BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Menurut Rollinson (1984) proses domestikasi sapi bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina. Banteng liar saat ini bisa ditemukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia (Payne dan Rollinson, 1973). Penyebaran sapi bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan 1927. Kemudian sekitar tahun 1947 dilakukan pengiriman besar-besaran sapi bali oleh pemerintah Belanda ke Sulawesi Selatan yang langsung didistribusikan kepada petani (Pane, 1991). Ditinjau dari sistematika ternak, hubungannya dengan sapi lain dikemukakan Hardjosubroto (1994) bahwa sapi bali satu famili dengan sapi lain, yaitu famili bovidae, genus bos dan subgenus bibovine. Sapi yang termasuk ke dalam subgenus bibovine adalah Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus. Diketahui bahwa perkawinan antara sapi bali dengan sapi lain yang berbeda subgenus tersebut (Bos taurus dan Bos indicus) menghasilkan anak jantan yang steril. Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah keturunan F1 jantan mengalami gangguan synapsis kromosom selama proses meiosis yang mengurangi daya hidup sel germinal dan banyak hambatan fisiologis yang mempengaruhi perkembangan sel germinal (Eldridge, 1985) serta tidak
6
sempurnanya pembelahan reduksi dalam proses spermatogenesis (Hardjosubroto, 1994). Sapi bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (Banteng). Warna sapi betina dan anak atau muda biasanya merah bata dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah merah bata ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna merah bata. Pada sapi bali terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas. (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).
2.1 Sapi Bali (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2013)
7
Sapi bali memberikan respon positif terhadap perbaikan pakan dengan meningkatnya laju pertambahan bobot badan. Rataan laju Pertambahan Bobot Badan (PBB) sapi bali yang diberi rumput lapangan tanpa diberi pakan tambahan adalah 175,75 g/ekor/hari, namun PBB harian meningkat jika diberi pakan tambahan konsentrat 1,8% hingga mencapai 313,88 g/ekor/hari (Amril, 1990). Soemarmi et al. (1985) melaporkan laju PBB sapi bali mencapai 690 dan 820 g/ekor/hari berturut-turut yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu ditambah konsentrat 1%. Ditinjau dari karakteristik karkas dan bentuk badan yang kompak dan serasi, sapi bali digolongkan sapi pedaging ideal, bahkan nilai mutu dagingnya lebih unggul daripada sapi pedaging Eropa seperti Hereford, Shortorn (Murtidjo, 1990).
Sapi bali dianggap lebih baik sebagai ternak pada iklim tropik yang
lembab karena memperlihatkan kemampuan tubuh yang baik dengan pemberian makanan yang bernilai gizi tinggi (Williamson dan Payne, 1993). Sedangkan Saka et al. (2005) melaporkan untuk karkas sapi bali jantan (beef) tidak ideal karena perempatan karkas depan (nilai ekonominya lebih rendah) lebih besar (52%) daripada perempatan karkas belakang (48%), kecuali kalau dikastrasi ketika masih pedet. Persentase karkas sapi bali cukup tinggi yang berkisar antara 52–57,7%, lebih baik dibandingkan sapi Ongole dan sapi Madura yang dilaporkan Moran (1979) berturut-turut sebesar 51,9 dan 52,5%. Hasil penelitian Arka (1984) menunjukkan bahwa kandungan lemak daging sapi bali cukup rendah dan tanpa marbling, yang merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki daging sapi bali.
8
Sapi bali memperlihatkan respon yang baik terhadap berbagai upaya perbaikan nilai gizi ransum. Sariubang et al. (2002) melaporkan peningkatan pertambahan bobot hidup sapi bali dari 0.19 – 0.35 kg/ekor/hari menjadi 0.37 0.45 kg/ekor/hari dengan teknologi fermentasi jerami padi yang diperkaya dengan suplementasi urea, dedak padi halus, garam dapur, dan mineral sulfur. Ahmad et al. (2004) melaporkan bahwa sapi bali yang diberi ransum campuran rumput, legum, dan dedak halus yang disuplemen probiotik memperlihatkan peningkatan pertambahan bobot hidup dari 296 g/ekor/hari menjadi 528 g/ekor/hari.
