BAB II TINJAUAN TEORI A. Konsep Halusinasi 1. Definisi halusinasi Perubahan sensori halusinasi adalah keadaan dimana seorang individu mengalami perubahan terhadap stimulus yang datang yang menimbulkan kesan menurunkan, melebih-lebihkan bahkan mengartikan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan realitas keadaan yang sebenarnya. Halusinasi yaitu pengalaman panca indra tanpa ada rangsangan atau stimulus (Hawari, 2006). Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010). Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak terjadi dalam realitas. Halusinasi dapat melibatkan pancaindra dan sensasi tubuh. Halusinasi dapat mengancam dan menakutkan bagi klien walaupun klien lebih jarang melaporkan halusinasi sebagai pengalaman yang menyenangkan (Videbeck, 2008). Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa 1
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan,. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Damaiyanti & Iskandar, 2012). Dari beberapa pengertian halusinasi diatas dapat disimpulkan bahwa halusinasi adalah suatu persepsi klien terhadap stimulus dari luar tanpa adanya obyek yang nyata. Halusinasi dapat berupa penglihatan yaitu melihat seseorang ataupun sesuatu serta sebuah kejadian yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, halusinasi juga dapat berupa pendengaran berupa suara dari orang yang mungkin dikenal atau tidak dikenal yang meminta klien melakukan sesuatu baik secara sadar ataupun tidak. 2. Rentang respon neurobiologik Respon perilaku klien dapat diidentifikasi sepanjang rentang respon yang berhubungan dengan fungsi neurobiologik. Perilaku yang dapat diamati dan mungkin menunjukkan adanya halusinasi, respon yang terjadi dapat berada dalam rentang adaptif sampai maladaptif yang dapat digambarkan sebagai berikut disajikan dalam tabel berikut:
2
Respon adaptif
respon maladaptif
1. Pikiran logis
1. Distorsi pikiran
1. Waham
2. Persepsi akurat
2. Ilusi
2. Halusinasi
3. Emosi konsisten 3. Menarik diri
3. Sulit berespon
4. Perilaku sesuai
4.Perilaku disorganisasi
4. Reaksi emosi
5. Hubungan sosial 5. Perilaku tidak biasa 5. Isolasi sosial (Kusumawati, 2010). Gambar 2.1. Rentang respon neurologi a. Respon adaptif 1) Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang dapat diterima akal. 2) Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang tentang suatu peristiwa secara cermat dan tepat sesuai perhitungan. 3) Emosi konsisten berupa kemantapan perasaan jiwa sesuai dengan peristiwa yang pernah dialami. 4) Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut diwujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak bertentangan dengan moral. 5) Hubungan sosial dapat diketahui melalui hubungan seseorang dengan orang lain dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat (Stuart, 2007). 3
b. Respon transisi 1) Distorsi pikiran berupa kegagalan dalam mengabstrakan dan mengambil kesimpulan. 2) Ilusi merupakan persepsi atau respon yang salah terhadap stimulus sensori. 3) Menarik diri yaitu perilaku menghindar dari orang lain baik dalam berkomunikasi ataupun berhubungan sosial dengan orang-orang disekitarnya. 4) Reaksi Emosi berupa emosi yang diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai. 5) Perilaku tidak biasa berupa perilaku aneh yang tidak enak dipandang, membingungkan, kesukaran mengolah dan tidak kenal orang lain. (Stuart, 2007). c. Respon maladaptif 1) Gangguan pikiran atau waham berupa keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita sosial. 2) Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang salah terhadap rangsangan. 3) Sulit
berespon
kemampuan
berupa
untuk
ketidakmampuan
mengalami
keakraban dan kedekatan. 4
atau
kesenangan,
menurunnya kebahagiaan,
4) Perilaku disorganisasi berupa ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan yang ditimbulkan. 5) Isolasi sosial merupakan suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam. (Stuart, 2007). 3. Jenis – jenis halusinasi Jenis – jenis halusinasi adalah sebagai berikut : a. Halusinasi pendengaran Yaitu mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas ataupun yang jelas, dimana terkadang suara – suara tersebut seperti mengajak berbicara klien dan kadang memerintahkan klien untuk melakukan sesuatu. b. Halusinasi penglihatan Stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya, gambar atau bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan. c. Halusinasi penghidung Membau – bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses, parfum, atau bau yang lainnya. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke, kejang, atau demensia. d. Halusinasi pengecapan Merasa mengecap seperti darah, urine, feses, atau yang lainnya. 5
e. Halusinasi perabaan Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. f. Halusinansi cenesthetic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine. g. Halusinasi kinestetika Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak. (Kusumawati & Hartono, 2010). 4. Fase – fase terjadinya halusinasi Terjadinya Halusinasi dimulai dari beberapa fase.Hal ini dipengaruhi oleh intensitas keparahan dan respon individu dalam menanggapi adanya rangsangan dari luar. Menurut (Stuart, 2007) tahapan halusinasi ada empat tahap. Semakin berat tahap yang diderita klien, maka akan semakin berat klien mengalami ansietas. Berikut ini merupakan tingkat intensitas halusinasi yang dibagi dalam empat fase. a. Fase I : Comforting : Ansietas tingkat sedang, secara umum halusinasi bersifat menyenangkan. 1) Karakteristik: Orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi seperti ansietas, kesepian, merasa bersalah, dan takut serta mencoba untuk memusatkan pada penenangan pikiran untuk mengurani ansietas, 6
individu mengetahui bahwa pikiran dan sensori yang dialaminya tersebut
dapat
dikendalikan
jika
ansietasnya
bisa
diatasi
(Nonpsikotik). 2) Perilaku klien: a) Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai. b) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara. c) Gerakan mata yang cepat. d) Respons verbal yang lamban. e) Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan. b. Fase II : Complementing : Ansietas tingkat berat, Secara umum halusinasi bersifat menjijikan. 1) Karakteristik : Pengalaman sensori yang bersifat menjijikan dan menakutkan. Orang yang berhalusinasi mulai merasa kehilangan kendali dan mungkin berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan, individu mungkin merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain (Nonpsikotik). 2) Perilaku klien a) Peningkatan syaraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya, peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah. b) Penyempitan kemampuan konsentrasi.
