BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1
Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan (agency theory) merupakan suatu bentuk yang
menunjukkan hubungan kontraktual antara seorang atau beberapa orang sebagai principal dan seorang atau beberapa orang sebagai agent. Dimana agent melakukan pelayanan bagi kepentingan principal dan pendelegasian wewenang dalam pembuatan keputusan dari principal kepada agent. Pada perekonomian modern, manajemen dan pengendalian perusahaan semakin terpisah dari kepemilikan, dimana manajer bertanggung jawab terhadap pemilik yang kemudian berimbas dengan pendanaan perusahaan baik dari investor ataupun kreditor. Sistem pemisahan ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan efektivits dengan
mempekerjakan
agen
profesional
dalam
mengelola
perusahaan.
Pengendalian perusahaan dikuasai oleh agent yang bertugas untuk menjalankan aktivitas perusahaan, sehingga agent dituntut untuk selalu melakukan transparansi dalam melaksanakan kendali perusahaan di bawah principal yang berperan sebagai pemilik perusahaan. Salah satu bentuk pertanggungjawabannya adalah dengan mengajukan laporan keuangan yang disusun untuk melaporkan kondisi keuangan perusahaan pada periode waktu tertentu. Agent ditunjuk oleh principal untuk mengelola perusahaan dimana di dalamnya terkandung pendelegasian wewenang dari principal terhadap agent
dalam mengambil keputusan perusahaan atas nama principal. Dengan demikian, agent harus memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan principal. Ketimpangan informasi ini sering disebut asimetri informasi (Pembayun, 2012). Asimetri informasi adalah informasi yang tidak seimbang dimana disebabkan adanya distribusi indormasi yang tidak sama antara principal dan agent yang berakibat pada timbulnya dua permasalahan karena adanya kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan agent (Emirzon, 2007). Adapun permasalahan yang terjadi menurut Jensen dan Meckling (1976) antara lain : a.
Moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul apabila agent tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja
b.
Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana principal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agent yang benarbenar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau apakah terjadi sebuah kelalaian tugas. Teori keagenan menekankan pentingnya pendelegasian wewenang dari
principal kepada agent, dimana agent memiliki kewajiban untuk mengelola perusahaan sesuai dengan kepentingan principal. Pendelegasian wewenang dari principal kepada agent juga mengartikan bahwa agent mempuyai kekuasaan dan memegang kendali suatu perusahaan dalam kelangsungan hidupnya, maka dari itu agent dituntut selalu transparan dalam kegiatan pengelolaan perusahaan. Melalui laporan
keuangan,
agent
dapat
menunjukkan
salah
satu
bentuk
pertanggungjawabannya
atas
kinerja
yang
telah
dilakukannya
terhadap
perusahaan. (Wahyuningtyas, 2010). Melalui informasi yang terkandung dalam laporan keuangan, para stakeholder perusahaan dapat menilai kondisi perusahaan tersebut. Di samping itu, pada laporan keuangan dapat diketahui pula seberapa besar aset, hutang, dan laba yang dimiliki suatu perusahaan. Apabila laporan keuangan menunjukkan rasio hutang yang tinggi yang dimiliki oleh perusahaan, maka hal ini mencerminkan bahwa perusahaan akan mempunyai kewajiban yang lebih besar di masa mendatang yang harus dilunasi. Perusahaan juga memiliki kemungkinan dalam rasio hutang dikarenakan dari kesalahan tindakan agent dalam pengelolaan perusahaan, atau yang lebih buruk lagi agent secara sengaja melakukan tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingannya dengan principal. Dengan tingginya rasio hutang milik perusahaan, maka akan meningktkan perusahaan tersebut terjebak dalam suatu kesulitan keuangan. Pada laporan keuangan juga terlihat seberapa besar penjualan yang berhasil dilakukan oleh perusahaan, dimana bisa dibandingkan dengan target penjualan yang telah ditetapkan. Jika target dari penjualan tercapai, maka laba yang dicetak oleh perusahaan juga akan meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa manajer telah berhasil dalam melakukan pengelolaan perusahaan dan menjalankan perannya sebagai agent. Atas keberhasilan tersebut, maka dapat menarik perhatian principal maupun investor baru untuk berinvestasi di perusahaan tersebut. Kenaikan investasi dan laba perusahaan akan menjauhkan perusahaan dari ancaman financial distress atau kesulitan keuangan. Sebaliknya, jika tidak berhasil, hal ini mengarahkan perusahaan menuju keadaan financial
distress yang juga dapat menciptakan keraguan dari pihak investor dan kreditor untuk memberikan danaya karena tidak adanya kepastian atau return dana yang telah diberikan. 2.1.2
Financial Distress Financial distress merupakan kondisi dimana keuangan perusahaan dalam
keadaan yang krisis atau tidak sehat. Kondisi financial distress dapat terjadi sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan, dimana kebangkrutan ini dapat diartikan sebagai suatu keadaan saat perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi
kewajiban-kewajiban
debitur
karena
perusahaan
mengalami
ketidakcukupan dana untuk melanjutkan kehidupan perusahaannya lagi. Model financial distress perlu dikembangkan, karena dengan mengetahui kondisi financial distress dengan sejak dini perusahaan diharapkan dapat melakukan tindakan-tindakan untuk mengantisipasi terjadinya keadaan perusahaan dalam mengarah pada kebangkrutan (Purwanti, 2005). Menurut Mamduh (2007:278), financial distress dapat digambarkan dari dua titik ekstrem yaitu kesulitan likuiditas jangka pendek sampai insolvabel. Kesulitan keuangan jangka pendek biasanya bersifat jangka pendek, tetapi bisa berkembang menjadi parah. Indikator kesulitan keuangan dapat dilihat dari analisis aliran kas, analisis strategi perusahaan, dan laporan keuangan perusahaan. Financial distress merupakan suatu penurunan kinerja atau laba (Wruck, 1990 dalam Parulian, 2007) dan apabila selama dua tahun berturut-turut mengalami laba operasi negatif maka perusahaan dikategorikan dengan financial distress (Elloumi dan Gueyie, 2001 dalam Parulian, 2007). Dan terdapat definisi perusahaan yang berada dalam kesulitan keuangan yaitu perusahaan yang
memiliki interest coverage ratio (rasio laba usaha terhadap biaya bunga) kurang dari satu (Classens et al., 1999 dalam Wardhani, 2006). Financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuidasi (Platt dan Platt, 2002 dalam Atmini, 2005). Kondisi ini biasanya ditandai dengan adanya penundaan pengiriman, kualitas produk yang menurun dan penundaanpembayaran tagihan dari bank. Jika kondisi financial distress ini sejak awal diketahui, maka diharapkan dapat dilakukan tindakan untuk memperbaiki situasi tersebut sehingga perusahaan tidak akan masuk ke tahap kesulitan yang lebih berat seperti kebangkrutan atau likuidasi. Menurut Brahmana (2007), financial distress terjadi karena perusahaan tidak mampu mengelola dan menjaga kestabilan kinerja keuangan perusahaannya yang bermula dari kegagalan dalam mempromosikan produk yang dibuatnya yang menyebabkan turunnya penjualan sehingga dengan pendapatan yang menurun dari sedikitnya penjualan memungkinkan perusahaan mengalami kerugian operasional dan kerugian bersih untuk tahun yang berjalan. Lebih lanjut, dari kerugian yang terjadi akan mengakibatkan defisiensi modal dikarenakan penurunan nilai saldo laba yang terpakai untuk melakukan pembayaran dividen, sehingga total ekuitas secara keseluruhan pun akan mengalami defisiensi. Jika hal ini terus terjadi, maka tidak mustahil bahwa suatu saat total kewajiban perusahaan akan melebihi total aktiva yang dimilikinya. Kondisi seperti yang telah disebutkan di atas mengasosiasikan suatu perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang pada akhirnya jika perusahaan tidak mampu keluar dari kondisi tersebut di atas, maka perusahaan tersebut akan mengalami kepailitan.