2.2 Mineral Makro dan Mikro Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau zat abu, merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh makhluk hidup selain karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Sebagai contoh, bila bahan biologis dibakar, semua senyawa organik akan rusak; sebagian besar karbon berubah menjadi gas karbon dioksida (CO2), hidrogen menjadi uap air, dan nitrogen menjadi uap nitrogen (N2). Sebagian besar mineral akan tertinggal dalam bentuk abu yaitu bentuk senyawa anorganik sederhana, serta akan terjadi penggabungan antar individu atau dengan oksigen sehingga terbentuk garam anorganik (Davis dan Mertz 1987). Iklim dan kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan mineral dalam pakan hijauan. Di daerah yang kering dengan curah hujan rendah, kandungan mineral dalam pakan ternak pada musim kemarau lebih rendah dibandingkan pada musim hujan (Prabowo et al., 1984).
9
Mineral esensial adalah mineral yang sangat diperlukan dalam proses fisiologis makhluk hidup untuk membantu kerja enzim atau pembentukan organ. Unsur-unsur mineral esensial dalam tubuh terdiri atas dua golongan, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro diperlukan untuk membentuk komponen organ di dalam tubuh. Mineral mikro yaitu mineral yang diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam jaringan dengan konsentrasi sangat kecil (McDonald et al., 1988; Spears 1999; Inoue et al., 2002). Mineral berperan penting dalam proses fisiologis ternak, baik untuk pertumbuhan maupun pemeliharaan kesehatan. Beberapa unsur mineral berperan penting dalam penyusunan struktur tubuh, baik untuk perkembangan jaringan keras seperti tulang dan gigi maupun jaringan lunak seperti hati, ginjal, dan otak. Unsur mineral makro seperi Ca, P, Mg, Na, dan K berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme tubuh, sedangkan unsur mineral mikro seperti besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan (Mn), dan kobalt (Co) diperlukan dalam sistem enzim (McDowell, 1985). Kebutuhan mineral dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bangsa sapi, proses adaptasi, tingkat konsumsi, umur hewan, dan interaksinya dengan mineral atau zat-zat makanan lainnya. Perbedaan kebutuhan bangsa sapi banyak dijumpai pada ruminansia. Sebagai contoh perbedaan bangsa ruminan dalam penyerapan mineral makanan berkisar antara 5-35 persen untuk Mg, 40-80 persen untuk P dan 2-10 persen untuk Cu (Field, 1981). Tidak jarang ditemukan bahwa sapi yang dibawa ke suatu daerah yang baru akan memperlihatkan tanda-tanda defisiensi terhadap mineral tertentu,
10
sedangkan sapi yang sudah lama atau terbiasa di daerah tersebut tidak memperlihatkan gejala defisiensi. Bangsa sapi terberat yang dibawa ke daerah tropis akan banyak kehilangan keringat dan saliva sebelum terjadi aklimatisasi. Hal tersebut dapat menyebabkan hewan tersebut kehilangan banyak mineral (Parakkasi, 1999). Berdasarkan kegunaannya dalam aktivitas kehidupan, mineral dibagi menjadi dua golongan, yaitu mineral esensial dan nonesensial. Mineral esensial diperlukan dalam proses fisiologis hewan, sehingga mineral golongan ini merupakan unsur nutrisi penting yang jika kekurangan dapat menyebabkan kelainan proses fisiologis atau disebut penyakit defisiensi mineral. Mineral ini biasanya terikat dengan protein, termasuk enzim untuk proses metabolisme tubuh, yaitu kalsium (Ca), fosforus (P), kalium (K), natrium (Na), klorin (Cl), sulfur (S), magnesium (Mg), besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan (Mn), kobalt (Co), iodin (I), dan selenium (Se) (McDowell et al., 1978). Mineral nonesensial adalah golongan logam yang tidak berguna, atau belum diketahui kegunaannya dalam tubuh hewan, sehingga hadirnya unsur tersebut lebih dari normal dapat menyebabkan keracunan. Mineral tersebut bahkan sangat berbahaya bagi makhluk hidup, seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik (As), kadmium (Cd), dan aluminium (Al) (Gartenberg et al., 1990; Darmono 1995; Spears 1999). Mineral esensial dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro diperlukan atau terdapat dalam jumlah relatif besar, meliputi Ca, P, K, Na, Cl, S, dan Mg. Mineral mikro ialah mineral yang diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam jaringan
11
dengan konsentrasi sangat kecil, yaitu Fe, Mo, Cu, Zn, Mn, Co, I, dan Se (McDonald et al., 1988; Spears 1999). Tabel 2.1 Konsentrasi Mineral Makro dan Mineral Mikro pada Serum Sapi
Mineral Makro Kalsium (Ca) Fosforus (P) Kalium (K) Natrium (Na) Klorin (Cl) Magnesium (Mg)
mg/l 8-12 1 20 13,5-16 70-85 17-40
Mineral Mikro Besi (Fe) Seng (Zn) Tembaga (Cu) Selenium (Se) Mangan (Mn) Kobalt (Co)
mg/l 1-8 0,02-1 0,67-0,78 3-5 2-6 0,02−1
Sumber: McDowell (1985). Pada ruminan, kebutuhan NaCl erat hubungannya dengan kalium. Terlampau banyak kalium dalam makanan akan menyebabkan defisiensi Na begitu pula sebaliknya apabila kelebihan NaCl akan menyebabkan defisiensi kalium. Hal ini dapat terjadi bila ransum banyak mengandung hijauan. Kadar kalium dalam hijauan dapat lebih tinggi daripada Na. Kebutuhan NaCl erat hubungannya dengan metabolisme kalium (Mitchell, 1972).
