BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Dalam Permentan No 65 Tahun 2010 mengenai Petunjuk Teknis Standard Pelayanan Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Oleh karena terpenuhinya pangan menjadi hak asasi bagi masyarakat,
melalui
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dalam Pasal 7 huruf m dan Pasal 8, urusan Ketahanan Pangan merupakan urusan wajib berkaitan dengan pelayanan dasar dalam pemenuhan kebutuhan hidup minimal. Dalam penyelenggaran ketahanan pangan, peran Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mewujudkan ketahanan pangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 adalah melaksanakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayah masing-masing dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan ketahanan pangan, dilakukan dengan : (a)
Memberikan informasi dan pendidikan ketahanan pangan
(b)
Meningkatkan motivasi masyarakat
(c)
Membantu kelancaran penyelenggaraan ketahanan pangan
(d)
Meningkatkan kemandirian ketahanan pangan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam PPRI No. 68 tahun 2002, untuk mewujudkan ketahanan pangan, maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan masyarakat untuk meningkatkan strategi demi mewujudkan ketahanan pangan nasional. Oleh karena ketahanan pangan tercermin pada ketersediaan pangan secara nyata, maka harus secara jelas dapat diketahui oleh masyarakat mengenai penyediaan pangan. Penyediaan pangan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus terus berkembang dari waktu ke waktu. Untuk mewujudkan penyediaan pangan tersebut, perlu dilakukan pengembangan sistem produksi, efisiensi sistem usaha pangan, teknologi produksi pangan, sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Menurut Nuhfil (2005), ketahanan pangan dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberlanjutan eksistensi bangsa Indonesia. Upaya mewujudkan ketahanan pangan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor internal maupun eksternal yang terus berubah secara dinamis. Dinamika dan kompleksitas ketahanan pangan menimbulkan berbagai permasalahan dan tantangan serta potensi dan peluang yang terus berkembang yang perlu diantisipasi dan diatasi melalui kerjasama yang harmonis antar seluruh pihak terkait dalam mewujudkan ketahanan pangan. Masalah pangan adalah keadaan kelebihan pangan, kekurangan pangan dan/atau ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan. Masih adanya penduduk miskin, daerah rawan pangan, produksi pangan dihasilkan tidak merata antar wilayah dan sepanjang waktu, potensi Sumberdaya
Universitas Sumatera Utara
Alam yang berbeda di masing-masing daerah akan berpengaruh terhadap distribusi dan impor bahan pangan. Kondisi ini, pada akhirnya akses pangan bagi setiap individu rumah tangga akan semakin menjadi rendah apabila ketersediaan pangan setempat terbatas, pasar tidak tersedia, transportasi terbatas, pendapatan rendah, pendidikan terbatas, pengangguran tinggi, budaya setempat belum memadai. Oleh sebab itu, peranan distribusi pangan yang terjangkau dan merata sepanjang waktu kiranya akan berpengaruh terhadap peningkatan akses pangan bagi setiap rumah tangga di dalam memenuhi kecukupan pangannya (PPRI No. 68, 2002). Komoditi pangan strategis meliputi beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng. Kesembilan komoditi ini sering disebut dengan bahan pangan strategis di Indonesia melihat pola konsumsi Indonesia yang lazim menggunakan bahan pangan ini yang sudah menjadi budaya di masyarakatnya. Dalam PPRI No. 68 Tahun 2002, untuk memenuhi penyediaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang dilakukan dengan : a. mengembangkan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal; b. mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; c. mengembangkan teknologi produksi pangan; d. mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan Semakin banyak jumlah penduduk, konsumsi pangan semakin meningkat. Menurut Husodo (2004), angka impor yang terus meningkat untuk berbagai komoditas pangan, disebabkan oleh kebutuhana pangan yang semakin meningkat