Kondisi financial distress suatu perusahaan dapat diprediksi dan harus diperhatikan oleh banyak pihak. Dan pihak-pihak yang menggunaan model tersebut meliputi (Purwanti, 2005) : 1. Pemberi pinjaman Penelitian yang berkaitan dengan prediksi financial distress mempunyai relevansi terhadap institusi pemberi pinjaman, baik dalam memutuskan apakah akan memberi suatu pinjaman dan menentukan kebijakan untuk mengawasi pinjaman yang telah diberikan. 2. Investor Prediksi financial distress memiliki model yang dapat membantu investor ketika akan menilai kemungkinan masalah suatu perusahaan dalam melakukan pembayaran kembali pokok dan bunga. 3. Pembuat peraturan Lembaga regulator mempunyai tanggung jawab mengawasi kesanggupan membayar hutang dan menstabilkan perusahaan individu. Ini menyebabkan perlunya suatu model yang aplikatif untuk mengetahui kesanggupan perusahaan membayar hutang dan menilai stabilitas perusahaan. 4. Pemerintah Prediksi financial distress juga penting bagi pemerinta dan antitrust regulation. 5. Auditor Model prediksi financial distress dapat menjadi alat berguna bagi auditor dalam membuat penilaian going concern suatu perusahaan. 6.
Manajemen Jika perusahaan mengalami kebangkrutan, perusahaan akan menanggung biaya langsung (fee akuntan dan pengacara) dan biaya tidak langsung (kerugian penjualan atau kerugian paksa akibat ketetapan pengadilan) sehingga karena adanya model prediksi financial distress, maka diharapkan agar perusahaan dapat menghindari kebangkrutan dan otomatis dapat menghindari biaya langsung dan tidak langsung dari kebangkrutan.
Financial distress terjadi saat perusahaan mengalami kesulitan keuangan yang dapat disebabkan oleh berbagai macam akibat. Dan salah satu penyebab kesulitan keuangan perusahaan, yakni karena adanya serangkaian kesalahan yang terjadi di dalam perusahaan, pengambilan keputusan yang kurang tepat oleh manajer, dan kelemahan lain yang saling berhubungan yang dapat menyumbang baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap manajemen perusahaan, serta penyebab lainnya adalah karena kurangnya tindakan pengawasan terhadap
kondisi keuangan, sehingga penggunaan dana perusahaan kurang sesuai dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan (Brighman & Daves, 2003). Hal ini memberi kesimpulan bahwa tidak ada jaminan perusahaan besar untuk dapat terhindar dari masalah kesulitan keuangan, hal ini dikarenakan financial distress berkaitan dengan kondisi keuangan perusahaan dimana setiap perusahaan pasti akan berurusan dengan keuangan untuk mencapai target laba dan kelangsungan hidup perusahaan. Pada penelitian ini mendefinisikan perusahaan yang mengalami financial distress menggunaan ineterst coverage ratio. Interest coverage ratio merupakan suatu rasio yang menunjukkan seberapa kemampuan perusahaan dalam melakukan pembayaran bunga hutang yang dimilikinya. Dan suatu perusahaan dianggap sedang mengalami financial distress jika memiliki interest coverage ratio (ICR) yang kurang dari 1, sedangkan secara idealnya harus memiliki ICR lebih dari 1,5 agar dapat dikatakan bahwa perusahaan dalam keadaan baik. Untuk menghitung ICR adalah : ICR = 2.1.3
Likuiditas Rasio ini menunjukkan mengenai kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya pada saat ditagih. Likuiditas bisa muncul akibat dari keputusan masa lalu perusahaan mengenai pendanaan dari pihak ketiga, baik yang berbentuk aset maupun yang berbentuk kas. Dari keputusan tersebut, akan menghasilkan kewajiban sejumlah pembayaran di masa yang akan datang. Likuiditas ini berkaitan dengan seberapa besar kemampuan
perusahaan dalam melunasi kewajiban-kewajiban keuangannya yang sudah jatuh tempo tersebut. 2.1.3.1 Laporan Keuangan Laporan keuangan menurut SAK No.1 adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Menurut Indra (2010:297), tujuan umum laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja dan arus kas suatu entitas yang berguna bagi sejumlah pemakai untuk membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya yang dipakai suatu enitas dalam aktivitasnya guna mencapai tujuan. 2.1.3.2 Analisis Laporan Keuangan Terdapat empat hal yang mendorong analisis laporan keuangan dilakukan dengan model rasio keuangan (Foster, 1986 dalam Luciana, 2003) yaitu: 1. 2. 3. 4.
