BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian di Stasiun-1 Maroko. 4.1.1 Kondisi Stasiun Maroko dan Ikan Patin Hasil Tangkapan. Stasiun Maroko (Stasiun 1) adalah salah satu pusat kegiatan budidaya perikanan KJA di waduk Saguling, yang menjadi pintu masuk air dari sungai Citarum ke Waduk Saguling. Perairan di stasiun ini masih terpengaruh langsung dengan sumber air dari Sungai Citarum yang telah mengalami pencemaran limbah industri. Berdasarkan hasil survey dan informasi dari penduduk sekitar lokasi ini, di stasiun Maroko ini masih banyak ikan patin yang hidup di alam maupun yang dibudidayakan di Karamba Jaring Apung (KJA). Selain itu di sekitar KJA tumbuh subur tanaman eceng gondok dan terdapat sampah domestik (Gambar 7). Banyaknya tanaman eceng gondok yang tumbuh di perairan Maroko ini dapat merupakan indikasi bahwa perairan di stasiun Maroko telah mengalami penyuburan (eutrofikasi) karena limbah bahan organik.
Gambar 7. Stasiun Maroko.
37
38
Ikan patin hasil tangkapan dari stasiun Maroko ini memiliki karakteristik morfologis yang berbeda dibandingkan ikan patin dari kolam budidaya Cijengkol Subang. Karakteristik ikan patin dari Maroko memiliki warna putih-perak (silver) di bagian pectoral dan warna hitam sangat mengkilat pada bagian dorsal dan sirip berwarna kehitaman, berbeda dengan ikan pembanding yang memiliki sirip merah (Gambar 8.).
Gambar 8. Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Maroko
Selain warna yang berbeda, ikan patin Maroko memiliki kadar lendir yang banyak serta lebih cepat mati walaupun diberi pasokan oksigen yang cukup. Hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan yang hidup di perairan Maroko berada dalam kondisi stress karena perairannya telah mengalami pencemaran baik limbah industri maupun limbah domestik. Karena ikan ini hidup di perairan yang telah mengalami pencemaran maka kondisi fisik ikan kurang baik dan menyebabkan cepat mati. Hal ini sesuai pernyataan Parsons (1994), tingginya tekanan lingkungan menyebabkan ikan stress dan perubahan habitat menyebabkan perubahan morfologi ikan. Ikan patin hasil tangkapan di stasiun Maroko memiliki tubuh yang ramping dengan bobot lebih besar berkisar antara 200-500 g dengan panjang total berkisar antara 25-41 cm. Hal ini dikarenakan mobilitas atau pergerakannya luas dibandingkan dengan ikan yang dibudidaya dalam kolam (Lampiran 11).
39
4.1.2 Kualitas Air dan Logam Berat Pb dan Cd pada Air di Stasiun Maroko. Kualitas air perairan Maroko masih tergolong baik, hal ini di tunjukkan dengan rata-rata suhu perairan masih sebesar 21,95oC, yang masih dalam batas toleransi bagi kelangsungan hidup organisme air. pH perairan Maroko rata-rata 7,5, dan oksigen terlarut 3,8 mg/L, masih sesuai dengan baku mutu air kelas II dan kelas III menurut PP No.82 tahun 2001, yaitu untuk kegiatan perikanan. Hasil analisis AAS terhadap sampel air dari Maroko, kandungan logam berat Pb dan Cd pada perairan Maroko tidak terdeteksi. Kondisi ini dikarenakan pada saat pengambilan sampel air, tinggi permukaan perairan Waduk Saguling meningkat akibat intensitas curah hujan yang tinggi sehingga terjadi pengenceran kandungan logam berat pada air atau konsentrasi logam berat Pb dan Cd lebih kecil dari nilai ketelitian alat AAS yang digunakan (Lampiran 12).
4.1.3 Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada organ Ikan Patin di Stasiun Maroko Menurut Darmono (1995), kebanyakan logam berat secara biologis terkumpul dalam tubuh organisme, menetap untuk waktu yang lama dan berfungsi sebagai racun kumulatif. Apabila logam berat tersebut masuk ke dalam tubuh ikan patin dan terakumulasi dan organ-organ tertentu, diantaranya insang, hati dan daging akan menyebabkan terganggunya fungsi organ tersebut dan akan berbahaya apabila di konsumsi oleh manusia dalam jumlah besar. Hasil pengukuran kadar logam berat Pb pada insang, hati dan daging ikan patin yang berukuran 25-41 cm telah melebihi ambang batas, sedangkan kandungan Cd pada ukuran 25 cm masih di bawah baku mutu SNI 7387:2009 (Tabel 6).
40
Tabel 6.
Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cd Pada Insang, Hati dan Daging Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Maroko.