2.2.1 Mineral Makro Kalium (K) Kalium merupakan unsur nomor 3 terbanyak didapatkan dalam jaringan, terutama dalam jaringan intraseluler di samping sedikit dalam cairan ekstraseluler, dalam hal ini kalium erat hubungannya dengan (mempengaruhi) aktivitas urat daging. Eritrosit mengandung 25 kali lebih banyak kalium dibandingkan plasma. Urat daging dan saraf juga banyak mengandung kalium (20 kali lebih banyak dibanding dalam cairan interstitial) (Parakkasi, 1999).
12
Cukup banyak fungsi K dalam tubuh yang telah diketahui, seperti dalam pengaturan tekanan osmose, keseimbangan asam-basa, dalam beberapa sistem enzim untuk metabolisme karbohidrat dan keseimbangan air (secara normal ada keseimbangan antara K, Na, Ca, dan Mg) (Parakkasi, 1999). Pada ruminan diketahui bahwa K-serum yang normal: 3.4 – 4.5 meq/liter (14 – 18 mg%). Saliva (campuran) mengandung K: 16 – 46 mg%. Urat daging mengandung K: 3.32 g/kg; tulang: 3.07 g/kg; saluran pencernaan + isi: 2.71 g/kg; jaringan lemak: 0.77 g/kg (Parakkasi, 1999). Kalium adalah salah satu unsur yang terlibat dalam iritabilitas saraf, bersama dengan Na langsung terlibat dalam perkembangan potensi listrik dalam impuls saraf. Urat saraf kaya akan K dan bila urat saraf dirangsang, K + akan terdifusi keluar dan akan kembali ke dalam sel bila saraf tersebut kembali istirahat (Parakkasi, 1999). K-intraseluler memegang peranan penting dalam system actomyosin-ATP urat daging (Parakkasi, 1986). Pada anak sapi, K sangat baik diserap melalui dinding intestin (90%) atau hanya beberapa dalam usus besar (Perry et al., 1967). Kebutuhan K untuk ruminan relatif lebih banyak daripada nonruminan, yaitu 0,5-0,8 persen. Kebutuhan tersebut akan meningkat jika hewan mengalami stress, karena akan meningkatkan pengeluaran K (Parakkasi, 1999). Untuk sapi yang sedang digemukkan, K yang dibutuhkan adalah 0,5-0,6 persen (Robert dan St. Omer, 1965), sedangkan Devlin et al. (1969) melaporkan kebutuhan K untuk sapi jantan kebiri yang digemukkan berada di antara 0,51- 0,72 persen.
13
Diagnosis defisiensi K tidak mudah, cara yang paling baik dengan mengetahui kadar K dalam makanan ruminan yang bersangkutan. Rendahnya kadar K dalam serum dapat pula disebabkan oleh masalah nutrisi lain (misalnya neraca N yang negatif, diare, malfungsi hormon dan lain sebagainya). Defisiensi K dapat menyebabkan letargi, namun apabila kelebihan K akan menyebabkan hiper-irritabilitas (Parakkasi, 1999).