Universitas Sumatera Utara
karena populasi yang meningkat dan konsumsi perkapita yang meningkat sebagai hasil dari peningkatan kesejahteraan dan pendidikan, dan produksi yang menurun atau meningkat dengan kecepatan yang lebih kecil daripada peningkatan kebutuhan, karena kondisi yang ada terutama harga, tidak kondusif untuk peningkatan produksi. Menurut Aldy (2011), jumlah impor pangan yang masuk ke Kota Medan harus melalui jembatan timbang, jembatan timbang yang ada di provinsi Sumatera Utara berjumlah 13 buah yaitu jembatan timbang Gebang, jembatan timbang Sibolangit, Jembatan timbang Tanjung Morawa I dan II, jembatan timbang Dolok Merangir, jembatan timbang Simpang Dua, jembatan timbang Dolok Estate, jembatan timbang Aek Kanopan, jembatan timbang Aek Batu, jembatan timbang Simoang Runding, jembatan timbang Jembatan Merah, jembatan timbang Sabungan, dan jembatan timbang PAL XI. Ketahanan pangan di tiap daerah termasuk Medan memiliki tiga pilar utama, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses pangan serta konsumsi. Pilar Pertama, Kota Medan yang terdiri dari 21 kecamatan bukanlah sentra produksi pangan. Artinya impor pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal di pasok dari luar kota Medan baik kabupaten berdekatan atau luar Sumatera. Ketersediaan pangan selama ini di Medan tidak memiliki kendala yang subtantif. Sentra-sentra produksi pangan di luar kota Medan masih terus memasok pangan ke Kota Medan secara berkesinambungan dan berkelanjutan (Waspada, 2011). Namun, demikian bukan berarti dalam jangka panjang ketersediaan pangan di Medan ini akan tetap terjamin mengingat fluktuatif iklim yang condong ekstrim (di beberapa daerah sentra produksi pangan) dianggap sebagai ancaman bagi ketahanan produktivitas. Tentu saja jalan keluar yang tepat adalah bagaimana
Universitas Sumatera Utara
walikota memaksimalkan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. Paling tidak terdapat cadangan pangan rumah tangga untuk tiga bulan konsumsi (Waspada, 2011). Dari pilar distribusi dan akses pangan, hingga triwullan III tahun 2011 terlihat stabilitas harga dan impor pangan di Medan masih stabil atau stabilitas harga berkisar antara 0 hingga 15 persen. Artinya tidak terjadi gejolak harga yang fluktuatif ekstrim kecuali pada Hari Besar Keagamaan Negara (HBKN). Kestabilan harga dan impor ini bermuara pada distribusi dan informasi pangan yang baik. Jalur tataniaga pangan dari luar Medan tidak mendapat hambatan berarti karena infrastruktur jalan memenuhi persyaratan untuk memasok pangan dengan waktu yang tepat (Waspada, 2011). Dari pilar konsumsi, sampai dengan triwulan III tahun 2011 kecukupan pangan bagi rumah tangga di Medan masih memenuhi harapan yang ditetapkan pemerintah. Pola pangan harapan di Medan tercapai hingga 82 persen. Artinya secara kuntitatif masyarakat Medan dapat mengakses pangan dengan harga yang terjangkau dan secara kualitatif. Masyarakat Medan memahami persoalan dengan benar pola konsumsi yang bergizi dan berimbang. Sisa persoalan adalah keracunan panganan anak sekolah. Pada persoalan ini dinas kesehatan dan dinas pendidikan sangat diharapkan bekerja lebih serius lagi mencegah panganan yang akan dikonsumsi anak sekolah (Waspada, 2011). Dalam Harian Sumut Pos (2011), sumberdaya alam belum sepenuhnya dimanfaatkan, padahal potensi sumber daya pangan sangat banyak di tanah air. Konsumsi pangan masyarakat pada kelompok padi-padian paling mendominasi yakni mencapai 1.333,88 kkal per kapita per hari atau sebesar 66,69 persen.