Organ Insang
Hati
Daging
Ukuran (cm) 25 32 41 25 32 41 25 32 41
Baku Mutu SNI
Kandungan Logam Berat (ppm) Pb Cd 20,34 0,01 0,84 5,01 120,00 10,56 22,42 0,01 2,01 5,26 120,00 11,13 21,61 0,01 6,74 5,43 130,00 11,24 0,30
0,10
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan logam berat Pb dan Cd, tertinggi dalam organ insang (120 ppm dan 10,56 ppm), hati (120 ppm dan 11,13 ppm), dan daging (130 ppm dan 11,24 ppm) ikan patin hasil tangkapan di stasiun Maroko, terdapat pada ikan berukuran 41 cm, dibandingkan ikan patin berukuran 25 cm dan 32 cm. Tingginya kandungan logam berat pada ikan ukuran 41 cm diduga karena ikan tersebut telah lama hidup dan berinteraksi dengan perairan yang tercemar logam berat, sehingga mengakibatkan ikan patin tersebut mengakumulasi logam berat lebih banyak. Sanusi (1980) dalam Budiono (2003), bahwa terjadinya proses akumulasi logam berat di dalam tubuh hewan air terjadi karena pengambilan logam berat (uptake rate) oleh organisme air lebih cepat dibandingkan dengan proses ekskresi. Besarnya kandungan logam berat dipengaruhi oleh spesies dan jenis kelamin, selain itu dipengaruhi oleh faktor fisika kimia air meliputi suhu air, pH, dan salinitas. Waktu kontak organisme dengan air juga mempengaruhi akumulasi logam berat pada ikan dan hewan lainnya (Moretti et al. 1990 dalam McDowell 1992). Tingginya kandungan logam berat pada ikan patin ini dimungkinkan karena ikan patin merupakan ikan karnivor yang memakan invertebrata bentik, udang renik (crustacea), insekta, moluska, rotifera, ikan kecil dan daun-daunan sehingga terjadi
41
proses bioakumulasi dan biomagnifikasi. Ini sesuai dengan pernyataan Newman (1991), apabila logam berat yang terkandung di dalam perairan rendah maka yang akan sangat berperan di dalam proses pengambilan (up-take) logam berat tersebut adalah melalui rantai makanan. Bila dibandingkan antara kandungan logam berat Cd dengan Pb dalam ikan patin, memperlihatkan bahwa kandungan logam berat Cd pada organ patin jauh lebih rendah di bandingkan logam berat Pb. Kondisi ini diduga karena logam berat Pb lebih banyak digunakan oleh industri-industri di sekitar Waduk Saguling. Menurut Lu (1985), timbal (Pb) banyak digunakan dalam industri misalnya sebagai zat tambahan bahan bakar, pigmen timbal dalam cat, tinta, pestisida, fungisida dan juga sering digunakan pada industri plastik, sebagai bahan stabilizer (Darmono 1995).
4.1.4 Kondisi Histopatologi Organ Ikan Patin di Stasiun Maroko Pengamatan histopatologi digunakan sebagai parameter untuk mengetahui perubahan yang terjadi akibat masuknya bahan pencemar pada tubuh ikan. Tingginya kandungan logam berat dalam organ ikan patin akan mempengaruhi struktur jaringan sel pada organ insang, hati dan daging. Hasil pengamatan visual organ ikan patin didapatkan pada organ insang terdapat nodul putih, lamela terpisah dan terdapat warna kehitaman pada lamela insang, Pada Hati terlihat adanya nodul putih, bercak- bercak kuning dan hitam, sedangkan pada tekstur daging terlihat normal. perubahan fenotip dari organ-organ tersebut dimungkinkan karena kandungan bahan pencemar dalam organ (Gambar 9).
42
Gambar 9. Sampel Organ Ikan Patin di Stasiun Maroko
Hasil pengamatan histopatologi ikan patin ukuran 25 - 42 cm terlihat adanya kerusakan pada insang berupa Melano Makrofag Center, edema, hiperplasia dan kongesti, sedangkan kerusakan pada hati berupa Melano Mekrofag Center dan nekrosis (Tabel 7). Pada organ insang dan hati ikan patin telah mengalami kerusakan namun tidak terlihat adanya kerusakan pada jaringan daging. Hasil pengamatan histopatologi insang ikan patin, pada ikan patin ukuran 41 cm mengalami kerusakan tingkat sedang yang ditandai dengan terjadinya kongesti pada insang. sedangkan pada ukuran 25 cm dan 32 cm hanya terjadi kerusakan tingkat ringan karena hanya terdapat MMC, edema dan hiperplasia seperti pada Gambar 10.
43
Tabel 7. Kondisi Histopatologi Insang, Hati dan Daging Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Maroko. Organ Insang
Hati
Daging
Ukuran 25 32 41 25 32 41 25 32 41
Histopatologi Kerusakan Tingkat Kerusakan MMC,E, Hp * E, Hp * Hp, K ** MMC * MMC * MMC, N *** Normal Normal Normal -
Keterangan : * Kerusakan Ringan, MMC = Melano Makrofag Center, K = Kongesti,
** Kerusakan Sedang, *** Kerusakan Berat E = Edema, Hp = Hiperplasia, N = Nekrosis
Tinginya logam berat yang terkandung pada ikan patin ukuran 41 cm sejalan dengan tingkat kerusakan yang terjadi pada jaringan tersebut, hal ini dimungkinkan karena jaringan atau sel insang tidak mampu lagi untuk beregenerasi sehingga jaringan tersebut akan rusak. Darmono (2001) dan Lu (1995) menyatakan, logam berat yang terakumulasi dalam insang ikan dapat mensubstitusi ko-faktor logam enzim seng (Zn) carbonik anhidrase yang berperan penting dalam menghidrolisis CO2. Hal tersebut memungkinkan terganggunya enzim tersebut
sehingga
menyebabkan metabolisme terganggu dan mengakibatkan kerusakan jaringan. Menurut Agius and Robert (1981) dalam Ersa (2008), Melano makrofag center (MMC) adalah kumpulan makrofag, yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid yang diakibatan oleh peradangan. Pada organisme, melanin memiliki peran dalam perlindungan melawan invasi parasit pada jaringan dan juga pertahanan melawan mekanisme yang berpotensi menimbulkan bahaya pada organisme, selama pengaktifan sistem pertahanan dalam tubuh (Ersa 2008).
44
Gambar 10. Histopatologi Insang Ikan Patin di Stasiun Maroko.
Edema merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya penggumpalan cairan yang berlebihan dalam ruangan interstitis termasuk rongga tubuh, peningkatan masuknya air dari ekstraseluler ke dalam sel akibat terganggunya aktivitas pompa Na+K. Kondisi ini dapat dihubungkan dengan bahan-bahan toksik kimia, virus, bakteri
dan
penyakit
parasitik.