2.2.2 Mineral Mikro Kobalt (Co) Keesensialan Co untuk ternak mulai diketahui di sekitar tahun 1935 (Underwood, 1962). Termasuk mineral nomer 3 (setelah P dan Cu) yang banyak menyebabkan problema di daerah tropis. Di dalam tubuh, Co paling banyak didapatkan dalam ginjal, kelenjar adrenal, limpa dan pankreas. Pada organ lain didapatkan dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan organ-organ tersebut tadi. Kobalt didapatkan pula dalam jumlah cukup banyak dalam limfoglandula, sumsum tulang dan empedu. Konsentrasi normal dalam hati ruminan yang makanannya cukup kobalt adalah ±0.15 ppm (Parakkasi, 1999). Mikroba rumen menggunakan Co antara lain untuk membentuk vitamin B12. Pada jaringan tanaman sebagai pakan ternak, konsentrasi Co sangat bervariasi antar spesies maupun antar musim. Pada umumnya rumput mengandung Co lebih rendah dibanding dengan leguminosa. Hewan muda membutuhkan lebih banyak Co dibanding dengan yang sudah dewasa. Kebutuhan sapi lebih tinggi dibanding kebutuhan domba (Parakkasi, 1999).
14
Kobalt (Co) merupakan unsur mineral esensial untuk pertumbuhan hewan, dan merupakan bagian dari molekul vitamin B12. Konversi Co dari dalam tanah menjadi vitamin B12 pada makanan hingga dicerna hewan non-ruminansia kadang-kadang disebut sebagai siklus kobalt. Ternak ruminansia (sapi, domba, dan kambing) memakan hijauan pakan, di mana tanaman menyerap kobalt dari dalam tanah dan mikroorganisme yang ada di dalam rumen menggunakan kobalt dalam
penyusunan
vitamin
B12.
Hewan
menyerap
vitamin
B12
dan
mendistribusikannya ke seluruh jaringan tubuh (Davis dan Mertz 1987; Mills, 1987; Darmono, 1995). Semua bangsa hewan membutuhkan vitamin sehingga secara tidak langsung memerlukan kobalt. Ternak babi dan unggas tidak mempunyai mikroflora dalam saluran pencernaan untuk mengubah kobalt dalam ransum sehingga harus mendapat vitamin B12 yang cukup dalam ransum (Lee et al., 1999). Pada hewan ruminansia yang memakan rumput yang kurang mengandung unsur kobalt, gejala defisiensi akan timbul beberapa bulan kemudian, karena hewan memiliki cadangan vitamin B12 dalam hati dan ginjal sebagai sumber kobalt. Para peneliti menduga kobalt memiliki peran penting dalam pertumbuhan bakteri dalam rumen. Vitamin B12 mengandung 4% kobalt sebagai bagian esensial dari vitamin tersebut. Penyebab utama defisiensi kobalt pada ternak ruminansia adalah kekurangan vitamin B12 karena sintesis vitamin tersebut dalam rumen menurun (Hetzel dan Dunn 1989; Kennedy et al., 1991). Defisiensi Co banyak ditemukan di daerah tropis termasuk Indonesia, terutama pada ruminansia. Gejala defisiensi dapat terlihat pada hewan-hewan
15
yang dipelihara di daerah yang jenis lahannya termasuk seperti coarse, volcanic, sandy-loam dan leached-sands. Peningkatan pH dengan pengapuran
dapat
menurunkan pengambilan Co oleh tanaman yang selanjutnya dapat menyebabkan defisiensi yang parah pada hewan yang menggunakan tanaman tersebut. Gejala defisiensi tidak jarang terjadi pada hewan yang digembalakan di pasture yang terlihat cukup baik. Defisiensi Co cenderung lebih banyak didapatkan di pasture undergrazed,
di
pastora
yang
overgrazed
menyebabkan
lebih
banyak
kemungkinan hewan akan mendapatkan Co dari tanah (Andrews et al., 1958). Kekurangan kobalt hanya terjadi pada hewan ruminansia. Gejalanya ialah hewan lemas, nafsu makan berkurang, bobot badan menurun, lemah, anemia dan kemudian mati (Graham 1991; Hussein et al., 1994; Stangl et al., 1999). Pemberian pakan yang mengandung kobalt dapat mencegah kekurangan kobalt pada ternak (Puls 1994; Ahmed et al., 2002). Keracunan Co dapat dibuat dengan member Co dosis tinggi. Dengan dosis 4,4-11 mg/kg bobot badan gejala yang terjadi yaitu nafsu makan menurun, penurunan bobot badan, anemia. Pemberian Co lebih dari 5 mg secara intravena akan menyebabkan kematian, dari pemeriksaan patologis menunjukkan terjadinya degenerasi hati, kongesti hati dan pendarahan pada usus kecil (Parakkasi, 1999).