Universitas Sumatera Utara
Angka itu masih sangat tinggi dari anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 50 persen, sedangkan konsumsi kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan masih di bawah anjuran. Tingginya konsumsi beras dimasyarakat menjadi hambatan dalam menciptakan pola konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang (3B) dan aman. Padahal dalam pemenuhan kebutuhan energi tak hanya bisa diperoleh dari kelompok pangan padi-padian, namun dari umbi-umbian yang mengandung kalori sebagai sumber energi di tubuh. Pola konsumsi masyarakat dapat tercermin dari pola konsumsi pangannya di tingkat rumah tangga yang diindikasikan dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) masyarakat. Untuk itu, penting diketahui bagaimana tingkat AKG masyarakat Kota Medan, yang menurut rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) Tahun 2004, rata–rata untuk kalori sebesar 2.000 kilo kalori/kapita/hari dan untuk protein 52 gr/kap/hari. Untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif maka setiap orang memerlukan 5 (lima) kelompok zat gizi (seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) yang cukup sesuai dengan anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Kecukupan Energi (AKE) guna mencegah berjangkitnya penyakit didalam keluarga, konsumsi pangan masyarakat di Provinsi Sumatera Utara sampai dengan akhir tahun 2010 menunjukkan skor Pola Pangan Harapan (PPH) baru mencapai skor 78,3 atau jauh diatas standarisasi skor nasional yaitu skor 75,5 dan diharapkan mencapai skor PPH Nasional yaitu skor 95 pada tahun 2015. Untuk data selengkapnya dapat dijelaskan dari Tabel 2.1 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1
Gambaran Rata-Rata Konsumsi Pangan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007-2010 Perkembangan konsumsi perkapita perhari
Uraian
Energi
Anjuran
2007
2008
2009
2010
2.069
2.074,5
2067,94
1971
2000
58.5
60,12
54,35
57,13
52
72.5
79.4
82,1
78,3
100
(kkal/kap/hari) Protein (gram/kap/hari) Skor PPH Sumber: BKP Sumut, 2010 Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Hardinsyah dan Tampubolon, 2004). 2.2 Landasan Teori Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang penting. Semakin maju suatu bangsa, tuntutan dan perhatian terhadap kualitas pangan yang akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi sekedar mengatasi rasa lapar tetapi semakin kompleks. Konsumen semakin sadar bahwa pangan merupakan sumber utama pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral untuk menjaga kesehatan tubuh. Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat, baik
Universitas Sumatera Utara
kuantitas maupun kualitas, aman, bergizi dan terjangkau sesuai daya beli masyarakat. Kekurangan pangan tidak hanya dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi, bahkan dapat mengancam keamanan sosial (Purnawijayanti, 2001). Menurut PPRI No. 68 Tahun 2002, ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah. Ketersediaan pangan berfungsi menjamin impor pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam negeri; (2) pemasokan pangan; (3) pengelolaan cadangan pangan. Ketersediaan pangan pada tingkat wilayah adalah produksi pangan pada tingkat lokal. Selain itu, ketersediaan sarana dan prasarana distribusi darat dan antar-pulau serta pemasaran pangan sangat penting untuk menunjang sistem distribusi yang efisien (Suryana, 2004). Maleha (2004) berpendapat bahwa ada 2 variabel umum yang menentukan suatu daerah berada dalam kondisi memiliki ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan dan konsumsi pangan. 2.2.1 Ketersediaan Pangan Menurut Suryana (2004), salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan pada
Universitas Sumatera Utara
tingkat wilayah adalah produksi pangan pada tingkat lokal. Bruntrup (2008) menambahkan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana distribusi darat dan antarpulau serta pemasaran pangan sangat penting untuk menunjang sistem distribusi yang efisien. Distribusi yang efisien menjadi prasyarat untuk menjamin agar seluruh wilayah sampai pada tingkat rumah tangga dapat terjangkau kebutuhan pangannya dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan berikut turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang (hierarchial
systems)
mulai
dari
nasional,
propinsi
(regional),
lokal
