25
II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Area Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia secara berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 adalah sekitar 3.172.163 Ha, 3.393.421 Ha, 3.584.486 Ha dan 4.116.646 Ha. Kelapa sawit terbesar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya Barat & Papua dan Jawa Barat (Ditjenbun, 2002). Area Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara pada tahun 2002 berada di posisi kedua di Indonesia, yaitu 776.670 Ha. Berdasarkan kepemilikan, Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara secara berturut-turut terdiri dari pemilik kecil, milik pemerintah, area perusahaan swasta, yaitu sekitar 186.991,78 Ha, 273.278,97 Ha dan 317.398,98 Ha (Disbun Sumut, 2002). Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit memegang peranan yang cukup strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cerah bagi sumber devisa negara. Disamping itu, kelapa sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng yang banyak dipakai di seluruh dunia sehingga secara terus-menerus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Suyatno, 1995). Analisis yang lebih rinci tentang dampak ekonomis pajak ekspor dari produk-produk ini tidak dapat digeneralisasi, tetapi masih harus memperhitungkan beberapa variabel penting seperti penurunan penerimaan ekspor para produsen. Pengembangan agroindustri dan komoditi CPO ini tidak dilakukan dengan proses perencanaan yang matang. Kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada pihak swasta pada tahap investasi pembukaan kebun baru kelapa sawit cenderung berlebihan (Sofyan, 2000).
Universitas Sumatera Utara
26
Sebagian besar hasil-hasil bidang pertanian rakyat adalah bahan makanan terutama beras untuk konsumsi sendiri, sedangkan hampir seluruh hasil perkebunan adalah ekspor (Mubyarto, 1989). Pembekuan sementara izin investasi PMA di perkebunan dan pengelolaan CPO dimaksudkan untuk membendung usaha besar-besaran dari pengusaha asing khususnya pengusaha Malaysia yang berambisi tetap menjadi yang terbesar di dunia dalam Perkebunan Kelapa Sawit yang cenderung mengarah pada pola monopoli baru dalam bisnis sawit Indonesia. Dampak dari pengusaan areal ini kemungkinan akan berpengaruh ke sektor industri serta perolehan devisa ekspor (Sofyan, 2000). Pada awalnya, minyak sawit dikembangkan untuk mengisi kekurangan pasokan minyak nabati domestik yang tidak dapat dipenuhi minyak kelapa. Namun, karena mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi, minyak sawit menjadi minyak utama (>90%) dalam konsumsi masyarakat Indonesia sekarang ini. Penggunaan minyak sawit sebagian besar untuk pangan sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil seperti pada Tabel 4 (Ambar dkk, 2007). Tabel 4. Penggunaan Minyak Dalam Negeri Jenis Pemakaian minyak sawit (ribu ton) Industri 1988 1993 1999 Oleopangan 954 2.154 2.954 Oleokimia 254 496 650 Jumlah 1.218 2.650 3.504 Sumber : Ambar dkk, 2007
2006 3.000 800 3.800
Konsumsi minyak sawit naik sejalan dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan semakin diterimanya minyak sawit di pasar. Konsumsi minyak sawit nasional (CPO) 1988 adalah 1,2 juta ton, 1,9 juta ton pada 1993, 2,5 juta ton pada 1997 dan 3,5 juta ton pada 1999. Berdasarkan angka tersebut
Universitas Sumatera Utara
27
pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5 %/tahun. Pertumbuhan konsumsi untuk oleopangan adalah 12%, lebih besar dibandingkan pertumbuhan konsumsi untuk oleokimia (10%) (Ambar dkk, 2007). Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan internasional sejak tahun 1988 sampai dengan 1998 menunjukkan bahwa pergerakan harga bulanan minyak sawit menunjukkan pergerakan harga minyak sawit mempunyai siklus bisnis dengan panjang sekitar 5-6 tahun. Siklus bisnis ini menjadi rujukan perubahan harga global. Selain siklus bisnis, harga minyak sawit juga mempunyai fluktuasi musiman yang dalam istilah teknis disebut seasonility. Harga rata-rata minyak sawit di pasar internasional dan domestik dapat dilihat pada Tabel 5 (Ambar dkk, 2007). Tabel 5. Harga Rata-Rata Minyak Sawit di Pasar Domestik & Internasional Tahun Harga Harga Tahun Harga Harga Lokal Ekspor Lokal Ekspor (Rp/Kg) (US$/Ton) (Rp/Kg) (US$/Ton) 1988 502 463 1997 1.424 545 1989 552 524 1998 3.600 663 1990 531 280 1999 3.423 436 1991 655 339 2000 3.338 310 1992 728 394 2001 3.763 286 1993 694 407 2002 3.714 390 1994 988 525 2003 3.852 443 1995 1.275 628 2004 4.284 471 1996 1.148 532 2005 4.034 422 Sumber : Ambar dkk, 2007 Secara keseluruhan, konsumsi minyak goreng rumah tangga per kapita mengalami peningkatan, namun dengan laju yang semakin menurun. Rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita pada tahun 1993 adalah 7,625 liter di daerah pedesaan, 9,375 liter di daerah perkotaan dan 8,375 liter di seluruh Indonesia (Amang dkk, 1996).
