehendaknya dengan cara commit to user diam, berlagak sedang bersungguh-sungguh memikirkannya, dan sesekali
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71 kuangguk-anggukan kepalaku lantaran terpaksa karena aku tidak tahu bagaimana harus menentukan sikap kepadanya. Yang membuatku sangat tertekan adalah, justru dia memintaku memengaruhi dan membujuk murid-muridku sendiri supaya bersedia ikut berperang dengannya. (Lam/AN/2011:51) Sejumlah penduduk khawatir anak-anak mereka bakal termakan hasutan Ahmadi, lantas mereka akan kehilangan anak yang lenyap bersama lelaki itu ke hutan, tanpa ada kuasa bagi mereka untuk melarang kalau semua itu memang sudah menjadi kemauan dan pilihan anak mereka yang mendapat sokongan penuh dari persekongkolan kumis itu. Sekalipun penduduk mendukung perjuangan Ahmadi yang bersendikan kumis itu, sebetulnya mereka tetap tidak menghendaki anak-anak mereka ikut-ikutan terlibat dalam upaya menentang pemerintah. Pada gilirannya anak-anak itu bakal menjadi makhluk renyah bagi buruan tentara dan kebanyakan dari mereka memang berakhir dengan kematian mengenaskan, diterjang ganasnya peluru-peluru tentara yang senantiasa mengintai dan memburu mereka. (Lam/AN/2011:97)
Dengan gamblang Arafat menceritakan di dalam novelnya bagaimana sekolah-sekolah ditutup oleh para laskar gerilyawan pada saat itu demi memenuhi kepentingan mereka dan anak-anak tidak dapat melanjutkan sekolah karenanya. Sedang di sisi lain, Ahmadi merasa semua sikap dan tindakannya itu sebagai pahlawan pembela kebenaran bagi masyarakat sekitarnya.
Dia memberitahuku bahwa Ahmadi sedang gigih-gigihnya berteriak-teriak kepada sejumlah orang di Pasar Simpang, menyebarkan maklumat yang melarang anak-anak bersekolah. Dalam beberapa hari ini Ahmadi sibuk mengunjungi sejumlah sekolah yang berada di wilayah Sagoe Peurincun. Dia menunjukkan kumisnya kepada kepala sekolah dan guru-guru; dan memang, tak ada seorang pun di antara mereka (tentu saja kepala sekolah dan guru laki-laki) yang sanggup menyaingi ketebalan kumisnya. Mereka pun bersepakat untuk tidak menimbulkan perkara yang dapat mengusik ketenangan kumis itu sehingga pada keesokan harinya sejumlah sekolah ditutup secara baik-baik tanpa menimbulkan sedikit pun kegaduhan. (Lam/AN/2011:45-46) Beberapa kali aku sempat mendengar pendapat Ahmadi perihal bahaya commit to user sekolah umum bagi jiwa dan pikiran anak-anak. Mereka yang masih belia,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72 menurut kumis itu, belum paham betul tentang makna perjuangan, terlalu mudah pikiran mereka diputar-belokkan, diotak-atik, lalu dibentuk sesuai dengan keinginan pemerintah untuk menjadikan mereka tunduk dan patuh sebagai budak. (Lam/AN/2011:46) Namun, aku melihat larangan sekolah itu lebih pada kepentingan lain yang merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap bertambahnya jumlah musuh kumisnya dari golongan kaumnya sendiri─yang kumaksud tentu saja bukan kaum kumis─yang kelak akan menyerang dan mengancam kumisnya. (Lam/AN/2011:46)
Melalui novel ini Arafat juga mencoba menunjukkan pada pembaca mengenai cara pandang dan tujuan yang hendak mereka (pasukan laskar) capai dalam memerangi pemerintah. Arafat mencoba menjelaskan bahwa para pasukan tersebut memiliki paradigma tersendiri mengenai idelogi dan kemerdekaan. Sebuah impian tentang Aceh yang merdeka dan keinginan lainnya menjadi alasan adanya peperangan dan korban yang berlangsung saat itu.
Halimah juga sempat membual sebagaimana kelakuan suaminya, mengkhayalkan negeri menyenangkan yang bagaikan surga, bahwa sepetak kecil tanah ini suatu hari nanti bakal berubah menjadi sebuah negeri makmur dengan sebaran banyak masjid besar berkubah megah. Tak ada lagi rumah rakyat yang bertepas dan beratap daun nipah; semua rumah berganti tembok yang bertingkat-tingkat, berlantai keramik licin laksana kaca, dan tiada seorang pun lagi yang hidup sengsara seperti dulu dan sekarang; mereka semua hidup senang serba berkecukupan. (Lam/AN/2011:147-148) Dia mengutarakan juga bahwa semua rakyat negeri ini kelak akan kaya raya, hidup makmur oleh limpahan kekayaan bumi yang meruah banyaknya. Semua orang memiliki gaji dari pemerintah, tiadk seorang pun yang membajak sawah, ladang, kebun, dan tiada pula yang kerja menjadi kuli. Semua pekerjaan kasar dan kotor ditangani kuli-kuli rakus dan lapar yang didatangkan dari negeri pulau yang besar dan miskin; negeri yang penuh dengan pencuri, mafia, dan penjarah. Sekarang ini mereka sedang menjajah tanah ini karena kuasa besar dan sikap pemimpin mereka yang berandal. (Lam/AN/2011:148) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73 Selain itu, tidak hanya kelompok Ahmadi dan para pasukan laskar yang coba dikritisi oleh Arafat di dalam novel ini, tetapi juga kelakuan masyarakat yang berada di wilayah Lampuki. Dengan bahasa satirnya, Arafat melalui tokoh aku mencoba mengkritisi perilaku orang-orang dikampungnya yang sombong, pongah dan terus terbuai angan-angan tentang negeri Aceh yang sebentar lagi terbebas dari para penjajah. Kepercayaan mereka bahwa Tuhan selalu melindungi tanah mereka sangat berbanding terbalik dengan sifat mereka yang pemalas dan tidak menjalankan ajaran Tuhan.
Oleh sebab itu pula, alam perkampungan Lampuki sekarang terlihat lebih hijau dan penduduknya semakin terbelakang, miskin, kumuh, sehingga watak mereka yang asli semakin tampak: pemalas, pendengki, nyinyir, kasar, suka memaki, pemberang, dan cepat naik darah. Namun, ketika menghadapi para tentara, tubuh mereka membungkuk-bungkuk, meringkuk, dan kepala mereka menunduk seperti sahaya yang hina, budak yang tak ada harga. (Lam/AN/2011;340-341) Mereka terus terbuai angan-angan panjang, beranggapan tak lama lagi kesultanan Aceh yang gemilang bakal bangkit kembali, lalu memberengus semua serdadu pemerintah yang pernah menampar dan memukuli wajah dungu mereka. Mereka yakin Allah akan membela tanah ini─sebagaimana mereka meyakini bahwa tanah ini adalah tanah suci dan mulia, bagian dari tanah Mekah, yang akan selalu berada dalam lindungan dan rahmat Allah. Lalu Allah akan mengirimkan tentara-Nya untuk melindungi Aceh sebagaimana saat ababil membinasakan pasukan Abrahah yang hendak melumatkan Ka‟bah─sementara mereka sendiri melalaikan sembahyang dan semakin terlena oleh bualan tukang lamun di kedai kopi Pasar Simpang sehingga mereka terus berleha-leha sepanjang hari, tanpa menghiraukan pekerjaan. (Lam/AN/2011:70)
Kekuatan lain yang mendominasi novel ini adalah kepiawaian Arafat dalam menunjukkan kepedihan dalam untaian kalimat berbobot. Arafat sebagai putra Aceh mampu menunjukkan lika-liku perang ketika Aceh berada pada masa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74 konflik. Arafat membiarkan pembaca tahu bagaimana keadaan perang yang melingkupi keseharian masyarakat Aceh setiap harinya.
Salak tembakan sering terjadi di sejumlah wilayah, juga di perbatasan kampung ini, dan kemudian menjalar sampai ke pinggiran kota. Aku mendengar di beberapa tempat sudah meletus perang terbuka, pembakaran rumah-rumah, sekolah-sekolah, gedung perkantoran, dan bangunan apa saja yang berpeluang untuk bisa dibakar. Banyak penduduk yang jatuh sebagai korban setiap harinya. (Lam/AN/2011:260) Petang itu, selepas asar aku dikejutkan suara keras ledakan yang diperkirakan terjadi tidak jauh di arah utara. Suara ledakan itu menggema panjang dan getaran masih terasa beberapa lama kemudian. Aku batal melanjutkan zikir pendek sebagaimana tafakur yang biasa kukerjakan sehabis menunaikan salat. Seraya melantunkan selawat aku bangkit dari bersila, beranjak ke jalan, dan bertemu dengan beberapa orang dengan wajah telah dijalari gelisah. Sejumlah orang yang kulihat berkeliaran di jalan segera berlarian ke arah rumah masing-masing, serupa kawanan anak ayam yang tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran sekawanan elang. (Lam/AN/2011:262)
Tidak hanya itu, di dalam novel Lampuki, Arafat juga mampu menunjukkan kenangan tentang kepedihan yang dialami oleh masyarakat Aceh pada saat itu. Tentang semua kekacauan yang terjadi yang bahkan juga dilakukan oleh serdadu pemerintah dan bagaimana hal itu mengakibatkan dilema psikologi bagi tiap masyarakat. Masyarakat menjadi antipati pada siapapun, tak terkecuali kepada pemerintah, karena dalam hal ini, pemerintah yang seharusnya sebagai pelindung rakyatnya berubah menjadi musuh yang sanggup mengorbankan rakyatnya sendiri.
Semua yang sudah terjadi, tentang serangan menantang di simpang jalan raya, nyata bukanlah kesalahan penduduk Lampuki. Semua itu ulah commit to user Ahmadi dan dua begundalnya. Namun, para serdadu itu tidak bakal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75 mengerti. Siapa yang akan menjelaskan masalah ini kepada puluhan prajurit yang sedang marah berlalu lalang di Pasar Simpang itu? Siapa? Coba katakan! (Lam/AN/2011:202) Tak pelak, mayat-mayat pun sering dihanyutkan di sungai, dicampakkan di pinggir jalan, dan dibuang ke hutan tanpa diketahui siapa yang telah membunuh mereka. Aku sering mendengar bahwa di antara para korban itu ada yang dibunuh gara-gara tidak dapat menunjukkan kartu penduduk akibat hilang atau tertinggal di rumah; ada pula yang memang roman mukanya kasar dan sangat mirip dengan rupa wajah pembangkang; mereka yang jari telunjuknya tebal dan kasar dianggap kerap menarik pelatuk bedil, padahal mereka ini para pemotong kayu dengan mesin senso: serta banyak lainnya yang hilang diculik tanpa sebab jelas. (Lam/AN/2011:410) Aku pun bertanya-tanya, sebetulnya siapa yang sedang menciptakan kekacauan di sini? Dan, siapa pula yang menyengsarakan rakyat; penjajah atau pemberontak? (Lam/AN/2011:304)
Arafat Nur juga mencoba bersikap adil dalam memandang kedua belah pihak, pemberontak dan serdadu pemerintah. Tidak hanya kaumnya sendiri yang coba ia kritisi di dalam novel ini, tetapi juga sisi pemerintahan yang sering melanggar hak kuasanya. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dalam kekuasaan pemerintah pusat menjadi masalah besar yang membuat masyarakat tertindas dan antipati terhadap pemerintah. Arafat Nur mencoba mengungkapkan bahwa kepedihan yang dialami kaumnya selama ini bukanlah hanya berasal dari kaum pemberontak negara, tetapi juga berasal dari penyiksaan-penyiksaan yang di lakukan pihak tentara. Hal ini menjadi paradigma besar yang mengikis sikap-sikap masyarakat Aceh sehingga semakin menurunkan jiwa nasionalisme mereka.
Sekembali melayat, di atas balai aku terpaku sendiri, merenungi tentang tuduhan Sukijan yang sangat aneh. Bagaimana mungkin orang setua itu bisa dianggap sebagai pemberontak? Siang malam dia selalu berada di commit to user rumah, menderita sakit sekujur badan, kepayahan akibat encoknya yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76 sering kambuh, dan dia sangat jarang berada di luar rumah. Kenapa sampai tentara menganggap orang semacan Abdul Gani sebagai biang pemberontakan? Maka, tak salah kalau penduduk menganggap kepala Sukijan kurang waras! (Lam/AN/2011:275) Beberapa hari belakangan, perilaku mereka memang lebih kasar dengan tatapan nyalang mata merah akibat sering berjaga malam. Pandangan mata itu tidak saja mengandung kecurigaan, tetapi juga kebencian dan dengki yang berlebihan. Itu pula sebabnya pada petang harinya Tanjil menjadi korban pembunuhan. Pemuda terbelakang mental itu dipukuli sampai mati di dekat pos jaga, dikeroyok serupa pendosa yang disiksa di pinggir neraka. (Lam/AN/2011:286) Cuma berselang dua hari selepas kematian Tanjil, orang-orang pos kembali menembaki seorang pemuda hanya gara-gara rambutnya terlalu panjang. Mereka berprasangka bahwa pemuda gondrong bernama Anwar itu biang pemberontakan yang sering membikin kekacauan di seputar lingkungan Kampung Atas. (Lam/AN/2011:289) Sebetulnya, semua orang sudah tahu kalau Anwar tidak memiliki senjata, tetapi tiada yang berani membantah manakala Sukijan menyatakan bahwa mereka menemukan pistol di pinggang Anwar begitu tubuhnya menjadi bangkai. Dengan alasan semacam itulah, pembunuhan atasnya dan atas sejumlah orang lain di tanah ini dibenarkan oleh negara yang berazaskan kemanusiaan yang adil dan beradab. (Lam/AN/2011:291)
Melalui Lampuki, emosi pembaca diaduk-aduk, melahirkan simpati kepada orang-orang yang menjadi korban dan mendapat pelanggaran hak asasi dalam peperangan. Melalui novel ini, pada dasarnya Arafat Nur juga ingin menunjukkan pada masyarakat Indonesia bahwa perang hanya menimbulkan penderitaan. Apa pun
alasan dan tujuannya, peperangan hanya
akan
mengorbankan segalanya dan menghancurkan kedua belah pihak yang berperang.
Terbayang wajah tua Hasan Tiro di pengasingan semakin pasi, mata sembab, hidung basah oleh ingus, dan wajahnya tiada bercahaya lagi, kala mendengarkan puluhan ribu nyawa meregang, baik nyawa pengikutnya maupun kaum jelata yang diterjang peluru ganas dalam peperangan commit to user panjang yang tak mungkin lagi dimenangi pejuang, tetapi tidak juga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77 mampu diungguli musuh. Siapa sangka, kecintaan, mimpi liar, hasrat, dan nasib, malah menghancurkan dan membinasakan banyak orang. Memang kemalangan negeri ini tiada dapat dihindari lagi setelah dua tangan kekuasaan yang sama kasarnya saling berebut dan main baku hantam. Kelak, setelah salah satu kelompok binasa, mereka yang keluar sebagai pemenang akan mendapati tanah ini telah hancur luyak. (Lam/AN/2011:424-425)
Pada dasarnya, pandangan Arafat Nur di dalam novel Lampuki menggambarkan potret kehidupan masyarakat Aceh ketika rezim militer yang banyak mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Proses pencahariannya terhadap gagasan cerita Lampuki berasal dari pengalaman hidupnya dan pengalaman hidup masyarakat yang ia lihat dalam kehidupannya sehari-hari. Pengetahuanya yang sangat baik tentang Aceh membuat karakter-karakter tokoh di dalam novel ini begitu kuat dan hidup. Begitu juga peristiwa-peristiwa yang digambarkan di dalamnya yang menunjukkan novel itu begitu nyata dan memang pernah terjadi di Aceh pada masa itu.
2. Latar Sosial Masyarakat dalam Novel Lampuki karya Arafat Nur Sosiologi karya sastra dalam sebuah novel dapat berupa pendidikan, pekerjaan, bahasa, tempat tinggal, paradigma hidup, agama dan kepercayaan, serta adat kebiasaan. Sosiologi karya sastra yang terdapat dalam novel Lampuki merupakan rekaman kehidupan masyarakat Aceh yang memberikan pembaca pengetahuan baru dalam bidang sosial dan politik yang terjadi pada zamannya, sekaligus memberikan hiburan tersendiri kepada pembaca. Tema dalam novel ini merupakan tema sosial dan politik yang ditulis pengarang dengan cara yang tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78 biasa dan cerdas sehingga menambah kesan yang dalam dari novel ini. Selain itu, melalui sosiologi karya sastra yang ditampilkan dalam novel ini memberikan pelajaran pada pembaca bahwa nilai-nilai pancasila dan semangat nasionalisme memiliki makna yang sangat penting bagi setiap orang, baik terkait dengan dirinya adalah manusia maupun seorang warga negara. a. Bahasa Novel Lampuki adalah karya Arafat Nur yang ditulis dengan cara yang segar, cerdas, menghibur, dan inspiratif. Arafat Nur sebagai pengarang memiliki karakter gaya penulisan tersendiri dalam menciptakan karya-karyanya, yang berbeda dengan penulis-penulis lain. Novel ini diceritakan dengan bahasa yang sederhana, ringan, mengaduk-aduk emosi, dan mengundang simpati pembaca bagi karakter tokoh-tokohnya. Di sisi lain, Arafat menguasai beragam gaya bahasa. Satir-satirnya diciptakan dengan cerdas dan unik. Novel ini diceritakan dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Aceh, dan bahasa Melayu Klasik. Penggunaan dialog dengan bahasa Aceh dapat dilihat melalui kutipankutipan berikut: Kalau dia tidak mendapatkan uang yang disembunyikan ibunya, kandang ayam di belakang rumah itulah yang menjadi sasaran penjarahan Musa. Telur-telur ayam itu tiada kunjung menetas dieram induknya. Parahnya lagi, bila tidak mendapatkan telur, induknyalah yang dibawa Musa ke Pasar Simpang atau menjualnya kepada muge manok, pembeli ayam keliling. (Lam/AN/2011:101)
Muge manok dapat diartikan sebagai orang yang sering menjual dan membeli ayam secara keliling. Di dalam novel, diceritakan tokoh Musa yang commit to user nakal sering mencuri uang yang disembunyikan oleh ibunya. Jika ia tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79 menemukan uang, maka ia akan menjual ayam-ayam tanpa sepengetahuan ibunya kepada penjual ayam keliling untuk mendapatkan uang. Syukurlah, mesti sekolah telah ditutup, Ahmadi tidak menyuruhku menghentikan kegiatan balaiku sehingga pengajian masih terus berlangsung di tengah-tengah usahanya memengaruhi penduduk dengan khotbah yang tambah berkobar-kobar. Manakala bertemu denganku sore tadi, mukanya kusut masai. Betapa tidak mengesalkan bilamana orangorang yang dijumpainya menolak ikut mengangkat senjata. (Lam/AN/2011:50)
Selanjutnya, kata kusut masai dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kusut sekali (sangat kusut). Ahmadi sering berkhotbah dan berkoar-koar kepada para penduduk kampung Lampuki agar mendapat pasukan baru yang akan membantunya dalam “memerdekakan tanah Aceh”. Namun, khotbahnya tersebut sering diabaikan oleh para penduduk, bahkan kerap kali tidak ada yang mau mengikuti ajakannya tersebut. Hal inilah yang membuat mukanya sangat kusut. Jika tidak ada yang bisa diajak untuk „angkat senjata‟, maka pasukan laskarnya sedikit demi sedikit tentu akan berkurang karenas sebagian dari merkea mati terbunuh oleh tentara.
Kalau saja prajurit menemukan AK-47 milik kumis itu yang disandarkan di dinding kamar dengan peuratah, niscaya lingkungan kompleks bakal berubah menjadi lahan neraka. Hari itu juga nyawa Halimah meregang dan melayang, tanpa ada tangan yang bisa menghambat atau menolongnya, lalu diikuti ritual panjang penyiksaan yang mengingatkan mereka betapa pedihnya azab neraka kelak. (Lam/AN/2011:210-211)
Kemudian peuratah, yang dalam bahasa Indonesia berarti tempat tidur, digunakan pada kutipan di atas untuk menjelaskan keadaan atau latar kamar yang commit to user terdapat dalam rumah Ahmadi. Kutipan itu menjelaskan kejadian saat para prajurit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80 sedang melakukan pemeriksaan ke rumah-rumah penduduk guna berjaga-jaga jika saja ada pasukan laskar yang bersembunyi di salah satu rumah penduduk. Saat itu, Ahmadi meninggalkan senjata AK-47 di kamarnya, di samping peuratah (tempat tidur). Untung saja senjata itu tidak ditemukan oleh prajurit karena terjadi keributan di rumah lain yang berdekatan dengan rumah Ahmadi. Prajurit itu pun keluar tanpa sempat memeriksa kamar tersebut. Hal ini sangat melegakan karena jika senjata itu ditemukan, maka keluarga Ahmadi akan mendapat siksaan, bahkan bisa saja dibunuh.
Hari sudah gelap manakala aku tidak berharap lagi ada muridku yang hadir. Magrib berlalu tanpa kumandang azan. Bilal sudah memutuskan tidak lagi datang ke meunasah untuk menyerukan sembahyang. Seseorang memberitahuku alasan keengganannya bahwa dia tidak ingin berurusan dengan persoalan yang kerap muncul di jalan. Tentara yang mengendapngendap mengintai di balik semak, kerap muncul tanpa disangka-sangka dalam kegelapan, mencurigai siapa saja yang berada di jalanan pada tengah malam. Kalaupun orang itu tidak jadi korban nantinya, setidaknya dia akan merasakan pukulan sebagai bentuk peringatan untuk tidak berbuat macam-macam pada malam hari. (Lam/AN/2011:118-119)
Terakhir, meunasah merupakan bahasa Aceh yang diartikan sebagai tempat orang melakukan shalat. Di Aceh, orang-orang tidak akan menyebut tempat shalat sebagai mushola, kecuali tempat itu sudah berupa mesjid. Tempat shalat seperti mushola itu disebut oleh masyarakat Aceh sebagai meunasah, terlepas dari yang mereka gunakan adalah bahasa Aceh ataupun bahasa Indonesia. Jadi, di Aceh kata meunasah merupakan kata-kata umum yang biasa digunakan di sana. Bukan lagi digunakan hanya ketika mereka berbahasa Aceh, namun juga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81 ketika berbahasa Indonesia mereka akan menyebut tempat shalat dengan kata meunasah. Selain itu, kata-kata dengan penggunaan bahasa Aceh dapat dilihat pada kata teungku pada kutipan berikut. “Semua sudah ada yang mengerjakan, tinggal mengatur mereka saja. Kalau Teungku berkenan, tugasnya nanti hanyalan mengawasi petani agar tidak lalai dan mengingatkan mereka selalu tetap waspada…” (Lam/AN/2011:179) Cuma kepala kampung dan Teungku Imam Meunasah yang ditanggapinya dengan penuh perhatian. Itu pun terjadi pada masa lalu, dulu sekali, sebelum dirinya menjadi pemimpin laskar di Peurincun. (Lam/AN/2011:96) “Suamiku bukan orang menyenangkan, tetapi hatinya baik. Teungku tak usah dengar cakap orang-orang, mereka hanya iri. Dia sudah pergi bersama Ahmadi. Jarang sekali pulang, kerap sampai berhari-hari atau berbulan-bulan di hutan. Aku berharap Teungku berkenan mendoakannya supaya dia dan kawan-kawannya selamat dari bahaya sampai negeri ini terbebas dari kejahatan musuh-musuh Tuhan!”