Untuk mengendalikan pengaruh perbedaan besaran antar perusahaan atau antar waktu. Untuk membuat data menjadi lebih memenuhi asumsi alat statistik yang digunakan. Untuk menginvestigasi teori yang terkait dengan dengan rasio keuangan. Untuk mengkaji hubungan empiris antara rasio keuangan dan estimasi atau prediksi variabel tertentu (seperti kebangkrutan atau financial distress)
Tujuan pokok analisis keuangan adalah memprediksi kinerja perusahaan pada periode-periode yang akan datang. Laporan ini biasanya memberikan indikator-indikator
bagaimana
kondisi
perusahaan
pada
periode-periode
berikutnya. Hasil analisis laporan keuangan akan memberikan informasi tentang kekuatan dan kelemahan perusahaan, sehingga diketahui kinerja perusahaan. Hasil analisis laporan keuangan ini tercermin dalam rasio-rasio keuangan perusahaan. Rasio-rasio
keuangan
yang dihasilkan dari analisis laporan
keuangan inilah yang merupakan indikator yang digunakan untuk memprediksi terjadinya financial distress. 2.1.3.3 Rasio Keuangan Sebagai Alat Untuk Memprediksi Financial Distress Pengertian rasio keuangan menurut James Van Horne (2000) merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dari hasil rasio keuangan ini akan terlihat kesehatan suatu perusahaan. Menurut Brigham dan Daves (2003), tanda-tanda potensi
financial
distress biasanya terbukti dalam analisis rasio jauh sebelum perusahaan benarbenar gagal. Hal ini diperkuat oleh Whitaker (1999:2), yang menyatakan bahwa financial distress bukan hanya masalah pada saat perusahaan default tetapi juga dimulai ketika terjadinya peningkatan kemungkinan atau probabilitas perusahaan mengalami
default.
Menurut Etty (2001) dalam Brahmana (2007),
rasio
keuangan bermanfaat dalam memprediksi kesulitan keuangan bisnis untuk periode satu sampai lima tahun sebelum bisnis tersebut benarbenar bangkrut. Menurut Lukman (2004:40), likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajiban finansial jangka pendek pada saat jatuh tempo dengan aktiva lancar yang tersedia.
Likuiditas dapat muncul akibat dari keputusan masa lalu perusahaan mengenai pendanaan oleh pihak ketiga, baik yang berupa aset maupun yang berbentuk kas. Dari keputusan tersebut, maka muncullah kewajiban sejumlah pembayaran di masa yang akan datang. Likuiditas berkaitan dengan besarnya kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban keuangan perusahaan yang telah jatuh tempo. Menurut Toto (2008:20), ketidakmampuan membayar kewajiban secara tepat waktu akan langsung dirasakan oleh kreditor, terutama kreditor yang berhubungan dengan operasional perusahaan (supplier). Menurut Luciana (2003), hal ini telah mengindikasikan adanya sinyal distress
yang
menyebabkan adanya penundaan pengiriman dan masalah kualitas produk. Apabila perusahaan mampu mendanai dan melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan baik maka potensi perusahaan mengalami
financial distress
akan
semakin kecil. Adapun rasio likuiditas dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan current ratio (CR) yang menurut Wild (2010:44) , yaitu total aktiva lancar dibagi dengan total kewajiban lancar yang dimiliki perusahaan. Current Ratio = 2.1.4
Laba Menurut APB Statement, laba merupakan suatu kelebihan penghasilan di
atas biaya selama satu periode akuntansi ( Harahap, 2002). Sedangkan Committee on Technology mendefinisikan laba sebagai jumlah yang berasal dari pengurangan harga pokok produksi, biaya lain dan kerugian kerugian dari penghasilan atau penghasilan operasi.
Dan FASB Statement mengartikan accounting income atau laba akuntansi sebagai perubahan dalam equity (net asset) dari suatu entity selama periode tertentu yang diakibatan oleh transaksi atau peristiwa yang berasal dari bukan pemilik. Pada income juga termasuk seluruh perubahan dalam equity selain dari pemilik dan pembayaran kepada pemilik (Harahap, 2002). Secara umum, laba merupakan kenaikan kemakmuran pada suatu periode yang dapat dinikmati (didistribusi atau ditarik) asalkan kemakmuran awal masih tetap dipertahankan. Laba atau keuntungan dapat pula didefinisikan dengan dua cara. Dalam ilmu ekonomi murni, laba diartikan sebagai peningkatan kekayaan seorang investor sebagai hasil penanam modalnya, setelah dikurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan penanaman modal tersebut (termasuk biaya kesempatan). Sementara itu, laba dalam akuntansi didefinisikan sebagai selisih antara harga penjualan dengan biaya produksi. Perbedaan diantara keduanya ialah dalam hal pendefinisian biaya (Rahmat, 2009). Laba merupakan perbedaan antara pendapatan pada suatu periode dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan laba tersebut (Ediningsih, 2004). Dalam akuntansi, perbandingan ini mengandung dua tahap proses pengukuran secara fundamental yaitu pengakuan pendapatan yang sesuai dengan prinsip realisasi dan pengakuan biaya. Penyajian informasi laba melalui laporan tersebut fokus pada kinerja perusahaan yang penting, dibanding dengan pengukuran kinerja yang didasarkan dengan gambaran meningkatnya atau menurunnya modal bersih. Sedangkan menurut Harnanto (2003), laba merupakan selisih dari pendapatan di atas biaya-biayanya dalam jangka waktu (periode) tertentu. Laba
sering digunakan sebagai suatu dasar untuk pengenaan pajak, kenaikan deviden, pedoman investasi serta pengambilan keputusan dan unsur prediksi. Dalam akuntansi, laba ialah perbedaan antara harga dan biaya untuk transaksi pasar apapun yang dicatat perusahaan dalam hal biaya komponen barang yang diserahkan dan/atau jasa dan setiap operasi atau biaya lainnya. Laba akuntansi secara operasional didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasikan yang berasal dari transaksi suatu periode dan berhubungan dengan biaya historis (Belkaoui, 2000). Dalam metode historical cost (biaya hostoris), laba diukur berdasarkan selisih aktiva bersih awal dan akhir periode yang masing-masing diukur dengan biaya historis sehingga hasilnya akan sama dengan laba yang dihitung sebagai selisih pendapatan dan biaya. Menurutnya, SFAC No. 1 mengasumsikan bahwa laba akuntansi merupakan ukuran yang baik dari kinerja suatu perusahaan dan bahwa laba akuntansi dapat digunakan untuk meramalkan arus kas di masa depan. Laba akuntansi dengan berbagai interpretasi diharapkan dapat digunakan antara lain sebagai berikut (Suwardjono, 2005) : 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Indikator efisiensi penggunaan dana yang tertanam dalam perusahaan yang diwujudkan dalam tingkat kembalian atas investasi (rate of return on invested capital). Pengukur prestasi atau kinerja badan usaha dan manajemen. Dasar penentuan besar pengenaan pajak. Alat pengendalian alokasi sumber daya ekonomi suatu negara. Dasar penentuan dan penilaian kelayakaan tarif dalam perusahaan publik. Alat pengendalian terhadap debitor dalam kontrak utang. Dasar kompensassi dan pembagian bonus. Alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan. Dasar pembagian dividen.