Kerusakan
mekanis
atau
penyakit
dapat
mempengaruhi ikan terhadap infeksi lebih lanjut karena edematos menyediakan suatu medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Hibiya and Fumio 1995 dalam Ersa 2008). Hiperplasia merupakan penambahan jumlah sel dalam suatu organ sehingga organ tubuh membesar. Hal tersebut merupakan adaptasi sel untuk melindungi jaringan
yang
berada
di
bawahnya
dari
bahan
toksik
(Meissner
dan
Diamandopoulous 1977). Kongesti dapat ditandai dengan adanya penumpukan sel-sel darah merah yang sangat padat dalam pembuluh darah. Kongesti menunjukkan kondisi tidak normal pada insang ikan yang disebabkan oleh adanya trauma fisik, parasit atau gangguan sistem peredaran darahnya. Terhambatnya aliran darah ini diduga terjadi akibat edema di sekitar pembuluh darah (Susanto 2008 dalam Wikiandy 2013)
45
Berbeda dengan kerusakan pada organ insang yang mencapai tingkat kerusakan kongesti sedangkan pada organ hati ikan patin kerusakan telah mencapai tingkat yang lebih tinggi yaitu nekrosis atau kematian sel. Kerusakan berat berupa nekrosis terjadi pada ikan patin ukuran 41 cm (Gambar 11). Terjadinya nekrosis pada hati ikan patin ukuran 41 cm diduga akibat bahan pencemar yang masuk kedalam tubuh telah melampaui batas optimum yang dapat di detoksifikasi oleh sel hati sehingga sel yang rusak tidak dapat lagi beregenerasi dan akhirnya mengalami kematian atau nekrosis.
Gambar 11. Histopatologi Hati ikan Patin di Stasiun Maroko
Kematian sel adalah suatu proses dimana sel-sel kehilangan integritasnya sebagai salah satu unit fungsional, pada keadaan ini akan terjadi suatu titik yang menunjukan bahwa kerusakan pada sel tidak akan dapat kembali menjadi seperti sediakala
dan
akan
mengalami
nekrosis
(Prioseoryanto).
Granner
(2003)
menyatakan, akumulasi logam berat dalam sel jaringan hati ikan akan menyebabkan hepatofisiologis, sehingga apabila zat kimia toksik dan virus masuk ke dalam jaringan akan menyebabkan kerusakan berupa nekrosis, lisis dan hipertrofi (Trump et al.1975).
46
4.2 4.2.1
Hasil Penelitian di Stasiun-2 Ciminyak. Kondisi Stasiun Ciminyak dan Ikan Patin Hasil Tangkapan. Stasiun Ciminyak (Stasiun 2) merupakan daerah sentral Karamba Jaring
Apung (KJA) di Waduk Saguling, berdasarkan hasil survey dan informasi dari masyarakat di sekitar stasiun ini, pada stasiun Ciminyak masih didapatkan ikan patin yang hidup bebas di perairan tersebut. Selain sebagai pusat KJA pada stasiun Ciminyak juga digunakan masyarakat untuk menambang pasir di pinggir Waduk, sehingga memungkinkan terjadinya erosi. Pencemaran sisa pakan buatan akibat aktivitas budidaya di KJA di perairan Ciminyak akan menyebabkan sedimentasi dan eutrofikasi, hal ini terlihat dari banyaknya eceng gondok yang tumbuh di sekitar KJA dan pinggiran perairan (Gambar 12).
Gambar 12. Perairan Ciminyak. Ikan patin hasil tangkapan dari stasiun Ciminyak ini memiliki karakteristik morfologis yang berbeda dibandingkan ikan patin dari kolam budidaya Cijengkol Subang. Karakteristik ikan patin dari Ciminyak memiliki warna putih-perak (silver) di bagian pectoral dan warna lebih hitam pada bagian dorsal serta sirip berwarna kehitaman, berbeda dengan ikan pembanding yang memiliki sirip merah (Gambar 13). Selain warna yang berbeda, kadar lendir ikan patin Ciminyak tidak sebanyak pada ikan patin Maroko, namun pada sirip-siripnya terdapat kerusakan hal ini diduga
47
akibat proses pengangkutan tertutup menggunakan plastik yang mengakibatkan ruang gerak ikan patin tersebut kecil. Ikan patin Ciminyak memiliki bentuk tubuh yang ramping berbeda dengan ikan budidaya. Panjang total tubuh ikan patin hasil tangkapan alam perairan Ciminyak yaitu berkisar 25-40 cm dengan bobot tubuh
berkisar 150-350 g
(Lampiran 11.).
Gambar 13. Ikan Patin Hasil Tangkapan Alam Stasiun Ciminyak.
4.2.2
Kualitas Air dan Logam Berat Pb dan Cd pada Air di Stasiun Ciminyak. Hasil pengukuran kualitas air Perairan Ciminyak, perairan ini memiliki
kualitas air yang cukup baik karena rata-rata suhu 22.55oC yang masih memungkinkan aktifitas perikanan dapat berjalan. Rata-rata pH pada perairan Ciminyak pun masih memenuhi prasyarat dari PP No.82 tahun 2001 yaitu 7, serta memiliki rata-rata oksigen terlarut pada perairan sebesar 3.25 mg/L dan kandungan logam berat Pb dan Cd pada air tidak terdeteksi yang dikarenakan adanya pengenceran logam berat yang terkandung dalam air (Lampiran 12). Darmono (1995) mengatakan kandungan logam dalam air dapat berubah bergantung pada lingkungan dan iklim. Pada musim hujan, kandungan logam akan lebih kecil karena proses pelarutan sedangkan pada musim kemarau kandungan logam akan lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi.