Dari kutipan di atas, yang perlu dijadikan pembahasan adalah penggunaan kata teungku. Di Aceh, masyarakat menyebut orang-orang ahli agama dengan sebutan Teungku, bukan dengan sebutan Ustadz seperti di daerah-daerah lain. Sama dengan penggunaan kata meunasah, kata teungku meskipun merupakan bahasa Aceh namun telah digunakan secara umum di Aceh.
b. Tempat Tinggal Secara keseluruhan tempat tinggal yang dijadikan latar penceritaan di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur adalah di Aceh. Ada beberapa tempat di commit to user Aceh yang dijadikan latar di dalam novel ini, yaitu Lamlhok, Lhoksukon, dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82 Lampuki, yang juga dijadikan judul novel ini. Lamlhok di dalam novel ini diceritakan sebagai kota yang berubah menjadi besar, megah, dan mahal setelah adanya proyek pengeboran dan pembangunan kilang-kilang gag raksasa. Pemerintahan kabupaten yang dulunya berpusat di Lhoksukon, segera dipindahkan ke Lamlhok karena perubahannya yang menjadi kota modern. Kota itu pun berkembang pesat dengan berbagai kedai-kedai yang menjual berbagai macam kebutuhan hidup manusia. Namun, kota yang megah dan modern itu sama sekali tidak bersahabat dengan penduduk miskin yang merupakan penduduk suku pribumi. Berikut kutipannya.
Tiga puluh tahun lampau, selagi aku masih berusia belasan tahun dan kota itu belum lagi kena laknat Tuhan, Lhamlok bukanlah apa-apa, cuma berupa belasan bangunan kedai papan yang bertebaran di sisi jalan raya Medan-Banda, berdampingan dengan beberapa rumah kayu yang berpotongan hampir serupa. Di sebelah utaranya berbatasan dengan laut dan paya-paya, di bagian selatan berkesudahan dengan barisan bebukitan yang terus merapat kian menyuruk ke dalam. (Lam/AN/2011:52-53) Pada masa itulah Lamlhok berubah menjadi kota besar, megah, dan mahal. Pemerintahan kabupaten yang mula-mula berpusat di Lhoksukon segera dipindahkan ke tengah-tengah timbunan paya, dan tempat itu pun semakin ramai serta berkembang pesat dengan berbagai bangunan kedai-kedai kukuh. (Lam/AN/2011:56) Sekalipun Lamlhok begitu dekat dengan kampungku, yang hanya berselang satu kampung lain di bagian utara, dan Lamlhok masih berada di wilayah Sagoe Peurincun, yang kesemua wilayah itu berada di bawah kekuasaan Ahmadi, terasa ada sekat tebal yang tak tampak membatasi kota itu dengan kampung malang ini. Karena itulah aku dan orang-orang Lampuki jarang menginjakkan kaki ke sana, kecuali bila punya hajatan atau keperluan khusus yang tiada bisa kami peroleh di Pasar Simpang. Barang-barang menjadi mahal harganya dan sangat tidak sepadan dengan upah dan pendapatan penduduk kampung mana pun sehingga kehidupan petani miskin di sini makin terpuruk oleh hadirnya kilang-kilang bedebah itu. (Lam/AN/2011:56-57) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
Namun, kota Lamlhok yang megah dan gemerlap tersebut hancur dan tenggelam oleh huru-hara dan kekacauan besar yang dipelopori oleh Ahmad Peurincun dan penduduk kampung yang tidak suka dengan kemaksiatan yang bertebaran dan merajalela di tanah pasai tersebut. Kekacauan dan peperangan tersebut menjadikan kota Lamlhok seperti kota mati. Para penduduk yang kebanyakan berasal dari pulau seberang lari ketakutan dan tidak pernah kembali lagi ke tanah Pasai sehingga pabrik-pabrik gas yang dulunya megah tampak muram dan terlantar. Berikut kutipannya di dalam novel.
Barang siapa yang pernah melihat kemegahan dan betapa gemerlapnya lampu malam di Lamlhok kala itu, tidak bakal percaya dengan apa yang mereka saksikan sekarang. Kota menjadi amat kelam… (Lam/AN/2011:62-63) Huru-hara dan kekacauan besar hampir menenggelamkan kota itu dalam amukan kemarahan. Ahmad Peurincun yang tiada sanggup lagi menyaksikan penistaan, berhasil menggerakkan orang-orang dari sejumlah kampung dan menghalau mereka ke kota guna menghancurkan tempattempat pelacuran dan perjudian di sepanjang pantai, juga kedai-kedai barang dan toko pakaian menjadi sasaran kekerasan dan penjarahan. Para pendatang berhidung pesek dan beberapa yang berhidung mancung, panik berhamburan, lari bertebaran akibat ketakutan… (Lam/AN/2011:63)
Selain Lamlhok dan Lhoksukon, tempat lain yang dijadikan latar penceritaan adalah Lampuki, nama yang sesuai dengan judul novel ini. Lampuki diceritakan tidak jauh jaraknya dari Lamlhok dan lebih dikenal dengan sebutan Pasar Simpang. Selain itu, Lampuki juga sering disebut Kampung Bawah karena terdiri dari dataran rendah. Penduduk di Lampuki inilah yang dijadikan fokus penceritaan di dalam novel Lampuki ini. Berikut kutipannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
Lampuki, kampung yang lebih mirip wilayah terpencil dan terpuruk di ujung sunyi wilayah bebukitan ini, sebetulnya tiada jauh benar dari Lamlhok, kota yang sekitar enam tahun lalu masih berdiri megah oleh kemewahannya. Kota itu hampir runtuh, tenggelam dalam perang dan dilanda penjarahan. Sebagian besar bangunannya hangus dan hancur akibat kemarahan penduduk kampung sekeliling lantaran kota itu menyimpan kebusukan dan memelihara banyak kemaksiatan. (Lam/AN/2011:52) Dahulunya Pasar Simpang─demikian kami menyebut kampung Lampuki ini─ramai oleh pembeli yang berasal dari orang-orang perumahan sebelum mereka pergi, ditambah pula penduduk kompleks Kampung Atas. Situasinya sekarang amatlah berubah, begitu lengang dan jauh surut ke masa lalu sehingga kedai yang dahulunya hendak berkembang, justru makin terpuruk terbelakang… (Lam/AN/2011:69) Kaum ini berada di bawah Kemukiman Peurincun yang terdiri dari tujuh kampung yang saling berdekatan. Oleh kaum pemberontak, nama Peurincun dilakabkan kepada wilayah kekuasaan sagoe, wilayah setingkat kecamatan yang menguasai lebih dari lima puluh kampung. Lampuki terdiri dari dataran rendah maka orang-orang sering menyebutnya Kampung Bawah oleh karena ada nama Kampung Atas yang menjadi jiran paling dekat, tetapi mereka tiada pernah bersahabat. Kampung Atas adalah kampung yang sudah dikuasai dan dicemari pendatang asing, orang-orang dari seberang pulau sana, walau ada pula di antara mereka kaum kami yang telah saling berbaur dan tidak bisa dikenali lagi bentuk rupa mereka. Sejumlah penghuni di sana adalah pekerja kantoran, menjadi kaki tangan dan budak pemerintah, baik mereka sebagai pegawai, polisi, maupun tentara. (Lam/AN/2011:66)
c. Pekerjaan Masyarakat dalam novel Lampuki secara umum memiliki tingkat perekonomian yang rendah. Di dalam novel ini, Arafat menceritakan bahwa penduduk Lampuki kebanyakan bekerja sebagai petani, juga ada beberapa yang juga merupakan pedagang. Di sisi lain, tokoh aku (Muhammad) dan Sulaiman memilih bekerja sebagai tukang bangunan untuk kelangsungan hidup mereka dan commit to user keluarganya. Selain bekerja sebagai tukang bangunan, tokoh aku (Muhammad)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85 juga menjadi guru mengaji bagi anak-anak yang berada di wilayah Lampuki. Selanjutnya, di dalam novel ini juga diceritakan bahwa beberapa penduduk yang berjiran dengan penduduk Lampuki berprofesi sebagai pegawai, polisi, dan tentara. Kutipan yang menjelaskan tentang penduduk Lampuki yang bekerja sebagai petani adalah sebagai berikut.
Manakala sejumlah penghuni lari terbirit-birit oleh ancaman kumis yang mengguncang itu, keluarga petani tadi tetap bertahan dan tiada merasa terusik. Mereka tidak punya hubungan dan urusan apa pun dengan segala perkara berkaitan dengan pemerintah. (Lam/AN/2011:86) “Tidak. Di sini tidak ada pemberontak, semuanya petani!” jawab Ahmadi dengan bibir bergetar─tentu juga disertai kumisnya yang tidak mau ketinggalan untuk bergetar. (Lam/AN/2011:234)
Melanjuti uraian di atas, tokoh aku (Muhammad) yang berperan sebagai orang yang menceritakan keadaan di dalam novel bekerja sebagai tukang bangunan. Ia dan temannya, Sulaiman, sering berkelana berpindah-pindah tempat setiap kali ada tawaran pekerjaan untuk membangun atau memperbaiki rumah. Namun, pekerjaan tersebut tidak dapat membantu mencukupi kebutuhan mereka dan keluarganya. Hal ini disebabkan tidak setiap hari mereka dapat tawaran pekerjaan untuk membangun dan memperbaiki bangunan. Selain itu, tawaran pekerjaan yang sering mereka dapatkan kebanyakan berasal dari keluarga yang tidak mampu atau pas-pasan, sehingga upah yang mereka dapatkan seringkali tidak sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. Selain bekerja sebagai tukang bangunan, tokoh aku juga mengajar anakanak di Lampuki untuk belajar membaca Alquran. Dari pekerjaan tersebut tokoh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86 aku sering mendapat imbalan, upah, atau beberapa kebutuhan pokok dari para orang tua murid, meskipun sebenarnya ia melakukan perkerjaan tersebut dengan ikhlas, tanpa mengharap imbalan apapun. Berikut kutipan di dalam dalam novel Lampuki yang menyatakan bahwa tokoh aku bekerja sebagai tukang bangunan dan guru mengaji.
Aku tidak banyak tahu bagaimana persisnya kejadian pada masa itu. Begitu pembangunan kompleks rampung, aku segera berkelana mengikuti Sulaiman si kepala tukang, berpindah-pindah tempat dari suatu wilayah ke daerah lain yang jauh dari Pasai; menyingkir ke tempat-tempat yang belum terlalu dilanda kekacauan seraya kami menerima tawaran mengerjakan bangunan-bangunan rumah di sepanjang pelarian. (Lam/AN/201:12) Ada saja orang di Kampung Bawah yang membutuhkan tenagaku untuk memperbaiki bagian rumahnya yang rusak, menambal atap bocor, membikin jamban, memasang jendela baru, memperbaiki kusen, membetulkan pintu rumah atau pintu lemari, memperbaiki tungkai ranjang, membetulkan kaki kursi, memasang bola lentera, sampai mengganti kunci yang rusak. Itu semua hanyalah pekerjaan serabutan yang dapat dilakukan secara sambilan. Belum tentu ada setiap hari dan ongkosnya pun tidak seberapa, bahkan upah yang kudapatkan kadang terlalu kecil dan tak sebanding dengan tenaga serta keahlianku. (Lam/AN/2011:179) Tentu ada yang bertanya kenapa aku tak pernah hadir ke meunasah untuk salat berjamaah. Aku terbebas dari tuntutan itu bukan lantaran aku malas atau berusaha menciptakan dalih. Sudah menjadi pemandangan umum bahwa seorang teungku memang harus memimpin murid-muridnya berjamaah di balai dan tidak mungkin bagiku meninggalkan mereka pada waktu Magrib untuk membiakan berkeliaran dan bergaduhan tanpa ada yang mencegah keliaran mereka. Lagi pula, selepas sembahyang aku harus segera memulai pengajian agar tidak berlarut-larut untuk menyia-nyiakan waktu muridku terlalu panjang. (Lam/AN/2011:120) Aku segera terbebas dari hunjaman kumis Ahmadi setelah pada keesokan harinya aku dijemput Sulaiman pergi ke Kampung Atas. Di sana kami mendapat borongan membangun rumah seorang penduduk. Baru senja hari aku kembali dan malamnya tetap mengajar anak-anak mengaji. commit to user (Lam/AN/2011:89)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
Selanjutnya, berikut adalah kutipan yang menyatakan bahwa sebagian masyarakat di dalam novel Lampuki bekerja sebagai pedagang.
Lihat saja bagaimana dinding-dindingnya yang kian usang dengan cat terkelupas sana sini, beberapa tiang telah lapuk dan hampir patah, bahkan atap sengnya sebagian telah bocor, dan para pemilik kedai mengabaikan saja. Tidak seorang pun dari pedagang di sana berkeinginan memperbaikinya selain sekadarnya saja agar masih dapat dipakai. Mereka khawatir, begitu selesai diperbaiki, malah sewaktu-waktu akan dibakar pasukan pemerintah yang kesal kala memburu pembangkang di kampung ini. (Lam/AN/2011:69) Kutipan di atas menjelaskan bahwa beberapa masyarakat di Lampuki memang bekerja sebagai pedagang, meskipun kedai-kedai yang mereka punya keadaaannya dideskripsikan sangat jelek dan telah lapuk. Pedagang-pedagang itu lebih memilih untuk tidak memperbaiki kedai mereka karena takut suatu hari nanti kedai–kedai tersebut akan dibakar oleh tentara yang marah ketika hendak memburu pemberontak yang terdapat di kampung mereka. Selain itu, di dalam novel ini Arafat menceritakan bahwa masyarakat Lampuki yang sebagian besarnya adalah pengangguran dan tidak memiliki pekerjaan tetap sering dudukduduk di kedai para pedagang untuk sekedar minum kopi dan bercerita satu sama lain. Melanjuti uraian sebelumnya, pekerjaan lain yang disebutkan di dalam novel ini adalah pekerja kantoran dan pegawai-pegawai kepemerintahan. Pekerjaan tersebut tidak dilakoni oleh masyarakat yang berada di Lampuki, tetapi oleh masyarakat yang tinggal di Kampung Atas, yang penghuninya kebanyakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88 adalah pendatang asing. Kampung Atas letaknya bersebelahan dengan Kampung Bawah atau yang biasa disebut Lampuki. Kutipannya adalah sebagai berikut.
Kampung Atas adalah kampung yang sudah dikuasai dan dicemari pendatang asing, orang-orang dari seberang pulau sana, walau ada pula di antara mereka kaum kami yang telah saling berbaur dan tidak bisa dikenali lagi bentuk rupa mereka. Sejumlah penghuni di sana adalah pekerja kantoran, menjadi kaki tangan dan budak pemerintah, baik mereka sebagai pegawai, polisi, maupun tentara. (Lam/AN/2011:66)
d. Agama dan Kepercayaan Agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang tidak pernah lepas dari kehidupan bermasyarakat. Keduanya memiliki tekanan yang sama, yaitu percaya bahwa ada sesuatu yang melampaui kekuatan manusia. Sesuatu yang dipercayai tersebut merupakan pengatur hidup manusia. Meskipun demikian, agama dan kepercayan tetaplah berbeda. Agama merupakan pedoman hidup manusia, sedangkan kepercayaan adalah sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia yakin telah mencapai kebenaran. Agama dan kepercayaan di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur banyak ditonjolkan oleh kedua tokoh utama, yaitu tokoh aku (Muhammad), yang berperan sebagai orang yang menceritakan keadaan di daerah Lampuki dan tokoh Ahmadi, yang merupakan pemberontak. Tokoh aku (Muhammad) yang memiliki sifat religius banyak menyatakan pemikiran-pemikirannya mengenai hubungan dirinya dengan Tuhan dan bagaimana menjalankan hidup sesuai dengan kaidah beragama. Kutipannya adalah sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89 Baru selepas perang mereda, aku kembali ke kampung, mengawini Siti di usiaku yang tak lagi muda, telah lewat empat puluh tahun. Kami menggelar pesta sederhana, lantas bersusah payah membangun rumah kayu, mendirikan balai pengajian di sebelahnya untuk mengajarkan anakanak kampung ini membaca Alquran. Letak rumah dan balaiku ini sekitar seratus langkah dari pintu masuk menuju kompleks perumahan tentara itu. (Lam/AN/2011:12) Kekerabatan kami yang bagaikan hubungan saudara sedarah terus saja terpelihara sampai sekarang, sampai kemudian dia menjadi kepala tukang. Atas kebaikan dan kemurahan hatinyalah, sekarang ini aku menjadi rekan kerja yang mendampinginya ke mana saja, di samping kesibukanku mengajarkan anak-anak membaca Alquran pada malam hari. Aku tidak mengharap imbalan apa pun meski ada kalanya orang tua murid-muridku memberikan sedekah alakadar dan selebihnya adalah pahala dari Tuhan. (Lam/AN/2011:58)
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa tokoh aku (Muhammad) mempunyai kepekaan agama yang baik. Tokoh aku sengaja mendirikan balai pengajian di sebelah rumahnya untuk mengajarkan anak-anak mengaji. Dan itu pun dilakukannya tanpa mengharapkan imbalan apa pun selain pahala dari Tuhan. Menurutnya, anak-anak di Lampuki harus mampu membaca Alquran sebagai bentuk kewajiban sebagai makhluk Tuhan, juga agar Tuhan selalu merahmati tanah Pasai tersebut. Di sisi lain, tokoh Ahmadi di dalam novel ini banyak menonjolkan kepercayaanya terhadap kemuliaan dan keagungan tanah Pasai (Aceh) berikut juga penduduknya. Ia percaya bahwa tanah Aceh memiliki sejarah yang mulia dan gemilang. Ia juga percaya bahwa penduduk-penduduknya merupakan keturunan bangsa agung dan mulia. Ia menjelaskan bahwa nenek moyang mereka berasal dari orang-orang terpelajar dari Peringgi, China, India, Arab, dan Parsi, serta commit to user pandai dalam berbagai hal. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa bangsa Aceh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90 adalah bangsa yang kuat, yang tidak gampang ditaklukkan oleh bangsa mana pun di dunia. Kutipannya dapat dilihat di bawah ini.
Ahmadi mulai menuturkan panjang lebar perihal sejarah tanah ini yang sudah berulang-ulang kudengar lewat kumisnya, yakni bahwa di tanah ini dulu pernah ada kerajaan agung dan gemilang. Terbukti dalam sejarah, betapa megah dan hebatnya masa itu, selagi Sri Sultan Perkasa Alam berkuasa, yang kemasyhurannya sampai ke penjuru belahan dunia, dan ihwal itu semua sengaja ditutup-tutupi Belanda, kemudian menjadi panduan bagi pemerintah pusat untuk melarang kebenaran sejarah itu dijabarkan di sekolah-sekolah. Menurut Ahmadi, kesultanan yang hebat runtuh bukan oleh serangan musuh, melainkan oleh kebebalan, kelemahan, dan pertikaian antarsesama generasi sesudahnya. (Lam/AN/2011:23) Semua penduduk negeri ini adalah keturunan bangsa agung dan mulia. Kaum malang ini berasal dari para petualang hebat dan tangguh, datang kemari dengan mengarungi laut raya dari negeri-negeri yang jauh dari seberang laut sana. Indatu kami adalah orang-orang terpelajar dari Peringgi, China, India, Arab, dan Parsi. Pandai dalam ragam pengetahuan dan cakap melakukan segala pekerjaan; dari beternak, cocok tanam, seni, pertukangan, agama, berdagang, pertabiban, firasat, pemerintahan, nujum, siasat, sampai urusan perempuan. (Lam/AN/2011:24) “Sejak zaman kejayaan hingga sebelum keruntuhannya, tiada satu pun bangsa di dunia ini yang mampu menaklukkan kita. Jangankan mengotori perempuan, menyentuh pun mereka tidak kuasa. Namun, kaum seberang yang kita hormati, yang kita berikan emas dan pesawat terbang, malah menyerang kita. Mereka menjarah kekayaan, membunuh orang-orang, lalu mengangkangi perempuan!” entaknya dengan kumis bergetar. (Lam/AN/2011:24)
e. Pendidikan Pendidikan pada dasarnya bukanlah sekedar kewajiban yang harus dilakukan, lebih dari itu pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Pendidikan mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Salah satunya manusia akan lebih berkembang dengan pendidikan. Pendidikan sangat luas cakupannya, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91 tidak hanya sebatas pelajaran yang dilakukan di kelas, tetapi juga mencakup pengembangan pribadi, seperti menumbuhkan rasa tanggung jawab, kejujuran, religius, mandiri, dan nilai-nilai pendidikan karakter lainnya. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya sebatas pendidikan formal, tetapi juga dilingkungan informal. Novel Lampuki karya Arafat Nur merupakan novel yang tidak terlalu menonjolkan segi pendidikan formal dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini disebabkan cerita novel ini sendiri yang lebih menonjolkan sisi sosial dan politiknya. Selain itu, Arafat sendiri memang menjelaskan bahwa sekolah-sekolah formal dalam novel ini sengaja ditutup oleh pasukan laskar gerilyawan. Namun, meski demikian, pengarang yang memang lahir dan besar di Aceh banyak menampilkan sisi-sisi pendidikan yang bersifat religi di dalam novel ini. Arafat Nur lebih menekankan pendidikan dalam belajar membaca Alquran dan kitabkitab lainnya yang berhubungan dengan pendalaman agama. Menurutnya, membaca Alquran dan kitab-kitab lain pun dapat memberantas kebodohan dan menghindari anak-anak untuk terpengaruh pada hal-hal yang tidak patut dilakukan. Dan hal ini tidak hanya dapat dilakukan di sekolah formal, tetapi juga di dayah atau pondok pesantren. Kutipan mengenai pendidikan dapat dilihat sebagai berikut.