Jika dikaji secara mendalam, akuntansi bukan merupakan definisi sesungguhnya dari laba, melainkan hanya merupakan penjelasan tentang cara untuk menghitung laba. Karakteristik dari pengertian laba akuntansi semacam itu mengandung beberapa keunggulan. Beberapa dari keunggulan laba akuntansi menurut Muqodim (2005) ialah : a. b.
c. d.
Terbukti teruji sepanjang sejarah bahwa laba akuntansi bermanfaat bagi para pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Laba akuntansi telah diukur dan dilaporkan secara obyektif dapat diuji kebenarannya karena didasarkan pada transaksi yang didukung oleh bukti. Berdasarkana prinsip realisasi dalam mengakui pendapatan laba akuntansi memenuhi dasar konservatisme. Laba akuntansi bermanfaat untuk tujuan pengendalian, terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban manajemen.
Laba atau rugi sering dimanfaatkan sebagai ukuran untuk menilai prestasi perusahaan atau sebagai dasar ukuran penilaian yang lain, seperti laba per lembar saham. Unsur-unsur yang menjadi bagian pembentuk laba adalah pendapatan dan biaya. Dengan mengelompokkan unsur-unsur pendapatan dan biaya, akan dapat diperoleh hasil pengukuran laba yang berbeda antara lain :
laba kotor, laba
operasional, laba sebelum pajak, dan laba bersih. Laba akuntansi diharapkan dapat digunakan sebagai: pengukur efisiensi, pengukur kinerja entitas dan manajemen, dasar penentuan pajak, sarana alokasi sumber ekonomik, penentuan tarif jasa publik, optimalisasi kontrak utang-piutang, basis kompensasi, motivator, dan dasar pembagian dividen. Dalam penyajian laba. Pos-pos operasi dalam arti luas (transaksi nonpemilik) pada umumnya dilaporkan melalui statement laba-rugi, sedangan pos-pos yang merupakan transaksi modal dilaporkan melalui statement laba ditahan atau statement perubahan ekuitas.
Laba merupakan selisih antara pendapatan dan biaya secara akrual. Dapat dikatakan juga bahwa laba merupakan alat pengukur kembalian atas investasi daripada hanya sekedar perubahan kas. Laba atau rugi termasuk beban pajak penghasilan atas laba atau rugi sebelum pajak. Adapun komponen tersebut adalah penjualan barang atau jasa, harga pokok penjualan, biaya-biaya operasi, penghasilan dan biaya di luar operasi, pos-pos luar biasa dan pajak penghasilan. Komponen laporan laba rugi dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Penjualan Penjualan adalah pendapatan yang diperoleh ari penyerahan barang atau jasa kepada langganan dalam periode tertentu. Dalam laporan laba rugi penjualan dilaporkan baik penjualan kotor maupun penjualan bersih. b. Harga pokok penjualan Harga pokok penjualan adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh atau mendapatkan barang yang dijual. c. Biaya operasi Biaya operasi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka untuk membiayai aktivitas perusahaan, baik administrasi maupun penjualan. d. Pendapatan dan biaya di luar operasi Pendapatan dan biaya di luar operasi adalah semua pendapatan yang diperoleh atau beban yang timbul dari aktivitas-aktivitas di luar usaha utama perusahaan. e. Pos-pos luar biasa Pos-pos luar biasa adalah laba atau rugi yang timbul di luar usaha utama yang bersifat insidentil. Ciri-ciri laba rugi biasa adalah bersifat tidak
normal dan tidak sering terjadi, misalnya laba dari pembatalan hutang kepada pemegang saham, kerugian kebakaran, dan sebagainya. f. Pajak penghasilan Pajak penghasilan ini dihitung dari laba bersih sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Dalam laporan laba rugi, pajak penghasilan diperkurangkan dari laba bersih sebelum pajak. Pada penelitian ini laba yang digunakan adalah laba sebelum pajak/earning
before tax (EBT) pada seluruh perusahaan manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dalam perhitungannya menggunakan rasio laba terhadap total aset. Laba sebelum pajak digunakan dengan alasan untuk menghindari pengaruh penggunaan tarif pajak yang berbeda antar periode yang dianalisis. Dan laba sebelum pajak tidak termasuk exraordinary items dan discountinued operations dengan alasan untuk menghilangkan elemen yang mungkin menyebabkan pertumbuhan laba meningkat dalam satu periode yang tidak akan timbul dalam periode yang lain (Machfoedz, 1994). 2.1.5
Arus Kas Setiap perusahaan memerlukan kas dalam menjalankan aktivitas
perusahaannya baik sebagai alat tukar dalam memperoleh barang atau jasa maupun sebagi investasi dalam perusahaan tersebut. Kas merupakan alat pertukaran dan alat pembayaran yang diterima untuk pelunasan hutang, dan dapat diterima sebagai setoran dengan jumlah sebesar nilai nominalnya, juga simpanan bank atau tempat lain yang dapat diambil sewaktu-waktu. Kas menggambarkan daya beli dan dapat ditransfer segera dalam perekonomian pasar kepada setiap individu dan organisasi dalam memperoleh
barang dan jasa yang diperlukan. Kas juga menjadi sangat penting karena baik perorangan, perusahaan, dan bahkan pemerintah harus memperhatikan posisi likuiditas yang memadai, yaitu mereka harus memiliki sejumlah uang yang mencukupi untuk membayar kewajiban pada saat jatuh tempo agar entitas bersangkutan dapat beroperasi. Kas terdiri dari saldo kas yang di tangan perusahaan dan ternasuk rekening giro. Setoran kas adalah aset yang dimiliki untun memenuhi komitmen kas jangka pendek, bukan untuk investasi dan dengan cepat dapat dijadikan menjadi kas. Kas dapat dikatakan merupakan satu-satunya pos yang paling penting dalam neraca. Karena berlaku sebagai alat tukar dalam perekonomian, kas terlihat secara langsung atau tidak langsung dalam hampir semua transaksi usahan. Hal ini sesuai dengan sifat-sifat kas yaitu : a.