Universitas Sumatera Utara
28
Proyeksi minyak goreng dilakukan dengan asumsi bahwa dampak perubahan harga minyak goreng dinetralisir oleh dampak perubahan harga-harga lain, sehingga perubahan konsumsi minyak goreng per kapita hanyalah akibat dari dampak perubahan pendapatan riil per kapita. Laju pertumbuhan pendapatan riil per kapita diasumsikan sama dengan laju pertumbuhan produksi domestik bruto riil yaitu 6,2 %/tahun (Buku Repelita VI). Perkiraan jumlah penduduk juga diperoleh
dari
buku
untuk konsumsi
Repelita VI.
Proyeksi
konsumsi
minyak goreng
pangan hingga tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 6.
(Amang dkk,1996). Tabel 6 . Proyeksi Konsumsi Minyak Goreng untuk Konsumsi Pangan Hingga Tahun 2013 Tahun Penduduk Konsumsi per Total konsumsi (ribu orang) kapita (juta liter) (liter/orang) 189.136 8,060 1.524 1993 204.424 8,539 1.745 1998 219.380 9,062 1.988 2003 233.571 9,638 2.251 2008 246.520 10,273 2.533 2013 Sumber : Amang dkk, 1996 Secara umum, konsumsi minyak goreng per kapita diperkirakan masih akan terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini, namun laju peningkatan tersebut akan semakin rendah. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan jumlah penduduk akan membuat permintaan minyak goreng untuk pangan rumah tangga akan meningkat terus. Potensi permintaan domestik yang besar ini tentu merupakan peluang yang baik bagi pengembangan industri minyak goreng dalam negeri (Amang dkk, 1996). Upaya stabilisasi harga dapat dilakukan lewat pasar berjangka, karena mekanisme yang sangat transparan memungkinkan diketahuinya demand-supply
Universitas Sumatera Utara
29
setiap saat, dan bagi yang ingin mempermainkan supply dengan menumpuk stok akan rugi sendiri karena pasar memberikan indikasi harga yang tidak memungkinkan untuk dipermainkan (Sofyan, 2000). Industri oleopangan perlu terus meningakatkan mutu produknya sehingga mampu menembus pasar minyak makan dunia yang masih sangat besar, khususnya India, Cina, Asia Selatan dan Timur tengah (Ambar dkk, 2007) Apabila tidak ada perubahan dalam teknologi maka pembangunan pertanian pun terhenti. Produksi terhenti kenaikannya, bahkan dapat menurun karena menurunnya kesuburan tanah atau karena kerusakan yang semakin meningkat oleh hama penyakit yang merajalela (Mubyarto, 1989). Ketika harga suatu komoditas berubah, semakin lama perubahan itu berlangsung, akan semakin besar informasi yang mengalir perihal perubahan harga itu. Artinya, makin banyak orang yang mengetahuinya. Kedua, para konsumen akan semakin berkesempatan menyesuaikan konsumsinya, bila waktu yang tersedia lebih panjang. Kenyataanya, semakin panjang waktu yang mereka dapatkan, semakin ringan biaya bagi mereka guna membiasakan diri dengan pola konsumsi yang baru (Miller dan Meiners, 2000) Afandi (2008) dengan penelitian judul Kointegrasi CPO Internasional, CPO Domestik dan Minyak Goreng Domestik dengan menggunakan data harga CPO internasional bulanan 2003-2007, data harga CPO domestik bulanan 20032007 dan data harga minyak goreng domestik bulanan 2003-2007, melakukan uji unit root dengan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) memperoleh hasil bahwa data-data tersebut sudah stasioner pada level yang sama yaitu pada turunan pertama atau I(1) dengan kesimpulan bahwa variabel harga minyak goreng sudah
Universitas Sumatera Utara
30
stasioner pada diferensi yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistiknya yaitu 0,0002 < 0,05 (pada tingkat kepercayaan 5%), ini berarti data sudah stationer. Kemudian membandingkan nilai absolut statistik t (5,424125) dengan nilai kritis menurut tabel MacKinnon pada tingkat 1%, 5% atau 10%. Ternyata nilai absolut statistik t lebih besar dibanding dengan nilai-nilai kritisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner. Variabel harga CPO domestik sudah stasioner pada diferensi yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistiknya yaitu 0,0000 < 0,05 (pada