7
c) Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas. c. Fase III : Controling : Ansietas tingkat berat, pengalaman sensori menjadi penguasa. 1) Karakteristik : Orang
yang
berhalusinasi
menyerah
untuk
melawan
pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi halusinasi dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori tersebut berakhir (Psikotik). 2) Perilaku klien a) Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada menolaknya. b) Kesulitan berhubungan dengan orang lain. c) Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. d) Gejala fisik dari ansietas berat, seperti berkeringat, tremor, ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk. d. Fase IV : Conquering panic : Ansietas tingkat panic, Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan delusi.
8
1) Karakteristik: Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik (Psikotik). 2) Perilaku klien a) Perilaku menyerang seperti panik. b) Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain. c) Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi, menarik diri, atau katatonik. d) Tidak mampu berespons terhadap petunjuk yang kompleks. e) Tidak mampu berespons terhadap lebih dari satu orang. 5. Etiologi Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah: a. Faktor Predisposisi 1) Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut : a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi
9
pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik. b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia. c) Pembesaran
ventrikel
dan
penurunan
massa
kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem). 2) Psikologis Keluarga,
pengasuh
dan
lingkungan
klien
sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. 3) Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stres.
10
b. Faktor Prespitasi Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stresor
dan masalah koping dapat
mengindikasikan
kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006). Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah: 1) Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. 2) Stres Lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan
perilaku. 3) Sumber Koping Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiology termasuk :
11
a) Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengurangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang tertinggal untuk aktivitas hidup sehari-hari. b) Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan keracunan persepsi. c) Menarik diri. 6. Manifestasi klinis Menurut (Kusumawati, 2010), tanda dan gejala halusinasi yang mungkin muncul yaitu: Menarik diri, Tersenyum sendiri, Duduk terpaku, Bicara sendiri, Memandang satu arah, Menyerang, Tiba-tiba marah, Gelisah. Berdasarkan jenis dan karakteristik halusinasi tanda dan gejalanya sesuai. Berikut ini merupakan beberapa jenis halusinasi dan karakteristiknya menurut (Stuart, 2007) meliputi :
a. Halusinasi pendengaran Karakteristik : Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara orang. Suara dapat berkisar dari suara yang sederhana sampai suara orang bicara mengenai klien. Jenis lain termasuk pikiran yang dapat didengar yaitu pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkan oleh klien dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang kadang-kadang berbahaya. b. Halusinasi penglihatan Karakteristik : Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya, gambar geometris, gambar karton atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan dapat berupa sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang menakutkan seperti monster. 12
c. Halusinasi penciuman Karakteristik : Membau bau-bau seperti darah, urine, feses umumnya bau-bau yang tidak menyenangkan. Halusinasi penciuman biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan demensia. d. Halusinasi pengecapan Karakteristik : Merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan seperti darah, urine, atau feses. e. Halusinasi perabaan Karakteristik : Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas, rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain. f. Halusinasi senestetik Karakteristik : Merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena dan arteri, makanan dicerna, atau pembentukan urine. g. Halusinasi kinestetik Karakteristik : Merasa pergerakan sementara bergerak tanpa berdiri. 7. Pengkajian Menurut Stuart (2007) data pengkajian keperawatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi pengkajian perilaku, faktor predisposisi, faktor presipitasi , penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan koping yang dimiliki klien. Pengkajian tersebut dapat diuraikan menjadi:
13
a. Pengkajian perilaku Perilaku yang berhubungan dengan persepsi mengacu pada identifikasi dan interpretasi awal dari suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra perilaku tersebut digambarkan dalam rentang respon neurobiologis dari respon adaptif, respon transisi dan respon maladaptif. b. Faktor predisposisi Faktor predisposisi yang berpengaruh pada pasien halusinasi dapat mencakup: 1) Dimensi biologis Meliputi abnormalitas perkembangan sistem syaraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis maladaptif yang ditunjukkan melalui hasil penelitian pencitraan otak, zat kimia otak dan penelitian pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang diadopsi yang menunjukkan peran genetik pada skizofrenia. 2) Psikologis Teori psikodinamika untuk terjadinya respons neurobiologis yang maladaptif belum didukung oleh penelitian. 3) Sosial budaya Stres yang menumpuk dapat menunjang awitan skizofrenia dan gangguan psikotik lain, tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan. 14
c. Faktor presipitasi Stresor pencetus terjadinya halusinasi diantaranya: 1) Stresor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis maladaptif meliputi gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur proses informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus. 2) Stresor lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis berinteraksi
dengan
stresor
lingkungan untuk
menentukan
terjadinya gangguan perilaku. 3) Pemicu gejala Pemicu merupakan perkusor dan stimuli yang menimbulkan episode baru suatu penyakit. Pemicu biasanya terdapat pada respons neurobiologis maladaptif yang berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap, dan perilaku individu. d. Penilaian stresor Tidak terdapat riset ilmiah yang menunjukkan bahwa stres menyebabkan skizofrenia. Namun, studi mengenai relaps dan eksaserbasi gejala membuktikan bahwa stres, penilaian individu terhadap stresor, dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan gejala.