Satu-satunya anak lelaki Yahya bernama Majid, yang sudah pula tumbuh kumis dan janggutnya, sangat mungkin diajak Ahmadi untuk memanggul senjata ke hutan. Namun, sungguh sayang, pemuda itu baru sebulan lalu meninggalkan rumah dengan membawa sebuntal pakaian dan kemudian menetapkan diri tinggal di dayah untuk mendalami kitab-kitab. Sudah commit to user pasti tidak mungkin bagi Ahmadi menunggunya kembali dalam waktu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92 yang lama. Jika Majid betah berkutat dengan kitab-kitab, yang tebalnya mencapai ratusan halaman, sekitar tujuh sampai delapan tahun lagi baru dia menyelesaikan mengajinya. (Lam/AN/2011:87) Aku menyampaikan secara berterus-terang kepada sang komandan perihal kebutuhan anak-anak kampung untuk belajar membaca Alquran. Kumis itu beranggapan bahwa aku punya perhatian terhadap kepentingan dan masa depan anak-anak. Dengan sendirinya tindakanku turut membantu pemerintah dalam usaha memberantas kebodohan, sekaligus menghindari anak-anak kampung ini terjerumus mengikuti jejak sesat pembangkang. Menurut Waluyo, hanya orang-orang bodoh dan berandalan yang mudah terpengaruh hasutan pemberontak. Dia beranggapan bahwa usahaku mengajar anak-anak mengaji adalah bagian lain dari upaya untuk menghambat pengaruh sesat orang-orang pembangkang. (Lam/AN/2011:345-346) Di balai aku mengajari anak-anak yang lebih dewasa, yang kupaksakan untuk bisa membaca surah-surah pendek. Aku memperketat pengawasan, tak ubahnya serupa perilaku tentara yang mengancam penduduk….Aku melatih mereka semua di bawah tekanan ketat supaya mereka tetap rajin mengulang bacaan sampai fasih dan benar. (Lam/AN/2011:352)
3. Tanggapan Pembaca terhadap Novel Lampuki karya Arafat Nur Sebuah karya sastra, ketika ia diterbitkan ia akan menjadi milik pembacanya. Pembaca dalam hal ini memiliki posisi yang penting sehingga menempatkan pembaca pada fungsi utama. Dalam hal ini pengarang sebagai tokoh utama dalam menciptakan karya sastra tersebut menjadi terabaikan dengan kehadiran pembaca. Tentu hal ini dapat dimengerti karena di dalam sebuah karya sastra, pembacalah yang menikamti, menilai, dan memanfaatkannya. Dengan kata lain, sebuah karya sastra akan selalu mendapat tanggapan dari pembacanya setelah ia diterbitkan. Pembacalah yang akan memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93 Berkaitan dengan uraian sebelumnya, setiap karya sastra tentu akan memiliki keberagaman tanggapan dari pembacanya. Hal ini dapat dipahami karena setiap pembaca tentu akan memiliki perbedaan mengenai pembacaan, pemahaman dan penilaiannya terhadap sebuah karya sastra yang dibacanya, sehingga kita dapat melihat berbagai sisi resepsi yang didapat dari pembaca. Selanjutnya,
sosiologi
pembaca
dalam
lingkup
sosiologi
sastra
memfokuskan diri pada hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Keduanya memiliki hubungan dan saling mempengaruhi, baik pada masyarakat penulisnya, masyarakat yang digambarkan di dalam karya sastra, maupun masyarakat pembacanya. Tentu harus disadari bahwa karya sastra harus mampu hadir dalam kehidupan bermasyarakat, atau dengan kata lain mampu secara lebih aktif mewarnai setiap kehidupan bermasyarakat bagi masyarakat pembacanya. Terkait dengan novel Lampuki karya Arafat Nur, penelitian ini melibatkan beberapa informan untuk mengetahui tanggapan pembaca terhadap novel tersebut. Dalam hal ini tidak ada batasan yang menentukan berapa banyak informan yang
akan menanggapi novel Lampuki, karena penelitian ini bersifat kualitatif. Namun, ada enam informan yang telah diplih untuk menanggapi novel ini. Informan yang dipilih
berdasarkan perbedaan latar belakang pendidikan, latar belakang kehidupan, dan profesi para informan, dan juga tentunya telah membaca novel Lampuki karya Arafat Nur. Ada beberapa jenis suku informan dalam hal ini, yaitu suku Jawa, Betawi, Sulawesi dan Aceh. Keenam informan tersebut adalah Rudi Fofid, Wahyu Wiji Astuti, Aprie,
Rakhmad Hidayattulloh Permana, Attikah, dan Musmarwan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94 Sebelum melakukan wawancara, penulis membuat beberapa pertanyaan sebagai titik fokus permasalahan yang akan diteliti, sehingga tidak akan terjadi penyimpangan. Selanjutnya, wawancara dilakukan dengan berdialog dengan para informan melalui email. Meski begitu, ada juga wawancara yang dilakukan secara langsung. Ada tujuh pertanyaan yang diajukan kepada informan, dengan dua pertanyaan yang memiliki sub pertanyaan lain yang berhubungan. Berikut ini pertanyan-pertanyaan yang diajukan kepada informan sekaligus jawaban mereka. a. Rudi Fofid, Jurnalis Harian Suara Maluku Tanggapan pembaca dalam uraian ini diambil berdasarkan kutipan catatan lapangan hasil wawancara 5 atau CLHW 5. Rudi Fofid memberi tanggapan mengenai novel Lampuki karya Arafat Nur bahwa pada dasarnya tema mengenai sosial-politik yang terdapat di novel ini tidak hanya ditemukan di Aceh, tetapi di berbagai tempat seperti di Poso, Maluku, Papua, India, Srilanka, Israel, dan Palestina. Pengarang pada dasarnya ingin hanya ingin mengungkapkan faktafakta yang ia lihat, dengar, dan rasakan dari sekelilingnya. Selanjutnya, Rudi berpandangan bahwa pertentangan yang tercipta dalam novel pada dasarnya tercipta oleh sebuah kekuasaan untuk ketidakutuhan suatu masyarakat. Pertentangan diciptakan supaya masyarakat kehilangan rasionalitas dan gampang disulut dan sulit bersatu. Dengan demikian, mereka gampang diacak-acak karena sudah rapuh oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Relevan dengan uraian di atas, kehidupan sosial masyarakat yang digambarkan dalam novel Lampuki karya Arafat Nur menurut Rudi adalah berupa commit to user ketakutan, kecemasan, sakit hati, kesedihan, kemarahan dan seluruh perasaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95 masyarakat Lampuki yang menunjukkan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang merindukan kedamaian. Rasa itulah yang mereka rawat dan mengubah menjadi sebuah kerinduan akan perdamaian. Dalam situasi penuh kekerasan, mereka tidak mati rasa. Itu yang paling penting. Novel Lampuki membawa pengaruh dalam diri Rudi Fofid bahwa ia merasa memiliki keadaan yang sama dengan orang-orang Lampuki. Hal ini disebabkan latar belakang Aceh dan Maluku yang memang sama-sama pernah berada pada masa konflik. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Lampuki karya Arafat Nur membangkitkan empati bagi informan, terutama pada tokoh Ahmadi. Beliau tidak melihat peran antagonis dalam diri Ahmadi, justru simpatik karena Ahmadi adalah korban situasi. Novel Lampuki karya Arafat Nur menurut Rudi mempunyai efek prismatik dan beliau menikmati teks-teks itu seperti sebuah gambar hidup. Bertemali dengan uraian sebelumnya, nilai pendidikan karakter dalam novel Lampuki karya Arafat Nur menurut Rudi Fofid paling banyak ditemukan pada nilai-nilai perdamaian. Konflik akan mengingatkan pembaca akan nilai-nilai damai, tenang, kasih sayang, bersatu dan sebagainya. Pada dasarnya, semua nilainilai kehidupan yang terbunuh oleh perang dan kekerasan, selalu membangkitkan nilai sebaliknya di kalangan pembaca. Selanjutnya, novel Lampuki karya Arafat Nur dapat menjadi bacaan bagi pelajar SMA dengan bimbingan guru sehingga pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai isi novel dapat diarahkan dan dibimbing secara positif oleh guru. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96 b. Wahyu Wiji Astuti, M.Pd., Sastrawan Informan kedua yang menanggapi novel Lampuki karya Arafat Nur adalah Wahyu Wiji Astuti, S.Pd., sastrawan sekaligus alumni mahasiswa Universtitas Gadjah Mada (UGM). Hasil wawancara dengan beliau terangkum dalam catatan lapangan hasil wawancara 6 atau CLHW 6. Berdasarkan kutipan hasil wawancara dengan Wahyu Wiji Astuti, beliau menanggapi bahwa tema novel Lampuki karya Arafat Nur secara umum adalah problematika masyarakat di daerah Lampuki. Secara khusus adalah pergolakan politik masyarakat Lampuki (Aceh). Pengarang ingin mengungkapkan perihal sejarah yang melatarbelakangi adanya pergolakan daerah serta kondisi sosial masyarakat yang ada di daerah Lampuki, sekaligus mengkritisi hal tersebut. Melanjuti uraian di atas, Wahyu Wiji Astuti juga memandang keseluruhan peristiwa dalam novel Lampuki karya Arafat Nur menceritakan kejadian-kejadian yang ada di dalam masyarakat Lampuki yang sebenarnya ingin mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Sebagian masyarakat merasa dirugikan atas peristiwa sejarah yang terjadi, lantas ingin melakukan sesuatu untuk membela daerahnya dan memperjuangkan hak-hak mereka sebagai daerah yang berjaya. Dengan demikian kelompok masyarakat tersebut mempengaruhi masyarakat lainnya untuk bersama-sama merebut kembali kejayaan masa lalu. Namun kekacauan politik yang ada menyebabkan masyarakat harus merasakan ketidaknyamanan dalam kehidupan sosialnya. Selanjutnya, masih berdasarkan CLHW 6, Wahyu Wiji Astuti memberi commit to user tanggapan mengenai kehidupan sosial masyarakat dalam novel Lampuki karya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97 Arafat Nur sebagai masyarakat desa yang sangat introvert dan agak terisolasi dari dunia luar, sehingga pemikiran dan sikap masyarakat masih tergolong tradisional. Lebih dari itu, dengan membaca novel Lampuki karya Arafat Nur memberi pengaruh dalam dirinya, yaitu memandang sejarah atau peristiwa dari sisi yang berbeda, juga berpandangan luas dan tidak picik dalam menilai sesuatu dari satu sisi saja. Konflik harus diselesaikan dengan baik dan penuh kebijakan sehingga konflik tersebut tidak mengganggu stabilitas sosial masyarakat. Berdasarkan tanggapan dari sisi nilai pendidikan karakter, Wahyu Wiji Astuti beranggapan bahwa nilai pendidikan karakter dalam novel Lampuki karya Arafat Nur ditunjukkan melalui tokoh-tokoh dalam novel yang memberi kesan dan perilaku positif. Melalui tokoh-tokoh tersebut banyak hal yang dapat dijadikan pembelajaran oleh pembaca. Meski begitu, tokoh-tokoh negatif dalam novel juga dapat dijadikan pembelajaran positif bagi pembaca. Selanjutnya, berdasarkan CLHW 6 novel Lampuki karya Arafat Nur dapat menjadi pilihan bahan bacaan oleh siapa saja, termasuk pelajar SMA, juga dapat menjadi media pembelajaran sastra, namun harus berdasarkan bimbingan guru. Menurut Wahyu Wiji Astuti, dunia pendidikan harus dilepaskan dari unsur politik dan pemikiranpemikiran mainstream yang memberi dampak buruk bagi siswa sehingga diperlukan bimbingan dari guru yang bersangkutan, untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dipahami oleh siswa.
c. Aprie, S1, Karyawan Swasta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98 Aprie, seorang karyawan swasta di Jakarta memberi tanggapan mengenai novel Lampuki karya Arafat Nur sebagai novel yang memberi gambaran mengenai pemberontakan GAM yang terjadi di Aceh. Pengarang dalam hal ini ingin mengungkapkan kegelisan mengenai pemberontakan segelintir masyarakat terhadap ketidakadilan pemerintah yang terpusat dan tidak merata. Dalam hal ini, penulis tidak hanya menceritakan unsur sejarah tetapi sudut pandang rakyat hingga memunculkan pertanyaan mengenai perlunya pemberontakan bagi rakyat. Lebih dari pada itu, menurut informan ini judul Lampuki sangat relevan dengan isi novel karena terkesan sangat Sumatera. Sejalan dengan uraian sebelumnya, hasil tersebut diperoleh berdasarkan kutipan catatan lapangan hasil wawancara 7 atau CLHW 7. Selanjutnya, berdasarkan CLHW 7 tersebut, keseluruhan peristiwa dalam novel Lampuki karya Arafat Nur digambarkan Aprie sebagai novel yang menarik, jujur, dan menambah wawasan mengenai peristiwa kelam yang terjadi di Aceh di masa lalu. Kehidupan sosial budaya masyarakat Lampuki digambarkan Aprie sebagai masyarakat yang lugu, minim wawasan politik dan menginginkan ketentraman. Berdasarkan CLHW 7 juga diketahui bahwa novel Lampuki karya Arafat Nur memberi pengaruh pada informan bahwa beliau memiki gambaran tersendiri mengenai sejarah masa lalu dan motivasi pelaku, serta gambaran masyarakat yang terkena imbas pemberontakan secara langsung. Terkait nilai pendidikan karakter, nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil dari novel Lampuki karya Arafat Nur menurut informan ini adalah cinta tanah air, nasionalisme, hidup damai, kasih commit to user sayang, religius, dan sebagainya. Selanjutnya, novel Lampuki dapat dibaca oleh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99 pelajar SMA dan pada dasarnya perlu dibaca karena akan memperkaya wawasan siswa SMA mengenai konflik yang terjadi di negeri Indonesia, serta budaya dan sastra pada umumnya yang minim pelajar ketahui.
d. Rakhmad Hidayattulloh Permana, Tukang Kupat Tahu Informan selanjutnya adalah Rakhmad Hidayattulloh Permana yang berasal dari Subang, Jawa Barat. Hasil wawancara dengan Rakhmad direkam dalam catatan lapangan hasil wawancara 8 atau CLHW 8. Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, informan memberi tanggapan bahwa tema novel Lampuki karya Arafat Nur adalah tema yang pada dasarnya unik dan berbeda dengan tematema lain secara uum. Melalui tema ini pengarang berusaha menggali hal-hal tabu yang terjadi di masyarakat Aceh secara mendalam dan berani. Arafat Nur sebagai pengarang pada dasarnya mengungkapkan gambaran sebuah rangkaian peristiwa yang terjadi di Aceh pada saat itu secara utuh dan mendalam. Melanjuti uraian sebelumnya, berdasarkan CLHW 8 keseluruhan peristiwa dalam novel Lampuki karya Arafat Nur menurut Rakhmat begitu kompleks dan rumit sehingga sulit untuk menentukan mana peristiwa yang benar dan mana peristiwa yang salah yang digambarkan di dalam novel. Selain itu, kehidupan sosial budaya masyarakat yang digambarkan Arafat Nur dalam novel Lampuki terkesan hipokrit, namun kental akan nuansa religius. Selanjutnya, membaca novel Lampuki membawa pengaruh dalam diri informan dalam hal perubahan sikap dan perilaku, beliau jadi lebih berhati-hati dalam menghakimi commit to user sesuatu dan tidak memandang sesuatu hanya dari satu sisi saja.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100 Hal lain yang ditanggapi oleh informan ini adalah nilai pendidikan karakter yang ada dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Nilai-nilai yang mencolok yang terkandung di dalam novel ini adalah nilai-nilai kemanusiaan, nasionalisme, patriotisme, religius, dan toleransi antarsesama. Selanjutnya, berdasarkan semua pertanyaan yang telah dilakukan, informan memberi kesimpulan bahwa novel ini dapat dijadikan pilihan bacaan oleh pelajar SMA. Alasan pertamanya adalah karena novel Lampuki karya Arafat Nur memiliki diksi dan gaya bercerita yang sederhana dan jauh dari kesan pretensius. Gaya bahasa novel Lampuki yang berbunga-bunga menurut Rakhmat mirip dengan novel-novel balai pustaka yang sering dijadikan bacaan wajib untuk pelajar SMA. Selain itu, dengan membaca novel ini pelajar SMA bisa terangsang untuk berpikir terbuka dan penuh empati sehingga bisa menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi pada diri mereka dan tidak buru-buru menghakimi sesuatu.
e. Attikah, S.Kep, Mahasiswa Profesi Ners Sarjana Keperawaran Informan kelima adalah Attikah, S. Kep yang berasal dari Aceh. Tanggapan pembaca dalam uraian ini diambil berdasarkan kutipan catatan lapangan hasil wawancara 9 atau CLHW 9. Berdasarkan kutipan wawancara, Attikah memberi tanggapan bahwa tema novel Lampuki karya Arafat Nur adalah mengenai kehidupan sosial-politik di Aceh pada masa DOM (Daerah Operasi Militer). Apa yang diungkapkan Arafat Nur dalam novel Lampuki menurutnya adalah segala hal yang lebih dari fakta yang pernah terjadi di Aceh. Menurut commit to user Attikah, selama ini banyak masyarakat Indonesia yang tidah tahu secara jelas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101 bagaimana kehidupan masa konflik yang terjadi di Aceh, dan novel ini dapat memberikan jawabannya. Hal lain yang ditanggapi Attikah terkait novel Lampuki karya Arafat Nur adalah kehidupan sosial masyarakat Aceh yang digambarkan di dalam novel. Menurutnya, kehidupan sosial budaya masyarakat aceh di dalam novel bersifat religius seperti gambaran pada umumnya, namun juga menggambarkan banyak hal mengenai kekacaun politik, ketakutan, dan mendambakan hidup tenang dan kedamaian. Di sisi lain, Attikah merasa sedih dan miris mengingat kekacauan politik yang terjadi pada saat itu, apalagi beliau berasal dari daerah yang sama dengan daerah yang diceritakan di dalam novel. Melanjuti paragraf di atas, membaca novel Lampuki karya Arafat Nur memberi pengaruh tersendiri bagi Attikah. Beliau lebih mengetahui tentang apa yang terjadi di daerahnya pada masa konflik setelah membaca novel ini. Ada banyak hal yang mengubah pandangannya terhadap “pemberontak” dan “pasukan pemerintah” bahwa ternyata kita tidak bisa memandang sesuatu hanya dari satu sisi, namun dari kedua sisi. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Lampuki karya Arafat Nur yang dapat dijadikan pembelajaran hidup menurut Attikah adalah nilai religius, kasih sayang, peduli terhadap orang lain, menjunjung tinggi semangat kebangsaan dan nasionalisme, kepekaan akan sikap toleransi, serta menghargai pendapat dan hasil kerja orang lain. Selain itu, novel Lampuki berdasarkan CLHW 9 cocok dibaca oleh pelajar SMA karena memiliki bahasa yang mudah untuk dipahami. commit to user Namun untuk itu tetap dibutuhkan bimbingan dari guru dalam pembacaan dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102 diskusi sehingga tidak ada pemikiran-pemikiran negatif pada siswa. Novel ini pada dasarmya akan membuat siswa SMA lebih kritis, mendapat pengetahuan mengenai sosial-budaya masyarakat Aceh, kehidupan yang terjadi di sana, serta pengetahuan tentang unsur intrinsik dan ekstrinsiknya.
f. Musmarwan, S1, PNS (Guru) Informan terakhir dalam penelitian ini adalah Musmarwan, seorang guru yang berasal dari Pidie, Aceh. Hasil wawancara dengan Musmarwan dapat dilihat pada catatan lapangan hasil wawancara 10 atau CLHW 10. Berdasarkan kutipan hasil wawancara tersebut, Musmarwan memberi tanggapan mengenai novel Lampuki karya Arafat Nur dengan tema sosial-politik yang selama ini jarang disentuh oleh penulis Aceh. Arafat Nur pada dasarnya ingin mengungkapkan ironisme kehidupan di satu sisi dan perang yang dapat menjungkir-balik tatanan spiritualitas masyarakat di sisi lain. Musmarwan berpendapat bahwa semua peristiwa yang terjadi dalam novel Lampuki karya Arafat Nur sangat tepat mewakili keseluruhan fakta yang pernah terjadi di Aceh dalam masa konflik. Selain itu, kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Lampuki karya Arafat Nur menurut beliau sangat miris, namun sungguh mewakili realita yang terjadi. Lebih dari pada itu, dengan membaca novel Lampuki karya Arafat Nur memberi pengaruh dalam diri Musmarwan bahwa sebuah ketelanjangan membuatnya sadar agar dapat melihat hakikat diri suku Aceh dalam wujud yang sesungguhnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103 Berdasarkan CLHW 10 nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Lampuki karya Arafat Nur menurut Musmarwan dapat dilihat berdasarkan tokoh Aku yang memiliki sikap dan perilaku yang jujur, religius, peduli terhadap sesama, dan cinta damai. Novel ini juga dapat dibaca oleh pelajar SMA agar mereka dapat bersikap kritis dalam situasi apa pun.
4. Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Lampuki Karya Arafat Nur Fungsi pendidikan karakter adalah meningkatkan pengetahun, perasaan, dan perilaku anak/siswa guna meningkatkan kualitas dirinya sebagai makhluk Tuhan dan makhluk bermasyarakat. Selain itu, jika dihubungkan dengan pendidikan nasional, pendidikan karakter berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki perilaku siswa agar dapat mencerminkan budaya dan karakter bangsa sehingga dapat mendorong lahirnya generasi penerus bangsa yang baik. Berkaitan dengan hal di atas, setiap karya sastra pasti memiliki nilai-nilai pendidikan karakter didalamnya yang ingin disampaikan kepada pembaca. Ini merupakan hal yang wajar karena setiap karya sastra merupakan hasil perenungan panjang pengarang dalam merepresentasikan dunia, diciptakan agar manusia memahami dan merefleksi nilai-nilai yang telah diterima atau pelajari dari karya sastra tersebut untuk diterapkan dalam perilakunya sehari-hari, sehingga secara tidak langsung membawa kehidupan manusia yang lebih bahagia dan sempurna. Terkait dengan nilai pendidikan karakter, ada 18 nilai pendidikan karakter yang telah diusung oleh Kemendiknas. Nilai-nilai tersebut adalah religius, jujur, commit to user toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104 semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Berkaitan dengan hal tersebut, novel Lampuki karya Arafat Nur memiliki nilainilai pendidikan karakter yang berpengaruh positif terhadap perkembangan perilaku anak. Novel Lampuki berisi potret kehidupan masyarakat Aceh ketika masa konflik antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tentara. Melalui konflik tersebut, Arafat Nur memberi inspirasi dan motivasi kepada pembaca untuk terus memelihara perdamaian antarsesama masyarakat, saling tolong menolong dan toleransi, menghargai pendapat dan aspirasi satu sama lain, menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, meningkatkan jiwa nasionalisme dan cinta tanah air, serta lebih dekat kepada Tuhan. Dengan demikian, nilai-nilai ini juga memungkinakn untuk diintegrasikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah sehingga selain mendapat pengetahuan mengenai karya sastra juga dapat memberi dampak yang positif dalam pertumbuhan karakter siswa. a. Religius Religius merupakan sikap dan perilaku yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, bagaimana manusia patuh terhadap ajaran agama yang dianutnya, dan bersikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain sehingga akan menciptakan suasana rukun dan damai antarsesama makhluk beragama. Nilai religius merupakan nilai nomor satu yang sangat penting bagi setiap kehidupan manusia. Nilai religius di dalam karya sastra biasanya bertujuan agar commit to user manusia lebih mengenal dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan, lebih dekat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105 dengan Tuhan dan ajaran agama yang dianutnya, serta memelihara sifat toleransi antarsesama umat beragama. Di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur, nilai religius banyak ditonjolkan oleh tokoh aku (Muhammad). Kutipannya sebagai berikut.