2.3 Karakteristik Lahan Perkebunan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan yang dimaksud Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil
16
tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Tanaman perkebunan dikelompokkan jadi 2 tanaman semusim dan tanaman tahunan. Tanaman semusim yaitu merupakan tanaman yang hanya dipanen satu kali dengan siklus hidup satu tahun sekali, contohnya tanaman tebu, kapas dan tembakau. Sementara tanaman tahunan membutuhkan waktu yang panjang untuk berproduksi dan bisa menghasilkan sampai puluhan tahun dan bisa dipanen lebih dari satu kali, misalnya tanaman kelapa sawit, karet, kakao, cengkeh, kopi dan lada (Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor : 151/Kpts-Ii/2000).
2.2 Lahan Perkebunan (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2013)
17
Selain itu dikenal juga perkebunan hortikultura yang membudidayakan tanaman buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias. Pengembangan hortikultura di Indonesia pada umumnya masih dalam skala perkebunan rakyat yang tumbuh dan dipelihara secara alami dan tradisional, sedangkan jenis komoditas hortikultura yang diusahakan masih terbatas (Amrin Kahar, 1994). Gartenberg et al. (1990) melaporkan bila tanah tempat hijauan pakan tumbuh miskin unsur mineral maka ternak yang mengkonsumsi hijauan tersebut akan menunjukkan gejala defisiensi mineral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daerah yang kering dengan curah hujan rendah, kandungan mineral dalam tanah dan tanaman umumnya sangat rendah (Prabowo et al., 1984; Chandra, 1985). Defisiensi mineral pada ternak dapat menimbulkan gejala klinis yang spesifik untuk setiap mineral, tetapi kadangkadang gejala tersebut hampir mirip, sehingga untuk menentukan diagnosis penyakit defisiensi mineral perlu dilakukan analisis kandungan mineral dalam darah (Graham, 1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar mineral disebabkan oleh faktor kondisi tanah dan jenis tanaman. Pada tanah berpasir yang sangat miskin unsur mineral, kondisi tanah yang dipupuk, tidak dipupuk, dan ditanami terus-menerus akan mempengaruhi kandungan mineral tanaman yang tumbuh di tanah tersebut (Soepardi, 1982). Tingkat kemasaman (pH) tanah juga mempengaruhi kandungan hara. Peningkatan pH dengan pengapuran akan menurunkan penyerapan Co oleh tanaman sehingga terjadi defisiensi Co pada hewan yang mengkonsumsi tanaman tersebut, sebaliknya pada pH tanah yang rendah akan menurunkan penyerapan K
18
oleh tanaman sehingga akan terjadi defisiensi K pada hewan yang mengkonsumsi tanaman tersebut (Gartenberg et al., 1990). Hadirnya mineral lain yang berinteraksi dengan mineral esensial juga mengakibatkan
berkurangnya
ketersediaan mineral esensial. Pada kondisi tanah masam (pH sekitar 5), kandungan molybdenum (Mo) dan selenium (Se) cukup tinggi, tetapi kadar Cu sangat rendah sehingga tanaman hijauan pakan yang tumbuh di tanah tersebut menjadi kekurangan Cu. Bila hijauan tersebut dikonsumsi ternak maka ternak akan menderita penyakit defisiensi Cu (Gartenberg et al., 1990). Kalium tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang mengandung kalium. Melalui proses dekomposisi bahan tanaman dan jasad renik maka kalium akan larut dan kembali ke tanah. Selanjutnya sebagian besar kalium tanah yang larut akan tercuci atau tererosi dan proses kehilangan ini akan dipercepat lagi oleh serapan tanaman dan jasad renik. Beberapa tipe tanah mempunyai kandungan kalium yang melimpah. Kalium dalam tanah ditemukan dalam mineral-mineral yang terlapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion adsorpsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanaman. Tanahtanah organik mengandung sedikit Kalium. Kalium ditemukan dalam jumlah banyak di dalam tanah, tetapi hanya sebagaian kecil yang digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam air atau yang dapat dipertukarkan (dalam bentuk koloid tanah). K dalam tanah dibedakan menjadi tidak tersedia bagi tanaman, tersedia dan tersedia tapi lambat. K yang tersedia hanya 1-2% dari total K dalam tanah.