15
e. Sumber koping Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang pengaruh gangguan otak pada perilaku. Kekuatan dapat meliputi modal, seperti intelegensi atau kreativitas yang tinggi. f. Mekanisme koping Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari pengalaman
yang
menakutkan
berhubungan
dengan
respon
neurobiologis maladaptif meliputi: 1) Regresi, berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup sehari-hari. 2) Proyeksi, sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi. 3) Menarik diri. Menurut
(Keliat,
2006)
tahap
pengkajian
terdiri
atas
pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Cara pengkajian lain berfokus pada 5 (lima) aspek, yaitu fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Untuk dapat menjaring data yang diperlukan, umumnya dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam pengkajian. isi pengkajian meliputi: a. Identitas klien. b. Keluhan utama/ alasan masuk. 16
c. Faktor predisposisi. d. Faktor presipitasi. e. Aspek fisik/ biologis. f. Aspek psikososial. g. Status mental. h. Kebutuhan persiapan pulang. i.
Mekanisme koping.
j.
Masalah psikososial dan lingkungan.
k. Pengetahuan. l.
Aspek medik.
8. Masalah keperawatan Menurut Keliat (2006) masalah keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan gangguan persepsi sensori adalah sebagai berikut : a. Gangguan sensori persepsi : halusinasi. b. Resiko perilaku kekerasan. c. Isolasi sosial d. Harga diri rendah
17
9. Pohon masalah Akibat
Resiko perilaku kekerasan
Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
Penyebab
core problem
Isolasi sosial (Keliat, 2006) Gambar 2.2. Pohon masalah
10. Diagnosa keperawatan Menurut Dongoes (2006) diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi adalah sebagai berikut : a. Halusinasi b. Harga diri rendah c. Isolasi sosial d. Resiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan verbal)
18
B. Konsep terapi aktivitas kelompok 1. Pengertian kelompok Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain, saling ketergantungan dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001). Anggota kelompok mungkin datangdari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai keadaannya seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif, ketidaksamaan, kesukaran dan menarik diri (Yaloom, dalam Stuart Sundeen dan Laraia, 2001). Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, dimana anggota kelompok member dan menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok (Riyadi & Purwanto, 2010). Tujuan dari kelompok adalah membantu anggota yang berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan orang lain dan merubah perilaku yang maladaptif. Kekuatan kelompok ada pada kontribusi dari tiap anggota kelompok dan pemimpin kelompok dalam mencapai tujuan kelompok, sedangkan fungsi – fungsi dari kelompok adalah untuk mencapai anggota kelompok berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain. Jika anggota kelompok berbagi cara mereka menyelesaikan masalah, maka kelompok berfungsi dengan baik. Kelompok merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal dan perilaku (Riyadi & Purwanto, 2010). Rowlins, Williams dan Beck (1993) membagi kelompok menjadi tiga yaitu terapi kelompok, kelompok terapeutik dan terapi aktifitas kelompok. Terapi kelompok adalah metode pengobatan dimana klien ditemui dalam rancangan waktu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan. Fokus terapi kelompok adalah menjadi self awareness,
19
peningkatan hubungan interpersonal dan dengan membuat perubahan atau ketiganya (Riyadi & Purwanto, 2010). 2. Tujuan terapi aktivitas kelompok Adalah suatu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota. Tujuan terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi tiga yaitu : a. Tujuan umum Meningkatkan kemampuan uji realitas melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain, melakukan sosialisasi, meningkatkan kesadaran terhadap hubungan reaksi emosi dengan tindakan atau perilaku defensif dan meningkatkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif. b. Tujuan khusus Meningkatkan identitas diri, menyalurkan emosi secara konstruktif, meningkatkan ketrampilan hubungan interpersonal atau sosial.
c. Tujuan rehabilitasi Meningkatkan ketrampilan ekspresi diri, sosial, meningkatkan kepercayaan diri, empati, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pemecahan. (Riyadi & Purwanto, 2010). 3. Karakteristik pasien Berdasarkan pengamatan dan kajian status klien maka karakteristik klien yang dilibatkan dalam terapi aktivitas kelompok ini adalah klien dengan masalah seperti risiko
20
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, perilaku kekerasan, deficit perawatan diri, isolasi sosial : menarik diri, dan perubahan persepsi sensori (Riyadi & Purwanto, 2010). 4. Model terapi aktivitas kelompok a. Focal conflic model Dikembangkan berdasarkan konflik yang tidak disadari dan berfokus pada kelompok individu. Tugas leader adalah membantu kelompok memahami konflik dan membantu penyelesaian masalah. Misalnya ; ada perbedaan pendapat antar anggota, bagaimana masalah ditanggapi anggota dan leader mengarahkan alternative penyelesaian masalah. b. Model komunikasi Dikembangkan berdasarkan teori dan prinsip komunikasi, bahwa tidak efektifnya komunikasi akan membawa kelompok menjadi tidak puas. Tujuan membantu meningkatkan ketrampilan interpersonal dan sosial anggota kelompok. Tugas leader adalah memfasilitasi komunikasi yang efektif antar anggota dan mengajarkan pada kelompok bahwa perlu adanya komunikasi dalam kelompok, anggota bertanggung jawab terhadap apa yang diucapkan, komunikasi pada semua jenis : verbal, non verbal, terbuka dan tertutup, serta pesan yang disampaikan harus dipahami orang lain. c. Model interpersonal Tingkah laku (pikiran, perasaan dan tindakan) digambarkan melalui hubungan interpersonal dalam kelompok. Pada model ini juga menggambarkan sebab akibat tingkah laku anggota, merupakan akibat dari tingkah laku anggota yang lain.