48
4.2.3
Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada organ Ikan Patin di Stasiun Ciminyak Hasil pengukuran logam berat pada organ ikan patin didapatkan kandungan
logam berat Pb telah melebihi ambang batas, sedangkan kandungan logam berat Cd pada ikan patin ukuran 25 masih di bawah baku mutu SNI (Tabel 8). Tabel 8. Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cd pada Insang, Hati dan Daging Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Ciminyak. Organ Insang
Hati
Daging
Ukuran (cm) 25 35 40 25 35 40 25 35 40
Baku Mutu SNI
Kandungan Logam Berat (ppm) Pb Cd 22,35 0,01 0,01 5,30 120,00 10,35 20,55 0,01 1,45 5,65 130,00 11,82 19,19 0,01 3,02 5,16 120,00 11,10 0,30
0,10
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan logam berat Pb dan Cd, tertinggi dalam organ insang (120 ppm dan 10,35 ppm), hati (130 ppm dan 11,82 ppm), dan daging (120 ppm dan 11,10 ppm) ikan patin hasil tangkapan di stasiun Ciminyak terdapat pada ikan berukuran 40 cm, dibandingkan ikan patin berukuran 25 cm dan 35 cm. Menurut Darmono (1995), Faktor yang mempengaruhi daya toksisitas logam dalam air terhadap makhluk hidup adalah kondisi biota, fase siklus hidupnya, besar ukuran organisme, jenis kelamin dan kecukupan kebutuhan nutrisi. Tingginya kandungan logam berat pada hati ikan patin ini dimungkinkan karena, hati merupakan organ yang menampung zat-zat yang masuk ke dalam tubuh dan kemudian di detoksifikasikan sebagian masuk ke dalam kantung ampedu dan sebagian lainnya masuk ke dalam ginjal untuk di ekskresikan. Hal ini sesuai dengan Sesuai dengan pernyataan Heath (1987), apabila di dalam tubuh ikan sudah terlalu
49
banyak konsentrasi logam berat, namun laju metabolisme untuk mengekskresikan zat-zat sisa tidak sebanding dengan besarnya laju akumulasi substansi toksik, maka zat-zat tersebut akan ditampung terlebih dahulu di dalam organ hati untuk selanjutnya akan dikeluarkan dari tubuh. Selain itu Soemirat (2003) menyatakan, insang, hati dan ginjal memiliki enzim sitokrom P450 yang berfungsi ganda sebagai pendegradasi logam berat, logam berat yang tidak dapat didegradasi akan diserap dan diakumulasi oleh organ tubuh biota.
4.2.4 Kondisi Histopatologi Organ Ikan Patin di Stasiun Ciminyak Hasil pengamatan visual pada sampel organ ikan patin di stasiun Ciminyak didapatkan perubahan pada insang terdapat nodul putih, lamela terpisah dan terdapat bercak kehitaman pada lamela insang. Perubahan yang terjadi pada organ hati yaitu terdapatnya nodul putih, terdapat bercak kekuningan dan kehitaman sebagai respon hati terhadap lingkungan sedangkan pada daging tidak terjadi perubahan (Gambar 14).
Gambar 14. Sampel Organ Ikan Patin di Stasiun Ciminyak
50
Hasil pengamatan histopatologi ikan patin hasil tangkapan di stasiun Ciminyak didapatkan telah terjadi kerusakan pada organ insang dan hati namun pada organ insang tidak adanya perubahan yang terjadi pada jaringan tersebut. Kerusakan pada organ insang, hati dan daging. Kerusakan pada insang berupa edema, hiperplasia, kongesti dan fusi lamela sedangkan kerusakan pada hati berupa MMC (Tabel 9). Tabel 9. Kondisi Histopatologi Insang, Hati dan Daging Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Ciminyak. Organ Insang
Hati
Daging
Ukuran (cm) 25 35 40 25 35 40 25 35 40
Histopatologi Kerusakan Tingkat Kerusakan E, Hp, K, Fl *** Hp, Fl *** TT MMC * MMC * TT Normal Normal Normal -
Keterangan : * Kerusakan Ringan, MMC = Melano Makrofag Center, K = Kongesti,
** Kerusakan Sedang, *** Kerusakan Berat E = Edema, Hp = Hiperplasia, Fl = Fusi Lamela TT = Tidak Teramati
Pada tabel diatas terlihat kerusakan jaringan insang ikan patin ukuran 25 cm dan 35 cm mengalami kerusakan tingkat berat, yaitu telah terdapatnya kerusakan berupa fusi lamela. Fusi lamela ini ditandai dengan hilangnya lamela sekunder pada insang, hal ini dimungkinkan karena logam berat yang masuk ke dalam organ cukup besar namun organ dapat mengeluarkan logam berat tersebut bersama dengan sisa metabolisme lain, yang menyebabkan kerusakan terjadi cukup parah namun kandungan logam berat yang terkandung dalam jumlah sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darmono dan Arifin (1989) dalam Kusumahadi (1998), dibandingkan dengan organ tubuh ikan yang lain, logam berat yang terakumulasi dalam insang lebih sedikit, karena logam berat yang terabsorbsi dan terakumulasi di insang
51
mengalami proses metabolisme dan akan dieksresikan dari tubuh bersama-sama metabolit yang lain (Gambar 15).
Gambar 15. Histopatologi Insang Ikan Patin di Stasiun Ciminyak.
Menurut Prioseoryanto, Fusi lamela merupakan kerusakan tahap lanjut yang cukup parah, terjadinya fusi lamela dapat menyebabkan berkurangnya luas permukaan insang akibat masuknya zat toksik ke dalam jaringan sehingga dapat mengganggu respirasi pada insang dan menyebabkan penurunan pertukaran gas. Pada insang ikan patin ukuran 40 cm tidak terlihat adanya kerusakan hal ini dikarenakan jaringan yang terpotong terlalu tipis sehingga jaringan tidak dapat teramati. Berbeda halnya dengan kerusakan insang yang mencapai kerusakan berat berua fusi lamela, tingkat kerusakan pada hati ikan patin ukuran 25 dan 35 cm masih tergolong ringan, karena hanya terdapat MMC sedangkan pada ukuran 40 jaringan tidak dapat teramati. Hal ini diduga bahwa telah terjadi pencemaran namun hati masih dapat mendetoksifikasi zat toksik tersebut, sehingga terdapat pigmen pigmen berwarna kuning kecoklatan sebagai hasil detoksifikasi dari sel hati tersebut (Gambar 16).