Kas terlalu sering terlibat dalam hampir semua transaksi perusahaan.
b.
Kas merupakan harta yang siap dan mudah untuk digunakan dalam transaksi serta ditukarkan dengan harta lain, mudah dipindahkan dan beragam tanpa tanda pemilik.
c.
Jumlah uang kas yang dimiliki oleh perusahaan harus dijaga sedemikian rupa sehingga tidak terlalu banyak dan tidak kurang. Pengelolahan kas dapat dikriteriakan sebagai berikut:
a.
Diakui secara umum sebagai alat pembayaran yang sah.
b.
Dapat digunakan setiap saat bila dikehendaki.
c.
Penggunaannya secara bebas.
d.
Diterima sesuai nilai nominalnya pada saat diuangkan tersebut.
Variabel arus kas dalam penelitian ini dilihat pada laporan arus kas suatu perusahaan dalam laporan keuangan tahunannya. Laporan arus kas tersebut banyak
memberikan
informasi
tentang
kemampuan
perusahaan
dalam
mendapatkan laba dan kondisi likuiditas perusahaan di masa yang akan datang. Laporan arus kas ini memberikan informasi yang relevan tentang penerimaan dan pengeluaran kas suatu perusahaan pada suatu periode tertentu dengan mengklasifikasikan transaksi pada kegiatan operasi, investasi, dan pendanaan. Dalam penyajian laporan arus kas ini memisahkan antara transaksi arus kas dalam tiga kategori yaitu : 1.
Kas yang berasal dari atau digunakan untuk kegiatan operasional.
2.
Kas yang berasal dari atau digunakan untuk kegiatan investasi.
3.
Kas yang berasal dari atau digunakan untuk kegiatan pendanaan. Untuk menentukan arus kas apa saja yang masuk dalam golongan
operasional, investasi, dan pendanaan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Kegiatan operasional Kegiatan operasional untuk perusahaan dagang terdiri dari membeli barang dagangan, menjual barang dagangan tersebut serta kegiatan antara lain yang terkait dengan pembelian dan penjualan barang. Untuk perusahaan jasa, kegiatan operasional antara lain adalah menjual jasa kepada pelanggannya. Semua transaksi yang berkaitan dengan laba yang dilaporkan dalam laporan laba rugi dikelompokkan dalam golongan ini. Demikian juga arus kas masuk lainnya yang berasalh dari kegiatan operasional, misalnya: a. Penerimaan dari langganan. b. Penerimaan deviden.
c. Penerimaan dari piutang bunga. d. Penerimaan refund dari supplier. Arus kas keluar misalnya berasal dari: a. Kas yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa yang akan dijual. b. Bunga yang dibayar atas utang perusahaan. c. Pembayaran pajak penghasilan. d. Pembayaran gaji. 2.
Kegiatan investasi Kegiatan investasi merupakan kegiatan membeli atau menjual kembali investasi pada surat berharga jangka panjang dan aktiva tetap. Jika perusahaan membeli investasi/aktiva tetap akan mengakibatkan arus keluar dan jika menjual investasi/aktiva tetap akan mengakibatkan adanya arus kas masuk ke perusahaan. Transaksi ini berhubungan dengan perolehan fasilitas investasi atau non kas lainnya yang digunakan oleh perusahaan. Arus kas masuk terjadi jika kas diterima dari hasil atau pengembalian investasi yang ilakukan sebelumnya, misalnya dari hasil penjualan. Arus kas yang diterima misalnya berasal dari: a. Penjualan aktiva tetap. b. Penjualan surat berharga yang berupa investasi. c. Penagihan pinjaman jangka panjang. d. Penjualan aktiva lainnya yang digunakan dalam kegiatan produksi. Arus kas keluar dari kegiatan ini misalnya berasal dari: a. Pembayaran untuk mendapatkan aktiva tetap. b. Pembelian investasi jangka panjang.
c. Pemberian pinjaman kepada pihak lain. d. Pembayaran untuk aktiva yang digunakan dalam kegiatan produktif, seperti hak paten. 3.
Kegiatan pendanaan Kegiatan pendanaan adalah kegiatan menarik uang dari kreditor jangka panjang dan dari pemilik serta pengemblian uang kepada mereka. Arus kas dalam kelompok ini terkait dengan bagaiman kegiatan kas diperoleh untuk membiayai perusahaan termasuk operasinya. Dalam kategori ini, arus kas masuk merupakan perolehan dari kegiatan mendapatkan dana untuk kepentingan perusahaan. Sedangkan arus kas keluar adalah pembayaran kembali kepada pemilik dan kreditor atas dana yang diberikan sebelumnya. Dalam PSAK No. 2, perusahaan diwajibkan untuk melaporkan arus kas
dari aktifitas operasi dengan menggunakan salah satu metode di bawah ini: 1.
Metode Langsung Metode langsung mengungkapkan kelompok utama dari penerimaan kas bruto dan pengeluaran kas bruto. Dalam metode ini setiap perkiraan yang berbasis akrual pada laporan laba rugi diubah menjadi perkiraan pendapatan dan pengeluaran kas sehingga menggambarkan penerimaan dan pembayaran akrual dari kas. Jadi, metode langsung memfokuskan pada arus kas daripada laba bersih akrual, oleh karena itu dianggap lebih informatif dan terperinci. Dijelaskan oleh IAI dalam PSAK No. 2, dengan metode langsung ini, informasi mengenai kelompok utama penerimaan kas bruto dan pengeluaran kas bruto dapat diperoleh baik: a. Dari catatan akuntansi perusahaan.
b. Dengan menyesuaikan penjuala, beban pokok penjualan, dan pos-pos lain dalam laporan laba rugi untuk perubahan persediaan, piutang usaha dan hutang usaha dalam periode berjalan, pos bukan kas lainnya, dan pos lain yang berkaitan dengan arus kas investasi dan pendanaan. 2.