Aku sering termenung-menung dan terpekur di balai memikirkan semua perihal yang membingungkan itu. Pada malam hari, bila situasi tidak kacau benar, aku mengajar anak-anak kampung ini yang bengal dan bebal agar mereka dapat menguasai bacaan ayat Alquran. Sedangkan pada siangnya, kalau sesekali aku tiada bekerja, balai ini menjadi tempat aku berihat, berleha-leha, atau sekedar berangin-anginan. Biasanya, setiap kali akan mengerjakan salat atau selepasnya, aku berlama-lama duduk berkutat pada Kitab Suci, atau menekuni kitab Melayu. (Lam/AN/2011:15) Dalam hidupku yang sederhana, yang kerap kesal dan berang, tiada keinginan yang lebih besar selain mengabdikan diri kepada Allah─Tuhan yang kami sembah─maka aku sering hilang kendali oleh keliaran ayamayam Syamaun yang mengotori lantai balaiku; tempat pengajian yang kubangun dengan susah payah dan rasa kasih yang besar. (Lam/AN/2011:15-16) Petang itu, selepas asar aku dikejutkan suara ledakan yang kuperkirakan terjadi tidak jauh di arah utara. Suara ledakan itu menggema panjang dan getaran masih terasa beberapa lama kemudian. Aku batal melanjutkan zikir pendek sebagaimana tafakur yang biasa kukerjakan sehabis menunaikan salat. Seraya melantunkan selawat aku bangkit dari bersila, beranjak ke jalan, dan bertemu dengan beberapa orang dengan wajah telah dijalari gelisah. (Lam/AN/2011:261-262)
Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai religius terdapat di dalam novel Lampuki melalui tokoh Aku (Muhammad). Tokoh aku begitu dekat dengan Tuhan dan selalu melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Tidak ada keinginannya yang lebih besar dalam hidup selain mengabdikan diri kepada Tuhan. Jika tidak ada kerjaan, sebagian besar waktunya commit to user ia pakai untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan agama. Tidak hanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106 ibadah wajib seperti shalat saja yang dikerjakannya, tetapi juga ibadah lain yang sunah juga sebisa mungkin ia terapkan. Misalnya saja, selepas mengerjakan shalat, tokoh aku selalu melanjutkannya dengan zikir pendek dan melantunkan selawat. Jika tidak ada pekerjaan, ia akan berlama-lama berkutat pada Kitab Suci atau menekuni kitab Melayu. Selain itu, dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh aku tidak hanya belajar ilmu agama untuk dirinya sendiri, tapi juga kepada anak-anak kampung Lampuki. Si samping rumah tokoh aku, ia dan istrinya, Siti, membangun sebuah balai dengan susah payah. Balai yang dibangun tersebut digunakan sebagai tempat pengajian untuk mengajar anak-anak di daerahnya belajar membaca Alquran. Hal itu dilakukan di malam hari, selepas shalat magrib, sebagai selingan setelah ia menyelesaikan pekerjaan sebagai tukang bangunan pada siang hari. Mengajar Alquran ini pun ia lakukan tanpa mengharap imbalan apa pun, selain pahala dari Tuhan.
Aku harus berlapang dada dan melupakan kotoran binatang itu agar kekesalan hatiku tiada berlarut-larut. Aku mengucapkan istigfar, memohon ampunan atas segala dosa yang kulakukan, baik yang kusengaja maupun tidak kusengaja, karena memang tidak seorang pun di dunia ini dapat menghindar dari berbuat salah dan dosa. Sejenak kemudian, perasaanku pulih kembali, agak lebih baik. (Lam/AN/2011:243)
Selanjutnya, kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku sangat mengasihi balainya tersebut, sehingga ia menjadi sangat marah ketika ayam milik tetangganya, Syamaun, mengotori lantai balainya. Namun, ia selalu berlapang dada dan mengerti bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna dan pasti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107 pernah melakukan kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak. Justru ia kemudian meminta ampun kepada Tuhan atas dosa yang ia lakukan. Selain itu, jika terlampau marah, tokoh aku akan segera mengucapkan istigfar, menandakan ia selalu mengingat Tuhan di setiap waktunya.
b. Peduli Sosial Peduli sosial merupakan perbuatan yang menunjukkan adanya kepedulian terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan atau pertolongannya. Melalui sikap peduli sosial, manusia di ajak untuk melakukan hal-hal positif seperti bergotong royong, tidak egois, menyadari bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai jika dikerjakan bersama-sama, rela berkorban, berbagi dengan sesamanya, dan mengembangkan potensi diri untuk mencapai hasil yang terbaik. Sikap peduli sosial merupakan sikap yang penting untuk dikembangkan oleh setiap orang karena dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya dan menjaga ikatan suatu kelompok melalui peranan tersebut. Di dalam novel Lampuki, banyak ditemukan sikap peduli sosial yang dicerminkan melalui tokoh-tokohya. Salah satu tokoh yang sangat menonjol dalam sikap peduli sosial adalah tokoh sentral aku (Muhammad) dan Ahmadi. Tokoh aku yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang bangunan dan guru mengaji memiliki jiwa sosial dan solidaritas yang sangat baik. Bahkan tokoh Ahmadi yang diceritakan dalam novel sebagai orang yang jahat dan kejam pun memiliki sisi peduli terhadap orang-orang yang ada dilingkungannya. Berikut kutipannya di dalam novel.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108
Kekerabatan kami yang bagaikan hubungan saudara sedarah terus saja terpelihara sampai sekarang, sampai kemudian dia menjadi kepala tukang. Atas kebaikan dan kemurahan hatinyalah, sekarang ini aku menjadi rekan kerja yang mendampinginya ke mana saja, di samping kesibukanku mengajarkan anak-anak membaca Alquran pada malam hari. Aku tidak mengharap imbalan apa pun meski ada kalanya orang tua murid-muridku memberikan sedekah alakadar dan selebihnya adalah pahala dari Tuhan. (Lam/AN/2011:58)
Dari kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa tokoh aku mempunyai sifat peduli sosial terhadap keadaan anak-anak di kampungnya. Ia paham bahwa anakanak dikampungnya membutuhkan seorang guru yang mampu mengajarkan mereka membaca Alquran. Selain itu, ia juga mengerti bahwa harus ada seseorang yang membawa mereka lebih dekat dengan agama ditengah-tengah kerusuhan yang terjadi di negeri mereka. Kutipan di atas juga menjelaskan bahwa tokoh Aku mengajarkan anak-anak belajar membaca ayat Alquran tanpa mengharap imbalan apapun, kecuali pahala dari Tuhan. Ini menandakan bahwa tokoh aku peduli terhadap nasib anak-anak di kampungnya dan rela berkorban mengesampingkan lelah, serta ikhlas dalam melakukan semua itu. Sikap peduli sosial lain dalam kutipan di atas juga ditunjukkan oleh tokoh Sulaiman. Sulaiman yang bekerja sebagai kepala tukang bangunan dengan baik hatinya selalu mengajak tokoh aku ketika ada tawaran pekerjaan di mana pun. Hal ini dilakukan Sulaiman karena ia peduli terhadap tokoh Aku dan ia pun mengerti bahwa tokoh aku tidak punya keahlian lain dalam hal pekerjaan selain keahliannya dalam bidang bangunan dan ilmu agama. Maka dari itu, Sulaiman selalu mengajak tokoh aku di setiap pekerjaannya agar tokoh aku memiliki commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109 pendapatan yang dapat digunakan untuk kebutuhan keluarganya, sekalipun upah yang mereka hasilkan tidak banyak.
Sesungguhnya aku tidak membenci seorang pun dari murid-muridku sebagaimana yang terlihat pada penampilan luarnya. Sekalipun mereka bandel, hatiku sangatlah menyayangi mereka. Oleh karena itu pula aku bersedia bersusah payah mengajari mereka tanpa menarik dan mengharapkan upah sedikit pun. (Lam/AN/2011:102) Aku yang pernah mengajarinya membaca Alquran, kala mendengarkan peristiwa itu tidak sanggup menghentikan titik air mataku yang melintasi pipi. Betapa kesalnya aku kepada mereka yang bandel, sejatinya hati ini─dan hal itu tidak kusadari sebelumnya─amat menyayangi mereka, bahkan mungkin setara dengan kasih sayang orang tua mereka. (Lam/AN/2011:420)
Nilai positif lain yang ditonjolkan oleh tokoh aku dapat dilihat melalui kutipan di atas. Tokoh aku meskipun kelihatan galak di depan murid-muridnya, tapi ia sangat menyayangi dan sangat peduli terhadap murid-muridnya. Bahkan kutipan di atas menyebutkan bahwa sayangnya pada murid-muridnya setara dengan kasih sayang orang tua mereka. Rasa sayang dan pedulinya itulah yang membuatnya mau mengajari mereka membaca Alquran tanpa meminta imbalan sedikit pun. Selanjutnya, rasa cinta dan peduli tokoh aku terhadap muridmuridnya juga dapat dilihat ketika ia mendengar kejadian tragis yang terjadi pada muridnya, yaitu Abubakar. Karena terjadi kesalahpahaman antara Abubakar dan tentara, anak itu ditembak oleh para tentara. Hal ini menimbulkan luka yang sangat dalam bagi tokoh aku, sehingga ia pun menangis. Kutipan lain yang menunjukkan di dalam novel Lampuki terdapat nilai peduli sosial adalah sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110 Sikap peduli sosial selanjutnya tercermin melalui sikap dan perilaku penduduk kampung Lampuki. Peristiwa yang mencerminkan hal itu adalah peristiwa saat para pemberontak menyerang pos tentara. Saat itu karena ulah para pemberontak yang menyerang gardu tentara dengan ledakan dan tembakan, para penduduk mendapat imbasnya. Pasukan tentara menduga para pemberontak tersebut merupakan penduduk yang menyamar, sehingga para tentara melakukan penggeledahan dan mengadakan penyuluhan kepada para penduduk. Namun, penggeledahan dan penyuluhan tersebut kesannya lebih kepada siksaan kepada para penduduk. Kemalangan yang dialami para penduduk Lampuki itu membuat mereka iba dengan nasib satu sama lain. Ketika mereka ditimpa derita dan kemalangan karena siksaan para tentara, para penduduk saling berkunjung dan menghibur penduduk lain yang ditimpa kemalangan. Kejadian ini menunjukkan betapa pada dasarnya para penduduk Lampuki sangat peduli terhadap keadaan satu sama lain. Kutipannya adalah sebagai berikut.
Beberapa penduduk kemudian saling berkunjung dan membagi duka sesamanya atas timpaan derita dan kemalangan. Silih berganti mereka saling mendatangi rumah orang yang lebih parah mengalami siksa, tetapi tiada mengurangi sedikit pun selera bergurau sewaktu mereka saling berkumpul menceritakan satu sama lain ihwal tragedi penyuluhan di meunasah. (Lam/AN/2011:383)
Lebih lanjut lagi, tokoh Ahmadi yang diceritakan dalam novel sebagai orang yang jahat dan kejam pun memiliki sisi peduli terhadap orang-orang yang ada disekitarnya. Ahmadi meskipun seorang yang beringas dan kejam, namun pada dasarnya ia sangat peduli terhadap nasib dan kemalangan yang berlangsung commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111 di kampungnya. Meski ia mengambil jalan yang salah dengan hidup sebagai pemberontak, namun apa yang dilakukannya justru bentuk kepeduliannya terhadap nasib para sejawatnya. Menurutnya justru apa yang dilakukannya selama ini adalah demi perbaikan nasib masyarakat yang ada di tanah Aceh ini. Sikap peduli sosial Ahmadi dalam novel dapat dilihat melalui kutipan berikut.
Mengingat kekejaman dan kekejian masa itu, yang memang belum lama berlalu, membakar kembali hati sekalian orang. Meskipun aku tidak suka pada kumisnya, apa yang dikatakan Ahmadi ada benarnya juga. Memang dia datang dari dunia berandal, tetapi perhatiannya begitu besar terhadap penderitaan dan penindasan yang berlangsung di sini. Di kampung ini, cuma lelaki garang itu yang muncul di depan sebagai penentang orangorang pendatang lancang yang kerap menyebabkan kumisnya bergetaran hebat. (Lam/AN/2011:33-34)
c. Semangat Kebangsaan Pribadi semangat kebangsaan merupakan hal yang berkaitan dengan negara, yaitu sikap dan perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan dirinya sendiri atau komunitasnya. Nilai ini erat kaitannya dengan manusia sebagai warga negara dan kecintaannya terhadap negara itu sendiri. Semangat kebangsaan dapat diwujudkan dengan sikap patriotisme dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku ini secara tidak langsung akan menentukan kadar tinggi atau rendahnya nasionalisme dan patriotisme seseorang pula. Semakin tinggi semangat kebangsaannya, semakin tinggi pula jiwa nasionalisme dan patriotrismenya, sebaliknya, semakin rendah semangat kebangsaannya, semakin rendah pula jiwa nasionalisme dan patriotrismenya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112 Semangat kebangsaan sangat penting dikembangkan oleh setiap warga negara, terutama bagi anak yang sedang tumbuh, agar ia dapat tumbuh menjadi anak yang peduli dengan bangsa dan negaranya. Terkait hal tersebut, novel Lampuki karya Arafat Nur pada dasarnya banyak mengandung nilai-nilai semangat kebangsaan. Hal ini disebabkan karena tema yang diusung novel ini sendiri adalah mengenai nasionalisme dan patriotisme. Salah satu kutipan mengenai sikap semangat kebangsaan di dalam novel Lampuki adalah sebagai berikut. Kecintaannya yang besar terhadap kaum inilah yang menyebabkan Ahmadi angkat senjata, rela bersusah payah, berkelana jauh-jauh dengan berjalan kaki, bermalam berbulan-bulan di tengah hutan, berkhotbah siang malam kepada sejumlah orang, membujuk mereka untuk mendukung atau bergabung dengannya, mengajari cara menggunakan senjata bagi mereka yang kena bujuk, daan menyelesaikan perselisihan antarkeluarga yang cekcok dengan caranya sendiri. Terkadang dia harus berhadapan dengan kawanan tentara dengan nyawanya yang menjadi taruhan. Semua yang dilakukannya bukanlah untuk kekayaan dan kejayaan dirinya, melainkah untuk tanah dan negeri malang ini walau semua tindakannya itu justru semakin bikin kacau. (Lam/AN/2011:342) Baktinya yang berlebihan terhadap negeri yang sudah hancur ini memicu semangat hidupnya terus menyala, berkobar-kobar, dan sering kali menyebabkan kumisnya bergetaran hebat. Dia rela melakukan apa saja, bersusah payah naik turun gunung, bahkan tidak terlalu menghiraukan keadaan dirinya sendiri yang kurang terurus─selain kumisnya yang setiap hari disisir rapi─jarang mandi, makan tidak teratur, dan tidur di sembarang tempat sekedar dapat menampung tubuhnya untuk menelentang rebah. (Lam/AN/2011:343 Dari kutipan di atas, Arafat ingin mengajak pembaca untuk lebih mengenal sosok tokoh Ahmadi lebih dalam. Ahmadi yang beringas, kejam, dan kasar sebenarnya sangat mencintai negaranya. Kecintaannya itulah yang membuatnya sanggup hidup bersusah payah. Ia rela berkorban melupakan commit to user kenyamanannya tinggal dan hidup tenang dan nyaman bersama keluarganya agar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113 negaranya menjadi lebih baik lagi. Karena kecintaannya pula, ia sanggup hidup di hutan selama berbulan-bulan tanpa asupan makanan dan air yang cukup serta tempat tinggal yang tidak layak. Ia bahkan sanggup bertaruh dengan nyawanya sendiri demi kemerdekaan negerinya yang amat dicintainya, meskipun tidak semua hal yang dilakukannya adalah perbuatan yang baik. Ia tidak tahu bahwa semua yang dilakukannya membuat keadaan semakin kacau. Namun, terlepas dari semua itu semua bentuk baktinya tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki sikap patriotisme dan jiwa nasionalisme yang tinggi. Tokoh Aku (Muhammad) juga memiliki sikap semangat kebangsaan di dalam dirinya. Hal itu ditunjukkannya ketika melihat penderitaan dan kemalangan yang dialami oleh kaumnya. Kutipannya di dalam novel adalah sebagai berikut.
Mereka yang tak mengenaliku dengan baik, yang tak lebih dari memahami tampilan luarku saja, tak akan sanggup mengerti bagaimana rapuhnya aku yang amat menyayangi bangsa malang ini, meskipun buas dan beringas, sebetulnya mereka memiliki hati sebagaimana kaum lainnya juga. Keadaanlah yang menyebabkan perangai mereka liar tak terkendali karena tidak sanggup terus-menerus disakiti dan hanya dengan cara begitulah mereka masih bisa mempertahankan hidup dan harga diri yang nyaris tak tersisa. (Lam/AN/2011:420) Beginilah aku adanya, tetap bertahan, dan tetap mencintai tanah ini sekalipun banyak kemalangan dan bahaya yang datang mengepung. Kadang, aku juga turut menikmati segala sesuatunya sebab aku tiada mengenali bentuk dunia lain yang entah macam apa rupa dan wujudnya. (Lam/AN/2011:428)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh aku pada dasarnya sangat mencintai bangsa dan negaranya. Ia mengerti bahwa kaumnya terkadang sering membuat kacau negeri ini menjadi sedemikian rupa bentuknya, namun ia juga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114 sadar bahwa kaumnya sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya keadaan saja yang membuat perilaku mereka buruk. Dan semua perilaku buruk itu mereka buat hanya untuk mempertahan hidup dan harga diri mereka saja. Meskipun demikian, tokoh aku tetap mencintai negerinya, semangat kebangsaannya tetap menyala meskipun bahaya dan kemalangan tidak habis-habis menimpanya dan kaumnya.