21
Therapist bekerja dengan individu dan kelompok, anggota belajar dari interaksi antar anggota dan therapist. Melalui proses ini, tingkah laku atau kesalahan dapat dikoreksi dan dipelajari. d. Model psikodrama Dengan model ini dapat memotivasi anggota kelompok untuk berakting sesuai dengan peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang lalu, sesuai peran yang diperagakan. Anggota diharapkan dapat memainkan peran sesuai peristiwa yang pernah dialami. (Riyadi & Purwanto, 2010).
5. Fokus terapi aktivitas kelompok a. Stimulasi persepsi Artinya adalah membantu klien yang mengalami kemunduran orientasi, stimulasi persepsi dalam upaya memotivasi proses berpikir dan afektif serta mengurangi perilaku maladaptif. Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan orientasi realita, memusatkan perhatian, intelektual, menegmukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain dan mengemukakan perasaannya. Karakteristik klien : gangguan persepsi yang berhubungan dengan nilai – nilai, menarik diri dari realita, inisiatif atau ide – ide yang negative, kondisi fisik sehat, dapat berkomunikasi verbal, kooperatif dan mengikuti kegiatan. b. Stimulasi sensori
22
Maksudnya adalah menstimulasi sensori pada klien yang mengalami kemunduran sensoris. Tujuannya meningkatkan kemampuan sensori, memusatkan perhatian, kesegaran jasmani, mengekspresikan perasaan. c. Orientasi realita Adalah memberikan terapi aktivitas kelompok yang mengalami gangguan orientasi terhadap orang, waktu dan tempat. Tujuan adalah klien mampu mengidentifikasi stimulus internal (pikiran, perasaan dan sensasi somatic) dan stimulus eksternal (iklim, bunyi dan situasi alam sekitar), klien dapat membedakan antara lamunan dan kenyataan, pembicaraan klien sesuai realitas, klien mampu mengenal diri sendiri dan klien mampu mengenal orang lain, waktu dan tempat. Karakteristik klien : gangguan orientasi realita (GOR), halusinasi, waham, ilusi dan depresioanlisasi yang sudah dapat berinteraksi dengan orang lain, klien kooperatif, dapat berkomunikasi verbal dengan baik, dan kondisi fisik dalam keadaan sehat. d. Sosialisasi Maksudnya adalah memfasilitasi psikoterapist
untuk memantau dan
meningkatkan hubungan interpersonal, memberi tanggapan terhadap orang lain, mengekspresikan ide dan tukar persepsi dan menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan. Tujuan meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberikan tanggapan terhadap orang lain, mengekspresikan ide serta menerima stimulus eksternal. Karakteristik klien : kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan di ruangan, sering berada di tempat tidur, menarik diri, kontak sosial kurang, harga diri rendah, geliash, curiga, takut dan cemas,tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab 23
seperlunya, jawaban sesuai pertanyaan, dan dapat membina trust, mau berinterkasi dan sehat fisik .
e. Penyaluran energi Maksudnya adalah untuk menyalurkan energi secara konstruktif. Tujuannya adalah menyalurkan energi dari destruktif menjadi konstruktif, mengekspresikan perasaan dan meningkatkan hubungan interpersonal. (Riyadi & Purwanto, 2010). 6. Tahap – tahap dalam terapi aktivitas kelompok Menurut Yaloom dikutip oleh Stuart dan Sundeen (1995), fase – fase dalam terapi aktivitas kelompok adalah sebagai berikut : a. Pre kelompok Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan siapa yang menjadi leader, anggota, dimana, kapan kegiatan kelompok tersebut dilaksanakan, proses evaluasi pada anggota dan kelompok, menjelaskan sumber – sumber yang diperlukan kelompok seperti proyektor dan jika memungkinkan biaya dan keuangan. b. Fase awal Pada fase ini terdapat 3 kemungkinan tahapan yang terjadi yaitu orientasi, konflik atau kebersamaan. 24
1) Orientasi Anggota mulai mengembangkan system sosial masing – masing, dan leader mulai menunjukan rencana terapi dan mengambil kontrak dengan anggota. 2) Konflik Merupakan masa sulit dalam proses kelompok, anggota mulai memikirkan siapa yang berkuasa dalam kelompok, bagaimana peran anggota, tugasnya dan saling ketergantungan yang akan terjadi. 3) Kebersamaan Anggota mulai bekerja sama untuk mengatasi masalah, anggota mulai menemukan siapa dirinya. c. Fase kerja Pada tahap ini kelompok sudah menjadi tim. Perasaan positif dan negative dikoreksi dengan hubungan saling percaya yang telah dibina, bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati, kecemasan menurun, kelompok lebih stabil dan realistis, mengeksplorasi lebih jauh sesuai dengan tujuan dan tugas kelompok, serta penyelesaian masalah yang kreatif. d. Fase terminasi Ada dua jenis terminasi (akhir dan sementara). Anggota kelompok mungkin mengalami terminasi premature, tidak sukses atau sukses. (Riyadi & Purwanto, 2010).