Metode Tidak Langsung Dengan metode ini laba atau rugi bersih disesuaikan dengan mengoreksi pengaruh dari transaksi bukan kas, penangguhan atau akrual dari penerimaan atau pembayaran kas untuk operasi dari masa lalu dan masa depan, dan unsur penghasilan atau beban yang berkaitan dengan arus kas investasi atau pendanaan. Jadi, pada dasarnya metode tidak langsung ini merupakan rekonsiliasi laba bersih yang diperoleh perusahaan. metode ini memberikan suatu rangkaian hubungan antara laporan arus kas dengan laporan laba rugi dan neraca. Dalam PSAK No. 2 juga diatur mengenai penerimaan arus kas bersih dalam aktifitas operasi dalam metode tidak langsung. Dalam metode ini, arus kas bersih diperoleh dari aktifitas operasi ditentukan dengan menyesuaikan laba atau rugi bersih dari pengaruh: a. Perubahan persediaan dan piutang usaha serta hutang usaha dalam periode berjalan. b. Pos bukan kas seperti penyusutan, penyisihan, pajak ditanggukan, keuntungan dan kerugian, valuta asing yang belum direalisasi, laba perusahaan asosiasi yang belum dibagikan dan hak minoritas dalam laba/rugi konsolidasi. c. Semua pos lain yang berkaitan dengan arus kas investasi dan pendanaan.
Perbedaan antara kedua metode ini terletak pada penyajian arus kas yang berasal dari kegiatan operasional dirinci menjadi arus kas masuk dan arus kas keluar, arus kas masuk dan keluar dirinci lebih lanjut dalam beberapa jenis penerimaan atau pengeluaran kas. Sementara itu dengan metode tidak langsung, arus kas dari operasional ditentukan dengan cara mengoreksi laba bersih yang dilaporkan di laporan laba rugi dengan beberapa hal seperti biaya penyusutan, kenaikan harta lancar dan hutang lancar serta laba/rugi karena pelepasan investasi. IAI dalam PSAK NO. 2 menganjurkan perusahaan memilih menggunakan metode langsung karena metode ini menghasilkan informasi yang berguna dalam mengestimasi arus kas masa depan yang tidak dapat dihasilkan dengan metode tidak langsung. Namun, penyusunan laporan arus kas dengan metode ini lebih sulit dan memerlukan waktu yang lebih lama. Jadi, kedua metode di atas dapat ditetapkan dan akan memberikan hasil yang lama. Jadi, kedua metode di atas dapat ditetapkan dan akan memberikan hasil yang sama. Pemilihan antara keduanya tergantung kebijaksanaan dari masing-masing perusahaan. Bentuk laporan dengan metode tidak langsung lebih sering digunakan karena dalam penyusunannya lebih mudah dan sederhana dibanding dengan metode langsung. Laporan arus kas berfungsi untuk melaporkan arus kas masuk maupun arus kas keluar perusahaan selama periode tertentu. Laporan ini memberikan informasi yang berguna mengenai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas dari aktivitas operasi, melakukan investasi, melunasi kewajiban, dan membayar deviden. Laporan ini digunakan oleh pihak manajemen untuk mengevaluasi kegiatan operasional yang telah berlangsung dan merencanakan aktivitas investasi da pembiayaan di masa yang akan datang.
Menurut Hery (2009), laporan arus kas diperlukan untuk hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3.
2.1.6
Kadangkala ukuran laba tidak menggambarkan kondisi perusahaan yang sesungguhnya. Seluruh informasi mengenai kinerja perusahaan selama periode tertentu dapat diperoleh lewat laporan ini. Dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi arus kas perusahaan di masa mendatang.
Hubungan Antara Rasio Likuiditas, Laba, Dan Arus Kas Dengan Financial Distress Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban financial distress jangka pendek. Rasio ini ditunjukkan pada besar kecilnya aktiva lancar. Laba merupakan pendapatan yang diperoleh perusahaan setelah mengurangi biaya yang dikeluarkan. Laba bersih setelah operasi akan dipergunakan perusahaan untuk membiayai aktivitasnya. Kesehatan perusahaan sangat bergantung pada laba dan arus kas yang dimilikinya. Jika laba yang tinggi tentu arus kas perusahaan baik. Untuk mengukur tingkat keehatan perusahaan dapat dilakukan dengan financial distress. Perusahaan mengalami kondisi financial distress jika perusahaan mengalami kerugian atau dalam penelitian ini memperoleh laba operasi negatif. Laba merupakan selisih antara pendapatan dan beban. Jika pendapatan lebih besar daripada beban, maka perusahaan akan mendapatkan laba. Demikian pula sebaliknya jika pendapatan lebih kecil daripada biaya maka perusahaan akan mengalami kerugian. Perusahaan mengalami kondisi financial distress jika perusahaan mengalami kerugian atau dalam penelitian ini memperoleh laba operasi bersih
negatif maka perusahaan mengalami kesulitan keuangan atau kondisi financial distress. Laporan arus kas dapat membantu para pemakainya untuk melihat bagaimana saldo kas dan setara kas dalam neraca perusahaan berubah dari awal hingga akhir periode akuntansi dan apa artinya perubahan tersebut bagi perusahaan, apakah menunjukkan prestasi positif atau negatif. Laporan laba rugi perusahaan menggunakan prestasi positif dan negatif. Laporan laba rugi perusahaan
menggunakan
dasar
akrual
yang
memungkinkan
pelaporan
pendapatan dan beban sebelum ada arus kas masuk atau keluar, maka laporan arus as dalam hal ini dapat digunakan sebagai laporan pengimbang laporan laba rugi. Fungsi dari laporan laba rugi adalah untuk mengukur profitabilitas dari perusahaan pada suatu periode tertentu dengan cara menghubungkan seluruh biaya dan pendapatan terkait. Oleh karena itu, peniliaian yang tepat atas prestasi suatu perusahaan tidak hanya memperhatikan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba tetapi juga memperhatikan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan arus kas positif dari kegiatan operasinya. Jika perusahaan profitable namun mengalami defisit arus kas, dapat merupakan indikasi bahwa perusahaan mengalami masalah keuangan dan dikhawatirkan tidak mampu mengembalikan pinjaman kepada kreditor maupun membayar dividen kepada investor. Kondisi financial distress juga dapat terjadi jika perusahaan memiliki arus kas positif namun laba yang diperoleh negatif. Kondisi tersebut menjadikan investor tidak mempercayakan investasinya kembali kepada perusahaan krena dari kondisi laba negatif menjadikan tidak adanya pembagian dividen.