52
Gambar 16. Histopatologi Hati Ikan Patin di Stasiun Ciminyak
4.3 4.3.1
Hasil Penelitian di Stasiun-3 Pintu Air Waduk Saguling. Kondisi Stasiun Pintu Air Waduk Saguling dan Ikan Patin Hasil Tangkapan. Stasiun pintu air Waduk Saguling (Stasiun 3) merupakan stasiun yang berada
di akhir rangkaian bendungan Saguling yang akan mengalirkan airnya kembali ke Sungai Citarum. Dari hasil survey dan informasi dari masyarakat di sekitar lokasi. Pada stasiun Ciminyak masih terdapat banyak pembudidaya di KJA sehingga eutrofikasi masih terjadi, hal ini terlihat dari eceng gondok yang berada di stasiun pintu air Waduk Saguling tidak sebanyak pada stasiun Maroko dan Ciminyak. Selain pada perairan ini masih banyak ikan patin yang hidup liar (Gambar 17.).
53
Gambar 17. Pintu Air Waduk Saguling. Ikan patin hasil tangkapan dari perairan pintu air Waduk Saguling memiliki warna putih-perak (silver) pada bagian pectoral dan warna hitam pada bagian dorsal berbeda halnya dengan ikan kontrol yang memiliki warna pucat. Ikan patin pada perairan ini memiliki kemampuan bertahan hidup lebih lama di bandingkan ikan pada stasiun lain, karena sampel ikan patin di stasiun ini diambil lebih dahulu dan lebih lama berada di dalam plastik packing. Hal ini diduga pada stasiun ini tingkat pencemaran di perairan tidak sebesar pada stasiun lain sehingga tingkat stress masih rendah. (Gambar 18).
Gambar 18. Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Pintu Air Saguling.
Ikan patin hasil tangkapan alam di perairan pintu air Waduk Saguling memiliki bobot yang kecil dibandingkan ikan pembanding dan pada stasiun lainnya, yaitu berkisar 100-300 g dengan panjang total berkisar 24-40 cm, hal ini diduga karena pakan alami yang tersedia lebih sedikit, dibandingkan dengan stasiun lainnya
54
serta jumlah KJA pada stasiun ini lebih sedikit yang dimungkinkan eutrofikasi yang terjadi lebih rendah (Lampiran 11.).
4.3.2
Kualitas Air dan Logam Berat Pb dan Cd pada Air di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling. Analisis Kualitas Air pada perairan pintu air Waduk Saguling didapatkan
bahwa kandungan logam berat Pb dan Cd pada air tidak terdeteksi hal ini dikarenakan pada saat pengambilan sampel cuaca hujan dan tinggi permukaan perairan naik. Selain itu Pb dan Cd merupakan logam berat yang mudah tersedimentasi karena memiliki nomor atom yang tinggi dan dapat terikat dengan bahan organik sehingga kandungan Pb dan Cd pada sedimen dimungkinkan lebih tinggi dibandingkan pada permukaan. Rata-rata suhu perairan 23.2oC, pH 7.05 dan DO beerkisar 3.05 mg/L nilai tersebut masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh PP No.82 tahun 2001 untuk baku mutu air kelas II dan III (Lampiran 12.).
4.3.3
Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada Organ Ikan Patin di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling. Berdasarkan hasil pengamatan logam berat, didapatkan kandungan logam
berat Pb dan Cd dalam Organ insang, hati dan daging ikan patin hasil tangkapan di stasiun pintu air Waduk Saguling secara keseluruhan memiliki nilai diatas baku mutu SNI, kandungan Cd terendah terdapat pada ikan patin hasil tangkapan dengan ukuran 24 cm (Tabel 10).
55
Tabel 10. Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cd pada Insang, Hati dan Daging Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling. Organ Insang
Hati
Daging
Ukuran (cm) 24 30 40 24 30 40 24 30 40
Baku Mutu SNI
Logam Berat (ppm) Pb Cd 18,72 0,01 1,44 5,18 80,00 7,21 58,27 0,01 1,74 5,65 160,00 13,99 19,08 0,01 2,27 5,60 120,00 10,78 0,30
0,10
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan logam berat Pb dan Cd, tertinggi
dalam organ insang (80 ppm dan 7,21 ppm), hati (160 ppm dan
13,99 ppm), dan daging (120 ppm dan 10,78 ppm) ikan patin hasil tangkapan di stasiun pintu air Waduk Sagulng terdapat pada ikan berukuran 40 cm, dibandingkan ikan patin berukuran 24 cm dan 30 cm. Hal ini diduga pertambahan panjang tubuh menandakan umur ikan patin tersebut sehingga akumulasi logam berat tersebut lebih besar. Darmono (1995) menyatakan, jumlah logam berat yang terakumulasi pada tubuh ikan tergantung dari ukuran, umur dan kondisi ikan. Tingginya logam pada organ hati ikan patin ukuran 40 cm diduga karena sifat organ hati itu sendiri yang cenderung untuk mengakumulasikan semua hasil filtrasi substansi asing yang berasal dari darah (Banks 1986), sedangkan rendahnya akumulasi pada organ insang dikarenakan insang dapat mengeluarkan logam berat bersama dengan sisa metabolisme, selain itu insang merupakan organ pertama yang berhubungan dengan perairan secara langsung sehingga insang lebih sering tercuci air. Soemirat (2003) menyatakan, bahwa insang membatasi masuknya logam berat ke dalam biota dengan cara membatasi pernafasan dan difusi oksigen (O2) serta perfusi. pembatasan masuknya air ke dalam filament insang dalam sel epitel dan lamela menyebabkan penyerapan logam berat terhambat (Lee et al. 1999).
56
4.3.4 Kondisi Histopatologi Organ Ikan Patin di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling Hasil pengamatan secara visual didapatkan perubahan kenampakan pada insang dan hati. Perubahan pada insang ditandai dengan adanya nodul putih, lamela terpisah dan terdapat bercak kehitaman pada lamela insang. Hati mengalami perubahan berupa adanya nodul putih dan warna kekuningan sedangkan pada daging tekstur normal (Gambar 19).
Gambar 19. Sampel Organ Ikan Patin di Stasiun Pintu air Waduk Saguling Hasil pengamatan histopatologi ikan patin hasil tangkapan di stasiun pintu air Waduk Saguling didapatkan telah terjadi kerusakan pada organ insang dan hati. Kerusakan pada organ insang berupa MMC, edema, hiperplasia, kongesti dan fusi lamela sedangkan pada hati kerusakan berupa MMC, degenerasi dan degenerasi lemak (Tabel 11).