(Kabupaten/Kota) dan rumah tangga. Ketersediaan pangan dapat diukur baik pada tingkat makro maupun mikro (Baliwati dan Roosita, 2004). Dalam Permentan Nomor 65 tahun 2010, ketersediaan pangan berfungsi menjamin impor pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam negeri (2) pemasokan pangan (impor) (3) pengelolaan cadangan pangan (stok pangan) Jumlah penduduk yang besar dengan keadaan kemampuan ekonomi relatif lemah, maka kemauan untuk tetap menjadi bangsa yang mandiri di bidang pangan harus terus diupayakan dari produk dalam negeri. Hal yang perlu disadari adalah
Universitas Sumatera Utara
kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri, khususnya bahan pangan pokok juga menyangkut harkat martabat dan kelanjutan eksistensi bangsa. Sedangkan impor pangan merupakan pilihan akhir, apabila terjadi kelangkaan produksi dalam negeri. Kota Medan adalah salah satu Kota yang dalam sepuluh tahun terakhir terus mengalami konversi lahan. Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan dan penurunan pendapatan petani. Konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional, peningkatan
kesejahteraan
petani
dan
pengentasan
kemiskinan,
serta
pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Pada masa pemerintahan otonomi daerah, peraturan-peraturan yang umumnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
propinsi,
semakin
kurang
efektif
karena
pemerintah
kabupaten/kotamadya memiliki kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan pembangunannya (Simatupang, 2001). Seiring dengan semakin maraknya alih fungsi lahan untuk pembangunan, menyebabkan Kota Medan bukanlah merupakan daerah potensial untuk sentra produksi pertanian. Kini, Kota Medan telah berkembang pesat sebagai pusat perdagangan, Jasa, dan Industri di Sumatera Utara. Disisi lain, kemajuan tersebut juga telah mendorong Kota Medan menjadi pasar yang strategis dan potensial bagi daerah-daerah hinterlandnya dalam memasarkan berbagai komoditas bahan pangan hasil produksi pertaniannya. Sehingga secara otomatis, Kota Medan dapat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara memenuhi ketersediaan dan kebutuhan bahan pangan pokok dan strategis masyarakatnya (Laurensius, 2010). Impor bahan pangan Sumatera Utara (Sumut) tahun 2010 didominasi komoditas beras dan kacang kedelai. Setelah itu menyusul gula pasir dan buah segar serta tepung terigu. Sedangkan pelabuhan yang dijadikan pintu gerbang masuknya komoditas tersebut dari luar negeri adalah Pelabuhan Belawan dan terminal peti kemas Belawan International Container Terminal (BICT). Menurut Humas Pelindo I Cabang Belawan M Azmi, tahun ini komoditas beras menduduki ranking pertama impor makanan Sumut melalui Pelabuhan Belawan. Setelah itu menyusul gula pasir (Wismar, 2011). Ketergantungan akan impor tidak baik dalam suatu daerah. Misalnya, pada komoditi beras. Beras merupakan bahan pangan utama. Bila hal ini tidak ditangani secepatnya, ketergantungan pada impor akan semakin meningkat. Sementara itu pasar beras internasional sifatnya thin market. Artinya ketergantungan terhadap impor sifatnya tidak stabil dan akan menimbulkan kerawanan pangan dan pada gilirannya akan mengancam kestabilan nasional (Ilham dkk, 2003). 2.2.2 Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi. Konsumsi pangan bertindak sebagai penyedia energi bagi tubuh, pengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan. Menurut Sedioetama (1996), konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis.
Universitas Sumatera Utara
• Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa
lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. • Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau
selera • Tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam
keluarga dan masyarakat Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena berpengaruh langsung terhadap keberhasilan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Hal ini ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi. Konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi. Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu, yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan tersebut terganggu. Sebaliknya agar masyarakat menyukai pangan alternatif perlu peningkatan cita rasa, penampilan dan kepraktisan pengolahan pangan agar dapat bersaing dengan produk-produk yang telah ada. Dalam kaitan ini peranan teknologi pengolahan pangan sangat penting. (Anonimus, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis pangan, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi dikarenakan ketahanan tubuh kurang baik yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Tingkat konsumsi dipengaruhi juga oleh pola makan atau kebiasaan makan. Pola makan di pedesaan belum banyak terpengaruh pola makannya dibandingkan dengan pola makan di perkotaan. Pada akhirnya kecukupan asupan makan di kota baik kualitas maupun kuantitas lebih baik daripada kecukupan asupan makan anak di desa (Khumaedi, 1994). Pola konsumsi masyarakat di desa dan di kota berbeda, karena masyarakat di kota lebih mementingkan kandungan zat gizi makanan dari bahan makanan