25
7. Peran perawat dalam terapi aktivitas kelompok a. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok. b. Sebagai leader dan co leader Sebagai role model, menyusun rencana, mengarahkan kelompok dalam mencapai tujuan, memotivasi anggota, mengatur jalannya kegiatan, menjelaskan aturan kegiatan dan memimpin jalannya kegiatan. c. Sebagai fasilitator Membantu leader memfasilitasi anggota untuk berperan aktif dan membantu leader dalam memotivasi anggota. d. Sebagai observer Mengobservasi respons tiap klien dan mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan perilaku klien. e. Mengatasi masalah yang timbul pada saat pelaksanaan. (Riyadi & Purwanto, 2010). 8. Konsep terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah (Keliat & Akemat, 2005). Tujuan umum dari TAK stimulasi persepsi adalah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya. Sementara tujuan khususnya yaitu: pasien dapat mempersepsikan stimulus
26
yang dipaparkan kepadanya dengan tepat dan menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami (Keliat & Akemat, 2005). Aktivitas TAK stimulasi persepsi halusinasi yaitu aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas dibagi dalam lima sesi yang tidak dapat dipisahkan, diantaranya: a. Sesi pertama: Mengenal Halusinasi Tujuan: 1) Klien dapat mengenal halusinasi 2) Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi 3) Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi 4) Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi Langkah kegiatan a. Persiapan 1) Memilih klien sesuai dengan indikasi yaitu pasien dengan perubahan sensori persepsi: halusinasi. 2) Membuat kontrak dengan klien 3) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan b. Orientasi 1) Salam terapeutik a) Salam dari terapis kepada klien b) Perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama) c) Menanyakan nama dan panggilan semua pasien (beri papan nama) 2) Evaluasi/ validasi
27
Menanyakan perasaan pasien saat ini. 3) Kontrak a) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar b) Terapis menjelaskan aturan main berikut: i.
Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin kepada terapis.
ii.
Lama kegiatan 45 menit
iii.
Setiap pasien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap kerja 1) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu mengenal suarasuara yang didengar (halusinasi) tentang isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan pasien pada saat terjadi. 2) Terapis meminta klien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan pasien saat terjadi halusinasi. Mulai dari pasien yang sebelah kanan , secara berurutan sampai semua pasien mendapat giliran. Hasilnya ditulis di whiteboard. 3) Beri pujian pada klien yang melakukan dengan baik. 4) Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan pasien dari suara yang biasa didengar. d. Tahap terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
28
b) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok. 2) Tindak lanjut Terapis meminta pasien untuk melaporkan isi, waktu, situasi, dan perasaanya jika terjadi halusinasi. 3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi b) Menyepakati waktu dan tempat. b. Sesi kedua: Mengontrol Halusinasi dengan Menghardik Tujuan: 1) Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi halusinasi 2) Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi 3) Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi Langkah kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak kepada klien yang telah mengikuti sesi 1 2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. b. Orientasi 1) Salam terapeutik a) Salam dari terapis kepada klien b) Klien dan terapis pakai papan nama. 2) Evaluasi/validasi a) Terapis menanyakan perasaan klien saat ini
29
b) Terapis menanyakan pengalaman halusinasi yang terjadi: isi, c) waktu, situasi, dan perasaan. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu dengan latihan satu cara mengontrol halusinasi b) Menjelaskan aturan main (sama seperti pada sesi 1) c. Tahap kerja 1) Terapis meminta klien menceritakan apa yang dilakukan pada saat mengalami halusinasi, dan bagaimana hasilnya. Ulangi sampai semua pasien mendapat giliran. 2) Berikan pujian setiap klien selesai bercerita 3) Terapis menjelaskan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik halusinasi saat halusinasi muncul 4) Terapis memperagakan cara menghardik halusinasi, yaitu “Pergi jangan ganggu saya”, “saya mau bercakap-cakap dengan …” 5) Terapis meminta masing-masing klien memperagakan cara menghardik halusinasi dimulai dari klien sebelah kiri terapis, berurutan searah jarum jam sampai semua peserta mendapat giliran Terapis memberikan pujian dan mengajak
semua
klien
bertepuk
tangan
saat
setiap
memperagakan menghardik halusinasi. d. Tahap terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menayakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
30
klien
selesai
b) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok. 2) Tindak lanjut a) Terapis menganjurkan klien untuk menerapkan cara yang telah dipelajari jika halusinasi muncul. b) Memasukkan kegiatan menghardik dalam jadwal kegiatan harian klien. 3) Kontrak yang akan datang a) Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK yang berikutnya, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan b) Terapis membuat kesepakatan waktu dan tempat TAK berikutnya. c. Sesi ketiga: Mengontrol Halusinasi dengan Melakukan Kegiatan Tujuan: 1) Klien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan untuk mencegah munculnya halusinasi 2) Klien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi. Langkah kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah mengikuti sesi 2 2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. b. Orientasi 1) Salam terapeutik a) Salam dari terapis kepada klien b) Klien dan terapis pakai papan nama. 2) Evaluasi/validasi
31
a) Terapis menanyakan keadaan klien saat ini b) Terapis menanyakan cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari c) Terapis menanyakan pengalaman klien menerapkan cara menghardik halusinasi. 3) Kontrak a) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mencegah terjadinya halusinasi dengan melakukan kegiatan b) Menjelaskan aturan main (sama seperti sesi sebelumnya). c. Tahap kerja 1) Terapis menjelaskan cara kedua, yaitu melakukan kegiatan seharihari. Memberi penjelasan bahwa dengan melakukan kegiatan yang teratur akan mencegah munculnya halusinasi. 2) Terapis meminta tiap klien menyampaikan kegiatan yang biasabdilakukan setiap sehari-hari, dan tulis di whiteboard. 3) Terapis membagikan fomulir jadwal kegiatan harian. Terapis menulis formulir yang sama di whiteboard. 4) Terapis membimbing satu persatu klien untuk membuat jadwal kegiatan harian, dari bangun pagi sampai tidur malam. Klien menggunakan formulir, terapis menggunakan whiteboard. 5) Terapis melatih klien memperagakan kegiatan yang telah disusun. 6) Berikan pujian dengan tepuk tangan bersama kepada klien yang sudah selesai membuat jadwal dan memperagakan kegiatan. d. Tahap terminasi
32
1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah selesai menyusun jadwal kegiatan dan memperagakannya b) Terapis memberikan pujian atas kebehasilan kelompok. 2) Tindak lanjut Terapis menganjurkan klien melaksanakan dua cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik dan melakukan kegiatan. 3) Kontrak yang akan datang a) Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK berikutnya, yaitu mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap b) Terapis membuat kesepakatan waktu dan tempat. d. Sesi keempat: Mencegah Halusinasi dengan Bercakap-Cakap Tujuan: 1) Klien memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah munculnya halusinsi 2) Klien dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah halusinasi.