57
Tabel 11. Kondisi Histopatologi Insang, Hati dan Daging Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling. Organ Insang
Hati
Daging Keterangan : * MMC K DgL
Ukuran 24 30 40 24 30 40 24 30 40
Histopatologi Kerusakan Tingkat Kerusakan E, Hp, Fl *** Hp, K, Fl *** MMC,Hp * MMC, DgL * MMC * MMC, Dg * Normal Normal Normal -
Kerusakan Ringan, = Melano Makrofag Center, = Kongesti, = Degenerasi Lemak
** Kerusakan Sedang, *** Kerusakan Berat E = Edema, Hp = Hiperplasia, Fl = Fusi Lamela Dg = Degenerasi
Pada insang ikan patin ukuran 24 dan 30 cm kerusakan yang terjadi merupakan tingkat kerusakan berat, ditandai telah terjadinya fusi lamela. Berbeda dengan tingkat kerusakan yang terjadi pada ukuran 40 cm. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat logam berat yang masuk ke jaringan insang ukuran 24 dan 30 cm lebih banyak namun dapat dikeluarkan kembali oleh jaringan insang sehingga kandungan logam berat tersebut rendah dibandingkan dengan ukuran 40 cm (Gambar 20).
Gambar 20. Histopatologi Insang Ikan Patin di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling
58
Berbeda dengan kerusakan pada organ hati ikan patin ukuran 24-40 cm yang mengalami tingkat kerusakan ringan, hal ini karena jaringan atau sel-sel hati masih dapat mendetoksifikasi zat-zat racun dan masih dapat beregenerasi, hal ini terlihat pada ukuran 24 dan 40 cm telah terjadi degenerasi. Darmono (1995) menyatakan, tingkat kerusakan dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel (Gambar 21).
Gambar 21. Histopatologi Hati Ikan Patin di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling
Degenerasi merupakan reaksi peradangan yang terjadi bila kerusakan sel tidak segera mematikan, perubahan bisa pulih kembali setelah sumber kerusakan dilenyapkan (reversible) yang dapat disebabkan oleh luka-luka karena trauma, radiasi, kuman, bakteri, zat-zat kimia maupun racun (Nabib dan Pasaribu 1989). Degenerasi lemak merupakan kerusakan sel yang lebih parah setelah sebelumnya terjadi degenerasi granular (sel-sel membengkak sedangkan sitoplasmanya berbutirbutir halus), pada degenerasi lemak sitoplasma penuh dengan vakuol-vakuol (Prioseoryanto).
59
4.4 Hasil Penelitian di Stasiun-4 Kolam Budidaya Cijengkol Subang 4.4.1 Kondisi Kolam Budidaya dan Ikan Patin Hasil Budidaya Kolam budidaya ikan patin Cijengkol Subang merupakan stasiun pembanding dari tiga stasiun yang berada di Waduk Saguling. Kolam budidaya ini di bagi menjadi beberapa kolam yaitu kolam induk, pendederan dan pembesaran yang mendapatkan pasokan air dari Waduk Jatiluhur. Ikan patin dipelihara dalam kolam pembesaran permanen dengan konstruksi kolam beton. Pembesaran (fattening) dilakukan dengan pemberian pakan buatan secara periodik (Gambar 22).
Gambar 22. Kolam Budidaya Cijengkol Subang
Sampel ikan patin diambil dari kolam budidaya menggunakan jaring (serok). Hasil pengamatan terhadap morfologi ikan patin, memperlihatkan ikan patin hasil budidaya Cijengkol Subang ini memiliki warna tubuh yang dominan pucat dengan warna sirip ventral, anal dan caudal berwarna lebih merah. Ikan patin ini memiliki bentuk tubuh membulat dan ukurannya lebih besar dibandingkan dengan ikan hasil tangkapan di waduk Saguling (Gambar 23). Ikan patin sampel dari kolam budidaya ini berukuran antara 20-40 cm dengan bobot tubuh antara100-600 g (Lampiran 11). Sampel ikan patin yang diambil dari kolam budidaya ini terlihat banyak goresan pada tubuhnya dan kerusakan pada sirip caudal. Kondisi ini diduga akibat bergesekan dengan ikan lain, saat berada di kolam budidaya
60
maupun saat proses transportasi tertutup menggunakan plastik, karena ruang yang terbatas.
Gambar 23. Ikan Hasil Budidaya. 4.2.2
Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada Organ Ikan Patin di Stasiun Kolam Budidaya Hasil pengukuran logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) yang
menggunakan alat Atomic Absorbtion Spectometry (AAS) pada organ insang, hati serta daging, dan pengamatan histopatologi disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12.
Konsentrasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Insang, Hati dan Daging Ikan Patin Hasil Budidaya.
Organ Insang
Hati
Daging
Ukuran (cm) 20 33 40 20 33 40 20 33 40
Baku Mutu SNI
Logam Berat (ppm) Pb Cd 24,88 0,01 19,20 0,01 19,83 0,01 25,89 0,01 18,81 0,01 19,94 0,01 34,17 0,01 17,60 0,01 20,69 0,01 0,30
0,10
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan logam berat Pb, tertinggi dalam organ insang (24,88 ppm), hati (25,89 ppm), dan daging (34,17 ppm)
61
ikan patin hasil tangkapan di stasiun kolam budidaya terdapat pada ikan berukuran 20 cm, dibandingkan ikan patin berukuran 33 cm dan 40 cm. Hal ini diduga daya tahan terhadap lingkungan masih rentan sehingga kandungan logam berat Pb terakumulasi lebih tinggi. Sesuai dengan pendapat Lu (1995), ikan muda 1,5-10 kali lebih rentan terpapar logam berat dibandingkan ikan dewasa, karena defesiensi berbagai enzim detoksifikasi, selain itu organ filtrasi dan ekskresi ginjal belum berfungsi secara optimum. Sedangkan kandungan logam berat Cd pada tiap ukuran dan organ hanya terdeteksi sebesar 0,01 ppm yang kadarnya masih dibawah SNI 7387 : 2009.