19
Kalium merupakan unsur hara ketiga setelah Nitrogen dan Fosfor yang diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Muatan positif dari Kalium akan membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan negatif Nitrat, Fosfat, atau unsur lainnya. Hakim et al. (1986), menyatakan bahwa ketersediaan Kalium merupakan Kalium yang dapat dipertukarkan dan dapat diserap tanaman yang tergantung penambahan dari luar, fiksasi oleh tanahnya sendiri dan adanya penambahan dari kaliumnya sendiri. Berdasarkan informasi di atas dapat dinyatakan bahwa kecukupan mineral secara alami sangat bergantung pada kondisi daerah tempat ternak dipelihara dan pakan yang cukup mengandung mineral. Bila ternak dipelihara secara tradisional dengan digembalakan dan hanya memperoleh pakan dari padang rumput maka ketersediaan mineral dalam tanah dan rumput pakan ternak perlu diperhatikan. Pemberian mineral tambahan pada ternak ruminansia yang hidup di daerah yang tanahnya miskin unsur mineral perlu dilakukan. Leguminosa mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi (Prabowo et al., 1984; Montalvo et al., 1987; Harricharan et al., 1988). Beberapa spesies rumput seperti Brachiaria humidicola mengandung Fe sampai 48% atau 480,766 mg/kg bobot kering (Mansjur et al., 2006), dan kandungan tersebut bervariasi bergantung pada interval pemotongan. Penyakit defisiensi mineral terutama diakibatkan oleh kurangnya kandungan mineral tertentu pada pakan ternak, tetapi tidak menutup kemungkinan akibat terjadinya interaksi unsur-unsur mineral dalam pakan tersebut. Timbulnya penyakit juga disebabkan oleh kondisi daerah, yaitu lahan kering marginal dengan
20
curah hujan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daerah yang kering dengan curah hujan rendah, kandungan mineral dalam tanah dan tanaman umumnya sangat rendah (Soepardi, 1982; Prabowo et al., 1984). Dengan demikian, penyakit defisiensi mineral pada ternak ruminansia bervariasi, bergantung pada kondisi daerah dan jenis pakan yang dikonsumsi ternak.
2.4 Gangguan Pertumbuhan Pertumbuhan adalah pertambahan bobot badan atau ukuran-ukuran tubuh sesuai dengan umur dan dapat dilukiskan sebagai garis atau gambaran kurva sigmoid (Forrest et al., 1975), sedangkan perkembangan adalah perubahan ukuran dan fungsi dari berbagai bagian tubuh mulai embrio sampai dewasa. Pertambahan bobot badan pada hewan muda merupakan bagian dari pertumbuhan urat daging, tulang dan organ-organ vital, sedangkan pertambahan bobot badan pada hewan tua berupa penimbunan lemak. Bentuk pertumbuhan ternak biasanya mengikuti kurva sigmoid, sehingga dapat diramalkan antara umur dan bobot hidupnya bagi ternak (Sugeng, 2002). Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal, faktor external yang paling berperan adalah pakan, faktor internal yang paling dominan mempengaruhi pertumbuhan adalah genetik dan endokrin atau sekresi hormon (Firman, 2011). Sedangkan Yulianto dan Suparinto (2010) menyatakan bahwa faktor ekternal yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu : iklim, musim, lahan pakan, kerusakan lingkungan dan kondisi pakan yang ada dilingkungannya. Pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi ternak dapat menyebabkan defisiensi zat makanan sehingga ternak mudah terserang penyakit
21
(Cahyono, 1998). Pola pertumbuhan ternak tergantung sistem manajeman yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dan iklim (Judge et al., 1989). Mineral dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan apabila terjadi defisiensi, ketidakseimbangan, atau keracunan mineral. Gartenberg et al. (1990) melaporkan bahwa bila tanah tempat hijauan tersebut tumbuh miskin unsur mineral maka ternak yang mengkonsumsi hijauan tersebut akan menunjukkan gejala penyakit defisiensi mineral. Gejala awal berupa penurunan reproduksi sekitar 20−75%, retensi plasenta, anak yang lahir menjadi lemah, dan angka kematian anak tinggi. Penyakit lain yang timbul adalah pneumonia, diare, stomatitis, anoreksia, dan penurunan produksi susu pada sapi perah. Gejala lain yang lebih parah ialah patah tulang, kulit kering dan bersisik, serta kekurusan yang hebat.
22