d. Jujur Sikap dan perilaku jujur berkaitan dengan kepercayaan seseorang terhadap orang lain. Jujur dapat berarti sikap dan perilaku seseorang yang dapat dipercaya dalam hal pengetahuan, perkataan, dan perbuatan yang dimilikinya, menyatakan apa adanya, terbuka, konsisten dan tidak curang. Sikap dan perilaku ini penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena akan membentuk pribadi dan karakter seseorang. Oleh karena itu, banyak karya sastra yang menonjolkan nilai kejujuran di dalam ceritanya. Di dalam novel Lampuki, Arafat juga mengutamakan nilai kejujuran melalui karakter para tokohnya. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut. Kemarin petang Ahmadi memaksa Harun, muridku, untuk ikut bergabung dalam pasukannya. Sulaiman menceritakan sebuah kejadian di lekuk sudut kelokan jalan dekat Pasar Simpang bahwa Ahmadi mengumpati Harun yang menolak dengan tegas keinginannya. Harun mengemukakan alasan bahwa ukuran tubuhnya tidak cukup besar serta kumisnya belum tumbuh secara benar. Anak itu menambahkan alasan bahwa dia masih harus mengaji, dan terlebih lagi, dirinya begitu takut berhadapan dengan kawanan prajurit, apalagi harus membunuh mereka. (Lam/AN/2011:98) “Aku tak sanggup lah, Pakcik Kumis. Biarlah Pakcik Kumis saja yang melakukan itu!” ucap Harun tegas sambil menggeleng-gelengkan kepala yang lantas memerahkan raut muka Ahmadi. (Lam/AN/2011:98) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115 Betapa Ahmadi tidak menggigit geraham mendengar pengakuan jujur anak itu yang berani berterus-terang dihadapannya tanpa sedikit pun mempertimbangkan ketebalan kumis orang yang sedang dihadapinya. (Lam/AN/2011:98)
Kutipan di atas menggambarkan kejujuran tokoh Harun. Harun yang masih remaja oleh Ahmadi di ajak untuk bergabung dengannya menjadi pasukan laskar gerilyawan. Namun, dengan tegas ia menolak ajakan terebut dengan alasan ukuran tubuhnya belum cukup besar untuk menjadi seorang pasukan gerilyawan. Ia juga menambahkan alasan bahwa masih banyak yang harus dipelajarinya, seperti belajar membaca Alquran. Terlebih ia mengaku bahwa ia takut memegang senjata apalagi sampai harus membunuh orang. Pengakuan Harun yang jujur tentu membuat Ahmadi marah. Ia tidak menyangka meski Harun baru beranjak remaja, Harun mampu bersikap jujur dan menolak dengan tegas ajakan yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Padahal Harun tahu betul yang dihadapinya adalah Ahmadi, tokoh kampung yang terkenal garang dan beringas. Namun meski begitu, Harun tetap berkata jujur dan tegas mengenai hal yang menyangkut kemaslahatan dirinya. Tokoh Ahmadi dalam novel Lampuki pada dasarnya juga mempunyai perilaku jujur di dalam dirinya. Meskipun ia adalah pasukan laskar gerilyawan yang beringas, namun ia selalu mendahulukan kepentingan kaumnya dari pada kepentingan pribadi. Para pasukan laskar ini mendapatkan pasokan dana dari pajak yang wajib diberikan oleh para penduduk. Istri Ahmadi, Halimah, adalah orang yang mengutip pajak tersebut dari rumah yang satu ke rumah lain. Oleh commit to user Ahmadi, uang itu digunakan dengan baik dan jujur. Ia tidak pernah berpikir uang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116 itu akan digunakan untuk kepentingannya sendiri. Uang yang lebih akan ia simpan dan dijadikan cadangan jika sewaktu-waktu keadaan mulai tidak stabil. Kutipannya dapat dilihat sebagai berikut. Aku percaya, kumis itu amatlah jujur. Karim pun sependapat. Katanya, kalaupun uang itu lebih, akan dijadikannya sebagai simpanan, cadangan pada waktu susah kalau-kalau tentara memutuskan jaringan pengutipan. Ada kalanya sampai berbulan-bulan wajib pajak tiada dapat dijalankan oleh ketatnya pengawasan dan pemeriksaan tentara yang mengintai sampai ke setiap seluk kampung dan lubuk-lubuk pundi uang penduduk. (Lam/AN/2011:176-177)
e. Cinta Damai Cinta damai adalah sikap atau perilaku yang mencerminkan suasana damai, nyaman, dan tenang atas kehadiran dirinya di kalangan masyarakat atau komunitas tertentu. Menumbuhkan pribadi cinta damai pada setiap orang pada dasarnya akan membantunya dalam meningkatkan pergaulan di antara sesamanya, juga membantu dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Selain itu, adanya sikap cinta damai akan meminimalkan terjadinya pertengkaran dan perselisihan di antara kelompok, terutama tawuran di kalangan remaja. Sikap dan perilaku cinta damai di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur ditunjukkan dalam beberapa peristiwa di dalam novel. Sikap ini ditunjukkan oleh Arafat melalui beberapa tokoh, yaitu tokoh Karim, tokoh Ahmadi, tokoh aku (Muhammad) dan tokoh lain. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan novel berikut ini. Raut wajah Karim jauh dari kesan kegarangan─bibir yang mudah tersenyum, sikapnya pemurah, ramah, dan jarang marah, menyebabkannya mudah bergaul dengan siapa saja. Tutur katanya lembut, tegas, commit to user memancarkan kearifan seorang cerdik pandai. (Lam/AN/2011:169-170)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Karim memiliki karakter dan pribadi cinta damai di dalam dirinya. Di dalam novel, Karim diceritakan sebagai tokoh penjual ganja yang piawai, namun meski begitu ia juga dikenal sebagai orang yang bijak dan ramah. Ia mempunyai raut muka yang lembut, mudah tersenyum, jarang marah, ramah, dan pemurah. Ketika berbicara dengan orang lain, siapa pun itu, ia akan bertutur dengan lembut, tegas dan bijaksana. Hal ini menyebabkan ia gampang bergaul dengan siapa saja. Ia mempunyai banyak teman di mana-mana, dari para pasukan laskar gerilyawan, tentara, polisi, mafia hingga pejabat pemerintahan adalah temannya. Sikapnya yang seperti itu justru bertolak belakang dengan pekerjaannya sebagai penjual ganja. Namun, justru penampilan dan pembawaan yang bersahaja itulah yang membuat usaha dagangnya berhasil dan lancar. Terlepas dari pekerjaannya tersebut, tokoh Karim memiliki karakter cinta damai dalam dirinya. Sikap dan perilaku cinta damai juga ditunjukkan oleh tokoh Ahmadi, salah satu tokoh utama di dalam novel ini. Meskipun Ahmadi adalah salah satu pemimpin pasukan laskar gerilyawan pemberontak dan merupakan pemicu kekacauan, sesungguhnya ia memiliki karakter di dalam dirinya. Karakter itu terutama ditunjukkannya pada para penduduk Lampuki, yang terkadang suka bertengkar dan berselisih paham di antara sesamanya. Ia akan sangat marah jika melihat ada penduduk yang bertengkar hanya karena masalah sepele. Menurutnya, kaum tanah Aceh berasal dari kaum yang beradab, sehingga tidak baik jika commit to user mereka satu sama lain memelihara pertengkaran. Sikap permusuhan menurut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118 Ahmadi hanya boleh ditunjukkan pada para penjajah yang menjarah tanah Aceh. Kutipannya di dalam novel Lampuki dapat dilihat sebagai berikut.
Sungguhpun aku tak begitu suka kepada Ahmadi, aku tetap berpihak pada sikapnya yang menentang permusuhan antarsesama penduduk. Dia memang kasar, berandal, dan garang, tetapi dia tidak suka antarsesama tetangga timbul permusuhan; sebab, menurutnya, kaum ini amat beradab dan punya sejarah hebat. “Bersatulah membangunnya kembali. Musuh kita bukanlah jiran kita, melainkan penjajah!” Begitulah dia selalu berseru jika ditemuinya ada penduduk yang berseteru. (Lam/AN/2011:341-342)
Selain itu, sikap dan perilaku cinta damai ditunjukkan pula oleh Arafat Nur melalui tokoh selingan di dalam novel ini. Kutipannya dapat dilihat sebagai berikut.
Seorang bijak dari Lamlhok yang ingatannya mulai terganggu, dengan lantang mengatakan kepada orang-orang di Pasar Simpang, “Perang hanya akan mendatangkan kehancuran bagi semua orang. Mereka yang menang akan menjadi arang dan mereka yang kalah akan menjadi debu. Bila ada yang mengatakan bahwa perang itu baik, itu hanyalah orang pesong!” (Lam/AN/2011:425)
Kutipan di atas merupakan sebuah nasehat yang diberikan oleh seseorang yang bijak dan sekedar lewat di daerah Lampuki. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa peperangan hanya akan menghantarkan kehancuran tidak hanya bagi yang terkait dalam peperangan, tetapi juga bagi semua orang tanpa terkecuali. Pihak yang menang dan kalah di dalam peperangan tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali kesia-siaan. Melalui kutipan tersebut, pada dasarnya Arafat ingin menunjukkan bahwa apa pun bentuknya peperangan hanya akan merugikan semua orang, sehingga ada baiknya kita terus memelihara perdamaian. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119 f. Toleransi Toleransi merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang kepada orang lain yang mencerminkan sikap menghargai terhadap segala perbedaan di antara
mereka.
Perbedaan
tersebut
dapat
berupa
perbedaan
agama,
kepercarcayaan, suku, ras, pandangan, bahasa, adat, dan hal-hal lain. Sikap bertoleransi satu sama lain sangat penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena dapat menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang rukun dan damai. Di dalam novel Lampuki, Arafat Nur mengajarkan kepada pembaca bahwa sikap dan perilaku toleransi antarsesama harus dimiliki oleh setiap manusia dalam membina kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut ia mengajarkan pembaca di dalam novel ini bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan luput dari kesalahan, sehingga sikap toleransi dan lapang dada harus dimiliki dalam kehidupan bertetangga. Berikut kutipannya di dalam novel.
Aku harus berlapang dada dan melupakan kotoran binatang itu agar kekesalan hatiku tiada berlarut-larut. Aku mengucapkan istigfar, memohon ampunan atas segala dosa yang kulakukan, baik yang kusengaja maupun tidak kusengaja, karena memang tidak seorang pun di dunia ini dapat menghindar dari berbuat salah dan dosa. Sejenak kemudian, perasaanku pulih kembali, agak lebih baik. (Lam/AN/2011:243) apun tidak bisa berbuat apa-apa selain menganggap semuanya sebagai resiko hidup berjiran, harus bersabar dan menimbang rasa untuk menghindari percekcokan yang, jika tidak bijak dan sabar, bisa terpicu setiap waktu. Ada kalanya perkara-perkara yang tidak perlu dibesarbesarkan memang harus dihadapi dengan keikhlasan dan lapang dada walau tidak selamanya perasaan itu mau berdamai. Ada saja sesuatu perkara yang dapat memicu pertengkaran, munculnya kejengkelan dan rasa muak. (Lam/AN/2011:245) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120 Di dalam kutipan di atas, sikap toleransi tercermin dari perilaku tokoh aku (Muhammad), Syamaun dan istrinya, Saudah, yang merupakan tetangga sebelah rumahnya. Syamaun yang merupakan peternak ayam dan sapi sering melepaskan hewan-hewan itu pada pagi hari, baru kemudian dimasukkan ke kandang ketika hari telah menjelang magrib. Ayam-ayamnya tersebut sering berkeliaran di balai pengajian tokoh aku dan membuang kotorannya di sana. Tentu saja hal itu terkadang membuat berang tokoh aku, karena selain ia sangat menyayangi balai yang dibuatnya dengan susah payah, balai tersebut adalah tempat suci yang digunakan untuk beribadah dan mengajar murid-muridnya belajar membaca ayat Alquran. Namun, tokoh aku tidak pernah berlama-lama marah atas perlakuan ayam-ayam tetangganya tersebut. Menurutnya masalah tersebut merupakan resiko hidup bertetangga, sehingga tidak ada jalan lain selain sabar dan berlapang dada agar tidak terjadi pertengkaran yang berlarut-larut. Melalui tokoh aku Arafat mengajarkan tidak baik membesar-besarkan masalah, apalagi masalah dengan tetangga sendiri, cukup berlapang dada dan diikhlaskan saja apa yang telah terjadi. Selain itu, Syamaun dan Saudah juga mengerti dan mengakui kesalahan mereka yang dibuat oleh hewan ternaknya terhadap tokoh aku. Untuk memperbaiki kesalahan mereka, Saudah datang ke rumah tokoh aku dengan membawa beberapa butir telur sebagai permintaan maaf dan ganti rugi. Saudah juga tidak lupa untuk meminta maaf kepada tokoh aku dan istrinya, bahkan hingga berkali-kali. Tokoh aku yang memiliki jiwa toleransi pun menerima dengan tulus commit to user permintaan maaf dari tetangganya itu. Kutipannya sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121 Hubungan buruk itu tidaklah berlarut terlalu panjang. Tak lama setelah penjarahan liar itu terjadi, Saudah datang dengan rasa bersalah, membawa serta lima butir telur sebagai bentuk ganti rugi yang disertai pula permintaan maaf berkali-kali. (Lam/AN/2011:244) Permintaan maafnya yang tulus dan jujur sudah cukup melegakan perasaanku dan aku tidak bakal mempersoalkan lagi andai saja ayamayam itu mau berhenti membuang hajat di tempatku ini. (Lam/AN/2011:244-245)
g. Komunikatif Sikap dan perilaku komunikatif merupakan sikap dan perbuatan terbuka yang ditujukan kepada orang lain dengan bertutur dan berkomunikasi yang sopan dan santun, bersahabat, dan proaktif, sehingga timbul rasa akrab, bergaul, dan kerja sama yang kolaboratif antara satu sama lain. Sikap dan perilaku komunikatif sangat penting untuk ditumbuhkembangkan karena memiliki banyak manfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Sikap ini diperlukan oleh semua orang, terutama anak atau siswa. Menjalin sikap komunikatif dengan anak atau siswa akan membuatnya tumbuh ke arah yang positif. Nilai karakter komunikatif yang coba diutarakan di dalam novel Lampuki oleh Arafat Nur adalah melalui tokoh Jibral. Tokoh Jibral di dalam novel dikenal sebagai lelaki yang rupawan dan lemah lembut. Rupanya yang elok dan tutur katanya yang lembut membuat banyak orang yang suka kepadanya. Selain itu, Jibral juga merupakan salah satu murid tokoh aku yang tidak banyak tingkah dalam belajar. Ia juga sering membantu tokoh aku dalam mengajar murid-murid lainnya yang lebih kecil. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122 Murid-murid tokoh aku yang lebih kecil terkenal dengan kenakalannya. Tokoh aku sering merasa kewalahan menghadapi mereka. Namun, ketika mereka diajar oleh Jibral, sikap mereka berubah. Anak-anak tersebut menjadi lebih diam dan tekun menyimak pelajaran. Hal ini dikarenakan sikap Jibral yang terbuka kepada anak-anak tersebut. Jibral menghadapi mereka seperti menghadapi temantemannya, sehingga ia cepat akrab dengan mereka. Ia tidak pernah berlebihlebihan dan berlagak menjadi seorang guru. Jika ada anak yang jahil mengganggu teman-teman yang lain, ia hanya akan menatap mereka tajam, tidak dengan cara kekerasan, sehingga anak-anak tersebut merasa malu dan kembali menekuni Alquran. Sikap Jibral yang komunikatif inilah yang membuatnya disukai oleh anak-anak, bahkan menimbulkan rasa cemburu bagi tokoh aku. Di dalam novel, penjelasan tersebut dapat dilihat melalui kutipan berikut.
Cara dia menghadapi anak-anak tak ubahnya menghadapi teman-temanya sendiri, atau adik-adiknya, tidak ada tabir antara murid dan guru, dan mereka begitu akrab. Kalau ada tangan yang berbuat jahil, Jibral menatapnya begitu lama, sehingga menimbulkan tingkah serba salah dan rasa malu anak yang sudah berbuat salah. Dia juga menunjukkan kepada anak-anak bahwa dirinya bisa marah, bisa berlaku kasar. Kalau dia merasa harus memberikan hukuman, tangan merekalah yang menjadi sasaran, sebab tangan itu yang mendasari segala kekacauan. (Lam/AN/2011:353) Semua anak terlihat menurut dan patuh kepada perintahnya tanpa seorang pun berusaha membantah. Anhar terlihat tekun, matanya terpumpun memandang kitab, biarpun sesekali dia berusaha mengganggu kawan di sampingnya, yang langsung kena sambaran cubitan Jibral. Bila ada anak yang hendak mencari-cari pasal, sebelum tindakan mereka terlaksana lebih jauh, mata Jibral yang awas segera menangkap, lalu menindaknya, menepis tangan anak itu dengan tangannya yang berjari runcing seperti jemari seorang gadis. (Lam/AN/2011:353-354) Aku tidak paham kenapa mereka sampai bisa menurut serupa itu kepada lelaki muda yang penampilannya sama sekali tidak terlihat garang dan commit to user tindakannya sangat biasa. Tidak ada sikapnya yang berlebihan atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123 berusaha untuk berlagak-lagak macam seorang teungku yang kejam tetapi bijak. Bahkan, Anhar yang terkenal paling nakal pun, tidak berani berbuat macam-macam selagi Jibral mengawasi geraknya dengan ketat. (Lam/AN/2011:354) Jibral tidak sedikit pun ingin meniru caraku memaksakan ketekunan kepada anak-anak itu, meskipun sekadar untuk berlagak-lagak, dan keadaan demikian semakin membentangkan jarak diriku dengan anakanak itu walau hendaknya mereka tahu bahwa aku adalah teungku mereka juga. Selama Jibral sering menggantikan tugas Siti dan istriku pun membiarkan tugasnya dijalankan oleh si Rupawan, selama itu pula anakanak itu menyukainya─dan memang nyatanya mereka semakin menyukai Jibral, membuat perasaanku kian tak nyaman. (Lam/AN/2011:354-355)
h. Menghargai Prestasi Menghargai prestasi merupakan sikap dan perilaku yang mendorong seseorang untuk selalu melakukan yang terbaik bagi dirinya dan orang-orang di sekelilingnya. Selain itu, melalui sikap dan perilaku ini seseorang didorong untuk mengakui kemampuan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri, namun tetap meningkatkan semangat untuk belajar lebih baik lagi. Di dalam karya sastra sikap dan perilaku ini banyak dimunculkan karena mempunyai nilai yang positif bagi pembaca. Di dalam novel Lampuki, nilai menghargai prestasi terlihat ketika tokoh aku yang memuji keberhasilan pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Meskipun ia tahu ada kekurangan di balik masa pemerintahan mereka dulu, namun ia menghargai keberhasilan-keberhasilan kedua pemimpin tersebut dalam mengatur negeri ini, melawan penjajah dan pemberontak yang mengacaukan negara, dan mampu menyatukan negeri yang pulau-pulaunya terpisah-pisah. Ia sama sekali tidak membenci keduanya, meskipun kedua pemimpin tersebut mempunyai kekurangan ketika mereka masih memerintah negara. Ia mengerti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124 sangat sulit untuk memerintah suatu negara dan tidak semua orang mampu melakukannya. Ia juga sadar tidak ada manusia yang sempurna dan setiap orang pasti memiliki kekurangannya masing-masing. Uraian tersebut dapat dilihat melalui kutipan berikut.
Pada dasarnya aku tidak membenci siapa pun. Aku memahami, hanya orang-orang berjiwa besar dan berkelebihan khusus saja yang sanggup memimpin dan menyatukan negeri celaka ini. Karno, misalnya, tanpa hasrat dan tekad kuatnya, mustahil mampu menguasai tanah luas ini yang terdiri dari pulau-pulau terpisah, dan memang harus menghalalkan berbagai cara bila tidak ingin gagal, karena begitulah teladan yang ditinggalkan pemimpin-pemimpin besar terdahulu yang telah menunjukkan kegemilangan hasil yang nyata. (Lam/AN/2011:38) Begitu pula keberhasilan Karno, baik dalam usaha mengusir penjajah maupun dalam upaya menumpas pemberontakan yang muncul kemudian, patut kuhormati, meskipun Ahmadi sangat membencinya. Amanah dan tanggung jawab itu lantas diteruskan oleh Harto sehingga kemudian mampu mengubah negeri ini sedemian rupa, juga sedemikian parahnya. (Lam/AN/2011:38) Terlepas dari segala kekurangan, tentunya kedua orang itu adalah panutan... (Lam/AN/2011:39)
Sikap dan perilaku menghargai prestasi juga ditunjukkan oleh tokoh aku ketika
menasehati
murid-muridnya.
Saat
itu,
murid-muridnya
mulai
membandingkan cara mengajar tokoh aku dengan Jibral, murid tokoh aku yang sudah beranjak dewasa yang kadang-kadang membantu tokoh aku mengajari murid-murid yang lebih kecil dalam belajar membaca Alquran. Sikap tokoh aku yang tegas dan Jibral yang lembut membuat murid-muridnya lebih suka ketika diajar oleh Jibral. Namun, tokoh aku memberi pengertian bahwa tidak semua orang sama cara mengajarnya. Tokoh aku menjelaskan pada murid-muridnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125 bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Begitu juga dengan dirinya (tokoh aku) dan Jibral. Sikap yang baik yang seharusnya ditunjukkan murid-muridnya adalah menerima keduanya tanpa berat sebelah. Kutipannya di dalam novel dapat dilihat di bawah ini. “Yang mesti kalian pahami bahwa semua teungku tidaklah sama dalam hal cara mengajar. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Begitu pula caraku dan Jibral. Kalian boleh mengagumi caranya, tetapi tidak harus mengabaikanku. Kalau kalian mau menurut sebagaimana kalian mematuhi Jibral, aku tidak bakal pernah menghukum kalian dengan rotan. Terkadang hukum memang harus ditegakkan dengan kekerasan. Suka atau tidak suka. Pahamkan kalian?” (Lam/AN/2011:356)
5. Relevansi Aspek-aspek Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan Karakter Novel Lampuki karya Arafat Nur dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Hasil penelitian menunjukkan adanya relevansi antara aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan karakter novel Lampuki karya Arafat Nur dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah menengah atas (SMA). Relevansi tersebut pertama diperoleh berdasarkan cakupan sosiologi sastra, yaitu pandangan pengarang, sosial budaya masyarakat dan tanggapan pembaca. Dalam hal ini, pandangan pengarang meliputi latar kehidupan pengarang, falsafah hidup pengarang, dan biografi pengarang. Sosial budaya masyarakat meliputi kondisi sosial, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, bahasa, agama dan kepercayaan. Melanjuti uraian sebelumnya, relevansi terkait sosiologi sastra yang commit to user meliputi pandangan pengarang, sosial budaya masyarakat dan tanggapan pembaca
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126 merupakan materi pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA, khususnya SMA Negeri 1 Kasihan, SMA Negeri 1 Bantul, dan SMA Kesatuan Bangsa yang terdapat di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Di ketiga SMA tersebut, aspek sosiologi sastra merupakan cakupan dalam materi pelajaran apresisasi sastra. Hasil ini merupakan hasil yang berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan guru pelajaran Bahasa Indonesia di ketiga SMA tersebut dan terlampir dalam catatan lapangan hasil wawancara 2, 3, dan 4 (CLHW 2, CLHW 3, dan CLHW 4). Hasil wawancara pertama diambil berdasarkan kutipan CLHW 1 yang dilakukan pada guru SMA Negeri 1 Bantul yang bernama Dra. C. Restu Wahyuningsih, M.Pd.. Hasil wawancara kedua diambil berdasarkan kutipan CLHW 3 yang dilakukan pada guru SMA Negeri 1 Kasihan yang bernama Dra. Elise Yudiastuti, M.Pd. Hasil wawancara terakhir diambil berdasarkan kutipan CLHW 4 yang dilakukan pada guru SMA Kesatuan Bangsa bernama Rahmat Iskandar, S.Pd.. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketiga guru tersebut, terdapat relevansi antara materi pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA dengan aspek-aspek sosiologi sastra. Aspek-aspek tersebut secara tidak langsung masuk pada materi apresiasi sastra yang biasanya terangkum dalam analisis unsur ekstrinsik karya sastra yang dipelajari di kelas IX. Sejalan dengan paragraf sebelumnya, pada dasarnya pembelajaran Apresiasi Sastra merupakan salah satu materi yang penting pada siswa SMA. Hal ini sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 yang menjelaskan standar kompetensi lulusan (SKL). Mengacu pada commit to user standar kompetensi lulusan mata pelajaran (SKL-MP) sastra di SMA program
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127 bahasa pada kegiatan berbahasa dan bersastra, menjelaskan bahwa salah satu standar kompetensi lulusan siswa dalam kegiatan membaca yaitu berupa menggunakan berbagai jenis membaca untuk mengapresiasi karya sastra berbentuk novel, cerita pendek, hikayat, dan drama. Selanjutnya pada kegiatan bersastra bunyinya adalah menguasai komponen kesastraan, genre sastra dan perkembangannya untuk mengapresiasi karya sastra berbentuk puisi, prosa, dan drama. Dengan demikian, mengapresiasi novel merupakan salah satu materi pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Berdasarkan uraian sebelumnya, silabus yang digunakan sekolah pada dasarnya harus sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 di atas. Oleh karena itu, relevansi aspek-aspek sosiologi sastra dengan pembelajaran Apresiasi Sastra juga dapat dilihat berdasarkan silabus yang digunakan oleh sekolah. Berdasarkan silabus yang dipakai sekolah tersebut diketahui bahwa aspek-aspek sosiologi sastra dalam penelitian ini pada dasarnya dipelajari dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Silabus yang dimaksud adalah berdasarkan kurikulum KTSP (2006) yang digunakan oleh ketiga sekolah, yaitu SMA Negeri 1 Kasihan, SMA Negeri 1 Bantul dan SMA Kesatuan Bangsa. Di dalam silabus tersebut aspek-aspek sosiologi sastra menjadi cakupan materi pelajaran Bahasa Indonesia kelas IX dalam standar kompetensi membaca, yaitu memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128 Terkait uraian di atas, bunyi kompetensi dasarnya adalah menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia/terjemahan. Materi
pembelajaran yang akan dipelajari adalah novel Indonesia dan novel terjemahan dengan kegiatan pembelajaran menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel tersebut. Nilai ekstrinsik tersebut meliputi nilai budaya, sosial, moral, dan lain-lain. Nilai karakter yang diharapkan melalui pembelajaran ini adalah nilai komunikatif/bersahabat dan kreatif. Namun seperti yang telah dijelaskan di atas, nilai ekstrinsik pada dasarnya meliputi kepengarangan, kehidupan sosial, dan nila-nilai. Jika dijabarkan nilai-nilai tersebut meliputi latar kehidupan pengarang, falsafah hidup pengarang, biografi pengarang, latar sosial masyarakat yang terdapat di dalam karya sastra, dan nilai pendidikan, agama, sosial, budaya, moral, dan historis. Namun, unsurunsur ekstrinsik yang terdapat dalam silabus ketiga sekolah hanya berfokus pada nilai-nilai saja. Oleh karena itu, silabus yang digunakan oleh ketiga sekolah tersebut pada dasarnya perlu dilengkapi agar pengetahuan dan analisis siswa dalam mengapresiasi karya sastra menjadi lebih luas lagi. Relevansi selanjutnya dalam penelitian ini adalah relevansi antara nilai pendidikan karakter dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Hasil ini adalah berdasarkan catatan lapangan hasil wawancara yang telah dipaparkan oleh ketiga guru di atas atau berdasarkan CLHW 2, CLHW 3 dan CLHW 4. Isi kutipan wawancara menjelaskan bahwa nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Lampuki karya Arafat Nur dapat memberikan pembelajaran positif bagi commit to user pertumbuhan karakter peserta didik.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129 Berdasarkan kutipan-kutipan CLHW 2, CLHW 3, dan CLHW 4, dapat disimpulkan relevansi nilai-nilai pendidikan karakter di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur mencakup beberapa hal. Perwujudan yang pertama antara nilai pendidikan karakter dengan novel Lampuki karya Arafat Nur adalah membantu guru dan seluruh pihak sekolah dalam mengasah karakter positif siswa. Kedua, kegiatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan menjadi lebih baik. Ketiga, siswa akan mendapatkan gambaran mengenai sisi moral, sosial, dan agama di dalam novel ini, sehingga membantunya untuk mengembangkan sikap dan perilaku ke arah yang lebih positif. Keempat, siswa lebih mampu menyikapi banyak hal yang berhubungan dengan dirinya dan orang lain, serta lebih memiliki kepedulian
terhadap
sesama.