4.4.3
Kondisi Histopatologi Organ Ikan Patin di Stasiun Kolam Budidaya Hasil pengamatan secara visual didapatkan perubahan kenampakan pada
insang dan hati. Perubahan yang terjadi pada insang ditandai dengan adanya nodul putih, lamela terpisah, terdapat bercak kekuningan dan kehitaman. Perubahan kenampakan pada hati ditandai dengan adanya bercak kekuningan dan kehitaman pada organ tersebut, sedangkan daging memiliki tekstur normal.
Gambar 24. Sampel Organ Ikan Patin Hasil Budidaya.
62
Hasil pengamatan histopatologi organ ikan patin didapatkan kerusakan pada organ insang dan hati sedangkan pada daging tidak terlihat adanya kerusakan. Kerusakan yang terdapat pada insang berupa MMC, edema, hiperplasia dan kongesti, sedangkan kerusakan hati yaitu MMC, dan nekrosis. Hal ini karena insang dan hati merupakan organ yang berfungsi sebagai organ detoksifikasi logam berat yang masuk ke dalam tubuh dari perairan (Tabel 13). Tabel 13. Kondisi Histopatologi Insang, Hati dan Daging Ikan Patin Hasil Budidaya. Organ Insang
Hati
Daging
Ukuran 20 33 40 20 33 40 20 33 40
Histopatologi Kerusakan Tingkat Kerusakan E, K ** Hp, K ** MMC, Hp * MMC, N *** MMC * MMC, N *** Normal Normal Normal -
Keterangan : * Kerusakan Ringan, MMC = Melano Makrofag Center, K = Kongesti,
** Kerusakan Sedang, *** Kerusakan Berat E = Edema, Hp = Hiperplasia, N = Nekrosis
Pada organ insang tingkat kerusakan sedang terdapat pada ukuran 20 dan 33 cm yang ditandai dengan adanya kongesti pada insang. Hal tersebut diduga akibat logam berat yang berada dalam kolam budidaya diserap oleh insang cukup tinggi (Gambar 25).
63
Gambar 25. Histopatologi Insang Ikan Patin Budidaya
Tingkat kerusakan pada hati terberat terdapat pada ikan patin ukuran 20 cm dan 40 cm yang ditandai dengan adanya nekrosis pada sel hati. Kerusakan tersebut sesuai dengan kandungan logam berat dalam hati. Karena pada ukuran 20 cm dan 40 cm mengakumulasi logam berat paling besar di bandingkan dengan ukuran 33 cm (Gambar 25). Chayen dan Bitensky (1973) dalam Harteman (2011) menyatakan, bahwa logam berat yang terkandung dalam sel jaringan hati terjadi akibat pengikatan gugus sulfur dan nitrogen sangat kuat. Sehingga Logam berat yang terakumulasi dalam hati menghambat kegiatan enzim dan sistem imun (Orbea et al. 1999)
64
Gambar 26. Histopatologi Hati Ikan Patin Budidaya
4.5
Kandungan Logam Berat Dalam Daging Dan Histopatologi Daging Ikan Patin (Pangasius sp).
4.5.1 Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb). Akumulasi logam berat pada organ daging ikan patin menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada setiap perairan dan ukurannya. Hasil analisis menggunakan alat AAS didapatkan bahwa kandungan logam berat Pb dalam daging ikan patin dari setiap stasiun telah melebihi ambang batas baku mutu SNI (Gambar 27). Ikan patin ukuran 20-35 cm kandungan logam berat Pb pada daging tertinggi berada di stasiun Cijengkol Subang (pembanding) sebesar 34,17 dan 17,6 ppm serta terendah di stasiun pintu air Waduk Saguling yaitu sebesar 19,08 dan 2,27 ppm. Hal ini dikarenakan pada stasiun pembanding pada proses budidaya menggunakan sumber air dari Waduk Jatiluhur yang merupakan satu rangkaian bendungan kaskade dari sungai citarum sehingga kandungan logam berat yang terdapat pada ikan patin hasil budidaya ini cukup tinggi. Selain itu pada ikan yang dibudidayakan di Cijengkol Subang menggunakan pakan buatan yang diduga mengandung logam berat. Hal ini sesuai dengan penelitian Perum Jasa Tirta II (2007) pada pengambilan sampel pakan ikan pertama kandungan logam berat Zn merupakan kandungan
65
terbesar yang diikuti oleh Cu, dan Pb sedangkan pengambilan sampel kedua kandungan Cu terbesar kemudian Zn dan diikuti pb, yang mana diduga kandungan logam berat ini bersumber dari tepung ikan yang mengandung logam berat ataupun bahan lainnya. Menurut Heath (1987), daging secara umum merupakan organ yang paling tinggi menyerap logam berat, hal ini disebabkan produksi lendir terutama pada kulit akan memberi efek berupa pencegahan terabsorbsinya logam berat untuk masuk ke dalam tubuh melalui kulit, namun dikarenakan lendir memiliki kerapatan massa jenis yang tinggi sehingga sukar untuk terjadinya pertukaran zat baik dari lingkungan ke dalam tubuh maupun sebaliknya, sehingga keberadaan lendir justru akan membuat logam berat menempel pada lendir yang lengket dan terakumulasi, oleh karena itu
Kandungan Pb (ppm)
kandungan logam berat di dalam daging cukup tinggi. 140 120 100 80 60 40 20 0
130
34.17 21.6119.1919.08
17.6
20-25
6.74 3.02 2.27 30-35
120 120
20.69
40-41
Ukuran Ikan Patin Pembanding
Maroko
Ciminyak
Pintu Air
Gambar 27. Kandungan Logam Berat Pb pada Daging Ikan Patin.