Laporan arus kas berfokus pada pengukuran keuangan daripada ukuran laba
dan
biasanya
lebih
cocok
digunakan
untuk
mengevaluasi
dan
memproyeksikan likuiditas dan solvabilitas peruahaan. Dalam hal ini tidak mengidentifikasikan laporan mana yang lebih unggul, tetapi penggunaannya tergantung pada apa yang hendak diukur. Dengan demikian, laporan arus kas digunakan untuk mendukung dan melengkapi laporan laba rugi tapi bukan sebagai pengganti laporan laba rugi. Karena laporan arus kas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laporan keuangan lainnya, maka penggunaannya secara bersama-sama akan memberikan hasil yang lebih tepat untuk mengevaluasi sumber dan penggunakan kas perusahaan dalam seluruh kegiatan perusahaan. Dengan demikian dapat membantu para pemakai laporan keuangan untuk mengevaluasi struktur dan kinerja keuangan suatu perusahaan. 2.2
Peneliti Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu terkait masalah kondisi financial distress
yang dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah : 1.
Wahyuningtyas (2010) melakukan penelitian penggunaan laba dan arus kas untuk memprediksi kondisi financial distress ( Studi Kasus Pada Perusahaan Bukan Bank Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2005-2008). Variabel independen adalah laba dan arus kas sedangkan variabel independen adalah kondisi financial distress. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laba memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi kondisi financial distress yang terjadi pada seluruh perusahaan bukan bank. Penelitian ini membuktikan bahwa arus kas tidak
berpengaruh dalam meprediksi kondisi financial distress yang terjadi pada seluruh perusahaan bukan bank. 2.
Atmini (2005) melakukan penelitian manfaat laba dan arus kas untuk memprediksi kondisi financial distress pada perusahaan textile mill product and apparel and other textile product yang trdaftar di Bursa Efek Indonesia. Variabel independen adalah laba dan arus kas, sedangkan variabel dependen adalah kondisi financial distress. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model laba merupakan model yang lebih baik dari pada model arus kas dalam memprediksi kondisi financial distress suatu perusahaan. Model arus kas tidak siginifikan atau tidak cukup kuat untuk memprediksi kondisi financial distress.
3.
Hafifah et al (2013) dalam penelitian “Pengaruh Struktur Corporate Governance dan Financial Indicators terhadap Kondisi Financial Distress”melakukan penelitian analisis rasio keuangan dalam mempredisi kondisi keuangan financial distress perushaan manufkatur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komite audit, rasio likuiditas, profitabilitas, dan operating capacity memiliki pengaruh negatif terhadap prediksi financial distress. Sedangkan variabel leverage berpengaruh positif terhadap prediksi financial distress.
4. Widarjo et al (2009) dalam penelitian “Pengaruh Rasio Keuangan terhadap
Kondisi
Financial
Distress
Perusahaan
Otomotif”
mengungkapkan bahwa arus kas tidak signifikan, yang artinya model tidak cukup kuat digunakan sebagai model prediksi. Profitabilitas juga
merupakan berpengaruh negatif terhadap financial distress. Demikian halnya dengan rasio leverage dan pertumbuhan penjualan. Berdasarkan uraian yang terdapat di atas, penelitian terdahulu dapat disajikan pada tabel di bawah ini, antara lain sebagai berikut : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama, Tahun dan Judul Penelitian Wahyuningtyas (2010) “Penggunaan laba dan arus kas untuk memprediksi kondisi financial distress. “
Atmini (2005) “Manfaat laba dan arus kas untuk memprediksi kondisi financial distress pada perusahaan textile mill product and apparel and other tectille product yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.” Oktita Earning Hafifah dan Agus Purwanto (2013) “Pengaruh Struktur Corporate Governance dan Financial Indicators terhadap Kondisi Financial Distress”
Wahyu Widarjo dan Doddy Setiawan (2009) “Pengaruh Rasio Keuangan terhadap Kondisi Financial Distress Perusahaan Otomotif”
Variabel
Hasil Penelitian
Variabel Independen : Laba dan arus kas. Variabel Dependen : kondisi financial distress
Laba memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi kondisi financial distress yang terjadi pada seluruh perusahaan bukan bank. Dan arus kas tidak berpengaruh secara signigikan dalam memprediksi kondisi financial distress yang terjadi pada seluruh perusahaan bukan bank. Variabel Independen : Laba Model laba merupakan model yang dan arus kas. lebih baik daripada model arus kas Variabel Dependen : kondisi dalam memprediksi kondisi financial financial distress distress suatu perusahaan. Penelitian menunjukkan bahwa arus kas tidak berpengaruh secara signifikan untuk memprediksi kondisi financial distress.
Variabel Independen : Ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, komisaris independen, kepemilikian manajerial, kepemilikian institusional, ukuran komite audit, likuiditas, leverage, profitabilitas, operating capacity. Variabel Dependen : kondisi financial distress Variabel Independen : Rasio likuiditas, rasio profitabilitas, Rasio leverage, Pertumbuhan Penjualan Variabel Dependen : financial distress
Ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komite audit, rasio likuiditas, profitabilitas, dan operating capacity memiliki pengaruh negatif terhadap prediksi financial distress. Sedangkan variabel leverage berpengaruh positif terhadap prediksi financial distress. Likuiditas yang diukur dengan current ratio berpengaruh negatif terhadap financial distress, begitu juga dengan rasio profitabilitas, leverage dan pertumbuhan penjualan.
2.3
Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan kerangka yang dapat menggambarkan
hubungan variabel independen terhadap variabel dependen. Adapun kerangka konseptual dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Variabel Independen
Variabel Dependen
Current Ratio (X1) Laba Bersih (X2)
Financial Distress (Y)
Arus Kas (X3)
Kerangka konseptual financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan perusahaan dan apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan menyebabkan perusahaan mengalami kebangkrutan.
Financial distress
berawal ketika perusahaan mengalami kerugian operasional yang terus menerus sehingga menyebabkan defisiensi modal.