Langkah kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah mengikuti sesi 3 2) Terapis membuat kontrak dengan klien 3) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan b. Orientasi
33
1) Salam terapeutik a) Salam dari terapis kepada klien b) Klien dan terapis memakai papan nama. 2) Evaluasi/validasi a) Menanyakan perasaan klien saat ini b) Menanyakan pengalaman klien setelah menerapkan dua cara yang telah dipelajari (mengahardik dan menyibukkan diri dengan kegiatan yang terarah) untuk mencegah halusinasi. 3) Kontrak a) Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi dengan bercakapcakap b) Terapis menjelaskan aturan main (sama dengan sesi sebelumnya).
c. Tahap kerja 1) Terapis menjelaskan pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mengontrol dan mencegah halusinasi. 2) Terapis meminta tiap klien menyebutkan orang yang biasa diajak bercakapcakap. 3) Terapis meminta tiap klien menyebutkan pokok pembicaraan yang biasa dan bisa dilakukan.
34
4) Terapis memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul “Suster, ada suara di telinga, saya mau ngobrol saja dengan suster” atau “Suster, tentang kapan saya boleh pulang”. 5) Terapis meminta klien untuk memperagakan percakapan dengan orang di sebelahnya. 6) Berikan pujian atas keberhasilan klien. 7) Ulangi 5 s/d 6 sampai semua klien mendapat giliran. d. Tahap terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menayakan perasaan klien setelah mengikuti TAK. b) Terapis menanyakan TAK mengontrol halusinasi yang sudah dilatih. c) Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
2) Tindak lanjut Menganjurkan pasien untuk menggunakan tiga cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian, bercakap – cakap. 3) Kontrak yang akan datang a) Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK berikutnya, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat b) Terapis menyepakati waktu dan tempat.
35
e. Sesi kelima: Mengontrol Halusinasi dengan Patuh Minum Obat Tujuan: 1) Klien mamahami pentingnya patuh minum obat 2) Klien memahami akibat tidak patuh minum obat 3) Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat. Langkah kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak pada klien yang telah mengikuti sesi 4. 2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. b. Orientasi 1) Salam terapeutik a) Salam dari terapis kepada klien b) Terapis dan klien memakai papan nama.
2) Evaluasi/validasi a) Menanyakan perasaan klien saat ini b) Terapis menanyakan pengalaman klien mengontrol halusinasi setelah menggunakan tiga cara yang telah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan, dan bercakap-cakap). 3) Kontrak a) Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat b) Menjelaskan aturan main (sama seperti sesi sebelumnya). 36
c. Tahap kerja 1) Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu mencegah kambuh karena obat memberi perasaan tenang, memperlambat kambuh 2) Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat, yaitu penyebab kambuh 3) Terapis meminta klien menyampaikan obat yang dimakan dan waktu memakannya. Buat daftar di whiteboard 4) Menjelaskan lima benar minum obat yaitu benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum obat, benar dosis obat 5) Meminta klien menyebutkan lima benar cara minum obat, secara bergiliran 6) Memberikan pujian pada klien yang benar 7) Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat (catat di whiteboard) 8) Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di whiteboard) 9) Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu mencegah halusinasi/kambuh 10) Meminta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat 11) Memberi pujian tiap kali klien benar. d. Tahap terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
37
b) Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari c) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok. 2) Tindak lanjut Menganjurkan klien untuk menggunakan empat cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian, bercakapcakap, dan patuh minum obat. 3) Kontrak yang akan datang a) Terapis mengakhiri sesi TAK stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi. b) Buat kesepakatan baru untuk TAK yang lain sesuai dengan indikasi klien. (Keliat & Akemat, 2005) C. Konsep dasar cemas 1. Pengertian cemas Ansietas atau kecemasan menurut Stuart (1995) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Menurut David A. Tomb (1993) Ansietas berbeda dengan gangguan ansietas. Ansietas (cemas) adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai gejala fisiologis, sedangkan pada gangguan ansietas terkandung unsur penderitaan yang bermakna dan gangguan fungsi yang disebabkan oleh kecemasan tersebut (Riyadi & Purwanto, 2010).