Universitas Sumatera Utara
yang dikonsumsi dilihat dari keadaan sosial ekonomi penduduk lebih mampu, tersedianya fasilitas kesehatan memadai, fasilitas pendidikan lebih baik, tersedianya tenaga kesehatan, serta lapangan usaha mayoritas penduduk pegawai dan wiraswasta, sedangkan di desa, pola konsumsi masyarakat kurang memenuhi syarat dilihat dari keadaan sosial ekonomi yang tidak mampu, fasilitas kesehatan yang terbatas, fasilitas pendidikan kurang, tersedianya tenaga kesehatan serta lapangan kerja penduduk mayoritas petani dan buruh (Windarsih, 2008). Mengetahui ketersediaan pangan suatu daerah dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah produksi pangan strategis domestik, stok pangan yang dikeluarkan, dan impor & ekspor pangan dari/ke Kota Medan. Perhitungan ketersediaan pangan wilayah ini sangat penting dilakukan untuk melihat melihat surplus tidaknya pangan di suatu daerah tertentu. Dengan diketahuinya ini neraca tersebut maka antisipasi untuk ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan dapat dilakukan sejak dini. Selanjutnya menganalisis tingkat konsumsi pangan Kota Medan dapat diidentifikasi dengan mengalikan konsumsi energi per kapita per hari pada masing–masing komoditi dengan jumlah penduduk Kota Medan. Konsumsi pangan ini terdiri dari konsumsi kalori dan protein. Rumus ini dipakai pada masing–masing komoditi pangan strategis yaitu beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng di Kota Medan. Dalam penelitian terdahulu, Ryan Aldy (2011) dalam judul Pola Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan mengatakan ketersediaan cabai merah, daging sapi, daging ayam, telur dan beras memenuhi semua kebutuhan masyarakat yang ada di
Universitas Sumatera Utara
Kota Medan. Ketersediaan ini didominasi dari impor luar Kota Medan. Bararti, untuk kelima jenis pangan strategis tersebut, Kota Medan termasuk dalam kategori tahan pangan. 2.3 Kerangka Pemikiran Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, diperlukan ketersediaan pangan yang cukup. Kota Medan memiliki jumlah penduduk yang besar sekitar 2.121.053 jiwa. Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan akan pangan juga akan semakin meningkat, dengan kata lain terjadi peningkatan konsumsi. Peningkatan permintaan terhadap bahan–bahan pangan strategis tidak disertai dangan peningkatan produksi pangan di Kota Medan. Kota Medan bukanlah Kota pertanian yang mampu menghasilkan produk pangan dengan jumlah yang besar melihat keterbatasan lahan pertanian yang dimilikinya. Kota Medan mengalami perubahan yang tinggi terhadap alih fungsi lahan. Lahan yang dahulunya digunakan untuk lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan, perkantoran, maupun pusat perbelanjaan. Oleh sebab itu, pemenuhan permintaan kebutuhan pangan Kota Medan didominasi oleh impor dari luar Kota Medan. Ketergantungan akan pangan impor merupakan hal yang kurang aman untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dalam suatu wilayah. Hal lain yang memberikan sumbangan ketersediaan pangan Kota Medan yaitu stok pangan dari tahun sebelumnya. Rasio ketersediaan pangan strategis dengan konsumsi pangan strategis di Kota Medan dilakukan dengan melakukan perbandingan dengan kategori hasil
Universitas Sumatera Utara
tidak tahan pangan (rawan pangan) jika RP < 0,8, tahan pangan tetapi kurang terjamin jika 0,8 < RP < 1,2, dan rasio pangan terjamin jika RP > 1,2 (Khotibuddin, 2011). Gambar 1.1 Bagan Kerangka pemikiran (+) JUMLAH PRODUKSI PANGAN STRATEGIS KOTA MEDAN (+) IMPOR PANGAN STRATEGIS KE KOTA MEDAN (-) EKSPOR PANGAN STRATEGIS DARI KOTA MEDAN (+) STOK PANGAN STRATEGIS KOTA MEDAN KETERSEDIAAN PANGAN
KONSUMSI PANGAN
RASIO KETERSEDIAAN & KONSUMSI PANGAN
RP < 0,8 RAWAN PANGAN
0,8 < RP < 1,2 TAHAN PANGAN (RENTAN)
RP > 1,2 TAHAN PANGAN
Universitas Sumatera Utara
2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang dibuat, maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Ketersediaan pangan di Kota Medan mencukupi standard kecukupan 2. Konsumsi pangan di Kota Medan mencukupi standard kecukupan 3. Rasio ketersediaan dan konsumsi pangan strategis di Kota Medan termasukdalam kondisi tahan pangan
Universitas Sumatera Utara