Financial distress ini dapat dilihat
dengan berbagai cara, seperti kinerja perusahaan yang semakin menurun, ketidakmampuan perusahaan membayar kewajibannya, adanya penghentian pembayaran dividen, masalah arus kas yang dihadapi perusahaan, kesulitan likuiditas, adanya pemberhentian tenaga kerja, dan kondisi-kondisi lainnya yang mengindikasikan kesulitan keuangan yang dihadapi oleh perusahaan. mendeteksi
Untuk
financial distress suatu perusahaan dapat dilakukan dengan
menggunakan rasio keuangan perusahaan. Secara umum rasio likuiditas, laba dan arus kas berlaku sebagai indikator yang signifikan. Rasio
likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan
perusahaan untuk membayar semua kewajiban finansial jangka pendek pada saat jatuh tempo dengan aktiva lancar yang tersedia. Apabila perusahan mampu mendanai dan melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan baik maka potensi perusahaan mengalami financial distress akan semakin kecil. Laba merupakan selisis lebih antara pendapatan dan beban. Jika pendapatan lebih besar daripada beban, maka perrusahaan akan mendapatkan laba. Deminikain pula sebaiknya jika pendapatan lebih kecil daripada biaya maka perusahaan akan mengalami kerugian. Perusahaan mengalami kondisi financial distress jika perusahaan mengalami ekrugian atau dalam penelitian ini memperoleh laba operasi negatif. Laporan arus kas dapat membantu para pemakainya untuk melihat bagaimana saldo kas dan setara kas dalam neraca perusahaan berubah dari awal hingga akhir periode akuntansi dan apa artinya perubahan tersebut bagi perusahaan, aakah menunjukkan prestasi positif atau negatif. Oleh karena itu, penialian yang tepat atas prestasai suatu perusahaan tidak hanya memperhatikan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba tetapi juga memperhatikan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan arus kas positif dari kegiatan operasinya. Financial distress merupakan kondisi dimana keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau krisis. Kondisi financial distress terjadi sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan. Jika perusahaan profitable namun mengalami defisit arus kas, dapat merupakan indikasi bahwa perusahaan
mengalami masalah keuangan dan dikhawatirkan tiak mampu mengembalikan pinjaman kepada kreditor maupun membayar dividen keada investor. Kondisi financial distress juga dapat terjadi jika perusahaan memiliki arus kas positif namun laba yang diperoleh negatif. Kondisi tersebut menjadikan investor tidak mempercayakan investasinya kembali kepada perusahaan karena dari kondisi laba negatif menjadikan tidak adanya pembagian dividen. 2.4
Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah dugaan sementara terhadap permasalahan yang sedang
diteliti. Hipotesis merupakan saran penelitian ilmiah karena hipotesis merupakan instrumen kerja dari suatu teori dan bersifat spesifik yang siap diuji secara empiris. Hipotesis merupakan suatu rumusan yang menyatakan adanya hubungan tertentu antardua variabel atau lebih. Hipotesis ini bersifat sementara, yang maksudnya dapat diganti dengan hipoteis lain yang lebih tepat dan benar. 2.4.1
Likuiditas terhadap Financial Distress Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dalam
memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya pada saat ditagih. Menurut teori keagenan, keputusan hutang piutang perusahaan ada di bawah kenali agent. Oleh sebab itu, adanya kewajiban keuangan yang jatuh tempo pada saat ini adalah akibat dari keputusan agent yang pada masa lalu memutuskan untuk melakukan pinjaman atau kredit pada pihak luar perusahaan. Jika suatu perusahaan mempunyai total kewajiban yang jatuh tempo terlalu banyak, maka perlu dilakukan penelusuran apakah ada kesalahan pada
agent dalam mengelola
perusahaan, karena jika keadaan tersebut tidak cepat ditangani maka akan mendekatkan perusahaan pada kondisi financial distress. Prediksi financial distress sendiri dapat dilakukan dengan menggunakan financial ratios. Dan rasio likuiditas merupakan bagian dari financial ratios. Dalam penelitian ini, rasio likuiditas diproxykan dengan current ratio (CR), yaitu aset lancar dibagi dengan kewajiban lancar (Almilia dan Kristajadi, 2003). Dalam penelitian terdahulu Widarjo et al (2009) mengungkapkan bahwa rasio likuiditas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap financial distress. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Hafifah et al (2013), dimana hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa rasino likuiditas tidak berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan terjadinya financial distress di suatu perusahaan. berdasarkan argumen di atas, hipotesis yang dapat dirumuskan : H1 = Rasio Likuiditas tidak berpengaruh terhadap kondisi financial distress di suatu perusahaan. 2.4.2
Laba terhadap Financial Distress Salah satu kegunaan dari informasi laba yaitu untuk mengetahui
kemampuan perusahaan dalam pembagian dividen kepada para investor. Laba bersih suatu perusahaan digunakan sebagai dasar pembagian deviden kepada investornya. Jika laba bersih yang diperoleh perusahaan sedikit atau bahkan mengalami rugi maka para investor tidak akan mendapatkan deviden. Hal ini jika terjadi berturut-turut akan mengakibatkan para investor menarik investsinya karena mereka menganggap perusahaan tersebut mengalami kondisi permasalahan keuangan atau financial distress. Kondisi ini ditakutkan akan terus menerus terjadi yang nantinya akan berakhir pada kondisi kebangkrutan.
Dalam penelitian terdahulu Atmini (2005) mengungkapkan bahwa model laba merupakan model yang lebih baik daripada model arus kas dalam memprediksi kondisi financial distress suatu perusahaan. sejalan dengan penelitian Wahyuningtyas (2010) yang menyatakan bahwa laba sebelum pajak memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi kondisi financial distress. Dari penjelasan tersebut, maka dibentuklah hipotesis berikut ini: H2 = Laba berpengaruh terhadap kondisi financial distress di suatu perusahaan. 2.4.3
Arus kas terhadap Financial Distress Karena laporan arus kas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
laporan keuangan lainnya, maka penggunaannya secara bersama-sama akan memberikan hasil yang lebih tepat untuk mengevaluasi sumber dan penggunaan kas perusahaan dalam seluruh kegiatan perusahaan. Dengan demikian dapat membantu para pemakai laporan keuangan untuk mengevaluasi struktur dan kinerja keuangan suatu perusahaan. Dan didukung penelitian bahwa arus kas memasukkan berbagai aliran dana seperti dividen dan pengeluaran modal (Gentry et al, 2005 dalam Atmini, 2005).
Arus kas merupakan prediksi yang buruk terhadap financial distress
(Casey et al, 1984 dalam Atmini, 2005). Hal ini juga sejalan dengan Wahyuningtyas (2010) bahwa arus kas tidak berpengaruh terhadap prediksi financial distress. Dari penjelasan tersebut maka dibentuklah hipotesis berikut ini: H3 = Arus kas tidak berpengaruh terhadap kondisi financial distress di suatu perusahaan.