38
Ansietas dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya. Ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat ansietas yang berat tidak sejalan dengan kehidupan ( Stuart, 2007). Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi (Ramaiah, 2003). Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman, 2010). Nevid Jeffrey S, Rathus Spencer A, & Greene Beverly (2005) memberikan pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah rasa takut atau rasa khawatir pada situasi tertentu yang mengancam dimana dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
39
2. Tingkat Ansietas atau kecemasan Tingkatan ansietas menurut Stuart (2007) dibagi menjadi 4 yaitu ; a. Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari – hari; ansietas pada tingkat ini menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. b. Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih banyak jika diberi arahan. c. Ansietas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Individu cenderung untuk berfokus pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang yang lain. Semua peilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat berfokus pada suatu area lain. d. Tingkat panic pada ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan terror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panic tidak mampu melekukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panic melibatkan disorganisasi kepribadian dan terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan
40
pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan bahkan kematian. 3. Penyebab kecemasan Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar tergantunga pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwa – peristiwa atau situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan. Menurut Savitri Ramaiah (2003) ada beberapa faktor yang menunujukkan reaksi kecemasan, diantaranya yaitu : a. Lingkungan Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebu merasa tidak aman terhadap lingkungannya. b. Emosi yang ditekan Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama jika dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama. c. Sebab-sebab fisik Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih dari suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Zakiah Daradjat mengemukakan beberapa penyebab dari kecemasan yaitu : 41
a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya bahaya yang mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat dengan rasa takut, karena sumbernya terlihat jelas didalam pikiran b. Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani. Kecemasan ini sering pula menyertai gejala-gejala gangguan mental, yang kadang-kadang
terlihat dalam bentuk yang
umum. c. Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk. Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak berhubungan dengan apapun yang terkadang disertai dengan perasaan takut yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderitanya. Kecemasan hadir karena adanya suatu emosi yang berlebihan. Selain itu, keduanya mampu hadir karena lingkungan yang menyertainya, baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun penyebabnya. (Rochman, 2010).
4. Gejala – gejala kecemasan Kecemasan adalah suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan. Individu-individu yang tergolong normal kadang kala mengalami kecemasan yang menampak, sehingga dapat disaksikan pada penampilan yang berupa gejala-gejala fisik maupun mental. Gejala tersebut lebih jelas pada individu
42
yang mengalami gangguan mental. Lebih jelas lagi bagi individu yang mengidap penyakit mental yang parah. Gejala-gejala yang bersifat fisik diantaranya adalah : jari tangan dingin, detak jantung makin cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak nyenyak, dada sesak.Gejala yang bersifat mental adalah : ketakutan merasa akan ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan (Sundari, 2004). Kholil Lur Rochman, (2010) mengemukakan beberapa gejala-gejala dari kecemasan antara lain : a. Ada saja hal-hal yang sangat mencemaskan hati, hampir setiap kejadian menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut merupakan bentuk ketidakberanian terhadap hal-hal yang tidak jelas. b. Adanya emosi-emosi yang kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah dan sering dalam keadaan exited (heboh) yang memuncak, sangat irritable, akan tetapi sering juga dihinggapi depresi. c. Diikuti oleh bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of persecution (delusi yang dikejar-kejar). d. Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah, banyak berkeringat, gemetar, dan seringkali menderita diare. e. Muncul ketegangan dan ketakutan yang kronis yang menyebabkan tekanan jantung menjadi sangat cepat atau tekanan darah tinggi. 5. Jenis – jenis kecemasan
43
Kecemasan merupakan suatu perubahan suasana hati, perubahan didalam dirinya sendiri yang timbul dari dalam tanpa adanya rangsangan dari luar. Mustamir Pedak (2009) membagi kecemasan menjadi tiga jenis kecemasan yaitu : a. Kecemasan Rasional Merupakan suatu ketakutan akibat adanya objek yang memang mengancam, misalnya ketika menunggu hasil ujian.Ketakutan ini dianggap sebagai suatu unsur pokok normal dari mekanisme pertahanan dasariah kita. b. Kecemasan Irrasional Yang berarti bahwa mereka mengalami emosi ini dibawah keadaankeadaan spesifik yang biasanya tidak dipandang mengancam. c. Kecemasan Fundamental Kecemasan fundamental merupakan suatu pertanyaan tentang siapa dirinya, untuk apa hidupnya, dan akan kemanakah kelak hidupnya berlanjut. Kecemasan ini disebut sebagai kecemasan eksistensial yang mempunyai peran fundamental bagi kehidupan manusia. 6. Mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan a. Sumber koping. Sumber koping merupakan sumber yang dapat membantu individu mengurangi atau mengatasi masalah yang dapat menimbulkan stress. Sumber koping tersebut dapat berupa keadaan ekonomi keluarga, dukungan keluarga atau sosial, kemampuan menyelesaikan masalah dan keyakinan agama atau budaya (Riyadi & Purwanto, 2010). b. Mekanisme koping. 44
Ketika mengalami ansietas, individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Pola yang biasa digunakan individu untuk mengatasi ansietas ringan cenderung tetap dominan ketika ansietas menghebat. Ansietas tingkat ringan sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang serius. Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping : 1) Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi tuntutan situasi stress secara realistis. a) Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah, menghilangkan atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan. b) Perilaku menarik diri digunakan baik secara fisik maupun psikologis untuk memindahkan seseorang dari sumber stress. c) Perilaku
kompromi
digunakan
untuk
mengubah
cara
seseorang
mengoperasikan, mengganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang (Riyadi & Purwanto, 2010). 2) Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang tetapi jika berlangsung pada tingkat tidak sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptive terhadap stes (Riyadi & Purwanto, 2010). Mekanisme pertahanan ego meliputi hal – hal berikut : a) Kompensasi. Menonjolkan kelebihan untuk menutupi kekurangan.