Perwujudan
selanjutnya,
siswa
semakin
menghormati dan menghargai persatuan dan kesatuan bangsa, serta semakin cinta pada tanah airnya sendiri. Terakhir, melalui nilai pendidikan karakter dalam novel Lampuki menjadikan siswa sebagai manusia yang lebih taat kepada Tuhannya. Selain itu, relevansi pendidikan karakter novel Lampuki karya Arafat Nur dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA ini juga dapat dilihat melalui nilai-nilai pendidikan karakter yang ditemukan dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Nilai-nilai tersebut adalah religius, peduli sosial, semangat kebangsaan, jujur, cinta damai, toleransi, komunikatif, dan menghargai prestasi. Pertama, nilai religius dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, nilai peduli sosial dapat meningkatkan kepedulian siswa terhadap orang lain serta meningkatkan sikap tolong menolong antarsiswa. Ketiga, nilai commit to user semangat kebangsaan dapat meningkatkan sikap dan perilaku nasionalisme dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130 diri siswa sehingga apa pun yang dikerjakan siswa kelak akan menomorsatukan kepentingan bangsanya. Keempat, nilai jujur dapat meningkatkan kepribadian siswa menjadi lebih baik dan dapat mengajarkan siswa untuk menghindari hal-hal yang berbau KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sejak kecil. Kelima, nilai cinta damai dapat memelihara kerukunan siswa baik di sekolah maupun dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat serta mengurangi perselisihan. Keenam, nilai toleransi dapat meningkatkan kerukunan dan menghargai perbedaan antarsesama. Ketujuh, nilai komunikatif dapat meningkatkan sikap sopan dan santun ketika berbicara dengan orang lain. Terakhir, kedelapan, nilai menghargai prestasi dapat meningkatkan motivasi diri siswa untuk menjadi lebih baik lagi. Relevansi terakhir di dalam penelitian ini adalah relevansi antara aspekaspek sosiologi sastra dan nilai pendidikan karakter di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Terkait hal ini, yang dijadikan fokus relevansi adalah apakah novel Lampuki karya Arafat Nur dapat menjadi bahan ajar di dalam materi pelajaran yang telah dibahas di awal. Untuk menjawab relevansi ini haruslah bertolak pada dua relevansi sebelumnya yang telah dipaparkan. Relevansi ini dapat dilihat melalui hasil wawancara dengan guru-guru sebelumnya, yang terangkum dalam CLHW 2, CLHW 3, dan CLHW 4. Berdasarkan kutipan catatan lapangan hasil wawancara tersebut, maka diperoleh hasil penelitian bahwa terdapat relevansi antara aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai pendidikan karakter novel Lampuki karya Arafat Nur dengan commit to user pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Novel Lampuki karya Arafat Nur selain
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131 dapat dijadikan bahan ajar dalam materi pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA, juga dapat meningkatkan kualitas pengajaran guru, serta secara tidak langsung dapat mendidik siswa ke arah yang lebih positif. Selain itu, novel Lampuki karya Arafat Nur memuat cerita yang berlatar tentang daerah Aceh dengan kearifan lokalnya sendiri, sehingga memperkaya wawasan siswa mengenai budaya Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini juga akan memberikan pembelajaran yang positif bagi siswa.
B. Pembahasan 1. Pandangan Pengarang dalam Novel Lampuki Karya Arafat Nur Karya sastra selalu mempunyai relasi yang erat dengan seorang pengarang. Pengarang dianggap sebagai penyebab utama lahirnya sebuah karya sastra dan selalu memiliki kesamaan ciri fisik dengan karya yang diciptakannya. Ketika membaca sebuah karya sastra, akan selalu terlihat kepribadian di balik karya sastra tesebut yang berasal dari pengarangnya. Oleh karena itu, selalu ada hubungan, kesejajaran, dan kesamaan tidak langsung antara seorang pengarang dan karya sastra yang diciptakannya (Wellek dan Warren, 2014: 79). Berkaitan dengan uraian sebelumnya, pikiran dan perasaan yang ditulis oleh
seorang
pengarang
dalam
karya
sastra
selalu
merepresentasikan
pandangannya pada masyarakat tempat pengarang itu hidup (Kurniawan, 2012: 6). Meskipun sebuah karya sastra lahir dari imajinasi pengarang, namun kehidupan yang ia ceritakan di dalam karya sastra tersebut tentu lahir dari pengalaman commit to user batinnya terhadap segala hal yang ia lihat dalam kehidupan bermasyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132 Bahkan, pandangan dan pengalaman batin tersebut selalu merepresentasikan keadaan sosial masyarakat. Pengalaman batin pengarang yang dituangkan dalam sebuah karya sastra dipengaruhi oleh berbagai hal. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pengarang menciptakan sebuah karya sastra, antara lain latar kehidupan pengarang, latar sosial pengarang, falsafah hidup pengarang, biografi pengarang dan kehidupan sosial budaya masyarakat di lingkungan pengarang. Terutama novel Lampuki yang diciptakan oleh Arafat Nur, yang proses penciptaan novel tersebut memiliki kaitan erat dengan riwayat hidup pengarang dan kehidupan masyarakat yang berada di lingkungannya. Novel Lampuki merupakan novel pertama Arafat Nur yang bergenre serius. Novel ini dibuat pada tahun 2008 dan selesai pada tahun 2010. Namun, ide mengenai cerita novel ini telah ada pada tahun-tahun sebelumnya. Ketika itu Arafat memiliki banyak alasan yang berhubungan dengan kebatinannya yang menyebabkan
novel
Lampuki
terhambat penggarapannya.
Keseriusannya
menggarap novel ini menjadikan novel ini pemenang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2010 dan Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2011. Melanjuti paragraf sebelumnya, novel Lampuki adalah novel yang dipengaruhi oleh latar kehidupan pengarang dalam proses penciptaannya. Cerita mengenai konflik, kekacauan politik dan perbenturan ideologi yang terjadi di tanah Aceh ini merupakan potret nyata yang berasal dari kehidupan pengarang dan lingkungan tempat tinggalnya. Peristiwa yang diceritakan di dalam novel ini commit to user pada umumnya merupakan kondisi nyata yang terjadi pada saat itu. Tidak hanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133 itu, kehidupan tokoh-tokoh yang ada di novel juga diadaptasi oleh pengarang berdasarkan kehidupan masyarakat yang ada di lingkungannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan pengalaman yang ada dalam diri Arafat Nur berasal dari kenyataan yang dihayati oleh tokoh-tokoh, jalan cerita, peristiwa, dan latar yang dipaparkan oleh novel Lampuki. Apa yang didengar, dialami, dihayati, dan dirasakan oleh Arafat Nur berkait berkelindan dalam novel ini. Tanah Aceh yang dijadikan latar penceritaan di dalam novel ini diceritakan dengan baik oleh Arafat. Beliau dapat menceritakan latar dengan hidup dan alami karena Arafat terlibat dan melihat langsung dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Selain itu, Arafat yang memang tumbuh di Aceh sejak berumur tujuh tahun membuatnya semakin mengenal dan memahami Aceh dengan baik. Selanjutnya, problematika kehidupan yang terdapat di dalam novel Lampuki merupakan problem yang memang pernah terjadi di Aceh. Problem atau permasalahan yang diangkat di dalam novel ini berangkat dari lingkungan tempat tinggal Arafat dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan pribadinya. Arafat tinggal dan hidup di kompleks yang sama dengan kompleks tempat tinggal yang ada di novel. Oleh karena itu, beliau memiliki pengetahuan yang baik mengenai peristiwa dan permasalahan yang terjadi pada saat itu dan menuangkannya dengan cara yang baik pula ke dalam novel Lampuki. Meskipun demikian, Arafat Nur mengambil sudut pandang yang jauh dari novel Lampuki. Proses penciptaan novel ini memang berkaitan erat dengan lingkungan hidup Arafat, namun tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel tidak commit to user sejalan dengan pribadinya. Hal ini berbeda dengan penelitian Herlina, Herman
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134 dan Nugraheni (2013:92) yang menyebutkan kesederhanaan hidup yang terjadi dalam kehidupan Asma Nadia tergambar jelas dalam sosok Rara dan keluarganya dalam novel Rumah Tanpa Jendela. Perbedaan tersebut sekaligus menjadi keunggulan dalam penelitian ini. Temuan tersebut juga berbeda dengan penelitian Wijayanti (2013:89) bahwa karakter Kugy dalam novel Perahu Kertas yang suka menulis merupakan refleksi dari karakter pribadi pengarang, yaitu Dewi Lestari. Selain itu, Dewi Lestari pada dasarnya menggambarkan karakter masa kecilnya yang suka mengoleksi cerbung dan dibundel ke dalam karakter Kugy dalam novel Perahu Kertas ini (Wijayanti, 2013:128). Hal tersebut bertolak belakang dengan pandangan dan sudut pandang Arafat Nur dalam novel Lampuki. Dengan demikian, sudut pandang yang berbeda dari pengarang tersebut menjadi keunggulan di dalam penelitian ini. Sebaliknya, sudut pandang Arafat Nur yang jauh dalam menulis novel Lampuki sejalan dengan Koperundevi dan Krisnamurthy. Penelitian mereka menunjukkan bahwa novel-novel yang ditulis oleh R.K Narayan mengisahkan kehidupan yang tidak jauh dari kehidupan nyata. Kebanyakan dari karakterkarakter yang ada dalam karya Narayan adalah prototipe dari apa yang Narayan temui dalam kehidupan nyata. Meski demikian, kehidupan tersebut bukanlah hasil dari pengalaman pribadinya. Narayan mempertahankan dirinya sebagai titik pandang narasi dan dia lebih berperan menjadi saksi daripada komentator dari kehidupan yang dilakoni manusia (2010:189). Hal ini memiliki kesamaan dengan commit to user Arafat Nur yang juga mengambil titik pandang yang jauh dalam menulis Lampuki.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135 Hanya saja, Arafat Nur di dalam novel Lampuki bukan hanya berperan sebagai saksi, tetapi juga berperan sebagai kritikus dan komentator mengenai kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Oleh karena itu, perbedaan tersebut menjadi keunggulan tersendiri bagi penelitian ini. Relevan dengan penelitian Koperundevi dan Krisnamurthy, Albertazzi juga menyatakan hal yang sama. Albertazzi dalam penelitiannya mengungkapkan perubahan persona sudut pandang dalam menulis karya sastra juga terjadi dalam karya pengarang Alice Munro (2010:9). Dalam sebagian besar koleksi Munro, yang menjadi suara narator pada umumnya adalah seorang wanita dan dapat disimpulkan sebagai persona Munro, namun dalam karyanya yang berjudul The View from Castle Rock, Alice Munro mengambil sudut pandang berbeda dengan menggunakan narator laki-laki dan meletakkan dirinya sebagai titik pandang yang jauh. Melanjuti uraian sebelumnya, ada banyak hal yang mempengaruhi seorang pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra. Terkait hal ini, Arafat Nur juga dipengaruhi oleh banyak hal mengenai ide, proses kreatif dan penciptaan novel Lampuki. Salah satu hal yang mempengaruhinya menulis novel ini adalah pemberontakan jiwanya terhadap peristiwa-peristiwa masa konflik yang ada di sekitarnya saat itu. Selain itu, beliau ingin meluruskan pola pikir dan pemahamanpemahaman orang lain tentang Aceh, terutama mengenai hal-hal yang meluluhlantakkkan Aceh karena perang. Oleh karena itu, demi kesempurnaan dalam menggarap novel Lampuki, commit to user Arafat mempelajari banyak hal, seperti bahasa, sejarah, dan cara menulis dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136 bercerita yang baik. Penguasaanya terhadap hal-hal tersebut membuat Lampuki menjadi novel berbobot. Arafat Nur memang memanfaatkan pengetahuannya dengan baik dalam novel ini, begitu juga dengan pesan-pesan moral yang ada di dalamnya yang dapat dijadikan pembelajaran dalam kehidupan pembaca membuat novel ini menjadi istimewa dan unik. Selanjutnya, bahasa yang digunakan Arafat Nur di dalam novel Lampuki memiliki kekhasan tersendiri. Hal ini juga dipengaruhi oleh gaya bercerita Arafat Nur yang penuh emosi, tapi juga menimbulkan kesan humor yang unik. Selain itu, penguasaan Arafat terhadap gaya bahasa, perumpaman-perumpamaan, dan diksi yang baik membuat Lampuki semakin menarik untuk dibaca. Gaya berceritanya yang unik ini bisa saja dipengaruhi oleh kesukaan Arafat membaca karya sastra yang berasal dari sastrawan dunia, seperti negara-negara Eropa, Timur Tengah (Arab), dan Asia. Di dalam novel Lampuki, ada dua tokoh utama yang menjadi pusat penceritaan Arafat, yaitu tokoh Aku yang menjadi narator dan Ahmadi yang menjadi pemimpin pasukan laskar gerilyawan. Lewat hubungan kedua tokoh ini dan tokoh-tokoh lain di dalam novel inilah Arafat mengenalkan berbagai peristiwa kelam yang pernah terjadi di Aceh. Melalui peristiwa-peristiwa yang ditunjukkan Arafat dalam novel ini pembaca dapat mengenal sisi-sisi Aceh secara lebih dekat dan mendalam.
2. Latar Sosial Masyarakat dalam Novel Lampuki Karya Arafat Nur commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137 Sosiologi karya sastra adalah bagaimana pembaca memaknai karya sastra melalui aspek sosial yang terdapat di dalam karya sastra tersebut (Wellek dan Warren, 1989:111). Pemahaman terhadap sosial budaya karya sastra diperlukan untuk memahami kaitan atau hubungan karya sastra dengan keadaan sosial budaya masyarakat dalam kehidupan nyata. Jadi, sosiologi karya sastra menilik sejauh mana sebuah karya sastra mencerminkan sebuah masyarakat. Sosiologi karya sastra dalam sebuah karya sastra dapat berupa bahasa, tempat tinggal, pekerjaan, agama dan kepercayaan, pendidikan, falsafah hidup, adat istiadat, dan lain-lain. Sosiologi karya sastra di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur merupakan rekaman kehidupan masyarakat Aceh yang pada zaman rezim militer banyak mendapat pelanggaran hak asasi manusia dan memunculkan ketimpanganketimpangan sosial. Di dalam kampung bernama Lampuki, karakter para tokoh saling bertemu, bergesekan, bertukar pikiran tentang ideologi dan jiwa nasionalisme. Melalui potret kehidupan masyarakat di dalam novel ini, pembaca mendapat pengetahuan baru dalam bidang sosial dan politik yang terjadi pada periode DOM (Daerah Operasi Militer).
Selanjutnya, ketimpangan-ketimpangan sosial yang terdapat dalam novel Lampuki karya Arafat Nur ini sejalan dengan temuan penelitian Singer (2011:318) yang mengemukakan bahwa ketimpangan-ketimpangan sosial dan stratifikasi gender juga ditemukan dalam novel anak-anak. Berdasarkan pembacaan tiga teks commit to user sampel, Tales of a Fourth Grade Nothing, A Wrinkle in Time, and Hitty: Her First
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138 Hundred Years Singer menemukan bahwa novel anak-anak juga berkisah mengenai kesenjangan sosial, dan pembaca diajak untuk berpikir kritis terhadap hubungan sosial tersebut, mengubah dan memperbaiki kesenjangan tersebut dalam kehidupan nyata yang mereka jalani. Perbedaan antara kedua penelitian ini adalah ketimpangan-ketimpangan sosial dan pelanggaran hak asasi di dalam novel Lampuki terjadi pada masyarakat Aceh saat berada dalam Daerah Operasi Militer (DOM), sedangkan pada penelitian Singer membahas kesenjangan sosial pada kehidupan anak-anak di Amerika. Penggambaran wilayah dan kondisi sosial yang berbeda yang diceritakan di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur dengan penelitian Singer menjadi salah satu keunggulan dalam penelitian ini. Melanjuti uraian di atas, latar sosial masyarakat yang terdapat dalam novel Lampuki karya Arafat Nur pada dasarnya meliputi bahasa, tempat tinggal, pekerjaan, agama dan kepercayaan, dan pendidikan. Hal ini sejalan dengan Wijayanti (2013:94-111), Akbar (2013:98-99), dan Herlina (2013:91-92) yang juga membagi latar sosial masyarakat dalam penelitian mereka berdasarkan unsurunsur di atas. Tatanan sosial masyarakat di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur pada dasarnya menggambarkan kehidupan masyarakat yang terkungkung dan terisolasi akibat peperangan dan pemberontakan. Akibat dari hal tersebut, terjadi perubahan tatanan sosial masyarakat. Masyarakat tidak leluasa untuk bekerja dan beraktivitas yang mengakibatkan menurunnya pendapatan ekonomi. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Shaheen juga menggambarkan commit to user perubahan tatanan sosial masyarakat India yang terdapat dalam novel
The
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139 Housing Society karya Quratulain Hyder (2010:93). Perbedaannya adalah perubahan tatanan sosial yang terjadi bukanlah akibat perang, namun karena imigrasi masyarakat India ke Pakistan. Imigrasi dan partisi negara telah mengubah kehidupan masyarakat Pakistan menjadi terbalik dari keadaan sebelumnya, sedangkan pada masyarakat Aceh dalam novel Lampuki karya Arafat Nur perang adalah alasan yang menjadikan kehidupan masyarakat terbalik dari keadaan normal sebelumnya. Berikut pembahasan hasil analisis sosiologi karya sastra novel Lampuki karya Arafat Nur. a. Bahasa Novel Lampuki ditulis oleh Arafat Nur dengan cara yang segar, cerdas, menghibur, dan inspiratif. Bahasa yang digunakan penulis dalam novel ini berbeda dengan novel-novel pada umumnya. Gaya penulisan Arafat Nur dapat dikatakan tidak tersentuh dengan gaya tulisan bergaya pop atau modern. Kehidupan masyarakat Aceh yang diceritakan dalam novel ini diceritakan dengan untaian kalimat yang berbobot sehingga menjadikan novel ini sangat orisinil. Banyak peristiwa dalam novel ini yang sebenarnya sangat rumit untuk diceritakan, namun Arafat Nur mampu menjelaskannya dengan sederhana, ringan, mampu mengaduk-aduk emosi pembaca, serta mengundang simpati bagi para tokohnya. Selain itu, Arafat menguasai beragam gaya bahasa. Di dalam novel Lampuki Arafat menciptakan satir-satir yang sangat cerdas dan membangun, yang jarang dipilih oleh pengarang lain sebagai karakternya dalam menulis. Gaya commit to user penulisannya yang berbeda dengan pengarang-pengarang lain salah satunya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140 disebabkan oleh kesukaan Arafat terhadap bacaan-bacaan karya penulis-penulis dunia yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Keunikan Arafat dalam menciptakan perumpamaan-perumpamaan dan satir-satir yang tidak biasa juga menjadikan novel Lampuki memiliki kedudukan yang kuat dan berbobot jika dibandingkan dengan novel-novel lain. Novel ini diceritakan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun begitu, Arafat Nur juga menggunakan beberapa kata dalam bahasa Melayu Klasik pada novel ini. Selain itu, terdapat beberapa dialog dalam novel yang ditulis dengan menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa asli masyarakat yang dijadikan latar penceritaan dalam novel ini. Hal ini relevan dengan penelitian Akbar, Retno Winarni, dan Andayani (2013:64) yang menjelaskan penggunaan bahasa daerah (bahasa suku Lombok) dalam novel Tuan Guru karya Salman Faiz juga digunakan untuk menunjukkan masyarakat asli Lombok. Selain itu, hal tersebut juga relevan dengan penelitian Wijayanti (2013:133) bahwa penggunaan Bahasa Bali dan Bahasa Sunda dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari dimaksudkan untuk mencocokkan bahasa dengan latar penceritaan di dalam novel serta masyarakat penggunanya. Dengan demikian, pemakaian bahasa daerah dalam karya sastra pada dasarnya merupakan salah satu bentuk wujud identitas dan eksistensi masyarakat tersebut. Perbedaan bahasa daerah yang terdapat di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur dengan bahasa daerah yang terdapat dalam penelitian Akbar dan Wijayanti menjadikan penelitian ini memiliki keunggulan tersendiri.