tingkat kepercayaan 5%), ini berarti data sudah stationer. Kemudian membandingkan nilai absolut statistik t (6,261157) dengan nilai kritis menurut tabel MacKinnon pada tingkat 1%, 5% atau 10%. Ternyata nilai absolut statistik t lebih besar dibanding dengan nilai-nilai kritisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner. Variabel harga CPO internasional sudah stasioner pada diferensi yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistiknya yaitu 0,0003 < 0,05 (pada tingkat kepercayaan 5%), ini berarti data sudah stationer. Kemudian membandingkan nilai absolut statistik t (5,277060) dengan nilai kritis menurut tabel MacKinnon pada tingkat 1%, 5% atau 10%. Ternyata nilai absolut statistik t lebih besar dibanding dengan nilai-nilai kritisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner dan siap dianalisis ke uji kointegrasi. Afandi (2008) juga telah melakukan uji kointegrasi antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional dan kointegrasi antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik. Hasil dari uji kointegrasi antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional (Lampiran 10) menjelaskan bahwa trace statistic lebih kecil dari nilai critical value pada tingkat 5%(0,05),
Universitas Sumatera Utara
31
yaitu 19,17685 < 25,87211. Begitu juga nilai probabilistiknya lebih besar dari nilai kritis (tingkat kepercayaan) 5% yaitu 0,2704 > 0,05. Hal ini menyatakan bahwa kedua variabel yaitu harga CPO domestik dan harga CPO internasional tidak saling berkointegrasi. Afandi (2008) melakukan uji kointegrasi antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik (Lampiran 11) dengan hasil bahwa trace statistic lebih kecil dari nilai critical value pada tingkat 5%(0,05), yaitu 14,84133 < 25,87211. Begitu juga nilai probabilistiknya lebih besar dari nilai kritis (tingkat kepercayaan) 5% yaitu 0,5878 > 0,05. Hal ini menyatakan bahwa kedua variabel yaitu harga minyak goreng domestik dan harga CPO domestik tidak saling berkointegrasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua variabel yaitu harga CPO domestik dan harga CPO internasional tidak saling berkointegrasi. Begitu juga variabel Minyak goreng domestik dan CPO domestik tidak saling berkointegrasi. Bacuks (2006) menggunakan model Autoregresi ketika mempelajari transmisi harga pada pasar babi di Swiss. Bacuks menyimpulkan bahwa transmisi harga diantara produsen dan konsumen bersifat asimetrik. Bacuks juga mempelajari transmisi harga daging babi sehubungan dengan siklus harga, menyimpulkan bahwa harga konsumen sesuai secara asimetris terhadap perubahan harga disemua frekuensi. Bakucs
(2006)
menyimpulkan
bahwa
kebanyakan
hasil
empiris
menguatkan adanya hubungan timbal balik antara pasar peternakan dan pasar Pengecer disemua katagori yang telah dipelajari. Singkatnya, kebanyakan penelitian menemukan bahwa transmisi harga asimetris dalam pasar kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
32
pokok. Hal ini juga disebabkan terjadinya informasi yang tidak langsung yang berasal dari harga di peternakan, pengecer dan konsumen. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paulsen (2007), dengan judul penelitian Elastisitas Transmisi Harga Salmon yang di Ekspor terhadap Harga Salmon di Tingkat Produsen dengan Studi Kasus Norwegia, menyimpulkan bahwa elastisitas trasnsmisi harga salmon ekspor terhadap harga salmon di tingkat produsen bersifat inelastis. Hal ini dipengaruhi oleh nilai tukar dan biaya trasportasi. Serta adanya kebijakan pemerintah berupa Pungutan Ekspor (PE) Penelitian Jaldi (2007) yang berjudul Analisis Pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT. Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV) dengan identifikasi masalah berapa besar elastisitas transmisi harga dari pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT. Perkebunan IV (PTPN-IV)?, mendapatkan hasil yaitu bahwa elastisitas transmisi harga pemasaran CPO ekspor PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV) pada tahun 2006 adalah bersifat inelastis yaitu perubahan harga sebesar 1% ditingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar -0,34% ditingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO (Crude Palm Oil) ekspor PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV). Hal ini lanjutnya, disebabkan karena adanya peningkatan input, seperti harga bahan baku (TBS), harga solar dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO (Crude Palm Oil) dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) PTPN-IV serta hal-hal yang bersifat politis, yaitu hubungan diplomatik Indonesia dengan negara pengimpor CPO (Crude Palm Oil). Hasil penelitian Jaldi (2007) juga menarik kesimpulan bahwa elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik PTPN-IV bersifat inelastis, yaitu perubahan harga sebesar 1% ditingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan
Universitas Sumatera Utara
33
harga 0,59% ditingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO (Crude Palm Oil) domestik PTPN-IV. Hal ini lanjutnya, disebabkan oleh kenaikan input, seperti bahan baku (TBS), harga solar pabrik dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO (Crude Palm Oil) dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) PT Perkebunan Nusantara-IV. 2.2. Landasan Teori Elastisitas transmisi harga merupakan perbandingan perubahan nisbi harga di tingkat Internasional dengan perubahan harga di tingkat domestik. Dengan diketahui besar nilai elastisitas transmisi harga, maka dapat diketahui informasi pasar tentang adanya peluang, keseimbangan penawaran dan permintaan, perkembangan pasar, pengurangan resiko kerugian dan perbaikan kegiatan pemasaran. Apabila elastisitas transmisi harga lebih kecil dari 1 (Et < 1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat Internasional akan mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat domestik. Apabila elastisitas transmisi harga sama dengan 1 (Et = 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat Internasional akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 1% di tingkat domestik. Apabila elastisitas transmisi harga lebih besar dari 1 (Et > 1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat Internasional akan mengakibatkan perubahan harga besar dari 1% di tingkat domestik. (Sudiyono, 2004) Bacuks (2006) menyatakan Ada banyak yang dapat menjelaskan keberadaan dari transmisi harga yang asimetrik. Pertama, transmisi harga yang asimetrik bilamana perusahaan dapat mengambil keuntungan melalui perubahan harga yang cepat. Ini dejelaskan dengan teori search costs. Hal ini terjadi di pasar
Universitas Sumatera Utara
34
persaingan sempurna dimana pengecer mempunyai kekuatan pasar. Sedangkan konsumen menghadapi kesulitan dalam memperoleh informasi tentang harga yang bersaing karena adanya search cost. Karena itu perusahaan cepat menaikan harga jika harga podusen naik dan lebih lambat menurunkan harga apabila terjadi penurunan harga. Yang kedua, perishable produk. Pengecer pada posisi perishable produk akan menunda keinginan untuk menaikkan harga karena akan menghadapi resiko kerugian dengan permintaan yang menurun. Ketiga, harga penyesuaian yang melibatkan semua harga dalam penyesuaian transmisi harga. Seperti perishable produk, penyesuaian harga juga bertentangan dengan harga konsumen yang bertambah. Akhirnya, pemberlakuan pasar oligopoli bisa menyebabkan transmisi harga asimetrik. Transmisi harga yang asimetrik muncul dipasar dengan adanya inelastis permintaan dengan supply yang terkonsentrasi. Elastisitas transmisi harga menggunakan model dengan data yang telah di logaritmakan. Hal ini dilakukan untuk menghindari distribusi ε1 yang tidak normal dan menghindari kesalahan varian pengganggu. Koefisien merupakan parameter untuk mengukur elastisitas transmisi harga. Maka rumus elastisitas transmisi harga adalah: RP = a + εppPP Dimana:
RP = harga domestik a = konstanta εpp = Elastisitas transmisi harga PP = harga internasional Jika εpp =1, maka terjadi transmisi sempurna. Dan jika εpp ≠ 1 maka terjadi transmisi harga yang tidak sempurna. Dampak ekonomis dari kebijakan alokasi dapat positif dan dapat negatif, tergantung pada perkembangan harga CPO di pasar internasional. Apabila harga
Universitas Sumatera Utara
35
dunia jatuh, secara teoritis produsen CPO masih dapat terlindungi dari kerugian ekonomis yang besar, karena sebenarnya konsumen minyak goreng di dalam negeri harus membayar lebih tinggi. Sebaliknya apabila harga dunia CPO meningkat pesat, konsumen minyak goreng masih dapat terlindungi karena tidak harus membayar harga yang sangat mahal. Namun hal itu terjadi karena elastisitas transmisi harga CPO dari produsen ke konsumen sangat kecil suatu karekteristik umum bagi produk-produk agribisnis dan agroindustri. Perubahan harga minyak goreng di dalam negeri lebih banyak dinikmati produsen/pedagang produk hilir itu, bukan petani kelapa sawit hulu (Sofyan, 2000). Sampai saat ini pelabuhan yang dapat dimanfaatkan untuk CPO dengan fasilitas terminal/tangki timbun terbatas di Belawan dan Dumai, padahal komoditi ini telah dikembangkan di 16 propinsi. Dengan keterbatasan pelabuhan dan sarananya, diperkirakan tidak akan mampu menampung beban dengan pertumbuhan minyak sawit yang sangat pesat. Berdasarkan hasil pemantauan Disperindag sepanjang tahun 1995 dan 1996, industri Olein tidak memberikan keuntungan
apabila
pengolahannya
tidak
terintegrasi
dengan
kebun
(Sofyan, 2000). Supriana (2006) menjelaskan Model Regresi merupakan antara dua variabel, variabel bebas dan variabel bebas (variabel penduga). Dalam spesifikasi model langkah-langkahnya adalah : 1.
Menentukan variabel terikat dan variabel bebas
2.
Menentukan jumlah persamaan dalam model dan membangun model matematisnya
3.
Menentukan besaran arah koefisien.
Universitas Sumatera Utara
36
2.3. Kerangka Pemikiran Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati. Kelapa sawit menghasilkan TBS (Tandan Buah Segar). Tandan buah segar ini sudah dapat dijual dengan harga tertentu yang disebut dengan harga TBS. TBS (Tandan buah segar) ini merupakan bahan baku untuk menghasilkan CPO (Crude Palm Oil). CPO (Crude Palm Oil) kemudian dapat dijual dengan harga tertentu yang disebut dengan harga CPO (Crude Palm Oil). CPO (Crude Palm Oil) dapat dijual didalam maupun diluar negeri. CPO (Crude Palm Oil) yang dijual didalam negeri dijual dengan harga domestik (harga lokal). Sedangkan CPO (Crude Palm Oil) yang dijual diluar negri disebut dengan harga luar negri (harga Internasional). Perbandingan perubahan nisbi harga CPO (Crude Palm Oil) ditingkat Internasional dengan perubahan harga ditingkat domestik disebut dengan Elastisitas Transmisi Harga. CPO (Crude Palm Oil) merupakan bahan baku untuk memproduksi minyak goreng. Industri minyak goreng di Indonesia menggunakan CPO (Crude Palm Oil) yang dibeli didalam negeri dengan harga lokal. Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan masyarakat. Perubahan nisbi harga minyak goreng domestik dengan perubahan harga CPO (Crude Palm Oil) domestik disebut juga dengan Elastisitas Transmisi Haga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar Skema Kerangka Pemikiran.
Universitas Sumatera Utara
37
Kelapa sawit
Harga TBS
Harga CPO (Crude Palm Oil)
HARGA LOKAL (DOMESTIK)
ELASTISITAS TRANSMISI HARGA
HARGA LUAR NEGERI (INTERNASI ONAL)
HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK (DOMESTIK)
Keterangan
= Tahapan = Derajat Pengukuran = Derajat Pengukuran Gambar 4 : Skema Kerangka Pemikiran
Universitas Sumatera Utara
38
2.4. Hipotesis Adapun hipotesis penelitian adalah: 1. Elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) internasional terhadap CPO (Crude Palm Oil) domestik adalah elastis 2. Elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap minyak goreng domestik adalah elastis
Universitas Sumatera Utara