Ukuran ikan 40-41 cm mengakumulasi logam berat Pb paling tinggi dibandingkan ukuran 20-35, diduga karena ikan patin ukuran 40-41 cukup lama hidup di perairan yang tercemar. Pada stasiun Maroko kandungan logam berat Pb yang terakumulasi didalam daging mencapai 130 ppm dan terendah berada pada stasiun pembanding yaitu ikan yang dibudidayakan, diduga karena pada stasiun Maroko merupakan wilayah perikanan pertama yang secara langsung masih
66
terpengaruh dari buangan limbah industri di sekitar perairan, maupun beban pencemaran yang masuk dari sungan Citarum, selain itu aktivitas KJA yaitu pakan ikan yang diduga tercemar oleh logam berat pun menambah pencemaran pada perairan tersebut.
4.5.2
Akumulasi Logam Berat Kadmium (Cd). Kadmium (Cd) merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya
karena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembulu darah. Logam berat Cd biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan baterai, pigmen, pelapis logam dan plastik di perairan, Cd akan mengendap karena senyawa sulfurnya yang sukar larut (Bryan 1976). Pada Gambar 28 menunjukkan bahwa kandungan Cd pada organ daging ikan hasil tangkapan alam pada setiap perairan mengalami peningkatan seiring pertambahan panjang ikan, hal ini sesuai dengan pernyataan Palar (2004) bahwa di dalam tubuh ikan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami
Kandungan Cd (ppm)
peningkatan dengan adanya proses biomagnifikasi di perairan. 11.2411.110.78
12 10 8
5.43 5.16 5.6
6 4 2
0.01 0.01 0.01 0.01
0.01
0.01
0 20-25
30-35
40-41
Ukuran Ikan Patin Pembanding
Maroko
Ciminyak
Pintu Air
Gambar 28. Kandungan Logam Berat Cd pada Daging Ikan Patin.
Logam yang masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang maupun melalui makanan akan dicerna di dalam saluran pencernaan untuk selanjutnya akan
67
didistribusikan dan masuk ke dalam daging di seluruh bagian tubuh ikan, namun logam berat tidak akan ikut terkonversi menjadi daging. Hal tersebut dikarenakan unsur dalam nutrisi yang mengalami metabolisme tubuh adalah unsur C (karbon), H (hidrogen), O (oksigen) dan N (nitrogen). Logam berat akan banyak diakumulasikan dalam usus, kulit dan bagian ekor ikan (Diniah 1995). Kandungan Logam berat Cd pada daging ikan patin tidak lebih besar dibandingkan pada hati, namun daging ikan patin merupakan bahan makanan yang lebih sering di konsumsi oleh manusia dibandingkan dengan jeroan. Ikan patin ukuran 40-41 cm mengakumulasi logam berat Cd lebih tinggi di bandingkan pada ukuran 20-35. Pada ukuran 40-41 cm kandungan tertinggi berada pada stasiun Maroko dan terendah berada pada stasiun pembanding, hal ini karena pada stasiun Maroko terdapat industri-industri yang membuang limbahnya langsung ke dalam badan air sehingga akumulasi pada daging cukup tinggi. Sedangkan pada ukuran 3035 konsentrasi logam berat Cd tertinggi pada stasiun pintu air Waduk Saguling dan terendah pada stasiun pembanding. Ikan Patin ukuran 20-25 cm pada daging hanya mengakumulasi 0.01 ppm logam berat Cd pada tiap stasiunnya. Harterman (2011) menyatakan, kulit dan saluran pencernaan biota berperan penting dalam mengakumulasi logam berat dalam air dan makanan. Logam berat yang larut dalam air diserap oleh dinding saluran pencernaan dan kulit, selanjutnya pindah ke biota melalui rantai makanan sehingga logam berat akan terserap dalam daging dan berikatan dengan lemak.
4.5.3 Histopatologi Daging Ikan Patin. Gugus sulfur dan nitrogen yang terkandung dalam sel organ tubuh ikan patin (Pangasius sp.) mengikat logam berat secara kovalen. Semua jaringan organ tubuh biota mengandung gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfhidril, imadazol, sulfat, sulfonat yang mengikat Cd serta Pb yang terkandung dalam air dan makanan (Pine et al. 1988). Gugus sulfur dan nitrogen yang terkandung dalam jaringan organ tubuh ikan termasuk unsur yang sangat reaktif dengan Hg, Cd dan Pb (Cowan 1993). Kondisi
demikian
menyebabkan
jaringan
organ
terpapar
Cd
dan
Pb
68
Mangkoedihardjo dan Samudro 2009). Menurut Manahan (2003), Cd sangat reaktif dan akumulatif dengan gugus sulfur, sedangkan Pb sangat reaktif dengan gugus nitrogen (Cowan 1993). Paparan logam berat dalam organ tubuh ikan dapat bersifat antagonis dan sinergis yang akan berpengaruh terhadap jaringan organ tubuh ikan. Efek kerusakan dari suatu substansi yang toksik karena adanya pencemaran dapat dilihat pertama kali dari analisa tingkat sel atau jaringan sebelum terlihat pada perubahan tingkah laku maupun penampakan dari luarnya.
Gambar 29. Histopatologi Daging Ikan Patin.
69
Hasil pengamatan histopatologi pada organ daging yang tergambar pada Gambar 29 tidak terjadi kerusakan walaupun kandungan logam berat dalam daging tinggi, hal ini diduga pada saat proses penyayatan jaringan menggunakan ukuran pemotongan pada mikrotom sebesar 0,7 µm sehingga hasil yang didapatkan terlalu tebal dan tidak dapat teramati secara jelas sel-sel dalam daging tersebut. Penelitian Harteman (2011) menunjukan, bahwa tidak adanya kerusakan pada otot, kecuali sel darah di dalam pembuluh, jaringan ikat disekitar pembuluh darah. Hal ini mengindikasi bahwa logam berat Cd dan Pb yang terikat secara kovalen dengan gugus sulfur dan nitrogen pada sel jaringan ikat, jaringan bagian bawah kulit dan jaringan disekitar pembuluh darah tidak merusak jaringan sel otot. Kondisi kondisi demikian mengindikasikan bahwa jaringan otot ikan jauh lebih baik dibandingkan jaringan organ hati dan insang.