b. Tempat Tinggal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141 Sesuai dengan isi novel yang menceritakan potret kehidupan masyarakat Aceh, novel Lampuki karya Arafat Nur memiliki latar penceritaan di Aceh. Ada beberapa tempat di Aceh yang dijadikan latar di dalam novel ini, yaitu Lamlhok, Lhoksukon, dan Lampuki, nama kampung yang juga dijadikan judul novel ini. Lamlhok adalah sebuah kota kecil di salah satu daerah kabupaten di Aceh. Lamlhok dulunya adalah daerah yang sunyi dan tidak terpelihara, tidak banyak warga yang tinggal di sana, juga sama-sekali tidak ada kantor atau kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan. Kota ini kemudian berubah menjadi kota besar, megah, dan mahal setelah adanya proyek pengeboran dan pembangunan kilangkilang gas raksasa. Di dalam novel Lampuki, kota Lamlhok diceritakan hancur dan mati oleh kekacauan yang dipelopori para pasukan gerilyawan yang tidak suka dengan kemaksiatan yang bertebaran dan merajalela di tanah Pasai tersebut. Latar utama yang dijadikan setting penceritaan adalah Lampuki, nama kampung yang namanya sama dengan judul novel ini. Lampuki adalah kampung yang menceritakan kehidupan para tokoh di dalam novel. Lokasi kampung ini diceritakan tidak jauh jaraknya dari Lamlhok. Selain itu, Lampuki oleh para penduduknya juga sering disebut dengan Pasar Simpang dan Kampung Bawah. Disebut Pasar Simpang karena di sanalah para penduduk sering bercengkrama, belanja, dan melakukan kegiatan lainnya. Lampuki juga sering disebut Kampung Bawah karena letaknya yang berada di dataran rendah. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tempat tinggal penduduk
Lampuki
adalah
berupa
bangunan-bangunan
sederhana
dan
commit to user menunjukkan orang-orang yang tinggal di dalamnya memiliki perekonomian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142 rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Herlina, Waluyo, dan Wardhani (2013: 91) yang menyebutkan latar belakang sosial budaya yang terkandung dalam Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia menggambarkan pola kehidupan masyarakat pinggiran di perkampungan kumuh dengan hunian mereka berdinding triplek berbentuk segiempat tidak simetris dan berasal dari keluarga yang tidak mampu. Relevan dengan uraian di atas, hasil tersebut juga seirama dengan penelitian Wijayanti (2013:134) ketika menggambarkan kehidupan yang dijalani Kugy di daerah terpencil di Bandung ketika menjadi guru relawan di Sekola Alit dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Dalam penelitian Wijayanti digambarkan kehidupan anak-anak Sekola Alit berada di daerah terpencil dengan rumah-rumah petak sederhana. Perbedaan penelitian Herlina, Waluyo, dan Wardhani, penelitian Wijayanti dengan penelitian ini adalah kehidupan sosial masyarakat dalam Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia menonjolkan sisi masyakarat Jakarta pinggiran yang tinggal diperkampungan kumuh, sedangkan pada penelitian Wijayanti kehidupan anak-anak Sakola Alit dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari yang berada di daerah terpencil adalah karena pengaruh pekerjaan orangtua yang terbilang tradisional. Sebaliknya, kehidupan sosial masyarakat yang terdapat dalam novel Lampuki karya Arafat Nur menonjolkan kehidupan masyarakat Aceh yang terkungkung dan terisolir karena perang, yang berdampak pula pada perekonomian dan bentuk hunian mereka yang sangat sederhana. Dengan commit to user demikian, salah satu kelebihan penelitian ini adalah adanya keberagaman konflik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143 dalam novel Lampuki karya Arafat Nur yang menyebabkan terhambatnya perkembangan kehidupan masyarakat Aceh.
c. Pekerjaan Para tokoh dalam novel Lampuki memiki beragam profesi pekerjaan. Namun, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pekerjaan mereka menggolongkan mereka pada tingkat ekonomi rendah. Penduduk kampung Lampuki pada umumnya bekerja sebagai petani, namun ada beberapa penduduk yang memilih pekerjaan sebagai pedagang, tukang bangunan, dan guru mengaji. Tokoh sentral Aku memiliki keahlian sebagai tukang bangunan. Ia sering berkelana berpindah-pindah tempat setiap kali ada tawaran pekerjaan untuk membangun atau memperbaiki rumah bersama rekan kerjanya, Sulaiman. Meskipun begitu, tawaran untuk bekerja tidak selalu datang pada tokoh Aku, dan upah dari hasil bekerja tersebut juga tidak selalu mampu menutupi kehidupan ia dan istrinya. Selain bekerja sebagai tukang bangunan, tokoh Aku juga menjadi guru mengaji bagi anak-anak yang berada di wilayah Lampuki. Kepeduliannya terhadap pendidikan agama membuatnya mendirikan balai pengajian di samping rumahnya. Di balai itu, ia mengajarkan anak-anak belajar membaca Alquran. Tokoh aku tidak mengharap imbalan apa pun dari pekerjaan ini, meskipun ia sering mendapat upah berupa sedekah dari orang tua murid-muridnya. Selanjutnya, beberapa penduduk di dalam novel ini juga diceritakan berprofesi sebagai pegawai, polisi, dan tentara. Namun, mereka yang bekerja di commit to user pemerintahan bukanlah berasal dari penduduk pribumi, tetapi penduduk yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144 berasal dari pulau seberang dan tempat tinggalnya berjiran dengan Lampuki. Selebihnya, masyarakat di dalam novel ini diceritakan sebagiannya tidak memiliki pekerjaan atau pengangguran, atau pekerjaan yang tidak tetap lainnya. Dengan demikian, pekerjaan-pekerjaan penduduk Lampuki pada dasarnya merupakan pekerjaan yang bersifat tradisional. Hal ini sejalan dengan penelitian Akbar, Retno Winarni, dan Andayani (2013:64) yang menyebutkan pekerjaan masyarakat Lombok dalam novel Tuan Guru karya Salman Faiz adalah pekerjaanpekerjaan tradisional seperti petani, pedagang, dan guru ngaji. Hal tersebut juga seirama dengan penelitian Herlina, Waluyo, dan Wardhani (2013:91) bahwa pekerjaan masyarakat pinggiran pada novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia adalah pekerjaan masyarakat yang memiliki ekonomi rendah seperti pemulung, pengamen, ojek payung, dan lain-lain. Dengan demikian, hasil penelitian membuktikan bahwa pada dasarnya banyak pengarang yang mengangkat kehidupan masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah ke dalam karya-karyanya. Hal ini mungkin disebabkan kehidupan masyarakat seperti itulah yang terjadi di sekitar kehidupan pengarang dan paling dominan terjadi pada kehidupan masyarakat Indonesia. d. Agama dan Kepercayaan Tokoh Aku dalam novel Lampuki karya Arafat Nur digambarkan memiliki sifat yang religius. Hidupnya yang sederhana tidak pernah lepas dari pengabdiannya kepada Tuhan. Tokoh aku banyak mengemukakan pikiran-pikiran mengenai hubungan dirinya dengan Tuhan di dalam novel ini dan bagaimana commit to user harusnya manusia menjalani hidupnya sebagai makhluk Tuhan. Selain itu, tokoh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
145 aku memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terkait dengan agama. Dengan bersusah payah, ia sengaja mendirikan balai pengajian di sebelah rumahnya untuk mengajarkan anak-anak kampung Lampuki belajar membaca Alquran. Ia juga mengajar anak-anak itu pengetahuan lainnya tentang agama. Semua itu ia lakukan tanpa meminta upah apa pun dari orang tua murid-muridnya, selain pahala dari Tuhan. Melanjuti paragraf di atas, hal tersebut membuktikan kehidupan masyarakat Aceh di dalam novel pada dasarnya terkesan religius. Kehidupan tokoh-tokoh dalam novel digambarkan selalu berusaha taat dengan ajaran Tuhan. Hal ini sejalan dengan penelitian Herlina, Waluyo, dan Wardhani (2013:92) bahwa masyarakat yang digambarkan pada novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia masih berpegang teguh pada ajaran agamanya dalam menghadapi setiap cobaan sehingga dalam novel ini banyak diajarkan adab berdoa kepada sang Pencipta. Di sisi lain, tokoh Ahmadi di dalam novel ini banyak mengemukakan kepercayaanya terhadap kemuliaan dan keagungan tanah Pasai (Aceh). Selain itu, ia juga percaya bahwa masyarakat Aceh memiliki sejarah keturunan yang mulia. Ahmadi percaya bahwa tanah Aceh memiliki sejarah yang mulia dan gemilang. Kerajaan-kerajaan Aceh dulunya adalah kerajaan hebat dan tidak mudah ditakhlukkan oleh musuh. Ia juga percaya bahwa penduduk-penduduknya merupakan keturunan bangsa agung dan mulia. Ia meyakini bahwa nenek moyang bangsa Aceh berasal dari orang-orang terpelajar dari Peringgi, China, India, Arab, commit to user dan Parsi, yang pandai dalam berbagai hal, mulai dari beternak, cocok tanam,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
146 seni, pertukangan, agama, berdagang, pertabiban, firasat, pemerintahan, nujum, dan siasat. Selain itu, ia juga percaya bahwa bangsa Aceh adalah bangsa yang kuat, yang tidak gampang ditaklukkan oleh bangsa mana pun di dunia. Dari zaman kejayaan dan keruntuhannya, bangsa Aceh menurutnya adalah bangsa yang tidak dapat dikalahkan oleh bangsa dari dunia mana pun. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan kepercayaan yang terdapat di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur adalah berupa kepercayaankepercayaan terhadap sejarah dan mitos mengenai keturunan-keturunan suku Aceh. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Akbar, Retno Winarni, dan Andayani (2013:63) yang menyebutkan bahwa kepercayaan dalam masyarakat berkisar antara kepercayaan dalam mencari rezeki, kepercayaan dalam mencari jodoh, kepercayaan dalam adat perkawinan, dan kepercayaan terhadap ritual-ritual yang terdapat dalam novel Tuan Guru karya Salman Faris, sehingga perbedaan ini menjadi kelebihan dalam penelitian ini. Sebaliknya, pernyataan di atas relevan dengan penelitian Wijayanti (2013:110) yang menyatakan kepercayaan dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari ditunjukkan oleh tokoh Kugy yang meyakini bahwa dirinya adalah utusan Dewa Neptunus yang turun ke Bumi. Terdapat persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan yaitu kepercayaan pada masing-masing novel menunjukkan kepercayaan yang berkaitan antara dirinya dengan sejarah. Pada novel Lampuki karya Arafat Nur tokoh Ahmadi percaya bahwa kaum Aceh berasal dari keturunan bangsa agung dan mulia. Begitu juga pada novel Perahu commit to user Kertas karya Dewi Lestari tokoh Kugy percaya bahwa dirinya merupakan utusan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
147 Dewa Neptunus. Keberagaman kepercayaan yang terdapat dalam kedua penelitian ini membuat novel Lampuki karya Arafat Nur memiliki keunikan sendiri tersendiri dibanding novel-novel lainnya.
e. Pendidikan Pendidikan tidak hanya sebatas pendidikan formal, tetapi juga di lingkungan informal yang banyak mengajarkan anak seperti menumbuhkan rasa tanggung jawab, kejujuran, religius, mandiri, dan nilai-nilai lainnya. Novel Lampuki karya Arafat Nur merupakan lebih banyak menonjolkan pendidikan informal. Hal ini disebabkan pendidikan formal yang diceritakan oleh Arafat di dalam novel ini sungguh memprihatinkan. Sekolah-sekolah sengaja ditutup oleh pasukan gerilyawan karena menurut mereka sekolah adalah tempat berbahaya bagi anak-anak belia. Mereka yang masih belia menurut Ahmadi dan kawankawannya masih terlalu mudah untuk diputar-belokkan pikirannya dan dibentuk sesuai dengan keinginan pemerintah untuk menjadikan mereka tunduk dan patuh sebagai budak. Di sisi lain, novel ini menonjolkan pendidikan informal yang berkembang dari lingkungan anak-anak itu sendiri. Arafat Nur di dalam novel ini lebih menekankan pendidikan dalam belajar membaca Alquran dan kitab-kitab lainnya yang berhubungan dengan pendalaman agama. Menurutnya, membaca Alquran dan kitab-kitab lain pun dapat memberantas kebodohan dan menghindari anakanak untuk terpengaruh pada hal-hal yang tidak patut dilakukan. Selain itu, jika commit to user pun bersekolah, maka anak-anak di dalam novel ini diceritakan lebih memilih
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
148 sekolah di dayah atau pondok pesantren dari pada sekolah-sekolah formal yang memang telah ditutup. Relevan dengan uraian di atas, hal tersebut sejalan dengan penelitian Akbar, Retno Winarni, dan Andayani (2013:64) yang menyebutkan bahwa pendidikan yang ditempuh dalam masyarakat dalam novel Tuan Guru karya Salman Faris adalah sekolah-sekolah yang bernuansa agama seperti sekolah Aliyah dan pondok pesantren. Berkebalikan dengan temuan Wijayanti (2013:130) yang menyebutkan bahwa pendidikan yang terdapat dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari adalah pendidikan umum seperti universitas. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian Wijayanti, namun memiliki persamaan dengan penelitian Akbar.
3. Tanggapan Pembaca dalam Novel Lampuki Karya Arafat Nur Tanggapan pembaca terhadap karya sastra pada dasarnya dibutuhkan untuk memahami dan menilai karya sastra tersebut berdasarkan tanggapan pembacanya. Dalam hal ini, tanggapan pembaca dapat bersifat aktif maupun pasif. Tanggapan yang bersifat aktif berupa komentar, kritik, resensi, ulasan, dan lainlain, sedangkan tanggapan pembaca bersifat pasif tidak dapat diketahui orang lain karena mengacu pada pemahaman pembaca terhadap karya sastra serta menemukan estetika yang ada di dalamnya (Junus dalam Wiyatmi, 2006: 102) Terkait uraian di atas, penelitian ini juga melibatkan pembaca untuk mengetahui seberapa besar pemahaman dan penilaian mereka terhadap novel commit to user Lampuki karya Arafat Nur. Hal ini sejalan dengan Wijayanti (2013:112) yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
149 menyebutkan bahwa tanggapan pembaca diperlukan untuk menafsirkan makna terhadap teks-teks karya sastra serta menemukan keberagaman pemahaman terhadap karya sastra tersebut. Terkait hal tersebut di atas, pemahaman dan penafsiran yang diberikan pembaca terhadap novel Lampuki karya Arafat Nur bisa saja mengalami perbedaan pemahaman dan penyerapannya dengan pembaca yang lain, bahkan dengan Arafat Nur sendiri sebagai pengarang novel Lampuki sehingga sngat memungkinkan dari berbagai informan untuk melihat berbagai sisi resepsi. Hal ini sejalan dengan penelitian English (2010:10) yang menyebutkan bahwa melalui sosiologi pembaca kita dapat melihat berbagai sisi resepsi yang berkaitan dengan praktek pembacaan karya sastra dari berbagai pembaca. Selanjutnya, tanggapan pembaca dalam penelitian ini melibatkan enam informan yang menanggapi secara aktif novel tersebut. Pemilihan informan adalah berdasarkan perbedaan profesi, latar belakang kehidupan, juga jenjang pendidikan agar ditemukan tanggapan-tanggapan yang beragam. Keenam informan tersebut adalah Rudi Fofid, Wahyu Wiji Astuti, Aprie, Rakhmad Hidayattulloh Permana, Attikah, dan Musmarwan. Rudi Fofid yang berasal dari Maluku memberi tanggapan bahwa tema novel Lampuki yang berisi realitas sosial-politik tidak hanya ditemukan di Aceh, tetapi di beberapa tempat lain di dunia dan tema ini tidak hanya muncul berdasarkan imajinasi pengarang, namun juga berdasarkan fakta yang pernah terjadi di Aceh. Ia mengungkapkan bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat commit to user dalam novel Lampuki lebih kepada ketakutan, kecemasan, sakit hati, kesedihan,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150 kemarahan yang menunjukkan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang merindukan kedamaian. Rudi melanjutkan bahwa novel ini dapat menjadi bacaan pelajar SMA dengan bimbingan guru. Selain itu, novel ini mengandung nilai pendidikan karakter damai, tenang, kasih sayang, dan persatuan. Wahyu Wiji Astuti yang merupakan seorang sastrawan memberi tanggapan mengenai novel Lampuki karya Arafat Nur sebagai problematika masyarakat di daerah Lampuki. Kehidupan sosial masyarakat dalam novel Lampuki karya Arafat Nur dilihat sebagai masyarakat desa yang sangat introvert dan terisolasi dari dunia luar, sehingga pemikiran dan sikap masyarakat masih tergolong tradisional. Novel ini mengajaknya untuk memandang segala permasalahan dari segala sisi, juga berpandangan luas dan tidak picik, serta menanggapi masalah tersebut dengan penuh kebijakan. Selanjutnya, nilai pendidikan karakter dalam novel Lampuki karya Arafat Nur ditunjukkan melalui tokoh-tokoh dalam novel yang memberi kesan dan perilaku positif, namun begitu dapat dilihat dari tokoh-tokoh dalam novel yang kemudian dijadikan pembelajaran. Novel ini juga dapat dibaca oleh siapa saja dan dapat menjadi media pembelajaran sastra di sekolah, namun dalam pembacaannya harus berdasarkan bimbingan guru. Aprie yang bertempat di Jakarta mengungkapkan bahwa tema novel Lampuki berupa gambaran pemberontakan GAM yang pernah terjadi di Aceh dan ditulis berdasarkan kegelisahan penulis mengenai pemberontakan masyarakat terhadap ketidakadilan pemerintah, yang mana penulis juga mengambil sudut commit to user pandang berdasarkan sudut pandang masyarakat. Aprie menambahkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151 kehidupan sosial budaya masyarakat di dalam novel pada umumnya memiliki pemikiran yang kolot, lugu, memiliki pengetahuan yang minim tentang politik dan menginginkan ketentraman. Selain itu, novel ini dapat memperkaya wawasan siswa SMA mengenai sejarah, budaya dan sastra Indonesia, serta menambah nilainilai pendidikan karakter pada diri sendiri yang berupa cinta tanah air, nasionalisme, hidup damai, kasih sayang, religius, dan sebagainya. Selanjutnya, Rakhmad Hidayattulloh Permana memberi tanggapan mengenai tema novel Lampuki yang berbeda dengan tema novel umumnya. Melalui novel pemberontakan ini, pengarang berusaha menggali hal-hal tabu yang terjadi di masyarakat Aceh secara mendalam dan berani. Rakhmad juga menyatakan bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat yang digambarkan Arafat Nur ini terkesan hipokrit, tetapi juga kental akan nuansa religius. Selain itu, novel ini juga dapat dijadikan bahan bacaan bagi siswa SMA karena diksi dan gaya berceritanya sederhana. Rakhmad menabmahkan gaya bahasa novel Lampuki yang berbunga-bunga mirip dengan novel-novel balai pustaka yang sering dijadikan bacaan wajib untuk pelajar SMA. Dengan membaca novel ini, mereka bisa terangsang untuk berpikir terbuka dan penuh empati. Selain itu, novel ini juga akan menumbuhkan pendidikan karakter berupa nilai kemanusiaan, nasionalisme, patriotisme, religius, dan toleransi antarsesama. Hal yang hampir senada juga ditanggapi oleh Attikah yang berasal dari suku Aceh. Attikah berpendapat bahwa tema yang diusung oleh Lampuki adalah berupa kehidupan sosial-politik di Aceh pada masa DOM (Daerah Operasi commit to user Militer). Arafat Nur sebagai pengarang ingin mengungkapkan peristiwa-peristiwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152 yang lebih dari fakta yang pernah terjadi di Aceh selama masa konflik. Attikah juga berpandangan bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel pada dasarnya menggambarkan masyarakat Aceh pada umumnya, yaitu berupa kekacauan politik dan ketakutan-ketakutan masyarakat akan perang dan mendambakan kedamaian. Selanjutnya, Attikah menyebutkan bahwa novel ini cocok dijadikan bahan bacaan bagi siswa SMA karena bahasanya yang menarik dan tidak sulit untuk dipahami. Dengan membaca novel ini, siswa SMA akan menjadi lebih kritis, serta mendapat pengetahuan tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik novel. Selain itu, novel ini juga menambahkan nilai pendidikan karakter siswa berupa nilai religius, kasih sayang, peduli terhadap orang lain, semangat kebangsaan dan nasionalisme, kepekaan akan sikap toleransi, serta menghargai pendapat dan hasil kerja orang lain. Informan selanjutnya, Musmarwan, memberi pendapat novel Lampuki bertemakan kehidupan sosial-politik yang memang selama ini jarang dijadikan tema pokok oleh penulis, terutama penulis Aceh. Muswarwan menjelaskan bahwa melalui novel ini Arafat Nur ingin mengungkapkan bahwa perang dapat menjungkir-balik tatanan spiritualitas masyarakat. Kehidupan sosial budaya masyarakat yang ada dalam novel ini mewakili keseluruhan fakta yang pernah terjadi di Aceh dalam masa konflik. Musmarwan juga menambahkan novel ini dapat dibaca oleh siswa SMA karena akan membuat mereka menjadi lebih kritis dan menumbukan sikap jujur, religius, peduli terhadap sesama, dan cinta damai. Selanjutnya, jika ditilik satu persatu, ada beberapa hal yang dapat dikaji commit to user melalui uraian dari tanggapan pembaca di atas. Salah satunya adalah keenam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153 informan di atas menyebutkan tema novel Lampuki dengan hampir senada, yaitu mengenai kehidupan sosial-politik masyarakat Aceh pada masa konflik atau mengenai pemberontakan yang terjadi ketika Aceh berada dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Keenamanya juga mengungkapkan bahwa novel ini dapat dijadikan bahan bacaan untuk pelajar SMA. Namun, beberapa di antaranya menyebutkan novel ini dapat dibaca pelajar SMA dengan bimbingan guru, agar guru dapat memberi arahan mengenai pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh siswa. Selanjutnya, keenam informan di atas memiliki keberagaman dalam menentukan nilai pendidikan karakter dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Namun, secara umu maka nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalam novel ini berdasarkan keenam informan tersebut adalah nilai jujur, religius, peduli terhadap sesama, cinta damai, semangat kebangsaan dan nasionalisme, kepekaan akan sikap toleransi, serta menghargai pendapat dan hasil kerja orang lain, nilai kemanusiaan, patriotisme, dan persatuan. Selanjutnya perbedaan paling mencolok berdasarkan tanggapan keenam informan di atas adalah pengaruh novel Lampuki karya Arafat Nur terhadap diri mereka. Pengaruh tersebut antara lain memiliki keadaan yang sama dengan orangorang Lampuki dan merasa simpatik dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam novel (Rudi Fofid), berusaha memandang segala permasalahan dari segala sisi, berpandangan luas, lebih berhati-hati dalam menghakimi sesuatu, serta menanggapi masalah tersebut dengan penuh kebijakan (Wahyu Wiji Astuti dan commit to user Rakhmad Hidayattulloh Permana), memiliki gambaran tersendiri mengenai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154 sejarah masa lalu dan motivasi pelaku, serta gambaran masyarakat yang terkena imbas pemberontakan secara langsung (Aprie), mengubah pandangan mengenai peristiwa masa lalu (Atttikah), dan membuat sadar agar dapat melihat hakikat kaum sendiri dalam wujud yang sesungguhnya (Musmarwan). Berdasarkan tanggapan-tangapan informan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap informan pada dasarnya memiliki tanggapan masing-masing terhadap novel Lampuki karya Arafat Nur. Meski demikian, terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan dari tanggapan para informan di atas. Meskipun demikian, keenamnya mempunyai tanggapan yang positif terhadap novel ini. Keenam informan dapat memahami maksud pengarang dan novel ini membawa pengaruh yang positif bagi informan. Hal ini sejalan dengan penelian Herlina, Waluyo, dan Wardhani (2013:93) yang menghasilkan kesimpulan bahwa tanggapan pembaca terhadap novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia dinilai positif dan mampu membawa pengaruh positif dalam diri pembacanya. Melanjuti uraian di atas, hal tersebut juga seirama dengan penelitian Wijayanti (2013:135) yang menyatakan bahwa tanggapan pembaca terhadap novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari mengandung nilai apresiasi terhadap kehidupan, juga nilai pendidikan dan nilai moral yang tinggi. Dengan demikian, penelitian ini dan dua penelitian yang relevan di atas dapat disimpulkan memiliki persamaan dalam hasil tanggapan pembaca terhadap karya sastra.
4. Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Lampuki Karya Arafat Nur commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155 Kemendiknas merumuskan 18 nilai pendidikan karakter yang harus ditumbuhkembangkan pada siswa. Nilai-nilai tersebut adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Wibowo, 2012:43-44). Di antara ke delapan belas nilai-nilai pendidikan karakter di atas, novel Lampuki karya Arafat Nur memiliki delapan nilai yang dapat dijadikan pedoman berperilaku positif oleh siswa. Novel yang berisi konflik dan peperangan yang disebabkan perbenturan ideologi ini memberi motivasi dan perubahan pola pikir ke arah yang positif pada siswa, bahwa penting bagi setiap orang menjaga kerukunan dan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, novel ini juga mengajarkan pada siswa untuk menghargai perbedaan di antara sesama, baik perbedaan suku, budaya, agama, bahasa dan pendapat. Selanjutnya, nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalam novel ini adalah religius, peduli sosial, semangat kebangsaan, jujur, cinta damai, toleransi, komunikatif, dan menghargai prestasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel Lampuki karya Arafat Nur tersebut dapat dinyatakan sebagai warisan dari generasi masa lalu bagi kehidupan masa depan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sudrajat (2011:50) yang menyebutkan bahwa pengetahuan nilai-nilai moral atau knowing moral value seperti kejujuran, keadilan, toleransi, kebaikan, keberanian, dan lain-lain commit to user merupakan warisan generasi masa lalu bagi kehidupan masa depan dan literatur
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156 etika mensyaratkan pengetahuan tentang nilai-nilai ini. Dengan demikian, mengetahui nilai-nilai di atas berarti juga memahami bagaimana menerapkan nilai-nilai tersebut dalam berbagai situasi. Selain itu, nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Lampuki karya Arafat Nur ini juga dapat diaplikasikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah sehingga dapat berperan positif dalam mengembangkan karakter positif siswa, sekaligus pengetahuan akademik siswa. Selanjutnya, nilai-nilai yang terdapat di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur akan dibahas dibawah sebagai berikut. a. Religius Nilai religius merupakan nilai pertama yang dinyatakan dalam nilai-nilai pendidikan karakter Kemendiknas. Hal ini membuktikan bahwa nilai religius merupakan nilai penting karena berhubungan langsung antara Tuhan dengan manusia itu sendiri. Tidak hanya itu, melalui perilaku religius setiap orang diajarkan untuk bersikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain sehingga hal ini akan menciptakan suasana rukun dan damai antarsesama makhluk beragama. Dalam novel Lampuki karya Arafat Nur, nilai religius tercermin dari tokoh aku. Tokoh aku diceritakan sangat rajin beribadah. Ia selalu melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, baik yang wajib maupun sunat, bahkan ketika ia berada pada waktu senggang. Selepas mengerjakan shalat, ia tidak lupa berzikir dan berselawat. Jika ia tidak memiliki pekerjaan lain, maka yang ia lakukan adalah membaca Kitab Suci atau kitab Melayu untuk menambah ilmu tauhidnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157 Ia juga tidak lupa mengucapkan istigfar ketika sedang marah, untuk mengendalikan dirinya dari nafsu amarahnya. Selain itu, perilaku religius lain yang tercermin dalam tokoh aku adalah dalam hal mengajar. Tokoh aku rela bersusah payah mendirikan balai pengajian untuk mengajarkan anak-anak kampung Lampuki belajar mengaji, bahkan tanpa upah sepeser pun. Ia hanya mengharap pahala dari Tuhan atas usahanya tersebut. Sifatnya yang tulus ikhlas tersebut menggambarkan nilai religius di dalam tokoh aku sangat positif dan sangat baik diteladani.
b. Peduli Sosial Manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian. Oleh karena itu sikap peduli sosial sangat penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Peduli sosial membantu siswa untuk belajar berbagi dengan lingkungannya. Dengan peduli terhadap nasib orang lain, siswa belajar untuk tidak memetingkan diri sendiri dan lebih mendahulukan kepentingan bersama. Selain itu, sikap peduli sosial juga dapat memotivasi siswa untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya dan menjaga ikatan suatu kelompok melalui peranan tersebut. Di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur, perilaku peduli sosial ditemukan melalui tokoh aku, tokoh Ahmadi dan penduduk kampung Lampuki lainnya. Tokoh aku diceritakan sangat peduli dengan nasib anak-anak yang ada di kampungnya. Anak-anak di kampung Lampuki tidak dapat bersekolah karena commit to user sekolah mereka ditutup oleh pasukan laskar gerilyawan. Oleh karena itu, untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158 menggantikannya tokoh aku mengajari anak-anak tersebut belajar mengaji dan membaca Alquran. Ia melakukannya dengan ikhlas dan tanpa mengharap upah atau imbalan apapun. Selain itu, tokoh aku digambarkan sangat menyayangi murid-muridnya. Kepedulian lain tercermin melalui tokoh Ahmadi dan penduduk Lampuki. Meski kejam dan beringas, Ahmadi sangat peduli terhadap nasib penduduk yang ada di kampungnya. Melalui perjuangannya sebagai pemimpin pasukan laskar, ia memiliki keinginan untuk mengubah nasib penduduk Aceh menjadi lebih baik. Selanjutnya, sikap peduli sosial yang patut ditiru ditunjukkan oleh penduduk Lampuki. Meski terkadang mereka sering bertengkar satu sama lain, namun ketika ada penduduk yang mengalami musibah mereka saling menjenguk dan menghibur satu sama lain. c. Semangat Kebangsaan Semangat kebangsaan adalah salah satu nilai pendidikan karakter yang tercantum dalam Kemendiknas. Adanya pribadi semangat kebangsaan membuat siswa lebih mencintai bangsa dan negaranya. Sikap ini dapat dikembangkan siswa dalam kehidupan sehari-hari melalui beberapa sikap patriotisme. Siswa juga dapat belajar menumbuhkan semangat kebangsaan melalui beberapa bacaan. Salah satunya novel Lampuki karya Arafat Nur Novel
Lampuki
memiliki
tema
tentang
sikap
patriotisme
dan
nasionalisme. Siswa dapat belajar mengenai nilai-nilai patriotisme melalui novel ini. Di dalam novel, perilaku semangat kebangsaan tercermin melalui tokoh commit to user Ahmadi. Ahmadi yang merupakan pemimpin laskar Sagoe Peurincun sangat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159 mencintai negaranya. Meskipun ia memilih jalan yang salah, namun kecintaannya terhadap negara itulah yang membuatnya rela melakukan apa saja, bahkan sampai bertaruh nyawa. Selain itu, perilaku semangat kebangsaan juga ditunjukkan oleh tokoh aku. Ia mencintai negerinya. Semangat kebangsaannya tetap menyala meskipun bahaya dan kemalangan tidak habis-habis menimpanya dan kaum di negerinya.
d. Jujur Nilai kejujuran adalah nilai pendidikan karakter yang paling banyak ditemukan dalam karya sastra. Jujur berarti dapat dipercaya baik dalam hal pengetahuan, perkataan, dan perbuatan. Perilaku jujur sangat penting diterapkan sejak dini agar siswa memiliki karakter yang apa adanya, terbuka, dan tidak curang. Nilai jujur juga ditemukan dalam novel Lampuki karya Arafat Nur melalui tokoh Harun. Sikap jujur ditunjukkannya ketika ia dengan tegas menolak mengikuti ajakan Ahmadi untuk menjadi salah satu pasukan laskar. Dengan sikap jujurnya ia menjelaskan bahwa ia belum cukup besar untuk memegang senjata dan ia masih harus belajar banyak hal, seperti halnya belajar membaca Alquran. Ia juga menyatakan ia tidak ingin membunuh orang. Hal ini patut dicontoh oleh siswa. Meski Harun masih remaja, namun ia berani menyatakan pendapatnya tanpa takut dimarahi. Selanjutnya, tokoh Ahmadi juga menunjukkan sikap jujur di dalam novel commit to user ini. Ahmadi terkenal akan kepemimpinanya yang selalu mendahulukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160 kepentingan kaumnya dari pada kepentingan pribadi. Meski ia adalah pemimpin, ia tidak pernah korupsi dana pergerakan sepeser pun. Semua dana yang diterima akan ia gunakan untuk kepentingan kaumnya. Jika dana tersebut berlebih, ia tidak akan menghambur-hamburkan uang tersebut, namun akan ia simpan sebagai cadangan untuk sewaktu-waktu.
e. Cinta Damai Sikap cinta damai sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari karena menjalin kerukunan dan kenyamanan dalam berkomunikasi dan bermasyarakat, serta mengurangi perselisihan yang terutama terjadi di kalangan siswa atau lingkungan akademik. Sikap cinta damai juga ditemukan di dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Berdasarkan temuan penelitian, sikap cinta damai ditunjukkan melalui beberapa tokoh di dalam novel ini, antara lain Karim, Ahmadi, dan tokoh aku. Pada tokoh Karim sikap cinta damai ditunjukkan melalui karakternya. Ia memiliki pembawaan yang bersahaja, raut muka dan tutur kata yang lembut, bijak, ramah, mudah tersenyum, jarang marah, serta permurah. Karakternya tersebut membuatnya memiliki teman di kalangan apa saja dan selalui disukai orang di mana pun ia berada. Selanjutnya, pada tokoh Ahmadi sikap cinta damai ditunjukkan melalui perilakunya yang digambarkan di dalam novel ini. Ahmadi menjadi sosok yang cinta damai jika berhadapan dengan masyarakat di lingkungannya. Ia akan melerai commit to user siapa saja dari penduduk Lampuki yang berselisih paham. Ia beranggapan mereka
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161 berasal dari kaum yang beradab sehingga tidak baik memelihara perselisihan di antara sesama warga. Tidak hanya kedua tokoh di atas, Arafat Nur juga banyak memberikan pesan berupa nasehat yang berkaitan dengan nilai cinta damai di dalam novel ini. Melalui pesan tersebut ia menyampaikan pendapatnya pada pembaca bahwa peperangan pada dasarnya tidak akan memberikan keuntungan apa-apa, bahkan akan menghasilkan kehancuran bagi semua pihak.
f. Toleransi Manusia tidak ada yang sempurna. Setiap manusia memiliki kekurangan masing-masing dan pasti pernah melakukan kesalahan sehingga sikap toleransi sangat penting ditumbuhkan dalam diri seseorang. Sikap menghargai perbedaan satu sama lain atau toleransi mencakup beberapa hal, yaitu perbedaan agama, kepercayaan, suku, ras, pandangan, bahasa, dan adat. Berkaitan dengan hal tersebut, novel Lampuki banyak mengandung nilai toleransi melalui peristiwaperistiwa yang terjadi di dalamnya. Sikap toleransi tersebut tercermin melalui tokoh aku dan Syamaun. Sikap tokoh aku yang lapang dada terlihat pada salah satu peristiwa di dalam novel bersama tokoh Syamaun ketika ayam ternak Syamaun mengotori balai pengajian tokoh aku. Meskipun tokoh aku marah, ia memaklumi kejadian tersebut dengan bersikap sabar dan lapang dada. Ia memahami bahwa hidup bertetangga tidak boleh membesar-besarkan masalah sepele. Begitu juga dengan Syamaun. Ia commit to user mengakui kesalahannya dan langsung meminta maaf kepada tokoh aku.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162
g. Komunikatif Nilai pendidikan karakter komunikatif ditemukan di dalam penelitian ini. Sikap komunikatif pada dasarnya mengajarkan siswa untuk bersikap sopan dan bersahabat, sehingga terjalin kerja sama yang kolaboratif antara satu sama lain. Sikap komunikatif di dalam novel Lampuki oleh Arafat Nur tercermin dalam tokoh Jibral. Jibral digambarkan memiliki karakter yang lembut dan terbuka dalam mengajar murid-muridnya mengaji dan membaca Alquran. Sikapnya yang terbuka dan sederhana membuatnya lebih cepat akrab dengan murid-muridnya. Caranya yang komunikatif dalam menghadapi murid-muridnya tersebut membuat mereka lebih senang diajari oleh Jibral. Mereka tidak berani bersikap jahil, bahkan lebih menekuni apa yang diajarkan oleh Jibral.
h. Menghargai Prestasi Menghargai prestasi pada dasarnya adalah bagaimana seseorang mengakui kemampuan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri, namun tetap meningkatkan semangat untuk belajar lebih baik lagi. Sikap ini terutama sangat baik dikembangkan oleh siswa sehingga tidak menimbulkan sikap iri dan dengki di antara teman-temannya. Di dalam novel Lampuki, sikap menghargai prestasi orang lain ditunjukkan melalui tokoh aku dan Jibral. Pada tokoh aku, sikap itu ditunjukkan ketika ia memuji keberhasilan pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Selain itu, sikap menghargai prestasi juga ditunjukkan oleh tokoh aku commit to user ketika ia menasehati murid-muridnya yang membeda-bedakan cara mengajarnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163 dan Jibral. Tokoh aku mengajarkan murid-muridnya bahwa setiap orang berbeda dan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
5. Relevansi Aspek-aspek Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan Karakter Novel Lampuki karya Arafat Nur dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pembelajaran sastra pada hakikatnya bertujuan untuk mengajak siswa mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, serta merenungkan dan menghayati pengalaman-pengalaman dalam karya sastra tersebut sebagai acuan untuk menyikapi masalah dalam kehidupan nyata. Terkait hal ini, Abidin (2012:213) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran sastra pada dasarnya adalah untuk mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial secara sendiri-sendiri atau gabungan dari keseluruhan nilai tersebut yang biasanya terangkum dalam karya sastra. Melalui kegiatan apresiasi karya sastra maka siswa diharapkan dapat meresap tujuan pembelajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bertemali dengan uraian di atas, berdasarkan temuan penelitian diperoleh hasil bahwa terdapat relevansi antara aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai pendidikan karakter novel Lampuki karya Arafat Nur dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Hasil ini diperoleh setelah melakukan wawancara dengan tiga guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ketiga guru tersebut masingmasing berasal dari SMA Negeri 1 Kasihan, SMA Negeri 1 Bantul dan SMA commit to user Kesatuan Bangsa. Berdasarkan wawawancara dengan ketiga guru tersebut, maka
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164 dapat diambil kesimpulan bahwa relevansi aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai pendidikan karakter novel Lampuki dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdapat di SMA. Selanjutnya, relevansi antara aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai pendidikan karakter dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mencakup beberapa hal. Relevansi yang pertama diperoleh berdasarkan cakupan aspek-aspek sosiologi sastra. Terkait hal ini, aspek-aspek sosiologi sastra dalam penelitian ini meliputi pandangan pengarang, sosial budaya masyarakat dan tanggapan pembaca. Cakupan sosiologi sastra tersebut merupakan materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA pada materi Apresiasi Sastra. Pernyataan ini sesuai dengan hasil wawancara dengan ketiga guru pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Kasihan, SMA Negeri 1 Bantul dan SMA Kesatuan Bangsa. Melanjuti
paragraf
sebelumnya,
pernyataan
hasil
wawancara
membuktikan adanya relevansi antara aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai pendidikan karakter dengan pembelajaran Bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketiga sekolah yang telah disebutkan sebelumnya, aspek-aspek sosiologi sastra merupakan cakupan materi pembelajaran apresiasi sastra, yaitu menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel. Hal ini juga berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 yang mengacu pada standar kompetensi lulusan mata pelajaran (SKL-MP) sastra di SMA
program
bahasa
pada
kegiatan
berbahasa
dan
bersastra,
yang
mengedepankan kompetensi siswa dalam mengapresiasi karya sastra berbentuk commit to user novel, cerita pendek, hikayat, dan drama.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165 Selain hasil wawancara dan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006, silabus yang dipakai oleh ketiga sekolah juga menjelaskan adanya relevansi antara aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai pendidikan karakter dengan pembelajaran Bahasa Indonesia. Silabus tersebut adalah sesuai dengan Kutikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada kelas IX pada kompetensi membaca di semester dua dan diajarkan dalam pembelajaran Apresiasi Sastra. Selain itu, pembelajaran Apresiasi Sastra juga merupakan pembelajaran wajib sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006. Selanjutnya, relevansi kedua dalam penelitian ini adalah relevansi pendidikan karakter novel Lampuki karya Arafat Nur dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Relevansi ini juga berdasarkan hasil wawancara dengan tiga guru Bahasa Indonesia sebelumnya. Relevansi terkait nilai pendidikan karakter ini mencakup beberapa hal; 1) pertama, membantu pihak akademik menumbuhkembangkan karakter positif siswa; 2) kedua, meningkatkan kegiatan belajar mengajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia; 3) ketiga, gambaran mengenai sisi moral, sosial, dan agama di dalam novel ini, akan membantu siswa bersikap dan berperilaku ke arah yang lebih positif; 4) keempat, siswa lebih mampu menyikapi banyak hal dan memiliki jiwa kepedulian sosial yang tinggi; 5) membuat siswa semakin menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, juga semakin mencintai tanah airnya; dan 6) siswa semakin kenal dan taat terhadap Tuhannya. Relevansi tersebut relevan dengan pernyataan Maryam (2012:93) yang commit to user menjelaskan potensi karya sastra bagi pembentukan karakter siswa sangat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166 memungkinkan berdasarkan penelitiannya sendiri yang membuktikan bahwa karya sastra (cerpen) sebagai salah satu produk budaya dapat dijadikan sarana atau materi untuk mengajarkan nilai sosial dan budaya. Dengan demikian, novel Lampuki karya Arafat Nur sebagai salah satu produk karya sastra dapat dijadikan acuan untuk membentuk karakter siswa ke arah yang lebih positif. Relevansi pendidikan karakter novel Lampuki karya Arafat Nur dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA ini juga dapat dilihat melalui nilai-nilai pendidikan karakter yang ditemukan dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Nilai-nilai tersebut adalah religius, peduli sosial, semangat kebangsaan, jujur, cinta damai, toleransi, komunikatif, dan menghargai prestasi. Berdasarkan nilainilai karakter tersebut, maka relevansi nilai pendidikan karakter novel Lampuki karya Arafat Nur dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA meliputi; 1) nilai religius dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) nilai peduli sosial dapat meningkatkan kepedulian siswa terhadap orang lain serta meningkatkan sikap tolong menolong antarsiswa; 3) nilai semangat kebangsaan dapat meningkatkan sikap dan perilaku nasionalisme dalam diri siswa sehingga apa pun yang dikerjakan siswa kelak akan menomorsatukan kepentingan bangsanya; 4) nilai jujur dapat meningkatkan kepribadian siswa menjadi lebih baik dan dapat mengajarkan siswa untuk menghindari hal-hal yang berbau KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sejak kecil; 5) nilai cinta damai dapat memelihara kerukunan siswa baik di sekolah maupun dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat serta mengurangi commit to user perselisihan; 6) nilai toleransi dapat meningkatkan kerukunan dan menghargai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167 perbedaan antarsesama; 7) nilai komunikatif dapat meningkatkan sikap sopan dan santun ketika berbicara dengan orang lain; dan 8) nilai menghargai prestasi dapat meningkatkan motivasi diri siswa untuk menjadi lebih baik lagi. Selain itu, secara tidak langsung pendidikan karakter memiliki relasi yang positif dengan perkembangan akademik siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian Benninga, Berkowitz, Kuehn, dan Smith (2003:28) yang menghasilkan temuan bahwa komposit skor pendidikan karakter memiliki korelasi yang positif dengan skor akademik akhir tahun. Dengan kata lain, pendidikan karakter pada dasarnya dapat meningkatkan prestasi akademik siswa. Relevansi terakhir atau ketiga dari penelitian ini adalah adanya relevansi aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai pendidikan karakter novel Lampuki karya Arafat Nur dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Berdasarkan relevansi pertama dan kedua yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan bahwa novel Lampuki karya Arafat Nur dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Selain itu, novel Lampuki juga dapat meningkatkan kualitas pengajaran guru, serta secara tidak langsung dapat mendidik siswa ke arah yang lebih positif melalui nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat didalamnya. Hal ini sejalan dengan Maryam (2012:93) yang menyebutkan pembelajaran bahasa dan sastra memerlukan pajanan bahan ajar dan konteks yang kondusif bagi penanaman etika berbahasa dan berperilaku positif. Dalam hal ini, novel Lampuki karya Arafat Nur dapat dijadikan alternatif bahan ajar sebagai salah satu cara penanaman etika dan berperilaku bagi siswa.
commit to user