45
b) Penyangkalan (denial). Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas. c) Pemindahan (displacement). Pengalihan emosi yang ditujukan pada seseorang atau benda yang netral/tidak mengancam dirinya.
d) Disosiasi. Pemisahan dari setiap proses mental atau perilaku dari kesadaran atau identitas. e) Identifikasi Ingin menyamai seorang figure yang dididealkan, di mana salah satu cirri atau segi tertentu dari figure itu ditransfer pada dirinya. Dengan demikian ia merasa harga dirinya bertambah tinggi. Contoh : Teguh, 15 tahun mengubah model rambutnya menirukan artis idolanya yang ia kagumi. f) Intelektualitas. Alasan atau logika yang berlebihan. g) Introjeksi. Merupakan bentuk sederhana dari identifikasi, dimana nilai – nilai, norma – norma dari luar diikuti atau ditaati sehingga ego tidak lagi terganggu oleh ancaman dari luar. 46
Contoh : Rasa benci atau kecewa terhadap kematian orang yang dicintai dialihkan dengan cara menyalahkan diri sendiri. h) Proyeksi. Hal ini berlawanan dengan inrojeksi, di mana menyalahkan orang lain atas kelalaian dan kesalahan – kesalahan atau kekurangan diri sendiri, keinginan – keinginan, serta impuls – impuls sendiri. Contoh : Seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayunya. i) Rasionalisasi. Memberi keterangan bahwa sikap/tingkah lakunya menurut alas an yang seolah – olah rasional sehingga tidak menjatuhkan harga dirinya. Contoh : Munawir menyalahkan cara mengajar dosennya ketika ditanyakan oleh orang tuanya mengapa nilai semesternya buruk. j) Reaksi formasi. Bertingkah laku berlebihan yang langsung bertentangan dengan keinginan, perasaan yang sebenarnya. Mudah dikenal karena sifatnya ekstrem dan sukar diterima. Contoh :
47
Seorang wanita yang tertarik pada teman suaminya akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
k) Regresi. Kembali ke tingkat perkembangan terdahulu ( tingkah laku yang bersifat primitive ). Contoh : Seorang anak yang mulai berkelakuan seperti bayi, ketika seorang adiknya dilahirkan. l) Represi. Penyingkiran unsure psikik (sesuatu afek, pemikiran, motif, konflik) sehingga menjadi hal yang dilupakan/tidak dapat diingat lagi). Represi membantu individu mengontrol impuls – impuls berbahaya. Contoh : Suatu pengalaman traumatis menjadi terlupakan. m) Sublimasi. Mengganti keinginan atau tujuan yang terhambat dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat. Impuls yang berasal dari Id yang sukar disalurkan oleh karena mengganggu individu atau masyarakat. Oleh karena itu, impuls harus diubah bentuknya sehingga tidak merugikan individu/masyarakat sekaligus mendapatkan pemuasan. Contoh :
48
Impuls agresif disalurkan ke olahraga, usaha – usaha yang bermanfaat. n) Supresi. Menekan hal atau pikiran yang tidak menyenangkan, dapat mengarah ke represi. o) Undoing. Meniadakan pikiran – pikiran, impuls yang tidak baik, seolah – olah menghapus suatu kesalahan. Contoh : Seorang ibu yang menyesal karena telah memukul anaknya akan segera memperlakukannya penuh dengan kasih sayang. (Kusumawati & Hartono, 2010). 7. Gangguan kecemasan Sutardjo Wiramihardja (2005) membagi gangguan kecemasan yang terdiri dari : a. Panic Disorder Panic Disorder ditandai dengan munculnya satu atau dua serangan panic yang tidak diharapkan, yang tidak dipicu oleh hal-hal yang bagi orang lain bukan merupakan masalah luar biasa. Ada beberapa simtom yang menandakan kondisi panik tersebut, yaitu nafas yang pendek, palpilasi (mulut yang kering) atau justru kerongkongan tidak bisa menelan, ketakutan akan mati, atau bahkan takut gila. b. Agrophobia Yaitu suatu ketakutan berada dalam suatu tempat atau situasi dimana ia merasa bahwa ia tidak dapat atau sukar menjadi baik secara fisik maupun psikologis
49
untuk melepaskan diri. Orang-orang yang memiliki agrophobia takut pada kerumunan dan tempat-tempat ramai. 8. Dampak kecemasan Rasa takut dan cemas dapat menetap bahkan meningkat meskipun situasi yang betul-betul mengancam tidak ada, dan ketika emosi-emosi ini tumbuh berlebihan dibandingkan dengan bahaya yang sesungguhnya, emosi ini menjadi tidak adaptif. Kecemasan yang berlebihan dapat mempunyai dampak yang merugikan pada pikiran serta tubuh bahkan dapat menimbulkan penyakitpenyakit fisik (Cutler, 2004). Yustinus Semiun (2006) membagi beberapa dampak dari kecemasan kedalam beberapa simtom, antara lain : a. Simtom suasana hati Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber tertentu yang tidak diketahui. Orang yang mengalami kecemasan tidak bisa tidur, dan dengan demikian dapat menyebabkan sifat mudah marah. b. Simtom kognitif Kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan pada individu mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi. Individu tersebut tidak memperhatikan masalah-masalah real yang ada, sehingga individu sering tidak bekerja atau belajar secara efektif, dan akhirnya dia akan menjadi lebih merasa cemas.
50